Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 07
Hong Ing
menyiapkan buntalan pakaiannya dan si kedok hitam lalu memberi tanda agar gadis
itu masuk di bawah tempat tidur! Hong Ing terheran-heran dia memandang marah
karena pada sangkanya si kedok hitam itu mempermainkannya. Tapi tanpa banyak
cakap lagi si kodok hitam merayap di kolong pembaringan dan Hong Ing karena
ingin tahu sekali, mengintipnya.
Beberapa
kali si kedok hitam meraba-raba dinding dan tiba-tiba terdengar bunyi berderik
dan di atas lantai di bawah pembaringan itu terbuka lubang selebar hampir dua
kaki!
Kini
mengertilah Hong Ing bahwa itu adalah sebuah jalan rahasia! Ia serasa malu akan
kesangsiannya tadi dan tanpa ragu ia merangkak di kolong pembaringan. Si kedok
hitam lalu memasuki lobang itu, diikuti oleh Hong Ing, ternyata di bawah tanah
terdapat sebuah lorong kecil yang pas untuk seseorang merayap maju. Beberapa
lama mereka merayap maju dalam gelap dan akhirnya mereka sampai keluar dan
berada dalam sebuah taman bunga!
“Eh, taman
bunga siapakah ini?” Hong Ing bertanya heran.
“Sttt...!”
Si kedok hitam mencegahnya, tapi terlambat. Dari balik pintu belakang sebuah
gedung, terdengar suara bertanya.
“Siapa di
taman?” Sebelum gema suara itu lenyap, penanyanya sudah sampai di hadapan
mereka dengan sebuat golok besar di tangan! Hong Ing terkejut melihat orang itu
yang ternyata bukan lain adalah Tan-cianbu. Ia pernah melihat kapten itu
beberapa kali maka ia dapat mengenalnya, namun Tan cianbu tidak kenal
kepadanya.
“Bangsat
darimana berani memasuki taman tanpa izin? Ayoh buka kedokmu dan berlutut,
kalau tidak kalian akan kusuruh tangkap dan masukkan penjara!”
Melihat
kegagahan Tan cianbu itu, Hong Ing meloloskan siang-kiamnya, dan ia merasa
pundaknya ditowel oleh si kedok hitam. Tapi ia tidak tahu maksudnya, bahkan
maju menyerang dengan berkata,
“Lepaskan
dan jangan ganggu kami!”
Tan cianbu
gelak tertawa. “Hm, gadis kecil ini sombong amat! Kau juga berani main-main
dengan pedang!”
Kemudian ia
menggerakkan goloknya dan menangkis. Pedang di tangan kanan Hong Ing terpukul
dan gadis itu merasa telapak tangannya perih dan panas. Ia terkejut sekali
karena pedang itu hampir saja terlepas!
“Ha ha ha!”
Tan cianbu tertawa tapi matanya memandang kagum. “Kau boleh juga, nona kecil!
Kau dapat menahan tangkisanku, hm, majulah, hendak kulihat sampai di mana
kepandaianmu.”
Tapi Hong
Ing bersanksi, karena ia merasa bukan tandingannya kapten yaag bertenaga besar
itu!
“He, kamu
yang berkedok hitam, pengecutkah kau? Bukankah kau laki-laki? Mengapa
kaubiarkan saja wanita ini maju seorang diri? Ayoh majulah!”
Si kedok
hitam tampak bingung dan ketakutan! Hong Ing merasa heran sekali. Apakah Tan
cianbu ini lebih tinggi ilmu silatnya dari si kedok hitam ini sehingga si kedok
hitam yang tadi telah ia saksikan sendiri kepandaiannya juga merasa takut
menghadapinya? Tapi Tan cianbu melihat keragu-raguan dan kebingungan si kedok
hitam, timbul marahnya.
“Pengecut!
Gadis ini berani maju menyerangku, tapi kau tidak berani! Kalau begitu, lebih
dulu kau akan kubunuh. Mungkin perempuan ini akan kubebaskan karena ia gagah
dan berani tidak semacam kau!” Goloknya berkelebat membacok leher pemuda itu!
Si kedok
hitam berkelit mundur, tapi golok Tan cianbu terus mengejar dan melakukan
serangan bertubi-tubi. Kini heranlah Tan cianbu, karena berkali-kali ia
menyerang, selalu tanpa hasil. Gerakan si kedok hitam itu sangat lincah dan
selalu berkelit cepat membuat ia tidak berdaya! Si kedok hitam berkelit sambil
mundur hingga mereka tiba di dekat sebuah lampu taman.
Tiba-tiba si
kedok hitam merogoh saku dan melempar sesuatu kearah lawannya. Tan cianbu
terkejut dan hendak berkelit, tapi lemparan si kedok hitam cepat sekali hingga
tahu-tahu benda itu mengenai mukanya! Tapi Tan cianbu tidak merasa sakit karena
ternyata benda itu hanya sehelai saputangan sutera saja, dan disitu terdapat
tulisan besar-besar. Tan cian-bu tertarik akan sapu tangan sutera itu dan di
bawah sinar lampu, ia membaca beberapa huruf besar itu.
Seketika itu
juga kedua matanya terbelalak dan mulutnya berseru, “Apa? Mana bisa jadi?”
tetapi ketika ia menengok, si kedok hitam telah menyambar tangan Hong Ing dan
menarik gadis itu melompati tembok yang tinggi itu, dan terus lari dengan cepat
sekali.
Hong Ing
yang terpegang pergelangan tangannya ikut lari cepat pula, jauh lebih cepat
dari pada ilmu larinya, karena ia seakan-akan ditarik oleh tenaga raksasa
sehingga kedua kakinya seakan-akan tak menginjak bumi!
Gadis ini
menjadi makin kagum dan diam-diam ia membandingkan kepandaian orang ini dengan
Han Liong. Tetapi setelah lari beberapa belas li jauhnya dan mereka memasuki
sebuah hutan, Hong Ing merasa lelah juga, karena kedua kakinya sangat dipaksa.
“Aduh, aku
lelah, mari beristirahat dulu!” keluhnya.
“Maaf, aku
tidak ingat bahwa kau belum pandai lari cepat,” kata si kelok hitam sambil
melepaskan pegangannya.
Hong Ing
melepaskan lelah dan duduk di atas rumput. Ia memandang si kedok hitam yang
masih berdiri dan memandang jauh ke depan.
“Kita hendak
ke mana?” tanya Hong Ing.
“Ke kota
raja,” jawabnya singkat.
“Ke kota
raja? Hendak mengapa ke sana?”
Si kedok
hitam memandang sehingga sinar matanya terbentur sinar mata Hong Ing. Kemudian
ia tampak bingung dan tidak tahu bagaimana harus menjawab. Ia lalu menghela
nafas dan berkata perlahan,
“Kau... kau
kini sudah bebas, terserah kepadamu hendak pergi ke mana, Aku... aku tidak
memaksamu ikut, yakni... kalau kau tidak suka...”
Hong Ing
merasa dadanya berdebar-debar. Jadi orang ini benar-benar hendak menolong
belaka dan tidak bermaksud jahat? Ah, alangkah baik hatinya. Dan lenyaplah
kecurigaannya, karena sebenarnya tadi ia masih merasa curiga memikirkan bahwa
mungkin orang ini sengaja datang ke kamarnya hendak menculiknya. Tetapi setelah
di kamarnya terdapat jalan rahasia itu, tahulah ia mengapa orang itu berada di
kamarnya. Dan kini, orang ini melepaskannya!
“Kalau
begitu, terima kasih atas kebaikanmu.”
“Ah, itu
semua tak berarti apa-apa. Hanya ingat, kau harus berhati-hati, karena
orang-orang Istana putih banyak dan jahat, mungkin kau akan bertemu dengan
seorang di antara mereka di jalan.”
Hong Ing
tidak merasa takut karena ia tak begitu memperhatikan kata-kata si kedok hitam.
Ia sedang terheran-heran dan mengingat-ingat karena ia seperti sudah pernah
mendengar dan mengenal suara orang itu entah kapan dan dimana??
“Eh, apa
katamu tadi? Oya, kau takut aku berjumpa dengan mereka? Aku hendak mencari
kakakku, kalau sudah bertemu, aku tidak perlu takut kepada segala orang itu.”
“Kalau
begitu agaknya gagah benar koko-mu itu.”
Kembali Hong
Ing memikir-mikir dan mengingat-ingat suara siapakah ini! “Kau telah menolongku
dan kini kita hendak berpisah. Maukah kau melakukan sebuah permintaanku?”
tiba-tiba Hong Ing bertanya.
“Apakah
itu?”
“Yaitu...
aku ingin tahu dan melihat wajahmu, agar aku tak lupa lagi... maukah kau
membuka kedokmu itu sebentar saja?”
Si kedok
hitam mundur dua tindak dan dengan cepat tangan kirinya memegang kedok sutera
di mukanya, seakan-akan ia takut kedok itu akan terlepas. “Tak mungkin!”
katanya.
“Mengapa tak
mungkin? Apa.... apa mukamu bercacad dan jelek sekali?”
Si kedok hitam
itu cepat menggeleng-geleng kepala, tapi lalu mengangguk-angguk berkali-kali,
hingga mau tak mau Hong Ing tersenyum geli.
“Tidak
apalah!” Akhirnya Hong Ing berkata sambil menghela nafas. “Jika kau tidak mau
dikenal, akupun takkan memaksa! Tapi betapapun juga, aku akan selalu menganggap
kau seorang yang gagah dan baik hati.”
Ketika
mereka hendak berpisah, tiba-tiba dari belakang ada dua bayangan orang berlari
cepat ke arah mereka. Kepandaian dua orang itu ternyata tinggi juga karena
sebentar saja mereka sudah tiba dihadapan si kedok hitam dan Hong Ing.
Hong Ing
terkejut sekali karena yang datang itu adalah seorang laki-laki dan seorang
gadis muda yang cantik jelita dan berpakaian serba hitam hingga tampak kulit
tangan dan pergelangan lengannya yang putih. Dan laki-laki itu bukan lain dari
Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek sendiri, orang lihai berambut putih yang
mengacau di istana putih.
“Ha ha ha!
Kalau memang berjodoh, biar tak disengaja dan tak disangka-sangka, akhirnya
bertemu juga!”
Heng-san
Koai-hiap tertawa terkekeh-kekeh. Lalu ia mengangkat kedua tangannya memberi
hormat kepada si kedok hitam yang dibalasnya dengan hormat pula.
“Sobat
berkedok yang gagah berani. Aku kagum melihat tepak terjangmu tadi. Agaknya kau
pun mengikuti jalan lurus dari para patriot. Ketahuilah, aku adalah Heng-san
Koai-jin Lie Bun Tek dan ini adalah sumoiku bernama Pauw Lian. Kau tentu sudah
pernah mendengar nama kami dan tahu bahwa kami bukanlah orang-orang jahat.
Terus terang kukatakan bahwa kamipun pengikut jejak para patriot! Dokumen yang
kau rampas dari istana putih itu sangat kami butuhkan. Maka kuminta dengan
hormat, berikanlah itu padaku, sobat.”
“Maaf,
saudara, aku sendiripun perlu juga akan surat-surat penting itu. Soalmu dengan
penghuni Istana putih tiada sangkut-pautnya dengan aku. Aku bertugas dan
sebagai seorang laki-laki aku harus menunaikan tugasku itu dengan sempurna.
Kalau tugasku telah selesai mungkin sekali aku dapat membantu menghancurkan
kaki tangan durna yang rendah itu!”
“Hm,
jawabanmu sangat licin bagai belut yang tak tentu ujung pangkalnya! Pendeknya,
aku ingin tahu, kau ini pembela rakyat atau pembela kaisar?” Gadis cantik
berpakaian hitam yang disebut Pauw Lian itu berkata, suaranya merdu tetapi
tajam.
Mendengar
kata-kata setengah sesalan dan penuh kecurigaan ini, si kedok hitam memandang
dengan tajam dan menjawab, “Pembela kedua-duanya!”
Lie Bun Tek
tertawa dan Pauw Lian memperdengarkan suara ejekan. “Hm, jawaban apa ini? Kalau
kau pembela rakyat dan kaisar, habis, siapa yang kau anggap musuhmu?”
“Musuhku
adalah segala perampok yang mengacau rakyat dan segala macam durna yang
mengacau negara!”
Lie Bun Tek
dan Pauw Lian saling pandang dengan heran.
“Eh, sobat,
kau sungguh aneh. Coba buka kedokmu dan perlihatkan mukamu kepada kami agar
kami dapat melihat apakah kau ini lawan atau kawan.” berkata Lie Bun Tek.
“Kubuka juga
kau takkan kenal,” jawab si kedok hitam.
“Kalau
begitu engkau ini tentu bukan orang baik-baik. Orang yang bermaksud baik takkan
menyembunyikan muka di belakang kedok,” kata Lie Bun Tek.
“Suheng,
bangsat ini tentu mempuyai maksud rahasia,” berkata Pauw Lian kepada Lie Bun
Tek.
”Memang aku
mempunyai tugas dan maksud rahasia,” jawab si kedok hitam
Sehingga Lie
Bun Tek menjadi heran dan marah mendengar orang berterus terang secara menantang
itu. Dengan berseru keras ia loloskan joan-piannya dari pinggang dan berkata,
“Agaknya kau
mau mencoba kami, orang muda yang aneh!” Si kedok hitam memperdengarkan suara
mengejek sambil mencabut pedangnya.
“Tahan
senjatamu, ia bukanlah orang jahat!” Hong Ing berteriak karena ia khawatir si
kedok hitam takkan dapat melawan si rambut putih yang tinggi ilmunya itu.
“Kaupun
bukan orang baik-baik,!” kata Pauw Lian yang maju menghalangi.
“Kau kira
aku takut padamu?” Hong Ing membentak marah dan mencabut siang-kiamnya! Tapi
Pauw Lian hanya momandangnya dengan terseyum manis bagaikan seorang dewasa
tengah mempermainkan seorang kanak-kanak.
Sementara
itu, si kedok hitam sudah mulai bertempur melawan Heng-san Koai-hiap Lie Bun
Tek. Sekali senjata mereka beradu dan kedua-duanya mundur karena merasakan
getaran hebat di telapak tangan masing-masing. Sambil melompat mundur mereka
memeriksa senjata masing-masing, tapi ternyata kedua senjata itu tidak rusak.
Dengan
perasaan kesal Lie Bun Tek meloncat maju lagi melakukan serangan hebat. Si
kedok hitam berkelit lincah dan balas menyerang. Ternyata tenaga dan kepandaian
mereka seimbang. Lie Bin Tek memainkan pukulan-pukulan Ilmu permainan joan-pian
dari cabang Heng-san-pai yang tinggi itu, tapi pedang si kedok hitam pun dapat
bergerak dengan lincah dan cepat karena ia memainkan tipu silat Pedang Delapan
Dewa Bermain-main.
Hong Ing
yang merasa gemas melihat lagak Pauw Lian yang seakan.akan memandang rendah
kepadanya, dengan teriakan keras maju menyerang dengan siang-kiamnya! Ia
memainkan jurus-jurus dari Ngo-lian-pai yang belum lama ini ia pelajari dari
Biauw Niang-niang.
Tapi
alangkah terkejutnya ketika ia melihat lawannya berputar berbelit-belit cepat
dan serta merta telah berada di belakangnya! Ia terus menyerang dan jurus-jurus
yang ganas dan tipu-tipu mematikan dari Ngo-lian-pai ia keluarkan.
“Hemm,
sayang kau yang muda dan cantik telah mempelajari ilmu silat jahat,” kata Pauw
Lian menyindir sambil meloncat menghindar.
Mendengar
sindiran itu dan melihat serangan-serangannya tak mendatangkan hasil sedikitpun
juga, wajah Hong Ing berubah merah karena malu dan marah. Ia segera merubah
gerakannya dan kini mempergunakan ilmu pedang Ngo-houw-toan-bun-to yang ia
pelajari dari Han Liong. Kedua pedangnya bergerak teratur sekali dan
serangan-serangannya kuat mendatangkan angin.
“Bagus! Ini
baru ilmu pedang tulen!” Nona baju hitam itu memuji.
Sesungguhnya
permainan siang-kiam Hong Ing hebat sekali dan gerakan kedua pedangnya sukar
dilawan. Tapi ternyata ia menghadapi lawan kelas berat yang sangat tinggi ilmu
ginkangnya hingga ia dapat dipermainkan, biarpun Pauw Lian tak memegang
senjata!
Hong Ing
hampir menangis karena jengkel dan ia gertakkan giginya sambil menyerang terus
membabi buta. Pauw Lian melihat kenekadan lawannya menjadi marah juga, sambil
berseru,
“Awas
balasan serangan-ku!” ia mendesak dengan sepasang kepalan dan sepasang kakinya
yang dapat bergerak cepat sekali. Hong Ing terdesak mundur dan keadaannya
berbahaya!
Pada saat
itu terdengar seruan orang, “Ing-mo! jangan khawatir, aku datang,”
Belum habis
gema suara itu, orangnya telah datang dan tiba-tiba Pauw Lian melihat seorang
pemuda baju putih berdiri di depannya menggantikan Hong Ing yang kini berdiri
di belakang pemuda itu! Alangkah girang hati Hong Ing mendengar suara dan
melihat orang yang baru datang ini. Segera ia menubruk maju dan memeluk,
“Han-ko!
Syukur kau datang. Tolonglah aku dan hajarlah wanita yang sangat menghinaku
ini!”
Melihat Hong
Ing memeluk pemuda itu, Pauw Lian mengeluarkan suara cemoohan, “Hm, tak tahu
malu!”
Hong Ing
menghadapinya dengan bertolak pinggang. “Mau apa? Ini kakakku dan kalau kau memang
perempuan gagah, lawanlah dia. Kalau kau menang, aku bersedia berlutut seratus
kali di depanmu dan menyebut nenek guru padamu!”
Biarpun ia
tahu bahwa pemuda yang berdiri bingung di depannya ini bukanlah lawan ringan,
namun Pauw Lian merasa gemas dan marah juga mendengar tantangan Hong Ing.
“Apa yang
harus ditakuti?” katanya dan tanpa banyak cakap lagi ia menerjang Han Liong
dengan serangan Harimau Mencuri Hati!
Tadinya Han
Liong hendak mendamaikan mereka karena ia tahu bahwa adiknya suka sekali mencari
onar, tapi ia tak diberi kesempatan dan gadis itu langsung memukul Han Liong.
Angin pukulan gadis baju hitam ini berat dan kuat sekali. Karenanya terpaksa ia
melayaninya dengan hati-hati dan sebentar saja ia diam-diam mengeluh karena
lawan yang dipilih Hong Ing kali ini benar-benar merupakan lawan terberat yang
pernah ditemuinya!
Ia kagum
sekali akan kepandaian gadis yang jelita ini dan tak lama kemudian ia merasa
makin kagum bercampur heran karena ternyata kepandaian gadis itu, baik ginkang
maupun lweekangnya, tidak berselisih jauh dengan kepandaiannya sendiri! Timbul
hati sayangnya dan ia ingin sekali tahu siapakah gadis ini dan murid siapakah
ia?
Sebaliknya,
Pauw Lian merasa terkejut dan heran sekail mengapa pemuda ini demikian lihai
dan sungguh di luar dugaannya semula. Gadis yang baru berusia sembilan belas
tahun itu yang baru saja turun gunung merasa diri tiada tandingnya lagi, karena
memang ia sudah memiliki ilmu silat yang mendekati batas kesempurnaan, bahkan
suhengnya sendiri, Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek yang terkenal akan kelihaian
dan kepandaiannya, tak dapat mengalahkannya, terutama dalam ilmu pedang!
Maka, kini
menghadapi Han Liong jang dapat melayani, bahkan dapat mendesaknya, ia menjadi
gusar sekali. Dengan teriakan marah ia mencabut pedangnya. Sinar hitam
berkelebat di depan muka Han Liong dan pemuda ini tertejut melihat gadis itu
kini memegang sebilah pedang hitam yang sinarnya menyeramkan.
Tiba-tiba ia
teringat akan kata-kata suhunya, Kam Hong Siansu yang mengatakan bahwa di dunia
ini masih terdapat Ilmu silat pedang yang dapat menandingi Pek-liong-kiamsut,
yakni Ouw-Liong-Kiamsut atau Ilmu Pedang Naga Hitam. Dan gadis ini mempunyai
sebuah pokiam berwarna hitam berukir naga pula. Bukankah pedang ini yang
disebut Ouw-liong-pokiam?
Hampir saja
ia melompat keluar kalangan tapi tiba-tiba timbul kegembiraannya untuk mencoba
sampai dimana kehebatannya Ouw-liong Kiamsut! Iapun mencabut Pek-Hong-pokiamnya
dan menangkis setiap serangan gadis itu.
Pauw Lian
melihat sinar pedang Han Liong putih melepak seperti perak juga merasa
terkejut. Iapun pernah mendengar gurunya bercerita tentang Pek liong-pokiam,
maka sama juga halnya dengan hati Han Liong, ia ingin sekali mencoba ketinggian
ilmu pedang pemuda itu.
Kalau tadi
ketika bertempur mengadu kepalan mereka berkelebat ke sana ke mari hingga dua
bayangan hitam dan putih seakan-akan tergabung menjadi satu, kini dua pokiam
itu dimainkan sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua gulung sinar
hitam dan putih berputar-putar cepat seperti kilat, sedangkan dua orangnya sama
sekali tak tampak pula!
Tentu saja
melihat pertunjukan ini, Hong Ing hanya memandang dengan mulut ternganga saking
kagumnya. Sementara itu, si kedok hitam juga sedang bertempur dengan hebatnya
melawan Lie Bun Tek. Pedang dan joan-pian saling serang dan saling tangkis
sampai mengeluarkan bunga api. Pada saat pertempuran sedang hebat-hebatnya,
tiba-tiba terdenger orang menyebut.
“Siancai,
siancai, Lie Bun Tek enghiong, tahan senjatamu dan maafkan muridku. Un Kiong,
buang pedangmu!”
Mendengar
seruan ini, dengan berbareng si kedok hitam dan Heng-san Koai-hiap melompat
mundur dan menahan senjata masing-masing, karena si kedok hitam mengenal suara
gurunya sedangkan Lie Bun Tek kenal pula suara Khouw Sin Ek atau Sin-chiu
talhiap yang telah menolongnya ketika bertempur di atas genteng Istana Putih!
Sebaliknya,
Hong Ing yang mendengar nama Un Kiong disebut segera menghadapi mereka dengan
heran.
Lio Bun Tek
menjura kepada Sin-chiu Taihiap sambil berkata. “Maafkan siauwte, lo-taihiap.”
Dan si kedok hitam berlutut sambil menyebut, Suhu...!
“Un Kiong,
buka kedokmu! Terhadap kawan-kawan segolongan, tak perlu kau menyembunyikan
mukamu.”
Si kedok
hitam segera merenggutkan sutera hitam itu dan Hong Ing hampir saja tak dapat
menahan jerit herannya, karena si kedok hitam itu bukan lain ialah si pemuda
tolol, Tan Un Kiong, putera dari Tan cianbu yang tinggal di dekat Istana Putih!
Hal ini sama sekali tak disangkanya, maka tanpa terasa kakinya bertindak maju
mendekati pemuda itu lalu, sambil menatap wajahnya, ia berkata, “Kau...??”
Un Kiong
hanya tersenyum dan menjura. “Hong Ing cici!”
Lie Bun Tek
berseru kepada Pauw Lian yang masih bertempur. “Sumoi, tahan pedangmu...”
Tapi Khouw
Sin Ek mencegahnya dan berkata perlahan “Jangan ganggu mereka. Tak usah
khawatir, mereka takkan melukai satu sama lain. Lihat, alangkah hebatnya
kiamsut mereka. Sungguh yang tertinggi di dunia ini. Lihat... bukankah mirip
sepasang naga hitam dan putih bermain-main di awan?”
Setelah puas
menonton. Pendekar Besar kepalan Malaikat ini mengambil dua buah batu kecil dan
mengayunkannya dua buah batu itu ke arah dua gundukan sinar hitam putih yang
sedang bertempur.
“Jiwi,
silakan berhenti!” Suaranya terdengar nyaring dan keras sekali.
Dua buah
batu kecil itu dengan tepat menghantam dua pedang, tapi tak membikin pedang itu
terenggut, bahkan dua buah batu itu terbelah dengan mudah dan jatuh ke atas
tanah. Tetapi ini cukup membuat Han Liong dan Panw Lian insyaf bahwa ada orang
yang pandai memisahkan mereka. Mereka tidak berani memandang rendah dan
keduanya segera melompat sambil menjura.
Sepasang
mata Pauw Lian yang jeli menatap wajah Han Liong dengan kagum, sebaliknya Han
Liong juga tertarik sekali akan kepandaian gadis itu. Pada saat mereka saling
pandang itu, seakan-akan ada sesuatu yang mengikat hati mereka dan membuat
mereka malu hingga serentak pula keduanya menundukkan muka.
Lie Bun Tek
memperkenalkan pendekar tua itu kepada sumoinya sedangkan Hong Ing yang masih
saja bermain mata dengan Un Kiong segera lari dan memegang lengan kakaknya.
Gadis ini dengan lincah dan gembira memperkenalkan Un Kiong kepada Han Liong
dan serta merta mempercakapkan bagaimana 'pemuda tolol' itu telah menolongnya
lari dari Istana Putih.
Berkat
kebijaksanaan Khouw Sin Ek yang mempunyai nama harum dan disegani, mereka dapat
menahan rasa sakit hatinya dan melenyapkan rasa permusuhan, kemudian
masing-masing memperbincangkan riwayat masing-masing untuk menghindarkan salah
faham.
“Cuwi
sekalian tentu heran melihat kenyataan bahwa aku orang tua mempunyai seorang
murid putera seorang pembesar yang berpengaruh di kalangan pahlawan raja.
Biarpun aku orang she Khouw bukan termasuk seorang anti kaisar, namun memang
terdengar ganjil bahwa aku mengambil murid seorang putera cian-bu! Hal ini ada
sebabnya, maka kalian dengarlah riwayatku dan muridku Tan Un Kiong ini."
Demikian Khouw Sin Ek mulai membuka riwayatnya.
***************
Khouw Sin Ek
adalah seorang hiapkek besar, yang mewarisi kepandaian silat tunggal dari Bong
Tak Totiang, seorang pertapa dan ahli persilatan Thai-san yang mengasingkan
diri dan diam-diam menciptakan ilmu silat dari Thai-san, Bu-tong dan Siaw-lim
yang ia gabungkan menjadi satu. Totiang ini kemudian menurunkan semua
kepandaiannya kepada Khouw Sin Ek karena ia melihat bahwa Khouw Sin Ek
mempunyai tulang baik dan pribudi tinggi.
Setelah
belasan tahun belajar dan dapat mewarisi semua kepandaian suhunya, Khouw Sin Ek
mulai berkelana dan menggunakan kepandaiannya untuk melakukan pekerjaan
menolong sesama manusia. Sepak terjangnya yang gagah perkasa membuat namanya
harum. Disegani, dikagumi kawan dan ditakuti lawan.
Pernah
seorang diri ia membunuh Pangeran Liok Bin Ong yang terkenal jahat dan memeras
rakyat dengan sewenang-wenang. Kemudian ia mengobrak-abrik sarang perampok di
Gunung Kim-wat-san yang dikepalai oleh Kang Leng Giap, seorang jagoan berilmu
tinggi yang karena sombong serta mengagung-agungkan diri sebagai orang gagah
nomor satu lalu berbuat sewenang-wenang saja, merampok rakyat dan petani yang
sudah miskin dan hidup melarat.
Tentu saja
hal ini membuat hiapkek Khouw Sin Ek marah sekali. Kepala perampok kejam ini
akhirnya tewas dalam tangan Khouw Sin Ek dan semenjak itu ia mendapat nama
julukan sin-chiu-taihiap atau Pendekar Gagah Kepalan Malaikat!
Tetapi,
betapapun gagahnya seseorang, tetap harus tunduk kepada kekuasaan yang lebih
tinggi sehingga pada suatu hari Sin-chiu Taihiap Kouw Sin Ek diserang sakit
panas yang berat. Pada masa itu ia memang menjadi buronan dan dicari oleh para
pengawal raja karena ia telah membunuh Pangeran Liok Bin Ong. Justeru yang
mendapat tugas untuk mencarinya adalah Tan cian-bu, ayah Un Kiong!
Ketika Khouw
Sin Ek tengah rebah tak berdaya karena sakitnya di sebuah kelenteng kotor dan
rusak, Tan cian-bu dapat membekuknya. Namun Tan cian-bu yang jujur dan berwatak
satria itu, merasa kagum dan sayang kepada Sin-chiu taihiap, karena menurut
pendapatnya, orang semacam Liok Bin Ong itu memang sudah sepatutnya dilenyapkan
dari muka bumi ini!
Ia pikir
pula kalau ia sendiri tidak menjabat pangkat cian-bu, tentu telah siang-siang
ia pergi mencari pangeran jahat dan cabul itu untuk menghajarnya. Demikian ia
menyelamatkan jiwa Sin-chiu-taihiap dari hukuman.
Khouw Sin Ek
merasa berterima kasih dan kagum melihat kepribadian Tan cian-bu, maka untuk
membalas jasanya, ia secara diam-diam tidak setahu kapten she Tan itu, telah
mengangkat Un Kiong sebagai muridnya.
Pada suatu
hari ketika Un Kiong yang berusia tujuh tahun itu bermain-main di dalam taman
bunga, Khouw Sin Ek datang. Di depan anak itu ia meloncat ke sebuah pohon dan
menggunakan tangannya menangkap burung, sedangkan ketika ia turun kembali,
burung di telapak tangannya yang menggerak-gerakkan sayap itu ternyata tak
dapat terbang, seakan-akan menempel di telapak tangan Khouw Sin Ek.
Tentu saja
Un Kiong sangat tertarik dan ia terima dengan gembira ketika orang tua itu
mengangkatnya sebagai murid. Tapi Khouw Sin Ek tak ingin orang mengetahui bahwa
ia menerima murid seorang putera kapten pengawal raja, maka ia pesan dengan
keras kepada muridnya supaya tidak membocorkan rahasia ini.
Un Kiong
ternyata selain berkemauan besar dan berbakat baik, juga berhati teguh sehingga
terdadap orang tua sendiripun ia tidak memberitahukan bahwa ia telah menjadi
murid Sin chiu Tai hiap Khouw Sin Ek yang berkepandaian sangat tinggi! Bahkan
untuk menyembunyikan kepandaiannya, ia berpura-pura menjadi pemuda tolol!
“Demikianlah
maka Un Kiong menjadi muridku. Pertama karena ayahnya pernah monolongku dan
kedua karena aku melihat ia mempunyai bakat baik.” Khouw Sin Ek menutup
penuturannya.
Kini giliran
Tan Un Kiong menuturkan pengalamannya. “Sebagai seorang keturunan perajurit
sejati, ayah sangat mengutamakan kesetiaan kepada pemerintah. Ia berpendirian
bahwa betapapun bentuk pemerintah yang diabdinya, seorang perajurit harus
membelanya dengan setia, siap mengorbankan jiwa raganya. Aku tak dapat
menyalahkan sikap ini yang menurut pendapatku betul juga. Karena itulah maka
biarpun aku merasa bersimpati akan perjuangan para patriot bangsa, namun
sebagai putera seorang kapten barisan penjaga istana raja, aku tak berani
berhubungan dengan mereka. Lagi pula, menurut pendapatku, raja yang memerintah
tidaklah demikian jahat sebagaimana banyak disangka orang. Ia hanya terpengaruh
oleh hasutan para durna yang jahat. Ayah sangat benci kepada para durna ini,
teristimewa kepada Co Thaikam yang makin lama makin besar pengaruhnya. Ayah
sangat sedih memikirkan keadaan kaisar.” Demikian Un Kiong memulai
penuturannya.
Kemudian ia
mengatakan bahwa ayahnya pernah berkata kepadanya tentang adanya bisikan bahwa
Co Thaikam bermaksud hendak memberotak! Memang thaikam ini telah pengaruhi para
pembesar tinggi sehingga kaisar seakan-akan terkurung. Mendengar hal ini dan
karena kasihan melihat kesedihan ayahnya juga karena berkali-kali ayahnya
menyatakan penyesalannya bahwa Un Kiong demikian tolol.
Pemuda itu
diam-diam mulai melakukan penyelidikan terhadap penghuni Istana Putih yang ia
tahu adalah kaki tangan Co Thaikam. Pernah ia menggeledah semua kamar tapi
hasilnya nihil. Kebetulan sekali ia dapat mendengar kejumawaan Kek Kong Tojin
sehingga ia memberanikan diri mencuri dokumen-dokumen itu, tepat pada waktu
Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek bertempur dengan tiga iblis wanita.
Setelah
berhasil memasuki kamar Hong Ing di mana memang ia tahu terdapat sebuah jalan
rahasia, ia yang merasa tertarik dan suka kepada nona ini, membujuknya lari.
Maksud Un Kiong hendak membawa dokumen yang di antaranya terdapat rencana
pemberontakan Co Thaikam itu terhadap Istana raja dan membongkar rahasia busuk
ini kepada raja!
Ia sengaja
memakai kedok agar tak dikenal oleh para penghuni Istana Putih dan kaki
tangannya, karena kalau sampai ketahuan tentu ayahnya berada dalam bahaya dan
akan mereka musuhi.
Ketika tiba
giliran Hong Ing bercerita, sebelumnya nona ini sambil memegang lengan Pauw
Lian, berkata dengan suara manja.
“Cici harap
maafkan aku sebanyak-banyaknya karena telah berlaku kurang ajar padamu.
Sebenarnya aku... aku iri melihat kecantikan dan kepandaianmu,” sampai disini
ia mengerling kepada Han Liong “Dan nanti sewaktu-waktu kuharap cici suka
mengajar Ilmu pedang padaku.”
“Ah,
bukankah kau sudah mempunyai seorang kawan yang dapat mengajarmu dan yang
kepandaiannya tidak terkalahkan olehku?” Pauw Lian balas menggoda dengan
kerlingan mata ke arah Un Kiong.
Godaan ini
mengenai tepat, tapi dasar cerdik. Hong Ing bahkan dapat membelokkan godaan ini
untuk menggoda Un Kiong dengan berkata,
“Kau
maksudkan saudara Tan Un Kiong? Aah, bukankah ia pemuda tolol yang tak mengerti
apa-apa? Ketahuilah, pernah ia meniru-niru aku belajar ilmu pedang dengan
gerakan-gerakan seperti seorang badut!”
Mendengar
ini semua orang tertawa, tak terkecuali Khouw Sin Ek, hanya Un Kiong saja yang
membesarkan matanya kepada Hong Ing, tetapi mukanya merah karena malu!
Diam-diam Hong Ing merasa suka kepada Pauw Lian yang ternyata juga bersifat
jenaka dan suka main-main seperti dia pula.
Heng-san
Koai hiap Lie Bun Tek meneeritakan riwayatnya sendiri dan sumoinya secara
singkat.
***************
Di puncak
Gunung Heng-san terdapat sebuah bio (kelenteng) tua yang sederhana, di mana
terdapat seorang pertapa wanita yang sudah tua. Pertapa. wanita ini bukan lain
ialah sumoi dari Kam Hong Siansu, yang bernama Kui Giok Ciu Suthai. Ilmu
kepandaian Kui Giok Ciu Suthai ini tinggi sekali, terutama ilmu pedangnya.
Sebenarnya
ketika mudanya diantara Kui Giok Ciu dan Kam Hong Siansu kedua kakak beradik
seperguruan ini, terjalin tali asmara yang erat. Tapi sungguh mengharukan
sekali, hubungan mereka terputtus karena kecurangan seorang pemuda yang merasa
iri hati dan menggunakan siasat jahat sehingga suheng dan sumoi yang saling
menyinta itu pada suatu hari sampai dapat ditipu dan merasa cemburu kepada yang
lain.
Pemuda
curang itu tidak berhenti sampai di situ saja, bahkan ia dapat bertindak
demikian jauh dan membuat mereka berdua pada suatu hari mengadu Ilmu pedang di
atas bukit Kam-hong-san! Ternyata kepandaian mereka berimbang dan biarpun sudah
bertempur hampir semalam penuh sampai melebihi ribuan jurus belum juga
kelihatan siapa yang lebih unggul.
Kam Hong
Siansu yang ketika itu masih bernama Bun Sin Wan menggunakan Pek-Liong-pokiam
dan memainkan Pek-liong-kiamsut, sedangkan Kui Giok Ciu menggunakan Ouw-liong-Pokiam
dan memainkan Ouw-Liong-kiamsut. Ilmu pedang mereka memang secabang, hanya
terdapat perbedaan sifat saja karena suhu mereka memang sengaja mencipta kedua
ilmu pedang itu khusus untuk murid wanita dan murid laki-laki yang dua orang
itu.
Suhu mereka
adalah seorang pertapa aneh yang mengasingkan diri dan hanya mereka kenal
dengan sebutan Bu Beng Lojin atau Orang Tua Tak Bernama. Orang aneh ini,
mempunyai sepasang Pedang Pusaka Naga Putih dan Naga Hitam! Dan kedua pedang
itu ia berikan kepada kedua muridnya dengan pesan agar pedang itu kelak
diberikan kepada murid-murid yang benar-benar bertulang bersih dan berjiwa
luhur.
Agaknya
memang sudah merupakan sumpah keturunan bahwa siapa saja yang memegang kedua
pedang itu tentu terlibat dalam urutan asmara. Demikianpun Kui Giok Ciu dan
suheagnya. Diam-diam hati mereka tertusuk panah asmara sehingga mereka tak
berdaya lagi. Tapi ikatan yang seharusnya mendatangkan kebahagiaan ini,
hancurlah oleh kecurangan pemuda she Gak yang juga seorang ahli silat tinggi dari
cabang Bu-tong.
Akhirnya
kedua suheng dan sumoi itu sadar juga akan kecurangan Gak Bin Tong dan mereka
berdua mencarinya lalu membunuhnya. Tapi hubungan mereka telah renggang, di
sudut hati kecil mereka telah dikotori sakit hati dan kekecewaan. Namun, agaknya
mereka masih merasa berat dan saling setia sehingga mereka berdua bersumpah
takkan kawin dengan orang lain dan tinggal membujang selama hidup dan hidup
sebagai pertapa di atas gunung!
Bun Sin Wan
bertapa di atas bukit Kam-hong-san dan memakai nama Kam Hong Siansu dan Kui
Giok Ciu bertapa di atas bukit Heng-san dan disebut Kui Suthai. Mereka berdua
bertapa sambil memperdalam Ilmu pedang mereka dan mereka telah berjanji akan
menurunkan kepandaian kepada seorang murid dan kemudian murid mereka akan menetapkan
siapa yang lebih unggul!
Ternyata
kemudian bahwa murid Kam Hong Siansu yang mewarisi Pek-Liong Kiamsut dan Pedang
Pusaka Naga Putih adalah Si Han Liong, sedangkan yang mewarisi Ouw-Liong
Kiamsut dan Pedang Pusaka Naga Hitam adalah Pauw Lian. Selain Pauw Lian,
pertapa wanita itu masih menerima seorang murid lagi, yakni Lie Bun Tek,
seorang yatim-piatu yang hidup terlunta-lunta dan tersesat naik ke Gunung
Heng-san.
Melihat anak
itu bertulang baik dan patut dijadikan seorang pendekar, Kui Giok Ciu Suthai
memungutnya dan mendidiknya. Tapi karena Ilmu Pedang Naga Hitam hanya
diperuntukkan seorang saja, maka ia tidak memberi pelajaran ilmu pedang kepada
muridnya ini, sebaliknya menurunkan ilmu silat joan-pian yang lihai dan yang
tingkatnya hanya sedikit lebih rendah daripada Ouw-Liong Kiamsut.
Demikianlah,
Heng-san Koai-hiap Lie Bun Tek menuturkan riwayatnya, tentu saja ia tak
menuturkan riwayat gurunya di atas karena ia tidak tahu akan hal itu.
Sebaliknya Pauw Lian juga diam saja dan tidak banyak menuturkan keadaan diri
dan asal-usulnya, karena ia merasa malu kepada Han Liong. Hanya kadang-kadang
ia mencuri dengan kerlingan mata ke arah pemuda itu, dan dengan tajam matanya
menatap Pedang Pusaka Naga Putih yang tergantung di punggung Han Liong. Sebetulnya,
siapakah nona Pauw Lian ini?
***************
Marilah kita
ikuti riwayatnya secara singkat. Ketika Kui Giok Ciu sambil memegang Pedang
Pusaka Naga Hitam berpisah dari Bun Sin Wan dengan hati patah akibat asmara
gagal, ia terjun ke dalam kalangan kang-ouw dan melakukan hal-hal yang
menggemparkan.
Dengan
pedang hitam di tangan, ia binasakan Lima Iblis dari Keng-liat yang terkenal
jahat, mengobrak-abrik sarang kawanan penjahat dan perampok di Bukit Heng-san
yang dikepalai oleh si Raja Naga Teng Lok, pergi ke atas Kun-lun-san dan dengan
ilmu pedangnya mengalahkan semua cabang atas dari cabang Kun-lun, lalu seorang
diri mengambil kepala durna Tui Keng Hok yang berpengaruh besar dan terkenal jahat
pemeras rakyat.
Masih banyak
hal-hal luar biasa ia lakukan untuk melampiaskan sakit hati dan kekecewaannya
akibat asmara gagal. Kemudian ia memilih bukit Heng-san sebagai tempat
pertapaan dan semenjak itu ia menyembunyikan diri di gunung itu. Bertapa dan
memperdalam ilmu pedangnya Ouw-liong Kiamsut karena khawatir kalau-kalau kelak
muridnya tak dapat melawan murid suhengnya!
Ia bertapa
semenjak masih gadis remaja berusia tak lebih dari dua puluh tahun sampai
menjadi seorang nenek berusia lima puluh tahun lebih.
Pada suatu
hari, dengan tak disengaja Kui Giok Cin melihat bayangan sendiri di dalam
telaga dan ia menjadi terkejut melihat bayangan tubuhnya merupakan seorang
nenek tua yang telah putih rambutnya! Tak terasa ia menangis tersedu-sedu dan
ia terkejut pula ketika teringat bahwa ia belum mempunyai murid.
Maka
pergilah ia turun gunung dengan maksud mencari murid. Baru saja ia menuruni
bukit Heng-san di dalam sebuah hutan ia melihat seorang anak laki-laki berusia
kurang lebih lima belas tahun roboh di bawah pohon Siong besar dalam keadaan
sakit.
Anak muda
itu ternyata adalah Lie Bun Tek, seorang anak yatim piatu yang hidup sebatang
kara dan terlunta-lunta. Pada saat itu ia menderita sakit dan rebah tak berdaya
dalam hutan itu. Kul Giok Ciu Suthai merasa kasihan sekali melibat kesengsaraan
anak muda itu dan ia teringat akan keadaan dan nasib sendiri. Maka ia segera
menolongnya dan memberi obat dan setelah Lie Bun Tek sembuh, ia pesankan kepada
anak itu untuk menjaga tempat pertapaannya selama ia pergi.
Maka ia
kembali pergi mencari murid. Ia maklum bahwa Lie Bun Tek adalah seorang anak
yang bertubuh bersih dan mempunyai dasar yang baik untuk menjadi orang gagah.
Sebenarnya takkan kecewa kalau ia mempunyai murid seperti anak itu, tapi sayang
bahwa Lie Bun Tek bukanlah seorang wanita, sedangkan Ouw-liong Kiamsut harus
diturunkan kepada seorang murid wanita sebagaimana yang selalu ia cita-citakan.
Selama lima
tahun Kui Suthai merantau dalam usahanya mcncari seorang anak yang pantas
menjadi muridnya. Ia tidak ingat untuk pulang ke atas Gunung Heng-san sebelum
berhasil mendapat seorang murid yang cocok.
Pada suatu
hari ketika ia melalui sebuah hutan, ia mendengar suara orang berteriak minta
tolong. Ia mempercepat langkahnya dan menuju ke arah suara itu. Di atas
lapangan rumput ia melihat seorang laki-laki sedang berkelahi melawan empat
orang yang mengeroyoknya. Seorang yang berpakaian pelayan roboh bermandikan
darah dan rupanya ialah yang berteriak-teriak minta tolong tadi.
Kepandaian
orang yang dikeroyok itu cukup baik tapi menghadapi empat orang yang bersenjata
golok sedangkan ia sendiri bertangan kosong, ia kelihatan sibuk juga. Tubuhnya
telah penuh dengan luka-luka, tapi ia masih bisa melawan dengan gigihnya. Di
dekat itu kelihatan sebuah kereta kecil dan seorang anak perampuan yang baru
berusia kurang lebih lima tahun berseru-seru kepada ayahnya yang sedang
dikeroyok.
“Ayah,
pukul, ayah, pukul mereka!” Kedua tangannya yang kecil terkepal erat-erat dan
sepasang matanya yang bening menyala-nyala.
Melihat
keadaan mereka, Kui Suthai segera bertindak. Sekali ia berkelebat dan
menggunakan kedua tangan dan kakinya, tubuh keempat penjahat itu terlempar jauh
dan roboh tak dapat bangun lagi!
Laki-laki
yang dikeroyok itu tak tahu apa yang telah terjadi. Ia hanya melihat bayangan
putih berkelebat dan tahu-tahu keempat musuhnya menjerit dan terlempar jatuh
dan tidak bangun lagi. Tadi ia tak sempat memikirkan itu semua karena kepalanya
terasa pusing dan tubuhnya lemah. Ia telah mengeluarkan terlampau banyak darah.
Dengan langkah lemah lunglai ia menghampiri anaknya, tapi sebelum sampai di
kereta anaknya itu, ia telah roboh terguling.
“Ayah!” Anak
perempuan itu menjerit dan meloncat dari atas kereta lalu memeluk tubuh ayahnya
yang penuh dengan darah.
Ternyata
laki-laki itu idalah Pauw Bin Siong, seorang pedagang kecil yang baru saja
ditinggal mati isterinya dan sedang menuju ke kampung halamannya dengan seorang
anak dan seorang pelayan. Ia bermaksud pindah ke kampung sendiri agar dapat
bersatu dengan orang tuanya agar anaknya ada yang merawat.
Pauw Bin
Siong menderita luka terlampau berat dan sejak tadi mengeluarkan banyak darah,
maka Kui Suthai melihat keadaannya hanya bisa goyang-goyang kepala saja. Tak
berapa lama lagi Pauw Bin Siong yang bernasib malang itu meninggal dunia dalam
pelukan anak perempuannya yang baru berusia lima tahun itu!
Anak
perempuan itu bernama Lian dan semenjak saat itu ia menjadi yatim piatu dan
dibawa oleh Kui Suthai keatas gunungnya. Memang pandangan mata Kui Suthai tajam
dan tepat. Ternyata bahwa Pauw Lian adalah seorang anak perempuan yang cerdik
dan pandai.
Ketika tiba
di atas Gunung Heng-san, Kui Suthai girang sekali melihat bahwa Lie Bun Tek,
pemuda yang dulu disuruhnya menjaga pertapaan, ternyata masih berada di situ
seorang diri! Tapi sungguh kasihan, pemuda itu menderita kesedihan ditinggal
seorang diri, dan penderitaannya demikian hebat hingga tubuhnya menjadi kurus
dan rambut di kepalanya telah berubah putih semua!
Melihat
kesabaran dan kesetiaannya, Kui Suthai merasa sangat terharu dan ia turunkan
Ilmu silet joan-pian kepada pemuda itu dan ia belajar dengan rajin. Tapi,
sebentar saja ia ketinggalan oleh sumoinya, Pauw Lian yang benar-benar cerdik
dan berbakat itu.
Telah
beberapa kali Kui Suihai menyuruh Lie Ban Tek turun gunung melakukan tugas
menolong sesama manusia yang tertindas dan yang sengsara, hingga Lie Bun Tek
menjadi terkenal dan digelari orang Heng-san koai-hiap atau Pendekar Aneh dari
Heng-san.
Karena Pauw
Lian masih sangat muda juga adatnya agak keras tak mau kalah. Kui Suthai tak
memperkenankan gadis itu turun gunung biarpun berkali kali Pauw Lian memohon
kepada gurunya untuk sekali-kali ikut suhengnya.
Waktu
berlalu cepat dan dengan tak terasa Pauw Lian telah menjadi seorang gadis
berusia sembilan belas tahun. Ia sangat cantik jelita hingga gurunya makin
sayang padanya. Melihat bahwa semua dasar ilmu silat tinggi telah dimiliki
muridnya, maka ia turunkan ilmunya yang terakhir, ialah Ouw liong Kiamsut.
Ketika ia
memberikan pedang Ouw-liong pokiam kepada Pauw Lian, ia menyuruh gadis itu
bersumpah, Kemudian ia memberitahu kepada muridnya itu bahwa biarpun Ouw-liong
Kiamsut boleh menjagoi di kalangan kang-ouw, namun masih ada tandingannya,
yakni Pek-liong Kiamsut. Dan ia ceritakan kepada muridnya akan hal suhengnya
yang kini bertapa di Kam-hong-san dan bergelar Kam Hong Siansu dan bahwa
suhengnya itu mempunyai sebuah Padang Pusaka Naga Putih.
Secara
menyindir iapun menceritakan betapa ia sudah berjanji dengan suhengnya itu
untuk menetapkan mana yang lebih unggul antara Ouw-liong Kiamsut dan Pek-liong
Kiamsut. Ia hanya pesan kepada muridnya agar berlaku sangat hati-hati jika
menghadapi Pek liong Kiamsut.
Biarpun
telah menjadi seorang pertapa yang menjauhkan diri dari dunia ramai, Kui Suthai
mempunyai jiwa patriot dan ia tidak senang melihat kedua muridnya menjadi orang
tak berguna. Maka diperintahkannya kedua muridnya itu turun gunung dan membantu
gerakan kaum pembela rakyat yang gagah perwira. Tentu saja Pauw Lian merasa
girang sekali, karena ini adalah yang pertama kalinya ia turun gunung.
Di bawah
bimbingan suhengnya yang sudah berpengalaman, Pauw Lian mulai melakukan tugas
mulia bersama-sama suhengnya dan banyak rakyat yang telah menerima budi mereka.
Kemudian mereka tiba di kota raja dan Lie Bun Tek mendengar akan hal istana
putih. Ia menyuruh sumoinya tinggal di rumah penginapan dan menanti di sana
sedangkan ia sendiri pergi menyelidik di istana putih yang terkenal itu.
Dan dengan
sangat kebetulan ia mendengar kesombongan Kek Kong Tojin yang bercerita tentang
turut surat rahasia itu. Maka ia menjadi sangat girang dan mencoba merampas
surat-surat itu yang berarti membantu perjuangan kaum patriot. Tapi tak
tersangka bahwa pada saat itu muncul seorang berkedok yang mendahuluinya dan
yaug ternyata adalah Tan Un Kiong, pemuda yang mengagumkan itu.
Lie Bun Tek
mengakhiri ceritanya dengan berkata, “Tak kami sangka sama sekali bahwa pemuda
berkedok yang lihai itu bukan lain juga orang segolongan sendiri yang hendak
membela rakyat. Biarpun di sini terdapat sedikit perbedaan di antara Si Taihiap
dengan Tan Taihiap, yakni seorang memusuhi kaisar dan yang seorang tidak, namun
pada dasarnya serupa yakni membela rakyat yang tertindas!”
“Menurut
pendapatku, surat-surat penting itu harus diserahkan kepada Si-taihiap.” Pauw
Lian tiba-tiba berkata dengan suara tetap.
Semua orang
memandangnya dan Han Liong memandangnya dengan heran.
“Pauw Lian
cici mengapa berlaku segan-segan? Bukankah kau sudah tahu bahwa Han-ko ini
murid dari supeh-mu? Jadi kau bukanlah orang luar, tetapi masih terhitung
sumoi-nya. Mengapa kau sebut dia taihiap-taihiapan!” tegur gadis jenaka itu
sambil melonjongkan mulutnya yang manis.
Bukan main
sibuknya Pauw Lian ketika itu. Seluruh mukanya yang jelita dan berkulit putih
bersih itu tiba-tiba saja menjadi merah sampai ke telinganya. Han Liong ketika
melihatnya dan diam-diam ia membelalakkan matanya kepada Hong Ing yang ketika
melihat sikapnya ini lalu mencibir kepadanya!
Untuk
menolong Pauw Lian yang bingung karena pukulan Hong Ing tadi, Han Liong berkata
tenang, “Pauw sumoi, adikku berkata betul. Tetapi, kau tadi berkata bahwa
surat-surat itu harus diserahkan kepadaku, mengapa dan apakah alasanmu?”
Pauw Lian
menghela nafai panjang dan memandang kepada pemuda itu dengan berterima kasih.
“Begini,” katanya kemudian, “Si suheng telah bergabung dengan orang-orang gagah
di kalangan kang-ouw untuk melakukan maksud besar dan menghancurkan pemerintah
asing yang menjajah. Justeru surat-surat ini perlu sekali untuk usahanya yang
suci itu. Memang Tan taihiap juga mempunyai alasan kuat untuk memiliki
surat-surat itu, namun bila dipertimbangkan lagi, alasannya hanya berdasarkan
kepentingan pribadi, sedangkan Si suheng mendasarkan alasannya memiliki surat
itu untuk kepentingan rakyat jelata dan perjuangan suci.”
Semua orang
mendengar kata-kata yang lancar dan bijaksana ini dengan kagum, tetapi Un Kiong
diam-diam mengerutkan keningnya, Hong Ing yang bermata tajam dapat melihat
sikap pemuda 'tolol' itu.
“Aku tidak
sependapat dengan Pauw cici!” tiba-tiba Hong Ing berkata dengan gagah dan
tegas. Kini semua oranglah yaag menatap wajahnya. “Kita orang-orang gagah harus
menempatkan keadilan di atas semua hal. Apa artinya gagah kalau tidak adil?
Jangan kira hanya mementingkan keperluan diri sendiri lalu lupakan kepentingan
orang lain. Saudara Tan Un Kiong telah bersusah payah merampas surat-surat ini
dan tak dapat disangkal lagi dialah yang berhasil merampasnya hingga dia yang
berhak memilikinya sebelum dirampas oleh orang lain.”
Sampai di
sini, semua orang memandangnya heran, tak terkecuali Han Liong yang berpikir
apakah yang hendak ditelurkan oleh adiknya yang nakal ini? Sementara itu, Pauw
Lian yang suka berkata jujur dan berterus terang, segera bertanya.
“Eh, eh,
adik Hong Ing rupa-rupanya hendak mengadu orang? Kau maksudkan bahwa kami atau
seorang diantara kami harus merampas surat-surat itu dengan kekerasan dari
tangan Tan-taihiap?”
Kedua mata
Hong Ing yang jernih seperti mata burung Hong Itu melebar. “Hai, jangan terburu
nafsu, cici! Masakan sesama kita harus saling cakar? Maksudku dengan kata-kata
sebelum dirampas oleh orang lain ialah sebelum dirampas kembali oleh pihak
lawan. Aku katakan orang lain, apakah kalian semua ini termasuk orang lain?
Maka jika surat-surat itu semuanya diserahkan kepada Han-ko, kurasa kurang adil
terhadap saudara Tan Un Kiong. Alasannya cukup kuat. Ayahnya seorang pembesar
setia dan jujur, sedangkan dia sebagai seorang putera hendak berbakti kepada
ayahnya. Bukankah alasan ini cukup mulia dan kuat?”
Tiba tiba
Han Liong tersenyum. Diam-diam ia merasa sangat girang karena rupanya adiknya
yang bengal ini suka kepada pemuda she Tan itu!
“Hm, baru
kali ini aku mendengar kau membela orang demikian mati-matian!”
Kata-kata
ini diucapkan dengan suara sungguh-sungguh, tapi pada wajah Han Liong yang
cakap terbayang senyum penuh arti hingga semua orang dapat mengerti maksudnya
dan tertawa sambil memandang wajah Hong Ing.
Gadis ini
cukup cerdik dan ia tahu kemana maksud kata-kata kakaknya. Wajahnya menjadi
merah dan dengan muka asam ia lalu cubit lengan kakaknya dengan keras hingga
Han Liong berteriak kesakitan. Orang-orang yang melihat sikap mereka demikian
mesra dan gembira sebagai kanak-kanak, diam-diam ikut merasa senang.
“Kalau tidak
ada orang lain, pasti aku sudah putar telingamu. Enak saja kau menggoda orang.
Awas, lain kali kalau ada kesempatan jangan katakan aku keterlaluan kalau aku
membalas mempermainkan kau. Bukan maksudku untuk begitu saja menyerahkan
surat-surat kepada saudara Tan Un Kiong dan melupakan tugat dan kepentinganmu,
tapi usulku ialah begini. Kita periksa surat-surat itu, mana yang penting bagi
keperluan saudara Tan boleh dia ambil, sedangkan yang penting bagi kau boleh
kau ambil. Bukankah ini namanya adil?”
Han Liong
dan yang lain mengangguk-angguk. “Ka memang cerdik,” Han Liong memuji.
Tapi Un
Kiong tak setuju. “Memang usul ini baik dan adil sekali,” katanya, “Tapi bila
aku membawa surat tentang pemberontakan yang direncanakan Co Thaikam itu saja
tanpa surat-surat lain yang berupa amanat kaisar, aku khawatir kaisar takkan
mudah percaya begitu saja. Beliau sangat teliti dan kalau sampai aku tidak
dipercaya, maka mudah bagi Co Thaikam mempengaruhi Kaisar dan sebaliknya ayahku
akan mendapat celaka.”
Hati Liong
berkata kepada Khouw Sin Ek yang semenjak tadi hanya diam saja, mengusap-usap
jenggotnya yang putih sambil sekali-kali tersenyum gembira melihat tingkah
anak-anak muda itu.
“Khouw
Lo-enghiong, tolonglah memberi petunjuk kepada teecu semua. Bagaimanakah
baiknya hal surat-surat itu harus diatur?”
Sio-chiu
Tai-hiap Khouw Sin Ek berkata tenang. “Aku orang tua sebenarnya tidak mengerti
tentang urusan ini. Tapi mendengar alasan-alasan yang diajukan, memang
kedua-duanya mempunyai alasan kuat. Sayang surat-surat itu tidak bisa
dibagi-bagi menurut kepentingan masing-masing sebagaimana yang diusulkan oleh
nona Hong Ing ini. Tapi, kurasa para kaki tangan Co Thaikam itu tentu takkan berani
cepat-cepat menjalankan rencana mereka karena surat-surat telah berada di
tangan orang lain. Mereka tentu akan berusaha sekuat tenaga untuk mencari dan
merampas kembali surat-surat ini yang bagi mereka bukan hanya sangat penting,
juga sangat berbabaya.”
Tiba-tiba
Han Liong teringat sesuatu. Ia bangun berdiri dan berkata girang. “Bukankah
besok malam Go-gwee Cap-go. Ah, sungguh aku lupa. Aku justeru bertugas
mengundang orarng-orang gagah berkumpul di bukit Beng-san pada Go-gwee Cap-go.
Maka, harap cuwi sudi menunda dulu soal surat-surat ini dan marilah kita menuju
ke Beng-san untuk menghadiri pertemuan orang-orang gagah yang kami undang.
Kurasa, soal surat-surat inipun dapat dibicarakan dan diputuskan di sana. Tan
lauwte kuharap sukalah menunda kepentingannya barang dua hari dan ikut
menghadiri pertemuan penting ini.”
Tan Ui Kiong
tadinya merasa ragu-ragu, tetapi tiba-tiba Hong Ing berkata girang, “Tentu saja
saudara Tan suka ikat pergi. Kesempatan untuk bertemu dengan para hohan yang
berkumpul, belum tentu akan didapatkan untuk kedua kalinya selama hidup. Koko
Han Liong, kau jangan tanya aku lagi mau atau tidak pergi ke sana. Pendeknya,
aku ikut pergi!”
Han Liong
tertawa dan dengan hormat mengundang Khouw Sin Ek, Pauw Lian serta Lie Bun Tek.
Semua setuju dan beramai-ramai mereka berangkat menuju ke gunung Beng-san,
tempat kediaman Beng-san Tojin Pauw Kim Kong, seorang di antara guru-garu Han
Liong, karena tempat inilah yang sudah ditentukan untuk pertemuan itu.
Memang Pauw
Kim Kong Malaikat Rambut Putih pandai sekali memilih tempat kediaman. Beng-san
adalah sebuah bukit yang subur dan penuh dengan pohon-pohon hijau menyegarkan.
Juga tempat ini sangat sejuk hawanya, tidak terlalu dingin, karena tidak
terlalu tinggi. Sehingga matahari dapat menembuskan cahayanya diantara
mega-mega tipis. Penduduk di sekitar gunung itu semuanya hidup dari hasil
pertanian, karena tanah disitu memang baik dan subur.
Ketika
rombongan Han Liong tiba di situ, ternyata sebagian besar orang-orangg gagah
telah berkumpul. Han Liong merasa girang sekali karena dapat bertemu dengan
semua gurunya. Melihat bahwa Khouw Sin Ek ikut datang bersama Han Liong, semua
orang merasa gembira sekali dan mereka menyambut cianpwe ini dengan penuh
penghormatan karena diantara semua yang hadir boleh dibilang Khouw Sin Ek
adalah dari golongan tertua.
Yang hadir
pada saat itu antara lain adalah. Siok Houw Sianseng, Beng-san Tojin Pauw Kim
Kong, Kim-to Bie Kong Hosiang. Liok-tee Sin-mo Hong In, Siauw-lo-ong Hce Bin
Kiat, dan Yu Leng In.
Dari golongan
muda, selain Han Liong, Hong Ing, Ui Kiong, Pauw Lian, dan Lie Bun Tek, tampak
pula Bhok Kian Eng dan Lie Kiam murid-murid Liok-tee Sin-mo, juga hadir Bie
Cauw Giok murid Beng-san Tojin.
Orang-orang
gagah yang diundang oleh Han Liong dan tampak hadir adalah, Lok Twie Hwesio
wakil Siauw-lim, Pak Ciok Tojin seorang ahli pedang Kun-tun-pai, Khu Bu Souw
ahli waris ilmu silat keturunan keluarga Khu yang terkenal lihai, Bing Hwa
Suthai dari bukit Leng-san dengan muridnya Coa Li Lian yang bergelar Burung Kepinis
Merah, Kok Tiang Lojin seorang gagah bergelar Pengemis Malaikat karena ia
selalu berpakaian seperti seorang pengemis, dan masih banyak lagi orang-orang
gagah yang ternama pada masa itu.
Diantara
undangan-undangan lain tampak pula Lima Pendekar tua dari Keng-ciu yang bernama
Lok Ho, Lok Thian, Lok Kim, Lok Eng, dan Lok Kiat. Ngo-lohiap ini terkenal
dengan Ngo-heng-tin atau Barisan Lima Elemen, yakni ilmu silat yang dilakukan
oleh mereka berlima dan yang jika dimainkan dapat mengimbangi kekuatan lawan yang
berapapun banyaknya!
Kang-ciu
Ngo-lohiap ini mengiringkan seorang tua yang sikapnya agung dan terkenal
sebagai seorang patriot sejati juga memiliki kepandaian tunggal, yakni
permainan toya yang disebut Sin-coa-kun-hwat atau Ilmu Toya Ular Dewa. Orang
tua ini bernama Souw Kwan Pek dan ia adalah seorang panglima dalam barisan Gouw
Sam Kwie dahulu.
Tak heran
semua orang menghormatnya sebagai seorang pahlawan pembela rakyat yang gagah
perkasa. Kelima saudara Lok itu sengaja mengiringkannya karena mereka
seakan-akan mewakili daerah Selatan dan Barat untuk mengangkat Souw Kwan Pek
ini sebagai bengcu atau kepala dari perserikatan pemberontak yang baru.
Ketika Han
Liong mcmperkenalkan kawan-kawannya yang muda kepada semua suhunya, Pouw Kim
Korg memandang Pouw Lian dengan mata terbeliak dan wajah pucat. Han Liong tahu
perobahan air muka suhunya ini, maka dengan cepat ia raba lengannya.
Pouw Kim
Kong dapat mengendalikan perasaannya dan menjadi tenang kembali, tapi ketika
ada saat terluang, ia memberi tanda kepada Han Liong agar mengikutinya ke ruang
belakang di mana tidak terdapat tamu.
“Han Liong,
tolong panggil nona Pouw Lian ke sini,” kata orang tua itu sambil merebahkan
dirinya di atas sebnah kursi dengan tubuh lemas karena terlalu lama ia menahan
tekanan perasaannya.
Han Liong
memandang heran, tapi ia segera melaksanakan perintah gurunya itu. Pauw Lian
pun merasa heran juga tapi ia datang juga, diikuti oleh Hong Ing yang tak mau
terpisah darinya.
Ketika tiba
di kamar itu, lagi-lagi Pauw Kim Kong menatap wajah gadis jelita itu hingga
Pauw Lian yang tadinya merata heran, kini memperlihatkan wajah tak senang dan
ia beranggapan orang tua itu kurang sopan.
“Nona Pauw
Lian, maafkan jika aku mengganggumu. Tapi, kau mengingatkan aku akan seseorang
yang yang kukasihi. Kau... coba sebutkan nama ayahmu padaku,” kata Pauw Kim
Kong.
Biarpun
merasa heran, namun Pauw Lian menjawab juga. “Almarhum ayahku bernama Pauw Bin
Siong.”
Pauw Kim
Kong menghela nafas dalam-dalam. “Benar... benar... dunia ternyata tak sangat
besar. Nona... tahukah kau siapa aku? Pauw Bin Siong yang kau sebut ayahmu itu
bukan lain ialah kakakku sendiri!
Pauw Lian
terkejut dan mengangkat kepalanya memandang.
“Aku, Pauw
Kim Kong, hanya mempunyai seorang saudara, tapi semenjak kau lahir, aku
memisahkan diri mengejar ilmu. Dulu aku tinggal serumah dengan orang tuamu,
maka aku kenal baik wajah ibumu yang serupa benar denganmu. Maka tadi ketika
aku melihat kau. aku merasa seakan-akan berhadapan dengan ensoku sendiri. Aku
... aku sudah mendengar tentang kematian orang tuamu dan sudah lama aku pergi
mencari-carimu tak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu, di tempat
ini..."
Karena merasa
terharu, Si Malaikat Rambut Putih menundukkan kepala untuk menyembunyikan
mukanya yang berobah karena keharuannya itu. Sekarang Pauw Lian melihat tegas
persamaan wajah almarhum ayahnya. Tanpa merasa ragu-ragu lagi ia maju berlutut
di depan Pauw Kim Kong sambil memeluk kakinya, dan menangis tersedu-sedu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment