Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 26
SEMENTARA
itu, In Hong melirik ke seluruh ruangan. Dia tidak melihat Bouw Taisu dan Hek I
Siankouw. Akan tetapi subo-nya sudah berada di situ, duduk di atas kursi dengan
muka dingin dan mata membayangkan kemarahan. Tentu saja subo-nya marah
kepadanya, dan masih merasa penasaran dan malu karena dikalahkan oleh ketua
Cin-ling-pai!
Dua orang
kakek dan nenek guru Sabutai kini telah mengambil tempat duduk di belakang raja
itu. Ada pun pembesar Wang Cin juga hadir di situ, bersama anak buahnya yang
kini hanya tinggal tiga orang yang masih bisa dia andalkan, yaitu tiga orang
Bayangan Dewa. Mereka itu agaknya belum tahu apa yang telah menimpa diri empat
orang undangan yang membantu mereka, tidak tahu akan kematian Go-bi Sin-kouw
dan Hwa Hwa Cinjin yang jenazah-jenazahnya dibawa pergi oleh Bouw Thaisu dan
Hek I Siankouw.
Komandan
pasukan pengawal tadi melaporkan kepada rajanya mengenai sang ratu yang
ditemukan di dalam hutan bersama In Hong dan pemuda yang sekarang ikut pula
dibawa menghadap dan menyerahkan keputusannya kepada raja. Karena laporan itu
dilakukan dalam bahasa mereka sendiri, baik In Hong mau pun Bun Houw tidak tahu
artinya, akan tetapi melihat wajah Khamila yang tenang-tenang saja bahkan
kelihatan lega, hati mereka pun tidak khawatir.
Sesudah
mendengarkan pelaporan komandan pasukan itu, Sabutai lalu memberi isyarat
menyuruh mundur semua pasukan sehingga ruangan ini sekarang menjadi sunyi,
hanya ada mereka dan Wang Cin bersama tiga orang Bayangan Dewa, Raja Sabutai,
isterinya dan dua orang gurunya saja. Raja Sabutai kini menghadapi In Hong,
memandang kagum kemudian dia berkata,
"Nona
Hong, engkau sungguh menepati janji, terus mengawal isteri kami sampai ke mana
pun sehingga telah kembali pula ke sini dengan selamat. Sayang engkau
menggunakan akal untuk meloloskan kaisar keluar dari benteng. Kenapa engkau
tidak terang-terangan saja minta ijin dariku? Apakah engkau tidak tahu bahwa
memang kami tidak mempunyai niat untuk membunuhnya? Kalau memang kami bermaksud
membunuhnya, maka sudah sejak lama dia kami bunuh!"
In Hong
melirik ke arah Khamila, kemudian dia menjura dan berkata dengan gagah,
"Saya sudah melakukan hal itu, dan memang saya menyelundupkan kaisar
keluar dari tempat tahanan. Sesudah saya mengaku, maka terserah kepada
kebijaksanaan paduka!" Ucapan gagah ini sekaligus juga menyatakan bahwa
dia tidak takut akan akibat dari perbuatannya itu.
Mendengar
ini tentu saja Bun Houw merasa khawatir sekali. Dia salah duga, menyangka bahwa
In Hong hendak menyerahkan diri dan menerima segala hukuman, maka cepat dia
berkata, "Harap paduka maafkan kelancangan saya. Akan tetapi sepanjang
pengetahuan saya, bukanlah nona Hong yang meloloskan kaisar, melainkan isteri
paduka, sang ratu! Sebagai seorang pengawal yang setia, tentu saja nona Hong
menyertai sang ratu ketika beliau meloloskan tawanan keluar dari benteng, maka
tidak semestinya kalau kesalahan ditimpakan kepada nona Hong."
Semua orang
memandang kepada pemuda itu, dan Raja Sabutai memandang dengan mata menyelidik.
Sementara itu, Khamila langsung berbisik kepada suaminya bahwa dia sudah
menanggung keselamatan mereka dan agar pemuda yang menjadi sahabat baik nona
Hong itu jangan diganggu.
"Mereka
saling mencinta...," bisik ratu itu akhirnya.
Sabutai
tersenyum dan mengertilah dia sekarang kenapa pemuda itu secara mati-matian
mempertahankan dan membela nona Hong. Juga In Hong terheran-heran bagaimana Bun
Houw dapat menduga demikian tepat tentang larinya kaisar bersama Ratu Khamila.
Dia tidak mengira bahwa pemuda ini adalah putera pendekar sakti Cia Keng Hong
dan telah mendengar penuturan dari ayahnya tentang kaisar yang melarikan diri
dibantu oleh Ratu Khamila itu.
"Orang
muda, siapakah engkau?" Raja Sabutai bertanya, diam-diam dia menaksir apakah
pemuda itu pantas menjadi kekasih seorang pendekar wanita seperti In Hong.
"Nama
saya... Bun Houw." Bun Houw masih tetap menyembunyikan she-nya, karena dia
teringat betapa In Hong sendiri pun mengira dia she Bun.
Lagi pula,
di tempat seperti ini, perlu apa memperkenalkan diri yang sesungguhnya? Yang
terpenting, kaisar telah lolos dan dia hanya berada di situ untuk melindungi In
Hong dan juga untuk mencari ketiga orang musuh besarnya, yaitu tiga orang
Bayangan Dewa yang kabarnya berada di situ.
Sejak tadi
pun dia sudah memandang-mandang ke arah tiga orang kakek yang duduk di belakang
seorang pembesar Han yang dia kira tentulah Wang Cin, dan tiga orang kakek itu
agaknya adalah orang-orang yang selama ini dicarinya, maka dia memandang penuh
perhatian sampai dia ditanya oleh Raja Sabutai.
Tiba-tiba
Wang Cin berkata, "Sri baginda, harap sri baginda berhati-hati. Tidak
salah lagi bahwa nona Hong tentulah seorang mata-mata dari kerajaan, dan pemuda
ini tidak syak lagi juga seorang mata-mata. Oleh karena itu, sudah seharusnya
kalau mereka berdua ditangkap dan dihukum mati karena mereka terang-terangan
telah meloloskan kaisar itu dari tahanan!"
"Apa
yang dikatakan oleh Wang-taijin benar sekali" Tiba-tiba Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok berkata sambil bangkit berdiri. "Sudah sejak dahulu hamba
semua tahu bahwa nona In Hong itu adalah mata-mata musuh dan tentu sekali waktu
akan mengkhianati paduka. Juga pemuda ini adalah orang jahat yang masih
mempunyai perhitungan dengan hamba karena dia bersama nona Hong telah membunuh
dua orang saudara hamba."
Melihat
betapa para pembantu Wang Cin agaknya memusuhi In Hong dan Bun Houw, hati Raja
Sabutai tertarik sekali. Memang di samping ambisinya untuk menjadi raja besar
yang akan membangkitkan kembali kejayaan Bangsa Mongol, raja ini juga merupakan
seorang yang keranjingan ilmu silat, gemar sekali menyaksikan pertandingan
silat. Maka, melihat sikap kedua fihak ini yang agaknya bermusuhan, dia lalu
bertanya kepada pemuda yang baru datang itu.
"Orang
muda, benarkah engkau membunuh saudara mereka? Kalau benar, mengapa?"
"Maaf
sri baginda. Mereka itu adalah orang-orang jahat yang tadinya berlima,
menamakan diri Lima Bayangan Dewa yang dengan cara amat curang sudah menyerbu
Cin-ling-pai di waktu ketuanya tidak ada, membunuh anak-anak murid Cin-ling-pai
dan mencuri pedang pusaka Siang-bhok-kiam dari Cin-ling-pai. Selain itu juga
bersekutu dengan orang-orang jahat, dan kini bahkan menjadi kaki tangan
pengkhianat ini!" Dengan berani Bun Houw menuding ke arah Wang Cin. "maka
sudah sepatutnyalah kalau saya, sebagai orang yang menjunjung tinggi kegagahan,
menentang mereka dan dalam pertandingan saya berhasil merobohkan saudara mereka
termuda yang bernama Toat-beng-kauw Bu Sit ketika orang itu hendak melakukan
pemerkosaan terhadap seorang gadis yang tidak berdosa."
"Bohong
kau!" Pat-pi Lo-sian membentak marah.
"Dan
aku yang membunuh Hui-giakang Ciok Lee Kim ketika nenek cabul itu berbuat tidak
patut terhadap seorang pemuda." In Hong kini juga bersikap berani.
"Sri
baginda, harap tangkap mereka dan hukum mampus! Mereka berdua sudah berani
menghina saya dan menentang sri baginda!" Wang Cin menuding dengan marah.
In Hong
melirik pada subo-nya yang hanya memandang ke kanan dan kiri dengan wajah
dingin. Diam-diam gadis ini merasa ngeri. Subo-nya adalah seorang yang aneh
luar biasa, sukar diketahui isi hatinya. Kalau subo-nya berfihak kepada Wang
Cin celakalah, pikirnya.
Sementara
itu, Bun Houw juga sudah siap-siap untuk mengamuk dan melindungi In Hong.
Sebaliknya, In Hong tidak mengerti apa yang akan dilakukannya andai kata Raja
Sabutai hendak menangkap Bun Houw saja. Apakah dia akan melindungi pemuda ini?
Dia tidak dapat menjawab saat itu. Betapa pun juga, kedua orang muda ini sudah
merasa tegang dan mereka menanti saat-saat yang menentukan sambil memandang
wajah Sabutai yang tersenyum-senyum misterius.
In Hong
menaksir keadaan. Kakek dan nenek di belakang raja itu amat lihai dan kiranya
Bun Houw bukanlah lawan seorang di antara mereka. Apa lagi ditambah tiga
Bayangan Dewa, para perwira dan begitu banyak prajurit, tentu mereka berdua
tidak akan mampu menyelamatkan diri. Kecuali kalau gurunya berada di fihaknya,
kalau memang demikian masih mending, walau pun agaknya dengan kekuatan mereka
bertiga sekali pun masih amat sukar lolos dari benteng yang kuat ini.
Agaknya
keputusan itu juga merupakan hal yang amat sulit bagi Raja Sabutai. Dia tadi
mendengar bisikan isterinya bahwa di antara In Hong dan Bun Houw terdapat
hubungan cinta kasih, maka kalau dia menyuruh tangkap dan bunuh pemuda itu,
tentu berarti dara perkasa yang sangat dikaguminya itu akan membela mati-matian.
Akan tetapi kalau tidak ditangkap, seolah-olah dia tidak menghargai bantuan
Wang Cin beserta kawan-kawannya dalam penyerbuannya ke selatan yang hampir
berhasil akan tetapi sekarang mengalami kemunduran hebat itu.
Pada saat
dia meragu, tiba-tiba Khamila menyentuh tangannya. Dia menoleh dan ternyata
isterinya menyerahkan sesampul surat. "Harap paduka baca ini
dulu...," bisik Khamila.
Sabutai
tertarik sekali dan hatinya tegang ketika mengenal surat yang datang dari
Kaisar Ceng Tung itu. Dia membuka sampulnya, mengangkat tangan kiri sebagai
isyarat supaya semua orang diam dan menunda pembicaraan, kemudian dia mulai
membaca surat yang ditulis dengan huruf-huruf halus dan indah itu.
Raja Sabutai
yang saya hormati,
Anda
mengetahui betapa Wang Cin yang khianat telah melemahkan saya dengan racun
berupa Azisha yang seperti ular itu, sehingga saya sampai terjebak dan menjadi
tawanan anda. Akan tetapi saya kagum kepada anda yang berbahagia dan yang
memiliki seorang ratu yang amat mulia. Semoga anda hidup berbahagia dengan
keluarga anda.
Kini saya
telah bebas. Saya akan menemui bala tentara saya dan menghentikan perang antara
kita. Mengingat akan kebaikan anda dan ratu, maka bila anda suka mundur dan
menarik pasukan, anda akan tetap menjadi sahabat kami dan saya akan menjadi
wali dari putera anda kelak. Sebaliknya, apa bila anda melanjutkan penyerbuan
ke selatan, kami akan membasmi semua pasukan anda dan akan mempersilakan ratu
untuk hidup terhormat dan terpuji di dalam istana kami.
Sekian dan
kemudian terserah kebijaksanaan anda.
Tertanda,
Kaisar Ceng
Tung
Sabutai
menyimpan surat itu kemudian tersenyum lebar sambil melirik ke arah isterinya.
Dia memandang mereka semua seorang demi seorang, kemudian yang terakhir kepada
Wang Cin, dan berkatalah dia dengan suara lantang. "Kami memutuskan agar
urusan ini ditunda dulu. Nona Hong dan pemuda ini tetap menjadi tamu-tamu kami
yang diawasi dan tidak diperkenankan keluar dari benteng. Juga harap
Wang-taijin dan para pembantunya tidak sembarangan turun tangan sehingga
menimbulkan keributan. Kami hendak melihat perkembangannya dulu. Hendak kulihat
apakah kaisar muda itu betul-betul berkepandaian begitu hebat untuk merampas
kembali kedudukannya kemudian menarik mundur pasukan seperti yang
dijanjikannya. Ha-ha-ha!" Sabutai tertawa, lalu mengajak isterinya
memasuki ruangan sebelah dalam.
Persidangan
itu bubar dan sepasukan pengawal lalu mengantarkan Bun Houw ke dalam sebuah
kamar tamu dan selanjutnya pemuda ini terus dikawal dan diawasi. Demikian pula
In Hong dan Yo Bi Kiok, maklum bahwa mereka diam-diam diawasi oleh kakek dan
nenek guru Sabutai.
Semenjak
peristiwa kekalahan Yo Bi Kiok dari Cia Keng Hong, guru ini bersikap dingin
terhadap muridnya dan tidak pernah menegur. Akan tetapi In Hong pun diam saja
karena makin lama semakin terbukalah matanya betapa subo-nya itu memiliki watak
yang aneh, tidak lumrah, kadang-kadang ganas dan amat kejam sehingga dia merasa
tidak senang dan juga berduka, karena sesungguhnya, subo-nya itulah yang selama
ini dianggapnya sebagai orang yang paling baik baginya.
***************
Mula-mula
kaisar disembunyikan lebih dahulu oleh Cia Keng Hong, dan dia sendiri pergi
menghadap Jenderal Bao Ciang. Di tempat ini, Cia Keng Hong berjumpa dengan Yap
Kun Liong yang seperti banyak orang-orang gagah dari seluruh penjuru
beramai-ramai menjadi suka relawan membantu bala tentara pemerintah untuk
menghadapi kaum pemberontak dari utara.
Sebelum
berbicara dengan Jenderal Bao Ciang, Cia Keng Hong menemui Kun Liong lebih dulu
dan dari Yap Kun Liong inilah dia menyelidiki keadaan jenderal itu sekarang
hingga dia merasa yakin bahwa Jenderal Bao ini pun tidak setuju akan
pengangkatan Ceng Ti yang dipaksa menggantikan kedudukan Kaisar Ceng Tung yang tertawan
pemberontak.
Dengan
singkat Cia Keng Hong lalu bercerita kepada Yap Kun Liong betapa adik kandung
Kun Liong yang bernama In Hong sudah berhasil menyelamatkan dan meloloskan
kaisar dari dalam tahanan pemberontak.
Kun Liong
terkejut dan girang bukan main. Tadinya dia sudah merasa kehilangan adiknya
yang dianggapnya telah menyeleweng dan menjadi seorang yang kejam seperti
gurunya, Yo Bi Kiok. Akan tetapi siapa tahu kini malah berjasa besar!
"Supek,
di manakah dia sekarang?"
"Dia
menjadi pengawal ratu, isteri Sabutai. Kini dia kembali ke benteng Sabutai, dan
aku sudah menyuruh Bun Houw untuk menyusul dan melindunginya kalau-kalau ada
bahaya yang mengancamnya, karena aku sendiri harus cepat-cepat membantu sri
baginda kaisar menghubungi para jenderal..."
"Kalau
begitu saya akan menyusul ke sana, supek."
"Sebaiknya
begitulah."
Kun Liong
memberi hormat dan berkelebat pergi, diikuti pandang mata Cia Keng Hong yang
merasa kasihan sekali kepada pendekar itu. Dia pun tahu bahwa sampai sekarang,
kematian isteri Kun Liong yang mengakibatkan banyak mala petaka itu masih juga
belum terbongkar rahasianya dan tentu semua usaha penyelidikan terhenti oleh
adanya perang melawan pemberontakan. Bahkan penyelidikan puteranya dan dia
sendiri tentang pedang pusaka Siang-bhok-kiampun terhenti.
Memang semua
kepentingan pribadi terpaksa harus dikesampingkan untuk mendahulukan
kepentingan negara dan bangsa. Apa lagi menghadapi ancaman dari orang-orang
Mongol yang pernah menjajah tanah air selama hampir satu abad lamanya itu.
Kemudian Cia
Keng Hong pergi menghadap Jenderal Bao dan dalam pertemuan antara dua sahabat
lama, karena keduanya dahulu merupakan pembantu-pembantu Panglima Besar The
Hoo, terdapat kegembiraan besar dan di sini Cia Keng Hong menjajagi isi hati Jenderal
Bao, karena biar pun dia sudah mendengar keterangan dari Kun Liong, namun dalam
urusan diri kaisar dia harus berhati-hati. Setelah dia yakin benar bahwa
jenderal ini benar-benar masih setia kepada Kaisar Ceng Tung, Cia Keng Hong
lalu memancing.
"Akan
tetapi, Bao-goanswe, bukankah Kaisar Ceng Tung adalah kaisar yang amat lemah,
yang mudah saja dipermainkan oleh thaikam yang khianat, dan mudah pula tunduk
oleh selirnya yang bernama Azisha?"
Jenderal Bao
mengerutkan alisnya yang tebal. "Memang benar, namun saya mengenal betul
watak beliau semenjak kecil, Cia-taihiap! Beliau adalah seorang yang
sesungguhnya memiliki budi baik, dan seorang yang memiliki kecerdasan dan
kemampuan besar untuk menjadi seorang kaisar yang baik. Pribadinya baik, dia
gagah berani menentang segala kesukaran. Kalau dia berubah lemah, hal itu
adalah karena pengaruh si laknat Wang Cin, si kebiri pengkhianat itu. Betapa
pun juga, pengangkatan Kaisar Ceng Ti hanya terpaksa karena Kaisar Ceng Tung
tak ada beritanya, mungkin sudah tewas di dalam tahanan dan untuk itu, kami
telah bersumpah untuk membalas dendam, untuk membasmi Sabutai dan semua anak
buahnya!" Dia memukulkan tinjunya yang besar ke atas meja.
"Seandainya
Kaisar Ceng Tung ternyata masih hidup dan berhasil meloloskan diri dari
tawanan, bagaimana, Bao-goanswe?"
Mata yang
lebar itu memandang tajam. "Tidak mungkin! Sudah terlambat. Mereka yang
berambisi mencari kedudukan tinggi telah memperjuangkan agar selama ini Kaisar
Ceng Tung tidak ditolong dan agar mereka dapat mengangkat kaisar lain yang
dapat mereka permainkan. Kelompok pengganti orang-orang semacam Wang Cin ini
memang banyak terdapat di dalam istana dan tidak lama lagi kaisar baru akan jauh
lebih lemah lagi dari pada Kaisar Ceng Tung."
"Akan
tetapi seandainya Kaisar Ceng Tung masih hidup dan lolos?"
"Tidak
mungkin! Harapan kosong belaka!"
"Goanswe,
sudah lupakah goanswe pada ajaran Panglima The Hoo bahwa dalam setiap keadaan
kita tidak boleh sekali-kali berputus asa? Apa bila belum ada bukti-bukti bahwa
Kaisar Ceng Tung telah meninggal dunia, mengapa goanswe mengatakan tidak
mungkin dan harapan kosong belaka? Kini jawablah, andai kata beliau masih hidup
dan sekarang dapat muncul di sini, apa yang akan kau lakukan?"
Jenderal itu
bangkit berdiri, menatap wajah pendekar itu penuh selidik. Tiba-tiba saja dia
memegang dan menekan tangan pendekar itu dengan tangannya yang besar dan kuat,
kemudian matanya menjadi basah. "Cia-taihiap! Engkau satu-satunya orang
yang paling kuhormat karena kegagahanmu dan kupercaya karena kesetiaanmu.
Katakanlah, apakah benar beliau masih hidup?"
"Duduklah,
goanswe. Lebih baik kau jawab dahulu pertanyaanku tadi. Apa yang akan kau
lakukan kalau beliau masih hidup dan muncul di sini?"
"Demi
Tuhan! Aku akan membantu beliau memperoleh kembali singgasana beliau karena itu
adalah haknya! Kalau Sri Baginda Kaisar Ceng Tung masih hidup, maka kaisar yang
baru itu tidak sah!"
"Hemm,
bagaimana akan kau lakukan hal itu begitu mudahnya? Kaisar baru itu memiliki
banyak pendukung dan tentu akan terjadi perang saudara."
"Tidak!
Sebagian besar bala tentara berada di bawah komandoku. Dan sisa pasukan di
dalam pun dipimpin oleh sahabat-sahabatku yang setia kepada Kaisar Ceng Tung.
Hanya ada beberapa orang jenderal yang mengepalai pasukan-pasukan pengawal dan
pasukan-pasukan pinggiran yang kekuatannya tidak berarti. Terlebih dahulu aku
akan mengadakan pembersihan, menekan mereka atau menyingkirkan mereka kalau
memang perlu. Akan tetapi betulkah...?" Dia memandang penuh harap.
Sekarang Cia
Keng Hong sudah merasa yakin. Dia mengangguk lantas berkata, "Lekas
sediakan pasukan penjemput dan kereta."
Jenderal Bao
merangkul Cia Keng Hong dan kepalan tangannya yang besar menghapus dua titik
air matanya. "Kau hebat, taihiap! Kau hebat sekali telah menyelamatkan
kaisar! Usaha puluhan ribu prajurit tidak berhasil, akan tetapi engkau seorang
diri dapat..."
"Ssssstt...
jangan tergesa-gesa memuji. Engkau akan mendengar sendiri dari beliau siapa
yang menyelamatkan beliau. Mari!"
Malam itu
juga, Jenderal Bao Ciang sendiri bersama Cia Keng Hong memimpin pasukan
menjemput Kaisar Ceng Tung. Setelah berhadapan dengan kaisar, Jenderal Bao
segera menjatuhkan diri berlutut sambil meruntuhkan beberapa titik air mata!
Akan tetapi, dengan manis budi dan tenang kaisar itu berkata,
"Bangkitlah,
jenderalku yang setia! Dan mulai saat ini, perintahkan untuk menarik mundur
semua pasukan, jangan lagi mengejar pasukan Sabutai."
Jenderal itu
bangkit dan memberi hormat, terkejut menerima perintah pertama yang aneh itu.
"Siap,
sri baginda. Akan tetapi, bolehkah hamba menerima penjelasan?"
Kaisar
tersenyum angkuh. "Apa bila dia diserang, dia akan mempertahankan
mati-matian dan mungkin akan mengorbankan banyak pasukan kita yang kini perlu
kita kerahkan ke selatan. Dan aku menjamin bahwa kalau dia tidak diserang, dia
akan mundur. Kini dia telah tahu akan kekuatan kita dan kekalahannya merupakan
pelajaran baginya. Dia kelak dapat menjadi sahabat yang baik."
Kaisar
tersenyum lagi, sebab teringat akan suratnya dan akan pengaruh Khamila atas
diri suaminya. Cia Keng Hong yang tidak tahu akan urusan sedalam-dalamnya,
diam-diam juga merasa heran sekali.
Kaisar lalu
diiringkan ke dalam benteng. Karena taat akan perintah kaisar, Jenderal Bao
menarik kembali semua pasukan yang mengurung benteng Sabutai, hanya
meninggalkan sedikit pasukan untuk melakukan pengintaian. Hal ini pun segera
diketahui oleh Sabutai yang tertawa dan mengangguk-angguk.
"Hebat...!"
Raja Mongol ini berkata. "Memang dia hebat, jauh hebat dari pada aku,
dalam banyak hal... dalam banyak hal..." Dia teringat akan kandungan di
dalam perut istrinya dan tersenyum lebar penuh kebanggaan bahwa kelak dia akan
menjadi ayah dari seorang anak keturunan kaisar yang demikian hebat!
Sesudah
berunding dengan kaisar, Jenderal Bao yang dibantu oleh Cia Keng Hong yang kini
untuk sementara bertindak sebagai pengawal kaisar pribadi, langsung
melaksanakan rencananya. Tentang kembalinya Kaisar Ceng Tung masih dirahasiakan
dan jenderal itu menyusun kekuatan untuk mengembalikan singgasana kepada Kaisar
Ceng Tung.
Para menteri
dan jenderal yang setia terhadap Kaisar Ceng Tung tentu saja menyambut dengan
penuh kegembiraan, namun di fihak para pengejar ambisi yang telah mengangkat
Kaisar Ceng Ti secara paksa, tentu saja dengan mati-matian mempertahankan
Kaisar Ceng Ti, karena turunnya kaisar baru dari tahta serta kembalinya kaisar
lama ke istana berarti hilangnya kedudukan baru mereka yang mulia!
Kembali
merupakan bukti yang nyata betapa semenjak sejarah tercatat orang, semua
pertikaian, semua permusuhan dan semua peperangan terjadi sebagai akibat dari
pada pengejaran ambisi dan cita-cita, baik perorangan mau pun kelompok yang
sesungguhnya sama saja, karena kelompok hanyalah merupakan sekumpulan
orang-orang lemah yang tidak percaya kepada dirinya sendiri lalu menggantungkan
kepercayaan mereka kepada beberapa gelintir orang dan mengoper ambisi beberapa
gelintir orang itu sebagai tujuan cita-cita mereka sendiri.
Betapa
banyak terjadi sejak dahulu. Raja demi raja ditumbangkan dari kekuasaannya oleh
raja lain yang pada gilirannya selalu terancam akan digulingkan pula oleh
kekuasaan lain yang ingin mencapai apa yang dicita-citakannya, apa yang
diinginkannya dan yang dinamakan cita-cita atau ambisi.
Cita-cita
atau ambisi bukan lain hanyalah keinginan kita akan sesuatu yang tidak ada,
sesuatu yang lain dari pada yang ada sekarang, yang lain dari pada apa yang
berada di tangan kita, lain dari pada apa yang kita miliki, yang kita anggap
jauh lebih bagus dan lebih menyenangkan dari pada yang ada sekarang. Dengan
pandangan seperti ini, mata yang ditujukan kepada hal-hal yang belum ada, yang
dianggap lebih menyenangkan, tentu saja yang ada sekarang tampak sama sekali
tidak menyenangkan, atau bahkan tidak nampak sama sekali.
Jelaslah
bahwa cita-cita atau ambisi itu hanyalah pengejaran pada kesenangan belaka,
kesenangan yang dibayang-bayangkan akan membuatnya bahagia. Padahal kalau yang
dinamakan cita-cita itu tercapai, kepuasan hanya dirasakan sebentar saja karena
mata sudah mulai lagi memandang jauh, bercita-cita yang lain lagi, mengejar
kesenangan yang lain lagi, yang dianggap lebih dari pada yang telah
diperolehnya itu.
Demikianlah,
hidup lalu menjadi gelanggang pengejaran cita-cita yang akibatnya hanya dua,
yaitu bila tak tercapai menjadikan kecewa dan putus asa, bila tercapai
menjadikan bosan dan mengejar yang lain lagi. Dan lebih celaka lagi,
pengejaran-pengejaran demi tercapainya cita-cita atau ambisi yang pada
hakekatnya hanya merupakan kesenangan terselubung itu, sering kali dilakukan
dengan cara bagaimana saja, kadang-kadang kotor dan kejam bukan main, demi
untuk memperoleh yang dicita-cita atau dikejarnya.
Betapa pun
cara pengejaran keinginan itu diperhalus, dijaga agar tidak menyeleweng dari
pada kebenaran, tetap saja di dalamnya terkandung unsur untuk kepentingan diri
pribadi, dan karena setiap orang mengejar keinginannya masing-masing, maka
tentu saja tidak mungkin dapat dlielakkan lagi terjadilah bentrokan-bentrokan,
sikut-sikutan, jegal-jegalan demi untuk memperoleh apa yang diinginkan.
Seperti
sekelompok kanak-kanak memperebutkan layang-layang yang putus talinya. Apa pun
akan mereka lakukan demi memperoleh layang-layang itu. Oleh karena cita-cita
inilah maka timbul perbuatan-perbuatan yang rendah, timbul perang dan
permusuhan dan timbul cara-cara yang kotor dan keji, timbul pegangan kejam
bahwa cita-cita atau tujuan menghalalkan segala cara! Dan kalau sudah begitu,
celakalah manusia.
Demikian
pula dengan kerajaan di mana terjadi perebutan tahta itu. Fihak menteri dan
jenderal yang bersimpati kepada Ceng Tung, yang masih setia kepada kaisar lama
ini, mempergunakan segala daya upaya dan kekuatan mereka untuk menggeser kaisar
baru dan mendudukkan kembali Kaisar Ceng Tung ke singgasana. Sedangkan mereka
yang berkedudukan tinggi, para pendukung atau pengangkat Kaisar Ceng Ti,
mempertahankan kedudukan kaisar baru ini yang sesungguhnya hanya dipergunakan
sebagai ‘alat’ untuk mencapai keinginan mereka sendiri, yaitu memperoleh
pangkat dan kemuliaan, maka terjadilah ketegangan dan kekacauan di dalam istana
kaisar.
Oleh karena
maklum bahwa tentu akan timbul usaha fihak lawan untuk membunuh Kaisar Ceng
Tung, maka kaisar ini disembunyikan di dalam rumah gedung seorang pembesar
bernama Liang Kun Ong, seorang pembesar berdarah bangsawan dan masih terhitung
keluarga biar pun agak jauh dengan Kaisar Ceng Tung dan yang termasuk seorang
yang setia kepada kaisar ini. Dan tentu saja pendekar sakti Cia Keng Hong
selalu mengawal kaisar karena pendekar ini juga maklum bahwa sebelum kaisar itu
menduduki kembali singgasananya, maka keselamatannya tidak terjamin. Sementara
itu, Jenderal Bao cepat memperjuangkan kembalinya Kaisar Ceng Tung melalui
saluran-saluran yang resmi.
Malam itu
sunyi sekali dan Kaisar Ceng Tung sudah beristirahat. Seperti biasa selama
tinggal di dalam gedung itu yang telah berjalan belasan hari, Cia Keng Hong
tidur di sudut kamar, hanya teraling tirai dari pembaringan yang menjadi tempat
tidur Kaisar Ceng Tung.
Akan tetapi,
tentu saja Cia Keng Hong hanya menidurkan tubuhnya belaka, sedangkan
kewaspadaannya tidak pernah tidur nyenyak sehingga andai kata ada sedikit suara
saja, suara yang tidak wajar, tentu dia sudah meloncat dan tahu-tahu sudah
berada di dekat pembaringan kaisar untuk melindunginya.
Hal seperti
ini tidak mengherankan bagi seorang ahli ilmu silat tinggi, sebab kewaspadaan
seakan-akan sudah mendarah daging pada seluruh urat syarafnya seperti sudah
menjadi semacam naluri yang biasanya hanya dimiliki oleh binatang-binatang yang
perasaannya sangat peka.
Tentu saja
bukan hanya Cia Keng Hong seorang diri yang menjadi pengawal menjaga
keselamatan Kaisar Ceng Tung. Cia Keng Hong merupakan pengawal pribadi yang
selalu berdekatan dengan kaisar, akan tetapi masih ada lagi sepasukan istimewa,
yaitu pasukan pengawal Kuku Garuda yang dulu pun menjadi pengawal-pengawal
dalam istana Kaisar Ceng Tung.
Ketika
terjadi penggantian kaisar, pasukan ini meloloskan diri karena mereka masih
setia kepada Kaisar Ceng Tung. Mereka itu segera menyebar dan menjadi buronan,
ada yang bergabung dengan barisan yang berada di bawah kekuasaan
jenderal-jenderal yang setia kepada Kaisar Ceng Tung, akan tetapi ada pula yang
kembali ke dusun. Kini yang dapat dikumpulkan oleh Jenderal Bao hanya tersisa
dua puluh orang dan dengan senang hati mereka ini menerima tugas melindungi dan
mengawal Kaisar Ceng Tung di dalam gedung Pangeran Liang Kun Ong.
Biar pun
sudah ada dua puluh orang pengawal Kuku Garuda yang boleh dipercaya ini, yang
rata-rata mempunyai kepandaian cukup tinggi, namun Cia Keng Hong tidak pernah
lengah karena dia maklum bahwa apa bila fihak musuh mengirimkan seorang
pembunuh bayaran yang tinggi tingkat kepandaiannya, dengan mudah saja pembunuh
itu akan dapat melalui penjagaan para pengawal itu. Oleh karena itu, meski pun
pada malam hari yang sunyi dan dingin itu penjagaan seperti biasa dilakukan
dengan ketat, tetap saja Cia Keng Hong yang kelihatan tidur pulas itu
sebenarnya masih dalam keadaan ‘waspada’.
Bunyi
kentongan ronda malam menyatakan bahwa waktu itu sudah persis tengah malam.
Telinga pendekar sakti yang masih tidur itu dapat jelas mendengar dan
kewaspadaannya membuat dia mengerti bahwa suara itu adalah suara kentongan yang
menunjukkan waktu, maka dia pun terus tidur dengan napas teratur.
Akan tetapi,
ketika ada suara berkeresekan di atas genteng gedung, seketika pendekar ini
membuka mata! Di lain saat tubuhnya sudah berkelebat seperti terbang cepatnya
dan tahu-tahu dia sudah berada di tepi pembaringan kaisar yang ternyata masih
tidur pulas. Dengan pendengarannya yang tajam ketua Cin-ling-pai ini mengerti
bahwa yang datang lebih dari satu orang, maka dia cepat mengambil keputusan.
Tanpa
membangunkan kaisar, tangannya bergerak menotok pundak Kaisar Ceng Tung
sehingga kaisar itu tertotok lemas dalam keadaan tidur, lalu Cia Keng Hong
memondong tubuh kaisar, disembunyikan di bawah kolong pembaringan dan dia
sendiri lantas naik ke atas pembaringan itu, menggunakan selimut kaisar
menutupi tubuhnya sebatas leher ke bawah, menggantikan tempat kaisar!
Dengan cara
ini dia hendak menjebak fihak musuh tanpa membahayakan kaisar, karena kalau dia
melakukan perlawanan secara berterang, dia khawatir bahwa fihak musuh akan
menyerang dari berbagai jurusan yang tentu saja baginya akan amat menyulitkan
untuk dapat melindungi kaisar dengan sebaiknya.
Suara
berkeresekan makin dekat dan kini tiba tepat di atas genteng kamar itu.
Tiba-tiba saja dia mendengar suara jerit-jerit tertahan di luar kamar, di mana
biasanya terdapat dua orang pengawal yang menjaga siang malam secara bergilir.
Suara ini disusul pula dengan suara-suara yang sama, seperti orang yang tidak
sempat menjerit lagi lalu roboh dari luar jendela sebelah kiri dan dari atas
genteng.
Hemmm,
mereka sudah mulai turun tangan, pikir Cia Keng Hong, seluruh urat syarafnya
menegang dan semua panca inderanya siap sedia.
"Sing-sing-singgg...!"
Tepat
seperti yang sudah diduganya semula, sinar-sinar merah halus itu meluncur cepat
sekali dari tiga jurusan! Dalam waktu bersamaan, sinar-sinar merah halus itu
menyerang ke arah pembaringan, tepat ke arah tubuhnya, dari luar jendela dan
dari dua arah di atas genteng!
Andai kata
dia masih berjaga dengan berdiri di dekat pembaringan, akan repot jugalah jika
dia harus menyelamatkan kaisar menghalau sinar-sinar merah yang datangnya dalam
saat berbareng dari tiga jurusan bertentangan itu. Dia tahu sinar-sinar apakah
itu, maka kedua tangannya bergerak dari bawah selimut, jari-jari tangannya
menjepit jarum-jarum halus yang berbau harum. Jarum yang mengandung racun halus
dan apa bila memasuki kulit akan mendatangkan kematian seketika.....!
Matanya
memandang cepat, melihat betapa di atas genteng, di dua tempat itu berlubang,
juga daun jendela terbuka sedikit.
“Krekkk…!”
kini terdengar suara dan daun pintu kamar terbuka dari luar, pegangan daun
pintunya hancur berantakan dicengkeram sebuah tangan yang memiliki tenaga amat
kuat!
Melihat
bahwa yang masuk ke kamar ini adalah seorang yang memiliki tenaga dahsyat, maka
Cia Keng Hong menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Berbareng dengan
terbangnya selimut merah ke arah pintu, sepasang tangannya bergerak dan meluncurlah
sinar-sinar merah yang sama dengan tadi, akan tetapi suara berdesingnya jauh
lebih nyaring lagi karena jarum-jarum itu sekarang diluncurkan oleh sambitan
ketua Cin-ling-pai yang memiliki tenaga yang jauh lebih kuat, meluncur ke arah
tiga jurusan, yaitu ke jendela dan lubang-lubang di atas genteng.
Terdengar
pekik-pekik kesakitan dari atas genteng dan di luar jendela kamar, sedangkan
orang tinggi besar yang baru saja menerjang masuk ke kamar dan pintu, berseru
kaget ketika tiba-tiba saja ada selimut merah menerjangnya seolah-olah selimut
itu mempunyai nyawa saja!
"Wuuuuttt…!
Plakkk... breettttt...!"
Selimut itu
ditangkis oleh orang tinggi besar ini sehingga cabik-cabik, lalu dilemparnya ke
samping. Akan tetapi saat itu Cia Keng Hong sudah meloncat dan berdiri di depan
orang tinggi besar ini. Mereka saling pandang!
Sejenak
pendekar sakti Cia Keng Hong memandang tajam penuh selidik kepada kakek tinggi
besar yang berwajah gagah akan tetapi menyeramkan itu. Dia lantas memutar otak
mengingat-ingat, kemudian berkata dengan heran, "Hemm, bukankah engkau
Tiat-ciang-pangcu?" Sekarang dia sudah teringat dan menyambung, "Tak
salah lagi, engkau adalah Ouw-pangcu dari Bayangkara!"
"Cia-taihiap...!"
Kakek itu juga berseru kaget dan mukanya berubah.
Memang orang
itu adalah ketua dari perkumpulan Tiat-ciang-pang (Perkumpulan Tangan Besi)
yang dahulu pernah terkenal sebagai perkumpulan pejuang dari utara, berpusat di
Pegunungan Bayangkara, dan terkenal dengan kelihaian tangan mereka karena
ketuanya memiliki Ilmu Tangan Besi yang amat ditakuti orang.
"Ouw-pangcu,"
kata Cia Keng Hong, suaranya dingin sementara pandang matanya tajam menusuk.
"Apakah Tiat-ciang-pang kini telah menjadi begitu merosot dan rendah
sehingga mau diperalat orang untuk melakukan pekerjaan hina seperti ini,
melakukan penyerangan kepada orang secara menggelap?"
Kakek tinggi
besar itu kelihatan bingung. "Apa... apa artinya ini? Kami memang
diperalat, tetapi diperalat oleh kaisar dan para pembesar untuk membasmi
komplotan pengkhianat yang kabarnya sedang bersembunyi di dalam gedung ini.
Mengapa yang berada di sini malah Cia-taihiap? Mana komplotan pengkhianat
itu?"
"Ouw-pangcu!"
Cia Keng Hong yang dahulu mengenal tokoh ini sebagai seorang pejuang, berkata
tegas, "Yang menjadi komplotan pengkhianat adalah mereka yang memperalat
pangcu."
Muka kakek
itu berubah. "Apa... apa maksudmu, taihiap?"
"Tahukah
pangcu siapa yang berhak menjadi kaisar? Siapakah kaisar yang sebenarnya? Apa
bila kaisar lama, Sri Baginda Ceng Tung masih ada dan dalam keadaan selamat dan
sehat, apakah kaisar yang sekarang ini sah?"
"Cia-taihiap,
apa maksud kata-katamu itu? Bukankah Sri Baginda Kaisar Ceng Tung telah tewas
di tangan pemberontak Mongol dan sekarang yang menjadi penggantinya adalah Sri
Baginda Kaisar Ceng Ti?"
"Nah,
ini buktinya bahwa yang memperalat pangcu itulah yang sebenarnya pengkhianat.
Sri Baginda Ceng Tung masih hidup dan sehat, saya sendiri yang mengawalnya
ketika beliau lolos dari tawanan orang-orang Mongol, akan tetapi ternyata
kawanan pengkhianat telah mengangkat seorang kaisar lain, bahkan sekarang
memperalatmu untuk membunuh Kaisar Ceng Tung."
"Ahhh...?"
Ouw Kian terkejut setengah mati dan kedua tangannya gemetar. "Saya... saya
disuruh membunuh Sri Baginda Kaisar Ceng Tung?"
Cia Keng
Hong mengangguk, lalu mengambil kaisar yang masih tertidur pulas di bawah
tempat tidur dan kembali membaringkan kaisar di atas pembaringan. Melihat hal
ini, Ouw Kian menjatuhkan diri berlutut, membentur-benturkan dahinya di atas
lantai dengan air mata bercucuran membasahi mukanya yang keriputan!
"Celaka...
aku layak mampus...! Cia-taihiap... bunuhlah aku yang berdosa ini..."
Pada saat
itu terdengarlah suara ribut-ribut di luar dan bentakan-bentakan keras dari
para pengawal, "Tangkap pembunuh...!"
Cia Keng
Hong menjawab dari dalam. "Harap di luar tenang. Kaisar dapat diselamatkan
dan singkirkan mayat orang-orang di luar jendela dan di atas genteng."
Terdengar
para pengawal berseru girang dan lega. Mereka adalah para pengawal yang melihat
enam orang teman mereka tahu-tahu sudah tewas di tempat penjagaan masing-masing
di sekitar kamar kaisar. Mendengar suara Cia Keng Hong, mereka menjadi lega dan
segera memeriksa tiga tempat itu dan benar saja, di masing-masing tempat mereka
menemukan mayat dua orang asing yang dadanya bengkak-bengkak merah akibat kena
jarum-jarum halus!
Sementara
itu, di dalam kamar itu, Cia Keng Hong menguras keterangan dari Ouw Kian, siapa
saja yang memperalatnya. Dengan jujur Ouw Kian lalu membeberkan persekutuan
yang mendukung Kaisar Ceng Ti dan secara diam-diam dicatat oleh Cia Keng Hong.
Kemudian,
setelah kakek itu mengakhiri pembongkaran rahasia persekutuan itu, Cia Keng
Hong lalu berkata, "Ouw-pangcu, biar pun engkau telah melakukan suatu
kedosaan yang besar sekali, melakukan usaha untuk membunuh kaisar, namun
kesalahanmu ini adalah karena engkau diperalat orang dan kau lakukan di luar
kesadaranmu. Oleh karena itu, sebagai imbalan semua keteranganmu, aku
membebaskanmu. Pergilah!"
Kakek itu
memandang Cia Keng Hong dengan muka pucat. "Cia-taihiap, keputusanmu ini
jauh lebih berat bagiku dari pada kalau engkau membunuhku sekarang juga."
"Ouw-pangcu,
pergilah."
Kakek itu
mengangguk-angguk. "Baik, aku pergi tetapi aku pergi hanya untuk membalas
kepada orang yang sudah membodohi dan memperalatku. Taihiap, selamat tinggal
dan terima kasih bahwa taihiap telah menghalangiku melakukan perbuatan terkutuk
malam ini!" Kakek itu lalu melangkah keluar dari pintu kamar itu dan Cia
Keng Hong berkata ke arah para penjaga di luar.
"Biarkan
sahabatku itu keluar! Dia bukan musuh!"
Tentu saja
para penjaga itu terheran-heran karena mereka tadi tidak melihat ada orang
masuk, tetapi tahu-tahu sekarang ada yang keluar dari dalam kamar. Akan tetapi
mereka percaya penuh kepada pendekar sakti itu, maka tidak ada yang berani
membantah dan membiarkan kakek yang menyeramkan itu keluar dari gedung.
Cia Keng
Hong lalu menyuruh seorang penjaga untuk minta kedatangan Janderal Bao Ciang
pada malam itu juga dan sesudah Jenderal Bao datang, dia menceritakan semua
peristiwa yang terjadi malam itu, juga dia menyebutkan nama-nama para pembesar
yang merupakan komplotan pendukung Kaisar Ceng Ti sehingga Jenderal Bao menjadi
makin girang, karena kini dengan mudah dia dapat melakukan pembersihan.
"Sebaiknya
sekarang juga sri baginda kaisar dipindahkan ke dalam Markas Pasukan agar lebih
aman dan lebih mudah menjaga beliau," kata jenderal itu dan Cia Keng Hong
segera menyetujui.
Kaisar
segera digugah, diceritakan tentang peristiwa penyerangan itu dan malam itu
juga dikawal oleh Cia Keng Hong sendiri untuk pindah ke dalam markas pasukan
kepercayaan Jenderal Bao.
Dan malam
itu terjadilah peristiwa hebat di dalam istana. Tiga orang pembesar tinggi yang
dekat dengan kaisar telah dibunuh oleh seorang jagoan mereka sendiri namun si
jagoan yang mengamuk itu pun berhasil ditewaskan.
Mendengar
ini, mengertilah Cia Keng Hong bahwa Ouw Kian benar-benar telah menebus dosanya
terhadap kaisar dan sudah pula membalas dendam terhadap orang-orang yang
memperalatnya. Diam-diam pendekar ini bersyukur bahwa orang gagah itu akhirnya
dapat insyaf dan mati sebagai seorang gagah perkasa yang mempertahankan
kebenaran.
Demikianlah,
dengan bantuan dari Cia Keng Hong, akhirnya Jenderal Bao berhasil juga
mempengaruhi sebagian besar para pembesar di istana kemudian setelah menang
suara, terutama sekali karena sebagian besar kekuatan militer telah dihimpun
oleh Jenderal Bao Ciang, maka pada suatu hari Kaisar Ceng Tung dinaikkan
kembali ke singgasananya dan Kaisar Ceng Ti diturunkan!
Seperti
terbukti di dalam sejarah, nasib Kaisar Ceng Ti, adik dari Kaisar Ceng Tung
ini, amatlah menyedihkan. Dia naik ke atas tahta kerajaan pada saat kakaknya
yang menjadi kaisar tertawan musuh, dan dia naik karena dorongan dan setengah
paksaan dari para pembesar yang berlomba mencari kedudukan.
Kemudian,
dia diturunkan dan dianggap sebagai seorang keluarga kaisar yang melakukan
perbuatan khianat terhadap kaisar sehingga Kaisar Ceng Ti ini lalu diasingkan.
Bahkan kelak sesudah dia meninggal dunia, jenazahnya tidak berhak dikubur di
dalam kedudukan sebagai kaisar, melainkan dikuburkan di dalam sebuah kuburan
terpencil yang berada di belakang Taman Pancuran Kumala, yang terletak beberapa
li di sebelah barat Kota Raja Peking, cukup jauh dari tanah pekuburan para raja
dari Kerajaan Beng-tiauw yang lain, seolah-olah kenyataannya bahwa Ceng Ti
pernah menjadi kaisar pada jaman kerajaan itu hendak dihapus dari sejarah!
Setelah
Kaisar Ceng Tung kembali menduduki singgasananya, kaisar muda ini tentu saja
amat berterima kasih kepada Cia Keng Hong dan ingin memberi anugerah pangkat
besar. Akan tetapi pendekar sakti ini menghaturkan terima kasihnya dan mohon
maaf karena dia sama sekali bukan membela kaisar untuk mencari kedudukan!
Dengan halus dia menolak anugerah itu, kemudian mohon diri dan kembali ke
Cin-ling-pai.
***************
Suasana di
ruangan besar itu sangat menegangkan. Menegangkan urat syaraf mereka semua,
dari Raja Sabutai sampai kepada para prajurit yang mengepung dan menjaga
ruangan itu dengan ketat dan dengan senjata lengkap di tangan.
Ada tiga
ratus orang prajurit yang menjaga di sekitar ruangan itu, menutup setiap lubang
sehingga tidak ada kemungkinan bagi siapa pun yang berada di dalam ruangan itu
untuk lolos keluar! Terutama sekali bagi mereka yang berada di dalam ruangan
itu, yang kini berkumpul untuk menghadapi lawan masing-masing.
Raja Sabutai
telah mengumumkan bahwa permusuhan di antara kedua golongan itu akan
diselesaikan dengan mengadu kedua golongan itu dengan adil! Akan diadakan pibu
(adu kepandaian) yang adil dan menentukan antara fihak para pembantu Wang Cin
dan fihak Bun Houw dan In Hong sebagai fihak kedua, ada pun para jagoan Raja
Sabutai menjadi fihak ketiga! Jadi semua ahli yang memiliki kepandaian di dalam
ruangan itu kini terpecah menjadi tiga bagian.
Dengan wajah
berseri Raja Sabutai hadir tanpa isterinya, karena Ratu Khamila tidak suka
menonton adu manusia ini. Akan tetapi semua panglimanya hadir, dan juga semua
jagoan Mongol termasuk kakek dan nenek guru raja itu yang di samping hadir
sebagai guru dan orang-orang yang diandalkan dari fihak raja, juga sebagai
pengawal pribadi Raja Sabutai.
Bun Houw
duduk di atas bangku tidak jauh dari In Hong dan Yo Bi Kiok. Jantung pemuda ini
berdebar keras dan dia merasa tidak tenang. Semenjak tadi dia melihat gadis itu
duduk dengan tenang dan seolah-olah tidak ada sesuatu yang akan terjadi, bahkan
di wajahnya membayangkan ketenangan yang dingin.
Wanita
cantik setengah tua yang menjadi guru gadis yang sangat dikaguminya itu juga
duduk tenang. Wajahnya yang lebih dingin lagi bahkan menjadi amat mengerikan
karena membayangkan suatu ancaman bagi siapa pun yang berani menentangnya.
Mulut yang kecil manis itu mengulum senyum penuh ejekan, yang tidak ditujukan
kepada orang-orang tertentu. Akan tetapi mata mereka berdua ditujukan kepada
Raja Sabutai yang pagi hari itu kelihatan gembira sekali.
"Hong-moi..."
Akhirnya Bun Houw tidak dapat menahan lagi kegelisahan hatinya maka dia
berbisik memanggil gadis itu. Akan tetapi In Hong tidak menjawab, juga tidak
menoleh.
"Hong-moi..."
Bun Houw memanggil lagi, maklum bahwa tak mungkin gadis yang memiliki
kepandaian tinggi itu tidak mendengar bisikannya.
In Hong
mengerutkan alisnya, melirik tanpa menoleh, sebuah tanda bahwa dara ini telah
mendengar. Bun Houw tidak merasa menyesal gadis itu agaknya tidak
mempedulikannya, bahkan dia berkata lagi.
"Hong-moi,
harap engkau jangan mencampuri urusanku dengan Bayangan Dewa. Mereka adalah
lawanku, jangan kau membahayakan dirimu sendiri."
In Hong
menoleh dan sejenak mereka saling pandang. Tiba-tiba In Hong merasa betapa
jantungnya berdebar aneh sehingga tanpa disadarinya, seluruh wajahnya berubah
merah sekali. Dara itu tidak tahu betapa subo-nya melirik kepadanya dan
subo-nya mengulum senyum melihat keadaannya itu.
Entah
bagaimana, dia merasa malu dan cepat menundukkan mukanya. Kemudian untuk
menutupi perasaan malu yang aneh ini, yang tidak dikenal dan tidak
dimengertinya, In Hong mengangkat muka memandang lagi, namun sekarang sinar
matanya mengandung kemarahan!
"Aku
adalah Dewi Maut, kejam seperti iblis, pembunuh gadis tak berdosa, kenapa
engkau mempedulikan aku? Bun-ko, engkau datang ke sini karena terbawa-bawa
olehku, maka sebaiknya engkau tidak usah ikut-ikut dalam pertandingan ini. Biar
aku yang menghadapi mereka. Mereka itu sangat berbahaya dan lihai, apa lagi
kakek dan nenek di belakang sri baginda itu!"
"Hong-moi...!"
Bun Houw hendak membantah.
"Sudahlah!"
In Hong membuang muka.
Terpaksa Bun
Houw menghentikan desakannya karena suaranya mulai menarik perhatian semua
orang, bahkan Raja Sabutai sendiri mulai memandang ke arahnya.
Sekarang Bun
Houw melirik dan memandang ke arah orang-orang yang akan menjadi lawannya.
Selama beberapa hari ini dia telah mencari keterangan dan tahulah dia siapa
tiga orang tua yang berdiri di belakang Wang Cin itu. Mereka itu musuh-musuh
besarnya, musuh besar Cin-ling-pai yang memang selama ini dicarinya.
Kakek
berkuncir panjang yang berwajah tampan gagah dan kelihatannya masih muda itu,
yang berpakaian serba putih adalah orang pertama dari Lima Bayangan Dewa, yaitu
yang bernama Phang Tui Lok dan memiliki julukan Pat-pi Lo-sian. Orang itulah
yang datang ke Cin-ling-pai selagi keempat orang kawannya memancing Cap-it
Ho-han supaya pergi dari Cin-ling-pai dan dia pula yang mencuri pedang
Siang-bhok-kiam. Dialah yang terlihai di antara Lima Bayangan Dewa.
Kemudian
kakek berjubah hitam, kepalanya bertopi, bertubuh kokoh kuat dan hidungnya
besar itu adalah orang kedua dari Lima Bayangan Dewa yang bernama Liok-te
Sin-mo Gu Lo It, sedangkan hwesio tua gendut yang memegang tasbih hijau itu
adalah Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang.
Di samping
tiga orang yang diincarnya itu, ada pula beberapa orang pengawal pribadi Wang
Cin yang tidak dia perhatikan, dan kini dia melirik ke arah Raja Sabutai. Raja
itu sendiri kelihatan gembira sekali seolah-olah sedang berada dalam suasana
suatu pesta meriah!
Yang
diperhatikan oleh Bun Houw adalah nenek berwajah kehitaman dan kakek berwajah
putih yang berdiri seperti arca di belakang raja itu. Dia sudah mendengar nama
Hek-hiat Mo-li dan Pek-hiat Mo-ko yang kabarnya memiliki kepandaian amat tinggi
itu. Selain dua orang kakek dan nenek yang kabarnya menjadi guru Sabutai yang
juga lihai, di situ masih terdapat beberapa orang Mongol tinggi besar yang
kelihatannya sangat kuat dan memiliki kepandaian.
"Ehh,
orang she Bun!" Tiba-tiba ada suara orang berbisik, suaranya mendesis
tajam.
Bun Houw
menoleh dan ternyata yang berbicara kepadanya adalah Yo Bi Kiok, wanita
setengah tua yang cantik itu. Dia tahu bahwa wanita itu adalah guru dari In
Hong, maka dia memandang dan mendengarkan penuh perhatian.
"Hayo
kau minta maaf kepada muridku atas tuduhanmu yang bukan-bukan itu. Dia bukan
seorang kejam seperti iblis, juga tidak membunuh orang. Hayo minta maaf
kau!"
"Subo,
jangan ikut mencampuri...," In Hong berbisik pula mencela subo-nya.
Bun Houw
mengerutkan alisnya. "Akan tetapi..."
"Tidak
ada tapi, hayo minta maaf!" Yo Bi Kiok mendesak.
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Bun Houw
merasa mendongkol. Tidak biasa dia didesak dan dipaksa orang seperti itu, maka
sikap yang angkuh dan keras dari Yo Bi Kiok itu malah membuat dia berkeras
tidak mau minta maaf dan dia pun menggelengkan kepala.
"Subo,
sudahlah..." In Hong kembali mencela gurunya dan pada waktu itu Raja
Sabutai sudah mengangkat tangan kanan ke atas, tanda bahwa semua orang diminta
untuk diam dan dia mau bicara.
"Saudara-saudara
sekalian harap maklum bahwa pertemuan ini diadakan pertama-tama untuk merayakan
kemenangan seorang sahabat yang kukagumi, yaitu Kaisar Ceng Tung yang sudah
dapat menduduki singgasananya kembali dan berhasil mengalahkan semua pengkhianat
di dalam kerajaannya! Silakan saudara sekalian mengangkat cawan untuk
kehormatan dan keselamatan Kaisar Ceng Tung!"
Tentu saja
Bun Houw menjadi terkejut dan juga terheran-heran menyaksikan sikap dan
mendengar ucapan Raja Sabutai itu, akan tetapi dengan girang dia segera
mengangkat cawan arak yang memang sejak tadi disuguhkan di meja depan mereka
semua. Semua orang mengangkat cawan dan minum arak, termasuk Yo Bi Kiok setelah
nyonya ini melirik ke arah Wang Cin dengan senyum mengejek.
"Pyarrrrr...!"
Tiba-tiba terdengar suara mangkok pecah dan nampak sebuah cawan arak
menggelinding di atas lantai.
Cawan itu
dibanting oleh Wang Cin yang kini sudah bangkit berdiri dengan marah sekali,
kedua matanya ditujukan ke arah Raja Sabutai dan tubuhnya yang gendut itu
menggigil, mukanya pun merah padam. Suasana menjadi sunyi sebab semua orang
menahan napas dengan hati tegang menyaksikan betapa dua orang sekutu itu kini
berhadapan sebagai musuh.
"Sabutai,
engkau sungguh merupakan seorang sekutu yang khianat!" bentak Wang Cin,
suaranya melengking tinggi, dan saking marahnya suaranya menjadi seperti suara
wanita, yaitu satu di antara ciri-ciri orang kebiri yang sedikit demi sedikit
berubah sifatnya menjadi kewanita-wanitaan. "Bagaimana dengan tidak tahu
malu engkau berani menyuruh aku untuk memberi selamat atas kemenangan Ceng Tung
dan secara tidak langsung memaki aku?"
Raja Sabutai
tersenyum mengejek. "Ehhh, Wang-taijin, salahkah aku kalau mengatakan
bahwa engkau adalah seorang pengkhianat yang gagal? Engkau adalah seorang
palsu, dan aku sudah benci kepadamu semenjak pertama kali, hanya karena kita
bekerja sama maka aku masih sanggup menahan diri membiarkan kehadiranmu yang
memuakkan. Aku memang sejak semula sudah kagum kepada Ceng Tung dan muak
kepadamu. Sekarang, engkau merupakan seorang pengkhianat yang sudah tidak ada
harganya lagi, dan Kaisar Ceng Tung berhasil manduduki tahta kerajaannya lagi
dan memegang janjinya kepadaku. Sudah sepatutnya kalau kita, apa lagi seorang
rendah semacam engkau, mengucapkan selamat kepada Kaisar Ceng Tung yang gagah
perkasa."
Makin
marahlah Wang Cin. Dia adalah seorang yang pernah mencapai kedudukan tinggi
sekali, kepercayaan kaisar dan hampir menjadi orang kedua di kerajaan, dan
sekarang dia dihina oleh seorang raja liar, raja pemberontak!
"Sabutai,
raja liar yang rendah...! Kau... kau... hayo serbu dan bunuh dia!" Wang
Cin membentak sambil monoleh dan memerintah para pengawal dan pembantunya.
Akan tetapi
tiada seorang pun yang berani bergerak. Tentu saja para pengawalnya, juga
termasuk tiga orang Bayangan Dewa, bukanlah orang-orang tolol yang mau membunuh
diri secara konyol menyerang seorang raja di dalam bentengnya sendiri! Mereka
semua adalah orang-orang yang menghambakan diri kepada Wang Cin atas
perhitungan untung rugi, maka setelah kini melihat Wang Cin kalah dan gagal,
tentu saja mereka tidak sudi untuk membuang nyawa sia-sia untuk pembesar kebiri
itu.
Memang
begitulah adanya ‘kesetiaan’ yang didengung-dengungkan manusia di seluruh dunia
itu! Apakah sesungguhnya kesetiaan itu? Apakah artinya kalau orang bersetia dan
berani mengorbankan nyawanya demi untuk rajanya, untuk negaranya, untuk agamanya
dan lain-lain? Apakah artinya itu?
Kalau kita
mau membuka mata dan menjenguk keadaan batin sendiri akan nampaklah dengan
nyata bahwa sesungguhnya sebutan kesetiaan itu merupakan sebutan lain saja dari
penonjolan diri pribadi, atau dapat juga dilihat bahwa yang mendorong
‘kesetiaan’ itu hanyalah keinginan menonjolkan diri sendiri dan kesetiaan itu
hanya merupakan suatu cara untuk memperoleh keuntungan diri pribadi, biar pun
keuntungan itu bukan berupa benda lagi, melainkan dalam bentuk ‘nama besar’ atau
‘nama baik, kepahlawanan, dan sebagainya lagi.
Mereka yang
‘setia’ kepada Wang Cin juga tidak ada bedanya. Mungkin saja mereka itu tadinya
benar-benar setia, yaitu pada saat mereka masih menaruh harapan bahwa kalau
perjuangan Wang Cin itu berhasil kelak, mereka tentu akan menerima
ganjaran-ganjaran besar. Akan tetapi, sesudah mereka sekarang melihat bahwa
tidak ada manfaatnya dan tak ada untungnya lagi untuk terus ‘setia’ kepada Wang
Cin, tentu saja kesetiaan mereka pun lenyap seperti awan tipis ditiup angin
badai.
Jelaslah
bahwa di dalam apa yang dinamakan kesetiaan itu tersembunyi pamrih demi
keuntungan diri pribadi, baik merupakan keuntungan jasmani mau pun keuntungan
rohani yang sebetulnya sama saja sebab keduanya bersumber kepada kepentingan
diri pribadi.
Sunyi
menyambut perintah Wang Cin yang tidak mendapat sambutan sama sekali itu.
Kesunyian yang amat menyakitkan hati Wang Cin, yang benar-benar merasa kecewa
dan mukanya berubah pucat, matanya terbelalak hampir tidak percaya memandang
kepada para jagoannya yang diam seperti patung, ada yang menatap lantai, ada
yang menatap langit-langit, seolah-olah mereka tidak tahu akan keheranan
pembesar kebiri itu!
"Ha-ha-ha-ha!"
Raja Sabutai tertawa bergelak. "Wang Cin, jangan kau mimpi yang
bukan-bukan! Orang-orang yang tadinya suka membantumu bukanlah orang-orang
bodoh atau orang-orang buta yang tidak dapat melihat kenyataan. Engkau sekarang
bagaikan seekor macan ompong tua yang tinggal kulitnya saja! Orang-orangmu
hanya memiliki dua pilihan, yaitu ikut bersama kami ke utara dan membantu kami,
atau melarikan diri menjadi buruan pemerintah Beng-tiauw, menjadi
penjahat-penjahat dan perampok-perampok, akan tetapi tentu tidak ada yang sudi
ikut denganmu karena hal itu berarti ikut ke neraka. Ha-ha-ha!"
"Sabutai,
manusia palsu kau!" Wang Cin marah sekali, lalu mencabut pedangnya dan
lari menyerang Raja Sabutai.
Tidak ada
seorang pun berani bergerak, bahkan para pengawal Raja Sabutai pun tidak
bergerak tanpa perintah rajanya. Mereka hanya memandang sambil tersenyum karena
mereka maklum bahwa rajanya bukanlah seorang lemah yang perlu dilindungi
terhadap serangan seorang pembesar kebiri macam Wang Cin.
"Sabutai,
mampuslah kau...!" Wang Cin yang sudah putus harapan dan marah sekali itu
menaiki tangga dan menyerang ke arah Raja Sabutai yang duduk sambil tertawa,
pedang di tangannya diangkat tinggi-tinggi.
Walau pun
Wang Cin pernah pula mempelajari ilmu silat, akan tetapi pembesar ini sudah
puluhan tahun lamanya tak pernah berlatih, dan pedang yang dibawa-bawanya itu
hanya merupakan hiasan belaka, sekali pun tak pernah dimainkan, maka tentu saja
gerakannya kaku dan baru lari sebentar begitu saja napasnya sudah ngos-ngosan.
Ketika dia tiba di depan meja Raja Sabutai dan mengayun pedangnya, mendadak
kaki Raja Sabutai yang masih tersenyum lebar itu menyambar dari bawah, cepat
dan kuat sekali menendang ke arah perut yang gendut itu.
"Bukkkk!"
Wang Cin terpekik, pedangnya terlempar, tubuhnya terjengkang dan terbanting ke
belakang, berdebuk menimpa lantai.
"Seret
babi ini keluar dan habisi dia!" Raja Sabutai memerintah. Empat orang
pengawal menubruk maju, masing-masing memegang tangan atau kaki lalu menyeret
tubuh gendut itu keluar.
Wang Cin
menjerit-jerit seperti babi disembelih, memaki-maki lalu menangis, akan tetapi
setiap gerakan dan setiap suaranya hanya mendatangkan perasaan muak saja karena
seluruhnya membayangkan sifat pengecut yang menyebalkan. Dari jauh terdengar
jerit melengking dari bekas pembesar kebiri yang pernah mempermainkan Kaisar
Ceng Tung itu.
Sesudah gema
lengking terakhir itu mereda, Sabutai yang masih tersenyum lalu berkata,
ditujukan kepada semua orang. "Sekarang, seperti yang sudah kami janjikan,
marilah kita selesaikan semua urusan pribadi, semua permusuhan pribadi,
diselesaikan dengan cara terhormat dan adil, cara orang-orang gagah agar
seluruh dunia tidak akan menganggap bahwa Raja Sabutai tak menghargai kegagahan
orang! Sekarang, siapa yang mempunyai rasa penasaran mau pun mempunyai tuntutan
kepada seseorang atau orang-orang lain, dipersilakan untuk menyatakan di depan
kami secara terang-terangan!" Setelah berkata demikian, Raja Sabutai
memandang ke sekelilingnya, terutama kepada bekas pembantu-pembantu Wang Cin
dan kepada Bun Houw, In Hong, dan Yo Bi Kiok.
Tiga orang
Bayangan Dewa saling lirik, akan tetapi mereka tidak bergerak. Mereka bertiga
adalah orang-orang yang mempunyai dua maksud tersembunyi ketika mereka datang
ke tempat itu sebagai pembantu-pembantu Wang Cin. Pertama, untuk menyembunyikan
diri dari pengejaran fihak Cin-ling-pai sambil mencari perlindungan, dan kedua
untuk mengejar kemuliaan, membonceng pengkhianatan Wang Cin.
Kini Wang
Cin sudah tamat riwayatnya, maka mereka tidak berani banyak berlagak lagi, apa
lagi karena empat orang kawan yang mereka andalkan, yaitu Go-bi Sin-kouw
beserta teman-temannya, sudah pergi entah ke mana. Betapa pun juga, mereka
bertiga percaya akan kemampuan sendiri dan tidak merasa gentar, apa lagi karena
di antara fihak lawan yang paling tinggi ilmunya hanyalah Yo Bi Kiok, dan
sebenarnya mereka tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan ketua
Giok-hong-pang itu. Karena itu mereka masih merasa tenang saja menanti
perkembangan selanjutnya.
Suasana yang
sunyi itu dipecahkan oleh suara nyaring dari Bun Houw yang mengangkat tangan
kanan ke atas dan berkata, "Saya mempunyai tuntutan, mohon perkenan dari
sri baginda untuk saya sampaikan!"
Semua orang
memandang kepada pemuda yang bersikap sederhana akan tetapi gagah dan tampan
itu, dan karena semua orang sudah mendengar bahwa pemuda yang baru datang itu
mempunyai permusuhan dengan para pembantu Wang Cin yang telah mereka kenal
sebagai orang-orang lihai, maka suasana mulai menjadi tegang.
Raja Sabutai
tersenyum lebar. "Ketahuilah kalian semua bahwa yang bicara tadi adalah
pendekar muda Bun Houw yang baru saja tiba. Dia adalah seorang sahabat nona
Hong yang telah kita kenal."
In Hong
hendak membantah akan tetapi sebelum dia mengeluarkan suara telah terdengar
tepuk tangan para hadirin yang dipolopori oleh Raja Sabutai sendiri, maka In
Hong diam saja.
"Orang
muda, katakanlah apa yang menjadi tuntutanmu dan kepada siapa!" Raja
Sabutai berkata lagi sambil melirik ke arah tiga orang Bayangan Dewa.
Di dalam
hatinya raja ini agak kecewa mengapa dua orang kakek dan dua orang nenek yang
dia tahu amat lihai, yang selama ini menemani para pembantu Wang Cin, sudah
lenyap ketika terjadi pertempuran yang terakhir menghadapi serbuan pasukan
Beng-tiauw yang tadinya mengurung benteng. Bahkan menurut keterangan dua orang
gurunya, Bouw Thaisu memiliki kepandaian yang paling tinggi di antara para
pembantu Wang Cing akan tetapi sekarang Bouw Thaisu juga telah pergi entah ke
mana, bersama Go-bi Sin-kouw, Hwa Hwa Cinjin, dan Hek I Siankouw.
"Maaf,
sri baginda. Sebetulnya, urusan saya ini tak ada sangkut-pautnya dengan paduka
atau dengan orang lain, akan tetapi oleh karena musuh-musuh saya itu berada di
sini, maka terpaksa saya menyusul pula ke sini dan sekarang atas perkenan
paduka, saya akan menuntut secara terang-terangan. Yang saya tuntut adalah
mereka bertiga itulah, yang menamakan diri Lima Bayangan Dewa dan yang sekarang
tinggal tiga orang lagi. Mereka itu adalah Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok,
Liok-te Sin-mo Gu Lo It, dan Sin-ciang Siauw-bin-sian Hok Hosiang. Mereka
bertiga itu dengan curang sudah mencuri pedang pusaka milik Cin-ling-pai dan
telah membunuh sebelas orang Cap-it Ho-han murid-murid utama Cin-ling-pai
secara kejam. Oleh karena itu, saya menuntut supaya pedang Siang-bhok-kiam
dikembalikan kepada saya dan saya menantang mereka untuk bertanding agar saya
dapat menebus kematian para murid Cin-ling-pai!"
Raja Sabutai
mendengarkan tuntutan ini dan dia menjadi gembira, menoleh ke arah tiga orang
kakek itu dan berkata, "Nah, kalian sudah mendengar tuntutan pemuda ini.
Kalian boleh membela diri dan menjawab. Silakan!"
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok mewakili dua orang sute-nya, melangkah maju menghadapi
Bun Houw dan terdengarlah suaranya yang tenang dan lantang, penuh suara dan
nada meremehkan, "Maaf, sri baginda. Perkenankan saya bicara dengan orang
muda she Bun ini."
Raja Sabutai
mengangguk-angguk.
"Orang
she Bun, sebelum aku menjawab tuntutanmu tadi, lebih dahulu kami bertiga ingin
mengetahui, ada hak apa engkau menuntut urusan kami dengan Cin-ling-pai?
Sepanjang pengetahuan kami, engkau hanyalah seorang pengawal dari Kiam-mo Liok
Sun pemilik tempat perjudian di Kiang-shi. Engkau tidak memiliki hak untuk
mencampuri urusan kami dengan Cin-ling-pai!"
Sudah berada
di ujung lidah Bun Houw untuk mengaku bahwa dia adalah putera ketua
Cin-ling-pai, tetapi karena dia sudah terlanjur menyembunyikan keadaan diri
sebenarnya, lagi pula dia pun tidak mau mendatangkan keributan dengan kenyataan
baru itu, maka dia menjawab,
"Ketahuilah,
Pat-pi Lo-sian! Aku adalah terhitung murid dari Cin-ling-pai, oleh karena itu,
pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka yang kuhormati dan Cap-it Ho-han
termasuk suheng-suheng-ku, maka sudah semestinya kalau aku menentangmu!"
Pat-pi Lo-sian
Phang Tui Lok adalah seorang kakek yang sudah banyak makan garam, sudah banyak
pengalaman dan dia amat cerdik. Dia maklum bahwa kedudukan dia dan dua orang
sute-nya sebagai bekas pengawal Wang Cin sangatlah tidak menguntungkan, karena
hal itu saja membuat mereka berada di tempat yang tidak begitu disuka oleh Raja
Sabutai.
Dan dia pun
maklum bahwa In Hong adalah seorang yang lihai, dan kalau benar gadis itu
adalah sahabat pemuda ini dan ikut turun tangan, maka keadaan dia serta
adik-adiknya akan makin berbahaya. Menghadapi pemuda itu, dia sama sekali tidak
khawatir, bahkan memandang rendah. Akan tetapi, kalau menghadapi In Hong satu
lawan satu, bukan merupakan hal yang tidak berbahaya, maka dia lalu berkata
dengan cerdik,
"Orang
she Bun! Agaknya engkau sudah tahu bahwa Lima Bayangan Dewa terdiri dari lima
orang bersaudara. Terus terang saja, kami berlima memang memusuhi Cin-ling-pai
karena kami hanya membalaskan kematian suheng kami, Ban-tok Coa-ong, dan memang
sejak dahulu kami menanam hati dendam terhadap Cin-ling-pai. Sudah sewajarnya
kalau engkau sebagai anak murid Cin-ling-pai sekarang membela Cin-ling-pai
pula. Akan tetapi engkau tentu maklum pula bahwa Lima Bayangan Dewa selalu
bekerja bersama-sama, dan karena kini jumlah kami tinggal tiga orang, maka Tiga
Bayangan Dewa pun biasa bekerja sama tanpa terpisah-pisah. Entah bagaimana
engkau akan menghadapi kami bertiga. Tentu saja kalau engkau tidak berani
menghadapi kami bertiga....."
"Pat-pi
Lo-sian, tak perlu engkau bersikap sombong dan memancing-mancing!" Bun
Houw segera memotong. "Tentu saja aku yang sudah berani membela
Cin-ling-pai, berani pula menghadapi kalian bertiga, karena aku pun tahu bahwa
Lima Bayangan Dewa adalah orang-orang pengecut."
"Tidak,
Bun-ko!" Tiba-tiba In Hong berseru dan cepat gadis ini menghadapi Raja
Sabutai sambil berkata, "Maafkan saya, sri baginda. Akan tetapi
sebenarnya, sayalah yang lebih dulu bentrok dengan Lima Bayangan Dewa! Sejak
semula, sebelum saudara Bun Houw ini bertemu dengan mereka, saya yang berniat untuk
merampas kembali pedang Siang-bhok-kiam dari tangan mereka. Kini, setelah
berhadapan dengan mereka, saya pun tidak akan membiarkan saudara Bun Houw
seenaknya turun tangan sendiri merampas pedang, karena saya juga mempunyai hak
untuk mengadu kepandaian merampas pedang pusaka Cin-ling-pai."
"Heh-heh-heh,
saya pun tentu saja juga ingin melihat seperti apa sih pedang pusaka yang
disohorkan orang itu dan saya pun tidak mau ketinggalan meramaikan pertemuan
ini, sri baginda!" Yo Bi Kiok tiba-tiba berkata pula.
Raja Sabutai
menggosok-gosok kedua tangannya, kelihatan makin gembira. Memang raja ini suka
sekali nonton orang pibu, maka makin ramai dan makin banyak yang mengambil
bagian dalam pertandingan mengadu ilmu, makin gembiralah hatinya.
"Sam-wi
lo-sicu," katanya kepada Pat-pi Lo-sian bertiga. "Ternyata hebat juga
pedang Siang-bhok-kiam yang kalian rampas itu sehingga semua orang pun ingin
memilikinya. Kalian telah mendengarkan pendapat nona Hong dan gurunya. Nah,
bagaimana?"
Pat-pi Lo-sian
terkejut sekali pada waktu tadi mendengar ucapan Yo Bi Kiok. Akan tetapi dia
cerdik bukan main. Maka, sambil menghadapi Yo Bi Kiok dia menjura ke arah ketua
Giok-hong-pang itu dan berkata, "Maaf, Yo-pangcu. Dulu pernah Yo-pangcu
mengatakan bahwa pangcu telah menawan Lie Seng, bocah cucu ketua Cin-ling-pai
itu, bahwa pangcu hendak menukarkan bocah cucu musuh besar kami itu dengan
pedang Siang-bhok-kiam. Akan tetapi sayang keburu terjadi perang dan..."
Memang
Pat-pi Lo-sian cerdik bukan main. Dia tadi mendengar bahwa pemuda tampan ini
adalah anak murid Cin-ling-pai, maka melihat gelagat bahwa ketua Giok-hong-pang
itu hendak turun tangan menentang mereka, maka cepat-cepat dia mengatakan hal
tentang ditawannya cucu ketua Cin-ling-pai oleh Yo Bi Kiok agar diketahui oleh
murid Cin-ling-pai itu. Akalnya ini berhasil karena tentu saja Bun Houw
terkejut bukan main mendengar ucapan itu.
"Yo-pangcu!
Kau apakan Lie Seng...?" bentaknya marah, hatinya merasa khawatir sekali
mendengar bahwa keponakannya itu tertangkap oleh wanita cantik berwajah dingin
ini.
"Ha-ha-ha-ha!"
Pat-pi Lo-sian tertawa untuk menambah minyak pada api itu. "Ketika kami
menyerbu Sin-yang, membalas dendam kepada puteri ketua Cin-ling-pai, di mana
kami berhasil menewaskan empat orang murid utama Cin-ling-pai sekaligus besan
dari ketua Cin-ling-pai, kami tentu tak akan berhasil tanpa bantuan Yo-pangcu.
Mengingat akan kerja sama yang sudah, kiranya sekarang Yo-pangcu tidak akan
membalik dan membantu fihak musuh kita bersama."
"Kau...!"
Bun Houw marah sekali dan kalau saja dia tidak ingat bahwa dia berada di dalam
benteng Raja Sabutai, tentu dia sudah menyerang Yo Bi Kiok yang hanya
tersenyum-senyum saja itu, senyum penuh ejekan.
"Pat-pi
Lo-sian, engkau tahu bahwa aku tidak pernah memihak siapa-siapa, melainkan
memihak diriku sendiri. Aku hanya mau bilang bahwa aku menghendaki pedang itu,
siapa pun yang keluar sebagai pemenang, harus menghadapi aku terlebih dahulu
untuk dapat memperoleh pedang."
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok diam-diam merasa girang karena kini dia boleh merasa lega
karena tak mungkin nyonya yang amat lihai itu akan membantu Bun Houw. Akan
tetapi juga dia harus merelakan pedang Siang-bhok-kiam apa bila tidak mau
berurusan dengan wanita yang menyeramkan itu, maka dia lalu mendapatkan sebuah
akal yang amat baik. Dia lalu menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata,
"Sri
baginda, karena saya tidak ingin ada yang main curang dalam pibu ini, maka saya
hendak menyerahkan Siang-bhok-kiam kepada paduka agar paduka yang menyimpannya
dan menyerahkannya kepada pemenang setelah pibu selesai."
Tentu saja
Raja Sabutai menjadi girang dan mengangguk-angguk. Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok
lalu memberi tanda kepada Hok Hosiang dan hwesio ini segera mengeluarkan sebuah
bungkusan panjang dari bawah jubahnya yang lebar.
Memang
Pat-pi Lo-sian sangat cerdik. Sebagai orang pertama Lima Bayangan Dewa, dia
tidak mau menyimpan sendiri pedang itu karena semua orang tentu menyangka bahwa
dialah yang memegang pedang itu, sebaliknya dia malah menitipkannya kepada sute-nya
yang nomor tiga dan hwesio ini tentu saja dengan mudah menyembunyikan pusaka
itu di bawah jubahnya yang amat lebar dan terlalu besar.
Raja Sabutai
menerima bungkusan kain kuning, membuka bungkusan dan mengeluarkan sebatang
pedang dalam sarungnya. Kemudian, perlahan-lahan dicabutnya pedang itu dan
nampak sinar kehijauan yang dingin. Itulah Siang-bhok-kiam, pedang pusaka
Cin-ling-pai! Bun Houw sekali pandang saja mengenal pedang itu dan hatinya
terharu.
"Suhu
dan subo, pedang ini terlalu berharga, maka sebaiknya suhu dan subo saja yang
menyimpannya agar aman," Raja Sabutai berkata sambil menyerahkan pedang
itu yang diterima tanpa banyak cakap oleh Pek-hiat Mo-ko dan diselipkan di
pinggangnya.
"Sekarang
pertandingan sudah boleh dimulai!" Raja Sabutai berkata. "Orang muda
she Bun, apakah kau sudah siap untuk menghadapi lawan?"
"Saya
sudah siap!" Bun Houw bangkit berdiri dan melangkah ke tengah ruangan.
"Saya
pun siap, sri baginda!" In Hong tak dapat mencegah dirinya, dia pun telah
meloncat ke depan.
Betapa pun
juga, gadis ini tidak akan membiarkan Bun Houw seorang diri menghadapi tiga
Bayangan Dewa yang dia tahu sangat lihai itu. Melawan satu orang saja di antara
mereka, belum tentu pemuda ini menang, apa lagi dikeroyok tiga!
Melihat
sikap muridnya, Yo Bi Kiok hanya tersenyum dan berkata, "Hong-ji, bodoh
kau! Suruh dia minta maaf dulu!" Akan tetapi In Hong tidak mempedulikan
kata-kata gurunya itu.
Sementara
itu, secara diam-diam Raja Sabutai juga girang melihat In Hong maju karena
sebagai seorang gagah dia pun merasa tidak senang bila pemuda ini harus
menghadapi pengeroyokan tiga orang kakek, maka kini dia berkata kepada Phang
Tui Lok, "Apakah sam-wi sudah siap dan hendak maju berbareng?"
Phang Tui
Lok mengerutkan alisnya "Sebetulnya, urusan kami dengan pemuda she Bun
sebagai wakil Cin-ling-pai tidak ada sangkut-pautnya dengan nona Hong, karena
itu tidak semestinya kalau nona Hong mencampuri."
"Manusia
curang!" In Hong membentak. "Katakan saja kalian takut dan beraninya
hanya ingin maju bertiga mengeroyok satu orang!"
"Siapa
yang takut menghadapi pemuda Cin-ling-pai itu? Mundurlah, nona, dan pemuda itu
hanya akan dihadapi oleh salah seorang di antara kami saja!" kata Phang
Tui Lok yang memandang rendah kepada Bun Houw dan lebih jeri menghadapi In
Hong.
"Hong-moi,
mundurlah, biar aku melawan sendiri mereka," kata Bun Houw.
"Ha,
kami sudah mendengar!" Raja Sabutai berseru gembira. "Satu lawan satu,
itu baru adil namanya! Nona Hong, harap mundur dan biarkan Bun-sicu menghadapi
seorang di antara tiga Bayangan Dewa!"
In Hong pun
terpaksa mundur dan karena hatinya gelisah mengkhawatirkan keselamatan pemuda
itu, tanpa disadarinya dia mundur ke dekat gurunya.
"Jangan
khawatir, apa bila kekasihmu itu kalah, kita dapat menggunakan
Siang-tok-swa," bisik gurunya.
In Hong
terkejut, mukanya menjadi merah saat mendengar gurunya menyebut Bun Houw
sebagai kekasihnya. Dia mengerutkan alisnya dan cepat menjauhi gurunya, duduk
di atas bangku sambil memandang ke depan, tidak mempedulikan Yo Bi Kiok yang
tersenyum dingin.
Phang Tui
Lok lalu memberi tanda kepada sute-nya yang nomor tiga, yaitu Hok Hosiang.
Sambil tersenyum menyeringai, hwesio ini bangkit berdiri dan melangkah lebar
menuju ke tengah ruangan. Sambil berjalan dia memainkan senjatanya, yaitu
tasbih hijau sehingga terdengar suara berderik-derik nyaring sekali dan ketika
dia memutar tasbihnya, terdengar suara mengaung dan nampak sinar hijau
bergulung-gulung!
Semua orang
terkejut dan maklum bahwa hwesio ini mempunyai tenaga sinkang yang dahsyat dan
senjatanya itu amat berbahaya. Pada waktu hwesio itu menggerak-gerakkan kepala,
maka penghias kepalanya yang runcing itu berkilauan, dan diam-diam In Hong terkejut
karena hiasan kepala yang runcing itu ternyata merupakan senjata yang hebat
pula, terbuat dari baja pilihan! Maka semakin khawatirlah dia melihat Bun Houw
berdiri dengan kedua tangan kosong menghadapi lawan yang cukup kuat ini.
"Ha,
satu lawan satu, itu baru adil namanya! Dan karena ada tiga orang kakek, harus
pula dilawan oleh tiga orang dan aku pun ingin mendapat bagian dan meramaikan
pesta ini!"
Ucapan
nyaring itu disusul berkelebatnya bayangan orang mendahului Bun Houw dan tahu-tahu
Yo Bi Kiok telah meloncat ke depan hwesio itu dengan pedang Lui-kong-kiam di
tangan kanan dan pedang pendek di tangan kiri. Sikapnya gagah bukan main.
"Ehhh,
Yo-pangcu, engkau mau apa?" Hok Hosiang membentak marah akan tetapi juga
khawatir sekali.
"Yang
diperebutkah adalah Siang-bhok-kiam, bukan? Nah, aku ikut memperebutkan dan kau
lawanlah aku. Atau engkau tidak berani? Kalau memang begitu, bilang saja bahwa
kau pengecut dan tidak berani!"
"Oho,
wanita sombong! Siapa yang tidak berani?" jawab Hok Hosiang tersinggung.
"Kalau
begitu, makanlah ini!" Cepat bagaikan kilat pedang pendek di tangan Yo Bi
Kiok bergerak menyerang.
"Tranggggg...!"
Tasbih di
tangan hwesio itu menangkis, akibatnya, hwesio gendut itu terhuyung dan pada
saat itu sinar kilat Lui-kong-kiam menyusul cepat, membuat hwesio itu terkejut
setengah mati.
"Tranggg...
cringggg...!"
Kalau tidak
cepat dibantu oleh Phang Tui Lok yang tadi membantu temannya menangkis
Lui-kong-kiam, agaknya hwesio itu akan celaka.
"Tahan!"
Phang Tui Lok membentak marah, lalu menoleh kepada raja. "Kami memprotes
campur tangan Yo-pangcu. Sri baginda maklum bahwa pertikaian tentang pedang
Siang-bhok-kiam adalah urusan Bayangan Dewa dengan Cin-ling-pai. "Jika
Yo-pangcu memang menghendaki Siang-bhok-kiam, semestinya dia baru maju
menghadapi pemenang dalam pertandingan ini. Kecuali kalau Yo-pangcu menjadi
wakil Cin-ling-pai!"
Raja Sabutai
mengangguk-angguk membenarkan protes. "Harap Yo-toanio suka mundur dan
jangan mengacaukan pertandingan."
Bun Houw
juga melangkah maju. "Harap Yo-toanio tidak mencampuri urusan kami!"
Yo Bi Kiok
tersenyum dan menyimpan pedangnya. "Baiklah, aku akan maju paling akhir,
memang hwesio ini bukan tandinganku!"
Kini Bun
Houw menghadapi hwesio itu dengan kedua tangan kosong dan berkata dengan sikap
tenang, "Hok Hosiang, aku telah siap. Majulah!"
Hok Hosiang
ini pun memandang rendah kepada Bun Houw yang walau pun kabarnya pandai akan
tetapi kedudukannya hanyalah sebagai pengawal Liok Sun si pemilik rumah judi!
Karena itu sambil memutar-mutar tasbihnya dia berkata, "Orang muda, jangan
mati konyol, hayo keluarkan senjatamu!"
"Penjahat
tua menyamar sebagai hwesio, tidak perlu banyak cakap lagi, aku tidak perlu
memegang senjata untuk menghadapimu."
"Kalau
begitu, bersiaplah untuk mampus!" Hok Hosiang membentak.
"Tahan
dulu...!" Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu In Hong telah
tiba di tengah ruangan itu. "Sri baginda, tidak adil kalau pertandingan dilakukan
dengan yang seorang memegang senjata sedangkan yang lain tidak!"
Raja Sabutai
mengangguk-angguk. "Pertandingan kali ini merupakan pertandingan untuk
menyelesaikan urusan dendam pribadi, karena itu fihak yang kalah dan tewas
tidak boleh merasa penasaran. Bun-sicu, engkau boleh menggunakan senjata
pula."
"Saya...
saya tidak mempunyai senjata, sri baginda."
"Bun-ko,
ini pedangmu, pakailah!" In Hong mencabut Hong-cu-kiam lantas menyerahkan
pedang itu kepada Bun Houw.
Bun Houw
cepat mundur dan memandang pedang itu dengan alis berkerut. "Aku tak akan
menggunakan senjata pedang itu, Hong-moi. Kau simpanlah...!"
In Hong
menghela napas dan menyimpan pedangnya. Dia mengerti bahwa pemuda ini masih
belum hilang rasa marahnya, mengira bahwa dia adalah seorang pembunuh kejam,
maka tidak mau menggunakan pedang itu. Akan tetapi dia khawatir sekali kalau
pemuda ini menghadapi Hok Hosiang yang demikian lihai tanpa senjata.
"Sri
baginda, karena Bun-twako tidak mempunyai senjata, maka harus diberi kesempatan
untuk meminjam senjata dari benteng ini."
Raja Sabutai
mengangguk-angguk, teringat akan pesan isterinya, Ratu Khamila yang dulu pernah
membisikkan bahwa pemuda dan gadis itu saling mencinta. Raja Sabutai segera
memerintahkan pengawal untuk mengambil delapan belas macam senjata yang
diangkut ke tempat itu.
"Bun-sicu,
silahkan memilih senjata mana yang kau suka dan boleh kau gunakan dalam
pertandingan ini," kata raja.
Hok Hosiang
tersenyum mengejek, perlahan-lahan berjalan berkeliling sambil menggerak-gerakkan
tasbihnya sehingga sinarnya bergulung-gulung menyilaukan mata dan suaranya
mengaung mengerikan. Dia merasa yakin bahwa sekali bertemu dengan tasbihnya,
maka semua senjata itu pasti akan patah-patah.
Untuk
mendemonstrasikan kepandaian dan kehebatan senjatanya, juga untuk membikin
kecil nyali calon lawannya, hwesio ini menggunakan kakinya mencokel sebatang
tombak panjang ke atas kemudian menggerakkan tasbihnya yang diputar cepat.
"Krek-krek-krekk!"
Tombak itu
patah-patah menjadi beberapa potong. Demonstrasi ini disambut suara berisik
karena orang-orang terkejut sekali melihat betapa senjata tasbih itu demikian
ampuhnya! Padahal tombak itu terbuat dari baja pilihan dan merupakan senjata
para pengawal raja!
Melihat hal
ini, Bun Houw merasa sebal. "Hong-moi, tolong kau uji dengan pedangmu itu.
Senjata mana yang kuat menghadapi babatan pedangmu, akan kupakai."
In Hong
girang. Karena memang dia pun tahu bahwa tidak ada senjata di situ yang akan
dapat melawan tasbih Hok Hosiang kecuali Hong-cu-kiam, maka dia sengaja
mengangkat setiap pedang, golok atau tombak untuk diadukan dengan Hong-cu-kiam.
Ternyata semua senjata itu satu demi satu terbacok patah!
Melihat ini,
Raja Sabutai diam-diam kagum. Orang-orang dari selatan ini memang hebat,
pikirnya, hebat ilmu kepandaiannya, juga hebat senjata pusakanya.
"Bun-ko,
tidak ada senjata yang cukup baik, kau pakailah pedang ini!" Akhirnya In
Hong menyerahkan pedang Hong-cu-kiam yang tipis dan sangat tajam itu. Akan
tetapi kembali Bun Houw menggelengkan kepala menolak, bahkan pemuda ini lalu
mengambil gagang tombak yang terbuat dari pada kayu dan menyodorkannya ke arah
In Hong.
"Hong-moi,
tolong kau potong runcing kayu ini, sepanjang ukuran pedang."
In Hong mengerutkan
alisnya, tidak tahu apa yang sebetulnya dimaksudkan oleh pemuda itu. Akan
tetapi Hong-cu-kiam berkelebat, sinar emas menyambar lantas gagang tombak dari
kayu itu terbabat putus dan ujungnya meruncing.
Bun Houw
mengobat-abitkan potongan kayu itu seakan sebatang pedang, lalu berkata kepada
calon lawannya yang sejak tadi memandang dengan sikap marah karena pemuda itu
seolah-olah memandang ringan sekali kepadanya, "Hok Hosiang, inilah
senjataku!"
"He,
orang muda she Bun!" Tiba-tiba Raja Sabutai berseru. "Begitu
sombongkah engkau sehingga engkau hendak menghadapi lawan yang memiliki senjata
pusaka hanya dengan sebatang gagang tombak pendek dari kayu?"
Raja ini
adalah seorang ahli silat yang lihai pula. Dia mengenal senjata tasbih yang
lihai itu dan tahu bahwa seorang ahli silat yang sudah berani mempergunakan
sebuah senjata aneh seperti tasbih tentulah memiliki kepandaian yang luar
biasa. Maka, melihat pemuda itu hanya menggunakan sebatang pedang-pedangan dari
kayu seperti yang biasa dipakai kanak-kanak yang bermain perang-perangan, tentu
saja dia merasa khawatir, penasaran dan juga marah atas sikap Bun Houw yang
dianggapnya sombong dan tolol.
Bun Houw
cepat menjura setelah dia membalikkan pedang-pedangan kayu itu di bawah lengan
kanannya. "Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda, sebenarnya sama
sekali saya tidak berani bersikap sombong, akan tetapi hendaknya paduka ingat
bahwa pusaka Cin-ling-pai adalah sebatang pedang dari kayu, yaitu
Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) itu. Oleh karena itu, setiap orang muridnya
tentu mampu pula memainkan kayu sebagai pedang yang merupakan kepandaian
simpanan dari ketua Cin-ling-pai. Oleh karena itu, apa bila kini saya memilih
sebatang kayu ini sebagai pengganti pedang sama sekali bukan keluar dari sikap
sombong, melainkan karena bagi saya, kayu ini merupakan senjata yang paling
baik bagi saya."....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment