Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga
Jilid 05
Kemudian datuk Pek-lian-kauw itu melontarkan pedangnya yang
bernyala itu ke atas dan pedang itu meluncur dan menyerang ke arah Siang Lan seperti hidup! Bukan itu saja, kini api dari obor-obor itu seolah mengikuti pedang, merupakan bola-bola api yang semua
menyerang ke arah gadis itu!
Siang Lan terkejut dan maklum bahwa kakek itu menggunakan
ilmu sihir yang agaknya telah dipersiapkan lebih dulu. Ia tidak
menjadi gentar.
Tubuhnya berkelebatan dan sinar kilat pedangnya bergulung-gulung menangkis serangan pedang terbang,
sedangkan tangan kirinya dengan tenaga sakti mendorong ke arah
bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi Hoat Hwa Cin-jin kini maju mengeroyoknya dengan sepasang goloknya yang lihai. Agaknya gerakannya juga sudah
diatur karena tokoh Pek-lian-kauw dari Liauw-ning ini tidak menggunakan goloknya untuk menyerang, melainkan sepasang
goloknya berusaha menahan pedang Siang Lan.
Tentu saja gadis itu kini menjadi repot karena dikeroyok banyak bola api, pedang terbang dan sepasang golok Hoat Hwa Cin-jin. Ia masih dapat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak ke sana-sini sambil memutar pedang sebagai perisai yang menyelimuti dirinya.
Akan tetapi kini Hwa Hwa Hoat-su juga melompat ke depan dan
kebutannya menyambar-nyambar melakukan totokan-totokan
yang amat cepat. Betapa pun lihainya Siang Lan yang telah menerima gemblengan Bu-beng-cu, namun menghadapi sekian banyak pengeroyok, ia tidak tahan juga.
Akhirnya ujung kebutan di tangan Hwa Hwa Hoat-su yang dapat menjadi lemas atau kaku dengan kekuatan tenaga saktinya itu dapat menotok jalan darahnya di tengkuk dan tubuh gadis itu terkulai roboh dan pingsan! Hoat Hwa Cin-jin segera mengambil Lui-kong-kiam berikut sarungnya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya sambil
tertawa senang.
Kemudian dia memondong tubuh Siang Lan dan hendak membawanya pergi. "Cin-jin, hati-hatilah. Gadis itu lihai sekali, jangan sampai ia sadar
lalu membunuhmu.
Lebih cepat ia dibunuh lebih baik agar tidak menjadi penghalang kita di kemudian hari," kata Hwa Hwa Hoatsu.
"Ha-ha-ha, Hoat-su, jangan khawatir! Aku hanya merasa sayang kalau ia dibunuh begitu saja, terlalu enak buat ia dan tidak enak untukku. Jangan khawatir, besok pagi-pagi ia sudah tinggal nama saja, akan kupenggal lehernya dan kepalanya kita
pergunakan untuk upacara
sembahyang saudara-saudara kita yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li ini!"
Setelah berkata demikian, Hoat Hwa Cin-jin membawa lari gadis dalam pondongannya itu, memasuki hutan lebat.
Air yang dingin menyiram muka dan kepala Siang Lan, membuat gadis itu siuman dari pingsannya. Ia gelagapan dan menggoyang kepala mengusir air yang menutupi kedua matanya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan ia terkejut bukan main
melihat dirinya berada dalam sebuah pondok, rebah telentang di atas tanah bertilam rumput kering dengan kaki dan tangan terpentang dan terikat pada tiang-tiang besi yang kokoh.
Ia berusaha merenggut lepas tali-tali itu, namun tenaganya tidak dapat terkumpul semua. Tahulah ia dengan kaget bahwa dirinya telah ditotok untuk melemahkan tenaganya.
Ia hanya mampu menggunakan tenaga otot saja dan tidak mampu
mengerahkan sin-kang.
Yang membuat ia menjadi pucat adalah ketika ia melihat betapa pakaian luarnya telah ditanggalkan dari tubuhnya dan pakaian itu bertumpuk di sudut ruangan pondok itu.
Jantungnya mulai berdebar tegang dan...... takut! Hwe-thian Mo-li tidak pernah gentar menghadapi kematian sekalipun, akan tetapi melihat keadaan dirinya, setengah telanjang dan terikat tak berdaya, membuat ia membayangkan malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut!
Ia pernah diperkosa Thian-te Mo-ong. Peristiwa itu saja sudah membuat ia hampir membunuh diri, sudah membuat hancur makna hidup ini baginya. Bagaimana mungkin ia dapat mengalami malapetaka itu untuk kedua kalinya"
"Ha-ha-ha, engkau sudah bangun, Hwe-thian Mo-li?" terdengar suara dari luar dan masuklah Hoat Hwa Cin-jin. Kakek tinggi besar muka hitam ini tampak mengerikan sekali bagi Siang Lan, terutama karena sepasang matanya itu memandang kepadanya penuh nafsu, seolah hendak menelannya bulat-bulat dan mulutnya yang lebar menyeringai penuh ejekan.
"Keparat Hoat Hwa Cin-jin, manusia licik, curang! Kalau engkau
memang laki-laki, mari kita bertanding sampai seorang dari kita
mampus!"
"He-he-he, sebentar lagi aku akan membuktikan bahwa aku memang laki-laki sejati, Mo-li. Setelah engkau melayani aku bersenang-senang sampai sepuasku dan aku menjadi bosan,barulah engkau akan kubunuh."
Siang Lan bergidik. Apa yang dikhawatirkannya ternyata benar.
Pendeta palsu ini hendak berbuat keji kepadanya, hendak memperkosanya! Ia terbelalak, matanya seperti mata kelinci menghadapi auman harimau yang hendak menerkamnya.
"Bunuh saja aku!" teriaknya.
"Ha-ha-ha, sayang engkau begini cantik, begini mulus dibunuh
begitu saja. Engkau harus melayani aku dulu...... heh-heh-heh!"
Hoat Hwa Cin-jin berjongkok dekat Siang Lan dan kedua tangannya mulai meraba-raba.
"Bunuh aku! Penggal leherku, cincang tubuhku, akan tetapi jangan
memperkosaku......! Kumohon, jangan perkosa...... bunuhlah aku sekarang juga......!"
Hwe-thian Mo-li menjerit-jerit dan meronta ronta, memutar kepala ke kanan kiri untuk menghindar ketika muka yang besar hitam
menyeramkan itu berusaha
menciumnya.
Hoat Hwa Cin-jin membelalakkan mata mendengar jeritan ini dan
dia mengangkat mukanya yang tidak berhasil mencium.
"Ha-ha! Inikah Si Iblis Betina Terbang" Ini......" Perempuan lemah
yang menjerit-jerit ketakutan" Inikah Hwe-thian Mo-li yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip mata" Yang membunuhi banyak anggauta perkumpulan kami?"
Dengan napas terengah dan suara gemetar Siang Lan berkata.
"Hoat Hwa Cin-jin, bunuhlah aku...... kumohon padamu, bunuhlah aku, jangan hina aku dengan
perkosaan......"
Dan Siang Lan mencucurkan air mata! Kalau saja ia mampu bergerak, tentu ia akan melawan mati-matian,
atau kalau tidak dapat melawan, ia akan dapat membunuh diri.
Akan tetapi ia tidak berdaya, kaki tangannya terikat kuat.
Ia lalu teringat. Ah, masih ada satu cara membunuh diri biarpun kini
kaki tangannya terikat. Ia dapat menggigit lidahnya sendiri sampai
putus dan ini pun dapat mendatangkan kematian!
Ia akan membunuh diri dengan menggigit putus lidahnya sebelum dirinya dihina dan diperkosa! Hoat Hwa Cin-jin pada saat itu sedang dikuasai nafsu binatang yang berkobar-kobar, akan tetapi dia tetap saja tertegun karena herannya melihat wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menangis!
"Hwe-thian Mo-li menangis" Ha-ha-ha, alangkah baiknya kalau
semua orang dapat menyaksikan ini. Ha-ha-ha-ha......!"
"Brakkkkk......!!" Tiba-tiba pondok yang tidak besar itu jebol dan roboh, terlempar seperti diterjang badai!
Hoat Hwa Cin-jin terkejut sekali dan dia cepat melompat untuk menghindarkan dirinya ikut diterjang kekuatan yang dahsyat itu.
Bayangan orang yang cepat sekali gerakannya melompat dekat Siang Lan yang masih rebah telentang sehingga ia tidak sampai diterjang kekuatan dahsyat itu. Bayangan itu ternyata adalah Bubeng-cu, akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan ikatan kaki tangan Siang Lan, Hoat Hwa Cin-jin yang menjadi marah sekali telah menerjangnya dengan hebat.
Saking marahnya karena niatnya membalas dendam kepada Siang Lan yang sudah hampir terlaksana itu gagal, dia tidak ingat lagi bahwa Bu-beng-cu yang pernah dilawannya memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tangguh daripada Hwe-thian Mo-li sendiri.
Kemarahan membuat dia menjadi nekat dan kini dia menyerang dengan sepasang goloknya.
"Manusia jahanam!" Bu-beng-cu membentak dan cepat mengelak
dari sambaran sepasang golok tokoh Pek-lian-kauw itu.
Bu-beng-cu juga marah sekali dan dia berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok itu. Kemudian, dengan penyaluran tenaga sakti yang amat kuat dia membalas.
"Wuuuttt...... desss !!" Tubuh Hoat Hwa Cin-jin seperti disambar petir dan dia terlempar sampai tiga tombak lebih, jatuh terbanting dan pingsan. Hantaman tenaga yang amat dahsyat itu telah mengguncang isi dadanya sehingga dia terluka dalam yang cukup parah.
Bu-beng-cu tidak peduli lagi kepada lawannya yang sudah roboh dan pingsan. Dia cepat melompat dekat Siang Lan, merenggut ikatan kedua kaki tangan gadis itu lalu membebaskan totokan yang membuat Siang Lan tidak mampu mengerahkan tenaga sinkangnya.
Sementara itu, ketika Bu-beng-cu melepaskan ikatan kaki tangannya, Siang Lan yang tadinya sudah bercucuran air mata, kini bagaikan air dibendung dan pecah bendungannya. Tadinya, kengerian dan ketakutan membuat ia menangis dan kini, saking lega, gembira yang amat sangat, dia menangis, mengguguk dan segera merangkul leher Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya. Laki-laki yang merasa amat berdosa kepada Siang Lan ini, yang juga merasakan iba yang mendalam, tanpa disadarinya sendiri, telah jatuh cinta kepada Siang Lan. Dia siap melakukan apa saja, kalau perlu bahkan berkorban nyawa, untuk membahagiakan gadis ini.
Biarpun usianya sudah empatpuluh dua tahun, sejak muda Bubeng-cu atau Sie Bun Liong ini tekun mempelajari ilmu dan biasa hidup di puncak-puncak gunung yang sunyi. Belum pernah dia bergaul dekat dengan wanita, belum pernah bersentuhan, apalagi berpelukan seperti sekarang ini.
Ketika dia menggauli atau memperkosa Siang Lan, hal itu dilakukan dalam keadaan terbius,
hampir tidak menyadari apa yang dia lakukan.
Sekarang Siang Lan merangkulnya sambil menangis. Dia dapat merasakan air mata gadis itu menembus bajunya, membasahi kulit
dadanya dan terasa seolah menembus kulit dan menyiram hatinya.
Dia merasakan kelunakan tubuh Siang Lan yang hangat ketika gadis itu merangkulnya dengan tubuh bergoyang-goyang karena isaknya. Dia dapat mencium keharuman yang khas dari tubuh yang mendekapnya itu. Kehangatan tubuh yang hanya terbungkus pakaian dalam yang
tipis itu menjalar, membuat dia merasakan kehangatan yang mesra.
Tanpa disadarinya, kedua lengannya yang kokoh kuat itu merangkul dan dia menekan kepala yang rapat dengan dadanya itu, seolah ingin membenamkan dan memasukkan kepala gadis itu ke dalam dadanya. Siang Lan merasa demikian lega dan bahagia setelah terbebas dari rasa ngeri dan takut yang hebat. Ia bahkan merasa seolah Bubeng-cu memberi kehidupan baru padanya karena tadinya ia sudah yakin bahwa ia pasti akan mati.
Ia tadinya sudah mengambil
keputusan akan menggigit putus lidahnya sendiri sebelum Hoat
Hwa Cin-jin dapat memperkosanya.
Kini ia tiba-tiba terbebas dan hidup! Ia teringat betapa besar budi
kebaikan yang telah dilakukan Bu-beng-cu kepadanya.
Laki-laki itu bukan hanya mencegah ia membunuh diri, juga telah bersusah payah melatih ilmu silat tinggi dengan sungguh-sungguh
kepadanya dan entah sudah berapa kali Bu-beng-cu menyelamatkannya dari bahaya maut.
Laki-laki ini selalu muncul apabila ia berada dalam kesulitan dan ancaman bahaya. Kini, ketika ia merangkul dan merasakan betapa dirinya didekap, ia merasakan kehangatan dan merasa dalam keadaan demikian ia seperti terayun dan penuh kedamaian dan
ketenangannya.
Ah, betapa nikmat dan senangnya!
Dan tiba-tiba ia merasa bahwa Bu-beng-cu adalah satu-satunya pria di dunia ini yang mempedulikannya, bahkan menjaga dan menyayangnya.
Menyayangnya! Mencintanya!
Baru sekarang ia menyadari hal itu. Bu-beng-cu sungguh mencintanya, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta kasih yang demikian murni dan suci karena belum pernah sedikit pun Bubeng-cu memperlihatkan keinginannya untuk bertindak tidak sopan kepadanya.
Dan ia merasa begitu aman dalam dekapannya. Baru sekarang ia merasakan bahwa biarpun Bu-beng-cu tidak pernah memperlihatkan sikap mencintanya sebagai seorang pria, namun kini sentuhan-sentuhan jari pria itu, dekapannya yang demikian mesra, terasa hangat oleh api cinta yang hanya ia yang dapat
merasakannya.
"Paman Bu-beng-cu......" Suaranya seperti merintih namun penuh
kemesraan dan kepasrahan menyelingi isak tangisnya.
"...... Siang Lan......" Suara ini lirih sekali, menggetar penuh
perasaan seperti bisikan yang keluar dari hati laki-laki itu.
Siang Lan tidak merasa heran kalau Bu-beng-cu mengerti namanya karena mungkin laki-laki yang berilmu tinggi itu mendengar ketika Li Ai atau Hong Bu menyebut namanya. Akan
tetapi yang membuat ia merasa heran adalah bahwa belum pernah
Bu-beng-cu menyebutkan namanya, biasanya ia menyebut Nona
atau Hwe-thian Mo-li.
Ia merasa betapa sebutan namanya dengan suara seperti merintih
itu seolah menggambarkan dengan jelas cinta kasih yang terkandung di dalamnya.
Ia merasa terharu dan juga berbahagia dan pada saat itu ia seolah seperti seekor burung yang terbang
berkeliaran tanpa tujuan kini hinggap di atas sebuah ranting yang kokoh dan yang melindunginya dari segala ancaman dan kesengsaraan hidup. Ia merasa amat senang dan ingin tinggal
dalam dekapan laki-laki itu untuk selamanya!
"Paman......" la berbisik penuh kemesraan.
Ketika ia mendengar suara seperti terisak tertahan, Siang Lan membuka matanya yang basah dan ia melihat betapa Bu-beng-cu menangis!
Dia menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja ada isak meluncur keluar dari mulutnya bersama beberapa tetes air mata yang melompat turun ke atas kedua pipinya!
Akan tetapi keheranan dan keharuan hati Siang Lan itu segera terganti rasa kaget. Siang Lan mendorong tubuh Bu-beng-cu sehingga terpental ke belakang dan pada saat itu, sepasang golok yang menyambar.
Tadinya sepasang golok itu menyambar ke arah kepala Bu-beng-cu yang agaknya seperti kehilangan kewaspadaannya sehingga kalau saja dia tidak didorong Siang Lan, agaknya dia akan menjadi korban bacokan yang dahsyat itu.
Kiranya Hoat Hwa Cin-jin yang tadinya terpukul pingsan telah siuman. Ketika dia melihat betapa Bu-beng-cu berangkulan dengan Hwe-thian Mo-li dan keduanya menangis, dia melihat kesempatan baik sekali untuk melampiaskan dendam dan
kebenciannya.
Berindap-indap dia menghampiri mereka dengan sepasang golok siap di tangannya.
Dia merasa gentar terhadap Bu-beng-cu, maka dia menghampiri mereka dari arah belakang Bu-beng-cu. Setelah jaraknya tidak jauh lagi, dia segera meloncat dan mengayun sepasang goloknya membacok kepala Bu-beng-cu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bu-beng-cu itu,kebetulan sekali Siang Lan membuka mata untuk memandang wajah Bu-beng-cu sehingga ia melihat datangnya serangan dan cepat ia mendorong dada Bu-beng-cu sehingga terpental dan terhindar dari serangan maut itu.
Begitu kedua tangan Hoat Hwa Cin-jin yang memegang golok itu menyambar lewat karena bacokannya luput, Siang Lan menggerakkan tangan yang dimiringkan dan "membacok" ke arah
pergelangan tangan kiri Hoat Hwa Cin-jin.
Tokoh Pek-lian-kauw yang sudah menderita luka dalam itu berteriak dan golok kirinya terlepas. Siang Lan cepat menyambar golok itu dan menyerang dengan dahsyat. Hoat Hwa Cin-jin mencoba untuk menangkis dengan golok kanannya, akan tetapi tenaganya sudah melemah sehingga goloknya terpental dan sebelum dia mampu menghindarkan diri,golok di tangan Siang Lan sudah menyambar ke arah lehernya.
Hoat Hwa Cin-jin tidak sempat mengeluarkan suara lagi. Dia roboh
dengan leher hampir putus dan tewas seketika.
Siang Lan melampiaskan kebenciannya dengan membacoki tubuh pendeta palsu itu dengan golok rampasannya! Kepala Hoat Hwa
Cin-jin hancur oleh bacokan-bacokan yang gencar itu.
"Nona, hentikanlah!" Bu-beng-cu berseru.
Akan tetapi Siang Lan seperti kesetanan dan membacok terus.
Tiba-tiba sepasang lengan merangkul tubuh berikut kedua lengannya dari belakang sehingga ia tidak dapat menggerakkan lagi tangannya yang memegang golok.
Ketika melihat bahwa yang
mendekapnya dari belakang itu Bu-beng-cu, Siang Lan melepaskan golok itu, membalik dan terkulai pingsan dalam pelukan Bu-beng-cu.
"Siang Lan...... ahh, Siang Lan......!" Bu-beng-cu merasa demikian terharu dan rasa kasihnya terhadap Siang Lan membakar seluruh tubuhnya. Tanpa dapat dia pertahankan lagi, dia memondong tubuh Siang Lan lalu menunduk dan menciumi muka gadis itu penuh kasih sayang.
Akan tetapi dia segera menyadari perbuatannya yang sebagian terdorong pula oleh gairahnya sebagai seorang laki-laki,maka cepat dia menghampiri mayat Hoat Hwa Cin-jin, mengambil pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang dirampas oleh Hoat Hwa Cin-jin.
Kemudian dia membawa gadis yang pingsan dalam pondongannya itu meninggalkan tempat di mana terdapat mayat Hoat Hwa Cin-jin yang mengerikan itu. Tidak lupa sebelum pergi dia menyambar pakaian luar Siang Lan yang bertumpuk di dalam
pondok yang sudah roboh.
Setelah agak jauh dari tempat itu, Siang Lan siuman dan mengeluh. Mendengar ini, Bu-beng-cu berhenti berlari dan menurunkan Siang Lan sehingga terduduk di atas tanah. Ia
membuka matanya dan Bu-beng-cu segera menyerahkan pakaian dan pedang Lui-kong-kiam kepadanya.
"Paman......" "Kenakan dulu pakaianmu, Nona," kata Bu-beng-cu, suaranya sudah seperti biasa sehingga diam-diam Siang Lan merasa kecewa. Ia tidak merasakan kemesraan dalam suara laki-laki yang menjadi guru dan penolongnya itu.
Akan tetapi ucapan itu pun seketika
mengingatkannya bahwa sejak tadi ia hanya mengenakan pakaian dalam yang serba terbuka dan tipis!
Hal ini tentu saja membuat Siang Lan tersipu malu, juga terkejut mengapa ia tadi seolah tidak menyadari keadaan dirinya yang setengah telanjang itu. Dan kalau ia mengingat kembali ketika ia berangkulan dengan Bu-beng-cu...... ahh...... wajahnya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar. Cepat ia mengenakan
pakaian dan menggantungkan pedangnya.
"Paman Bu-beng-cu!" ia memanggil dan laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menghadapinya. Siang Lan melihat betapa wajah Bu-beng-cu tampak muram dan agak pucat.
"Paman, kembali paman telah menyelamatkanku. Bagaimana aku
harus membalas budi kebaikan yang berlimpahan itu?" kata Siang Lan terharu. Bu-beng-cu menghela napas panjang. Dia merasa semakin sedih
melihat betapa kini sinar mata gadis itu ketika memandangnya berbeda dari biasanya. Kalau biasanya pandang mata itu mengandung kekaguman dan terima kasih, kini ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang mengandung kemesraan!
Dan inilah yang membuat dia bersedih. Kenyataan bahwa dia jatuh
cinta kepada Hwe-thian Mo-li sudah merupakan hal yang mendatangkan kesedihan dalam hatinya walaupun kesedihan itu akan ditanggungnya dengan tabah. Dia akan menganggap hal itu sebagai tambahan penderitaannya dan sudah semestinya untuk memberi hukuman kepadanya atas dosa yang dia lakukan kepada Siang Lan.
Dia rela binasa dan menderita asalkan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang, melihat bahwa agaknya gadis itu pun mencintanya, membuat dia semakin berduka. Cinta gadis itu kelak hanya akan menghancurkan kebahagiaan hidup Siang Lan.
Alangkah akan hancur hatinya kalau kelak melihat bahwa jahanam yang dibencinya, yang merupakan musuh
besar dan ia telah bersumpah akan membunuhnya, ternyata adalah pria yang dicintanya!
Ah, dia tidak ingin melihat Siang Lan
kelak menderita karena itu. Tidak, Siang Lan tidak boleh jatuh cinta
padanya!
"Hwe-thian Mo-li, tidak perlu berterima kasih. Kalau aku membantumu, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran, bukan
karena budi kebaikanku. Ketahuilah, bahwa engkau bagiku seperti
keponakan sendiri, atau anak sendiri, maka sudah sepatutnya kalau aku membantumu.
Sudahlah, hal itu tidak perlu kita
bicarakan lagi. Yang penting kita bicarakan adalah kekejamanmu
tadi yang telah mencincang mayat Hoat Hwa Cin-jin. Perbuatanmu itu sungguh kejam dan sama sekali tidak berprikemanusiaan!"
Suara Bu-beng-cu menjadi keras mengandung teguran.
Diam-diam Siang Lan terkejut dan kecewa. Tadinya, ia mengira bahwa laki-laki ini mencintanya, seperti dirasakannya tadi. Akan tetapi ternyata dugaannya keliru. Bu-beng-cu hanya sayang padanya seperti sayang keluarganya.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Engkau tak tahu malu!
Demikian ia berpikir dan gemas kepada pikirannya sendiri.
Bagaimana mungkin ia mengharapkan seorang pendekar yang demikian gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berbudi mulia dan penuh wibawa, dapat jatuh cinta kepadanya"
Ia seorang gadis yatim piatu yang namanya dikutuk banyak orang
sebagai Iblis Betina walaupun yang mengutuk dan membencinya itu mereka yang disebut golongan sesat. Yang lebih daripada semua itu, ia bukan gadis yang perawan lagi.
Kehormatannya telah ternoda lagi! Ia telah diperkosa orang. Ia telah ternoda dan kotor. Bagaimana mungkin mengharapkan menjadi isteri seorang yang hebat seperti Bu-beng-cu" Tak terasa lagi, wajahnya menjadi pucat dan tak dapat ditahannya, beberapa tetes air mata terjatuh keluar dari pelupuk matanya, mengalir di kedua pipinya yang pucat.
"Hwe-thian Mo-li...... Nona...... kau menangis" Kenapa?" tanya Bubeng-cu, khawatir kalau-kalau ucapannya tadi menyinggung dan menyakitkan hati gadis itu.
Siang Lan menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggelengkan kepalanya dan memaksa diri tersenyum.
"Aih, tidak apa-apa, Paman. Aku hanya merasa sedih tadi teringat
betapa engkau begitu baik budi, sedangkan aku...... begini......
jahat......" "Siapa bilang begitu" Aku bukan manusia baik, aku juga jahat,
bahkan jauh lebih jahat daripada engkau. Hanya aku ingin mengingatkan engkau, cobalah hilangkan semua kebencian dari hatimu. Jangan terlalu membiarkan dendam kebencian bersarang di hatimu karena hal itu akan meracuni dirimu sendiri."
"Akan tetapi manusia-manusia jahat dan keji seperti iblis macam Hoat Hwa Cin-jin itu, apakah tidak sepatutnya kita benci, Paman?"
"Membenci kejahatan berarti tidak mau melakukan kejahatan itu,
Nona. Kita tidak suka melihat orang berbuat kejam, tentu saja kita sendiri harus menjaga agar kita tidak berbuat kejam. Yang kita tentang adalah tindak kejahatannya, bukan manusianya.
Mendendam dan membenci seseorang dapat memberi peluang
kepada nafsu setan untuk mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang kejam."
"Akan tetapi hati yang disakitkan tidak akan dapat sembuh tanpa pelampiasan dalam bentuk balas dendam, Paman."
"Kalau melampiaskan dendam dengan cara melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara kita dan orang yang melakukan kekejaman kepada kita, Nona" Kita lalu akan menjadi sama kejamnya yang berarti sama jahatnya dengan orang yang
melakukan kejahatan terhadap diri kita."
Siang Lan menghela napas panjang. Ia merasa seperti kehilangan dan merasa menyesal. Percakapan dengan Bu-beng-cu sekarang menjadi kering, tidak ada lagi bekas-bekas kemesraan yang ia rasakan dan nikmati tadi.
Akan tetapi ia harus tahu diri. Bu-bengcu ini terlalu tinggi untuknya dan memang tidak masuk di akal kalau
seorang sepandai dan semulia Bu-beng-cu dapat jatuh cinta kepadanya!
"Paman Bu-beng-cu, aku mengerti akan maksud dari semua nasihatmu, namun aku juga merasa bahwa kiranya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan dendamku kepada orang-orang yang telah berbuat teramat jahat kepadaku seperti apa yang dilakukan Hoat Hwa Cin-jin tadi.
Juga aku masih ada dendam yang belum juga dapat kubalas, yaitu dendamku setinggi gunung sedalam
lautan kepada si jahanam busuk Thian-te Mo-ong!"
"Sudahlah, Hwe-thian Mo-li, aku tidak menyalahkan engkau membunuh Hoat Hwa Cin-jin karena dia memang amat jahat dan kematiannya merupakan akibat dari kejahatannya sendiri.
Yang kusesalkan adalah caramu melampiaskan kebencian dengan
mencincang mayatnya. Kuharap lain kali engkau tidak akan melakukan kekejaman seperti itu lagi."
Siang Lan merasa bahwa ia tadi memang lupa diri saking marahnya kepada Hoat Hwa Cin-jin. Ia menghela napas lagi dan berkata. "Maafkan aku, Paman. Tadi aku memang telah lupa diri dan mata gelap karena marah terhadap tokoh Pek-lian-kauw yang nyaris melakukan kekejian yang lebih mengerikan daripada maut kepadaku.
Aku berjanji akan lebih bersabar dan menguasai diri,Paman. Akan tetapi bagaimana dengan tugas yang akan
kulaksanakan untuk membantu Paman Panglima Chang di kota raja" Aku sedang dalam perjalanan ke sana dan aku kira di sana aku pasti akan berhadapan dengan musuh-musuh negara yang melakukan pembunuhan dan pengacauan itu. Apakah aku juga
pantang membunuh mereka?"
"Hwe-thian Mo-li, ketika engkau hendak belajar silat untuk memperdalam kepandaianmu, engkau telah berjanji, bahkan bersumpah untuk tidak membunuh orang. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau engkau terpaksa melakukannya untuk membela diri.
Tugas yang hendak kaulakukan sekarang adalah tugas membela negara. "Kalau engkau bertemu dan melawan musuh, berarti engkau
bukan melawan musuh pribadi, melainkan musuh negara.
Tentu saja bunuh-membunuh dalam perang tidak termasuk urusan pribadi, dilakukan untuk berbakti kepada negara dan dilakukan
tanpa kebencian pribadi. Betapapun juga, sebaiknya kalau mungkin, robohkan dan tawan musuh negara itu hidup-hidup daripada
membunuhnya. Kukira engkau
mengerti apa yang kumaksudkan. Sekarang lanjutkanlah perjalananmu dan baik-baiklah menjaga dirimu."
"Terima kasih, Paman."
Mereka saling berpisah. Siang Lan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja dan kini ia menggunakan ilmu berlari cepat. Bubeng-cu cepat berlari kembali ke tempat di mana Hoat Hwa Cin-jin tewas. Dia menggali lubang dan menguburkan mayat tokoh Peklian-kauw itu baik-baik, lalu memberi tanda di depan gundukan
tanah kuburan itu dengan sebuah batu besar yang dia ukir empat
huruf berbunyi "HOAT HWA CIN-JIN".
Setelah terjadi pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang menggegerkan kota raja sehingga Kaisar sendiri turun tangan memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki dan menangkap pembunuhnya, kota raja kini tampak aman. Tidak ada lagi kerusuhan, atau pembunuhan.
Pangeran Bouw Ji Kong memang cerdik. Maklum bahwa kalau dia
melanjutkan gerakannya melakukan pembersihan dengan membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar akan membahayakan dirinya karena kini panglima Chang sudah
diserahi tugas oleh Kaisar untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh, maka dia menghentikan aksi pembunuhan itu.
Dia bahkan menyuruh para sekutunya yang melakukan pembunuhan itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, jagoan Mancu, dan Tarmalan jagoan suku Hui, untuk meninggalkan kota raja, dan bersembunyi di markas Jenderal Su Lok Ti yang menjadi komandan pasukan yang bertugas di perbatasan Utara.
Panglima Chang bukan orang yang lengah dan bodoh. Diam-diam dia menaruh curiga kepada Pangeran Bouw Ji Kong yang pernah memberontak itu. Walaupun kini dia menduduki pangkat cukup tinggi sebagai penasihat Kaisar mengenai hubungan dengan suku-suku liar di
Barat dan Utara, namun Panglima Chang meraguan kesetiaan pangeran yang berdarah Hui ini.
Kelihatan sekali betapa Pangeran
Bouw melindungi para suku yang berhubungan dekat dengannya.
Maka, Panglima Chang diam-diam mengirim para penyelidiknya
untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw Ji Kong.
Dulu pernah Pangeran Bouw terlibat hubungan dekat dengan pihak Pek-lian-kauw yang sejak dulu menjadi pemberontak. Akan tetapi kaisar memaafkannya setelah dia berdalih bahwa dia mendekati Pek-lian-kauw agar mereka sadar dan menghentikan
pemberontakan mereka.
Bahkan Pangeran Bouw pula yang
menganjurkan kaisar menerima utusan Pek-lian-kauw, yaitu Leng
Kok Ho-siang yang menyatakan kemauan baik Pek-lian-kauw untuk menghentikan pemberontakan itu. Kaisar masih memaafkan adik tiri yang lahir dari selir yang berbangsa Hui itu, karena anjuran itu dianggapnya sebagai kelengahan dan kebodohan Pangeran Bouw yang dapat dibohongi pihak Pek-lian-kauw.
Akan tetapi para penyelidik itu melaporkan bahwa tidak ada yang
mencurigakan dalam gedung Pangeran Bouw. Bahkan para penyelidik melaporkan bahwa Bouw-kongcu, putera tunggal pangeran Bouw adalah seorang pemuda yang baik budi dan ramah kepada semua orang. Mereka melaporkan bahwa tidak tampak ada persekutuan di rumah Pangeran Bouw.
Di sana hanya ada pelayan-pelayan wanita dan pelayan pria yang sudah tua, dan pangeran itu mempunyai pengawal yang terdiri dari pendekar-pendekar terkenal, yaitu Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa Kang-lam). Tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Bouw mempunyai keinginan untuk memberontak, juga tidak ada tanda
bahwa dia mempunyai hubungan atau terlibat dengan para pembunuh pejabat tinggi itu.
Pada suatu malam yang gelap, sesosok bayangan berkelebat dan melayang ke atas wuwungan rumah gedung Pangeran Bouw.
Bayangan ini adalah Chang Hong Bu.
Seperti kita ketahui, Chang Hong Bu memenuhi perintah pamannya, Panglima besar Chang Ku Cing untuk menyampaikan permintaan bantuannya kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan tugas itu telah dilaksanakan dengan baik.
Setelah dia kembali ke kota raja dan melaporkan hasil pertemuan dengan Nyo Siang Lan, pemuda murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mendapat tugas
khusus dari pamannya.
"Para penyelidik yang kukirim untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan," demikian Panglima Chang memberitahu keponakannya menceritakan tentang Pangeran Bouw.
setelah "Akan tetapi aku tetap curiga kepadanya. Karena itu, coba engkau
selidiki sendiri, Hong Bu. Akan tetapi hati-hatilah karena di sana terdapat Kang-lam Jit-sian yang lihai. Sebaiknya engkau mengenakan penutup muka agar kalau ketahuan tidak akan dikenal. Aku mengutusmu karena para penyelidik itu hanya
menyelidiki dari luar, tidak ada yang berani masuk.
Engkau harus dapat menyelidiki dalam gedungnya untuk melihat apakah tidak ada orang luar yang bersembunyi di sana. Sebaiknya malam ini engkau melakukan penyelidikan karena malam ini kebetulan mendung dan gelap." Chang Hong Bu malam itu mengenakan pakaian serba hitam dan
menutupi mukanya dan kepalanya dengan kain sutera hitam,hanya melubangi bagian kedua matanya.
Dengan gerakan ringan dia dapat melompati pagar tembok di belakang yang menembus taman. Sejenak dia mendekam dan bersembunyi di balik pohonpohon di taman itu.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak terdapat orang, dia lalu bergerak mendekati gedung dan sekali tubuhnya melompat, dia
sudah melayang ke atas wuwungan gedung. Bagaikan seekor kucing dia berjalan di atas genteng dan mengintai ke bawah.
Ketika tiba di atas sebuah ruangan luas di bagian belakang gedung, Hong Bu mendekam dan memperhatikan keadaan ruangan itu. Dia melihat tujuh orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil makan kue kering dan minum arak.
Mereka tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
Hong Bu memperhatikan mereka. Mereka adalah laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh tegap, bahkan yang kurus pun tampak kokoh dan melihat betapa mereka itu gagah dan di situ terdapat bermacam-macam senjata,
ada tombak, golok, pedang, mudah diketahui bahwa tujuh orang itu tentu golongan ahli silat.
Teringat dia akan keterangan pamannya tentang Kang-lam Jit-sian
yang menjadi pengawal Pangeran Bouw dan dia merasa yakin bahwa mereka inilah tujuh Dewa Kang-lam itu. Melihat betapa tujuh orang yang sedang minum-minum itu tidak dapat mengetahui akan kedatangannya, Hong Bu dapat menilai bahwa ilmu kepandaian mereka belumlah terlalu tinggi walaupun kalau tujuh orang itu maju bersama tentu merupakan lawan yang berat juga.
Dia segera melanjutkan penyelidikannya ke sebelah depan dan berhenti dibagian tengah. Di ruangan tengah tidak nampak ada orang, bahkan tidak ada pelayan. Agaknya semua orang sudah berada di kamar masingmasing karena malam itu selain mendung dan di luar gelap, juga hawanya cukup dingin membuat orang lebih suka berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan hangat.
Ketika dia hendak melanjuthan penyelidikannya ke bagian lain,tiba-tiba terdengar daun pintu terbuka sehingga Hong Bu tidak jadi bergerak dan mengintai lagi. Dia kini melihat seorang laki-laki tua,usianya hampir tujuhpuluh tahun dan melihat pakaiannya dia tentu seorang pelayan, keluar dari pintu yang terbuka itu.
Dia melangkah, berdiri ditengah ruangan itu, menoleh ke kanan kiri
seperti orang bingung. Seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian indah muncul dari sebuah pintu lain. Biarpun dia belum mengenal laki-laki itu karena sejak kecil Hong Bu sudah meninggalkan kota raja, dia dapat
menduga bahwa tentu inilah yang bernama Pangeran Bouw Ji Kong.
Dia melihat betapa pelayan tua itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya amat dalam sambil berkata dengan suara merendah. "Ampunkan hamba, Pangeran, kalau hamba telah mengganggu Paduka dari tidur."
"Ah, tidak mengapa, Paman A-kui. Aku tadi mendengar bunyi daun pintu dibuka. Apakah ada sesuatu yang membuat engkau keluar dari kamarmu?" "Tidak ada apa-apa, Pangeran. Harap Paduka suka istirahat kembali. Hamba hanya keluar hendak memeriksa apakah hamba tidak lupa menutupkan semua jendela di ruangan ini."
Pangeran Bouw mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Kakek pelayan itu menghampiri semua jendela dan memeriksanya, lalu dia pun masuk kembali melalui pintu yang tadi dibukanya. Hong Bu tidak merasa perlu untuk menyelidiki bagian itu karena disitu agaknya merupakan kamar-kamar keluarga pangeran dan para pelayan.
Dia lalu bergerak lagi melakukan pemeriksaan ke bagian samping dan depan. Akan tetapi ternyata di samping hanya merupakan tempat tinggal para pembantu rumah tangga. Bahkan di bagian kamar tamu yang berjumlah sepuluh kamar itu semua
kosong, berarti pada waktu itu Pangeran Bouw tidak mempunyai
tamu yang bermalam di situ.
Selagi Hong Bu hendak meninggalkan wuwungan gedung karena tidak ada lagi yang perlu diselidiki, tiba-tiba terdengar suara bersiut dan sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan menyambar ke arah kepalanya!
Sambaran benda itu cepat bukan main sehingga untuk mengelak Hong Bu tidak sempat lagi. Maka dia segera
menggerakkan tangannya untuk menangkis benda itu dengan tamparan tangan kanannya.
"Plakk!!" Benda itu tertangkis dan terpental jauh, akan tetapi Hong Bu terkejut sekali karena merasa betapa tangannya nyeri, panas dan pedih. Bahkan ketika dia meraba dengan tangan kirinya,ternyata tangannya terluka dan berdarah!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tujuh orang
yang tadi minum-minum di ruangan belakang itu berlompatan ke atas genteng. Melihat ini, Hong Bu maklum bahwa keadaannya akan berbahaya, maka cepat sekali dia melayang turun dari atas genteng ke dalam taman yang gelap lalu berlari dan melompati
pagar tembok di belakang.
Tujuh orang Kang-lam Jit-sian tidak
mampu mengejar karena malam itu memang gelap bukan main.
Hong Bu cepat pulang ke gedung Panglima Chang. Begitu memasuki gedung, ternyata pamannya telah menantinya.
Bagaimanapun juga, Panglima Chang Ku Cing tetap saja agak gelisah menanti kembalinya keponakannya. Dia yakin akan kelihaian Hong Bu, akan tetapi dia juga maklum bahwa tidak mudah menyelidiki keadaan rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong yang tentu memelihara orang-orang pandai untuk menjaga.keselamatannya.
Ketika menyambut Hong Bu dan melihat keponakannya berdarah, dia terkejut,tangan kanan "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.
Hong Bu duduk di atas kursi dan memeriksa tangannya. Ternyata
punggung tangannya terluka, kulitnya terobek. Akan tetapi luka itu tidak beracun dan melihat lukanya, agaknya seperti terkena benda yang tak runcing atau tajam.
Mungkin hanya sekepal batu yang
disambitkan kepadanya. Diam-diam Hong Bu terkejut karena orang yang mampu melukai tangannya hanya dengan sambitan sepotong batu sungguh memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
Dia lalu menceritakan kepada pamannya apa yang telah dia alami
ketika melakukan penyelidikan di gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
"Saya tidak melihat hal-hal yang mencurigakan, Paman. Yang berada di sana hanya Kang-lam Jit-sian dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Di kamar-kamar tamu juga tidak ada tamunya. Akan tetapi agaknya Kang-lam Jit-sian itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi."
Panglima Chang mengerutkan alisnya dan memeriksa luka di tangan keponakannya. "Menurut keterangan yang sudah lama kudapatkan ketika pertama kali pangeran Bouw menerima Kang lam Jit-sian sebagai pengawalnya, kepandaian mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Bagaimana engkau dapat menduga bahwa ilmu
mereka amat tinggi" Luka di tanganmu ini juga tidak parah."
"Begini, Paman. Sebelum tujuh orang itu bermunculan, ada benda kecil hitam menyambar ke arah kepala saya. Saya menangkis sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata sambitan itu amat kuat sehingga benda itu dapat membuat kulit tangan saya pecah terluka. Hal ini membuktikan bahwa benda yang saya kira hanya sepotong batu itu disambitkan oleh orang yang memiliki sinkang kuat sekali."
"Hemm, begitukah" Akan tetapi siapa tahu sambitan itu mungkin tidak dilakukan oleh seorang di antara Kang-lam Jit-sian,melainkan oleh orang lain."
"Saya kira tidak, Paman, karena setelah sambitan itu, yang muncul
adalah Kang-lam Jit-sian. Saya lalu meloncat dan melarikan diri."
Panglima Chang Ku Cing menghela napas panjang. "Kalau memang Pangeran Bouw tidak perlu dicurigai, sebaiknya kita arahkan penyelidikan kepada para pejabat lain yang kesetiaannya terhadap Sribaginda Kaisar boleh diraguan."
"Paman, apakah Paman tetap menduga bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh para pejabat yang tidak setia?"
Panglima itu mengangguk. "Kukira begitulah. Biarpun para pembunuh itu jelas memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat berkeliaran di kota raja tanpa ketahuan.
Pasti ada yang membantu.mereka, yang memberi tempat persembunyian bagi mereka. Yang dibunuh adalah enam orang pejabat tinggi yang setia, ini saja sudah jelas merupakan bukti bahwa pelakunya menghendaki lemahnya pemerintah di bawah pimpinan Sribaginda Kaisar.
"Dan yang ingin melihat pemerintah menjadi lemah tentu saja para pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan lain-lain, juga para pejabat yang tidak setia kepada Sribaginda Kaisar.
Biasanya persekongkolan seperti ini tentu ada yang menjadi pemimpinnya,dan bukan tidak mungkin pemimpinnya adalah seorang pejabat pemerintah sendiri yang bermaksud untuk merampas tahta kerajaan."
"Hemm, ini seperti mencari musuh dalam selimut, Paman. Kalau tidak dapat segera diketahui orangnya dan ditangkap, akan berbahaya sekali!" kata Chang Hong Bu.
"Karena itulah aku tidak memandang remeh urusan ini. Sribaginda telah menugaskan kepadaku untuk menyelidiki dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membongkar rahasia ini. Untuk itu aku mengundang para pendekar dan orang sakti yang dulu pernah membantu pemerintah, antara lain Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Ong Liang hong. Juga Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan.
Kalau ada para pendekar lain yang dapat membantu, lebih baik lagi. Juga aku sudah mengirim utusan untuk
mencari dan mengundang Lo-cianpwe Ouw-yang Sianjin. Ketika
engkau bertemu Hwe-thian Mo-li, kapan ia mengatakan akan datang ke kota raja?"
"Saya kira tidak lama lagi ia akan datang, Paman. Ia akan membangun taman di Lembah Selaksa Bunga lebih dulu,kemudian ia akan segera ke sini menghadap Paman."
"Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja. Sekarang sebaiknya engkau obat luka di tanganmu itu dan pergi tidur."
Setelah menerima permintaan bantuan Panglima Chang, Sim Tek
Kun dan isterinya, Ong Lian Hong mulai melakukan penyelidikan.
Mereka berdua mengunjungi tempat-tempat rawan di kota raja,
yaitu di beberapa rumah judi dan rumah pelesir di mana biasanya
menjadi tempat para golongan penjahat bersenang-senang.
Bahkan mereka berdua sempat ribut dan berkelahi dengan para penjahat yang belum mengenal mereka sehingga ada yang berani bersikap tidak sopan kepada Lian Hong. Tentu saja para penjahat yang kurang ajar itu kecelik dan menerima hajaran keras dari Lian Hong dan Tek Kun sehingga dalam beberapa hari saja mereka menjadi gempar dan ketakutan.
Akan tetapi para orang kang-ouw
yang mengenal suami isteri pendekar itu, tidak berani mencari perkara, bahkan mereka siap membantu dengan keterangan yang diminta oleh suami isteri itu.
Namun, para penjahat atau golongan hitam yang berkeliaran di
kota raja itu tidak ada yang mengetahui tentang
pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Maka, setelah menyelidiki selama hampir dua bulan, Tek Kun dan Lian Hong belum juga mendapat keterangan.
Pada suatu hari, kota raja meriah sekali. Pada hari itu, di semua kota besar di mana terdapat Kwan-im-bio (Kuil Dewi kwan Im) penduduk mengadakan pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun kwan Im Po-sat (Dewi kwan Im), yang jatuh pada Lak-gwe Cap-kau (Bulan Enam Tanggal Sembilanbelas).
Sebetulnya pesta meriah hanya diadakan di kuil-kuil, namun karena pada masa itu hampir seluruh rakyat memuja Dewi kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, maka seluruh penduduk ikut merayakan.
Mereka berbondong-bondong
mengunjungi Kwan-im-bio untuk
bersembahyang dengan permohonan masing-masing. Ada yang mohon kesembuhan dari penyakitnya, ada yang mohon tambah rejeki, kenaikan pangkat, kemajuan perusahaannya, bahkan ada yang mohon agar segera mendapatkan jodoh, dan banyak pula
suami isteri mohon diberi karunia anak laki-laki!
Yang namanya kepercayaan memang tidak mungkin diperbantahkan atau dipersoalkan karena kepercayaan akan hal-hal yang abstrak tidak dapat diraba ataupun diselidiki melalui akal
dan penalaran.
Karena inilah maka di dunia muncul banyak macam agama dan kepercayaan dan masing-masing pemeluknya mempercaya semua agama masing-masing dengan sepenuh imannya. Kalau diperdebatkan maka akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan permusuhan.
Sayang sekali, yang dipersoalkan adalah perbedaan kepercayaan
mengenai upacara-upacaranya dan peraturan-peraturannya.
Padahal, pada hakekatnya, semua agama dan kepercayaan memiliki inti yang tiada bedanya. lntinya adalah pemujaan dan keinginan untuk kembali kepada Sumber Kehidupan yang abadi,yaitu Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta,
Maha Kasih dan selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan itu, ada agama atau kepercayaan yang
mengharapkan pertolongan para perantara, seperti manusia di dunia yang ingin menghadap kaisar, raja, atau kepala pemerintahan, pendeknya orang nomor satu dalam negara, selalu melalui perantara atau para "pembantu" Sang Raja.
Dan kesemuanya itu baik-baik saja asalkan mengambil jalan yang satu,
yaitu jalan kebenaran, jalan kebajikan dan menjauhi jalan yang sesat dan jahat.
Pada masa itu, banyak para dewa dipuja di Cina sejak ribuan tahun, para dewa yang dianggap dapat membantu mereka menyampaikan permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa.
Para dewa yang dianggap memiliki kebajikan sempurna sehingga mau dan suka menolong mereka. Terutama sekali, pada waktu itu,
Dewi kwan Im! Kwan Im Po-sat tidak akan menolak permohonan manusia yang membutuhkan pertolongan.
Akan tetapi tetap saja ada syaratnya
hakiki, yaitu si pemohon haruslah bersih, dalam arti kata, tidak
melakukan perbuatan jahat. Juga semua permohonan harus
bersifat bersih, bukan untuk mencelakai orang lain.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang memperoleh pendidikan sastra, dan masa itu sastra berarti hafal akan isi kitab-kitab agama dan menjadikan mereka orang-orang yang beribadat, tidak terkecuali mereka pun percaya sekali dan memuja Kwan Im Po-sat
sebagai penolong yang penuh kasih sayang.
Mereka berdua juga ikut berjubel dengan orang banyak untuk mendapat kesempatan sembahyang lalu mereka menonton pertunjukan yang selalu diadakan di pekarangan depan kuil Kwan-im-hio setiap tahun
sekali.
Pertunjukan menginjak bara api, mandi minyak mendidih, tusuk dan potong lidah dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan
pertunjukan yang amat aneh dan tidak wajar, namun karena hal itu
sudah merupakan tradisi dan kebiasaan, maka para penonton
tidak merasa heran lagi.
Sejumlah orang melakukan upacara yang amat aneh dan menyeramkan itu. Mereka sama sekali bukan pendeta, bukan orang-orang terpelajar, bahkan mereka itu terdiri dari para petani atau kuli yang tingkat keadaan hidupnya rendah.
Mereka bahkan sebagian besar buta huruf dan bodoh. Justeru kebodohan dan kesederhanaan itulah yang membuat mereka dapat memiliki
kepercayaan yang tebal, mutlak, dan membuta.
Selain itu, juga mereka harus memiliki apa yang biasa disebut oleh
para pendeta sebagai "orang bertulang baik" atau memiliki bakat
untuk menjadi Tang-sin.
Demikianlah orang-orang yang
melakukan upacara itu disebut. Yang berarti kemasukan atau kesurupan dan Sin berarti badan. Tang-sin berarti badan yang kemasukan atau kesurupan roh (in trance).
Di halaman kuil yang luas itu para pengurus perayaan telah menata
arang membara sepanjang dua-tiga tombak. Arang itu membara dan panasnya terasa oleh penonton yang berdiri empat-lima tombak dari situ. Lima orang Tang-sin sudah berada dalam keadaan kesurupan setelah mereka bersembahyang, dipimpin
seorang pendeta.
Para Tang-sin itu berpakaian sederhana, dan celana mereka pendek sebatas lutut, bertelanjang kaki dan masing-masing memegang sebuah bendera.
Kemudian, diiringi pukulan tambur dan canang yang riuh rendah,mereka keluar dari kuil dan berlari menuju halaman di mana terdapat arang membara itu.
Dengan enaknya, mereka berjalan
dengan kaki telanjang di atas arang membara itu, bolak-balik beberapa kali lalu kembali ke dalam kuil di mana mereka ramai bicara satu sama lain, dan anehnya, mereka bicara bukan dengan dialek mereka sendiri, melainkan dialek dari suku dari mana para roh yang memasuki mereka itu berasal!
Kemudian ada pula pertunjukan mandi minyak mendidih. Sebuah
kuali besar diisi penuh minyak lalu direbus sampai minyaknya mendidih. Para Tang-sin lalu mencelupkan kain ke dalam minyak panas itu dan digunakan untuk menggosok-gosok muka dan badan mereka. Sedikit pun mereka tidak kelihatan kepanasan, malah kelihatan segar seolah-olah mandi air yang dingin!
Para penonton yang tebal kepercayaan mereka sudah siap dengan botol untuk diisi minyak yang dipakai mandi itu, lalu mereka bawa pulang dan dipergunakan sebagai obat!
Ada pula pertunjukan atau upacara membagi Hu (Huruf Jimat).
Untuk upacara ini dipilih beberapa orang Tang-sin yang biasa melakukan upacara yang aneh dan mengerikan ini. Dalam keadaan kesurupan mereka menggunakan pisau tajam untuk mengerat lidah mereka yang dijulurkan keluar. Tidak sampai putus,akan tetapi terluka dan darah mengucur dari luka di lidah mereka
itu.
Darah ini oleh para Tang-sin dipergunakan untuk menulis huruf di
atas sehelai kain yang sudah dipersiapkan para penonton yang
membutuhkan. Kain yang ditulis dengan tinta darah inilah yang
dinamakan Hu dan biasanya mereka pergunakan untuk penangkal
penyakit, penolak bala, dan sebagainya.
Kembali semua ini hanya berdasarkan kepercayaan yang tebal
kepada dewa yang mereka puja, yang terdapat dalam kuil itu sebagai pendamping atau pengiring Dewi Kwan Im.
Para dewa yang dipuja dan memasuki para Tang-sin itu disebut sebagai hulubalang Dewi Kwan Im dan mereka mempunyai nama julukan masing-masing. Masih ada beberapa macam upacara yang dipertunjukkan lagi,seperti berjalan di atas tangga dari pedang tajam, tidur di atas pedang-pedang tajam, dan berbagai keajaiban lagi.
Semua itu dilakukan oleh para Tang-sin dalam keadaan kesurupan sehingga setelah selesai pertunjukan, mereka sadar kembali dan sama
sekali tidak ingat akan apa yang mereka lakukan dalam keadaan
kesurupan tadi. Mereka menjadi orang biasa kembali dan seandainya kulit tubuh mereka terkena api sedikit saja pasti akan melepuh!
Selain pertunjukan yang merupakan upacara dan mengandung
keajaiban ini, terdapat pula pertunjukan biasa yang sifatnya hanya sebagai hiburan kesenian seperti permainan Barong-sai (Tarian
Singa), tarian kilin, atau tarian Naga, juga pertunjukan wayang.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong ikut dalam suasana pesta, nonton
semua pertunjukan itu. Setelah merasa lelah, mereka lalu pergi ke
rumah makan Thai Lok, sebuah rumah makan yang cukup besar
di kota raja. Dalam suasana pesta itu, kota raja menjadi ramai karena banyak sekali tamu berdatangan untuk nonton keramaian pesta ulang
tahun di Kwan-im-bio, terutama sekali dari penduduk yang tinggal
di kota di mana tidak ada kuil Kwan Im. Rumah makan itu pun
penuh dengan tamu yang makan siang.
Suami isteri itu mendapatkan tempat di bagian luar karena di sebelah dalam sudah penuh tamu. Di ruangan bagian luar itu terdapat empat buah meja yang dikelilingi empat bangku. Tiga meja sudah ditempati tamu, tinggal satu yang kosong dan Sim Tek
Kun berdua isterinya segera duduk di situ memesan makanan,kepada pelayan yang menghampiri mereka.
Dekat mereka terdapat meja yang dikelilingi tiga orang tamu.
Mereka itu agaknya sudah setengah mabok karena mereka tertawa-tawa dengan ribut. Di meja lain sebelah sana juga terdapat empat orang laki-laki yang setengah mabok.
Ketika Tek Kun dan Lian Hong duduk di meja mereka, tiga orang laki-laki yang duduk di meja terdekat itu menoleh dan memandang Lian Hong sambil tersenyum-senyum. Bahkan seorang dari mereka, yang berusia sekitar empatpuluh tahun dengan sebatang pedang tergantung di punggung, pakaiannya mewah dan
wajahnya cukup tampan dan gagah, memandang Lian Hong terus-terusan dengan sikap kurang ajar.
Diam-diam Tek Kun memperhatikan tiga orang ini. Mereka itu jelas
merupakan orang-orang kang-ouw karena ketiganya mempunyai senjata. Si Tampan itu mempunyai pedang, lalu orang kedua yang usianya sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya penuh bopeng (bekas cacar), juga memiliki sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ketiga berusia sebaya,mukanya seperti muka monyet dan di punggungnya ada sepasang
golok.
Pakaian mereka serba mewah.
Tek Kun melihat betapa wajah isterinya yang jelita itu menjadi agak
kemerahan. Dia mengerti bahwa perasaan isterinya agak tersinggung melihat sikap tiga orang itu yang tadi memandangnya dengan lahap, terutama sekali yang berwajah tampan dan sampai sekarang masih menatapnya sambil cengar-cengir.
Pelayan datang mengantarkan kecap dan saus dalam mangkok,mendahului hidangan yang belum siap.
Tek Kun berkedip kepada isterinya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan sabar dan Lian Hong mengangguk, lalu membuang muka, tidak mau berhadapan muka dengan laki-laki yang tersenyum-senyum kurang ajar itu.
Akan tetapi agaknya laki-laki itu memang memiliki watak mata keranjang dan sewenangwenang mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri dan kawan-kawannya.
Kecantikan Lian Hong yang memang memiliki banyak kelebihan dan mengandung daya tarik luar biasa itu membuat laki-laki yang sudah setengah mabok menjadi tergila-gila dan dia tidak mampu lagi menahan gairah hatinya.
Dia lalu bangkit berdiri dan dengan
langkah gontai menghampiri meja suami isteri itu.
Setelah dekat, dia berdiri di sisi meja berhadapan dengan Lian Hong sambil menyeringai dan berkata. "Nona yang cantik jelita seperti Dewi, kalau tidak keliru dugaanku, engkau tentu Kwan Im Po-sat sendiri yang menjelma.
Mari silakan, kuundang engkau
bernyala itu ke atas dan pedang itu meluncur dan menyerang ke arah Siang Lan seperti hidup! Bukan itu saja, kini api dari obor-obor itu seolah mengikuti pedang, merupakan bola-bola api yang semua
menyerang ke arah gadis itu!
Siang Lan terkejut dan maklum bahwa kakek itu menggunakan
ilmu sihir yang agaknya telah dipersiapkan lebih dulu. Ia tidak
menjadi gentar.
Tubuhnya berkelebatan dan sinar kilat pedangnya bergulung-gulung menangkis serangan pedang terbang,
sedangkan tangan kirinya dengan tenaga sakti mendorong ke arah
bola-bola api yang menyambar-nyambar ke arah tubuhnya.
Akan tetapi Hoat Hwa Cin-jin kini maju mengeroyoknya dengan sepasang goloknya yang lihai. Agaknya gerakannya juga sudah
diatur karena tokoh Pek-lian-kauw dari Liauw-ning ini tidak menggunakan goloknya untuk menyerang, melainkan sepasang
goloknya berusaha menahan pedang Siang Lan.
Tentu saja gadis itu kini menjadi repot karena dikeroyok banyak bola api, pedang terbang dan sepasang golok Hoat Hwa Cin-jin. Ia masih dapat menggunakan gin-kang (ilmu meringankan tubuh) untuk mengelak ke sana-sini sambil memutar pedang sebagai perisai yang menyelimuti dirinya.
Akan tetapi kini Hwa Hwa Hoat-su juga melompat ke depan dan
kebutannya menyambar-nyambar melakukan totokan-totokan
yang amat cepat. Betapa pun lihainya Siang Lan yang telah menerima gemblengan Bu-beng-cu, namun menghadapi sekian banyak pengeroyok, ia tidak tahan juga.
Akhirnya ujung kebutan di tangan Hwa Hwa Hoat-su yang dapat menjadi lemas atau kaku dengan kekuatan tenaga saktinya itu dapat menotok jalan darahnya di tengkuk dan tubuh gadis itu terkulai roboh dan pingsan! Hoat Hwa Cin-jin segera mengambil Lui-kong-kiam berikut sarungnya dan menyelipkan pedang itu di pinggangnya sambil
tertawa senang.
Kemudian dia memondong tubuh Siang Lan dan hendak membawanya pergi. "Cin-jin, hati-hatilah. Gadis itu lihai sekali, jangan sampai ia sadar
lalu membunuhmu.
Lebih cepat ia dibunuh lebih baik agar tidak menjadi penghalang kita di kemudian hari," kata Hwa Hwa Hoatsu.
"Ha-ha-ha, Hoat-su, jangan khawatir! Aku hanya merasa sayang kalau ia dibunuh begitu saja, terlalu enak buat ia dan tidak enak untukku. Jangan khawatir, besok pagi-pagi ia sudah tinggal nama saja, akan kupenggal lehernya dan kepalanya kita
pergunakan untuk upacara
sembahyang saudara-saudara kita yang terbunuh oleh Hwe-thian Mo-li ini!"
Setelah berkata demikian, Hoat Hwa Cin-jin membawa lari gadis dalam pondongannya itu, memasuki hutan lebat.
Air yang dingin menyiram muka dan kepala Siang Lan, membuat gadis itu siuman dari pingsannya. Ia gelagapan dan menggoyang kepala mengusir air yang menutupi kedua matanya. Ia tidak mampu menggerakkan kaki tangannya dan ia terkejut bukan main
melihat dirinya berada dalam sebuah pondok, rebah telentang di atas tanah bertilam rumput kering dengan kaki dan tangan terpentang dan terikat pada tiang-tiang besi yang kokoh.
Ia berusaha merenggut lepas tali-tali itu, namun tenaganya tidak dapat terkumpul semua. Tahulah ia dengan kaget bahwa dirinya telah ditotok untuk melemahkan tenaganya.
Ia hanya mampu menggunakan tenaga otot saja dan tidak mampu
mengerahkan sin-kang.
Yang membuat ia menjadi pucat adalah ketika ia melihat betapa pakaian luarnya telah ditanggalkan dari tubuhnya dan pakaian itu bertumpuk di sudut ruangan pondok itu.
Jantungnya mulai berdebar tegang dan...... takut! Hwe-thian Mo-li tidak pernah gentar menghadapi kematian sekalipun, akan tetapi melihat keadaan dirinya, setengah telanjang dan terikat tak berdaya, membuat ia membayangkan malapetaka yang lebih mengerikan daripada maut!
Ia pernah diperkosa Thian-te Mo-ong. Peristiwa itu saja sudah membuat ia hampir membunuh diri, sudah membuat hancur makna hidup ini baginya. Bagaimana mungkin ia dapat mengalami malapetaka itu untuk kedua kalinya"
"Ha-ha-ha, engkau sudah bangun, Hwe-thian Mo-li?" terdengar suara dari luar dan masuklah Hoat Hwa Cin-jin. Kakek tinggi besar muka hitam ini tampak mengerikan sekali bagi Siang Lan, terutama karena sepasang matanya itu memandang kepadanya penuh nafsu, seolah hendak menelannya bulat-bulat dan mulutnya yang lebar menyeringai penuh ejekan.
"Keparat Hoat Hwa Cin-jin, manusia licik, curang! Kalau engkau
memang laki-laki, mari kita bertanding sampai seorang dari kita
mampus!"
"He-he-he, sebentar lagi aku akan membuktikan bahwa aku memang laki-laki sejati, Mo-li. Setelah engkau melayani aku bersenang-senang sampai sepuasku dan aku menjadi bosan,barulah engkau akan kubunuh."
Siang Lan bergidik. Apa yang dikhawatirkannya ternyata benar.
Pendeta palsu ini hendak berbuat keji kepadanya, hendak memperkosanya! Ia terbelalak, matanya seperti mata kelinci menghadapi auman harimau yang hendak menerkamnya.
"Bunuh saja aku!" teriaknya.
"Ha-ha-ha, sayang engkau begini cantik, begini mulus dibunuh
begitu saja. Engkau harus melayani aku dulu...... heh-heh-heh!"
Hoat Hwa Cin-jin berjongkok dekat Siang Lan dan kedua tangannya mulai meraba-raba.
"Bunuh aku! Penggal leherku, cincang tubuhku, akan tetapi jangan
memperkosaku......! Kumohon, jangan perkosa...... bunuhlah aku sekarang juga......!"
Hwe-thian Mo-li menjerit-jerit dan meronta ronta, memutar kepala ke kanan kiri untuk menghindar ketika muka yang besar hitam
menyeramkan itu berusaha
menciumnya.
Hoat Hwa Cin-jin membelalakkan mata mendengar jeritan ini dan
dia mengangkat mukanya yang tidak berhasil mencium.
"Ha-ha! Inikah Si Iblis Betina Terbang" Ini......" Perempuan lemah
yang menjerit-jerit ketakutan" Inikah Hwe-thian Mo-li yang biasanya membunuh orang tanpa berkedip mata" Yang membunuhi banyak anggauta perkumpulan kami?"
Dengan napas terengah dan suara gemetar Siang Lan berkata.
"Hoat Hwa Cin-jin, bunuhlah aku...... kumohon padamu, bunuhlah aku, jangan hina aku dengan
perkosaan......"
Dan Siang Lan mencucurkan air mata! Kalau saja ia mampu bergerak, tentu ia akan melawan mati-matian,
atau kalau tidak dapat melawan, ia akan dapat membunuh diri.
Akan tetapi ia tidak berdaya, kaki tangannya terikat kuat.
Ia lalu teringat. Ah, masih ada satu cara membunuh diri biarpun kini
kaki tangannya terikat. Ia dapat menggigit lidahnya sendiri sampai
putus dan ini pun dapat mendatangkan kematian!
Ia akan membunuh diri dengan menggigit putus lidahnya sebelum dirinya dihina dan diperkosa! Hoat Hwa Cin-jin pada saat itu sedang dikuasai nafsu binatang yang berkobar-kobar, akan tetapi dia tetap saja tertegun karena herannya melihat wanita yang menggegerkan dunia kang-ouw ini menangis!
"Hwe-thian Mo-li menangis" Ha-ha-ha, alangkah baiknya kalau
semua orang dapat menyaksikan ini. Ha-ha-ha-ha......!"
"Brakkkkk......!!" Tiba-tiba pondok yang tidak besar itu jebol dan roboh, terlempar seperti diterjang badai!
Hoat Hwa Cin-jin terkejut sekali dan dia cepat melompat untuk menghindarkan dirinya ikut diterjang kekuatan yang dahsyat itu.
Bayangan orang yang cepat sekali gerakannya melompat dekat Siang Lan yang masih rebah telentang sehingga ia tidak sampai diterjang kekuatan dahsyat itu. Bayangan itu ternyata adalah Bubeng-cu, akan tetapi sebelum dia dapat melepaskan ikatan kaki tangan Siang Lan, Hoat Hwa Cin-jin yang menjadi marah sekali telah menerjangnya dengan hebat.
Saking marahnya karena niatnya membalas dendam kepada Siang Lan yang sudah hampir terlaksana itu gagal, dia tidak ingat lagi bahwa Bu-beng-cu yang pernah dilawannya memiliki ilmu kepandaian tinggi, jauh lebih tangguh daripada Hwe-thian Mo-li sendiri.
Kemarahan membuat dia menjadi nekat dan kini dia menyerang dengan sepasang goloknya.
"Manusia jahanam!" Bu-beng-cu membentak dan cepat mengelak
dari sambaran sepasang golok tokoh Pek-lian-kauw itu.
Bu-beng-cu juga marah sekali dan dia berkelebatan di antara dua gulungan sinar golok itu. Kemudian, dengan penyaluran tenaga sakti yang amat kuat dia membalas.
"Wuuuttt...... desss !!" Tubuh Hoat Hwa Cin-jin seperti disambar petir dan dia terlempar sampai tiga tombak lebih, jatuh terbanting dan pingsan. Hantaman tenaga yang amat dahsyat itu telah mengguncang isi dadanya sehingga dia terluka dalam yang cukup parah.
Bu-beng-cu tidak peduli lagi kepada lawannya yang sudah roboh dan pingsan. Dia cepat melompat dekat Siang Lan, merenggut ikatan kedua kaki tangan gadis itu lalu membebaskan totokan yang membuat Siang Lan tidak mampu mengerahkan tenaga sinkangnya.
Sementara itu, ketika Bu-beng-cu melepaskan ikatan kaki tangannya, Siang Lan yang tadinya sudah bercucuran air mata, kini bagaikan air dibendung dan pecah bendungannya. Tadinya, kengerian dan ketakutan membuat ia menangis dan kini, saking lega, gembira yang amat sangat, dia menangis, mengguguk dan segera merangkul leher Bu-beng-cu!
Bu-beng-cu memejamkan kedua matanya. Laki-laki yang merasa amat berdosa kepada Siang Lan ini, yang juga merasakan iba yang mendalam, tanpa disadarinya sendiri, telah jatuh cinta kepada Siang Lan. Dia siap melakukan apa saja, kalau perlu bahkan berkorban nyawa, untuk membahagiakan gadis ini.
Biarpun usianya sudah empatpuluh dua tahun, sejak muda Bubeng-cu atau Sie Bun Liong ini tekun mempelajari ilmu dan biasa hidup di puncak-puncak gunung yang sunyi. Belum pernah dia bergaul dekat dengan wanita, belum pernah bersentuhan, apalagi berpelukan seperti sekarang ini.
Ketika dia menggauli atau memperkosa Siang Lan, hal itu dilakukan dalam keadaan terbius,
hampir tidak menyadari apa yang dia lakukan.
Sekarang Siang Lan merangkulnya sambil menangis. Dia dapat merasakan air mata gadis itu menembus bajunya, membasahi kulit
dadanya dan terasa seolah menembus kulit dan menyiram hatinya.
Dia merasakan kelunakan tubuh Siang Lan yang hangat ketika gadis itu merangkulnya dengan tubuh bergoyang-goyang karena isaknya. Dia dapat mencium keharuman yang khas dari tubuh yang mendekapnya itu. Kehangatan tubuh yang hanya terbungkus pakaian dalam yang
tipis itu menjalar, membuat dia merasakan kehangatan yang mesra.
Tanpa disadarinya, kedua lengannya yang kokoh kuat itu merangkul dan dia menekan kepala yang rapat dengan dadanya itu, seolah ingin membenamkan dan memasukkan kepala gadis itu ke dalam dadanya. Siang Lan merasa demikian lega dan bahagia setelah terbebas dari rasa ngeri dan takut yang hebat. Ia bahkan merasa seolah Bubeng-cu memberi kehidupan baru padanya karena tadinya ia sudah yakin bahwa ia pasti akan mati.
Ia tadinya sudah mengambil
keputusan akan menggigit putus lidahnya sendiri sebelum Hoat
Hwa Cin-jin dapat memperkosanya.
Kini ia tiba-tiba terbebas dan hidup! Ia teringat betapa besar budi
kebaikan yang telah dilakukan Bu-beng-cu kepadanya.
Laki-laki itu bukan hanya mencegah ia membunuh diri, juga telah bersusah payah melatih ilmu silat tinggi dengan sungguh-sungguh
kepadanya dan entah sudah berapa kali Bu-beng-cu menyelamatkannya dari bahaya maut.
Laki-laki ini selalu muncul apabila ia berada dalam kesulitan dan ancaman bahaya. Kini, ketika ia merangkul dan merasakan betapa dirinya didekap, ia merasakan kehangatan dan merasa dalam keadaan demikian ia seperti terayun dan penuh kedamaian dan
ketenangannya.
Ah, betapa nikmat dan senangnya!
Dan tiba-tiba ia merasa bahwa Bu-beng-cu adalah satu-satunya pria di dunia ini yang mempedulikannya, bahkan menjaga dan menyayangnya.
Menyayangnya! Mencintanya!
Baru sekarang ia menyadari hal itu. Bu-beng-cu sungguh mencintanya, cinta seorang pria terhadap wanita, cinta kasih yang demikian murni dan suci karena belum pernah sedikit pun Bubeng-cu memperlihatkan keinginannya untuk bertindak tidak sopan kepadanya.
Dan ia merasa begitu aman dalam dekapannya. Baru sekarang ia merasakan bahwa biarpun Bu-beng-cu tidak pernah memperlihatkan sikap mencintanya sebagai seorang pria, namun kini sentuhan-sentuhan jari pria itu, dekapannya yang demikian mesra, terasa hangat oleh api cinta yang hanya ia yang dapat
merasakannya.
"Paman Bu-beng-cu......" Suaranya seperti merintih namun penuh
kemesraan dan kepasrahan menyelingi isak tangisnya.
"...... Siang Lan......" Suara ini lirih sekali, menggetar penuh
perasaan seperti bisikan yang keluar dari hati laki-laki itu.
Siang Lan tidak merasa heran kalau Bu-beng-cu mengerti namanya karena mungkin laki-laki yang berilmu tinggi itu mendengar ketika Li Ai atau Hong Bu menyebut namanya. Akan
tetapi yang membuat ia merasa heran adalah bahwa belum pernah
Bu-beng-cu menyebutkan namanya, biasanya ia menyebut Nona
atau Hwe-thian Mo-li.
Ia merasa betapa sebutan namanya dengan suara seperti merintih
itu seolah menggambarkan dengan jelas cinta kasih yang terkandung di dalamnya.
Ia merasa terharu dan juga berbahagia dan pada saat itu ia seolah seperti seekor burung yang terbang
berkeliaran tanpa tujuan kini hinggap di atas sebuah ranting yang kokoh dan yang melindunginya dari segala ancaman dan kesengsaraan hidup. Ia merasa amat senang dan ingin tinggal
dalam dekapan laki-laki itu untuk selamanya!
"Paman......" la berbisik penuh kemesraan.
Ketika ia mendengar suara seperti terisak tertahan, Siang Lan membuka matanya yang basah dan ia melihat betapa Bu-beng-cu menangis!
Dia menahan tangisnya, akan tetapi tetap saja ada isak meluncur keluar dari mulutnya bersama beberapa tetes air mata yang melompat turun ke atas kedua pipinya!
Akan tetapi keheranan dan keharuan hati Siang Lan itu segera terganti rasa kaget. Siang Lan mendorong tubuh Bu-beng-cu sehingga terpental ke belakang dan pada saat itu, sepasang golok yang menyambar.
Tadinya sepasang golok itu menyambar ke arah kepala Bu-beng-cu yang agaknya seperti kehilangan kewaspadaannya sehingga kalau saja dia tidak didorong Siang Lan, agaknya dia akan menjadi korban bacokan yang dahsyat itu.
Kiranya Hoat Hwa Cin-jin yang tadinya terpukul pingsan telah siuman. Ketika dia melihat betapa Bu-beng-cu berangkulan dengan Hwe-thian Mo-li dan keduanya menangis, dia melihat kesempatan baik sekali untuk melampiaskan dendam dan
kebenciannya.
Berindap-indap dia menghampiri mereka dengan sepasang golok siap di tangannya.
Dia merasa gentar terhadap Bu-beng-cu, maka dia menghampiri mereka dari arah belakang Bu-beng-cu. Setelah jaraknya tidak jauh lagi, dia segera meloncat dan mengayun sepasang goloknya membacok kepala Bu-beng-cu!
Pada saat yang amat berbahaya bagi keselamatan Bu-beng-cu itu,kebetulan sekali Siang Lan membuka mata untuk memandang wajah Bu-beng-cu sehingga ia melihat datangnya serangan dan cepat ia mendorong dada Bu-beng-cu sehingga terpental dan terhindar dari serangan maut itu.
Begitu kedua tangan Hoat Hwa Cin-jin yang memegang golok itu menyambar lewat karena bacokannya luput, Siang Lan menggerakkan tangan yang dimiringkan dan "membacok" ke arah
pergelangan tangan kiri Hoat Hwa Cin-jin.
Tokoh Pek-lian-kauw yang sudah menderita luka dalam itu berteriak dan golok kirinya terlepas. Siang Lan cepat menyambar golok itu dan menyerang dengan dahsyat. Hoat Hwa Cin-jin mencoba untuk menangkis dengan golok kanannya, akan tetapi tenaganya sudah melemah sehingga goloknya terpental dan sebelum dia mampu menghindarkan diri,golok di tangan Siang Lan sudah menyambar ke arah lehernya.
Hoat Hwa Cin-jin tidak sempat mengeluarkan suara lagi. Dia roboh
dengan leher hampir putus dan tewas seketika.
Siang Lan melampiaskan kebenciannya dengan membacoki tubuh pendeta palsu itu dengan golok rampasannya! Kepala Hoat Hwa
Cin-jin hancur oleh bacokan-bacokan yang gencar itu.
"Nona, hentikanlah!" Bu-beng-cu berseru.
Akan tetapi Siang Lan seperti kesetanan dan membacok terus.
Tiba-tiba sepasang lengan merangkul tubuh berikut kedua lengannya dari belakang sehingga ia tidak dapat menggerakkan lagi tangannya yang memegang golok.
Ketika melihat bahwa yang
mendekapnya dari belakang itu Bu-beng-cu, Siang Lan melepaskan golok itu, membalik dan terkulai pingsan dalam pelukan Bu-beng-cu.
"Siang Lan...... ahh, Siang Lan......!" Bu-beng-cu merasa demikian terharu dan rasa kasihnya terhadap Siang Lan membakar seluruh tubuhnya. Tanpa dapat dia pertahankan lagi, dia memondong tubuh Siang Lan lalu menunduk dan menciumi muka gadis itu penuh kasih sayang.
Akan tetapi dia segera menyadari perbuatannya yang sebagian terdorong pula oleh gairahnya sebagai seorang laki-laki,maka cepat dia menghampiri mayat Hoat Hwa Cin-jin, mengambil pedang Lui-kong-kiam milik Siang Lan yang dirampas oleh Hoat Hwa Cin-jin.
Kemudian dia membawa gadis yang pingsan dalam pondongannya itu meninggalkan tempat di mana terdapat mayat Hoat Hwa Cin-jin yang mengerikan itu. Tidak lupa sebelum pergi dia menyambar pakaian luar Siang Lan yang bertumpuk di dalam
pondok yang sudah roboh.
Setelah agak jauh dari tempat itu, Siang Lan siuman dan mengeluh. Mendengar ini, Bu-beng-cu berhenti berlari dan menurunkan Siang Lan sehingga terduduk di atas tanah. Ia
membuka matanya dan Bu-beng-cu segera menyerahkan pakaian dan pedang Lui-kong-kiam kepadanya.
"Paman......" "Kenakan dulu pakaianmu, Nona," kata Bu-beng-cu, suaranya sudah seperti biasa sehingga diam-diam Siang Lan merasa kecewa. Ia tidak merasakan kemesraan dalam suara laki-laki yang menjadi guru dan penolongnya itu.
Akan tetapi ucapan itu pun seketika
mengingatkannya bahwa sejak tadi ia hanya mengenakan pakaian dalam yang serba terbuka dan tipis!
Hal ini tentu saja membuat Siang Lan tersipu malu, juga terkejut mengapa ia tadi seolah tidak menyadari keadaan dirinya yang setengah telanjang itu. Dan kalau ia mengingat kembali ketika ia berangkulan dengan Bu-beng-cu...... ahh...... wajahnya berubah kemerahan dan jantungnya berdebar. Cepat ia mengenakan
pakaian dan menggantungkan pedangnya.
"Paman Bu-beng-cu!" ia memanggil dan laki-laki itu segera membalikkan tubuhnya dan menghadapinya. Siang Lan melihat betapa wajah Bu-beng-cu tampak muram dan agak pucat.
"Paman, kembali paman telah menyelamatkanku. Bagaimana aku
harus membalas budi kebaikan yang berlimpahan itu?" kata Siang Lan terharu. Bu-beng-cu menghela napas panjang. Dia merasa semakin sedih
melihat betapa kini sinar mata gadis itu ketika memandangnya berbeda dari biasanya. Kalau biasanya pandang mata itu mengandung kekaguman dan terima kasih, kini ada sesuatu yang lain.
Sesuatu yang mengandung kemesraan!
Dan inilah yang membuat dia bersedih. Kenyataan bahwa dia jatuh
cinta kepada Hwe-thian Mo-li sudah merupakan hal yang mendatangkan kesedihan dalam hatinya walaupun kesedihan itu akan ditanggungnya dengan tabah. Dia akan menganggap hal itu sebagai tambahan penderitaannya dan sudah semestinya untuk memberi hukuman kepadanya atas dosa yang dia lakukan kepada Siang Lan.
Dia rela binasa dan menderita asalkan Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan hidup berbahagia. Akan tetapi sekarang, melihat bahwa agaknya gadis itu pun mencintanya, membuat dia semakin berduka. Cinta gadis itu kelak hanya akan menghancurkan kebahagiaan hidup Siang Lan.
Alangkah akan hancur hatinya kalau kelak melihat bahwa jahanam yang dibencinya, yang merupakan musuh
besar dan ia telah bersumpah akan membunuhnya, ternyata adalah pria yang dicintanya!
Ah, dia tidak ingin melihat Siang Lan
kelak menderita karena itu. Tidak, Siang Lan tidak boleh jatuh cinta
padanya!
"Hwe-thian Mo-li, tidak perlu berterima kasih. Kalau aku membantumu, hal itu sudah merupakan suatu kewajaran, bukan
karena budi kebaikanku. Ketahuilah, bahwa engkau bagiku seperti
keponakan sendiri, atau anak sendiri, maka sudah sepatutnya kalau aku membantumu.
Sudahlah, hal itu tidak perlu kita
bicarakan lagi. Yang penting kita bicarakan adalah kekejamanmu
tadi yang telah mencincang mayat Hoat Hwa Cin-jin. Perbuatanmu itu sungguh kejam dan sama sekali tidak berprikemanusiaan!"
Suara Bu-beng-cu menjadi keras mengandung teguran.
Diam-diam Siang Lan terkejut dan kecewa. Tadinya, ia mengira bahwa laki-laki ini mencintanya, seperti dirasakannya tadi. Akan tetapi ternyata dugaannya keliru. Bu-beng-cu hanya sayang padanya seperti sayang keluarganya.
Diam-diam ia memaki dirinya sendiri. Engkau tak tahu malu!
Demikian ia berpikir dan gemas kepada pikirannya sendiri.
Bagaimana mungkin ia mengharapkan seorang pendekar yang demikian gagah perkasa, berkepandaian tinggi, berbudi mulia dan penuh wibawa, dapat jatuh cinta kepadanya"
Ia seorang gadis yatim piatu yang namanya dikutuk banyak orang
sebagai Iblis Betina walaupun yang mengutuk dan membencinya itu mereka yang disebut golongan sesat. Yang lebih daripada semua itu, ia bukan gadis yang perawan lagi.
Kehormatannya telah ternoda lagi! Ia telah diperkosa orang. Ia telah ternoda dan kotor. Bagaimana mungkin mengharapkan menjadi isteri seorang yang hebat seperti Bu-beng-cu" Tak terasa lagi, wajahnya menjadi pucat dan tak dapat ditahannya, beberapa tetes air mata terjatuh keluar dari pelupuk matanya, mengalir di kedua pipinya yang pucat.
"Hwe-thian Mo-li...... Nona...... kau menangis" Kenapa?" tanya Bubeng-cu, khawatir kalau-kalau ucapannya tadi menyinggung dan menyakitkan hati gadis itu.
Siang Lan menghapus air matanya dengan punggung tangan, lalu menggelengkan kepalanya dan memaksa diri tersenyum.
"Aih, tidak apa-apa, Paman. Aku hanya merasa sedih tadi teringat
betapa engkau begitu baik budi, sedangkan aku...... begini......
jahat......" "Siapa bilang begitu" Aku bukan manusia baik, aku juga jahat,
bahkan jauh lebih jahat daripada engkau. Hanya aku ingin mengingatkan engkau, cobalah hilangkan semua kebencian dari hatimu. Jangan terlalu membiarkan dendam kebencian bersarang di hatimu karena hal itu akan meracuni dirimu sendiri."
"Akan tetapi manusia-manusia jahat dan keji seperti iblis macam Hoat Hwa Cin-jin itu, apakah tidak sepatutnya kita benci, Paman?"
"Membenci kejahatan berarti tidak mau melakukan kejahatan itu,
Nona. Kita tidak suka melihat orang berbuat kejam, tentu saja kita sendiri harus menjaga agar kita tidak berbuat kejam. Yang kita tentang adalah tindak kejahatannya, bukan manusianya.
Mendendam dan membenci seseorang dapat memberi peluang
kepada nafsu setan untuk mendorong kita untuk melakukan perbuatan yang kejam."
"Akan tetapi hati yang disakitkan tidak akan dapat sembuh tanpa pelampiasan dalam bentuk balas dendam, Paman."
"Kalau melampiaskan dendam dengan cara melakukan kekejaman, lalu apa bedanya antara kita dan orang yang melakukan kekejaman kepada kita, Nona" Kita lalu akan menjadi sama kejamnya yang berarti sama jahatnya dengan orang yang
melakukan kejahatan terhadap diri kita."
Siang Lan menghela napas panjang. Ia merasa seperti kehilangan dan merasa menyesal. Percakapan dengan Bu-beng-cu sekarang menjadi kering, tidak ada lagi bekas-bekas kemesraan yang ia rasakan dan nikmati tadi.
Akan tetapi ia harus tahu diri. Bu-bengcu ini terlalu tinggi untuknya dan memang tidak masuk di akal kalau
seorang sepandai dan semulia Bu-beng-cu dapat jatuh cinta kepadanya!
"Paman Bu-beng-cu, aku mengerti akan maksud dari semua nasihatmu, namun aku juga merasa bahwa kiranya tidak mungkin bagiku untuk menghilangkan dendamku kepada orang-orang yang telah berbuat teramat jahat kepadaku seperti apa yang dilakukan Hoat Hwa Cin-jin tadi.
Juga aku masih ada dendam yang belum juga dapat kubalas, yaitu dendamku setinggi gunung sedalam
lautan kepada si jahanam busuk Thian-te Mo-ong!"
"Sudahlah, Hwe-thian Mo-li, aku tidak menyalahkan engkau membunuh Hoat Hwa Cin-jin karena dia memang amat jahat dan kematiannya merupakan akibat dari kejahatannya sendiri.
Yang kusesalkan adalah caramu melampiaskan kebencian dengan
mencincang mayatnya. Kuharap lain kali engkau tidak akan melakukan kekejaman seperti itu lagi."
Siang Lan merasa bahwa ia tadi memang lupa diri saking marahnya kepada Hoat Hwa Cin-jin. Ia menghela napas lagi dan berkata. "Maafkan aku, Paman. Tadi aku memang telah lupa diri dan mata gelap karena marah terhadap tokoh Pek-lian-kauw yang nyaris melakukan kekejian yang lebih mengerikan daripada maut kepadaku.
Aku berjanji akan lebih bersabar dan menguasai diri,Paman. Akan tetapi bagaimana dengan tugas yang akan
kulaksanakan untuk membantu Paman Panglima Chang di kota raja" Aku sedang dalam perjalanan ke sana dan aku kira di sana aku pasti akan berhadapan dengan musuh-musuh negara yang melakukan pembunuhan dan pengacauan itu. Apakah aku juga
pantang membunuh mereka?"
"Hwe-thian Mo-li, ketika engkau hendak belajar silat untuk memperdalam kepandaianmu, engkau telah berjanji, bahkan bersumpah untuk tidak membunuh orang. Tentu saja ada kecualinya, yaitu kalau engkau terpaksa melakukannya untuk membela diri.
Tugas yang hendak kaulakukan sekarang adalah tugas membela negara. "Kalau engkau bertemu dan melawan musuh, berarti engkau
bukan melawan musuh pribadi, melainkan musuh negara.
Tentu saja bunuh-membunuh dalam perang tidak termasuk urusan pribadi, dilakukan untuk berbakti kepada negara dan dilakukan
tanpa kebencian pribadi. Betapapun juga, sebaiknya kalau mungkin, robohkan dan tawan musuh negara itu hidup-hidup daripada
membunuhnya. Kukira engkau
mengerti apa yang kumaksudkan. Sekarang lanjutkanlah perjalananmu dan baik-baiklah menjaga dirimu."
"Terima kasih, Paman."
Mereka saling berpisah. Siang Lan melanjutkan perjalanannya menuju kota raja dan kini ia menggunakan ilmu berlari cepat. Bubeng-cu cepat berlari kembali ke tempat di mana Hoat Hwa Cin-jin tewas. Dia menggali lubang dan menguburkan mayat tokoh Peklian-kauw itu baik-baik, lalu memberi tanda di depan gundukan
tanah kuburan itu dengan sebuah batu besar yang dia ukir empat
huruf berbunyi "HOAT HWA CIN-JIN".
Setelah terjadi pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang menggegerkan kota raja sehingga Kaisar sendiri turun tangan memerintahkan para pembantunya untuk menyelidiki dan menangkap pembunuhnya, kota raja kini tampak aman. Tidak ada lagi kerusuhan, atau pembunuhan.
Pangeran Bouw Ji Kong memang cerdik. Maklum bahwa kalau dia
melanjutkan gerakannya melakukan pembersihan dengan membunuh para pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar akan membahayakan dirinya karena kini panglima Chang sudah
diserahi tugas oleh Kaisar untuk menyelidiki dan menangkap pembunuh, maka dia menghentikan aksi pembunuhan itu.
Dia bahkan menyuruh para sekutunya yang melakukan pembunuhan itu, Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, jagoan Mancu, dan Tarmalan jagoan suku Hui, untuk meninggalkan kota raja, dan bersembunyi di markas Jenderal Su Lok Ti yang menjadi komandan pasukan yang bertugas di perbatasan Utara.
Panglima Chang bukan orang yang lengah dan bodoh. Diam-diam dia menaruh curiga kepada Pangeran Bouw Ji Kong yang pernah memberontak itu. Walaupun kini dia menduduki pangkat cukup tinggi sebagai penasihat Kaisar mengenai hubungan dengan suku-suku liar di
Barat dan Utara, namun Panglima Chang meraguan kesetiaan pangeran yang berdarah Hui ini.
Kelihatan sekali betapa Pangeran
Bouw melindungi para suku yang berhubungan dekat dengannya.
Maka, Panglima Chang diam-diam mengirim para penyelidiknya
untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw Ji Kong.
Dulu pernah Pangeran Bouw terlibat hubungan dekat dengan pihak Pek-lian-kauw yang sejak dulu menjadi pemberontak. Akan tetapi kaisar memaafkannya setelah dia berdalih bahwa dia mendekati Pek-lian-kauw agar mereka sadar dan menghentikan
pemberontakan mereka.
Bahkan Pangeran Bouw pula yang
menganjurkan kaisar menerima utusan Pek-lian-kauw, yaitu Leng
Kok Ho-siang yang menyatakan kemauan baik Pek-lian-kauw untuk menghentikan pemberontakan itu. Kaisar masih memaafkan adik tiri yang lahir dari selir yang berbangsa Hui itu, karena anjuran itu dianggapnya sebagai kelengahan dan kebodohan Pangeran Bouw yang dapat dibohongi pihak Pek-lian-kauw.
Akan tetapi para penyelidik itu melaporkan bahwa tidak ada yang
mencurigakan dalam gedung Pangeran Bouw. Bahkan para penyelidik melaporkan bahwa Bouw-kongcu, putera tunggal pangeran Bouw adalah seorang pemuda yang baik budi dan ramah kepada semua orang. Mereka melaporkan bahwa tidak tampak ada persekutuan di rumah Pangeran Bouw.
Di sana hanya ada pelayan-pelayan wanita dan pelayan pria yang sudah tua, dan pangeran itu mempunyai pengawal yang terdiri dari pendekar-pendekar terkenal, yaitu Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa Kang-lam). Tidak ada tanda-tanda bahwa Pangeran Bouw mempunyai keinginan untuk memberontak, juga tidak ada tanda
bahwa dia mempunyai hubungan atau terlibat dengan para pembunuh pejabat tinggi itu.
Pada suatu malam yang gelap, sesosok bayangan berkelebat dan melayang ke atas wuwungan rumah gedung Pangeran Bouw.
Bayangan ini adalah Chang Hong Bu.
Seperti kita ketahui, Chang Hong Bu memenuhi perintah pamannya, Panglima besar Chang Ku Cing untuk menyampaikan permintaan bantuannya kepada Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan dan tugas itu telah dilaksanakan dengan baik.
Setelah dia kembali ke kota raja dan melaporkan hasil pertemuan dengan Nyo Siang Lan, pemuda murid Siauw-lim-pai yang lihai itu mendapat tugas
khusus dari pamannya.
"Para penyelidik yang kukirim untuk menyelidiki keadaan Pangeran Bouw tidak menemukan sesuatu yang mencurigakan," demikian Panglima Chang memberitahu keponakannya menceritakan tentang Pangeran Bouw.
setelah "Akan tetapi aku tetap curiga kepadanya. Karena itu, coba engkau
selidiki sendiri, Hong Bu. Akan tetapi hati-hatilah karena di sana terdapat Kang-lam Jit-sian yang lihai. Sebaiknya engkau mengenakan penutup muka agar kalau ketahuan tidak akan dikenal. Aku mengutusmu karena para penyelidik itu hanya
menyelidiki dari luar, tidak ada yang berani masuk.
Engkau harus dapat menyelidiki dalam gedungnya untuk melihat apakah tidak ada orang luar yang bersembunyi di sana. Sebaiknya malam ini engkau melakukan penyelidikan karena malam ini kebetulan mendung dan gelap." Chang Hong Bu malam itu mengenakan pakaian serba hitam dan
menutupi mukanya dan kepalanya dengan kain sutera hitam,hanya melubangi bagian kedua matanya.
Dengan gerakan ringan dia dapat melompati pagar tembok di belakang yang menembus taman. Sejenak dia mendekam dan bersembunyi di balik pohonpohon di taman itu.
Setelah merasa yakin bahwa di sana tidak terdapat orang, dia lalu bergerak mendekati gedung dan sekali tubuhnya melompat, dia
sudah melayang ke atas wuwungan gedung. Bagaikan seekor kucing dia berjalan di atas genteng dan mengintai ke bawah.
Ketika tiba di atas sebuah ruangan luas di bagian belakang gedung, Hong Bu mendekam dan memperhatikan keadaan ruangan itu. Dia melihat tujuh orang laki-laki duduk mengelilingi sebuah meja besar sambil makan kue kering dan minum arak.
Mereka tertawa-tawa dan bersendau-gurau.
Hong Bu memperhatikan mereka. Mereka adalah laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh sampai limapuluh tahun, bertubuh tegap, bahkan yang kurus pun tampak kokoh dan melihat betapa mereka itu gagah dan di situ terdapat bermacam-macam senjata,
ada tombak, golok, pedang, mudah diketahui bahwa tujuh orang itu tentu golongan ahli silat.
Teringat dia akan keterangan pamannya tentang Kang-lam Jit-sian
yang menjadi pengawal Pangeran Bouw dan dia merasa yakin bahwa mereka inilah tujuh Dewa Kang-lam itu. Melihat betapa tujuh orang yang sedang minum-minum itu tidak dapat mengetahui akan kedatangannya, Hong Bu dapat menilai bahwa ilmu kepandaian mereka belumlah terlalu tinggi walaupun kalau tujuh orang itu maju bersama tentu merupakan lawan yang berat juga.
Dia segera melanjutkan penyelidikannya ke sebelah depan dan berhenti dibagian tengah. Di ruangan tengah tidak nampak ada orang, bahkan tidak ada pelayan. Agaknya semua orang sudah berada di kamar masingmasing karena malam itu selain mendung dan di luar gelap, juga hawanya cukup dingin membuat orang lebih suka berada di dalam kamar yang tertutup rapat dan hangat.
Ketika dia hendak melanjuthan penyelidikannya ke bagian lain,tiba-tiba terdengar daun pintu terbuka sehingga Hong Bu tidak jadi bergerak dan mengintai lagi. Dia kini melihat seorang laki-laki tua,usianya hampir tujuhpuluh tahun dan melihat pakaiannya dia tentu seorang pelayan, keluar dari pintu yang terbuka itu.
Dia melangkah, berdiri ditengah ruangan itu, menoleh ke kanan kiri
seperti orang bingung. Seorang laki-laki yang gagah dan berpakaian indah muncul dari sebuah pintu lain. Biarpun dia belum mengenal laki-laki itu karena sejak kecil Hong Bu sudah meninggalkan kota raja, dia dapat
menduga bahwa tentu inilah yang bernama Pangeran Bouw Ji Kong.
Dia melihat betapa pelayan tua itu memberi hormat dengan membungkukkan tubuhnya amat dalam sambil berkata dengan suara merendah. "Ampunkan hamba, Pangeran, kalau hamba telah mengganggu Paduka dari tidur."
"Ah, tidak mengapa, Paman A-kui. Aku tadi mendengar bunyi daun pintu dibuka. Apakah ada sesuatu yang membuat engkau keluar dari kamarmu?" "Tidak ada apa-apa, Pangeran. Harap Paduka suka istirahat kembali. Hamba hanya keluar hendak memeriksa apakah hamba tidak lupa menutupkan semua jendela di ruangan ini."
Pangeran Bouw mengangguk dan masuk kembali ke dalam kamarnya. Kakek pelayan itu menghampiri semua jendela dan memeriksanya, lalu dia pun masuk kembali melalui pintu yang tadi dibukanya. Hong Bu tidak merasa perlu untuk menyelidiki bagian itu karena disitu agaknya merupakan kamar-kamar keluarga pangeran dan para pelayan.
Dia lalu bergerak lagi melakukan pemeriksaan ke bagian samping dan depan. Akan tetapi ternyata di samping hanya merupakan tempat tinggal para pembantu rumah tangga. Bahkan di bagian kamar tamu yang berjumlah sepuluh kamar itu semua
kosong, berarti pada waktu itu Pangeran Bouw tidak mempunyai
tamu yang bermalam di situ.
Selagi Hong Bu hendak meninggalkan wuwungan gedung karena tidak ada lagi yang perlu diselidiki, tiba-tiba terdengar suara bersiut dan sebuah benda hitam sebesar kepalan tangan menyambar ke arah kepalanya!
Sambaran benda itu cepat bukan main sehingga untuk mengelak Hong Bu tidak sempat lagi. Maka dia segera
menggerakkan tangannya untuk menangkis benda itu dengan tamparan tangan kanannya.
"Plakk!!" Benda itu tertangkis dan terpental jauh, akan tetapi Hong Bu terkejut sekali karena merasa betapa tangannya nyeri, panas dan pedih. Bahkan ketika dia meraba dengan tangan kirinya,ternyata tangannya terluka dan berdarah!
Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan tujuh orang
yang tadi minum-minum di ruangan belakang itu berlompatan ke atas genteng. Melihat ini, Hong Bu maklum bahwa keadaannya akan berbahaya, maka cepat sekali dia melayang turun dari atas genteng ke dalam taman yang gelap lalu berlari dan melompati
pagar tembok di belakang.
Tujuh orang Kang-lam Jit-sian tidak
mampu mengejar karena malam itu memang gelap bukan main.
Hong Bu cepat pulang ke gedung Panglima Chang. Begitu memasuki gedung, ternyata pamannya telah menantinya.
Bagaimanapun juga, Panglima Chang Ku Cing tetap saja agak gelisah menanti kembalinya keponakannya. Dia yakin akan kelihaian Hong Bu, akan tetapi dia juga maklum bahwa tidak mudah menyelidiki keadaan rumah gedung Pangeran Bouw Ji Kong yang tentu memelihara orang-orang pandai untuk menjaga.keselamatannya.
Ketika menyambut Hong Bu dan melihat keponakannya berdarah, dia terkejut,tangan kanan "Apa yang terjadi?" tanyanya khawatir.
Hong Bu duduk di atas kursi dan memeriksa tangannya. Ternyata
punggung tangannya terluka, kulitnya terobek. Akan tetapi luka itu tidak beracun dan melihat lukanya, agaknya seperti terkena benda yang tak runcing atau tajam.
Mungkin hanya sekepal batu yang
disambitkan kepadanya. Diam-diam Hong Bu terkejut karena orang yang mampu melukai tangannya hanya dengan sambitan sepotong batu sungguh memiliki tenaga sakti yang amat kuat!
Dia lalu menceritakan kepada pamannya apa yang telah dia alami
ketika melakukan penyelidikan di gedung Pangeran Bouw Ji Kong.
"Saya tidak melihat hal-hal yang mencurigakan, Paman. Yang berada di sana hanya Kang-lam Jit-sian dan para pelayan dan pembantu rumah tangga. Di kamar-kamar tamu juga tidak ada tamunya. Akan tetapi agaknya Kang-lam Jit-sian itu merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian yang amat tinggi."
Panglima Chang mengerutkan alisnya dan memeriksa luka di tangan keponakannya. "Menurut keterangan yang sudah lama kudapatkan ketika pertama kali pangeran Bouw menerima Kang lam Jit-sian sebagai pengawalnya, kepandaian mereka itu tidaklah terlalu tinggi. Bagaimana engkau dapat menduga bahwa ilmu
mereka amat tinggi" Luka di tanganmu ini juga tidak parah."
"Begini, Paman. Sebelum tujuh orang itu bermunculan, ada benda kecil hitam menyambar ke arah kepala saya. Saya menangkis sambil mengerahkan tenaga, akan tetapi ternyata sambitan itu amat kuat sehingga benda itu dapat membuat kulit tangan saya pecah terluka. Hal ini membuktikan bahwa benda yang saya kira hanya sepotong batu itu disambitkan oleh orang yang memiliki sinkang kuat sekali."
"Hemm, begitukah" Akan tetapi siapa tahu sambitan itu mungkin tidak dilakukan oleh seorang di antara Kang-lam Jit-sian,melainkan oleh orang lain."
"Saya kira tidak, Paman, karena setelah sambitan itu, yang muncul
adalah Kang-lam Jit-sian. Saya lalu meloncat dan melarikan diri."
Panglima Chang Ku Cing menghela napas panjang. "Kalau memang Pangeran Bouw tidak perlu dicurigai, sebaiknya kita arahkan penyelidikan kepada para pejabat lain yang kesetiaannya terhadap Sribaginda Kaisar boleh diraguan."
"Paman, apakah Paman tetap menduga bahwa pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan oleh para pejabat yang tidak setia?"
Panglima itu mengangguk. "Kukira begitulah. Biarpun para pembunuh itu jelas memiliki kepandaian tinggi, akan tetapi tidak mungkin mereka dapat berkeliaran di kota raja tanpa ketahuan.
Pasti ada yang membantu.mereka, yang memberi tempat persembunyian bagi mereka. Yang dibunuh adalah enam orang pejabat tinggi yang setia, ini saja sudah jelas merupakan bukti bahwa pelakunya menghendaki lemahnya pemerintah di bawah pimpinan Sribaginda Kaisar.
"Dan yang ingin melihat pemerintah menjadi lemah tentu saja para pemberontak seperti Pek-lian-kauw dan lain-lain, juga para pejabat yang tidak setia kepada Sribaginda Kaisar.
Biasanya persekongkolan seperti ini tentu ada yang menjadi pemimpinnya,dan bukan tidak mungkin pemimpinnya adalah seorang pejabat pemerintah sendiri yang bermaksud untuk merampas tahta kerajaan."
"Hemm, ini seperti mencari musuh dalam selimut, Paman. Kalau tidak dapat segera diketahui orangnya dan ditangkap, akan berbahaya sekali!" kata Chang Hong Bu.
"Karena itulah aku tidak memandang remeh urusan ini. Sribaginda telah menugaskan kepadaku untuk menyelidiki dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk membongkar rahasia ini. Untuk itu aku mengundang para pendekar dan orang sakti yang dulu pernah membantu pemerintah, antara lain Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong dan isterinya, Ong Liang hong. Juga Hwe-thian Moli Nyo Siang Lan.
Kalau ada para pendekar lain yang dapat membantu, lebih baik lagi. Juga aku sudah mengirim utusan untuk
mencari dan mengundang Lo-cianpwe Ouw-yang Sianjin. Ketika
engkau bertemu Hwe-thian Mo-li, kapan ia mengatakan akan datang ke kota raja?"
"Saya kira tidak lama lagi ia akan datang, Paman. Ia akan membangun taman di Lembah Selaksa Bunga lebih dulu,kemudian ia akan segera ke sini menghadap Paman."
"Baiklah, kalau begitu kita tunggu saja. Sekarang sebaiknya engkau obat luka di tanganmu itu dan pergi tidur."
Setelah menerima permintaan bantuan Panglima Chang, Sim Tek
Kun dan isterinya, Ong Lian Hong mulai melakukan penyelidikan.
Mereka berdua mengunjungi tempat-tempat rawan di kota raja,
yaitu di beberapa rumah judi dan rumah pelesir di mana biasanya
menjadi tempat para golongan penjahat bersenang-senang.
Bahkan mereka berdua sempat ribut dan berkelahi dengan para penjahat yang belum mengenal mereka sehingga ada yang berani bersikap tidak sopan kepada Lian Hong. Tentu saja para penjahat yang kurang ajar itu kecelik dan menerima hajaran keras dari Lian Hong dan Tek Kun sehingga dalam beberapa hari saja mereka menjadi gempar dan ketakutan.
Akan tetapi para orang kang-ouw
yang mengenal suami isteri pendekar itu, tidak berani mencari perkara, bahkan mereka siap membantu dengan keterangan yang diminta oleh suami isteri itu.
Namun, para penjahat atau golongan hitam yang berkeliaran di
kota raja itu tidak ada yang mengetahui tentang
pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Maka, setelah menyelidiki selama hampir dua bulan, Tek Kun dan Lian Hong belum juga mendapat keterangan.
Pada suatu hari, kota raja meriah sekali. Pada hari itu, di semua kota besar di mana terdapat Kwan-im-bio (Kuil Dewi kwan Im) penduduk mengadakan pesta besar untuk memperingati hari ulang tahun kwan Im Po-sat (Dewi kwan Im), yang jatuh pada Lak-gwe Cap-kau (Bulan Enam Tanggal Sembilanbelas).
Sebetulnya pesta meriah hanya diadakan di kuil-kuil, namun karena pada masa itu hampir seluruh rakyat memuja Dewi kwan Im sebagai Dewi Welas Asih, maka seluruh penduduk ikut merayakan.
Mereka berbondong-bondong
mengunjungi Kwan-im-bio untuk
bersembahyang dengan permohonan masing-masing. Ada yang mohon kesembuhan dari penyakitnya, ada yang mohon tambah rejeki, kenaikan pangkat, kemajuan perusahaannya, bahkan ada yang mohon agar segera mendapatkan jodoh, dan banyak pula
suami isteri mohon diberi karunia anak laki-laki!
Yang namanya kepercayaan memang tidak mungkin diperbantahkan atau dipersoalkan karena kepercayaan akan hal-hal yang abstrak tidak dapat diraba ataupun diselidiki melalui akal
dan penalaran.
Karena inilah maka di dunia muncul banyak macam agama dan kepercayaan dan masing-masing pemeluknya mempercaya semua agama masing-masing dengan sepenuh imannya. Kalau diperdebatkan maka akan terjadi pertentangan yang dapat mengakibatkan permusuhan.
Sayang sekali, yang dipersoalkan adalah perbedaan kepercayaan
mengenai upacara-upacaranya dan peraturan-peraturannya.
Padahal, pada hakekatnya, semua agama dan kepercayaan memiliki inti yang tiada bedanya. lntinya adalah pemujaan dan keinginan untuk kembali kepada Sumber Kehidupan yang abadi,yaitu Yang Maha Kuasa, Yang Maha Esa, Yang Maha Pencipta,
Maha Kasih dan selanjutnya.
Untuk mencapai tujuan itu, ada agama atau kepercayaan yang
mengharapkan pertolongan para perantara, seperti manusia di dunia yang ingin menghadap kaisar, raja, atau kepala pemerintahan, pendeknya orang nomor satu dalam negara, selalu melalui perantara atau para "pembantu" Sang Raja.
Dan kesemuanya itu baik-baik saja asalkan mengambil jalan yang satu,
yaitu jalan kebenaran, jalan kebajikan dan menjauhi jalan yang sesat dan jahat.
Pada masa itu, banyak para dewa dipuja di Cina sejak ribuan tahun, para dewa yang dianggap dapat membantu mereka menyampaikan permohonan mereka kepada Yang Maha Kuasa.
Para dewa yang dianggap memiliki kebajikan sempurna sehingga mau dan suka menolong mereka. Terutama sekali, pada waktu itu,
Dewi kwan Im! Kwan Im Po-sat tidak akan menolak permohonan manusia yang membutuhkan pertolongan.
Akan tetapi tetap saja ada syaratnya
hakiki, yaitu si pemohon haruslah bersih, dalam arti kata, tidak
melakukan perbuatan jahat. Juga semua permohonan harus
bersifat bersih, bukan untuk mencelakai orang lain.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong yang memperoleh pendidikan sastra, dan masa itu sastra berarti hafal akan isi kitab-kitab agama dan menjadikan mereka orang-orang yang beribadat, tidak terkecuali mereka pun percaya sekali dan memuja Kwan Im Po-sat
sebagai penolong yang penuh kasih sayang.
Mereka berdua juga ikut berjubel dengan orang banyak untuk mendapat kesempatan sembahyang lalu mereka menonton pertunjukan yang selalu diadakan di pekarangan depan kuil Kwan-im-hio setiap tahun
sekali.
Pertunjukan menginjak bara api, mandi minyak mendidih, tusuk dan potong lidah dan sebagainya yang sesungguhnya merupakan
pertunjukan yang amat aneh dan tidak wajar, namun karena hal itu
sudah merupakan tradisi dan kebiasaan, maka para penonton
tidak merasa heran lagi.
Sejumlah orang melakukan upacara yang amat aneh dan menyeramkan itu. Mereka sama sekali bukan pendeta, bukan orang-orang terpelajar, bahkan mereka itu terdiri dari para petani atau kuli yang tingkat keadaan hidupnya rendah.
Mereka bahkan sebagian besar buta huruf dan bodoh. Justeru kebodohan dan kesederhanaan itulah yang membuat mereka dapat memiliki
kepercayaan yang tebal, mutlak, dan membuta.
Selain itu, juga mereka harus memiliki apa yang biasa disebut oleh
para pendeta sebagai "orang bertulang baik" atau memiliki bakat
untuk menjadi Tang-sin.
Demikianlah orang-orang yang
melakukan upacara itu disebut. Yang berarti kemasukan atau kesurupan dan Sin berarti badan. Tang-sin berarti badan yang kemasukan atau kesurupan roh (in trance).
Di halaman kuil yang luas itu para pengurus perayaan telah menata
arang membara sepanjang dua-tiga tombak. Arang itu membara dan panasnya terasa oleh penonton yang berdiri empat-lima tombak dari situ. Lima orang Tang-sin sudah berada dalam keadaan kesurupan setelah mereka bersembahyang, dipimpin
seorang pendeta.
Para Tang-sin itu berpakaian sederhana, dan celana mereka pendek sebatas lutut, bertelanjang kaki dan masing-masing memegang sebuah bendera.
Kemudian, diiringi pukulan tambur dan canang yang riuh rendah,mereka keluar dari kuil dan berlari menuju halaman di mana terdapat arang membara itu.
Dengan enaknya, mereka berjalan
dengan kaki telanjang di atas arang membara itu, bolak-balik beberapa kali lalu kembali ke dalam kuil di mana mereka ramai bicara satu sama lain, dan anehnya, mereka bicara bukan dengan dialek mereka sendiri, melainkan dialek dari suku dari mana para roh yang memasuki mereka itu berasal!
Kemudian ada pula pertunjukan mandi minyak mendidih. Sebuah
kuali besar diisi penuh minyak lalu direbus sampai minyaknya mendidih. Para Tang-sin lalu mencelupkan kain ke dalam minyak panas itu dan digunakan untuk menggosok-gosok muka dan badan mereka. Sedikit pun mereka tidak kelihatan kepanasan, malah kelihatan segar seolah-olah mandi air yang dingin!
Para penonton yang tebal kepercayaan mereka sudah siap dengan botol untuk diisi minyak yang dipakai mandi itu, lalu mereka bawa pulang dan dipergunakan sebagai obat!
Ada pula pertunjukan atau upacara membagi Hu (Huruf Jimat).
Untuk upacara ini dipilih beberapa orang Tang-sin yang biasa melakukan upacara yang aneh dan mengerikan ini. Dalam keadaan kesurupan mereka menggunakan pisau tajam untuk mengerat lidah mereka yang dijulurkan keluar. Tidak sampai putus,akan tetapi terluka dan darah mengucur dari luka di lidah mereka
itu.
Darah ini oleh para Tang-sin dipergunakan untuk menulis huruf di
atas sehelai kain yang sudah dipersiapkan para penonton yang
membutuhkan. Kain yang ditulis dengan tinta darah inilah yang
dinamakan Hu dan biasanya mereka pergunakan untuk penangkal
penyakit, penolak bala, dan sebagainya.
Kembali semua ini hanya berdasarkan kepercayaan yang tebal
kepada dewa yang mereka puja, yang terdapat dalam kuil itu sebagai pendamping atau pengiring Dewi Kwan Im.
Para dewa yang dipuja dan memasuki para Tang-sin itu disebut sebagai hulubalang Dewi Kwan Im dan mereka mempunyai nama julukan masing-masing. Masih ada beberapa macam upacara yang dipertunjukkan lagi,seperti berjalan di atas tangga dari pedang tajam, tidur di atas pedang-pedang tajam, dan berbagai keajaiban lagi.
Semua itu dilakukan oleh para Tang-sin dalam keadaan kesurupan sehingga setelah selesai pertunjukan, mereka sadar kembali dan sama
sekali tidak ingat akan apa yang mereka lakukan dalam keadaan
kesurupan tadi. Mereka menjadi orang biasa kembali dan seandainya kulit tubuh mereka terkena api sedikit saja pasti akan melepuh!
Selain pertunjukan yang merupakan upacara dan mengandung
keajaiban ini, terdapat pula pertunjukan biasa yang sifatnya hanya sebagai hiburan kesenian seperti permainan Barong-sai (Tarian
Singa), tarian kilin, atau tarian Naga, juga pertunjukan wayang.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong ikut dalam suasana pesta, nonton
semua pertunjukan itu. Setelah merasa lelah, mereka lalu pergi ke
rumah makan Thai Lok, sebuah rumah makan yang cukup besar
di kota raja. Dalam suasana pesta itu, kota raja menjadi ramai karena banyak sekali tamu berdatangan untuk nonton keramaian pesta ulang
tahun di Kwan-im-bio, terutama sekali dari penduduk yang tinggal
di kota di mana tidak ada kuil Kwan Im. Rumah makan itu pun
penuh dengan tamu yang makan siang.
Suami isteri itu mendapatkan tempat di bagian luar karena di sebelah dalam sudah penuh tamu. Di ruangan bagian luar itu terdapat empat buah meja yang dikelilingi empat bangku. Tiga meja sudah ditempati tamu, tinggal satu yang kosong dan Sim Tek
Kun berdua isterinya segera duduk di situ memesan makanan,kepada pelayan yang menghampiri mereka.
Dekat mereka terdapat meja yang dikelilingi tiga orang tamu.
Mereka itu agaknya sudah setengah mabok karena mereka tertawa-tawa dengan ribut. Di meja lain sebelah sana juga terdapat empat orang laki-laki yang setengah mabok.
Ketika Tek Kun dan Lian Hong duduk di meja mereka, tiga orang laki-laki yang duduk di meja terdekat itu menoleh dan memandang Lian Hong sambil tersenyum-senyum. Bahkan seorang dari mereka, yang berusia sekitar empatpuluh tahun dengan sebatang pedang tergantung di punggung, pakaiannya mewah dan
wajahnya cukup tampan dan gagah, memandang Lian Hong terus-terusan dengan sikap kurang ajar.
Diam-diam Tek Kun memperhatikan tiga orang ini. Mereka itu jelas
merupakan orang-orang kang-ouw karena ketiganya mempunyai senjata. Si Tampan itu mempunyai pedang, lalu orang kedua yang usianya sekitar empatpuluh dua tahun, bertubuh sedang, mukanya penuh bopeng (bekas cacar), juga memiliki sebatang pedang tergantung di punggungnya. Orang ketiga berusia sebaya,mukanya seperti muka monyet dan di punggungnya ada sepasang
golok.
Pakaian mereka serba mewah.
Tek Kun melihat betapa wajah isterinya yang jelita itu menjadi agak
kemerahan. Dia mengerti bahwa perasaan isterinya agak tersinggung melihat sikap tiga orang itu yang tadi memandangnya dengan lahap, terutama sekali yang berwajah tampan dan sampai sekarang masih menatapnya sambil cengar-cengir.
Pelayan datang mengantarkan kecap dan saus dalam mangkok,mendahului hidangan yang belum siap.
Tek Kun berkedip kepada isterinya sebagai isyarat agar isterinya dapat menahan sabar dan Lian Hong mengangguk, lalu membuang muka, tidak mau berhadapan muka dengan laki-laki yang tersenyum-senyum kurang ajar itu.
Akan tetapi agaknya laki-laki itu memang memiliki watak mata keranjang dan sewenangwenang mengandalkan kepandaian dan kekuatan sendiri dan kawan-kawannya.
Kecantikan Lian Hong yang memang memiliki banyak kelebihan dan mengandung daya tarik luar biasa itu membuat laki-laki yang sudah setengah mabok menjadi tergila-gila dan dia tidak mampu lagi menahan gairah hatinya.
Dia lalu bangkit berdiri dan dengan
langkah gontai menghampiri meja suami isteri itu.
Setelah dekat, dia berdiri di sisi meja berhadapan dengan Lian Hong sambil menyeringai dan berkata. "Nona yang cantik jelita seperti Dewi, kalau tidak keliru dugaanku, engkau tentu Kwan Im Po-sat sendiri yang menjelma.
Mari silakan, kuundang engkau
untuk bersama-sama makan di mejaku. Di sana penuh hidangan
dan engkau dapat makan semewahnya, daripada hanya menghadapi saus dan kecap seperti ini.
Heh-heh-heh!"
Muka Lian Hong sudah merah sekali. Tek Kun menyentuh lengan isterinya untuk mencegahnya turun tangan menghajar orang itu,lalu dia berkata dengan halus.
"Sobat, engkau sudah mabok, lebih baik kembalilah ke meja teman-temanmu dan lanjutkan berpesta. Terima kasih atas penawaranmu dan harap jangan mengganggu isteriku."
"Aih, apa salahnya kalau aku mengajak isterimu" Ia cantik jelita
dan penjelmaan Kwan Im Po-sat yang selalu memenuhi permintaan orang.
Sekarang aku minta agar ia menemaniku makan minum, tentu ia mau memenuhi permintaanku ini.
Bukankah begitu, manis tersayang?" Laki-laki itu mendekatkan mukanya yang menghamburkan bau arak kepada Lian Hong.
"Kwan Im Posat hanya memenuhi permintaan orang yang baik dan benar! Jahanam macam engkau ini hanya akan dipenuhi permintaanmu oleh setan dan iblis!
Nih, makanlah!" Cepat bagaikan kilat tangan Lian Hong menyambar mangkok berisi saus dan menuangkan isinya dengan gerakan cepat ke arah muka lakilaki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyangka, maka dia tidak sempat mengelak.
"Prattt......!" Mukanya penuh saus yang merah seperti darah! Yang celaka baginya, saus yang mengandung tomat, merica, cuka dan jahe itu memasuki mata dan hidungnya.
dan engkau dapat makan semewahnya, daripada hanya menghadapi saus dan kecap seperti ini.
Heh-heh-heh!"
Muka Lian Hong sudah merah sekali. Tek Kun menyentuh lengan isterinya untuk mencegahnya turun tangan menghajar orang itu,lalu dia berkata dengan halus.
"Sobat, engkau sudah mabok, lebih baik kembalilah ke meja teman-temanmu dan lanjutkan berpesta. Terima kasih atas penawaranmu dan harap jangan mengganggu isteriku."
"Aih, apa salahnya kalau aku mengajak isterimu" Ia cantik jelita
dan penjelmaan Kwan Im Po-sat yang selalu memenuhi permintaan orang.
Sekarang aku minta agar ia menemaniku makan minum, tentu ia mau memenuhi permintaanku ini.
Bukankah begitu, manis tersayang?" Laki-laki itu mendekatkan mukanya yang menghamburkan bau arak kepada Lian Hong.
"Kwan Im Posat hanya memenuhi permintaan orang yang baik dan benar! Jahanam macam engkau ini hanya akan dipenuhi permintaanmu oleh setan dan iblis!
Nih, makanlah!" Cepat bagaikan kilat tangan Lian Hong menyambar mangkok berisi saus dan menuangkan isinya dengan gerakan cepat ke arah muka lakilaki itu. Laki-laki itu sama sekali tidak pernah menyangka, maka dia tidak sempat mengelak.
"Prattt......!" Mukanya penuh saus yang merah seperti darah! Yang celaka baginya, saus yang mengandung tomat, merica, cuka dan jahe itu memasuki mata dan hidungnya.
Dia gelagapan, lalu mengaduh-aduh, menjatuhkan diri berjongkok dan berusaha membersihkan kedua matanya dengan tangan.
Akan tetapi jari-jari tangannya bahkan menekan saus itu lebih merata dan dalam di matanya. Dia mengeluh dan berkaok-kaok karena kedua matanya terasa panas dan pedih luar biasa.
Semua kepandaian silatnya, semua kekuatannya, ternyata tidak ada
gunanya sama sekali setelah kedua matanya dimasuki saus itu!
"Keparat......!" Dua orang temannya Si Tampan, yang bermuka bopeng dan bermuka monyet, melompat marah hendak menangkap Lian Hong. Yang seorang mencengkeram ke arah
pundak Lian Hong dan Si muka monyet menampar ke arah Tek
Kun untuk mencegah orang itu membantu isterinya.
Kini Tek Kun tidak dapat bersabar lagi. Dia menggerakkan tangan
menangkis sambil mengerahkan tenaga, sedangkan Lian Hong juga menangkis sambil mendorong.
"Duduk......!!" Dua orang itu terpental ke belakang dan menabrak meja mereka sendiri sehingga meja itu roboh dan semua hidangan tumpah dan jatuh ke bawah. Dua orang itu terkejut dan marah sekali.
Si muka bopeng mencabut pedangnya dan Si muka monyet mencabut siang-to (sepasang golok). Bahkan empat orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah mereka kini bangkit dan tampak jelas hendak mengeroyok suami isteri itu.
"Keluar!" Tek Kun berseru kepada isterinya sambil menendang meja di depannya. Meja itu melayang dan menghantam enam orang yang hendak mengeroyok itu. Akan tetapi mereka dapat memukul pecah meja itu.
Tek Kun dan Lian Hong sudah berlompatan keluar dari rumah makan dan menanti di jalan raya.
Tentu saja para tamu rumah makan itu menjadi panik dan ketakutan. Mereka segera melarikan diri dari samping dan menjauhkan diri.
Tujuh orang itu kini juga keluar. Enam di antara mereka sudah memegang senjata, sedangkan yang seorang tadi masih mencoba membersihkan kedua matanya menggunakan kain yang dicelup
air.
Akan tetapi tetap saja matanya masih sukar dibuka dan dia berjalan seperti orang buta meraba-raba menuju keluar mengikuti enam orang temannya.
Lian Hong melihat suaminya tidak membawa senjata, maka ia lalu melolos pedang tipis yang tadinya ia pakai sebagai sabuk, lalu menyerahkannya kepada suaminya.
"Pakai pedangku ini!" kata Lian Hong.
Tek Kun menerimanya karena dia tahu benar bahwa selain pedang
tipis itu, isterinya memiliki senjata yang tidak kalah ampuhnya, yaitu
sehelai selendang merahnya yang kini telah dilolos pula dan berada di tangan Lian Hong.
Setelah enam orang itu berhadapan dengan mereka, yang tertua,berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar muka berewok yang memegang sebatang tombak kepala naga, bersikap gagah dan galak lalu berseru kepada suami isteri itu.
"Kalian berani memukul rekan kami! Kami adalah petugas-petugas negara. Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!"
Tek Kun tersenyum. "Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan dihukum!"
"Kalian bosan hidup!" bentak Si pemegang Tombak dan bersama
seorang temannya yang bersenjatakan sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.
"Tar-tarrrr......!!" Sinar merah melecut dan meledak-ledak di atas kepala dua orang itu, membuat mereka terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.
"Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!"
Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak.
"Tahan......!!"
Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul. Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian Hong.
Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan
isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong segera menghampiri.
"Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok!
Kesalahpahaman apakah ini" Ketahuilah kalian berdua bahwa
mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku."
Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu.
"Paman Pangeran Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam)
yang menjemukan ini?"
Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian
(Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing).
Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun
segera berkata dengan nada menghormat, "Paman
Pangeran,mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka
mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya.
Akan tetapi yang lain maju dan mereka hendak mengeroyok kami." Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik.
Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih "menangis" karena kedua matanya pedih dan sukar dibuka, namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih keponakannya sendiri.
Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.
"Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini"
Dia adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua
adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat kalian!"
Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih memejamkan kedua matanya,dituntun oleh saudara-saudaranya.
Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia
menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi.
Mereka itu orang-orang kasar dan sedang mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka."
"Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita terhina. Maafkan kami." Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu. Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan.
"Hitung berapa jumlah semua kerugian kalian, akan kubayar semua!" Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada kedua pihak.
Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan kecurigaan.
**********
Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang duduk berlutut di depannya.
Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua pipinya. Dia menangis tanpa suara! Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya.
Diam-diam dia diikuti dan dihadang oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan ditolong
Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya.
Kepada Ouwyang Sian-jin, Cu An menceritakan keadaan ayahnya yang hendak memberontak.
Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya
bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu panglima itu mencari para pembunuh yang mengacauan kota raja.
Tosu itu memberitahu bahwa kini
Cu An sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup
kuat. Mereka harus saling berpisah karena dia hendak memenuhi
panggilan Jenderal Chang.
Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua
pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.
"Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu menjadi murid,mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng" Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah semestinya terjadi?"
"Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu......"
"Apa maksudmu, Cu An?"
"Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah.
Sekarang Suhu hendak ke kota raja membantu Jenderal Chang
menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih
melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya" Teecu
memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah orang tua teecu!"
Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk. "Hemm, lalu sekarang
apa yang akan kaulakukan?"
"Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin menentang orang tua sendiri.
Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu lakukan dalam keadaan seperti ini."
"Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang
anak yang berbakti kepada orang tua akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang sulit dan membingungkan, Cu An.
Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu utusan dari Mancu itu.
"Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Ia adalah keponakan muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti yang pernah ia lakukan.
Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota raja agar membantu." Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara misannya.
Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai.
"Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo
Siang Lan itu?" "Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit Selaksa Bunga (Ban hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san.
Kau pergilah ke sana. Kalau ia
mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua pesanku darimu."
Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan
masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san. Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak.
Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi
menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah Selaksa Bunga hanya untuk
menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu
tidak kembali ke kota raja.
Dia tahu betapa bingung hati Cu An
kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan usaha
pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu.
Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Luliang-san.
Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian
pemuda dusun. Tak seorang pun akan menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja.
Kulitnya pun tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap.
Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan gangguan. Mereka
yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan
juga tidak ada niat untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan
sederhana dan miskin ini!
Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liangsan. Dari para penduduk dusun di sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan mulai pendakian.
Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang.
Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu.
Dalam cuaca remang itu dia masih dapat menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari
tempat itu sampai ke puncak. Keharuman yang semerbak dan
aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin
dan terasa nyaman dan segar.
Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan
sampai di puncak setelah malam tiba. Sopankah berkunjung diwaktu malam"
Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat berlindung.
Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas.
Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja. Mulailah dia melangkah dan mendaki naik.
Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambung-menyambung sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.
Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalanjalan dalam sebuah taman yang indah. Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu.
Tali itu tidak tampak karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah kedua
kakinya!
Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah memiliki kepekaan,kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu.
Cepat dia melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu. Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi.
Akan tetapi ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia
terjeblos ke dalam sebuah lubang!
Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah.
Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.
Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya!
Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok kecil itu dan melewatkan malam di situ.
Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok. Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat
tiba di pondok itu dengan selamat.
Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari papan. Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan
kasur bantal bertilam sutera kuning bersulamkan bunga-bunga merah.
Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan.
Sungguh merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau
tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.
Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah didinding, dipan yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung
dengan kedua kaki di atas!
Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di
atas lantai dengan warna yang sama dengan lantainya sehingga tidak tampak.
Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran dan begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu
tubuhnya sudah tergantung di tengah-tengah ruangan itu.
Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan
kepalanya tergantung di bawah.
Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya
sehingga bukan hanya kedua kakinya yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya.
Dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan kakinya, ternyata
tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta. Dia tergantung seperti seekor kelelawar dengan kepala di bawah!
Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa
sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak!
"Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di
Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku dianggap bersalah,maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu.
Tolong..... tolong...... toloooooonnnggg......!!"
Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu.
Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik.
Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya,Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini.
Maka dia kini juga melakukan samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa!
Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.
Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak, terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok.
Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan
menghidupkan segala sesuatu di sekitar situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam
beterbangan di atas bunga-bunga.
Mereka itu seperti menari-nari
dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang, bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga. Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan
pemandangan yang luar biasa, indah tanpa suara.
Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap
pandang mata karena mereka lebih suka bersembunyi di pohonpohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang merdu,
sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang
membuat suasana menjadi riang gembira.
Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa
betapa seluruh dirinya seolah berada dalam kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang menyeluruh, terasa oleh semua inderanya!
Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan.
Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah,kecerahan sinar matahari keemasan bunga-bunga beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya.
Melalui hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup.
Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin mempermainkan daun-daunan
menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok.
Suara merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayanglayang!
Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma
dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu berbahagia dan bersyukur
sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih.
Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang
setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!
Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang
berjalan di luar itu kini menghampiri pondok. Mereka mengenakan
pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang
sehingga seperti pot bunga berjalan.
Usia mereka antara duapuluh
lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik. Akan
tetapi sikap mereka gagah, atau galak"
Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan anak panah dan lubang. Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak ketika hendak tidur.
Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa,yang dianggap murid pertama di antara para anggauta Ban-hwapang.
Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali.
Sialan! Gadis-gadis ini menjebaknya,
semalam suntuk membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan!
Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum bahwa kalau dia hanya
menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa sesungguhnya
pihaknyalah yang bersalah.
Dia telah memasuki daerah orang,
telah melanggar dan memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin
lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para penghuni
lembah itu tidak mengenalnya.
"Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku.
Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan maling bukan rampok.
Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan!
Tolong lepaskan aku!"
Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu.
Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka.
Kini mendengar pemuda itu datang sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka membantah.
"Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak datang pada siang hari secara berterang" Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya pimpinan kami." Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi mempedulikan Cu An.
Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita itu, dia pun lalu merangkai sajak dan
dinyanyikannya dengan suara lantang.
Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula
mendengarkan dengan gembira dan merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.
"Wanita itu bagaikan Keindahan bunga adalah keharuman bunga adalah kehalusan bunga adalah wataknya.
Sayang empat tangkai bunga di cantiknya sih akan tetapi sifatnya sama sekali dan wataknya tidak lembut.
Bodoh-bodoh tidak mengenal bahwa adalah seorang seorang adik dari Hwe-thian Mo-li sendiri!
bunga. kecantikannya, sifatnya, lembah tidak ini, cantik, harum, lagi, yang mereka jebak pangeran dan seperguruan Aih, jangan-jangan tempat yang sebagai Ban-hwa-kok hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!" dikenai ini Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian
Mo-li!
Mereka merasa tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi
bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh"
Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar sute dari Hwe-thian Moli ketua mereka" Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya.
Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali,sepasang matanya lebar dan wajahnya berbentuk bulat.
Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga
mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga.
Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk mengepalai para murid dan agaknya
kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya.
Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung
membalik itu. Dua pasang mata bertemu dan mata Cu An terbelalak kagum. "Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa,disiksa seperti ini selama semalam suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini," katanya.
Tentu saja Li Ai menjadi bingung. "Apa maksudmu bunga-bunga
yang baunya tidak enak?" bentaknya.
"Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka
sungguh tidak enak," kata Cu An.
"Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!" Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa. "Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia dihukum.
Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa yang harus kita lakukan kepadanya!"
"Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!" kata Cu An
dengan hati mendongkol. "Baik, kita sama lihat saja apa yang akan
dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan
melihat sutenya disiksa seperti ini!"
Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa. "Enci Bwe, cepat bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!"
Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri.
"Hemm, laki-laki tidak sepatutnya
diberi hati......" Dan ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke bawah.
Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika
tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu.
Cepat dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri berhadapan dengan enam orang wanita itu.
Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan tetapi ketika pandang
matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan
terpesona.
Tadi memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang
memerintahkan agar dia dibebaskan. Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona.
Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong.
Sebagai seorang putera pangeran keponakan kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin, sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang lebih banyak harus bekerja.
Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit
Bu (Silat) kemudian selama setahun digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik.
Akan tetapi sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang kembang dengan potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya
membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa "laki-laki kurang ajar" seperti yang dilaporkan anak buah Ban-hwa-pang,yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan.
Setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya.
Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orang-orang bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan.
Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan seorang
pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.
"Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malam-malam mencoba untuk
menyusup ke lembah kami" Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan"
Sobat,jangan kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!"
Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan
mendengar ucapan yang teratur, bukan seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada perasaan heran dalam hatinya.
Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan
terbukti tadi ucapan para gadis yang menjadi anak buahnya juga
kasar.
Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur seperti seorang gadis berpendidikan" Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura dengan hormat.
"Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak
mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwa-pang. Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja.
Juga aku tidak berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu
Kiam-ong Ong Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan.
Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?"
Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.
"Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan...... dan...... kami tadi tidak percaya kepada Kongcu lalu bersikap kasar."
Bouw Cu An tersenyum dengan tulus. "Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup membuka mataku bahwa kalian
adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik.
Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di lembah ini memang indah dan harum!"
Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum manis!
Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.
"Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain,melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa."
Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai
rintangan dan jebakan.
"Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan," katanya. Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap.
"Baiklah, Kui Siocia!" katanya.
Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masing-masing menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka.
Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada. Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan
tamu, akan tetapi sebelum pihak nona rumah mengajaknya bicara,
dengan sikap ramah Li Ai berkata.
"Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan
berada di dalam keadaan yang tidak menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian.
Kemudian kita sarapan, baru kita akan bicara tentang maksud
kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?"
Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata
penuh perhatian terhadap tamunya, ramah dan hormat.
Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik.
Hanya saja, tentu dia akan tampak lebih bersih dan "ganteng" kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih.
Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya!
Maka dengan girang dia lalu menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Banhwa-pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.
Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai
di ruangan makan, menghadapi meja makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada
anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu untuk melayani.
Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.
"Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku" Apakah engkau ini......" Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal.
"Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang...... sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang keluar, Kongcu."
"Wah, ia tidak ada" Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!"
Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali
di ruangan tamu, meninggalkan meja yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan diruangan tamu, Li Ai bertanya.
"Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri, dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat
menyampaikan apa yang kau pesan."
"Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin, yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini.
Menurut perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar.
Aku disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang.
"Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi
mengambil keputusan untuk mencoba naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali sehingga aku terjebak."
"Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah terjadinya peristiwa itu.
Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat, Bouw Kongcu.
Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan pembunuh."
"Ah, begitukah" Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi ke kota raja."
"Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?" pertanyaan ini diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis.
Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan, Nona. Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin."
"Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu,bukan?"
"Tentu saja, siapa tidak mengenalnya" Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja."
"Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki hubungan yang luas.
Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu.
Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku tidak pernah bertemu
denganmu."
Bouw Cu An tertawa. "Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya.
Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi,seorang bangsawan?"
Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya.
Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya.
Pemuda ini tampak demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya, membuat ia tertarik
sekali.
"Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas
setahun lebih yang lalu. Beliau adalah mendiang Perwira Kui
"Ahh......!" Cu An bangkit berdiri dengan kaget.
"Maksudmu...... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu Jenderal Chang Ku Cing yang...... kabarnya...... maaf...... membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?"
Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri.
Menjadi kewajibannyalah untuk membela nama ayahnya!
"Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing?"
Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang menimpa keluarga gadis itu.
Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya,tidak tega menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.
"Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum, yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Peklian-kauw memberontak dan menyerbu kota raja.
Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu, akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu"
Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan penting itu?" Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan ini.
Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia
seperti Kui Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian
besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan yang amat memaksanya.
Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada
Pek-lian-kauw" Rasanya tidak mungkin!
Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya!
Akan tetapi dia tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan
seperti tadi ketika menjawab "ya" dia hanya mengangguk, kini untuk menjawab "tidak" dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu.
Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!
"Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu.
Terserah engkau mau percaya atau akan menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja.
"Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para
pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar, diantaranya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Nah, pada suatu hari,seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka membebaskan tiga orang
pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu.
Kalau Ayah tidak melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh
mereka. "Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu
aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu.
Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan menuduh Ayah berkhianat.
"Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus
kesalahannya, Ayah lalu membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing!
Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya,terserah engkau percaya ataukah tidak."
Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu,hatinya terasa agak lega seperti telah memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.
Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada
pemerintah.
Bahkan dia yang memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan
menangkap para pemimpinnya. Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terang-terangan sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka!
Perbuatan itu pasti memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Pek-lian-kauw"
"Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang berada di sini, menjadi murid Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal
mendiang Ayahmu?"
Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat
akan nasib dirinya yang menjadi korban perkosaan dan akan sikap
ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa
dirinya.
Satu-satunya manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.
"Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku.
Maka aku lalu ikut Enci Siang Lan dan hidup bersamanya disini." "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan.
Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia......" kata Bouw Cu An dengan
suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal, kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini! Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang.
"Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari ingatanku.
Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu" Engkau adalah putera seorang pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak memegang kedudukan tinggi di pemerintahan"
Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang pemuda kang-ouw"!"
Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang
merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar."
Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri untuk memberontak" Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang
Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan Hongbacu, tokoh bangsa
Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.
"Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan kacau, terjadi pemberontakan dan
perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan masing-masing yang dianggap
menghalangi kehendaknya
memperoleh kedudukan lebih tinggi.
Persaingan yang tidak sehat. Aku melihat hal-hal yang kotor di...
Akan tetapi jari-jari tangannya bahkan menekan saus itu lebih merata dan dalam di matanya. Dia mengeluh dan berkaok-kaok karena kedua matanya terasa panas dan pedih luar biasa.
Semua kepandaian silatnya, semua kekuatannya, ternyata tidak ada
gunanya sama sekali setelah kedua matanya dimasuki saus itu!
"Keparat......!" Dua orang temannya Si Tampan, yang bermuka bopeng dan bermuka monyet, melompat marah hendak menangkap Lian Hong. Yang seorang mencengkeram ke arah
pundak Lian Hong dan Si muka monyet menampar ke arah Tek
Kun untuk mencegah orang itu membantu isterinya.
Kini Tek Kun tidak dapat bersabar lagi. Dia menggerakkan tangan
menangkis sambil mengerahkan tenaga, sedangkan Lian Hong juga menangkis sambil mendorong.
"Duduk......!!" Dua orang itu terpental ke belakang dan menabrak meja mereka sendiri sehingga meja itu roboh dan semua hidangan tumpah dan jatuh ke bawah. Dua orang itu terkejut dan marah sekali.
Si muka bopeng mencabut pedangnya dan Si muka monyet mencabut siang-to (sepasang golok). Bahkan empat orang laki-laki lain yang duduk di meja sebelah mereka kini bangkit dan tampak jelas hendak mengeroyok suami isteri itu.
"Keluar!" Tek Kun berseru kepada isterinya sambil menendang meja di depannya. Meja itu melayang dan menghantam enam orang yang hendak mengeroyok itu. Akan tetapi mereka dapat memukul pecah meja itu.
Tek Kun dan Lian Hong sudah berlompatan keluar dari rumah makan dan menanti di jalan raya.
Tentu saja para tamu rumah makan itu menjadi panik dan ketakutan. Mereka segera melarikan diri dari samping dan menjauhkan diri.
Tujuh orang itu kini juga keluar. Enam di antara mereka sudah memegang senjata, sedangkan yang seorang tadi masih mencoba membersihkan kedua matanya menggunakan kain yang dicelup
air.
Akan tetapi tetap saja matanya masih sukar dibuka dan dia berjalan seperti orang buta meraba-raba menuju keluar mengikuti enam orang temannya.
Lian Hong melihat suaminya tidak membawa senjata, maka ia lalu melolos pedang tipis yang tadinya ia pakai sebagai sabuk, lalu menyerahkannya kepada suaminya.
"Pakai pedangku ini!" kata Lian Hong.
Tek Kun menerimanya karena dia tahu benar bahwa selain pedang
tipis itu, isterinya memiliki senjata yang tidak kalah ampuhnya, yaitu
sehelai selendang merahnya yang kini telah dilolos pula dan berada di tangan Lian Hong.
Setelah enam orang itu berhadapan dengan mereka, yang tertua,berusia sekitar limapuluh tahun, bertubuh tinggi besar muka berewok yang memegang sebatang tombak kepala naga, bersikap gagah dan galak lalu berseru kepada suami isteri itu.
"Kalian berani memukul rekan kami! Kami adalah petugas-petugas negara. Menyerahlah kalian untuk kami tangkap!"
Tek Kun tersenyum. "Kalianlah yang membuat kekacauan dan kalian yang sepatutnya ditangkap dan dihukum!"
"Kalian bosan hidup!" bentak Si pemegang Tombak dan bersama
seorang temannya yang bersenjatakan sebatang golok besar, dia menerjang ke depan.
"Tar-tarrrr......!!" Sinar merah melecut dan meledak-ledak di atas kepala dua orang itu, membuat mereka terkejut dan cepat melompat ke belakang. Enam orang itu segera mengepung suami isteri yang sudah siap siaga dan Lian Hong berkata kepada suaminya.
"Hemm, mari kita hajar manusia-manusia tak tahu diri ini!"
Sebelum kedua pihak saling serang, terdengar suara nyaring membentak.
"Tahan......!!"
Seorang yang bertubuh tinggi dan gemuk, berwajah angker dan mengenakan pakaian pembesar muncul. Melihat Pangeran Bouw Ji Kong, tujuh orang itu tampak jerih dan mereka segera mundur dan berdiri bergerombol walaupun wajah mereka masih muram dan mata mereka melotot ke arah Tek Kun dan Lian Hong.
Melihat bahwa yang hendak dikeroyok itu adalah Sim Tek Kun dan
isterinya, Pangeran Bouw Ji Kong segera menghampiri.
"Aih, ternyata Sim Tek Kun dan isterinya yang akan dikeroyok!
Kesalahpahaman apakah ini" Ketahuilah kalian berdua bahwa
mereka ini adalah Kang-lam Jit-sian, para pengawal pribadiku."
Sim Tek Kun memberi hormat, akan tetapi Lian Hong berkata kepada pangeran itu.
"Paman Pangeran Bouw Ji Kong, mengapa Paman memelihara Kang-lam Jit-kauw (Tujuh Anjing Kang-lam)
yang menjemukan ini?"
Ia sengaja mengganti julukan Jit-sian
(Tujuh Dewa) menjadi Jit-kauw (Tujuh Anjing).
Mendengar ucapan isterinya yang penuh ejekan ini, Sim Tek Kun
segera berkata dengan nada menghormat, "Paman
Pangeran,mereka agaknya telah mabok dan seorang di antara mereka
mengeluarkan ucapan yang kurang ajar terhadap isteri saya yang lalu menghajarnya.
Akan tetapi yang lain maju dan mereka hendak mengeroyok kami." Pangeran Bouw Ji Kong adalah seorang cerdik.
Biarpun hatinya merasa panas melihat tujuh orang jagoannya dihina bahkan Gu Mo Ek, yang termuda di antara Kang-lam Jit-sian masih "menangis" karena kedua matanya pedih dan sukar dibuka, namun dia maklum bahwa tidak menguntungkan baginya untuk membela para jagoannya dan menyalahkan Sim Tek Kun, putera dari pangeran Sim Liok Ong yang masih keponakannya sendiri.
Dia menoleh kepada tujuh orang pembantunya itu dan berkata dengan marah.
"Kalian bertujuh memang bodoh dan bandel! Sudah kularang untuk mabok-mabokan di luar akan tetapi masih nekat dan dalam keadaan mabok membuat onar di luar. Kalian tahu siapa yang kalian hadapi ini"
Dia adalah Kongcu (Tuan Muda) Sim Tek Kun putera Pangeran Sim Liok Ong, dan isterinya. Mereka berdua
adalah pendekar-pendekar yang amat lihai! Kalian membikin malu saja! Hayo cepat kembali ke tempat kalian!"
Tujuh orang itu segera pergi seperti segerombolan anjing yang ketakutan. Gu Mo Ek yang masih memejamkan kedua matanya,dituntun oleh saudara-saudaranya.
Pangeran Bouw Ji Kong lalu menghadapi suami isteri itu. Dia
menggelengkan kepalanya dan menghela napas panjang.
"Nanda Sim Tek Kun berdua, maafkanlah para pengawalku tadi.
Mereka itu orang-orang kasar dan sedang mabok. Aku akan membuat teguran keras pada mereka."
"Tidak mengapa, Paman Pangeran. Untung isteri saya yang digoda, kalau wanita lain tentu akan ada wanita terhina. Maafkan kami." Tek Kun lalu mengajak isterinya keluar dari rumah makan itu. Pangeran Bouw Ji Kong berkata kepada pengurus rumah makan.
"Hitung berapa jumlah semua kerugian kalian, akan kubayar semua!" Peristiwa itu tidak berekor panjang, namun setidaknya mendatangkan perasaan saling tidak suka kepada kedua pihak.
Tek Kun dan Lian Hong semakin menaruh perhatian kepada Pangeran Bouw Ji Kong. Pangeran itu memelihara orang-orang golongan sesat dan hal ini saja sudah patut menimbulkan kecurigaan.
**********
Tosu yang bertubuh tinggi kurus dan berpakaian serba kuning itu menghela napas panjang. Dia duduk bersila di atas batu dan memandang kepada pemuda berpakaian sastrawan yang tampan lembut yang duduk berlutut di depannya.
Pemuda itu tampak berduka, bahkan ada dua tetes air mata di atas kedua pipinya. Dia menangis tanpa suara! Tosu itu adalah Ouw-yang Sianjin dan pemuda itu adalah Bouw Cu An.
Seperti telah diceritakan di bagian depan, Bouw Cu An putera Pangeran Bouw Ji Kong yang tidak setuju dengan niat ayahnya yang hendak memberontak dan telah bersekutu dengan utusan Mancu, utusan Suku Hui, dan Pek-lian-kauw, melarikan diri meninggalkan gedung ayahnya.
Diam-diam dia diikuti dan dihadang oleh Hongbacu, tokoh Mancu itu yang hendak membunuhnya. Akan tetapi dia kebetulan bertemu dan ditolong
Ouw-yang Sianjin, kemudian menjadi muridnya.
Kepada Ouwyang Sian-jin, Cu An menceritakan keadaan ayahnya yang hendak memberontak.
Pagi hari itu, Ouw-yang Sianjin menceritakan kepada muridnya
bahwa kemarin ketika dia turun dari puncak bukit, dia bertemu dengan utusan Panglima besar Chang Ku Cing yang minta kepadanya untuk membantu panglima itu mencari para pembunuh yang mengacauan kota raja.
Tosu itu memberitahu bahwa kini
Cu An sudah cukup belajar ilmu dan sudah memiliki bekal yang cukup
kuat. Mereka harus saling berpisah karena dia hendak memenuhi
panggilan Jenderal Chang.
Mendengar ini, Cu An menjatuhkan diri berlutut di depan gurunya dan menahan tangisnya sehingga kedua
pipinya basah air mata namun tangisnya tidak bersuara.
"Cu An, engkau yang memiliki semangat besar dan tahan menderita sehingga aku suka menerimamu menjadi murid,mengapa sekarang mengeluarkan air mata seperti seorang wanita cengeng" Ada waktunya bertemu dan berkumpul, ada pula waktunya berpisah, mengapa harus disesali perpisahan yang sudah semestinya terjadi?"
"Suhu, teecu sama sekali tidak sedih atau menyesali perpisahan ini, teecu tidak peduli akan penderitaan teecu sendiri, akan tetapi teecu berduka akan nasib yang mengancam Ayah teecu......"
"Apa maksudmu, Cu An?"
"Teecu sudah menceritakan kepada Suhu tentang rencana pemberontakan Ayah. Teecu hampir yakin bahwa kekacauan di kota raja itu pasti ada hubungannya dengan rencana Ayah.
Sekarang Suhu hendak ke kota raja membantu Jenderal Chang
menangkap pembunuh. Bagaimana teecu tidak akan merasa sedih
melihat nasib buruk yang mengancam orang tua teecu, sedangkan teecu sama sekali tidak berdaya untuk menolongnya" Teecu
memang tidak setuju dengan perbuatan Ayah, akan tetapi bagaimanapun juga dia adalah orang tua teecu!"
Ouw-yang Sianjin mengangguk-angguk. "Hemm, lalu sekarang
apa yang akan kaulakukan?"
"Teecu tidak mungkin membantu Ayah melakukan pemberontakan, akan tetapi teecu juga tidak mungkin menentang orang tua sendiri.
Teecu sedih dan bingung, Suhu, mohon petunjuk Suhu apa yang harus teecu lakukan dalam keadaan seperti ini."
"Pinto (Aku) bangga mendapat kenyataan bahwa engkau seorang
anak yang berbakti kepada orang tua akan tetapi juga engkau menentang perbuatan yang sesat. Memang engkau berada dalam keadaan yang sulit dan membingungkan, Cu An.
Sekarang begini saja. Pinto akan membantumu menyadarkan Pangeran Bouw Ji Kong. Kalau ternyata benar bahwa dia terlibat dalam pembunuhan-pembunuhan itu, pinto akan menyadarkan kesalahannya dengan menceritakan bahwa engkau pernah hampir dibunuh oleh Hongbacu utusan dari Mancu itu.
"Dan engkau sendiri, pinto beri tugas untuk menemui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Ia adalah keponakan muridku. Sampaikan pesanku kepadanya agar ia suka pergi ke kota raja membantu pemerintah seperti yang pernah ia lakukan.
Pinto juga akan menghubungi murid pinto Ong Lian Hong dan suaminya di kota raja agar membantu." Cu An mengenal siapa Ong Lian Hong dan suaminya, Sim Tek Kun yang masih merupakan saudara misannya.
Akan tetapi dia tidak mengenal Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan yang harus dia jumpai.
"Suhu, di mana teecu dapat menemukan Hwee-thian Mo-li Nyo
Siang Lan itu?" "Pinto pernah mendengar bahwa ia kini telah menjadi ketua dari Ban-hwa-pang yang berada di puncak Bukit Selaksa Bunga (Ban hwa-san) yang merupakan satu di antara bukit-bukit di pegunungan Lu-liang-san.
Kau pergilah ke sana. Kalau ia
mengetahui bahwa engkau muridku, ia pasti akan mendengarkan semua pesanku darimu."
Demikianlah, guru dan murid itu berpisah dan mengambil jalan
masing-masing. Ouw-yang Sianjin pergi ke kota raja dan Bouw Cu An pergi ke Lu-liang-san. Hati pemuda ini sudah agak lega karena gurunya berjanji untuk membujuk dan menyadarkan ayahnya agar tidak melanjutkan keinginannya untuk memberontak.
Sebetulnya, perintah Ouw-yang Sianjin agar muridnya ini pergi
menemui Hwe-thian Mo-li di Lembah Selaksa Bunga hanya untuk
menghibur hati pemuda itu dan untuk mencegah agar pemuda itu
tidak kembali ke kota raja.
Dia tahu betapa bingung hati Cu An
kalau di kota raja dia melihat ayahnya masih melakukan usaha
pemberontakan yang sama sekali tidak disetujuinya itu.
Setelah mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin, kini Bouw Cu An telah memiliki ilmu silat yang lumayan tinggi. Dia telah dapat menghimpun tenaga sakti yang cukup kuat sehingga dia mampu melakukan perjalanan yang cepat menuju ke Pegunungan Luliang-san.
Sekarang dia hanya mengenakan pakaian biasa, seperti pakaian
pemuda dusun. Tak seorang pun akan menyangka bahwa dia putera seorang pangeran yang memiliki kedudukan tinggi di kota raja.
Kulitnya pun tidak terlalu putih seperti dulu karena selama berguru dan tinggal bersama Ouw-yang Sianjin, pemuda bangsawan ini mengerjakan pencangkulan dan penanaman di kebun mereka sehingga dia sering mandi sinar matahari yang membuat kulitnya menjadi agak gelap.
Karena penampilannya yang biasa dan sederhana ini maka perjalanannya lancar dan tidak mendapatkan gangguan. Mereka
yang biasa menghadang orang lewat dan melakukan perampokan
juga tidak ada niat untuk merampok pemuda dusun yang kelihatan
sederhana dan miskin ini!
Pada suatu siang Bouw Cu An tiba di kaki pegunungan Lu-liangsan. Dari para penduduk dusun di sekitarnya, dia mendapatkan petunjuk di mana adanya bukit Selaksa Bunga. Dia lalu menuju bukit itu dan mulai pendakian.
Sementara itu, matahari mulai condong ke barat dan ketika akhirnya dia tiba di lereng yang menjadi perbatasan Lembah Selaksa Bunga, cuaca mulai remang-remang.
Akan tetapi Cu An masih dapat menikmati keindahan lembah itu.
Dalam cuaca remang itu dia masih dapat menyaksikan ribuan bunga beraneka bentuk dan warna memenuhi seluruh lereng dari
tempat itu sampai ke puncak. Keharuman yang semerbak dan
aneh karena merupakan campuran ribuan bunga itu terbawa angin
dan terasa nyaman dan segar.
Cu An mulai agak ragu. Kalau dia mendaki terus, tentu dia akan
sampai di puncak setelah malam tiba. Sopankah berkunjung diwaktu malam"
Akan tetapi kalau dia berhenti di situ melewatkan malam, sungguh tidak menyenangkan karena di lereng itu dia tidak melihat adanya pohon di bawah mana dia dapat berlindung.
Kemudian dia melihat sebuah pondok seperti gubuk kecil yang dicat merah indah di lereng sebelah atas.
Sebaiknya aku melewatkan malam di gubuk itu, pikirnya. Hanya naik mendaki dua lereng saja. Mulailah dia melangkah dan mendaki naik.
Ketika dia mulai memasuki daerah lembah dengan bunga-bunga di kanan kiri, dia melalui jalan setapak yang diatur rapi, dengan batu-batu yang ditata sambung-menyambung sehingga mudah dilalui dan tidak perlu mencari-cari jalan karena agaknya memang jalan itu sengaja dipasang untuk memudahkan orang naik ke puncak.
Dia melangkah dengan senang, seolah seperti sedang berjalanjalan dalam sebuah taman yang indah. Akan tetapi tiba-tiba kakinya melanggar semacam tali melintang di jalan setapak itu.
Tali itu tidak tampak karena warnanya gelap dan tiba-tiba dari kanan kiri meluncur sebatang anak panah menyerang ke arah kedua
kakinya!
Cu An terkejut akan tetapi tidak percuma dia mendapat gemblengan dari Ouw-yang Sianjin. Dia sudah memiliki kepekaan,kewaspadaan dan keringanan tubuh sehingga menghadapi serangan mendadak ke arah kakinya itu, dia dapat mendengar berdesirnya dua batang anak panah dari kanan kiri itu.
Cepat dia melompat tinggi ke depan sehingga terhindar dari sambaran dua batang anak panah itu. Dia membuat pok-sai (salto) dua kali di udara dan turun agak jauh dari tempat jebakan tadi.
Akan tetapi ketika kedua kakinya hinggap di atas jalan setapak itu, batu yang diinjaknya terbuka dan dia
terjeblos ke dalam sebuah lubang!
Akan tetapi sekali ini Cu An sudah lebih waspada setelah tadi dia mendapat serangan anak panah.
Tubuhnya memang sudah terlanjur terjeblos, akan tetapi kedua tangannya dapat menekan tanah di kiri kanan lubang dan dengan mengerahkan tenaganya dia dapat mengenjot dengan kedua tangan itu sehingga tubuhnya meloncat ke atas dan dapat hinggap di atas tanah.
Diam-diam Bouw Cu An terkejut juga. Tak disangkanya tempat seindah itu mengandung perangkap dan jebakan yang berbahaya!
Dia harus berhati-hati dan semakin tetap keputusannya untuk berhenti di pondok kecil itu dan melewatkan malam di situ.
Besok pagi baru dia akan melanjutkan perjalanannya. Pondok itu tidak begitu jauh dan dia mulai melangkah satu-satu dan hati-hati sekali menuju pondok. Hatinya lega karena ternyata tidak ada lagi rintangan dan dia dapat
tiba di pondok itu dengan selamat.
Pondok itu kecil akan tetapi bersih, merupakan beranda tanpa dinding. Atapnya tinggi dan lantainya dari papan. Beranda itu dicat merah dan di situ terdapat sebuah dipan dengan
kasur bantal bertilam sutera kuning bersulamkan bunga-bunga merah.
Dipan itu seperti menantang Cu An yang sudah kelelahan.
Sungguh merupakan tempat yang nyaman sekali untuk duduk atau
tidur. Letaknya di tengah ruangan beranda itu.
Dengan girang Cu An lalu memasuki beranda melalui undak-undakan (tangga), lalu melangkah menuju dipan yang menantang itu. Pondok yang bersih, dengan hiasan gambar-gambar indah didinding, dipan yang menantang, seolah menarik Cu An dan pemuda itu lalu menjatuhkan dirinya duduk di atas dipan.
Akan tetapi tiba-tiba tubuhnya terangkat dan dia sudah tergantung
dengan kedua kaki di atas!
Kiranya ketika dia duduk tadi, sehelai tali lasso telah terpasang di
atas lantai dengan warna yang sama dengan lantainya sehingga tidak tampak.
Kebetulan sekali kedua kaki Cu An berada di tengah lingkaran dan begitu dia duduk, lingkaran itu bergerak, mengikat kedua kakinya dan terangkat ke atas dengan kecepatan luar biasa sehingga Bouw Cu An tidak sempat berbuat sesuatu, tahu-tahu
tubuhnya sudah tergantung di tengah-tengah ruangan itu.
Atap itu tinggi dan kini kedua kakinya berada dekat langit-langit dan
kepalanya tergantung di bawah.
Pada saat itu juga, tali itu ujungnya sudah membelit-belit tubuhnya
sehingga bukan hanya kedua kakinya yang terikat, akan tetapi juga kedua lengannya yang terbelit-belit tali pada tubuhnya.
Dia tidak mampu menggerakkan kedua lengannya dan ketika dia berusaha untuk meronta, melepaskan kedua lengan dan kakinya, ternyata
tali itu kuat dan lentur sehingga sia-sia saja dia meronta. Dia tergantung seperti seekor kelelawar dengan kepala di bawah!
Setelah segala usahanya untuk melepaskan diri gagal dan merasa
sama sekali tidak berdaya, Cu An tidak merasa malu-malu lagi untuk berteriak-teriak!
"Heiii. Aku bukan orang jahat, melainkan tamu yang berkunjung di
Lembah Selaksa Bunga! Kalau aku dianggap bersalah,maafkanlah aku, akan tetapi harap lepaskan aku lebih dulu.
Tolong..... tolong...... toloooooonnnggg......!!"
Akan tetapi betapa kuat pun dia berteriak-teriak, tak seorang pun tampak datang dan dia tetap saja tergantung-gantung di tengah ruangan itu.
Akhirnya dia mengerti bahwa, entah ada yang mendengar ataukah tidak, tidak akan ada orang menolongnya malam itu dan Cu An tidak mau berteriak-teriak lagi. Dia menenangkan hatinya dan dia malah melakukan siu-lian (samadhi) dalam keadaan jungkir balik.
Keadaan seperti ini memang bukan asing baginya. Oleh gurunya,Ouw-yang Sianjin, dia pernah dilatih melakukan samadhi dengan cara tubuh tergantung jungkir balik seperti ini.
Maka dia kini juga melakukan samadhi jungkir balik, walaupun sekali ini dia melakukannya dalam keadaan terpaksa!
Setelah dia tergantung jungkir balik dalam keadaan samadhi, dia tidak menderita lagi, bahkan dapat beristirahat. Malam itu lewat tanpa terjadi sesuatu.
Pada keesokan harinya, Cu An yang berada dalam keadaan samadhi seperti orang tidur nyenyak, terbangun oleh suara burung-burung berkicau di sekeliling pondok. Dalam keadaan jungkir balik itu dia membuka matanya dan melihat keindahan luar biasa di luar pondok.
Sinar matahari muda yang hangat dan masih lemah keemasan
menghidupkan segala sesuatu di sekitar situ. Bunga-bunga bermekaran, dan kupu-kupu beraneka warna dan macam
beterbangan di atas bunga-bunga.
Mereka itu seperti menari-nari
dengan riang gembira, hinggap dari satu kembang ke lain kembang, bermandikan cahaya matahari pagi dan memilih madu di antara bunga-bunga. Betapa bahagianya kupu-kupu itu, begitu indah menciptakan
pemandangan yang luar biasa, indah tanpa suara.
Pencipta keindahan suara adalah burung-burung yang sukar ditangkap
pandang mata karena mereka lebih suka bersembunyi di pohonpohon, akan tetapi kicauan mereka merupakan musik yang merdu,
sambung-menyambung dan mengandung kegembiraan yang
membuat suasana menjadi riang gembira.
Bouw Cu An, dalam keadaan tergantung jungkir balik, merasa
betapa seluruh dirinya seolah berada dalam kebahagiaan yang luar biasa, bukan kesenangan akan sesuatu, melainkan perasaan kebahagiaan yang menyeluruh, terasa oleh semua inderanya!
Semua inderanya merasakan berkat yang berlimpahan.
Melalui matanya dia dapat menikmati pemandangan indah,kecerahan sinar matahari keemasan bunga-bunga beraneka warna dan bentuk, mekar berseri dengan kupu-kupu beterbangan di atasnya.
Melalui hidungnya dia dapat menikmati keharuman bunga-bunga, daun-daun, rumput dan tanah yang sedap menyegarkan, menggugah semangat dan gairah hidup.
Melalui telinganya dia dapat menikmati suara musik kicau burung-burung di antara desau angin mempermainkan daun-daunan
menyeling gemercik air terjun yang berada tidak jauh dari pondok.
Suara merdu dan indah itu membuat sukma terasa melayanglayang!
Dan semua itu seolah dihidangkan kepadanya dengan cuma-cuma
dan lengkap. Perasaan hati pemuda itu berbahagia dan bersyukur
sehingga dia memuji kebesaran Tuhan Yang Maha Kasih.
Suara wanita membuat dia sadar dari lamunannya dan menyeretnya kembali ke alam kenyataan. Betapa pahitnya kenyataannya! Dia masih tergantung seperti seekor kelelawar, ah bukan, keadaannya mengingatkan dia akan ikan-ikan besar yang
setelah digarami oleh para nelayan lalu diikat ekornya dan digantung dengan kepala di bawah agar menjadi ikan asin!
Sialan! Dia tidak berteriak lagi karena empat orang wanita yang
berjalan di luar itu kini menghampiri pondok. Mereka mengenakan
pakaian berpotongan sederhana namun berkembang-kembang
sehingga seperti pot bunga berjalan.
Usia mereka antara duapuluh
lima dan tigapuluh tahun dan wajah mereka lumayan cantik. Akan
tetapi sikap mereka gagah, atau galak"
Benar saja dugaan dan harapannya. Empat orang wanita itu memasuki pondok dan kini mereka berada di bawah mengelilingi Cu An sambil menengadah mengamati pemuda yang tergantung dengan kepala di bawah itu seperti orang-orang mengamati seekor binatang aneh yang tertangkap jebakan yang memang banyak dipasang di daerah kekuasaan Lembah Selaksa Bunga yang kini diketuai Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Tentu saja sejak pemuda itu mendaki Ban-hwa-kok, para anggauta Ban-hwa-pang sebanyak kurang lebih limapuluh orang wanita telah mengetahui dan diam-diam mengikuti gerak-geriknya.
Para anggauta Ban-hwa-pang itu tentu saja kagum melihat betapa pemuda tampan itu dapat menghindarkan diri dari jebakan anak panah dan lubang. Agaknya pemuda itu sudah lelah sekali maka dengan mudah dia dapat terjebak ketika hendak tidur.
Karena pada waktu itu, Sang Ketua, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan tidak berada di Ban-hwa-kok, maka yang bertugas sebagai pengganti pimpinan adalah Kui Li Ai, dibantu oleh Bwe Kiok Hwa,yang dianggap murid pertama di antara para anggauta Ban-hwapang.
Melihat empat orang wanita itu kini hanya menonton dia sambil bicara lirih dan tertawa cekikikan dengan suara tertahan, Cu An merasa mendongkol sekali.
Sialan! Gadis-gadis ini menjebaknya,
semalam suntuk membiarkan dia tergantung seperti ikan asin dijemur, dan sekarang mereka datang menonton seperti nonton seekor binatang hutan yang terjebak sambil cekikikan!
Akan tetapi pemuda yang cerdik itu maklum bahwa kalau dia hanya
menurutkan nafsu amarahnya, hal itu sama sekali tidak akan menguntungkan. Semalam dia sudah membolak-balik pikirannya dan dia sudah mempertimbangkan dan mengakui bahwa sesungguhnya
pihaknyalah yang bersalah.
Dia telah memasuki daerah orang,
telah melanggar dan memasuki Lembah Selaksa Bunga tanpa ijin
lebih dulu. Bisa saja dia dianggap maling karena para penghuni
lembah itu tidak mengenalnya.
"Enci-enci yang baik, harap lepaskan jala ini dan turunkan aku.
Ketahuilah aku bukan orang jahat, bukan maling bukan rampok.
Aku ini datang sebagai tamu dan hendak bertemu dengan Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan!
Tolong lepaskan aku!"
Empat orang anggauta Ban-hwa-pang itu saling pandang, tidak berani mengambil keputusan. Mereka semalam memang bertugas jaga di bagian ini dan setelah melihat ada seorang pemuda berani memasuki daerah mereka, mereka segera siap dengan jebakan mereka dalam pondok itu.
Setelah berhasil menjebak dan menangkap pemuda itu mereka pun mendiamkannya saja, dengan maksud menghukum pelanggar itu sesuai dengan ketentuan dan tugas mereka.
Kini mendengar pemuda itu datang sebagai tamu, tentu saja mereka merasa khawatir dan untuk membela diri seorang dari mereka membantah.
"Tidak ada tamu datang berkeliaran di sini pada malam hari. Kalau engkau seorang tamu, mengapa tidak datang pada siang hari secara berterang" Kami tidak dapat membebaskanmu, harus menanti datangnya pimpinan kami." Kata-kata ini disusul tawa mereka dan keempatnya kini duduk di atas bangku dan tidak lagi mempedulikan Cu An.
Cu An semakin mendongkol. Dia seorang pemuda yang mempelajari kesusastraan dan bahkan pandai pula membuat sajak yang dinyanyikannya dengan suara yang cukup merdu. Melihat sikap empat orang wanita itu, dia pun lalu merangkai sajak dan
dinyanyikannya dengan suara lantang.
Nyanyian itu isinya menyindir empat orang wanita yang mula-mula
mendengarkan dengan gembira dan merasa lucu, akan tetapi akhirnya wajah mereka berubah merah setelah mengerti isi nyanyian.
"Wanita itu bagaikan Keindahan bunga adalah keharuman bunga adalah kehalusan bunga adalah wataknya.
Sayang empat tangkai bunga di cantiknya sih akan tetapi sifatnya sama sekali dan wataknya tidak lembut.
Bodoh-bodoh tidak mengenal bahwa adalah seorang seorang adik dari Hwe-thian Mo-li sendiri!
bunga. kecantikannya, sifatnya, lembah tidak ini, cantik, harum, lagi, yang mereka jebak pangeran dan seperguruan Aih, jangan-jangan tempat yang sebagai Ban-hwa-kok hanya dipenuhi bunga-bunga seperti itu!" dikenai ini Empat orang itu merasa tersindir, akan tetapi diam-diam mereka juga terkejut dan heran mendengar bahwa pemuda itu seorang pangeran, bahkan masih sute (adik seperguruan) dari Hwe-thian
Mo-li!
Mereka merasa tegang dan khawatir. Tentu saja mereka tidak perlu percaya akan obrolan pemuda itu, akan tetapi
bagaimana kalau ucapannya itu sungguh-sungguh"
Kalau dia seorang pangeran masih belum berapa hebat, akan tetapi bagaimana kalau dia itu benar-benar sute dari Hwe-thian Moli ketua mereka" Biarpun ketua mereka tidak jahat, namun keras hati dan mereka bisa dihukum berat kalau menjebak dan menangkap seorang sutenya.
Tiba-tiba masuk dua orang wanita ke dalam ruangan itu. Yang seorang adalah seorang gadis muda berusia sekitar sembilanbelas tahun, berkulit putih mulus, tinggi ramping berwajah manis sekali,sepasang matanya lebar dan wajahnya berbentuk bulat.
Gadis ini bukan lain adalah Kui Li Ai yang kini menjadi murid dan juga
mewakili Hwe-thian Mo-li memimpin anak buah di Lembah Selaksa Bunga.
Adapun wanita kedua adalah Bwe Kiok Hwa, berusia sekitar tigapuluh tahun lebih yang juga berwajah cukup cantik dan bersikap keras. Ialah murid pertama dan anggauta yang diberi kekuasaan untuk mengepalai para murid dan agaknya
kedudukannya ini yang membuat Bwe Kiok Hwa memiliki sikap yang agak kaku dan keras, memegang teguh peraturan sehingga ia ditakuti para anggauta lainnya.
Begitu tiba di situ, Kui Li Ai menatap wajah Cu An yang tergantung
membalik itu. Dua pasang mata bertemu dan mata Cu An terbelalak kagum. "Nona manis yang cantik jelita, kasihanilah aku yang tidak berdosa,disiksa seperti ini selama semalam suntuk oleh bunga-bunga yang baunya tidak enak ini," katanya.
Tentu saja Li Ai menjadi bingung. "Apa maksudmu bunga-bunga
yang baunya tidak enak?" bentaknya.
"Gadis-gadis cantik ini seperti bunga akan tetapi sikap mereka
sungguh tidak enak," kata Cu An.
"Enci Bwe Kiok Hwa, bebaskan dia dari jala!" Kui Li Ai berkata kepada Bwe Kiok Hwa. "Akan tetapi, Kui Siocia (Nona Kui), orang ini telah melanggar wilayah kita dan sudah sepatutnya dia dihukum.
Biarkan dia tergantung di sana menunggu sampai pang-cu pulang dan memberi keputusan apa yang harus kita lakukan kepadanya!"
"Wah, bunga yang ini baunya malah lebih busuk lagi!" kata Cu An
dengan hati mendongkol. "Baik, kita sama lihat saja apa yang akan
dikatakan Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan kalau ia pulang dan
melihat sutenya disiksa seperti ini!"
Mendengar ini, Kui Li Ai berkata lagi, kini lebih tegas memerintah kepada Bwe Kiok Hwa. "Enci Bwe, cepat bebaskan dia, biar aku yang bertanggungjawab terhadap Enci Siang Lan!"
Mendengar ucapan dan melihat sikap Li Ai yang bersungguh-sungguh, Bwe Kiok Hwa tidak berani membantah lagi, hanya mengomel kepada diri sendiri.
"Hemm, laki-laki tidak sepatutnya
diberi hati......" Dan ia lalu melompat dan sekali ia menggerakkan pedangnya, tali jala itu putus dan tubuh Cu An jatuh ke bawah.
Biarpun berada dalam lipatan dan belitan tali jala, akan tetapi ketika
tubuhnya terjatuh ke bawah Cu An dapat bergerak jungkir balik sehingga dapat hinggap di atas lantai dengan kedua kakinya lebih dulu.
Cepat dia bergerak membuka libatan jala dan tali dan setelah membuang jala itu ke sudut ruangan, kini dia berdiri berhadapan dengan enam orang wanita itu.
Hanya sekelebatan saja dia memandang Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang, akan tetapi ketika pandang
matanya bertemu dengan pandang mata Kui Li Ai, dia tertegun dan
terpesona.
Tadi memang dia sudah tertarik sekali ketika pandang matanya bertemu dengan wajah gadis remaja yang
memerintahkan agar dia dibebaskan. Akan tetapi pertemuan itu terjadi ketika kepalanya tergantung ke bawah sehingga dia tidak dapat melihat dengan jelas. Kini, setelah mereka berdua berdiri berhadapan barulah dia tertegun dan sekali gus terpesona.
Bouw Cu An adalah putera tunggal Pangeran Bouw Ji Kong.
Sebagai seorang putera pangeran keponakan kaisar, pemuda bangsawan yang sastrawan dan telah digembleng ilmu silat pula oleh Ouw-yang Sianjin, sudah barang tentu Cu An tidak asing dengan puteri-puteri bangsawan yang anggun dan cantik, yang lebih pandai dan lebih banyak waktu untuk merawat dan mempercantik diri dibandingkan para gadis biasa yang lebih banyak harus bekerja.
Biarpun selama ini dia tekun mempelajari Bun (Sastra) dan sedikit
Bu (Silat) kemudian selama setahun digembleng dengan keras dalam ilmu silat oleh Ouw-yang Sianjin sehingga dia tidak banyak bergaul dengan para gadis bangsawan, namun dia banyak sudah melihat gadis bangsawan yang cantik.
Akan tetapi sekali ini, begitu berhadapan dengan Kui Li Ai yang berpakaian baju berkembang kembang dengan potongan sederhana, ia terpesona sampai hanya
membuka mata dan mulut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata.
Di lain pihak, Kui Li Ai juga tertegun. Tak disangkanya bahwa "laki-laki kurang ajar" seperti yang dilaporkan anak buah Ban-hwa-pang,yang katanya malam-malam naik ke lembah seperti maling yang tertawan.
Setelah kini berhadapan dengannya, adalah seorang pemuda yang masih muda, berpakaian bersih namun tidak terlalu mewah, lembut dan ramah, wajahnya tampan, bentuk tubuhnya tegap sedang, sepasang matanya jernih agak lebar dan sepasang mata dan senyumnya menunjukkan kelembutan hatinya.
Sebagai seorang puteri panglima yang sejak kecil hidup di kota raja dan banyak bertemu dengan orang-orang bangsawan, sekali pandang saja ia dapat menduga bahwa pemuda ini tentu seorang pemuda bangsawan.
Dan tadi dia mendengar sendiri pemuda itu mengaku putera seorang pangeran atau bahkan seorang
pangeran seperti yang ia dengar laporan anak buah yang simpang-siur.
"Hemm, sobat, kalau benar engkau tidak mempunyai niat buruk terhadap kami, mengapa engkau malam-malam mencoba untuk
menyusup ke lembah kami" Siapakah engkau dan apa artinya semua pengakuanmu tadi, terutama bahwa engkau adik seperguruan ketua kami Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan"
Sobat,jangan kau main-main dengan kami! Ketahuilah bahwa lembah kami Ban-hwa-kok merupakan tempat terlarang bagi kaum pria dan apa yang telah kaulakukan ini merupakan sebuah pelanggaran besar!"
Melihat sikap yang anggun berwibawa namun tidak kasar, dan
mendengar ucapan yang teratur, bukan seperti ucapan para anggauta Ban-hwa-pang tadi yang kasar, Cu An tidak berani main-main dan ada perasaan heran dalam hatinya.
Yang dia tahu dari cerita orang-orang, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan adalah seorang tokoh kang-ouw yang tentu saja bersikap tegas dan kasar, dan
terbukti tadi ucapan para gadis yang menjadi anak buahnya juga
kasar.
Akan tetapi mengapa gadis ini memiliki sikap yang demikian lembut, dan ucapannya terdengar teratur seperti seorang gadis berpendidikan" Dia lalu cepat mengangkat kedua tangan depan dada, menjura dengan hormat.
"Harap maafkan aku, Nona. Sesungguhnya aku sama sekali tidak
mempunyai niat buruk terhadap Ban-hwa-pang. Namaku adalah Bouw Cu An dan aku tidak berbohong ketika memperkenalkan diri sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang kini menjadi penasihat Pamanda Kaisar Wan Li di kota raja.
Juga aku tidak berbohong ketika mengaku sebagai sute (adik seperguruan) dari Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan karena aku menjadi murid Suhu Ouw-yang Sianjin yang menjadi sute dari mendiang Pat-jiu
Kiam-ong Ong Han Cu, guru Suci Nyo Siang Lan.
Biarpun aku belum pernah bertemu dengan Suci Nyo Siang Lan, akan tetapi hubungan itu membuat aku menjadi sutenya, bukan?"
Mendengar penjelasan yang rinci itu, Bwe Kiok Hwa dan empat orang anak buah Ban-hwa-pang menjadi terkejut sekali dan tanpa dapat dicegah lagi wajah mereka menjadi pucat dan mereka segera memberi hormat kepada pemuda itu dan Bwe Kiok Hwa berkata dengan sikap hormat.
"Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), harap engkau suka maafkan kami, karena kami tidak mengenal Kongcu dan menganggap Kongcu seorang pelanggar daerah kami dan...... dan...... kami tadi tidak percaya kepada Kongcu lalu bersikap kasar."
Bouw Cu An tersenyum dengan tulus. "Wah, sikap kalian mengakui kesalahan ini saja sudah cukup membuka mataku bahwa kalian
adalah para anggauta perkumpulan yang ditangani pemimpin yang baik.
Tentu saja aku melupakan peristiwa semalam dan sekarang aku bisa mengatakan bahwa bunga-bunga di lembah ini memang indah dan harum!"
Mendengar ini, wajah pucat lima orang wanita itu berubah kemerahan dan bibir mereka berlumba senyum manis!
Li Ai juga senang mendengar ucapan Cu An dan tidak keliru dugaannya bahwa pemuda ini bukan orang jahat maka tadi memerintahkan untuk membebaskannya. Ia membalas penghormatan Cu An dan berkata.
"Bouw Kongcu, kalau begitu, engkau bukanlah orang lain,melainkan seorang tamu terhormat. Aku bernama Kui Li Ai, dan mari kita menuju perkampungan kami di atas, di mana kita dapat bicara dengan leluasa."
Li Ai lalu mendahului pemuda itu berlari ke arah puncak dan agaknya ia sengaja hendak menguji kepandaian Cu An dengan menggunakan keringanan tubuhnya berlari cepat melalui berbagai
rintangan dan jebakan.
"Hati-hati, Bouw Kongcu, di sini memang dipasangi banyak jebakan," katanya. Cu An mengerti dan melihat gerakan ringan itu dia pun mengerahkan gin-kang agar selalu dapat menginjak bekas injakan gadis itu dan tidak sampai terperangkap.
"Baiklah, Kui Siocia!" katanya.
Lima orang wanita tadi memandang kagum, kemudian empat orang kembali ke tempat penjagaan masing-masing menanti rekan-rekan yang akan menggantikan mereka.
Bwe Kiok Hwa mengikuti Li Ai dan Cu An naik ke puncak di mana perkampungan Ban-hwa-pang berada. Setelah tiba di rumah induk, Cu An dipersilakan duduk di ruangan
tamu, akan tetapi sebelum pihak nona rumah mengajaknya bicara,
dengan sikap ramah Li Ai berkata.
"Bouw Kongcu, mengingat bahwa semalam engkau tidak tidur dan
berada di dalam keadaan yang tidak menyenangkan, kami persilakan kongcu untuk mandi dulu dan berganti pakaian.
Kemudian kita sarapan, baru kita akan bicara tentang maksud
kunjunganmu ini. Bagaimana pendapatmu, Kongcu?"
Bouw Cu An tersenyum, hatinya senang. Nona rumah ini ternyata
penuh perhatian terhadap tamunya, ramah dan hormat.
Sebetulnya, tanpa mengaso atau mandi juga dia merasa segar karena semalam, biarpun digantung jungkir balik, dia bersamadhi seperti yang diajarkan gurunya dan dia dapat mengaso dengan baik.
Hanya saja, tentu dia akan tampak lebih bersih dan "ganteng" kalau diberi kesempatan mandi, menyisir rambut membereskan kuncirnya yang panjang dan tebal, berganti pakaian bersih.
Dan berhadapan untuk bercakap-cakap dengan seorang gadis seperti Kui Li Ai yang sepagi itu sudah mandi segar dan berdandan rapi, memang perlu sekali dia mempertampan dirinya!
Maka dengan girang dia lalu menuju ke kamar mandi sambil membawa buntalan pakaiannya, ditunjukkan oleh seorang anggauta Banhwa-pang yang sejak tadi mengikuti mereka, yaitu Bwe Kiok Hwa sendiri.
Tak lama kemudian, Cu An sudah duduk berhadapan dengan Li Ai
di ruangan makan, menghadapi meja makan di mana telah dihidangkan sarapan pagi yang cukup lengkap dan masih mengepulkan uap yang sedap dan menimbulkan selera. Tidak ada
anggauta Ban-hwa-pang yang berada dalam ruangan makan itu untuk melayani.
Sejak berada di situ memang Li Ai menghapuskan cara-cara bangsawan di mana kalau majikan makan harus ada pelayan yang berada di ruangan itu untuk melayani. Ia sendiri yang menuangkan air teh ke dalam cawan di depan Cu An. Mereka makan sarapan dengan santai sambil bercakap-cakap.
"Maaf, Nona. Aku datang berkunjung untuk menghadap Ketua Ban-hwa-pang, yaitu Suci Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan. Akan tetapi mengapa ia belum juga datang menemuiku" Apakah engkau ini......" Li Ai tersenyum dan menggerakkan tangan menyangkal.
"Aih, bukan. Aku adalah Kui Li Ai, seorang...... sahabatnya, juga adik angkat dan muridnya. Enci Siang Lan pada saat ini tidak berada di sini, sedang keluar, Kongcu."
"Wah, ia tidak ada" Kalau begitu sia-sia saja aku datang jauh-jauh mencarinya di sini!"
Mereka selesai makan lalu Li Ai mengajak tamunya duduk kembali
di ruangan tamu, meninggalkan meja yang akan dibersihkan para anggauta Ban-hwa-pang. Setelah mereka duduk berhadapan diruangan tamu, Li Ai bertanya.
"Kongcu, selama Enci Siang Lan tidak berada di sini, yang berwajib menggantikannya adalah aku sendiri, dibantu Enci Bwe Kiok Hwa tadi. Nah, sekarang engkau boleh saja menyampaikan keperluanmu itu kepadaku, siapa tahu kami di sini dapat membantumu atau kelak kalau Enci Siang Lan pulang aku dapat
menyampaikan apa yang kau pesan."
"Terima kasih, Nona. Engkau baik sekali. Sesungguhnya aku menerima perintah Suhu Ouw-yang Sianjin, yaitu Susiok (Paman Guru) dari Suci Nyo Siang Lan untuk mencari dan menemui Suci di sini.
Menurut perintah Suhu, Enci Nyo Siang Lan diminta agar suka membantu Jenderal Chang Ku Cing dalam tugasnya menyelidiki dan menangkap pelaku pembunuhan enam orang pejabat tinggi yang setia kepada Kaisar.
Aku disuruh mohon kepada Enci Siang Lan agar ia suka pergi ke kota raja dan membantu Jenderal Chang.
"Sore tadi, ketika tiba di kaki Ban-hwa-san, aku bingung akan tetapi
mengambil keputusan untuk mencoba naik karena aku ingin segera menghadap Hwe-thian Mo-li. Siapa tahu, perangkap di sini lihai sekali sehingga aku terjebak."
"Ah, kalau saja aku mendengar teriakan dan pengakuanmu tentang dirimu, tentu aku dapat mencegah terjadinya peristiwa itu.
Sekarang enci Nyo Siang Lan tidak berada di sini, akan tetapi tugasmu memanggil Enci Siang Lan membantu pemerintah untuk menangkap pembunuh para pembesar itu bahkan terlambat, Bouw Kongcu.
Ketahuilah bahwa Enci Siang Lan sudah pergi ke Kota raja untuk keperluan yang sama. Ada seorang murid Siauw-lim-pai bernama Chang Hong Bu yang datang ke sini dan dia juga disuruh oleh pemerintah untuk mengundang enci Siang Lan membantu pemerintah menghadapi para pemberontak dan pembunuh."
"Ah, begitukah" Bagus kalau begitu. Aku tinggal memberitahu Suhu bahwa Suci Nyo Siang Lan sudah pergi ke kota raja."
"Bouw Kongcu, apakah engkau juga merupakan pembantu dari Jenderal Chang Ku Cing?" pertanyaan ini diajukan oleh gadis itu yang tiba-tiba suaranya menjadi tidak manis.
Bouw Cu An dapat menangkap suara yang kering keras ini. Dia menggelengkan kepalanya. "Bukan, Nona. Aku bukan pembantunya atau pembantu siapa pun kecuali membantu Suhu Ouw-yang Sianjin."
"Akan tetapi engkau tentu mengenal Jenderal Chang Ku Cing itu,bukan?"
"Tentu saja, siapa tidak mengenalnya" Akan tetapi aku tidak mempunyai hubungan dengan dia, aku bahkan tidak pernah berhubungan dengan orang-orang di kalangan bangsawan kota raja."
"Akan tetapi sebagai putera Pangeran Bouw Ji Kong yang berkedudukan tinggi, engkau tentu memiliki hubungan yang luas.
Aku merasa heran mengapa ketika aku masih berada di kota raja tinggal di rumah ayahku, aku tidak pernah mendengar tentang dirimu.
Maaf, Bouw Kongcu, terus terang saja, setahun lebih yang lalu aku tinggal di kota raja dan banyak melihat para pemuda dan gadis bangsawan, akan tetapi aku tidak pernah bertemu
denganmu."
Bouw Cu An tertawa. "Ha, memang aku lebih suka bersembunyi dalam kamar untuk belajar sastra atau silat, hampir tidak pernah ikut Ayah dalam pesta-pesta pertemuan sehingga jarang mengenal orang-orang muda di kalangan bangsawan terutama para gadisnya.
Nona, aku melihat bahwa engkau seorang gadis yang terpelajar dan sikap serta budi bahasamu menunjukkan bahwa engkau seorang gadis bangsawan pula. Salahkah dugaanku bahwa engkau juga merupakan puteri seorang pejabat tinggi,seorang bangsawan?"
Li Ai menundukkan mukanya. Kesedihan besar menyelimuti perasaannya karena pertanyaan pemuda itu mendatangkan semua kenangan pahit dalam hidupnya.
Akan tetapi, pemuda ini sudah dengan terbuka memperkenalkan dirinya, bagaimana ia dapat tidak menceritakan keadaan dirinya.
Pemuda ini tampak demikian sopan, jujur dan sejak pertemuan pertama telah membangkitkan rasa suka dalam hatinya, membuat ia tertarik
sekali.
"Bouw Kongcu, aku hanya anak seorang perwira yang telah tewas
setahun lebih yang lalu. Beliau adalah mendiang Perwira Kui
"Ahh......!" Cu An bangkit berdiri dengan kaget.
"Maksudmu...... Kui Ciang-kun, perwira tinggi pembantu Jenderal Chang Ku Cing yang...... kabarnya...... maaf...... membunuh diri di depan Jenderal Chang itu?"
Li Ai menghela napas panjang, tidak merasa heran karena tentu saja peristiwa pembunuhan diri ayahnya itu telah tersebar luas di seluruh kota raja, bahkan mungkin di seluruh negeri.
Menjadi kewajibannyalah untuk membela nama ayahnya!
"Benar sekali, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengerti, apa sebabnya Ayahku sampai membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing?"
Cu An merasa kasihan sekali dan dia tidak tega untuk menjawab bahwa dia mendengar akan aib yang menimpa keluarga gadis itu.
Dia hanya mengangguk sambil menundukkan pandang matanya,tidak tega menentang pandang mata yang penuh kesedihan itu.
"Ya, kurasa semua orang mengetahui apa yang menyebabkan Ayahku membunuh diri di depan Jenderal Chang Ku Cing. Benar sekali, Ayah membunuh diri karena merasa telah berbuat salah melanggar hukum, yaitu ayah telah membebaskan tiga orang pimpinan Pek-lian-kauw yang tertawan ketika orang-orang Peklian-kauw memberontak dan menyerbu kota raja.
Memang Ayahku telah melakukan kesalahan besar itu, akan tetapi sekarang aku bertanya kepadamu, Bouw Kongcu. Apakah engkau mengetahui mengapa ayah yang terkenal setia kepada Kaisar melakukan hal itu"
Mengapa Ayahku membebaskan tiga orang tawanan penting itu?" Cu An yang merasa iba sekali kepada Li Ai, menggelengkan kepala karena dia benar-benar tidak dapat menjawab pertanyaan ini.
Baru sekarang dia teringat bahwa seorang perwira tinggi yang setia
seperti Kui Ciang-kun sampai melakukan perbuatan yang demikian
besar kesalahannya, pasti juga mempunyai alasan yang amat memaksanya.
Apakah dia memang seorang pengkhianat yang berpihak kepada
Pek-lian-kauw" Rasanya tidak mungkin!
Tiba-tiba dia teringat. Jangan-jangan Perwira Kui itu masih ada hubungan persekutuan dengan ayahnya sendiri yang dia tahu juga mengusahakan pemberontakan yang amat tidak disetujuinya!
Akan tetapi dia tidak berani menyatakan jalan pikirannya ini dan
seperti tadi ketika menjawab "ya" dia hanya mengangguk, kini untuk menjawab "tidak" dia pun hanya menggeleng sambil kini menatap wajah gadis itu.
Dia terkejut karena melihat perubahan hebat pada wajah yang jelita itu. Kalau tadi sebelum membicarakan hal ayahnya wajah Li Ai segar dan ceria seperti seekor bunga yang sedang mekar, kini wajah itu seperti bunga yang mulai layu! Pucat dan matanya kehilangan sinar gairah hidup!
"Benar dugaanku, mungkin jarang ada orang mengetahui alasan Ayahku melepaskan tiga orang tawanan itu. Akan tetapi engkau boleh mengetahui, Bouw Kongcu.
Terserah engkau mau percaya atau akan menganggap alasan ini hanya dicari-cari untuk membela Ayahku saja.
"Ketahuilah bahwa dalam pembasmian dan penangkapan para
pemberontak Pek-lian-kauw itu, yang berjasa besar adalah mendiang Ayahku yang dibantu oleh banyak pendekar, diantaranya Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Nah, pada suatu hari,seorang tokoh besar Pek-lian-kauw berhasil menculik diriku. Aku dijadikan sandera, dan mereka lalu mengirim pesan kepada mendiang Ayahku agar Ayah suka membebaskan tiga orang
pimpinan Pek-lian-kauw yang ditangkap dan dipenjara itu.
Kalau Ayah tidak melaksanakan permintaan itu, aku akan dibunuh
mereka. "Bouw Kongcu, Ayah hanya mempunyai seorang anak saja, yaitu
aku, maka mendapatkan surat itu, dia lalu nekat dan membebaskan tiga orang tawanan itu.
Kemudian Jenderal Chang Ku Cing dan pasukannya datang kepada Ayah setelah mendengar bahwa Ayah membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw dan menuduh Ayah berkhianat.
"Ayah sudah memberitahu alasannya membebaskan para pimpinan Pek-lian-kauw demi menyelamatkan aku, akan tetapi Ayah tidak menyangkal kesalahannya dan untuk menebus
kesalahannya, Ayah lalu membunuh diri di depan kaki Jenderal Chang Ku Cing!
Nah, Bouw Kongcu, demikianlah kejadiannya,terserah engkau percaya ataukah tidak."
Li Ai menghentikan ceritanya dan setelah menceritakan hal itu,hatinya terasa agak lega seperti telah memuntahkan sesuatu yang tidak enak dari dalam perutnya.
Bouw Cu An percaya sepenuhnya kepada gadis ini. Dia pun mendengar bahwa mendiang Kui Ciang-kun adalah seorang perwira tinggi yang gagah perkasa dan amat setia kepada
pemerintah.
Bahkan dia yang memimpin pasukan sehingga berhasil membasmi para pemberontak Pek-lian-kauw dan
menangkap para pemimpinnya. Maka mustahil kiranya kalau kemudian dia malah nekat meloloskan mereka dengan terang-terangan sehingga semua orang mengetahui bahwa dia yang melepaskan mereka!
Perbuatan itu pasti memiliki alasan yang kuat, dan alasan apa yang lebih kuat daripada melihat puterinya diculik orang Pek-lian-kauw"
"Aku percaya sepenuhnya kepadamu, Nona, dan sungguh sengsara sekali nasibmu, kehilangan ayah yang bijaksana seperti itu. Akan tetapi, maafkan pertanyaanku ini, Nona, akan tetapi mengapa engkau sekarang berada di sini, menjadi murid Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan, tidak berada di rumah tempat tinggal
mendiang Ayahmu?"
Li Ai hampir menangis mendengar pertanyaan ini karena ia teringat
akan nasib dirinya yang menjadi korban perkosaan dan akan sikap
ibu tirinya. Tidak mungkin ia menceritakan aib yang menimpa
dirinya.
Satu-satunya manusia di dunia ini yang mengetahui akan nasibnya itu hanyalah Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan! Akan tetapi ia mengeraskan hatinya dan menjawab.
"Ayah telah meninggal dan aku sudah tidak mempunyai ibu kandung sejak kecil. Ibu tiriku membenciku dan bahkan menyalahkan aku karena kematian Ayahku adalah untuk membela diriku.
Maka aku lalu ikut Enci Siang Lan dan hidup bersamanya disini." "Aduh, sungguh buruk nasibmu, Nona, sungguh mengenaskan.
Aku ikut merasa prihatin, Kui Siocia......" kata Bouw Cu An dengan
suara mengandung keharuan. Puteri seorang perwira tinggi yang terkenal, kiranya sekarang hidup seorang diri di pegunungan seperti ini! Li Ai memaksa diri tersenyum dan menghela napas panjang.
"Aih, Bouw Kongcu, jangan mengembalikan perasaan iba diri yang sudah lama berhasil kuusir keluar dari ingatanku.
Akan tetapi bagaimana dengan engkau sendiri, Kongcu" Engkau adalah putera seorang pangeran, mengapa engkau bersusah payah menjadi murid Locianpwe Ouw-yang Sianjin dan tidak memegang kedudukan tinggi di pemerintahan"
Malah engkau sekarang agaknya hidup sebagai seorang pemuda kang-ouw"!"
Pertanyaan ini juga mendatangkan pesaan sedih dalam hati pemuda itu. Bagaimana mungkin dia dapat mengaku bahwa ayahnya adalah seorang pengkhianat, seorang yang
merencanakan pemberontakan terhadap Kaisar."
Bahkan dia hampir saja dibunuh oleh para tokoh yang menjadi sekutu ayahnya sendiri untuk memberontak" Kalau tidak diselamatkan Ouw-yang
Sianjin, dia tentu telah tewas di tangan Hongbacu, tokoh bangsa
Mancu yang bersekongkol dengan Ayahnya itu.
"Ah, aku tidak suka menjadi seorang pembesar, Nona. Kulihat di kota raja selalu berada dalam keadaan kacau, terjadi pemberontakan dan
perebutan kekuasaan. Saling jegal, saling fitnah, menjatuhkan lawan masing-masing yang dianggap
menghalangi kehendaknya
memperoleh kedudukan lebih tinggi.
Persaingan yang tidak sehat. Aku melihat hal-hal yang kotor di...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment