Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 07
Akan tetapi,
nampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin,
sudah berada dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui
Song menghadapi Lan Hwa Cu, sedangkan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu.
Suami isteri
pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak
gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Hay Hay sendiri sudah menyambut
serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam.
Melihat
betapa ternyata Cin-ling-pai tidak bersalah, dan yang melakukan semua
pembunuhan, perkosaan dan semua perbuatan jahat adalah orang-orang
Pek-lian-kauw yang menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai
persilatan besar menjadi marah sekali.
Maka, begitu
melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu duapuluh orang gerombolan
Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi, para tokoh itu segera mengamuk dan membantu
orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggauta Pek-lian-kauw yang tentu saja
menjadi semakin terdesak.
Tok-ciang Bi
Moli menjadi gentar. Baru sekarang ia bertemu tanding yang benar-benar membuat
ia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi
lawannya itu memang lihai bukan main, dan pantas menjadi ketua Cin-ling-pai.
Kiranya Cia
Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu
Gouw Kian Sun. Sudah mati-matian Su Bi Hwa melakukan perlawanan, bahkan ia
perkuat dengan kepandaian sihirnya, namun semua itu percuma saja. Tidak ada
serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan
ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan makin lama ia semakin terdesak.
Tadinya Su
Bi Hwa mengharapkan bantuan tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika ia dapat
melirik ke arah mereka, ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan
mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua,
juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin
mengharapkan bantuan mereka. Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik.
Dengan sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat ia
sudah dapat mencari jalan keluar.
Su Bi Hwa
kini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur
atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang
amat berbahaya itu.
Ketika Kui
Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pedang
kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan loncatan ke atas lalu ke
belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset dan iapun jatuh terpelanting. Ia
bergulingan dan tangan kirinya bergerak.
Jarum-jarum
beracun meluncur ke arah Kui Hong. Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan
semua jarum itu runtuh. Ia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan ia
hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa
telah meloncat ke dekat Kui Bu dan anak itu sudah di tangkap dan dipanggulnya
dengan tangan kiri!
Kiranya
iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu. Ayah dan ibu
anak itu sedang bertanding melawan dua orang diantara Pek-lian Sam-kwi, dan
kakek Cia Kong Liang juga ikut membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan
menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw.
Dalam
keributan itu, tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang
mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya
tinggal menanti saat terbasmi saja?
“Kalau kau
kejar, akan kubunuh anak ini!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan
diri.
Kui Hong
tertegun! Dalam keadaan terancam seperti itu, ia tahu bahwa iblis betina itu
bukan hanya menggertak kosong. Tentu akan benar-benar dibunuhnya Kui Bu kalau
ada yang berani menghalangi larinya.
Baru saja Su
Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter,
tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya
dan bayangan itu nekat merangkul pinggangnya sehingga terseret sampai beberapa
meter.
“Lepaskan,
keparat!”
Su Bi Hwa
berseru, akan tetapi bayangan itu yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun, sudah
menangkap kedua lengannya dan menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka
pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu terjatuh dan anak yang
sudah tahu akan bahaya itu sudah menggelundung lalu meloncat dan lari.
Dengan
kemarahan meluap, Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya dan sekali pedangnya
berkelebat, tubuh Kian Sun terkulai mandi darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar
Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya.
Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri.
Kui Hong
hendak mengejar, akan tetapi melihat keadaan Kian Sun, ia berhenti dan
memeriksa. Akan tetapi ia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan
lagi.
“Gouw Susiok
…..” katanya sedih.
“Pangcu….
aku….. aku berdosa…… aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu…… maafkan
aku…. lebih baik aku mati….” katanya dengan sukar dan lehernya terkulai.
Gouw Kian
Sun tewas. Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tidak bersalah.
Kalau Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal
ini dilakukan hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah
disandera. Dan memang sebaiknya kalau susioknya tewas. Itu merupakan jalan
keluar terbaik. Ia dapat membayangkan betapa kalau terus hidup, susioknya akan
selalu menderita batin hebat sekali. Bagaimanapun alasannya, tetap saja dimata
orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah
melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh
kang-ouw menjadi saksi! Namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang
memalukan.
Kim Hwa Cu
yang ditandingi Ceng Sui Cin, sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan.
Biarpun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan
lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu meringankan tubuh
yang membuat tubuhnya ringan dan selincah burung walet, sepasang pedang Kim Hwa
Cu tak dapat berbuat banyak.
Tubuh nyonya
yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang.
Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, beberapa kali Kim Hwa Cu
terkena tamparan yang amat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia
sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi selalu gagal karena
setiap kali dia menggunakan sihirnya, selalu pemuda bercaping itu
membuyarkannya dengan suara atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang
lawan dengan paku beracun, namun inipun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu
dapat mengelak.
Pedang kiri
di tangan Kim Hwa Cu telah terlepas dan terlempar, dan karena maklum bahwa dia
tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan
pedang kanannya.
Tosu
Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan
pedang pasangan, diapun memiliki sinkang yang dapat membuat lengannya mulur
panjang. Masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya paku beracun yang
berbahaya, juga ilmu sihirnya yang waktu itu sama sekali tidak dapat dia
pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay. Mukanya yang kekuningan itu
kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimanapun juga, dia mulai merasa
gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai
itu. Tadi, menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apalagi sekarang
pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur.
Adapun Lan
Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti
raksasa akan tetapi yang gerak-gerik dan suaranya seperti wanita itu, juga
repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan
senjatanya yang berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi
bola baja dan bintang baja.
Sabuknya
menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan
bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara bersuitan ketika senjata itu
menyambar-nyambar, namun lawannya adalah seorang pendekar yang sudah memiliki
ilmu kepandaian yang matang.
Cia Hui Song
bukan saja murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi
juga semua ilmunya disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang
Siang-kiam Lo-jin, seorang diantara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia
persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song memiliki gin-kang yang hebat
sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua
serangannya luput.
Akan tetapi,
Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau
hanya dilawan dengan tangan kosong. Maka, ketika pada suatu saat, kedua ujung
sabuk itu, yaitu bola dan bintang baja menyambar dari kanan kiri, dia melompat
dengan lemparan tubuh ke belakang, berpok-sai (bersalto) sampai lima kali ke
belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah, dia sudah menyambar sebatang
senjata toya yang berada di atas tanah.
Banyak
senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah
roboh dan tewas atau terluka berat. Dengan toya ditangan, dia menyambut
datangnya lawan yang sudah mengejar dan menyerang lagi. Begitu dia menggerakkan
toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut.
Toya itu
tidak takut akan sabuknya. Bahkan ketika dia sengaja melilitkan sabuknya pada
toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan menotok ke arah
dadanya! Dia terpaksa melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang.
Namun, kini dia terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah
menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tak lama kemudian,
punggungnya kena dihantam toya sehingga dia menjerit seperti wanita, jatuh
bergulingan. Akan tetapi karena memang dia kebal, dia dapat meloncat bangun dan
menyerang mati-matian.
Tosu
Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut
pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu paling lihai diantara Pek-lian
Sam-kwi. Biarpun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak
cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga mempunyai sin-kang yang
amat dahsyat. Kalau dia sudah berjongkok dan mengeluarkan sin-kangnya, tiada
ubahnya seekor katak buduk yang besar dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi
berkokok, sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun!
Selain ini,
diapun amat kejam, senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan
huito (pisau terbang). Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu rambutnya. Rambut
yang sudah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat ia
pergunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dia seperti dua orang
saudaranya, diapun seorang ahli sihir.
Akan tetapi
lawannya adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata
Keranjang. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki tingkat kepandaian yang amat
hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu
sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung
menjadi satu! Tentu saja kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, Hay Hay
dapat mempermainkan sesuka hatinya.
Andaikata
dia dikeroyok tiga sekalipun, belum tentu dia kalah. Apalagi satu lawan satu.
Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan di pihak Cin-ling-pai, Hay
Hay pun tidak segera merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apalagi
ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir, dan banyak
anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan dan hanya menjadi
penonton, dia semakin mempermainkan lawannya.
“Heii, kodok
buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba
mengacau Cin-ling-pai? Sungguh tak tahu diri. Hayo keluarkan semua
kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kiri dan
ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu.
“Blukk!”
Dan Siok Hwa
Cu terhuyung ke belakang, Hay Hay sengaja memegangi kaki kanannya yang
menendang tadi, berjingkrak seperti orang kesakitan.
“Aduh,
perutmu memang keras dan bau! Ihhh!”
Melihat
kelucuan ini, para murid Cin-ling-pai tertawa-tawa. Wajah Siok Hwa Cu menjadi
merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia
maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai
kekuatan sihir yang hebat. Maka, kini dia menggigit golok besarnya dan kedua
tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay
ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher
sampai kaki!
Kalau dia
mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada
yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan
mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay
mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan
caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau
terbang itu menancap pada capingnya!
“Wah, terima
kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat
kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”
Kembali
semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin
marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang
ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya
itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah
caping!
Dengan marah
dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang
digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok
besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya.
Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar
ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk
memenangkan pertandingan ini.
Terkejut dan
kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba
segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh
uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh
dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini
rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya
sekali.
Hay Hay
melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan
bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil
menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan
mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah
lengannya yang sudah terbelit rambut.
“Hemmm …..!”
Hay Hay
menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang
terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya
sekali.
“Ihh, kodok
tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan
diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.
Golok
menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar
saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay
cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya
yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.
“Brettt!”
Sebelum Siok
Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan
buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.
“Heiii,
siapa mau membeli ekor babi?”
Dia
menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi
penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa
senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang
lihai itu.
Siok Hwa Cu
hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia
menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah
sekali.
“Haiiii,
sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas.
Siok Hw Cu
mengejar dengan goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua
kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di
bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung
hinggap diatas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga
khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian
berbahaya.
Melihat
pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir
tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya
meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah
kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu!
Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah
melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.
Sepasang
mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah
menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu
yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk
membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu
Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh.
Hay Hay
meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah
pergelangan tangan yang memegang golok, golok itupun terlepas dan jatuh ke atas
tanah.
Kembali
semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat
betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum.
Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton.
Kiranya
pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah
berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi
tontonan!
Hay Hay
memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan
atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia
hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk
memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar
sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini.
Dia sama
sekali tidak tahu betapa diantara para penonton, terdapat beberapa penonton
yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia
Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang
tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak.
Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh,
tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam
mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong
itu.
Kui Hong
yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan
Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan
diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum
tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang
sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, iapun diam saja dan hanya menonton.
Seluruh anak
buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya
Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas
di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya.
Kini diantara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi,
yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay.
Seluruh
anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton
perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti
mendapat hiburan segar.
Siok Hwa Cu
juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda
itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini
golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan
sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia
merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru
sambil memencet hidung dengan tangan kananya.
“Hai, kodok
buduk, kalau kau mau buang air besar jangan disini! Kotor dan bau menjijikkan!”
Tentu saja
para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa
yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apalagi
melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa
yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu.
“Jahanam
sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh
tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara
berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya
didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.
“Kok-kok-kokk!”
Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.
Hay Hay yang
ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok
dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua
tangan didorongkan ke depan dan diapun mengeluarkan suara seperti lawannya.
“Kok-kok-kokk!”
Diam-diam
Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu
pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh
mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga.
“Dukk!!”
Dua pasang
telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh
Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri.
Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya
main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan
serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu
saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling.
Kalau Hay
Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya.
Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan
mengaku kalah atau menyerah.
“Hei, katak
buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku
akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”
Akan tetapi
Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan
Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya
terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan
Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.
“Sampai
matipun aku tidak sudi minta ampun!”
Bentaknya
dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak
mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan
seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!
“Heii, mau
berak lagi?”
Hay Hay
mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk
ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk.
Hay Hay
melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala
untuk menyerangnya! Diapun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu
dengan perutnya!
“Capp!”
Kepala itu
menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbelalak khawatir akan keselamatan
pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu
termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay.
Hay Hay
menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya
saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke
dalam lumpur yang mendidih panas!
“Pergilah!”
Hay Hay
mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh
Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah.
Tosu
Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak
rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan
menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada
tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba
dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.
“Krekkk!”
Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan diapun tewas seketika.
Banyak anak
buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil
tersenyum girang.
“Hay-ko,
mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!”
Hay Hay juga
tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song
dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar
akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan,
diapun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap
sopan dan wajah berseri.
“Saya telah
banyak mendengar nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung
sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan
cu-wi (anda sekalian).” katanya.
“Kong-kong,
Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini
kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini
adikku Cia Kui Bu.”
Kembali Hay
Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap
sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat
mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka
cukupp tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda
itu, maka merekapun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang
menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata
tenang.
“Orang muda,
engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.”
“Ah, harap
Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan
biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau
bertemu dengan saya dimanapun tentu mereka akan saya tantang karena mereka
selalu melakukan kejahatan-kejahatan.”
“Ayah, Ibu,
aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari
lamanya.”
Suami isteri
itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab.
“Baiklah,
antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan
tempat ini.”
“Benar, Kui
Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song.
Melihat
sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu
saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja
dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga
Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan
yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.
Para wakil
dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi
saksi dan merekapun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata
Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga
Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai
dan partai-partai persilatan besar. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak
bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka
ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan merekapun ikut pula membasmi
anak buah Pek-lian-kauw.
Juga mereka
ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay
dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka merekapun
tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang
mengenal Hay Hay.
Dua orang
hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah
mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu,
dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk
Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu,
namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat
menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai!
![cerita silat online karya kho ping hoo](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjExKMCMxytazKB2t23rkFbH7i7o-CtPAh3uiefxIYNE6lfyYDU5awhbS43Q8rQ_o-X0HLbUj84DIUAdUyJ4Zp9bo0SukyttDyzg4vMBRVexsfWwcUVYjOOrGjvICtoxSkqYyM5j6q7JGE/s320/Jodoh+Si+Mata+Keranjang-790133.jpg)
Cia Kong
Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk
menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan
merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar
untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat
Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan.
Karena
merasa bahwa merekapun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang
sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan.
Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka
masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan
berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan
rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata
kepada Hui Song.
“Kami
mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan
orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya,
akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang
demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan
puteri taihiap dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga
masih salah duga."
“Pendekar
Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil
memandang dengan alis berkerut.
Tiong Gi
Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu.
“Apakah
li-hiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi….”
“Ah, kau
maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang
mengenal dia?” tanya Sui Cin.
“Tentu saja
kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai
pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang
memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira
Ang-hong-cu.”
“Ang-hong-cu?”
Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?”
“Maklumlah,”
kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang. “Sikapnya selalu merayu
wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki
Pendekar Mata Keranjang.”
“Dan
ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yabg terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin.
“Bukan dia,
melainkan ayah kandungnya.”
“Ahhh….?”
Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu.
“Dia…. dia putera Ang-hong-cu?”
Ting Gi
Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama
orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang
baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi
kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena
tidak sanggup mengalahkannga dengan keroyokan.
“Ang-hong-cu
bernama Tang Bun An, dan dia seorang diantara banyak anak-anaknya yang lahir
dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka
sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil
menangkap mendiang Ang-hong-cu.”
“Hemm,
Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh.”
“Mereka
berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh
diri. Sudahlah, taihiap dan lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi
karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa.
Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan
Cia-pangcu, puteri taihiap. Selamat tinggal.”
Tiong Gi
Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya
suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka
kepada pemuda itu.
“Pantas saja
dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia seorang mata keranjang,
putera penjahat besar Ang-hong-cu!”
“Dan dia
yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata
Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.”
“Sudahlah
kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan
mengapa pemuda itu ikut datang kesini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah
seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,” kata Sui Cin.
Setelah
selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, merekapun kembali ke dalam rumah
mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay
Hay.
“Untung ada
engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku
sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan
memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata
Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah
keluarga Cia.
Hay Hay
tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu.
“Hushh,
diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama
saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar
sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.”
“Kau tidak
tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan.
Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami,
setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap angauta kami yang menjadi
pangcu seperti aku sekarang ini.”
Wajah Hay
Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam
wajah kekasihnya.
“Akan
tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus
teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu.”
Sinar mata
gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay.
“Apa yang
kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?”
“Mereka
semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan
pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena
mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan
karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal
itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan
mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang
lain.”
“Tidak!
Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua
Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, diapun bersikap demikian.
Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang
tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu
membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami
semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup
itu.”
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing
baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata,
“Tentu saja
engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan
melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi
oleh kewajiban dan tugas yang berat.”
Kui Hong
menunduk dan menarik napas panjang.
“Tadinya
akupun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan
menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri
merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang
terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa
aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur
Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali.”
“Biarpun
sudah menikah?”
“Apa
salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?”
“Dan
suamimu….. eh, aku?”
“Dengan
sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan,
Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin
akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang
dahulu.”
Hay Hay
tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki
ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia
merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati
kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin
bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak
terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai.
Karena
kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit
berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu.
Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena
sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.
Cia Kong
Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun
tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk
penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang
juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan
banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia
tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak
kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui
bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai.
Akan tetapi,
Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui
Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya
sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama
sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas
kepalanya.
Hanya Cia
Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata
ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap
orang-orang yang berterima kasih walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan
terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang
dikasihinya, bukan keluarga Cia atau Cin-ling-pai.
Kui Hong
juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan
merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan
tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay!
Biarpun
hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya,
namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya
ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!
“Enci hebat!
Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan
selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat
itu!”
Kui Hong
tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya,
“Kelak
engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon
ketua Cin-ling-pai yang hebat!”
Mendengar
ini, Cia Kong Liang berkata,
“Mudah-mudahan
saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak
oleh para jahanam itu.”
Kui Hong
memandang kepada ayahnya.
“Ayah,
apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh
menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita
dengan tuduhan-tuduhan berat!”
“Hemm,
jangan engkau berkata begitu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas.
“Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka diantara
orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan
menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa
Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah
dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama
baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras
terhadap semua murid dan anggauta.”
“Nanti
dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tidak
sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita
bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari
partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang
tuanya?”
Biarpun
pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap
wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa
pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya.
Sui Cin
sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan kangsung saja bicara
tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena
pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Tentu saja sebagai seorang
ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera
seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu.
Kui Hong
memandang ibunya, iapun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya,
ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa
Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga nama baik
Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya,
bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti
orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak
percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi.
“Hay-ko,
engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas.
Sengaja ia
memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga
kakeknya tahu akan kejengkelannya itu.
Akan tetapi
Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah
memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk
menghadapinya, seperti panitya hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata
dengan lembut.
“Saya mohon
maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai
bahwa saya dengan lancang berani datang kesini dan mencampuri urusan
Cin-ling-pai.”
“Hay-ko,
engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga
Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata
setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.
“Kui Hong,
kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak
bersikap begini kasar?”
Hui Song
menegur puterinya. Mendapatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah
dan mulutnya cemberut.
“Ayahmu
benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang
tuanya. Bukankah ini wajar?” kata ibunya.
“Hemm, sikap
kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong.
Akan tetapi
karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan
antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi masih tersenyum saja, walaupun
disudut hatinya, diapun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal
berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau
diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu.
“Kalau cu-wi
(anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum
pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa
keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi
keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali
ini saya menyebut nama mereka…..”
“Hay-ko,
kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan
bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa
guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu
memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru,
hatinya mulai terasa pahit.
“Kui Hong,
engkau ini kenapa sih?” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu
hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak kesini, hal itu kurasa wajar
saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?”
Kini Kui
Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan
galak seperti ibunya, suka berterus terang.
“Kong-kong,
siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena kuajak,
kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan
tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan
membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang
kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan
sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan
kejahatan!”
Hui Song dan
isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka
bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak
patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan
Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka
mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan
Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.
Melihat yang
terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang
merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua
orang, lalu berkata kepada Kui Hong.
“Hong-moi,
kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya
memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku
sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya
mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi
San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau
Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin.”
Mendengar
disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang
terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau
Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai
nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi!
Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak
aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian
hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir
perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.
“Kiranya
guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya
disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin.
“Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?”
Hay Hay
merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya
tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab
bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang
bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan
menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan
jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia
katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah,
tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang
benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah!
Lebih baik
berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak
enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang
bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak
terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.
“Ayah dan
ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak
berseri.
Hui Song dan
Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi
Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas
setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh
ayahnya sendiri!”
“Ah, jadi
engkau sudah yatim piatu? Kasihan!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang
ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.”
Kui Hong
memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu
saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.
“Nama ayah
saya she Tang bernama Bun An,” kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini
wajahnya serius dan senyumnya menghilang.
“Tang Bun
An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar
tentang adik seperguruanmu Ling Ling…. apakah Tang Bun An yang itu, ataukah
orang lain?”
Kui Hong
menegakkan kepalanya dan dengan tabah iapun menjawab,
“Benar
sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko
juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh …..”
“Dan kami
mendengar bahwa Ang-hong-cu telah dibunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera
kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.
“Benar
sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan
Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu
adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!”
Mendengar
pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran
mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar
sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda
itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik
sekali.
“Kui Hong!
Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang
amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah
engkau sudah gila?”
Ceng Sui Cin
membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi
ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan
keadaan pemuda itu.
“Ibu!” Kui
Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biarpun orang-orang yang tidak
suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko
bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan
buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia
sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?”
“Kui Hong…..
uhh…….!!”
Sui Cin
membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan
ruangan itu.
Hui Song
memandang anaknya dengan alis berkerut.
“Kui Hong,
sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan
memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami,
akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita
terdapat perbedaan golongan.”
“Ayahhh……!
Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah.
“Hemmm…..”
Hui Song menahan kemarahannya dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa
engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!”
Setelah
berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak
peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.
“Ayahhh…..!!”
Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang.
“Kong-kong ….!!”
Kakek itu
menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
“Kui Hong,
sekali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan diapun
pergi meninggalkan ruangan itu.
Kui Hong
berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua
tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.
“Hong-moi,
ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku.
Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hhong-cu
yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku.
Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun
menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret
Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya…..”
“Hay-ko……,
diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan
itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku
tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak
berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak
berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!”
“Hong-moi,
jangan begitu…..”
“Hay-ko,
katakan, apakah engkau cinta padaku?”
“Perlukah
kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta
padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat
engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu…..”
“Hay-ko, ini
urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri.
Kau tunggu dulu disini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!”
Setelah
berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke
dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi
dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment