Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Pusaka Naga Putih
Jilid 04
Dalam
beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah
tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat.
Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena
hanya menurutkan dengan nafsu saja.
Dan Kam Hong
Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi
buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta
keadilan. Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung
mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya.
Selama itu
Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun
kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya,
tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu
kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu,
tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim
piatu?
Ia sendiri
juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah
seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal
mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan,
Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu
berkata perlahan.
“...
adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...”
Baru ia
berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air
mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,
“Ing....
Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili
yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.”
Baru
sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda
dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,
“Koko...
kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi...
bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku
akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi... kau kini adalah
kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak.
Kemudian ia
bertanya kembali, “Kau... hendak pergi kemana, koko?”
“Kemana saja
kakiku membawaku, adikku.”
Hong Ing
mengangkat muka memandangnya dari balik air mata. “Kalau kau pergi, habis aku
bagaimana, koko??”
Pertanyaan
yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan
Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya
perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka
hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.
“Koko....”
“Moi-moi...”
Dan keduanya
saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja
sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong
berkata,
“Sudahlah,
dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir,
pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah
ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar
ini bersama-sama.”
Adiknya
bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata,
“Koko.”
“Tapi karena
kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai
laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.”
Timbul
kegembiran hati Hong Ing. “Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak
berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.
“Kau akan
menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.
“Lebih cakap
dari kau berpakaian wanita.”
“Tentu saja.
Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak
terjadi peristiwa sedih atas diri mereka.
Setelah
beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini
sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib
yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas. Tidak lupa mereka
memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena
luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan
hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat
bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi.
Kemudian
Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han
Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua
ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian
serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai
pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.
Pada masa
itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para
menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat
kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka
cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati,
demikian kata pepatah kuno.
Pepatah ini
menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi
berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan
rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa
berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat
menyogok para pembesar itu dan hidup aman.
Sebaliknya
rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap
pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang
ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri
seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang.
Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi.
Orang-orang
kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh.
Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan
anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang
kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan
orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul
sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!
Pendeknya,
bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis
dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang
yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum
rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan
sampai ke kaisar sendiri!
Siapa berani
menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan
pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu
seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang
mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena
menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada
waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!
Han Liong
yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah
sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong
pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat
ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan
perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu
pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah.
Sebaliknya
ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka,
untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk
menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing
itu. Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada
beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan
mereka.
Entah berapa
banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada
rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi
harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut
mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa!
Julukan ini
diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak
tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda
menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi,
mereka selalu berpasangan.
Han Liong
yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang
suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si
Pendekar Baju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun
tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita.
Pernah Han
Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya.
Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran
silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing
mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan
mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu
minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan
sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.
Setelah itu,
barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat
latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia
dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita
bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban.
Dari pendeta
perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga
kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh
dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa.
Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu.
Demikianlah,
kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong
Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa
bahagia. Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran
dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian
darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu
telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas.
Pada satu
hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong
Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar
matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar
menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah
sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan
perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara
dengan riang gembira.
“Koko,
alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas,
“Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara.
Aah, inilah hidup dan bahagia!”
“Adik Ing,”
jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik
laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi
penyamaran Hong Ing sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu
harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di
sini Han Liong menghela napas.
“Mengapa
tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya
Hong Ing.
“Sekali-kali
tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan
aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”
“Eh, eh!
Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau
tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat
muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan
indahnya cuaca. Mengapakah, koko?”
Han Liong
memaksa tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, adik Ing.”
Hong Ing
tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan
berkata, “Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan
menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.
“Eh, eh. Ada
apa, adik Ing?”
“Katakan
dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan
manja.
Han Liong
tertawa dan memajukan kudanya menghampiri. “Jangan marah, adikku yang manis!”
Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya. “Ah, adik
Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti
seorang gadis benar-benar!”
Hong Ing
mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya
dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di
bawah pohon-pohon Liu.
“Sudah,
sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya
karena lelah.”
“Biar! Kau
jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam.
Tiba-tiba
dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah
tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang.
Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan
berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,
“Minggir!
Minggir!!”
Han Liong
segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat
keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan
dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti!
Kedua
penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka
pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah
perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.
“Eh, kurang
ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka
yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.
“Tuan, harap
beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata
yang seorang lagi.
“Hm, ini
baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang
seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya
sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira
semua orang takut akan gertakanmu?”
“Sudah,
jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda
itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”
“Kalau aku
tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang
menimbulkan kemarahan orang.
Bangsat
kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami
Shoatang Ji-lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa
menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu
marah.
Encinya yang
agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya.
Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.
“Hm! Siapa
perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku
tidak kenal nama itu!”
Mendengar
ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua
telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?
“Tuan, jangn
mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak
ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”
“Kami berdua
juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.”
Sementara
itu Han Liong sudah menghampiri mereka.
"Bangsat
kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari
pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.
“Adik Ing
sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya.
Tetapi Hong
Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan
mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,
“Kalau kau
mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok
tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.
“Siapa mau
mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku
sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.”
Sehabis
berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya.
Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas
menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak
biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga
mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya
melompat turun dan menantang.
“Turunlah
kalau kau benar-benar perempuan gagah!”
Lawannya segera
melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah! Ternyata
tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua
pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali,
maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak.
Encinya
tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah
pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga
benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat
telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata
pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran!
Hong Ing
lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata
berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat
dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke
arah Han Liong.
“He, kenapa
kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”
Han Liong
tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada
juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak,
namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja
dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh
gerakan-gerakan kedua nona itu.
Kini setelah
nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran
dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu
secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu.
Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah
terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda
itu di kanan kiri!
Han Liong
memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara
sungguh-sungguh. “Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?”
Gadis yang
lebih muda itu menjawab sengit. “Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek
kami?”
“Aha! Kalau
begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku
ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”
“He,
siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.
“Lupakah kau
akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh
mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan
sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”
“Terangkan
dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih
muda berkata dengan suara pedas.
“Ketahuilah,
nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman
guru!”
Kedua gadis
itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju
setindak dan memaki, “Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku
guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai
adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong
Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani
membohong!”
Han Liong
tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya.
Maka dengan masih tersenyum ia berkata,
“Hm, kalian
tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin
mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda
Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan
berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan
tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat
Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke
dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut
Mengamuk untuk membalas menyerang!”
Mendengar
pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona
tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka
ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu
dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya
sambil berkata,
“Nah, kalau
kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan
kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.”
Karena masih
belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang
Ji-lihiap maju bersama melakukan serangan!
“Bagus tipu
Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!”
Han Liong
berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona
itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan
tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh
dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!
“Kenalkah
kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu
kalian kenal, bukan? Nah, ayo, jangan tertegun seranglah lagi!”
Kedua kakak
beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit
menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona
itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu
menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat
menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah
gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan
ringan badannya daripada guru mereka sendiri!
Si enci
dengan segera menjatuhkan diri berlutut, “Susiok, ampunkanlah teecu yang
berlaku kurang hormat karena tidak tahu.”
Si adik yang
ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan
setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut,
“Susiok!”
Han Liong
tertawa dan menyuruh mereka bangun. “Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja
melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan.
Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang,
karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.”
Kemudian Han
Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee
Lan dan Bwee Hwa.
“Kailan
begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong
bertanya.
Bwee Lan
berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan
hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah
naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk
memohon pertolongannya.”
“Ada
apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.
“Celaka,
susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima
tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi
tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi
waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan
lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”
“Berapa
jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.
“Ia berdiam
di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda
cepat. Teecu khawatir terlambat.”
“Hm, kalau
begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju
ke Lui san.”
“Tapi...
susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok
si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka
olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi
apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang
tebusannya sangat banyak...”
“Jadi kalian
ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?”
Kedua nona
itu mengangguk. “Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?”
Dua murid
keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.
“Habis,
darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.
“Maksud
teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami
tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.
“Nah. Kalau
begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus
terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat
kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus
mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa
anak itu.”
Bwee Lan dan
adiknya tak dapat membantah lagi, maka mereka segera berangkat membalapkan
kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu
cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya!
Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang
wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki!
Tapi
diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki
ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan
kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau!
Sebaliknya,
melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam. Kalau
saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan. Terhadap seorang
paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan,
karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk 'golongan tua'!
Ketika
mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak
susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat
situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka.
Kedatangan
mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan
menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri
suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki
kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.
“Suheng,
sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.”
Han Liong
memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih
tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang
wajah anak muda itu dengan agak heran.
“Aku telah
mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi
tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.
“Siokhu
dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?”
tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han
Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya.
“Siapakah
anak ini, sute?”
“Ia adalah
adikku, suheng.”
Lie Kiam
mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat
berkata kepada Hong Ing. “Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula,
cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.”
Mendengar
orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka
tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah!
Han Liong
segera menghampiri. “Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta
permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.
“Suheng, kau
terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di
bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba
memulihkan jalan darah itu.”
Ia segera
menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga
lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit
di dadanya agak berkurang.
“Nah, ini
dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia
menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan,
ialah Pauw Kim Kong.
“Eh, sute,
darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.
“Dari
suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut.
Lie Kiam
terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han
Liong segera berkata, “Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu
ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan
anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali
dari tangan Ban Hok.”
“Jangan,
sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.”
Han Liong
tersenyum. “Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya.
Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal,
karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”
“Tapi adikmu
ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau.
Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah
Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab, “'Biarlah adikku
ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.”
Dengan
terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya
pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya.
Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh
ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban
Hok si Harimau Hitam.
Terbukti
menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua
yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban
Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar
dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata
dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban
Hok segera membalasnya.
“Apakah
siauwte berhadapan dengan Ban-enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.
“Betul. Dan
saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”
“Memang
siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.”
jawab Han Liong.
“Ha, ha! Lie
Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia
sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!”
Matanya
berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah
membawa uang tebusan yang dimintanya.
“Perkara
uang mudah, Ban-enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan
cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku
kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu.
Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”
“Hm, kau
masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu?
Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu
ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok
uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan
membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku
hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang.
Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas
pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”
“Hm,
begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan
rendah?” ujar Han Liong.
“Penculikan
ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh
ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah,
jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan
padamu.”
“Tuan Ban!
Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik
anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk
mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”
“Boleh,
boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian,
silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan
anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”
“Bagaimana
kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu
tenaga?”
“Ha ha ha! Sedangkan
suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang
akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.
“Aku
sendiri.”
“Kau?”
sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir
anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus
kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat
mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di
waktu terang hari di depan kelenteng ini.”
“Baik, tuan
Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!”
Walaupun
Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong
segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada
mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan
Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang
mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata
suhengnya sedang tidur nyenyak.
“Setelah
menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata
isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih.
Maka Han
Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing
pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih
dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang,
walaupun dengan kakaknya sendiri!
Keesokan
harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut,
dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia
mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di
kelenteng tua itu. Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka.
Kini mereka
dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata. Ternyata ia adalah seorang berusia
kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua
lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak.
Diam-diam
Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu
seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir
dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula
tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang
yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua
kakinya berakar!
Han Liong
segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini
diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa
sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor
naga sakti!
“Anak muda,
betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.
“Akan
kucoba.” jawab Han Liong.
“Dengan cara
apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”
“Kaulah yang
berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya
menurut saja,” kata Han Liong.
“Hm, kau
masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.
“Aku yang
bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini
Thian-jiauw-siang hiap.”
“Eh, jadi
adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau
begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku
sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmu sendiri tak dapat
melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya.
Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak
berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian
bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.”
Han Liong
ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang
memandang rendah mereka, berkata,
“Koko,
biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-enghiong ini.”
Sebelum Han
Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan
berkata kepada Ban Hok. “Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima
jurus darimu, lo enghiong!”
Sikap yang
lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian
melompat mendekati dan berkata, “Baik, baik, seranglah, anak muda!”
Hong Ing
tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat
melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak,
Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melibat datangnya pukulan yang cepat
ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul
lengan lawan.
Tapi Hong
Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah
gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh
lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah.
Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban
Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat
menyelamatkan diri dari pukulan.
Ia mulai
hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu!
Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari
cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang
kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.
Ban Hok
tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil
ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai
balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus,
pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa
malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu
pukulan-pukulan tangan pasir.
Ketika ia
gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang
sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan
mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke
samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa
pundaknya tertimpa tenaga kuat!
Ia
berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena
desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali, hampir tiada ketika
baginya untuk selalu mengelak saja.
Han Liong
melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk
menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat
dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada
saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk
menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga
itulah jalan satu-satunya.
Han Liong
menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya
melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah
dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia
sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.
"Bagus
sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh
gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji.
Han Liong
menjura. "Adikku mengaku kalah, lo-enghiong. Kini siauwte mohon
pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian
kita?"
"Haruskah
dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu
sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya
kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis
perkara!"
"Terima
kasih, lo-enghiong. Nah, silahkan!"
"Kaulah
yang menyerang dulu, anak muda!"
Han Liong
segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja,
tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah
ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih
pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir
untuk melayani Han Liong.
Pemuda ini
sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan
tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari.
Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan
seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala
serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju
pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,
"He,
jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"
"Maaf,
sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau
Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya
sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan
seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk
kepalan lawan!
Terdengar
suara 'buk' seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang
sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki
kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok. Ia
terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa
besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah
mundur lebih dari enam langkah!
Baiknya Han
Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras
untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu
jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok.
Kalau saja
Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk
membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia
akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat
membuat jantungnya putus. Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia
menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.
"Sungguh
tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si enghiong," katanya.
"Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak
percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan
gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga
dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik
seperguruan Lie Kiam."
"Bagaimanapun,
memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng," jawab Han Liong.
"Aku
tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku,
tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda. Marilah kita mencoba kemahiran
senjata!"
Ia lalu
melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat.
Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena
lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah
cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit.
Tapi setelah
menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat
dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia
menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim
dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.
"Nah,
anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang
tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!"
Tapi Han
Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima
puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau
menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum
waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau
mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk
di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu,
berkata,
"Koko,
ini toyamu tertinggal di sini!"
Han Liong
menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan
sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan
besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga 'senjata' itu
dan berkata,
"terima
kasihi adikku." Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok.
Si Harimau
Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali.
"Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting
itu?"
"Memang
itulah senjatanya, lo-enghiong!" dari bawah pohon, Hong Ing menjawab
sambil tertawa.
Gadis ini
yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan
ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban
Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah
yang berlaku sombong.
Maka tak
heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia
segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung
toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.
"Lihat
toya!"
Kalau
ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak
berani menggunakannya, tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa
kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah.
Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak ke samping dan
menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu
meleset arahnya.
Namun Ban
Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang
kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh
sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan!
Gerakan ini
dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang
tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang
menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa
Ban Hok berseru,
"Bagus!"
dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya
itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi.
Ban Hok
segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua
tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan
lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi
berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan
kegesitan warisan keempat gurunya.
Han Liong
dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan
di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan
Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini, walaupun hanya
menggunakan sebatang ranting kecil saja, numun cukup untuk melayani ilmu Toya
Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya!
Lebih-lebih
lagi karena dalam gerakan-gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan
suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku
sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya
menggunakan ranting itu!
Demikianlah,
mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari
bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum
melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban
Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan
hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han
Liong.
Pada saat
itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan
suhengnva itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan
yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok
terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya,
ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan
merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata
yang lebih berat dari pada toyanya sendiri.
Kemudian
ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama
sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa
seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia
tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!
"Aku
mengaku kalah!" katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan,
sambil memandang pemuda itu dengan penuh keheranan.
Sebenarnya
tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu
dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan
adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi
ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya.
Baru saja ia
menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil
mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang
Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat
girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.
"Si
enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku
penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu
silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi?
Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?"
"Ban
lo-enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang
kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru
lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau
berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut
namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum."
Ban Hok si
Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Pantas... pantas... Kau jauh
lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah
merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan
antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini
tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku
habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa
di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi
kepandaian seseorang."
Hong Ing
mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lama kemudian
ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang
perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin
susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya
sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.
Kemudian,
setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan
bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat...
***************
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment