Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 29
KETIKA pada
suatu pagi mereka sampai di Pegunungan Cin-ling-san, otomatis perjalanan yang
tadinya dilakukan dengan cepat itu menjadi lambat! Hal ini karena terjadi
keraguan di hati masing-masing.
In Hong
teringat akan kunjungannya yang lalu, sikapnya yang kasar terhadap keluarga
Cia, kekurang ajarannya, maka merasa tidak enak hati untuk bertemu dengan ayah
bunda pemuda itu. Sebaliknya, Bun Houw yang menduga bahwa tentu ada sesuatu
yang luar biasa terjadi di sini melihat sikap In Hong, juga merasa khawatir.
Tanpa bicara mereka melanjutkan perjalanan itu dengan jalan kaki biasa mendaki
lereng Gunung Cin-ling-san.
Mereka tidak
tahu bahwa kedatangan mereka itu sudah terlihat oleh Kwee Siong, seorang pemuda
remaja adik dari Kwee Tiong. Ketika melihat kedatangan Bun Houw, Kwee Siong
menjadi terkejut dan ketakutan. Dia telah mengetahui bahwa kakaknya, Kwee
Tiong, telah merampas Yalima, kekasih putera ketua Cin-ling-pai itu dan kini
Bun Houw sudah pulang. Secara diam-diam Kwee Siong lalu berlari-lari naik ke
puncak dan mengabarkan kepada kakaknya tentang kedatangan Bun Houw.
"Twako...
twako... celaka, twako...!" Kwee Siong yang baru berusia lima belas tahun
itu berkata, napasnya terengah-engah ketika dia bertemu dengan kakaknya.
"Ehh,
adik Siong, ada apakah?" Kwee Tiong bertanya khawatir. "Apa yang
terjadi?"
"A
Siong, kau kenapakah?" kakak iparnya, Yalima juga bertanya melihat wajah
adik ipar yang pucat dan ketakutan itu.
"Twako...
twaso... celaka, aku melihat... Cia-taihiap datang..."
“Ahhh...!"
"Ihhh...!"
Suami isteri
itu terkejut sekali karena berita itu sangat tiba-tiba, akan tetapi Kwee Tiong
segera tenang kembali. Dia memegang tangan isterinya dan berkata,
"Isteriku,
engkau tahu bahwa aku bertanggung jawab atas perbuatan kita ini. Maka biarlah
aku akan menyambut kedatangannya dan mengabarkannya tentang kita. Kau tunggu
saja di sini."
"Tidak...
tidak...! Yang berbuat adalah kita berdua, karena itu yang bertanggung jawab
kita berdua pula! Aku tahu bahwa dia adalah seorang yang berbudi mulia, tentu
akan dapat memaafkan kita."
"Jangan,
aku tidak kuat melihat engkau dimarahi...," cegah sang suami.
"Dan
hatiku pun tidak akan tenteram kalau membayangkan engkau sendirian menghadapi
kemarahannya. Suamiku, pendeknya, apa pun yang akan terjadi, kita akan
menghadapi bersama! Kita hidup bertiga dan mati pun bertiga!"
"Bertiga...?"
Kwee Tiong menoleh ke arah Kwee Siong karena dia tidak ingin menyeret adiknya
itu dalam urusannya dengan Yalima, akan tetapi dia melihat isterinya mengelus
perutnya yang gendut, maka mengertilah dia. Dengan terharu dia merangkul
isterinya dan berkata halus, "Marilah kalau begitu."
Sambil
bergandeng tangan dan berbesar hati Kwee Tiong bersama Yalima lalu menuruni
puncak untuk menyambut kedatangan Bun Houw, diikuti oleh pandang mata Kwee
Siong penuh kekhawatiran. Kemudian pemuda remaja ini cepat berlari ke gedung
tempat tinggal ketua Cin-ling-pai untuk melapor, karena dia mengkhawatirkan
keselamatan kakaknya berdua.
***************
"Hong-moi…,
mengapa engkau menyiksa hatiku seperti ini?" terdengar suara Bun Houw
memecah kesunyian ketika dia bersama In Hong berjalan mendaki lereng gunung
melalui lorong itu.
"Aku
tidak merasa menyiksa hati siapa pun," jawaban In Hong kaku dan dingin
karena semakin dekat dengan Yalima, semakin tak senang pula hatinya.
Akan tetapi
di dalam perjalanan dara ini sering melamun dan merasakan betapa rasa tak
senang di dalam hatinya itu kini sama sekali berubah. Bukan lagi condong ke
arah ketidak senangan karena Bun Houw mempermainkan Yalima, melainkan tidak
senang mengapa pemuda ini mencinta Yalima, rasa tidak senang oleh cemburu.
"Kenapa
engkau tidak berterus terang saja, Hong-moi? Apakah sebetulnya segala rahasia
sikapmu ini? Engkau mengajak aku ke sini, ke tempat tinggalku, ada urusan
apakah?"
In Hong
hanya mengerling dan menjawab pendek, "Engkau akan melihat sendiri
nanti..."
"Enci
In Hong...!"
"Cia-taihiap...!"
Bun Houw dan
In Hong yang sedang tenggelam dalam lamunan masing-masing, terkejut dan
mengangkat muka memandang. Ketika mereka melihat Kwee Tiong dan terutama sekali
Yalima datang menuruni lorong itu, keduanya otomatis menghentikan langkah dan
memandang dengan mata terbelalak. Bun Houw yang sama sekali tidak menyangka
akan bertemu dengan Yalima di situ, terbelalak heran, dan In Hong yang melihat
Yalima datang bergandeng tangan bersama seorang pemuda tampan, juga terbelalak
heran.
Kwee Tiong
yang masih menggandeng tangan isterinya itu segera menarik isterinya dan mereka
berlutut di hadapan kaki Bun Houw! Tentu saja pemuda ini terkejut bukan main
sampai melangkah mundur dua tindak.
"Ehh...
apa yang kalian lakukan ini?"
"Cia-taihiap,
kami berdua menyerahkan jiwa raga kami kepada taihiap!"
"Heiii,
Kwee Tiong koko, apakah kalian sudah gila?"
"Cia-taihiap,
kami... telah menjadi suami isteri..."
"Bagus!"
Bun Houw berseru girang sekali, merasa seolah-olah batu sebesar gunung telah
dilepaskan dari hatinya yang tertindih. "Biar pun sudah agak terlambat,
aku mengucapkan selamat kepada kalian!"
"Terima
kasih, taihiap..." Kwee Tiong berkata terharu.
"Terima
kasih... memang aku percaya bahwa engkau adalah seorang yang berbudi mulia,
taihiap, sedangkan aku... aku hanyalah seorang bodoh..." Yalima terisak
dan menutupi mukanya, air matanya mengalir turun.
"Yalima!
Apa artinya ini? Engkau... sudah mengandung malah?" Kini terdengar In Hong
berseru, suaranya mengandung kemarahan.
"Enci
In Hong... aku... aku sudah menikah... dengan suamiku ini... beberapa bulan
yang lalu..."
"Singgg...!"
Tampak sinar berkelebat.
"Keparat
kau, perempuan tidak setia dan memalukan!"
Bun Houw
terkejut bukan main dan secepat kilat dia meloncat dan berdiri di depan In
Hong, menghadang antara In Hong dan Yalima. "Hong-moi, apa yang hendak kau
lakukan ini?"
"Harus
kubunuh perempuan tidak setia itu!" bentak In Hong. Kwee Tiong sudah
bangkit pula untuk melindungi isterinya.
"Hong-moi,
engkau tidak berhak berbuat demikian! Kepada siapakah Yalima tidak setia?"
"Kepadamu!
Dulu dia mengaku telah saling mencinta denganmu, akan tetapi mengapa dia
sekarang..."
"Hong-moi,
saat itu kami masih seperti kanak-kanak. Yalima menyangka dia mencintaku
sebelum dia berjumpa dengan Kwee Tiong koko yang ternyata benar-benar
dicintanya. Aku sendiri tidak merasa dikhianati, tidak menganggap bahwa Yalima
tidak setia. Kenapa engkau yang tidak ada sangkut-pautnya dengan urusan ini
menjadi marah bahkan hendak membunuhnya? Hong-moi, apa sih sebenarnya arti
perbuatanmu yang aneh ini?"
Mereka
berdiri saling berhadapan, saling pandang, In Hong dengan muka merah padam dan
mata berapi-api, Bun Houw dengan muka agak pucat dan mata penuh keheranan.
Akhirnya pedang yang bergetaran di tangan In Hong, pedang Hong-cu-kiam itu
bergerak, akan tetapi bukan menyerang siapa-siapa, melainkan meluncur ke atas
tanah.
"Cappppp...!"
Pedang itu
menusuk tanah sampai amblas ke gagangnya. Terdengar suara isak ditahan, dan In
Hong lalu membalikkan tubuhnya dan meloncat lalu lari pergi dengan cepat
sekali.
"Hong-moi...!"
Bun Houw berseru memanggil, tetapi dara itu sama sekali tidak menoleh lagi dan
sebentar saja lenyap dari pandang mata.
"Hong-moi...!"
Bun Houw hendak mengejar, akan tetapi pada saat itu terdengar suara lirih,
suara Yalima yang mengandung tangis.
"Taihiap,
harap ampunkan aku..."
Bun Houw
menarik napas panjang, tidak jadi mengejar karena dia pun maklum alangkah
anehnya watak dara itu sehingga kalau dia mengejar dan mendesak, tentu hanya
akan menimbulkan kemarahan yang makin hebat di dalam hati In Hong. Maka dia
lalu menoleh lagi.
"Berdirilah
dan ceritakanlah semuanya. Bagaimana Yalima tahu-tahu bisa berada di sini, dan
mengapa pula In Hong mengenalmu dan kini marah-marah?"
Kwee Tiong
menarik isterinya bangkit dan dialah yang menjawab, karena isterinya masih
menangis sesenggukan. "Taihiap, karena isteriku telah menuturkan segalanya
kepadaku, maka bolehkah saya yang bercerita kepada taihiap?"
"Silakan,
Kwee-koko, sama saja."
"Yalima
dipaksa oleh orang tuanya, akan diberikan kepada seseorang yang berkuasa di
Tibet. Dia lalu melarikan diri ke timur, dengan maksud untuk pergi menyusul dan
mencari taihiap karena taihiap satu-satunya orang yang dapat diharapkan akan
menolong dirinya. Akan tetapi dia terjatuh ke tangan seorang datuk kaum sesat,
yaitu Go-bi Sin-kouw..."
"Ahhh...!"
Bun Houw terkejut sekali.
"Biarlah
aku yang melanjutkan," tiba-tiba Yalima berkata kepada suaminya.
"Taihiap, aku tentu sudah celaka dan mungkin sudah tewas kalau saja tidak
muncul enci In Hong yang menolongku dari tangan orang-orang jahat itu. Karena
pertolongan itu, maka aku lalu berterus terang menceritakan riwayatku, juga
tentang... taihiap. Sungguh mati aku sama sekali tidak tahu bahwa antara
taihiap dan dia... bahwa kalian telah saling bertunangan..."
"Ehh,
bohong itu! Siapa bilang begitu?" Bun Houw berseru kaget.
"Agaknya
taihiap telah ditunangkan dengan enci In Hong oleh ayah bunda taihiap di luar
tahumu, dan hal itu telah disampaikan kepada enci In Hong. Oleh karena itu dia
menjadi marah sekali mendengar bahwa antara kita... eh, terdapat semacam
hubungan. Enci In Hong lalu memaksaku pergi bersama ke Cin-ling-pai dan dengan
terang-terangan dia lalu berkata kepada Cia-locianpwe berdua bahwa hubungan
jodoh antara dia dengan taihiap putus sudah, dan bahwa taihiap adalah
tunanganku. Itulah sebabnya mengapa dia tadi marah-marah melihat aku sudah
berjodoh dengan Kwee-koko dan... entah mengapa aku sendiri tidak mengerti,
taihiap. Kami berdua tadinya khawatir bahwa engkaulah yang akan marah-marah,
siapa tahu, engkau dapat memaafkan kami, malah sebaliknya enci In Hong yang
hampir membunuhku..."
Bun Houw
menjadi bengong dan melamun. Sungguh sukar dimengerti sikap In Hong tadi. Dia
mencabut pedang Hong-cu-kiam dan hatinya tiba-tiba terasa kosong dan sunyi
sekali. Dipungutnya sarung pedang Hong-cu-kiam yang tadi dilemparkan ke atas tanah
oleh In Hong yang marah, lalu disimpannya pedang itu. Dia teringat akan burung
hong kemala di dalam saku bajunya dan otomatis tangannya meraba benda itu dan
hatinya makin terasa sedih.
"Sungguh
aneh... sungguh aku tak mengerti...," hatinya berbisik.
Pada saat
itu terdengar seruan nyaring, "Houw-ji (anak Houw)...!"
Bun Houw
mengangkat muka memandang dan melihat ayah dan ibunya tengah turun dari puncak
dengan cepat. Mereka tadi mendengar laporan Kwee Siong tentang kedatangan
putera mereka itu dan karena khawatir kalau-kalau terjadi sesuatu antara Bun
Houw dan Kwee Tiong berdua Yalima, mereka cepat-cepat turun.
"Ayah!
Ibu!" Bun Houw memberi hormat dan ibunya merangkulnya dengan hati lapang.
Terutama
sekali ibunya merasa lega melihat puteranya kelihatan tidak marah walau pun
pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa Yalima baru saja menangis dan
wajah Kwee Tiong masih pucat, tanda bahwa mereka berdua baru saja mengalami
guncangan batin yang hebat.
"Bukankah
engkau tadi datang bersama In Hong?" Cia Keng Hong yang tadi menerima
laporan Kwee Siong bertanya heran, matanya memandang ke kanan kiri
mencari-cari.
"Dia
sudah pergi, ayah," jawab Bun Houw dengan lesu dan keadaan puteranya ini
tidak terlepas dari pandang mata ayahnya.
"Lebih
baik kalau begitu. Bocah galak itu membikin ribut saja," kata Sie Biauw
Eng yang menggandeng tangan puteranya dan mengajaknya naik ke puncak.
Beramai
mereka naik ke puncak Cin-ling-san, menuju ke markas Cin-ling-pai yang barada
di lereng dekat puncak. Nenek Sie Biauw Eng kelihatan gembira bukan main dan
segera menghujani puteranya dengan pertanyaan-pertanyaan.
Setelah tiba
di dalam rumah, Bun Houw lebih dulu menuturkan soal pembunuh isteri Kun Liong
yang menjadi pokok dan penyebab semua peristiwa menyedihkan di antara mereka
dengan keluarga Kun Liong itu.
"Ayah
dan ibu, sekarang pembunuh isteri Yap-suheng telah diketahui."
Tentu saja
suami isteri pendekar itu menjadi terkejut dan juga girang. "Siapa
dia?"
"Ia
adalah seorang wanita yang bernama Yo Bi Kiok, ketua dari Giok-hong-pang. Dia
lihai sekali karena sebetulnya dialah yang dulu memperoleh bokor emas pusaka
dari Panglima The Hoo, Ayah."
"Ahhh...!"
Cia Keng Hong terkenang akan keributan puluhan tahun yang lalu pada waktu
pusaka bokor emas itu diperebutkan orang-orang gagah di seluruh dunia kang-ouw.
"Di
mana sekarang keparat itu? Biar kucari dan kubunuh iblis betina yang sudah
menjadi gara-gara itu!" berkata nenek Sie Biauw Eng yang masih belum
kehilangan kegalakannya setiap kali menghadapi kejahatan.
"Dia
sudah tewas di tangan Yap-suheng sendiri, ibu. Yo Bi Kiok itu dahulunya
merupakan seorang sahabat baik dari Yap-suheng sendiri, bahkan wanita itu...
dia adalah guru dari adik Yap In Hong."
"Ahhh...!"
Suami isteri pendekar itu berseru kaget, lalu mereka mendengarkan penuturan
puteranya tentang peristiwa di dalam benteng Raja Sabutai dan tentang kematian
Yo Bi Kiok yang mengaku sebagai pembunuh Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong
karena iri!
Mendengar
penuturan puteranya itu, suami isteri yang sudah tua itu lalu menggelengkan
kepalanya. "Jadi kembali gara-gara cinta..." Nenek Sie Biauw Eng
berbisik. "Betapa hanya mendatangkan mala petaka belaka."
"Hemmm,
jangan berkata demikian, isteriku. Hanya cinta palsu saja yang mendatangkan
mala petaka. Buktinya, di antara kita berdua yang ada hanyalah kebahagiaan dan
belas kasihan, baik dalam keadaan apa pun juga."
Sie Biauw
Eng menjadi amat terharu dan menyentuh tangan suaminya. Ingin rasanya dia
menangis kalau suaminya bersikap dan berkata seperti itu.
"Jadi
engkau telah berhasil membunuh sisa Lima Bayangan Dewa yang tinggal tiga orang
itu, Bun Houw?" Cia Keng Hong bertanya.
"Benar,
ayah."
"Dan
Siang-bhok-kiam..."
"Itulah
yang membikin jengkel, ayah. Oleh Bayangan Dewa Siang-bhok-kiam diserahkan
kepada Raja Sabutai yang kemudian memberikannya kepada gurunya, yaitu Pek-hiat
Mo-ko dan Hek-hiat Mo-li, dan mereka ini tidak mau menyerahkan pedang pusaka
kita kepadaku."
"Ehh,
mengapa? Mau apa dua orang iblis jantan dan betina itu?" Ibunya membentak.
"Ada
sebabnya, ibu. Mereka itu ternyata adalah musuh-musuh yang menaruh dendam
terhadap mendiang Panglima The Hoo dan karena mereka tidak dapat lagi membalas
dendam mereka kepada Panglima The Hoo yang sudah tiada, maka mereka menimpakan
dendamnya kepada Cin-ling-pai. Mendengar bahwa pedang itu milik ayah, dan
karena mereka tahu bahwa ayah dahulu adalah sahabat dan pembantu yang baik dari
mendiang Panglima The Hoo, maka mereka menahan pedang itu."
"Keparat!"
Sie Biauw Eng memaki.
"Hemmm,
sudah setua ini masih saja dicari orang untuk bermusuhan." Cia Keng Hong
mengomel.
"Mereka
menantang kepada ayah untuk datang ke Lembah Naga jika ayah menghendaki
kembalinya pedang pusaka kita Siang-bhok-kiam."
Kembali Cia
Keng Hong menarik napas panjang. "Aku bukan anak kecil, bukan pula orang
muda yang berdarah panas. Untuk apa bersusah payah dan jauh-jauh pergi hanya
untuk berkelahi memperebutkan pedang?"
"Akan
tetapi kita harus menjaga nama! Pedang Siang-bhok-kiam merupakan pusaka dan
lambang kebesaran Cin-ling-pai. Kalau jatuh ke tangan orang dan mereka
menantang, lalu kita diam saja, tentu kita akan ditertawai orang sedunia!"
bantah isterinya.
"Huh,
kalau ada yang mau mentertawakan kita, biarlah mereka itu tertawa sampai robek
mulutnya, peduli apa kita?" Cia Keng Hong membantah.
"Tapi...,"
bantah isterinya.
"Isteriku,
hidup kita tidak ditentukan oleh pendapat orang lain, bukan? Ingatlah, pendapat
orang-orang itu tidaklah sama dan jika kita mengandalkan pendapat-pendapat
orang lain, bagaimana macamnya kehidupan yang kita tempuh?"
"Akan
tetapi, suamiku. Memang kita sendiri secara pribadi tak perlu memikirkan
omongan orang lain, akan tetapi sebagai pendiri dan pimpinan Cin-ling-pai kita
bertanggung jawab untuk menjaga nama serta kehormatan Cin-ling-pai! Setelah
jerih payah Bun Houw sudah berhasil membasmi Lima Bayangan Dewa, apakah kini
gangguan dua orang iblis keparat itu harus didiamkan saja? Kalau kau enggan
pergi, biarlah aku sendiri yang akan pergi mencari mereka ke Lembah Naga!"
"Ayah
dan ibu harap suka bersabar. Tentang urusan Siang-bhok-kiam tentu saja bisa
kita rundingkan kemudian. Aku sendiri merasa bertanggung jawab maka aku yang
akan pergi mewakili ayah dan ibu demi menjaga kehormatan Cin-ling-pai. Akan
tetapi ada berita lain yang lebih menyenangkan untuk disampaikan... ehhh, di
manakah enci Giok Keng? Dia yang terutama akan senang mendengar berita
ini."
Ibunya
mengerutkan alis. "Sampai sekarang enci-mu itu belum pulang. Sungguh
malang sekali nasib enci-mu, Houw-ji."
"Kalau
begitu biarlah ayah dan ibu mendengarnya terlebih dahulu. Lie Seng telah dapat
diketahui berada di mana."
"Ahh!
Di mana cucuku itu?" Cia Keng Hong bertanya girang.
"Ternyata
dia telah tertolong oleh suhu. Hampir saja dia tewas di tangan wanita kejam Yo
Bi Kiok itu, terkena racun Siang-tok-swa, akan tetapi baiknya masih dapat
tertolong oleh adik In Hong."
Lalu
diceritakanlah oleh Bun Houw mengenai Lie Seng seperti yang didengarnya dari In
Hong. Tentu saja dua orang tua itu merasa girang dan lega sekali. Kalau cucu
mereka itu sudah berada di tangan Kok Beng Lama, tentu saja akan terlindung.
"Hanya
aku khawatir sekali... melihat keadaan gurumu itu..." Teringatlah Cia Keng
Hong akan sikap Kok Beng Lama yang seolah-olah tidak kuat menahan guncangan
batin akibat kematian anaknya, yaitu Pek Hong Ing isteri Yap Kun Liong. Akan
tetapi sebagai seorang bijaksana, dia tidak mau menyiksa diri dengan
bayang-bayang khayal yang buruk.
"Sudahlah,
semua urusan itu telah lewat dan ternyata semua hal yang membingungkan kini
sudah terbongkar. Lima Bayangan Dewa telah terbasmi dan biang keladi kehancuran
rumah tangga Giok Keng dan Kun Liong telah pula ditewaskan. Sekarang kami ada
berita yang sangat menyenangkan untukmu, anakku," kata Sie Biauw Eng
sambil tersenyum. Aneh tapi nyata, Sie Biauw Eng yang usianya sudah enam puluh
tahun lebih itu setelah tersenyum masih jelas nampak bekas-bekas kecantikannya!
Bun Houw
memandang ibunya dengan wajah berseri, girang ketika melihat ibunya begitu
gembira. Tadinya Cia Keng Hong yang hendak menjawab, akan tetapi dengan
tangannya, Sie Biauw Eng mencegahnya dan tepat pada waktu itu, pelayan-pelayan
mereka datang menghidangkan makanan dan minuman.
Percakapan
tertunda sebentar, dan sesudah para pelayan itu pergi, Sie Biauw Eng yang
agaknya tidak sabar lagi untuk segera menyampaikan berita itu kepada puteranya,
lantas melanjutkan,
"Beberapa
pekan yang lalu, ketika ayahmu baru saja tiba di sini, pulang dari kota raja,
di sini kedatangan tamu yang sama sekali tidak kami sangka-sangka." Dia
berhenti sejenak dan kelihatan girang sekali melihat puteranya memandang dengan
penuh perhatian dan penuh keinginan tahu.
"Siapa,
ibu?"
"Kau
tentu tidak dapat menduganya. Dia adalah murid dari mendiang Panglima The Hoo
dan..."
"Ahh,
aku tahu...! Tentu ibu Souw Kwi Beng dan Souw Kwi Eng si kembar itu!"
Suami isteri
pendekar itu saling pandang dan tersenyum.
"Kau
benar, dan mereka berdua ikut datang bersama ibu mereka," kata pula Sie
Biauw Eng.
"Eh,
sayang aku tidak dapat berjumpa dengan mereka!" kata Bun Houw membayangkan
dua orang kakak beradik kembar itu, terutama Kwi Eng yang mempunyai kecantikan khas
dari seorang berdarah campuran, dengan matanya yang biru dan rambutnya yang
hitam agak keemasan!
"Kwi
Eng itu cantik bukan main, anakku!" Tiba-tiba ibunya berkata dan karena
pada saat itu Bun Houw sedang membayangkan wajah Kwi Eng, tentu saja dia menjadi
terkejut dan wajahnya menjadi merah sekali.
Ibunya
tertawa. "Dan engkau sudah mengenalnya, Houw-ji."
"Benar,
ibu. Kami telah berkenalan dan bahkan Kwi Eng bersama Kwi Beng membantuku
menghadapi dua orang Bayangan Dewa dan para pembantu mereka yang lihai."
"Gadis
itu sudah menceritakan semuanya kepada kami. Dia memang cantik jelita, belum
pernah aku bertemu dengan seorang gadis yang seperti itu cantiknya, dan juga
dia cerdas sekali, gagah perkasa pula seperti ibunya, di samping itu dia juga
pada dasarnya lemah lembut, sopan, tidak seperti... eh, misalnya Yalima yang
lemah dan... si In Hong yang liar itu..."
"Ibu,
kenapa ibu menceritakan semua kepadaku?" Bun Houw memotong karena hatinya
tidak senang mendengar In Hong dibawa-bawa dan disebut liar.
Di sini
ayahnya turun tangan mencampuri. "Sebenarnya, Bun Houw, kedatangan nyonya
Yuan de Gama atau Souw Li Hwa itu, selain untuk mengunjungi sebagai murid
mendiang Panglima The Hoo, mempererat persahabatan, juga mengajukan usul atau
permohonan agar diadakan ikatan jodoh..."
"Ehh?
Ikatan jodoh...?" Hati Bun Houw berdebar keras.
"Ya,
antara engkau dan Kwi Eng, anakku! Aku girang sekali, aku sudah cocok dan suka
kepada anak itu, aku senang mempunyai mantu dia!"
"Ibu...!"
Dan Bun Houw lalu menundukkan mukanya, memejamkan matanya, karena dia merasa
pening dan bingung.
Cia Keng
Hong mengedipkan mata kepada isterinya, mencegah isterinya bicara lagi dan
memberi kesempatan kepada putera mereka untuk menenangkan diri.
Bun Houw
yang memejamkan matanya itu melihat bayangan Kwi Eng, terbayang olehnya betapa
dahulu ketika dia menolong Kwi Eng menyelamatkan dara jelita itu dari perkosaan
Gu Lo It, melihat Kwi Eng dalam keadaan tanpa pakaian, kemudian teringatiah dia
betapa mereka… mereka berciuman ketika dia memondong gadis itu.
Membayangkan
semua itu, Bun Houw merapatkan matanya dan diam-diam dia merasa amat menyesal, mengapa
dia melakukan hal itu, mengapa dia selalu ingin mendekap dan mencium dara-dara
cantik! Tiba-tiba terbayanglah dia akan wajah In Hong, dan pikirannya menjadi
makin bingung.
“Houw-ji...!"
Terdengarlah suara ayahnya yang tenang dan dia membuka matanya, sadar kembali
akan keadaannya.
"Maaf,
ayah dan ibu..."
"Bun
Houw, ayah dan ibumu melihat engkau sudah cukup dewasa, dan tahun ini usiamu
sudah dua puluh tahun lebih. Ayah ibumu sudah makin tua, ingin menimang cucu
dalam sebelum menutup mata," kata Sie Biauw Eng dan nada suaranya terharu.
"Bun
Houw, tadinya kami berdua bersepakat untuk menjodohkan engkau dengan In Hong,
bahkan kami telah merundingkan hal ini dan mendapat persetujuan Yap Kun Liong.
Akan tetapi kemudian terjadi peristiwa dengan Yalima itu dan In Hong sendiri
yang memutuskan tali perjodohan itu..."
Bun Houw
mengangguk dan hatinya terasa perih. Dia sudah mendengar akan hal itu dari
Yalima dan kini mengertilah dia mengapa setelah In Hong tahu bahwa dia adalah
Cia Bun Houw, dara itu berubah sikapnya dan menjadi dingin. Mengertilah dia
mengapa In Hong memakinya sebagai seorang perayu wanita yang tidak setia!
Tentu In
Hong merasa penasaran mengapa dia yang dianggapnya sudah ‘bertunangan’ dengan
Yalima, masih mau dijodohkan dengan In Hong dan hal ini oleh dara yang berhati
keras itu dianggapnya sebagai suatu penghinaan!
"Kemudian
kami mencari-cari serta memilih-milih," sambung Sie Biauw Eng melanjutkan
penjelasan suaminya. "Ketika kami melihat Kwi Eng, dan mendengar
permohonan ibunya, kami berdua dengan hati bulat menyetujuinya."
"Ibu...!"
Kembali Bun Houw berseru, kaget sekali.
"Hemm,
kenapakah, Bun Houw? Apakah kau tidak setuju dengan Kwi Eng? Kulihat dari
gerak-gerik dara itu, dia sudah jatuh cinta padamu," sambung pula ibunya.
"Bun
Houw, katakanlah, apa yang menyebabkan engkau keberatan dan tidak menyetujui
pilihan ayah bundamu?" Keng Hong berkata dengan tenang namun mendesak.
"Ayah
dan ibu, sesungguhnya sama sekali bukan karena saya tidak suka kepada adik Kwi
Eng, akan tetapi aku... aku belum ingin terikat oleh tali perjodohan."
"Ha-ha-ha,
mengapa begitu saja dirisaukan amat?" Ayahnya mencela. "Ikatanmu
dengan Kwi Eng baru merupakan pertunangan saja, sedangkan tentang
pernikahannya, hemm... sesungguhnya kami ingin segera melihat engkau menikah,
akan tetapi kalau kau masih belum suka, dapat diundur beberapa lamanya karena
Kwi Eng juga baru berusia enam belas tahun lebih."
"Akan
tetapi jangan lama-lama, anakku," kata Biauw Eng. "Aku sudah ingin
sekali memiliki cucu dalam dan dilayani mantu perempuan!"
Bun Houw
merasa hatinya bingung dan tertindih oleh desakan-desakan ayah bundanya.
Tiba-tiba dia memperoleh pandangan, seolah-olah ada sinar terang memasuki
hatinya.
"Ayah
dan ibu, kita masih menghadapi urusan, Siang-bhok-kiam masih berada di tangan
orang lain. Aku hendak mencari dan merampas kembali pusaka itu, barulah kita
bicarakan urusan perjodohan ini. Dan aku harus cepat-cepat pergi ke Lembah
Naga, karena kalau dibiarkan terlalu lama, aku khawatir akan makin sukarlah
pusaka kita itu dapat dirampas kembali. Kalau saja dua orang iblis itu tidak
berada di benteng Raja Sabutai saat mereka menguasai Siang-bhok-kiam, tentu
sudah kuserang mereka dan pedang pusaka kita itu sudah kurampas kembali."
"Eihh,
baru saja kau datang, jangan tergesa-gesa pergi lagi, Houw-ji!" ibunya
berseru dan memegang pundak puteranya. "Engkau hampir tak pernah berkumpul
dengan kami. Sejak kecil berguru kepada Lama Tibet itu sampai bertahun-tahun,
begitu pulang kau terus pergi mencari Lima Bayangan Dewa. Sekarang, baru saja
datang hendak pergi lagi merampas kembali Siang-bhok-kiam di Lembah Naga yang
begitu jauh di utara. Tidak, engkau tidak boleh cepat-cepat pergi!"
"Ibumu
benar, Bun Houw. Kau harus beristirahat dulu dan nanti kalau kau pergi, kami
akan titip surat untuk keluarga Souw atau keluarga de Gama di pelabuhan
Yen-tai. Kami sudah tua, tidak sempat membalas kunjungan mereka, maka kaulah
yang mewakili kami membalas kunjungan mereka di Yen-tai. Selain itu, kau pun
harus menyerahkan suratku kepada kaisar di kota raja. Sesudah kau selesaikan
tugas itu, baru kau boleh mencari dua orang tua yang merampas Siang-bhok-kiam
itu di Lembah Naga."
Bun Houw
tidak dapat membantah lagi. Dengan berkeras ibunya menahannya sehingga baru
satu bulan kemudian dia meninggalkan Cin-ling-san, membawa dua buah surat dari
ayahnya, yang satu untuk diserahkan kepada Yuan de Gama dan keluarganya di
Yen-tai, dan yang satu lagi untuk dihaturkan kepada kaisar di kota raja.
***************
In Hong
bersandar pada batang pohon di dalam hutan itu, memejamkan matanya dan mengatur
kembali napasnya yang sedikit terengah-engah. Kepalanya terasa pening dan biar
pun matanya dipejamkan, akan tetapi nampak bayangan beberapa orang berputaran,
yaitu bayangan wajah Bun Houw dan Yalima.
Ingin dia
menjerit dan menangis untuk memberi pelepasan kepada perasaan hatinya yang
berdesakan dan penuh dengan segala macam perasaan yang saling bertentangan. Dia
suka kepada Bun Houw, hal ini tak mungkin dapat dibantahnya lagi! Bahkan,
semenjak pertama kali dia melihat pemuda itu dengan gagahnya menolak bujuk rayu
wanita-wanita itu, dia sudah merasa kagum dan suka sekali kepada Bun Houw.
Anehnya,
ketika dia memperoleh kenyataan pahit bahwa pemuda itu adalah tunangannya sendiri
yang sudah ditolaknya, ketika dia mendapat kenyataan bahwa Bun Houw adalah
seorang pemuda yang luar biasa lihainya, yang memiliki tingkat kepandaian jauh
lebih tinggi darinya, rasa kagum dan suka makin meresap di dalam hatinya!
Dan kalau
tadinya dia menganggap seorang yang bernama Cia Bun Houw itu dengan pandangan
rendah karena dianggap tidak setia kepada Yalima, setelah dia tahu bahwa Cia
Bun Houw ternyata adalah pemuda yang telah memberi pedang pusaka kepadanya,
yang sudah diberi Giok-hong-cu olehnya, pandangan tidak setia kepada Yalima
berubah cemburu dan iri terhadap Yalima! Bahkan ketika dia melakukan perjalanan
ke Cin-ling-pai, walau pun dia selalu bersikap diam dan dingin kaku, namun
diam-diam dia merasakan sesuatu yang indah di dalam hatinya, sesuatu yang
mendatangkan kebahagiaan!
Dan ketika
dia melihat Yalima ternyata telah menikah dengan orang lain, saking malunya
terhadap Bun Houw dia ingin membunuh Yalima! Akan tetapi di balik itu semua,
harus dia akui bahwa dia merasa girang bukan main melihat Yalima telah menjadi
isteri orang lain.
"Aku
telah gila... aku telah gila...!" Dia berbisik dan menjambak rambutnya
sendiri.
"Houw-koko...!"
Keluh hatinya dan dia merasa betapa hidupnya sunyi dan sendiri, betapa dia
merindukan kehadiran Bun Houw di sampingnya, di dekatnya.
Biar pun
tidak usah berdekatan dan bersikap baik, asal ada nampak Bun Houw di situ dia
tidak akan merasa tersiksa seperti sekarang ini. Dia merasa rindu sekali dan
otomatis tangannya meraba pinggang. Dia terkejut, memandang ke arah pinggangnya
dan baru dia teringat bahwa Hong-cu-kiam telah ditinggalkannya di Cin-ling-san!
Dia mengeluh panjang dan merasa makin sunyi dan sepi, merasa kehilangan!
"Houw-ko...!"
Kembali bibirnya mengeluh, jantungnya seperti diremas rasanya dan ingin dia
menjerit-jerit memanggil nama pemuda yang dirindukannya itu.
In Hong
mengepal tinju dan membuka matanya. Kekerasan hatinya yang dulu timbul lagi dan
matanya menjadi beringas. Dia cepat membalik seolah-olah sedang diserang orang
dari belakangnya, dan tangannya yang dikepal itu menghantam batang pohon.
"Dessss...!
Krakkkkk!"
Batang pohon
itu patah dan kepalan tangannya berdarah karena saking marahnya dan saking
gelisahnya dia tadi menghantam tanpa melindungi tangan dengan sinkang. Terasa
nyeri sekali tangannya yang berdarah dan dia mencucupi darahnya sendiri di
tangan itu, wajahnya agak terang dan dia berterima kasih kepada rasa nyeri di
tangannya, karena rasa nyeri itu mengurangi rasa nyeri yang lebih mendalam dan
menyiksa tadi.
"Persetan
dengan Cia Bun Houw...!" Dia membentak, lalu dara ini lari secepatnya
keluar dari hutan itu dan mendaki lereng gunung di depan.
Ketika dia
keluar dari hutan dan tiba di jalan raya kasar yang diapit-apit padang rumput,
dia mendengar derap kaki kuda dan melihat rombongan orang berkuda, pakaian
mereka seragam mendatangi dengan cepat. Karena hatinya tengah risau In Hong
tidak peduli dan terus saja dia menggunakan ilmu berlari cepat hingga dia
berpapasan dengan rombongan belasan orang itu tanpa memperhatikan sama sekali.
"Heiiiiii...!"
Tiba-tiba terdengar seruan dari rombongan penunggang kuda itu.
In Hong
masih tetap berlari terus. Akan tetapi kini dia mendengar derap kaki kuda dari
belakangnya dan agaknya rombongan penunggang kuda tadi sudah membalikkan arah
kuda mereka dan kini mengejar In Hong.
"Lihiap...!
Perlahan dulu...!"
Setelah tiga
kali mendengar seruan ini, barulah In Hong sadar bahwa ada orang-orang
mengejarnya dan bahwa panggilan itu ditujukan kepadanya, maka dia lalu berhenti
berlari dan menunggu di pinggir jalan sambil memandang tajam penuh perhatian.
Hatinya sudah mulai panas karena merasa bahwa perjalanannya diganggu orang!
Kalau serombongan orang laki-laki itu hendak berlaku kurang ajar kepadanya,
awas, pikirnya! Aku tidak akan mengampuni kalian!
Kini
rombongan yang terdiri dari lima belas orang berpakaian seragam gemerlapan karena
disulam benang emas itu berhenti pula di situ dan salah seorang di antara
mereka, yang bertubuh tegap dan bersikap gagah, berusia empat puluhan tahun,
dengan gesit meloncat dari atas kuda kemudian menghampiri In Hong yang berdiri
tegak dengan kedua lengan bersilang di depan dada.
Laki-laki
yang ternyata adalah komandan dari pasukan itu, menjura dan mengeluarkan
sehelai kain bergambar, dipandangnya kain itu, kemudian dia menatap wajah In
Hong penuh selidik dan bertanya, "Maafkan saya, lihiap. Bukankah lihiap
ini yang bernama Yap In Hong?"
Tangan dara
itu bergerak cepat seperti kilat menyambar. Komandan pasukan itu bukanlah orang
biasa, tetapi seorang komandan atau perwira dari pasukan Kim-i-wi, yaitu
pasukan pengawal istana yang berpakaian seragam keemasan atau yang disebut
Pasukan Baju Emas. Kepandaiannya sudah cukup tinggi, kalau tidak tentu saja dia
tidak akan terpilih menjadi perwira. Melihat gerakan dara itu, dia terkejut
sekali dan cepat mengelak sambil menarik kembali tangannya yang memegang lukisan.
"Prrrttttt...!"
Betapa pun
cepatnya perwira itu mengelak, tetap saja gambar itu telah berpindah tangan dan
sekarang dengan tenang, tanpa merubah kedudukan tubuhnya, In Hong yang masih
cemberut itu memandang gambar di tangannya. Dia kaget dan heran bukan main
melihat lukisan yang indah di atas kain itu, lukisan seorang wanita muda yang
bukan lain adalah dirinya sendiri!
In Hong
mengerutkan alisnya dan pandangan matanya ke arah wajah perwira itu seperti
todongan ujung pedang yang sangat runcing sehingga perwira itu kembali terkejut
dan otomatis mundur selangkah ke belakang.
"Hayo
katakan, siapa yang melukis ini dan apa maksudnya semua ini?" Suaranya
dingin sekali dan nadanya amat mengancam sehingga terasa pula oleh semua
anggota pasukan pengawal Kim-i-wi yang mendengarnya.
Akan tetapi,
pasukan pengawal Kim-i-wi adalah terkenal sebagai pasukan yang gagah berani dan
setia, semacam pasukan pengawal istana yang sudah disumpah untuk setia sampai
mati! Perwira itu pun lalu menjawab dengan tabah,
"Maafkan
saya, lihiap. Demi tugas kami, maka sebelum lihiap menjawab apakah benar lihiap
yang bernama Yap In Hong, kami tidak dapat menerangkan apa pun."
In Hong
memandang dengan marah, akan tetapi pada saat dia bertemu pandang dengan
perwira itu, dia merasa kagum. Perwira ini benar-benar berani, akan tetapi
tidak kurang ajar, dan tidak sombong pula. Kekagumannya membuat dia agak lunak.
"Aku
benar Yap In Hong. Nah, sekarang terangkan semua, kalau tidak, terpaksa aku
akan menghajar kalian semua karena gangguan ini!"
Wajah
perwira itu menjadi berseri gembira dan juga anak buahnya menjadi girang sekali
nampaknya. "Wah, maaf... eh, betapa girang hati kami, lihiap. Susah payah
kami mencari lihiap. Ketahuilah, kami adalah pasukan Kim-i-wi dari istana
kaisar dan ada ratusan orang anggota kami disebar di seluruh pelosok untuk
mencari lihiap dan ini merupakan perintah dari sri baginda kaisar sendiri!
Setiap pasukan diberi gambar seperti ini agar lebih mudah mengenal lihiap.
Ketika tadi kita saling berpapasan, saya segera mengenal lihiap maka kami
melakukan pengejaran."
Akan tetapi
rasa curiga masih belum lenyap dari pandang mata In Hong. "Apa sebabnya
istana mengerahkan pasukan pengawal untuk mencari aku?"
"Lihiap,
saya hanya seorang pemimpin pasukan kecil saja, mana saya bisa mengetahui akan
kehendak sri baginda kaisar? Yang saya ketahui hanya bahwa pasukan-pasukan
pengawal menerima perintah keras dari sri baginda kaisar untuk mencari lihiap
sampai jumpa..."
"Dan
kalau sudah jumpa?"
"Agar
dipersilakan ke istana untuk memenuhi undangan kaisar."
In Hong
berpikir sejenak. Tidak mungkin ada sesuatu yang buruk di belakang undangan
kaisar ini, pikirnya. Dia tahu bahwa kaisar yang muda itu adalah seorang yang
baik dan gagah. Dia sudah menolong kaisar lolos dari benteng Sabutai, tidak
mungkin kaisar yang sekarang sudah menduduki tahtanya lagi itu berniat buruk
terhadap dirinya.
Menarik juga
undangan kaisar ini, menjanjikan pengalaman-pengalaman baru untuknya! Pada saat
seperti itu, selagi hatinya diliputi gundah, pergi kepada kakaknya di Leng-kok
pun tidak ada gunanya. Lebih baik ke kota raja memenuhi undangan kaisar dan
hendak dilihatnya apa yang akan dilakukan oleh kaisar terhadap dirinya.
"Baik,
aku akan ikut dengan kalian ke istana," katanya.
Wajah
perwira itu berseri-seri dan girangnya bukan main. Juga anak buahnya semua
tersenyum girang karena kalau pasukan mereka ini yang menemukan pendekar wanita
itu, tentu berarti mereka akan menerima pujian dan ganjaran besar!
"Saya
akan memberi isyarat kepada semua pasukan Kim-i-wi!" katanya.
Tak lama
kemudian dia melepaskan panah ke udara, anak panah berapi yang menyalakan
kembang api berwarna biru di udara.
Setiap hari
mereka mengirim isyarat panah berapi itu dan sebelum mereka tiba di istana
pasukan itu semakin bertambah terus, didatangi oleh pasukan-pasukan Kim-i-wi
lain yang tersebar ke mana-mana dan akhirnya ketika rombongan itu tiba di
istana, yang mengiringi In Hong tidak kurang dari seratus orang!
Dara itu
sendiri diberi seekor kuda yang pilihan dan di sepanjang perjalanan memperoleh
pelayanan sebagai seorang puteri saja sehingga In Hong yang sudah biasa hidup
bebas dan menghadapi kesulitan-kesulitan sampai merasa sungkan sendiri. Akan
tetapi karena dia tahu bahwa perlakuan dan sikap mereka itu adalah untuk
memenuhi perintah kaisar, maka dia pun tidak menolak. Bila mereka kemalaman di
jalan, setiap pembesar-pembesar setempat menyambutnya dengan penuh
penghormatan, menjamunya dan memberinya kamar yang terbaik dari gedung mereka.
Akhirnya In
Hong dibawa oleh panglima pengawal menghadap kaisar. Begitu melihat dara
perkasa ini muncul di ruangan, kaisar sudah tersenyum lebar dan melambaikan
tangan dengan girang, sehingga para menteri dan pembesar yang hadir di situ
menjadi terheran-heran.
"Yap In
Hong lihiap...! Alangkah girang hati kami mendengar akan kedatanganmu!"
In Hong
adalah seorang gadis yang sejak kecil hidup di dunia kang-ouw dan tentu saja
dia tidak mengenal tata tertib istana, tidak pula mengenal kesusilaan yang
sudah menjadi tradisi di dalam istana kaisar. Akan tetapi dia seorang yang
cerdas, maka biar pun dia tidak tahu akan kebiasaan di situ, dia segera
menjatuhkan diri berlutut dan berkata,
"Semoga
paduka selamat, bahagia, dan berusia panjang!"
Tiba-tiba
kaisar yang kini agak gemuk dan wajahnya segar berseri itu tertawa bergelak dan
kembali semua menteri saling pandang dengan heran. "Ha-ha-ha, Hong-lihiap,
dari manakah engkau memperoleh kepandaian memberi hormat seperti itu?
Bangkitlah dan duduklah di atas bangku yang sudah tersedia itu. Kita bicara
seperti dahulu ketika kita bersama lolos dari benteng Sabutai dan keluar masuk
hutan!"
Wajah In
Hong menjadi merah dan dia bangkit, menjura lalu duduk di atas bangku sambil
tersenyum. "Hamba hanya ikut-ikutan saja, sri baginda. Kalau ternyata
keliru harap tidak ditertawakan dan diampunkan."
"Tidak,
engkau adalah tamuku, penolongku, bahkan sudah kuanggap saudaraku sendiri,
Hong-lihiap! Semenjak aku kembali ke sini, aku selalu teringat padamu sehingga
kusuruh mencari ke mana-mana. Aku minta kepadamu, lihiap, agar engkau suka
tinggal di istana ini, sebagai seorang saudaraku dan untuk jasa-jasamu,
kuangkat engkau menjadi Puteri Pelindung Kaisar yang juga kuanggap sebagai
adikku sendiri. Mulai sekarang kau berhak keluar masuk di seluruh istana ini
dan berhak tinggal di sini selama yang engkau sukai."
Kembali semua
menteri melongo mendengar ini, Akan tetapi, karena mereka pun sudah mendengar
bahwa pendekar wanita bernama Yap In Hong inilah yang telah membebaskan kaisar
dari tawanan Raja Sabutai, maka mereka hanya dapat mengangguk.
Di waktu
kaisar menjadi tawanan dan terancam bahaya, orang sekerajaan tidak ada yang mau
atau berani menolong kecuali dara ini! Sudah sepatutnya kalau kini kaisar
membalas jasanya yang amat besar itu.
In Hong
merasa terharu juga oleh limpahan perasaan seperti itu, akan tetapi dia masih
bertanya, "Tentu hamba tidak terikat di sini, bukan?"
Kaisar
tersenyum lebar. "Tidak, lihiap. Akan tetapi kuharap dengan sungguh agar
engkau dapat selamanya tinggal di sini, bahkan kelak apa bila engkau sudah
bersuami, suamimu akan kami beri pangkat dan kedudukan tinggi agar engkau
selalu dekat dengan kami."
In Hong
menghaturkan terima kasih dan kaisar lalu memanggil kepala pengawal dalam
istana kemudian memerintahkan panglima ini untuk mengantar In Hong ke dalam
istana dan memberinya sebuah gedung yang serba indah dan lengkap di bagian
keputren.
Mulai hari
itu, kehidupan In Hong berubah sama sekali! Biar pun dia tidak suka bersolek,
dan tidak ingin memakai pakaian yang indah-indah, akan tetapi sesudah semua
pakaian tersedia dan dia tidak ingin membikin malu kaisar karena dia dianggap
sebagai seorang puteri, atau adik angkat kaisar sendiri, terpaksa In Hong
mengganti semua pakaiannya yang sederhana dengan pakaian yang serba indah
gemerlapan!
Dia pun
menduga bahwa di balik semua ini, tentu ada suatu maksud dari kaisar dan dia
menduga bahwa hal itu tentulah ada hubungannya dengan Khamila! Karena, bukankah
hanya dia yang tahu bahwa antara kaisar ini dengan isteri Raja Sabutai itu
terdapat jalinan hubungan yang amat mesra?
Dugaannya
memang tepat karena beberapa hari kemudian, ketika terdapat kesempatan kaisar
bertemu berdua saja dengan In Hong, kaisar berkata, "Hong-lihiap, aku
lebih suka menyebutmu lihiap dari pada adik atau puteri, karena sebutan ini
mengingatkan aku akan pengalaman-pengalaman kita dulu. Engkau tentu tahu,
lihiap, bahwa hadirnya engkau di dalam istana ini, di dekatku membuat aku
merasa seolah-olah dia pun tidak jauh dariku."
In Hong
mengangkat muka memandang wajah kaisar yang kelihatan terharu dan berduka itu.
Dia mengangguk akan tetapi tidak tahu harus berkata apa.
"Aku
hanya mengharap, lihiap, sebagai satu-satunya orang yang tahu akan rahasia kami
itu, selain engkau tidak akan membocorkan rahasia ini, juga kelak sekali waktu
engkau dapat mewakili aku untuk menengok... anak itu di sana."
In Hong
mengangguk-angguk. Dia segera mengerti, dan mudahlah menduga siapa yang
dimaksudkan dengan anak itu. Tentu anak yang dulu dikandung oleh Khamila.
"Harap
paduka jangan khawatir. Sewaktu-waktu hamba akan memenuhi perintah
paduka."
Demikianlah,
In Hong kini menjadi seorang puteri yang bebas keluar masuk di seluruh bagian
istana itu, dihormati oleh semua pengawal, pelayan dan ponggawa istana. Kalau
tadinya ada yang menyangka bahwa pendekar wanita yang cantik itu menjadi
kekasih kaisar, kini mereka itu keliru dan ternyata bahwa benar-benar kaisar
melakukan kebaikan itu untuk membalas jasa.
Akan tetapi,
karena sikap In Hong yang tidak sombong, bahkan kini dara itu mempelajari
segala macam kebiasaan di istana dan mulai dapat merubah sifatnya yang tadinya
dingin, kaku dan ganas, di samping berita akan kelihaian dara itu, maka semua
orang merasa suka kepadanya.
***************
"Tio-twako...!"
"Ehh,
Tio-twako datang...!"
Kwi Beng dan
Kwi Eng yang sedang duduk di serambi depan rumah mereka di Yen-tai, meloncat
dengan girang dan lari ke pekarangan menyambut kedatangan seorang pemuda yang
tinggi kurus, bersikap gagah dan berpakaian sederhana, berwarna kuning dan yang
memasuki pekarangan gedung itu dengan sikap ragu-ragu. Pemuda itu bukan lain
adalah Tio Sun.
Begitu
bertemu dan melihat wajah Maria de Gama atau Souw Kwi Eng, sepasang mata Tio
Sun bersinar-sinar, kedua pipinya menjadi agak kemerahan dan jantungnya
berdebar keras. Alangkah hebat rasa rindu hatinya terhadap dara ini, baru
sekarang benar-benar terasa olehnya setelah berhadapan muka! Akan tetapi, tentu
saja dia berusaha menekan perasaannya ini dan cepat menjura.
"Beng-te
dan Eng-moi, apa kabar? Kuharap kalian baik-baik saja selama ini. Apakah aku
tidak mengganggu kalian dengan kunjunganku ini?"
"Ahhhh,
Tio-twako kenapa begini sungkan?" Kwi Eng yang memang berwatak bebas dan
ramah itu menegur. "Bukankah kita sudah menjadi sahabat-sahabat
baik?"
"Tio-twako,
marilah masuk menemui ayah dan ibu kami, kemudian kami hendak banyak bicara,
banyak bertanya kepadamu, twako." Kwi Beng lalu menggandeng tangan tamunya
itu.
"Aihh,
dia ingin banyak bertanya tentang enci Hong yang dirindukannya, hi-hik!"
Souw Kwi Eng menggoda.
"Hushh,
jangan main-main kau!" Kwi Beng membentak dan melototkan matanya. Tio Sun
hanya tersenyum menyaksikan dua orang yang wajahnya serupa hanya bedanya pria
dan wanita itu berkelakar dan bergurau.
Yuan de Gama
dan isterinya, Souw Li Hwa, segera keluar menyambut dengan ramah ketika
mendengar akan kedatangan sahabat kedua orang anak mereka itu. Tentu saja
mereka sudah mendengar penuturan kedua orang anak mereka mengenai Tio Sun yang
dahulu telah membantu Kwi Eng pada saat hendak menyelamatkan Kwi Beng yang
diculik oleh Tokugawa. Tentu saja mereka berterima kasih sekali kepada Tio Sun,
apa lagi ketika mendengar bahwa Tio Sun adalah putera tunggal Ban-kin-kwi Tio
Hok Gwan, Souw Li Hwa makin suka dan semakin ramah kepada pemuda sederhana itu.
"Aku
mengenal baik ayahmu itu," katanya. "Dia seorang pengawal yang amat
setia dan berlimu tinggi."
Tio Sun
memandang dengan wajah berseri dan menjura. "Ayah banyak bercerita tentang
toanio sebagai murid yang amat lihai dari mendiang Panglima The Hoo."
"Aihh,
jangan menyebut aku toanio, Tio Sun. Sebut saja bibi, karena sesungguhnya kita
adalah orang-orang sendiri bukan?" kata Souw Li Hwa dengan ramah sambil
tersenyum dan biar pun usia nyonya ini sudah sekitar empat puluh tahun, namun
dia masih nampak muda dan cantik.
"Terima
kasih, bibi."
"Dan
kau boleh menyebut aku paman, Tio Sun." kata pula Yuan de Gama yang sudah
pandai sekali berbahasa daerah sehingga bekas kapten kapal ini tidak seperti
orang asing lagi, sungguh pun kebiruan matanya serta kekuningan rambutnya tentu
saja tidak dapat menyembunyikan keasingannya.
Suami isteri
itu mengajak Tio Sun bercakap-cakap sejenak. Mereka berdua menyatakan terima
kasih mereka kepada pemuda ini yang sudah menolong anak-anak mereka ketika
mereka dahulu sedang berlayar ke barat. Tio Sun merendahkan diri, namun
akhirnya dia menerima penawaran mereka untuk bermalam di rumah mereka selama
beberapa hari agar bisa mempererat persahabatan. Kemudian, suami isteri itu
meninggalkan tiga orang muda itu untuk bercakap-cakap sendiri.
Setelah ayah
bundanya maninggalkan mereka, dan pelayan membawa buntalan pakaian Tio Sun ke
sebuah kamar serta mengeluarkan makanan dan minuman, Kwi Eng kemudian berkata,
"Tio-twako, dia itu sudah tidak sabar menanti ceritamu."
"Ehh,
cerita apa?" Tio Sun balas menanya.
"Jangan
pura-pura, twako, lihat dia seperti ikan di darat. Lekas kau ceritakan apakah
kau pernah bertemu dengan enci Hong itu?" Kwi Eng berkata pula.
"Enci
Hong...? Ahh, tentu yang kau maksudkan nona Yap In Hong itu? Hemmm, memang
menarik sekali ceritanya."
Kini Kwi
Beng benar-benar tak dapat menahan keinginan tahunya. "Kau pernah berjumpa
dengan dia, twako? Di mana? Bagaimana dengan dia? Bagaimana ceritanya?"
Tio Sun
memegang tangan pemuda itu dan diam-diam dia pun menghela napas panjang. Jelas
bahwa pemuda remaja ini yang usianya kurang lebih tujuh belas tahun, telah
jatuh cinta kepada Yap In Hong!
"Bertemu
sih tidak, akan tetapi nona Yap In Hong..."
"Ahh,
begitukah namanya? Setahu kami hanya Hong saja...," kata pula Kwi Beng
dengan girang. "Yap In Hong... sungguh tepat sekali, namanya memang sesuai
dengan orangnya yang..."
"Cantik
manis!" Kwi Eng menggoda.
"Yang
amat lihai," Kwi Beng melanjutkan tanpa mempedulikan godaan saudaranya.
Kembali Tio
Sun menarik napas panjang, tak tahan dia melihat gerak-gerik Kwi Eng yang serba
membetot semangat dan menarik hatinya. Pandang mata yang biru itu, kerlingnya,
senyumnya, gerakan bibirnya, cara dara itu menggerakkan kepala untuk
menyingkapkan rambut yang sering kali turun menutupi mukanya, ahhhh... sungguh
sukar baginya untuk bercerita, apa lagi menceritakan orang lain. Kalau boleh,
dia hanya akan duduk saja dan memandangi dara itu yang demikian lincah, demikian
jelita, demikian...
"Ehh,
kenapa kau bengong saja, twako?" tiba-tiba Kwi Beng menegur.
"Dan
kau memandang saja padaku, ada apa sih pada wajahku? Apa ada kotorannya?"
Kwi Eng sibuk mengusap hidung dan pipinya.
"Tio-twako
tentu jengkel karena kau menyela terus, sih!" Kwi Beng mengomel. Bagi Kwi
Beng, tentu saja sangat sukar membayangkan ada orang laki-laki bisa
tergila-gila kepada saudara kembarnya ini!
"Tidak
apa-apa, maafkan aku...," Tio Sun menunduk dan menelan ludah menenteramkan
jantungnya yang berdebar tidak karuan. "Sebenarnya... ehhh, banyak sekali
hal-hal aneh kudengar tentang nona Yap In Hong itu. Dia benar-benar amat luar
biasa, di luar dugaan dan hebat!"
"Nah,
apa kataku? Dia memang wanita paling hebat di dunia ini!" kata Kwi Beng sambil
memandang kepada adiknya.
"Siapa
yang menyangkal?" Kwi Eng menjawab. "Akan tetapi dia terlalu hebat
untukmu. Tio-twako, sekarang ceritakanlah, kami ingin sekali
mendengarnya," kata Kwi Eng sambil menyentuh tangan pemuda tinggi kurus
itu.
Tersirap darah
ke leher dan muka Tio Sun dan tangannya yang tersentuh itu menggigil. Dia
merasa heran sendiri mengapa dia menjadi lemah seperti ini menghadapi gadis
itu. Untuk menenangkan jantungnya yang bergelora, Tio Sun meneguk air teh di
hadapannya, kemudian barulah dia bercerita.
"Pertama-tama,
dara perkasa yang kita kenal sebagai nona Hong itu ternyata bernama Yap In
Hong, adik kandung dari paman Yap Kun Liong..."
"Ahhh...!"
Seruan ini berbareng keluar dari dua mulut yang bentuknya sama, mulut Kwi Eng
dan mulut Kwi Beng. "Tetapi... tetapi paman Yap Kun Liong sudah setengah
tua dan nona Hong..."
"Tentu
lebih tua dari pada kita!" kata Kwi Eng.
"Paling
banyak selisih dua tahun!" kata Kwi Beng membantah.
"Entahlah.
Akan tetapi kenyataannya demikian, dia adalah adik kandung paman Yap Kun Liong
dan dia memang memiliki ilmu tinggi sekali karena kabarnya dia itu adalah murid
tunggal dari ketua Giok-hong-pang. Yang paling hebat adalah karena dialah yang berhasil
menyelamatkan kaisar."
"Hebat...!"
seru Kwi Eng.
"Twako,
bukankah kabarnya kaisar sudah ditawan oleh raja liar dan kini telah kembali
lagi ke kota raja?" tanya Kwi Beng.
"Benar,
dan Yap In Hong itulah yang menyelamatkan kaisar, menolong kaisar hingga lolos
dari tawanan benteng Raja Sabutai."
"Luar
biasa! Dia seorang pahlawan kalau begitu!" Souw Kwi Beng berseru gembira.
"Memang
hebat dia, bahkan ketua Cin-ling-pai sendiri, dengan bantuan banyak orang
pandai, tidak mampu menyelamatkan kaisar yang ditawan. Akan tetapi nona Yap In
Hong seorang diri menyelundup ke dalam benteng musuh, pura-pura menjadi kaki
tangan Raja Sabutai, akan tetapi tahu-tahu dialah yang meloloskan kaisar dari
tawanan."
"Bukan
main...! Di mana sekarang dia berada, twako?" Kwi Beng bertanya.
"Entah,
saya belum mendengar lagi, akan tetapi ada berita bahwa nona Yap In Hong kini
berada di kota raja."
"Dan
bagaimana kabarnya dengan... kanda Cia Bun Houw...?" tiba-tiba Kwi Eng
bertanya.
"Ehm,
ehm...!" Kwi Beng terbatuk-batuk, dehem buatan dan Kwi Eng melotot
kepadanya.
Tio Sun
merasa jantungnya tertusuk. Dahulu pun dia sudah melihat bahwa dara ini
tertarik kepada Bun Houw.
"Dia...?
Dia bersama dengan aku membantu ayahnya pada saat kami berusaha menyerbu
benteng Sabutai untuk menolong kaisar, akan tetapi gagal. Kemudian, sesudah
kaisar berhasil diselamatkan oleh nona Yap In Hong, agaknya terjadi perdamaian
antara kaisar dan Raja Sabutai, dan Cia-taihiap lalu pergi menyusul nona Yap In
Hong yang sesudah berhasil menolong kaisar lalu kembali ke dalam banteng Raja
Sabutai."
"Aih,
tentu berbahaya sekali! Lalu apa yang terjadi?" Kwi Eng bertanya kaget
mendengar betapa Bun Houw memasuki benteng Raja Sabutai.
"Kabarnya
banyak yang terjadi di sana. Banyak terjadi pertempuran di antara orang-orang
pandai yang sengaja diadu oleh Raja Sabutai dan kabarnya tiga orang Bayangan
Dewa telah tewas di tangan Cia-taihiap."
"Hebat...!"
Kwi Eng bersorak girang.
"Kemudian
bagaimana, twako? Tentunya pedang Siang-bhok-kiam sudah kembali kepada
Houw-koko, bukan?"
"Entahlah,
aku sendiri belum sempat bertemu lagi dengan dia."
“Sayang,
kami berdua pun belum lama kembali dari Cin-ling-san, akan tetapi juga tidak
berjumpa dengan dia," kata Kwi Eng.
"Cin-ling-san?"
Tio Sun bertanya heran.
"Ya,
bersama ibu," jawab Kwi Eng dan tiba-tiba dia menunduk dengan kedua pipi
berubah merah sekali.
"Ha,
dia sudah amat rindu kepada Houw-koko, Tio-twako, rindu kepada tunangannya itu!
Ha-ha-ha!"
"Ihhh,
tak tahu malu kau!" Kwi Eng mencubit lengan saudaranya lalu lari ke dalam.
Seketika
wajah Tio Sun berubah pucat. "Tunangan...?" Dia berbisik.
"Kami
ke sana bersama ibu dan ibu membicarakan tentang pertunangan mereka, dan sudah
disetujui. Adikku yang bengal itu beruntung sekali telah dijodohkan dengan
kanda Cia Bun Houw... ehhh, kau kenapa, Tio-twako?" Kwi Beng bertanya
kaget melihat wajah yang menjadi pucat dan mata yang dipejamkan itu.
"Ahhh...
ehhh, tidak apa-apa..." Tio Sun membuka matanya dan meraba-raba
cangkirnya, lalu diminumnya isi cangkir, tapi jelas tangannya gemetar dan
ketika dia mengembalikan cangkir ke atas cawan, terdengar bunyi berkeretakan
karena tangan itu tidak dapat diam.
"Kau...
kau pucat sekali dan gemetar. Kau seperti orang sakit, twako," Kwi Beng
bertanya khawatir.
Tio Sun
menggigit bibir. "Tidak apa-apa, mungkin karena lelah, Beng-te, aku
permisi..." Tio Sun bangkit dari bangkunya.
"Ehhh?
Ke mana?" Kwi Beng berseru kaget.
Tio Sun
sadar kembali bahwa dia sudah menerima undangan mereka untuk menginap di situ,
maka dia menahan kakinya yang sudah hendak melangkah pergi. "Ehh... aku
mau beristirahat..."
"Kamarmu
ada di sebelah sana, twako. Marilah kuantar, kau kelihatan pucat dan gemetar,
agaknya kau sakit."
"Agaknya
begitulah, Beng-te... terima kasih..." Tanpa bicara apa-apa lagi Tio Sun
segera mengikuti Kwi Beng yang mengantarkan sampai ke kamarnya.
Sesudah
pemuda itu meninggalkannya, Tio Sun lalu menutup pintu kamarnya dan rebah
terlentang, berkali-kali menarik napas panjang sampai akhirnya dia dapat
menenangkan batinnya yang terguncang hebat sesudah mendengar bahwa Kwi Eng
telah bertunangan dan dijodohkan dengan Bun Houw itu.
"Ahh,
engkau sungguh tak tahu diri!" Dia menghela napas dan menyesalkan diri
sendiri. "Sejak dulu pun sudah jelas bahwa dia tertarik kepada Cia Bun
Houw, dan memang sudah sepantasnyalah demikian. Dia seorang gadis yang cantik
jelita, pandai dan kaya raya, sudah sepatutnya berjodoh dengan Cia Bun Houw
yang lihai, putera ketua Cin-ling-pai. Sedangkan aku ini apa? Sungguh tak tahu
diri!"
Penyesalan
terhadap dirinya sendiri dan kesadaran bahwa sudah sepatutnya apa bila Kwi Eng
berjodoh dengan Cia Bun Houw yang dikaguminya, dan bahwa sudah semestinya pula
kalau dia ikut girang melihat gadis yang dicintanya itu berbahagia memperoleh
jodoh seorang pilihan seperti putera ketua Cin-ling-pai itu dan mengesampingkan
keinginannya untuk mementingkan diri sendiri, meringankan beban guncangan
batinnya dan ketika Kwi Eng dan Kwi Beng datang menengoknya, Tio Sun telah
tenang pula.
"Kata
Beng-ko engkau sakit, twako?" Kwi Eng menegurnya pada waktu dia menyambut
kedatangan dua orang kakak beradik itu ke kamarnya.
"Ahhh,
mungkin hanya terlalu lelah dan masuk angin." jawab Tio Sun sambil
tersenyum. "Akan tetapi sudah sembuh kembali setelah mengaso sebentar di
kamar yang nyaman ini. Terima kasih. Oh ya, aku... aku menghaturkan selamat
atas pertunanganmu dengan Cia-taihiap, adik Kwi Eng!"
Tergopoh-gopoh
Kwi Eng membalas pemberian selamat itu dengan kedua pipi berubah merah.
"Terima kasih, Tio-twako. Kau baik sekali.".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment