Friday, October 12, 2018

Cerita Silat Serial Pedang Pusaka Naga Putih Jilid 04



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
      Serial Pedang Pusaka Naga Putih

                 Jilid 04


Dalam beberapa hari Han Liong membantu mengurus pemakaman kedua jenazah ibu dan ayah tirinya. Hatinya sangat sedih setelah melihat kenyataan yang sudah terlambat. Ia benci akan sifat balas membalas ini yang sebenarnya tidak perlu, karena hanya menurutkan dengan nafsu saja.

Dan Kam Hong Siansu dulu pernah berkata, bahwa segala nafsu itu selalu membuat orang menjadi buta akan segala kebenaran dan membuat orang kehilangan pertimbangan serta keadilan. Kedua orang tua Ma Kui din Bun Cat-lin itu kembali ke kampung mssing-masing setelah membantu mengurus jenazah Lie Ban dan isterinya.

Selama itu Hong Ing tak berani memandang muka Han Liong, dan tidak berbicara sepatahpun kepada pemuda itu, Han Liong mendapat perasaan bahwa adiknya itu benci padanya, tapi ia tidak menyalahkannya karena bukankah karenanya, maka gadis itu kehilangan ayah bundanya? Bukankah ia yang merusak penghidupan gadis itu, tadinya bahagia di bawah lindungan orang tua, kini tiba-tiba menjadi yatim piatu?

Ia sendiri juga yatim piatu, tapi ia adalah serang laki-laki, tapi Hong Ing hanyalah seorang wanita. Apakah seorang gadis dapat berbuat sesuatu setelah ditinggal mati oleh kedua orang tuanya? Setelah kedua jenazah orang tuanya dimakamkan, Hong Ing setelah menyapu air matanya, tiba-tiba Han Liong mendatanginya lalu berkata perlahan.

“... adikku... aku... aku merasa sangat berdosa dan kasihan padamu...”

Baru ia berkata sampai di sini. Hong Ing menangis lagi, entah dari mana datangnya air mata yang seolah-olah tidak mau kering itu. Han Liong menghela nafas,

“Ing.... Ing-moi, aku tak dapat terus tinggal di sini, aku tak berumah tak berfamili yang lain, aku seorang kelana, maka sekarang aku harus pergi dari sini.”

Baru sekarang Hong Ing mengangkat mukanya dan memandang kakaknya. Pandangan matanya berbeda dari dulu, kini hilanglah pandangan yang menyatakan penyesalan dan kebencian,

“Koko... kau... kau tidak berdosa padaku. Kau hanya menjalankan kewajiban. Dan lagi... bukan pula kau yang membunuh ayahku. Kalau kau yang membunuh mereka, pasti aku akan benci padamu dan akan mengadu jiwa dengan kau. Tapi... kau kini adalah kakakku, keluarga satu-satunya di dunia ini...” kembali Hong Ing terisak-isak.

Kemudian ia bertanya kembali, “Kau... hendak pergi kemana, koko?”

“Kemana saja kakiku membawaku, adikku.”

Hong Ing mengangkat muka memandangnya dari balik air mata. “Kalau kau pergi, habis aku bagaimana, koko??”

Pertanyaan yang diucapkan seperti seorang anak kecil yang tak berdaya ini menusuk perasaan Han Liong. Ia memandang Hong Ing dengan terharu dan dari kedua matanya perlahan-lahan bertitik dua butir air mata. Kedua-duanya merasa betapa mereka hanya hidup berdua, kakak beradik, yatim piatu.

“Koko....”

“Moi-moi...”

Dan keduanya saling menubruk dan saling berpelukan seperti lakunya dua anak kecil saja sambil mengalirkan air mata. Setelah agak reda perasaan mereka, Han Liong berkata,

“Sudahlah, dik. Tak perlu kita bersedih terus menerus, tiada gunanya. Kau jangan khawatir, pesan ibu masih berkumandang di telingaku. Kalau kau tidak keberatan, marilah ikut aku, adikku. Mari kita merantau berkelana, kita nikmati dunia yang lebar ini bersama-sama.”

Adiknya bernapas lega. Sekali lagi Hong Ing mendekap dan memeluk kakaknya dan berkata, “Koko.”

“Tapi karena kau seorang wanita, baiknya kau berpakaian laki-laki dan menyamar sebagai laki-laki saja, moi-moi, agar tidak mendatangkan prasangka orang.”

Timbul kegembiran hati Hong Ing. “Pantaskah aku menjadi laki-laki?” wajahnya agak berseri sehingga mau tidak mau Han Liong tersenyum.

“Kau akan menjadi seorang pemuda cakap sekali,” katanya.

“Lebih cakap dari kau berpakaian wanita.”

“Tentu saja. Lihat saja nanti.” Dan mereka berdua tersenyum gembira seolah-olah tidak terjadi peristiwa sedih atas diri mereka.

Setelah beres semua harta yang akan ditinggalkan dalam pengawasan Lie Kong, yang kini sudah agak mulai sembuh dari lukanya atas rawatan Han Liong dan seorang tabib yang diundang, maka Han Liong dan Hong Ing mulai berkemas. Tidak lupa mereka memberitahukan kepada kedua saudara Beng yang juga sedang dalam rawatan karena luka di tangan mereka di rumah itu. Han Liong minta maaf yang diterima dengan hati terbuka oleh kedua Macan Tutul itu. Kedua saudara Beng inipun mendapat bagian harta yang diberikan oleh Hong Ing sebagai pembalas budi.

Kemudian Hong Ing menyamar sebagai seorang kongcu, menurut anjuran dan nasehat Han Liong. Mereka berkemas sambil bersendau gurau, kemudian dengan menggunakan dua ekor kuda yang dibeli Hong Ing dengan harga mahal, dan berbekalkan pakaian serta uang dalam bungkusan, kedua kakak beradik ini berangkat dan memulai pengembaraan mereka untuk mendapatkan pengalaman-pengalaman baru.

Pada masa itu keadaan di Tingkok sungguh buruk sekali. Kaisar yang bertahta dan para menterinya yang memegang tampak kerajaan ternyata lalim dan hanya ingat kepentingan serta kemewahan diri sendiri saja. Kalau sebatang pohon sakit, maka cabang-cabang dan rantingnya juga tidak sehat dan daun-daunnya juga pada mati, demikian kata pepatah kuno.

Pepatah ini menjadi sindiran, bahwa kalau rajanya lalim dan pembesqr-pembesar tinggi berlaku curang dan korup, maka pembesar-pembesar kecilpun juga tidak jujur dan rakyat kecilpun tentu hidup tertekan dan menderita sengsara. Di kota-kota siapa berpangkat dapat hidup senang karena dengan mengandalkan hartanya dapat menyogok para pembesar itu dan hidup aman.

Sebaliknya rakyat kecil yang miskin dan tidak mampu menggunakan uang untuk menyuap pembesar, hanya dapat menghela napas saja melihat ketidak-adilan yang ditekankan kepada mereka. Pajak diadakan semaunya dan undang-undang negeri seakan-akan dibuat sendiri oleh tiap pembesar setempat yang berwewenang. Lebih-lebih di kampung dan desa, keaadaannya lebih buruk lagi.

Orang-orang kaya dan tuan-tuan tanah merupakan lintah-lintah darat yang sangat berpengaruh. Mereka ini dapat berbuat sesuka hatinya terhadap petani miskin. Mau menjadikan anak gadis orang untuk isteri muda, tinggal rampas saja. Mau memfitnah orang kecil, tinggal berkejap mata saja kepada pembesar yang berkuasa di situ. Bahkan orang-orang kaya itu hampir semua mempunyai barisan penjaga atau tukang pukul sendiri, mempunyai peraturan-peraturan sendiri untuk melindungi tanah mereka!

Pendeknya, bagi telinga seorang yang berjiwa patriot, ia tentu memperhatikan jerit-tangis dan keluh-kesah dari rakyat yang memuncak tinggi, tapi mereka atau orang-orang yangs berjiwa patriot itu tak berdaya sama sekali, karena penindasan dan hukum rimba itu yang berantai, dari pembesar terkecil terus sampai ke menteri bahkan sampai ke kaisar sendiri!

Siapa berani menentang pembesar kecil maka ia akan berhadapan dengan pembesar tinggi dan pasti akan menemui kehancuran. Karenanya, jerit-tangis rakyat pada waktu itu seakan-akan keluh kesah seorang kehausan di tengah padang pasir, tiada yang mendengar, tiada yang perduli! Karena itu, banyak rakyat kecil yang karena menderita menjadi putus asa, sering mengeluh dan berkata, bahwa tuhan pada waktu itu melupakan manusia ciptaannya yang tengah menderita kesengsaraan!

Han Liong yang baru saja turun gunung, melihat keadaan itu Han Liong menjadi marah sekali. Di setiap tempat, bila menjumpai keadaan yang tidak adil, Han Liong pasti tidak tinggal diam berpeluk tangan. Hong Ing ternyata mewarisi sifat ibunya dan berjiwa patriot pula. Ia secara diam-diam sering menyesalkan perbuatan ayahnya yang telah menjual tenaga kepada pemerintah Ceng-tiauw, satu pemerintahan yang bagi para pahlawan bangsa dianggap pemerintah yang menjajah.

Sebaliknya ia memuji sekali ayah Han Liong dan ia iri hati kepada kakaknya itu. Maka, untuk membalas dan menebus dosa ayahnya, ia mencurahkan semua tenaganya untuk menolong rakyat yang tertindas oleh pembesar-pembesar penjilat pemerintah asing itu. Banyak sudah pembesar-pembesar yang mereka beri hajaran, bahkan ada beberapa pembesar yang mereka anggap terlampau jahat telah tewas dalam tangan mereka.

Entah berapa banyak harta benda orang-orang hartawan mereka angkut dan bagi-bagikan kepada rakyat miskin. Baru saja beberapa bulan mereka berkelana, nama mereka menjadi harum dan terkenal sekali, bahkan orang-orang di kalangan kang-ouw menyebut mereka sebagai Thian-jiauw-siang-hiap atau Sepasang Pendekar Garuda Angkasa!

Julukan ini diberikan kepada mereka berdua karena gerakan mereka yang datang menolong tak tersangka-sangka. Dan mereka sangat gesit tak ubahnya seperti sepasang garuda menyambar dari angkasa. Mereka disebut siang-hiap karena dalam setiap operasi, mereka selalu berpasangan.

Han Liong yang selalu berpakaian warna putih, disebut orang Pek i-hiap dan Hong Ing yang suka baju warna merah, disebut orang Ang-i-hiap yang artinya bagi Han Liong si Pendekar Baju Putih dan bagi Hong Ing si Pendekar Baju Merah! Tiada seorangpun tahu bahwa Hong Ing adalah seorang wanita.

Pernah Han Liong bertanya kepada adiknya tentang pelajaran silatnya dan siapa gurunya. Sebelum menjawab, Hong Ing terlebih dulu minta diceritakan riwayat pelajaran silat Han Liong kepadanya. Ia mengalah dan bercerita lebih dulu. Hong Ing mendengarnya dengan penuh minat dan minta supaya kakaknya itu berjanji akan mengajarnya untuk menambah ilmu silatnya yang sudah ada. Kemudian gadis itu minta diperlihatkan macamnya Pek liong pokiam yang dulu telah ia rasakan sendiri ketajamannya yang luar biasa itu.

Setelah itu, barulah Hong Ing bercerita tentang dirinya sendiri. Ternyata Hong Ing mendapat latihan silat pertama-tama dari ayahnya sendiri, kemudian oleh ayahnya ia dikirim ke Bok sin-tang untuk berguru kepada seorang Nikouw atau pendeta Wanita bernama Seng Bouw Nikouw yang sebenarnya bibi gura dari Lie Ban.

Dari pendeta perempuan inilah Hong Ing menerima pelajaran silat yang tinggi sehingga kepandaiannya kini boleh dikatakan setingkat dengan ayahnya sendiri, atau boleh dikata lebih tinggi, terutama dalam permainan siang kiamnya yang luar biasa. Selama lima tahun ia belajar silat dengan nikouw itu.

Demikianlah, kedua kakak beradik itu melanjutkan perjalanan dengan penuh kegembiraan. Hong Ing telah lupa sama sekali akan kesedihannya, dan Han Liong juga merasa bahagia. Sikap adiknya yang manja, nakal, suka menggoda, tapi penuh kejujuran dan keberanian itu membuat ia merasa senang sekali dan lama kelamaan pertalian darah mereka makin erat dan saling kasih mengasihi. Hong Ing pada waktu itu telah barusia enam kelas tahun dan Han Liong delapan belas.

Pada satu hari Han Liong dan Hong Ing berkuda sepanjang jalan yang menuju ke kota Tong Hai. Pagi-pagi keduanya berkuda memasuki hutan pohon Liu yang menahan sinar matahari pagi sehingga sinar sang surya merupakan garis-garis kuning bersinar menyorot dari celah-celah daun pohon Liu merupakan pemandangan yang indah sekali. Mereka menjalankan kuda berendeng dan sambil naik kuda yang berjalan perlahan-lahan, mereka menikmati hawa hutan yang sejuk itu, mereka bicara dengan riang gembira.

“Koko, alangkah indahnya sinar matahari itu,” kata Hong Ing sambil mendongak ke atas, “Sungguh senang berada di luar, bebas lepas menyaingi burung-burung di udara. Aah, inilah hidup dan bahagia!”

“Adik Ing,” jawab Han Liong yang sudah biasa menyebut adik saja atau “siauwte” artinya adik laki-laki, karena ia harus membiasakan sebutan ini di muka umum agar melengkapi penyamaran Hong Ing sebagai pria, “Betapapun juga, segala sesuatu itu selalu harus mengalami perubahan. Kita tidak mungkin selamanya begini sampai...” di sini Han Liong menghela napas.

“Mengapa tidak, kakakku yang baik? Apa kau ada pikiran hendak meninggalkan aku?” tanya Hong Ing.

“Sekali-kali tidak. Tapi pada suatu waktu, kaulah sendiri rasanya yang akan meninggalkan aku, bahkan akan melupakan kakakmu ini.”

“Eh, eh! Tiada hujan tiada angin kau bicara tidak keruan juntrungannya, koko. Siapa mau tinggal meninggalkan? Aneh benar bicaramu pagi ini. Dan kau kelihatan sangat muram seperti anak kecil tidak kebagian kue! Sungguh tidak sesuai dengan indahnya cuaca. Mengapakah, koko?”

Han Liong memaksa tersenyum. “Ah, tidak apa-apa, adik Ing.”

Hong Ing tiba-tiba menahan kudanya dan tidak mau maju. Han Liong menoleh kepadanya dan berkata, “Ayoh jalankan kudamu.” Tapi Hong Ing diam saja bahkan menggeleng-gelengkan kepala dengan mulut cemberut.

“Eh, eh. Ada apa, adik Ing?”

“Katakan dulu kenapa kau bermuram durja, baru aku mau maju lagi,” kata Hong Ing dengan manja.

Han Liong tertawa dan memajukan kudanya menghampiri. “Jangan marah, adikku yang manis!” Tapi Hong Ing masih saja menggeleng-gelengkan kepala dan pundaknya. “Ah, adik Ing, kalau kau sudah begini maka tidak pantas menjadi pemuda, lagakmu seperti seorang gadis benar-benar!”

Hong Ing mengangkat cambuk kudanya hendak memukul kakaknya yang segera melarikan kudanya dan lalu dikejar oleh Hong Ing. Mereka segera saling kejar berputar-putaran di bawah pohon-pohon Liu.

“Sudah, sudah, adikku. Aku menyerah. Lihat kudaku sampai mengepulkan uap diri mulutnya karena lelah.”

“Biar! Kau jawab pertanyaanku atau kupukul dengan cambuk ini.” Hong Ing mengancam.

Tiba-tiba dari arah belakang terdengar bunyi kaki kuda berlari cepat. Dari sebuah tikungan tampak datang dua orang menunggang kuda yang dilarikan sangat kencang. Karena jalan itu kecil dan tidak cukup lebar untuk tiga atau empat kuda jalan berendeng, maka dari jauh mereka sudah berteriak-teriak,

“Minggir! Minggir!!”

Han Liong segera meminggirkan kudanya di bawah pohon Liu. Tapi Hong Ing yang beradat keras dan pula sedang kesal kepada kakaknya, membiarkan kdanya melintang jalan dan memaksa kedua penunggang kuda itu harus berhenti!

Kedua penunggang kuda itu segera menahan kuda mereka dengan cepat, kalau tidak mereka pasti akan berlanggar dengan kuda Hong Ing. Ternyata kedua-duanya adalah perempuan-perempuan muda yang cantik dan di pinggang mereka tergantung pedang.

“Eh, kurang ajar! Apa maksudmu sengaja menghalang-halangi jalan kami?” Seorang dari mereka yang lebih muda memaki. Hong Ing membalas makian ita dengan mata mendelik.

“Tuan, harap beri jalan kepada kami, karena kami ada urusan penting dan tergesa-gesa,” kata yang seorang lagi.

“Hm, ini baru kata-kata sopan,” jawab Hong Ing. “Dari manakah datangnya orang yang seakan-akan merasa diri menjadi raja dan menganggap jalan ini seperti jalannya sendiri?” ia tujukan kata-katanya ini kepada gadis muda itu. “Apa kau kira semua orang takut akan gertakanmu?”

“Sudah, jangan banyak cakap, awas jangan membuat aku menjadi hilang sabar!” Gadis muda itu berkata pula dengan marah. “Pendeknya, lekas kau minggir!”

“Kalau aku tidak mau minggir, kau mau apa, nona galak?” kata Hong Ing dengan aksinya yang menimbulkan kemarahan orang.

Bangsat kecil tak tahu diri! Tahukan kamu bahwa kamu berhadapan dengan siapa? Kami Shoatang Ji-lihiap (Dua Pendekar Wanita dari Shoatang) enci dan aku tidak biasa menerima penghinaan dari siapapun saja, mengerti?” teriak gadis yang muda itu marah.

Encinya yang agaknya lebih sabar menarik lengan adiknya, tapi tak diperdulikan oleh adiknya. Hong Ing mengeluarkan suara sumbang.

“Hm! Siapa perduli apakah kalian pendekar-pendekar dari Shoatang ataukah dari Neraka? Aku tidak kenal nama itu!”

Mendengar ini, perempuan yang lebih tua merasa tak senang juga. Bukankah mereka berdua telah terkenal di kalangan kang-ouw? Mengapa pemuda kecil ini berani menghina?

“Tuan, jangn mencari perkara. Minggirlah dan kami akan lewat dengan baik-baik. Kami tidak ada waktu melayani segala orang seperti tuan!”

“Kami berdua juga mau pergi mau ke depan. Kalian boleh menjalankan kuda di belakang kami.”

Sementara itu Han Liong sudah menghampiri mereka.

"Bangsat kecil ingin celaka!” gadis yang termuda itu memaki sambil mencabut pedang dari pinggangnya. Hong Ing hanya tertawa menyindir dan mencabut pedangnya pula.

“Adik Ing sabar dulu,” kata Han Liong untuk mencegah adiknya.

Tetapi Hong Ing yang sedang jengkel kepadanya mana mau menurut perintahnya. Ia bahkan mengerling kepada Han Liong dengan marah dan berkata,

“Kalau kau mau membela perempuan-perempuan cantik ini, silakan. Boleh aku dikeroyok tiga!!” tantangnya dengan mata merah karena marah.

“Siapa mau mengeroyok, laki-laki tak tahu malu!” gadis muda itu berteriak marah, “Aku sendiri sudah cukup untuk mengirim jiwamu ke akhirat.”

Sehabis berkata begini gadis itu majukan kudanya dan memberi sebuah tusukan berbahaya. Hong Ing menangkis dengan pedangnya yang kiri, lalu dengan pedang kanan balas menusuk. Mereka berdua bertempur di atas kuda, dan karena kuda mereka tidak biasa dipakai bertempur, maka kuda mereka melompat-lompat ketakutan sehingga mereka tidak dapat bersilat dengan leluasa. Hong Ing mendahului lawannya melompat turun dan menantang.

“Turunlah kalau kau benar-benar perempuan gagah!”

Lawannya segera melompat turun juga dan mereka meneruskan pertempuran di atas tanah! Ternyata tenaga dan kegesitan mereka berimbang, tapi karena Hong Ing menggunakan dua pedang dan ilmu pedangnya warisan dari Seng Bouw Nikouw memang lihai sekali, maka setelah mereka bertempur dua puluh jurus, gadis muda itu mulai terdesak.

Encinya tidak tega melihat adiknya kewalahan, maka ia segera terjun ke tengah pertempuran itu. Ternyata gerakannya sangat kuat dan gesit sehingga benturan-benturan pedangnya dirasakan oleh Hong Ing sangat kuat dan membuat telapak tangannya panas. Ia mengharapkan bantuan Han Liong, tapi ternyata pemuda itu hanya turun dari kuda dan berdiri melihat jalannya pertempuran!

Hong Ing lama-lama terdesak juga dan repot melayani dua lawannya yang ternyata berkepandaian tinggi, lebih-lebih yang lebih tua, pedangnya berputar-putar kuat dan ia pandai sekali. Karena gemas, maka sambil bertempur Hong Ing berteriak ke arah Han Liong.

“He, kenapa kau diam saja? Ayohlah bantu mereka ini, agar sekalian dapat kulayani!!”

Han Liong tersenyum geli. Ia memang sengaja membiarkan adiknya agar ia merasa bahwa ada juga orang yang lebih pandai darinya, juga ia melihat bahwa biarpun terdesak, namun siang kiam-hoat dari adiknya itu cukup ulet untuk dikalahkan begitu saja dalam waktu pendek. Selain itu, ia sesungguhnya sangat tertarik oleh gerakan-gerakan kedua nona itu.

Kini setelah nendengar teriakan Hong Ing, ia segera meloncat ke tengah-tengah pertempuran dan menggunakan kedua tangannya bergerak-gerak di antara sinar pedang, lalu secepat kilat menahan dua tangan yang memegang pedang dari kedua lawan itu. Kedua nona dari Shoatang itu merasa tangan mereka tergetar dan alangkah terkejut mereka ketika diketahuinya pedang mereka telah pindah ke tangan pemuda itu di kanan kiri!

Han Liong memandang kedua nona itu dengan tajam dan bertanya dengan suara sungguh-sungguh. “Adakah pertalian kalian dengan Lie Kiam si Angin Ribut?”

Gadis yang lebih muda itu menjawab sengit. “Apa perlunya kau tanya-tanya tentang supek kami?”

“Aha! Kalau begitu kalian adalah murid Bhok Kiam Eng si Garuda Putih? Hm, bagus, kalau aku ceritakan kepadanya akan kelakuanmu hari ini, kalian pasti akan kena marah!”

“He, siapakah kau? Dan apa maksudmu berkata begitu?” tanya gadis yang lebih tua.

“Lupakah kau akan ajaran suhumu? Bukankah suhumu sudah pesankan, bahwa kalian tidak boleh mencari-cari musuh jika tidak diserang orang? Mengapa kalian begitu berani dan sembarangan turun tangan karena urusan kecil saja, bahkan mau membunuh orang?”

“Terangkan dulu siapa kau, sebelum memberi nasehat kepada kami,” kembali gadis yang lebih muda berkata dengan suara pedas.

“Ketahuilah, nona-nona, gurumu itu adalah suhengku, jadi kalian harus menyebutku paman guru!”

Kedua gadis itu saling pandang dengan heran, kemudian gadis yang muda dan berani itu maju setindak dan memaki, “Orang tak tahu adat! Sembarangan saja kau mengaku-aku guru kami sebagai suhengmu! Kami belum pernah mendengar bahwa suhu mempunyai adik seperguruan semuda kau! Pula, selain suhu dan Lie Kiam supek, sukong Liok-tee-sin-mo Hong In tidak mempunyai murid lagi. Jangan kau berani membohong!”

Han Liong tersenyum. Ia tidak heran bahwa kedua murid suhengnya ini belum mengenalnya. Maka dengan masih tersenyum ia berkata,

“Hm, kalian tidak percaya? Ternyata selain berkepala batu, kalian juga kurang rajin mempelajari ilmu silatmu. Gerakanmu ketika menyerang dengan tipu Garuda Menyambar dari Pohon tadi kurang baik, seharusnya kau bertindak maju dengan berdiri di atas ujung kaki, karena bukankah gerakan itu mengutamakan keringanan tubuh dan kegesitan? Juga encimu tadi ketika menangkis dengan tipu Angin Barat Meniup Daun masih kurang sempurna, seharusnya kaki kiri ditekuk sedikit ke dalam agar mudah untuk diganti gerakan selanjutnya ialah tipu Angin Ribut Mengamuk untuk membalas menyerang!”

Mendengar pemuda itu menerangkan semua tipu-tipu silat warisan mereka itu, kedua nona tadi agak heran. Han Liong melihat bahwa mereka masih saja kurang percaya, maka ia segera melemparkan dua pedang ke atas lalu menyambut meluncurnya pedang itu dengan memegang ujungnya. Kemudian ia menyerahkan pedang itu kembali kepada pemiliknya sambil berkata,

“Nah, kalau kalian masih tidak percaya, cobalah serang aku serentak. Aku akan menggunakan kegesitan tubuh menurut tipu-tipu ajaran gurumu untuk berkelit.”

Karena masih belum percaya dan penasaran karena pedang mereka tadi dirampas, Shoatang Ji-lihiap maju bersama melakukan serangan!

“Bagus tipu Ular Melintas Sungai dan Harimau Menyabet Dengan Ekornya ini!”

Han Liong berseru menyebut tipu-tipu mereka, lalu ia menggerakkan tubuhnya. Kedua nona itu melihat tubuh pemuda itu berkelebat di antara sambaran pedang mereka dan tahu-tahu pemuda itu lenyap dari penglihatan mereka. Mereka membalikkan tubuh dan ternyata Han Liong sudah berdiri di situ sambil tersenyum!

“Kenalkah kalian gerakanku tadi? Itu adalah lompatan Naga Sakti Mengejar Mustika, tentu kalian kenal, bukan? Nah, ayo, jangan tertegun seranglah lagi!”

Kedua kakak beradik itu menyerang dengan lebih hebat, tapi Han Liong dapat berkelit menggunakan kegesitan tubuhnya, sambil berkelit ia sebut tiap tipu kedua nona itu dan sekalian memperkenalkan gerakannya sendiri. Setelah kedua nona itu menyerang sepuluh jurus, maka heranlah mereka. Pemuda itu ternyata dapat menyebut tipu-tipu mereka dengan tepat dan gerakannya ketika berkelitpun adalah gerakan tipu silat guru mereka, namun ternyata pemuda itu jauh lebih gesit dan ringan badannya daripada guru mereka sendiri!

Si enci dengan segera menjatuhkan diri berlutut, “Susiok, ampunkanlah teecu yang berlaku kurang hormat karena tidak tahu.”

Si adik yang ternyata sifatnya memang angker dan keras, setelah berdiri ragu-ragu dan setelah encinya membelalakkan matanya, akhirnya ia berlutut juga dan menyebut, “Susiok!”

Han Liong tertawa dan menyuruh mereka bangun. “Tidak apa, nona berdua bukannya sengaja melawan paman guru. Memang kalau tidak bertempur kita tidak akan berkenalan. Hanya pesanku, janganlah terlalu mudah mencari perselisihan dengan orang, karena hal itu hanya akan menimbulkan keributan yang tak perlu saja.”

Kemudian Han Liong memperkenalkan Hong Ing dengan kedua nona itu, yang ternyata bernama Bwee Lan dan Bwee Hwa.

“Kailan begitu tersesa-gesa, sebenarnya ada urusan apakah?” kemudian Han Liong bertanya.

Bwee Lan berkata dengan sedih. “Susiok, sebenarnya karena kami sedang menghadapi urusan hebat, maka berlaku sembrono dan adikku karena bingung dan sedih menjadi mudah naik darah. Teecu berdua sedang menuju ke kota Tong Hai mencari suhu untuk memohon pertolongannya.”

“Ada apakah?” tanya Han Liong penuh perhatian.

“Celaka, susiok. Supek Lie Kiam telah dilukai orang dan puteranya yang baru berusia lima tahun diculik penjahat. Sampai di sini ia menangis, kemudian setelah reda lagi tangisnya, Bwee Lan menyambung ceritanya, “Penjahat yang menculik itu memberi waktu sampai malam hari ini, jika tidak ada orang datang membawa uang tebusan lima ribu tali perak, maka anak supek itu akan dibunuh!”

“Berapa jauhkah tempat kediaman penculik itu?” tanya Han Liong.

“Ia berdiam di bukit Lui-san, kira-kira perjalanan setengah hari dari sini bila naik kuda cepat. Teecu khawatir terlambat.”

“Hm, kalau begitu, biarlah aku mewakili suhumu dan mari kita segera berangkat saja menuju ke Lui san.”

“Tapi... susiok,” kata Bwee Hwa yang sejak tadi diam saja, “Penculik itu adalah Ban Hok si Harimau Hitam. Ilmunya sangat tinggi, sedangkan supek sendiri terluka olehnya dalam pertempuran!” Dengan kata lain, Bwee Hwa sebenarnya merasa sangsi apakah susioknya yang muda itu akan dapat melawan Ban Hok. “Dan lagi, uang tebusannya sangat banyak...”

“Jadi kalian ini pergi mencari Bhok suheng untuk minta diusahakan uang tebusan?”

Kedua nona itu mengangguk. “Apakah Bhok suheng itu orang kaya dan banyak uang?”

Dua murid keponakannya iu menggeleng-geleng kepala.

“Habis, darimana suhu kalian bisa memperoleh uang itu?” tanya Han Liong pula.

“Maksud teecu hanya minta nasehat dan pikiran suhu, karena siapa lagi yang harus kami tangisi dan siapa lagi dapat menolong supek dan puteranya,” jawab Bwee Lan.

“Nah. Kalau begitu sama saja halnya. Suhumu tidak punya uang, sedangkan aku sendiri, terus terang saja juga tidak punya uang sedemikian banyak. Tapi mungkin dapat kuusahakan untuk menolong putera suheng Lie Kiam itu. Dan, kalau kita harus mencari Bhok suheng dulu, dikhawatirkan kita akan terlambat untuk menolong jiwa anak itu.”

Bwee Lan dan adiknya tak dapat membantah lagi, maka mereka segera berangkat membalapkan kudanya. Di sepanjang jalan, ternyata Bwee Hwa yang nakal dan suka bicara itu cepat sekali dapat menjadi akrab dengan Hong Ing yang tidak kalah cerewetnya! Kedua enci adik itu sedikitpun tidak menyangka bahwa Hong Ing adalah seorang wanita, karena Han Liong memperkenalkannya sebagai adiknya laki-laki!

Tapi diam-diam Bwee Lan agak jemu melihat Hong Ing yang dianggapnya seperti lelaki ceriwis! Ia juga menyesalkan mengapa Bwee Hwa demikian rapat merendengkan kudanya sambil bicara dengan gembira dan diselingi senda gurau!

Sebaliknya, melihat susioknya, ia merasa segan karena pemuda itu terlampau pendiam. Kalau saja Han Liong itu bukan susioknya, demikian pikir Bwee Lan. Terhadap seorang paman guru tentu saja ia tidak berani memperlakukan sebagai seorang kawan, karena dalam tingkatan mereka, Han Liong adalah termasuk 'golongan tua'!

Ketika mereka tiba di kaki bukit Lui-san hari telah mulai gelap. Bwee Lan mengajak susioknya berhenti di depan sebuah rumah sederhana di kampung Lim-cun di dekat situ, di mana tinggal supeknya yang menderita luka.

Kedatangan mereka disambut oleh seorang wanita yang masih merah matanya karena kebanyakan menangis. Ketika diperkenalkan, Han Liong tahu bahwa itu adalah isteri suhengnya, maka ia segara memberi hormat. Segera mereka diantarkan memasuki kamar Lie Kiam yang tampak berbaring di atas tempat tidur dengan wajah pucat.

“Suheng, sutemu datang terlambat sehingga suheng dilukai orang.”


Cersil karya Kho Ping Hoo Serial Jago Pedang Tak Bernama


Han Liong memberi hormat sambil memandang laki-laki yang sudah setengah tua yang masih tampak gagah itu. Dengan agak payah Lie Kiam bangkit duduk, lalu memandang wajah anak muda itu dengan agak heran.


“Aku telah mendengar dari Bhok suheng bahwa suhu telah mempunyai seoang murid baru, tapi tak kusangka bahwa ia masih semuda ini,” katanya perlahan.

“Siokhu dipukul orang dan putera siokhu diculik, sebenarnya ada perkara apakah?” tiba-tiba Hong Ing yang kasihan melihat keadaan Lie Kiam itu bertanya. Han Liong mengerling adiknya, tapi Lie Kiam memandangnya lalu bertanya.

“Siapakah anak ini, sute?”

“Ia adalah adikku, suheng.”

Lie Kiam mengangguk-angguk, kemudian hendak mulai bercerita. Tapi Han Liong cepat berkata kepada Hong Ing. “Adik Ing, kau lihat suheng perlu mengaso, pula, cerita ita dapat ditunda kelak, Kini yang perlu ialah menolong puteranya.”

Mendengar orang menyebut puteranya, Lie Kiam timbul rasa khawatir dan sedihnya, maka tiba-tiba ia batuk-batuk dan dari mulutnya keluar darah!

Han Liong segera menghampiri. “Ah, suheng, kau terluka di dalam,” katanya, lalu tanpa minta permisi lagi, ia membuka baju suhengnya dan memeriksa dadanya.

“Suheng, kau terpukul dan mendapat luka dalam yang berbahaya juga, selain itu jalan darah di bawah tulang iga kanan telah terotok. Maaf, suheng, biarlah sute mencoba memulihkan jalan darah itu.”

Ia segera menggunakan kedua jari tangan dan telunjuknya mengurut-urut dada di bawah iga lalu menepuk punggung suhengnya. Lie Kiam yang terheran-heran kini merasa sakit di dadanya agak berkurang.

“Nah, ini dua butir obat, harap suheng makan dua kali, malam ini dan besok pagi.” Ia menyerahkan dua butir pil pemberian suhunya yang paham akan ilmu obat-obatan, ialah Pauw Kim Kong.

“Eh, sute, darimana kau peroleh kepandaian mengobati ini?” tanya Lie Kiam.

“Dari suhunya yang bernama Pauw Kim Kong!” Hong Ing menyahut.

Lie Kiam terheran mendengar ini. Bukankah sutenya itu murid suhunya sendiri? Tapi Han Liong segera berkata, “Biarlah besok saja kita bicara, suheng. Riwayat sutemu ini panjang untuk diceritakan seketika juga. Yang perlu sekarang adalah urusan anakmu. Biarlah kedua nona Bwee ini mengantarkan siauwte merampasnya kembali dari tangan Ban Hok.”

“Jangan, sute, ia sangat berbahaya. Kau akan mendapat celaka.”

Han Liong tersenyum. “Jangan khawatir, suheng, kurasa ada jalan untuk mengalahkannya. Pula, biar siauwte mendapat celaka sekalipun, siauwte tidak akan menyesal, karena siauwte telah memenuhi kewajiban sebagai saudara seperguruan.”

“Tapi adikmu ini lebih baik tinggal di sini saja dan biar Bwee Lan saja mengantarkan kau. Bwee Hwa juga jangan ikut,” kata Lie Kiam pula. Han Liong mengerling ke arah Hong Ing yang tampak merengut, maka dengan ketawa ia menjawab, “'Biarlah adikku ikut, suheng, karena iapun dapat menjaga dirinya sendiri.”

Dengan terpaksa Lie Kiam melepaskan mereka pergi. Hanya Bwee Hwa saja yang dilarangnya pergi, karena ia tahu akan tabiat anak itu dan khawatir akan keselamatannya. Untung saja Han Liong dan dua kawannya bahwa malam itu angkasa diterangi oleh ribuan bintang sehingga mereka dapat maju dengan cepat ke tempat kediaman Ban Hok si Harimau Hitam.

Terbukti menurut penuturan Bwee Lan, penculik itu tinggal dalam sebuah kelenteng tua yang telah tak terpakai lagi. Ketika mereka sampai di depan kelenteng itu, Ban Hok telah kelihatan berdiri di depan bertolak pinggang. Tubuhnya tinggi besar dan kulitnya hitam, sehingga di tempat agak gelap itu hanya tampak putih mata dan giginya ketika ia menyeringai. Han Liong maju dan tunduk menghormat dan Ban Hok segera membalasnya.

“Apakah siauwte berhadapan dengan Ban-enghiong?” tanya Han Liong dengan sopan.

“Betul. Dan saudara ini suruhan Lie Kiam si Angin Ribut?”

“Memang siauwte mewakili Lie Kiam suheng untuk menjumpaimu dan menjemput anaknya.” jawab Han Liong.

“Ha, ha! Lie Kiam ternyata berpikiran luas juga. Baik, kau boleh mengambil anak itu, ia sehat dan selamat, tapi lebih dulu serahkan uangnya padaku!”

Matanya berganti-ganti memandang tiga tamunya ingin tahu segera apakah mereka ini sudah membawa uang tebusan yang dimintanya.

“Perkara uang mudah, Ban-enghiong. Tapi cobalah kau sebutkan alasan-alasanmu menggunakan cara penculikan dan minta tebusan ini. Karena caramu ini sungguh membikin aku kecewa. Tak kusangka bahwa namamu yang besar itu tak sesuai dengan perbuatanmu. Maka kuduga pasti ada apa-apanya di belakang perbuatanmu ini.”

“Hm, kau masih muda tapi pandai bicara. Kau tadi bilang bahwa Lie Kiam itu suhengmu? Baik, dengarlah alasanku mengapa aku melakukan semua ini. Lima tahun yang lalu ketika aku mencegat seorang hartawan yang lewat di daerahku dan merampok uangnya sebanyak sepuluh ribu tail perak, Lie Kiam telah turut campur dan membela hartawan itu! Kami bertempur dan Lie Kiam telah memukulku sehingga aku hampir mati. Nah, aku lalu belajar silat lagi dan sekarang aku menagih hutang. Apakah ini perbuatan salah? Hutang uang membayar uang, hutang pukulan membalas pukulan, bukankah ini sudah adil namanya?”

“Hm, begitukah? Tapi kenapa kau masih menculik anaknya? Bukankah itu perbuatan rendah?” ujar Han Liong.

“Penculikan ini hanya untuk menagih uangku yang dulu. Lie Kiam telah merugikan aku sepuluh ribu tail, kini aku hanya minta lima ribu, ini masih murah sekali. Sudahlah, jangan banyak cakap, segera bayar uang itu dan anak Lie Kiam akan kuserahkan padamu.”

“Tuan Ban! Kau telah menggunakan kepandaianmu untuk menjatuhkan suhengku dan menculik anaknya, maka bagaimana kalau sekarang suheng menggunakan kepandaian pula untuk mengalahkan kau dan minta kembali anaknya?”

“Boleh, boleh! Kalau ia masih tidak mau mengaku kalah dan ingin mengadu kepandaian, silahkan! Kalau aku salah, biarlah aku bersumpah takkan mengganggunya lagi dan anaknya akan kukembalikan dengan selamat.”

“Bagaimana kalau adik seperguruannya mewakilinya berhadapan dengan kau dan mengadu tenaga?”

“Ha ha ha! Sedangkan suhengmu saja tak mampu melawanku, apa lagi sutenya? Silahkan, siapakah yang akan mewakilinya melawan aku?” tanyanya sombong.

“Aku sendiri.”

“Kau?” sepasang mata Ban Hok memandang Han Liong dengan tajam seakan-akan menaksir anak muda itu, tapi Han Liong hanya merupakan seorang pemuda yang halus kulitnya dan halus pula gerak-gerik serta tutur sapanya, maka ia sangat mengganggap enteng. “Baik, datanglah besok pagi, kita mengukur kepandaian di waktu terang hari di depan kelenteng ini.”

“Baik, tuan Ban, aku percaya bicaramu. Nah, sampai besok!”

Walaupun Hong Ing dan Bwee Lan tidak setuju dengan perjanjian ini, namun Han Liong segera mengajak mereka pergi. Di tengah jalan Han Liong menerangkan kepada mereka bahwa sebagai seorang yang mengerti aturan, ia harus menerima permintaan Ban Hok untuk bertempur besok karena malam itu terlampau gelap untuk orang mengadu kepandaian secara jujur. Sesampainya di rumah Lie Kiam, ternyata suhengnya sedang tidur nyenyak.

“Setelah menelan sebutir pil, ia nampak agak lumayan dan dapat tidar enak” kata isterinya kepada Han Liong dengan pandangan berterima kasih.

Maka Han Liong lalu beristirahat pula dalam sebuah kamar yang telah disediakan. Hong Ing pun pergi tidur dalam kamar lain. Ia mendapat kamar sendiri karena ia lebih dulu memajukan alasan bahwa ia tidak bisa tidur sekamar dengan lain orang, walaupun dengan kakaknya sendiri!

Keesokan harinya, Han Liong mengajak Hong Ing berangkat. Kedua nona Bwee yang akan ikut, dilarang oleh Han Liong dengan alasan bahwa Ban Hok mungkin akan menganggap ia mengandalkan banyak orang untuk mengeroyok. Dengan cepat mereka tiba di kelenteng tua itu. Betul saja Ban Hok telah menanti kedatangan mereka.

Kini mereka dapat melihat orang she Ban itu lebih nyata. Ternyata ia adalah seorang berusia kira-kira empat puluh tahun, berkulit hitam dengan sepasang mata tajam. Kedua lengan tangannya yang hitam itu berkilap seakan-akan digosok minyak.

Diam-diam Han Liong terkejut karena ia dapat menduga bahwa Harimau Hitam itu tentu seorang ahli tangan pasir, ialah ahli silat yang melatih tangannya dengan pasir dan bubuk besi hingga kedua lengan itu menjadi sangat berbahaya dan kuat. Pula tindakan kakinya ketika ia maju melangkah membayangkan sebuah tenaga Iweekang yang tinggi karena tindakan kakinya tetap dan berdirinya seakan-akan kedua kakinya berakar!

Han Liong segera memberi hormat yang dibalas oleh Ban Hok. Sebaliknya Harimau Hitam ini diam-diam tidak berani memandang ringan kepada Han Liong ketika ia lihat betapa sepasang sinar mata pemuda itu menyambar-nyambar bagaikan sapasang mata seekor naga sakti!

“Anak muda, betulkah kau hendak mewakili suhengmu melawan aku!” tanyanya.

“Akan kucoba.” jawab Han Liong.

“Dengan cara apa kau hendak melawanku? Tangan kosong atau bersenjata?”

“Kaulah yang berhak memilih, tuan Ban, karena kaulah tuan rumahnya. Aku sebagai tamu hanya menurut saja,” kata Han Liong.

“Hm, kau masih muda, tapi tahu aturan. Siapakah namamu dan apa gelarmu?” tanya Ban Hok.

“Aku yang bodoh she Si bernama Han Liong, orang-orang kampung menyebut aku dan adikku ini Thian-jiauw-siang hiap.”

“Eh, jadi adikmu ini juga ahli silat?” tanya Ban Hok dengan pandangan kagum. “Kalau begitu, begini saja, anak muda. Jangan sampai kalangan kang-ouw menyebut aku sebagai orang tua hendak menghina yang muda. Karena suhengmu sendiri tak dapat melawan aku, maka keterlaluanlah kalau aku melawan kau yang menjadi sutenya. Baiknya kau majulah bersama-sama dengan adikmu ini, agar keadaan kita agak berimbang. Nah, marilah kita coba-coba, kepandaian kita, majulah kalian bersama-sama, kita bertempur dengan tangan kosong.”

Han Liong ragu-ragu, tapi Hong Ing yang merasa gemas melihat kesombongan orang yang memandang rendah mereka, berkata,

“Koko, biarlah aku maju dulu minta pengajaran dari Ban lo-enghiong ini.”

Sebelum Han Liong sempat menjawabnya, Hong Ing sudah maju selangkah, memasang kuda-kuda dan berkata kepada Ban Hok. “Nah, marilah aku yang muda minta pelajaran barang lima jurus darimu, lo enghiong!”

Sikap yang lucu dan berani dari Hong Ing ini nembuat Ban Hok tertawa lebar, kemudian melompat mendekati dan berkata, “Baik, baik, seranglah, anak muda!”

Hong Ing tanpa membuang tempo lagi, segera menggeser kakinya maju dan secepat kilat melayangkan kepalan kanannya memukul dada lawan dengan tipu Dewa Suguhkan Arak, Ban Hok yang memandang rendah lawannya, melibat datangnya pukulan yang cepat ini segera miringkan tubuh dan menggunakan telapak tangan kiri untuk memukul lengan lawan.

Tapi Hong Ing awas matanya dan cepat gerakannya. Sebelum tangannya terpukul ia robah gerakannya, menarik kembali kepalan tangan dan meloncat ke sebelah kanan musuh lalu melayangkan kepalan kiri dengan tipu Burung Kepinis Mematuk buah. Gerakannya yang sebat dan cepat sekali ini tidak terduga sedikit juga oleh Ban Hok sehingga hanya dengan melompat jungkir balik ke belakang saja, ia dapat menyelamatkan diri dari pukulan.

Ia mulai hati-hati dan tidak berani memandang ringan lawannya yang kecil dan muda itu! Hong Ing terus mendesak maju dengan mengeluarkan tipu-tipu yang istimewa dari cabang Siauw-lim. Dikeluarkannya tipu-tipu silat yang berbahaya dan sepasang kepalan tangannya yang kecil meninju tempat-tempat berbahaya dari lawan.

Ban Hok tadinya hanya ingin mempermainkan lawannya saja, tapi melihat bahwa lawan kecil ini sedikitpun tak boleh dipandang ringan, maka ia merasa panas lalu mulai balas menyerang. Ternyata setelah bertempur lebih dari lima belas jurus, pukulan-pukulan silat biasa saja tak dapat mendesak Hong Ing. Ban Hok merasa malu sekali, lalu mulai mengeluarkan kepandaiannya yang ditakuti lawan, yaitu pukulan-pukulan tangan pasir.

Ketika ia gerakkan kedua lengannya, terdengar suara berderak-derak dan kulit lengan yang sudah hitam itu kini bertambah-tambah hitam bersemu merah. Pukulannya berat dan mendatangkan angin dingin. Hong Ing sangat terkejut ketika ia berbalik ke samping mengelak, ternyata angin pukulan lawannya itu menyambar dan merasa pundaknya tertimpa tenaga kuat!

Ia berhati-hati dan tidak mau menangkis lengan lawannya, tapi karena desakan-desakan Ban Hok yang gerakannya juga gesit sekali, hampir tiada ketika baginya untuk selalu mengelak saja.

Han Liong melihat dengan khawatir. Ia maklum bahwa Jika Hong Ing menggunakan lengan untuk menangkis, maka sekali saja lengannya beradu dengan lengan lawan, dapat dipastikan ia akan mendapat luka berat, kalau tidak, patah lengannya! Maka pada saat Ban Hok melayangkan pukulan mautnya segera ia gerakkan tubuhnya untuk menangkis dengan tangannya karena Hong Ing sudah terdesak betul-betul sehingga itulah jalan satu-satunya.

Han Liong menyambar tangan Hong Ing dan merenggutkannya. Gadis itu merasakan tubuhnya melayang ke atas bagaikan tertiup angin puyuh, tapi ia dapat turun ke tanah dengan selamat. Hampir saja gadis itu menegur kakaknya dengan marah, tapi ia sempat melihat Han Liong berkedip padanya dan Ban Hok berdiri sambil tertawa.

"Bagus sekali gerakanmu. Angin Puyuh Menyambar Pohon itu! Syukur adikmu tertolong oleh gerakanmu yang cepat dan tangkas!" ia memuji.

Han Liong menjura. "Adikku mengaku kalah, lo-enghiong. Kini siauwte mohon pengajaranmu. Tapi sebelum kita bertanding ilmu silat, bagaimanakan perjanjian kita?"

"Haruskah dijelaskan lagi? Kalau kau kalah, maka kau harus penuhi permintaanku yaitu sediakan uang lima ribu tail perak untuk menebus anak Lie Kiam, sebaliknya kalau aku sampai kalah, kau boleh ambil kembali anak itu dan habis perkara!"

"Terima kasih, lo-enghiong. Nah, silahkan!"

"Kaulah yang menyerang dulu, anak muda!"

Han Liong segera menggunakan tangan kanannya menyerang dengan gerakan sembarangan saja, tapi hal ini tidak membuat Ban Hok berlaku kurang waspada, karena orang gagah ini maklum bahwa kalau adiknya saja sudah demikian pandai, kakaknya tentu lebih pandai lagi. Maka, tanpa pikir panjang lagi ia menggunakan ilmu tangan pasir untuk melayani Han Liong.

Pemuda ini sengaja tidak menangkis atau balas menyerang, tapi pergunakan seluruh kegesitan tubuhnya, warisan dari Liok-tee-sin-mo Hong In, untuk berkelit kesana kemari. Ban Hok diam-diam memuji ilmu meringankan tubuh anak muda itu yang bagaikan seekor burung kecil berkelebat ke sana ke mari menghindarkan segala serangannya. Tiga puluh jurus telah lewat tanpa ia mampu menowel ujung baju pemuda itu, hingga ia merasa sangat kesal dan berteriak,

"He, jangan licik! Tak beranikah kau menyambut tanganku?"

"Maaf, sekarang akan kusambut. Bersiaplah!" seru Han Liong dan ketika si Harimau Hitam kerahkan seluruh tenaga dalamnya di sepanjang lengan dan tangan kanannya sambil melayangkan pukulan ke arah dada Han Liong, anak muda itu mengerahkan seluruh kekuatannya dan gunakan tangan kiri dengan kepalan terbuka menumbuk kepalan lawan!

Terdengar suara 'buk' seakan-akan dua benda lunak tapi berat beradu! Han Liong yang sedang memasang kuda-kudanya merasa tergetar dan terpaksa menggerakkan kaki kirinya mundur setindak, tapi kesudahannya sungguh hebat di fihak Ban Hok. Ia terpental ke belakang seolah-olah terdorong oleh tenaga yang luar biasa besarnya sehingga terhuyung-huyung dan hampir saja jatuh terjengkang setelah mundur lebih dari enam langkah!

Baiknya Han Liong tidak hendak mencelakakannya dan hanya gunakan tenaga keras lawan keras untuk memunahkan tenaga lawan. Sesungguhnya dalam hal lweekang, anak muda itu jauh lebih tinggi tingkatnya daripada Ban Hok.

Kalau saja Han Liong dalam pertumbukan tenaga itu mempergunakan lweekang lemas untuk membuat tenaga Ban Hok mental balik, akan celakalah Harimau Hitam itu. Pasti ia akan terpukul oleh tenaganya sendiri dan ia akan mendapat luka dalam yang dapat membuat jantungnya putus. Setelah Ban Hok dapat tetapkan kakinya, ia menghampiri anak muda itu dengan pandangan heran dan kagum.

"Sungguh tak kusangka Lie Kiam mempunyai sute seperti kau, Si enghiong," katanya. "Biar bagaimana jugapun, ilmu silat dan tenagamu itu membuat aku tidak percaya bahwa kau adalah sute dari Lie Kiam. Betul kegesitanmu dan gerakan-gerakanmu sama dengan Lie Kiam, tapi ada juga perbedaannya. Dan tenaga dalammu ketika kau menyambut pukulanku tadi, ah, tak pantas kau menjadi adik seperguruan Lie Kiam."

"Bagaimanapun, memang benar siauwte adalah sute dari Lie Kiam suheng," jawab Han Liong.

"Aku tidak malu mengaku bahwa dalam hal ilmu pukulan, kau lebih pandai dari aku, tapi aku belum mau mengaku kalah, anak muda. Marilah kita mencoba kemahiran senjata!"

Ia lalu melompat ke dekat pintu kelenteng dan mengambil sebatang toya besi yang berat. Dalam hal ilmu tangan kosong, Ban Hok ini sudah lebih tinggi dari Lie Kiam, karena lima tahun yang lalu ketika ia jatuh di tangan Lie Kiam, ilmu silatnya sudah cukup tinggi dan hanya kalah sedikit saja dari Lie Kiam yang terkenal gesit.

Tapi setelah menggembleng dirinya selama lima tahun dengan sungguh-sungguh, kini dapat dibayangkan betapa majunya ia. Lebih-lebih dalam ilmu toyanya, jarang ia menemukan tandingan. Ia sangat membanggakan ilmu toya gabungan dari Siauw-lim dan Bhok-san-pai yang dinamakannya Ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk.

"Nah, anak muda. Kulihat kau tak bersenjata, maka kau boleh meminjam pedang yang tergantung di pinggang adikmu itu untuk melawanku!"

Tapi Han Liong tahu bahwa toya lawannya itu sedikitnya beratnya ada lebih kurang lima puluh kati dan pedang Hong Ing bukanlah pedang mustika, sedangkan kalau menggunakan Pek-liong pokiam yang terlilit di pinggangnya itu, ia merasa belum waktunya. Bila keadaan tidak sangat mendesak dan perlu, ia tidak mau mengeluarkan pedang pusakanya itu. Selagi ia memikir-mikir, Hong Ing yang duduk di bawah sebatang pohon menikmati hawa sejuk sambil nonton pertempuran itu, berkata,

"Koko, ini toyamu tertinggal di sini!"

Han Liong menengok heran, dan ia tersenyum ketika melihat adiknya itu mengangsurkan sebatang ranting pohon liu yang panjangnya tidak lebih dari tiga kaki dan besarnya tidak melebihi ibu jari kakinya! Namun ia terima juga 'senjata' itu dan berkata,

"terima kasihi adikku." Lalu dengan tenang ia menghadapi Ban Hok.

Si Harimau Hitam melihat anak muda itu dengan mata merah. Ia merasa dihina sekali. "Jangan takabur, anak muda. Kau hendak melawan toyaku dengan ranting itu?"

"Memang itulah senjatanya, lo-enghiong!" dari bawah pohon, Hong Ing menjawab sambil tertawa.

Gadis ini yakin sekali akan ilmu silat kakaknya, maka ia sengaja menggunakan kesempatan ini untuk menyaksikan kelihaian kakaknya, sambil hendak memperolok-olokkan Ban Hok yang telah mengalahkannya tadi. Jadi dalam hal ini, sebenarnya Hong Inglah yang berlaku sombong.

Maka tak heran kalau Ban Hok menjadi marah sekali dan tanpa berkata apa-apa lagi ia segera memutar toyanya sehingga mengeluarkan suara angin mendesir, lalu ujung toyanya melayang ke arah dada Han Liong disertai bentakannya.

"Lihat toya!"

Kalau ranting yang diberikan oleh Hong Ing itu sudah kering, tentu Han Liong tidak berani menggunakannya, tapi ranting itu masih hijau dan basah, ia yakin bahwa kayu kecil itu merupakan senjata yang ulet dan tidak khawatir terpukul patah. Melihat datangnya luncuran ujung toya lawan, ia segera mengelak ke samping dan menggunakan rantingnya menangkis dengan meminjam tenaga lawan sehingga toya itu meleset arahnya.

Namun Ban Hok memutar balik toyanya dan menggunakan ujung sebelah lagi untuk mengemplang kepala! Han Liong memperlihatkan kegesitannya dengan miringkan kepala dan tubuh sambil menggunakan rantingnya dari bawah menotok ke arah iga lawan!

Gerakan ini dinamakan tipu Naga Sakti Mengulur Lidah, tubuhnya merendah dengan pinggang tertekuk bagaikan naga menggeliat dan ranting itu seakan-akan lidah naga yang menjulur cepat ke depan! Melihat gerakan yang cepat dan indah ini, tanpa terasa Ban Hok berseru,

"Bagus!" dan ia terpaksa membuang diri ke samping untuk menghindarkan totokan berbahaya itu, karena untuk menangkis ia tiada waktu lagi.

Ban Hok segera mengeluarkan ilmu toyanya Lima Iblis Mengamuk dengan mengerahkan semua tenaga dalamnya, hingga sekejap kemudian toyanya terputar-putar merupakan lingkaran hitam yang mengurung tubuh Han Liong! Ujung toya menjadi berpuluh-puluh banyaknya. Tapi dengan menggunakan keringanan tubuh dan kegesitan warisan keempat gurunya.

Han Liong dapat melayaninya dengan seimbang, Ilmu Pukulan Empat Bintang dapat ia mainkan di ujung ranting itu dan di sini ternyata betapa hebatnya ilmu gabungan ciptaan Kam Hong Siansu itu, karena menggunakan ilmu silat gabungan ini, walaupun hanya menggunakan sebatang ranting kecil saja, numun cukup untuk melayani ilmu Toya Lima Iblis Mengamuk yang demikian hebatnya!

Lebih-lebih lagi karena dalam gerakan-gerakan Han Liong digunakan ilmu totok warisan suhunya Hee Ban Kiat si mata satu, maka tak heran bahwa Ban Hok harus berlaku sangat waspada agar jangan sampai dijatuhkan oleh lawan yang muda dan hanya menggunakan ranting itu!

Demikianlah, mereka bertempur sampai enam puluh jurus lebih. Mata Hong In yang menonton dari bawah pohon sampai menjadi kabur rasanya, dan diam-diam ia memuji dan kagum melihat kehebatan ilmu silat kakaknya. Matanya berkunang-kunang melihat toya Ban Hok merupakan gulungan hitam bergerak-gerak cepat dan di tengah-tengah gulungan hitam itu tampak berkelebat sinar kecil putih kehihau-hijauan dari ranting Han Liong.

Pada saat itu Han Liong merasa sudah cukup mencoba kepandaian Ban Hok yang telah menjatuhkan suhengnva itu. Iapun diam-diam mengaku bahwa baru sekali ini ia menemukan lawan yang agak tangguh. Maka ia segera mengubah ilmu silatnya. Tiba-tiba Ban Hok terkejut sekali karena ketika ranting berkelebat dan menyambar ujung tovanya, ternyata ranting itu seakan-akan digerakkan oleh tenaga raksasa dan bukan merupakan ranting kecil lemah lagi, tetapi seakan-akan merupakan sebuah senjata yang lebih berat dari pada toyanya sendiri.

Kemudian ranting itu berkelebat amat cepat dan gerakan-gerakannya tidak terduga sama sekali dan tahu-tahu ranting itu membesit tangan kanannya hingga ia merasa seakan-akan tulang lengan itu akan remuk dan kulitnya bagaikan terbakar! Ia tidak tahan lagi dan tanpa disengaja toyanya terlepas dari pegangan!

"Aku mengaku kalah!" katanya dengan suara penuh kekecewaan dan kemenyesalan, sambil memandang pemuda itu dengan penuh keheranan.

Sebenarnya tak usah dibuat heran, karena Han Liong tadi telah menggunakan dua jurus Ilmu dari Pek-liong-kiam-hoat! Gerakan pertama ketika ia menangkis ujung toya lawan adalah tipu Naga Putih Mencakar Gunung dan ketika ia membesit lengan lawan tadi ialah tipu Naga Putih Memukulkan Ekornya.

Baru saja ia menggunakan dua jurus tipu dari Pek-liong-kiam-hoat, ia telah berhasil mengalahkan Ban Hok, maka dapat dibayangkan betapa hebatnya ilmu pedang Pek-liong-kiam-hoat itu! Memikirkan hal ini, Han Liong diam-diam merasa sangat girang dan berterima kasih kepada Kam Hong Siansu yang telah membimbingnya itu.

"Si enghiong, kau benar pandai dan gagah. Aku terima kalah. Hanya yang membuat aku penasaran, mengapa kau yang menjadi sute dari Lie Kiam setinggi ini ilmu silatmu? Katakanlah, anak muda, siapa yang mengajar kau ilmu silai tadi? Siapakah gurumu, selainnya guru Lie Kiam?"

"Ban lo-enghiong, jangan terlalu memuji. Karena kau jujur, maka terus terang kukatakan bahwa selain suhuku Lie Kiam, aku masih mempunyai tiga orang guru lain. Tapi yang mengajar aku dalam ilmu silat yang kupakai tadi sehingga akau berhasil membuat kau mengalah, adalah seorang guru lain yang tak dapat kusebut namanya, karena suhuku itu tidak suka namanya diperkenal kepada umum."

Ban Hok si Harimau Hitam mengangguk-anggukkan kepala. "Pantas... pantas... Kau jauh lebih hebat dari pada Lie Kiam, rupanya pelajaranmu begitu luas. Aku tidak usah merasa malu jatuh dalam tanganmu. Nah, sakarang kau boleh ambil anak itu dan antar kepada Lie Kiam dan katakan padanya bahwa melihat kau yang semuda ini tapi sudah berkepandaian begitu tinggi, pula sikapmu yang sopan santun ini, aku habiskan saja urusan sampai disini! Biarlah ini menjadi pelajaran bagiku bahwa di dunia ini tidak ada orang yang paling pandai. Pasti ada yang melebihi kepandaian seseorang."

Hong Ing mendengar ini lalu melompat berlari-lari masuk ke kelentang. Tak lama kemudian ia keluar lagi menuntun seorang anak kecil. Ternyata, walaupun bekas seorang perampok tunggal, Ban Hok adalah seorang laki-laki jujur, ia tidak membikin susah anak itu, tetapi dirawatnya baik-baik selama berada dalam tangannya sehingga anak itu tidak mengalami sesuatu kesengsaraan.

Kemudian, setelah menghaturkan terima kasihnya, Han Lion menggendong anak itu, dan bersama Hong Ing meninggalkan tempat itu dengan lari cepat...


                     ***************
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12