Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 14
Mereka tidak
tahu benar apakah rahasia itu terbawa oleh Kakek Yu, akan tetapi mereka tetap
khawatir. Setelah melihat kakek itu tewas, para pembunuh itu mengejar-ngejar
seorang pemuda yang berada di dekat kakek itu sebelum Yu Siucai meninggal
dunia, maka pemuda itulah yang mereka kejar-kejar! Dan pemuda itu bukan lain
adalah Hay Hay seperti telah diceritakan di bagian depan.
Biarpun
kakek Yu sudah tewas, tetap saja kepala daerah merasa khawatir dan mulailah dia
melakukan pembersihan, menangkap pejabat-pejabat yang diangapnya dekat dengan
Jaksa Yu. Banyak orang tidak berdosa ditangkap, bahkan mereka yang tidak tahu
apa-apapun ikut tertangkap dan dihukum mati dengan tuduhan memberontak!
Pagi hari
didalam benteng tempat tinggal orang-orang Portugis. Di sebuah gedung terbesar
didalam perbentengan itu, Sarah sudah sejak pagi sekali bangun dari tidurnya,
mandi sambil bernyanyi-nyanyi gembira menyaingi burung-burung yang berkicau di
pohon-pohon yang tumbuh di taman dalam perbentengan, bertukar pakaian lalu
membantu pelayan membuatkan sarapan pagi untuk ayahnya dan ia sendiri.
Pagi itu ia
merasa gembira bukan main karena kemarin ayahnya sudah berjanji akan
mengajaknya naik kuda ke perbukitan diluar kota Cang-cow. Gadis ini memang
sejak kecil mempunyai kegemaran menunggang kuda dan ia bahkan ketika berusia
dua belas tahun, pernah menggondol kejuaraan menunggang kuda di negerinya.
Setelah ia mengikuti ayahnya ke Cina dan tinggal di dalam perbentengan
Cang-cow, ia tidak pernah meninggalkan kegemaran ini.
Akan tetapi,
karena berada di negeri asing dan hidup terkurung di dalam perbentengan, ia
merasa kurang leluasa. Ia hanya dapat menunggang kuda dan berputar-putar di
dalam benteng atau kalaupun ia diperbolehkan ayahnya berkuda keluar benteng, ia
tidak boleh seorang diri, harus ada pengawal.
Tidak begitu
menyenangkan berkuda di kota, karena selain jalan-jalan terlalu ramai sehingga
ia harus menunggang kuda yang dijalankan perlahan-lahan, iapun menjadi
tontonan. Akan tetapi kalau sekali waktu ayahnya mengajaknya menunggang kuda
keluar kota, ke bukit-bukit, ke padang rumput, sungguh ia baru dapat menikmati
kegemarannya itu. Ia dapat melarikan kudanya dengan bebas tanpa gangguan! Dan
pagi hari ini, ayahnya kemarin menjanjikan untuk mengajak puterinya berkuda di
perbukitan di luar kota!
Setelah
menghidangkan roti panggang dengan mentega, selai dan telur mata sapi kegemaran
ayahnya, Sarah lalu menghampiri kamar ayahnya. Diketuknya pintu kamar itu.
Hanya ia seoranglah yang berani mengetuk pintu kamar ayahnya sepagi itu! Kalau orang
lain yang mengganggunya sepagi itu, tentu Kapten Armando akan marah sekali.
Ketika pintu
terketuk, terdengar dia sudah menyumpah-nyumpah, lalu terdengar sandal diseret
dan daun pintu terbuka. Wajah yang masih kusut dan sudah siap untuk memaki itu,
tiba-tiba saja menjadi cerah dan mulut yang cemberut berubah menjadi senyuman
ramah.
Memang pria
setengah tua ini amat mencinta puterinya yang merupakan anak tunggal dan
merupakan satu-satunya orang yang dekat dengan dia. Dia mengasihi Sarah
melebihi dirinya sendiri.
"Selamat
pagi, Ayah!" kata Sarah, tidak perduli melihat ayahnya masih belum sadar
benar agaknya dari tidurnya.
"Selamat
pagi, Sarah. Sepagi ini engkau sudah menggugah ayahmu?" teguran ini lebih
merupakan salam daripada kemarahan.
"Maafkan
aku, Ayah. Agaknya Ayah lupa akan janjimu terhadapku. Bukankah kemarin Ayah
berjanji akan mengajak aku berkuda diperbukitan? Semakin pagi kita berangkat,
semakin indah menyenangkan, Ayah. Hayo, mandilah, sarapan pagi sudah
kusediakan!"
Kapten
Armando memandang kepada puterinya dengan mata dilebarkan, lalu dia menepuk
kepala sendiri,
"Ahhh,
terlalu banyak anggur kuminum semalam, terlalu banyak hal penting yang
dibicarakan dengan para pejabat sehingga aku sampai lupa memberitahu kepadamu
semalam. Aihh, sayangku, sungguh aku menyesal sekali, akan tetapi pagi hari ini
ayahmu tidak mungkin dapat menemanimu....."
"Ayah.....!"
Sarah
merajuk, mulutnya yang berbibir merah basah itu cemberut, alisnya berkerut dan
matanya yang lebar itu tiba-tiba saja menjadi basah.
Kapten
Armando melangkah maju dan merangkul puterinya, diajaknya masuk ke kamar, lalu
diajaknya duduk di atas kursi panjang yang lunak.
"Anakku,
jangan kecewa. Bukan ayahmu tidak suka menemanimu, akan tetapi pagi ini tidak
mungkin aku dapat pergi karena aku harus menghadiri pelaksanaan hukuman
pemberontak."
Dengan
punggung tangan Sarah menekan kedua matanya sehingga air mata yang mernenuhi
pelupuk itu terjatuh menjadi dua tetes air mata. Ia memandang ayahnya.
"Siapa
kali ini pemberontak yang akan dihukum mati, Ayah?"
Kapten
Armando menarik napas panjang.
"Tidak
kita sangka sama sekali. Dia adalah Perwira Cung "
Sarah
membelalakkan matanya yang sudah lebar.
"Perwira
Cung yang gagah dan sopan itu, yang pernah berkunjung ke mari beberapa
kali?"
Kapten
Armando mengangguk.
"Benar,
dia ditangkap karena ada bukti-bukti bahwa dia bersekongkol dengan keluarga
Jaksa Yu yang sudah dihukum beberapa bulan yang lalu."
"Aih,
Ayah. Tidak perlu Ayah menyaksikan pelaksanaan hukuman terhadap seorang yang
tadinya menjadi sahabat baik Ayah. Lebih baik Ayah berkuda dengan aku ke luar
kota untuk melupakan peristiwa yang mengerikan itu."
Akan tetapi
ayah itu menggeleng kepalanya.
"Tidak
mungkin, sayang. Pelaksanaan hukuman terhadap seorang pemberontak harus
dihadiri semua yang diundang karena dimaksudkan sebagai peringatan bagi mereka
yang menyaksikan agar jangan mencoba-coba untuk melakukan pemberontakan."
Sarah
mencibir dan bibir bawahnya yang berjebi itu seperti menantang untuk dicium.
"Huh,
siapa sih yang ingin memberontak? Yang pasti, Ayah tidak, bukan? Ayah, sejak
pagi sekali aku sudah bangun dan senang sekali hatiku karena membayangkan akan
berkuda dengan Ayah ke bukit-bukit. Siapa tahu akan berakhir mengecewakan
begini....! Huh, melihat orang dihukum mati!"
Kapten
Armando mengusap rambut kepala puterinya dengan belaian penuh kasih sayang.
"Jangan
kecewa, Anakku. Engkau tetap boleh berkuda di perbukitan pagi ini, bahkan tadi
malam sudah kuminta Gonsalo untuk menemaninya."
"Kenapa
Gonsalo? Aih, aku tidak suka, Ayah!” kata dara itu, merajuk.
"Eh?
Jadi engkau tidak suka pergi pagi ini?"
"Aku
tetap ingin pergi berkuda, akan tetapi tidak dengan Kapten Gonsalo! Lebih baik dengan
perajurit pengawal biasa saja, Ayah."
Kapten
Armando mengerutkan alisnya yang tebal,
"Sarah
sayag, kenapa engkau selalu kelihatan tidak suka kepada Gonsalo? Dia adalah
pembantu ayahmu, dan dia seorang kapten yang baik pula. Selain itu, bukankah dia
seorang pemuda yang belum menikah, tampan dan gagah pula? Dia juara tinju, dia
ahli tembak cepat, dia...."
"Sudahlah,
Ayah! Tidak ada gunanya memuji-muji dia seperti Ayah hendak menjual barang
dagangan saja! Bagaimanapun juga, aku tidak tertarik, aku bahkan
membencinya!"
"Ehh?
Engkau aneh sekali, Sarah. Kalau tanpa alasan, bagaimana mungkin membenci
seseorang? Tentu ada sebabnya yang membuat engkau membencinya. Nah, katakan
kepada ayahmu, apakah sebab itu?"
Sarah
bersungut-sungut. Memang tidak pernah kapten muda itu melakukan sesuatu yang
dapat ia laporkan kepada ayahnya. Kapten Gonsalo selalu bersikap sopan dan
lembut kepadanya. Bagaimanapun juga, ia tidak berbohong ketika mengatakan bahwa
ia tidak suka kepada kapten itu. Ia tahu bahwa ayahnya seorang yang berhati
keras dan selalu menuntut kejujuran. Ayahnya pasti tidak mau menerima
pendapatnya tanpa alasan, tidak mau menerima pernyataannya membenci kapten
Gonsalo tanpa ia dapat memberikan sebabnya.
"Dia....
dia...., pandang matanya itulah yang tidak kusukai, Ayah. Pandang matanya
membuat aku merasa benci..."
"Hemmm?
Pandang matanya kenapa, Sarah?"
"Entahlah,
Ayah. Pandang matanya seperti pandang mata seekor anjing kalau sedang marah.
Aku tidak suka, Ayah. Aku ingin pergi berkuda dengan seorang perajurit saja,
atau kalau Ayah tidak setuju, biarlah aku berkuda seorang diri saja."
"Ahh.....!"
"Jangan
khawatir, Ayah. Aku dapat pergi membawa sebuah pistol untuk menjaga diri."
"Tidak,
engkau tidak boleh pergi seorang diri! Juga tidak boleh dikawal perajurit
biasa. Hanya Kapten Gonsalo seoranglah yang kupercaya sepenuhnya untuk
mengawalmu. Kalau dia yang mengawalmu, sama saja dengan kalau aku sendiri yang
mengawalmu dan hatiku akan tenang. Tanpa dia, kalau engkau pergi aku akan
selalu merasa gelisah dan khawatir. Sudahlah, jangan banyak membantah, Sarah.
Dia sudah kuperintahkan untuk mengawalmu pagi ini. Nah, aku sudah mendengar
derap kaki kudanya. Pergilah berkuda dengan dia, dan kalau dia melakukan
sesuatu yang tidak layak, katakan kepadaku, aku yang akan menghukumnya."
Kapten
Armando meninggalkan puterinya, memasuki kamar mandi yang bersebelahan dengan
kamar itu. Sarah bersungut-sungut, maklum bahwa keputusan ayahnya tak dapat
ditawar-tawar lagi. Tinggal dua pilihan baginya. Pergi berkuda dengan dikawal
Gonsalo atau tidak pergi sama sekali.
Ia menghela
napas panjang lalu keluar dari kamar ayahnya, menuju ke ruang makan dan menanti
di atas kursi menghadapi meja makan yang besar itu dengan muka cemberut. Ia sudah
siap dengan pakaian untuk berkuda. Kemeja dengan lengan panjang yang
digulungnya sampai ke bawah siku dengan leher baju terbuka. Lehernya dikalungi
sapu tangan sutera merah yang nampak kontras dengan kemejanya yang putih.
Celana panjangnya abu-abu dan sepatu boot dari kulit menutupi kaki sampai ke
bawah lutut, menutupi pula celana panjangnya bagian bawah. Pinggang yang
ramping itu diikat sabuk kulit dan iapun sudah siap dengan sebatang cambuk kuda
dari bulu halus.
Cantik
jelita dan manis sekali dara itu ketika ia mematut diri di depan cermin di
dekat meja makan itu sambil mengenakan topinya yang terhias bulu burung dan
berwarna hijau. Rambutnya yang kuning keemasan berombak menutupi tengkuk dan
punggungnya, sampai ke atas pinggang dan di dekat tengkuk diikat pula dengan
tali sutera merah.
Tak lama
kemudian, Kapten Armando memasuki ruang makan, sudah siap dengan pakaian
dinasnya, pakaian kapten yang membuatnya nampak lebih muda, dan gagah.
Akan tetapi,
pria setengah tua itu memandang kepada puterinya yang sudah mengenakan pakaian
lengkap berikut topi itu dengan kagum dan terpesona. Puterinya ini mengingatkan
dia kepada isterinya yang sudah bercerai darinya dan kini berada di negaranya
sendiri.
"Sarah,
engkau cantik sekali!"
Biarpun ia
kecewa, mendengar pujian ayahnya, Sarah tersenyum, bangkit berdiri, menghampiri
ayahnya dan mencium pipi ayahnya dengan sikap manja.
"Ayah,
aku maafkan Ayah yang tadi mengecewakan hatiku. Baiklah, aku akan pergi berkuda
di perbukitan, dikawal oleh Kapten Gonsalo."
Kapten
Armando menjadi gembira sekali. Dia merangkul puterinya, mendekap kepala yang
disayangnya itu ke dada dan mengecup pipi anaknya sampai mengeluarkan bunyi
nyaring.
"Ha-ha-ha-ha,
engkau memang anakku yang manis. Engkau darah Armando yang jujur dan keras akan
tetapi tegas! Ha-ha-ha, aku girang sekali, Sarah. Pergilah, sayang, akan tetapi
marilah kita sarapan dulu."
Ayah dan
anak itu sarapan dan nampak mereka gembira. Apalagi Kapten Armando, makannya
lahap sekali, dilayani oleh puterinya. Pada saat itu pembantu mengetuk pintu
ruangan makan, memberitahu bahwa Kapten Gonsalo sudah tiba di ruangan depan.
"Suruh
dia menanti sebentar!" kata Sarah mendahului ayahnya. Pelayan itu memberi
hormat dan pergi lagi.
"Aih,
Sarah sayang, kenapa engkau tidak mengundang Gonsalo ikut sarapan bersama
kita?" tegur Kapten Armando, akan tetapi kata-katanya lembut dan manis.
sehingga tidak merupakan teguran, lebih pantas pertanyaan.
Sarah
tersenyum. Sudah kembali kelincahannya dan kekecewaannya yang tadi sama sekali
tidak ada bekasnya lagi.
"Ayah,
aku ingin makan pagi bersama ayah saja, tidak diganggu siapapun juga sehingga
selera makan kita tidak berkurang karenanya. Ayah, tambah lagi rotinya?"
Kapten
Armando tersenyum dan mengangguk-angguk. Dia tidak ingin merusakkan suasana
yang akrab dan membahagiakan ini dengan kehadiran Gonsalo. Bagaimanapun juga,
dia akan memberi kebebasan sepenuhnya untuk memilih sendiri kekasih dan calon
suaminya. Dia ingin puterinya berbahagia, dan kebahagiaan perjodohannya hanya
mungkin kalau puterinya itu memilih sendiri jodohnya.
Setelah
selesai makan, mereka berdua keluar dan menuju ke ruangan tamu di depan. Di
situ Gonsalo telah menanti dan pemuda ini duduk di sebuah kursi tamu yang
nyaman. Wajahnya tetap riang dan cerah walaupun di dalam hatinya dia kecewa
mengapa Sarah dan ayahnya tidak mengundang dia makan pagi bersama, walau hanya
untuk basa-basi saja. Dari pelayan tadi dia tahu bahwa ayah dan anak itu sedang
sarapan di ruangan makan. Akan tetapi, sengaja perasaan kecewa itu disembunyikan
di balik senyum yang ramah dan wajah yang cerah.
"Selamat
pagi, Kapten Armando! Selamat pagi Sarah!" dia menyalam dengan ramah.
"Lihat, aku telah siap. Kita berangkat sekarang, Sarah? Kudamu sudah
kusuruh siapkan tadi, menanti diluar."
Kapten
Armando menyambut salam itu dan mengangguk-angguk. Di dalam hatinya dia merasa
heran mengapa puterinya tidak senang kepada pemuda ini. Padahal menurut dia,
mata kapten muda itu bagus sekali, tajam dan penuh ketegasan.
"Selamat
menikmati hari yang cerah ini, Gonsalo, Sarah, jangan terlalu jauh dari daerah
yang aman, dan Gonsalo, jangan terlalu larut kalian pulang. Berhati-hatilah,
jaga baik-baik Sarah karena pelaksanaan hukuman terhadap pemberontak ini
sedikit banyak menimbulkan keguncangan. Aku serahkan keselamatan anakku di
tanganmu."
Kapten
Gonsal0 memberi hormat secara militer.
"Siap,
Kapten! Saya akan melindungi Sarah dengan taruhan nyawaku sendiri!"
"Aku
pergi, Ayah!"
Sarah sudah
lari ke depan, agaknya tidak senang mendengarkan percakapan antara ayahnya dan
Gonsalo, terutama mendengar janji Gonsalo yang muluk itu.
Tak lama
kemudian, Sarah dan Gonsalo sudah menunggang kuda. Sarah melarikan kudanya
keluar kota melalui pintu gerbang kota sebelah barat, dan Gonsalo mengikuti
dari belakangnya. Ketika mereka keluar dari benteng dan menjalankan kuda mereka
di kota Cang-cow tadi, mereka menjadi tontonan yang mengagumkan.
Memang
serasi dua orang ini. Yang wanita cantik jelita, rambutnya seperti benang emas
tertimpa sinar matahari pagi, tubuhnya yang padat ramping itu duduk di atas
sela kuda demikian lentur dan enaknya, tanda bahwa gadis ini memang ahli
menunggang kuda.
Yang
mengiringkan di belakangnya, Gonsalo juga amat menarik. Rambutnya kecoklatan,
demikian pula warna matanya. Tubuhnya tinggi besar dan tegap, duduk dengan
tegak di atas kudanya dengan sikap penuh wibawa. Pakaian kaptennya berkilauan
dengan hiasan dari perak dan emas, di pinggangnya tergantung sebuah pistol hitam,
di punggung kanan tergantung sebatang pedang, tangannya memegang cambuk kuda.
Kepalanya tertutup topi tentara yang membuat wajahnya nampak semakin ganteng.
Begitu
keluar dari pintu gerbang kota, Sarah lalu membalapkan kudanya menuju bukit di
depan. Melihat ini, Gonsalo tersenyum dan diapun mempercepat larinya kuda,
mengejar. Diam-diam Sarah merasa mendongkol bukan main. Kapten Gonsalo ini
benar-benar telah merusak kegembiraannya. Kalau saja ia berkuda dengan ayahnya,
ia tentu akan menjalankan kudanya perlahan-lahan, menikmati udara luar kota
yang sejuk jernih, menikmati munculnya matahari pagi yang diantar kicau burung
dan semilirnya angin perbukitan, menyamankan pandang mata dengan pemandangan
yang indah, rumput-rumput hijau segar, pohon-pohon yang rimbun, bunga-bunga
liar yang beraneka warna.
Akan tetapi,
sekarang ia tidak dapat menikmati semua itu. Ia melarikan kudanya, membalap
tanpa memperdulikan segala keindahan di sepanjang perjalanan. Seolah-olah ia
bukan sedang berkuda menikmati pagi hari dan pemandangan aneh, melainkan sedang
melarikan diri dengan kudanya, menjauhi sesuatu yang tidak menyenangkan. Akan
tetapi yang tidak menyenangkan itu selalu mengikutinya dari belakang!
Berjam-jam
Sarah melarikan kudanya, naik turun bukit sampai Kapten Gonsalo menyusulnya dan
berteriak,
"Sarah,
berhenti dulu! Kudamu dapat kehabisan napas dan jatuh sakit!"
Mendengar
seruan ini, Sarah teringat akan kuda yang disayangnya itu. Ia menghentikan
kudanya dan benar saja. Kudanya terengah-engah, mendengus-dengus dan dari
hidung dan mulutnya keluar uap, tubuhnya berkeringat. Iapun merasa kasihan
sekali dan cepat meloncat turun dari atas punggung kudanya, melepaskan kendali
dan membiarkan kudanya beristirahat sambil makan rumput segar.
Gonsalo juga
turun dari kudanya yang juga kelelahan. Dia memandang kepada Sarah yang
melangkah menjauhkan diri, menuju ke tepi jurang dari mana ia dapat memandang
keindahan alam di bawah bukit. Gonsalo menarik napas panjang. Dia merasa heran
mengapa dara ini tidak kelihatan gembira, bahkan seperti orang marah. Rambut
gadis itu awut-awutan karena tadi melarikan kuda dengan cepatnya. Dia lalu
membuka topi, merapikan rambut dengan sisir, lalu mengenakan lagi topinya dan
menghampiri Sarah.
"Sarah....,"
panggilnya ketika dia tiba dibelakang gadis itu.
Sarah
membalikkan tubuhnya dan sejenak ia mengamati kapten muda di depannya. Seperti
biasa, pakaian kapten ini serba rapi, bahkan biarpun mereka tadi membalapkan
kuda, agaknya tidak ada sehelai rambut pun yang kusut. Demikian rapi dan
teratur! Dan Sarah tidak menyukai ini. Seperti bukan manusia saja, seperti
boneka!
"Ya,
Kapten?" jawabnya sambil lalu dan kini matanya kembali memandang ke arah
bawah bukit.
"Sarah,
namaku Gonsalo!"
"Ya,
ada apakah, Kapten Gonsalo?"
"Sarah,
kita sudah menjadi sahabat, bukan? Aku adalah pembantu ayahmu, juga sahabatnya,
berarti sahabatmu pula. Kenapa engkau masih menyebut aku kapten? Aku tidak suka
kau sebut kapten, panggil namaku saja."
"Akan
tetapi aku suka menyebut kapten!" kata Sarah, berkeras dan kini ia
membalik dan menentang pandang mata kapten itu dengan berani. "Engkau
memang seorang kapten, bukan? Lihat pakaianmu, lihat topimu, pistol dan
pedangmu! Lihat sikapmu! Engkau seorang kapten tulen, kenapa tidak kusebut
kapten?"
"Tapi,
aku tidak suka resmi-resmian, terutama denganmu, Sarah."
"Akan
tetapi aku suka, Kapten Gonsalo Sudahlah, tidak perlu berdebat, Kapten. Aku
akan melanjutkan perjalanan."
Sarah
memasang kembali kendali kudanya yang sudah pulih kesegarannya, kemudian
meloncat ke punggung kuda dan menjalankan kudanya. Kini ia tidak melarikan
kudanya dengan cepat seperti tadi karena ia merasa kasihan kepada kuda
kesayangannya itu.
Gonsalo juga
menunggang kudanya dan mencoba menjalankan kuda di samping kuda Sarah. Akan
tetapi, setiap kali kuda Gonsalo tiba di samping kuda Sarah, dara itu
mempercepat kudanya sehingga ia selalu berada di depan Gonsalo. Hal ini tentu
saja membuat hati kapten itu menjadi semakin panas dan mendongkol.
"Sarah,
kita sudah terlalu jauh, sebaiknya kembali saja. Ayahmu tadi sudah berpesan
agar kita tidak terlalu jauh," berulang kali Gonsalo meneriaki Sarah, akan
tetapi dara itu tidak perduli dan terus saja menjalankan kudanya ke bukit di
depan.
Tiba-tiba
terdengar teriakan ketakutan.
"Setan.....!
Setan....!"
Seorang
laki-laki berusia empat puluhan tahun, dengan pakaian compang-camping dan yang
tadi agaknya sedang menyabit rumput, kini bangkit berdiri, terbelalak memandang
kepada Sarah, berteriak-teriak dan mengacung-acungkan sabitnya dengan sikap
mengancam.
"Sarah,
minggir!"
Gonsalo
berteriak. Orang yang memegang sabit itu seperti hendak menyerang dan kuda yang
ditunggangi Sarah terkejut karena orang itu berteriak-teriak. Kuda itu
meringkik dan mengangkat kedua kaki depan ke atas. Untung bahwa Sarah telah
terlatih baik sehingga tidak mudah terlempar dari punggung kudanya.
"Setan
rambut emas....! Setan jahat, pergilah....!" orang itu berteriak-teriak
ketakutan dan mengacungkan sabitnya lagi.
"Darr....!"
terdengar letusan dan orang itupun terjungkal, merintih-rintih memegangi paha
kirinya yang berlumuran darah.
"Kapten,
kenapa engkau menembaknya?"
Sarah
berseru kaget dan ia cepat meloncat turun dari atas kudanya dan menghampiri
orang yang tertembak itu. Orang itu memandang kepadanya dengan muka pucat, mata
terbelalak ketakutan. Sabitnya tadi entah terlempar kemana ketika dia roboh.
"Setan.....
setan..... jangan ganggu aku...! Pergilah....!" Orang itu berteriak lemah.
Sarah sudah
pandai berbahasa daerah. Selama ini, ia mempelajari bahasa pribumi dengan
tekun. Ia berlutut dekat orang itu.
"Jangan
takut, sobat. Aku bukan setan, aku manusia biasa. Biar kuperiksa
lukamu....!" Ia pernah pula mempelajari ilmu pengobatan.
"Sarah,
jangan dekat dia! Dia berbahaya!" teriak pula Gonsalo sambil meloncat dan
mendekati, pistol revolver masih di tangannya.
"Kapten,
mundurlah dan jangan turut campur!" Sarah membentak marah, mengejutkan
kapten itu.
"Jangan
sentuh aku..... kau setan.... pergilah....!" orang itu berteriak-teriak
lagi sehingga Sarah tidak berani menyentuhnya.
Pada saat
itu, muncul tiga orang dusun dengan sikap takut-takut. Sarah cepat berkata
kepada mereka.
"Jangan
takut, temanmu ini terluka, aku ingin memeriksa dan mengobatinya."
Mendengar
Sarah bicara dengan lembut, tiga orang laki-laki itu menghampiri dan ketika
melihat orang yang compang-camping itu terluka pahanya, seorang diantara mereka
bertanya,
"Kenapa
pahanya terluka ?"
Sarah
menjadi bingung.
"Dia
tadi muncul tiba-tiba, mengejutkan kami dan kuda kami. Temanku itu mengira dia
hendak menyerang, maka menembak kakinya...." ia merasa menyesal sekali,
"Maafkan kami...."
"Hemm,
dia memang seorang yang sinting," kata pula orang tertua dari mereka.
"Dia belum pernah ke kota, belum pernah melihat seorang wanita asing
seperti nona." Tiga orang itu lalu membantu orang terluka itu bangun.
"Biar
kuperiksa dan kuobati dia, aku dapat mengobatinya " kata Sarah.
"Tidak
perlu, Nona. Kami dapat mengobatinya sendiri."
Tiga orang
itu memapah orang terluka tadi dan membawanya pergi tanpa berkata apa-apa lagi.
Sarah berdiri mematung, merasa menyesal bukan main.
"Sudahlah,
Sarah. Perlu apa memikirkan dia? Dia hanya seorang gila." kata Gonsalo.
Mendengar
ini, Sarah membalik dan menghadapi Gonsalo dengan sinar mata berapi.
"Justeru
karena dia gila maka dosamu semakin bertumpuk! Dia seorang gila yang tidak
berdaya, dan engkau begitu saja menembaknya! Engkau curang dan kejam!"
Setelah menghardik itu Sarah lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan
melarikan kuda itu.
"Sarah,
tunggu! Kau tidak adil! Hal itu kulakukan untuk melindungimu!" teriak
Kapten Gonsalo, akan tetapi Sarah telah membalapkan kudanya lagi, dikejar oleh
kapten itu.
Sarah
membalapkan kudanya menuju ke sebuah bukit yang nampak hijau di depan. Dara ini
tidak perduli lagi kemana dia menuju, pokoknya hendak menjauhi Gonsalo yang
dibencinya.
"Sarah!
Jangan ke bukit itu! Disana penuh hutan dan berbahaya!" teriak Gonsalo.
Akan tetapi
Sarah tidak perduli, bahkan mendengar larangan itu semakin bersemangat,
membalapkan kudanya mendaki bukit. Gonsalo mengejar, akan tetapi kuda yang
ditunggangi Sarah memang seekor kuda pilihan yang lebih baik, lebih baik
daripada tunggangan Gonsalo. Dan dara itu memang pandai sekali menunggang kuda,
maka Gonsalo selalu tertinggal di belakang.
Benar saja
peringatan Gonsalo tadi. Ketika tiba di lereng bukit, kuda Sarah memasuki
sebuah hutan. Matahari sudah naik tinggi dan hutan itu tidak gelap lagi,
walaupun memang merupakan hutan liar dengan pohon-pohon raksasa yang sudah tua.
Sarah tidak perduli. Hatinya masih panas dan mendongkol.
Tiba-tiba
nampak banyak orang berloncatan keluar dari pohon-pohon dan semak-semak. Sarah
menahan kudanya agar tidak menabrak orang-orang yang menghadang di depan. Ia
terbelalak ketika melihat bahwa ia telah dikepung oleh belasan orang iaki-laki
yang kelihatan bengis dan mereka semua memegang golok dengan sikap mengancam!
"Wah,
ada bidadari rambut emas kesasar kesini!"
"Aduh
cantik sekali!"
"Tangkap
saja, tentu uang tebusannya lumayan!"
"Sudah
lama aku ingin mendapatkan seorang wanita kulit putih!"
Sikap mereka
kasar dan kurangajar, dan Sarah yang pernah mendengar cerita tentang keadaan di
bagian dalam negeri asing ini, dapat menduga bahwa tentu mereka inilah yang
dinamakan gerombolan perampok!
"Jangan
bergerak! Angkat tangan semua atau akan kutembak mampus kalian!" tiba-tiba
Kapten Gonsalo berteriak dengan suara lantang. Bahasa daerahnya tidak selancar
Sarah, namun kata-katanya cukup jelas dan dimengerti.
Para
perampok itu memandang kepada Kapten Gonsalo yang sudah meloncat turun dari
atas kudanya. Kapten ini menodongkan pistolnya ke arah mereka, sikapnya gagah
dan matanya mencorong. Melihat bahwa musuh hanya seorang saja, walaupun ia
memegang senjata api yang telah mereka kenal sebagai senjata rahasia yang menakutkan
dan berbahaya.
"Serbu,
bunuh setan putih itu!" bentak seorang diantara para perampok dan
merekapun berteriak-teriak sambil menerjang ke arah Gonsalo sambil
mengayun-ayun golok mereka yang berkilauan saking tajamnya.
"Daar-dar-darrr.....!!"
sampai tujuh kali senjata api di tangan Gonsalo meledak dan dia memang penembak
mahir yang hebat.
Peluru yang
tinggal tujuh butir di pistolnya itu meledak dan robohlah tujuh orang perampok!
Akan tetapi, ledakan itu bahkan mendatangkaan lebih banyak lagi perampok dan
kini dengan pedang di tangan karena pistolnya sudah kosong dan dia tidak keburu
mengisinya dengan peluru baru lagi. Kapten Gonsalo dengan gagah berani menanti
datangnya serangan.
Dia memang
seorang ahli pedang yang hebat, bukan saja penembak mahir, akan tetapi juga
ahli bermain pedang dan juga seorang petinju jagoan. Kini dia dikeroyok belasan
orang pedangnya diputar cepat dan terdengar suara berdencingan ketika pedangnya
bertemu dengan golok para pengeroyoknya. Tinju kirinya saja bergerak dan
seperti seekor harimau terluka Kapten Gonsalo mengamuk.
Tinjunya
merobohkan beberapa orang, demikian pula pedangnya. Akan tetapi, para
pengeroyoknya adalah perampok-perampok ganas yang pandai silat pula. Pihak
musuh terlalu banyak dan Kapten Gonsalo sudah menderita luka di paha dan
pangkal lengan kirinya. Tahulah dia bahwa kalau dilanjutkan, akhirnya dia akan
roboh dan mati konyol. Apalagi ketika dia mencari dengan pandang matanya tidak
dapat menemukan Sarah. Dara itu tidak nampak lagi, entah kemana. Berhasil lari
menyelamatkan dirikah? Atau tertawan musuh? Jantungnya berdebar penuh
kegelisahan ketika timbul dugaan ini.
Celakalah
kalau Sarah tertawan penjahat-penjahat ini! Akan tetapi, dia harus dapat
menyelamatkan diri lebih dahulu kalau dia ingin mencari tahu tentang Sarah.
Sukur kalau dapat menyelamatkan diri. Kalau tertawanpun, dia harus dapat lolos
dulu untuk berusaha menolong dara itu.
Kapten
Gonsalo mencabut lagi pistolya dan membentak.
"Angkat
tangan atau kutembak kalian!"
Mendengar
bentakan ini, para pengeroyok terkejut, ada yang menjatuhkan diri bertiarap,
ada yang meloncat jauh ke belakang, dan kesempatan ini dipergunakan oleh Kapten
Gonsalo untuk lari ke arah kudanya dan meloncat ke punggung kuda, terus
melarikan diri. Dia tidak melihat kuda Sarah, dan para perampok itu tidak
berkuda, maka dengan mudah ia melarikan diri tanpa dapat dikejar mereka.
Biarpun paha
dan bahunya terluka dan terasa nyeri dan perih, dan hanya dapat ia balut dengan
kain untuk menghentikan darah mengucur, namun kapten itu tidak mengenal lelah,
mencari Sarah dan jejak kaki kudanya. Akan tetapi, biarpun ia berputar-putar di
sekitar bukit itu, ia tidak berhasil menemukan Sarah!
Hari sudah
menjelang sore, hatinya gelisah bukan main dan akhirnya terpaksa dia pulang
seorang diri. Dia harus cepat melapor kepada Kapten Armando, membawa pasukan
dan menyerbu sarang perampok untuk menghancurkan mereka dan merampas kembali
Sarah, kalau benar gadis itu mereka tawan. Kalau tidak demikian, dia akan membawa
pasukan mencari dara itu sampai dapat. Tentu saja dia mengharapkan Sarah sudah
dapat melarikan diri dan pulang lebih dahulu, walaupun kemungkinan ini tipis
sekali karena dia tidak melihat jejak kuda dara itu.
Hari telah
mulai gelap ketika Gonsalo memasuki pintu gerbang perbentengan Portugis. Di
pintu gerbang saja dia sudah dihadang oleh Kapten Armando yang kelihatan
gelisah, dan marah.
"Gonsalo!
Apa artinya ini? Engkau pulang selarut ini dan mana Sarah?"
Pertanyaan
ini saja sudah membuat semangat Gonsalo terbang melayang saking gelisahnya
karena dia tahu bahwa Sarah, seperti yang dia khawatirkan, belum pulang! Gadis
ini lenyap. Entah ditawan perampok, entah lari kemana. Saking kelelahan,
kesakitan dan kekhawatiran, Gonsalo tidak mampu menjawab dan tubuhnya terkulai
lemas, jatuh dari atas punggung kudanya seperti kain basah.
Ketika
Gonsalo siuman, dia telah berada di dalam kamar, dirawat oleh seorang dokter
dan Kapten Armando duduk pula di kamar itu dengan wajah gelisah. Begitu melihat
bawahannya siuman, dia lalu menghampiri.
"Gonsalo,
apa yang telah terjadi? Engkau luka-luka, dan pulang seorang diri. Dimana
Sarah? Apa yang terjadi?" Suara Kapten Armando penuh kegelisahan.
Gonsalo
bangkit duduk,
"Sarah
tidak menuruti nasehatku dan melarikan kuda ke perbukitan yang penuh hutan itu,
Kapten Armando. Kami dihadang perampok, banyak sekali jumlahnya. Aku telah
merobohkan beberapa orang dengan pistolku sampai pelurunya habis, dengan pedang
dan tinjuku. Akan tetapi mereka terlalu banyak dan dalam keributan itu aku
tidak lagi melihat Sarah. Aku hanya mengharapkan dia dapat melarikan diri,
kembali ke benteng atau entah kemana. Aku.... aku terpaksa pulang untuk melapor
dan mengambil bantuan pasukan."
"Celaka!'"
Kapten Armando bangkit berdiri dan mukanya sebentar pucat sebentar merah.
"Jangan-jangan ia ditawan perampok!"
"Aku
akan mencarinya, Kapten. Aku bersumpah akan membawanya pulang. Aku akan
meminpin pasukan. Demi Tuhan, akan kutumpas habis perampok-perampok jahanam
itu. Akan kucari sekarang juga!" Kapten Gonsalo turun dari pembaringan.
"Kita
semua harus mencarinya. Sarah harus dapat ditemukan kembali! Ini tanggung
jawabmu, Gonsalo. Aku sendiripun akan mencari dan aku akan minta bantuan
orang-orang Pek-lian-kauw. Mereka mengenal para pimpinan perampok di daerah
ini. Awas, kalau ada yang berani mengganggu anakku, akan kubasmi habis!"
Kapten
Armando marah bukan main. Pada malam hari itu juga, kedua orang perwira ini
mengerahkan pasukan yang terdiri dari seratus orang bersenjata bedil, dan
merekapun berangkat, dan diam-diam Kapten Armando sudah minta bantuan
orang-orang Pek-lian-kauw yang menyanggupi dan mereka dengan caranya sendiri
akan ikut menyelidiki dan menyelamatkan Sarah!
Tentu saja
penduduk kota Cang-cow menjadi terheran-heran melihat pasukan Portugis
malam-malam pergi meninggalkan kota. Akan tetapi kepala daerah sudah diberitahu
oleh utusan Kapten Armando bahwa pasukan itu bertugas mencari puterinya yang
hilang ketika bertamasya di perbukitan.
Kemanakah perginya
Sarah Armando? Ketika para perampok menghadangnya, Sarah terkejut bukan main.
Dan ketika Gonsalo mengamuk dengan pistolnya, menembaki para perampok sampai
ada tujuh orang roboh, kemudian melihat betapa kapten itu mengamuk dengan
pedangnya, diam-diam Sarah kagum bukan main.
Kapten itu
memang gagah parkasa. Akan tetapi, ia yang meloncat turun dari kudanya karena
kuda itu melonjak-lonjak, tidak dapat membantu dengan tembakan pistolnya. Ia
sudah mencabut senjata api itu, akan tetapi para perampok itu mengepung dan
mengeroyok Gonsalo, sehingga sukar untuk menembakkan pistol tanpa membahayakan
diri Gonsalo. Salah-salah tembakannya meleset dan mengenai kapten itu sendiri.
Selagi ia
bingung, tiba-tiba tengkuknya ditotok orang dan iapun roboh lemas. Pistolnya
dirampas dan iapun disambar oleh tangan yang kuat dan dilarikan dari situ. Ia
berusaha meronta, namun kaki tangannya tidak dapat digerakkan, juga ia tidak
mampu mengeluarkan suara.
"Kawan-kawan,
aku membawa tawanan ini lebih dahulu kepada pimpinan!" kata penawannya.
"Kalian bunuh setan putih itu!"
Dan
penawannya, seorang laki-laki tinggi kurus yang ternyata kuat sekali,
membawanya meloncat ke atas kudanya dan melarikan kuda itu dari tempat
perkelahian.
Ternyata
sarang perampok tidak berada di bukit yang penuh hutan itu karena si tinggi
kurus itu menjalankan kudanya menuruni bukit sebelah selatan, menuju ke bukit
batu-batu yang gundul dan gersang, juga jalannya sukar sekali sehingga kuda
itupun hanya dapat berjalan lambat.
Si tinggi
kurus itu tidak tahu bahwa ada sepasang mata memandang dengan heran ketika dia
membawa Sarah yang direbahkan menelungkup di atas punggung kuda, melintang di
depannya, mendaki bukit berbatu-batu itu. Orang yang mengintainya itu
bersembunyi di balik sebuah batu besar.
Dia seorahg
pemuda berpakaian biru dengan caping lebar, Hay Hay! Seperti kita ketahui,
tanpa disengaja, Hay Hay mendapatkan atau dititipi surat laporan yang amat
penting oleh mendiang Yu Siucai, surat yang mengungkapkan keadaan di Ceng-cow,
tentang persekongkolan antara pejabat-pejabat Cang-cow dan orang-orang
Portugis, juga dengan para bajak laut Jepang dan orang-orang Pek-lian-kauw.
Karena ada
usaha orang-orang lihai hendak merampas surat yang diterimanya sebagai pesan
terakhir mendiang Yu Siucai, Hay Hay menjadi ingin tahu sekali dan dia membuka
dan membaca surat itu. Ternyata berisi laporan tentang keadaan di Cang-cow yang
ada tanda-tanda akan timbul pemberontakan!
Namun, Hay
Hay merasa sangsi untuk segera membawa surat itu kepada Menteri Yang Ting Ho
atau Menteri Cang Ku Ceng di kota raja seperti dipesankan kakek Yu Siucai itu.
Urusan ini teramat penting! Bagaimana kalau laporan itu tidak benar? Dia dapat
dituduh membawa laporan palsu, walaupun dia hanya menjadi utusan. Akan tetapi
yang mengutusnya sudah tewas. Tentu dialah yang akan bertanggung jawab!
Karena itu,
maka dia tidak jadi pergi ke kota raja, melainkan membelok menuju ke kota
Cang-cow. Dia ingin melakukan penyelidikan sendiri lebih dahulu sebelum
menyampaikan laporan Yu Siucai itu. Kalau memang benar di Cang-cow terdapat
persekutuan yang membahayakan keamanan, barulah dia akan membawa laporan itu
kepada seorang diantara kedua menteri bijaksana itu. Kalau tidak benar, maka
diapun akan merobek-robek saja surat peninggalan orang yang sudah tidak ada di
dunia ini.
Demikianlah,
pada hari itu, kebetulan sekali dia tiba di kaki bukit batu-batu besar itu dan
ketika dia melihat seorang penunggang kuda datang dari depan, membawa seorahg
wanita berambut keemasan yang menelungkup di atas punggung kuda, Hay Hay
terkejut dan merasa heran. Dia cepat bersembunyi dan mengintai.
Ketika
penunggang kuda itu lewat, dia menjadi bingung. Memang benar. Yang menelungkup
dan melintang di pungung kuda, di depan penunggang kuda itu, adalah seorang
wanita kulit putih yang berambut kunihg keemasan! Apa artinya ini? Dia tidak
dapat turun tangan sembarangan saja sebelum mengetahui persoalannya.
Dia sudah
mendengar bahwa di Cang-cow memang banyak orang kuklit putih. Dia sendiri sudah
beberapa kali melihat orang kulit putih berambut warna-warni dan matanya juga
berwarna, keadaan yang membuat dia merasa heran dan juga ngeri. Mereka itu
seperti bukan manusia, mirip hantu! Bayangkan saja, kulitnya seperti tanpa
darah, berbulu seperti monyet, rambutnya ada yang kuning ada yang putih ada
yang merah, matanya ada yang biru ada coklat! Tidak wajar! Apalagi hidungnya.
Seperti paruh burung dan pakaiannya juga aneh-aneh!
Akan tetapi
belum pernah dia melihat wanita bangsa kulit putih itu. Dan mengapa pula wanita
ini menjadi tawanan? Dia tidak dapat melihat wajah wanita itu karena
menenungkup dan rambut yang kuning emas itu awut-awutan dan riap-riapan
menutupi pipinya yang miring. Akan tetapi melihat bentuk tubuh yang terbungkus
pakaian yang ketat dari celana dan kemeja itu, dia dapat menduga bahwa wanita
itu tentulah seorang yang masih muda usia. Kulit lengan dari siku ke bawah yang
tidak tertutup lengan baju itu dan tergantung lemas di perut kuda, nampak lebih
mulus, dengan kuku jari tangan yang terpelihara rapi dan meruncing, dicat merah
muda.
Biarpun dia
tidak mau lancang mencampuri urusan si tinggi kurus yang menawan gadis kulit
putih itu, namun hati Hay Hay tertarik dan karena kunjungannya ke Cang-cow
memang untuk melakukan penyelidikan terhadap persekongkolan yang dilakukan oleh
orang-orang yang hendak memberontak, diantaranya orang kulit putih, maka tentu
saja dia merasa curiga dan diam-diam diapun membayangi kuda yang tidak dapat
lari cepat mendaki bukit yang penuh batu itu. Setelah tiba di lereng dekat
puncak bukit itu, dimana terdapat banyak guha-guha di dinding batu, kuda itu
berhenti.
Hay Hay
melihat banyak orang di sekitar lereng itu, dan guha-guha itu agaknya menjadi
tempat tinggal mereka. Ada pula wanita dan kanak-kanak, dan para prianya nampak
kekar dan kuat, dengan wajah bengis dan sikap kasar. Dia dapat menduga bahwa
tempat ini tentu merupakan perkumpulan atau sarang gerombolan, entah gerombolan
apa. Adakah hubungannya dengan persekongkolan yang dilaporkan dalam surat Yu
Siucai? Dia semakin tertarik dan ketika melihat si tinggi kurus memanggul tubuh
wanita kulit putih itu memasuki guha yang paling besar di tempat itu, diapun
menggunakan kepandaiannya untuk menyelinap masuk.
Setelah
memasuki guha, Hay Hay terkejut dan kagum. Kiranya guha itu adalah guha alami
yang dibantu tangan manusia, menjadi ruangan-ruangan seperti di dalam rumah
besar saja! Ada prabot rumah dan segala perlengkapan sehari-hari, bahkan
dipasangi pintu dan tirai kain.
Keadaan
dalam guha ini memungkinkan Hay Hay untuk menyusup dan bersembunyi dan akhirnya
dia dapat mengintai ke dalam sebuah ruangan dimana duduk lima orang yang dari
sikapnya mudah diketahui mereka adalah para pimpinan kelompok orang di
perkampungan guha ini.
Si jangkug
yang membawa wanita kulit putih tadi memasuki ruangan itu pula. Dia menurunkan
tawanannya dari pundak dan merebahkan wanita itu ke atas lantai. Kini Hay Hay
dapat melihat wanita yang telentang itu dan diapun terbelalak kagum, bahkan
terpesona sehingga dia tidak sadar bahwa matanya terbelalak dan mulutnya
ternganga, matanya tak pernah berkedip.
Belum pernah
selama hidupnya dia melihat wanita yang seperti itu! Begitu indah mempesona,
begitu cantik jelita, begitu menggairahkan akan tetapi juga mengerikan!
Mengerikan karena tak pernah selamanya dia membayangkan seorang wanita seperti
ini. Seperti bukan manusia saja! Dia mengagumi rambut yang terurai lepas itu,
yang seperti benang-benang sutera emas berkilauan. Wajah itu memiliki
garis-garis yang sempurna, bagaikan setangkai bunga teratai.
Dan tubuh
itu! Pinggangnya demikian kecil langsing, dadanya menonjol, pinggulnya besar,
kakinya panjang. Tubuh yang bukan saja indah bentuknya, akan tetapi juga
memancarkan kesehatan yang sempurna. Dan ketika wanita itu membuka kedua matanya,
hampir saja Hay Hay mengeluarkan seruan saking kagumnya. Sepasang mata yang
kebiruan, seperti dua buah batu permata saja, akan tetapi hidup, lebar dan
jeli, dengan bulu mata melengkung panjang sehingga membentuk garis tepi mata
dan bayang-bayang. Indah sekali!
Lima orang
yang berada disitu nampaknya terkejut pula melihat pembantu mereka datang
membawa tawanan yang aneh ini. Mereka bangkit berdiri dan seorang diantara
mereka yang tinggi besar seperti raksasa berkulit hitam, berseru dengan
suaranya yang menggeledek.
"Apauw!
Apa artinya ini? Siapa perempuan bule ini dan mengapa pula kau menangkapnya dan
membawanya kesini?"
“Apauw,
sekali ini engkau lancang. Betapa besar bahayanya menangkap seorang wanita
kulit putih? Tentu teman-temannya akan marah dan kalau mereka membawa pasukan
dengan senjata api menyerbu kesini, celakalah kita!" kata orang kedua yang
gendut.
Orang
ketiga, yang usianya paling muda, kira-kira tiga puluh tahun, tubuhnya tinggi
kurus dengan muka yang tampan akan tetapi matanya kejam, tertawa.
"Ha-ha-ha,
bagus sekali, Apauw. Sudah lama aku ingin sekali mendapatkan seorang wanita
kulit putih dan hari ini engkau datang membawa seorang yang begini molek
untukku!"
"Kita
manfaatkan dia!" kata orang keempat yang telinga kirinya buntung.
"Kita minta uang tebusan yang besar kepada keluarganya!"
Orang ke
lima, yang kecil kurus dan nampak paling cerdik diantara mereka, mengangkat
kedua tangan keatas.
"Kawan-kawan,
harap tenang dulu dan mendengarkan laporan Apauw, baru kita mengambil keputusan
yang tepat. Nah, Apauw, ceritakan segalanya." Apauw yang disuruh duduk di
atas kursi dekat wanita yang rebah telentang tanpa dapat bergerak itu.
Hay Hay yang
terus mengintai, semakin kagum ketika melihat betapa sepasang mata yang biru
itu sama sekali tidak memperlihatkan perasaan takut, bahkan yang nampak adalah
perasaan marah. Seorang gadis yang luar biasa, pikirnya. Gadis lain, dalam
keadaan seperti itu, pasti akan ketakutan, bahkan menangis. Akan tetapi wanita
ini sama sekali tidak menangis, tidak takut, bahkan marah. Seperti seorang
pendekar wanita saja!
"Saya
dan kawan-kawan sedang berburu binatang di hutan bukit sebelah itu. Lalu
tiba-tiba muncul dua orang penunggang kuda, wanita ini dan seorang laki-laki
muda kulit putih. Kami menghadang dan pria kulit putih itu lalu mempergunakan
senjata apinya, merobohkan tujuh orang kita...."
"Ahhh!
Keparat sekali, kenapa tidak kau tangkap laki-laki itu, malah wanita ini yang
kau bawa kemari?" bentak si tinggi kurus hitam.
"Maaf,
Toako. Pria kulit putih itu memang tangguh. Setelah peluru pistolnya habis,
saya mengerahkan teman-teman untuk mengeroyoknya dan dia mengamuk dengan
pedangnya. Dia kuat sekali. Maka, saya pikir, lebih baik wanita ini ditawan
agar dapat kita pergunakan sebagai sandera kalau kawan-kawannya datang
menyerbu."
Orang kecil
kurus tadi mengangguk-angguk.
"Benar
sekali perbuatan itu. Dengan adanya wanita ini sebagai tawanan, kita dapat
mempergunakan ia sebagai sandera, juga dapat kita mintakan uang tebusan!”
"Akan
tetapi, aku menginginkannya....!" kata yang termuda tadi.
"Itu
soal nanti. Sekarang, sebaiknya ia jangan diganggu dan kita masukkan tahanan
dengan penjagaan ketat sambil menanti datangnya laporan tentang pria kulit
putih yang dikeroyok itu."
Kini si
tinggi besar hitam yang mengambil keputusan dan empat orang yang lain tidak
berani membantah perintah kepala mereka itu.
"Biar
aku sendiri yang membawanya ke tempat tahanan," kata pula si kecil kurus
dan diapun membebaskan totokan yang membuat Sarah tidak mampu bergerak atau
bersuara.
Begitu dapat
bergerak, Sarah bangkit berdiri dan kini Hay Hay yang berada di tempat sembunyinya
menjadi semakin kagum. Gadis itu masih amat muda kalau melihat wajahnya, akan
tetapi tubuhnya sudah dewasa dan selain cantik jelita, gadis itupun amat
pemberani. Begitu dapat bergerak dan bicara, ia segera bertolak pinggang dengan
sikap angkuh dan suaranya terdengar lantang, cukup lancar dalam bahasa pribumi.
"Kalian
ini semua lelaki pengecut, perampok-perampok busuk yang tidak tahu malu! Hayo
kembalikan pistolku, dan akan kuledakkan kepala kalian satu demi satu!"
Si tinggi
kurus yang tadi menawannya terpaksa mengeluarkan sebuah pistol yang tadinya
hendak diambilnya untuk diri sendiri, dan menyerahkannya kepada si raksasa
hitam.
"lnilah
senjata apinya yang sara rampas, Toako." katanya.
Raksasa
hitam menerima pistol dengan mulut menyeringai, nampaknya senang sekali
memperoleh senjata api itu.
"Nona,
menyerah sajalah. Engkau menjadi tawanan kami dan kami tidak akan menyakitimu
selama engkau menurut." kata pemimpin yang kecil kurus tadi sambil
menghampiri. Dia menjulurkan tangan untuk memegang siku Sarah sambil berkata,
"Mari, ikut denganku."
Akan tetapi
Sarah menepiskan tangan itu lalu mengayun tinju tangan kanannya menghantam ke
arah muka orang. Laki-laki kecil kurus itu ternyata lihai juga. Dengan tenang
saja dia mengelak dan begitu sambaran tangan itu lewat, dia menangkap siku
tangan Sarah dan sekali puntir, lengan itu ditekuk ke belakang tubuh gadis itu.
Sarah menyeringai kesakitan.
"Nona,
sudah kukatakan. Menyerah saja dan engkau tidak akan disakiti. Apakah engkau
lebih suka kalau ditotok seperti tadi? Atau dirantai kaki tanganmu?"
Sarah
seorang gadis cerdik. Dia tahu bahwa dia berada di tangan orang-orang yang
tidak mengenal perikemanusiaan, dan mereka itupun pandai berkelahi. Akan
percuma kalau ia nekat melawan. Akan merugikan saja. Tentu lebih enak dibiarkan
bebas begini walaupun ditawan daripada ditotok atau dibelenggu. Iapun diam
saja, hanya mengangguk dan menggigit bibir agar tidak mengeluarkan maki-makian.
Suaranya juga terdengar tenang ketika akhirnya ia berkata.
"Baik,
aku menyerah. Akan tetapi ingat, kalau sampai aku diganggu, tentu ayahku akan
datang dengan pasukan dan kalian semua akan dibantai seorang demi seorang.
Ayahku adalah Kapten Armando, komandan benteng Portugis di Cang-cow!"
Semua orang
terkejut mendengar ini, termasuk Hay Hay. Dalam surat laporan Yu Siucai,
disebut pula tentang orang Portugis di Ceng-cow sebagai anggauta komplotan, dan
ternyata ayah gadis yang ditawan itu adalah komandan dari benteng orang
Portugis! Dan semua pimpinan perampok itupun terkejut dan mereka maklum bahwa
mereka telah bermain api.
"Bagus
sekali kalau begitu!" kata pemimpin kecil kurus yang cerdik, "Kami
akan menganggap Nona sebagai seorang tamu kehormatan, asal Nona tidak mencoba
untuk melarikan diri. Kami akan menghubungi ayahmu di Cang-cow dan kalau mereka
mau memenuhi permintaan kami, tentu Nona akan kami bebaskan dengan
baik-baik."
Sarah yang
maklum bahwa ia sama sekali tidak berdaya, menurut saja ketika ia dibawa oleh
si kurus kecil keluar dari dalam guha itu, kemudian diajak pergi ke sebuah guha
lain yang ternyata merupakan sebuah tempat tahanan istimewa!
Guha ini
tidak begitu besar, akan tetapi lengkap dan pintunya terbuat daripada besi yang
ada jerujinya. Segala keperluan hidup berada di guha itu. Setelah berpesan
kepada anak buah untuk menjaga dan mengamati guha tahanan itu baik-baik dan
bergantian siang malam, si kecil kurus lalu pergi meninggalkan Sarah.
Agak lega
rasa hati Sarah ketika ia memeriksa tempat tahanan itu ia mendapatkan bahwa
guha itu lengkap dengan tempat membersihkan diri, dengan air yang cukup banyak,
juga sebuah dipan yang terbuat dari kayu yang bersih. Ia lalu duduk di atas
dipan itu, melamun. Ia mengenang kembali kegagahan Kapten Gonsalo dan mulailah
ia melihat betapa sikapnya terhadap Gonsalo selama ini sungguh tidak ramah.
Bagaimanapun
juga, harus ia akui bahwa Gonsalo telah memperlihatkan sikap yang gagah berani.
Ia kini bahkan mengkhawatirkan nasib pembantu ayahnya itu. Pengeroyok demikian
banyaknya dan ketika ia tertawan dan dibawa pergi, ia masih sempat melihat
betapa Kapten Gonsalo mulai terdesak hebat walau dia mengamuk seperti seekor
singa marah.
Ia
mempelajari keadaan dirinya pada saat Itu. Ia tertawan gerombolan yang jahat
dan juga kuat. Ia harus bersikap tenang. Yang terpenting, ia harus dapat
membawa diri agar jangan sampai diganggu dan diam-diam ia harus mencari kesempatan
untuk melarikan diri. Andaikata hal itu tidak mungkin, ia akan menanti karena
baik Kapten Gonsalo dapat meloloskan diri atau tidak, ayahnya pasti akan
mencarinya, membawa pasukan mencari di seluruh perbukitan sampai ia dapat
ditemukan dan dibebaskan.
Bagaimanapun
juga, kini para pimpinan perampok itu sudah tahu bahwa ia puteri komandan
benteng Portugis, pasti mereka tidak akan berani mengganggunya. Dengan hati
lega Sarah menerima hidangan yang dimasukkan ke kamar atau guha tahanan itu
melalui pintu besi, dan iapun makan, kemudian membersihkan diri dan merebahkan
diri di atas dipan. Karena hari itu ia melakukan perjalanan menunggang kuda
cukup jauh dan melelahkan sebelum malam tiba ia sudah jatuh pulas.
Sementara
itu, didalam tempat sembunyinya, Hay Hay melihat gadis itu dibawa keluar.
Diapun menyelinap keluar dan berhasil membayangi sehingga dia tahu dimana gadis
kulit putih itu ditawan. Dia sudah mengambil keputusan untuk menolong dan
membebaskan gadis itu. Kalau terjadi pertempuran atau permusuhan wajar antara
gerombolan ini dengan orang kulit putih, dia tidak akan mau mencampuri urusan
mereka, tidak akan berpihak.
Akan tetapi,
sekali ini urusannya lain. Seorang gadis muda ditawan gerombolan. Tidak perduli
gadis itu bangsa apa, golongan apa, dia harus menolongnya! Hal ini ada
hubungannya dengan watak seorang pendekar yang selalu akan menolong orang yang
sedang dilanda malapetaka, dan menentang perbuatan yang mengandalkan kekuasaan
dan kekerasan. Gerombolan itu menawan seorang gadis, tentu dia harus menolong
gadis itu.
Akan tetapi,
dia melihat betapa perkampungan perampok itu penuh dengan perampok-perampok
yang jumlahnya lebih dari lima puluh orang. Agaknya akan sukar baginya untuk
dapat menolong dan melarikan gadis itu dari kepungan lawan yang sedemikian
banyaknya. Maka, diapun tetap bersembunyi, menanti datangnya malam gelap.
Dari tempat
sembunyinya, Hay Hay melihat ketika rombongan perampok dari belasan orang
memasuki perkampungan itu, membawa beberapa orang yang terluka. Bahkan diantara
mereka yang luka-luka, tidak kurang dari sebelas orang banyaknya, terdapat tiga
orang yang tewas.
Mereka itu
ternyata adalah gerombolan perampok yang tadi mengeroyok Gonsalo. Yang terluka
adalah tujuh orang yang terkena tembakan, bahkan tiga diantara mereka tewas.
Sedangkan empat orang yang lain adalah mereka yang terluka oleh pedang dan
tinju kapten muda yang gagah perkasa itu. Hay Hay mendengar pula betapa
laki-laki kulit putih yang tadinya bersama wanita tawanan itu, dapat meloloskan
diri.
Agaknya para
pimpinan perampok marah-marah melihat tiga orang anak buahnya tewas dan delapan
orang lagi luka-luka, apalagi mendengar bahwa laki-laki kulit putih yang
menyebabkan anak buah mereka tewas dan luka-luka itu dapat meloloskan diri.
"Ini
sudah keterlaluan!" bentak raksasa hitam yang menjadi pemimpin pertama.
"Sekarang kita harus menggunakan gadis kulit putih itu untuk membalas
dendam. Tidak saja orang kulit putih harus membayar seribu tail perak kepada
kita, juga pembunuh itu harus diserahkan kepada kita untuk ditukar dengan gadis
itu! Dan kalian semua harus ikut menjaga agar gadis itu tidak dapat lolos, juga
tidak ada yang boleh mengganggunya!"
Akan tetapi,
satu diantara nafsu yang membuat orang kadang suka menjadi nekat adalah nafsu
berahi. Kalau orang sudah dicengkeram nafsu ini, maka dia berani melakukan
apapun juga untuk mendapatkan apa yang dia inginkan, untuk memuaskan nafsunya
yang berkobar. Demikian pula dengan Ji Tang, orang ketiga dari lima pimpinan
perampok, yang termuda dan yang sejak melihat Sarah, sudah berkobar nafsunya
dan dia bertekat untuk mendapatkan gadis itu, walau hanya untuk sejenak. Dia
harus dapat memiliki gadis itu sebelum gadis itu dibebaskan.
Lima orang
pemimpin gerombolan itu adalah kakak-beradik seperguruan, dan mereka berlima
memiliki kepandaian yang cukup hebat sehingga mereka diakui sebagai ketua oleh
puluhan orang perampok, dikenal dengan julukan mereka Lima Harimau Cakar Besi!
Biarpun
usianya paling muda, namun Ji Tang dalam urusan persaudaraan seperguruan,
merupakan orang ketiga. Diapun lihai dan terutama sekali tenaganya yang besar
dan pandai sekali memainkan sepasang golok pendek yang selalu terselip di
pinggangnya. Akan tetapi dia memiliki suatu kelemahan, yaitu diperbudak oleh
nafsu berahinya.
Kalau empat
orang saudaranya haus akan kedudukan dan kekayaan, Ji rang selalu haus akan
wanita dan dialah orangnya yang selalu menculik wanita, bahkan anak buah yang
ingin menyenangkan hatinya, kalau dapat menculik wanita cantik selalu diberikan
lebih dahulu kepada Ji Tang. Dan diapun seorang pembosan. Entah berapa
banyaknya wanita yang setelah dia miliki untuk beberapa hari, minggu atau
bulan, dia campakkan dan dia berikan kepada anak buahnya untuk diperebutkan.
Malam itu
sunyi sekali. Bukan hanya sunyi karena malam itu gelap dan angin malam bertiup
dingin, akan tetapi juga karena hati semua anggauta gerombolan dicekam
ketegangan. Mereka maklum bahwa wanita yang ditawan itu adalah puteri komandan
benteng Portugis. Mereka semua siap siaga kalau-kalau akan terjadi penyerbuan
pasukan orang asing kulit putih itu.
Tiga buah
peti mati berada di ruangan dalam guha yang biasa dipergunakan untuk pertemuan
atau latihan silat. Tempat inipun dijaga, dan nampak keluargga dari tiga orang
anggauta yang tewas itu berkabung disitu. Lilin-lilin sembahyang bernyala di
meja-meja sembahyang yang dipasang di depan tiga buah peti mati.
Biarpun
semua anggauta gerombolan itu bersiap-siaga seperti yang diperintahkan oleh
para pimpinan mereka, namun hanya sedikit saja yang nampak di luar guha. Malam
terlalu dingin dan gelap bagi mereka untuk keluar dari dalam guha tempat
tinggal mereka yang hangat. Mereka siap-siaga dalam guha masing-masing, dan
hanya pasukan penjaga saja yang melakukan perondaan di luar guha.
"Berhenti!
Siapa itu?" bentak kepala peronda yang terdiri dari sepuluh orang ketika
mereka melihat sesosok tubuh berjalan dan berpapasan dengan mereka.
"Aku!
Jaga baik-baik!" jawab orang itu.
Cahaya lentera
yang dibawa seorang diantara para peronda menimpa wajah orang itu dan sepuluh
orang peronda itu menarik napas lega.
"Kiranya
Ji-toako."
Orang itu
memang Ji Tang. Dia melangkah dengan tenang menuju ke arah guha dimana Sarah
ditahan. Para peronda melanjutkan perondaan mereka, merasa lebih aman karena
seorang diantara para pimpinan mereka agaknya juga melakukan perondaan.
Ji Tang kini
tiba di depan guha tempat tahanan dan kembali dia ditegur enam orang penjaga
yang melakukan penjagaan di depan guha itu secara bergiliran. Akan tetapi enam
orang penjaga ini juga merasa lega ketika mereka melihat siapa yang datang.
"Aku Ji
Tang, aku akan melihat keadaan tawanan. Buka pintunya!" perintah Ji Tang
dengan suara tegas.
Biarpun enam
orang penjaga itu saling pandang karena tadi Coa Gu, ketua pertama yang raksasa
hitam itu, telah memesan kepada mereka agar siapa saja tidak diperbolehkan
memasuki guha itu.
"Akan
tetapi, Ji-toako....."
"Diam!
Aku yang datang dan kalian masih ribut? Bukakan pintunya kataku, atau harus
kupukul dulu?"
"Maaf,
Ji-toako.... maaf....."
Enam orang
itu ketakutan dan penjaga yang memegang kunci cepat mengeluarkan kuncinya dan
membuka pintu besi guha itu.
"Jaga baik-baik
disini dan jangan buka sebelum kupanggil dari dalam." kata Ji Tang yang
segera memasuki guha dan menutupkan daun pintu dari dalam.
Penjaga itu
cepat menguncinya kembali dari luar karena dengan pintu terkunci mereka merasa
lebih aman. Mereka saling pandang dan tersenyum membayangkan apa yang akan
terjadi di dalam kamar tahanan itu. Bagi mereka, bukan hal aneh melihat
perbuatan ketua mereka yang nomor tiga ini. Hanya biasanya, peristiwa seperti
itu mendatangkan tawa gembira karena mereka menganggapnya lucu, sekali ini ada
perasaan khawatir karena mereka sudah dipesan dengan tegas oleh ketua pertama
bahwa siapapun tidak boleh memasuki guha itu. Mereka tahu betapa pentingnya
wanita kulit putih yang menjadi tawanan. Pintu itu berlapis, dan pintu sebelah
dalam berjeruji, akan tetapi yang luar rapat sehingga mereka tidak akan dapat
melihat atau mendengar sesuatu yang terjadi di dalam.
"Siapa.....??"
Mereka
berenam kembali bangkit dan membentak bayangan yang muncul di depan mereka.
"Bodoh,
butakah kalian? Aku Ji Tang. Hayo cepat buka daun pintunya, aku mau masuk
memeriksa tawanan!" bentak orang itu.
Enam orang
penjaga itu berdiri melongo, memandang kepada orang yang baru muncul. Mereka
merasa betapa bulu tengkuk mereka meremang. Mereka menggosok-gosok mata,
memandang lagi. Akan tetapi benar. Yang berdiri di depan mereka ini adalah Ji
Tang, ketua mereka yang ke tiga. Yang baru saja masuk tadi!
"Tapi...
tapi...., Ji-twako.... tapi...." Si pemegang kunci berkata gagap, sebentar
memandang kepada Ji Tang dan sebentar kepada pintu yang tertutup itu.
"Tadi.... bukankah baru saja Toako masuk....?"
"Kau
mimpi! Bicara ngacau-belao!" Ji Tang menggerakkan tangan kanannya
menampar. "Plakk!" Penjaga itu ditamparnya dan terpelanting.
"Hayo
cepat buka, atau kalian ingin kupukul sampai mampus?"
Kini enam
orang itu yakin bahwa mereka tidak mimpi, bahkan yakin bahwa yang berdiri di
depan mereka ini adalah Ji Tang asli. Tapi siapa yang tadi masuk? Dengan tangan
gemetar, penjaga yang memegang kunci lalu membuka daun pintu. Ketika Ji Tang
menyelinap masuk, mereka cepat menutupkan dan mengunci lagi daun pintu itu.
"Aku
pergi melapor.... !" kata kepala jaga dan diapun segera lari ke dalam
kegelapan malam untuk melaporkan peristiwa yang dianggapnya tidak masuk akal
dan amat aneh itu.
Sementara
itu, lima orang penjaga yang lain duduk berhimpitan di depan guha, di sudut dan
hawa udara bagi mereka terasa semakin dingin sehingga mereka agak menggigil.
Sarah masih
tidur pulas, sama sekali tidak tahu bahwa di bawah sinar lentera yang tadi
dipasang di dalam guha itu oleh penjaga, kini terdapat seorang laki-laki
bertubuh tinggi kurus yang menghampirinya, lalu berdiri di dekat dipan,
mengamati dirinya dengan mata yang lahap. Orang itu menjilat-jilat bibir
sendiri ketika memandang ke arah tubuhnya, sikapnya semakin gelisah seperti
seekor harimau kelaparan yang siap menerkam kelinci.
Sarah sudah
tidur lelap sejak sore tadi, cukup lama. Dan kini agaknya sinar mata orang itu
yang menggerayangi tubuhnya, terasa olehnya, seperti menggugahnya. Ia membuka
kedua matanya dan begitu melihat laki-laki itu berdiri dekat sekali, dengan
mata yang liar, dengan mulut setengah terbuka dari mana keluar napas
terengah-engah, iapun terkejut dan cepat bangkit duduk sambil menjauhkan diri.
"Siapa
kau? Mau apa kau?" bentaknya.
laki-laki
itu tersenyum dan memang wajahnya cukup tampan.
"Nona,
aku Ji Tang, ketua ketiga dari kelompok kami. Aku datang karena kasihan
kepadamu, Nona. Malam begini dingin dan engkau seorang diri saja. Aku ingin
menemanimu, Nona."
"Tidak
sudi! Keluar! Aku tidak membutuhkan teman. Enyah kau dari sini!"
Sarah
menudingkan telunjuk kirinya ke pintu sedangkan tangan kanannya dikepal. Dalam
pandangan Ji Tang yang sedang mabuk berahi, dalam keadaan seperti itu, Sarah
nampak semakin menggairahkan. Diapun melangkah maju mendekati.
"Aih,
jangan pura-pura, Nona. Aku mendengar bahwa wanita kulit putih memiliki gairah
yang besar dan selalu ingin ditemani pria. Marilah, Nona. Engkau akan senang
dan akan aman kalau menjadi kekasihku. Tidak ada orang yang akan tahu...."
Ji Tang yang sudah tidak tahan lagi, mengulurkan tangan hendak merangkul.
"Bangsat
kau! Jahanan busuk!"
Sarah memaki
dan wanita itu menggerakkan tangan kanannya memukul. Akan tetapi, sekali sambut
saja, pergelangan tangan kanan Sarah sudah ditangkap oleh Ji Tang dan diapun
merangkul, lalu menarik tubuh Sarah, diraih dan hendak dicium.
Sarah
meronta dan memalingkan mukanya, kemudian kakinya menendang. Ji Tang menyumpah
karena tulang keringnya terkena tendangan ujung sepatu yang keras. Dia gagal
mencium bibir dara itu, sebaliknya tulang keringnya kena cium!
"Brettt....!"
Baju kemeja
itu robek lebar di bagian depan ketika Sarah meronta dan berusaha melepaskan
diri dari rangkulan Ji Tang sehingga nampak baju dalamnya yang berwarna merah
muda. Melihat tubuh yang molek itu terbayang jelas, nafsu berahi makin berkobar
dalam kepala Ji Tang. Namun, tidak mudah menguasai gadis kulit putih itu.
Bahkan untuk mendapatkan sebuah ciumanpun amat sukar. Gadis itu meronta,
memukul, mencakar dan menendang, tiada ubahnya seekor kucing hendak dimandikan.
Ji Tang
menjadi marah. Dua kali dia menampar pipi Sarah, namun dara itu tidak menjadi
takut, malah mengamuk semakin kuat. Akhirnya Ji Tang terpaksa menotoknya dan
tubuh Sarah terkulai tanpa tenaga lagi. Ji Tang memondongnya dan merebahkannya
telentang di atas dipan.
Pada saat
itulah Hay Hay memasuki guha itu. Tentu saja dia yang tadi membuat para penjaga
terkejut dan terheran-heran karena dalam pandangan mereka, pemuda ini adalah Ji
Tang! Tadi Hay Hay yang bersembunyi dekat mulut guha, melihat munculnya Ji Tang
yang kemudian memasuki guha tempat dimana gadis kulit putih itu ditahan.
Tak lama
kemudian, karena dia hanya menduga bahwa pemimpin gerombolan yang bertubuh
jangkung itu, tentu mempunyai niat mesum, dia mempergunakan kekuatan sihirnya,
menyamar atau mengaku sebagai Ji Tang dan berhasil memasuki guha itu. Begitu
dia masuk, pintu guha ditutup kembali dan dikunci dari luar.
Masuknya Hay
Hay hanya terlihat oleh Sarah yang terlentang tak berdaya. Akan tetapi,
munculnya seorang pemuda ini tidak membuatnya girang karena Sarah menganggap
bahwa yang muncul ini tentulah kawan si jangkung yang kurang ajar ini. Ia tahu
bahaya apa yang mengancam dirinya. Hatinya mulai dicengkeram rasa takut dan
ngeri, akan tetapi ia tidak sudi memperlihatkannya.
Ji Tang
sendiri yang sedang diamuk nafsu berahinya, tidak melihat bahwa ada orang
memasuki ruangan ini. Dia sudah tidak sabar lagi dan diapun menerkam tubuh yang
sudah telentang tak berdaya di depannya.
Terjadilah
keanehan yang membuat Ji Tang dan juga Sarah terkejut dan terheran. Ketika Ji
Tang menerkam ke tubuh Sarah yang terlentang di atas dipan, tiba-tiba saja
tubuhnya terpentang ke belakang dan diapun jatuh terjengkang di atas lantai.
Tentu saja Ji Tang terkejut dan mengira bahwa wanita kulit putih itu yang
memiliki ilmu iblis.
Akan tetapi
karena dia tadi merasa tubuhnya seperti dibetot dari belakang, dia segera
meloncat berdiri dan memutar tubuhnya. Barulah dia tahu bahwa disitu terdapat
orang ketiga, seorang pemuda yang sama sekali tidak dikenalnya. Dia
mengingat-ingat untuk mengenal siapa pemuda itu. Tubuhnya sedang dan tegap,
dadanya bidang, wajahnya tampan dengan pakaian sederhana. Kepalanya tertutup
sebuah caping lebar dan dari bawah caping itu mengintai sepasang mata yang
mencorong, mulut yang senyum-senyum nakal. Dia tidak mengenal orang ini, bukan
seorang diantara anak buah gerombolan yang dipimpinnya.
"Siapa
kau!" bentaknya marah.
Hay Hay
tersenyum.
"Siapa
aku? Aku adalah seorang yang paling tidak suka melihat seorang laki-laki
menggunakan paksaan dan memperkosa seorang gadis, biar gadis itu seorang wanita
asing kulit putih sekalipun."
"Jahanam!
Kau hendak melindungi seorang wanita bangsa biadab?"
Hay Hay
tersenyum. Dia sudah mendengar bahwa sebagian besar dari bangsanya sendiri
selalu menyebut bangsa asing sebagai bangsa biadab! Hal ini merupakan balas
dendam karena pernah dijajah oleh Bangsa Mongol. Dan bangsa-bangsa di luar
daerah kerajaan merupakan suku-suku bangsa yang suka memberontak. Oleh karena
itu, muncullah sebutan bangsa biadab bagi bangsa asing.
Akan tetapi
tentu saja tidak semua orang berpendapat demikian, dan yang jelas dia sendiri
tidak mau menyebut biadab kepada bangsa apapun. Baginya, biadab tidaknya
seseorang tidak ditentukan oleh suku atau bangsanya, melainkan oleh
perbuatannya. Maka, mendengar ucapan atau pertanyaan yang sifatnya menuduh dari
si jangkung itu, dia tertawa.
"Ha-ha-ha,
kalau mau bicara tentang kebiadaban, maka bagiku, orang biadab adalah orang
yang melakukan perbuatan keji macam apa yang kau lakukan sekarang ini.
Engkaulah yang biadab, dan tentang wanita ini, aku belum melihat ia melakukan
perbuatan yang tidak benar, maka aku tidak dapat mengatakan ia biadab."
Hay Hay
menoleh ke arah Sarah yang masih telentang di atas dipan dengan baju kemeja
robek lebar di bagian depan. Dia melihat betapa gadis yang amat cantik jelita
itu memandang kepadanya dengan mata birunya, pandang mata penuh dengan harapan
dan permohonan. Dia pada saat itu menoleh kepada gadis itu, tiba-tiba saja Ji
Tang menyerang dengan dahsyat! Si jangkung yang curang ini mempergunakan kesempatan
selagi Hay Hay menengok untuk melayangkan pukulan maut ke arah kepala pemuda
itu segera remuk.
"Awas,
sobat!"
Tiba-tiba
terdengar Sarah berseru. Gadis ini melihat gerakan serangan itu, maka dengan
kaget ia lalu memperingatkan penolongnya, atau setidaknya pria yang
mengeluarkan ucapan membelanya dan mencela si jangkung.
Dengan
tenang Hay Hay memalingkan mukanya dan pada saat itu, pukulan tangan kanan dari
atas itu telah menyambar ke arah kepalanya. Hay Hay mengangkat lengan kiri
menangkis dan pada saat itu juga, pada saat lengannya bertemu dengan lengan
lawan, tangan kanannya sudah menyambar ke depan, jari telunjuknya menusuk perut
lawan.
"Hekk....!"
Si jangkung
yang tiba-tiba perutnya kena disodok jari, merasa napasnya terhenti dan
perutnya mulas sehingga tanpa dapat dicegahnya lagi dia menekuk tubuhnya ke
depan. Ketika mukanya menurun karena perutnya ditekuk itu. Hay Hay menyambut
mukanya dengan lutut kiri dan diangkat ke atas, tepat mengenai dagu lawan.
"Dukkk.....!"
Tubuh yang
tadi membungkuk itu tiba-tiba menjadi tegak kembali, bahkan condong ke belakang
karena kepala itu tadi terpental ke atas pada saat tubuh bagian atas condong ke
belakang, Hay Hay sudah menggerakkan kaki menyapu ke arah kedua kaki lawan yang
sudah kehilangan keseimbangan.
"Brukkk!"
Tanpa dapat
dihindarkan lagi, tubuh si jangkung terpelanting dan dia terbanting ke atas
lantai. Hay Hay tidak memperdulikannya, melainkan jalan menghampiri dipan dan
sekali menggerakkan tangan, totokan pada tubuh Sarah telah bebas!
Gadis itu
bangkit duduk, menarik baju yang terobek dan mengikatkan kemeja robek itu
sedapatnya asal bisa menutupi dadanya, dan matanya memandang ke arah Hay Hay,
kini dengan pandang mata bersukur dan juga penuh kagum. Tak disangkanya bahwa
pemuda yang tubuhnya sedang itu, yang nampaknya tidak begitu kuat, mampu
merobohkan si jangkung sedemikian mudahnya. Iapun tahu bahwa orang ini tentu
seorang pendekar seperti yqng pernah didengarnya cerita tentang para pendekar
yang memiliki ilmu berkelahi tangguh sekali walaupun nampaknya pendekar itu
bertubuh lemah. Iapun pernah melihat pertunjukan dan permainan silat, maka ia
dapat menduga bahwa tentu si caping lebar ini seorang pendekar ahli silat.
Pada saat
itu, si jangkung yang merasa penasaran, sudah menubruk lagi dari belakang. Hay
Hay tidak menangkis, melainkan meloncat ke samping untuk mengelak, dan ketika
Ji Tang membalikkan tangan untuk mencengkeram ke arah lambungnya, Hay Hay
memapaki tangan yang terbuka membentuk cakar itu dengan totokan jari
telunjuknya.
"Tokk!
Aughhh.....!"
Ji Tang
berteriak kesakitan. Telapak tangan yang ditusuk jari telunjuk itu terasa panas
dan nyeri, bahkan menusuk-nusukk rasanya sampai ke jantung. Dan sebelum dia
tahu apa yang terjadi, tubuhnya sudah terjengkang roboh ketika dadanya didorong
ujung sepatu Hay Hay. Dan tubuhnya yang terjatuh itu menggelinding ke dekat
dipan. Melihat ini, Sarah lalu memapakinya dengan tendangan sepatunya yang
keras.
"Crottt!"
Ujung sepatu
itu tepat mengenai hidung Ji Tang dan bukit hidung itu pun patah, kulitnya
pecah dan darahpun mengucur! Hay Hay cepat menyambar tangan Sarah dan
ditariknya ke belakang ketika kaki Ji Tang menyambar ke arah perut gadis itu.
"Terima
kasih!"
Sarah
berkata, maklum bahwa kalau tangannya tidak ditarik, tentu perutnya terkena
tendangan yang amat keras itu. Kini Ji Tang melompat bangun, tangan kirinya
menggosok hidung yang berdarah sehingga darahnya bahkan melumuri mukanya dan
diapun sudah mencabut sepasang pedang pendeknya, senjata yang amat diandalkan.
Hay Hay
menudingkan telunjuknya ke arah Ji Tang dan berkata, suaranya lantang,
"Heii,
pedangmu di kedua tangan itu saling bermusuhan. Coba hendak kulihat, siapa
diantara mereka yang lebih unggul?"
"Ehhh?
Apa....? Bagaimana....?"
Ji Tang
merasa bingung, akan tetapi segera terjadi hal yang amat aneh. Kini Ji Tang
menggerakkan kedua pedangnya dan kedua pedang itu seperti bertempur sendiri,
digerakkan kedua tangannya dan terdengar suara berdentangan. Hay Hay memandang
dengan kekuatan sihirnya, kemudian dia cepat memegang tangan Sarah dan
berbisik,
"Hayo
kita cepat pergi!" Dia menghampiri daun pintu dan diketuknya daun pintu
besi itu.
"Buka
pintu! Buka....!"
Para penjaga
di luar yang masih terheran-heran, kini membuka daun pintu itu dan begitu Hay
Hay menyapu mereka dengan pandang matanya, mereka melihat Ji Tang menggandeng
tawanan wanita kulit putih itu keluar. Karena tadi Ji Tang telah bersikap
keras, maka para penjaga itu tidak ada yang berani menegur sehingga Hay Hay
dapat dengan mudah membawa Sarah lari dan menghilang dalam kegelapan malam.
Pada saat
Hay Hay dan Sarah lenyap ditelan kegelapan, penjaga yang tadi melapor sudah
datang berlari-lari, diikuti empat orang pimpinan gerombolan itu. Mereka
berempat marah dan juga tidak percaya bahwa Ji Tang telah menjadi dua orang
yang kata penjaga itu keduanya memasuki tempat tahanan dimana gadis kulit putih
itu ditawan.
Ketika
mereka tiba di depan guha yang pintunya sudah terbuka, mereka melihat para
penjaga itu berdiri memandang ke dalam dengan bengong. Melihat ini empat orang
pimpinan itu berlompatan dan merekapun berada di pintu guha dan memandang ke
dalam.
Mereka
terbelalak dan bengong, terheran-heran melihat rekan mereka, Ji Tang, memainkan
kedua pedang yang saling serang seperti seorang dalang wayang boneka memainkan
dua peran yang sedang berkelahi! Pemimpin gerombolan yang tinggi besar hitam
itu lalu meloncat ke dekat Ji Tang, menepuk pundaknya dan membentak nyaring.
"Ji
Tang, apa yang kau lakukan ini?"
Ji Tang
terkejut, kedua batang pedangnya terlepas dan jatuh berkerontangan di atas
lantai, lalu memandang ke sekeliling seperti orang yang baru terjaga dari
tidurnya.
"Apa....
apa yang terjadi? Dimana keparat bercaping itu dan mana..... mana tawanan
kita....?" Ji Tang memandang kepada para penjaga yang berkerumun di depan
guha. "Heii, kalian para penjaga! Kemana perginya tawanan kita?"
Para penjaga
menjadi panik dan takut.
"Toako,
tadi kami melihat Toako Ji Tang mengajak tawanan itu keluar dari sini!"
"Gila
kalian! Aku masih di dalam sini!" teriak Ji Tang bingung.
"Sungguh
mati, kami melihat Ji-toako tadi keluar menggandeng tawanan itu dan menuju
kesana." Seorang penjaga menunjuk keluar guha, ke arah kiri.
Raksasa
hitam itu membentak.
"Cukup
semua ini! Keterangan boleh nanti diberikan. Sekarang semua harus cepat pergi
mencari dan menangkap kembali wanita kulit putih itu!"
Dipasanglah
obor-obor dan gegerlah perkampungan gerombolan itu. Suasana menjadi ramai
sekali dan semua orang melakukan pengejaran dan pencarian kesana kemari. Akan
tetapi semua usaha mereka sia-sia. Tawanan itu lenyap tanpa meninggalkan bekas,
pria yang menurut keterangan Ji Tang adalah seorang pemuda bercaping lebar akan
tetapi menurut para penjaga adalah Ji Tang sendiri!
Lima orang
pemimpin itu mengadakan perundingan dan mereka yang lain mendengarkan
keterangan Ji Tang yang amat aneh, juga keterangan para penjaga yang mengatakan
bahwa mereka melihat Ji Tang dua kali memasuki guha, kemudian melihat Ji Tang
membawa keluar tawanan wanita, akan tetapi didalam guha terdapat Ji Tang pula
yang sedang bermain-main dengan sepasang pedangnya seperti orang gila!
"Tentu
ada orang lain menyamar seperti engkau, sam-te (adik ke tiga)," kata
raksasa hitam. "Dan orang itulah yang melarikan tawanan kita. Hanya
anehnya, bagaimana mereka itu dapat melarikan diri demikian cepat, dimalam
gelap pula?"
"Lebih
aneh lagi, orang itu dapat menyamar seperti aku, padahal ketika memasuki guha,
jelas kulihat dia tidak menyamar, melainkan mengenakan caping lebar. Dan betapa
aku seperti orang tak sadar bermain-main dengan sepasang pedangku. Aih,
jangan-jangan dia itu bukan manusia, Toako. Ketika aku menyerangnya, aku roboh
dua kali secara aneh. Hihh, dia tentu iblis sendiri yang mengganggu kita.
Ataukah..., jangan-jangan wanita kulit putih itu mempunyai peliharaan
setan!"
Semua orang
bergidik ngeri mendengar ini. Bukan tidak mungkin, pikir mereka. Mereka tidak
mengenal benar kebudayaan dan kepandaian orang kulit putih. Mereka adalah
orang-orang sederhana yang percaya akan tahyul, dan melihat semua keanehan ini,
dan lenyapnya tawanan tanpa meninggalkan jejak, mereka yakin bahwa tentu ada
setan yang menolong wanita itu!
Sebagai
orang-orang tahyul, mereka segera melakukan sembahyang, baik di depan peti-peti
mati di guha besar, maupun di tempat-tempat yang mereka anggap keramat untuk
mohon agar iblis dan setan tidak lagi mengganggu mereka.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment