Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 06



“Pangcu, harap ampunkan suamiku!” kata wanita itu.

“Pangcu, suhu tidak bersalah apa-apa, harap Pangcu suka memberi ampun,” kata pula Ciok Gun.

Munculnya dua orang ini membuat Kui Hong semakin marah.
“Bagus!” bentaknya. “Kalian mengintai?”

“Tidak, Pangcu. Sama sekali tidak.” Kata Su Bi Hwa dengan suara sungguh-sungguh. “Akan tetapi suara Pangcu dan suami saya begitu nyaringnya sehingga terdengar dari luar dan mendengar suami saya hendak menyerahkan nyawa, saya terkejut dan nekat masuk. Harap Pangcu suka memaafkan seorang isteri yang mengkhawatirkan keselamatan suaminya.”

Tiba-tiba Kui Hong bergerak ke depan dan tangannya menyambar ke arah kepala wanita itu. Tentu saja ia hanya menguji, bukan menyerang sesungguhnya walaupun gerakannya yang cepat tidak menimbulkan keraguan. Dan serangannya luput ketika wanita itu membuang diri ke samping lalu melompat berdiri.

“Hemm, engkau pandai silat?” tanya Kui Hong sambil memandang tajam penuh selidik.

Su Bi Hwa baru menyadari bahwa ketua Cin-ling-pai itu hanya mengujinya, maka cepat ia memberi hormat.

“Saya pernah mempelajari sedikit ilmu silat, Pangcu.”

“Hemm, bagus. Hendak kulihat sampai dimana kehebatanmu!” bentak Kui Hong.

“Maaf, Pangcu. Saya tidak berani melawan. Kalau tadi saya mengelak, hal itu hanya karena saya terkejut.”

Kata Bi Hwa yang maklum bahwa ketua itu hanya ingin mengujinya. Kini ia menunduk dan tidak mau melawan.

Watak Kui Hong yang gagah melarang ia menyerang orang yang tidak mau melawan. Ia mengerutkan alisnya. Agaknya sukarlah membongkar rahasia itu melalui Gouw Kian Sun dan Bi Hwa. Tinggal seorang lagi, yaitu Ciok Gun.

“Suheng Ciok Gun apakah engkau masih mengakui aku sebagai ketua Cin-ling-pai?” tiba-tiba ia bertanya kepada Ciok Gun yang masih berlutut.

Ciok Gun mengangkat muka memandang,
“Tentu saja Pangcu.”

“Dan engkau siap mentaati semua perintahku sebagai ketuamu?”

“Ya, tentu saja,” jawab Ciok Gun dengan singkat dan dengan sikap tenang dan muka dingin.

“Kalau begitu, mari engkau ikut denganku dan jangan bertanya kemana kita pergi dan apa keperluannya. Mari!”

Ciok Gun nampak meragu dan mengerutkan alisnya. Pada saat itu, selagi dia bingung karena perintah ketua itu demikian tiba-tiba dan dia belum “diisi” mengenai hal ini, Su Bi Hwa yang berdiri didekatnya berkata lembut.

“Ciok Gun, ketua telah memberi perintah. Tunggu apa lagi? Taatilah perintahnya!”

Mendengar ini, Ciok Gun bangkit dengan cepat dan tentu saja hal ini tidak terlewat begitu saja oleh perhatian Kui Hong. Diam-diam ia mencatat betapa taatnya Ciok Gun terhadap ucapan wanita cantik itu! Akan tetapi karena tidak ada bukti sesuatu yang mencurigakan, dan ucapan itu seperti bujukan halus agar murid suaminya itu mentaati perintah ketua, sikap yang wajar sekali, Kui Hong juga tidak dapat berbuat sesuatu.

“Mari kita pergi!” katanya dan iapun keluar dari dalam rumah itu, diikuti oleh Ciok Gun.

Kui Hong berlari cepat keluar dari Cin-ling-pai, menuruni puncak menuju ke lereng bukit dimana terdapat sebuah hutan. Di hutan itulah ia berjanji untuk bertemu dengan Hay Hay. Akan tetapi sambil menunggu munculnya Hay Hay, ia ingin mencoba untuk memaksa suhengnya itu mengaku. Maka, setelah tiba di dalam hutan, iapun berhenti dan Ciok Gun juga berhenti. Mereka berhadapan. Ciok Gun berdiri dengan sikapnya yang terlalu tenang dan dingin, menundukkan mukanya dengan sikap menanti.

“Nah, Suheng. Sekarang kita berada di tengah hutan, hanya berdua saja. Katakan, apa yang kau ketahui tentang segala peristiwa yang terjadi di Cin-ling-pai? Siapakah orang-orang yang mengatur semua ini? Siapa yang membuat Gouw Kian Sun ketakutan, dan siapa yang melempar fitnah kepada Cin-ling-pai dengan melakukan semua perbuatan keji terhadap para tokoh partai besar itu?”

Sikap Ciok Gun masih tenang saja, dan wajahnya dingin, sedikitpun tidak membayangkan sikap bersalah ketika dia menjawab.

“Aku tidak tahu, Pangcu. Aku tidak tahu apa-apa.”

Kui Hong mengerutkan alisnya. Sekarang baginya tinggal Ciok Gun ini satu-satunya harapan untuk membongkar rahasia itu. Ia harus memaksa orang ini untuk membuka rahasia. Maka, iapun lalu membentaknya,

“Suheng, apakah aku harus menggunakan kekerasan?”

Sepasang mata itu menatapnya dan Kui Hong terkejut. Mata itu sama sekali tidak memancarkan perasaan, seperti orang mati.

“Terserah kepadamu!” jawaban itupun sama sekali tidak mencerminkan sikap Ciok Gun yang dahulu selalu sayang dan hormat kepadanya.

“Bagus! Kau sambut ini!” bentak Kui Hong yang segera menyerang dengan cepat, menotok ke arah pundak Ciok Gun.

Namun, dengan gerakan sigap, Ciok Gun mengelak sambil membalas serangan dengan cengkeraman ke arah perut Kui Hong. Serangan ini merupakan serangan maut yang amat berbahaya! Ini pun luar biasa! Bagaimana mungkin suhengnya itu mendadak membalas dengan serangan maut terhadap dirinya?

Kui Hong meloncat ke belakang dan maju lagi mengirim serangan bertubi-tubi. Ia ingin cepat menotok roboh suhengnya itu agar dapat membujuk dan kalau perlu memaksanya membuka rahasia yang ia yakin diketahui suhengnya itu. Akan tetapi ia terkejut dan merasa heran sekali melihat kenyataan bahwa ternyata Ciok Gun dapat menandinginya dengan baik! Padahal ia tahu benar bahwa ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi dibandingkan suhengnya itu.

Demikian cepatkah dia memperoleh kemajuan? Ia merasa penasaran bukan main! Setelah lewat tiga puluh jurus dan ia belum mampu merobohkan Ciok Gun, Kui Hong semakin penasaran. Hal ini sudah tidak mungkin sama sekali! Cepat ia mengubah gerakannya dan dengan tubuh merendah, ia lalu mengerahkan tenaga dan mengeluarkan bentakan dahsyat sambil memukul dengan dorongan kedua tangan.

Itulah sebuah jurus dari Hok-liong Sin-ciang (Tangan Sakti Menaklukan Naga). Ilmu silat dahsyat yang pernah ia pelajari dari kakeknya, Pendekar Sadis Ceng Thian Sin di pulau Teratai Merah. Angin dahsyat menyambar ke arah Ciok Gun yang menyambutnya dengan kedua tangan di dorongkan ke depan.

“Desss……!”

Akibatnya, tubuh Ciok Gun terjengkang dan bergulingan. Kui Hong meloncat ke depan mengejar untuk melihat keadaan suhengnya. Akan tetapi alangkah heran dan kagetnya ketika tubuh yang sudah terkena sambaran hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang itu, yang setidaknya tentu akan pingsan, tiba-tiba meloncat bangun dan sudah menyambutnya dengan serangan lagi!

“Ehhh ……?”

Kui Hong yang lincah dapat mengelak ke kiri dan matanya terbelalak. Ini sama sekali tidak mungkin! Bagaimana suhengnya yang roboh dilanda hawa pukulan Hok-liong Sin-ciang tidak menderita apapun dan begitu roboh dapat bangun kembali dan menyerangnya dengan dahsyat? Ia pun mengeluarkan kepandaiannya, bersilat dengan amat cepat karena ia memainkan Pat-hong-sin-kun yang membuat tubuhnya berkelebatan di delapan penjuru dan tangannya tiba-tiba meluncur dan mengirim totokan yang tepat mengenai jalan darah di punggung lawan.

“Tukk!”

Tubuh Ciok Gun terkulai roboh. Akan tetapi kembali Kui Hong terbelalak karena begitu roboh, Ciok Gun yang terkena totokannya itu sudah bangkit kembali! Suhengnya itu seperti tidak merasakan akibat totokannya!

“Wah, dia lihai sekali!” tiba-tiba terdengar suara Hay Hay dan pemuda itu sudah berhadapan dengan Ciok Gun.

Ciok Gun nampak bingung ketika melihat munculnya seorang pemuda tampan berpakaian biru yang matanya mencorong dan tersenyum-senyum.

“Siapa kau?” bentak Ciok Gun sambil siap untuk menyerang.

Hay Hay tertawa dan diam-diam sudah mengerahkan kekuatan sihirnya, memandang kepada Ciok Gun, lalu bertolak pinggang dan menudingkan telunjuknya ke muka murid Cin-ling-pai itu.

“Ha-ha-ha, Ciok Gun, apakah engkau lupa kepada kakekmu? Aku kakekmu! Hayo engkau memberi hormat dan berlutut kepadaku!”

Seketika Ciok Gun nampak bingung. Dia terbelalak memandang kepada Hay Hay dan menggagap.

“Ehh….? Apa kau bilang? Kakekku….. engkau kakekku …..?”

Dan kini terjadi hal yang mengejutkan dan mengherankan hati Hay Hay. Ciok Gun hanya sebentar saja nampak bingung, lalu tiba-tiba menyerangnya dengan geraman seperti seekor binatang buas. Murid Cin-ling-pai itu tidak terpengaruh sihirnya! Dan serangannya sungguh liar berbahaya!

Akan tetapi, tentu saja Hay Hay dapat menghadapi serangan itu dengan mudah. Tingkat ilmu kepandaiannya jauh lebih tinggi, maka begitu melihat Ciok Gun menyerang dengan cengkeraman kedua tangan ke arah leher dan perutnya, diapun menggeser kakinya, tubuhnya miring dan serangan itu luput. Kemudian dari samping, dia menyapu kedua kaki lawan. Tak dapat dihindarkan lagi, tubuh Ciok Gun terpelanting! Sebelum dia dapat bangkit, Hay Hay sudah membentaknya dengan pengerahan sihirnya.

“Ciok Gun, rebah dan engkau tidak mampu bangun kembali!”

Suaranya mengandung kekuatan yang amat dahsyat, amat berpengaruh sehingga sejenak Ciok Gun hanya terbelalak, tidak mampu bangkit. Akan tetapi, hanya sebentar ia terpengaruh, karena dia segera bangkit kembali walaupun dengan susah payah. Seolah dia bersitegang diantara dua kekuatan yang tidak tampak, yang satu memaksa dan menekannya agar rebah terus, yang kedua mendorongnya agar bangkit dan menyerang!

Melihat ini, Hay Hay dapat merasakan getaran yang kuat, yang melawan kekuatan sihirnya. Maka diapun berkata kepada Kui Hong.

“Hong-moi, cepat kau cari orang yang menguasainya dengan sihir. Tak jauh dari sini…….!”

Hay Hay menyambut bangkitnya Ciok Gun dengan totokan yang membuat tubuh murid Cin-ling-pai itu terkulai kembali. Karena maklum tubuh Ciok Gun sudah memiliki kekebalan yang tidak wajar, dan pengaruh totokannya itu hanya sebentar saja, Hay Hay lalu cepat menelikung kedua tangan Ciok Gun ke belakang dan mengikat kedua pergelangan tangan dengan sehelai sabuk sutera yang kuat. Juga kedua kakinya diikat sehingga kini, biarpun pengaruh totokan sudah membuyar kembali, Ciok Gun tidak mampu bergerak, hanya mengeluarkan suara menggereng dan mencoba meronta sambil matanya melotot memandang ke arah Hay Hay.

Beberapa kali Hay Hay mengerahkan kekuatan sihirnya untuk menaklukkan semangat perlawanan pada diri Ciok gun akan tetapi hanya sebentar orang itu tunduk, lalu melawan kembali dan bersikap liar. Jelas bahwa ada kekuatan rahasia yang mengendalikan Ciok Gun!

Sementara itu, begitu mendengar seruan Hay Hay, Kui Hong segera berkelebat lenyap diantara pohon-pohon di hutan itu. Ia maklum apa yang dikatakan kekasihnya itu. Tentu ada orang ketiga yang bersembunyi dan mengendalikan Ciok Gun dengan ilmu sihirnya. Dan tentu orang itu biang keladi semua kejadian yang penuh rahasia di Cin-ling-pai!

Kiranya ketika ia tadi memasuki hutan mengajak Ciok Gun, ada orang yang membayanginya. Tadipun ia sudah waspada selalu menyelidiki keadaan sekeliling, namun tidak menemukan sesuatu. Hal itu saja menunjukkan bahwa kalau memang benar ada orang yang membayanginya, tentu orang itu lihai sekali, sehingga ia tidak dapat melihat atau mendengarnya.

Setelah mencari-cari di sekitar tempat itu, akhirnya ia menemukan apa yang dicarinya! Seorang tosu bertubuh tinggi besar, usianya kurang lebih enam puluh tahun, rambut di gelung ke atas dan mengenakan jubah pendeta, sedang duduk bersila seorang diri diatas petak rumput diantara pohon-pohon.

Tosu itu sedang dalam samadhi, matanya dipejamkan, mulutnya berkemak-kemik dan telunjuk tangan kanannya mencorat-coret tanah di depannya. Ada beberapa batang hio (dupa biting) mengepulkan asap di samping kirinya.

“Pendeta palsu! Kiranya engkau yang mengacau di Cin-ling-pai!” seru Kui Hong dengan marah. Sekali pandang saja ia merasa yakin bahwa pendeta inilah yang mempengeruhi Ciok Gun.

Pendeta itu bukan lain adalah Lan Hwa Cu, seorang diantara tiga orang pendeta Pek-lian-kauw yang terkenal dengan julukan Pek-lian Sam-kwi (Tiga Iblis Pek-lian-kauw) yang bersama Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa bertugas untuk mengadu domba para tokoh partai besar dengan Cin-ling-pai.

Tentu saja dia terkejut bukan main mendengar bentakan itu. Ketika tadi Ciok Gun di ajak pergi, Su Bi Hwa cepat memberi tahu kepada tiga orang suhunya dan Lan Hwa Cu segera membayangi ketua Cin-ling-pai yang mengajak Ciok Gun keluar itu. Dengan kepandaiannya yang tinggi, Lan Hwa Cu berhasil membayangi Kui Hong tanpa diketahui. Dia tahu bahwa Ciok Gun telah menjadi mereka. Murid Cin-ling-pai yang tadinya setia itu telah dicekoki racun pembius dan telah dikuasainya dengan ilmu sihir sehingga selain tubuh Ciok Gun menjadi kebal, juga dia dapat dikendalikan dari jauh dengan kekuatan sihir.

Biarpun Lan Hwa Cu sudah percaya bahwa Ciok Gun telah menjadi seperti boneka hidup yang akan setia sampai mati kepada Pek-lian Sam-kwi dan Su Bi Hwa, namun dia tetap merasa khawatir. Karena itu, setelah melihat Kui Hong berhenti di tengah hutan, diapun memilih tempat tersembunyi dan cepat duduk bersila untuk menguasai Ciok Gun sepenuhnya dengan sihirnya. Karena bantuannya inilah maka Ciok Gun menjadi makin kuat, sehingga sukar ditundukkan oleh sihir Hay Hay!

Ketika Lan Hwa Cu mendengar bentakan itu, dia cepat membuka mata dan memandang dan terkejutlah dia melihat Cia Kui Hong telah berdiri di depannya, dalam jarak empat lima meter dan gadis itu nampak begitu anggun dan berwibawa, bertolak pinggang dan memandang kepadanya dengan sepasang mata mencorong seperti mata naga!

Maklum bahwa keadaannya telah ketahuan orang, diapun mengambil keputusan cepat. Gadis ini harus dibunuhnya, atau ditawannya. Kalau tidak, semua usaha kelompoknya terancam bahaya kegagalan.

“Haiiiiiiittttt ……..!!”

Dia meloncat berdiri dan tangan kirinya terayun. Serangkum sinar menyambar ke arah Kui Hong. Gadis ini maklum bahwa ia diserang senjata rahasia jarum. Ia sendiri adalah ahli senjata rahasia jarum yang dipelajarinya dari neneknya, maka tentu saja dengan mudah ia dapat mengelak dengan loncatan ke samping dan tangan kirinya juga digerakkan dan nampak sinar merah menyambar ke arah lawan!

Lan Hwa Cu terkejut bukan main. Dengan mengebutkan ujung lengan bajunya yang lebar dan panjang, dia mampu meruntuhkan semua jarum merah itu dan yang membuat dia terkejut adalah melihat kelihaian wanita muda itu. Bukan saja mampu mengelak dari serangan jarumnya, bahkan membalas dengan jarum yang lebih hebat, karena ketika dia mengebutkan ujung lengan bajunya tadi, dia mencium bau harum yang kuat, tanda bahwa jarum-jarum merah itu mengandung racun yang ampuh!

Maklum bahwa lawannya lihai, Lan Hwa Cu yang merupakan tokoh kelas dua dari Pek-lian-kauw yang biasanya memandang rendah lawan, segera melompat ke depan dan sabuknya yang panjang dengan kedua ujungnya dipasangi bola dan bintang saja, sudah menyambar-nyambar dengan ganasnya.

Karena ingin tahu siapa lawannya, Kui Hong kembali mengelak dengan loncatan ke belakang. Ia menudingkan telunjuk tangan kirinya.

“Tahan senjata! Totiang katakan dulu siapa engkau dan mengapa pula menyerangku!”

Akan tetapi, tentu saja Lan Hwa Cu tidak mau banyak bicara lagi. Dari pertanyaan itu, tahulah dia bahwa ketua Cin-ling-pai ini hanya menduga saja bahwa dia yang mengacau di Cin-ling-pai. Gadis itu belum mengenalnya dan belum tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cin-ling-pai. Karena itu, tentu saja dia tidak akan membongkar rahasia Pek-lian-kauw dan diapun sudah menyerang lagi dengan ganasnya, menggunakan sabuknya.

Ujung bola dan bintang baja itu beterbangan menyambar-nyambar dalam serangan yang dahsyat sehingga Kui Hong terpaksa berloncatan ke sana-sini untuk menghindarkan diri dari sambaran maut itu. Gadis sakti itupun terkejut karena dari sambaran senjata itu, iapun dapat mengukur tenaga lawan dan tahu bahwa lawannya ini selain pandai ilmu sihir, juga memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga yang kuat.

Maka, iapun cepat mencabut sepasang pedangnya. Begitu sepasang pedang itu tercabut, nampaklah sinar-sinar hitam yang menyilaukan mata. Lan Hwa Cu terkejut. Itulah Hok-mo Siang-kiam (Sepasang Pedang Penakluk Iblis) yang amat ampuh. Tanpa disadarinya, pendeta itu mengeluarkan seruan tinggi seperti jerit seorang wanita, Kui Hong terheran karena suara pendeta itu sungguh seperti jerit seorang wanita!

Akan tetapi karena lawan terus menyerangnya, iapun menggerakkan sepasang pedangnya, menangkis dan balas menyerang.

“Singgg ……!”

Bintang baja itu menyambar ke arah pelipis kiri Kui Hong dengan gerakan melingkar dan menyerong dari atas. Serangan ini berbahaya sekali. Namun, Kui Hong adalah seorang gadis pendekar yang telah matang ilmunya. Bukan saja ia telah mewarisi ilmu-ilmu yang hebat dari ayah ibunya yang juga merupakan sepasang suami isteri pendekar, bahkan gadis ini telah digembleng oleh kakek dan neneknya, yaitu Pendekar Sadis dan isterinya yang sakti di pulau Teratai Merah.

Tingkat kepandaian Kui Hong kini bahkan telah melampaui tingkat kepandaian ayahnya dan ibunya! Ketika bintang baja itu menyambar ke arah pelipisnya, Kui Hong menggerakkan pedang di tangan kiri, mencoba untuk membabat putus sabuk itu. Akan tetapi, sabuk itu tidak terbabat putus, bahkan melibat pedang dan ujungnya masih menyambar sehingga kini bintang baja itu menyambar ke arah mukanya. Kui Hong menarik kepalaya ke belakang dan pada saat itu, bola baja di ujung kedua sabuk lawan menyambar ke arah perutnya!

Bukan main lihainya tosu itu. Akan tetapi, Kui Hong tidak menjadi gugup. Ia menggerakkan pedang kanannya membacok ke arah bola baja, sedangkan pedang kirinya masih terlibat sabuk.

“Trangggg ……!!”

Bola baja itu terpental dan Lan Hwa Cu kembali mengeluarkan jerit wanita karena tangannya terasa panas sekali dan bola baja itu hampir saja mengenai kepalanya sendiri. Terpaksa dia meloncat kebelakang dan melepaskan libatan sabuknya.

Melihat lawannya meloncat ke belakang, Kui Hong yang sudah penasaran itu mengejar dan sepasang pedangnya berubah menjadi dua gulungan sinar hitam yang dahsyat sekali, bagaikan dua ekor naga hitam mengamuk!

Lan Hwa Cu menangkis dan membalas, namun menghadapi gelombang serangan sepasang pedang hitam yang ampuh itu, dia merasa kewalahan juga. Permainan pedang ketua Cin-ling-pai itu amatlah hebatnya sehingga kalau dia terus melawan, besar kemungkinan dia akan terancam bahaya maut.

Kembali ujung pedang kanan di tangan Kui Hong sudah meluncur dan hampir saja mengenai pundaknya, Lan Hwa Cu melompat ke belakang dan ketika tangan kirinya terayun, terdengar ledakan dan tampak asap hitam mengepul tebal. Kui Hong meloncat ke belakang, khawatir kalau-kalau asap itu beracun. Ketika ia berloncatan mengitari asap itu, ternyata lawannya sudah lenyap.

Kui Hong tidak mengejar karena maklum bahwa selain hal itu sia-sia karena ia tidak tahu kearah mana lawan pergi, juga amat berbahaya dan ia ingin melihat bagaimana hasilnya Hay Hay menguasai Ciok Gun. Iapun cepat lari ke tempat tadi ia meninggalkan Ciok Gun. Lega hatinya melihat betapa Ciok gun sudah dapat dikuasai Hay Hay, sudah rebah dengan kaki tangan terbelenggu.

Melihat Ciok Gun seperti orang pingsan, ia berkata,
“Hay-ko, cepat sadarkan dia agar terbebas dari pengaruh jahat dan dapat menceritakan semua rahasia kepada kita.”

“Nanti dulu, Hong-moi. Justeru dalam keadaan terbius dan tersihir, dia akan dapat menceritakan segala rahasia kepada kita. Kalau dia sadar, mungkin dia melupakan segalanya.”

Setelah berkata demikian, Hay Hay lalu menotok pundak dan tengkuk Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai itu mengeluh dan membuka mata. Pada saat itu, Hay Hay sudah mengerahkan tenaga sihirnya, memandang wajah Ciok Gun dan suaranya terdengar penuh wibawa ketika dia berkata.

“Ciok Gun, engkau selalu mentaati kami! Engkau membantu kami menghadapi orang-orang Cin-ling-pai. Ingat?”

Ciok Gun sejenak memandang kepada Hay Hay seperti orang kehilangan semangat, akan tetapi kemudian dia mengangguk.

“Aku….. aku ingat…..”

Ciok Gun seperti termenung, lalu terdengar jawabannya lirih.
“Pek-lian Sam-kwi….. aku harus taat kepada Pek-lian sam-kwi…….”

Kui Hong mengepal tinjunya. Krianya Pek-lian-kauw yang menjadi biang keladinya! Kini tahulah ia bahwa tosu yang lihai tadi adalah orang Pek-lian-kauw tentu seorang diantara Pek-lian Sam-kwi, tiga iblis dari Pek-lian-kauw yang sudah pernah di dengar namanya akan tetapi belum pernah dijumpainya itu.

“Siapa lagi selain Pek-lian Sam-kwi? Hayo jawab sesungguhnya!”

“Tok-ciang Bi Moli ……”

“Ah, Su Bi Hwa itu?” tanya Kui Hong.

Mendengar pertanyaan ini, Ciok Gun tidak menjawab. Dalam keadaan seperti itu, dia hanya mengenal satu suara saja, yaitu suara orang yang menguasainya lewat kekuatan sihir dan pada saat itu, Hay Hay yang menguasai setelah pengaruh sihir para tosu Pek-lian-kauw menipis.

Tadi Lan Hwa Cu masih mengendalikan Ciok Gun, maka sukar bagi Hay Hay untuk menguasainya. Hal ini adalah karena sudah terlalu lama dan mendalam Ciok Gun dicengkeram dalam kekuasaan sihir para tosu Pek-lian-kauw itu. Kini, setelah Lan Hwa Cu diganggu Kui Hong dan terpaksa melarikan diri, cengkeraman itu mengendur dan dalam keadaan lemah ini, dengan mudah Hay Hay dapat menguasai Ciok Gun.

“Ciok Gun, katakan siapa nama Tok-ciang Bi Moli itu!” kata Hay Hay dengan suara mengandung perintah.

“Namanya Su Bi Hwa ….”

Tentu saja Kui Hong menjadi semakin marah. Kiranya isteri Gouw Kian Sun itu berjuluk Tok-ciang Bi Moli dan merupakan seorang diantara gerombolan yang mengacau di Cin-ling-pai.

“Ciok Gun, engkau tahu tentang mengapa Gouw Kian Sun begitu taat kepada Tok-ciang Bi Moli Su BI Hwa dan mau menerimanya sebagai isteri? Ceritakan semua dengan jelas!”

Kini Ciok Gun sepenuhnya sudah berada dalam kekuasaan Hay Hay, maka tanpa ragu lagi diapun menjawab dengan lancar.

“Keluarga Cia ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau suhu Gouw Kian Sun menolak, keluarga itu akan dibunuh.”

Pucat wajah Kui Hong mendengar ini.
“Siapa yang ditawan? Siapa?”

Kembali Ciok Gn tidak menjawab dan kelihatan bingung.
“Ciok Gun,” kata Hay Hay. “Katakan siapa saja yang di tawan orang Pek-lian-kauw.”

“Kakek guru Cia Kong Liang, su-pek (uwa guru) Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin dan putera mereka, Cia Kui Bu …..”

“Keparat jahanam ……!!!”

Kui Hong berseru karena terkejut dan marah bukan main. Kakeknya, ayah ibunya dan adiknya telah ditawan oleh orang-orang Pek-lian-kauw! Kiranya susioknya, Gouw Kian Sun, menjadi lemah tak berdaya dan terpaksa menurut saja kemauan orang-orang Pek-lian-kauw karena mereka mengancam akan membunuh keluarga Cia!

Orang-orang Pek-lian-kauw menekan Kian Sun dengan ancaman, dan menguasai Ciok Gun dengan bius dan sihir! Jelas mereka akan menghancurkan Cin-ling-pai dan mengadu domba dengan partai-partai besar di dunia persilatan!

Sekali memerintahkan Ciok Gun untuk tidur, murid Cin-ling-pai yang sepenuhnya sudah dikuasai Hay Hay itupun pulas.

“Kita harus membebaskan ayah dan ibu sekarang juga, dan kita basmi orang-orang Pek-lian-kauw itu!” bentak Kui Hong dengan muka yang menjadi kemerahan saking marahnya.

“Tenangkan hatimu, Hong-moi. Menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang licik dan curang, penuh tipu muslihat, kita harus cerdik dan menggunakan siasat.”

“Aku tidak takut! Kita tunggu apalagi? Sudah jelas mereka menawan kong-kong, ayah, ibu dan adik Kui Bu. Mereka mempengaruhi Gouw Susiok dan suheng ini, mereka menguasai Cin-ling-pai dan hendak menghancurkan Cin-ling-pai, mengadu domba dengan partai-partai lain! Mari kau bantu aku menghancurkan dan membasmi gerombolan jahat ini, hay-ko!”

“Tenang dan ingatlah, Hong-moi. Ingat bahwa kong-kongmu, juga ayah dan ibumu, mereka bertiga adalah yang berkepandaian tinggi. Namun tetap saja mereka sampai tertawan! Tentu Pek-lian-kauw menggunakan akal busuk! Kita harus cerdik dan jangan sampai tertipu. Pula, andaikata kita sekarang menggunakan kekerasan, bagaimana engkau akan menghadapi para tokoh partai besar itu besok lusa?”

“Akan kuhancurkan gerombolan itu dan akan kupaksa mereka mengaku di depan para lo-cian-pwe bahwa Pek-lian-kauw yang melakukan semua pembunuhan itu!”

“Hemm, mudah dibicarakan akan tetapi tidak mudah untuk dilaksanakan. Pek-lian-kauw merupakan perkumpulan yang jahat dan licik. Bagaimana kalau mereka itu sempat meloloskan diri? Tetap saja Cin-ling-pai yang akan dituduh melakukan semua pembunuhan itu. Kita harus menangkap basah mereka, kita hadapi kelicikan mereka dengan siasat.”

Kui Hong diam-diam tertegun. Ia dapat melihat kebenaran ucapan kekasihnya. Biarpun hatinya tidak sabar, terpaksa ia mengangguk.

“Lalu apa yang akan kita lakukan, Hay-ko? Aku khawatir sekali akan keselamatan keluargaku.”

“Kita pergunakan Ciok Gun untuk memancing! Kalau tadinya Ciok Gun menjadi alat mereka, kini kita menyadarkan Ciok Gun hingga dia dapat membantu kita memancing mereka itu melanjutlan perbuatan mereka sampai besok lusa. Di depan para lo-cian-pwe itu, kita telanjangi mereka, kita buka rahasia mereka sehingga mereka tidak sempat mengelak atau melarikan diri.”

“Tapi, aku khawatir sekali akan nasib keluargaku!”

“Tidak perlu khawatir, Hong-moi. Mereka menawan keluargamu hanya dengan maksud agar keluargamu tidak sempat menghalangi rencana mereka.”

“Tapi, bagaimana kalau nanti suheng Ciok Gun mereka kuasai lagi? Bisa hancur berantakan semua siasatmu!”

“Jangan khawatir, Hong-moi. Kalung batu kemala ini akan mampu melindunginya dari pengaruh sihir orang-orang Pek-lian-kauw.”

Hay Hay mengeluarkan kalung itu lalu memasangnya di leher Ciok Gun, disembunyikan di balik bajunya.

“Terserah kepadamu, Hay-ko. Akan tetapi, hati-hati jangan sampai gagal. Ini menyangkut keselamatan kakek, ayah, ibu dan adikku, juga menyangkut nama baik Cin-ling-pai.”

“Aku mengerti, hong-moi jangan khawatir.”

Hay Hay lalu membebaskan totokan Ciok Gun. Murid Cin-ling-pai ini telah dibebaskan dari belenggunya, dan setelah totokannya bebas, dia tersadar, membuka mata, memandang dengan heran wajah Hay Hay yang tidak dikenalnya. Kemudian dia melirik ke kiri dan begitu melihat Kui Hong, dia cepat bangkit duduk dan memandang heran.

“Sumoi….. eh, Pangcu! Dimana kita? Apa yang terjadi dan siapa…… siapa saudara ini…..?”

Lega rasa hati Kui Hong. Dari sikap, pandang mata dan suaranya, jelas bahwa suhengnya telah kembali normal.

“Hemm, suheng Ciok Gun. Apakah engkau tidak ingat lagi apa yang telah kau lakukan selama ini sehingga engkau mencelakakan keluarga kong-kong dan membahayakan keadaan Cin-ling-pai?” tanya Kui Hong dengan suara penuh teguran.

Ditanya demikian, Ciok Gun termenung dan meraba-raba dahinya, mengingat-ingat. seperti bayangan yang samar-samar, ada sebagian peristiwa yang diingatnya, terutama sekali kakek gurunya, uwa gurunya dan keluarga Cia Kui Bu yang kini meringkuk dalam tempat tahanan! Dan begitu teringat akan keadaan dirinya, betapa dia tidak mampu menolak dan tunduk serta taat akan semua kehendak Tok-ciang Bi Moli yang hina, wajahnya berubah merah sekali.

“Pangcu, apakah yang telah terjadi? Seperti mimpi buruk saja ….. dalam mimpi itu aku melihat betapa kakek guru, juga ayah ibumu dan adikmu, menjadi tawanan dan aku … aku….. mengapa aku membantu iblis betina dan kawan-kawannya itu? Apa yang sesungguhnya terjadi atas diriku?”

“Tenanglah, Ciok-toako (kakak Ciok), engkau hanya menjadi korban kekuatan sihir dan bius orang-orang Pek-lian-kauw,” kata Hay Hay menghiburnya.

Ciok Gun memandang ke arah Hay Hay dengan alis berkerut.
“Siapakah engkau? Pangcu, apakah orang ini boleh dipercaya? Di Cin-ling-pai sekarang berkeliaran banyak orang jahat!”

Kui Hong makin maklum bahwa jalan pikiran suhengnya masih kacau.
“Ketahuilah, Suheng. Dia adalah Pendekar Tang Hay, sahabat baikku yang boleh dipercaya. Bahkan engkau dapat pulih kembali pikiranmu karena pertolongannya. Dia yang mengusir pengaruh sihir dan pembius yang tadinya meracunimu, dan membuat engkau menjadi hamba dan alat dari iblis betina itu dan kawan-kawannya.”

Mendengar ini, Ciok Gun segera memberi hormat kepada Hay Hay.
“Ah, maafkan aku, Tai-hiap (pendekar besar). Aku….. aku masih bingung…..”

“Toako, kau raba kalung yang kugantungkan di lehermu itu. Sembunyikan kalung itu baik-baik di balik bajumu. Mustika itu kupinjamkan kepadamu dan selama engkau mengenakan mustika itu sebagai kalungmu maka orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak dapat mempengaruhimu dengan sihir lagi.”

“Pek-lian-kauw …..?” Ciok Gun terkejut.

“Benar, suheng. Kita telah terancam oleh orang-orang Pek-lian-kauw. Seperti kau katakan tadi, ketika engkau masih dalam pengaruh sihir dan dicengkeram mereka, agaknya Pek-lian-kauw mengirim Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli untuk mengacau Cin-ling-pai. Mereka datang kesini dan entah dengan akal bagaimana mereka dapat menawan kong-kong, ayah, ibu dan adikku. Mereka dapat menguasaimu dengan bius dan sihir sehingga engkau menjadi alat mereka. Dan susiok Gouw Kian Sun mereka kuasai dengan jalan mengancam dia bahwa kalau dia tidak tunduk, maka keluarga Cia akan dibunuh!”

“Ah, aku ingat sekarang! Dalam mimpi buruk itu… aku …. Aku membantu mereka. Aku yang memancing dan menjebak….. ah, apa yang telah kulakukan? Benarkah semua itu terjadi? Aku….. aku menjadi pengkhhianat, aku membantu orang jahat menangkapi orang-orang yang kuhormati dan kumuliakan?”

“Semua itu telah terjadi, diluar kesadaranmu karena engkau terbius dan tersihir, Suheng. Dan bukan itu saja. Orang-orang Pek-lian-kauw telah memaksa Gouw Susiok menikah dengan Su Bi Hwa itu, dan juga mengadu domba Cin-ling-pai. Mereka membunuh dan memperkosa murid-murid para tokoh partai besar dan menggunakan nama murid Cin-ling-pai….”

“Ah, benar …..! Aku ingat sekarang! Aduh, Pangcu. Dosaku besar sekali. Aku mengaku berdosa, aku siap menerima hukuman. Hukumlah, bunuhlah aku, Pangcu. Dosaku tak dapat diampuni lagi…..”

Dan Ciok Gun, orang yang biasanya tenang dan pemberani itu, kini menangis seperti anak kecil!

“Ciok-taoko, hentikan tangismu yang tidak ada gunanya itu,” kata Hay Hay. “Engkau melakukan semua itu diluar kesadaranmu, oleh karena itu tidak perlu engkau menyesali perbuatanmu. Yang terpenting sekarang adalah melakukan sesuatu untuk menebus semua itu, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan untuk menyelamatkan Cin-ling-pai dan menghancurkan para penjahat. Maukah engkau membantu kami?”

Ciok Gun mengusap air matanya dan dengan penuh semangat dia berkata,
“Tang Taihiap, aku siap mengorbankan nyawaku untuk menebus dosa, untuk menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai!”

“Bagus! Kalau begitu, dengarkan rencana kami baik-baik.”

Mereka lalu berbisik-bisik mengatur rencana mereka seperti yang dikemukakan Hay Hay. Mereka tidak lama berunding disitu karena Hay Hay dan Kui Hong segera pergi meninggalkan Ciok Gun agar jangan sampai pertemuan mereka itu diketahui oleh orang-orang Pek-lian-kauw.

Perhitungan Hay Hay memang tepat. Tak lama setelah dia dan Kui Hong pergi, muncul Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu, Kim Hwa Cu dan Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa di hutan itu. Empat orang ini tadi berindap-indap memasuki hutan dan setelah mereka mengintai dan hanya melihat Ciok Gun seorang disitu, mereka segera berloncatan menghampiri.

Mereka melihat Ciok Gun dalam keadaan pingsan tertotok. Dengan gelisah Su Bi Hwa lalu membebaskan totokan itu dan Ciok Gun siuman kembali. Dia bangkit duduk dan memandang mereka dengan sikap biasa, siap menanti perintah! Akan tetapi, Su Bi Hwa masih merasa khawatir dan curiga, maka ia memberi isyarat kedipan mata kepada tiga orang gurunya.

“Ciok Gun, berdirilah engkau!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berseru dengan suara garang.

Bagaikan boneka hidup, Ciok Gun bangkit berdiri dengan tegak, wajahnya dingin, matanya tidak membayangkan perasaan dan sikapnya siap siaga. Bi Hwa maju menghampirinya, lalu merangkulnya dan mencium pipinya. Ciok Gun tetap tidak membuat gerakan melawan atau menyambut, seperti arca batu saja. Lalu Bi Hwa melepaskan rangkulannya dan mengayun tangan.

“Plakk!”

Keras sekali tamparan itu dan akibatnya, tubuh Ciok Gun terhuyung. Akan tetapi tetap saja dia tidak melawan, dan berdiri lagi dengan tegak.

Empat orang itu saling pandang dan mengangguk. Lalu Bi Hwa memegang tangan Ciok Gun.

“Ciok Gun, duduklah dan ceritakan apa yang telah kau alami ketika engkau diajak pergi Cia Kui Hong tadi.”


cerita silat online karya kho ping hoo


Mereka duduk diatas tanah berumput di bawah pohon dan Ciok gun bercerita dengan suara yang wajar, seperti biasa.


“Pangcu membawaku kesini dan ia memaksaku mengaku. Kukatakan bahwa aku tidak tahu apa-apa, bahkan disini semua biasa dan wajar. Ia membujuk dan mengancam, bahkan menghajarku, akan tetapi aku tidak mengatakan sesuatu diluar kehendak kalian. Ia menyerangku, menotok dan karena ilmu kepandaiannya tinggi, aku tertotok dan tidak ingat apa-apa lagi.”

Lan Hwa Cu mengangguk-angguk.
“Gadis itu memang lihai bukan main. Agaknya setelah merobohkan Ciok Gun, ia mencariku dan menyerangku. Ia berbahaya sekali.”

“Sebaiknya kalau kita tangkap gadis itu juga,” kata Kim Hwa Cu.

“Ya, dan berikan ia kepadaku. Akan kubebaskan ia dari keliarannya!” kata Siok Hwa Cu sambil tersenyum kejam.

“Aih, sam-wi Suhu terlalu sembrono. Serahkan saja kepadaku.”

“Ha-ha, Bi Hwa. Apakah engkau ditulari pengakit suheng Lan Hwa Cu? Dia seorang pria yang hanya suka kepada pria, tidak menyukai wanita. Apakah sekarang seleramu juga beralih kepada sesama wanita?” Siok Hwa Cu mengejek.

“Bukan begitu maksudku, ji Suhu (guru ke dua). Cia Kui Hong itu lihai ilmu silatnya. Hal itu lebih baik lagi. Kalian tentu ingat bahwa lusa adalah hari yang dijanjikan Kui Hong kepada para pemimpin partai-partai persilatan besar itu. Tentu akan terjadi pertandingan hebat dan kalau mereka saling bertanding, berarti mereka akan kehilangan tenaga. Kalau sudah loyo semua, mudah bagi kita untuk membabat mereka. Bukankah begitu? Untung bahwa Ciok Gun masih teguh dan menjadi pembantu kita yang setia. Rencana kita dilanjutkan. Kita menanti sampai lusa dan selama dua hari ini, kita tinggal bersembunyi saja dan pesan kepada anak buah agar jangan melakukan sesuatu yang akan menggoncangkan keadaan. Cia Kui Hong pasti tdiak akan menemukan apa-apa sampai esok lusa.”

“Bagus, dengan anak buah kita, kita akan berjaga-jaga. Kalau mereka semua sudah saling serang dan menjadi lemah, kita turun tangan,” kata Lan Hwa Cu. “Akan tetapi bagaimana dengan Ciok Gun? Kalau kita bertempur, tentu saja kami bertiga tidak dapat mengendalikannya.”

Bi Hwa menoleh kepada Ciok Gun yang duduk seperti patung. Selama berada dibawah pengaruh sihir tiga orang tosu itu, memang dia seperti boneka hidup dan hanya akan mengadakan reaksi kalau empat orang itu mengajaknya bicara.

“Ciok Gun!” kata Bi Hwa sambil memegang lengannya.

Ciok Gun menoleh dan memandang kepada Bi Hwa dengan pandang mata kosong.
“Apa yang dapat kulakukan untukmu, Moli?” tanyanya.

“Esok lusa kalau terjadi pertempuran, apa yang dapat kau lakukan untuk kami?”

“Aku akan membantu dengan taruhan nyawa!” katanya kaku.

“Membantu apa?”

“Apa saja! Kalau perlu, aku dapat menjaga para tawanan itu, atau membunuh mereka kalau kalian kehendaki,” kata pula Ciok Gun.

“Bagus!” tiba-tiba Lan Hwa Cu berkata. “Memang sebaiknya dia diberi tugas untuk menjaga dan membunuh mereka semua kalau sampai usaha kita gagal. Mereka itu berbahaya dan kita tidak dapat mempercayakan kepada anak buah kita. Ciok Gun yang paling tepat dan dapat diandalkan untuk menjamin agar mereka tidak sampai dapat meloloskan diri.”

Mereka semua bersepakat untuk mengatur siasat, yaitu membiarkan para tokoh partai persilatan besar memperebutkan kebenaran dan bentrok dengan Cin-ling-pai, apalagi kalau sampai gadis ketua Cin-ling-pai yang lihai itu terbunuh atau setidaknya terluka. Kalau sudah sejauh itu, membebaskan keluarga Cia juga tidak mengapa, bahkan lebih baik karena para tokoh Cin-ling-pai itu pasti tidak tinggal diam dan permusuhan akan menjadi semakin menghebat. Kalau sudah begitu, maka tugas mereka untuk mengadu domba dan menghancurkan Cin-ling-pai berhasil baik.

Akan tetapi, andaikata siasat mengadu domba itu gagal dan Cin-ling-pai tidak sampai bertempur melawan partai-partai lain, masih belum terlambat untuk membunuh para tawanan itu. Dan untuk tugas ini, Ciok Gun yang telah menjadi seperti boneka hidup itu pasti akan mampu melaksanakannya dengan baik. Asap beracun akan dapat disemprotkan dari luar kamar tahanan dan betapapun lihainya, keluarga Cia itu takkan mampu membela diri, apalagi melepaskan diri.

Hari yang telah dijanjikan Cia Kui Hong kepada para tokoh partai-partai besar itupun tiba. Pagi-pagi sekali, rombongan demi rombongan dari perkumpulan Bu-tong-pai, Kun-lun-pai, Go-bi-pai dan Siauw-lim-pai telah mendaki puncak dan menanti di pekarangan depan bangunan yang menjadi pusat perkumpulan Cin-ling-pai.

Sepuluh orang tokoh Go-bi-pai dipimpin oleh Poa Cin An. Yang Tek Tosu memimpin lima orang tosu Kun-lun-pai. Tiong Gi Cinjin memimpin tujuh orang Bu-tong-pai, sedangkan dari Siauw-lim-pai hanya dua orang saja, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Ki Hwesio. Wajah semua orang nampak tegang, juga banyak diantara para mereka yang nampak penasaran dan marah.

Cia Kui Hong juga sudah siap menyambut mereka. Puluhan orang anak buah Cin-ling-pai sudah menerima perintah untuk berbaris rapi di kanan kiri sepanjang pekarangan yang luas itu, dan diberanda juga berdiri murid-murid yang tingkatnya lebih tinggi, dalam keadaan siap siaga, tinggal menunggu perintah ketua mereka.

Para anggauta Cin-ling-pai yang baru, yaitu anak buah Pek-lian-kauw yang diselundupkan Bi Hwa dan dijadikan anggauta Cin-ling-pai, berkelompok membentuk barisan pula di sebelah kanan kiri pekarangan, bercampur dengan para anggauta Cin-ling-pai yang asli. Kui Hong tahu akan hal ini dan iapun diam saja, pura-pura tidak tahu. Akan tetapi ia yakin bahwa seluruh anggauta Cin-ling-pai yang asli mengenal dan mengetahui nama anggauta baru dan mana yang lama.

Selama dua hari itu, Bi Hwa bersikap ramah dan biasa, sama sekali tidak memperlihatkan sikap lain. Hanya Gouw Kian Sun yang nampak gelisah dan tak menentu, sedangkan wajah Ciok Gun tetap dingin dan acuh. Akan tetapi, pada pagi hari itu, Ciok Gun tidak nampak diantara para murid Cin-ling-pai.

Setelah para tamu berkumpul di pekarangan, terdengar suara canang dipukul disebelah dalam dan daun pintu yang tinggi, lebar dan tebal itu dibuka dari dalam. Semua tamu memandang ke arah pintu yang terbuka lebar itu dan dari dalam keluarlah Cia Kui Hong, di dampingi Gouw Kian Sun dan Su Bi Hwa.

Kui Hong nampak tenang saja, agung berwibawa. Gouw Kian Sun kelihatan pucat, muram dan gelisah, sedangkan isterinya yang melangkah di sampingnya kelihatan tersenyum-senyum manis sekali, dengan sepasang mata yang lincah.

Setelah tiba di luar, Kui Hong memandang ke kanan kiri, ke arah anak buah Cin-ling-pai dan iapun bertanya kepada mereka yang berdiri di beranda dan yang bersikap hormat kepadanya.

“Dimana suheng Ciok Gun? Kenapa aku tidak melihat dia disini?”

Para anggauta Cin-ling-pai saling pandang dan tidak ada yang tahu. Kui Hong mengerutkan alisnya dan iapun menoleh kepada Gouw Kian Sun.

“Susiok, kenapa aku tidak melihat Ciok-suheng? Dimana dia?”

Kian Sun melirik ke arah isterinya dan dia nampak bingung. Bi Hwa dengan cepat berkata,

“Ah, apa engkau lupa? Pangcu, saya lihat tadi Ciok Gun rebah saja di kamarnya karena dia merasa tidak sehat, demam.”

Kui Hong mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya dia sakit.”

Lalu dengan tenang ia melangkah terus menuruni beranda dan berhenti di ujung tangga menghadapi para tamu. Ia mengangkat kedua tangan ke depan dada memberi hormat.

“Kiranya cu-wi lo-cian-pwe (para orang tua gagah sekalian) telah berada disini. Selamat datang dan selamat pagi kami ucapkan.”

“Pangcu, sudah terlalu lama kami menanti. Kami telah memenuhi permintaan Pangcu untuk menanti lagi selama tiga hari. Nah, pagi ini kami datang menagih janji. Serahkan pembunuh puteriku itu kepada kami, dan kami tidak akan mengganggu Cin-ling-pai lebih lama lagi,” kata Poa Cin An.

“Kami juga minta diserahkannya pembunuh dari Gu Kay ek, murid kami!” kata Tiong Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai dengan suara galak.

“Serahkan para murid curang dari Cin-ling-pai kepada kami!” kata pula Yang Tek Tosu.

Hanya dua orang hwesio Siauw-lim-pai yang tidak mengeluarkan ucapan, akan tetapi merekapun memandang kepada Cia Kui Hong dengan sinar mata menuntut. Tuntutan mereka itu mendatangkan kegaduhan karena semua anggauta rombongan itu mengeluarkan suara penasaran.

Cia Kui Hong mengangkat tangan ke atas.
“Harap cu-wi tenang dan dengarkan baik-baik keteranganku. Aku jamin bahwa mereka yang berdosa pasti akan kuserahkan kepada cu-wi!”

Mendengar ucapan ini, tentu saja semua orang tertarik dan merekapun diam, memandang kepada gadis itu dengan sinar mata penuh harap.

“Cu-wi,” Kui Hong berkata, suaranya lantang sekali. “Tiga hari yang lalu ketika cu-wi menuntut, aku memang menjadi bingung dan tidak tahu apa yang harus kulakukan. Akan tetapi selama tiga hari ini aku melakukan penyelidikan dan semuanya kini sudah menjadi terang. Para pembunuh itu sudah berada diantara kita!”

Gouw Kian Sun memandang kepada gadis itu dengan sinar mata kaget dan heran, Su Bi Hwa mengerutkan alisnya. Semua tokoh persilatan itu makin tegang.

“Ketahuilah, cu-wi yang terhormat. Tidak ada seorangpun diantara murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan jahat, memperkosa dan membunuh itu. Kami Cin-ling-pai telah kebobolan! Empat orang tokoh Pek-lian-kauw bersama dua puluh orang anak buah mereka telah menyusup ke Cin-ling-pai dan menguasai pimpinan selagi aku pergi. Mereka menawan keluarga Cia dan mereka mengancam Gouw Susiok, juga membuat suheng Ciok Gun menjadi boneka hidup dengan bius dan sihir!”

Tentu saja ucapan ini membuat semua orang terkejut bukan main. Wajah Su Bi Hwa berubah pucat, lalu kemerahan. Kian Sun sendiri terbelalak memandang ketuanya, dan wajahnya pucat, sinar matanya penuh kegelisahan karena dia khawatir bahwa pembongkaran rahasia itu akan membahayakan keselamatan nyawa keluarga Cia.

Semua tamu terbelalak dan memandang tidak percaya, bahkan ada yang mengira bahwa gadis yang menjadi ketua Cin-ling-pai itu mencari alasan kosong untuk menghindarkan Cin-ling-pai dari tuduhan. Para murid Cin-ling-pai juga terkejut dan saling pandang. Dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw meraba gagang senjata mereka. Suasana tegang dan menggelisahkan.

“Sudah kujanjikan akan menyerahkan mereka yang berdosa. Bukan hanya satu orang dua orang, melainkan duapuluh orang anak buah Pek-lian-kauw dengan empat orang pimpinan mereka!”

“Omitohud……, keterangan Cin-ling-pangcu terlalu aneh untuk dapat diterima bagitu saja, Pangcu, tunjukkan mana orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau itu!” kata Thian Hok Hwesio dari Siauw-lim-pai.

“Tiga orang tosu Pek-lian-kau yang terkenal dengan sebutan Pek-lian Sam-kwi sampai sekarang masih bersembunyi, akan tetapi Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah berada disini! Ia memaksa susiok Gouw Kian Sun menjadi suaminya agar ia dapat mengendalikan Cin-ling-pai dari dalam! Inilah ia iblis betina itu!”

Melihat kenyataan betapa ketuanya sudah mengetahui segalanya, timbul bermacam perasaan di dada Gouw Kian Sun. Dia merasa lega karena ketuanya sudah tahu, akan tetapi berbareng gelisah karena keselamatan keluarga Cia terancam. Di samping itu, diapun merasa malu bahwa dia telah dijadikan alat dan terpaksa membantu iblis-iblis itu, dan merasa menyesal mengapa dia tidak dapat menghindarkan diri dari tekanan yang membuat dia berkhianat terhadap Cin-ling-pai. Saking marahnya, tiba-tiba dia berteriak marah dan menyerang “isterinya” yang berdiri di sebelahnya.

“Tok-ciang Bi Moli, aku bersumpah untuk mengadu nyawa denganmu!”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa sudah waspada. Tadipun dia sudah tahu bahwa permainannya telah diketahui orang. Akan tetapi ia masih tenang karena ia yakin bahwa keluarga Cia masih ada dalam kekuasaannya, ketua Cin-ling-pai dan semua anggautanya tidak akan berani melawannya.

Begitu melihat Kian Sun menyerangnya, karena ia sudah siap siaga sebelumnya, dengan mudah ia mengelak ke samping dan begitu kakinya menendang, dada Kian Sun tercium ujung sepatunya sehingga tokoh Cin-ling-pai ini hampir terjengkang!

Sebetulnya, dalam hal ilmu silat, tingkat Kian Sun seimbang dibandingkan iblis betina itu dan dia tidak akan mudah di kalahkan. Akan tetapi selama ini, Kian Sun menderita tekanan batin yang hebat, yang membuat dia lemah lahir batin sehingga gerakannya lambat dan kepekaannya berkurang.

Ketika dia dapat menguasai keseimbangannya dan hendak menyerang lagi, Tok-ciang Bi Moli sudah turun dari atas beranda itu, ke sebelah kiri dan ternyata ia telah berada dekat tiga orang tosu yang munculnya dengan tiba-tiba. Melihat tiga orang gurunya sudah berada disitu, muncul dari tempat persembunyian mereka, Su Bi Hwa tertawa bergelak karena hatinya menjadi besar. Suara ketawanya membuat semua orang memandang ngeri karena tawa itu mengandung kekejaman luar biasa.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya Cin-ling-pai masih ada orang yang cerdik. Engkau memang cerdik sekali, Cia Kui Hong. Akan tetapi kecerdikanmu tidak ada gunanya!”

Kui Hong memang sengaja belum turun tangan dan membiarkan saja wanita iblis itu bergabung dengan tiga orang tosu yang sekarang baru dilihatnya. Juga ia melihat betapa dua puluh orang anggauta baru Cin-ling-pai yang sesungguhnya adalah orang-orang Pek-lian-kauw kini telah memisahkan diri dan bergabung pula dengan empat orang pemimpin mereka. Kui Hong tersenyum mengejek.

“Pek-lian Sam-kwi dan Tok-ciang Bi Moli! Kedok kalian telah terbuka, dan semua locianpwe yang berada disini sekarang mengetahui siapa yang sesungguhnya melakukan semua kejahatan itu dan berusaha merusak nama baik Cin-ling-pai. Akan tetapi, kenapa kalian melakukan ini? Kenapa kalian berusaha menghancurkan Cin-ling-pai?”

Kembali Su Bi Hwa tertawa,
“Ha-ha-hi-hi-hik, kecerdikanmu masih picik, Pangcu! Sejak dahulu, semua pimpinan Cin-ling-pai selalu memusuhi Pek-lian-kauw. Entah berapa banyaknya anggauta kami yang tewas di tangan orang-orang Cin-ling-pai. Nenek moyangmu adalah musuh-musuh besar kami. Dan sekarang engkau masih bertanya kenapa kami memusuhi Cin-ling-pai?”

“Iblis betina busuk!” Gouw Kian Sun kini membentak lagi. “Engkau dan Pek-lian Sam-kwi harus kubasmi dari permukaan bumi ini!” Diapun sudah mencabut pedangnya.

“Jangan bergerak!” teriak wanita cantik itu. “Ingat, kalau kami diserang, maka semua keluarga Cia akan mampus! Mereka masih berada di tangan kami, dan setiap saat kami dapat memerintahkan Ciok Gun untuk membunuh mereka! Ha-ha-ha, Pangcu. Kunci kemenangan terakhir masih berada didalam tanganku!”

Kini bukan saja Su Bi Hwa yang tertawa, juga tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu tertawa karena mereka merasa yakin akan kemenangan mereka, mereka yang yakin bahwa dengan adanya kenyataan bahwa keluarga Cia masih mereka tawan, orang-orang Cin-ling-pai ini tidak akan berani menggunakan kekerasan terhadap mereka.

Mendengar ini, Kian Sun menahan gerakannya dan wajahnya menjadi pucat kembali. Apakah mereka tetap masih tidak berdaya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw itu?

Akan tetapi, Kui Hong tersenyum lebar.
“Iblis-iblis busuk dari Pek-lian-kauw. Hari kematianmu telah tiba dan kalian masih berani bicara besar?”

Kui Hong menoleh ke kiri dan semua menengok, juga empat orang tokoh Pek-lian-kauw dan duapuluh orang anak buah mereka itu. Dan muncullah Ciok Gun dengan pedang di tangan, bersama empat orang yang bukan lain adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song, Ceng Sui Cin, dan Cia Kui Bu!

Tentu saja semua tamu menjadi terheran-heran dan suasana menjadi berisik. Hanya Kui Hong seorang tersenyum-senyum karena tentu saja ia telah mengetahui segalanya. Ia bersama Hay Hay telah menjalankan siasat dengan tepat, dan dibantu oleh Ciok Gun dengan baik sekali.

Seperti yang direncanakan, Ciok Gun berhasil membujuk empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu untuk menjaga para tawanan dan kalau perlu membunuh mereka! Oleh karena itu, ketika semua orang Pek-lian-kauw hadir dalam pertemuan antara pimpinan Cin-ling-pai dan para wakil perkumpulan besar yang mendendam, Ciok Gun seorang tidak hadir karena dia bertugas menjaga para tawanan!

Setelah semua orang Pek-lian-kauw pada pagi hari itu pergi meninggalkan sarang rahasia mereka, meninggalkan Ciok Gun seorang diri saja di ruangan tahanan bawah tanah, Ciok Gun lalu membuka pintu tahanan dengan kunci yang dipegangnya.

Melihat masuknya Ciok Gun, kakek Cio Kong Liang yang tadinya duduk bersila dalam samadhi membuka matanya dan memandang kepada cucu murid itu dengan marah.

“Ciok Gun, murid murtad! Dosamu bertumpuk-tumpuk, tidak takutkah engkau menghadapi hukumanmu di neraka kelak?”

Kui Bu juga berdiri di depan Ciok Gun dengan kedua tangan terkepal dan mata mendelik.

“Ciok Gun, aku tidak mangakuimu sebagai suheng lagi! Engkau musuh besar kami, dan kelak kalau aku sudah besar, aku sendiri yang akan membunuhmu untuk membalaskan dendam ini!”

Ciok Gun memandang kepada anak itu dengan muka sedih, akan tetapi dia tidak menjawab ucapan mereka, melainkan diam saja dan dengan kuncinya dia membuka tempat tahanan Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin. Tentu saja semua orang itu terkejut dan heran, akan tetapi sebelum mereka sempat berbuat atau berkata sesuatu, Ciok Gun menjatuhkan diri dan membentur-benturkan dahinya dilantai.

“Teecu Ciok Gun telah melakukan dosa besar tanpa teecu sadari. Akan tetapi sekarang teecu telah sadar dan teecu membantu sumoi Cia Kui Hong untuk membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang menimbulkan semua kekacauan ini. Harap Su-kong, Supek, Supek-bo dan Adik Kui Bu mengikuti saya dan bersikap sebagai tawanan saya, sesuai dengan rencana yang telah diatur oleh sumoi Cia Kui Hong.”

Dia bangkit berdiri dan empat orang itu diam-diam girang bukan main. Kiranya Kui Hong telah pulang dan menyelamatkan mereka dengan menyadarkanCiok Gun.

Demikianlah, mereka yang “digiring” oleh Ciok Gun yang memegang pedang telah tiba di pekarangan markas Cin-ling-pai. Melihat munculnya Ciok Gun yang menggiring empat tawanan itu, Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya terkejut dan heran bukan main. Juga mereka melihat bahaya besar karena kini para tokoh Cin-ling-pai telah keluar dari tahanan!

“Ciok Gun, kuperintahkan kau! Bunuh empat orang tawanan itu dengan pedangmu!” teriak Su Bi Hwa dan tiga orang gurunya juga mengerahkan kekuatan sihir mereka untuk menguasai Ciok Gun.

Ciok Gun tidak memperlihatkan reaksi apapun mendengar ucapan Su Bi Hwa, akan tetapi ia melangkah menghampiri Su Bi Hwa dengan kepala tetap ditundukkan. Su Bi Hwa mengira bahwa Ciok Gun kurang dapat menangkap perintahnya, maka setelah Ciok Gun berada di depannya, ia berteriak lagi dengan suara melengking,

“Ciok Gun, pergunakan pedangmu …..!”

“Baik, kupergunakan pedangku!”

Tiba-tiba Ciok Gun menjawab dan memotong perintah itu. Pedangnya digunakan menusuk ke arah dada Su Bi Hwa! Wanita ini terkejut bukan main! Akan tetapi ia memang lihai, dan biarpun serangan itu amat tiba-tiba dan tidak tersangka-sangka datangnya, ia masih dapat melempar tubuh ke belakang, berjungkir balik dan terhindar dari tusukan pedang.

“Jahanam busuk kalian! Mampuslah!” Ciok Gun membentak dan kini menyerang ke arah tiga orang tosu Pek-lian-lauw.

“Suheng, jangan…..!”

Kui Hing berseru karena ia tahu betapa lihainya orang-orang Pek-lian-kauw itu. Namun Ciok Gun yang merasa menyesal, sedih dan sakit hati sekali kepada orang-orang Pek-lian-kauw, tidak memperdulikan teriakan itu dan ia menyerang mati-matian.

Tiga orang tosu itupun terkejut melihat kenyataan bahwa murid Cin-ling-pai yang tadinya telah menjadi robot bagi mereka, kini tidak mau mentaati perintah, bahkan menyerang mereka dengan dahsyat!

Tiga orang Pek-lian-kauw itu kini mengerti bahwa pengaruh sihir mereka terhadap Ciok Gun telah lenyap, entah bagaimana, dan tidak perlu lagi mencoba untuk menguasainya. Maka, melihat Ciok Gun menyerang dengan pedang, mereka bertiga menggerakkan tangan menyambut. Ada yang menangkis pedang dengan kebutan, dan ada pula yang menyerang.

“Tranggg…. Dukkk……!”

Pedang di tangan Ciok Gun terlempar dan tubuh murid Cing-ling-pai itupun terjengkang. Darah muncrat dari mulutnya dan dengan sepasang mata mendelik memandang ke arah empat orang Pek-lian-kauw itu, Ciok Gun roboh dan tewas seketika. Dua pukulan yang diterimanya dari Lan Hwa Cu dan Siok Hwa Cu selagi Kim Hwa Cu menangkis pedangnya, terlampau hebat bagi murid Cin-ling-pai itu dan nyawanya terengut seketika.

Melihat ini, marahlah Kui Hong. Ia sendiri tidak menyangka bahwa Ciok Gun akan senekat itu. Padahal menurut siasat yang telah direncanakannya bersama Hay Hay, Ciok Gun hanya bertugas pura-pura dalam keadaan masih terpengaruh sihir agar dia ditugaskan menjaga tawanan, kemudian pada pagi hari itu membawa para tawanan ke Cin-ling-pai untuk membuka kedok orang-orang Pek-lian-kauw. Ia sama sekali tidak menyangka bahwa Ciok Gun yang merasa berdosa dan menyesal, telah mengadu nyawa dan tewas di tangan tiga orang tosu Pek-lian-kauw yang lihai itu.

Sebelum ia melakukan sesuatu, tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu telah mengangkat kedua tangan ke atas dan Siok Hwa Cu memimpin dua orang saudaranya, mengeluarkan suara memerintah yang mengandung getaran kuat sekali.

“Haiii, orang-orang Cin-ling-pai. Di sebelahmu terdapat musuh! Seranglah musuh terdekat sebelum kalian diserang!”

Terjadilah keanehan. Para anggauta Cin-ling-pai tiba-tiba bergerak dan saling pukul! Terjadi kekacauan dan pada saat itu, tiba-tiba terdengar suara orang yang tertawa bergelombang, disusul suara yang nyaring melengking.

“Saudara-saudara Cin-ling-pai, jangan menyerang saudara sendiri!”

Dan para murid Cin-ling-pai kini terbelalak melihat bahwa mereka sedang berkelahi melawan saudara seperguruan sendiri. Tentu saja mereka semua menghentikan gerakan dan memandang bingung.

Yang tertawa dan berteriak itu adalah Hay Hay. Kini dia menghampiri tiga orang tosu dan Su Bi Hwa sambil tersenyum-senyum. Pek-lian Sam-kwi terkejut sekali ketika mendengar suara ketawa itu dan melihat betapa pengaruh sihir mereka membuyar begitu pemuda yang memakai pakaian biru dan sebuah caping petani lebar itu muncul. Melihat pemuda itu menghampiri mereka sambil tersenyum-senyum, Siok Hwa Cu yang berperut gendut menyambut dengan bentakan.

“Anjing dari mana berani datang menentang kami?”

Dia memberi isyarat kepada dua orang saudaranya dan tiga orang Pek-lian-kauw itu mengerahkan kekuatan sihir mereka, memandang wajah Hay Hay dan Siok Hwa Cu menunjuk ke arah muka pemuda itu sambil berseru nyaring.

“Engkau anjing yang baik, hayo merangkak dan menggonggong!”

Dalam suara ini terkandung getaran yang amat kuat karena bukan hanya tenaga Siok Hwa Cu seorang yang mendukung suara itu, melainkan tenaga sihir mereka bertiga dipersatukan.

Hay Hay merasa betapa kekuatan yang dahsyat memaksanya sehingga dia tidak dapat mempertahankan lagi dan diapun jatuh berlutut dan berdiri dengan kaki dan tangannya seperti seekor anjing!

Melihat ini, Ceng Sui Cin marah bukan main. Tahulah pendekar wanita yang galak ini bahwa tiga orang Pek-lian-kauw mempergunakan sihir. Akan tetapi selagi ia hendak ke depan untuk menyerang, lengannya disentuh Kui Hong yang sudah berdiri di dekatnya.

“Ibu, biarkan saja. Hay-koko akan sanggup melayani sihir mereka.”

Ceng Sui Cin dan suaminya, Cia Hui Song, memandang puteri mereka dengan heran. Puteri mereka menyebut Hay-koko dengan suara yang demikian mesra. Dan merekapun ingin sekali melihat bagaimana pemuda bercaping lebar itu akan mampu menghadapi kekuatan sihir tiga orang Pek-lian-kauw! Padahal kini pemuda itu telah merangkak seperti anjing.

Tang Hay atau biasa disebut Hay Hay bukanlah pemuda biasa. Bukan saja dia telah mewarisi ilmu-ilmu silat yang tinggi, akan tetapi juga dia pernah menjadi murid Pek Mau San-jin dan digembleng dengan ilmu sihir yang kuat sekali. Biarpun demikian, andaikata kemudian dia tidak bertemu Song Lojin yang membuat semua ilmunya, baik silat maupun sihir, menjadi semakin matang, kiranya akan sulit baginya untuk dapat melawan kekuatan sihir gabungan dari Pek-lian Sam-kwi.

Kini, ketika merasa betapa dia hampir lumpuh dan sudah jatuh berlutut, bahkan ada dorongan kuat agar dia menggonggong seperti anjing, diapun teringat akan pelajaran yang diterimanya dari Song Lojin dalam keadaan seperti itu.

Dia meraba dan menekan tengah dahinya sambil memusatkan kekuatan batinnya, dan seketika diapun pulih dan dapat mengatasi pengaruh yang menekannya. Dan diapun, dalam keadaan masih merangkak, tertawa bergelak! Suara ketawanya menggetarkan jantung semua orang.

“Ha-ha-ha-ha-ha! Kalian ini Pek-lian Sam-kwi dan juga Tok-ciang Bi Moli empat orang Pek-lian-kauw mengajak aku bermain menjadi anjing? Ha-ha-ha-ha-ha, memang kalian berempat bersemangat anjing! Mari kita bermain-main, kalau aku mengonggong, kalian mulailah saling berlumba memperebutkan anjing betina itu dan saling serang. Hayo, mulailah!”

Semua orang melihat betapa dalam keadaan masih berdiri dengan kaki tangan, Hay Hay mulai mengeluarkan suara seperti seekor anjing menggonggong. Suaranya keras dan memang mirip anjing menggonggong!

“Hung-hung-haunggg …… huk-huk-hunggg ……!”

Dan semua orang terbelalak. Mereka melihat betapa Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa dan tiga orang Pek-lian Sam-kwi itu tiba-tiba saja berlutut dan merangkak-rangkak seperti juga yang dilakukan Hay Hay! Dan terjadilah hal yang aneh sekali. Tiga orang tosu itu merangkak dan berloncatan hendak menerkam Su Bi Hwa yang menyalak-nyalak dan menyingkir, dan tiga orang tosu itu kini saling serang seperti tiga ekor anjing jantan memperebutkan anjing betina!

Dan Hay Hay terus menggonggong. Makin keras gonggongannya, makin hebat pula tiga orang tosu itu saling serang, saling gigit sampai pakaian mereka koyak-koyak! Sedangkan Su Bi Hwa merangkak-rangkak sambil menyalak-nyalak!

Sungguh merupakan penglihatan luar biasa sekali. Jika ada tosu yang terkena gigitan lawan, diapun menguik-nguik seperti anjing tulen yang kesakitan! Kalau tadi semua orang nonton dengan heran, kini mereka mulai tertawa dan terpingkal-pingkal melihat peristiwa aneh yang lucu itu.

Setelah merasa cukup mempermainkan empat orang tokoh Pek-lian-kauw itu, Hay Hay meloncat berdiri dan diapun tertawa. Begitu dia menghentikan suara menggonggong seperi anjing, otomatis empat orang tokoh Pek-lian-kauw itupun menghentikan gerakan mereka.

Su Bi Hwa melompat berdiri dengan muka pucat memandang ke arah Hay Hay. Tiga orang tosu itupun berloncatan berdiri. Muka mereka merah sekali dan mereka berusaha untuk membereskan pakaian mereka yang koyak-koyak. Ketiganya saling pandang, kemudian menghadapai Hay Hay dengan marah bukan main. Mereka menyadari bahwa mereka berhadapan dengan seorang pemuda yang memiliki kekuatan sihir yang amat hebat sehingga mereka bertiga pun tidak mampu melawannya dan dibuat malu di depan banyak orang!

Tanpa banyak cakap lagi, Kim Hwa Cu yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning itu telah mencabut senjatanya, yaitu sepasang pedang. Gerakannya diikuti Siok Hwa Cu si perut gendut bertubuh pendek bermuka hitam itu yang mencabut sepasang golok besar, Lan Hwa Cu, orang pertama dari Pek-lian Sam-kwi, juga sudah mengelurkan senjatanya, yaitu sabuk dan ujungnya bola dan bintang baja.

Sementara itu, Tok-ciang Bi Moli maklum bahwa keadaan pihaknya terancam bahaya. Tidak ada lagi sandera, tidak ada lagi kekuatan sihir yang dapat di andalkan. Kini merekalah yang terjepit dan terancam, dan satu-satunya jalan hanyalah membela diri dan mencoba untuk lolos dari tempat itu! Maka, iapun sudah mencabut pedangnya, lalu meloncat ke depan Kui Hong sambil membentak nyaring.

“Cia Kui Hong, bagaimanapun juga, masih belum terlambat bagiku untuk membunuhmu sebagai ketua Cin-ling-pai!” berkata demikian, pedangnya sudah meluncur ke arah dada ketua Cin-ling-pai itu.

Kui Hong memang sudah siap siaga, maka iapun tadi sudah mencabut sepasang pedangnya.

“Tranggg….. !!” nampak bunga api berpijar dan Su Bi Hwa merasa betapa lengan tangannya bergetar hebat.

“Hemm, iblis betina. Engkaulah yang akan kukirim ke neraka, tempat yang cocok dan tepat untukmu!” kata Kui Hong dan iapun melanjutkan dengan teriakan perintah kepada anak buahnya.

“Para murid Cin-ling-pai, cepat basmi gerombolan Pek-lian-kauw yang menyusup menjadi anggauta Cin-ling-pai!”

Para murid Cin-ling-pai yang jumlahnya lima puluh orang lebih itu segera berteriak-teriak dan mereka menyerbu dua puluh orang anak buah Pek-lian-kauw yang tadinya mereka sangka sebagai anggauta-anggauta baru pilihan ketua dan isteri ketua!

Terjadilah pertempuran yang seru karena orang-orang Pek-lian-kauw yang menjadi anak buah Pek-lian Sam-kwi juga orang-orang yang lihai, dan mereka merasa sudah tersudut sehingga mereka melawan mati-matian.

Adapun Pek-lian Sam-kwi sendiri maju mengepung Hay Hay yang amat mereka benci karena mereka tadi dipermainkan dengan sihir menjadi tiga ekor anjing yang saling terkam.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.



No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12