Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 15
Kemanakah
perginya Hay Hay dan Sarah? Ketika Hay Hay berhasil menarik tangan Sarah
menyelinap dalam kegelapan, diapun bingung ke mana harus melarikan diri. Malam
itu gelap sekali dan tidak mungkin mempergunakan ilmu berlari cepat di tempat
penuh batu dan gelap itu, apalagi dia tidak mengenal daerah itu, ditambah dia
harus melindungi wanita kulit putih.
"Sobat,
kemana kita dapat pergi....!??"
Sarah juga
merasa khawatir karena ia melihat guha banyak orang berlarian ke arah guha tadi
dan terdengar mereka itu ribut-ribut. Kepergiannya telah diketahui orang dan
tentu banyak orang akan mencarinya. Bagaimana penolongnya ini akan mampu
menghadapi puluhan orang seperti itu?
"Sttt,
mari nona!" kata Hay hay dan diapun sudah tahu kemana dia harus membawa
wanita itu bersembunyi. Guha tempat berkabung, dimana tiga buah peti itu
berjajar!
Para penjaga
di guha itupun sudah meninggalkan tempat penjagaan mereka karena merekapun
mendengar ribut-ribut itu dan mereka berlarian menuju ke guha tempat tawanan.
Yang tinggal
di guha tempat berkabung tinggal keluarga tiga orang anggauta perampok yang
tewas oleh peluru pestol Kapten Gansalo, terdiri dari isteri-isteri mereka dan
anak-anak mereka. Tempat itu diterangi tiga buah lampu gantung dan lilin-lilin
bernyala di atas meja sembahyang.
Tiba-tiba
tiga buah lentera gantung itu padam! Dan berturut-turut, semua lilin di atas
meja sembayang juga padam! Suasana menjadi gelap gulita dan sibuklah mereka
yang berkabung. Ada yang cepat mencoba untuk menyalakan lilin dan lampu, ada
pula yang menangis dan mereka semua merasa ketakutan karena padamnya semua
lampu dan lilin merupakan hal yang aneh dan juga menakutkan, apalagi disitu
terdapat tiga buah peti mati berisi mayat.
Sebagian
besar orang menghubungkan kematian dengan iblis dan setan, menimbulkan perasaan
ngeri, seram dan takut! Rasa takut seialu timbul karena tidak mengerti, tidak
mengenal apa dan bagaimana kematian itu, juga kita tidak mengenal dan tidak
tahu apa yang disebut setan dan iblis itu. Oleh karena keduanya merupakan hal
yang asing dan tidak kita kenal, maka muncullah dugaan yang macam-macam,
khayalan yang aneh-aneh dan timbullah rasa takut.
Membayangkan
orang mati hidup kembaIi, kita merasa takut dan menghubungkannya dengan setan
dan iblis, coba kita membayangkan seekor semut yang sudah mati hidup kembali,
tidak ada diantara kita yang akan merasa takut, karena semut tidak merupakan
ancaman bagi keselamatan kita. Berbeda dengan manusia mati yang hidup kembali,
kita membayangkan betapa mayat hidup itu menjadi setan dan akan mencekik kita!
Tak
seorangpun diantara para keluarga si mati yang berkabung disitu tahu betapa
dalam kegelapan tadi ada dua sosok bayangan menyelinap masuk ke dalam guha,
terus ke dalam dan lenyap dalam kegelapan guha sebelah dalam dimana terdapat
empat buah ruangan kamar yang dipergunakan untuk menyimpan senjata alat
berlatih silat di ruangan besar guha itu. Juga tidak ada yang tahu bahwa yang
memadamkan lentera dan lilin tadi adalah Hay Hay.
Setelah
lentera gantung dan semua lilin sudah dinyalakan kembali, para anggauta
keluarga itu sibuk menyembahyangi tiga peti mati karena mereka takut
kalau-kalau arwah tiga orang itu yang tadi penasaran dan "mengamuk",
memadamkan semua penerangan.
Asap hio
yang mereka pergunakan untuk sembahyang memenuhi tempat itu, membentuk tirai
asap putih yang hanya perlahan-lahan dan sedikit demi sedikit keluar dari guha.
Tiba-tiba
semua orang, ada belasan orang keluarga tiga orang yang mati, terkejut dan
cepat mereka menjatuhkan diri berlutut ketika terdengar suara di belakang tiga
buah peti mati itu. Suara itu besar dan dalam, bergema dan terdengar oleh
mereka seperti bukan suara manusia!
"Kalian
semua keluarlah..... , keluarlah.... kami ingin tenang.... keluarlah atau kami
akan mengajak kalian mati....!!"
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan takutnya semua orang yang berada disitu. Biarpun
tiga buah peti mati itu berisi jenazah kepala keluarga mereka, suami dan ayah
mereka yang kematiannya mereka tangisi dan mereka kabungi, akan tetapi begitu
ada suara dari si mati, merekapun menjadi ketakutan!
Memang aneh.
Keluarga yang ditinggal akan menangisi kematian seseorang yang dicinta, berduka
dan kecewa karena orang yang dikasihi meninggalkan mereka, akan tetapi begitu
yang ditangisi itu, yang dianggap sudah mati, dapat bersuara atau hidup
kembali, mereka yang berkabung itu akan lari cerai-berai ketakutan! Sambil
menjerit-jerit, mereka yang berkabung itu berhamburan keluar dari dalam ruangan
guha yang besar itu.
Sarah yang
menyaksikan itu semua, tidak menahan suara tawanya. Baru setelah Hay Hay
memberi isyarat, ia membungkam mulut sendiri dengan tangan, agar suara tidak
keluar dari mulutnya. Gadis ini merasa geli bukan main melihat betapa Hay Hay
mempermainkan mereka yang berada disitu sehingga mereka itu lari tunggang
langgang, jatuh bangun dan mungkin juga ada yang sampai terkencing-kencing.
Setelah
suara tawanya mereda, Sarah menjatuhkan diri duduk di dalam sebuah di antara
kamar-kamar itu, bersandar kepada dinding batu. Lantai kamar itu kering dan
bersih, dan di sudut terdapat rak senjata. Hay Hay juga duduk bersandar
dinding, berhadapan dengan gadis itu, dalam jarak tiga meter.
Mereka
saling pandang dan diam-diam keduanya saling mengagumi. Kini Hay Hay menanggalkan
capingnya yang tergantung di punggung. Baru sekarang Sarah dapat melihat wajah
penolongnya dengan jelas. Wajah yang cerah, tampan dan terhias senyum nakal.
Hay Hay juga memandang kagum. Kiranya gadis ini nampak masih muda sekali,
bahkan wajahnya masih kekanak-kanakan. Akan tetapi kalau dia teringat betapa
tadi di dalam guha, gadis bule ini berani menentang seorang pemimpin perampok
ganas, melawan mati-matian, bahkan ketika sudah bebas dari totokan, mampu
menendang remuk hidung kepala perampok jangkung, sungguh dia merasa kagum
sekali. Gadis ini benar-benar mempunyai watak seorang pendekar wanita!
"Kenapa
engkau tertawa, Nona? Jangan keras-keras kalau tertawa, nanti terdengar mereka,
kita bisa celaka," kata Hay Hay memancing bicara.
Dara itu
tersenyum nakal dan jantung Hay Hay berdebar. Biarpun penerangan yang memasuki
kamar itu tidak terlalu kuat, namun dia dapat melihat wajah itu dengan jelas.
Ketika gadis itu tersenyum, nampak deretan gigi putih yang rapi dan amat kuat,
dan senyum itu mengandung madu, begitu manisnya. Ada lesung pipi yang amat
jelas dan lekuk dagu yang mempesonakan.
"Aku
tidak takut karena disini ada engkau." kata Sarah. "Aku tahu siapa
engkau."
Hay Hay
terbelalak, memandang wajah cantik itu penuh selidik. Benarkah dara asing ini
mengetahui siapa dia?
"Ehh?
Engkau tahu siapa aku? Nah, katakan siapa aku."
"Engkau
tentu seorang pendekar, ahli silat dan juga engkau seorang tukang sulap."
"Tukang
sulap? Apa maksudmu?"
"Engkau
tadi membuat si jahanam jangkung itu menari-nari dengan kedua pedangnya seperti
orang gila, kemudian engkau dapat membawa aku keluar dari guha itu tanpa ada
yang menghalangi, dan disini, engkau membuat semua orang tunggang langgang
setelah dengan aneh engkau memadamkan semua penerangan dan lilin. Sobat, engkau
telah menolongku, sungguh aku berhutang budi besar kepadamu. Siapakah
namamu?"
"Sebut
aku Hay Hay, dan engkau siapa, Nona? Bagaimana pula engkau sampai tertawan oleh
para perampok itu?"
"Panjang
ceritanya, akan tetapi apakah kita hanya akan membuang waktu dengan
bercakap-cakap di tempat ini? Bukankah kita harus cepat-cepat meloloskan diri
dari sini, Hay Hay?"
Hay Hay
tersenyum. Dia semakin kagum dan suka kepada dara kulit putih ini. Demikian
bebas terbuka dan ramah sehingga dengan akrabnya menyebut namanya begitu saja
tanpa canggung-canggung, seolah-olah mereka telah lama sekali menjadi sahabat
karib.
"Kita
tidak mungkin pergi sekarang. Di luar gelap dan aku tidak mengenal jalan. Juga
mereka akan menghadang. Jumlah mereka banyak. Besok aku akan mencari akal dan
jangan khawatir, aku akan menyelamatkanmu bebas dari tempat ini."
Sarah
menarik napas lega.
"Aku
percaya pdamu, Hay Hay. Nah, namaku Sarah lengkapnya Sarah Armando. Ayahku
adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow."
“Ahh…….!”
"Engkau
mengenal ayahku?"
"Tidak,
aku bukan orang Cang-cow, aku hanya terkejut dan heran mendengar engkau puteri
seorang komandan. Lalu bagaimana engkau dapat tertawan oleh para penjahat
itu?"
"Aku
marah kepada ayah……" kata Sarah dengan mulut cemberut.
Bibirnya
yang merah segar itu meruncing dan nampak lucu bagi Hay Hay sehingga dia
tertawa. Dara ini seperti seorag anak kecil yang merajuk saja.
"Hemm,
Sarah, engkau marah kepada ayahmu kenapa lalu tertawan penjahat?"
"Ayah
sudah berjanji untuk mengajak aku berkuda pagi tadi, akan tetapi dia
berhalangan karena harus menghadiri pelaksanaan hukuman mati terhadap
pemberontak. Ayah lalu menyuruh Kapten Gonsalo mewakilinya untuk mengantar aku
berkuda di perbukitan. Kapten Gonsalo adalah wakil atau pembantu utama ayah.
Hatiku jengkel sekali."
"Aih,
kenapa begitu? Bukankah engkau sudah dapat pergi berkuda diantar oleh Kapten
Gonsalo itu?"
"Ya,
akan tetapi aku tidak suka kepada Kapten Gonsalo."
"Hemm,
lalu apa yang terjadi?"
"Kami
berkuda di perbukitan dan karena masih marah aku lalu membalapkan kuda ke
perbukitan yang penuh hutan. Kapten Gonsalo hendak melarang, akan tetapi aku
nekat dan diapun mengejarku. Setiba kami di tengah hutan, tiba-tiba muncul
banyak perampok. Kapten Gonsalo menyerang mereka dengan pistolnya dan dia
merobohkan tujuh orang perampok. Peluru pistolnya habis dan dia lalu mengamuk
dengan pedangnya, dikeroyok banyak perampok."
Hay Hay
mengangguk-angguk.
"Hebat
juga Kapten Gonsalo itu, Sarah."
"Dia
memang seorang jagoan. Jago tembak, jago bermain pedang dan jago tinju. Kapten
muda berusia tiga puluhan tahun itu di benteng kami tidak ada yang berani
melawannya."
"Hemm,
dia gagah. Sungguh aneh engkau tidak menyukainya. Apakah dia kasar dan kurang
ajar?"
"Dia
tampan dan gagah, keras akan tetapi terhadap aku dia amat sopan. Adalah pandang
matanya yang membuat aku tidak suka padanya."
"Pandang
matanya?"
"Matanya
itu kalau memandang kepadaku mengingatkan aku akan mata seekor srigala atau
harimau kelaparan!"
Mendengar
ini Hay Hay tertawa akan tetapi menahan suara tawanya agar jangan bergelak. Dia
mengerti sekarang. Kiranya seorang kapten muda yang tampan dan gagah perkasa
jatuh cinta kepada dara jelita ini, akan tetapi agaknya sang dara ini tidak
membalas cintanya itu. Payah kalau cinta bertepuk tangan sebelah!
"Lalu
bagaimana, Sarah? Teruskan ceritamu."
"Kapten
Gonsalo mengarnuk, akan tetapi aku tidak tahu apa yang terjadi selanjutnya
dengan dia. Ketika aku bersiap-siap untuk membantunya dan mencabut pistolku,
tiba-tiba saja ada orang menyerangku dari belakang dan tahu-tahu aku sudah
tidak mampu menggerakkan kaki tanganku yang menjadi lemas dan lumpuh. Aku
ditawan seorang laki-laki tinggi kurus dan aku dilarikan olehnya di atas kuda,
dibawa ke sini dan dihadapkan pimpinan penjahat. Lalu aku ditawan di dalam guha
itu sampai muncul si jahanam busuk jangkung itu. Oohh, betapa inginku
menembakkan pistolku sampai habis peluruku ke dalam kepalanya!"
"Jadi,
mayat-mayat dalam peti mati ini adalah korban peluru senjata api Kapten
Gonsalo? Dan bagaimana dengan dia?"
"Benar,
tujuh orang roboh oleh. tembakannya dan dia memang kuat, mungkin masih ada
beberapa orang lagi roboh oleh pedang dan tinjunya. Mungkin tiga orang di
antara mereka tewas. Aku sendiri tidak tahu bagaimana dengan nasib Kapten
Gonsalo. Akan tetapi dia seorang yang kuat dan cerdik, kurasa tidak mudah bagi
penjahat-penjahat itu untuk menangkapnya."
Hay Hay
mengangguk-angguk dan diapun berpikir dengan keras. Kebetulan sekali dia
bertemu puteri komandan benteng Portugis, bahkan menyelamatkannya. Hal ini
membuka kesempatan baginya untuk menyelidiki keadaan orang-orang Portugis yang
di dalam surat laporan Yu Siucia disebut sebagai sekutu para pejabat di
Cang-cow yang hendak melakukan pemberontakan, di samping para bajak laut Jepang
dan orang-orang Pek-lian-kauw. Kalau melihat dara ini, dan mendengar ceritanya
tentang Kapten Gonsalo, agaknya bangsa Portugis ini adalah bangsa yang gagah
perkasa!
"Heii,
kenapa engkau melamun saja, Hay hay? Sekarang tiba giliranmu menceritakan
keadaan dirimu, siapa engkau sebenarnya dan bagaimana engkau dapat datang
kesini dan menyelamatkan aku."
Hay Hay sadar
dari lamunannya. Dia harus mempergunakan kesempatan ini untuk mendekati Sarah
dan memancing keterangan apa saja yang dapat dia peroleh dari puteri komandan
ini.
"Aku?
Sudah kukatakan, namaku Hay Hay dan adalah seorang perantau yang sedang
berusaha mencari pekerjaan yang layak di Cang-cow. Ketika tadi aku lewat di
bukit sana, aku melihat engkau dilarikan si tinggi kurus ke bukit berbatu ini.
Aku merasa curiga dan aku paling tidak suka melihat wanita diperhina, maka aku
lalu membayanginya dan berhasil menyelundup ke tempat ini. Ketika aku
mendapatkan kesempatan, aku memasuki guha dimana engkau ditawan dan kebetulan
saja aku dapat menghindarkan engkau dari penghinaan yang akan dilakukan si
jangkung itu."
"Jahanam
busuk dia!" kata ,Sarah sambil mengepal tinju. "Andaikata engkau
tidak muncul, Hay Hay, sudah pasti aku akan menjadi korban kebiadabannya, dan
aku akan diperkosanya. Dan sisa hidupku akan kupergunakan untuk membalas dendam
kepadanya, entah dengan cara bagaimanapun juga!”
Hay Hay
bergidik. Dara muda yang jelita ini memiliki kekerasan hati yang luar biasa.
"Sarah,
kukira, para pemimpin perampok menawanmu dengan maksud untuk menjadikan engkau
sebagai sandera dan akan minta uang tebusan yang besar jumlahnya. Hanya si
jangkung tadi sajalah yang hendak berbuat tidak senonoh dan kukira dia
melakukannya diluar tahu para rekannya, yaitu empat orang pimpinan yang lain.
Kulihat engkau sama sekali tidak takut menghadapi orang-orang buas itu."
"Hemm,
kenapa takut? Baik Kapten Gonsalo sudah tewas atau mampu meloloskan diri aku
yakin bahwa ayah tentu akan memimpin pasukan untuk mencariku, dan kalau pasukan
ayah dapat tiba di tempat ini, tentu seluruh perampok itu akan dibasmi
habis!"
"Sarah,
sungguh aku merasa kagum sekali kepadamu." Hay Hay mengamati wajah yang
jelita itu.
Sarah balas
memandang dan alisnya berkerut, pandang matanya berubah heran dan menyelidik.
"Hay
Hay, engkau seorang diri berani menyusup ke tempat berbahaya ini dan
menolongku. Sepatutnya akulah yang kagum kepadamu atas keberanian, kegagahan
dan kemuliaan hatimu. Bukan engkau yang mengagumiku. Kenapa engkau mengatakan
kagum sekali kepadaku?"
Hay Hay
tersenyum. Dia tidak sekedar merayu. Dia memang kagum kepada gadis kulit putih
ini, kagum akan kecantikannya, kagum akan keberaniannya.
"Kenapa?
Sikapmu begini gagah berani, sedikitpun engkau tidak penakut dan tidak cengeng
seperti kebanyakan wanita. Dan engkau begini cantik jelita dan manis. Belum
pernah selama hidupku aku bertemu dengan seorang gadis sejelita engkau, Sarah.
Rambut di kepalamu seperti mahkota emas, seolah-olah mengeluarkan cahaya. Dan
wajahmu amat manis, terutama sekali sepasang matamu. Bagaikan dua buah bintang
kejora, dan warnanya demikian penuh rahasia, kebiruan seperti lautan yang
dalam. Bentuk dahimu, pipimu, hidungmu, dagumu dan terutama bibirmu! Bukan
main, seperti engkau inilah kiranya wajah bidadari dari dongeng. Dan bentuk
tubuhmu! Engkau wanita yang sempurna kecantikanmu. Sarah, dan aku kagum bukan
main."
Kerut di
alis itu semakin mendalam dan kini sepasang mata itu menyinarkan kemarahan,
"Hay
Hay, kelirukah penilaianku terhadap dirimu? Tadi aku menilaimu sebagai seorang
pendekar, seorang yang gagah perkasa dan berbudi mulia! Apakah engkau ternyata
hanya seorang laki-laki mata keranjang dan kurang ajar!"
"Hemmm,
kenapa engkau menganggap aku mata keranjang dan kurang ajar, Sarah?"
"Engkau
mencoba untuk merayu aku, ya? Hay Hay, biarpun kuakui bahwa engkau telah
menolongku, akan tetapi jangan kira bahwa setelah menolongku, engkau dapat
berbuat sesuka hatimu, dapat merayu dan menggodaku!"
"Wah,
sungguh sayang, Sarah. Pujianku kepadamu tetap. Engkau cantik jelita dan gagah
perkasa, akan tetapi sekarang setelah engkau bicara, sayang sekali harus
kukatakan bahwa engkau berprasangka buruk dan karenanya bodoh sekali!"
Bagaimanapun
juga, Sarah tetap seorang wanita. Tidak ada wanita yang tidak haus akan pujian.
Baik pujian itu sejujurnya ataupun hanya rayuan, tetap saja segala macam bentuk
pujian membesarkan hati seorang wanita, dan mengangkat harga dirinya. Biarpun
tadi marah-marah, tetap saja di sudut hatinya, Sarah merasa senang dan bangga
mendengar pujian pria yang dikaguminya, yang telah menyelamatkannya dari
ancaman bahaya yang amat hebat. Kini, mendengar pemuda itu mengatakan ia
berprasangka buruk dan bodoh, tentu saja ia menjadi kecewa.
"Hay
Hay……..!"
“Ssttt…….,
jangan berteriak…….”
Sarah
teringat,
"Hay
Hay," katanya, kini lirih. "Engkau sombong! Engkau mengatakan aku
berprasangka buruk dan bodoh? Betapa sombongnya engkau!"
Hay Hay
tersenyum.
"Nah,
itulah bukti kebodohanmu. Ketika aku memujimu, engkau marah dan menganggap aku
merayu dan menggoda, mata keranjang. Ketika aku mengatakan engkau berprasangka
buruk dan bodoh engkau mengatakan aku sombong."
"Tentu
saja! Engkau seorang laki-laki, dan baru saja menolongku. Sekarang engkau
memuji-muji kecantikanku dengan kata-kata yang muluk, bukankah itu rayuan
gombal namanya?"
"Sarah,
rayuan hanya dikeluarkan oleh orang yang ingin menjilat dan menyenangkan ia
yang dirayunya, dengan pamrih tertentu. Akan tetapi aku sama sekali tidak
merayumu. Kau lihat, aku mempunyai sepasang mata yang sehat dan tidak cacat,
bukan?"
Sarah
memandang heran.
"Tentu
saja, biar bentuk matamu agak sipit, namun sinarnya mencorong seperti mata naga."
"Eh,
engkau sudah melihat mata naga?"
"Dalam
dongeng yang kubacanya. Nah, ada apa dengan matamu?"
"Aku
mempunyai sepasang mata yang sehat. Aku melihat engkau dan pandang mataku
melihat betapa wajahmu cantik jelita. Aku mengatakannya dengan terus terang,
karena memang aku menyukai keindahan. Aku menggambarkan kecantikanmu seperti
kalau aku melihat setangkai kembang yang indah dan mengaguminya. Apakah ini
yang kau namakan aku mata keranjang dan merayu? Aku hanya mengemukakan pendapat
secara jujur. Engkau memang cantik jelita dalam pandanganku. Apakah aku harus
mengatakan bahwa engkau buruk? Apakah kejujuranku ini kau anggap sebagai rayuan
gombal?"
Kini pandang
mata gadis itu menjadi terbelalak. Agaknya ia bingung. Belum pernah ia
mendengar pendapat seorang pria seperti yang baru saja didengarnya.
"Engkau
ini…… aneh, Hay Hay! Benarkah pujianmu tadi bukan rayuan, melainkan pernyataan
yang jujur? Apakah di balik pujian itu tidak ada suatu pamrih, suatu dorongan
berahi? Apakah engkau tidak ingin menyentuhku, memeluk dan menciumku?"
Tiba-tiba
Hay Hay merasa betapa mukanya panas dan dia tahu bahwa tentu kulit mukanya
berubah merah. Untung bahwa sinar penerangan yang memasuki kamar batu itupun
kemerahan sehingga perubahan warna pada wajahnya tidak akan nampak. Dia menjadi
salah tingkah mendengar pertanyaan-pertanyaan itu. Dia harus bersikap
sejujurnya. Gadis ini berbeda dengan gadis-gadis bangsanya. Demikian terbuka
dan agaknya tidak pantang bicara tentang berahi. Dia harus menarik napas
panjang beberapa kali untuk mengumpulkan keberaniannya sebelum bicara.
"Kau
ingin aku jujur, bukan? Jangan marah kalau jawabanku yang jujur akan
menyinggung perasaan hatimu."
"Kalau
engkau tidak jujur dan membohongiku, barulah aku akan tersinggung, Hay
Hay."
"Baiklah.
Terus terang saja, kalau engkau bertanya kepadaku apakah aku tidak ingin
menyentuhmu, memeluk dan menciumi, jawabnya sama dengan kalau engkau bertanya
kepadaku apakah aku tidak ingin menyentuh, meraba dan mencium setangkai bunga
yang indah mengharum? Aku akan berbohong kalau aku mengatakan tidak, Sarah. Engkau
begini cantik jelita seperti setangkai bunga, akan tetapi hal itu tidak berarti
bahwa aku mempunyai niat tidak senonoh kepadamu. Aku menyayangi keindahan. Aku
akan menyentuh dan mencium setangkai bunga karena mengaguminya, akan tetapi aku
tidak akan memetiknya dan merusaknya. Engkau mengerti?"
Hay Hay
menduga bahwa gadis itu akan tersinggung dan marah. Akan tetapi, dara itu sama
sekali tidak marah, bahkan tersenyum manis sekali!
“Aku
mengerti, Hay Hay, dan aku semakin kagum kepadamu. Engkau jujur dan jantan.
Nah, kalau memang engkau ingin menyentuh, memeluk dan menciumku, kenapa tidak
kau lakukan itu?”
"Ehhh……!"
Hay Hay terbelalak mengamati wajah gadis itu. Mengejekkah gadis itu?
"Kenapa,
Hay Hay? Bukankah engkau ingin memeluk dan menciumku? Nah, aku akan girang
sekali kalau kau lakukan itu. Ataukah ucapanmu itu hanya basa-basi belaka dan
engkau tidak berani melakukan apa yang kau katakan?"
"Aku
takut engkau akan marah kalau kulakukan itu, Sarah."
"Kenapa
marah? Kalau memang engkau jujur, aku tidak akan marah bahkan aku akan merasa
bangga dan girang sekali. Atau engkau hanya pura-pura jujur saja?"
Bukan main!
Hay Hay tercengang. Belum pernah dia bertemu seorang gadis seperti ini. Kalau
dia tidak yakin akan kejujuran Sarah, tidak yakin akan kesucian hatinya dan
melihat betapa Sarah mati-matian mempertahankan kehormatannya, bahkan akan
membalas dendam secara mengerikan kalau sampai kehormatannya dicemarkan, tentu
dia akan mengira gadis ini murahan! Begitu saja menantang seorang laki-laki
untuk memeluk dan menciumnya untuk menimbulkan kekagumannya dan kejujurannya!
Namun, Hay Hay tahu bahwa menghadapi gadis seperti ini, diapun harus berani
membuktikan kejujurannya. Apalagi, bukti itu akan amat menyenangkan!
"Kalau
begitu, maafkan aku!" katanya dan diapun bangkit, menghampiri Sarah, duduk
di dekatnya dan diapun merangkul dengan perasaan sayang, lalu dengan lembut dia
mencium dahi yang kulitnya putih seperti susu itu.
Ciuman yang
hangat dan mesra. Dalam sentuhan antara hidung dan bibir Hay Hay dengan kulit
dahi yang halus dan harum aneh oleh bedak dan keringat itu terkandung perasaan
sayang dan kagum dari hati Hay Hay, mendatangkan kehangatan pada hidung dan
bibirnya. Kedua lengannya merangkul pundak dan leher dengan lembut namun kuat,
seolah dia hendak melindungi wanita asing yang membuatnya kagum ini.
Ketika tadi
Hay Hay mendekatkan mukanya, Sarah sudah memejamkan mata dan membuka bibir,
menanti ciuman hangat. Ia masih memejamkan mata ketika ciuman itu jatuh ke
dahinya dan iapun teringat kepada ayahnya yang biasanya juga mencium dahinya
dengan kasih sayang. la membiarkan dirinya dipeluk ketat, membiarkan pemuda
pribumi itu sejenak menempelkan bibir dan hidung didahinya, dengan pasrah.
Hay Hay
menarik kembali mukanya dan melepaskan rangkulannya dengan lembut, memandang
wajah ayu yang masih memejamkan mata. Dahulu, kalau dia mencium seorang gadis,
maka gadis itu akan tersipu malu, membuang muka ke samping atau menunduk.
Akan tetapi,
Sarah masih tetap tengadah, memejamkan mata dan mulutnya tersenyum dengan bibir
setengah terbuka. Sama sekali tidak nampak canggung atau malu-malu.
Perlahan-lahan Sarah membuka matanya memandang. Dua pasang mata bertemu
pandang, bertaut sejenak dan pesona itu pecah ketika Sarah tertawa! Tawanya
juga lepas walaupun suaranya hanya lirih karena ditahan. Deretan giginya yang
rapi dan putih hampir nampak semua ketika sepasang bibir yang merah itu
merekah.
Hay Hay
mengerutkan alisnya, wajahnya terasa panas sekali. Dia merasa diejek! Apanya
yang salah pada ciumannya? Kenapa Sarah menertawakannya? Tawa itu jelas tawa
yang mengandung arti, seperti orang melihat sesuatu yang amat lucu.
"Sstt,
jangan keras-keras tertawa, Sarah. Katakan, kenapa engkau menertawakan
aku?"
Sarah
berhenti tertawa dan memegang lengan Hay Hay.
"Tentu
saja aku tertawa karena engkau lucu. Engkau mengingatkan aku kepada
ayahku." katanya sambil menahan tawa dengan senyum lebar.
Kerut
diantara alis Hay Hay masih belum lenyap.
"Hemm,
sudah begitu tuakah aku? Kenapa aku mengingatkan engkau kepada ayahmu? Usiaku
baru dua puluh lima tahun!"
Mendengar
ucapan ini, Sarah kelihatan semakin geli dan kini kedua tangannya memegang
kedua tangan Hay Hay, matanya menatap dengan terbuka dan bibirnya menahan
senyum geli,
"Tentu
saja engkau mengingatkan aku kepada ayahku karena engkau menciumku seperti
kalau ayah menciumku. Dan engkau bukan ayahku. Ha, engkau sungguh sama sekali
tidak pandai mencium, Hay Hay."
Kini Hay Hay
yang tersipu. Gadis ini segalanya begitu terus terang, begitu polos dan sadar,
yang ada dalam hati dan pikirannya, ceplas-ceplos saja dikatakan melalui
mulutnya tanpa ada rikuh, tanpa khawatir menyinggung perasaan orang karena
memang sama sekali tidak ada niat untuk menyinggung. Biarpun tersipu, Hay Hay
tersenyum dan semakin kagum.
"Maafkan
aku, Sarah. Terus terang saja, aku memang bukan ahli dalam hal itu, mungkin
kurang pengalaman karena jarang memperoleh kesempatan. Nah, kau beritahu
padaku, bagaimana sih seharusnya mencium seorang gadis seperti engkau
ini?"
Tentu saja
Sarah merasa heran dan geli. Seorang pemuda yang usianya sudah dua puluh lima
tahun, bertanya kepadanya tentang cara mencium seorang gadis! Hal ini terdengar
janggal dan aneh baginya, tentu saja karena bangsanya sudah pandai berpacaran
sejak usia di bawah dua puluh tahun! Melihat cara Hay Hay tadi menciumnya, ia
percaya bahwa Hay Hay tidak berpura-pura.
"Ada
tiga cara mencium, Hay Hay. Pertama, ciuman sayang orang tua kepada anaknya,
yaitu ciuman di dahi seperti yang kau lakukan tadi. Kedua, ciuman sayang antara
saudara atau sahabat baik, di pipi kanan atau kiri atau keduanya. Dan ke tiga
adalah ciuman tanda cinta seseorang kepada kekasihnya yaitu ciuman bibir dengan
bibir. Nah, engkau sekarang sudah tahu. Perbaikilah ciumanmu yang salah
tadi."
Setelah
berkata demikian, gadis itu dengan sikap manja menengadahkan mukanya yang
cantik, dengan mata terpejam dan bibir sedikit terbuka.
Melihat
wajah yang dekat itu, hidung yang mancung dan bibir yang menggairahkan dan
menantang, ingin sekali Hay Hay mengecup bibir itu. Akan tetapi dia tidak
berani melakukannya. Biarpun aneh dan bebas, dia tahu bahwa Sarah adalah
seorang gadis yang terhormat, seorang gadis yang memiliki harga diri yang
tinggi. Dia tidak ingin menyinggung hati gadis yang mendatangkan perasaan kagum
di hatinya itu. Maka, diapun mendekatkan mukanya, kemudian mencium gadis itu
pada kedua pipinya, dengan hidung dan bibirnya. Ciuman yang mengandung perasaan
sayang dan kagum. Dan dia merasa betapa gadis itupun tanpa canggung-canggung
membalas ciumannya.
Setelah Hay
Hay melepaskan rangkulannya dan menatap wajah Sarah, mereka saling pandang dan
gadis itu tersenyum. Dan Hay Hay merasa betapa terjadi perubahan dalam suasana
dan hubungan mereka. Terasa akrab sekali dan seolah-olah mereka telah menjadi
sahabat baik sejak bertahun-tahun. Lenyaplah perasaan asing diantara mereka.
"Nah,
sekarang kita telah benar-benar menjadi sahabat baik, Hay Hay. Dan aku
berterima kasih sekali kepadamu, karena selain engkau telah menolongku, juga
ternyata engkau seorang gentlemen sejati."
"Gentlemen?
Apa itu?"
Sarah
tersenyum lebar.
"Gentlemen
itu kalau menggunakan bahasamu adalah seorang jantan, seorang ksatria, seorang
laki-laki sejati yang dapat dipercaya, yang gagah perkasa, lembut hati.
Pendeknya, seorang laki-laki pilihan, begitulah!"
"Dan
engkau seorang gadis yang cantik jelita, gagah perkasa, berbudi baik, dan terus
terang saja, juga begitu amat aneh. Belum pernah selama hidupku aku bertemu dan
bersahabat dengan gadis yang hebat seperti engkau ini."
Gadis itu
memandang dengan wajah berseri gembira.
"Dan
akupun tidak pernah mimpi akan dapat berkenalan dengan seorang pendekar seperti
engkau. Kukira tadinya bahwa semua orang pribumi……"
Sarah
menghentikan ucapannya dan menatap wajah pemuda itu dengan ragu. Bagaimanapun,
dara ini tidak ingin kalau ucapannya akan membuat sakit hati orang yang
dikagumi ini.
"Kau
kira semua orang pribumi bagaimana, Sarah? Lanjutkanlah dan jangan ragu. Akupun
mengagumi kejujuranmu."
"Baik
aku akan berterus terang saja. Karena terpengaruh oleh pendapat bangsaku,
tadinya aku mengira seperti juga mereka bahwa semua orang pribumi disini kasar,
sombong, kotor dan jahat, tidak dapat dipercaya. Setelah aku bertemu dan
berkenalan denganmu, sekarang aku melihat bahwa pendapat itulah yang
sombong!"
Hay Hay
tersenyum dan sikapnya membuat Sarah merasa lega karena pemuda itu tidak
tersinggung seperti yang dikhawatirkannya tadi.
"Sarah,
apakah engkau belum melihat kenyataan bahwa manusia ini, bangsa apapun juga,
dari manapun juga, hanyalah makhluk yang lemah dan banyak diantara manusia
terlalu sering melakukan kesalahan. Manusia hanya berbeda pada lahirnya saja,
berbeda warna kulit, mata, rambut dan kebudayaan karena pengaruh alam
lingkunganya. Akan tetapi jiwanya datang dari satu Sumber. Tidak ada satu
bangsa yang orangnya baik semua, atau jahat semua. Kalau ada yang buruk, pasti
ada yang baik dan demikian sebaliknya, karena baik dan buruk memang sudah
merupakan pasangan yang tak terpisahkan. Diantara bangsaku terdapat banyak
orang jahat, kurasa tiada bedanya dengan bangsamu. Dan kalau diantara bangsamu
terdapat banyak orang baik, demikian pula dengan bangsaku. Jahat tidaknya
seseorang bukan tergantung dari bangsanya, agamanya, atau keadaan lahiriahnya.
Bukankah demikian, Sarah?"
"Ya
Tuhan! Disamping kegagahanmu, ketampananmu, keramahan dan semua kebaikanmu,
kiranya engkau masih mempunyai kehebatan lain. Engkau seorang filsuf yang
bijaksana!" Sarah berseru kaget, heran dan kagum sehingga lupa untuk
melunakkan suaranya.
"Stttt,
jangan berteriak-teriak, Sarah….." kata Hay Hay dan dia memberi isyarat
kepada gadis itu agar tidak mengeluarkan suara lagi sambil membuat gerakan
menunjuk ke arah luar ruangan itu.
Sarah
memandang keluar dan merekapun cepat menyelinap ke belakang peti-peti mati
sambil mengintai keluar. Terdengar suara banyak orang di luar guha. Tahulah
Sarah bahwa orang-orang yang tadi ketakutan, kini telah datang kembali dan
agaknya disertai para pimpinan gerombolan itu.
"Heii,
iblis mana yang bermain-main dengan kami? Iblis jahat, ini aku Ma Kiu sudah
datang, keluarlah dan jangan membikin takut keluarga mereka yang mati!"
Terdengar
teriakan raksasa hitam yang menjadt orang pertama dari lima pemimpin
gerombolan.
Tiba-tiba
dari dalam guha itu terdengar suara tawa yang mengerikan. Tawa perempuan yang
terkekeh-kekeh, kedengarannya aneh dan menyeramkan sekali karena datangnya dari
peti-peti mati itu! Semua orang yang berada diluar guha hanya berani memandang
kedalam, kearah tiga buah peti mati yang tertutup kabut asap tipis dari hio-hio
yang masih terbakar.
"Siluman
betina……” mereka berbisik-bisik ketika mendengar suara tawa wanita itu.
Akan tetapi,
karena lima orang pemimpin berada disitu, mereka tidak lari tunggang-langgang.
Dan Ma Kiu raksasa hitam itupun nampak tidak takut. Hal ini karena dia datang
bersama empat orang saudaranya dan disitu berkumpul pula puluhan orang anak
buahnya. Andaikata dia harus menghadapi guha itu sendirian saja, tentu dia
sudah lari ketakutan sejak tadi! Ma Kiu biasanya amat galak, pemberani dan
tidak takut menghadapi lawan yang manapun juga, biasa membunuh orang dengan
kejam dan dengan darah dingin. Akan tetapi, semua kegalakannya dan kegagahannya
terbang entah kemana kalau dia harus menghadapi setan dan iblis.
"Roh
jahat yang berada di dalam guha! Keluarlah perlihatkan diri kalau memang
berani, atau pergilah dari sini, jangan mengganggu kami lagi!" dengan
suara yang digalak-galakkan Ma Kiu berteriak lantang.
Melihat
lagak Ma Kiu, orang-orang yang berkumpul disitu timbul keberaniannya dalam hati
mereka. Seperti juga Ma Kiu yang sudah mengamang-amangkan goloknya, mereka
mencabut senjata masing-masing dan mulailah mereka berteriak-teriak.
"Siluman
betina, pergilah dari sini!"
"Iblis,
jangan ganggu kami!"
Seperti rasa
takut yang mudah menular, maka keberanianpun dapat mudah menular. Orang yang
tadinya ketakutan, kalau melihat semua orang berlagak berani, rasa takutnya
akan lenyap dan timbullah keberaniannya. Mereka kini mengamangkan senjata dan berteriak-teriak
sehingga suasana gaduh sekali. Juga tempat di depan guha itu menjadi terang
benderang karena banyak obor bernyala.
Melihat ini,
hati Sarah menjadi gentar juga. Bagaimana mungkin Hay Hay akan mempu melawan
orang sebanyak itu? Ia memegang lengan kiri Hay Hay dengan kedua tangannya.
Tadi ia telah mengeluarkan suara tawa seperti yang diminta Hay Hay, yang
membisikkan agar ia mencoba untuk tertawa seperti setan agar menakut-nakuti
mereka. Iapun tadi tertawa seperti sedang main-main saja, seperti seorang anak
kecil menakut-nakuti anak-anak lain, dan iapun gembira sekali. Akan tetapi,
melihat orang-orang itu mencabut senjata dan siap menyerbu ia mulai ketakutan.
Biarpun
mulut gadis itu tidak mengeluarkan perasaan takutnya, akan tetapi merasa betapa
kedua tangan Sarah yang memegang lengannya terasa dingin dan gemetar, tahulah
Hay Hay bahwa gadis pemberani ini mengenal juga perasaan ngeri dan gentar.
"Tenanglah,
aku tanggung mereka tidak akan dapat mengganggumu, Sarah. sekarang, kau lihat
baik-baik apa yang akan kulakukan kepada mereka!" kata Hay Hay dan dia
lalu mengangkat ujung peti mati yang berada di tengah-tengah, mendorong ujung
peti itu ke atas sehingga peti itu bangkit berdiri, seolah-olah mayat yang
berada di dalam peti hidup kembali dan bangkit bersama petinya!
Dan Hay Hay
mengeluarkan suara menggereng yang membuat seluruh guha itu tergetar, disusul
kata-kata yang suaranya terdengar parau dan menyeramkan.
"Hemmm,
kalian berani mengganggu kami? Akan kami cabut nyawa kalian satu demi satu
kalau tidak segera pergi meninggalkan kami. Kami ingin tenang mengerti?"
Suara itu
bergema dan menyeramkan sekali. Apalagi ketika dengan tangan kirinya Hay Hay
rnenggoyang-goyangkan peti di sebelah kiri sedangkan tangan kanan masih tetap
menahan peti tengah agar berdiri. Ditambah lagi peti yang kanan mulai
bergoyang-goyang karena Sarah membantu Hay Hay dan mengguncang peti itu dengan
kedua tangannya sambil mengerahkan seluruh tenaganya.
Orang-orang
yang berada di depan guha terbelalak. Siapa orangnya tidak akan takut melihat
peti mati dapat bangkit berdiri dan yang dua buah lagi bergoyang-goyang. Tiga
rnayat itu agaknya benar-benar telah hidup kernbali!
Raksasa
Hitam Ma Kiu terbelalak, wajahnya pucat dan seluruh bulu di tubuhnya meremang,
tengkuknya terasa dingin seperti ditempeli es. Dikanan kirinya, orang rnenahan
napas, ada yang rnenggigil, bahkan ada yang terkulai lemas karena pingsan
saking takutnya.
Ma Kiu dan
empat orang saudaranya yang biasanya amat kejam dan dapat mernbantai banyak
orang tanpa berkedip, kini melihat mayat-mayat dalam peti hidup kembali,
menjadi gemetar ketakutan dan nyali merekapun terbang entah kemana. Apalagi
mendengar kata-kata yang diucapkan dengan suara menyeramkan tadi. Mereka tak
dapat lagi menahan rasa takut mereka dan Ma Kiu yang lebih dulu membalikkan
tubuh dan melangkah pergi dari situ dengan langkah lebar. Dia malu untuk lari,
akan tetapi langkahnya lebar dan cepat melebihi lari cepatnya!
Empat orang
saudaranya mengikuti jejaknya dan gegerlah semua anak buahnya, berebut dulu
melarikan diri. Mereka saling tabrak dan melarikan diri cerai-berai,
tunggang-langgang dan jatuh bangun. Ada yang menyeret kawan yang jatuh pingsan
dan terdengar tangis di sana-sini, membuat suasana menjadi semakin menyeramkan.
Melihat
tingkah puluhan orang itu, Sarah tidak mampu menahan geli hatinya dan iapun
tertawa terkekeh-kekeh, bukan lagi tawa buatan melainkan tertawa bebas dan
wajar. Akan tetapi, bagi orang-orang yang sudah hampir gila oleh rasa takut
itu, suara tawa yang wajar ini, suara tawa seorang wanita yang merdu, membuat
mereka semakin menjerit-jerit, lari terkencing-kencing seolah-olah suara tawa
itu mengejar mereka dan yang tertawa berada di dekat tengkuk mereka!
Melihat
Sarah tertawa geli dan terpingkal-pingkal, Hay Hay ikut pula tertawa. Setelah
tawanya reda, Sarah mengusap beberapa butir air mata yang ikut terloncat keluar
ketika ia tertawa, lalu matanya mencari-cari wajah pemuda itu dalam keremangan
cuaca karena setelah semua orang melarikan diri dan tidak ada lagi cahaya
obor-obor bersinar dari luar, cuaca menjadi gelap.
"Hay
Hay……" katanya, dalam suaranya terkandung keheranan dan keraguan sehingga
Hay Hay balas memandang dengan sinar mata menyelidik.
"Ada
apakah, Sarah?"
"Katakanlah
sebenarnya kepadaku. Apakah engkau ini benar-benar seorang…….. manusia
biasa…..?”
Kini Hay Hay
yang membelalakkan kedua matanya, kemudian dia tertawa.
"Ha-ha-ha,
apakah engkau sudah ketularan mereka tadi, mengira bahwa aku ini siluman, setan
atau iblis, Sarah?"
“Aku bukan
orang picik yang percaya tahyul, Hay Hay. Akan tetapi aku melihat engkau
melakukan hal-hal yang tidak lajim dapat dilakukan manusia biasa. Peti ini
berat sekali. Aku mengguncang sekuat tenagapun hanya dapat membuatnya
bergerak-gerak. Padahal, biar aku wanita, tenagaku tidak kalah dibandingkan
pria biasa. Tapi engkau dengan sebelah tangan, mudah saja mendorongnya sampai
bangkit berdiri dan tanganmu sebelah lagi mengguncang peti yang lain. Dan tadi
engkau mengeluarkan gerengan yang membuat seluruh guha tergetar, bahkan aku
merasa jantungku terguncang dan bulu tengkukku meremang. Seorang manusia biasa
tidak mungkin dapat melakukan hal itu."
Hay Hay
tersenyum.
"Sarah,
aku mendengar bahwa pada diri siluman terdapat tiga tanda. Pertama, dia tidak
mempunyai lekuk bibir di bawah hidungnya, dia tidak memiliki tumit, dan yang ke
tiga, kalau dia berdiri, kedua telapak kakinya tidak menyentuh tanah. Nah,
sekarang lihatlah aku," dia meraba bawah hidungnya. "Di sini terdapat
lekukan biasa, dan lihat kakiku." Dia bangkit berdiri dan memperlihatkan
kakinya. "Kedua tumitku masih utuh, dan kalau aku berdiri, lihat kaki
kananku ini, menyentuh tanah ataukah tidak?"
Hay Hay sengaja
mengangkat sedikit kaki kanannya sehingga tidak menyentuh tanah. Sarah
mengikuti semua ucapan Hay Hay, tadi memperhatikan bawah hidung, lalu tumit
kaki dan ketika ia memandang ke arah kaki kanan yang tidak menyentuh tanah, ia
terbelalak, akan tetapi ketika ia melirik ke arah kaki kiri Hay Hay yang tentu
saja berpijak di atas tanah, iapun tertawa dan tahu bahwa pemuda itu sengaja
mempermainkan ia.
"Hemm,
engkau memang bukan manusia biasa, Hay Hay. Engkau seorang manusia yang luar
biasa, engkau seorang pendekar yang tidak saja gagah perkasa, akan tetapi juga
jujur, baik budi, jenaka dan…….. mata keranjang.”
"Aih,
kenapa ujungnya menjadi tidak enak? Engkau ini memuji, merayu atau mencela,
Sarah?"
"Bukan
merayu bukan mencela, melainkan bicara sejujurnya, seperti engkau. Ahh, aku
lelah sekali, dan mengantuk." Sarah merebabkan diri begitu saja, miring di
belakang peti mati.
"Tidurlah,
Sarah, biar aku yang menjagamu."
"Bagaimana
aku dapat tidur bersama orang-orang mati begini, Hay Hay? Aku hanya ingin merebahkan
diri, akan tetapi tempat ini agak kotor, ihh……!"
Ia bangkit
dan mengebut-ngebutkan bajunya. Lantai itu memang tidak bersih, terdapat banyak
debu dan abu hio disitu.
"Kalau
kau mau, rebahlah disini, Sarah." kata Hay Hay menepuk kedua pahanya.
Dia bicara
setengah main-main, akan tetapi diam-diam dia terkejut karena tanpa banyak
bicara lagi Sarah lalu merebahkan diri di atas pangkuannya dan menyandarkan
kepala di dadanya! Hay Hay bersikap biasa saja dan merangkul pinggang itu,
seperti seorang ayah memangku anaknya.
"Sarah,
aku heran sekali mengapa engkau tidak suka kepada Kapten Gonsalo itu. Menurut
keteranganmu, dia seorang kapten pembantu ayahmu yang tampan dan mendengar
ceritamu tadi, dia cukup gagah dan pemberani, bahkan amat mencintamu. Pandang
matanya kepadamu itu adalah tanda bahwa dia mencintamu, Sarah. Bukankah dia
akan menjadi pasanganmu yang cocok dan baik sekali?"
Hay Hay
setengah memaksa diri untuk bercakap-cakap, karena kelembutan tubuh yang
dipangkunya itu, kehangatannya, dan keharuman rambut yang berada di dadanya,
membuat dia tidak tenang. Dengan percakapan, tentu perhatiannya akan terpecah.
Mendengar
pertanyaan itu, Sarah menarik napas panjang.
"Dia
memang gagah dan tampan, bahkan aku tahu bahwa dia menjadi rebutan para gadis bangsa
kami. Dia telah berjasa besar ketika berhasil menghadap kaisar bangsamu dan
diterima dengan baik ketika mewakili bangsa kami menyerahkan hadiah kepada
kaisar. Namanya terkenal dan dia dipuji-puji. Akan tetapi, aku……. aku tidak
mencintanya, Hay Hay."
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Ada suatu kejanggalan disini, pikirnya. Kalau Kapten
Gonsalo itu demikian tampan dan gagah, menjadi rebutan para gadis bangsanya,
kenapa Sarah tidak tertarik kepadanya? Tentu jawabnya hanya satu, yaitu bahwa
Sarah mencintai pria lain! Seorang dara yang "panas" seperti Sarah
ini rasanya tidak mungkin kalau tidak mempunyai seorang kekasih.
"Sarah,
aku yakin bahwa engkau tentu telah mempunyai pilihan hati sendiri, mempunyai
seorang kekasih."
Tubuh yang
bersandar di dada itu bergerak, membalik ketika Sarah menengok ke arah Hay Hay
dengan matanya yang biru itu terbelalak. Indah sekali.
"Heiii,
bagaimana engkau bisa tahu, Hay Hay?"
Hay Hay
tersenyum, untuk menangkis serangan keindahan mata yang menembus jantung itu.
"Bukankah
engkau sendiri yang mengatakan bahwa aku bukan manusia biasa? Nah, katakanlah
terus terang. Engkau sudah mempunyai seorang kekasih, bukan?"
Sarah
menghela napas dan bersandar kembali.
"Benar,
namanya Asron, berusia dua puluh lima tahun. Kami saling mencinta…….”
“Lalu kenapa
bukan yang mengantar engkau berkuda, akan tetapi Kapten Gonsalo?"
"Ah,
bagaimana mungkin? Dia hanya seorang perajurit biasa saja. Karena itu, ayah
tidak menyetujui hubungan kami. Padahal, aku tahu dan yakin benar, Asron tidak
kalah gagah perkasa dibandingkan Kapten Gonsalo. Hanya dia kalah pendidikan
sekolah, maka dia hanya perajurit biasa, tidak seperti Gonsalo. Hay Hay, aku
sungguh sedih kalau mengingat Asron. Hanya karena cintanya kepadaku maka dia
masih bertahan menjadi perajurit, sejak dahulu tidak dinaikkan pangkatnya oleh
ayah, walaupun jasanya sudah banyak sekali. Kalau dia tidak ingat padaku, dia
sudah berhenti menjadi perajurit. Aku menyesal sekali……"
Tubuh di
pangkuannya itu terguncang. Sarah menangis! Aneh, pikir Hay Hay. Betapa seorang
wanita berhati singa ini dapat juga menangis, Cinta memang bisa membuat orang
bersikap aneh, bisa menghancur luluhkan hati yang sekeras baja, juga bisa
mengeraskan hati yang tadinya lemah. Dia membiarkan Sarah menangis. Setelah
agak reda, dia menggunakan tangan untuk mengusap air mata dari pipi gadis itu.
"Sarah,
benarkah engkau ini Sarah yang tadi begitu berani menghadapi penjahat, bukan
seorang anak perempuan yang cengeng?" Hay Hay sengaja berkelakar.
Sarah
membalikkan mukanya, menghapus air mata dari mukanya kebaju Hay Hay! Lalu ia
membalik dan bersandar lagi.
"Hay
Hay, jangan mengejek. Engkau tidak merasakan betapa duka dan perihnya hatiku
kalau teringat kepada Asron. Aku kasihan kepadanya."
“Bagus,
kasihan memang menjadi bunganya cinta. Akan tetapi mengapa berduka, Sarah?
Hidup ini memang merupakan perjuangan. Hidup ini berarti menghadapi segala
macam bentuk tantangan. Setiap kesukaran dalam hidup merupakan tantangan yang
harus kita hadapi dengan tabah, yang harus kita perjuangkan agar kita dapat
mengatasinya, memenangkannya. Justeru perjuangan menghadapi dan mengatasi
setiap tantangan itulah seninya kehidupan! Tanpa adanya tantangan berupa segala
bentuk kesukaran, alangkah akan hampanya hidup ini, tidak ada gairah lagi.
Jadi, jangan melarikan diri ke dalam kesedihan dan menenggelamkan diri ke dalam
lautan air mata. Bangkit dan hadapi kesukaran itu dengan tabah, dan berusaha
sekuatnya untuk mengatasinya. Itu baru pantas bagimu, Sarah."
Sarah
menarik napas panjang.
"Luar
biasa! Engkau seorang pemuda aneh yang luar biasa, Hay Hay. Hemm, andaikata
disana tidak ada Asron, betapa akan mudahnya bagiku untuk jatuh cinta
kepadamu."
"Heii,
benarkah itu? Bukankah tadi engkau mengatakan aku mata keranjang?"
Sarah
menjebikan bibirnya yang merah basah.
"Hemm,
laki-laki manakah di dunia ini yang tidak mata keranjang? Tentu saja mata
keranjang dalam arti kata suka sekali kepada wanita cantik, mudah tertarik dan
suka menikmati keindahan seorang wanita melalui pandang matanya. Semua
laki-laki mata keranjang dan dia akan mengakui hal ini kalau dia jujur. Hanya
bedanya ada yang berterus terang seperti engkau, bahkan engkau
memperlihatkannya tanpa tedeng aling-aling lagi, mengaku terus terang sehingga
kalau wanita kurang kuat batinnya, ia akan mudah saja bertekuk lutut terhadap
pujian dan kata-katamu yang bermadu. Ada pula yang pura-pura menunduk akan
tetapi matanya melirik ganas, dan yang model inilah yang amat berbahaya,
seperti seekor kucing yang diam-diam melirik tikus, tanpa bergerak, tahu-tahu
menubruk saja! Untung batinmu bersih dan tidak menjadi hamba nafsu, Hay Hay.
Kalau engkau seperti itu, alangkah banyaknya wanita yang menjadi korbanmu.
Engkau akan menjadi seorang perusak wanita nomer satu, banyak wanita akan
hancur binasa dalam pelukanmu akan tetapi dengan mulut tersenyum karena mabuk
oleh rayuanmu."
Hay Hay
mengerutkan alisnya. Apa yang digambarkan gadis bule itu persis keadaan
mendiang ayahnya. Ayahnya adalah Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah), seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemetik bunga) yang terkenal. Entah berapa puluh atau ratus wanita
yang sudah menjadi korbannya, termasuk diantaranya adalah ibu kandungnya!
Ayahnya itu dahulu tampan, perayu dan menjatuhkan wanita dengan ketampanannya,
rayuannya, kepandaiannya, bahkan tidak segan-segan memperkosa! Dan agaknya,
kesukaan yang agak keterlaluan dari hatinya terhadap wanita merupakan warisan
ayahnya. Untungnya, seperti yang dikatakan Sarah, dia tidak memiliki niat
jahat, tidak menjadi hamba nafsu sehingga dia mampu mengendalikan nafsunya. Dia
tidak tega merusak wanita, tidak tega menyengsarakan dan mematahkan hatinya,
apalagi memperkosanya.
"Sudahlah
Sarah. Sekarang tidurlah. Engkau perlu beristirahat karena besok pagi-pagi
sekali, setelah di luar tidak segelap ini, kita harus cepat meninggalkan tempat
ini dan pelarian itu tentu membutuhkan tenaga."
"Baik,
Hay Hay, aku memang sudah mengantuk sekali. Biar kubersihkan dulu lantai ini
agar dapat tidur enak……"
"Lantainya
kotor, tidur sajalah disini, Sarah."
"Hemm,
engkau tentu akan lelah sekali kalau kusandari sampai pagi."
"Tidak,
engkau ringan sekali bagiku."
"Terima
kasih, engkau memang baik sekali, aku merasa seperti engkau ini kakakku
sendiri," kata Sarah dan iapun menyandarkan kembali kepalanya di dada Hay
Hay dan tak lama kemudian napasnya sudah menjadi lembut dan panjang, tanda
bahwa ia telah jatuh pulas.
Hay Hay
merangkulnya dan ketika dia melihat wajah di dadanya itu, dia segera memejamkan
matanya. Terasa benar olehnya timbulnya berahi. Timbulnya dari pandang mata
lalu dikembangkan dalam benak. Pikiran membayangkan hal-hal yang menggairahkan
dan nafsu berahipun mulai bangkit dan kalau nafsu ini dikipasi dengan bayangan
dalam pikirannya, nafsu itu tentu akan semakin berkobar.
Ketika dia
memejamkan mata dan mengosongkan pikiran, hal yang sudah dilatihnya sejak dia
masih remaja dan mempelajari ilmu dari See-thian Lama, kemudian dilanjutkan
dari Ciu-sian Sin-kai, Pek-mau San-jin, kemudian Song Lojin, maka seketika
pikirannya menjadi tenang dan bagaikan air yang diam, pikiran menjadi jernih
dan bayangan yang menimbulkan nafsu berahipun lenyap.
Nafsu
merupakan pelengkap dalam kehidupan manusia, bahkan pendorong dan manusia tidak
akan hidup tanpa adanya nafsu. Kenikmatan hidup dapat datang karena adanya
nafsu. Keindahan melalui pandang mata, kemerduan melalui pendengaran telinga,
keharuman melalui penciuman hidung, dan semua kenikmatan yang dapaf kita
rasakan melalui panca indera, melalui semua anggauta tubuh, melalui hati akal
pikiran, semua itu dapat kita nikmati karena adanya nafsu. Nafsu merupakan
anugerah bagi manusia hidup di dunia ini, merupakan berkah dan bekal hidup.
Seperti juga anggauta badan, hati dan pikiran, nafsu merupakan peserta dan alat
yang bertugas mengabdi dan membantu manusia. Manusia dapat menemukan segala
kekuatan dan sarana yang ada di dunia ini, berkat bekerjanya akal yang didorong
nafsu.
Kemajuan
lahiriah yang ada sekarang ini, semua berkat bekerjanya nafsu melalui hati akal
pikiran. Dan semua hasil pekerjaan nafsu ditujukan untuk kesejahteraan hidup
manusia, untuk kenikmatan hidup manusia di dunia, yaitu yang lajim disebut
materi, benda. Namun, nafsu yang amat berguna bagi kehidupan kita ini, juga
amat berbahaya karena kalau manusia dikuasainya, maka manusia akan diseretnya
menjadi hamba nafsu yang hidupnya hanya mengejar kenikmatan dan kesenangan
duniawi saja. Akibatnya, segala cara dilakukan manusia demi meraih kesenangan
yang menjadi tujuan semua nafsu dan terjadilan perbuatan-perbuatan yang
dinamakan jahat, yaitu merugikan orang lain.
Kalau kita
tidak waspada dan ingat selalu kepada Sang Maha Pencipta, yang menciptakan
kita, yang menguasai seluruh diri kita luar dalam, yang mengatur segala yang
nampak dan tidak nampak, maka kita akan mudah menjadi korban kekuatan nafsu.
Segala kebutuhan hidup kita ini dilengkapi dengan nafsu yang akan menimbulkan
kenikmatan dalam memenuhi kebutuhan hidup itu. Kita lapar butuh makan agar
bertahan hidup, dan didalam makan itu kita dianugerahi nafsu yang mendatangkan
kelezatan dalam mengisi perut yang pada dasarnya dilakukan untuk mempertahankan
hidup. Kita mengantuk butuh tidur, dan di dalam tidurpun kita dianugerahi
kenikmatan. Kalau haus butuh minum dan dalam minumpun tersedia kenikmatan yang
didorong oleh nafsu.
Tidak ada
kebutuhan yang tidak disertai kenikmatan dalam memenuhinya. Puji Tuhan Maha
Pengasih dan Penyayang. Demikian besarnya Tuhan melimpahkan cinta kasih kepada
segala cintaan-Nya. Akan tetapi, kalau nafsu merajalela dan kita yang
diperhamba, apa akibatnya? Kita melupakan kebutuhan inti dari kehidupan ini,
yang kita kejar hanyalah kenikmatan dan kesenangan, hanya kebutuhan nafsu
semata.
Kita makan
bukan lagi untuk sekedar mempertahankan hidup menghilangkan lapar, melainkan
lebih condong untuk memuaskan nafsu yang mengejar keenakan sehingga seringkali
dapat kita lihat buktinya betapa dalam keadaan lapar sekalipun, kalau lauknya
tidak menyenangkan mulut kita, kita makan sedikit saja, tidak perduli bahwa
mulut kita membutuhkan lebih banyak. Sebaliknya, biarpun perut sudah
kekenyangan, kalau yang kita makan itu kita rasakan enak, dan memuaskan nafsu,
kita makan terlalu banyak sampai akhirnya menderita sakit perut!
Demikian
pula dengan semua kebutuhan hidup, termasuk haus, kantuk, mencari kebutuhan
hidup yang lainnya, termasuk pula nafsu sex. Nafsu sex ini mutlak penting
dengan perkembang biakan manusia. Tanpa adanya nafsu ini, orang tidak akan suka
melakukan hubungan dan akibatnya, manusia akan punah seperti yang terjadi pada
banyak mahluk lain yang dahulu juga menjadi penghuni bumi namun kini tidak ada
lagi sama sekali.
Teringat
akan semua itu, Hay Hay menarik napas panjang. Mendiang ayah kandungnya,
jai-hwa-cat Ang-hong-cu, merupakan contoh dari sekian banyaknya pria yang
menjadi hamba nafsu berahinya. Demi memuaskan nafsunya itu, dia tidak
segan-segan mengejar dan melampiaskannya dengan segala macam cara, tidak
perduli lagi apakah cara itu baik atau buruk, melanggar hukum ataukah tidak.
"Semoga
Tuhan akan selalu membimbingku sehingga aku tidak akan mabuk oleh nafsu dan
kehilangan kewaspadaan," pikirnya dan tangan kirinya dengan lembut
mengelus kepala yang berambut kuning emas itu.
Alangkah
indahya rambut ini, pikirnya, kini tidak ada sedikitpun nafsu berahi
menggodanya. Seperti benang sutera emas! Kulit muka itu demikian putih
kemerahan. Kalau saja tidak ada bulu lembut di permukaannya, kulit muka itu
seperti kulit muka bayi. Mata yang terpejam itu tidak kelihatan bola mataya
yang biru, akan tetapi masih saja mendatangkan kesan asing dan aneh karena bulu
matanya juga tidak hitam benar, melainkan agak kelabu dan panjang melengkung.
Dan garis mata itu demikian panjang. Dan hidung itupun biar tidak terlalu
besar, namun mancungnya lain daripada kemancungan hidung bangsanya. Punggung
hidung itu tinggi sehingga kalau nampak dari pinggir, mirip paruh burung. Dan
mulut itupun berbibir indah, sulit menggambarkan keindahannya karena keindahan
itu tersembunyi dalam lekukan-lekukan kecil di sekitar mulut, tersembunyi
diantara bibir yang sedikit terbuka, di kedua ujung yang membelok ke atas, di
bibir belahan bawah yang penuh dan tipis, agaknya tergigit sedikitpun akan
pecah, dan bentuk dagu itu membayangkan keangkuhan, keanggunan, juga amat
manis.
Wajah ini
memang aneh dan asing baginya. Akan tetapi ketika mereka tadi bercakap-cakap,
tidak terasa sama sekali keasingan itu. Jalan pikiran, hati dan akal pikiran
gadis ini sama saja dengan apa yang ada pada diri gadis-gadis bangsanya. Yang
berbeda hanya kulitnya, akan tetapi isinya sama. Dan dia merasa sayang kepada
gadis ini. Bahkan Sarah tadi mengatakan bahwa ia merasa seperti dengan kakaknya
sendiri!
Akan tetapi,
kebiasaan atau cara hidup dari gadis ini sungguh berbeda sekali dengan cara
hidup bangsanya. Kalau seorang gadis bangsanya, sampai bagaimanapun juga, tidak
mungkin mau tidur di atas pangkuan dan menyandarkan kepala di dada seorang
laki-laki asing yang bukan apa-apanya. Bahkan antara saudara sekandung
sendiripun tidak! Mungkin hanya laki-laki yang menjadi suami seorang wanita
saja yang akan dipercaya seperti ini.
Tentu saja
lain halnya kalau wanita itu seorang wanita sesat yang telah menjadi hamba
nafsu yang tidak mengenal susila lagi, hamba nafsunya sendiri yang telah
menjadi seperti buta. Akan tetapi Sarah bukanlah wanita seperti itu. Sama
sekali bukan! Ia mempertahankan kehormatannya mati-matian, kalau perlu dengan
taruhan nyawa. Jelaslah bahwa bagi bangsa Sarah, hubungan antara pria dan
wanita jauh lebih bebas dan berdekatan seperti ini bukan merupakan hal yang
buruk bagi Sarah.
Hay Hay
tidak berani tidur, maklum bahwa diluar guha terdapat banyak musuh yang tentu
telah berjaga-jaga, menanti datangnya pagi, Setelah mereka tidak ngeri lagi
terhadap siluman, tentu mereka akan menyerbu guha. Dia tidak berani tidur, dan
sambil memangku tubuh Sarah, dia hanya menghimpun tenaga murni dan membiarkan
tubuhnya melepas lelah.
“Sttt,
Sarah, bangunlah……”
Hay Hay
berbisik di dekat telinga kiri gadis itu. Sarah menggerakkan bulu matanya,
menggeliat dan ketika ia mengangkat kedua lengannya ke atas, tangannya menyentuh
muka Hay Hay dan iapun membuka mata dengan kaget dan heran. Akan tetapi, ketika
kedua matanya yang biru dan masih mengantuk itu menatap wajah Hay Hay, ia
segera teringat dan tersenyum.
"Selamat
pagi, Hay Hay."
"Selamat
pagi. Bersiaplah, kita akan pergi sekarang. Kau tunggu dulu disini, aku akan
mencari kuda untuk kita."
Setelah
ingatannya segar kembali, Sarah segera berbisik.
"Kalau
bisa, tolong ambilkan kudaku, Hay Hay. Berbulu kelabu dengan keempat kaki dan
ekornya putih."
Hay Hay
mengangguk.
"Kau
tetap bersembunyi saja di kamar paling belakang tempat menaruh senjata-senjata
itu dan jangan keluar dari kamar sebelum aku kembali. Jangan pula mengeluarkan
suara, Sarah."
"Aku
tahu, Hay Hay," kata Sarah dan iapun bangkit, melangkah masuk ke dalam
kamar di bagian belakang guha itu.
Semalam ia
dan Hay Hay tetap bersembunyi di balik tiga buah peti mati. Setelah mengantar
gadis itu memasuki kamar, sekali berkelebat, Hay Hay lenyap dari depan Sarah.
Gadis itu terbelalak, menjenguk keluar kamar, kearah ruangan depan dimana
nampak tiga buah peti mati dari situ. Akan tetapi tidak nampak lagi bayangan
Hay Hay. Ia menghela napas panjang. Pernah ia mendengar cerita tentang pendekar
pribumi, akan tetapi tak pernah disangkanya ada yang sehebat Hay Hay, yang
agaknya memiliki ilmu aneh, ilmu menghilang! Seperti bukan manusia saja,
pikirnya.
Hay Hay
menyelinap ke belakang batu di depan guha dan menghilang keluar. Benar saja
dugaannya, dia melihat gerakan di sana-sini, di balik batu-batu dan nampak
rambut kepala orang-orang tersembul di balik batu. Tentu banyak orang
berjaga-jaga, pikirnya, dan tentu mereka memperhatikan mulut guha ini. Dia lalu
melepas kancing bajunya, dan membalikkan bajunya ke atas, menutupi caping dan
seluruh mukanya.
Dari
celah-celah baju dia dapat melihat keluar. Kemudian dia bangkit dan berloncatan
dengan gerakan aneh keluar dari situ. Tentu saja anak buah gerombolan yang
mengintai dari kanan-kiri dan depan guha, melihat mahluk aneh itu muncul dari
dalam guha tempat tiga buah peti mati ditaruh. Dan mereka gemetar ketakutan.
Mahluk apakah yang keluar dengan loncatan-loncatan aneh, miring dan ke
kanan-kiri itu? Seperti loncatan katak mabuk. Mahluk itu berkaki seperti
manusia, akan tetapi tubuh atasnya berkerobong sehingga tidak nampak kedua
tangan maupun kepalanya. Hanya dalam kerobongan itu, nampak bagian kepala yang
luar biasa besarnya. Itulah caping yang terbungkus baju!
Tentu. saja
mereka yang masih merasa ngeri, ketika melihat "mahluk" aneh itu
keluar, menjadi semakin gentar. Hari masih pagi sekali, kabut masih
menggelapkan cuaca. Sinar matahari belum sepenuhnya muncul. Mereka tidak berani
bergerak, akan menanti sampai cuaca terang, baru mereka berani mendekati guha
atau memasukinya, tergantung perintah lima orang ketua mereka yang sejak pagi
sekali sudah berada pula di tempat persembunyian para penjaga.
Melihat
mahluk aneh itu, lima orang pimpinan gerombolan juga termangu dan gentar, tidak
berani memberi perintah apa-apa karena mereka berlima juga hanya orang-orang sederhana
yang amat tahyul. Mereka adalah orang-orang kejam yang tidak segan membunuh
orang, dan mereka tidak takut menghadapi orang lain, akan tetapi mereka gentar
untuk melawan setan. Apalagi mahluk aneh itu dengan loncatan yang mengerikan,
memiliki gerakan yang amat ringan dan beberapa kali loncatan saja dia
menghilang! Suasana makin menyeramkan.
Dengan mudah
Hay Hay menemukan kuda milik Sarah yang dikat dalam sebuah guha kosong. Tidak
ada orang berjaga disitu. Agaknya semua orang berkumpul, suasana yang menyeramkan
dan rasa takut terhadap "mayat hidup" membuat mereka tidak berani
menyendiri. Mereka merasa lebih aman untuk berkumpul dengan teman-teman.
Akan tetapi
Hay Hay tidak melihat kuda lain. Seekorpun sudah cukup, pikirnya. Kuda untuk
Sarah, sedangkan dia sendiri tidak membutuhkan kuda. Kedua kakinya lebih dari
cukup dan untuk berlari cepat, dia tidak mau kalah oleh kuda yang manapun! Dia
menuntun kuda itu dan ditambatkannya kuda itu di tempat yang lain. Setelah
mengenal benar jalan dari tempat dia menyembunyikan kuda itu ke guha
perkabungan, dia lalu kembali.
Seperti
tadi, dia menutupi kepala berikut capingnya dengan baju yang dibalik keatas,
akan tetapi sengaja sekali ini dia bergerak cepat sekali sehingga orang-orang
yang mengintai di sekeliling tempat itu hanya melihat bayangan yang aneh
bentuknya, kepala besar tanpa muka, berkelebat memasuki guha. Tentu saja semua
orang menjadi ketakutan.
Ma Kiu,
raksasa hitam kepala gerombolan itu tidak sabar lagi. Dia mendorong rekannya
yang kelima dan keempat untuk menjadi pelopor.
"Kalian
berdua majulah. Beri contoh kepada yang lain. Pengecut!" bentaknya akan
tetapi dengan suara lirih tertahan.
Kepala
keempat yang tubuhnya gendut perutnya besar dan kelima yang kurus kering,
saling pandang dengan muka pucat. Mereka takut kepada pirnpinan pertama mereka,
juga malu kepada para anak buah karena mereka dimaki pengecut. Mereka
memberanikan diri dan keduanya segera muncul dari balik batu.
Mereka
memegang sebatang golok besar di tangan kanan dan sebuah perisai baja di tangan
kiri. Diantara rnereka berlima, yang memegang senjata cakar besi di tangan kiri
dan golok di tangan kanan hanyalah Ma Kiu, pemimpin pertama. Karena cakar
besinya inilah maka mereka berlima dijuluki Lima Harimau Cakar Besi. Narnun,
dua orang yang bergolok dan berperisai inipun lihai bukan main.
"Haii,
siluman, keluarlah dan lawanlah kami berdua!" teriak si gendut dengan
sikap gagah akan tetapi suaranya jelas terdengar gemetar dan parau!
"Setan
iblis yang berani mengganggu kami! Keluarlah dan rasakan tajamnya
golokku!" teriak pula si kurus kering.
Dia ini
bersuara lantang dan tidak gemetar, akan tetapi kalau orang melihat ke arah
kakinya, jelas bahwa dua buah kakinya itu menggigil! Dua orang pemimpin ini
sebenarnya ketakutan sekali, akan tetapi mereka memaksa diri dan keduanya lalu
melangkah maju menghampiri mulut guha.
Setelah tiba
di mulut guha dan melihat tiga buah peti mati itu terletak seperti biasa,
timbullah keberanian mereka. Mereka memutar golok ke atas kepala dengan sikap
gagah dan menantang.
Akan tetapi,
mereka yang mengintai dari tempat persembunyian mereka, terbelalak kaget dan
terheran-heran ketika mereka melihat betapa dua orang pemimpin itu, si gendut
dan si kurus kering, kini mulai saling serang dengan mati-matian! Saling serang
dengan golok, ditangkis dengan perisai dan terdengarlah bunyi trang-tring-trang
ketika mereka saling serang dengan ganasnya.
"Mampus
kau, setan!" teriak si gendut.
"Rasakan
golokku, iblis!" bentak si kurus.
Pada saat
semua orang terheran-heran, nampak dua sosok bayangan melesat keluar dari dalam
guha. Dua orang tanpa kepala, atau lebih tepat, kepalanya tidak nampak karena
tubuh bagian atas merupakan kerobongan. Dua orang itu lari dengan cepat,
seperti saling melekat.
Melihat ini,
Ma Kiu menjadi curiga karena cuaca sudah semakin terang dan dia dapat melihat
bahwa mereka adalah seorang pria dan seorang wanita yang mengerobongi tubuh
atas mereka dengan baju yang dibalik ke atas!
"Kalian
cepat kejar mereka!" teriaknya kepada pemimpin ke dua dan kepada Ji Tang,
pemimpin ketiga, sedangkan dia sendiri sudah meloncat kearah dua orang
pembantunya yang saling serang itu.
"Berhenti!"
teriaknya sambil menggerakkan golok menangkis.
"Trang-trang!"
"Berhenti,
apakah kalian berdua sudah gila, saling serang sendiri?"
Si gendut
dan si kurus saling pandang, terbelalak dan bingung.
"Aku
tadi menyerang setan!" kata si gendut.
"Akupun
menyerang iblis!" kata si kurus.
Tentu saja
ulah yang aneh itu akibat pengaruh sihir Hay Hay. Sekarang karena Hay Hay telah
pergi mereka sadar kembali dan Ma Kiu dapat menduga bahwa tentu ada musuh yang
menggunakan ilmu sihir. Tentu peristiwa semalam yang menggegerkan karena
disangka tiga buah mayat dalam peti mati hidup kembali juga merupakan perbuatan
musuh itu.
Musuh itu
dan wanita bule telah melarikan diri, yaitu dua bayangan tadi. Dia segera
mengajak si gendut dan si kurus untuk melakukan pengejaran agar dapat membantu
dua kawan terdahulu yang telah melakukan pengejaran.
Mereka
mendengar derap kaki kuda dan ke sanalah mereka berlari. Akan tetapi mereka
hanya menemukan Ji Tang dan orang kedua mengerang kesakitan dengan dahi
terluka.
"Dimanakah
mereka? Apa yang terjadi?" tanya Ma Kiu penasaran.
"Ahh,
si keparat itu!"
Ji Tang
mengepal tinju mengamangkan tinju itu ke arah bayangan yang kini nampak sudah
jauh sekali, dan bunyi derap kaki kuda juga tinggal sayup sayup saja.
"Kiranya
yang melarikan gadis bule itu adalah seorang laki-laki yang mengenakan caping
lebar. Tentu dia yang semalam mempermainkan kita semua, dan agaknya dia pandai
ilmu sihir. Ketika tadi kami mengejar sampai disini, mereka melompat ke atas
kuda milik gadis itu, dan si caping lebar menyambit kami dengan batu, mengenai
dahi kami."
Ma Kiu
menyumpah-nyumpah, memaki kawan-kawan dan anak buahnya penakut dan
tolol, akan
tetapi tentu saja mereka tidak berani melakukan pengejaran kedalam kota.
Keterangan
yang diberikan Ji Tang memang benar. Hay Hay yang tadi menggunakan sihir
membuat dua orang pimpinan gerombolan itu saling serang di depan guha,
kemudian, menggunakan kesempatan itu dia mengajak Sarah untuk lari keluar dari
guha dengan membalikkan baju ke atas menutupi muka mereka. Di balik baju, dia
menggandeng tangan Sarah dan dia seperti menarik tubuh Sarah dibawa berlari
cepat, menuju ke tempat dia menyimpan kuda.
"Cepat
naiklah kudamu, aku mengikuti dari belakang." Kata Hay Hay.
"Tidak!"
Sarah berkukuh. "Aku tidak mau naik kuda kalau engkau berjalan kaki."
"Habis,
bagaimana ? Aku hanya mendapatkan seekor kuda, tidak terdapat kuda lain, entah
mereka sembunyikan dimana."
"Kudaku
ini kuda pilihan yang kuat. Kita menunggang kuda bersama, berboncengan, atau
bersama pula kita berlari!"
Karena
khawatir dikejar puluhan orang dan Sarah tentu terancam bahaya, Hay Hay tidak
mau banyak berbantah lagi.
"Baik,
kita berboncengan!" katanya dan dia sudah melihat datangnya dua orang yang
berlari cepat ke arah mereka.
Tanpa banyak
cakap lagi dia memeluk pinggang Sarah dan mengangkatnya naik ke atas kuda,
kemudian dia memungut dua buah batu sebesar telur ayam dan menyambit dua kali
ke arah dua orang yang berlari menghampiri. Sambitan tepat mengenai dahi dan
dua orang itupun terpelanting dan mengaduh-aduh. Hay Hay meloncat ke atas
punggung kuda, di belakang Sarah dan gadis itu yang sudah memegang kendali kuda
lalu membalapkan kudanya meninggalkan tempat itu.
Mereka
menunggang kuda tanpa pelana karena ketika Hay Hay menemukan kuda itu,
pelananya tidak ada, entah disimpan dimana. Untung bahwa kendali kuda masih
dipasang. Kini kuda dilarikan kencang dan mereka duduk tanpa pelana. Tubuh
Sarah tegak dan lentur, tanpa tahu bahwa ia memang ahli menunggang kuda, ,Hay
Hay juga biasa menunggang kuda, akan tetapi belum pernah dia menunggang kuda
tanpa pelana, apalagi berboncengan seperti itu.
Ketika kuda
dilarikan kencang, dia terpaksa memeluk pinggang gadis itu dengan kedua tangan
untuk menjaga keseimbangan badannya dan tubuhnya merapat dengan tubuh belakang
Sarah. Dia memejamkan mata dan mengerahkan kekuatan batinnya untuk membayangkan
yang bukan-bukan, tidak merasakan tubuhnya yang merapat dengan tubuh Sarah.
Setelah
mereka keluar dari daerah bukit yang berguha-guha itu, Hay Hay berkata,
"Cukup,
Sarah. Kita sudah keluar dari daerah mereka dan kulihat tidak ada yang
mengejar. Kasihan kudamu kalau disuruh membalap terus."
Diam-diam
hatinya mengeluh. Akulah yang patut dikasihani, seperti tersiksa oleh bisikan
setan!....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment