Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 27
RAJA Sabutai
mengangguk-angguk, akan tetapi dalam hatinya dia masih sangsi dan amat
mengkhawatirkan keselamatan pemuda yang menurut isterinya merupakan kekasih
nona Hong yang sangat disukai oleh isterinya itu.
Sementara
itu diam-diam Yo Bi Kiok mulai percaya terhadap pemuda yang dicinta oleh
muridnya ini. Terbayanglah dia akan pengalamannya sendiri ketika dia harus
menghadapi ketua Cin-ling-pai. Pedang pusakanya juga hanya dilawan dengan
sebatang ranting kayu oleh ketua Cin-ling-pai itu dan akibatnya dia kalah!
Akan tetapi,
ketua Cin-ling-pai itu memang seorang sakti yang memiliki kepandaian amat
tinggi, dan pemuda ini hanya seorang anak murid yang masih muda, sedangkan
tasbih di tangan Hok Hosiang itu agaknya berbahaya bukan main.
"Orang
muda, sudah siapkah engkau, ataukah engkau masih mau mengoceh lagi?" Hok
Hosiang bertanya sambil tersenyum mengejek. Beberapa orang anggota pengawal
yang hadir dan yang berfihak kepada kakek gundul yang kelihatannya sangat lihai
ini juga ikut tertawa.
"Majulah,
Hok Hosiang, sudah semenjak tadi aku siap dan ingin merasakan bagaimana
kerasnya tanganmu, dan akan kulihat apakah engkau akan bisa tertawa lagi
nanti!" kata Bun Houw sambil melintangkan gagang tombak di depan dadanya.
Ucapan ini
membuat Hok Hosiang menjadi makin marah karena merasa diejek. Memang dia
berjuluk Sin-ciang (Tangan Sakti) dan Siauw-bin-sian (Dewa Muka Tertawa).
"Lihat
senjata!" bentaknya.
Kini
tubuhnya sudah menerjang ke depan. Meski pun kakek berkepala gundul ini gendut
tubuhnya, namun ternyata dia dapat bergerak dengan kecepatan yang mengejutkan
dan pada waktu tubuhnya bergerak, ada angin menyambar dari arahnya, menandakan
bahwa kakek ini memiliki tenaga besar.
Dalam
serangan pertama ini, dia didahului oleh gulungan cahaya hijau yang menyilaukan
mata, yaitu gulungan sinar dari senjata tasbihnya yang sudah menyambar ganas
dengan gerakan melengkung ke atas lantas menghantam ke arah kepala Bun Houw,
sedangkan tangan kiri kakek itu dengan pengerahan sinkang-nya yang membuat dia terkenal
dengan julukan Sin-ciang, membarengi dengan sebuah pukulan dengan jari-jari
terbuka mengarah ke pusar pemuda itu!
Jelas dari
gerakan cepat ini betapa kakek itu hendak merobohkan lawan dalam gebrakan
pertama. Dia memandang rendah kepada pemuda itu, akan tetapi sama sekali tidak
mau bersikap sembrono karena begitu menyerang, dia sudah melakukan serangan
maut dan telah mengerahkan tenaganya.
Raja Sabutai
sendiri yang dapat melihat kehebatan dan bahayanya serangan ini, secara
diam-diam merasa ngeri sebab agaknya sulitlah bagi orang muda yang hanya
memegang gagang tombak kayu pendek itu untuk menghindarkan diri dari
cengkeraman maut itu. Juga In Hong memandang dengan jantung berdebar dan
diam-diam dia merasa menyesal akan keangkuhan Bun Houw yang terlalu memaksa
diri menghadapi lawan tangguh tanpa senjata yang baik itu.
Akan tetapi
tidak seorang pun di antara mereka itu yang pernah menduga bahwa lawan semacam
Hok Hosiang itu sesungguhnya hanyalah merupakan seorang lawan yang lunak dan
tidak ada artinya bagi pemuda itu!
Cia Bun Houw
adalah murid terkasih dari Kok Beng Lama, yang telah mewarisi sebagian besar
ilmu-ilmu pendeta Lama yang berkepandaian luar biasa itu, juga dia adalah
putera ketua Cin-ling-pai yang telah digembleng pula oleh ayah bundanya yang
sakti. Karena itu, jangankan memegang sebatang senjata kayu, andai kata dia
tetap bertangan kosong sekali pun, tentu saja dia masih sanggup mengatasi dan
mempermainkan seorang lawan seperti orang ketiga dari Lima Bayangan Dewa itu!
Melihat
gerakan lawannya dalam penyerangan pertama itu, segera pemuda ini maklum bahwa
dalam penyerangan pertama ini, yang berbahaya bukanlah tasbih hijau, melainkan
pukulan dengan tangan kiri itu. Memang tampaknya tasbih hijau itu melakukan
serangan dahsyat ke arah kepalanya, seolah-olah seekor harimau yang menubruk
dengan ancaman maut hendak menghancurkan kepalanya, akan tetapi serangan yang
terlalu menyolok itu sebetulnya hanya merupakan pancingan belaka agar perhatian
lawan tersedot semua ke situ dan yang sesungguhnya mengancam nyawanya adalah
pukulan diam-diam dengan tangan kiri itu karena dalam jari-jari yang terbuka
itu mengandung getaran tenaga sinkang sepenuhnya. Jari-jari tangan kakek gundul
ini kalau mengenai batu karang akan remuklah batu itu!
"Wirrrrr...
wuuuttttt...!"
Tasbih hijau
itu menyambar ganas, dan tangan kiri meluncur ke arah pusar Bun Houw tanpa
suara. Pemuda ini tersenyum geli di dalam hatinya dan tiba-tiba timbul
keinginan di dalam hati pemuda yang biasanya pendiam ini untuk mempermainkan
lawan. Timbulnya keinginan ini mungkin akibat kegembiraan hatinya bisa melihat
Siang-bhok-kiam, mungkin juga karena dia memperoleh kesempatan membalaskan
kematian para murid Cin-ling-pai kepada tiga orang musuh besarnya ini, atau
mungkin juga karena kehadiran In Hong di situ. Dia teringat betapa dalam
pandang mata In Hong, dia hanyalah seorang pengawal seorang pemilik rumah judi,
yang tentu saja tidak berapa tinggi kepandaiannnya. Teringat akan hal ini, Bun
Houw juga tidak ingin memperkenalkan diri secara menyolok.
"Syetttt...
cessss...!”
“Augghhhhhh...!"
Kakek gundul itu memekik kesakitan dan meloncat ke belakang sambil menarik
tangan kirinya yang tadi ditusuk oleh ujung kayu runcing itu!
Pemuda itu
tadi mengelak dari sambaran tasbih hijau sehingga hati Hok Hosiang sudah
menjadi gembira sekali karena tepat seperti yang dikehendakinya, pemuda itu
agaknya sudah mencurahkan seluruh perhatian kepada serangan tasbih sehingga
kelihatan sibuk menghindarkan diri dari tasbih sambil mengelak, maka dengan
girang tangan kirinya terus melakukan tusukan ke arah pusar. Sudah terbayang
olehnya betapa tangan itu segera akan ‘memasuki’ pusar dan pemuda itu akan
roboh dan tewas dalam segebrakan saja!
Akan tetapi
tiba-tiba dia menjerit dan menarik tangannya terus meloncat mundur karena
ternyata punggung tangannya ‘digigit’ oleh ujung kayu runcing itu. Ketika dia
melihatnya, ternyata punggung tangan kirinya itu berdarah.
Bukan main
marahnya dia. Saking marahnya dia sampai lupa bahwa kalau pemuda itu dengan
kayunya sanggup melukai punggung tangannya yang penuh terisi sinkang tadi,
berarti bahwa pemuda itu lihai sekali. Dia lupa akan hal ini dan saking
marahnya kakek ini sudah mengeluarkan suara menggereng seperti seekor singa
kelaparan, lalu menyerang dengan tubrukan maut, tasbihnya diputar dan dalam
sekali terjang saja tasbihnya telah melakukan serangan bertubi-tubi ke tujuh
bagian tubuh yang lemah dari lawannya.
In Hong
menonton dengan jantung berdebar tegang. Dia melihat bahwa bila dibandingkan
dengan dua orang terakhir dari Lima Bayangan Dewa yang telah tewas, maka
kepandaian hwesio ini lebih tinggi sedikit. Akan tetapi, biar pun gerakan
tasbih itu hanya kelihatannya saja hebat, namun sambaran tangan kiri hwesio itu
yang benar-benar sangat berbahaya dan melihat gerakan Bun Houw yang seenaknya
dan tidak teratur itu, diam-diam In Hong merasa cemas juga.
Terdengar
suara keras berkali-kali dan serangan tasbih semuanya berhasil dihalau oleh
tangkisan pedang-pedangan kayu! Semua orang terkejut dan merasa heran, akan
tetapi In Hong merasa makin khawatir karena dia melihat bahwa gerakan Bun Houw
semakin kacau-balau dan agaknya semua tangkisannya yang berhasil menyelamatkan
dirinya itu hanya soal kebetulan saja.
"Sri
baginda, pemuda itu lihai bukan main..." terdengar oleh Raja Sabutai
bisikan gurunya dan dia terkejut.
Menurut
penglihatannya sendiri, pemuda itu sedang terdesak hebat dan hanya dengan susah
payah saja dapat menyelamatkan dirinya, akan tetapi ketika dia menoleh,
ternyata gurunya itu memandang dengan mata terbelalak penuh kagum! Bagaimana
gurunya bisa memuji permainan silat kacau-balau yang lebih mirip dengan orang
ketakutan dan repot sekali itu. Akan tetapi dia tahu bahwa di dunia ini jarang
ada ahli silat yang dipuji oleh Hek-hiat Mo-li atau Pek-hiat Mo-ko, dan kini
mereka berdua memuji!
"In,
Hong, kau telah dipermainkan oleh kekasihmu itu! Hi-hik-hik, engkau jangan
khawatir, muridku. Kekasihmu jauh lebih lihai dari pada lawannya." Yo Bi
Kiok juga berbisik kepada muridnya.
Akan tetapi
In Hong tetap merasa tegang. Memang, biar pun gadis ini juga mempunyai tingkat
kepandaian yang sudah tinggi, tidak banyak selisihnya dengan gurunya, tetapi
dia belum memiliki kewaspadaan pandangan seperti gurunya yang sudah mempunyai
banyak pengalaman dalam ilmu silat.
Dia melihat
betapa pemuda itu terus diserang dan didesak dan kini tubuh kedua orang itu
lenyap terbungkus gulungan sinar tasbih yang hijau, dan agaknya robohnya Bun
Houw tinggal menanti saatnya saja! Pemuda itu kelihatannya terus-menerus
menangkis, bahkan semua jalan keluar sudah tertutup oleh sinar tasbih yang
mengelilinginya.
"Cuuusssss...!”
“Auuuttttthhh...!"
Tiba-tiba saja kakek gundul itu mencelat ke belakang dan tangan kirinya meraba
hidungnya. Darah! Daun hidungnya terobek dan darah bercucuran.
Makin
teganglah para penonton sesudah mulai melihat darah. Mereka masih belum tahu
bagaimana hidung kakek yang terus-menerus mendesak itu tiba-tiba saja bisa
robek dan berdarah seperti itu!
Bahkan Hok
Hosiang sendiri pun tak mengerti. Pemuda itu terus didesaknya dan
pedang-pedangan kayu itu terus-menerus bergerak menangkis dan melindungi tubuh
pemuda itu dari kurungan sinar tasbih, bagaimana tahu-tahu dapat ‘menyelonong’
sehingga merobek hidungnya?
"Hati-hati,
Hok Hosiang, kau main-main dengan tasbih sampai melukai hidung sendiri!"
Ucapan
pemuda ini mendatangkan suara tertawa dari para penonton karena sebenarnya para
penonton percaya bahwa hwesio itu saking semangatnya menyerang dan mendesak
telah berlaku kurang hati-hati dan melukai hidungnya sendiri dengan tasbihhya!
Tidak ada orang yang tahu bahwa hidung itu sudah dirobek oleh ujung
pedang-pedangan kayu yang runcing, kecuali tentu saja orang-orang yang memiliki
kepandaian tinggi seperti dua orang suheng hwesio itu, Raja Sabutai dan
guru-gurunya, beberapa orang perwira pengawal, In Hong dan Yo Bi Kiok.
Akan tetapi
tetap saja In Hong masih belum merasa puas karena cara Bun Houw melukai hidung
lawan bukan dilakukan dengan gerakan silat yang indah lihai, lebih mirip
gerakan kebetulan saja yang hanya dapat berhasil karena ketidak hati-hatian
lawan.
"Keparat
busuk... kuhancurkan kepalamu, kulumatkan tubuhmu!" bentak Hok Hosiang.
"Omitohud...
betapa besar dosamu, Hok Hosiang!" Bun Houw menjawab hingga kembali
terdengar suara orang tertawa sebab sungguh menyolok sekali sikap dan kata-kata
kedua orang itu, si hwesio penuh kemarahan, sedangkan pemuda itu mengambil
sikap seorang alim!
Kini Hok
Hosiang kembali menyerang dengan penuh kemarahan sehingga tasbih hijaunya
lenyap bentuknya, berubah menjadi cahaya hijau bergulung-gulung. Akan tetapi
anehnya, tak pernah serangannya dapat mengenai sasaran, kalau tidak dielakkan
oleh pemuda itu, tentu terbendung oleh pedang-pedangan kayu sederhana itu,
bahkan setiap kali tasbihnya terbentur oleh kayu itu, Hok Hosiang merasa betapa
seluruh lengan kanannya tergetar hebat dan kesemutan! Kini mulailah dia
mengerti bahwa lawannya yang muda ini ternyata memang lihai bukan main dan
memiliki tenaga yang amat kuat, sungguh pun hal itu tidak diperlihatkannya.
Ketika Bun
Houw merasa sudah cukup mempermainkan lawannya, pada saat untuk ke sekian
kalinya sinar hijau menyambar ke arah kepalanya, pemuda ini lalu memekik keras.
Kayu di tangannya menyambut, lantas membuat gerakan memutar sehingga tanpa
dapat dipertahankan lagi tasbih itu membelit-belit ujung pedang-pedangan kayu
dan tidak dapat ditarik kembali oleh Hok Hosiang! Beberapa kali pendeta gendut
ini mengerahkan tenaga untuk menarik, namun hasilnya sia-sia belaka, tasbihnya
sudah membelit kuat pada kayu itu dan tidak bisa terlepas kembali.
"Mampus
kau...!" bentaknya.
Tiba-tiba
tangan kirinya yang mengandung tenaga sinkang sekuatnya itu menghantam ke arah
dada kiri Bun Houw. Pemuda ini mengibaskan tangan kirinya, sekaligus dia
‘mengisi’ tangan kirinya dengan tenaga dari ilmu mukjijat Thian-te Sin-ciang.
"Plakkkk!
Krekkkk... pyuuurrr...!"
Dua tangan
bertemu secara hebat, tubuh hwesio tergetar, tasbih itu putus untaiannya dan
berjatuhan ke atas tanah, kemudian tubuh hwesio itu terhuyung ke belakang dan
biar pun dia mempertahankannya, tetap saja dia roboh terguling saking hebatnya
tenaga tangkisan tangan kiri pemuda itu tadi.
"Eiiihhh...?!"
In Hong berseru aneh karena dia seperti mengenal tangkisan yang dilakukan oleh
Bun Houw itu. Bukankah itu Thian-te Sin-ciang?
Sementara
itu, dengan muka amat pucat dan mata mendelik saking marahnya, Sin-ciang
Siauw-bin-sian Hok Hosiang sudah bangkit kembali, sekarang tubuhnya merendah
seperti seekor harimau hendak menubruk, kepalanya yang gundul di depan dan
hiasan kepala yang memakai hiasan runcing itu menuding ke arah lawan, matanya
melirik seperti mata seekor kerbau marah, kemudian dari mulutnya keluar suara
perut yang dalam, seperti kerbau menguak dan kepala yang gundul itu mengepulkan
uap putih.
"Sute,
jangan...!" Pat-pi Lo-sian berseru akan tetapi terlambat sudah, karena Hok
Hosiang sudah lari ke depan dengan kepala menyeruduk ke arah perut Bun Houw!
"Bun-ko,
awas...!" In Hong menjerit karena kini dia maklum mengapa hiasan kepala
itu mengandung baja runcing.
Ternyata
hwesio ini mempunyai ilmu aneh yang jarang digunakan orang, yaitu serangan
dengan serudukan kepala! Dulu pernah dia mendengar dari subo-nya bahwa siapa
yang melakukan serangan dengan kepala, berarti dia telah melatih kepalanya
menjadi senjata yang amat berbahaya dan bahwa serangan kepala merupakan
serangan untuk mengadu nyawa dengan lawan.
Bun Houw
juga terkejut. Mendengar seruan Pat-pi Lo-sian tadi, dia pun segera maklum
bahwa kalau sang suheng itu mencegah, berarti bahwa serangan ini merupakan
serangan adu nyawa yang amat berbahaya. Bila dia mengelak lalu menggunakan kayu
di tangannya membunuh lawan, tentu saja amat mudah hal itu dilakukannya.
Akan tetapi
dia hendak memperlihatkan kepada lawan dan membuktikan kepada semua orang bahwa
murid Cin-ling-pai bukan seorang penakut yang jeri menghadapi serangan seperti
itu. Maka dia lalu melempar pedang kayu ke atas lantai, kemudian dengan kaki
terpentang lebar dia sengaja menerima serudukan kepala Hok Hosiang itu.
"Bun-ko...!"
In Hong menjerit ngeri menyaksikan kenekatan pemuda itu dan semua orang
memandang dengan hati tegang.
"Dessssss...!"
Pertemuan
antara kepala dan perut itu hebat bukan main. Seolah-olah terasa oleh semua
yang hadir hebatnya pertemuan itu, yang seolah-olah menggetarkan ruangan itu.
Semua mata terbelalak melihat betapa kepala yang dihias alat runcing itu
seperti menancap ke dalam perut si pemuda yang masih berdiri tegak. Tubuh
gendut hwesio itu bagai sebatang balok yang menancap, kakinya lurus ke belakang
dan sama sekali tidak bergerak.
"Uhhhhhh!"
Bun Houw mengeluarkan suara, perutnya digerakkan.
Tubuh hwesio
itu tertolak ke belakang, lalu terbanting jatuh dan semua yang memandang merasa
ngeri karena kepala itu sudah berlepotan darah, dan hiasan kepala baja runcing
itu ternyata kini telah amblas menancap ke dalam kepala gundul itu!
Ternyata
bahwa ketika kepala itu bertemu dengan perut, Bun Houw cepat mengerahkan sinkang
mengeraskan perutnya sehingga hiasan kepala itu membalik dan menancap ke dalam
kepala pemiliknya sendiri. Kemudian perut itu berubah lunak hingga kepala
hwesio itu amblas ke dalam rongga perutnya dan dihimpit sehingga remuk di
sebelah dalam dan hwesio itu tewas pada saat itu juga!
Sorak-sorai
menyambut kemenangan yang luar biasa ini dan Raja Sabutai sendiri sampai
bertepuk tangan memuji. Dia melirik ke arah dua orang gurunya dan melihat kakek
dan nenek itu saling pandang dan jelas nampak bahwa keduanya juga kagum bukan
main.
In Hong
duduk dengan kedua kaki lemas. Mukanya agak pucat dan dia sendiri merasa heran
kenapa dia menjadi begini penakut. Belum pernah selama hidupnya dia mengalami
ketegangan sehebat ini yang membuat kedua kakinya lemas. Akan tetapi kini dia
pun memandang ke arah Bun Houw dengan sinar mata penuh selidik dan keraguan.
Benarkah dia
itu Bun Houw pengawal pemilik rumah judi itu? Melihat permainan silatnya tadi
memang tidak seberapa hebat, akan tetapi dia bergidik ngeri membayangkan cara
pemuda itu menerima serangan kepala tadi. Dia sendiri takkan berani menempuh
bahaya seperti itu! Dan peristiwa tadi saja jelas membuktikan bahwa Bun Houw
memiliki lweekang yang amat kuat, bahkan agaknya tidak kalah kuatnya kalau
dibandingkan dengan tenaga dalam dari dia sendiri! Diam-diam dia merasa kagum,
juga bangga, juga... penasaran!
Atas isyarat
Raja Sabutai, jenazah Hok Hosiang disingkirkan dari tempat itu setelah Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok memeriksa keadaan sute-nya itu. Kemudian Phang Tui Lok dan
Liok-te Sin-mo Gu Lo It melangkah ke tengah ruangan dan menghadapi Bun Houw
yang sudah mengambil pedang-pedangan kayunya kembali lalu berdiri dengan sikap
tenang.
"Orang
she Bun, di antara Lima Bayangan Dewa, kini tinggal kami berdua dan kami akan
mempertahankan pedang Siang-bhok-kiam sekalian nama kami sebagai Bayangan Dewa.
Majulah dan kalau kau takut mewakili Cin-ling-pai sendirian dan ingin dibantu
oleh nona Hong, boleh juga dia maju membantumu."
Phang Tui
Lok adalah orang yang cerdik. Di dalam pertandingan antara Hok Hosiang dan
pemuda tadi, dia sudah mengerti bahwa pemuda yang kelihatan tidak seberapa
hebat ini kiranya lihai juga.
Kalau dia
membiarkan Liok-te Sin-mo Gu Lo It yang tingkat kepandaiannya tidak banyak
selisihnya dengan Hok Hosiang, agaknya sute-nya ini pun akan kalah. Oleh karena
itu, dia sengaja maju bersama supaya dapat membantu sute-nya, dan andai kata
pemuda itu dibantu oleh In Hong sekali pun, dia tidak takut karena dia dengan sute-nya
lebih dapat bekerja sama dari pada pemuda itu dan In Hong yang tidak mempunyai
hubungan apa pun.
Dengan
bekerja sama, dia dan sute-nya pasti akan mampu mengalahkan Bun Houw dan In
Hong karena dia dan sute-nya akan dapat memaksa mereka berdua untuk bertanding
secara campuran, bukan satu lawan satu. Dan dalam hal pertandingan pasangan,
dia dan sute-nya sudah terlatih.
Tanpa
mengeluarkan kata-kata lagi, tubuh In Hong sudah mencelat ke tengah ruangan itu
dan dengan wajah dingin dia sudah menghadapi Phang Tui Lok, mulutnya yang manis
itu tersenyum mengejek.
"Agaknya
kau ingin sekali mati di tanganku, kakek sombong. Majulah!" dia menantang.
Akan tetapi
Bun Houw sudah menghadapi In Hong. "Hong-moi, harap, kau suka mundur. Aku
akan menghadapi mereka berdua seorang diri."
"Bun-ko!"
In Hong membantah.
"Aku
tidak takut, Hong-moi!"
"Akan
tetapi, engkau akan dikeroyok dan mereka ini lihai..."
"Ha-ha-ha-ha,
orang she Bun, mengapa pakai sungkan-sungkan segala? Nona ini ingin sekali
menemanimu mampus, mengapa engkau menolaknya?" Gu Lo It berkata dengan
suaranya yang parau dan sikapnya yang kasar.
Bun Houw
tidak mempedulikan ejekan Gu Lo It bahkan dia lalu memberi hormat ke arah Raja
Sabutai dan berkata lantang, "Harap paduka suka memaafkan saya, sri baginda.
Urusan yang sekarang sedang diselesaikan adalah urusan antara Lima Bayangan
Dewa yang merupakan golongan penjahat dengan Cin-ling-pai, merupakan urusan
pribadi kedua fihak yang sekarang oleh paduka dipertemukan di sini dan oleh
kebijaksanaan paduka kedua fihak telah diperkenankan untuk menyelesaikan urusan
dendam pribadi ini dengan mengadu kepandaian. Oleh karena itu, saya mengharap
kebijaksanaan paduka supaya paduka melarang campur tangan dari fihak
luar."
Raja Sabutai
mengangkat tangannya dan menjawab, "Pernyataanmu itu benar dan tepat,
Bun-sicu. Nona Hong, harap kau suka mundur karena sekarang adalah urusan
pribadi antara Bun-sicu dan dua orang dari Bayangan Dewa. Giliranmu belum tiba,
nona."
In Hong
cemberut dan merah mukanya, akan tetapi tidak berani membantah.
"Hong-moi,
maafkan aku. Kau percayalah, aku mampu mengatasi musuh-musuhku," kata Bun
Houw perlahan.
"Kau...
kau... pakailah pedang ini..."
Bun Houw
menggelengkan kepala, tersenyum dan mengangkat pedang-pedangan kayu itu.
"Senjata ini sudah cukup ampuh."
In Hong
membanting kaki kanannya. "Kau... sombong! Kuharap kau kalah, baru aku
akan membunuh mereka!" Setelah berkata demikian, In Hong mundur dan duduk
di tempatnya kembali, disambut oleh subo-nya dengan senyum.
"Jangan
khawatir, muridku, kalau dia terancam bahaya, aku siap membantunya," bisik
gurunya.
"Jangan,
subo. Biarkan dia kalah, si... kepala besar itu!"
Sementara
itu Pat-pi Lo-sian Phang Tui Lok sudah menghadap Raja Sabutai dan berkata,
"Paduka telah menyaksikan sendiri, betapa pemuda ini hendak menghadapi
kami berdua dengan sendirian saja. Bukan kami berdua yang sengaja mengeroyok,
sri baginda."
Raja Sabutai
mengerutkan alisnya. Tentu saja dia mengerti akan kelicikan orang pertama dari
Lima Bayangan Dewa itu, maka dia bertanya kepada Bun Houw, "Bun-sicu,
benarkah kau hendak menghadapi keroyokan mereka berdua? Apa bila kau keberatan,
tentu saja boleh kau menghadapi mereka satu demi satu."
Bun Houw
memberi hormat dan menjawab, suaranya lantang. "Sri baginda, ketika Lima
Bayangan Dewa menyerbu Cin-ling-pai dan mencuri pedang pusaka, mereka juga
sudah menggunakan siasat licik, menanti ketika ketua Cin-ling-pai dan isterinya
yang sakti tidak berada di Cin-ling-san. Mereka adalah pengecut-pengecut besar
yang setelah melakukan perbuatannya itu, lalu melarikan diri dan bersembunyi di
sini, menggunakan nama dan pengaruh paduka untuk bersembunyi karena mereka
takut akan pembalasan Cin-ling-pai. Mereka adalah pengecut-pengecut besar, akan
tetapi Cin-ling-pai tidak pernah melahirkan seorang pengecut. Oleh karena itu,
sebagai wakil dari Cin-ling-pai, tentu saja saya akan menghadapi mereka, apa
pun kehendak mereka. Jangankan baru mereka berdua, andai kata yang tiga lagi di
antara mereka bangkit dari neraka dan ikut pula mengeroyok, saya tidak akan
mundur, sri baginda!"
Raja Sabutai
tersenyum dan mengangguk-angguk. "Engkau benar-benar seorang gagah dan
pantas sekali menjadi murid dan wakil sebuah perkumpulan yang besar,
Bun-sicu." Lalu Raja Sabutai memandang Pat-pi Lo-sian dan berkata,
"Nah, kalian sudah mendengar sendiri, majulah."
Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok menggerak-gerakkan sepasang lengan tangannya sehingga
terdengar bunyi suara berkerotokan seolah-olah semua tulang-tulang kedua
lengannya itu bergerak-gerak. Kemudian dia menggerakkan kepala hingga kuncirnya
yang panjang itu melibat leher, gagah sekali nampaknya. Lalu, dengan gerakan
perlahan tangan kanannya meraba punggung dan nampaklah cahaya kemerahan
berkelebat menyilaukan mata dan ternyata tangannya telah memegang sebatang
pedang yang bentuknya seperti ular yang tahu-tahu telah berada di tangannya
saking cepatnya dia mencabut pedang itu.
Liok-te
Sin-mo Gu Lo It juga menggerakkan kedua lengannya, dengan jari-jari terbuka dan
tampaklah uap mengepul di antara jari-jari tangannya. Tokoh yang berjuluk Iblis
Bumi ini memang terkenal memiliki tenaga yang besar sekali, dan senjata
potongan-potongan baja merupakan senjata rahasia yang tersembunyi di ujung
kedua lengan bajunya. Tampaknya saja dia tidak bersenjata, hanya menggunakan
kedua tangannya yang kuat, akan tetapi sebenarnya kedua ujung lengan bajunya
itu mengandung potongan-potongan baja yang amat kuat dan yang menyambar secara
tidak terduga dan karenanya amatlah berbahaya bagi fihak lawan.
Bun Houw
bersikap tenang, akan tetapi dia sama sekali tidak memandang rendah kedua orang
lawannya yang dia tahu merupakan orang-orang yang sangat tangguh, terutama
sekali orang pertama dari musuh-musuhnya ini.
Dia sudah
mendengar keterangan dari ayahnya tentang musuh-musuhnya, karena itu dia
bersikap waspada dan bermaksud untuk mengukur terlebih dulu sampai di mana
tingkat kepandaian dua orang lawannya dengan jalan membiarkan mereka menyerang.
Dari cara mereka menyerang pun dia sudah akan dapat mengukur kepandaian dan
tenaga mereka, dan mengetahui pula kelemahan-kelemahan mereka.
Pemuda ini
hanya memasang kuda-kuda yang sederhana saja, dengan kedua kaki agak terpentang
dan tubuh miring sehingga menghadapi dua orang lawan itu di kanan kirinya,
bukan di depan belakang. Tangan kirinya miring di depan dada seperti orang
menyembah dengan sebelah tangan, lengan kanan diangkat ke atas dengan
pedang-pedangan kayu menuding ke depan, tubuhnya tidak bergerak, dan hanya
kedua matanya saja yang hidup, bergerak ke kanan kiri, dan melihat ujung
jari-jari tangan kiri dan ujung pedang-pedangan kayu tergetar, maka kagumlah In
Hong.
Kini gadis
itu mulai mengerti bahwa pemuda itu sesungguhnya bukan orang sembarangan dan
dia tahu pula bahwa seluruh urat syaraf pemuda itu dalam kewaspadaan, dan bahwa
seluruh tubuh pemuda itu sekarang sedang dialiri oleh hawa tenaga sakti yang
hebat! Dia menjadi terharu dan mulai dia mencela kebutaannya sendiri karena dia
mulai yakin bahwa Bun Houw adalah seorang pendekar muda yang sakti, yang hanya
memiliki kepandaian sederhana saja.
"Hyaaaatttt...!"
Liok-te Sin-mo membentak.
"Heeeeiiiitttt...!"
Pat-pi Lo-sian juga memekik keras.
Keduanya
sudah menerjang dengan cepat. Dua tangan Liok-te Sin-mo menyerang secara
bertubi dan pedang ular itu mengimbangi serangan itu, menyambar-nyambar dari
atas dan bawah dari lain jurusan.
"Wut-wut-wut,
plak-plak-cringgg... tranggg...!"
Dengan gerakan
yang sigap bukan main, bahkan terlalu cepat sehingga sukar diikuti oleh
pandangan mata, Bun Houw mengelak, menangkis pukulan-pukulan dengan tangan kiri
dan menangkis pedang ular dengan kayu di tangannya, semua dilakukan dengan
tepat, indah dan kuat.
Setelah dia
berhasil menghalau serangan gelombang pertama, kini tubuhnya sudah diam lagi
dan kembali dia menghadapi kedua orang lawan di kanan kirinya. Dalam serangan
gebrakan pertama itu saja, Phang Tui Lok dan Gu Lo It sudah menjadi terkejut
bukan main.
Ternyata
kayu itu berhasil menangkis pedang dan membuat pedang ular itu terpental dan
tangan yang memegangnya tergetar hebat, sedangkan serangan ujung lengan baju
yang mengandung baja itu ditangkis begitu saja oleh tangan kiri pemuda itu.
Tangan telanjang itu berani menangkis baja yang disembunyikan di dalam lengan
baju dan setiap tangkisan tadi membuat ujung lengan baju itu membalik keras!
In Hong
terbelalak. Dia merasa kagum bukan main. Meski pun baru satu gebrakan, akan
tetapi sekarang Bun Houw agaknya baru memperlihatkan siapa dirinya sebenarnya!
Tadi pada waktu melawan Hok Hosiang, pemuda itu memang berpura-pura. Baru
sekarang gerakannya tampak indah dan hebat bukan main, cepat dan tepat, kuat
dan juga sangat luar biasa! Dan In Hong teringat akan gerakan tangan kiri Bun
Houw yang mirip Thian-te Sin-ciang tadi.
Siapakah
sebenarnya pemuda ini? Dia menduga-duga dan hatinya makin kagum sungguh pun
kekhawatiran masih belum meninggalkan hatinya ketika dia melihat dua orang
kakek itu kini sudah menerjang lagi dengan dahsyatnya.
Bun Houw
maklum bahwa dia berhadapan dengan dua orang kakek yang berkepandaian tinggi
dan yang berkelahi dengan mati-matian, maka dia pun tidak berani main-main lagi
menghadapi musuh besar ini. Dengan cepat dia menggerakkan potongan gagang
tombak di tangannya dan segera kedua orang lawannya terkejut bukan main dan
berseru keras.
Juga semua
penonton menjadi bengong ketika melihat betapa cepatnya gerakan pemuda itu
sehingga tubuhnya seolah-olah berubah menjadi delapan orang yang menghadapi dua
orang pengeroyok itu dari delapan penjuru! Gagang tombak dari kayu itu
mengeluarkan suara mengaung dan berubah menjadi sinar kehijauan dan kini
seakan-akan dua orang Bayangan Dewa itu bukan mengeroyok, bahkan mereka berdua
merasa seperti dikeroyok banyak orang!
In Hong
terbelalak. Gerakan kaki pemuda itu jelas mengandung unsur-unsur pokok dari
Thian-te Sin-ciang! Dia tidak tahu bahwa memang Bun Houw memainkan Ilmu Pedang
Thian-te Sin-kiam ciptaan gurunya, Kok Beng Lama, namun karena tangannya sedang
memegang sebatang kayu, Ilmu Thian-te Sin-ciang ini hanya menjadi gerakan dasar
saja, sedangkan kembangannya sudah dia campur dengan Ilmu Pedang Siang-bhok
Kiam-sut dari ayahnya!
Ilmu pemuda
itu memang sangat tinggi, apa lagi dia memainkan dua ilmu yang digabung menjadi
satu, dua ilmu pedang yang merupakan ilmu simpanan dari Kok Beng Lama dan Cia
Keng Hong. Dua orang lawannya menjadi silau pandang matanya dan bingung.
Pat-pi
Lo-sian dan Liok-te Sin-mo yang tadinya hendak mendesak serta menghujankan serangan,
sekarang malah berbalik didesak hebat, dihimpit oleh serangan yang datang dari
delapan penjuru. Kini mereka berdua itu dengan muka pucat hanya mampu mengelak
dan menangkis saja sambil mundur-mundur.
Bun Houw
mempercepat gerakan ‘pedangnya’. Kini pemuda itu menambah serangannya dengan
tamparan-tamparan tangan kiri, tamparan Thian-te Sin-ciang yang mengandung hawa
mukjijat sepenuhnya!
Melihat
tamparan-tamparan ini, In Hong makin terbelalak dan sekarang dia tidak syak
lagi bahwa pemuda itu jelas menggunakan Thian-te Sin-ciang, ilmu mukjijat yang
pernah dia pelajari dari pendeta Lama ini, akan tetapi pemuda itu
menggunakannya secara matang dan hebat sekali!
Dia makin
terheran-heran dan menduga-duga. Bagaimana murid Cin-ling-pai bisa memiliki
kepandaian demikian hebat dan dapat memiliki limu pukulan pendeta Lama itu?
Pat-pi
Lo-sian dan Liok-te Sin-mo semakin terdesak. Kini keringat dingin membasahi
leher dan muka mereka yang pucat, napas mereka mulai memburu dan setiap kali
pedang ular bertemu dengan kayu, pedang itu langsung terpental. Demikian pula
dengan ujung lengan baju Gu Lo It, selalu terpental begitu bertemu dengan
pedang kayu atau dengan tangan kiri pemuda itu.
"Bersiap-siaplah
kalian untuk membuat perhitungan dengan para suheng Cap-it Ho-han di alam
baka!" Tiba-tiba Bun Houw berseru dan gerakannya menjadi makin cepat dan
makin kuat.
Pat-pi
Lo-sian mengeluarkan suara melengking panjang. Dewa Tua Berlengan Delapan ini
mengerahkan seluruh tenaganya, menubruk ke depan, pedang ularnya menusuk pusar,
tangan kirinya mencengkeram ke arah ubun-ubun dan kepalanya digerakkan sehingga
kuncir rambutnya yang besar panjang itu bergerak hidup seperti seekor ular,
menyambar dan menotok ke arah kedua mata Bun Houw!
Hebat bukan
main serangan dari orang pertama Lima Bayangan Dewa ini. Akan tetapi berbeda
dengan para penonton yang menahan napas memandang, Bun Houw bersikap tenang.
Tusukan
pedang ular ke arah pusarnya itu cepat dihindarkan dengan gerakan tubuh yang
dimiringkan dengan mengubah kuda-kuda kaki, sehingga pedang itu hanya
menyeleweng ke samping kiri tubuhnya. Kemudian, dengan kecepatan kilat pedang
kayunya membabat putus kuncir rambut yang mengancam matanya dan sebelum Pat-pi
Lo-sian Phang Tui Lok sempat menarik kembali tangan kirinya, Bun Houw sudah
menangkap pergelangan tangan itu dengan tangan kirinya.
"Augghhhhhhh...!"
Pat-pi Lo-sian berteriak keras karena dari telapak tangan lawan yang
mencengkeram lengannya itu keluar hawa panas yang menjalar dari lengan ke
dadanya, seperti membakar tubuhnya.
Rasa nyeri
dan kemarahan membuat dia nekat dan pedangnya yang mengenai tempat kosong itu
sudah ditarik dan ditusukkan kembali ke perut Bun Houw! Sementara itu, pada
saat yang hampir bersamaan Gu Lo It juga sudah menubruk dari belakang pemuda
itu, menghantamkan kedua tangannya didahului oleh dua ujung lengan baju yang
menyambar ke arah punggung Bun Houw.
"Trakkk!
Krekkkk...!”
“Aiiihhhh...!"
Pedang ular terlepas dari tangan Pat-pi Lo-sian karena didahului oleh pedang
kayu yang menotok pergelangan tangan kanan, sedangkan lengan kiri Phang Tui Lok
itu remuk tulang-tulangnya ketika Bun Houw menggunakan tenaga Thian-te
Sin-ciang untuk mencengkeram.
"Bukkk!
Bukkk!"
Pukulan Gu
Lo It dari belakang sengaja diterima oleh Bun Houw setelah dia melindungi
punggungnya dengan sinkang-nya yang amat kuat. Kemudian dia membalik cepat
sambil mengangkat tubuh Phang Tui Lok, dilemparkan ke arah Gu Lo It dengan amat
kuatnya.
"Brressssss...!"
Tubuh Phang
Tui Lok yang lengan kirinya sudah patah-patah itu menimpa tubuh Gu Lo It hingga
keduanya jatuh tunggang langgang. Sebelum mereka sempat sadar dari keadaan
nanar dan mampu bangkit kembali, nampak sinar hijau berkelebat dua kali dan
terdengar pekik-pekik mengerikan.
Dua orang
Bayangan Dewa yang amat terkenal setelah mereka mengacau Cin-ling-pai itu tewas
seketika. Hanya ada sedikit darah yang mengucur keluar dari tengkuk mereka yang
ditusuk oleh pedang-pedangan kayu di tangan Bun Houw.
Sejenak suasana
menjadi sunyi sekali, seolah-olah semua orang masih termangu-mangu, heran dan
terkejut menyaksikan kesudahan pertandingan yang tak tersangka-sangka itu. Akan
tetapi begitu Raja Sabutai bertepuk tangan memuji, terdengarlah sorak-sorai dan
tepuk tangan yang sangat meriah dan di antara mereka yang bertepuk tangan, juga
tidak ketinggalan In Hong yang menjadi gembira dan lega bukan main!
Di antara
suara sorak-sorak itu, terdengar Yo Bi Kiok berbisik pada muridnya,
"Kekasihmu itu bisa menjadi orang yang sangat berbahaya, muridku. Kau
harus dapat menundukkan dia, kalau tidak bisa berbahaya..."
Dan Pek-hiat
Mo-ko juga berbisik kepada Raja Sabutai, "Pemuda itu amat mencurigakan,
sri baginda. Dia bukan orang sembarangan, bukan murid sembarangan..."
Akan tetapi
Bun Houw tidak mempedulikan sorak-sorai pujian itu. Dia membiarkan para
pengawal menyeret pergi dua mayat musuh-musuhnya itu lalu dia melangkah ke
dekat Raja Sabutai, menjura dengan hormat dan berkata,
"Terima
kasih atas kemurahan hati paduka yang telah memberi kesempatan kepada saya
untuk berhadapan dengan musuh-musuh saya. Sesudah kini mereka semua tewas, saya
mohon kembalinya pedang pusaka perkumpulan kami dan mohon perkenan untuk keluar
dari tempat ini."
"Bocah
she Bun, nanti dulu!" Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan nampak
bayangan berkelebat cepat. Yo Bi Kiok telah berdiri di tengah ruangan itu
dengan sikap menantang! "Bayangan Dewa memang sudah kalah terhadap engkau,
akan tetapi di sini masih ada ketua Giok-hong-pang yang juga ingin memperebutkan
Siang-bhok-kiam! Memang pibu ini diadakan untuk mengukur siapa yang paling
pandai, siapa yang kepandaiannya paling tinggi, dan yang paling pandai berhak
memiliki Siang-bhok-kiam! Bukankah demikian, sri baginda?"
Raja Sabutai
tersenyum. Tentu saja raja ini tidak mempedulikan urusan pribadi orang lain dan
dia hanya ingin melihat orang-orang pandai mengadu ilmu. Bagi raja ini, siapa
pun yang akan memiliki pedang kayu itu tidak ada bedanya. "Siapa pun yang
memiliki urusan pribadi hendak diselesaikan melalui pibu, boleh diselesaikan
sekarang di sini," jawabnya mengangguk.
Bun Houw
memutar tubuhnya perlahan-lahan dan kini dia memandang kepada Yo Bi Kiok dengan
sinar mata tajam penuh selidik, bahkan mukanya mulai berubah merah karena dia
teringat akan ucapan Phang Tui Lok tadi tentang perbuatan Yo Bi Kiok ini.
Menurut
pengakuan Phang Tui Lok tadi, Bayangan Dewa itu berhasil membunuh empat murid
utama dari Cin-ling-pai, sudah tentu Kwee Kin Ta, Kwee Kin Ci, Louw Bu dan Un
Siong Tek, dan juga membunuh besan ayahnya yang tentu adalah Hong Khi Hoatsu di
Sin-yang atas bantuan Yo-pangcu ini. Bahkan katanya wanita ini telah menculik
Lie Seng, keponakannya, putera dari enci-nya! Baru sekarang dia mendengar akan
hal itu dan belum sempat menyelidikinya, akan tetapi sekarang wanita iblis ini
malah mencari gara-gara hendak merampas Siang-bhok-kiam!
"Subo...
Bun-ko... jangan...!" terdengar suara In Hong khawatir.
Akan tetapi
Bun Houw tidak peduli, dan kini dia sudah melangkah perlahan menghampiri Yo Bi
Kiok yang berdiri di tengah ruangan, menantinya sambil tersenyum. Bahkan kini
hati Bun Houw menjadi makin panas dan marah mengingat bahwa wanita iblis ini
adalah guru dari gadis yang telah merampas hatinya. Gadis yang ternyata juga
amat kejam! Agaknya kekejaman itu diwarisi dari gurunya ini! Maka marahlah dia
kepada Yo Bi Kiok.
Kini mereka
sudah berhadapan dan sejenak keduanya saling pandang, Bun Houw marah dan Yo Bi
Kiok tersenyum mengejek.
"Orang
muda she Bun," Yo Bi Kik berkata. "Demi persahabatanmu dengan
muridku, lebih baik kau menyerahkan Siang-bhok-kiam kepadaku, dengan demikian
tidak ada perlunya lagi bagi kita untuk saling bertanding."
Namun pada
waktu itu pikiran Bun Houw sama sekali tidak mengingat Siang-bhok-kiam,
melainkan urusan lain lagi. "Yo-pangcu, Siang-bhok-kiam adalah pusaka
Cin-ling-pai dan siapa pun juga tidak boleh mengambilnya. Akan tetapi, sekarang
aku hendak menuntut pangcu tentang urusan di Sin-yang!"
Berkerut alis
mata yang panjang melengkung itu, kemudian dagu yang runcing manis itu
diangkat. "Hemm, bocah she Bun, ada apa kau tanya-tanya soal itu?"
"Yo-pangcu!
Urusan ini bahkan lebih penting lagi! Aku mendengar tadi bahwa engkau telah
menculik Lie Seng, benarkah itu?"
"Bocah
she Bun, tidak perlu engkau lancang hendak mencampuri urusan orang lain! Aku
hendak menyimpan Siang-bhok-kiam hanya untuk melindungimu saja, mengerti?
Sebagai sahabat baik muridku, engkau tak perlu membahayakan diri, engkau juga
harus menjadi seorang... kekasih yang baik, jangan menjadi seorang lelaki yang
berhati palsu. Hati-hati engkau kalau sampai engkau menyakiti hati muridku.
Gadis dusun itu menjadi contohnya, dan kalau engkau yang tidak setia, engkaulah
yang akan kubunuh. Nah, mundurlah dan hiburlah hati In Hong, biarkan aku yang
menghadapi mereka itu. Tidak tahukah engkau bahwa mereka berdua itu agaknya
tidak akan mengembalikan Siang-bhok-kiam begitu saja?"
Bun Houw
terkejut bukan main. Di dalam ucapan wanita itu tadi tersangkut banyak sekali
persoalan! Pertama, urusan cinta yang belum diketahui oleh siapa pun juga,
cinta yang terkandung di dalam hatinya terhadap In Hong, agaknya sudah
diketahui oleh wanita ini dan dibicarakan di depan umum begitu saja!
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Kedua,
wanita ini mengaku bahwa dia yang membunuh gadis dusun she Ma itu! Maka
lapanglah hati Bun Houw. Jadi bukan nona Hong yang membunuh, melainkan wanita
iblis ini. Dan ketiga, baru dia tahu bahwa dua orang kakek dan nenek itu, yang
tadi menyimpan Siang-bhok-kiam, guru-guru dari Raja Sabutai, juga menginginkan
pedang pusaka itu!
"Yo-pangcu,
semua urusan itu boleh kukesampingkan dulu sebab yang penting sekarang adalah
persoalan yang engkau lakukan di Sin-yang! Benarkah engkau menculik Lie Seng,
cucu ketua Cin-ling-pai?"
"Kalau
benar, kau mau apa?" Yo Bi Kiok bertanya dengan nada mengejek karena
hatinya menjadi jengkel sekali.
Ia teringat
akan Lie Seng, bocah yang telah menghinanya secara menggemaskan sekali, yang
telah menghajarnya babak belur, dan dia tidak mampu berbuat apa-apa karena anak
itu dibantu oleh pendeta Lama yang sangat sakti. Akan tetapi akhirnya dapat
juga dia balas menyerang anak itu dengan Siang-tok-swa dan agaknya bocah itu
sekarang sudah mampus!
"Bagus!
Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun
Houw membentak marah.
"Bun-ko...!"
In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu,
menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh
melawan subo!"
"Hong-moi,
aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu...
dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak!
Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!"
Bun Houw membentak.
"Kalau
engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."
"Hong-moi...!"
Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat
itu, tedengar seruan. "Tahan...!"
Semua orang
terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala
para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di
sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun,
mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam
memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute,
mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.
"Suheng...!"
Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih
penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan
peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.
In Hong juga
terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu
digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw
mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak
kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara
itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar
merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang
seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu
memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini
bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In
Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul
untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.
Ketika dia
menyelidiki, dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu
antara orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu
itu adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan
akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di
tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang
Lie Sang.
Mendengar
bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun
Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru
dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi,
pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang
sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja
itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang datang
tanpa diundang."
Raja Sabutai
mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan
memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap
hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat
kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute
dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi
isyarat untuk menangkap penyelundup itu.
Ketika
melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian
lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun
Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak,
"Siapakah engkau?!"
"Sri
baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.
Kun Liong
memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi
kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang
kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!"
Dia berbisik dengan hati terharu.
Akan tetapi
In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini
mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Memang dugaan
In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya, yang
menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah kemarahan
dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
"Apa
keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya
bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya
mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di
sini..."
"Ouhhhh...!"
Yang menjerit ini adalah In Hong.
Dan gadis
itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga
sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya
orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia
terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai
atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!
Cia Bun
Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia
mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu
bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda
yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!
Di lain
fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan
hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!
"Kedatangan
saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda.
Melainkan karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada
di sini, saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita
bernama Yo Bi Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya
hendak menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat
sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa
yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia
menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik,
silakan."
Yap Kun
Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh
selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita
sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau
suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana
engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Sejenak Yo
Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu,
memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau
mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga
Cin-ling-pai?"
"Benar!
Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan
perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau
engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh...
tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute,
biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah
kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang
menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong
kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa
engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun
Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak
mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku
akan memaksamu."
"Kun
Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai
musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini,
meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari
segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan
segala-galanya kepadamu."
Kun Liong
mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak
membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie
Seng?"
Tiba-tiba
wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau
lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong.
Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau
kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgggg...!"
Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.
"Kalau
begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya,
melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.
Pendekar ini
cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah
menyambar lagi ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Dengan
kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok
sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah
dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat
saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini
hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan
sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok
yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta
yang tak mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan
In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi
dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap
sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.
Walau pun
tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan
keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong
sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang
terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun
Liong.
Maka,
melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong
padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat
gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat,
secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat
memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya
sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian
tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat
dihindarkan dengan baik.
Semua orang,
juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong
karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah
benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak
mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti
gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan
kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!
Yang paling
gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa
Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah
ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan
sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan
gurunya!
Sekarang,
setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan
besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan
anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak
kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!
Kakaknya itu
kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah
sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki
yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak
olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang
tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.
Betapa pun
juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu,
dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang
Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.
Ini tidak
adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan
itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu
kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera
Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta
Yalima...!
Tiba-tiba
saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam,
melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah
ini, baru adil!"
Sesungguhnya
Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini
amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi
yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The
Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.
Kalau perlu,
dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa
sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya
yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun
peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan
Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.
Dia hanya
ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia
tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan
tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang,
hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan
girang karena melihat perubahan pada adiknya.
Dahulu, pada
waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah
membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya
membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar
berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun
Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia
terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang
ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun
Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar
suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun
Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan
pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan
menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas
dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan
menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat
berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak
disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat
permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak
secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada
muridnya, kepada In Hong!
Memang,
watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun
Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak
membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.
"Murid
durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah
meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhhhh...!"
In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang
menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan
serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!"
In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi
Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.
"Cringg...
cringg... tranggg!"
Tiga kali
pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In
Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa
mempedulikan dirinya sendiri.
"Singgg...
Wuuuttt!"
"Murid
durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat
meloncat mundur.
"Bukkk...!”
“Aiihhhh!"
In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia
terguling.
Sesungguhnya
tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling
kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang
sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa
melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.
Tadi dia
menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh
ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang
sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti
itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat
menghindarkan pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai
terguling. Dan cepat bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan
pedangnya ke arah tubuh muridnya!
"Bi
Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya
lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.
"Cringggg...
ceppp!"
"Aihhhh...!"
Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari
pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya
yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.
"Bi
Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh
wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"
Pendekar ini
merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk
menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti
keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi
membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak
dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok
tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari
tangannya, membasahi bajunya.
"Kun
Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu
mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu, mendekapkan
tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba
wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun
Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan
aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh,
kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah
minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu
ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh,
kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau
dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha,
putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi
Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang
dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan
rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang
manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya.
"Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh...
aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong...
oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak
akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau
harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!"
"Koko,
awas...!"
Bagaikan
seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik
sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena
tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah
menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap
saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh
pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata
terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!"
Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.
Akan tetapi
In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku
menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah
kepada Bun Houw.
Bun Houw
maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena
Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton
ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun
Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik
hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas
kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh
dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In
Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.
Pemuda itu
cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan
memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan
obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka.
Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan
menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan
tenaga saktinya menyedot.
Tidak lama
kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak
tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw
datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu
kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!"
Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.
"Koko,
engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong
memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang,
kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo
Bi Kiok.
Dia
menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan
mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan
sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan
tenaganya.
"Hebat...!"
Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi
mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu
kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum sekali!"
Bun Houw lalu
melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas
kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan
musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon
agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata
demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang
Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai
menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini
adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh,
Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang
terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat
Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja
ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat
apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya
Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik
oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua
orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw,
maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya
tentang pedang itu.
Berkerut
alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung
menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan
perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan
Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang
lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak
yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat
agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Ho-ho-ho,
nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju,
sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara
mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan
jujur."
"Silakan
bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu.
Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang
asing.
"Siapakah
namamu yang sesungguhnya?"
"Nama
saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin
dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.
Akan tetapi
perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya
dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa
gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau
putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko
dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar."
"Bukankah
Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik,
bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang
sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka
mayat.
Kepahlawanan
merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan
bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya
merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di
seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja
dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar,"
jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah
meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk
membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali
singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho-ho,
baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan
kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang
Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila
Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw
terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan
ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran.
"Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah
meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe
menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih,
bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li
berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho,
bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil
bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang
menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil
menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw
menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!"
bentaknya.
"Dan
aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw
yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang
dalam kerling mereka.
"Bagus...!
Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua,
bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap
Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan
dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah
terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah
memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh,
kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko
berkata mengejek...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment