Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 08



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 08



“Kui Hong!” Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Dimana akal sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu kesini? Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita. Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?”

“Tapi, Ayah. Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang kesini untuk minta pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!”

“Tidak……!”

Bentakan Hui Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka berjodoh dengan anak Ang-hong-cu!

Kui Hong adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata bersinar-sinar, walaupun agak basah.

“Sungguh aku tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar saling mencinta?”

Mendengar serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata, suaranya lebih tenang.

“Memang benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kamipun tidak ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbanya! Seluruh orang gagah mengutuknya dan…..”

“Akan tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!”

“Tapi dia adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya.

Kui Bu sudah disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu oleh ibunya.

“Dan bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?”

“Tapi, Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu, Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa……”

Tiba-tiba Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya itu.

“Ya Tuhan! Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya? Anak haram….?”

“Ibu! Ibu terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?”

Tentu saja Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala.
“Jelas bahwa kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong. Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu.”

“Ayah, kalau aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai, bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan Hay-ko sebagai suamiku.”

“Kui Hong, engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya? Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan.”

“Kami tidak menghendaki itu!” kata pula Hui Song.

Kui Hong diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas bahwa apapun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak.

Suasana menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran. Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar diduga apa yang akan dilakukan gadis itu.

Akhirnya Kui Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya, lalu ayahnya, akhirnya kakeknya.

“Baiklah, kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu.

“Kui Hong……!”

Sui Cin juga bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.

“Jangan, tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya.

Sui Cin mengerti dan iapun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.

Dengan muka dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu dimana Hay Hay menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemeter dan jantung berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.

Adik Kui Hong tersayang,

Kita harus melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi. Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya kemana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi.

Sekali lagi ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.

Salam dan doaku,
Hay Hay

“Hay-koko….!”

Kui Hong menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja menjadi semakin basah air mata.

Kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di kursi dengan kepala di atas meja, surat masih terggenggam di tangan. Dengan hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda itu dengan hati dan tangan terbuka!

Tubuh Kui Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-kata dan perawatan penuh kasih sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan pendapat dan keputusan kekasihnya.

Ia pulih kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan tidak akan menikah dengan pria manapun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat terjalin dalam pernikahan.

Belum pernah selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa.

Wajahnya yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.

Memang sudah dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi. Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui, hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak kemana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.

Hanya satu saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal itu justeru membuat perasaan hatinya seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!

Setiap lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah itu, seolah mengejeknya, menyorakinya!

Haus dan lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja, memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air berada didekatnya dan haus mencekik lehernya.

Dan ketika dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.

“Hong-moi….. aihhh, Hong-moi……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya.

Hanya sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes, ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis seperti ini!

Tiada hujan yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu.

Hay Hay tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan.

Hay Hay membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya, teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia, tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.

“Ehh? Kaukah itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.

Dia melihat ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram, rambut awut-awutan, pakaian lusuh kotor.

“Ihh! Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.

Dan tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau balau di permukaan air yang pecah.

“Engkau tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa. Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia membenamkan kepalanya ke dalam air!

Hal ini berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?

Kini dia duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering, dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi.

Memang dia telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin, dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka. Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya, merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.

Kui Hong adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh semua pendekar?

Memang pahit sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala peristiwa yang terasa pahit dan tidak enakpun terkandung hikmah yang amat bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.

Hay Hay teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun. Dan pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti.

Kalau ada bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna! Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.

Ada seorang janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup bahagia.

Akan tetapi, pada suatu hari, puteranya jatuh sakit dan usaha apapun yang dilakukan janda itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan. Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam tangisnya, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak, satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak adil!

Saking sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu, semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan menjemputnya.

“Janda saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.

“Aku ingin mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.

“Mengapa?”

“Aku ingin memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat, tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang, Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi, mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku? Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang berdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yang selallu memuja Tuhan?”

Malaikat itu membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan, lalu berkata dengan lembut.

“Janda yang saleh. Sebelum kau lanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menununjuk ke arah langit biru di barat.

Sang janda melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan iapun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.

“Betapa kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat itu?”

“Ketahuilah olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan menjadi dewasa kelak.”

Wanita itu terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk itu.

“Ya Allah! Ampunilah hamba Ya Tuhan….. jangan….. jangan…..! Hentikanlah perbuatannya….. !” Dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.

“Lihatlah kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”

“Tidak…. tidak…….! Biarlah dia mati sekarang, aku…. aku rela….., jangan sampai dia menjadi jahat seperti itu….”

Demikianlah dongeng yang kini seolah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia memejamkan mata, tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik hatinya. Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Kasih.

Manusia wajb berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidupnya, bahkan untuk menikmati hidupnya. Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuha yang menentukannya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih sayang Tuhan. Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh, melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin merupakan hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya harus bersyukur dan menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!

Hay Hay tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat, kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?

“Ha-ha-ha, dasar otak udah kau, Hay Hay?” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!

Ketika dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia akan tahu ketika wanita itu datang kesitu. Akan tetapi, tadi kedua telinganya tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui. Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga.

Wanita itu makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali!

“Hi-hi-hik, lucunya….. heh-heh….. kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air, hi-hi-hi…..!”

Hay Hay ikut tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura. Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga.

“Ihh…., kau….. kau seorang pemuda yang tampan kiranya….” ia berkata lirih. “Kusangka tadi seorang dari kampungku…… maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.

“Nona, mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya.

“Engkau yang aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?”

Hay Hay mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya. Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.

“Heiii! Kenapa diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!”

Gadis itu berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit menggemaskan lagi!

“Aku tadi mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.

“Mengintai ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar.

Hay Hay mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan, sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.

“Ya, mengintai ikan yang sedang pacaran!”

Sepasang mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!
“Ikan…. Pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga tidak percaya.

“Entah ikan apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,” kata Hay Hay sambil mengamati gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat, mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidunya kecil mancung, mulutnya…. hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap, dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya, lehernya panjang seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar…..”

Gadis itu memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana terdapat hiasan perak berbentuk mawar.

“Ehh? Seperti aku…..?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh. “Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu.

Hay Hay tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain, kecuali dengan dia.

“Yang jantan? Aih, buruk sekali….”

“Kalau begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi.

Kini Hay Hay yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang dan gadis itupun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat itu, si gadis lalu menyongsongnya dan merekapun bertemu dan berpelukan!

“Koko, engkau menyusul…..?”

“Ya, akan kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul leher.

Dan Hay Hay terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya sekitar lima puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.

“Moi-moi, dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?”

Si pendek itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikitpun tidak kelihatan marah.

“Aih, dia?” Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku, jantannya seperti engkau, heh-heh!”

Mendengar ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli.
“Ha-ha-ha-ha, benar sekali ……!” katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis sekali, akan tetapi juga bodoh!

Pria itu juga tersenyum.
“Hemm, kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas maka dia membenamkan kepala di dalam air.”

Kemudian dia menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu menggerakkan tangannya ke arah batu.

“Plakkk!”

Ketika tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.

“Saudara yang baik,” kata pria itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati isteri orang lain.”

“Aku tidak mendekati…. ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?” Hay Hay terbelalak.

Pria pendek itu mengangguk.
“Ia isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami.”

Hay Hay menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah.
“Isterimu….? Sungguh tak kusangka….. ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang kampung, dan engkau…. Hemmm……” Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.”

Pria itu tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak rapi.

“Ha-ha-ha, katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku merupakan kembag di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih diriku, memilih yang paling baik!”

“Ehh? Kau mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak percaya.

“Bukan paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi? Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!”

“Hemm, mengapa begitu?”

Hay Hay bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar, walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.

“Mengapa? Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi kecerdasan dari otak dariku, ha-ha-ha!” Dan si pendek itu dengan tangan kirinya menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain.”

“Marilah, suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja.

Mereka pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong. Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak, bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.

“Aduh, Hay Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha….., pergilah semua duka nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah untuk disusahkan, ha-ha-ha!”

Dan membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa. Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin terbahak.

“Ha-ha-ha-he-he…… anak-anak mereka….. ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha……!”

Hay Hay terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.

Wajah tampan Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah utara tepi Sungai Yang-ce.

Seperti kita ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai. Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian utara Propinsi Se-cuan.

Sudah berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama, keinginan untuk segera “memiliki” gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia selalu berpisah kamar. Dan kedua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa kekasihnya tidak percaya kepadanya!

Tentu saja Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.

“Mayang, kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami isteri?” tegurnya marah.

“Baru calon, Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?”

“Akan tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?” Ki Liong membantah.

“Bukan hanya itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?”

“Perduli amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!”

“Mudah saja engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.”

Melihat gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela napas panjang.

“Baiklah, Mayang, mungkin engkau yang benar. Akupun tidak mempunyai niat lain kecuali merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku kalau aku bersalah.”

Melihat sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang dan iapun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.

“Kau tahu, Ling-ko. Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita berkumpul dan takkan berpisah lagi.”


cerita silat online karya kho ping hoo


Ki Liong menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi karena pemilik mata itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk.


Menjelang tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun diapun sudah siap siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan suara sedikitpun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup, mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Tik-tik-tik!”

Lirih saja ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk daun jendela kamarnya.

Karena pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan diapun siap menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat, bayangan yang ramping. Tentu Mayang!

Bayangan itu meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan diapun meloncat keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan sesuatu dan memanggil dia keluar.

Ketika dia tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya, cukup jelas.

Ki Liong terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya! Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar duapuluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang!

Ki Liong menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai seekor kuda yang akan dibelinya.

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ.

Wanita itu tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah kecantikannya.

“Kiranya engkau seorang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat keluar dari kamarmu tadi…..”

“Nona, siapakah engkau dan mengapa pula……” Ki Liong mengulang pertanyaannya.

“Hi-hik, pendekar kesepian! Akupun senasib denganmu. Akupun merasa kesepian sekali. Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat.

Ki Liong bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba nafsu yang tidak pantang melakukan apapun demi pemuas nafsunya. Kini, menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.

“Maksudmu bagaimana?”

“Hi-hik, orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Akupun bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!” Wanita itu menunjuk ke kiri.

Akan tetapi biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu, Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.

“Nona, usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi, kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita bicara dikamarku saja.”

Wanita itu tersenyum dan mengedipkan matanya.
“Tapi….. kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar….”

Ki Liong tersenyum.
“Perlukah kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita saling berdekatan.” Dia pun mengedipkan matanya.

Wanita itu tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak nyaring. Dan iapun mengangguk.

“Mari kita berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara gaduh sedikitpun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan yang menang.”

Ki Liong tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah atau yang diperintah,

“Baik, silahkan!” katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya.

Diapun cepat mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.

“Nah, kau kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendela, lalu ke sinilah, aku kedinginan!”

Dengan patuh dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak bertemu api.

Ki Liong menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar. Dilain pihak, wanita itupun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya.

Tidak mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya. Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.

Wanita itu memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Diapun bercerita terus terang siapa dirinya.

Ketika mendengar bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.

“Pen….., Pendekar Sadis….?”

Ia berseru dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis. Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali.

Pendekar Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan.

Ki Liong tersenyum dan diapun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam pelukannya.

“Jangan takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat, aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?”

Bi Hwa menghela napas panjang.
“Ihh, engkau sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya engkau murid Pendekar Sadis.”

“Bekas muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui lagi sebagai murid.”

Ki Liong lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subonya di pulau itu. Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan diri sambil mencuri pedang milik gurunya, akan tetapi kemudian dia mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi, suhu dan subonya tidak mau mengampuninya.

“Hatiku sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai bukan main. Dan memang sebetulnya akupun tidak ingin sekali kembali kesana dan hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi kesana!”

“Bagus, Ki Liong. Cocok sekali dengan aku! Akupun tidak suka terikat seperti itu. Aku ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!”

Bi Hwa merangkul. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang kekasih yang sehebat ini, juga yang ia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan!

“Akupun senang sekali bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan petuualang bersama. Akan tetapi, aku mempunyai teman, bahkan ia tunanganku….”

“Hemm, gadis cantik peranakan Tibet itu?”

“Kau tahu?”

“Tentu saja. Sudah sejak tadi aku mengintai kalian. Akupun merasa heran mengapa kalian tidak tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu itu menjaga kehormatannya dengan ketat, ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?”

“Hemm, terus terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Dan ia bahkan pernah menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta padanya, akan tetapi ia memang selalu menjauhkan diri, mengatakan bahwa ia hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan hatiku. Kalau saja ia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya hatiku.”

Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa artinya cinta. Sejak kecil ia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Dan sejak ia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu menggauli murid ini sehingga mulai saat itu, Bi Hwa menjadi murid dan juga kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu. Dan sejak itu pula, Bi Hwa menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang berkenan dihatinya. Ia hanya mengenal nafsu berahi, sama sekali tidak mengenal apa artinya cinta! Oleh karena itu, mendengar seorang rekan dalam dunia sesat seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta kepada seorang gadis, iapun tertawa.

“Heh-heh-hi-hik, Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa sih sukarnya bagi orang sepandai engkau? Banyak jalan untuk dapat memaksanya menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali ia sudah menyerahkan diri kepadamu, tentu selanjutnya ia akan menjadi penurut.”

Ki Liong menggeleng kepalanya.
“Engkau tidak tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, ia juga lihai, murid Kim Mo Sian-kauw, dan biarpun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin ia menyerah dengan cintanya kepadaku seperti sekarang ini. Kalau aku memaksanya, ia tentu akan membenciku dan aku tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.”

Bi Hwa mencium pipi pemuda itu.
“Disini ada aku yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, kenapa engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang memuaskan?”

Ki Liong mencubit dagu yang manis itu.
“Engkau hebat, Bi Hwa. Akan tetapi, engkau lebih cocok menjadi kekasihku dan sekutuku, kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin ia menjadi ibu dari anak-anakku.”

“Ihh! Aku tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya akan merusak keindahan tubuh dan membuat aku cepat tua!” ia tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar menganggap aku sebagai kekasih dan sekutu, dan selalu akan menyenangkan hatiku seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat ia menyerah kepadamu tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela, Ki Liong.”

Tentu saja Ki Liong merasa girang sekali.
“Kalau benar engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara sukarela, aku akan semakin sayang kepadamu, Bi Hwa. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang keras sekali dan ia amat sukar ditundukkan.”

“Hi-hi-hik, kau lihat saja nanti. Besok pagi, perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita pernah berkenalan…..”

Mereka lalu bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai seorang sahabat!

“Engkau tadi telah menceritakan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi, sekarang bersama Mayang, engkau hendak pergi kemanakah?”

“Aku sendiri bingung, Bi Hwa. Tadinya, setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, Mayang mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu ibunya dan gurunya agar kami dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar itu, maka kuusulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Setelah kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebetulnya, aku tidak ingin kembali kepada guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.”

“Ke Cin-ling-pai?”

Bi Hwa bergidik. Baru saja ia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai perkumpulan itu, bahkan ia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas oleh keluarga Cin-ling-pai.

“Pergi ke Cin-ling-pai sama saja dengan ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justeru keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang guruku.”

Ki Liong bangkit duduk dan mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya.
“Terus terang saja, merekapun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai itupun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas ditangannya kalau tidak ada Mayang yang menolongku. Akupun tidak suka kepada mereka yang sombong.”

“Kalau begitu, untuk apa pergi kesana? Lebih baik kalau kau pergi bersamaku ke kota raja. Bukankah kita akan bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan, menikmati hidup ini? Nah, aku mempunyai rencana yang kalau berhasil akan membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.”

“Aih, nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?”

Kembali mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka penuhi dengan mengatur siasat kerja sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu berahi. Dan pada keesokan harinya mereka telah menjadi sekutu yang saling mencinta dan mereka telah menemukan pasangan yang amat menyenangkan.

Setelah Mayang bangun dan mandi, ia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar walaupun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur.

Di kedai inilah, ketika mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah melihat ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang dan iapun berseru.

“Ki Liong ……! Bukankah engkau Ki Liong ….?”

Wanita itu bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang sudah diaturkan semalam dengan Ki Liong.

Ki Liong dan Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali melihat seorang wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah.

Ki Liong bangkit berdiri dan diapun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan berkata,

“Maafkan aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?”

Mayang masih duduk, dan ia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan ia merasa tidak enak hati. Akan tetapi, wanita itu tersenyum ramah dan mendekat. Semerbak harum menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan ia semakin tidak senang. Ia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi sedemikian banyaknya sampai semerbak baunya.

“Ki Liong, benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ketika aku berusia sepuluh tahun, bukankah aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun, dan ketika engkau menjadi ketua Kim-lian-pang, kita juga pernah bertemu.”

Sepasang mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri.
“Ah, engkau kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!”

Bi Hwa tersenyum ramah.
“Bagus, akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki Liong dan ini…. Eh, adik manis ini siapakah?”

“O ya, kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami masih kanak-kanak. Sekarang ia telah menjadi wanita yang lihai sekali. Dan Bi Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.”

“Tunangan? Ah, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu tak lama lagi akan menikah.”

Dengan ramah Bi Hwa memberi hormat dan dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di meja mereka dan Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini.

“Bagaimana engkau dapat berada di Wang-sian ini? Dimana engkau bermalam, Bi Hwa?”

“Di losmen Goat-likoan,” jawab Bi Hwa.

“Ah, kami juga bermalam disana!” kata Mayang.

Bi Hwa memandang heran.
“Benarkah? Aih, kita selosmen akan tetapi tidak saling berjumpa!”

Mereka selesai makan dan melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen dimana mereka bermalam. Dan Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Ia mendapat kenyataan bahwa Bi Hwa seorang wanita yang ramah sekali, pula luas pengetahuannya, dapat menceritakan hal-hal yang amat menarik. Juga lenyaplah semua kecurigaannya karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama. Apalagi ia mendengar Bi Hwa mengaku bahwa ia seorang janda, bahwa suaminya sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan ia sudah membalaskan kematian suaminya.

“Sejak itu, aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Eh, ngomong-ngomong, kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.”

Wajah Mayang berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang.
“Kalau aku sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak minta restu ibunya dan gurunya lebih dulu. Akan tetapi ia memang benar, apalagi aku belum mempunyai pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.”

“Bagaimana mungkin aku dapat menikah di luar persetujuan ibu dan suboku?” kata Mayang membela diri karena ia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya tinggal sekamar.

Bi Hwa tersenyum.
“Kalian berdua memang benar. Akan tetapi menurut pendapatku, alasan Ki Liong paling kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap haripun tidak ringan. Seorang suami memang harus memiliki penghasilan yang tetap dan mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang tinggi.”

“Bi Hwa, kau kira mudah begitu saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Disana gudangnya orang pandai. Lebih banyak orangnya daripada jabatan yang diperebutkan. Tanpa adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?”

“Jangan khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi di kota raja, sahabat mendiang sauamiku dahulu. Kalau engkau memang membutuhkan pekerjaan, mari bersama dengan aku kesana. Akupun sedang pergi kesana, juga untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.”

“Bagus sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.”

“Tapi, bagaimana perjalanan kita menjadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama, kita akan pergi kebarat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin lebih dulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali kita mengubah perjalanan, ke kota raja!”

Mendengar ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu.

“Adik Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, kita sebaiknya memilih yang paling penting lebih dahulu. Urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu dan gurumu, biarpun penting, namun dapat ditunda karena mereka itu mempunyai tempat yang tetap dan tidak akan kemana-mana. Datang hari ini atau lain bulanpun sama saja. Akan tetapi, urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada kesempatan yang amat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku disana. Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, akan amat sukar mendapatkan kedudukan yang baik.”

“Benar sekali, Mayang. Pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan mengajukan lamaran atas diriku kalau belum mempunyai pekerjaan apapun? Kalau ibumu atau subomu bertanya tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab mereka?” Ki Liong membujuk pula.

Dibujuk oleh dua orang itu yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat, akhirnya Mayang terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa tergesa-gesa mendapatkan persetujuan menikah. Yang penting, Ki Liong sudah mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling mencinta. Iapun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah tangga yang akan mengikat ia di rumah sebagai ibu rumah tangga.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12