Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 04
"Desss
……..!”
Dua pasang
tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, Kian Sun terdorong ke belakang
dan terhuyung, sedangkan Kim Hwa Cu juga mundur dua langkah. Dari pertemuah
tenaga ini saja dapat diketahui bahwa dalam hal tenaga sin-kang, Kim Hwa Cu
masih menang sedikit.
Tentu saja
Kian Sun menjadi terkejut bukan main karena baru menghadapi seorang tosu saja,
dia sudah kalah tenaga. Dan tadipun serangannya terhadap gadis cantik itu
gagal, tanda bahwa gadis itu memiliki gin-kang (ilmu meringankan tubuh) yang
hebat pula. Tahulah dia bahwa dia tidak akan menang melawan empat orang itu.
Namun dia adalah wakil ketua Cin-ling-pai dan karena pada waktu itu ketua
Cin-ling-pai tidak ada, maka yang bertanggung jawab sepenuhnya terhadap
Cin-ling-pai adalah dia.
Bagaimana
mungkin dia akan menyerah kepada perkumpulan sesat macam Pek-lian-kauw dan suka
diajak bekerja sama? Hal itu tentu akan mencemarkan nama baik Cin-ling-pai dan
dia yakin bahwa ketuanya, Cia Kui Hong, pasti tidak akan setuju. Maka, diapun
menjadi nekat dan tanpa memperdulikan kehebatan lawan, dia sudah menubruk maju
lagi. Kini, Siok Hwa Cu yang maju menangkisnya dan tiba-tiba saja terdengar
bentakan suara nyaring seperti suara wanita dari arah belakangnya.
Kian Sun
membalik, mengira bahwa gadis tadi yang menyerangnya. Akan tetapi ternyata yang
berteriak seperti wanita tadi adalah tosu paling tua, yaitu Lan Hwa Cu. Kian
Sun berusaha mengelak, akan tetapi tetap saja kakinya terkena sapuan dan dia
pun terpelanting. Sebelum dia dapat bangkit, ujung sebatang pedang sudah
menempel di lehernya! Pedang itu dipegang oleh Bi Hwa yang memandang kepadanya
sambil tersenyum mengejek.
"Hi-hik,
bagaimana engkau akan mampu melawan kami, Gouw Kian Sun? Sedangkan gurumu dan
suhengmu, juga puteri Pendekar Sadis, telah dapat kami tawan. Apalagi
kamu!"
"Bunuh
saja aku!" bentak Kian Sun.
"Manusia
tolol. Apa gunanya kami membunuhmu? Tidak ada untungnya bagi kami, juga tidak
ada manfaatnya bagi dirimu. Kalau engkau mati, engkau tidak dapat menyelamatkan
nyawa para tokoh Cin-ling-pai itu. sebaliknya kalau engkau hidup, merekapun
akan tetap hidup."
Kian
mengerutkan alisnya yang tebal.
"Maksudmu?"
"Gouw
Kian Sun, kalau engkau menolak tawaran kami untuk bekerja sama, maka mereka
yang kini menjadi tawanan kami akan kami bunuh! Dan engkaulah yang membuat
mereka terpaksa harus kami bunuh itu! Sebaliknya, kalau engkau menyambut uluran
tangan kami untuk, bekerja sama, mereka akan selamat dan akan kami perlakukan
seperti sekarang ini, menjadi tamu-tamu kami yang terhormat dan kami takkan
mengganggu selembar rambutpun dari mereka. Bagaimana?” Bi Hwa menarik pedangnya
dan meloncat ke belakang. "Sekarang duduklah, dan mari kita bicara dengan
kepala dingin."
Kian Sun
bangkit berdiri akan tetapi tidak mau duduk. Dia tahu bahwa melawanpun tidak
ada gunanya. Dia tidak takut mati, akan tetapi mengingat akan nasib empat orang
yang berada di dalam tahanan itu, dia harus memikirkan keadaan mereka.
"Engkau
membual, Mo-li! Tidak mungkin kalian akan mampu membunuh mereka!" katanya
mencoba, karena bagaimanapun juga, dia tidak percaya kalau gurunya, suhengnya
dan isteri suhengnya itu kalah oleh empat orang Pek-lian-kauw ini.
"Hi-hik,
untuk apa kami membual? Buktinya, mereka kini menjadi tawanan kami, bukan? Dan
apa sukarnya membunuh mereka? Di setiap kamar tahanan itu terdapat pipa-pipa
penyalur asap pembius. Kalau kami meniupkan asap pembius dari luar, mereka
semua akan pingsan terbius dan tidak ada ilmu silat yang akan mampu menolak
serangan asap pembius! Nah, engkau ingin melihat mereka mati konyol karena
kebodohan dan kekerasan kepalamu?"
Kian Sun
menjadi lemas. Dia bukan seorang yang bodoh atau ceroboh. Dia tahu bahwa dia
berada di tangan orang-orang yang amat licik. Dia tidak mengkhawatirkan diri
sendiri. Dibunuh pada saat itupun dia tidak akan menyesal kalau pengorbanan itu
demi nama baik Cin-ling-pai.
Akan tetapi
bagaimana mungkin dia membiarkan mereka ini membunuh gurunya, suhengnya, isteri
suhengnya dan putera suhengnya? Tiba-tiba dia teringat kepada Ciok Gun.
Muridnya itu biasanya setia sekali, juga berjiwa pendekar. Ingin dia dapat
menarik Ciok Gun agar dapat membantunya menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang
curang ini. Tiba-tiba dia menoleh ke arah Ciok Gun yang masih berdiri mematung
di belakang empat orang itu.
"Ciok
Gun, dimana Teng Sin dan Koo Ham ?" teriaknya untuk memancing perhatian
muridnya itu.
Akan tetapi,
seperti juga tadi, Ciok Gun diam saja, tidak menjawab, juga tidak menoleh,
melainkan berdiri dengan muka ditundukkan seperti patung!
"Hi-hi-hik,
biar engkau berteriak sampai suaramu habis, dia tidak akan sudi mendengarnya,
Gouw Kian Sun. Hanya aku seorang yang akan ditaatinya. Engkau belum percaya?
Nah, engkau lihatlah baik-baik."
Wanita itu
bangkit dari tempat duduknya, menghampiri Ciok Gun dan mengusap leher pemuda
itu dengan tangan kirinya, gerakannya mesra sekali seperti orang membelai, dan
iapun berkata dengan suara yang lembut merayu.
“Ciok Gun,
kekasihku yang tampan, Gouw Kian Sun itu tidak mau tunduk kepadaku. Kau
hajarlah dia!"
Kini Ciok
Gun mengangkat mukanya dan menoleh ke arah gurunya, dan sinar matanya penuh
kemarahan, alisnya berkerut dan tiba-tiba dia melompat ke arah Kian Sun dan
langsung saja menyerang dengan tamparan tangan kiri ke arah muka gurunya
sendlri! Tentu saja Kian Sun terkejut bukan main. Dia bangkit berdiri dan
mengangkat lengan menangkis tamparan itu sambil mengerahkan tenaganya untuk
membuat muridnya itu terdorong jatuh.
"Dukk
……….!"
Dua buah
lengan bertemu keras sekali dan hampir saja Kian Sun mengeluarkan teriakan
saking kagetnya. Muridnya itu sama sekali tidak terdorong jatuh, dan dia merasa
betapa kekuatan pada lengan tangan muridnya itu besar sekali, tidak kalah oleh
tenaganya sendiri!
Ciok Gun
sudah membuat gerakan hendak menyerang lagi dan Kian Sun juga sudah siap
melawan muridnya sendiri, akan tetapi pada saat itu, terdengar suara lembut Bi
Hwa,
"Ciok
Gun, sudah cukup. Engkau mundurlah dan berdiri di tempat semula, siap menanti
perintahku!"
Dan Ciok Gun
tidak memperdulikan lagi kepada Kian Sun, melainkan melangkah ke belakang
tempat duduk empat orang itu. Bi Hwa sudah duduk pula di sebuah kursi yang baru
karena kursi yang pertama kali didudukinya telah hancur oleh pukulan Kian Sun
tadi.
"Ciok
Gun! Kau…… kau……!”
Kian Sun
menjatuhkan dirinya di atas kursi, seluruh tubuhnya terasa lemas. Dia tahu
bahwa keadaan muridnya itu tidak wajar dan teringatlah dia bahwa Pek-lian-kauw
mempunyai banyak ahli sihir dan ahli racun. Tentu Ciok Gun telah dibius dan
diberi racun yang membuat dia seperti patung atau mayat hidup yang hanya
mentaati perintah dari orang yang menguasainya.
"Sudahlah,
Gouw Pangcu. Engkau telah menyaksikan kelihaian kami. Tidak ada gunanya engkau
melawan. Kalau engkau hendak menyelamatkan Cin-ling-pai dan seluruh tokohnya,
engkau harus mau bekerja sama dengan kami dan harus memenuhi semua permintaan
kami. Teng Sin dan Koo Ham, dua orang murid Cin-ling-pai itu, tidak ada gunanya
dan telah kami bunuh. Dan seluruh nyawa semua anggauta Cin-ling-pai berada di
tanganmu. Kalau engkau menolak, bukan hanya engkau dan para tawanan kami itu
yang akan kami bunuh, juga seluruh murid Cin-ling-pai akan kami basmi, tiada
seorangpun yang akan selamat!"
"Kalian
iblis-iblis keji! Demi keselamatan suhu dan keluarga suheng, baik aku menurut
dan menyerah. Akan tetapi ingat, aku tidak sudi membantu kalian melakukan
perbuatan jahat. Ingat, daripada kami orang-orang Cin-ling-pai dipaksa
melakukan perbuatan jahat, lebih baik kami mati semua!"
"Aiiih,
Gouw Pangcu. Kami adalah orang baik-baik, mana mungkin menyuruh engkau berbuat
jahat? Jangan khawatir, kami tidak akan minta engkau melakukan kejahatan."
"Cepat
katakan, apa yang harus kulakukan untuk kalian?"
"Sederhana
saja, Pangcu. Pertama, engkau cepat umumkan dan kirim undangan kepada para
ketua semua perkumpulan dan partai persilatan besar untuk menghadiri
pemikahanmu pada tanggal satu bulan depan."
Gouw Kian
Sun terbelalak, memandang kepada gadis cantik itu dengan ragu. Gilakah gadis
ini, pikirnya. Tanggal satu kurang beberapa hari lagi dan akan diadakan pesta
pemikahannya?
"Moli!
Apapula artinya semua ini? Siapa yang akan menikah? Aku kurang mengerti."
“Engkau yang
akan menikah, Pangcu."
Kini Kian
Sun benar-benar kaget sehingga dia menjadi bengong tanpa dapat mengeluarkan
kata-kata.
"Menikah
dengan aku, Pangcu!” kata pula Bi Hwa, sambil terkekeh genit.
"Aahhh...??
Aku.... menikah dengan... dengan kau? Apa artinya ini? Kita... kita tidak ....
eh, maksudku aku tidak.... "
“Hi-hik,
jangan bingung, Pangcu. Kau lihat bukankah aku seorang gadis muda yang cantik
molek? Tidak banggakah engkau menjadi suamiku? Hemm, ribuan orang pria di dunia
ini merindukanku, bermimpi untuk menjadi kekasihku, apalagi suamiku. Dan engkau
kelihatan begitu bingung? Hi-hik!"
“Bukan
begitu, akan tetapi aku…….. kita…….. bagaimana mungkin kita dapat menjadi suami
isteri?"
Kini berubah
sikap Bi Hwa, tidak lagi tersenyum manis seperti tadi. Senyumnya berubah dingin
dan mengejek.
"Gouw
Kian Sun, engkau masih ingin membangkang? Perintah yang begini menyenangkan
hendak kau tolak? Ini bukan perintah melakukan kejahatan! Aku ingin menjadi
isterimu, atau lebih tepat lagi aku ingin menjadi nyonya ketua Cin-ling-pai!
Dan untuk perayaan pesta pemikahan, aku minta engkau mengundang ketua-ketua
partai persilatan besar di empat penjuru. Jangan banyak membantah lagi kalau
ingin aku tidak menjadi naik darah dan membunuh seorang diantara tawananku!”
Diingatkan
tentang tawanan itu, wajah Kian Sun seketika berubah pucat. Dia maklum bahwa
dia sama sekali tidak berdaya. Kalau saja keselamatan nyawa keluarga Cia tidak
terancam, tentu dia tidak sudi menyerah dan akan melawan sampai mati! Kini dia
merasa tidak berdaya sama sekali. Hatinya memberontak untuk mentaati perintah
iblis betina ini, akan tetapi dia tidak dapat membangkang, demi keselamatan
keluarga Cia yang dihormatinya.
"Baiklah,
aku bersedia melakukan apa yang kau minta."
Akhirnya dia
berkata sambil menarik napas panjang. Bi Hwa tersenyum manis lagi, bahkan
mendekatkan tubuhnya pada Kian Sun dan pandang matanya genit.
“Kalau
engkau sudah menjadi suamiku dan bersikap baik dan penurut, aku akan
benar-benar melayanimu sebagai isteri dan engkau akan berbahagia sekali."
Kian Sun
diam saja, walaupun hatinya merasa marah bukan main. Sampai berusia empat puluh
dua, dia masih membujang, belum menikah karena dia belum menemukan seorang
gadis yang dianggapnya baik. Bagaimana mungkin sekarang dia merendahkan diri
sedemikian rupa dengan menjadi suami seorang wanita iblis macam Tok-ciang Bi
Moli ini?
Para tokoh
kang-ouw partai persilatan merasa heran juga ketika menerima undangan
Cin-ling-pai yang hendak merayakan pemikahan wakil ketuanya. Mereka tahu bahwa
Cin-ling-pai kini diketuai oleh seorang gadis, akan tetapi yang kini menikah
bukanlah gadis itu, melainkan wakil ketua yang bemama Gouw Kian Sun.
Nama Gouw
Kian Sun tidak dikenal oleh para tokoh kang-ouw, tidak seperti nama Cia Kui
Hong, gadis yang kini menjadi ketua Cin-ling-pai. Akan tetapi karena memandang
nama besar Cin-ling-pai, walaupun undangan itu amat tiba-tiba dan waktunya
mendesak, hampir semua perkumpulan mengirim wakil atau utusan, ada pula ketua
yang datang sendiri.
Biarpun
bukan ketua pusat dari perkumpulan-perkumpulan besar yang hadir, melainkan
hanya ketua-ketua cabang dan utusan-utusan pusat, namun lengkap jugalah para
undangan datang berkunjung. Bahkan karena terdapat undangan yang jauh, maka dua
hari sebelum hari perayaan, sudah banyak rombongan utusan perkumpulan silat
yang temama berdatangan. Diantara mereka terdapat wakil-wakil dari
Siauw-lim-pai, Bu-tong-pai, Kun-lun-pai dan Go-bi-pai.
Sesuai
dengan perintah Bi Hwa, Gouw Kian Sun yang tidak berdaya itu telah menyuruh
para murid Cin-ling-pai membangun pondok-pondok darurat untuk para tamu.
Pondok-pondok darurat itu tersebar di sekitar perkampungan Cin-ling-pai di
dekat puncak Cin-ling-san yang luas itu.
Para tamu
yang berdatangan itu menjadi semakin heran ketika mereka hanya disambut oleh
wakil ketua Cin-ling-pai atau calon pengantin pria yang ditemani oleh Giok Gun
dan beberapa orang miurid Cin-ling-pai.
Tidak nampak
keluarga Cia yang merupakaan keluarga pimpinan Cin-ling-pai turun-temurun itu.
Menurut keterangan Gouw Kian Sun atas pertanyaan para tamu, ketua Cin-ling-pai
sedang merantau, pendekar Cia Hui Song dan isterinya sedang berkunjung ke pulau
Teratai Merah, dan kakek Cia Kong Liang juga tidak berada di Cin-ling-pai.
Akan tetapi
karena mereka itu menghormati nama besar Cin-ling-pai, biarpun merasa heran dan
juga kecewa, rombongan dari berbagai partai persilatan itu menempati pondok
masing-masing dan sebelum hari perayaan tiba, mereka menikmati pemandangan alam
yang indah dan hawa udara yang jemih sejuk dari pegunungan Cin-ling-pai.
Rombongan
Bu-tong-pai terdiri dari tujuh orang, dipinpim oleh Tiong Gi Cin-jin, tokoh
tingkat dua dari Bu-tong-pai yang usianya sudah enam puluh dua tahun. Enam
orang yang lain adalah murid-muridnya yang berusia dari dua puluh lima sampai
empat puluh tahun dan para murid itu merupakan murid-murid yang pandai dari
Bu-tong-pai dan terkenal sebagai pendekar-pendekar yang gagah.
Rombongan
Bu-tong-pai ini mendapatkan sebuah pondok besar di sebelah barat, diantara
pohon-pohon cemara. Seperti juga para tamu dari berbagai perkumpulan silat,
rombongan Bu-tong-pai ini datang lebih awal dua hari, sehingga selama dua hari
dua malam mereka akan tinggal disitu sampai hari perayaan tiba.
Tidak jauh
dari pondok tempat tinggal para utusan Bu-tong-pai ini terdapat pondok lain
yang juga cukup besar. Kedua pondok itu hanya dipisahkan oleh sebuah kebun
besar dimana selain pohon-pohon buah juga terdapat taman bunga yang indah.
Pondok kedua ini hanya ditempati empat orang utusan dari Go-bi-pai, tiga orang
murid pria yang usianya dari empat puluh sampai lima puluh tahun, dan seorang
murid wanita yang masih gadis, berusia delapan belas tahun.
Tiga orang
pria itu merupakan murid-murid kelas dua dari Go-bi-pai, sedangkan gadis itu
adalah puteri seorang diantara mereka yang menjadi memimpin rombongan. Ayah
gadis itu bemama Poa Cin An, berusia lima puluh tahun dan sebagai seorang tokoh
kelas dua di Go-bi-pai, tentu saja ilmu silatnya lihai, terutama permainan
siang-kiam (sepasang pedang) dari ilmu pedang Go-bi-kiam-sut. Puterinya bemama
Poa Liu In, seorang gadis berusia delapan belas tahun yang berwajah manis dan
bersikap lembut.
Di sebelah
timur, juga hanya terpisah kebun besar, terdapat pondok untuk para utusan dari
Siauw-lim-pai yang terdiri dari dua orang hwesio tingkat dua, yaitu Thian Hok
Hwesio dan Thian Khi Hwesio, dua orang hwesio kurang lebih enam puluh tahun
yang bersikap lembut dan ramah.
Di sekitar
pondok darurat itu, tinggal pula utusan dari Kun-lun-pai yang berjumlah empat
orang. Tiga orang murid kelas dua dan paman guru mereka, seorang tosu yang
bemama Yang Tek Tosu berusia lima puluh tahun dan bertubuh jangkung kering.
Masih banyak
lagi para utusan perkumpulan lain yang tinggal di pondok-pondok darurat, akan
tetapi yang merupakan tamu kehormatan di antaranya adalah utusan dari empat
perkumpulan besar itu.
Pada
keesokan harinya setelah mereka datang, pagi-pagi sekali, masih remang-remang
dan hawa dingin sekali, di belakang pondok yang dijadikan tempat bermalam para
utusan Go-bi-pai, nampak seorang gadis sedang berlatih silat. Gadis itu adalah
Poa Liu In, puteri Poa Cin An yang memimpin rombongan Go-bi-pai. Mula-mula ia
berlatih silat tangan kosong. Gerakannya cepat dan pukulannya mantap.
Memang ia
seorang gadis yang berbakat dan sejak kecil digembleng oleh ayahnya yang
menjadi tokoh tingkat dua Go-bi-pai, bahkan kini mengepalai cabang Go-bi-pai
yang berada di Lembah Sungai Han, masih merupakan bagian kaki Cin-ling-pai.
Ilmu silat tangan kosong yang dimainkan gadis itu selain cepat dan mantap, juga
amat indah. Apalagi dimainkan oleh seorang gadis manis yang memiliki bentuk
tubuh seindah tubuh Liu In, mana nampak seperti seorang dewi sedang menari
saja.
Liu In
berlatih sungguh-sungguh sehingga dari kepala yang rambutnya hitam panjang itu
mengepul uap. Hawa udara sangat dingin sedang tubuhnya menjadi panas karena
latihan itu maka kepalanya mengepulkan uap putih, menambah keindahan latihan
silat tangan kosong yang seperti tarian itu.
Setelah
selesai, iapun mencabut pedangnya, pedang pasangan dan mulailah ia melanjutkan
latihannya dengan latihan ilmu pedang Gobi Kiam-sut. Ia mainkan sepasang
pedangnya dengan cepat, makin lama semakin cepat sehingga lenyaplah bentuk
kedua pedang itu. Yang nampak hanya gulungan dua sinar seperti dua ekor naga
bermain-main diantara tubuh yang padat dan langsing itu.
Juga dalam
latihan ilmu pedang ini, Liu In bermain sungguh-sungguh, mengerahkan semua
tenaga dan memusatkan perhatiannya sehingga kini lebih banyak lagi uap putih
mengepul ke atas dari kepalanya. Ketika akhirnya ia menghentikan latihan
pedangnya, nampak kini muka dan lehernya basah oleh keringat, dan dadanya yang
membusung itu naik turun, nafasnya agak memburu.
Liu In lalu
meletakkan pedangnya di atas tanah. Ia sendiri lalu memilih tanah yang kering,
lalu duduk bersila untuk memulihkan tenaga dan mengatur pemafasan. Sungguh
nyaman sekali rasanya, sehabis berlatih, badannya panas dan jantungnya
berdebar, kini duduk melakukan latihan pemapasan seperti itu. Setelah napasnya
normal kembali dan kelelahannya menghilang, iapun melanjutkannya dengan
siulian.
Pada saat ia
mengosongkan pikirannya itulah, tiba-tiba terdengar bisikan suara yang
mengandung wibawa amat kuatnya.
"Poa
Liu In, betapa nyamannya rasa tubuhmu dan hawa udara sejuk membuatmu mengantuk.
Engkau mengantuk dan tertidur…..”
Liu In
terkejut dan ia mencoba untuk melawan perintah itu yang dianggapnya tidak
wajar. Tidak mungkin ayahnya memerintahkan seperti itu. Ia hendak menoleh dan
menolak akan tetapi sungguh aneh. Kepalanya seperti penuh dengan suara itu yang
memaksanya untuk tidur, yang menekankan bahwa ia mengantuk, dan ia tidak mampu
menoleh, bahkan tidak mampu bergerak, dan akhirnya iapun menyerah. Ia tertidur
dalam keadaan masih bersila!
Karena
tidurnya adalah tidur tidak wajar, maka iapun sama sekali tidak terjaga ketika
ada bayangan berkelebat di belakangnya. Dengan gerakan yang amat cepat bayangan
itu menggerakkan tangan menotok tengkuk gadis itu yang terkulai pingsan,
kemudian bayangan itu mengangkat dan memondong tubuh yang sudah terkulai lemas
itu dan membawanya pergi dari situ.
Bayangan yang
memondong tubuh Liu In yang pingsan itu menyelinap masuk ke dalam sebuah pondok
darurat yang belum dipakai tamu dan yang berdiri agak terpencil di dekat hutan
sebelah barat.
Tak
seorangpun melihat bayangan itu memondong Liu In ke dalam pondok. Dan tidak ada
seorangpun yang tahu apa yang terjadi di dalam pondok itu. Hari masih terlalu
pagi dan udara terlampau dingin sehingga orang segan untuk keluar dari pondok.
Matahari
telah mulai mengeluarkan sinarnya yang lembut namun sudah mendatangkan
kehangatan ketika Liu In mengeluarkan keluhan lirih dan menggerakkan tubuhnya,
membuka kedua matanya. Pada saat itu ia mendengar suara yang masuk dari luar
tempat itu.
"Gadis
Go-bi-pai yang sombong, memamerkan kepandaianmu yang tidak seberapa itu di
Cin-ling-pai? Ha-ha! Kalau engkau mau tahu siapa aku, ingat saja orang she Lui
murid Cin-ling-pai!"
Liu In
terkejut bukan main dan meloncat turun dari atas dipan, hanya untuk menahan
jeritnya dan matanya terbelalak mendapatkan kenyataan bahwa tubuhnya telanjang
bulat! Pakaiannya berada di atas dipan itu. Ia menyambarnya dan cepat
mengenakan kembali pakaiannya, wajahnya pucat karena ia kini sadar benar apa
yang telah terjadi menimpa dirinya. Ia telah diperkosa orang selagi pingsan
atau tidur! Akan tetapi ia segera ingat bahwa tadi ia berlatih silat dan duduk
bersila. Kini tahu-tahu telah berada di dalam sebuah pondok. Tentu ia telah
ditotok dan pingsan!
Setelah
mengenakan kembali pakaiannya secepatnya, ia meloncat keluar mendorong daun
pintu pondok itu dan ia berdiri tertegun. Ia melihat beberapa orang pria muda
murid-murid Cin-ling-pai hilir mudik, dan melihat rombongan para tamu sedang
berjalan-jalan, menikmati cahaya matahari pagi yang hangat. Ia tentu saja tidak
berani ribut-ribut. Bagaimana ia berani membuat ribut kepada para murid
Cin-ling-pai itu? Tentu berarti ia akan melumuri dirinya dengan aib, mengaku
bahwa ia baru saja diperkosa orang! Hatinya seperti ditusuk-tusuk rasanya dan
ingin ia menjerit, ingin ia menangis, akan tetapi melihat semakin banyak otang
berjalan-jalan, iapun menahan perasaannya.
"Liu
In…….!"
Tiba-tiba
terdengar suara ayahnya menegur. Ia menoleh dan melihat ayahnya bersama dua
orang susioknya. Mereka agaknya bukan hanya berjalan-jalan biasa, melainkan
sedang mencarinya karena ayahnya membawa pula siang-kiamnya yang tadi ia
pergunakan untuk berlatih silat.
Melihat
puterinya berdiri dengan tubuh kelihatan lunglai dan wajahnya pucat sekali,
tentu saja Poa Cin An terkejut bukan main dan merasa amat khawatir.
"Liu
In, kemana saja engkau tadi? Apa yang terjadi?"
Poa Cin An
dan dua orang sutenya cepat menghampiri Liu In. Begitu ayahnya berada di
depannya, Liu In tidak dapat menahan kehancuran hatinya lagi.
“Ayah
…….!" Ia menubruk ayahnya dan menangis di dada ayahnya.
"Ehhh?
Apa yang terjadi? Ada apakah, Liu In?" tanya Poa Cin An.
Melihat
betapa semua orang kini memandang ke arah mereka dengan pandang mata heran dan
hanya tidak berani bertanya karena rombongan Go-bi-pai tentu saja disegani
orang, dua orang sute dari Poa Cin An lalu memberi isarat kepada ,suheng
mereka.
“Mari kita
pulang ke pondok dan bicara disana."
Biarpun ia
sedang menangis, mendengar ucapan itu, Liu In mengangguk lemah dan merekapun
berjalan menuju ke pondok mereka. Liu In menahan rasa nyeri di tubuh dan
hatinya.
Setelah
mereka tiba di pondok mereka, Liu In tak dapat lagi menahah kesedihannya. Ia
lari memasuki kamarnya, membanting diri di atas pembaringan dan menangis
tersedu-sedu. Air matanya membanjir bagaikah air bah mengalir keluar dari
bendungan yang pecah.
Poa Cin An
mengerutkan alisnya, memberi isarat kepada dua orang sutenya agar tinggal di
luar dan dia sendiri lalu memasuki kamar puterinya, menutupkan kembali daun
pintu kamar itu. Dia melihat puterinya menangis terisak-isak sambil
menyembunyikan mukanya di bantal, menelungkup dan tubuhnya terguncang-guncang.
Dia duduk di tepi pembaringan, menyentuh pundak puterinya.
"Liu
In, kemana perginya sifatmu yang gagah sebagai pendekar? Kenapa engkau menjadi
cengeng dan menangis seperti anak kecil? Apakah yang terjadi? Katakan padaku,
ceritakan kepada ayahmu."
Liu In
melanjutkan tangisnya sampai akhirnya dapat menguasai hatinya, ia bangkit
duduk, akan tetapi kedua tangannya masih menutup mukanya dan dengan suara
hampir tidak terdengar ia berkata,
“Ayah…… aku
……. aku……… diperkosa orang…….."
Bagaikan
dipatuk ular, Poa Cin An yang biasanya tenang itu melompat dari tepi
pembaringan, berdiri dengan mata terbelalak dan mukanya berubah merah sekali.
"Apa?
Siapa? Hayo ceritakan, apa yang terjadi!”
Kini
suaranya penuh dengan api yang berkobar karena harga diri dan kehormatannya
tertusuk.
Dengan kedua
tangan masih menutupi mukanya, Liu In menceritakan pengalamannya, betapa tadi
pagi-pagi sekali ia berlatih silat, kemudian ketika ia sedang melakukan latihan
siu-lian (samadhi), ia tertidur dan ketika ia terbangun atau siuman kembali, ia
mendapatkan dirinya berada di dalam pondok kosong dan telah diperkosa orang.
"Siapa?
Siapa dia? Cepat katakan!"
"Ayah,
aku tidak tahu. Ketika hal itu terjadi, aku dalam keadaan pingsan, sama sekali
tidak sadar. Ketika aku siuman, aku sendirian saja di pondok itu dan aku
mendengar suara orang laki-laki mengaku bahwa dia yang melakukan perbuatan itu
adalah seorang murid Cin-ling-pai yang she (bermarga) Lui…….."
"Keparat
jahanam! Noda ini harus dicuci dengan darah!"
Poa Cin An
berteriak dan dia meloncat keluar dari dalam kamar pondok itu. Dua orang
sutenya terkejut dan menyambutnya dengan kaget dan heran.
"Suheng,
ada apakah?”
“Keparat
Cin-ling-pai ……!”
Poa Cin An
terengah-engah dan matanya mencorong penuh kemarahan, amat mengejutkan dua
orang adik seperguruannya.
Tiba-tiba
terdengar suara gedobrakan di dalam kamar Liu In dan disusul rintihan gadis
itu,
“
……..ayaahhh…….”
Tiga orang
tokoh Go-bi-pai itu lari memasuki kamar dan…….. Poa Cin An berteriak parau dan
menubruk tubuh puterinya yang sudah menggeletak di atas lantai dengan kedua
pedangnya menembus dada dan perut! Darah membanjiri lantai dimana gadis itu
rebah miring.
“Liu
In……..!”
Poa Cin An
hanya dapat merangkul puterinya, maklum bahwa dengan dada dan perut ditembusi
kedua pedang itu, mustahil untuk dapat menyelamatkan nyawa anaknya.
Liu In masih
dapat memandang ayahnya dan bibirnya bergerak-gerak, terdengar suaranya lemah
dan lirih,
"…….
aku malu………. ayah……… balaskan…….” dan lehernya terkulai, nyawanya melayang.
"Liu
In…….!”
Ayah itu
menubruk lagi jenazah puterinya. Poa Cin An seorang tokoh Go-bi-pai, seorang
pendekar yang keras hati, namun sekali ini dia menangis seperti anak kecil!
Anaknya hanya tunggal dan kini tewas sedemikian menyedihkan di depan matanya.
Diperkosa orang kemudian membunuh diri!
"Cin-ling-pai
keparat! Tenanglah, anakku, aku akan membalaskan dendam setinggi langit
ini!" teriaknya dan diapun meloncat bangun, menyambar sepasang pedangnya
yang tadi dia lempar di atas meja ketika dia melihat keadaan puterinya.
Akan tetapi,
dua orang sutenya cepat menangkap lengannya.
“Suheng,
tahan dulu…..!”
Poa Cin An
rnemandang kedua orang sutenya dengan mata merah dan mendelik, kedua pipinya
masih basah.
"Apa?
Kalian hendak menghalangiku? Sepatutnya kalian membantuku!"
“Tentu saja
kami akan membantumu, Suheng. Andaikata Suheng tidak menuntut balaspun, kami
berdua akan mempertaruhkan nyawa untuk membalas penghinaan ini! Bukan hanya
puterimu yang dihina, bukan hanya Suheng, melainkan Go-bi-pai! Akan tetapi,
kita harus tenang, Suheng. Apakah Suheng ingin agar seluruh dunia tahu akan aib
yang menimpa diri puterimu? Tidak kasihankah Suheng kepada puterimu, setidaknya,
kepada namanya?”
Poa Cin An
tercengang, lalu menunduk, lalu mengguguk. Sejenak dia tidak mampu bicara, lalu
mengangguk-angguk dan menenangkan hatinya dengan tarikan napas panjang.
"Kalian
benar, Sute. Maafkan aku …….! Hampir aku tidak dapat menguasai hati dan
menyiarkan noda yang mencemarkan nama baik anakku. Aih, Liu In, sungguh malang
nasibmu, anakku. Akan tetapi jangan khawatir, ayahmu akan menuntut balas.
Jahanam itu akan kubuhuh, kepalanya akan kupakai bersembahyang di depan
jenazahmu atau makammu! Jangan khawatir, anakku ……."
Setelah dia
mengangkat jenazah puterinya dan membaringkannya di atas dipan, mencabut
sepasang pedang itu dan menyelimuti jenazah, mereka bertiga lalu keluar dari
pondok dan dengan langkah lebar dan muka tegang mereka menuju ke bangunan pusat
Cin-ling-pai.
Di pintu
gerbang depan mereka disambut oleh beberapa orang murid Cin-ling-pai yang
sedang bertugas jaga. Para murid Cin-ling-pai ini memandang heran melihat sikap
tiga orang tamu yang mereka kenal dan mereka hormati sebagai tiga orang
diantara para tamu kehormatan, wakil-wakil dari Go-bi-pai. Akan tetapi mereka
menyambut dengan ramah.
"Selamat
pagi, Sam-wi Lo-cian-pwe (Tiga orang tua gagah). Ada keperluan apakah sam-wi
datang berkunjung pagi ini?”
“Laporkan
kepada Gouw-pangcu (Ketua Gouw) bahwa kami ingin bertemu dan bicara dengan dia.
Cepat!” bentak Poa Cin An dengan sikap bengis dan marah sehingga mengejutkan
tujuh orang murid Cin-ling-pai itu.
Pemimpin
para murid yang bertugas jaga itu memberi hormat dan tetap menjawab dengan
sikap sopan dan ramah.
"Lo-cian-pwe,
saat ini Gouw pancu sedang sibuk menerima kunjungan para wakil Kun-lun-pai dan
Bu-tong-pai. Mereka baru saja masuk dan diterima oleh pangcu di ruangan
tamu."
"Kalau
para utusan Kun-lun-pai dan Bu-tong-pai dapat diterima, mengapa kami dari
Go-bi-pai tidak? Antarkan kami bertemu dengan dia, atau kami akan masuk
sendiri!" kata pula Poa Cin An.
"Sabarlah,
Lo-cian-pwe. Kami bukan menolak atau menghalangi, hanya kalau sam-wi masuk
sekarang, pangcu kami akan menjadi sibuk sekali dan sebaiknya kalau sam-wi
menanti sebentar…..”
"Tidak,
kami harus masuk sekarang dan bertemu sekarang juga!"
Para murid
itu terkejut. Tadipun mereka sudah dikejutkan oleh sikap para pimpinan
Kun-lun-pai yang juga nampak marah, disusul utusan Bu-tong-pai yang juga nampak
marah, dan sekarang orang-orang Go-bi-pai ini benar-benar marah sekali. Apa
yang telah terjadi? Mereka tidak berani membantah lagi dan mengantarkan tiga orang
ini menuju ke ruangan tamu yang amat besar itu.
Ketika
memasuki ruangan itu, tiga orang tokoh Go-bi-pai itu melihat bahwa Tiong Gi
Cin-jin pemimpin rombongan Bu-tong-pai bersama enam orang murid Bu-tong-pai
telah duduk berjajar disitu, demikian pula Yang Tek Tosu bersama tiga orang
murid keponakannya, dua diantaranya nampak luka-luka dan dibalut di bagian
leher dan dahi. Juga tiga orang tokoh Go-pi-pai itu melihat betapa wajah mereka
semua itu nampak tegang dan marah sehingga mudah diduga bahwa pasti telah
terjadi hal-hal yang hebat, seperti yang juga mereka alami.
Kiranya
wakil ketua Cin-ling-pai, yaitu Gouw Kian Sun, belum keluar menyambut dan para
tamu itu baru dipersilakan menanti di ruangan tamu. Hal ini agak mengherankan
karena wakil ketua itu tentu sibuk sekali karena dia adalah calon pengantin. Karena
mereka sendiripun sedang tegang dan marah, maka mereka hanya mengangguk saja
kepada dua rombongan terdahulu, kemudian mereka duduk pula di sebelah kiri,
menanti munculnya GouW Kian Suh.
Akhirnya,
orang yang dinanti-nanti itupun muhcul dengan sikap tenang dan wajah yang tidak
membayangkan kesalahan. Sebagai calon pengantin, pakaiannya baru dan dia nampak
gagah. Dia ditemani oleh Ciok Gun, murid Cin-ling-pai yang pandai dan setia,
dan yang menjadi pembantu utama wakil ketua Gouw Kian Sun. Pria jangkung inipun
nampak tenang saja ketika memasuki ruangan itu.
Melihat para
tamu bangkit berdiri dengan sikap marah, Gouw Pangcu memandang heran, akan
tetapi dengan ramah diapun menghampiri kursinya, memberi hormat dan
mempersilakan para tamunya duduk kembali.
Poa Cin An
sudah ingin sekali meneriakkan rasa penasarannya kepada pimpinan Cin-ling-pai
itu, akan tettapi bagaimanapun juga, dia adalah seorang wakil perkumpulan besar
yang mengenal aturan, maka sebagai rombongan yang datang terakhir, dia harus
bersabar dan mengalah, membiarkan dua rombongan tamu yang datang terlebih
dahulu bicara dengan tuan rumah.
“Selamat
pagi para Lo-cian-pwe yang terhormat!”
Kata Gouw
Kian Sun dengan ramah. Walaupun dia sendiri menghadapi urusan Cin-ling-pai yang
amat rumit dan membuat dia selalu gelisah, namun di depan para tamu kehormatan
ini dia dapat memperlihatkan sikap ramah.
"Kami
harap cu-wi (anda sekalian) dapat beristirahat dengan senang di pondok-pondok
yang kami sediakan dan maafkan kalau ada kekurangan……”
"Kami
datang bukan untuk bicara tentang itu!" tiba-tiba Yang Tek Tosu pemimpin
utusan Bu-tong-pai berkata dengan wajah keruh.
Gouw Kian
Sun terkejut dan diam-diam dia menjadi semakin gelisah, tidak dapat menduga
atau membayangkan apa yang telah terjadi, akan tetapi diam-diam dia melirik ke
arah Ciok Gun, murid yang dia tahu kini telah menjadi mayat hidup dan menjadi
kaki tangan dari orang-orang Pek-lian-kauw di luar kesadarannya itu. Kalau
terjadi sesuatu Ciok Gun ini mengetahuinya, pikirnya. Akan tetapi wajah Ciok
Gun tetap dingin dan dia duduk membungkam mulut dan matanyapun memandang kosong
saja!
Selagi dia
hendak bertanya kepada tosu Bu-tong-pai itu, tiba-tiba terdengar suara dari
luar ruangan.
“Omitohud
……..! Siapa kira Cin-ling-pai menjadi begini?"
Dan muncullah
Thian Hok Hwesio, dua orang tokoh Siauw-lim-pai yang juga menjadi tamu itu.
Ketika mereka masuk dan melihat betapa rombongan dari tiga perguruan besar
sudah berkumpul disitu pula, Thian Hok Hwesio yang tadi bicara menoleh kepada
sutenya dan diapun mengelus jenggotnya yang panjang.
"Omitohud……….,
kiranya semua orang telah berkumpul disini?"
Kian Sun
segera bangkit berdiri, diikuti oleh Ciok Gun dan Kian Sun memberi hormat
kepada dua orang hwesio itu.
"Ji-wi
Lo-suhu (Dua orang pendeta tua), selamat pagi dan kebetulan sekali ji-wi datang
karena agaknya ada yang perlu dibicarakan yang kami belum mengetahui. Silakan
ji-wi duduk."
Dua orang
hwesio itu membalas penghormatan Gouw Pangcu dan merekapun duduk. Agaknya Gouw
Pangcu merasa lega dengan hadirnya dua orang hwesio Siauw-lim-pai ini yang dia
tahu pasti akan bertindak adil dan tidak suka menggunakan kekerasan.
Agaknya Yang
Tek Tosu yang tadi sudah mulai bicara karena rombongannya yang datang lebih
dahulu, kemudian bicaranya terhenti dengan munculnya dua orang hwesio itu, kini
tidak dapat menahan lagi kemarahannya. Dia bangkit berdiri dengan muka merah
dan tubuhnya yang jangkung kurus itu agaknya nampak semakin jangkung.
“Gouw
Pangcu, kami datang bukan untuk beramah-tamah atau berbasa-basi. Lihat saja
keadaan dua orang murid keponakan pinto (aku) ini dan kiranya tidak perlu lagi
Pangcu berpura-pura!”
Gouw Kian
Sun memandang ke arah dua orang murid Kun-lun-pai yang luka-luka di leher dan
dahi itu dan dia kembali memandang kepada Yang Tek Tosu yang masih berdiri.
“Saya
melihat bahwa mereka itu menderita luka-luka di leher dan dahi. Akan tetapi,
sungguh mati saya tidak tahu mengapa begitu, to-tiang (bapak pendeta). Apakah
yang telah terjadi?"
![cerita silat online karya kho ping hoo](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjExKMCMxytazKB2t23rkFbH7i7o-CtPAh3uiefxIYNE6lfyYDU5awhbS43Q8rQ_o-X0HLbUj84DIUAdUyJ4Zp9bo0SukyttDyzg4vMBRVexsfWwcUVYjOOrGjvICtoxSkqYyM5j6q7JGE/s320/Jodoh+Si+Mata+Keranjang-790133.jpg)
Yang Tek
Tosu menahan kemarahannya dan kini dia berjalan mondar-mandir, gerak-geriknya
diikuti oleh pandang mata semua yang hadir, kecuali Ciok Gun yang nampaknya
tenang-tenang saja, tidak terkejut dan gelisah seperti Kian Sun.
"Mungkin
saja Gouw Pancgu tidak mengetahui apa yang terjadi. Kami sendiri hampir tidak
percaya kalau saja kedua orang murid keponakan ini tidak mengalami sendiri.
Sejak dahulu Cin-ling-pai terkenal sebagai perguruan besar yang memiliki
murid-murid pendekar. Akan tetapi siapa tahu sekarang mempunyai murid-murid
yang nyeleweng, jahat dan curang!”
Kian Sun
bangkit berdiri. Mukanya menjadi merah. Dia seorang tokoh Cin-ling-pai yang
amat setia dan juga dia sedikitpun tidak mengira bahwa ada murid Cin-Ling-pai
yang akan berani berbuat jahat. Bahkan diapun sudah mendapat janji dari
Tok-ciang Bi Moli yang menguasai dirinya bahwa wanita itu dan sekutunya tidak
akan melakukan hal-hal yang merusak nama baik Cin-ling-pai. Maka, mendengar
tuduhan Yang Tek Tosu, tentu saja dia menjadi terkejut dan juga marah.
"Harap
Totiang tidak menuduh yang tidak ada buktinya. Penyelewengan dan kejahatan
apakah yang telah dilakukan murid kami? Tunjukkan buktinya dan siapa orangnya,
pasti kami akan mengambil tindakan dan memberi hukuman kalau memang
benar!" katanya dengan suara lantang.
“Gouw-pangcu!
Setelah melihat keadaan dua orang murid keponakanku, masih minta bukti lagi?”
Dia menoleh kepada dua orang yang menderita luka-luka itu dan memberi perintah,
"Kalian ceritakan apa yang telah kalian alami semalam!"
Dua orang
murid Kun-lun-pai itu mengangguk dan seorang diantara mereka yang lukanya tidak
terlalu parah bercerita. Kiranya malam tadi, karena iseng saja, mereka
meninggalkan pondok dan bahkan keluar dari perkampungan Cin-lihg-pai. Ketika
mereka keluar, malam belum gelap benar. Mereka pergi ke perkampungan di lereng
bukit, dimana terdapat beberapa dusun.
Dua orang
murid Kun-lun-pai itu adalah murid biasa, bukan tosu (pendeta To), maka mereka
pergi ke dusun itu untuk bermain-main dan membeli makanan. Malam telah agak
gelap ketika mereka mengambil keputusan untuk kembali ke perkampungan
Cin-lihg-pai.
Akan tetapi
setiba mereka di luar dusun dimana mereka bermain-main tadi, mereka mendengar
jerit tangis seorang wanita. Mereka cepat mengejar dan melihat lima orang
laki-laki muda sedang menarik-narik seorang gadis dusun. Sebagai
pendekar-pendekar Kun-lun-pai, tentu saja dua orang itu segera turun tangan
menegur.
Akan tetapi,
lima orang itu tanpa banyak cakap lagi memaki. Seorang diantara mereka
mengatakan bahwa sebagai tamu, dua orang itu tidak sepatutnya mencampuri urusan
murid-murid Cin-ling-pai. Terjadi perkelahian dan karena dua orang itu
dikeroyok, maka mereka menderita luka-luka di leher dan dahi. Mereka melawan
terus dan akhirnya terpaksa melarikan diri karena lima orang yang mengaku murid
Cin-ling-pai itu agaknya berkeras hendak membunuh mereka.
Untung
mereka dapat melepaskan diri dan lari sampai ke perkampungan Cin-ling-pai dan
malam itu mereka mendapatkan pengobatan dari paman guru mereka, yaitu Yang Tek
Tosu. Karena kebijaksanaannya, Yang Tek Tosu tidak mau membikin ribut di malam
hari itu, menanti sampai keesokan harinya barulah pagi-pagi dia membawa dua
orang murid keponakan yang luka-luka itu untuk mengadu dan memprotes kepada
pimpinan Cin-ling-pai.
"Nah,
Pangcu mendengar sendiri. Apakah patut kelakuan murid-murid Cin-ling-pai itu?
Mereka berlima hendak memaksa dan memperkosa seorang gadis dusun! Begitukah
kelakuan para pendekar Cin-ling-pai? Ketika dua orang murid keponakanku
menegur, mereka berdua malah dikeroyok secara pengecut. Kami minta
pertanggungan jawab Gouw Pangcu sebagai pimpinan Cin-ling-pai saat ini!"
sebelum Gouw Kian Sun yang memandang terbelalak saking kaget dan herannya
mendengarkan penuturan murid Kun-lun-pai itu, terdengar Tiong Gi Cinjin
pimpinan rombongan Bu-tong-pai berseru dengan suaranya yang lantang.
"Perbuatan
mengeroyok dua orang murid Kun-lun-pai oleh lima orang itu masih belum berapa
hebat, karena akibatnya hanya melukai dua orang murid Kun-lun-pai. Yang lebih
hebat lagi adalah apa yang dialami oleh muridku sendiri! Muridku telah
dikeroyok dan dibunuh oleh belasan orang murid Cin-ling-pai!"
Semua orang
terkejut, terutama sekali Gouw Kian Sun.
"Tidak
mungkin! Bagaimana mungkin murid-murid Cin-ling-pai membunuh tamu mereka
sendiri?"
"Hemm,
Gouw Pangcu. Selama hidupku, aku tidak pernah berbohong! Aku tidak akan
sembarangan menuduh kalau tidak ada buktinya. Mau bukti? Datanglah ke pondok
kami dan lihatlah sendiri. Jenazah muridku, Gu Kay Ek, sampai sekarang masih
rebah di atas dipan dan masih hangat!”
Saking
kagetnya, Kian Sun bangkit berdiri dari tempat duduknya dan hendak pergi
menyaksikan sendiri bahwa ada murid Bu-tong-pai yang tewas akibat pengeroyokan
murid-murid Cin-ling-pai. Akan tetapi pada saat itu, Poa Cin An bangkit berdiri
dan sekali menggerakkan tubuhnya, dia sudah meloncat dan berdiri di depan Gouw
Kian Sun, menghadang kepergian wakil ketua Cing-ling-pai itu.
"Gouw
Pangcu, jangan pergi dulu! Kun-lun-pai hanya menderita luka-luka kedua
muridnya, Bu-tong-pai menderita kematian seorang murid yang dikeroyok. Akan
tetapi aku, aku orang Go-bi-pai yang selama hidupku tidak pernah menganggap
Cin-ling-pai sebagai musuh, pagi hari tadi telah menderita yang teramat hebat
dan noda ini hanya dapat ditebus dengan darah!"
Wajah Kian
Sun menjadi agak pucat. Dia tahu bahwa Poa Cin An, tokoh kelas dua dari
Go-bi-pai ini, datang bersama dua orang sutenya dan puterinya, seorang gadis
muda yang cantik. Dan sekarang, tokoh ini hanya muncul dengan dua orang
sutenya, tanpa puterinya! Dan dia bicara tentang noda yang harus ditebus dengan
darah!
"Lo-cian-pwe…….
apa ……. apa pula yang telah terjadi?" tanya Kian Sun dan suaranya
terdengar penuh kegelisahan.
"Apa
yang terjadi? Puteriku, Poa Liu In, pagi tadi selagi berlatih sendirian dan
sedang bersiulian, telah ditotok orang, dalam keadaan pingsan dibawa ke sebuah
pondok kosong dan diperkosa! Dan sekarang, Gouw Pangcu juga tidak percaya dan
minta bukti? Lihat, tubuh puteriku juga masih hangat walaupun nyawanya telah
melayang, ditembusi dua batang pedangnya sendiri yang ia pergunakan untuk
membunuh diri! Pangcu, kalau engkau tidak menyerahkan pelaku perbuatan terkutuk
itu, jangan salahkan kalau Go-bi-pai akan membasmi Cin-ling-pai!"
Wajah Gouw
Kian Sun menjadi pucat sekali. Sungguh mimpipun tidak pernah dia bahwa
murid-murid Cin-ling-pai dapat melakukan semua perbuatan yang dituduhkan oleh
tiga orang pimpinan rombongan tiga perguruan besar itu. Otomatis, seperti orang
mencari pembela, dia menoleh ke arah dua orang hwesio Siauw-lim-pai.
"Omitohud
…….!" kata Thian Hok Hwesio. "Tadinya pinceng (aku) mengira bahwa
orang Cin-ling-pai telah menjadi kurang ajar dan suka menghina orang, tidak
tahunya telah terjadi perbuatan-perbuatan yang begitu jahatnya. Hemm, apakah
artinya semua ini, Gouw Pangcu?"
“Maaf,
Lo-suhu. Apakah juga terjadi sesuatu yang membuat Losuhu menjadi marah?"
tanya Gouw Kian Sun, semakin tidak enak perasaan hatinya dan dia seperti
mendapat firasat yang amat tidak baik.
"Omitohud,
pinceng berdua menerima hidangan yang terdiri dari segala macam daging, juga
arak. Sedangkan yang mengantar hidangan itu adalah murid-murid perempuan
Cin-ling-pai yang genit-genit pula. Bukankah itu berarti suatu penghinaan yang
disengaja untuk merendahkan pinceng berdua?"
"Aih,
mana mungkin begitu? Kami sudah mempersiapkan masakan ciak-jai (masakan bebas
daging) untuk para Losuhu dan para Totiang!"
"Hemm,
Gouw Pangcu. Arak dan masakan itu masih berada di pondok kami, belum tersentuh.
Apakah Pangcu tidak percaya dan ingin melihat sendiri?"
Kian Sun
menjadi lemas. Bagaimana dia dapat tidak mempercayai mereka? Mereka yang
kematian murid, kematian anak, adalah tokoh-tokoh besar dari perguruan yang
terkenal. Mereka pasti tidak berbohong. Akan tetapi, kalau untuk percaya begitu
saja, diapun masih ragu-ragu karena selama dia menjadi murid Cin-ling-pai
sampai sekarang, belum pernah ada murid Cin-ling-pai yang melakukan perbuatan
jahat seperti itu.
Cin-ling-pai
memegang keras peraturan, dan setiap murid yang melanggar peraturan sedikit
saja pasti dihukum berat. Apalagi sampai melakukan penghinaan kepada tamu,
bahkan pembunuhan dan perkosaan!
"Cu-wi
Lo-cian-pwe, bagaimana kami dapat tidak mempercayai keterangan cu-wi (anda
sekalian)? Akan tetapi, beritahulah kepada kami siapa saja pelaku-pelaku
kejahatan itu diantara murid kami, pasti akan kami tangkap sekarang juga!”
"Mereka
yang mengeroyok dan melukai kami tidak pernah menyebutkan nama mereka.” kata
dua orang murid Kun-lun-pai itu.
“Muridku Gu
Kay Ek sebelum menghembuskan napas terakhir sudah pinto tanyai, akan tetapi dia
mengatakan bahwa para pengeroyoknya hanya mengaku murid-murid Cin-ling-pai,
tidak ada yang menyebut namanya." kata pula Tiong Gi Cin-jin dari
Bu-tong-pai.
"Murid
Cin-ling-pai jahanam yang melakukan perbuatan terkutuk kepada puteriku mengaku
bermarga Lui!" kata poa Cin An. "Serahkan jahanam she Lui itu
kepadaku, Pangcu. Aku harus membawa kepalanya untuk dipakai sembahyang di depan
jenazah atau makam puteriku!”
Kian Sun
mengerutkan alisnya,
“She Lui?
Akan tetapi, rasanya tidak ada yang she Lui diantara murid Cin-ling-pai……..”
“Maaf, Suhu.
Teecu melapor. Pagi tadi teecu melihat dua orang murid yang mengganggu seorang
gadis dusun. Teecu tegur dan ketika hendak menangkapnya untuk diseret ke depan
Suhu agar menerima hukuman, mereka melarikan diri."
Tiba-tiba
Ciok Gun berkata, suaranya tenang namun jelas terdengar oleh semua yang berada
di ruangan itu.
Kian Sun
terbelalak memandang kepada muridnya itu.
"Ciok Gun!
Apa maksudmu? Apa artinya keteranganmu itu? Siapa dua orang murid itu?"
“Mereka itu
Lui Ti dan Ji Kun, dua orang murid seangkatan teecu, hanya mereka lebih muda
beberapa tahun."
"Gouw
Pangcu, jelas bahwa engkau hendak melindungi murid yang bersalah, ya? Tadi kau
mengatakan bahwa tidak ada yang she Lui, sekarang muncul yang bernama Lui
Ti!" kata Poa Cin An. "Tentu dia yang telah melakukannya. Cepat
Pangcu tangkap dan serahkan dia kepada kami!”
Kian Sun
merasa kepalanya pening. Tentu saja dia meragukan sekali keterangan yang keluar
dari mulut Ciok Gun, muridnya yang kini telah menjadi seperti mayat hidup yang
dikuasai oleh Pek-lian-kauw! Di dalam hatinya timbul dugaan bahwa semua
peristiwa itu pasti didalangi oleh Pek-lian-kauw! Akan tetapi mengapa mereka
itu melakukan semua ini? Ah, dia tahu sekarang! Kiranya Pek-lian-kauw yang
hendak menguasai Cin-ling-pai adalah suatu siasat untuk mengadu domba Antara
Cin-ling-pai dengan perguruan-perguruan besar lainnya.
Jantungnya
berdebar keras. Otaknya dikerjakan. Kalau begitu, setelah pertentangan
memuncak, tentu mereka akan membebaskan keluarga Cia, perlunya agar keluarga
Cia mempertahankan Cin-ling-pai dari amukan para pimpinan perguruan lain itu.
Akan tetapi apa yang dapat dia lakukan sekarang? Membuka rahasia itu? Semakin
merugikan.
Pertama,
tentu para tamu tidak percaya, karena buktinya, dia yang masih duduk sebagai
pimpinan di Cin-ling-pai. Dan ke dua, kalau dia membuka rahasia yang belum
tentu dipercaya oleh para tamu itu, tentu keselamatan seluruh keluarga Cia
terancam. Kalau siasat mereka gagal, tentu orang-orang Pek-lian-kauw takkan
segan-segan melanggar janji dan membunuh semua keluarga Cia yang sudah
dipenjarakan itu.
Dia menarik
napas panjang. Dia harus mampu mengulur waktu, mencari kesempatan untuk
menyampaikan semua itu kepada gurunya, dan kepada suhengnya, Cia Hui Song.
"Cu-wi
Lo-cian-pwe harap jangan khawatir. Kami akan menyelidiki dengan teliti dan akan
mengerahkan seluruh anggauta kami untuk menangkapi mereka yang bersalah. Kami
berjanji. Sekarang kami ingin melihat semua korban sebagai bukti. Dua orang
murid Kun-lun-pai sudah kami lihat bahwa mereka memang luka-luka!”,
Gouw Kian
Sun diiringkan oleh Ciok Gun, bersama semua rombongan tamu itu lalu
meninggalkan kamar tamu dan pertama-tama mereka berkunjung ke pondok
Bu-tong-pai. Disini mereka melihat Gu Kay Ek, murid dari Tiong Gi Cin-jin,
telah menjadi mayat dengan tubuh penuh luka, rebah telentang di atas
pembaringan. Kemudian mereka semua menyaksikan jenazah Poa Lui In, murid
Go-bi-pai dan yang terakhir mereka semua menyaksikan hidangan daging dan arak
di pondok kedua hwesio utama utusan Siauw-lim-pai.
Setelah
menyaksikan sendiri, Gouw Kian Sun kembali lagi ke ruang tamu Cin-ling-pai,
diikuti oleh mereka yang kini penuh semangat untuk menuntut balas. Kembali
mereka duduk di ruangan tamu yang luas itu dan wajah Gouw Kian Sun muram
sekali. Dia telah menyaksikan sendiri kebenaraan semua laporan dan tuntutan
para tamunya yang terhormat.
Diam-diam
dia merasa khawatir sekali, bukan mengkhawatirkan keselamatan diri sendiri,
melainkan khawatir akan nama baik Cin-ling-pai. Kini dia dapat menduganya dan
hampir yakin bahwa memang inilah yang dikehendaki Pek-lian-kauw, yaitu mengadu
domba antara Cin-ling-pai dengan para perguruan besar! Buktinya, yang terkena
musibah hanyalah empat perguruan besar sehingga mereka semua merasa penasaran
kepada Cin-ling-pai. sedangkan para tamu lain, tamu biasa, tidak mengalami
gangguan apapun.
Kini para
tamu yang sudah duduk semua memandang kepada Gouw Kian Sun dengan sinar mata
penuh tuntutan. Wakil ketua Cih-ling-pai itu, yang sejak beberapa pekan ini
telah kehilangan bobot banyak sekali sehingga nampak pucat dan kurus,
berulang-ulang menghela hapas panjang. Kemudian dia mengangkat mukanya yang
sejak kembalinya dari pemeriksaan tadi menunduk saja memandang kepada semua
tamu.
"Cu-wi
Lo-cian-pwe dan Eng-hiong (pendekar), saya telah melihat sendiri bukti dari
semua yang cu-wi ceritakan. Saya tidak dapat menyangkal lagi bahwa memang cu-wi
mendapatkan gangguan-gangguan hebat di Cin-ling-pai. Akan tetapi, sekarang ini
saya belum dapat menangkap murid-murid Cin-ling-pai yang berdosa, dan saya akan
menyelidikinya dengan teliti. Pula, terdapat kemungkinan bahwa ada yang sengaja
hendak merusak nama baik Cin-ling-pai, karena bagaimanapun juga, rasanya tidak
masuk di akal kalau murid-murid Cin-ling-pai melakukan kejahatan sekeji
itu."
"Bagus!”
Poa Cin An bangkit dan berseru keras. "Jadi setelah menyaksikan dengan
mata sendiri jenazah puteriku, Gouw Pangcu masih hendak melindungi murid
Cin-ling-pai? Sekarang juga kami menuntut agar jahanam she Lui murid
Cin-ling-pai itu ditangkap dan diserahkan kepada kami! Akan kami penggal
lehernya agar kepalanya dapat kami pakai menyembahyangi jenazah Liu In!"
"Benar
sekali itu!" teriak pula Tiong Gi Cin-jin. "Semua murid Cin-ling-pai
harus dipaksa mengaku, kalau perlu disiksa, siapa yang telah membunuh Gu Kay Ek
murid pinto (aku) dan harus menerima hukuman yang adil!"
"Sian-cai!
Apa yang dikatakan para wakil Go-bi-pai dan Bu-tong-pai itu benar sekali!"
kata Yang TeK Tosu "Penghinaan ini harus dibayar lunas! Kalau pemimpin
Cin-ling-pai hendak mengelak, akan kami hajar semua murid Cin-ling-pai untuk
mengaku!"
Berkata
demikian, Yang Tek Tosu yang sudah marah sekali itu meloncat dari atas
bangkunya dan berdiri dengan dua tangan terkepal.
"Totiang,
tahan bicaramu itu!" tiba-tiba Ciok Gun membentak dan diapun sudah
melompat dan berdiri di depan Yang Tek Tosu. "Ingat bahwa engkau adalah
seorang tamu yang tidak layak bersikap sembarangan dan seenaknya saja!"
Melihat ini,
Gouw Kian Sun terkejut dan heran, juga amat gelisah. Dia terkejut melihat sikap
muridnya itu, dan juga heran karena muridnya ini memiliki watak yang pendiam,
akan tetapi sekarang jadi pandai bicara! Dan diapun tahu bahwa muridnya ini
"dikendalikan" oleh orang-orang Pek-lian-kauw, agaknya sengaja untuk
memperuncing keadaan yang sudah gawat itu.
Yang Tek
Tosu sudah marah sekali, dan mendengar ucapan Ciok Gun, diapun membentak,
“Memang
pinto seorang tamu seperti yang lain, akan tetapi ingat, kami adalah tamu-tamu
yang diundang, tamu terhormat, bukan tamu liar! Sepatutnya kalau tuan rumah
menghormati kami, bukan malah menghina dan membunuh. Apakah Cin-ling-pai kini
berubah menjadi perkumpulan pembunuh dan penjahat keji?"
“Totiang,
engkau sungguh menghina kami!" bentak Ciok Gun. "Sudah kami katakan
bahwa kami hendak menyelidiki urusan ini, tapi Totiang mendesak. Kalau saat ini
kami belum dapat menyerahkan mereka yang bersalah, habis Totiang mau apa? Akan
menghajar kami? Hemm, aku khawatir Totiang tidak ada kemampuan untuk itu!"
"Jahanam
kau!"
Yang Tek
Tosu yang sudah marah sekali kehilangan kesabarannya lagi dan diapun
mendorongkan tangan kanannya ke arah dada Ciok Gun, dengan niat untuk membuat
orang muda itu terpelanting agar dapat berurusan sendiri dengan wakil ketua
Cin-ling-pai yang pada waktu itu merupakan orang pertama di Cin-ling-pai.
Akan tetapi,
Ciok Gun tidak mengelak, bahkan diapun mendorongkan tangan kanannya menyambut
pukulan itu. Dua buah tangan yang jari-jarinya terbuka bertemu dengan kuatnya.
"Dessss…….!!"
Ciok Gun
terdorong mundur dua langkah, akan tetapi juga Yang Tek Tosu terdorong ke
belakang dua langkah pula. Diam-diam Kian Sun terkejut. Yang Tek Tosu adalah
tokoh tingkat dua di Kun-lun-pai, akan tetapi pukulan tangan kosong yang
mengandung sin-kang amat kuat itu dapat ditahan bahkan diimbangi oleh muridnya!
Juga Yang Tek Tosu terkejut dan semakin marah.
"Siapakah
engkau?" bentaknya.
"Namaku
Ciok Gun dan aku pembantu utama suhu .Yang menjadi wakil ketua Cin-ling-pai.
Kalau perlu, aku dapat mewakili suhu menghadapi siapa saja yang hendak
mengganggu Cin-ling-pai!"
Tentu saja
diam-diam semua orang terkejut. Tak mereka sangka bahwa wakil ketua
Cin-ling-pai demikian lihainya sehingga muridnya saja mampu mengimbangi tenaga
tokoh tingkat dua dari Kun-lun-pai!
"Ciok
Gun, jangan kurang ajar!"
Tiba-tiba
Gouw Kian Sun tidak dapat menahan dirinya lagi dan dia meloncat ke depan, Ciok
Gun membalik dan kini guru dan murid itu berdiri berhadapan. Mula-mula Ciok Gun
memperlihatkan sikap melawan, akan tetapi tiba-tiba saja, seperti ada yang
membisikinya, dia mundur dan duduk kembali.
Gouw Kian
Sun kini berdiri di tengah ruangan itu, dan dia mengangkat kedua tangan memberi
hormat kepada semua tamu.
"Saya
mengerti akan kemarahan cu-wi (anda sekalian). Karena tidak mungkin bagi saya
untuk cepat-cepat dapat menangkap para murid yang melakukan perbuatan keji itu,
biarlah saya sebagai pimpinan Cin-ping-pai yang bertanggung jawab. Nah, cu-wi
majulah dan hukumlah saya, saya tidak akan melawan. Saya mewakili dan
menanggung dosa semua murid Cin-ling-pai!"
Gouw Kian
Sun memang sudah nekat. Nama baik Cin-ling-pai berada di ambang kehancuran.
Permusuhan dengan perguruan-perguruan besar akan meledak, dan semua keluarga
Cia masih berada dalam cengkeraman Pek-lian-kauw. Dia tidak mampu berbuat
apa-apa untuk menghindarkan keluarga Cia dari malapetaka! Maka, diapun hendak
mengorbankan diri saking putus asa.
Sikapnya ini
diterima salah oleh Yang Tek Tosu, Tiong Gi Cinjin dan Poa Cin An. Mereka
menganggap bahwa sikap ini berarti melindungi para murid yang telah melakukan
kejahatan besar. Mereka semua mengenal Cia Kong Liang sebagai ketua
Cin-ling-pai yang keras dan adil, juga mengenal puteranya yang pernah menjadi
ketua Cin-ling-pai pula, yaitu Cia Hui Song yang gagah perkasa dan berjiwa
pendekar.
Jelas kalau
ada kedua orang itu, tidak ada murid Cin-ling-pai berani melakukan kejahatan.
Akan tetapi sekarang, yang menjadi pimpinan adalah Gouw Kian Sun dan terjadilah
semua kejahatan itu. Agaknya Gouw Kian Sun inipun bukan orang baik-baik!
"Bagus,
kalau murid-muridnya jahat dan keji, tentu ketuanya lebih jahat lagi dan memang
pantas dihukum mati!" bentak Yang Tek Tosu. Juga Tiong Gi Cin-jin dan Poa
Cin An sudah maju, siap untuk menyerang Gouw Kian Sun.
"Omitohud,
harap saudara sekalian suka menahan diri, jangan menuruti nafsu amarah dan
dendam." tiba-tiba Thian Hok Hwesio berseru dan bersama sutenya, Thian Khi
Hwesio, dia sudah melangkah maju melerai.
Yang Tek
Tosu memandang kepada dua orang hwesio itu dengan sinar mata yang masih
diliputi kemarahan.
"Hemm,
sahabat-sahabat dari siauw-lim-pai mempunyai petunjuk yang bagaimana?"
Ucapan ini
bukan hanya mengandung pertanyaan, akan tetapi juga celaan mengapa dua orang
hwesio yang juga mengalami penghinaan itu maju melerai.
"Omitohud,
pinceng (aku) tidak menyalahkan kalau cu-wi marah-marah dan hendak menuntut
balas. Akan tetapi harap diingat bahwa saat ini, para tokoh besar Cin-ling-pai,
yaitu keluarga Cia, tidak ada yang berada disini. Dan bagaimanapun juga, jelas
bahwa semua kejahatan dilakukan oleh para murid Cin-ling-pai, bukan oleh Gouw
Pangcu. Biarpun dia harus bertanggung jawab, akan tetapi kita harus memberi waktu
kepadanya. Kita tidak bisa memaksanya untuk sekarang juga melunasi hutang itu.
Apalagi kita sebagai tamu harus ingat bahwa Gouw Pangcu menghadapi hari
pernikahannya besok. Sungguh tidak tepat kalau kita harus mengeruhkan tempat
ini dengan pembalasan dendam. Urusan ini dapat diselesaikan kapanpun juga.
Maka, sebaiknya kalau kita memberi waktu kepada Gouw Pangcu untuk menangkapi
murid-muridnya yang berdosa selama satu bulan. Biarlah dia melaksanakan
pernikahannya dulu dan mengerahkan murid-muridnya untuk menagkapi mereka yang
berdosa. Sebulan lagi, tanggal satu bulan depan , kita datang kesini untuk
minta pertanggungan jawab Gouw Pangcu. Pinceng harap cu-wi setuju dengan usul
pinceng ini, karena pinceng percaya bahwa cu-wi adalah orang-orang bijaksana. Bagaimanapun
juga Gouw-pangcu tidak akan dapat lari dari kita, bukan?"
Tiong Gi
Cinjin, Poa Cin An, Yang Tek Tosu dan kawan-kawan mereka saling pandang,
berbisik dan akhirnya mereka semua terpaksa menyetujui usul itu. Kalau mereka
dapat membunuh Gouw Pangcu sekalipun, hal ini belum berarti membalaskan
kematian murid dan puteri mereka. Dan memang semua peristiwa ini terjadi di
luar tahu sang ketua, maka tentu membutuhkan waktu untuk membongkarnya dan
menangkap yang bersalah! Selam itu mereka juga harus mengurus jenazah Poa Liu
In dan Gu Kay Ek.
"Baik,
sebulan lagi kami balik kesini!” kata Tiong Gi Cinjin yang mengajak murid-murid
untuk meninggalkan tempat itu.
"Gouw
Pangcu, sebulan lagi aku datang menerima pembunuh puteriku!" kata pula Poa
Cin An yang juga mengajak murid-murld Go-bi-pai yang lain untuk pergi.
"Kamipun
akan kembali sebulan lagi. .Mari kita pergi!" kata Yang Tek Tosu kepada
murid keponakannya.
Kini tinggal
dua orang hwesio itu yang berada disitu. Gouw Kian Sun yang masih berdiri
seperti patung, kini menghadapi dua orang hwesio itu. Dia memberi hormat dan
berkata,
"Terima
kasih atas bantuan ji-wi Lo-suhu sehingga saya masih hidup sampai
sekarang."
"Omitohud,
tidak ada pertolongan, karena sebulan lagi Pangcu harus menghadapi mereka, juga
kami sebulan lagi akan datang. Kalau benar Cin-ling-pai menyeleweng, kami harus
menentangnya, dan kami ingin bertemu dengan keluarga Cia untuk minta
penjelasan."
Dua orang
hwesio itu juga meninggalkan tempat itu dan pada hari itu juga, rombongan dari
empat perguruan besar ini meninggalkan Cin-ling-pai, membawa jenazah murid
masing-masing.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment