Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 10



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 10



Para pembaca tentu dapat menduga siapa Liong Ki dan Liong Bi itu. Mereka adalah Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa! Itulah rencana siasat yang diatur oleh Su Bi Hwa pada malam hari ia berasil memikat Ki Liong sehingga pemuda itu tidur sekamar dengannya, tanpa diketahui Mayang yang tidur sendiri di kamar lain.

Wanita itu memang cerdik dan berpengalaman. Ia adalah seorang bekas tokoh Pek-lian-kauw yang sejak kecil ditanamkan bibit kebencian terhadap pemerintah. Akan tetapi, usahanya menghancurkan Cin-ling-pai bersama para tokoh Pek-lian-kauw telah gagal, bahkan nyaris ia tewas seperti juga tiga orang gurunya, yaitu Pek-lian Sam-kwi. Ia berhasil lolos dan ketika ia bertemu dengan Sim Ki Liong segera ia mendapat kenyataan yang sama yang menyenangkan hatinya. Ia mendapatkan seorang kekasih yang tampan dan gagah perkasa, yang menguasai ilmu silat tinggi lebih tangguh darinya, dan ia menemukan pula dalam diri pemuda itu seorang sekutu yang amat baik dan dapat diandalkan. Maka, iapun menyusun siasat untuk bersama pemuda itu bertualang ke kota raja dan mencari kedudukan agar setelah memperoleh kedudukan, hal itu dapat di manfaatkan demi Pek-lian-kauw!

Sim Ki Liong yang sudah mabuk akan kesenangan yang diberikan wanita cantik itu, dan juga dia melihat bahwa wanita itu berpengalaman dan cerdik sekali, menurut saja dan demikianlah, di Nan-king mereka meninggalkan Mayang dan keduanya segera keluar untuk memulai dengan petualangan mereka. Agaknya memang bintang mereka sedang terang, secara kebetulan sekali hari itu Cang Sun keluar seorang diri dan pergi ke danau.

Dua orang petualanag itu memang sejak tadi, sesuai dengan rencana Su Bi Hwa untuk “mendekati” keluarga Cang yang ia tahu memiliki kekuasaan tertinggi di samping Menteri Yang Ting Hoo setelah kaisar sendiri, melakukan pengintaian terhadap rumah gedung itu.

Mereka melihat Cang Sun dan Su Bi Hwa yang sudah mempunyai data lengkap tentang keluarga itu, segera mengajak Sim Ki Liong untuk membayanginya. Ketika melihat bahwa pemuda bangsawan itu berperahu seorang diri, cepat Su Bi Hwa mengatur siasat. Ia menyuruh Ki Liong menyamar sebagai penculik dengan berkedok, menculik pemuda bangsawan itu dan ia sendiri muncul sebagai penolong! Dan akhirnya, mereka berdua berhasil diterima sebagai pengawal keluarga Cang!

Mayang menyambut mereka dengan cemberut.
“Dari mana saja kalian?” tegurnya kepada mereka.

Ki Liong menjawab dengan wajah berseri.
“Ah, kami beruntung sekali, Mayang! Kami telah berhasil baik sekali! Kau tentu tidak dapat menduga apa yang telah kami capai.”

“Hemm,” Mayang menyambut kegembiraan itu dengan sikap dingin saja. “Kalian baru pulang dari rumah Menteri Cang Ku Ceng! Apa yang kalian lakukan disana?”

Dua orang itu terkejut dan terbelalak.
“Ehh? Engkau sudah tahu? Mayang, kami …. Eh, kita bertiga diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga Cang! Bayangkan! Kita menjadi pengawal keluarga menteri yang amat terkenal itu. Kita akan berpenghasilan besar, berkedudukan tinggi terhormat, dan hidup kita terjamin!”

“Benar, adik Mayang. Menteri yang berkenan menerima kita bertiga menjadi pengawal keluarga. Tunanganmu ini menjadi pengawal pribadi sang menteri dan kita berdua menjadi pengawal keluarganya. Bukankah itu bagus sekali?”

Akan tetapi mayang masih mengerutkan alisnya.
“Hemm, bagaimanapun bagusnya, kalian telah melakukan penipuan! Kalian kira aku tidak tahu apa yang kalian lakukan terhadap pemuda bangsawan di perahu itu? Kalian menipunya untuk mencari pahala!”.

Kembali Ki Liong dan BI Hwa saling pandang dan mereka terkejut bukan main,
“Mayang, jadi engkau tahu semuanya?”

“Kau kira aku ini anak kecil yang dapat kalian bohongi begitu saja? Sejak kalian pergi hatiku sudah tidak enak. Aku pergi menyusul dan melihat kalian pergi keluar kota. Aku membayangi terus dan melihat segala yang terjadi dengan penuh keheranan dan penasaran!”

“Adik Mayang , maafkan aku.Terus terang saja, pembesar yang kukenal itu telah pindah. Kebetulan sekali kami melihat Cang-Kongcu dan kami membayangi dia ke danau.” Kata Bi Hwa membela kekasihnya yang sejenak kebingungan itu.

“Benar, Mayang. Meliahat dia, timbullah harapan kami. Menteri Cang merupakan pembesar yang berkedudukan tinggi . Kalau kita dapat menghambakan diri kepadanya, tentu kami mendapat kesempatan besar sekali untuk berjasa kepada negara dan memperoleh kedudukan yang baik.”

“Tapi, kalau hendak bekerja kepadanya, kenapa harus menggunakan tipu muslihat, pura-pura menculk puteranya kemudian dibebaskan?” Mayang membantah, masih marah.

“Adik Mayang, terus terang saja, semua ini rencanaku. Saudara Sim Ki Liong ini tidak bersalah. Dan akupun menggunakan siasat itu karena terpaksa. Kita membutuhkan pekerjaan dan kami tadi tidak mencelakai orang. Semua itu hanya sandiwara belaka. Tanpa menggunakan siasat itu, bagaimana mungkin Menerti Cang Ku Ceng menerima kami? Kami tidak mengenalnya, dan tidak ada perantara yang memperkenalkan kami. Dengan jalan itu, kami percaya dan buktinya, kami berhasil diterima menjadi pengawal-pengawal keluarga.”

“Benar, Mayang. Semua ini demi kebaikan kita, dan kebaikanmu. Kalau aku sudah mendapatkan pekerjaan yang tetap, kedudukan yang baik, tentu aku tidak malu menghadap ibumu dan subomu.”

Karena dibujuk-bujuk dua orang itu, akhirnya Mayang terpaksa menerima juga.
“Baiklah, akan kulihat saja bagaimana perkembangannya disana nanti,” katanya.

Ki Liong girang bukan main.
“Dan untuk membuat mereka tidak bercuriga, kami telah menggunakan nama palsu dan mengaku kakak-beradik, Mayang. Aku memakai nama Liong Ki dan ia bernama Liong Bi, adikku.”

“Aku tidak mau menggunakan nama palsu seperti penjahat saja!” kata Mayang, kembali mengerutkan asisnya.

Diam-diam Ki Liong memberi isyarat kepada Bi Hwa untuk meninggalkan mereka. Bi Hwa menangkap isyarat ini dan iapun berkata sambil melangkah keluar.

“Kalian bicaralah, aku akan mengemasi pakaian.”

Setelah Bi Hwa pergi, Ki Liong berkata,
“Mayang lupakah engkau siapa aku ini? Engkau tentu masih ingat bahwa aku adalah seorang berdosa yang setelah bertemu dengan engkau, berusaha untuk kembali ke jalan benar! Aku pernah menyeleweng, Mayang, dan engkau tahu benar akan hal ini. Demi cintaku kepadamu, aku harus berusaha keras untuk kembali ke jalan benar!”

“Kalau hendak kembali ke jalan benar, kenapa harus menipu keluarga itu?”

“Aih, Mayang, pikirkan dulu jangan berkeras. Aku melakukan sandiwara itu hanya dengan satu tujuan, agar aku diterima disana dan mendapatkan pekerjaan. Setelah aku bekerja dengan baik, bukankah itu berarti aku telah kembali ke jalan benar? Aku terpaksa menggunakan nama palsu. Kalau aku menggunakan nama sendiri dan kemudian Menteri Cang tahu bahwa aku pernah melakukan penyelewengan, apakah dia akan mau memberi pekerjaan kepadaku? Bersikaplah adil, Mayang ……, semua ini kulakukan demi engkau!”

Mayang mengerutkan alisnya, akan tetapi ia diam saja. Ia mengerti kebenaran alasan pria yang dicintanya itu. Memang, kekasihnya itu pernah menyeleweng dan membantu golongan sesat, akan tetapi kini telah bertaubat, bahkan sudah membuktikan mau mengembalikan pedang ke Pulau Teratai Merah. Kalau kini kekasihnya itu terpaksa menggunakan nama palsu agar dapat memperoleh pekerjaan dan kedudukan yang baik, apa salahnya?

“Baiklah, akan kulihat perkembangannya nanti,” katanya mengulang pendapatnya tadi.

Ki Liong merangkul dan mencium pipinya. Sejenak Mayang terlena. Bagaimanapun juga, ia kagum dan tertarik kepada pria ini, bahkan mencintanya, maka tentu saja cumbuan ini mendatangkan kemesraan dan kebahagiaan hatinya. Akan tetapi ia teringat Bi Hwa dan dengan lembut namum pasti ia melepaskan rangkulan pemuda itu.

“Mari kita berkemas! Dan disana, biarpun engkau mengaku bahwa aku ini tunanganmu, akan tetapi engkau jangan macam-macam jangan membuat aku menjadi malu.”

Dengan senyum menawan dan sikap menarik Ki Liong memberi hormat seperti menghormati seorang puteri dan berkata,

“Baik, tuan puteri, hamba akan mematuhi perintah paduka!”

“Cih, tak usah merayu!”

Mayang berkata ketus, akan tetapi matanya tersenyum. Harus diakuinya bahwa ia memang tertarik dan mencinta pemuda ini, walaupun kadang hatinya kesal teringat akan masa lalu kekasihnya itu dan mengkhawatirkan masa depannya, kalau-kalau kekasihnya akan kambuh lagi penyakitnya, yaitu menyeleweng daripada kebenaran.

Ketika Bi Hwa, Ki Liong dan Mayang tiba di rumah keluarga Menteri Cang, mereka disambut dengan gembira oleh keluarga itu. Ketika mereka melihat Mayang, mereka kagum akan kecantikan khas dari gadis peranakan Tibet itu. Menteri Cang sendiri yang sudah banyak pengalaman, lalu bertanya.

“Liong Ki, apakah tunanganmu ini seorang gadis Tibet?”

Liong Ki atau Sim Ki Liong memberi hormat,
“Ia adalah peranakan Tibet, Taijin.”

Cang Hui mendekati Mayang, memandang penuh perhatian dan nampaknya tertarik.
“Siapa namamu dan berapakah usiamu?”

Melihat gadis bangsawan cantik itu bertanya dengan sikap terbuka dan bersahabat, Mayang menjawab dengan jujur dan juga sikapnya memang terbuka, dengan logat suara aneh namun enak didengar,

“Namaku Mayang, dan usiaku dua puluh tahun. Nona tentu yang bernama Cang Hui, puteri Cang Taijin bukan? Nona cantik sekali!”

Jawaban ini seketika mendatangkan rasa suka dalam hati Cang Hui dan ia menggandeng tangan Mayang.

“Aku memang Cang Hui, dan engkaupun cantik sekali, Mayang. Apakah engkaupun ahli silat seperti kakak-beradik she Liong itu?”

Mayang tersenyum.
“Aku tidak sepandai Liong-ko, akan tetapi aku pernah belajar ilmu silat, Nona.”

Untung bagi Ki Liong bahwa dia menggunakan nama palsu Liong Ki sehingga mayang masih dapat tetap memanggilnya Liong-ko seperti biasa. Andaikata dia menggunakan nama lain, akan sukar bagi Mayang untuk mengubah panggilannya, bahkan mungkin ia tidak mau melakukannya.

“Mayang, engkau jangan menyebut siocia (nona) kepadaku. Aku ingin kau menyebutku Hui saja!” kata Cang Hui yang seketika merasa amat dekat dan akrab dengan Mayang.

Mayang tersenyum dan entah bagaimana, iapun merasa suka sekali kepada gadis bangsawan yang berwatak polos ini.

“Terima kasih,” katanya.

“Enci Hui, apakah tidak sebaiknya kalau Mayang disuruh memperlihatkan ilmunya pula?” kata Cin Nio. “Mayang, tadi enci Liong BI telah memperlihatkan kepandaiannya. Enci Hui dan aku mengeroyoknya. Kami berpedang dan ia bertangan kosong, dan ia dapat merampas hiasan rambut kami dan mengembalikannya tanpa melukai kami. Sanggupkah kau melakukan itu?”

“Cin-moi, rasanya tidak perlu lagi. Aku percaya akan keterangan kakak-beradik Liong itu.”

“Memang tidak perlu diuji lagi, akupun sudah percaya,” kata Cang Sun yang sejak tadi kadang melirik ke arah Mayang dengan sinar mata penuh kagum.

Gadis ini mempunyai sesuatu yang membuat jantungnya berdebar, akan tetapi dia cepat melawannya dengan ingatan bahwa gadis peranakan Tibet ini telah menjadi calon isteri Liong Ki!

“Hemm, kalau begitu kurang adil!” Tiba-tiba Cang Taijin berkata sambil tertawa. “Kakak-beradik Liong telah memperlihatkan kemampuan mereka, dan Mayang ini juga akan bekerja disini, maka sudah selayaknya kalau iapun memperlihatkan kemampuannya. Mayang, coba engkau perlihatkan ilmu yang kau miliki agar kami sekeluarga melihatnya.” Biarpun ucapan itu ramah dan lembut, namun mengandung wibawa dan perintah.

“Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun memandang ke sekeliling dengan matanya yang sipit namun bersinar tajam itu. “Siapa yang akan mengujiku?”

Cang Hui yang merasa suka kepada Mayang, berkata,
“Aku sudah lelah, dan aku percaya kepada Mayang. Cin-moi, apakah engkau hendak mengujinya?”

Cin Nio menunduk dan mukanya kemerahan.
“Mana aku berani, Hui-ci, kalau harus maju sendiri?”

“Tidak perlu bertanding,” kata Menteri Cang. “Mayang, kau perlihatkan saja kemahiranmu mempergunakan senjatamu, memperlihatkan kecepatanmu dan kekuatanmu.”

“Baik, Taijin,” kata Mayang dan iapun melolos senjatanya yang tak pernah terpisah dari badannya, yaitu sepasang cambuk yang dipakainya sebagai sabuk.

Pecut atau cambuk ini berwarna hitam, kecil dan panjang. Mayang memandang ke kanan kiri, melihat sebuah arca singa yang besarnya seperti seekor anjing. Melihat bentuk dan ukurannya, ia sudah dapat menaksir beratnya karena dahulu di rumah subonya terdapat pula sebuah arca besi seperti itu yang biasa ia pergunakan untuk latihan. Melihat ukurannya, arca di rumah subonya lebih berat.

“Taijin beratkah arca singa itu?” tanyanya kepada Menteri Cang.

Caranya bertanya kepada pejabat tinggi itu demikian sederhana, seolah dia bertanya kepada seorang kawan saja, membuat ia tertawa dan teringat akan sikap Cia Kui Hong.

“Tentu saja berat. Itu terbuat dari kuningan. Sedikitnya dua orang laki-laki baru mampu menggotongnya,” katanya.

“Adik Hui, aku mau main-main dengan arca itu, mudah-mudahan tenagaku kuat untuk mengangkatnya,” katanya sambil melirik ke arah gadis Cang Hui. Gadis bangsawan ini terkejut.

“Ihh, jangan main-main, Mayang. Benda itu berat sekali. Kalau engkau tidak kuat, dapat menimpamu dan membuatmu terluka!”

“Kita lihat sajalah!” kata Mayang dan suaranya itu diikuti suara ledakan-ledakan kecil karena ia telah memainkan cambuknya.

Ia bersilat dengan pecut itu, gerakannya indah seperti orang menari, akan tetapi ujung cambuk meledak-ledak di sekeliling tubuhnya dan setiap kali meledak, nampak asap mengepul! Setelah bersilat belasan jurus, tubuhnya menari-nari dengan indahnya yang membuat Su Bi Hwa sendiri diam-diam terkejut dan kgum, tiba-tiba Mayang mengeluarkan seruan nyaring, ujung cambuknya menyerang ke arah singa kuningan.

Ujung cambuk itu melibat perut singa dan sekali gadis itu membentak dengan suara melengking, singa-singaan itupun terangkat ke atas! Mayang memutar-mutar singa-singaan itu di atas kepalanya, kemudian menurunkan kembali dengan hati-hati! Tentu saja pertunjukan ini memancing tepuk tangan gemuruh. Bahkan isteri Menteri Cang itu bertepuk tangan.

Mayang bukan seorang gadis yang sombong atau suka memamerkan kepandaiannya. Akan tetapi sekarang ia merasa seolah-olah medapatkan saingan dalam diri Su Bi Hwa. Karena ia maklum bahwa wanita itu sudah memperlihatkan kepandaiannya di depan keluarga itu seperti juga Ki Liong, maka iapun tidak ingin dianggap lemah. Setelah tepuk tangan berhenti, iapun memberi hormat kearah suami isteri pejabat tinggi itu dan berkata,

“Taijin, saya lihat banyak lalat disini. Bolehkah saya membunuh mereka?”

Menteri Cang mencari dengan pandang matanya dan memang ada beberapa ekor lalat beterbangan di ruangan itu, tidak banyak, akan tetapi ada. Dan dia memandang dengan tidak percaya. Bagaimana gadis itu akan mampu membunuhi binatang kecil yang amat gesit itu dengan cambuknya? Akan tetapi dia mengangguk gembira.

“Boleh, bunuhlah lalat-lalat itu!” katanya.

Mayang menggerakkan pecutnya. Senjata ini meledak-ledak lagi dan menyambar-nyambar. Tampaknya hanya beberapa saja menyambar dengan kecepatan yang tak dapat diikuti pandang mata orang biasa dan tiba-tiba ia menghentikan gerakannya, lalu mengumpulkan dengan kakinya. Ternyata di lantai telah ada bangkai belasan ekor lalat!

Melihat bangkai itu tidak hancur, dapat dimengerti betapa hebatnya permainan camuk itu, yang ujungnya mampu membunuh lalat-lalat itu dengan tepat tanpa menghancurkan tubuhnya yang kecil! Hal ini tidak mengherankan karena guru gadis ini, Kim Mo Sian-kauw, adalah seorang ahli silat yang memiliki ilmu istimewa menggunakan cambuk itu!

Kembali semua orang memuji dan diam-diam Su Bi Hwa terkejut. Tak di sangkanya bahwa kekasih Ki Liong itu memiliki kepandaian sehebat itu! Ia harus berhati-hati sekali terhadap Mayang. Gadis itu tidak suka diajak melakukan penyelewengan, berwatak terbuka, jujut dan keras. Gadis seperti itu dapat menggagalkan semua usahanya! Bagaimana juga, ia tahu bahwa Ki Liong amat mencinta gadis itu, maka untuk sementara, ia harus menggunakan siasat melakukan pendekatan secara akrab.

“Mayang, engkau saja yang mengajarku ilmu silat!” Cang Hui berseru gembira sambil merangkul gadis peranakan Tibet itu. “Aku ingin bisa memainkan cambuk seperti itu!”

Demikianlah, mulai hari itu, Ki Liong, Mayang dan Su Bi Hwa bekerja menjadi pengawal keluarga Cang. Tentu saja mereka hidup senang karena mereka bukan saja dianggap sebagai pekerja, akan tetapi juga seperti anggauta keluarga sendiri. Terutama Mayang dan Bi Hwa.

Mereka sangat akrab dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio. Hanya bedanya, kalau Mayang akrab dengan mereka dengan hati tulus karena memang dua orang gadis bangsawan itu baik budi, sebaliknya Su Bi Hwa hanya pada lahirnya saja baik dan akrab. Didalam hatinya, iblis betina ini mencari-cari kesempatan untuk mengatur rencana dengan kekasih barunya, yaitu Ki Liong!

Karena maklum akan kelihaian Mayang, Bi Hwa dan Ki Liong berhati-hati sekali dan mereka selalu menjaga diri jangan sampai menimbulkan kecurigaan hati Mayang. Ketika pada suatu pagi Mayang sibuk memberi petunjuk ilmu silat kepada Cang Hui dan Teng Cin Nio di dalam taman bunga yang luas dan indah itu, Bi Hwa dan Ki Liong mengadakan pertemuan di kamar Bi Hwa, darimana mereka dapat mengintai keluar jendela dan melihat Mayang bersama dua orang gadis bangsawan itu dari jauh. Tidak ada orang lain mengetahui bahwa mereka berdua berada di dalam kamar itu.

Mereka segera berpelukan melepas rindu yang ditahan-tahan, akan tetapi Bi Hwa berbisik,

“Ssssttt, aku ingin bertemu denganmu untuk membicarakan hal penting. Kerinduan kita dapat di tunda dulu, lain waktu masih banyak. Kita harus mengatur siasat.”

Biarpun kecewa, terpaksa Ki Liong menuruti keinginan wanita itu karena karena memang mereka jarang mendapat kesempatan berada berdua saja. Mereka lalu berbisik-bisik dan Bi Hwa mengatur siasatnya. Siasat yang membuat Ki Liong sendiri tertegun karena siasat itu terlampau besar dan muluk, juga amat berani!

Bi Hwa merencanakan agar mereka berdua dapat menguasai keluarga itu, dengan cara memikat anak-anak Menteri Cang. Ia sendiri akan memikat dan merayu Cang Sun, sedangkan Ki Liong dianjurkan merayu Cang Hui!

“Kalau kita berdua, atau diantaranya seorang diantara kita dapat menjadi mantu Menteri Cang, tentu kedudukan kita akan menjadi semakin kuat,” katanya.

“Engkau bisa mencoba untuk memikat Cang Sun dan engkau pasti berhasil. Akan tetapi aku? Bagaimana mungkin? Disana ada Mayang ……” kata Ki Liong meragu.

“Aih, lagi-lagi Mayang! Tentu saja engkau boleh mengambilnya sebagai isterimu! Kalau engkau menjadi mantu Menteri Cang, apa salahnya mempunyai beberapa orang isteri? Yang penting, memikat puteri menteri itu dahulu, soal Mayang mudah saja.”

“Jangan pandang rendah Mayang! Ia pasti akan menolak, dan ia dapat menggagalkan dan merusak semuanya. Ia keras hati dan keras kepala. Kalau sampai ia marah kepada kita, lalu ia membongkar rahasia kita di depan Menteri Cang, bukankah kita akan celaka?”

“Bodoh, ia tidak akan berbuat seperti itu, apalagi kalau ia sudah dijinakkan! Engkau harus dapat menjinakkannya. Engkau harus berhasil menggaulinya sehingga ia tidak berdaya lagi karena ia tentu ingin mencuci aib dengan menjadi isterimu dan ia akan mentaati semua perintahmu.”

“Hemm, justeru itulah yang sulit. Ia tidak pernah mau! Ia hanya mau melayaniku kalau kami sudah menikah dan ia tidak mau menikah sebelum mendapat restu dari ibunya dan subonya!” Ki Liong berkata kesal.

“Itu perkara kecil. Aku akan membantumu. Tunggu saja, aku akan menguasainya dengan sihir dan malam ini aku akan menyuruh ia memasuki kamarmu dan dengan kekuatan sihir aku akan membuat ia menyerah kepadamu dengan suka rela. Sekali hal ini terjadi, andaikata ia menyadarinyapun sudah terlambat dan ia tentu akan tunduk dan taat.”

Wajah Ki Liong menjadi berseri.
“Engkau dapat melakukan itu?”

Bi Hwa mengangguk. Ia memang tidak merahasiakan sesuatu dari kekasihnya itu setelah saling mengetahui latar belakang masing-masing dan maklum bahwa dahulu mereka segolongan!

“Tidak percuma aku menjadi anggauta Pek-lian-kauw,” kata wanita itu. “Pendeknya, urusan Mayang mudah saja. Kalau aku tidak menggunakan sihir, aku masih mempunyai banyak cara untuk membuat ia lupa diri dan menyerah kepadamu. Yang penting, engkau harus merayu puteri bangsawan itu dan aku akan merayu Cang Sun yang ganteng. Untuk mereka, tidak boleh menggunakan cara yang tidak wajar. Kita harus dapat membuat mereka benar-benar jatuh cinta agar kelak tidak mendatangkan hal yang tidak menguntungkan!”

Bi Hwa dengan bisik-bisik menjelaskan rencananya jangka panjang. Kalau mereka sudah dapat menguasai keluarga Cang, tentu akan mudah bagi mereka untuk mempergunakan pengaruh dan kekuasan Menteri Cang untuk mempengaruhi kaisar! Dan mereka dapat mengatur siasat demi keuntungan gerakan Pek-lian-kauw. Dari situ, mereka seperti menemukan anak tangga untuk mencapai kedudukan atau keadaan yang lebih tinggi lagi.

Mereka bisik-bisik mengatur sambil bermesraan melepas rindu, dan dari jendela kamar itu mereka dapat mengamati gerak-gerik Mayang agar jangan sampai gadis itu mengetahui pertemuan rahasia mereka.

Sementara itu, dengan sepenuh hati Mayang memberi petunjuk tentang ilmu silat kepada Cang Hui dan Cin Nio. Dua orang gadis ini merasa gembira sekali karena Mayang merupakan guru yang jauh lebih lihai dan lebih menyenangkan daripada perwira Coa yang kaku.

Dengan adanya petunjuk dari Mayang, kedua orang gadis itu medapatkan kemajuan pesat dalam ilmu silat. Setelah mengajak dua orang gadis itu berlatih silat tangan kosong, mereka duduk mengaso dan bercakap.

“Adik Hui, engkau ini puteri seorang menteri yang berkedudukan tinggi. Engkau cantik jelita, kaya raya, berkedudukan mulia, tidak kekurangan apapun juga. Pelayan cukup banyak, pengawalpun ada. Kenapa engkau bersusah payah mempelajari ilmu silat yang melelahkan? Apakah tidak sayang kalau nanti kulit tanganmu yang halus lunak itu menjadi kasar?” Mayang bertanya sambil mengagumi kecantikan puteri bangsawan itu. cang Hui tertawa.

“Heh-heh, engkau ini ada-ada saja, Mayang. Coba engkau bercermin. Engkau pandai ilmu silat, akan tetapi engkau tetap cantik jelita dan kulitmu begitu putih kemerahan dan begitu segar! Dan tentang ilmu silat, aku menyukai ilmu silat semenjak seorang pendekar wanita tinggal bersama kelurga kami dahulu. Aku amat kagum kepadanya dan aku ingin menjadi seperti ia!”

“Ehh? Pendekar wanita siapakah itu?”

“Enci Kui Hong. Cia Kui Hong ……”

Sepasang mata yang sipit panjang dan bentuknya indah itu terbelalak. Nama itu tentu saja amat mengejutkan Mayang karena ia tidak menyangka sama sekali.

“Ketua Cin-ling-pai …..?” ia menegaskan karena belum yakin bahwa gadis itu yang dimaksudkan Cang Hui.

“Benar, engkau sudah mengenalnya, Mayang?”

Mayang mengangguk, merasa tidak perlu menceritakan sejelasnya.
“Aku pernah bertemu dengannya. Siapa yang tidak mengenal ketua Cin-ling-pai itu?”

Pada saat itu Cin Nio berpamit. Ia hendak membantu di dapur seperti biasanya dan berjanji sore nanti akan mengajak Cang Hui untuk berlatih kembali. Setelah Cin Nio pergi, Cang Hui berkata lirih.

“Kasihan, Cin Nio selalu merasa tidak enak kalau mendengar disebutnya nama enci Kui Hong.”

“eh,kenapakah?” Mayang tentu saja merasa heran sekali.

“Mayang, setelah beberapa hari tinggal disini, engkau kuanggap sebagai keluarga sendiri, maka biar akan kuceritakan tentang semua itu kepadamu. Ketahuilah bahwa ketika enci Kui Hong tinggal disini, membantu ayah untuk menyelidiki kekacauan di istana, ayah mempunyai keinginan untuk menjodohkan koko Cang Sun dengan enci Kui Hong.”

“Hemm, menarik sekali! Kakakmu memang seorang pemuda yang tampan dan terpelajar, juga baik budi pekertinya.”

“Ehh? Bagaimana engkau tau dia baik budi?”

“Melihat penampilannya saja sudah dapat diketahui. Dia sopan dan ramah,” kata Mayang, lalu membelokkan percakapan, “Lalu, bagaimana perjodohan itu?”

Cang Hui menggeleng kepalanya.
“Agaknya Sun-koko sudah menyetujui dan mencinta enci Kui Hong, akan tetapi enci Kui Hong menolak karena ia telah mempunyai pilihan hati pemuda lain.”

Dikiranya aku tidak mengerti, bisik hati Mayang dengan bangga. Pemuda pilihan hati ketua Cin-ling-pai itu bukan lain adalah kakak tirinya, kakak seayah kandung, yaitu Tang Hay!

“Dan sejak saat itu koko Cang tidak pernah mau kalau hendak dijodohkan dengan gadis lain, membuat ayah dan ibu menjadi kesal. Lalu ayah dan ibu menarik adik Cin Nio kesini, untuk diperkenalkan dengan Sun-koko dan Cin-moi dicalonkan menjadi jodoh Sun-koko.”

“Baik sekali ….,” kata Mayang.

“Apanya yang baik!” Cang Hui mengerutkan alisnya. “Sun-koko sama sekali tidak menaruh perhatian kepada Cin-moi, kecuali sebagai anggauta keluarga biasa. Cin-moi maklum bahwa ia hendak dijodohkan dengan Sun-koko, dan ia sudah mendengar pula tentang enci Kui Hong. Dan kurasa, Cin-moi sudah terlanjur jatuh hati kepada kakakku, maka kasihan ia kalau kakakku selalu acuh terhadap dirinya.”

Mayang diam saja, melamun. Betapa banyak liku-liku cinta. Ia sendiri jatuh cinta kepada Sim Ki Liong, akan tetapi kadang ia merasa khawatir kalau-kalau pemuda yang di cintanya itu, yang pernah tersesat, akan kembali ke jalan sesat!

“Engkau beruntung, Mayang.” Sampai dua kali Cang Hui mengeluarkan ucapan itu, baru Mayang sadar.

“Apa? Mengapa?” tanyanya, agak gagap seperti orang baru terbangun dari mimpi.

“Hik-hik, kau melamun, Mayang. Kukatakan bahwa engkau beruntung, mempunyai seorang tunangan yang tampan dan gagah seperti Liong Ki. Engkau memang cocok sekali menjadi jodohnya. Sama elok wajahnya, sama gagah perkasa dan keduanya pendekar!”

“Hemm, mudah-mudahan Tuhan akan memberkahi kami, adik Hui,” kata Mayang dengan pikiran melayang jauh.

Kembali ia melamun. Sekali ini, ia membiarkan ingatannya melayang dan mengenangkan apa yang ia lihat dan dengar ketika malam tadi ia bercakap-cakap dengan Su Bi Hwa. Wanita itu jelas dengan jujur mengakui bahwa ia tertarik kepada Cang Sun! Su Bi Hwa di depan Mayang memuji-muji putera Menteri Cang itu, bahkan ada kata-katanya yang terngiang di telinganya, yang membuat ia mengerutkan alisnya.

“Aih, kalau saja aku bisa menjadi isterinya! Betapa akan bahagia rasa hatiku! Menjadi mantu Menteri Cang Ku Ceng yang terkenal di seluruh negeri!”

Wanita cantik itu selalu nampak genit dan pesolek, bahkan ia pernah melihat Bi Hwa mencolek dan mencubit paha Ki Liong ketika mereka bicara dan mengira ia tidak melihatnya! Ia menekan perasaan cemburunya, akan tetapi menganggap bahwa main-main atau kelakar seperti itu sudah keterlaluan dan hanya dapat dilakukan oleh seorang gadis yang genit dan “ada apa-apanya”! Maka, mendengar akan pujian dan harapan Bi Hwa terhadap putera Menteri Cang, ia seperti melihat bahaya mengancam pemuda yang sopan dan ramah itu!

“Engkau melamun lagi, Mayang!” tegur Cang Hui.

“Ah, maaf…. Aku hendak pesan sesuatu kepadamu, adik Hui.”

“Eh? Apakah itu, Mayang? Katakanlah, engkau seperti penuh rahasia!” Gadis bangsawan itu tersenyum.

“Aku hanya ingin engkau memperingatkan kakakmu agar dia berhati-hati terhadap Liong Bi….?

“Hemm, adik tunanganmu itu?”

Ingin ia meneriakkan bahwa wanita itu bukan adik Ki Liong, akan tetapi ia tidak menjawab, hanya melanjutkan pesannya.

“Ia seorang wanita kang-ouw yang berpengalaman dan ia agaknya tertarik kepada kakakmu. Mungkin ia akan berusaha memikat hati kakakmu.”

Cang Hui terbelalak dan tersenyum.
“Aih, Sun-koko tidak mudah tertarik oleh wanita semenjak cintanya gagal terhadap enci Kui Hong. Adik tunanganmu itu cantik dan ilmu silatnya tinggi, hanya sayang …. Bagiku ia terlalu genit. Akupun tidak suka kalau kakakku terpikat olehnya. Maaf, Mayang, aku bicara buruk tentang adik tunanganmu, calon adik iparmu. Tapi, engkau sendiri juga menyangka buruk terhadap dirinya. Baik akan kusampaikan kepada kakakku.”

Biarpun hanya menyampaikan pesan seperti itu, hati Mayang merasa lega. Setidaknya, pihak keluarga Cang sudah siap dan berhati-hati, pikirnya. Malam itu, Mayang gelisah di pembaringannya. Ia semakin tidak tenang dan tidak betah tinggal di rumah keluarga Cang. Ia melihat keluarga itu terancam, oleh Bi Hwa dan Ki Liong! Ia khawatir Ki Liong bersama Bi Hwa akan melakukan sesuatu yang jahat! Ia bukan saja tidak ingin keluarga yang amat baik budi itu terancam bahaya, terutama sekali ia tidak ingin Ki Liong melakukan sesuatu yang jahat dan buruk.

Sampai menjelang tengah malam, Mayang masih gelisah di atas pembaringannya. Malam itu sunyi sekali. Agaknya semua penghuni rumah itu sudah tidur nyenyak, kecuali tentu saja para penjaga. Biarpun ia, Ki Liong dan Bi Hwa menjadi pengawal keluarga di rumah itu, namun penjaga malam tetap diadakan dan mereka melakukan perondaan.

Mereka bertiga hanya siap kalau-kalau ada marabahaya, dan mereka tidur di kamar masing-masing. Ia dan Bi Hwa mendapatkan kamar di samping dengan jendela menghadap taman, sedangkan Ki Liong mendapatkan kamar dibagian belakang.

Mendadak ingatannya melayang ke arah Ki Liong. Wajah pemuda itu nampak jelas membayang di depan matanya dan secara aneh sekali ia merasa rindu sekali kepada pemuda yang dicintanya itu. Tak dapat ditahan lagi rasa rindunya dan ia ingin sekali bertemu dengan Ki Liong. Malam itu juga! Ia turun dari pembaringan, mengenakan sepatu dan baju luar, dan tak lama kemudian tubuhnya sudah melayang ke luar melalui jendela, ke dalam taman.

Tiba-tiba ia berhenti bergerak, matanya terbelalak. Kenapa hatinya begini berdebar dan wajah Ki Liong terbayang-bayang, dan perasaannya mengatakan betapa sangat ia mencinta Ki Liong, betapa ia amat merindukannya? Kenapa ia seperti didorong-dorong untuk menuju ke kamar kekasihnya itu, untuk melepaskan rindu dendamnya?

“Hemm, ini tidak wajar!”

Begitu pikiran ini menyelinap ke dalam hatinya, Mayang memejamkan kedua matanya, mengerahkan tenaga batin seperti yang ia pelajari dari subonya dan seketika perasaan yang mendorong-dorongnya itupun lenyap! Seolah angin malam semilir mendinginkan hati dan kepalanya, membuat ia dapat melihat betapa janggalnya keadaannya. Malam-malam begini mendadak timbul keinginan untuk mengunjungi Ki Liong di kamarnya! Sungguh mustahil!

“Keparat, siapa berani main-main dengan aku? tidak perlu menggunakan ilmu setan untuk menakuti anak kecil, keluarlah kalau memang engkau berani dan memiliki kepandaian!” tantangnya, suaranya mengandung tenaga batin yang masih menggelora di dadanya.

Namun, sepi dan hening saja. Hanya suara jengkerik yang menjawabnya. Dengan hati kesal iapun kembali ke kamarnya melalui jendela. Benarkah ada orang yang bermain-main dengannya? Ataukah Ki Liong yang menggunakan batin untuk memanggilnya agar ia mau menyerahkan dirinya malam itu? Ataukah memang dorongan itu datang dari perasaan cinta dan rindunya?

Ia tidak tahu betapa di tempat gelap tersembunyi, Su Bi Hwa menggeleng-geleng kepala dengan kecewa.

“Sialan,” gerutunya dalam hati. “Anak perempuan itu bahkan mampu menolak kekuatan sihirku!” Ia menyelinap pergi dan mengomel, “Harus kupergunakan cara lain untuk menundukkan bocah itu!”

Pada keesokan harinya, Mayang tidak jadi bertanya kepada Ki Liong. Tidak ada bukti bahwa pemuda itu yang mempergunakan kekuatan tidak wajar untuk mendorongnya melakukan hal-hal yang tidak pantas.

Akan tetapi bagaimanapun juga, sejak malam itu ia menjadi semakin waspada, diam-diam melakukan pengamatan terhadap Bi Hwa dan terhadap kekasihnya sendiri. Di samping kekesalan hatinya ia terhibur juga oleh pergaulannya dengan Cang Hui dan Teng Cin Nio.

Diam-diam ia merasa kasihan kepada Cang Sun yang selalu bersikap ramah dan sopan kepadanya. Kadang-kadang ia melihat betapa wajah pemuda itu seperti diliputi mendung kedukaan, dan ia menaruh iba karena tahu bahwa pemuda itu telah gagal dalam cintanya terhadap Cia Kui Hong.

Kita tinggalkan dulu Mayang, Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang telah mendapatkan kedudukan yang baik di rumah keluarga menteri Cang Ku Ceng. Sudah lama kita meninggalkan Hay Hay.

Setelah bertemu suami isteri yang aneh, isterinya cantik dan suaminya buruk, si cantik yang bodoh dan si buruk yang pintar, Hay Hay melanjutkan perjalanan. Hatinya terasa ringan dan udara pegunungan terasa sejuk segar menyehatkan. Betapa nikmat dan indahnya hidup ini apabila pikiran tidak dilanda prahara! Hay Hay berjalan-jalan di pegunungan yang sunyi itu, menikmati keindahan alam senja.

Matahari condong ke barat, meninggalkan cahaya kemerahan yang amat indah di langit barat. Langit seperti di sepuh emas, ada warna emas, biru dan putih perak yang indah dilator belakangi warna merah redup.


cerita silat online karya kho ping hoo


Pada saat itu, pikirannya kosong, tidak terisi ingatan apapun, tidak muncul kenangan apapun, tidak timbul pendapat dan penilaian. Kelima alat jasmaninya bekerja dengan sepenuhnya. Matanya memandang semua yang terbentang di depannya tanpa menilai. Tidak ada sebutan indah dalam pikiran, namun yang nampak mendatangkan perasaan yang tak dapat dilukiskan bagaimana. Mungkin itulah perasaan damai dan tenteram, semua yang nampak ditelan dalam ingatan.


Telinganya menangkap suara burung yang berkelompok beterbangan kembali ke sarang mereka, nyanyian katak diperairan yang berdendang menyambut datangnya malam. Hidungnya menyambut semua ganda yang segar dari pohon-pohon, rumput dan tanah, diselingi keharuman kembang disana-sini, menghirup udara yang memenuhi dadanya sepenuh-penuhnya sampai ke ujung pusar.

Hay Hay ingin tertawa ketika dia berdiri di puncak bukit dan menghadap ke barat, melihat matahari telah menjadi bola besar merah yang mulai tenggelam di balik kaki langit. Dan diapun tidak menahan keinginannya itu. Dia tertawa bergelak, lepas bebas sehingga suara tawanya bergema di seluruh permukaan bukit. Belum pernah selama hidupnya dia tertawa seperti itu!

Baru terasa olehnya betapa biasanya, kalau dia tertawa di depan orang lain, suara tawanya terkendali, terdorong sesuatu bahkan terkekang sesuatu, tidak dapat bebas lepas seperti ini. Bahkan dia merasa betapa suara tawanya itu biasanya palsu, hanya demi sopan santun, demi menyenangkan orang, tidak seperti sekarang ini. Dia tertawa tanpa sebab tertentu. Tertawa yang timbul dari perasaan diri ada dan bersatu dengan alam, perasaan bebas!

Kenapa dia biasanya hidup diantara manusia-manusia lain lalu menjadi terbelenggu oleh kebiasaan-kebiasaan umum, membuat dia tak pernah merasa bebas seperti ini? Kehidupan di dunia ramai membuat dia bagaikan sebuah biduk yang oleng ke sana-sini, dipermainkan gelombang kehidupan yang penuh dengan ombak suka-duka, lebih banyak dukanya dari pada sukanya.

“Siancai (damai) ….! Sungguh mengagumkan, masih dapat aku mendengar suara tawa seindah itu. Puji syukur kepada Tuhan Maha Kasih, suara tawa itu datang dari surga…….!”

Hay Hay membalikkan tubuhnya dan dia melihat seorang kakek tertatih-tatih mendaki puncak. Kakek itu usianya sudah tua sekali, tentu sudah ada delapan puluh tahun. Tubuhnya tinggi kurus, rambut dan jenggot kumisnya sudah putih semua, gerak-geriknya membayangkan kelembutan dan kelemahan. Dengan tongkatnya dia melangkah satu-satu dan hati-hati agar jangan sampai tersandung batu, menuju ke tempat Hay Hay berdiri.

Melihat ini, otomatis timbul rasa hormat dan iba di hati Hay Hay, dan diapun cepat menghampiri dan membantu kakek itu, menuntun dengan memegangi tongkatnya. Ketika mereka tiba di puncak itu, si kakek duduk di atas batu yang halus sambil terengah-engah. Akan tetapi wajah yang dikelilingi rambut putih halus itu nampak segar kemerahan seperti wajah anak kecil. Mata kakek itupun bersinar-sinar lembut, ketika tersenyum mulutnya sudah tak bergigi sebuahpun, membuat wajah itu semakin mirip wajah kanak-kanak!

Hay Hay memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada dan membungkuk.

“Maaf, Totiang (bapak pendeta), bolehkah saya mengetahui, siapa Totiang dan tinggal dimana?”

“Ho-ho, orang muda, aku bukan pendeta. Aku seorang manusia yang sudah tua dan lemah badannya, aku seorang kakek-kakek jompo, heh-heh. Aku sendiri sudah lupa nama apa yang diberikan kepadaku, aku seorang kakek tanpa nama.”

“Bu Beng Lojin (Orang Tua Tanpa Nama)? Itukah sebutan untuk kakek?” Hay Hay bertanya.

“Heh-heh-heh-heh, tidak ada sebutan apa-apa. Dan tempat tinggalku adalah dimana tubuh ini berada. Rumahku alam ini, atap rumahku langit, lantaiku bumi, dindingku empat penjuru, heh-heh. Adakah yang lebih indah daripada alam ini? Adakah lauk yang lebih lezat dari pada lapar? Adakah tempat tidur yang lebih enak daripada kantuk? Adakah yang lebih kaya daripada yang tidak menginginkan apa-apa?”

Hay Hay memandang kagum. Mungkin kakek ini seorang yang memiliki jasmani yang lemah, akan tetapi dia tidak melihat jiwa dan semangat yang lemah!

“Kakek yang bijaksana, saya merasa beruntung sekali dapat bertemu dan bercakap-cakap dengan kakek disini. Nama saya Hay Hay dan juga seperti kakek, saya tidak mempunyai rumah tinggal yang tetap. Setelah berjumpa denganmu, saya yakin akan menemukan jawaban dari banyak pertanyaan tentang kehidupan yang selama ini mengganggu hatiku. Kakek yang baik, maukan kakek menerangkan, apakah bahagia itu dan bagaimana saya bisa memperolehnya?”

Kakek itu terkekeh-kekeh, seolah pertanyaan Hay Hay itu terdengar lucu sekali.
“Heh-heh-heh, mari kita duduk, orang muda. Mari kita bicara. Angin bicara pada pohon dan daun, burung-burung bicara, alam bicara, akan tetapi siapa mau mendengarkannya? Kulihat engkau bersungguh untuk mengetahui, marilah kita sama-sama menyelidikinya. Mari kita renungkan dan bicarakan, apa sih artinya bahagia itu? Orang muda, pernahkah engkau berbahagia?”

Hay Hay termenung, mengingat-ingat. Baru-baru saja ini ketika dia berada di samping Kui Hong, melakukan perjalanan bersama gadis yang dicintanya, bercakap dan bergurau, dia merasa berbahagia sekali! Akan tetapi ketika perjodohan itu tak disetujui keluarga Kui Hong dan dia terpaksa meninggalkan gadis itu, dia merasa berduka sekali. Akan tetapi, kedukaan itupun lewat begitu saja dan kini sudah hampir tak berbekas. Banyak suka duka seperti itu dialaminya sepanjang hidupnya, susah senang silih berganti mengisi hidupnya. Akan tetapi bahagia?

“Entahlah, Kek. Pernah aku merasa seperti berbahagia, akan tetapi dilain saat perasaan itu lenyap berganti duka dan sengsara. Aku tidak tahu apakah itu perasaan bahagia ataukah bukan?

“Yang berganti duka adalah suka, orang muda. Yang berganti susah adalah senang. Senang susah memang menjadi bagian daripada isi kehidupan ini, yang satu tak terpisahkan dari yang lain, sambung menyambung dan susul menyusul, seperti siang dan malam, terang dan gelap, atas dan bawah, langit dan bumi. Kalau ada yang satu, pasti ada yang lain. Bagaimana orang akan dapat mengenal suka kalau dia tidak mengenal duka dan demikian sebaliknya. Adanya yang satu memang untuk melengkapi yang lain, bahkan yang satu menciptakan yang lain. Sejak kita masih kanak-kanak, sejak pikiran kita bekerja, kita sudah mengalami suka duka, senang susah itu yang ditandai dengan tawa dan tangis!”

“Engkau benar, Kakek yang mulia. Yang kurasakan itu hanyalah kesenangan dan kesusahan, kepuasan dan kekecewaan. Akan tetapi, apakah kebahagiaan itu, Kek?”

Kakek itu tersenyum memperlihatkan mulut ompongnya yang nampak bersih dan sehat.
"Orang muda, kalau kita belum pernah bertemu dengan seseorang, bagaimana mungkin kita mengenalnya? Kalau kita belum pernah makan garam, bagaimana mungkin kita mengetahui rasanya? Kalau kita belum pernah berbahagia, bagaimana kita dapat menceritakan apakah kebahagiaan itu? Seperti kita pernah alami, yang kita rasakan hanyalah senang dan susah, dan kedua perasaan itu baru timbul setelah kita menilai. Suatu peristiwa tidaklah disebut Susah atau senang sebelum kita menilainya. Susah atau senangnya tergantung dari hasil penilaian. Bukankah demikian? Karena itu, senang dan susah bukanlah suatu kenyataan, melainkan hasil penilaian pikiran. Pikiran bergelimang nafsu, maka dengan sendirinya penilaiannya didasari kepentingan diri pribadi. Yang menguntungkan menimbulkan senang, yang merugikan menimbulkan susah. Jelas bahwa penilaian adalah palsu, dan hasilnya, susah senangpun hanya bayangan palsu belaka."

"Maaf, Kek. Maukah engkau menjelaskan tentang palsunya susah senang yang timbul karena penilaian palsu sebagai hasil kerja pikiran bergelimang nafsu?"

"Contohnya hujan, orang muda. Hujan itu suatu peristiwa, tidak ada kaitannya dengan susah senang. Hujan itu suatu kenyataan, suatu kewajaran, suatu bukti kekuasaan Tuhan. Akan tetapi kita menilainya. Kalau di waktu kita menilai itu kita membutuhkan air hujan, maka hal itu dianggap menguntungkan dan karenanya kita menjadi senang dengan turunnya hujan. Akan tetapi kalau dilain saat kita terganggu oleh turunnya hujan, penilaian kita sudah berbalik, kita dirugikan dan kita menjadi susah. Kalau pada hujan pertama kita menganggap hujan itu baik dan menyenangkan, dilain kali kita menganggap hujan itu buruk dan menyusahkan. Nah, nampak sekali kepalsuan penilaian itu, bukan?"

Hay Hay mengangguk-angguk, mengerti,
"Kita sudah menyelidiki tentang senang-susah yang hanya menjadi akibat daripada penilaian yang didasari nafsu kepentingan diri pribadi. Jadi kesenangan bukanlah kebahagiaan. Lalu apakah kebahagiaan itu, Kek?"

"Nah, itulah. Bagaimana menceritakan tentang asinnya garam kepada orang yang tidak pernah makan garam? Semua orang agaknya mencari-cari kebahagiaan, heh-heh-heh."

"Benar, Kek. Semua orang haus akan kebahagiaan."

"Engkau juga, orang muda?"

"Tentu saja, Kek. Siapa orangnya yang tidak ingin berbahagia dalam hidupnya.?"

"Disanalah letak rahasianya, orang muda. Kebahagiaan tidak akan mungkin ada bagi orang yang mencari dan mengejarnya!"

"Ehh? Kenapa begitu, Kek?"

"Karena keinginan memperoleh kebahagiaan itu sendiri adalah nafsu, dan selama nafsu menguasai hati dan akal pikiran, maka yang dikejar itu tiada lain hanyalah kesenangan, yang menyenangkan, dan kita tahu tadi bahwa pengejar kesenangan sudah pasti akan bertemu pula dengan kesusahan, saudara kembarnya."

"Kalau begitu, lalu bagaimana kita dapat memperoleh kebahagiaan, Kek?"

"Ho-ho-heh-heh," kakek itu tertawa. "Pertanyaanmu itu bukankah mengandung keinginan untuk mengejar kebahagiaan pula?"

Hay Hay menjadi bengong dan bingung.
"Habis, lalu apa yang harus kita lakukan, Kek?"

"Tidak ada yang harus melakukan apa-apa. Mari kita simak dengan teliti, orang muda. Sekarang jawab sejujurnya, mengapa kita mencari kebahagiaan? Mengapa engkau menginginkan kebahagiaan?"

Ditanya demikian, Hay Hay termenung. Ya, mengapa? Sukarnya mencari jawaban! Mengapa dia mendambakan kebahagiaan? Tiba-tiba wajahnya berseri dan dia menjawab,

"Karena aku merasa tidak berbahagia, Kek! Kukira semua orang juga demikian. Mereka tidak berbahagia, maka mendambakan kebahagiaan!"

"Tepat sekali. Memang agaknya demikianlah, jawaban itu jujur dan sewajarnya. Kita selalu mencari kebahagiaan, tentu saja yang menjadi sebabnya adalah karena kita tidak berbahagia, atau lebih tepat karena kita MERASA tidak bahagia! Nah, dalam keadaan tidak berbahagia kita mengejar kebahagiaan, bagaimana mungkin itu? Keadaan tidak berbahagia merupakan kenyataan apa yang ada, sedangkan kebahagiaan masih merupakan khayalan, harapan. Bagaimana mungkin yang kotor ingin bersih? Bagaimana mungkin yang sakit ingin sehat? Yang penting, bukankah lebih tepat kalau kita mencari sebab penyakit itu, mencari penyebab yang membuat kita tidak sehat, dan menyembuhkan penyakit itu? Demikian pula, lebih tepat kalau kita menyelidiki, APA yang menyebabkan kita tidak merasa berbahagia. Kalau penyebab itu sudah lenyap, kalau kita sudah tidak sakit lagi, apakah kita membutuhkan kesehatan? Demikian pula kalau tidak ada sesuatu yang menyebabkan kita TIDAK berbahagia apakah kita butuh lagi kebahagiaan? Yang mencari air minum adalah mereka yang haus, yang tidak haus tentu tidak butuh air minum."

Hay Hay memandang wajah kakek itu dengan sinar mata berseri dan wajahnya penuh senyum maklum.

"Jelas sekali, Kek. Yang tidak merasa lagi bahwa dia tidak bahagia, tentu tidak kebahagiaan, karena DIA SUDAH BERBAHAGIA!"

"Nah, jadi yang merasa tidak berbahagia, kemudian yang mengejar-ngejar kebahagiaan, bukan lain adalah hati akal pikiran yang bergelimang nafsu, yang menamakan diri sendiri si-aku yang mengaku-aku.”

"Kalau begitu, Kek. Kebahagiaan itu sudah ada pada kita. Akan tetapi karena kita tidak merasakannya? Kenapa kita tidak merasa berbahagia walaupun tidak ada apa-apa yang mengganggu?"

"Itulah kelemahan kita manusia. Dalam keadaan sehat tanpa ada gangguan penyakit, jarang ada orang yang menyadari kesehatannya dan kalau dia terganggu penyakit, barulah dia membayangkan betapa senang dan indahnya kalau dia sehat. Demikian pula dengan kebahagiaan. Kalau ada sesuatu yang terjadi, yang membuat dia merana dan merasa tidak berbahagia, dia menjadi haus akan kebahagiaan! Selama hati akal pikiran masih bergelimang nafsu, kita akan selalu haus akan sesuatu yang lebih, dan tidak pernah merasa puas dengan yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang ada. Pengejaran akan sesuatu yang lebih, yang dianggap akan membahagiakan itulah penghancur kebahagiaan itu sendiri."

"Aih, kalau begitu, biang keladinya adalah nafsu, Kek. Pantas saja para cerdik pandai bertapa dan mengasingkan diri untuk mengendalikan nafsu, untuk memerangi nafsunya sendiri."

"Siapa yang berhasil? Bagaimana mungkin hati akal pikiran yang bergelimang nafsu ini dapat melakukan usaha untuk membersihkan diri sendiri dari gelimangan nafsu? Kita hanya akan terseret dalam lingkaran setan, orang muda. Hasil usaha dari nafsu tentu saja juga masih mementingkan diri sendiri, berpamrih, dan bahkan akan memperkuat cengkeraman nafsu. Kita sebagai manusia hidup tak mungkin melenyapkan nafsu. Kita membutuhkan nafsu untuk hidup. Tanpa adanya nafsu, kita tidak akan menjadi manusia."

"Wah, wah! Kalau begini bagaimana, Kek? Nafsu mencelakakan kita, akan tetapi kita tidak dapat hidup tanpa nafsu! Lalu bagaimana?"

"Nafsu laksana api, orang muda. Kalau menjadi pelayan, dia akan amat berguna, sebaliknya kalau menjadi majikan, dia akan berbahaya. Nafsu itu pelayan yang setia dan majikan yang kejam. Nafsu adalah alat, harus kita peralat, maka akan nampak kegunaannya. Akan tetapi, sekali dia yang memperalat kita, akan binasalah kita. Jadi, nafsu harus kita pertahankan sebagai pelayan, jangan sampai menjadi majikan."

"Tapi, bukankah usaha kita adalah usaha hati akal pikiran yang bergelimang nafsu? Lain siapa yang akan mampu mempertahankan agar nafsu menjadi alat atau pelayan?"

"Kita, memang lemah. Biarpun kita waspada dan menyadari tetap saja kita tidak akan kuat melawan desakan nafsu kita sendiri. Oleh karena itu, satu-satunya kekuasaan yang akan mampu mengembalikan nafsu kepada tugasnya semula, hanyalah Sang Maha Pencipta! Hanya kekuasaan Tuhan yang mampu, karena kekuasaan Tuhan pula yang menciptakan nafsu sebagai alat manusia hidup di dunia."

"Tuhankah yang menciptakan nafsu yang membuat manusia menyeleweng dan menjadi jahat?"

Kakek itu tertawa.
"Ha-ha-ho-ho, kau kira siapa ? Segala yang ada di alam mayapada ini, yang nampak maupun yang tidak nampak, dari yang terkecil sampai terbesar, dari yang terlembut sampai yang terkasar, segala ini adalah ciptaan Tuhan Yang Maha Kuasa!"

"Tapi mengapa Tuhan menciptakan yang buruk dan jahat?"

"Hushh, kita yang mengatakan buruk dan jahat karena kita tidak tahu, dan pengetahuan kita hanya pengetahuan si-aku yang selalu ingin senang dan ingin enak. Bagaimana kita mengetahui atau mengerti akan kehendak Tuhan?"

"Lalu bagaimana harus kita lakukan agar kekuasaan Tuhan mengendalikan nafsu kita dan mengembalikannya kepada tugasnya yang benar?"

"Kita justeru tidak melakukan apa-apa! Kalau kita melakukan apa-apa, berarti kita tidak pasrah kepada Tuhan! Kita menyerah saja, dengan penuh kesabaran, keikhlasan dan ketawakalan, dengan iman. Kalau sudah begitu, kalau kita sudah menyerah, dengan sebulatnya, maka segala yang menimpa diri kita, kita terima sebagai sesuatu yang dikehendaki Tuhan, dan tidak akan ada keluhan keluar dari batin kita. Yang ada hanya penyerahan mutlak dan puja-puji bagi Tuhan Maha Kasih, puji syukur yang tiada berkeputusan. Kalau sudah begitu, kita tidak butuh kebahagiaan lagi. Bimbingan Tuhan itulah kebahagiaan, cinta kasih Tuhan itulah kebahagiaan, cahaya Tuhan itulah kebahagiaan, jauh di atas senang susah, tak dapat dinilai, tak dapat digambarkan."

Pada saat itu, terdengar teriakan dari bawah puncak. Akan tetapi karena Hay Hay masih penasaran mendengar ucapan terakhir tadi, dia mengejar dengan pertanyaan.

"Kakek yang baik, kalau kita hanya pasrah saja, tidak melakukan usaha apapun, benarkah itu?"

"Ho-bo-ho, itu pemalas namanya. Dan orang seperti itu berdosa besar, hendak memperalat kekuasaan Tuhan! Tentu saja tidak. Kita manusia ini hidup, bergerak, serba sempurna dan lengkap dengan jasmani, hati dan akal pikiran. Kita harus berusaha, berikhtiar sekuat tenaga. Namun, semua usaha kita itu berlandaskan penyerahan kepada kekuasaan Tuhan! Jelaskan?"

"Hei, manusia jahat penyebab kesengsaraan kami, hendak lari kemana engkau?" bentakan ini terdengar dari bawah puncak dan tak lama kemudian orangnyapun muncul.

Ketika Hay Hay melihat orang itu dia terbelalak kaget dan heran. Yang muncul itu adalah laki-laki sebaya dia yang cebol, bermuka hitam, matanya sipit, hidung besar dan bibir tebal, orang muda buruk rupa yang pernah dijumpainya, suami wanita yang cantik manis dan lincah itu! Tentu saja dia merasa heran mengapa laki-laki itu mendaki puncak dengan sikap marah-marah dan dengan gerakan gesit laki-laki itu meloncat dan berdiri tak jauh dari situ dengan tangan kiri bertolak pinggang dan tangan kanan memegang busur dan beberapa batang anak panah! Kini dia mengamangkan busur dan anak panah itu kepadanya.

"Heh, pengecut mata keranjang! Bersiaplah engkau untuk mampus! Aku sengaja datang untuk mencabut nyawamu dengan anak panah ini, agar engkau tidak lagi meracuni hati wanita!"

Hay Hay menoleh ke kanan kiri dan belakang. Tidak ada orang lain disitu kecuali dia dan kakek tua renta tadi yang masih duduk diatas batu. Tidak mungkin kakek itu dimaki perayu mata keranjang yang meracuni hati wanita! Jadi, dialah yang dimaki! Makian mata keranjang bagi dia tidak menjadi soal. Dia sudah terbiasa dengan itu, bahkan dia dijuluki Pendekar Mata Keranjang oleh banyak tokoh persilatan.

Akan tetapi, sekali ini dia penasaran. Dia tidak merasa mengganggu dan merayu wanita, kenapa si buruk rupa ini datang-datang memakinya ? Ketika dia bertemu dengan isteri si buruk rupa itu, diapun tidak merayunya walaupun dia sempat bercakap-cakap sejenak.

"Heii, saudara yang baik. Siapakah yang engkau maki-maki itu?" tanya Hay Hay sambil melangkah maju.

"Siapa lagi kalau bukan engkau? Masih pura-pura bertanya lagi?"

"Ehh? Apa salahku?"

"Manusia ceriwis, mata keranjang! Engkau telah menggoda isteriku, merayu isteriku dan meracuni hatinya!"

"Bohong! Aku tidak melakukan hal itu. Kami hanya bercakap-cakap biasa saja!" bantah Hay Hay.

Dalam keadaan biasa, tuduhan seperti itu tentu hanya akan dihadapi dengan sikap main-main. Akan tetapi, sekarang disitu terdapat kakek tua renta yang baru saja memberi penerangan pada batinnya. Dia merasa malu mendengar tuduhan itu yang dilakukan di depan kakek tua renta yang arif bijaksana itu!

"Engkau masih hendak membantah! Begitu isteriku bertemu denganmu, ia telah sama sekali berubah! Ia tidak lagi mau melayaniku dengan manis budi, ia selalu cemberut, marah-marah dan setiap kali membicarakan engkau matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri-seri dan ia mengatakan bahwa engkau amat menarik hatinya, menimbulkan kegembiraan hatinya dan sebagainya lagi. Huh, tentu engkau telah mempergunakan ilmu hitam guna-guna untuk merayu dan menjatuhkan hatinya."

“Tidak sama sekali! Bohong itu ….!” kata Hay Hay, akan tetapi laki-laki pendek muka hitam yang amat cemburu itu, sudah memasang tiga batang anak panah pada busurnya.

"Engkau mampuslah!" bentak laki-laki itu dan sekali menarik busur dan melepaskan tali busurnya, tiga batang anak panah itu meluncur dengan amat cepatnya ke arah tubuh Hay Hay.

Hay Hay tahu bahwa laki-laki itu memiliki tenaga besar. Pernah dia mendemonstrasikan tenaganya ketika mereka saling bertemu. Laki-laki itu menekankan jari-jari tangannya, pada batu dan telapak tangannya meninggalkan bekas sedalam dua sentimeter pada batu itu! Maka, kini serangan anak panah itu tentu saja mengandung tenaga yang hebat, melihat cepatnya tiga batang anak panah itu menyambar seperti kilat cepatnya.

Namun, tidak terlalu cepat bagi Hay Hay! Dengan mudah saja, Hay Hay meloncat ke kiri dan bahkan masih sempat menendang ke arah anak panah yang menyambar tadi sehingga dua batang diantaranya terlempar ke atas.

"Auhhhh .....!" terdengar keluhan lirih dan ketika Hay Hay menengok matanya terbelalak.

Ternyata, tanpa diketahuinya, kakek tua renta yang tadi duduk di atas batu, telah turun dari batu dan agaknya melangkah menghampirinya. Oleh karena itu, ketika sebatang diantara anak panah yang menyambarnya tadi luput, anak panah itu meluncur terus dan tahu-tahu kini menancap dada kakek tua renta itu! Kakek itu mengeluh lirih dan terjengkang, roboh telentang di atas tanah!

Bukan hanya Hay Hay yang terbelalak dan terkejut. Juga laki-laki pendek muka buruk yang melepas anak panah, terbelalak dan berseru,

"Ya Tuhan .....!" dan dia sudah berlari menghampiri kakek itu dan berlutut di dekatnya.

Muka yang hitam itu nampak kelabu, tanda bahwa dia pucat sekali melihat betapa anak panahnya menembusi dada sampai ke punggung!

"Duhai…… kakek..... ah, aku tidak sengaja……. aih, kenapa begini jadinya? Kakek……. aku menyesal sekali, aku mohon ampun, Kek……."

Laki-laki muka buruk yang tadi marah-marah, kini menangis dan merintih minta ampun kepada kakek itu. Hay Hay menghampiri dan sekali lihat saja diapun tahu bahwa tidak mungkin sama sekali mengobati kakek itu yang dadanya sudah tertembus anak panah! Diapun berlutut dengan prihatin sekali.

Kakek itu tersenyum! Senyum yang ikhlas dan tenang. Dengan matanya yang masih bersinar, dia memandang kepada laki-laki muka buruk itu dan berkata lemah.

"Semoga Tuhan mengampunimu, Nak. Aku…. aku maafkan engkau……"

Hay Hay merasa terharu bukan main. Selama hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan orang seperti kakek ini. Begitu lemah lembut, begitu arif bijaksana, begitu sabar dan begitu pasrah kepada kekuasaan Tuhan!

“Kek…..” panggilnya lirih sambil mendekat. Kakek itu menoleh kepadanya.

"Kau, orang muda. Kau….. tolong ambilkan segulung tulisan yang berada disaku jubahku sebelah kiri……"

Dia bergerak lemah. Hay Hay segera memenuhi permintaannya dan benar saja, disaku jubah sebelah kiri dia menemukan segulung kertas berisi tulisan huruf-huruf yang indah halus. Ujung gulungan kertas itu sudah bernoda darah.

"Orang muda, maukah engkau memenuhi permintaanku yang terakhir…..?” kata pula kakek itu.

Si muka buruk cepat berkata,
"Kakek, serahkan tugas itu kepadaku. Demi Tuhan, aku akan memenuhi pesanmu untuk menebus dosaku kepadamu, Kek!"

Kakek itu menoleh kepadanya dan tersenyum.
"Asal engkau tidak lagi pencemburu dan pemarah, dosamu akan tertebus." Lalu dia memandang lagi kepada Hay Hay. "Kau simpanlah gulungan kertas ini, dan kelak……. kalau ada kesempatan atau kalau kebetulan engkau lewat di Nan-king kau berikan kertas-kertas ini kepada seorang diantara dua menteri bijaksana, yaitu Menteri Yang atau Menterj Cang……” suara kakek itu melemah, lehemya terkulai dan diapun menghembuskan napas terakhir.

"Kakek……!" Pemuda pendek itu menangis menggerung-gerung seperti anak kecil. "Ampuni aku, Kek……! Aku tidak sengaja membunuhmu……, ampuni aku…….”

Hay Hay bangkit berdiri dan menyimpan gulungan kertas ke dalam saku bajunya sebelah dalam. Kemudian dia memandang kepada laki-laki yang masih berlutut dan menangisi kematian kakek itu.

"Hemm, apa gunanya kau tangisi lagi? Menangispun tidak akan menghidupkannya kembali, juga tidak akan dapat mencuci darah dari anak panahmu itu!"

Mendengar ini, laki-laki itu makin mengguguk. Tiba-tiba dia meloncat dan menghadapi Hay Hay dengan air mata masih berlinang. Telunjuk kirinya menudmg ke arah muka Hay Hay.

"Kau……! Kaulah biang keladinya sehingga aku membunuh kakek yang sama sekali tidak kukenal dan tidak bersalah ini! Engkau yang mula-mula meracuni isteriku, membuat aku marah. Kemudian, ketika aku menyerangmu, kembali engkaulah yang mengelak sehingga anak panahku mengenai kakek ini!".....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.


No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12