Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 06
“Pangcu,
harap ampunkan suamiku!” kata wanita itu.
“Pangcu,
suhu tidak bersalah apa-apa, harap Pangcu suka memberi ampun,” kata pula Ciok
Gun.
Munculnya
dua orang ini membuat Kui Hong semakin marah.
“Bagus!”
bentaknya. “Kalian mengintai?”
“Tidak,
Pangcu. Sama sekali tidak.” Kata Su Bi Hwa dengan suara sungguh-sungguh. “Akan
tetapi suara Pangcu dan suami saya begitu nyaringnya sehingga terdengar dari
luar dan mendengar suami saya hendak menyerahkan nyawa, saya terkejut dan nekat
masuk. Harap Pangcu suka memaafkan seorang isteri yang mengkhawatirkan keselamatan
suaminya.”
Tiba-tiba
Kui Hong bergerak ke depan dan tangannya menyambar ke arah kepala wanita itu.
Tentu saja ia hanya menguji, bukan menyerang sesungguhnya walaupun gerakannya
yang cepat tidak menimbulkan keraguan. Dan serangannya luput ketika wanita itu
membuang diri ke samping lalu melompat berdiri.
“Hemm,
engkau pandai silat?” tanya Kui Hong sambil memandang tajam penuh selidik.
Su Bi Hwa
baru menyadari bahwa ketua Cin-ling-pai itu hanya mengujinya, maka cepat ia
memberi hormat.
“Saya pernah
mempelajari sedikit ilmu silat, Pangcu.”
“Hemm,
bagus. Hendak kulihat sampai dimana kehebatanmu!” bentak Kui Hong.
“Maaf,
Pangcu. Saya tidak berani melawan. Kalau tadi saya mengelak, hal itu hanya
karena saya terkejut.”
Kata Bi Hwa
yang maklum bahwa ketua itu hanya ingin mengujinya. Kini ia menunduk dan tidak
mau melawan.
Watak Kui
Hong yang gagah melarang ia menyerang orang yang tidak mau melawan. Ia
mengerutkan alisnya. Agaknya sukarlah membongkar rahasia itu melalui Gouw Kian
Sun dan Bi Hwa. Tinggal seorang lagi, yaitu Ciok Gun.
“Suheng Ciok
Gun apakah engkau masih mengakui aku sebagai ketua Cin-ling-pai?” tiba-tiba ia
bertanya kepada Ciok Gun yang masih berlutut.
Ciok Gun
mengangkat muka memandang,
“Tentu saja
Pangcu.”
“Dan engkau
siap mentaati semua perintahku sebagai ketuamu?”
“Ya, tentu
saja,” jawab Ciok Gun dengan singkat dan dengan sikap tenang dan muka dingin.
“Kalau
begitu, mari engkau ikut denganku dan jangan bertanya kemana kita pergi dan apa
keperluannya. Mari!”
Ciok Gun
nampak meragu dan mengerutkan alisnya. Pada saat itu, selagi dia bingung karena
perintah ketua itu demikian tiba-tiba dan dia belum “diisi” mengenai hal ini,
Su Bi Hwa yang berdiri didekatnya berkata lembut.
“Ciok Gun,
ketua telah memberi perintah. Tunggu apa lagi? Taatilah perintahnya!”
Mendengar
ini, Ciok Gun bangkit dengan cepat dan tentu saja hal ini tidak terlewat begitu
saja oleh perhatian Kui Hong. Diam-diam ia mencatat betapa taatnya Ciok Gun
terhadap ucapan wanita cantik itu! Akan tetapi karena tidak ada bukti sesuatu
yang mencurigakan, dan ucapan itu seperti bujukan halus agar murid suaminya itu
mentaati perintah ketua, sikap yang wajar sekali, Kui Hong juga tidak dapat
berbuat sesuatu.
“Mari kita
pergi!” katanya dan iapun keluar dari dalam rumah itu, diikuti oleh Ciok Gun.
Kui Hong
berlari cepat keluar dari Cin-ling-pai, menuruni puncak menuju ke lereng bukit
dimana terdapat sebuah hutan. Di hutan itulah ia berjanji untuk bertemu dengan
Hay Hay. Akan tetapi sambil menunggu munculnya Hay Hay, ia ingin mencoba untuk
memaksa suhengnya itu mengaku. Maka, setelah tiba di dalam hutan, iapun
berhenti dan Ciok Gun juga berhenti. Mereka berhadapan. Ciok Gun berdiri dengan
sikapnya yang terlalu tenang dan dingin, menundukkan mukanya dengan sikap
menanti.
“Nah,
Suheng. Sekarang kita berada di tengah hutan, hanya berdua saja. Katakan, apa
yang kau ketahui tentang segala peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai?
Siapakah orang-orang yang mengatur semua ini? Siapa yang membuat Gouw Kian Sun
ketakutan, dan siapa yang melempar fitnah kepada Cin-ling-pai dengan melakukan
semua perbuatan keji terhadap para tokoh partai besar itu?”
Sikap Ciok
Gun masih tenang saja, dan wajahnya dingin, sedikitpun tidak membayangkan sikap
bersalah ketika dia menjawab.
“Aku tidak
tahu, Pangcu. Aku tidak tahu apa-apa.”
Kui Hong
mengerutkan alisnya. Sekarang baginya tinggal Ciok Gun ini satu-satunya harapan
untuk membongkar rahasia itu. Ia harus memaksa orang ini untuk membuka rahasia.
Maka, iapun lalu membentaknya,
“Suheng,
apakah aku harus menggunakan kekerasan?”
Sepasang
mata itu menatapnya dan Kui Hong terkejut. Mata itu sama sekali tidak
memancarkan perasaan, seperti orang mati.
“Terserah
kepadamu!” jawaban itupun sama sekali tidak mencerminkan sikap Ciok Gun yang
dahulu selalu sayang dan hormat kepadanya.
“Bagus! Kau
sambut ini!” bentak Kui Hong yang segera menyerang dengan cepat, menotok ke
arah pundak Ciok Gun.
Namun,
dengan gerakan sigap, Ciok Gun mengelak sambil membalas serangan dengan
cengkeraman ke arah perut Kui Hong. Serangan ini merupakan serangan maut yang
amat berbahaya! Ini pun luar biasa! Bagaimana mungkin suhengnya itu mendadak
membalas dengan serangan maut terhadap dirinya?
Kui Hong
meloncat ke belakang dan maju lagi mengirim serangan bertubi-tubi. Ia ingin
cepat menotok roboh suhengnya itu agar dapat membujuk dan kalau perlu
memaksanya membuka rahasia yang ia yakin diketahui suhengnya itu. Akan tetapi
ia terkejut dan merasa heran sekali melihat kenyataan bahwa ternyata Ciok Gun
dapat menandinginya dengan baik! Padahal ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannya
jauh lebih tinggi dibandingkan suhengnya itu.
Demikian
cepatkah dia memperoleh kemajuan? Ia merasa penasaran bukan main! Setelah lewat
tiga puluh jurus dan ia belum mampu merobohkan Ciok Gun, Kui Hong semakin
penasaran. Hal ini sudah tidak mungkin sama sekali! Cepat ia mengubah
gerakannya dan dengan tubuh merendah, ia lalu mengerahkan tenaga dan
mengeluarkan bentakan dahsyat sambil memukul dengan dorongan kedua tangan.
Itulah
sebuah jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menaklukan Naga). Ilmu
silat dahsyat yang pernah ia pelajari dari kakeknya, Pendekar Sadis Ceng Thian
Sin di pulau Teratai Merah. Angin dahsyat menyambar ke arah Ciok Gun yang
menyambutnya dengan kedua tangan di dorongkan ke depan.
“Desss……!”
Akibatnya,
tubuh Ciok Gun terjengkang dan bergulingan. Kui Hong meloncat ke depan mengejar
untuk melihat keadaan suhengnya. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika
tubuh yang sudah terkena sambaran hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang itu, yang
setidaknya tentu akan pingsan, tiba-tiba meloncat bangun dan sudah menyambutnya
dengan serangan lagi!
“Ehhh ……?”
Kui Hong
yang lincah dapat mengelak ke kiri dan matanya terbelalak. Ini sama sekali
tidak mungkin! Bagaimana suhengnya yang roboh dilanda hawa pukulan Hok-liong
Sin-ciang tidak menderita apapun dan begitu roboh dapat bangun kembali dan
menyerangnya dengan dahsyat? Ia pun mengeluarkan kepandaiannya, bersilat dengan
amat cepat karena ia memainkan Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuhnya
berkelebatan di delapan penjuru dan tangannya tiba-tiba meluncur dan mengirim
totokan yang tepat mengenai jalan darah di punggung lawan.
“Tukk!”
Tubuh Ciok
Gun terkulai roboh. Akan tetapi kembali Kui Hong terbelalak karena begitu
roboh, Ciok Gun yang terkena totokannya itu sudah bangkit kembali! Suhengnya
itu seperti tidak merasakan akibat totokannya!
“Wah, dia
lihai sekali!” tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan pemuda itu sudah
berhadapan dengan Ciok Gun.
Ciok Gun
nampak bingung ketika melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian biru
yang matanya mencorong dan tersenyum-senyum.
“Siapa kau?”
bentak Ciok Gun sambil siap untuk menyerang.
Hay Hay
tertawa dan diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang kepada
Ciok Gun, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka murid
Cin-ling-pai itu.
“Ha-ha-ha,
Ciok Gun, apakah engkau lupa kepada kakekmu? Aku kakekmu! Hayo engkau memberi
hormat dan berlutut kepadaku!”
Seketika
Ciok Gun nampak bingung. Dia terbelalak memandang kepada Hay Hay dan menggagap.
“Ehh….? Apa
kau bilang? Kakekku….. engkau kakekku …..?”
Dan kini
terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hati Hay Hay. Ciok Gun hanya
sebentar saja nampak bingung, lalu tiba-tiba menyerangnya dengan geraman
seperti seekor binatang buas. Murid Cin-ling-pai itu tidak terpengaruh
sihirnya! Dan serangannya sungguh liar berbahaya!
Akan tetapi,
tentu saja Hay Hay dapat menghadapi serangan itu dengan mudah. Tingkat ilmu
kepandaiannya jauh lebih tinggi, maka begitu melihat Ciok Gun menyerang dengan
cengkeraman kedua tangan ke arah leher dan perutnya, diapun menggeser kakinya,
tubuhnya miring dan serangan itu luput. Kemudian dari samping, dia menyapu
kedua kaki lawan. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Ciok Gun terpelanting!
Sebelum dia dapat bangkit, Hay Hay sudah membentaknya dengan pengerahan
sihirnya.
“Ciok Gun,
rebah dan engkau tidak mampu bangun kembali!”
Suaranya
mengandung kekuatan yang amat dahsyat, amat berpengaruh sehingga sejenak Ciok
Gun hanya terbelalak, tidak mampu bangkit. Akan tetapi, hanya sebentar ia
terpengaruh, karena dia segera bangkit kembali walaupun dengan susah payah.
Seolah dia bersitegang diantara dua kekuatan yang tidak tampak, yang satu
memaksa dan menekannya agar rebah terus, yang kedua mendorongnya agar bangkit
dan menyerang!
Melihat ini,
Hay Hay dapat merasakan getaran yang kuat, yang melawan kekuatan sihirnya. Maka
diapun berkata kepada Kui Hong.
“Hong-moi,
cepat kau cari orang yang menguasainya dengan sihir. Tak jauh dari sini…….!”
Hay Hay
menyambut bangkitnya Ciok Gun dengan totokan yang membuat tubuh murid
Cin-ling-pai itu terkulai kembali. Karena maklum tubuh Ciok Gun sudah memiliki
kekebalan yang tidak wajar, dan pengaruh totokannya itu hanya sebentar saja,
Hay Hay lalu cepat menelikung kedua tangan Ciok Gun ke belakang dan mengikat
kedua pergelangan tangan dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Juga kedua
kakinya diikat sehingga kini, biarpun pengaruh totokan sudah membuyar kembali,
Ciok Gun tidak mampu bergerak, hanya mengeluarkan suara menggereng dan mencoba
meronta sambil matanya melotot memandang ke arah Hay Hay.
Beberapa
kali Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menaklukkan semangat
perlawanan pada diri Ciok gun akan tetapi hanya sebentar orang itu tunduk, lalu
melawan kembali dan bersikap liar. Jelas bahwa ada kekuatan rahasia yang
mengendalikan Ciok Gun!
Sementara
itu, begitu mendengar seruan Hay Hay, Kui Hong segera berkelebat lenyap
diantara pohon-pohon di hutan itu. Ia maklum apa yang dikatakan kekasihnya itu.
Tentu ada orang ketiga yang bersembunyi dan mengendalikan Ciok Gun dengan ilmu
sihirnya. Dan tentu orang itu biang keladi semua kejadian yang penuh rahasia di
Cin-ling-pai!
Kiranya
ketika ia tadi memasuki hutan mengajak Ciok Gun, ada orang yang membayanginya.
Tadipun ia sudah waspada selalu menyelidiki keadaan sekeliling, namun tidak
menemukan sesuatu. Hal itu saja menunjukkan bahwa kalau memang benar ada orang
yang membayanginya, tentu orang itu lihai sekali, sehingga ia tidak dapat
melihat atau mendengarnya.
Setelah
mencari-cari di sekitar tempat itu, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya!
Seorang tosu bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih enam puluh tahun,
rambut di gelung ke atas dan mengenakan jubah pendeta, sedang duduk bersila
seorang diri diatas petak rumput diantara pohon-pohon.
Tosu itu
sedang dalam samadhi, matanya dipejamkan, mulutnya berkemak-kemik dan telunjuk
tangan kanannya mencorat-coret tanah di depannya. Ada beberapa batang hio (dupa
biting) mengepulkan asap di samping kirinya.
“Pendeta
palsu! Kiranya engkau yang mengacau di Cin-ling-pai!” seru Kui Hong dengan
marah. Sekali pandang saja ia merasa yakin bahwa pendeta inilah yang
mempengeruhi Ciok Gun.
Pendeta itu
bukan lain adalah Lan Hwa Cu, seorang diantara tiga orang pendeta Pek-lian-kauw
yang terkenal dengan julukan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw) yang
bersama Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa bertugas untuk mengadu domba para tokoh
partai besar dengan Cin-ling-pai.
Tentu saja
dia terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Ketika tadi Ciok Gun di ajak
pergi, Su Bi Hwa cepat memberi tahu kepada tiga orang suhunya dan Lan Hwa Cu
segera membayangi ketua Cin-ling-pai yang mengajak Ciok Gun keluar itu. Dengan
kepandaiannya yang tinggi, Lan Hwa Cu berhasil membayangi Kui Hong tanpa
diketahui. Dia tahu bahwa Ciok Gun telah menjadi mereka. Murid Cin-ling-pai
yang tadinya setia itu telah dicekoki racun pembius dan telah dikuasainya
dengan ilmu sihir sehingga selain tubuh Ciok Gun menjadi kebal, juga dia dapat
dikendalikan dari jauh dengan kekuatan sihir.
Biarpun Lan
Hwa Cu sudah percaya bahwa Ciok Gun telah menjadi seperti boneka hidup yang
akan setia sampai mati kepada Pek-lian Sam-kwi dan Su Bi Hwa, namun dia tetap
merasa khawatir. Karena itu, setelah melihat Kui Hong berhenti di tengah hutan,
diapun memilih tempat tersembunyi dan cepat duduk bersila untuk menguasai Ciok
Gun sepenuhnya dengan sihirnya. Karena bantuannya inilah maka Ciok Gun menjadi
makin kuat, sehingga sukar ditundukkan oleh sihir Hay Hay!
Ketika Lan
Hwa Cu mendengar bentakan itu, dia cepat membuka mata dan memandang dan
terkejutlah dia melihat Cia Kui Hong telah berdiri di depannya, dalam jarak
empat lima meter dan gadis itu nampak begitu anggun dan berwibawa, bertolak
pinggang dan memandang kepadanya dengan sepasang mata mencorong seperti mata
naga!
Maklum bahwa
keadaannya telah ketahuan orang, diapun mengambil keputusan cepat. Gadis ini
harus dibunuhnya, atau ditawannya. Kalau tidak, semua usaha kelompoknya
terancam bahaya kegagalan.
“Haiiiiiiittttt
……..!!”
Dia meloncat
berdiri dan tangan kirinya terayun. Serangkum sinar menyambar ke arah Kui Hong.
Gadis ini maklum bahwa ia diserang senjata rahasia jarum. Ia sendiri adalah
ahli senjata rahasia jarum yang dipelajarinya dari neneknya, maka tentu saja
dengan mudah ia dapat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangan kirinya
juga digerakkan dan nampak sinar merah menyambar ke arah lawan!
Lan Hwa Cu
terkejut bukan main. Dengan mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dan
panjang, dia mampu meruntuhkan semua jarum merah itu dan yang membuat dia
terkejut adalah melihat kelihaian wanita muda itu. Bukan saja mampu mengelak
dari serangan jarumnya, bahkan membalas dengan jarum yang lebih hebat, karena
ketika dia mengebutkan ujung lengan bajunya tadi, dia mencium bau harum yang
kuat, tanda bahwa jarum-jarum merah itu mengandung racun yang ampuh!
Maklum bahwa
lawannya lihai, Lan Hwa Cu yang merupakan tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw
yang biasanya memandang rendah lawan, segera melompat ke depan dan sabuknya
yang panjang dengan kedua ujungnya dipasangi bola dan bintang saja, sudah
menyambar-nyambar dengan ganasnya.
Karena ingin
tahu siapa lawannya, Kui Hong kembali mengelak dengan loncatan ke belakang. Ia
menudingkan telunjuk tangan kirinya.
“Tahan
senjata! Totiang katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula menyerangku!”
Akan tetapi,
tentu saja Lan Hwa Cu tidak mau banyak bicara lagi. Dari pertanyaan itu,
tahulah dia bahwa ketua Cin-ling-pai ini hanya menduga saja bahwa dia yang
mengacau di Cin-ling-pai. Gadis itu belum mengenalnya dan belum tahu apa yang
sesungguhnya terjadi di Cin-ling-pai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan
membongkar rahasia Pek-lian-kauw dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganasnya,
menggunakan sabuknya.
Ujung bola
dan bintang baja itu beterbangan menyambar-nyambar dalam serangan yang dahsyat
sehingga Kui Hong terpaksa berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri
dari sambaran maut itu. Gadis sakti itupun terkejut karena dari sambaran
senjata itu, iapun dapat mengukur tenaga lawan dan tahu bahwa lawannya ini
selain pandai ilmu sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang
kuat.
Maka, iapun
cepat mencabut sepasang pedangnya. Begitu sepasang pedang itu tercabut, nampaklah
sinar-sinar hitam yang menyilaukan mata. Lan Hwa Cu terkejut. Itulah Hok-mo
Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang amat ampuh. Tanpa disadarinya,
pendeta itu mengeluarkan seruan tinggi seperti jerit seorang wanita, Kui Hong
terheran karena suara pendeta itu sungguh seperti jerit seorang wanita!
Akan tetapi
karena lawan terus menyerangnya, iapun menggerakkan sepasang pedangnya,
menangkis dan balas menyerang.
“Singgg ……!”
Bintang baja
itu menyambar ke arah pelipis kiri Kui Hong dengan gerakan melingkar dan
menyerong dari atas. Serangan ini berbahaya sekali. Namun, Kui Hong adalah
seorang gadis pendekar yang telah matang ilmunya. Bukan saja ia telah mewarisi
ilmu-ilmu yang hebat dari ayah ibunya yang juga merupakan sepasang suami isteri
pendekar, bahkan gadis ini telah digembleng oleh kakek dan neneknya, yaitu
Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti di pulau Teratai Merah.
Tingkat
kepandaian Kui Hong kini bahkan telah melampaui tingkat kepandaian ayahnya dan
ibunya! Ketika bintang baja itu menyambar ke arah pelipisnya, Kui Hong
menggerakkan pedang di tangan kiri, mencoba untuk membabat putus sabuk itu.
Akan tetapi, sabuk itu tidak terbabat putus, bahkan melibat pedang dan ujungnya
masih menyambar sehingga kini bintang baja itu menyambar ke arah mukanya. Kui
Hong menarik kepalaya ke belakang dan pada saat itu, bola baja di ujung kedua
sabuk lawan menyambar ke arah perutnya!
Bukan main
lihainya tosu itu. Akan tetapi, Kui Hong tidak menjadi gugup. Ia menggerakkan
pedang kanannya membacok ke arah bola baja, sedangkan pedang kirinya masih
terlibat sabuk.
“Trangggg
……!!”
Bola baja
itu terpental dan Lan Hwa Cu kembali mengeluarkan jerit wanita karena tangannya
terasa panas sekali dan bola baja itu hampir saja mengenai kepalanya sendiri.
Terpaksa dia meloncat kebelakang dan melepaskan libatan sabuknya.
Melihat
lawannya meloncat ke belakang, Kui Hong yang sudah penasaran itu mengejar dan
sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam yang dahsyat
sekali, bagaikan dua ekor naga hitam mengamuk!
Lan Hwa Cu
menangkis dan membalas, namun menghadapi gelombang serangan sepasang pedang
hitam yang ampuh itu, dia merasa kewalahan juga. Permainan pedang ketua
Cin-ling-pai itu amatlah hebatnya sehingga kalau dia terus melawan, besar
kemungkinan dia akan terancam bahaya maut.
Kembali
ujung pedang kanan di tangan Kui Hong sudah meluncur dan hampir saja mengenai
pundaknya, Lan Hwa Cu melompat ke belakang dan ketika tangan kirinya terayun,
terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Kui Hong meloncat ke
belakang, khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Ketika ia berloncatan
mengitari asap itu, ternyata lawannya sudah lenyap.
Kui Hong
tidak mengejar karena maklum bahwa selain hal itu sia-sia karena ia tidak tahu
kearah mana lawan pergi, juga amat berbahaya dan ia ingin melihat bagaimana
hasilnya Hay Hay menguasai Ciok Gun. Iapun cepat lari ke tempat tadi ia
meninggalkan Ciok Gun. Lega hatinya melihat betapa Ciok gun sudah dapat
dikuasai Hay Hay, sudah rebah dengan kaki tangan terbelenggu.
Melihat Ciok
Gun seperti orang pingsan, ia berkata,
“Hay-ko,
cepat sadarkan dia agar terbebas dari pengaruh jahat dan dapat menceritakan
semua rahasia kepada kita.”
“Nanti dulu,
Hong-moi. Justeru dalam keadaan terbius dan tersihir, dia akan dapat
menceritakan segala rahasia kepada kita. Kalau dia sadar, mungkin dia melupakan
segalanya.”
Setelah
berkata demikian, Hay Hay lalu menotok pundak dan tengkuk Ciok Gun. Murid
Cin-ling-pai itu mengeluh dan membuka mata. Pada saat itu, Hay Hay sudah
mengerahkan tenaga sihirnya, memandang wajah Ciok Gun dan suaranya terdengar
penuh wibawa ketika dia berkata.
“Ciok Gun,
engkau selalu mentaati kami! Engkau membantu kami menghadapi orang-orang
Cin-ling-pai. Ingat?”
Ciok Gun
sejenak memandang kepada Hay Hay seperti orang kehilangan semangat, akan tetapi
kemudian dia mengangguk.
“Aku….. aku
ingat…..”
Ciok Gun
seperti termenung, lalu terdengar jawabannya lirih.
“Pek-lian
Sam-kwi….. aku harus taat kepada Pek-lian sam-kwi…….”
Kui Hong
mengepal tinjunya. Krianya Pek-lian-kauw yang menjadi biang keladinya! Kini
tahulah ia bahwa tosu yang lihai tadi adalah orang Pek-lian-kauw tentu seorang
diantara Pek-lian Sam-kwi, tiga iblis dari Pek-lian-kauw yang sudah pernah di
dengar namanya akan tetapi belum pernah dijumpainya itu.
“Siapa lagi
selain Pek-lian Sam-kwi? Hayo jawab sesungguhnya!”
“Tok-ciang
Bi Moli ……”
“Ah, Su Bi
Hwa itu?” tanya Kui Hong.
Mendengar
pertanyaan ini, Ciok Gun tidak menjawab. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya
mengenal satu suara saja, yaitu suara orang yang menguasainya lewat kekuatan
sihir dan pada saat itu, Hay Hay yang menguasai setelah pengaruh sihir para
tosu Pek-lian-kauw menipis.
Tadi Lan Hwa
Cu masih mengendalikan Ciok Gun, maka sukar bagi Hay Hay untuk menguasainya.
Hal ini adalah karena sudah terlalu lama dan mendalam Ciok Gun dicengkeram
dalam kekuasaan sihir para tosu Pek-lian-kauw itu. Kini, setelah Lan Hwa Cu
diganggu Kui Hong dan terpaksa melarikan diri, cengkeraman itu mengendur dan
dalam keadaan lemah ini, dengan mudah Hay Hay dapat menguasai Ciok Gun.
“Ciok Gun,
katakan siapa nama Tok-ciang Bi Moli itu!” kata Hay Hay dengan suara mengandung
perintah.
“Namanya Su
Bi Hwa ….”
Tentu saja
Kui Hong menjadi semakin marah. Kiranya isteri Gouw Kian Sun itu berjuluk
Tok-ciang Bi Moli dan merupakan seorang diantara gerombolan yang mengacau di
Cin-ling-pai.
“Ciok Gun,
engkau tahu tentang mengapa Gouw Kian Sun begitu taat kepada Tok-ciang Bi Moli
Su BI Hwa dan mau menerimanya sebagai isteri? Ceritakan semua dengan jelas!”
Kini Ciok
Gun sepenuhnya sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay, maka tanpa ragu lagi
diapun menjawab dengan lancar.
“Keluarga
Cia ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau suhu Gouw Kian Sun menolak,
keluarga itu akan dibunuh.”
Pucat wajah
Kui Hong mendengar ini.
“Siapa yang
ditawan? Siapa?”
Kembali Ciok
Gn tidak menjawab dan kelihatan bingung.
“Ciok Gun,”
kata Hay Hay. “Katakan siapa saja yang di tawan orang Pek-lian-kauw.”
“Kakek guru
Cia Kong Liang, su-pek (uwa guru) Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin dan
putera mereka, Cia Kui Bu …..”
“Keparat
jahanam ……!!!”
Kui Hong
berseru karena terkejut dan marah bukan main. Kakeknya, ayah ibunya dan adiknya
telah ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Kiranya susioknya, Gouw Kian Sun,
menjadi lemah tak berdaya dan terpaksa menurut saja kemauan orang-orang
Pek-lian-kauw karena mereka mengancam akan membunuh keluarga Cia!
Orang-orang
Pek-lian-kauw menekan Kian Sun dengan ancaman, dan menguasai Ciok Gun dengan
bius dan sihir! Jelas mereka akan menghancurkan Cin-ling-pai dan mengadu domba
dengan partai-partai besar di dunia persilatan!
Sekali
memerintahkan Ciok Gun untuk tidur, murid Cin-ling-pai yang sepenuhnya sudah
dikuasai Hay Hay itupun pulas.
“Kita harus
membebaskan ayah dan ibu sekarang juga, dan kita basmi orang-orang
Pek-lian-kauw itu!” bentak Kui Hong dengan muka yang menjadi kemerahan saking
marahnya.
“Tenangkan
hatimu, Hong-moi. Menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang licik dan curang,
penuh tipu muslihat, kita harus cerdik dan menggunakan siasat.”
“Aku tidak
takut! Kita tunggu apalagi? Sudah jelas mereka menawan kong-kong, ayah, ibu dan
adik Kui Bu. Mereka mempengaruhi Gouw Susiok dan suheng ini, mereka menguasai
Cin-ling-pai dan hendak menghancurkan Cin-ling-pai, mengadu domba dengan
partai-partai lain! Mari kau bantu aku menghancurkan dan membasmi gerombolan
jahat ini, hay-ko!”
“Tenang dan
ingatlah, Hong-moi. Ingat bahwa kong-kongmu, juga ayah dan ibumu, mereka
bertiga adalah yang berkepandaian tinggi. Namun tetap saja mereka sampai
tertawan! Tentu Pek-lian-kauw menggunakan akal busuk! Kita harus cerdik dan
jangan sampai tertipu. Pula, andaikata kita sekarang menggunakan kekerasan,
bagaimana engkau akan menghadapi para tokoh partai besar itu besok lusa?”
“Akan
kuhancurkan gerombolan itu dan akan kupaksa mereka mengaku di depan para
lo-cian-pwe bahwa Pek-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan itu!”
“Hemm, mudah
dibicarakan akan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Pek-lian-kauw merupakan
perkumpulan yang jahat dan licik. Bagaimana kalau mereka itu sempat meloloskan
diri? Tetap saja Cin-ling-pai yang akan dituduh melakukan semua pembunuhan itu.
Kita harus menangkap basah mereka, kita hadapi kelicikan mereka dengan siasat.”
Kui Hong
diam-diam tertegun. Ia dapat melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Biarpun
hatinya tidak sabar, terpaksa ia mengangguk.
“Lalu apa
yang akan kita lakukan, Hay-ko? Aku khawatir sekali akan keselamatan
keluargaku.”
“Kita
pergunakan Ciok Gun untuk memancing! Kalau tadinya Ciok Gun menjadi alat
mereka, kini kita menyadarkan Ciok Gun hingga dia dapat membantu kita memancing
mereka itu melanjutlan perbuatan mereka sampai besok lusa. Di depan para
lo-cian-pwe itu, kita telanjangi mereka, kita buka rahasia mereka sehingga
mereka tidak sempat mengelak atau melarikan diri.”
“Tapi, aku
khawatir sekali akan nasib keluargaku!”
“Tidak perlu
khawatir, Hong-moi. Mereka menawan keluargamu hanya dengan maksud agar
keluargamu tidak sempat menghalangi rencana mereka.”
“Tapi,
bagaimana kalau nanti suheng Ciok Gun mereka kuasai lagi? Bisa hancur
berantakan semua siasatmu!”
“Jangan
khawatir, Hong-moi. Kalung batu kemala ini akan mampu melindunginya dari
pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-kauw.”
Hay Hay
mengeluarkan kalung itu lalu memasangnya di leher Ciok Gun, disembunyikan di
balik bajunya.
“Terserah
kepadamu, Hay-ko. Akan tetapi, hati-hati jangan sampai gagal. Ini menyangkut
keselamatan kakek, ayah, ibu dan adikku, juga menyangkut nama baik
Cin-ling-pai.”
“Aku mengerti,
hong-moi jangan khawatir.”
Hay Hay lalu
membebaskan totokan Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai ini telah dibebaskan dari
belenggunya, dan setelah totokannya bebas, dia tersadar, membuka mata,
memandang dengan heran wajah Hay Hay yang tidak dikenalnya. Kemudian dia
melirik ke kiri dan begitu melihat Kui Hong, dia cepat bangkit duduk dan
memandang heran.
“Sumoi…..
eh, Pangcu! Dimana kita? Apa yang terjadi dan siapa…… siapa saudara ini…..?”
Lega rasa
hati Kui Hong. Dari sikap, pandang mata dan suaranya, jelas bahwa suhengnya
telah kembali normal.
“Hemm,
suheng Ciok Gun. Apakah engkau tidak ingat lagi apa yang telah kau lakukan
selama ini sehingga engkau mencelakakan keluarga kong-kong dan membahayakan
keadaan Cin-ling-pai?” tanya Kui Hong dengan suara penuh teguran.
Ditanya
demikian, Ciok Gun termenung dan meraba-raba dahinya, mengingat-ingat. seperti
bayangan yang samar-samar, ada sebagian peristiwa yang diingatnya, terutama
sekali kakek gurunya, uwa gurunya dan keluarga Cia Kui Bu yang kini meringkuk
dalam tempat tahanan! Dan begitu teringat akan keadaan dirinya, betapa dia
tidak mampu menolak dan tunduk serta taat akan semua kehendak Tok-ciang Bi Moli
yang hina, wajahnya berubah merah sekali.
“Pangcu,
apakah yang telah terjadi? Seperti mimpi buruk saja ….. dalam mimpi itu aku
melihat betapa kakek guru, juga ayah ibumu dan adikmu, menjadi tawanan dan aku
… aku….. mengapa aku membantu iblis betina dan kawan-kawannya itu? Apa yang
sesungguhnya terjadi atas diriku?”
“Tenanglah,
Ciok-toako (kakak Ciok), engkau hanya menjadi korban kekuatan sihir dan bius
orang-orang Pek-lian-kauw,” kata Hay Hay menghiburnya.
Ciok Gun
memandang ke arah Hay Hay dengan alis berkerut.
“Siapakah
engkau? Pangcu, apakah orang ini boleh dipercaya? Di Cin-ling-pai sekarang
berkeliaran banyak orang jahat!”
Kui Hong
makin maklum bahwa jalan pikiran suhengnya masih kacau.
“Ketahuilah,
Suheng. Dia adalah Pendekar Tang Hay, sahabat baikku yang boleh dipercaya.
Bahkan engkau dapat pulih kembali pikiranmu karena pertolongannya. Dia yang
mengusir pengaruh sihir dan pembius yang tadinya meracunimu, dan membuat engkau
menjadi hamba dan alat dari iblis betina itu dan kawan-kawannya.”
Mendengar
ini, Ciok Gun segera memberi hormat kepada Hay Hay.
“Ah, maafkan
aku, Tai-hiap (pendekar besar). Aku….. aku masih bingung…..”
“Toako, kau
raba kalung yang kugantungkan di lehermu itu. Sembunyikan kalung itu baik-baik
di balik bajumu. Mustika itu kupinjamkan kepadamu dan selama engkau mengenakan
mustika itu sebagai kalungmu maka orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak dapat
mempengaruhimu dengan sihir lagi.”
“Pek-lian-kauw
…..?” Ciok Gun terkejut.
“Benar,
suheng. Kita telah terancam oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Seperti kau katakan
tadi, ketika engkau masih dalam pengaruh sihir dan dicengkeram mereka, agaknya
Pek-lian-kauw mengirim Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli untuk mengacau
Cin-ling-pai. Mereka datang kesini dan entah dengan akal bagaimana mereka dapat
menawan kong-kong, ayah, ibu dan adikku. Mereka dapat menguasaimu dengan bius
dan sihir sehingga engkau menjadi alat mereka. Dan susiok Gouw Kian Sun mereka
kuasai dengan jalan mengancam dia bahwa kalau dia tidak tunduk, maka keluarga
Cia akan dibunuh!”
“Ah, aku
ingat sekarang! Dalam mimpi buruk itu… aku …. Aku membantu mereka. Aku yang
memancing dan menjebak….. ah, apa yang telah kulakukan? Benarkah semua itu
terjadi? Aku….. aku menjadi pengkhhianat, aku membantu orang jahat menangkapi
orang-orang yang kuhormati dan kumuliakan?”
“Semua itu
telah terjadi, diluar kesadaranmu karena engkau terbius dan tersihir, Suheng.
Dan bukan itu saja. Orang-orang Pek-lian-kauw telah memaksa Gouw Susiok menikah
dengan Su Bi Hwa itu, dan juga mengadu domba Cin-ling-pai. Mereka membunuh dan
memperkosa murid-murid para tokoh partai besar dan menggunakan nama murid
Cin-ling-pai….”
“Ah, benar
…..! Aku ingat sekarang! Aduh, Pangcu. Dosaku besar sekali. Aku mengaku
berdosa, aku siap menerima hukuman. Hukumlah, bunuhlah aku, Pangcu. Dosaku tak
dapat diampuni lagi…..”
Dan Ciok
Gun, orang yang biasanya tenang dan pemberani itu, kini menangis seperti anak
kecil!
“Ciok-taoko,
hentikan tangismu yang tidak ada gunanya itu,” kata Hay Hay. “Engkau melakukan
semua itu diluar kesadaranmu, oleh karena itu tidak perlu engkau menyesali
perbuatanmu. Yang terpenting sekarang adalah melakukan sesuatu untuk menebus
semua itu, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan untuk menyelamatkan
Cin-ling-pai dan menghancurkan para penjahat. Maukah engkau membantu kami?”
Ciok Gun
mengusap air matanya dan dengan penuh semangat dia berkata,
“Tang
Taihiap, aku siap mengorbankan nyawaku untuk menebus dosa, untuk menyelamatkan
keluarga Cia dan Cin-ling-pai!”
“Bagus!
Kalau begitu, dengarkan rencana kami baik-baik.”
Mereka lalu
berbisik-bisik mengatur rencana mereka seperti yang dikemukakan Hay Hay. Mereka
tidak lama berunding disitu karena Hay Hay dan Kui Hong segera pergi
meninggalkan Ciok Gun agar jangan sampai pertemuan mereka itu diketahui oleh
orang-orang Pek-lian-kauw.
Perhitungan Hay
Hay memang tepat. Tak lama setelah dia dan Kui Hong pergi, muncul Lan Hwa Cu,
Siok Hwa Cu, Kim Hwa Cu dan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa di hutan itu. Empat
orang ini tadi berindap-indap memasuki hutan dan setelah mereka mengintai dan
hanya melihat Ciok Gun seorang disitu, mereka segera berloncatan menghampiri.
Mereka
melihat Ciok Gun dalam keadaan pingsan tertotok. Dengan gelisah Su Bi Hwa lalu
membebaskan totokan itu dan Ciok Gun siuman kembali. Dia bangkit duduk dan
memandang mereka dengan sikap biasa, siap menanti perintah! Akan tetapi, Su Bi
Hwa masih merasa khawatir dan curiga, maka ia memberi isyarat kedipan mata
kepada tiga orang gurunya.
“Ciok Gun,
berdirilah engkau!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berseru dengan suara garang.
Bagaikan
boneka hidup, Ciok Gun bangkit berdiri dengan tegak, wajahnya dingin, matanya
tidak membayangkan perasaan dan sikapnya siap siaga. Bi Hwa maju
menghampirinya, lalu merangkulnya dan mencium pipinya. Ciok Gun tetap tidak
membuat gerakan melawan atau menyambut, seperti arca batu saja. Lalu Bi Hwa
melepaskan rangkulannya dan mengayun tangan.
“Plakk!”
Keras sekali
tamparan itu dan akibatnya, tubuh Ciok Gun terhuyung. Akan tetapi tetap saja
dia tidak melawan, dan berdiri lagi dengan tegak.
Empat orang
itu saling pandang dan mengangguk. Lalu Bi Hwa memegang tangan Ciok Gun.
“Ciok Gun,
duduklah dan ceritakan apa yang telah kau alami ketika engkau diajak pergi Cia
Kui Hong tadi.”
Mereka duduk
diatas tanah berumput di bawah pohon dan Ciok gun bercerita dengan suara yang
wajar, seperti biasa.
“Pangcu
membawaku kesini dan ia memaksaku mengaku. Kukatakan bahwa aku tidak tahu
apa-apa, bahkan disini semua biasa dan wajar. Ia membujuk dan mengancam, bahkan
menghajarku, akan tetapi aku tidak mengatakan sesuatu diluar kehendak kalian.
Ia menyerangku, menotok dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, aku tertotok dan
tidak ingat apa-apa lagi.”
Lan Hwa Cu
mengangguk-angguk.
“Gadis itu
memang lihai bukan main. Agaknya setelah merobohkan Ciok Gun, ia mencariku dan
menyerangku. Ia berbahaya sekali.”
“Sebaiknya
kalau kita tangkap gadis itu juga,” kata Kim Hwa Cu.
“Ya, dan
berikan ia kepadaku. Akan kubebaskan ia dari keliarannya!” kata Siok Hwa Cu
sambil tersenyum kejam.
“Aih, sam-wi
Suhu terlalu sembrono. Serahkan saja kepadaku.”
“Ha-ha, Bi
Hwa. Apakah engkau ditulari pengakit suheng Lan Hwa Cu? Dia seorang pria yang
hanya suka kepada pria, tidak menyukai wanita. Apakah sekarang seleramu juga beralih
kepada sesama wanita?” Siok Hwa Cu mengejek.
“Bukan
begitu maksudku, ji Suhu (guru ke dua). Cia Kui Hong itu lihai ilmu silatnya.
Hal itu lebih baik lagi. Kalian tentu ingat bahwa lusa adalah hari yang
dijanjikan Kui Hong kepada para pemimpin partai-partai persilatan besar itu.
Tentu akan terjadi pertandingan hebat dan kalau mereka saling bertanding,
berarti mereka akan kehilangan tenaga. Kalau sudah loyo semua, mudah bagi kita
untuk membabat mereka. Bukankah begitu? Untung bahwa Ciok Gun masih teguh dan
menjadi pembantu kita yang setia. Rencana kita dilanjutkan. Kita menanti sampai
lusa dan selama dua hari ini, kita tinggal bersembunyi saja dan pesan kepada
anak buah agar jangan melakukan sesuatu yang akan menggoncangkan keadaan. Cia
Kui Hong pasti tdiak akan menemukan apa-apa sampai esok lusa.”
“Bagus,
dengan anak buah kita, kita akan berjaga-jaga. Kalau mereka semua sudah saling
serang dan menjadi lemah, kita turun tangan,” kata Lan Hwa Cu. “Akan tetapi
bagaimana dengan Ciok Gun? Kalau kita bertempur, tentu saja kami bertiga tidak
dapat mengendalikannya.”
Bi Hwa
menoleh kepada Ciok Gun yang duduk seperti patung. Selama berada dibawah
pengaruh sihir tiga orang tosu itu, memang dia seperti boneka hidup dan hanya
akan mengadakan reaksi kalau empat orang itu mengajaknya bicara.
“Ciok Gun!”
kata Bi Hwa sambil memegang lengannya.
Ciok Gun
menoleh dan memandang kepada Bi Hwa dengan pandang mata kosong.
“Apa yang
dapat kulakukan untukmu, Moli?” tanyanya.
“Esok lusa
kalau terjadi pertempuran, apa yang dapat kau lakukan untuk kami?”
“Aku akan
membantu dengan taruhan nyawa!” katanya kaku.
“Membantu
apa?”
“Apa saja!
Kalau perlu, aku dapat menjaga para tawanan itu, atau membunuh mereka kalau
kalian kehendaki,” kata pula Ciok Gun.
“Bagus!”
tiba-tiba Lan Hwa Cu berkata. “Memang sebaiknya dia diberi tugas untuk menjaga
dan membunuh mereka semua kalau sampai usaha kita gagal. Mereka itu berbahaya
dan kita tidak dapat mempercayakan kepada anak buah kita. Ciok Gun yang paling
tepat dan dapat diandalkan untuk menjamin agar mereka tidak sampai dapat
meloloskan diri.”
Mereka semua
bersepakat untuk mengatur siasat, yaitu membiarkan para tokoh partai persilatan
besar memperebutkan kebenaran dan bentrok dengan Cin-ling-pai, apalagi kalau
sampai gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu terbunuh atau setidaknya
terluka. Kalau sudah sejauh itu, membebaskan keluarga Cia juga tidak mengapa,
bahkan lebih baik karena para tokoh Cin-ling-pai itu pasti tidak tinggal diam
dan permusuhan akan menjadi semakin menghebat. Kalau sudah begitu, maka tugas
mereka untuk mengadu domba dan menghancurkan Cin-ling-pai berhasil baik.
Akan tetapi,
andaikata siasat mengadu domba itu gagal dan Cin-ling-pai tidak sampai
bertempur melawan partai-partai lain, masih belum terlambat untuk membunuh para
tawanan itu. Dan untuk tugas ini, Ciok Gun yang telah menjadi seperti boneka
hidup itu pasti akan mampu melaksanakannya dengan baik. Asap beracun akan dapat
disemprotkan dari luar kamar tahanan dan betapapun lihainya, keluarga Cia itu
takkan mampu membela diri, apalagi melepaskan diri.
Hari yang
telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itupun
tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai,
Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di
pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai.
Sepuluh
orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima
orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai,
sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan
Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para
mereka yang nampak penasaran dan marah.
Cia Kui Hong
juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah
menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarangan yang
luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi,
dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka.
Para
anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang
diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk
barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta
Cin-ling-pai yang asli. Kui Hong tahu akan hal ini dan iapun diam saja,
pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai
yang asli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama.
Selama dua
hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan
sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan
wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun
tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai.
Setelah para
tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul disebelah dalam
dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu
memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui
Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa.
Kui Hong
nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan
gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan
tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.
Setelah tiba
di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan
iapun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat
kepadanya.
“Dimana
suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia disini?”
Para
anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong
mengerutkan alisnya dan iapun menoleh kepada Gouw Kian Sun.
“Susiok,
kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Dimana dia?”
Kian Sun
melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata,
“Ah, apa
engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia
merasa tidak sehat, demam.”
Kui Hong
mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya
dia sakit.”
Lalu dengan
tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga
menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.
“Kiranya
cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada disini. Selamat
datang dan selamat pagi kami ucapkan.”
“Pangcu,
sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk
menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji.
Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu
Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.
“Kami juga
minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin
tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.
“Serahkan
para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.
Hanya dua
orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi
merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan
mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu
mengeluarkan suara penasaran.
Cia Kui Hong
mengangkat tangan ke atas.
“Harap cu-wi
tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang
berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”
Mendengar
ucapan ini, tentu saja semua orang tertarik dan merekapun diam, memandang
kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.
“Cu-wi,” Kui
Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi
menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan.
Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini
sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada diantara kita!”
Gouw Kian
Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa
mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang.
“Ketahuilah,
cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang
melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah
kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah
mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi.
Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat
suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”
Tentu saja
ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah
pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan
wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa
pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia.
Semua tamu
terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis
yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan
Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling
pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka.
Suasana tegang dan menggelisahkan.
“Sudah
kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua
orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang
pimpinan mereka!”
“Omitohud……,
keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja,
Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian
Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.
“Tiga orang
tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang
masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada disini!
Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan
Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!”
Melihat
kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan
di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi
berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu,
diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu
iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri
dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking
marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri
di sebelahnya.
“Tok-ciang
Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”
Tok-ciang Bi
Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah
diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia
masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak
akan berani melawannya.
Begitu
melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan
mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun
tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang!
Sebetulnya,
dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betina itu
dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun
menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga
gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.
Ketika dia
dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli
sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada
dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang
gurunya sudah berada disitu, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa
tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua
orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa.
“Ha-ha-ha-ha,
kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali,
Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”
Kui Hong
memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu
bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat
betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah
orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan
empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.
“Pek-lian
Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka, dan semua locianpwe
yang berada disini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua
kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa
kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”
Kembali Su
Bi Hwa tertawa,
“Ha-ha-hi-hi-hik,
kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai
selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas
di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar
kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”
“Iblis
betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi
harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Diapun sudah mencabut pedangnya.
“Jangan
bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua
keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat
kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu.
Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!”
Kini bukan
saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa
karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa
dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang
Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.
Mendengar
ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka
tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?
Akan tetapi,
Kui Hong tersenyum lebar.
“Iblis-iblis
busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani
bicara besar?”
Kui Hong
menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan
duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di
tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui
Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu!
Tentu saja
semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong
seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia
bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok
Gun dengan baik sekali.
Seperti yang
direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu
untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu,
ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai
dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir
karena dia bertugas menjaga para tawanan!
Setelah
semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia
mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah,
Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya.
Melihat
masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam
samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.
“Ciok Gun,
murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi
hukumanmu di neraka kelak?”
Kui Bu juga
berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik.
“Ciok Gun,
aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak
kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan
dendam ini!”
Ciok Gun
memandang kepada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab
ucapan mereka, melainkan diam saja dan dengan kuncinya dia membuka tempat
tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu terkejut dan
heran, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun
menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya dilantai.
“Teecu Ciok
Gun telah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari. Akan tetapi sekarang teecu
telah sadar dan teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang
Pek-lian-kauw yang menimbulkan semua kekacauan ini. Harap Su-kong, Supek,
Supek-bo dan Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya,
sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.”
Dia bangkit
berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong telah
pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkanCiok Gun.
Demikianlah,
mereka yang “digiring” oleh Ciok Gun yang memegang pedang telah tiba di
pekarangan markas Cin-ling-pai. Melihat munculnya Ciok Gun yang menggiring
empat tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya terkejut dan heran bukan
main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai
telah keluar dari tahanan!
“Ciok Gun,
kuperintahkan kau! Bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi
Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk
menguasai Ciok Gun.
Ciok Gun
tidak memperlihatkan reaksi apapun mendengar ucapan Su Bi Hwa, akan tetapi ia
melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa
mengira bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok
Gun berada di depannya, ia berteriak lagi dengan suara melengking,
“Ciok Gun,
pergunakan pedangmu …..!”
“Baik,
kupergunakan pedangku!”
Tiba-tiba
Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke
arah dada Su Bi Hwa! Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi ia memang
lihai, dan biarpun serangan itu amat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka
datangnya, ia masih dapat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan
terhindar dari tusukan pedang.
“Jahanam
busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga
orang tosu Pek-lian-lauw.
“Suheng,
jangan…..!”
Kui Hing
berseru karena ia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu. Namun
Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang
Pek-lian-kauw, tidak memperdulikan teriakan itu dan ia menyerang mati-matian.
Tiga orang
tosu itupun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya
telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan
menyerang mereka dengan dahsyat!
Tiga orang
Pek-lian-kauw itu kini mengerti bahwa pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun
telah lenyap, entah bagaimana, dan tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya.
Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga menggerakkan
tangan menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan, dan ada pula yang
menyerang.
“Tranggg….
Dukkk……!”
Pedang di
tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itupun terjengkang.
Darah muncrat dari mulutnya dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah
empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh dan tewas seketika. Dua pukulan
yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu selagi Kim Hwa Cu menangkis
pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu dan nyawanya terengut
seketika.
Melihat ini,
marahlah Kui Hong. Ia sendiri tidak menyangka bahwa Ciok Gun akan senekat itu.
Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun
hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia
ditugaskan menjaga tawanan, kemudian pada pagi hari itu membawa para tawanan ke
Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali
tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu
nyawa dan tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu.
Sebelum ia
melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat kedua
tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya, mengeluarkan
suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali.
“Haiii,
orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat
sebelum kalian diserang!”
Terjadilah
keanehan. Para anggauta Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul!
Terjadi kekacauan dan pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang yang
tertawa bergelombang, disusul suara yang nyaring melengking.
“Saudara-saudara
Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!”
Dan para
murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi
melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua menghentikan
gerakan dan memandang bingung.
Yang tertawa
dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su
Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika
mendengar suara ketawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar
begitu pemuda yang memakai pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu
muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa
Cu yang berperut gendut menyambut dengan bentakan.
“Anjing dari
mana berani datang menentang kami?”
Dia memberi
isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan
kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah
muka pemuda itu sambil berseru nyaring.
“Engkau
anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!”
Dalam suara
ini terkandung getaran yang amat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu
seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga
dipersatukan.
Hay Hay
merasa betapa kekuatan yang dahsyat memaksanya sehingga dia tidak dapat
mempertahankan lagi dan diapun jatuh berlutut dan berdiri dengan kaki dan
tangannya seperti seekor anjing!
Melihat ini,
Ceng Sui Cin marah bukan main. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa
tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi ia hendak ke
depan untuk menyerang, lengannya disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di
dekatnya.
“Ibu,
biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.”
Ceng Sui Cin
dan suaminya, Cia Hui Song, memandang puteri mereka dengan heran. Puteri mereka
menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan merekapun ingin sekali
melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan
sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti
anjing.
Tang Hay
atau biasa disebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi
ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau
San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biarpun demikian,
andaikata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik
silat maupun sihir, menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk
dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi.
Kini, ketika
merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan
kuat agar dia menggonggong seperti anjing, diapun teringat akan pelajaran yang
diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu.
Dia meraba
dan menekan tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika
diapun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dan diapun, dalam
keadaan masih merangkak, tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung
semua orang.
“Ha-ha-ha-ha-ha!
Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang
Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha-ha, memang
kalian berempat bersemangat anjing! Mari kita bermain-main, kalau aku
mengonggong, kalian mulailah saling berlumba memperebutkan anjing betina itu
dan saling serang. Hayo, mulailah!”
Semua orang
melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay mulai
mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan
memang mirip anjing menggonggong!
“Hung-hung-haunggg
…… huk-huk-hunggg ……!”
Dan semua
orang terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga
orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut dan merangkak-rangkak
seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Dan terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga
orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang
menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu kini saling serang
seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina!
Dan Hay Hay
terus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu
itu saling serang, saling gigit sampai pakaian mereka koyak-koyak! Sedangkan Su
Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak!
Sungguh
merupakan penglihatan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan
lawan, diapun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Kalau tadi
semua orang nonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan
terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu.
Setelah
merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay
meloncat berdiri dan diapun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong
seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itupun menghentikan
gerakan mereka.
Su Bi Hwa
melompat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu
itupun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk
membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian
menghadapai Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka menyadari bahwa mereka
berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang amat hebat
sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan
banyak orang!
Tanpa banyak
cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah
mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti Siok Hwa Cu si
perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok
besar, Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi, juga sudah mengelurkan
senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya bola dan bintang baja.
Sementara
itu, Tok-ciang Bi Moli maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada
lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Kini
merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela
diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka, iapun sudah mencabut
pedangnya, lalu meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring.
“Cia Kui
Hong, bagaimanapun juga, masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai
ketua Cin-ling-pai!” berkata demikian, pedangnya sudah meluncur ke arah dada
ketua Cin-ling-pai itu.
Kui Hong
memang sudah siap siaga, maka iapun tadi sudah mencabut sepasang pedangnya.
“Tranggg…..
!!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya
bergetar hebat.
“Hemm, iblis
betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang cocok dan tepat
untukmu!” kata Kui Hong dan iapun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada
anak buahnya.
“Para murid
Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi
anggauta Cin-ling-pai!”
Para murid
Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteriak-teriak
dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka
sangka sebagai anggauta-anggauta baru pilihan ketua dan isteri ketua!
Terjadilah
pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah
Pek-lian Sam-kwi juga orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut
sehingga mereka melawan mati-matian.
Adapun
Pek-lian Sam-kwi sendiri maju mengepung Hay Hay yang amat mereka benci karena
mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling
terkam.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment