Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 03
"Aku
terjebak, dalam ruangan dan pingsan karena asap pembius. Aku bersama Ciok Gun
yang juga roboh pingsan."
"Hemm,
kiranya mereka mempergunakan dia pula. Ciok Gun itu kaki tangan mereka."
"Eh?
Apa maksudmu?" Tentu saja Sui Cin merasa heran dan terkejut pula mendengar
ini.
"Mereka
lebih dulu menawan Ciok Gun dan membuat dia menjadi seperti mayat hidup yang
mentaati semua perintah mereka. Ingatannya telah mereka kuasai melalui sihir
dan racun."
"Ahhh....!
Tapi, siapa mereka dan mengapa mereka menawan kita ?"
"Iblis
betina itu adalah Tok-ciang Bi Moli Su Bi Hwa, dan tiga orang tosu
Pek-lian-kauw itu adalah guru-gurunya."
"Hemm,
sudah kuduga mereka orang-orang Pek-lian-kauw, melihat alat peledak itu. Tapi
mereka mau apa……?”
"Mereka
tidak mengaku, akan tetapi aku dapat menduga bahwa mereka agaknya hendak
menguasai Cin-ling-pai dan akan mempergunakan nama Cin-ling-pai untuk
maksud-maksud buruk."
"Hemm,
berbahaya sekali kalau begitu! Akan tetapi bagaimana mereka dapat menawanmu?
Apakah juga karena jebakan dan asap pembius?"
Sui Cin
merasa penasaran sekali. Suaminya adalah seorang pendekar sakti, bagaimana
sekarang dapat demikian mudahnya tertawan?
Hui Song
menghela napas panjang. Dia tahu bahwa isterinya tentu tidak setuju, akan
tetapi diapun tidak dapat berbohong.
"Mereka
itu hendak membunuh ayah dan Kui Bu di depan mataku, terpaksa aku
menyerah."
"Hemm.....!"
Sui Cin
menahan hatinya yang hendak menegur. Diam-diam ia tidak dapat terlalu
menyalahkan suaminya. Suaminya adalah seorang anak yang berbakti, juga seorang
ayah yang amat mencinta puteranya. Bagaimana mungkin dia tega membiarkan
ayahnya dan puteranya dibunuh?
"Mereka
berjanji tidak akan mengganggu ayah dan Kui Bu. Kalau mereka berani melanggar,
aku pasti akan mengamuk dan mengadu nyawa dengan mereka!"
"Kita
berdua akan mengadu nyawa dengan mereka!" Sui Cin berkata penuh semangat.
"Hi-hi-hik,
sungguh mengagumkan sekali. Sepasang pendekar sakti Cia Hui Song dan Ceng Sui
Cin sungguh gagah perkasa!"
Terdengar
suara ketawa. Baik Hui Song maupun Sui Cin dapat melihat wanita yang berada di
luar kamar tahanan itu melalui jeruji baja pintu kamar mereka. Kalau Hui Song
memandang dengan sikap tenang dan sinar mata dingin, sebaliknya Sui Cin
memandang dengan sinar mata seperti berapi-api.
"Perempuan
hina tak tahu malu. Kalian menggunakan cara yang amat curang dan pengecut!
Kalau memang kalian orang-orang Pek-lian-kauw mempunyai kegagahan, mari kita
bertanding sampai seribu jurus!"
Su Bi Hwa
menghadapi makian itu dengan senyum simpul.
"Nyonya
yang gagah, simpanlah kemarahanmu. Tidak baik untuk kesehatanmu dan kesehatan
keluargamu."
"Huh!
Engkau jangan harap dapat menggertak aku. Kalau engkau melanggar janjimu kepada
suamiku, aku pasti akan merobek-robek kulitmu, mencabuti semua uratmu dan
mematahkan semua tulangmu!"
Biarpun
mulutnya masih tersenyum, namun wajah Bi Hwa berubah agak pucat dan ia merasa
ngeri mendengar ancaman wanita itu. Ia teringat bahwa wanita ini adalah puteri
tunggal Pendekar Sadis, dan kenyataan ini saja sudah membuat bulu tengkuknya
berdiri, apalagi mendengar ancaman yang luar biasa sadisnya tadi. Ia sudah
mendengar tentang Pendekar Sadis di waktu mudanya. Berdiri bulu tengkuknya
kalau ia mendengarkan cerita para tokoh kang-ouw yang tua tentang kekejaman
Pendekar Sadis kalau menyiksa dan membunuh musuh-musuhnya.
Dan yang
mengeluarkan ancaman sekarang ini, adalah puteri Pendekar Sadis, anak
tunggalnya! Tentu saja ia tidak tahu bahwa sejak kecil, ayah ibunya melarang
Sui Cin untuk bersikap kejam, bahkan tidak membunuh kalau tidak sangat
terpaksa. Sui Cin sama sekali tidak memiliki watak kejam seperti ayahnya
dahulu, tidak pula aneh seperti ibunya dahulu. Akan tetapi begitu melihat
seluruh keluarganya terancam bahaya, ia dapat berubah menjadi seorang yang amat
ganas dan mungkin saja dapat melakukan kekejaman seperti yang diancamkannya
tadi.
"Tenanglah,
lihiap," kata Bi Hwa sambil tetap tersenyum untuk menyembunyikan perasaan
ngerinya. "Kami tidak bermaksud buruk terhadap keluargamu. Kalau memang
kami bermaksud buruk, tentu mereka itu tidak kami tawan, melainkan kami bunuh.
Dan engkau boleh bertanya kepada mereka. Kami tidak pernah bersikap kasar, kami
selalu menghormati mereka. Kalian hanya menjadi tamu kami untuk sementara saja.
Kalau sudah selesai urusan kami, tentu kami akan membebaskan kalian disertai
maaf kami yang sebesarnya."
Setelah berkata
demikian, tidak memberi kesempatan kepada Sui Cin untuk memaki lagi, Bi Hwa
menghilang.
"Sui
Cin, tenanglah. Mereka adalah orang-orang yang jahat, keji dan curang. Kita
harus berhati-hati, terutama untuk keselamatan ayah dan Kui Bu."
"Hemm,
menghadapi anjing-anjing busuk seperti orang-orang Pek-lian-kauw, tidak boleh
kita terlalu mengalah. Kalau mereka memang tidak mengganggu keluarga kita,
boleh kita pertimbangkan untuk melepaskan mereka. Akan tetapi sedikit saja
mereka mengganggu keluarga kita, aku bersumpah akan membuat perhitungan sampai
tuntas, dan akan mengejar mereka sampai ke neraka sekalipun!"
Hui Song
yang maklum bahwa isterinya itu marah sekali karena terdorong kekhawatirannya
terhadap keselamatan keluarga, hanya mengangguk-angguk. Memang ada baiknya
isterinya memperlilihatkan sikap keras agar orang-orang Pek-lian-kauw itu tidak
berani bertindak sembarangan terhadap keluarga mereka.
Akan tetapi
diam-diam Hui Song amat mengkhawatirkan keadaan Cin-ling-pai yang kini
ditinggalkan para pimpinan. Yang berada disana tinggal Gouw Kian Sun! Dan dia
tetap khawatir kalau puterinya, Cia Kui Hong pulang, tentu akan terjadi geger!
Puterinya itu malah lebih galak dan lebih berani dibandingkan ibunya!
"Aduh,
sungguh berbahaya sekali……!"
Berkali-kali
gadis itu berseru khawatir. Namun pemuda yang mengemudikan perahu itu bersikap
tenang saja, bahkan tersenyum-senyum menyaksikan kekhawatiran gadis itu. Mereka
hanya berdua saja di dalam perahu kecil.
"Jangan
takut, manis. Aku sudah biasa di tempat ini. Kalau orang lain yang belum pernah
tinggal disini, pasti akan mengalami bahaya mengemudikan perahu diantara
batu-batu karang tajam meruncing ini, apalagi kalau ombaknya sedang pasang dan
banyak batu yang tidak nampak di permukaan air.”
Perahu itu
dengan mahir dan cekatan sekali menggerakkan dayungnya dan moncong perahu terhindar
dari tubrukan dengan batu karang hitam yang menonjol di permukaan air.
Memang
daerah itu amat berbahaya. Di permukaan air laut itu banyak terdapat batu-batu
karang seperti barisan yang dipasang rapi, sengaja hendak menghalang perahu
yang berani mendekat ke pulau itu. Dan pulau itupun sukar didekati. Sebagian
besar merupakan tebing yang tinggi sehingga tidak mungkin perahu mendekat dan
para penumpangnya mendarat. Satu-satunya bagian yang landai hanyalah yang penuh
batu karang itu!
Dan bagian
ini berbahaya sekali. Karena hanya bagian ini yang landai, maka ombak dengan
bebasnya menyerbu ke darat dan menghantam batu-batu karang. Dan kadang-kadang,
diantara batu-batu karang itu, nampak pula seperti batu karang kecil meruncing
yang meluncur ke sana sini. Ada belasan buah banyaknya! Yang itu bukan batu
karang, melainkan sirip ikan-ikan hiu yang amat ganas dan haus darah. Maka,
kalau sampai ada perahu membentur karang dan pecah, penumpangnya terjatuh ke
dalam air, dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.
Gadis yang
berada di perahu itu tidak nampak seperti seorang gadis pemalu dan bodoh.
Sebaliknya, ia nampak pemberani dan cerdik. Usianya sekitar dua puluh tahun dan
ia memiliki kecantikan yang khas Tibet. Rambutnya hitam panjang dikuncir
menjadi dua. Sepasang matanya sipit, hidungnya agak besar dan mulutnya amat
kecil mungil, wajah itu nampak manis sekali. Kulit tubuhnya putih kemerahan dan
yang lebih menarik lagi adalah bentuk tubuhnya. Tinggi ramping dengan pinggul
yang besar bulat dan dada yang montok menonjol. Memang ia peranakan Tibet.
Ibunya
seorang wanita Tibet yang cantik bernama Souli, sedangkan ayahnya adalah
seorang pria Han, seorang tokoh besar dunia hitam yang pernah menggegerkan
dunia persilatan. Ayahnya yang kini sudah tidak ada lagi itu berjuluk
Ang-hong-cu (Si Kumbang Merah) dan bernama Tang Bun An.
Gadis ini
bernama Mayang dan iapun bukan seorang gadis sembarangan saja. Ia adalah murid
terkasih dari Kim Mo Sian-kouw. Seorang datuk persilatan yang lihai pula dan
yang bertempat tinggal di Puncak Awan Kelabu di pegunungan Ning-jing-san. Ilmu
silat yang dikuasai Mayang adalah ilmu-ilmu silat yang tinggi diantaranya yang
paling hebat adalah ilmu silat tangan kosong yang disebut Hek-coa Tok-ciang
(Tangan Beracun Ular Hitam) dan ilmu senjata pecut yang sukar ditandingi!
Ada pun
pemuda yang bersama ia naik perahu dan yang demikian pandainya mengemudikan
perahu diantara batu-batu karang itupun seorang pemuda yang amat menarik
perhatian. Usianya sekitar dua puluh empat tahun, tubuhnya sedang namun tegap,
sikap dan bicaranya halus dan sopan. Wajah pemuda ini tampak menarik, namun di
dalam sinar matanya yang kadang dingin redup itu terkadung sesuatu yang
mengerikan.
Dia memiliki
ilmu kepandaian yang bahkan lebih tinggi daripada Mayang, karena pemuda ini
adalah seorang yang telah mewarisi atau mempelajari ilmu-ilmu yang dahsyat dari
Pendekar Sadis, majikan pulau Teratai Merah. Dia bernama Sim Ki Liong dan
tumbuh dewasa di pulau itu, menjadi murid Pendekar Sadis dan isterinya.
Akan tetapi,
dua tahun lebih yang lalu dia melarikan diri, minggat dari pulau Teratai Merah
sambil membawa pusaka yaitu pedang Gin-hwa-kiam. Kemudian, di dalam
petualangannya selama dua tahun lebih itu, berkali-kali dia bergaul dengan
tokoh-tokoh sesat sehingga dia melakukan berbagai kejahatan termasuk
pemberontakan.
Akhirnya,
dalam bentrokan dengan para pendekar, dia bertemu dengan Mayang, saling jatuh
cinta dan agaknya perasaan cinta kasihnya terhadap Mayang gadis pendekar
keturunan Ang-hong-cu ini, telah mengubah wataknya dan dia ingin kembali ke
jalan kebenaran.
Pedang
pusaka Gim-hwa-kiam yang telah dirampas dari tangannya dan kembali ke tangan
Cia Kui Hong, cucu Pendekar Sadis, oleh Kui Hong diserahkan kepadanya untuk dia
bawa kembali ke pulau Teratai Merah! Dia ingin menghadap suhu dan subonya,
mengembalikan pusaka dan mohon ampun, ditemani oleh kekasihnya, Mayang.
Melihat
kesungguhan hati pemuda ini, juga karena bujukan Mayang, akhirnya Cia Kui Hong
menyerahkan pusaka itu dan dua orang kekasih itu segera menuju ke Laut Selatan
untuk berkunjung ke pulau Teratai Merah. (Baca Kisah Si Kumbang Merah).
Demikianlah
riwayat singkat kedua orang muda mudi yang kini sedang naik perahu hendak mendarat
di pulau Teratai Merah. Ki Liong pernah tinggal bertahun-tahun di pulau ini,
tentu saja dia masih hafal akan keadaan disitu dan tahu benar bagaimana harus
mengemudi perahu menghindarkan tabrakan dengan batu-batu karang.
"Pada
musim air laut surut seperti ini, ikan-ikan hiu itu kelaparan dan menjadi
ganas, selalu berkeliaran di sekitar batu-batu karang ini. Disini kita harus
berhenti dan melanjutkan perjalanan ke darat dengan berlompatan dari batu ke
batu. Mari.....!"
Beberapa
kali Mayang menggerakkan pundaknya karena merasa ngeri melihat betapa dekatnya
sirip-sirip ikan hiu itu meluncur di permukaan air dekat batu karang yang
diinjaknya. Sekali meleset dan terjatuh ke air, moncong-moncong ikan hiu tentu
akan menyergapnya dan tubuhnya akan dicabik-cabik!
"Mayang,
sekarang pergunakan cambukmu untuk melindungi kita selagi kita berjalan dari
batu ke batu menuju daratan. Setiap kali ada hiu mendekat, pergunakan cambukmu
untuk melecutnya. Kalau sudah terlalu kelaparan, ada saja hiu yang berani menyerang
kaki yang menginjak batu karang dengan loncatan."
Kata Ki
Liong yang juga sudah berdiri di atas batu karang dan kedua tangannya memanggul
perahu kecil yang tadi mereka pergunakan untuk menyeberang ke pulau itu.
Mayang
mengangguk dan cambuk itu sudah berada di tangan kanannya. Benar saja ucapan Ki
Liong. Begitu mereka bergerak melangkah dari batu ke batu, sirip-sirip hiu itu
berluncuran dari kanan kiri. Mayang segera menggerakkan cambuknya, dan
terdengarlah ledakan-ledakan kecil disusul meluncurnya ujung cambuk ke air, ke
arah depan sirip-sirip itu.
Memang hebat
permainan cambuk gadis ini. Walaupun kekuatan cambuk itu sudah terhalang air,
namun tetap saja masih mampu menembus air dan mengenai kepala hiu. Ikan-ikan
itu merasa kesakitan dan melarikan diri, membuat air di sekitar situ menjadi
keruh dan suaranya berdeburan.
Mayang terus
menggerakkan cambuknya sambil mengikuti Ki Liong yang memanggul perahu dan yang
mengenal jalan. Akhirnya mereka melalui batu-batu karang yang lebih tinggi dan
tidak dapat dicapai ikan hiu dan sirip-sirip itupun kembali ke tengah.
"Ihhh
mengerikan sekali ikan-ikan itu!" kata Mayang setelah akhirnya mereka tiba
di tanah daratan.
Ki Liong
tersenyum dan menyimpan perahunya di bawah semak-semak.
"Sekarang
kita berjalan ke tengah pulau, dan menghadap suhu dan subo. Ah, kita harus
membereskan pakaian kita agar nampak pantas." kata Ki Liong yang
membereskan pakaian dan rambutnya yang awut-awutan tertiup angin lautan tadi.
Mayang
mencontoh kekasihnya, membereskan pakaian dan rambutnya.
"Aih,
hatiku menjadi tegang rasanya, Liong-ko." kata Mayang melihat betapa
kekasihnya nampak begitu tegang dan gugup.
Ki Liong
mencoba tersenyum untuk menutupi ketegangan hatinya. Hati siapa tidak akan
tegang? Dia kembali ke pulau itu, kepada suhu dan subonya setelah minggat dari
situ dua tahun yang lalu sambil melarikan atau mencuri pusaka kedua orang
gurunya, yaitu pedang Gin-hwa-kiam! Padahal dia tahu siapa gurunya. Suhunya
adalah Pendekar Sadis yang namanya saja sudah membuat semua tokoh sesat di
dunia persilatan gemetar ketakutan. Dan subonya adalah seorang wanita yang
lebih galak lagi, pernah menjadi seorang datuk besar! Kalau saja dia tidak
ditemani Mayang, agaknya sampai bagaimanapun dia tidak akan berani mendarat di
pulau ini, apalagi menghadap suhu dan subonya!
"Tentu
saja aku juga tegang, Mayang. Masih ingatkah engkau tentang suhu dan subo
seperti yang kuceritakan kepadamu?"
Mayang
mengangguk dan bergidik.
"Mereka
itu tentu menyeramkan, aku agak…….. takut, Liong-ko."
"Jangan
takut, Mayang. Engkau masih ingat pula bagaimana harus kau lakukan di depan
mereka ?"
"Aku
ingat, koko. Aku akan membela dan melindungimu, kalau perlu dengan taruhan
nyawaku."
"Mayang,
engkau sungguh baik sekali. Aku makin cinta kepadamu, Mayang." kata Ki
Liong dan ia memegang tangan gadis itu, hendak menariknya mendekat.
Akan tetapi
Mayang menahan tangannya dan memberi isyarat ke tengah pulau.
"Liong-koko,
kalau benar suhu dan subomu itu sehebat yang kau ceritakan, bukan tidak mungkin
saat ini mereka mengamati kita."
Mendengar
peringatan ini, Ki Liong melepaskan pegangan tangannya seperti orang yang kena
pegang ular. Dia mengangguk,
"Mari
kita kesana, Mayang."
Apa yang
diucapkan Mayang tadi segera ternyata kebenarannya. Mereka kini tiba di
pohon-pohon pertama yang merupakan hutan di pulau itu, dan diantara pohon-pohon
itu nampak banyak sekali kolam ikan yang penuh dengan teratai merah yang sedang
berbunga.
"Aduh,
indahnya.....!"
Seperti tadi
ketika menyatakan kengeriannya terhadap batu karang dan ikan hiu, kini berulang
kali Mayang berseru kagum akan keindahan tempat itu. Dia menghampiri tepi kolam
dan menjulurkan tangannya untuk memetik setangkai bunga teratai merah.
"Jangan……!”
Ki Long sudah menangkap pergelangan tangan kekasihnya.
Tentu saja
Mayang terkejut sekali
"Eh ?
Kenapa, Liong-ko?"
"Kau
tahu, nama pulau ini adalah pulau Teratai Merah. Karena adanya bunga-bunga
itulah maka pulau ini dinamakan demikian. Keindahan bunga-bunga ini dijadikan
nama pulau dikeramatkan dan tak seorangpun boleh merusak keindahannya. Memetik
sebuah bunganya saja dapat dianggap merusak keindahan dan kalau engkau dihukum
potong tangan, bagaimana aku akan dapat melindungi tanganmu?"
"Ihhh!"
Mayang bergidik dan memandang ke arah tangan kirinya yang tadi hampir memetik
setangkai bunga teratai merah. "Betapa kejamnya peraturan itu.”
Ki Liong
tersenyum.
"Lupakah
engkau akan julukan suhu?"
"Pendekar
Sadis! Kalau begitu, dia benar sadis dan kejam, sungguh jahat sekali!”
"Hushh,
jangan berkata begitu, Mayang. Suhu hanya bertindak keras terhadap penjahat dan
kalau engkau memetik bunga, bisa saja dituduh mencuri." Ki Liong memberi
isyarat kepada Mayang untuk mengikutinya melanjutkan perjalanan. "Kita
sudah dekat. Di balik hutan kecil itulah tempat tinggal suhu! Engkau jangan
berbuat sesuatu. Ikuti saja aku."
Akan tetapi,
baru saja mereka memasuki hutan itu, tiba-tiba terdengar bentakan,
"Berhenti!"
dan tiga bayangan orang berkelebat dari kanan kiri.
Di depan
mereka telah berdiri tiga orang laki-laki yang usianya antara empat puluh
sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti petani, wajah mereka dingin.
Seorang diantara mereka, yang tertua dan berjenggot panjang, segera menudingkan
telunjuknya ke arah muka Ki Liong dan suaranya terdengar ketus.
"Kiranya
engkau pengkhianat murtad! Berani engkau mengotori pulau ini?"
"Maaf,
Paman bertiga apakah lupa kepadaku? Aku Ki Liong……"
"Engkau
pengkhianat, murid murtad dan jahat! Hajar dia!"
Dan tiga
orang itu sudah menerjang dan menyerang Ki Liong dengan pukulan-pukulan mereka.
Gerakan mereka gesit dan pukulan mereka mengandung tenaga yang kuat. Namun,
mereka itu hanyalah pelayan-pelayan setia dari majikan pulau Teratai Merah yang
telah menerima latihan beberapa macam ilmu silat dari majikan mereka. Tentu
saja dibandingkan Ki Liong, murid dari suami isteri majikan pulau itu, mereka
kalah jauh.
Untung bagi
mereka bahwa Ki Liong yang datang untuk minta ampun dari kedua gurunya, tidak
berani mencelakai mereka. Pemuda ini hanya mengelak dan menangkis saja, namun
setiap kali tertangkis pukulan mereka, tiga orang itu tentu terhuyung dan
terdorong ke belakang.
Mereka
menyerang terus dengan hati penuh kebencian. Dahulu, mereka juga sayang dan
hormat kepada murid majikan mereka ini. Akan tetapi semenjak Ki Liong minggat
dari pulau melarikan pusaka, mereka ikut marah dan membencinya, menganggap dia
sebagai musuh majikan mereka.
Melihat
betapa kekasihnya dikeroyok dan jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau
membasas serangan para pengeroyok, melainkan mengelak dan menangkis saja,
Mayang menjadi marah. Ia tidak berani lancang turun tangan, akan tetapi karena
mendongkol, iapun tidak dapat menahan dirinya dan berserulah ia dengan suara
nyaring.
"Bagus,
bagus! Beginikah caranya Majikan Pulau Teratai Merah yang bernama besar itu
menyambut tamu? Sungguh tidak sesuai dengan nama besar dan kehormatannya!"
"Mayang,
jangan bicara sembarangan!"
Ki Liong
menegur sambil tetap menghindarkan diri dari pengeroyokan tiga orang itu dengan
elakan dan tangkisan.
Tiba-tiba
ada angin besar yang menyambar dan tiga orang pelayan pulau Teratai Merah itu
terjengkang dan bergulingan di atas tanah, sedangkan Ki Liong sendiri terhuyung
karena sambaran angin dahsyat itu. Diapun cepat menjatuhkan diri berlutut
karena dia tahu bahwa suhu dan subonya yang datang melerai perkelahian tadi.
Mayang
memandang penuh perhatian dan entah dari mana datangnya, seperti pandai menghilang
saja, tahu-tahu disitu telah berdiri seorang kakek dan seorang nenek yang
usianya tentu sudah ada tujuh puluh tahun akan tetapi mereka masih nampak sehat
dan bertubuh ramping tegak. Rambut mereka sudah putih, wajah sudah keriputan,
namun masih jelas membayangkan ketampanan dan kecantikan di waktu mereka masih
muda. Yang mengagumkan adalah mata mereka. Mata mereka masih jeli dan tajam
seperti mata orang muda saja.
Mereka itu
bukan lain adalah majikan pulau Teratai Merah, yaitu si Pendekar Sadis Ceng Thian
Sin dan isterinya, Toan Kim Hong yang dahulu pernah berjuluk Lam Sin (Malaikat
Selatan). Ceng Thian Sin memandang kepada tiga orang pengeroyok tadi yang kini
sudah bangkit dan berlutut menghadap mereka. Terdengar suaranya, yang lembut
namun mengandung wibawa.
"Siapa
menyuruh kalian lancang tangan menyerang orang?"
Tiga orang
itu menyembah-nyembah dengan sikap ketakutan, dan si jenggot panjang berkata
dengan suara gemetar,
"Harap
maafkan kami, Taihiap, akan tetapi dia.... dia..... !"
"Sudahlah,
pergilah kalian melanjutkan pekerjaan kalian!"
Tiga orang
itu memberi hormat, bangkit dan pergi dari tempat itu. Kini kakek dan nenek itu
memandang kepada Ki Liong yang masih berlutut dan kepada Mayang. Gais ini tetap
berdiri dan menatap mereka dengan berani.
Diam-diam
Toan Kim Hong merasa tertarik dan kagum kepada gadis yang nampaknya asing itu,
yang memiliki kecantikan khas Tibet.
"Nona,
engkau tadi mengatakan bahwa kami menyambut tamu tidak sebagaimana mestinya.
Akan tetapi kami tidak pernah mengundang tamu ke pulau kami! Engkau bukan tamu
kami, melainkan pelanggar wilayah dan tempat tinggal pribadi kami!"
"Subo
……!" Ki Liong berkata dengan suara lemah.
"Diam
kau! Aku tidak mempunyai seorang murid macam engkau!"
Nenek itu
menghardik. Mayang merasa penasaran sekali. Nenek ini terlalu galak, pikirnya.
Akan tetapi karena nenek itu adalah guru Ki Liong, iapun tidak berani bersikap
tidak sopan.
"Lo-cian-pwe,
teguran lo-can-pwe tadi sungguh tidak dapat kuterima begitu saja. Tidak
seorangpun di dunia ini yang tidak melanggar wilayah yang bukan miliknya.
Apakah ji-wi lo-cian-pwe (kedua orang tua gagah) selama hidup, sejak lahir
sampai sekarang, berdiam terus disini? Kalau ji-wi keluar dari pulau ini,
berarti ji-wi sudah melanggar wilayah yang bukan milik ji-wi, apalagi kalau
mendarat di seberang sana, menjelajah gunung-gunung, kota dan dusun, entah
berapa banyak wilayah bukan milik ji-wi yang dilanggar! Pulau ini merupakan
sebagian kecil dari bumi, tentu saja sewaktu-waktu didatangi orang. Dan kalau
kami datang kesini, bukan bermaksud melanggar wilayah ji-wi, melainkan ada
keperluan, maka sudah sepantasnya disambut sebagai tamu!”
Kakek dan
nenek itu saling pandang dan sinar mata mereka saja yang maklum bahwa mereka
diam-diam merasa kagum dan tertawa. Kalau saja disitu tidak ada Ki Liong yang
kemunculannya membuat mereka terkejut dan marah, tentu mereka sudah tertawa
gembira mendengar ucapan gadis peranakan Tibet yang lincah itu. Gadis itu
mengingatkan mereka kepada cucu mereka, Cia Kui Hong.
"Hemm,
bocah lancang mulut!" Nenek Toan Kim Hong menghardik. "Engkau bilang
datang kesini ada keperluan? Keperluan apakah, hayo katakan agar kami
pertimbangkan apakah pantas engkau kami layani ataukah tidak!”
"Aku
pun tidak minta ji-wi layani karena keperluanku hanyalah menemani Liong-koko
ini untuk menghadap ji-wi. Dialah yang mempunyai keperluan dengan ji-wi
locianpwe, bukan aku."
Tentu saja
kakek dan nenek ini kini memandang kepada Ki Liong yang sejak tadi menundukkan
mukanya. Pemuda ini diam-diam memaki Mayang karena menganggap sikap gadis itu
terlalu berani dan tentu akan membuat suhu dan subonya semakin marah kepadanya.
"Hemm,
orang sesat dan murtad! Mau apa engkau datang ke sini? Betapa beraninya
mengantarkan nyawa kepada kami!" kata Ceng Thian Sin dengan suara yang
keren.
“Suhu dan
subo, ampunkanlah teecu. Teecu memang telah melakukan dosa besar terhadap suhu
dan subo. Teecu telah sadar dan menyesali kesalahan teecu, dan hari ini teecu
datang menghadap suhu dan subo untuk mengembalikan Gin-hwa-kiam dan teecu siap
menerima hukumam apapun yang akan ji-wi jatuhkan kepada diri teecu!” berkata
demikian, Ki Liong mengambil pedang Gim-hwa-kiam dengan sarungnya, dan dengan
kedua tangan dia memegang pedang dan sarungnya itu di atas kepala dan diapun
menyerahkannya kepada kedua orang gurunya sambil berlutut.
Tiba-tiba
nenek itu menggerakkan kepalanya dan sinar putih menyambar ke arah pedang itu.
Mayang terbelalak kagum. Ia melihat betapa rambut nenek penuh uban itu ternyata
panjang sekali dan kini rambut itu telah menotok kedua pergelangan tangan Ki
Liong sehingga kedua tangan itu menjadi lumpuh dan pedang yang dipegangnya
terlepas.
Akan tetapi
pedang itu telah digulung ujung rambut yang kini membawa pedang itu ke arah si
nenek yang menangkapnya dengan tangan kanan. Setelah memandangi sejenak, nenek
itu menyerahkan pedang kepada suaminya, kemudian ia menggelung kembali
rambutnya yang terlepas dari sanggulnya.
Ceng Thian
Sin mencabut pedang itu. Nampak sinar perak berkilauan dan diapun
mengangguk-angguk, lalu menyimpan kembali pedang ke dalam sarung pedang.
"Manusia
laknat! Apakah setelah mengembalikan pedang ini, dosamu akan menjadi bersih
begitu saja? Engkau tidak layak lagi untuk hidup di dunia, hanya akan
mendatangkan kejahatan saja!" kata nenek Toam Kim Hong dan kini ia
bergerak ke depan, melangkah mendekati Ki Liong dan siap untuk membunuh bekas
murid itu dengan sekali pukul.
Akan tetapi
tiba-tiba Mayang meloncat ke depan Ki Liong, menghadang dan gadis ini kelihatan
marah seperti seekor harimau betina melindungi anaknya yang akan diganggu.
"Ini
sungguh tidak adil!" terlak Mayang penasaran.
Nenek itu
mengerutkan alisnya, menatap tajam wajah gadis itu.
“Apa kau
bilang? Kami tidak adil? Anak lancang mulut, berani engkau mengatakan kami
tidak adil? Bedebah ini telah kami didik selama bertahun-tahun, dan apa yang
dia lakukan untuk membalas budi kami? Dia minggat dari pulau ini, membawa harta
dan pusaka! Dan sekarang engkau berani mengatakan bahwa kami tidak adil? Apa
engkau sudah bosan hidup?"
"Aku
tanu lo-cian-pwe. Aku tahu bahwa Liong-ko pernah menjadi murid ji-wi disini
kemudian melakukan penyelewengan, minggat dan melarikan pusaka. Kalau pada
waktu itu ji-wi mengejar dan membunuhnya, hal itu memang sudah sepantasnya.
Akan tetapi sekarang persoalannya menjadi lain. Dia telah menyadari
kesalahannya, merasa menyesal dan bertaubat. Dia menghadap ji-wi untuk mengakui
kesalahan, mengembalikan pedang pusaka, bahkan menyatakan siap menerima
hukuman. Dia datang dengan itikad baik, akan tetapi ji-wi bahkan hendak
membunuhnya. Mana bisa ini dikatakan adil? Beginikah sikap tokoh-tokoh besar
yang bijaksana? Ataukah hanya ulah orang yang berhati kejam sekali?”
"Mayang!
Jangan kurang ajar engkau!"
Ki Liong
berseru, khawatir sekali karena kini dia merasa pasti bahwa suhu dan subonya
akan membunuh mereka berdua tanpa ampun lagi.
![cerita silat online karya kho ping hoo](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjExKMCMxytazKB2t23rkFbH7i7o-CtPAh3uiefxIYNE6lfyYDU5awhbS43Q8rQ_o-X0HLbUj84DIUAdUyJ4Zp9bo0SukyttDyzg4vMBRVexsfWwcUVYjOOrGjvICtoxSkqYyM5j6q7JGE/s320/Jodoh+Si+Mata+Keranjang-790133.jpg)
Akan tetapi,
kembali kakek dan nenek itu saling pandang, dan anehnya, nenek itu melangkah
mundur lagi dan berdiri di samping suaminya seperti tadi, sikapnya hendak turun
tangan membunuh Ki Liong sudah lenyap sama sekali.
"Hemm,
anak berani mati. Siapakah engkau dan mengapa pula engkau membela orang murtad
ini mati-matian?" tanya Ceng Thian Sin dengan suaranya yang lembut.
Kini Mayang
memberi hormat dengan membungkuk dan merangkap kedua tangan di depan dadanya.
"Namaku
Mayang, dan Liong-ko adalah sahabatku yang pernah menyelamatkan aku dari tangan
orang jahat. Melihat dia telah bertaubat, maka aku ingin menemaninya menghadap
ji-wi disini dan mohon pengampunan. Aku percaya bahwa ji-wi sebagai dua orang
tokoh besar tentu akan suka mengampuninya.”
"Ah,
engkau kira kami yang telah dikhianatinya itu akan suka menerimanya kembali
sebagai murid kami?" Ceng Thian Sin berkata sambil tersenyum dingin. “Dia
terlalu jahat!”
"Kami
harus menghukum keparat ini dan engkau tidak berhak mencampuri urusan kami,
Mayang." kata pula Toan Kim Hong. "Siapa sih gurumu yang tidak mampu
mengajarmu untuk bersikap sopan dan tidak mencampuri urusan orang lain."
"Guruku
bernama Kim Mo Sian-kouw yang tinggal di Puncak Awan Kelabu di Ning-jing-san."
jawab Mayang.
Kembali
suami isteri itu saling pandang. Mereka sudah mengenal nama itu dan maklum
bahwa guru gadis itu merupakan orang yang setingkat dengan mereka, berwatak
aneh namun tidak pernah digolongkan sebagai tokoh sesat. Tidak mengherankan kalau
tokoh itu mempunyai seorang murid wanita yang begini ugal-ugalan dan berani
mati.
Akan tetapi
Toan Kim Hong adalah seorang nenek yang keras hati dan tidak mau mengalah,
apalagi terhadap Kim Mo Sian-kouw yang dianggap sebagai saingannya di dunia
persilatan.
"Tidak
perduli siapa gururnu, engkau tetap tidak boleh mencampuri urusan kami. Aku
harus membunuh si laknat yang durhaka dan murtad ini!"
"Lo-cian-pwe,
jangan…….!” Mayang kembali menghadapi nenek itu dan melindungi Ki Liong. ,
"Bocah
lancang! Berani engkau menghalangi aku bertindak terhadap bekas muridku sendiri
di pulauku sendiri?"
Toan Kim
Hong membentak, kini marah sekali karena merasa ditantang seorang bocah.
Walaupun Ceng Thian Sih tidak ingin membunuh bekas murid itu, dia tidak
mencegah isterinya karena dia beranggapan bahwa kalau isterinya membunuh Ki
Liong, hal itu tidak dapat disalahkan.
"Lo-cian-pwe,
aku tidak berani menghalangi tindakan lo-cian-pwe. Hanya aku sudah berjanji
akan membela Liong-ko dengan taruhan nyawa untuk membalas budinya. Juga aku
hanya ingin memperigatkan lo-cian-pwe agar lo-cian-pwe bertindak adil
seadil-adilnya, juga kalau lo-cian-pwe membunuh Liong-ko, hal itu berarti bahwa
enci Cia Kui Hong adalah seorang penipu besar!"
Nenek itu
sudah mengepal tangannya. Mendengar kalimat terakhir tentang Cia Kui Hong,
kepalan tangannya terbuka lagi dan matanya terbelalak memandang kepada Mayang.
"Mayang,
apa maksudmu? Apa hubungannya Kui Hong dengan urusan ini?” tanya nenek Toan Kim
Hong.
“Enci Kui
Hong telah memaafkan Liong-ko dan bahkan menganjurkan agar Liong-ko menghadap
ji-wi. Kalau sekarang Liong-ko disini dibunuh, bukankah itu berarti bahwa enci
Kui Hong sengaja menipu Liong-ko agar dibunuh?"
Ceng Thian
Sin mengerutkan alisnya.
"Bagaimana
kami dapat percaya bahwa kalian sudah bertemu dengan Kui Hong? Kalau ia bertemu
dengan dia, tentu Kui Hong telah merampas Gin-hwa-kiam ini dari tangannya dan
bukan dia yang mengembalikannya kesini."
Ki Liong
mengangkat mukanya hendak menjawab, akan tetapi begitu bertemu pandang dengan
suhunya, dia menunduk kembali dan tidak berani bicara. Sinar mata suhunya
demikian tajam dan marah, membuat dia menjadi gentar.
Akan tetapi
Mayang sama sekali tidak takut.
"Terserah
lo-cian-pwe mau percaya kepadaku ataukah tidak! Akan tetapi yang jelas, pedang
itu sudah lama sekali terampas dari tangan Liong-ko, dan yang merampasnya bukan
enci Kui Hong. Yang merampasnya adalah kakakku, yang membantu enci Hong dan
kemudian mengembalikan pedang itu kepada enci Kui Hong.”
"Hemm,
siapakah kakakmu itu?”
Mayang
mengangkat muka dan membusungkan dadanya yang sudah besar itu.
"Kakakku
adalah seorang pendekar sakti, namanya Tang Hay. Lo-cian-pwe hendak mengetahui
siapa guru kakakku? Bukan subo, akan tetapi gurunya banyak, diantaranya menurut
cerita kakakku adalah See Thian Lama, Ciu-sian Sin-kai Pek Mau San-jin, Song
Lojin dan lain-lain. Kakakku sakti dan hebat sekali!"
Kembali
kakek dan nenek itu saling pandang. Diam-diam mereka terkejut karena nama-nama
yang disebut gadis itu adalah nama orang-orang yang tinggi sekali tingkatnya di
dalam dunia persilatan.
"Kalau
Kui Hong sudah menerima kembali pedang ini, kenapa sekarang bukan ia yang
membawanya pulang kesini?” Ceng Thian Sin mengejar karena dia tidak dapat
percaya begitu saja.
"Sudah
kukatakan bahwa enci Kui Hong memaafkan Liong-ko. Bahkan enci Kui Hong
menyetujui kalau Liong-ko kembali kesini menghadap ji-wi, mengembalikan
Gin-hwa-kiam dan mohon ampun. Karena itu, dengan senang hati enci Kui Hong
memberikan pedang pusaka itu kepada Liong-ko."
"Aku
tidak percaya!" Nenak Toan Kim Hong membentak.
Mayang
bersungut-sungut.
"Percaya
atau tidak terserah, akan tetapi begitulah kenyataannya. Kalau ji-wi tetap
hendak membunuh Liong-ko, bunuhlah aku juga, akan tetapi ji-wi akan menjadi
orang-orang yang paling tidak adil di dunia ini dan enci Kui Hong menjadi
pembohong terbesar di dunia! Nah, lo-cian-pwe boleh membunuh kami!"
Gadis itu
berdiri menghadang antara kakek dan nenek itu dan Ki Liong, mengembangkan kedua
lengannya seolah siap untuk menerima pukulan maut.
Ia berada
dalam bahaya maut. Tidak pernah ada orang yang menantang nenek Toan Kim Hong
dapat keluar dengan selamat! Nenek itu sudah menjadi merah mukanya dan matanya
memancarkan sinar berapi.
Ceng Thian
Sin melihat keadaan isterinya ini dan maklum bahwa sekali isterinya
menggerakkan tangan, pemuda dan gadis itu tentu akan tewas seketika. Maka,
diapun sudah mendahului melangkah maju sehingga isterinya menahan gerakannya.
"Ki
Liong, benarkah apa yang dikatakan oleh gadis ini?"
Baru
sekarang kakek itu bicara langsung ditujukan kepada Ki Liong. Sejak tadi, kakek
dan nenek itu tidak sudi bicara dengan dia, hanya bicara kepada Mayang.
Ki Liong
yang masih berlutut itu segera merangkap kedua tangan dan mengangguk dengan
sikap merendah sekali.
"Suhu
yang mulia, semua yang diceritakan Mayang memang benar, akan tetapi mohon suhu
dan subo sudi memaafkan kelancangan Mayang. Ia tidak bersalah dan biarlah teecu
yang menanggung semua hukuman."
"Huh,
gadis yang kasar ini jauh lebih berharga daripada kamu!” nenek Toan Kim Hong
berseru. "Ia jujur dan terus terang, tidak seperti kamu yang licik dan
curang!”
Biarpun ia
masih marah sekali, namun kini nenek Toan Kim Hong merasa ragu untuk membunuh
Ki Liong. Kalau benar seperti dugaannya bahwa Mayang terlalu jujur untuk
berbohong, maka Kui Hong memang sudah memaafkan Ki Liong. Padahal, minggatnya
Ki Liong dari pulau itu dan membawa pergi pusaka Gin-hwa-kiam, adalah karena
gara-gara Kui Hong. Ki Liong tergila-gila kepada Kui Hong dan berani
menggodanya, bahkan berniat cabul. Kui Hong menolak dan karena dia ditegur dan
merasa malu, maka Ki Liong melarikan diri.
Kesalahannya
yang terbesar adalah oleh peristiwa Kui Hong. Kalau kini Kui Hong sendiri sudah
dapat memaafkan Ki Liong, bagaimana mereka yang pernah menjadi guru pemuda itu
berkeras hendak membunuhnya? Ia menyerahkan saja kepada suaminya yang ia tahu
amat bijaksana dan dapat mengambil keputusan tepat.
"Ki
Liong, kami belum dapat menerima keterangan itu begitu saja. Kami belum tahu
apakah benar engkau telah bertaubat dan apakah benar Kui Hong telah
memaafkanmu. Kami baru akan percaya dan mempertimbangkan apakah kami dapat
mengampunimu kalau engkau dapat membawa bukti dari Kui Hong. Sukur kalau Kui
Hong dapat datang sendiri memberi keterangan kepada kami. Kalau tidak,
sedikitnya harus ada surat tulisan cucu kami itu. Nah, kami sudah cukup lama
bicara. Pergilah kalian berdua sebelum kami mengubah keputusan kami!”
Mayang
hendak membantah, akan tetapi Ki Liong memegang tangannya dan menarik gadis itu
untuk berlutut. Mayang terpaksa berlutut pula di samping Ki Liong.
"Teecu
menghaturkan banyak terima kasih atas budi kecintaan suhu dan subo yang sudah
mengampuni kami. Karena sudah jelas perintah suhu, teecu mohon diri untuk
melaksanakan perintah itu. Teecu akan mencari nona Cia Kui Hong dan mendapatkan
bukti darinya.”
Kakek dan
nenek itu hanya membuat gerakan seperti mengibaskan tangan dan tubuh kedua
orang muda itu seperti disambar angin yang amat kuat, membuat mereka
terguling-guling sampai jauh. Ketika mereka berdua akhirnya dapat bangkit, dua
orang kakek dan nenek itu telah lenyap dari situ!
"Aih,
betapa kejamnya…….!”
Mayang
berseru lirih, akan tetapi Ki Liong sudah menyambar lengan gadis itu dan
ditariknya, diajak lari meninggalkan hutan itu menuruni bukit menuju ke pantai
dimana dia menyimpan perahunya tadi.
"Ssttt,
diamlah, Mayang dan jangan bicara lagi. Masih untung kita dapat meninggalkan
pulau ini dalam keadaan hidup dan sehat. Suhu dan subo telah mengampuniku,
memberi kesempatan kepadaku. Kita patut bersukur."
"Hemm,
kemana kita akan pergi sekarang?" tanya Mayang.
Ki Liong
memanggul perahunya.
"Persiapkan
cambukmu untuk menghalau ikan-ikan hiu itu. Kita berlayar lagi, menuju ke
darat, kemudian kita mencari nona Cia Kui Hong.”
Mayang
mengikuti pemuda itu melangkah dari batu ke batu sambil bersungut-sungut.
"Kita
Harus bersusah payah lagi mencari enci Kui Hong! Padahal dari sini kita dapat
langsung ke barat menemui ibuku dan suboku untuk membicarakan urusan
kita."
"Kita
lewati tempat berbahaya ini dulu, nanti kita bicara lagi tentang itu,
Mayang."
Seperti
ketika mendarat, mereka melalui bagian yang lebih dalam dimana ikan-ikan hiu
hilir mudik, siap menyambar kaki mereka diantara batu-batu karang. Kini, karena
hatinya mendongkol, Mayang mengamuk dengan cambuknya. Ia menyerang sepenuh
tenaga sehingga sirip hiu yang terkena cambuknya pun patah dan lecet-lecet.
Karena ada
ikan yang berdarah terkena cambuknya itu, terjadilah perkelahian antara mereka
sendiri. Hiu yang terluka menjadi sasaran serangan ikan-ikan ganas itu dan air
laut di sekitar batu-batu itupun menjadi merah! Mayang bergidik sendiri karena
merasa ngeri ketika mereka sudah menurunkan perahu dan mulai mendayung perahu
ke tengah.
Setelah Ki
Liong memasang layar kecil dan perahu meluncur cepat, barulah mereka dapat
duduk santai dan bercakap-cakap.
“Mayang,
sebelum kita menemukan nona Kui Hong dan mendapat bukti darinya, hatiku belum
merasa tenteram. Bagaimana hatiku dapat tenteram sebelum aku diterima kembali
oleh suhu dan subo, setidaknya aku tidak akan dimusuhi? Tentang urusan kita
dengan ibumu dan subomu, perlu apa kau khawatirkan? Bukankah kita memang sudah
menjadi calon jodoh masing-masing? Kita saling mencinta dan itu sudah lebih
dari cukup, Mayang. Kita dapat segera menjadi suami isteri, kalau engkau
menghendaki. Kita dapat minta seorang pendeta di kuil untuk menikahkan kita.”
Mayang
cemberut.
“Tidak!
Sampai matipun aku tidak sudi menikah sebelum mendapat restu dari ibu dan subo!
Aku adalah puteri ibu, dan aku adalah murid subo. Sebagai anak dan murid aku
harus berbakti kepada ibu dan subo. Tanpa restu mereka, bagaimana aku dapat
menjadi isteri orang? Ayahku yang sudah tewas itu boleh menjadi jai-hwa-cat
(penjahat cabul), akan tetapi aku tidak sudi menjadi seorang wanita yang
melanggar tata susila! Kita harus menikah dengan restu ibu dan suboku, baru aku
suka menjadi isterimu, Liong-ko.”
“Akan tetapi
kita saling mencinta, Mayang! Tidak ada halangan apapun lagi yang…….”
“Liong-ko!
Kita ini manusia, bukan binatang. Kita mengenal hukum, peraturan, kebiasaan
umum, tata susila. Dan perjodohan belum kuat benar kalau hanya didasari cinta
semata! Kitapun tidak tahu apa cinta itu, apakah abadi atau tidak. Harus
disertai pula ikatan hukum dan peraturan, terutama tidak meninggalkan kebaktian
terhadap orang tua kita. Dan engkau sendiri, bagaimana, Liong-ko? Engkau tidak
pernah menceritakan tentang orang tuamu.”
"Ayah
ibuku telah tiada, Mayang."
"Ah,
kasihan engkau, Liong-ko. Baiklah, kita mencari enci Kui Hong lebih dulu.
Setelah itu, baru kita pergi keNing-ling-san.”
Mereka
melanjutkan pelayaran dan gadis itu melihat betapa kini terjadi perubahan dalam
sikap Ki Liong. Pemuda itu nampak banyak melamun dan seperti orang yang
berduka. Ia hanya menduga bahwa tentu pemuda itu teringat akan orang tuanya,
dan juga menyesali semua kesesatannya yang lalu. Maka iapun mendiamkannya saja.
“Ciok Gun
……!”
Gouw Kian
Sun berseru dengan mata terbelalak. Pada saat itu, hatinya diliputi kekagetan,
keheranan dan juga kekhawatiran, walaupun ada juga perasaan girang melihat
munculnya murid kepercayaan itu.
Ciok Gun
bukan saja merupakan murid Cin-ling-pai di bawah pimpinannya sendiri, akan
tetapi juga telah ia tarik sebagai pembantu utamanya dalam mengurus
Cin-ling-pai selama dia mewakili ketua Cin-ling-pai, yaitu Cia Kui Hong yang
sedang pergi merantau.
Tentu saja
dia terkejut karena murid inilah yang pertama kali menghilang bersama dua orang
murid Cin-ling-pai lainnya ketika pergi berburu. Dan sebelum mereka dapat
ditemukan, kakek Cia Kong Liang dan cucu yang masih kecil, yaitu Cia Kui Bu,
telah menghilang pula. Bahkan peristiwa aneh itu disusul dengan lenyapnya Cia
Hui Song dan isterinya, Ceng Sui Cin ketika suami isteri itu berturut-turut
pergi mencari putera dan ayah mereka.
Dia telah
mengerahkan anak buah Cin-ling-pai untuk mencari jejak mereka yang hilang
secara aneh, namun belum juga berhasil dan malam ini, selagi dia berada di
kamarnya, daun jendela kamarnya diketuk orang perlahan-lahan dari luar .
"Siapa
……?”
Gouw Kian
Sun bertanya dari dalam. Semenjak peristiwa lenyapnya tokoh-tokoh penting
Cin-ling-pai, dia selalu merasa curiga dan khawatir. Tentu saja ketukan di
jendela itu membuat dia curiga. Kalau ada murid Cin-ling-pai yang perlu bicara
dengan dia, tentu akan mengetuk daun pintu, bukan jendela! Dan di tengah malam
pula!
"Teecu
datang, suhu, harap dibukai jendela!" ,
Hampir Kian
Sun tidak percaya akan pendengarannya sendiri. Dia lalu membuka jendela
kamarnya dan sesosok bayangan melompat masuk ke dalam kamarnya. Tentu saja dia
terkejut, heran, khawatir dan juga girang ketika melihat bahwa bayangan itu
bukan lain adalah Ciok Gun, murid yang dicari-cari selama ini.
"Ciok
Gun, engkau? Apa…… apa yang terjadi?" tanyanya gagap dan bingung.
Ciok Gun
memberi isyarat kepada suhunya agar tidak membuat gaduh dan diapun bicara
dengan suara lirih.
"Suhu,
harap jangan berisik. Teecu tahu dimana adanya su-kong Cia Kong Liang, supek
Cia Hui Song, supek-bo Ceng Sui Cin, dan juga adik Cia Kui Bu. Akan tetapi
jangan membuat ribut. Marilah, Suhu, teecu antarkan suhu melihat mereka."
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan girangnya rasa hati Kian Sun mendengar berita yang
menggembirakan ini. Akan tetapi dia juga merasa heran dan bingung mengapa
pembantu yang sangat dipercayanya ini bersikap demikian aneh dan penuh rahasia.
Akan tetapi
kegembiraannya untuk segera melihat gurunya dan suhengnya, diapun mengangguk
dan keduanya lalu berloncatan keluar dari jendela kamar itu, menutupkan daun
jendela dari luar, kemudian Gouw Kian Sun mengikuti muridnya menyusup keluar
dari perkampungan Cin-ling-pai.
Malam telah
larut, bahkan lewat tengah malam, maka para penjaga dan peronda hanya berkumpul
di gerdu penjagaan dan membuat api unggun melawan hawa dingin. Dengan mudah
guru dan murid yang merupakan orang pertama dan kedua di Cin-ling-pai pada
waktu itu, keluar dari perkampungan dan Gouw Kian Sun terus mengikuti muridnya
yang berlari-lari menuju ke sebuah bukit.
Dapat
dibayangkan betapa kaget dan heran rasa hati Kian Sun ketika muridnya membawa
dia ke depan sebuah bangunan besar yang tersembunyi di tengah hutan di lereng
bukit itu. Setahu dia, disitu tidak ada bangunannya! Dia hendak bertanya, akan
tetapi Ciok Gun sudah membisikinya.
"Hati-hati,
suhu, jangan mengeluarkan suara. lkuti saja teecu ……"
Biarpun
hatinya merasa tidak enak melihat sikap muridnya, yang kini penuh rahasia itu,
diapun mengikuti saja ketika Ciok Gun mengajaknya memasuki bangunan itu dengan
menyelinap melalui sebuah pintu kecil di dalam kebun atau pekarangan samping.
Tak lama
kemudian, muridnya sudah mengajaknya mengintai dari lubang dan dia melihat
betapa gurunya, Cia Kong Liang, sedang tidur nyenyak bersama cucu gurunya,
yaitu Cia Kui Bu. Jelas bahwa keduanya sehat dan sedang tidur nyenyak di dalam
kamar tahanan yang kokoh kuat dengan pintu berjendela dan beruji baja itu. Dan
di sebelah sana, dia melihat pula suhengnya, Cia Hui Song, juga tidur pulas di
dalam sebuah kamar tahanan lain, sedang di kamar ke tiga dia melihat Ceng Sui
Cin juga tertidur pulas.
Setelah
memandang semua itu dengan mata terbelalak, Kian Sun menoleh dan memandang
kepada muridnya.
"Cik
Gun, apa artinya semua ini? Mengapa mereka disini dan apa yang telah
teriadi?"
Saking
khawatirnya, dia bicara agak keras. Ciok Gun memberi isyarat agar gurunya suka
mengikutinya meninggalkan tempat itu dan menuju ke ruangan lain di dalam rumah
itu.
"Mari
kita temui orang yang menawan mereka, Suhu." kata Ciok Gun yang berjalan
cepat memasuki sebuah ruangan lain di bagian depan.
Ruangan ini
luas dan terang dan ketika Kian Sun melangkah masuk mengikuti muridnya, dia
melihat seorang wanita cantik dan tiga orang pria setengah tua berpakaian
pendeta sedarig duduk disitu, agaknya memang sedang menanti kehadirannya. Dan
suatu hal yang aneh terjadi, Ciok Gun muridnya yang setia dan paling dipercaya
itu tanpa ragu-ragu melangkah dan berdiri di belakang empat orang itu dan
sikapnya seperti menanti perintah!
“Selamat
datang dan selamat malam, Gouw Pang-cu (Ketua Gouw)! Maafkan kelambatan kami
menyambut wakil ketua Cin-ling-pai yang terhormat. Silakan duduk, Gouw
Pangcu!"
Gouw Kian
Sun memandang heran dan gugup, akan tetapi melihat sikap mereka ramah, diapun
terpaksa menyambut dengan hormat dan dia duduk di atas kursi yang sudah
disediakan menghadapi mereka berempat.
Sejenak dia
memperhatikan mereka. Wanita itu usianya masih muda, tidak akan lebih dari dua
puluh lima tahun. Wajahnya cantik manis, matanya bersinar-sinar, lincah
gembira, senyumnya selalu menghias mulut, bentuk tubuhnya padat dan indah. Tiga
orang pria berpakaian pendeta itu seperti tosu (pendeta agama To), usia mereka
antara lima puluh sampai enam puluh tahun, sikap mereka angkuh dan dingin, dan
mereka diam saja, agaknya memang gadis itu yang menjadi juru pembicara.
"Maafkan
saya kalau saya terpaksa mengaku bahwa saya tidak mengenal kalian. Siapakah
kalian dan apakah artinya semua ini?" kata Gouw Kian Sun sambil memandang
tajam.
Wanita itu
yang bukan lain adalah Tok-ciang Bi Mo-li Su Bi Hwa, tersenyum. Manis sekali
ketika mulutnya tersenyum, seperti sekuntum bunga merekah dan nampak kilatan
gigi yang berderet rapi dan putih.
"Kami
tidak akan merahasiakan diri kami, Pancu. Namaku Su Bi Hwa dan golongan kita
mengenalku sebagai Tok-ciang Bi Mo-Ii."
Gouw Kian
Sun mengerutkan alisnya. Dia belum pemah mendengar nama dan julukan ini, akan
tetapi mengingat akan arti julukan Tok-ciang Bi Moli (Iblis Betina Cantik
Bertangan Racun) itu saja sudah diduga bahwa gadis ini adalah seorang wanita
golongan sesat yang lihai. Akan tetapi Kian Sun adalah seorang tokoh
Cin-ling-pai yang sudah berpengalaman, maka dia mengangkat tangan ke depan dada
sambil berkata.
"Ah,
kiranya Tok-ciang Bi Moli yang terkenal. Sudah lama mendengar nama besar itu
dan mengaguminya."
"Dan
mereka ini adalah guru-guruku, bemama Lan Hwa Cu, Siok Hwa Cu dan Kim Hwa Cu,
terkenal dengan julukan mereka Pek-lian Sam-kwi."
Kini Gouw
Kian Sun benar-benar terkejut. Kiranya dia berhadapan dengan orang-orang
Pek-lian-kauw!
"Hemm,
seingatku, Cin-ling-pai tidak pemah berurusan dengan pihak Pek-lian-kauw.
Sekarang kalian datang ke wilayah kami, sesungguhnya ada keperluan apakah ?”
"Hi-hik,
ternyata Gouw Pangcu adalah seorang laki-laki yang gagah perkasa dan
berpengalaman. Sungguh mengherankan kalau seorang gagah seperti pangcu ini
sampai sekarang belum juga menikah."
Kian Sun
mengerutkan alisnya. Agaknya orang-orang Pek-lian-kauw ini telah menyelidiki
keadaan Cin-ling-pai sehingga tahu akan keadaannya pula. Sungguh banyak yang
aneh dia temui disini. Para tokoh Cin-ling-pai, bahkan suhengnya Cia Hui Song
dan isterinya, keduanya memilki ilmu kepandaian tinggi, berada dalam
kamar-kamar tahanan itu. Muridnya, Ciok Gun bersikap demikian anehnya, tentu
muridnya itu yang menceritakan semua tentang Cin-ling-pai. Kian Sun menjadi
marah sekali kepada muridnya itu. Ciok Gun yang digemblengnya menjadi seorang
pendekar yang gagah itu kini mengkhianati Cin-ling-pai? Rasanya tidak masuk
akal.
“Ciok Gun,
kesini engkau dan ceritakan padaku apa artinya semua ini!" bentaknya
kepada Ciok Gun.
Akan tetapi
yang dibentaknya itu sedikitpun tidak memperlihatkan tanggapan, bergerakpun
tidak, berkedippun tidak, hanya menunduk dan tetap berdiri di belakang empat
orang Pek-lian-kauw itu.
"Moli,
katakan saja terus terang, apa yang kalian kehendaki dariku?" Akhirnya dia
membentak marah melihat muridnya sama sekali tidak menjawabnya.
"Hi-hik,
Ciok Gun, ini hanya akan bicara atau bertindak kalau mendengar perintahku! Gouw
Kian Sun, dengarlah keinginan kami. Kami datang ini untuk mengulurkan tangan
kepadamu dan menawarkan kerja sama dengan Cin-ling-pai.”
Kin Sun
bangkit berdiri, wajahnya berubah merah,
"Cin-ling-pai
bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Tidak mungkin! Lebih baik aku mati daripada
harus bekerja sama dengan Pek-lian-kauw yang sesat!"
Bi Hwa
tertawa.
"Hi-hik,
sudah kuduga engkau akan menjawab demikian, Gouw Kian Sun. Akan tetapi kami
tidak menghendaki engkau mati. Engkau perlu hidup untuk bekerja sama dengan
kami dan engkau harus mentaati kami."
"Tidak
sudi!"
"Hi-hi-hik,
bagaimana engkau bisa bilang tidak sudi? Engkau tidak mempunyai pilihan kecuali
hanya dua, yaitu pertama, engkau taat kepada kami, suka bekerja sama dan
semuanya akan selamat. Dan engkau pilih yang ke dua , yaitu kalau engkau
menolak, berarti engkau membunuh kakek Cia Kong Liang, Cia Hui Song dan Ceng
Sui Cin, juga anak mereka Cia Kui Bu. Engkau membunuh mereka melalui
penolakanmu terhadap uluran tangan kami. Nah, kau pilih yang mana?"
“Aku pilih
mati!"
Gouw Kian
Sun membentak dan diapun sudah menerjang ke arah wanita cantik itu. Karena dia
dapat menduga betapa lihainya empat orang itu, maka begitu menyerang Bi Hwa,
dia sudah mempergunakan Thai-kek Sin-kun dan mengerahkan seluruh tenaga
sin-kangnya dalam hantamannya.
"Brakkkk
!"
Kursi yang tadi
diduduki Bi Hwa hancur berkeping-keping, akan tetapi wanita itu sendiri tidak
terkena pukulan karena dengan gesitnya ia sudah meloncat meninggalkan kursinya
ketika hantaman itu tiba.
Kim Hwa Cu,
tosu termuda diantara Pek-lian Sam-kwi, yang bertubuh tinggi kurus dengan muka
kuning, sekali bergerak sudah meloncat ke depan Kian Sun. Dia tersenyum
mengejek dan mengelus jenggotnya.
"Gouw
Kian Sun, kami peringatkan agar engkau sebaiknya menyerah saja agar semua tokoh
Cin-ling-pai selamat. Kami hanya ingin mempergunakan nama Cin-ling-pai saja,
untuk mencapai maksud tujuan kami."
"Tosu
Pek-lian-kauw keparat!"
Kian Sun
membentak saking marahnya dan dengan nekat diapun sudah menyerang tosu itu
dengan pukulan tangannya, kini dia mengerahkan tenaga dan mainkan ilmu Thian-te
sin-ciang yang amat kuat.
"He-he,
ini Thian-te sin-ciang lumayan juga!"
Kim Hwa Cu
tertawa mengejek dan diapun dengan berani menyambut pukulan kedua tangan wakil
ketua Cin-ling-pai yang didorongkan ke arah dadanya itu dengan kedua tangan pula....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment