Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 25
KETIKA pihak
kerajaan mendengar tentang gerakan pasukan Sabutai ini, tentu saja mereka pun
langsung bergerak mengirimkan bala tentara. Di perbatasan, para komandan
pasukan kerajaan berjumpa dengan pasukan kecil yang dipimpin oleh Cia Keng Hong
bersama puteranya, dan dengan gemas Cia Keng Hong dan puteranya mengerti bahwa
kerajaan sama sekali tidak mempedulikan nasib Kaisar Ceng Tung, bahkan sama
sekali tidak ada pengiriman pasukan dari kerajaan untuk menyelamatkan kaisar
yang tertawan.
Tahulah
pendekar ketua Cin-ling-pai itu bahwa di kota raja sudah terjadi pergolakan dan
perebutan kekuasaan, apa lagi ketika dia mendengar bahwa bukan saja tidak ada
usaha menyelamatkan Kaisar Ceng Tung, bahkan kini para pembesar telah
mengangkat seorang kaisar baru dan seolah-olah menganggap Kaisar Ceng Tung
sudah mati! Dan kini, setelah Sabutai bergerak mengancam kerajaan, barulah bala
tentara dikerahkan!
Sebetulnya,
di dalam hati Cia Keng Hong marah kepada para pembesar di kota raja. Akan
tetapi karena dia pun melihat bahaya dari Sabutai yang bergerak ke selatan, dan
karena dia tidak ingin mencampuri pula urusan perebutan tahta kaisar, maka
pendekar ini pun mengerahkan pasukannya untuk membantu bala tentara kota raja
menghadapi musuh. Yang penting baginya adalah membela negara menghadapi musuh
Bangsa Mongol yang hendak menjajah itu!
Bentrokan
pertama antara pasukan Sabutai dan pasukan kerajaan terjadi di perbatasan.
Meski pun mendapat bantuan Cia Keng Hong, Cia Bun Houw, Tio Sun dan orang-orang
Mancu dan Khitan, pasukan kerajaan terdesak mundur dan mengalami pukulan hebat!
Di dalam
perang besar seperti itu, kepandaian perorangan dari Cia Keng Hong, Cia Bun
Houw dan Tio Sun tidak begitu besar artinya. Apa lagi di fihak musuh juga
banyak sekali terdapat orang pandai seperti tiga orang tokoh Bayangan Dewa, Hwa
Hwa Cinjin, Hek I Siankouw, Go-bi Sin-kouw, Bouw Thaisu dan terutama sekali Yo
Bi Kiok, Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko.
Pihak
kerajaan terlalu memandang rendah terhadap Sabutai sehingga bala tentara yang
dikirimkan itu jauh dari pada mencukupi, kalah banyak jumlahnya dan memang
kalah kuat para prajuritnya. Pasukan Sabutai terdiri dari prajurit-prajurit
gemblengan yang di samping telah terlatih kehidupan yang keras dan sulit, juga
bersemangat besar untuk menegakkan kembali kerajaan bangsa mereka, Bangsa
Mongol yang dahulu pernah menjadi bangsa yang jaya.
Memang hebat
gerakan Sabutai dan ternyata tak kecewa dia mengaku sebagai keturunan Jenderal
Sabutai yang dahulu pernah menjadi tokoh militer di jaman kejayaan Kerajaan
Goan-tiauw, yaitu ketika Bangsa Mongol menguasai seluruh Tiongkok. Dia
menggunakan siasat yang amat hebat hingga pasukannya bergerak seperti kilat ke
selatan, merobohkan seluruh rintangan sehingga semua pertahanan pasukan Kerajaan
Beng terus menerus dipukul mundur sampai akhirnya pasukan-pasukan pemberontak
Mongol ini berhasil tiba di benteng pertama Kota Raja Peking!
Cia Keng
Hong sangat prihatin melihat keadaan ini. Dia bersama puteranya dan Tio Sun
telah membantu mati-matian, merobohkan dan membunuh entah berapa banyak pasukan
musuh. Namun mereka tidak berdaya karena fihak Mongol memang jauh lebih kuat
dari pada jumlah pasukan kerajaan yang bertahan. Hal ini disebabkan kerajaan
sedang dalam keadaan kacau balau dan para pembesar militer pun sudah
terpecah-pecah oleh suasana perebutan kekuasaan.
Setelah
datangnya bala bantuan, yaitu pasukan-pasukan yang ditarik dari semua jurusan,
barulah kekuatan pasukan kerajaan terkumpul dan terpusatkan dalam pertahanan,
maka gerakan pasukan Sabutai dapat dibendung, bahkan mulai bisa dihalau mundur
dari daerah lingkungan kota raja.
Dan di dalam
pasukan bala bantuan yang kuat ini muncul pula banyak tokoh kang-ouw yang gagah
perkasa, yang selalu dalam saat-saat negara terancam bahaya tentu muncul
meninggalkan tempat-tempat persembunyian mereka guna menyumbangkan jiwa raganya
tanpa pamrih untuk kepentingan diri pribadi. Dan di antara para orang gagah ini
terdapat pula Yap Kun Liong!
Walau pun
pendekar ini tadinya sibuk dengan urusan pribadinya sendiri, menyelidiki dan
mencari hilangnya Yap Mei Lan puterinya, juga mencari hilangnya Lie Seng,
putera Cia Giok Keng, di samping menyelidiki kematian isterinya, mencari
pembunuhnya, akan tetapi begitu mendengar bahwa pasukan Mongol menyerbu ke
selatan dan telah tiba di benteng pertama pertahanan Kota Raja Peking, pendekar
ini pun cepat melupakan semua urusan pribadinya dan langsung saja menggabungkan
diri dengan pasukan kerajaan yang datang dari berbagai jurusan itu,
menyumbangkan tenaganya melawan musuh.
Berkali-kali
Sabutai mengalami kekalahan hingga akhirnya dia menarik mundur sisa-sisa
pasukannya yang hanya tinggal separuhnya! Dia mundur sampai di luar perbatasan
kota raja dan membuat pertahanan kokoh di sebuah benteng yang sudah dirampasnya
ketika dia menyerbu ke selatan.
Sementara
itu, In Hong telah menjadi sahabat baik dari Khamila. Dia tahu bahwa ada
sesuatu di antara isteri Raja Sabutai itu dengan Kaisar Ceng Tung yang menjadi
tawanan. Hal ini diketahuinya ketika kaisar muda itu jatuh sakit karena cemas
memikirkan betapa pasukan Mongol semakin mendekati kota raja, Khamila
memperlihatkan perhatian luar biasa, bahkan dengan perantaraan In Hong minta
supaya mengirimkan buah-buah segar kepada kaisar itu. Tentu saja In Hong
menjadi heran dan akhirnya dia dapat menduga bahwa isteri Sabutai itu merasa
simpati kepada kaisar.
"Kasihan
sekali sri baginda kaisar," pada suatu petang In Hong sengaja memancing di
depan Khamila. "Dia menjadi tawanan yang tak berdaya dan hanya mendengar
betapa kerajaannya terancam keruntuhan."
Mendengar
ucapan In Hong ini, Khamila memandang tajam, kemudian dia bertanya lirih,
"Hong-lihiap, engkau adalah seorang wanita yang gagah perkasa dan memiliki
ilmu tinggi. Bagaimana pendapatmu tentang Kaisar Ceng Tung itu? Dia telah
tertawan, akan tetapi dia tak pernah sudi menyerah, tak pernah mau tunduk dan sama
sekali tidak takut mati."
Jelas terasa
oleh In Hong betapa kekaguman besar terkandung dalam kata-kata ini, maka dia
lalu menjawab, "Dia memang seorang kaisar yang besar, seorang jantan yang
amat mengagumkan." In Hong memandang tajam, lalu melanjutkan lagi,
"Sayang dia menjadi tawanan yang tidak berdaya. Seorang gagah seperti
beliau itu sepatutnya tidak menjadi tawanan."
"Maksudmu...
sepatutnya dia bebas?"
In Hong
memandang. Dua orang wanita yang sama cantik jelitanya akan tetapi jelas
memiliki sifat yang berlawanan itu, yang seorang penuh kelembutan dan
kelemahan, yang seorang keras dan gagah, akan tetapi keduanya cantik jelita
menggairahkan itu, untuk beberapa lamanya saling pandang. Akhirnya Khamila
membuka mulut berkata,
"Kalau
begitu, engkau yang menjaganya, engkau yang mengepalai para pengawal di sini,
kenapa engkau tidak membebaskannya?"
In Hong
tidak kaget mendengar pertanyaan aneh ini. Memang tidak aneh kalau isteri dari
Raja Sabutai yang menawan kaisar itu bertanya demikian. Dia sudah menduga bahwa
wanita itu suka kepada kaisar, sungguh pun pendekar wanita ini mimpi pun tidak
bahwa kandungan dalam perut ratu yang hamil muda ini adalah keturunan kaisar
yang menjadi tawanan itu!
"Bagaimana
saya dapat membebaskan beliau? Para penjaga tentu akan mencegah saya dan
pula... sungguh pun saya tidak takut menghadapi mereka, saya masih harus
menjaga keselamatan paduka..."
"Kau
bebaskanlah beliau, biar aku yang menanggung kalau sampai terjadi
apa-apa..." kini wajah puteri itu merah, dan matanya sayu.
"Bagaimana
kalau paduka juga ikut lolos?"
"Ehhh...?"
Sepasang mata yang lebar dan indah itu terbelalak. "Apa maksudmu...?"
"Saya
kira, kaisar hanya dapat diselamatkan kalau paduka suka membantu. Kalau paduka
yang keluar dari benteng ini, dikawal oleh saya dan seorang pembantu saya,
yaitu kaisar yang menyamar, tentu tidak akan ada pengawal yang berani mencegah
atau bercuriga. Kemudian, bila mana saya sudah berhasil mengantar kaisar dengan
selamat ke kota raja, saya pasti akan membawa paduka kembali kepada Raja
Sabutai."
"Ahhh...!"
Sejenak sepasang mata itu berseri-seri dan bersinar mengingat bahwa dia akan
berkesempatan dekat dengan kaisar yang dicintanya, dengan ayah dari anak yang
tengah dikandungnya, akan tetapi dia masih ragu-ragu karena betapa pun juga,
dia tidak dapat meninggalkan Sabutai yang menjadi suaminya yang amat baik hati
itu. "Tapi... bagaimana kalau suamiku mencegahnya? Suhu dan subo-nya
bagaikan iblis-iblis mengerikan, belum lagi para pembantu Wang Cin itu..."
"Kita
harus cerdik, dan kita bergerak sesudah mereka itu keluar dari benteng
menyambut musuh."
Akhirnya
Khamila dapat terbujuk juga karena wanita ini ingin sekali memperlihatkan bukti
cintanya kepada ayah dari anak yang tengah dikandungnya itu, bukti yang mutlak
tentang cintanya sebelum mereka saling berpisah, mungkin untuk selamanya. Maka
dia segera setuju dan dua orang wanita yang sifatnya berlawanan ini menjadi
akrab dan sama-sama mengatur siasat.
Kemudian In
Hong yang sudah memperkenalkan diri sebagai seorang yang berpura-pura berfihak
kepada Sabutai untuk menolong kaisar itu membicarakan kepada kaisar tentang
rencananya dengan Ratu Khamila. Tentu saja kaisar menjadi girang dan terharu
sekali, dan dia segera sembuh dari sakitnya mendengar bahwa terbuka kesempatan
baginya untuk lolos dari tawanan.
Saat yang
dinanti-nanti oleh In Hong, Khamila, dan Kaisar Ceng Tung datang tidak lama
kemudian. Bala tentara Kerajaan Beng yang sudah menyelidiki bahwa musuh membuat
pertahanan di dalam benteng yang kokoh itu, datang menyerbu. Sabutai
mengerahkan pasukannya yang tinggal separuhnya, dan melakukan pertahanan di
benteng itu, ada pula sebagian yang menjaga pintu-pintu benteng sehingga tidak
mudah bagi bala tentara Beng untuk membobolkan benteng yang amat kuat itu.
Kesempatan
baik inilah yang ditunggu-tunggu oleh In Hong. Lewat senja, sesudah cuaca mulai
gelap dan seluruh benteng tengah sibuk menghadapi musuh, terdengar suara bising
di luar dan sekeliling benteng besar itu, tampak Ratu Khamila dengan pakaian
ringkas tergesa-gesa keluar dari ruangan-ruangan yang menjadi tempat
tinggalnya, dikawal oleh In Hong dan seorang pengawal muda yang gagah dan
berpakaian sebagai pengawal pribadi sang ratu.
Para penjaga
di luar yang melihat sang ratu naik kereta joli keluar, apa lagi dikawal
sendiri oleh In Hong yang mereka kenal sebagai kepala pengawal pribadi, tidak
memperhatikan pengawal pria itu yang mereka anggap tentulah seorang pengawal
biasa, seorang prajurit biasa. Tidak ada seorang pun berani membantah atau
menentang dan hanya kepala jaga yang bertanya ke mana In Hong hendak mengantar
sang ratu pergi dalam keadaan yang berbahaya seperti itu.
"Justru
karena keadaan amat berbahaya maka Sri Baginda Sabutai mengutus aku untuk
menyelamatkan ratu ke tempat aman di luar benteng!" jawab In Hong dan
kepala penjaga itu tidak berani membantah lagi.
Dengan mudah
saja In Hong dan ‘prajurit pengawal’ yang bukan lain orangnya adalah Kaisar
Ceng Tung itu lalu mengawal Khamila keluar dari benteng melalui pintu darurat
atau pintu rahasia yang terdapat di tempat tersembunyi di belakang benteng itu.
Para penjaga memberi hormat dan membukakan pintu kecil itu, kemudian setelah
tiga orang itu menyelinap keluar, pintu itu lalu ditutup kembali dan tidak
kelihatan ada pintu di dinding tebal itu, baik dilihat dari luar mau pun dari
dalam. Dan para penjaga menjaga lagi seperti biasa.
"Cepat
kita lari ke hutan itu...!" In Hong berbisik kepada kaisar dan sang ratu.
Kaisar yang
menyamar sebagai prajurit itu segera menarik kereta joli yang diduduki oleh
Ratu Khamila dan mereka lalu menyelinap di antara pohon-pohon memasuki hutan
yang gelap.
"Heiiii...!
Tunggu...!"
Tiba-tiba
terdengar bentakan dari belakang. In Hong cepat menoleh dan terkejutlah dia
ketika melihat selosin orang prajurit dipimpin oleh kepala jaga tadi!
"Sri
baginda, cepat ajak ratu bersembunyi di dalam semak-semak!" In Hong
berbisik.
Kaisar Ceng
Tung lalu menarik tangan kekasihnya itu, dan segera mereka lenyap di balik semak-semak
belukar di mana mereka saling rangkul dengan hati tegang tapi dengan hati
bahagia bahwa mereka berdua yang saling mencinta itu masih sempat mengalami
bahaya bersama-sama! Kereta joli mereka gulingkan ke dalam jurang untuk
menghilangkan jejak mereka.
"Hemmm,
kalian mau apa?" In Hong membentak sambil berdiri tegak dengan kedua kaki
terpentang dan sikap marah menantang.
"Lihiap,
kami mendapat laporan bahwa tawanan sudah lenyap!" kata kepala jaga sambil
memandang dengan penuh kecurigaan. Segera obor-obor yang dibawa oleh para
prajurit diangkat tinggi-tinggi untuk meneliti keadaan di sekitar tempat itu.
"Tawanan
siapa?" In Hong berkata dengan suara nyaring dan disengaja agar kaisar
yang sedang bersembunyi itu dapat mendengarnya dan berhati-hati.
"Kaisar
itu! Dia telah lenyap."
"Hemm,
biar pun aku bertugas menjaganya di sana, akan tetapi engkau tahu bahwa aku
tidak berada di sana ketika dia lolos. Kesalahan kalian semualah itu. Perlu apa
mengejar aku?"
"Lihiap...
ehhh, tadi aku kurang teliti. Lihiap mengawal sang ratu keluar benteng, bersama
seorang prajurit pengawal... dan sekarang baru aku ingat bahwa di dalam benteng
tidak ada prajurit pengawal seperti itu. Di manakah mereka? Di manakah prajurit
itu dan sang ratu?"
"Kurang
ajar! Kau menuduh aku...?"
"Bukan
menuduh. Akan tetapi demi keselamatan, aku harap lihiap suka memperlihatkan
surat perintah sri baginda!"
"Ini
perintah lisan, tanpa surat! Kalian tentu mata-mata musuh yang hendak mencegah
aku menyelamatkan ratu!"
"Hemmm,
sikap lihiap sungguh mencurigakan sekali! Di mana sang ratu? Dan di mana pula
tawanan itu kau sembunyikan?" Kepala jaga itu memberi isyarat sambil
melangkah maju dan selosin prajurit itu lalu mengurung In Hong.
"Ratu
menjadi tanggung jawabku! Kalian inilah yang mencurigakan, tentu kalian adalah
mata-mata musuh yang hendak mencelakakan ratu!" sambil berkata begitu, In
Hong yang tahu bahwa rahasianya mulai bocor, cepat mencabut pedangnya dan
sekali berkelebat, pedangnya telah meluncur menjadi sinar yang menyilaukan mata,
sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam kemudian terdengar pekik susul-menyusul
ketika dalam segebrakan saja empat orang prajurit telah roboh dan tewas!
Kepala
penjaga itu menjadi marah dan cepat bersama sisa orangnya maju mengeroyok.
Golok dan pedang menyambar-nyambar ke arah tubuh In Hong. Namun kini In Hong
yang maklum bahwa kalau dia tidak bertindak cepat hingga dapat dikejar oleh
pasukan besar, dan tentu kaisar akan celaka, bergerak seperti seekor harimau
betina yang haus darah.
Pedang
Hong-cu-kiam yang tipis bersinar emas itu mengaum seperti bunyi singa marah,
sinarnya bergulung-gulung, lantas para pengeroyok itu berjatuhan. Pekik
kesakitan susul menyusul dan dalam waktu singkat saja semua pengeroyok yang
berjumlah tiga belas orang itu sudah roboh dan tewas!
In Hong
cepat meloncat ke balik semak-semak belukar tadi sambil menginjak obor-obor
yang masih bernyala.
"Ssstttt...
sri baginda...! Ke sini...!" serunya perlahan ke arah semak-semak itu.
Mereka
keluar dari balik semak-semak, dan melihat di dalam keremangan malam betapa
kaisar tawanan itu merangkul leher Khamila, ada pun ratu itu merangkul pinggang
kaisar, In Hong mengerutkan alisnya. Apa-apaan yang dilihatnya ini?
Timbul
perasaan tidak senang di dalam hatinya. Khamila adalah seorang ratu, isteri
dari Raja Sabutai yang gagah Perkasa. Biar pun ada baiknya kalau ratu ini
bersimpati kepada kaisar yang dia tahu memang seorang yang berwatak agung dan
gagah, namun tidaklah sepatutnya kalau mereka bersikap seperti sepasang kekasih
yang begitu mesra!
"Sekarang
dengan cepat kita pergi memasuki hutan," katanya singkat dan dia
mendahului mereka melangkah masuk ke dalam hutan itu, membawa sebatang obor
yang diambilnya dari obor-obor yang tadi dibawa oleh para prajurit penjaga.
Dapatlah
dibayangkan alangkah sengsaranya perjalanan semalam itu bagi sang ratu. Dia
adalah seorang puteri yang halus, yang tidak pernah melakukan perjalanan jauh,
dan kini dia terpaksa harus melakukan perjalanan pada waktu malam gelap,
melalui sebuah hutan lebat lagi! Dan dia sedang mengandung...!
Akan tetapi,
karena di situ terdapat Kaisar Ceng Tung, yang dengan penuh kasih sayang
menuntunnya, menghibur dan merangkulnya, ratu ini dapat juga melanjutkan
perjalanan dan baru pada keesokan harinya, setelah matahari mengusir kegelapan
malam, In Hong mengajak mereka berhenti di dalam hutan.
"Aduh...
kakiku rasanya seperti mau patah-patah...," Khamila mengeluh dan dia duduk
di atas rumput, kakinya dipijati oleh Kaisar Ceng Tung.
Melihat ini,
In Hong membuang muka dan wajahnya menjadi merah sekali. Kurang ajar, pikirnya.
Orang-orang bangsawan ini sungguh tak tahu malu! Kalau dia tidak ingat bahwa
yang berada di hadapannya itu adalah Kaisar Kerajaan Beng dan ratu dari Raja
Sabutai, tentu dia telah menghajar mereka, atau setidaknya meninggalkan pergi
tanpa peduli akan mereka lagi! Untuk menutupi rasa marahnya dan muaknya, tanpa
menoleh dia berkata,
"Kita
terpaksa melakukan perjalanan hanya di waktu malam, kalau siang kita
beristirahat di dalam tempat-tempat tersembunyi." Suaranya dingin dan
datar.
Hening
sejenak dan tiba-tiba In Hong mendengar suara langkah kaki mendekatinya, akan
tetapi dia tidak peduli dan dia tidak mau menoleh ke arah mereka. Sebuah tangan
yang halus menyentuh pundaknya. Ia menoleh dan kiranya Khamila yang duduk di
sebelahnya dan kemudian merangkulnya.
"Hong-lihiap...
ehh, sebaiknya engkau kupanggil enci saja karena aku sudah menganggap engkau
sebagai saudara sendiri. Enci Hong, kau... kau maafkanlah kami berdua..."
In Hong
mengerutkan sepasang alisnya dan membuang muka. "Urusan kalian tidak ada
sangkut pautnya dengan aku!" katanya lirih dan dingin.
Khamila
menarik napas panjang. "Tentu engkau akan menganggap bahwa kami berdua
tidak sopan atau tidak mengenal kesusilaan. Akan tetapi ketahuilah, di antara
beliau dan aku... kami sudah saling mencinta sejak lama..."
"Ehhh?
Bagaimana...?" In Hong terkejut juga mendengar ini.
"Dan
suamiku juga tahu akan hal itu, enci. Tidak perlu kubuka lebih lebar rahasia
keluarga kami, akan tetapi ketahuilah bahwa aku cinta kepada kaisar, dan
sebaliknya beliau juga cinta kepadaku. Dan hubungan kami bukanlah hubungan
gelap, seperti kukatakan tadi, suamiku juga tahu dan... dan menyetujuinya.
Hanya ini yang dapat kukatakan, enci Hong. Karena cintakulah maka aku mau
berkorban sampai seperti ini, untuk membebaskannya, kemudian... aku akan turut
denganmu dan kembali kepada suamiku." Suaranya menjadi berduka sekali.
"Hemmm..."
In Hong tak dapat berkata apa-apa lagi karena dia merasa heran, kaget, dan juga
terharu. Dia menoleh kepada kaisar yang masih duduk. Melihat In Hong memandang
kepadanya, kaisar mengangguk-angguk dan memandang kepada Khamila dengan sinar
mata yang mesra, penuh cinta kasih.
"Hemmm...
biarlah aku mencari bahan makanan...," kata In Hong dan dia lalu bangkit
dan pergi meninggalkan orang-orang yang sudah saling peluk lagi itu.
Sampai dua
hari dua malam mereka melakukan perjalanan yang lambat sekali. Selama ini In
Hong melihat betapa mereka itu berkasih-kasihan dengan mesra sehingga dia menjadi
malu sendiri dan selalu menjauhkan diri, akan tetapi setelah jauh, dia duduk
termenung dan terbayanglah wajah... Bun Houw! Membayangkan dia berkasih-kasihan
dengan Bun Houw seperti halnya kaisar dan Khamila, membuat dara ini berulang
kali menarik napas panjang dan berulang kali pula mencela dan memaki diri
sendiri.
"Sungguh
tidak tahu malu kau!" bentaknya dalam bisikan kepada diri sendiri setiap
kali dia membayangkan dirinya dan Bun Houw bermesraan.
Pada hari
ketiga, ketika mereka baru saja berhenti dari perjalanan semalam suntuk yang
sangat melelahkan, dan In Hong sedang membuat api unggun, dibantu oleh kaisar
dan Khamila yang mengumpulkan daun-daun kering, mendadak terdengar suara ketawa
dan dari balik batang-batang pohon berlompatan keluarlah beberapa orang yang
membuat In Hong terkejut sekali hingga pendekar wanita ini melepaskan ranting
yang dipegangnya. Di hadapannya sudah berdiri Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin,
Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu, empat orang sakti yang membantu pembesar Thaikam
Wang Cin itu!
Akan tetapi
In Hong sama sekali tidak menjadi gentar dan dia bahkan bersikap tenang
memandang mereka seorang demi seorang dengan sinar matanya yang tajam dingin,
lalu terdengarlah dia berkata, suaranya datar dan penuh tantangan, "Kalian
orang-orang tua datang menyusul kami mau apa?"
"Heh-heh-heh,
Yap In Hong, engkau masih bertanya kepada kami? Bukankah pertanyaan itu
sebaiknya diajukan kepadamu? Mau apa engkau mengajak tawanan dan Ratu Khamila
ke tempat seperti ini?"
Sebelum In
Hong sempat menjawab, tiba-tiba saja kaisar yang telah bangkit berdiri sambil
menggandeng tangan Khamila itu berkata dengan suaranya yang lantang, "Kami
melihat bahwa kalian adalah orang-orang Han yang menjadi kaki tangan si
pengkhianat Wang Cin! Apakah sampai sekarang kalian belum menyadari bahwa Wang
Cin menyeret kalian orang-orang tua ke lembah penghinaan, hendak menjual negara
kepada bangsa lain dan bahwa sekarang usaha si pengkhianat Wang Cin telah
mengalami kegagalan dan berada di ambang kehancuran? Dengan suka rela kami ikut
melarikan diri bersama nona Hong. Kalian mengejar ini mau apa? Hayo
jawab!"
Kaisar yang
muda itu memang memiliki wibawa yang hebat. Pandang matanya, sikapnya,
kata-katanya, semua mengandung wibawa besar sehingga sejenak keempat orang tua
itu tak mampu menjawab. Bahkan Go-bi Sin-kouw yang biasa pandai bicara, kini
menunduk dengan muka merah. Akan tetapi, segera nenek ini dapat menguasai
dirinya kembali dan dengan suara yang kurang galak dia berkata,
"Kami
mengejar untuk membawa kaisar dan ratu kembali ke benteng."
Kaisar
menudingkan telunjuknya ke arah empat orang tua itu, sebuah gerakan yang juga
mengandung wibawa, kemudian dia berkata lantang, "Dengarlah, hai para
pengkhianat bangsa! Aku lebih percaya kepada seorang musuh seperti Raja Sabutai
dari pada kepada pengkhianat-pengkhianat seperti kalian! Kalau Sabutai yang
datang menyusul, aku akan menyerah tanpa perlawanan. Akan tetapi aku tidak sudi
menjadi tawanan kalian, dan lebih baik mati. Nona, beranikah engkau melawan
mereka?"
In Hong
langsung mengangkat dadanya yang sudah membusung itu sehingga semakin menonjol
karena dia merasa kebanggaannya timbul dapat melindungi kaisar yang begini
gagah sikapnya. "Tentu saja hamba berani!" jawabnya tegas.
"Nah,
aku perintahkan engkau untuk membasmi pengkhianat-pengkhianat bangsa seperti
mereka itu, nona!" kata pula kaisar.
Dengan sikap
tenang dia lalu menggandeng tangan Khamila, diajaknya duduk di bawah sebatang
pohon agar wanita muda itu tidak kepanasan, duduk di atas rumput hijau sambil
siap untuk menonton pertandingan. Meski pun dia yang terancam bahaya, namun
kaisar bersikap tenang saja seolah-olah dia yakin akan kemenangan In Hong, atau
seolah-olah dia tidak peduli lagi dengan apa yang akan terjadi pada dirinya.
"Enci
Hong, hati-hatilah...!" Ratu Khamila juga berseru ke arah In Hong.
In Hong
menoleh dan memandang ke arah ratu yang cantik itu dengan senyum terima kasih.
Dia semakin bangga. Kaisar itu muda dan gagah berani, ratu itu cantik jelita
dan manis budi, sungguh tidak percuma membela orang-orang seperti mereka.
Apa lagi dia
sendiri memang semenjak dahulu merasa tidak suka kepada empat orang ini,
terutama kepada Go-bi Sin-kouw karena dia masih teringat akan kematian kakak
iparnya, isteri dari kakak kandungnya, Yap Kun Liong, yaitu wanita cantik
jelita yang tewas dalam keadaan menyedihkan itu. Sampai sekarang, dia mempunyai
dugaan keras bahwa nenek inilah yang telah membunuh isteri kakak kandungnya
itu.
In Hong lalu
melangkah maju menghadapi empat orang itu, sinar matanya menyambar-nyambar,
kemudian dia berkata, "Aku tahu bahwa tiga orang locianpwe, Hwa Hwa
Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu hanya terbawa-bawa saja oleh Lima
Bayangan Dewa dan yang menjadi perantara adalah Go-bi Sin-kouw! Kalau sam-wi
locianpwe masih dapat menyadari kesalahan, sam-wi boleh pergi meninggalkan
tempat ini dan kembali ke tempat masing-masing, akan tetapi kalau hendak
menemani Go-bi Sin-kouw mati di sini, silakan!"
Hebat sekali
ucapan gadis muda ini, karena meski pun kata-kata yang halus itu ditujukan
kepada tiga orang tokoh yang merupakan datuk-datuk golongan hitam itu, namun
jelas bahwa dia merendahkan Go-bi Sin-kouw dan juga membayangkan bahwa dia
tidak takut menghadapi pengeroyokan mereka berempat!
"Heh-heh-heh,
sungguh lancang mulutmu, bocah setan! Kau kira menghadapi kami akan semudah
itu? Kau kira membunuh kami akan semudah engkau membunuh isteri Yap Kun Liong
yang tidak berdaya itu? Heh-heh-heh, jangan mimpi!"
Ucapan Go-bi
Sin-kouw ini membuat seseorang yang semenjak tadi bersembunyi di balik sebatang
pohon besar hampir saja berseru kaget. Mukanya berubah, lalu dia mengintai
dengan hati-hati dan perhatiannya semakin tercurah karena hatinya tertarik
sekali.
Dia seorang
laki-laki tua yang usianya tentu sudah enam puluh tahun lebih, berpakaian
sederhana dan sikapnya masih gagah sekali. Tiba-tiba saja laki-laki tua ini
menyelinap, gerakannya cepat bukan main dan tahu-tahu dia sudah lenyap ke dalam
semak-semak belukar.
Yang
menyebabkan dia menghilang ini adalah karena dia melihat berkelebatnya seorang
lain yang baru datang, seorang yang juga seperti dia, menyelinap dan mengintai
ke depan dan kini orang itu, seorang wanita cantik, dengan gerakan ringan
sekali telah meloncat ke atas sebatang pohon besar dan dari cabang ke cabang
dia berloncatan seperti seekor tupai saja, mendekati tempat In Hong menghadapi
empat orang tua itu.
In Hong dan
empat orang tua yang tengah dihadapinya adalah orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi. Mereka sedang dalam keadaan siap untuk bertanding, dalam
keadaan tegang dan perhatian mereka tercurah kepada lawan yang berada di
hadapan masing-masing. Andai kata tidak sedang demikian, betapa pun ringan dan
cepat gerakan laki-laki tua dan wanita cantik itu, agaknya mereka berempat
tentu akan dapat melihatnya atau setidaknya dapat menimbulkan kecurigaan mereka
akan adanya orang yang mengintai.
Mendengar
ucapan Go-bi Sin-kouw itu, In Hong menjadi merah mukanya, lantas matanya
menyorotkan sinar berkilat dan dia tersenyum mengejek. "Memang engkau
seorang yang rendah, Go-bi Sin-kouw. Sejak dulu aku tahu bahwa engkau seorang
pengecut yang suka memutar balikkan kenyataan! Kau mengatakan bahwa aku
membunuh isteri kakakku itu, akan tetapi tuduhanmu itu hanya untuk menutupi
perbuatanmu yang hina! Tak ada alasan bagiku kenapa aku harus membunuh isteri
kakakku, sungguh pun aku tidak berhubungan dengan kakakku. Sebaliknya, isteri
kakakku itu adalah bekas muridmu, dan sejak dahulu kau tidak setuju jika muridmu
itu menjadi isteri kakakku. Kau memang nenek tua bangka hina..."
"Bocah
setan, makanlah tongkatku!" teriak Go-bi Sin-kouw yang sudah marah sekali
dan tongkatnya yang butut dan berwarna hitam itu sudah meluncur cepat sekali,
digerakkan oleh tangannya, mengirim serangan kilat ke arah perut In Hong.
"Huhh!"
In Hong mendengus dengan nada mengejek, lalu dia mengelak dengan mudah dan di
detik berikutnya, sinar emas dari pedang Hong-cu-kiam telah menyambar ganas ke
arah leher Go-bi Sin-kouw.
"Tranggg...!"
Bunga api berpijar ketika tongkat nenek itu menangkis pedang akan tetapi nenek
itu terhuyung dan hampir jatuh.
Go-bi
Sin-kouw sudah terlampau tua, usianya sudah tujuh puluh lima tahunan, tenaganya
telah banyak berkurang maka biar pun dia masih sangat lihai dan ilmu pedangnya
yang dimainkannya dengan tongkat, yaitu Pek-eng Kiam-sut (Ilmu Pedang Garuda
Putih) amat berbahaya namun karena sudah mulai lemah maka benturan tongkat
dengan pedang In Hong yang masih memiliki tenaga sepenuhnya membuat dia hampir
roboh.
Kembali
kakek yang mengintai dari dalam semak-semak belukar itu membelalakkan mata pada
waktu melihat pedang di tangan In Hong yang tadinya dipakai sebagai sabuk. Dia
memandang heran dan juga kagum, apa lagi ketika kini tanpa banyak cakap Hwa Hwa
Cinjin, Hek I Siankouw, dan Bouw Thaisu maju mengeroyok!
Kakek yang
bersembunyi itu mengerutkan alis, dan seluruh urat di tubuhnya menegang. Dia
melirik ke arah kaisar dan kakek ini menggeleng-geleng kepala dengan kagum.
Kaisar muda itu menonton dengan tenang, sedikit pun tidak khawatir dan dia
masih merangkul leher Khamila yang cantik itu dengan amat mesra, kadang-kadang
mencium rambut atau muka wanita itu sekilas dengan gerakan penuh kasih sayang!
"Gila...
sungguh gila benar!" Kakek yang bersembunyi itu mengomel seorang diri.
"Gila dan aneh." Akan tetapi perhatiannya kembali tercurah ke tempat
pertempuran di mana In Hong menghadapi pengeroyokan empat orang tua itu dari
empat penjuru.
Gadis cantik
itu memang hebat sekali. Tubuhnya sampai lenyap terbungkus sinar pedang
keemasan yang bergulung-gulung menyelimuti seluruh tubuhnya, bahkan
kadang-kadang sinar pedang yang bergulung-gulung itu mencuat ke sana-sini
menyambar ke arah empat orang pengeroyoknya secara yang tidak tersangka-sangka
dan dengan kecepatan kilat.
Go-bi
Sin-kouw menggerakkan tongkat butut hitamnya dengan hati penuh penasaran. Dia
masih berusaha mendapatkan kembali ketangkasannya seperti puluhan tahun yang
lalu, namun percuma, karena memang tenaganya sudah banyak berkurang, padahal
Pek-eng Kiam-sut membutuhkan ginkang hebat dan kecepatan seperti seekor burung
garuda.
Hwa Hwa
Cinjin memainkan kebutannya yang terbuat dari bulu monyet salju yang hanya
hidup di kutub utara dan kebutan ini sangat kuat. Karena maklum bahwa gadis itu
tidak boleh dipandang ringan, tosu ini tidak malu-malu untuk ikut mengeroyok
dengan senjata di tangan, ditemani pula oleh Hek I Siankouw yang telah
menyerang pula dengan pedang hitamnya yang berbahaya.
Akan tetapi,
yang paling berbahaya di antara ketiga orang tua itu adalah Bouw Thaisu. Meski
pun pertapa ini hanya mempergunakan lengan baju kanan kiri, akan tetapi
ternyata sambaran lengan bajunya sedemikian kuatnya sehingga mengejutkan hati
In Hong.
In Hong
dapat menangkis semua senjata yang tiga macam itu dengan baik, bahkan setiap
kali senjata bertemu, Go-bi Sin-kouw dan Hek I Siankouw selalu terhuyung atau
senjata mereka terpental, dan Hwa Hwa Cinjin pun dengan susah payah baru dapat
mengimbangi tenaganya. Akan tetapi setiap kali pedangnya bertemu dengan lengan
baju Bouw Thaisu, In Hong merasa betapa telapak tangannya tergetar!
Lima puluh
jurus telah lewat dan tetap saja empat orang tua itu belum dapat merobohkan In
Hong. Jangankan merobohkan, bahkan mendesak pun tidak mampu dan dara itu dapat
membalas setiap serangan lawan dengan serangannya yang tak kalah ampuhnya.
Malah ujung baju Go-bi Sin-kouw telah putus terbabat pedang dan paha Hwa Hwa
Cinjin tercium ujung sepatu In Hong, merobek celana tosu itu dan membuat
pahanya terasa nyeri.
Marahlah Hwa
Hwa Cinjin. Dia memberi tanda kepada partnernya, yaitu Hek I Siankouw dan
mereka mulai bergerak dengan ilmu Im-yang-lian-hoan-kun! Dengan ilmu ini,
gerakan mereka berdua menjadi otomatis dan saling melindungi, dan sesudah
menggunakan ilmu ini, mereka berdua benar-benar merupakan pasangan yang amat
tangguh.
Bouw Thaisu
sendiri juga merasa malu bahwa sampai demikian lamanya dia dan teman-temannya
belum juga mampu mengalahkan dara muda ini, maka dia berseru melengking nyaring
dan gerakan sepasang lengan bajunya menjadi lebih antep dan kuat.
In Hong
terkejut. Melihat pedang hitam menyambar dari kanan berbareng tongkat hitam
menyambar dari depan, dia cepat mengelebatkan pedangnya.
"Cring-cring...!
Singgggg...!"
Sekaligus
pedangnya menangkis pedang dan tongkat, dan terus meluncur ke arah Bouw Thaisu.
"Wuutttttt...!
Plakkk!"
Pedang di
tangan In Hong terpukul sampai terpental dan membuat tubuh dara itu miring.
Kesempatan ini dipergunakan oleh Hwa Hwa Cinjin yang cepat ‘memasuki’ lowongan
itu dengan totokan kebutannya. Hudtim yang terbuat dari rambut monyet yang
lemas itu digerakkan dengan pengerahan sinkang keras hingga rambut itu menjadi
kaku dan hudtim itu seolah-olah berubah menjadi sebatang pedang yang menotok ke
arah ulu hatinya!
Kagetlah In
Hong karena pada saat itu pedangnya telah diputarnya lagi untuk menghalau sinar
hitam dari pedang di tangan Hek I Siankouw sehingga tidak mungkin dipakai untuk
menangkis hudtim yang mengancam ulu hatinya, sedangkan untuk mengelak,
kedudukan tubuhnya tidak mengijinkan. Otomatis tangan kirinya bergerak dan
otomatis pula dia telah mengerahkan Thian-te Sin-ciang yang pernah dia terima
sebagai ‘hadiah’ dari Kok Beng Lama.
"Wuuuttttt...!
Plakkk! Dessss...!”
“Aughhhhhh...!"
Tubuh Hwa Hwa Cinjin melayang dan terhuyung seperti sebuah layang-layang putus
talinya karena tadi begitu dapat menangkis hudtim, tangan yang digerakkan
secara aneh itu dan mengandung tenaga mukjijat Thian-te Sin-ciang, terus
meluncur dan berhasil menggempur dada kakek itu.
Tubuh Hwa
Hwa Cinjin terbanting ke atas tanah dan tidak mampu bergerak lagi, mulutnya
mengeluarkan banyak darah dan agaknya di saat itu juga nyawanya sudah hampir
putus. Tubuhnya yang sudah tua tidak kuat menerima gempuran Thian-te Sin-ciang!
Melihat ini,
Hek I Siankouw menjerit dan bersama Go-bi Sin-kouw dia sudah menyerang secara
nekat, pedang hitamnya mengeluarkan bunyi mendesing-desing ketika menyerang In
Hong secara bertubi-tubi, diselingi dengan totokan-totokan maut yang dilakukan
Go-bi Sin-kouw dengan tongkat hitamnya.
In Hong yang
juga tergetar pada waktu melakukan serangan tangan kiri dengan Thian-te
Sin-ciang tadi, sekarang langsung memutar pedangnya menangkis. Dia harus
cepat-cepat menggerakkan pedang karena kedua orang nenek itu kini benar-benar
nekat dan marah sekali hingga dia sampai terdesak ke belakang, akan tetapi
dengan mengeluarkan suara berdencingan nyaring, pedangnya berhasil juga
menghalau dua senjata nenek itu.
Akan tetapi
pada saat itu, Hwa Hwa Cinjin yang sudah sekarat, tiba-tiba menggerakkan
hudtim-nya. Dari tempat dia rebah, bulu-bulu hudtim itu meluncur deras bagai
anak panah menuju ke arah tubuh In Hong! Setelah bulu-bulu hudtim itu melesat
cepat, barulah kakek itu terkulai dan tewas.
In Hong
terkejut bukan main, tidak mengira bahwa kakek yang disangkanya sudah tewas itu
masih dapat menyerang demikian hebatnya. Cepat dia menjejak tanah dan tubuhnya
mencelat ke atas, pedangnya masih sempat diputar menangkis senjata dua orang
nenek yang lagi-lagi sudah menyerangnya.
Akan tetapi
pada saat itu pula, Bouw Thaisu yang sangat penasaran dan agaknya sudah
menanti-nanti kesempatan itu, membentak keras, lantas kedua tangannya bergerak
dan dua lengan bajunya menyerang dengan amat hebatnya!
Karena tubuh
In Hong masih di udara, dia berusaha menghindarkan serangan maut ini dengan
elakan, dan tangan kirinya menyambar, menangkis dengan pengerahan Thian-te
Sin-ciang, gerakan untung-untungan karena dia tahu bahwa ujung lengan baju
kakek itu kuat seperti senjata pusaka, dan dia menangkis dengan tangan kosong
saja! Akan tetapi dia teringat akan pesan Kok Beng Lama bahwa Thian-te
Sin-ciang cukup kuat melindungi tangan kosong untuk menangkis senjata pusaka,
karena itu dari pada tubuhnya ‘dimakan’ oleh senjata ujung lengan baju, lebih
baik dia mencoba tangan kirinya.
"Desss...!
Plakk...!"
Tubuh Bouw
Thaisu berputaran dengan terhuyung. Kakek ini kaget setengah mati karena tangan
kiri dara itu ternyata dapat menangkis bahkan mengembalikan lengan baju kirinya
dengan tenaga yang sedemikian dahsyatnya sehingga tubuhnya ikut berputar. Akan
tetapi In Hong mengeluh karena pundaknya kena diserempet ujung lengan baju
kanan sehingga dia terlempar dan cepat dia berjungkir-balik untuk menghindarkan
serbuan musuh.
In Hong menggigit
bibirnya. Pundaknya yang kiri terkena sabetan ujung lengan baju dan nyerinya
bukan main. Walau pun tulang-tulangnya tidak patah, akan tetapi pundak kiri itu
terasa panas dan nyeri sehingga tangan kirinya menjadi setengah lumpuh!
Bouw Thaisu
dan dua orang nenek itu menerjang kembali, akan tetapi tiba-tiba dari atas
pohon terdengar seruan, "Tua bangka-tua bangka pengecut!"
Sesosok
bayangan wanita menyambar turun dan tahu-tahu Yo Bi Kiok sudah berada di situ!
"Kalian
hanya berani mengeroyok seorang kanak-kanak seperti muridku. Inilah gurunya,
majulah kalau kalian sudah bosan hidup!"
Hek I
Siankouw sudah marah sekali, marah karena berduka melihat sahabatnya, dan juga
kekasihnya semenjak mereka masih sama muda itu kini telah menggeletak tewas,
maka tanpa mempedulikan munculnya ketua Giok-hong-pang yang dia tahu amat lihai
itu, dia sudah membentak lagi dan melanjutkan serangannya kepada In Hong!
Melihat ini,
Bouw Thaisu dan Go-bi Sin-kouw juga ikut menerjang maju menghadapi Yo Bi Kiok
ketua Giok-hong-pang yang sudah mencabut keluar Lui-kong-kiam di tangan kanan
dan menghadapi mereka berdua dengan senyum mengejek. Terjadilah kini
pertandingan dua rombongan yang sangat seru.
In Hong
hanya menghadapi seorang lawan, tentu saja lawan ini amat lunak baginya, akan
tetapi karena pundak kirinya terasa nyeri kalau digerakkan dan tangan kirinya
masih agak lumpuh, maka tentu saja ketangkasannya menurun banyak dan dia hanya
mengandalkan gerakan pedangnya saja. Dalam keadaan seperti itu, keadaannya
menjadi seimbang juga dengan Hek I Siankouw dan mereka saling menyerang secara
mati-matian.
Walau pun Yo
Bi Kiok sangat lihai dan memandang rendah kedua orang lawannya, akan tetapi
pertandingan antara dia dan dua orang tua itu pun hebat dan seru sekali. Boleh
jadi tingkat Go-bi Sin-kouw masih kalah jauh olehnya, akan tetapi tingkat Bouw
Thaisu tidak berselisih banyak dengan ketua Giok-hong-pang ini. Dia hanya
menang cepat dan juga mempunyai dasar-dasar ilmu silat tinggi yang murni,
warisan dari Panglima The Hoo si manusia sakti. Juga pedang Lui-kong-kiam di
tangannya adalah pedang kilat yang amat hebat sehingga sesudah bertanding lima
puluh jurus, ujung lengan baju kiri Bouw Thaisu kena dibabat buntung!
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Bouw Thaisu
terkejut dan marah, membentak beberapa kali dengan pengerahan khikang dan kedua
tangannya melakukan pukulan jarak jauh. Angin dahsyat menyambar ganas ke arah
ketua Giok-hong-pang itu, akan tetapi Yo Bi Kiok tertawa, mengelak dan
pedangnya yang mengeluarkan sinar kilat itu menghantam ke arah Go-bi Sin-kouw
yang cepat-cepat menangkis.
"Trakkk!"
Tongkat
butut hitam itu patah menjadi dua dan Go-bi Sin-kouw cepat meloncat jauh ke
belakang. Tiba-tiba nenek yang curang ini meloncat lagi dan tahu-tahu dia sudah
berada di belakang kaisar dan Khamila, menodongkan sisa tongkatnya yang tinggal
sepotong itu kemudian membentak,
"Tahan
senjata! Kalau tidak, akan kubunuh kaisar!"
"Subo,
harap mundur...!" In Hong berteriak kaget. Dia sendiri cepat mundur
meninggalkan Hek I Siankouw yang sudah didesaknya tadi.
"Jangan
mundur, kalian basmi saja pengkhianat-pengkhianat itu kemudian nenek iblis ini.
Biarlah kalau dia mau membunuh kami!" Kaisar berkata, sedikit pun tidak
takut biar pun tongkat itu sudah menodong kepalanya.
"Subo...
harap mundur...!" kembali In Hong berteriak.
Dengan
ketawa mengejek Yo Bi Kiok meloncat, mundur meninggalkan Bouw Thaisu yang kini
dapat bernapas lega. Tadi dia sudah terdesak hebat, nyaris tewas oleh sinar
pedang kilat yang bergulung-gulung.
"Hemm,
tua bangka curang!" Yo Bi Kiok berseru. "Akan tetapi memang cukup
berharga kalau sri baginda kaisar ditukar dengan nyawa anjing kalian
bertiga!"
"Sri
baginda akan kubunuh apa bila kalian tidak mau membiarkan kami pergi,"
kata Go-bi Sin-kouw. "Yo-pangcu, sebagai ketua Giok-hong-pang, kau
berjanjilah bahwa kau akan membiarkan kami pergi kalau aku melepaskan kaisar!
Hayo berjanji!"
Yo Bi Kiok
kembali tersenyum mengejek. Melihat betapa Go-bi Sin-kouw yang telah amat
ketakutan itu bisa saja berlaku nekat dan membunuh kaisar serta Khamila, In
Hong cepat berkata,
"Subo,
berjanjilah! Nyawa beliau terlalu berharga untuk dikorbankan!"
Yo Bi Kiok
mendengus, kemudian dengan perasaan gemas dia berkata, "Nenek iblis tua
bangka, biarlah sekarang aku berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi apa
bila kau membebaskan kaisar. Akan tetapi lain kali, begitu bertemu dengan aku,
kepalamu yang sudah tua bangka itu akan kuhancurkan!"
"Nona
In Hong, kau pun berjanji yang sama?" Go-bi Sin-kouw bertanya kembali,
ditujukan kepada In Hong.
Gadis ini
mendongkol sekali. Nenek itu ternyata amat cerdik, karena kalau saja dia tidak
disuruh berjanji, begitu kaisar dibebaskan tentu dia akan menyerang nenek itu!
Karena nenek itu ternyata cerdik dan menanyanya, terpaksa dia mengangguk.
"Aku
berjanji akan membiarkan kalian bertiga pergi asal sri baginda
dibebaskan."
Tiba-tiba
saja nenek dari Go-bi itu terkekeh girang, "Bagus, kalian tentu
orang-orang yang selalu memegang janji, bukan manusia hina. Khamila, engkaulah
yang menjadi gara-gara sampai kaisar dapat lolos, maka aku tak akan
mengampunimu!" Dia lantas mengangkat tongkatnya, hendak memukul ratu itu.
"Go-bi
Sin-kouw! Tadi kau telah berjanji...!" Akan tetapi In Hong menjadi pucat
karena dia teringat bahwa janji tadi hanya mengenai diri kaisar, sama sekali
tidak menyebut nama Khamila!
"Heh-heh,
siapa berjanji untuk wanita yang tidak setia ini?" Dia mengangkat
tongkatnya.
Yo Bi Kiok
hanya memandang dengan senyum mengejek, ada pun In Hong berdiri terlalu jauh
untuk dapat menyelamatkan nyawa Khamila.
"Mampuslah
kau!" Go-bi Sin-kouw lalu menggerakkan tongkatnya menghantam ke arah
kepala Khamila.
Pada saat
itu, tiba-tiba dari balik semak-semak berkelebat bayangan putih dan orang itu
adalah kakek yang tadi bersembunyi, tangannya diangkat menangkis dengan
pengerahan tenaga.
"Plakkk...
krakkkk!"
Tubuh Go-bi
Sin-kouw terguling roboh dan kepalanya pecah karena ternyata tangkisan kakek
itu sedemikian kuatnya hingga pukulan tongkat itu membalik mengenai kepalanya
sendiri sampai pecah!
In Hong
memandang dengan mata terbelalak. Dia mengenal kakek yang amat lihai itu, yang
bukan lain adalah Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai! Ada pun kaisar
sendiri menjadi girang bukan main melihat betapa kekasihnya selamat, maka dia
lalu merangkul Khamila yang menangis dalam pelukannya. Kaisar yang sejak muda
dahulu sudah tahu akan sepak terjang kakek ini, mengenal pendekar sakti itu,
maka dia lalu berkata girang,
"Ahhhh…,
ternyata Cia-taihiap ketua Cin-ling-pai yang sudah menyelamatkan nyawa Ratu Khamila!
Sungguh kami merasa girang sekali, Cia-taihiap!"
Cia Keng
Hong lalu menjatuhkan diri berlutut di hadapan kaisar itu dan memberi hormat.
Kaisar menggerakkan tangan menerima penghormatan itu dan menyuruh pendekar
sakti itu berdiri lagi.
Sementara
itu, Yo Bi Kiok menjadi marah bukan main karena kemunculan Cia Keng Hong itu
seolah-olah menonjolkan pendekar itu dan menaruh dia di belakang, karena
nyatanya pendekar sakti itulah yang sempat menyelamatkan nyawa Khamila. Karena
itu, dengan marah dia lalu menggerakkan pedangnya, menuding ke arah muka Bouw
Thaisu dan Hek I Siankouw.
"Kalian
ini anjing-anjing tua harus mampus!"
Bouw Thaisu
dan Hek I Siankouw terkejut, akan tetapi mereka berdua siap menghadapi wanita
sakti yang galak itu.
"Subo,
kita sudah berjanji melepaskan mereka tadi!" In Hong memperingatkan.
Yo Bi Kiok
meragu. Sementara itu Cia Keng Hong, kakek yang diam-diam merasa kagum akan
sepak terjang Yap In Hong, kini baru tahu mengapa gadis puteri sahabat baiknya
itu menjadi seorang gadis yang demikian dingin dan ganas sepak terjangnya.
Kiranya yang menjadi biang keladi adalah wanita yang menjadi gurunya ini!
Di dalam
pengintaiannya tadi dia dapat mengenali dasar watak In Hong yang baik, tidak
seperti gurunya ini yang benar-benar merupakan Dewi Maut yang tidak mengenal
ampun. Maka dia pun berkata, suaranya berwibawa, "Orang yang tidak
memegang janjinya adalah orang yang wataknya rendah!"
Yo Bi Kiok
bagaikan disambar petir. Dia membalik dan memandang ketua Cin-ling-pai itu
dengan mata berapi-api. Sementara itu, In Hong yang sudah mengenal watak
gurunya yang amat keras, cepat menggunakan kesempatan itu berkata kepada Bouw
Thaisu dan Hek I Siankouw,
"Ji-wi
locianpwe harap segera pergi dan membawa jenazah mereka."
Sejenak Bouw
Thaisu memandang kepada Cia Keng Hong, kemudian berkata, "Kiranya engkau
yang bernama Cia Keng Hong, ketua dari Cin-ling-pai." Dia
mengangguk-angguk. "Pinto ada peninggalan pesanan dari mendiang Thian Hwa
Cinjin, biarlah lain kali saja pinto sampaikan, sekarang tidak ada waktu."
Bouw Thaisu
lalu melangkah pergi, menyambar jenazah Hwa Hwa Cinjin, diikuti oleh Hek I
Siankouw yang juga memanggul jenazah Go-bi Sin-kouw. Sebentar saja bayangan dua
orang kakek dan nenek yang lihai itu sudah lenyap dari tempat itu.
Yo Bi Kiok
sejak tadi memandang kepada ketua Cin-ling-pai dengan mata mendelik dan muka
merah. Dia tidak mempedulikan lagi kakek dan nenek yang melarikan diri itu.
Ketika Cia Keng Hong yang merasa akan pandangan mata itu menoleh kepadanya, Yo
Bi Kiok tersenyum mengejek, wajahnya dingin sekali.
Melihat ini,
berdebar jantung In Hong. Dia telah mengenal gurunya dengan baik dan tahu benar
bahwa saat ini gurunya marah bukan main dan tentu akan terjadi hal yang hebat.
Akan tetapi yang dihadapi gurunya adalah Cia Keng Hong, kakek ketua
Cin-ling-pai yang sudah terkenal di seluruh dunia akan kesaktiannya. Maka dia
pun tidak berani mencegah keduanya dan dia hanya mendekati kaisar dan Khamila
yang masih duduk di tempat tadi dengan sikap tenang.
"Hemmm,
kiranya inikah yang telah terkenal di seluruh dunia, ketua dari Cin-ling-pai
yang pernah diobrak-abrik oleh Lima Bayangan Dewa!" Terdengar Yo Bi Kiok
berkata, suaranya mengandung penuh ejekan.
Cia Keng
Hong tersenyum. Dia adalah seorang pendekar sakti, pendekar besar, ketua
perkumpulan yang telah sangat terkenal akan kegagahannya, maka dia pun bukan
seperti kanak-kanak yang hatinya mudah dibakar. Mendengar kata-kata itu, dia
memandang Bi Kiok seperti memandang seorang anak nakal.
"Dan
kiranya engkaulah yang telah merusak anak sahabat baikku, Yap In Hong adik Yap
Kun Liong ini..."
"Aku
merusak keluarga Kun Liong atau akan membikin mampus padanya, engkau peduli
apa? Apakah kau hendak membela Yap Kun Liong?" Yo Bi Kiok membentak makin
marah karena dia diingatkan kepada Kun Liong, satu-satunya pria di dunia ini
yang pernah dan selalu dicintanya, akan tetapi yang telah menyakitkan hati
karena menolaknya.
Cia Keng
Hong menggeleng kepalanya. "Aku tidak hendak membela siapa-siapa, hanya
amat disayangkan bahwa engkau sudah menyeleweng, padahal ternyata engkaulah
yang telah mewarisi pusaka bokor emas milik mendiang Panglima Besar The Hoo
itu."
Yo Bi Kiok
tertawa. "Tidak kau sangka, ya? Engkau sama bodohnya dengan para datuk
yang dulu pernah memperebutkannya. Dan dengan kepandaian yang sudah kuperoleh
ini, dengan mudah aku akan dapat mengalahkan engkau, orang she Cia!"
"Subo,
harap subo bersabar. Apa perlunya mencari keributan lagi?" In Hong yang
merasa betapa sikap gurunya itu keterlaluan sekali, kini tidak dapat tinggal
diam lagi dan menegur dengan halus.
Yo Bi Kiok
menoleh kepadanya. "Huh, kau penakut! In Hong, mari kita bawa tawanan itu
kembali kepada Raja Sabutai." Sambil berkata demikian, tanpa menghiraukan
lagi kepada kakek itu, dia menghampiri Kaisar Ceng Tung.
Akan tetapi
tiba-tiba Cia Keng Hong melangkah maju dan menghadang di depan Yo Bi Kiok.
"Pangcu dari Giok-hong-pang, engkau tidak boleh membawa pergi kaisar
karena aku akan mengantar beliau kembali ke kota raja!"
Tiba-tiba Bi
Kiok menghentikan langkahnya lantas membalikkan tubuhnya dengan sikap penuh
ancaman kepada Cia Keng Hong. "Orang tua..." geramnya.
"Mengingat akan nama baikmu, aku masih berlaku sabar dan tidak
menyerangmu! Akan tetapi sekarang engkau malah menantangku!"
"Tidak
ada siapa-siapa yang kutantang, akan tetapi sri baginda kaisar telah berhasil
lolos dari tawanan. Itu baik sekali dan aku akan mengawalnya ke kota
raja."
"Enak
saja kau bicara! Akulah yang menentukan dia hendak dibawa ke mana! Dan aku akan
membawanya kembali kepada Raja Sabutai."
"Tidak!
Terpaksa aku akan menentangmu, Yo-pangcu."
"Subo,
biarlah sri baginda kaisar dikawal ke kota raja oleh Cia-locianpwe, dan kita
akan mengantar Ratu Khamila kembali," In Hong berkata dan Cia Keng Hong
menoleh ke arah gadis itu dengan pandang mata senang.
Akan tetapi,
pada saat itu dia mendengar sambaran angin yang dahsyat sekali dari arah Yo Bi
Kiok berdiri, maka tahulah pendekar sakti ini bahwa ketua Giok-hong-pang itu
telah menyerangnya. Dia tadi sudah menyaksikan gerak-gerik Yo Bi Kiok dan sudah
mengenal sebagian dari gerakan yang bersumber pada ilmu kepandaian Panglima The
Hoo, maka dia segera menduga bahwa tentu wanita inilah yang telah mewarisi
ilmu-ilmu dari bokor emas itu.
Yo Bi Kiok
kini telah menyerang dengan pukulan kilat yang bertubi-tubi, juga mengandung
tenaga sakti yang sangat hebat. Cia Keng Hong tidak berani memandang rendah
pukulan ini, maka pendekar ini juga mengerahkan tenaga saktinya, menggerakkan
dua tangannya menangkis.
"Wuuuutttt...!
Plak-plak-duk-duk-dukk!"
Berkali-kali
kedua pasang lengan yang sama-sama mengandung tenaga sakti itu bertemu dan
akibatnya kedudukan kaki Yo Bi Kiok tergeser mundur sampai dua langkah jauhnya!
Wanita itu terkejut bukan main. Ketua Cin-ling-pai itu hanya menangkis saja
berkali-kali, namun tenaga tangkisan itu telah membuat dirinya terdorong ke
belakang. Padahal baru menangkis, belum menyerang!
"Orang
she Cia yang sombong, lihat pedangku ini!"
"Singggg...!"
Tampak sinar kilat ketika Lui-kong-kiam dicabut.
Cia Keng
Hong lantas memungut sebatang ranting dari atas tanah, sebatang ranting yang
panjangnya tidak melebihi lengannya. "Yo-pangcu, bukankah itu
Lui-kong-kiam yang dulu pernah menjadi milik Liong Bu Kong?" tanyanya
sambil memandang pedang bersinar kilat yang berada di tangan ketua
Giok-hong-pang itu.
Yo Bi Kiok
tersenyum mengejek. "Dia mampus di tanganku seperti juga engkau akan mati
di tanganku sekarang, orang she Cia. Hayo kau keluarkan pedangmu
Siang-bhok-kiam yang terkenal itu!"
Cia Keng
Hong menghela napas panjang. Dia merasa betapa wanita ini seperti seorang anak
kecil saja. "Yo Bi Kiok, sembarang ranting pun sudah cukuplah untuk
menghadapi pedangmu itu."
Tentu saja
Yo Bi Kiok menjadi marah sekali. Selama ini, kecuali ketika bertemu dengan
pendeta Lama tinggi besar yang seperti setan itu, dia tidak pernah menemui
tandingan. Kini, kakek Cin-ling-pai ini menghadapi pedangnya dengan hanya
sebatang ranting! Tentu saja ia merasa dipandang rendah dan dihina sekali.
Maka, sambil berteriak mengeluarkan suara lengkingan tajam tinggi dan panjang,
tubuhnya lalu menerjang ke depan, pedang kilatnya menjadi sinar
bergulung-gulung.
In Hong
memandang dengan khawatir. Dia tahu akan kelihaian ketua Cin-ling-pai itu, akan
tetapi hanya menggunakan ranting menghadapi pedang subo-nya, benar-benar
merupakan bunuh diri!
Tampak sinar
hijau di antara sinar kilat itu, sinar hijau yang meluncur dan membelit-belit
di antara sinar kilat, disusul suara berdencingan dan tiba-tiba terdengar
jeritan Yo Bi Kiok yang meloncat ke belakang dan dia mengusap lengan kanannya
yang kena disabet oleh ranting itu, sakitnya bukan kepalang dan menimbulkan
goresan panjang, padahal lengan bajunya tidak robek!
Yo Bi Kiok
memandang terbelalak, hidungnya kembang-kempis, kemudian kemarahannya memuncak.
Dia menjerit panjang dan langsung menyerang lebih hebat dari pada tadi.
"Subo...
jangaaaan...!" In Hong yang melihat kehebatan serangan ini, serangan maut
yang sekaligus merupakan serangan mengadu nyawa, karena dalam serangan ini
seluruhnya dicurahkan kepada penyerangan tanpa memperhatikan pertahanan sama
sekali.
"Cringgg...
ceppppp!"
Ranting di
tangan Cia Keng Hong patah menjadi dua, akan tetapi, pedang Lui-kong-kiam itu
terlepas dari tangan pemiliknya dan menancap di atas tanah di depan kaki Yo Bi
Kiok.
Sejenak
wanita itu terbelalak, hampir dia tidak mempercayai pandangan matanya sendiri
bahwa pedangnya benar-benar sampai dapat terpukul lepas dari tangannya. Tahulah
dia bahwa pendekar di depannya ini benar-benar memiliki kesaktian yang luar
biasa, maka dia menjadi malu bukan main. Dia menyambar pedangnya, kemudian lari
dari sana dan dari tenggorokannya keluar suara yang sukar ditentukan apakah itu
suara ketawa ataukah suara menangis!
Cia Keng
Hong menghela napas lantas menoleh kepada In Hong yang memandangnya dengan
penuh kagum. "Gurumu itu tinggi sekali ilmunya, sayang dia dikuasai oleh
watak yang ganas dan aneh, mendekati kegilaan," katanya.
"Memang
dia mendekati kegilaan oleh perasaan hatinya yang gagal karena ditolak oleh Kun
Liong koko," kata In Hong.
"Ahhhhh...
begitukah...?" Cia Keng Hong menggeleng-geleng kepalanya.
Dia tidak
merasa heran karena dia tahu bahwa akibat cinta gagal banyak mendatangkan
bencana kepada manusia, semenjak jaman gurunya masih muda sampai pengalamannya
sendiri.
"In
Hong," katanya teringat kepada orang tua gadis itu kemudian memanggil nama
gadis itu dengan mesra. "Engkau telah melakukan perbuatan baik sekali
dengan melindungi sri baginda. Sekarang, aku akan mengawal sri baginda kaisar
kembali ke kota raja."
In Hong
mengangguk. Sekarang dia tunduk dan kagum terhadap kakek ini, tidak hanya kagum
dengan kepandaiannya yang benar-benar hebat, akan tetapi juga kagum dengan
sikapnya.
"Baiklah,
locianpwe. Saya akan mengantar ratu kembali ke benteng Raja Sabutai."
Cia Keng
Hong menghampiri sri baginda kemudian menjura dengan hormat. "Marilah, sri
baginda, hamba akan mengawal paduka kembali ke kota raja."
Kaisar Ceng
Tung saling pandang dengan Khamila, sementara wanita cantik itu sudah
bercucuran air mata. Mereka saling pandang, juga kaisar itu kelihatan sangat
berduka dan terharu sekali. Kemudian, Khamila mengeluarkan suara jerit lirih
dan mereka pun saling rangkul.
In Hong
menundukkan kepala, sementara Keng Hong membalikkan tubuhnya dengan alis
berkerut. Tentu saja dia tidak tahu apa yang terjadi antara dua orang ini,
seorang tawanan dan seorang isteri dari si penawan. Akan tetapi hal itu bukan
urusannya dan dia pun tidak ingin mengetahuinya, akan tetapi telinganya tetap
saja mendengar isak tangis Khamila.
"Sri
baginda... terpaksa saya harus... harus meninggalkan paduka...," terdengar
Khamila terisak.
"Khamila,
tidak bisakah... engkau ikut dengan aku untuk selamanya?" suara kaisar
penuh kelembutan dan permohonan seperti suara seorang pemuda biasa merayu dan
membujuk kekasihnya.
"Tidak
mungkin, paduka juga tahu... betapa baiknya Sabutai... karena itu sudah menjadi
kewajibanku untuk kembali kepadanya... selamat tinggal, sri baginda."
"Khamila...
ahhh, perpisahan ini... mungkinkah pertemuan ini yang penghabisan? Bila kita
dapat berjumpa kembali...?"
"Agaknya
hanya di alam baka kita dapat saling bertemu kembali, baginda. Biarlah kalau di
dunia ini kita tak dapat berjodoh, di dalam kehidupan kelak hamba akan menjadi
pelayan paduka, menjadi..."
"Ssstttt...
di dalam pertemuan antara kita kelak, aku ingin menjadi suamimu,
Khamila..." Kaisar muda yang lagi gandrung asmara itu lalu melepaskan
sebuah kalung dari lehernya, kemudian mengalungkan benda itu ke leher Khamila
sambil barbisik, "Khamila, kalung ini adalah pemberian ibundaku dan hanya
boleh diberikan kepada permaisuriku."
Khamila
menggenggam kalung yang melingkari lehernya itu, kedua matanya yang berair
memandang terbelalak. "Tapi... tapi... kita..."
"Tubuh
kita terpisah, akan tetapi hati kita tidak. Kau akan kukenang sebagai
satu-satunya isteriku yang tercinta, biar aku lahiriah akan dilayani seribu
orang wanita sekali pun."
"Ahhh,
sri baginda..." Khamila menangis, maka makin terharu dan beratlah hatinya
untuk berpisah.
"Kau
mintalah kebijaksanaan suamimu, Sabutai, agar kalau engkau melahirkan seorang
putera, di samping nama pemberian Sabutai, juga diberi alias nama pemberianku,
yaitu Ceng Han Houw."
Sambil
mengangguk Khamila membisikkan nama itu untuk menghafalnya, kemudian dia
berbisik, "Kalau perempuan?"
"Terserah
kepadamu."
Setelah
mendekap sekali lagi, mereka pun berpisah. Khamila digandeng tangannya oleh In
Hong dan pergi dari situ, dlikuti pandang mata kaisar yang berdiri dengan muka
pucat. Ratu Khamila juga beberapa kali menoleh dan agaknya dia tentu akan lari
kembali pada kekasihnya kalau saja tidak digandeng dengan kuat oleh In Hong.
Sesudah
bayangan dua orang wanita itu lenyap, barulah kaisar menghela napas panjang dan
bertanya kepada kakek Cin-ling-pai yang masih setia menantinya itu,
"Cia-locianpwe, apakah yang lebih menyedihkan dari pada dua orang yang
saling mencinta akan tetapi terpaksa harus berpisah?"
Cia Keng
Hong yang pada masa mudanya juga banyak mengalami suka dukanya cinta, dapat
memaklumi perasaan kaisar di saat itu, akan tetapi dengan jujur dia
mengingatkan. "Maaf, sri baginda, akan tetapi hamba kira bahwa cinta
antara pria dan wanita pun hanya merupakan sebagian saja dari pada hidup yang
luas ini, terlebih lagi bagi paduka sebagai kaisar, karena di situ masih
menanti tugas yang menyangkut kehidupan rakyat senegara. Dan kedudukan paduka
kini telah dipegang oleh lain orang."
Ini
merupakan berita baru bagi kaisar dan dia cepat mendekati Keng Hong, memandang
tajam dan bertanya, "Siapa dia?"
"Beliau
itu bukan lain adalah Pangeran Ceng Ti, adik paduka sendiri yang dipaksa oleh
para pembesar yang tidak setia kepada paduka, macam Wang Cin dan kawan-kawannya
itu."
Kaisar
mengerutkan alisnya. "Sungguh benar kata orang bijak jaman dahulu bahwa
lebih mudah membedakan mana binatang buas dan mana yang jinak, karena manusia
sukar ditentukan keadaan hatinya dari wajahnya. Locianpwe, engkau yang sejak
dahulu sudah menjadi sahabat dan pembantu mendiang Panglima Besar The Hoo, yang
telah kuketahui sejak kecil akan kesetiaanmu terhadap negara dan bangsa,
ceritakanlah apa yang terjadi semenjak aku ditawan oleh Sabutai."
Cia Keng
Hong kemudian menuturkan semua yang dialaminya dan diketahuinya melalui
penyelidikannya selama ini. Diceritakannya pula betapa pasukan orang-orang
Mancu dan Khitan yang dipimpinnya tidak berhasil menolong sri baginda yang
ditawan karena tidak ada bantuan sama sekali dari fihak kota raja, kemudian
betapa dia pergi menyelidiki kota raja dan tahu bahwa pembesar-pembesar yang
berkuasa, yang menjadi sekutu Wang Cin, sengaja membiarkan kaisar tertawan
tanpa ada usaha untuk menolong, kemudian bahkan mereka itu menentang para
pembesar yang setia dan memaksa pengangkatan Pangeran Ceng Ti sebagai pengganti
kaisar.
Kaisar
mengangguk-angguk dan kini kedukaannya karena perpisahan dengan Khamila itu
sama sekali telah terlupakan olehnya! Sekarang pikirannya terisi penuh dengan
persoalan kerajaan, maka persoalan lain terusir sama sekali.
Begitulah
keadaan pikiran manusia pada umumnya. Kita dipermainkan oleh pikiran yang
selalu mengejar pengalaman yang menyenangkan dan sebaliknya menjauhi yang tidak
menyenangkan. Selama keinginan mengejar kesenangan ini masih menguasai kita,
maka kita tidak akan pernah merasa tenteram. Kalau sudah terpegang kesenangan
yang kita kejar-kejar itu, maka hal itu bukan hanya berhenti sampai sekian saja
karena pikiran kita sudah bergerak lagi mengejar kesenangan yang lain.
Padahal
setiap kesenangan itu selalu bersanding dengan kekecewaan, kebosanan, dan
kedukaan, juga ketakutan. Kita sendirilah yang membuatnya, bukan orang lain.
Sumber segala kedukaan berada dalam diri kita sendiri. Juga sumber dari segala
kebijaksanaan dan kebahagiaan juga berada di dalam diri kita sendiri. Oleh
karena itu, memandang atau mengawasi diri sendiri, mengamatinya setiap saat
lahir batin kita membuat kita mengenal diri sendiri yang akan menimbulkan
pengertian dan kesadaran. Pengertian mendalam ini akan mengakibatkan terjadinya
perubahan mukjijat dalam diri kita.
"Bagaimana
dengan para petugas kami yang setia?" kaisar bertanya.
"Sebetulnya
masih banyak menteri dan jenderal yang setia terhadap paduka, akan tetapi
karena paduka tidak ada dan mereka tidak menghendaki perang saudara, mereka
tidak berani bertindak tanpa perintah paduka, maka sekarang hamba ingin
mengantar paduka kepada mereka di kota raja."
"Hemmm,
baiklah. Mari kita berangkat, Cia Keng Hong locianpwe..."
***************
Kita
tinggalkan dulu Kaisar Ceng Tung yang sedang menuju kota raja untuk memulihkan
kembali keadaan kota raja yang kacau karena penggantian kaisar secara paksa
itu, dan mari kita mengikuti perjalanan In Hong yang mengantar Ratu Khamila kembali
ke benteng Sabutai.
Di dalam
perjalanan kembali ke tempat suaminya ini, sering kali Khamila menangis dan
dihibur oleh In Hong. "Paduka sudah melakukan hal yang baik sekali dengan
membantu membebaskan sri baginda kaisar, mengapa paduka selalu berduka?"
Khamila
menarik napas panjang. "Enci Hong, engkau benar. Aku sudah membebaskan
orang yang kucinta dari bahaya, seharusnya aku bergembira. Akan tetapi... ahh,
perasaan mementingkan kesenangan sendiri belum juga mau meninggalkan aku.
Padahal... demi keselamatannya, demi nama baiknya dan... demi negara terpaksa
aku pun harus berpisah darinya... yang ada hanya ini..." Dia mengelus
perutnya akan tetapi segera teringat bahwa dia harus merahasiakan kandungannya
itu dari siapa pun juga, karena itu tangannya yang mengusap perut itu terus
menuju ke ikat pinggangnya dan dia mengeluarkan sesampul surat. "Hanya ini
yang diserahkan padaku...," katanya pula dan In Hong kini baru mengerti
bahwa kaisar menyerahkan sesampul surat kepada Khamila.
"Untuk
siapa?" tanyanya.
"Untuk
suamiku, untuk Sabutai. Sri baginda kaisar dalam suratnya ini menyatakan terima
kasih atas kebaikan Sabutai." Dia menarik napas panjang lagi dan menyimpan
surat itu ke dalam ikat pinggangnya, lalu memandang In Hong dan berkata dengan
suara sungguh-sungguh. "Aihhh, tiap kali aku memandangmu, sering timbul
rasa iri di dalam hatiku, enci Hong."
"Iri
hati? Kedudukan paduka begitu tinggi, sedangkan saya hanyalah seorang manusia
pengembara."
"Justru
itulah! Engkau memiliki kebebasan dan aku tidak! Engkau bebas pergi ke mana pun
menurut kesukaan hatimu, engkau bebas menentukan semua perbuatanmu sendiri,
bebas memilih jalan hidupmu sendiri, dan terutama sekali bebas memilih kawan
hidupmu sendiri. Aku? Ahhh, aku hanya seperti barang berharga yang dijual dan
aku tidak boleh memilih pembeli. Aku tak pernah mengenal cinta kasih sebelum
berjumpa dengan Kaisar Ceng Tung. Perjumpaan yang sangat terlambat, yang hanya
mendatangkan kebahagiaan sejenak namun segera disusul perpisahan selamanya yang
hanya akan mendatangkan duka saja."
Kata-kata
itu membuat In Hong termenung. Benarkah dia bebas dan bahagia? Bebas, memang
benar akan tetapi dia yang semenjak dahulu bebas tidak lagi dapat menikmati
kesenangan dari kebebasannya itu. Hanya orang-orang yang tidak bebas seperti
Khamila itu, yang akan dapat membayangkan betapa senangnya orang kalau bebas!
Akan tetapi bahagia? Dan cinta kasih? Memilih kawan hidup sendiri?
Otomatis
tangannya meraba pedang Hong-cu-kiam karena dia teringat akan wajah Bun Houw.
Heran dia, mengapa sering benar, di waktu pikirannya kosong termenung, di waktu
dia mengenang akan nasib orang yang dilanda cinta kasih, dia selalu teringat
kepada pemuda itu?
Tanpa
disadarinya pula, kedua pipi gadis ini menjadi merah dan dadanya berdebar aneh.
Kini dia tidak lagi marah terhadap pemuda itu, karena ternyata pemuda itu tidak
secara sembarangan saja menuduhnya membunuh orang, bukan fitnah kosong belaka,
melainkan karena semua itu adalah perbuatan subo-nya yang mungkin saja oleh Bun
Houw disangka dia.
Namun, Bun
Houw yang dia tahu amat setia kepada negara itu, tentu akan terkejut dan
terheran-heran mendengar bahwa dia yang menyelundupkan kaisar, yang
menyelamatkan kaisar keluar dari tahanan, padahal ketua Cin-ling-pai sendiri
bersama pasukannya tidak pernah berhasil menolong kaisar. Ingin dia bertemu
dengan pemuda itu kemudian melihat bagaimana sinar mata pemuda itu memandangnya
sesudah mendengar tentang jasanya terhadap kaisar itu!
Oleh karena
keinginan yang timbul dalam hatinya inilah yang membuat In Hong tersentak kaget
kemudian wajahnya menjadi makin berseri kemerahan ketika dia mendengar suara
yang sudah amat dikenalnya, "Hong-moi...!"
In Hong
segera menoleh ke kiri dan hampir saja dia lari menyambut pemuda yang muncul
dari balik semak-semak itu kalau saja dia tidak ingat bahwa hal itu sangat
memalukan. Maka dia cepat mengambil sikap dingin biasa, bahkan seolah-olah dia
masih menyimpan kemarahannya dahulu.
"Hong-moi...!"
In Hong
memandang wajah tampan yang selama ini sering terbayang di depan matanya itu.
Heran dia, karena wajah itu kini tidak marah lagi seperti dulu, pandang matanya
tidak menyinarkan kemarahan dan penyesalan seperti pada pertemuan mereka yang
terakhir.
"Hemm,
mau apa engkau menghadang perjalanan kami?"
Bun Houw
hendak membuka mulut, akan tetapi pada saat dia melihat Khamila, dia cepat
menjura dan berkata, "Maaf, bukankah paduka ini ratu dari Raja
Sabutai?"
Khamila
memandang wajah tampan itu penuh perhatian kemudian dia mengangguk. "Enci
Hong, siapakah dia ini?"
"Dia
orang she Bun, dia... dia kenalan saya," jawab In Hong sederhana. Lalu dia
bertanya lagi, "Bun-ko, engkau mau apa menjumpaiku?"
"Aku...
aku sudah mendengar semua perbuatanmu yang sangat gagah berani dan mulia,
engkau telah membebaskan sri baginda kaisar! Hebat, aku kagum padamu,
Hong-moi!"
In Hong
menatap wajah itu dan jantungnya berdebar keras. Pandang mata pemuda itu memang
seperti yang dia bayangkan tadi, penuh kagum dan takjub, akan tetapi, sinar
penyesalan masih belum meninggalkan sinar mata itu, penyesalan karena dia
disangka membunuh gadis dusun itu! Maka hatinya menjadi dingin kembali.
"Hemm,
kalau sudah begitu mengapa?" tanyanya, dingin dan angkuh.
Dengan wajah
berseri Bun Houw memberi hormat dan berkata, "Perbuatanmu itu hebat dan
mulia, aku ingin menghaturkan terima kasih, Hong-moi. Apa lagi aku pun
mendengar betapa engkau mempergunakan Hong-cu-kiam untuk melindungi sri baginda
kaisar. Aku kagum dan bangga sekali!"
"Bun-taihiap,
apakah engkau sudah bertemu dengan sri baginda kaisar?" Tiba-tiba saja
Khamila bertanya.
Bun Houw
mengangguk membenarkan.
"Bagaimana
kesehatan beliau?" tanya pula ratu itu.
Bun Houw
terheran-heran melihat betapa ratu musuh ini begitu menaruh perhatian atas
kesehatan diri kaisar yang pernah ditawan oleh suaminya! Dia memang sudah
berjumpa dengan ayahnya, akan tetapi karena tergesa-gesa, ayahnya belum
menceritakan secara lengkap, apa lagi tentang hubungan kasih antara ratu musuh
itu dengan kaisar.
"Terima
kasih, kesehatan beliau baik-baik saja."
"Hemm,
jadi engkau mendengar semua itu dari Cia-locianpwe, ketua Cin-ling-pai?"
kini In Hong bertanya.
"Benar,
Hong-moi. Aku sungguh kagum mendengarnya dan aku cepat-cepat menyusul ke sini
untuk membantumu apa bila engkau menghadapi kesukaran. A... eh, Cia-locianpwe
juga yang telah mengutus aku karena beliau sedang tergesa-gesa berangkat ke
kota raja bersama semua pengawal."
"Perlu
apa engkau menyusul aku? Engkau sudah tidak sudi bekerja sama dengan aku.
Lupakah engkau?"
Bun Houw
mengerutkan alisnya karena ucapan nona itu mengingatkan dia akan hal-hal yang
tidak menyenangkan hatinya. "Akan tetapi... sebagai penyelamat kaisar...
engkau harus dibantu..."
"Dan
engkau masih menganggap aku sebagai pembunuh gadis dusun tak berdosa itu?"
"Hemm...
tentang itu... ehh, bukti-bukti menunjukkan demikian. Siapa lagi kalau bukan...
sudahlah, Hong-moi, aku tak mau membicarakan hal itu lagi. Yang penting
sekarang aku harus membantumu mengawal Ratu Khamila kembali ke benteng Raja
Sabutai sesuai yang diperintahkan oleh... oleh Cia-locianpwe."
In Hong
menjadi marah. "Siapa sudi bekerja sama dengan engkau? Aku adalah seorang
pembunuh. Nih, kau terima kembali pedangmu, bisa kotor bila terjatuh ke tangan
seorang pembunuh terkutuk seperti aku. Dan Giok-hong itu kembalikan
padaku!"
Bun Houw
mendekap saku bajunya. Perhiasan yang dulu dia terima dari gadis itu selalu
dibawanya, menjadi teman yang tak pernah terpisahkan. "Tidak akan
kukembalikan. Tidak boleh!"
"Huh,
kalau begitu nih terima pedangmu!"
"Tidak,
aku pun tidak mau menerimanya kembali."
Sejenak
mereka berdua saling pandang, sama-sama memperlihatkan kekerasan hatinya,
kemudian In Hong mendengus dan menyimpan kembali pedang yang sebenarnya amat
disayangnya itu.
"Huh,
sesukamulah. Akan tetapi karena engkau seorang yang bersih, seorang yang suci,
jangan dekat-dekat dengan pembunuh seperti aku. Lupakah engkau bahwa aku adalah
Dewi Maut, kejam seperti iblis seperti pernah kau katakan?" Dada gadis itu
makin panas dan naik turun bergelombang karena dia teringat akan sikap Bun Houw
kepadanya.
"Mari
kita pergi saja!" Dia menyambar tangan Ratu Khamila agak kasar dan
mengajak ratu itu pergi meninggalkan Bun Houw.
Pemuda ini
masih berdiri bengong karena dia memang bingung melihat sikap In Hong dan dia kini
memang mulai merasa ragu-ragu. Benarkah dara ini, yang telah mempertaruhkan
nyawa untuk menyelamatkan kaisar, seperti yang dia dengar dari ayahnya,
benarkah dara segagah ini melakukan perbuatan serendah itu, membunuh gadis
dusun yang lemah tak berdosa?
Dia
mengikuti terus dan selagi In Hong berhenti, memutar tubuh dan hendak
membentak, tiba-tiba terdengarlah suara berisik dan tahu-tahu tempat itu sudah
dikurung oleh ratusan orang prajurit Sabutai, dikepalai oleh Hek-hiat Mo-li dan
Pek-hiat Mo-ko yang berdiri tegak memandang seperti patung yang hidup,
menyeramkan sekali. Mereka berdua tak berkata apa-apa, hanya komandan pasukan
itu yang cepat memberi hormat kepada Ratu Khamila dan berkata,
"Hamba
diutus oleh sri baginda untuk mengawal paduka kembali ke benteng."
Puteri
Khamila mengerutkan alisnya. "Kini aku pun sedang hendak kembali ke
benteng dikawal oleh enci Hong dan Bun-taihiap ini." Puteri Khamila
memandang kepada In Hong dan Bun Houw dengan sinar mata melindungi, kemudian
mengangguk kepada mereka. "Mari, enci Hong dan Bun-taihiap, marilah ikut
bersamaku menemui suamiku, Sri Baginda Sabutai sehingga semua hal akan menjadi
terang dan beres. Aku yang akan bertanggung jawab dan membela kalian kalau
kalian dipersalahkan."
Tadinya In
Hong dan Bun Houw sudah bersiap untuk melawan, akan tetapi diam-diam In Hong
amat khawatir akan keselamatan Bun Houw, karena dia tahu betul betapa hebatnya
kepandaian kakek dan nenek guru Sabutai itu, apa lagi di situ masih ada ratusan
orang prajurit yang sudah mengepung mereka berdua. Maka dia pun mengangguk.
Bun Houw
juga tak banyak membantah. Jangankan baru memasuki benteng Sabutai, biar pun
disuruh memasuki neraka, kalau bersama nona Hong itu, dia akan bersedia! Maka,
berangkatlah mereka, diiringkan oleh ratusan orang prajurit yang seakan-akan
‘mengawal’ mereka, kembali ke benteng di mana Sabutai sendiri telah menanti.
Wajah
Sabutai yang tadinya keruh itu seketika menjadi berseri-seri sesudah dia
melihat isterinya melangkah masuk ke ruangan itu dengan agungnya. Dia segera
bangkit berdiri dan memegang tangan isterinya, kemudian menuntunnya duduk di
atas kursi kebesaran, di sampingnya sambil berkata,
"Engkau
harus menjaga kesehatanmu, jangan banyak terkena angin."
Khamila
memandang suaminya dengan mata merah membasah karena tangis tadi, lalu
berbisik, "...hamba... kaisar..."
Raja Sabutai
tersenyum kemudian menyentuh tangan isterinya. "Aku memang bermaksud
membebaskannya..." Dia mengangguk dan tersenyum sehingga legalah hati
Khamila.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment