Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 28
YAP KUN
LIONG menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka maafkan kami
bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng
paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat
Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan
maafkanlah kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk
menyampaikan tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada
para murid atau keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak
mencampuri urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar
jelas, hendaknya ji-wi suka menerangkan kenapa ji-wi mendendam kepada mendiang
Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberi tahukan."
"Ho-ho,
kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan
dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena
itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun
yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang
mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun
Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu
sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke
manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk
mengambil pedang?"
"Ho-ho,
kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami?
Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti
kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan
bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah
Naga? Di mana itu?"
"Di
tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun
Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,"
jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami
sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian,
mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata,
"Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan
kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi
Kiok."
Raja Sabutai
mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima
uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In
Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau
minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini.
Terimalah!"
In Hong
merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju
dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara
ke lehernya.
"Terima
kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam
kebahagiaan."
Mereka
berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan,
mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi
Kiok yang masih lemas...
Setibanya di
luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah
wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan
kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang
segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara
itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara
terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya
untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk
merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku
percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita
membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang
sembrono. Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi
belum tentu kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru
dari Raja Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya
ditentang, apa lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju
mengeroyok, mana mungkin kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan
sukar sekali, apa lagi karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi
demikian, kita tidak bisa lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal
itu amat celaka dan menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi,
kita akan dicap sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan
dengan kehendak kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di
Lembah Naga, bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw
mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari
pendekar itu.
"Koko,
mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga
mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata
bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan
hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu
kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini
benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya
seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan
tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong
menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada
adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh,
bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam
hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta
seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia
akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda
dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa
itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh
petualangannya itulah.
"Adikku,
dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa
sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari
isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi,
bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya
kepadaku."
"Ahhhh...!"
Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran,
akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena
cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi
Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali
bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya
hidup berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta
dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan
kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan
rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah
terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama
ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun
ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun
Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa
dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh
hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku
karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu
apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh
oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak
itu... yang tidak berdosa."
"Koko,
anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong
mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan
keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia
tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie
Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang
pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu
dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya
menjadi merah.
"Ketika
aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku
bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh
Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin
bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong
menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana
pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku...
aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia
mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng,"
tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh
Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah
mati."
"Ahhhhh...!"
Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong!
Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu
dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh
Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta
itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu
dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!"
Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong.
"Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun
Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong
menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan
kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah
disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh
tinggi besar dan..."
"Dia
suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas,
dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun
Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu
berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw
mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau
begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong
menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai
guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum
sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera
ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan
enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku.
Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui
ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal
Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok
kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di
tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan...
kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia
memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas,
puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya
telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi
In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko.
Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan
selanjutnya aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong
melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan
adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling
berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan
saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan
perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu
cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang Bi
Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong
terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya
menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong
lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal,
selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini
sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas
panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
***************
Mereka
berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan
kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya
terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm,
kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera
membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan
oleh angin.
"Ya..."
"Engkau
putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau
berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki
keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau
berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya...
tapi..."
"Sungguh
cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya
yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit
domba."
"Ahhh..."
"Dan
pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya
kepada..."
"Kepada
seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang
Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh,
aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang
putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat?
Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi
kemanusiaan!"
"Ehh,
dengar dulu..."
"Jadi
Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya,
suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta
Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan
Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang
hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia
Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti
kekasih!"
"Ehh,
nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang
pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati
seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii,
aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah.
Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa
yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang
sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi,
aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan
kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya
menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah
aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau
membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali
lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa
engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan
menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat
selamanya?"
"Ehhh...?!"
Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang
ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu
dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa
dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak
baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada
ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta,
agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena
saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Bagus!
Yo-pangcu, kalau begitu aku menantangmu untuk mengadu nyawa di sini!" Bun
Houw membentak marah.
"Bun-ko...!"
In Hong berseru kaget dan tubuh dara ini sudah melayang ke tengah ruangan itu,
menghadang antara Bun Houw dan gurunya. "Bun-ko, engkau tidak boleh
melawan subo!"
"Hong-moi,
aku telah bersalah kepadamu. Engkau tidak berdosa, akan tetapi gurumu itu...
dia iblis betina keji yang harus kubasmi. Minggirlah, Hong-moi!"
"Tidak!
Engkau tidak boleh melawan Subo..."
"Hong-moi!"
Bun Houw membentak.
"Kalau
engkau berkeras, terpaksa aku yang mewakili subo menghadapimu, Bun-ko."
"Hong-moi...!"
Bun Houw terkejut, meragu dan bingung.
Pada saat
itu, tedengar seruan. "Tahan...!"
Semua orang
terkejut melihat berkelebatnya bayangan orang yang mencelat melalui atas kepala
para penjaga, cepat sekali gerakannya seperti burung terbang dan tahu-tahu di
sana sudah berdiri seorang laki-laki sederhana, berusia tiga puluh tujuh tahun,
mukanya kurus sekali dan agak pucat sehingga nampak sepasang matanya yang tajam
memenuhi wajah kurus yang masih membayangkan sisa ketampanan itu.
"Sute,
mundurlah, biar aku yang menghadapinya!" kata pria itu kepada Bun Houw.
"Suheng...!"
Bun Houw berseru ragu-ragu dan alisnya berkerut. Hati pemuda ini masih
penasaran bertemu dengan Yap Kun Liong, orang yang mengingatkan dia akan
peristiwa hebat yang menimpa keluarga enci-nya.
In Hong juga
terkejut bukan main melihat kakak kandungnya, akan tetapi kesempatan itu
digunakannya untuk mundur dengan hati lega karena dia pun melihat Bun Houw
mundur dengan muka berubah. In Hong semakin terheran-heran mendengar kakak
kandungnya menyebut sute kepada Bun Houw.
Sementara
itu, begitu melihat pria ini, wajah Yo Bi Kiok berubah, sebentar pucat sebentar
merah, mukanya kadang-kadang seperti orang hendak menangis kadang-kadang
seperti orang bergembira. Aneh sekali sikap wanita cantik ini.
Orang itu
memang Yap Kun Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, pendekar ini
bertemu dengan Cia Keng Hong. Saat mendengar bahwa adik kandungnya, Yap In
Hong, berada di benteng musuh dan bahwa sute-nya, Cia Bun Houw, sedang menyusul
untuk melindungi In Hong, maka dia pun lalu menyusul.
Ketika dia menyelidiki,
dia mendengar bahwa di dalam benteng sedang ramai diadakan pibu antara
orang-orang yang berkepandaian tinggi, dan bahwa yang mengadakan pibu itu
adalah Raja Sabutai sendiri. Mendengar ini dia lalu mencari jalan masuk dan
akhirnya, berkat kepandaiannya yang tinggi, dia berhasil pula masuk dan tiba di
tempat itu tepat pada saat Bun Houw mendesak Yo Bi Kiok untuk mengaku tentang
Lie Sang.
Mendengar
bahwa Lie Seng yang kabarnya terculik itu ternyata diculik oleh Yo Bi Kiok, Kun
Liong menjadi terkejut dan marah sekali, maka tak tertahankan lagi dia berseru
dan meloncat ke tengah ruangan dengan hati penuh kemarahan.
Akan tetapi,
pendekar ini masih ingat bahwa dia berada di dalam benteng Raja Sabutai yang
sudah mundur dari menyerang kota raja, maka dia lalu memberi hormat kepada raja
itu dan berkata, "Harap sri baginda mengampunkan kelancangan saya yang
datang tanpa diundang."
Raja Sabutai
mengerutkan alisnya. Tadi para pengawal sudah menggerakkan senjata dan
memandang kepadanya menanti perintah, juga kedua orang gurunya sudah siap
hendak menerjang, hanya menanti isyaratnya, akan tetapi dia memberi isyarat
kepada mereka semua agar jangan turun tangan. Andai kata tidak ada sebutan sute
dan suheng antara pendatang baru ini dan Bun Houw, tentu dia sudah memberi
isyarat untuk menangkap penyelundup itu.
Ketika
melihat bahwa pendatang baru ini adalah suheng dari Bun Houw yang demikian
lihai, hatinya menjadi sangat tertarik. Namun kini mendengar ucapan Yap Kun
Liong, Raja Sabutai dengan alis berkerut dan suara marah membentak,
"Siapakah engkau?!"
"Sri
baginda, dia adalah kakak kandung saya!" Tiba-tiba In Hong berkata.
Kun Liong
memutar tubuhnya memandang In Hong dengan wajah berseri. Tidak ada lagi
kata-kata yang lebih merdu, lebih menggembirakan dari pada suara dara itu yang
kini di depan orang banyak mengakui dia sebagai kakak kandungnya.
"Adikku...!"
Dia berbisik dengan hati terharu.
Akan tetapi
In Hong hanya memandang kepadanya dengan mata terbelalak, karena gadis ini
mengakui kakaknya hanya untuk meredakan kemarahan Raja Sabutai.
Memang
dugaan In Hong tepat sekali. Mendengar seruan gadis yang amat dipercayanya,
yang menjadi pengawal, pelindung dan juga sahabat isterinya, berkuranglah
kemarahan dalam hati Raja Sabutai atas kelancangan Kun Liong.
"Apa
keperluanmu datang ke sini tanpa diundang?" Raja Sabutai bertanya lagi.
"Saya
bernama Yap Kun Liong dan kedatangan saya secara lancang ini adalah karena saya
mendengar bahwa adik kandung saya, Yap In Hong dan sute Cia Bun Houw berada di
sini..."
"Ouhhhh...!"
Yang menjerit ini adalah In Hong.
Dan gadis
itu kini berdiri dengan mata terbelalak memandang kepada Bun Houw yang juga
sedang memandang kepadanya dengan muka bengong. Dapat dibayangkan betapa
kagetnya hati In Hong ketika mendengar bahwa pemuda yang selama ini disangkanya
orang she Bun, yang baru saja dengan kepandaiannya yang hebat membuat dia
terheran-heran, ternyata adalah Cia Bun Houw putera dari ketua Cin-ling-pai
atau... tunangannya sendiri yang dia batalkan!
Cia Bun
Houw! Kekasih Yalima! Tak terasa lagi matanya menjadi panas dan cepat-cepat dia
mengusap air mata yang belum keluar itu. Cia Bun Houw! Mengapa dia begitu
bodoh? Begitu buta? Orang yang mati-matian membela Cin-ling-pai, orang muda
yang demikian lihai, tentu saja Cia Bun Houw!
Di lain
fihak, Bun Houw juga bengong terlongong. Kiranya dara yang amat mengagumkan
hatinya, yang menjatuhkan hatinya, ternyata adalah adik Yap Kun Liong sendiri!
"Kedatangan
saya ini sama sekali bukan hendak mengacau benteng paduka sri baginda. Melainkan
karena urusan pribadi. Sesudah mendengar bahwa mereka berdua berada di sini,
saya menyusul dan tadi hanya mendengar tentang pengakuan wanita bernama Yo Bi
Kiok atau Yo-pangcu, ketua Giok-hong-pang ini. Karena itu saya hendak
menyelesaikan urusan pribadi saya dengan dia, jika paduka memperkenankan."
Melihat
sikap gagah dan kata-kata yang lancar dan hormat itu, Raja Sabutai tahu bahwa
yang berdiri di depannya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka dia
menjadi gembira sekali. Akan lebih ramai sekarang! Maka dia mengangguk.
"Baik,
silakan."
Yap Kun
Liong kini menghampiri Yo Bi Kiok, alisnya berkerut dan pandangan matanya penuh
selidik, penuh penyesalan. "Yo Bi Kiok, sungguh menyesal bahwa kita
sekarang saling berhadapan dalam keadaan seperti ini! Sekarang kuharap engkau
suka berterus terang apa saja yang sudah kau lakukan di Sin-yang, dan ke mana
engkau membawa Lie Seng putera dari Cia Giok Keng itu."
Sejenak Yo
Bi Kiok memandang wajah pria yang sejak dahulu dipuja dan dicintanya itu,
memandang merana, kemudian dia tersenyum. "Kun Liong, kenapa engkau
mencampuri urusan ini? Apa pedulimu tentang urusanku dengan keluarga
Cin-ling-pai?"
"Benar!
Engkau tidak berhak, Yap-suheng. Mundurlah dan aku yang akan menyelesaikan
perhitungan ini dengan Yo-pangcu!"
"Kalau
engkau melawan subo, terpaksa aku akan maju menghadapimu... Bun-ko!"
"Ahhh...
tapi kau... kau adik Yap-suheng dan dia itu..." Bun Houw bingung.
"Sute,
biar aku yang menghadapinya. Ini adalah urusan pribadiku. Aku sudah bersumpah
kepada enci-mu untuk mencari Lie Seng sampai dapat. Kalau benar dia yang
menculik Lie Seng, maka akulah yang akan menghadapinya," kata Kun Liong
kepada Bun Houw, kemudian dia mendesak. "Bi Kiok, katakanlah, mengapa
engkau menculik Lie Seng dan di mana dia sekarang?"
"Kun
Liong, engkau terlalu, selalu kau hendak membikin marah aku. Kalau aku tidak
mau menjawab pertanyaanmu, bagaimana?"
"Aku
akan memaksamu."
"Kun
Liong... ah, Kun Liong, kenapa kita berdua seperti ini? Berhadapan sebagai
musuh? Kun Liong, marilah kita pergi dari sini, meninggalkan semua ini,
meninggalkan dunia yang menjemukan ini, mari kita hidup bersama, jauh dari
segala pertikaian dan segala urusan... marilah dan aku akan menceritakan
segala-galanya kepadamu."
Kun Liong
mengerutkan alisnya, pandang matanya terasa menusuk, "Tidak perlu banyak
membujuk lagi, Yo Bi Kiok. Katakan, apa yang kau lakukan terhadap Lie
Seng?"
Tiba-tiba
wanita itu meloncat dengan marah, matanya berkilat dan mukanya merah. "Kau
lebih memberatkan anak Cia Giok Keng itu dari pada aku? Keparat Yap Kun Liong.
Sekali lagi kau mau pergi bersamaku atau hendak memusuhi aku?"
"Kalau
kau tidak mengaku, terpaksa aku menggunakan kekerasan."
"Singgggg...!"
Yo Bi Kiok sudah mencabut pedang Lui-kong-kiam.
"Kalau
begitu, aku ingin melihat engkau mampus di tanganku!" Wanita itu
mengeluarkan suara melengking tinggi dan dia sudah menyerang dengan hebatnya,
melakukan tusukan kilat ke arah dada Yap Kun Liong.
Pendekar ini
cepat mengelak. Akan tetapi baru saja dia mengelak, pedang Lui-kong-kiam sudah
menyambar lagi ke arah lehernya.
"Plakkk!"
Dengan
kecepatan mengagumkan, tangan Kun Liong berhasil menampar lengan kanan Bi Kiok
sehingga sambaran pedang menyeleweng. Namun hal ini membuat Bi Kiok makin marah
dan makin hebatlah serangannya yang datang seperti hujan. Dalam waktu singkat
saja tubuh Kun Liong sudah digulung oleh sinar pedang.
Pendekar ini
hanya mengelak ke sana-sini karena dia tidak mempergunakan senjata, dan
sebenarnya, di dalam hatinya Yap Kun Liong merasa sangat kasihan kepada Bi Kiok
yang sampai saat itu masih saja tergila-gila dalam cintanya kepadanya, cinta
yang tak mungkin dapat dibalasnya.
Bun Houw dan
In Hong menonton dengan jantung berdebar. Terlalu banyak peristiwa yang terjadi
dalam waktu singkat ini, terlalu banyak rahasia yang mengejutkan tersingkap
sehingga mereka masih merasa terguncang dan menjadi tegang.
Walau pun
tadinya dia marah kepada Yap Kun Liong, karena antara pendekar itu dengan
keluarga enci-nya terjadi hal yang sangat hebat, akan tetapi melihat Kun Liong
sekarang bertanding mati-matian membela keponakannya, yaitu Lie Seng yang
terculik oleh ketua Giok-hong-pang, tentu saja hatinya berfihak kepada Yap Kun
Liong.
Maka,
melihat pendekar ini menghadapi ketua Giok-hong-pang itu dengan tangan kosong
padahal permainan pedang wanita itu lihai bukan main, hatinya menjadi sangat
gelisah. Melihat gerakan Yap Kun Liong yang demikian murni, cepat dan tepat,
secara diam-diam dia kagum sekali dan tahulah dia mengapa ayahnya sangat
memuji-muji suheng-nya ini. Gerakan suheng-nya sudah demikian matangnya
sehingga sukarlah untuk melihat sedikit pun kesalahan. Perhitungannya demikian
tepat sehingga semua serangan pedang yang demikian berbahayanya itu dapat
dihindarkan dengan baik.
Semua orang,
juga termasuk kakek serta nenek guru Raja Sabutai, memandang dengan bengong
karena yang disuguhkan oleh kedua orang yang sedang bertanding itu adalah
benar-benar ilmu silat yang amat tinggi tingkatnya. Para penonton yang tidak
mempunyai kepandaian tinggi menjadi silau matanya dan tidak dapat mengikuti
gerakan dua orang itu, hanya melihat betapa mereka itu kadang-kadang lenyap dan
kadang-kadang bergerak dengan lambat sekali seperti orang main-main saja!
Yang paling
gelisah dan bingung adalah In Hong! Dia sudah dibingungkan oleh kenyataan bahwa
Bun Houw adalah Cia Bun Houw putera ketua Cin-ling-pai yang tadinya sudah
ditunangkan dengan dia dan ditolaknya, Cia Bun Houw kekasih Yalima, dan
sekarang dia bahkan menghadapi pertandingan antara kakak kandungnya dengan
gurunya!
Sekarang,
setelah merantau selama satu tahun meninggalkan gurunya, terjadi perubahan
besar dalam batin gadis ini. Sekarang dia dapat melihat betapa kejam dan
anehnya watak gurunya, dan sekarang baru dia dapat melihat betapa kakak
kandungnya telah mengalami peristiwa yang sangat hebat!
Kakaknya itu
kematian isterinya dan kakaknya itu menolak cinta gurunya karena memang sudah
sepatutnya demikian. Kakaknya sudah beristeri, dan sebagai seorang laki-laki
yang jantan tentu saja menolak cinta kasih wanita lain. Baru sekarang tampak
olehnya bahwa dalam urusan antara kakaknya dan gurunya, sebenarnya gurunya yang
tidak tahu malu, mencinta suami orang lain.
Betapa pun
juga, hatinya tetap merasa berat kepada gurunya, maka melihat pertandingan itu,
dia gelisah sekali. Dia tahu betapa lihai gurunya, apa lagi memegang
Lui-kong-kiam yang ampuh, sedangkan kakaknya bertangan kosong.
Ini tidak
adil, pikirnya. Dia boleh tak berfihak pada siapa pun, akan tetapi pertandingan
itu harus dilakukan dengan adil. Barulah menang atau kalah merupakan suatu
kehormatan. Dan pedang ini... pedang Hong-cu-kiam, adalah pedang putera
Cin-ling-pai... pedang... tunangannya yang sudah mencinta orang lain, mencinta
Yalima...!
Tiba-tiba
saja hatinya terasa panas sekali dan dia cepat melolos pedang Hong-cu-kiam,
melontarkan pedang itu kepada Kun Liong sambil berkata, "Koko, pakailah
ini, baru adil!"
Sesungguhnya
Kun Liong tidak mau menggunakan senjata. Dia tahu bahwa kepandaian wanita ini
amat tinggi dan aneh, akan tetapi karena Yo Bi Kiok melatih ilmu silat tinggi
yang murni dan sukar itu tanpa petunjuk, limu silat peninggalan Panglima The
Hoo yang amat tinggi dan murni, maka dia melihat kelemahan-kelemahannya.
Kalau perlu,
dengan mengandalkan Thi-khi I-beng, dengan menggunakannya sedemikian rupa
sehingga lawannya tidak sampai terluka, dan dengan kematangan ilmu silatnya
yang sudah digemblengnya dengan dasar ilmu mukjijat dari kitab Keng-lun Tai-pun
peninggalan Bun Ong, maka dia percaya bahwa akhirnya dia akan dapat mengalahkan
Yo Bi Kiok tanpa membunuhnya.
Dia hanya
ingin memaksa wanita itu mengembalikan Lie Seng dalam keadaan selamat dan dia
tidak tega untuk membunuh wanita yang sebetulnya amat mencintanya itu. Akan
tetapi, mendengar seruan adik kandungnya yang melemparkan sebatang pedang,
hatinya girang bukan main, bukan girang karena memperoleh pedang, melainkan
girang karena melihat perubahan pada adiknya.
Dahulu, pada
waktu pertama kali dia bertanding melawan Yo Bi Kiok, adiknya itu malah
membantu wanita yang menjadi gurunya ini. Akan tetapi sekarang, adiknya
membantunya dengan meminjamkan pedang. Kegirangan melihat adiknya benar-benar
berubah, bahkan sudah menyelamatkan kaisar dan kini membantunya, membuat Kun
Liong menyambar pedang Hong-cu-kiam dan begitu dia memutar pedang itu, dia
terkejut sekali karena yang dimainkannya itu adalah sebatang pedang yang
ampuhnya bukan main! Dia tidak tahu bahwa itu adalah pedang kepunyaan Cia Bun
Houw, pemberian dari Kok Beng Lama.
Terdengar
suara mengaung-aung, bagaikan ada ribuan lebah beterbangan sehingga baik Bun
Houw mau pun In Hong memandang kagum sekali. Setelah dimainkan oleh tangan
pendekar sakti ini pedang Hong-cu-kiam itu seolah-olah menjadi hidup dan
menjadi ribuan lebah yang berbunyi sambung-menyambung. Juga gulungan sinar emas
dari pedang itu amat lebar dan panjang, kilatan yang mencuat dan
menyambar-nyambar amat banyaknya sehingga selain nampak amat indah, juga sangat
berbahaya sehingga Yo Bi Kiok sendiri sampai beberapa kali menjerit kaget!
Tidak
disangka sama sekali, bantuan In Hong dan kegembiraan Kun Liong yang membuat
permainan pedangnya makin hebat itu dan membuat Yo Bi Kiok seketika terdesak
secara berat, membuat wenita ini menjadi marah bukan main. Marah kepada
muridnya, kepada In Hong!
Memang,
watak Bi Kiok amatlah aneh dan keji, juga ganas. Dia tidak marah kepada Kun
Liong atau orang lain, sebaliknya malah marah kepada muridnya yang tidak
membantu dirinya malah membantu Kun Liong dengan memberikan pedangnya.
"Murid
durhaka...!" Tiba-tiba dia menjerit dan sekali meloncat, dia telah
meninggalkan Kun Liong dan menyerang muridnya!
"Ihhhhh...!"
In Hong cepat melempar tubuh ke belakang untuk menghindar ketika sinar pedang
menyerangnya secara hebat. Serangan itu luput akan tetapi Bi Kiok menyusulkan
serangan lain yang lebih berbahaya.
"Subo...!"
In Hong kembali mengelak dan nyaris lambungnya keserempet pedang.
"Bi
Kiok, gilakah engkau?" Kun Liong juga meloncat dan menggerakkan pedangnya.
"Cringg...
cringg... tranggg!"
Tiga kali
pedangnya menangkis bacokan-bacokan pedang Bi Kiok yang ditujukan kepada In
Hong. Akan tetapi Bi Kiok sudah seperti gila, dia terus menyerang tanpa
mempedulikan dirinya sendiri.
"Singgg...
Wuuuttt!"
"Murid
durhaka!" Kembali pedang Lui-kong-kiam membabat ke arah In Hong yang cepat
meloncat mundur.
"Bukkk...!”
“Aiihhhh!"
In Hong yang kurang cepat mengelak itu kena ditendang kaki kiri gurunya dan dia
terguling.
Sesungguhnya
tidak akan semudah itu Yo Bi Kiok dapat menendang muridnya sampai terguling
kalau saja In Hong berada dalam keadaan biasa. Namun batin gadis itu memang
sedang tertekan hebat. Hanya dengan hati berat dan sakit saja dia terpaksa
melemparkan pedangnya kepada kakak kandungnya tadi.
![cerita silat online karya kho ping hoo serial pedang kayu harum](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjPiXkH7FpM4cLnHSpQ4Ojimf0OwMOlBHUaFIZDBFVFzqaVgIXvX7y4ohe95RBDbf8xnKmQ2UPtSM-MQikdqvShQYIkQfhFjwMXm-MiOL2ayzdOek7TDMbQbEmmRxSBxDL9v6SLb0Nw5xY/s320/Dewi+Maut-717298.jpg)
Tadi dia
menonton dengan wajah pucat, kedua kaki gemetar dan jantung berdebar penuh
ketegangan, merasa seolah-olah dia sendiri yang menyerang gurunya, orang yang
sejak kecil memelihara, mendidik, serta menyayanginya. Karena keadaan seperti
itulah maka ketika diserang secara hebat oleh gurunya In Hong hanya dapat menghindarkan
pedang, tidak menduga akan ditendang oleh gurunya sampai terguling. Dan cepat
bagaikan kilat, Yo Bi Kiok sudah menubruk dan menusukkan pedangnya ke arah
tubuh muridnya!
"Bi
Kiok, terlalu engkau!" Kun Liong sudah membentak marah sekali, gerakannya
lebih cepat sedetik dari pada gerakan pedang Yo Bi Kiok yang menusuk In Hong.
"Cringggg...
ceppp!"
"Aihhhh...!"
Tubuh ketua Giok-hong-pang itu terguling dan pedang Lui-kong-kiam terlepas dari
pegangannya. Dia jatuh miring dan menggunakan tangan kiri mendekap lambungnya
yang mengucurkan darah dari luka bekas tusukan pedang Hong-cu-kiam tadi.
"Bi
Kiok...!" Yap Kun Liong terbelalak dan cepat dia berlutut di dekat tubuh
wanita itu. "Bi Kiok, kau... ampunkan aku...!"
Pendekar ini
merasa menyesal bukan main karena tadi dia terpaksa menyerang wanita itu untuk
menyelamatkan nyawa adiknya. Bagaimana pun juga, kalau tidak terpaksa seperti
keadaan tadi, tentu dia akan mengalah dan tidak akan tega melukai apa lagi
membunuh wanita yang dia tahu hidup sengsara karena cintanya kepadanya tidak
dibalasnya itu.
Yo Bi Kiok
tersenyum, mengeluh dan darah masih menetes-netes dari celah-celah jemari
tangannya, membasahi bajunya.
"Kun
Liong... aku cinta padamu... uuh, Kun Liong..."
Wanita itu
mengulurkan tangan kanannya dan Kun Liong langsung menangkap tangan itu,
mendekapkan tangan itu ke dadanya. "Ampunkan aku, Bi Kiok..."
Tiba-tiba
wanita itu tertawa. "Hi-hik-hik, heh-heh, aku... tidak menyesal, Kun
Liong. Aku tewas di tanganmu, sungguh menyenangkan sekali."
"Maafkan
aku, ampunkan aku..."
"Heh-heh,
kau minta maaf? Minta ampun? Ha-ha-ha, Yap Kun Liong... aku... aku tidak pernah
minta ampun kepadamu... ahhhh... sungguh pun... aku telah menusukkan pedang itu
ke dada isterimu... ahhh, puas hatiku! Aku membunuhnya, Kun Liong... heh-heh,
kau terkejut...? Aku… aku sudah membunuh Hong Ing yang telah merampas engkau
dariku... ha-ha-ha, dan bocah itu... siapa namanya? Lie Seng... ha-ha-ha,
putera Giok Keng itu... aku telah membunuhnya dengan Siang-tok-swa...!"
"Bi
Kiok!" Kun Liong yang tadi melepaskan tangan itu dan terbelalak memandang
dengan muka pucat, kini berseru keras, seruan yang penuh dengan kejijikan dan
rasa penyesalan mengapa wanita yang ketika masih gadis merupakan seorang yang
manis dan gagah itu kini berubah menjadi iblis yang demikian kejamnya.
"Kau... kau kejam sekali!"
"Heh-heh-heh...
aku... kejam...? Bukan aku, melainkan engkau yang kejam, Kun Liong...
oughhhh... kalau tidak karena kekejamanmu kepadaku... aku tidak... tidak
akan... ahhhh, Kun Liong... aku tidak kuat lagi, aku... aku mati dan... kau
harus ikut bersamaku!"
"Suheng...!"
"Koko,
awas...!"
Bagaikan
seekor burung cepatnya, tubuh Kun Liong mencelat ke atas, berjungkir balik
sampai lima kali, akan tetapi karena jaraknya yang sangat dekat dan karena
tangan kiri yang berlumuran darah itu tadi tak tersangka-sangka telah
menggenggam pasir beracun, maka betapa pun cepatnya Kun Liong mengelak, tetap
saja ada sebagian pasir harum beracun yang menembus kulit dadanya. Tubuh
pendekar ini jatuh lagi menimpa mayat Yo Bi Kiok yang mati dengan mata
terbelalak. Pendekar itu terkulai dan pingsan!
"Yap-suheng...!"
Bun Houw langsung menubruk ke depan dan hendak memeriksa dada suheng-nya.
Akan tetapi
In Hong sudah berlutut dan berkata kepadanya, "Minggirlah, biarkan aku
menolong kakakku!" Suara dara itu kaku dan keras, tanda bahwa dia marah
kepada Bun Houw.
Bun Houw
maklum bahwa gadis ini tentu saja lebih ahli untuk menolong luka yang terkena
Siang-tok-swa, maka dia bangkit berdiri dan melangkah mundur, hanya menonton
ketika jari-jari tangan yang mungil namun kuat itu merobek baju di dada Kun
Liong, kemudian memeriksa dada kanan yang telah penuh dengan bintik-bintik
hijau bekas terkena Siang-tok-swa itu.
"Lekas
kau carikan tempat untuk memasak obat, dan masak obat ini!" Tanpa menoleh
dan dengan sikap seolah-olah seorang nyonya majikan memerintah jongosnya, In
Hong menyerahkan sebungkus obat kepada Bun Houw.
Pemuda itu
cepat menerimanya dan dengan petunjuk seorang pengawal dia lari ke dapur dan
memasak obat itu dengan air dua mangkok. Sementara itu, In Hong menggunakan
obat bubuk lain lagi untuk dicampur air dan diborehkan ke dada yang terluka.
Kemudian dia menotok beberapa jalan darah pada dada dan pundak kakaknya, dan
menempelkan telapak tangannya pada tempat yang terluka, kemudian mengerahkan
tenaga saktinya menyedot.
Tidak lama
kemudian, beberapa butir pasir halus sekali sudah menempel pada telapak
tangannya dan cepat disimpannya pasir-pasir berbahaya itu. Pada saat Bun Houw
datang membawa obat, dengan bantuan pemuda itu In Hong lalu meminumkan obat itu
kepada Kun Liong yang sudah mulai sadar.
"Uhhhh...!"
Begitu sadar Kun Liong lalu meloncat ke atas akan tetapi dia terhuyung.
"Koko,
engkau belum boleh banyak bergerak." In Hong berkata.
Kun Liong
memejamkan mata sejenak, tubuhnya yang berdiri tegak itu agak bergoyang,
kemudian dia membuka mata dan memandang ke sekelilingnya, lalu kepada mayat Yo
Bi Kiok.
Dia
menghampiri mayat itu. Dengan jari tangannya dia menutupkan kelopak mata dan
mulut mayat itu, baru kemudian dia duduk bersila di atas lantai, mengerahkan
sinkang mengusir sisa racun dan mengumpulkan hawa murni untuk memulihkan
tenaganya.
"Hebat...!"
Tiba-tiba saja terdengar Raja Sabutai berkata, memecah kesunyian yang tadi
mencekam keadaan di situ sejak terjadi peristiwa hebat itu. "Sungguh ilmu
kepandaian hebat-hebat yang telah diperlihatkan tadi. Kami merasa kagum
sekali!"
Bun Houw
lalu melangkah maju dan menjura kepada Raja Sabutai. "Terima kasih atas
kebijaksanaan paduka. Sekarang semua urusan pribadi sudah selesai dan
musuh-musuh Cin-ling-pai telah tewas. Maka kami hendak mohon diri dan mohon
agar pedang pusaka kami dikembalikan kepada kami." Sambil berkata
demikian, pemuda ini mengerling ke arah Pek-hiat Mo-ko karena pedang
Siang-bhok-kiam terselip di pinggang kakek bermuka putih itu.
Raja Sabutai
menoleh kepada gurunya, tersenyum lebar dan menjawab, "Pek-hiat Mo-ko ini
adalah guruku, dan dia mempunyai omongan untuk disampaikan kepadamu, Bun... eh,
Cia-sicu. Bukankah engkau sesungguhnya adalah putera ketua Cin-ling-pai yang
terkenal bernama Cia Keng Hong itu? Nah, kini terserah kepada suhu Pek-hiat
Mo-ko dan subo Hek-hiat Mo-li tentang pedang Siang-bhok-kiam itu." Raja
ini memandang dengan mata bersinar gembira karena dia ingin sekali melihat
apakah tiga orang Han yang lihai ini akan mampu menandingi kedua orang gurunya.
Sesungguhnya
Raja Sabutai tidak tertarik oleh pedang kayu itu dan dia pun tidak tertarik
oleh urusan-urusan pribadi, akan tetapi karena dia ingin sekali melihat dua
orang gurunya bertanding dengan Yap In Hong, Yap Kun Liong atau Cia Bun Houw,
maka dia tidak melarang ketika Pek-hiat Mo-ko tadi berbisik-bisik kepadanya
tentang pedang itu.
Berkerut
alis tebal di atas mata yang bersinar-sinar itu ketika Bun Houw kini langsung
menentang pandang mata nenek dan kakek yang menyeramkan itu. "Urusan
perebutan pedang pusaka adalah urusan pribadi antara Lima Bayangan Dewa dengan
Cin-ling-pai," katanya lantang. "Sama sekali tidak menyangkut orang
lain. Locianpwe hanya bertugas menyimpan pedang dan menyerahkannya kepada fihak
yang menang. Oleh karena itu, saya harap dengan sangat dan minta dengan hormat
agar locianpwe suka menyerahkan pedang pusaka kami itu kepada saya."
"Ho-ho-ho,
nanti dulu, orang muda!" Pek-hiat Mo-ko tertawa kemudian melangkah maju,
sikapnya memandang rendah. "Mengembalikan pedang kayu ini adalah perkara
mudah. Akan tetapi lebih dulu jawablah pertanyaan-pertanyaan ini dengan jujur."
"Silakan
bertanya, locianpwe," kata Bun Houw sambil mengamati wajah yang rusak itu.
Dari logat bicara kakek ini dia dapat menduga bahwa kakek ini tentulah seorang
asing.
"Siapakah
namamu yang sesungguhnya?"
"Nama
saya Cia Bun Houw," menjawab demikian, Bun Houw merasa tengkuknya dingin
dan tahulah dia bahwa tengkuknya itu disambar sinar mata In Hong.
Akan tetapi
perasaan ini dilawannya dengan kenyataan bahwa dara itu pun tadinya hanya
dikenalnya sebagai nona Hong saja, sama sekali dia tidak pernah mimpi bahwa
gadis itu adalah Yap In Hong, adik kandung Yap Kun Liong!
"Engkau
putera dari Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai?" tanya lagi Pek-hiat Mo-ko
dengan suaranya yang mengandung getaran dingin menyeramkan.
"Benar."
"Bukankah
Cia Keng Hong itu adalah pendekar yang dahulu terkenal sebagai sahabat baik,
bahkan tangan kanan dari Panglima Besar The Hoo?" tanya lagi kakek yang
sukar ditaksir berapa usianya itu karena mukanya yang putih itu seperti muka
mayat.
Kepahlawanan
merupakan suatu kebanggaan bagi tiap orang gagah di dunia kang-ouw. Kenyataan
bahwa ayahnya adalah seorang pahlawan pembela nusa bangsa, juga bahwa ayahnya
merupakan sahabat baik dari Panglima Besar The Hoo yang sudah terkenal di
seluruh dunia bahkan amat disegani dan ditakuti kawan dan lawan itu, tentu saja
dia tidak hendak menyangkalnya.
"Benar,"
jawabnya pula. "Bahkan, walau pun mendiang Panglima Besar The Hoo telah
meninggal dunia, tiap saat ayahku tetap setia menyediakan jiwa raganya untuk
membela tanah air dan sekarang ayah membantu kaisar memperoleh kembali
singgasananya yang dirampas oleh pengkhianat-pengkhianat."
"Ho-ho-ho,
baguslah kalau begitu! Nah, kini dengarlah baik-baik, orang muda. Sampaikan
kepada ayahmu itu, kepada Cia Keng Hong ketua Cin-ling-pai itu, bahwa pedang
Siang-bhok-kiam akan kami bawa terus dan hanya akan kami serahkan apa bila
Panglima The Hoo sendiri yang datang menemui kami dan mengambilnya!"
Bun Houw
terbelalak dan tiba-tiba suasana menjadi sunyi sekali. Setelah dapat menekan
ketegangan hatinya, Bun Houw baru menjawab, suaranya mengandung rasa penasaran.
"Permintaan locianpwe sungguh tidak masuk akal. Panglima The Hoo sudah
meninggal dunia, bagaimana dapat menemui locianpwe kecuali kalau locianpwe
menyusul beliau?" Jawaban ini sekaligus mengandung ejekan.
"Hih-hih,
bocah itu lancang mulut. Ketuk saja kepalanya!" Tiba-tiba Hek-hiat Mo-li
berseru, suaranya tinggi melengking dan mengandung getaran panas.
"Ho-ho,
bocah lancang! Siapa tidak tahu bahwa The Hoo telah mati? Akan tetapi mustahil
bila tidak ada muridnya atau keturunannya? Setidaknya masih ada ayahmu yang
menjadi tangan kanan dan sahabat baiknya. Nah, pedang ini kami simpan sambil
menunggu wakil dari The Hoo untuk mengambilnya."
Bun Houw
menjadi marah sekali. "Biar sekarang juga aku menjadi wakilnya!"
bentaknya.
"Dan
aku juga!" In Hong juga berseru dan sudah meloncat pula ke dekat Bun Houw
yang mengerlingnya. Gadis itu juga melirik dan mereka saling bertemu pandang
dalam kerling mereka.
"Bagus...!
Akan tetapi kami lebih senang berhadapan dengan Cia Keng Hong, tua sama tua,
bukan dengan bocah-bocah ingusan!" kata Pek-hiat Mo-ko.
"Tahan...!"
Tiba-tiba terdengar suara yang menggetarkan seluruh ruangan itu.
Kiranya Yap
Kun Liong yang berseru itu dan kini pendekar ini telah bangkit berdiri dan
dengan perlahan melangkah maju. Wajahnya masih pucat, akan tetapi dia telah
terbebas dari racun, hanya tinggal tenaganya yang belum pulih karena dia sudah
memeras semua tenaganya untuk mengusir hawa beracun dari Siang-tok-swa.
"Heh-heh-heh,
kau orang yang sudah lemah karena lukamu mau bicara apa?" Pek-hiat Mo-ko
berkata mengejek.
Yap Kun
Liong menjura ke arah Raja Sabutai dan berkata, "Harap paduka maafkan kami
bertiga. Sama sekali bukan maksud kami untuk membikin ribut di dalam benteng
paduka ini." Kemudian dia memandang kepada Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat
Mo-li, lalu berkata, "Ji-wi locianpwe sungguh bersikap jujur, dan
maafkanlah kedua orang adikku ini. Sudah menjadi kewajiban kami untuk menyampaikan
tantangan ji-wi locianpwe kepada supek Cia Keng Hong, dan kepada para murid
atau keturunan mendiang Panglima The Hoo. Kami bertiga tidak berhak mencampuri
urusan antara ji-wi dan mendiang Panglima The Hoo. Akan tetapi agar jelas,
hendaknya ji-wi suka menerangkan kenapa ji-wi mendendam kepada mendiang
Panglima The Hoo agar kalau ditanya kami dapat memberi tahukan."
"Ho-ho,
kau ternyata lebih cerdik dan sopan! Ketahuilah, kami berdua datang dari Sailan
dan kami pernah dilukai bahkan hampir tewas oleh Panglima The Hoo. Oleh karena
itu, belum puas hati kami sebelum dapat membalas kekalahan kami puluhan tahun
yang lalu itu kepada keturunannya, muridnya, atau pun sahabatnya yang
mewakilinya mengambil pedang Siang-bhok-kiam."
Yap Kun
Liong berpikir sejenak, kemudian dia berkata, "Kami tidak ingin mengganggu
sri baginda raja, dan mengingat bahwa urusan ini merupakan urusan pribadi, ke
manakah wakil mendiang Panglima The Hoo boleh datang mencari ji-wi untuk
mengambil pedang?"
"Ho-ho,
kau kira kami akan mengandalkan pasukan murid kami untuk membantu kami?
Ha-ha-ha-ha, orang muda, sampaikan kepada Cia Keng Hong bahwa kami akan menanti
kedatangan wakil Panglima The Hoo di Lembah Naga, di mana kami berdua akan
bertapa dan menanti dengan tidak sabar."
"Lembah
Naga? Di mana itu?"
"Di
tikungan Sungai Luan-ho, di kaki Pegunungan Khing-an-san."
Yap Kun
Liong mengangguk. "Baiklah, Pek-hiat Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li,"
jawabnya dan kini sikap menghormatnya pun lenyap. "Akan segera kami
sampaikan kepada supek Cia Keng Hong."
Kemudian,
mewakili dua orang adiknya dia lalu menghadap Raja Sabutai dan berkata,
"Sekali lagi terima kasih kami haturkan atas kebijaksanaan paduka, dan
kini perkenankan kami untuk pergi dari benteng ini dan membawa jenazah Yo Bi
Kiok."
Raja Sabutai
mengangguk-angguk. "Sampaikan kepada Kaisar Ceng Tung bahwa kami menerima
uluran tangannya, dan dalam bulan ini juga kami akan kembali ke utara. Nona In
Hong, untuk membalas jasa-jasamu sebagai pengawal dan sahabat sang ratu, beliau
minta kepadaku untuk menyampaikan terima kasih dan tanda mata ini.
Terimalah!"
In Hong
merasa terharu juga mengingat akan kebaikan Khamila, maka dia melangkah maju
dan tidak menolak pada waktu Raja Sabutai mengalungkan seuntai kalung mutiara
ke lehernya.
"Terima
kasih, sri baginda, dan semoga paduka bersama Sang Ratu Khamila hidup dalam
kebahagiaan."
Mereka
berpamit sekali lagi, kemudian dengan diantar sepasukan pengawal kehormatan,
mereka bertiga meninggalkan benteng itu dan Kun Liong memondong mayat Yo Bi Kiok
yang masih lemas.
Setibanya di
luar benteng, di dalam sebuah hutan yang sunyi, Kun Liong lalu mengubur jenazah
wanita itu, dibantu oleh Bun Houw dan In Hong. Ketika In Hong berlutut di depan
kuburan itu, tanpa tertahankan lagi dua butir air mata membasahi pipinya yang
segera diusapnya dengan punggung tangan.
Sementara
itu, terdengar Bun Houw berkata kepada Yap Kun Liong, dengan nada suara
terheran dan penasaran, "Yap-suheng, mengapa suheng tidak membolehkan saya
untuk mewakili ayah menghadapi dua orang kakek dan nenek iblis itu untuk
merampas kembali Siang-bhok-kiam? Saya tidak takut melawan mereka."
"Aku
percaya, sute. Akan tetapi, jika hal itu kau lakukan juga, berarti kita
membiarkan diri dalam bahaya besar dan hal itu merupakan kebodohan yang sembrono.
Kakek dan nenek itu amat lihai dan biar pun engkau dan Hong-moi-moi belum tentu
kalah, akan tetapi harus kau ingat bahwa mereka merupakan guru-guru dari Raja
Sabutai. Tak mungkin raja akan membiarkan saja dua orang gurunya ditentang, apa
lagi dikalahkan orang di hadapannya. Bila pasukan maju mengeroyok, mana mungkin
kita dapat melawan? Bahkan meloloskan diri pun akan sukar sekali, apa lagi
karena kesehatanku belum pulih. Kalau sampai terjadi demikian, kita tidak bisa
lolos dan pedang pun tak dapat terampas, bukankah hal itu amat celaka dan
menyesal pun tiada gunanya lagi. Dan yang lebih hebat lagi, kita akan dicap
sebagai pengacau di benteng itu, dan ini sangat bertentangan dengan kehendak
kaisar. Setelah mereka berdua menantang dan akan menanti di Lembah Naga,
bukankah hal itu lebih mudah lagi?"
Bun Houw
mengangguk-angguk dan benar-benar dia kagum akan pandangan yang luas dari
pendekar itu.
"Koko,
mengapa engkau masih mau mengurus jenazah subo?" Mendadak In Hong juga
mengajukan pertanyaan. "Setelah semua pengakuannya itu... setelah ternyata
bahwa dia yang membunuh so-so (kakak ipar)... dia pula yang menghancurkan
hidupmu, akan tetapi engkau masih merawat jenazahnya. Mengapa?"
Dara itu
kini memandang wajah kakaknya dengan penuh kagum dan bangga. Kakaknya ini
benar-benar seorang pendekar sakti yang hebat, bukan hanya hebat ilmunya
seperti yang sudah diperlihatkannya ketika bertanding melawan gurunya, akan
tetapi juga hebat perangainya.
Kun Liong
menghela napas lalu duduk di atas tanah berumput, memandang sejenak pada
adiknya dan kepada Bun Houw. Dia tahu bahwa adiknya berhati keras dan aneh,
bahwa adiknya tidak mau dijodohkan begitu saja dengan Bun Houw. Dan di dalam
hatinya dia tidak ingin melihat adiknya mengalami guncangan batin akibat cinta
seperti yang banyak dialaminya selama ini.
Teringat dia
akan semua pengalamannya, akan semua petualangannya pada waktu dia masih muda
dahulu, petualangannya dalam asmara dengan banyak gadis cantik. Semua peristiwa
itu, kematian isterinya, kekejaman Yo Bi Kiok, semua adalah akibat dari seluruh
petualangannya itulah.
"Adikku,
dan juga engkau, sute. Dengarlah dan supaya kalian tidak usah heran mengapa
sampai detik ini aku menaruh hati kasihan terhadap Yo Bi Kiok, pembunuh dari
isteriku yang tercinta. Dia membunuh isteriku bukan karena permusuhan pribadi,
bukan karena kebencian pribadi, melainkan karena... cinta kasihnya
kepadaku."
"Ahhhh...!"
Bun Houw yang belum tahu akan riwayat suheng-nya itu berseru kaget dan heran,
akan tetapi In Hong yang sudah tahu hanya menunduk.
"Karena
cintanya kepadaku, dia merasa cemburu dan iri kepada isteriku. Ahh, kasihan Bi
Kiok. Dia menjadi seperti gila karena cinta, cinta yang sebenarnya sama sekali
bukanlah cinta. Orang yang mencinta tentu ingin melihat orang yang dicintanya hidup
berbahagia! Akan tetapi tidak demikian dengan cinta Bi Kiok. Dia mencinta
dirinya sendiri dan cinta macam itu hanya menimbulkan kedukaan, kebencian dan
kejahatan belaka. Betapa pun juga, dia sudah mengakui perbuatannya dan... dan
rasa penasaran besar itu kini telah terbongkar. Rahasia yang hebat itu telah
terbongkar dan legalah hatiku karena sekarang terbukti keyakinan hatiku selama
ini bahwa enci-mu, sute, bahwa Giok Keng tak berdosa. Tetapi... ahhh, dia pun
ikut berkorban hebat, suaminya tewas dan sekarang puteranya..."
Yap Kun
Liong menundukkan mukanya, penuh rasa penyesalan mengapa peristiwa yang menimpa
dirinya itu merembet kepada keluarga Giok Keng.
"Sungguh
hebat...!" dia melanjutkan. "Aku kehilangan isteri dan puteriku
karena perbuatan Bi Kiok, akan tetapi akibatnya, enci-mu yang tidak tahu
apa-apa sudah kehilangan suami dan sekarang ternyata puteranya juga terbunuh
oleh Bi Kiok. Aihhh, Bi Kiok, mengapa hatimu menjadi seganas itu? Kasihan anak
itu... yang tidak berdosa."
"Koko,
anak itu tidak mati oleh Siang-tok-swa."
Kun Liong
mengangkat muka dan memandang adiknya dengan mata terbelalak, penuh harapan dan
keheranan. "Apa... apa maksudmu? Lie Seng..."
"Dia
tidak mati. Aku sendiri yang telah mengobatinya," jawab In Hong.
"Lie
Seng tidak mati? Ya Tuhan, syukurlah...!" Bun Houw juga berseru girang
pada saat memandang wajah gadis itu. Namun ketika pandang mata mereka bertemu
dan melihat kemarahan di pandang mata gadis itu, dia menunduk kembali, mukanya
menjadi merah.
"Ketika
aku pergi kepada Yok-mo di Gunung Cemara untuk mencari obat, di sana aku
bertemu dengan anak laki-laki yang hampir mati karena terluka oleh
Siang-tok-swa. Aku lalu mengobatinya dan dia sembuh, dia tidak mati. Aku yakin
bahwa dia itulah anak yang kau maksudkan, koko."
Kun Liong
menjadi girang sekali. "Bagaimana dia bisa berada di sana? Dan bagaimana
pula secara kebetulan kau berada di tempat itu, moi-moi? Ceritakanlah!"
"Aku...
aku pergi mencarikan obat...," gadis itu menunduk.
"Dia
mencarikan obat untuk aku yang ketika itu hampir mampus, suheng,"
tiba-tiba Bun Houw menjawab cepat. "Aku menderita luka-luka parah oleh
Bayangan Dewa dan kalau tidak ada adikmu ini, agaknya sekarang aku sudah
mati."
"Ahhhhh...!"
Kun Liong semakin girang dan memandang adiknya yang mukanya menjadi merah.
"Bohong!
Dia memang terluka dan aku mencarikan obat kepada Yok-mo. Di sana aku bertemu
dengan seorang pendeta yang datang membawa anak laki-laki yang luka-luka oleh
Siang-tok-swa itu. Kami berebutan untuk memperoleh pertolongan Yok-mo. Pendeta
itu lihai bukan main dan aku lalu menukar obatku untuk menyembuhkan anak itu
dengan pelajaran Ilmu Pukulan Thian-te Sin-ciang..."
"Hehh...?!"
Tiba-tiba Bun Houw meloncat ke atas mengejutkan In Hong dan Kun Liong.
"Kalau begitu dia adalah suhu!"
Kini Kun
Liong juga kaget. "Apa? Gak-hu (ayah mertua)?"
In Hong
menjadi bingung mendengar Bun Houw menyebut guru kepada pendeta itu dan
kakaknya menyebut ayah mertua. Hal ini sama sekali tidak pernah
disangka-sangkanya. "Dia seorang pendeta Lama berjubah merah, bertubuh
tinggi besar dan..."
"Dia
suhu!" Bun Houw berseru.
"Jelas,
dia adalah gak-hu. Aihhh, sungguh ini kejadian yang kebetulan sekali!" Kun
Liong berkata dengan wajah girang. "Kalau begitu, putera enci-mu itu
berada di tangan gak-hu dan keselamatannya terjamin, sute."
Bun Houw
mengangguk dan memandang kepada In Hong, kemudian dia berkata, "Kalau
begitu, engkau terhitung adalah sumoi-ku sendiri."
In Hong
menggeleng kepala. "Dia berpesan bahwa aku tidak boleh mengaku dia sebagai
guru, dan memang demikianlah perjanjiannya." Diam-diam gadis ini kagum
sekali. Pantas saja Cia Bun Houw ini sedemikian lihainya, kiranya pemuda putera
ketua Cin-ling-pai ini adalah murid pendeta Lama sakti itu!
"Urusan
enci-mu sudah beres, sute, dan sekarang aku harus pergi untuk mencari anakku.
Anakku melarikan diri pada saat ibunya terbunuh dan hingga kini tidak kuketahui
ke mana perginya. Engkau pulanglah ke Cin-ling-pai untuk melaporkan soal
Siang-bhok-kiam pada ayahmu dan sampaikan pula berita pengakuan Yo Bi Kiok
kepada keluargamu, jangan lupa beritakan tentang Lie Seng yang sudah berada di
tangan gak-hu itu kepada ibumu. Aku sendiri akan mencari jejak puteriku, dan...
kalau kau suka, adikku, marilah kau ikut bersamaku..."
Dia
memandang kepada adiknya dengan sinar mata penuh kasih. Isterinya sudah tewas,
puterinya pun sudah hilang dan kini dia menemukan kembali adiknya yang agaknya
telah kembali ke jalan benar.
Akan tetapi
In Hong menggelengkan kepalanya. "Aku masih mempunyai urusan, koko.
Biarlah kalau urusanku sudah selesai, aku pasti akan pergi ke Leng-kok dan selanjutnya
aku akan hidup di sana bersama kakakku."
Kun Liong
melangkah maju dan memegang kedua tangan adiknya, digenggamnya kedua tangan
adiknya dengan mesra. "In Hong, adikku. Keadaan sudah memaksa kita saling
berpisah. Kakakmu ini telah mengalami banyak penderitaan hidup. Mudah-mudahan
saja engkau tak akan seperti kakakmu. Hanya pesanku, jangan terlalu menurutkan
perasaan, adikku, bersikaplah bijaksana dan mudah-mudahan kalau sekali waktu
cinta menguasai dirimu, semoga cintamu itu bukan seperti cinta kasih mendiang
Bi Kiok kepada kakakmu. Mengertikah engkau, adikku?"
In Hong
terharu. Ingin sekali dia merangkul kakak kandungnya itu, akan tetapi dia hanya
menggigit bibir mengeraskan hatinya, lalu mengangguk.
Kun Liong
lalu melepaskan tangan adiknya. "Nah, kalau begitu, selamat tinggal,
selamat berpisah sampai jumpa kembali dalam keadaan yang lebih baik lagi."
Pendekar ini
sekali lagi menengok ke arah gundukan tanah kuburan Yo Bi Kiok, menghela napas
panjang lalu pergi dari situ, diikuti pandang mata sepasang orang muda itu.
***************
Mereka
berdiri saling berhadapan. Sejenak mereka saling pandang penuh selidik, bahkan
kemudian pandang mata In Hong dibayangi rasa marah dan penasaran.
"Kau...!"
"Kau...!"
Keduanya
terdiam karena kata itu keluar dengan berbareng.
"Hemmm,
kiranya engkau adalah Cia Bun Houw!" In Hong kemudian berkata dan segera
membuang pandang mata ke atas, ke arah daun-daun pohon di ujung yang dikibarkan
oleh angin.
"Ya..."
"Engkau
putera ketua Cin-ling-pai yang terkenal di seluruh dunia itu!"
"Ya..."
"Engkau
berpura-pura menyamar sebagai pengawal pemilik rumah judi untuk menyelidiki
keadaan Bayangan Dewa."
"Ya..."
"Engkau
berpura-pura bodoh dan tidak memiliki kepandaian sampai aku pun tertipu."
"Ya...
tapi..."
"Sungguh
cerdik sekali!"
"Hemmm..."
"Kiranya
yang terhormat putera ketua Cin-ling-pai, seekor harimau yang berpakaian kulit
domba."
"Ahhh..."
"Dan
pendekar muda sakti putera ketua Cin-ling-pai itu memberikan pedang pusakanya
kepada..."
"Kepada
seorang dara pendekar yang lihai..."
"Seorang
Dewi Maut yang kejam, yang membunuh gadis dusun yang tidak berdosa!"
"Ehh,
aku salah lihat... ehh, salah duga..."
"Seorang
putera ketua Cin-ling-pai yang berpandangan tajam mana mungkin salah lihat?
Karena memang gadis itu dianggapnya kejam, ganas dan tidak berperi
kemanusiaan!"
"Ehh,
dengar dulu..."
"Jadi
Cia Bun Houw si pendekar muda sakti itu adalah murid pendeta Lama..."
"Ya,
suhu Kok Beng Lama."
"Pendeta
Lama yang sakti dari Tibet?"
"Ya..."
"Dan
Cia Bun Houw si pendekar sakti itu adalah seorang pemuda perayu wanita, seorang
hidung belang yang mata keranjang!"
"Heiiiii...!"
"Cia
Bun Houw itu adalah seorang lelaki yang tidak setia, yang mudah berganti
kekasih!"
"Ehh,
nanti dulu! Hong-moi, jangan kau menuduh yang bukan-bukan."
"Seorang
pendekar sakti yang menggunakan kepandaiannya merayu untuk menjatuhkan hati
seorang gadis dusun yang bodoh..."
"Heiii,
aku tidak merayu gadis dusun she Ma itu. Dialah yang... ahh, sudahlah.
Hong-moi, mengapa engkau menuduhkan semua itu kepadaku?"
"Siapa
yang menuduh? Aku hanya membicarakan kenyataan, bukan seperti engkau yang
sebelum jelas perkaranya sudah menuduhku membunuh orang tak berdosa."
"Hong-moi,
aku mengaku salah. Aku memang tadinya mengira engkau yang melakukan pembunuhan
kejam itu terhadap gadis she Ma karena agaknya semua bukti-bukti tadinya
menunjukkan demikian. Ternyata subo-mu yang melakukan hal itu dan maafkanlah
aku. Harap saja kesalahanku itu tidak menyakitkan hatimu terus sehingga engkau
membenci dan menuduhku yang bukan-bukan."
"Sekali
lagi, aku tidak menuduh yang bukan-bukan. Apakah engkau hendak menyangkal bahwa
engkau merayu seorang gadis dusun, kemudian engkau melupakan dia, bahkan
menerima ikatan jodoh dengan gadis lain yang belum pernah kau lihat
selamanya?"
"Ehhh...?!"
Bun Houw terbelalak dan tentu saja dia teringat kepada Yalima yang manis, yang
ditinggalkannya di Tibet. Akan tetapi tidak mungkin In Hong tahu akan hal itu
dan dia pun tidak akan membicarakan hal itu dengan siapa pun juga.
Peristiwa
dengan Yalima dianggapnya sudah lewat, hanya merupakan masa kanak-kanak
baginya. Baru sekarang dia sadar bahwa sebenarnya di dalam batinnya tidak ada
ikatan cinta kasih terhadap gadis Tibet itu. Kalau toh akan dinamakan cinta,
agaknya itulah cinta monyet, cinta remaja yang tidak mendalam, hanya karena
saling tertarik oleh rupa dan karena biasa bergaul secara akrab saja.
"Hong-moi,
harap kau jangan menuduh yang bukan-bukan."
Sinar mata
In Hong membayangkan rasa kemarahan dan penasaran. "Cia Bun Houw! Apakah
kau berani menyangkal bahwa engkau melupakan gadis dusun dan secara tidak tahu
malu menerima ikatan jodoh dengan seorang gadis lain?"
Wajah In
Hong menjadi merah. Tentu saja dara ini merasa penasaran dan marah. Sudah jelas
pemuda ini meninggalkan dan melupakan Yalima, lalu mengikatkan diri dengan dia
sebagai calon isteri, dan sekarang pemuda ini hendak menyangkal.
Tetapi
dengan wajah sungguh-sungguh dan sinar mata jujur Bun Houw menjawab,
"Tentu saja aku menyangkalnya, Hong-moi. Aku tak pernah menerima ikatan
jodoh dengan gadis mana pun dan tentang gadis yang kau katakan kurayu dan
kutinggalkan dan lupakan..."
"Hemm,
sungguh berani mati. Tak perlu banyak berbantahan, kalau memang kau berani,
mari bersamaku pergi ke Cin-ling-san." In Hong menantang.
Bun Houw
makin terheran dan terkejut. "Cin-ling-san?"
Tentu saja
dia terkejut bukan main. Cin-ling-san adalah tempat tinggalnya, mau apa gadis
ini mengajak dia ke sana?
"Ya, ke
Cin-ling-san. Ke Cin-ling-pai..."
"Ehh,
kau maksudkan menjumpai ayah dan ibuku?" Bun Houw tentu saja menjadi
girang sekali.
"Ya dan
di sana engkau akan tahu sendiri bahwa aku sama sekali tidak menuduhmu yang
bukan-bukan dan ingin aku mendengar jawabanmu!"
Bun Houw
menjadi girang sekali. "Baik, marilah kita pergi. Aku memang ingin kembali
ke Cin-ling-san untuk melaporkan pada ayah tentang Siang-bhok-kiam dan
syukurlah engkau suka ikut bersamaku ke sana, Hong-moi. Tahukah engkau bahwa
ayah bundamu dahulu adalah sahabat-sahabat terbaik dari orang tuaku, bahkan
antara ibumu dan ayahku masih ada hubungan saudara seperguruan? Ayah dan ibu
tentu akan gembira sekali menerima kedatanganmu."
"Hemmm,
aku telah bertemu dengan mereka. Akan tetapi kepergianku ke Cin-ling-pai ini
bukan untuk bertemu dengan ayah dan bundamu, melainkan..." In Hong tidak
melanjutkan kata-katanya dan dia teringat akan Yalima sehingga hatinya menjadi
panas lagi.
"Melainkan...
apa, Hong-moi?"
"Kau
lihatlah saja nanti!" In Hong berkata kaku dan dingin lalu membuang muka.
Bun Houw
semakin terheran-heran melihat sikap gadis ini. Akan tetapi betapa pun juga,
hatinya girang bukan main sebab dia akan melakukan perjalanan ke Cin-ling-san
bersama dengan gadis ini.
Tapi
ternyata perjalanan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti yang
dibayangkannya. Memang benar dia melakukan perjalanan bersama In Hong, akan
tetapi gadis itu selalu menjauhkan diri dan betapa pun dia berusaha untuk
menyelami isi hati gadis itu, untuk membuka rahasia apa yang tersembunyi di
balik tuduhan-tuduhan gadis itu, usahanya sia-sia belaka karena In Hong tidak
mau bicara, hanya menjawab singkat bahwa pemuda itu akan tahu segalanya setelah
tiba di Cin-ling-san.
Sikap yang
dingin dan kaku dari gadis ini, dan yang agaknya bersungguh-sungguh dalam
tuduhan-tuduhnya membuat Bun Houw merasa khawatir dan tidak enak juga. Mulailah
dia menduga-duga yang ada hubungannya dengan Yalima.
Apakah
Yalima datang menyusulnya ke Cin-ling-san? Akan tetapi pertanyaan ini langsung
dibantahnya sendiri. Yalima adalah seorang gadis lemah, seorang gadis dusun di
Tibet, mana mungkin tiba-tiba bisa berada di Cin-ling-san? Tidak mungkin sekali
gadis dusun itu melakukan perjalanan sedemikian jauhnya. Pula, tidak mungkin
Yalima berani selancang itu menyusul dirinya ke Cin-ling-san.
Lagi pula,
sesungguhnya, selain sedikit kemesraan, tidak ada ikatan apa-apa antara dia
dengan Yalima, hanya suatu peristiwa cinta remaja yang masih hijau dan mentah.
Betapa pun juga, melihat sikap In Hong yang amat serius dan melihat dara itu
benar-benar seperti orang marah dan penasaran kepadanya, hati Bun Houw menjadi
tidak enak dan ingin dia cepat-cepat tiba di Cin-ling-san agar persoalan itu
segera menjadi terang...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment