Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 08
“Siokhu...”
hanya sebutan ini saja yang dapat keluar dari mulut Pauw Lian yang tersendat
itu, karena parasaan terharu hatinya bertemu dengan seorang yang masih ada
hubungan keluarga dengannya.
Melihat Pauw
Lian menangis, Hong Ing tak dapat pula menahan hatinya lagi dan ia pun ikut
terharu tanpa dapat pula dicegah. Namun ia masih dapat menenangkan perasaan
Pauw Lian sambil memeluknya dan berkata,
“Eh, ah
mengapa? Bertemu dengan seorang paman bukannya bergembira, bahkan
menangis!" Tetapi air matanya sendiri mengalir meleleh di kedua pipinya.
Maka paman
dan keponakan itu segera saling menuturkan riwayat masing-masing dan Pauw Kim
Kong merasa bangga sekali mendengar bahwa keponakannya ternyata menjadi murid
dari Kui Giok Ciu Suthai yang namanya pernah menggegerkan kalangan kang-ouw si
Malaikat Rambut Putih maklum bahwa setelah mewarisi senjata Pedang Pusaka Naga
Hitam yang hebat itu, keponakannya yang jelita ini tentu mempunvai kepandaian
yang lebih tinggi dari dia sendiri!
Diam-diam ia
mengadakan perbandingan antara Pauw Lian dengan Han Liong dan hatinya merasa
senang sekali. Pada malam Go-gwee Cap-go, saat pertemuan yang telah ditetapkan,
di puncak Gunung Beng-san itu berkumpul kaum persilatan hingga lebih dari lima
puluh orang, Siok Houw Sianseng mendapat kehormatan untuk memimpin rapat
pertemuan itu.
Di
tengah-tengah pekarangan yang luas itu didirikan sebuah panggung dan Siok Houw
Sianseng mengadakan sembahyang untuk menghormati arwah para pahlawan bangsa
yang telah gugur. Di tengah-tengah panggung, sebagai pahlawan terbesar,
dituliskan nama Si Cin Hal, yakni Eighiong yang telah banyak dikenal. Semua
orang ikut bersembahyang.
Kemudian
Siok Houw Sienseng berdiri di atas panggung dan menjura kepada semua orang.
“Cuwi sekalian yang mulia. Kiranya cuwi telah cukup mengerti maksud diadakannya
pertemuan ini, pertama untuk bersembahyang dan menghormati para pahlawan yang
telah gugur. Kedua untuk dapat saling kenal-mengenal satu sama lain dan
mempererat hubungan. Ketiga tak lain ialah untuk memilih seorang bengcu, karena
setiap pergerakan harus ada seorang pemimpinnya agar segala sesuatu dapat
dilakukan secara teratur, tidak kacau-balau. Karena kita semua telah
bersembahyang, maka baiklah kita bersama kini mulai dengan pemilihan seorang
bengco. Pemilihan diatur begini. Tiap rombongan yang terdiri sedikitnya sepuluh
orang yang berkumpul di sini boleh mengajukan seorang wakil. Nanti diantara
wakil-wakil atau calon-calon ini dipilih seorang yang menurut pendapat suara
terbanyak lebih cocok. Nah, silakan cuwi mulai mengajukan calon.”
Maka
ramailah orang-orang bicara hingga suara mereka seakan-akan bunyi lebah yang
baru saja diusir dari sarangnya. Dengan sendirinya mereka terpecah menjadi
beberapa rombongan. Setelah masing-masing rombongan menyampaikan nama calon, maki
para calon adalah...,
Pertama
calon yang diajukan oleh rombongan dari dua puluh lima orang, yakni
Sin-coa-kun-hwat Souw Kwan Pek. Ketika namanya diumumkan, maka terdengar
tempik-sorak gemuruh, menyatakan betapa orang tua ini telah terkenal dan banyak,
disukai orang. Calon kedua yang diajukan oleh rombongan Han Liong dan
kawan-kawannya adalah Sin-chiu Tai-hiap Khouw Sin Ek, yang juga mendapat
sambutan meriah karena di kalangan kang-ouw, siapakah yang belum mendengar nama
jago tua ini?
Calon ketiga
adalah hasil daripada kenakalan Hong Ing. Gadis yang tak mau diam ini dengan
cepat dan diam-diam telah membujuk semua wanita gagah yang berada di situ untuk
memilih Pauw Lian. Bahkan, Yo Leng In sendiri sampai kena terbujuk oleh Hong
Ing yang secara berlebih-lebihan menceritakan kepandaian dan kebaikan Pauw
Lian.
Ketika Paum
Lian yang merasa heran disambut oleh tampik-sorak para hadirin yang gegap
gempita. Hong Ing tersenyum puas dan Pauw Lian agaknya tahu setidaknya dapat
menduga siapakah yang menjadi biang keladi pencalonan atas namanya ini, karena
terlihat betapa Pauw Lian memandang ke arah Hong Ing dengan mata melotot.
Calon
keempat adalah Si Han Liong sendiri yang dicalonkan oleh keempat gurunya dan
orang-orang yang telah mengenal dan mongetahui akan sepak terjang dan
kelihaiannva. Bahkan Khouw Sin Ek sendiripun memilih dia sebagai calon utama!
Siok Houw
Sianseng berdiri dan dengan kedua tangannya memberi isyarat kepada semua orang
supaya tenang. “Cuwi, ternyata bahwa calon yang diajukan hanya empat orang.
Maka sebelum dilakukan pemilihan di antara keempat calon ini kami persilakan
para calon naik di panggung ini untuk memberi sambutan. Dipersilakan calon
pertama!”
Sin-coa-kun
Souw Kwan Pek dengan kebutan lengan bajunya membuat tubuhnya melayang tiba
diatas panggung hingga mendapat sambutan meriah dari mereka-mereka yang merasa
kagum melihat gerakan indah ini. Si Toya Ular Dewa ini telah berusia enam puluh
lebih tapi tubuhnya masih nampak kuat dan wajahnya membayangkan semangat yang
besar. Dari kedua matanya bersinar cahaya kegembiraan, tanda ia berkeyakinan
teguh dan berkemauan keras. Ia menjura dengan hormat sekali kepada Siok Houw
Sianseng dan kepada para hadirin!
“Cuwi yarg
terhormat. Terus terang memang saya selalu bersedia membantu perjuangan ini dan
meruntuhkan kerajaan penjajah serta membangun lagi pemerintahan Han. Untuk
perjuangan ini, jiwaku yang sudah terlalu lama tinggal di tubuh tua ini saya
sediakan, tapi sesungguhnya, karena di sini terdapat beberapa orang calon,
lebih-lebih ketika mendengar nama Sin-chiu Tai-hiap, maka saya harus menyatakan
bahwa Khouw Tai-hiap yang memang pantas dan tepat sekali untuk menjadi bengcu
kita. Baik dipandang dari usia, maupun dari pengalaman, jangan kata tantang
kepandaiannya yang tiada bandingnya di masa ini, dan kepandaian saya belum
seberapa jika dibandingkan dengan Khouw Tai-hiap. Tentu saja hasil pemilihan
tergantung daripada cuwi sekalian, namun saya akan merasa bangga dan gembira
jika kiranya Khouw Tai-hiap yang membimbing kita sekalian.”
Baru saja
habis bicara, tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu Khouw Sin Ek
telah berdiri di situ dengan tersenyum dan menjura di dipan Souw Kwa Pek.
“Saudara
Souw terlalu segan-segan!” katanya sambil tersenyum. “Mungkin dalam hal usia
dan pengalaman aku menang darimu, tentang kepandaian, siapakah yang dapat
dikatakan unggul dan siapa yang rendah? Masing-masing mempunyai keunggulan
sendiri-sendiri dan masing-masing mempunyai kerendahan sendiri. Tapi, andaikata
kedua lengan tanganku lebih keras, maka aku bukanlah calon bengcu yang baik.
Ketahuilah, saudara sekalian, aku sebagai orang tua paling suka berterus
terang. Di dalam hati, aku tidak merasa benci atau dendam kepada kaisar,
biarpun aku benci sekali melihat perbuatan kaki tangannya. Kuanggap kaisar
hanya seorang yang lemah dan terpengaruh oleh anasir-anasir jahat. Apakah
kaisar yang berbuat jahat dan memeras rakayt? Belum tentu. Aku lebih percaya
jika dianggap bahwa para pembesar lalailah yang memeras rakyat. Biarpun kaisar
diganti seribu kali, namun bila semua pembesar tidak jujur, tetap saja rakyat
akan tertindas! Maka, aku tidak tepat menjadi bengcu. Aku sudah bosan
berkelahi, sudah bosan dengan urusan dunia yang serba penuh dosa ini. Aku ingin
beristirahat, menanti hari saat terakhir hidupku dengan aman dan tenteram. Aku
hanya bisa membantu bilamana perlu saja, tapi untuk menjadi pemimpin, ini aku
tak sanggup. Tapi, cuwi yang terhormat. Ada seorang calon yang memang tepat
sekali menjadi pemimpin para orang gagah. Tentang usia muda itu bukan menjadi
soal, yang perlu sepak terjangnya. Soal kepandaian, barangkali ia masih lebih
tinggi dari aku sendiri atau dari calon-calon yang lain. Aku tetap usulkan,
calon keempat untuk menjadi bengcu.”
Orang-orang
tidak melihat betapa gadis jelita berpakaian hitam itu sampai ke atas panggung,
karena tahu-tahu Pauw Lian telah berada di situ dan memberi hormat.
“Aku yang
muda dan bodoh sebenarnya merasa malu sekali sampai dicalonkan. Mungkin cuwi
bermain-main dengan aku, karena ibarat burung, sayapku belum lagi tumbuh. Maka,
setelah mendengar saran-saran Khow lo-enghiong tadi, aku setuju untuk memilih
calon keempat menjadi bengcu!”
Sementara
itu, Han Liong merasa serba susah. Betapapun juga, ia masih merasa keberatan
untuk menerima tugas yang bukan ringan itu, namun disamping keraguannya, ada
juga rasa pertanggungan jawab untuk melanjutkan cita-cita almarhum ayahnya.
Maka setelah Pauw Lian selesai bicara, dengan tenang Han Liong melompat keatas
panggung.
Semua orang
yang belum mengenalnya merasa heran mengapa Khouw locianpwe memilih calon yang
masih sangat muda dan kelihatan lemah itu! Juga Souw Kwan Pek merasa tak puas
karena dengan memuji-muji anak muda ini berarti Khow Sin Ek sangat merendahkan
kalangan tua. Berapakah tingginya ilmu seorang pemuda seperti ini?
Sementara
itu Han Liong memberi hormat kepada Khouw Sin Ek dan berkata, “Khouw locianpwe
terlalu memuji aku yang muda dan bodoh ini. Sungguh aku sengat malu
menerimanya.” Kemudian ia menghadapi semua tamu dan berkata dengan
sungguh-sungguh “Cuwi enghiong. Biarpun pemilihan bengcu ini sangat perlu dan
harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar jangan salah pilih, namun menurut
pendapatku yang sempit, jika dipikir-pikir dengan masak hasil atau tidaknya
sebuah perjuangan bukanlah bergantung semata-mata kepada seorang pemimpin.
Apakah artinya pemimpin pandai bila para anggutanya tidak berjuang dengan penuh
semangat? Maka, menurut pendapatku, seorang pemimpin haruslah seorang yang
disegani dan yang cukup pengalaman. Bagiku yang muda dan bodoh, dipilih atau
tidak, tetap aku sediakan jiwa raga untuk mengabdi kepada rakyat.”
Ucapannya
ini mendapat sambutan hangat. Siok Houw Sianseng berdiri dan berkata kepada
orang banyak. “Nah, kini keempat calon telah berdiri disini dan telah pula
memberikan sambutannya. Maka, kini terserah kepada cuwi untuk memilih seorang
di antara mereka.”
Khouw Sin Ek
berdiri dan suaranya tiba-tiba terdengar lantang dan nyaring hingga orang
banyak terkejut. “Cuwi dengarlah. Lohu tak mau ribut-ribut tentang pemilihan
ini, tapi hendaknya diketahui bahwa calon keempat bukan lain adalah putera
tunggal dari almarhum Si Enghiong.”
Mendengar
pengumuman ini, maka ramailah suara orang menyambut dengan tepuk sorak. Di
sana-sini terdengar “Pilih nomor empat!”. Bahkan yang telah kenal dan tahu
keadaan Han Liong berteriak. “Pilih Pek-liong-Pokiam sebagai Bengcu!” Karena
terkenalnya pedang dan kiamsut Han Liong, maka banyak orang memberi dia gelaran
Pek-liong-Pokiam si Pedang Pusaka Naga Putih!
Tak lama
kemudian, hampir semua tamu menyatakan setujunya memilih Han Liong sebagai
bengcu. Tapi diantara mereka ada juga yang merasa merasa kurang puas di
antaranya ialah Keng-cu Ngo-lohiap dan Souw Kwan Pek. Mereka ini menganggap
bahwa orang-orang telah berlaku ceroboh memilih seorang yang masih begitu muda
untuk menjadi seorang bengcu dan menjabat kedudukan demikian penting dan sukar.
Siok Houw
Sianseng berdiri dan memberi tanda lagi supaya orang menjadi tenang. “Cuwi,
setelah mendengar suara terbanyak, maka saya pada saat ini sebagai pemimpin
pertemuan ini mengumumkan bahwa bengcu kita yang terpilih ialah Si Han Liong
taihiap”
Terdengar
tepuk sorak menggema dan Siok Houw Sianseng menjura kepada Han Liong sambil
berkata, “Si Bengcu, terimalah ucapan selamat dan hormatku.”
Dengan gugup
Han Liong balas pemberian selamat itu. Tiba-tiba terasa angin bertiup ke arah
panggung dan kelima kakek gagah dari Keng-cu telah berdiri di atats panggung.
Lok Ho yang tertua, dengan senyum di mulut menjura kepada Han Liong sambil
berkata,
“Kami datang
dari tempat jauh dan mewakili ribuan orang di kalangan kang-ouw untuk memilih
seorang bengcu. Kini Si enghiong terpilih, maka sudah sepatutnya kami
bergembira ria karenanya dan memberi selamat. Tapi sebelum memberi selamat
kepada sicu, terpaksa kami lebih dulu harus menyampaikan janji kami kepada
kawan-kawan semua.”
Dari ucapan
ini Han Liong dapat menangkap maksudnya yang hendak mencari-cari perkara, maka
dengan sabar sekali ia bertanya. “Memang sudah sepantasnya begitu, lo-enghiong
tapi apakah janji itu?”
“Kami telah
berjanji untuk mengangkat seorang beng-cu yang dapat melayani Ngo-heng-tin kami
selama seratus jurus tanpa terkalahkan!”
Han Liong
terkejut mendengar ini. Ia pernah mendengar tentang kelihatan Ngo-heng-tin ini
yang demikian kuat hingga berani menghadapi lawan sebanyak seratus orang
apalagi menghadapi dia yang hanya seorang diri! Biarpun ia tak merasa takut,
tapi ia dapat membayangkan bahwa bila tidak menggunakan tangan besi dan membuka
jalan darah, agaknya sukar baginya untuk mendapat kemenangan.
Tiba-tiba
terdengar Khouw Sm Ek tertawa. “Hm, Ngo-lohiap agaknya belum percaya kepada Si
bengcu. Apakah aturan yang ditetapkan itu mengenai juga semua orang ? Karena
tadi lo-hiap memilih saudara Souw Kwan Pek, tentu saudara Souw sudah pernah
pula diuji dalam Ngo-heng-tin kalian.”
Biarpun
kurang senang mendengar kata-kata yang mengandung sindiran tepat ini, namun Lok
Ho tak berani menyatakan kurang senangnya terhadap Sin-chiu Tai-hiap. Ia hanya
menjura dan menjawab.
“Janji kami
ini hanya berlaku untuk calon yang bukan berasal dari daerah kami dan yang
belum kami ketahui benar ilmu kepandaiannya. Mohon Khouw cianpwe jangan salah
mengerti. Sesungguhnya syarat yang kami janjikan ini hanya untuk menjamin bahwa
bengcu yang hendak kita ikuti jejak dan petunjuknya benar-benar seorang yang
patut dipercayai penuh hingga setelah mengujinya, kami lima orang tua dapat
bertanggung jawab terhadap kawan-kawan semua yang tidak ikut datang menyaksikan
pemilihan ini. Kalau Souw cianpwe, kami dari daerah Barat telah kenal semua dan
tahu sampai di mana kemampuannya, maka perlu apa dicoba lagi?”
Mendengar
alasan-alasan yang kuat ini, Khouw Sin Ek terpaksa mengangguk-angguk
membenarkan. Memang ia seorang yang jujur, maka ia menghargai sikap Ngo-lohiap
yang terus terang itu. Ia berpaling kepada Han Liong dan berkata,
“Agaknya kau
terpaksa harus melayani lima orang tua gagah ini, Si bengcu!”
Han Liong
buru-buru memberi hormat kepada Ngo-lohiap. “Siauwte yang muda dan bodoh ini
mana berani berlaku kurang sopan dan mencoba-coba Ngo-heng-tin yang lihai!
Harap Ngo-lohiap jangan membikin sieuwte menjadi buah tertawaan, semua orang
gagah.”
Mendengar
kata-kata yang sangat merendah dan seakan-akan menunjukkan rasa jerih dan takut
terhadap Ngo-heng-tin mereka yang terkenal itu, Lok Thian, kakek kedua, merasa
bangga dan timbul juga rasa kasihan terhadap Han Liong yang dianggap pemuda
cakap dan sopan. Maka ia segera berkata,
“Si
enghiong, mondengar bahwa kau adalah putera almaihum Si lo-enghiong saja, aku
sudah merasa suka kepadamu. Tapi karena kami tak dapat melanggar janji terhadap
semua kawan dan syarat ini hanya sebagai coba-coba saja, maka kami persilakan
kau memilih seorang kawan hingga kau berdua boleh maju melayani Ngo-heng-tin
kami secara main-main.”
Lok Ho
mendengar kata-kata adiknya ini hanya mengangguk-angguk sambil tersenyum dan
dalam hatinya berkata, "apa bedanya satu atau dua orang? Tapi tiba-tiba ia
teringat sesuatu, maka cepat ia berkata, “Memang boleh mencari seorang kawan
pembantu, tapi jangan Khoaw cianpwe!”
Melihat
kecerdikan dan kebulusan akalnya, Khouw Sin Ek tertawa terbahak-bahak sambil
mengurut-urut misainya. “Aku sudah tua, tidak seperti kalian anak anak kecil,
masih suka main-main. Ayoh mulailah, aku sudah ingin sekali menonton
pertunjukan bagus ini!”
Han Liong
terkejut dan khawatir kalau-kalau Hong Ing menawarkan diri, karena hal itu
malah akan memberatkannya saja, mengingat akan kepandaian gadis yang belum
seberapa tinggi itu. Tapi Hong Ing tidak memperdulikan sikap Han Liong,
langsung ia pegang lengan Pauw Lian yang masih duduk disitu dan menariknya lalu
berkata kepada Ngo-lohiap,
“Teecu
usulkan supaya Pauw Lian cici saja yang mengawani Han-ko menghadapi
Ngo-heng-tin. Karena, selain Pauw Lian cici ilmu pedangnya lihai, juga untuk
memberi muka terang kepada Ngo-losuhu. Kalau menyuruh sembarang orang saja
memasuki barisan hebat itu, bukanlah berarti memandang rendah Ngo-heng-tin dan
menghina Ngo-losuhu?”
Kembali
terdengar Khouw Sin Ek tertawa gembira. “Bagus, bagus! Pilihanmu tepat sekali,
nona. Kau memang cerdik. Nah. Pauw Lihiap harap jangan menolak.”
Terpaksa Han
Liong menjura kepada Pauw Lian dan berkata dengan wajah merah, “Pauw sumoi,
sudikah kau membantu aku?”
Pauw Lian
hanya tersenyum dan mengangguk. Kedua anak muda itu, yang perempuan berpakaian
hitam yang laki-laki berpakaian putih, berdiri menghadapi Lok Ho berlima dengan
tenang. Karena panggung itu cukup kuat dan lebar, semua orang yang tidak hendak
memperlihatkan kepandaiannya lalu turun, yang tertinggal hanya Ngo-lohiap dan
kedua orang muda itu.
Keng-ciu
Ngo-lohiap masing-masing mencabut keluar sebilah pedang dan berdiri memasang
kuda-kuda merupakan segi empat dan seorang berdiri di tengah-tengah. Empat
orang menghadap ke empat penjuru dengan pedang melintag di dada. Pedang
masing-masing juga terukir dengan huruf-huruf yang menjadi lambang lima anasir,
yakni Kim, Bok, Swie, Ho dan Tho atau Logam, Kayu, Air, Api, dan Tanah.
Pemegang
pedang Kim-kiam adalah ahli silat yang menggunakan tenaga gwa-kang atau tenaga
keras yang mempunyai kekuatan luar biasa. Pemegang pedang Bok-kiam sebaliknya
ahli tenaga lemas atau tenaga dalam yang tangguh. Pemegang pedang Swie-kiam
mempunyai daya tahan atau daya bela yang kuat sekali, tetapi sewaktu-waktu
dapat bersatu dengan pemegang pedang Ho-kiam dan merupakan penyerang-penyerang
yang tangguh dan kuat. Pemegang pedang Tho-kiam melakukan penjagaan dan
melindungi keempat kawannya.
Demikianlah,
kelima kakek gagah dari Keng-ciu itu mempunyai kepandaian-kepandaian khusus
yang semuanya bertingkat tinggi dan yang telah menjalani latihan-latihan yang
tekun dan teratur. Maka tak heran bila Ngo-heng-tin mereka merupakan barisan
yang amat tangguh dan berbahaya!
Melihat
kedudukan Ngo-lohiap demikian kuatnya, Han Liong memberi tanda kepada Pauw Lian
dan dengan gerakan indah keduanya mencabut pedang masing-masing. Tampak dua
cahaya hitam dan putih bersinar menyilaukan mata ketika Ouw-Liong Pokiam dan
Pek-liong Pokiam bergerak dalam tangan sepasang teruna remaja itu!
Bergetar
juga hati kelima kakek gagah melihat pedang pusaka yang hebat itu. Khouw Sin Ek
duduk mencari tempat yang enak dan ia sap menonton pertunjukan hebat itu.
Sedangkan entah disengaja atau tidak, Hong Ing tampak berdiri dekat dengan Ui
Kiong di belakang Khouw Sin Ek. Sementara itu, Pauw Kim Kong juga bersama semua
kawannya melihat dengan gembira, walaupun dengan hati agak tegang.
“Sumoi. aku
memainkan Im dan kau memainkan Yang.” Han Liong berbisik kepada Pauw Lian yang
mengangguk mengerti.
Memang permainan
kedua anak muda itu, baik Ouw-liong Kiamsut maupun Pek-liong Kiamsut,
sebenarnya berdasarkan jalan Pat-kwa dan dapat bergerak ke delapan penjuru, dan
gerakan-gerakan mereka berdasarkan dua sifat yakni Im dan Yang (positive dan
negative). Gerakan-gerakan Im lebih bersifat menyerang dan agressive sedangkan
gerakan-gerakan Yang bersifat membela diri.
“Ngo-lotaihiap
silakan bergerak lebih dulu,” kata Han Liong mempersilakan.
“Tidak,
sicu. Kami merupakan barisan, kalianlah yang harus memulai. Kami akan mencoba
menahan seranganmu dalam seratus jurus!” Kata-kata ini untuk mengalah dan
merendah tapi mengandung tantangan dan diucapkan oleh Lok Ho dengan senyum
seorang guru memandang muridnya.
“Kalau
begitu, maaf siauwte mulai menyerang!”
Han Liong menutup
kata-katanya dengan serangan pedangnya kearah Lok Thian yang menjaga di selatan
dan memegang pedang Tho-kiam karena Han Liong ingin tahu sampai di mana
ketangguhan bagian penjaga barisan itu. Serangannya ini sekali gerak telah
ditangkis oleh Lok Ho dan Lok Thian, yakni pemegang Tho-kiam dan Swi-kiam,
sedangkan pada saat itu juga tiga pedang yang lain meluncur ketiga bagian
tubuhnya!
Tapi Pauw
Lian tahu akan tugasnya sebagai pemain bagian pembela. Ouw-liong kiam bergerak
cepat dan dapat menangkis ketiga serangan itu. Han Liong yang percaya penuh
akan ketangguhan penjagaan Pauw Lian, seakan-akan tak perduli sama sekali akan
serangan itu dan ia terus gerakkan pedangnya menyerang Lok Ho dan Lok Thian.
Tiap gerakan pedang ia sertai dengan tenaga dalam yang hebat sekali sehingga
kakek pertama dan kedua yang menahannya merasa betapa pedang pusaka mereka
hampir terpental tiap kali beradu dengan Pek-liong Pokiam!
Maka
mengertilah mereka bahwa anak muda ini benar-benar tak boleh dibuat gegabah.
Sebaliknya, Lok Kim, Lok Eng, dan Lok Kiat yang bertugas menyerang, ternyata
menghadapi Pauw Lian mereka seakan-akan menghadapi dinding baja yang tak
mungkin ditembus!
Melihat
siasat Han Liong yang mempergunakan gerakan Im dan Yang hingga kedua anak muda
itu terbagi dua bagian pula, yakni menyerang dan membela, Lok Tho maklum bahwa
jika demikian terus, fihaknya akan mendapat rugi. Maka ia berseru keras,
“Putar!”
barisannya segera merobah gerakan. Mereka lari berputar disekeliling Han Liong
dan Pauw Lian yang terkepung ditengah! Mereka bergerak bergantian, sekali tusuk
terus lari, digantikan orang kedua yang menyerang atau menangkis. Dengan
gerakan ini, maka kelima orang itu tidak mempunyai tugas tertentu, mereka
merupakan lima buah kitiran yang bergerak bersamaan dan saling bantu membantu.
Tenta saja
perobahan yang tiba.tiba ini membuat Han Liong dan Pauw Lian terpaksa ikut
berputar di dalam kepungan itu! Dalam hal ini kedua teruna remaja itu rugi,
karena lapangan berputar mereka sangat sempit hingga kcscmpatan menyerang lebih
kecil. Mereka berdua harus berlaku waspada, karena serangan-serangan kelima
pedang itu sama sekali tak boleh dipandang ringan.
Semua
serangan dilakukan oleh tangan seorang ahli pedang dan tak sebuahpun yaag tidak
berbahaya. Bahkan lama-kelamaan kelima kakek gagah itu menggunakan tipu-tipu
cabang Thai-san dan semua tusukan diarahkan kepada urat-urat kematian!
Hal ini
membuat Han Liong gemas sekali. Tadi ia berlaku malu dan kebanyakan hanya
menangkis saja, kalaupub menyerang maka serangan itu ia jaga jangan sampai
terlanjur dia melukai seorang dari pada Ngo-lohiap itu. Demikianpun Pauw Lian
yang mengerti keadaan dan maksud Han Liong.
Sementara
itu, selain Khouw Sin Ek, Tan Ui Kong, Lie Bun Tek, dan keempat guru Han Liong,
semua orang yang menonton pertandingan itu merasa kepalanya pening dan matanya
kabur. Begitu cepat gerakan kelima kakek itu hingga mereka seakan-akan bukan
berlima, tapi lebih dari sepuluh orang!
Tiba-tiba
terdengar Sin-coa-kun-hwat Souw Kwan Pek memuji. “Bagus!” suaranya terdengar
gembira karena ketika itu Han Liong dan Pauw Lian tampak terkurung dan
terdesak. Kepungan Ngo-heng-tin makin menyempit dan serangan makin bertubi-tubi
datangnya! Orang tua she Souw ini yang sudah kenal akan kelihaian Ngo-heng-tin
maklum bahwa sebentar lagi kedua anak muda itu pasti dapat dikalahkannya.
Sebaliknya
Khouw Sin Ek mengerutkan keningnya, tapi sebagai seorang dari golongan tua ia
tidak mau ikut bicara atau memberi petunjuk. Para cianpwe lain yang berada
disitu, ahli-ahli silat ternama tingkatan atas seperti Lok Twie Hwesio dari
Siauw-lim-pai, Pek Ciok Tojin dari Kun-lun-pai, Khu Bu Houw, dan yang lain-lain
merasa kagum dan diam-diam mereka mengeluh bahwa mereka telah terlalu tua dan
telah ketinggalan oleh anak-anak muda, karena dalam hal kepandaian ilmu pedang,
diam- diam mereka akui bahwa Han Liong dan Pauw Lian berada di tingkat lebih
tinggi dari mereka, bahkan permainan pedang seperti yang mereka itu selama hidup
baru kali ini mereka lihat!
Tan Un Kiong
yang dapat melihat pula betapa Han Liong berlaku segan-segan sedangkan kelima
lawannya menggunakan seluruh kepandaiannya, juga merasa kurang senang, maka
tanpa terasa ia berseru keras,
“Saudara Han
Liong dan Pauw Lian cici, buat apa berlaku segan-segan lagi, sedangkan orang
berlaku sungguh sungguh, mengapa kalian masih main-main?”
Teriakan ini
membakar semangat Pauw Lian yang wataknya tidak sesabar Han Liong, maka sambil
berseru kepada Han Liong. “Balas!” ia memutar pedangnya dan memainkan
jurus-jurus Ouw-liong-kiamsut yang hebat.
Han Liong
berkata keras “Maaf, Ngo-lotaihiap!” dan pedangaya pun bergerak cepat sekali
mengimbangi gerakan Pauw Lian. Ia memainkan tipu-tipu permainan Pek-liong
Kiamsut yang luar biasa. Dengan adanya perubahan ini, tubuh Han Liong dan Pauw
Lian lenyap dari pandangan mata karena cepatnya mereka bergerak dan karena
hebatnya sinar pedang mereka.
Yang tampak,
kini hanya dua sinar hitam dan putih berkelebat ke sana ke mari dan makin lama
makin cepat hingga merupakan cahaya memanjang seperti dua ekor naga sakti hitam
dan putih bermain-main diantara gundukan awan-awan putih, yakni cahaya pedang
kelima kakek gagah itu. Tanpa terasa, dari mulut Un Kiong dan lain-lain orang
tergolong kaum cianpwe keluar seruan kagum.
“Bagus”
berkali-kali karena memang permainan itu indah ditonton. Bahkan Khouw Sin Ek
karena kagumnya sampai berdiri dari tempat duduknya tanpa terasa lagi. Sepasang
matanya bersinar-sinar gembira, tangan kiri menolak pinggang, tangan kanan
tiada hentinya mengelus-elus jenggotnya yang putih dan panjang.
Dua cahaya
hitam dan putih itu makin besar dan makin panjang, sedangkan kelima kakek gagah
itu makin lambat gerakan perputarannya. Akhirnya mereka tidak lari lagi, tetapi
hanya berdiri dengan pedang di tangan dan hanya kuasa menjaga diri dari lembaran
cahaya hitam dan putih itu...!
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment