Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 07



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 07



Akan tetapi, nampak dua bayangan berkelebat dan Cia Hui Song bersama isterinya Ceng Sui Cin, sudah berada dekat Hay Hay dan masing-masing menyambut seorang lawan. Cia Hui Song menghadapi Lan Hwa Cu, sedangkan Ceng Sui Cin menghadapi Kim Hwa Cu.

Suami isteri pendekar ini tidak mempergunakan senjata, akan tetapi mereka sama sekali tidak gentar menghadapi lawan yang memegang senjata. Hay Hay sendiri sudah menyambut serangan Siok Hwa Cu si pendek gendut bermuka hitam.

Melihat betapa ternyata Cin-ling-pai tidak bersalah, dan yang melakukan semua pembunuhan, perkosaan dan semua perbuatan jahat adalah orang-orang Pek-lian-kauw yang menyusup ke dalam Cin-ling-pai, tentu saja para tokoh partai persilatan besar menjadi marah sekali.

Maka, begitu melihat para murid Cin-ling-pai menyerbu duapuluh orang gerombolan Pek-lian-kauw, tanpa diminta lagi, para tokoh itu segera mengamuk dan membantu orang-orang Cin-ling-pai, menyerang anggauta Pek-lian-kauw yang tentu saja menjadi semakin terdesak.

Tok-ciang Bi Moli menjadi gentar. Baru sekarang ia bertemu tanding yang benar-benar membuat ia kewalahan. Tak disangkanya sama sekali bahwa gadis muda yang menjadi lawannya itu memang lihai bukan main, dan pantas menjadi ketua Cin-ling-pai.

Kiranya Cia Kui Hong memiliki tingkat kepandaian yang jauh melampaui paman gurunya, yaitu Gouw Kian Sun. Sudah mati-matian Su Bi Hwa melakukan perlawanan, bahkan ia perkuat dengan kepandaian sihirnya, namun semua itu percuma saja. Tidak ada serangannya yang mampu menembus benteng sinar hitam sepasang pedang di tangan ketua Cin-ling-pai itu. Bahkan makin lama ia semakin terdesak.

Tadinya Su Bi Hwa mengharapkan bantuan tiga orang gurunya. Akan tetapi ketika ia dapat melirik ke arah mereka, ia mendapat kenyataan yang amat mengejutkan dan mencemaskan. Tiga orang gurunya itu, jagoan-jagoan Pek-lian-kauw tingkat dua, juga dalam keadaan terdesak seperti keadaannya sendiri. Tidak mungkin mengharapkan bantuan mereka. Su Bi Hwa adalah seorang gadis yang amat cerdik. Dengan sekilas pandang saja ia sudah dapat mengetahui keadaan dan cepat ia sudah dapat mencari jalan keluar.

Su Bi Hwa kini hanya mampu memutar pedangnya untuk melindungi dirinya, terus main mundur atas desakan Kui Hong yang mengambil keputusan untuk membunuh wanita iblis yang amat berbahaya itu.

Ketika Kui Hong mendesak dengan babatan pedang kiri ke arah kaki disusul tusukan pedang kanan ke arah dada, Su Bi Hwa menghindar dengan loncatan ke atas lalu ke belakang. Akan tetapi kakinya terpeleset dan iapun jatuh terpelanting. Ia bergulingan dan tangan kirinya bergerak.

Jarum-jarum beracun meluncur ke arah Kui Hong. Ketua Cin-ling-pai ini memutar pedang dan semua jarum itu runtuh. Ia mengira bahwa iblis betina itu sudah tersudut dan ia hendak mendesak terus. Tiba-tiba Kui Hong terkejut karena tahu-tahu Su Bi Hwa telah meloncat ke dekat Kui Bu dan anak itu sudah di tangkap dan dipanggulnya dengan tangan kiri!

Kiranya iblis betina itu tadi sengaja mundur-mundur mendekati anak itu. Ayah dan ibu anak itu sedang bertanding melawan dua orang diantara Pek-lian Sam-kwi, dan kakek Cia Kong Liang juga ikut membantu para murid Cin-ling-pai mendesak dan menyerbu orang-orang Pek-lian-kauw.

Dalam keributan itu, tidak ada orang yang menjaga Cia Kui Bu karena semua orang mengira anak itu dalam keadaan aman. Bukankah pihak musuh terdesak dan hanya tinggal menanti saat terbasmi saja?

“Kalau kau kejar, akan kubunuh anak ini!” kata Su Bi Hwa sambil meloncat hendak melarikan diri.

Kui Hong tertegun! Dalam keadaan terancam seperti itu, ia tahu bahwa iblis betina itu bukan hanya menggertak kosong. Tentu akan benar-benar dibunuhnya Kui Bu kalau ada yang berani menghalangi larinya.

Baru saja Su Bi Hwa yang memondong tubuh Kui Bu lari sejauh kurang lebih lima puluh meter, tiba-tiba dari balik semak belukar melompat sesosok bayangan yang menubruknya dan bayangan itu nekat merangkul pinggangnya sehingga terseret sampai beberapa meter.

“Lepaskan, keparat!”

Su Bi Hwa berseru, akan tetapi bayangan itu yang bukan lain adalah Gouw Kian Sun, sudah menangkap kedua lengannya dan menarik sekuat tenaga! Karena tarikan ini, maka pondongan Su Bi Hwa terhadap Kui Bu terlepas. Anak itu terjatuh dan anak yang sudah tahu akan bahaya itu sudah menggelundung lalu meloncat dan lari.

Dengan kemarahan meluap, Bi Hwa dapat melepaskan lengan kanannya dan sekali pedangnya berkelebat, tubuh Kian Sun terkulai mandi darah. Sebelum Bi Hwa sempat mengejar Kui Bu, Kui Hong sudah datang menyambar tubuh adiknya itu dan melindunginya. Akan tetapi kesempatan itu dipergunakan Su Bi Hwa untuk melarikan diri.

Kui Hong hendak mengejar, akan tetapi melihat keadaan Kian Sun, ia berhenti dan memeriksa. Akan tetapi ia tahu bahwa Gouw Kian Sun tidak dapat diselamatkan lagi.

“Gouw Susiok …..” katanya sedih.

“Pangcu…. aku….. aku berdosa…… aku girang dapat menyelamatkan adikmu Kui Bu…… maafkan aku…. lebih baik aku mati….” katanya dengan sukar dan lehernya terkulai.

Gouw Kian Sun tewas. Kui Hong merasa kasihan sekali. Paman gurunya ini tidak bersalah. Kalau Kian Sun terpaksa menuruti semua kehendak orang-orang Pek-lian-kauw, hal ini dilakukan hanya karena ingin menyelamatkan keluarga Cia yang sudah disandera. Dan memang sebaiknya kalau susioknya tewas. Itu merupakan jalan keluar terbaik. Ia dapat membayangkan betapa kalau terus hidup, susioknya akan selalu menderita batin hebat sekali. Bagaimanapun alasannya, tetap saja dimata orang luar dia dianggap pengkhianat dan pengecut. Bahkan dia telah melangsungkan pernikahannya dengan Tok-ciang Bi Moli dan mengundang semua tokoh kang-ouw menjadi saksi! Namanya akan tercemar. Dia akan selalu ternoda aib yang memalukan.


                   ***************

 Pertempuran itu tidak berlangsung terlalu lama. Pek-lian Sam-kwi yang bertemu dengan lawan yang amat tangguh, seorang demi seorang makin terdesak hebat. Dua puluh anggauta Pek-lian-kauw, tidak seorangpun mampu lolos! Semua tewas ditangan para anggauta Cin-ling-pai yang dibantu oleh para tokoh perkumpulan besar.

Kim Hwa Cu yang ditandingi Ceng Sui Cin, sudah menderita luka-luka oleh tangan lawan. Biarpun tidak memegang senjata, puteri Pendekar Sadis itu selalu menekan lawannya. Karena ia menguasai Bu-eng Hui-teng, yaitu ilmu meringankan tubuh yang membuat tubuhnya ringan dan selincah burung walet, sepasang pedang Kim Hwa Cu tak dapat berbuat banyak.

Tubuh nyonya yang perkasa itu bagaikan bayangan saja, selalu luput disambar pedang. Sebaliknya, karena cepatnya gerakan wanita itu, beberapa kali Kim Hwa Cu terkena tamparan yang amat kuat sehingga beberapa kali dia terpelanting. Dia sudah mencoba mempergunakan kekuatan sihirnya, akan tetapi selalu gagal karena setiap kali dia menggunakan sihirnya, selalu pemuda bercaping itu membuyarkannya dengan suara atau tawanya. Bahkan beberapa kali dia menyerang lawan dengan paku beracun, namun inipun sia-sia karena Ceng Sui Cin selalu dapat mengelak.

Pedang kiri di tangan Kim Hwa Cu telah terlepas dan terlempar, dan karena maklum bahwa dia tidak akan dapat meloloskan diri, Kim Hwa Cu melawan dengan nekat, menggunakan pedang kanannya.

Tosu Pek-lian-kauw yang tinggi kurus ini memang lihai. Selain pandai memainkan pedang pasangan, diapun memiliki sinkang yang dapat membuat lengannya mulur panjang. Masih dibantu lagi dengan senjata rahasianya paku beracun yang berbahaya, juga ilmu sihirnya yang waktu itu sama sekali tidak dapat dia pergunakan karena dia kalah pengaruh oleh Hay Hay. Mukanya yang kekuningan itu kini menjadi semakin kuning pucat karena bagaimanapun juga, dia mulai merasa gentar, takut akan ancaman bahaya maut di tangan nyonya yang cantik dan lihai itu. Tadi, menggunakan sepasang pedang saja dia terdesak, apalagi sekarang pedangnya tinggal sebatang. Dia terdesak terus dan main mundur.

Adapun Lan Hwa Cu, tosu tertua dari Pek-lian sam-kwi yang bertubuh tinggi besar seperti raksasa akan tetapi yang gerak-gerik dan suaranya seperti wanita itu, juga repot sekali ketika bertanding melawan Cia Hui Song. Dia sudah menggunakan senjatanya yang berbahaya, yaitu sehelai sabuk sutera yang ujungnya dipasangi bola baja dan bintang baja.

Sabuknya menjadi bayangan bergulung-gulung dan dua ujungnya itu menjadi bola-bola dan bintang-bintang yang banyak, dan terdengar suara bersuitan ketika senjata itu menyambar-nyambar, namun lawannya adalah seorang pendekar yang sudah memiliki ilmu kepandaian yang matang.

Cia Hui Song bukan saja murid pewaris ilmu-ilmu yang ampuh dari Cin-ling-pai, akan tetapi juga semua ilmunya disempurnakan dan dimatangkan oleh gemblengan mendiang Siang-kiam Lo-jin, seorang diantara Delapan Dewa yang menjadi datuk di dunia persilatan puluhan tahun yang lalu. Hui Song memiliki gin-kang yang hebat sehingga tubuhnya bagaikan bayangan saja ketika dihujani serangan. Semua serangannya luput.

Akan tetapi, Hui Song maklum bahwa lawannya juga lihai dan senjata lawan itu berbahaya kalau hanya dilawan dengan tangan kosong. Maka, ketika pada suatu saat, kedua ujung sabuk itu, yaitu bola dan bintang baja menyambar dari kanan kiri, dia melompat dengan lemparan tubuh ke belakang, berpok-sai (bersalto) sampai lima kali ke belakang dan ketika turun kembali ke atas tanah, dia sudah menyambar sebatang senjata toya yang berada di atas tanah.

Banyak senjata berserakan di atas tanah, yaitu senjata-senjata dari mereka yang telah roboh dan tewas atau terluka berat. Dengan toya ditangan, dia menyambut datangnya lawan yang sudah mengejar dan menyerang lagi. Begitu dia menggerakkan toya melawan, Lan Hwa Cu menjadi terkejut.

Toya itu tidak takut akan sabuknya. Bahkan ketika dia sengaja melilitkan sabuknya pada toya lawan, toya yang terlilit itu terus saja meluncur ke depan menotok ke arah dadanya! Dia terpaksa melepaskan lilitan sabuknya dan meloncat ke belakang. Namun, kini dia terus terdesak oleh gerakan toya yang seolah-olah telah berubah menjadi seekor naga sakti itu. Dia terdesak hebat, dan tak lama kemudian, punggungnya kena dihantam toya sehingga dia menjerit seperti wanita, jatuh bergulingan. Akan tetapi karena memang dia kebal, dia dapat meloncat bangun dan menyerang mati-matian.

Tosu Pek-lian-kauw yang melawan Hay Hay adalah Siok Hwa Cu. Tosu bertubuh gendut pendek bermuka hitam ini memang merupakan tosu paling lihai diantara Pek-lian Sam-kwi. Biarpun tubuhnya gendut pendek seperti bola, namun dia dapat bergerak cepat dan selain pandai memainkan golok besar, dia juga mempunyai sin-kang yang amat dahsyat. Kalau dia sudah berjongkok dan mengeluarkan sin-kangnya, tiada ubahnya seekor katak buduk yang besar dan begitu perutnya mengeluarkan bunyi berkokok, sambaran tangannya mengandung kekuatan yang kuat dan beracun!

Selain ini, diapun amat kejam, senjata rahasianya adalah golok-golok kecil yang dinamakan huito (pisau terbang). Masih ada lagi keistimewaannya, yaitu rambutnya. Rambut yang sudah bercampur uban itu, yang biasanya digelung ke atas, dapat ia pergunakan sebagai senjata pecut yang berbahaya bagi lawan. Dia seperti dua orang saudaranya, diapun seorang ahli sihir.

Akan tetapi lawannya adalah Tang Hay atau Hay Hay yang dikenal sebagai Pendekar Mata Keranjang. Pada waktu itu, Hay Hay telah memiliki tingkat kepandaian yang amat hebat dan tinggi. Bukan hanya ilmu silatnya, akan tetapi juga dia memiliki ilmu sihir yang jauh lebih kuat dibandingkan tiga orang Pek-lian Sam-kwi digabung menjadi satu! Tentu saja kini menghadapi Siok Hwa Cu seorang diri, Hay Hay dapat mempermainkan sesuka hatinya.

Andaikata dia dikeroyok tiga sekalipun, belum tentu dia kalah. Apalagi satu lawan satu. Ketika dia melihat keadaan pertempuran menguntungkan di pihak Cin-ling-pai, Hay Hay pun tidak segera merobohkan lawannya, bahkan mempermainkannya. Apalagi ketika dia melihat bahwa kawanan Pek-lian-kauw sudah kocar-kacir, dan banyak anak buah Cin-ling-pai yang tidak lagi kebagian lawan dan hanya menjadi penonton, dia semakin mempermainkan lawannya.

“Heii, kodok buduk, kepandaianmu hanya segini saja, dan engkau sudah berani mencoba-coba mengacau Cin-ling-pai? Sungguh tak tahu diri. Hayo keluarkan semua kepandaianmu!” berulang kali Hay Hay mengejek sambil mengelak ke kiri dan ketika golok menyambar lewat, kakinya menendang ke arah perut yang gendut itu.

“Blukk!”

Dan Siok Hwa Cu terhuyung ke belakang, Hay Hay sengaja memegangi kaki kanannya yang menendang tadi, berjingkrak seperti orang kesakitan.

“Aduh, perutmu memang keras dan bau! Ihhh!”

Melihat kelucuan ini, para murid Cin-ling-pai tertawa-tawa. Wajah Siok Hwa Cu menjadi merah kehitaman dan matanya yang besar itu semakin melotot menakutkan. Dia maklum bahwa dia berhadapan dengan seorang pemuda yang amat lihai dan mempunyai kekuatan sihir yang hebat. Maka, kini dia menggigit golok besarnya dan kedua tangannya sudah bergerak cepat. Sinar-sinar kilat meluncur ke arah Hay Hay ketika belasan pisau terbang meluncur dan terbang ke arah tubuhnya, dari leher sampai kaki!

Kalau dia mau mengelak saja, belasan batang hui-to (pisau terbang) itu tentu tidak ada yang akan mengenai sasaran. Akan tetapi dia khawatir kalau pisau-pisau itu akan mengambil korban orang-orang yang berada di belakangnya. Maka, cepat Hay Hay mengambil topi capingnya yang lebar dan yang tergantung dipunggung. Dengan caping besar itu dia membuat gerakan seperti sebuah perisai dan semua pisau terbang itu menancap pada capingnya!

“Wah, terima kasih atas sumbanganmu pisau-pisau ini, kodok buduk! Semua pisau ini dapat kutukarkan sebuah caping yang lebih baik dan lebih baru.”

Kembali semua orang tertawa memuji kelihaian Hay Hay dan si gendut pendek semakin marah. Seluruh pisau terbangnya sudah dia pergunakan untuk menyerang dan jarang ada orang mampu menghindarkan diri dari serangan tiga belas pisau terbangnya itu. Dan kini, semua pisau terbangnya hilang dan dilumpuhkan hanya oleh sebuah caping!

Dengan marah dia menggerakkan kepalanya dengan goyangan beberapa kali dan rambutnya yang digelung itu terlepas dan terurai. Kini, dia menyerang lagi dengan golok besarnya, dan rambutnya ikut menyerang ketika dia menggerak-gerakkan kepalanya. Serangan rambut itu tidak kalah bahayanya dengan serangan golok besar ditangannya. Agaknya Siok Hwa Cu hendak mengamuk habis-habisan untuk memenangkan pertandingan ini.

Terkejut dan kagum juga Hay Hay ketika dia mengelak dari sambaran golok besar, tiba-tiba segumpal rambut menyambar dengan dahsyatnya ke arah lehernya! Rambut yang penuh uban, kaku dan berbau apak! Dia tahu bahwa senjata istimewa itu tidak boleh dipandang ringan, karena rambut itu agaknya menjadi senjata andalan lawan, kini rambut yang menyerangnya itu tiada ubahnya kawat-kawat baja yang berbahaya sekali.

Hay Hay melangkah mundur, akan tetapi gumpalan rambut itu mengejar terus dengan bertubi-tubi. Ketika Hay Hay berusaha menangkap gulungan rambut itu sambil menangkis, rambut itu berubah lemas dan seperti ular saja telah membelit dan mengikat pergelangan tangannya. Pada saat itu, golok besar menyambar ke arah lengannya yang sudah terbelit rambut.

“Hemmm …..!”

Hay Hay menotok ke arah siku lengan yang memegang golok, lalu menarik tangan yang terlibat. Hampir saja lengannya buntung! Tahulah dia bahwa rambut itu berbahaya sekali.

“Ihh, kodok tua. Rambutmu apak menjijikkan!” katanya dan melihat banyak senjata berserakan diatas tanah, dia lalu menyambar sebatang pedang.

Golok menyambar lagi dan sengaja dia menyambut dengan pedang sebagai pancingan. Benar saja, begitu pedang bertemu golok, rambut itu sudah menyambar lagi. Hay Hay cepat memantulkan pedang yang bertemu golok dan memutar pergelangan tangannya yang memegang pedang sambil mencengkeram gumpalan rambut dengan tangan kiri.

“Brettt!”

Sebelum Siok Hwa Cu menyadari kesalahannya, rambutnya yang panjang telah terbabat pedang dan buntung! Hay Hay mengangkat tinggi-tinggi gulungan rambut itu.

“Heiii, siapa mau membeli ekor babi?”

Dia menawarkan gumpalan rambut itu kepada para murid Cin-ling-pai yang menjadi penonton. Semua orang menyambutnya dengan gelak tawa karena mereka semua merasa senang melihat pengacau yang dibenci itu kini menjadi permainan pemuda yang lihai itu.

Siok Hwa Cu hampir meledak saking marahnya ketika rambutnya dibuntungi lawan. Dia menggerakkan golok besarnya membabat ke arah pinggang Hay Hay dengan marah sekali.

“Haiiii, sayang luput!” kata Hay Hay yang dengan lincahnya sudah melompat ke atas.

Siok Hw Cu mengejar dengan goloknya membacok ke atas, akan tetapi Hay Hay menarik kedua kaki ke atas dengan menekuk lutut, kemudian ketika golok menyambar lewat di bawah kakinya, dia menurunkan kedua kaki di atas golok, seperti seekor burung hinggap diatas ranting saja! Semua orang menahan napas saking kagum dan juga khawatir. Pemuda itu sungguh amat berani mempermainkan lawannya yang demikian berbahaya.

Melihat pemuda yang menjadi lawannya itu berdiri di atas goloknya, Siok Hwa Cu hampir tidak percaya. Betapa beraninya lawan ini, dan betapa tinggi tingkat ilmunya meringankan tubuh. Dia menggunakan tangan kirinya untuk mencengkeram ke arah kaki, akan tetapi kini Hay Hay melompat ke atas kepala si pendek gendut itu! Semua orang merasa semakin kagum dan bertepuk tangan. Mereka seolah-olah melihat pertunjukan akrobatik, bukan pertandingan silat lagi.

Sepasang mata Siok Hwa Cu terbelalak. Kalau tidak merasa malu, tentu dia sudah menjerit-jerit karena kepalanya terasa nyeri bukan main, seperti ditindih batu yang beratnya ratusan kati! Ketika dia menggerakkan golok besarnya untuk membacok ke arah dua kaki yang berada di atas kepalanya, tiba-tiba ujung sepatu Hay Hay menotok pundaknya dan lengan kanannya terasa lumpuh.

Hay Hay meloncat turun, berjungkir balik dan begitu dia menampar dengan tangan ke arah pergelangan tangan yang memegang golok, golok itupun terlepas dan jatuh ke atas tanah.

Kembali semua orang bersorak dan tertawa. Hay hay tersenyum dan menengok. Dia melihat betapa Kui Hong sudah berdiri menganggur dan menonton disitu sambil tersenyum. Juga para tokoh Cin-ling-pai berdiri dan menjadi penonton.

Kiranya pertempuran itu telah selesai dan agaknya orang-orang Cin-ling-pai sudah berhasil merobohkan semua musuh masing-masing. Tinggal dia seorang yang menjadi tontonan!

Hay Hay memang berwatak gembira, jenaka dan nakal. Sama sekali bukan karena kesombongan atau mencari pujian kalau dia mempermainkan lawannya, melainkan karena dia hendak menghukum orang yang dia tahu amat jahat seperti iblis ini, dan untuk memberi kegembiraan kepada orang-orang Cin-ling-pai yang telah dirugikan besar sekali oleh para tokoh Pek-lian-kauw ini.

Dia sama sekali tidak tahu betapa diantara para penonton, terdapat beberapa penonton yang memandangnya dengan alis berkerut. Mereka itu adalah Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin. Dalam pandangan mereka, pemuda yang tersenyum-senyum mempermainkan tosu Pek-lian-kauw itu sedang menjual lagak. Akan tetapi karena jelas bahwa pemuda itu membantu Cin-ling-pai melawan musuh, tentu saja mereka merasa tidak enak untuk menghalanginya, hanya diam-diam mereka bertanya-tanya siapa kiranya pemuda bercaping yang lihai namun sombong itu.

Kui Hong yang sudah mengenal watak pemuda itu, hanya tersenyum saja melihat kenakalan Hay Hay. Ia tahu benar bahwa perbuatan Hay Hay itu bukan untuk menyombongkan diri atau memamerkan kepandaian, melainkan untuk mempermainkan dan menghukum tosu Pek-lian-kauw itu agar hatinya puas dan agar orang-orang Cin-ling-pai yang sakit hati juga mendapat kepuasan. Maka, iapun diam saja dan hanya menonton.

Seluruh anak buah Pek-lian-kauw telah dapat dibasmi, dan satu-satunya orang yang lolos hanya Tok-ciang Bi Moli. Kim Hwa Cu, tosu termuda dari Pek-lian Sam-kwi telah tewas di tangannya. Demikian pula Lan Hwa Cu, tosu tertua, tewas di tangan suaminya. Kini diantara tiga orang tokoh sesat Pek-lian-kauw itu tinggal seorang lagi, yaitu Siok Hwa Cu yang masih bertanding dengan Hay Hay.

Seluruh anggauta Cin-ling-pai yang sudah selesai bertempur kini juga menonton perkelahian yang lucu dan menarik itu. Bahkan mereka yang terluka seperti mendapat hiburan segar.

Siok Hwa Cu juga maklum bahwa nyawanya terancam bahaya dan bahwa dia dipermainkan pemuda itu. Senjata rahasianya telah habis, rambutnya juga sudah buntung dan kini golok besarnya terlepas dari tangan pula. Dia hanya dapat mengandalkan sin-kangnya dan dalam keadaan putus asa dan marah dia menjadi nekat. Dia merendahkan diri, berjongkok di depan Hay Hay. Melihat ini, Hay Hay berseru sambil memencet hidung dengan tangan kananya.

“Hai, kodok buduk, kalau kau mau buang air besar jangan disini! Kotor dan bau menjijikkan!”

Tentu saja para anggauta Cin-ling-pai tertawa mengejek mendengar itu dan muka Siok Hwa yang memang sudah hitam itu menjadi semakin hitam karena marahnya. Apalagi melihat banyak anak buah Cin-ling-pai ikut-ikutan menutup hidung seperti apa yang dilakukan pemuda lawannya yang lihai itu.

“Jahanam sombong, engkau atau aku yang mati!” bentaknya dan ia mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya, perutnya yang gendut itu membengkak dan mengeluarkan suara berkokokan, kemudian tubuhnya seperti menggelundung maju dan kedua tangannya didorongkan lurus ke depan, ke arah Hay Hay.

“Kok-kok-kokk!” Tosu gendut itu mengeluarkan bunyi dari perutnya melalui kerongkongan.

Hay Hay yang ingin mempermainkan lawan, juga meniru gerakan Siok Hwa Cu, dia juga berjongkok dengan pantat di tonjolkan kebelakang, bahkan agak digoyang-goyang, kedua tangan didorongkan ke depan dan diapun mengeluarkan suara seperti lawannya.

“Kok-kok-kokk!”

Diam-diam Siok Hwa Cu terkejut karena mengira bahwa lawannya juga mampu memainkan ilmu pukulan katak seperti dia. Akan tetapi pemandangan itu terasa lucu sekali oleh mereka yang nonton, seolah mereka melihat dua ekor katak raksasa sedang laga.

“Dukk!!”

Dua pasang telapak tangan saling bertemu dengan kekuatan dahsyat, dan akibatnya, tubuh Siok Hwa Cu terguling-guling ke belakang, sedangkan Hay Hay meloncat berdiri. Tentu saja dia tidak pernah belajar ilmu katak seperti lawannya. Tadi dia hanya main-main saja. Akan tetapi diam-diam dia mengerahkan sin-kang untuk melawan serangan orang itu. Dan karena memang tenaga sinkangnya jauh lebih kuat, tentu saja tubuh Siok Hwa Cu yang terpental dan terguling-guling.

Kalau Hay Hay menghendaki, dalam adu sinkang ini saja dia akan dapat membunuh lawannya. Akan tetapi dia belum merasa puas, hendak mempermainkan lawan sampai lawan mengaku kalah atau menyerah.

“Hei, katak buduk. Berlututlah dan minta ampun seratus kali kepada Cin-ling-pai, baru aku akan menyerahkan kamu kepada pimpinan Cin-ling-pai!”

Akan tetapi Siok Hwa Cu sudah nekat. Dia maklum bahwa kalau dia diserahkan kepada pimpinan Cin-ling-pai, sudah pasti dia akan dibunuh juga, mengingat bahwa kesalahannya terhadap Cin-ling-pai amat besar. Daripada mati dihukum oleh para pimpinan Cin-ling-pai, lebih baik mati dalam perkelahian melawan pemuda lihai ini.

“Sampai matipun aku tidak sudi minta ampun!”

Bentaknya dan kembali ia berjongkok dan mengerahkan seluruh tenaganya. Kini dia hendak mengeluarkan ilmunya yang paling akhir dan paling diandalkan, yaitu mengerahkan seluruh sinkangnya dan menyalurkannya ke arah kepalanya!

“Heii, mau berak lagi?”

Hay Hay mengejek dan banyak orang tertawa. Kini tubuh pendek gendut itu lari menyeruduk ke depan, kepala lebih dulu seperti seekor kerbau mengamuk.

Hay Hay melihat serangan itu dan dia pun mengerti. Lawannya hendak menggunakan kepala untuk menyerangnya! Diapun berdiri tegak dan menyambut terjangan lawan itu dengan perutnya!

“Capp!”

Kepala itu menusuk ke perut Hay Hay dan semua orang terbelalak khawatir akan keselamatan pemuda yang berani itu. Biarpun tubuhnya gendut, akan tetapi kepala Siok Hwa Cu termasuk kecil dan kepala itu disedot masuk ke rongga perut Hay Hay.

Hay Hay menotok kedua pundaknya sehingga kedua tangannya lumpuh dan hanya tinggal kakinya saja yang bergerak-gerak. Siok Hwa Cu merasa betapa kepalanya seperti masuk ke dalam lumpur yang mendidih panas!

“Pergilah!”

Hay Hay mengerahkan sinkangnya dan menendang kepala itu dengan kekuatan perutnya. Tubuh Siok Hwa Cu terlempar kebelakang dan terbangting keras ke atas tanah.

Tosu Pek-lian-kauw ini merasa betapa kepalanya nyeri bukan main, hampir meledak rasanya dan tahulah dia bahwa kalau dia lanjutkan perlawanannya, dia hanya akan menjadi permainan yang memalukan saja. Dia mengerahkan sisa tenaganya kepada tangan kanannya sehingga tangan kanan itu dapat bergerak kembali dan tiba-tiba dia mencengkeram ke arah ubun-ubun kepalanya dengan sisa tenaga terakhir.

“Krekkk!” Jari-jari tanganya masuk ke dalam kepalanya dan diapun tewas seketika.

Banyak anak buah Cin-ling-pai bersorak memuji, dan Kui Hong menghampiri kekasihnya sambil tersenyum girang.

“Hay-ko, mari kuperkenalkan kau kepada keluargaku!”

Hay Hay juga tersenyum dan mengangguk. Mereka lalu menghampiri Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin yang berdiri menanti mereka. Hay Hay sudah banyak mendengar akan kebesaran nama keluarga Cia dari Cin-ling-pai ini, maka begitu berhadapan, diapun cepat mengangkat kedua tangan ke dada dan memberi hormat dengan sikap sopan dan wajah berseri.

“Saya telah banyak mendengar nama besar keluarga Cia dari Cin-ling-pai, sungguh beruntung sekali dan merupakan kehormatan besar hari ini saya dapat berhadapan dengan cu-wi (anda sekalian).” katanya.

“Kong-kong, Ayah dan Ibu, dia adalah sahabatku bernama Hay Hay. Hay-ko, perkenalkan ini kong-kong Cia Kong Liang, ayah Cia Hui Song dan ibu Ceng Sui Cin. Dan ini adikku Cia Kui Bu.”

Kembali Hay Hay memberi hormat kepada tiga orang tua itu, yang dibalas mereka dengan sikap sederhana. Kesan buruk akan cara Hay Hay mempermainkan lawan tadi masih membuat mereka enggan beramah tamah dengan pemuda itu. Akan tetapi, pandang mata mereka cukupp tajam untuk dapat melihat sikap Kui Hong yang amat mesra terhadap pemuda itu, maka merekapun menahan diri dan tidak mengeluarkan kata-kata yang menyinggung. Cia Hui Song hanya membalas penghormatan Hay Hay dan berkata tenang.

“Orang muda, engkau sungguh lihai dan terima kasih atas bantuanmu kepada kami.”

“Ah, harap Paman tidak bersikap sungkan. Saya adalah sahabat baik adik Cia Kui Hong, dan biarpun andaikata orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak mengacau disini, kalau bertemu dengan saya dimanapun tentu mereka akan saya tantang karena mereka selalu melakukan kejahatan-kejahatan.”

“Ayah, Ibu, aku telah mengundang Hay-koko untuk bertamu ditempat kita untuk beberapa hari lamanya.”

Suami isteri itu saling pandang dan Ceng Sui Cin yang menjawab.
“Baiklah, antar dia pulang dulu. Kami masih ingin mengatur anak buah untuk membersihkan tempat ini.”

“Benar, Kui Hong. Kau pulanglah dulu bersama sahabatmu ini,” kata pula Hui Song.

Melihat sikap ayah ibunya, juga kakeknya yang agaknya tidak suka kepada Hay Hay, tentu saja Kui Hong merasa tidak enak hati. Akan tetapi Hay Hay tetap gembira saja dan dua orang muda ini lalu mendahului keluarga Cia pulang ke rumah keluarga Cia yang berada dibagian belakang. Markas Cin-ling-pai itu memang luas, dan yang menjadi tempat perkelahian tadi adalah bagian paling depan.

Para wakil dari Bu-tong-pai, Go-bi-pai, Kun-lun-pai dan Siauw-lim-pai tadi telah menjadi saksi dan merekapun maklum akan apa yang terjadi. Mereka tahu bahwa ternyata Cin-ling-pai dimasuki orang-orang Pek-lian-kauw yang setelah menawan keluarga Cia, lalu menggunakan nama Cin-ling-pai untuk mengadu domba antara Cin-ling-pai dan partai-partai persilatan besar. Mereka tahu bahwa Cin-ling-pai tidak bersalah, maka tentu saja ketika terjadi keributan tadi, kemarahan mereka ditujukan kepada orang-orang Pek-lian-kauw dan merekapun ikut pula membasmi anak buah Pek-lian-kauw.

Juga mereka ikut pula melihat sepak terjang Hay Hay dan melihat pertemuan antara Hay Hay dan keluarga Cia. Karena merasa urusan itu bukan urusan mereka, maka merekapun tidak mencampuri bicara dan diam saja. Padahal, diantara mereka banyak yang mengenal Hay Hay.

Dua orang hwesio dari Siauw-lim-pai, yaitu Thian Hok Hwesio dan Thian Khi Hwesio, sudah mendengar tentang pemuda itu. Bahkan Tiong Gi Cinjin, tokoh Bu-tong-pai itu, dahulu pernah bentrok dengan Hay Hay yang mereka kira jai-hoa-cat yang berjuluk Ang-hong-cu! Biarpun akhirnya mereka tahu bahwa pemuda itu bukan Ang-hong-cu, namun diam-diam mereka merasa heran bagaimana putera penjahat besar itu dapat menjadi sahabat akrab dengan Cia Kui Hong, yang menjadi pangcu ketua Cin-ling-pai!


cerita silat online karya kho ping hoo


Cia Kong Liang, Cia Hui Song, dan Ceng Sui Cin memerintahkan anak buah mereka untuk menyingkirkan mayat-mayat musuh, mengurus pula mayat kawan-kawan sendiri dan merawat yang luka. Kemudian mereka mengundang para tamu dari empat partai besar untuk minum bersama agar peristiwa tidak enak yang hampir saja membuat Cin-ling-pai bentrok dengan mereka itu dapat dihapuskan.


Karena merasa bahwa merekapun telah salah kira dan memusuhi Cin-ling-pai yang sesungguhnya tidak bersalah, rombongan empat partai besar itu merasa sungkan. Mereka menolak dengan halus dan minta diri untuk pulang ke tempat mereka masing-masing. Keluarga Cia tidak dapat menahan mereka, hanya mohon maaf dan berterima kasih atas pengertian mereka. Kemudian rombongan Bu-tong-pai yang merupakan rombongan terakhir berpamit. Dalam kesempatan itu, Tiong Gi Cinjin berkata kepada Hui Song.

“Kami mengucapkan selamat kepada Cia-taihaip, bukan saja karena terbebas dari tangan orang-orang Pek-lian-kauw dan Cin-ling-pai telah dapat membersihkan namanya, akan tetapi terutama sekali karena Cia-taihiap mempunyai seorang puteri yang demikian perkasa seperti Cia-pangcu (ketua Cia). Kalau tidak atas kebijaksanaan puteri taihiap dan dibantu oleh Pendekar Mata Keranjang, tentu kami semua juga masih salah duga."

“Pendekar Mata Keranjang? Siapa yang totiang maksudkan?” Ceng Sui Cin bertanya sambil memandang dengan alis berkerut.

Tiong Gi Cinjin memandang kepada nyonya yang gagah perkasa itu.
“Apakah li-hiap belum mengetahuinya? Pemuda tadi….”

“Ah, kau maksudkan pemuda sahabat Kui Hong yang bernama Hay Hay tadi? Apakah totiang mengenal dia?” tanya Sui Cin.

“Tentu saja kami mengenal dia, semua orang mengenal dia. Bahkan kami rombongan Bu-tong-pai pernah mengejar-ngejarnya dan menyerangnya karena kami mengira bahwa yang memperkosa seorang murid Bu-tong-pai adalah dia yang tadinya kami kira Ang-hong-cu.”

“Ang-hong-cu?” Cia Hui Song bertanya dengan kaget. “Kenapa menyangka dia Ang-hong-cu?”

“Maklumlah,” kata Tiong Gi Cinjin sambil menarik napas panjang. “Sikapnya selalu merayu wanita dan dia dikenal sebagai seorang yang mata keranjang sehingga dijuluki Pendekar Mata Keranjang.”

“Dan ternyata bahwa bukan dia jai-hwa-cat yabg terkenal jahat itu?” tanya Sui Cin.

“Bukan dia, melainkan ayah kandungnya.”

“Ahhh….?” Suami isteru tokoh Cin-ling-pai itu terkejut bukan main mendengar ucapan itu. “Dia…. dia putera Ang-hong-cu?”

Ting Gi Cinjin mengangguk dan menghela napas. Bukan maksudnya untuk memburukkan nama orang, akan tetapi bagaimanapun juga dia menganggap Hay Hay bukan pemuda yang baik dan pantas menjadi sahabat seorang gadis sehebat Cia Kui Hong. Apalagi kalau diingat bahwa pemuda itu membikin orang-orang Bu-tong-pai malu karena tidak sanggup mengalahkannga dengan keroyokan.

“Ang-hong-cu bernama Tang Bun An, dan dia seorang diantara banyak anak-anaknya yang lahir dari para wanita yang diperkosanya. Namanya Tang Hay, dan dia tadinya disangka sebagai Ang-hong-cu. Baru dia dapat membersihkan namanya setelah dia berhasil menangkap mendiang Ang-hong-cu.”

“Hemm, Ang-hong-cu sudah mati? Anaknya itu pula yang membunuh.”

“Mereka berkelahi dengan seru sekali, ayah dan anak itu. Ang-hong-cu kalah dan membunuh diri. Sudahlah, taihiap dan lihiap, saya tidak enak membicarakan dia, apalagi karena bagaimanapun, dia dianggap sebagai seorang pendekar yang telah berjasa. Dia pernah membantu pemerintah membasmi gerombolan pemberontak, bersama dengan Cia-pangcu, puteri taihiap. Selamat tinggal.”

Tiong Gi Cinjin mengajak rombongannya meninggalkan tempat itu. Sampai beberapa lamanya suami isteri itu termenung. Bahkan Cia Kong Liang menjadi semakin tidak suka kepada pemuda itu.

“Pantas saja dia menjual lagak seperti itu!” gerutunya. “Kiranya dia seorang mata keranjang, putera penjahat besar Ang-hong-cu!”

“Dan dia yang menangkap ayah kandungnya sendiri, menyebabkan ayahnya sendiri mati,” kata Hui Song. “Tidak baik anak kita bergaul dengan orang seperti itu.”

“Sudahlah kita tidak perlu pusing-pusing. Nanti Kui Hong tentu dapat memberi penjelasan mengapa pemuda itu ikut datang kesini bersamanya. Kurasa Kui Hong bukanlah seorang gadis bodoh yang mudah dirayu seorang mata keranjang,” kata Sui Cin.

Setelah selesai mengurus para anggauta Cin-ling-pai, merekapun kembali ke dalam rumah mereka untuk menemui puteri mereka yang telah masuk lebih dahulu dengan Hay Hay.

“Untung ada engkau yang menggunakan sihirmu menguasai Ciok Gun, Hay-ko, kalau tidak, aku sendiri tidak akan tahu entah bagaimana aku dapat membongkar rahasia mereka dan memancing mereka. Sungguh Cin-ling-pai berhutang budi besar terhadapmu,” kata Kui Hong kepada kekasihnya ketika mereka duduk berhadapan di ruangan tamu rumah keluarga Cia.

Hay Hay tertawa dan menepuk punggung tangan gadis itu.
“Hushh, diantara kita mana pantas bicara tentang budi? Aku membantumu, hal itu sama saja dengan kalau engkau membantuku. Saling bantu antara kita adalah wajar sekali, bukan? Jangan katakan Cin-ling-pai hutang budi kepadaku.”

“Kau tidak tahu, Hay-ko. Bagi kami keluarga Cia, Cin-ling-pai paling kami utamakan. Jatuh-bangunnya Cin-ling-pai merupakan jatuh-bangunnya kehidupan kami, setidaknya tekad itu merupakan sumpah bagi setiap angauta kami yang menjadi pangcu seperti aku sekarang ini.”

Wajah Hay Hay yang tadinya berseri itu kehilangan kegembiraannya, dan dia menatap tajam wajah kekasihnya.

“Akan tetapi, Hong-moi, kulihat semua sikap tokoh Cin-ling-pai, maafkan keterus teranganku ini, tidak menunjukkan seperti apa yang kau katakan itu.”

Sinar mata gadis itu dengan tajam menyambar wajah Hay Hay.
“Apa yang kau maksudkan dengan ucapanmu itu, Hay-ko?”

“Mereka semua itu, dari kakekmu sampai ayah ibumu, juga wakil ketua Cin-ling-pai dan pembantunya, semua menyerah kepada orang-orang Pek-lian-kauw karena mendahulukan kepentingan keluarga. Bukankah demikan? Mereka tidak dapat melawan karena mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cia yang telah tertawan. Nah, hal itu bagiku wajar saja. Bagaimanapun juga, setiap orang manusia akan mementingkan diri sendiri dan keluarganya lebih dahulu, baru mementingkan yang lain.”

“Tidak! Kukatakan tadi bahwa sumpah itu hanya dilakukan oleh seorang ketua Cin-ling-pai. Ketika kakekku menjadi ketua dahulu, diapun bersikap demikian. Juga ayahku. Sekarang, akulah yang bersumpah. Karena itu, aku seorang yang tidak mau tunduk kepada mereka, dan aku melawan, biarpun perlawananku itu membahayakan keluargaku. Untung engkau yang membantuku sehingga keluarga kami semua selamat dan Cin-ling-pai dapat pula dibersihkan dari para penyelundup itu.”

Hay Hay mengerutkan alisnya. Pendirian kekasihnya itu merupakan suatu segi yang asing baginya. Akan tetapi dia menghibur dirinya dan sambil tersenyum berkata,

“Tentu saja engkau benar, Hong-moi. Akan tetapi, setelah kita menikah, tentu engkau akan melepaskan kedudukan ketua itu kepada orang lain sehingga tidak terikat lagi oleh kewajiban dan tugas yang berat.”

Kui Hong menunduk dan menarik napas panjang.
“Tadinya akupun tidak suka terikat, Hay-ko, maka aku pergi meninggalkan Cin-ling-pai dan menyerahkan tugas kepada susiok Gouw Kian Sun dan suheng Ciok Gun. Aku sendiri merantau untuk menambah pengalaman. Akan tetapi engkau lihat sendiri, apa yang terjadi dengan Cin-ling-pai. Aku merasa menyesal sekali dan aku melihat bahwa aku telah melalaikan kewajibanku. Maka, aku berjanji akan membela dan mengatur Cin-ling-pai sehingga menjadi kuat dan jaya kembali.”

“Biarpun sudah menikah?”

“Apa salahnya setelah menikah tetap menjadi pangcu?”

“Dan suamimu….. eh, aku?”

“Dengan sendirinya engkau menjadi Cin-ling-pai dan bantuanmu amat kami butuhkan, Hay-ko. Justeru dengan adanya engkau, maka aku menjadi besar hati dan yakin akan mampu membuat Cing-ling-pai kembali jaya seperti di jaman nenek-moyang dahulu.”

Hay Hay tidak bicara lagi karena pada saat itu nampak rombongan keluarga Cia memasuki ruang tamu dimana mereka bercakap-cakap. Akan tetapi di dalam hatinya dia merasa gelisah. Dia sama sekali tidak setuju dengan pendapat dan keinginan hati kekasihnya. Dia ingin bebas, biarpun sudah menikah dengan Kui Hong, dia ingin bersama isterinya bagaikan dua ekor burung terbang diangkasa luas. Tidak terkurung dalam sangkar berupa Cin-ling-pai.

Karena kakek, ayah dan ibu Kui Hong memasuki ruangan itu, Hay Hay cepat bangkit berdiri dengan sikap hormat. Diam-diam mengagumi keluarga kekasihnya itu. Memang keluarga gagah perkasa, pantas namanya terkenal di dunia kang-ouw karena sepak terjang mereka yang keras namun selalu menjunjung kebenaran dan keadilan.

Cia Kong Liang adalah seorang kakek yang usianya sudah tujuh puluh tahun lebih, namun tubuhnya masih tegak, wajahnya keren berwibawa dan pandang matanya menusuk penuh ketabahan. Cia Hui Song seorang pria berusia empat puluh empat tahun yang juga tampan dan gagah walaupun nampak lebih tua daripada usia sebenarnya dengan banyak garis-garis derita di dahinya. Ibu dari Kui Hon, Ceng Sui Cin, berusia tiga puluh sembilan tahun, nampak penuh semangat dan sinar matanya jelas nampak kekerasan hati dan keberanian. Dari sikap mereka saja sudah mudah diketahui bahwa mereka adalah orang-orang yang lihai.

Akan tetapi, Hay Hay merasa tidak enak melihat betapa mereka bertiga itu, terutama ibu Kui Hong yang menggandeng tangan anak laki-laki berusia lima tahun, memandang hanya sekilas kepadanya dengan mulut cemberut. Kakek Cia Kong Liang bahkan sama sekali tidak memandangnya, hanya melewati saja pandang mata itu diatas kepalanya.

Hanya Cia Hui Song yang memandang kepadanya agak lama, namun bukan dengan sinar mata ramah, melainkan dengan sinar mata penuh selidik! Sungguh bukan sikap orang-orang yang berterima kasih walau dia seujung rambutpun tidak mengharapkan terima kasih dari mereka. Yang dia bantu adalah Kui Hong, gadis yang dikasihinya, bukan keluarga Cia atau Cin-ling-pai.

Kui Hong juga agaknya menjadi curiga. Tentu saja ia mengenal baik tiga orang tua itu dan merasa bahwa sikap mereka sungguh tidak seperti biasa, tidak semestinya, bahkan tidak pada tempatnya. Mereka jelas mengacuhkan, bahkan meremehkan Hay Hay!

Biarpun hatinya merasa tidak enak, bahkan tidak senang melihat sikap orang tuanya, namun tentu saja Kui Hong tidak berani bertanya terang-terangan. Disambutnya ibunya dan ia memondong adiknya, Cia Kui Bu dan mencium kedua pipi adiknya itu!

“Enci hebat! Kata kong-kong, enci yang membebaskan kami. Aih, kalau saja aku sudah besar dan selihai Enci, tentu akan kubasmi habis semua orang Pek-lian-kauw yang jahat itu!”

Kui Hong tersenyum bangga dan menurunkan adiknya, mengelus kepala adiknya,
“Kelak engkau tentu lebih lihai daripada aku. Ingat selalu bahwa engkau adalah calon ketua Cin-ling-pai yang hebat!”

Mendengar ini, Cia Kong Liang berkata,
“Mudah-mudahan saja kelak dia akan mampu mengangkat kembali nama Cin-ling-pai yang dirusak oleh para jahanam itu.”

Kui Hong memandang kepada ayahnya.
“Ayah, apakah orang-orang dari empat partai itu sudah pergi? Mereka sungguh menjemukan. Kita sedang tertimpa malapetaka, mereka bahkan menghimpit kita dengan tuduhan-tuduhan berat!”

“Hemm, jangan engkau berkata begitu Kui Hong,” kata Hui Song dengan suara tegas. “Mereka itu menjadi korban, bahkan ada yang tewas dan terluka diantara orang-orang tak berdosa itu. Karena mereka berada disini, dan yang melakukan menyamar sebagai murid kita, tentu saja tadinya mereka merasa yakin bahwa Cin-ling-pai yang melakukan kejahatan itu. Sungguh sial, Cin-ling-pai telah dinodai dan dicemarkan. Tugasmulah sebagai pangcu untuk mengangkat kembali nama baik Cin-ling-pai, membersihkannya dari noda dengan bertindak tegas dan keras terhadap semua murid dan anggauta.”

“Nanti dulu,” kata Ceng Sui Cin sambil memandang kepada Hay Hay. “Sungguh tidak sepatutnya bicara soal Cin-ling-pai di depan orang luar, padahal yang kita bicarakan adalah urusan pribadi Cin-ling-pai. Kui Hong, sahabatmu ini dari partai manakah, dan siapa pula nama selengkapnya, siapa gurunya dan orang tuanya?”

Biarpun pertanyaan itu ditujukan kepada Kui Hong, namun sinar mata nyonya itu menatap wajah Hay Hay yang penuh senyum kembali, sehingga Hay Hay merasa benar bahwa pertanyaan itu langsung ditujukan kepadanya.

Sui Cin sengaja bertanya untuk mengalihkan percakapan keluarga dan kangsung saja bicara tentang pemuda yang mendatangkan perasaan tidak suka di hati mereka itu karena pemuda itu adalah putera seorang jai-hwa-cat besar! Tentu saja sebagai seorang ibu, hatinya tidak suka dan khawatir melihat puterinya akrab dengan putera seorang penjahat yang demikian tersohor seperti Ang-hong-cu.

Kui Hong memandang ibunya, iapun merasakan sesuatu yang tidak beres dalam sikap ibunya, ayahnya, dan juga kakeknya. Hal ini membuat dia terheran-heran. Bukankah jasa Hay Hay amat besar dalam menyelamatkan keluarga Cia tadi sehingga nama baik Cin-ling-pai dapat dibersihkan kembali? Sepatutnya kalau ibunya, setidaknya, bersikap bersahabat dengan Hay Hay, bukan malah bersikap dingin dan seperti orang yang tidak menyukai kehadiran pemuda itu di Cin-ling-pai. Ia tidak percaya bahwa orang tuanya mempunyai watak yang demikian tak kenal budi.

“Hay-ko, engkau jawablah sendiri pertanyaan ibu,” katanya dengan hati yang tidak puas.

Sengaja ia memperlihatkan sikap ini karena ia memang jengkel dan agar ayah ibunya, juga kakeknya tahu akan kejengkelannya itu.

Akan tetapi Hay Hay tenang saja, bahkan senyumnya tidak meninggalkan mulutnya. Setelah memberi hormat kepada tiga orang tua itu yang kini juga mengambil tempat duduk menghadapinya, seperti panitya hakim yang sedang mengadilinya, diapun berkata dengan lembut.

“Saya mohon maaf kepada Kakek, Paman dan Bibi yang terhormat sebagai sesepuh Cin-ling-pai bahwa saya dengan lancang berani datang kesini dan mencampuri urusan Cin-ling-pai.”

“Hay-ko, engkau datang karena kuajak, dan kedatanganmu bahkan menjadi penyelamat keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Bagaimana engkau malah minta maaf?” Kui Hong berkata setengah berteriak karena hatinya merasa penasaran sekali.

“Kui Hong, kami hanya ingin mengenal pemuda ini lebih dekat, kenapa engkau mendadak bersikap begini kasar?”

Hui Song menegur puterinya. Mendapatkan teguran ayahnya, wajah Kui Hong menjadi marah dan mulutnya cemberut.

“Ayahmu benar, Kui Hong. Aku hanya ingin mengetahui siapa gurunya, dan siapa pula orang tuanya. Bukankah ini wajar?” kata ibunya.

“Hemm, sikap kalian yang tidak wajar,” teriak hati Kui Hong.

Akan tetapi karena disitu terdapat Hay Hay, ia tidak ingin memperlihatkan perbantahan antara anak dan orang tua. Hay Hay sejak tadi masih tersenyum saja, walaupun disudut hatinya, diapun merasa heran mengapa keluarga pendekar yang terkenal berbudi itu bersikap seperti itu, hal yang sesungguhnya amat janggal kalau diingat sejak kemunculannya disitu, dia hanya membantu keluarga itu.

“Kalau cu-wi (anda sekalian) ingin mengetahui siapa guru-guru saya, sesungguhnya saya belum pernah menyebut nama mereka kepada orang lain. Akan tetapi, mengingat bahwa keluarga cu-wi adalah keluarga pendekar besar, dan saya hanya memberi keterangan karena ditanya dan cu-wi menghendaki jawaban, maka biarlah sekali ini saya menyebut nama mereka…..”

“Hay-ko, kita sudah berkenalan lama sekali, menghadapi segala macam pengalaman dan bahaya maut, namun aku belum pernah mendesakmu untuk mengatakan siapa guru-gurumu. Kalau memang nama mereka harus dirahasiakan, engkau tidak perlu memaksa diri untuk menceritakan kepada orang tuaku!” kembali Kui Hong berseru, hatinya mulai terasa pahit.

“Kui Hong, engkau ini kenapa sih?” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang menegurnya. “Ayah ibumu hanya ingin lebih mengenal sahabatmu yang kau ajak kesini, hal itu kurasa wajar saja! Kenapa engkau seperti orang yang marah-marah?”

Kini Kui Hong tak mampu mengendalikan kemarahannya lagi. Ia memang berwatak keras dan galak seperti ibunya, suka berterus terang.

“Kong-kong, siapakah yang aneh dan siapa yang tidak wajar? Hay-ko ini datang karena kuajak, kemudian disini kami melihat hal yang tidak wajar, bahkan dia membantuku, dan tanpa bantuannya, belum tentu aku akan mampu membereskan para penjahat itu dan membebaskan Cin-ling-pai dari malapetaka dengan mudah. Akan tetapi, apa yang kulihat sekarang? Sahabatku ini bukan disambut ramah, melainkan disambut dengan sikap yang tidak sepatutnya, seolah sahabatku ini baru saja melakukan kejahatan!”

Hui Song dan isterinya saling pandang, juga kakek Cia Kong Liang merasa canggung. Mereka bertiga bukan tidak tahu bahwa sikap mereka terhadap pemuda itu memang tidak patut kalau mengingat bahwa pemuda itu telah menyelamatkan keluarga Cia dan Cin-ling-pai. Akan tetapi, mendengar siapa adanya pemuda itu membuat mereka mengkhawatirkan hal yang mereka anggap tidak kalah pentingnya, yaitu masa depan Kui Hong yang berarti menyangkut pula nama baik Cin-ling-pai.

Melihat yang terjadi antara kekasihnya dan orang tua kekasihnya itu, tentu Hay Hay yang merasa paling tidak enak. Dia cepat bangkit dan memberi hormat kepada semua orang, lalu berkata kepada Kui Hong.

“Hong-moi, kuminta dengan sangat agar engkau tidak menduga yang bukan-bukan. Biarlah saya memperkenalkan diri kepada orang tuamu, karena mereka berhak mengenalku sedalamnya. Nah, Kakek, Paman dan Bibi. Terus terang saya akui bahwa saya mempunyai empat orang guru. Yang pertama adalah suhu See-thian Lama atau Gobi San-jin, yang kedua adalah suhu Giu-sian Sin-kai, ketiga adalah suhu Pek Mau Sanjin, dan keempat suhu Song Lojin.”

Mendengar disebutnya nama-nama itu, tiga orang tua itu terkejut bukan main. Dua orang terdahulu adalah dua diantara Delapan Dewa. Kemudian, biarpun nama Pek Mau Sanjin jarang dikenal orang, namun mereka pernah mendengar nama ini sebagai nama seorang aneh yang kabarnya hidup diantara awan-awan di pegunungan tinggi! Juga nama Song Lojin hanya mereka kenal seperti nama tokoh dongeng saja. Tidak aneh kalau pemuda ini memiliki ilmu kepandaian silat dan sihir yang demikian hebat. Mereka kagum, namun kekaguman itu belum cukup kuat untuk mengusir perasaan tidak senang terhadap pemuda putera Ang-hong-cu itu.

“Kiranya guru-gurumu adalah tokoh-tokoh besar dunia persilatan yang namanya disebut-sebut seperti dalam dongeng. Mengagumkan sekali!” kata Ceng Sui Cin. “Dan siapakah orang tuamu, orang muda? Apakah nama keluargamu?”

Hay Hay merasa betapa jangtungnya berdebar tegang. Paling tidak enak kalau dia ditanya tentang orang tuanya. Kalau orang lain yang bertanya, mudah saja dia menjawab bahwa dia tidak mempunyai orang tua lagi. Akan tetapi sekali ini lain. Yang bertanya adalah ayah dan ibu Cia Kui Hong, gadis yang dicintanya dan diharapkan menjadi isterinya. Tentu saja orang tua gadis itu berhak mengetahui dengan jelas siapa ayah dan ibunya, walaupun mereka telah tiada. Apakah akan dia katakan saja bahwa dia tidak berayah! Kalau begitu, berarti dia anak haram! Ah, tidak! Bagaimanapun juga ayahnya, dia tidak akan mengingkarinya karena memang benar ayahnya adalah Tang Bun An, Si Kumbang Merah!

Lebih baik berterus terang, dari pada menyembunyikan dan kelak diketahui. Akan lebih tidak enak akibatnya. Lebih baik memasuki perjodohan dengan semua mata yang bersangkutan terbuka lebar, daripada dipejamkan seperti dalam mimpi dan kelak terkejut kalau sadar dan melihat kenyataan.

“Ayah dan ibu saya telah meninggal dunia,” katanya lirih, namun wajahnya masih nampak berseri.

Hui Song dan Sui Cin, juga kakek Cia Kong Liang, masih teringat akan keterangan Ting Gi Cinjin tokoh Bu-tong-pai bahwa ayah pemuda ini, Ang-hong-cu, memang telah tewas setelah roboh oleh puteranya ini! Anak penjahat besar ini telah membunuh ayahnya sendiri!”

“Ah, jadi engkau sudah yatim piatu? Kasihan!” kata Ceng Sui Cin. “Siapakah nama mendiang ayahmu? Barangkali kami pernah mendengar atau bahkan mengenalnya.”

Kui Hong memandang khawatir. Ia memang sudah mengkhawatirkan hal ini, akan tetapi tentu saja ia tiak dapat melarang kekasihnya memperkenalkan nama ayahnya.

“Nama ayah saya she Tang bernama Bun An,” kata Hay Hay dengan tabah, akan tetapi kini wajahnya serius dan senyumnya menghilang.

“Tang Bun An?” Sui Cin tiba-tiba menoleh kepada puterinya. “Kui Hong, aku mendengar tentang adik seperguruanmu Ling Ling…. apakah Tang Bun An yang itu, ataukah orang lain?”

Kui Hong menegakkan kepalanya dan dengan tabah iapun menjawab,
“Benar sekali, ibu. Tang Bun An adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) itu, dan Hay-ko juga tahu tentang adik Ling Ling, bahkan tadinya Hay-ko yang dituduh …..”

“Dan kami mendengar bahwa Ang-hong-cu telah dibunuh oleh Pendekar Mata Keranjang, putera kandungnya sendiri?” tanya Hui Song sambil memandang kepada Hay Hay.

“Benar sekali, Ayah! Walaupun tidak dibunuh sendiri, melainkan dikalahkan dan Ang-hong-cu membunuh diri sendiri. Dan yang disebut Pendekar Mata Keranjang itu adalah Tang Hay, atau Hay-koko inilah!”

Mendengar pengakuan Kui Hong, tiga orang tua itu menjadi heran bukan main. Bukan heran mendengar siapa adanya pemuda itu karena memang mereka sudah mendengar sebelumnya, melainkan heran mengapa Kui Hong agaknya menganggap keadaan pemuda itu biasa saja untuk dijadikan sahabat! Bahkan agaknya sahabat yang baik sekali.

“Kui Hong! Engkau tahu bahwa dia ini seorang mata keranjang, anak kandung Ang-hong-cu yang amat keji dan jahat itu? Dan kau bawa dia datang ke tempat kita ini? Apakah engkau sudah gila?”

Ceng Sui Cin membentak marah sekali kepada puterinya, kemarahan yang sejak tadi ditahan-tahannya, sekarang meledak karena ternyata puterinya sudah tahu akan keadaan pemuda itu.

“Ibu!” Kui Hong yang tidak kalah hebatnya itu menjawab, “Biarpun orang-orang yang tidak suka itu memberi julukan Pendekar Mata Keranjang kepadanya, akan tetapi Hay-ko bukanlah seorang penjahat cabul. Dia tidak boleh disamakan ayahnya, dan buktinya, dia malah menentang ayahnya dan yang menangkap ayahnya bahkan dia sendiri. Kalau ayahnya yang bersalah, kenapa Ibu menyeret pula anaknya?”

“Kui Hong….. uhh…….!!”

Sui Cin membanting kaki dan memondong tubuh Kui Bu, lalu pergi ke dalam meninggalkan ruangan itu.

Hui Song memandang anaknya dengan alis berkerut.
“Kui Hong, sudah benarkah sikapmu terhadap ibumu?” Lalu dia mengangkat kedua tangan memberi hormat kepada Hay Hay dan berkata, “Saudara muda Tang, maafkan kami, akan tetapi terpaksa kami tidak dapat menerima Saudara karena diantara kita terdapat perbedaan golongan.”

“Ayahhh……! Dia ini tamuku, aku yang mengundangnya!” Kembali Kui Hong membentak marah.

“Hemmm…..” Hui Song menahan kemarahannya dan mengepal tinju. “Aku belum lupa bahwa engkaulah pangcu dari Cin-ling-pai, jadi engkau yang berhak menentukan!”

Setelah berkata demikian, Hui Song juga pergi kedalam menyusul isterinya. Dia tidak peduli lagi ketika puterinya memanggilnya.

“Ayahhh…..!!” Melihat ayahnya terus masuk, Kui Hong berpaling kepada kakek Cia Kong Liang. “Kong-kong ….!!”

Kakek itu menarik napas panjang dan menggeleng kepala.
“Kui Hong, sekali ini engkaulah yang keliru. Pikirkan dulu baik-baik,” katanya dan diapun pergi meninggalkan ruangan itu.

Kui Hong berdiri seperti patung, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah, kedua tangan terkepal. Suara Hay Hay menyeretnya kembali kepada kenyataan.

“Hong-moi, ucapan kakekmu benar. Ayah ibumu yang benar dan engkau yang keliru membelaku. Bagaimanapun juga, kenyataan adalah bahwa aku ini anak kandung Ang-hhong-cu yang keji dan jahat, bahkan aku dilahirkan dari hasil perkosaan terhadap ibuku. Sedangkan engkau, engkau ini puteri keluarga Cia yang sudah turun temurun menjadi pemimpin Cin-ling-pai yang besar. Tentu saja engkau tidak boleh menyeret Cin-ling-pai sampai demikian rendahnya…..”

“Hay-ko……, diam kau! Begitu tega engkau hendak merobek-robek perasaan hatiku dengan ucapan itu? Engkau tahu bagaimana perasaanku terhadapmu. Kita saling mencinta. Aku tahu akan keadaan dirimu dan aku tidak perduli akan keturunanmu. Mereka tidak berhak melarangku bergaul denganmu, bahkan menikah denganmu. Siapapun tidak berhak! Aku yang akan menentukan sendiri langkah hidupku!”

“Hong-moi, jangan begitu…..”

“Hay-ko, katakan, apakah engkau cinta padaku?”

“Perlukah kukatakan lagi? Sudah berapa kali kunyatakan kepadamu? Tentu saja aku cinta padamu, Hong-moi, dan justeru karena cintaku maka aku tidak ingin melihat engkau menderita karena bertentangan dengan keluargamu…..”

“Hay-ko, ini urusan keluargaku, engkau tidak dapat mencampuri. Biar kuselesaikan sendiri. Kau tunggu dulu disini, aku harus bicara dengan mereka sampai tuntas!”

Setelah berkata demikian, dengan gesit Kui Hong lalu menyusul ayah, ibu dan kakeknya ke dalam. Ia masih melihat pemuda itu menjatuhkan diri dengan lemas ke atas kursi dan belum pernah ia melihat wajah Hay Hay sepucat itu!....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12