Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 03



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 03



"Aku terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun yang juga roboh pingsan."

"Hemm, kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."

"Eh? Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar ini.

"Mereka lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yang mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir dan racun."

"Ahhh....! Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita ?"

"Iblis betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."

"Hemm, sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi mereka mau apa……?”

"Mereka tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk maksud-maksud buruk."

"Hemm, berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu? Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?"

Sui Cin merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana sekarang dapat demikian mudahnya tertawan?

Hui Song menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan tetapi diapun tidak dapat berbohong.

"Mereka itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku menyerah."

"Hemm.....!"

Sui Cin menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan ayahnya dan puteranya dibunuh?

"Mereka berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar, aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"

"Kita berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat.

"Hi-hi-hik, sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin sungguh gagah perkasa!"

Terdengar suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.

"Perempuan hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut! Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita bertanding sampai seribu jurus!"

Su Bi Hwa menghadapi makian itu dengan senyum simpul.
"Nyonya yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan keluargamu."


"Huh! Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan mematahkan semua tulangmu!"

Biarpun mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya.

Dan yang mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya tadi.

"Tenanglah, lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan ngerinya. "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh. Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja. Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai maaf kami yang sebesarnya."

Setelah berkata demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa menghilang.

"Sui Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."

"Hemm, menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita, boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke neraka sekalipun!"

Hui Song yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka.

Akan tetapi diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini ditinggalkan para pimpinan. Yang berada disana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger! Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!

"Aduh, sungguh berbahaya sekali……!"

Berkali-kali gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka hanya berdua saja di dalam perahu kecil.

"Jangan takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah tinggal disini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu diantara batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan banyak batu yang tidak nampak di permukaan air.”

Perahu itu dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.

Memang daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itupun sukar didekati. Sebagian besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh batu karang itu!

Dan bagian ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang, diantara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka, kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.

Gadis yang berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh. Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet.

Ibunya seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah seorang pria Han, seorang tokoh besar dunia hitam yang pernah menggegerkan dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An.

Gadis ini bernama Mayang dan iapun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi diantaranya yang paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi!

Ada pun pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan perahu diantara batu-batu karang itupun seorang pemuda yang amat menarik perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap, sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di dalam sinar matanya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang mengerikan.

Dia memiliki ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya.

Akan tetapi, dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk pemberontakan.

Akhirnya, dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke jalan kebenaran.

Pedang pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia bawa kembali ke pulau Teratai Merah! Dia ingin menghadap suhu dan subonya, mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang.

Melihat kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah).

Demikianlah riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini, tentu saja dia masih hafal akan keadaan disitu dan tahu benar bagaimana harus mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.


"Pada musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Disini kita harus berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke batu. Mari.....!"

Beberapa kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!

"Mayang, sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan."

Kata Ki Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.

Mayang mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke arah depan sirip-sirip itu.

Memang hebat permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air, namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi keruh dan suaranya berdeburan.

Mayang terus menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itupun kembali ke tengah.

"Ihhh mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba di tanah daratan.

Ki Liong tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak.
"Sekarang kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus membereskan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi.

Mayang mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya.
"Aih, hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko." kata Mayang melihat betapa kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup.

Ki Liong mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimanapun dia tidak akan berani mendarat di pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya!

"Tentu saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tentang suhu dan subo seperti yang kuceritakan kepadamu?"

Mayang mengangguk dan bergidik.
"Mereka itu tentu menyeramkan, aku agak…….. takut, Liong-ko."

"Jangan takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kau lakukan di depan mereka ?"

"Aku ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan nyawaku."

"Mayang, engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang." kata Ki Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat.

Akan tetapi Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.
"Liong-koko, kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin saat ini mereka mengamati kita."

Mendengar peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena pegang ular. Dia mengangguk,

"Mari kita kesana, Mayang."

Apa yang diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan diantara pohon-pohon itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang berbunga.

"Aduh, indahnya.....!"

Seperti tadi ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.

"Jangan……!” Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya.

Tentu saja Mayang terkejut sekali
"Eh ? Kenapa, Liong-ko?"

"Kau tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan nama pulau dikeramatkan dan tak seorangpun boleh merusak keindahannya. Memetik sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"

"Ihhh!" Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.”

Ki Liong tersenyum.
"Lupakah engkau akan julukan suhu?"

"Pendekar Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!”

"Hushh, jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Engkau jangan berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."

Akan tetapi, baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan,
"Berhenti!" dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri.

Di depan mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin. Seorang diantara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menudingkan telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.

"Kiranya engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"

"Maaf, Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong……"

"Engkau pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!"

Dan tiga orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka. Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun, mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka kalah jauh.

Untung bagi mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan terdorong ke belakang.

Mereka menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat dari pulau melarikan pusaka, mereka ikut marah dan membencinya, menganggap dia sebagai musuh majikan mereka.

Melihat betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja, Mayang menjadi marah. Ia tidak berani lancang turun tangan, akan tetapi karena mendongkol, iapun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara nyaring.

"Bagus, bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"

"Mayang, jangan bicara sembarangan!"

Ki Liong menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan elakan dan tangkisan.

Tiba-tiba ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung karena sambaran angin dahsyat itu. Diapun cepat menjatuhkan diri berlutut karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahian tadi.

Mayang memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang saja, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan, namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam seperti mata orang muda saja.

Mereka itu bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut namun mengandung wibawa.

"Siapa menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"

Tiga orang itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata dengan suara gemetar,

"Harap maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !"

"Sudahlah, pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"

Tiga orang itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gais ini tetap berdiri dan menatap mereka dengan berani.

Diam-diam Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu, yang memiliki kecantikan khas Tibet.

"Nona, engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya. Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"

"Subo ……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.

"Diam kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!"

Nenek itu menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya. Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, iapun tidak berani bersikap tidak sopan.

"Lo-cian-pwe, teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak seorangpun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya. Apakah ji-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir sampai sekarang, berdiam terus disini? Kalau ji-wi keluar dari pulau ini, berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau kami datang kesini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!”


Kakek dan nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja disitu tidak ada Ki Liong yang kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.

"Hemm, bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang datang kesini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”

"Aku pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi locianpwe, bukan aku."

Tentu saja kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya.

"Hemm, orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beraninya mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang keren.

“Suhu dan subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap menerima hukumam apapun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan diapun menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.

Tiba-tiba nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu. Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya terlepas.

Akan tetapi pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.

Ceng Thian Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan diapun mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.

"Manusia laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas murid itu dengan sekali pukul.

Akan tetapi tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.

"Ini sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.

Nenek itu mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu.
“Apa kau bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa engkau sudah bosan hidup?"

"Aku tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi disini kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya. Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”

"Mayang! Jangan kurang ajar engkau!"

Ki Liong berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.


cerita silat online karya kho ping hoo


Akan tetapi, kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.


"Hemm, anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.

Kini Mayang memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya.

"Namaku Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan aku dari tangan orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap ji-wi disini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.”

"Ah, engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia terlalu jahat!”

"Kami harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami, Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."

"Guruku bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san." jawab Mayang.

Kembali suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani mati.

Akan tetapi Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah, apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia persilatan.

"Tidak perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"

"Lo-cian-pwe, jangan…….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. ,

"Bocah lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri di pulauku sendiri?"

Toan Kim Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah. Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak mencegah isterinya karena dia beranggapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki Liong, hal itu tidak dapat disalahkan.

"Lo-cian-pwe, aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku hanya ingin memperigatkan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"

Nenek itu sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong, kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.

"Mayang, apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim Hong.

“Enci Kui Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko disini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"

Ceng Thian Sin mengerutkan alisnya.
"Bagaimana kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan bukan dia yang mengembalikannya kesini."

Ki Liong mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.

Akan tetapi Mayang sama sekali tidak takut.
"Terserah lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”

"Hemm, siapakah kakakmu itu?”

Mayang mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu.
"Kakakku adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, diantaranya menurut cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"

Kembali kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di dalam dunia persilatan.

"Kalau Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang membawanya pulang kesini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat percaya begitu saja.

"Sudah kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong menyetujui kalau Liong-ko kembali kesini menghadap ji-wi, mengembalikan Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."

"Aku tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.

Mayang bersungut-sungut.
"Percaya atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!"

Gadis itu berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.

Ia berada dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya memancarkan sinar berapi.

Ceng Thian Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka, diapun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.

"Ki Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?"

Baru sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.

Ki Liong yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan sikap merendah sekali.

"Suhu yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu yang menanggung semua hukuman."


"Huh, gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan curang!”

Biarpun ia masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri.

Kesalahannya yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.

"Ki Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu apakah benar engkau telah bertaubat dan apakah benar Kui Hong telah memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak, sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”

Mayang hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.

"Teecu menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan bukti darinya.”

Kakek dan nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!

"Aih, betapa kejamnya…….!”

Mayang berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai dimana dia menyimpan perahunya tadi.

"Ssttt, diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku, memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur."

"Hemm, kemana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.

Ki Liong memanggul perahunya.
"Persiapkan cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”

Mayang mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut.
"Kita Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan kita."

"Kita lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu, Mayang."

Seperti ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam dimana ikan-ikan hiu hilir mudik, siap menyambar kaki mereka diantara batu-batu karang. Kini, karena hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet.

Karena ada ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air laut di sekitar batu-batu itupun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu ke tengah.

Setelah Ki Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat duduk santai dan bercakap-cakap.

“Mayang, sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”

Mayang cemberut.
“Tidak! Sampai matipun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo! Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat (penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku suka menjadi isterimu, Liong-ko.”

“Akan tetapi kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apapun lagi yang…….”

“Liong-ko! Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta semata! Kitapun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak pernah menceritakan tentang orang tuamu.”

"Ayah ibuku telah tiada, Mayang."

"Ah, kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu. Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.”

Mereka melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya, dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka iapun mendiamkannya saja.

“Ciok Gun ……!”

Gouw Kian Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan, keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat munculnya murid kepercayaan itu.

Ciok Gun bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang sedang pergi merantau.

Tentu saja dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu, telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut pergi mencari putera dan ayah mereka.

Dia telah mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di kamarnya, daun jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar .

"Siapa ……?”

Gouw Kian Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam pula!

"Teecu datang, suhu, harap dibukai jendela!" ,

Hampir Kian Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini.

"Ciok Gun, engkau? Apa…… apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung.

Ciok Gun memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan diapun bicara dengan suara lirih.

"Suhu, harap jangan berisik. Teecu tahu dimana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka."

Dapat dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia.

Akan tetapi kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, diapun mengangguk dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar dari perkampungan Cin-ling-pai.

Malam telah larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit.

Dapat dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng bukit itu. Setahu dia, disitu tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.

"Hati-hati, suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu ……"

Biarpun hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu, diapun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping.

Tak lama kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya, yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia melihat Ceng Sui Cin juga tertidur pulas.


Setelah memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang kepada muridnya.

"Cik Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka disini dan apa yang telah teriadi?"

Saking khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah itu.

"Mari kita temui orang yang menawan mereka, Suhu." kata Ciok Gun yang berjalan cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan.

Ruangan ini luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian pendeta sedarig duduk disitu, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan sikapnya seperti menanti perintah!

“Selamat datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw Pangcu!"

Gouw Kian Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, diapun terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah disediakan menghadapi mereka berempat.

Sejenak dia memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan lebih dari dua puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.

"Maafkan saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang tajam.

Wanita itu yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan gigi yang berderet rapi dan putih.

"Kami tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii."

Gouw Kian Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik Bertangan Racun) itu saja sudah diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada sambil berkata.

"Ah, kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu dan mengaguminya."

"Dan mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu, terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."

Kini Gouw Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang Pek-lian-kauw!

"Hemm, seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw. Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah ?”

"Hi-hik, ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini sampai sekarang belum juga menikah."

Kian Sun mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang aneh dia temui disini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk akal.

“Ciok Gun, kesini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya kepada Ciok Gun.

Akan tetapi yang dibentaknya itu sedikitpun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerakpun tidak, berkedippun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat orang Pek-lian-kauw itu.

"Moli, katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya dia membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.

"Hi-hik, Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.”

Kin Sun bangkit berdiri, wajahnya berubah merah,
"Cin-ling-pai bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"

Bi Hwa tertawa.
"Hi-hik, sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan kami dan engkau harus mentaati kami."

"Tidak sudi!"

"Hi-hi-hik, bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua , yaitu kalau engkau menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"

“Aku pilih mati!"

Gouw Kian Sun membentak dan diapun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa, dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga sin-kangnya dalam hantamannya.

"Brakkkk !"

Kursi yang tadi diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya ketika hantaman itu tiba.

Kim Hwa Cu, tosu termuda diantara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum mengejek dan mengelus jenggotnya.

"Gouw Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja, untuk mencapai maksud tujuan kami."

"Tosu Pek-lian-kauw keparat!"

Kian Sun membentak saking marahnya dan dengan nekat diapun sudah menyerang tosu itu dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te sin-ciang yang amat kuat.

"He-he, ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!"

Kim Hwa Cu tertawa mengejek dan diapun dengan berani menyambut pukulan kedua tangan wakil ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan kedua tangan pula....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12