Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 06
APAKAH
engkau yang bernama Ui Tiong, pemilik rumah
obat
ini?"
"Benar,
Nona," jawab Ui Tiong singkat. "Silakan duduk,
Nona."
"Tidak perlu duduk. Apakah engkau juga memiliki kepandaian mengobati orang
sakit?"
"Sedikit-sedikit
aku mengerti tentang pengobatan."
"Bagus,
kalau begitu marilah ikut denganku untuk mengobati orang sakit,"
ajak gadis itu dengan suara mendesak.
"Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia."
ajak gadis itu dengan suara mendesak.
"Nona, sebaiknya si sakit itu engkau bawa ke sini, aku akan memeriksanya dan kalau aku mampu, akan kuobati dia."
"Tidak
bisa! Engkau harus ikut denganku dan memeriksanya di rumah kami!"
Ui Tiong
mengerutkan alisnya. Gadis ini bersikap demikian angkuh dan hendak memaksanya!
Akan tetapi sebagai seorang yang berpengalaman, dia mampu menahan kesabarannya.
"Nona, maafkan saja. Kalau malam ini aku tidak dapat ikut.
Besok pagi
saja aku akan datang ke rumahmu. Di manakah rumahmu, Nona?"
"Tidak,
harus sekarang! Rumahku di seberang telaga, kuberitahu juga engkau tidak akan
menemukannya. Marilah Ui Sinshe (Tabib Ui), engkau ikut denganku sekarang. Aku
sudah menyediakan seekor kuda untukmu!"
Ui Tiong
menggelengkan kepalanya. "Tidak bisa, Nona. Kalau dibawa ke sini malam ini
juga akan kuperiksa dia, kalau aku yang harus pergi ke sana, besok pagi baru
dapat kulakukan."
"Engkau
harus pergi bersamaku sekarang juga!" gadis itu berkata dengan suara tegas
sehingga Ui Tiong mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang murid Thai-san-pai
yang cukup lihai, bahkan ilmu silatnya lebih mendalam dibandingkan ilmu pengobatannya.
Kini ada
seorang gadis muda seolah hendak memaksa pergi, tentu saja dia merasa penasaran
sekali dan yakin bahwa gadis ini tentu bukan penduduk Lam-hu maka tidak
mengenal dia sebagai seorang ahli s ilat.
"Hemm,
siapa yang berhak mengharuskan aku pergi bersamamu,
Nona?" tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.
Nona?" tanyanya dengan senyum seorang tua menghadapi seorang anak yang nakal.
Gadis itu
pun mengerutkan alisnya dan pandang matanya mencorong. "Aku yang
mengharuskan! Tabib Ui T iong, engkau harus pergi bersamaku, kalau perlu
kuseret engkau!"
"Heh,
bocah kurang ajar! Jaga sikap dan bicaramu!" Ui Tiong membentak marah.
Kini Nyonya Ui mencampuri. "Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepat bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya."
Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu. "Pergi kau, jangan mencampuri!"
Kini Nyonya Ui mencampuri. "Nona yang baik, harap jangan memaksa. Sebaiknya cepat bawa si sakit ke sini, siapa tahu suamiku dapat menyembuhkannya."
Nyonya itu melangkah maju untuk mencegah terjadinya keributan antara suaminya dan gadis itu. "Pergi kau, jangan mencampuri!"
Tiba-tiba
gadis itu membentak dan sekali tangan kirinya bergerak, ia telah mendorong
Nyonya Ui sehingga terjengkang jatuh!
"Gadis
jahat!" Ui Tiong berseru marah dan dia pun cepat menggerakkan tangan untuk
mendorong pundak gadis itu.
Akan tetapi
gadis itu menggerakkan tangan menangkis. "Dukk!" Tubuh Ui Tiong
terdorong ke belakang. Tentu saja murid Thai-san-pai ini terkejut dan semakin
penasaran, akan tetapi dia juga menyadari bahwa gadis itu bukan orang sembarangan.
Ketika
dorongannya ditangkis tadi, terbukti bahwa gadis itu memiliki tenaga sakti yang
amat kuat! Melihat kelihaian dan sikapnya yang demikian angkuh, Ui Tiong dapat menduga
bahwa gadis itu tentu seorang gadis kang-ouw (sungai telaga atau dunia
persilatan) golongan sesat. Di dunia persilatan memang terdapat orang-orang
dari berbagai golongan.
Yang pertama tentu saja golongan pendekar yang
mempergunakan kepandaian silatnya selain untuk menjaga, membela dan me lindungi
diri sendiri dan orang lain dari gangguan orang jahat, juga untuk menentang
kejahatan dan membela kebenaran dan keadilan.
Golongan ke
dua adalah yang disebut golongan hitam atau golongan sesat, yaitu mereka yang
mempergunakan kepandaian silatnya untuk menjadi jagoan dan memaksakan keinginan
mereka sendiri kepada orang lain, suka mengganggu, menindas, dan melakukan
kejahatan-kejahatan seperti perampok,
bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.
bajak, atau tukang-tukang pukul bayaran.
Adapun
golongan ke tiga adalah mereka yang menggunakan kepandaian silatnya untuk memperoleh
pekerjaan sebagai prajurit atau penjaga keamanan seperti piauwsu (pengawal
kiriman barang) atau pengawal-pengawal para bangsawan atau hartawan.
Masih ada
satu golongan lain, yaitu mereka yang menjadi pendeta atau pertapa, yang jarang
mencampuri urusan dunia namun memiliki ilmu kepandaian silat yang tinggi
sehingga mereka ini banyak dicari orang muda untuk dijadikan guru mereka.
Menduga
bahwa gadis itu hendak memaksakan kehendaknya secara kasar,
Ui Tiong menjadi marah sekali dan dia
membentak, "Gadis liar, pergilah!" Ui Tiong menyerang dengan jurus Lim-houw-to-yo
(Harimau Rimba Menyambar Kambing).
Sebagai
murid Thai-san-pai, tentu saja Ui Tiong bukan seorang yang lemah. Ilmu silatnya
cukup lihai, juga dia memiliki tenaga murni yang kuat karena hidupnya bersih
dan dia seorang ahli pengobatan. Serangannya itu biarpun tidak dilakukan dengan
niat melukai atau membunuh, cukup kuat.
"Wuuutt...
takk!" Kembali tubuh Ui Tiong tergetar dan terdorong ke samping ketika
gadis itu menggunakan jurus Sin- ho-liang-ci (Bangau Sakti Pentang Sayap),
gerakannya amat ringan, cepat dan mengandung tenaga sakti yang kuat ketika ia
memutar tubuh dengan merentangkan kedua lengannya menangkis serangan Ui T iong.
Kemudian
dengan cepat pula ia balas menyerang. Maklum bahwa gadis itu lihai dan juga
liar dan ganas, Ui Tiong mengerahkan seluruh tenaga untuk melawan. Terjadilah
perkelahian di depan toko obat itu dan Ui Tiong terkejut bukan main ketika
mendapat kenyataan betapa gadis itu sungguh amat lihai.
Biarpun dia
sudah mengeluarkan semua kepandaiannya, tetap saja dia terdesak terus. Ui Tiong
masih mampu bertahan sampai lima puluh jurus. Itu juga karena gadis itu agaknya
tidak ingin melukai atau membunuhnya.
Andaikata demikian
halnya, kiranya dia tidak akan mampu bertahan sampai sekian lamanya.
"Haaiiitt,
robohlah!" tiba-tiba gadis itu yang sudah mendesak sejak tadi, berhasil
menyarangkan totokan jari tangannya ke pundak Ui Tiong dan laki-laki ini
terpelanting roboh dan lemas tidak mampu bergerak lagi!
Gadis itu
menoleh ke belakang dan ternyata ia tadi diiringkan oleh empat orang pengikut,
semua laki-laki yang berusia sekitar empat puluh tahun dan bertubuh tegap. Ia memberi
isyarat dan empat orang itu datang menuntun lima ekor kuda. Tanpa banyak cakap
lagi mereka mengangkat tubuh Ui Tiong di atas punggung seekor kuda dan seorang duduk
di belakangnya.
Kemudian mereka semua, juga gadis itu,
meloncat ke atas punggung kuda masing-masing dan mereka membalapkan kuda pergi
meninggalkan kota Lam-hu. Nyonya Ui hanya dapat menangis. Ia adalah isteri
seorang laki-laki gagah, maka biarpun ia merasa khawatir akan keselamatan
suaminya, ia tidak berteriak minta tolong melihat suaminya dibawa pergi.
Pertama,
karena ia tahu benar bahwa para tetangganya tidak ada yang akan mampu menolong suaminya,
dan ia pun khawatir bahwa kalau ia menjerit, gadis liar itu mungkin ma lah akan
menjadi marah dan mencelakai suaminya. Selain itu ia pun tahu bahwa gadis itu
hanya ingin minta pertolongan suaminya untuk mengobati orang sakit, walaupun
caranya minta tolong dengan paksaan dan kekerasan. Ia hanya dapat mengingat
betul keadaan gadis itu, agar kelak ia dapat mengenalnya.
Ketika Ui
Yan Bun, keponakan suaminya datang, Nyonya Ui Tiong menceritakan semua peristiwa
itu. Yan Bun mengerutkan alisnya, merasa
penasaran sekali bagaimana seorang gadis muda dapat bersikap demikian kasar,
memaksa pamannya untuk pergi memeriksa orang sakit. "Bibi, apakah gadis
itu tidak memberitahu siapa namanya dan ke mana ia membawa Pek-hu Ui
Tiong?"
"Ia
tidak memperkenalkan namanya hanya mengatakan bahwa rumahnya berada di seberang
telaga. Yan Bun, tolonglah Paman tuamu, susullah, carilah dia.
Aku khawatir
akan keselamatannya karena gadis itu demikian liar, ganas dan berkepandaian tinggi."
Nyonya itu berkata sambil menyusut air matanya.
"Tentu
aku akan mencarinya, Bibi. Akan tetapi, ke mana aku harus mencari" Di
seberang telaga, sebelah mana" Telaga itu demikian luas dan di sana
terdapat daerah perbukitan.
Tanpa ada
petunjuk yang jelas, tentu akan sulit menemukan tempat kemana Pek-hu mereka
bawa." Yan Bun malam itu tinggal di rumah Ui Tiong. Maksudnya, besok pagi
baru dia akan mencoba untuk mencari pamannya yang diculik gadis liar itu.
Akan tetapi
pada keesokan harinya, baru saja dia selesai mandi lalu sarapan yang disediakan
bibinya, tiba-tiba pintu toko yang tertutup itu diketuk keras dari luar.
Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun lalu bangkit dan membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan di punggungnya terdapat sebuah golok besar.
Nyonya Ui terkejut dan tampak takut, maka Yan Bun lalu bangkit dan membuka pintu depan. Yang mengetuk pintu itu adalah seorang laki-laki tinggi besar yang berpakaian ringkas dan di punggungnya terdapat sebuah golok besar.
Melihat
wajah yang membayangkan kekerasan dengan sepasang mata lebar melotot itu, Yan
Bun mengerutkan alisnya. Akan tetapi dia menahan kesabarannya dan bertanya dengan
lembut. "Saudara siapakah dan ada keperluan apakah engkau mengetuk pintu
kami?"
Laki-laki
itu memandang ke arah Nyonya Ui yang muncul di belakang Yan Bun.
"Aku datang untuk membeli obat!" Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui.
"Aku datang untuk membeli obat!" Dia menyodorkan sehelai kertas bertuliskan resep obat, bukan kepada Yan Bun, melainkan kepada Nyonya Ui.
Yan Bun hendak
menegur sikap kasar itu, akan tetapi Nyonya Ui segera menerima resep obat itu dan
Yan Bun hanya melihat betapa bibinya mulai me layani permintaan itu,
mengumpulkan rempah-rempah yang tertulis di resep dengan jari-jari tangan gemetar.
Setelah lengkap, ia membungkusnya dan menyerahkannya kepada laki-laki itu.
Laki-laki
itu menerima bungkusan obat lalu mengambil sepotong uang perak dari kantungnya,
menyerahkannya kepada Nyonya Ui. Wanita itu menolak dan berkata dengan suara
agak gemetar.
"Tidak
perlu bayar, obat ini saya beri cuma-cuma, bawalah," katanya.
"Harus
diterima !" bentak laki-laki itu.
"Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau terima!"
"Aku diharuskan menyerahkan uang ini dan harus engkau terima!"
"Ini
terlalu banyak...." Nyonya Ui membantah, akan tetapi laki-laki itu sudah
melempar potongan perak ke atas meja lalu melangkah keluar, me lompat ke atas
punggung kudanya dan melarikan kuda dari situ.
"Dia
seorang dari mereka...." bisik Nyonya Ui kepada Yan Bun. Mendengar ini,
Yan Bun segera mengejar keluar.
"Jangan
khawatir, Bibi. Aku akan mencari dan membawa pulang Pek-hu!" Dengan
menggunakan gin-kangnya yang tinggi, Yan Bun lalu mengejar penunggang kuda itu
dan membayangi dari jauh. Dia yakin bahwa orang itulah yang akan menjadi penunjuk
jalan ke tempat di mana pamannya dilarikan para penculik itu.
Biarpun pembeli
obat tadi kini membalapkan kudanya menuju ke Telaga Lam-hu, kemudian setibanya
di tepi telaga dia mengambil jalan menyusuri tepi telaga dan agaknya hendak mengitarinya,
Yan Bun dapat terus membayanginya dengan menggunakan ilmu berlari cepat Hong-yang-liap-in
(Tiupan Angin Mengejar Awan).
Kita
tinggalkan dulu Ui Yan Bun yang membayangi pembeli obat itu dan mari kita melihat
keadaan Ui Tiong yang dalam keadaan tertotok dilarikan oleh gadis liar bersama
para pembantunya. Gadis liar itu bernama Wan Kim Hui, berusia sembilan belas tahun.
Ia berwajah manis dengan tahi lalat kecil di
dagunya. Pakaiannya mewah seperti yang biasa dipakai para puteri bangsawan. Ia
merupakan puteri dari seorang tokoh besar kang-ouw daerah selatan yang bernama
Wan Cun dan di dunia kang-ouw dikenal sebagai Lam-ong (Raja Selatan).
Di Propinsi
Se-cuan di selatan, namanya amat terkenal. Juga ibu dari Wan Kim Hui, Nyonya Wan,
adalah seorang tokoh kang- ouw yang terkenal lihai. Maka tidaklah mengherankan
kalau Wan Kim Hui yang digembleng oleh ayah ibunya menjadi seorang yang amat
lihai pula.
Mungkin karena terlalu dimanja oleh ayahnya,
Wan Kim Hui menjadi seorang gadis yang berwatak liar, galak, nakal dan agak
tinggi hati, selalu menuntut agar keinginannya dipenuhi. Akan tetapi
sesungguhnya ia mewarisi juga watak ayahnya yang gagah dan patriotik, juga
watak ibunya yang adil dan menentang kejahatan.
Seperti
tercatat dalam sejarah, ketika bangsa Mancu mulai membangun kekuatan besar di
utara, di luar Tembok Besar yang menjadi pertahanan, Kerajaan Beng mulai lemah
dengan adanya pemberontakan-pemberontakan.
Bahkan
akhirnya Kerajaan Beng tamat riwayatnya, kaisarnya yang terakhir menggantung
diri ketika Peking diserbu dan diduduki oleh pemberontak Li Cu Seng.
Mendengar ini, Jenderal Wu Sam Kwi yang
menjadi panglima pasukan yang menjaga tapal batas kerajaan di sebelah utara
Peking, mengadakan persekutuan dengan Pangeran Dorgan yang menjadi raja atau wakil
raja bangsa Mancu yang sudah mendirikan Kerajaan Ceng dan menguasai seluruh
Mancuria, dan persekutuan ini menyerbu Peking. Li Cu Seng melarikan diri ke
barat, dikejar- kejar Wu Sam Kwi dan akhirnya Li Cu Seng tewas dibunuh sendiri
oleh para petani yang menjadi pengikutnya.
Setelah
Kerajaan Beng, kerajaan terakhir yang dikuasai pemerintah pribumi jatuh dan
Kerajaan Ceng yang dikuasai bangsa Mancu mulai menjajah Cina, Jenderal Wu Sam
Kwi tentu saja menentang bangsa Mancu yang tadinya menjadi sekutunya.
Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati- matian dari serangan
Akan tetapi dia kalah dan terpaksa melarikan diri ke daerah Se-cuan, di mana dia mempertahankan diri mati- matian dari serangan
Pemerintah
Ceng (Mancu). Di Se-cuan,
Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang- orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.
Wu Sam Kwi menjadi Raja Muda dan masih banyak orang- orang pandai mendukungnya sehingga tidak mudah bagi Pemerintah Mancu untuk menaklukkannya.
Kisah ini
terjadi sekitar tahun 1660 dan ketika itu, yang menjadi Kaisar Kerajaan Ceng
(Mancu) adalah Kaisar Shun Chi (1644-1661) dan putera mahkotanya adalah
Pangeran Kang Chi yang baru berusia sepuluh tahun. Sementara itu Jenderal Wu
Sam Kwi yang kini menjadi Raja Muda di Se-cuan, masih belum dapat ditundukkan.
Kita kembali
kepada keluarga Wan. Wan Cun bersama isteri dan puterinya Wan Kim Hui, juga
sejak dulu tinggal di Se- cuan. Akan tetapi dia sama sekali tidak mau
mencampuri urusan politik, tidak mau ikut dalam perebutan kekuasaan.
Maka dia pun
tidak mau ketika Jenderal Wu Sam Kwi menawarkan kedudukan kepadanya. Wan Cun
yang berjuluk Lam-ong itu lebih suka bebas. Hal ini membuat dia tidak disuka
oleh para datuk kang-ouw lainnya yang mendukung Wu Sam Kwi. Bahkan seorang
datuk yang terkenal bernama Lam Hai Cin-jin, yang dulunya menjadi sahabat
baiknya, kini menjauhinya. Lam-hai Cin-jin,
Datuk
Selatan itu pun menjabat pangkat tinggi dalam pemerintahan Jenderal Wu Sam Kwi.
Dia diangkat menjadi Koksu (Guru Negara) yang bekerja sebagai penasehat Raja
Muda Wu Sam Kwi. Wan Kim Hui yang cantik manis dan pandai ilmu silat membuat
banyak pemuda tergila-gila.
Akan tetapi
sebagian besar dari mereka yang tidak pandai ilmu silat dan bukan merupakan
putera hartawan atau bangsawan, hanya berani memandang dan mengaguminya dari
jauh.
Hanya
beberapa orang pemuda putera bangsawan yang berkedudukan tinggi saja yang
berani mendekati Kim Hui.
Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh.
Akan tetapi selama ini gadis itu menghadapi mereka dengan sikap acuh tak acuh.
Belum ada
seorang pun di antara mereka yang menarik perhatian gadis ini.
Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir.
Seorang dari mereka yang paling berani mendekati Wan Kim Hui adalah Wu Kongcu, seorang di antara putera-putera Raja Muda Wu Sam Kwi. Wu Kongcu (Tuan Muda Wu) ini bernama Wu Kan, seorang pemuda yang tampan akan tetapi terkenal sebagai seorang kongcu hidung belang dan tukang pelesir.
Usianya dua
puluh lima tahun dan biarpun dia belum menikah, namun selirnya sudah ada
belasan orang! Wu Kan tergila-gila kepada Wan Kim Hui. Dia ingin sekali mendapatkan
Kim Hui sebagai isterinya.
Selain Kim
Hui cantik manis, juga gadis itu lihai, pandai ilmu silat, sehingga kalau menjadi
isterinya berarti dia memiliki pelindung yang boleh diandalkan. Wu Kan sendiri
memiliki kepandaian silat, namun dibandingkan Wan Kim Hui, dia tertinggal jauh.
Ketika Wu
Kan memberitahukan ayahnya bahwa dia ingin berjodoh dengan Wan Kim Hui, Raja
Muda Wu Sam Kwi merasa setuju karena kalau gadis itu menjadi mantunya, dapat
diharapkan ayah gadis itu, Wan Cun yang sakti, bisa membantunya.
Pinangan lalu
diajukan, akan tetapi sungguh membuat Raja Muda Wu Sam Kwi dan puteranya
penasaran karena lamaran itu dengan halus ditolak oleh keluarga Wan!
Penolakan
ini tentu saja berdasarkan penolakan Wan Kim Hui, dan orang tuanya tidak mau
memaksa puteri tunggal mereka menikah dengan laki-laki yang tidak disukainya. Wu
Kan marah sekali mendengar pinangannya ditolak.
Semua gadis
di seluruh Se-cuan, siapa yang akan menolak pinangannya" Semua tentu akan
senang menjadi isterinya, menjadi mantu Raja Muda Wu Sam Kwi! Akan tetapi
ternyata pinangannya terhadap Wan Kim Hui ditolak mentah-mentah!
Dalam
keadaan mabok, dikawal belasan orang jagoannya, Wu Kan lalu mendatangi rumah
keluarga Wan. Pada saat itu kebetulan suami isteri Wan Cun tidak berada di
rumah dan yang ada hanyalah Wan Kim Hui.
Gadis itu
cepat keluar ketika melihat Wu Kan datang dikawal dua belas orang.
Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka ia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya. "Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung"
Karena orang tuanya tidak berada di rumah, ia tidak ingin pemuda itu memasuki rumahnya, maka ia langsung keluar dan menyambut pemuda itu di pekarangan rumahnya. "Wu Kongcu, mau apa engkau datang berkunjung"
Ayah Ibuku
sedang tidak berada di rumah," kata Kim Hui, suaranya mengandung perasaan
tidak senang mengingat bahwa beberapa hari yang lalu pemuda itu
"berani" mengirim orang untuk meminangnya.
Wu Kan yang
sedang mabok dan memang merasa marah dan penasaran atas penolakan pinangannya,
segera menudingkan telunjuknya ke arah muka gadis itu.
"Wan
Kim Hui, gadis yang sombong dan bodoh! Engkau berani menolak pinanganku! Kalau
engkau tidak mau menjadi isteriku, lalu ingin menjadi isteri laki-laki macam
apa" Apakah engkau ingin menjadi isteri seorang laki-laki kang-ouw yang tidak
punya kedudukan tidak punya harta, seorang gelandangan dan pengemis?"
Muka yang
manis itu berubah merah. Dengan suara galak ia berseru, "Wu Kan, tidak ada
yang mengundang kamu datang ke sini! Pergilah dan jangan lanjutkan mengeluarkan
kata-kata busuk atau terpaksa aku akan menghajarmu!"
Wu Kan
menjadi semakin marah. Sejak kecil belum pernah ada orang yang bicara seperti
itu kepadanya. Kalau dia tidak sedang mabok, kiranya dia masih berpikir-pikir
dulu untuk bersikap kasar terhadap Wan Kim Hui. Akan tetapi dalam keadaan mabok
dan sakit hati karena lamarannya ditolak, Wu Kan lupa diri dan membentak marah.
"Gadis
brengsek! Engkau ini siapa sih"
Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa" Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku...."
Apa yang kau andalkan berani mengancam aku, putera Pangeran Muda Wu Sam Kwi, pahlawan bangsa yang gagah berani dan dihormati seluruh bangsa" Engkau perempuan rendah berani hendak menghajar aku...."
Belum habis
dia bicara, tubuh Wan Kim Hui berkelebat cepat sekali dan tangannya menyambar
seperti kilat.
"Plak! Plak!" Kedua pipi pemuda itu telah ditamparnya.
"Plak! Plak!" Kedua pipi pemuda itu telah ditamparnya.
Demikian
kuat tamparannya sehingga tubuh Wu Kan terpelanting dan dia roboh pingsan
dengan kedua pipi bengkak dan kedua ujung bibir berdarah karena giginya banyak
yang copot!
Dua belas
orang pengawal itu terkejut.
Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka mencabut golok dan menyerang Wan Kim Hui.
Mereka pun tadi minum-minum sehingga setengah mabok dan keadaan ini membuat mereka lebih berani. Melihat majikan mereka dipukul roboh, mereka mencabut golok dan menyerang Wan Kim Hui.
Akan tetapi
bagaikan seekor burung rajawali marah, tubuh gadis itu berkelebatan
menyambar-nyambar, membagi pukulan dan tendangan. Dalam waktu singkat saja, dua
belas orang itu telah terpelanting roboh. Mereka menjadi ketakutan, bangkit dan
tertatih-tatih mereka menolong Wu Kongcu dan membawanya pergi dari s itu!
Ketika Wan
Cun dan isterinya pulang dan mendengar keterangan Kim Hui tentang apa yang
terjadi, Wan Cun mengerutkan alisnya dan menegur puterinya.
"Ah,
Kim Hui, engkau telah membuat gara-gara. Biarpun kita tidak takut, akan tetapi
perkara ini tentu akan berekor panjang dan akhirnya akan mencelakakan kita
semua. Tidak mungkin kita melawan Jenderal Wu Sam Kwi yang mempunyai pasukan
besar.
Mari, kita menghadap Jenderal Wu Sam Kwi.Kalau
kita laporkan apa yang terjadi sesungguhnya, tentu dia mempunyai cukup keadilan
untuk melihat bahwa puteranya yang
mencari gara-gara dan menghabiskan urusan itu sampai di s ini saja."
Wan Cun
mengajak puterinya untuk pergi menghadap Raja Muda Wu Sam Kwi. Kim Hui yang
menyadari bahwa ia telah bertindak agak terlalu keras kepada Wu Kan yang sedang
mabok, bersedia ikut ayahnya dan minta maaf kepada Raja Muda Wu Sam Kwi. Mereka
berdua berangkat, meninggalkan Nyonya Wan Cun di rumah.
Akan tetapi
ketika mereka tiba di istana, para pengawal istana memberi-tahu mereka bahwa
Raja Muda sedang mengadakan persidangan dengan para panglimanya sehingga tentu
saja tidak dapat menerima kunjungan mereka yang hendak menghadap. Wan Cun dan
Wan Kim Hui terpaksa menunda niat mereka menghadap lalu pulang ke rumah mereka.
Alangkah terkejut hati mereka ketika mereka
melihat banyak prajurit mengepung rumah mereka dan di depan rumah tampak Nyonya
Wan Cun sedang berkelahi melawan seorang kakek pendek gendut yang lihai sekali.
Pada saat
Wan Cun dan Wan Kim Hui berlari cepat seperti terbang ke rumah mereka, mereka
melihat lawan Nyonya Wan Cun berjongkok dan menyerang dengan pukulan jarak jauh
dan dia mengeluarkan suara kok-kok-kok seperti seekor katak buduk.
Nyonya Wan
Cun terjengkang roboh!
"Lam-hai Cin-jin, apa yang kaulakukan itu"!" Wan Cun membentak dan sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat.
"Lam-hai Cin-jin, apa yang kaulakukan itu"!" Wan Cun membentak dan sekali melompat dia sudah melompati kepala para prajurit dan langsung dia menyerang kakek pendek gendut itu dengan dahsyat.
Kakek pendek
itu menyambut serangan dengan tangkisannya. "Wuuuttt... dukkk...!"
Tubuh kedua orang laki-laki itu terdorong ke belakang sampai lima langkah! Wan
Kim Hui juga melompat, tetapi ayahnya cepat berseru, "Kim Hui, cepat
selamatkan dan bawa pergi ibumu!"
Kim Hui
cepat tanggap apa yang dimaksudkan ayahnya. Ia mengenal siapa adanya kakek
pendek gendut itu yang bukan lain adalah Lam-hai Cin-jin, datuk yang terkenal
di selatan dan yang kini menjadi Koksu kerajaan kecil Raja Muda Wu Sam Kwi. Ia
tahu betapa lihainya orang itu dan dibantu demikian banyaknya prajurit, sungguh
bukan merupakan lawan sepadan bagi ia dan ayahnya. Ia pun dapat menduga bahwa penyerangan
itu tentu akibat pukulannya terhadap Wu Kan, putera Raja Muda Wu Sam Kwi.
Yang penting sekarang memang menyelamatkan ibunya
yang terluka oleh pukulan Lam-hai Cin-jin yang lihai. Cepat ia lari dan
memondong ibunya yang pingsan, lalu membawa ibunya lari dari situ.
Dengan mudah
Kim Hui merobohkan para prajurit yang mencoba menghadangnya dengan pedangnya.
Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak dan tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya.
Tangan kiri memanggul tubuh ibunya di atas pundak dan tangan kanan ia pergunakan untuk mengamuk dengan pedangnya.
Para prajurit yang berani menghadangnya roboh
mandi darah dan sebentar saja sudah ada belasan orang prajurit roboh. Hal ini membuat
prajurit lain ketakutan dan Kim Hui cepat melompat dan berlari cepat keluar
dari kota.
Lam-hai
Cin-jin tidak dapat mencegah gadis itu melarikan ibunya karena dia sendiri
sibuk menghadapi Wan Cun yang menyerang dengan ganas. Sebetulnya dia diperintah
oleh Wu Kongcu untuk menangkap dan menyeret Wan Kim Hui kepadanya.
Akan tetapi ketika dia datang bersama tiga
losin prajuritnya, Kim Hui dan ayahnya tidak berada di rumah. Karena dia hendak
memaksa menggeledah ke dalam rumah, Nyonya Wan Cun melarangnya dan mereka
berdua pun berkelahi.
Namun, ilmu
kepandaian Nyonya Wan masih belum cukup tangguh untuk melawan Lam-hai Cin-jin.
Biarpun ia melawan mati-matian, akhirnya ia terkena pukulan Hek-tok- ciang dari
lawannya sehingga roboh dan pingsan.
Lam-ong Wan
Cun masih mengamuk, dikeroyok oleh Lam- hai Cin-jin dan para prajurit. Raja
Selatan ini menggunakan sebuah pedang yang besar panjang dengan ujung pedang bercabang
dua.
Dengan
pedang ini dia mampu dengan mudah merampas senjata lawan. Kalau senjata lawan
dapat tertangkap di tengah ujung yang bercabang itu lalu pedangnya diputar
dengan tenaga sentakan, maka senjata lawan tentu akan patah atau terlepas dari
pegangan lawan.
Beberapa
orang prajurit sudah kehilangan golok atau roboh oleh sabetan pedang di tangan
Wan Cun. Akan tetapi karena dia harus menghadapi serangan Lam-hai Cin-jin yang menggunakan
sebuah ruyung baja berduri diselingi pukulan Hek-tok-ciang, maka tentu saja Wan
Cun mulai terdesak hebat.
Untuk
melarikan diri, sukar juga baginya karena dia telah dikepung banyak prajurit
dan Lam-hai Cin-jin merupakan seorang lawan tangguh yang tingkat kepandaiannya
seimbang dengan tingkatnya sendiri.
Tiba-tiba
tampak bayangan berkelebat dan terdengar seruan lantang. "Ayah, mari kita
basmi anjing-anjing busuk ini!"
Dan Wan Kim Hui telah berada di s itu, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit terjengkang mandi darah dan gadis itu lalu membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit.
Dan Wan Kim Hui telah berada di s itu, mengamuk dengan pedangnya. Begitu ia bergerak, empat orang prajurit terjengkang mandi darah dan gadis itu lalu membantu ayahnya menghadapi Lam-hai Cin-jin yang dibantu banyak prajurit.
Munculnya gadis yang lihai itu membuat Lam-hai
Cin- jin menjadi jerih. Dia tahu bahwa gadis itu memiliki ilmu silat yang hampir
menyamai tingkat ayahnya! Akan tetapi melihat puterinya datang membantu, Wan
Cun menjadi khawatir akan keselamatan isterinya. "Kim Hui, mari kita
pergi!" katanya sambil menggerakkan pedangnya menyerang Lam-hai Cin-jin
yang segera melompat ke belakang.
Kesempatan
ini dipergunakan ayah dan anak itu untuk melompat keluar dari kepungan dan
mereka lalu melarikan diri keluar kota.
Setelah tiba
di luar kota, Wan Cun bertanya. "Di mana ibumu?" "Ibu selamat
walaupun terluka, Ayah. Kutitipkan di rumah seorang petani di sana."
Mereka lalu
berlari menuju ke dusun kecil itu. Wan Cun menemukan isterinya rebah dalam
rumah sederhana seorang petani dalam keadaan masih pingsan. Dia cepat memeriksa
keadaannya. Ternyata isterinya terkena pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai
Cin-jin.
Pada lambungnya terdapat tanda tapak jari
hitam. Dia cepat membantu isterinya dengan penyaluran tenaga sin-kang untuk mencegah
menjalarnya hawa beracun pukulan itu. Isterinya siuman namun keadaannya lemah.
"Ayah,
mari kita kembali dan bunuh jahanam Lam-hai Cin- jin itu!" Kim Hui berkata
sambil mengepal tinju. Ayahnya menggelengkan kepalanya. "Tidak mudah membunuhnya.
Dia dilindungi Raja Muda Wu Sam Kwi dan kita
akan berhadapan dengan pasukan yang besar jumlahnya.Lagi pula, sekarang yang
terpenting bukan membalas dendam, melainkan mencarikan obat untuk menyembuhkan ibumu.
"
Demikianlah, untuk menjaga agar pasukan Raja Muda Wu Sam Kwi tidak dapat menemukan
mereka, Wan Cun dan Wan Kim Hui membawa lari Nyonya Wan keluar dari daerah Se- cuan
dan akhirnya mereka tiba di sebuah bukit tak jauh dari Telaga Lam-hu.
Bukit itu dikenal sebagai Bukit Siluman dan tidak
ada penduduk yang tinggal di sekitar Lam-hu berani mendaki bukit itu karena dikabarkan
bahwa bukit itu menjadi tempat tinggal para setan dan siluman! Mendengar ini,
Wan Cun menganggap bahwa bukit itu tempat yang baik untuk menyembunyikan diri.
Akan tetapi
ketika mereka bertiga mendaki bukit itu, mereka dihadang oleh sekitar dua puluh
orang. Mereka adalah gerombolan penjahat di bukit itu yang dipimpin oleh
seorang laki-laki tinggi besar bermuka penuh brewok yang mengaku berjuluk
Tiat-thouw-ciang (Kepalan Besi).
Terjadilah
perkelahian dan dengan mudah saja Wan Cun dan Kim Hui membunuh Tiat-thouw-ciang
dan lima orang anak buah yang menjadi pembantunya. Lima belas orang anak buah
lain melihat pemimpin mereka tewas, segera berlutut m inta ampun dan takluk.
Karena dia membutuhkan anak buah untuk
membangun rumah tinggal di situ, maka Wan Cun menerima lima belas orang ini
menjadi anak buahnya dan menggunakan rumah bekas tempat tinggal Tiat-thouw-ciang
sebagai tempat tinggalnya.
Akan tetapi
luka dalam yang diderita Nyonya Wan semakin parah. Usaha pengobatan Wan Cun
tidak mampu menyembuhkannya, hanya dapat mencegah luka itu menjalar semakin
parah. Melalui anak buahnya, Wan Cun mendengar bahwa di kota Lam-hu terdapat
sebuah ahli pengobatan yang membuka toko obat bernama Ui Tiong.
Maka, dia lalu mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.
Maka, dia lalu mengutus puterinya untuk mengundang Ui Tiong ke Bukit Siluman untuk memeriksa dan mengobati isterinya.
Demikianlah,
seperti diceritakan di bagian depan, Wan Kim Hui mengajak lima orang anak
buahnya, menunggang kuda pergi ke kota Lam-hu. Karena Ui Tiong tidak mau
diundang dan minta agar yang sakit dibawa ke tokonya, Wan Kim Hui yang menjadi
semakin galak karena mengkhawatirkan keadaan ibunya, lalu memaksanya,
menotoknya dan menculiknya, dibawa ke Bukit Siluman!
Setelah tiba
di rumah perkampungan kecil di puncak bukit, Ui Tiong dibebaskan dari totokan.
Dia memeriksa si sakit dan terkejut. Ternyata luka dalam yang diderita Nyonya
Wan sungguh hebat. "Hemm, lukanya sungguh berat.
Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah agar darahnya jangan sampai dikotori hawa beracun itu." Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong.
Aku hanya dapat memberi obat pencegah rasa nyeri dan pembersih darah agar darahnya jangan sampai dikotori hawa beracun itu." Dia lalu menulis resep obat dan seorang anak buah Bukit Siluman segera diutus untuk membeli obat di rumah Ui Tiong.
Ketika
utusan itu membeli obat lalu pergi naik kuda, kesempatan itu dipergunakan Ui
Yan Bun yang datang berkunjung ke rumah pamannya untuk membayanginya.
Pemuda itu
merasa penasaran dan marah sekali mendengar cerita bibinya betapa seorang gadis
liar menculik pamannya dan memaksanya untuk mengobati orang sakit.
Penunggang
kuda itu sama sekali tidak tahu bahwa dia dibayangi Yan Bun. Setelah tiba di
perkampungan itu, dia langsung menyerahkan bungkusan obat itu kepada Ui Tiong yang
segera memasaknya dan meminumkannya kepada Nyonya Wan.
Obat itu
agaknya manjur karena setelah minum obat itu, rasa nyeri tidak lagi begitu
menyiksa Nyonya Wan Cun. Pada saat itu tiba-tiba terdengar suara ribut-ribut di
luar rumah. Mendengar ini, Wan Kim Hui cepat berlari keluar dan ia melihat lima
orang anak buahnya sedang mengeroyok seorang pemuda.
Sambil
menghindarkan diri dari serangan lima orang itu dengan gerakan mengelak yang
ringan dan cepat, pemuda itu berseru, "Aku tidak ingin mencari permusuhan!
Aku hanya ingin melihat apakah Paman Ui Tiong dalam keadaan selamat dan ingin
mengajak dia pulang!"
Setelah
berkata demikian, dengan gerakan yang cepat dia balas menyerang.
Kedua tangan dan kakinya bergerak dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukul atau tendang.
Kedua tangan dan kakinya bergerak dan berturut-turut lima orang itu berteriak dan golok yang mereka pegang terlepas karena pergelangan tangan mereka kena pukul atau tendang.
"Kalian
mundur semua!" bentak Kim Hui.
Mendengar
bentakan gadis itu, lima orang anak buah cepat mundur dan para anak buah lain
yang berdatangan juga tidak berani mendekat. Kini Wan Kim Hui berhadapan dengan
Ui Yan Bun.
Mereka
saling pandang, dan sepasang alis pemuda itu berkerut. Yan Bun teringat akan
cerita bibinya tentang seorang gadis cantik yang menculik pamannya dan mendorong
roboh bibinya. Gadis liar dan kasar!
"Nona,
engkaukah yang telah menculik pamanku Ui T iong?" tanyanya dengan suara
ketus. Diam-diam kemarahannya bercampur dengan rasa heran. Gadis itu cantik
manis dan pakaiannya mewah, sama sekali tidak tampak liar. Mengapa gadis
seperti ini dapat memaksa dan menculik pamannya" Wan Kim Hui juga tertegun
ketika berhadapan dengan Yan Bun.
Ia melihat seorang pemuda yang berpakaian
serba biru, usianya sekitar dua puluh dua tahun bertubuh tegap, wajahnya tampan
gagah dan sinar mata dan sikapnya lembut.
Akan tetapi
pertanyaan yang agak ketus itu membuat ia mendongkol juga. Ia tersenyum manis
sekali walaupun senyum itu dibarengi pandang mata yang mengejek.
"Kalau
benar, engkau mau apa" Siapa sih engkau ini?"
"Aku
bernama Ui Yan Bun dan yang kauculik adalah pamanku Ui T iong! Siapakah engkau
ini seorang wanita muda berani melakukan kekerasan memaksa pamanku ikut denganmu?"
"Aku
bernama Wan Kim Hui dan aku memaksa pamanmu karena dia tidak mau pergi dengan
suka rela."
"Aku
datang untuk menjemput pamanku.
Di mana dia" Bebaskan dia atau...."
Di mana dia" Bebaskan dia atau...."
"Atau
apa?" Kim Hui tertawa.
"Atau
terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!"
Senyum Kim
Hui melebar. "Engkau" Hendak menggunakan kekerasan" Hemm, ingin
kulihat bagaimana engkau akan melakukannya."
"Nona,
kuharap engkau suka membebaskan pamanku untuk kuajak pulang. Aku datang bukan
hendak mencari permusuhan. Akan tetapi kalau engkau menolak, terpaksa aku mengimbangi
perbuatanmu. Engkau memaksa pamanku ikut denganmu dan kini terpaksa aku pun hendak
memaksa mengajaknya pulang!"
"Tidak
perlu banyak cakap! Perlihatkan kepandaianmu kalau memang engkau
mempunyainya!" Tentu saja Yan Bun tidak mau menyerang seorang gadis. Dia
lalu menggunakan gin-kangnya untuk berkelebat cepat menuju ke pintu rumah itu,
dengan niat untuk masuk ke dalam mencari pamannya. Akan tetapi tiba-tiba tubuh
gadis itu pun sudah berkelebat dan sebelum Yan Bun tiba di depan pintu, gadis
itu telah menghadangnya dan begitu dekat, tangan Kim Hui menyerang dengan
tamparan ke pundak pemuda itu.
Yan Bun
kagum juga melihat betapa gadis itu mampu mendahuluinya, dan melihat tamparan
yang mendatangkan angin pukulan kuat itu dia cepat mengelak dan balas menyerang
dengan tamparan pula. Kim Hui menangkis dengan cepat.
"Dukk!" Keduanya terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka seimbang.
"Dukk!" Keduanya terdorong ke belakang tiga langkah, menandakan bahwa tenaga mereka seimbang.
Hal ini mengejutkan
keduanya karena mereka tidak mengira bahwa lawan masing-masing sedemikian
kuatnya! Kim Hui merasa penasaran dan ia menyerang lebih ganas.
Yan Bun
harus bersikap hati-hati karena kini dia pun dapat mengerti mengapa pamannya
dapat ditawan gadis ini yang ternyata amat lihai. Perkelahian tangan kosong
berjalan seru.
Biarpun
keduanya membawa pedang di punggung mereka, akan tetapi keduanya tidak mencabut
pedang, hanya saling serang dengan tangan kosong. Yan Bun memang hanya ingin menjemput
pamannya, sama sekali tidak ingin bermusuhan dengan gadis itu, maka dia tidak
mau menggunakan senjata tajam.
Sebaliknya,
Kim Hui yang biasanya ganas dan galak itu, sekali ini juga tidak menggunakan
pedangnya karena ia ingin menguji sampai di mana hebatnya ilmu silat tangan
kosong pemuda yang diam-diam amat menarik hatinya itu. Baru pertama kali ini ia
merasa tertarik oleh seorang pemuda!
Setelah
bertanding sekitar empat puluh jurus, diam-diam Yan Bun menjadi semakin kaget.
Lawannya benar-benar hebat. Semua serangannya mampu dipatahkan dengan mudah dan
sebaliknya, kadang-kadang serangan gadis itu membuat dia terdesak dan terpaksa
mundur!
Tiba-tiba
terdengar bentakan suara yang parau dan dalam. "Kim Hui, minggir
kau!" Sesosok bayangan menyambar dan Yan Bun terkejut sekali.
Dia cepat
menangkis sebuah tangan yang mencengkeram ke arah pundaknya.
"Dukkk!"
Tubuhnya tergetar dan terhuyung ke belakang! Kini di depannya berdiri seorang
laki-laki bertubuh tinggi besar, mukanya brewok dan mirip muka singa, sepasang matanya
mencorong.
Kini laki-laki itu yang bukan lain adalah Wan
Cun sudah menerjang lagi tanpa mengeluarkan kata- kata. Yan Bun membela diri
sedapat mungkin, namun dia hanya dapat bertahan sepuluh jurus saja karena tanpa
dapat dia hindarkan, pundaknya terkena totokan yang ampuh dan dia pun terguling
roboh dengan tubuh lemas lunglai.
Wan Cun lalu
mencengkeram punggung baju pemuda itu dan menjinjingnya, membawanya masuk ke
dalam rumah, diikuti oleh Kim Hui yang mengambil pedang dari punggung Yan Bun.
Setelah tiba
di ruangan dalam di mana Ui Tiong sedang menunggu si sakit sambil duduk di atas
kursi, Wan Cun melepaskan tubuh Y an Bun sehingga pemuda itu terkulai dan rebah
telentang di atas lantai.
"Yan
Bun...! Engkau di sini...?" Ui Tiong memandang dengan mata terbelalak
heran dan khawatir. Melihat Pek-hu (Paman Tua) itu dalam keadaan selamat, Yan
Bun yang tidak mampu menggerakkan kedua kaki tangannya akan tetapi masih dapat
mengeluarkan suara, berkata lega, "Sukurlah Pek-hu dalam keadaan
selamat."
Tiba-tiba
Nyonya Wan terbatuk-batuk, lalu muntah-muntah. Wan Cun, Ui Tiong dan juga Kim
Hui cepat menghampiri si sakit. Setelah muntah-muntah, nyonya itu tampak lelah
dan napasnya terengah-engah. Ui Tiong cepat memeriksa denyut nadi dan
pernapasan Nyonya Wan, lalu dia menggeleng- gelengkan kepalanya dan menghela napas
panjang.
Melihat ini, Wan Cun cepat bertanya.
"Bagaimana
keadaan isteriku?"
"Ah,
terpaksa sekali saya katakan bahwa keadaan nyonya ini berat sekali. Hawa beracun
dalam dadanya sukar untuk dibersihkan, bahkan kalian dapat lihat, obat yang diminumkannya
tadi banyak yang dimuntahkan kembali.
Hawa beracun
itu sungguh ganas dan jahat sekali." Tentu saja keterangan ini membuat
ayah dan anak itu menjadi gelisah sekali. "Engkau harus dapat sembuhkan
dia!
Harus dapat
sembuhkan dia!" bentak Wan Kim Hui dan kedua mata yang bersinar tajam itu
menjadi basah dengan air mata.
Melihat
sikap dan mendengar ucapan gadis yang liar dan galak itu, Ui Tiong mengerutkan
alisnya dan sambil memandang keponakannya yang masih menggeletak telentang di
atas lantai, dia berkata dengan hati kesal.
"Hemm,
kalian ini orang-orang kang-ouw akan tetapi sama sekali tidak menghargai sopan
santun dan peraturan orang- orang dunia kang-ouw. Kalian telah memaksa aku ke
sini, dan kini kalian malah menangkap keponakanku.
Apa sih
kehendak kalian ini?" Wan Cun menghela napas dan berkata, "Kami bukan
tidak tahu aturan, akan tetapi keadaan yang memaksa kami berbuat begini.
Isteriku terluka, keluarga kami terusir dan anakku karena khawatir akan
keselamatan ibunya, telah bersikap kasar kepadamu.
Keponakanmu
ini datang dengan maksud memaksamu pulang, maka terpaksa pula aku tangkap dia
agar jangan membikin kacau. Kami hanya menghendaki agar isteriku sembuh."
Ui Tiong
menggelengkan lagi kepalanya.
"Sulit, Lam-ong," katanya. Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, maka dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya adalah seorang datuk persilatan dari Selatan.
"Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu.
"Sulit, Lam-ong," katanya. Wan Cun memang sudah memperkenalkan nama dan julukannya kepadanya sebelum dia mengobati, maka dia mengetahui bahwa ayah dari gadis yang menculiknya adalah seorang datuk persilatan dari Selatan.
"Terus terang saja, aku sendiri tidak ada kemampuan untuk menyembuhkan isterimu.
Dan kukira
di seluruh daerah ini, tidak ada orang yang akan mampu menyembuhkannya.
Satu-satunya orang yang kukira akan dapat memberi obat yang dapat
menyembuhkannya hanyalah Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang berada
di Beng-san.
Dia saja yang dapat menyembuhkan segala luka
dari pukulan beracun yang amat jahat seperti Hek- tok-ciang yang hawa beracunnya
berasal dari katak hitam raksasa ini."
Mendengar
ini, ayah dan anak tampak semakin bingung, bahkan Kim Hui mulai menangis sambil
memeluk ibunya.
Timbul rasa
iba di hati Yan Bun melihat ini. Ayah dan anak ini lihai bukan main, terutama ayah
yang berjuluk Lam-ong (Raja Selatan) itu. Kalau mereka bertindak kasar dan
tampak sewenang-wenang hanya karena mereka berdua gelisah dan bingung.
Keinginan satu-satunya bagi mereka hanyalah menyembuhkan ibu dari gadis itu.
"Aku
sanggup menghadap Bu Beng Kiam-sian mencarikan obat itu," katanya.
Mendengar
ini, Lam-ong cepat menghampiri pemuda yangmasih rebah telentang di atas lantai
itu dan sekali ia menekanpunggung Yan Bun, pemuda itu terbebas dari totokan.
Dia lalu bangkit berdiri dan Kim Hui dengan tak sabar cepat bertanya.
"Benarkah
engkau dapat mencarikan obat untuk ibuku?" tanyanya sambil menatap wajah
Yan Bun dengan pandang mata penuh harapan, sepasang mata yang masih basah.
"Orang
muda, benarkah kata-katamu bahwa engkau sanggup mintakan obat untuk isteriku
kepada Bu Beng Kiam- sian di Beng-san?" tanya Wan Cun pula.
"Yan
Bun, bagaimana engkau menyanggupi semudah itu"
Beng-san
merupakan gunung yang tinggi dan sukar didaki, juga Bu Beng Kiam-sian adalah
seorang manusia aneh yang tidak mudah berhubungan dengan manusia lain,"
kata Ui Tiong. "Pek-hu, saya sanggup karena saya pernah diajak oleh Suhu
Thian Bong Sianjin berkunjung ke sana.
Karena saya pernah
berjumpa dengan Bu Beng Kiam-sian, maka saya berani menyanggupi pekerjaan
itu."
"Bagus!
Orang muda, siapakah namamu?" tanya Wan Cun dengan suara gembira karena
dia mendapatkan harapan baru.
"Nama
saya Yan Bun, Locianpwe (sebutan hormat orang tua)." "Nah, Ui Yan Bun,
kalau memang sanggup untuk mencarikan obat untuk menyembuhkan isteriku, minta
kepada Bu Beng Kiam-sian di Beng-san, kami sekeluarga akan berterima kasih
sekali kepadamu, dan kami akan mohon maaf atas pemaksaan kami terhadap pamanmu,
juga terhadap dirimu yang telah kutangkap tadi," kata Wan Cun.
"Tidak
mengapa, Locianpwe. Setelah saya mengetahui apa yang menyebabkan puterimu
memaksa Pek-hu untuk ikut ke sini, maka hal itu hanya merupakan salah paham
saja. Akan tetapi, saya akan berusaha mencarikan obat itu kalau Locianpwe suka
memenuhi permintaan saya."
"Hei,
Ui Yan Bun, engkau mengajukan syarat, ataukah hendak memeras ayahku?" Wan
Kim Hui bertanya penasaran.
"Aku
hanya ingin mendapatkan imbalan untuk tugas yang berat ini, demi kesembuhan
ibumu, Nona," kata Yan Bun.
"Katakanlah,
orang muda. Apa yang kauminta dariku kalau engkau telah berhasil mendapatkan
obat dari Bu Beng Kiam- sian?" Wan Cun bertanya, penuh harapan.
"Saya
hanya minta agar Locianpwe suka mengajarkan ilmu silat kepada saya."
"Boleh!
Aku berjanji kalau engkau berhasil mendapatkan obat dan isteriku sembuh, engkau
akan menjadi muridku dan akan kuberikan semua ilmuku kepadamu!"
Wan Kim Hui
lalu menyerahkan pedang Yan Bun yang tadinya ia rampas, tanpa mengeluarkan
ucapan apa pun. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, Yan Bun melihat
bahwa s inar mata gadis itu kini tidak galak lagi, bahkan kedua pipi Kim Hui
kemerahan!
Untuk
membuktikan niat baiknya, Wan Cun memberi kebebasan kepada Ui Tiong. Tabib ini
boleh pulang ke Lam- hu, dengan janji bahwa setiap hari dia akan datang menjenguk
dan memeriksa keadaan Nyonya Wan.
Ui Yan Bun segera berangkat pada hari itu juga,
membawa buntalan pakaian dan pedangnya. Dia melakukan perjalanan cepat karena
ingin segera sampai di Beng-san. Nyonya Wan Cun harus dapat disembuhkan, bukan
hanya karena dia ingin menerima pelajaran ilmu silat tinggi dari Lam-ong Wan
Cun, melainkan terutama sekali agar pamannya bebas dari ancaman dan agar hati
Wan Kim Hui senang melihat ibunya dapat disembuhkan!
Akan tetapi,
ketika dia meninggalkan Bukit Siluman sejauh belasan kilometer, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat melewatinya dan tahu-tahu Wan Kim Hui telah berdiri di depannya!
Gadis itu menggendong sebuah buntalan pakaian dan pedangnya juga tergantung di
punggungnya, tanda bahwa gadis itu hendak melakukan perjalanan jauh.
"Eh,
engkaukah ini, Nona Wan...?" Yan Bun menegur heran. "Tidak usah
nona-nonaan, Ui Yan Bun! Namaku Kim Hui, sebut saja namaku!" gadis itu
memotong cepat.
Yan Bun
tersenyum dan menghela napas panjang. Gadis ini benar-benar bersikap terbuka,
polos dan agak liar.
"Baiklah,
Kim Hui. Ke manakah engkau hendak pergi, kalau aku boleh bertanya" Atau...
engkau memang mengejarku dan kalau begitu, ada kepentingan apakah?"
Tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!
Tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya berdebar tegang karena terpikir olehnya bahwa jangan-jangan ibu gadis itu meninggal!
"Aku
hendak ikut denganmu ke Beng-san!" kata Kim Hui singkat. Yan Bun terkejut.
"Eh" Kenapa" Aku yang akan mencarikan obat itu, Kim Hui, dan aku
tidak memerlukan bantuan." Kim Hui cemberut dan sinar matanya menyambar
marah.
"Yan
Bun, yang sakit adalah ibuku, ibu kandungku! Aku lebih berhak mencari obat
untuknya daripada engkau! Dan lagi, aku tidak ingin membantumu, aku ingin cari
sendiri kalau engkau tidak suka melakukan perjalanan bersamaku!"
Melihat
betapa gadis itu marah sekali, Yan Bun cepat berkata, "Sama sekali bukannya
aku tidak ingin melakukan perjalanan bersamamu, Kim Hui. Aku malah senang
sekali karena engkau lihai dan dapat diandalkan, akan tetapi...."
"Akan
tetapi apa lagi" Kalau engkau tidak keberatan melakukan perjalanan
bersamaku, sudahlah jangan banyak cakap. Mari kita lanjutkan perjalanan agar
dapat cepat memperoleh obat itu!"
Yan Bun
harus mengakui bahwa gadis ini dapat merupakan bantuan besar sekali baginya karena
kelihaian gadis ini bahkan melampauinya sehingga kalau dia bertemu penghalang
di jalan, gadis ini dapat membantu mengatasinya. Pula, memang tentu saja gadis
ini berhak dan berkewajiban untuk berusaha mencarikan obat bagi ibunya. Dia
khawatir kalau-kalau Kim Hui akan menjadi semakin marah jika dia membantah
lagi, maka dia lalu berkata.
"Baiklah,
mari kita pergi." Mereka lalu me lanjutkan perjalanan dengan cepat mereka berlomba
lari ! Beng-san merupakan pegunungan yang panjang, terdiri dari banyak
bukit-bukit dan puncaknya menjulang tinggi menembus awan. Di atas puncak sebuah
di antara bukit-bukit itu, yaitu Bukit Kera, tinggal seorang pertapa wanita
berjuluk Im Yang Sian-kouw.
Wanita ini
berusia sekitar empat puluh satu tahun, masih tampak cantik dan lembut,
berpakaian jubah pendeta yang longgar berwarna putih. Di puncak itu ia mempunyai
sebuah pondok kayu yang cukup besar dan ia mempunyai seorang pelayan wanita
setengah baya berusia lima puluh tahun. Selain itu, ia mempunyai pula seorang
murid laki-laki, seorang pemuda berusia dua puluh dua tahun bernama Si Han Bu
yang merupakan murid tunggalnya.
Pada suatu
pagi yang cerah, walaupun matahari masih tampak merah dan bulat besar di ufuk
timur, seorang pemuda sedang berlatih silat di lapangan yang datar di puncak
Bukit Kera.
Dia berlatih
silat di antara tanaman bunga-bunga yang merupakan taman itu belakang pondok,
dan di tengah taman itu memang sengaja dibuat sebuah lapangan untuk berlatih silat.
Pemuda itu
berusia dua puluh dua tahun, bertubuh tinggi tegap dan wajahnya yang berkulit
putih itu tampan. Sepasang matanya bersinar-sinar terang membayangkan semangat hidup
dan kegembiraan, mulutnya mengandung senyum nakal. Akan tetapi wajahnya membuat
orang yang memandangnya sukar untuk menjadi marah karena wajah itu tampak ramah
sekali.
Pakaiannya sederhana dan baik celana maupun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.
Pakaiannya sederhana dan baik celana maupun bajunya terbuat dari kain berwarna putih bersih.
Pada saat
itu, pemuda yang bernama Si Han Bu ini sedang berlatih silat. Tangan kanannya
memegang sebatang pedang dan dengan gerakan indah dia mainkan pedang itu,
mula-mula lambat saja, kemudian semakin cepat sehingga pedangnya berubah
menjadi gulungan sinar putih.
Tiba-tiba
dari dalam pondok itu muncul seorang wanita yang berpakaian serba putih pula.
Wanita ini adalah Im-yang Sian-kouw, biarpun usianya sudah empat puluh satu
tahun lebih, namun ia masih tampak cantik dengan wajahnya yang lembut, sepasang
matanya yang sinarnya lembut namun terkadang mencorong penuh wibawa, kulitnya
yang putih mulus, rambutnya yang panjang hitam dan mulutnya yang selalu
tersenyum ramah walaupun ada garis-garis kedukaan membekas di kedua ujung
mulutnya.
Tubuhnya
juga masih tampak ramping padat. Dengan langkah perlahan Im-yang Sian-kouw
keluar dari pintu belakang menuju ke dalam taman di mana murid tunggalnya, Si
Han Bu, sedang berlatih silat pedang.
Ia duduk di atas bangku tak jauh dari lapangan
berlatih silat itu, menonton dengan penuh perhatian lalu mengangguk-anggukkan
kepalanya.
"Begitulah
seharusnya Im-yang Kiam-sut (Ilmu Pedang Im Yang) dimainkan, Han Bu. Coba
sekarang imbangi dengan Im- yang Po-san (Kipas Im Yang)! "Tanpa menghentikan
gerakan pedangnya, Si Han Bu mencabut sebuah kipas lebar yang mukanya berwarna
putih akan tetapi belakangnya berwarna hitam, lalu tangan kiri yang memegang
kipas itu membuat gerakan silat melengkapi gerakan pedangnya sehingga tampak
dua buah senjata yang paling menunjang dan saling me lindungi.
Indah dan juga berbahaya sekali bagi lawan permainan
kombinasi pedang dan kipas itu! Setelah pemuda itu berhenti berlatih dan
berdiri di depan gurunya, Im-yang Sian-kouw berkata lembut namun dengan nada
suara bersungguh-sungguh. "Han Bu, kalau ilmu pedangmu sudah baik sekali,
permainan kipasmu masih terlalu lemah.
Kipasmu itu
hanya mengambil bagian pertahanan saja, padahal kalau engkau selingi dengan
serangan tiba-tiba, akan membuat lawan terkejut dan bingung.
Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya menekankan segi keindahannya daripada kegunaannya dalam pertandingan."
Engkau mainkan kipasmu seperti sedang menari saja, hanya menekankan segi keindahannya daripada kegunaannya dalam pertandingan."
Pemuda itu
tersenyum lebar. "Maaf, Subo (Ibu Guru), teecu (murid) tadi memang lebih
banyak menggunakan kipas untuk mengipasi tubuh teecu yang panas berkeringat.
Maklum sudah sejak pagi sekali tadi teecu berlatih sehingga teecu merasa gerah
sekali.
Maaf,
Subo." Dia kini menggunakan ujung lengan bajunya untuk mengusap keringat
yang membasahi muka dan lehernya.
Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.
Melihat lagak muridnya yang lucu itu, Im-yang Sian-kouw tersenyum. Ia sangat menyayang muridnya itu dan menganggapnya seperti puteranya sendiri.
Sesungguhnya,
yang menemukan Si Han Bu adalah gurunya, yaitu Bu Beng Kiam-sian yang kini
telah meninggal dunia sekitar setahun yang lalu. Bu Beng Kiam-sian menemukan Si
Han Bu yang sudah yatim piatu, ketika anak yang baru berusia sepuluh tahun itu
bersama ayah ibunya meninggalkan dusun karena pergi mengungsi setelah terjadi perang.
Dalam
pengungsian mereka, di kaki pegunungan Beng-san, mereka bertemu pasukan
pengikut Jenderal Wu Sam Kwi dan melihat ibu Si Han Bu yang cantik, mereka hendak
mengganggunya.
Ayah ibu Si Han Bu melawan sampai akhirnya
mati dikeroyok dan Han Bu yang berusia sepuluh tahun melarikan diri dikejar beberapa
orang prajurit. Untung pada saat yang gawat dan berbahaya bagi keselamatan anak
itu, muncul Bu Beng Kiam-sian yang segera menghajar para prajurit dan menolong
anak itu. Bu Beng Kiam-sian lalu mengubur jenazah ayah ibu Han Bu dan membawa
anak itu ke Bukit Kera.
Nah, sejak
berusia sepuluh tahun Han Bu menjadi murid Im-yang Sian-kouw atau cucu murid Bu
Beng Kiam-sian.
Setelah Bu
Beng Kiam-sian meninggal, maka di puncak Bukit Kera itu tinggal Im-yang Sian-kouw,
Si Han Bu, dan nenek pelayan yang menempati pondok itu.
"Han
Bu, ingatlah bahwa engkau tidak boleh jumawa,jangan dikira bahwa kepandaianmu
sudah paling hebat.
Tidakada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai adayang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi.
Tidakada batas bagi tingkat kepandaian manusia. Yang pandai adayang lebih pandai lagi, yang tinggi ada yang lebih tinggi lagi.
Engkau harus
selalu rendah hati karena orang yang rendah hati sajalah yang memiliki
kesempatan besar untuk meningkatkan kepandaiannya.
Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat tidak akan maju, bahkan kesombongannya sendiri yang akan menjatuhkannya.
Sebaliknya orang yang merasa dirinya paling hebat tidak akan maju, bahkan kesombongannya sendiri yang akan menjatuhkannya.
Engkau harus
terus belajar, tidak ada kata akhir bagi orang belajar, bahkan sampai mati pun
kita harus tetap belajar."
Han Bu
menggaruk-garuk bagian belakang telinganya biarpun tidak terasa gatal,
"Waduh, alangkah akan lelahnya kalau harus belajar terus selama hidup,
Subo!" Im-yang Sian-kouw tertawa.
"Hush, bukan hanya belajar silat terus
menerus. Hidup bukan hanya sekadar belajar silat, Han Bu. Hidup ini sendiri
merupakan proses belajar, sejak lahir sampai akhir usia. Belajar dari kehidupan
ini agar engkau bukan hanya mahir mainkan pedang dan kipas untuk melindungi
diri sendiri dan orang lain, untuk mempertahankan dan membela kebenaran dan keadilan,
akan tetapi banyak hal yang perlu kaupelajari sehingga engkau mengerti benar
apa artinya hidup ini dan apa kewajibanmu dalam kehidupan.
Jangan sekali-kali
merasa dirimu pandai."Han Bu tertawa. "He-he, sudah sering Subo
mengatakan bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini! Tadinya teecu bingung.
Masa tidak ada orang pandai"
Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai.
Bukankah mendiang Sukong (Kakek Guru) dan Subo sendiri juga orang-orang pandai.
" Akan
tetapi sekarang teecu sudah mendapatkan jawabannya mengapa Subo mengatakan
bahwa di dunia ini tidak ada orang pandai."
Sambil
tersenyum melihat cara muridnya bicara yang lucu, Im-yang Sian-kouw berkata,
"Hemm, benarkah engkau sudah mengerti mengapa" Coba katakan
pendapatmu."
"Memang
tidak ada orang pandai di dunia ini, Subo.
Sepandai-pandainya
orang, dia masih amat bodoh. Buktinya, orang yang bagaimana pandai pun, tidak
dapat mengatur apa yang menempel di tubuhnya sendiri. Tidak dapat menghentikan
tumbuhnya rambut, tidak dapat mencegah kuku menjadi panjang, apalagi menghitung
rambutnya sendiri.
Maaf, Subo,
teecu berani bertaruh bahwa Subo sendiri juga tidak dapat menghitung berapa
banyaknya rambut yang berada di kepala Subo. Maka, benarlah kalau Subo mengatakan
bahwa tidak ada orang pandai di dunia ini!" Im-yang Sian-kouw tertawa dan
menutupi mulutnya.
"Karena
itu, jangan sekali-kali engkau menjadi sombong dan merasa dirimu pandai.
Kepandaian manusia itu terbatas sekali. Yang Maha Pandai hanyalah Thian Yang
Maha Kuasa. Apa yang dapat dilakukan manusia hanyalah karunia yang diberikan
oleh Thian, bukan karena si manusia sendiri yang pandai. Nah, sudahlah, Han Bu,
kalau bicara denganmu aku selalu menjadi geli dan ingin tertawa. Berlatihlah
lagi sampai Im-yang Po-san dapat kaumainkan dengan sebaik-baiknya.
Aku akan
bersamadhi dan kalau engkau ingin sarapan lagi, minta saja kepada Sun-ma (Ibu
Sun) di dapur, tidak perlu menunggu aku karena aku tidak ingin makan pagi
ini."
"Wah,
Subo tentu selalu memegang prinsip Subo, yaitu: Tidak makan kalau tidak lapar,
tidak minum kalau tidak haus, tidak tidur kalau tidak mengantuk!"
"Tentu
saja, anak bodoh. Melakukan lebih dari apa yang dibutuhkan badan merupakan
pemborosan tenaga dan pengrusakan diri sendiri." Setelah berkata demikian,
Im-yang Sian-kouw meninggalkan tempat itu, kembali memasuki pondok dengan mulut
masih menahan senyum.
Hidup dekat pemuda
itu orang tidak mungkin dapat menahan tawa dan gembira. Ia bersukur kepada
Tuhan bahwa terdapat seorang murid seperti Han Bu yang dianggapnya putera
sendiri yang selalu mendatangkan seri gembira dalam hidupnya, menghiburnya dari
duka nestapa yang pernah ia alam i di masa mudanya. Han Bu memandang gurunya
yang berjalan santai menuju pondok sampai gurunya itu lenyap di balik pintu
belakang pondok.
Dia tersenyum dan merasa bangga sekali kepada
ibu gurunya yang dia anggap sebagai ibunya sendiri. Betapa bahagianya dia!
Biarpun sejak kecil kehilangan ayah ibunya yang terbunuh oleh para prajurit
dari Selatan, namun dia memperoleh pengganti.
Sebelum
meninggal, Bu Beng Kiam- sian juga amat baik kepadanya. Biarpun kini kakek itu
sudah meninggal, namun dia mendapatkan pengganti ayah ibunya dalam diri Im-yang
Sian-kouw! Dia amat menyayang ibu gurunya, menyayangnya seperti ibunya sendiri.
Dia selalu menyanjung gurunya, mengagumi
kecantikannya, kelembutannya, kebijaksanaannya, dan kepandaiannya. Terkadang
dia juga dapat merasakan betapa ada sesuatu yang membuat gurunya itu menderita
batin yang selalu ditahan-tahannya.
Tentu ada hubungannya dengan riwayat subonya
ketika masih muda. Akan tetapi subonya tidak pernah menceritakan riwayat hidupnya
dan dia pun tidak berani bertanya. Si Han Bu mulai berlatih lagi. Kini dia
hanya melatih ilmu silat kipasnya saja.
Setelah dia berlatih dengan gaya yang indah
namun lucu sampai puluhan jurus dan mulai merasa gerah, tiba-tiba berkelebat dua
sosok bayangan orang.
Han Bu cepat menghentikan perma inan silat kipasnya dan ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya.
Han Bu cepat menghentikan perma inan silat kipasnya dan ketika dia memandang, di situ telah berdiri seorang pemuda berpakaian serba biru yang berwajah tampan gagah dan seorang gadis berpakaian mewah seperti puteri bangsawan yang berwajah manis dengan tahi lalat hitam kecil di dagu kirinya.
Melihat mereka
berdua membawa pedang di punggung, Han Bu dapat menduga bahwa mereka tentulah
orang-orang kang-ouw yang pandai ilmu silat.
Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri dengan menegakkan kepala dan membusungkan dada yang sudah mulai dewasa itu, timbul kenakalan Han Bu.
Melihat gadis cantik manis yang sikapnya angkuh, berdiri dengan menegakkan kepala dan membusungkan dada yang sudah mulai dewasa itu, timbul kenakalan Han Bu.
Dia tersenyum
cengar-cengir mengamati dua orang itu, terutama gadis yang manis itu, tanpa
mengeluarkan sepatah kata pun......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment