Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 11
Hay Hay
rnerasa betapa perutnya menjadi panas. Orang ini sungguh tidak tahu diri,
pikirnya. Kalau hanya dia dituduh mata keranjang dan merayu isterinya, hal itu
dapat dia hadapi sambil main-main. Akan tetapi sekali ini lain. Cemburu yang
tak berdasar dari orang ini telah menjadi sebab kematian kakek yang arif
bijaksana dan luhur budi itu! Diapun mulai marah.
"Hemm,
kalau menurut engkau, ketika engkau memanahku, aku harus menerima anak panahmu
itu tanpa mengelak agar dadaku ditembus dan aku mati konyol, begitukah? Engkau
sungguh seorang yang tolol, kepala batu, pencemburu besar. Sungguh mati, aku
heran sekali mengapa isterimu dapat mencinta seorang laki-laki tolol macam
engkau!"
Laki-laki
cebol yang mukanya buruk itu melototkan matanya yang sipit dan hidungnya yang
besar itu berkembang, mengamangkan busurnya yang terbuat dari baja dan
menghardik.
"Mata
keranjang busuk! Sebelum bertemu denganmu, isteriku amat sayang kepadaku, akan
tetapi sekarang ia berubah, pemarah dan sikapnya tidak manis lagi. Engkau tentu
telah mengguna-gunainya! Sekarang, engkau pula yang menyebabkan aku membunuh
kakek tidak berdosa ini, maka kalau tadinya aku hanya hendak membunuhmu,
sekarang aku harus membunuhmu dua kali!"
Setelah
berkata demikian, dia menerjang dengan busurnya dan terdengar suara berdesing
saking kuat dan cepatnya busur itu dia gerakkan.
"Singgg…..!"
Busur itu
menyambar ke arah kepala Hay Hay yang bergerak mundur dengan tenang sehingga
busur itu menyambar tempat kosong. Kini si pendek itu menyusul, menendang ke
arah pusar. Kembali Hay Hay mengelak ke samping, dan sekali ini kakinya
mencuat, tepat menendang pinggir sambungan lutut kanan lawan dan si pendek
itupun terpelanting. Akan tetapi dia meloncat bangun kembali dan menjadi
semakin marah.
"Engkau
mata keranjang, engkau jai-hwa-cat (penjahat cabul), kubunuh engkau!"
teriaknya dan dia menyerang kalang-kabut dengan penuh kebencian.
Sebetulnya
Hay Hay juga marah sekali karena orang ini telah membunuh kakek bijaksana,
walaupun dia tahu tidak sengaja. Akan tetapi dia teringat akan isteri si pendek
ini, wanita yang manis budi dan lincah jenaka, dan diapun merasa kasihan kepada
si pendek ini. Betapa sengsaranya si buruk rupa ini memiliki isteri secantik
itu. Tentu selalu tersiksa hatinya oleh cemburu karena merasa rendah diri,
merasa bahwa isterinya terlalu cantik baginya, tidak sepadan.
Dia dapat
membayangkan betapa si buruk rupa ini setiap saat akan dibakar cemburu, setiap
kali isterinya bicara dengan pria lain, bahkan setiap kali isterinya dipandang
pria lain! Dan semakin besar cemburu dan pemarahnya, isterinya tentu akan
semakin berani bersikap genit dan manis kepada pria lain, walaupun hal itu
hanya dilakukan untuk memancing cemburu suaminya!
Dengan
tingkat kepandaiannya yang jauh lebih tinggi, beberapa kali Hay Hay merobohkan
lawan tanpa melukainya. Si cebol buruk rupa itu diam-diam terkejut dan kagum
sekali. Tak disangkanya bahwa pemuda yang dianggapnya penjahat cabul mata
keranjang dan yang akan dibunuhnya itu sedemikian lihainya sehingga busurnya
tak pernah dapat menyentuhnya, bahkan sebaliknya berulang kali dia roboh,
walaupun tidak sampai terluka parah. Namun, teringat akan isterinya yang
disangkanya tergila-gila kepada pemuda itu, setiap kali roboh, dia bangun
kembali dan menyerang lebih dahsyat!
Hay Hay
merasa jengkel juga akan kekerasan hati lawannya. Sungguh tak tahu diri.
Seharusnya orang itu tahu bahwa dia telah bersikap lunak dan tidak melukainya,
kenapa masih nekat terus menyerang seperti babi buta? Diam-diam Hay Hay
mengerahkan kekuatan sihirnya, kemudian membentak dengan suara nyaring.
"Heh,
cebol pemarah, lihat isterimu datang! Engkau masih berani marah-marah?"
Si cebol
terkejut dan menoleh. Tidak ada siapa-siapa. Ketika dia memandang lagi kepada
lawan, dia terbelalak. Kiranya yang berada di depannya adalah isterinya, dan
pemuda tadi sudah lenyap entah kemana? Seketika tubuhnya menjadi lemas dan
busur itu terlepas dari tangannya. Dia memandang isterinya dengan bingung dan
mulutnya hanya mampu berkata heran.
"Kau……,
kau…… disini……?”
Dia tadi
meninggakan isterinya tanpa memberitahu kemana. Siapa tahu isterinya telah
menyusul. Isterinya yang cantik itu lalu mengambil busur yang dilepaskannya
tadi. Wajahnya cemberut marah.
"Engkau
ini suami tolol, selalu cemburuan dan marah-marah, sungguh menyebalkan hatiku!”
Dan isteri yang cantik itu lalu memukul-mukulkan gendewa itu kepada suami!
"Plak!
Plak! Plakk!”
Si cebol
berusaha menangkis dan mengelak, sama sekali tidak berani melawan walaupun dia
tahu isterinya tidak pandai silat. Akan tetapi sungguh mengejutkan hatinya.
Biarpun dia sudah mengelak dan menangkis, tetap saja gendewa itu mengenai
tubuhnya, di kepala, di pundak, di punggung, paha dan mendatangkan rasa nyeri
yang cukup membuat dia berteriak-teriak.
"Sudah……!
Sudahlah…..! Aku mengaku bersalah maafkan aku……!" teriaknya sambi1
berusaha melindungi kepalanya.
Akan tetapi
isterinya terus saja memukulnya sampai dia babak belur.
"Aku
isterimu yang selalu setia, akan tetapi engkau menuduh yang bukan-bukan!
Bersumpahlah engkau bahwa engkau tidak akan menuduhku lagi!"
"Aku
bersumpah……… aku bersumpah…….!" Laki-laki cebol itu berkata.
Tiba-tiba,
setelah pemukulan dengan busur itu dihentikan, terdengar suara ketawa bergelak
dan ketika suami itu mengangkat muka memandang, isterinya sudah lenyap dan di
depannya berdiri pemuda tadi yang melemparkan busur ke depan kakmya!
"Ehhh……?
Bagaimana ini? Dimana isteriku ..... ?”
Dia menjadi
bingung sekali, melupakan semua rasa nyeri di tubuhnya yang babak belur dan dia
memandang ke sekeliling mencari-cari isterinya.
Hay Hay
menghentikan tawanya.
"Isterirnu
tidak pernah berada disini, kenapa engkau mencari-carinya?"
"Tapi…..
tapi tadi ia marah-marah dan memukul aku…..!”
"Tentu
saja, karena engkau bersalah. Ia muncul dalam angan-anganmu untuk menghukummu
dan menyadarkanmu."
Laki-laki
itu kini memandang kepada Hay Hay dengan bengong.
"Jadi……
engkaukah tadi? Engkau menggunakan sihir! Orang muda, siapakah engkau ini?
Pendekar dari mana dan siapa namamu, dari perguruan mana?” Dia mulai merasa
kagum dan juga gentar .
"Aku
hanya ingin menyadarkanmu dari kesalahanmu, Toa-ko (kakak). Isterimu seorang
wanita yang hebat, cantik manis, lincah jenaka dan mencintamu. Akan tetapi
engkau akan merusaknya dengan cemburumu yang tidak ketulungan itu! Tentang
diriku, namaku bukan hal penting bagimu. Bukankah engkau telah memberi nama
Mata Keranjang kepadaku? Nah, julukan itu baik sekali, katakanlah aku mata
keranjang, akan tetapi aku bukanlah jai-hwa-cat! Aku tahu, isterimu itu amat
baik dan amat sayang kepadamu. Kalau engkau melanjutkan sikapmu yang mempunyai
cemburu yang berlebihan, sekali waktu mungkin saja ia akan berubah dan akan
benar-benar memilih pria lain!"
Wajah itu
menjadi pucat.
"Aihhh……
aku telah bersalah……. aku tidak mau kehilangan isteriku, sama saja dengan
kehilangan nyawaku…."
"Hemm,
kalau begitu, hilangkan atau kurangi cemburumu. Wanita memang ingin suaminya
cemburu karena bagi wanita sikap cemburu suaminya itu membuktikan bahwa
suaminya cinta kepadanya dan tidak ingin kehilangan dirinya. Akan tetapi, sikap
cemburu itu jangan berlebihan karena ini menimbulkan anggapan bagi wanita bahwa
suaminya tidak percaya kepadanya, dan hal itu berbahaya! Engkau harus
memperlihatkan sikap melindungi, memiliki akan tetapi jangan mengekang dan
membatasi. Engkau harus selalu memujinya, menyenangkan hatinya, bahkan
memanjakannya akan tetapi jangan selalu menuruti keinginannya secara membuta
sehingga engkau diperbudak olehnya. Engkau harus kelihatan kuat dan berkuasa,
akan tetapi jangan menindas. Dengan demikian, isterimu akan selalu memujamu.
Wanita ingin dipuji, ingin dimanja, ingin diperhatikan. Kalau engkau bersikap
demikian, tentu engkau yang selalu dibayangkannya."
Pria cebol
itu bengong, lalu garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Wah-wah-wah,
orang muda, engkau benar-benar mencengangkan! Engkau bukan saja berkepandaian
tinggi, lihai ilmu silatmu, juga pandai ilmu sihir, akan tetapi juga ahli dalam
soal wanita! Aku mengerti sekarang mengapa isteriku kelihatan tertarik
kepadamu, karena engkau pandai memuji dan menyenangkan hatinya. Engkau
sungguh…… berbahaya bagi wanita-wanita!"
Hay Hay
tersenyum.
"Jangan
khawatir, kawan. Aku memang suka memuji kecantikan wanita, akan tetapi dalam
pujian itu tidak terkandung pamrih ingin merayu dan menggoda, apalagi
memilikinya. Aku selama hidupku belum pernah mengganggu wanita, apalagi yang
sudah bersuami. Nah, kembalilah kepada isterimu, aku akan mengubur jenazah
kakek yang bijaksana ini."
"Aku
akan membantumu!" kata si cebol dan mereka lalu sibuk bekerja menggali
lubang dan mengubur jenazah kakek yang hanya dikenal oleh Hay Hay sebagai kakek
tak bernama itu.
Setelah
selesai dan memberi penghormatan terakhir kepada makam kakek itu, si cebol
meninggalkan Hay Hay untuk kembali kepada isterinya dengan hati gembira karena
telah memperoleh "bekal ilmu" dari Hay Hay untuk membahagiakan
isterinya.
Hay Hay
sendiri lalu meninggalkan puncak bukit itu, menuju ke Nan-king. Tanpa
disengaja, tanpa disangka, dia telah menerima tugas dari seorang kakek yang
tidak dikenalnya, akan tetapi yang amat dihormatinya, yaitu untuk mengantar
segulung surat dan menyerahkan kepada seorang diantara dua menteri terkenal,
yaitu Menteri Yang Ting Hoo atau Menteri Cang Ku Ceng.
Jodoh si
Mata Keranjang Jilid 52
Kim-ke-kok
(Lembah Ayam Emas) merupakan sebuah lembah yang amat indah pemandangannya,
subur tanahnya dan sejuk nyaman udaranya di pegunungan Heng-tuan-san bagian
timur. Lembah itu sendiri sunyi dan hanya ada sebuah pondok yang cukup besar
disitu.
Perkampungan
penduduk yang tidak begitu besar berada disana-sini sekitar lembah, merupakan
penduduk pegunungan yang bertani. Banyak buah-buahan dan bunga-bunga dihasilkan
di tempat itu, oleh penduduk lalu dibawa turun ke kota dan dusun dibawah lembah
dan itulah penghasilan penduduk pegunungan yang hidupnya bersahaja itu.
Pondok besar
yang berada di lembah itu menjadi tempat tinggal sepasang suami isteri yang
bagi para penduduk di sekitarnya dianggap sebagai dua orang pertapa yang
budiman karena seringkali membantu para penduduk dengan pengobatan. Akan
tetapi, biarpun bertahun-tahun kedua orang tokoh itu bersembunyi atau setidaknya
mengasingkan diri dari dunia ramai, para tokoh kang-ouw mengenal mereka sebagai
dua orang yang sakti. Yang pria bernama siangkoan Ci Kang, berusia empat puluh
tujuh tahun, sedangkan isterinya yang berusia empat puluh enam tahun bernama
Toan Hui Cu.
Siangkoan Ci
Kang adalah seorang kakek yang bertubuh tinggi tegap, berwajah tampan dan
berwibawa. Pakaiannya sederhana longgar, seperti pakaian pendeta, dan yang
menarik adalah lengan kirinya yang buntung sebatas siku. Pria ini sejak kecil
terbiasa dengan kehidupan yang keras, karena mendiang ayahnya adalah seorang
datuk di dunia kang-ouw yang ditakuti, berjuluk Si Iblis Buta dan disebut
Siangkoan Lojin.
Biarpun
lengan kirinya buntung, namun Siangkoan Ci Kang memiliki kepandaian tinggi.
Bukan saja dia telah mewarisi ilmu tongkat dari mendiang ayahnya yang buta,
akan tetapi dia juga murid Ciu-sian Lokai dan telah mewarisi kitab ilmu yang
sakti, yaitu Kwan Im Sin-kun dan Kwan Im Kiam-sut yang tangguh. Selain itu,
bersama isterinya yang sama saktinya dia telah menciptakan sebuah ilmu silat di
lembah itu, yang mereka beri nama Kim-ke Sin-kun (Silat Sakti Ayam Emas).
Isterinya
juga seorang wanita sakti. Ayah dan ibu dari Toan Hui Cu lebih terkenal lagi
karena mereka adalah suami isteri datuk besar dunia sesat yang berjuluk Raja
Iblis dan Ratu Iblis! Toan Hui Cu mewarisi ilmu-ilmu yang aneh dari mendiang
ayah ibunya, Juga bersama suaminya ia mewarisi ilmu Kwan Im Sin-kun. Ia seorang
wanita yang dalam usia empat puluh enam tahun masih nampak cantik dan anggun seperti
wanita bangsawan, walaupun latihan ilmu sesat orang tuanya membuat wajahnya
agak kepucatan.
Mereka
mempunyai seorang anak saja, bernama Siangkoan Bi Lian yang kini sudah berusia
dua puluh tiga tahun. Juga baru-baru ini mereka menerima seorang murid bernama
Tan Hok Sen seorang bekas perwira di kota raja yang sebelumnya telah memiliki
kepandaian cukup tangguh.
Tan Hok Seng
ini ternyata kemudian bernama Tang Gun, seorang perwira yang melakukan
penyelewengan, putera kandung mendiang penjahat cabul besar Ang-hong-cu. Suami
isteri itu sama sekali tidak tahu akan hal itu, bahkan mereka mengijinkan
puteri mereka untuk menemani suhengnya itu ke kota raja.
Dan kini,
beberapa bulan kemudian, puteri mereka itu pulang, bukan bersama Tan Hok Seng,
melainkan bersama Pek Han Siong murid mereka yang pertama dan ditemani pula
oleh Pek Hong, ketua Pek-sim-pang atau ayah Pek Han Siong, dan Pek Ki Bu, kakek
dari Pek Han Siong.
Tentu saja,
suami isteri penghuni Lembah Ayam Emas itu menjadi girang dan juga heran
melihat puterinya pulang bersama murid pertama mereka, ditemani ayah dan kakek
murid itu. Mereka menyambut dengan gembira dan setelah diperkenalkan kepada
ayah dan kakek murid mereka, suami isteri itu mempersilakan mereka semua
memasuki ruangan dalam dan mereka duduk dalam suasana akrab dan gembira.
Toan Hui Cu
yang diam-diam merasa girang sekali melihat betapa puterinya nampak demikian
akrab dengan muridnya dan ia dapat melihat kasih sayang dalam sinar mata mereka
kalau saling pandang, segera berkata dengan lantang.
"Aihhh,
kepulanganmu sekali ini sungguh membuat kami menjadi bingung dan kaget, biarpun
juga amat bergembira, Bi Lian. Sebelum engkau ceritakan hal-hal lain, jawab
dulu pertanyaanku. Dimana suhengmu Tan Hok Seng?"
Gadis itu
memandang kepada ibunya, menoleh kepada Han Siong yang juga suhengnya,
memandang lagi kepada ibunya dan ayahnya, dan tersenyum. Gadis ini memang manis
sekali.
Tubuhnya
ramping dan padat, rambutnya panjang hitam dan saat itu rambutnya dikucir
panjang sampai ke pinggul. Matanya tajam, hidungnya mancung kecil dan mulutnya
merah basah. Bentuk wajahnya bulat telur dan semua kecantikan itu bertambah
manis dengan adanya tahi lalat di dagunya.
Gadis ini
bukan saja mewarisi ilmu-ilmu dari ayah ibunya, akan tetapi ketika remaja, ia
pernah menjadi murid mendiang Pak-kwi-ong dan Tung-heh-kwi, dua diantara Empat
Setan, datuk-datuk yang amat lihai dari golongan sesat.
"Ibu
dan Ayah. Ketika kami berangkat, akupun percaya sepenuhnya kepada orang yang
mengaku bernama Tan Hok Seng dan berhasil menjadi suhengku, bahkan mempelajari
ilmu-ilmu dari ayah dan ibu. Akan tetapi ternyata kita telah kebobolan
Ibu!"
"Kebobolan?
Apa maksudmu?" tanya ibunya dengan heran.
"Dia
tidak bernama Tan Hok Seng, melainkan Tang Gun dan dia adalah seorang jahat,
perwira yang menyeleweng dan menjadi buruan pemerintah. Dia bahkan kemudian
diketahui sebagai putera penjahat besar Ang-hong-cu!"
"Ahhh......!"
Suami isteri
yang sakti itu terkejut bukan main mendengar keterangan puteri mereka itu.
Mereka telah menerima seorang jahat menjadi murid!
"Akan
tetapi jangan khawatir, si jahat Tang Gun itu bersama ayahnya dan sekutunya
telah dapat ditumpas dan dihancurkan. Tang Gun yang kita kenal sebagai Tan Hok
Seng itupun telah tewas. Aku bertemu dengan suheng Pek Han Siong dan para
pendekar lainnya, bekerja sama dan menumpas para penjahat itu."
Suami isteri
itu mengangguk-angguk dan merasa lega. Biarpun mereka telah kebobolan dan
mengambil murid seorang penjahat, akan tetapi penjahat itu telah tewas. Mereka
memandang kepada murid mereka, Pek Han Siong dan Siangkoan Ci Kang bertanya.
"Dan
bagaimana pula sekarang Bi Lian dapat pulang bersama engkau, Han Siong? Dan
ditemani pula oleh ayahmu dan kakekmu yang terhormat ini?"
Pemuda itu
mengangkat muka memandang kepada suhunya dengan warna muka berubah agak kemerahan.
Pemuda ini memiliki kulit muka yang putih, maka kini nampak sekali perubahan
warna itu. Alisnya yang tebal agak berkerut, matanya yang agak sipit itu
ditundukkan. Dia seorang pemuda yang gagah perkasa yang memiliki kepandaian
tinggi, bahkan juga memiliki kekuatan sihir dan tak pernah merasa gentar
menghadapi apapun. Namun kini, menghadapi pertanyaan suhunya itu, dia merasa
bingung dan malu. Dia memandang kepada ayahnya dan kakeknya, seperti minta
bantuan dari mereka.
"Suhu
dan Subo, seperti diceritakan sumoi tadi, kami bertemu ketika bersama para
pendekar kami, menghadapi Ang-hong-cu dan dua orang anaknya yang jahat.
Kemudian…… sumoi dan teecu (murid) pergi ke Kong-goan, menghadap ayah teecu
dan…… dan sekarang ayah dan kakek teecu ikut kesini untuk menghadap Suhu dan
Subo dan untuk…… untuk bicara…… "
Han Siong
tidak dapat melanjutkan, hanya memandang kepada ayahnya dan kakeknya dengan
sikap tidak berdaya dan menyerah!
Siangkoan Ci
Kang dan isterinya tentu saja sudah dapat menduga apa maksud kunjungan keluarga
murid mereka itu, dan melihat kecanggungan murid mereka, mereka hanya tersenyum
saja. Melihat keadaan puteranya, Pek Kong ketua Pek-sim-pang lalu bangkit dan
memberi hormat kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu.
"Sebelumnya
harap ji-wi (anda berdua) suka memaafkan kami kalau kami dianggap lancang. Akan
tetapi atas desakan putera kami dan juga nona Siangkoan Bi Lian, maka kami
terpaksa memberanikan diri untuk datang menghadap ji-wi. Terus terang saja,
kedatangan kami ini untuk memenuhi permintaan putera kami, yaitu untuk
mengajukan pinangan atas diri nona Siangkoan Bi Lian."
Mendengar
ucapan yang penuh sopan santun itu, dan sikap Pek Kong yang nampak sungkan,
suami isteri itu saling pandang lalu mereka berdua tertawa dengan gembira.
"Ha-ha-ha,
sungguh lucu dan aneh terdengarnya, Saudara Pek." kata Siangkoan Ci Kang.
"Sebelum Saudara datang hari ini, kami yang lebih dulu bertindak lancang.
Ketahuilah bahwa telah lama sekali kami berdua menjodohkan murid kami dan
puteri kami ini! Dan sekarang Saudara datang untuk mengajukan pinangan, tentu
saja kami setuju sepenuhnya!"
Mereka semua
bergembira dan tidak seperti gadis-gadis lain, Bi Lian tidak menjadi malu-malu
walaupun kedua pipinya berubah kemerahan. Ia tidak lari ke dalam dan ia bahkan
melayani ketika orang tuanya menjamu tamu-tamu itu dengan hidangan yang
dubuatnya sendiri bersama ibunya.
Atas
persetujuan kedua pihak, maka pernikahan antara Han Siong dan Bi Lian
dilangsungkan dua bulan kemudian, di lembah itu. Perayaannya sederhana saja, dihadiri
keluarga Pek yang terdiri dari belasan orang dan tamu yang diundang hanyalah
penduduk dusun-dusun di sekitar pegunungan Heng-tuan-san. Perayaan itu sungguh
sederhana namun cukup meriah dan menggembirakan, dirayakan pada malam hari.
Sebagai tuan
rumah, Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu menerima para tamu dengan gembira dan
mempersilakan para tamu untuk mengambil tempat duduk. Ketika pesta dimulai dan
para tamu memberi selamat kepada sepasang mempelai sehingga suasana menjadi
meriah gembira dan Siangkoan Ci Kang bersama isterinya yang mengira bahwa tentu
sudah tidak ada tamu baru datang sudah duduk di dekat sepasang mempelai,
muncullah dua orang berpakaian pertapa yang tentu saja membuat semua orang
merasa heran. Juga Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu heran melihat datangnya
dua orang tamu aneh itu, akan tetapi mereka cepat menuju ke depan untuk
menyambut.
Mereka
adalah dua orang yang berjubah kuning, pakaian yang biasa dipakai para hwesio.
Usia mereka enam puluh tahun lebih. Seorang diantara mereka bertubuh gendut dan
kepalanya gundul, akan tetapi yang amat menyolok adalah warna kulitnya, yaitu
hitam kehijauan! Bukan hanya warna kulit muka, melainkan juga kulit tangan dan
leher, juga mungkin warna kulit seluruh tubuhnya. Matanya mencorong dan
mulutnya selalu tersenyum sinis.
Kakek kedua
juga berpakaian jubah kuning, akan tetapi kepalanya tidak gundul, melainkan
berambut putih yang tipis dan rambut itu digelung ke atas seperti kebiasaan
seorang pertapa atau tosu. Orang kedua ini bertubuh tinggi kurus dan mukanya
selalu muram dan mulutnya cemberut.
Siangkoan Ci
Kang dan isterinya menyambut dengan sikap hormat, mengangkat tangan di depan
dada dan Siangkoan Ci Kang berkata dengan lembut.
"Kami
merasa terhormat sekali menerima kunjungan ji-wi Suhu (guru berdua). Dapatkah
kami mengetahui nama yang mulia ji-wi?"
Dua orang
kakek itu tidak membalas penghormatan tuan dan nyonya rumah, suatu hal yang
sungguh membuat mereka yang melihat menjadi penasaran. Biasanya, para pendeta
amatlah sopan dan halus budi, akan tetapi kenapa dua orang ini demikian tidak
sopan? Bahkan kini yang gendut perutnya itu menyeringai dan bertanya,
"Apakah
engkau yang bernama Siangkoan Ci Kang?"
Suaranya
terdengar parau dan besar, seperti gerengan binatang buas. Sementara itu, yang
kurus tinggi hanya memandang saja dengan mulut cemberut.
Melihat
sikap dua orang tamu itu tentu saja Siangkoan Ci Kang dan terutama sekali Toan
Hui Cu merasa tak senang. Akan tetapi, mengingat bahwa mereka adalah tuan rumah
yang sedang merayakan pernikahan puteri mereka dan harus bersikap ramah
terhadap semua tamu, Sioangkoan Ci Kang menahan perasaan hatinya dan diapun
mengangguk.
"Benar
sekali, Lo-suhu. Aku adalah Siangkoan Ci Kang," katanya dan dia melihat
betapa kakek gundul itu memandang ke arah lengan kirinya yang buntung sebatas
siku.
"Omitobud
…….! Bagus kalau begitu, tidak sia-sia perjalanan kita jauh-jauh kesini,
Ban-tok (Selaksa Racun)!" kata si gendut kepada kawannya yang nampak
semakin murung.
"Sudah
kukatakan, kita tentu berhasil. Akan tetapi mereka sedang merayakan pernikahan,
sebaiknya lain kali saja kita datang lagi." kata si kurus tinggi.
"Tidak enak mengganggu orang yang sedang berpesta, Hek-tok (Racun
Hitam)!"
Mendengar
percakapan itu, Siangkoan Ci Kang segera berkata,
"Marilah,
jiwi Suhu, silakan masuk dan menjadi tamu kehormatan kami, menerima hidangan
kami dan menambah doa restu untuk putri kami yang sedang melangsungkan
pernikahannya."
"Silakan,
ji-wi Losuhu, " kata pula Toan Hui Cu dengan ramah walaupun di dalam
hatinya, nyonya ini merasa penasaran sekali dengan sikap dua orang kakek itu
yang aneh dan tidak sopan.
Kakek gendut
itu tertawa.
"Ha-ha-ha,
tidak perlu kalian menjamu kami. Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang, kedatanganku
kesini adalah untuk menangkapmu!"
Tentu saja
Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu terkejut mendengar ini, juga para tamu yang
duduk dekat pintu mendengar ini dan merekapun berbisik-bisik, sehingga bisikan
itu akhirnya terdengar oleh sepasang mempelai.
Pek Han
Siong dan Siangkoan Bi Lian terkejut sekali, dan biarpun tidak pantas bagi
sepasang mempelai yang sedang duduk bersanding itu untuk bangkit sebelum
waktunya, mereka tidak perduli dan keduanya sudah bangkit dan mendekat ke
pintu.
Demikian
pula Pek Kong dan isterinya Siauw Bwee, Pek Ki Bu dan lima orang tokoh pimpinan
Pek-sim-pang bangkit dan mendekat ke pintu. Mereka adalah keluarga pengantin
pria, besan dari tuan rumah, maka tentu saja mereka harus ikut menjaga keamanan
pesta pernikahan itu.
Dengan sikap
tenang, Siangkoan Ci Kang yang mendengar ucapan kakek gendut itu lalu berkata,
"Lo-cian-pwe
siapakah dan mengapa pula Lo-cian-pwe datang hendak menangkap aku?"
Biarpun kini
di dekat pintu telah berkumpul banyak orang, diantaranya sepasang mempelai dan
keluarga mempelai pria, kakek gendut itu tidak perduli dan diapun bicara dengan
lantang seperti seorang hakim yang mengadili seorang terdakwa.
"Siangkoan
Ci Kang, ingatkah engkau kepada Ceng Hok Hwesio, ketua cabang Siauw-lim-pai di
luar kota Yu-shu, di tepi sungai Cin-sha tak begitu jauh dari sini?"
Pendekar
yang lengan kirinya buntung itu mengerutkan alisnya, menduga-duga siapa orang
ini dan apa hubungannya dengan Siauw-lim-pai. Akan tetapi dia menjawab dengan
tegas.
"Tentu
saja aku masih ingat dengan baik kepada suhu Ceng Hok Hwesio."
"Omitohud
…..! Bagus sekali kalau begitu. Tentu engkau mau pula mengakui bahwa Ceng Hok
Hwesio telah meninggal dunia karena engkau! Karena ulahmu, murid yang murtad!”
Senyum itu menghilang dari wajah yang menghitam, dan mata itu mencorong.
Siangkoan Ci
Kang tidak merasa heran mendengar bahwa Ceng Hok Hwesio telah meninggal dunia
karena memang hwesio itu sudah tua. Akan tetapi dia merasa terkejut dan
penasaran mendengar tuduhan bahwa hwesio tua itu mati karena ulahnya.
"Lo-cian-pwe,
bicaralah yang jelas. Memang aku mengenal baik mendiang suhu Ceng Hok Hwesio,
bahkan aku menjadi muridnya untuk mempelajari soal agama, akan tetapi aku tidak
merasa telah menyebabkan kematiannya! Bahkan aku baru tahu sekarang bahwa dia
telah meninggal dunia."
"Heh-heh,
kalau kami tahu sejak dahulu, jangan harap engkau akan dapat hidup sampai hari
ini. Sayang kami tahu setelah terlambat. Kami datang ke kuil itu dan
mendapatkan Ceng Hok Hwesio sudah tinggal tulang dan kulit, bahkan dia mati
dalam pelukan kami. Dan dari para hwesio disana, kami mendengar tentang
kematiannya. Siangkoan Ci Kang, dahulu engkau sebagai seorang muda datang
kepada Ceng Hok Hwesio bersama seorang wanita bernama Toan Hui Cu……”
"Akulah
Toan Hui Cu yang datang bersama dia ke kuil Siauw-lim-pai!" tiba-tiba Toan
Hui Cu berkata dengan nada ketus.
"Aha,
kiranya keduanya berada disini dan menjadi suami isteri, ya? Omitohud, ini
memudahkan pekerjaan pinceng (aku). Nah, bersiaplah kalian berdua untuk ikut
dengan kami ke kuil Siauw-lim-pai itu, untuk menebus dosa dan menerima hukuman
atas perbuatan kalian. Kalian telah mengotori kuil, kalian menodai kesucian
kuil sehingga Ceng Hok Hwesio menghukum kalian. Akan tetapi hal itu membuat dia
menyesali dirinya sendiri sehingga selama bertahun-tahun dia menyiksa diri,
bertapa di dalam ruangan tertutup dan akhirnya berpuasa sampai mati. Kalian
harus menebus dosa!"
Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu termenung sejenak mendengar ucapan itu. Teringat mereka
akan semua peristiwa yang terjadi dua puluh empat tahun yang lalu itu.
Siangkoan Ci Kang merasa bahwa dia adalah keturunan seorang datuk sesat, yaitu
Si Iblis Buta, sedangkan Toan Hui Cu lebih lagi, karena ayah ibunya adalah Raja
dan Ratu Iblis. Keduanya saling jatuh cinta, kemudian karena ingin membersihkan
diri, mereka bersepakat untuk menebus dosa-dosa orang tua mereka di dalam kuil
Siauw-lim-pai yang dipimpin oleh Ceng Hok Hwesio.
Mereka
diterima sebagai murid untuk mempelajari agama dan bersamadhi menebus dosa.
Akan tetapi, kecantikan Hui Cu agaknya membuat Ceng Hok Hwesio lupa diri. Nafsu
telah mencengkeramnya, mendatangkan gairah dan dia mendekati Hui Cu. Akan
tetapi, Hui Cu yang mencinta Siangkoan Ci Kang dan telah menyerahkan jiwa
raganya, tentu saja menolak. Hal ini membuat Ceng Hok Hwesio menjadi marah dan
dendam. Dia lalu menjatuhkan hukuman kepada kedua orang muda itu, dan
mengharuskan mereka "bertapa" di ruangan terpisah selama dua puluh tahun.
Baru dengan cara demikian, kotoran dari dosa orang tua mereka akan dapat
terhapus!
Mereka
berdua mentaati hukuman itu, biarpun secara diam-diam mereka pernah berhubungan
sebagai suami isteri. Terlahirlah Siangkoan Bi Lian yang terpaksa mereka
titipkan ke sebuah dusun, kepada seorang penduduk. Dengan kepandaian mereka
yang tinggi, tidak sukar bagi mereka untuk sewaktu-waktu menengok anak mereka.
Akan tetapi
kemudian Bi Lian diculik datuk jahat dan menjadi murid para datuk, dan baru
setelah gadis itu dewasa maka dapat bertemu kembali dengan mereka, berkat
bantuan Pek Han Siong, murid mereka. Dan kini, tiba-tiba saja muncul dua orang
pendeta aneh ini yang menyalahkan mereka karena kematian Ceng Hok Hwesio yang
sudah tua!
"Lo-cian-pwe,
kami tidak pernah melakukan pelanggaran dan selalu mentaati mendiang suhu Ceng
Hok Hwesio. Kami tidak tahu-menahu tentang kematiannya, dan kalau dia mati tua
dan mati karena bertapa, kenapa harus menyalahkan kami?"
"Omitohud
……..! Kalau tidak karena ulah kalian, tidak mungkin beliau mati dalam keadaan
tersiksa lahir batin seperti itu! Kalian harus dihukum!"
"Penasaran
……!"
Tiba-tiba
kakek Pek Ki Bu yang sejak tadi mendengarkan saja, berseru marah dan diapun
menghampiri dua orang pendeta itu.
Si gendut
memandang kepadanya dan mulutnya menyeringai sadis.
"Hem,
siapapun juga tidak boleh mencampuri urusan kami! Orang luar yang lancang akan
celaka."
"Hemm,
hwesio sombong, aku bukan orang luar! Bahkan aku heran sekali kalau engkau
mengaku hendak mengurus tentang Ceng Hok Hwesio. Aku kenal baik Ceng Hok Hwesio
karena dia adalah saudara seperguruanku, dia murid keponakan mendiang ayahku,
Pek Khun! Siangkoan Ci Kang tidak mempunyai kesalahan apa-apa, dan kalau Ceng
Hok Hwesio mati tua dalam pertapaannya, kenapa harus menyalahkan dia?"
"Akulah
saksinya bahwa suhu Siangkoan Ci Kang tidak bersalah!" Tiba-tiba Pek Han
Siong berseru dengan tenang dan juga menghadapi dua orang pendeta itu.
Si gendut
melemparkan senyumnya.
"Dan
siapa pula engkau! Bukankah engkau mempelai prianya?" tanyanya sambil
memandang pakaian Han Siong, pakaian pengantin.
"Benar.
Aku adalah Pek Han Siong, dan aku murid suhu Siangkoan Ci Kang dan subo Toan
Hui Cu yang kini menjadi mertuaku. Aku juga bekas murid di kuil Siauw-lim-si
yang dipimpin mendiang Ceng Hok Hwesio. Aku pernah berkunjung kesana setelah
suhu dan subo bebas dari hukuman di kuil itu, dan Ceng Hok Hwesio sendiri yang
mengatakan bahwa dia telah merasa menyesal karena menghukum suhu dan subo tanpa
salah! Kalau dia mati karena penyesalan, hal itu bukanlah kesalahan suhu dan
subo!"
Siangkoan Ci
Kang melangkah maju dan menghadapi keluarga Pek dan mohon agar mereka mundur.
"Biarlah
kami yang akan menghadapi semua urusan ini," katanya. Lalu dia menghadapi
dua orang pendeta itu dan berkata. "Ji-wi datang dengan tuduhan-tuduhan
dan tuntutan, akan tetapi kami belum mengetahui siapakah ji-wi sebenarnya dan
apa hubungan ji-wi dengan Ceng Hok Hwesio maka kini menuntut kami."
"Sebut
saja aku Hek-tok Sian-su (Dewa Racun Hitam) dan dia ini suhengku Ban-tok
Sian-su (Dewa Racun Selaksa). Ketahuilah, Siangkoan Ci Kang bahwa dahulu kami
pernah menjadi tokoh-tokoh sesat. Kami disadarkan oleh Cang Hok Hwesio, bahkan
setelah diajar agama, beliau mengirim kami berdua ke India untuk memperdalam
ilmu. Kami berhutang budi yang lebih besar daripada nyawa kepada Ceng Hok
Hwesio. Sampai puluhan tahun kami memperdalam ilmu di dunia barat dan dengan
penuh kerinduan akhirnya kami pulang ke kuil. Dan apa yang kami temukan? Ceng
Hok Hwesio yang tinggal kulit dan tulang, napasnya tinggal satu-satu dan dia
meninggal dalam rangkulan kami. Dan dari para hwesio kami mendengar tentang
engkau dan isterimu. Nah, kami segera mencarimu dan akhirnya saat ini kita
dapat berhadapan."
Siangkoan Bi
Lian sejak tadi hanya mendengarkan saja, akan tetapi kini ia tidak lagi dapat
menahan kemarahannya. Ia meloncat ke depan, lengkap dengan pakaian pengantin
dan tangan kirinya bergerak, telunjuknya menunjuk ke arah hidung pendeta gendut
itu.
"Kalian
pendeta-pendeta sesat! Selama ini, kalau kalian memperdalam ilmu tentang agama,
tentu kalian menjadi manusia-manusia yang arif bijaksana dan budiman. Akan
tetapi kalian pulang sebagai iblis-iblis penuh dendam, bahkan julukan kalian
juga Racun! Jelas, yang kalian pelajari dan perdalam selama ini hanyalah ilmu
iblis!"
Bentakan Bi
Lian ini memang tepat sekali dengan suara hati mereka yang hadir, yang juga
menduga demikian setelah mendengar cerita pendeta gendut, dan agaknya Siangkoan
Bi Lian sudah akan menerjang maju menyerang dua orang pendeta, siap dibantu
oleh Han Siong. Akan tetapi melihat ini, Siangkoan Ci Kang cepat melompat ke
depan dan mencegah sepasang mempelai itu turun tangan.
"Kalian
mundurlah. Tidak baik bagi kalian yang sedang melangsungkan pernikahan untuk
berkelahi. Urusan ini merupakan pribadi, biar kami berdua saja yang
menghadapinya," katanya.
"Benar,
orang lain harap jangan mencampuri. Kami berdua masih sanggup menghadapi dua
orang iblis berjubah pendeta ini!" kata pula Toan Hui Cu dan dari
ucapannya itu saja jelaslah bahwa nyonya ini juga sudah marah bukan main.
Hanya Ci
Kang yang tetap tenang. Kini dia menghadapi si gendut, lalu bertanya,
"Ji-wi
Lo-cianpwe, kami suami isteri tidak merasa bersalah, olen karena itu, kamipun
menolak untuk menjadi tangkapan ji-wi dan tidak mau mengikuti ji-wi pergi. Nah,
itulah keputusan kami dan terserah kepada ji-wi."
Si gendut
itu tertawa dan menoleh kepada si kurus.
"Heh-heh-heh,
Ban-tok, sudah kita duga bahwa mereka akan berani membantah dan melawan
kita!"
Si kurus
nampak makin muram dan dia menarik napas panjang beberapa kali sebelum
menjawab,
"Aihh,
Hek-tok, sudahlah jangan ganggu mereka. Mereka sedang merayakan pernikahan anak
mereka, kenapa diganggu? Sebaiknya kita pulang saja dan kita mengadakan
sembahyangan besar untuk suhu Ceng Hok Hwesio."
Agaknya
pendeta kurus yang kepalanya berambut tipis itu berbeda pendapat dengan kakek
gundul yang menjadi sutenya. Dia nampak malas dan tidak bergairah.
"Heiii,
Suheng Ban-tok! Apakah engkau takut melawan bocah berlengan buntung sebelah
ini?"
Mendengar
ucapan itu, si tinggi kurus yang tadinya bermalas-malasan dan seperti orang
mengantuk, seketika terbangun semangatnya dan dia memandang marah kepada
sutenya,
"Hek-tok,
jangan seenak perut gendutmu saja engkau bicara! Aku takut? Biar orang tua dia
ini, Si Iblis Buta bangkit dari kubur dan membantunya mengeroyokku, aku masih
tidak takut!"
"Kalau
tidak takut, kenapa banyak cakap lagi? Bantulah aku untuk menangkap dia dan
membawanya ke kuil untuk menerima hukuman. Ini merupakan tugas kita membalas budi
mendiang Ceng Hok Hwesio!" kata si gendut.
Mendengar
ini, si tinggi kurus lalu melangkah maju menghadapi Siangkoan Ci Kang. Pendekar
ini diam-diam terkejut. Kiranya dua orang aneh ini sudah menyelidiki secara
mendalam tentang dirinya sehingga tahu pula bahwa dia adalah putera Si Iblis
Buta.
"Siangkoan
Ci Kang, sebaiknya engkau menyerah saja dan ikut dengan kami ke kuil. Tidak ada
gunanya engkau melawanku. Ingat, selama empat puluh tahun kami menggembleng
diri dan memperdalam ilmu-ilmu kami. Engkau takkan menang, bahkan mungkin
terluka parah kalau berani melawan aku!" kata si tinggi kurus dengan
suaranya yang kecil seperti suara wanita.
"Pendeta
siluman, kami akan menghajarmu!"
Lima orang
pimpinan Pek-sim-pang, yaitu para pembantu dari Pek Kong ketuanya, tiba-tiba
saja menerjang maju. Mereka sebagai tamu-tamu dan pengiring pengantin pria,
menjadi marah sekali melihat ada orang-orang yang membikin kacau, mengganggu
perayaan pernikahan itu.
Mereka
merasa tidak enak sekali kalau berdiam diri saja, maka melihat pendeta gendut
yang seolah-olah menjadi biang keladinya karena si kurus tadi kelihatan enggan
berkelahi, kini menerjang ke arah si gendut dengan serentak. Mereka tidak
menggunakan senjata, hanya menyerang dengan pukulan dan tamparan. Akan tetapi
karena mereka adalah tokoh-tokoh Pek-sim-pang yang tinggi tingkatnya, yaitu
pembantu-pembantu ketua, maka serangan mereka itu cukup dahsyat, apalagi mereka
menyerang dengan berbareng sambil mengerahkan tenaga.
Siangkoan Ci
Kang terkejut, akan tetapi tidak sempat lagi untuk mencegah karena serbuan lima
orang Pek-sim-pang itu sama sekali tidak disangka-sangkanya. Bahkan Pek Ki Bu
dan Pek Kong sendiripun tidak mengira sehingga merekapun hanya dapat memandang.
Mereka semua menjadi semakin kaget melihat betapa kakek gendut itu masih menyeringai
saja, sama sekali tidak membuat gerakan untuk mengelak ataupun menangkis.
Maka tentu
saja pukulan lima orang Pek-sim-pang itu mengenai sasaran dengan tepat dan
terdengar lah suara bak-bik-buk seperti orang-orang memukuli sekarung pasir
ketika pukulan-pukulan itu mengenai sasaran, yaitu di perut, punggung, dada,
lambung dan leher kakek gendut itu.
Akibatnya
ternyata lebih mengejutkan lagi. Kakek gendut itu masih nampak berdiri sambil
menyeringai, bahkan kini terdengar suara tawanya, sebaliknya lima orang yang
berhasil menyarangkan pukulan mereka ke sasaran itu, terjengkang atau
terpelanting roboh, berkelojotan dan segera terdiam kaku, mati dengan tubuh
berubah menghitam seperti kulit kakek gendut itu!
Siangkoan Ci
Kang terkejut bukan main. Kiranya si gendut hitam itu merupakan orang yang
memiliki tubuh yang beracun, luar biasa sekali betapa pukulan itu diterimanya
begitu saja dan yang memukul sudah keracunan! Ini merupakan ilmu sesat yang
amat jahat dan kejam, padahal pukulan lima orang itu sama sekali tidak boleh
dipandang ringan karena pukulan itu mengandung tenaga sin-kang yang cukup kuat!
"Jangan
sentuh……!”
Han Siong
berseru ketika melihat ayah dan kakeknya meloncat ke dekat mayat-mayat itu.
Untung dia mengeluarkan seruan ini karena orang yang menyentuh mayat-mayat itu
terancam bahaya keracunan, setidaknya keracunan kulitnya.
"Ha-ha-ha,
jangan salahkan pinceng (aku). Mereka itu menyerangku, dan mereka mati karena
perbuatan sendiri. Memang sudah takdirnya mereka mati." kata si gendut
sambil tertawa-tawa.
Wajah
Siangkoan Ci Kang berubah. Kini dia marah sekali. Dalam pesta pernikahan
puterinya terjadi bukan hanya pengacauan, akan tetapi juga pembunuhan walaupun
dia juga melihat sendiri betapa lima orang tamu itu tadi menyerang si kakek
gendut yang sama sekali tidak menangkis atau balas menyerang. Bagaimanapun
juga, lima orang itu adalah tamu-tamunya, bahkan tamu kehormatan karena mereka
adalah pengikut-pengikut mempelai pria, tokoh-tokoh Pek-sim-pang. Dialah yang
bertanggung jawab, sebagai tuan rumah.
"Kalian
adalah orang-orang tua, pendeta-pendeta yang tidak patut dihormati. Kalian
iblis-iblis jahat!" bentaknya dan tubuhnya sudah berkelebat ke depan.
Akan tetapi
sebelum pendekar ini menyerang si gendut yang telah membunuh lima orang
Pek-sim-pang, si kurus sudah menyambutnya dengan sambaran tangan ke arah leher.
Sambaran tangan yang kurus panjang itu nampaknya tidak bertenaga, akan tetapi
nampak sinar hitam dari telapak tangan itu dan tahulah Ci Kang bahwa si tinggi
kurus inipun mempunyai pukulan beracun, apalagi kalau diingat bahwa
Julukannyapun Ban-tok Sian-su (Dewa Selaksa Racun)! Dia mengelak dengan menarik
tubuh atas ke samping, lalu dari samping, tangannya menyambar dengan totokan ke
arah lambung.
Ban-tok
Sian-su dapat mengelak dengan mudah dan membalas lagi, kini kedua orang sakti
itu saling serang dengan dahsyatnya. Setiap serangan merupakan cengkeraman maut
dan kalau mengenai sasaran, tentu akan mematikan. Karena maklum sepenuhnya
bahwa lawannya menggunakan hawa beracun yang amat berbahaya, maka Siangkoan Ci
Kang selalu mengandalkan kecepatan dan keringanan tubuhnya untuk mengelak dari
setiap serangan, tidak mau menangkis. Juga setiap kali menyerang, dia
melindungi jari tangannya dengan sin-kang untuk menolak hawa beracun kalau
sampai serangannya mengenai tubuh lawan, atau kalau lengannya beradu dengan
lengan lawan yang menangkis.
Dari setiap
kali adu lengan, pendekar inipun maklum bahwa lawannya benar-benar lihai,
memiliki sinkang yang amat kuat, setidaknya tidak kalah kuat olehnya.
Puluhan
jurus lewat dan mereka sama kuat akan tetapi Toan Hui Cu maklum bahwa suaminya
terdesak dan ia tahu pula mengapa demikian. Suaminya tidak berani menangkis
langsung dan selalu mengelak. Hal ini tentu saja mengurangi kesempatan baginya
untuk memperbanyak serangannya dan terdesak lawan. Untuk menghadapi lawan yang
ahli racun itu, memang berbahaya sekali menggunakan tangan kosong. Maka, nyonya
ini lalu minta pedang Kwan-im-kiam dari Han Siong dan ia melemparkan pedang itu
kepada suaminya sambi! berseru.
"Membunuh
ular beracun harus dengan senjata. Terimalah ini!"
Ci Kang
maklum akan maksud isterinya, maka diapun meloncat ke belakang menyambar pedang
yang pada saat itu dilontarkan isterinya dengan penuh perhitungan. Setelah
pedang Kwan-im-kiam berada di tangan kanannya, Ci Kang meloncat turun
menghadapi lawannya. Dia adalah seorang gagah yang berjiwa pendekar, maka dia
tidak segera menyerang, melainkan berkata dengan sikap gagah.
"Ban-tok
Sian-su, keluarkan senjata- mu!"
Si tinggi
kurus itu mewek-mewek seperti mau menangis, padahal maksud hatinya ingin
tersenyum mengejek! Memang orang ini tidak bisa menggerakkan mulut untuk
tertawa. Kedua ujung mulutnya selalu bergerak ke bawah, tidak dapat ke atas.
"Siangkoan
Ci Kang, aku tak pernah menggunakan senjata. Menghadapi seorang muda seperti
engkau, apa perlunya bersenjata? Majulah!"
"Lihat
pedangku!"
Ci Kang
membentak dan diapun mulai menyerang. Kakek tinggi kurus itu mengelak dan
menyampok pedang dari samping dengan tangannya! Kakek itu memang lihai sekali.
Kedua lengan dan tangannya agaknya memiliki kekebalan sehingga berani menyampok
pedang pusaka dari samping. Biarpun tidak langsung menangkis mata pedang, namun
sampokan ini saja sudah membuktikan bahwa lengannya kebal.
Kembali
mereka saling serang dengan seru, bahkan lebih hebat daripada tadi. Setelah
memegang Kwan-im-kiam, Siang-koan Ci-Kang bagaikan seekor harimau yang tumbuh
sayap. Dia memang bersama isterinya telah mewarisi ilmu pedang Kwan-im Kiam-sut
yang dahsyat, apalagi ilmu itu dimainkan dengan Kwan-im-kiam, maka pedang itu
berubah menjadi sinar bergulung-gulung. Indah namun berbahaya, lembut namun
mengandung kekuatan yang dahsyat bukan main. Ilmu itu seperti menggambarkan
sifat Dewi Kwan Im. Lemah lembut, luhur budi, namun mengandung kesaktian yang
sukar dilawan!
Bahkan
seorang sakti seperti Ban-tok Sian-su menjadi terkejut dan mulailah dia
terdesak. Si gendut Hek-tok Sian-su yang menjadi penonton di pinggir, memandang
dengan mata terbelalak dan mulutnya lupa tersenyum. Hampir dia tidak percaya.
Bagaimana mungkin suhengnya yang sudah menguasai ilmu yang amat hebat itu
sampai terdesak oleh lawan yang lengannya buntung sebelah itu? Tadinya dia dan
suhengnya amat memandang rendah kepada Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui Cu,
mengingat mereka hanyalah murid-murid Ceng Hok Hwesio yang tingkat
kepandaiannya jauh di bawah mereka.
Akan tetapi,
diluar dugaannya Ci Kang bukan saja mampu menandingi Ban-tok Sian-su, bahkan
mampu mendesaknya dan membuat suhengnya itu kini terancam bahaya. Tentu saja dia
merasa gelisah! Dia ingin sekali membantu suhengnya yang kini terancam oleh
gulungan sinar yang lembut namun amat kuat itu. Akan tetapi, dia bukanlah
seorang bodoh yang sombong begitu saja. Dia dapat melihat kenyataan, dapat
mengenal keadaannya dan mempertimbangkannya, menghitungnya masak-masak.
Kalau dia
membantu suhengnya, hal itu bukan menguntungkan fihaknya, bahkan sama dengan
melempar dirinya sendiri ke dalam bahaya. Disitu terdapat Toan Hui Cu yang
kabarnya tidak kalah lihainya dibandingkan Ci Kang, apalagi mengingat bahwa
wanita itu adalah puteri tunggal mendiang Raja Iblis dan Ratu Iblis. Dan disitu
masih terdapat pula sepasang mempelai, yaitu puteri dan murid suami isteri itu,
yang tentu juga lihai, di samping adanya orang-orang Pek-sim-pang. Tidak, kalau
dia main keroyokan, dia dan suhengnya akan celaka! Maka, dia menahan diri dan
hanya menjadi penonton, dengan hati berdebar penuh kekhawatiran dan ketegangan.
Kekhawatiran
Hek-tok Sian-su memang beralasan. Pada waktu itu, pertandingan itu sejak
dimulai sampai sekarang telah berlangsung seratus jurus lebih dan kini Ban-tok
Sian-su sudah terdesak hebat. Beberapa kali dia mengeluarkan ilmu simpanannya,
yaitu kedua tangan yang didorongkan ke depan mengeluarkan uap hitam yang berbau
busuk, tanda bahwa uap itu beracun dan jahat sekali.
Namun, gulungan
sinar pedang itu menghalau uap hitam dan melihat ini Toan Hui Cu, Pek Han
Siang, dan Siangkoan Bi Lian yang mempunyai kepandaian tinggi sudah
memperingatkan para tamu untuk menyingkir, menjauhi tempat perkelahian itu
karena mereka maklum bahwa uap hitam itu amat berbahaya kalau tersedot atau
tersentuh para tamu.
Biarpun
Ban-tok Sian-su telah mengeluarkan ilmu-ilmu simpanannya yang aneh-aneh dan
jahat, namun ilmu pedang itu dapat menghalau semua serangan, bahkan gulungan
sinar pedang itu mengurungnya dan membuat Ban-tok Sian-su menjadi sibuk sekali
untuk mengelak dan menangkis, bahkan akhirnya tidak mendapat kesempatan sama
sekali untuk balas menyerang. Beberapa kali dicobanya pula untuk menggunakan
ilmu sihir dan beberapa kali Ci Kang terhuyung, terkena pengaruh sihir yang
amat kuat walaupun dia sudah mengerahkan sin-kangnya.
Akan tetapi,
Han Siong yang melihat ini, segera diam-diam membantu suhu dan juga ayah
mertuanya, dengan kekuatan sihirnya, dia memunahkan daya sihir kakek kurus
sehingga Ci Kang tidak terpengaruh lagi. Kakek kurus itu tidak tahu bahwa
pemuda mempelai pria itu yang menolak sihirnya, yang terasa olehnya hanya
betapa kekuatan sihirnya membalik seperti seekor anjing pemburu yang lari
kembali kepada majikannya dengan ekor ditekuk ke bawah!
Tentu saja
dia menjadi semakin panik dan karena itu gerakannya mengendur dan kesempatan
ini tidak disia-siakan oleh Ci Kang. Dengan gerakan istimewa, setengah membalik
dengan tubuh condong, pedangnya menyambar dan tahu-tahu telah menusuk dan menembus
dada Ban-tok Sian-su.
"Crappp.......!!"
"Aughhh......!!"
Ketika
pedang dicabutnya cepat-cepat, kakek tinggi kurus itu roboh terjengkang, kedua
tangannya mendekap dada dan darahpun bercucuran dari celah-celah jari
tangannya.
Ci Kang
adalah seorang yang sudah lama mengundurkan diri, bahkan seperti mengasingkan
diri bersama isterinya, menjauhi dunia kang-ouw dan menjauhi kekerasan. Kini,
melihat betapa pedangnya menembusi dada seorang lawan yang tadinya sama sekali
tidak dikenalnya, bahkan tidak ada urusan apapun antara mereka, menjadi
terkejut dan menyesal bukan main.
"Ah,
maafkan aku " katanya dan diapun berlutut di dekat tubuh yang rebah
terlentang itu.
"Ayah,
jangan !" teriak Bi Lian, dan Han Siong juga menubruk ke depan.
Namun
terlambat. Kedua tangan yang berlumuran darah dan yang tadi mendekap dada yang
tertembus pedang, tiba-tiba menyambar ke depan. Biarpun Han Siong dapat
mendorong tubuh suhunya ke samping, namun tetap saja tangan kiri Ban-tok
Sian-su sempat menghantam dada kanan Ci Kang.
“Plakk....!!"
Ci Kang
terjengkang, akan tetapi dapat segera bangkit kembali dan di bajunya bagian
dada nampak tanda cap merah, yaitu bekas tangan Bantok Sian-su yang berlepotan
darah. Dan tiba-tiba terjadi keanehan. Ban-tok Sian-su yang tadi hanya nampak
cemberut dan mukanya muram dan masam, kini tiba-tiba tertawa bergelak-gelak.
"Bak-tok....!"
Kakek gendut
menubruk dan merangkul suhengnya yang masih tertawa. Setelah suara tawa itu
terhenti, kepala si tinggi kurus itu terkulai di pangkuan Hek-tok Sian-su dan
diapun tewas! Dan terjadi keanehan kedua. Kakek gendut yang sejak tadi hanya
tersenyum dan tertawa-tawa, kini merangkul mayat si tinggi kurus sambil
menangis tersedu-sedu!
Semua orang
memandang dengan bengong. Sambi terus menangis, si gendut itu bangkit dan
memondong mayat suhengnya.
"Siangkoan
Ci Kang, lain waktu aku akan membuat perhitungan denganmu. Sekarang aku hendak
mengurus suhengku lebih dulu!" Dia lalu membalikkan tubuhnya.
"Pendeta
palsu, engkau hendak lari kemana?" bentak Toan Hui Cu yang sudah mengambil
pedang Kwan-im-kiam dari tangan suaminya.
"Tahan
.....!" kata Ci Kang lemah. "biarkan dia pergi mengurus jenazah
suhengnya."
Dengah gemas
Toan Hui Cu terpaksa mentaati suaminya, demikian pula Han Siong dan Bi Lian
tidak berani melanggar, walaupun mereka berdua ingin pula untuk menahan dan
membunuh kakek gendut yang berbahaya itu. Apalagi ketika mereka melihat
Siangkoan Ci Kang terkulai lemas, dan dirangkul oleh Hui Cu.
"Bagaimana
keadaanmu......?" isteri itu bertanya khawatir.
Han Siong
dan Bi Lian mendekat dan mereka berdua terkejut bukan main melihat betapa kulit
leher dan muka Siangkoan Ci Kang perlahan-lahan berubah menghitam! Keracunan!
Tentu pukulan tadi mengandung racun yang amat hebat!
"Keparat,
pendeta busuk itu!" Bi Lian teringat dan ia sudah meloncat berdiri dan
menoleh, akan tetapi pendeta gendut tadi sudah tidak nampak lagi bayangannya.
"Aku harus mengejarnya. untuk minta obat penawar!"
Han Siong
memegang lengannya.
"Nanti
dulu, Lian-moi. Kita periksa dulu keadaan ayah"
Han Siong
lalu memondong tubuh suhunya yang kini menjadi ayah mertuanya itu kedalam,
diikuti oleh Bi Lian dan Toan Hui Cu, sedangkan Pek Ki Bu dan Pek Kong, dibantu
oleh beberapa orang, sibuk mengurus jenazah lima orang pimpinan Pek-sim-pang.
Tentu saja perayaan itu menjadi bubar dan para tamu, orang-orang dusun, merasa
ketakutan dan juga tahu diri. Mereka melihat betapa pihak tuan rumah mengalami
kesulitan, maka tanpa banyak cakap lagi mereka lalu pergi meninggalkan tempat
perayaan, kembali ke dusun masing-masing.
Sementara
itu, Hui Cu, Bi Lian dan Han Siong memeriksa keadaan Siangkoan Ci Kang. Kalau
saja pendekar ini tidak memiliki tubuh yang kuat dan penuh tenaga sin-kang,
tentu dia sudah tewas. Pukulan tadi mengandung hawa beracun yang amat jahat,
yang membuat kulit tubuhnya menjadi kehitaman!
Sebagai
ahli-ahli silat, Hui Cu, Bi Lian dan Han Si-ong mengerti tentang pengobatan,
dan mereka sudah membantu Ci Kang dengan pengerahan sin-kang untuk mengusir
hawa beracun, juga memberi obat yang akan mencegah menjalarnya racun. Akan
tetapi semua usaha itu hanya dapat menahan menjalarnya racun, tidak dapat
mengusir racun yang telah memasuki dada dan tidak menyembuhkan lukanya. Racun
yang terkandung dalam pukulan Ban-tok Sian-su memang aneh dan luar biasa jahatnya.
"Biar
kukejar dan kucari pendeta iblis gendut itu, akan kupaksa dia menyerahkan obat
penawarnya!" kata Bi Lian.
"Jangan,
Lian-moi. Hek Tok Siansu itu berbahaya, biar aku yang akan mengejarnya,
sedangkan engkau pergilah mencari Hay Hay. Dia memiliki sebuah mustika batu
giok yang dapat menyedot racun dan menjadi obat yang amat manjur. Engkau
pinjamlah mustika itu darinya, dan aku sendiri yang akan mengejar Hek Tok
Siansu."
"Akan
tetapi, kemana aku dapat mencarinya?"
"Dia
tentu pergi ke Cin-ling-san bersama Kui Hong. Carilah disana, andaikata tidak
jumpapun tentu kau akan dapat mendengar kemana dia pergi."
Karena amat
mengkhawatirkan keadaan Ci Kang yang keadaannya parah itu, Han Siong dan Bi
Lian segera berangkat pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali. Bahkan Han Siong
sudah berangkat lebih dahulu melakukan pelacakan dan pengejaran terhadap Hek
Tok Siansu yang pergi membawa jenazah Ban Tok Siansu. Sungguh menyedihkan.
Sepasang pengantin yang tidak sempat berpengantinan, karena harus saling
berpisah!
Toan Hui Cu
tinggal di rumah menjaga suaminya dengan hati penuh kegelisahan. Keluarga Pek
juga segera kembali ke Kong-goan sambil membawa abu lima orang pimpinan
Pek-sim-pang.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment