Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 06
MELIHAT
pihaknya terdesak hebat, ditambah pula ia sendiri harus menghadapi Han Liong
yang ternyata tangguh dan gagah itu, Biauw Niang-niang mengeluarkan suara
siulan nyaring dan tinggi. Siulan ini adalah sebuah isyarat, karena Leng
Niang-niang, dan juga Hai Niang-niang yang terluka dan hanya menggunakan
sebelah tangan, tiba-tiba ia menyebarkan Bwee hwa-ciam atau senjata rahasia
berbentuk jarum yang jahat itu.
Biauw
Niang-niang sendiri juga tebarkan jarum maut mengarah urat-urat kematian Han
Liong. Semua orang terkejut dan dengan teriakan marah Bie Cauw Giok roboh
terguling karena sebuah jarum menancap di pahanya. Juga Hek Bia Kiat
mengeluarkan seruan tertahan ketika hampir saja ia menjadi korban jarum rahasia
yang dilepas oleh Leng Niang-niang.
Kemudian dengan
cepat sekali ketiga iblis waniia itu lari. Biauw Niang-niang dengan tak terduga
telah melompat ke dekat Hong Ing dan sebelum gadis itu sadar, pundaknya telah
tertotok dan tubunya yang tak berdaya itu dipondong dengan ringan sekali oleh
siluman wanita itu!
Han Liong
terkejut dan lompat mengejar, tapi Leng Niang-niang mencegat dengan tambasan
jarum-jarumnya. Karena merasa marah dan khawatir sekali akan keselamatan Hong
Ing, Han Liong memutar pokiamnya hingga jarum-jarum tertangkis dan jatuh
semuanya, lalu sekali Pek-liong pokiam bermain, telinga kiri berikut
antibg-anting terbabat putus!
“Bangsat
keji!” Leng Niang-niang berteriak keras dan menyerang hebat.
Tiba-tiba
kaki Han Liong melayang dan tepat menghantam pergelangan tangannya hingga
pedangnya terpental jauh, sedangkan tulang lengannya memperdengarkan suara
“krak” dan patah! Leng Niang-niang menjerit kesakitan lalu lari! Han Liong
tidak mengejarnya karena ia merasa bingung benar.
Biauw
Niang-niang yang memondong Hong Ing telah lenyap dan ia tidak tahu ke mana
iblis itu lari. Lama sekali Han Liong berdiri kesima dan bingung, ia tak tahu
harus mengejar ke jurusan mana, sedangkan hatinya terasa perih sekali mengingat
akan nasib Hong Ing.
Tiba-tiba
terdengar suara kaki di belakangnya. Cepat ia berpaling dan Yo Leng In telah
berdiri di depannya. Bibi ini heran melihat betapa Han Liong berdiri pucat
bagaikan kehilangan semangat.
“Liong,
lukakah kau?” tanyanya khawatir.
“Tidak,
ie-ie, tapi... Hong Ing telah dibawa lari oleh Biauw Niang-niang” jawabnya
sambil mengerutkan kening.
Yo Leng In
diam-diam bernafas lega. Memang ia tidak senang melihat puteri musuhnya itu,
maka pikirnya biarlah setan kecil itu dibawa pergi oleh iblis wanita Biauw
Niang-niang, hingga Han Liong tak perlu berdekatan lagi dengan 'adiknya' itu.
“Sudahlah
jangan khawatir. Agaknya iblis-iblis itu menganggap nona Lie sebagai orangnya
sendiri. Rasanya nona itu takkan diganggu.” Ia menghibur sedangkan Han Liong
heran mendengar suara bibinya.
Ternyata
kerugian pihak Siok Sianseng lebih hebat. Lima orang tamu yang ikut bertempur
mendapat luka berat, bahkan seorang di antaranya telah tewas. Bhok Kian Eng
luka berat, begitu pula Bie Cauw Giok dan Bie Kong Hosiang. Orang-orang yang
terluka oleh jarum iblis itu, lukanya bengkak dan hitam, tanda bahwa senjata
rahasia itu mengandung racun hebat.
Setelah
memeriksa dengan teliti, Han Liong lalu memasukkan pedang Pek-liong-pokiam ke
dalam air dan menggunakan air itu untuk mengobati. Sungguh manjur sekali,
begitu luka dicuci dengan air ini maka semua darah yang mengandung racun dapat
dihisap keluar!
Siok
Sianseng menyatakan penyesalannya bahwa begitu banyak orang yang telah menjadi
korban karena membela dia seorang. Lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa nona
Hong Ing diculik oleh iblis wanita itu, ia membanting-banting kakinya dan tanpa
disadarinya air matanya mengalir membasahi pipinya karena merasa sedih dan
marah.
“Biarlah...
biarlah, aku akan menggunakan sisa hidupku yang tak berharga ini untuk
menyalakan lagi api pemberontakan dan bersama kawan-kawan seperjuangan menggulingkan
pemerintah musuh yang jahat ini!”
Orang tua
yang lemah tetapi penuh semangat baja ini berdiri dengan mata bernyala-nyala
dan kedua tangan terkepal. Pada saat itu, seakan-akan semangat ayahnya menjalar
di tubuh Han Liong. Anak muda ini melihat Siok Sianseng demikian bersemangat,
merasa sangat terharu sehingga untuk sesaat ia melupakan kesedihannya karena
terculiknya Hong Ing. Ia maju dan memegang lengan tuan rumah.
“Paman Siok,
jangan khawatir, aku akan membantumu untuk membasmi perampok-perampok jahanam
itu!”
Siok Houw
Sianseng memeluk Han Liong dengan terharu, kemudian setelah para korban
dirawat, dan pengantin laki-laki telah pulang membawa isterinya, Siok Sianseng
mengajak Han Liong, Yo Leng In, Hee Ban Kiat, dan Bie Kong Hosiang untuk berunding.
Semenjak
usaha pemberontakan yang dipimpin ayah Han Liong, Si Enhiong, gagal dan
dihancurkan oleh pemerintah Ceng tiauw, Siok Houw Sianseng melarikan diri dan
dengan diam-diam sasterawan patriot ini menulis sebuah karangan yang berjudul
RAKYAT TAK SUDI DIJAJAH.
Berbulan-bulan
Siok Houw dengan dibantu oleh puterinya menulis karangan ini sampai menjadi
lima belas buah. Ia bermaksud hendak membagi-bagikan karya tulisannya ini ke
segenap penjuru agar disalin oleh para patriot dan disebarkan di antara rakyat.
Tapi ia seorang lemah dan namanya telah tercatat dalam daftar hitam pemerintah
penjajah, maka ia tak berdaya dan karangannya itu telah lama sekali tersimpan
dalam kopornya.
Kini melihat
para orang gagah berkumpul, bahkan disitu ada putera Si Enghtong yang
seakan-akan menjadi pengganti ayahnya, semangat sasterawan tua ini timbul
kembali. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa dirinya diincar dan hampir
saja menjadi korban keganasan kaki tangan kaisar lalim, ia segera mengambil
keputusan untuk mulai lagi perjuangan menentang pemerintah yang dibencinya itu.
Setelah
mendengar keterangan Siok Sianseng tentang karangan dan cita citanya, Han Liong
memajukan dirinya sendiri untuk menjalankan tugas menghubungi orang-orang gagah
di seluruh daratan Tiongkok dan membagi-bagikan tulisan Siok Sianseng itu.
Semua orang
setuju dan Siok Sianseng memberi nasehat, “Si hiante telah menerima tugas suci
ini, maka aku merasa bangga dan puas, karena keturunan Si enghiong pasti akan
bekerja dengan sempurna. Hanya saja, hendaknya Si hiante berhati-hati, karena
dengan adanya penyerangan terhadap rumah tanggaku, maka besar sekali dugaanku
bahwa kaki tangan kaisar kejam itu telah mendengar tentang tulisanku itu dan
tentu mereka akan bersusah payah dalam usaha mereka merampasnya.”
Setelah
berunding dan mengambil keputusan bahwa semua orang gagah yang diundang oleh
Han Liong dan yang lain-lain supaya datang menghadiri pertemuan di puncak
Gunung Beng-san, tempat kediaman Beng-san Tojin, pada Go-gwee Cap-go untuk
memilih seorang bengcu atau kepala, maka pertemuan itu diakhiri.
Siok Houw
membubarkan semua pelayan, dan karena puterinya telah mengikuti suaminya,
sedangkan isterinya telah meninggal beberapa tahun yang lalu hingga ia hidup
seorang diri, maka ia setuju untuk ikut dengan Hee Ban Kiat bersembunyi di
kelenteng Bie Kong Hosiang, ialah kelenteng Kim-kee-tang di bukit Huntian-sie,
agar ia dapat menyelamatkan diri dari kejaran kaki tangan pemerintah musuh.
Yo Leng In
juga pergi untuk mengumpulkan dan mengundang kawan-kawan seperjuangan lama yang
dulu bersama-sama suaminya dan Si enghiong pernah mengadakan pemberontakan dan
gagal.
***************
Marilah kita
tinggalkan dulu Han Liong yang pergi mencari hubungan dengan orang-orang gagah
sefaham, dan baik kita ikuti keadaan Lie Hong Ing yang dibawa lari oleh Biauw
Niang-niang.
Iblis wanita
tertua yang lihai itu setelah pergi jauh, lalu menanti datangnya Leng
Niang-niang dan Hai Niang-niang yang terluka hebat oleh Han Liong. Kedua sumoi
itu datang dengan merintik-rintih, hingga Biauw Niang-niang merasa sakit hati
sekali kepada Han Liong. Ia menggunakan kepandaiannya menotok jalan darah kedua
sumoinya untuk mengurangi rasa sakit dan memberi mereka makan obat bubuk
berwarna hijau.
Pada saat
itu tampak Kiu Lan datang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Ketiga
gurunya merasa lega melihat bahwa murid ini tidak terluka, tapi mereka
memaki-maki dengan gemas dan marah mendengar bahwa Kui Hwa telah tewas!
Kemudian Biauw Niang-niang membebaskan Hong Ing dari totokannya, lalu berkata
kepada nona itu.
“Sie Siocia,
jangan kau salah paham. Gurumu adalah kawan kami dan almarhum ayahmu juga
segolongan dengan kami. Kau agaknya telah kena dibujuk oleh lawan dan
orang-orang yang sekarang menjadi sahabat-sahabatmu itu. Sebenarnya mereka
adalah musuh-musuhmu dan musuh-musuh kami yang harus kita basmi! Kamilah
sahabat-sahabatmu yang sejati.”
Hong Ing
memang masih merasa marah kepada kawan-kawan Han Liong, tapi ia juga tidak suka
melihat tiga iblis wanita ini lebih-lebih kepada Kui Lan, ia benci sekali.
Maka, mengingat hal ini ia menjadi makin marah dan berlaku nekat.
“Aku tidak
mempunyai sahabat! Kalian dan semua orang tadi adalan orang-orang jahat belaka!
Di dunia ini mana ada kawan baik? Aku tak perduli, aku mau hidup sendiri,
kalian jangan mengganggu aku.”
“Lie siocia,
jangan kau salah duga. Kami adalah pelindungmu. Kau harus ikut dengan kami ke
istana.”
“Apa?
Istana? Apa maksadmu?”
“Bukankah
ayahmu dulu menjadi panglima? Nah, kau yang menjadi puterinyapun berhak tinggal
di Istana Putih yang khusus dibangun oleh yang mulia kaisar untuk kita. Marilah
ikut kami, kau akan mendapat kemuliaan.”
Hong Ing
tertarik, tapi ia ragu-ragu dan diam saja. Sementara itu, Kui Lan yang ingat
kepada sucinya, tiba-tiba mencucurkan air mata. Biauw Niang-niang menghela
nafas, karena iblis wanita ini maklum akan perasaan muridnya.
“Sudahlah,
Kui Lan, tak perlu segala tangis itu. Kui Hwa gugur, tapi kitapun telah banyak
menjatuhkan korban. Sayang tua bangka she Siok itu terlepas dari ujung pedang
kita. Biarlah mari kita pulang dulu untuk mengumpulkan tenaga bantuan. Mudah
saja lain kali kita membalaskan sakit hati Kui Hwa.”
Hong Ing
diam-diam menggunakan pikirannya. Agaknya orang-orang inipun tergolong
orang-orang gagah yang hanya berbeda pendirian dengan Han Liong dan
kawan-kawannya. Kalau Han Liong dan kawan-kawannya memusuhi kaisar, iblis ini
bahkan sebaliknya, membela kaisar. Mana yang betul?
Tentu saja
Han Liong yang betul, kakaknya itu tak pernah bertindak salah. Terhibur hatinya
kalau terkenang kepada Han Liong. Betapapun juga, pemuda itu tidak membenciya.
Biarpun seluruh dunia membencinya, ia tak perduli, asal Han Liong jangan
membencinya. Dan orang-orang ini, yang ia telah saksikan kelihaiannya, agaknya
juga suka padanya. Tentang permusuhan bela-membela kaisar itu, ah, ia tidak
mengerti dan juga tidak perduli. Bukankah antara ayah dan ibunya sendiripun ada
perbedaan faham macam ini?
Hong Ing
mempertimbangkan untung ruginya kalau ia ikut Biauw Niang-niang. Ia akan
belajar silai tinggi dan akan tahu lebih jelas keadaan mereka, hingga lain kali
kalau bertemu dengan Han Liong, ia dapat memberikan keterangan. Ruginya? Ia
berpisah dari Han Liong! Tapi tidak apa, berpisah untuk sementara. Bahkan nanti
kalau bertemu lagi ia sudah berkepandaian tinggi. Alangkah senangnya untuk
membanggakan kepandaiannya kepada kakaknya itu kelak!
“Eh, kalau
aku ikut... maukah kau memberi pelajaran silat kepadaku?” tiba-tiba ia bertanya
kepada Biauw Niang-niang.
Wanita tua
itu tersenyum. “Tentu saja! Bahkan sudah seharusnya, Dengarlah, anak bodoh,
gurumu Seng Bouw Nikouw juga berada di sana.”
“Betulkah
ini?” Hong Ing berseru girang.
“Siapa yang
membohong?” bentak Biauw Niang-niang.
Kini
keragu-raguan di hati Hong Ing lenyap. Hatinya diliputi perasaan ingin tahu
sehingga ia ikut Biauw Niang-niang tanpa membantah lagi. Ketika mereka keluar
dari kota, beberapa belas li dari situ, mereka bertemu dengan serombongan
pahlawan kaisar yang menyusul mereka. Biauw Niang-niang yang ternyata mempunyai
pengaruh besar, tanpa keterangan apa-apa segera memerintahkan semua pahlawan
itu kembali bersama mereka.
Kepala
rombongan memberi kuda-kuda terbaik untuk mereka, sehingga perjalanan dapat
dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota raja. Hong Ing yang selama hidupnya
belum pernah melihat ibu kota yang besar dan indah itu, menjadi sangat kagum.
Setelah
memasuki kota, rombongan itu memisahkan diri dan Biauw Niang-niang mengajak
kawan-kawannya menuju ke sebuah gedung besar. Memang tepat sekali gedung itu
diberi nama Istana Putih, karena dicat serba putih dan tampak bersih indah. Di
dalamnya berhiaskan batu-batu marmer yang licin mengkilat. Hati Hong Ing
berdebar ketika memasuki istana itu. Istana putih ini memang mewah dan indah.
Dulu kaisar
sengaja membangun istana ini untuk seorang selirnya yang cantik dan manja
bernama Yauw Liang Kwei. Setelah merasa bosan dengan selir cantik itu, ia
membuangnya sebagai barang hadiah kepada seorang hambanya, kaisar lalu
menganugerahkan istana putih itu kepada para kaki tangannya yang berjasa untuk
dijadikan tempat berkumpul, bermusyawarah, dan beristhahat.
Kedatangan
Biauw Niang-niang dan kawan-kawannya disambut dengan penuh penghormatan,
ternyata oleh Hong Ing bahwa tiga Iblis Wanita itu mempunyai kedudukan sebagai
pemimpin dan orang-orang gagah yang berkumpul di istana patuh itu dan menamakan
dirinya sendiri 'pembela-pembela negara pembasmi pengacau'. Gedung besar itu
dibagi menjadi dua bagian. Bagian kanan diperuntukkan tamu-tamu lelaki dan
tamu-tamu wanita menempati bagian kiri.
Ketika Biauw
Niang-niang mengajak mereka menuju ke gedung kiri, Hong Ing tiba-tiba merasa
girang sekali ketika melihat bahwa benar-benar Seng Bouw Nikouwpun berada di
situ, berkumpul dengan beberapa orang wanita gagah lainnya!
“Subo!” Hong
Ing memeluk garunya.
Seng Bouw
Nikouw balas memeluk dan berkata, “Hong Ing, bagus sekail kau dapat ikut sam-wi
suci ini untuk datang ke sini. Memang semenjak mendengar tentang kematian orang
tuamu itu, dan aku merasa khawatir sekali, karena dengan tak sadar kau bergaul
dengan segala pemberontak dan perampok.”
“Tapi, subo,
tecu belum pernah berkenalan dengan pemberontak dan perampok!” bantah Hong Ing
gemas.
Biauw
Niang-niang tertawa gelak-gelak. “Belum pernah? Ah, anak bodoh. Kau anggap
siapakah orang-orang yang bertempur melawan kami itu? Mereka adalah
pemberontak-pemberontak, penjahat-penjahat dan perampok yang hendak mengacau
negara, hendak memberontak untuk menjatuhkan Raja. Mereka itu hendak membasmi
semua alat pemerintah, semua pegawai negeri seperti ayahmu dulu.”
Mendengar
ucapan ini, Hong Ing mengerutkan keningnya. Memang ia tak pernah memperhatikan
tentang ketata-negaraan dan politik, sehingga ia buta sama sekali tentang
kegiatan-kegiatan kaisar maupun para patriot. Maka sekarang ia merasa bingung
sekali. Han Liong dan kawan-kawannya itu anggauta pemberontak?
Ah, tak
mungkin Han Liong orang jahat, apa lagi perampok, hal ini sampai matipun ia
takkan bisa percaya. Entah kalau orang-orang tua yang mengaku menjadi guru-guru
Han Liong itu, kelihatannya juga berwatak keras dan galak!
Melihat
muridnya hanya tunduk dan agaknya bingung, Seng Bouw Nikouw menghibur.
“Sudahlah, Hong Ing, jangan kau pusingkan semua ini. Kau masih terlalu muda
untuk dapat mengerti. Kau tinggal saja dengan aku disini dan. belajar ilmu
silat lebih lanjut. Aku akan minta sam-wi cici untuk membimbingmu, karena
kepandaian mu masih terlampau rendah, sedangkan dewasa ini banyak sekali
orang-orang jahat yang lihai berkeliaran.”
Demikianlah,
di bawah pengawasan Seng Bouw Nikouw dan di bawah bimbingan Biauw Niang-niang
yang lihai, Lie Hong Ing belajar silat dengan rajin. Iblis wanita itu
mengajarnya kiamhwat dari cabang Ngo-lian-pai yang gerakan-gerakannya cepat,
ganas dan sigap itu.
Dasar Hong
Ing berotak terang, maka beberapa bulan saja ia sudah dapat mewarisi banyak
ilmu pedang yang istimewa. Ia cerdik dan tahu bahwa gurunya dan semua orang di
Istana Putih adalah musuh Han Liong, maka tak pernah ia menceritakan kepada
mereka bahwa ia pernah mendapat ilmu silat dari pemuda itu.
Di sebelah
kanan Istana Putih itu ada sebuah rumah gedung bercat merah yang mewah dan
tampak agung. Pekarangan depannya lebar dan sekeliling rumah berdiri pagar
tembok yang tebal dan tinggi. Gedung ini adalah tempat tinggal seorang cianbu
(kapten) she Tan.
Tan cianbu
adalah kapten dari barisan pengawal kaisar yang berkepandaian tinggi dan
mempunyai tenaga besar. Ia juga seorang Han yang memang telah berketurunan dari
nenek-moyangnya dulu selalu menjadi orang peperangan. Tan cianbu terkenal bukan
hanya karena ilmu silatnya yang tinggi, tapi juga terkenal akan tabiatnya yang
kasar, terus terang dan jujur.
Ia tidak
suka akan hal-hal yang dirahasiakan atau dilakukan secara diam-diam, maka
biarpun ia tahu juga bahwa istana putih di sebelah rumahnya adalah tempat
berkumpul para orang kalangan kang-ouw yang diam-diam membantu kaisar dengan
jalan menerima hadiah-hadiah berharga, namun ia tidak perduli akan mereka ini
dan tidak mau tahu lama sekali.
Memang
kaisar mempunyai tentara pengawal sendiri, tapi di samping itu, Co thaikam, pembesar
kebiri yang sangat berpengaruh pada masa itu, dengan diam-diam berhubungan
dengan orang-orang gagah itu dan ia menggunakan bujukan dan harta untuk membuat
mereka ini mau bekerja di bawah perintahnya.
Kaisar yang
mengetahui hal ini tak lain hanya menyatakan persetujuannya, karena Co thaikam
menyatakan bahwa orang-orang gagah itu perlu didekati dan dipergunakan
kepandaiannya untuk membasmi para pemberontak. Demikianlah, maka terdapatlah
dua rombongan pembela kaisar dan pemerintahnya, yakni para pengawal kaisar
merupakan tentara dinas dan para orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw yang
merupakan kelompok pembantu rahasia.
Tan cianbu
mempunyai seorang putera bernama Tan Un Kiong. Un Kiong baru berusia tujuh
belas tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Tetapi sayang sekali, pemuda
ini kelihatan ketolol-tololan dan dari kata-katanya menunjukkan bahwa ia bodoh
sekali. Ayahnya merasa sengat sedih dan kecewa kalau melihat putera tunggalnya
ini. Ia sebenarnya sangat sayang dan cinta kepada anak satu-satunya dan
semenjak kecil dimanjakannya.
Ketika masih
kecil, Un Kiong adalah seorang anak yang cerdik dan pintar. Tetapi entah
mengapa, setelah ia berusia tujuh tahun, mulailah tampak perobahan pada
dirinya, dan gejala-gejala penyakit tolol mulai terlihat. Tan-cianbu sengaja
mengundang seorang guru untuk mengajarnya ilmu surat menyurat, tetapi ternyata
setelah berusia tujuh tahun, Un Kiong rupanya malas sekali belajar. Apalagi
kalau disuruh belajar silat, ia menyatakan ketidaksenangannya.
Pernah
ayahnya sendiri mencoba dan mengajarnya dasar-dasar ilmu silat, tetapi ia
meniru gerakan ayahnya dengan ngawur tidak keruan dan membuat ayahnya gemas dan
putus asa. Tetapi karena besarnya rasa sayang pada anaknya, ia tidak bisa marah
dan dibiarkannya saja anaknya menurut kemauannya sendiri.
Hal lain yang
mengherankan, semenjak kecil Un Kiong tidak mau tidur dengan orang lain,
biarpun dengan ibunya sendiri. Semenjak usia tujuh tahun, ia menghendaki kamar
sendiri dan tak boleh seorangpun masuk ke kamarnya!
Berbeda
dangan ayahnya yang sama sekali tidak mau perduli dan tidak mau kenal dengan
penghuni Istana Putih, Un Kiong sering datang main-main kesitu. Penjaga istana
yang kenal baik padanya selalu menerimanya dengan hormat, sedangkan para tamu
yang terdiri dari orang-orang gagah itu, walaupun sebal melihat pemuda tolol
itu, namun di depannya mereka tersenyum dan menghormat juga, karena mereka tahu
pula bahwa pemuda tolol itu adalah putera Tan-cianbu yang terkenal dan
disegani.
Pada suatu
pagi, ketika Hong Ing sedang belajar silat di bawah bimbingan Biauw
Niang-niang, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara di tembok yang memisahkan
halaman Istana Putih dengan gedung Tan-cianbu. Mereka menengok segera dan
melihat kepala seorang muncul dari balik tembok.
Ketika orang
itu naik ke tembok, ternyata ia adalah Tan Un Kiong yang naik dengan
menggunakan tangga bambu. Pemuda ini berdiri di atas tembok dengan sikap
ketakutan, tapi ketika melihat Biauw Niang-niang dan Hong Ing, ia tertawa
sambil memaksa dirinya berlaku tenang.
“Biauw
suthai tolonglah aku,” katanya sambil mendekam di atas tembok, karena ia tidak
berani berdiri lebih lama lagi di atas tembok yang tinggi itu!
“Eh,
Tan-kongcu, kau hendak ke mana? Kau minta ditolong dalam hal apakah?” jawab
Biauw Niang-niang dengan sabar. Kalau lain orang berani secara diam-diam masuk
ke situ, pasti sedikitnya ia akan kena damprat.
“Biauw
Suthai jangan marah... aku... aku mendengar suaramu semua dari balik tembok dan
mendengar suara angin pedang cici ini bersuitan. Hatiku tertarik dan ingin
melihat. Tidak tahu akan tembok ini begini tinggi, aku... aku tidak bisa turun
lagi. Tolonglah carikan tangga dan pasang di sini, agar aku bisa turun dan
menonton cici ini belajar ilmu silat.”
Hong Ing
hampir tak dapat menahan geli hatinya dan menahan tertawa. Ah, alangkah tololnya
orang itu. Baru dua kali ia bertemu dengan Un Kiong ketika pemuda itu
mengunjungi istana putih. Biarpun bodoh dan tolol, pemuda itu tidak pemalu.
Begitu bertemu, ia berani mengajak bicara kepada Hong Ing dengan sikap yang
tulus dan jujur, hingga Hong Ing juga tidak malu menjawabnya.
Agaknya
pemuda itu terlampau tolol untuk dapat bersikap kurang ajar terhadap wanita!
Tapi di dalam hatinya, Hong Ing memandang rendah sekali kepada pemuda itu.
Alangkah jauh perbedaan antara Un Kiong dengan Han Liong!
Mungkin
hanya kecakapan wajah dan keindahan pakaian sejalah yang ada pada Un Kiong dan
tak usah mengaku kalah, tapi jika dibicarakan tentang kepandaian, baik silat
maupun surat menyurat, Han Liong boleh diumpamakan emas dan Un Kiong besi tua
yaug berkarat!
“Tan-kongcu
bukankah sudah pernah belajar silat? Bukankah ayahmu seorang ahli silat
ternama? Masakan tembok yang sebegini tingginya saja kau tak mampu
melompatinya?” Hong Ing mengejek, sedangkan Biauw Niang-niang hanya berdiri
menertawakan.
Un Kiong
memandang Hong Ing dengan mata terbelalak. Biarpun bodoh, tapi ia masih
mempunyai rasa kebanggaan. Mendengar kata-kata gadis itu ia tidak merasa bahwa
ia diejek, malahan merasa dipuji! Maka sambil tertawa haha-hihi ia berkata,
“Memang aku
pernah belajar silat. Bahkan ayah telah mendatangkan banyak sekali guru silat
yang pandai. Aku pernah diajar oleh ayah untuk melompat ke atas, tetapi
melompat ke bawah... ah sesungguhnya, belum pernah kupelajari. Entah mengapa,
untuk melompat ke bawah, baru melihat ke bawah saja, hatiku sudah tidak karuan
rasanya.”
Kini Hong
Ing dan Biauw Niang-niang tak dapat lagi menahan gelaknya. Un Kiong merasa
bahwa ia ditertawakan, maka ia berkata sambil mengangkat kepala memandang,
“Coba cici
tolong memberi contoh, melompatlah ke atas tembok ini, kemudian aku hendak
memperhatikan caramu melompat turun untuk kutiru”
Biauw
Niang-niang yang jarang melihat peristiwa lucu seperti ini timbul kegirangannya
dan ia menyuruh Hong Ing meluluskan permintaan pemuda tolol itu. Dengan gerakan
Hui-niauw-coan-in atau Burung Terbang Menerjang Mega, ia melompat ke atas
tembok dan berdiri di dekat Un Kiong dan berkata,
“Bagus,
bagus!” Pemuda itu lalu berdiri dengan hati-hati, tubuhnya gemetar karena ia
takut jatuh.
“Nah,
lihatlah, aku hendak melompat turun!” kata Hong Ing yang sengaja menggunakan
tipu lompat Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan. Ia jungkir balik
dengan poksai yang indah sampai tiga kali sehingga kakinya kelihatan sangat ringan
menginjak tanah.
“Wah,
gerakan cici sukar sekali untuk ditiru. Mana aku bisa jungkir balik macam itu.
Biarlah aku melompat tanpa jungkir balik.”
Ia lalu
membuat gerakan meniru-niru sikap Hong Ing tadi, lain tubuhnya melompat turun
bagaikan batu jatuh! Terdengar suara bedebuk kerane dan debu mengepul ketika
pinggul Un Kiong menimpa tanah dan pemuda itu mengaduh-aduh beberapa kali.
Untung baginya tidak ada tulangnya yang patah atau kulitnya yang luka. Hong Ing
dan Biauw Niang-niang tertawa makin keras dan iblis wanita tua itu segera maju
menolong Un Kiong berdiri.
Kemudian
Hong Ing melanjutkan latihannya bermain pedang dan ditonton oleh Un Kiong yang
duduk di atas sebuah batu penghias taman istana putih itu. Berkali-kali ia
memuji-muji keindahan gerak dan kelincahan Hong Ing. Lalu dengan menggunakan
setangkai kayu iapun bersilat meniru-niru gerakan gadis itu, tapi gerakannya
tak karuan sedangkan kuda-kuda kakinyapun sering terbalik hingga kelihatannya
sangat lucu!
Pada saat
itu Kui Lan datang dengan wajah pucat, “Celaka, subo!” katanya kepada Biauw
Niang-niang setelah ia berada di depan gurunya.
“Kui Lan
tenanglah. Ada apakah maka engkau demikian ketakutan?” tegur Biauw Niang-niang.
“Subo,
celaka. Semua kamar telah diperiksa orang malam tadi!”
“Apa
maksudmu?”
Kui Lan
hendak menjawab, tapi tiba-tiba ia tahan kata-katanya ketika melihat Un Kiong
berdiri di dekat situ. Wajahnya yang tadinya suram dan gelap diliputi
kekhawatiran, tiba-tiba menjadi terang ketika melihat pemuda itu.
“Eh, Tan siangkong,
kaupun berada di sini?” tanyanya sambil tersenyum genit hingga wajahnya yang
hitam menjadi makin buruk. Memang Kui Lan semenjak melihat pemuda tampan itu,
telah lama ia merasa tertarik dan hati padanya.
Un Kiong
mendapat teguran manis ini tertawa-tawa dan dengan muka bodoh ia menjawab,
“Enci Lan yang hitam manis. Aku sudah lama disini menonton latihan silat ini.
Kau belum jawab pertanyaan Biauw Suthai.”
Kui Lan baru
ingat akan hal ini. maka buru-buru ia menghadap gurunya lagi. “Subo, semua
kawan memberi keterangan bahwa kamar mereka tadi malam kedatangan orang jahat
yang memeriksa seluruh buntalan pakaian, seakan-akan mencari rahasia semua
orang disini. Bahkan kamar teccu juga tak terkecuali.”
“Kamarku
juga ada yang menggeledah,” kata Hong Ing.
Biauw
Niang-niang mengerutkan keningnya. “Biarpun maling itu tidak berani memasuki
kamarku, tetapi dengan berhasilnya memasuki dan memeriksa semua kamar tanpa
diketahui, ia boleh dibilang licin juga. Kui Lan, coba panggil semua orang
berkumpul di ruangan tengah untuk mengadakan perundingan.”
Kui Lan
mengundurkan diri setelah melayangkan sebuah kerlingan memikat kearah Un Kiong
yang dibalas oleh pemuda tolol itu dengan suara tertawa dan tarikan muka bodoh.
“Biauw
Suthai, akupun pernah melihat maling masuk ke kamarku, tetapi ia hanya mencuri
sebuah celana usang,” katanya kepada iblis wanita itu.
Biauw
Niang-niang merasa kesal dan membelalakkan matanya, tetapi melihat pemuda itu
berdiri tersenyum sehingga wajahnya yang muda itu tampak jadi semakin tampan,
lenyaplah hawa marahnya. Ia harus mengakui bahwa pemuda itu sangat menarik
dengan wajahnya yang berkulit putih bersih, sepasang matanya yang tajam
bersinar gembira, bibirnya yang merah seperti bibir wanita, tetapi dagunya yang
keras tajam serta alis matanya yang berbentuk golok membuat ia tampak gagah.
Sayang pemuda seperti ini demikian dungu.
“Kalian
hendak mengadakan pembicaraan tentang maling, baiklah aku pulang saja, sekarang
sudah waktunya makan pagi dan ayah akan marah kalau aku tidak ada di rumah.
Cici kalau mau latihan pedang lagi, beritahulah aku, agar kita bisa latihan
bersama-sama, jadi lebih cepat maju!” Setelah menjura untuk memberi hormat,
pemuda bodoh itu berjalan pergi melalui pintu luar.
“Subo sabar
sekali menghadapi pemuda bodoh itu,” kata Hong Ing.
“Biarpun
bodoh, ia putera tunggal dari Tan cianbu yang telah berjasa kepada kaisar. Dan
tidakkah anak muda itu tampan menurut pendapatmu...?”
Mendengar
pernyataan ini, Hon Ing merasa heran dan juga jengah serta jemu terhadap
gurunya. Karena Hong Ing dianggapnya sebagai murid yang masih baru, maka ia
tidak diajak berunding. Gadis ini merasa girang, tapi betapapun juga, ia tidak
senang bergaul dengan orang-orang penghuni istana putih itu.
Kalau
gurunya, Seng Bouw Nikouw tidak berada di situ dan kalau ia tidak ingin untuk
menambah kepandaian ilmu silatnya, pasti sudah lama ia melarikan diri untuk
mencari Han Liong. Kadang-kadang ia merasa sangat rindu kepada kakaknya itu dan
ia merasa sangat kesepian.
Biauw
Niang-niang dengan tercengang mendengar laporan semua kawannya yang tinggal di
gedung itu, betapa kamar mereka tadi malam telah didatangi orang dan semua
barang mereka diobrak-abrik. Tapi setelah diperiksa, tak sepotongpun barang
mereka lenyap. Diantara semua orang itu, hanva seorang kauwsu atau guru silat
dari Kanglam yang bernama Thio Poan menuturkan pengalamannya semalam.
“Ketika itu
aku sudah tidur, tapi tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara keras. Aku segera
melompat bangun melibat bahwa cawan arak yang tadinya berada di atas meja telah
jatuh menggelinding ke bawah. Kusangka ada kucing masuk kamar, sesudah itu aku
bermaksud hendak tidur kembali. Tapi tiba-tiba aku melihat buntalan pakaianku
terbuka. Aku melompat lagi dan pada saat itu juga kelihatan bayangan putih
berkelebat keatas tiang penglari. Bayangan itu gerakannya cepat sekali hingga
aku tak dapat melihat dengan tegas apakah itu bayangan orang atau setan!
Sebelum aku dapat memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba dari atas datang angin
bertiup keras dan api lilin padam seketika itu juga. Terus terang saja kuakui
bahwa bulu tengkukku terasa berdiri. Ketika aku mencari api untuk menyalakan
lilin, aku merasa sesuatu bergerak di belakangku dan angin meniup ke arah
pintu. Setelah lilin kupasang, maka di kamar sudah tiada terlihat sesuatu lagi.
Karena aku menyangka ada setan, maka aku tidak berani menceritakan pada orang
lain, takut ditertawakan. Tapi ternyata kalian semuapun mendapat kunjungan
setan itu!”
Biauw
Niang-niang mengerutkan alisnya. Ia tahu sampai di mana kepandaian orang she
Thio itu dan agaknya bukan sembarang orang dapat mempermainkan guru silat ini.
Tapi toh tadi malam ia telah dipermainkan seorang yang mempunyai gin-kang dan
lwee-kang yang tinggi! Kalau maling itu berani masuk ke dalam kamarnya, pasti
ia akan dapat melayaninya. Tapi agaknya maling itu tahu akan kelihaian Biauw
Niang-niang hingga kamar iblis wanita ini saja yang dilewati tanpa digeledah.
“Memang
sukar untuk mengetahui siapakah orang yang berlaku kurang ajar ini” kata Leng
Niang-niang yang kamarnya juga menjadi sasaran penggeledahan, “tapi kiranya tak
perlu dipusingkan hal itu karena ternyata ia tidak berlaku jahat. Hanya, satu
hal yang harus kita selidiki, yaitu apakah yang dicari penjahat itu? Sudah
terang bahwa ia tadi malam mencari sesuatu.”
Biauw
Niang-niang mengangguk-angguk. “Tak lain tak bukan tentulah ia seorang dari
golongan lawan kita yang hendak mencari rahasia kita. Dan setahuku, dari
golongan mereka, orang yang mungkin dapat melakukan hal itu hanya satu orang
saja.” Dan ia memberi isyarat mata kepada sumoinya. Leng Niang-niang dan Hai
Niang-niang diam-diam mengangguk.
“Coba
panggil muridmu kesini,” kata Biauw Niang-niang kepada Seng Bouw Nikouw yang
segera memanggil Hong Ing.
Gadis ini
merasa heran dan diam-diam hatinya berdebar-debar ketika ia datang ke ruangan
yang penuh dengan orang-orang gagah yang berwajah perkasa dan galak itu. Tapi
ia tetapkan hatinya dan duduk dekat gurunya.
“Hong Ing,”
kata Biauw Niang-niang dengan suara halus, “kau bukanlah orang luar, maka perlu
kiranya kau ketahui juga. Semalam istana putih ini telah kemasukan orang jahat!
Orang itu datang mencari-cari sesuatu. Dan tahukah kau siapa orang itu? Ia tak
lain ialah orang yang membunuh ayahmu tapi yang kau anggap kakakmu sendiri
itu!”
“Koko Han
Liong? Dia yang datang malam tadi?” Hong Ing bertanya heran, hatinya berdetak-detak,
karena kini ia pun merasa betapa besarnya kemungkinan ini. Banyak alasan Han
Liong untuk datang menyelidik ke situ, dan siapakah orangnya yang berkepandaian
begitu tinggi dan berhati begitu berani dan tabah selain Han Liong?
“Agaknya kau
juga percaya akan kemungkinan ini,” kata Biauw Niang-niang yang pandai membaca
suara hati orang. “Sepak-terjang anak muda itu sungguh berani dan berbahaya
sekali. Maka coba kau ceritakan kepada kami tentang keadaannya. Pertama-tama,
siapakah namanya dan ia murid golongan mana?”
Hong Ing
tahan-tahan hatinya agar suaranya tak kedengaran bangga hingga jangan sampai
membongkar rahasia perasaannya, lalu berkata dingin, “Ia adalah Si Han Liong.
Gurunya banyak sekali. Kalau aku tak salah ingat, guru pertama adalah Liok-tee
Sin-mo Hong In, guru kedua Beng San Tojin Pauw Kim Kong, guru ketiga Kim-to Bie
Kong Hosiang, guru keempat Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat. Dan ia masih mempunyai
seorang guru lagi, yakni Kam Hong Siansu.”
Semua orang
terkejut mendengar ini, dan ketiga iblis wanita itu diam-diam mengagumi juga.
“Kam Hong
Siansu? Ah, tidak dinyana manusia dewa itu masih hidup dan menerima murid
seperti Han Liong itu. Pantas saja ia demikian lihai!” Biauw Niang-niang
berkata seperti kepada dirinya sendiri.
Hong Ing
dengan rasa bangga menambahkan, “Dan ia adalah putera tunggal dari Si Enghiong
yang terkenal!”
Biauw
Niang-niang dan Seng Biauw Nikouw loncat berdiri. “Apa?” kata Biauw
Niang-niang. “Sayang aku tidak mengetahui hal ini dari dulu. Hong Ing tahukah
kau siapa orang yang kau sebut Si Enghiong itu? Ia adalah Si Cin Hai, seorang
kepala pemberontak besar yang telah kami basmi. Semua ini kesalahan ayahmu
sendiri yang kena terpikat oleh isterinya, sehingga isteri dan anak kepala
pemberontak itu tak dapat dilenyapkan dari muka bumi ini. Membasmi pohon jahat
harus dengan akar-akarnya, kata pribahasa, tapi ayahmu menyalahi hukum ini dan
ia bahkan mengambil isteri musuh menjadi isterinya dan dengan demikian ia
menyelamatkan anak musuhnya. Tentu saja hal ini sama dengan memelihara anak
serigala dalam rumah. Dan betul saja, anak itu setelah dewasa kini merepotkan
kita semua.”
Biauw
Niang-niang menghela napas, tak perdulikan wajah Hong Ing yang tampak tidak
senang itu mendengar ayah ibunya menjadi buah tutur orang dan menerima berbegai
celaan.
Pada saat
itu dari luar datang seorang saikong yang bertubuh tinggi besar dan memelihara
cambang bauk yang tebal dan kaku ceperti kawat. Pertapa itu berjubah kuning dan
sepatunya memakai sol dari ujung besi. Ia memegang sebuah tongkat pendek
berwarna hitam yang berukiran kepala ular di bagian pegangannya. Di punggungnya
tergantung kantong hui-to yakni semacam golok kecil yang memakainya dengan
pelemparan hingga disebut golok terbang!
Ketiga iblis
wanita melihat saikong itu lalu berseru girang. “Susiok datang!”
Dan
ketiga-tiganya lalu memburu dan memberi hormat. Hong Ing terkejut melihat air
muka dan tubuh yang menakutkan itu, dan ia merasa heran sekali mengapa ketiga
iblis wanita itu tidak berlutut kepada seorang paman gurunya bahkan
menyambutnya dengan mesra bagaikan menyambut seorang kawan baik, bahkan Hei
Niang-niang dan Leng Niang-niang memegang lengan saikong itu di kiri kanannya
sambil tersenyum dan memainkan mata. Sikap mereka kekanak-kenakan dan mereka
rupanya sungguh sangat manja. Tentu saja Hong Ing tak mengerti sama sekali akan
sikap aneh ini.
Semua orang
yang berkumpul di situ memberi hormat dan Hong Ing terpaksa juga menjura
terhadap saikong tua itu. Melihat semua orang memberi hormat padanya, saikong
itu tertawa terbahak-bahak.
“Siancai,
siancai, terima kasih atas penghormatan ini, cuwi silakan duduk, pinto ada
berita penting untuk disampaikan padamu.” Suaranya nyaring dan kecil, tak
sesuai dengan tubuhnya yang sebesar raksasa itu.
Semua orang
duduk kembali. Biauw Niang-niang dengan suara manja dibuat-buat menceritakan
kepada paman gurunya tentang gangguan lawan yang menggagalkan serangannya
terhadap Siok Houw, sehingga muridnya tewas dan kedua sumoynya terluka. Juga ia
menceritakan tentang datangnya seorang penjahat yang menggeledah kamar mereka
tadi malam.
“Hm, jangan
sedih, sakit hatimu pasti terbalas. Suci telah memerintahkan aku turun gunung
membantu kamu sekalian. Kalau mereka berhadapan dengan pinto, anjing-anjing
pemberontak itu pasti kupukul dengan tongkat ini seorang sekali.”
Sambil
berkata begini ia mengayunkan tongkatnya perlahan menghantam lantai. Lantai
batu yang keras yang kena terpukul tongkat itu menerbitkan bunga api dan semua
orang kagum melihat di tempat bekas pukulan itu tampak berlobang setengah kaki
lebih! Kemplangan demikian perlahan dapat melobangi lantai batu, apa lagi kalau
yang dikemplang itu tubuh manusia dan dilakukan dengan sepenuh tenaga pula!
Hong Ing juga merasa ngeri dan takut juga.
“Tentang,
datangnya maling kecil malam tadi, pinto juga dapat menduga maksudnya. Tentu ia
datang mencari ini.” Ia merogoh saku jubahnya yang besar dan mengeluarkan
segulung kertas. “Lihat, ini adalah firman atau surat perintah dari kaisar
untuk menangkap Siok Houw dan surat-surat perintah rahasia dari Co Thaikam
sendiri. Agaknya para pemberontak telah mendengar tentang surat-surat ini,
sehingga orang yang membawanya dari kota raja mendapat gangguan di sepanjang
jalan. Tapi surat-surat ini sekarang diserahkan padaku, coba lihat siapa berani
mengganggu!”
Melihat
kejumawaan dan keangkuhan paman gurunya ini, Biauw Niang-niang mengerutkan
kening. “Susiok, musuh sangat lihai, kenapa kau bicarakan hal rahasia ini
secara terbuka?”
“Ha ha ha,
Biauw Niang, kau sudah menjadi penakut” Kemudian ian melanjutkan dengan
berbisik, “Hal ini kusengaja agar pihak musuh mendengar dan mencoba datang. Aku
akan siap-sedia setiap saat menyumbat kedatangannya”
Diam-diam
Hong Ing melirik ke sana ke sini. Benarkah ada Han Liong atau kawan-kawannya
yang datang mendengar?
“Susiok,”
kata Biauw Niang-niang selanjutnya, “Dipihak mereka kini ada seorang muda yang
cukup tangguh. Ia adalah murid Kam Hong Siansu dan kukira dialah orangnya yang
datang tadi malam.”
Mendengar
nama Kam Hong Siansu, saikong itu terkejut, tapi ia lalu berkata, “Bohong!
Orang tua itu mana mau menerima murid? Kedua tangannya sudah putih bersih, mana
ia mau mengotorinya pula dengan segala urusan tetek bengek di dunia fana ini?
Mungkin pemuda itu hanya monggunakan nama Kam Hong Siansu untuk menggertak
saja.”
Siapakah
gerangan saikong ini? Ia bukan lain adalah Kek Kong Tojin yang dijuluki orang
Coa-thouw-koai-tung si Tongkat Setan Kepala Ular, karena memang permainan
tongkatnya luar biasa lihainya dan belum pernah dikalahkan lawan! Sebenarnya ia
adalah pendiri termuda dari cabang persilatan Ngo-lian-pai, disamping sucinya
Ang Gwat Niang-niang yang terkenal dengan nama Ngo-lian-posat atau Dewi dari
Ngo-lian, dan twa-suhengnya Lo Thong Sianjin.
Mereka
bertiga merupakan pendiri Ngo-lian-pai yang disegani kalangan kang-ouw.
Diantara mereka bertiga, Aug Gwat Niang-niang yang terpandai, maka dialah yaag
berdiam di bukit Ngo-lian-san dan karenanya dinamakan orang Dewi daru Ngo-lian.
Sayangnya, hanya Lo Thong Sianjin seorang saja yang berwatak suci, hanya
cacatnya, ia ini terlampau jujur dan tidak mau mengaku kalah!
Sedangkan
sumoinya, Ang Gwat Niang-niang, wataknya terlampau membela ketiga muridnya
hingga pertimbangan dan keadilannya menjadi berat sebelah. Kek Kong Tojin yang
termuda bukanlah orang baik-baik. Telah lama ia mempunyai hubungan kotor dengan
ketiga murid Ang Gwat Niang-niang, yakni Biauw Niang, Reng Niang, dan Hai
Niang.
Dengan
demikian, boleh dibilang bahwa kedatangan ketiga wanita yang menjadi anak murid
Ngo-lian-pai itu, telah mengotorkan nama Ngo-lian-pai dan merusak kebersihan
hati Kek Kong Tojin dan Ang Gwat Niang-niang. Kalau bicara soal kepandaian, Lo
Thong Sianjin dan Ang Gwat Niang-niang sama lihainya, karena dalam hal ilmu
pedang Ngo-lian-posat lebih unggul, tapi Lo Thong Sianjin sebaliknya lebih
tinggi ilmu ginkang dan lweekangnya. Kek Kong Tojin masih kalah setingkat dari
kedua kakak seperguruannya itu.
Dengan
sengaja, pada malam hari itu, Kek Kong Tojin menaruh gulungan surat-surat
penting itu di atas meja dalam kamarnva dan ia sendiri berada di ruang tamu
minum arak dan makan daging, ditemani oleh ketiga murid keponakannya! Sembari
makan minum, mereka berempat mengobrol gembira.
“Eh, Biauw
Niang, siapakah gadis yang duduk di dekatmu siang tadi?”
“Ia adalah
muridku, puteri dari almarhum Lie Ban Ciangkun.”
Saikong itu
mengangguk-angguk gembira. “Hm, muridmu itu sungguh cantik jelita, sayang aku
tak pernah punya murid semuda dan secantik itu.”
Memang,
diantara ketiga pendiri Ngo-lian-pai, hanya Ang Gwat Niang-niang sendiri yang
mempunyai murid, yakni ketiga Liok-san Sam-moli, sedangkan Kek Kong Tojin dan
Lo Thong Sianjin tak pernah menerima murid lain.
Pada saat
Biauw Niang-niang hendak menegur paman gurunya dan mengatakannya mata
keranjang, tiba-tiba saikong itu mengayunkan sumpitnya ke atas. Sumpit itu
meluncur seperti anak panah dan menembus genteng dengan suara nyaring! Ketiga
iblis wanita pun melompat sambil mencabut pedang.
“Biar kami
yang menangkap mata-mata itu, susiok duduk sajalah minum arak!” kata Biauw
Niang-niang yang segera meloncat keluar, diikuti kedua sumoinya.
“Bangsat
maling jangan lari!” teriak Hai Niang-niang dengan suara nyaring.
Teriakan ini
membuat semua orang dalam Istana Putih itu bangun terkejut dan melompat keluar
mengejar dengan senjata di tangan. Hong Ing merasa berdebar-debar karena timbul
dugaan dalam hatinya kalau-kalau yang datang itu adalah Han Liong dan
kawan-kawannya. Maka tanpa berkata sesuatu iapun ikut melompat ke atas genteng.
Ketika tiba
di atas, Hong In melihat seorang laki-laki tinggi kurus sedang bertempur
melawan ketiga iblis wanita. Tamu malam itu belum tua benar, lebih kurang empat
puluh lima tahun, tapi rambutnya telah putih semua. Ia bersenjatakan joan-pian
atau ruyung cambuk dan bersilat dengan gerakan yang luar biasa cepat dan
lincahnya. Tadinya Biauw Niang-niang seorang diri melawan tamu malam itu, tapi
ternyata iblis wanita tertua itu bukan tandingan si rambut putih!
Maka, dengan
berseru marah, Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang ikut menyerbu hingga tamu
malam yang lihai itu dikeroyok tiga! Orang-orang lain tak berani ikut
mengeroyok karena keempat orang yang sedang bertempur itu berkepandaian tinggi
sehingga merupakan bayangan empat tubuh yang sukar dikenal lagi mana kawan mana
lawan!
Pada saat
orang-orang sedang menyaksikan pertempuran hebat itu dengan kagum, tiba-tiba
dari bawah terdengar teriakan nyaring dari Kek Kong Tojin. “Bangsat rendah kau
datang ingin mencari kematian?”
Semua orang
di atas genteng, kecuali yang sedang bertempur, merasa terkejut. Tiba-tiba dari
bawah meloncat seorang dengan gerakan lincah dan ringan laksana seekor burung.
Hong Ing
hampir berteriak karena orang itu potongan tubuhnya hampir sama dengan Han
Liong, hanya lebih kecil sedikit. Orang yang baru datang ini memakai kedok kain
sutera hitam dan tangannya memegang sebuah pedang yang berkilauan. Tangan
kirinya memegang gulungan kertas yang berisi perintah dan rencana rahasia yang
dibawa oleh Kek Kong Tojin siang tadi!
Ternyata ia
menggunakan kesempatan ini selagi orang-orang ribut mengepung si rambut putih
di atas genteng, si kedok hitam ini turun dengan diam-diam dan mencuri dokumen
itu di kamar Kek Kong Tojin!
Tapi Kek
Kong Tojin yang masih duduk minum arak di ruang tamu dapat melihat bayangan
hitam berkelebat keluar dari kamarnya. Kebetulan pada saat itu tangannya sedang
memegang tulang paha ayam dan memakan dagingnya, maka ia melemparkan tulang ini
ke arah bayangan itu. Biarpun hanya kecil, tapi karena dilempar oleh Kek Kong
Tojin yang mempunyai tenaga dalam sempurna, maka tulang itu merupakan senjata
yang sangat berbahaya!
Si kedok
hitam mendengar sambaran angin, cepat menempiskan tangannya dan tenaga tempisan
ini mengeluarkan angin dan dapat memukul jatuh tulang itu ke lantai! Tanpa ayal
lagi, setelah berhasil menyambar gulungan kertas pening dari atas meja, si
kedok hitam menghilang pergi, dan dikejar oleh Kek Kong Tojin sambil
memaki-maki!
Si rambut
putih biarpun dikeroyok oleh tiga iblis wanita yang lihai, namun dapat melayani
mereka dengan baik dan tidak sampai terdesak, bahkan ia masih sempat mengerling
ke arah si kedok hitam. Melihat si kedok hitam itu memegang gulungan kertas, ia
berseru keras dan joan-piannya berputar menyambar bagaikan kilat hingga ketiga
iblis wanita terpaksa mengelak sambil mundur. Kesempatan ini digunakan oleh si
rambut putih yang berkelebat dan meloncat menabrak si kedok hitam sambil
berseru,
“Sobat,
berikan barang itu padaku!”
Tapi gerakan
si kedok hitam tak kalah hebatnya. “Jangan mau enaknya saja, kawan!” ia
mengejek sambil berkelit.
Pada saat
itu Kek Kong Tojin sudah tiba di situ dan saikong ini melayangkan kepalannya
memukul si kedok hitam. Tapi dengan mudah lawannya menghindarkan pukulan ini
dan balas memukul dengan lebih hebat lagi! Kek Kong Tojin menangkis dan dua
lengan tangan beradu keras.
Saikong ini
heran sekail ketika lengannya terbentur sebuah lengan yang keras dan mengandung
tenaga yang tak boleh dianggap enteng! Diam-diam ia mengeluh. Untuk, menghadapi
si rambut putih yang dapat melayani ketiga murid keponakannya itu saja ia harus
mengerahkan tenaga, sekarang ditambah lagi dengan si kedok hitam yang tidak
kalah tangkasnya itu!
Si rambut
putih rupanya tidak begitu mendesak si kedok hitam lagi, bahkan kini ia
menyerang Kek Kong sambil berseru, “Ah, pantas saja penjilat-penjilat ini makin
banyak dan makin kurang ajar, rupanya disini ada anjing tuanya yang menjagoi!”
Bukan main
marahnya Kek Kong Tojin mendengar cacian ini. Ia melompat ke arah si rambut
putih dan menuding. “Bangsat rendah! Berani banar kau berlancang mulut. Beritahukan
namamu sebelum kuantarkan kau kepada Giam-lo-ong !”
Si rambut
putih tertawa. “Aku selalu datang tak mengubah she, pergi tak mengganti nama.
Aku adalah Lie Bun Tek dari Heng-san!”
Kek Kong
Tojin terkejut. “Kau Heng-san Koai-hiap?”
Si rambtt
putih mengangguk, dan Kek Kong Tojin segera meneriaki semua orangnya. “Kepung
orang berkedok itu. Jangan sampai dia lari!”
Maka ketiga
iblis wanita dan semua orang yang kini merasa gatal tangan itu hendak
menonjolkan jasanya, dengan cepat mengepung si kedok hitam. Kemudian Kek Kong
Tojin mencabut tongkatnya, tapi si rambut putih tertawa mengejek.
“Ha ha ha!
Inikah macamnya Coa-thouw-koai-tung yang ditakuti orang? Agaknya tak seberapa
menakutkan!”
Kek Kong
Tojin tidak menjawab, tapi sambil berseru keras tongkatnya melayang kearah
kepala lawan. Si rambut putih pun berseru, “Bagus!”
Dan ia
menggerakan joan-piannya menangkis, tapi tongkat itu segera berobah gerakan,
langsung menotos iga! Inilah sebuah tipu gerakkan ilmu sitlat Ngo-lian-pai yang
berbahaya sekali, maka si rambut putih tak berani berlaku sembrono lagi. Ia
berkelit dan balas menyerang. Sebentar saja kedua orang ini bertempur seru
sekali dan tubuh mereka lenyap dalam dua gulungan sinar senjata yang
mengeluarkan angin dingin!
Sementara
itu, si kedok hitam menyiapkan pedangnya menanti mereka yang mengepung dan
hendak menyergapnya. Tiba-tiba seorang tinggi besar meloncat maju dan berkata,
“Cuwi
sekalian tahan dulu! Untuk memukul anjing kecil ini tak perlu menggunakan
tongkat besar, biar siauwto saja menangkap dia!”
Ia ini
adalah Kok Beng si Kerbau Hitam, seorang kepala rampok yang kenamaan di Secuan
dan selain pandai silat, iapun bertenaga besar. Kemudian, sambil mengungkat
dada, ia memutar-mutar toyanya dan mendekati si kedok hitam.
“Sobat,
jangan kau mencari mati. Tinggalkan kertas itu dan kau berlututlah meminta
ampun, tentu tuan besarmu akan memberi maaf padamu!”
Tapi hanya
terdengar suara ejeken sambil tertawa dari balik kedok sutera hitam itu
sehingga Kok Beng menjadi marah sekali dan segera menyerang dengan toyanya.
Tapi di luar dugaannya, kaki kiri si kedok hitam itu terangkat dan dipakai
mendepak ujung toyanya, lalu pedangnya berputar-putar menebas lengan yang
memegang toya!
Gerakan
istimewa ini sungguh tak terduga, juga sangat berbahaya, sehingga Kok Beng
menjadi terkejut. Terpaksa ia melepaskan toyanya dan meloncat mundur. “Hebat
betul...” teriaknya dan mukanya menjadi pucat lalu berobah merah. Baru satu
gebrakan saja ia terpaksa harus melepaskan senjatanya dan mundur!
Biauw
Niang-niang terkejut gerakan, si kedok hitam. Yang tadi itu adalah gerakan
tendangan Siauw-cu-twie yang dilakukan dengan mahir sekali. Ia teringat akan
seorang pendekar gagah perkasa yang menjadi ahli tendangan itu, maka tanpa
disengaja ia bertanya,
“Apa
hubunganmu dengan Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek?”
Sepasang
mata di balik kedok itu memandangnya dengan sinar mata berkilat, tetapi yang
terdengar hanya suara tertawa mengejek.
“Baiklah,
biar kau ada hubungan dengan Khouw locianpwe atau dengan dewa sekalipun, kalau
kau tidak mau mengembalikan gulungan kertas itu, jangan harap kau bisa keluar
dari sini!”
Sehabis
berkata begini, Biauw Niang-niang segara menggerakkan pedang dan hudtimnya
menyerang dan sebentar saja si kedok hitam telah dikeroyok. Tetapi ternyata ia
dapat bergerak dengan cepat sekali sehingga tak mudah bagi mereka untuk
menangkapnya.
Hong Ing
yang berdiri diam saja sambil melihat pertempuran itu dengan hati kagum, kini
tahu bahwa dua orang tamu malam itu bukanlah kawan-kawan Han Liong yang pernah
dilihatnya. Ia lebih lebih kagum ketika melihat gerakan si kedok hitam yang
ternyata ditilik dari potongan tubuh dan rambutnya, masih muda benar.
Tetapi
kemidian diam-diam ia khawatir melihat si kedok hitam itu terdesak juga oleh
tiga kebutan dan pedang dari si Tiga Iblis Wanita, ditambah dengan kepungan
orang-orang lain. Ketika ia menengok ke arah Kek Kong Tojin, ia melihat saikong
itu masih bertempur seru melawan Pendekar Aneh dari Heng-san itu dengan
kekuatan berimbang.
Tiba-tiba
terdengar Biauw Niang-niang menjerit ketika pundaknya tergores sedikit oleh
pedang musuh sehingga mengeluarkan darah. Dengan marah Tiga Iblis Wanita itu
mengeluarkan Bwee-hwa-ciamnya, jarum beracun yang kejam itu.
Melihat
senjata berbahaya itu dihamburkan ke arahnya, si kedok hitam melompat tinggi
sampai dua tombak dan dari atas ia meluncur turun dari genteng dengan gerakan
Naga Air Terjun ke Laut yang indah dan cekatan sekali.
Sambil
berteriak-teriak semua pengejarnya ikut melompat turun. Hong Ing merasa heran
mengapa si kedok hitam itu bukannya lari keluar tapi malah kembali masuk ke
Istana Putih! Ia juga ikut melompat turun. Tapi biarpun semua orang mencari di
mana-mana, si kedok hitam tak tampak bayangannya lagi. Semua orang mencari
berkeliling sambil memaki-maki tak keruan!
Setelah
mencari beberapa lama tanpa hasil, Tiga Iblis Wanita dengan diikuti semua
orang, ramai-ramai naik lagi ke atas genteng di mana Kek Kong Tojin masih
bertarung seru melawan Heng-san Koai-hiap. Biauw Niang-niang bertiga melihat
susioknya tak dapat mengalahkan lawanya, segera maju sekalian mengeroyok. Kek
Kong Tojin diam saja melihat ketiga murid keponakannya maju mengeroyok, bahkan
diam-diam ia merasa girang, biarpun ia tahu bahwa hal itu tak pantas dilakukan
oleh seorang tokoh persilatan besar seperti dia.
Kini
Heng-san Koai-hiap repot juga, karena ketiga iblis wanita itu walaupun ilmu
silatnya masih kalah setingkat, namun dengan maju bersama, mereka merupakan
tenagga bantuan yang hebat juga. Perlahan-lahan ia terdesak. Pada saat itu,
tiba-tiba terdengar suasa mencela.
“Kek Kong!
Sungguh sikapmu tak pantas dengan keroyokan ini membuat orang-orang gagah
merasa malu!”
Dan pada
saat itu juga tiga buah benda hitam melayang cepat dan tepat sekali memukul
ketiga pedang dari Tiga Iblis Wanita itu, hingga ketiga pedang itu melenting
dan hampir saja terlepas dari pegangan!
Heng-san
Koai-hiap melompat ke belakang dan berkata kepada Kek Kong, “Barang yang
kukehendaki sudah terampas oleh orang lain. Aku tiada waktu melayani kau lebih
lama. Kalau ada untung lain kali kita berjumpa pula!” Tubuhnya lalu
berpusing-pusing di udara dan menghilang.
Sementara
itu, Tiga Iblis Wanita merasa heran dan kaget sekali melihat bahwa senjata
rahasia yang membentur pedang mereka dan membuat pedang itu hampir terlepas
ternyata hanya tiga potong pecahan genteng! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya
tenaga pelemparnya! Diam-diam mereka merata ngeri juga.
Setelah
semua orang turun dan berkumpul di ruang tengah, Kek Kong menghela nafas dan
berkata,
“Biauw Niang
berkata benar, musuh banyak juga yang lebih tinggi kapandaiannya dari kita.
Sekarang surat-surat itu sudah jatuh ke tangan musuh, kita harus berusaha
merebutnya kembali. Dan kita harus mencari bala bantuan!”
“Tetapi
susiok, menurut pendapatku, pencuri yang berkedok tadi bukan sekomplotan dengan
Heng-san Koai-hiap. Mereka bergerak sendiri-sendiri dan terpisah,” berkata Hai
Niang-niang.
Tiba-tiba
Biauw Niang-niang melihat kesana kemari, seakan-akan ada yang dicarinya,
kemudian ia bertanya heran, “Eh, mana Seng Bouw Nikouw? Kenapa aku tidak melihatnya
semenjak tadi?”
Hong Ing
terkejut mendengar ini dan iapun heran, karena memang ia tidak melihat gurunya
itu ikut bertempur tadi. Semua orang mencari, tetapi tidak dapat menemukan
nikouw itu. Hong Ing merata khawatir sekali dan meloncat naik ke atas genteng.
Setelah ia mencari beberapa lama, ia berteriak kaget sehingga semua orang
meloncat naik mengejarnya.
Ternyata
pendeta perempuan itu rebah di atas genteng belakang dan ketika diperiksa
ternyata ia dibuat tak berdaya dengan sebuah totokan yang lihai sekali, Kek
Kong Tojin segera menepuk bahu dan menotok punggung Seng Bouw Nikouw hingga
pendeta itu dapat bergerak kembali. Berulang kali ia menghela napas.
“Omitohud,
sungguh lihai... sungguh lihai!”
Kek Kong
Tojin dan ketiga iblis wanita heran sekali melihat pendeta wanita itu sampai
dibuat tak berdaya sedemikian rupa oleh lawan, padahal Seng Bouw Nikouw
bukanlah seorang lemah dan dalam hal ilmu silat ia hanya sedikit dibawah
kepandaian tiga iblis wanita itu! Seng Bouw Nikouw lalu bercerita,
“Ketika
kalian bertempur tadi, aku hendak membantu, tetapi tiba-tiba aku melihat sebuah
bayangan berputar-putar di atas genteng belakang. Aku mengejar dan kemudian
menjadi sangat terkejut, karena ternyata yang berdiri disitu bukan lain ialah
Sin-chiu Taihiap Khouw Sin Ek! Tentu saja aku tak berani melawan orang tua itu
dan diam-diam aku tersembunyi di balik wuwungan genteng. Aku melihat juga
betapa orang tua yang lihai itu menggunakan pecahan genteng memukul pedang suci
bertiga! Melihat ia menggunakan senjata rahasia istimewa itu, aku teringat
bahwa biarpun aku takkan dapat melawannya, tetapi sedikitnya dari tempat gelap
itu aku dapat melepaskan senjata rahasia jarum, karena itu aku justeru sembunyi
di belakangnya. Tanpa pikir lagi aku mengirimkan segenggam jarum, tapi tak
kusangka ia sedemikian lihainya. Tanpa menengok ia mengayunkan lengan baju dan
telah meniup pergi semua jarumku! Sebelum aku sempat lari, ia telah meloncat
dan tanpa kusadari aku telah tertotok dan rebah tak berdaya!”
Kek Kong
Tojin menghela napas. “Celaka, terlampau banyak lawan lihai yang datang malam
ini. Kita harus berhati-hati dan mulai malam ini kita harus mengatur penjagaan
yang kuat.”
Setelah
berkata demikian. Kek Kong Tojin memimpin sendiri dan mengatur penjagaan di
semua sudut sehingga Istana Putih itu terkurung kuat. Kemudian orang-orang yang
tidak bertugas menjaga kembali di kamar masing-masing. Hong Ing dengan hati
lega karena si rambut putih dan si kedok hitam terlepas dari bahaya, kembali ke
kamarnya pula.
Ia memasuki
kamar, lalu menutup pintunya dan memasang lilin. Hampir saja ia berteriak,
karena melihat di atas kursi di kamarnya duduk seorang yang berkedok sutera
hitam. Baiknya si kedok hitam segera memberi tanda agar ia jangan berteriak.
Hong Ing menggerakkan bibirnya hendak bertanya dengan marah kepada tamu malam
yang keterlaluan dan kurang ajar itu, tapi si kedok hitam lalu mengeluarkan
sehelai surat yang agaknya telah ia sediakan sebelumnya.
Hong Ing
menerima surat itu dan membacanya sambil duduk di atas pembaringan dan selalu
mengerling kearah si kedok hitam. Surat itu tidak panjang dan berbunyi seperti
berikut:
Nona Lie
Hong Ing,
Kau bukanlah
seorang penjahat dan mungkin kau tidak tahu bahwa orang-orang di gedung ini
semua adalah kaki tangan pembesar durna yang bermaksud memberontak! Kalau kau
terus berada dengan mereka, maka kau akan menghadapi dua macam bahaya.
Bahaya
pertama: kau akan dimusuhi oleh orang-orang gagah di kalangan kang-ouw, dan
bahaya kedua: kau akan dicap anggauta pemberontak dan mendapat hukuman!
Kau ingin
belajar silat? Kalau kau percaya, aku dapat menolongmu mencari seorang guru
yang jauh lebih pandai daripada Iblis-iblis itu. Kau takut melarikan diri? Aku
dapat membantumu. Kalau setuju, sekarang juga, ikutlah aku keluar dari neraka
ini.
Membaca
surat ini, Hong Ing terkejut. Benarkah gurunya dan semua erang itu pemberontak?
Mengapa mereka memaki Han Liong dan kawan-kawannya sebagai pemberintak? Tentang
kejahatan mereka, hal ini ia dapatlah percaya, memang ia sendiri tidak suka
melihat sikap dan sepak terjang mereka itu, tapi apakah si kedok hitam ini
dapat dipercaya?
Biarlah, ia
akan ikut lari dan mencari Han Liong. Kalau sudah bertemu dengan kakaknya itu,
ia tidak takut akan setan yang manapun juga! Maka ia lalu mengangguk dan si
kedok hitam tersenyum girang. Sepasang mata di balik sutera hitam itu
memancarkan sinar berseri-seri tanda kegirangan...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment