Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 10
Para pembaca
tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalah Sim Ki Liong
dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari
ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa
diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain.
Wanita itu
memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw
yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi,
usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah
gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian
Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia
mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang
kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih
tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu
yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, iapun menyusun siasat untuk bersama
pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah
memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw!
Sim Ki Liong
yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia
melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan
demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang dan keduanya segera keluar
untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang
terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi
ke danau.
Dua orang
petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk
“mendekati” keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping
Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap
rumah gedung itu.
Mereka
melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang
keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat
bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, cepat Su Bi Hwa mengatur
siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok,
menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan
akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang!
Mayang
menyambut mereka dengan cemberut.
“Dari mana
saja kalian?” tegurnya kepada mereka.
Ki Liong
menjawab dengan wajah berseri.
“Ah, kami
beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak
dapat menduga apa yang telah kami capai.”
“Hemm,” Mayang
menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. “Kalian baru pulang dari
rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan disana?”
Dua orang
itu terkejut dan terbelalak.
“Ehh? Engkau
sudah tahu? Mayang, kami …. Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal
keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat
terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat,
dan hidup kita terjamin!”
“Benar, adik
Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga.
Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi
pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?”
Akan tetapi
mayang masih mengerutkan alisnya.
“Hemm,
bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak
tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu? Kalian
menipunya untuk mencari pahala!”.
Kembali Ki
Liong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main,
“Mayang,
jadi engkau tahu semuanya?”
“Kau kira
aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja? Sejak kalian pergi
hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar
kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh
keheranan dan penasaran!”
“Adik Mayang
, maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang kukenal itu telah pindah.
Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcu dan kami membayangi dia ke danau.”
Kata Bi Hwa membela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu.
“Benar,
Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami. Menteri Cang merupakan pembesar
yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu
kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara dan
memperoleh kedudukan yang baik.”
“Tapi, kalau
hendak bekerja kepadanya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura
menculk puteranya kemudian dibebaskan?” Mayang membantah, masih marah.
“Adik
Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak
bersalah. Dan akupun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan
pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara
belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng
menerima kami? Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang
memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil
diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga.”
“Benar,
Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah
mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu
menghadap ibumu dan subomu.”
Karena
dibujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga.
“Baiklah,
akan kulihat saja bagaimana perkembangannya disana nanti,” katanya.
Ki Liong
girang bukan main.
“Dan untuk
membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku
kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi,
adikku.”
“Aku tidak
mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!” kata Mayang, kembali
mengerutkan asisnya.
Diam-diam Ki
Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap
isyarat ini dan iapun berkata sambil melangkah keluar.
“Kalian
bicaralah, aku akan mengemasi pakaian.”
Setelah Bi
Hwa pergi, Ki Liong berkata,
“Mayang
lupakah engkau siapa aku ini? Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang
berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, berusaha untuk kembali ke jalan
benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi
cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!”
“Kalau
hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?”
“Aih,
Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan
satu tujuan, agar aku diterima disana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku
bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar? Aku
terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan
kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia
akan mau memberi pekerjaan kepadaku? Bersikaplah adil, Mayang ……, semua ini
kulakukan demi engkau!”
Mayang
mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alasan
pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan
membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah
membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini
kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan
dan kedudukan yang baik, apa salahnya?
“Baiklah,
akan kulihat perkembangannya nanti,” katanya mengulang pendapatnya tadi.
Ki Liong
merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia
kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan
ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi
Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu.
“Mari kita
berkemas! Dan disana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan
tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu.”
Dengan
senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati
seorang puteri dan berkata,
“Baik, tuan
puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!”
“Cih, tak
usah merayu!”
Mayang
berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang
tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan
masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau
kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran.
Ketika Bi
Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut
dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka kagum
akan kecantikan khas dari gadis peranakan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang
sudah banyak pengalaman, lalu bertanya.
“Liong Ki,
apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?”
Liong Ki
atau Sim Ki Liong memberi hormat,
“Ia adalah
peranakan Tibet, Taijin.”
Cang Hui
mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik.
“Siapa
namamu dan berapakah usiamu?”
Melihat
gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang
menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh
namun enak didengar,
“Namaku
Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri
Cang Taijin bukan? Nona cantik sekali!”
Jawaban ini
seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan
Mayang.
“Aku memang
Cang Hui, dan engkaupun cantik sekali, Mayang. Apakah engkaupun ahli silat
seperti kakak-beradik she Liong itu?”
Mayang
tersenyum.
“Aku tidak
sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona.”
Untung bagi
Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat
tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain,
akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau
melakukannya.
“Mayang,
engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui
saja!” kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang.
Mayang
tersenyum dan entah bagaimana, iapun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan
yang berwatak polos ini.
“Terima
kasih,” katanya.
“Enci Hui,
apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?” kata
Cin Nio. “Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci
Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat
merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya tanpa melukai kami. Sanggupkah
kau melakukan itu?”
“Cin-moi,
rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu.”
“Memang
tidak perlu diuji lagi, akupun sudah percaya,” kata Cang Sun yang sejak tadi
kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum.
Gadis ini
mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat
melawannya dengan ingatan bahwa gadis peranakan Tibet ini telah menjadi calon
isteri Liong Ki!
“Hemm, kalau
begitu kurang adil!” Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa.
“Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga
akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan
kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kami
sekeluarga melihatnya.” Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung
wibawa dan perintah.
“Baik,
Taijin,” kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang
sipit namun bersinar tajam itu. “Siapa yang akan mengujiku?”
Cang Hui
yang merasa suka kepada Mayang, berkata,
“Aku sudah
lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak
mengujinya?”
Cin Nio
menunduk dan mukanya kemerahan.
“Mana aku
berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?”
“Tidak perlu
bertanding,” kata Menteri Cang. “Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu
mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu.”
“Baik,
Taijin,” kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari
badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk.
Pecut atau
cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kiri,
melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk
dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya
terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk
latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat.
“Taijin
beratkah arca singa itu?” tanyanya kepada Menteri Cang.
Caranya
bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya
kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan teringat akan sikap Cia Kui
Hong.
“Tentu saja
berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu
menggotongnya,” katanya.
“Adik Hui,
aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk
mengangkatnya,” katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan
ini terkejut.
“Ihh, jangan
main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat
menimpamu dan membuatmu terluka!”
“Kita lihat
sajalah!” kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil
karena ia telah memainkan cambuknya.
Ia bersilat
dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung
cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak
asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan
indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba
Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa
kuningan.
Ujung cambuk
itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking,
singa-singaan itupun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu
di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja
pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu
bertepuk tangan.
Mayang bukan
seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi
sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena
ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga
itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin dianggap lemah. Setelah tepuk
tangan berhenti, iapun memberi hormat kearah suami isteri pejabat tinggi itu
dan berkata,
“Taijin,
saya lihat banyak lalat disini. Bolehkah saya membunuh mereka?”
Menteri Cang
mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan
di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak
percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi binatang kecil yang amat
gesit itu dengan cambuknya? Akan tetapi dia mengangguk gembira.
“Boleh,
bunuhlah lalat-lalat itu!” katanya.
Mayang
menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar.
Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti
pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu
mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor
lalat!
Melihat
bangkai itu tidak hancur, dapat dimengerti betapa hebatnya permainan camuk itu,
yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan
tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo
Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan
cambuk itu!
Kembali
semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa
kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati
sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka diajak melakukan penyelewengan,
berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua
usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka
untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab.
“Mayang,
engkau saja yang mengajarku ilmu silat!” Cang Hui berseru gembira sambil
merangkul gadis peranakan Tibet itu. “Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti
itu!”
Demikianlah,
mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal
keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap
sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama
Mayang dan Bi Hwa.
Mereka
sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang
akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan
itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab.
Didalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur
rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong!
Karena
maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan
mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang.
Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui
dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki
Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai
keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari
jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar
itu.
Mereka
segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa
berbisik,
“Ssssttt,
aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat
di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat.”
Biarpun
kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang
mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu
berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong
sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani!
Bi Hwa
merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara
memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun,
sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui!
“Kalau kita
berdua, atau diantaranya seorang diantara kita dapat menjadi mantu Menteri
Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” katanya.
“Engkau bisa
mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku?
Bagaimana mungkin? Disana ada Mayang ……” kata Ki Liong meragu.
“Aih,
lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau
engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang
isteri? Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah
saja.”
“Jangan
pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan
merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada
kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan
celaka?”
“Bodoh, ia
tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus
dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak
berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia
akan mentaati semua perintahmu.”
“Hemm,
justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau
kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya
dan subonya!” Ki Liong berkata kesal.
“Itu perkara
kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan
malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku
akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi,
andaikata ia menyadarinyapun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan
taat.”
Wajah Ki
Liong menjadi berseri.
“Engkau
dapat melakukan itu?”
Bi Hwa
mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah
saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka
segolongan!
“Tidak
percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw,” kata wanita itu. “Pendeknya,
urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih
mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang
penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun
yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita
harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak
mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!”
Bi Hwa
dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah
dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan
pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat
mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka
seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih
tinggi lagi.
Mereka
bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar
itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu
mengetahui pertemuan rahasia mereka.
Sementara
itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang
Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan
guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang
kaku.
Dengan
adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat
dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong,
mereka duduk mengaso dan bercakap.
“Adik Hui,
engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik
jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apapun juga. Pelayan
cukup banyak, pengawalpun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu
silat yang melelahkan? Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang
halus lunak itu menjadi kasar?” Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan
puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa.
“Heh-heh,
engkau ini ada-ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu
silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih
kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat
semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat
kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!”
“Ehh?
Pendekar wanita siapakah itu?”
“Enci Kui
Hong. Cia Kui Hong ……”
Sepasang
mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja
amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali.
“Ketua
Cin-ling-pai …..?” ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang
dimaksudkan Cang Hui.
“Benar,
engkau sudah mengenalnya, Mayang?”
Mayang
mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya.
“Aku pernah
bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?”
Pada saat
itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji
sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio
pergi, Cang Hui berkata lirih.
“Kasihan,
Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui
Hong.”
“eh,kenapakah?”
Mayang tentu saja merasa heran sekali.
“Mayang,
setelah beberapa hari tinggal disini, engkau kuanggap sebagai keluarga sendiri,
maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika
enci Kui Hong tinggal disini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di
istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci
Kui Hong.”
“Hemm,
menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga
baik budi pekertinya.”
“Ehh?
Bagaimana engkau tau dia baik budi?”
“Melihat
penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah,” kata Mayang,
lalu membelokkan percakapan, “Lalu, bagaimana perjodohan itu?”
Cang Hui
menggeleng kepalanya.
“Agaknya
Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong
menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain.”
Dikiranya
aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua
Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu
Tang Hay!
“Dan sejak
saat itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain,
membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio
kesini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi
jodoh Sun-koko.”
“Baik sekali
….,” kata Mayang.
“Apanya yang
baik!” Cang Hui mengerutkan alisnya. “Sun-koko sama sekali tidak menaruh
perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi
maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula
tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada
kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya.”
Mayang diam
saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendiri jatuh cinta kepada Sim
Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di
cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat!
“Engkau
beruntung, Mayang.” Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru
Mayang sadar.
“Apa?
Mengapa?” tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi.
“Hik-hik,
kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang
tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali
menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya
pendekar!”
“Hemm,
mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui,” kata Mayang dengan pikiran
melayang jauh.
Kembali ia
melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa
yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa.
Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi
Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada
kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya.
“Aih, kalau
saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu
Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!”
Wanita
cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa
mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak
melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa
main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan
oleh seorang gadis yang genit dan “ada apa-apanya”! Maka, mendengar akan pujian
dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya
mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu!
“Engkau
melamun lagi, Mayang!” tegur Cang Hui.
“Ah, maaf….
Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui.”
“Eh? Apakah
itu, Mayang? Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!” Gadis bangsawan itu
tersenyum.
“Aku hanya
ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi….?
“Hemm, adik
tunanganmu itu?”
Ingin ia
meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak
menjawab, hanya melanjutkan pesannya.
“Ia seorang
wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu.
Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu.”
Cang Hui
terbelalak dan tersenyum.
“Aih,
Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci
Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang ….
Bagiku ia terlalu genit. Akupun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya.
Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu.
Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan
kusampaikan kepada kakakku.”
Biarpun
hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya,
pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang
gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di
rumah keluarga Cang. Ia melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki
Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat!
Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya,
terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk.
Sampai
menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu
sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali
tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal
keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan
perondaan.
Mereka
bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar
masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela
menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar dibagian belakang.
Mendadak
ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang
di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda
yang dicintanya itu. Tak dapat ditahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali
bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan
sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar
melalui jendela, ke dalam taman.
Tiba-tiba ia
berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah
Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta
Ki Liong, betapa ia amat merindukannya? Kenapa ia seperti didorong-dorong untuk
menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya?
“Hemm, ini
tidak wajar!”
Begitu
pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya,
mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika
perasaan yang mendorong-dorongnya itupun lenyap! Seolah angin malam semilir
mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya
keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki
Liong di kamarnya! Sungguh mustahil!
“Keparat,
siapa berani main-main dengan aku? tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti
anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!”
tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya.
Namun, sepi
dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal
iapun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main
dengannya? Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia
mau menyerahkan dirinya malam itu? Ataukah memang dorongan itu datang dari
perasaan cinta dan rindunya?
Ia tidak
tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala
dengan kecewa.
“Sialan,”
gerutunya dalam hati. “Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan
sihirku!” Ia menyelinap pergi dan mengomel, “Harus kupergunakan cara lain untuk
menundukkan bocah itu!”
Pada
keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti
bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya
melakukan hal-hal yang tidak pantas.
Akan tetapi
bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam
melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di
samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui
dan Teng Cin Nio.
Diam-diam ia
merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya.
Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung
kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam
cintanya terhadap Cia Kui Hong.
Kita
tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan
kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita
meninggalkan Hay Hay.
Setelah
bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik
yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya
terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa
nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay
berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja.
Matahari
condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit
barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang
indah dilator belakangi warna merah redup.
Pada saat
itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan
apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja
dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa
menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan
perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan
tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan.
Telinganya
menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka,
nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya
menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi
keharuman kembang disana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya
sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar.
Hay Hay
ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat,
melihat matahari telah menjadi bola besar merah yang mulai tenggelam di balik
kaki langit. Dan diapun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak,
lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum
pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu!
Baru terasa
olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya
terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesuatu, tidak dapat bebas lepas
seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya
demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia
tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan
bersatu dengan alam, perasaan bebas!
Kenapa dia
biasanya hidup diantara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh
kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini?
Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke
sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka,
lebih banyak dukanya dari pada sukanya.
“Siancai
(damai) ….! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah
itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga…….!”
Hay Hay
membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki
puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun.
Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua,
gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia
melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke
tempat Hay Hay berdiri.
Melihat ini,
otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan diapun cepat
menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya.
Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil
terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu
nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itupun
bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuahpun,
membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak!
Hay Hay
memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk.
“Maaf,
Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal
dimana?”
“Ho-ho,
orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya,
aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang
diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama.”
“Bu Beng
Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay Hay bertanya.
“Heh-heh-heh-heh,
tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah dimana tubuh ini berada.
Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru,
heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat
dari pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah
yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?”
Hay Hay
memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah,
akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!
“Kakek yang
bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan
kakek disini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai
rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan
jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu
hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan
bagaimana saya bisa memperolehnya?”
Kakek itu
terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali.
“Heh-heh-heh,
mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan
daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya?
Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama
menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu?
Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?”
Hay Hay
termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui
Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan
bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak
disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa
berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itupun lewat begitu saja dan kini sudah
hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang
hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia?
“Entahlah,
Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi dilain saat perasaan itu
lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia
ataukah bukan?
“Yang
berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang.
Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak
terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti
siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada
yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau
dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk
melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih
kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang
susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!”
“Engkau
benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan,
kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?”
Kakek itu
tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat.
"Orang
muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita
mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita
mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat
menceritakan apakah kebahagiaan itu? Seperti kita pernah alami, yang kita
rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah
kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita
menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah
demikian? Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan
hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya
penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan
senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu,
dan hasilnya, susah senangpun hanya bayangan palsu belaka."
"Maaf,
Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena
penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"
"Contohnya
hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah
senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan
Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita
membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita
menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau dilain saat kita
terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan
dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik
dan menyenangkan, dilain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan.
Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"
Hay Hay
mengangguk-angguk, mengerti,
"Kita
sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada
penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan
bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?"
"Nah,
itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak
pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan,
heh-heh-heh."
"Benar,
Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."
"Engkau
juga, orang muda?"
"Tentu
saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?"
"Disanalah
letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang
yang mencari dan mengejarnya!"
"Ehh?
Kenapa begitu, Kek?"
"Karena
keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu
menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah
kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan
sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya."
"Kalau
begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"
"Ho-ho-heh-heh,"
kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk
mengejar kebahagiaan pula?"
Hay Hay
menjadi bengong dan bingung.
"Habis,
lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?"
"Tidak
ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda.
Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa engkau
menginginkan kebahagiaan?"
Ditanya
demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia
mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab,
"Karena
aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka
tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!"
"Tepat
sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita
selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita
tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam
keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu?
Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan
kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor
ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat? Yang penting, bukankah
lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang
membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih
tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa
berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi,
apakah kita membutuhkan kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang
menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang
mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh
air minum."
Hay Hay
memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum
maklum.
"Jelas
sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak
kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"
"Nah,
jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan,
bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri
sendiri si-aku yang mengaku-aku.”
"Kalau
begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak
merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa
yang mengganggu?"
"Itulah
kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan penyakit, jarang
ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia terganggu penyakit, barulah
dia membayangkan betapa senang dan indahnya kalau dia sehat. Demikian pula
dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, yang membuat dia merana dan
merasa tidak berbahagia, dia menjadi haus akan kebahagiaan! Selama hati akal
pikiran masih bergelimang nafsu, kita akan selalu haus akan sesuatu yang lebih,
dan tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang
lebih, yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan
membahagiakan itulah penghancur kebahagiaan itu sendiri."
"Aih,
kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik pandai
bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk memerangi
nafsunya sendiri."
"Siapa
yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang nafsu ini
dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari gelimangan nafsu?
Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang muda. Hasil usaha dari
nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri, berpamrih, dan bahkan
akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai manusia hidup tak mungkin
melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Tanpa adanya nafsu, kita
tidak akan menjadi manusia."
"Wah,
wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan tetapi kita
tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?"
"Nafsu
laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat berguna,
sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu pelayan yang
setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita peralat, maka akan
nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang memperalat kita, akan
binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan sebagai pelayan, jangan
sampai menjadi majikan."
"Tapi,
bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang nafsu? Lain
siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat atau
pelayan?"
"Kita,
memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak akan
kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan
yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula, hanyalah Sang Maha
Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena kekuasaan Tuhan pula yang
menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di dunia."
"Tuhankah
yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan menjadi
jahat?"
Kakek itu
tertawa.
"Ha-ha-ho-ho,
kau kira siapa ? Segala yang ada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang
tidak nampak, dari yang terkecil sampai terbesar, dari yang terlembut sampai
yang terkasar, segala ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!"
"Tapi
mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?"
"Hushh,
kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan pengetahuan
kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin enak.
Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?"
"Lalu
bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan nafsu kita dan
mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?"
"Kita
justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti kita
tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran,
keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita sudah
menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita terima
sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan keluar dari
batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi Tuhan Maha
Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu, kita tidak
butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta kasih Tuhan
itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas senang susah,
tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan."
Pada saat
itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay Hay masih
penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan pertanyaan.
"Kakek
yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apapun, benarkah
itu?"
"Ho-bo-ho,
itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak memperalat
kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup, bergerak, serba
sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran. Kita harus
berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu berlandaskan
penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?"
"Hei,
manusia jahat penyebab kesengsaraan kami, hendak lari kemana engkau?"
bentakan ini terdengar dari bawah puncak dan tak lama kemudian orangnyapun
muncul.
Ketika Hay
Hay melihat orang itu dia terbelalak kaget dan heran. Yang muncul itu adalah
laki-laki sebaya dia yang cebol, bermuka hitam, matanya sipit, hidung besar dan
bibir tebal, orang muda buruk rupa yang pernah dijumpainya, suami wanita yang
cantik manis dan lincah itu! Tentu saja dia merasa heran mengapa laki-laki itu
mendaki puncak dengan sikap marah-marah dan dengan gerakan gesit laki-laki itu
meloncat dan berdiri tak jauh dari situ dengan tangan kiri bertolak pinggang
dan tangan kanan memegang busur dan beberapa batang anak panah! Kini dia
mengamangkan busur dan anak panah itu kepadanya.
"Heh,
pengecut mata keranjang! Bersiaplah engkau untuk mampus! Aku sengaja datang
untuk mencabut nyawamu dengan anak panah ini, agar engkau tidak lagi meracuni
hati wanita!"
Hay Hay
menoleh ke kanan kiri dan belakang. Tidak ada orang lain disitu kecuali dia dan
kakek tua renta tadi yang masih duduk diatas batu. Tidak mungkin kakek itu
dimaki perayu mata keranjang yang meracuni hati wanita! Jadi, dialah yang
dimaki! Makian mata keranjang bagi dia tidak menjadi soal. Dia sudah terbiasa
dengan itu, bahkan dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang oleh banyak tokoh
persilatan.
Akan tetapi,
sekali ini dia penasaran. Dia tidak merasa mengganggu dan merayu wanita, kenapa
si buruk rupa ini datang-datang memakinya ? Ketika dia bertemu dengan isteri si
buruk rupa itu, diapun tidak merayunya walaupun dia sempat bercakap-cakap
sejenak.
"Heii,
saudara yang baik. Siapakah yang engkau maki-maki itu?" tanya Hay Hay
sambil melangkah maju.
"Siapa
lagi kalau bukan engkau? Masih pura-pura bertanya lagi?"
"Ehh?
Apa salahku?"
"Manusia
ceriwis, mata keranjang! Engkau telah menggoda isteriku, merayu isteriku dan
meracuni hatinya!"
"Bohong!
Aku tidak melakukan hal itu. Kami hanya bercakap-cakap biasa saja!" bantah
Hay Hay.
Dalam
keadaan biasa, tuduhan seperti itu tentu hanya akan dihadapi dengan sikap
main-main. Akan tetapi, sekarang disitu terdapat kakek tua renta yang baru saja
memberi penerangan pada batinnya. Dia merasa malu mendengar tuduhan itu yang
dilakukan di depan kakek tua renta yang arif bijaksana itu!
"Engkau
masih hendak membantah! Begitu isteriku bertemu denganmu, ia telah sama sekali
berubah! Ia tidak lagi mau melayaniku dengan manis budi, ia selalu cemberut,
marah-marah dan setiap kali membicarakan engkau matanya bersinar-sinar,
wajahnya berseri-seri dan ia mengatakan bahwa engkau amat menarik hatinya,
menimbulkan kegembiraan hatinya dan sebagainya lagi. Huh, tentu engkau telah
mempergunakan ilmu hitam guna-guna untuk merayu dan menjatuhkan hatinya."
“Tidak sama
sekali! Bohong itu ….!” kata Hay Hay, akan tetapi laki-laki pendek muka hitam
yang amat cemburu itu, sudah memasang tiga batang anak panah pada busurnya.
"Engkau
mampuslah!" bentak laki-laki itu dan sekali menarik busur dan melepaskan
tali busurnya, tiga batang anak panah itu meluncur dengan amat cepatnya ke arah
tubuh Hay Hay.
Hay Hay tahu
bahwa laki-laki itu memiliki tenaga besar. Pernah dia mendemonstrasikan
tenaganya ketika mereka saling bertemu. Laki-laki itu menekankan jari-jari
tangannya, pada batu dan telapak tangannya meninggalkan bekas sedalam dua
sentimeter pada batu itu! Maka, kini serangan anak panah itu tentu saja
mengandung tenaga yang hebat, melihat cepatnya tiga batang anak panah itu
menyambar seperti kilat cepatnya.
Namun, tidak
terlalu cepat bagi Hay Hay! Dengan mudah saja, Hay Hay meloncat ke kiri dan
bahkan masih sempat menendang ke arah anak panah yang menyambar tadi sehingga
dua batang diantaranya terlempar ke atas.
"Auhhhh
.....!" terdengar keluhan lirih dan ketika Hay Hay menengok matanya
terbelalak.
Ternyata,
tanpa diketahuinya, kakek tua renta yang tadi duduk di atas batu, telah turun
dari batu dan agaknya melangkah menghampirinya. Oleh karena itu, ketika
sebatang diantara anak panah yang menyambarnya tadi luput, anak panah itu
meluncur terus dan tahu-tahu kini menancap dada kakek tua renta itu! Kakek itu
mengeluh lirih dan terjengkang, roboh telentang di atas tanah!
Bukan hanya
Hay Hay yang terbelalak dan terkejut. Juga laki-laki pendek muka buruk yang
melepas anak panah, terbelalak dan berseru,
"Ya
Tuhan .....!" dan dia sudah berlari menghampiri kakek itu dan berlutut di
dekatnya.
Muka yang
hitam itu nampak kelabu, tanda bahwa dia pucat sekali melihat betapa anak
panahnya menembusi dada sampai ke punggung!
"Duhai……
kakek..... ah, aku tidak sengaja……. aih, kenapa begini jadinya? Kakek……. aku
menyesal sekali, aku mohon ampun, Kek……."
Laki-laki
muka buruk yang tadi marah-marah, kini menangis dan merintih minta ampun kepada
kakek itu. Hay Hay menghampiri dan sekali lihat saja diapun tahu bahwa tidak
mungkin sama sekali mengobati kakek itu yang dadanya sudah tertembus anak
panah! Diapun berlutut dengan prihatin sekali.
Kakek itu
tersenyum! Senyum yang ikhlas dan tenang. Dengan matanya yang masih bersinar,
dia memandang kepada laki-laki muka buruk itu dan berkata lemah.
"Semoga
Tuhan mengampunimu, Nak. Aku…. aku maafkan engkau……"
Hay Hay
merasa terharu bukan main. Selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan
orang seperti kakek ini. Begitu lemah lembut, begitu arif bijaksana, begitu
sabar dan begitu pasrah kepada kekuasaan Tuhan!
“Kek…..”
panggilnya lirih sambil mendekat. Kakek itu menoleh kepadanya.
"Kau,
orang muda. Kau….. tolong ambilkan segulung tulisan yang berada disaku jubahku
sebelah kiri……"
Dia bergerak
lemah. Hay Hay segera memenuhi permintaannya dan benar saja, disaku jubah
sebelah kiri dia menemukan segulung kertas berisi tulisan huruf-huruf yang
indah halus. Ujung gulungan kertas itu sudah bernoda darah.
"Orang
muda, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir…..?” kata pula kakek
itu.
Si muka
buruk cepat berkata,
"Kakek,
serahkan tugas itu kepadaku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi pesanmu untuk
menebus dosaku kepadamu, Kek!"
Kakek itu
menoleh kepadanya dan tersenyum.
"Asal
engkau tidak lagi pencemburu dan pemarah, dosamu akan tertebus." Lalu dia
memandang lagi kepada Hay Hay. "Kau simpanlah gulungan kertas ini, dan
kelak……. kalau ada kesempatan atau kalau kebetulan engkau lewat di Nan-king kau
berikan kertas-kertas ini kepada seorang diantara dua menteri bijaksana, yaitu
Menteri Yang atau Menterj Cang……” suara kakek itu melemah, lehemya terkulai dan
diapun menghembuskan napas terakhir.
"Kakek……!"
Pemuda pendek itu menangis menggerung-gerung seperti anak kecil. "Ampuni aku,
Kek……! Aku tidak sengaja membunuhmu……, ampuni aku…….”
Hay Hay
bangkit berdiri dan menyimpan gulungan kertas ke dalam saku bajunya sebelah
dalam. Kemudian dia memandang kepada laki-laki yang masih berlutut dan
menangisi kematian kakek itu.
"Hemm,
apa gunanya kau tangisi lagi? Menangispun tidak akan menghidupkannya kembali,
juga tidak akan dapat mencuci darah dari anak panahmu itu!"
Mendengar
ini, laki-laki itu makin mengguguk. Tiba-tiba dia meloncat dan menghadapi Hay
Hay dengan air mata masih berlinang. Telunjuk kirinya menudmg ke arah muka Hay
Hay.
"Kau……!
Kaulah biang keladinya sehingga aku membunuh kakek yang sama sekali tidak
kukenal dan tidak bersalah ini! Engkau yang mula-mula meracuni isteriku,
membuat aku marah. Kemudian, ketika aku menyerangmu, kembali engkaulah yang
mengelak sehingga anak panahku mengenai kakek ini!".....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment