Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 07
MEREKA
adalah Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui. Melihat pemuda yang cengar-cengir dengan
senyum yang seperti menertawakan itu, Kim Hui sudah naik darah. Ia cemberut dan
alisnya berkerut, sinar matanya berkilat.
Tadi ia sempat melihat pemuda yang cengar-cengir
itu bersilat dengan kipas, gayanya seperti seorang badut menari.
"Hei,
kamu tukang kebun, ya?" tegurnya.
Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. "Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini."
Han Bu tidak marah melihat orang demikian galak dan memandang rendah. "Benar, Nona yang cantik manis. Aku tukang kebun di sini."
"Heh,
lancang mulut kamu! Berani menyebut aku Nona yang cantik manis! Kamu hendak
kurang ajar, ya?" bentak Kim Hui, sedangkan Yan Bun hanya melihat saja
karena dia merasa betapa Kim Hui terlalu kasar bertanya. Selama melakukan
perjalanan bersama Kim Hui, Yan Bun dapat mengenal watak gadis itu. Gagah
berani dan terbuka, juga memiliki perasaan adil dan menentang yang jahat, akan
tetapi galaknya bukan main!
Si Han Bu
membelalakkan matanya dan mulutnya terbuka, lalu bibirnya dimonyongkan
meruncing.
"Maafkanlah
aku, Nona yang jelek dan pahit," katanya sambil membungkuk dengan sikap
hormat. Sikap dan ucapan Han Bu ini bagaikan minyak disiramkan kepada api.
Mukanya menjadi merah, matanya berapi, kedua tangannya dikepal lalu ia menudingkan
telunjuk kirinya ke arah muka pemuda itu.
"Monyet
kurang ajar! Pantas bukit ini disebut Bukit Kera, tentu karena monyet busuk
seperti kamu berada di sini! Keparat busuk kamu, berani mengatakan aku jelek
dan pahit!" Kim Hui membanting kakinya lalu mencabut pedangnya.
"Eiitt,
tenang dulu, Nona. Engkau ini bagaimana sih" Aku jadi bingung. Tadi kusebut
Nona yang cantik dan manis, engkau marah. Lalu aku mengubah sebutan menjadi
Nona yang jelek dan pahit, engkau malah semakin marah. Lalu aku harus
menyebutmu bagaimana?"
"Cerewet!
Engkau memang kurang ajar, pantas dihajar. Biar kurobek mulutmu yang lancang
itu!" Gadis itu menerjang dan menyerang Han Bu dengan pedangnya. Pedang
meluncur ke arah mulut pemuda itu.
"Kim
Hui, jangan...!" Yan Bun berteriak mencegah, akan tetapi serangan sudah
dilakukan.
"Tranggg...!"
Cepat sekali Han Bu sudah mencabut pedang dan menangkis serangan itu. Keduanya
melangkah mundur karena pertemuan dua batang pedang itu terasa menggetarkan
tangan mereka. Kim Hui memandang kepada pemuda di depannya itu dengan marah. Han
Bu berdiri dengan pedang di tangan kanan dan tangan kirinya masih memegang kipasnya
yang kini dia pergunakan untuk mengipasi tubuhnya.
Dia
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Aduh-aduh, baru kali ini aku
bertemu orang segalak ini! Datang-datang mengamuk seperti kerbau kehilangan
tanduk...."
"Engkau
yang anjing! Engkau yang kerbau, babi, monyet, kadal busuk!" Kim Hui memaki-maki
marah. "Kau maki aku kerbau, ya" Mampuslah!" Kim Hui menyerang
dengan marah, kini menyerang untuk membunuh.
"Kim
Hui, jangan...!" Yan Bun kembali berseru. Akan tetapi dalam keadaan marah
seperti itu, K im Hui tidak mempedulikan siapapun juga. Ia menyerang dengan mengerahkan
tenaga dan menggunakan jurus-jurus terampuhnya. Akan tetapi, ia semakin
penasaran karena ternyata Han Bu dapat mengelak atau menangkis semua serangannya!
Akan tetapi diam-diam Han Bu terkejut bukan main
karena gadis yang galak dan dianggapnya sombong itu ternyata bukan lawan yang
ringan! Dia harus berhati-hati dan menggunakan pedang dan kipasnya untuk
membela diri!
Bahkan dia
harus balas menyerang karena kalau dia terus membela diri saja, akhirnya dia
pasti akan terluka. Gadis itu memiliki tingkat kepandaian yang tidak berada di
bawah tingkatnya sendiri!
Perkelahian
itu seru sekali dan Yan Bun sudah menjadi bingung. Sukarlah untuk melarang
seorang gadis seperti Kim Hui yang keras hati dan kalau dia turun tangan
melerai, dia khawatir kalau-kalau pemuda yang suka bergurau dan nakal itu akan
salah sangka dan mengira dia mengeroyoknya. Maka dia hanya dapat berseru
berulang kali.
"Kim
Hui, berhentilah! Berhentilah kalian berkelahi!" Akan tetapi karena Kim Hui
yang merasa penasaran terus saja menyerang, terpaksa Han Bu membela diri
sehingga perkelahian itu tidak dapat dihentikan. Tiba-tiba tampak bayangan
putih berkelebat.
"Tarrr-tarrr...!"
Segulung sinar putih menyambar. Kim Hui berseru kaget dan pedangnya hampir
terlepas dari tangannya ketika bertemu sinar putih. Ia melompat ke belakang dan
Han Bu segera menyimpan kedua senjatanya dan memberi hormat kepada Im-yang
Sian-kouw yang sudah berdiri di antara dua orang yang tadi berkelahi.
"Subo,
teecu terpaksa membela diri dan tidak dapat berhenti karena ia yang amat galak
itu terus mendesak teecu dan tidak mau berhenti menyerang."
"Tentu
saja aku menyerangmu, engkau laki-laki kurang ajar! Engkau memaki aku
kerbau!" teriak Kim Hui. Ia memandang kepada wanita berpakaian serba putih
yang kini memandangnya. Wanita itu tadi telah me lerai perkelahian menggunakan
sehelai pita putih dan ia merasa terkejut sekali betapa pita sutera putih itu demikian
kuatnya sehingga hampir saja pedangnya terlepas ketika terbentur pita yang
berubah menjadi sinar putih. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan seorang
wanita yang memiliki tingkat kepandaian tinggi sekali.
Ui Yan Bun
juga maklum bahwa ia berhadapan dengan seorang yang amat lihai, dan diam-diam
ia merasa heran sekali. Mengapa dia merasa seolah pernah bertemu dengan wanita
ini"
Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tidak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya.
Bahkan dia merasa seolah dia telah mengenalnya dengan baik. Akan tetapi dia tidak ingat lagi di mana dan kapan pernah bertemu dengannya.
Cepat dia memberi hormat kepada wanita itu.
"Locianpwe,
saya mohon maaf atas kelancangan kami berdua, telah mengganggu ketenangan di
sini." Im-yang Sian-kouw memutar tubuh menghadapi pemuda itu dan ia
tersenyum. Begitu wanita itu tersenyum, jantung Yan Bun berdebar aneh.
Dia merasa
yakin pernah bertemu dengan wanita ini, akan tetapi tetap saja dia tidak ingat
di mana dan kapan.
"Baik,
orang muda. Aku yakin bahwa kalian berdua bukanlah orang-orang sesat yang
hendak membuat kacau di tempat ini. Apa yang terjadi dengan muridku tadi tentu
hanya merupakan kesalah-pahaman belaka.
Maklumlah,
muridku Si Han Bu ini memang nakal dan suka bergurau! Nona muda, kaumaafkan
muridku," katanya sambil menoleh kepada Kim Hui. Wan Kim Hui memang seorang
gadis yang liar dan galak, namun ia memiliki keadilan dan kalau berhadapan
dengan orang yang lembut dan ramah, kekerasan hatinya mencair seperti salju
dibakar.
"Bibi
yang baik, aku juga minta maaf, akan tetapi harap engkau suka mengajar muridmu
itu agar dia bersikap sopan kepada seorang gadis." Mendengar suara gadis itu
kini lembut dan sama sekali tidak tampak marah atau mendongkol, Si Han Bu
tersenyum.
"Aku
yang bersalah, Nona yang... baik dan lihai sekali, maafkan aku." Kim Hui
tersenyum dan semua orang tersenyum. Im-yang Sian-kouw kini berkata kepada Yan
Bun. "Orang muda, siapakah kalian dan apa maksud kalian datang berkunjung
ke rumah kami?"
"Locianpwe,
saya bernama Ui Yan Bun dan Nona ini bernama Wan Kim Hui. Kami datang dari
Lam-hu dan sebetulnya jauh-jauh kami berkunjung ke Beng-san ini adalah untuk
menghadap Locianpwe Bu Beng Kiam-sian."
"Aih,
sungguh sayang, kedatangan kalian berdua sia-sia karena Suhu Bu Beng Kiam-sian
sudah wafat sekitar setahun yang lalu," kata Im-yang Sian-kouw dengan
suara menyesal karena ia merasa kasihan kepada dua orang muda yang datang dari
jauh dengan sia-sia itu.
"Aduh,
celaka... Yan Bun...!" T iba-tiba Kim Hui berseru dan ia pun menangis.
Hampir saja
Si Han Bu berseru saking herannya, akan tetapi ditahan ketika ingat betapa
galaknya gadis itu. Yang membuat dia bengong terheran-heran adalah melihat
gadis yang demikian galaknya kini dapat menangis tersedu-sedu!
"Ui Y
an Bun, apakah yang terjadi" Mengapa kalian mencari mendiang Suhu Bu Beng
Kiam-sian dan mengapa pula Kim Hui ini menangis sedih ketika mendengar beliau
telah tiada?"
"Locianpwe,
kami berdua dari Lam-hu berkunjung ke sini untuk menghadap Locianpwe Bu Beng
Kiam-sian dan mohon pertolongan beliau untuk menyelamatkan nyawa ibu dari Adik Wan
Kim Hui ini. Akan tetapi, beliau ternyata telah wafat, maka habislah harapan kami
untuk mendapatkan obat itu...," kata Yan Bun dengan nada sedih.
"Ah,
mengapa putus harapan" Nona Wan Kim Hui, hentikan tangismu. Biarpun Kakek
Guru Bu Beng Kiam-sian telah wafat setahun yang lalu, akan tetapi masih ada
yang dapat mengobati ibumu!" kata Si Han Bu dengan suara lantang
mengandung hiburan.
Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru.
Mendengar ini, seketika Kim Hui menghentikan tangisnya dan Yan Bun juga memandang pemuda yang riang itu dengan penuh harapan baru.
"Benarkah"
Engkau dapat mengobati ibuku?" Kim Hui bertanya dan ia melangkah maju
menghadapi pemuda itu. Si Han Bu tersenyum. "Tenanglah,
Nona dan jangan khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, akan tetapi Subo Im-yang Sian-kouw adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Su-kong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu."
Nona dan jangan khawatir. Bukan aku yang dapat mengobati ibumu, akan tetapi Subo Im-yang Sian-kouw adalah murid mendiang Sukong Bu Beng Kiam-sian dan Subo telah mewarisi semua kepandaian mendiang Su-kong. Beliau ini yang akan mampu menyembuhkan ibumu."
"Si Han
Bu! Engkau sudah lupa akan pesanku agar engkau tidak menyombongkan diri?"
tegur Im-yang Sian-kouw kepada muridnya. Han Bu tersenyum dan memberi hormat
kepada gurunya.
"Maaf,
Subo, akan tetapi teecu bukan menyombongkan diri, hanya membanggakan Subo. Apa
itu tidak boleh?" Sulitlah untuk marah kepada seorang seperti Han Bu. Im- yang
Sian-kouw tersenyum lalu berkata kepada Yan Bun dan Kim Hui. "Kalian
hendak bertemu dengan mendiang guruku, biarlah aku mewakilinya.
Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam pondok."
Setelah berkata demikian Im-yang Sian-kouw memasuki pondoknya. Ketika Yan Bun
dan Kim Hui tampak ragu-ragu, Han Bu memberi isyarat agar mereka berdua ikut
masuk.
Dia mengiringkan dari belakang.
Dia mengiringkan dari belakang.
Setelah
berada di dalam pondok, mereka berempat duduk mengelilingi meja dan Sun-ma,
pelayan tua itu, menghidangkan air teh.
"Nah,
sekarang ceritakanlah apa yang telah terjadi dengan ibumu, Wan Kim Hui,"
kata wanita cantik berpakaian pendeta itu kepada Kim Hui.
Kim Hui
memandang kepada Y an Bun lalu kepada nyonya rumah dan berkata,
"Bibi, biarlah Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dia yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku."
"Bibi, biarlah Ui Yan Bun yang menceritakannya karena dia yang bertugas mencari obat. Aku hanya menemaninya saja. Yan Bun, ceritakanlah kepada Bibi Im-yang Sian-kouw seperti yang pernah kuceritakan kepadamu tentang keluargaku."
Yan Bun
memang sudah mendengar dari gadis itu tentang semua peristiwa yang menimpa
keluarga Wan Cun.
Maka dia lalu menceritakan kepada Im-yang
Sian-kouw apa yang terjadi di daerah Se-cuan, yang menimpa keluarga Wan
sehingga Nyonya Wan Cun mengalami luka dalam yang parah dan mereka bertiga
terpaksa melarikan diri dari daerah yang dikuasai pemerintahan Raja Muda Wu Sam
Kwi. Im-yang Sian-kouw dan Si Han Bu mendengarkan dengan penuh perhatian sampai
Yan Bun mengakhiri ceritanya.
Setelah
pemuda itu selesai bercerita, Im-yang Sian-kouw memandang kepada Kim Hui dan
bertanya.
"Kim
Hui, ayahmu bernama Wan Cun. Bukankah dia yang berjuluk Lam-ong?"
"Benar,
Bibi. Ibuku terluka oleh pukulan Hek-tok-ciang dari Lam-hai Cin-jin, harap
engkau suka memberi obat untuk menyembuhkannya."
Im-yang
Sian-kouw mengangguk-angguk. "Aku pernah mendengar nama Lam-ong dan juga
Lam-hai Cin-jin.
Kabarnya
Lam-hai Cin-jin menjadi Koksu (Guru Negara) dari Raja Muda Wu Sam Kwi. Hemm,
keluargamu dimusuhi karena engkau memukul putera Raja Muda Wu Sam Kwi?"
"Pemuda
itu kurang ajar, hendak memaksa aku menerima lamarannya, Bibi. Kalau aku tahu
akan berekor panjang sehingga ibuku terluka, tentu bukan hanya kuhajar pemuda she
Wan itu, melainkan sudah kubunuh dia!" Im-yang Sian-kouw menghela napas
panjang.
"Dan engkau, Yan Bun, mengapa engkau yang
mencarikan obat untuk Nyonya Wan" Ada hubungan apakah antara engkau dan keluarga
Wan?" Wanita itu mengerling ke arah Kim Hui karena muncul dugaan bahwa tentu
ada hubungan antara gadis cantik itu dengan pemuda she Ui ini.
Kim Hui
sudah mengerutkan alisnya, khawatir kalau-kalau Yan Bun akan menceritakan tentang
ia yang menculik Ui T iong untuk dipaksa mengobati ibunya. Yan Bun memandang kepadanya
dan mengerti akan kegelisahan hati K im Hui, maka dia tersenyum dan berkata
kepada Im-yang Sian-kouw.
"Begini,
Locianpwe. Saya tidak mempunyai hubungan dengan keluarga Wan, bahkan saya bukan
penduduk Lam-hu.
Ketika saya
mengunjungi Paman saya Ui Tiong di Lam-hu, Paman sedang mencoba untuk mengobati
Nyonya Wan. Akan tetapi luka beracun yang diderita Nyonya Wan itu amat parah dan
Paman Ui T iong tidak mampu menyembuhkannya. Paman saya mengatakan bahwa yang
dapat mengobati hanyalah Locianpwe Bu Beng Kiam-sian. Karena itu saya yang
pernah bertemu dengan Locianpwe Bu Beng Kiam-sian memberanikan diri untuk
membantu keluarga Wan."
"Ah,
engkau pernah bertemu dengan mendiang Suhu?" Im- yang Sian-kouw bertanya.
"Kenapa aku tidak pernah melihatmu?"
"Saya
pernah diajak Suhu Thian Bong Sianjin berkunjung ke sini, Locianpwe, ketika Locianpwe
Bu Beng Kiam-sian masih hidup. Ketika itu, sekitar lima tahun yang lalu, beliau
tinggal seorang diri di pondok ini."
"Lima
tahun yang lalu" Ah, ketika itu aku dan muridku Si Han Bu ini memang masih
tinggal di lereng bukit. Aku mengenal nama Thian Bong Sianjin. Jadi engkau
muridnya"
Baiklah, Yan
Bun dan Kim Hui, aku suka menolong Nyonya Wan. Keterangan Han Bu tadi memang
bukan membual, aku mewarisi ilmu pengobatan dari mendiang Suhu dan kebetulan sekali
aku menyimpan obat yang amat langka untuk menyembuhkan luka beracun berbahaya
seperti akibat pukulan Hek-tok-ciang itu.
" Wanita
itu lalu menghampiri almari kayu dan mengambil sebuah bungkusan, menyerahkan kepada
Yan Bun. "Ini adalah Jamur Salju Putih. Masak dengan air tiga mangkok,
biarkan mendidih dan tinggal satu mangkok, minumkan kepada si sakit. Kemudian
ampasnya boleh diulang, masak dengan dua mangkok air disisakan semangkok,
diulang pagi dan sore sampai tiga hari. Kalau Thian menghendaki, hawa beracun itu
pasti dapat terusir bersih!"Yan Bun dan Kim Hui merasa girang sekali.
Mereka mengucapkan
terima kasih dan pamit. Han Bu mengantarmereka sampai menuruni puncak dan tiba
di lereng paling bawah. Yan Bun menghentikan langkahnya dan berkata kepada Han
Bu.
"Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-
dalamnya kepada gurumu."
"Saudara Si Han Bu, kami kira cukuplah engkau mengantar kami. Banyak terima kasih atas kebaikanmu dan sampaikan terima kasih kami yang sedalam-
dalamnya kepada gurumu."
"Ah,
Yan Bun dan Kim Hui, setelah aku bertanding dengan Kim Hui kemudian kalian
bertemu dengan Subo dan diberi obat, bukankah kita bertiga telah menjadi
sahabat" Setelah menjadi sahabat, di antara kita tidak perlu ada sungkan- sungkanan
lagi, bukan?" Melihat wajah yang cerah dan ramah itu, Y an Bun tertawa.
"Ah,
tentu saja, Han Bu. Aku senang dan bangga menjadi sahabatmu!"
Han Bu
memandang kepada Kim Hui.
"Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui" Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku" Apakah engkau masih saja menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?"
"Lho, kenapa engkau cemberut, Kim Hui" Apakah engkau tidak suka menjadi sahabatku" Apakah engkau masih saja menganggap aku seorang pemuda kurang ajar?"
"Selama
engkau menganggap aku galak, aku akan menganggap engkau kurang ajar,"
jawab Kim Hui tanpa senyum. "Aih, K im Hui, engkau masih belum dapat
memaafkan aku" Sekarang aku tidak menganggap engkau galak lagi.
Engkau manis....
budi, maksudku baik hati dan aku bangga sekali menjadi sahabatmu! Sekali lagi
maafkan aku dan jangan engkau benci padaku, Kim Hui."
"Siapa
yang benci" Aku tidak benci padamu!" kata Kim Hui, kini tidak lagi
cemberut. "Bagus! Kalau begitu engkau sayang padaku?"
"Apa"!
Sayang...?"
"Maksudku,
sayang sebagai sahabat. Kalau tidak benci berarti sayang, bukan" Wah,
jangan marah lagi, sobat."
Kim Hui
tersenyum. Memang harus ia akui bahwa sukarlah untuk marah kepada pemuda yang
riang ini. "Aku tidak benci, itu saja sudah cukup dan aku menganggap
engkau sahabatku.
Nah,
sekarang, selamat berpisah dan jangan ikuti kami lagi."
"Baiklah,
aku berhenti mengantar sampai di sini. Yan Bun, selamat berpisah dan selamat
jalan. Kim Hui, selamat jalan dan mudah-mudahan kita akan saling berjumpa lagi.
Jaga dirimu baik-baik, sahabatku tersayang." Han Bu melambaikan tangan
kepada mereka berdua yang melanjutkan perjalanan.
Yan Bun juga
melambaikan tangan dan Han Bu menanti-nanti, akan tetapi Kim Hui berjalan
terus, tidak menengok. Dia mengerutkan alisnya, benar-benarkah gadis itu sama
sekali tidak mempedulikannya"
Tiba-tiba,
sebelum mereka membelok, gadis itu membalikkan tubuhnya, tersenyum dan melambaikan
tangan sambil berseru. "Han Bu, sampai jumpa dan jaga dirimu
baik-baik!" Setelah mereka berdua menghilang di belokan, Han Bu meloncat-loncat
kegirangan.
"Ha-ha,
ia suka padaku! Suka padaku!"
Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera.Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam- hu.
Dia lalu berlari cepat mendaki Bukit Kera.Sementara itu, Ui Yan Bun dan Wan Kim Hui melakukan perjalanan secepatnya kembali ke Bukit Siluman di dekat Lam- hu.
Ketika mereka tiba di tempat tinggal keluarga
Wan, mereka melihat betapa penyakit yang diderita Nyonya Wan semakin parah.
Kebetulan sekali hari itu Ui Tiong juga datang menengok dan memeriksa si sakit.
Kedatangan dua orang muda itu disambut dengan
gembira dan muncul kembali harapan dalam hati Wan Cun. Kim Hui segera memasak obat
itu seperti yang dipesankan Im-yang Sian-kouw, kemudian setelah bersisa satu
mangkok dan agak dingin, obat itu diminumkan kepada ibunya.
Setelah minum
obat itu, benar saja wajah Nyonya Wan menjadi agak merah dan ia pun siuman dari
pingsannya. Setelah siuman, ia mengatakan bahwa dadanya tidak terasa terlalu
nyeri dan sesak lagi.
Semua orang bergembira dan setelah obat itu diminum
pagi sore sampai tiga hari, nyonya itu sembuh sama sekali.
Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun.
Tanda telapak tangan menghitam itu pun lenyap dan suami isteri itu mengucapkan terima kasih kepada Ui Yan Bun.
Setelah
Nyonya Wan sembuh, mulailah Yan Bun dilatih ilmu silat oleh Lam-ong Wan Cun dan
Yan Bun tinggal di Bukit Siluman sampai selama satu tahun.
Pangeran
Bouw Hun Ki adalah adik kaisar yang setia mendukung Kaisar Shun Chi. Dia
sendiri seorang sastrawan yang berwatak gagah berani menentang kelaliman
biarpun dia tidak pernah mempelajari ilmu silat tinggi. Akan tetapi dia mempunyai
seorang isteri yang amat lihai. Isterinya atau Bouw Hujin (Nyonya Bouw) dahulu
bernama Souw Lan Hui dan di dunia kang-ouw ia terkenal sebagai seorang pendekar
wanita yang berjuluk Sin-hong-cu (Burung Hong Sakti).
Memang agak
aneh kalau dua orang yang berlainan keahlian ini, yang laki-laki ahli sastra
yang wanita ahli s ilat, dapat saling jatuh cinta lalu menikah. Pangeran Bouw
Hun Ki kini berusia lima puluh empat tahun, masih tampan dan gagah dengan
rambut bercampur uban.
Isterinya,
Bouw Hujin, berusia sekitar lima puluh satu tahun, masih cantik dan tubuhnya
ramping padat dan biarpun gerak-gerik dan suaranya lembut seperti seorang
wanita bangsawan karena ia isteri seorang pangeran, namun sinar matanya
terkadang mencorong penuh wibawa dan kekuatan.
Suami isteri
ini mempunyai dua orang anak, yaitu yang pertama bernama Bouw Kun Liong, kini
berusia dua puluh empat tahun, wajahnya tampan mirip ayahnya dan pakaiannya
indah, sikapnya agak galak namun dia menghargai kejujuran dan kegagahan, yang
ke dua seorang gadis berusia sekitar delapan belas tahun bernama Bouw Hwi
Siang, cantik seperti ibunya. Dua orang anak ini juga menerima gemblengan ilmu
silat ibu mereka dan juga mempelajari sastra dari ayah mereka.
Karena
maklum bahwa di antara para pangeran banyak yang hendak memperebutkan tahta,
maka Kaisar Shun Chi merasa khawatir akan keselamatan putera mahkota, yaitu putera
dari permaisuri, Pangeran Kang Shi yang ketika itu baru berusia sekitar sebelas
tahun.
Karena dia percaya sepenuhnya kepada Pangeran
Bouw Hun Ki, terutama sekali karena dia maklum bahwa Panglima Bouw Hun Ki
memiliki isteri dan dua orang anak yang amat lihai dan boleh diandalkan, maka
Kaisar Shun Chi menitipkan Pangeran Mahkota Kang Shi pada keluarga Pangeran
Bouw agar dididik dan dilindungi.
Bouw Hujin
amat berhati-hati menjaga keamanan Pangeran Mahkota. Ia membuat sebuah ruangan
rahasia di bawah lantai gedung sehingga kalau sewaktu-waktu ada bahaya
mengancam, ia dapat mengungsikan dan menyembunyikan pangeran itu ke dalam
ruangan rahasia.
Kini,
setelah terjadi percobaan pembunuhan terhadap kaisar, dan percobaan pembunuhan
terhadap Pangeran Mahkota seperti yang dilakukan Pangeran Leng Kok Cun yang mengutus
Gui Tiong dan Bu Kong Liang yang dibayangi Twa- to Ngo-liong, maka keluarga
Bouw menjadi semakin waspada dan berhati-hati. Kini penjagaan dilakukan dengan
ketat.
Apalagi kini
mereka mendapat bantuan dari Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin yang diminta
tinggal untuk sementara di gedung keluarga Bouw untuk ikut menjaga keselamatan Pangeran
Kang Shi.
Setelah Kong
Liang dan Gui Siang Lin yang masih adik seperguruannya itu tinggal kurang lebih
satu bulan di gedung keluarga Bouw, mereka menjadi akrab dengan putera dan puteri
Pangeran Bouw. Bouw Hwi Siang tertarik sekali kepada Bu Kong Liang yang gagah perkasa,
sopan, jujur dan tegas penuh kejantanan itu.
Adapun Bouw
Kun Liong juga jatuh cinta kepada Gui Siang Lin, sebaliknya gadis yatim piatu
itu pun tertarik kepada pemuda bangsawan yang tampan dan gagah itu.
Pada suatu
pagi, Pangeran Bouw Hun Ki bercakap-cakap dengan isterinya di serambi sambil
minum teh. Mereka berdua tadi melihat putera dan puteri mereka bersama Bu Kong
Liang dan Gui Siang Lin dengan wajah gembira pergi ke lian-bu-thia (ruangan
berlatih silat).
Empat orang
muda itu setiap pagi berlatih ilmu silat dan mereka saling menguji dan saling memberi
petunjuk sehingga mereka dapat saling mengisi dan saling melengkapi. Kong Liang
dan Siang Lin adalah murid- murid Siauw-lim-pai, adapun Kun Liong dan Hwi Siang
keduanya menerima pelajaran silat Bu-tong-pai dari ibu mereka.
Padahal, ilmu silat Bu-tong-pai dahulunya juga
bersumber kepada ilmu silat Siauw-lim-pai, maka kedua a liran itu memang dapat
saling mengisi dan melengkapi.
"Lihatlah,
Pangeran, keakraban anak-anak kita dengan pemuda dan gadis itu!"
kata Bouw Hujin kepada suaminya.
Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, lalu memandang isterinya. "Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?"
kata Bouw Hujin kepada suaminya.
Pangeran Bouw mengangkat muka, memandang ke arah ruangan belajar silat, lalu memandang isterinya. "Kalau mereka akrab, lalu apa salahnya?"
Bouw Hujin
tersenyum dan untuk ke sekian kalinya Pangeran Bouw merasa kagum dan heran
bahwa sampai sekarang setiap kali isterinya tersenyum, jantungnya bergetar penuh
kasih sayang.
"Tentu
saja tidak salah, bahkan saya akan merasa senang sekali kalau Kun Liong dapat
berjodoh dengan Siang Lin dan Hwi Siang dapat berjodoh dengan Kong Liang.
Bukankah gagasan ini baik sekali, Pangeran?"
Akan tetapi
Pangeran Bouw menggelengkan kepalanya dan mengerutkan alisnya. "Hemm,
gagasan itu sungguh tidak tepat!" Pandang
mata Bouw Hujin menjadi tajam ketika ia menatap wajah suaminya. Ia pun mengerutkan
alisnya dan suaranya biarpun tetap halus mengandung teguran, "Pangeran,
apakah engkau tidak setuju karena mengingat bahwa pemuda dan pemudi itu bukan
berdarah bangsawan.
"
Apakah mereka itu dianggap terlalu rendah untuk menjadi jodoh anak-anak
kita?" Pangeran Bouw balas memandang isterinya dan dia tersenyum lebar.
"Isteriku yang baik, engkau tahu benar bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang."
"Isteriku yang baik, engkau tahu benar bahwa aku bukan orang yang mempersoalkan keturunan. Buktinya aku menikah denganmu dan kita menjadi suami isteri yang berbahagia sampai sekarang."
"Kalau
begitu, mengapa gagasan saya tadi dikatakan tidak tepat?" Kembali pangeran
itu tersenyum lebar. "Karena mendahului mereka, isteriku yang baik! Apakah
engkau ingin menjodohkan anak-anak kita tanpa persetujuan mereka lebih
dahulu" Kalau begitu, aku tidak setuju.
Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh."
Mereka harus menentukan sendiri dengan siapa mereka akan berjodoh."
Nyonya Bouw
atau Souw Lan Hui tertawa dengan perasaan lega. "Aih, tentu saja, Pangeran!
Yang saya maksudkan tadi, saya akan senang kalau kedua orang anak kita dapat
berjodoh dengan Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin. Tentu saja yang menentukan
adalah mereka sendiri."
"Yah,
mudah-mudahan anak kita akan melakukan pilihan yang tepat sehingga mereka akan
dapat hidup berbahagia dengan jodoh masing-masing," kata Pangeran Bouw. "Ya,
seperti kita," kata isterinya.
Tiba-tiba
seorang prajurit pengawal yang bertugas menjaga di gapura depan, datang
memasuki serambi itu dan memberi hormat kepada Pangeran Bouw dan isterinya.
Dengan sikap hormat dia melapor bahwa di luar terdapat Pangeran Ciu Wan Kong
yang datang berkunjung.
Sejak
Pangeran Mahkota berada di gedung keluarga Pangeran Bouw, tempat itu memang
selalu dijaga oleh pasukan pengawal. Hal ini untuk menambah penjagaan agar keselamatan
Pangeran Mahkota dapat terjamin.
Mendengar bahwa
yang datang berkunjung adalah adik tirinya,Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw
segera memerintahkan agar para penjaga mempersilakan tamu itu memasuki ruangan tamu
yang berada di sebelah kiri gedung. Mereka berdua sendiri lalu meninggalkan
serambi menuju ke ruangan tamu untuk menyambut tamu.
Belum lama
suami isteri itu duduk di ruangan tamu,Pangeran Ciu Wan Kong memasuki ruangan
itu bersama puterinya, Ciu Thian Hwa. Pangeran Bouw Hun Ki bangkit dan menyambut
Pangeran Ciu Wan Kong dengan gembira.
"Aih,
Dinda Pangeran Ciu Wan Kong! Sungguh berbahagia sekali hati kami menerima kunjunganmu.
Selamat
datang, Dinda, engkau tampak sehat dan gembira!" kata Pangeran Bouw yang
menyambut bersama isterinya dengan perasaan heran dan gembira karena selama ini
dia tahu bahwa adik tirinya ini selama bertahun-tahun hidup tidak wajar, selalu
tenggelam dalam kesedihan, tidak pernah tersenyum, tidak pernah keluar dari
gedungnya, bahkan ada yang mendesas- desuskan bahwa Pangeran Ciu Wan Kong telah
menjadi seorang ling-lung yang miring otaknya.
Akan tetapi
sekarang pangeran itu muncul bersama seorang gadis cantik dan tampak demikian
cerah gembira penuh semangat! Pangeran Ciu Wan Kong memberi hormat kepada kakak
tirinya dan kakak iparnya, dan setelah mereka semua duduk mengelilingi meja,
Pangeran Ciu berkata,
"Maafkan
saya,Kanda Pangeran Bouw Hun Ki, sudah lama saya tidak pernah datang menghadap.
Hari ini saya sengaja datang, selain sudah merasa rindu, juga untuk memperkenalkan
anak saya ini, Ciu Thian Hwa."
Thian Hwa
cepat memberi hormat dan Pangeran Bouw beserta isterinya memandang dengan hati
tertarik, akan tetapi juga dengan perasaan heran.
Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa" Melihat sikap danpandang mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.
Mereka tahu bahwa Pangeran Ciu tidak pernah menikah, bahkan selir pun tidak punya, bagaimana sekarang tahu-tahu telah mempunyai seorang anak perempuan yang sudah dewasa" Melihat sikap danpandang mata kakak tirinya yang terheran-heran, Pangeran Ciu Wan Kong berkata.
"Maaf,
Kanda Pangeran, saya akui bahwa selama ini saya hidup dalam keadaan seperti
dalam mimpi penuh penderitaan dan menyimpan rahasia. Sesungguhnya, hidup ini
tidak ada artinya lagi bagi saya setelah wanita yang saya cinta, terpaksa meninggalkan
saya membawa anak kami.
Kemudian
secara tiba-tiba anakku, anakku tersayang, Ciu Thian Hwa ini, muncul! Ah,
betapa bahagia rasa hati saya, Kakanda. Saya seolah bangkit dari jurang
kematian.
Saya hidup lagi! Dan anak saya ini telah
menjadi seorang yang memiliki ilmu silatyang amat tinggi! Baru saja kami berdua
menghadap Sri baginda untuk memberi laporan tentang hal-hal rahasia yang
diketahui anak saya, dan di sana, Thian Hwa ini telah menyelamatkan Sribaginda
Kaisar dari usaha pembunuhan lima orang penjahat. Ia telah membunuh
mereka!"
"Ah, lalu bagaimana dengan Kakanda Kaisar?"
tanya Pangeran Bouw. "Kakanda Kaisar selamat, kemudian beliau memberi
tugas yang amat penting kepada Thian Hwa, dan mengutus kami menyerahkan surat
ini kepada Kanda."
Pangeran Ciu
Wan Kong mengeluarkan surat dari kaisar dan menyerahkannya kepada Pangeran Bouw
Hun Ki yang segera membacanya lalu menyerahkannya kepada isterinya untuk
dibaca. Dalam surat itu, Kaisar Shun Chi memberitahu kepada mereka bahwa dia
telah memberi Tek-pai (tanda kuasa) kepada Ciu Thian Hwa dan memerintahkan
gadis perkasa itu untuk membantu Pangeran Bouw Hun Ki melindungi Pangeran Mahkota
dan menjaga agar penobatan Putera Mahkota Kang Shi sebagai kaisar baru berjalan
lancar.
Setelah
membaca surat itu, suami isteri itu memandang kepada Thian Hwa dengan kagum.
"Ciu Thian Hwa, aku merasa kagum dan bangga mempunyai seorang keponakan sepertimu.
Seorang gadis muda sepertimu ini sudah mendapatkan Tek-pai dari Sribaginda
Kaisar, sungguh luar biasa," kata Pangeran Bouw.
"Sekarang
aku ingat," kata Bouw Hujin.
"Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?"
"Baru-baru ini aku mendengar bahwa di dunia kang-ouw muncul seorang gadis pendekar yang namanya amat terkenal sebagai Huang-ho Sian-li (Dewi Sungai Kuning). Engkaukah Huang-ho Sian-li itu, Ciu Thian Hwa?"
Thian Hwa
yang sudah mendengar dari ayahnya bahwa Nyonya Pangeran Bouw ini adalah seorang
wanita sakti yang memiliki ilmu silat tinggi sehingga memperoleh kepercayaan kaisar
untuk mendidik dan me lindungi Pangeran Mahkota,memberi hormat.
"Memang
saya yang dimaksudkan, akan tetapi julukan yang diberikan orang kepada saya itu
terlalu dilebih-lebihkan."
"Thian
Hwa, coba ceritakan kepada kami rahasia penting apa yang engkau sampaikan
kepada Kakanda Kaisar," kata Pangeran Bouw. Dengan singkat namun jelas
Thian Hwa bercerita kepada suami isteri itu tentang Pangeran Leng Kok Cun yang mempunyai
ambisi untuk memberontak dan merampas kedudukan Kaisar dengan menyingkirkan
saingan-
saingannya yaitu Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi.
saingannya yaitu Pangeran Cu Kiong dan tentu saja Pangeran Mahkota Kang Shi.
Juga ambisi
Pangeran Cu Kiong yang ingin merebut kedudukan pengganti kaisar dari tangan
Putera Mahkota Kang Shi. Mendengar keterangan Thian Hwa, Bouw Hujin
mengangguk-angguk dan berkata, "Dinda Pangeran Ciu dan Thian Hwa,
sebetulnya kami sendiri sudah lama mengetahui tentang mereka yang tidak setia
itu.
Akan tetapi
Kakanda Kaisar selalu melarang untuk bertindak karena bagaimanapun juga, mereka
adalah putera-puteranya sendiri, dan kalau mereka itu ditindak dan terdengar
rakyat akan mencemarkan nama keluarga kerajaan sendiri." Pangeran Bouw Hun
Ki menyambung.
"Benar,
kami dan juga Kakanda Kaisar sudah tahu bahwa Pangeran Leng Kok Cun dan
Pangeran Cu Kiong membujuk para pejabat tinggi untuk mendukungnya.
Pangeran Cu sendiri kabarnya diam- diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan.
Pangeran Cu sendiri kabarnya diam- diam mengadakan kontak dengan Jenderal Wu Sam Kwi di selatan.
Akan tetapi
Kakanda Kaisar selalu menutup-nutupi kesalahan para puteranya, bahkan sekarang
beliau mengambil keputusan yang luar biasa, yaitu hendak meninggalkan kerajaan
dan menghilang."
"Hemm,
Kakanda Pangeran Bouw agaknya sudah tahu pula akan keinginan Kakanda Kaisar
yang luar biasa itu. Sesungguhnya, saya sendiri merasa tidak setuju. Bagaimana Kakanda
Kaisar yang masih hidup dan sehat dikabarkan mati"
Dan
bagaimana mungkin beliau yang sudah tua akan merantau sebagai seorang pendeta?"
kata Pangeran Ciu Wan Kong dengan terharu.
"Sebetulnya
hal itu tidak aneh, Dinda Pangeran Ciu. Seperti kita ketahui, beliau dalam
kemuliaannya sebagai Kaisar, penuh kekuasaan dan kemuliaan, ternyata malah jauh
dari kebahagiaan dengan adanya perebutan kekuasaan di antara para puteranya.
Beliau melihat
kenyataan bahwa kekuasaan dan harta benda, segala kesenangan duniawi tidak mendatangkan
kebahagiaan malah mendatangkan penderitaan batin. Oleh karena itu, beliau
memilih meninggalkan semua itu dan mencapai kebahagiaan dan ketenteraman. Dengan
cara meninggal dan menunjuk Pangeran Mahkota sebagai penggantinya, berarti
menghilangkan pula keraguan dan perebutan kekuasaan di antara para pangeran
lainnya."
"Akan
tetapi bagaimana kalau keputusan itu memancing timbulnya pemberontakan dari
para pangeran yang merasa tidak puas melihat Putera Mahkota yang masih kecil
diangkat menjadi kaisar?" tanya Pangeran Ciu dengan khawatir.
"Kalau
ada pemberontakan, maka pemerintah tentu akan menumpasnya!
Karena itulah Sribaginda telah memberikekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota kalau diangkatmenjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan," kata Pangeran Bouw.
Karena itulah Sribaginda telah memberikekuasaan kepada kami dan kini malah dibantu oleh Ciu Thian Hwa. Kami telah menghubungi semua panglima dan mereka semua sepakat mendukung Putera Mahkota kalau diangkatmenjadi kaisar. Setiap pemberontakan pasti akan dapat kita hancurkan," kata Pangeran Bouw.
"Jika
ada penyerangan terhadap pribadi Pangeran Mahkota,kami yang bertanggung jawab
untuk melindunginya.
Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami kini siap dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir."
Di sini sudah kami persiapkan untuk melindungi beliau. Saya sendiri dibantu oleh kedua orang anak kami kini siap dan kami malah mendapat bantuan dua orang pendekar muda yang boleh diandalkan. Mereka adalah murid-murid Siauw-lim-pai yang lihai. Dan sekarang ada lagi Ciu Thian Hwa ini yang membuat tenaga perlindungan Putera Mahkota menjadi semakin kuat. Kita tidak perlu khawatir."
"Dinda
Pangeran Ciu dan Thian Hwa.
Kalian berdua sudah tahu bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja.
Kalian berdua sudah tahu bahwa rencana yang hendak dilakukan Sribaginda Kaisar merupakan rahasia yang hanya boleh diketahui kita berempat dan mereka yang diberi kepercayaan di istana oleh Sribaginda saja.
Oleh karena itu, kita berempat harus
merahasiakannya,bahkan kepada anak-anak kita tidak perlu kita ceritakan.
Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain," kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.
Biarlah rencana Sribaginda yang mulia itu menjadi rahasia bagi orang lain," kata Pangeran Bouw dan mendengar ini, Pangeran Ciu mengangguk.
"O ya,
biar kupanggil anak-anak itu ke sini. Mereka harus berkenalan dengan Thian
Hwa!" kata Bouw Hujin. Kemudian, saking girangnya dan menghendaki
anak-anaknya dan dua orang murid Siauw-lim-pai itu segera datang ke situ, ia mengerahkan
tenaga saktinya dan berseru.
"Anak-anak,
kalian
berempat
kesinilah, ke ruangan tamu, cepat!" Suaranya lirih saja akan tetapi Thian
Hwa terkejut karena dalam suara itu terkandung getaran yang amat kuat sehingga ia
dapat menduga bahwa orang-orang yang dipanggil itu, biarpun berada di tempat
jauh, tentu dapat mendengarnya dengan jelas. Benar saja dugaannya.
Tak lama
kemudian berkelebat empat bayangan orang dan di dalam ruangan tamu itu telah berdiri
dua orang pemuda dan dua orang gadis yang semua masih berkeringat di leher dan
muka mereka.
Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang.
Thian Hwa terkejut, akan tetapi juga girang ketika mengenal seorang di antara dua orang pemuda itu yang bukan lain adalah Bu Kong Liang.
Akan tetapi
tentu saja ia hanya diam dan memandang mereka. "Anak-anak, perkenalkan,
ini adalah paman kalian,Pangeran Ciu Wan Kong, dan ini puterinya, Ciu Thian Hwa
yang terkenal dengan julukan Huang-ho Sian-li, Thian Hwa, ini adalah anak-anak
kami, Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, dan inilah dua orang murid
Siauw-lim-pai yang membantu kami, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin."
Mereka yang
diperkenalkan saling memberi hormat. Dalam kesempatan ini Kong Liang menyapa
Thian Hwa. "Hwa-moi, aku girang dapat berjumpa kembali denganmu di s
ini."
"Aku
juga tidak mengira akan bertemu denganmu di sini, Liang-ko," jawab Thian
Hwa. "Ah, kalian sudah saling mengenal?"
kata Bouw Hujin sambil tersenyum. Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.
kata Bouw Hujin sambil tersenyum. Kong Liang lalu bercerita kepada mereka tentang pertemuan dan perkenalannya dengan Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa.
Setelah
bercakap cakap, Thian Hwa segera dapat akrab dengan kedua orang putera dan
puteri Pangeran Bouw dan juga dengan Gui Siang Lin. Karena mereka semua merupakan
orang-orang yang diberi tugas penting yang sama, yaitu melindungi Pangeran
Mahkota
Kang Shi dan
menjaga terlaksananya pengangkatan Pangeran Mahkota menjadi kaisar, maka mereka
mengadakan perundingan bagaimana baiknya tugas itu dapat dilaksanakan.
Lalu diambil
keputusan bahwa untuk sementara, Bu Kong Liang dan Gui Siang Lin tinggal di
rumah keluarga Pangeran Bouw sebagai tamu. Sedangkan Ciu Thian Hwa tetap
tinggal di rumah ayahnya, akan tetapi selalu mengadakan kontak dengan keluarga
Pangeran Bouw, bahkan setiap pagi datang ke gedung keluarga itu.
Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia kepada Kaisar.
Pangeran Bouw Hun Ki juga mengadakan hubungan dengan para panglima yang setia kepada Kaisar.
Biarpun pada waktu itu, hampir seluruh Cina
dijajah oleh orang Mancu, dan hanya sedikit di daerah Barat Daya yang masih
dikuasa i Jenderal Wu Sam Kwi, namun kebanyakan kaum pendekar akhirnya
mendukung Kerajaan Ceng. Hal ini terutama sekali karena para pemimpin Mancu menggunakan
siasat yang amat pandai.
Mereka
melihat betapa kebudayaan pribumi Cina (Han) amat tinggi dan luhur, dan
satu-satunya cara untuk menarik perhatian dan rasa suka rakyat adalah dengan
menghargai budaya dan adat istiadat mereka.
Oleh karena
itu, para bangsawan Mancu itu lalu mengikuti adat dan kebudayaan pribumi Han. Selain
itu, mereka juga menerima dan menghargai orang-orang pribumi yang mau bekerja kepada
pemerintah Kerajaan Mancu, memberi mereka kedudukan kedudukan penting bagian
tatanegara dan urusan sipil.
Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.
Hanya kedudukan di kemiliteran yang tidak diberikan kepada pribumi Han, melainkan dipegang oleh bangsa Mancu sendiri.
Sebab lain
yang membuat rakyat pribumi tidak banyak menentang pemerintah penjajah Mancu
adalah karena tidak ada lagi yang menjadi penerus Dinasti atau Kerajaan Beng (1368-1644)
yang telah jatuh oleh pemberontak-pemberontak bangsa pribumi sendiri sehingga
akhirnya negara jatuh ke tangan bangsa Mancu.
Satu-satunya
pihak yang menentang Kerajaan Ceng (Mancu) sampai waktu itu hanyalah yang dipimpin
oleh Jenderal Wu Sam Kwi yang berpusat di Yunnan- hu. Akan tetapi Wu San Kwi bukanlah
pewaris Kerajaan Beng, bahkan dia adalah seorang panglima Kerajaan Beng yang memberontak
terhadap Kerajaan Beng sehingga dia boleh dikata menjadi satu di antara
penyebab jatuhnya Kerajaan Beng.
Karena itu,
biarpun dia merupakan penentang Kerajaan Mancu yang paling gigih dan bertahan
lama, namun tetap saja rakyat menganggapnya sebagai pemberontak dan tidak mendapat
banyak dukungan rakyat.
Dunia
kang-ouw, yaitu dunia kaum persilatan, pada waktu itu juga terpecah-pecah menjadi
beberapa kelompok. Yang terbesar adalah mereka yang mendukung tiga kelompok. Pertama
tentu saja mereka yang mendukung Kerajaan Ceng (Mancu) atau yang setia kepada
Kaisar Shun Chi, terdiri dari para pendekar Han dan Mancu sendiri. Kedua adalah
mereka yang mendukung Pangeran Leng Kok Cun yang berambisi untuk merebut tahta
kerajaan, yang didukung oleh para tokoh kang-ouw golongan sesat. Adapun yang ke
tiga adalah mereka yang mendukung dan bekerja sama dengan Jenderal Wu Sam Kwi,
termasuk Pangeran Cu Kiong dan sekutunya.
Demikianlah
keadaannya pada waktu itu. Karena sedih dan bingung melihat ada di antara
putera-puteranya yang mempunyai niat jahat memperebutkan tahta kerajaan, maka Kaisar
Shun Chi yang sudah tua dan yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat,
mengambil keputusan untuk berpura-pura mati dan mengundurkan diri secara
rahasia, meninggalkan surat wasiat dan pesan kepada Pangeran Bouw Hun Ki dan
para pendekar yang membantunya.
Beberapa
malam kemudian. Malam itu bulan purnama bersinar cemerlang karena tidak ada
awan menghalanginya.
Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja.
Akan tetapi hawa yang amat dingin membuat orang tidak betah lama-lama di luar rumah. Sebelum tengah malam, keadaan sudah sunyi sekali di kota raja.
Akan tetapi
justru ma lam yang dingin sepi namun terang dan indah itu Thian Hwa keluar dari
gedung ayahnya. Tadi, ketika ia bercakap-cakap dengan ayahnya, tanpa disengaja
ia membicarakan tentang Bouw Hujin yang memiliki ilmu silat tinggi, yang
membuat ia kagum.
"Aku
merasa heran, Ayah. Pangeran Bouw Hun Ki itu...."
"Dia
Pamanmu, Thian Hwa, Paman tuamu (Kakak Ayahmu)!" tegur Pangeran Ciu Wan
Kong.
"O ya,
Paman Pangeran Bouw itu, bagaimana dapat memiliki isteri yang demikian gagah
perkasa dan tinggi ilmu silatnya" Apakah Bibi Bouw itu juga seorang wanita
bangsawan Mancu?"
"Bukan,
Thian Hwa. Ia seorang wanita pribumi Han, dan memang sejak dulu ia seorang
pendekar wanita yang amat terkenal dengan julukan Burung Hong Sakti." Mendengar
julukan ini, Thian Hwa memandang dengan mata terbelalak.
"Sin-hong-cu, Ayah" Julukannya Sin-hong- cu?" Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan heran. "Benar, julukannya Sin-hong-cu, kenapa, Thian Hwa?"
"Sin-hong-cu, Ayah" Julukannya Sin-hong- cu?" Kini Pangeran Ciu yang memandang anaknya dengan heran. "Benar, julukannya Sin-hong-cu, kenapa, Thian Hwa?"
Thian Hwa
tidak ingin membuka rahasia gurunya, biar kepada ayahnya sekalipun. Akan tetapi
ia ingat benar bahwa gurunya Thian Bong Sianjin, pernah bercerita kepadanya bahwa
gurunya itu dahulu saling mencinta dengan seorang pendekar wanita berjuluk Sin-hong-cu,
akan tetapi kemudian pendekar wanita itu menikah dengan seorang pangeran! Kini ia
tidak sangsi lagi bahwa Bouw Hujin yang lihai itulah yang dulu menjadi kekasih
gurunya!
"Tidak
apa-apa, Ayah. Aku hanya pernah mendengar nama julukan itu." Ayahnya
mengangguk. "Tidak aneh karena memang dahulu namanya sebagai pendekar
wanita terkenal sekali."
Demikianlah,
karena hatinya tertarik sekali mendengar bahwa Bouw Hujin adalah Sin-hong-cu
bekas pacar gurunya, malam itu Thian Hwa keluar dari gedung ayahnya dengan niat
mengelilingi gedung keluarga Pangeran Bouw. Ia memang merasa ikut bertanggung jawab
akan keselamatan Pangeran Mahkota yang berada di gedung itu dan setiap pagi ia
pasti datang ke gedung itu. Akan tetapi ada baiknya kalau sewaktu- waktu ia
berkunjung di waktu malam, menyelidiki dan menjaga kalau-kalau ada bahaya
mengancam di waktu malam.
Sementara
itu, di ma lam bulan purnama yang dingin itu, Bouw Hujin keluar dari kamarnya
dan menuju ke taman bunga seorang diri. Pangeran Bouw Hun Ki, suaminya, sudah
tidur pulas. Ketika melihat sinar bulan melalui jendelanya, ia lalu keluar dari
dalam kamar, ingin menikmati malam yang amat indah itu.
Biarpun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat.
Biarpun usianya sudah lima puluh satu tahun, Nyonya Bouw atau Souw Lan Hui ini masih tampak cantik dan tubuhnya masih ramping padat.
Diterangi
sinar bulan purnama, berada di tengah taman bunga itu, ia seolah seorang
bidadari yang sedang menghibur diri di taman. Ia berjalan-jalan sebentar lalu duduk
di atas bangku dekat kolam ikan, memandangi ikan-ikan yang berenang hilir mudik
di kolam air yang jernih itu. Terkadang ada ikan emas yang membalikkan tubuh
sekilas dan tampak perutnya mengkilap terkena sinar bulan purnama.
Tiba-tiba
kedua tangan Bouw Hujin bergerak menyambit ke arah kiri dan dua sinar perak me
luncur cepat sekali ke arah bayangan seorang yang bersembunyi di balik
semak-semak pohon kembang. Akan tetapi, bayangan itu miringkan tubuhnya dan
dengan kedua tangannya dia menangkap Gin- seng-piauw (Senjata Rahasia B intang
Perak) yang menyambar ke arah tubuhnya itu.
"Gin-seng-piauwmu
sungguh masih hebat dan berbahaya sekali!" seru bayangan itu yang ternyata
seorang laki-laki berpakaian serba putih bertubuh tinggi kurus, dan dari gelung
rambut serta pakaiannya dapat diketahui bahwa dia adalah seorang tosu (Pendeta
To), berusia sekitar lima puluh tujuh tahun. "Kui T hian Bong...!"
Bouw Hujin berseru ketika melihat laki- laki itu.
Laki-laki
itu ternyata adalah Thian Bong Sianjin yang dahulu bernama Kui Thian Bong, guru
Huang-ho Sian-li Ciu Thian Hwa. "Hui-moi (Adik Hui)... eh, maksudku Bouw
Hujin, maafkan kalau aku mengejutkan dan mengganggumu," kata Thian Bong
Sianjin sambil memberi hormat.
"Bong-ko
(Kakak Bong), aku sudah mendengar bahwa engkau menjadi seorang tosu. Ah, aku
memang terkejut melihatmu, akan tetapi aku... aku senang melihat engkau sehat.
Tapi... tapi... mengapa engkau kini menjadi seorang tosu?" kata Bouw Hujin
sambil bangkit dari tempat duduknya.Thian Bong Sianjin melangkah maju
menghampiri dan mereka kini berhadapan, dalam jarak sekitar dua tombak.
Sejenak mereka
saling pandang dan dalam mata mereka terdapat keharuan yang mendalam. Bagaimanapun
juga, mereka berdua dahulu adalah sepasang kekasih yang saling mencinta. Akan
tetapi, kemudian hati Souw Lan Hui tertarik oleh Pangeran Bouw Hun Ki yang biarpun
tidak sangat lihai namun terkenal sebagai seorang yang gagah berani.
Akhirnya Souw Lan Hui menikah dengan pangeran
itu yang dianggapnya lebih dapat menjamin kehidupannya kemudian, memberinya kemuliaan
dan kehormatan di samping cinta kasih yang mendalam. Jauh lebih meyakinkan
daripada keadaan Kui Thian Bong yang hidup sebagai seorang pendekar yang keras dan
tidak tentu keadaan dan tempat tinggalnya.
Dan ternyata
pilihannya itu benar karena ia hidup berbahagia di samping suaminya dan kedua
orang anaknya, hidup terhormat dan mulia, juga amat dicinta suaminya yang biarpun
seorang pangeran namun tidak mengambil isteri atau selir lain. Biarpun demikian,
kini melihat bekas kekasihnya muncul secara tiba- tiba dan telah menjadi seorang
tosu, hati Souw Lan Hui merasa terharu sekali.Mendengar pertanyaan itu, Thian
Bong Sianjin tersenyum.
"Siancai....
apa salahnya menjadi seorang tosu, Bouw Hujin" Pinto sekarang bukan Kui Thian
Bong yang dulu, melainkan Thian Bong Sianjin, dan engkau adalah Nyonya Pangeran
Bouw Hun Ki yang terhormat."
"Akan
tetapi... mengapa engkau tidak... menikah dan berumah tangga...?" Hati wanita
itu merasa terharu karena kini baru ia merasa betapa ia yang memutus cinta
telah membuat laki-laki ini tidak mau menikah dan bahkan menjadi seorang
pendeta! Mengingat begini, kedua mata wanita itu menjadi basah. Ia merasa
kasihan dan berdosa telah menghancurkan kebahagiaan hidup bekas kekasihnya.
"Maafkanlah
aku... Bong-ko...," katanya dan wanita itu terisak.
"Siancai,
tidak ada yang perlu dimaafkan, Bouw Hujin.
Bahkan pinto
harus berterima kasih kepadamu karena keputusanmu itu ternyata membuat kita
menjadi orang-orang bahagia. Pinto mendapatkan kebahagiaan sebagai seorang tosu
dan pinto mendengar bahwa engkau pun menjadi seorang ibu yang berbahagia.
Sungguh pinto patut bersyukur." Ucapan tulus dari Thian Bong Sianjin itu memancing
keluarnya air mata lebih banyak lagi sehingga Bouw Hujin terisak.
Pada saat
itu terdengar bentakan nyaring.
"Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!" Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat dan menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan mereka itu dahsyat sekali.
"Keparat, berani engkau mengganggu ibu kami!" Tiba-tiba Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang sudah melompat dekat dan menyerang Thian Bong Sianjin dengan senjata siang-kiam (sepasang pedang) mereka! Serangan mereka itu dahsyat sekali.
Empat batang pedang menyambar ke arah tubuh
Thian Bong Sianjin! Tosu itu maklum akan serangan yang cukup berbahaya itu maka
sekali berkelebat tubuhnya sudah melompat ke belakang sehingga serangan dua
orang muda itu tidak mengenai sasaran. Akan tetapi pemuda dan gadis itu segera
berlompatan mengejar dan menyerang lagi dengan hebatnya.
Karena
serangan itu memang berbahaya sekali, Thian Bong Sianjin terpaksa mencabut
pedangnya dan memutar pedang itu sehingga berubah menjadi sinar pedang yang
menggulung menyelimuti dirinya.
"Trang-trang-trang-trang...!" Empat
batang pedang yang menyerang itu bertemu dengan sinar pedang Thian Bong Sianjin
dan tampak bunga api terpijar menyilaukan mata. Dua orang muda itu terkejut
karena sepasang pedang mereka terpental oleh tangkisan yang amat kuat itu.
"Kun
Liong! Hwi Siang! Berhenti dan mundur!" Tiba-tiba Bouw Hujin membentak dan
dua orang muda itu segera menahan pedang mereka dan mundur ke dekat ibunya
sambil memandang dengan heran mengapa ibunya melarang mereka menyerang penjahat
itu.
"Siancai!
Mereka ini tentu putera-puterimu. Hebat, mereka gagah dan lihai seperti
ibunya," kata Thian Bong Sianjin sambil menyimpan kembali pedangnya.
"Benar,
Totiang (Bapak Pendeta), ini adalah Bouw Kun Liong dan Bouw Hwi Siang, kedua
orang anakku. Kun Liong dan Hwi Siang, tosu ini adalah Thian Bong Sianjin, bukan
musuh dan tidak boleh kalian menyerangnya."
"Benar
sekali, dia bukan penjahat, bukan musuh. Dia adalah sahabat baik ibumu, sahabat
baik kami!" Tiba-tiba terdengar suara Pangeran Bouw Hun Ki dan dia pun
muncul dan menghampiri isterinya.
Thian Bong
Sianjin menjadi merah mukanya dan cepat dia memberi hormat kepada Pangeran Bouw
Hun Ki. "Maafkan pinto, Pangeran, kalau kehadiran pinto di tengah malam
ini tidak pantas dan mengganggu."
"Ah,
tidak mengapa, Totiang. Totiang adalah sahabat lama kami yang baik dan kedatanganmu
akan selalu kami sambut dengan senang hati. Mari, silakan masuk ke dalam di
mana kita dapat bicara lebih leluasa," kata Pangeran Bouw Hun Ki dengan
ramah.
Dalam
hatinya, Thian Bong Sianjin merasa girang melihat bahwa pangeran ini benar-benar
berhati bersih dan berbudi baik, sehingga dia yakin bahwa Souw Lan Hui pasti
hidup berbahagia di samping suami yang bijaksana itu. Pangeran itu memang telah
mengenalnya dahulu.
"Terima
kasih, Pangeran. Pinto tidak dapat lama di sini. Kedatangan pinto ini sesungguhnya
hendak menyampaikan hal yang amat penting, dan maafkan kalau terpaksa pinto datang
malam-malam begini dengan alasan agar tidak diketahui oleh mereka yang akan
pinto laporkan.
Mereka itu sangat
lihai dan kalau mereka tahu pinto datang ke sini melaporkan, tentu usaha pinto
akan gagal dan keluarga di s ini terancam bahaya besar."
"Thian
Bong Sianjin! Siapakah mereka itu dan apa yang telah terjadi?" tanya Bouw
Hujin yang terkejut sekali karena tentu saja ia khawatir kalau-kalau ada bahaya
mengancam Pangeran Mahkota yang dilindunginya.
"Ketika
pinto merantau ke daerah selatan, ke daerah Se-cuan di mana Jenderal Wu Sam Kwi
menjadi raja muda, pinto mendengar akan persekutuan antara Jenderal Wu Sam Kwi dengan
seorang pangeran di sini yang merencanakan perebutan kekuasaan Kerajaan Ceng
dengan cara membunuh Pangeran Mahkota. Pinto mendengar bahwa Pangeran Mahkota
yang masih kecil berada dalam perlindungan keluarga Pangeran Bouw Hun Ki, maka
pinto sengaja datang ke sini untuk melaporkan ancaman bahaya itu.
Jenderal Wu Sam Kwi sudah mengirim dua orang
yang amat lihai untuk melaksanakan tugas pembunuhan itu, dan pinto khawatir kalau
mereka tahu bahwa pinto me laporkan ke sini, tentu rencana mereka akan diubah
dan kita tidak tahu lagi apa yang akan mereka lakukan dan hal itu akan jauh
lebih berbahaya daripada kalau kita mengetahui lebih dulu apa yang hendak mereka
lakukan."
"Hemm,
mereka mau coba-coba membunuh Pangeran Mahkota di sini"
Boleh mereka coba!" kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.
Boleh mereka coba!" kata Souw Lan Hui dengan sikap gagah.
"Nanti
dulu, Totiang, dapatkah engkau memberitahu kami, siapakah pangeran yang
bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi itu?" tanya Pangeran Bouw Hun Ki.
"Dia
adalah Pangeran Cu Kiong, Pangeran," jawab Thian Bong Sianjin yang lalu menjura
dengan hormat kepada ayah ibu dan dua orang anak mereka itu sambil berkata.
"Nah, semua sudah pinto laporkan, legalah hati pinto karena pinto percaya
bahwa Pangeran dan Bouw Hujin akan menjaga dan melindungi Pangeran Mahkota
dengan baik. Selamat tinggal!"
Setelah
berkata demikian, tubuh tosu itu berkelebat dan lenyap dari s itu.
"Bukan
main! Dia lihai sekali!" kata Bouw Kun Liong melihat gin-kang (ilmu meringankan
tubuh) yang hebat itu. "Ibu, tadi saya melihat Ibu menangis, mengapa Ibu
tadi menangis terisak-isak ketika bertemu Thian Bong Sianjin sehingga kami
berdua mengira dia mengganggu Ibu dan menyerangnya?" tanya Bouw Hwi Siang
sambil menatap wajah ibunya.
Mendengar
pertanyaan ini wajah Bouw Hujin menjadi kemerahan, akan tetapi sambil tersenyum
ia menjawab. "Aku terkejut sekali dan sama sekali tidak pernah bermimpi
akan bertemu dengan dia, Hwi Siang. Dia adalah seorang sahabat baikku dan kami
berdua dahulu bersama-sama berjuang menegakkan kebenaran dan keadilan di dunia
kang-ouw.
Melihat dia
muncul dan sudah menjadi seorang pendeta, hatiku terharu maka aku sampai
menangis."
"Ibumu benar,
dahulu Thian Bong Sianjin adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan
menjadi sahabat baik kami."
Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya. Dia tahu benar bahwa dahulu, hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui ,Thian Bong amat mencinta isterinya ketika ia masih seorang gadis pendekar.
Pangeran Bouw yang bijaksana menolong isterinya. Dia tahu benar bahwa dahulu, hubungan isterinya dengan pendekar itu memang amat dekat, dan dia tahu bahwa Kui ,Thian Bong amat mencinta isterinya ketika ia masih seorang gadis pendekar.
Akan tetapi Souw Lan Hui memilih dia sebagai suaminya,
hal yang amat membahagiakan hatinya. Kemudian dia mengalihkan perhatiannya dan
percakapan. "Keterangan Thian Bong Sianjin tadi cukup mengejutkan. Kita
mencurahkan perhatian terhadap Pangeran Leng Kok Cun yang jelas berniat memberontak,
bahkan kita tidak syak lagi bahwa yang mengirim lima orang pembunuh ke istana
untuk membunuh Sribaginda, tentu dia juga. Dia telah berniat membunuh Pangeran
Mahkota pula seperti yang diceritakan Kong Liang.
Siapa tahu,
kini ternyata Pangeran Cu Kiong merupakan ancaman bahaya yang lebih besar
karena dia bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi."
"Sebaiknya
mari kita bicara di dalam saja," ajak Souw Lan Hui atau Bouw Hujin yang merasa
tidak enak berada di situ, mengingatkan ia akan pertemuannya dengan bekas
pacarnya dulu. Mereka semua lalu memasuki gedung dan setelah berada di dalam,
mereka melanjutkan percakapan, kini ditambah dengan hadirnya Bu Kong Liang dan
Gui Siang Lin yang mendengar suara keluarga itu.
Mereka duduk
di ruangan dalam, mengelilingi meja besar. Ketika Bu Kong Liang mendengar
keterangan Pangeran Bouw Hun Ki akan laporan Thian Bong Sianjin bahwa Pangeran
Cu Kiong bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi dan mengancam akan membunuh
Pangeran Mahkota, dia berseru. "Ah, sekarang saya ingat, Paman Pangeran!
Ketika baru turun gunung, saya bertemu dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya.
Ketika baru turun gunung, saya bertemu dengan seorang gadis yang lihai ilmu silatnya.
Ia adalah seorang gadis yang menjadi kaki tangan
Wu Sam Kwi dan ia menuju ke kota raja. Mungkin sekali ia merupakan mata-mata
dari Jenderal Wu Sam Kwi dan kedatangannya di kota raja untuk menghubungi
Pangeran Cu Kiong!"
Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.
Pemuda murid Siauw-lim-pai ini lalu menceritakan pertemuannya dengan gadis yang dikenalnya sebagai Ang-mo Niocu itu.
"Hemm,
sangat boleh jadi," kata Bouw Hujin. "Thian Bong Sianjin menceritakan
bahwa persekutuan itu mempunyai rencana untuk membunuh Pangeran Mahkota, maka
mulai sekarang kita harus lebih berhati-hati dan waspada."
"Ibu
benar," kata Bouw Kun Liong.
"Penjagaan kita masih kurang kuat. Kalau ada orang berilmu tinggi masuk, para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!"
"Penjagaan kita masih kurang kuat. Kalau ada orang berilmu tinggi masuk, para penjaga tidak dapat mengetahui, seperti ketika Thian Bong Sianjin tadi masuk, tahu-tahu telah berada di taman!"
"Paman
Pangeran," kata Bu Kong Liang.
"Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk" Padahal, mereka itu semua adalah putera Sribaginda Kaisar.
Akan tetapi mengapa seolah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?" Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang.
"Kalau boleh saya mengetahui, mengapa para pangeran itu mempunyai niat yang demikian buruk" Padahal, mereka itu semua adalah putera Sribaginda Kaisar.
Akan tetapi mengapa seolah saling bermusuhan dan bahkan hendak membunuh Pangeran Mahkota yang masih kecil?" Pangeran Bouw Hun Ki menghela napas panjang.
"Hal ini sungguh memalukan dan
menyedihkan sekali. Aku yang menjadi paman mereka pun merasa sedih.
Sesungguhnya, pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri.
Sesungguhnya, pewaris tahta kerajaan tentu saja adalah Pangeran Mahkota Kang Shi. Akan tetapi dia masih kecil sehingga kalau dia tidak menjadi pengganti kaisar atau sampai terbunuh mati, yang berhak mewarisi tahta adalah Pangeran Cu Kiong yang menjadi putera dari selir ke tiga karena selir ke dua hanya mempunyai seorang puteri.
Mungkin karena itulah maka Pangeran Cu Kiong
berniat jahat membunuh Pangeran Kang Shi dan karena merasa kurang kuat, ia
bersekutu dengan Jenderal Wu Sam Kwi. Adapun Pangeran Leng Kok Cun, biarpun dia
itu putera dari selir ke tujuh namun dia merupakan pangeran yang paling tua,
maka dia agaknya merasa bahwa dia yang paling berhak mewarisi tahta.
Karena
Sribaginda Kaisar memutuskan mengangkat Pangeran Kang Shi yang masih kecil
menjadi Pangeran Mahkota, maka diam-diam dia merasa penasaran dan berniat
memberontak. Demikianlah keadaan yang amat menyedihkan itu. Aku merasa kasihan sekali
kepada Kakanda Kaisar, karena beliau yang paling menderita batin melihat
keadaan para puteranya."
Setelah
bercakap-cakap, Bouw Hujin memerintahkan para panglima yang setia kepada kaisar
untuk memperketat penjagaan dan memasang para perwira yang memiliki ilmu kepandaian
tinggi untuk bergiliran melakukan penjagaan.
Sementara itu, Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw.
Sementara itu, Thian Bong Sianjin dengan cepat meninggalkan taman gedung Pangeran Bouw.
Dengan menggunakan
gin-kang yang luar biasa sehingga tubuhnya hanya berkelebat seperti
bayang-bayang melompati pagar tembok belakang, dia dapat keluar dari situ
seperti masuknya tadi, tanpa dapat terlihat oleh para penjaga yang melakukan perondaan
mengelilingi pagar tembok gedung besar itu.......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment