Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Dewi Maut
Jilid 35
MANUSIA KAH
yang datang itu? Ataukah dewa? Dia tahu bahwa gurunya adalah seorang manusia
sakti yang sudah pandai terbang di atas rumput, semacam ilmu ginkang yang sudah
mencapai puncak, akan tetapi kiranya kalau yang datang itu manusia, tentu orang
itu memiliki kepandaian yang setingkat dengan gurunya!
Sesudah tiba
dekat, ternyata gerakan orang itu memang bukan main cepatnya sehingga tahu-tahu
di situ telah meloncat turun seorang kakek raksasa berkepala gundul, jubahnya
yang butut dan rombeng itu berwarna merah. Seorang pendeta!
Pendeta
miskin agaknya, menuntun seorang anak laki-laki berusia kurang lebih tiga belas
tahun, bertubuh tegap dan kuat, wajahnya bundar dan membayangkan keberanian
dengan sepasang mata tajam.
Begitu tiba
di situ, pendeta Lama itu tertawa bergelak. Sepasang matanya yang lebar itu
agak liar pandangannya, sikapnya menakutkan karena bunyi tawanya aneh, dan dia
telah melangkah lebar menghampiri Bun Hwat Tosu yang sedang duduk bersila
menghadapi papan caturnya. Tosu itu memandang dengan senyum di mulutnya,
pandang matanya penuh perhatian ditujukan ke arah pendeta Lama itu.
"Sobat,
benarkah engkau demikian baik hati untuk menemani aku bermain catur?" Bun
Hwat Tosu bertanya dengan suaranya yang halus sambil menentang pandang mata
yang aneh, tajam dan agak liar itu.
"Ha-ha-ha-ha,
kalau tidak mendengar orang sinting menantang dewa, siapa sudi bermain catur
denganmu? Setelah mendengar engkau menantang dewa, tentulah engkau pemain catur
jagoan dan patut dilawan."
"Ha-ha-ha,
sobat baik, agaknya engkau seorang ahli main catur," Bun Hwat Tosu
berkata, girang sekali.
"Ahli?
Bukan, hanya bisa sedikit-sedikit, akan tetapi di seluruh Tibet tidak ada yang
dapat mengalahkan aku!"
Bun Hwat
Tosu memandang dengan sinar mata berseri karena merasa bahwa sekali ini dia
benar-benar menemukan seorang tandingan yang pandai. Inilah yang dirindukannya
selama ini! Dan sejenak, dua orang kakek itu saling pandang setelah pendeta
Lama itu juga duduk bersila menghadapi Bun Hwat Tosu. Sedangkan anak laki-laki
yang datang bersama dia juga duduk tidak jauh dari Mei Lan, setelah melempar
pandang ke arah gadis cilik ini dengan sikap acuh tak acuh!
Dua orang
anak itu sama sekali tidak tahu bahwa sebenarnya, antara orang tua mereka masih
terdapat hubungan yang amat erat. Anak laki-laki yang baru datang itu bukan
lain adalah Lie Seng, putera dari mendiang Lie Kong Tek dan isterinya, Cia Giok
Keng.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Lie Seng diculik oleh Giok-hong-cu Yo Bi
Kiok dan kemudian ditolong dan dibebaskan oleh Kok Beng Lama. Biar pun Lie Seng
hampir saja tewas karena serangan pasir beracun dari Yo Bi Kiok, akan tetapi
akhirnya gurunya bisa memperoleh obat dari Yap In Hong di tempat tinggal
Yok-moi (Setan Obat) di puncak Gunung Cemara, dan semenjak saat itu, Lie Seng
menjadi murid dari Kok Beng Lama.
Seperti kita
ketahui, sesudah mendengar akan kematian puterinya, Pek Hong Ing, Kok Beng Lama
menjadi sinting dan setengah gila. Pada tengah hari itu, secara kebetulan dia
lewat di dekat tempat itu bersama Lie Seng dan mendengar tantangan Bun Hwat
Tosu kepada dewa, maka dia menjadi tertarik dan menyambut tantangan itu.
Ada pun di
antara Bun Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, biar pun keduanya merupakan tokoh-tokoh
besar di dunia persilatan, namun karena keduanya sudah puluhan tahun tidak
pernah mencampuri urusan dunia kang-ouw, mereka tidak pernah saling mengenal
dan baru satu kali ini mereka bertemu muka di tempat sunyi itu secara kebetulan
saja. Andai kata keduanya tidak mempunyai kesenangan yang sama, yaitu bermain
catur, agaknya kedua orang tokoh besar ini tidak akan dapat saling berjumpa.
"Ha-ha-ha,
kiranya engkau adalah jagoan main catur dari Tibet. Lama yang baik, sungguh
hatiku girang bukan main, dalam keadaan kesepian seperti ini muncul seorang
jago catur seperti engkau."
"Tosu
tua bangka, tak perlu puji-memuji dan sungkan-sungkanan ini. Kita berdua sudah
sama-sama tua bangka, juga sama-sama ahli, hanya belum dapat dilihat siapa yang
lebih unggul sebelum bertanding. Nah, sebagai tuan rumah tentu engkau suka
mengalah dan membiarkan aku memainkan biji putih dan melangkah lebih
dulu." Sambil berkata begitu, Kok Beng Lama menggerakkan tangan kanannya
untuk meraih biji catur yang berwarna putih.
"Jangan
sungkan-sungkan. Silakan saja, Lama. Kau boleh mengumpulkan biji-biji putih itu
kalau bisa." Sambil berkata demikian, Bun Hwat Tosu menggunakan tangan
kanannya memegang papan catur pada pinggirnya dan diam-diam dia menyalurkan
sinkang-nya.
"Ehhh?"
Kok Beng Lama yang mengambil biji catur, terkejut karena biji catur itu melekat
pada papan, seolah-olah berakar. Dia mengangkat mukanya memandang dan dua
pasang mata saling bertemu dan kedua pasang mata itu seperti mata anak-anak
yang tiba-tiba memperoleh permainan baru yang penuh kegembiraan.
Kok Beng
Lama maklum bahwa tosu tua renta ini ternyata lihai bukan main, dan tahu pula
bahwa tosu itu agaknya tidak hanya ingin menguji kepandaiannya bermain catur,
akan tetapi juga ingin menguji kekuatannya. Maka dia pun lalu menyalurkan
tenaga sinkang melalui lengan dan jari-jari tangannya dan dengan pengerahan
sinkang dia lalu berusaha mengambil biji catur putih yang sudah dipegangnya itu,
yaitu biji catur raja.
Akan tetapi,
Bun Hwat Tosu yang tiba-tiba merasa betapa papan catur itu tergetar hebat dan
satu tenaga sakti yang amat kuat bergelombang menyerangnya, timbul kegembiraan
di hatinya karena dia tahu bahwa pendeta Lama ini benar-benar merupakan
tandingan yang sangat tangguh, maka dia pun menghimpun tenaga saktinya
mempertahankan raja putih itu dengan tenaga membetot.
Maka
terjadilah pertandingan yang sangat aneh dan luar biasa, pertandingan yang
tidak kelihatan oleh mata akan teta[i yang terjadi amat serunya karena
masing-masing sudah mengerahkan tenaga sinkang yang hanya dimiliki oleh
orang-orang yang sudah sangat tinggi tingkat kepandaiannya.
Baik Bun
Hwat Tosu dan Kok Beng Lama, keduanya bukan main kaget dan herannya karena
masing-masing sama sekali tidak menyangka bahwa lawan ini sungguh tangguh,
seorang yang sudah mencapai puncak dari tingkat kepandaiannya! Benar-benar
mereka tidak pernah mimpi akan dapat saling bertemu di tempat sunyi ini.
Sementara
itu, Mei Lan yang semenjak kecil digembleng oleh ayahnya, Yap Kun Liong si
pendekar sakti, dan Lie Seng yang juga merupakan putera suami isteri pendekar
dan dari keluarga pendekar sakti ketua Cin-ling-pai, walau pun keduanya belum
banyak mewarisi kepandaian dua orang kakek sakti ini, namun sebagai keturunan
orang-orang pandai dua bocah itu sudah menduga apa yang terjadi ketika melihat
Kok Beng Lama dan Bun Hwat Tosu duduk bersila berhadapan, pendeta Lama itu
memegang biji catur raja putih ada pun tosu tua itu memegang atau menyentuh papan
catur dan keduanya berdiam saja tanpa bergerak, akan tetapi dari kepala mereka
mengepul uap putih!
Keadaan
menjadi sunyi, sunyi sekali dan sangat menegangkan karena dua orang kakek itu
kelihatannya tidak mau saling mengalah! Dan biar pun mereka tidak saling
menyerang secara langsung, namun mengadu kekuatan sinkang untuk memperebutkan
biji catur itu juga sangat berbahaya, tidak kalah bahayanya dengan mengadu
pukulan! Bahkan lebih berbahaya lagi karena kalau pukulan atau tendangan dapat
dielakkan, akan tetapi getaran sinkang ini tak dapat dielakkan, harus dihadapi
langsung dengan mengadu kekuatan.
Tiba-tiba
saja kesunyian yang mencekam perasaan itu dipecahkan oleh suara nyaring Mei
Lan, "Ji-wi suhu sedang apakah? Katanya ji-wi hendak bertanding catur! Apakah
acara pertandingan telah dirubah?"
Mendengar
suara ini, kedua orang kakek itu menjadi sadar lantas keduanya tertawa dan
otomatis keduanya menghentikan saluran sinkang mereka.
"Ha-ha-ha,
pantas berani menantang dewa! Kiranya engkau lihai sekali, tosu!"
"Dan
tidak kusangka di tempat ini aku dapat berjumpa dengan kepala gundul yang sakti
seperti engkau, Lama!" dengan kegembiraan yang tak disembunyikan lagi Bun
Hwat Tosu berkata. "Mari kita mulai mengatur biji-biji catur!"
Dengan
berbareng tangan kanan mereka memunguti biji-biji catur yang tersebar di atas
papan, Kok Beng Lama memunguti yang putih sedangkan Bun Hwat Tosu memunguti
yang hitam. Begitu tangan mereka bergerak, keduanya segera berlomba pula,
bercepat-cepatan mengatur biji-biji catur di atas papan sehingga meski pun
masing-masing hanya menggunakan sebelah tangan saja, namun dilihat oleh mata
orang biasa, satu tangan itu seperti berubah menjadi banyak sekali.
Banyak
tangan bergerak di atas papan catur itu dan keduanya menyelesaikan pekerjaan
mengatur biji-biji catur itu pada waktu yang bersamaan. Tepat pada saat Bun
Hwat Tosu melepaskan biji terakhir, demikian pula Kok Beng Lama melepaskan biji
terakhir. Kembali mereka tertawa, saling pandang dan wajah mereka berseri-seri
gembira sekali. Gembira karena sekaranglah mereka merasa menemukan tanding yang
amat menyenangkan dan berharga!
"Kita
bertanding catur dengan taruhan apa?" Tiba-tiba Kok Beng Lama menantang.
Bun Hwat
Tosu tersenyum. "Lama, apa sih yang bisa kita pertaruhkan? Pakaianku
kumal, jubahmu pun butut. Aku tidak mempunyai uang sepeser pun!"
"Dan
aku pun tidak mempunyai harta secuwil pun!"
Keduanya
tertawa lagi dengan gembira.
"Aku
sudah tidak menginginkan apa-apa, Lama."
"Aku
pun tidak butuh apa-apa. Akan tetapi engkau mempunyai murid."
"Dan
kau juga."
"Nah,
kita berdua tidak butuh apa-apa, akan tetapi murid-murid kita yang masih muda
itu tentu membutuhkan sesuatu. Hai, muridku, gurumu akan bermain catur
menandingi tosu tua bangka ini. Kau ingin bertaruh apa?" tanya Kok Beng
Lama kepada Lie Seng.
Lie Seng
mengerutkan alisnya. Apa yang dapat diharapkan dari tosu tua yang berpakaian
sederhana dan muridnya itu, anak perempuan yang pakaiannya juga
tambal-tambalan? Akan tetapi Lie Seng adalah seorang anak yang cerdas dan juga
berpandangan tajam.
Dari sikap
gurunya yang biasanya memandang rendah dan tidak peduli terhadap semua orang,
yang sekarang kelihatan amat bergembira bertemu dengan tosu tua itu, dia dapat
menduga bahwa tosu itu adalah seorang tua yang memiliki kesaktian hebat. Maka
dengan cepat dia menjawab,
"Teecu
ingin agar kalau locianpwe itu kalah dari suhu, dia mengajarkan satu macam ilmu
silat kepada teecu!"
"Dan
teeeu juga bertaruh demikian, suhu. Kalau locianpwe itu yang kalah, maka dia
harus mengajarkan semacam ilmu kepada teecu!" kata Yap Mei Lan sambil
memandang pada Kok Beng Lama.
Dua orang
kakek itu saling pandang, lalu sama-sama tertawa bergelak. "Murid-murid
kita memang cerdik, bisa menggunakan kesempatan. Bagaimana pandapatmu,
Lama?" tanya Bun Hwat Tosu.
Kok Beng
Lama mengangguk-angguk dan tiba-tiba saja pandang matanya bersinar aneh.
"Mewarisi ilmu dari orang seperti engkau, sungguh amat berguna bagi orang
muda, tosu. Ehhh, tosu tua! Apa yang engkau lakukan terhadap aku tadi? Setelah
mengadu sinkang denganmu, aku merasa aneh! Ehh, siapakah engkau, orang tua? Dan
bagaimana dengan kematian puteriku? Apakah sudah dapat ditemukan
pembunuhnya?"
Bun Hwat
Tosu memandang tajam, lalu menarik napas panjang. "Siancai... kiranya baru
sekarang ingatanmu dapat pulih kembali, Lama. Terus terang saja, tadi aku
melihat sinar aneh pada pandang matamu. Aku lalu menduga bahwa tentu engkau
menderita semacam penyakit atau keracunan, maka aku tadi sengaja mengerahkan
sinkang untuk membantu engkau mengusir hawa beracun itu. Akan tetapi, ternyata
sinkang-mu sangat kuat, tanda bahwa engkau tidak keracunan. Dan ternyata, tidak
gagal sama sekali usahaku, karena ternyata engkau mengalami himpitan batin,
pukulan batin yang demikian kuat sehingga engkau seperti kehilangan sebagian
ingatanmu."
"Omitohud!"
Kok Beng Lama baru sekarang teringat untuk memuji nama Buddha dan dia memandang
kakek tua itu dengan mata lebar. "Dan itu berarti bahwa betapa pun juga,
sinkang-mu masih lebih tinggi setingkat dari pada aku, totiang, sehingga
tenagamu dapat menyelinap ke dalam tubuhku, akan tetapi bukannya merusak bahkan
menyembuhkan! Ahhh, aku teringat semua sekarang! Puteriku terbunuh orang...
hemm, dan kau... bocah, kau menjadi muridku selama ini?" tanyanya kepada
Lie Seng.
"Benar,
suhu. Setelah suhu menolong saya dari iblis betina itu dan menyembuhkan saya
dari luka akibat pasir beracun."
Kok Beng
Lama sekarang bangkit berdiri lantas menjura ke arah Bun Hwat Tosu. "Aku
menghaturkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, sobat. Aku tak akan
melupakan budimu."
Bun Hwat
Tosu cepat balas menjura, lalu duduk bersila kembali dan mengomel, "Lama
yang baik, aku tidak melepas budi apa-apa dan tidak minta balasan apa-apa.
Asalkan engkau suka menemani aku main catur dengan taruhan seperti yang telah
dikatakan oleh murid-murid kita tadi, cukup senanglah hatiku. Hayo, kau mulai
dan jangan banyak main sungkan-sungkan dan hutang-pihutang budi lagi!"
Kok Beng
Lama memandang tosu itu dan tertawa girang. "Aha, tidak mudah di dunia ini
bertemu dengan seorang luar biasa seperti engkau, sahabat. Baiklah, mari kita
buktikan, siapa yang lebih unggul mempermainkan biji-biji catur."
Mulailah dua
orang kakek itu bermain catur dan mulai pulalah dua orang anak itu menjadi tak
tenang dan merasa bosan. Memang mereka ingin sekali melihat guru masing-masing
menang agar bisa mendapatkan pelajaran ilmu silat tinggi, akan tetapi menonton
mereka bermain catur begitu lambat, dua orang anak ini merasa bosan.
Kadang-kadang sampai hampir satu jam lamanya salah seorang di antara dua kakek
yang bergiliran jalan, hanya termenung memandang papan caturnya, tidak juga
menggerakkan biji catur.
Akan tetapi
di samping kebosanan mereka, dua orang anak itu tidak berani mengganggu guru
masing-masing, karena itu mereka hanya duduk gelisah, hanya kadang-kadang saja
memandang ke arah papan catur, akan tetapi lebih sering mereka memandang ke
kanan kiri, dan beberapa kali mereka saling pandang tanpa mengeluarkan
kata-kata.
Pada saat
matahari telah condong ke barat, dua orang bocah itu sudah tak lagi menonton
guru-guru mereka yang bermain catur. Sampai matahari condong ke barat, berarti
sudah setengah hari mereka bermain catur, tetapi belum juga ada yang kalah atau
pun menang, satu permainan juga belum habis!
Kini dua
orang anak itu sudah duduk berhadapan, tak jauh dari tempat guru-guru mereka
bermain catur. Karena merasa dikesampingkan dan tidak diperhatikan lagi oleh
guru-guru mereka, otomatis dua orang anak itu saling memperhatikan. Pada saat
Mei Lan memetik setangkai bunga merah, Lie Seng berkata, nada suaranya mencela,
"Sayang
sekali bunga itu dipetik."
Mei Lan
memandang kepadanya, memegang setangkai bunga itu dan mencium baunya yang
harum. Bunga itu adalah bunga mawar hutan.
"Kenapa
sayang?" tanyanya.
"Bunga
itu sudah baik-baik tumbuh di tangkainya, kenapa dipetik? Jika dipetik bukankah
akan cepat layu dan mati?"
"Hemmm,
memang bunga sepatutnya dipetik dan dinikmati, dan aku suka sekali kepada
bunga. Anak-anak perempuan sudah biasa suka memetik bunga."
Lie Seng tak
mau membantah lagi. Dia menoleh kepada suhu-nya yang masih tenggelam bersama
lawannya dalam dunia tersendiri, dunia perang catur yang amat mengasyikkan bagi
mereka berdua.
"Gurumu
suka sekali bermain catur," kata Lie Seng pula.
"Gurumu
juga," jawab Mei Lan.
"Biasanya,
guruku tidak pernah main catur, bahkan membicarakan soal catur pun tidak
pernah. Heran sekali mengapa dia ternyata suka sekali bermain catur. Apakah kau
bisa main catur?"
Mei Lan
mengangguk, "Aku bisa akan tetapi aku tidak begitu suka, tidak enak
menunggu lawan berlama-lama memikirkan jalan berikutnya, sampai kesal hati
menunggu. Aku lebih senang bermain silat. Apa kau bisa main catur?"
Lie Seng
menggeleng. "Tidak. Akan tetapi aku juga senang bermain silat."
Mereka
berdua sampai lama tidak berkata-kata lagi dan ternyata mereka menjadi makin
kesal. Mereka sudah lelah dan lapar, akan tetapi dua orang kakek itu terus saja
bermain catur tanpa mempedulikan dua orang anak itu, bahkan mereka itu pun sama
sekali tidak kelihatan lelah atau lapar atau mengantuk.
Ketika hari
berganti malam dan cuaca sudah terlalu gelap untuk dapat bermain catur, dua
orang kakek itu menyuruh murid-murid mereka untuk mencari kayu dan daun-daun
kering dan agar mereka membuatkan dua api unggun di kanan kiri dua orang kakek
yang terus melanjutkan permainan mereka itu.
Sesudah
membuatkan api unggun untuk guru-guru mereka, Mei Lan dan Lie Seng lalu membuka
bungkusan bekal mereka yang berisi roti kering dan air minum, kemudian tanpa
menawarkan kepada guru-guru mereka yang asyik bermain catur itu karena tidak
berani mengganggu mereka, dua orang anak ini makan minum sendiri!
Dan
ternyata, dua orang kakek itu tanpa makan atau minum atau mengaso, melanjutkan
permainan catur mereka sampai semalaman suntuk! Tentu saja Mei Lan dan Lie Seng
menjadi kesal sekali dan mereka tidur di atas rumput di dekat api unggun. Dua
orang kakek itu terus melanjutkan permainan mereka dan kadang-kadang
menambahkan kayu yang ditumpuk sebagai persediaan oleh dua orang murid mereka
itu ke dalam api unggun sehingga api unggun di kanan kiri itu bernyala sampai
pagi.
Setelah
matahari naik dan sinarnya mulai menyusup di antara celah daun pohon, Mei Lan
dan Lie Seng terbangun oleh suara Kok Beng Lama yang amat nyaring. Mereka
bangun dan duduk dengan kaget, lalu memandang ke arah dua orang kakek itu yang
masih saling berhadapan. Mereka kini mulai mengatur lagi biji-biji catur, tanda
bahwa baru saja mereka menyelesaikan satu permainan dan hendak mulai lagi
dengan permainan berikutnya. Kok Beng Lama kelihatan girang bukan main.
"Ha-ha-ha-ha!
Kekalahanku semalam tertebus dengan kemenangan ini, tosu! Tadi malam engkau
mengalahkan aku dan aku berjanji akan memberikan ilmu pedangku yang tidak ada
keduanya di dunia. Sekarang, setelah engkau kalah, ilmu apa yang akan kau
berikan kepada muridku?"
Bun Hwat
Tosu kelihatan gembira sekali pula, akan tetapi wajahnya kelihatan tegang dan
juga lelah, walau pun semua itu tertutup oleh kegembiraan yang terpancar dari
pandang matanya dan senyumnya. "Permainan caturmu sangat hebat, Lama, dan
sesuai dengan janji taruhan, biarlah untuk kekalahanku ini aku akan memberikan
ilmu tongkat yang tidak ada duanya di jagad ini, yaitu Siang-liong
Pang-hoat."
"Bagus,
bagus! Aku percaya bahwa tua bangka semacam engkau ini tentu menyimpan banyak
ilmu yang hebat-hebat. Memang sudah nasib muridku yang sangat baik. Dalam
permainan berikutnya, engkau tentu akan kalah terus dan semua ilmumu terkuras
habis dalam pertaruhan ini, tosu."
"Belum
tentu, Lama. Pertandingan kita masih ramai, baru satu-satu. Kita lihat saja
nanti!"
Dan mereka
berdua telah bermain kembali dengan asyiknya. Mula-mula, mendengar akan
kemenangan guru masing-masing satu kali, dua orang murid itu menjadi tertarik
sehingga beberapa lamanya mereka menonton. Masing-masing tentu mengharapkan
agar gurunya menang terus supaya mereka memperoleh tambahan ilmu silat tinggi
sebanyak mungkin.
Namun
menonton permainan itu tidaklah begitu menyenangkan seperti ketika mendengar
kemenangannya. Dua orang kakek itu seperti arca-arca yang sama sekali tidak
bergerak, seluruh perhatian ditujukan ke atas papan catur. Mereka itu bersikap
seolah-olah dunia di sekitar mereka tidak ada dan mereka seperti sudah pindah
ke dunia di atas permukaan papan catur itu. Tentu saja hal ini kembali
mendatangkan kebosanan pada Mei Lan dan Lie Seng.
Mei Lan
mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan melangkah pergi. Melihat ini, Lie Seng
juga bangkit dan cepat mengejarnya. "Kau hendak pergi ke mana?"
Mei Lan
menoleh. Dalam keadaan kesepian dan seperti tak dipedulikan lagi oleh gurunya
itu, dia memang membutuhkan seorang kawan, dan anak laki-laki ini pun lumayan
untuk dijadikan teman.
"Mau
mandi."
"Mandi?
Di mana ada air di sini?"
"Di
depan sana. Kemarin ketika suhu dan aku berjalan ke sini, aku melihat ada
sebuah anak sungai kecil di sana, airnya jernih sekali."
Lie Seng
memandang girang. "Ah, suhu membawa aku datang begitu cepat sehingga aku
tidak sempat melihatnya. Mari kita pergi, aku pun ingin mandi."
Sambil
berjalan, mereka memandang ke kanan kiri di mana tumbuh rumput dan ilalang yang
amat luasnya.
"Di
bawah pohon di depan itulah tempatnya," kata Mei Lan menuding ke depan.
Mereka
mempercepat jalan ke arah pohon itu dan tak lama kemudian telah tiba di sana.
Benar saja di situ terdapat anak sungai yang airnya bersih, mengalir sunyi
namun gembira dengan dendangnya seolah-olah bermain-main dengan batu-batu yang
diterjangnya. Anak sungai itu mengalir menuju ke perkampungan Padang Bangkai
dan di daerah ini memang merupakan daerah sebelah selatan Padang Bangkai yang
belum berbahaya.
"Kau
tunggulah dulu di bawah pohon dan jangan melihat ke sini. Aku akan mandi
dulu," kata Mei Lan sambil menuruni tebing sungai yang tidak begitu curam.
"Eh,
kenapa? Bukankah air itu cukup banyak dan tempatnya juga cukup lebar?" Lie
Seng membantah.
Sepasang
pipi itu menjadi kemerahan dan mulut Mei Lan cemberut. "Kau bocah
laki-laki tahu apa? Mana boleh wanita mandi bersama dengan seorang laki-laki?
Hayo kau tunggu dulu di situ, jangan bergerak. Setelah aku selesai, baru engkau
yang turun mandi dan aku akan menanti di situ."
Lie Seng
bersungut-sungut akan tetapi lalu duduk di atas akar pohon yang menonjol ke
luar tanah. "Baiklah, kalau tidak ingat bahwa engkau yang menemukan sungai
ini, tentu aku tidak mau mengalah dengan peraturanmu yang aneh ini!"
Mei Lan
hanya tersenyum mendengar ini. Bocah kecil tahu apa engkau, pikirnya. Agaknya
biar pun usianya sudah tiga belas tahun, pikiran Lie Seng masih terlalu polos
sehingga dia merasa heran mengapa anak perempuan itu tidak mau mandi bersama,
bahkan dia pun dilarang melihat!
Setelah Mei
Lan melihat bahwa Lie Seng benar-benar duduk membelakangi sungai dan sama
sekali tidak pernah menengok, dia lalu menanggalkan semua pakaiannya dan turun
ke dalam air yang setinggi paha, lalu dia duduk sehingga tubuhnya terbenam
sampai ke leher.
"Aihhh,
dinginnya...!" Mei Lan berseru dan ketika dia melihat betapa kepala Lie
Seng yang terlihat dari situ sebatas dada itu hendak menoleh, dia cepat
berseru, "Awas, tidak boleh menoleh dan melihat ke sini!"
Lie Seng
mendengus dan karena hatinya keras, dia sama sekali tidak sudi menoleh.
"Aku pun tidak ingin melihat engkau mandi!" katanya marah.
Makin
meradang lagi rasa hati Lie Seng ketika dia menanti sampai lama. Apa saja sih
yang dilakukan bocah itu, pikirnya. Mandi sampai begitu lama belum juga
selesai!
"Heiiii,
masa belum juga selesai?" teriaknya tanpa menoleh karena hatinya sudah
kesal menanti.
"Sebentar
lagi! Aihh, betapa tidak sabaran engkau!"
"Habis,
lama benar sih! Memangnya engkau mau berendam di situ sampai sehari penuh?"
Mei Lan tak
menjawab, akan tetapi mempercepat mencuci rambutnya yang hitam panjang itu.
Sesudah selesai dan berpakaian, dia lalu naik ke atas, rambutnya masih terurai
dan dikibas-kibaskannya agar cepat kering. Wajahnya segar kemerahan karena tadi
digosok-gosoknya, seperti sekuntum bunga yang sedang mulai mekar.
"Nah,
ambillah olehmu seluruh air sungai itu!" katanya kepada Lie Seng yang
cemberut.
Lie Seng
bangkit dan memandang marah. "Mandi saja sampai berjam-jam, dasar anak
perempuan!"
"Huh,
dan kau menunggu begitu saja tidak sabar, dasar anak laki-laki!" balas Mei
Lan.
Lie Seng
tidak menjawab, menuruni tebing dan menanggalkan semua pakaiannya lalu masuk ke
dalam air. Mandinya mendatangkan suara bising, berkecipak di dalam air. Dia
tidak pernah menengok apakah anak perempuan itu masih berada di pinggir sungai
atau tidak, dan memang dibandingkan dengan waktu yang dipergunakan oleh Mei Lan
untuk mandi tadi, Lie Seng hanya menggunakan waktu singkat saja.
Ketika dia
sudah berpakaian dan naik ke tepi sungai dengan rambut basah, dia melihat Mei
Lan masih duduk di bawah pohon sambil menyisiri rambutnya.
"Ehh,
kau masih di sini?" tanya Lie Seng, rasa mengkal hatinya agaknya sudah
lenyap, larut oleh air sungai atau sudah menjadi dingin oleh air.
"Tentu
saja. Bukankah aku tadi berjanji akan menunggu di sini sampai kau
selesai?"
Hati Lie
Seng menjadi gembira. Kiranya anak perempuan ini baik juga, bersahabat dan
memegang janji. Maka pada waktu Mei Lan menyerahkan sisirnya, dia menyambut
tanpa berkata-kata, menyisiri rambutnya. Dan kiranya Mei Lan sudah mengeluarkan
roti kering yang tadi dibawanya, mengajak Lie Seng untuk sarapan roti kering.
Lie Seng pun duduk di atas akar pohon dan mereka makan roti kering.
"Siapa
namamu?" tanya Mei Lan.
"Namaku
Lie Seng, dan kau?"
"Mei
Lan. Berapa usiamu?"
"Tiga
belas tahun."
"Dan
aku lima belas tahun."
"Kalau
begitu kau lebih tua dari aku, enci Mei Lan."
"Tentu
saja! Semua orang pun dapat melihatnya."
"Oh,
belum tentu. Aku tidak kalah tinggi olehmu."
"Benar,
karena kau laki-laki. Akan tetapi kau masih kanak-kanak."
"Hemm,
dan kau sudah tua, ya?"
"Setidaknya,
lebih tua dari pada engkau."
Lie Seng tak
dapat membantah. Hening sejenak sampai mereka selesai makan roti kering yang
tentu saja tidak enak di mulut karena setiap hari mereka memakannya, akan
tetapi berguna bagi perut mereka yang lapar.
"Mengapa
kau ikut bersama hwesio aneh itu?"
Lie Seng
memandang. "Tentu saja. Dia guruku dan... dia yang sudah menolongku dari
bahaya. Kau sendiri, mengapa ikut bersama kakek yang sudah amat tua itu?"
"Sama
denganmu. Karena dia guruku. Di mana orang tuamu?" tanya Mei Lan.
Ditanya
demikian, Lie Seng mengerutkan alisnya dan sepasang matanya penuh dengan sinar
kedukaan, wajahnya menjadi muram dan dia menggeleng kepala, tidak menjawab.
Mei Lan
menarik napas panjang. "Maafkan aku, adik Seng. Agaknya di dunia ini
banyak terdapat anak-anak seperti kita... yang terlantar..."
"Ehh,
apakah engkau sendiri tidak berayah ibu lagi?"
Mei Lan
menggeleng kepala juga. "Pertanyaan itu tidak dapat kujawab..."
Tiba-tiba gadis cilik itu memegang lengan Lie Seng kemudian berbisik,
"Ssstttt, di sana ada dua orang mendatangi tempat ini...!"
Lie Seng
segera memandang dan dia pun melihat dua orang datang dari selatan, dua orang
laki-laki yang bersikap gagah dan berjalan sambil memandang ke kanan kiri.
Salah seorang di antara mereka bertubuh jangkung, memakai pakaian sederhana
dengan warna kuning, sedangkan yang seorang lagi amat mengherankan hati Lie
Seng karena pemuda itu memiliki rambut yang agak keemasan tertimpa sinar
matahari, dan setelah dekat, dia melihat bahwa matanya pun agak kebiruan!
Dua orang
pemuda itu bukan lain adalah Tio Sun dan Souw Kwi Beng. Seperti yang telah
diceritakan di bagian depan, dua orang ini sengaja mencari Yap In Hong dan
mereka baru saja meninggalkan benteng Raja Sabutai di mana mereka mendapatkan
petunjuk bahkan menerima petunjuk rahasia dari Permaisuri Khamila.
Kemudian,
mereka bertemu dengan Liong Si Kwi, wanita yang bernasib malang itu dan
memperoleh petunjuk yang sangat penting, yaitu mengenai jalan rahasia
menyeberangi Padang Bangkai yang amat berbahaya itu. Karena itu, maka mereka
memasuki daerah ini dengan hati-hati dan menoleh ke kanan kiri, tidak berani
bersikap sembrono karena dari Si Kwi mereka memperoleh keterangan betapa
bahayanya memasuki Padang Bangkai.
Ketika
mereka melihat ada seorang dara remaja dengan seorang anak laki-laki berada di
bawah pohon yang memandang mereka dengan sikap heran dan penuh curiga, tentu
saja dua orang pemuda ini mengira bahwa tentu dua orang anak itu adalah
anak-anak dari penghuni Padang Bangkai! Menurut penuturan Si Kwi, di tempat
berbahaya itu tidak ada orang luar, yang ada hanya anggota-anggota Padang
Bangkai yang semua telah dibasmi oleh Cia Bun Houw dan sebagian melarikan diri
ke Lembah Naga. Maka, adanya kedua orang anak di sana tentu saja menimbulkan
kecurigaan mereka dan mereka menyangka bahwa dua orang anak itu tentulah
anggota-anggota Lembah Naga atau Padang Bangkai.
"Kita
tangkap mereka untuk menunjukkan jalan, twako," kata Kwi Beng.
"Jangan
sembrono, Beng-te. Kita tanya lebih dahulu...," kata Tio Sun yang memang
selalu berhati-hati dalam sepak terjangnya.
Akan tetapi
Kwi Beng sudah mendekati lantas memandang kedua orang anak itu penuh perhatian.
Dia merasa heran mengapa anak-anak dari para penjahat begitu tampan dan cantik,
terutama sekali dara remaja itu. Begitu cantik manis dengan sepasang mata yang
bersinar-sinar penuh keberanian, walau pun bajunya tambalan. Dan anak laki-laki
itu pun jelas menunjukkan bahwa dia bukan seorang anak biasa saja.
"Siapa
kalian dan di mana adanya orang-orang Lembah Naga?" Kwi Beng bertanya,
nada suaranya tidak manis karena tentu saja menghadapi anak-anak dari fihak
musuh dia tidak bisa bersikap manis.
Mei Lan dan
Lie Seng memandang tajam, kemudian Mei Lan menggandeng tangan Lie Seng sambil
berkata, "Huh! Mari, Seng-te, jangan kau layani orang sinting ini!"
Sesudah berkata demikian, Mei Lan lalu menarik tangan Lie Seng dan lari
meninggalkan Kwi Beng yang menjadi bengong sejenak.
"Heiii,
hendak lari ke mana kalian?" Kwi Beng mengejar.
"Hati-hati,
Beng-te, jangan-jangan ini merupakan pancingan!" Tio Sun berseru dan juga
mengejar.
Ketika Mei
Lan dan Lie Seng sudah tiba di tempat yang tak jauh dari tempat guru mereka
bertanding catur dan sudah kelihatan dari situ, kemudian mendapatkan kenyataan
bahwa dua orang itu mengejar, mereka lalu berhenti.
"Engkau
ini orang jahat mau apa mengejar kami?" Mei Lan membentak marah.
Kwi Beng
mengerutkan alisnya. Anak perempuan ini galak sekali, dan sebagai anak dari
tokoh-tokoh sesat di tempat itu tentu mempunyai kepandaian juga.
"Bocah
sesat, kami hanya ingin bertanya jalan kepadamu!"
"Kami
tidak tahu. Hayo lekas pergi, laki-laki ceriwis dan jangan menggangguku!"
Mei Lan mengusir, telunjuk kirinya menuding ke depan dan tangan kanannya
menolak pinggang, sikapnya angkuh sekali, angkuh dan juga cantik!
"Sombong!"
Kwi Beng membentak dan dia telah menerjang untuk menangkap dara remaja yang
galak itu.
"Haiiittt...!
Ahhh!"
Kwi Beng
terkejut bukan main karena selain anak perempuan itu mampu mengelakkan
tubrukannya dengan cepat dan mudah, juga sambil mengelak ke kiri, anak
perempuan itu langsung saja mengirim tendangan ke arah lambungnya. Gerakan
tendangan itu pun cepat dan kuat sehingga dia terkejut dan cepat meloncat mundur.
Kemudian,
dengan penasaran dia sudah menerjang lagi dengan cepat, disambut oleh Mei Lan
dengan tangkisan, elakan dan serangan balasan yang secara kontan dan
bertubi-tubi dia lancarkan, membuat Kwi Beng untuk kedua kalinya terkejut dan
cepat dia merubah gerakan menyerang menjadi gerakan bertahan dan melindungi
dirinya karena ternyata olehnya betapa serangan-serangan gadis itu bukannya
tidak berbahaya.
"Beng-te,
jangan berkelahi...!" Tio Sun meloncat ke depan, maksudnya hendak melerai
perkelahian itu, karena dia melihat gerakan-gerakan aneh dan hebat dari gadis
itu. Akan tetapi ketika dia meloncat ke depan, dari samping berkelebat bayangan
yang langsung menyerangnya.
"Ehh...!"
Dia berseru kaget melihat bahwa yang menyerangnya adalah anak laki-laki tadi,
dan bukan main kagetnya melihat bahwa pukulan anak laki-laki itu pun hebat
bukan main sehingga terpaksa dia menangkisnya.
"Dukkkk!"
Tubuh Lie Seng terpental, akan tetapi Tio Sun juga merasa betapa lengannya
tergetar.
"Hebat...!"
Otomatis dia memuji karena seorang bocah sekecil itu sudah dapat membuat
lengannya tergetar, hal ini sangat luar biasa.
Akan tetapi
sebelum Tio Sun sempat mencegah, Lie Seng yang menganggap bahwa dua orang itu
tentunya orang-orang jahat, sudah menerjang kembali dengan pukulan-pukulan yang
hebat, karena baru saja dia melatih pukulan Thian-te Sin-ciang yang biar pun
masih mentah dan tenaga sinkang-nya belum kuat, akan tetapi berkat ilmu
mukjijat itu, ternyata sudah membuat Tio Sun terheran-heran dan terkejut.
Terjadilah
pertandingan yang seru antara Mei Lan dan Kwi Beng yang makin lama makin
menjadi penasaran karena dia tidak mampu mendesak dara remaja itu. Dan tentu
saja Lie Seng bukanlah lawan Tio Sun, sungguh pun pendekar ini tentu saja
merasa enggan untuk menjatuhkan tangan kejam terhadap seorang anak yang usianya
belum dewasa itu.
Tio Sun
cepat mengelak dan menangkap pergelangan tangan Lie Seng, lalu dipegangnya
keras-keras pergelangan tangan itu sambil dia mengerahkan sedikit tenaga
Ban-kin-kang yang amat kuat. Dipegang dengan tenaga itu, Lie Seng tidak mampu
bergerak lagi, meski pun dia sudah meronta-ronta.
Pada saat
itu, tiba-tiba Tio Sun berseru lirih dan pegangannya terlepas sehingga Lie Seng
dapat meloncat jauh ke belakang! Tio Sun terkejut karena dia maklum bahwa tadi
ada batu kecil menyambar lengannya dan membuat lengan itu lumpuh. Dia cepat
menoleh ke arah dua orang kakek yang sedang asyik bermain catur, agaknya tidak
mempedulikan pertempuran itu, akan tetapi yakinlah dia bahwa batu kerikil itu
datang dari arah dua orang kakek itu.
Pada saat
itu, Kwi Beng juga mengeluh dan terhuyung, terpincang-pincang kakinya dan
terpaksa dia menjauhi Mei Lan. Ada batu kerikil menyambar mata kakinya, dan
biar pun kakinya dilindungi oleh kaos kaki dan sepatu, namun tetap saja terasa
nyeri bukan main sehingga dia terpincang dan menjauhi Mei Lan.
Mei Lan dan
Lie Seng juga mengerti bahwa diam-diam mereka dibantu oleh guru mereka, maka
mereka menjadi girang sekali. Sebaliknya, Kwi Beng makin marah bukan main. Dia
memandang ke arah dua orang kakek yang sedang bermain catur, maklum bahwa dua
orang kakek itulah yang tadi membantu lawannya dan dia menduga bahwa pasti
mereka itu adalah tokoh-tokoh jahat dari tempat itu, kawan-kawan dari mereka
yang menculik In Hong.
Oleh karena
itu, tanpa ragu-ragu lagi dia mencabut enam hui-to dan melontarkan enam batang
pisau terbang itu ke arah dua orang kakek yang bermain catur. Dia mengerahkan
seluruh tenaganya karena dia segera maklum bahwa dua orang kakek itu tentu
memiliki kepandaian tinggi.
"Jangan...!"
Tio Sun berseru, namun terlambat dan karena dia pun menduga bahwa dua orang
kakek itu tentulah fihak musuh, maka dia pun akhirnya diam saja, memandang ke
arah mereka yang diserang oleh enam batang pisau terbang itu sambil mendekati
Kwi Beng.
"Singg-singg-singgg...!"
Enam batang pisau terbang itu meluncur dengan cepat, berubah menjadi sinar
berkilauan ditimpa cahaya matahari pagi menuju ke arah tubuh dua orang kakek
itu.
"Mengganggu
saja!" terdengar Bun Hwat Tosu berkata dan kakek ini lalu menggunakan
ranting kecil di tangan kirinya untuk menyampok.
"Menjemukan!"
Kok Beng Lama juga menyampok dengan ranting kecil.
Tiga batang
pisau terbang yang menyambar ke arah Bun Hwat Tosu kena disampok oleh ranting
kecil di tangan tosu itu, runtuh ke atas tanah dan patah-patah. Sedangkan
ketika Kok Beng Lama menyampok dengan rantingnya, tiga batang pisau terbang
lainnya lantas membalik dan kini meluncur dengan kecepatan kilat menuju ke arah
dua orang pemuda itu, yang satu menyambar ke arah Tio Sun sedangkan dua batang
lainnya ke arah Kwi Beng!
"Celaka...!"
Tio Sun berseru kaget sekali melihat sinar-sinar berkelebatan yang demikian
cepatnya.
Dia meloncat
ke atas, menendang dari samping pisau yang menyambar ke arahnya dan menggunakan
tangannya menyampok pisau yang menyambar ke arah Kwi Beng, ada pun pisau ketiga
dielakkan oleh Kwi Beng yang juga kaget itu dengan jalan melempar tubuh ke
belakang lantas bergulingan! Ternyata, nyaris saja Kwi Beng dimakan oleh
senjatanya sendiri!
"Berbahaya...
kita pergi, Beng-te...!"
Tio Sun lalu
menarik tangan Kwi Beng dan diajak pergi dari situ, melanjutkan perjalanan,
karena pendekar tinggi kurus ini maklum bahwa mereka sama sekali bukanlah lawan
dua orang kakek yang masih tekun bermain catur itu.
Untung saat
mereka menengok, dua orang kakek itu masih terus bermain catur, agaknya tidak
mempedulikan mereka dan sama sekali tidak mengejar. Mereka tidak tahu bahwa ada
dua bayangan kecil yang membayangi mereka, menyusup-nyusup di antara rumpun
alang-alang yang tinggi.
"Bukan
main...," kata Tio Sun setelah mereka pergi jauh. "Dua orang kakek
itu memiliki kesaktian yang amat luar biasa."
"Heran
sekali, siapakah mereka? Kalau musuh, mengapa membiarkan kita pergi? Kalau
bukan musuh, kenapa di tempat ini?" tanya pula Kwi Beng.
"Aku
pun tidak tahu dan tidak dapat menduga, Beng-te. Yang jelas, kita berada di
tempat berbahaya dan jangan sembarangan turun tangan. Mudah-mudahan saja dua
orang kakek itu bukan orang-orang fihak Lembah Naga, karena jika fihak musuh
memiliki orang-orang seperti mereka, agaknya tak mudah bagi kita untuk
mengharap dapat menolong nona Yap In Hong yang tertawan di sini."
"Aku
tidak takut! Kita harus dapat menyelamatkan dia!" Kwi Beng berkata dengan
kukuh.
Tio Sun
tersenyum dan menyentuh lengan sahabatnya. "Tentu saja akan kita usahakan
sedapat mungkin, saudaraku. Kalau tidak, masa kita berada di tempat berbahaya
ini?"
Agaknya Kwi
Beng sadar akan ucapannya, maka cepat dia menjura dan memberi hormat kepada
pemuda tinggi itu. "Maafkan aku, twako. Aku terlampau memikirkan
keselamatan dia, sehingga lupa akan keselamatan orang lain. Keselamatanku
sendiri tidak ada artinya bagiku, akan tetapi keselamatanmu, twako. Engkau
telah memasuki bahaya besar di sini karena hendak membantuku
menolongnya..."
"Ahh,
sudahlah. Perlu apa hal itu dibicarakan lagi, Beng-te? Tanpa kau minta sekali
pun mendengar bahwa Yap-lihiap tertawan orang jahat, tentu aku akan berusaha
sedapatku untuk menolongnya." Dia berhenti sebentar, kemudian menyambung,
"Apa lagi sesudah mendengar dari nona Liong Si Kwi bahwa Cia-taihiap
tertawan. Sudah menjadi kewajiban kita untuk menolong mereka, betapa pun
bahayanya."
Mereka
kemudian melanjutkan perjalanan dengan hati-hati sekali, meneliti seluruh
tempat dan menuruti petunjuk yang diberikan oleh Si Kwi. Dan memang mereka
tidak bertemu dengan seorang pun manusia sampai mereka berhasil melewati
perkampungan Padang Bangkai. Akan tetapi mereka tidak tahu bahwa dari jauh, Mei
Lan bersama Lie Seng terus mengikutinya dengan mengambil jalan yang mereka
lewati tadi sehingga dua orang anak ini pun terbebas dari mala petaka yang
terdapat di sepanjang perjalanan itu.
***************
Dia merasa
menyesal sekali karena seolah-olah dia melihat betapa tangannya sendirilah yang
dahulu menyalakan api pertama dan kemudian membakar keluarga Kun Liong serta
keluarganya, yang menyebabkan Kun Liong kematian isterinya dan kehilangan
puterinya, dan kemudian sebagai rangkaiannya, juga menyebabkan ia kematian
suaminya sekaligus kehilangan Lie Seng, puteranya.
Karena
penyesalan ini, dia dapat membayangkan betapa sengsaranya hati Kun Liong dan
dia bertekad untuk mencari pembunuh Pek Hong Ing isteri Kun Liong dan terutama
sekali mencari jejak Yap Mei Lan yang lenyap melarikan diri itu. Untuk mencari
jejak Yap Mei Lan, akhirnya Giok Keng menuju ke Leng-kok, tempat tinggal Kun
Liong dari mana anak perempuan itu mula-mula lenyap.
PADA suatu
hari dia berjalan seorang diri di lereng pegunungan sebelah selatan Leng-kok.
Berjalan seorang diri di tempat sunyi itu dengan melamun. Padahal, matahari
tersenyum dengan cerahnya, menghidupkan semua yang berada di permukaan bumi,
bermain-main dengan kelompok bunga dan pucuk daun, menimbulkan bayang-bayang
aneh dan luar biasa di bawah-bawah pohon, menciptakan suasana gembira dan
pemandangan indah yang abadi dan selalu berubah setiap saat.
Tetapi Giok
Keng berjalan sendirian seperti tidak melihat semua itu. Matanya memandang jauh
tanpa menangkap apa-apa karena pikirannya melayang-layang jauh di masa lampau.
Dia adalah
seorang janda yang usianya sudah tiga puluh enam tahun, seorang wanita yang
matang dan belum dapat dibilang terlalu tua untuk menyendiri. Di dalam
perjalanan selama ini, kadang kala timbul perasaan rindu yang amat mendalam
terhadap suaminya, Lie Kong Tek yang sudah meninggal dunia, dan kadang-kadang
pula, secara mendadak, seperti cahaya halilintar menerangi mendung gelap,
timbul pula bayangan wajah Yap Kun Liong.
Akan tetapi
setiap kali dia teringat kepada Kun Liong, cepat diusirnya lagi bayangan itu.
Dia seorang janda, dan dia tahu bagaimana kedudukan serta keadaan seorang janda
di jaman itu. Akan rusaklah nama seorang janda kalau dia membiarkan dirinya
berdekatan dengan seorang pria. Apa lagi dia adalah puteri ketua Cin-ling-pai!
Akan cemar namanya, akan ternoda pula nama keluarga Cin-ling-pai.
Giok Keng
mengepal dua tinjunya erat-erat. Tidak, dia harus dapat menahan hatinya, dia
harus mematikan perasaan hatinya. Sebagai seorang janda, sudah tertutup baginya
untuk berhubungan dengan seorang lelaki, apa lagi untuk memadu kasih! Dia sudah
mati, mati kebahagiaannya, mati bersama matinya suaminya. Sekarang yang paling
penting baginya adalah menebus kesalahannya, dia harus dapat menemukan Mei Lan
kembali!
Tiba-tiba
saja terdengar suara tangis wanita. Buyarlah semua lamunan Giok Keng dan dia
menghentikan langkahnya, memasang telinga untuk mendengarkan lebih teliti.
Ternyata suara tangis itu terdengar dari jauh, di sebelah kiri, maka dia pun
segera menggerakkan kedua kakinya menuju ke tempat itu. Setelah mendekat, dia
melihat seorang wanita tua dipegangi oleh seorang laki-laki tua yang membujuk
dan menghiburnya.
"Tidak,
biarkan aku mati saja!" Wanita itu meronta dan agaknya dia hendak melempar
dirinya ke dalam jurang di depannya.
"Ahh,
mengapa engkau begini? Belum tentu anak kita celaka, mengapa engkau berputus
asa? Tidak ingatkah kau kepadaku, kepada suamimu?"
Wanita itu
memandang kepada laki-laki tadi, lantas mereka saling rangkul dan menangis
sedih sekali. Giok Keng merasa tertarik maka cepat dia menghampiri. Melihat ada
orang datang, dua orang itu saling melepaskan rangkulan kemudian dengan masih
terisak-isak mereka memandang kepada wanita muda yang cantik jelita dan
bersikap gagah penuh wibawa itu. Melihat ada pedang tergantung di punggung
wanita cantik itu, si nenek cepat menjatuhkan diri berlutut.
"Lihiap,
mohon lihiap menolong kami..."
"Bangunlah,
lopek. Apakah yang terjadi? Mengapa isterimu hendak membunuh diri? Apa yang
terjadi dengan anakmu?"
Kakek yang
usianya lima puluh tahun lebih itu lalu berkata, "Lihiap, kami hanya
memiliki seorang anak perempuan saja yang kami harapkan akan dapat menyambung
keturunan dan dapat membahagiakan kami di hari tua. Akan tetapi, tiga hari yang
lalu anak kami itu lenyap."
"Lenyap?
Apa yang terjadi?"
"Anak
saya diculik siluman keparat itu, lihiap!" kini nyonya tua itu berkata
dengan nada suara penuh kebencian.
"Siluman?
Apa maksud kalian?" Giok Keng bertanya heran.
"Begini,
lihiap. Di kota kami sudah kurang lebih satu bulan ini terjadi hal-hal yang
aneh. Beberapa orang gadis lenyap di waktu malam, juga banyak hartawan
kehilangan hartanya. Anehnya, gadis-gadis yang hilang itu semua adalah gadis
yang cantik. Dan karena belum pernah ada yang melihat maling itu, maka dia
dijuluki siluman. Katanya ada yang melihat bayangan siluman itu, bahkan para
hwesio di Kuil Ban-hok-tong juga mengatakan bahwa ada hawa siluman di kota
kami."
Giok Keng
merasa tertarik sekali. Tentu saja dia dapat menduga bahwa yang dianggap
siluman itu adalah seorang maling yang berkepandaian tinggi, dan selain maling
agaknya penjahat itu juga merangkap seorang jai-hoa-cat (penjahat pemerkosa
wanita). Jantung Giok Keng berdebar keras. Tidak jauh dari Leng-kok terdapat
jai-hoa-cat! Jangan-jangan Yap Mei Lan menjadi korban pula!
"Di
manakah kota kalian?" Dia bertanya penuh gairah karena dia ingin
cepat-cepat dapat menangkap penjahat itu, bukan hanya untuk menolong penduduk
kota ini, tetapi terutama sekali untuk menyelidiki kalau-kalau Mei Lan menjadi
korban penjahat itu!
"Kota
Heng-tung tak jauh dari sini, di sebelah utara itu, lihiap."
"Baik,
jangan kalian khawatir dan jangan putus asa, aku akan pergi menangkap siluman
itu." Setelah berkata demikian, Giok Keng meloncat dan mempergunakan
kepandaiannya berlari cepat sehingga dalam sekejap mata saja dia sudah lenyap
dari depan dua orang suami isteri tua itu.
Suami isteri
itu terkejut dan mereka menjatuhkan diri berlutut, lalu mengangkat kedua tangan
tinggi-tinggi untuk menghaturkan terima kasih kepada para dewa, karena mereka
percaya bahwa yang muncul tadi tentulah utusan Kwan Im Pouw-sat, seorang dewi
untuk menangkap siluman jahat!
Memang agak
mengherankan hati Giok Keng bahwa di kota Leng-kok, atau setidaknya di dekat
Leng-kok, ada seorang penjahat berani muncul di kota besar. Padahal nama Yap
Kun Liong di Leng-kok sangat terkenal sehingga sampai jauh di sekeliling daerah
itu tidak ada penjahat berani melakukan operasi mereka. Akan tetapi janda ini
tidak tahu bahwa keadaannya telah berubah banyak.
Semenjak
peristiwa perebutan kedudukan kaisar di kota raja, yaitu pada saat Kaisar Ceng
Tung ditawan oleh pasukan liar di utara, keamanan di kota raja memang sudah
berhasil dipulihkan kembali dengan pulangnya Kaisar Ceng Tung dan dengan
diangkatnya kembali dia menjadi kaisar. Para thaikam yang tadinya memegang
kekuasaan mutlak, kekuasaan mereka telah banyak berkurang, bahkan amat
dibatasi. Suasana tertib dapat dipulihkan.
Akan tetapi
ketertiban ini hanya terdapat di lingkungan istana, atau paling banyak hanya
terasa di kota raja saja. Di luar kota raja, apa lagi di kota-kota yang jauh
dari kota raja, para pembesar kehilangan wibawa mereka karena para penjahat
mulai berani beroperasi secara terbuka. Bahkan banyak penjahat yang
mempergunakan pengaruh uang, memikat para pejabat sehingga ada semacam 'kerja
sama' di antara mereka! Tentu saja kalau hal seperti ini sudah terjadi, maka
rakyat yang akan menjadi korban dan hal itu berarti bahwa kewibawaan pemerintah
telah mulai surut.
Malam itu
Giok Keng melakukan penyelidikan. Dengan pakaian ringkas dia menggunakan
kepandaiannya, berloncatan di atas genteng-genteng rumah hingga akhirnya dia
memilih daerah rumah-rumah gedung tempat tinggal orang-orang kaya lantas
mendekam di balik wuwungan, melakukan pengintaian dari tempat yang dipilihnya,
merupakan tempat paling tinggi di sekitar tempat itu. Dia mengintai dan
menunggu dengan sabar. Menjelang tengah malam, di bawah sinar bintang-bintang
di langit, dia melihat ada sosok bayangan hitam berkelebatan di sebelah depan.
"Hemm,
tentu itu dia silumannya!" pikir Giok Keng dengan jantung berdebar tegang.
Dia merunduk
di balik wuwungan-wuwungan, berloncatan dengan amat hati-hati dan terus membayangi
sosok bayangan di depan itu. Oleh karena cuaca yang agak suram, hanya diterangi
oleh sinar bintang-bintang, dia tak dapat melihat jelas muka orang, hanya dapat
menduga bahwa bayangan itu adalah bayangan seorang laki-laki yang tubuhnya
kurus namun gerakannya gesit sekali, yang berloncatan dari satu rumah ke rumah
lainnya dan agaknya sedang mencari-cari. Akhirnya, dia melihat maling itu
meloncat turun ke dalam taman sebuah rumah besar.
"Bagus!
Dia tentu akan merampok harta atau menculik wanita. Biar kutunggu di sini dan
kutangkap basah dia!" pikir Giok Keng yang lalu menanti di atas rumah itu
dan bersikap waspada.
Tidak lama
kemudian, kelihatan kembali bayangan itu berkelebat dari bawah, meloncat ke
atas genteng dan kini tangan kirinya memanggul sebuah bungkusan yang berat.
Giok Keng merasa kagum juga. Ternyata maling ini adalah seorang yang sudah
ahli, buktinya dalam waktu singkat saja dia telah berhasil menyikat harta dari
pemilik gedung di bawah.
"Maling
rendah! Kiranya engkau orangnya?!" Giok Keng membentak.
Tampak jelas
betapa maling itu tersentak kaget dan cepat membalikkan tubuhnya. Giok Keng
tercengang melihat bahwa maling itu seorang lelaki yang usianya lima puluh
tahun lebih, dan pakaiannya seperti pakaian sasterawan, kepalanya ditutup topi
lucu.
"He-heh-heh,
sampai kaget setengah mati aku!" Maling itu berseru dan sikapnya demikian
aneh dan lucu sehingga Giok Keng merasa geli. Kenapa maling yang disohorkan
sebagai siluman ini sikapnya begitu pengecut dan penakut?
"Ahh...
aku bukan..."
"Pengecut!"
Giok Keng lantas menerjang dengan pukulannya, tangan kirinya menghantam
langsung dari depan ke arah dada maling itu.
"Ehhh...?!"
Maling itu cepat menghindarkan diri dengan meloncat ke belakang.
Giok Keng
mendesak dengan pukulan tangan kanan disambung hantaman dari samping dengan
tangan kirinya. Wanita cantik ini sekarang jauh bedanya dengan dulu. Jika
dahulu, Giok Keng selalu berhati keras dan setiap musuhnya tentu langsung akan
menghadapi serangan-serangan maut dari pendekar wanita itu.
Akan tetapi,
semenjak peristiwa hebat yang menimpa keluarganya, dia berubah banyak. Kini dia
tidak lagi sembrono dan tidak menggunakan pedangnya, juga tidak menggunakan
sabuknya yang lihai atau pukulan-pukulan maut, akan tetapi hanya menyerang
dengan pukulan-pukulan San-in Kun-hoat yang sangat lincah untuk menundukkan
maling ini dan untuk ditanyainya tentang para gadis itu, terutama tentang Yap
Mei Lan.
Bertubi-tubi
Giok Keng menyerang dan walau pun maling itu berusaha untuk mengelak, tetap
saja pundaknya kena disambar jari tangan kiri Giok Keng.
"Aduhhh...!"
Maling itu terguling di atas genteng dan ketika Giok Keng hendak menyusul
dengan tendangan, tiba-tiba maling itu berseru, "Ampunkan saya, lihiap.
Lihiap sebagai puteri ketua Cin-ling-pai tentu tidak membunuh orang seperti
saya..."
Tentu saja
Giok Keng terkejut bukan main. Maling ini telah mengenalnya sebagai puteri
ketua Cin-ling-pai! Sementara itu, di dalam gedung telah terdengar suara
ribut-ribut, tanda bahwa tuan rumah telah terbangun dan agaknya telah tahu
bahwa ada maling bertanding di atas genteng.
"Hayo
kau ikut bersamaku!" Giok Keng berkata dan meloncat ke depan.
"Baik,
lihiap!" Maling itu berkata dan mengikuti Giok Keng, berlompatan dari
genteng ke genteng dan akhirnya tiba di tempat yang sunyi di luar kota itu.
Giok Keng berhenti dan maling itu pun berhenti, memandang dengan sinar mata
takut.
"Nah,
hayo ceritakan siapa kau dan bagaimana engkau mengenal aku!" bentaknya.
"Sudah
beberapa kali saya melihat lihiap, dan pernah kita saling bertemu di tempat
pesta Phoa Lee It, piauwsu di Wu-han."
Segera Giok
Keng teringat! Ketika itu, dia juga menerima undangan dari piauwsu tokoh
Go-bi-pai itu. Dia datang bersama mendiang suaminya, Lie Kong Tek dengan
membawa sumbangan berharga. Akan tetapi bungkusan sumbangannya itu lalu ditukar
oleh seorang maling tua, dan inilah orangnya!
"Ahhh...!
Jadi engkaulah orangnya dahulu itu yang menukar barang sumbanganku!"
Maling itu
cepat menjura dengan penuh hormat. "Sampai sekarang saya menyesal sekali
bila teringat akan kelancangan saya yang hanya dimaksudkan untuk main-main itu,
lihiap, hingga menimbulkan bentrokan antara lihiap dan Yap In Hong
lihiap," Dia berhenti karena tiba-tiba melihat wajah yang cantik itu
berubah, sinar matanya berapi-api.
Maling itu
bukan lain adalah Can Pouw, maling tunggal yang terkenal di daerah Tai-goan,
berpakaian sasterawan dan memakai topi, maling yang jenaka dan cerdik sekali
dan yang berjuluk Jeng-ci Sin-touw (Maling Sakti Berjari Seribu)! Seperti sudah
dituturkan di bagian depan dari cerita ini, maling tua ini pernah menjadi teman
seperjalanan Yap In Hong dan menggegerkan pesta yang diselenggarakan oleh Phoa
Lee It.
Akan tetapi
kemarahan Giok Keng hanya sebentar. Memang tadi dia marah sekali karena
teringat bahwa awal segala peristiwa dimulai di pesta itu! Di tempat itulah
untuk pertama kalinya dia bentrok dengan In Hong hingga menimbulkan
kemarahannya yang berakibat hal-hal yang amat hebat menimpa keluarga Kun Liong
dan keluarganya sendiri.
Akan tetapi,
sebagai seorang yang sudah matang digembleng peristiwa-peristiwa hebat, dia
dapat teringat bahwa sesungguhnya maling tua ini tidak ada sangkut pautnya
dengan peristiwa itu, bahwa sebetulnya dia sendirilah yang tidak dapat
menguasai kemarahannya sehingga terjadi hal-hal yang hebat. Dia menarik napas
panjang dan wajahnya kembali biasa.
Hal ini
menyenangkan hati Can Pouw karena sejak tadi dia memperhatikan dengan hati
kebat-kebit. Kalau sampai nyonya pendekar ini marah, dia sudah siap untuk
mengambil langkah seribu, sudah mencari tempat-tempat gelap di sekitar sana
untuk bersembunyi, karena untuk melawan mana dia mampu?
"Saya
memang Can Pouw, lihiap. Jeng-ci Sin-touw Can Pouw dari Tai-goan..."
"Hayo
katakan di mana kau menyembunyikan semua harta yang kau curi itu dan di mana
pula kau sembunyikan gadis-gadis yang kau culik!" Tiba-tiba saja Giok Keng
membentak dan...
"Sratttt...!"
tahu-tahu ada kilat berkelebat dan sebelum Can Pouw tahu apa yang terjadi,
tahu-tahu ujung pedang bersinar perak telah ditodongkan di depan dadanya!
Dia tidak
melihat kapan nyonya itu mencabut pedangnya, hanya tahu-tahu ujung pedang sudah
menodong dadanya. Terasa olehnya ujung runcing itu menembus baju menyentuh kulitnya!
Dia bergidik, karena kalau sudah begini, lari pun akan percuma saja.
"Ehh...
ohhh... maaf, lihiap... saya bukan maling dan penculik itu..."
"Hemmm...
aku mendengar ada siluman yang mencuri dan menculik gadis-gadis di kota
Heng-tung, ketika aku menyelidiki, aku melihat engkau mencuri dari gedung itu.
Setelah jelas aku menangkap basah, engkau masih hendak menyangkal?"
Kini ujung
pedang itu makin keras menyentuh kulit dadanya, tepat di tempat jantungnya
berdenyut. Kedua kaki Can Pouw menjadi lemas dan dia cepat menjatuhkan diri
berlutut dan mengangkat kedua tangannya ke atas.
"Ya
ampunnnn... lihiap, ada kesalah fahaman di sini! Sungguh lihiap sudah salah
sangka. Apa bila lihiap baru sekarang menyelidiki, saya sudah lebih dari satu
minggu menyelidiki maling yang disebut siluman itu! Dan malam ini saya
melakukan pencurian hanya untuk memancing dia keluar. Sungguh mati, saya mau
bersumpah tujuh turunan..."
Pedang itu
ditarik kembali akan tetapi masih dipegang di tangan kanan nyonya pendekar itu.
"Ceritakan yang jelas!" bentak Giok Keng sambil memandang tajam
karena dia tidak percaya sepenuhnya kepada orang tua yang sangat pandai bicara
ini.
"Saya
akui bahwa saya memang maling, dan di Tai-goan nama saya cukup dikenal. Akan
tetapi, lihiap, Can Pouw adalah seorang maling yang terhormat! Haram bagi saya
untuk menculik orang, apa lagi perawan-perawan cantik! Coba lihiap periksa
baik-baik, apakah tampang saya ini tampang seorang jai-hoa-cat? Walau pun saya
maling, akan tetapi saya seorang siucai (sasterawan) gagal, lihiap, dan saya
mampu membaca susi ngo-keng!"
Giok Keng
menahan senyumnya. Maling ini benar-benar seorang yang lincah bicaranya, dan
juga lucu. Betapa pun juga, sikapnya menimbulkan kepercayaan.
"Tidak
perlu banyak ngoceh. Ceritakan sejelasnya tentang siluman itu!"
"Begini,
lihiap. Saya juga mendengar tentang gangguan siluman itu. Saya menjadi marah
karena perbuatan siluman itu benar-benar melanggar kehormatan serta kesopanan
dunia kang-ouw (kode ethik permalingan?)! Kalau maling ya maling saja, masa
pakai menculiki perawan-perawan cantik pula! Itu namanya merendahkan dan
mencemarkan nama baik maling-maling terhormat seperti saya. Tentu saja saya tidak
mau terima begitu saja lantas mulailah saya menyelidiki di kota Heng-tung. Akan
tetapi sial dangkalan, hingga seminggu saya setiap malam menyelidiki, tapi
maling siluman itu tidak pernah muncul, sampai mata saya bengkak-bengkak karena
seminggu tidak pernah tidur! Maka saya lalu mencari akal. Dan dalam hal mencari
akal, Jeng-ci Sin-touw adalah gudangnya, lihiap! Saya kemudian mengambil
keputusan untuk memancing siluman itu agar keluar, yaitu dengan melakukan
pencurian di rumah seorang hartawan. Dengan pencurian itu, tentulah siluman
tadi akan merasa tersinggung karena bukan dia yang mencuri akan tetapi sudah
pasti perbuatan itu dijatuhkan atas namanya, dan dia pula yang dituduh
melakukan pencurian lagi. Biasanya, hal ini akan membikin marah orangnya sehingga
dia pasti akan muncul untuk mencari saingannya itu. Siapa sangka bukan dia yang
muncul, melainkan lihiap yang menyangka saya siluman itu, sebaliknya, saya
menyangka lihiap siluman itu pula kalau saja saya tidak cepat mengenal wajah
lihiap yang terhormat."
Dia cepat
menjura dengan dalam sehingga kembali hati Giok Keng merasa geli. Mulailah dia
percaya akan cerita ini, akan tetapi dia masih ragu-ragu dan memandang wajah
tua itu dengan tajam.
"Hemm...
ceritamu amat menarik, terlalu menarik sehingga aku mana bisa percaya begitu
saja? Bagaimana kalau kau membohong?"
Tiba-tiba
maling tua itu membusungkan dadanya, kelihatan penasaran. "Lihiap, di
dunia ini hanya ada seorang saja Jeng-ci Sin-touw dan saya tidak pernah
sembarangan saja membohong! Terhadap pendekar-pendekar sakti seperti lihiap
ini, bagaimana saya berani membohong? Kalau saya seorang pembohong rendah, mana
mungkin seorang pendekar wanita seperti Yap-lihiap mau bersahabat dengan saya?
Ahhh, sungguh kasihan sekali... sungguh menyedihkan sekali, mendengar sahabat
baikku itu mengalami bencana namun saya tidak mampu berbuat apa-apa untuk
menolongnya."
Giok Keng
menjadi makin tertarik. "Apa maksudmu? Apakah terjadi sesuatu dengan Yap
In Hong?"
Can Pouw
mengerutkan alisnya. "Mengingat bahwa lihiap pernah bentrok dengan dia,
agaknya lihiap akan girang mendengar berita ini, akan tetapi sungguh mati saya
berduka sekali, lihiap. Baru beberapa hari ini saya datang dari kota raja dan
mendengar bahwa Yap-lihiap sudah diculik oleh guru-guru dari Raja Sabutai, dibawa
ke utara di luar tembok besar. Nah, bukankah itu menyedihkan sekali? Apa yang
dapat dilakukan seorang macam saya menghadapi penculik-penculik keji itu?"
Kakek itu menghela napas panjang, dengan sungguh-sungguh dan bukan pura-pura.
Giok Keng
juga terkejut sekali, akan tetapi dia pun merasa bahwa dia tidak dapat berbuat
sesuatu, apa lagi dia kini sedang menyelidiki lenyapnya Yap Mei Lan yang
dianggapnya jauh lebih penting dari pada urusan In Hong.
"Can
Pouw, aku masih belum percaya benar akan ceritamu tentang siluman itu."
"Kalau
begitu, mari kita bersama-sama menyelidiki dan menangkapnya, lihiap! Akan saya
buktikan bahwa saya bukan siluman penculik perawan, melainkan seorang maling
yang terhormat!"
"Hemmm,
bagaimana caranya? Kalau kau membohong, tentu engkau akan lari bersama uang
curianmu itu!" dengan pedangnya Giok Keng menuding ke arah bungkusan berat
yang oleh maling itu diletakkan ke atas tanah.
"Biarlah
saya tidak akan meninggalkan lihiap, agar lihiap dapat mencegah saya melarikan
diri. Dan besok malam, mulai kita menyelidiki. Siluman itu pasti keluar setelah
mendengar ada orang menyaingi dia dan mencuri sejumlah uang yang banyak
sekali." Can Pouw lalu menepuk-nepuk kantong itu sehingga terdengarlah
suara berkerincingnya uang emas di dalamnya.
"Baik,
kalau begitu kau ikut dengan aku ke rumah penginapan."
Can Pouw
menurut dan pergilah mereka berdua ke rumah pengingapan di mana Giok Keng
menyewa kamar. Mereka memasuki kamar melalui jendela dan tidak ada orang lain
yang mengetahui. Sesudah tiba di kamar, Giok Keng lalu menotok roboh maling itu
dan melemparkan tubuhnya di atas dipan kecil di sudut kamar, kemudian dia pun
rebah di atas pembaringan, menutupkan kelambunya dan tidur!
Can Pouw
mengomel panjang pendek, akan tetapi dia tak mampu bergerak dan akhirnya dia
pun memejamkan mata dan tidur, atau pura-pura tidur. Pada keesokan harinya,
Giok Keng membebaskan totokannya. Kemudian mereka pun keluar untuk mencari
keterangan mengenai perbuatan Can Pouw semalam dan legalah hati mereka karena
berita tentang pencurian itu sudah tersebar luas dan persis seperti yang mereka
harapkan, tentu saja yang dituduh adalah siluman itu.
Setelah
melihat sikap Can Pouw, Giok Keng mulai percaya kepada maling tua ini, maka,
dia lalu mengajak Can Pouw kembali ke penginapan di mana dia menyewa sebuah
kamar lagi di samping kamarnya sendiri untuk Can Pouw. Kemudian, malam itu
mereka berdua meninggalkan kamar masing-masing dengan melalui jalan jendela dan
melompat ke atas genteng, mulai dengan penyelidikan mereka.
Seperti malam
yang lalu cuaca remang-remang karena di langit hanya diterangi oleh sinar redup
bintang-bintang. Mereka melakukan penyelidikan dengan amat hati-hati dan secara
diam-diam, dan dalam penyelidikan ini, Giok Keng menurut saja kepada Can Pouw
yang dianggapnya lebih berpengalaman dalam hal mencari jejak maling!
Dengan hati
kesal Giok Keng mendapat kenyataan bahwa hingga tengah malam, tak ada bayangan
orang lain di atas genteng-genteng rumah di kota Heng-tung kecuali bayangan
mereka berdua. Mulailah dia melirik ke arah Can Pouw karena timbul pula
kecurigaannya bahwa jangan-jangan dia dipermainkan oleh Can Pouw yang
sesungguhnya adalah sang siluman itu sendiri!
"Aku
akan pancing dia!" pikir Giok Keng.
Mulailah
pendekar wanita ini menjauhi Can Pouw. Sikapnya seakan-akan menyelidik ke
sana-sini, akan tetapi sesungguhnya tidak pernah dia melepaskan bayangan maling
tua itu dari sudut matanya. Akan tetapi, Can Pouw malah cepat mengikuti dan
mendekatinya dan terdengar Can Pouw berkata,
"Lihiap,
mari kita menanti di gedung hartawan Gui di sebelah barat. Selain kaya raya,
dia juga kabarnya mempunyai seorang anak gadis yang cantik."
Giok Keng
mengangguk dan mereka lalu menuju ke gedung besar itu, dan kembali Giok Keng
sengaja menjauh agar dapat mengawasi gerak-gerik Can Pouw dengan lebih baik dan
memberinya kesempatan untuk melakukan sesuatu. Dan saat yang dinanti-nantinya
itu tiba! Mendadak dia mendengar maling itu mengeluh dan tubuhnya roboh
bergulingan di atas genteng rumah gedung itu.
Nah, kini si
maling tua sudah mulai memperlihatkan dirinya, pikirnya. Akan tetapi betapa
kagetnya pada saat dia mendengar Can Pouw berteriak. "Tolong,
lihiap...!" dan Giok Keng melihat sosok bayangan hitam yang menggunakan
sebatang pedang sedang menyerang Can Pouw yang menghindarkan diri dengan terus
bergulingan di atas genteng!
Giok Keng
cepat mencabut Gin-hwa-kiam lantas meloncat ke arah bayangan hitam itu. Sambil
meloncat dia terus menikam dengan gerakan cepat bukan main karena pendekar
wanita itu telah menggunakan Ilmu Pedang Siang-bhok Kiam-sut ciptaan ayahnya.
"Ehhh...?"
Bayangan hitam itu terkejut ketika ada angin dahsyat menyambar dan melihat
sinar perak berkilat menikam dadanya, dia cepat-cepat menarik kembali pedangnya
yang dipakai menyerang Can Pouw, lalu menangkis keras.
"Tranggg...!"
Orang itu
terhuyung dan pedang Giok Keng terus menghujankan serangan kilat.
"Ahhh...!"
Orang itu kembali berseru dan cepat meloncat ke belakang. Gerakannya cepat akan
tetapi gerakan Giok Keng lebih cepat lagi sehingga dia sudah menyusul dan
kembali menyerang lagi.
"Cring-trang-triinggg...!"
Kembali
orang itu terhuyung-huyung. Orang itu kuat bukan main, akan tetapi menghadapi
serangan-serangan kilat itu agaknya dia terkejut dan agak jeri.
"Siluman,
hendak lari ke mana kau?" Giok Keng membentak dan cepat mengejar ketika
dia melihat bayangan hitam yang ternyata memakai topeng hitam dan hanya
kelihatan dua matanya di balik dua lubang itu melarikan diri.
Can Pouw
merayap bangun, mukanya pucat dan dadanya bergelombang. Hampir saja dia mampus,
pikirnya. Cepat dia bangkit, mencari-cari sepatunya yang copot sebelah ketika
dia menghindarkan bacokan-bacokan pedang siluman itu tadi sambil bergulingan,
dengan kedua tangan menggigil mengenakan lagi sepatunya, mencari topinya yang
juga terjatuh, memakai topi lalu ikut pula mengejar.
Akan tetapi
dia telah kehilangan bayangan siluman dan Giok Keng yang mengejarnya. Dia
menjadi bingung, mencari ke sana-sini tidak berhasil. Dengan hati cemas dia
lalu kembali ke hotel dan menanti di dalam kamarnya dengan hati kebat-kebit.
Ke mana
perginya Giok Keng? Ketika siluman itu lari dengan kecepatan tinggi, pendekar
wanita ini pun cepat menggunakan ginkang-nya terus melakukan pengejaran.
Lawannya itu agaknya sudah hafal dengan keadaan di atas rumah-rumah penduduk
sehingga dapat bergerak lebih leluasa dan akhirnya, pada saat bayangan itu
berkelebat meloncat ke atas wuwungan sebuah kuil besar yang letaknya berada di
sudut kota, bayangan siluman itu lenyap.
Tentu saja
Giok Keng merasa penasaran dan dia pun meloncat ke atas wuwungan itu dan terus
memasuki halaman kuil. Akan tetapi baru saja dia meloncat turun, segera
terdengar teriakan. "Tangkap siluman!" maka muncullah beberapa orang
hwesio yang memegang toya dan pedang mengepung dan mengeroyoknya!
"Aku
bukan siluman, bahkan aku sedang mengejar dan mencarinya!" bentak Giok
Keng sambil memutar pedangnya menangkis hujan senjata yang menimpa ke arah
dirinya.
"Omitohud,
wanita pembohong!" tiba-tiba terdengar suara hwesio membentak dan hwesio
ini masih memakai pakaian hitam-hitam, akan tetapi kedoknya sudah dilepas
sehingga nampaklah kepalanya yang gundul. "Dia dan seorang kawannya
laki-laki adalah siluman-siluman yang mengacau dan maling-maling yang selama
ini sudah mengeruhkan kota Heng-tung!"
Giok Keng
tak diberi kesempatan untuk membela diri kecuali dengan pedangnya. Hwesio yang
bertubuh tinggi besar itu, yang ilmu pedangnya sangat kuat dan tampaknya
menjadi pimpinan dari para hwesio lainnya, tiba-tiba membentak keras dan begitu
tangan kirinya bergerak, dia mengebutkan sapu tangan merah kemudian nampaklah
debu kemerahan mengepul dan menyerbu ke arah Giok Keng.
Pada saat
itu, Giok Keng sedang sibuk menangkisi semua senjata dan tentu saja dia tidak
mau melukai para hwesio yang agaknya salah mengira dialah sebenarnya maling
yang dicari-cari. Dia melihat bubuk debu halus kemerahan itu dan terkejut bukan
main. Akan tetapi melihat bahwa para pengepungnya juga tak menghindar, maka dia
menahan napas dan menangkis terus.
Akan tetapi
celakanya debu itu agaknya tebal dan sangat halus, sampai lama tidak juga
lenyap dan ketika satu kali saja dia menarik napas, dia segera mencium bau
harum dan kepalanya menjadi pening. Dalam keadaan pening itu, gerakannya
menjadi kacau balau dan tiba-tiba pundaknya kena ditotok. Maka robohlah
pendekar wanita ini dalam keadaan setengah pingsan.
Ketika Giok
Keng sadar, dia mendapatkan dirinya telah berada di dalam sebuah kamar yang
besar, terbelenggu kaki tangannya dan terlentang di atas sebuah pembaringan. Di
dalam kamar itu duduk tiga orang hwesio dan bau di kamar itu pun harum dengan
dupa wangi.
Giok Keng
membuka matanya kemudian memandang ke arah hwesio yang duduk dekat pembaringan.
Seorang hwesio tinggi besar yang usianya tentu hampir enam puluh tahun,
tersenyum dengan pandang matanya yang tajam penuh selidik. Di belakang hwesio
tinggi besar ini duduk dua orang hwesio lainnya, usianya juga rata-rata lima
puluh tahun, yang seorang wajahnya penuh bekas penyakit cacar (bopeng) dan yang
seorang lagi mukanya hitam seperti pantat kuali.
"Omitohud...
seorang wanita yang masih muda dan cantik, lagi pula berkepandaian tinggi,
ternyata telah menjadi siluman keji. Semoga Sang Buddha mengampuni
dosa-dosamu...!" Hwesio tinggi besar itu berkata sambil merangkapkan kedua
tangan di depan dadanya.
"Losuhu,
kalian salah sangka. Aku bukan siluman itu, akan tetapi aku bersama temanku itu
bahkan menyelidiki siluman yang mengacau kota Heng-tung." Giok Keng lalu
berkata. "Harap losuhu suka membebaskan aku."
Hwesio
tinggi besar itu tertawa, juga dua orang hwesio lainnya tertawa. "Sudah
semenjak manusia mengenal istilah mencuri, tidak ada pencuri yang mau mengakui
perbuatannya. Dari pada kau dipaksa dengan siksaan oleh yang berwajib untuk
mengakui perbuatanmu, lebih baik kau mengaku kepada pinceng di mana kau
sembunyikan harta dari hartawan Ciong yang kau curi malam kemarin."
"Losuhu,
memang benar temanku yang melakukan pencurian malam kemarin, akan tetapi dia
melakukan hal itu hanya untuk memancing agar siluman yang selama ini mengganggu
kota ini mau keluar. Aku sungguh bukan maling, losuhu."
"Hemm,
siapa dapat menjamin bahwa bukan engkau maling atau siluman itu?" Sepasang
mata yang besar itu menatap tajam penuh selidik dan Giok Keng merasa ngeri.
Sepasang mata itu besar dan amat berpengaruh, juga menakutkan.
"Losuhu,
kalau kau tak percaya kepadaku sebaiknya engkau tahu siapa aku sebenarnya. Nama
keluargaku merupakan jaminan. Namaku Cia Giok Keng, dan aku adalah puteri dari
ketua Cin-ling-pai..."
"Ohhhhh...!"
Hwesio
tinggi besar itu, juga dua orang hwesio lainnya, serentak mengeluarkan seruan
kaget dan bangkit berdiri. Mata mereka terbelalak memandang kepada Giok Keng,
dan mulut mereka terbuka, hingga beberapa lama mereka tak dapat mengeluarkan
kata-kata. Akhirnya, hwesio tinggi besar itu duduk lagi, mukanya menjadi merah
dan dia berdehem beberapa kali untuk menenangkan jantungnya yang tadi berdebar
keras. Kedua matanya masih melotot dan memandang tajam penuh selidik ke arah
muka yang cantik dan gagah itu.
"Omitohud...!"
Akhirnya dia pun menarik napas panjang. "Sungguh berani sekali engkau
penjahat wanita mengaku sebagai puteri ketua Cin-ling-pai!"
"Aku
tidak bohong, losuhu!" Giok Keng berkata marah.
"Siapa
dapat menjamin kebenaran kata-katamu? Akan tetapi untuk menguji apakah benar
engkau puteri ketua Cin-ling-pai, pinceng ingin mendengar apakah engkau kenal
dengan nama Thian Hwa Cinjin?"
"Ah,
pendeta terkutuk itu?" Giok Keng cepat menjawab untuk meyakinkan hati
hwesio ini bahwa dia benar puteri ketua Cin-ling-pai. "Tentu saja aku
tahu. Thian Hwa Cinjin adalah ketua Pek-lian-kauw di wilayah timur, dahulu
bertempat di muara Sungai Huai, di pantai Laut Kuning, seorang kakek yang
tinggi jangkung dengan jenggot panjang, dan orangnya pesolek!"
"Hemm,
banyak orang tahu akan ketua Pek-lian-kauw itu, akan tetapi pengetahuanmu
tentang dia belum meyakinan pinceng bahwa engkau benar puteri ketua
Cin-ling-pai..."
"Losuhu,
akulah yang sudah membunuh pendeta keparat itu! Tanganku yang mengantar
nyawanya ke neraka!" Giok Keng berkata penuh semangat.
Memang
pengakuannya ini benar. Di dalam cerita Petualang Asmara dituturkan betapa
kakek yang lihai, Thian Hwa Cinjin ketua Pek-lian-kauw wilayah timur itu tewas
di tangan pendekar wanita ini! Hal itu terjadi sudah belasan tahun yang lalu
ketika Cia Giok Keng masih seorang gadis perkasa yang keras hati.
Mata hwesio
tinggi besar itu terbelalak dan sejenak dia dan dua orang temannya itu diam
saja, memandang kepada Giok Keng dengan sinar mata penuh perhatian. Giok Keng
menanti, tidak tahu apa yang terpikir oleh tiga orang hwesio tua itu. Kalau
saja dia tahu, tentu pendekar wanita ini akan terkejut setengah mati.
Siapakah
hwesio tinggi besar ini? Dia ini bukan lain adalah Kim Hwa Cinjin, seorang tosu
Pek-lian-kauw dan juga seorang tokoh karena dia ini adalah ketua Pek-lian-kauw
wilayah selatan! Juga dua orang Hwesio bermuka bopeng dan hitam di belakangnya
itu adalah dua orang sute-nya. Tokoh-tokoh Pek-lian-kauw pula!
Bersama
belasan orang anak-anak buahnya, Kim Hwa Cinjin ingin meluaskan pengaruh
Pek-lian-kauw ke pedalaman hingga tibalah mereka di kota Heng-tung itu. Seperti
biasa, anak-anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya adalah orang-orang dari
golongan hitam ini melakukan pekerjaan mereka dengan diam-diam dan rahasia.
Untuk itu,
Kim Hwa Cinjin lalu menyergap para hwesio di Kuil Ban-hok-tong di sudut kota
itu, dan menggantikan pekerjaan para hwesio dengan anak buahnya yang sudah
terlatih. Tentu saja mereka semua menggunduli kepala dan kepada para tamu
mereka memberi tahukan bahwa mereka merupakan hwesio-hwesto pangganti yang
dikirim dari kuil pusat karena hwesio-hwesio lama sedang digembleng di kuil
pusat!
Dan bersama
dengan kedatangan rombongan Pek-lian-kauw ini di kota Heng-tung, maka mulailah
kota itu diganggu 'Siluman'. Tentu saja siluman itu bukan lain adalah
orang-orang Pek-lian-kauw yang dipimpin oleh Kim Hwa Cinjin yang lihai. Dan
gadis-gadis itu diculik untuk 'makanan' mereka yang telah biasa mengumbar nafsu
rendah mereka dengan jalan kekerasan, sedangkan harta-harta curian mereka
gunakan untuk memperluas kekuatan Pek-lian-kauw.
Dengan
menyamar sebagai hwesio-hwesio Ban-hok-tong, maka kawanan Pek-lian-kauw ini
tentu saja dapat beroperasi dengan aman, kerena siapakah yang akan mengira
bahwa hwesio-hwesio itu adalah orang-orang jahat? Pula, gadis-gadis yang
diculik dan harta itu disimpan di dalam kamar-kamar kuil yang besar itu tanpa
ada yang berani menggeledah, bahkan tidak ada yang menduganya sama sekali...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment