Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kemelut Kerajaan Mancu
Jilid 08
AKAN tetapi
sekali ini lain. Baru saja dia tiba di luar pagar tembok, sesosok bayangan
menghadangnya dan suara wanita yang nyaring membentaknya.
"Berhenti!"
Thian Bong
Sianjin me lihat di bawah sinar bulan purnama bahwa yang menghadangnya adalah
seorang gadis jelita dengan pedang di tangan.
"Thian
Hwa..."!" Tosu itu berseru dengan girang.
"Kong-kong...?"
Thian Hwa juga berseru, girang akan tetapi juga kaget dan heran.
"Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw" Akan tetapi... mengapa..." Apakah Kong- kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah...."
"Kong-kong yang memasuki gedung Pangeran Bouw" Akan tetapi... mengapa..." Apakah Kong- kong tahu bahwa... bahwa... Bouw Hujin adalah...."
"Ssst,
mari kita pergi menjauh agar jangan kelihatan petugas jaga yang meronda dan
bicara di sana," kata kakek itu dan mereka berdua segera melompat dan dua
sosok bayangan berkelebat cepat meninggalkan tempat itu.
Setelah tiba
di tempat sunyi, Thian Hwa berkata, "Kong- kong, mari kita ke rumah Ayah
saja. Aku sekarang tinggal bersama Ayah kandungku, Pangeran Ciu Wan Kong.
Kakekku, ayah dari ibuku, juga tinggal di sana. Mari, Kong-kong, marilah kita
ke sana dan bicara di sana."
Thian Bong
Sianjin tidak dapat menolak ajakan muridnya yang dianggapnya seperti anak atau
cucu sendiri itu. Dia amat menyayang Thian Hwa dan dia ikut berbahagia bahwa
gadis itu kini telah bertemu dan tinggal bersama ayah kandungnya.
Setelah tiba
di gedung ayahnya, Thian Hwa menyuruh petugas jaga untuk membuka pintu dan
begitu masuk, dia langsung membangunkan ayahnya, juga Lo Sam atau Cui Sam, ayah
mertua Pangeran Ciu Wan Kong yang sekarang ikut tinggal di gedung itu sebagai
ayah mertua yang terhormat.
Ketika
diperkenalkan, Pangeran Ciu Wan Kong segera memberi hormat kepada tosu itu dan
berkata terharu.
"Totiang
yang bijaksana dan berbudi mulia, perkenankan saya menghaturkan terima kasih
yang sedalam-dalamnya kepada Totiang!" Dia hendak berlutut di depan kaki
Thian Bong Sianjin, akan tetapi cepat tosu itu memegang kedua pundaknya dan
mengangkat bangkit kembali.
"Siancai,
jangan begitu, Pangeran. Kalau hendak berterima kasih, marilah kita berterima
kasih kepada Yang Maha Kuasa. Pinto hanya melakukan kewajiban pinto, lain
tidak."
"Totiang,
bagaimana saya tidak berterima kasih kepada
Totiang"
Totiang telah menyelamatkan anak perempuan saya, dan kembalinya Thian Hwa
kepada saya berarti memberi kehidupan baru bagi saya. Totiang bukan hanya
menyelamatkannya, bahkan memelihara dan mendidiknya sehingga ia menjadi seorang
gadis yang dapat dibanggakan orang tuanya. Terima kasih, Totiang."
Melihat
sikap pangeran ini, diam-diam Thian Bong Sianjin bersukur. Kiranya ayah dari
Thian Hwa adalah seorang laki- laki yang halus dan baik budi, tidak seperti
pangeran lain yang biasanya bersikap congkak dan tinggi hati, memandang rendah
orang biasa yang bukan bangsawan atau hartawan.
Cui Sam juga
mengucapkan terima kasih kepada Thian Bong Sianjin yang telah menyelamatkan,
memelihara dan mendidik cucunya. Setelah itu, kakek yang tahu diri ini, yang merasa
tidak tahu mengenai urusan negara, lalu berpamit mengundurkan diri. Kini
tinggal Pangeran Ciu dan Thian Hwa yang duduk bercakap-cakap dengan Thian Bong
Sianjin.
"Dan
sekarang, katakan, Kong-kong.
Apakah Kong-kong sudah tahu siapa sebenarnya Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki?" tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya. Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.
Apakah Kong-kong sudah tahu siapa sebenarnya Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki?" tanya Thian Hwa sambil menatap wajah kakek angkatnya. Melihat cara bicara dan sikap Thian Hwa terhadap tosu itu yang demikian akrab bahkan manja, diam-diam Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan semakin bersukur bahwa puterinya ditolong seorang tosu yang demikian baik budi.
Thian Bong
Sianjin tersenyum dan mengangguk. "Ia Souw Lan Hui, bukan?"
"Ah,
Kong-kong sudah tahu?"
"Tentu
saja, Thian Hwa. Sejak dulu juga pinto sudah tahu bahwa Souw Lan Hui menjadi
Nyonya Pangeran Bouw Hun Ki!"
"Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap" Apa yang Kong- kong lakukan di sana?" tanya Thian Hwa heran.
"Akan tetapi kenapa engkau pada tengah malam memasuki tempat keluarga Bouw secara menggelap" Apa yang Kong- kong lakukan di sana?" tanya Thian Hwa heran.
"Thian
Hwa, bersikaplah sopan terhadap gurumu!" kata Pangeran Ciu Wan Kong
menegur puterinya.Thian Bong Sianjin tertawa. "Ha-ha-ha...! Tidak mengapa,
Pangeran! Thian Hwa memang merupakan cucuku sendiri maka ia sudah terbiasa
manja dan bicara terbuka dan jujur.
Pertanyaan
yang jujur itu perlu jawaban yang jujur pula. Bukankah begitu, Thian Hwa?" "Tentu saja, Kong-kong.
Bukankah sejak dulu Kong-kong mengajarkan agar aku terbuka dan jujur?"
"Akan
tetapi urusan ini merupakan rahasia yang menyangkut Kerajaan Ceng, menyangkut
keselamatan Pangeran Mahkota."
"Ah,
kalau begitu, lebih penting lagi aku harus tahu! Ketahuilah, Kong-kong, aku
adalah orang yang ditugaskan Sribaginda Kaisar untuk melindungi Pangeran
Mahkota, membantu keluarga Pangeran Bouw, bahkan aku telah diberi Tek-pai oleh
Sribaginda Paman Kaisar."
Diam-diam
Thian Bong Sianjin terkejut, akan tetapi juga bangga. "Engkau" Diberi
kuasa oleh Sribaginda Kaisar?" Dia menoleh dan memandang kepada Pangeran
Ciu Wan Kong seolah minta kesaksiannya.
"Benar,
Totiang. Thian Hwa menyelamatkan Kakanda Kaisar dari serangan lima orang
penjahat dan ia lalu diberi Tek-pai oleh Kakanda Kaisar dan diberi tugas
membantu keluarga Kakanda Pangeran Bouw Hun Ki untuk melindungi Pangeran
Mahkota."
"Hebat!
Engkau hebat, Thian Hwa dan pinto ikut bangga mendengarnya.
Sekarang
memang tidak ada rahasia lagi, tentu saja engkau boleh mendengar penjelasanku.
Ketika aku merantau ke selatan, ke daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi, di Yunnan-hu
pinto mendengar bahwa Wu Sam Kwi mengadakan persekutuan dengan Pangeran Cu
Kiong di kota raja untuk merebut tahta kerajaan dan rencana pertama mereka
adalah mengirim dua orang pembunuh yang amat sakti untuk membunuh Pangeran
Mahkota."
"Ih!
Pangeran keparat itu!" Thian Hwa berseru, demikian marahnya sehingga ia
memaki, membuat ayahnya mengerutkan alisnya memandang kepada puterinya.
"Thian
Hwa, perbuatan Pangeran Cu Kiong itu memang tidak benar dan jahat sekali. Kita
mengira bahwa Pangeran Leng Kok Cun yang hendak memberontak dan membunuh Pangeran
Mahkota, tidak tahunya Pangeran Cu Kiong juga, malah bersekutu dengan Jenderal
Wu Sam Kwi! Akan tetapi mengapa engkau membenci dan memakinya begitu
kasar?"
Thian Hwa
menghela napas panjang, teringat bahwa ia memang tidak menceritakan
persoalannya dengan Pangeran Cu Kiong yang hendak memperalatnya dulu. Ia lupa
pula bahwa ia kini adalah seorang puteri bangsawan, puteri seorang pangeran,
keponakan kaisar, sehingga tidak semestinya mengeluarkan kata makian.
"Maaf,
Ayah. Aku benci mendengar orang berniat jahat," katanya. Thian Bong
Sianjin yang sudah mendengar cerita Thian Hwa tentang persoalan gadis itu dengan
Pangeran Cu Kong, maklum bahwa gadis itu belum menceritakannya kepada ayahnya.
Maka dia pun
tidak menanggapi dan melanjutkan ceritanya. "Nah, mendengar itu aku lalu
pergi ke sini untuk menceritakan kepada yang berwenang akan ancaman itu agar Sang
Pangeran tidak jadi terbunuh. Akan tetapi aku mendengar bahwa Pangeran Mahkota
berada dalam lindungan Pangeran Bouw Hun Ki yang sudah kukenal. Karena itulah maka
aku lalu tadi berkunjung ke sana dan telah bertemu dengan Pangeran Bouw,
isterinya, dan dua orang anaknya.
Sudah kuberi
laporan tentang ancaman bahaya itu. Sekarang telah selesai kewajibanku, aku
akan melanjutkan perjalananku. Pangeran, maafkan, pinto akan melanjutkan perjalanan
pinto."
"Aih,
kenapa tergesa-gesa amat, Totiang"
Tinggallah di rumah kami agar kami dapat membuktikan rasa sukur dan terima kasih kami kepada Totiang."
Tinggallah di rumah kami agar kami dapat membuktikan rasa sukur dan terima kasih kami kepada Totiang."
"Terima
kasih, Pangeran. Sudah pinto katakan tadi, tidak perlu ada rasa terima kasih itu.
Pinto sudah merasa bahagia sekali melihat Thian Hwa dapat bertemu dan berkumpul
dengan ayah kandungnya dan kakeknya. Pinto akan pergi
sekarang
juga."
"Tidak...!"
Tiba-tiba Thian Hwa bangkit dari tempat duduknya, menghampiri dan merangkul
pundak Thian Bong Sianjin.
"Tidak, Kong-kong, engkau tidak boleh pergi begitu saja! Setidaknya, tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih kangen dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!" Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.
"Tidak, Kong-kong, engkau tidak boleh pergi begitu saja! Setidaknya, tinggallah di sini selama beberapa hari, aku masih kangen dan banyak hal yang perlu kubicarakan denganmu! Kong-kong, jangan pergi...!" Suara Thian Hwa manja dan seperti hendak menangis.
Thian Bong
Sianjin tersenyum dan menggeleng-gelengkan kepalanya, akan tetapi dengan penuh
sentuhan sayang dia mengelus rambut kepada gadis itu.
Melihat ini, Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan dia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.
Melihat ini, Pangeran Ciu Wan Kong merasa terharu dan dia lalu bangkit dari duduknya dan berkata kepada Thian Bong Sianjin dengan suara agak gemetar menahan haru.
"Totiang,
silakan T otiang bicara berdua dengan Thian Hwa, dan mudah-mudahan Totiang
tidak segera pergi sekarang melainkan suka tinggal beberapa lamanya di sini.
Selamat malam."
Pangeran itu lalu masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.
Pangeran itu lalu masuk ke dalam dan membiarkan puterinya berdua dengan tosu itu.
"Siancai!
Anak nakal, engkau memaksa aku merasa tidak enak kepada ayahmu kalau pergi
juga. Nah, mari kita bicara.
Apa yang ingin kaubicarakan?"
Apa yang ingin kaubicarakan?"
Thian Hwa
duduk kembali, berhadapan dengan kakek itu, terhalang meja. "Aku rindu
sekali kepadamu, Kong-kong. Aku ingin mendengar semua pengalaman Kong-kong
sejak kita berpisah dan nanti akan kuceritakan semua pengalamanku kepadamu."
"Ha-ha,
anak nakal. Apa yang dapat kuceritakan" Aku merantau ke selatan, ke arah
Se-cuan dan tiba di Yunnan-hu.
Melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya.
Melihat keadaan daerah yang dikuasai Wu Sam Kwi dan para pengikutnya.
Di sanalah
aku mendengar tentang persekutuan Wu Sam Kwi dengan Pangeran Cu Kiong itu, maka
aku segera kembali ke utara untuk melaporkan hal itu agar tidak lagi terjadi
perang karena perang hanya mendatangkan kesengsaraan kepada rakyat
jelata."
"Kong-kong,
ceritakan, bagaimana pertemuan Kong-kong dengan Bouw Hujin?" Thian Bong
Sianjin tertawa. "Ha-ha, tentu saja pertemuan antara kami itu baik-baik
saja. Bouw Hujin hanya merasa terharu melihat aku kini telah menjadi seorang
tosu.
Akan tetapi kami bertemu sebagai dua orang
sahabat, demikian pula suami dan anak-anaknya menganggap aku sebagai seorang
sahabat baik. Tidak ada apa-apa yang aneh dan jangan kau membayangkan yang
bukan-bukan! Nah, sekarang kauceritakan pengalamanmu sejak kita berpisah, Thian
Hwa."
"Nanti
dulu, Kong-kong. Ada satu hal yang penting yang belum Kong-kong ceritakan.
Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?"
Siapakah dua orang sakti yang diutus Wu Sam Kwi untuk membunuh Pangeran Mahkota?"
"Yang
pertama adalah Koksu (Guru Negara), penasihat dari Wu Sam Kwi sendiri yang disebut
Lam-hai Cin-jin (Datuk Laut Selatan)."
"Apakah
dia lihai sekali, Kong-kong?"
"Dia
adalah datuk dari selatan, tentu saja memiliki ilmu silat yang tinggi. Akan tetapi
orang ke dua lebih hebat lagi, karena dia seorang pertapa yang menjadi Susiok
(Paman Guru) dari Lam-hai Cin-jin, bernama Ngo-beng Kui-ong (Raja Setan Bernyawa
Lima), yang kabarnya selain ahli silat tingkat tinggi juga ahli sihir,
sedangkan Lam-hai Cin-jin adalah seorang ahli racun." "Ih,
mengerikan.
Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?"
Apakah Bouw Hujin sudah mengetahui dan mengenal mereka?"
"Aku
tadi belum menceritakan kepada keluarga Bouw s iapa dua orang pembunuh utusan
Wu Sam Kwi itu. Nah, sekarang ceritakan pengalamanmu."
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Ia menceritakan betapa ia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu dan betapa bersama Kong Liang ia membasmi perampok-perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.
Thian Hwa lalu menceritakan pengalamannya sejak ia meninggalkan gurunya yang disebutnya kong-kong (kakek) itu. Ia menceritakan betapa ia bertemu dengan Bu Kong Liang, pemuda murid Siauw-lim-pai itu dan betapa bersama Kong Liang ia membasmi perampok-perampok jahat dan memberi hajaran kepada Jaksa Bong yang sewenang-wenang.
"Dan
ketika aku mengunjungi keluarga Pangeran Bouw, aku bertemu pula dengan Bu Kong
Liang. Ternyata dia juga membantu keluarga Bouw melindungi Pangeran Mahkota
yang berada di gedung Pangeran Bouw."
Karena Thian
Bong Sianjin ingin mendengar secara jelas betapa murid yang diaku cucunya itu
menyelamatkan kaisar, gadis itu menceritakan lagi peristiwa itu sehingga
Sribaginda Kaisar berterima kasih kepada keponakannya ini dan memberi kepercayaan
besar.
"Aku
harus melindungi Pangeran Mahkota dan menjaga agar pelaksanaan pengangkatan dia
menjadi kaisar dapat terlaksana tanpa ada gangguan."
"Pangeran
Mahkota diangkat menjadi Ka isar" Bukankah dia masih kecil, kabarnya usianya
baru sekitar sepuluh tahun!"
Thian Hwa telah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini ia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia berbisik. "Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberitahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali me lihat para puteranya saling memperebutkan tahta, maka beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati."
Thian Hwa telah terlanjur bicara, akan tetapi kepada gurunya ini ia merasa tidak perlu menyembunyikan rahasia Kaisar Shun Chi. Ia berbisik. "Kong-kong, ini merupakan rahasia besar dan hanya kepada Kong-kong aku berani memberitahu. Kaisar Shun Chi berduka sekali me lihat para puteranya saling memperebutkan tahta, maka beliau mengambil keputusan untuk pura-pura mati."
"Siancai...!
Pura-pura mati" Apa maksudmu?"
"Begini,
Kong-kong. Paman Kaisar yang menjadi pemeluk Agama Buddha yang taat, ingin
diam-diam meninggalkan istana untuk hidup sebagai seorang pendeta Buddha, dan diam-diam
beliau akan dikabarkan meninggal dunia. Beliau telah meninggalkan surat wasiat
kepadaku untuk diserahkan kepada Pangeran Bouw. Surat itu adalah surat
pengangkatan Pangeran Mahkota sebagai pengganti Ka isar."
"Siancai...
patut dipuji dan dikagumi keputusan yang diambil oleh Sribaginda Kaisar itu.
Engkau mendapatkan tugas yang amat penting dan mulia, Thian Hwa.
Maka, lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu."
Maka, lakukanlah itu sebaik mungkin agar engkau dapat mengangkat tinggi nama dan kehormatan ayahmu."
"Kong-kong,
tugas ini memang berat dan berbahaya, apalagi mengingat akan niat buruk
Pangeran Leng Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong yang bersekutu dengan Jenderal Wu Sam
Kwi. Karena itu, aku ingin agar engkau suka membantu kami, Kong-kong. Bukankah
Kong-kong juga sahabat baik Bouw Hujin dan sudah sepatutnya kalau Kong-kong membantunya?"
Thian Bong
Sianjin menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tidak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng...."
"Sayang sekali, Thian Hwa. Aku tidak dapat mencampuri urusan keluarga Kaisar dan tentu saja tidak mungkin aku membantu Pemerintah Ceng...."
"Maksudmu
Pemerintah Mancu, Kong-kong" Engkau tidak mau membantu karena pemerintah
ini adalah pemerintah Mancu?" "Ya, begitulah, Thian Hwa. Bagaimanapun
juga, pemerintah Kerajaan Ceng adalah pemerintah penjajah, bukan bangsaku.
Maka, tentu
tidak mungkin aku membantunya."
"Kalau
begitu, Kong-kong akan membantu Jenderal Wu Sam Kwi karena dia adalah seorang
pribumi Han?" T hian Hwa mengejar dan suaranya mengandung penasaran.
Thian Bong
Sianjin menggelengkan kepalanya. "Wu Sam Kwi memang seorang Han, akan
tetapi dia bukan anggota keluarga Kerajaan Beng. Dia dahulu bahkan memberontak terhadap
Kerajaan Beng. Dia seorang petualang yang berjuang untuk dirinya sendiri, sama
sekali bukan pejuang untuk menegakkan Kerajaan Beng yang sudah jatuh, dan bukan
pula pejuang rakyat.
Jelas aku tidak mau membantunya.
Jelas aku tidak mau membantunya.
Dalam keadaan sekarang ini, aku ingin bebas dan
tidak mencampuri perang yang hanya akan membuat rakyat kita menderita
sengsara."
"Akan
tetapi Kong-kong menganjurkan aku untuk membantu Pamanda Kaisar!"
"Tentu
saja, Thian Hwa. Jangan lupa, engkau adalah puteri Pangeran Ciu Wan Kong,
keponakan dari Sribaginda Kaisar, maka tentu saja sudah menjadi kewajibanmu
untuk membelanya, berarti membela keluarga ayah kandungmu sendiri, menentang
mereka yang memberontak dan mempunyai niat jahat terhadap Pangeran Mahkota yang
juga merupakan saudara misanmu sendiri."
"Akan
tetapi, bukankah sahabat Kong-kong, yaitu Sin-hong- cu Souw Lan Hui itu juga
seorang wanita pribumi Han" Ia juga membela Pamanda Kaisar dan Kong-kong
tidak menentangnya!" bantah Thian Hwa.
Tosu itu
tersenyum. "Aih, Thian Hwa, perlukah kujelaskan padamu" Souw Lan Hui
adalah isteri Pangeran Bouw Hun Ki, ia pun telah menjadi keluarga Kaisar, maka
tentu saja ia pun berkewajiban untuk membela keluarganya sendiri.
Ketahuilah baik-baik,
Thian Hwa. Aku tidak membela Kaisar Kerajaan Mancu bukan karena aku membencinya,
karena tidak ada permusuhan pribadi antara aku dan dia. Aku tidak dapat membelanya
karena itu berlawanan dengan hati nuraniku sebagai anak bangsa yang tidak mau
membantu pihak yang menjajah tanah air dan bangsa Han.
Akan tetapi aku pun tidak memusuhinya karena
dalam urusan kebangsaan ini dia tidak dapat disalahkan, dia pun hanya anggota
bangsanya yang melaksanakan tugas. Selama kaisar atau pembesar mana pun, baik
bangsa Mancu ataupun bangsa Han sendiri, bertindak bijaksana dan tidak menindas
rakyat, aku pasti tidak akan memusuhinya, mengertikah engkau, Thian Hwa?"
Thian Hwa
diam sejenak, berpikir dan mengingat-ingat akan apa yang pernah diajarkan
gurunya itu. "Apakah Kong- kong maksudkan hal ini menyangkut kebaktian
kepada bangsa seperti yang Kong-kong sering katakan dahulu?"
"Benar,
Thian Hwa. Ada tiga kebaktian yang harus kita lakukan dalam hidup ini.
Pertama berbakti kepada T hian yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama agama di dunia. Ke dua berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman.
Pertama berbakti kepada T hian yang berarti pantang melakukan segala bentuk kejahatan yang dilarang olehNya menurut petunjuk semua kitab suci agama agama di dunia. Ke dua berbakti kepada orang tua yang berarti membela dan menjunjung tinggi nama dan kehormatan mereka dengan cara hidup sebagai orang yang baik dan budiman.
Dan yang ke tiga, berbakti kepada bangsa yang berarti
membela negara sebagai seorang pahlawan bangsa. Kalau seseorang melanggar satu
di antara tiga kebaktian ini, dia akan menjadi seorang manusia yang tercela dan
tidak baik."
"Aku ingat, dahulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa.
"Aku ingat, dahulu Kong-kong mengatakan bahwa yang melanggar kebaktian terhadap Thian adalah orang berdosa.
Yang
melanggar kebaktian terhadap orang tua disebut orang durhaka. Dan yang melanggar
kebaktian terhadap bangsa dan negara disebut seorang pengkhianat."
"Benar,
Thian Hwa. Engkau tentu tidak ingin mempunyai guru dan kakek angkat yang
disebut pengkhianat, bukan?" Thian Hwa segera berlutut dan merangkul kedua
kaki tosu itu dan ia menangis. Thian Bong Sianjin hanya mengelus rambut gadis
itu penuh kasih sayang.
"Kong-kong....,
kenapa Kong-kong bukan bangsa Mancu atau aku bukan keturunan Han saja agar kita
dapat bersikap, berpendirian dan bertindak yang sama...?" Ia meratap.
"Hentikan
tangismu, Thian Hwa dan duduklah. Keluhanmu tadi mungkin dikeluhkan juga oleh
banyak sekali manusia yang menghadapi kesulitan dan kebingungan karena adanya bentrokan
antara suku atau bangsa. Bentrokan yang sering kali membuat orang-orang yang
saling menyayangi terpaksa menjadi terpecah belah, dipecah oleh suku, bangsa,
atau bahkan agama yang saling bertentangan.
Akan tetapi
lahir sebagai suatu warga bangsa merupakan takdir, merupakan kehendak dan
rahasia T hian yang tidak dapat dimengerti oleh siapa pun.
Mengapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu"
Mengapa aku dilahirkan sebagai keturunan Han dan mengapa pula engkau dilahirkan sebagai keturunan Mancu"
Ini
merupakan kehendak Thian dan sesungguhnya tidak ada salahnya sama sekali. Yang
bersalah adalah manusianya mengapa dapat bercerai-berai, terpecah-belah dan
saling bermusuhan!
Sesungguhnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi.
Sesungguhnya Thian tidak menghendaki yang demikian itu terjadi.
Semua itu
ulah manusia karena pengaruh nafsu daya rendah dan akibatnya terjadi
permusuhan, bunuh membunuh, yang kesemuanya hanya mendatangkan kekacauan di
dunia dan penderitaan bagi manusia sendiri."
Thian Hwa
tidak dapat membujuk guru atau kakek angkatnya itu untuk ikut membela Kaisar.
Akan tetapi ia berhasil menahan Thian Bong Sianjin yang terpaksa menuruti permintaannya
untuk tinggal di gedung Pangeran Ciu sampai tiga hari lamanya.
Kemudian dia
pergi meninggalkan gedung itu, akan tetapi sebelum pergi dia menerima sebuah
hiasan rambut berbentuk Burung Hong dari emas permata yang diberikan Thian Hwa
kepadanya. Hal ini dilakukan Thian Hwa setelah gurunya itu berjanji akan menyelidiki
dan mencari ibu kandungnya yang hanyut di Sungai Huang-ho akan tetapi tak pernah
ditemukan mayatnya.
"Aku
mempunyai perasaan bahwa ibu kandungmu masih hidup, Thian Hwa.
Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut."
Aku sudah melakukan penyelidikan di sepanjang tepi Sungai Kuning, namun tidak ada penduduk di sepanjang tepi sungai yang pernah menemukan mayat seorang wanita yang hanyut."
"Mimpi
Kong-kong yang dulu Kong-kong ceritakan itu benar. Menurut Kakek Cui Sam, Ibu
memang mempunyai setitik tahi lalat di atas bibirnya. Aih, betapa akan
bahagianya hidupku kalau ternyata Ibu masih hidup dan aku dapat bertemu
dengannya!"
"Aku
akan mencoba untuk melakukan penyelidikan dan pencarian lagi, Thian Hwa." Mendengar
ini, Thian Hwa lalu mengambil hiasan rambut yang dulu diterimanya dari Kakek
Cui Sam itu dan menyerahkannya kepada gurunya.
"Siapa
tahu usaha Kong-kong berhasil.
Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya."
Bawalah hiasan milik Ibu ini, Kong-kong, siapa tahu perhiasan ini dapat menuntun Kong-kong kepada pemiliknya."
Thian Bong
Sianjin menerimanya, menyimpannya lalu pergi meninggalkan kota raja. Im-yang
Sian-kouw duduk termenung seorang diri di depan pondok kayu sederhana di puncak
Bukit Kera itu.
Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok. Burung- burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatarbelakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok.
Beberapa ekor kera kecil bermain-main di atas atap pondok. Burung- burung berkicau riang gembira di pepohonan, suara mereka seperti nyanyian riang dilatarbelakangi suara gemericik air terjun yang berada di sebelah belakang pondok.
Matahari pagi bersinar hangat dan
cerah, suasana di puncak itu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya. Ia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya.
cerah, suasana di puncak itu mendatangkan ketenangan dan ketenteraman. Akan tetapi Im-yang Sian-kouw seolah tidak melihat atau mendengar semua itu. Ia tenggelam ke dalam lamunannya. Ia duduk bersila di atas sebuah batu bundar. Batu besar yang sengaja dibentuk menjadi bundar dan rata seperti sebuah meja, buatan Si Han Bun, muridnya.
Dilihat dari
jauh, Im-yang Sian- kouw yang dalam usianya yang sekitar empat puluh satu tahun
itu masih cantik, dalam pakaian serba putih, ia kelihatan seperti Kwan Im
Pouwsat (Dewi Kwan Im) sendiri sedang bersila di atas bunga teratai.
Kepekaan
panca indera kita menjadi tumpul oleh kebiasaan yang diulang-ulang. Mata ini
tidak lagi dapat menikmati keindahan yang setiap saat dilihatnya. Telinga ini
tidak lagi dapat menikmati kemerduan suara yang setiap saat didengarnya. Hidung
pun tidak lagi dapat menikmati keharuman yang setiap saat diciumnya dan mulut
pun tidak dapat menikmati kelezatan yang setiap saat dimakannya!
Hal ini
adalah karena segala macam kesenangan itu akan berubah menjadi kebosanan setelah
terus-menerus dialami. Karena itulah, maka dia yang dapat menikmati segala
sesuatu hanyalah orang yang belum memiliki segala sesuatu itu.
Berbahagialah
orang yang dapat menjaga semua kepekaan panca inderanya dengan menerima segala
sesuatu sebagai hal yang baru. Baru setiap hari, baru setiap saat, karena yang baru
itu selalu menyenangkan.
Pada saat
itu, Im-yang Sian-kouw tidak dapat menikmati segala keindahan yang terbentang
di depannya. Wanita yang memiliki ilmu silat dan ilmu pengobatan tinggi itu
sedang tenggelam ke dalam lamunan. Pikiran yang disibukkan dengan kesenangan
masa lalu, tenggelam ke dalam ingatan dan renungan, kehilangan kewaspadaannya
dan selalu mendatangkan kemurungan dan kesedihan.
Masa lalu wanita sakti ini memang penuh dengan
pengalaman yang amat pahit getir. Sekitar dua puluh tahun yang lalu Im-yang
Sian-kouw adalah seorang wanita muda yang lemah dan sama sekali tidak mengenal
ilmu silat. Ia adalah seorang gadis sederhana dan cantik, puteri Cui Sam yang
duda dan miskin.
Ayah dan anak
ini bekerja sebagai pelayan dalam gedung keluarga Pangeran Ciu Wan Kong yang ketika
itu berusia sekitar tiga puluh tahun. Pangeran Ciu Wan Kong jatuh cinta kepada
Cui Eng,
yaitu nama Im-yang Sian-kouw ketika masih gadis. Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu.
yaitu nama Im-yang Sian-kouw ketika masih gadis. Cui Eng juga membalas cinta pangeran yang baik hati itu.
Sebagai seorang
pelayan, tentu saja Cui Eng tidak dapat menolak rayuan dan ajakan Pangeran Ciu
Wan Kong. Mereka mengadakan hubungan dan Cui Eng menjadi hamil. Akan tetapi
orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi marah dan tidak setuju
kalau putera tunggal mereka menikahi seorang gadis pelayan.
Terjadi pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya. Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa.
Terjadi pertentangan, akan tetapi Pangeran Ciu Wan Kong tidak berani menentang ayah ibunya. Ketika Cui Eng melahirkan seorang bayi perempuan, orang tua Pangeran Ciu Wan Kong menjadi lebih marah dan kecewa.
Andaikata anak itu terlahir laki-laki, mungkin
akan berbeda nasib Cui Eng.
Akan tetapi anaknya terlahir perempuan dan ia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!
Akan tetapi anaknya terlahir perempuan dan ia serta ayahnya lalu diusir dari gedung itu!
Sesungguhnya
Pangeran Ciu Wan Kong amat mencinta Cui Eng, akan tetapi dia tidak berani
menentang kehendak orang tuanya. Dia hanya dapat diam-diam memberi bekal secukupnya
kepada Ciu Sam dan Cui Eng. Ayah, anak dan cucu yang masih bayi itu terpaksa
meninggalkan kota raja, hendak pulang ke dusun kampung kelahiran mereka.
Akan tetapi
ketika mereka naik perahu di Sungai Kuning yang ketika itu sedang banjir,
terjadilah musibah itu. Perahu mereka terguling dan bayinya terlepas dari
pondongannya! Ia hanyut dan menjerit-jerit sekuatnya memanggil anak dan ayahnya
yang hanyut terpisah darinya. Akhirnya ia pingsan dan tidak ingat apa-apa lagi!
Ketika ia s
iuman, tahu-tahu ia te lah berada di pondok yang berada di Puncak Bukit Kera
ini. Ternyata ia telah diselamatkan oleh seorang datuk besar persilatan, yaitu
Bu Beng Kiam-sian (Dewa Pedang Tanpa Nama) yang bertapa di Bukit Kera.
Datuk itu menyelamatkannya
dari air sungai Huang-ho, mengobatinya sehingga ia selamat dari maut, akan tetapi
berada dalam keadaan lupa ingatan dan sering pingsan.
Bu Beng
Kiam-sian membawanya ke Bukit Kera dan setelah seminggu dirawat, barulah ia
siuman dan sadar betul.
Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning. Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu, dia tidak dapat menemukan apa-apa.
Sambil menangis ia menceritakan riwayatnya dan mohon kepada penolongnya untuk mencarikan ayahnya dan bayinya yang hanyut pula di Sungai Kuning. Bu Beng Kiam-sian segera pergi ke Sungai Kuning untuk mencari Cui Sam dan bayi itu, akan tetapi karena peristiwa itu terjadi seminggu yang lalu, dia tidak dapat menemukan apa-apa.
Akhirnya dia
kembali ke Bukit Kera dan menceritakan kepada Cui Eng bahwa pencariannya tidak
berhasil dan sedikit sekali kemungkinannya ayah dan bayinya itu dapat selamat
dari air sungai yang sedang banjir itu.
Demikianlah,
sejak itu Cui Eng yang sudah kehilangan segala-galanya yang membuat ia
terkadang bosan hidup, akhirnya menjadi murid Bu Beng Kiam-sian yang merasa iba
kepadanya. Cui Eng seolah menjadi manusia baru.
Kalau dulu ia seorang wanita lemah, kini ia
menjadi seorang wanita yang sakti.
Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi ia telah menjadi manusia lain.
Juga dari Bu Beng Kiam-sian ia mendapat banyak pelajaran tentang hidup dan ini membuat ia dapat melanjutkan kehidupannya. Akan tetapi ia telah menjadi manusia lain.
Ia membuang namanya dan sepuluh tahun kemudian,
setelah ia menjadi seorang wanita yang benar- benar tangguh, Bu Beng Kiam-sian
memberinya nama Im- yang Sian-kouw. Nama ini diberi mengingat bahwa ia adalah seorang
ahli ilmu Im-yang Kiam-hoat (Ilmu Pedang Im Yang) dari Im-yang Posan (Ilmu K
ipas Im Yang).
Pada waktu
itu, Bu Beng Kiam-sian membawa pulang Si Han Bu, anak yatim piatu yang ayah
ibunya terbunuh oleh pasukan Wu Sam Kwi. Im- yang Sian-kouw mendidik Si Han Bu
menjadi muridnya sampai sekarang. Kini, Bu Beng Kiam-sian telah meninggal dunia
karena usia tua selama hampir dua tahun yang lalu.
Kini Im- yang
Sian-kouw tinggal berdua dengan Si Han Bu di Puncak Bukit Kera, ditemani
seorang wanita janda tua dari dusun di kaki bukit. Ia telah berusia empat puluh
satu tahun dan Si Han Bu kini telah menjadi seorang pemuda yang gagah perkasa berusia
sekitar dua puluh dua tahun!
Im-yang
Sian-kouw terusik dari lamunannya ketika seorang wanita tua berusia lima puluh
tahun keluar dari dalam pondok membawa sebuah baki berisi poci dan cawan teh.
"Silakan
minum Sian-kouw," kata wanita pelayan itu.Dengan suara lembut Im-yang
Sian-kouw menjawab.
"Biarlah,
kau taruh di atas meja dalam pondok dulu, Bibi Cong,aku belum ingin
minum." Bibi Cong mengangguk lalu kembali ke dalam pondok. Wanita ini
sudah menjadi janda sejak berusia tiga puluh tahun dan begitu Bu Beng Kiam-sian
membawa Cui Eng pulang dua puluh tahun yang lalu, orang sakti itu lalu minta
bantuan Bibi Cong untuk merawat Cui Eng dan membantu pekerjaan rumah.
Sejak itu,
Bibi Cong tidak pernah meninggalkannya dan menjadi pembantu atau pelayan yang
sudah dianggapnya sebagai bibinya sendiri oleh Cui Eng atau Im-yang Sian-kouw. Setelah
kemunculan Bibi Cong tadi membuyarkan lamunannya, kini Im-yang Sian-kouw
mengenangkan ayah dan bayinya.
Apakah ayahnya, Cui Sam masih hidup"
Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu" Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.
Apakah ayahnya, Cui Sam masih hidup"
Dan bagaimana dengan bayinya yang belum sempat ia beri nama itu" Agaknya tidak mungkin bayi yang masih demikian kecil dan lemah itu dapat bertahan hidup hanyut di sungai yang sedang banjir. Ia menghela napas panjang.
"Aih,
pagi-pagi begini Subo sudah melamun dan menghela napas panjang! Subo, teecu (murid)
ambilkan minum teh, ya?" Im-yang Sian-kouw tersenyum dan memandang kepada muridnya
yang telah berdiri di depannya, pemuda gagah perkasa dan tampan, tanpa memakai
baju dan dadanya yang bidang penuh dengan keringat sehingga berkilau terkena cahaya
matahari pagi. Segala sesuatu tampak cerah kalau pemuda itu hadir di dekatnya.
Melihat wajahnya saja yang penuh senyum cerah, bukan hanya mulutnya yang
tersenyum, bahkan sinar matanya pun turut tersenyum, hati terasa gembira.
Muridnya inilah yang bagaikan sinar terang terkadang mengusir kegelapan dari
hati Im-yang Sian-kouw yang timbul kalau ia teringat akan ayahnya dan
puterinya.
"Han Bu,
cepat pergi mandi dan bertukar pakaian. Jangan bertelanjang baju seperti ini
atau orang akan mengira engkau monyet penghuni Bukit Kera ini."
"Wah,
memang sudah ada yang memaki teecu sebagai monyet, Subo."
"Eh,
siapa yang berani memakimu sebagai monyet?" tanya Im-yang Sian-kouw,
penasaran juga mendengar muridnya dimaki orang.
"Siapa
lagi kalau bukan Wan Kim Hui yang galak itu, Subo!
Akan tetapi
teecu tidak marah lho, teecu malah senang dimaki seperti monyet."
"Hemm,
engkau senang dimaki seperti monyet karena yang memaki itu gadis cantik jelita!
Bukankah begitu?"
"Yah,
bukan cuma itu, Subo. Akan tetapi jauh lebih baik dimaki seperti monyet daripada
seperti orang, bukankah begitu"
Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!"
Seperti monyet berarti bukan monyet, akan tetapi kalau dimaki seperti orang berarti bukan orang!"
Im-yang
Sian-kouw tertawa, "He-heh, sudahlah, cepat mandi sana. Setelah mandi dan
berganti pakaian, baru engkau boleh bawakan teh untukku dan aku ingin bicara
penting padamu." "Baik, Subo. Semua yang Subo ucapkan selalu amat penting
bagi teecu!
" Dia
lalu berlari menuju ke pancuran air yang berada di belakang pondok, diikuti
tawa gurunya. Im- yang Sian-kouw amat sayang kepada muridnya itu. Si Han Bu merupakan
segala-galanya baginya. Ia telah kehilangan ayahnya, kehilangan suaminya, kehilangan
puterinya, kehilangan gurunya. Kini hanya tinggal Si Han Bu yang merupakan
pengganti dan ia menganggapnya sebagai anaknya sendiri.
Dan ia
merasa puas dengan bakat yang dimiliki Han Bu. Semua ilmunya yang ia dapatkan
dari mendiang Bu-beng Kiam-sian telah ia turunkan kepada Han Bu. Bahkan juga
ilmu pengobatan yang penting telah dikuasai Han Bu. Anak itu pun walau tidak
dapat dibilang ahli sastra, namun pengertiannya cukup tentang kehidupan, dan
yang penting tidak buta huruf.
Kiranya yang
dimiliki pemuda itu sudah dapat dipakai sebagai bekal atau modal untuk terjun
ke dunia ramai. Tak lama kemudian, Si Han Bu sudah muncul kembali dalam keadaan
segar, sudah mandi dan rambut serta pakaiannya sudah rapi.
Dia membawa
baki berisi poci dan cawan air teh itu dan dengan lincahnya dia meletakkan baki
di atas meja batu di depan gurunya. Dia sendiri lalu duduk di sebuah bangku
batu lain yang lebih kecil, di seberang meja, berhadapan dengan gurunya.
"Silakan
minum air teh, Subo," katanya sambil menuangkan air teh yang masih panas
dari poci ke dalam cawan. Im-yang Sian-kouw mengambil cawan itu lalu minum
perlahan-lahan. Memang sedap sekali minum air teh yang pahit sepat dan sedap
harum di waktu pagi seperti itu.
Setelah
minum dua cawan kecil air teh, Im-yang Sian-kouw memandang muridnya dan berkata
dengan suara serius.
"Han
Bu, ingatkah engkau, berapa lamanya engkau berada di Puncak Bukit Kera ini dan
mempelajari ilmu sejak engkau dibawa mendiang Suhu Bu Beng Kiam-sian ke
sini?" Han Bu memandang gurunya dengan sinar mata heran, akan tetapi dia
merasakan kesungguhan dalam suara gurunya itu, maka dia pun menjawab.
"Subo setiap tahun baru yang dirayakan penduduk di kaki bukit, teecu
menghitung dan sudah terjadi dua belas kali sejak teecu berada di sini.
Berarti sudah
dua belas tahun, benarkah itu, Subo?" Im-yang Sian-kouw mengangguk lalu
bertanya lagi. "Jadi kalau begitu, sekarang ini berapa sudah usiamu?"
"Dulu
sepuluh ditambah dua belas, jadi dua puluh dua tahun, Subo. Akan tetapi...
mengapa Subo menanyakan umur teecu"
Apakah teecu mau di... kawinkan...?" Im-yang Sian-kouw tersenyum geli. "Bocah tolol!" Ia terpaksa memaki sayang. "Kalau kau kawin, cari sendiri jodohmu.
Apakah teecu mau di... kawinkan...?" Im-yang Sian-kouw tersenyum geli. "Bocah tolol!" Ia terpaksa memaki sayang. "Kalau kau kawin, cari sendiri jodohmu.
Setelah
bertemu, baru aku akan mengurus perkawinanmu. Jangan macam-macam, aku mau
bicarakan sesuatu yang penting padamu. Buka telingamu lebar-lebar dan dengarkan
baik-baik."
"Baik,
baik, Subo! Teecu dengarkan!" Dia memiringkan kepalanya dan menghadapkan
telinganya kepada gurunya sehingga melihat gaya ini, kembali Im-yang Sian-kouw
tidak dapat menahan tawanya,
"Beginikah,
Han Bu. Engkau sekarang sudah cukup dewasa, bukan anak-anak lagi. Maka sudah
sepantasnya engkau turun gunung, memasuki dunia ramai, memanfaatkan semua ilmu yang
telah kaupelajari di sini untuk bertindak sebagai seorang pendekar pembela kebenaran
dan keadilan. Tinggalkan tempat ini, Han Bu, dan bersikap serta bertindaklah
yang benar, sesuai dengan semua ajaran yang kau terima dari mendiang Suhu Bu
Beng Kiam-sian dan dariku."
Mendengar
keseriusan sikap dan suara gurunya, tiba-tiba Han Bu bersikap lain.
Lenyaplah semua kejenakaannya dan dia lalu turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.
Lenyaplah semua kejenakaannya dan dia lalu turun dari bangku batunya lalu menjatuhkan diri berlutut di depan batu yang diduduki gurunya.
"Subo...
bagaimana teecu dapat meninggalkan Subo sendiri di sini"
Apakah Subo... mengusir teecu" Lalu, ke mana teecu akan pergi, Subo...?"
Apakah Subo... mengusir teecu" Lalu, ke mana teecu akan pergi, Subo...?"
Im-yang
Sian-kouw tersenyum, lalu mengetuk kepala pemuda itu. "Anak bodoh,
duduklah. Sudah kukatakan tadi, dengarkan aku baik-baik dan jangan menyangka
yang bukan-bukan.
Duduklah!"
Pemuda itu bangkit dan duduk kembali, akan tetapi wajahnya kehilangan
kegembiraannya.
"Maaf,
Subo. Nah, jelaskanlah mengapa teecu harus pergi, Subo. Teecu akan mendengarkan
dengan baik."
"Pertama,
engkau telah dewasa dan tidak ada lagi yang dapat kaupelajari di sini, maka
sebaiknya engkau menambah pengetahuanmu dengan menimba pengalaman dari luar. Ke
dua, sesuai dengan keinginan mendiang Suhu Bu Beng Kiam- sian dan aku sendiri,
engkau seyogianya menjadi seorang pembela kebenaran dan keadilan dan untuk itu
engkau harus terjun di dunia ramai dan mengamalkan semua kepandaian yang telah
kaupelajari dengan susah payah selama sepuluh tahun lebih ini agar tidak sia-sia
bagi aku yang mengajar dan engkau yang belajar.
Dan ke tiga,
aku ingin engkau dapat menolong aku." Mendengar alasan ke tiga ini,
seketika Han Bu menjadi bersemangat sekali. "Subo, tentu saja teecu selalu
siap sedia untuk membantu Subo. Cepat perintahkan Subo, apa yang harus teecu
lakukan untuk Subo?"
"Sebelumnya,
dengarkan dulu riwayatku, Han Bu. Gurumu ini dua puluh tahu yang lalu mengalami
ma lapetaka yang mengakibatkan aku kehilangan ayah, suami, dan seorang anak perempuan
yang masih bayi." Im-yang Sian-kouw menceritakan pengalamannya.
Betapa ia dahulu sebagai pelayan keluarga
Pangeran Ciu telah diperisteri Pangeran Ciu Wan Kong, akan tetapi setelah
melahirkan seorang anak perempuan, terpaksa pergi bersama ayahnya yang juga menjadi
pelayan di sana karena orang tua Pangeran Ciu tidak setuju putera mereka menikah
dengan seorang pelayan yang melahirkan seorang anak perempuan! Kemudian betapa bersama
ayahnya yang duda ia membawa bayinya pergi dengan niat pulang ke kampung
halamannya, akan tetapi perahu mereka terbalik di Sungai Kuning sehingga ia kehilangan
ayah dan anaknya.
Mendengar
kisah ini, wajah Han Bu berubah merah dan sambil mengepal tinju dia berseru.
"Keparat pangeran itu! Mengapa Subo tidak menghajarnya"!"
"Jangan
memaki dia, Han Bu!" Im-yang Sian-kouw menegur muridnya. "Pangeran
Ciu Wan Kong sayang kepadaku, akan tetapi dia lemah dan taat kepada orang tuanya.
Pada waktu itu, aku adalah seorang wanita yang
lemah, tidak mampu melawan dan terpaksa pergi bersama Ayah dan anakku. Akan tetapi...
entah bagaimana nasib ayahku dan anakku... ahh, kalau aku ingat, rasanya lebih
baik kalau pada waktu itu aku mati saja bersama mereka! Anakku masih bayi,
terseret air Sungai Huang-ho yang sedang banjir, tak dapat diharapkan dapat
bertahan hidup...." Kedua mata Im-yang Sian-kouw menjadi kemerahan dan
basah.
Han Bu ikut
merasa sedih dan terharu. "Kasihan sekali, tidak teecu sangka nasib Subo
dahulu demikian buruknya. Subo menjadi sebatang kara...." Im-yang
Sian-kouw sudah dapat menguasai perasaannya dan ia berkata. "Han Bu,
kukira nasibmu juga tidak lebih baik, engkau juga kehilangan ayah ibu dan
menjadi sebatang kara.
Sekarang
dengarkan ceritaku lebih lanjut.
Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam- sian dan sejak itu aku menjadi muridnya.
Ketika aku terseret air Sungai Kuning yang sedang banjir, dalam keadaan tidak sadar aku diselamatkan oleh mendiang Suhu Bu Beng Kiam- sian dan sejak itu aku menjadi muridnya.
Seminggu
kemudian setelah aku sadar dan menceritakan nasibku kepada Suhu, Suhu pergi
mencari anakku dan ayahku, akan tetapi hasilnya sia-sia. T entu ayahku dan
anakku sudah terseret air banjir itu dan... dan mungkin mereka telah
tewas...."
"Subo,
apa yang dapat teecu lakukan untuk Subo" Perintahkan, Subo, sekarang juga
akan teecu taati dan laksanakan!"
"Kalau
engkau sudah turun gunung dan terjun ke dunia ramai sebagai seorang pendekar,
tolonglah aku, coba engkau cari keterangan dan cari ayahku dan kalau mungkin
anakku."
"Siapakah
nama mereka, Subo?"
"Ayahku
bernama Cui Sam, kalau masih hidup usianya sekarang tentu sudah enam puluh enam
atau enam puluh tujuh tahun. Dia berasal dari dusun Kia-jung di sebelah selatan
Thian-cin. Carilah keterangan di sana."
"Baik,
Subo. Dan puteri Subo itu, siapa namanya dan berapa usianya sekarang?"
"Sekarang
tentu berusia sekitar dua puluh tahun. Adapun namanya, ahhh... ketika itu aku
berada dalam keadaan sedih dan bingung setelah diusir dari gedung Pangeran Ciu
sehingga aku belum sempat memberi nama kepada anakku...."
Melihat
subonya sedih lagi, Han Bu cepat berkata. "Jangan khawatir, Subo! T eecu
akan menyelidiki tentang seorang gadis berusia sekitar dua puluh tahun yang
ketika bayi tercebur ke air Sungai Kuning dan terseret arus air! Juga teecu
akan mudah mengenalnya kalau dapat bertemu dengannya, karena ia pasti cantik
jelita dan wajahnya seperti wajah Subo!
" Han Bu
berhenti sebentar, memandang wajah gurunya lalu berkata lagi. "Dan teecu
akan mengunjungi Pangeran Ciu Wan Kong itu!" Mendengar suara yang bernada
mengancam dari muridnya, Im-yang Sian-kouw berkata.
"Han
Bu, ingat ini! Engkau boleh menyelidiki dan melihat keadaan Pangeran Ciu Wan
Kong sekarang.
Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Akan tetapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku."
Usianya tentu sekitar lima puluh tahun lebih. Akan tetapi sekali lagi kuingatkan, dia sama sekali tidak membenciku, tidak bersalah, maka jangan sekali-kali engkau mengganggunya! Lihat keadaannya agar kelak engkau dapat menceritakan kepadaku."
"Subo,"
kata Han Bu terharu. "Dia sudah menyia-ny iakan Subo, akan tetapi Subo masih
penuh perhatian kepadanya.
Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya." Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang.
Sungguh berbahagia sekali pangeran itu yang menerima cinta kasih demikian murni dan besar seperti cinta kasih Subo kepadanya." Im-yang Sian-kouw menghela napas panjang.
"Aku yakin dia pun amat menderita, kehilangan
isteri dan anaknya, Han Bu.
Karena itu, jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap dalam cinta, harus kauselidiki dengan teliti lebih dulu apakah keadaan orang yang kaucinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu.
Karena itu, jadikanlah pengalaman gurumu ini sebagai pelajaran. Jangan engkau mudah terperangkap dalam cinta, harus kauselidiki dengan teliti lebih dulu apakah keadaan orang yang kaucinta itu sesuai denganmu dan sudah tepat benar untuk menjadi jodohmu.
Cinta dapat
membuat orang hidup bahagia, akan tetapi juga dapat membuat orang menderita.
Nah, sekarang berkemaslah, Han Bu. Ini peninggalan Suhu Bu Beng Kiam-sian,
kuberikan kepadamu untuk bekalmu dalam perjalanan." Im-yang Sian-kouw mengambil
sebatang pedang dan sekantung uang emas yang sudah ia persiapkan sebelumnya.
"Pedang
Im-yang-kiam, Subo?"
"Benar,
pedang pusaka ini dahulu ikut mengangkat nama besar Kakek Gurumu di dunia
kang-ouw. Karena itu, engkau harus mempergunakan untuk membela kebenaran dan keadilan
sehingga berarti engkau menjunjung tinggi dan mempertahankan nama besar dan
kehormatan Kakek Gurumu." Han Bu menerima pedang dan sekantung uang emas
itu, lalu masuk pondok membuat persiapan dan berkemas.
Dia membungkus
pakaian dan sekantung uang itu dengan sehelai kain kuning yang lebar, kemudian
menggendong buntalan itu di punggungnya. Pedang Im-yang-kiam itu dia gantungkan
di pinggangnya. Setelah keluar dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan
bangku batu yang diduduki gurunya.
"Subo,
teecu pamit, mohon bekal dan doa restu dari Subo."
"Baiklah,
Han Bu. Akan tetapi ada sebuah hal lagi yang perlu kita bicarakan sebelum
engkau berangkat. Ingat, jangan sekali-kali engkau melibatkan diri dalam urusan
negara dalam perang. Orang tuamu tewas sebagai korban perang, maka tidak
semestinya engkau memusuhi Jenderal Wu Sam Kwi.
Juga tidak
perlu engkau memusuhi Pemerintah Penjajah Mancu. Jangan pula terlibat dan
membantu para pemberontak. Pendeknya, jangan libatkan dirimu dalam pertikaian
perebutan kekuasaan. Engkau harus selalu berpegang kepada kebenaran.
Siapa pun dia, baik dari pihak Wu Sam Kwi,
dari pihak Pemerintah Mancu, atau pihak pemberontak, kalau dia melakukan
kejahatan terhadap rakyat, harus kautentang! Akan tetapi siapa pun dia dari
pihak mana pun, yang bertindak dan diperlakukan tidak adil, patut kaubela.
Mengertikah engkau, Han Bu?"
Mengertikah engkau, Han Bu?"
"Teecu
mengerti, Subo. Sekarang teecu hendak berangkat.
Selamat
tinggal, Subo. Harap Subo menjaga diri baik-baik."
"Selamat
jalan, Han Bu dan jaga dirimu baik-baik." Han Bu memberi hormat sambil
berlutut, lalu bangkit berdiri dan hendak pergi. Pada saat itu, nenek pelayan
mereka muncul. "Nak Han Bu, berhati-hatilah menjaga dirimu!" kata
nenek itu, suaranya mengandung isak tertahan. Maklum, nenek inilah yang selalu
bersama Han Bu sejak pemuda itu berada di situ selama hampir dua belas tahun
yang lalu.
"Selamat
tinggal, Bibi Cong!" kata Han Bu, lalu pemuda itu berlari cepat turun
Puncak Bukit Kera. Bayangannya diikuti pandang mata dua orang wanita itu sampai
lenyap.
Ciu Thian
Hwa memenuhi panggilan Kaisar Shun Chi melalui ayahnya yang hari itu menghadap
Sribaginda Kaisar. Ia diminta datang seorang diri, akan tetapi Kaisar memesan agar
ia memasuki istana dengan diam-diam agar tidak diketahui siapa pun. Huang-ho
Sian-li Ciu Thian Hwa menggunakan ilmunya, bergerak di malam hari itu, hanya
bayangannya yang berkelebatan sehingga tidak ada yang dapat melihatnya ketika ia
akhirnya memasuki ruangan di mana Kaisar Shun Chi sudah menunggu seorang diri.
Begitu Thian
Hwa muncul, Kaisar Shun Chi memberi isyarat agar gadis itu mengikutinya dan melalui
sebuah pintu rahasia, Kaisar Shun Chi mengajak Thian Hwa memasuki sebuah
ruangan rahasia.
Begitu
berada dalam ruangan itu, Thian Hwa segera menjatuhkan diri berlutut di depan
Sribaginda Kaisar. Akan tetapi Kaisar Shun Chi segera memegang kedua pundaknya dan
menyuruhnya bangkit dan duduk di atas kursi, berhadapan dengan kaisar itu.
"Thian
Hwa, engkau sengaja kami panggil untuk datang seorang diri, karena kami menemui
kesulitan untuk melaksanakan rencana kami semula. Berita bahwa kami telah meninggal
dunia memang tidak sukar dilakukan, akan tetapi yang amat sukar adalah lolosnya
kami dari istana.
Kiranya amat sukar keluar dari istana tanpa
diketahui orang, apalagi kami mendapat tanda-tanda bahwa kepala Thaikam agaknya
patut dicurigai."
Thian Hwa
terkejut. "Paduka maksudkan, Thaikam Boan Kit?" Kaisar mengangguk,
lalu menghela napas panjang. "Aih, melihat ulah manusia-manusia yang lemah
sehingga mereka menghalalkan segala cara sesat untuk mencapai tujuan yang mereka
inginkan, sungguh menyedihkan sekali.
Pantaslah banyak
orang meniru sikap Sang Buddha yang meninggalkan semua kemewahan dan kesenangan
duniawi yang amat mempengaruhi jiwa menimbulkan kejahatan dan penderitaan, pergi
mengasingkan diri dari keramaian. Agaknya Boan Thaikam telah dipengaruhi oleh mereka
yang memperebutkan tahta kerajaan.
Gerak-geriknya
mencurigakan sekali. Karena itulah, aku sengaja memanggilmu secara diam-diam
untuk menjaga keamananku sebelum aku berhasil keluar dari istana tanpa
diketahui orang lain, T hian Hwa."
"Baik,
Paman Kaisar! Hamba siap melakukan tugas karena pada saat ini, penjagaan
keselamatan Pangeran Mahkota cukup kuat. Selain ada dua orang murid
Siauw-lim-pai yang membantu Paman Pangeran Bouw Hun Ki, juga pasukan pengawal
penjaga keamanan kini telah diperkuat."
"Bagus
kalau begitu, akan tetapi aku tidak ingin mereka yang berhati khianat mengetahui
bahwa engkau melakukan penjagaan di dalam istana, maka sebaiknya engkau
menyamar sebagai seorang prajurit pengawal pribadi."
Demikianlah,
Thian Hwa lalu menyamar sebagai seorang prajurit pengawal muda, dibantu oleh
seorang pelayan pribadi Kaisar yang telah diyakini kesetiaannya. Thian Hwa
sebagai seorang pengawal pribadi tidak pernah jauh dari Sribaginda Kaisar dan
selalu waspada menjaga keselamatannya.
Tiga hari
kemudian. Malam itu hawanya dingin sekali menembus sampai ke dalam istana
sehingga para penghuni istana sudah memasuki kamar masing-masing mencari kehangatan.
Sribaginda Kaisar Shun Chi juga sudah memasuki kamar dan duduk bersamadhi
seperti yang biasa dia lakukan setiap hari. Suasananya amat sunyi di dalam
istana.
Ketika
Thaikam Boan Kit yang menjadi kepala para Thaikam bersama dua orang Thaikam
lain berjalan melakukan perondaan di bagian dalam istana, para pengawal yang bertugas
di dalam istana tidak menaruh curiga
. Memang sudah
menjadi kewajiban dan kebiasaan kepala Thaikam itu untuk mengadakan perondaan
seperti itu.
Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang menjaga di luar kamar segera bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.
Ketika Boan Thaikam berjalan menuju ke kamar Kaisar, lima orang prajurit pengawal yang menjaga di luar kamar segera bangkit dari duduknya dan berdiri tegak, berjajar lalu memberi hormat kepadanya. Boan Thaikam dan dua orang temannya menghampiri mereka.
"Bagaimana
keadaan malam ini?" tanya Boan Thaikam sambil mendekat.
"Baik-baik
dan aman, Thaijin!" lapor seorang di antara lima pengawal itu. Tiba-tiba
sekali, Boan Thaikam dan dua orang pembantunya bergerak cepat bukan main dan
lima orang prajurit pengawal itu roboh tanpa dapat mengeluarkan suara.
Mereka telah
tertotok dan pingsan. Boan Thaikam dan dua orang pembantunya cepat menyeret
mereka ke sebuah taman kecil dekat situ dan menyembunyikan tubuh mereka di
balik semak-semak bunga. Sebelum meninggalkan kelima orang itu, Boan Thaikam
dan dua orang temannya menggunakan pedang membunuh mereka.
Setelah itu, mereka menghampiri kamar Kaisar
dan hampir tanpa mengeluarkan suara, Boan Thaikam menggunakan tenaganya untuk
membuka daun pintu kamar. Kamar itu hanya remang-remang karena di meja hanya bernyala
sebuah lilin kecil yang ditutup warna kebiruan.
Akan tetapi mereka dapat melihat dengan jelas
Kaisar yang duduk bersila di atas pembaringan, tertutup tirai kelambu tipis dan
tembus pandang. Boan Thaikam menutupkan kembali daun pintu kamar itu dengan
rapat lalu memberi isyarat kepada dua orang pembantunya untuk berdiri menjaga
di sebuah pintu tertutup yang menembus ke kamar itu.
Tanpa
mengeluarkan suara, dengan gerakan kaki ringan, dua orang yang berpakaian
sebagai Thaikam itu lalu melangkah dan berdiri di dekat pintu yang menembus ke
kamar atau ruangan lain. Tiba-tiba daun pintu tembusan itu terbuka dan sebelum dua
orang Thaikam itu sempat berbuat sesuatu, ada empat sinar kecil putih menyambar
ke arah mereka. Dua orang itu roboh dan tak mampu bangun lagi karena tepat di
dahi mereka masing-masing telah menancap dua batang Pek-hwa- ciam (Jarum Bunga
Putih) yang membuat mereka tewas seketika.
Pada saat itu, Boan Thaikam sedang menghampiri
pembaringan Kaisar dan mengangkat pedangnya membacok tubuh Kaisar yang duduk
bersila.
Sesosok
bayangan berkelebat cepat sekali dan sebatang pedang menangkis pedang yang oleh
Boan Thaikam dibacokkan ke arah tubuh Kaisar di balik kelambu.
"Singg...
tranggg...!"
Boan Thaikam
terkejut bukan main dan cepat dia melompat ke belakang karena tangannya
tergetar hebat ketika pedangnya tertangkis tadi. Dia melihat seorang prajurit pengawal
muda bertubuh ramping dan berwajah tampan berdiri di depannya, memegang
sebatang pedang.
Ketika dia melihat
dua orangnya menggeletak tak bergerak, dia menjadi semakin panik. Akan tetapi
Thian Hwa yang menyamar sebagai prajurit pengawal itu tidak memberi kesempatan kepadanya
untuk melarikan diri karena ia sudah menerjangdengan lompatan kilat. Boan
Thaikam terpaksa melawan dan mereka pun bertanding dengan seru dan mati-matian
di kamar Kaisar itu.
Kaisar Shun
Chi sadar dari samadhinya dan dia menonton perkelahian itu. Dia tidak heran
melihat Boan Thaikam bertanding melawan Thian Hwa. Tentu Thaikam khianat itu tadinya
hendak membunuhnya dan Thian Hwa menghalanginya. Dia tetap duduk di atas
pembaringan dan menonton perkelahian itu. Jantungnya berdebar tegang, khawatir
kalau Thian Hwa kalah.
Dia tidak
khawatir dirinya dapat terbunuh, melainkan mengkhawatirkan keselamatan keponakannya
itu. Akan tetapi kekhawatirannya lenyap ketika dia melihat dua orang Thaikam
telah menggeletak di dekat pintu tembusan dan dalam perkelahian itu dia melihat
dengan jelas betapa Thian Hwa mendesak lawannya. Boan Thaikam yang berusia
sekitar lima puluh tahun itu ternyata lihai juga.
Ilmu pedangnya cukup hebat sehingga dia mampu
mempertahankan diri membuat perlawanan sengit kepada Thian Hwa. Akan tetapi
setelah Thian Hwa mengubah ilmu pedang K wan-im Kiam-hoat menjadi Huang-ho
Kiam-hoat yang istimewa, pedangnya berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung
bagaikan ombak Sungai Huang-ho, Boan Thaikam menjadi terdesak hebat. Hal ini
disebabkan pula karena Boan Thaikam telah menjadi gentar dan panik.
"Hyaattt...!"
Thian Hwa menyerang dahsyat, pedangnya berputar dan menyambar-nyambar ke arah
kepala dan leher lawan. Boan Thaikam yang tidak mampu balas menyerang, hanya
menangkis dan mengelak saja. Serangan hebat itu membuat dia menjadi terhuyung
ke belakang dan tiba-tiba kaki kiri T hian Hwa mencuat dan menendang perutnya.
"Bukkk...!"
Tubuh Boan
Thaikam terlempar dan terjengkang. "Tangkap dia!" terdengar Kaisar
Shun Chi berkata kepada Thian Hwa. Gadis itu melompat ke depan hendak menangkap
Boan Thaikam, akan tetapi Thaikam yang maklum bahwa dia tidak mungkin dapat
meloloskan diri lagi, tiba-tiba menggorok leher sendiri dengan pedangnya dan
tewas seketika!
Melihat ini,
Thian Hwa berdiri bengong dan Ka isar Shun Chi turun dari pembaringannya.
Peristiwa itu terjadi dalam kamarnya, tidak terdengar orang lain karena pintu
kamar tertutup rapat dan perkelahian tadi sama sekali tidak menimbulkan suara
gaduh.
Thian Hwa
menyalakan dua batang lilin lain sehingga kamar itu menjadi terang. Ia
memandang ke arah mayat Boan Thaikam penuh kebencian.
"Paduka
benar, Pamanda Kaisar.
Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal agar semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!"
Pengkhianat jahanam ini benar-benar hendak berbuat jahat dan keji terhadap Paduka. Biar hamba memanggil kepala pengawal agar semua orang mengetahui akan pengkhianatan ini!"
"Jangan...!"
Thian Hwa
memandang kaisar itu dengan heran.
"Dengarkan,
Thian Hwa, ini kesempatan baik bagiku! Lihat, bentuk tubuhnya hampir sama
dengan aku. Kalau kita memakaikan pakaianku lalu mengabarkan bahwa aku telah terbunuh,
maka mudah bagiku untuk meloloskan diri."
Kaisar
menjelaskan rencananya dan Thian Hwa tidak berani membantah.
Kaisar itu lalu memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat.
Kaisar itu lalu memanggil lima orang pelayannya yang paling setia dan dipercaya, kemudian dibantu Thian Hwa, mereka semua bekerja dengan cepat.
Menjelang
pagi, selagi semua orang dalam istana masih tidur dengan pulas karena hawa
udara amat dinginnya, tiba- tiba terdengar jerit tangis disusul
teriakan-teriakan nyaring.
"Pembunuhan!
Pembunuhan! Sribaginda Kaisar dibunuh orang!" Gegerlah seluruh istana. Mula-mula
para prajurit pengawal istana berlarian datang, lalu keluarga istana dan
akhirnya seluruh penghuni istana terbangun dan bergerombol di luar kamar tidur
Kaisar.
Hanya
orang-orang penting saja boleh masuk kamar, di antaranya selain keluarga istana
juga komandan pengawal dan mereka yang berkedudukan tinggi di istana. Mereka
semua melihat jenazah kaisar di atas pembaringan. Jenazah itu amat mengerikan
karena mukanya penuh luka bacokan sehingga tidak dapat dikenali lagi.
Pakaiannya
penuh darah dan lehernya juga hampir putus! Selain jenazah Kaisar Shun Chi,
mereka juga melihat mayat dua orang Thaikam dalam kamar itu. Karena hanya Thian
Hwa yang menjadi saksi peristiwa itu dan dapat menceritakan, maka ia lalu
dituntut oleh semua pejabat dan keluarga Kaisar untuk menceritakan apa yang
telah terjadi malam itu. Sebuah persidangan, dihadiri oleh para pangeran dan
pejabat tinggi. Tentu saja hadir pula pangeran-pangeran adik Kaisar dan para
putera Kaisar.
Di ruangan
persidangan itu sudah berkumpul mereka yang berhak menghadiri persidangan. Para
pejabat tinggi termasuk para panglimanya. Para pangeran adik Kaisar, di
antaranya Pangeran Ciu Wan Kong, Pangeran Bouw Hun Ki dan beberapa orang
pangeran lagi yang hanya merupakan saudara misan.
Kemudian
para pangeran putera Kaisar, antara lain yang terpenting adalah Pangeran Leng
Kok Cun dan Pangeran Cu Kiong. Adapun Pangeran Kang Shi ditahan oleh pamannya, Pangeran
Bouw Hun K i, karena dianggap belum dewasa untuk membicarakan persoalan yang
merupakan malapetaka itu, dan agar anak itu tidak menjadi kaget mendengar
cerita kematian ayahnya yang mengerikan.
Ruangan
persidangan yang biasa dipergunakan oleh Kaisar untuk bersidang dengan para
pejabat tinggi itu luas dan semua yang hadir, lebih dari seratus orang
banyaknya, telah duduk di kursi masing-masing. Yang memimpin persidangan itu
adalah Pangeran Bouw Hun Ki. Dalam hal memilih pimpinan persidangan ini pun
terjadi kekacauan karena Pangeran Leng Kok Cun tadinya berkeras mengatakan
bahwa dia yang paling berhak memimpin persidangan karena dialah putera Kaisar
yang tertua.
Akan tetapi banyak suara memilih Pangeran Bouw
Hun Ki dengan alasan bahwa selain Pangeran Bouw Hun Ki merupakan adik Kaisar
yang tertua, juga dia menjadi pelindung Pangeran Mahkota dan mewakili Pangeran Kang
Shi.
Akhirnya
Pangeran Leng kalah suara dan Pangeran Bouw Hun Ki memimpin persidangan itu. Setelah
semua orang duduk dan suasana tertib dan diam, Thian Hwa diberi kesempatan
untuk menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Thian Hwa lalu bercerita, sesuai
dengan apa yang telah direncanakan Kaisar Shun Chi.
Ia bercerita
bahwa ia diperintahkan oleh "mendiang" Kaisar Shun Chi untuk menyamar
sebagai seorang prajurit pengawal karena Kaisar telah mencurigai Thaikam Boan
Kit. Ia harus menjaga keamanan sebagai pengawal pribadi Ka isar.
"Nanti
dulu! Mengapa Ayahanda Kaisar menaruh curiga kepada T haikam Boan Kit?" tiba-tiba
Pangeran Leng Kok Cun bertanya dengan suara berwibawa,
seolah hendak menunjukkan bahwa dia putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.
seolah hendak menunjukkan bahwa dia putera sulung Kaisar dan karenanya memiliki kekuasaan.
Thian Hwa
menatap tajam wajah pangeran itu dengan bibir tersenyum mengejek, teringat
betapa ia pernah berurusan dengan pangeran pemberontak ini. Melihat sinar mata
Thian Hwa mencorong tajam, Pangeran Leng menundukkan pandang matanya, tidak tahan
beradu pandang dengan gadis pendekar yang dia tahu amat galak dan lihai itu.
"Kalau
Sribaginda Kaisar menaruh kecurigaan, pasti ada sebabnya! Orang yang mempunyai
niat jahat dapat dilihat dari gerak-gerik dan terutama suara dan sinar
matanya!" jawab Thian Hwa. Ia melanjutkan ceritanya......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment