Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 12
Karena
melakukan perjalanan sambil melacak dan mencari keterangan tentang jejak Hek
Tok Siansu, maka Han Siong terlambat tiba di kuil Siauw-lim-si itu. Andaikata
dia tidak mengikuti jejak kakek gendut itu dan langsung saja pergi kesana,
tentu dia tidak akan terlambat. Baru setelah dia kehilangan jejak kakek itu,
dia teringat untuk mencari di kuil Siauw-lim-si di luar kota Yu-shu, di tepi
sungai Cin-sha di kaki pegunungan Heng-tuan-san, juga tidak terlalu jauh dari
tempat tinggal mertuanya.
Ketika
akhirnya dia tiba di kuil itu, para hwesio masih ingat kepada Han Siong yang
dahulu dikenal sebagai seorang sin-tong (bocah ajaib) dan mereka menyambut
dengan gembira. Pemuda ini pernah menjadi kacung atau juga pelayan dan juga
murid Ceng Hok Hwesio dan karena wataknya yang baik dan penurut, maka semua
hwesio di kuil itu menyayangnya.
Dari mereka
inilah Han Siong mendengar keterangan yang lebih jelas. Ternyata bahwa Ban Tok
Siansu dan Hek Tok Siansu memang benar dahulu merupakan hwesio muda di kuil
itu, setelah mereka itu sadar dari penyelewengannya menjadi penjahat-penjahat
yang ditaklukkan oleh Ceng Hok Hwesio, kemudian menjadi hwesio dan menerima
ajaran agama dari Ceng Hok Hwesio. Kemudian mereka berdua atas petunjuk Ceng
Hok Hwesio melakukan perjalanan ke barat, ke Tibet dan India untuk memperdalam
ilmu keagamaan mereka.
Sebulan yang
lalu, mereka datang sebagai dua orang pendeta yang aneh dan berilmu tinggi.
Kedatangan mereka tepat pada hari kematian Ceng Hok Hwesio karena usia tua.
Mereka bertanya tentang Ceng Hok Hwesio yang bertapa dan menghukum diri
sendiri, dan mendengar tentang Siangkoan Ci Kang dan Toan Hui. Cu, mereka
menganggap bahwa kematian Ceng Hok Hwesio adalah karena kesalahan suami isteri
yang pernah dihukum di kuil itu
"Mereka
juga mengirim seorang diantara kami untuk menyelidiki dimana adanya seorang
pendekar yang bernama Tang Hay atau Hay Hay, dan ketika kemarin dulu Hek Tok
Siansu pulang, dia membawa jenazah Ban Tok Siansu, setelah jenazah itu
diperabukan, dia lalu pergi ke kota raja untuk mencari Hay Hay karena menurut
penyelidikan, pendekar itu mungkin sekali berada di kota raja.”
Han Siong
merasa kecewa sekali, juga merasa heran. Dia merasa kecewa karena kedatangannya
terlambat, dan merasa heran mengapa Hek Tok Siansu mencari Hay Hay! Ada urusan
apa pendeta hitam itu dengan Hay Hay?
Ceng Sun
Hwesio, yaitu hwesio yang kini menjadi kepala kuil disitu menggantikan Ceng Hok
Hwesio yang telah wafat, melihat kekecewaan itu dan diapun berkata,
“Omitohud,
apakah engkau mencari obat penawar racun?”
Han Siong
kaget dan meloncat bangun, memberi hormat kepada hwesio tua itu dan berseru,
“Bagaimana
Losuhu dapat mengetahuinya? Memang benar, saya mencari Hek Tok Siansu untuk
minta obat penawar racun!”
"Omitohud,
betapa bijaksananya Hek Tok Siansu walaupun nama julukannya menyeramkan. Han
Siong, sebelum beliau pergi, telah meninggalkan sebungkus obat dan agaknya
beliau telah tahu bahwa tentu engkau akan datang mengejarnya kesini. Beliau
berpesan agar obat penawar itu diberikan kepadamu!"
Hwesio tua
itu mengeluarkan sebuah bungkusan kecil dan menyerahkannya kepada Han Siong.
Dengan heran dan ragu, akan tetapi penuh harapan, pemuda itu menerima bungkusan
dan dengan hati-hati membukanya. Di dalam bungkusan itu terdapat bubuk putih.
"Losuhu,
apakah Hek Tok Siansu tidak meninggalkan pesan mengenai obat penawar racun
ini?"
"Ada…….
ada! Beliau berpesan agar obat ini diminumkan sekaligus sampai habis, dan
katanya bahwa Siangkoan Ci Kang harus bertapa disini sampai mati. Kalau dia
tidak datang sendiri, kelak beliau akan menjumpainya. Nah, hanya itulah
pesannya."
Han Siong
mengucapkan terima kasih, kemudian cepat-cepat dia kembali ke Kim-ke-kok.
Subonya menerimanya dengan gembira setelah dia menceritakan pengalamannya, akan
tetapi guru dan murid ini berhati-hati sekali ketika hendak memberikan obat
penawar itu kepada Siangkoan Ci Kang.
Bergantian
mereka mencoba dan menjilat obat itu. Setelah yakin bahwa obat itu tidak
menganduhg racun, barulah mereka berani memberikan obat itu kepada Siangkoan Ci
Kang yang keadaannya rnasih lemah. Ketika sebelum minum obat Ci Kang dilapori
Han Siong tentang obat yang oleh Hek Tok Siansu ditinggalkan kepada hwesio di
kuil Siauw-lim-si, diapun mengangguk dan mau meminumnya.
Mereka
bertiga dapat mengerti jalan pikiran hwesio gendut itu. Tentu hwesio itu tidak
rela melihat Ci Kang mati begitu saja oleh racun dan menghendaki agar Ci Kang
dan Hui Cu menebus "dosa" dan bertapa di kuil itu sampai mati sebagai
hukuman mereka yang menjadi sebab Ceng Hok Hwesio menderita sampai mati!
Han Siong
menanti sampai tiga hari setelah suhunya minum obat penawar racun. Dan memang
ternyata benar, obat itu manjur sekali. Keadaan Ci Kang membaik dan setelah
tiga hari, dadanya tidak terasa nyeri lagi dan kulitnya yang tadinya menghitam,
mulai pulih dan bersih kembali.
Akan tetapi
ketika dia mencoba untuk mengerahkan sin-kang, ternyata tenaganya lemah bukan
main. Tahulah dia bahwa akibat racun yang ganas itu, dia kehilangan tenaganya,
dia harus berlatih dan menghimpun kekuatan sin-kang dengan tekun. .
"Engkau
pergilah, susul isterimu dan ajak ia pulang," kata Ci Kang kepada
mantunya. "Keadaanku sudah membaik, tinggal mengumpulkan tenaga
saja."
"Benar,
Han Siong. Pergilah kau mencari isterimu dan ajak ia pulang. Kasihan kalian
betdua, semestinya menjadi pengantin baru, malah saling berpisah seperti
ini," kata Hui Cu.
Han Siong
tersenyum dan memberi hormat kepada suhu dan subonya yang kini menjadi ayah dan
ibu mertuanya itu.
"Harap,
Ayah dan Ibu tidak memikirkan hal remeh seperti itu. Yang penting, Ayah dapat
diselamatkan. Saya akan pergi mencari Lian-moi dan kalau sudah jumpa, kami akan
berpesiar sebagai bulan madu, mengajaknya ke rumah keluarga saya di Kong-goan,
mengunjungi para pendekar kenalan kami yang pernah bekerja sama, kemudian baru
kembali kesini."
Siangkoan Ci
Kang dan Toan Hui Cu mengangguk-angguk girang dan setelah mengucapkan selamat
tinggal, Han Siong lalu meninggalkan Kim-ke-kok, pergi mencari isterinya.
Karena
sebelum pergi, Bi Lian dia beritahu agar mencari keterangan tentang Hay Hay ke
Cin-ling-pai, maka diapun melakukan pengejaran kesana, walaupun dari para
hwesio di kuil Siauw-lim-si dia mendengar bahwa kabarnya Hay Hay berada di kota
raja dan Hek Tok Siansu juga pergi kesana. Baginya yang terpenting adalah
menemukan isterinya dulu.
Cang Hui,
dara jelita yang lincah jenaka itu maklum akan maksud ayah ibunya untuk
menjodohkan saudara misannya, Teng Cin Nio, dengan kakaknya, Cang Sun. Ia amat
sayang kepada kakaknya, dan juga ia sayang kepada Cin Nio yang dianggapnya
bukan saja manis wajahnya, akan tetapi juga manis budinya dan akan menjadi
isteri yang baik sekali bagi kakaknya, sepenuhnya mendukung niat orang tuanya
itu.
Seringkali,
secara cerdik dan tidak menyolok, ia menceritakan semua kebaikan kakaknya
kepada Teng Cin Nio, dan gadis yang memang kagum kepada Cang Sun itu menjadi
semakin tertarik. Akan tetapi, tentu saja ia tidak berani menyatakan rasa kagumnya,
walau kepada Cang Hui sekalipun. Mengaku cinta kepada seorang pria kepada orang
lain merupakan pantangan besar bagi seorang gadis baik-baik!
Cang Hui
memang cerdik, lincah dan jenaka. Ia tidak kekurangan akal untuk
"menjodohkan" saudara misannya itu dengan kakaknya, yaitu dengan
jalan mempertemukan mereka berdua empat mata saja. Ia mulai mengatur siasat. Ia
menanti sampai malam bulan purnama tiba, karena dibawah sinar bulan purnama
biasanya orang mudah jatuh cinta! Ia tahu bahwa kakaknya seringkali menikmati
bulan purnama ditaman bunga mereka yang indah, dimana terdapat sebuah kolam
ikan dan tempat duduk yang terlindung atap tanpa dinding, dan di tempat ini
biasanya kakaknya menulis sajak atau membaca buku, sampai jauh malam.
Ketika saat
yang dinanti-nantinya tiba dan ia tahu benar bahwa kakaknya malam itu berada di
taman, ia lalu mengajak Cin Nio untuk berjalan-jalan di taman bunga menikmati
keindahan bulan purnama.
Cin Nio yang
tidak mencurigai misannya yang disayangnya itu, menjadi gembira dan tak lama
kemudian kedua orang gadis bangsawan itu melangkah perlahan-lahan memasuki
taman, berbeda dengan para puteri bangsawan lainnya yang selalu ditemani
pelayan, dua orang gadis ini tidak. Mereka adalah gadis-gadis yang mempelajari
ilmu silat dan merasa. diri mereka cukup kuat untuk melindungi diri sendiri
sehingga tidak membutuhkan penjagaan pelayan, atau pengawal.
Ketika
mereka berjalan-jalan di dekat kolam ikan, tiba-tiba Cang Hui menarik tangan
Cin Nio dan memberi isyarat agar gadis itu tidak mengeluarkan suara, lalu
mereka bersembunyi di balik rumpun bunga mawar, Cin Nio memandang ke depan dan
pipinya terasa panas. Iapun kini melihat seorang pemuda duduk membelakangi
mereka, menghadapi kolam ikan, agaknya menikmati bulan yang tenggelam di dalam
kolam, lalu terdengar pemuda itu membaca sajak yang agaknya baru saja
dibuatnya.
Suaranya
lembut dan merdu, menambah keindahan malam itu. Malam gemilang dengan cahaya
bulan purnama, langit bersih, taman yang penuh bunga-bunga musim semi yang
sedang bersaing dalam lomba kecantikan, semerbak harum dan silir angin lembut,
lalu suara merdu memuat sajak, diiringi paduan suara jengkerik dan belalang!
"Bunga
setaman aneka wama
bermandikan
cahaya pumama
bersaing
cantik indah berseri
berlomba
sedap harum mewangi
betapa
bahagianya hati ini!
Namun,
bagaikan mimpi hampa
tak lama
lagi bulan sirna
meninggalkanku
dalam gulita
bunga akan
habis gugur layu
tinggal aku
disini sepi sendiri.
Wahai
ikan-ikan dalam kolam taman
kalian akan
tetap gembira dengan teman-teman
tapi... aku?
sepi sendiri termenung iri...."
Terdengar
tepuk tangan mendahului munculnya seorang wanita cantik. Cang Hui dan Cin Nio
menahan diri, bahkan Cang Hui memegang lengan Cin Nio dan memberi isyarat agar
tidak mengeluarkan suara. Tadi ia sudah siap bertepuk tangan memuji kakaknya,
akan tetapi begitu mendengar tepuk tangan dari lain jurusan, ia tidak jadi
bertepuk tangan.
Dua orang
gadis itu melihat bahwa yang muncul adalah Liong Bi yang kini telah menjadi
pengawal keluarga Cang. Cang Hui ingin sekali melihat apa yang akan dilakukan
wanita yang biarpun ia kagumi kelihaiannya namun sikapnya yang dianggap genit
itu menimbulkan perasaan tidak suka dalam hatinya itu.
Sementara
itu, ketika Cang Sun melihat bahwa yang muncul dan bertepuk tangan memuji adalah
Liong Bi, wanita cantik yang kini menjadi pengawal keluarga ayahnya, segera
bangkit dari duduknya.
"Hebat,
Cang-kongcu. Tak kusangka bahwa Kongcu sepandai ini, dapat membuat sajak
sedemikian indahnya!"
Liong Bi
atau Su Bi Hwa memuji sambil memperlihatkan senyum manis dan kerling mata
memikat.
Wajah Cang
Sun berubah kemerahan.
"Ah,
Liong-lihiap (pendekar wanita Liong) terlalu memuji. Aku hanya iseng menikmati
bulan purnama."
Liong Bi
mengangkat muka memandang ke arah bulan purnama sambil tersenyum dan giginya
nampak berkilauan tertimpa sinar bulan.
"Memang
cantik dan indah sekali malam ini, Kongcu, tidak mengherankan kalau keindahan
ini menggerakkan jiwa senimu untuk membuat sajak. Alangkah akan semakin
meriahnya kalau malam yang indah ini diisi dengan tarian pedang. Maukah Kongcu
melihat saya menari pedang untuk mengimbangi sajakmu tadi?"
Cang Sun
adalah seorang pemuda yang sopan. Biarpun dia merasa tidak sepatutnya seorang
pria seperti dia mengadakan pertemuan berdua saja dengan seorang wanita muda
dan cantik di malam hari dalam taman, akan tetapi dia merasa tidak baik kalau
menolak. Apalagi, wanita itu adalah pengawal keluarga, dan kini hanya ingin
melakukan tari pedang untuk memeriahkan suasana malam bulan purnama. Maka
diapun mengangguk dan hanya berkata,
"Silakan."
Liong Bi
sudah mencabut pedangnya dan mulailah ia menari. Tarian itu mengandung gerakan
silat pedang, akan tetapi dilakukan dalam gaya tarian yang nampak indah dan
menonjolkan keindahan lekuk lengkung tubuh wanita itu. Apalag Liong bi sengaja
bergerak lambat, dengan gerakan seindah mungkin, disertai senyum manis dan
kerling memikat sehingga Cang Sun terpesona juga.
Memang,
Liong Bi adalah seorang wanita yang cantik menarik dan berpengalaman. Ia tahu
bagaimana harus bergaya untuk memikat hati pria. Tubuhnya yang memang padat
menggairahkan dengan kulit yang halus putih itu sengaja dibungkus pakaian yang
ketat dan ketika ia menarikan silat pedang, tubuh yang ramping itu membuat
gerakan dan goyangan seperti seekor ular, menggairahkan dan memikat. Dan tarian
itu, memang indah, pedangnya, membuat gulungan sinar berkeredepan. Wanita
cantik itu nampak gagah perkasa, mengingatkan Cang Sun akan Kui Hong, gadis
pendekar yang dicintanya, dan diapun terpesona.
Setelah
Liong Bi menghentikan tariannya, Cang Sun bertepuk tangan memuji.
"Bagus
sekali, Liong-lihiap. Tarianmu indah dan gagah!" serunya gembira.
Setelah
menyimpan pedangnya, Liong Bi menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang
ganteng, pikirnya, bukan saja ganteng, akan tetapi juga putera seorang menteri
yang terkenal dan besar kekuasaannya. Alangkah akan senangnya kalau ia dapat
menjadi isteri pemuda ini, dan amat besar manfaatnya bagi Pek-lian-kauw! Kalau
berhasil, ia akan mendapat keuntungan ganda. Ia sendiri akan menikmati
kemuliaan, dan ia akan dapat berbuat banyak demi keuntungan Pek-lian-kauw.
"Aihh,
sekarang engkau yang terlalu memujiku, Kongcu. Sajakmu tadi yang patut
dikagumi, hanya sayang sekali engkau bersedih pada akhir sajak itu, Kongcu.
Kenapa engkau iri terhadap ikan-ikan di kolam ini, Kongcu?' Liong Bi memandang
ke arah ikan-ikan emas yang berenang berkejaran di dalam kolam.
Cang Sun
juga memandang ke arah kolam.
"Mereka
itu selalu bergembira dengan teman-teman mereka, tak perduli ada bulan atau
tidak, bunga bersemi atau tidak, sedangkan aku...." Cang Sun tidak
melanjutkan ucapannya, merasa bahwa dia kelepasan bicara.
"Kongcu
sepi sendiri? Aihh, Cang Kongcu, kenapa Kongcu membuat sajak seperti itu
bunyinya? Bagaimana mungkin seorang pemuda seperti Kongcu dapat kesepian? Semua
orang, terutama para gadis di seluruh negeri, akan merasa bangga untuk menjadi
teman Kongcu!" Ia mendekat, lalu dengan lembut ia duduk di atas bangku, di
samping pemuda itu, lalu dengan pandang mata penuh daya pikat, ia berbisik,
"Setidaknya aku siap sedia menemani dan menghibur Kongcu, setiap saat,
dalam suka maupun duka...."
Cang Sun
terbelalak, mukanya semakin merah dan jantungnya berdebar. Dia bangkit dan
berseru,
"Long-lihiap...."
Akan tetapi
ia menahan diri untuk melanjutkan tegurannya karena dia teringat betapa wanita
ini pernah menyelamatkan nyawanya ketika dia diserang penjahat di telaga tempo
hari.
"Kongcu,
sejak pertemuan kita yang pertama, aku sudah kagum sekali kepadamu dan aku siap
untuk melindungimu, menghiburmu, menemanimu dan membahagiakanmu selamanya....."
Suaranya
merayu-rayu dan dengan lembut dan hangat jari tangan wanita itu menyentuh
lengan Cang Sun. Pemuda itu menjadi salah tingkah. Harus diakui bahwa dia amat
tertarik. Wanita ini nampak demikian cantik menggairahkan, demikian gagah, dan
demikian menantang. Akan tetapi, hati nuraninya menolak karena dia belum
mengenal benar siapa sesungguhnya wanita ini, orang macam apa dan apakah benar
tulus semua perasaan yang diucapkannya itu. Maka, diapun melangkah mundur, tiga
langkah.
Liong Bi
yang sudah bangkit berdiri dan melihat usahanya hampir berhasil, tidak mau
melepaskan mangsa yang sudah di depan mulut begitu saja. Iapun melangkah maju
mendekat lagi, suaranya menggetar penuh perasaan,
"Kongcu...."
Pada saat
itu terdengar suara Cang Hui,
"Sun-ko,
engkau disitukah?" dan muncullah Cang Hui dan Cin Nio.
Begitu
mendengar suara gadis itu, Liong Bi cepat mundur beberapa langkah sehingga ia
berdiri cukup jauh dari pemuda itu ketika dua orang gadis itu muncul dan tiba
disitu.
"Engkau
baru apakah, Sun-ko? Eh, kiranya Enci Liong Bi juga berada disini? Sedang
apakah engkau, Enci Liong Bi?" tanya Cang Hui sambil memandang tajam.
Dengan sikap
tenang Liong Bi menjawab,
"Saya
kebetulan lewat disini ketika meronda, Siocia. Permisi, saya akan melanjutkan
perondaan, menjaga keanaman malam ini."
"Lebih
baik begitu, Enci Liong Bi," kata Cang Hui, menyembunyikan makna yang
tajam dalam ucapan itu walaupun dapat pula dianggap wajar.
Liong Bi
memberi hormat,
"Permisi,
Siocia, Kongcu.... !" iapun, pergi dari situ.
Setelah
Liong Bi pergi, Cang Hui menghampiri kakaknya.
"Koko,
mau apa sih enci Liong Bi berada disini?"
Cang Sun
menghela napas dan dia memandang kepada Cin Nio yang hanya berdiri disitu
sambil menundukkan mukanya.
"Dia
hanya kebetulan lewat ketika meronda dan melihat aku berada disini, ia lalu
datang menghampiri aku dan kami bercakap-cakap. Kenapa engkau menanyakan?"
Cang Sun
membalas dan memandang adiknya yang dianggap terlalu mencampuri urusan
pribadinya.
"Tidak
apa-apa, Koko, hanya aku merasa heran melihat keberaniannya menemui engkau
seorang diri di malam hari begini. Hati-hati, Koko, aku mendengar dari enci
Mayang bahwa enci Liong Bi adalah seorang janda. Jangan-jangan engkau akan
terpikat olehnya!"
"Huh,
bicaramu sudah menyimpang, Hui-moi!" Cang Sun menegur adiknya.
"Engkau lupa telah mengajak Cin-moi dan kau diamkan saja. Silakan duduk,
Cin-moi."
Cin Nio yang
sejak tadi hanya mendengarkan, tersenyum dan mengangguk, lalu maju menghampiri
Cang Hui,
"Terima
kasih, Sun-ko," katanya lirih.
Seperti
tidak disengaja, Cang Hui menemukan kertas yang ditulisi sajak oleh kakaknya
dan membacanya dengan suara berirama dan merdu. Cang Sun tidak melarang, hanya
memandang adiknya sambil tersenyum. Adiknya itu selalu manja dan dia amat
sayang kepadanya karena hanya seorang itulah saudaranya.
Setelah
selesai membaca sajak itu, Cang Hui berseru,
"Aih,
indah sekali sajakmu ini, Koko. Hanya sayang, sajak ini memandang ringan,
bahkan seolah menganggap aku dan enci Cin ini tidak ada saja. Kau keterlaluan,
Koko."
"Ehh?
Apa maksudmu?"
"Coba
saja pikir, dalam sajakmu engkau berkeluh kesah, merasa kesepian tiada teman.
Apakah kami berdua ini bukan teman yang baik?"
"Ihh,
anak nakal! Tentu saja, engkau malah adikku dan Cin-moi ini adik misan, lebih
dari saudara!"
"Nah,
kalau begitu, kenapa dimalam yang indah ini berkeluh kesah dan mengatakan sepi
sendiri? Hayo, Koko, kita harus merayakan malam seindah ini bertiga! Atau,
engkau lebih senang bercakap-cakap dengan janda itu?"
"Hushh!
Tentu saja aku senang bersamamu dan adik Cin Nio....." kata Cang Sun
dengan muka berubah merah.
"Kalau
begitu, tunggu sebentar, aku akan memanggil pelayan untuk menghidangkan anggur
dan kueh. Enci Cin, kau temani Sun-ko sebentar!" tanpa menanti jawaban,
gadis yang lincah ini sudah berlari meninggalkan mereka berdua.
Memang
inilah yang ia kehendaki. Ia ingin memberi kesempatan kepada kakaknya dan Cin
Nio untuk berdua saja agar mereka dapat leluasa bicara. Selama ini, hampir
tidak ada kesempatan bagi mereka berdua untuk bicara empat mata, dan tanpa
adanya pertemuan berdua saja, bagaimana mungkin niat orang tuanya menjodohkan
mereka dapat terlaksana? Dan ia harus membantu mereka, membantu agar kedua
orang yang disayangnya itu mendapatkan kesempatan!
Setelah Cang
Hui pergi meninggalkan mereka, dua orang muda itu duduk berhadapan dan keduanya
berdiam diri. Cin Nio yang berwatak pendiam itu tidak berani berkutik.
Biasanya, kalau ada Cang Hui, ia masih berani bicara kepada kakak misannya itu,
karena bagaimanapun juga mereka telah saling mengenal dan bergaul sejak ia
masih kecil. Akan tetapi, setelah kini duduk berdua saja, ia merasa rikuh dan
tidak berani berkutik, apalagi memandang pemuda itu. Bahkan bernapaspun hanya
lirih dan lembut sekali.
Cang Sun
juga merasa rikuh sekali. Dia tahu bahwa orang tuanya hendak menjodohkan dia
dengan Cin Nio. Gadis ini memang cukup cantik jelita dan halus budi pekertinya.
Akan tetapi, sejak dahulu dia menganggap Cin Nio sebagai adik misan, sebagai
anggauta keluarga sehingga sukarlah baginya untuk mengubah perasaan sayang
seorang kakak terhadap seorang adik ini menjadi cinta asmara seperti cintanya
terhadap Kui Hong. Dia merasa iba kepada Cin Nio. Para gadis, terutama sekali
gadis keluarga bangsawan, selalu hanya dapat tunduk atas kehendak orang tua,
harus menerima calon suami yang dijodohkan orang tua!
Dan selama
ini, kalau dia memperhatikan sikap gadis itu, agaknya Cin Nio mulai menaruh
harapan kepadanya! Memang dia tidak merasakan getaran cinta, dalam pandang mata
gadis itu, akan tetapi jelas bahwa Cin Nio tertarik dan kagum kepadanya. Dapat
dia bayangkan betapa akan sengsara hati Cin Nio kalau sampai jatuh cinta
kepadanya dan dia tidak dapat menyambut cinta itu. Dia telah merasakan betapa
pahitnya cinta sepihak, seperti dia mencintai Kui Hong dan tidak terbalas oleh
gadis itu!
Tidak, dia
harus membuyarkan harapan Cin Nio, harus membuka mata gadis itu sebelum
terlambat, sebelum gadis itu benar-benar jatuh cinta kepadanya! Dan sekarang
inilah saatnya yang baik, karena kalau tidak sekarang selagi mereka duduk
berdua, kapan lagi?
"Cin-moi......"
katanya lirih. bagaimanapun juga, jantungnya berdebar tegang untuk membuka
kenyataan yang pahit bagi gadis itu.
Cin Nio
mengangkat muka memandang, lalu menunduk kembali ketika melihat betapa kakak
misannya itu menatap wajahnya,
"Ya,
Sun-ko? Ada apakah?" jawabnya dengan suara dibuat wajar dan tenang, namun
tetap saja suaranya agak gemetar.
"Cin-moi,
kebetulan sekali kita duduk berdua saja. Aku memang ingin sekali bicara
denganmu, akan tetapi selalu tidak ada kesempatan."
"Bicara
soal apakah Sun-ko?" gadis itu bertanya, suaranya lebih tenang.
"soal
kita berdua. Engkau tentu tahu bahwa orang tua kita berniat untuk menjodohkan
kita. Bagaimana pendapatmu tentang hal itu, Cin-moi?"
Biarpun
sudah menduga ke arah mana pembicaraan itu, tetap saja wajah itu menjadi merah
sekali mendengar pertanyaan ini. Ia tetap menunduk ketika menjawab,
"Apa
yang dapat kukatakan, Sun-ko? Aku hanya dapat mentaati semua keinginan orang
tua...."
Cang Sun
menghela napas panjang.
"Aku
tahu, dan begitulah memang nasib para gadis bangsawan. Akan tetapi aku seorang
laki-laki, Cin-moi. Aku mempunyai pendirian sendiri dan aku hanya dapat menikah
dengan seorang gadis yang saling mencinta dengan aku. Terus terang saja,
Cin-moi, aku sayang kepadamu sebagai seorang kakak terhadap adiknya. Sejak
kecil kita sudah bergaul dan sejak kecil engkau kuanggap sebagai adikku. Sukar
bagiku untuk mengubah perasaan itu sehingga terasa janggallah kalau kita harus
berjodoh. Aku tidak ingin membiarkan engkau dalam keraguan, Cin-moi, oleh
karena itu, aku berterus terang bahwa tidak mungkin aku dapat menuruti kehendak
orang tua agar aku menikah denganmu. Bukan sekali-kali aku menolak karena
engkau kurang baik, Cin-moi, melainkan karena aku tidak dapat menikahi seorang
gadis yang kuanggap seperti adik sendiri."
Cang Sun
berhenti bicara. Dadanya terasa lapang bukan main seolah ada batu besar yang
selama ini menghimpit perasaannya, kini telah terlontar keluar.
Kepala itu
semakin menunduk. Tidak, Cin Nio tidak merasa ditolak, tidak merasa
dikesampingkan, tidak merasa terhina. Namun, ia merasa kecewa dan bersedih.
Harus diakuinya bahwa selama ini, timbul perasaan gembira kalau ia membayangkan
betapa ia akan menjadi isteri Cang Sun. Ia kagum kepada kakak misannya itu dan
betapa akan mudahnya untuk jatuh cinta kepadanya! Ia tidak merasa sakit hati
karena kakak misannya berterus terang. Bahkan diam-diam ia merasa bersukur
karena kakak misannya berani berterus terang. Dengan begini kesemuanya jelas
sudah, dan ia tidak perlu lagi menggantungkan harapannya terhadap perjodohan
itu.
Akan tetapi,
bagaimanapun juga, runtuhnya harapan itu menusuk perasaannya dan biarpun ia
menahan diri sehingga tidak sampai terisak, tetap saja kedua matanya menjadi
basah dan cepat ia menyusutnya dengan sapu tangannya. Akan tetapi, air mata itu
keluar lagi dan ia segera bangkit berdiri, membelakangi Cang Sun dan menguatkan
hatinya berkata tanpa menoleh,
"Maafkan
aku,.... aku kembali.... ke kamarku"
Melihat
gadis itu melangkah lunglai, Cang Sun merasa iba sekali.
"Cin-moi,
kau maafkanlah aku...."
Akan tetapi
gadis itu tidak menjawab, lalu berlari kecil meninggalkan taman, kembali ke
kamarnya dimana ia membanting diri ke atas pembaringan dan menangis sepuas
hatinya.
Cang Hui
merasa heran ketika kembali ke dalam taman bersama dua orang pelayan yang
membawa makanan dan minuman dan tidak melihat Cin Nio disitu, hanya kakaknya
duduk melamun seorang diri.
"Ehh?
Kemana perginya enci Cin?" tanyanya.
Cang Sun
memandang kepada dua orang pelayan itu dan Cang Hui menyuruh mereka pergi
setelah mereka menaruh makanan dan minuman di atas meja.
"Apakah
yang telah terjadi, Koko?" tanyanya setelah mereka duduk berdua saja.
Pemuda itu
menghela napas panjang.
"Ia
telah kembali ke kamarnya. Aku telah bicara terus terang kepadanya tentang
kami, yaitu tentang perjodohan diantara kami yang dikehendaki para orang
tua...."
Cang Hui
membelalakkan matanya.
"Apa
yang kau katakan kepadanya, Koko?"
"Aku
berkata terus terang bahwa aku tidak mungkin dapat menikahinya karena aku
sayang kepadanya seperti adik sendiri, bukan mencintanya seperti seorang pria
kepada seorang wanita.”
"Ihh,
kau kejam, Koko!"
"Hemm,
apakah engkau lebih senang melihat aku berpura-pura, membiarkan ia menanti dan
mengharap?"
Cang Hui
termenung. Ia tidak dapat menyalahkan kakaknya. Akan tetapi ia kasihan kepada
Cin Nio,
"Engkau
menghancurkan perasaan hatinya, Koko. Aku tahu bahwa ia cinta padamu."
"Habis,
apa yang harus kulakukan? Tidak mungkin cinta bertepuk tangan sebelah, aku
telah merasakan kepahitannya...."
"Aih,
Koko. Kenapa engkau tidak dapat melupakan enci Kui Hong? Ia tidak dapat kau
harapkan lagi karena ia mencinta pria lain. Bukankah enci Cin amat baik? Kenapa
engkau tidak dapat mencintanya? Apakah cintamu hanya untuk enci Kui Hong
seorang saja?"
"Sampai
saat ini aku belum dapat melupakannya dan belum ketemu penggantinya." kata
pemuda itu dengan wajah murung.
"Betapa
lemah hatimu, Koko. Engkau harus dapat melihat kenyataan. Enci Kui Hong jelas
bukan jodohmu. Mungkin sekarang ia telah menjadi isteri lain orang. Untuk apa
kau kenang dan pikirkan terus menerus? Sudah sepatutnya kalau engkau
memperhatikan gadis lain. Hati-hati, jangan engkau terpikat oleh enci Liong Bi
itu."
Cang Sun
menggeleng kepala, kembali menghela napas panjang.
"Aku
tidak akan tertarik kepadanya. Memang nasibku agaknya, harus selalu kecewa
dalam urusan yang satu ini. Ada gadis yang menarik hatiku dan amat kukagumi,
akan tetapi iapun sudah bertunangan dengan orang lain...."
Cang Hui
terlonjak kaget dan membelalakkan matanya memandang wajah kakaknya,
"Mayang....??"
tanyanya terheran-heran.
Kakaknya
mengangguk dan kembali menarik napas panjang.
"Akan
tetapi ia telah bertunangan dengan Liong Ki, maka akupun tidak berani
memikirkannya."
"Ahhh....!
Ruwet kalau begini....!" kata Cang Hui dan iapun bertopang dagu, melamun
jauh.
Ia merasa
ikut prihatin dengan keadaan kakaknya. Kenapa yang dicinta kakaknya itu selalu
gadis yang telah menjadi milik pria lain? Ia tidak terlalu menyalahkan
kakaknya. Ia sendiripun kalau menjadi seorang pria, akan tergila-gila kepada
Mayang. Gadis itu memang hebat! Kecantikannya khas dan istimewa, Ilmu
kepandaiannyapun tinggi, rambutnya hitam panjang berombak, kulitnya putih
seperti susu, dan bentuk tubuhnya! Bukan main!
Akan tetapi
sayang, gadis itu telah bertunangan dengan Liong Ki, dan harus ia akui bahwa
pasangan itu serasi. Liong Ki juga seorang pendekar yang gagah perkasa dan
tampan, memang cocok dan tepat kalau menjadi calon suami seorang dara perkasa
sepetti Mayang.
Kakak
beradik itu duduk termenung seperti patung, lupa kepada anggur dan makanan yang
dibawa oleh dua orang pelayan tadi. Akhirnya merekapun menggigil ketika hawa
udara mulai dingin sekali. Mereka lalu meninggalkan taman dan kembali ke kamar
masing-masing!
Mayang
termenung di dalam kamarnya. Entah mengapa, ia merasakan suatu keadaan yang
tidak menyenangkan hatinya. Entah itu karena sikap Sim Ki Liong yang
dirasakannya berbeda dari biasanya, atau sikap Su Bi Hwa, ataukah pengalamannya
yang aneh ketika ia seperti ditarik-tarik oleh kekuasaan aneh untuk memasuki
kamar Ki Liong.
Pendeknya,
ia merasakan sesuatu yang tidak menyenangkan hatinya, walaupun ia tidak tahu
apa yang menyebabkannya. Kembali terjadi pertentangan dalam batinnya sendiri.
Disatu pihak, ia harus mengakui bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mau
memaafkan semua kesesatan yang pernah dilakukan pemuda itu di masa lalu,
asalkan dia mau bertobat dan akan mengubah jalan hidupnya, menjadi seorang
pendekar. Dan ia percaya bahwa demi cintanya, pemuda itu akan dapat merubah
jalan hidupnya, menjadi seorang pemuda yang baik, menebus kesesatannya yang lalu
dengan perbuatan-perbuatan yang gagah perkasa.
Akan tetapi,
akhir-akhir ini timbul keraguan dalam hatinya, dan hal itu timbul sejak
pertemuan mereka dengan Su Bi Hwa. Ia merasakan suatu ketidak wajaran dalam
sikap Bi Hwa, seolah-olah wanita itu menyimpan banyak rahasia. Yang jelas,
lirikan mata dan senyum wanita itu terhadap Ki Liong teramat genit. Ia sudah
membuang jauh-jauh perasaan cemburu yang tidak beralasan, akan tetapi, kini ia
melihat sikap Bi Hwa terhadap Cang Sun yang sama pula genitnya. Dan ada
perasaan tidak enak dan tidak suka terhadap wanita cantik yang lihai itu,
seolah wanita itu merupakan suatu ancaman tersembunyi baginya.
Ia harus
menemui Ki Liong dan mengajaknya bicara dengan serius. Akan ditanyakan kepada
kekasihnya itu tentang diri Bi Hwa, tentang latar belakang kehidupannya dan
tentang riwayatnya. Malam ini juga!
Ia segera
membereskan pakaian dan rambutnya, keluar dari dalam kamar dan karena ia tidak
ingin orang lain, terutama Bi Hwa sendiri, melihat ia bicara empat mata dengan
Ki Liong. Mayang mempergunakan kepandaiannya untuk bergerak cepat, menyelinap
diantara pilar dan berloncatan, menuju ke taman. Dari taman, akan mudah baginya
untuk menghampiri kamar Ki Liong tanpa dilihat orang lain.
Akan tetapi,
ketika ia tiba di luar kamar Ki Liong dan mengetuk daun jendela kamar itu, ia
tidak mendapat jawaban. Ia mengintai dari celah-celah jendela dan melihat kamar
itu gelap pekat. Tak mungkin Ki Liong sudah tidur karena malam baru saja mulai.
Setelah ia yakin bahwa pemuda itu pasti tidak berada di kamarnya, ia lalu
mengira bahwa tentu Ki Liong sedang mempunyai tugas atas perintah Cang Tai-jin,
maka iapun memasuki taman dengan maksud untuk menanti sampai pemuda itu kembali
ke kamarnya.
Tiba-tlba ia
menyelinap dan bersembunyi di balik sebatang pohon. Dilihatnya Cang Hui
berjalan seorang diri memasuki taman itu. Setelah melihat bahwa orang itu
adalah Cang Hui, ia hendak keluar menyapanya, akan tetapi ia menahan diri dan
mengintai ketika melihat bahwa gerak-gerik gadis bangsawan itu tidak seperti
biasa dan aneh.
Gadis itu
melangkah seperti orang yang sedang tidur saja, tak pernah menengok ke
kanan-kiri dan memandang lurus. Mayang membayangi dari belakang dengan
hati-hati. Jantungnya berdebar tegang ketika ia melihat munculnya Ki Liong di
sebelah depan, dan pemuda itu langsung menyongsong Cang Hui dengan sikap yang
manis budi dan ramah!
"Selamat
malam, nona Cang Hui!" katanya dengan ramah dan sopan.
Cang Hui
berhenti melangkah ketika melihat munculnya pemuda itu di depannya, dan ia
nampak bingung.
"Liong-ciangkun
(perwira Liong) " katanya lirih.
Mayang
mengintai dengan perasaan heran. Ia melihat betapa Ki Liong menghampiri gadis
bangsawan itu sampai dekat dan tanpa ragu-ragu lagi pemuda itu memegang kedua
tangan Cang Hui! Dan gadis itupun menyerah saja, tidak menjadi marah kedua
tangannya dipegang dengan sikap demikian mesra oleh pengawal baru itu.
"Nona,
kenapa malam-malam begini engkau keluar ke taman? Hawanya dingin, dan banyak
angin. Aku takut engkau masuk angin, Nona. Engkau begini cantik jelita seperti
bidadari sayang kalau sampai jatuh sakit..... " Ucapan itu lembut dan
mesra.
"Aku...
aku.... "
Cang Hui
berkata bingung dan nampaknya tidak tahu apa yang harus dikatakan, akan tetapi
tidak marah atau membantah ketika Ki Liong menarik dan merapatkan tubuhnya.
Melihat ini,
Mayang terbelalak dan hatinya panas terbakar. Apa artinya semua ini! Ki Liong
bermain gila dengan Cang Hui? Jelas bahwa pemuda itu berusaha merayu, akan
tetapi kenapa sikap Cang Hui demikian aneh? Seperti orang dalam mimpi saja.
Iapun teringat akan keadaan dirinya beberapa malam yang lalu, ketika ada
perasaan aneh mendorongnya untuk mencari Ki Liong dan ada rasa rindu yang tidak
wajar terhadap kekasihnya itu.
Teringat
akan hal ini, Mayang lalu berdiri menghadap ke arah Cang Hui, menyilangkan
kedua lengan depan dada, matanya memandang tajam ke arah gadis bangsawan itu
dan iapun mengerahkan kekuatan batinnya untuk melawan pengaruh sihir yarg
menguasai Cang Hui, jika memang kekuatan sihir mencengkeram gadis itu seperti
yang disangkanya. Ia memang menguasai ilmu ini dari Kim-mo Sian-kiauw, gurunya.
Sim Ki Liong
atau dengan nama samaran Liong Ki yang tadinya merasa girang sekali bahwa
usahanya menaklukkan hati Cang Hui kelihatannya akan berhasil baik berkat
bantuan sihir dari Su Bi Hwa atau Liong Bi, menaklukkan hati gadis itu agar
jatuh cinta kepadanya dan agar memudahkan cita-citanya, yaitu menjadi mantu
Menteri Cang, tiba-tiba merasa betapa terjadi perubahan pada sikap Cang Hui.
Kalau tadi
gadis itu menyerah saja dalam rangkulannya, kini gadis itu meronta, melepaskan
diri dari pelukan dan melangkah mundur sampai empat langkah, matanya terbelalak
dan nampak bingung sekali.
"Ehhh......?
Apa yang terjadi? Kenapa aku berada disini? Dan engkau..... ciangkun apa yang
kau lakukan? Apa pula yang kulakukan.....?"
Cang Hui
menggosok-gosok kedua matanya seperti orang yang baru bangun dari tidurnya.
Liong Ki
segera mengetahui bahwa entah bagaimana, siasatnya gagal dan dia adalah seorang
yang cerdik. Dia merayu Cang Hui bukan karena jatuh cinta kepada gadis itu,
bukan karena dorongan nafsu, melainkan dengan perhitungan agar dia dapat
menjadi suami puteri menteri ini! Maka, diapun cepat memberi hormat dengan
mengangkat kedua tangan depan dada, dengan sikap sopan diapun berkata.
"Nona,
saya hanya ingin melindungimu. Tadi saya melihat Nona seperti orang yang
kebingungan, berjalan seorang diri di dalam taman, dalam udara malam yang
dingin dan banyak angin. Kenapakah, Nona?"
Gadis itu
menggeleng kepala, masih nanar ketika ia teringat betapa tadi ia mau saja
dirangkul perwira muda yang baru itu!
"Aku.....
ah, mimpi buruk, agaknya ciangkun, jangan beritahukan peristiwa ini kepada
siapapun juga!"
Liong Ki
memberi hormat lagi, sikapnya sopan sekali, dan tentu saja amat menarik hati.
"Baiklah,
Nona. Saya bersumpah tidak akan membocorkan peristiwa ini. Saya akan menjaga
nama baik Nona, saya akan melindungi Nona, kalau perlu dengan taruhan
nyawa...."
Lega rasa
hati Cang Hui, akan tetapi ia juga masih merasa heran, bercampur rasa malu
mengingat akan perbuatannya tadi,
"Terima
kasih, ciangkun. Engkau baik sekali."
Gadis itu
lalu membalikkan tubuhnya dan meninggalkan taman kembali ke dalam rumah dalam
keadaan masih bingung dan nanar. Ia telah berada di dalam taman, seperti dalam
mimpi saja. Dan yang amat mengesankan hatinya adalah sikap perwira Liong Ki,
demikian baik, demikian lembut dan penuh kasih sayang. Mendatangkan kemesraan
akan tetapi sekaligus membangkitkan perasaan marah dan penasaran di dalam
hatinya. Ia teringat bahwa perwira muda itu adalah tunangan Mayang yang
disayanginya! Kenapa perwira itu bersikap demikian manis kepadanya? Dan kenapa
pula ia tadi mandah saja dirangkul? Untuk melindunginya? Kenapa dengan sikap
demikian mesra?
Sementara
itu, Mayang harus bergulat dengan nafsu sendiri setelah menyaksikan peristiwa
yang aneh di taman itu. Kalau menurutkan nafsu amarah yang membakar hatinya,
ingin ia muncul dan menemui Liong Ki pada saat itu juga, menegurnya dan minta
ketegasan dalam sikapnya, bahkan mengambil keputusan malam itu juga mengenai
hubungan antara mereka.
Akan tetapi,
ia menahan diri karena apa yang dilihatnya itu belum merupakan bukti akan niat
kotor dari kekasihnya itu. Ia harus bersabar dan melihat perkembangannya. Bukan
saja untuk menentukan sikap mengenai hubungannya dengan pemuda itu, akan tetapi
yang lebih penting lagi, ia harus melindungi keluarga Cang yang demikian baik.
Menteri Cang
adalah seorang yang bijaksana, dan namanya harum, dikenal dan dihormati oleh
semua pendekar. Juga puteranya, Cang Sun, seorang pemuda yang sopan dan alim.
Apalagi Cang Hui, seorang gadis yang amat disayangnya biarpun mereka baru
bergaul beberapa pekan lamanya. Gadis bangsawan itu demikian lincah jenaka,
bersih hatinya dan baik budinya. Ia harus melindungi keluarga ini, andaikata
ada orang yang akan mengganggu keluarga itu. Biar pengacau itu kekasihnya
sendiri sekalipun!
Juga masih
ada sedikit harapan tergantung di hatinya bahwa apa yang dilihatnya tadi adalah
hal yang terjadi bukan karena kesalahan kekasihnya, bahwa memang Liong Ki tidak
tahu menahu tentang sikap aneh Cang Hui itu. Ia masih menaruh harapan bahwa
Liong Ki yang mencintanya dan dicintanya akan tetap bertaubat dan mengambil
jalan yang bersih.
***************
Pada
keesokan harinya, ketika Mayang seperti biasa menemui Cang Hui dan Cin Nio, ia
tidak melihat perubahan pada sikap Cang Hui. Akan tetapi ia melihat bahwa
selama beberapa hari ini, Cin Nio nampak lesu dan seperti orang yang selalu
melamun, seperti orang yang menderita kesedihan namun ditahan-tahan. Ia tidak
mau bertanya apa-apa kepada Cang Hui, karena hal itu tentu akan membuat gadis
bangsawan itu terkejut dan malu, apalagi karena gadis itu tidak memperlihatkan
suatu kelainan, seolah tidak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya.
Sebaiknya,
ketika Mayang hendak melanjutkan petunjuknya tentang ilmu silat, Cin Nio
kelihatan malas, bahkan kemudian gadis ini berpamit dan mengatakan bahwa
kepalanya agak pening dan hari itu ia tidak ikut berlatih silat. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Mayang untuk bertanya tentang Cin Nio, dengan harapan agar ia
mendengar sesuatu yang ada hubungannya dengan peristiwa semalam.
"Adik
Hui, kenapakah adik Cin nampak begitu lesu dan bersedih? Apakah terjadi sesuatu
yang membuatnya seperti itu?"
Mereka duduk
mengaso sehabis berlatih dan Cang Hui menyusut keringatnya sambil memandang
wajah Mayang. Ia merasa suka dan sayang kepada gadis peranakan Tibet ini, dan teringatlah
ia akan percakapan yang ia lakukan dengan kakaknya, dimana kakaknya itu mengaku
bahwa dia kagum dan jatuh cinta kepada gadis Tibet ini! Ia sendiri menyayangkan
bahwa Mayang telah menjadi tunangan Liong Ki, perwira yang semalam....,
terkenang akan peristiwa ini, mendadak saja Cang Hui tersipu dan kedua pipinya
berubah merah. Ia sengaja menggosok-gosok mukanya yang terasa panas itu
sehingga mukanya menjadi semakin merah segar.
"Kasihan
enci Cin...." akhirnya ia mengeluh, teringat akan nasib Cin Nio yang
mengalami patah hati karena cinta sepihak.
"Kenapa
ia? Ataukah.... hal itu tidak dapat kau ceritakan kepada orang luar seperti
aku? Kalau begitu maafkan pertanyaanku tadi."
Cang Hui
memegahg lengan Mayang dan tersenyum dengan manis.
"Bagiku,
engkau bukan orang luar lagi, Mayang. Engkau sudah kuanggap seperti keluarga
sendiri. Maka, engkau boleh saja mendengar tentang urusan itu, asal engkau
tidak akan menceritakan kepada orang lain."
"Tentu
saja, Adik Hui. Rahasia keluargamu sama dengan rahasiaku sendiri. Bukankah aku
sudah mendapatkan kepercayaan untuk membimbingmu dalam berlatih ilmu silat dan
tinggal di istana ini?"
"Kasihan
enci Cin, ia patah hati, Mayang. Ia menjadi korban cinta sepihak. Sudah
kuceritakan bahwa ayah dan ibu menghendaki agar kakakku, Cang Sun-koko,
berjodoh dengan enci Hui. Nah, beberapa hari yang lalu, dalam suatu kesempatan
ketika mereka dapat bicara empat mata, kakakku itu dengan sejujurnya mengatakan
kepada enci Cin bahwa dia tidak dapat berjodoh dengan enci Cin karena dia
menyayang enci Cin sebagai adik sendiri. Nah, dapat kau bayangkan betapa susah
hatinya, padahal enci Cin kelihatannya sudah jatuh cinta setengah mati kepada
kakakku itu."
Mendengar
ini, Mayang mengerutkan alisnya dan termenung sejenak.
"Hemm,
kasihan sekali adik Cin Nio. Sungguh mengherankan, mengapa kakakmu tidak dapat
mencintanya? Padahal, adik Cin adalah seorang gadis yang amat baik, cantik
jelita, pandai dan baik budi...."
"Pernah
kuceritakan kepadamu bahwa kakakku sudah mencinta gadis lain, Mayang."
"Hemm,
kau maksudkan Cia Kui Hong itu? Kenapa masih memikirkannya? Bukankah gadis itu
telah menjadi milik orang lain dan tidak membalas cintanya? Apakah selamanya
kakakmu akan tetap bertahan dalam cintanya yang sepihak terhadap gadis itu?"
Mayang merasa penasaran karena kasihan kepada Cin Nio.
"Kurasa
tidak begitu, Mayang. Sebetulnya kakakku itu suka kepada...." Cang Hui
mengurungkan niatnya yang ingin membuka rahasia hati kakaknya. Tidak, pikirnya,
ia tidak boleh mengatakan bahwa kakaknya mencinta Mayang. Bukankah Mayang sudah
ada yang punya?
"Suka
kepada siapa, Adik Hui?"
"Suka
kepada gadis yang memiliki, ilmu kepandaian silat tinggi."
"Hemm,
dia sendiri tidak suka belajar ilmu silat."
"Mungkin
karena itulah. Karena dia tidak suka belajar ilmu silat, maka dia ingin
melengkapi kekurangan dirinya itu dengan memilih seorahg gadis lihai menjadi
jodohnya. Akan tetapi tentu saja tidak semua wanita lihai disukainya. Peristiwa
yang terjadi beberapa malam yang lalu itu..... "
Ia berhenti
pula, ragu-ragu apakah peristiwa antara kakaknya dengan Liong Bi itu sebaiknya
ia ceritakan kepada Mayang atau tidak.
"Peristiwa
apakah, Adik Hui?"
Cang Hui
menarik napas panjang. Sudah terlanjur, pikirnya.
"Mayang,
sebelum kuceritakan, katakan dulu, apakah engkau sayang kepada calon adik
iparmu itu?"
Mayang
terbelalak heran.
"Calon
adik ipar yang mana....?"
"Bukankah
Liong Bi itu adik Liong Ki, tunanganmu?"
Baru Mayang
teringat bahwa wanita yang tidak disukanya itu menyamar sebagai adik
kekasihnya.
"Ahhh,
ia yang kau maksudkan? Hemm, bagaimana, ya? Sayang sih tidak, bahkan aku...
terus terang saja, kurang suka akan sikapnya yang genit. Selain itu, iapun
bukan adik iparku..... " Mayang menghentikan ucapannya, merasa telah
kelepasan bicara.
"Ehh?
Bukankah ia adik Liong Ki?"
Mayang
mengangguk, bingung sendiri karena hampir saja ia membuka rahasia mereka
berdua.
"Memang
benar, adik Hui, akan tetapi aku..... aku bukan tunangan Liong Ki. Kami hanya
sahabat yang akrab."
"Hemm,
sahabat akrab yang saling mencinta, bukan ?"
"Sudahlah,
Adik Hui, aku tidak suka bicara tentang hal itu. Sebetulnya, apa yang hendak
kau ceritakan kepadaku? Peristiwa apa yang terjadi beberapa malam yang lalu
itu?"
Cang Hui
lalu menceritakan tentang perbuatan Liong Bi yang memikat dan merayu kakaknya.
"Kulihat
jelas sekali Liong Bi merayu kakakku dengan sikap yang amat genit dan
menjemukan. Akan tetapi, kakakku tidak suka kepadanya, walaupun ia pandai
silat. Nah, sudah kuceritakan padamu, Mayang. Kalau engkau dekat dengan Liong
Bi, katakan bahwa jangan lagi ia melakukan hal yang tidak patut seperti
itu."
Diam-diam
Mayang terkejut dan marah mendengar ini. Akan tetapi ia tidak merasa heran. Ia
tahu bahwa Liong Bi memang genit sekali, akan tetapi tidak disangkanya akan
seberani itu, merayu Cang Sun, putera tuan rumah! Sungguh tidak tahu diri,
tidak tahu malu. Yang membuat ia merasa heran, bagaimana Liong Ki dapat
memiliki seorang sahabat yang seperti itu? Dan teringatlah ia kembali akan
peristiwa aneh yang dilihatnya antara Cang Hui dan Liong Ki. Ia tidak ingin
membikin Cang Hui malu dengan menanyakan peristiwa itu, akan tetapi ia menjadi
semakin curiga. Hatinya merasa tidak enak. Ia harus menyelidiki keadaan Liong
Ki dan Liong Bi!
Malam itu
gelap sekali. Langit tertutup mendung dan tak sebuahpun bintang nampak. Mayang
menyelinap di balik pot bunga besar. Biarpun malam gelap, namun istana keluarga
Cang dipasangi banyak lampu gantung. Ia melihat bayangan Liong Bi
berindap-indap keluar dari kamarnya.
Selama
beberapa malam ini ia memang melakukan pengintaian, mengintai kamar wanita itu.
Tidak terjadi sesuatu selama tiga malam dan malam ini ia melihat Liong Bi menyelinap
keluar kamar, sikapnya mencurigakan sekali maka iapun membayangi dari jauh.
Kemudian ia ketahui bahwa Liong Bi menuju ke kamar Liong Ki dari belakang!
Dengan
jantung berdebar Mayang mengintai. Agaknya saat yang ditunggu-tunggu telah
tiba. Jerih payahnya selama beberapa malam itu akan membuahkan hasil. Liong Bi
mengetuk daun jendela kamar Liong Ki, perlahan. Daun pintu dibuka dari dalam
dan wanita itu meloncat masuk seperti seekor kucing. Daun jendela ditutup lagi
dan dengan mempergunakan kepandaiannya, Mayang menghampiri kamar itu tanpa
menimbulkan suara, lalu ia mendengarkan dengan penuh perhatian.
"Bi
Hwa, kenapa engkau begini lancang masuk kesini? Bodoh kau, bagaimana kalau ada
yang melihatmu?"
"Hi-hik,
siapa yang dapat melihatku? Andaikata ada yang melihatpun, apa salahnya aku
memasuki kamar kakakku sendiri? Aku kesepian, Ki Liong, aku penasaran dan
kecewa karena gagal memikat Cang-kongcu. Gara-gara adiknya, daging yang sudah
berada di bibir, terlepas lagi!" .
"Hemm,
bukan hanya engkau yang gagal. Akupun sudah hampir berhasil menundukkan Cang
Hui, tiba-tiba saja terlepas dan gagal "
"Nah,
itulah! Maka aku kesini untuk menghibur diri, juga menghiburmu agar kita
berbesar hati dan dapat berusaha lagi." Terdengar wanita itu tertawa-tawa
genit. Juga Ki Liong tertawa kecil.
Mayang tidak
perlu mendengar lebih banyak, juga ia tidak sudi mengintai ke dalam. Ia sudah
tahu segalanya! Kiranya Sim Ki Liong bersekongkol dengan Su Bi Hwa! Bukan saja
keduanya mempunyai hubungan yang mesum, akan tetapi juga keduanya bersekongkol
untuk masing-masing merayu dan menundukkan Cang Sun dan Cang Hui!
Penghambaan
diri kedua orang itu kepada keluarga Cang tidak jujur, tidak bersih dan mereka
mempunyai rencana yang kotor. Agaknya kedua orang itu ingin mencari kedudukan tinggi
melalui cara yang licik, yaitu ingin menjadi mantu Menteri Cang! Dan pemuda
yang pernah menjatuhkan hatinya itu, pria pertama dalam hidupnya yang
menjatuhkan cintanya, yang ia harapkan akan bertaubat, menjadi seorang pendekar
dan calon suaminya, agaknya telah kembali ke jalan lama, jalan sesat! Setelah
bertemu dengan wanita itu, kekasihnya agaknya telah pulih kembali seperti
dahulu, menjadi hamba nafsu yang membuta.
Mayang cepat
meninggalkan tempat pengintaiannya, kembali ke kamarnya dan tak dapat ditahannya
lagi, ia menangis! Ia membenamkan mukanya pada bantal dan air matanya
bercucuran. Harus diakuinya bahwa ia mencinta Sim Ki Liong dan mengharapkan
pemuda itu menjadi suaminya yang baik. Akan tetapi, kini jantungnya seperti
ditusuk-tusuk rasanya, dan perasaan cinta yang mendalam itu berubah menjadi
kebencian!
Kalau
cintanya itu diumpamakan sebuah mimpi indah, kini ia terbangun dan melihat
kenyataan yang sebaliknya. Selama ini, dengan penuh harapan, cintanya dibangun
dan ia bentuk menjadi tempat bunga dari kaca yang indah sekali. Akan tetapi,
dalam sekejap mata tempat bunga itu hancur berantakan, meninggalkan
pecahan-pecahan kaca yang menggores kalbu, mendatangkan luka berdarah yang
teramat pedih.
Cinta asmara
adalah cinta nafsu yang selalu bersyarat dan berpamrih. Cinta seperti ini
muncul setelah adanya suatu daya tarik yang menyenangkan, baik itu melalui
ketampanan atau kecantikan wajah, kelembutan, keramahan, bahkan dapat melalui
kedudukan, kemuliaan, kemewahan, atau kepintaran. Ada sesuatu yang ingin diraih
dan dinikmati.
Kalau pada
suatu waktu terjadi sebaliknya, sesuatu yang tidak menyenangkan lagi, bahkan
menyusahkan atau mengecewakan, maka cinta seperti ini mungkin saja akan berubah
menjadi kebencian!
Kita dengan
mudah saja bersumpah cinta, sehidup semati, senasib sependeritaan, dan semua
itu dapat terjadi selama si dia yang dicinta memenuhi syarat. Sekali saja
syarat itu dilanggar, maka cinta berubah menjadi benci, dan kebahagiaan berubah
menjadi kesengsaraan.
Banyak sudah
terjadi peristiwa yang membuktikan betapa fananya cinta itu. Suami isteri yang
tadinya bersumpah saling cinta akhirnya bercerai setelah setiap hari cekcok.
Sahabat yang tadinya saling mencinta dan saling setia akhirnya saling
bermusuhan. Orang tua yang tadinya bersumpah mencinta anaknya, akhirnya
menyumpahi anak itu. Semua ini terjadi karena syarat cinta itu dilanggar,
pamrih dalam bercinta tidak terpenuhi. Terjadi konflik-konflik yang dapat
menjalar dan berkembang menjadi konflik antar bangsa dan antar negara.
Sumbernya adalah konflik dalam diri pribadi kita masing-masing.
Selama hati
akal pikiran dikuasai nafsu daya redah, maka si-aku semakin menonjol, semakin
berkembang kuat. Si-aku adalah nafsu yang menguasai hati akal pikiran, si aku
adalah keinginan-keinginan. Selama si aku merajalela, maka terjadilah
bentrokan-bentrokan antar keinginan, antar kepentingan diri masing-masing dan
timbullah pertikaian dan permusuhan.
Hanya cinta
kasih Tuhan sajalah yang maha benar dan maha suci, tidak ada kebalikannya
karena tunggal! Hanya kekuasaan Tuhan sajalah yang akan mampu membebaskan batin
dari cengkeraman nafsu daya rendah dan mengembalikan nafsu-nafsu ke dalam
kedudukannya yang semestinya, yaitu menjadi alat pelengkap kehidupan manusia,
menjadi abdi, bukan majikan. Kalau sudah begitu, hanya kekuasaan Tuhan yang
akan menjadi kemudi, bukan lagi nafsu daya rendah, dan barulah apa yang
dinamakan cinta kasih tidak akan mendatangkan sengsara!
Dalam
kesedihannya, Mayang masih menahan diri. Tidak mungkin ia harus mendatangi Sim
Ki Liong dan Su Bi Hwa lalu menegur mereka. Tidak mungkin ia mengamuk karena
cemburu. Kalau saja ia tidak ingat akan keluarga Cang, tentu malam itu juga ia
meninggalkan tempat itu, meninggalkan Sim Ki Liong begitu saja, memutuskan
hubungan lahir batin dan mengambil jalan hidupnya sendiri.
Akan tetapi,
ia mengkhawatirkan keselamatan keluarga Cang. Ia tidak ingin melihat Cang Hui
menjadi korban Sim Ki Liong, atau Cang Sun menjadi korban Su Bi Hwa. Ia harus
menentang niat buruk mereka. Mereka itu hendak memikat putera puteri pembesar
Cang hanya untuk mendapatkan kedudukan tinggi. Dan ia harus mencegah terjadinya
hal ini.
Sekarang ia
mulai menduga bahwa kekuasaan aneh yang membuat ia malam-malam itu rindu kepada
Ki Liong, juga yang membuat Cang Hui seolah-olah dalam mimpi dan mau saja
dirangkul Ku Liong, adalah kekuasaan tidak wajar, kekuatan sihir! Buktinya,
ketika ia mengerahkan kekuatan batinnya, ia tersadar, demikian pula Cang Hui.
Mengingat akan hal ini, ia menjadi semakin penasaran dan marah. Liong Ki atau
Sim Ki Liong sudah berani mempergunakan sihir, hal ini membuktikan bahwa pemuda
itu kembali mengambil jalan sesat.
Sim Ki Liong
dan Su Bi Hwa yang tidak tahu bahwa rahasia mereka sudah diketahui Mayang,
malam itu mengadakan pertemuan untuk melepas kerinduan mereka dan juga untuk
mengatur siasat. Mereka maklum bahwa siasat mereka memikat Cang Sun dan Cang
Hui mengalami kegagalan. Mereka akan mengulang lagi akan tetapi harus secara
halus dan tidak tergesa-gesa, karena kalau sampai terbongkar rahasia mereka,
akan gagallah segalanya, bahkan mereka akan terancam malapetaka. Mereka lalu
mengatur siasat lain untuk memperbesar kepercayaan Menteri Cang kepada mereka.
Kepercayaan menteri itu yang akan menjadi landasan kuat bagi kedudukan mereka.
Mayang
berpura-pura tidak tahu saja akan hubungan antara Liong Ki dan Liong Bi. Ia
harus mendapatkan bukti yang lebih kuat untuk membongkar niat buruk mereka,
kalau memang benar mereka itu berniat buruk seperti yang diduganya. Tanpa bukti
yang nyata, tentu saja ia tidak mampu melakukan sesuatu. Apalagi karena sikap
kedua orang itu kepadanya amatlah baik, bahkan lebih ramah daripada biasanya.
Juga Liong Ki selalu bersikap sopan, tidak lagi memperlihatkan sikap merayu seperti
biasanya.
Tiga hari
kemudian, pada suatu malam yang gelap, empat sosok bayangan orang bergerak
dengan lincahnya di dalam taman yang luas dari istana Menteri Cang Ku Ceng.
Sesungguhnya
amat mengherankan bagaimana sampai ada empat orang asing dapat memasuki taman
itu dari luar, padahal penjagaan disitu cukup ketat. Mereka dapat melompati
pagar tembok taman dari bagian yang kebetulan tidak terjaga. Juga, kini dengan
berindap-indap mereka menghampiri bangunan gedung atau istana keluarga Cang dan
berhasil memasuki gedung melalui pintu samping yang ternyata tidak terkunci
dalam! Mereka nampaknya sudah hafal akan keadaan disitu, buktinya mereka sambil
berindap-indap langsung saja menuju ke kamar induk, kamar Menteri Cang dan
isterinya!
Ketika
mereka berindap menuju ke kamar itu, tiba-tiba muncul dua orang penjaga yang
melakukan perondaan. Seorang membawa lampu teng, yang kedua membawa canang yang
kadang dipukulnya lirih. Keduanya membawa golok telanjang.
Cepat sekali
gerakan dua diantara empat sosok bayangan itu. Mereka melompat keluar dan dua
orang peronda itu sudah roboh tertotok, canang dan lampu telah berpindah
tangan, demikian pula golok mereka sehingga mereka berdua itu roboh tanpa
mengeluarkan suara gaduh.
Agaknya
empat orang itu telah mempelajari keadaan di gedung besar itu. Mereka tanpa
ragu-ragu menghampiri kamar besar dimana Cang Taijin dan isterinya tidur. Akan
tetapi ketika mereka menghampiri jendela kamar untuk membongkarnya, tiba-tiba
muncul dua orang penjaga. Mereka melihat betapa dua orang penjaga yang meronda
telah menggeletak tak bergerak.
"Penjahat
.....!" bentak mereka dan dua orang ini sudah menerjang dengan golok
mereka.
Dua diantara
empat orang itu menyambut dengan pedang, sedangkan dua orang lagi membongkar
jendela. Suara gaduh itu mengejutkan Menteri Cang Ku Ceng yang sudah membuka
daun pintu. Isterinya menjerit dan berteriak-teriak memanggil pengawal. Dua
orang yang tadi membongkar jendela, ketika melihat Menteri Cang keluar sambil
membawa pedang, segera menyerang.
Menteri Cang
bukanlah seorang ahli pedang. Dia seorang ahli militer, dan biarpun dia tidak
pandai sekali berkelahi, namun sebagai seorang menteri yang kadang menjadi
seorang panglima, tentu saja dia bukan orang yang lemah. Segera dia
menggerakkan pedang melindungi dirinya, sementara itu, isterinya
berteriak-teriak minta tolong.
Dua orang
penjahat telah merobohkan dua orang penjaga yang tadi menyerbu dan kini mereka
membantu dua orang kawan mereka mengeroyok Menteri Cang! Mereka adalah
orang-orang yang pandai memainkan golok mereka, dan pembesar itu segera
terdesak hebat dan berada dalam keadaan yang amat berbahaya bagi keselamatan
nyawanya.
Akan tetapi,
agaknya teriakan-teriakan isteri pembesar itu menarik perhatian dan tiba-tiba
muncullah Liong Ki dan Liong Bi! Kedua orang ini dengan pedang di tangan
menerjang dan dalam waktu singkat saja, empat orang penjahat itu roboh! Mayang
juga datang, akan tetapi ketika ia tiba disitu, agak terlambat karena ia
terbiasa tidur melepaskan pakaian dan sepatu sehingga tadi harus mengenakan
pakaian dan sepatu lebih dulu, juga menyanggul rambutnya yang dibiarkan
terlepas dari ikatan, ia melihat empat orang itu telah roboh.
"Tangkap
mereka hidup-hidup!" ia berseru, akan tetapi seruannya terlambat sudah.
Pedang di
tangan Liong Ki dan Liong Bi telah menembus jantung mereka, dan empat orang itu
tewas seketika.
Mayang cepat
melompat ke dekat empat orang itu dan memeriksa. Ternyata mereka tidak mungkin
dapat ditanya lagi.
"Aih
kenapa kalian membunuh mereka?" ia mencela Liong Ki dan Liong Bi.
"Mereka,
adalah orang-orang jahat, sudah sepatutnya dibunuh!" kata Liong Bi.
"Benar,
akupun tak dapat menahan kemarahanku tadi. Sekarang baru aku ingat bahwa
semestinya mereka itu ditanya dulu sebelum dibunuh." kata Liong Ki.
"Sudahlah,
mereka sudah mati dan kalian sungguh telah menyelamatkan nyawa kami." kata
Menteri Cang dengan sikap masih tenang saja dia sudah terbiasa menghadapi
ancaman dan bahaya, maka peristiwa yang hampir mencelakainya tadi dihadapi
sebagai hal biasa saja.
Isterinya
juga keluar kamar dan wajah nyonya bangsawan itu agak pucat. Kemudian muncul
pula Cang Hui dan Teng Cin Nio dan kedua orang gadis inipun telah membawa
sebatang pedang. Ketika mereka melihat Menteri Cang dan isterinya selamat dan
empat orang penjahat terbunuh, legalah hati mereka dan Cang Hui merangkul
ibunya. Cang Sun muncul dan pemuda itu segera berkata, dengan sikap
sungguh-sungguh kepada ayahnya.
"Ayah,
peristiwa ini membuktikan bahwa pihak yang memusuhi ayah mulai berani mengirim
pembunuh untuk menyerang kita. Maka, sudah seyogianya kalau ayah memperketat
dan memperkuat penjagaan. Kalau kebetulan kedua kakak-beradik Liong hadir,
tentu saja keamanan ayah terjamin. Akan tetapi tidak mungkin mereka menjaga
keselamatan ayah siang malam."
Menteri Cang
mengangguk, lalu memerintahkan penjaga untuk menyingkirkan mayat empat orang
penjahat dan dua orang penjaga, memerintahkan komandan jaga untuk melapor
kepada panglima pasukan keamanan agar diselidiki siapa adanya empat orang
penjahat itu. Kemudian, dia menyuruh Cang Hui dan Cin Nio menemani isterinya di
dalam kamar, dan dia sendiri mengajak Liong Ki, Liong Bi dan Mayang untuk
bercakap-cakap di ruangan dalam.
Setelah
mereka berempat duduk berhadapan terhalang meja besar, kembali Menteri Cang
memuji dua orang pembantunya dan berterima kasih atas pertolongan mereka ketika
tadi dia terdesak dan terancam.
Liong Ki
segera memberi hormat kepada Menteri Cang.
"Harap
paduka tidak berpendapat demikian, Tai-jin. Sudah menjadi tugas kewajiban kami
berdua untuk melindungi keluarga Tai-jin dari ancaman bahaya yang datang dari
manapun juga. Kami hanya merasa bersyukur bahwa kami tidak sampai
terlambat."
"Tai-jin
telah melimpahkan kebaikan kepada kami, sudi menerima kami. Karena itu, kami
selalu siap untuk membela Tai-jin, dengan taruhan nyawa sekalipun," kata
pula Liong Ki dengan suara dan wajah sungguh-sungguh.
Cang Tai-jin
mengangguk-angguk.
"Bagus,
tidak percuma kami menerima kalian sebagai pengawal keluarga."
Mayang sejak
tadi hanya diam saja. Iapun bersyukur bahwa pembesar bijaksana itu dapat
diselamatkan, dan pembelaan Liong Ki dan Liong Bi, sedikit banyak telah
mengurangi rasa tidak senangnya kepada mereka. Mereka itu terbukti setia, dan
siapa tahu, mungkin mereka berdua merayu putera puteri Menteri Cang bukan
dengan niat buruk, melainkan karena jatuh hati! Yang membuat ia tidak puas
adalah dibunuhnya empat orang calon pembunuh itu sehingga tidak dapat
diselidiki, siapa yang menyuruh mereka itu menyerbu.
"Sayang
kita tidak dapat mengetahui siapa orangnya yang telah menyuruh empat orang
pembunuh itu, Tai-jin," kata Mayang. "Kalau mereka tidak dibunuh dan
dapat ditangkap hidup-hidup, tentu mereka akan dapat membuat pengakuan dan kita
dapat menangkap dalangnya."
Mendengar
ini Liong Ki dan Liong Bi saling lirik lalu Liong Ki berkata,
"Adik
Mayang benar sekali. Kami juga merasa menyesal mengapa kami tidak ingat akan
hal itu. Kami terlalu terburu nafsu sehingga lupa dan telah membunuh
mereka."
"Siapa
yang tidak marah melihat para penjahat itu nyaris membunuh Tai-jin? Kami
terlalu marah pada saat itu," sambung Liong Bi.
Cang Taijin
mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk.
"Hal
itu sudah terjadi dan tidak ada gunanya disesalkan. Andaikata mereka tertawan
hidup-hidup, belum tentu mereka mau mengaku. Musuh kami terlalu banyak, dan
kami kira mereka adalah kaki tangan para pemberontak. Mulai sekarang, pasukan
pangawal harus dipersiapkan untuk membantu kalian. Akan kupanggil kembali
Coa-ciangkun agar dia mengatur pasukan pengawal sehingga tidak ada lagi
pengacau yang dapat menyelinap masuk tanpa diketahui."
Sejak.
peristiwa malam itu, Menteri Cang Ku Ceng semakin percaya kepada kakak beradik
Liong Ki dan Liong Bi, dan tentu saja kedua orang ini merasa senang. Memang
inilah tujuan mereka. Liong Bi yang mengatur siasat itu. Ia menghubungi
Pek-lian-kauw, mengatakan bahwa ia dapat memberi jalan kepada beberapa orang
Pek-lian-kauw untuk masuk ke dalam rumah gedung Menteri Cang Ku Ceng.
Tentu saja
pihak Pek-lian-kauw gembira mendengar ini karena mereka tahu bahwa Menteri Cang
merupakan seorang diantara dua menteri setia yang pandai dan menjadi tulang
punggung kerajaan Beng.
Mereka
adalah orang-orang yang berpengalaman dan cerdik. Merasa bahwa dengan peristiwa
itu mereka telah maju beberapa langkah dan kedudukan mereka menjadi semakin
kokoh dan baik, mereka tidak mau membuat banyak ulah yang mungkin membahayakan
kedudukan mereka. Usaha mereka mendekati Cang Sun dan Cang Hui untuk sementara
mereka tunda. Kalau kepercayaan keluarga Cang semakin menebal, tentu akan
semakin mudah bagi mereka untuk mencapai sasaran itu.
Karena sikap
mereka itu, Mayang juga terkecoh. Ia tidak lagi melihat dua orang itu merayu
putera-puteri Menteri Cang. Sikap mereka baik dan sopan, dan ramah terhadap
dirinya. Dari Cang Hui ia mendengar bahwa kini kedua orang itu sama sekali
tidak pernah lagi mengganggu, bersikap sopan dan baik.
Akan tetapi
sungguh aneh, luka di hati Mayang agaknya tidak dapat sembuh sama sekali. Rasa
cintanya terhadap Sim Ki Liong sudah membuyar karena ia merasakan benar bahwa
ada suatu rahasia yang busuk di antara Sim Ki Liong dan Su Bi Hwa yang kini
menyamar sebagai kakak-beradik itu. Biarpun kini kedua orang itu bersikap sopan
dan baik terhadap Cang Sun dan Cang Hui, namun ia hampir yakin bahwa mereka itu
pernah merayu putera dan puteri Cang itu dengan cara yang tidak wajar.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment