Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 08
“Kui Hong!”
Suara Cia Hui Song kini mengandung kemarahan dan ketegasan. “Dimana akal
sehatmu? Tentu saja ayah ibumu tidak melarang engkau bergaul dengan orang-orang
gagah sedunia, terutama dengan pendekar-pendekar yang budiman dan gagah
perkasa. Akan tetapi bagaimana engkau dapat mengajak putera Ang-hong-cu kesini?
Biarpun dia sudah membantu kita, tetap saja kami tidak mungkin dapat
menerimanya sebagai seorang tamu kehormatan, apalagi sahabat anak kita.
Lebih-lebih lagi sebagai pilihan hatinya! Engkau tahu, nama Ang-hong-cu dikutuk
orang gagah sedunia, dan engkau akrab dengannya?”
“Tapi, Ayah.
Kami sudah saling mencinta! Bahkan dia kuajak datang kesini untuk minta
pertimbangan Ayah dan Ibu agar kami diperkenankan menjadi suami isteri!”
“Tidak……!”
Bentakan Hui
Song dan Sui Cin hampir berbareng dan ini saja sudah cukup mejadi bukti bahwa
suami isteri itu sependirian dalam hal ini, tidak setuju kalau puteri mereka
berjodoh dengan anak Ang-hong-cu!
Kui Hong
adalah seorang gadis berhati baja. Makin ditentang, semakin panas hatinya dan
semakin berani. Ia menghadapi ayah ibunya dengan muka merah dan mata
bersinar-sinar, walaupun agak basah.
“Sungguh aku
tidak menyangka. Apakah ayah dan ibu berpendirian kolot. Apakah ayah dan ibu
tidak menghargai kesucian dua hati yang saling mencinta? Apakah Ayah dan Ibu
hendak menjodohkan aku dengan pria pilihan Ayah dan Ibu sendiri, tidak
menghiraukan pilihan hatiku seolah-olah aku ini bukan manusia, melainkan seekor
anjing atau sapi saja? Bukankah ayah dan ibu dahulu juga menikah atas dasar
saling mencinta?”
Mendengar
serangan pertanyaan dari puteri mereka itu, Hui Song dan Sui Cin saling pandang
dan agak berkuranglah rasa marah dan penasaran mereka. Hui Song lalu berkata,
suaranya lebih tenang.
“Memang
benar, Kui Hong. Ayah ibu menikah berdasarkan cinta. Akan tetapi, tidak ada
latar belakang buruk antara ayah dan ibumu sehingga pernikahan kamipun tidak
ada halangannya. Akan tetapi, engkau harus ingat bahwa Ang-hong-cu adalah
seorang jai-hwa-cat yang amat jahat dan keji, entah sudah merusak berapa ratus
orang wanita! Bahkan keluarga kita sendiri, Cia Ling, menjadi korbanya! Seluruh
orang gagah mengutuknya dan…..”
“Akan
tetapi, Ayah. Aku tidak menikah dengan Ang-hong-cu, melainkan dengan Hay-koko!”
“Tapi dia
adalah anak kandung Ang-hong-cu, Kui Hong!” bantah ibunya.
Kui Bu sudah
disuruh masuk kekamar, tidak diperbolehkan ikut mendengarkan percakapan itu
oleh ibunya.
“Dan
bagaimana mungkin keluarga kita yang dihormati orang dapat berbesan dengan
ang-hong-cu yang dikutuk semua orang?”
“Tapi,
Ang-hong-cu sudah mati, Ibu! Yang jahat memang Ang-hong-cu, akan tetapi Hay-ko
tidak jahat, bahkan dia seorang pendekar yang budiman dan gagah! Ingat, Ibu,
Hay-ko tidak pernah minta dijadikan anak Ang-hong-cu! Bahkan sejak lahir dia
belum pernah melihat muka Ang-hong-cu, sampai dia dewasa dan mencari
Ang-hong-cu untuk membalaskan dendam ibunya yang diperkosa……”
Tiba-tiba
Kui Hong menghentikan kata-katanya. Karena emosi, ia sampai lupa dan bahkan
membuka rahasia Hay Hay yang tadinya hendak disembunyikan dari orang tuanya
itu.
“Ya Tuhan!
Bahkan dia anak akibat perkosaan yang dilakukan Ang-hong-cu terhadap ibunya?
Anak haram….?”
“Ibu! Ibu
terlalu kejam kepadanya! Apa dosa Hay-ko dalam peristiwa terkutuk itu? Apa
dosanya? Coba Ibu katakan, apa dosanya?”
Tentu saja
Sui Cin tidak mampu menjawab, hanya menggeleng-geleng kepala.
“Jelas bahwa
kami tidak mungkin dapat menyetujui engkau berjodoh dengan dia, Kui Hong.
Ingat, engkau seorang pangcu dari Cin-ling-pai. Ingat akan sumpahmu? Engkau
harus lebih mementingkan Cin-ling-pai daripada urusan pribadimu.”
“Ayah, kalau
aku menikah dengan Hay-koko, hal itu sama sekali tidak merugikan Cin-ling-pai,
bahkan Cin-ling-pai akan mendapat tenaga bantuan orang yang memiliki kepandaian
amat tinggi. Cin-ling-pai bahkan akan menjadi semakin maju dengan bantuan
Hay-ko sebagai suamiku.”
“Kui Hong,
engkau lupa!” tiba-tiba kakek Cia Kong Liang berkata. “Kalau begitu, lalu apa
bedanya dengan Cin-ling-pai maju karena bantuan Pek-lian-kauw, misalnya?
Orang-orang dunia kang-ouw akan mengatakan bahwa Cin-ling-pai menjadi kuat karena
ada anak Ang-hong-cu menjadi anggauta pimpinan.”
“Kami tidak
menghendaki itu!” kata pula Hui Song.
Kui Hong
diam saja, sejenak ia memejamkan mata sambil membiarkan dirinya jatuh ke atas
kursi. Ia tahu bahwa tidak mungkin lagi berbantahan dengan mereka ini. Jelas
bahwa apapun alasan yang ia kemukakan, kakeknya, ayah dan ibunya tidak akan mau
menyetujui perjodohannya dengan Hay Hay. Apalagi kalau mereka menggunakan
alasan Cin-ling-pai, tentu ia tidak lagi mampu bergerak.
Suasana
menjadi lengang sekali ketika gadis itu berdiam diri. Tiga orang tua itu
memandang kepadanya dengan sinar mata mengandung kemarahan dan kekhawatiran.
Mereka semua mengenal Kui Hong sebagai seorang gadis yang keras hati dan sukar
diduga apa yang akan dilakukan gadis itu.
Akhirnya Kui
Hong berdiri dan memandang kepada tiga orang tua itu, mula-mula kepada ibunya,
lalu ayahnya, akhirnya kakeknya.
“Baiklah,
kalau begitu, aku akan mengundurkan diri dari Cin-ling-pai, aku tidak akan
menjadi ketua Cin-ling-pai agar aku dapat menikah dengan suami pilihan hatiku
sendiri. Aku akan memberi tahu kepada Hay-ko mengenai keputusanku ini.” Setelah
berkata demikian ia lalu melangkah pergi meniggalkan ruangan itu.
“Kui
Hong……!”
Sui Cin juga
bangkit dan hendak mengejar, akan tetapi tangan suaminya menyentuh pundaknya.
“Jangan,
tidak ada gunanya lagi,” kata suaminya.
Sui Cin
mengerti dan iapun hanya dapat melempar diri ke atas kursi dan menyembunyikan
tangisnya di balik kedua tangannya. Suasana menjadi sangat mencekam dan tiga
orang tua itu tenggelam dalam duka dan kecewa.
Dengan muka
dan hati masih panas Kui Hong melangkah ke dalam ruangan tamu dimana Hay Hay
menunggu. Akan tetapi, ketika ia tiba disana, ia tidak melihat Hay Hay yang
tadi duduk di kursi. Ia memandang ke kanan kiri, mencari-cari dengan pandang
matanya sampai keluar ruangan. Namun tidak nampak bayangan Hay Hay. Ia
mendekati meja dan kursi dimana tadi Hay Hay duduk dan melihat selembar kertas
dilipat di atas meja. Surat dari Hay Hay! Dengan tangan gemeter dan jantung
berdebar dibukanya lipatan surat dan dibacanya.
Adik Kui
Hong tersayang,
Kita harus
melihat dua buah kenyataan yang membuat perjodohan kita tidak mungkin terjadi.
Pertama, keluargamu tidak setuju, aku menjadi suamimu, dan kedua, aku sendiri
tidak suka terikat di Cin-ling-pai kalau menjadi suamimu. Jangan menjadi anak
tidak berbakti dan murid Cin-ling-pai yang murtad, Hong-moi. Cinta kasih adalah
antara dua buah hati, akan tetapi pernikahan sudah diatur oleh Tuhan! Sudah
kupertimbangkan. Demi kebaikanmu, aku harus mundur. Aku harus pergi dan jangan tanya
kemana aku pergi, sayang. Aku sendiri tidak tahu kemana aku pergi.
Sekali lagi
ingat, Hong-moi. Jodoh di tangan Tuhan, maka kalau kita saling berjodoh, biar
hari ini berpisah, kelak pasti akan bertemu kembali.
Salam dan
doaku,
Hay Hay
“Hay-koko….!”
Kui Hong
menggenggam surat itu dan menjatuhkan kepalanya di atas meja. Kedua pundaknya
berguncang dan walaupun tidak terdengar tangisnya, namun di bawah mukanya, meja
menjadi semakin basah air mata.
Kakek Cia
Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin beberapa lama kemudian ketika
menyusul ke ruangan tamu, mendapatkan gadis itu dalam keadaan pingsan, duduk di
kursi dengan kepala di atas meja, surat masih terggenggam di tangan. Dengan
hati-hati Sui Cin mengambil surat itu dan membacanya. Beberapa butir air mata
mengalir turun dari kedua mata nyonya ini. Ia merasa kasihan sekali kepada Hay
Hay dan Kui Hong, akan tetapi juga lega dan girang bahwa pemuda itu telah
mengambil keputusan yang demikian bijaksana. Sayang, pikirnya kalau saja bukan
putera Ang-hong-cu, keluarga Cia, dan ia sendiri, pasti akan menerima pemuda
itu dengan hati dan tangan terbuka!
Tubuh Kui
Hong panas! Ia terserang demam karena tekanan batin. Kakek, ayah dan ibunya
membujuk dan menghiburnya penuh dengan kata-kata dan perawatan penuh kasih
sayang sehingga akhirnya, bagaimanapun juga, Kui Hong harus membenarkan
pendapat dan keputusan kekasihnya.
Ia pulih
kembali dan dalam hatinya berjanji akan mengurus Cin-ling-pai sebaiknya, dan
tidak akan menikah dengan pria manapun juga. Kalau Tuhan menghendaki, kelak
pasti ia akan bertemu kembali dengan Hay Hay dan kalau memang menjodohkan
mereka, pasti terbuka jalan sehingga pertalian kasih sayang mereka dapat
terjalin dalam pernikahan.
Belum pernah
selama hidupnya Hay Hay mengalami perasaan seperti saat itu. Kepalanya terasa
berat, seluruh tubuhnya lemas, perasaan hatinya mengambang, tak menentu, dan
ada sesuatu yang menekan dan menusuk, seperti himpitan berat yang sekaligus
mendatangkan rasa nyeri di dada. Pandang matanya hampa dan ia merasa betapa dia
hidup di dunia yang teramat sunyi dan kosong, bahkan tidak ada artinya, hampa.
Wajahnya
yang biasa berseri itu kini muram, senyum yang biasanya tak pernah meninggalkan
bibirnya itu kini terganti tarikan mulut seperti orang yang sedang tersiksa
nyeri yang amat hebat, sepasang mata yang biasanya bersinar-sinar dan mencorong
itu kini bagaikan pelita kehabisan minyak yang hampir padam. Rambut yang
biasanya bersih dan tersisir rapi itu kini kusut dan kotor, juga pakaian yang
biasanya rapi itu kini nampak kusut dan sudah perlu diganti.
Memang sudah
dua hari Hay Hay tidak makan, tidak tidur, tidak berganti pakaian, tidak mandi.
Selama dua hari dua malam dia berjalan terus, jalan tanpa arah tertentu, asal
kedua kakinya melangkah saja. Banyak lembah bukit dan sawah ladang dilalui,
hutan ditembusi, dan dia tidak tahu berada dimana, dari mana atau hendak
kemana. Dia seperti seorang yang kehilangan ingatan, atau yang kehabisan
semangat, kehilangan gairah hidup. Sejak dia meninggalkan ruangan tamu di rumah
keluarga Cia, keluar dari Cin-ling-san, keadaannya sudah seperti itu.
Hanya satu
saja yang selalu teringat, selalu terbayang, selalu terngiang, yaitu bahwa dia
harus berpisah dari Kui Hong! Dan satu hal itu justeru membuat perasaan hatinya
seperti di tusuk-tusuk. Ingin dia menjerit, ingin dia menangis. Ingin
memprotes, namun dia tidak mampu melakukannya. Dia harus meninggalkan
kekasihnya. Harus! Hanya satu ini yang menjadi tekadnya. Demi kebaikan Kui
Hong. Dia harus pergi meninggalkannya!
Setiap
lambaian daun pohon tertiup angin, atau setiap kicau burung, apa saja yang
dilihatnya, seolah-olah tahu akan keadaannya dan ikut berduka dengannya. Ada
pula perasaan bahwa setiap orang yang dijumpainya dalam perjalanan tanpa arah
itu, seolah mengejeknya, menyorakinya!
Haus dan
lapar membuat dia lemas dan hampir pingsan ketika dia menjatuhkan diri berlutut
di tepi sebuah danau kecil yang jernih airnya. Sejenak dia hanya berlutut saja,
memejamkan kedua matanya, masih belum ada gairah untuk minum walaupun air
berada didekatnya dan haus mencekik lehernya.
Dan ketika
dia memejamkan kedua matanya, malah terbayang wajah Kui Hong. Wajah yang
demikian manisnya, mata yang memandangnya dengan pancaran kasih sayang yang
demikian mendalam, dengan ujung bibir bergerak-gerak seolah hendak menyatakan
kasih sayangnya dengan seribu satu bisikan.
“Hong-moi…..
aihhh, Hong-moi……” dan kini Hay Hay tidak mampu lagi menahan tangisnya.
Hanya
sesenggukan, akan tetapi air matanya jatuh bagaikan hujan deras, menetes-netes,
ke dalam air danau di depannya. Makin dirasakan, semakin perih rasa hatinya dan
semakin deras keluarnya air mata. Belum pernah selama hidupnya dia menangis
seperti ini!
Tiada hujan
yang takkan mereda, tida tangis tanpa berhenti. Setelah berlutut sambil
menangis dan memejamkan mata selama hampir setengah jam, akhirnya mereda juga
badai dan topan yang mengamuk di dalam perasaan hati Hay Hay. Air matanya
terkuras sudah, terkuras bersama air matanya. Kalau awan mendung yang gelap
sudah mencair menjadi air hujan dan jatuh, cuaca pun berubah terang. Demikian
pula, duka nestapa di hati kalau sudah mencair menjadi air mata dan tertumpah
keluar, terasa ringan di hati yang tadinya amat tertekan itu.
Hay Hay
tanpa sengaja atau disadari, menarik napas panjang. Seolah-olah hawa udara yang
sejuk itu mengalir memasuki paru-paru dan seluruh rongga-rongga kosong yang
tadinya diisi hawa kedukaan. Terasa nyaman dan nikmat sekali, melegakan.
Hay Hay
membuka matanya, seolah baru bangun dari mimpi buruk. Begitu membuka matanya,
teringatlah dia akan segala yang terjadi. Tentang Cin-ling-pai, keluarga Cia,
tentang keadaannya selama dua hari dua malam setelah meninggalkan ruangan tamu
rumah Kui Hong itu. Dia menghela napas panjang, merasa heran mengapa dia sampai
dapat bersikap seperti itu. Dan dia menunduk. Bayangan wajahnya nampak di air
danau yang jernih seperti cermin itu. Dia terkejut.
“Ehh? Kaukah
itu, Hay Hay?” tanyanya kepada bayangannya.
Dia melihat
ketika dia bertanya itu, bayangannya menggerak-gerakkan bibir yang nampak
begitu pucat, kering dan dengan tarikan yang menyedihkan, betapa bayangan itu
memiliki pandang mata yang seperti mayat hidup, wajah yang kotor dan muram,
rambut awut-awutan, pakaian lusuh kotor.
“Ihh!
Apa-apan sih kau ini, Hay Hay?” tegurnya kepada bayangannya.
Dan
tiba-tiba dia membungkuk dan membenamkan kepalanya sendiri sampai ke leher ke
dalam air! Air yang dingin itu meresap ke seluruh kepalanya seperti menembus ke
otak, mengusir semua kenangan masa lalu dan bayangan masa depan. Yang terasa
hanyalah dingin dan dingin, segar dan nyaman. Ketika akhirnya dia mengangkat
kembali mukanya dari dalam air, dia agak terengah-engah. Air menetes-netes dari
muka dan rambutnya ketika dia menunduk dan nampak bayangan mukanya yang kacau
balau di permukaan air yang pecah.
“Engkau
tolol, Hay Hay! Engkau membiarkan kepalamu terbenam dalam duka yang hampa.
Lebih baik dibenamkan dalam air sejuk nyaman, ha-ha-ha!” dan kembali ia
membenamkan kepalanya ke dalam air!
Hal ini
berulang sampai beberapa kali, sampai napasnya terengah-engah ketika dia
mengangkat kembali kepalanya keluar. Akan tetapi dia kini telah sadar
sepenuhnya. Nampak benar segala sikapnya yang dianggapnya lucu dan bodoh. Dia
sudah mengambil keputusan untuk mundur dari Kui Hong, karena tahu bahwa hal itu
yang sebaiknya bagi Kui Hong, gadis yang dicintanya. Kenapa setelah mengambil
keputusan yang dianggapnya sudah tepat itu, dia lalu menyiksa batin dengan
penyesalan, kedukaan, kekecewaan dan kehilangan?
Kini dia
duduk di tepi danau, melamun akan tetapi tidak berduka lagi. Rambutnya sudah
dia keringkan, masih terurai di pundak. Dia bahkan sudah mandi dan berganti
pakaian. Kini dia tinggal menanti pakaian kotor yang dicucinya menjadi kering,
dijermurnya di ranting pohon. Sambil menanti, dia memutar otaknya untuk mengatur
langkah hidup selanjutnya. Kini dia dapat mengenang pengalaman pahit itu tanpa
mengeluh, tanpa merasa sakit hati lagi.
Memang dia
telah diremehkan keluarga Cia, namun kini, dengan pikiran jernih dan dingin,
dia dapat melihat mengapa keluarga Cia meremehkan dirinya dan tidak menyetujui
perjodohan antara dia dan Kui Hong. Dan dia tidak dapat menyalahkan mereka.
Semua ini merupakan akibat daripada sebab yang diperbuat oleh ayah kandungnya,
merupakan buah dari pohon yang ditanam oleh Ang-hong-cu.
Kui Hong
adalah seorang pangcu yang terhormat yang mempunyai tugas berat, harus menjaga
nama baik Cin-ling-pai. Juga puteri suami isteri pendekar, tokoh Cin-ling-pai
yang amat terkenal. Semua anggauta keluarga Cia merupakan pendekar-pendekar
besar, pendekar-pendekar gagah perkasa dan budiman yang selalu menentang
kejahatan. Bagaimana mungkin gadis seperti Kui Hong berjodoh dengan putera
Ang-hong-cu, penjahat cabul yang ditentang, dibenci dan bahkan dikutuk oleh
semua pendekar?
Memang pahit
sekali. Namun hal itu merupakan kenyataan yang harus ditelannya! Dalam segala
peristiwa yang terasa pahit dan tidak enakpun terkandung hikmah yang amat
bermanfaat bagi yang bersangkutan. Tuhan Maha Kasih. Semua peristiwa yang
dikehendaki Tuhan terjadi pada seseorang, pasti demi kebaikan orang itu
sendiri. Tentu saja hati pikiran kita yang terbatas ini tidak mungkin mampu
menjenguk makna atau hikmah yang tersembunyi di dalam setiap peristiwa. Kita
hanya melihat kulitnya saja. Kalau menguntungkan kita, kita anggap baik. Kalau
merugikan kita, kita anggap buruk! Kita tidak tahu apa intinya, apa isinya, dan
hanya pandai mengeluh kalau terasa tidak enak.
Hay Hay
teringat akan dongeng yang diceritakan oleh gurunya yang terakhir, yaitu Song
Lojin tentang hikmah yang terkandung dalam segala macam peristiwa dalam
kehidupan ini. Tuhan selalu bekerja, tak pernah berhenti sedetikpun. Dan
pekerjaan Tuhan selalu sempurna, walaupun lika-likunya banyak yang merupakan
rahasia bagi kita, atau belum kita mengerti.
Kalau ada
bagian pekerjaan Tuhan yang sudah kita mengerti benar, barulah kita ketahui
bahwa hasil pekerjaan Tuhan itu sempurna, seperti Tuhan adalah Maha Sempurna!
Dongeng yang diceritakan Song Lojin kepadanya itu kini teringat olehnya dan dia
melamun, mengingat-ingat dongeng yang seperti dongeng kanak-kanak akan tetapi
mengandung pelajaran yang dapat membuka mata kita terhadap kenyataan, terhadap
hikmah yang tersembunyi dalam setiap peristiwa.
Ada seorang
janda yang hidup berdua saja dengan seorang puteranya yang baru berusia lima
tahun. Janda itu beribadat dan saleh, tak pernah menyimpang dari jalan
kebenaran sehingga terkenal sebagai seorang janda yang berbudi baik. Puteranya
juga lucu dan mungil sehingga biarpun janda itu hanya hidup berdua, ia cukup
bahagia.
Akan tetapi,
pada suatu hari, puteranya jatuh sakit dan usaha apapun yang dilakukan janda
itu untuk menyembuhkan puteranya, gagal. Anak itu meninggal dunia! Hancur luluh
perasaan hati janda itu. Ratap tangisnya terhadap Tuhan untuk minta pertolongan
sejak puteranya jatuh sakit, kini berubah menjadi ratap tangis penyesalan.
Bahkan demikian hebat kedukaannya sehingga ia berani menegur Tuhan dalam
tangisnya, mengapa Tuhan begitu kejam, mengambir satu-satunya anak,
satu-satunya pelipur hatinya, teman hidupnya. Mengapa Tuhan membalas semua
kebaktiannya dengan siksaan. Dalam tangisnya, ia mengatakan bahwa Tuhan tidak
adil!
Saking
sedihnya, ia jatuh pingsan. Para tetangga mengangkatnya dan merebahkan tubuhnya
di atas pembaringan. Tak jauh dari jenazah puteranya. Dan dalam pingsannya itu,
semangat janda yang dilanda penasaran itu melayang naik mencari Tuhan! Ia
bertekat untuk menghadap Tuhan, untuk memprotes kematian puteranya! Dan
semangatnya yang melayang-layang itu bertemu dengan malaikat yang diutus Tuhan
menjemputnya.
“Janda
saleh, hendak kemanakah engkau?” tanya malaikat.
“Aku ingin
mencari Tuhan. Aku ingin menghadap Tuhan!” jawabnya.
“Mengapa?”
“Aku ingin
memprotes, ingin menyatakan penasaran hatiku. Sejak kecil aku selalu beribadat,
tak penah lupa sembahyang dan memuji nama Tuhan, tidak pernah melakukan
kejahatan karena aku takut kepada Tuhan, selalu ingin menyenangkan Tuhan dengan
perbuatan yang baik. Akan tetapi, ketika masih muda dan mempunyai anak seorang,
Tuhan mengambil suamiku. Hal itu masih kuterima dengan penuh ketawakalan, aku
menyerah atas kehendak Tuhan. Aku hidup menjanda dengan puteraku yang kuanggap
sebagai anugerah Tuhan. Aku selalu berterima kasih dan menjaga diri agar jangan
sampai membikin marah Tuhan dengan perbuatan yang mengandung dosa. Akan tetapi,
mengapa kini Tuhan mengambil puteraku? Mengapa Tuhan begitu kejam terhadap aku?
Nah, aku akan menghadap Tuhan dan memprotes! Mengapa kehidupan orang-orang yang
berdosa bahkan jauh lebih beruntung daripada kehidupanku, seorang yang selallu
memuja Tuhan?”
Malaikat itu
membiarkan sang janda bicara sampai habis, mengeluarkan semua isi hatinya yang
penuh duka dan penasaran. Kemudian, malaikat itu membimbingnya ke atas awan,
lalu berkata dengan lembut.
“Janda yang
saleh. Sebelum kau lanjutkan protesmu kepada Tuhan, kami ingin memperlihatkan
sesuatu. Nah, kau tengoklah disana itu!” Sang malaikat menununjuk ke arah
langit biru di barat.
Sang janda
melihat ke arah langit yang ditunjuk dari atas gumpalan awan putih itu dan
iapun melihat pemandangan yang mengherankan. Ia melihat kehidupan di dunia
ramai! Dilihatnya seorang pemuda yang tampan dan gagah sedang melakukan
perbuatan yang mengerikan. Pemuda itu dengan bengis dan kejamnya menyerang
orang-orang, membunuh dan merampok, bahkan memperkosa. Pemuda itu demikian
garang dan demikian jahat, bagaikan iblis sendiri sehingga sang janda tidak
sanggup lagi menyaksikan kekejaman-kekejaman yang luar biasa itu dan ia
memalingkan mukanya, tidak sudi melihat lagi.
“Betapa
kejamnya! Betapa jahatnya! Kenapa aku yang sudah menderita duka ini diharuskan
menyaksikan perbuatan yang demikian kejam dan jahat? Siapakah pemuda yang jahat
itu?”
“Ketahuilah
olehmu, janda yang baik budi. Pemuda itu adalah puteramu, kalau dia dibiarkan
menjadi dewasa kelak.”
Wanita itu
terbelalak dan menutup mulut dengan tangan seolah hendak menjaga agar ia jangan
menjerit, membalik dan memandang lagi ke arah pemuda itu yang masih mengamuk
itu.
“Ya Allah!
Ampunilah hamba Ya Tuhan….. jangan….. jangan…..! Hentikanlah perbuatannya….. !”
Dan iapun menangis tersedu-sedu, menutupi mukanya dengan kedua tangan.
“Lihatlah
kenyataan, janda yang baik dan sadarilah mengapa kini Tuhan menghendaki anakmu
mati dalam usia kecil. Karena engkau, ibunya, seorang wanita yang saleh dan
baik budi, maka Tuhan tidak menghendaki engkau tersiksa kelak oleh perbuatan
anakmu. Nah, sekarang bagaimana? Apakah engkau masih menghendaki agar anakmu
dihidupkan kembali dan dibiarkan menjadi dewasa?”
“Tidak….
tidak…….! Biarlah dia mati sekarang, aku…. aku rela….., jangan sampai dia
menjadi jahat seperti itu….”
Demikianlah
dongeng yang kini seolah terbayang di dalam benak Hay Hay. Dia memejamkan mata,
tersenyum dan mengangguk-angguk. Kehendak Tuhan jadilah, demikian bisik
hatinya. Semua peristiwa yang terjadi pada diri setiap manusia, merupakan suatu
kenyataan, suatu kebenaran, suatu keputusan Tuhan yang Maha Adil, Maha Bijaksana,
Maha Kasih.
Manusia wajb
berikhtiar dengan cara yang benar untuk mempertahankan hidupnya, bahkan untuk
menikmati hidupnya. Namun, hasil atau gagalnya ikhtiar itu, hanya Tuha yang
menentukannya. Apapun yang terjadi adalah kehendak Tuhan! Kalau kita anggap
peristiwa yang menimpa kita menyenangkan, kita patut bersyukur atas kasih
sayang Tuhan. Kalau kita anggap menyusahkan, kita tidak perlu mengeluh,
melainkan menerimanya dengan penuh kesadaran bahwa apa yang terjadi sudah
kehendak Tuhan dan pasti ada sebabnya, bahkan ada hikmahnya. Mungkin merupakan
hukuman atau buah dari pohon yang ditanamnya sendiri. Mungkin merupakan cobaan
atau ujian. Tidak ada manfaatnya mengeluh, sebaliknya harus bersyukur dan
menyerah kepada Tuhan Maha Kasih!
Hay Hay
tertawa-tawa, mentertawakan kebodohannya sendiri. Pikiran ini hanya alat,
kenapa kita suka mempergunakannya untuk mengenangkan dan membayangkan hal-hal
yang lalu dan yang akan datang, hanya untuk menimbulkan rasa duka dan
ketakutan? Kenapa kita tidak mempergunakan alat ini untuk hal-hal yang
bermanfaat, sehingga melahirkan tindakan-tindakan yang bermanfaat pula?
“Ha-ha-ha,
dasar otak udah kau, Hay Hay?” katanya sambil tertawa dan sekali lagi dia
membenamkan kepalanya ke dalam air sampai ke lehernya!
Ketika
dengan terengah-engah dia mengeluarkan lagi kepalanya dari dalam air, dengan
rambut basah kuyup menutupi sebagian mukanya, dan air menetes-netes dari hidung
dan dagunya, ia mendengar suara ketawa di belakangnya. Suara tawa merdu seorang
wanita! Kalau saja dia tidak membenamkan kepalanya ke dalam air tadi, tentu dia
akan tahu ketika wanita itu datang kesitu. Akan tetapi, tadi kedua telinganya
tertutup air sehingga tahu-tahu ada wanita di belakangnya tanpa dia ketahui.
Dia menengok dan memandang dengan mata terpentang lebar dan mulut ternganga.
Wanita itu
makin geli tertawa, menutupi mulut dengan jari tangan akan tetapi celah-celah
jari tangan masih memperlihatkan bibir yang merah, gigi berkilat putih dan
rongga mulut yang merah dengan lidah yang jambon. Hidung kecil mancung itu
bergerak-gerak ketika ia tertawa. Lucu sekali!
“Hi-hi-hik,
lucunya….. heh-heh….. kau mirip kura-kura yang baru nongol dari dalam air,
hi-hi-hi…..!”
Hay Hay ikut
tertawa dan menyingkap rambut yang menutupi mukanya. Dengan kepala dan muka
basah kuyup seperti itu, memang mungkin sekali dia nampak seperti kura-kura.
Ketika dia menyingkap rambutnya, wanita itu ternganga.
“Ihh….,
kau….. kau seorang pemuda yang tampan kiranya….” ia berkata lirih. “Kusangka
tadi seorang dari kampungku…… maafkan,” akan tetapi kembali wanita itu
tersenyum lebar dengan hati yang masih merasa geli.
“Nona,
mengapa engkau mentertawaiku?” Hay Hay bertanya.
“Engkau yang
aneh. Kenapa engkau membenamkan kepalamu ke dalam air sampai lama benar? Itu
namanya mandi bukan, mencuci muka juga bukan. Apa sih yang kau lakukan tadi?”
Hay Hay
mengusap mukanya yang basah. Kini mukanya tidak tertutup air, dan dia dapat
memandang dengan jelas, dapat melihat sepenuhnya kepada wanita muda yang
berdiri di depannya. Seorang gadis yang belum dua puluh tahun usianya.
Pakaiannya memang sederhana seperti gadis dusun, akan tetapi wajahnya! Wajah
tanpa bedak gincu itu bagaikan setangkai bunga hutan yang amat indah segar
seperi selalu mandi air embun. Sejenak dia terpesona.
“Heiii! Kenapa
diam saja, bengong seperti ikan? Kutanya apa yang kau lakukan tadi!”
Gadis itu
berkata lagi, semakin geli. Aduh, mana cantik manis masih lincah genit
menggemaskan lagi!
“Aku tadi
mengintai ikan!” jawabnya sambil tersenyum dan timbul kenakalannya melihat
sikap yang wajar dan berani dari gadis dusun itu.
“Mengintai
ikan?” sepasang mata yang indah itu melebar.
Hay Hay
mengangguk, senyumnya semakin cerah dan lupalah dia sudah betapa sejam yang
lalu dia masih tenggelam dalam duka! Pikiran memang seperti ombak lautan,
sebentar ke kanan sebentar ke kiri, menjadi permainan suka-duka yang
ditimbulkan kenangan masa lalu dan bayangan masa depan.
“Ya,
mengintai ikan yang sedang pacaran!”
Sepasang
mata indah itu semakin melebar. Jeli dan indahnya!
“Ikan….
Pacaran? Ikan apa itu?” Gadis itu bertanya, tertarik sekali akan tetapi juga
tidak percaya.
“Entah ikan
apa, akan tetapi yang betina cantik bukan main,” kata Hay Hay sambil mengamati
gadis itu dari kepala sampai ke kaki. “Ikan betina itu bertubuh ramping padat,
mukanya cantik manis dengan sepasang mata bintang, hidunya kecil mancung,
mulutnya…. hemmm, bibir kecil merah seperti mencibir, giginya putih mengkilap,
dagunya runcing dan ada lesung di sebelah kiri mulutnya, lehernya panjang
seperti tangkai bunga teratai, kulitnya putih halus mulus dan segar, sisiknya
berwarna hijau muda, rambutnya dihias ukiran perak berbentuk bunga mawar…..”
Gadis itu
memandang ke arah bajunya yang hijau muda, tangannya meraba rambut dimana
terdapat hiasan perak berbentuk mawar.
“Ehh?
Seperti aku…..?” tanyanya dan tahulah Hay Hay bahwa gadis manis ini agak bodoh.
“Bagaimana yang jantan?” tanya pula gadis itu.
Hay Hay
tersenyum. Sukar membayangkan gadis manis ini berpacaran dengan orang lain,
kecuali dengan dia.
“Yang
jantan? Aih, buruk sekali….”
“Kalau
begitu ikan itu aku!” gadis itu berkata lagi.
Kini Hay Hay
yang menjadi heran, akan tetapi sebelum dia berkata sesuatu, nampak seorang
laki-laki berlari-larian menuju ke tempat mereka. Dia mengangkat muka memandang
dan gadis itupun menoleh. Ketika melihat laki-laki yang sudah lari mendekat
itu, si gadis lalu menyongsongnya dan merekapun bertemu dan berpelukan!
“Koko,
engkau menyusul…..?”
“Ya, akan
kubantu engkau mencuci pakaian, Moi-moi!” kata laki-laki itu sambil merangkul
leher.
Dan Hay Hay
terbelalak. Laki-laki itu seorang pemuda yang sebaya dengan dia, usianya
sekitar lima puluh tahun, tubuhnya pendek sehingga kalah tinggi sedikit bila
dibandingkan gadis itu, dan mukanya kehitaman, biarpun tidak buruk sekali akan
tetapi jauh daripada tampan. Cukup jelek dengan mata yang sipit sekali, hidung
besar mekar, mulutnya juga lebar dengan bibir tebal. Akan tetapi pakaiannya
mentereng dan gerak-geriknya kuat namun lembut.
“Moi-moi,
dengan siapa engkau bercakap-cakap tadi? Siapakah pemuda ini?”
Si pendek
itu memandang kepada Hay Hay dengan heran, akan tetapi sedikitpun tidak
kelihatan marah.
“Aih, dia?”
Wanita itu terkekeh genit. “Dia lucu sekali, Koko. Dia tadi membenamkan kepala
di air, katanya sedang mengintai ikan, hik-hik! Dan ikan betinanya seperti aku,
jantannya seperti engkau, heh-heh!”
Mendengar
ucapan gadis itu, mau tidak mau Hay Hay tertawa geli.
“Ha-ha-ha-ha,
benar sekali ……!” katanya. Kini dia tahu bahwa gadis itu biarpun cantik manis
sekali, akan tetapi juga bodoh!
Pria itu
juga tersenyum.
“Hemm,
kiranya engkau bertemu dengan seorang yang miring otaknya, Moi-moi. Mana ada
orang mengintai ikan dan mana ada ikan mirip manusia? Tentu kepalanya panas
maka dia membenamkan kepala di dalam air.”
Kemudian dia
menghampiri Hay Hay dan melihat sebuah batu besar didekatnya, pria itu lalu
menggerakkan tangannya ke arah batu.
“Plakkk!”
Ketika
tangan itu diangkatnya, di batu tadi nampak bekas telapak tangan yang tertinggal
di batu, ada dua sentimeter dalamnya! Kiranya pria itu memiliki tenaga yang
cukup hebat, pikir Hay Hay kagum.
“Saudara
yang baik,” kata pria itu dengan suara tenang dan sabar. “Aku hanya ingin
mengatakan bahwa amat merugikan diri sendiri kalau seorang pria suka mendekati
isteri orang lain.”
“Aku tidak
mendekati…. ohhh, kau mau katakan bahwa gadis ini isterimu?” Hay Hay
terbelalak.
Pria pendek
itu mengangguk.
“Ia
isteriku, kami pengantin baru, belum ada sebulan kami menikah. Ia cantik manis
sekali, bukan? Ia kembangnya kampung kami.”
Hay Hay
menutup mulutnya yang tadi ternganga, dan menelan ludah.
“Isterimu….?
Sungguh tak kusangka….. ia memang cantik jelita dan pantas menjadi kembang
kampung, dan engkau…. Hemmm……” Hay Hay meraba dagunya dan tidak bermaksud
menghina, “terpaksa kukatakan bahwa engkau tidak terlalu tampan.”
Pria itu
tidak marah, bahkan tertawa sehingga nampak giginya yang besar-besar dan tidak
rapi.
“Ha-ha-ha,
katakan saja aku buruk rupa, sobat! Memang aku jelek dan ia cantik. Isteriku
merupakan kembag di kampung kami, yang paling cantik. Dan ia telah memilih
diriku, memilih yang paling baik!”
“Ehh? Kau
mau bilang bahwa engkau yang paling tampan di dusunmu?” Hay Hay bertanya, tidak
percaya.
“Bukan
paling tampan, akan tetapi paling baik! Aku pemuda yang paling kaya, paling
terpelajar, paling pandai, paling kuat di dusun kami. Otakku paling terang. Dan
isteriku ini gadis yang paling cantik pula di dusun. Keburukan rupaku tidak
mengapa karena isteriku cantik, dan kebodohan isteriku juga tidak mengapa
karena aku pandai. Nah, bukankah kami merupakan pasangan yang paling serasi?
Kami pasti akan mempunyai anak-anak yang paling hebat!”
“Hemm,
mengapa begitu?”
Hay Hay
bertanya, menahan perasaan geli hatinya. Orang ini memang agaknya pintar,
walaupun terlalu menonjolkan bagian yang baik dari dirinya.
“Mengapa?
Wah, engkau seperti isteriku, termasuk yang kurang cerdik sehingga tidak mampu
menangkap inti sari pertanyaanku tadi. Sobat, tentu saja anak-anak kami yang
paling hebat karena mereka akan mewarisi keelokan wajah isteriku dan mewarisi
kecerdasan dari otak dariku, ha-ha-ha!” Dan si pendek itu dengan tangan kirinya
menyambar keranjang cucian isterinya, tangan kanan menggandeng isterinya dan
berkata, “Mari, isteriku yang tercinta, kita mencuci ditempat lain.”
“Marilah,
suamiku tersayang!” kata sang isteri bersikap manja.
Mereka
pergi, bergandeng tangan mesra, diikuti pandang mata Hay Hay yang masih bengong.
Setelah mereka lenyap disebuah tikungan, barulah Hay Hay tertawa bergelak,
bahkan tertawa sampai mengeluarkan air mata dan memegangi perutnya.
“Aduh, Hay
Hay, lihat betapa lucunya di dunia ini! Dunia ini seperti panggung sandiwara
dan manusia-manusia menjadi pelawaknya! Ha-ha-ha-ha….., pergilah semua duka
nestapa, pergilah semua kecewa dan penasaran! Hidup ini masih terlalu indah
untuk disusahkan, ha-ha-ha!”
Dan
membayangkan kembali suami isteri yang aneh tadi, Hay Hay terus tertawa.
Apalagi ketika dia membayangkan mereka dengan anak-anak mereka, tawanya makin
terbahak.
“Ha-ha-ha-he-he……
anak-anak mereka….. ha-ha-ha-ha, aduh, anak-anak mereka ternyata mewarisi wajah
ayahnya dan otak ibunya! Ho-ho-ha-ha-ha……!”
Hay Hay
terpingkal-pingkal sampai tubuhnya terlipat dan dia memegangi perutnya. Akan
tetapi wajah anak-anak yang seperti si pendek tadi dengan sinar mata bodoh
terus membayanginya sehingga sukar baginya untuk menghentikan tawanya.
Wajah tampan
Sim Ki Liong nampak muram dan alisnya berkerut ketika Mayang berkeras minta
disediakan dua buah kamar kepada pelayan rumah penginapan dikota Wangsian disebelah
utara tepi Sungai Yang-ce.
Seperti kita
ketahui, dua orang muda ini meninggalkan pulau Teratai Merah dan sebelum mereka
pergi ke tempat tinggal ibu dan guru Mayang diperbatasan Tibet, mereka akan
lebih dahulu pergi ke Cin-ling-san untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai.
Cin-ling-pai masih cukup jauh, diutara karena pegunungan itu terletak ditapal
batas Propinsi Se-cuan dan Sen-si. Adapaun kota Wang-sian terletak dibagian
utara Propinsi Se-cuan.
Sudah
berkali-kali Ki Liong merasa kecewa karena gadis yang menjadi kekasihnya itu
selalu minta disediakan kamar terpisah apabila mereka bermalam dirumah
penginapan. Sikap gadis ini mendatangkan dua pukulan baginya. Pertama,
keinginan untuk segera “memiliki” gadis itu menjadi tidak mungkin kalau dia
selalu berpisah kamar. Dan kedua, sikap gadis itu jelas merupakan bukti bahwa
kekasihnya tidak percaya kepadanya!
Tentu saja
Ki Liong tidak mau bercekcok dan berbantahan di depan pelayan. Setelah mereka
diantarkan dan mendapatkan dua buah kamar yang bersebelahan, dan pelayan itu
pergi, barulah Ki Liong menegur Mayang.
“Mayang,
kenapa engkau sampai sekarang masih belum percaya kepadaku? Apa artinya dua
kamar terpisah ini? Bukankah kita saling mencinta dan kita adalah calon suami
isteri?” tegurnya marah.
“Baru calon,
Liong-ko. Ingat, kita belum suami isteri, bagaimana mungkin harus sekamar?”
“Akan
tetapi, asal kita tidak melakukan pelanggaran, apa salahnya?” Ki Liong
membantah.
“Bukan hanya
itu yang harus dijaga, Liong-ko, akan tetapi terutama sekali pandangan dan
dugaan orang. apa akan dikata orang kalau mereka tahu bahwa seorang pemuda dan
seorang gadis yang bukan suami isteri menginap dalam satu kamar?”
“Perduli
amat dengan pandangan dan kata orang, Mayang!”
“Mudah saja
engkau berkata demikian karena engkau laki-laki, Liong-ko. Akan tetapi aku
perempuan dan aku tidak ingin nama dan kehormatanku tercemar.”
Melihat
gadis itu sudah merah mukanya dan mulai marah, Ki Liong tersenyum dan menghela
napas panjang.
“Baiklah,
Mayang, mungkin engkau yang benar. Akupun tidak mempunyai niat lain kecuali
merasa bahwa lebih aman bagi kita kalau sekamar. Juga tidak bertemu semalam
saja denganmu rasanya hati ini merasa kesepian dan rindu. Sudahlah, maafkan aku
kalau aku bersalah.”
Melihat
sikap Ki Liong yang mengaku salah dan minta maaf, luluh kekerasan hati Mayang
dan iapun tersenyum lalu memegang tangan kekasihnya.
“Kau tahu, Ling-ko.
Penolakanku hanya untuk kebaikan kita berdua. Sabarlah, kalau kita sudah
menghadap ibu dan subo, kalau kita sudah menikah, tentu setiap saat kita
berkumpul dan takkan berpisah lagi.”
Ki Liong
menggenggam tangan kekasihnya sejenak, lalu melepaskan dan mereka memasuki
kamar masing-masing. Pada saat itu, sepasang mata yang jeli memandang ke arah
Ki Liong. Sejak pemuda dan gadis itu memasuki rumah penginapan, pemilik
sepasang mata jeli ini sudah mengikuti mereka. Akan tetapi karena pemilik mata
itu mengikuti gerak-gerik mereka, bahkan mendengarkan percakapan mereka di
depan kamar Mayang sambil bersembunyi, Ki Liong dan Mayang tidak tahu bahwa ada
orang memperhatikan mereka. Setelah Ki Liong dan Mayang memasuki kamar
masing-masing, pemilik mata jeli itu tersenyum dan mengangguk-angguk.
Menjelang
tengah malam, Ki Liong yang sudah pulas terbangun oleh suara ketukan perlahan
di jendela kamarnya. Sebagai seorang ahli silat yang pandai, sedikit suara saja
sudah cukup untuk membangunkannya. Dan begitu terbangun diapun sudah siap
siaga, meloncat dengan cepat turun dari pembaringan dan tanpa mengeluarkan
suara sedikitpun dia sudah mendekati jendela kamarnya yang tertutup,
mendengarkan dengan penuh perhatian.
“Tik-tik-tik!”
Lirih saja
ketukan itu. Tentu pengetuknya menggunakan kuku jari tangan saja untuk mengetuk
daun jendela kamarnya.
Karena
pengetuk itu bersikap hati-hati dengan ketukan lirih seolah tidak ingin membuat
gaduh. Ki Liong mengira bahwa tentu Mayang sipengetuk itu, dan tentu terjadi
sesuatu yang membuat kekasihnya itu curiga. Cepat dia membuka daun jendela
tanpa mengeluarkan suara dan begitu daun jendela dibuka dan diapun siap
menghadapi serangan kalau yang datang itu musuh. Dia melihat bayangan berkelebat,
bayangan yang ramping. Tentu Mayang!
Bayangan itu
meloncat menjauhi kamar dan menyelinap ke bagian yang gelap disudut taman
diluar kamarnya itu. Ki Liong cepat mengenakan sepatunya dan diapun meloncat
keluar dari jendela dengan gerakan seperti seekor burung saja, lalu dia berlari
menuju ke tempat gelap itu, kini hampir yakin bahwa Mayang tentu menemukan
sesuatu dan memanggil dia keluar.
Ketika dia
tiba disudut gelap itu, bayangan itu muncul bahkan berdiri di bawah lampu
gantung sehingga sinar lampu menerangi dirinya dan nampak wajah dan tubuhnya,
cukup jelas.
Ki Liong
terbelalak, kaget dan heran. Bukan Mayang! Walaupun tak kalah cantiknya!
Seorang wanita muda, namun jauh lebih dewasa daripada Mayang, usianya sekitar
duapuluh lima tahun, berwajah lonjong manis dengan senyum memikat dan matanya
tajam dengan kerling yang amat genit. Wanita itu memiliki bentuk tubuh yang
menggairahkan, dengan sikap menantang berdiri menanti dengan senyum dan kerling
penuh arti. Seorang wanita yang sudah matang!
Ki Liong
menghampiri dan berdiri berhadapan. Mereka saling pandang dan wanita itu
mengamati Ki Liong seperti seorang pedagang kuda sedang mengamati dan menilai
seekor kuda yang akan dibelinya.
“Nona,
siapakah engkau dan mengapa pula mengetuk daun jendela kamarku?” tanya Ki
Liong, suaranya lirih agar jangan sampai terdengar orang lain, terutama Mayang
walaupun kini kamar gadis itu agak jauh dari situ.
Wanita itu
tersenyum lebar sehingga nampak deretan gigi putih mengkilap yang menambah
kecantikannya.
“Kiranya engkau
seorang yang memiliki kepandaian hebat, seorang pendekar! Caramu melompat
keluar dari kamarmu tadi…..”
“Nona,
siapakah engkau dan mengapa pula……” Ki Liong mengulang pertanyaannya.
“Hi-hik,
pendekar kesepian! Akupun senasib denganmu. Akupun merasa kesepian sekali.
Sepi, dingin dan rindu!” Kembali senyum dan kerlingnya memikat.
Ki Liong
bukan seorang pemuda alim. Sama sekali bukan. Dia bahkan pernah menjadi hamba
nafsu yang tidak pantang melakukan apapun demi pemuas nafsunya. Kini,
menghadapi seorang wanita yang demikian cantik manis dan menggairahkan, yang
menantang lagi, tentu saja jantungnya sudah berdebar tegang, membayangkan
hal-hal yang amat menyenangkan. Akan tetapi dia pura-pura tidak mengerti.
“Maksudmu
bagaimana?”
“Hi-hik,
orang muda yang ganteng. Kita dapat saling menolong mengusir kesepian
masing-masing, saling menghangatkan dan saling mengobati hati rindu. Akupun
bermalam disini. Kamarku disana. Marilah kita bicara dikamarku!” Wanita itu
menunjuk ke kiri.
Akan tetapi
biarpun gairahnya sudah bangkit oleh kecantikan wanita yang menantangnya itu,
Ki Liong bukan orang yang ceroboh atau bodoh. Dia selalu berhati-hati karena
maklum bahwa dia mempunyai banyak musuh. Dia tidak mengenal siapa wanita ini
sehingga bahaya tetap saja mungkin mengancamnya. Siapa tahu ini merupakan
sebuah perangkap dan dia tidak begitu bodoh untuk memasuki perangkap hanya
karena tertarik paras cantik dan sikap genit memikat.
“Nona,
usulmu memang baik dan memikat. Kita dapat saling menghibur. Akan tetapi,
kamarku lebih dekat. Maka, kalau benar engkau menghendaki dan jujur, mari kita
bicara dikamarku saja.”
Wanita itu
tersenyum dan mengedipkan matanya.
“Tapi…..
kamar gadis Tibet itu berdampingan dengan kamarmu. Kalau ia mendengar….”
Ki Liong
tersenyum.
“Perlukah
kita membuat gaduh? Bicarapun dapat berbisik kalau mulut dan telinga kita
saling berdekatan.” Dia pun mengedipkan matanya.
Wanita itu
tertawa, tampa menutupi mulutnya dan hal ini memang tidak perlu. Mulutnya amat
menarik kalau ia tertawa. Hanya ia menahan diri sehingga suara tawanya tidak
nyaring. Dan iapun mengangguk.
“Mari kita
berlumba siapa yang dapat masuk lebih dulu kekamarmu tanpa mengeluarkan suara
gaduh sedikitpun!” kata wanita itu. “Yang kalah harus menuruti semua permintaan
yang menang.”
Ki Liong
tersenyum. Kalah atau menang sama enaknya baginya, baik dia yang memerintah
atau yang diperintah,
“Baik,
silahkan!” katanya, akan tetapi terkejutlah dia melihat wanita itu bergerak
cepat sekali, seperti meluncur saja menuju ke kamarnya.
Diapun cepat
mengerahkan gin-kangnya mengejar, namun ketika dia meloncat ke dalam kamarnya
melalui jendela yang terbuka, wanita itu rebah diatas pembaringan sambil
tersenyum dan mengembangkan kedua lengannya.
“Nah, kau
kalah. Sekarang kuperintahkan tutup dan palang daun jendela, lalu ke sinilah,
aku kedinginan!”
Dengan patuh
dan dengan senang hati Ki Liong mentaati perintah itu. Mereka segera mendapat
kenyataan yang amat menyenangkan hati mereka karena mereka itu bagaikan minyak
bertemu api.
Ki Liong
menemukan seorang wanita yang benar-benar menggairahkan, berpengalaman dan
bagaikan bunga sudah mekar sepenuhnya, bagaikan buah sudah masak benar. Dilain
pihak, wanita itupun dengan heran dan gembira menemukan seorang pemuda yang
sama sekali tidak hijau seperti yang disangkanya semula, melainkan seorang
laki-laki yang banyak pengalaman dan pandai menyenangkan hatinya.
Tidak
mengherankan jika mereka segera menjadi amat mesra dan akrab, tidak seperti dua
orang yang baru bertemu melainkan sebagai sepasang kekasih yang sudah saling
berkasih-kasihan selama bertahun-tahun. Keduanya pun menjadi semakin kagum
ketika mereka saling menceritakan riwayat masing-masing dengan sejujurnya.
Keduanya dapat merasakan bahwa mereka masing-masing telah bertemu dengan orang
yang dapat dipercaya sepenuhnya, orang yang memiliki kecocokan hati.
Wanita itu
memperkenalkan dirinya. Ia bukan lain adalah Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina
Cantik Tangan Beracun) Su Bi Hwa! Ketika Sim Ki Liong mendengar bahwa
kekasihnya yang cantik manis dan pandai menyenangkan hatinya ini murid Pek-lian
Sam-kwi, tahulah dia bahwa wanita ini memang seorang tokoh sesat yang berilmu
tinggi, pantas sekali menjadi kekasihnya dan juga sekutunya. Diapun bercerita
terus terang siapa dirinya.
Ketika mendengar
bahwa pemuda ganteng itu adalah murid Pendekar Sadis di Pulau Teratai Merah, Su
Bi Hwa terkejut bukan main sampai ia melompat turun dari atas pembaringan dan
memandang pemuda itu dengan muka pucat dan mata terbelalak.
“Pen…..,
Pendekar Sadis….?”
Ia berseru
dalam bisikan. Siapa orangnya tidak gentar mendengar nama julukan itu? Bahkan
para datuk sesat sekalipun menjadi gentar kalau mendengar nama Pendekar Sadis.
Pendekar itu memang sekarang jarang meninggalkan pulaunya dan tidak pernah
mencampuri urusan dunia persilatan. Akan tetapi sekali dia keluar, kalau ada
penjahat bentrok dengan dia, maka nasib penjahat itu akan mengerikan sekali.
Pendekar
Sadis terkenal tak pernah dapat memberi ampun kepada musuhnya, dan dia bukan
hanya membunuh, akan tetapi juga menyiksa lawannya sedemikian rupa sehingga
para penjahat lain yang mendengarnya menjadi ngeri dan ketakutan.
Ki Liong
tersenyum dan diapun melompat turun, merangkul dan menarik Bi Hwa ke dalam
pelukannya.
“Jangan
takut, manis. Aku adalah muridnya, dan aku tidak sadis seperti guruku. Lihat,
aku tidak sadis terhadap dirimu, bukan?”
Bi Hwa
menghela napas panjang.
“Ihh, engkau
sungguh mengejutkan hatiku, Ki Liong. Pantas engkau lihai bukan main. Kiranya
engkau murid Pendekar Sadis.”
“Bekas
muridnya, Bi Hwa. Aku sudah diusir dari pulau Teratai Merah dan tidak diakui
lagi sebagai murid.”
Ki Liong
lalu menceritakan tentang hubungannya yang terputus dari suhu dan subonya di
pulau itu. Tanpa malu-malu lagi dia menceritakan betapa dahulu dia melarikan
diri sambil mencuri pedang milik gurunya, akan tetapi kemudian dia
mengembalikan pedang dengan maksud minta diampuni. Akan tetapi, suhu dan
subonya tidak mau mengampuninya.
“Hatiku
sakit sekali, B Hwa. Akan tetapi apa yang dapat kulakukan? Mereka itu lihai
bukan main. Dan memang sebetulnya akupun tidak ingin sekali kembali kesana dan
hidup sebagai pertapa. Aku tidak akan kembali lagi kesana!”
“Bagus, Ki
Liong. Cocok sekali dengan aku! Akupun tidak suka terikat seperti itu. Aku
ingin bebas menikmati hidup ini. Aku senang sekali dapat bertemu dan berkenalan
denganmu, bahkan kita menjadi sepasang kekasih yang cocok. Mari kita hidup
bersama, kita mencari kesenangan sepuasnya, kita bertualang bersama!”
Bi Hwa
merangkul. Belum pernah selama hidupnya ia bertemu dengan seorang kekasih yang
sehebat ini, juga yang ia tahu amat lihai. Murid Pendekar Sadis! Bayangkan!
“Akupun senang
sekali bertemu denganmu Bi Hwa. Kita memang cocok dan hidup ini akan
menggembirakan sekali kalau kita dapat selalu bersama-sama dan mengadakan
petuualang bersama. Akan tetapi, aku mempunyai teman, bahkan ia tunanganku….”
“Hemm, gadis
cantik peranakan Tibet itu?”
“Kau tahu?”
“Tentu saja.
Sudah sejak tadi aku mengintai kalian. Akupun merasa heran mengapa kalian tidak
tidur sekamar. Hemm, agaknya tunanganmu itu menjaga kehormatannya dengan ketat,
ya? Dan engkau bertunangan dengan gadis kuno seperti itu?”
“Hemm, terus
terang saja, Bi Hwa. Aku mencinta Mayang, gadis itu. Dan ia bahkan pernah
menyelamatkan nyawaku ketika aku terancam maut di tangan musuh. Aku cinta
padanya, akan tetapi ia memang selalu menjauhkan diri, mengatakan bahwa ia
hanya mau menyerahkan diri kalau kami sudah menikah. Itulah yang menyusahkan
hatiku. Kalau saja ia bersikap seperti engkau ini, betapa akan bahagianya
hatiku.”
Tok-ciang Bi
Moli Su Bi Hwa tertawa. Ia adalah seorang wanita yang tidak lagi mengenal apa
artinya cinta. Sejak kecil ia digembleng tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian
Sam-kwi. Dan sejak ia berusia lima belas tahun, tiga orang gurunya itu
menggauli murid ini sehingga mulai saat itu, Bi Hwa menjadi murid dan juga
kekasih tiga orang gurunya yang mesum akhlak itu. Dan sejak itu pula, Bi Hwa
menjadi seorang hamba nafsu, melampiaskan nafsunya kepada pria mana saja yang
berkenan dihatinya. Ia hanya mengenal nafsu berahi, sama sekali tidak mengenal
apa artinya cinta! Oleh karena itu, mendengar seorang rekan dalam dunia sesat
seperti Sim Ki Liong mengaku jatuh cinta kepada seorang gadis, iapun tertawa.
“Heh-heh-hi-hik,
Ki Liong, engkau sungguh aneh. Kalau kekasihmu itu tidak mau kau dekati, apa
sih sukarnya bagi orang sepandai engkau? Banyak jalan untuk dapat memaksanya
menyerahkan diri kepadamu. Engkau dapat meringkus dan menotoknya, engkau dapat
memberi minum obat bius atau perangsang kepadanya. Sekali ia sudah menyerahkan
diri kepadamu, tentu selanjutnya ia akan menjadi penurut.”
Ki Liong
menggeleng kepalanya.
“Engkau
tidak tahu gadis macam apa adanya Mayang! Pertama, ia juga lihai, murid Kim Mo
Sian-kauw, dan biarpun aku mampu mengunggulinya dalam ilmu silat, namun tidak
mudah menundukkan Mayang. Kedua, aku ingin ia menyerah dengan cintanya kepadaku
seperti sekarang ini. Kalau aku memaksanya, ia tentu akan membenciku dan aku
tidak menghendaki itu. Aku cinta padanya.”
Bi Hwa
mencium pipi pemuda itu.
“Disini ada aku
yang dengan senang hati mau menyerahkan diri kepadamu dengan cinta, kenapa
engkau masih menghendaki wanita lain? Apakah aku kurang hangat, kurang
memuaskan?”
Ki Liong
mencubit dagu yang manis itu.
“Engkau
hebat, Bi Hwa. Akan tetapi, engkau lebih cocok menjadi kekasihku dan sekutuku,
kita bertualang bersama, bercinta bersama, saling bantu dan saling bela. Akan
tetapi aku ingin Mayang menjadi isteriku, aku ingin ia menjadi ibu dari
anak-anakku.”
“Ihh! Aku
tidak mau menjadi ibu!” Bi Hwa berkata genit. “Itu hanya akan merusak keindahan
tubuh dan membuat aku cepat tua!” ia tertawa-tawa. “Kalau engkau benar-benar
menganggap aku sebagai kekasih dan sekutu, dan selalu akan menyenangkan hatiku
seperti sekarang ini, aku mempunyai cara untuk membuat ia menyerah kepadamu
tanpa paksaan, melainkan dengan sukarela, Ki Liong.”
Tentu saja
Ki Liong merasa girang sekali.
“Kalau benar
engkau mampu membuat Mayang menyerah kepadaku secara sukarela, aku akan semakin
sayang kepadamu, Bi Hwa. Akan tetapi, bagaimana caranya? Ingat, hati Mayang
keras sekali dan ia amat sukar ditundukkan.”
“Hi-hi-hik,
kau lihat saja nanti. Besok pagi, perkenalkan aku kepadanya. Katakan bahwa kita
pernah berkenalan…..”
Mereka lalu
bisik-bisik mengatur siasat untuk membuat Mayang dapat menerima Bi Hwa sebagai
seorang sahabat!
“Engkau tadi
telah menceritakan riwayatmu, Ki Liong. Akan tetapi, sekarang bersama Mayang,
engkau hendak pergi kemanakah?”
“Aku sendiri
bingung, Bi Hwa. Tadinya, setelah kami pergi dari Pulau Teratai Merah, Mayang
mengajak aku pergi ke barat untuk minta restu ibunya dan gurunya agar kami
dapat menikah. Akan tetapi aku tidak ingin melakukan perjalanan jauh dan sukar
itu, maka kuusulkan kepadanya untuk mencari Cia Kui Hong di Cin-ling-pai agar
Kui Hong memberi surat kepada guru-guruku di pulau Teratai Merah. Setelah
kupikir-pikir, tidak enak juga. Sebetulnya, aku tidak ingin kembali kepada
guru-guruku, hanya Mayang selalu mendesak.”
“Ke
Cin-ling-pai?”
Bi Hwa
bergidik. Baru saja ia meninggalkan Cin-ling-pai setelah gagal menguasai
perkumpulan itu, bahkan ia nyaris tewas dan ketiga orang gurunya juga tewas
oleh keluarga Cin-ling-pai.
“Pergi ke
Cin-ling-pai sama saja dengan ular mencari penggebuk, Ki Liong. Justeru
keluarga Cin-ling-pai adalah musuh besarku. Merekalah yang membunuh tiga orang
guruku.”
Ki Liong
bangkit duduk dan mengangguk-angguk sambil mengerutkan alisnya.
“Terus
terang saja, merekapun tadinya musuh-musuhku. Cia Kui Hong, ketua Cin-ling-pai
itupun tadinya musuh besarku dan aku hampir saja tewas ditangannya kalau tidak
ada Mayang yang menolongku. Akupun tidak suka kepada mereka yang sombong.”
“Kalau
begitu, untuk apa pergi kesana? Lebih baik kalau kau pergi bersamaku ke kota
raja. Bukankah kita akan bertualang, mencari keuntungan dan kesenangan,
menikmati hidup ini? Nah, aku mempunyai rencana yang kalau berhasil akan
membuat kita hidup mulia, terhormat, dan kaya raya.”
“Aih,
nampaknya menarik sekali. Apakah rencanamu itu, manis?”
Kembali
mereka berbisik-bisik. Malam itu mereka penuhi dengan mengatur siasat kerja
sama dan membiarkan diri hanyut dalam gelombang nafsu berahi. Dan pada keesokan
harinya mereka telah menjadi sekutu yang saling mencinta dan mereka telah
menemukan pasangan yang amat menyenangkan.
Setelah
Mayang bangun dan mandi, ia ditemui Ki Liong yang juga sudah nampak segar
walaupun matanya agak sayu karena kurang tidur dan lelah, dan pemuda itu
mengajaknya sarapan di sebuah kedai bubur.
Di kedai inilah,
ketika mereka sedang makan bubur, masuk seorang wanita cantik. Setelah melihat
ke kanan kiri mencari tempat kosong, wanita itu melihat Ki Liong dan Mayang dan
iapun berseru.
“Ki Liong
……! Bukankah engkau Ki Liong ….?”
Wanita itu
bukan lain adalah Su Bi Hwa yang mulai memainkan sandiwara yang sudah diaturkan
semalam dengan Ki Liong.
Ki Liong dan
Mayang terkejut dan mereka menengok. Mayang merasa heran sekali melihat seorang
wanita yang cantik manis, dengan pakaian yang mewah, pesolek, berdiri tak jauh
di dalam kedai itu dan memandang kepada Ki Liong dengan senyum ramah.
Ki Liong
bangkit berdiri dan diapun mulai bersandiwara. Dia memandang dengan ragu, lalu
mengangkat kedua tangan depan dada dengan sikap hormat dan berkata,
“Maafkan
aku, nona. Akan tetapi, siapakah nona?”
Mayang masih
duduk, dan ia mengamati wanita itu dengan penuh selidik. Melihat wanita cantik
yang sinar mata dan senyumnya genit memikat itu, hatinya menaruh curiga dan ia
merasa tidak enak hati. Akan tetapi, wanita itu tersenyum ramah dan mendekat.
Semerbak harum menyengat hidung Mayang ketika wanita itu mendekat, dan ia
semakin tidak senang. Ia memang tidak suka melihat wanita memakai minyak wangi
sedemikian banyaknya sampai semerbak baunya.
“Ki Liong,
benarkah engkau sudah lupa kepadaku? Ketika aku berusia sepuluh tahun, bukankah
aku yang menjadi sahabatmu bermain-main di dusun, dan ketika engkau menjadi
ketua Kim-lian-pang, kita juga pernah bertemu.”
Sepasang
mata Ki Liong bersinar, wajahnya perlahan-lahan berseri.
“Ah, engkau
kiranya Bi Hwa! Ya, aku ingat, engkau tentu Bi Hwa!”
Bi Hwa
tersenyum ramah.
“Bagus,
akhirnya engkau ingat juga kepada sahabat lamamu! Engkau tampak agak kurus, Ki
Liong dan ini…. Eh, adik manis ini siapakah?”
“O ya,
kuperkenalkan. Mayang, ini adalah Su Bi Hwa, seorang sahabat baikku sejak kami
masih kanak-kanak. Sekarang ia telah menjadi wanita yang lihai sekali. Dan Bi
Hwa sahabatku, perkenalkan, ini adalah Mayang, tunanganku.”
“Tunangan?
Ah, kionghi (selamat) kalau begitu! Kiranya engkau sudah bertunangan dan tentu
tak lama lagi akan menikah.”
Dengan ramah
Bi Hwa memberi hormat dan dibalas oleh Mayang. Bi Hwa dipersilakan duduk di
meja mereka dan Ki Liong memesan bubur untuk tamu ini.
“Bagaimana
engkau dapat berada di Wang-sian ini? Dimana engkau bermalam, Bi Hwa?”
“Di losmen
Goat-likoan,” jawab Bi Hwa.
“Ah, kami
juga bermalam disana!” kata Mayang.
Bi Hwa
memandang heran.
“Benarkah?
Aih, kita selosmen akan tetapi tidak saling berjumpa!”
Mereka
selesai makan dan melanjutkan percakapan di ruangan tamu losmen dimana mereka
bermalam. Dan Mayang segera dapat akrab dengan Bi Hwa. Ia mendapat kenyataan
bahwa Bi Hwa seorang wanita yang ramah sekali, pula luas pengetahuannya, dapat
menceritakan hal-hal yang amat menarik. Juga lenyaplah semua kecurigaannya
karena sikap Ki Liong dan Bi Hwa sungguh akrab seperti dua orang sahabat lama.
Apalagi ia mendengar Bi Hwa mengaku bahwa ia seorang janda, bahwa suaminya
sudah meninggal dunia di tangan orang-orang jahat dan ia sudah membalaskan
kematian suaminya.
“Sejak itu,
aku mengambil keputusan untuk tidak menikah lagi, Adik Mayang. Aku pujikan saja
engkau dan Ki Liong akan menjadi suami isteri yang baik. Eh, ngomong-ngomong,
kapan menikahnya? Jangan lupa mengundang aku.”
Wajah Mayang
berubah kemerahan ketika Ki Liong menjawab terus terang.
“Kalau aku
sih ingin segera menikah, akan tetapi Mayang hendak minta restu ibunya dan
gurunya lebih dulu. Akan tetapi ia memang benar, apalagi aku belum mempunyai
pekerjaan yang tetap untuk membiayai kehidupan berumah tangga.”
“Bagaimana
mungkin aku dapat menikah di luar persetujuan ibu dan suboku?” kata Mayang
membela diri karena ia maklum bahwa kekasihnya masih marah oleh penolakannya
tinggal sekamar.
Bi Hwa
tersenyum.
“Kalian
berdua memang benar. Akan tetapi menurut pendapatku, alasan Ki Liong paling
kuat. Orang berumah tangga membutuhkan biaya, dan kehidupan setiap haripun
tidak ringan. Seorang suami memang harus memiliki penghasilan yang tetap dan
mantap. Ki Liong, kenapa engkau tidak mencari pekerjaan di kota raja? Dengan
kepandaianmu, tentu tidak sukar bagimu untuk mendapatkan kedudukan yang
tinggi.”
“Bi Hwa, kau
kira mudah begitu saja mendapatkan kedudukan di kota raja? Disana gudangnya
orang pandai. Lebih banyak orangnya daripada jabatan yang diperebutkan. Tanpa
adanya perantara yang berkuasa, mana mungkin mendapatkan pekerjaan yang baik?”
“Jangan
khawatir, Ki Liong. Aku mempunyai seorang kenalan baik, seorang pejabat tinggi
di kota raja, sahabat mendiang sauamiku dahulu. Kalau engkau memang membutuhkan
pekerjaan, mari bersama dengan aku kesana. Akupun sedang pergi kesana, juga
untuk mencari pekerjaan yang sesuai dengan kemampuanku.”
“Bagus
sekali! Ah, bagaimana, Mayang? Ini kesempatan baik sekali! Mari kita ikut Bi
Hwa ke kota raja mencari kedudukan yang baik.”
“Tapi,
bagaimana perjalanan kita menjadi tertunda-tunda?” Mayang membantah. “Pertama,
kita akan pergi kebarat, ke rumah ibuku. Lalu engkau mengubahnya, engkau ingin
lebih dulu bertemu enci Kui Hong di Cin-ling-pai, kemudian sekarang kembali
kita mengubah perjalanan, ke kota raja!”
Mendengar
ini, Bi Hwa mendekati Mayang dan menaruh tangannya di pundak gadis Tibet itu.
“Adik
Mayang, kalau kita menghadapi beberapa pilihan, kita sebaiknya memilih yang
paling penting lebih dahulu. Urusan menemui ketua Cin-ling-pai dan menemui ibu
dan gurumu, biarpun penting, namun dapat ditunda karena mereka itu mempunyai
tempat yang tetap dan tidak akan kemana-mana. Datang hari ini atau lain
bulanpun sama saja. Akan tetapi, urusan pekerjaan lain lagi. Sekarang ada
kesempatan yang amat baik. Aku akan menjadi perantara, ada kenalanku disana.
Kalau ditunda lain kali, tanpa perantara, akan amat sukar mendapatkan kedudukan
yang baik.”
“Benar
sekali, Mayang. Pula bagaimana mungkin aku berani menghadap ibumu dan
mengajukan lamaran atas diriku kalau belum mempunyai pekerjaan apapun? Kalau
ibumu atau subomu bertanya tentang pekerjaanku, bagaimana aku harus menjawab
mereka?” Ki Liong membujuk pula.
Dibujuk oleh
dua orang itu yang sebelumnya memang sudah mengatur siasat, akhirnya Mayang
terpaksa mengalah. Alasan kedua orang itu terlalu kuat. Pula, perlu apa
tergesa-gesa mendapatkan persetujuan menikah. Yang penting, Ki Liong sudah
mengubah wataknya dan menjadi orang baik-baik, dan mereka berdua saling
mencinta. Iapun ingin merantau ke kota raja sebelum memasuki hidup berumah
tangga yang akan mengikat ia di rumah sebagai ibu rumah tangga.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment