Sunday, October 14, 2018

Cerita Silat Serial Dewi Sungai Kuning Jilid 04



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Dewi Sungai Kuning

                 Jilid 04


Dengan gerak tipu baru ini sebentar saja Thian Hwa dapat merobohkan tiga orang pengeroyok. Sementara itu, melihat bahwa lima orang yang selalu mengancamnya dan membuatnya tidak berdaya itu kini bertempur melawan Thian H'va, diam-diam Tan-chungcu berlari keluar dan berteriak-teriak minta tolong kepada orang-orang kampung. Semua orang kampung ketika mengetahui bahwa di gedung kepala kampung ada perampok, lalu datang membawa senjata masing-masing dan menyerbu.
 Mereka melihat betapa tiga orang perampok telah roboh mandi darah dan yang dua sudah terdesak hebat. 

Tanpa ampun lagi tiga orang perampok yang belum mampus tapi sudah terluka oleh pedang Thian Hwa itu, lalu dikeroyok dan tubuh mereka hancur di bawah hantaman dan bacokan orang-orang kampung!

Dua orang perampok yang belum roboh, yakni Si Tinggi Besar dan Si Gemuk Pendek, yang ternyata memiliki kepandaian lumayan juga, melihat nasib ketiga kawannya, lalu menjadi ngeri dan takut. Mereka hendak melarikan diri, tapi pedang gadis yang gesit itu mengurung dan menahan mereka.

 Kemudian Si Gemuk Pendek menggunakan akal busuk dan memperlihatkan kekejaman dan kejahatannya. Dia meloncat ke belakang kawannya Si Tinggi Besar, lalu mendorong kawannya itu dengan keras ke arah Thian Hwa! Sehabis melakukan ini, dia meloncat ke atas melalui jendela dan kabur!

Thian Hwa cepat berkelit menghindar diri dari tubrukan dan langsung menusuk ke arah dada Si Tinggi Besar yang dikorbankan oleh kawannya sendiri sehingga Si Tinggi Besar roboh dan menjadi korban orang-orang kampung pula. Sementara itu Thian Hwa yang merasa gemas dan benci kepada kepala perampok yang curang dan pengecut itu, segera menggerakkan tubuh mengejar keluar jendela.

Ketika tiba di atas genteng, ia melihat bayangan kepala perampok itu bergerak-gerak jauh di depan, maka segera ia mengeluarkan kepandaian mengejar cepat. Ternyata dalam hal kepandaian ginkang ia masih menang jauh, maka sebentar saja ia dapat mengejarnya. Si Pendek Gemuk itu dengan gemas lalu berlaku nekad dan melawan mati-matian, tapi dalam beberapa jurus saja dia terpaksa mengakui keunggulan Huang-ho Sian-li yang walaupun masih sangat muda namun memiliki kepandaian yang berlipat ganda lebih tinggi daripada kepandaiannya sendiri. 

Sebuah tusukan yang tepat menembus lehernya membuat dia roboh berguling-guling dari atas genteng dalam keadaan tidak bernyawa pula!

Setelah mendengar cerita kepala kampung, maka seluruh penduduk baru mengerti mengapa Tan-chungcu demikian berubah. Tidak tahunya, beberapa pekan yang lalu, pada suatu malam, lima orang penjahat itu masuk dan menyerbu dari atas genteng ke dalam gedung Tan-chungcu. Lalu mereka itu mengancam kepala kampung untuk memeras rakyat dan menyerahkan semua hasil pemerasan kepada mereka!

 Mereka ini bersembunyi di dalam gedung Tan-chungcu dengan menyamar sebagai pengawal-pengawal yang katanya datang dari kota raja! Tentu saja Cun Sam juga mereka yang membunuhnya. Semua keluarga kepala kampung tidak berdaya dan tidak seorang pun berani membuka rahasia mereka karena itu berarti bencana bagi keluarga kepala kampung itu!

Semua penduduk kampung menyambut kedatangan Thian Hwa yang menyeret tubuh Si Gemuk Pendek yang tak bernyata lagi itu dengan sorakan gemuruh. Mereka berterima kasih sekali, terutama Tan-chungcu sendiri. 

Kepala kampung yang sudah tua ini mengumpulkan seluruh keluarganya dan bersama-sama mereka berlutut sambil mengangguk-anggukkan kepala di depan Thian Hwa! Tentu saja gadis itu menjadi repot dan bingung, karena tak mungkin ia dapat mencegah orang sebanyak itu yang berlutut padanya, maka tiada lain jalan baginya selain ikut pula berlutut membalas hormat mereka!

Maka berpestalah seluruh kampung pada hari itu dan tiap bibir menyebut-nyebut nama Huang-ho Sian-li! 

Pada keesokan harinya, setelah menanyakan jalan, Thian Hwa meninggalkan kampung Lun-cwan dengan diantar oleh seluruh penduduk kampung, tua muda, laki-laki perempuan, sampai jauh di luar kampung. Gadis ini diberi seekor kuda yang bagus dan banyak pula bekal makanan dan pakaian yang diberikan padanya dengan setengah memaksa sehingga ia tidak dapat menolak lagi!

 Di sepanjang jalan, Thian Hwa merasa betapa senangnya memberi pertolongan kepada orang yang sedang menderita kesukaran, dan jika ia mengenang kembali kemesraan yang ia dapat dari para penduduk kampung Lun-cwan, ia tidak merasa hidup sebatang kara lagi, bahkan merasa bahwa seluruh penduduk kampung itu adalah saudara dan keluarganya!

Karena telah mendapat petunjuk dari kepala kampung Tan tentang jalan dan jurusan yang menuju ke kota raja, pula karena kini telah mempunyai seekor kuda yang kuat dan cepat larinya, maka perjalanan Thian Hwa menjadi lancar dan cepat. Biarpun semenjak kecil hidup di atas air sungai Huang-ho, tapi karena kakeknya seorang yang berpemandangan luas, maka ia pernah dilatih menunggang kuda, sehingga kini tidak kaku lagi dan dapat melakukan perjalanan jauh dengan kuda.

Beberapa hari lewat tanpa terjadi sesuatu yang penting. Pada hari yang ketiga, Thian Hwa tiba di tepi sebuah sungai tapi jika dibandingkan dengan Huang-ho tampak tidak berarti, tapi cukup lebar karena pada waktu itu musim hujan telah tiba, Thian Hwa telah diberitahu oleh orang di kampung yang baru dilewatinya bahwa jembatan besar yang menyeberangi sungai itu terdapat kira-kira lima li di sebelah barat.

Karena semenjak kecil selalu hidup dekat sungai, maka melihat sungai ini timbullah kegembiraan Thian Hwa. Ia melihat di tempat itu sunyi sekali, maka segera ia tambatkan kudanya pada sebatang pohon dan ia cepat menanggalkan pakaian luarnya dan mengganti pakaian mandi yang ringkas.

 Rambutnya yang panjang itu ia gelung ke atas dan diikatnya dengan sepotong sutera halus. Kemudian ia terjun ke dalam air yang dalam dan mengalir deras itu! Sebentar kemudian tubuhnya berenang hilir mudik dengan cepat sekali dan Thian Hwa merasa tubuhnya segar dan enak. Alangkah nikmatnya mandi di sungai yang airnya dalam dan dingin itu.

Ternyata air sungai itu jernih dan lebih dingin daripada air Sungai Huang-ho, maka Thian Hwa merasa betah sekali mandi di situ. Ia menyelam ke dalam air mencari kerang dan mengejar ikan-ikan kecil yang bermacam-macam warna dan bentuknya, seperti yang tiap hari dilakukannya di Huang-ho dulu ketika ia masih kecil.

 Pada saat seperti itu ia lupa akan segala, lupa akan orang tua yang sedang dicarinya, lupa akan kakek yang ditinggalkannya, pendeknya lupa akan segala kesusahan dan hanya merasa gembira dan bahagia. Ia merasa dirinya benar-benar menjadi dewi air!

Air sungai itu makin ke hilir makin besar dan dalam kegembiraannya, Thian Hwa telah berenang mengikuti aliran air sungai jauh juga dari tempat kudanya ditambatkan! Tiba-tiba ia melihat sesuatu yang mengerikan terjadi di permukaan air, agak jauh ke hilir. 

Sebuah perahu kecil yang indah terombang-ambing di permukaan air karena sedang diserang oleh seekor ular air warna hitam yang besar dan panjang! Ular itu telah menggunakan ekor dan tubuhnya membelit perahu dan kepala dijulurkan ke dalam hendak menerkam seorang yang mempertahankan dirinya dengan sebuah dayung kayu dan mencoba untuk memukul kepala ular itu dengan dayung. Tapi usaha orang itu sia-sia karena kepala ular makin dekat dan tiap saat tentu ia akan menjadi mangsa binatang itu yang agaknya tidak terburu-buru untuk segera menerkam mangsanya dan hendak mempermainkan lebih dulu!

Melihat ini, Thian Hwa mempercepat berenangnya menuju ke perahu itu dan sekali meloncat sambil menekan pinggiran perahu, ia telah berada di atas perahu dan tanpa berkata ia telah merampas dayung dari tangan orang itu. Orang itu ternyata seorang tua yang berpakaian bangsawan dan sikapnya gagah dan kini berdiri dengan mata terbelalak memandang gadis yang pakaian dan keadaannya bagaikan seorang dewi yang baru saja muncul dari Kerajaan Hai Liong Ong yang berada di bawah air!

Dalam keadaan yang demikian mendesak untuk menolong jiwa orang Thian Hwa tidak menggunakan banyak peradatan dan upacara lagi, bahkan ia lupa bahwa dengan pakaiannya yang ringkas dan basah itu sebetulnya tidak pantas untuk memperlihatkan diri di depan seorang laki-laki.

la menggunakan dayung itu untuk memukul kepala ular. Tadi ketika dayung itu masih berada di tangan laki-laki bangsawan itu dan digunakan untuk menyerangnya, binatang itu dengan mudah dan secara main-main mengelakkan tiap pukulan. Kini menghadapi serangan Thian Hwa, sekali pukul saja dayung itu tepat mengenai kepala ular sehingga ular itu mengamuk karena merasa sakit. 

Dari mulutnya keluar busa dan ia menyembur-nyembur dan mendesis-desis! Tapi Thian Hwa tidak takut bahkan ia menggunakan dayungnya menghantam tubuh dan ekor yang melilit perahu. Ular itu memberontak keras dan perahu itu hampir terguling dan terbalik! Orang tua bangsawan itu berteriak ketakutan karena dia tidak pandai berenang dan jika jatuh ke dalam air berarti mati baginya, maka dia berpegang kepada pinggiran perahu dan duduk dengan tubuh menggigil.

Melihat hal ini, Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air dan menggunakan tangannya menahan badan perahu sehingga tidak berguncang lagi. Tapi pada saat itu, ular yang panjangnya lebih sepuluh kaki itu meluncur di permukaan air dan menyerangnya dengan hebat dan mulut terbuka lebar!

"Awaaaassss!!!" bangsawan itu menjerit ngeri ketika melihat hal ini, tapi Thian Hwa cepat bergerak menjauhi perahu karena ia hendak memancing ular itu menjauhi perahu. Kalau harus bertempur di dekat perahu, maka ia akan sibuk sekali dan harus memecah perhatian dan tenaganya menjadi dua, sebagian untuk melawan ular, sebagian lagi untuk menjaga perahu.

Ia berenang cepat dan dikejar dari belakang oleh ular itu! Sebetulnya, melihat badan ular yang panjang dan kelihatan licin berlenggang-lenggok itu, timbul ngeri dan jijik di dalam dada Thian Hwa, tapi sekali-kali tidak merasa takut.
Ia mencari akal untuk melawan sebaiknya dan secepatnya menjatuhkan atau membinasakan ular itu. 

Tiba-tiba ia membalik dan berenang sambil telentang menghadapi ular itu. Ia sengaja berenang perlahan dan kadang-kadang mengangkat tubuhnya tinggi untuk memanaskan hati ular itu. Benar saja, ular itu makin marah dan mempercepat berenangnya. 
Ia kini meluncur cepat sekari ke arah gadis itu dengan mulut dibuka selebar-lebarnya. Thian Hwa membuat perhitungan tepat, lalu ia siap sedia. Ketika ular datang mendekat dan menerjangnya dengan rnulut terbuka lebar sehingga giginya yang runcing tampak nyata, Thian Hwa memapakinya dengan dayung di tangan dan gerakan dayungnya sedemikian rupa sehingga dayung kecil itu tepat sekali memasuki mulut ular dan terus disodokkan ke dalam sehingga memasuki perutnya!

 Ular itu berontak, sebagian tubuh belakang dan ekornya menyabet-nyabet dan berdaya melepaskan diri, tapi tusukan dayung itu terlampau dalam sehingga hampir saja seluruhnya masuk ke dalam tubuh! 

Ia hendak selulup (menyelam) tidak dapat, hendak berenang lari pun sukar karena kepala dan leher tidak dapat digerakkan lagi, maka ia hanya dapat menggerak-gerakkan tubuh belakangnya melilit-lilit dan berputar-putar menimbulkan ombak besar pada air yang telah mulai memerah bercamput dengan darahnya yang keluar dari mulut yang tak berdaya itu.

Sementara itu, Thian Hwa berenang cepat menuju ke perahu kecil indah yang kini terputar-putar di tengah sungai karena tidak ada dayung yang mengemudikannya lagi. Bangsawan tua tadi hanya duduk bengong karena masih merasa ngeri dan heran melihat perkelahian antara ular dan gadis aneh itu. Dan dari tepi sungai tampak beberapa orang laki-laki berteriak-teriak bingung.

Thian Hwa lalu menghampiri perahu dan sambil berenang ia mendorong perahu itu ke pinggir di mana orang-orang menyambut perahu itu dengan teriakan-teriakan girang.

"Kau... kau... manusiakah?" tanya bangsawan tua itu.

Thian Hwa memandangnya dengan senyum manis. Wajah bangsawan itu mendatangkan rasa simpatinya, karena wajah itu membayangkan watak yang agung dan gagah.

"Aku orang biasa saja yang kebetulan lewat di sini."

Bangsawan tua itu tak dapat berkata apa-apa lagi dan sementara itu perahunya telah tiba di tepi dan banyak tangan kini membantunya ke tepi. Begitu naik, bangsawan itu lalu melepas baju luarnya yang lebar dan indah lalu melemparkannya ke arah Thian Hwa yang masih berada di air.

"Siocia, kaupakailah ini dan naiklah. Aku ingin sekali bicara denganmu dan menyatakan terima kasihku."

Thian Hwa makin tertarik melihat kesopanan dan kebaikan orang tua itu, apalagi sikap orang tua yang terus terang dan tanpa banyak peradatan itu mengingatkan ia akan kakeknya. Ia tahu bahwa dalam pakaian mandinya tak pantas kalau ia keluar dari air, maka ia lalu menggunakan pakaian luar bangsawan itu untuk menutupi tubuhnya dari pundak sampai ke lutut, lalu mendarat.

Semua orang heran melihat Thian Hwa dan memandang dengan bengong, bahkan beberapa orang bertanya. 
"Siapakah gadis cantik ini?"

Karena banyak mata orang memperhatikannya, Thian Hwa menjadi tidak senang dan malu, maka bangsawan itu membentak.

"Kalian semua manusia yang tidak bisa diharapkan! Baru ada serangan ular begitu saja kalian melarikan diri dan semua memikirkan keselamatan diri sendiri dan meninggalkan aku seorang diri di tengah sungai! Sungguh semangat kalian dibandingkan dengan semangat tikus pun masih kalah besar. Lihatlah Siocia ini. Ia adalah seorang wanita yang gagah perkasa. 

Dengan sebatang dayung kecil ia berhasil membuat ular air tadi tak berdaya. Ia menusuk mulut ular itu sehingga dayung perahuku masuk sampai ke perut ular! Ha, ha! Sungguh hebat, sungguh lucu! Aku ingin sekali melihat muka ular air itu sekarang! Tadi ketika ia menyerangku sangat ganas sekali!"

Kemudian bangsawan itu bertanya kepada Thian Hwa tentang asal-usulnya yang dijawab oleh gadis itu dengan sederhana saja. "Aku adalah seorang dari Sungai Huang-ho, dan hidup sebagai nelayan. Aku pada waktu ini sedang merantau meluaskan pengalaman dan hendak pergi ke kota raja."

Mendengar kata-kata gadis yang sangat sederhana dan tidak banyak menggunakan peradatan seperti yang biasa ia mendengar orang bersopan-sopan padanya, pembesar itu semakin tertarik, lalu ia memperkenalkan diri. Ternyata bangsawan itu adalah seorang pangeran bernama Ciu Wan Kong yang menduduki tempat penting juga di dalam istana raja. 

Pada waktu itu dia sedang pesiar dan dengan diikuti oleh beberapa orang teman dan pengawal, dia lewat di tempat itu dan bermain-main di atas perahu. Tidak disangkanya sama sekali bahwa di sungai yang tak berapa besar itu terdapat ular air yang demikian besar dan galak sehingga hampir saja menewaskan jiwanya kalau tidak segera datang gadis itu menolong. Ketika melihat ular itu, semua sahabat dan pengawalnya cepat-cepat mendayung perahu dan berenang lari ke tepi, tanpa sedikit pun pedulikan jiwa pangeran itu.

Oleh karena pertolongan ini maka pangeran itu sangat berterima kasih kepada Thian Hwa.

"Lihiap tentu seorang pendekar gagah. Bolehkah aku mengetahui nama dan ju-lukanmu?"

"Aku bernama Thian Hwa dan sudah lama ada orang menyebut diriku Huang-go Sian-li." jawab Thian Hwa, kemudian gadis itu memohon diri karena teringat akan kuda dan pakaiannya.

"Lihiap, kalau hendak ke kota raja, marilah ikut saja dengan kami. Kami ada kendaraan dan kuda di kampung dekat itu."

Thian Hwa menolak dengan halus dan biarpun dibujuk-bujuk oleh bangsawan yang sangat berterima kasih dan hendak memperlihatkan keramahan dan kebaikan untuk sekedar membalas budi, tetapi gadis itu menolak.

"Lopeh, Kakekku selalu berkata bahwa manusia hidup harus selalu menolong sesamanya di saat yang perlu, karena untuk itulah kita dilahirkan di dunia ini. Aku hanya mentaati pesan Kakekku, dan sekali-kali bukan hendak menanam budi dan mengharap balas. Nah, selamat tinggal, Lopeh!"




Thian Hwa adalah seorang gadis didikan kampung yang tidak tahu akan adat istiadat atau tata cara kesopanan, maka ia pun menyebut bangsawan itu dengan "Lopeh" atau paman saja, panggilan yang selalu ditujukan kepada seorang laki-laki tua! Tapi pangeran itu tidak marah bahkan ia terharu sekali mendengar kata-kata filsafat yang tinggi itu keluar begitu saja dari mulut seorang gadis muda yang berilmu silat tinggi ini! Padahal gadis itu sedemikian bodoh dan sederhana sehingga menyebut orang dengan patut saja tidak pandai!

Thian Hwa lalu meloncat ke dalam air kembali dan dari situ ia melemparkan jubah luar pangeran itu ke darat sambil berkata.

"Aku kembalikan pakaian luar, terima kasih!" Sehabis berkata demikian ia menggerakkan kaki tangannya dan sebentar saja ia lenyap di bawah permukaan air!

Pangeran Ciu Wan Kong dan kawan-kawan serta sekalian pengiringnya merasa kagum dan heran sekali, dan berkali-kali pangeran tua itu menghela napas karena merasa kecewa dan menyesal tak dapat bicara dan mengetahui riwayat gadis itu lebih banyak lagi. Dia merasa tertarik dan suka sekali kepada gadis itu. Kemudian setelah menegur lagi orang-orangnya yang memperlihatkan sifat pengecut ketika menghadapi bahaya, dia lalu kembali ke kota raja.

Thian Hwa berenang kembali ke tempat semula dan alangkah kagetnya ketika ia tidak melihat lagi kudanya di tempat tadi! Kuda dan bungkusan pakaiannya telah lenyap! Ia menjadi bingung sekali dan hampir saja menangis di pinggir sungai itu karena tak mungkin ia melanjutkan perjalanan dengan pakaian seperti itu dan pakaian mandinya basah pula!

Dengan bingung dan gemas Thian Hwa berlari cepat menuju ke jembatan untuk menyeberangi sungai itu, karena ia merasa di tempat itu tentu terdapat kampung di mana ia dapat meminjam pakaian!

Untung baginya bahwa ketika itu sudah hampir senja sehingga ia tidak lama menanti hari menjadi gelap dan memasuki sebuah kampung di dekat jembatan itu. Dengan menggunakan kepandaiannya, mudah saja ia memasuki rumah yang agak besar dan indah bagaikan se orang maling yang pandai ia masuk ke dalam kamar dan memilih seperangkat pakaian wanita. Akhirnya ia mendapat juga pakaian berwarna biru yang lumayan dan segera dipakainya lalu ia pergi dari rumah itu.

Karena ia tidak ingin lagi keesokan harinya terlihat oleh pemilik pakaian yang dicurinya itu, maka malam itu juga ia menyeberang sungai dan tiba di sebuah dusun. Ia naik ke atas wuwungan dan tidur di atas rumah orang. Hawa sangat dingin, tetapi Thian Hwa sudah biasa tidur di udara terbuka sehingga hawa dingin tidak lagi merupakan gangguan hebat baginya. Apalagi ia telah memakai pakaian yang agak tebal maka sebentar saja ia telah tidur nyenyak di atas genteng rumah orang!

PADA keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia telah meninggalkan tempat itu. Ia mengambil keputusan untuk melanjutkan perjalanan ke kota raja dengan jalan kaki. Tapi pada saat itu ia merasa lapar sekali dan bingunglah dia. Hendak membeli makanan, tidak membawa uang, karena semua barangnya telah disambar orang. Tiba-tiba ia mendengar suara ringkik kuda dan giranglah hatinya. Itu adalah ringkik kudanya!

Segera ia menuju ke tempat itu dan tampak olehnya seorang hwesio sedang menuntun kudanya. Hwesio itu masih muda dan memakai jubah hitam. Thian Hwa merasa heran sekali karena tidak mungkin seorang hwesio mau mencuri kuda dan pakaiannya! Maka dengan sabar ia maju menghampiri hwesio itu dan mengangkat tangan memberi hormat, lalu berkata.

"Kalau aku tidak salah, kuda dan bungkusan pakaian itu adalah milikku yang hilang di pinggir sungai. Darimanakah kauperoleh kuda dan barang-barang yang sedang kucari-cari ini?"

Hwesio itu terkejut dan memandangnya untuk beberapa lama, kemudian ia menyeringai. "Oh, oh, jadi engkau yang meninggalkan pakaian di pinggir sungai" Dan waktu itu kau sedang ke mana?"

Thian Hwa menganggap pertanyaan itu biasa saja, maka ia menjawab sejujur nya. "Aku sedang mandi di sungai."

Hwesio itu memandangnya dengan mata terbelalak dan mulut yang tebal itu tersenyum-senyum kurang ajar, lalu katanya sambil tertawa.

"Aih, aih! Mengapa tadi aku tidak melihatmu" Ah, sungguh sayang, sungguh sayang! Alangkah senangnya melihat kau mandi!

" Sambil berkata demikian, kedua mata hwesio itu dengan secara kurang ajar sekali memandangi tubuh Thian Hwa dari atas sampai ke bawah. Hal ini membuat gadis itu marah sekali dan hampir saja ia menggerakkan tangan menyerang, tapi karena di situ mulai banyak orang lewat, ia hanya memaki perlahan.

"Hwesio kurang ajar lekas kau kembalikan kuda dan bungkusan pakaianku, kalau tidak jangan anggap aku keterlaluan menghina seorang hwesio di muka umum dengan pedangku!"

Tapi ditantang dan diancam secara demikian, hwesio muda itu ternyata tidak takut sama sekali, bahkan dia lalu tertawa besar.

"Ha, ha! Nona manis agaknya bisa juga bermain pedang. Hayo, kulayani. kau beberapa jurus, kalau permainan pedangmu cukup baik, boleh kauambil kuda dan pakaian ini." Lalu hwesio itu menuntun kuda menuju keluar kota dengan cepat diikuti oleh Thian Hwa.

Ketika tiba di tempat yang sunyi, hwesio itu menambatkan kuda Thian Hwa pada sebatang pohon, lalu dia menghadapi Thian Hwa dengan senyum dibuat-buat.
"Nona, kau masih muda dan cantik. Tidak baik kau merantau seorang diri saja. Aku suka mengembalikan kuda dan pakaianmu dan selanjutnya marilah kita jalan bersama. Aku akan menjadi pelindungmu." Sikapnya masih kurang ajar sehingga kemarahan Thian Hwa meluap.

"Bangsat gundul jangan kau kurang ajar! Lekas serahkan bungkusan pakaianku itu, kalau aku hilang sabar, kepala gundulmu itu tentu akan menggelinding dari batang lehermu!"

Sekarang marahlah hwesio itu. Dia menganggap Thian Hwa terlalu sombong dan tidak mengindahkannya. "Eh, perempuan muda! Tidak tahukah kau sedang berhadapan dengan siapa" Aku adalah murid ke tiga dari Pat-chiu Lo-mo."

"Aku tidak peduli kau murid siapa, biar murid Iblis Tua Tangan Delapan atau siluman aku tidak takut! Jangankan kepalamu yang gundul hanya sebutir, biar kau tambah sepuluh butir lagi, kalau barang-barang dan kudaku tidak lekas kaukembalikan, pasti akan kutebas buntung semua!"

"Setan kurang ajar!" Hwesio itu membentak dan mencabut pedangnya dari punggung lalu menyerang dengan gemas. Thian Hwa melihat datangnya serangan hebat dan cepat juga, segera kelit serangan itu dan mencabut pedangnya pula. Sebentar saja mereka saling menyerang dengan hebat, tapi terpaksa hwesio muda itu harus mengakui keunggulan Kwam-im Kiam-hoat dari Thian Hwa. Dia mulai terdesak hebat dan gadis itu tidak mau memberi hati kepadanya.

Pada suatu saat yang tepat, Thian Hwa berhasil memasukkan pedangnya di antara tangkisan lawan dan ujung pedangnya menyambar dada! Hwesio itu terkejut sekali dan buru-buru menggulingkan tubuh ke belakang, tapi masih saja ujung pedang merobek jubahnya dan melukai kulit dadanya sehingga dia terus menggelinding di atas tanah sampai jauh, meloncat dan berlari pergi meninggalkan buntalan pakaian dan kuda!

Thian Hwa tertawa geli, lalu ia menghampiri kudanya dan mengelus-elus kepala kuda itu. Binatang itu meringkik girang karena ia pun masih mengenali kawan seperjalanannya itu. Kemudian Thian Hwa membuka buntalan dan memeriksa isinya. Ternyata pakaian masih lengkap, bahkan bertambah dengan satu stel pakaian hwesio itu.

 Dengan jijik ia melempar pakaian hwesio itu ke atas tanah dan pada saat itu ia melihat sehelai surat melayang keluar dari saku jubah itu. Surat itu kertasnya berwarna merah dan indah, maka Thian Hwa tertarik akan surat itu. Dipungutnya surat itu, lalu dibukanya. Ternyata itu adalah surat yang ditujukan kepada pangcu atau ketua perkumpulan Lian-bu-pang di kota Twi-lok. Bunyi surat itu sebagai berikut.

Lian-bu-pangcu yang terhormat.

Pembawa surat ini sangat boleh dipercaya untuk dikirim sebagai penghubung dengan Pangeran Leng di kota raja.
Tertanda, Pat-chiu- Lo-mo

Thian Hwa memutar otaknya. Ia tidak tertarik akan nama-nama seperti Ketua Lian-bu-pang maupun Pat-chiu Lo-mo yang ia ingat adalah suhu dari hwesio jahat tadi. Tapi disebutnya Pangeran Leng di kota raja membuat ia berpikir. 

Bukankah ini suatu kesempatan baik untuk memudahkan penyelidikannya" Ia hendak menyelidiki para bangsawan di kota raja untuk mencari orang tuanya dan adanya hubungan dengan seorang pangeran tentu akan sangat menolong usahanya itu. Di dalam surat ini tidak disebut nama, maka apa salahnya kalau ia mewakili hwesio itu"

Dengan hati tetap Thian Hwa lalu menaiki kudanya dan membedal binatang itu cepat-cepat kembali ke kampung yang baru saja ditinggalkan, la membeli makanan dan mengisi perutnya, lalu minta keterangan di mana letak kota Twi-lok. Bukan main girangnya ketika mendapat keterangan bahwa kota itu justru berdekatan dengan kota raja yang tidak membuang banyak waktu lagi. Ia membalapkan kudanya dan melanjutkan perjalanannya.

Beberapa hari kemudian, sampailah ia di kota Twi-lok dan mudah sekali baginya untuk mencari gedung perkumpulan Lian-bu-pang karena hampir semua orang mengenal nama ini.

Ketika Thian Hwa tiba di depan pintu gedung itu, ia heran bahwa di dalam gedung berkumpul banyak tamu. Hatinya agar berdebar karena ia merasa khawatir kalau pemalsuannya ini diketahui orang. Tapi dasar ia memang seorang gadis yang berjiwa besar dan berhati tabah, ia masuk dengan muka terangkat. Seorang penjaga pintu menyambutnya dengan hormat dan berkata.

"Lihiap, silakan masuk!"

Ternyata ruang dalam gedung itu luas sekali dan beberapa belas orang, di antaranya tiga orang wanita, duduk mengitari meja besar sambil menghadapi hidangan dan arak. Melihat kedatangan Thian Hwa semua orang memandang dengan penuh perhatian.
"Maafkan aku, Cu-wi." kata Thian Hwa sambil mengangguk sederhana, "Apakah di antara kalian ada terdapat ketua dari Lian-bu-pang?"

Seorang laki-laki tinggi kurus kurang lebih berusia empat puluh tahun berdiri menjura. "Nona mencari aku ada keperluan apa?"

Thian Hwa mengeluarkan surat dan berkata. "Aku membawa surat dari Pat-chiu Lo-mo!"

Kagetlah semua orang yang berada di situ mendengar ini, dan ketua dari Lian-bu-pang sendiri buru-buru maju dan memberi hormat. "Maaf, kiranya Lihiap utusan dari Cio-locianpwe" Silakan duduk."

Setelah memberikan surat, Thian Hwa duduk dan melirik semua orang yang duduk di situ dengan sudut matanya. Mereka semua tampak gagah dan berkepandaian, maka ia semakin berlaku hati-hati.

Ketua itu setelah membaca habis surat dari Pat-chiu Lo-mo, segera tertawa dan kembali menjura kepada Thian Hwa "Lihiap, maaf kami tidak tahu dan kurang menghormati Lihiap yang datang tiba-tiba ini, maka mohon maaf. Aku adalah pangcu dari Lian-bu-pang dan namaku Lauw Cin. Cu-wi sekalian, Nona ini membawa surat dari Cio-locianpwe yang mempercayakannya untuk menjadi penghubung."

Semua orang terkejut dan seorang bertubuh gemuk berdiri dan berkata dengan suara kurang senang.
"Pat-chiu Lo-mo sungguh menghina kita! Dia terlalu memandang rendah kita rupanya! Masa ia mengirim seorang nona muda ini untuk menjalankan pekerjaan itu" Apakah ia menganggap kita anak-anak kecil yang tidak becus apa-apa?"

Sambil berkata demikian, Si Gemuk itu memandang kepada Thian Hwa dengan mata tajam dan memandang rendah, sedangkan mendengar ini semua orang diam. Untuk sesaat suasana menjadi sunyi sekali, tak seorang pun berani mengeluarkan suara dan Si Gemuk lalu duduk kembali dan mengangkat cawan araknya ke mulut.

Tapi pada saat itu terdengar suara nyaring dan cawan beling di tangannya telah pecah menjadi dua! Ketika semua orang melihat, ternyata yang membuat pecah cawan itu adalah sebutir kacang tanah. 

Mereka terkejut sekali dan cepat memandang ke arah Thian Hwa. Gadis itu dengan tenangnya memakan kacang tanah yang tersedia di atas piring dan agaknya dengan menggunakan jari tangan ia menyentil sebutir kacang tanah untuk memecahkan cawan Si Gemuk yang tadi telah mencelanya!.....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12