Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 09
Kaisar Cia
Ceng (1520-1566) dari Kerajaan Beng-tiauw adalah seorang kaisar yang sebetulnya
tidak dapat dibilang bijaksana. Dia bahkan lemah dan tentu akan menjadi
permainan para penjilat yang menjadi pembesar di sekelilingnya kalau saja di
dalam pemerintahannya tidak ada dua orang menteri yang pandai dan bijaksana.
Yang pertama
adalah Menteri Yang Ting Hoo yang ahli siasat dan mengatur pemerintahan, sabar
dan bijaksana. Usia menteri ini lima puluh tiga tahun dan dia adalah merupakan
orang kedua setelah menteri Cang Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun.
Menteri Cang Ku Ceng merupakan menteri yang disegani kaisar dan untung bagi
negara bahwa kaisar masih suka mendengar nasihat kedua orang menteri itu,
terutama Menteri Cang Ku Ceng.
Menteri Cang
Ku Ceng yang usianya lima puluh enam tahun itu masih nampak kokoh kuat. Tinggi
besar dan brewok, dengan tubuh tegap, namun sikapnya halus dan dia cerdik bukan
main. Kemajuan yang dicapai Kaisar Cia Ceng sebagian besar karena jasa Menteri
Cang Ku Ceng. Namun, Menteri Cang tidak pernah mau menonjolkan dirinya. Dia
menganggap bahwa semua hasil jerih payahnya itu merupakan tugas, merupakan
kewajiban seorang pejabat pemerintahan. Dia menghambakan diri demi rakyat, demi
negara, demi kaisar.
Kalau ada
penyelewengan di lingkungan istana, dia tidak segan-segan untuk menegur dan
memperingatkan kaisar. Hal inipun dia anggap sebagai tugas seorang pejabat.
Bukan hanya menyenangkan hati kaisar saja tugas seorang pejabat, melainkan juga
menjaga agar kaisar dan seluruh pembantunya melaksanakan tugas dengan baik dan
adil.
Cang Taijin
(Pembesar Cang) atau Menteri Cang ini hanya mempunyai seorang putera yang
bernama Cang Sun. Dari beberapa orang selirnya, dia hanya mempunyai seorang
anak perempuan yang bernama Cang Hui. Cang Sun berusia tiga puluh tahun, tampan
dan lembut, seorang sastrawan yang pandai. Sedangkan adik tirinya, Cang Hui,
berusia delapan belas tahun, cantik manis dan lincah jenaka.
Pada waktu
itu, biarpun usianya sudah tiga puluh tahun, Cang Sun belum menikah. Menteri
Cang dan isterinya sudah seringkali membujuk, namun Cang Sun selalu menolak.
Pernah Cang Sun jatuh cinta kepada pendekar wanita Cia Kui Hong yang membantu
Menteri Cang mengamankan negara, akan tetapi pendekar wanita yang menjadi ketua
Cin-ling-pai itu tidak membalas cinta kasih pemuda bangsawan itu karena ia
sendiri sudah jatuh cinta kepada pendekar petualang Tang Hay yang dijuluki
Pendekar Mata Keranjang.
Dan sejak
kegagalan cinta itu, Cang Sun tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan gadis
manapun pilihan orang tuanya. Padahal, banyak dara yang pandai dan cantik,
lebih cantik dari Cia Kui Hong, yang dicalonkan menjadi isterinya, namun Cang
Sun selalu menolak.
Hal ini
membuat Menteri Cang dan isterinya kadang termenungg dan berduka. Pembesar ini
terlalu bijaksana untuk memaksa puteranya. Dia tahu bahwa untuk satu hal ini,
yaitu pernikahan, amat tidak baik kalau digunakan paksaan. Dia hendak memberi
kebebasan memilih kepada puteranya. Akan tetapi, usia puteranya sudah tiga
puluh tahun dan nampaknya Cang Sun belum juga berminat untuk memilih seorang
wanita sebagai jodohnya! Dan menurut penyelidikannya melalui para petugas, di
dalam pergaulannya, Cang Sun tidak pernah mendekati wanita, tidak pernah
mengunjungi rumah pelesir.
Cang Taijin
dan isterinya lalu berusaha untuk mendekatkan putera mereka itu kepada seorang
gadis yang baik. Mereka tentu saja merasa cemas. Cang Sun merupakan putera
tunggal, penyambung keturunan keluarga Cang! Akhirnya mereka menemukan pilihan
mereka. Dara itu berusia delapan belas tahun dan bukan orang luar. Namanya Teng
Cin Nio, seorang gadis yang cantik jelita, manis, pendiam, pandai dan cerdas.
Juga ia masih saudara misan puteri mereka, jadi masih keponakan dari ibu Cang
Hui yang menjadi selir Menteri Cang.
Ayah dan
gadis itu tentu saja merasa bangga bahwa puteri mereka dipilih oleh Menteri
Cang untuk dijodohkan, atau setidaknya, dicalonkan sebagai jodoh Cang Sun.
Maka, mereka menyetujui sepenuhnya ketika Menteri Cang dan selirnya minta agar
Teng Cin Nio tinggal di rumah bangsawan itu.
Akan tetapi,
biarpun Cin Nio dan Cang Hui segera akrab sekali karena mereka memang saudara
misan, Cang Sun tidak kelihatan tertarik. Biarpun demikian, Menteri Cang tidak
putus asa dan selirnya selalu berusaha mendekatkan dua orang muda ini.
Bagi Cin Nio
sendiri, tentu saja dalam sudut hatinya, ia merasa setuju karena sejak kecil ia
memang sudah kagum terhadap Cang Sun yang terkenal ganteng dan terpelajar,
putera bangsawan yang berkedudukan tinggi dan kaya raya! Namun, ia seorang
gadis pendiam dan biarpun seringkali misannya, Cang Hui menggodanya, ia tidak
pernah memperlihatkan rasa kagum dan harapannya terhadap pemuda bangsawan itu.
Cang Hui
amat mengagumi Cia Kui Hong, pendekar wanita yang pernah membantu ayahnya
membasmi para pemberontak, dan tadinya ia sudah merasa gembira mendengar bahwa
ayahnya ingin mengambil pendekar wanita itu sebagai menantunya. Akan tetapi, ia
merasa kecewa sekali ketika Kui Hong menolak dan meninggalkan kota raja. Ia
merasa penasaran dan timbul keinginannya untuk belajar ilmu silat!
Ketika ia
mengajukan permohonan kepada ayahnya, Menteri Cang yang bijaksana tertawa dan
tidak keberatan. Ilmu silat memang penting, pikirnya, biar untuk anak perempuan
sekalipun. Pertama, ilmu itu menyehatkan badan, kedua, ilmu dapat dipergunakan
untuk membela diri dari ancaman perbuatan jahat dan mendatangkan jiwa pendekar
yang gagah dan membela kebenaran.
Dia bukan
saja menyetujui, bahkan dia lalu memilih seorang diantara para panglimanya yang
ahli silat, yaitu Panglima Coa yang usianya sudah enam puluh tahun, untuk
menjadi guru silat bagi puterinya.
Kegembiraan
Cang Hui bertambah ketika adik misannya, Teng Cin Nio, yang kini tinggal
dirumah keluarganya, ternyata pernah belajar ilmu silat pula. Dengan demikian,
ia mempunyai teman untuk berlatih silat.
Hanya Cang
Sun yang tidak suka belajar ilmu silat. Dia bahkan mengejek adiknya yang suka
belajar ilmu silat.
“Engkau ini
anak perempuan untuk apa belajar ilmu silat dan bermain-main dengan pedang?
Apakah engkau ingin menjadi perajurit, atau pembunuh?”
“Sun-koko
(kakak Sun) jangan begitu! Aku belajar ilmu silat agar aku dapat menjaga diri.
Kalau aku lemah, bagaimana aku dapat membela diri apabila diganggu orang
jahat.”
“Hemm, siapa
akan berani mengganggu, Adikku? Ayah kita adalah seorang menteri, dan banyak
perajurit yang siap untuk membela kita apa bila ada marabahaya datang. Juga
disampingmu ada ayah, ada aku, ada para pengawal. Kelak kalau engkau sudah
menikah, ada pengganti kami untuk menjagamu, yaitu suamimu.”
Wajah dara
itu berubah merah.
“Ihh,
Sun-koko, apa-apaan engkau bicara tentang suami? Aku hanya ingin menjadi
seorang wanita yang perkasa, seperti enci Kui Hong itu!”
Disebutnya
nama pendekar wanita ini membuat Cang Sun mengerutkan alisnya dan diapun tidak
mau menggoda adiknya lagi, apalagi pada saat itu muncul Cin Nio yang mencari
saudara misannya. Cang Sun segera pergi meninggalkan dua orang gadis itu.
Cang Sun meninggalkan
taman dimana dia bertemu dengan adiknya tadi dengan wajah muram. Ucapan adiknya
mengingatkan dia akan seorang gadis pendekar yang sesungguhnya merupakan wanita
pertama yang pernah menjatuhkan hatinya, Cia Kui Hong!
Gadis yang
selain cantik jelita dan memiliki daya tarik yang kuat sekali, juga seorang
pendekar yang memiliki ilmu kepandaian yang hebat! Dan dia pernah tergila-gila
kepada Kui Hong. Tadinya dia sudah merasa yakin bahwa gadis itu tentu akan
menjadi isterinya. Betapa senangnya mempunyai seorang isteri yang selihai itu,
keamanan keluarganya akan terjamin keselamatannya! Dia merasa yakin karena dia
tahu bahwa dirinya dirindukan hampir semua gadis di kota raja. Tentu Kui Hong
juga akan menerima pinangannya. Dia putera Menteri Cang yang terkenal.
Akan tetapi,
ternyata ketika dia menyatakan cintanya, gadis pendekar itu dengan
terang-terangan menolak cintanya, bahkan mengatakan bahwa gadis itu telah
mempunyai seorang pilihan hatinya sendiri! Cang Sun merasa terpukul dan sampai
kini dia tidak pernah mau menerima bujukan orang tuanya untuk memilih seorang
gadis sebagai isterinya. Dianggapnya bahwa tidak ada gadis lain yang dapat
menggantikan Kui Hong dalam hatinya, tidak ada gadis sehebat Kui Hong!
Ketika
adiknya menyebut nama Kui Hong, dia merasa tertusuk hatinya, dan kenangan akan
gadis pendekar itu membuat Cang Sun murung. Dia lalu keluar dari taman, terus
menuju ke halaman depan dan keluar dari halaman ke jalan raya. Dia menyambut
pemberian hormat para petugas jaga di depan dengan sikap acuh, lalu melangkah
keluar tanpa tujuan.
Kakinya
membawanya berjalan ke luar kota, dan dia tidak memperdulikan orang-orang yang
bersimpang jalan memberi hormat kepadanya. Tidak perduli pula akan kerling dan
pandang mata banyak mata wanita ditujukan kepadanya.
Pada waktu
itu, Menteri Cang Ku Ceng bertugas di Nan-king, yaitu ibu kota kedua setelah
Peking. Adapun Menteri Yang Ting Hoo yang bertugas di Peking. Kaisar Cia Ceng
mengerti bahwa dia hanya dapat percaya dan mengandalkan kebijaksanaan dua orang
menteri setia inilah. Maka dia sengaja membagi tugas kepada mereka.
Yang Ting
Hoo yang lebih ahli dalam urusan ketentaraan bertugas di Peking, sedangkan Cang
Ku Ceng yang ahli dalam urusan dalam negeri, juga pandai mengamankan para
pejabat daerah yang suka memberontak, ditugaskan di Nan-king. Karena tugas ini,
Menteri Cang sekeluarga pindah ke Nan-king dimana dia memang mempunyai sebuah
gedung yang disediakan pemerintah untuknya.
Di luar kota
Nan-king disebelah selatan terdapat sebuah danau kecil, dan tempat ini
merupakan tempat dimana Cang Sun seringkali menghibur diri. Pemuda ini suka
menyendiri, mendayung sebuah perahu kecil, membawa makanan dan arak, juga alat
tulis untuk membuat sajak atau memainkan sebuah yang-kim (semacam gitar) sambil
melamun di bagian danau yang sunyi.
Apalagi saat
itu hatinya sedang gundah, teringat akan Kui Hong, maka begitu dia mendayung
perahunya menuju ke bagian yang sunyi di danau itu, jauh dari perahu lain, dia
membiarkan perahunya terapung-apung dan dia sendiri duduk melamun.
Dia tidak
menulis sajak, tidak pula memukul yang-kim, melainkan hanya melamun dan
membayangkan semua kenangan indah bersama Kui Hong ketika gadis pendekar itu
tinggal di rumah orang tuanya di Peking, ketika Kui Hong membantu ayanya
melakukan penyelidikan tentang kerusuhan yang terjadi di istana kaisar (baca
Kisah Si Kumbang Merah).
Cang Sun
sama sekali tidak tahu bahwa sejak dia keluar dari pekarangan rumah
keluarganya, ada dua pasang mata mengikutinya sampai ke danau itu. Bahkan
ketika dia mendayung perahu kecilnya, sebuah perahu kecil lain tak lama
kemudian mengikuti dari jauh. Setiap gerak-gerik yang dilakukan Cang Sun
diamati pendayung perahu lain itu, yang kini hanya seorang saja, sedangkan
pemilik mata yang lain masih mengamatinya dari jauh, dari tepi danau.
Dia baru
tahu setelah perahu kecil bercat hitam itu meluncur mendekati perahunya. Dia
menengok dan melihat ada seorang laki-laki yang mengenakan caping lebar di atas
perahu itu. Sama sekali dia tidak dapat melihat wajah orang itu yang tertutup
caping sama sekali. Setelah perahu itu menabrak perahunya sendiri, dia terkejut
dan menegur marah.
“Heiiii…….!
Apa engkau tidak melihat ada perahu di depanmu? Kenapa engkau menabrak saja?”
Cang Sun
menggunakan dayungnya untuk mengembalikan keseimbangan perahunya yang
terguncang oleh tabrakan itu.
Orang
bercaping itu mengangkat mukanya dan nampaklah kini wajah dibawah caping lebar.
Cang Sun terbelalak karena wajah itu tertutup kedok saputangan hitam! Yang
nampak hanya sepasang mata yang mencorong!
“Heiii!
Siapa engkau dan mau apa…..!”
Belum habis
ucapannya, orang berkedok itu telah meloncat dari perahunya ke atas perahu Cang
Sun dan sebelum Cang Sun sempat berteriak, tangan orang itu bergerak dan Cang
Sun tak mampu menggerakkan kaki tangannya lagi! Dia telah tertotok dan sekali
lagi tangan orang itu menyentuh leher Cang Sun, membuat pemuda bangsawan itu
bukan saja tidak mampu menggerakkan kaki tangannya, bahkan tidak mampu
mengeluarkan suara! Dia hanya dapat memandang kepada orang berkedok itu dengan
sinar mata terkejut, heran dan juga ketakutan.
Orang
berkedok itu bicara dengan suara yang parau dan dalam sehingga aneh
menyeramkan.
“Engkau
kusandera. Hanya kalau ayahmu telah menyerahkan uang seribu tail kepadaku,
engkau kubebaskan. Kalau dalam waktu sehari semalam uang itu tidak diserahkan
kepadaku, aku akan menyiksamu sampai mati.”
Tentu saja
Cang Sun terkejut bukan main. Dia memang penakut, dalam arti kata tidak
menyukai kekerasan, akan tetapi sama sekali bukan pengecut! Bagaimana ayahnya
akan tahu bahwa dia diculik orang dan bagaimana pula akan dapat menebusnya?
Akan tetapi karena dia tidak mampu bergerak dan bersuara, maka diapun diam
saja.
Orang itu
sudah mendayung perahunya, dan meninggalkan perahu orang itu yang berwarna
hitam tadi. Perahu di dayung cepat ke pantai oleh orang berkedok itu. Dan di
pantai itu telah menanti pemilik sepasang mata yang ke dua, yang bersembunyi di
balik semak-semak. Pantai itu memang bagian yang sunyi dan tidak nampak
seorangpun manusia disitu.
Ketika
perahu sudah tiba di dekat pantai, orang berkedok itu berdiri, mencengkeram
punggung baju Cang Sun dan sekali tubuhnya bergerak, dia sudah melompat ke
darat. Gerakannya demikian ringan dan tangannya bergitu kuat sehingga Cang Sun
mengerti bahwa dia terjatuh ke tangan orang yang lihai sekali, yang membawanya
meloncat dari perahu ke darat seperti membawa benda yang amat ringan saja!
Akan tetapi
begitu dia mendarat, terdengar bentakan merdu dan nyaring keluar dari balik
semak-semak.
“Penculik
jahat, lepaskan dia!”
Dan
muncullah seorang wanita cantik. Begitu muncul, wanita itu bergerak cepat bukan
main, tubuhnya seperti terbang saja menyerang ke arah pria berkedok yang
menjadi terkejut.
“Ihhh ….!”
Pria berkedok itu menangkis dan terhuyung ke belakang.
Wanita itu
lalu menggerakkan tangannya, membebaskan totokan Cang Sun dengan beberapa kali
tusukan jari tangan dan tepukan. Cang Sun mampu bergerak dan bersuara lagi.
Akan tetapi dia tidak sempat bicara karena orang berkedok itu kini telah
menyerang si gadis cantik dengan pukulan-pukulan dahsyat. Namun, wanita itu
dengan tenang menyambut serangan itu, mengelak atau menangkis dan membalas
tidak kalah cepat dan kuatnya.
Cang Sun
yang sudah bebas mendapat kesempatan untuk memperhatikan penolongnya. Wanita
itu memang cantik sekali, cantik dan manis dengan wajah lonjong, wajahnya cerah
dengan senyum selalu membayang di mulutnya, matanya jeli dan sinarnya tajam.
Perkelahian
itu berlangsung seru. Cang Sun diam-diam merasa khawatir kalau-kalau penolongnya
itu akan kalah. Tempat itu amat sunyi sehingga dia tidak minta tolong orang
lain. Akan tetapi, kekhawatirannya itu tidak perlu. Kini dia melihat betapa
wanita cantik itu mendesak si penculik, Cang Sun menjadi kagum.
Wanita
cantik itu mengingatkan dia kepada Kui Hong! Seperti juga ketua Cin-ling-pai
itu, gadis ini cantik manis dan memiliki ilmu kepandaian yang lihai! Dan gadis
itu kini mati-matian menolong dan membelanya dari ancaman si penculik yang
jahat dan kejam.
“Penjahat
yang keji, buka kedokmu dan berlutut minta ampun, baru aku akan mengampunimu!”
terdengar wanita gagah itu berseru.
Seorang
pendekar wanita, pikir Cang Sun. Seorang pendekar wanita yang berbudi. Akan
tetapi penculik itu agaknya tidak mau membuka kedoknya, bahkan menyerang
semakin ganas.
“Bagus,
engkau memang jahat dan harus dihajar!”
Wanita itu
berseru lagi sambil mengelak dan balas menyerang. Kembali mereka saling serang,
sedemikian cepatnya sehingga sukar bagi Cang Sun untuk dapat mengikuti gerak
mereka.
“Plakk!”
Tiba-tiba si
penculik itu terhuyung ke belakang, agaknya terkena tamparan pada pundaknya.
Dia mengaduh, terhuyung dan sebelum pendekar wanita itu sempat menyerang lagi,
si penculik sudah meloncat jauh dan melarikan diri!
“Keparat,
hendak lari kemana kau?” bentak gadis itu dan hendak mengejar, akan tetapi Cang
Sun cepat mencegahnya.
“Lihiap,
harap jangan kejar dia!”
Gadis itu
tidak jadi mengejarbya, membalik dan menghadapi Cang Sun.
“Kenapa
kongcu? Kenapa aku tidak boleh mengejarnya?” tanyanya dan ketika dia bicara,
nampak kilatan giginya yang putih, menambah kecantikannya.
“Dia sudah
lari dan berbahaya mengejar penjahat yang melarikan diri. Pula, dia tidak
menyakiti aku dan……”
Pada saat
itu, muncul seorang pemuda dari lain jurusan, seorang pemuda yang tampan dan
gagah.
“Bi-moi
(Adik Bi), apa yang terjadi?” tanya pemuda itu dan melihat kemunculannya yang
tiba-tiba, Cang Sun dapat menduga bahwa pemuda inipun seorang yang memiliki
ilmu kepandaian silat tinggi.
“Aih,
Ki-koko (Kakak Ki), engkau baru tiba? Baru saja aku menolong kong-cu ini dari
tangan seorang penculik jahat. Dia melarikan diri!”
“Kemana dia
lari?” tanya pemuda itu.
Wanita itu
menunjuk ke arah larinya penculik tadi dan tanpa menanti wanita itu bicara,
pemuda gagah tadi sudah meloncat dan melakukan pengejaran. Cang Sun kagum dan
bertanya kepada gadis itu.
“Lihiap,
siapakah orang gagah tadi?”
“Dia adalah
kakakku, Kong-cu.”
“Ahhh!
Sungguh mengagumkan sekali kalian kakak beradik yang gagah perkasa. Dan engkau
telah menyelamatkan nyawaku, lihiap. bolehkah aku mengetahui siapakah nama
lihiap dan siapa pula nama kakakmu tadi?”
“Kami she
Liong, Kongcu. Nama kakakku Liong Ki dan namaku sendiri Liong Bi. Kami datang
dari selatan dan baru beberapa hari berada di Nan-king. Hari ini kami berpesiar
di danau ini dan tadi kami berpisah karena kakakku hendak membeli minuman, dan
aku kebetulan melihat Kongcu diculik orang jahat berkedok tadi. Siapakah Kongcu
dan mengapa pula Kongcu diculik penjahat tadi?”
“Liong-lihiap
(Pendekar Wanita Liong), terimalah hormatku dan ucapan terima kasihku,” kata
Cang Sun sambil memberi hormat yang cepat dijawab oleh Liong Bi. “Namaku Cang
Sun dan penculik tadi menculikku untuk minta uang tebusan, begitu menurut
ancamannya tadi. Kalau dalam waktu duapuluh empat jam ayahku tidak memberi uang
tebusan seribu tail, dia akan mnyiksa dan membunuhku.”
“Cang
Kongcu, she (nama keturunan) Kongcu mengingatkan aku akan seorang pembesar yang
amat terkenal, yaitu Menteri Cang Ku Ceng. Apakah barangkali Kongcu masih ada
hubungan keluarga dengan Cang Taijin…..”
“Aku
puteranya.”
“Aihhh …..!”
Gadis itu cepat-cepat memberi hormat yang dibalas oleh Cang Sun. “Maafkan aku,
Kongcu. Sungguh mati karena tidak tahu, maka aku bersikap kurang hormat kepada
putera Menteri Cang yang terkenal di seluruh penjuru. Beruntung sekali aku
dapat bertemu dengan Kongcu!”
“Hemm,
lihiap terlalu merendahkan diri. Ayahku memang seorang menteri yang terkenal,
akan tetapi aku ini hanya anaknya yang tidak memiliki kemampuan apapun.”
“Sekarang
aku tidak merasa heran mengapa ada penjahat yang hendak menculikmu, Kongcu.
Selain untuk mencari uang tebusan, tentu penjahat itu pernah sakit hati
terhadap ayahmu yang terkenal keras terhadap para penjahat. Akan tetapi yang
membuat aku merasa heran, mengapa Kongcu bepergian seorang diri tanpa pengawal?
Itu dapat berbahaya sekali!”
“Hemmm, apa
sih bahayanya? Aku orang biasa, dan selama ini belum pernah aku mengalami
gangguan, baru tadi. Mungkin penjahat itu agak miring otaknya……”
“Aih, jangan
berkata demikian, Cang-kongcu! Andaikata Kongcu sendiri tidak atau belum
memiliki kedudukan tinggi dan nama yang terkenal, Kongcu tidak boleh lupa bahwa
Kongcu putera seorang menteri yang amat terkenal! Karena itu, seyogyanya Kongcu
menjaga diri dengan pengawalan, karena kalau terjadi sesuatu terhadap diri
Kongcu, tentu ayah Kongcu juga ikut merasa berduka dan menyesal.”
Pada saat
itu, pemuda tampan gagah tadi datang berlari seperti terbang cepatnya dan gadis
cantik itu menyongsongnya.
“Bagaimana,
Koko, berhasilkah engkau mengejar penjahat tadi?”
Pemuda itu
menggeleng kepalanya.
“Aku tidak
menemukan lagi bayangannya, dan tidak ada orang lain yang melihat orang berlari
kesana.” Pemuda itu memandang kepada Cang Sun. “Bagaimanapun juga, masih untung
bahwa penjahat itu tidak melukai saudara ini ….”
“Koko,
kongcu ini adalah Kongcu Cang Sun, putera dari Menteri Cang Ku Ceng yang
terkenal itu.”
Pemuda
tampan itu nampak terkejut, dan cepat dia memberi hormat kepada Cang Sun.
“Maaf,
karena tidak tahu maka aku bersikap kurang hormat, Cang-kongcu.”
Cang Sun
memandang kepada pemuda itu dengan kagum. Seorang pemuda yang usianya sebaya
dengan gadis itu, wajahnya tampan tubuhnya sedang namun tegap, dan sikapnya
sopan, bicaranya lembut dan halus pula, tanda bahwa pendekar ini selaIn lihai
ilmu silatnya, juga mengenal tata-susila.
“Liong-taihiap
…. (pendekar besar Liong).”
Pemuda yang
tadi di perkenalkan oleh gadis itu bernama Liong Ki cepat memberi hormat.
“Jangan
sebut aku taihiap, Kongcu. Namaku Liong Ki, sebut saja namaku.”
Cang Sun
semakin kagum dan senang.
“Baiklah,
saudara Liong Ki, dan engkau nona Liong Bi. Aku sungguh berterima kasih sekali dan
merasa berhutang budi kepada kalian. Entah bagaimana aku dapat membalas budi
kebaikan kalian. Kalau kalian tidak berkeberatan, aku mengundang kalian untuk
datang ke rumah, agar aku dapat mengajak kalian makan minum dan kuceritakan
peristiwa tadi kepada ayahku.”
Liong Ki dan
Liong Bi saling pandang, dan Liong Ki yang berkata,
“Sesungguhnya
kami sama sekali tidak mengharapkan balas jasa, Cang Kongcu. Menolong sesama
hidup yang sedang berada dalam kesukaran merupakan kewajiban kami. Akan tetapi,
kami tidak berani menolak undangan Kongcu dan kami merasa gembira dan terhormat
sekali.”
“Juga kami
harus mengawal Kongcu sampai kerumah, karena siapa tahu penjahat tadi masih
penasaran dan akan muncul lagi mengganggu Kongcu,” kata Liong Bi.
Mereka lalu
kembali ke Nan-king dan diam-diam Cang Sun merasa senang sekali. Bairpun baru
saja dia terbebas dari ancaman maut, kini bersama kakak beradik yang lihai itu,
dia merasa aman dan terjamin keselamatannya!
Setibanya
dirumah, Cang Sun lalu memerintahkan para pelayan untuk menyediakan hidangan
yang serba mahal dan lezat untuk menjamu kakak-beradik itu. Ayahnya masih belum
pulang, maka dia mengajak dua orang penolongnya untuk makan minum.
Dua orang
muda itupun tidak sungkan-sungkan lagi sehingga hubungan mereka menjadi akrab.
Apalagi ketika Cang Sun mendapat kenyataan betapa Liong Ki memang memiliki
pandangan luas, bahkan tidak asing pula dengan sastra. Mereka makan minum
dengan asyik sekali.
“Sekali lagi
kuulangi bahwa aku berterima kasih kepada kalian. Kalau saja aku dapat membantu
kalian untuk sekedar membalas kebaikan itu, aku akan merasa gembira sekali.”
Liong Ki
tersenyum.
“Kongcu,
sudah kami katakan tadi bahwa kami tidak mengharapkan balasan karena perbuatan
kami itu sudah menjadi kewajiban bagi para pendekar.”
“Tapi, Koko,
siapa tahu Cang Kongcu dapat membantu kita? Bukankah kita jauh-jauh datang ke
Nan-king untuk mencari pekerjaan?” kata Liong Bi.
“ahh,
Bi-moi, kita tidak boleh merepotkan Cang-kongcu!” tegur kakaknya.
Wajah Cang
Sun berseri.
“Ah, kalian
membutuhkan pekerjaan? Ceritakan, pekerjaan apa yang kalian butuhkan, tentu aku
akan membantu kalian!”
Liong Ki
menghela napas panjang.
“Sesungguhnya
kami tidak ingin merepotkan Kongcu, akan tetapi karena adikku sudah lancang
bicara, biar kami ceritakan kepada Kongcu keadaan kami. Kami kakak-beradik
tinggal diselatan, di lembah Sungai Yang-cee yang berada diperbatasan Propinsi
Secuan dan Hupek. Dusun kami ditepi sungai mengalami kebanjiran hebat sehingga
ludeslah seluruh milik kami. Kami sudah yatim piatu, maka kami mengambil
keputusan untuk mengembara. Bersama tunangan saya yang bernama Mayang, kami
bertiga lalu melakukan perjalanan ke Nan-king untuk mencari pekerjaan.”
“Hemm,
dimana tunanganmu itu, saudara Ki Liong? Kenapa tidak ikut dengan kalian
kesini?”
“Ia tinggal
di rumah penginapan karena merasa kurang enak badan tadi,” jawab Liong Bi.
“Ah,
begitukah? Nah, sekarang katakan, pekerjaan macam apa yang kalian perlukan.
Mungkin aku dapat membantu kalian.”
“Kongcu,
kami tidak memiliki kepandaian lain kecuali ilmu silat. Juga tunanganku seorang
ahli ilmu silat. Maka, tidak ada lain pekerjaan yang lebih cocok bagi kami
bertiga kecuali menjadi pengawal. Akan tetapi kami tidak ingin menjadi
perajurit. Kami ingin menjadi pengawal hartawan yang dermawan, atau pejabat
yang bijaksana, keluarga orang berpangkat yang berbudi luhur dan….”
“Aih, kalau
begitu, kalian bertiga bekerja disini saja, membantu keluarha kami!” Cang Sun
berseru girang. “Saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal kami, mengawal ayah
sebagai pengawal pribadi, atau menemani aku sebagai kawan dan merangkap
pengawal. Sedangkan nona Liong Bi dan tunanganmu itu dapat menjadi pengawal
keluarga ayah, menemani ibu kalau bepergian sambil menjaga keselamatannya….”
“Aduh,
terima kasih sekali, Kongcu!”
Liong Bi
berseru dan matanya bersinar-sinar penuh kegirangan, senyumnya manis bukan
main.
“Ah, jangan
tergesa-gesa, Bi-moi. Setidaknya, Cang-kongcu harus memberitahukan orang tuanya
untuk mendapat ijin mereka,” kata Liong Ki.
Pada saat
itu, seorang pelayan masuk memberi laporan kepada Cang Sun yang sudah
memesannya tadi, bahwa ayahnya baru saja pulang dan berada di ruangan dalam
bersama ibunya.
“Laporkan
bahwa aku akan menghadap ayah dan ibu bersama dua orang tamu yang penting,
yaitu dua orang sahabatku!” kata pemuda bangsawan itu.
Pelayan
segera pergi melaksanakan perintahnya dan tak lama kemudian datang lagi memberi
laporan bahwa Menteri Cang Ku Ceng dan isterinya telah siap menerima Cang Sun
dan dua orang sahabatnya.
Biarpun
Liong Ki dan Liong Bi merupakan dua orang yang berkepandaian tinggi, namun
sekali ini mereka merasa tegang dan jantung mereka berdebar keras ketika mereka
mengikuti Cang Sun untuk menghadap Cang-taijin. Nama besar Menteri Cang itu
mempunyai wibawa yang amat kuat!
Akan tetapi
ketika dua orang kakak-beradik itu berhadapan dengan Menteri Cang, mereka
merasa kagum dan hati mereka terasa tenang. Pembesar yang amat terkenal itu
memang kelihatan amat menyeramkan, tinggi besar dan brewok, dan masih nampak
kuat dan gagah walaupun usianya sudah mendekati enam puluh tahun. Akan tetapi
sinar matanya yang mencorong itu dapat menjadi lembut dan suaranya halus ramah
ketika dia bicara.
“Ayah dan
Ibu, dua orang kakak-beradik Liong Ki dan Liong Bi ini saya ajak menghadap Ayah
dan Ibu karena kalau tidak ada pertolongan mereka berdua ini, mungkin sekali
saya telah dibunuh orang.”
Tentu saja
ucapan ini mengejutkan ayah bundanya. Cang sun segera menceritakan
pengalamannya ketika dia berperahu seorang diri di danau.
Mendengar
semua ini, Menteri Cang Ku Ceng mengerutkan alisnya yang tebal, dan sepasang
matanya mengamati kedua orang kakak-beradik itu dengan sinar mata penuh
selidik, membuat Liong Ki dan Liong Bi merasa tidak enak duduk. Sinar mata itu
seolah-olah menembusi dada mereka dan menjenguk isi hati!
Pada saat
itu, terdengar langkah kaki dan muncullah dua orang gadis yang cantik jelita ke
dalam ruangan itu. Mereka itu adalah Cang Hui dan adik misannya, Teng Cin Nio.
Kalau Cang Hui masuk dengan sikap bebas, sebaliknya Cin Nio nampak ragu dan
sungkan. Bahkan setelah masuk, Cin Nio memandang ke arah paman bibinya, lalu
berkata lirih,
“Nah, Enci
Hua, apa kataku tadi, kita mengganggu paman dan bibi yang sedang menerima
tamu!” Ia lalu memberi hormat kepada Menteri Cang dan isterinya, dengan sikap
hormat berkata, “Mohon maaf kepada Paman dan Bibi kalau saya mengganggu.”
“Tidak
mengapa, Hui-ji (anak Hui) dan Cin Nio, kalian duduklah. Kami sedang
mendengarkan cerita kakak kalian yang mengejutkan. Dia baru saja diculik
pembunuh dan diselamatkan oleh sepasang kakak-beradik ini!” kata Menteri Cang.
Teng Cin Nio
segera duduk di belakang bibinya, sedangkan Cang Hui yang mendengar ucapan itu
lalu mendekati kakaknya.
“Sun-kok,
benarkah itu? Engkau telah diculik pembunuh! Dan mereka ini….. telah
menyelamatkanmu? Apakah mereka ini orang-orang yang pandai silat?”
Gadis yang
keranjingan silat ini tentu saja tertarik dan sinar matanya yang tajam mengamati
dua orang kakak-beradik itu dengan penuh selidik.
“Pandai
silat?” kata Cang Sun. “Hemm, adikku yang manis. Mereka berdua ini adalah
pendekar-pendekar yang amat lihai, kurasa jauh lebih lihai dibandingkan gurumu
itu.”
Sebelum Cang
Hui membantah dan dua orang kakak beradik itu berbantahan seperti biasa, Cang
Taijin menengahi,
“Sudahlah,
Sun-ji (anak Sun). Kakak-beradik Liong ini sudah berjasa, engkau harus memberi
hadiah kepada mereka.”
“Itulah
masalahnya, Ayah. Mereka ini sama sekali tidak mengharapkan imbalan jasa.
Mereka hanya membutuhkan pekerjaan! Saudara Liong Ki ini bahkan mempunyai
seorang tunangan yang tidak ikut kesini, dan mereka bertiga ini mengharapkan
pekerjaan yang sesuai dengan kepandaian mereka. Saya sudah menjanjikan kepada
mereka untuk menerima mereka sebagai pengawal-pengawal pribadi, Ayah. Saudara
Liong Ki ini dapat menjadi pengawal pribadi Ayah dan saya, sedangkan nona Liong
Bi dan tunangan saudara Liong Ki dapat menjadi pengawal keluarga kita. Dengan
demikian, keamanan keluarga bisa terjamin.”
“Tapi
keluarga kita sudah mempunyai pasukan pengawal!” bantah Cang Hui. “Dan aku
sendiri bersama Cin-moi sedang memperdalam ilmu silat. Kami dapat menjaga
keamanan keluarga kita.”
“Pasukan
pengawal itu terlalu kaku. Sebaiknya kalau mereka ini menjadi pengawal pribadi,
tidak kentara, seperti anggauta keluarga saja,” bantah Cang Sun. “Dan ingat,
mereka telah menyelamatkan aku sehingga kalau kita menerima mereka menjadi
pengawal pribadi, ada balas budi yang menguntungkan kedua pihak.”
“Tapi, kita
sama sekali tidak mengenal mereka. Kita harus yakin benar bahwa mereka dapat
diandalkan. Sebaiknya kalau kita uji dulu sampai dimana kemampuan mereka,
apakah pantas untuk menjamin keamanan keluarga kita,” bantah Cang Hui yang
memang lincah dan pandai bicara.
Liong Ki
sejak tadi mengamati Cang Hui dan Teng Cin Nio, dan diam-diam dia kagum
terhadap Cang Hui. Dia lalu cepat bangkit berdiri dan memberi hormat kepada
Menteri Cang.
“Kami
kakak-beradik mohon maaf sebesarnya kalau kedatangan kami hanya mendatangkan
gangguan belaka. Atas pertanyaan Cang-kongcu, kami berterus terang bahwa kami
sedang mencari pekerjaan di Nan-king, yang sesuai dengan kemampuan kami.
Cang-kongcu yang menawarkan pekerjaan sebagai pengawal pribadi disini. Kalau
sekiranya keluarga Cang yang terhormat ini keberatan, tentu saja kami tidak
berani memaksakan diri. Kami amat berterima kasih atas segala perhatian
Cang-kongcu.”
“Tidak,
saudara Liong Ki. Jangan dengarkan kata-kata adikku ini! Ia memang cerewet.
Keputusannya ada pada ayah. Bagaimana, Ayah? Dapatkah ayah menerima mereka
bekerja sebagai pengawal keluarga disini?”
Cang Ku Ceng
adalah seorang yang cerdik dan berhati-hati, namun diapun seorang yang berwatak
gagah. Kalau puteranya sudah menjanjikan kepada mereka, tentu saja amat tidak
baik kalau dia menolaknya. Akan tetapi menerimanya begitu saja, juga merupakan
perbuatan yang gegabah, karena dia belum mengenal siapa mereka.
“Engkau dan
adikmu memang benar. Sebagai seorang yang menerima budi pertolongan, sudah
sepantasnya kalau engkau membalas budi pertolongan mereka. Akan tetapi, adikmu
benar pula. Kalau mereka itu hendak bekerja sebagai pengawal keluarga, kita
harus benar-benar yakin akan kemampuan mereka.”
“Tentu saja,
Ayah. Aku merasa yakin bahwa kepandaian kedua kakak-beradik ini lebih lihai
daripada semua jagoan yang ada disini, lebih lihai daripada guru silat Coa yang
tua itu! Kalau mereka ini menjadi pengawal keluarga, nona Liong Bi ini akan
dapat menggantikannya dan menjadi guru silat Hui-moi.”
“Baiklah,
kita uji dulu kepandaian mereka. Akan tetapi aku ingin bertanya dulu, apakah
kalian berdua kakak-beradik Liong suka menerima kalau kami beri pekerjaan
sebagai pengawal keluarga kami?” tanya Cang Taijin.
“Bertiga
dengan tunangan saudara Liong Ki, Ayah.” Cang Hui mengingatkan.
“O ya, tiga
orang, dan semua akan diuji kepandaiannya. Bagaimana jawaban kalian? Suka
menjadi pengawal keluarga kami melalui ujian kepandaian dulu?”
Liong Bi
memandang kepada kakaknya dan Liong Ki menjawab dengan sikap gagah.
“Tentu saja
kami menerima dengan perasaan bersukur dan bangga kalau Taijin sudi menerima
kami sebagai pengawal kelurga, dan tentang ujian, hal itu memang sudah
sepatutnya dan semestinya. Kami berdua, dan tunangan saya nanti, siap untuk
menghadapi ujian.”
“Ayah, biar
kami dan suhu yang melakukan ujian!” kata Cang Hui galak, masih penasaran dan
sama sekali tidak percaya bahwa dua orang muda yang usianya beberapa tahun
lebih tua darinya itu akan mampu mengalahkan gurunya.
Cang Taijin
tersenyum. Dia sendiri, biarpun bukan ahli silat yang pandai, namun sudah
banyak bertemu dengan para pendekar dan dia dapat menilai tingkat kepandaian
seseorang dari gerakannya dan tenaga yang terkandung dalam gerakan itu.
“Baik, kau
undang gurumu kesini!”
Cang Hui
memperlihatkan kegesitannya. Dahulu sebelum belajar ilmu silat, ia adalah
seorang gadis yang gerak-geriknya lemah lembut walaupun sejak kecil ia memang
mempunyai perbawaan lincah jenaka. Kini, ia meninggalkan ruangan itu sambil
berlari dan gerakannya nampak gesit sekali. Melihat ini, diam-diam Liong Ki dan
Liong Bi menahan senyum mereka. Gadis bangsawan yang baru satu atau dua tahun
belajar slilat itu tentu saja tidak ada artinya bagi mereka.
Ketika
Coa-ciangkun (Perwira Coa) yang usianya sudah enampuluh tahun itu muncul, Cang
Taijin lalu memberitahukan bahwa dia menerima tiga orang muda untuk bekerja
sebagai pengawal keluarga, dan untuk itu dia minta kepada Coa-ciangkun untuk
menguji ilmu kepandaian silat mereka.
Perwira yang
bertugas sebagai guru silat dari puteri dan keponakan Cang Taijin itu
menyanggupi dan mereka lalu pergi ke lian-bu-thia (ruang latihan silat) yang
berada di sebelah belakang. Ruangan ini memang sengaja dibuat untuk keperluan
Cang Hui berlatih silat, sebuah ruangan yang kosong dan cukup luas.
Bukan saja
Cang Taijin yang ikut menonton, bahkan isterinya yang ingin sekali melihat
kepandaian orang-orang yang akan menjadi pengawal keluarganya ikut pula
menonton. Suami isteri bangsawan ini duduk di sudut, dan Cang Sun juga duduk
disitu bersama Cang Hui dan Teng Cin Nio.
“Ayah,
biarlah aku dan Cin Nio yang menguji wanita itu, dan nanti suhu yang menguji
kakaknya. Aku ingin sekali tahu dan yakin bahwa orang yang dicalonkan sebagai
guruku benar-benar memiliki kepandaian yang tinggi, lebih tinggi dari suhu!”
Menteri Cang
mengangguk, dan mendengar ini Coa-ciangkun juga mundur. Demikian pula Liong Ki
meninggalkan adiknya yang akan diuji oleh puteri Menteri Cang sendiri.
Teng Cin Nio
yang diam-diam telah jatuh cinta hati kepada Cang Sun, pemuda yang dicalonkan
menjadi suaminya, bagaimanapun juga ingin memamerkan kepandaiannya di depan
pria yang dikasihinya. Maka iapun bangkit dan memberi hormat kepada paman dan
bibinya.
“Saya mohon
Paman dan Bibi untuk menandingi wanita ini.”
“Eh, nanti
dulu, Cin-moi. Biar aku yang maju lebih dulu melawannya, baru nanti engkau yang
maju kalau aku sudah mengukur kepandaiannya,” kata Cang Hui yang juga bangkit
berdiri. Melihat dua orang gadis cantik itu berebut, Liong Bi tersenyum ramah.
“Ji-wi
siocia (nona berdua) harap jangan sungkan. Silakan maju bersama agar ji-wi
dapat berlatih dan sekalian menguji apakah aku pantas menjadi guru ji-wi atau
tidak.”
Ucapannya
lembut dan ramah sehingga tidak terdengar seperti tantangan, dan sikapnya
bahkan membimbing.
“Baik, kami
akan maju bersama!” kata Cang Hui. “Mari, Cin-moi!” Keduanya menghampiri Liong
Bi dan wanita ini kembali tersenyum dan berkata halus.
“Ji-wi
siocia, karena ini hanya merupakan ujian, maka sebaiknya kalau sebelumnya
diadakan aturan tertentu. Aturan ini hanya untuk aku, bukan untuk ji-wi. Ji-wi
(kalian berdua) boleh menyerangku sesuka hati, dengan tangan kosong boleh
dengan senjata apapun boleh. Dan aku tidak akan balas memukul, aku akan
berusaha untuk mengambil perhiasan rambut ji-wi tanpa melukai ji-wi, kemudian
aku akan mengembalikannya lagi dan ji-wi boleh mengelak atau menghalangi.
Bagaimana pendapat ji-wi dengan aturan itu?”
Dua orang
gadis itu saling pandang, bahkan Cang Sun dan ayah ibunya tertegun. Demikian
lihaikah Liong Bi, atau amat sombong?
“Wah, kalau
begitu kalian tidak boleh menggunakan senjata!” seru Cang Sun kepada kedua
orang gadis itu.
“Tidak,”
kata Menteri Cang. “Gadis itu diuji untuk menjadi pengawal, dan dalam pekerjaannya
ia mungkin harus berhadapan dengan penjahat atau pembunuh! Sebaiknya kalau
kalian menggunakan senjata yang biasa kalian latih.”
Mendengar
ini, Cang Hui dan Cin Nio lalu menghampiri rak senjata dari mana mereka
mengabil sepasang pedang yang biasa menjadi senjata mereka ketika latihan.
Coa-ciangkun sendiri hanya berdiri menonton. Dia tahu bahwa dua orang gadis
yang menjadi muridnya itu masih mentah dalam ilmu silat mereka, akan tetapi
kalau mereka maju bersama dengan siang-kiam (sepasang pedang), apalagi kalau
lawan tidak boleh membalas, mereka akan cukup membahayakan lawan. Untuk dapat
menang seperti yang dijanjikan tadi, wanita cantik itu harus mempunyai gin-kang
(ilmu meringankan tubuh) yang hebat!
Kini Cang
Hui dan Cin Nio sudah berdiri di depan Liong Bi, dengan kedua pedang bersilang
di depan dada, suatu pasangan kuda-kuda yang mereka pelajari dari guru mereka.
Coa-ciangkun
adalah murid Kun-lun-pai, maka ilmu pedang pasangan yang dikuasai dua orang
gadis itu adalah ilmu pedang Kun-lun-pai. Liong Bi yang mengenal banyak macam
ilmu pedang, sekali lihat saja tahu bahwa dua orang gadis itu menguasai ilmu
pedang Kun-lin.
“Nah, ji-wi
siocia boleh memulai. Seranglah aku dan jangan sungkan lagi!” tantangnya dengan
suara lembut dan ramah, tidak mengandung kesombongan.
“Lihat
pedang!”
“Jaga
seranganku!”
Dua orang
gadis itu lalu menggerakkan pedang mereka, Cang Hui menyerang dengan tusukan ke
arah perut sedangkan pedang kiri Cin Nio menyambar ke arah leher. Serangan ini
dilanjutkan dengan pedang kedua.
Namun,
gerakan Liong Bi amat lincahnya. Dengan tenang dan mudah saja ia mengelak
dengan langkah ke belakang, bahkan ketika pedang kedua menyambar kearah kaki
dan kepala, iapun dapat menghindarkan diri dengan tenang saja. Memang, bagi
wanita yang sudah menguasai ilmu silat tinggi dan amat mahir ini, gerakan kedua
orang gadis bangsawan itu terlampau lamban.
Pada saat
itu, Coa-ciangkun yang menjadi penonton, mengerutkan alisnya. Tadi dia
menganggap wanita cantik itu terlalu sombong, menyuruh dua orang muridnya
mengeroyok dengan senjata sedangkan wanita itu bertangan kosong bahkan
mengajukan peraturan yang amat merugikan dirinya sendiri.
Menghadapi
dua orang lawan yang berpedang tanpa membalas, bahkan harus mengambil hiasan
rambut tanpa melukai, lalu mengembalikannya lagi! Hal ini bukan main-mian. Akan
tetapi, ketika dia melihat gerakan wanita itu menghindarkan diri, diam-diam dia
terkejut karena dia segera mengenal gerakan seorang ahli silat yang sudah
matang!
Buktinya,
gerakan Liong Bi itu bukan hanya mengelak menjauhkan diri saja, asal tidak
terkena serangan lawan saja. Liong Bi bahkan berani mengelak dengan gerakan
mendekat, dengan perhitungan matang bahwa biarpun dekat, kedudukannya itu
menyulitkan lawan untuk menyerang. Kedua kakinya membuat langkah-langkah aneh,
namun selalu ujung pedang kedua orang gadis itu tak pernah mampu menyentuhnya,
bahkan beberapa kali dua orang gadis itu berbenturan pedang satu sama lain!
Setelah
membiarkan dua orang gadis itu menyerangnya dan ia hanya mengelak ke sana-sini
sampai dua puluh jurus lebih, tiba-tiba wanita cantik itu mengeluarkan bentakan
halus namun nyaring.
“Ji-wi
siocia, awas terhadap seranganku! Lindungi hiasan rambut kalian!”
Mendengar
peringatan ini, Cang Hui dan Cin Nio cepat memutar sepasang pedang mereka,
membentuk perisai untuk melindungi kepala mereka agar hiasan rambut mereka
tidak sampai terampas.
Namun,
tiba-tiba mereka terkejut bukan main dan menjadi bingung. Bahkan semua penonton
termasuk Coa-ciangkun terkejut melihat betapa tiba-tiba tubuh wanita itu lenyap
bentuknya dan yang nampak hanyalah bayangan berkelebat cepat sekali, membuat
dua orang gadis itu merasa seolah-olah mereka menghadapi lawan yang banyak
sekali dan menyerang dari segala jurusan! Mereka berusaha untuk melindungi
kepala dengan sepasang pedang mereka.
Tiba-tiba
saja dua orang gadis itu merasa betapa kedua lengan mereka lumpuh kehilangan
tenaga dan pedang mereka seperti terbang meninggalkan tangan mereka, kemudian
betapa hiasan rambut mereka direnggut orang. Ketika mereka memutar tubuh
memandang, ternyata wanita itu telah memegang empat batang pedang di satu
tangan dan dua buah hiasan rambut di tangan yang lain!
“Maafkan,
ji-wi sio-cia, ini pedang ji-wi saya kembalikan!” katanya sambil mengulurkan
tangan yang memegang empat batang pendang, digenggam begitusaja pada ujung nya
yang tajam!
Hanya
Coa-ciangkun dan Cang Taijin yang melihat betapa wanita cantik itu tadi
menggunakan ilmu menotok yang luar biasa membuat kedua lengan dua orang gadis
itu kehilangan tenaga, merampas empat batang pedang dengan mudah kemudian
dengan gerakan secepat kilat, tangan kanan merenggut hiasan rambut dari kepala
mereka!
Cang Hui
adalah seorang gadis yang keras hati dan pemberani. Kalau Cin Nio sudah menjadi
gentar dan tunduk, ia masih merasa penasaran.
“Kami tidak
membutuhkan pedang yang sudah terampas! Kau kembalikan hiasan rambut di kepala
kami, dan kami akan mencegah dengan kedua tangan kami saja!”
Gadis ini
berani dan juga cerdik. Tadi ia sudah mendapat kenyataan betapa dengan sepasang
pedang, ia dan Cin Nio sama sekali tidak berdaya, bahkan pedang itu menjadi
penghalang melindungi kepala. Maka, ia memilih tanpa senjata saja agar kedua
tangannya mampu melindungi kepala dan mencegah wanita cantik itu mengembalikan
hiasan rambutnya.
Ia memasang
kuda-kuda dengan mengambil tempat di belakang Cin Nio, beradu punggung sehingga
mereka dapat saling melindungi bagian belakang, dan kedua tangan mereka dapat
dipergunakan untuk melindungi bagian depan. Wanita ini tentu akan sukar sekali
untuk dapat mengembalikan hiasan rambut ke kepala mereka!
Liong Bi
mengangguk dan tersenyum.
“Bagus!
Siocia memang cerdik sekali. Biar saya kembalikan dulu dua pasang pedang ini!”
Dan wanita
itu memandang ke arah rak senjata di sudut jauh, sekali ia menggerakkan tangan
kiri yang menggenggam empat batang pedang pada ujungnya, empat batang pedang
itu meluncur ke arah rak itu, bagaikan empat ekor burung yang terbang berlomba.
Dan semua
orang, termasuk Coa-ciangkun, terbelalak heran dan kagum ketika melihat betapa
dua pasang pedang itu dengan tepat memasuki lubang di rak senjata itu seperti
dimasukkan dengan tangan saja!
Cang Taijin
mengangguk-angguk. Dari gerakan ini saja dia tahu bahwa wanita itu memang
memiliki ilmu kepandaian yang hebat, mengingatkan dia akan kelihaian Cia Kui
Hong!
“Hu-ji,
lanjutkan ujian itu!” teriaknya kepada puterinya dan nada suaranya gembira.
Walaupun
kini Cang Huy juga gentar melihat betapa wanita cantik itu dapat mengembalikan
empat batang pedang seperti itu, namun ia masih penasaran dan mendengar teriakan
ayahnya, ia lalu memberi isyarat kepada Cin Nio dan keduanya menyerang Liong Bi
sambil mengeluarkan semua jurus pilihan dengan pengerahan seluruh tenaga
mereka.
Liong Bi
juga seperti tadi hanya mengelak saja, bahkan menangkispun tidak karena ia tidak
ingin menyakiti dua orang gadis itu. Gerakannya memang jauh lebih lincah,
bagaikan seekor burung walet saja ia menyelinap diantara empat tangan dan empat
kaki yang menyambar-nyambar menyerangnya.
Karena Liong
Bi berloncatan ke arah belakang dua orang gadis itu, hal ini membuat Cang Huy
dan Cin Nio terpaksa seringkali memutar tubuh dengan cepat. Dan gerakan ini
membuat keduanya mulai berkeringat dan napas mereka memburu setelah lewat tiga
puluh jurus mereka menyerang sekuat tenaga dan selalu serangan mereka mengenai
tempat kosong belaka.
Karena
kelelahan, apalagi tadi juga sudah memainkan siang-kiam, kedua orang gadis ini
menjadi lambat gerakannya. Dan akhirnya, dengan kecepatan luar biasa, ketika
dua orang gadis itu menyerang, tubuh Liong Bi seperti terbang dengan loncatan
ke atas, berjungkir balik di udara dan kini dengan kepala di bawah tubuhnya
meluncur turun, didahului kedua tangannya dan tahu-tahu hiasan rambut itu sudah
berada kembali di kepala Cang Hui dan Cin Nio, terpasang dengan rapi!
Cang Taijin
bertepuk tangan, isterinya tersenyum-senyum kagum, juga Cang Sun bertepuk
tangan lebih keras daripada ayahnya. Coa-ciangkun mengangguk-angguk dan
memandang kagum pula. Cang Hui dan Cin Nio juga menjadi kagum dan Cang Hui
kehilangan perasaan penasarannnya. Ia sudah takluk dan bahkan girang
mendapatkan seorang guru yang demikian pandainya.
“Engkau
memang hebat, enci Liong Bi!” katanya memuji.
“aih, siocia
terlalu memuji. Siocia juga mempunyai bakat yang baik sekali,” kata Liong Bi,
bukan sekedar menyenangkan hati puteri bangsawan itu melainkan memang
sebenarnya gadis itu memiliki bakat yang baik untuk belajar ilmu silat.
“Sekarang
harap Coa-ciangkun suka menguji saudara Liong Ki!” kata Cang Sun gembira dan
Menteri Cang juga mengangguk ke arah Coa-ciangkun.
Perwira itu
adalah bawahan Menteri Cang. Andaikata tidak menjadi guru dua orang gadis
itupun dia tetap seorang perwira yang memiliki tugas lain. Baginya, menjadi
guru kedua orang gadis itu atau tidak, sama saja dan tidak ada bedanya karena
mengajar dua orang gadis itupun merupakan pelaksanaan tugas yang diperintahkan
atasannya.
Kini dia
mendapat tugas menguji kepandaian pemuda yang katanya kakak dari wanita cantik
itu. Dia dapat menduga bahwa kalau adiknya yang perempuan saja demikian lihai
apalagi kakaknya. Dia bangkit, memberi hormat kepada Menteri Cang dan
isterinya, kemudian melangkah ke tengah ruangan.
Liong Ki
juga memberi hormat kepada tuan rumah, lalu melangkah menghadapi Coa-ciangkun,
memberi hormat kepada perwira itu.
“Ciangkun,
maafkanlah dan bermurah hatilah kepada saya yang muda.”
Ucapan itu
sungguh merupakan ucapan yang merendah. Mendengar ini dan melihat sikap pemuda
itu, senanglah hati Coa-ciangkun. Orang muda ini tentu lihai dan sikapnya sopan
dan rendah hati, sungguh akan merupakan hamba yang baik dan dapat diandalkan.
Akan tetapi bagaimanapun juga dia harus yakin akan kemampuan pemuda ini yang
akan dijadikan pengawal pribadi atasannya.
“Orang muda
yang gagah, melihat tingkat kepandaian adikmu, aku dapat mengerti bahwa engkau
tentu lihai bukan mai. Harap jangan sungkan, aku hanya bertugas menguji
kepandaianmu.”
“Kalau
begitu silakan, Ciangkun. Bagaimana Ciangkun hendak mengatur ujian ini?
Bertangan kosong? Bersenjata?”
Coa-ciangkun
menghadap Menteri Cang dan bertanya,
“Taijin,
bolehkah saya mengujinya dengan cara saya untuk melihat apakah dia ini
benar-benar cakap untuk menjadi pengawal pribadi Taijin?”
Menteri Cang
mengangguk-angguk.
“Lakukanlah,
Ciangkun. Engkau lebih tahu bagaimana harus menguji calon pengawal pribadi yang
baik.”
“Terima
kasih, Taijin,” kata perwira itu yang kini menghadapi pemuda itu lagi.
“Liong-sicu (orang gagah Liong), menjadi pengawal pribadi atau pengawal
keluarga, harus siap menghadapi segala kemungkinan adanya bahaya yang
mengancam. Mending yang mendatangkan bahaya bukan hanya seorang saja sanggupkah
engkau menghadapi serbuan lima orang pengacau?”
“Tentu saja,
Ciangkun. Kalau saya menjadi pengawal, maka saya akan melindungi dan membela
keselamatan yang saya kawal dengan taruhan nyawa saya.”
“Bagus kalau
begitu. Nah, katakanlah bahwa saya dan lima orang anak buah saya menyerbu rumah
Cang Taijin dan engkau harus melindungi keselamatan keluarga beliau.”
Perwira itu
melangkah ke pintu dan memanggil lima orang pengawal yang masing-masing memiliki
ilmu kepandaian yang cukup tinggi karena mereka itu adalah para sute (adik
seperguruan) darinya. Lima orang prajurit itu masuk, memberi hormat kepada
keluarga Menteri Cang, kemudian atas isyarat suheng mereka, mereka berdiri
mengepung Liong Ki dalam lingkaran.
“Liong-sicu,
kami berenam adalah pengacau-pengacau yang menyerbu rumah keluarga yang kau
lindungi. Kami semua bersenjata dan kami akan menyerang dengan sungguh-sungguh.
Sanggup dan beranikah engkau menghadapi kami? Karena ini hanya ujian, tentu saja
engkau tidak boleh melukai kami, hanya boleh merobohkan tanpa melukai.
Sanggup?”
“Nanti
dulu!” Cang Sun berseru. “Tidak adil kalau begini. Masa seorang dikeroyok enam
orang? Disini masih ada nona Liong Bi, dan ada pula tunangan saudara Liong Ki.
Mereka bertiga tentu akan bergerak melawan kalau rumah diserbu enam orang
penjahat!”
Akan tetapi
Liong Bi sambil tersenyum ramah.
“Biarkan
saja, Cang-kongcu. Kurasa kakakku masih akan mampu menghadapi keroyokan enam
orang penguji itu. Nanti kalau kewalaham, baru aku akan membantunya, kalau saja
diperbolehkan.”
Mendengar
ini, Cang-taijin yang sudah merasa gembira dan kagum itu berkata,
“Tentu saja
boleh kalau nanti engkau akan membantu kakakmu.”
Perwira Coa
yang sudah mencabut pedangnya, juga lima orang sutenya yang sudah mengeluarkan
senjata mereka, ada yang memegang golok ada yang membawa tombak atau pedang,
berkata,
“Nah, Liong-sicu,
keluarkan senjatamu untuk menghadapi keroyokan kami.”
Liong Ki
melolos sabuknya, sebuah sabuk sutera yang berwarna biru muda, lemas dan
panjangnya ada dua meter. Dia menggerakkan tangan kanan dan sabuk itu melayang
ke atas, membuat lingkaran dan membelit-belit lengannya sampai tergulung semua.
“Inilah
senjataku, Ciangkun. Cu-wi (kalian semua) mulailah!”
Liong Ki
memang tampan dan gagah sehingga dua orang gadis itu memandang penuh kagum.
Betapa gagahnya pemuda itu, menghadapi enam orang yang bersenjata tajam hendak
mengeroyoknya, bersikap demikian tenangnya, bahkan senjatanyapun sehelai sabuk
sutera tipis dan lemas!
Semua orang
memandang tegang kecuali tentu saja Liong Bi. Wanita ini yakin benar bahwa
kakaknya akan mampu menandingi pengeroyokan enam orang itu.
“Liong-sicu,
awas, kami mulai menyerang!” kata Coa-ciangkun dan ia mendahului sutenya untuk
menyerang dengan pedangnya.
Gerakannya
cepat dan mengandung tenaga yang kuat sehingga pedangnya berubah menjadi sinar
terang dan ketika menyambar, mengeluarkan suara bersiutan! Gerakan pedang ini
disusul oleh gerakan senjata lima orang sutenya. Karena mereka adalah
prajurit-prajurit yang biasa bertempur sebagai pasukan, apalagi mereka adalah
kakak-beradik seperguruan yang mengenal ilmu silat masing-masing, maka gerakan
mereka itu teratur dan rapi, tidak simpang siur dan saling mendukung.
Tadinya
semua orang memandang tegang melihat enam buah senjata menjadi gulungan sinar
yang menyilaukan mata, menyambar-nyambar ke arah tubuh pemuda itu.
Akan tetapi
merekapun terbelalak kagum ketika tubuh Liong Ki lenyap dan terbungkus
lingkaran gulungan biru yang dibuat oleh sabuk suteranya. Bahkan Liong Bi juga
memandang kagum. Kakaknya memang hebat, lebih hebat darinya! Dan enam orang
pengeroyoknya itu terkejut karena seringkali senjata mereka bertemu dengan
sabuk yang sinarnya bergulung-gulung itu, mereka merasa betapa telapak tangan
mereka tegetar hebat! Bahkan pertemuan antara senjata dengan sabuk itu
menimbulkan suara berdenting seolah-olah sabuk itu berubah menjadi baja yang
kaku! Itu menunjukkan bahwa pemuda itu memang memiliki tenaga sin-kang yang
sudah tinggi tingkatnya, dapat membuat sabuk sutera menjadi keras dan kaku.
Mula-mula,
Liong Ki mempergunakan kelincahan gerakannya yang didasari gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang sduah mencapai tingkat tinggi. Tubuhnya berkelabatan dan menyelinap
diantara gulungan sinar enam buah senjata. Hanya kadang-kadang saja
pengelakannya dibantu oleh tangkisan sabuk suteranya.
Sampai
belasan jurus dia menghindarkan serangan-serangan itu dengan mengandalkan
keringanan tubuh dan kecepatan gerakannya. Nampaknya, memang lucu dan indah.
Enam orang itu bagaikan enam orang anak-anak yang berlomba menangkap seekor
burung walet yang beterbangan diantara mereka.
Setelah
lewat belasan jurus, Liong Ki mengubah permainannya. Dia tidak lagi berloncatan
mengelak, melainkan berdiri tegak dan memutar sabuknya. Sabuk itu berubah
menjadi benteng sinar biru yang melindungi dirinya sehingga semua serangan yang
datang dari depan, kanan kirii dan atas itu terpental kembali karena bertemu
dengan benteng sinar sabuk biru!
Berulang
kali enam orang itu mengerahkan tenaga, menggunakan senjata mereka menyerang
untuk menembus perisai atau benteng sinar biru, namun semua serangan itu gagal
karena senjata mereka terpental seperti bertemu dengan kitiran baja yang amat
kuat!
Kalau
pengeroyok berusaha untuk mengelilinginya, Liong Ki memutar tubuh dan gulungan
sinar itupun menyelimuti seluruh tubuhnya! Sampai belasan jurus Liong Ki
mengandalkan senjata yang istimewa itu untuk menghalau semua serangan, sama
sekali tidak mengelak lagi.
“Awas, jaga
senjata kalian!”
Tiba-tiba
Liong Ki berseru dan gerakan sabuknya berubah, kini berlenggak-lenggok seperti
gerakan ular. Tiba-tiba seorang pengeroyok berteriak kaget. Pedangnya terlibat
ujung sabuk dan begitu ditarik, pedang itupun terlepas dari pegangannya!
Coa-ciangkun cepat menerjang dengan pedangnya, membacok ke arah sabuk untuk
merampas kembali pedang anak buahnya yang terampas.
“Tranggg
…..!”
Hampir saja
pedang itu terlepas dari tangan Coa-ciangkun ketika ujung sabuk itu membalik
dan pedang rampasan itu menangkis pedang ini. Kemudian, sekali ujung pedang
bergerak, pedang rampasan itu telah terbang ke arah rak senjata dan menancap di
papan rak!
Dan kini
sabuk itu mengamuk. Bagaikan seekor ular besar atau seekor naga, sabuk itu
menyambar-nyambar dengan amat cepatnya sehingga para pengeroyok yang tinggal
lima orang itu terkejut dan menggerakkan senjata melindungi diri. Akan tetapi
bertutur-turut empat orang anak buah Coa-ciangkun berteriak dan senjata mereka
satu demi satu beterbangan karena dirampas ujung sabuk dan semua senjata itu
menancap pada papan rak senjata! Tinggal Coa-ciangkun seorang!
Coa-ciangkun
yang merasa penasaran cepat menerjang dengan nekat. Akan tetapi tiba-tiba
gerakannya terhenti dan tubuhnya sudah terbelit-belit sabuk sutera sehingga
kedua lengannya tak mampu digerakkan lagi, juga pedang di tangannya! Dia hanya
dapat berdiri tegak dengan mata terbelalak!
“Ciangkun,
maafkan aku!” kata Liong Ki dan sekali menggerakkan tangan, sabuk itupun
melepaskan libatannya.
Cang Sun dan
semua orang bertepuk tangan memuji dan Coa-ciangkun mau tidak mau harus
mengakui kehebatan ilmu kepandaian pemuda itu. Dia memberi hormat kepada
Menteri Cang dan berkata dengan sungguh hati.
“Harap
paduka ketahui bahwa kepandaian Liong-sicu ini benar-benar amat tangguh dan
dapat dipercaya untuk menjadi pengawal pribadi paduka.”
Tentu saja
Menteri Cang girang sekali, terutama Cang Sun juga merasa gembira karena dua
orang penolongnya itu diterima oleh ayahnya. Bahkan Cang Hui juga merasa gembira.
Ia mendekati Liong Bi dan berkata,
“Enci,
engkau harus mengajarkan ilmu silatmu yang lincah tadi, dan cara engkau
merampas senjata dan melemparkan ke rak senjata! Aku tidak akan menyebut engkau
subo (ibu guru). Engkau masih terlalu muda untuk menjadi ibu guru. Biar kusebut
engkau enci (kakak) saja!”
Liong Bi
menjura dengan hormat.
“Jangan
khawatir, Siocia. Aku akan mengajarkan semua ilmu yang kuketahui kepadamu …..”
“Aku juga,
Enci Liong Bi ……” kata Teng Cin Nio.
Liong Bi
merasa ragu karena ia belum tahu siapa gadis cantik pendiam ini. Melihat
keraguan wanita itu, Cang Sun segera berkata,
“Ia juga,
Enci. Ia bernama Teng Cin Nio, adik misanku dan iapun merupakan anggauta
keluarga kami, bahkan calon anggauta dekat sekali.”
Liong Bi
mengangguk dan tersenyum.
“Baiklah,
akan kuajarkan kepada kalian berdua.”
Liong Ki dan
Liong Bi lalu berpamit untuk mengambil pakaian di rumah penginapan, juga untuk
menjumpai tunangan Liong Ki yang ditinggalkan di rumah penginapan. Menteri Cang
menyetujui dan merekapun meninggalkan gedung itu dengan hati dipenuhi
kegirangan karena cita-cita mereka tercapai....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment