Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 05
BOUW HUJIN
yang ketika mudanya menjadi pendekar wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung
Hong Sakti) yang mengintai dari atas, begitu melihat Kong Liang dikeroyok banyak
orang di luar gedung, segera turun tangan. Beberapa kali kedua tangannya
bergerak dan sinar-sinar perak menyambar ke arah enam orang yang memegang busur
dan anak panah itu.
Mereka roboh
dan tubuh mereka terguling dari atap ke bawah. Bouw Hujin cepat membobol atap
yang sudah dilubangi bagi para pemanah itu dan dengan ringan tubuhnya melayang
ke dalam kamar.
"Engkau
Gui Siang Lin?" tanyanya kepada gadis yang duduk bersila di atas
pembaringan. Siang Lin mengangguk.
"Hayo
cepat, kita bantu Bu Kong Liang!" Bouw Hujin berkata dan ia sudah memegang
tangan Siang Lin lalu keduanya melompat ke atas melalui lubang di atas. Cepat
mereka berloncatan di atas genteng istana itu dan setelah tiba di depan,
kembali Bouw Hujin menyambitkan Gin- seng-piauw (Senjata Rahasia Bintang
Perak).
Dalam waktu singkat
saja delapan orang pengeroyok roboh. Hanya mereka yang berilmu cukup tangguh
seperti Phang Houw dan Louw Cin, juga Pat-chiu Lo-mo yang dapat menghindarkan
diri dari serangan senjata rahasia itu dengan menangkis sinar perak dengan
senjata mereka.
Akan tetapi
melihat betapa para perwira dan penjaga roboh dan dalam waktu singkat delapan orang
sudah roboh, mereka juga terkejut dan berlompatan mundur. Kesempatan ini
dipergunakan oleh Kong Liang untuk melompat dan menghilang dalam kegelapan ma
lam.
Memang sebelumnya
sudah dia atur bersama Bouw Hujin. Dia memancing Pangeran Leng Kok Cun dan para
pembantunya keluar sehingga Bouw Hujin dapat bergerak dengan leluasa meloloskan
Siang Lin, kemudian setelah beberapa orang pengeroyok roboh oleh senjata
rahasia Nyonya Pangeran yang amat lihai itu, dia tahu bahwa Siang Lin telah
dibebaskan, maka dia lalu melompat dan melarikan diri!
"Kejar...!"
Teriak Pat-chiu Lo-mo. Akan tetapi karena malam itu gelap dan para pengejar merasa
gentar terhadap serangan senjata rahasia yang ampuh itu, mereka tidak dapat
menemukan Bu Kong Liang.
Pangeran
Leng Kok Cun marah sekali ketika melihat betapa Gui Siang Lin lolos dan enam
orang prajurit yang menodong di atas atap telah tewas semua. Lebih hebat lagi
kemarahannya ketika pada pagi harinya ada yang mengantar lima buah petimati
yang berisi mayat Twa-to Ngo-liong! Dia tahu bahwa dia telah ditipu Bu Kong Liang
dan bahwa Pangeran Mahkota Kang Shi sama sekali belum terbunuh!
Akan tetapi,
dia tidak berdaya dan belum begitu nekat untuk menyerang Pangeran Bouw Hun K i
yang dekat dengan Kaisar.
Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki juga tidak dapat menuduh Pangeran Leng Kok Cun hendak membunuh Pangeran Mahkota karena tidak ada bukti nyata. Twa-to Ngo-liong telah tewas, dan Bu Kong Liang tentu saja tidak dapat dijadikan saksi karena dia bukan anak buah Pangeran Leng.
Sebaliknya, Pangeran Bouw Hun Ki juga tidak dapat menuduh Pangeran Leng Kok Cun hendak membunuh Pangeran Mahkota karena tidak ada bukti nyata. Twa-to Ngo-liong telah tewas, dan Bu Kong Liang tentu saja tidak dapat dijadikan saksi karena dia bukan anak buah Pangeran Leng.
Maka urusan
itu hanya diketahui kedua pihak. Kaisar sendiri tidak diberitahu karena selain
hal itu akan membuat Kaisar khawatir akan keselamatan Putera Mahkota, juga
belum dapat dibuktikan bahwa Pangeran Leng Kok Cun mengirim orang- orang untuk
membunuh Pangeran Kang Shi.
Maka,
diam-diam terdapat permusuhan hebat antara Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran
Bouw Hun Ki, atau lebih tepat Nyonya Bouw, karena wanita inilah yang berani
menentang Pangeran Leng.
Mulai saat
itu, Bouw Hujin melakukan penjagaan amat ketat. Bahkan ia membuat bangunan rahasia
bawah tanah agar kalau sewaktu-waktu ada bahaya, Pangeran Kang Shi dapat bersembunyi
di situ.
Setelah Gui
Siang Lin yang dibawa Bouw Hujin tiba di istana Pangeran Bouw, dan mendengar
bahwa ayahnya telah tewas, ia menangis tersedu-sedu di depan peti mati ayahnya.
Bu Kong Liang yang sudah tiba di sana pula, segera memberi penjelasan kepada
gadis itu.
Dia
menceritakan betapa dia dan Gui Tiong terpaksa berpura-pura menurut perintah
Pangeran Leng untuk membunuh Pangeran Mahkota, karena mereka berdua melihat
Siang Lin ditawan, dan kalau mereka tidak menaati perintah Pangeran Leng, Siang
Lin tentu dibunuh.
"Aih, mengapa Ayah dan engkau mau melakukan
perintah Pangeran Leng yang jahat itu, Suheng" Biar aku dibunuhnya, aku
tidak takut dan tidak semestinya kita tunduk kepadanya!" Siang Lin mencela
sambil terisak-isak.
"Sumoi,
kami menuruti perintah Pangeran Leng hanya siasat belaka. Kami bermaksud kalau
sudah meninggalkan istana Pangeran Leng dan tiba di atas gedung Pangeran Bouw, kami
akan bunuh Twa-to Ngo-liong yang menemani dan mengawasi kami.
Aku sudah berhasil
membunuh tiga orang di antara mereka, akan tetapi sayang, pada saat itu, Bouw
Hujinkeluar dan karena mengira bahwa ayahmu seorang di antara penjahat, beliau
lalu menyerang dua orang di antara Twa-to Ngo-liong dan ayahmu sehingga mereka
bertiga tewas."
"Benar,
Gui Siang Lin. Akulah yang salah duga, membunuh tiga orang yang berada di atas genteng
gedung kami. Kalau saja aku tahu bahwa yang seorang adalah Gui Kauwsu dari Pek-ho
Bukoan, tentu tidak kuserang dia.
Akan tetapi malam-malam begitu di atas genteng,
tentu saja aku tidak melihat jelas mukanya. Nah, biarpun karena salah duga, aku
telah kesalahan tangan membunuh ayahmu. Kalau engkau mendendam sakit hati
kepadaku, aku tidak akan menyalahkanmu!" kata Bouw Hujin dengan lembut
namun gagah.
"Sumoi,
Bouw Hujin tidak dapat disalahkan. Aku sendiri tadinya mengira beliau musuh
karena beliau merobohkan Susiok, aku menyerangnya dan aku tertotok dan ditawan.
Barulah aku
mengerti duduknya persoalan setelah aku mendapat kesempatan bicara dengan
keluarga Pangeran Bouw. Kami yang bersalah, Sumoi. Semestinya sebelum tiba di sini,
kami turun tangan membunuh Twa-to Ngo-liong, baru kemudian menolongmu.
Akan tetapi semua telah terjadi, dan kematian
Susiok sudah merupakan takdir, kita tidak mungkin dapat menyalahkan Bouw Hujin.
Beliau tidak bersalah, bahkan beliau membebaskan engkau dari tawanan Pangeran
Leng." Hati Siang Lin seperti ditusuk, perih dan sakit.
Dengan kedua
mata bercucuran air mata, ia memandang kepada nyonya itu. Bouw Hujin tampak
begitu cantik dan gagah, begitu penuh wibawa yang kuat. Wanita setengah tua itu
tadi telah menolongnya keluar dari tahanan Pangeran Leng Kok Cun. Ia tidak
dapat membayangkan apa yang akan diderita kalau Pangeran Leng tahu bahwa
ayahnya mengkhianatinya.Ia bukan hanya akan dibunuh, melainkan disiksa dengan penghinaan
yang lebih hebat daripada maut. Ia tidak boleh mendendam kepada Bouw Hujin.
"Ayaaahhh...!"
Gui Siang Lin menjatuhkan diri berlutut di depan peti mati ayahnya, menangis
sesenggukan, membuat semua orang yang berada di situ merasa terharu.
"Nona,
hentikanlah tangismu. Ayahmu tewas sebagai seorang gagah sejati menentang
kekuasaan yang jahat. Tidak ada gunanya ditangisi lagi. Bahkan arwahnya tidak
akan tenang melihat engkau membenamkan diri dalam kesedihan," kata Bouw
Kun Liong.
"Akan
tetapi saya... saya... yatim piatu... sekarang hidup sebatang kara...!"
Gadis itu menutupi mukanya dengan kedua tangan, tidak menyadari siapa yang
bicara menghiburnya tadi.
"Nona,
kami merasa bertanggung jawab terhadap nasibmu. Ibuku telah salah sangka dan
salah tangan membunuh ayahmu, maka anggaplah kami sebagai keluargamu. Ayah dan ibuku
pasti akan menerimamu dengan hati dan tangan terbuka. Bukankah begitu,
Ibu?" kata Bouw Kun Liong kepada ibunya.
Pangeran
Bouw Hun Ki dan Nyonya Bouw saling pandang dan kedua orang tua ini maklum bahwa
putera mereka itu agaknya telah jatuh cinta kepada Gui Siang Lin! Suaranya ketika
menghibur menggetar penuh perasaan iba, itulah tanda mulai berseminya cinta!
"Apa
yang dikatakan Liong-ko (Kakak Liong) itu benar, Enci Siang Lin!" kata
Bouw Hwi Siang sambil memegang tangan gadis yang menangis itu. "Mulai
sekarang, engkau tinggallah di sini bersama kami. Ayah Ibu pasti menyetujui
sepenuhnya!"
Kini barulah
Siang Lin menyadari bahwa yang menghiburnya tadi adalah Bouw Kun Liong, pemuda
yangtampan gagah itu. Ia mengusap air mata dengan kedua tangannya, lalu mengangkat
muka memandang ke arah Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw dengan hati ragu.
Bouw Hujin
menatap wajah gadis itu dengan senyum, lalu mengangguk dan berkata. "Kedua
anakku berkata benar, Siang Lin. Kami dengan senang hati menerimamu dan anggaplah
kami sebagai pengganti orang tuamu. Kami akan menganggap engkau sebagai anak
angkat kami!"
"Benar,
Gui Siang Lin, kami senang kalau engkau menjadi anggota keluarga kami," kata
pula Pangeran Bouw Hun Ki.
Mendengar ini, Siang Lin segera menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu tanpa dapat mengucapkan kata-kata saking terharu hatinya. Kalau tidak ada suami isteri bangsawan ini yang menerimanya, bagaimana ia dapat hidup menjadi buruan kaki tangan Pangeran Leng yang pasti akan membalas dendam"
Mendengar ini, Siang Lin segera menjatuhkan diri berlutut di depan suami isteri itu tanpa dapat mengucapkan kata-kata saking terharu hatinya. Kalau tidak ada suami isteri bangsawan ini yang menerimanya, bagaimana ia dapat hidup menjadi buruan kaki tangan Pangeran Leng yang pasti akan membalas dendam"
"Aih,
Ibu bagaimana sih" Bukan menjadi anak angkat, akan tetapi menjadi anak
mantu, begitu!"
"Husss,
Siang-moi!" Bouw Kun Liong membentak adiknya, lalu dengan muka berubah
kemerahan pemuda itu meninggalkan ruangan, diikuti tawa adiknya. Pangeran Bouw
Hun Ki lalu berkata kepada Kong Liang, "Bu Kong Liang, engkau telah
memperlihatkan kebijaksanaanmu dengan menentang perbuatan Pangeran Leng yang
jahat.
Engkau juga
sudah mengetahui bahwa Pangeran Mahkota dititipkan kepada kami. Ini merupakan
tugas yang berat dan berbahaya dengan adanya orang-orang yang bersaing memperebutkan
kekuasaan.
Oleh karena itu, jika kiranya engkau tidak
keberatan, kami minta agar engkau membantu kami melindungi keselamatan Pangeran
Kang Shi di sini. Bagaimana pendapatmu?"
"Bu-enghiong
(Pendekar Bu) adalah seorang pendekar Siauw-lim-pai yang selalu membela
kebenaran dan keadilan, juga menentang kejahatan. Sudah sepatutnya kalau dia membantu
kami melindungi Pangeran Mahkota dari ancaman para pengkhianat," kata Bouw
Hwi Siang yang memang merupakan seorang gadis lincah dan tidak malu-malu
seperti gadis lain.
Ia memang
berwatak gagah seperti ibunya. "Hwi Siang!" tegur Nyonya Bouw, akan
tetapi sambil tersenyum. "Jangan lancang, biarkan Bu Kong Liang
memutuskannya sendiri!" Bouw Hwi Siang cemberut manja. Bu Kong Liang yang
tadi menundukkan mukanya, kini memandang Pangeran Bouw dan Nyonya Bouw, lalu
menjawab,
"Mengingat
bahwa Pangeran Leng mengumpulkan orang-orang pandai dan merencanakan perbuatan
jahat terhadap Pangeran Mahkota, maka saya siap untuk membantu Paduka melindungi
beliau. Terima kasih atas kepercayaan Paduka kepada saya."
Suami isteri
itu girang sekali. Mereka sama sekali tidak menduga bahwa kesediaan pemuda
murid Siauw-lim-pai itu membantu mereka melindungi keselamatan Pangeran Kang Shi,
terutama sekali karena adanya Bouw Hwi Siang di situ! Hanya Bu Kong Liang
sendiri yang merasakan betapa hatinya terpikat oleh gadis bangsawan itu! Bouw
Hujin lalu berkata kepada Hwi Siang.
"Hwi Siang, engkau ajaklah Siang Lin ke dalam dan suruh pelayan siapkan sebuah kamar untuknya. Juga berikan pakaian pengganti untuknya sebelum pakaiannya diambil dari rumahnya."
"Hwi Siang, engkau ajaklah Siang Lin ke dalam dan suruh pelayan siapkan sebuah kamar untuknya. Juga berikan pakaian pengganti untuknya sebelum pakaiannya diambil dari rumahnya."
"Ah,
Ibu. Mengapa susah-susah menyiapkan kamar lain"
Biar Enci
Siang Lin tidur bersamaku saja!" kata Hwi Siang dan ia lalu menggandeng
Siang Lin, diajak masuk ke bagian belakang, ke kamarnya dan ia memberikan
pakaiannya yang baru untuk dipakai Siang Lin. Pangeran Bouw memanggil pelayan
dan menyuruh pelayan menyiapkan sebuah kamar untuk Bu Kong Liang.
Mulai saat itu,
Gui Siang Lin dan Bu Kong Liang tinggal di gedung Pangeran Bouw Hun Ki yang
besar. Berdebar rasa jantung Thian Hwa
ketika ia tiba di depan gedung besar tempat tinggal Pangeran Ciu Wan Kong.
Tidak seperti gedung tempat tinggal para bangsawan lain yang masih kerabat
kaisar, rumah Pangeran Ciu Wan Kong tidak tampak angker, tidak terjaga banyak
prajurit.
Hanya ada
dua orang penjaga yang tidak berpakaian prajurit, melainkan sebagai pengawal
biasa. Hal ini memang mengherankan kalau diingat bahwa Pangeran Ciu Wan Kong
adalah adik dari Kaisar Shun Chi.
Sejak
ditinggalkan Cui Eng, wanita yang amat dicintanya karena wanita itu diusir oleh
orang tuanya, Pangeran Ciu Wan Kong seolah kehilangan semangat hidupnya.
Penghidupannya berubah sama sekali. Dia lebih banyak berdiam di dalam kamarnya,
atau pergi pesiar dikawal beberapa orang pelayan yang juga menjadi pengawalnya.
Dia bahkan
tidak pernah mempunyai isteri atau selir, hidup membujang dan tidak
mempedulikan urusan dunia.
Ketika Thian Hwa memasuki pintu gerbang rumah itu, dua orang penjaga segera menyambutnya.
Ketika Thian Hwa memasuki pintu gerbang rumah itu, dua orang penjaga segera menyambutnya.
"Maaf,
Nona, Siapakah Nona dan apakah keperluan Nona memasuki pintu gerbang gedung
ini?" tanya seorang dari mereka dengan sikap sopan.
Melihat
sikap dua orang penjaga ini hati T hian Hwa merasa senang. Dari sikap petugas
yang paling rendah pangkatnyadapat diketahui watak majikannya yang tingkatnya
paling tinggi.
Dua orang penjaga ini bersikap sopan, tentu mereka takut untuk bersikap kurang ajar karena atasan mereka yang susilawan pasti akan menegur bahkan menghukum mereka.
Dua orang penjaga ini bersikap sopan, tentu mereka takut untuk bersikap kurang ajar karena atasan mereka yang susilawan pasti akan menegur bahkan menghukum mereka.
"Tolong
laporkan kepada Pangeran Ciu Wan Kong bahwa aku, Thian Hwa, mohon menghadap
karena urusan yang teramat penting."
"Maafkan
kami, Nona. Beliau sudah lama tidak mau menerima kunjungan siapa pun. Saya akan
melapor, akan tetapi sebaiknya Nona memberitahu urusan apa yang hendak Nona
sampaikan agar beliau dapat mempertimbangkan untuk menemui Nona atau
tidak."
"Hemm,
katakan bahwa aku membawa berita tentang diri seorang wanita bernama Cui Eng.
Aku yakin beliau pasti akan menerimaku."
"Baik,
harap tunggu sebentar, Nona," kata penjaga itu, lalu seorang dari mereka
menyeberangi pekarangan yang luas menuju gedung yang besar dan tampak sunyi
itu.
Thian Hwa
menunggu dengan hati tegang. Biasanya, gadis yang amat tabah ini menghadapi apa
pun tidak merasa gentar atau tegang, akan tetapi sekarang, menghadapi
pertemuannya dengan ayah kandungnya, hatinya berdebar penuh ketegangan.
Bagaimana nanti ayah kandungnya itu akan
menyambutnya" Apakah Pangeran Ciu akan ketakutan dan melarikan diri seperti
dulu" Lalu apa yang akan ia lakukan" Tak lama kemudian, penjaga yang
tadi keluar dari dalam gedung berlari keluar menemui Thian Hwa.
"Nona, Pangeran tidak mengenal nama Thian
Hwa, akan tetapi mendengar bahwa Nona membawa berita tentang wanita bernama Cui
Eng, Nona diperkenankan masuk menghadap beliau.
Mari saya antarkan, Nona." Dengan jantung berdebar keras, Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki gedung yang besar.
Mari saya antarkan, Nona." Dengan jantung berdebar keras, Thian Hwa mengikuti penjaga itu memasuki gedung yang besar.
Ternyata di ruangan
depan juga tidak tampak pengawal bersenjata seperti lazimnya rumah para bangsawan
tinggi.
Hanya ada beberapa orang pembantu rumah tangga sedang membersihkan perabot di situ dan menyapu lantai. Thian Hwa dibawa ke ruangan tamu dan ketika tiba di pintu ruangan itu, penjaga tadi berkata.
Hanya ada beberapa orang pembantu rumah tangga sedang membersihkan perabot di situ dan menyapu lantai. Thian Hwa dibawa ke ruangan tamu dan ketika tiba di pintu ruangan itu, penjaga tadi berkata.
"Beliau
menanti di dalam, Nona. Silakan masuk." Dia lalu keluar lagi. Thian Hwa
memasuki pintu ruangan itu dan ia melihat Pangeran Ciu Wan Kong yang pernah
dikenalnya dua kali, yaitu pertama kali ketika ia menyelamatkan pangeran itu
dari serangan ular, kedua kalinya ketika ia datang ke gedung ini dengan niat
membunuhnya. Pangeran yang usianya baru sekitar lima puluh dua tahun itu sudah
tampak tua karena mukanya kurus dan rupanya sudah putih semua.
Ketika Thian Hwa melangkah masuk, Pangeran Ciu
Wan Kong yang tadinya menundukkan muka, mengangkat mukanya dan memandang. Thian
Hwa lega melihat wajah orang tua itu tidak liar ketakutan seperti dulu, melainkan
terheran-heran. Matanya terbelalak, mulutnya ternganga dan dia bangkit perlahan
dari kursinya ketika Thian Hwa melangkah menghampirinya. Thian Hwa berdiri di
depannya dalam jarak sekitar sepuluh langkah. Pangeran Ciu Wan Kong
menggosok-gosok kedua matanya dengan tangan, lalu menggelengkan kepala.
"Tidak
mungkin... tidak mungkin... kau... kau Dinda Cui Eng...!" Suaranya
gemetar. Thian Hwa menggelengkan kepalanya.
"Bukan, saya bukan
"Bukan, saya bukan
Cui
Eng...."
"Ah,
Dinda Cui Eng, isteriku... kekasihku... jangan engkau membenciku. Aku...
ampunkan aku, Cui Eng... engkau sampai terusir dari s ini dan aku, tidak dapat
melindungimu. Ampunkan aku... ampunkan aku yang berdosa padamu...." Pangeran
Ciu Wan Kong memandang dengan air mata menetes membasahi kedua pipinya yang
kurus. Thian Hwa merasa terharu sekali dan ia khawatir kalau- kalau pangeran
itu akan berubah ingatan karena kejutan ini.
"Bukan,
saya bukan Cui Eng. Cui Eng mempunyai tahi lalat di atas bibirnya, ingat"
Saya tidak mempunyai tahi lalat itu!" Thian Hwa melangkah mendekat agar
pangeran itu dapat melihat wajahnya lebih jelas. "Dan Cui Eng sekarang
tentu tidak semuda saya, bukan?"
Sepasang
mata yang basah itu berkejap-kejap. "Ahh... engkau benar... engkau masih
muda walaupun wajahmu persis Cui Eng-ku... dan tidak ada tahi lalat yang manis
itu di atas bibirmu... Engkau bukan Cui Eng, lalu engkau... engkau siapa?"
"Saya yang dulu menyelamatkan Paduka dari serangan ular," Thian Hwa mengingatkan.
"Saya yang dulu menyelamatkan Paduka dari serangan ular," Thian Hwa mengingatkan.
Agaknya Pangeran Ciu mulai ingat. "Ya...
ya... engkau gadis yang menyelamatkan aku dari serangan ular dan... rasanya aku
pernah bertemu lagi... engkau pernah ke sini malam- malam itu, bukan?"
"Benar,
saya pernah ke sini," kata pula T hian Hwa, merasa lega karena pangeran itu
agaknya kini sudah dapat mengingatnya. "Tapi siapakah engkau yang begini
mirip dengan Cui Eng"
Dan engkau
membawa kabar tentang isteriku Cui Eng" Di mana sekarang isteriku yang
tercinta itu?"
"Hemm,
kalau Paduka memang mencinta Cui Eng, mengapa Paduka begitu tega untuk
mengusirnya, membawa anaknya yang masih bayi" Apakah Paduka tidak merasa kasihan
kepada ibu dan anak itu?" Wajah yang kurus itu berkerut penuh perasaan
duka.
"Ah, jangan
kauingatkan itu, aku... aku tidak berdaya... mendiang orang tuaku yang dulu memaksaku.
Aih, anak yang baik, cepat ceritakan bagaimana keadaan Cui Eng sekarang"
Di mana ia?" "Cui Eng sudah tewas ketika diusir pergi dan naik
perahu.
Perahunya
terbalik di Sungai Huang-ho dan ia lenyap ditelan air!" kata Thian Hwa
dengan suara tegas, mengandung teguran. "Aduh... Cui Eng... ampunkan aku,
Cui Eng...! Kalau engkau sudah tewas, bawalah aku.
Tidak ada
gunanya lagi aku hidup menanggung dosa dan penyesalan..." Pangeran itu
kini menangis tersedu-sedu.
Hati Thian Hwa yang tadinya mengeras dan membeku itu kini mencair me lihat laki-laki setengah tua itu menangis seperti anak kecil.
Hati Thian Hwa yang tadinya mengeras dan membeku itu kini mencair me lihat laki-laki setengah tua itu menangis seperti anak kecil.
Akan tetapi ia mengeraskan hatinya, teringat
akan ibunya. Ia dapat membayangkan betapa sengsara ibunya ketika diusir bersama
anaknya yang masih bayi. "Pangeran Ciu Wan Kong,
Paduka seorang pangeran berbangsa Mancu, begitu tega dan memandang rendah seorang wanita Han yang katanya engkau cinta. Di manakah prikemanusiaanmu?"
Paduka seorang pangeran berbangsa Mancu, begitu tega dan memandang rendah seorang wanita Han yang katanya engkau cinta. Di manakah prikemanusiaanmu?"
"Aku
bersalah, aku berdosa... ah, Nona, siapakah engkau yang begini mirip Cui Eng,
yang berani datang untuk menghancurkan hatiku seperti ini...?"
"Akulah
bayi yang dilahirkan Cui Eng kemudian yang engkau usir dari s ini!"
Pangeran Ciu
Wan Kong terbelalak, matanya masih merah dan basah karena tangis, tubuhnya
gemetar seperti mendadak terserang demam
"Engkau...
engkau anak Cui Eng... ya, ya... engkau sama benar dengan Cui Eng... engkau...
engkau anakku...?"
Thian Hwa
tidak dapat menahan keharuan hatinya. Ia menubruk kaki ayahnya, berlutut dan
menangis. "Ayah... aku... Ciu Thian Hwa... aku... anakmu...!" katanya
tersendat- sendat.
Pangeran Ciu
Wan Kong juga berlutut dan merangkul gadis itu, mendekap kepala gadis itu ke
dadanya erat sekali, seolah dia menemukan kembali sebuah mustika yang hilang
dan dia ingin membenamkan mustika dalam hatinya agar tidak hilang lagi.
"Anakku...!
Ah, Cui Eng, terima kasih... engkau agaknya telah mengampuniku dan memberiku
anak ini... Thian (Tuhan)... terima kasih bahwa Engkau telah melindungi anakku
ini sehingga dapat bertemu denganku...!" Ayah dan anak itu berangkulan dan
bertangisan.
Sampai lama
mereka bertangisan.
Akhirnya Thian Hwa yang lebih dulu dapat menenangkan hatinya yang tadinya pilu penuh haru. Ia bangkit berdiri membimbing tangan ayahnya, mengusap air matanya dan berkata.
Akhirnya Thian Hwa yang lebih dulu dapat menenangkan hatinya yang tadinya pilu penuh haru. Ia bangkit berdiri membimbing tangan ayahnya, mengusap air matanya dan berkata.
"Ayah,
mengapa kita bertangisan" Bukankah sepatutnya kita bergembira oleh
pertemuan ini?"Pangeran Ciu Wan Kong tertawa! Entah sudah berapa lamanya
dia tidak pernah tertawa sehingga dia sendiri merasa aneh.
Akan tetapi wajahnya kini berseri dan mulutnya
tersenyum, matanya yang basah bersinar menemukan kembali gairah hidupnya.
"Ha-ha-ha,
engkau benar, Anakku!
Mengapa kita menjadi orang-orang cengeng" Padahal engkau, anakku Ciu Thian Hwa, engkau telah menjadi seorang pendekar wanita! Ya, pendekar wanita yang gagah perkasa. Aku bangga sekali!
Sepatutnya kita bergembira. Kita rayakan pertemuan ini!" Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berdiri terlongong memandang majikan mereka yang tampak begitu gembira.
Mengapa kita menjadi orang-orang cengeng" Padahal engkau, anakku Ciu Thian Hwa, engkau telah menjadi seorang pendekar wanita! Ya, pendekar wanita yang gagah perkasa. Aku bangga sekali!
Sepatutnya kita bergembira. Kita rayakan pertemuan ini!" Pangeran itu bertepuk tangan dan muncullah dua orang pelayan wanita setengah tua. Mereka berdiri terlongong memandang majikan mereka yang tampak begitu gembira.
Hal ini
sungguh amat mengherankan hati mereka karena selama bekerja di situ belum
pernah mereka melihat pangeran itu bergembira. Kini pangeran itu berdiri,
menggandeng tangan seorang gadis cantik dan tampak begitu gembira!
"Hayo
cepat siapkan pesta! Kami akan merayakan kembalinya anakku! Ini puteriku, Ciu
Thian Hwa. Kalian harus menyebutnya Ciu Siocia (Nona Ciu)!" Dua orang
pelayan itu terkejut, heran, akan tetapi juga girang sekali. Mereka memberi
hormat kepada Thian Hwa dan menyebut "Ciu Siocia" lalu mereka cepat
pergi untuk melaksanakan perintah majikan mereka.
Pangeran Ciu
lalu membawa T hian Hwa ke ruangan dalam dan mereka duduk bercakap-cakap.
"Anakku,
sekarang ceritakanlah semuanya kepadaku.Benarkah Ibumu, Cui Eng isteriku yang
kucinta dan yang bernasib malang, telah meninggal dunia?"
Thian Hwa
menghela napas panjang. "Agaknya begitu, Ayah, walaupun belum ada buktinya
bahwa Ibuku telah meninggal dunia. Semua hal tentang diriku juga kudengar dari guruku."
"Ceritakanlah, ceritakan semuanya, Anakku!"
"Ceritakanlah, ceritakan semuanya, Anakku!"
"Guruku,
Thian Bong Sianjin bercerita kepadaku bahwa sembilan belas tahun yang lalu dia
menolong aku yang masih bayi dari air Sungai Huang-ho. Dia tidak melihat orang
lain biarpun dia sudah berusia mencari di sungai itu. Maka dia berkesimpulan
bahwa kalau aku pergi dibawa ibuku, tentu ibuku telah meninggal dunia.
Aku lalu dipelihara dan dididik oleh guruku
itu sebagai muridnya, bahkan diangkat sebagai cucunya. Kong-kong Thian Bong
Sianjin memberiku nama Thian Hwa. Dia amat sayang kepadaku dan menurunkan semua
ilmu silatnya kepadaku."
"Ah,
sungguh besar budi kebaikan Thian Bong Sianjin. Ingin sekali aku dapat bertemu
dengan dia untuk mengucapkan terima kasihku yang tak terhingga. Akan tetapi, kalau
engkau dan Thian Bong Sianjin tidak pernah melihat Cui Eng, bagaimana engkau tadi
dapat mengatakan bahwa Cui Eng mempunyai ciri tahi lalat di atas
bibirnya?"
"Begini,
Ayah. Setelah menolongku dari sungai, Kong-kong bermimpi, katanya dia me lihat
seorang wanita cantik dengan tahi lalat di atas bibir, mohon kepadanya untuk
merawat anaknya. Maka Kong-kong berpendapat bahwa wanita cantik itu tentu
ibuku."
"Aih,
Cui Eng... kalau engkau sudah muncul dalam mimpi... benar-benar engkau telah
mati, kekasihku?" Melihat ayahnya tampak sedih kembali, Thian Hwa berkata menghibur.
"Ayah, tenanglah. Menurut perkiraan Kong-kong, ibuku tentu selamat karena
dia tidak menemukan jenazahnya.
Masih ada
harapan Ibu masih hidup, entah di mana."
"Mudah-mudahan
begitu, Anakku. Sekarang lanjutkan ceritamu. Bagaimana malam itu engkau dapat
datang di sini dan agaknya engkau... engkau ketika itu seperti
mengancamku."
"Memang
benar, Ayah. Ketika itu aku datang ke sini dengan niat untuk...
membunuhmu!"
"Ah,
Thian Hwa anakku, kalau engkau hendak membunuhku untuk membalas sakit hati
ibumu, silakan. Sekarang juga aku akan menerimanya dengan rela. Memang aku
patut mati karena dosaku terhadap Cui Eng!"
"Tidak,
Ayah. Buktinya aku tidak jadi membunuhmu. Aku tidak tega dan bahkan merasa
kasihan kepadamu. Aku tahu bahwa engkau adalah ayahku setelah aku bertemu
dengan kakekku, Kong-kong Cui Sam."
"Ah, Lo
Sam! Pembantu keluarga di sini yang amat setia dan juga menjadi ayah mertuaku!
Di mana dia, Anakku" Aku pun ingin bertemu dan minta maaf kepadanya!"
"Aku
bertemu dengan Kong-kong Cui Sam di istana Pangeran Cu Kiong dan dia yang
bercerita tentang riwayat ibuku.
Mendengar betapa ibuku diusir setelah me lahirkan aku, aku merasa sakit hati dan hendak membunuhmu, Ayah. Akan tetapi melihat Ayah begitu berduka dan menangisi Ibu, aku menjadi tidak tega."
Mendengar betapa ibuku diusir setelah me lahirkan aku, aku merasa sakit hati dan hendak membunuhmu, Ayah. Akan tetapi melihat Ayah begitu berduka dan menangisi Ibu, aku menjadi tidak tega."
"Hemm,
tentu engkau yang mengambil gambar ibumu itu!" kata Pangeran Ciu.
"Akan tetapi bagaimana engkau sampai berada di istana Pangeran Cu Kiong sehingga dapat bertemu dengan kakekmu?" Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya, dan bagian terakhir ia menceritakan bahwa kakeknya, Cui Sam, kini tinggal di dusun K ia-jung dekat kota Thian-cin.
"Akan tetapi bagaimana engkau sampai berada di istana Pangeran Cu Kiong sehingga dapat bertemu dengan kakekmu?" Thian Hwa lalu menceritakan semua pengalamannya, dan bagian terakhir ia menceritakan bahwa kakeknya, Cui Sam, kini tinggal di dusun K ia-jung dekat kota Thian-cin.
"Ah,
biarlah aku akan mengirim pasukan menjemput Ayah mertuaku Cui Sam. Dia harus tinggal
di sini bersama kita, dia sudah banyak menderita sengsara.
Kasihan dia. Akan tetapi ceritamu tentang para pangeran itu sungguh mengejutkan hatiku, Anakku.
Kasihan dia. Akan tetapi ceritamu tentang para pangeran itu sungguh mengejutkan hatiku, Anakku.
Apalagi tentang
niat Pangeran Leng Kok Cun yang hendak merebut tahta kerajaan! Ini gawat
sekali, dan biarpun selama ini aku juga sudah menaruh curiga kepadanya, namun
tidak ada bukti akan maksud pengkhianatannya.
Sekarang,
kita harus segera mengabarkan hal ini kepada
Sri baginda agar dapat dilakukan
tindakan sebelum dia dapat melaksanakan pemberontakannya itu."
Karena menganggap berita yang dibawa puterinya itu penting sekali, Pangeran Ciu Wan Kong mengajak puterinya makan hidangan yang sudah disiapkan, kemudian bertukar pakaian dan mereka pun berangkat ke istana.
Karena menganggap berita yang dibawa puterinya itu penting sekali, Pangeran Ciu Wan Kong mengajak puterinya makan hidangan yang sudah disiapkan, kemudian bertukar pakaian dan mereka pun berangkat ke istana.
Hal ini merupakan
peristiwa yang amat luar biasa bagi para pelayan Pangeran Ciu. Sudah bertahun-tahun
pangeran itu hidup terbenam kesedihan, tidak pernah tampak senyum apalagi tawa
di bibirnya, dan selalu tampak lesu dan muram
. Akan tetapi
mendadak saja, setelah gadis yang diperkenalkan sebagai puterinya itu datang,
Pangeran itu tampak berwajah cerah gembira, matanya bersinar penuh semangat dan
gerak- geriknya gesit, tidak loyo seperti biasanya. Dia bahkan tersenyum kepada
setiap pelayan yang ditemuinya ketika dia memegang tangan T hian Hwa dan mereka
berdua keluar dar gedung besar.
Para
pengawal istana tentu saja mengenal baik Pangeran Ciu Wan Kong, maka komandan
pasukan pengawal segera melaporkan ke dalam akan kunjungan Pangeran Ciu. Laporannya
diterima oleh para Thaikam (Orang Kebiri) yang menyampaikan kepada Boan
Thaijin, Thaikam yang menjadi penasihat utama Kaisar Shun Chi. Boan Kit yang
sebutannya Boan Thaikam atau Boan Thaijin ini mengerutkan alisnya mendengar
bahwa Pangeran Ciu Wan Kong minta menghadap Sribaginda Kaisar.
Biarpun Boan
Thaijin tidak suka kepada Pangeran Ciu yang amat setia kepada kakaknya yang
menjadi kaisar, namun dia tidak berani menolak kunjungan ini.
Apalagi dia menganggap Pangeran Ciu sama
sekali tidak berbahaya. Akan tetapi ketika Pangeran Ciu dan Thian Hwa disambut haikam
Boan Kit, penasihat kaisar ini menatap wajah Thian Hwa dengan tajam penuh selidik.
Pangeran Ciu sudah tahu orang macam apa adanya Thaikam Boan Kit, maka melihat pandang
matanya dia segera memperkenalkan.
"Boan
Thaikam, ini adalah puteriku bernama Ciu Thian Hwa. Karena Kakanda Kaisar belum
mengenal keponakan ini, maka kami hendak menghadap Sribaginda Kaisar agar dapat
mengenal keponakan beliau."
Boan Thaikam
mengangguk dan merasa lega. Kalau hanya pertemuan keluarga saja, dia tidak
perlu curiga dan khawatir.
"Sebaiknya
Pangeran tunggu sebentar. Saya akan melaporkan kepada Sribaginda yang kini
sedang berada di dalam ruangan meditasi. Kalau Beliau sudah selesai bermeditasi,
tentu Pangeran berdua dapat menghadap, akan tetapi kalau masih bermeditasi,
tentu saja Paduka tidak akan mengganggu Beliau."
"Tentu
saja, kami akan menunggu di sini," kata Pangeran Ciu. Diam-diam Boan Thaikam
merasa heran bukan main melihat Pangeran Ciu. Dia sudah melakukan penyelidikan
dan mengenal betul keadaan para pangeran. Menurut laporan para penyelidiknya,
Pangeran Ciu adalah seorang yang lemah dan bahkan jiwanya agak terganggu,
selalu mengasingkan diri dan tenggelam dalam duka.
Akan tetapi
hari ini dia melihat Pangeran Ciu demikian gembira, wajahnya berseri, sinar
matanya penuh semangat! mTak lama kemudian, Thaikam Boan Kit sudah datang menemui
Pangeran Ciu dan berkata, "Pangeran, kebetulan sekali Sribaginda Kaisar
sudah selesai samadhinya dan mendengar bahwa Paduka hendak menghadap, Beliau gembira
dan memperkenankan Paduka berdua memasuki Ruangan Meditasi."
"Terima
kasih, Boan Thaikam," kata Pangeran Ciu. Tentu saja dia sudah mengenal keadaan
dalam istana, maka tanpa ragu lagi dia mengajak Thian Hwa menuju ruangan itu. Ruangan
itu luas, akan tetapi tidak terisi banyak perabot yang serba mewah seperti yang
terdapat di lorong-lorong dan ruangan lain dalam istana itu.
Bahkan
ruangan luas ini sederhana bagi ukuran istana. Hanya terdapat sebuah meja bundar
dengan enam buah kursi, sebuah almari besar dan sebuah dipan ukuran sedang.
Tentu saja ruangan itu terlampau luas untuk perabot yang sedikit itu.
Begitu
melangkah ambang pintu, Thian Hwa melihat seorang laki-laki sekitar enam puluh
tahun lebih, duduk bersila dan atas dipan, menghadap ke arah pintu.
Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis, bahkan rambutnya dipotong pendek. Jubahnya berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta Buddha.
Kalau saja kepala itu gundul, maka laki-laki itu jelas seorang hwesio (pendeta Buddha)! Thian Hwa memandang heran.
Wajahnya bersih dari jenggot dan kumis, bahkan rambutnya dipotong pendek. Jubahnya berwarna kuning seperti yang biasa dipakai para pendeta Buddha.
Kalau saja kepala itu gundul, maka laki-laki itu jelas seorang hwesio (pendeta Buddha)! Thian Hwa memandang heran.
Inikah Sribaginda
Kaisar" Seorang pendeta seorang hwesio" Pangeran Ciu Wan Kong sudah
menjatuhkan diri berlutut begitu me langkah masuk dan tentu saja Thian Hwa
segera ikut pula berlutut.
"Ban-swe,
ban-ban-swe...!"
"Semoga
Sribaginda Kaisar panjang umur!" kata Pangeran Ciu dan ucapan ini pun
diikuti oleh T hian Hwa. Secara harfiah penghormatan umum bagi kaisar itu
berarti "panjang umur selaksa tahun" dan Thian Hwa yang meniru
ayahnya meneriakkan salam penghormatan itu diam-diam merasa geli.
Laksaan
tahun" Bagaimana kalau harapan itu dikabulkan" Bagaimana rupa kaisar
itu nanti kalau usianya mencapai laksaan tahun" Baru enam puluh tahun
lebih saja sudah tampak tua! Maka, ia tidak dapat menahan geli hatinya dan sambil
menggigit bibir ia menahan tawanya dan tampak tersenyum aneh.
Terdengar
suara Kaisar Shun Chi yang lembut, suara yang penuh kesabaran seperti suara
seorang hwesio. "Adinda Pangeran Ciu Wan Kong, adikku yang baik! Menurut keterangan
Boan Thaikam, engkau berkunjung bersama puterimu.
Ah, ini merupakan pertemuan keluarga, bukan persidangan resmi, maka jangan memakai banyak peraturan yang kaku.
Ah, ini merupakan pertemuan keluarga, bukan persidangan resmi, maka jangan memakai banyak peraturan yang kaku.
Tidak enak
antara keluarga berbincang-bincang dengan kaku begini. Ciu Wan Kong, dan engkau
keponakanku, kalian bangkit dan duduklah di atas kursi."
Pangeran Ciu Wan Kong yang merupakan adik misan KaisarShun Chi yang di waktu mudanya akrab dengan kakaknya, mengenal betul watak kaisar itu yang lembut dan bahkan ramah.
Pangeran Ciu Wan Kong yang merupakan adik misan KaisarShun Chi yang di waktu mudanya akrab dengan kakaknya, mengenal betul watak kaisar itu yang lembut dan bahkan ramah.
Dia segera
bangkit berdiri, diikuti oleh Thian Hwa.
"Banyak
terima kasih, Kakanda Kaisar," katanya dengan akrab. Mereka lalu duduk di
atas kursi menghadap ke arah Kaisar Shun Chi.
"Ciu
Wan Kong, sudah bertahun-tahun kami mendengar bahwa engkau berada dalam
kedukaan dan bahkan seperti mengasingkan diri.
Sudah lama
sekali kami tidak bertemu denganmu, akan tetapi hari ini kam i melihat engkau
berwajah ceria. Sukurlah kalau engkau sudah dapat mengatasi kedukaanmu. Dan
kami mempunyai keponakan sudah begini besar, mengapa selama ini tidak pernah
diajak menghadap ke sini?" "Maafkan saya, Kakanda Kaisar.
Sesungguhnya
saya sendiri baru saja menemukan kembali puteri saya yang hilang sejak ia masih
bayi."
"Omitohud!
Menarik sekali itu, kenapa kami tidak pernah mendengarnya" Ceritakanlah
apa yang terjadi dengan engkau dan anakmu ini, Dinda," kata Kaisar dan
kembali Thian Hwa merasa heran.
Mendengar ucapan
Kaisar, ia merasa seolah berhadapan dengan seorang hwesio! Pangeran Ciu Wan
Kong lalu menceritakan kepada Kaisar Shun Chi tentang Cui Eng yang diusir orang
tuanya sejak melahirkan seorang anak perempuan.
Kemudian menceritakan tentang pertemuannya
kembali dengan Thian Hwa yang setelah menjadi seorang gadis pendekar yang lihai
lalu mencari ayah ibunya.
"Hemm,
kami masih ingat bahwa ibumu, adik ayahku, adalah seorang yang berwatak keras.
Akan tetapi sungguh tak kusangka ia akan tega terhadap cucunya sendiri.
Beginilah kalau manusia membiarkan dirinya terikat kepada derajat dan kehormatan.
Ikatan menjadi sumber kesengsaraan," kata
Sribaginda Kaisar. "Akan tetapi sekarang engkau dapat berkumpul kembali
dengan puterimu, kami ikut merasa
gembira dan
bahagia!"
"Terima
kasih, Kakanda Kaisar. Akan tetapi saya menghadap Kakanda ini, selain untuk
memperkenalkan puteri saya, juga untuk melaporkan keadaan yang teramat gawat, yang
didapatkan oleh Thian Hwa."
Kaisar Shun
Chi tersenyum. "Hal gawat apakah itu?"
"Thian
Hwa, ceritakanlah kepada Sribaginda Kaisar," kata Pangeran Ciu kepada
puterinya. Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya ketika ia bertemu dengan
Pangeran Leng Kok Cun, tentang apa yang ia ketahui tentang pangeran yang hendak
merampas tahta kerajaan dengan mengumpulkan banyak tokoh sesat dunia kang-ouw
dan mengadakan persekutuan dengan para pejabat yang sehaluan.
"Mohon
beribu ampun, Yang Mulia. Sebetulnya hamba tidak berani menyusahkan perasaan
Paduka dengan cerita ini, akan tetapi menaati perintah Ayah, hamba menceritakan
juga." Thian Hwa menutup ceritanya ketika me lihat betapa wajah yang penuh
kesabaran itu diselimuti kedukaan setelah mendengar ceritanya.
Kaisar Shun
Chi menghela napas panjang.
"Baik sekali engkau menceritakan hal itu, Thian Hwa. Sesungguhnya, hal seperti itu sudah lama kukhawatirkan, Dinda Ciu Wan Kong.
"Baik sekali engkau menceritakan hal itu, Thian Hwa. Sesungguhnya, hal seperti itu sudah lama kukhawatirkan, Dinda Ciu Wan Kong.
Perebutan
kekuasaan, seolah kekuasaan harta benda itu dapat mendatangkan kebahagiaan!
Padahal semua itu bahkan mendatangkan ikatan dengan dunia yang lebih kuat lagi.
Jelas bahwa Pangeran Leng Kok Cun menuruti hawa nafsu angkara murka.
Memang dia
yang paling tua di antara putera- puteraku, akan tetapi dia lahir dari selir
sehingga tidak berhak menggantikan aku. Orang pertama yang berhak adalah puteraku
bungsu Pangeran Mahkota Kang Shi. Ah, kedudukan dan harta hanya mendatangkan
pertengkaran dan perebutan.
Keadaan inilah yang membuat aku ingin melepaskan
semuanya itu. Bebas dari pengaruh dunia yang hanya mendatangkan kesenangan
palsu yang berakhir dengan kesengsaraan. Bebas dari segala persoalan yang hanya
menimbulkan kebencian dan permusuhan." Kaisar itu menghela napas lagi dan
duduk diam seperti orang melamun.
"Maafkan
saya, Kakanda Kaisar. Menurut cerita Thian Hwa tadi, bahaya dan keributan itu
baru merupakan ancaman saja dan sebaiknya ancaman itu disingkirkan agar jangan
terjadi malapetaka. Ampunkan saya karena saya usulkan ini hanya demi menjaga
kejayaan Kerajaan Ceng."
Kembali
Kaisar Shun Chi menghela napas panjang. "Adikku Ciu Wan Kong, bagaimanapun
juga, Pangeran Leng Kok Cun adalah puteraku sendiri. Aku akan menasihatinya
agar dia insaf dan menyadari kekeliruannya sehingga tidak melanjutkan niatnya
yang tidak baik itu."
Tiba-tiba
terdengar gerakan orang di pintu. Thian Hwa yang memiliki kepekaan terhadap
ancaman bahaya, cepat menengok dan ia melihat lima orang prajurit pengawal
masuk ke ruangan itu.
Tiba-tiba
mereka berlima mengayun tangan dan terdengar suara bersiutan ketika lima sinar
meluncur ke arah Kaisar! Dengan gerakan cepat sekali Thian Hwa menyambar kursi yang
tadi didudukinya, melompat ke depan Kaisar dan menangkis lima batang piauw
(senjata gelap) yang menyambar itu sehingga terdengar suara berdentingan ketika
lima batang piauw itu terlempar ke atas lantai.
Sementara
itu, Pangeran Ciu Wan Kong cepat melompat dan memegang tangan Kaisar Shun Chi,
menariknya ke belakang almari besar untuk berlindung. Melihat serangan mereka
digagalkan gadis cantik yang berada di situ, lima orang prajurit pengawal itu
berlompatan sambil mencabut pedang mereka. Thian Hwa tidak membawa senjata
karena hal itu dilarang oleh ayahnya. Menghadap Kaisar memang dilarang keras
membawa senjata.
Melihat lima
orang itu bergerak demikian gesit, Thian Hwa dapat menduga bahwa mereka itu
pasti bukan prajurit pengawal biasa. Mungkin orang-orang kang-ouw yang pandai
ilmu silat yang menyamar sebagai prajurit pengawal. Ia tahu bahwa keselamatan
Kaisar terancam, maka ia cepat mengambil jarum-jarum kecil yang disembunyikan
di saku bajunya.
Kursi yang
tadi dipakai menangkis lima batang piauw itu ia lontarkan ke arah lima orang
pengawal yang menyerbu masuk. Tepat seperti dugaannya, lima orang itu dengan
mudah menghindarkan diri dari sambaran kursi, bahkan seorang dari mereka
menggunakan pedangnya membacok kursi sehingga patah-patah.
Akan tetapi, serangan dengan lemparan kursi itu dilakukan Thian Hwa hanya untuk mengalihkan perhatian mereka.
Akan tetapi, serangan dengan lemparan kursi itu dilakukan Thian Hwa hanya untuk mengalihkan perhatian mereka.
Segera
sinar-sinar putih menyusul kursi itu dan itulah jarum-jarum Pek-hwa-ciam (Jarum
Bunga Putih) yang menyambar dengan kecepatan kilat ke arah lima orang itu. Terdengar
teriakan mengaduh dan dua orang dari mereka terpelanting roboh terkena jarum
yang menyambar dengan amat cepatnya itu. Tiga orang yang lain masih sempat menghindarkan
diri dari sambaran jarum-jarum lembut itu. Thian Hwa melompat ke depan,
disambut serangan tiga orang itu.
Memang jelas bahwa mereka itu bukan prajurit
biasa karena serangan pedang mereka cukup lihai dan ganas.Karena Thian Hwa harus
melindungi Kaisar, maka ia mengambil tempat melindungi Kaisar yang berada di belakangnya
agar dia dapat mencegah tiga orang itu melakukan serangan kepada Kaisar Shun
Chi dan Pangeran Ciu Wan Kong yang berlindung di balik almari.
Thian Hwa bergerak
dengan ilmu silat tangan kosong Kauw-jiu Kwan Im (Dewi Kwan Im Berlengan Sembilan).
Gerakannya ringan dan gesit seperti seekor burung, berkelebatan di antara tiga gulungan sinar pedang pengeroyoknya.
Gerakannya ringan dan gesit seperti seekor burung, berkelebatan di antara tiga gulungan sinar pedang pengeroyoknya.
Tiga orang
itu memang memiliki ilmu pedang yang cukup lihai, terutama sekali yang seorang,
yang bertubuh tinggi kurus. Dialah yang paling lihai dan agaknya orang ini
mencari kesempatan untuk menerobos lewat Thian Hwa agar dapat
membunuh
Kaisar!Pangeran Ciu Wan Kong beberapa kali membujuk Kaisar untuk memberi tanda
memanggil para pengawal. Akan tetapiKaisar Shun Chi yang bersikap tenang sekali
itu menggelengkan kepalanya dan berkata dengan suara tegas.
"Tidak,
Dinda. Aku ingin sekali mengetahui sampai di mana kelihaian puterimu. Kita lihat
saja. Aku yakin ia akan dapat mengalahkan mereka." Tentu saja hati Pangeran
Ciu Wan Kong gelisah sekali melihat puterinya kini dikeroyok tiga orang yang
bersenjata pedang,
sedangkan puterinya bertangan kosong! Akan tetapi dia tidak berani membantah ucapan Kaisar dan hanya menonton dengan jantung berdebar.
sedangkan puterinya bertangan kosong! Akan tetapi dia tidak berani membantah ucapan Kaisar dan hanya menonton dengan jantung berdebar.
Dugaan
Kaisar memang benar. Tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi daripada
tingkat tiga orang pengeroyoknya, atau
lebih tepat yang dua orang, karena yang seorang itu memang benar lebih tangguh
daripada yang lain.
Setelah
bertanding belasan jurus, dengan tendangan kakinya, Thian Hwa berhasil
merobohkan dua orang pengeroyok. Akan tetapi ia sempat terkejut melihat
lawannya yang tinggal seorang itu, tiba-tiba saja menyerang ke arah kawan- kawannya
sendiri! Empat kali pedangnya menyambar ke arah empat orang yang sudah roboh
terluka itu dan mereka pun tewas seketika.
"Jahanam!"
Thian Hwa membentak marah dan ia cepat menyerang dengan pengerahan tenaga
sakti. Orang tinggi kurus itu mencoba untuk memapaki serangan ini dengan bacokan
pedangnya.
"Trakkk...!"
Pedang itu terpental dan terlepas dari pegangan tangannya ketika terpukul oleh
tangan Thian Hwa yang terisi penuh tenaga sakti yang amat kuat. Kaki Thian Hwa
menyusul dengan tendangan dan tubuh orang itu terlempar, menabrak dinding
ruangan itu dan jatuh terkulai.
Thian Hwa
melompat untuk menangkapnya karena ia perlu mengorek keterangan dari
satu-satunya lawan yang masih hidup itu agar diketahui siapa yang mendalangi
penyerangan itu. Akan tetapi, orang itu memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya
dan tubuhnya menggelepar lalu tewas!
"Keparat!
Dia telah menelan racun!" Thian Hwa berseru marah. Setelah lima orang penyerang
itu tewas semua, barulah Kaisar Shun Chi membunyikan kelenengan sebagai tanda memanggil
para pengawal.
Belasan
orang prajurit pengawal berlari masuk, dipimpin oleh Boan Thaikam sendiri yang datang
dengan pedang di tangan! Boan Thaikam ini adalah seorang yang memiliki ilmu
silat tinggi. Dia terbelalak memandang mayat lima orang prajurit pengawal itu
dan cepat dia memandang kepada Kaisar Shun Chi yang masih bergandeng tangan
dengan Pangeran Ciu Wan Kong dan kini sudah keluar dari balik almari besar.
"Ya
Tuhan...!" Thaikam itu berseru sambil memandangi mayat-mayat itu dan
menyembah kepada Kaisar dengan membalikkan pedang di bawah lengannya.
"Sribaginda, apakah yang telah terjadi" Siapa lima orang yang
berpakaian seperti pengawal ini dan mengapa mereka mati di s ini...?" Dengan
sikap tenang saja Kaisar berkata.
"Mereka
berusaha untuk membunuhku, namun keponakanku yang gagah perkasa ini telah menggagalkan
niat jahat mereka. Boan Thaikam, cepat perintahkan anak buahmu untuk menyingkirkan
mayat-mayat itu dari sini dan membersihkan lantai ruangan ini!"
"Baik,
Sribaginda." Thaikam itu lalu sibuk mengatur orang- orangnya untuk
menyingkirkan lima mayat itu, membawanya keluar. Kaisar Sun Chi lalu berkata
kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa. "Mari kita melanjutkan
pembicaraan kita di ruangan lain.
"
Setelah berkata demikian, dia menekan tombol yang tersembunyi di balik almari
dan... terbukalah sebuah pintu di dekat almari itu! Thian Hwa dan ayahnya lalu mengikuti
Kaisar masuk ke ruangan lain me lalui pintu rahasia itu.
Setelah
mereka masuk, pintu itu segera tertutup kembali dan dinding itu tampak utuh. Ruangan
itu lain dari ruangan tadi.
Tidak seluas tadi dan perabotnya seperti di ruangan lain, indah dan mewah. Jelas bukan merupakan kamar tidur karena tidak ada pembaringannya. Hanya ada meja kursi dan perabot hiasan.
Tidak seluas tadi dan perabotnya seperti di ruangan lain, indah dan mewah. Jelas bukan merupakan kamar tidur karena tidak ada pembaringannya. Hanya ada meja kursi dan perabot hiasan.
Setelah mereka duduk, Pangeran Ciu Wan Kong
tidak dapat menahan keinginannya. "Maaf, Kakanda Kaisar, saya sungguh
merasa heran dan ingin tahu sekali. Tadi ketika Kakanda terancam lima orang pembunuh
itu dan kita berada di balik almari, mengapa Kakanda tidak menggunakan pintu
rahasia itu untuk menyelamatkan diri?"
Kaisar Shun
Chi tersenyum lebar. "Dan tidak menyaksikan keponakanku yang gagah perkasa
ini bagaimana gagahnya ia menggagalkan usaha mereka" Omitohud!
Aku tidak begitu bodoh, Dinda Pangeran. Aku ingin melihat buktinya lebih dulu bahwa Thian Hwa adalah seorang pendekar wanita yang pantas kuserahi tugas melindungi Pangeran Mahkota, dan pantas kuberi sebuah Tek-pai.
Aku tidak begitu bodoh, Dinda Pangeran. Aku ingin melihat buktinya lebih dulu bahwa Thian Hwa adalah seorang pendekar wanita yang pantas kuserahi tugas melindungi Pangeran Mahkota, dan pantas kuberi sebuah Tek-pai.
" Pangeran
Ciu terbelalak memandang Kaisar. "Melindungi Pangeran Mahkota" Dan
diberi Tek-pai (Bambu Tanda Kuasa Kaisar)" Akan tetapi bukankah Pangeran
Mahkota sudah dilindungi oleh Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki dan keluarganya
" Dan
puteri saya ini... ia... ia... masih amat muda, sudah pantaskah ia menerima
sebuah Tek-pai" Saya mohon Kakanda mempertimbangkan kembali." Tentu
saja Pangeran Ciu Wan Kong merasa amat khawatir mendengar ucapan Kaisar itu.
Melindungi Pangeran Mahkota merupakan sebuah tugas besar yang teramat penting dan melihat betapa para pangeran agaknya merasa iri dan ingin mendapatkan tahta kerajaan menggantikan Sang Kaisar, maka pekerjaan melindungi Pangeran Kang Shi itu penuh bahaya.
Melindungi Pangeran Mahkota merupakan sebuah tugas besar yang teramat penting dan melihat betapa para pangeran agaknya merasa iri dan ingin mendapatkan tahta kerajaan menggantikan Sang Kaisar, maka pekerjaan melindungi Pangeran Kang Shi itu penuh bahaya.
Dan diberi
Tek-pai, yaitu sepotong bambu yang ada cap dan tanda tangan Kaisar dengan
tulisan bahwa pemegangnya diberi kekuasaan oleh Kaisar, juga berarti memberi
tanggung jawab yang amat berat di atas pundak puterinya, seorang gadis muda! Biasanya
yang diberi T ek-pai adalah mereka yang sudah benar-benar dipercaya oleh
Kaisar, seorang pejabat Tinggi yang setia dan sudah banyak jasanya!
Kembali Ka
isar Shun Chi tersenyum.
"Adinda Ciu, aku selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Telah kupertimbangkan dengan baik ketika aku mengangkat Thian Hwa menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi. Thian Hwa, engkau akan membantu Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kuserahi tugas mendidik dan menjaga Pangeran Mahkota.
"Adinda Ciu, aku selalu berhati-hati dalam mengambil keputusan. Telah kupertimbangkan dengan baik ketika aku mengangkat Thian Hwa menjadi pelindung Pangeran Mahkota Kang Shi. Thian Hwa, engkau akan membantu Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kuserahi tugas mendidik dan menjaga Pangeran Mahkota.
Engkau bertugas menjaga keselamatannya dan menentang
mereka yang berniat jahat terhadap Pangeran Kang Shi. Untuk itu, engkau akan
kuberi T ek-pai agar ke mana pun engkau minta bantuan, semua pejabat pemerintah
pasti akan menerimamu dan membantumu.
Nah, Thian
Hwa, keponakanku yang gagah, sanggupkah engkau menerima tugas ini?" Thian
Hwa lalu bangkit dari kursinya dan menjatuhkan diri berlutut menghadap Kaisar.
"Hamba
menaati semua perintah Paduka Sribaginda!" Kaisar Shun Chi tertawa senang.
"Ha-ha-ha, engkau pantas menjadi puteri Dinda Ciu Wan Kong yang merupakan
adikku yang paling bijaksana dan setia!" Kaisar tertawa lagi. Akan tetapi
dia lalu bersikap serius, senyumnya lenyap dan dia berkata lirih. "Dengar
baik-baik kalian berdua yang kupercaya.
Sesungguhnya
aku sudah menduga akan semua yang kalian ceritakan itu. Aku pun sudah tahu akan
niat puteraku Pangeran Leng Kok Cun yang tidak sehat itu. Akan tetapi bagaimanapun
juga, dia adalah puteraku.
Aku akan seperti mencoreng arang di mukaku sendiri
kalau bertindak terhadap puteraku sendiri. Oleh karena itu, aku sudah mengambil
keputusan yang sudah sejak lama kurencanakan." Kaisar Shun Chi lalu dengan
suara berbisik memberitahu kepada Pangeran Ciu Wan Kong dan Thian Hwa tentang
rencananya.
Keputusan yang diambil Kaisar Shun Chi memang luar biasa dan hebat. Kaisar yang telah lama menekuni Agama Buddha itu sehingga dia tidak acuh terhadap urusan kerajaan, ingin meniru apa yang dilakukan Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana dengan semua kesenangan dan kemewahannya untuk mencari jalan kebenaran sehingga akhirnya menjadi Buddha.
Keputusan yang diambil Kaisar Shun Chi memang luar biasa dan hebat. Kaisar yang telah lama menekuni Agama Buddha itu sehingga dia tidak acuh terhadap urusan kerajaan, ingin meniru apa yang dilakukan Pangeran Sidharta Gautama yang meninggalkan istana dengan semua kesenangan dan kemewahannya untuk mencari jalan kebenaran sehingga akhirnya menjadi Buddha.
Kaisar Shun
Chi juga ingin meninggalkan istana secara diam-diam agar jangan menggegerkan
rakyat, menjadi pendeta Buddha dan menghabiskan hidupnya untuk melepaskan diri dari
semua ikatan.
Agar tidak sampai menimbulkan kekacauan, mereka yang dekat dengannya dan dipercaya akan mengabarkan bahwa Kaisar Shun Chi telah wafat!
Agar tidak sampai menimbulkan kekacauan, mereka yang dekat dengannya dan dipercaya akan mengabarkan bahwa Kaisar Shun Chi telah wafat!
"Akan
tetapi, Kakanda...!" Pangeran Ciu Wan Kong berseru kaget dan heran. Kaisar
Shun Chi mengangkat tangan kanannya ke atas.
"Cukup,
Dinda Ciu, keputusan ini tidak dapat diubah oleh siapapun juga, sudah menjadi
keputusanku. Aku akan meninggalkan surat wasiat bahwa penggantiku haruslah Pangeran
Kang Shi.
Dinda Ciu Wan Kong, terutama engkau Thian Hwa, sangat kuharapkan untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki dan para menteri dan panglima yang setia agar penobatan Pangeran Kang Shi sebagai kaisar penggantiku berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan atau halangan. Ini merupakan perintahku yang terakhir!
Dinda Ciu Wan Kong, terutama engkau Thian Hwa, sangat kuharapkan untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki dan para menteri dan panglima yang setia agar penobatan Pangeran Kang Shi sebagai kaisar penggantiku berjalan dengan lancar dan tidak ada hambatan atau halangan. Ini merupakan perintahku yang terakhir!
Maukah engkau berjanji, Ciu Thian Hwa?" Thian
Hwa juga terkejut dan heran mendengar rencana Kaisar yang diucapkan dengan
suara tenang namun tegas itu. Ia pun menjawab tanpa ragu.
"Hamba
siap melaksanakan semua perintah Paduka, Sribaginda!"
"Bagus,
sekarang hatiku menjadi tenang.
Biarpun aku sudah menyerahkan semua harapan dan kepercayaan kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang didukung oleh isterinya yang bijaksana dan tinggi ilmunya, namun mereka masih memerlukan bantuan seorang seperti engkau, Thian Hwa.
Biarpun aku sudah menyerahkan semua harapan dan kepercayaan kepada Pangeran Bouw Hun Ki yang didukung oleh isterinya yang bijaksana dan tinggi ilmunya, namun mereka masih memerlukan bantuan seorang seperti engkau, Thian Hwa.
Surat wasiat
itu telah kutulis, akan tetapi masih kubawa. Sekarang, tugas pertamamu adalah
membawa surat wasiat ini kepada Pangeran Bouw Hun K i dan menyerahkan surat
wasiat ini kepadanya."
"Maaf,
Kakanda Pangeran, apakah Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki sudah mengetahui akan
rencana Kakanda membuat surat wasiat ini?"
"Sudah,
mereka sudah mengetahui semua rencanaku. Berikan saja surat wasiat ini
kepadanya dan dia akan mengerti." Kaisar lalu mengambil surat wasiat itu
dari balik jubahnya dan menyerahkannya kepada Thian Hwa.
Gadis itu
menerimanya dan menyimpannya baik-baik di balik bajunya sehingga tidak tampak
dari luar.
"Nah, sekarang kalian boleh pergi dari sini."
"Nah, sekarang kalian boleh pergi dari sini."
"Akan
tetapi, Kakanda. Ke manakah saya harus mencari kalau saya ingin berjumpa dengan
Kakanda?" tanya Pangeran Ciu Wan Kong dengan hati pilu.
"Dinda
Ciu Wan Kong! Kalau nanti ada berita tentang Kaisar Shun Chi wafat, berarti aku
sudah tidak berada di s ini. Jangan tanya lagi ke mana aku pergi dan jangan
mengharap akan bertemu dengan aku lagi. Anggap saja aku benar-benar sudah mati."
"Kakanda...."
"Cukup,
jangan lemah dan cengeng, Dinda Ciu Wan Kong. Lihat puterimu begitu tegar dan
gagah! Laksanakan saja pesanku dengan baik dan aku yakin Kerajaan Ceng akan
tetap jaya! Pergilah, kalau terlalu lama kalian berada di sini akan menimbulkan
kecurigaan."
Setelah
menerima Tek-pai dan surat wasiat dari Kaisar Shun Chi, Thian Hwa dan ayahnya
lalu meninggalkan istana dengan hati berat. Terutama sekali Pangeran Ciu Wan
Kong. Pertemuannya dengan Kaisar tadi mungkin merupakan pertemuan terakhir!
Akan tetapi
dengan adanya Thian Hwa di sampingnya, Pangeran Ciu Wan Kong dapat terhibur.
Penghidupannya berubah sepenuhnya setelah puterinya itu tinggal bersamanya. Dia
lalu cepat menyuruh orang menjemput Lo Sam yang tinggal di dusun Kia-jung untuk
datang, dan tinggal di gedungnya, bukan lagi sebagai seorang pelayan seperti dahulu,
melainkan sebagai ayah mertua yang dihormati!
Kita tinggalkan dulu Thian Hwa yang kini
tinggal bersama ayahnya di kota raja dan mengemban tugas yang penting dan berat
dari Kaisar, dan kita ikuti pengalaman Ui Yan Bun yang telah hampir dua tahun
kita tinggalkan.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Yan Bun membantu Thian Hwa yang dikeroyok
oleh Kam-keng Chit- sian (T ujuh Dewa dari Kam-keng), para pengawal Pangeran Cu
Kiong. Thian Hwa yang tadinya terdesak hebat, dengan bantuan Yan Bun berbalik
dapat merobohkan empat orang pengeroyok hingga tewas. Tiga yang lain melarikan
diri. Ketika Yan Bun hendak mengejar dan membunuh Pangeran Cu Kiong,
Thian Hwa melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan Yan Bun yang ketika itu hendak mencari kakek angkat atau gurunya, yaitu Thian Bong Sianjin.
Thian Hwa melarangnya. Kemudian gadis itu meninggalkan Yan Bun yang ketika itu hendak mencari kakek angkat atau gurunya, yaitu Thian Bong Sianjin.
Sebagai
seorang yang berperasaan peka, ketika Thian Hwa mencegah dia membunuh Pangeran
Cu Kiong yang tampan gagah itu, Yan Bun sudah dapat menduga akan isi hati Thian
Hwa.
Gadis itu
agaknya jatuh cinta kepada Sang Pangeran! Tentu saja hal ini menusuk hatinya.
Dia yang sejak dahulu amat mencinta Thian Hwa kini mendapat kenyataan betapa gadis
itu tidak membalas cintanya, bahkan mencinta laki-laki lain, yaitu Pangeran Cu
Kiong!
Dengan hati kecewa dan sedih karena dia harus berpisah dari gadis yang dicintanya, Yan Bun lalu meninggalkan kota raja dan menuju ke Lam-hu di selatan.
Dengan hati kecewa dan sedih karena dia harus berpisah dari gadis yang dicintanya, Yan Bun lalu meninggalkan kota raja dan menuju ke Lam-hu di selatan.
Dia hendak mengunjungi
Ui Tiong, pamannya yang juga menjadi gurunya yang pertama, yang tinggal di
sana. Pek-hunya (Paman Tuanya) itu membuka sebuah toko obat di Lam-hu karena selain
ahli silat yang cukup pandai, Ui Tiong juga pandai tentang ilmu pengobatan.
Kota Lam-hu merupakan kota yang cukup ramai. Letaknya di dekat sebuah telaga yang besar. Kota itu dinamakan Lam-hu yang sebetulnya nama dari telaga itu, yakni Lam-hu (Telaga Selatan).
Kota Lam-hu merupakan kota yang cukup ramai. Letaknya di dekat sebuah telaga yang besar. Kota itu dinamakan Lam-hu yang sebetulnya nama dari telaga itu, yakni Lam-hu (Telaga Selatan).
Kota Lam-hu
berseberangan dengan sederetan bukit-bukit yang rimbun dengan hutan. Ketika
matahari sudah mulai panas dan orang-orang mulai bekerja, menggarap sawah ladang,
mencari ikan di telaga, ada pula yang mengumpulkan hasil hutan di pegunungan
itu, masuklah Ui Yan Bun ke kota Lam-hu.
Dia mengenal
benar kota ini karena selama tidak kurang dari tujuh tahun, dia dahulu tinggal
di rumah pamannya, membantu pekerjaan Ui Tiong yang berdagang obat dan belajar
silat dari pamannya itu. Ui Tiong dan isterinya amat sayang kepada Yan Bun karena
mereka sendiri tidak mempunyai anak.
Ketika
memasuki kota Lam-hu, Yan Bun merasa gembira. Seolah tidak ada perubahan sama
sekali setelah dia meninggalkannya selama beberapa tahun ini. Dia membayangkan
betapa akan senangnya paman dan bibinya menyambut kedatangannya. Ketika lewat
di jalan yang berada di dekat telaga, dia berhenti sebentar dan memandang ke permukaan
telaga dengan wajah berseri.
Teringatlah dia betapa dulu dia sering main-main naik perahu atau berenang dengan kawan-kawan di telaga itu. Indah sekali pemandangan di telaga.
Teringatlah dia betapa dulu dia sering main-main naik perahu atau berenang dengan kawan-kawan di telaga itu. Indah sekali pemandangan di telaga.
Dari tempat
dia berdiri, dia melihat pegunungan yang hijau itu membayang di permukaan air
di seberang. Perahu-perahu nelayan hilir mudik perlahan dan tampak para nelayan
menyebar jala, dan banyak pula yang memegang tangkai kail untuk memancing ikan
di bagian yang airnya tenang. Yan Bun yang berpakaian serba biru, berwajah
tampan dan bertubuh tegap, melanjutkan langkahnya dengan hati merasa gembira.
Dia telah
dapat melupakan kekecewaan dan kesedihannya memikirkan Thian Hwa, yang seolah
tidak mempedulikannya. Kini dia ingin segera bertemu Ui T iong dan isterinya.
Akan tetapi ketika dia tiba di rumah Ui Tiong, dia segera melihat keanehan itu.
Matahari
telah naik tinggi, akan tetapi toko obat itu belum dibuka! Ini aneh sekali,
karena biasanya, paman dan bibinya itu amat rajin dan selama dia berada di situ
dulu, tidak sehari pun toko itu ditutup. Maka dia segera mengetuk daun pintu rumah
yang berada disamping toko. Ketika pelayan membuka daun pintu, dia disambut
tangis memilukan oleh isteri U i T iong!
"Bibi,
apa yang terjadi?" Yan Bun bertanya.
"Pamanmu...
Pamanmu...." Nyonya itu menangis semakin sedih. "Pek-hu (Paman Tua)
kenapa" Di mana dia?"
Wanita itu
tak dapat bicara dan menangis sesenggukan. Yan Bun menghiburnya dan setelah
tangisnya mereda, barulah wanita itu dapat menceritakan apa yang telah terjadi
dan menimpa Ui Tiong, suaminya.
Nyonya Ui
Tiong lalu menceritakan apa yang menimpa suaminya. Terjadinya baru tadi ma lam.
Ketika itu, toko obat sudah ditutup dan Ui Tiong bersama isterinya sedang makan
malam ketika tiba-tiba saja pintu rumah mereka terbuka dan muncul seorang gadis
cantik.
"Hei,
siapa engkau dan apa keperluanmu,
Nona?" Ui Tiong yang sudah selesai makan menegur dengan alis berkerut karena perbuatan gadis itu memang tidak sewajarnya dan kurang ajar memasuki rumah orang begitu saja dan tahu-tahuberada di dalam.
Nona?" Ui Tiong yang sudah selesai makan menegur dengan alis berkerut karena perbuatan gadis itu memang tidak sewajarnya dan kurang ajar memasuki rumah orang begitu saja dan tahu-tahuberada di dalam.
Akan tetapi
dia masih bersabar karena mengira bahwa gadis itu tentu sedang resah karena ada
keluarganya yang sedang sakit parah dan kini datang hendak minta tolong atau
mencari obat. Yang membuat Ui Tiong dan isterinya merasa heran adalah karena
melihat bahwa gadis itu seorang yang sama sekali tidak mereka kenal.
Padahal, suami isteri ini sudah tinggal di kota
Lam-hu selama belasan tahun dan dapat dikatakan bahwa mereka mengenal semua penduduk
kota itu. Gadis itu berusia sekitar sembilan belas tahun, tubuhnya tinggi
semampai, pinggangnya ramping dan wajahnya cantik manis dengan setitik tahi
lalat hitam di dagu sebelah kiri.
Pakaiannya
mewah seperti pakaian seorang puteri bangsawan. Dengan sinar matanya yang tajam
ia menatap Ui Tiong dan isterinya, lalu bertanya dengan sikap angkuh, ditujukan
kepada Ui Tiong.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment