Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Si Mata Keranjang
Jilid 13
Ada
kehidupan di perutnya. Perutnya berkeruyuk di luar kehendaknya. Perut itu hidup
dan kini memberi isyarat minta diisi. Bukan hanya mendengarkan suara
berkeruyuk, akan tetapi juga terasa hampa dan pedih. Lapar! Dalam keadaan
seperti itu, yang dibutuhkan hanyalah makanan pengisi perut. Makanan apa saja,
asalkan dapat memenuhi tuntutan perut lapar. Bukan lagi tuntutan nafsu selera
mulut yang ingin makan enak.
Hay Hay
memasuki hutan yang nampak liar dan gelap itu. Hutan selebat itu tentu dihuni
binatang yang dapat dimakan dagingnya, atau mungkin saja tumbuh pohon buah.
Pendeknya, daging binatang atau buah apa saja yang dapat dimakan. Dia amat
memerlukannya saat itu.
Akan tetapi
tidak ada pohon buah di tempat itu. Yang ada hanyalah pohon-pohon liar yang
besar, mungkin sudah ratusan tahun umurnya. Dia harus mencari binatang hutan
yang dagingnya enak dimakan. Kalau ada kelinci atau kijang. Dia tidak mau makan
daging kera atau babi hutan, belum pernah dia memakannya dan rasanya tidak tega
untuk makan daging kera, dan ia merasa jijik makan daging babi hutan yang
nampaknya demikian kotor.
Sejak
kemarin dia melakukan perjalanan di daerah tandus, tidak bertemu dusun dan
sudah sehari semalam dia tidak makan. Perutnya yang lapar membuat tubuhnya agak
gemetar. Tiba-tiba dia mendengar suara auman yang menggetarkan bumi. Auman
harimau! Pernah dia makan daging harimau. Lumayan juga. Seperti daging domba,
panas, hanya lebih kasar. Kalau tidak ada pilihan lain, daging harimaupun akan
diterima dengan senang oleh perutnya. Daging harimau bakar, dia masih menyimpan
bawang kering dan garam! Jakunnya sudah naik turun ketika dia membayangkan
daging harimau yang dipanggang kemerahan.
Cepat dia
menyelinap, menuju ke arah suara auman harimau. Kini, suara itu menjadi semakin
riuh dan ternyata bukan suara seekor harimau saja yang mangaum, melainkan ada
beberapa ekor harimau dan dua diantaranya menggereng, disusul gerengan harimau
lain sehingga menjadi ramai sekali. Hay Hay cepat menghampiri tempat itu. dan
dia bersembunyi sambil mengintai dengan hati tertarik sekali.
Seekor
harimau yang berbulu hitam sedang berkelahi melawan dua ekor harimau biasa. Dua
ekor harimau yang mengeroyoknya itu bertubuh lebih besar, akan tetapi harimau
hitam itu tangkas bukan main. Gerakannya amat cepat, gesit dan dari otot-otot
yang kekar melingkari tubuh di bawah kulit itu dapat diketahui bahwa harimau
hitam ini selain tangkas juga amat kuat. Hay Hay yang menjadi penonton, kagum
bukan main. Harimau hitam jantan itu sungguh perkasa.
Di tempat
itu terdapat pula dua ekor harimau betina yang masih muda. Merekapun agaknya
menjadi penonton dan sesekali mengeluarkan gerengan. Seperti telah diduga oleh
Hay Hay, perkelahian itu tidak berlangsung lama. Segera dua ekor harimau biasa
itu melarikan diri dengan luka-luka berdarah. Dan kini, harimau hitam
menghampiri dua ekor harimau betina, harimau berbulu biasa seperti dua ekor
harimau jantan yang tadi melarikan diri.
Dua ekor
harimau betina ini menggereng dan nampak tidak senang, akan tetapi ketika
harimau hitam mengeluarkan auman dan memperlihatkan gigi bercaling yang runcing
tajam, dua ekor harimau betina itu nampak ketakutan dan merekapun tidak melawan
ketika harimau jantan hitam itu membelai-belai dan menumpahkan berahinya.
Hay Hay
tertegun dan diapun teringat kepada mendiang ayah kandungnya, Si Kumbang Merah.
Harimau hitam ini agaknya memiliki watak yang mirip mendiang ayahnya itu. Gila
betina dan mempergunakan kekerasan untuk merampas harimau betina dari harimau
lain, dan memaksakan kehendak dan berahinya!
Dia masih
terpesona melihat lagak harimau jantan hitam itu. Binatang itu memaksa dua ekor
harimau betina, memperkosa mereka bergantian dan agaknya binatang itu memiliki
kekuatan yang tidak wajar. Dia tak mengenal lelah. Menyaksikan peristiwa yang
selama hidupnya belum pernah dilihatnya itu, Hay Hay tertarik sekali sampai dia
lupa akan rasa lapar di perutnya.
Akhirnya,
harimau jantan yang berbulu kehitaman itu tidak lagi mengganggu dua ekor
korbannya, dan dengan langkah gontai yang menambah kegagahannya, harimau itu
menuju ke bawah pohon besar, kedua kaki depan mencakar-cakar tanah menggali
tanaman seperti ubi. Dan dimakannya ubi itu dengan lahapnya.
Hay Hay
makin heran. Ketika harimau itu makan ubi, mulutnya menjadi merah seperti
berlepotan darah! Harimau itu menghabiskan beberapa butir ubi merah, kemudian
terjadilah hal yang membuat Hay Hay mengerutkan alisnya. Harimau jantan hitam
itu kembali mengganggu dua ekor harimau betina yang nampaknya sudah kelelahan.
Dua ekor harimau betina itu melakukan perlawanan, akan tetapi mereka menerima
cakaran dan gigitan yang membuat mereka luka-luka.
Melihat ini,
Hay Hay tak dapat menahan kemarahannya. Dia seperti melihat penjahat cabul
memperkosa dua orang wanita dan menyiksa mereka. Dengan geram diapun melompat
keluar dari balik semak belukar.
Melihat ada
orang meloncat keluar, harimau itu menghentikan gangguannya kepada dua ekor
korbannya dan diapun mengaum dengan nyaring, menggetarkan bumi sambil
berindap-indap menghampiri Hay Hay.
Setelah tiba
di depan Hay Hay dalam jarak empat meter, harimau itu berhenti, mendekam dan
matanya seperti mencorong mengamati Hay Hay. Pemuda inipun tidak mau kalah,
memandang harimau itu dan sejenak manusia dan harimau bertatap pandang mata.
Bagaimanapun juga, harimau itu akhirnya mengejapkan mata dan nampak gelisah,
lalu bangkit berdiri, keempat kakinya menegang, semua ototnya menggetar dan
harimau itu mengaum lagi dua kali.
Hay Hay
sudah siap siaga, maklum bahwa harimau itu tentu akan segera menyerangnya. Dia
sudah membuat perhitungan dan mengukur jarak antara tempat itu dengan sebongkah
batu besar yang berada di sebelah kirinya.
Harimau
hitam itu kini menggereng dan segera tubuhnya meluncur ke atas dan depan,
menubruk ke arah Hay Hay. Gerakannya cepat sekali dan semua suara dan sikapnya
demikian mendatangkan rasa gentar karena dahsyat dan berwibawa. Namun, gerakan
itu tidak terlalu cepat bagi Hay Hay.
"Binatang
kejam dan jahat!" bentak Hay Hay dan ketika tubuh binatang itu hampir
menerkamnya, tiba-tiba saja dia membuat gerakan ke depan bawah, menyelinap dan
mengelak sehingga tubuh harimau itu meluncur lewat.
Dia sudah
membalik dan menangkap ekor harimau yang panjang itu dengan kedua tangannya.
Kemudian, tanpa membuang waktu lagi, Hay Hay mengayun tubuh harimau itu.
Harimau yang dipegang ekornya dan diayun-ayun, tidak mendapat kesempatan untuk
membalik dan mencakar kedua tangan yang menangkap ekornya, bahkan kini dengan
ayunan kuat, tubuh harimau itu meluncur ke arah batu besar.
"Prakkk!"
Harimau itu
tidak sempat mengaum lagi karena kepalanya sudah pecah ketika dengan amat
kuatnya kepala itu dihantamkan ke batu besar. Binatang itu mati seketika!
Ketika Hay
Hay menengok ke arah dua ekor harimau betina tadi, dia tersenyum. Dua ekor
harimau itu melarikan diri, seperti dua orang wanita yang baru saja terbebas
dari cengkeraman seorang jai-hwa-cat (penjahat cabul)! Diapun cepat membuat api
unggun, memanggang daging harrmau jantan hitam setelah membubuinya dengan garam
dan bawang kering. Baunya sedap bukan main setelah daging yang dibumbui itu
terpanggang api.
Ketika dia
mulai makan daging panggang yang masih panas itu, dia menyayangkan bahwa disitu
tidak ada nasi. Dan teringatlah dia akan ubi merah yang tadi dimakan harimau.
Diapun menghampiri tempat itu dan dilihatnya tanaman semacam ubi jalar dan
ketia dia mencabutnya, dia mendapatkan dua butir ubi yang kulitnya kemerahan.
Dia mengupasnya dan nampak daging ubi yang merah sekali, merah darah!
Pantas saja
ketika tadi makan ubi itu, mulut harimau hitam menjadi merah seperti berlepotan
darah. Dia mencoba makan ubi itu. Enak! Manis dan sedap. Diapun makan ubi merah
yang manis itu dengan daging harimau, sampai kenyang sekali.
Perut yang
kenyang, tubuh yang lelah, bersilirkan angin yang sejuk, membuat Hay Hay mengantuk.
Dia bersandar pada batang pohon dan hampir tertidur. Ketika dia teringat kepada
hariamu-harimau tadi, dia segera meloncat naik ke atas pohon. Berbahaya tidur
di tempat yang banyak harimaunya itu. Dan tak lama kemudian diapun sudah
tertidur nyenyak di atas pohon. Dia sudah sering dalam perjalanan dan
petualangannya tidur di atas pohon.
Matahari
sudah condong ke barat ketika Hay Hay mengejap-ejapkan matanya, lalu terbangun.
Dia mimpi terjebak musuh berada dalam ruangan yang terkurung api. Ketika dia
terbangun, dia masih merasakan hawa yang luar biasa panasnya dan semua
pakaiannya basah karena keringat. Dia lalu meloncat turun dari atas pohon.
Tubuhnya terasa ringan, dan juga kuat, akan tetapi panasnya bukan main seolah
ada api besar bernyala di dalam perut dan dadanya.
Hay Hay juga
merasakan rangsangan berahi yang kuat dan dia merasa khawatir sekali. Tahulah
bahwa keadaannya ini tidak wajar dan diapun teringat akan apa yang dimakannya
tadi. Daging harimau jantan bulu kehitaman dan ubi merah darah. Itulah agaknya
yang menjadi sebab keadaannya ini. Diapun cepat duduk bersila dan mengerahkan
tenaga dalamnya. Setelah mengatur pernapasan dan menghimpun hawa jernih,
akhirya dapat dia meredakan gelora dalam tubuhnya.
Namun api
itu tidak padam, hanya kini menyala kecil di sebelah dalam. Tahulah dia bahwa
daging harimau hitam dan ubi merah itu mengandung daya rangsangan berahi yang
amat kuat. Kini mengerti dia mengapa watak harimau jantan hitam itu seperti
tadi. Tentu karena binatang itu biasa makan ubi merah, maka harimau itu
memiliki gairah yang amat besar, juga agaknya makanan itu mendatangkan tenaga
yang hebat pula.
Dia harus
mencari sebuah dusun sebelum malam tiba. Biarpun dia dapat saja melewatkan
malam di hutan, tidur di atas pohon, namun akan lebih nyaman kalau dia bisa
bermalam di dalam sebuah rumah, walau hanya rumah pondok kecil sederhana milik
orang dusun. Dia mencari sebatang pohon yang paling tinggi, meloncat dan
memanjat pohon itu sampai ke puncaknya dan dari tempat tinggi itu dia memandang
ke sekeliling.
Matahari
sudah condong ke barat, senja telah mendatang dan pemandangan dari pohon tinggi
itu amatlah indahnya. Kiranya hutan itu berada di lereng bukit dan di sebelah
bawah lereng bukit itu nampak sebuah dusun, yang nampak hanya genteng-genteng
rumahnya. Penglihatan ini mendatangkan kegembiraan di hati Hay Hay. Genteng
rumah itu seperti melambai-lambai.
Segera dia
turun dari pohon dan berlari cepat keluar dari hutan itu, menuju ke arah dusun
yang tadi dilihatnya. Setelah tiba di luar dusun, cuaca menjadi lebih terang
dan pemandangan senja itu, amatlah indahnya. Seolah-olah sang matahari yang
akan mengundurkan diri malam itu, sebelum menghilang, lebih dahulu memancarkan
cahayanya lebih gemilang walaupun lembut.
Hay Hay
berhenti sejenak menikmati pemandangan indah itu. Kini dari luar hutan itu dia
dapat melihat dusun tadi, dan nampak pula sebuah sungai yang berkelok-kelok di
luar dusun, airnya berkilauan tertimpa sinar senja. Diapun cepat menuruni
lereng itu menuju ke dusun.
Ketika dia
tiba di dekat anak sungai yang berbatu-batu dan berpasir sehingga airnya
amatlah jernihnya, tiba-tiba dia berhenti lagi. Sekali ini bukan untuk
menikmati penglihatan indah, melainkan karena mendengar suara yang amat
dikenalnya dan amat disenanginya. Suara gadis-gadis bercanda dan tertawa-tawa,
suara air yang mereka permainkan dengan menampar permukaan sungai. Entah
mengapa, suara wanita yang merdu, suara mereka tertawa dan bergurau, telah
menyenangkan hati Hay Hay dan diapun segera menuju ke arah suara.
Kembali dia
berhenti melangkah dan kini tertegun, terpesona. Kiranya, seperti yang
diharapkannya, di sungai yang dangkal itu, terdapat lima orang wanita sedang
mandi! Dan melampaui dugaan dan harapannya, mereka adalah gadis-gadis yang
cantik, sedang mandi sambil bersiram-siraman air di sungai jernih yang dalamnya
hanya sepinggang itu.
Mereka
bersendau gurau, bermain-main di air dengan gembira dan Hay Hay terpesona.
Pantasnya mereka adalah lima orang bidadari dari kahyangan yang datang bermandi
di sungai jernih, diwaktu senja seperti yang pernah dia baca dalam dongeng
kuno! Mereka hanya mengenakan pakaian dalam sebatas dada, dan pundak, punggung
dan lengan mereka yang telanjang itu nampak putih keemasan tertimpa sinar
matahari senja, mulus halus dan amat indahnya.
Hay Hay
bersembunyi di balik rumpun ilalang di tepi sungai, mengintai dan jantungnya
berdebar kencang, rasa hangat dari apa yang tak pernah padam sejak dia makan
daging harimau hitam dan ubi merah tadi kini mulai berkobar lagi. Gairah nafsu
yang hebat merangsangnya dan hampir tak tertahankan.
Terutama
sekali ketika dia melihat seorang diantara lima orang gadis dusun itu. Seorang
gadis yang amat manis, dan agaknya empat orang gadis lain memusatkan godaan
mereka kepada gadis manis ini, yang kadang tersipu malu-malu dengan muka
menjadi kemerahan! Dari ucapan dan godaan empat orang gadis itu, tahulah Hay
Hay bahwa gadis manis yang amat menarik hatinya itu adalah seorang pengantin
baru!
Nafsu
bagaikan api. Kalau dapat dikendalikan, nafsu amatlah berguna bagi manusia,
bahkan manusia tidak mungkin dapat hidup tanpa nafsu. Nafsu menyusup dan
menjadi satu dengan panca indera, bergelimang dalam hati dan akal pikiran.
Manusia tidak akan dapat mengalami kemajuan dalam keduniawian tanpa bekerjanya
nafsu yang menyusup ke dalam hati dan akal pikiran. Namun, seperti juga api,
kalau nafsu tidak terkendali, kalau nafsu tidak lagi menjadi pelayan melainkan
menjadi majikan, celakalah kita!
Kita akan
diseretnya, bagaikan api yang tidak terkendali, semua akan dilahapnya dan akan
semakin berkobar. Kita akan terseret ke dalam perbuatan tanpa pantangan lagi
demi mengejar kesenangan. Makanan nafsu adalah kesenangan. Dimana ada
kesenangan, nafsu bangkit dan menjadi amat kuatnya. Makin kuat nafsu
merajalela, semakin lemahlah jiwa. Dan tidak ada kekuatan di dunia lni yang
akan mampu meredakan nafsu kecuali kekuasaan Tuhan!
Kepada Tuhan
saja kita dapat memohon dan menyerah, mohon pertolongan dan bimbingan. Tanpa
bimbingan Tuhan, setiap perbuatan yang bagaimana nampak baikpun pada dasarnya bergelimang
nafsu, pada dasarnya pasti berpamrih demi keuntungan dan kesenangan diri
sendiri, karena ke sanalah arah tujuan semua nafsu.
Hay Hay
merasa betapa seluruh tubuhnya tergetar ketika dia melihat lima orang gadis itu
bermain-main di air sungai, terutama sekali melihat wanita muda yang oleh
kawan-kawannya digoda sebagai pengantin baru. Dia tidak dapat menahan diri lagi
untuk tidak mendekati dan berkenalan dengan mereka. Dia muncul dari balik
rumpun ilalang dan begitu melihat munculnya seorang pria asing, lima orang
wanita itu menjerit kecil dan dengan bingung dan panik mereka menggunakan kedua
tangan untuk menutupi dada yang hanya tertutup kain tipis yang tembus pandang
karena basah.
Melihat
mereka salah tingkah dan nampak ketakutan, Hay Hay cepat berkata, sambil
mengangkat kedua tangan keatas,
"Nona-nona
harap jangan takut. Aku bukan setan, melainkan manusia biasa dan manusiapun
bukan yang jahat. Lihat, aku sudah membalikkan muka agar tidak melihat kalian
mengenakan pakaian. Aku hanya ingin berkenalan."
Hay Hay lalu
membalikkan tubuh, membelakangi mereka. Melihat ini, timbul pula keberanian
para gadis itu dan sambil kecicikan menahan tawa, mereka cepat keluar dari
sungai, mengenakan pakaian kering dan sambil tertawa-tawa mereka berlari-larian
kecil meninggalkan tempat itu.
"Nanti
dulu! Nona pengantin, aku ingin sekali memberi selamat kepadamu! Sebagai nona
pengantin yang baik, engkau harus menerima ucapan selamat dariku!" kata
Hay Hay dengan suara lembut membujuk.
Mendengar
ini, pengantin baru itu terpaksa berhenti berlari dan empat orang kawannya yang
melanjutkan lari mereka meninggalkan Hay Hay. Wanita pengantin baru itu berdiri
menanti dan dengan muka tersipu ia memandang kepada pemuda yang kini sudah
berdiri di depannya. Seorang pemuda tampan yang sikapnya sederhana, pandang
mata dan senyumnya lembut dan sopan sehingga ia hanya merasa malu akan tetapi
tidak lagi takut.
"Nona
pengantin yang baik, aku merasa menyesal sekali tidak sempat menghadiri pesta
pernikahanmu. Tentu meriah sekali, sayang aku tidak dapat hadir" Hay Hay
berkata ramah, lalu menyambung untuk memancing percakapan, "kenapa nona
begitu tega kepadaku dan tidak mengundangku untuk menghadiri pesta
pernikahanmu?"
Wanita itu
memandang heran dan membela diri.
"Bagaimana
saya dapat mengirim undangan kalau saya tidak mengenalmu?"
"Aahhh,
benar juga, aku sampai lupa, Nona pengantin baru! Nah, biarlah engkau
mengenalku sekarang. Namaku Hay Hay, dan bolehkah aku mengetahui nama Nona
pengantin yang manis? Tanpa mengetahui nama, bagaimana aku dapat memberi
selamat?" kata Hay Hay dengan sikap sopan dan ramah sekali.
Melihat
pemuda ini tidak bersikap kurang ajar, bahkan sopan dan manis budi, tentu saja
wanita muda pengantin baru itupun tidak lagi merasa curiga atau sungkan. Ia
tersenyum dan jantung dalam dada Hay Hay terlonjak. Manisnya senyum itu!
Bahagianya si pengantin pria, pikirnya agak iri.
"Namaku
Cing Ling..... eh, maksudku Nyonya Ji San." kata wanita itu dan karena
kelepasan bicara memperkenalkan nama gadisnya, iapun agak tersipu.
"Cing Ling,
nama yang bagus sekali. Aku lebih suka mengingat nama itu, karena nama itu
mengingatkan aku akan seorang wanita yang cantik jelita seperti bidadari. Kau
tahu, Nona. Ketika tadi aku tiba di tempat ini, aku bersembunyi karena
takut!"
Wanita itu
sudah terpancing dan sudah terlibat dalam percakapan. Setiap kali Hay Hay
bicara, selalu membuat ia ingin tahu kelanjutannya. Sikap pemuda itu terlalu
lembut dan manis, juga ucapannya halus dan selalu merupakan kalimat yang
membutuhkan keterangan berlanjut.
"Kongcu,
kenapa kau takut?" tanya wanita itu ingin tahu sekali.
"Kongcu?
Aih, sekarang engkau membuat aku merasa sedih dan penasaran, Cing Ling! Apakah
engkau tidak sudi menerima uluran tanganku untuk berkenalan dan
bersahabat?"
Wanita itu
terkejut, tidak tahu mengapa ia membuat pemuda itu sedih dan penasaran!
"Apa
maksudmu, Kongcu?"
"Kongcu
lagi! Aih, celaka, kenapa engkau berkongcu-kongcuan kepadaku? Bukahkah kita
telah berkenalan dan menjadi sahabat? Sudah kuberitahukan bahwa namaku Hay Hay,
nah, panggil saja namaku itu, jangan pakai kongcu segala. Maukah engkau menjadi
sahabatku dan menyebut namaku saja, Cing Ling?"
Wanita muda
ini sudah merasa terbuai di awang-awang oleh pujian Hay Hay tentang
kecantikannya, maka kini ia merasa gembira dan tersenyum lagi, seyum yang mampu
membuat Hay Hay setengah pingsan!
"Baiklah,
Hay Hay. Nah, katakah kenapa engkau ketakutan begitu tiba disini tadi? Apakah
engkau melihat setan?" pengantin muda itu mulai berani bergurau.
Hal ini
dapat dimaklumi. Ia baru saja menjadi pengantin, dipersandingkan dengan seorang
pria yang tadinya tidak dikenalnya sama sekali sehingga membuat ia merasa
asing, sungkan dan malu-malu. Selama beberapa hari tinggal di rumah suaminya,
di keluarga mertuanya, ia merasa asing dan rikuh, seperti berada di pulau
terasing tanpa kawan dekat, melayani suami dan mertua yang masih asing sehingga
hubungan diantara mereka menjadi kaku.
Baru sore
hari ini ia mendapatkan kesempatan untuk keluar dan mandi di sungai bersama
teman-teman lamanya, mendatangkan kegembiraan luar biasa. Kini, bertemu Hay Hay
yang pandai mengambil hati, amat ramah dan halus, timbul kegembiraan hati Cing
Ling dan mulai ia berani menyambut gurauan Hay Hay.
"Melihat
setan? Wah, jauh daripada itu. Sebaliknya malah! Aku melihat bidadari! Lima
orang bidadari sedang mandi di air sungai yang amat jernih, dan terutama
seorang diantara mereka, sungguh membuat aku terpesona dan juga
ketakutan!"
Sepasang
mata yang jeli itu bersinar-sinar, mulut yang manis itu dihias senyum nakal.
"Hemm,
aneh! Tidak melihat setan akan tetapi melihat bidadari, kenapa menjadi
ketakutan?"
Hay Hay
tertawa.
"Ha-ha,
kalau hanya menghadapi setan, aku sama sekali tidak akan merasa takut! Akan
tetapi menghadapi bidadari yang cantik jelita, manis seperti madu rambutnya
ikal mayang dan hitam panjang, kulit tubuh yang mulus dan bersih, sepasang mata
yang jeli dan dapat menjadi redup, pipi yang kadang dapat menjadi kemerahan,
dan senyum yang.... aduhai senyummu, Cing Ling membuat jantungku seperti akan
copot!"
Wanita mana
di dunia ini yang tidak haus akan pujian tentang kecantikannya? Wanita mana
yang tidak haus akan kata-kata yang manis merayu? Apalagi kalau yang memuji dan
merayunya itu seorang pemuda yang demikian tampan seperti Hay Hay, dengan sikap
yang lembut dan sopan, tidak kurang ajar. Kalau wanita itu menjadi marah, hal
itu hanya pura-pura saja untuk menyembunyikan rasa senangnya, karena malu,
seperti halnya Cin Ling.
"Ihh,
engkau..... engkau merayuku, ya? Engkau mata keranjang!"
Cing Ling
hendak membalikkan tubuh meninggalkan Hay Hay, akan tetapi Hay Hay segera
menjatuhkan diri berlutut dengan kaki kirinya.
"Cing
Ling, sungguh mati, aku tidak bermaksud kurang ajar! Kalau ucapanku tadi
menyinggungmu, maukah engkau mengampuni aku? Kita sudah bersahabat, bukan? Nah,
maafkanlah aku dan aku tidak akan mengulang lagi ucapan yang akan menyinggung
hatimu. Maafkan aku, kalau tidak, aku pun akan berlutut terus disini sampai
akhir jaman!"
Mendengar
ucapan itu, mau tidak mau sang pengantin menghentikan langkahnya dan ketika ia
menengok, ia menahan suara ketawanya melihat pemuda itu benar-benar berlutut
menghadapnya. Belum pernah selama hidupnya gadis dusun ini mendapatkan
kehormatan seperti itu, maka cepat-capat ia menghampiri Hay Hay dan berkata.
"Ihh,
jangan begitu! Bangkitlah dan jangan berlutut, nanti bajumu menjadi
kotor!"
"Tidak,
sebelum engkau memaafkan aku, aku tidak akan mau bangkit, biar aku mati
berlutut terus begini!"
"Baiklah,
aku maafkan engkau.... nah, bangkitlah...."
"Sebut
dulu namaku, baru aku mau bangkit."
Wanita muda
itu menarik napas panjang. Ia merasa tidak berdaya menghadapi pemuda yang amat
menarik hatinya ini. Akan tetapi ia juga sudah terikat, merasa kasihan dan suka
kepada pemuda ini merasa seolah ia sudah mengenal pemuda ini selama
bertahun-tahun karena pemuda ini bersikap sedemikian akrabnya.
"Aih,
Hay Hay, bangkitlah, aku memaafkanmu." akhirnya ia berkata.
Hay Hay
mengangkat muka memandang.
"Cing
Ling, bagaimana aku dapat percaya bahwa engkau memaafkan aku lahir batin?
Jangan-jangan hanya di bibir saja. Aku tidak memuji kosong, aku bukan perayu,
aku hanya mengatakan terus terang ketika aku menyatakan bahwa engkau memang
cantik jelita dan manis sepetti bidadari. Benarkah engkau memaafkan aku?"
Wajah itu
menjadi kemerahan dan Cing Ling menggigit bibirnya sendiri karena gemas. Minta
maaf sambil mengulang lagi pujian-pujiannya! Sungguh selama hidupnya, dalam
mimpipun, belum pernah ia bertemu dengan seorang laki-laki seperti ini!
"Aku
memaafkanmu." katanya mengangguk.
Hay Hay
mengulurkan kedua tangannya.
"Bangkitkanlah
aku, Cing Ling, baru aku mau percaya bahwa engkau memang telah memaafkan aku.
Bukankah kita telah menjadi sahabat baik?"
Wanita itu
tersenyum. Apapun, pemuda ini malah keluar manjanya! Karena semua itu dilakukan
Hay Hay dengan sungguh-sungguh, maka Cing Ling terpaksa menjulurkan pula kedua
tangannya, memegang tangan Hay Hay dan pemuda itupun menggenggam kedua tangan
yang kecil mungil itu, lalu bangkit berdiri tanpa melepaskan kedua tangan itu.
Bagaikan dua
ekor anak ayam yang lembut dan hangat, dua buah tangan kecil dalam genggangam
itu gemetar dan Cing Ling menundukkan mukanya. Baru beberapa hari yang lalu ia
mendapatkan pengalaman pertama berdekatan dengan pria, yaitu suaminya. Akan
tetapi ia tidak pernah merasakan seperti sekarang ini! Digenggam kedua
tangannya seperti itu, jantungnya seperti terguncang rasanya, membuat kedua
kakinya menggigil dan tubuhnya panas dingin! Ia seperti kehilangan semua
tenaganya, tidak kuasa melepaskan kedua tangan yang tergenggam.
Sementara
itu, pada diri Hay Hay juga terjadi hal yang aneh, yang tak pernah dia rasakan
sebelumnya. Sejak dahulu ia memang pengagum keindahan dan kecantikan wanita.
Akan tetapi, semua rasa kagum itu wajar saja, seperti orang mengagumi bunga-bunga
yang indah, rasa suka yang bersih daripada nafsu. Saat ini lain lagi. Di dalam
tubuhnya ada api yang menggelora, bernyala-nyala membakar seluruh dirinya.
Api nafsu
berahi yang belum pernah dia rasakan sebelumnya, membuat semua kesadarannya menjadi
gelap, pertimbangannya menjadi terguncang dan dia lupa diri. Gairah yang
menggebu membuat dia menarik kedua tangan itu mendekat dan tubuh wanita itupun
roboh dalam dekapannya!
Kalau saja
saat itu Cing Ling meronta dan melawan, tentu akan pulih kembali kesadaran Hay
Hay. Akan tetapi tidak, wanita itupun seperti terpesona, seperti kehilangan
kesadarannya dan hanya pasrah dalam dekapan Hay Hay, dengan isak tertahan.
Ketika dalam kobaran nafsu berahi Hay Hay menunduk dan mencium wanita itu, Cing
Ling pasrah dan merekah seperti setangkai bunga yang menerima siraman embun
pagi.
"Cing
Ling.....!" Hay Hay berbisik dan mencium lagi.
"Hay
Hay...." Cing Ling mengeluh dan pasrah.
"Jahanam
keparat....!!" terdengar bentakan orang.
Tentu saja
Hay Hay dan Cing Ling yang sedang bermesraan dan lupa diri itu terkejut dan
ketika mereka menengok, ternyata disitu telah berdiri belasan orang laki-laki
dusun dengan wajah penuh kemarahan!
Cing Ling
tersadar dan iapun mendorong dada Hay Hay sekuat tenaga, lalu menudingkan
telunjuknya yang gemetar, mukanya pucat dan rambutnya awut-awutan, suaranya
gemetar pula,
"Kenapa......
kenapa kau.... kau.... memelukku....?" Berkali-kali ia berseru seperti
itu.
Hay Hay juga
sadar akan keadaan dirinya. Mukanya menjadi merah sekali dan dia memaki diri
sendiri. Celaka sekali, pikirnya. Dia telah mendatangkan malapetaka kepada
seorang wanita yang amat baik, seorang wanita yang sama sekali tidak berdosa!
Tentu pengantin baru itu menghadapi ancaman kemarahan suaminya dan semua
keluarga suaminya!
"Keparat
busuk, berani engkau mempermainkan isteri orang?" bentak seorang pemuda
tinggi besar bermuka hitam. "Engkau telah menghina isteriku, engkau layak
dipukul sampai mampus!" kata si muka hitam yang menerjang maju dengan
kedua tangan dikepal.
Wah, kiranya
si tinggi besar muka hitam ini suami si pengantin baru! Hay Hay tidak sempat
berpikir lagi karena orang itu sudah menjotos mukanya. Karena merasa bersalah
dan marah kepada diri sendiri, Hay Hay merasa bahwa dirinya memang pantas
dipukul, patut dihajar!
"Dukk!!"
Pukulan itu keras sekali menghantam pipinya.
"Bukk!"
pukulan kedua mengenai dadanya dan tubuh Hay Hay terjengkang, kepalanya menjadi
pening.
Dia memang
sengaja tidak mengerahkan tenaga apapun dan menerima pukulan-pukulan itu begitu
saja untuk membiarkan dirinya dihajar!
Kini belasan
orang itu menghujankan pukulan kepadanya. Hay Hay hanya mengelak kalau ada kaki
menyambar. Dia sudah memberikan tubuhnya untuk dihajar orang, akan tetapi dia
tidak mau menerima tendangan. Pukulan mereka berdatangan dan terdengar suara
bak-bik-buk ketika tubuhnya dijadikan bulan-bulan pukulan mereka. Terutama
sekali si muka hitam yang marah melihat isterinya tadi didekap dan diciumi,
pemuda itu, kini melampiaskan kemarahannya dengan pukulan-pukulan sekuatnya.
Mampus kau,
pikir Hay Hay, memaki diri sendiri. Rasakan kau sekarang! Dia merasa tubuhnya
remuk-remuk, bibirnya pecah berdarah, matanya berkunang-kunang dan agaknya dia
nyaris pingsan. Tiba-tiba terdengar teriakan dan tangis wanita itu.
"Jangan
bunuh dia.... ah, jangan bunuh dia.... dia tidak bersalah....!"
Hay Hay
membuka lagi kedua matanya yang lebam membengkak dan kehitaman. Dia melihat
pengantin baru itu berlutut di dekatnya dan menangis, menutupi muka dengan
kedua tangan sambil mita-minta ampun untuk dirinya! Hay Hay merasa terharu sekali!
Betapa lembut dan mulia hati wanita ini, dan hampir saja dia tadi menodainya!
Betapa jahat dia!
Mendengar
jerit tangis wanita itu, belasan orang yang tadi memukulinya menghentikan
pemukulan mereka. Orang-orang dusun itu marah, akan tetapi mereka bukan
pembunuh. Mereka hanya ingin menghajar laki-laki asing yang mengganggu isteri
orang. Mendengar pengantin itu menangis dan memohon agar jangan membunuh
laki-laki asing itu, mereka khawatir kalau-kalau mereka membunuh orang. Wajah
dan tubuh laki-laki itu sudah benjut-benjut, mukanya berdarah-darah dan babak
belur.
Akan tetapi
pengantin pria yang tinggi besar dan bermuka hitam itu sudah dibakar api
cemburu.
"Kau
perempuan tak bermalu! Baru beberapa hari menjadi pegantin sudah menyeleweng
dengan laki-laki lain! Engkau mau saja dipeluk dan dicium! Engkau perempuan
hina yang layak dihajar!"
Suami Cing
Ling yang sudah marah sekali itu melangkah maju menghampiri isterinya yang
berlutut sambil menangis, sedangkan kawan-kawannya hanya menonton saja karena
kalau suami itu menghajar isterinya, tentu saja mereka tidak berhak mencampuri.
"Tahan
dulu.... !"
Hay Hay
bangkit dengan muka bengkak-bengkak dan babak belur dan dia berdiri menghadang
melindungi wanita itu.
Hal ini
membuat si muka hitam menjadi semakin marah. Dia, membelalakkan matanya,
"Jahanam
busuk! Apa kau minta mampus? Berani engkau membela isteriku?"
Hay Hay
diam-diam mengerahkan kekuatan sihirnya. Bagaimanapun juga, Cing Ling tidak
bersalah dan dia harus menolongnya, membebaskannya dari hukuman suaminya dan
dia tahu bagaimana harus berbuat. Diapun tertawa bergelak, membuat si muka
hitam dan kawan-kawannya terkejut dan heran. Tentu laki-laki asing ini telah
menjadi gila, pikir mereka dan merekapun khawatir. Jangan-jangan pemukulan
bertubi-tubi tadi membuat dia menjadi gila!
"Ha-ha-ha-ha,
kalian ini orang-orang tolol! Kalian tidak tahu siapa aku ini? Lihat baik-baik,
aku adalah penjaga sungai ini, aku raksasa penjaga sungai ini, ha-ha-ha!"
Belasan
orang itu terbelalak dan muka mereka berubah pucat sekali ketika mereka melihat
betapa pemuda yang mereka pukuli tadi kini menjadi tinggi besar seperti
raksasa, dua kali lebih tinggi daripada manusia biasa!
"Hei,
muka hitam! Berani engkau hendak memukuli isterimu! Wanita itu tidak bersalah,
karena tadi ia dan kawan-kawannya mandi disini mengotori tempatku, maka aku
sengaja menghukum dan menggodanya. Ia tidak bersalah sama sekali! Engkau tadi
memaki aku dan hendak memukul isterimu, ya!? Nah, kubikin engkau jungkir balik,
kepala di bawah dan kaki diatas!"
Si muka
hitam mengeluarkan teriakan ketakutan, dan belasan orang kawannya juga
memandang dengan mata terbelalak dan tubuh menggigil ketika mereka melihat si
muka hitam itu tiba-tiba jungkir balik, kaki diatas dan kepala di bawah!
Wanita
itupun menurunkan kedua tangan dari depan muka dan memandang. Ia tidak berada
dalam pengaruh sihir, maka iapun melihat keadaan suaminya biasa saja, hanya
anehnya, suaminya itu nampak seperti orang ketakutan, demikian pula belasan
orang dusun.
"Ampun....
ampunkan saya....." Si muka hitam memohon dengan suara gemetar.
Hay Hay
tertawa lagi.
"Bersumpahlah
bahwa engkau tidak akan memukul isterimu, tidak akan cemburu dan marah
kepadanya, dan selama hidupmu akan bersikap manis dan baik kepadanya. Kalau
sekali saja engkau melanggar, aku akan datang menghukummu, akan membuat engkau
jungkir batik seperti ini sampai engkau mati!"
"Saya
bersumpah.... saya bersumpah....." Si muka hitam berkata dengan penuh
kesungguhan.
Kini Hay Hay
berkata kepada belasan orang teman si muka hitam.
"Dan
kalian semua penghuni dusun menjadi saksi. Awas, kalau kalian kelak melihat
simuka hitam ini memukuli isterinya, dan bersikap kasar, kalian tidak
mencegahnya, maka aku akan datang menghukum kalian dan menyeret kalian semua ke
dalam sungai kuberikan kepada setan-setan untuk dimakan hidup-hidup!"
Tentu saja
belasan orang itu menjadi semakin ketakutan. Mereka bersama seperti dikomando
saja lalu menjatuhkan diri berlutut dan berlomba menjawab dengan cepat,
"Kami
berjanji akan mentaati perintah..."
"Bagus!
Cing Ling seorang wanita yang baik sekali, tidak bersalah, ia harus
diperlakukan dengan hormat dan manis budi. Nah, aku akan kembali ke tempat
asalku! Kau, muka hitam, sekali ini kuampuni, berlututlah seperti biasa!"
Dan
tiba-tiba si muka hitam merasa dirinya normal kembali, maka dia cepat
menjatuhkan diri seperti kawan-kawannya. Mereka semua melihat
"raksasa" itu melangkah mendekati sungai, lalu melihat dia terjun ke
sungai yang dangkal itu, yang dalamnya hanya sepinggang. Akan tetapi begitu
raksasa itu terjun, diapun lenyap!
Setelah
mereka semua berani bangkit, si muka hitam lalu menghampiri isterinya yang
masih berlutut, menarik bangun isterinya, merangkulnya dan berkata dengan
lembut,
"Cing
Ling, maafkan aku...."
Juga
kawan-kawan suami Cing Ling yang kini menghadapi wanita itu memberi hormat dan
berkata,
"Kami
juga mohon maaf...."
Cing Ling
hanya dapat mengangguk. Ia masih tertegun dan terheran-heran melihat semua
peristiwa tadi. Pemuda asing itu tadi amat menarik hatinya, bahkan ia akui bahwa
ia terpikat dan terpesona. Kemudian, pemuda itu dihajar habis-habisan tanpa
melawan sampai babak belur.
Akan tetapi,
pemuda itu lalu mengaku sebagai penjaga sungai dan suaminya, juga belasan orang
laki-laki yang tadi menghajarnya, berlutut dan minta-minta ampun! Dan pemuda
tampan itu lalu pergi begitu saja setelah meninggalkan pesan dan ancaman agar
semua orang menghormatinya, dan agar suaminya selalu bersikap baik kepadanya.
Dan sejak
saat itu, Cing Ling diperlakukan seperti dewi, bukan saja oleh suaminya,
mertuanya dan seluruh keluarga mertuanya, bahkan seluruh penduduk dusun yang
mendengar cerita belasan orang itu, menganggap ia seperti seorang dewi yang
dilindungi penjaga sungai!
Sampai-sampai
kepala dusun juga menghormatinya. Dan suaminya bukan saja bersikap hormat dan
lembut, juga suaminya selalu merasa bangga mempunyai isteri yang dianggap dewi!
Cing Ling dihormati, dimanja, dan hidupnya penuh kemuliaan. Akan tetapi, di
waktu malam, seringkali wanita ini termenung, teringat kepada Hay Hay. dan
perasaan rindu gerogoti hatinya!
"Rasakan
kau! Mata keranjang, Jai-hwa-cat! Cabul dan mesum kau, hamba nafsu kau! Rasakan
sekarang!"
Hay Hay
memaki-maki diri sendiri sambil meringis kesakitan ketika dia mencuci mukanya
dengan air sungai, jauh di sebelah hilir dari sungai yang tadi. Senja telah
lewat dan malam mulai tiba, cuaca remang-remang dan dia berada jauh dari dusun.
Setelah dia mencuci mukanya yang berdarah, bengkak-bengkak dan babak belur, dia
lalu duduk di tepi sungai, mengeringkan mukanya dengan kain, lalu duduk
termenung.
Dia tahu
benar apa yang terjadi, di dalam dirinya. Makanan siang tadi, daging harimau
hitam dan ubi merah, telah mengobarkan api nafsu berahinya, membuat dia bergairah
dan lupa diri. Biarpun dia telah membiarkan dirinya dihajar orang banyak untuk
menyiksa diri, untuk menebus dosa, namun dia tetap merasa dirinya kotor. Dia
tahu benar bahwa ini tentulah darah ayah kandungnya, si penjahat pemetik bunga
tersohor, Si Kumbang Merah!
Dia memiliki
darah seorang hamba nafsu berahi yang tidak ketulungan lagi seperti mendiang
ayah kandungnya, Si Kumbang Merah! Kalau dia membiarkan nafsu menguasai
dirinya, dia akan menjadi jai-hwa-cat yang lebih jahat daripada ayahnya. Untung
tadi orang-orang dusun itu keburu datang. Kalau tidak, tentu akan terjadi
hubungan mesum itu. Dia akan menyeret wanita yang bersih ke dalam lumpur kotor,
dan mungkin sekali dia melangkah, dia tidak akan dapat undur kembali, bahkan
akan menjadi semakin tersesat!
Dia memiliki
banyak kelebihan yang menyeretnya ke arah kesesatan itu. Dia begitu mudah
menundukkan wanita dengan rayuan, dengan ketampanannya, dengan ilmu silat, atau
dengan sihir! Kelebihan yang merupakan kekuasaan adalah berkah dari Tuhan, tentu
saja sebagai perlengkapan hidup, sebagai alat untuk melakukan hal-hal yang baik
selama hidup.
Akan tetapi,
begitu nafsu berkuasa, maka semua kelebihan dan kekuasaan itu akan dipergunakan
untuk pengejaran kesenangan diri pribadi, karena itu lalu membuta dan tidak
pantang melakukan kejahatan apa saja demi tercapainya kesenangan yang selalu
dikejar-kejar. Seperti mendiang ayahnya, Si Kumbang Merah yang tidak pantang
memperkosa wanita, menggoda dan menyeret isteri orang dalam lembah perzinahan
yang hina, bahkan tidak pantang membunuh atau menyiksa untuk memaksakan
kehendak nafsunya.
Orang yang
berkedudukan mabuk kekuasaan karena nafsu menyeretnya untuk melakukan apa saja,
bersenjatakan wewenang dan kekuasaannya untuk mendapatkan kesenangan, si
hartawan mempergunakan kekayaannya untuk mendapatkan kesenangan pula, yang
pintar dan pandai menjadi curang, yang berkuasa menjadi sewenahg-wenang, dan
selanjutnya. Semua itu adalah ulah si nafsu yang menguasai hati dan akal
pikiran.
Nafsu
membuat kita selalu kesenangan, kenikmatan. Bukan yang baik dan yang bermanfaat
lagi yang dikejar orang, melainkan yang enak, yang nikmat. Kita makan bukan
lagi karena desakan kebutuhan perut, bukan demi kesehatan, melainkan demi
kelezatan, demi keenakan.
Biar
bermanfaat bagi kesehatan, kalau tidak enak, kita enggan memakannya.
Sebaliknya, biar membahayakan kesehatan, kalau enak, kita makan dengan
lahapnya. Demikian pun dengan pakaian, bukan lagi untuk melindungi tubuh dari
angin hujan dan panas, melainkan demi kesenangan, yang timbul dari kebanggaan.
Kita memilih pakaian bukan karena manfaatnya, melainkan karena kebagusannya,
sebagai hiasan tubuh.
Dalam segala
perbuatan dalam kehidupan ini, kita selalu menunjukkan atau mengarahkan kepada
tercapainya kesenangan yang kita idamkan, yang kita namakan kebutuhan atau
kepentingan. Karena setiap pribadi, setiap kelompok, setiap golongan, mempunyai
kepentingan sendiri-sendiri, maka tak dapat dicegah lagi, timbullah
bentrokan-bentrokan antara kepentingan dan timbullah pertentangan-pertentangan
demi mencapai kepentingan masing-masing.
Hay Hay
mengamati diri sendiri. Dia sudah cukup dewasa sehingga gairah nafsu berahi
yang bergejolak dalam dirinya merupakan suatu hal yang wajar. Jalan keluarnya
hanya satu, yaitu dia harus menikah! Akan tetapi, dengan siapa? Banyak, bahkan
hampir setiap orang wanita, disukainya, akan tetapi jarang yang dicintanya.
Selama ini, yang benar-benar menjatuhkan hatinya, yang benar-benar dicintanya,
sampai saat ini, hanyalah Cia Kui Hong seorang! Memang selain Cia Kui Hong,
banyak sekali gadis yang pernah menarik hatinya, dan agaknya mereka itu akan
dapat menjadi pengganti Kui Hong, kalau saja dia tidak berjodoh dengan Kui
Hong. Akan tetapi, gadis-gadis yang dikaguminya itu sekarang telah menikah
semua, telah menjadi isteri orang lain.
Hay Hay
memejamkan mata sambil bersandar pada batang pohon di tepi sungai itu. Dan
nampaklah bayangan gadis-gadis yang pernah dikaguminya itu! Pertama-tama tentu
saja Kok Hui Lian yang biarpun lebih tua sepuluh tahun darinya, merupakan
wanita pertama yang bercumbuan dengannya dan menjadi gurunya dalam soal asmara
karena Hui Lian telah dua kali menjanda ketika bertemu dengan dia. Kini, Kok
Hui Lian telah menjadi isteri pendekar Ciang Su Kiat.
Kemudian Bi
Lian, Siangkoan Bi Lian yang kini menjadi isteri Pek Han Siong. Lalu Pek Eng,
adik kandung Pek Han Siong yang kini menjadi isteri Song Bu Kok. Kemudian Cia
Ling atau Ling Ling yang kini menjadi isteri Can Sun Hok. Bahkan Mayang pernah
menjadi calon isterinya, akan tetapi ternyata kemudian bahwa Mayang adalah adik
tirinya sendiri, tunggal ayah berlainan ibu.
Tinggal Cia
Kui Hong, satu-satunya gadis yang sesungguhnya dicintanya sampai sekarang, akan
tetapi orang tua gadis itu tidak menyetujui perjodohan mereka. Diapun tidak
terlalu menyalahkan ayah ibu gadis itu. Cia Kui Hong adalah puteri sepasang
pendekar yang amat terkenal, tokoh-tokoh besar di dunia persilatan. Ayahnya
adalah ketua Cin-ling-pai, dan ibunya adalah cucu Pendekar Sadis dari Pulau
Teratai Merah. Kalau suami isteri pendekar terkenal itu melarang puterinya
menikah dengan keturunan penjahat cabul Si Kumbang Merah, mereka tentu saja
tidak dapat dipersalahkan.
Dia sendiri
yang menjauhkan diri dari Kui Hong ketika mendengar bahwa sepasang pendekar itu
tidak sudi mempunyai mantu seperti dia. Menjauhkan diri dengan hati terluka dan
sejak itu dia merana walaupun dia tahu bahwa keadaan seperti itu tidaklah
benar.
Hidup adalah
perjuangan, berkali-kali dia meyakinkan diri sendiri. Perjuangan adalah tekad
menghadapi tantangan karena hidup penuh dengan tantangan yang datang dari
segenap penjuru. Tantangan terhadap kesehatan, terhadap kesejahteraan, terhadap
kehormatan, seribu macam. ltulah romantika hidup dan seni kehidupan terletak
kepada penanggulangan semua tantangan itu!
Menghadapi
setiap tantangan dan mengatasinya, itulah seninya hidup! Justeru itulah yang
membuat kehidupan berarti, beromantika, bervariasi. Tantangan dapat merupakan
keadaan yang bagaimana pahitpun. Itulah suatu kenyataan, suatu tantangan.
Melarikan diri dari tantangan adalah sikap pengecut. Putus asa hanya permainan
batin orang lemah. Hadapi setiap tantangan, setiap keadaan, setiap masalah,
dengan keyakinan bahwa itu adalah suatu kewajaran, suatu bagian tak terpisahkan
dari hidup yang memang isinya baik buruk, senang susah, itu. Hadapi dan usaha
sekuat tenaga untuk mengatasinya. Itulah perjuangan dan seninya!
Landasannya
hanya satu, ialah penyerahan kepada Tuhan, lahir batin, dengan penuh keikhlasan
dan ketawakalan. Ikhlas kalau perjuangan gagal, karena yakin bahwa segala
sesuatu yang terjadi di dunia ini, baru dapat terjadi setelah dikehendaki
Tuhan. Kehendak Tuhanpun jadilah, setiap saat dan dimana saja! Hasil atau gagal
usaha perjuangan kita bukan masalah, yang penting adalah pelaksanaan perjuangan
itu.
Hay Hay
tersenyum! Dia menerima kenyataan saat itu. Muka dan seluruh bagian tubuhnya
berdenyut-denyut bekal pukulan orang-orang tadi. Saat itu dia menerima rasa
denyut-denyut itu tanpa menilainya, tanpa memberinya nama sebagai nyeri atau
sakit. Dan yang ada hanyalah rasa denyut-denyut itu.
Kalau sudah
demikian, sukarlah menentukan apakah rasa denyut-denyut itu menyusahkan atau
menyenangkan, nyeri atau nyaman, derita atau nikmat! Hay Hay merasa heran
sendiri dan teringat akan suasana yang aneh itu, dia merasa lucu dan diapun
tertawa bergelak. Kalau ada orang melihatnya, tentu akan menganggap dia orang
yang miring otaknya, tertawa-tawa seorang diri seperti itu.
Akan tetapi
tiga pasang mata yang mengamati gerak-geriknya tidak menganggapnya seperti
orang gila. Sebaliknya, mereka itu mengamati penuh kewaspadaan. Mereka melihat
betapa pemuda yang mereka amati itu duduk bersandar di tepi sungai. Ketika dia
tertawa-tawa, batang pohon yang disandarinya bergoyang-goyang! Akan tetapi,
yang menjadi pusat perhatian tiga orang itu bukan hanya si pemuda, melainkan
terutama sekali buntalan pakaian yang berada di atas tanah dekat pemuda itu.
Mereka itu
tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh sampai lima puluh tahun,
berpakaian seperti orang-orang dari dunia persilatan. Seorang tinggi kurus,
seorang pendek gendut dan seorang lagi brewok tinggi besar. Yang tinggi kurus
agaknya yang menjadi pemimpin. Dia berbisik,
"Kalian
berdua harus menyerang dia dengan tiba-tiba dan selagi dia membela diri, aku
akan menyambar buntalan pakaiannya."
Si brewok
menyeringai,
"Hemm,
Toa-ko," katanya dengan nada mengejek. "Perlu apa semua ini? Datangi
saja dia, minta benda itu, kalau dia menolak, kita bunuh dia dan rampas
bendanya, habis perkara. Cacing seperti dia itu bisa apakah? Paling-paling
menggoda perempuan. Tadipun hampir mampus dipukuli orang-orang dusun."
"Siauw-te,
Jangan bantah toako," kata si gendut. "Kukira toako benar, biarpun
pemuda itu tadi dipukuli orang-orang dusun, akan tetapi kukira dia bukan orang
sembarangan. Pertama, kalau orang sembarangan tidak mungkin menerima benda itu,
dan tidakkah kau lihat tadi ketika dia tertawa pohon yang disandarinya itu
bergoyang-goyang?"
"Sudahlah,
kerjakan perintahku. Kalian mengambil jalan memutar dan menyerang dari samping
kiri. Aku akan menyambar buntalannya dari sebelah sini. Nah, cepat
laksanakan!" kata si tinggi kurus.
Dua orang
itu lalu menyelinap pergi. Gerakan mereka gesit dan ringan sekali, seperti
gerakan harimau mengintai korbannya. Hay Hay masih duduk bersandar pohon, akan
tetapi dia tentu bukan Hay Hay kalau tidak tahu bahwa dirinya diintai orang
yang mencurigakan. Tawanya tadipun bukan hanya mentertawakan keadaan dirinya
sendiri, juga mentertawakan tiga orang yang bersembunyi dan mengamatinya. Dia
miskin tidak punya apa-apa, kenapa ada saja orang-orang yang mengamatinya,
seperti hendak merampoknya? Beberapa helai pakaian tua itukah yang akan mereka
rampas?
Dengan
pendengarannya yang terlatih dan amat tajam, kini Hay Hay yang mengikuti
gerakan mereka. Dia tahu bahwa dua diantara tiga orang telah mengambil jalan
memutar dan menghampirinya dari arah kiri, sedang yang seorang lagi menghampiri
dari arah kanan. Diapun nampak tenang walaupun tentu saja dia sudah siap siaga
menghadapi segala kemungkinan.
Karena
sikapnya itu, maka ketika dua orang, orang gendut dan orang tinggi besar
menubruknya seperti dua ekor singa menubruk domba, mereka hanya menerkam tempat
kosong karena yang mereka terkam sudah mengelak dengan loncatan ke depan. Pada
saat itu, si tinggi kurus sudah menyambar buntalan pakaian Hay Hay yang sudah
berdiri memandang mereka dalam jarak lima meter.
"Hemm,
kiranya kalian bertiga hanyalah perampok kecil yang menginginkan buntalan
pakaianku. Kalau saja kalian minta terus terang, tentu pakaian butut itu akan
kuberikan tanpa kalian harus menggunakan kekerasan!" kata Hay Hay.
Ditegur
demikian, tiga orang itu diam saja, akan tetapi mereka bertiga sedang asyik
membuka buntalan dan memeriksa isinya. Hanya beberapa potong celana dan baju,
sebungkus obat-obat, dan sisa bumbu seperti bawang, garam dan juga seguci
anggur. Tidak ada apa-apanya lagi yang berharga. Si tinggi kurus menyerahkan
buntalan itu kepada si brewok dan bersama si gendut memeriksa kembali dengan
teliti, sedangkan dia sendiri menghadapi Hay Hay dan memandang tajam, lalu
berkata dengan suaranya yang berwibawa.
"Hei,
orang muda. Kami bukan perampok dan kami tidak menginginkan pakaianmu. Nah,
keluarkanlan benda itu dan serahkan kepada kami. Kami akan berterima kasih dan
tidak akan mengganggumu lagi."
Hay Hay
memandang heran,
"Ehh?
Bukan perampok akan tetapi menyerang orang dan menyambar buntalan pakaian? Dan
engkau minta benda apakah, Paman? Aku ini seorang perantau miskin, tidak
mempunyai uang."
Hay Hay
teringat akan mustika batu kemala yang tergantung di lehernya, di balik
bajunya. Tadi ketika dia dipukuli orang-orang dusun, dia masih ingat untuk
melindungi batu mustika itu sehingga tidak terpukul atau terenggut lepas. Kalau
ada orang kang-ouw menghendaki batu mustika itu, dia tidak akan merasa heran
karena kalau para tokoh kang-ouw mengetahuinya, tentu mereka tidak segan
mempergunakan kekerasan untuk merampas mustika itu.
Batu kemala
itukah yang dikehendaki tiga orang ini? Dia menerima batu mustika itu sebagai
hadiah dari Kwan Taijin, seorang jaksa tinggi yang bijaksana dari kota
Siang-tan. Batu giok (kemala) itu memiliki khasiat yang amat ampuh sebagai obat
dan penolak segala macam racun. Warnanya hijau dengan belang-belang merah dan
selalu tergantung di lehernya, tersembunyi di balik baju. Tentu benda mustika
itulah yang dimaksudkan tiga orang ini.
"Orang
muda, tidak perlu engkau berpura-pura lagi. Cepat serahkan gulungan surat yang
kau terima dari Yu Siucai!"
Hay Hay
terkejut. Ah, kiranya itu yang dikehendaki tiga orang ini. Gulungan surat yang
dia terima dari kakek bijaksana yang tewas oleh anak panah si pecemburu pendek
cebol itu! Dia memang sudah menduga bahwa benda itu amat penting maka diapun
selalu menyimpannya di dalam saku baju bagian dalam dan saat itupun benda itu
berada di batik bajunya. Dia tidak tahu apa isi surat gulungan itu, akan tetapi
mengingat bahwa surat itu diterimanya dari seorang kakek yang amat bijaksana,
dan harus diserahkan kepada satu diantara dua menteri setia yang paling dia
hormati, yaitu Menteri Cang Ku Ceng atau Menteri Yang Ting Hoo, dia yakin bahwa
benda itu teramat renting. Bagaimana tiga orang ini dapat mengetahui bahwa dia
menerima benda itu dari kakek bijaksana yang ternyata oleh si tinggi kurus ini
disebut Yu Siucai (Sasterawan Yu)?
"Ah,
kiranya itukah yang kalian cari? Benda itu adalah wasiat seorang yang telah
meninggal dunia yang ditinggalkan kepadaku. Tidak mungkin kuberikan kepada
siapapun juga kecuali mereka yang berhak menerima."
Buntalan itu
telah dirapikan kembali dan diletakkan di tempat semula. Perbuatan ini saja
menunjukkan bahwa tiga orang itu bukan orang-orang kasar atau liar, melainkan
mengenal sopan santun. Akan tetapi mendengar ucapan Hay Hay, mereka bertiga
segera maju menghadapi Hay Hay dan si tinggi kurus berkata dengan suara
membujuk.
"Orang
muda, benda itu amat penting bagi kami, sebaliknya tidak ada artinya bagimu.
Serahkan kepada kami dan kami akan memberi hadiah yang cukup banyak. Lihat,
sekantong emas ini kuberikan kepadamu sebagai penukar gulungan surat itu.
Serahkan kepada kami!"
Hay Hay
melihat kantong yang dikeluarkan si tinggi kurus. Dia menjadi semakin heran.
Emas dalam kantong itu ditaksirnya tidak kurang dari dua kati, merupakan harta
yang cukup banyak. Juga sikap ini menunjukkan bahwa dia tidak berhadapan dengan
orang-orang kasar yang biasanya melakukan perampasan. Mereka menawarkan emas
untuk membeli gulungan surat itu! Makin dihargai orang, makin menariklah
sesuatu benda. Emas dan permata menjadi mahal harganya karena dihargai orang.
"Maaf,
Paman. Tidak mungkin aku dapat menjual wasiat yang dipesankan orang yang sudah
mati. Aku akan berdosa besar, Paman. Sudahlah, harap Paman bertiga tidak
memaksaku menjadi orang yang mengkhianati pesan wasiat seorang tua terhormat.
Aku yakin Paman bertiga bukan orang-orang sembarangan dan tahu akan budi
pekerti yang baik."
Si brewok
meloncat mendengar ucapan itu.
"Heii,
orang muda, jangan berlagak dan mencoba untuk menguliahi kami! Sebaiknya kau
serahkan benda itu atau terpaksa aku akan memaksamu!"
Si tinggi
kurus memberi isyarat dengan tangan agar kawannya itu diam lalu dia kembali
menghadapi Hay Hay.
"Orang
muda, ketahuilah bahwa benda itu amat berbahaya. Engkau tidak ingin melihat
bangsamu sendiri saling bermusuhan, terjadi perang saudara yang mengorbankan
nyawa ribuan orang bangsa sendiri, bukan?"
Tentu saja
Hay Hay terkejut mendengar ini.
"Paman,
apa maksudmu? Apa sih gulungan surat ini dan mengapa dapat mengakibatkan perang
saudara?"
"Toako,
perlukah bicara panjang lebar dengan bocah ini? Kalau dia berkeras tidak mau
menyerahkan, biar kurampas darinya!" kata si gendut kehilangan kesabaran.
Akan tetapi
si tinggi kurus agaknya seorang yang berhati-hati dan berpenglihatan tajam.
Tadi dia melihat betapa mudahnya pemuda itu menghindarkan diri dari terkaman
dua orang kawannya, maka dia dapat menduga bahwa pemuda itu, biarpun tadi
dijadikan bulan-bulan pukulan para penduduk dusun, tentu memiliki ilmu
kepandaian yang cukup tangguh. Dia memberi isyarat kepada si gendut untuk diam.
"Orang
muda, ketahuilah bahwa gulungan kertas itu berisikan surat fitnah yang akan
mengadu domba. Sama sekali tidak ada hubungannya dengan dirimu. Surat itu harus
dimusnahkan agar jangan menimbulkan kekacauan dan perang saudara. Nah, engkau
tentu seorang yang cukup gagah dan tidak ingin melihat timbulnya perang
saudara, bukan?"
"Tentu
saja aku tidak ingin ada perang saudara, Paman. Akan tetapi akupun tidak ingin
menyerahkan wasiat itu kepada siapapun kecuali kepada yang berhak menerimanya
sesuai dengan pesan mendiang kakek itu." kata Hay Hay dengan tegas.
"Siapa
yang kau maksudkan dengan yang berhak itu?"
Hay Hay
menatap wajah kakek tinggi kurus itu, menduga-duga ,siapakah mereka bertiga ini
dan mengapa pula mereka ini berkeras hendak memiliki gulungan surat itu. Siapa
yang berhak menerima wasiat itu merupakan rahasianya sendiri, tidak perlu
diberitahukan kepada orang lain. Dia mengambil keputusan untuk merahasiakan
pesan kakek bijaksana itu.
"Aku
tidak dapat memberitahu kepada siapapun, Paman."
"Bocah
sombong!" tiba-tiba si brewok berteriak, "Tidak perlu banyak cakap
lagi, serahkan surat itu!"
“Hayo
berikan kepada kami kalau tidak ingin kami hajar seperti ketika kau dihajar
orang-orang dusun itu!" teriak pula si gendut.
Hay Hay
tertegun. Kiranya mereka ini mengetahui ketika dia dikeroyok dan dipukuli
orang-orang dusun. Kalau begitu, mereka ini agaknya sudah lama membayanginya
atau melakukan pengejaran terhadap dirinya. Mungkin mereka ini mengetahui bahwa
dia menerima gulungan surat dari kakek itu jauh hari sebelumnya.
Padahal yang
mengetahui bahwa dia menerima gulungan surat itu hanyalah suami cebol
pencemburu itu. Tentu tiga orang ini mendengar dari si cebol itu! Dia merasa
gemas sekali kepada si cebol yang membuka rahasia itu. Ataukah tiga orang ini
masih ada hubungannya dengan si cebol yang juga dapat dibilang memiliki ilmu
kepandaian yang lumayan itu?
Kini si
tinggi kurus tidak melarang dua orang kawannya, bahkan diapun berkata dengan
suara bernada mengancam,
"Orang
muda, kami bukanlah orang-orang yang biasa memaksakan kehendak. Akan tetapi
sekali ini, karena surat itu teramat penting bagi keselamatan rakyat, terpaksa
kami akan menggunakan kekerasan kalau engkau tidak mau menyerahkan dengan cara
baik-baik."
"Maaf, aku
tidak dapat menyerahkan." kata Hay Hay dan dengan sikap tenang diapun
mengambil buntalan pakaiannya, mengikatkan buntalan itu di punggungnya dan
bersiap meninggalkan mereka.
Tiga orang
itu saling pandang dan akhirnya si tinggi kurus mengangguk, memberi isyarat
untuk turun tangan.
"Orang
muda, engkau mencari penyakit sendiri!" teriak si brewok dan diapun sudah
menerjang dengan serangan dahsyat ke arah Hay Hay.
Agaknya si
brewok ini merasa yakin bahwa dengan sekali hantaman yang amat kuat itu, dia akan
berhasil merobohkan Hay Hay untuk digeledah dan dirampas gulungan surat itu
darinya.
Namun Hay
Hay cepat mengelak sambil melanjutkan kesibukan kedua tangannya mengikatkan
ujung kain buntalan di depan dada. Enak saja dia mengelak, seolah serangan itu
sama sekali tidak berbahaya dan nampak amat lambat baginya!
Padahal, si
brewok itu menyerang dengan pengerahan tenaga dan cepat sekali sehingga ketika
tangan yang besar itu menyambar, terdengar suara angin bersiut. Pukulan itu
mengenai tempat kosong, dan pada saat itu, si gendut sudah menggelundung
seperti trenggiling menuju ke arah Hay Hay dan sekali melompat, dia sudah
mengirim totokan tiga kali berturut-turut.
"Hemm
....!"
Hay Hay
kembali mengelak dengan loncatan jauh ke samping dan disini dia disambut oleh
sambaran tangan kakek tinggi kurus yang mencengkeram ke arah pundaknya, agaknya
hendak menangkapnya seperti seekor rajawali menerkam kelinci.
"Plakk!"
Hay Hay
menangkis dan kakek tinggi kurus itu terkejut. Bukan saja tangannya terpental,
akan tetapi dia juga merasa nyeri dan lengannya tergetar hebat oleh tangkisan
itu.
Hay Hay
tidak mau membuang tenaga dan waktu melayani tiga orang itu, maka begitu
mendapat kesempatan, dia lalu melompat pergi.
"Selamat
tinggal, Paman-paman!" katanya.
Melihat
pemuda itu melarikan diri, tiga orang itu cepat mengejar. Si brewok
menggerakkan tangan kanannya.
"Singgg.....!!"
Sebatang
pisau pendek yang runcing mengkilap menyambar ke arah punggung Hay Hay. Pemuda
ini tiba-tiba membalik dan menangkap pisau itu dari samping dengan tangan
kirinya.
"Wirrr.....!!"
Si gendut
juga melepaskan senjata rahasia berupa piauw. Melihat menyambarnya senjata
rahasia itu, Hay Hay melemparkan pisau pendek yang tadi ditangkapnya.
"Tranggg....!!"
Pisau dan piauw bertemu di udara dan keduanya runtuh.
Hay Hay
berlari terus. Tiga orang itu mengejar, namun pemuda itu dapat bergerak dengan
amat cepatnya, seperti terbang saja.
"Tarrr.....
suuuutttt....!!"
Hay Hay
terkejut bukan main. Nyaris kepalanya termakan peluru panas yang lewat dekat
telinganya. Begitu meledak, peluru sudah tiba di dekat telinganya. Betapa
cepatnya senjata rahasia itu dan tahulah dia bahwa tentu kakek tinggi kurus itu
mempergunakan senjata api, yaitu senjata rahasia yang dibawa orang-orang kulit
putih dan yang terkenal amat ampuh dan berbahaya.
Banyak sudah
ahli-ahli silat tewas oleh senjata api seperti itu, senjata yang dapat
memuntahkan peluru dengan kecepatan yang sukar untuk dapat dielakkan. Untung
bidikan si tinggi kurus itu kurang sempurna sehingga peluru itu lewat di dekat
telinganya, nyaris mengenai kepalanya. Beberapa sentimeter lagi saja
menyimpang, peluru itu akan menembus kepalanya dan dia tentu sudah roboh tewas!
Sungguh
berbahaya, Hay Hay melompat jauh ke depan lalu berlari cepat seperti orang
terhuyung ke kanan kiri sehingga sukarlah bagi si tinggi kurus untuk
membidikkan lagi pistolnya. Sebentar saja Hay Hay sudah jauh meninggalkan
mereka dan lenyap di balik pohon-pohon di tepi sungai.
Setelah
merasa yakin bahwa tiga orang itu tidak mengejarnya lagi dan dia terlindung
oleh kegelapan malam yang mulai tiba. Terpaksa malam itu dia tinggal di tepi
sungai setelah melewati dua buah hutan. Terdapat lapangan rumput disitu dan
terlindung beberapa batang pohon besar. Karena lapangan itu cukup luas, maka
dia dapat melihat kalau ada orang datang menuju ke tempat itu. Kini dia harus
waspada setelah mengetahui bahwa ada orang-orang lihai mencarinya.
Hay Hay
merebahkan diri di atas rumput dan sampai jauh malam dia tidak tidur, hanya
termenung. Kemudian, setelah keadaan amat sunyi dan bulan sepotong sudah mulai
menyinari tempat itu, dia membuat api unggun kecil agar mendapat penerangan
karena dia ingin sekali melihat gulungan surat yang dititipkan kepadanya.
Tadinya,
sedikitpun dia tidak ingin mengetahui apa isinya, hanya mengambil keputusan
untuk pergi ke kota raja dan menyerahkan gulungan surat itu kepada Menteri Cang
atau Menteri Yang. Apapun isi gulungan surat itu, tidak penting dia ketahui
karena tidak ada sangkut pautnya dengan dia. Pula, dia harus menghormati wasiat
dari kakek bijaksana itu.
Akan tetapi
kini persoalannya menjadi lain. Dari tiga orang itu dia mendengar bahwa surat
itu amat penting karena dapat menimbulkan perang saudara! Hal ini membuat dia
ingin sekali tahu, bukan saja untuk melampiaskan rasa penasaran dan keinginan
tahunya, melainkan juga untuk menjaga kalau-kalau surat itu akhirnya terampas
orang. Biarpun terampas orang lain, kalau dia sudah mengetahui isinya, dapat
juga dia laporkan dengan lisan isi surat itu kepada seorang diantara dua
menteri itu.
Di bawah
sinar bulan sepotong dan dengan bantuan sinar api unggun kecil, dia membuka
gulungan surat itu. Tulisan tangan itu amat indah, dan singkat padat. Ternyata
isinya merupakan sebuah laporan tentang keadaan di kota Cang-cow di Propinsi
Hok-kian.
Dilaporkan
bahwa orang-orang kulit putih Portugis yang banyak tinggal di kota itu, telah
membangun sebuah benteng dan orang-orang kulit putih itu mengadakan persekutuan
dengan para bajak laut Jepang dan dengan Pek-lian-kauw. Persekutuan ini mulai
mempengaruhi para pejabat tinggi di Cang-cow, bahkan kepala daerah juga sudah
mereka tempel dan mereka pengaruhi. Ada tanda-tanda bahwa orang-orang kulit
putih, bajak laut Jepang dan gerombolan Pek-lian-kauw itu siap untuk mendorong
kepala daerah dan sekutunya untuk melakukan pemberontakan.
Surat
laporan itu dibuat oleh Yu Siucai, karena putera Yu Siucai yang menjadi jaksa
di Cang-cow, dibunuh bersama seluruh keluarga karena berani menentang persekutuan
itu hendak menyadarkan atasannya, yaitu kepala daerah Cang-cow. Hanya Yu Siucai
yang berhasil lolos, lalu dia membuat surat laporan itu dan hendak menghadap
Menteri Cang atau Menteri Yang di kota raja, akan tetapi nasib membuat dia
tewas oleh anak panah suami cebol pencemburu.
Setelah
membaca gulungan surat itu, Hay Hay cepat menyimpannya kembali dan kini
mengertilah dia. Bukan perang saudara yang menjadi akibat dari surat itu kalau
dia sampaikan ke kota raja, melainkan pembersihan! Tentu seorang diantara kedua
Menteri itu akan melapor kepada kaisar, kemudian pasukan besar akan dikerahkan
ke Cang-cow untuk membasmi pemberontak.
Jelaslah
bahwa tiga orang itu merupakan orang-orang dari persekutuan itu yang dimaksud
menghalangi agar surat laporan itu tidak sampai ke tangan kedua menteri itu.
Pantas saja si tinggi kurus itu pandai menggunakan pistol, kiranya merupakan
anak buah persekutuan orang kulit putih!
Karena surat
itu dianggapnya amat penting, Hay Hay segera memadamkan api unggun dan tidak
jadi bermalam di tepi sungai itu. Malam itu juga dia melanjutkan perjalanan.
Dia harus cepat tiba di kota raja untuk menyerahkan surat laporan itu kepada
yang berhak.
Sesungguhnya,
apakah yang terjadi di kota Cang-cuw di Propinsi Hok-kian? Isi surat laporan
itu memang benar, menceritakan keadaan yang sesungguhnya sedang bergolak dengan
diam-diam dan rahasia di kota itu.
Orang-orang
kulit putih Portugis, sepanjang sejarahnya, merupakan orang kulit putih pertama
yang menjelajah ke Asia, dan ketika para pelaut Portugis itu pertama kali
mendarat di Cina, mereka diterima baik oleh pemerintah setempat dan rakyat
dengan senang hati, diperlakukan sama dengan orang-orang asing yang sudah jauh
lebih dahulu berkunjung dan berdagang di Cina, seperti orang-orang Arab, dan
Melayu yang sejak puluhan tahun sudah berdatangan dan berdagang dengan tenteram
dan saling menguntungkan dengan rakyat Cina.
Kapal
pertama dari orang-orang Portugis yang mendarat adalah milik Perestrello. Anak
kapal yang dipimpin Perestrello ini diterima dengan ramah dan mereka
diperbolehkan berdagang tukar-menukar barang di darat. Beberapa bulan kemudian,
empat buah kapal besar datang dipimpin oleh De Andrada yang ditugaskan
mengantarkan seorang duta yang datang dari pejabat tinggi Portugis di Goa.
Rombongan
empat kapal inipun diterima dengan baik seperti bangsa-bagsa asing lainnya, dan
rombongan duta Portugis diantar ke Peking untuk menghadap Kaisar dan seperti
lajimnya pada waktu itu, para pedagang ini membawa semacam upeti atau hadiah
yang akan dibalas dengan hadiah lain dari kaisar. Tali persahabatan pertama
diikat.
Akan tetapi,
selagi rombongan duta Portugis masih berada di kota raja, terdengar desas-desus
yang tidak enak. Dikabarkan dan berita ini sampai ke istana bahwa orang-orang
Portugis yang semula datang sebagai pedagang-pedagang yang ramah itu, setelah
mendapat kesempatan tinggal di darat, mulai menampakkan watak asli mereka.
Seperti
harimau berkedok domba, mereka mulai mengganas dan melakukan pelbagai perbuatan
kekerasan mengandalkan senjata api mereka, bahkan melawan pemerintah setempat,
mendirikan kedaulatan dan kekuasaan mereka sendiri. Bahkan terdengar berita
bahwa orang-orang Portugis yang berada Kanton, yang dipimpin oleh Kapten Simon
De Andrada, melakukan pembajakan di sepanjang sungai Mutiara (Muara
Kwang-tung), bahkan selain merampoki perahu-perahu, juga membunuh dan menculik
memperkosa wanita!
Makin lama,
gerombolan orang Portugis itu semakin liar dan jahat. Mendengar ini, pasukan
keamanan daerah di Kanton segera mengambil tindakan dan menyerang orang-orang
Portugis dan berhasil mengusir kapal-kapal Portugis keluar dari muara itu.
Kiranya orang-orang Portugis itu adalah bajak-bajak taut yang menyamar sebagai
pedagang.
Beberapa
tahun kemudian, yaitu dalam tahun 1522, ketika armada kapal Portugis yang
dipimpin oleh Alphonso de Mello muncul di perairan Kanton, mereka diserang oleh
armada kapal cina dan setelah terjadi pertempuran di lautan, kapal-kapal
Portugis itu dapat diusir, dan sebuah kapal ditangkap, anak buah kapal dihukum
sebagai bajak-bajak taut. Semenjak itu, sampai puluhan tahun tidak terdengar
lagi tentang orang Portugis.
Akhimya,
pada tahun 1542, yaitu enam tujuh tahun yang lalu, muncullah kapal-kapal Portugis
di pantai Cina. Akan tetapi, pengalaman dua puluh enam tahun yag lalu membuat
mereka tidak berani mendarat di Kanton. Mereka memilih kota Ning-po di Propinsi
Cekiang, yaitu di sebelah utara, dan disini mereka diterima dengan baik oleh
para pejabat di Ning-po.
Waktu yang
sudah dua puluh tahun itu agaknya membuat rakyat lupa akan peristiwa di Kanton.
Rakyat dan para pejabat di Ning-po menerima orang-orang Portugis dengan ramah
seperti mereka menerima bangsa asing lainnya yang datang berkunjung untuk berdagang.
Mula-mula,
orang-orang Portugis dapat membawa diri dan mereka melakukan perdagangan yang
makin lama semakin besar, menguntungkan kedua pihak. Dan semakin banyak pula
kapal Portugis datang ke Ning-po, semakin banyak orang-orang Portugis tinggal di
Ning-po. Dalam waktu kurang lebih dua tahun saja, terdapat tidak kurang dari
tiga ribu orang Portugis tinggal di pelabuhan ini.
Akan tetapi,
setelah orang-orang Portugis ini merasa diri kuat karena mereka berjumlah
banyak, apalagi mengandalkan senjata api mereka, mulailah lagi nampak watak
mereka yang seperti bajak laut, apalagi setelah mereka mabuk. Mereka bahkan
membangun sebuah benteng tembok yang kokoh untuk melindungi warga mereka,
lengkap dengan meriam-meriam mereka. Mereka mulai memperlihatkan kekuasaan,
memandang rendah sekali kaum pribumi, dengan mudah memukul bahkan membunuh
orang, menculik dan memperkosa wanita.
Akhirnya,
para pejabat mendapat peringatan dari kota raja yang sudah mendengar akan
keadaan di Ning-po. Pemerintah mengerahkan pasukan besar menyerbu benteng.
Portugis itu. Terjadilah pertempuran hebat, dan akhirnya, benteng itu bobol dan
mereka yang tidak sempat melarikan diri ke kapal mereka, dibunuh.
Demikianlah,
dua buah peristiwa permusuhan terhadap orang-orang Portugis terjadi di Kanton
pada tahun 1522 dan di Ning-po pada tahun 1542. Namun, bagaikan semut yang
tertarik oleh gula, setelah beberapa tahun tidak memperlihatkan diri, beberapa
orang Portugis bermunculan di Cang-cow di Propinsi Hok-kian.
***************
Sekitar
tahun 1548 itu, kota Cang-cow merupakan sebuah kota yang amat terkenal bagi
orang-orang di luar Cina. Bahkan bangsa Arab dan Melayu, sudah sejak beberapa
abad menjadi pedagang-pedagang yang berhubungan amat baik dengan kaum pribumi,
melakukan perdagangan yang menguntungkan kedua pihak. Bangsa Arab mengenal kota
Cang-cow sebagai kota Jaitun seperti tercatat dalam sejarah mereka. Di kota
yang dengan tangan terbuka menerima hubungan dagang dengan semua bangsa asing
ini, orang-orang Portugis juga diterima tanpa banyak kecurigaan.
Mulailah
orang-orang Portugis berdatangan untuk berdagang. Di tempat inilah orang-orang
Portugis menggunakan siasat lain. Mereka sudah berpengalaman dan kini mereka
melakukan perdagangan dan bersiasat halus. Bukan saja mereka terorganisir,
bahkan mereka dipimpin oleh seorang berpangkat kolonel bernama Simon De
Andrada, putera dari mendiang Simon De Andrada yang pernah pula memimpin
orang-orang Portugis yang kemudian melakukan pembajakan di sekitar sungai
Mutiara dan muara Kwan-tung.
Kolonel
Simon De Andrada yang sudah mendapat pesan dari atasannya melakukan siasat yang
halus, menekan anak buahnya dengan keras agar mereka tidak melakukan kejahatan.
Bahkan Kolonel Simon De Andrada ini melakukan pendekatan dan berhasil menyuap
dan berhubungan baik sekali dengan para pejabat tinggi di Cang-cow, juga
melakukan hubungan dengan orang-orang Pek-lian-kauw, juga dengan para pimpinan
bajak laut Jepang.
Dengan
taktik seperti ini, mulailah orang-orang Portugis menancapkan kuku-kuku mereka
di Cang-cow dan karena para pejabat sudah menjadi sekutu mereka, maka laporan
para pejabat itu ke kota raja selalu memuji-muji orang-orang Portugis dan dikatakan
sebagai pedagang-pedagang yang mendatangkan keuntungan bagi Cina dan
mendatangkan kemakmuran bagi rakyat di daerah Cang-cow!
Seperti yang
sudah-sudah, bangsa Portugis membangun sebuah benteng di dekat laut, benteng
besar dimana semua bangsa Portugis tinggal untuk memudahkan mereka berlindung
kalau terjadi sesuatu. Namun Kolonel Simon De Andrada memberi alasan bahwa
benteng itu dipergunakan untuk memusatkan anak buahnya agar mereka lebih mudah
dapat diawasi dan diatur. Dan para pejabat yang sudah kenyang menerima sogok
dan suap, hanya mengangguk-angguk membenarkan saja. Padahal, bangsa asing
lainnya, seperti bangsa Arab dan Melayu, tidak ada yang membuat benteng, tidak
ada yang membawa pasukan bersenjata, melainkan tinggal bersama rakyat di kampung-kampung,
walaupun tetap mereka itu berkelompok.
Karena
keadaan dianggap aman dan menyenangkan, bangsa Portugis mulai mendatangkan
sanak keluarga mereka, wanita dan kanak-kanak, bahkan mereka mulai mendirikan
sekolah anak-anak mereka, dan juga mendirikan tempat ibadah dan
pendeta-pendeta.
Kolonel
Simon De Andrada mempunyai dua orang pembantu yang amat dipercaya dan
diandalkan. Yang seorang adalah Kapten Armando yang berusia lima puluhan tahun
bersama puterinya yang bernama Sarah. Kapten Armando hanya datang bersama
puterinya, karena dia seorang duda yang sudah bercerai dari isterinya. Adapun
orang kedua yang menjadi pembantu utama kolonel itu adalah Kapten Gonsalo yang
berusia kurang lebih tiga puluh tahun, masih membujang.
Kapten
Armando adalah seorang pria setengah tua yang wajahnya ganteng sekali, dengan
rambut keemasan, matanya biru dan hidungnya yang mancung tidak terlalu besar
dan panjang. Mulutnya membayangkan keberanian dan dagunya yang berlekuk membuat
dia nampak jantan, apalagi ditambah dengan kumisnya yang melintang dan
jenggotnya yang tidak panjang. Wajah seorang laki-laki yang berwatak keras,
namun sinar matanya yang biru laut itu lembut.
Puterinya,
Sarah Armando, adalah seorang dara berusia tujuh betas tahun. Cantik jelita
dengan raut wajah mirip ayahnya, rambutnya kuning keemasan dan matanya juga
biru amat jernihnya, tenang menghanyutkan seperti air laut. Biarpun usianya
baru tujuh betas tahun, namun tubuhnya sudah dewasa dan matang, dengan
lekuk-lengkung sempurna.
Bagaikan
setangkai bunga, Sarah sedang mekar dan semerbak harum, maka tidaklah
mengherankan kalau para pria Portugis, bahkan juga bangsa lain, bagaikan
kumbang-kumbang kehausan madu kalau melihatnya. Namun dara ini biarpun lincah
jenaka dan berwatak gembira, ia sama sekali tidak genit dan tidak pernah mau
memberi hati kepada pria manapun juga sehingga tidak ada pria yang berani
menggodanya.
Kehormatan
seorang wanita memang terletak kepada sikapnya kalau berhadapan dengan pria.
Kerlingnya, senyumnya, gerak-gerik dan suaranya, semua itu dapat menunjukkan
apakah seorang wanita itu dapat digoda ataukah tidak. Seorang wanita yang
menjaga kehormatan dan pandai menjaga dirinya, akan bersikap tenang dan
terbayang keagungan pada setiap gerak-geriknya, membuat pria sungkan dan segan
untuk bersikap kurang ajar, karena wanita seperti itu seolah-olah setiap saat
dapat meledak marah kalau diganggu secara tidak layak dan tidak sopan.
Sebaliknya,
setiap orang pria sudah pasti condong untuk menggoda wanita yang sikapnya
genit, yang pembawaannya seolah merupakan tantangan, dengan kerling tajam
memikat, senyum menantang, dan dengan sikap seperti ini otomatis wanita itu
telah membanting harga dirinya dan setiap orang pria akan senang sekali
menggodanya!
Kapten
Gonsalo, pembantu Kapten Armando dan merupakan orang kedua yang menjadi
pembantu dan kepercayaan Kolonel Simon De Andrada, adalah seorang diantara
mereka yang tergila-gila kepada Sarah. Dia yang masih membujang dan sudah
berusia tiga puluh tahun itu memang mempunyai lebih banyak harapan untuk menang
berlomba mendapatkan diri Sarah. Dia seorang kapten, pembantu ayah gadis itu
sehingga paling dekat hubungannya dengan Sarah. Juga Kapten Gonsalo seorang
pria yang bertuhuh tinggi besar, ganteng dan jantan, dengan kumis tipis dan
dagu dicukur bersih dan nampak kebiruan karena jenggotnya memang tebal andai
dibiarkan tumbuh.
Biarpun
biasanya Kapten Gonsalo ini seorang laki-laki yang amat kasar dan suka
memamerkan kekuasaan dan kekuatannya, apalagi karena dia seorang jago tinju dan
ahli tembak, namun di depan Sarah dia dapat bersikap lunak dan jinak seperti
seekor domba! Dengan segala daya dia berusaha untuk memikat hati gadis yang
telah membuatnya tergila-gila itu.
Kapten
Gonsalo selain kuat, juga dia seorang yang memiliki ambisi besar, dan amat
cerdik pula. Karena itu, dia dapat menjadi orang kepercayaan Kolonel Simon De
Andrada, dan diperbantukan kepada Kapten Armando. Bahkan setengah tahun yang lalu,
Kapten Gonsalo pernah diutus oleh sang kolonel untuk pergi ke kota raja
menghadap kaisar, dan tentu saja diantar oleh pejabat daerah.
Di hadapan
kaisar, Kapten Gonsalo atas nama Kolonel Simon De Andrada dan semua bangsa
Portugis, menghaturkan salam dan tidak lupa memberi hadiah yang terdiri dari
benda-benda berharga dari Portugis.
Yang amat
menyenangkan hati Kaisar Cia Ceng dari Kerajaan Beng adalah hadiah yang berupa
sebuah senjata api pistol yang dilapis emas! Maka, Kapten Gonsalo ketika
meninggalkan istana, juga membawa hadiah yang cukup berharga dari kaisar untuk
disampaikan kepada Kolonel Simon De Andrada.
Semenjak
diterimanya utusan itu oleh kaisar, maka para pejabat daerah semakin dekat
hubungan mereka dengan orang Portugis dan bangsa ini dianggap sebagai bangsa
yang diterima baik oleh kaisar sendiri!
Demikian
pandainya orang Portugis di Cang Cow membawa diri sehingga tidak ada seorangpun
pejabat tinggi di kota raja yang mencurigai mereka. Apalagi kaisar, sedangkan
dua menteri tertinggi yang merupakan tulang punggung pemerintahan kaisar, yaitu
Menteri Cang Ku Ceng dan Menteri Yang Ting Hoo, tidak mengetahui akan bahaya
yang mengancam dari persekutuan gelap, di Cang Cow itu.
Ketika
beberapa bulan yang lalu seorang jaksa di Cang-cow, yaitu Jaksa Yu, melihat
persekutuan itu, tentu saja dia terkejut dan cepat dia menemui atasannya, yaitu
kepala daerah Cang-cow untuk menyadarkannya betapa tidak benarnya persekutuan
dengan orang-orang Portugis, bahkan dengan bajak laut Jepang dan pemberontak
Pek-lian-kauw, kepala daerah itu menjadi terkejut.
Dia tahu
bahwa Jaksa Yu seorang yang amat setia dan jujur, kalau kini dia sudah tahu
akan rahasia itu, tentu dia akan melapor ke kota raja. Maka, kepala daerah itu
segera mengambil tindakan tegas. Jaksa Yu sekeluarga ditangkap, dituduh hendak
memberontak dan dijatuhi hukuman mati! Habislah seluruh keluarga Jaksa Yu dan
berarti aman pula rahasia persekutuan itu.
Akan tetapi,
kemudian baru kepala daerah mendengar bahwa ayah dari Jaksa Yu yang sudah tua,
yaitu Yu Siucai, yang kebetulan sedang keluar kota, lolos dari pembasmian
sekeluarga itu. Karena khawatir bahwa kakek itu tahu pula akan rahasia
persekutuan mereka, maka dengan kerjasama dengan para sekutunya, mereka lalu
mengutus pembunuh-pembunuh untuk melakukan pengejaran dan membunuh Yu Siucai.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment