Friday, October 12, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 06



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Pusaka Naga Putih

                 Jilid 06


MELIHAT pihaknya terdesak hebat, ditambah pula ia sendiri harus menghadapi Han Liong yang ternyata tangguh dan gagah itu, Biauw Niang-niang mengeluarkan suara siulan nyaring dan tinggi. Siulan ini adalah sebuah isyarat, karena Leng Niang-niang, dan juga Hai Niang-niang yang terluka dan hanya menggunakan sebelah tangan, tiba-tiba ia menyebarkan Bwee hwa-ciam atau senjata rahasia berbentuk jarum yang jahat itu.

Biauw Niang-niang sendiri juga tebarkan jarum maut mengarah urat-urat kematian Han Liong. Semua orang terkejut dan dengan teriakan marah Bie Cauw Giok roboh terguling karena sebuah jarum menancap di pahanya. Juga Hek Bia Kiat mengeluarkan seruan tertahan ketika hampir saja ia menjadi korban jarum rahasia yang dilepas oleh Leng Niang-niang.

Kemudian dengan cepat sekali ketiga iblis waniia itu lari. Biauw Niang-niang dengan tak terduga telah melompat ke dekat Hong Ing dan sebelum gadis itu sadar, pundaknya telah tertotok dan tubunya yang tak berdaya itu dipondong dengan ringan sekali oleh siluman wanita itu!

Han Liong terkejut dan lompat mengejar, tapi Leng Niang-niang mencegat dengan tambasan jarum-jarumnya. Karena merasa marah dan khawatir sekali akan keselamatan Hong Ing, Han Liong memutar pokiamnya hingga jarum-jarum tertangkis dan jatuh semuanya, lalu sekali Pek-liong pokiam bermain, telinga kiri berikut antibg-anting terbabat putus!

“Bangsat keji!” Leng Niang-niang berteriak keras dan menyerang hebat.

Tiba-tiba kaki Han Liong melayang dan tepat menghantam pergelangan tangannya hingga pedangnya terpental jauh, sedangkan tulang lengannya memperdengarkan suara “krak” dan patah! Leng Niang-niang menjerit kesakitan lalu lari! Han Liong tidak mengejarnya karena ia merasa bingung benar.

Biauw Niang-niang yang memondong Hong Ing telah lenyap dan ia tidak tahu ke mana iblis itu lari. Lama sekali Han Liong berdiri kesima dan bingung, ia tak tahu harus mengejar ke jurusan mana, sedangkan hatinya terasa perih sekali mengingat akan nasib Hong Ing.

Tiba-tiba terdengar suara kaki di belakangnya. Cepat ia berpaling dan Yo Leng In telah berdiri di depannya. Bibi ini heran melihat betapa Han Liong berdiri pucat bagaikan kehilangan semangat.

“Liong, lukakah kau?” tanyanya khawatir.

“Tidak, ie-ie, tapi... Hong Ing telah dibawa lari oleh Biauw Niang-niang” jawabnya sambil mengerutkan kening.

Yo Leng In diam-diam bernafas lega. Memang ia tidak senang melihat puteri musuhnya itu, maka pikirnya biarlah setan kecil itu dibawa pergi oleh iblis wanita Biauw Niang-niang, hingga Han Liong tak perlu berdekatan lagi dengan 'adiknya' itu.

“Sudahlah jangan khawatir. Agaknya iblis-iblis itu menganggap nona Lie sebagai orangnya sendiri. Rasanya nona itu takkan diganggu.” Ia menghibur sedangkan Han Liong heran mendengar suara bibinya.

Ternyata kerugian pihak Siok Sianseng lebih hebat. Lima orang tamu yang ikut bertempur mendapat luka berat, bahkan seorang di antaranya telah tewas. Bhok Kian Eng luka berat, begitu pula Bie Cauw Giok dan Bie Kong Hosiang. Orang-orang yang terluka oleh jarum iblis itu, lukanya bengkak dan hitam, tanda bahwa senjata rahasia itu mengandung racun hebat.

Setelah memeriksa dengan teliti, Han Liong lalu memasukkan pedang Pek-liong-pokiam ke dalam air dan menggunakan air itu untuk mengobati. Sungguh manjur sekali, begitu luka dicuci dengan air ini maka semua darah yang mengandung racun dapat dihisap keluar!

Siok Sianseng menyatakan penyesalannya bahwa begitu banyak orang yang telah menjadi korban karena membela dia seorang. Lebih-lebih ketika ia mendengar bahwa nona Hong Ing diculik oleh iblis wanita itu, ia membanting-banting kakinya dan tanpa disadarinya air matanya mengalir membasahi pipinya karena merasa sedih dan marah.

“Biarlah... biarlah, aku akan menggunakan sisa hidupku yang tak berharga ini untuk menyalakan lagi api pemberontakan dan bersama kawan-kawan seperjuangan menggulingkan pemerintah musuh yang jahat ini!”

Orang tua yang lemah tetapi penuh semangat baja ini berdiri dengan mata bernyala-nyala dan kedua tangan terkepal. Pada saat itu, seakan-akan semangat ayahnya menjalar di tubuh Han Liong. Anak muda ini melihat Siok Sianseng demikian bersemangat, merasa sangat terharu sehingga untuk sesaat ia melupakan kesedihannya karena terculiknya Hong Ing. Ia maju dan memegang lengan tuan rumah.

“Paman Siok, jangan khawatir, aku akan membantumu untuk membasmi perampok-perampok jahanam itu!”

Siok Houw Sianseng memeluk Han Liong dengan terharu, kemudian setelah para korban dirawat, dan pengantin laki-laki telah pulang membawa isterinya, Siok Sianseng mengajak Han Liong, Yo Leng In, Hee Ban Kiat, dan Bie Kong Hosiang untuk berunding.

Semenjak usaha pemberontakan yang dipimpin ayah Han Liong, Si Enhiong, gagal dan dihancurkan oleh pemerintah Ceng tiauw, Siok Houw Sianseng melarikan diri dan dengan diam-diam sasterawan patriot ini menulis sebuah karangan yang berjudul RAKYAT TAK SUDI DIJAJAH.

Berbulan-bulan Siok Houw dengan dibantu oleh puterinya menulis karangan ini sampai menjadi lima belas buah. Ia bermaksud hendak membagi-bagikan karya tulisannya ini ke segenap penjuru agar disalin oleh para patriot dan disebarkan di antara rakyat. Tapi ia seorang lemah dan namanya telah tercatat dalam daftar hitam pemerintah penjajah, maka ia tak berdaya dan karangannya itu telah lama sekali tersimpan dalam kopornya.

Kini melihat para orang gagah berkumpul, bahkan disitu ada putera Si Enghtong yang seakan-akan menjadi pengganti ayahnya, semangat sasterawan tua ini timbul kembali. Apalagi ketika ia mendapat kenyataan bahwa dirinya diincar dan hampir saja menjadi korban keganasan kaki tangan kaisar lalim, ia segera mengambil keputusan untuk mulai lagi perjuangan menentang pemerintah yang dibencinya itu.

Setelah mendengar keterangan Siok Sianseng tentang karangan dan cita citanya, Han Liong memajukan dirinya sendiri untuk menjalankan tugas menghubungi orang-orang gagah di seluruh daratan Tiongkok dan membagi-bagikan tulisan Siok Sianseng itu.

Semua orang setuju dan Siok Sianseng memberi nasehat, “Si hiante telah menerima tugas suci ini, maka aku merasa bangga dan puas, karena keturunan Si enghiong pasti akan bekerja dengan sempurna. Hanya saja, hendaknya Si hiante berhati-hati, karena dengan adanya penyerangan terhadap rumah tanggaku, maka besar sekali dugaanku bahwa kaki tangan kaisar kejam itu telah mendengar tentang tulisanku itu dan tentu mereka akan bersusah payah dalam usaha mereka merampasnya.”

Setelah berunding dan mengambil keputusan bahwa semua orang gagah yang diundang oleh Han Liong dan yang lain-lain supaya datang menghadiri pertemuan di puncak Gunung Beng-san, tempat kediaman Beng-san Tojin, pada Go-gwee Cap-go untuk memilih seorang bengcu atau kepala, maka pertemuan itu diakhiri.

Siok Houw membubarkan semua pelayan, dan karena puterinya telah mengikuti suaminya, sedangkan isterinya telah meninggal beberapa tahun yang lalu hingga ia hidup seorang diri, maka ia setuju untuk ikut dengan Hee Ban Kiat bersembunyi di kelenteng Bie Kong Hosiang, ialah kelenteng Kim-kee-tang di bukit Huntian-sie, agar ia dapat menyelamatkan diri dari kejaran kaki tangan pemerintah musuh.

Yo Leng In juga pergi untuk mengumpulkan dan mengundang kawan-kawan seperjuangan lama yang dulu bersama-sama suaminya dan Si enghiong pernah mengadakan pemberontakan dan gagal.


                  ***************


Marilah kita tinggalkan dulu Han Liong yang pergi mencari hubungan dengan orang-orang gagah sefaham, dan baik kita ikuti keadaan Lie Hong Ing yang dibawa lari oleh Biauw Niang-niang.

Iblis wanita tertua yang lihai itu setelah pergi jauh, lalu menanti datangnya Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang yang terluka hebat oleh Han Liong. Kedua sumoi itu datang dengan merintik-rintih, hingga Biauw Niang-niang merasa sakit hati sekali kepada Han Liong. Ia menggunakan kepandaiannya menotok jalan darah kedua sumoinya untuk mengurangi rasa sakit dan memberi mereka makan obat bubuk berwarna hijau.

Pada saat itu tampak Kiu Lan datang berlari-lari dengan nafas terengah-engah. Ketiga gurunya merasa lega melihat bahwa murid ini tidak terluka, tapi mereka memaki-maki dengan gemas dan marah mendengar bahwa Kui Hwa telah tewas! Kemudian Biauw Niang-niang membebaskan Hong Ing dari totokannya, lalu berkata kepada nona itu.

“Sie Siocia, jangan kau salah paham. Gurumu adalah kawan kami dan almarhum ayahmu juga segolongan dengan kami. Kau agaknya telah kena dibujuk oleh lawan dan orang-orang yang sekarang menjadi sahabat-sahabatmu itu. Sebenarnya mereka adalah musuh-musuhmu dan musuh-musuh kami yang harus kita basmi! Kamilah sahabat-sahabatmu yang sejati.”

Hong Ing memang masih merasa marah kepada kawan-kawan Han Liong, tapi ia juga tidak suka melihat tiga iblis wanita ini lebih-lebih kepada Kui Lan, ia benci sekali. Maka, mengingat hal ini ia menjadi makin marah dan berlaku nekat.

“Aku tidak mempunyai sahabat! Kalian dan semua orang tadi adalan orang-orang jahat belaka! Di dunia ini mana ada kawan baik? Aku tak perduli, aku mau hidup sendiri, kalian jangan mengganggu aku.”

“Lie siocia, jangan kau salah duga. Kami adalah pelindungmu. Kau harus ikut dengan kami ke istana.”

“Apa? Istana? Apa maksadmu?”

“Bukankah ayahmu dulu menjadi panglima? Nah, kau yang menjadi puterinyapun berhak tinggal di Istana Putih yang khusus dibangun oleh yang mulia kaisar untuk kita. Marilah ikut kami, kau akan mendapat kemuliaan.”

Hong Ing tertarik, tapi ia ragu-ragu dan diam saja. Sementara itu, Kui Lan yang ingat kepada sucinya, tiba-tiba mencucurkan air mata. Biauw Niang-niang menghela nafas, karena iblis wanita ini maklum akan perasaan muridnya.

“Sudahlah, Kui Lan, tak perlu segala tangis itu. Kui Hwa gugur, tapi kitapun telah banyak menjatuhkan korban. Sayang tua bangka she Siok itu terlepas dari ujung pedang kita. Biarlah mari kita pulang dulu untuk mengumpulkan tenaga bantuan. Mudah saja lain kali kita membalaskan sakit hati Kui Hwa.”

Hong Ing diam-diam menggunakan pikirannya. Agaknya orang-orang inipun tergolong orang-orang gagah yang hanya berbeda pendirian dengan Han Liong dan kawan-kawannya. Kalau Han Liong dan kawan-kawannya memusuhi kaisar, iblis ini bahkan sebaliknya, membela kaisar. Mana yang betul?

Tentu saja Han Liong yang betul, kakaknya itu tak pernah bertindak salah. Terhibur hatinya kalau terkenang kepada Han Liong. Betapapun juga, pemuda itu tidak membenciya. Biarpun seluruh dunia membencinya, ia tak perduli, asal Han Liong jangan membencinya. Dan orang-orang ini, yang ia telah saksikan kelihaiannya, agaknya juga suka padanya. Tentang permusuhan bela-membela kaisar itu, ah, ia tidak mengerti dan juga tidak perduli. Bukankah antara ayah dan ibunya sendiripun ada perbedaan faham macam ini?

Hong Ing mempertimbangkan untung ruginya kalau ia ikut Biauw Niang-niang. Ia akan belajar silai tinggi dan akan tahu lebih jelas keadaan mereka, hingga lain kali kalau bertemu dengan Han Liong, ia dapat memberikan keterangan. Ruginya? Ia berpisah dari Han Liong! Tapi tidak apa, berpisah untuk sementara. Bahkan nanti kalau bertemu lagi ia sudah berkepandaian tinggi. Alangkah senangnya untuk membanggakan kepandaiannya kepada kakaknya itu kelak!

“Eh, kalau aku ikut... maukah kau memberi pelajaran silat kepadaku?” tiba-tiba ia bertanya kepada Biauw Niang-niang.

Wanita tua itu tersenyum. “Tentu saja! Bahkan sudah seharusnya, Dengarlah, anak bodoh, gurumu Seng Bouw Nikouw juga berada di sana.”

“Betulkah ini?” Hong Ing berseru girang.

“Siapa yang membohong?” bentak Biauw Niang-niang.

Kini keragu-raguan di hati Hong Ing lenyap. Hatinya diliputi perasaan ingin tahu sehingga ia ikut Biauw Niang-niang tanpa membantah lagi. Ketika mereka keluar dari kota, beberapa belas li dari situ, mereka bertemu dengan serombongan pahlawan kaisar yang menyusul mereka. Biauw Niang-niang yang ternyata mempunyai pengaruh besar, tanpa keterangan apa-apa segera memerintahkan semua pahlawan itu kembali bersama mereka.

Kepala rombongan memberi kuda-kuda terbaik untuk mereka, sehingga perjalanan dapat dilanjutkan dengan cepat menuju ke kota raja. Hong Ing yang selama hidupnya belum pernah melihat ibu kota yang besar dan indah itu, menjadi sangat kagum.

Setelah memasuki kota, rombongan itu memisahkan diri dan Biauw Niang-niang mengajak kawan-kawannya menuju ke sebuah gedung besar. Memang tepat sekali gedung itu diberi nama Istana Putih, karena dicat serba putih dan tampak bersih indah. Di dalamnya berhiaskan batu-batu marmer yang licin mengkilat. Hati Hong Ing berdebar ketika memasuki istana itu. Istana putih ini memang mewah dan indah.

Dulu kaisar sengaja membangun istana ini untuk seorang selirnya yang cantik dan manja bernama Yauw Liang Kwei. Setelah merasa bosan dengan selir cantik itu, ia membuangnya sebagai barang hadiah kepada seorang hambanya, kaisar lalu menganugerahkan istana putih itu kepada para kaki tangannya yang berjasa untuk dijadikan tempat berkumpul, bermusyawarah, dan beristhahat.

Kedatangan Biauw Niang-niang dan kawan-kawannya disambut dengan penuh penghormatan, ternyata oleh Hong Ing bahwa tiga Iblis Wanita itu mempunyai kedudukan sebagai pemimpin dan orang-orang gagah yang berkumpul di istana patuh itu dan menamakan dirinya sendiri 'pembela-pembela negara pembasmi pengacau'. Gedung besar itu dibagi menjadi dua bagian. Bagian kanan diperuntukkan tamu-tamu lelaki dan tamu-tamu wanita menempati bagian kiri.

Ketika Biauw Niang-niang mengajak mereka menuju ke gedung kiri, Hong Ing tiba-tiba merasa girang sekali ketika melihat bahwa benar-benar Seng Bouw Nikouwpun berada di situ, berkumpul dengan beberapa orang wanita gagah lainnya!

“Subo!” Hong Ing memeluk garunya.

Seng Bouw Nikouw balas memeluk dan berkata, “Hong Ing, bagus sekail kau dapat ikut sam-wi suci ini untuk datang ke sini. Memang semenjak mendengar tentang kematian orang tuamu itu, dan aku merasa khawatir sekali, karena dengan tak sadar kau bergaul dengan segala pemberontak dan perampok.”

“Tapi, subo, tecu belum pernah berkenalan dengan pemberontak dan perampok!” bantah Hong Ing gemas.

Biauw Niang-niang tertawa gelak-gelak. “Belum pernah? Ah, anak bodoh. Kau anggap siapakah orang-orang yang bertempur melawan kami itu? Mereka adalah pemberontak-pemberontak, penjahat-penjahat dan perampok yang hendak mengacau negara, hendak memberontak untuk menjatuhkan Raja. Mereka itu hendak membasmi semua alat pemerintah, semua pegawai negeri seperti ayahmu dulu.”

Mendengar ucapan ini, Hong Ing mengerutkan keningnya. Memang ia tak pernah memperhatikan tentang ketata-negaraan dan politik, sehingga ia buta sama sekali tentang kegiatan-kegiatan kaisar maupun para patriot. Maka sekarang ia merasa bingung sekali. Han Liong dan kawan-kawannya itu anggauta pemberontak?

Ah, tak mungkin Han Liong orang jahat, apa lagi perampok, hal ini sampai matipun ia takkan bisa percaya. Entah kalau orang-orang tua yang mengaku menjadi guru-guru Han Liong itu, kelihatannya juga berwatak keras dan galak!

Melihat muridnya hanya tunduk dan agaknya bingung, Seng Bouw Nikouw menghibur. “Sudahlah, Hong Ing, jangan kau pusingkan semua ini. Kau masih terlalu muda untuk dapat mengerti. Kau tinggal saja dengan aku disini dan. belajar ilmu silat lebih lanjut. Aku akan minta sam-wi cici untuk membimbingmu, karena kepandaian mu masih terlampau rendah, sedangkan dewasa ini banyak sekali orang-orang jahat yang lihai berkeliaran.”

Demikianlah, di bawah pengawasan Seng Bouw Nikouw dan di bawah bimbingan Biauw Niang-niang yang lihai, Lie Hong Ing belajar silat dengan rajin. Iblis wanita itu mengajarnya kiamhwat dari cabang Ngo-lian-pai yang gerakan-gerakannya cepat, ganas dan sigap itu.

Dasar Hong Ing berotak terang, maka beberapa bulan saja ia sudah dapat mewarisi banyak ilmu pedang yang istimewa. Ia cerdik dan tahu bahwa gurunya dan semua orang di Istana Putih adalah musuh Han Liong, maka tak pernah ia menceritakan kepada mereka bahwa ia pernah mendapat ilmu silat dari pemuda itu.

Di sebelah kanan Istana Putih itu ada sebuah rumah gedung bercat merah yang mewah dan tampak agung. Pekarangan depannya lebar dan sekeliling rumah berdiri pagar tembok yang tebal dan tinggi. Gedung ini adalah tempat tinggal seorang cianbu (kapten) she Tan.

Tan cianbu adalah kapten dari barisan pengawal kaisar yang berkepandaian tinggi dan mempunyai tenaga besar. Ia juga seorang Han yang memang telah berketurunan dari nenek-moyangnya dulu selalu menjadi orang peperangan. Tan cianbu terkenal bukan hanya karena ilmu silatnya yang tinggi, tapi juga terkenal akan tabiatnya yang kasar, terus terang dan jujur.

Ia tidak suka akan hal-hal yang dirahasiakan atau dilakukan secara diam-diam, maka biarpun ia tahu juga bahwa istana putih di sebelah rumahnya adalah tempat berkumpul para orang kalangan kang-ouw yang diam-diam membantu kaisar dengan jalan menerima hadiah-hadiah berharga, namun ia tidak perduli akan mereka ini dan tidak mau tahu lama sekali.

Memang kaisar mempunyai tentara pengawal sendiri, tapi di samping itu, Co thaikam, pembesar kebiri yang sangat berpengaruh pada masa itu, dengan diam-diam berhubungan dengan orang-orang gagah itu dan ia menggunakan bujukan dan harta untuk membuat mereka ini mau bekerja di bawah perintahnya.

Kaisar yang mengetahui hal ini tak lain hanya menyatakan persetujuannya, karena Co thaikam menyatakan bahwa orang-orang gagah itu perlu didekati dan dipergunakan kepandaiannya untuk membasmi para pemberontak. Demikianlah, maka terdapatlah dua rombongan pembela kaisar dan pemerintahnya, yakni para pengawal kaisar merupakan tentara dinas dan para orang-orang gagah dari kalangan kang-ouw yang merupakan kelompok pembantu rahasia.

Tan cianbu mempunyai seorang putera bernama Tan Un Kiong. Un Kiong baru berusia tujuh belas tahun, wajahnya tampan dan tubuhnya tegap. Tetapi sayang sekali, pemuda ini kelihatan ketolol-tololan dan dari kata-katanya menunjukkan bahwa ia bodoh sekali. Ayahnya merasa sengat sedih dan kecewa kalau melihat putera tunggalnya ini. Ia sebenarnya sangat sayang dan cinta kepada anak satu-satunya dan semenjak kecil dimanjakannya.

Ketika masih kecil, Un Kiong adalah seorang anak yang cerdik dan pintar. Tetapi entah mengapa, setelah ia berusia tujuh tahun, mulailah tampak perobahan pada dirinya, dan gejala-gejala penyakit tolol mulai terlihat. Tan-cianbu sengaja mengundang seorang guru untuk mengajarnya ilmu surat menyurat, tetapi ternyata setelah berusia tujuh tahun, Un Kiong rupanya malas sekali belajar. Apalagi kalau disuruh belajar silat, ia menyatakan ketidaksenangannya.

Pernah ayahnya sendiri mencoba dan mengajarnya dasar-dasar ilmu silat, tetapi ia meniru gerakan ayahnya dengan ngawur tidak keruan dan membuat ayahnya gemas dan putus asa. Tetapi karena besarnya rasa sayang pada anaknya, ia tidak bisa marah dan dibiarkannya saja anaknya menurut kemauannya sendiri.

Hal lain yang mengherankan, semenjak kecil Un Kiong tidak mau tidur dengan orang lain, biarpun dengan ibunya sendiri. Semenjak usia tujuh tahun, ia menghendaki kamar sendiri dan tak boleh seorangpun masuk ke kamarnya!

Berbeda dangan ayahnya yang sama sekali tidak mau perduli dan tidak mau kenal dengan penghuni Istana Putih, Un Kiong sering datang main-main kesitu. Penjaga istana yang kenal baik padanya selalu menerimanya dengan hormat, sedangkan para tamu yang terdiri dari orang-orang gagah itu, walaupun sebal melihat pemuda tolol itu, namun di depannya mereka tersenyum dan menghormat juga, karena mereka tahu pula bahwa pemuda tolol itu adalah putera Tan-cianbu yang terkenal dan disegani.

Pada suatu pagi, ketika Hong Ing sedang belajar silat di bawah bimbingan Biauw Niang-niang, tiba-tiba mereka berdua mendengar suara di tembok yang memisahkan halaman Istana Putih dengan gedung Tan-cianbu. Mereka menengok segera dan melihat kepala seorang muncul dari balik tembok.

Ketika orang itu naik ke tembok, ternyata ia adalah Tan Un Kiong yang naik dengan menggunakan tangga bambu. Pemuda ini berdiri di atas tembok dengan sikap ketakutan, tapi ketika melihat Biauw Niang-niang dan Hong Ing, ia tertawa sambil memaksa dirinya berlaku tenang.

“Biauw suthai tolonglah aku,” katanya sambil mendekam di atas tembok, karena ia tidak berani berdiri lebih lama lagi di atas tembok yang tinggi itu!

“Eh, Tan-kongcu, kau hendak ke mana? Kau minta ditolong dalam hal apakah?” jawab Biauw Niang-niang dengan sabar. Kalau lain orang berani secara diam-diam masuk ke situ, pasti sedikitnya ia akan kena damprat.

“Biauw Suthai jangan marah... aku... aku mendengar suaramu semua dari balik tembok dan mendengar suara angin pedang cici ini bersuitan. Hatiku tertarik dan ingin melihat. Tidak tahu akan tembok ini begini tinggi, aku... aku tidak bisa turun lagi. Tolonglah carikan tangga dan pasang di sini, agar aku bisa turun dan menonton cici ini belajar ilmu silat.”

Hong Ing hampir tak dapat menahan geli hatinya dan menahan tertawa. Ah, alangkah tololnya orang itu. Baru dua kali ia bertemu dengan Un Kiong ketika pemuda itu mengunjungi istana putih. Biarpun bodoh dan tolol, pemuda itu tidak pemalu. Begitu bertemu, ia berani mengajak bicara kepada Hong Ing dengan sikap yang tulus dan jujur, hingga Hong Ing juga tidak malu menjawabnya.

Agaknya pemuda itu terlampau tolol untuk dapat bersikap kurang ajar terhadap wanita! Tapi di dalam hatinya, Hong Ing memandang rendah sekali kepada pemuda itu. Alangkah jauh perbedaan antara Un Kiong dengan Han Liong!

Mungkin hanya kecakapan wajah dan keindahan pakaian sejalah yang ada pada Un Kiong dan tak usah mengaku kalah, tapi jika dibicarakan tentang kepandaian, baik silat maupun surat menyurat, Han Liong boleh diumpamakan emas dan Un Kiong besi tua yaug berkarat!

“Tan-kongcu bukankah sudah pernah belajar silat? Bukankah ayahmu seorang ahli silat ternama? Masakan tembok yang sebegini tingginya saja kau tak mampu melompatinya?” Hong Ing mengejek, sedangkan Biauw Niang-niang hanya berdiri menertawakan.

Un Kiong memandang Hong Ing dengan mata terbelalak. Biarpun bodoh, tapi ia masih mempunyai rasa kebanggaan. Mendengar kata-kata gadis itu ia tidak merasa bahwa ia diejek, malahan merasa dipuji! Maka sambil tertawa haha-hihi ia berkata,

“Memang aku pernah belajar silat. Bahkan ayah telah mendatangkan banyak sekali guru silat yang pandai. Aku pernah diajar oleh ayah untuk melompat ke atas, tetapi melompat ke bawah... ah sesungguhnya, belum pernah kupelajari. Entah mengapa, untuk melompat ke bawah, baru melihat ke bawah saja, hatiku sudah tidak karuan rasanya.”

Kini Hong Ing dan Biauw Niang-niang tak dapat lagi menahan gelaknya. Un Kiong merasa bahwa ia ditertawakan, maka ia berkata sambil mengangkat kepala memandang,

“Coba cici tolong memberi contoh, melompatlah ke atas tembok ini, kemudian aku hendak memperhatikan caramu melompat turun untuk kutiru”

Biauw Niang-niang yang jarang melihat peristiwa lucu seperti ini timbul kegirangannya dan ia menyuruh Hong Ing meluluskan permintaan pemuda tolol itu. Dengan gerakan Hui-niauw-coan-in atau Burung Terbang Menerjang Mega, ia melompat ke atas tembok dan berdiri di dekat Un Kiong dan berkata,

“Bagus, bagus!” Pemuda itu lalu berdiri dengan hati-hati, tubuhnya gemetar karena ia takut jatuh.

“Nah, lihatlah, aku hendak melompat turun!” kata Hong Ing yang sengaja menggunakan tipu lompat Koai-liong-hoan-sin atau Siluman Naga Jumpalitan. Ia jungkir balik dengan poksai yang indah sampai tiga kali sehingga kakinya kelihatan sangat ringan menginjak tanah.

“Wah, gerakan cici sukar sekali untuk ditiru. Mana aku bisa jungkir balik macam itu. Biarlah aku melompat tanpa jungkir balik.”

Ia lalu membuat gerakan meniru-niru sikap Hong Ing tadi, lain tubuhnya melompat turun bagaikan batu jatuh! Terdengar suara bedebuk kerane dan debu mengepul ketika pinggul Un Kiong menimpa tanah dan pemuda itu mengaduh-aduh beberapa kali. Untung baginya tidak ada tulangnya yang patah atau kulitnya yang luka. Hong Ing dan Biauw Niang-niang tertawa makin keras dan iblis wanita tua itu segera maju menolong Un Kiong berdiri.

Kemudian Hong Ing melanjutkan latihannya bermain pedang dan ditonton oleh Un Kiong yang duduk di atas sebuah batu penghias taman istana putih itu. Berkali-kali ia memuji-muji keindahan gerak dan kelincahan Hong Ing. Lalu dengan menggunakan setangkai kayu iapun bersilat meniru-niru gerakan gadis itu, tapi gerakannya tak karuan sedangkan kuda-kuda kakinyapun sering terbalik hingga kelihatannya sangat lucu!

Pada saat itu Kui Lan datang dengan wajah pucat, “Celaka, subo!” katanya kepada Biauw Niang-niang setelah ia berada di depan gurunya.

“Kui Lan tenanglah. Ada apakah maka engkau demikian ketakutan?” tegur Biauw Niang-niang.

“Subo, celaka. Semua kamar telah diperiksa orang malam tadi!”

“Apa maksudmu?”

Kui Lan hendak menjawab, tapi tiba-tiba ia tahan kata-katanya ketika melihat Un Kiong berdiri di dekat situ. Wajahnya yang tadinya suram dan gelap diliputi kekhawatiran, tiba-tiba menjadi terang ketika melihat pemuda itu.

“Eh, Tan siangkong, kaupun berada di sini?” tanyanya sambil tersenyum genit hingga wajahnya yang hitam menjadi makin buruk. Memang Kui Lan semenjak melihat pemuda tampan itu, telah lama ia merasa tertarik dan hati padanya.

Un Kiong mendapat teguran manis ini tertawa-tawa dan dengan muka bodoh ia menjawab, “Enci Lan yang hitam manis. Aku sudah lama disini menonton latihan silat ini. Kau belum jawab pertanyaan Biauw Suthai.”

Kui Lan baru ingat akan hal ini. maka buru-buru ia menghadap gurunya lagi. “Subo, semua kawan memberi keterangan bahwa kamar mereka tadi malam kedatangan orang jahat yang memeriksa seluruh buntalan pakaian, seakan-akan mencari rahasia semua orang disini. Bahkan kamar teccu juga tak terkecuali.”

“Kamarku juga ada yang menggeledah,” kata Hong Ing.

Biauw Niang-niang mengerutkan keningnya. “Biarpun maling itu tidak berani memasuki kamarku, tetapi dengan berhasilnya memasuki dan memeriksa semua kamar tanpa diketahui, ia boleh dibilang licin juga. Kui Lan, coba panggil semua orang berkumpul di ruangan tengah untuk mengadakan perundingan.”

Kui Lan mengundurkan diri setelah melayangkan sebuah kerlingan memikat kearah Un Kiong yang dibalas oleh pemuda tolol itu dengan suara tertawa dan tarikan muka bodoh.

“Biauw Suthai, akupun pernah melihat maling masuk ke kamarku, tetapi ia hanya mencuri sebuah celana usang,” katanya kepada iblis wanita itu.

Biauw Niang-niang merasa kesal dan membelalakkan matanya, tetapi melihat pemuda itu berdiri tersenyum sehingga wajahnya yang muda itu tampak jadi semakin tampan, lenyaplah hawa marahnya. Ia harus mengakui bahwa pemuda itu sangat menarik dengan wajahnya yang berkulit putih bersih, sepasang matanya yang tajam bersinar gembira, bibirnya yang merah seperti bibir wanita, tetapi dagunya yang keras tajam serta alis matanya yang berbentuk golok membuat ia tampak gagah. Sayang pemuda seperti ini demikian dungu.

“Kalian hendak mengadakan pembicaraan tentang maling, baiklah aku pulang saja, sekarang sudah waktunya makan pagi dan ayah akan marah kalau aku tidak ada di rumah. Cici kalau mau latihan pedang lagi, beritahulah aku, agar kita bisa latihan bersama-sama, jadi lebih cepat maju!” Setelah menjura untuk memberi hormat, pemuda bodoh itu berjalan pergi melalui pintu luar.

“Subo sabar sekali menghadapi pemuda bodoh itu,” kata Hong Ing.

“Biarpun bodoh, ia putera tunggal dari Tan cianbu yang telah berjasa kepada kaisar. Dan tidakkah anak muda itu tampan menurut pendapatmu...?”

Mendengar pernyataan ini, Hon Ing merasa heran dan juga jengah serta jemu terhadap gurunya. Karena Hong Ing dianggapnya sebagai murid yang masih baru, maka ia tidak diajak berunding. Gadis ini merasa girang, tapi betapapun juga, ia tidak senang bergaul dengan orang-orang penghuni istana putih itu.

Kalau gurunya, Seng Bouw Nikouw tidak berada di situ dan kalau ia tidak ingin untuk menambah kepandaian ilmu silatnya, pasti sudah lama ia melarikan diri untuk mencari Han Liong. Kadang-kadang ia merasa sangat rindu kepada kakaknya itu dan ia merasa sangat kesepian.

Biauw Niang-niang dengan tercengang mendengar laporan semua kawannya yang tinggal di gedung itu, betapa kamar mereka tadi malam telah didatangi orang dan semua barang mereka diobrak-abrik. Tapi setelah diperiksa, tak sepotongpun barang mereka lenyap. Diantara semua orang itu, hanva seorang kauwsu atau guru silat dari Kanglam yang bernama Thio Poan menuturkan pengalamannya semalam.

“Ketika itu aku sudah tidur, tapi tiba-tiba aku dibangunkan oleh suara keras. Aku segera melompat bangun melibat bahwa cawan arak yang tadinya berada di atas meja telah jatuh menggelinding ke bawah. Kusangka ada kucing masuk kamar, sesudah itu aku bermaksud hendak tidur kembali. Tapi tiba-tiba aku melihat buntalan pakaianku terbuka. Aku melompat lagi dan pada saat itu juga kelihatan bayangan putih berkelebat keatas tiang penglari. Bayangan itu gerakannya cepat sekali hingga aku tak dapat melihat dengan tegas apakah itu bayangan orang atau setan! Sebelum aku dapat memeriksa lebih lanjut, tiba-tiba dari atas datang angin bertiup keras dan api lilin padam seketika itu juga. Terus terang saja kuakui bahwa bulu tengkukku terasa berdiri. Ketika aku mencari api untuk menyalakan lilin, aku merasa sesuatu bergerak di belakangku dan angin meniup ke arah pintu. Setelah lilin kupasang, maka di kamar sudah tiada terlihat sesuatu lagi. Karena aku menyangka ada setan, maka aku tidak berani menceritakan pada orang lain, takut ditertawakan. Tapi ternyata kalian semuapun mendapat kunjungan setan itu!”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Biauw Niang-niang mengerutkan alisnya. Ia tahu sampai di mana kepandaian orang she Thio itu dan agaknya bukan sembarang orang dapat mempermainkan guru silat ini. Tapi toh tadi malam ia telah dipermainkan seorang yang mempunyai gin-kang dan lwee-kang yang tinggi! Kalau maling itu berani masuk ke dalam kamarnya, pasti ia akan dapat melayaninya. Tapi agaknya maling itu tahu akan kelihaian Biauw Niang-niang hingga kamar iblis wanita ini saja yang dilewati tanpa digeledah.


“Memang sukar untuk mengetahui siapakah orang yang berlaku kurang ajar ini” kata Leng Niang-niang yang kamarnya juga menjadi sasaran penggeledahan, “tapi kiranya tak perlu dipusingkan hal itu karena ternyata ia tidak berlaku jahat. Hanya, satu hal yang harus kita selidiki, yaitu apakah yang dicari penjahat itu? Sudah terang bahwa ia tadi malam mencari sesuatu.”

Biauw Niang-niang mengangguk-angguk. “Tak lain tak bukan tentulah ia seorang dari golongan lawan kita yang hendak mencari rahasia kita. Dan setahuku, dari golongan mereka, orang yang mungkin dapat melakukan hal itu hanya satu orang saja.” Dan ia memberi isyarat mata kepada sumoinya. Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang diam-diam mengangguk.

“Coba panggil muridmu kesini,” kata Biauw Niang-niang kepada Seng Bouw Nikouw yang segera memanggil Hong Ing.

Gadis ini merasa heran dan diam-diam hatinya berdebar-debar ketika ia datang ke ruangan yang penuh dengan orang-orang gagah yang berwajah perkasa dan galak itu. Tapi ia tetapkan hatinya dan duduk dekat gurunya.

“Hong Ing,” kata Biauw Niang-niang dengan suara halus, “kau bukanlah orang luar, maka perlu kiranya kau ketahui juga. Semalam istana putih ini telah kemasukan orang jahat! Orang itu datang mencari-cari sesuatu. Dan tahukah kau siapa orang itu? Ia tak lain ialah orang yang membunuh ayahmu tapi yang kau anggap kakakmu sendiri itu!”

“Koko Han Liong? Dia yang datang malam tadi?” Hong Ing bertanya heran, hatinya berdetak-detak, karena kini ia pun merasa betapa besarnya kemungkinan ini. Banyak alasan Han Liong untuk datang menyelidik ke situ, dan siapakah orangnya yang berkepandaian begitu tinggi dan berhati begitu berani dan tabah selain Han Liong?

“Agaknya kau juga percaya akan kemungkinan ini,” kata Biauw Niang-niang yang pandai membaca suara hati orang. “Sepak-terjang anak muda itu sungguh berani dan berbahaya sekali. Maka coba kau ceritakan kepada kami tentang keadaannya. Pertama-tama, siapakah namanya dan ia murid golongan mana?”

Hong Ing tahan-tahan hatinya agar suaranya tak kedengaran bangga hingga jangan sampai membongkar rahasia perasaannya, lalu berkata dingin, “Ia adalah Si Han Liong. Gurunya banyak sekali. Kalau aku tak salah ingat, guru pertama adalah Liok-tee Sin-mo Hong In, guru kedua Beng San Tojin Pauw Kim Kong, guru ketiga Kim-to Bie Kong Hosiang, guru keempat Siauw-lo-ong Hee Ban Kiat. Dan ia masih mempunyai seorang guru lagi, yakni Kam Hong Siansu.”

Semua orang terkejut mendengar ini, dan ketiga iblis wanita itu diam-diam mengagumi juga.

“Kam Hong Siansu? Ah, tidak dinyana manusia dewa itu masih hidup dan menerima murid seperti Han Liong itu. Pantas saja ia demikian lihai!” Biauw Niang-niang berkata seperti kepada dirinya sendiri.

Hong Ing dengan rasa bangga menambahkan, “Dan ia adalah putera tunggal dari Si Enghiong yang terkenal!”

Biauw Niang-niang dan Seng Biauw Nikouw loncat berdiri. “Apa?” kata Biauw Niang-niang. “Sayang aku tidak mengetahui hal ini dari dulu. Hong Ing tahukah kau siapa orang yang kau sebut Si Enghiong itu? Ia adalah Si Cin Hai, seorang kepala pemberontak besar yang telah kami basmi. Semua ini kesalahan ayahmu sendiri yang kena terpikat oleh isterinya, sehingga isteri dan anak kepala pemberontak itu tak dapat dilenyapkan dari muka bumi ini. Membasmi pohon jahat harus dengan akar-akarnya, kata pribahasa, tapi ayahmu menyalahi hukum ini dan ia bahkan mengambil isteri musuh menjadi isterinya dan dengan demikian ia menyelamatkan anak musuhnya. Tentu saja hal ini sama dengan memelihara anak serigala dalam rumah. Dan betul saja, anak itu setelah dewasa kini merepotkan kita semua.”

Biauw Niang-niang menghela napas, tak perdulikan wajah Hong Ing yang tampak tidak senang itu mendengar ayah ibunya menjadi buah tutur orang dan menerima berbegai celaan.

Pada saat itu dari luar datang seorang saikong yang bertubuh tinggi besar dan memelihara cambang bauk yang tebal dan kaku ceperti kawat. Pertapa itu berjubah kuning dan sepatunya memakai sol dari ujung besi. Ia memegang sebuah tongkat pendek berwarna hitam yang berukiran kepala ular di bagian pegangannya. Di punggungnya tergantung kantong hui-to yakni semacam golok kecil yang memakainya dengan pelemparan hingga disebut golok terbang!

Ketiga iblis wanita melihat saikong itu lalu berseru girang. “Susiok datang!”

Dan ketiga-tiganya lalu memburu dan memberi hormat. Hong Ing terkejut melihat air muka dan tubuh yang menakutkan itu, dan ia merasa heran sekali mengapa ketiga iblis wanita itu tidak berlutut kepada seorang paman gurunya bahkan menyambutnya dengan mesra bagaikan menyambut seorang kawan baik, bahkan Hei Niang-niang dan Leng Niang-niang memegang lengan saikong itu di kiri kanannya sambil tersenyum dan memainkan mata. Sikap mereka kekanak-kenakan dan mereka rupanya sungguh sangat manja. Tentu saja Hong Ing tak mengerti sama sekali akan sikap aneh ini.

Semua orang yang berkumpul di situ memberi hormat dan Hong Ing terpaksa juga menjura terhadap saikong tua itu. Melihat semua orang memberi hormat padanya, saikong itu tertawa terbahak-bahak.

“Siancai, siancai, terima kasih atas penghormatan ini, cuwi silakan duduk, pinto ada berita penting untuk disampaikan padamu.” Suaranya nyaring dan kecil, tak sesuai dengan tubuhnya yang sebesar raksasa itu.

Semua orang duduk kembali. Biauw Niang-niang dengan suara manja dibuat-buat menceritakan kepada paman gurunya tentang gangguan lawan yang menggagalkan serangannya terhadap Siok Houw, sehingga muridnya tewas dan kedua sumoynya terluka. Juga ia menceritakan tentang datangnya seorang penjahat yang menggeledah kamar mereka tadi malam.

“Hm, jangan sedih, sakit hatimu pasti terbalas. Suci telah memerintahkan aku turun gunung membantu kamu sekalian. Kalau mereka berhadapan dengan pinto, anjing-anjing pemberontak itu pasti kupukul dengan tongkat ini seorang sekali.”

Sambil berkata begini ia mengayunkan tongkatnya perlahan menghantam lantai. Lantai batu yang keras yang kena terpukul tongkat itu menerbitkan bunga api dan semua orang kagum melihat di tempat bekas pukulan itu tampak berlobang setengah kaki lebih! Kemplangan demikian perlahan dapat melobangi lantai batu, apa lagi kalau yang dikemplang itu tubuh manusia dan dilakukan dengan sepenuh tenaga pula! Hong Ing juga merasa ngeri dan takut juga.

“Tentang, datangnya maling kecil malam tadi, pinto juga dapat menduga maksudnya. Tentu ia datang mencari ini.” Ia merogoh saku jubahnya yang besar dan mengeluarkan segulung kertas. “Lihat, ini adalah firman atau surat perintah dari kaisar untuk menangkap Siok Houw dan surat-surat perintah rahasia dari Co Thaikam sendiri. Agaknya para pemberontak telah mendengar tentang surat-surat ini, sehingga orang yang membawanya dari kota raja mendapat gangguan di sepanjang jalan. Tapi surat-surat ini sekarang diserahkan padaku, coba lihat siapa berani mengganggu!”

Melihat kejumawaan dan keangkuhan paman gurunya ini, Biauw Niang-niang mengerutkan kening. “Susiok, musuh sangat lihai, kenapa kau bicarakan hal rahasia ini secara terbuka?”

“Ha ha ha, Biauw Niang, kau sudah menjadi penakut” Kemudian ian melanjutkan dengan berbisik, “Hal ini kusengaja agar pihak musuh mendengar dan mencoba datang. Aku akan siap-sedia setiap saat menyumbat kedatangannya”

Diam-diam Hong Ing melirik ke sana ke sini. Benarkah ada Han Liong atau kawan-kawannya yang datang mendengar?

“Susiok,” kata Biauw Niang-niang selanjutnya, “Dipihak mereka kini ada seorang muda yang cukup tangguh. Ia adalah murid Kam Hong Siansu dan kukira dialah orangnya yang datang tadi malam.”

Mendengar nama Kam Hong Siansu, saikong itu terkejut, tapi ia lalu berkata, “Bohong! Orang tua itu mana mau menerima murid? Kedua tangannya sudah putih bersih, mana ia mau mengotorinya pula dengan segala urusan tetek bengek di dunia fana ini? Mungkin pemuda itu hanya monggunakan nama Kam Hong Siansu untuk menggertak saja.”

Siapakah gerangan saikong ini? Ia bukan lain adalah Kek Kong Tojin yang dijuluki orang Coa-thouw-koai-tung si Tongkat Setan Kepala Ular, karena memang permainan tongkatnya luar biasa lihainya dan belum pernah dikalahkan lawan! Sebenarnya ia adalah pendiri termuda dari cabang persilatan Ngo-lian-pai, disamping sucinya Ang Gwat Niang-niang yang terkenal dengan nama Ngo-lian-posat atau Dewi dari Ngo-lian, dan twa-suhengnya Lo Thong Sianjin.

Mereka bertiga merupakan pendiri Ngo-lian-pai yang disegani kalangan kang-ouw. Diantara mereka bertiga, Aug Gwat Niang-niang yang terpandai, maka dialah yaag berdiam di bukit Ngo-lian-san dan karenanya dinamakan orang Dewi daru Ngo-lian. Sayangnya, hanya Lo Thong Sianjin seorang saja yang berwatak suci, hanya cacatnya, ia ini terlampau jujur dan tidak mau mengaku kalah!

Sedangkan sumoinya, Ang Gwat Niang-niang, wataknya terlampau membela ketiga muridnya hingga pertimbangan dan keadilannya menjadi berat sebelah. Kek Kong Tojin yang termuda bukanlah orang baik-baik. Telah lama ia mempunyai hubungan kotor dengan ketiga murid Ang Gwat Niang-niang, yakni Biauw Niang, Reng Niang, dan Hai Niang.

Dengan demikian, boleh dibilang bahwa kedatangan ketiga wanita yang menjadi anak murid Ngo-lian-pai itu, telah mengotorkan nama Ngo-lian-pai dan merusak kebersihan hati Kek Kong Tojin dan Ang Gwat Niang-niang. Kalau bicara soal kepandaian, Lo Thong Sianjin dan Ang Gwat Niang-niang sama lihainya, karena dalam hal ilmu pedang Ngo-lian-posat lebih unggul, tapi Lo Thong Sianjin sebaliknya lebih tinggi ilmu ginkang dan lweekangnya. Kek Kong Tojin masih kalah setingkat dari kedua kakak seperguruannya itu.

Dengan sengaja, pada malam hari itu, Kek Kong Tojin menaruh gulungan surat-surat penting itu di atas meja dalam kamarnva dan ia sendiri berada di ruang tamu minum arak dan makan daging, ditemani oleh ketiga murid keponakannya! Sembari makan minum, mereka berempat mengobrol gembira.

“Eh, Biauw Niang, siapakah gadis yang duduk di dekatmu siang tadi?”

“Ia adalah muridku, puteri dari almarhum Lie Ban Ciangkun.”

Saikong itu mengangguk-angguk gembira. “Hm, muridmu itu sungguh cantik jelita, sayang aku tak pernah punya murid semuda dan secantik itu.”

Memang, diantara ketiga pendiri Ngo-lian-pai, hanya Ang Gwat Niang-niang sendiri yang mempunyai murid, yakni ketiga Liok-san Sam-moli, sedangkan Kek Kong Tojin dan Lo Thong Sianjin tak pernah menerima murid lain.

Pada saat Biauw Niang-niang hendak menegur paman gurunya dan mengatakannya mata keranjang, tiba-tiba saikong itu mengayunkan sumpitnya ke atas. Sumpit itu meluncur seperti anak panah dan menembus genteng dengan suara nyaring! Ketiga iblis wanita pun melompat sambil mencabut pedang.

“Biar kami yang menangkap mata-mata itu, susiok duduk sajalah minum arak!” kata Biauw Niang-niang yang segera meloncat keluar, diikuti kedua sumoinya.

“Bangsat maling jangan lari!” teriak Hai Niang-niang dengan suara nyaring.

Teriakan ini membuat semua orang dalam Istana Putih itu bangun terkejut dan melompat keluar mengejar dengan senjata di tangan. Hong Ing merasa berdebar-debar karena timbul dugaan dalam hatinya kalau-kalau yang datang itu adalah Han Liong dan kawan-kawannya. Maka tanpa berkata sesuatu iapun ikut melompat ke atas genteng.

Ketika tiba di atas, Hong In melihat seorang laki-laki tinggi kurus sedang bertempur melawan ketiga iblis wanita. Tamu malam itu belum tua benar, lebih kurang empat puluh lima tahun, tapi rambutnya telah putih semua. Ia bersenjatakan joan-pian atau ruyung cambuk dan bersilat dengan gerakan yang luar biasa cepat dan lincahnya. Tadinya Biauw Niang-niang seorang diri melawan tamu malam itu, tapi ternyata iblis wanita tertua itu bukan tandingan si rambut putih!

Maka, dengan berseru marah, Leng Niang-niang dan Hai Niang-niang ikut menyerbu hingga tamu malam yang lihai itu dikeroyok tiga! Orang-orang lain tak berani ikut mengeroyok karena keempat orang yang sedang bertempur itu berkepandaian tinggi sehingga merupakan bayangan empat tubuh yang sukar dikenal lagi mana kawan mana lawan!

Pada saat orang-orang sedang menyaksikan pertempuran hebat itu dengan kagum, tiba-tiba dari bawah terdengar teriakan nyaring dari Kek Kong Tojin. “Bangsat rendah kau datang ingin mencari kematian?”

Semua orang di atas genteng, kecuali yang sedang bertempur, merasa terkejut. Tiba-tiba dari bawah meloncat seorang dengan gerakan lincah dan ringan laksana seekor burung.

Hong Ing hampir berteriak karena orang itu potongan tubuhnya hampir sama dengan Han Liong, hanya lebih kecil sedikit. Orang yang baru datang ini memakai kedok kain sutera hitam dan tangannya memegang sebuah pedang yang berkilauan. Tangan kirinya memegang gulungan kertas yang berisi perintah dan rencana rahasia yang dibawa oleh Kek Kong Tojin siang tadi!

Ternyata ia menggunakan kesempatan ini selagi orang-orang ribut mengepung si rambut putih di atas genteng, si kedok hitam ini turun dengan diam-diam dan mencuri dokumen itu di kamar Kek Kong Tojin!

Tapi Kek Kong Tojin yang masih duduk minum arak di ruang tamu dapat melihat bayangan hitam berkelebat keluar dari kamarnya. Kebetulan pada saat itu tangannya sedang memegang tulang paha ayam dan memakan dagingnya, maka ia melemparkan tulang ini ke arah bayangan itu. Biarpun hanya kecil, tapi karena dilempar oleh Kek Kong Tojin yang mempunyai tenaga dalam sempurna, maka tulang itu merupakan senjata yang sangat berbahaya!

Si kedok hitam mendengar sambaran angin, cepat menempiskan tangannya dan tenaga tempisan ini mengeluarkan angin dan dapat memukul jatuh tulang itu ke lantai! Tanpa ayal lagi, setelah berhasil menyambar gulungan kertas pening dari atas meja, si kedok hitam menghilang pergi, dan dikejar oleh Kek Kong Tojin sambil memaki-maki!

Si rambut putih biarpun dikeroyok oleh tiga iblis wanita yang lihai, namun dapat melayani mereka dengan baik dan tidak sampai terdesak, bahkan ia masih sempat mengerling ke arah si kedok hitam. Melihat si kedok hitam itu memegang gulungan kertas, ia berseru keras dan joan-piannya berputar menyambar bagaikan kilat hingga ketiga iblis wanita terpaksa mengelak sambil mundur. Kesempatan ini digunakan oleh si rambut putih yang berkelebat dan meloncat menabrak si kedok hitam sambil berseru,

“Sobat, berikan barang itu padaku!”

Tapi gerakan si kedok hitam tak kalah hebatnya. “Jangan mau enaknya saja, kawan!” ia mengejek sambil berkelit.

Pada saat itu Kek Kong Tojin sudah tiba di situ dan saikong ini melayangkan kepalannya memukul si kedok hitam. Tapi dengan mudah lawannya menghindarkan pukulan ini dan balas memukul dengan lebih hebat lagi! Kek Kong Tojin menangkis dan dua lengan tangan beradu keras.

Saikong ini heran sekail ketika lengannya terbentur sebuah lengan yang keras dan mengandung tenaga yang tak boleh dianggap enteng! Diam-diam ia mengeluh. Untuk, menghadapi si rambut putih yang dapat melayani ketiga murid keponakannya itu saja ia harus mengerahkan tenaga, sekarang ditambah lagi dengan si kedok hitam yang tidak kalah tangkasnya itu!

Si rambut putih rupanya tidak begitu mendesak si kedok hitam lagi, bahkan kini ia menyerang Kek Kong sambil berseru, “Ah, pantas saja penjilat-penjilat ini makin banyak dan makin kurang ajar, rupanya disini ada anjing tuanya yang menjagoi!”

Bukan main marahnya Kek Kong Tojin mendengar cacian ini. Ia melompat ke arah si rambut putih dan menuding. “Bangsat rendah! Berani banar kau berlancang mulut. Beritahukan namamu sebelum kuantarkan kau kepada Giam-lo-ong !”

Si rambut putih tertawa. “Aku selalu datang tak mengubah she, pergi tak mengganti nama. Aku adalah Lie Bun Tek dari Heng-san!”

Kek Kong Tojin terkejut. “Kau Heng-san Koai-hiap?”

Si rambtt putih mengangguk, dan Kek Kong Tojin segera meneriaki semua orangnya. “Kepung orang berkedok itu. Jangan sampai dia lari!”

Maka ketiga iblis wanita dan semua orang yang kini merasa gatal tangan itu hendak menonjolkan jasanya, dengan cepat mengepung si kedok hitam. Kemudian Kek Kong Tojin mencabut tongkatnya, tapi si rambut putih tertawa mengejek.

“Ha ha ha! Inikah macamnya Coa-thouw-koai-tung yang ditakuti orang? Agaknya tak seberapa menakutkan!”

Kek Kong Tojin tidak menjawab, tapi sambil berseru keras tongkatnya melayang kearah kepala lawan. Si rambut putih pun berseru, “Bagus!”

Dan ia menggerakan joan-piannya menangkis, tapi tongkat itu segera berobah gerakan, langsung menotos iga! Inilah sebuah tipu gerakkan ilmu sitlat Ngo-lian-pai yang berbahaya sekali, maka si rambut putih tak berani berlaku sembrono lagi. Ia berkelit dan balas menyerang. Sebentar saja kedua orang ini bertempur seru sekali dan tubuh mereka lenyap dalam dua gulungan sinar senjata yang mengeluarkan angin dingin!

Sementara itu, si kedok hitam menyiapkan pedangnya menanti mereka yang mengepung dan hendak menyergapnya. Tiba-tiba seorang tinggi besar meloncat maju dan berkata,

“Cuwi sekalian tahan dulu! Untuk memukul anjing kecil ini tak perlu menggunakan tongkat besar, biar siauwto saja menangkap dia!”

Ia ini adalah Kok Beng si Kerbau Hitam, seorang kepala rampok yang kenamaan di Secuan dan selain pandai silat, iapun bertenaga besar. Kemudian, sambil mengungkat dada, ia memutar-mutar toyanya dan mendekati si kedok hitam.

“Sobat, jangan kau mencari mati. Tinggalkan kertas itu dan kau berlututlah meminta ampun, tentu tuan besarmu akan memberi maaf padamu!”

Tapi hanya terdengar suara ejeken sambil tertawa dari balik kedok sutera hitam itu sehingga Kok Beng menjadi marah sekali dan segera menyerang dengan toyanya. Tapi di luar dugaannya, kaki kiri si kedok hitam itu terangkat dan dipakai mendepak ujung toyanya, lalu pedangnya berputar-putar menebas lengan yang memegang toya!

Gerakan istimewa ini sungguh tak terduga, juga sangat berbahaya, sehingga Kok Beng menjadi terkejut. Terpaksa ia melepaskan toyanya dan meloncat mundur. “Hebat betul...” teriaknya dan mukanya menjadi pucat lalu berobah merah. Baru satu gebrakan saja ia terpaksa harus melepaskan senjatanya dan mundur!

Biauw Niang-niang terkejut gerakan, si kedok hitam. Yang tadi itu adalah gerakan tendangan Siauw-cu-twie yang dilakukan dengan mahir sekali. Ia teringat akan seorang pendekar gagah perkasa yang menjadi ahli tendangan itu, maka tanpa disengaja ia bertanya,

“Apa hubunganmu dengan Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek?”

Sepasang mata di balik kedok itu memandangnya dengan sinar mata berkilat, tetapi yang terdengar hanya suara tertawa mengejek.

“Baiklah, biar kau ada hubungan dengan Khouw locianpwe atau dengan dewa sekalipun, kalau kau tidak mau mengembalikan gulungan kertas itu, jangan harap kau bisa keluar dari sini!”

Sehabis berkata begini, Biauw Niang-niang segara menggerakkan pedang dan hudtimnya menyerang dan sebentar saja si kedok hitam telah dikeroyok. Tetapi ternyata ia dapat bergerak dengan cepat sekali sehingga tak mudah bagi mereka untuk menangkapnya.

Hong Ing yang berdiri diam saja sambil melihat pertempuran itu dengan hati kagum, kini tahu bahwa dua orang tamu malam itu bukanlah kawan-kawan Han Liong yang pernah dilihatnya. Ia lebih lebih kagum ketika melihat gerakan si kedok hitam yang ternyata ditilik dari potongan tubuh dan rambutnya, masih muda benar.

Tetapi kemidian diam-diam ia khawatir melihat si kedok hitam itu terdesak juga oleh tiga kebutan dan pedang dari si Tiga Iblis Wanita, ditambah dengan kepungan orang-orang lain. Ketika ia menengok ke arah Kek Kong Tojin, ia melihat saikong itu masih bertempur seru melawan Pendekar Aneh dari Heng-san itu dengan kekuatan berimbang.

Tiba-tiba terdengar Biauw Niang-niang menjerit ketika pundaknya tergores sedikit oleh pedang musuh sehingga mengeluarkan darah. Dengan marah Tiga Iblis Wanita itu mengeluarkan Bwee-hwa-ciamnya, jarum beracun yang kejam itu.

Melihat senjata berbahaya itu dihamburkan ke arahnya, si kedok hitam melompat tinggi sampai dua tombak dan dari atas ia meluncur turun dari genteng dengan gerakan Naga Air Terjun ke Laut yang indah dan cekatan sekali.

Sambil berteriak-teriak semua pengejarnya ikut melompat turun. Hong Ing merasa heran mengapa si kedok hitam itu bukannya lari keluar tapi malah kembali masuk ke Istana Putih! Ia juga ikut melompat turun. Tapi biarpun semua orang mencari di mana-mana, si kedok hitam tak tampak bayangannya lagi. Semua orang mencari berkeliling sambil memaki-maki tak keruan!

Setelah mencari beberapa lama tanpa hasil, Tiga Iblis Wanita dengan diikuti semua orang, ramai-ramai naik lagi ke atas genteng di mana Kek Kong Tojin masih bertarung seru melawan Heng-san Koai-hiap. Biauw Niang-niang bertiga melihat susioknya tak dapat mengalahkan lawanya, segera maju sekalian mengeroyok. Kek Kong Tojin diam saja melihat ketiga murid keponakannya maju mengeroyok, bahkan diam-diam ia merasa girang, biarpun ia tahu bahwa hal itu tak pantas dilakukan oleh seorang tokoh persilatan besar seperti dia.

Kini Heng-san Koai-hiap repot juga, karena ketiga iblis wanita itu walaupun ilmu silatnya masih kalah setingkat, namun dengan maju bersama, mereka merupakan tenagga bantuan yang hebat juga. Perlahan-lahan ia terdesak. Pada saat itu, tiba-tiba terdengar suasa mencela.

“Kek Kong! Sungguh sikapmu tak pantas dengan keroyokan ini membuat orang-orang gagah merasa malu!”

Dan pada saat itu juga tiga buah benda hitam melayang cepat dan tepat sekali memukul ketiga pedang dari Tiga Iblis Wanita itu, hingga ketiga pedang itu melenting dan hampir saja terlepas dari pegangan!

Heng-san Koai-hiap melompat ke belakang dan berkata kepada Kek Kong, “Barang yang kukehendaki sudah terampas oleh orang lain. Aku tiada waktu melayani kau lebih lama. Kalau ada untung lain kali kita berjumpa pula!” Tubuhnya lalu berpusing-pusing di udara dan menghilang.

Sementara itu, Tiga Iblis Wanita merasa heran dan kaget sekali melihat bahwa senjata rahasia yang membentur pedang mereka dan membuat pedang itu hampir terlepas ternyata hanya tiga potong pecahan genteng! Dapat dibayangkan betapa dahsyatnya tenaga pelemparnya! Diam-diam mereka merata ngeri juga.

Setelah semua orang turun dan berkumpul di ruang tengah, Kek Kong menghela nafas dan berkata,

“Biauw Niang berkata benar, musuh banyak juga yang lebih tinggi kapandaiannya dari kita. Sekarang surat-surat itu sudah jatuh ke tangan musuh, kita harus berusaha merebutnya kembali. Dan kita harus mencari bala bantuan!”

“Tetapi susiok, menurut pendapatku, pencuri yang berkedok tadi bukan sekomplotan dengan Heng-san Koai-hiap. Mereka bergerak sendiri-sendiri dan terpisah,” berkata Hai Niang-niang.

Tiba-tiba Biauw Niang-niang melihat kesana kemari, seakan-akan ada yang dicarinya, kemudian ia bertanya heran, “Eh, mana Seng Bouw Nikouw? Kenapa aku tidak melihatnya semenjak tadi?”

Hong Ing terkejut mendengar ini dan iapun heran, karena memang ia tidak melihat gurunya itu ikut bertempur tadi. Semua orang mencari, tetapi tidak dapat menemukan nikouw itu. Hong Ing merata khawatir sekali dan meloncat naik ke atas genteng. Setelah ia mencari beberapa lama, ia berteriak kaget sehingga semua orang meloncat naik mengejarnya.

Ternyata pendeta perempuan itu rebah di atas genteng belakang dan ketika diperiksa ternyata ia dibuat tak berdaya dengan sebuah totokan yang lihai sekali, Kek Kong Tojin segera menepuk bahu dan menotok punggung Seng Bouw Nikouw hingga pendeta itu dapat bergerak kembali. Berulang kali ia menghela napas.

“Omitohud, sungguh lihai... sungguh lihai!”

Kek Kong Tojin dan ketiga iblis wanita heran sekali melihat pendeta wanita itu sampai dibuat tak berdaya sedemikian rupa oleh lawan, padahal Seng Bouw Nikouw bukanlah seorang lemah dan dalam hal ilmu silat ia hanya sedikit dibawah kepandaian tiga iblis wanita itu! Seng Bouw Nikouw lalu bercerita,

“Ketika kalian bertempur tadi, aku hendak membantu, tetapi tiba-tiba aku melihat sebuah bayangan berputar-putar di atas genteng belakang. Aku mengejar dan kemudian menjadi sangat terkejut, karena ternyata yang berdiri disitu bukan lain ialah Sin-chiu Taihiap Khouw Sin Ek! Tentu saja aku tak berani melawan orang tua itu dan diam-diam aku tersembunyi di balik wuwungan genteng. Aku melihat juga betapa orang tua yang lihai itu menggunakan pecahan genteng memukul pedang suci bertiga! Melihat ia menggunakan senjata rahasia istimewa itu, aku teringat bahwa biarpun aku takkan dapat melawannya, tetapi sedikitnya dari tempat gelap itu aku dapat melepaskan senjata rahasia jarum, karena itu aku justeru sembunyi di belakangnya. Tanpa pikir lagi aku mengirimkan segenggam jarum, tapi tak kusangka ia sedemikian lihainya. Tanpa menengok ia mengayunkan lengan baju dan telah meniup pergi semua jarumku! Sebelum aku sempat lari, ia telah meloncat dan tanpa kusadari aku telah tertotok dan rebah tak berdaya!”

Kek Kong Tojin menghela napas. “Celaka, terlampau banyak lawan lihai yang datang malam ini. Kita harus berhati-hati dan mulai malam ini kita harus mengatur penjagaan yang kuat.”

Setelah berkata demikian. Kek Kong Tojin memimpin sendiri dan mengatur penjagaan di semua sudut sehingga Istana Putih itu terkurung kuat. Kemudian orang-orang yang tidak bertugas menjaga kembali di kamar masing-masing. Hong Ing dengan hati lega karena si rambut putih dan si kedok hitam terlepas dari bahaya, kembali ke kamarnya pula.

Ia memasuki kamar, lalu menutup pintunya dan memasang lilin. Hampir saja ia berteriak, karena melihat di atas kursi di kamarnya duduk seorang yang berkedok sutera hitam. Baiknya si kedok hitam segera memberi tanda agar ia jangan berteriak. Hong Ing menggerakkan bibirnya hendak bertanya dengan marah kepada tamu malam yang keterlaluan dan kurang ajar itu, tapi si kedok hitam lalu mengeluarkan sehelai surat yang agaknya telah ia sediakan sebelumnya.

Hong Ing menerima surat itu dan membacanya sambil duduk di atas pembaringan dan selalu mengerling kearah si kedok hitam. Surat itu tidak panjang dan berbunyi seperti berikut:

Nona Lie Hong Ing,
Kau bukanlah seorang penjahat dan mungkin kau tidak tahu bahwa orang-orang di gedung ini semua adalah kaki tangan pembesar durna yang bermaksud memberontak! Kalau kau terus berada dengan mereka, maka kau akan menghadapi dua macam bahaya.

Bahaya pertama: kau akan dimusuhi oleh orang-orang gagah di kalangan kang-ouw, dan bahaya kedua: kau akan dicap anggauta pemberontak dan mendapat hukuman!

Kau ingin belajar silat? Kalau kau percaya, aku dapat menolongmu mencari seorang guru yang jauh lebih pandai daripada Iblis-iblis itu. Kau takut melarikan diri? Aku dapat membantumu. Kalau setuju, sekarang juga, ikutlah aku keluar dari neraka ini.

Membaca surat ini, Hong Ing terkejut. Benarkah gurunya dan semua erang itu pemberontak? Mengapa mereka memaki Han Liong dan kawan-kawannya sebagai pemberintak? Tentang kejahatan mereka, hal ini ia dapatlah percaya, memang ia sendiri tidak suka melihat sikap dan sepak terjang mereka itu, tapi apakah si kedok hitam ini dapat dipercaya?

Biarlah, ia akan ikut lari dan mencari Han Liong. Kalau sudah bertemu dengan kakaknya itu, ia tidak takut akan setan yang manapun juga! Maka ia lalu mengangguk dan si kedok hitam tersenyum girang. Sepasang mata di balik sutera hitam itu memancarkan sinar berseri-seri tanda kegirangan...
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12