Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 03
DENGAN sinar
mata tajam menusuk, Thian Hwa berkata,suaranya lantang dan ketus. "Aku
tahu sekarang, engkau adalah manusia rendah yang bertindak sewenang-wenang terhadap
orang-orang sederhana ini dengan tuduhan memberontak karena engkau hendak
menyenangkan hari Pangeran Leng dengan menyerahkan gadis itu kepadanya!
Orang macam
engkau yang menjilat kepada orang atasan patut untuk diberi hajaran!"
Mendengar
ini, Bong Su Kok terbelalak, marah bukan main.
Belum pernah
sejak dia memegang . jabatannya ada orang,apalagi seorang wanita muda, berani
mengeluarkan ucapan yang demikian menghina kepadanya.
"Tangkap
perempuan kurang ajar ini!" bentaknya.
Begitu
mendengar suara Thian Hwa dan melihat sikap yang galak, perwira tinggi besar bermuka
brewok itu teringat bahwa gadis itu adalah gadis lihai yang pernah mengamuk di
istana Pangeran Cu Kiong dan yang bersama seorang pemuda telah membunuh empat
orang rekannya.
Orang ini
bernama Ciang Sun, orang pertama dari Kam-keng Chit-sian yang kini mengambil
jalan sendiri-sendiri dengan dua orang rekannya yang masih hidup. Setelah melarikan
diri dari istana Pangeran Cu Kiong karena gagal me lawan Thian hwa dan UI Yan
Bun, Clang Sun pergi ke Thian-cln dan dia kini menjadi pengawal pribadi dari
jaksa Bong Sun Kok.
Dia merasa
lebih cocok bekerja pada. seorang pembesar yang berasal dari bangsa Pribumi
Han, bukan bangsa Man-cu. Sungguh sama sekali tidak disangkanya bahya pada hari
itu dia bertemu lagi dengan Thian Hwa. T entu saja dia sudah merasa jerih
karena maklum akan kelihaian gadis itu, maka dia segera berteriak memberi
aba-aba kepada anak buahnya, baik enam orang perajurit pengawal yang berada di
atas perahu maupun dua losin perajurit pengawal yang berada di perahu-perahu
kecil untuk mengeroyok Thian Hwa. Ciang Sun ini sete lah diterima menjadi
pengawal pribadi Bong Taijin (Pembesar Bong),segera diberi pangkat perwira yang
menjadi komandan dari pasukan pengawal pembesar itu. Setelah menjadi kaki
tangan penjajah Mancu, Bong Sun Kok merasa bahwa para pendekar patriot pasti
membenci dirinya, maka dia mempunyai pasukan pengawal yang tidak kurang dari
lima puluh orang jumlahnya, mengalahkan jumlah, pengawai para pembesar atasannya!
Begitu
mendengar perintah Bong taijin tadi, para pengawal sudah siap siaga. Kini mendengar
aba-aba dari komandan mereka Ciang Sun, enam orang pengawal yang berada di atas
perahu segera menggerakkan tombak di tangan mereka untuk menyerang Thian Hwa.
Akan tetapi Thian Hwa yang sudah siap sejak
tadi, begitu menggeraikan tangan, tampak sinar-sinar putih menyambar-nyambar
dan enam orang perajurit pengawal itu berteriak dan terjengkang jatuh semua!
Mereka telah menjadi korban senjata rahasia Pek-hwa-ciam (Jarum Bunga Putih)
yang amat dahsyat dari gadis itu. Tentu saja Bong T aijin dan juga Perwira
Ciang Sun terkejut bukan main.
Bong Taijin
sudah cepat berlari memasuki pintu bilik yang segera ditutup dan dipalang dari
dalam, lalu dia naik ke atas dipan rebah meringkuk dengan tubuh menggigil
seperti orang terserang demam!
Ciang Sun
terkejut dan gentar menghadapi gadis yang sekali menggunakan senjata rahasia
telah dapat merobohkan enam orang anak buahnya itu. Dia lalu nekat,
menggerakkan senjata Long-ge-pang itu menyerang sambil mengerahkan seluruh
tenaganya.
Toya Gigi Srigala
itu menyeramkan, selain berat juga terbuat dari baja dan di ujungnya menyerupai
gigi dan taring srigala. Ketika menyambar, terdengar bunyi mengiuk. Namun,
kurang lebih dua tahun yang lalu saja Ciang Sun ini tidak mampu menandingi T
hian Hwa. Apalagi sekarang setelah gadis itu memperdaiam ilmunya di bawah
gemblengan Thian Bong Sianjin. Dengan mudah ia mengelak dari sambaran toya dan
balas menyerang dengan tamparan dan tendangan. Karena yakin bahwa ia tidak
perlu menggunakan pedang untuk mengalahkan musuh lama ini, Thian Hwa menghadapi
senjata lawan itu dengan tangan kosong saja!
Sementara
itu, dua belas buah perahu kecil yang ditumpangi dua puluh empat orang
perajurit pengawal itu kini menempel pada perahu besar dan perahu-perahu kecil
yang masing-masing ditumpangi dua orang itu mulai sibuk.
Dari setiap
perahu kecil dilemparkan tali berujung kaitan ke pinggir perahu besar dan
mereka sudah mulai merayap melalui tali untuk naik ke perahu besar mengeroyok
Thian Hwa.
Akan tetapi
tiba-tiba meluncur sebuah perahu kecil lain dan perahu ini ditumpangi Bu Kong
Liang. Mulailah dia melompat dari perahunya ke atas perahu kecil terdekat dan
begitu kaki tangannya bergerak, dua orang penumpang perahu itu terpelanting dan
terlempar ke dalam air! Sebelas perahu lain segera mengalihkan perhatian
mereka.
Mereka mencoba untuk mengepung Bu Kong Liang
yang berada di perahu kecil setelah dua orang perajurit penumpangnya terlempar
ke dalam air. Begitu dikepung sebelas buah perahu dengan dua puluh dua orang
perajurit, Kong Liang menjadi repot juga.
Dia berdiri
di atas perahu, yang terayun-ayun ketika dia bergebrak menyambut pengeroyokan
banyak perajurititu. Dia mengeluarkan senjatanya sepasang tombak pendek
bercabang dan berloncatan dari perahu ke perahu lain.
Begitu tubuhnya melayang dan menerjang, dua orang perajurit di atas perahu mereka pasti terjungkal ke dalam air. Kalau saja pengeroyokan itu dilakukan di atas daratan, kiranya dua losin perajurit itu akan dapat dia robohkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi gerakan Kong Liang kurang mantap, bahkan terkadang dia harus mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak sampai terguling dan jatuh ke air!
Begitu tubuhnya melayang dan menerjang, dua orang perajurit di atas perahu mereka pasti terjungkal ke dalam air. Kalau saja pengeroyokan itu dilakukan di atas daratan, kiranya dua losin perajurit itu akan dapat dia robohkan dalam waktu yang tidak terlalu lama. Akan tetapi gerakan Kong Liang kurang mantap, bahkan terkadang dia harus mengatur keseimbangan tubuhnya agar tidak sampai terguling dan jatuh ke air!
Sementara
itu, Ciang Sun yang mengamuk dengan senjata Long-ge-pang dan menghujani Thian
Hwa dengan serangan kilat, menjadi pening karena tiba-tiba gadis yang
diserangnya itu berkelebatan seperti telah berubah menjadi bayang- bayang. Ke
mana pun senjatanya menyambar, selalu mengenai tempat kosong dan dia dapat menghindarkan
serangan balasan berupa tamparan atau tendangan hanya mengandalkan perasaannya
saja. Serangan gadis itu tentu mendatangkan hawa pukulan yang dahsyat sehingga
dia dapat mengetahui dan cepat melompat menghindar atau menggerakkan senjatanya
untuk melindungi dirinya.
Bagaimanapun
juga, tingkat kepandaian Thian Hwa jauh lebih tinggi daripada tingkat Perwira
Ciang itu, maka setelah lewat belasan jurus, sebuah tendangan gadis itu tak
sempat dihindarkan Ciang Sun.
"Wuut...
desss....!!" Tubuh Ciang Sun terlempar keluar perahu dan jatuh tercebur ke
sungai. Air muncrat tinggi dan Thian hwa tidak mempedulikan lagi lawan yang
sudah dikalahkannya. Ia cepat menghampiri pintu dan menendang daun pintu,
"Braakkk....!"
Daun pintu
bilik perahu itu Jebol dan ketika ia melompat- masuk, ia melihat gadis tadi
masih bersimpuh di sudut kamar sambil menutupi mukanya dengan kedua: tangan dan
menangis. Adapun Jaksa Bong Sun Kok yang gendut itu meringkuk di atas dipan
nenarik kedua lutut ke perut sehingga dia tampak seperti seekor babi
kekenyangan mendekam bermalas-malasan! Thian Hwa me lihat sebatang pedang tergantung
di dinding.
Tentu pedang tanda kebesaran atau pelengkap
tanda pangkat Jaksa. Bong. Ia cepat mencabut pedang. Itu dan sekali tangan
kirinya bergerak, sebatang Jarum bunga putih me luncur dan menancap di pinggul
yang besar itu.
"Adauuww..!"
Jaksa Bong menjerit dan tubuhnya terlompat ke atas lalu merosot keluar dari
dipan, jatuh berdebuk di atas lantai bilik perahu, kedua tangan meraba pinggul
yang terkena serangan Pek-hwa-ciam, akan tetapi melihat gadis itu sudah berdiri
di situ, dia berlutut menangis sambil membentur- benturkan dahinya ke atas
lantai seperti sedang memberi hormat kepada kaisar!
"Manusia
hina yang rendah budi! Sepatutnya engkau mampu!" setelah membentak begitu,
tangan kanan Thian Hwa bergerak, pedang itu berkelebat dan Jaksa Bong menjerit-jerit
sambil kedua tangannya sibuk meraba ke hidung, kedua telinganya dan pinggulnya
karena di empat tempat itu terasa nyeri bukan main. Hidungnya telah terbabat
putus, demikian pula kedua daun telinganya.
Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis! Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu.
Darah membasahi muka dan lehernya dan akhirnya dia bergulingan sambil menangis! Thian Hwa menghampiri gadis yang menangis itu.
"Adik,
bangkitlah. Engkau dan Ayah Ibumu harus cepat pergi dari Sini!"
Gadis itu
melepaskan kedua tangan dari mukanya, terbelalak ngeri melihat Jaksa Gong mandi
darah dan bergulingan menguik-nguik seperti babi, dan dengan kedua kaki gemetar
ia bangkit dan mengikuti Thian Hwa keluar dari bilik perahu. Cepat Thian Hwa
memutuskan tali pengikat kaki tangan suami isteri setengah tua itu. Gadis itu
kini berangkulan dengan ibunya sambil menangis. Thian Hwa lalu melompat lagi ke
dalam bilik dan setelah menggeledah sebentar, ia menemukan sebuah peti kecil
berisi potongan emas yang tidak kurang dari lima tail beratnya. Ia lalu keluar lagi
dan menyerahkan emas itu kepada ayah gadis itu.
"Paman,
cepat engkau ajak isteri dan Anakmu pergi dari sini. Ini uang untuk bekal. Cari
tempat lain, jangan tinggal, lagi di tempatmu yang lama. pergi jauh-jauh ke dusun.
Akan kucarikan perahu untuk kalian!"
Thian Hwa
melihat betapa Bu Kong Liang masih dikeroyok pada perajurit. Ia melihat sebuah
perahu kecil milik para perajurit yang telah kosong, tentu dua orang
perajuritnya telah dirobohkan Kong Liang. Perahu itu masih terkait pada perahu
besar. "Mari kubawa kalian ke perahu!" kata Thian Hwa dan cepat ia
menyambar tubuh tiga orang itu satu demi satu, dibawanya melompat ke perahu
kecil.
Setelah itu,
ia melepaskan kaitannya dan menyuruh anak gadis itu mendayung perahu, pergi dari
situ. Ayah, ibu dan. anak Ituterkait di atas perahu kecil menghadap ke arah
Thian Hwa yang masih berada di perahu besar, mengucapkan terima kasih
"Cepat pergi....!" Seru Thian Hwa dan ia melihat betapa sebuah perahu
dengan dua orang perajurit me luncur menghampiri perahu yang ditumpangi tiga
orang itu.
Dengan cepat ia menyambiikan dua batang
Pek-hwa-ciam dan dua orang perajurit. itu mengaduh, tubuh mereka terguling
keluar dari dalam perahu Thian Hwa melihat betapa ayah gadis itu sudah
mendayung perahunya menjauh.
Maka ia segera memperhatikan keadaan Konjg
Liang. Kini tinggal lima buah perahu yang mengepung Kong Liang.
Sepuluh orang perajurit itu kini menggunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang. Karena musuh menggunakan anak panah menyerang dari jarak jauh tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka. Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang perajurit yang muncul dari dalam air dekat perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah. Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri, dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai!
Sepuluh orang perajurit itu kini menggunakan anak panah untuk menyerang Kong Liang. Karena musuh menggunakan anak panah menyerang dari jarak jauh tentu saja Kong Liang tidak dapat menyerang mereka. Dia hanya dapat memutar senjatanya untuk menangkis semua anak panah. Akan tetapi tiba-tiba ada dua orang perajurit yang muncul dari dalam air dekat perahu di mana Kong Liang berdiri. Dua orang itu menyelam dan menggulingkan perahu dari bawah. Menghadapi serangan licik ini, tentu saja Kong Liang tidak berdaya mempertahankan diri, dengan tergulingnya perahu, otomatis tubuh Kong Liang juga terpelanting dan dia jatuh ke dalam air sungai!
Melihat
pemuda itu terjatuh ke air, sepuluh orang prajurit dalam lima buah perahu itu
lalu mendekatkan perahu mereka dan anak panah mereka kini diarahkan kepada
pemuda yang bergerak-gerak dengan kaku dalam air agar tidak tenggelam!
Melihat ini,
Thian Hwa cepat melompat dari atas perahu besar dan bagaikan seekor ikan ia
berenang ke arah tempat dikurungnya Kong Liang. Setelah ia tiba dekat, ia
melihat Kong Liang dengan gerakan kaku karena harus menjaga agar tubuhnya tidak
tenggelam, memutar siang-kek (sepasang tombak pendek bercabang) untuk
melindungi tubuhnya dari sambaran anak panah. Akan tetapi karena gerakannya
tidak leluasa, maka sebatang anak panah menancap di belakang pundak kirinya dan
Kong Liang gelagapan!
Thian Hwa
yang sudah tiba di situ, menggerakkan kedua tangannya. Jarum-jarum bunga putih
me luncur menjadi sinar putih dan dua orang prajurit yang berhasil memanah Kong
Liang, berteriak dan terjungkal ke air. Thian Hwa yang dapat bergerak seperti
ikan, melompat ke perahu kosong itu dan dari situ, ia menyebar jarum-jarumnya.
Beberapa orang prajurit terkena sambaran jarum dan terpelanting ke air.
Tinggal
empat orang lagi dalam dua buah perahu. Mereka agaknya gentar menghadapi
kehebatan sepak terjang Thian Hwa, maka mereka berusaha untuk lari dengan
mendayung perahu mereka.
Akan tetapi, Thian Hwa mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini dapat menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air!
Akan tetapi, Thian Hwa mendayung perahu demikian cepatnya sehingga sebentar saja dara perkasa ini dapat menyusul mereka. Kini pedang Thian Hwa bergerak empat kali dan empat orang itu pun roboh keluar dari perahu, tubuh mereka terbawa hanyut arus air!
Thian Hwa
menoleh dan melihat Bu Kong Liang gelagapan, agaknya sukar baginya yang sudah
terluka itu untuk mempertahankan diri agar tidak tenggelam. Thian Hwa melompat
dan terjun ke air, lalu berenang secepatnya menghampiri Kong Liang. Ketika ia dapat
memegang tangan pemuda itu, Kong Liang terkulai pingsan! Dengan mencengkeram
leher baju pemuda itu dan menariknya ke atas dan menelentangkannya sehingga
muka Kong Liang tidak terbenam air, Thian Hwa berenang dan menyeret tubuh pemuda
itu menuju ke perahu mereka.
Baiknya tadi
sebelum melakukan serangan terhadap para prajurit di perahu-perahu kecil, Kong
Liang sudah melepas jangkar batu sehingga perahu kecil mereka tidak hanyut
terbawa air sungai.
Thian Hwa
mengangkat tubuh Kong Liang dan merebahkannya dalam perahu, kemudian ia menarik
jangkar batu dan cepat mendayung perahu pergi dari s itu.
Ada bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka T hian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ia lalu mendayung perahu ke tepi.
Ada bahaya datangnya bala bantuan pasukan, maka T hian Hwa lalu cepat mendayung perahunya dan setelah melihat bagian yang sunyi dan di tepi sebelah selatan terdapat hutan yang lebat, ia lalu mendayung perahu ke tepi.
Setelah
perahu menepi dan talinya ia ikatkan pada batang pohon, Thian Hwa lalu
memondong tubuh Kong Liang,membawanya masuk hutan dan merebahkannya di atas rumput.
Kemudian ia
memeriksa tubuh pemuda itu. Anak panah itu menancap, untungnya tidak terlalu
dalam di belakang pundak kiri. Ia harus berhati-hati mencabut anak panah agar
ujung anak panah jangan sampai patah dan tertinggal dalam daging.
Dengan
pengerahan sin-kang, ia berhasil mencabut anak panah. Ia merasa lega melihat
bahwa ujung anak panah itu tidak mengandung racun. Cepat ditotoknya jalan darah
di sekitar luka agar jangan terlalu banyak darah keluar.
Kong Liang
mengeluh lalu membuka matanya. Ia seperti bingung dan nanar, akan tetapi ketika
mengenal muka Thian Hwa, dia bernapas lega dan menggerakkan tubuhnya untuk bangkit
duduk. "Jangan banyak bergerak dulu, Twako. Engkau terluka," kata
Thian Hwa yang membantunya bangkit duduk.
Kong Liang
mengumpulkan ingatannya.
Dia memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang terletak di atas tanah.
Dia memandang ke kanan kiri, lalu kepada pakaian dan rambut Thian Hwa yang basah, juga kepada celananya sendiri yang basah dan bajunya yang sudah ditanggalkan dari badannya, juga anak panah yang terletak di atas tanah.
"Ah,
aku tadi terkena anak panah dan nyawaku terancam.
Hemm, pasti
engkau yang telah menyelamatkan nyawaku,Sian-Ii. Aku me lihat engkau meluncur
di atas permukaan air!
Bukan main!
Kiranya engkau memang pantas dijuluki Huang-ho Sian-li. Aku berhutang nyawa
kepadamu, Sian-li!"
"Aih,
sudahlah, jangan banyak bicara dulu, Twako. Aku harus mengobati lukamu."
Gadis itu lalu mengambil bungkusan obat dari buntalan pakaiannya. Buntalan itu
berisibubuk putih. Dari gurunya, Thian Hwa memang dibekali beberapa macam obat
untuk luka dan gadis ini sudah mempelajari bagaimana mengobati luka-luka,
bahkan yang mengandung racun sekalipun!
Sedikit bubuk putih ia taburkan ke dalam luka anak panah itu, lalu ia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.
Sedikit bubuk putih ia taburkan ke dalam luka anak panah itu, lalu ia mengambilkan pengganti baju dan membantu pemuda itu mengenakan bajunya.
"Sekarang,
paling penting adalah mengganti pakaian kita yang basah, Twako, agar kita tidak
terserang penyakit."
Gadis itu
mengambilkan pakaian dalam dan celana untuk Kong Liang, kemudian ia sendiri
mengambil seperangkat pakaian dan mengganti pakaiannya yang basah sambil bersembunyi
di balik semak belukar.
Setelah
selesai berpakaian dan Kong Liang merasa betapa luka di belakang pundaknya
tidak nyeri lagi, mereka duduk bercakap-cakap di bawah pohon besar.
"Bu-twako,
mengapa engkau tadi membantu aku sehingga membahayakan dirimu sendiri?"
"Aih,
Sian-li. Melihat betapa jumlah prajurit demikian banyaknya, mana mungkin aku
membiarkan engkau menghadapi mereka seorang diri" Bahaya yang menimpaku tadi
adalah karena kesalahanku sendiri. Aku tidak mahir bermain di air, maka aku sampai
terkena anak panah. Apakah yang terjadi di perahu besar itu, Sian-li?"
"Melihat
suami isteri setengah tua yang terikat di perahu besar dan mendengar suara
tangis wanita, aku menjadi curiga, dan setelah aku melompat ke perahu besar,
ternyata suami isteri setengah tua itu difitnah sebagai pemberontak dan anak
gadis mereka ditawan. Kata Pembesar Bong itu, orang tua dan gadis itu akan
diserahkan kepada Pangeran Leng di kota raja! Aku membebaskan mereka, menyuruh mereka
naik perahu dan me larikan diri, dan aku memberi hajaran keras kepada Jaksa
Bong itu.
Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Menyebalkan!"
Seorang pribumi Han yang diangkat menjadi pembesar oleh Kerajaan Mancu malah bertindak jahat terhadap bangsa sendiri! Menyebalkan!"
"Memang
demikianlah, Sian-li. Kedudukan mendatangkan kekuasaan yang membuat manusia
menjadi lalim, suka bertindak sewenang-wenang mengandalkan kekuasaannya."
"Akan
tetapi tidak semuanya begitu, Twako!"
"Tentu
saja, tentu ada pengecualian. Ada juga pembesar yang bijaksana, jujur, setia,
tidak suka korupsi, tidak suka menindas bawahan menjilat atasan. Akan tetapi
beberapa gelintir yang seperti itu"
Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tidak peduli bangsa apa orangnya! Akan tetapi sekelebatan aku tadi me lihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang, dan agaknya dia lihai juga.
Aku tadi khawatir me lihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu."
Sebagian besar ya seperti jaksa itulah, tidak peduli bangsa apa orangnya! Akan tetapi sekelebatan aku tadi me lihat engkau melawan seorang yang bersenjata Long-ge-pang, dan agaknya dia lihai juga.
Aku tadi khawatir me lihat engkau dikeroyok dan melawan laki-laki tinggi besar bersenjata Long-ge-pang itu."
"Dia
adalah seorang di antara Kam-keng Chit-sian yang dulu menjadi pengawal dari
Pangeran Cu Kiong di kota raja."
"Wah,
Sian-li, sungguh engkau membuat aku semakin kagum dan heran. Sama sekali tidak
kusangka, engkau ternyata memiliki kepandaian yang luar biasa di dalam air dan engkau
mengenal pula, bahkan pernah bertanding melawan jagoan-jagoan yang menjadi
pengawal para pangeran di kota raja! Sian-li, agaknya engkau tidak asing dengan
keadaan di kota raja!"
Thian Hwa
memandang wajah pemuda itu dengan sinar mata tajam penuh selidik, lalu ia
bertanya, "Bu-twako, setelah beberapa kali engkau bentrok dengan pasukan
Mancu, katakanlah terus terang, apakah engkau membenci orang- orang Mancu
seperti Ang-mo Niocu?"
Pemuda itu
menggelengkan kepala dengan pasti. "Tidak, Sian-li. Aku hanya membenci
orang yang jahat dan akan membela yang benar tidak peduli bangsa apa dan apa
pula kedudukannya."
Thian Hwa
senang mendengar ini, akan tetapi ia masih memancing, "Akan tetapi,
bukankah engkau seorang pribumi Han dan menentang penjajahan Mancu?"
Kong Liang
menghela napas. "Perjuangan untuk itu sudah banyak dilakukan dan sia-sia
saja hasilnya, bahkan mengorbankan banyak jiwa. Kalau kelak ada gerakan besar- besaran
yang menggerakkan rakyat untuk menentang penjajah, aku pasti akan membantu
mereka.
Akan tetapi untuk
saat ini, aku akan bertindak seperti para pendekar Siauw-lim-pai pada umumnya,
yaitu membela kebenaran dan keadilan, demi melindungi rakyat kecil yang hidup sengsara
dan tertindas. Biarpun dia seorang pembesar Mancu, kalau dia bijaksana dan baik
terhadap rakyat, aku pasti akan membelanya."
Thian Hwa
merasa senang. Pemuda ini ketika menghadapi gerombolan yang mengaku sebagai
pejuang yang menentang Pemerintah Penjajah Mancu, langsung membasminya. Kini, berhadapan
dengan pasukan yang mengawal pembesar yang bertindak sewenang-wenang, juga
membantunya untuk membasmi pasukan pengawal itu.
Kong Liang telah membuktikan bahwa dia tidak
menentang Pemerintah Mancu karena merasa belum saatnya, juga dia bukan seorang
yang mengabdi kepada Kerajaan Goan lalu bertindak sewenang- wenang terhadap
bangsa sendiri seperti yang dilakukan oleh Jaksa Bong.
Maka ia tahu
bahwa Kong Liang dapat dipercaya dan sudah saatnya ia menceritakan dirinya. Ia
perlu mendapatkan seorang sahabat yang dapat dipercaya untuk diajak bertukar
pikiran.
"Twako
Bu Kong Liang, aku memang pernah ke kota raja dan terlibat dalam urusan dengan
beberapa pangeran dan sempat bertanding dengan para pengawal mereka, seperti Hui-eng-to
Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin yang dulu memimpin pasukan menyerangmu,
dan juga seorang dari Kam-keng Chit-sian pengawal yang bersenjata Long-ge-pang di
atas perahu besar itu. Karena aku percaya padamu, akan kuceritakan riwayatku dengan
syarat bahwa engkau tidak akan menceritakan kepada siapapun juga. Kepada orang
lain aku hanya ingin dikenal dengan sebutan Huang-ho Sian-li saja. Maukah
engkau berjanji, Twako?"
Kong Liang
memandang wajah gadis itu dengan sikap serius dan suaranya juga tegas.
"Tentu saja, Sian-li. Aku berjanji tidak akan menceritakan tentang dirimu
kepada siapapun juga!"
"Baiklah,
Twako, dan terima kasih. Akan kuceritakan dengan singkat saja.
Sesungguhnya, aku tidak pernah mengenal orang tuaku, karena ketika masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning).
Sesungguhnya, aku tidak pernah mengenal orang tuaku, karena ketika masih bayi aku ditemukan dan diselamatkan oleh Suhu Thian Bong Sianjin, hanyut dibawa arus air Huang-ho (Sungai Kuning).
Aku diambil murid dan diaku sebagai cucu
angkatnya. Setelah aku dewasa dan mendengar keterangan Suhu, aku lalu pergi mencari
keterangan tentang orang tuaku. Suhu pernah bermimpi bertemu seorang wanita
berpakaian bangsawan yang menitipkan anaknya kepadanya. Karena itu, aku pergi
ke kota raja untuk mencari keterangan tentang ayah bundaku, karena kami menduga
bahwa ibuku adalah seorang wanita bangsawan."
Thian Hwa
lalu menceritakan pengalamannya ketika ia terlibat dalam urusan Pangeran Leng
Kok Cun yang mengumpulkan orang-orang sakti dengan maksud merampas tahta
kerajaan. Ketika ia dikeroyok para jagoan pembantu Pangeran Leng, ia lari dan ditolong
oleh Pangeran Cu Kiong, dan di gedung Pangeran Cu Kiong ini ia bertemu dengan kakeknya,
yaitu ayah kandung ibunya.
"Ah,
maksudmu Kakek Cui Sam dari dusun Kia-jung itu?"
"Benar,
Twako. Ketika aku bercerita tentang keinginanku, mencari orang tuaku kepada
Pangeran Cu Kiong yang menolongku, Kong-kong (Kakek) Cui Sam mendengarkan. Dia ketika
itu bekerja sebagai pelayan kepada Pangeran Cu Kiong." Thian Hwa me
lanjutkan ceritanya. Ia tidak menceritakan hubungan batin yang timbul antara ia
dan Pangeran Cu Kiong.
Ia hanya
menceritakan betapa Pangeran Cu Kiong hendak memperalatnya untuk membantunya
dalam perebutan kekuasaan, maka ia lalu meninggalkannya. Pangeran Cu lalu mengerahkan
tujuh orang pengawalnya, yaitu Kam-keng Chit- sian untuk menangkapnya. Ia
melawan mati-matian dan dalam keadaan terkepung dan terancam bahaya, muncul Ui Yan
Bun membantunya.
"Siapakah
Ui Yan Bun itu, Sian-li?"
"Dia
adalah seorang sahabatku, boleh juga dianggap suhengku (Kakak Seperguruanku)
karena dia pernah diberi pelajaran silat oleh Kong-kong atau Suhu Thian Bong
Sianjin.
Nah, berdua
kami dapat membunuh empat dari ketujuh orang jagoan itu. Orang bersenjata
Long-ge-pang di perahu itu adalah seorang di antara mereka yang lolos, yaitu
ada tiga orang." Thian Hwa lalu melanjutkan ceritanya betapa sebelum pertempurannya
melawan para pengawal Pangeran Cu Kiong, ia dapat mendengar dari Kakek Cui Sam
tentang ayah ibunya.
"Wah,
beruntung sekali engkau, Sian-li. Jadi engkau dapat berjumpa dengan orang
tuamu?"
Thian Hwa
menghela napas. "Dari Cui Kong-kong (Kakek Cui) aku mendengar akan riwayat
yang menyedihkan dari ibu kandungku. Ketika dulu, Kakek Cui bekerja sebagai
kepala pelayan pada keluarga Pangeran Tua Ciu di kota raja.
Dia sudah menduda dan dia membawa anaknya perempuan yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan.
Dia sudah menduda dan dia membawa anaknya perempuan yang belum dewasa. Kemudian anak perempuannya yang bernama Cui Eng juga bekerja di situ sebagai pelayan.
Setelah Cui Eng
dewasa, ia saling jatuh cinta dengan Pangeran Ciu Wan Kong, putera dari
Pangeran T ua Ciu. Akan tetapi orang tua Pangeran Ciu Wan Kong, terutama
ibunya, tidak menyetujui kalau puteranya mengambil seorang pelayan sebagai
selir, apalagi sebagai isterinya.
Akan
tetapi... pada waktu itu, Cui Eng sudah mengandung sebagai hasil hubungannya
dengan Pangeran Ciu Wan Kong." Thian Hwa berhenti dan menatap wajah pemudaitu.
Akan tetapi Kong Liang tidak memperlihatkan perasaan apa pun pada wajahnya, dia
tetap tenang mendengarkan.
"Ketika
mendengar bahwa Cui Eng sudah mengandung, ibu dari Pangeran Ciu Wan Kong
memutuskan bahwa kalau Cui Eng melahirkan seorang anak laki-laki, ia akan
diterima menjadi selir Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi kalau yang terlahir
anak perempuan, ia akan diusir dari gedung Pangeran Ciu. T ernyata Cui Eng
melahirkan seorang anak perempuan. Ia diusir dari gedung itu dan dibawa ayahnya
keluar dari kota raja. Akan tetapi ketika mereka menggunakan perahu berlayar di
Sungai Kuning, perahu itu diserang badai dan tenggelam!"
Melihat
Thian Hwa menghentikan ceritanya dan tampak terharu dan berduka, Kong Liang
berkata. "Ah, kejadian seperti itu sudah sering kudengar, terjadi sejak
jaman dahulu.
Kaum
bangsawan suka sewenang-wenang menyia-ny iakan selirnya, dan mereka pada
umumnya tidak suka kalau mempunyai keturunan wanita. Sungguh tidak adil!
Sian-li, aku dapat menduga sekarang. Tentu engkaulah anak itu, dan ternyata
engkau diselamatkan Locianpwe (Orang Tua Gagah) Thian Bong Sianjin.
Juga Kakekmu,
Cui Sam, ternyata juga telah dapat menyelamatkan diri dan masih hidup sampai sekarang.
Akan tetapi, apa yang terjadi dengan ibumu yang bernama Cui Eng itu?"
Thian Hwa menggelengkan
kepalanya dan menarik napas panjang. "Tidak ada kabar ceritanya lagi
tentang ibuku. Cui Kong- kong juga tidak tahu dan hanya mengira bahwa ibuku
tentu telah tewas, tenggelam dalam Sungai Huang-ho. Ketika Suhu Thian Bong
Sianjin menemukan aku, dia memberi nama Thian Hwa kepadaku, menggunakan marga T
hian, yaitu marga dari Suhu sendiri.
Sebetulnya,
ayah kandungku adalah Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang masih hidup, maka aku
akan menggunakan nama Ciu Thian Hwa, dua marga itu kupakai dan namaku Hwa
(Kembang) saja! Akan tetapi untuk umum,aku lebih suka dikenal sebagai Huang-ho
Sian-li."
Bu Kong
Liang menghela napas panjang.
"Aih, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau sudah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku."
"Aih, riwayatmu sungguh menyedihkan sekali, Sian-li. Terima kasih bahwa engkau sudah mempercayai aku dan menceritakan riwayatmu kepadaku."
"Bu-twako,
setelah engkau mengetahui namaku, jangan engkau sebut aku Sian-li (Dewi) lagi.
Panggil saja aku Hwa (Bunga)!" Kong Liang tersenyum.
"Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa).
"Baiklah, Hwa-moi (Adik Hwa).
Sekarang,
apa yang hendak kaulakukan"
Apakah engkau hendak ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?"
Apakah engkau hendak ke kota raja untuk menemui ayah kandungmu, Pangeran Ciu Wan Kong itu?"
"Dulu,
sekitar dua tahun yang lalu, aku pernah mengunjunginya. Ingin aku membalas penghinaannya
terhadap ibuku, betapa tega hatinya mengusir Ibu yang telah mengandung puteri
keturunannya sendiri.
Ingin aku membunuhnya.
Akan tetapi ketika aku memasuki kamar Pangeran Ciu Wan Kong, aku melihat dia
dengan sedih merenung dan memandang lukisan wajah ibu kandungku Cui Eng, dan
dia memperlihatkan tanda-tanda seorang yang tidak waras pikirannya.
Aku menjadi tidak tega dan meninggalkannya.
Kemudian, malam tadi... aku mendengar keterangan yang rinci dari Kakek Cui Sam
bahwa sebetulnya, ayah kandungku Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta ibu kandungku
Cui Eng dan yang memaksa untuk mengusir ibuku adalah orang tuanya, terutama
ibunya.
Sayang kedua
orang tua Ayah Ciu Wan Kong telah meninggal dunia sehingga aku tidak dapat
membalas sakit hati ibuku. Menurut Kakek Cui Sam, bahkan sampai sekarang ayah
kandungku itu tidak mau mempunyai seorang selir pun dan mengurung dalam kesedihan."
"Hemm,
kalau begitu sungguh malang nasib ayah dan ibumu, Hwa-moi. Akan tetapi...
maafkan pendapatku ini kalau tidak cocok dengan pendapatmu. Niatmu dulu untuk membalas
sakit hati ibumu terhadap ayah ibu Pangeran Ciu Wan Kong itu sungguh tidak
benar, Hwa-moi.
Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, dan isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu.
Pangeran Tua Ciu itu adalah kakekmu sendiri yang menurunkan ayahmu, dan isterinya adalah nenekmu sendiri yang melahirkan ayah kandungmu.
Memang kejam sekali mengusir ibumu dari gedung
mereka, akan tetapi jangan lupa bahwa tidak menyukai anak perempuan merupakan
penyakit yang turun menurun. Nah, sekarang apa yang hendak engkau lakukan, Hwa-moi?"
"Pendapatmu itu memang ada benarnya, Bu-twako. Akan tetapi bagaimanapun juga, Kakek dan Nenek Ciu telah meninggal dunia, maka urusannya dengan ibu kandungku itu pun tidak perlu dibicarakan lagi.
Sekarang aku hendak menyelidiki apakah benar
ibu kandungku telah meninggal dunia. Kalau sudah wafat mana kuburnya dan
seandainya masih hidup di mana tempat tinggalnya. Aku akan mulai mencari keterangan
itu dari rumah ayahku.
Setelah mendengar
keterangan Kakek Cui Sam, aku ingin dekat ayahku, ingin menghiburnya dan
membantu padanya. Tentu saja kalau dia berada di pihak yang benar. Agaknya di
antara kalangan pangeran di kota raja terdapat semacam persaingan dan perebutan
pengaruh."
"Nah,
keadaan itulah yang harus kuselidiki di kota raja, Hwa-moi. Para suhu
menghendaki aku selain menyelidiki keadaan kehidupan rakyat, juga bagaimana
keadaan pemerintahan penjajah di kota raja," kata Kong Liang.
"Akan tetapi
berhati-hatilah, Bu-twako. Setelah bentrokan dengan Pembesar Bong yang jahat
itu, tentu engkau akan dicari!" "Hemm, engkau juga harus
berhati-hati, Hwa-moi. Engkau seharusnya membunuh pembesar jahat macam Jaksa
Bong agar dia tidak akan menyusahkan lagi. Dia tentu akan membalas dendam
kepadamu."
"Hemm,
aku masih mengampuninya dan hanya memotong kedua daun telinga dan hidungnya.
Kalau dia masih berani membuat ulah, lehernya yang akan kubuntungi!" kata
gadis itu gemas.
Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja.
Mereka berhenti bicara dan melanjutkan perjalanan mereka ke kota raja.
Dalam perjalanan itu, Thian Hwa membandingkan
Bu Kong Liang dengan Ui Yan Bun. Dua orang pemuda sama-sama gagah perkasa dan
baik budi. Akan tetapi ia harus mengakui bahwa di dalam hatinya hanya ada rasa
kagum dan suka terhadap dua orang pemuda ini, tidak ada perasaan mesra seperti
yang pernah dirasakan hatinya terhadap Pangeran Cu Kiong!
Dan naluri kewanitaannya membuat ia dapat
merasakan bahwa Bu Kong Liang, seperti juga Ui Yan Bun, mencinta dirinya.
Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti dua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena ia tidak, atau belum dapat membalas cinta mereka.
Ada perasaan bangga dalam hatinya bahwa ia dicinta dua orang pendekar budiman seperti dua orang pemuda itu, akan tetapi juga ada rasa sedih karena ia tidak, atau belum dapat membalas cinta mereka.
Untuk menjaga keamanan, Thian Hwa dan Bu Kong
Liang menanti sampai senja tiba dan cuaca sudah mulai gelap untuk memasuki
pintu gerbang kota raja.
Sebelum tiba di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.
Sebelum tiba di situ, mereka memang sudah bersepakat untuk berpisah mencari jalan masing-masing.
"Sekarang
kita harus mengambil jalan masing-masing, Bu- twako. Terima kasih atas semua kebaikanmu,"
kata Thian Hwa. "Hwa-moi, akulah yang berterima kasih kepadamu. Engkau telah
menolongku. Kalau tidak ada engkau, mungkin aku sudah mati tenggelam ke dalam
sungai. Jaga dirimu baik-baik, Hwa-moi. Dan semoga kita akan dapat bertemu
kembali."
"Selamat
berpisah, Twako."
Thian Hwa
langsung menuju ke gedung Pangeran Ciu Wan Kong, sedangkan Bu Kong Liang yang
merasa berat harus berpisah dari gadis yang dikaguminya itu, pergi mencari Gui Tiong,
murid Siauw-lim-pai yang membuka perguruan silat
"Bangau
Putih" di kota raja.
Gui Tiong
adalah seorang murid Siauw-lim-pai yang sejak muda tinggal di kota raja dan
membuka perguruan silat "Bangau Putih". Dia menikah dengan seorang
gadis puteri seorang pedagang di kota raja dan mempunyai seorang puteri bernama
Gui Siang Lin.
Gadis ini tentu saja mewarisi ilmu silat ayahnya
sehingga ia dikenal sebagai seorang gadis cantik yang lihai. Sebagai seorang
wanita gagah, ia tidak pemalu seperti gadis lain dan ia bahkan membantu ayahnya
untuk melatih silat kepada para murid Pek-ho Bukoan (Perguruan Silat Bangau
Putih).
Sayang bahwa isteri Gui Tiong meninggal dunia
sejak Siang Lin berusia sepuluh tahun. Nyonya Gui Tiong meninggal dunia karena
wabah yang pernah mengamuk di kota raja yang menimbulkan banyak korban. Kini
Gui Tiong yang berusia empat puluh lima tahun itu hidup sebagai seorang duda,
bersama puterinya.
Gui Tiong
yang kini berusia empat puluh lima tahun dan tetap menduda adalah seorang
laki-laki yang perawakannya sedang namun tegap. Wajahnya cukup gagah dengan
jenggot pendek dan sinar matanya tajam. Gui Tiong terkenal dengan Pek-ho-kun
(Silat Bangau Putih) yang dia ajarkan dan dia pun seorang ahli memainkan
senjatanya, yaitu siang-to (sepasang golok).
Puterinya,
Gui Siang Lin, yang berusia sembilan belas tahun, adalah seorang gadis yang
berwajah bundar, berkulit putih mulus, matanya lebar, senyumnya manis dihias
lesung di kedua pipinya. Rambutnya hitam panjang dikuncir dua dan sebagian
digelung ke atas.
Gadis yang
cantik manis ini agak pendiam dan lembut, namun sikapnya tegas dan ia dapat memainkan
siang-kiam (sepasang pedang) dengan indah dan kuatnya. Sesuai dengan pendirian
Siauw-lim-pai, Gui Tiong tidak pernah memperlihatkan sikap permusuhan terhadap
Pemerintah Mancu, maka dia pun tidak pernah mendapat gangguan.
Apalagi banyak pemuda putera para pembesar yang
belajar di perguruan itu.
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, dalam hatinya, Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah, bahkan pelajaran s ilat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja.
Akan tetapi, biarpun dia tidak pernah memperlihatkan sikap menentang penjajah Mancu, dalam hatinya, Gui Tiong tetap tidak sudi diperalat oleh penjajah, bahkan pelajaran s ilat yang dia berikan kepada para pemuda Mancu hanya kulit dan kembangannya saja.
Intinya hanya
ia ajarkan kepada puterinya. Bu Kong Liang tidak menemui kesukaran untuk
mencari guru silat yang masih terhitung susiok-nya (Paman Gurunya) itu. Gui
Tiong pernah belajar silat di Siauw-lim-pai walaupun tidak mencapai tingkat
terakhir, dan Bu Kong Liang adalah murid Thian Beng Hwesio yang merupakan murid
Siauw-lim- pai seangkatan dengan Gui Tiong.
Hanya
bedanya, Thian Beng Hwesio terus memperdalam ilmu silatnya sehingga kini menjadi
pelatih ilmu s ilat di kuil Siauw-lim. Karena itu, biarpun Gui Tiong merupakan
susiok dari Kong Liang, namun dalam hal tingkat ilmu s ilat, sang murid
keponakan ini lebih tinggi.
Setelah
menemukan rumah susioknya, Bu Kong Liang pada suatu pagi berdiri di depan rumah
yang cukup besar dan memandang ke arah papan nama perguruan silat "PEK-HO BUKOAN".
Dengan
gembira akan tetapi juga tegang karena selama hidupnya belum pernah dia bertemu
dengan Gui Tiong, hanya mendengar namanya saja dari Thian Beng Hwesio, Kong
Liang menghampiri pintu depan rumah itu. Dia mengetuk pintu, akan tetapi
agaknya tidak ada yang mendengarnya karena pada saat itu terdengar bentakan
suara dan hentakan kaki orang-orang yang sedang berlatih silat, sehingga suara ketukannya
tidak terdengar.
Kong Liang
membuka daun pintu dan ternyata tidak terpalang dari dalam. Dia me lihat
belasan orang laki-laki, tua muda sedang berlatih silat dan dia mengenal
gerakan kaki tangan mereka itu sebagai ilmu silat Siauw-lim-pai, walaupun gerakan
mereka kaku karena tidak berbakat.
Yang membuat
dia merasa heran, di antara belasan orang murid yang tingkatnya masih rendah
dan gerakannya hanya mengandalkan kekuatan otot itu adalah seorang gadis yang amat
manis!
Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasa, ia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja.
Gadis itu adalah Gui Siang Lin. Seperti biasa, ia mewakili ayahnya memberi petunjuk kepada para murid itu dan ia pun mengerti bahwa ayahnya hanya mengajarkan dasar dan kembangan saja.
Para murid itu
mempelajari ilmu silat hanya untuk gagah-gagahan saja. Mereka cukup puas kalau
sudah dapat melakukan gerakan yang tampak indah dan gagah dan sudah merasa
dirinya hebat.
Melihat Kong
Liang yang berdiri di ambang pintu yang sudah terbuka itu, Siang Lin memandang
heran karena ia tidak mengenal pemuda itu. Ia lalu memesan para murid untuk melanjutkan
latihan mereka, dan melangkah keluar menghampiri tamu itu.
Melihat
gadis itu menghampirinya, Bu Kong Liang segera mengangkat kedua tangan depan
dada memberi hormat yang dibalas oleh Siang Lin yang sudah biasa berhadapan
dengan tamu laki-laki yang hendak belajar silat. Ia mengira bahwa pemuda ini
tentu datang untuk belajar ilmu silat seperti yang lain.
"Maaf,
Nona, kalau kunjunganku ini mengganggu kesibukanmu," kata Kong Liang. Siang
Lin tersenyum.
Begitu
bertemu, ia melihat bahwa pemuda ini berbeda dengan para murid ayahnya. Ia
melihat sikap sopan pemuda ini wajar dan keluar dari dalam. Hal ini dapat ia
ketahui dari pandang mata pemuda ini.
Pemuda- pemuda
lain kalau bicara dengannya, sikap sopannya hanya dibuat-buat akan tetapi ia
dapat melihat pandang mata yang penuh berahi kepadanya. Pemuda ini memandangnya
dengan jujur, bahkan sinar matanya demikian tajam berwibawa.
"Engkau
tidak mengganggu. Siapakah engkau dan apakah engkau datang berkunjung untuk
belajar ilmu s ilat?"
"Tidak,
Nona. Aku datang bukan untuk belajar ilmu silat, melainkan untuk bertemu dengan
pemimpin Pek-Ho Bu-koan. Bukankah yang menjadi pemimpin perguruan ini bernama
Gui Tiong?" Siang Lin memandang tajam penuh selidik dan mulai merasa
curiga.
Hal ini
tidak aneh karena ia tahu bahwa sebagai seorang murid Siauw-lim-pai yang
menentang kejahatan, ayahnya tentu saja dimusuhi oleh orang-orang golongan
sesat dari dunia kang-ouw (sungai telaga / persilatan). "Kalau tidak untuk
belajar ilmu silat, lalu apa keperluanmu hendak menemui ayahku" Kauwsu
(Guru Silat) perguruan ini memang Gui Tiong, ayahku."
"Ah,
maafkan aku. Aku adalah Bu Kong Liang dan aku datang untuk bertemu dengan
susiok (Paman Guru) Gui Tiong." "Susiok..." Kalau begitu, engkau
ini...
murid Siauw-lim-pai?"
murid Siauw-lim-pai?"
"Benar,
Nona. Aku datang dari Siauw-lim-pai dan Suhu Thian Beng Hwesio yang memberitahu
agar aku menemui Susiok Gui T iong di s ini."
"Ah,
kalau begitu, kita masih seperguruan! Namaku Gui Siang Lin, Bu Suheng (Kakak Seperguruan
Bu). Mari kuantar menemui Ayah di dalam!"
"Terima
kasih, Sumoi (Adik
Seperguruan)!" kata Kong Liang dengan girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.
Seperguruan)!" kata Kong Liang dengan girang. Dia lalu mengikuti Siang Lin memasuki rumah dan melewati para murid yang masih berlatih silat di halaman depan rumah itu.
"Kalian
boleh istirahat dulu, nanti latihannya kita lanjutkan lagi," kata Siang
Lin kepada belasan orang yang belajar ilmu silat itu. Para murid itu berhenti lalu
mengaso di bawah pohon yang tumbuh di tepi halaman. Dua orang dari mereka
berbisik-bisik membicarakan tamu yang baru datang.
"Kau
dengar tadi" Pemuda itu murid Siauw-lim-pai, murid keponakan Suhu Gui
Tiong. Hemm, mencurigakan sekali. Mau apa Siauw-lim-pai menghubungi Suhu Gui
Tiong?" kata seorang dari mereka yang usianya sekitar empat puluh tahun dan
bertubuh kurus kering seperti orang berpenyakitan.
"Hemm,
perlu kita laporkan. Pergilah, aku akan memberitahu Nona Gui bahwa engkau
merasa sakit perut dan pamit pulang lebih dulu," bisik orang ke dua yang
bertubuh gemuk dan usianya sekitar tiga puluh tahun. Si Kurus Kering mengangguk,
lalu bangkit berdiri, menekan perut dan menyeringai, dipapah keluar oleh Si
Gendut yang berkata kepada para murid lain bahwa Si Kurus itu sakit perut dan
hendak pulang lebih dulu.
Sementara
itu, Kong Liang bersama Siang Lin memasuki ruangan samping rumah itu dan Gui T
iong yang sedang duduk di situ, memandang heran melihat puterinya masuk bersama
seorang pemuda.
"Ayah,
ini adalah Suheng Bu Kong Liang, murid Supek (Uwa Guru) Thian Beng Hwesio datang
hendak bertemu Ayah," kata Siang Lin. Kong Liang segera merangkap kedua
tangan dan memberi hormat kepada laki-laki setengah tua itu.
Mendengar
ucapan puterinya, Gui T iong cepat bangkit dan membalas penghormatan Kong
Liang. "Ah, kiranya murid Suheng Thian Beng Hwesio" Kalau begitu,
engkau datang dari Siauw-lim-si (Kui Siauw-lim)?"
"Benar,
Susiok. Suhu mengirim salam untuk Susiok."
"Ah,
duduklah, Kong Liang! Gembira sekali aku mendapat kunjungan seorang keponakan murid yang datang dari Siauw- lim-si! Siang
Lin, cepat ambilkan minuman untuk suhengmu!"
"Tidak
perlu repot, Sumoi!"
"Ah,
minuman tinggal ambil saja, Suheng!" kata Siang Lin dan segera gadis ini
keluar dari ruangan dan tak lama kembali lagi membawa minuman air teh.
"Suheng,
silakan duduk dan bicara dengan Ayah. Aku harus mengurus latihan para murid tadi."
Setelah berkata demikian Siang Lin keluar lagi.
"Nah,
Kong Liang, coba ceritakan bagaimana keadaan Siauw-lim-pai sekarang. Sudah
belasan tahun aku tidak pernah mendengar beritanya semenjak aku meninggalkan
Kuil Siauw-lim."
Dengan
singkat Kong Liang menceritakan tentang kuil Siauw-lim, dan memberitahu bahwa
kini yang bertugas melatih para murid tingkat akhir adalah gurunya, yaitu Thian
Beng Hwesio. Gui Tiong mengangguk-angguk. "Sudah kuduga, memang Suheng
Thian Beng itu memiliki bakat yang jauh melampaui aku dan tentu dia telah memperoleh
kemajuan pesat karena dia begitu tekun berlatih memperdalam ilmunya."
"Setelah
saya tamat belajar, Suhu dan para pimpinan Siauw-lim-pai mengutus saya untuk
pergi merantau sampai ke kota raja untuk melihat bagaimana keadaan rakyat
setelah pemerintah dikuasai oleh bangsa Mancu. Suhu memesan agar kalau sampai
di kota raja saya mencari Susiok dan minta keterangan kepada Susiok tentang
keadaan di kota raja."
Gui Tiong
memberitahukan bahwa keadaan di kota raja baik saja dan bahwa pemerintah Kerajaan
Ceng (Mancu) menyesuaikan diri dengan kebudayaan bangsa pribumi Han, sehingga
banyak orang Han diangkat menjadi pejabat pemerintah. Juga bahwa pemerintah
Mancu bersikap baik terhadap perkumpulan-perkumpulan.
Kerajaan
Ceng hanya bersikap keras dan tegas terhadap mereka yang menunjukkan sikap
memberontak.
"Karena
itu, sikap yang diambil Siauw-lim-pai agar tidak memancing permusuhan dan tidak
melawan pemerintah Ceng, cukup bijaksana. Buktinya, biarpun semua orang
mengetahui bahwa aku adalah murid Siauw-lim-pai, namun aku tidak pernah
diganggu, bahkan boleh membuka perguruan silat dan yang datang belajar silat
bahkan banyak kaum bangsawan
dan
hartawan."
"Suhu
juga memesan begitu, Susiok. Para murid Siauw-lim- pai diharuskan menjaga diri
agar jangan menentang pemerintah, melainkan bersikap sebagai pendekar yang menentang
kejahatan dan membela yang benar.
Kalau ada yang
ingin menentang Pemerintah Mancu, dipersilakan pergi ke Secuan dan membantu
pemerintah Raja Muda Wu Sam Kwi. Akan tetapi, biarpun saya tidak pernah
menentang, tanpa sebab saya dihadang dan dikeroyok seregu prajurit Mancu.Beruntung
saya dapat meloloskan diri, Susiok."
"Ah,
mengapa tanpa sebab engkau dihadang dan dikeroyok pasukan kerajaan?" Gui T
iong bertanya heran dan khawatir.
"Mereka
hanya mengatakan bahwa aku murid Siauw-lim- pai dan menjadi pemberontak."
"Hemm,
aneh sekali ini. Padahal, mereka tahu aku murid Siauw-lim-pai, akan tetapi aku
tidak pernah diganggu."
Mereka lalu
bercakap-cakap dengan asyik. Sementara itu Gui Siang Ling yang keluar lalu
menemui para murid yang sedang berlatih. Mereka tampak sudah kelelahan karena memang
sudah sejak pagi sekali mereka berlatih.
Karena ia ingin
sekali ikut bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang, Siang Lin lalu menghentikan
latihan itu dan menyuruh para murid pulang. Akan tetapi, seorang murid, pribumi
Han dan usianya sekitar tiga puluh tahun, sengaja membiarkan dirinya tertinggal
dan setelah tidak ada murid lain, dia menghampiri Siang Lin dan berkata dengan
suara berbisik.
"Siocia
(Nona), aku tadi mendengar Ma Kui bicara dengan Lui Hok tentang Suheng Nona
tadi dan Ma Kiu meninggalkan tempat latihan dengan alasan sakit perut,
sebetulnya dia hendak melaporkan kedatangannya, dan agaknya mereka berdua
mencurigai Suheng Nona."
Tentu saja
Siang Lin menjadi terkejut bukan main. "Ma Kiu"
Orang
setengah tua yang mengaku sebagai pembantu kantor Jaksa Ji, yang tubuhnya kurus
kering itu?"
"Benar,
Siocia."
"Dia
hendak melaporkan tentang apa"
Suhengku tidak melakukan suatu pelanggaran, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?"
Suhengku tidak melakukan suatu pelanggaran, dan kepada siapa dia hendak melaporkan?"
"Mereka
tidak mengatakan kepada siapa, Siocia. Saya hanya ingin memberi-tahu agar Gui
Kauwsu (Guru Silat Gui) dan Nona mengetahui dan berhati-hati."
"Terima
kasih, dan sekarang pulanglah."
Setelah
murid itu keluar, Siang Lin lalu menutupkan pintu gerbang di depan halaman,
memanggil seorang pelayan laki- laki setengah tua yang membersihkan halaman
bekas tempat latihan itu dan memesan agar menjaga di situ dan melaporkan kalau
ada yang datang bertamu. Setelah itu, Siang Lin bergegas memasuki rumah dan
langsung menemui ayahnya yang sedang bercakap-cakap dengan Bu Kong Liang.
"Ayah,
ada sesuatu yang mencurigakan dan agaknya gawat terjadi di luar," katanya
melaporkan. "Menurut seorang murid, Ma Kui mencurigai Bu Suheng dan akan
me laporkan kepada atasannya yang tidak diketahui entah siapa."
Gui Tiong
mengerutkan alisnya. "Ma Kiu" Pekerja di kantor Jaksa Ji itu"
Hemm, sejak dia menjadi murid di sini, setahun yang lalu, aku sudah mencurigainya.
Aku yakin dia itu hanya pura-pura saja belajar silat.
Dari sinar
matanya aku dapat menduga bahwa dia adalah seorang ahli silat yang memiliki tenaga
dalam cukup kuat. Tentu dia menjadi murid di sini untuk memata-matai, akan
tetapi karena perguruan ini memang tidak mempunyai niat menentang pemerintah,
aku juga diam dan tenang saja."
"Ah,
kalau begitu kedatangan saya ini hanya menimbulkan masalah dan kesulitan bagi
Susiok!" kata Bu Kong Liang dengan suara menyesal. "Lebih baik saya
pergi secepatnya agar jangan mendatangkan kesulitan bagi Susiok."
"Tidak,
Kong Liang. Jangan khawatir, para pejabat tidak akan mengganggu kita. Aku
mengenal banyak pejabat dan selama belasan tahun ini mereka tentu yakin bahwa
aku sama sekali tidak pernah menentang pemerintah. Biar saja kita dicurigai dan
kita pura-pura tidak tahu saja. Kalau engkau pergi dari sini lalu mereka datang
bertanya, tentu kecurigaan mereka bertambah melihat engkau telah pergi tanpa
aku dapat memberitahu ke mana pergimu. Tenang sajalah, kita hadapi
bersama."
"Benar,
Suheng. Kalau kita tidak bersalah apa pun, untuk apa melarikan diri seperti
orang yang bersalah?"
"Susiok
dan Sumoi memang benar, akan tetapi hendaknya Susiok ingat bahwa seperti yang
saya ceritakan tadi, saya pernah dihadang dan dikeroyok oleh seregu prajurit
yang dipimpin oleh Hui-eng-to Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin karena
dituduh sebagai pemberontak.
Pada waktu itu
muncul Ang-mo Niocu, seorang penyelidik utusan Raja Muda Wu Sam Kwi di Secuan
dan ia telah membunuh enam orang prajurit. Dengan adanya peristiwa itu, tentu
saya dianggap sebagai pemberontak dan kalau saya tidak meninggalkan rumah ini,
Susiok dan Sumoi pasti akan
terbawa-bawa."
"Hal
itu juga dapat kita jelaskan. Engkau tanpa sebab dihadang dan diserang, tentu
saja engkau berhak membela diri. Kalau di antara para pengeroyok itu ada yang
tewas, itu pun bukan kesalahanmu, apalagi seperti kauceritakan tadi, yang
membunuh adalah Ang-mo Niocu, bukan engkau.
Tenanglah,
di kota raja ini banyak pejabat yang adil, aku pasti akan membelamu."
"Hui-eng-to
Phang Houw dan Liong-bu-pangcu Louw Cin, seperti pernah aku mendengar nama itu,
Ayah!"
"Tentu
saja. Mereka cukup terkenal di sini. Mereka adalah dua orang di antara para
jagoan yang menjadi anak buah Pangeran Leng Kok Cun." Kong Liang mengangguk.
"Saya pun sudah mendengar keterangan itu dari seorang pendekar wanita
bernama Thian Hwa yang pernah bentrok dengan mereka."
"Wah,
Bu Suheng mempunyai banyak teman pendekar wanita, ya" Tadi Ang-mo Niocu,
sekarang Thian Hwa! Tentu mereka itu lihai dan cantik!"
Wajah Kong
Liang berubah merah. "Bukan teman, hanya kebetulan bertemu dan berkenalan
saja, Sumoi."
"Sudahlah,
Kong Liang. Menurut aku sebaiknya engkau diam saja di sini. Kalau engkau pergi
malah mungkin akan menyusahkan kami. Kalau ada petugas pemerintah datang, kita
hadapi berdua, akan tetapi kuperingatkan lebih dulu, jangan sekali-kali
menggunakan kekerasan untuk me lawan.
Hal itu
bahkan akan memperuncing keadaan dan menambah kecurigaan mereka."
Akhirnya
Kong Liang terpaksa menyetujui walaupun dia merasa tidak enak kepada paman
gurunya. Dia tidak menceritakan betapa dia dan Thian Hwa juga menghajar seorang
jaksa berikut para prajurit pengawalnya. Dia merasa serba salah. Kalau dia pergi,
akibatnya Gui Tiong dan Gui Siang Lin dicurigai dan ditekan pemerintah, hal itu
akan tampak bahwa dia seorang pengecut yang tidak bertanggung jawab!
Akan tetapi
kalau dia tinggal di situ, susiok dan sumoinya itu akan terseret atau terlibat
urusannya dengan pasukan kerajaan! Di antara dua pilihan itu, dia memilih yang pertama.
Dia akan tinggal di situ dan menghadapi segala
kemungkinan bersama Gui Tiong agar kalau sampai ada bahaya mengancam paman
gurunya, dia dapat membantu.
Apa yang
mereka khawatirkan itu ternyata terjadi pada siang hari itu juga. Seorang
perwira dengan dua losin orang prajurit keamanan datang membawa surat perintah
Jaksa Ji untuk memanggil Gui Tiong dan pemuda yang menjadi
tamunya
menghadap.
"Harap
Gui Kauwsu dan tamunya suka ikut dengan baik dan tidak melakukan perlawanan
agar kami tidak perlu menggunakan kekerasan," kata perwira itu yang sudah mengenal
Gui T iong.
Bu Kong
Liang mengerutkan alisnya, akan tetapi Gui Tiong memberi isyarat dengan pandang
matanya agar pemuda itu tidak mengeluarkan bantahan.
"Aih,
Ciangkun (Perwira), mengapa harus melawan" Kami tidak merasa bersalah,
maka tentu saja kami akan menaati panggilan Ji Thaijin." Ketika Gui Siang Lin
keluar, ayahnya berkata kepadanya.
"Siang Lin, engkau menjaga rumah dan sebaiknya liburkan dulu para murid.
"Siang Lin, engkau menjaga rumah dan sebaiknya liburkan dulu para murid.
Aku dan Kong Liang hendak pergi ke kantor Jaksa
Ji memenuhi
panggilannya."
"Kenapa
Ayah dipanggil Jaksa Ji?" Siang Lin bertanya.
"Ah,
mungkin ada urusan yang hendak beliau tanyakan.
Jangan
khawatir, Siang Lin. Jaksa Ji orangnya baik, pasti tidak ada apa-apa."
"Baiklah,
Ayah," kata gadis itu. Diam-diam Bu Kong Liang kagum kepada ayah dan anak ini.
Kalau mereka melakukan perlawanan tentu Siang Lin juga akan ditangkap. Akan
tetapi karena Gui Tiong bersikap lunak, maka pasukan itu pun tidak bertindak
kasar sehingga mereka berdua kini hanya dikawal saja tanpa dibelenggu menuju ke
kantor Jaksa Ji.
Setelah tiba
di kantor itu, Jaksa Ji sudah menunggu dengan mengenakan pakaian kebesarannya.
Dengan sikap angkuh dia duduk di atas kursi dan belasan orang prajurit pengawal
berjaga di situ dengan senjata pedang di tangan.
Gui Tiong
dan Kong Liang dikawal masuk dan setelah tiba di ruangan itu dan berhadapan
dengan Jaksa Ji, Gui Tiong memberi hormat dengan mengangkat kedua tangan depan dada
sambil membungkuk, ditiru oleh Kong Liang.
Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak.
Akan tetapi perwira pengawal di belakang mereka membentak.
"Hayo
kalian berdua berlutut memberi hormat kepada Ji Thaijin!" Mendengar
bentakan ini, Gui Tiong segera berlutut, dan biarpun hatinya mengkal, terpaksa
Kong Liang juga berlutut.
Gui Tiong
maklum bahwa dia diperlakukan sebagai seorang terdakwa, maka diharuskan
berlutut. Padahal biasanya dia bersikap biasa saja terhadap jaksa yang sudah
dikenalnya ini.
"Ji
Thaijin, saya Gui Tiong dan ini keponakan murid saya bernama Bu Kong Liang,
memberi hormat memenuhi panggilan Thaijin," kata Gui Tiong sambil
berlutut.
"Gui
Tiong!" kata Jaksa Ji dengan suara keren. "Sudah tahukah engkau akan
dosamu?"
"Ji
Thaijin, sesungguhnya saya masih merasa heran dan tidak tahu mengapa Thaijin
memanggil kami, maka mohon Thaijin jelaskan apakah maksud Thaijin mengatakan
bahwa saya berdosa" Dosa apakah yang telah saya lakukan?"
"Hemm,
kura-kura dalam perahu, pura-pura tidak tahu!" Jaksa Ji mengejek.
"Kami mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak.
Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan dalam penjara!"
"Kami mendapatkan kabar dari Pangeran Lu bahwa pemuda ini adalah murid Siauw-lim-pai yang memberontak.
Karena dia berada di rumahmu, berarti engkau menyembunyikan seorang pemberontak! Oleh karena itu, sambil menanti keputusan pengadilan, kalian harus ditahan dalam penjara!"
"Maaf,
T haijin, saya memprotes! Saya murid Siauw-lim-pai dan tidak pernah memberontak.
Andaikata saya yang dituduh memberontak mengapa Susiok Gui Tiong ikut
ditahan" Dia dan puterinya sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan saya.
Bahkan baru pagi tadi saya mengunjungi paman guru saya ini.
Maka, mohon
Thaijin membebaskan Susiok Gui Tiong!" kata Bu Kong Liang dengan lantang.
"Ssstt,
Kong Liang, jangan berkata begitu. Aku yakin penangkapan ini hanya akibat
fitnah. Biarlah di pengadilan nanti kita bicara membela diri kita yang tidak
bersalah."
"Diam
kalian!" bentak jaksa itu memandang kepada para prajurit pengawal.
"Masukkan mereka dalam penjara!"
Andaikata
Kong Liang seorang diri dan tidak melibatkan paman gurunya, tentu dia tidak
sudi ditawan, mengamuk dan meloloskan diri. Akan tetapi dia maklum bahwa kalau
dia berbuat demikian, dia malah membahayakan keselamatan guru dan adik
seperguruannya. T entu saja dia tidak mau hal ini terjadi dan dia pun menurut
saja ketika dia dan Gui Tiong digiring belasan orang prajurit ke rumah penjara
di mana mereka berdua dimasukkan sebuah kamar tahanan yang kokoh dan berterali
besi amat kuatnya. Rumah tahanan itu dijaga banyak prajurit, bahkan di luar sel
mereka tampak lima orang prajurit duduk berjaga.
Mereka tadi
datang menghadap Jaksa Ji tanpa membawa senjata. Gui Tiong yang melarang
keponakan muridnya membawa senjata. Guru silat ini mengetahui bahwa pada masa
itu, sudah dikeluarkan pengumuman bahwa rakyat yang bukan petugas pemerintah,
dilarang membawa senjata.
Setelah
mereka berdua dimasukkan dalam sel, mereka duduk bersila di atas lantai batu
yang keras dan dingin.
"Susiok,
ini tidak adil!" Kong Liang berkata lirih penuh penyesalan. "Kalau
saya yang dituduh sebagai pemberontak, mengapa Susiok ikut ditahan" Maka,
dalam persidangan pengadilan, harap Susiok jangan membela saya.
Katakan saja
terus terang bahwa saya datang berkunjung sebagai sesama murid Siauw-lim-pai,
dan Susiok tidak tahu menahu tentang semua perbuatan saya.
Kalau hanya saya yang dihukum, saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri.
Kalau hanya saya yang dihukum, saya akan mudah berusaha untuk meloloskan diri.
Sebaliknya Susiok
tidak mungkin me lakukan perlawanan karena itu akan membahayakan diri Sumoi
Siang Lin."
Gui Tiong
tersenyum, sikapnya tenang.
"Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tidak berniat buruk. Seperti katanya, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Kita akan bersikap dan bertindak bagaimana, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau.
"Jangan khawatir, Kong Liang. Aku percaya bahwa Jaksa Ji tidak berniat buruk. Seperti katanya, dia hanya memenuhi perintah Pangeran Lu. Kita akan bersikap dan bertindak bagaimana, kita tunggu saja sampai nanti di pengadilan. Jangan risau.
Dalam
keadaan begini kita harus tetap tenang dan mengumpulkan tenaga
untuk
menghadapi segala kemungkinan."
Sore
harinya, seorang penjaga mengantar makan dan minum untuk mereka, dimasukkan di
sela-sela terali. Prajurit itu yang mengenal Gui Tiong berkata ramah.
"Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beritahu saja kepada kami."
"Gui Kauwsu, kalau membutuhkan sesuatu, beritahu saja kepada kami."
"Terima
kasih," kata Gui Tiong. Mereka lalu makan minum dan makanan yang diberikan
ternyata cukup baik. Gui Tiong memberitahu Kong Liang bahwa makanan yang mereka
terima itu saja sudah membedakan mereka dengan tahanan biasa.
Agaknya
mereka diperlakukan dengan baik dan kenyataan ini menunjukkan bahwa pembesar
yang menyuruh menangkap mereka tentu mempunyai maksud lain.
Malam itu,
para penjaga penjara tampak sibuk. Bahkan prajurit yang berjaga di depan sel
yang ditempati Gui Tiong dan Bu Kong Liang, kini dijaga belasan orang prajurit
yang sudah siap dengan senjata di tangan.
Akan tetapi
mereka berdiri tegap dengan sikap hormat, tidak mengeluarkan suara. Gui Tiong
dan Kong Liang memandang kesibukan itu dari belakang terali. Tak lama kemudian
tampak seorang kakek berusia sekitar enam puluh tiga tahun, tubuhnya bongkok
dan mukanya buruk.
Akan tetapi orang tua yang tampak ringkih (lemah)
ini berpakaian mewah sekali dan tangan kirinya memegang sebuah tongkat hitam, tangan
kanan memegang sebuah kipas dan di ikat pinggangnya terselip tujuh buah belati
sehingga dia tampak aneh dan lucu sekali tidak tampak garang menakutkan. Akan
tetapi kalau orang mendengar namanya, dia tentu akan terkejut dan juga takut.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment