Sunday, September 30, 2018

Cerita Silat Serial Jodoh Si Mata Keranjang Jilid 13




























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Jodoh Si Mata Keranjang

                 Jilid 13



Ada kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya mendengarkan suara berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja, asalkan dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera mulut yang ingin makan enak.

Hay Hay memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni binatang yang dapat dimakan dagingnya, atau mungkin saja tumbuh pohon buah. Pendeknya, daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia amat memerlukannya saat itu.

Akan tetapi tidak ada pohon buah di tempat itu. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tidak mau makan daging kera atau babi hutan, belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega untuk makan daging kera, dan ia merasa jijik makan daging babi hutan yang nampaknya demikian kotor.

Sejak kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun dan sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang lapar membuat tubuhnya agak gemetar. Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman harimau! Pernah dia makan daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba, panas, hanya lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimaupun akan diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dia masih menyimpan bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan daging harimau yang dipanggang kemerahan.

Cepat dia menyelinap, menuju ke arah suara auman harimau. Kini, suara itu menjadi semakin riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mangaum, melainkan ada beberapa ekor harimau dan dua diantaranya menggereng, disusul gerengan harimau lain sehingga menjadi ramai sekali. Hay Hay cepat menghampiri tempat itu. dan dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali.

Seekor harimau yang berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau biasa. Dua ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot yang kekar melingkari tubuh di bawah kulit itu dapat diketahui bahwa harimau hitam ini selain tangkas juga amat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton, kagum bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa.

Di tempat itu terdapat pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Merekapun agaknya menjadi penonton dan sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti telah diduga oleh Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini, harimau hitam menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu biasa seperti dua ekor harimau jantan yang tadi melarikan diri.

Dua ekor harimau betina ini menggereng dan nampak tidak senang, akan tetapi ketika harimau hitam mengeluarkan auman dan memperlihatkan gigi bercaling yang runcing tajam, dua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan merekapun tidak melawan ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan berahinya.

Hay Hay tertegun dan diapun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah. Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau lain, dan memaksakan kehendak dan berahinya!

Dia masih terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki kekuatan yang tidak wajar. Dia tak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay tertarik sekali sampai dia lupa akan rasa lapar di perutnya.

Akhirnya, harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu dua ekor korbannya, dan dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya, harimau itu menuju ke bawah pohon besar, kedua kaki depan mencakar-cakar tanah menggali tanaman seperti ubi. Dan dimakannya ubi itu dengan lahapnya.

Hay Hay makin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti berlepotan darah! Harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya. Harimau jantan hitam itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan. Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka.

Melihat ini, Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram diapun melompat keluar dari balik semak belukar.

Melihat ada orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor korbannya dan diapun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil berindap-indap menghampiri Hay Hay.

Setelah tiba di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay. Pemuda inipun tidak mau kalah, memandang harimau itu dan sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata. Bagaimanapun juga, harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah, lalu bangkit berdiri, keempat kakinya menegang, semua ototnya menggetar dan harimau itu mengaum lagi dua kali.

Hay Hay sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia sudah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah batu besar yang berada di sebelah kirinya.

Harimau hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur ke atas dan depan, menubruk ke arah Hay Hay. Gerakannya cepat sekali dan semua suara dan sikapnya demikian mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa. Namun, gerakan itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay.

"Binatang kejam dan jahat!" bentak Hay Hay dan ketika tubuh binatang itu hampir menerkamnya, tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat.

Dia sudah membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya. Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu. Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun, tidak mendapat kesempatan untuk membalik dan mencakar kedua tangan yang menangkap ekornya, bahkan kini dengan ayunan kuat, tubuh harimau itu meluncur ke arah batu besar.

"Prakkk!"

Harimau itu tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika!

Ketika Hay Hay menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi, dia tersenyum. Dua ekor harimau itu melarikan diri, seperti dua orang wanita yang baru saja terbebas dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)! Diapun cepat membuat api unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membubuinya dengan garam dan bawang kering. Baunya sedap bukan main setelah daging yang dibumbui itu terpanggang api.

Ketika dia mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa disitu tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan harimau. Diapun menghampiri tempat itu dan dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan ketia dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan. Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah!

Pantas saja ketika tadi makan ubi itu, mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan darah. Dia mencoba makan ubi itu. Enak! Manis dan sedap. Diapun makan ubi merah yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali.

Perut yang kenyang, tubuh yang lelah, bersilirkan angin yang sejuk, membuat Hay Hay mengantuk. Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Berbahaya tidur di tempat yang banyak harimaunya itu. Dan tak lama kemudian diapun sudah tertidur nyenyak di atas pohon. Dia sudah sering dalam perjalanan dan petualangannya tidur di atas pohon.

Matahari sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejap-ejapkan matanya, lalu terbangun. Dia mimpi terjebak musuh berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika dia terbangun, dia masih merasakan hawa yang luar biasa panasnya dan semua pakaiannya basah karena keringat. Dia lalu meloncat turun dari atas pohon. Tubuhnya terasa ringan, dan juga kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya.

Hay Hay juga merasakan rangsangan berahi yang kuat dan dia merasa khawatir sekali. Tahulah bahwa keadaannya ini tidak wajar dan diapun teringat akan apa yang dimakannya tadi. Daging harimau jantan bulu kehitaman dan ubi merah darah. Itulah agaknya yang menjadi sebab keadaannya ini. Diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih, akhirya dapat dia meredakan gelora dalam tubuhnya.

Namun api itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan berahi yang amat kuat. Kini mengerti dia mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu memiliki gairah yang amat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga yang hebat pula.

Dia harus mencari sebuah dusun sebelum malam tiba. Biarpun dia dapat saja melewatkan malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman kalau dia bisa bermalam di dalam sebuah rumah, walau hanya rumah pondok kecil sederhana milik orang dusun. Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan memanjat pohon itu sampai ke puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang ke sekeliling.

Matahari sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun, yang nampak hanya genteng-genteng rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng rumah itu seperti melambai-lambai.

Segera dia turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun yang tadi dilihatnya. Setelah tiba di luar dusun, cuaca menjadi lebih terang dan pemandangan senja itu, amatlah indahnya. Seolah-olah sang matahari yang akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang, lebih dahulu memancarkan cahayanya lebih gemilang walaupun lembut.

Hay Hay berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia dapat melihat dusun tadi, dan nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di luar dusun, airnya berkilauan tertimpa sinar senja. Diapun cepat menuruni lereng itu menuju ke dusun.

Ketika dia tiba di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya amatlah jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk menikmati penglihatan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa, suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah menyenangkan hati Hay Hay dan diapun segera menuju ke arah suara.

Kembali dia berhenti melangkah dan kini tertegun, terpesona. Kiranya, seperti yang diharapkannya, di sungai yang dangkal itu, terdapat lima orang wanita sedang mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya hanya sepinggang itu.

Mereka bersendau gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona. Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang bermandi di sungai jernih, diwaktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, dan pundak, punggung dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa sinar matahari senja, mulus halus dan amat indahnya.

Hay Hay bersembunyi di balik rumpun ilalang di tepi sungai, mengintai dan jantungnya berdebar kencang, rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan daging harimau hitam dan ubi merah tadi kini mulai berkobar lagi. Gairah nafsu yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan.

Terutama sekali ketika dia melihat seorang diantara lima orang gadis dusun itu. Seorang gadis yang amat manis, dan agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan mereka kepada gadis manis ini, yang kadang tersipu malu-malu dengan muka menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay Hay bahwa gadis manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin baru!

Nafsu bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, nafsu amatlah berguna bagi manusia, bahkan manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran. Manusia tidak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api, kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan menjadi majikan, celakalah kita!

Kita akan diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu adalah kesenangan. Dimana ada kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat kuatnya. Makin kuat nafsu merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan!

Kepada Tuhan saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baikpun pada dasarnya bergelimang nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu.

Hay Hay merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu bermain-main di air sungai, terutama sekali melihat wanita muda yang oleh kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka. Dia muncul dari balik rumpun ilalang dan begitu melihat munculnya seorang pria asing, lima orang wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang karena basah.

Melihat mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, Hay Hay cepat berkata, sambil mengangkat kedua tangan keatas,

"Nona-nona harap jangan takut. Aku bukan setan, melainkan manusia biasa dan manusiapun bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan muka agar tidak melihat kalian mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan."

Hay Hay lalu membalikkan tubuh, membelakangi mereka. Melihat ini, timbul pula keberanian para gadis itu dan sambil kecicikan menahan tawa, mereka cepat keluar dari sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka berlari-larian kecil meninggalkan tempat itu.

"Nanti dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona pengantin yang baik, engkau harus menerima ucapan selamat dariku!" kata Hay Hay dengan suara lembut membujuk.

Mendengar ini, pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari dan empat orang kawannya yang melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri menanti dan dengan muka tersipu ia memandang kepada pemuda yang kini sudah berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandang mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga ia hanya merasa malu akan tetapi tidak lagi takut.

"Nona pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta pernikahanmu. Tentu meriah sekali, sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay berkata ramah, lalu menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta pernikahanmu?"

Wanita itu memandang heran dan membela diri.
"Bagaimana saya dapat mengirim undangan kalau saya tidak mengenalmu?"

"Aahhh, benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah engkau mengenalku sekarang. Namaku Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali.

Melihat pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja wanita muda pengantin baru itupun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia tersenyum dan jantung dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu! Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri.

"Namaku Cing Ling..... eh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu dan karena kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya, iapun agak tersipu.

"Cing Ling, nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu mengingatkan aku akan seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari. Kau tahu, Nona. Ketika tadi aku tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena takut!"

Wanita itu sudah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay bicara, selalu membuat ia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu merupakan kalimat yang membutuhkan keterangan berlanjut.

"Kongcu, kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali.

"Kongcu? Aih, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan bersahabat?"

Wanita itu terkejut, tidak tahu mengapa ia membuat pemuda itu sedih dan penasaran!
"Apa maksudmu, Kongcu?"

"Kongcu lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberitahukan bahwa namaku Hay Hay, nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?"

Wanita muda ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay tentang kecantikannya, maka kini ia merasa gembira dan tersenyum lagi, seyum yang mampu membuat Hay Hay setengah pingsan!

"Baiklah, Hay Hay. Nah, katakah kenapa engkau ketakutan begitu tiba disini tadi? Apakah engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau.

Hal ini dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang pria yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat ia merasa asing, sungkan dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya, di keluarga mertuanya, ia merasa asing dan rikuh, seperti berada di pulau terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga hubungan diantara mereka menjadi kaku.

Baru sore hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama teman-teman lamanya, mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, bertemu Hay Hay yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing Ling dan mulai ia berani menyambut gurauan Hay Hay.

"Melihat setan? Wah, jauh daripada itu. Sebaliknya malah! Aku melihat bidadari! Lima orang bidadari sedang mandi di air sungai yang amat jernih, dan terutama seorang diantara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga ketakutan!"

Sepasang mata yang jeli itu bersinar-sinar, mulut yang manis itu dihias senyum nakal.
"Hemm, aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi ketakutan?"

Hay Hay tertawa.
"Ha-ha, kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan tetapi menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu rambutnya ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang kadang dapat menjadi kemerahan, dan senyum yang.... aduhai senyummu, Cing Ling membuat jantungku seperti akan copot!"

Wanita mana di dunia ini yang tidak haus akan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana yang tidak haus akan kata-kata yang manis merayu? Apalagi kalau yang memuji dan merayunya itu seorang pemuda yang demikian tampan seperti Hay Hay, dengan sikap yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Kalau wanita itu menjadi marah, hal itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu, seperti halnya Cin Ling.

"Ihh, engkau..... engkau merayuku, ya? Engkau mata keranjang!"

Cing Ling hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya.

"Cing Ling, sungguh mati, aku tidak bermaksud kurang ajar! Kalau ucapanku tadi menyinggungmu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah, maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus disini sampai akhir jaman!"

Mendengar ucapan itu, mau tidak mau sang pengantin menghentikan langkahnya dan ketika ia menengok, ia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut menghadapnya. Belum pernah selama hidupnya gadis dusun ini mendapatkan kehormatan seperti itu, maka cepat-capat ia menghampiri Hay Hay dan berkata.

"Ihh, jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi kotor!"

"Tidak, sebelum engkau memaafkan aku, aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati berlutut terus begini!"

"Baiklah, aku maafkan engkau.... nah, bangkitlah...."

"Sebut dulu namaku, baru aku mau bangkit."

Wanita muda itu menarik napas panjang. Ia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang amat menarik hatinya ini. Akan tetapi ia juga sudah terikat, merasa kasihan dan suka kepada pemuda ini merasa seolah ia sudah mengenal pemuda ini selama bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya.

"Aih, Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu." akhirnya ia berkata.

Hay Hay mengangkat muka memandang.
"Cing Ling, bagaimana aku dapat percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin? Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku tidak memuji kosong, aku bukan perayu, aku hanya mengatakan terus terang ketika aku menyatakan bahwa engkau memang cantik jelita dan manis sepetti bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"

Wajah itu menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidupnya, dalam mimpipun, belum pernah ia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini!

"Aku memaafkanmu." katanya mengangguk.

Hay Hay mengulurkan kedua tangannya.
"Bangkitkanlah aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang telah memaafkan aku. Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?"

Wanita itu tersenyum. Apapun, pemuda ini malah keluar manjanya! Karena semua itu dilakukan Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itupun menggenggam kedua tangan yang kecil mungil itu, lalu bangkit berdiri tanpa melepaskan kedua tangan itu.

Bagaikan dua ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil dalam genggangam itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya. Baru beberapa hari yang lalu ia mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Akan tetapi ia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Digenggam kedua tangannya seperti itu, jantungnya seperti terguncang rasanya, membuat kedua kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Ia seperti kehilangan semua tenaganya, tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam.

Sementara itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan sebelumnya. Sejak dahulu ia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita. Akan tetapi, semua rasa kagum itu wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga yang indah, rasa suka yang bersih daripada nafsu. Saat ini lain lagi. Di dalam tubuhnya ada api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya.

Api nafsu berahi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, membuat semua kesadarannya menjadi gelap, pertimbangannya menjadi terguncang dan dia lupa diri. Gairah yang menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itupun roboh dalam dekapannya!

Kalau saja saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu akan pulih kembali kesadaran Hay Hay. Akan tetapi tidak, wanita itupun seperti terpesona, seperti kehilangan kesadarannya dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay, dengan isak tertahan. Ketika dalam kobaran nafsu berahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun pagi.

"Cing Ling.....!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi.

"Hay Hay...." Cing Ling mengeluh dan pasrah.

"Jahanam keparat....!!" terdengar bentakan orang.

Tentu saja Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan ketika mereka menengok, ternyata disitu telah berdiri belasan orang laki-laki dusun dengan wajah penuh kemarahan!

Cing Ling tersadar dan iapun mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lalu menudingkan telunjuknya yang gemetar, mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan, suaranya gemetar pula,

"Kenapa...... kenapa kau.... kau.... memelukku....?" Berkali-kali ia berseru seperti itu.

Hay Hay juga sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia memaki diri sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan malapetaka kepada seorang wanita yang amat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa! Tentu pengantin baru itu menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua keluarga suaminya!

"Keparat busuk, berani engkau mempermainkan isteri orang?" bentak seorang pemuda tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, engkau layak dipukul sampai mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan kedua tangan dikepal.

Wah, kiranya si tinggi besar muka hitam ini suami si pengantin baru! Hay Hay tidak sempat berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah dan marah kepada diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas dipukul, patut dihajar!

"Dukk!!" Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya.

"Bukk!" pukulan kedua mengenai dadanya dan tubuh Hay Hay terjengkang, kepalanya menjadi pening.

Dia memang sengaja tidak mengerahkan tenaga apapun dan menerima pukulan-pukulan itu begitu saja untuk membiarkan dirinya dihajar!

Kini belasan orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay hanya mengelak kalau ada kaki menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengar suara bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama sekali si muka hitam yang marah melihat isterinya tadi didekap dan diciumi, pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya.

Mampus kau, pikir Hay Hay, memaki diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, matanya berkunang-kunang dan agaknya dia nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangis wanita itu.

"Jangan bunuh dia.... ah, jangan bunuh dia.... dia tidak bersalah....!"

Hay Hay membuka lagi kedua matanya yang lebam membengkak dan kehitaman. Dia melihat pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan kedua tangan sambil mita-minta ampun untuk dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali! Betapa lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya! Betapa jahat dia!

Mendengar jerit tangis wanita itu, belasan orang yang tadi memukulinya menghentikan pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan pembunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka membunuh orang. Wajah dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak belur.

Akan tetapi pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu sudah dibakar api cemburu.

"Kau perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pegantin sudah menyeleweng dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan hina yang layak dihajar!"

Suami Cing Ling yang sudah marah sekali itu melangkah maju menghampiri isterinya yang berlutut sambil menangis, sedangkan kawan-kawannya hanya menonton saja karena kalau suami itu menghajar isterinya, tentu saja mereka tidak berhak mencampuri.

"Tahan dulu.... !"

Hay Hay bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur dan dia berdiri menghadang melindungi wanita itu.

Hal ini membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia, membelalakkan matanya,
"Jahanam busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?"

Hay Hay diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimanapun juga, Cing Ling tidak bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan dia tahu bagaimana harus berbuat. Diapun tertawa bergelak, membuat si muka hitam dan kawan-kawannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah menjadi gila, pikir mereka dan merekapun khawatir. Jangan-jangan pemukulan bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!

"Ha-ha-ha-ha, kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik, aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"

Belasan orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti raksasa, dua kali lebih tinggi daripada manusia biasa!

"Hei, muka hitam! Berani engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tidak bersalah, karena tadi ia dan kawan-kawannya mandi disini mengotori tempatku, maka aku sengaja menghukum dan menggodanya. Ia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya!? Nah, kubikin engkau jungkir balik, kepala di bawah dan kaki diatas!"

Si muka hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, dan belasan orang kawannya juga memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil ketika mereka melihat si muka hitam itu tiba-tiba jungkir balik, kaki diatas dan kepala di bawah!

Wanita itupun menurunkan kedua tangan dari depan muka dan memandang. Ia tidak berada dalam pengaruh sihir, maka iapun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, demikian pula belasan orang dusun.

"Ampun.... ampunkan saya....." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.

Hay Hay tertawa lagi.
"Bersumpahlah bahwa engkau tidak akan memukul isterimu, tidak akan cemburu dan marah kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau sekali saja engkau melanggar, aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau jungkir batik seperti ini sampai engkau mati!"

"Saya bersumpah.... saya bersumpah....." Si muka hitam berkata dengan penuh kesungguhan.

Kini Hay Hay berkata kepada belasan orang teman si muka hitam.
"Dan kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat simuka hitam ini memukuli isterinya, dan bersikap kasar, kalian tidak mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"

Tentu saja belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Mereka bersama seperti dikomando saja lalu menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat,

"Kami berjanji akan mentaati perintah..."

"Bagus! Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, ia harus diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Nah, aku akan kembali ke tempat asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni, berlututlah seperti biasa!"

Dan tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat "raksasa" itu melangkah mendekati sungai, lalu melihat dia terjun ke sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu raksasa itu terjun, diapun lenyap!

Setelah mereka semua berani bangkit, si muka hitam lalu menghampiri isterinya yang masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan lembut,

"Cing Ling, maafkan aku...."

Juga kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan berkata,

"Kami juga mohon maaf...."

Cing Ling hanya dapat mengangguk. Ia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua peristiwa tadi. Pemuda asing itu tadi amat menarik hatinya, bahkan ia akui bahwa ia terpikat dan terpesona. Kemudian, pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa melawan sampai babak belur.

Akan tetapi, pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai dan suaminya, juga belasan orang laki-laki yang tadi menghajarnya, berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda tampan itu lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan pesan dan ancaman agar semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.

Dan sejak saat itu, Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya, mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang mendengar cerita belasan orang itu, menganggap ia seperti seorang dewi yang dilindungi penjaga sungai!

Sampai-sampai kepala dusun juga menghormatinya. Dan suaminya bukan saja bersikap hormat dan lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi! Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Akan tetapi, di waktu malam, seringkali wanita ini termenung, teringat kepada Hay Hay. dan perasaan rindu gerogoti hatinya!

"Rasakan kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan sekarang!"

Hay Hay memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun. Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk termenung.

Dia tahu benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga tersohor, Si Kumbang Merah!

Dia memiliki darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor, dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan akan menjadi semakin tersesat!

Dia memiliki banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik selama hidup.


cerita silat online karya kho ping hoo


Akan tetapi, begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan kehendak nafsunya.


Orang yang berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja, bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal pikiran.

Nafsu membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi kelezatan, demi keenakan.

Biar bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya. Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan. Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya, sebagai hiasan tubuh.

Dalam segala perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan demi mencapai kepentingan masing-masing.

Hay Hay mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak, bahkan hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya. Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya, sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong, banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah semua, telah menjadi isteri orang lain.

Hay Hay memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.

Kemudian Bi Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng, adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.

Tinggal Cia Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Diapun tidak terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja tidak dapat dipersalahkan.

Dia sendiri yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah benar.

Hidup adalah perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak kepada penanggulangan semua tantangan itu!

Menghadapi setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan keadaan yang bagaimana pahitpun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan. Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah, dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya!

Landasannya hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki Tuhan. Kehendak Tuhanpun jadilah, setiap saat dan dimana saja! Hasil atau gagal usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan itu.

Hay Hay tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu.

Kalau sudah demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.

Akan tetapi tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi, yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.

Mereka itu tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun, berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus, seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik,

"Kalian berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku akan menyambar buntalan pakaiannya."

Si brewok menyeringai,
"Hemm, Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling menggoda perempuan. Tadipun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."

"Siauw-te, Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu, dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu bergoyang-goyang?"

"Sudahlah, kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat laksanakan!" kata si tinggi kurus.

Dua orang itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang yang mencurigakan. Tawanya tadipun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya, seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka rampas?

Dengan pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua diantara tiga orang telah mengambil jalan memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri dari arah kanan. Diapun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga menghadapi segala kemungkinan.

Karena sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.

"Hemm, kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.

Ditegur demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju, sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu berkata dengan suaranya yang berwibawa.

"Hei, orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah, keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan tidak akan mengganggumu lagi."

Hay Hay memandang heran,
"Ehh? Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan engkau minta benda apakah, Paman? Aku ini seorang perantau miskin, tidak mempunyai uang."

Hay Hay teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu.

Batu kemala itukah yang dikehendaki tiga orang ini? Dia menerima batu mustika itu sebagai hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.

"Orang muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang kau terima dari Yu Siucai!"

Hay Hay terkejut. Ah, kiranya itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu amat penting maka diapun selalu menyimpannya di dalam saku baju bagian dalam dan saat itupun benda itu berada di batik bajunya. Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, akan tetapi mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang amat bijaksana, dan harus diserahkan kepada satu diantara dua menteri setia yang paling dia hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, dia yakin bahwa benda itu teramat renting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)?

"Ah, kiranya itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang telah meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada siapapun juga kecuali mereka yang berhak menerima."

Buntalan itu telah dirapikan kembali dan diletakkan di tempat semula. Perbuatan ini saja menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara membujuk.

"Orang muda, benda itu amat penting bagi kami, sebaliknya tidak ada artinya bagimu. Serahkan kepada kami dan kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat, sekantong emas ini kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu. Serahkan kepada kami!"

Hay Hay melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran. Emas dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta yang cukup banyak. Juga sikap ini menunjukkan bahwa dia tidak berhadapan dengan orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka menawarkan emas untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, makin menariklah sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.

"Maaf, Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dipesankan orang yang sudah mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat. Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi pekerti yang baik."

Si brewok meloncat mendengar ucapan itu.
"Heii, orang muda, jangan berlagak dan mencoba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"

Si tinggi kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam lalu dia kembali menghadapi Hay Hay.

"Orang muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Engkau tidak ingin melihat bangsamu sendiri saling bermusuhan, terjadi perang saudara yang mengorbankan nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"

Tentu saja Hay Hay terkejut mendengar ini.
"Paman, apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang saudara?"

"Toako, perlukah bicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.

Akan tetapi si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpenglihatan tajam. Tadi dia melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biarpun tadi dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu memiliki ilmu kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.

"Orang muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas itu berisikan surat fitnah yang akan mengadu domba. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, engkau tentu seorang yang cukup gagah dan tidak ingin melihat timbulnya perang saudara, bukan?"

"Tentu saja aku tidak ingin ada perang saudara, Paman. Akan tetapi akupun tidak ingin menyerahkan wasiat itu kepada siapapun kecuali kepada yang berhak menerimanya sesuai dengan pesan mendiang kakek itu." kata Hay Hay dengan tegas.

"Siapa yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"

Hay Hay menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga ,siapakah mereka bertiga ini dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa yang berhak menerima wasiat itu merupakan rahasianya sendiri, tidak perlu diberitahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan pesan kakek bijaksana itu.

"Aku tidak dapat memberitahu kepada siapapun, Paman."

"Bocah sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap lagi, serahkan surat itu!"

“Hayo berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.

Hay Hay tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli orang-orang dusun. Kalau begitu, mereka ini agaknya sudah lama membayanginya atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka ini mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya.

Padahal yang mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol pencemburu itu. Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini masih ada hubungannya dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu kepandaian yang lumayan itu?

Kini si tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan diapun berkata dengan suara bernada mengancam,

"Orang muda, kami bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Akan tetapi sekali ini, karena surat itu teramat penting bagi keselamatan rakyat, terpaksa kami akan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerahkan dengan cara baik-baik."

"Maaf, aku tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay dan dengan sikap tenang diapun mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan bersiap meninggalkan mereka.

Tiga orang itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat untuk turun tangan.

"Orang muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok dan diapun sudah menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay.

Agaknya si brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang amat kuat itu, dia akan berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu darinya.

Namun Hay Hay cepat mengelak sambil melanjutkan kesibukan kedua tangannya mengikatkan ujung kain buntalan di depan dada. Enak saja dia mengelak, seolah serangan itu sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya!

Padahal, si brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga ketika tangan yang besar itu menyambar, terdengar suara angin bersiut. Pukulan itu mengenai tempat kosong, dan pada saat itu, si gendut sudah menggelundung seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay dan sekali melompat, dia sudah mengirim totokan tiga kali berturut-turut.

"Hemm ....!"

Hay Hay kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan disini dia disambut oleh sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.

"Plakk!"

Hay Hay menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental, akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan itu.

Hay Hay tidak mau membuang tenaga dan waktu melayani tiga orang itu, maka begitu mendapat kesempatan, dia lalu melompat pergi.

"Selamat tinggal, Paman-paman!" katanya.

Melihat pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok menggerakkan tangan kanannya.

"Singgg.....!!"

Sebatang pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda ini tiba-tiba membalik dan menangkap pisau itu dari samping dengan tangan kirinya.

"Wirrr.....!!"

Si gendut juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.

"Tranggg....!!" Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.

Hay Hay berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan amat cepatnya, seperti terbang saja.

"Tarrr..... suuuutttt....!!"

Hay Hay terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat telinganya. Begitu meledak, peluru sudah tiba di dekat telinganya. Betapa cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit putih dan yang terkenal amat ampuh dan berbahaya.

Banyak sudah ahli-ahli silat tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang dapat memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Untung bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter lagi saja menyimpang, peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas!

Sungguh berbahaya, Hay Hay melompat jauh ke depan lalu berlari cepat seperti orang terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan mereka dan lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.

Setelah merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Terpaksa malam itu dia tinggal di tepi sungai setelah melewati dua buah hutan. Terdapat lapangan rumput disitu dan terlindung beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus waspada setelah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai mencarinya.

Hay Hay merebahkan diri di atas rumput dan sampai jauh malam dia tidak tidur, hanya termenung. Kemudian, setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong sudah mulai menyinari tempat itu, dia membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya.

Tadinya, sedikitpun dia tidak ingin mengetahui apa isinya, hanya mengambil keputusan untuk pergi ke kota raja dan menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang atau Menteri Yang. Apapun isi gulungan surat itu, tidak penting dia ketahui karena tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Pula, dia harus menghormati wasiat dari kakek bijaksana itu.

Akan tetapi kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal ini membuat dia ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang diantara dua menteri itu.

Di bawah sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi Hok-kian.

Dilaporkan bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan.

Surat laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.

Setelah membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak.

Jelaslah bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu. Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan anak buah persekutuan orang kulit putih!

Karena surat itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan. Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada yang berhak.

Sesungguhnya, apakah yang terjadi di kota Cang-cuw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan diam-diam dan rahasia di kota itu.

Orang-orang kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.

Kapal pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian, empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa.

Rombongan empat kapal inipun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama diikat.

Akan tetapi, selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak asli mereka.

Seperti harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat, mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik memperkosa wanita!

Makin lama, gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu. Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai pedagang.

Beberapa tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar lagi tentang orang Portugis.

Akhimya, pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan disini mereka diterima dengan baik oleh para pejabat di Ning-po.

Waktu yang sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton. Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang.

Mula-mula, orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini.

Akan tetapi, setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka, lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan, memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh orang, menculik dan memperkosa wanita.

Akhirnya, para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng. Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.

Demikianlah, dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.


                   ***************

Sekitar tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi, melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan.

Mulailah orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir, bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai Mutiara dan muara Kwan-tung.

Kolonel Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan. Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan bajak laut Jepang.

Dengan taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!

Seperti yang sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng besar dimana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung, walaupun tetap mereka itu berkelompok.

Karena keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan pendeta-pendeta.

Kolonel Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun orang kedua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang.

Kapten Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras, namun sinar matanya yang biru laut itu lembut.

Puterinya, Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan lekuk-lengkung sempurna.

Bagaikan setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau memberi hati kepada pria manapun juga sehingga tidak ada pria yang berani menggodanya.

Kehormatan seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria. Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.

Sebaliknya, setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali menggodanya!

Kapten Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang kedua yang menjadi pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai dibiarkan tumbuh.

Biarpun biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang telah membuatnya tergila-gila itu.

Kapten Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu, Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah.

Di hadapan kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari benda-benda berharga dari Portugis.

Yang amat menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.

Semenjak diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa yang diterima baik oleh kaisar sendiri!

Demikian pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorangpun pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu.

Ketika beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut.

Dia tahu bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan berarti aman pula rahasia persekutuan itu.

Akan tetapi, kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua, yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12