Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga
Jilid 04
pelayan wanita yang khusus bertugas melayani tamu-tamu agung ini.
Pada keesokan harinya, menjelang senja, ketika Pangeran Bouw
Ji Kong sedang duduk termenung memikirkan pelaksanaan
rencananya mengambil alih kekuasaan kaisar Wan Li, kakak
tirinya, dia mendengar langkah orang memasuki kamarnya. Dia menoleh dan melihat seorang pemuda memasuki kamar itu.
Pemuda itu adalah Bouw Cu An atau yang biasa disebut Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), putera tunggalnya. Seorang pemuda bertubuh sedang dengan pakaian seperti seorang sastrawan,
wajahnya tampan bulat, matanya lembut dan mulutnya selalu
tersenyum. Wajah pemuda ini mirip wajah ibunya yang cantik.
"Hemm, engkau, Cu An?" tegur Sang Ayah dengan lembut. Karena dia hanya mempunyai seorang putera, tentu saja Pangeran Bouw amat sayang kepada puteranya ini.
Bouw Cu An memberi hormat kepada ayahnya sebelum duduk di depan ayahnya, terhalang meja.
"Ayah, maafkan saya kalau saya mengganggu ketenangan Ayah.
Akan tetapi ada hal-hal penting yang ingin saya tanyakan dan bicarakan dengan Ayah, kalau sekiranya Ayah membolehkan."
Pangeran Bouw tersenyum. Dia selalu merasa senang melihat
sikap dan cara puteranya ini bicara, penuh kesopanan dan hormat
kepadanya di samping perasaan berbakti dan sayang kepada
orang tua. "Boleh saja, Cu An. Bicaralah! Apa yang ingin kautanyakan?"
"Sebelumnya saya minta maaf, Ayah. Saya melihat ada tiga orang tamu asing di ruangan bagian tamu dan saya mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Pek-lian-kauw, dari bangsa Mancu, dan suku Hui. Apakah artinya semua ini, Ayah" Juga saya mendengar bahwa Ayah bersekutu dengan mereka untuk menentang Sribaginda Kaisar. Benarkah ini, Ayah?"
"Cu An," kata Pangeran Bouw dan suaranya terdengar tegas.
"Engkau tidak perlu mencampuri urusan pribadi Ayahmu. Aku melihat betapa pemerintahan Paman kaisar itu berengsek, para pejabatnya sebagian besar melakukan korupsi, menyeleweng dan bertindak sewenang-wenang. Aku tidak mungkin tinggal diam saja.
Kekuasaan Pamanmu Kaisar harus dihentikan, kalau tidak rakyat akan menderita sengsara! Untuk menentang pemerintahan, aku harus bersekutu dengan pihak-pihak yang memusuhi pemerintah!
Engkau tidak perlu ikut memikirkan, tidak perlu ikut campur.
Engkau masih terlalu muda dan tidak tahu apa-apa."
Bouw Cun An atau Bouw Kongcu mengerutkan alisnya yang hitam.
Dia bukan hanya mewarisi wajah ibunya, akan tetapi juga watak ibunya yang lembut dan baik, dan sejak kecil dia mempelajari sastra, telah banyak membaca kitab-kitab suci, tahu akan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh manusia.
"Maaf, Ayah. Kalau saya tidak salah dengar, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak yang terkenal jahat, menggunakan agama baru Teratai Putih untuk mengelabuhi rakyat. Mereka itu pembunuh dan perampok.
Adapun bangsa Mancu adalah bangsa
di Utara yang kini telah menguasai seluruh daerah utara dan
merupakan ancaman bagi tanah air dan bangsa kita. Adapun dukun Tarmalan itu, menurut Ibu merupakan orang yang kabarnya
juga menjadi rekan bangsa Mancu. Bagaimana kini Ayah bersekutu dengan mereka" Apakah tindakan Ayah itu sudah diperhitungkan benar dan tidak keliru?"
"Anak bodoh! Pek-lian-kauw dan bangsa Mancu kini memiliki
kekuatan yang dapat membantu kita. Tanpa bantuan mereka, akan
sukarlah menjatuhkan pemerintahan ini. Dan engkau tahu, siapa itu Tarmalan" Dia adalah Kakekmu, karena dia adalah Paman dariku! Dia adalah seorang pandai dan sakti dari suku Hui, dan dapat membantu kita menentang pemerintah Pamanmu Kaisar yang lemah itu!"
"Sekali lagi maaf, Ayah. Kalaupun benar bahwa Paman kaisar Wan
Li itu lemah, dipengaruhi para Thai-kam dan para pembesar penjilat, sudah sepatutnya kalau Ayah sebagai adiknya membela Kaisar yang harus ditentang bukanlah Kaisar, melainkan para pembesar yang menyeleweng dan korup itu. Kalau pemerintah
yang Ayah tentang, berarti Ayah akan melakukan pemberontakan......."
"Diam.....!" Pangeran Bouw membentak marah. "Cu An, jangan
lanjutkan pikiran dan bicaramu seperti itu! Apakah engkau ingin
agar rasa sayangku kepadamu berubah menjadi rasa benci?"
Cu An terkejut melihat ayahnya berkata demikian. Baru sekali ini
ayahnya marah seperti itu kepadanya dan memandangnya dengan sinar mata berapi penuh kebencian.
Hal ini membuat hatinya berduka sekali. Bukan duka karena tindakan ayahnya yang dia anggap keliru, melainkan terutama sekali karena rasa sayang ayahnya demikian mudah dapat berbalik menjadi rasa benci.
"Maafkan saya, Ayah........" katanya halus dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Pangeran Bouw menampar permukaan meja dengan perasaan kesal.
Ayah dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa pembicaraan mereka tadi didengar Hongbacu yang kebetulan keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan dekat ruangan itu.
Mendengar semua ucapan Bouw Kongcu, tokoh Mancu yang tinggi besar bermuka merah itu mengepal tangannya.
Anak ini sungguh berbahaya, pikirnya, dan kalau ada orang yang
sepatutnya dibinasakan, maka pemuda inilah yang menjadi orang pertama. Kalau pemuda itu berhasil membujuk ayahnya dan Pangeran Bouw berubah pikiran, maka semua rencana akan hancur dan dia akan mendapatkan teguran keras dari pemimpinnya yang keras, yaitu Nurhacu.
Bouw Kongcu merasa sedih melihat sikap ayahnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ayahnya akan memberontak terhadap Kaisar yang masih kakak tirinya sendiri. Biasanya, sikap ayahnya selalu merasa penasaran dan menentang para pembesar yang korup dan yang menggunakan kekuasaan mereka untuk berlumba mengumpulkan kekayaan saja.
Sikap ini dianggapnya baik karena dia sendiri juga muak melihat
para pembesar korup yang suka sewenang-wenang terhadap
rakyat jelata.
Akan tetapi, kini ayahnya hendak memberontak dan terasa olehnya bahwa ayahnya ingin sekali menggantikan kedudukan kaisar. Yang amat menyedihkan hatinya, ayahnya telah bersekutu dengan orang Pek-lian-kauw dan orang Mancu, juga dibantu Dukun Tarmalan yang menurut cerita ibunya merupakan seorang dukun bangsa Hui, masih paman dari ayahnya, akan tetapi terkenal jahat.
Bagaimana ayahnya sampai terperosok sedemikian dalamnya,
bersekutu dengan orang-orang jahat untuk memberontak terhadap
Kaisar"
Menurut kepantasan, ayahnya sebagai adik tiri kaisar, mestinya
membela Kaisar dari orang-orang jahat, bukan sebaliknya bersekutu dengan mereka menentang Kaisar! Apakah ayahnya akan menjadi pengkhianat tanah air dan bangsa"
Pemuda yang terpelajar ini maklum bahwa semua penyelewengan ayahnya itu didorong oleh ambisinya untuk menjadi kaisar! Dan dia menjadi sedih sekali.
Sekeluarnya dari ruangan itu, Bouw Kongcu langsung keluar dari istana. Baginya, istana ayahnya menjadi tempat yang memuakkan dan juga berbahaya, telah menjadi tempat persembunyian orangorang jahat yang mengatur rencana pemberontakan!
Tanah pekarangan istana ayahnya saat itu terasa panas,menembus sepatunya dan membakar telapak kakinya. Dia bersicepat lari keluar dari pekarangan.
Empat orang perajurit pengawal yang berjaga di pintu gerbang memberi hormat kepadanya, namun tidak dipedulikan. Padahal biasanya Bouw Kongcu bersikap ramah dan manis kepada semua perajurit pengawal ayahnya, bahkan para pelayan dalam istana menghormati dan menyukainya karena dia bersikap manis kepada siapapun juga tanpa memandang kedudukan mereka.
Ketika tiba di jalan besar, Bouw Kongcu seolah melihat kota raja yang terancam perang akibat pemberontakan ayahnya. Banyak
orang tewas dan banjir darah terjadi. Dia merasa ngeri dan cepat+cepat dia keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Pokoknya dia harus meninggalkan kota raja, meninggalkan istana keluarganya,meninggalkan ayahnya sejauh mungkin agar jangan ikut ternoda kotoran akibat ulah ayahnya.
Senja telah menjelang malam.
Matahari mulai terbenam di barat
sehingga cahayanya yang tertinggal amat lemah. Sebentar lagi tentu digantikan kegelapan malam. Bouw Kongcu berjalan terus dan tiba di jalan tepi hutan yang sunyi.
Teringat akan ayahnya,Bouw Kongcu berhenti melangkah dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, memejamkan mata dan berulang-ulang menarik napas panjang.
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan Hongbacu yang tinggi besar bermuka merah, tokoh Mancu itu, telah berdiri di depannya. Bouw Kongcu mendengar suara tawa seperti ringkik kuda dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Hongbacu dan merasa terkejut sekali karena dia mengenal orang tinggi besar itu sebagai seorang di antara tiga tamu asing yang berada di istana
ayahnya.
Melihat orang itu tertawa dan matanya memandangnya dengan
sinar yang menyeramkan, Bouw Kongcu dapat merasakan ancaman bahaya. Maka tanpa berkata apa pun, dia lalu memutar tubuhnya dan melarikan diri. Dia tidak tahu ke mana akan pergi.
Dia hanya ingin menjauhkan diri dari orang Mancu itu.
Akan tetapi baru belasan langkah dia melarikan diri, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hongbacu telah berdiri menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa.
"He-he-hek! Engkau hendak pergi ke mana, Bouw Kongcu?"
Pemuda itu dari ketakutan menjadi marah dan menegur.
"Bukankah engkau ini orang Mancu yang menjadi tamu Ayahku"
Kenapa engkau menghalangi perjalananku?" Dia melanjutkan
dengan bentakan. "Aku hendak pergi ke mana tidak ada urusannya denganmu. Minggir dan biarkan aku lewat, atau aku akan melaporkan kepada Ayahku tentang kekurang-ajaranmu ini!"
"Hi-hi-he-he-hek! Justru aku mewakili Ayahmu untuk mencegah engkau pergi dan berbuat macam-macam untuk menentang kami!
Aku diminta untuk membawamu pulang."
"Aku tidak mau pulang dan jangan engkau mencampuri urusan
pribadiku!"
"Heh-heh-heh, engkau mau atau
membawamu pulang, Bow Kongcu!"
tidak, aku tetap akan Akan tetapi Bouw Cu An sudah membalikkan tubuhnya dan lari lagi secepatnya menjauhi Hongbacu.
"Ha-ha-hi-hik, engkau hendak lari ke mana, Bouw Kongcu?"
Kembali Bouw Kongcu hanya melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu Hongbacu sudah berdiri di depannya, dalam jarak sekitar
tiga tombak!
Tokoh Mancu ini menyeringai dan melangkah perlahan menghampiri pemuda itu.
"Ah, di mana-mana yang kuat menekan yang lemah!" terdengar
suara lembut dan sesosok tubuh melayang dan seorang laki-laki
telah berdiri di antara Bouw Cu An dan Hongbacu, menghadapi orang Mancu itu.
Dia seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh enam tahun,berpakaian jubah tosu (pendeta Agama To) kuning, bertubuh tinggi kurus dengan wajah tampan dan sikapnya lembut. Di punggungnya terselip sebatang pedang, akan tetapi kalau ada
orang memperhatikan pedang itu, dia tentu akan merasa aneh dan
lucu karena pedang itu hanya sebatang pedang dari bambu seperti
pedang mainan anak-anak!
Akan tetapi biarpun dia tidak mengenal tosu itu, Hongbacu adalah
seorang yang mempunyai banyak pengalaman dan melihat tosu itu
mempunyai sebatang pedang dari bambu, dia sama sekali tidak
berani memandang rendah. Bahkan dia merasa terkejut karena kalau seorang berani membawa senjata selemah itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia tentu seorang yang berilmu tinggi!
Setelah menatap tajam wajah tosu itu, Hongbacu berkata.
"Sobat, engkau seorang pendeta, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!"
"Siancai (damai)......! Pinto (aku) tidak mencampuri urusan, hanya ingin mengetahui apa yang terjadi maka seorang gagah seperti engkau hendak memaksa seorang pemuda yang lemah."
"Dengarlah, tosu yang baik! Pemuda ini minggat dari rumah orang
tuanya dan aku diutus Ayahnya untuk membawanya pulang!
Pantaskah kalau engkau menghalangiku?"
Tosu itu menoleh kepada Bouw Cu An. "Orang muda, benarkah engkau minggat dari rumah dan sobat ini diutus Ayahmu untuk mengajakmu pulang?"
"Totiang (Bapak Pendeta), saya tidak percaya kalau dia diutus Ayah untuk mengajak saya pulang. Orang Mancu ini pasti mempunyai niat jahat terhadap saya karena saya dia anggap
sebagai penghalang semua niat buruknya."
Tosu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Dua
keterangan yang berbeda dan saling bertentangan. Sekarang begini saja, Sobat. Kaubiarkan pemuda ini pergi dan jangan ganggu dia lagi, lanjutkan saja perjalanan masing-masing dan aku berjanji tidak akan mencampuri urusan kalian berdua."
"Tidak bisa!" Hongbacu berseru marah. "Dia harus ikut aku pulang
ke rumah orang tuanya, mau atau tidak dia harus ikut!"
"Siancai......! Ini namanya pemaksaan sewenang-wenang dan pinto jelas tidak dapat mendiamkannya saja."
"Bagus, Tosu usil, siapakah engkau yang berani mencampuri
urusanku dan menentangku?"
"Pinto bernama Ouw-yang Sianjin, pinto tidak menentangmu,Sobat, melainkan menentang perbuatan jahat dan sewenangwenang."
Ouw-yang Sianjin ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal di dunia persilatan karena dia merupakan seorang pendekar perantau yang berilmu tinggi dan selalu menentang kejahatan.
Dia adalah sute (adik seperguruan) dari mendiang Patjiu Kiam-ong Ong Han Cu, ayah dari Ong Lian Hong atau guru dari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
*********
Pada senja hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Bouw Kongcu didesak oleh Hongbacu, maka dia segera turun tangan membela Bouw Kongcu.
"Ouw-yang Sianjin, tosu keparat! Engkau sudah bosan hidup!" kini
Hongbacu tidak sabar lagi.
Memang pada dasarnya orang Mancu ini berwatak keras dan sombong karena bagi seluruh suku Mancu, dia merupakan jagoan yang sudah tersohor dan jarang dapat ditandingi.
Setelah membentak dia sudah mencabut gergajinya dari pinggang.
Senjata ini menyeramkan. Sebatang golok yang lebar dan berat,
berkilauan saking tajamnya dan punggung golok itu bergigi seperti
gergaji! Tanpa bicara lagi dia menggerakkan goloknya yang berat
itu dengan cepat.
Golok itu mengeluarkan bunyi berdesing dan mengandung kekuatan yang dahsyat menyambar ke arah leher Ouw-yang Sianjin.
"Yaahhhh!" Ouw-yang Sianjin cepat mengelak dan dari serangan pertama itu saja tahulah dia bahwa orang Mancu yang menjadi lawannya itu merupakan lawan yang tangguh.
Maka dia pun melompat ke belakang menghindari serangan susulan sambil
mencabut senjatanya yang aneh dan ringan, yaitu sebatang pedang terbuat dari bambu! Akan tetapi begitu dia menggerakkan dan memutar-mutar pedang bambu itu, tampak gulungan sinar yang bercuitan mengelilingi tubuhnya seperti membentuk sebuah
perisai sinar!
Hongbacu merasa penasaran dan sambil mengerahkan sin-kang
dia menyerang dengan goloknya dengan maksud untuk mematahkan pedang bambu lawan. Sinar goloknya meluncur hendak menerobos gulungan sinar pedang bambu itu.
"Singgg...... takk......!" Golok yang berat itu terpental ketika bertemu pedang bambu. Akan tetapi Ouw-yang Sianjin juga merasa betapa tangannya yang memegang gagang pedang kayu tergetar hebat.
Keduanya terkejut dan mundur, maklum bahwa lawan memiliki sinkang yang kuat dan seimbang. Hongbacu sudah menerjang lagi.
Ouw-yang Sianjin bergerak cepat mengelak lalu balas menyerang.
Pedang bambunya itu amat lihai dan mampu menembus kulit daging lawan yang betapa kebal pun!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan kedua orang itu
sedemikian ringan dan cepatnya sehingga tubuh mereka seperti
berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua sinar
kuning dan putih dari pedang bambu dan golok. Tenaga sakti yang
mereka pergunakan sedemikian kuatnya sehingga gerakan
senjata mereka menimbulkan angin yang menyambar-nyambar
dan merontokkan daun-daun pohon di sekeliling mereka.
Bouw Cu An bersandar pada batang pohon sambil terduduk di atas
tanah. Dia memandang bengong, heran, kagum dan tegang mencekam hatinya. Bunyi pedang bambu bertemu golok terkadang mengeluarkan getaran amat kuat sehingga Bouw Kongcu harus
menutupi kedua telinganya dengan tangan karena suara berdenting itu seolah menusuk gendang telinganya.
Pandang matanya juga menjadi kabur oleh sinar yang bergulung-gulung dan
menyambar-nyambar itu. Jantungnya berdebar tegang karena dia
maklum bahwa kalau tosu yang membelanya itu kalah, nyawanya
sendiri pasti terancam. Lebih dari seratus limapuluh jurus mereka bertanding, kini mereka bertanding dalam kegelapan karena malam telah tiba, atau sinar matahari tidak bersisa lagi. Keduanya mengandalkan ketajaman telinga dan perasaan untuk berkelahi karena pandang mata tidak dapat diandalkan lagi.
Biarpun sudah demikian lamanya mereka berkelahi, tidak ada yang menang ataupun kalah. Jangankan
menang, mendesak lawan pun tidak dapat. Kekuatan mereka seimbang, baik tenaga sin-kang, gin-kang (meringankan tubuh) maupun kehebatan jurus-jurus silat mereka.
Akan tetapi kini terdapat perbedaan. Hongbacu mulai lelah dan pernapasannya mulai memburu. Usia mereka memang sebaya,sekitar empatpuluh enam tahun, dan tenaga mereka juga seimbang.
Hanya bedanya, dan ini merupakan perbedaan besar,kalau Ouw-yang Sianjin hidup dengan sehat dan bersih tidak pernah menghamburkan tenaga untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, sebaliknya Hongbacu hidup bergelimang kesenangan
duniawi dan menuruti nafsu-nafsunya, terutama nafsu berahinya.
Sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan pembantu terpercaya Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, Hongbacu memiliki banyak isteri. Inipun masih belum memuaskan nafsunya dan dia masih sering menggoda wanita cantik di mana pun dia berada.
Hal ini memboroskan tenaganya dan memperlemah daya tahan pernapasannya. Maka setelah bertanding hampir seratus
tujuhpuluh jurus, dia mulai merasa lemah. Maklum bahwa kalau
dilanjutnya dia akan kalah dan tidak mungkin menang, Hongbacu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh
ke belakang lalu dia menghilang dalam kegelapan malam!
Ouw-yang Sianjin tidak mengejar karena dia memang tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan orang Mancu itu. Dia hanya ingin membela pemuda yang terancam tadi.
Setelah Hongbacu pergi, Ouw-yang Sianjin menyimpan pedang
bambunya dan memandang kepada pemuda yang masih duduk bersandar batang pohon. Cuaca yang gelap, hanya remang-remang mendapat sinar bintang-bintang yang bertaburan di langit,membuat dia tidak dapat melihat jelas keadaan pemuda itu.
Dia menghampiri dan berkata. "Orang muda, bahaya telah lewat. Hari telah malam, sebaiknya engkau segera pulang ke rumahmu."
Bouw Cu An bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan ke dada lalu membungkuk sampai dalam.
"Totiang, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Totiang. Kalau tidak ada Totiang, mungkin sekali saya telah dibunuh oleh orang Mancu itu."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih kepada pinto, karena Sang
Maha Penolong adalah Thian (Tuhan) dan kebetulan saja tadi Thian menolongmu dengan menggunakan diriku. Sekarang sebaiknya engkau pulang saja."
"Totiang, saya tidak akan pulang, saya merasa ngeri untuk pulang,apalagi setelah terjadi peristiwa tadi."
"Tidak mau pulang dan merasa ngeri untuk pulang" Aih, aneh sekali. Apakah yang telah terjadi di rumahmu, orang muda?"
"Sesungguhnya hal ini tidak semestinya saya ceritakan kepada
orang lain karena saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka,
Totiang." "Kalau begitu, jangan ceritakan kepadaku."
"Totiang, saya pernah mendengar nama Totiang. Tentu Totiang ini
Ouw-yang Sianjin yang dulu pernah berjasa membongkar rencana busuk Pek-lian-kauw. Terhadap Totiang, saya ingin berterus terang, karena Totiang yang akan dapat mengerti."
Bouw Cu An lalu menceritakan tentang utusan Mancu yang tadi hendak menangkapnya, yang bersama Hwa Hwa Hoat-su utusan
Pek-lian-kauw dan Tarmalan dukun suku Hui kini berada di rumah ayahnya dan mengadakan persekutuan dengan ayahnya.
Ketika dia bercerita sampai di sini, Ouw-yang Sianjin bertanya. "Ah,
siapakah Ayahmu itu?"
"Ayah saya adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Sribaginda Kaisar. Saya adalah putera tunggalnya, nama saya Bouw Cu An."
Ouw-yang Sianjin terkejut. "Ah, kiranya engkau putera Pangeran
Bouw, Kong-cu" Kalau begitu, engkau harus cepat pulang dan laporkan saja kepada Ayahmu apa yang tadi hendak dilakukan orang Mancu itu kepadamu."
"Tidak, Totiang, saya tidak akan pulang, saya tidak mau pulang dan
melihat Ayah saya bersekutu dengan orang-orang jahat dan mempunyai rencana jahat terhadap Kaisar........"
Tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tosu itu.
"Saya mohon agar Totiang suka membawa saya pergi dan menerima saya sebagai murid. Tolonglah, Totiang, terimalah saya karena saya ingin belajar ilmu silat agar kelak dapat menghadapi para penjahat........"
"Akan tetapi, Kongcu, engkau adalah seorang putera bangsawan tinggi, bagaimana mungkin engkau menjadi murid pinto yang hanya seorang tosu perantau" Engkau akan hidup sengsara dan serba kekurangan." Dia menyentuh pundak pemuda itu dan
hendak menariknya.
"Bangkitlah, Kongcu, tidak pantas engkau menghormati pinto seperti ini."
"Tidak, Totiang, sebelum Totiang menerima saya sebagai murid,saya akan tetap berlutut. Saya tidak mau pulang dan saya tidak tahu harus pergi ke mana."
Ouw-yang Sianjin menghela napas panjang. Dia adalah seorang
yang sejak muda menjauhkan diri dari dunia ramai, tidak seperti
mendiang suhengnya, yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, yang hidup sebagai pendekar dan pejuang, bahkan menikah dan mempunyai seorang puteri.
Dia sendiri tidak menikah, bahkan selama hidupnya baru satu kali
dia menerima murid, yaitu Ong Lian Hong puteri suhengnya itu.
Bahkan gadis itu pun hanya dia bimbing untuk memperdalam ilmu
silatnya saja karena Ong Lian Hong sudah menerima pelajaran dari ayahnya. Dia seorang perantau yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.
Kini ada seorang pemuda bangsawan tinggi putera pangeran dan
keponakan dari kaisar Wan Li, ingin menjadi muridnya! Apalagi
ayah pemuda ini agaknya seorang pengkhianat yang hendak memberontak terhadap kaisar dan bersekutu dengan musuhmusuh negara seperti bangsa Mancu dan perkumpulan Pek-liankauw!
Akan tetapi pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ayahnya hendak memberontak dan dia sebagai putera tunggal menentang, bahkan
meninggalkan ayahnya, ingin menjadi muridnya dan siap hidup serba kekurangan dan sengsara.
Juga sikapnya demikian lembut,
baik dari ucapannya yang menunjukkan bahwa dia seorang
terpelajar maupun dari gerak geriknya. Timbul perasaan suka dan
iba di hatinya terhadap Bouw Cun An.
"Baiklah, Bouw Kongcu. Kalau engkau bertekad untuk menjadi muridku dan ingin ikut denganku, bangkitlah."
Bukan main girang rasa hati Bouw Cu An. Dia yang masih berlutut segera memberi hormat dan berkata dengan terharu.
"Terima kasih atas penerimaan Suhu dan teecu (murid) mohon agar Suhu tidak menyebut teecu Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Sebut
saja nama teecu Bouw Cu An."
Baiklah, Cu An. Sekarang bangkitlah dan mulai sekarang juga engkau harus melatih badanmu memperkuat daya tahan.
Ikuti aku!" Tosu itu lalu melangkah dan sengaja dia memilih jalan dalam hutan yang sukar dan penuh rintangan. Selain gelap karena hanya
diterangi cahaya bintang-bintang, juga jalan itu kasar berbatu-batu, terhalang semak belukar yang kadang-kadang berduri. Bahkan dia
mulai mendaki bukit sehingga Bouw Cu An yang sejak kecil hidup serba enak itu merasa tersiksa sekali.
Namun, hanya badannya yang tersiksa karena hatinya masih diliputi rasa girang. Dia sudah bertekad untuk mempelajari ilmu silat dan untuk ini dia siap untuk menderita sengsara, yaitu kesengsaraan, kenyerian dan kelelahan badannya.
Hongbacu, tokoh Mancu itu setelah gagal menangkap Bouw Cun An, lalu melapor kepada Pangeran Bouw bahwa pemuda itu diculik oleh seorang tosu bernama Ouw-yang Sianjin!
"Saya sudah berusaha untuk merebutnya kembali, akan tetapi tosu
itu cukup lihai dan dapat melarikan Bouw Kongcu," demikian Hongbacu mengakhiri laporannya.
"Ah, saya tahu siapa itu Ouw-yang Sianjin!" seru Hwa Hwa Hoatsu tokoh Pek-lian-kauw.
"Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar dengan
nyawanya.
Dialah yang menggagalkan rombongan kami sehingga Leng Kok Ho-siang dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw terbunuh. Sekarang dia malah menculik putera Paduka, Pangeran. Orang itu berbahaya bagi kita semua dan harus dibunuh!"
Pangeran Bouw Ji Kong marah sekali dan dia mengerahkan anak buahnya untuk mencari puteranya yang kabarnya diculik dan dilarikan oleh Ouw-yang Sianjin. Namun semua usahanya sia-sia. Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin tak dapat ditemukan, lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Sementara itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh persekutuan itu, Pangeran Bouw Ji Kong berusaha melakukan pendekatan kepada para pejabat sipil dan militer yang setia kepada Kaisar dan menta'ati menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku
Cing.
Dia berusaha untuk membujuk mereka dan me manas-manasi hati mereka dengan penggambaran betapa buruknya pemerintah itu di bawah Kaisar Wan Li yang sudah dipengaruhi dua orang pejabat tinggi itu.
Namun, usaha ini ternyata gagal.
Setelah kurang lebih setahun melakukan pendekatan dan bujukan,
hasilnya sedikit sekali. Hanya ada beberapa orang saja yang dapat terbujuk dan menerima ajakan Pangeran Bouw untuk bergabung dan mendukung pangeran itu.
Sebagian besar menolak dan tetap
setia kepada Kaisar dan dua orang pejabat tinggi itu.
Karena cara yang pertama gagal, maka dimulailali cara kedua,yaitu membunuh para pejabat yang setia kepada Kaisar.
Untuk pekerjaan ini, diserahkan kepada tiga orang sakti yang tinggal di
istana Pangeran Bouw Ji Kong, yaitu Hwa Hwa Hoat-su,Hongbacu, dan Tarmalan.
Bagaikan berlumba saja, tiga orang sakti itu dalam jangka waktu sebulan masing-masing telah membunuh dua orang pejabat tinggi.
Tentu saja kota raja menjadi gempar! Dalam waktu sebulan ada enam orang pembesar yang setia kepada kaisar telah terbunuh dan pembunuhnya sama sekali tidak meninggalkan jejak! Juga tidak ada seorang pun perajurit penjaga yang melihat Sipembunuh, bayangannya saja pun tidak tampak!
Kaisar Wan Li pun sempat panik mendengar laporan tentang terbunuhnya enam orang pejabat tinggi secara beruntun itu.
Kaisar segera memanggil dua orang pembantunya yang paling
diandalkan, yaitu Menteri Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang
Ku Cing.
Dengan tegas Kaisar Wan Li memerintahkan kepada mereka berdua untuk melacak dan menangkap pembunuh yang membuat resah para pembesar di kota raja.
Sebelumnya, dua orang pembesar ini memang sudah amat terkejut dan penasaran. Maka, mereka berdua sudah mendatangi rumah mereka yang terbunuh dan memeriksa sendiri keadaan mayat para pembesar yang terbunuh dalam kamar mereka itu.
Maka, setelah dipanggil kaisar dan menerima perintah yang mengandung teguran itu, keduanya lalu berunding di gedung tempat tinggal Menteri Yang Ting Ho.
Mereka berunding berdua saja dalam sebuah ruangan tertutup.
Dua orang pembantu Kaisar yang usianya sudah sekitar limapuluh
tahun itu duduk berhadapan dengan wajah muram.
"Chang Ciang-kun." kata Menteri Yang, "menurut dugaanku,
kiranya tidak salah lagi bahwa pembunuh para pejabat tentulah
orang Pek-lian-kauw. Mereka memang memiliki orang-orang sakti,dan bukan mustahil mereka datang mengacau sebagai pembalasan karena dulu gerakan mereka yang dipimpin Leng Kok Ho-siang itu telah gagal."
"Dugaanmu itu kiranya tidak meleset jauh, Yang Taijin," kata Panglima Chang yang bertubuh tinggi tegap dan tampak gagah dengan kumis dan jenggotnya yang pendek terpelihara rapi dan pakaiannya sebagai seorang panglima tinggi. "Memang agaknya
hanya Pek-lian-kauw saja yang menjadi musuh besar kita di dalam
negeri. Akan tetapi ada dua hal yang amat menarik hatiku.
Pertama, enam orang yang terbunuh itu merupakan pejabatpejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar dan merupakan pejabat yang mendukung kita berdua dalam kesetiaan kita kepada pemerintah. Dua orang pejabat sipil itu adalah pejabat yang baik dan enam orang pejabat militer itu adalah bawahan dan pembantu-pembantuku."
"Engkau benar, Ciang-kun. Dua orang itupun merupakan pembantumu yang setia. Jadi kalau begitu, pembunuh itu sengaja hendak melemahkan kita dengan jalan membunuhi para pembantu kita?"
"Tentu saja yang mereka incar adalah Sribaginda Kaisar. Karena kita berdua yang memperkuat kedudukan Sribaginda Kaisar, maka kitalah yang lebih dulu diserang. Bawahan kita yang setia dibunuh untuk melemahkan kekuatan kita sehingga mereka akan mudah untuk menujukan serangan mereka dengan sasaran utama, yaitu Sribaginda Kaisar," kata Panglima Chang.
Menteri Yang Ting Ho mengerutkan alisnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Untuk urusan serang menyerang dan menggunakan siasat menyerang pihak lawan dengan berbagai akal dan cara tentu saja merupakan keahlian Panglima Chang.
"Agaknya engkau benar, Ciang-kun.
Akan tetapi hal kedua apakah yang menarik hatimu?"
"Taijin, ketika kita memeriksa keadaan jenazah enam orang korban
itu aku melihat keanehan."
"Keanehan" Aku hanya melihat bahwa mereka dibunuh secara
kejam sekali." "Aku memperhatikan penyebab kematian mereka, Taijin.
Ada tiga macam sebab kematian mereka, dan masing-masing dua orang mati dengan cara yang sama, berbeda dengan yang lain."
"Aku tidak melihat hal itu, Ciang-kun. Aku hanya melihat bahwa mereka tewas dalam keadaan mengerikan, ada yang lehernya putus, kepalanya remuk, dadanya luka menembus punggung......"
"Nah, itulah Taijin! Dua orang di antara mereka tewas dengan leher
terpenggal. Agaknya yang memenggal leher mereka menggunakan senjata yang amat tajam dan berat sehingga leher mereka itu putus terbabat dengan sempurna. Dua orang lagi mati dengan kepala mereka remuk, padahal tidak tampak terluka.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka berdua menerima pukulan dengan
senjata lunak yang tidak meninggalkan bekas namun dapat
menghancurkan, membuktikan bahwa pelakunya memiliki sinkang yang amat kuat. Adapun dua orang lagi mati dengan dada terluka dan menembus punggung. Luarnya bundar menandakan bahwa mereka berdua tentu ditusuk senjata yang kecil, mungkin tombak atau tongkat, akan tetapi jelas bukan pedang atau golok."
"Hemm, jadi maksudmu, mereka berenam itu dibunuh oleh tiga
orang pembunuh yang memiliki keahlian berbeda?"
"Kesimpulannya begitulah, Taijin. Mereka tentu tiga orang dan
mereka memiliki kepandaian tinggi, juga mereka kejam dan berbahaya sekali." "Hemm, kalau begitu, bagaimana kita harus menghadapi mereka,Ciang-kun. Kukira engkaulah yang paling tepat untuk menanggulangi bahaya ini.
Aku sendiri akan menasihati
Sribaginda Kaisar untuk melipat gandakan pasukan pengawal
yang kuat dan pilihan agar setiap saat Sribaginda dilindungi dengan ketat."
"Memang sebaiknya begitu, Taijin. Dan lebih penting pula,sebaiknya Sribaginda memanggil semua pejabat tinggi mengadakan persidangan agar terdapat lebih banyak pasukan untuk menjaga keselamatan kerajaan."
"Baik, aku akan mengemukakan hal itu kepada Sribaginda Kaisar,"
kata Menteri Yang. "Ya, dan aku akan diam-diam secara rahasia menghubungi para pendekar yang setia kepada kerajaan untuk membantu. Karena pihak musuh juga menggunakan orang-orang sakti yang
dirahasiakan, maka aku juga akan mencari pendekar-pendekar
yang akan menghadapi mereka secara rahasia pula."
Menteri Yang dan Jenderal atau Panglima Chang telah bersepakat
untuk menghadapi serangan yang membunuh para rekan mereka.
Panglima Chang mengerahkan pasukan khusus yang diperintahkan untuk melakukan penjagaan kepada para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar.
Beberapa hari kemudian, setelah mendapat laporan dan anjuran
Menteri Yang Ting Ho, Kaisar Wan Li mengundang para pejabat tinggi untuk datang menghadap dan mengadakan persidangan untuk membahas peristiwa yang menggegerkan itu.
Setelah Kaisar Wan Li secara singkat menceritakan tentang pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang terkenal setia, dia berkata.
"Menurut pendapat kami, pelakunya tentulah orang-orang yang menentang pemerintah dan hendak melemahkan dan membikin kacau para pejabat pemerintah. Dan mereka yang memusuhi pemerintah pada saat ini adalah golongan pemberontak Pek-liankauw dan tentu saja bangsa Mancu yang kini telah menyusun
kekuatan di utara.
Mungkin juga ada suku-suku di luar daerah kita yang dapat dihasut mereka. Kita harus siap dan berusaha
sekuatnya untuk membekuk pembunuh itu agar suasana menjadi
tenang dan tenteram kembali."
Setelah berhenti sejenak dan memandang kepada para pejabat itu,
Kaisar Wan Li melanjutkan. "Karena urusan ini teramat penting dan
berbahaya, maka kami telah menyerahkan penanganannya
kepada Panglima Chang Ku Cing. Bagaimana pendapat kalian"
Apakah ada yang mengajukan usul yang baik?"
Pangeran Bouw Ji Kong membungkuk dengan hormat sambil bangkit berdiri dari kursinya. "Kakanda Kaisar yang mulia. Kalau menurut perkiraan hamba, pemberontak Pek-lian-kauw maupun para suku bangsa tidak akan berani melakukan kejahatan itu.
Peklian-kauw telah kita gagalkan dan hancurkan usaha mereka mengacau beberapa waktu yang lalu, maka kiranya mereka tidak akan berani gegabah mencobanya lagi. Juga hamba yang mengawasi hubungan antara kita dan para suku bangsa di luar daerah.
Hubungan itu cukup baik dan kiranya mereka tidak akan berani merusaknya dengan pembunuhan-pembunuhan itu.
Menurut hamba, ada pihak lain yang melakukannya."
Kaisar Wan Li memandang kepada adik tirinya itu. "Hemm, Adinda Pangeran, begitukah pendapatmu" Coba jelaskan, pihak lain mana dan siapa yang engkau maksudkan itu?"
"Yang Mulia, sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar.
Banyak di antara mereka itu yang merasa tidak puas dan membenci para pejabat.
Sudah banyak pejabat di kota raja maupun di daerah yang dihajar atau bahkan dibunuh para pendekar itu, dengan dalih bahwa pejabat itu tidak adil, sewenangwenang, atau memeras menindas rakyat. Hamba condong untuk menduga bahwa yang membunuh enam orang pejabat itu adalah para pendekar yang hamba maksudkan itu."
Kaisar Wan Li adalah seorang yang lemah dan selalu mengandalkan pendapat para pembantunya. Mendengar ucapan adik tirinya itu, timbul keraguan dalam hatinya dan dia memandang kepada para pejabat yang hadir.
"Kami rasakan apa yang dikemukakan Adinda Pangeran Bouw Ji Kong itu ada benarnya juga. Bagaimana kalau menurut pendapat
kalian?" Para pejabat tinggi diam saja. Mereka sudah mengenal siapa
Pangeran Bouw dan bagi para pejabat yang sudah menjadi anak buahnya tentu setuju dengan pendapat itu.
Adapun mereka yang tidak setuju, tidak berani mencela karena mereka merasa bahwa Pangeran Bouw tidak suka kepada mereka yang tidak mau dibujuk untuk menerima hadiah dan taat kepadanya.
Panglima besar Chang Ku Cing segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kaisar. "Hamba tidak dapat
membenarkan perkiraan Pangeran Bouw bahwa para pendekar yang melakukan pembunuhan itu. Para pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan tidak akan melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu karena hamba mengenal betul siapa mereka.
"Mereka adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Paduka,mereka bersih, jujur dan adil. Tentu Paduka masih ingat betapa dahulu, setahun lebih yang lalu, ketika Pek-lian-kauw
mempunyai niat jahat untuk
mengacau dan Leng Kok Ho-siang sebagai wakil mereka menghadap Paduka, justeru para pendekar yang telah membantu pemerintah
menghancurkan usaha jahat mereka.
Hamba berani menanggung bahwa bukan para pendekar yang
melakukan pembunuhan-
pembunuhan itu, melainkan musuh-
musuh negara dan para
pemberontak."
Para pejabat yang setia kepada kaisar mengangguk-angguk membenarkan pendapat Panglima Chang ini. Adapun para pejabat yang telah menjadi pengikut Pangeran Bouw tidak ada yang berani membantah. Kaisar Wan Li menutup persidangan dan memberi tugas khusus kepada tiga pejabat penting.
Panglima Chang ditugaskan untuk
mencari dan menangkap pembunuh itu. Menteri Yang ditugaskan untuk menenteramkan suasana di antara para pejabat, dan Pangeran Bouw diberi tugas untuk melakukan penyelidikan apakah para suku bangsa di luar daerah tidak ada yang melakukan aksi yang mencurigakan, terutama dia ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik bangsa Mancu dan memberi laporan kalau ada yang mencurigakan.
Para pejabat menanti sampai kaisar Wan Li mengundurkan diri dari
ruangan sidang, baru mereka kembali ke gedung masing-masing.
Pangeran Bouw cepat menghubungi tiga orang sakti yang bersembunyi di istananya dan menganjurkan mereka lebih baik untuk sementara menghentikan pembunuhan dan diam-diam meninggalkan kota raja untuk menghindar dari usaha Panglima Chang yang tentu akan mencari pembunuh itu dengan cermat.
Berbeda dengan Pangeran Bouw Ji Kong yang masih giat karena ambisius, sebaliknya Pangeran Sim Liok Ong yang merupakan saudara misan kaisar, tidak memegang kedudukan apa-apa, maka dia tidak ikut dipanggil dalam persidangan yang diadakan kaisar.
Akan tetapi dia dapat menduga bahwa Kaisar dan para pejabat
tinggi tentu gelisah dengan adanya pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Yang amat tertarik dengan terjadinya peristiwa pernbunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia dan jujur adalah putera Pangeran Sim Liok Ong, yaitu Sim Tek Kun.
Sim Tek Kun yang berusia duapuluh empat tahun ini adalah murid Kun-lun-pai yang lihai dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai Kun-lun Siauw-hiap (Pendekar Muda Kun-lun) yang selalu membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar
gagah perkasa.
Juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, yaitu Ong Lian Hong.
Ong Lian Hong ini adalah puteri mendiang Pat-jiu Kiam-ong (Raja
Pedang Tangan Delapan) Ong Han Cu, dan ia menjadi sumoi (adik seperguruan) Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, murid mendiang ayahnya.
**********
Dulu, sekitar dua tahun yang lalu, Ong Lian Hong bersama Sim Tek Kun yang ketika itu belum menjadi suaminya,
dan Hwe-thian Mo-li, ia membantu Panglima Chang Ku Cing membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau kota raja.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong telah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu namun mereka belum dikaruniai anak.
Selama dua tahun ini, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong hidup bahagia dan penuh kedamaian karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Mereka tinggal di gedung
Pangeran Sim Liok Ong yang tidak aktip dalam pemerintahan sehingga tidak pernah mendapatkan persoalan.
Akan tetapi,biarpun demikian,
mereka memperhatikan peristiwa-
peristiwa aneh yang terjadi di kota
raja, maka pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi baru-baru ini membangkitkan perasaan
penasaran dan menarik perhatian mereka.
Jelas telah terjadi kejahatan dalam
kota raja dan mereka tentu saja tidak dapat membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut tanpa ikut menyelidiki dan memberantasnya atau menangkap pembunuhnya.
Pada suatu sore, suami isteri itu duduk di serambi bersama Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran ini berusia sekitar empatpuluh delapan tahun dan masih tampak segar dan tampan dengan sikapnya yang lembut.
Mereka membicarakan tentang
pembunuhan itu. "Kalau menurut pendapat Ayah, mengapa enam orang pembesar itu dibunuh orang dan mengapa terjadi hal ini" Pertanda apakah ini, Ayah?" tanya Sim Tek Kun kepada ayahnya.
"Aku mengenal baik enam orang pejabat tinggi yang terbunuh itu.
Mereka semua adalah pejabat yang setia dan jujur.
Karena itu,melihat pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam penuh rahasia itu, sangat boleh jadi bahwa orang yang mengatur pembunuhan itu sengaja hendak melemahkan kedudukan kaisar dengan membunuhi para pembesar yang setia. Kalau pembunuhan ini merupakan dendam pribadi, rasanya tidak mungkin secara berturut-turut enam orang pembesar dibunuh dan
mereka semua ternyata merupakan pembantu-pembantu setia dari
Sribaginda Kaisar!"
Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong, mengangguk-angguk setuju dengan pendapat pangeran itu. "Kalau enam orang pejabat tinggi itu terbunuh secara rahasia dan tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka, jelas bahwa dalang pembunuhan itu mengutus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk melakukan pembunuhan itu," kata Ong Lian Hong.
"Dugaanmu itu tentu tepat, Hong-moi. Dan kukira yang patut dicurigai adalah Pek-lian-kauw! Merekalah yang dulu mengacau di kota raja, dan memang Pek-lian-kauw mempunyai banyak orang lihai. Agaknya sekali ini pun pembunuhan itu dilakukan mereka untuk membikin kacau atau seperti dikatakan Ayah tadi, untuk
melemahkan pemerintah yang dipimpin Sribaginda Kaisar," kata
Sim Tek Kun.
Selagi mereka bercakap-cakap, terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Mereka semua memandang dan melihat sebuah kereta memasuki pekarangan gedung itu dan para penjaga di pintu pekarangan memberi hormat. Dari keretanya saja Pangeran Sim Liok Ong sudah mengenal siapa yang datang berkunjung.
"Panglima Chang Ku Cing yang datang!" katanya dan mereka bertiga segera bangkit dan menyambut di luar serambi.
Setelah kereta berhenti, benar saja yang keluar dari kereta adalah Panglima Chang Ku Cing yang berusia sekitar limapuluh tahun,bertubuh tinggi tegap dengan kumis dan jenggot pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak gagah sekali dalam pakaian panglima yang serba gemerlapan.
Dia ditemani seorang pemuda gagah berusia sekitar duapuluh lima tahun.
Pangeran Sim, diikuti putera dan mantunya, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang dibalas oleh Panglima Chang. Pangeran Sim Liok Ong berkata gembira.
"Selamat datang, Panglima Chang. Mari, silakan masuk, kami merasa gembira menyambut kunjunganmu."
"Terima kasih dan maafkan kalau saya mengganggu, Pangeran.
Saya datang untuk membicarakan sesuatu denganmu, terutama sekali dengan putera dan mantumu," kata panglima itu sambil memandang kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
"Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam, Panglima!" kata Pangeran Sim dan mereka lalu memasuki ruangan tamu.
Lima orang itu duduk saling berhadapan mengelilingi sebuah meja
besar. Pangeran Sim lalu menutupkan pintu depan dan belakang dari ruangan itu, memesan kepada pelayan agar mereka jangan diganggu.
Tak seorang pun boleh memasuki ruangan sebelum dipanggil. "Saya kira Pangeran sudah dapat menduga kepentingan apa yang hendak saya bicarakan. Sebelumnya, perkenalkan dulu.
Pemuda ini adalah keponakan saya putera tunggal adik saya yang telah gugur dalam perang. Namanya adalah Chang Hong Bu dan dia telah lulus belajar ilmu silat di kuil Siauw-lim-si."
Pangeran Sim Liok Ong, putera dan mantunya itu memandang kepada pemuda itu penuh perhatian. Baru sekarang Pangeran Sim bertemu dengan pemuda itu bahkan baru sekarang dia mendengar bahwa panglima yang terkenal itu memiliki seorang keponakan yang gagah perkasa, murid Siauw-lim-pai.
Seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tegap, berwajah tampan dan gagah sikapnya tenang dan wataknya pendiam, sinar matanya tajam berwibawa seperti mata pamannya.
Ketika diperkenalkan pemuda bernama Chang Hong Bu itu bangkit
dan memberi hormat dengan membungkuk kepada keluarga tuan
rumah. "Kami senang sekali dapat berkenalan dengan keponakanmu yang gagah, Panglima. Kalau kami tidak salah duga, tentu kedatangan
Panglima ini ada hubungannya dengan masalah yang tadi baru
saja kami bicarakan, yaitu masalah pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja.
Benarkah?"
Panglima Chang tertawa dan menoleh kepada keponakannya.
"Ha-ha-ha! Kau dengar sendiri, Hong Bu! Tidak salah, bukan,keteranganku tadi, bahwa Pangeran Sim Liok Ong adalah seorang yang amat cerdik"
Baru saja kita datang beliau ini telah dapat menduga dengan tepat maksud kedatanganku. Tentu Pangeran telah mengetahui pula apa yang kami inginkan sehubungan dengan peristiwa itu, bukan?"
Pangeran Sim juga tersenyum. "Aih, Panglima. Saya dapat berbuat
apakah menghadapi urusan kekerasan ini" Tentu putera dan
mantuku lebih tepat untuk Panglima ajak membicarakannya."
Kembali panglima Chang tertawa dan memandang kepada keponakannya, seolah hendak membuktikan bahwa lagi-lagi pangeran itu telah dapat menebak dengan tepat.
"Memang benar, terus terang saja kami semua merasa penasaran dengan adanya peristiwa pembunuhan itu. Karena itu, saya
teringat akan puteramu Sim Tek Kun dan isterinya Ong Lian Hong yang dulu pernah membantu kami menghancurkan para tokoh Pek-lian-kauw yang mendatangkan kekacauan di kota raja.
Bagaimana pendapatmu tentang adanya pembunuhan-pembunuhan itu, nanda Tek kun?"
Sim Tek Kun menoleh kepada ayahnya lalu memandang kepada
Panglima Chang. "Seperti telah dikatakan Ayah tadi, Paman Panglima, ketika Paman datang, kami bertiga sedang membicarakan peristiwa itu.
Menurut pendapat kami bertiga,
pembunuhan-pembunuhan itu
sengaja dilakukan oleh pihak yang
memusuhi pemerintah. Yang dibunuh adalah pejabat-pejabat yang
setia kepada Sribaginda Kaisar, maka pembunuhan itu agaknya
dilakukan untuk mendatangkan kekacauan dan melemahkan
pemerintah.
Mengingat bahwa yang dulu memusuhi pemerintah adalah Pek-lian-kauw dan mengingat pula bahwa pembunuhan tentu dilakukan orang-orang yang lihai, maka kami menduga
bahwa yang melakukan adalah orang-orang Pek-lian-kauw."
Panglima Chang mengangguk-angguk. "Kami semua juga mempunyai dugaan seperti itu. Pek-lian-kauw atau bukan, yang melakukannya tentu mereka yang memusuhi pemerintah dan ingin melemahkan pemerintah dengan membunuhi para pejabat tinggi yang setia.
Perkara ini amat gawat sehingga Sribaginda Kaisar mengadakan rapat khusus dan menugaskan saya untuk mencari dan menangkap pembunuhnya.
"Setelah kami selidiki, kami berpendapat bahwa enam orang itu
dibunuh oleh tiga orang yang memiliki ilmu berbeda aliran. Hal ini
dibuktikan dengan cara tewasnya enam orang itu. Dua orang tewas
dengan kepala terpenggal, dua orang lagi tewas dengan dada tertusuk dan tembus sampai punggung, sedangkan yang dua orang lagi tewas dengan kepala hancur isinya tanpa luka di
luarnya.
"Kita berurusan dengan orang-orang yang tinggi sekali ilmu
kepandaiannya, oleh karena itu kami yang diberi tugas ingin minta bantuan para pendekar yang dulu juga membantu kamim enghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai.
Bagimana,nanda Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong, bersediakah ji-wi (Anda berdua) membantu kami?"
"Tentu saja kami siap membantu sekuat kemampuan kami, Paman
Panglima," kata Sim Tek Kun.
"Terima kasih, nanda Sim Tek Kun. Dengan bantuan nanda berdua isteri, kami semakin yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengetahui siapa dalang pembunuhan ini dan kalau kita beruntung, akan dapat menangkap pelaku-pelaku pembunuhan itu.
Akan tetapi kami teringat akan Hwe-thian Mo-li. Kalau saja kita dapat minta bantuannya, kiranya pekerjaan ini akan menjadi semakin mudah.
"Barangkali nanda Ong Lian Hong mengetahui, di mana tempat tinggal Hwe-thian Mo-li sekarang" Saya ingin mengutus keponakan kami Chang Hong Bu ini untuk menyampaikan
permintaan saya kepadanya untuk membantu."
Mendengar dan sinar mendengar Siang Lan pertanyaan ini, Ong Lian Hong mengerutkan alisnya matanya membayangkan kesedihan. Ia sudah
mendengar pengakuan suaminya bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo dahulu jatuh cinta kepadanya.
Biarpun dia tidak membalas cinta Hwe-thian Mo-li namun dia merasa bahwa Nyo Siang Lan jatuh cinta kepadanya tanpa pernah menyatakannya dengan ucapan.
Mendengar ini Lian Hong baru menyadari mengapa sucinya itu
sengaja mempermainkan ia dan Tek kun yang telah ditunangkan kepadanya sejak dulu, membuat mereka saling bertanding dan saling mengerti bahwa mereka telah menjadi calon jodoh sejak dulu.
Dan mengapa sejak itu sucinya pergi dan tidak pernah menjumpainya atau memberi kabar! Kini, mendengar pertanyaan Panglima Chang, tentu saja ia teringat kepada Nyo Siang Lan dan merasa sedih.
"Paman Panglima, saya sendiri tidak pernah bertemu atau mendengar berita tentang enci Nyo Siang Lan sejak kami bersama-sama menentang orang-orang Pek-lian-kauw itu. Saya pernah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ban-hwa-pang di
Ban-hwa-kok diserbu dan diambil-alih kekuasaan ketuanya oleh seorang gadis yang amat lihai. Mungkin sekali gadis itu adalah Enci Siang Lan, akan tetapi saya tidak berani memastikannya."
"Ban-hwa-kok (Lembah Selaksa Bunga)" Di manakah itu?"
Panglima Chang bertanya, penuh perhatian.
"Saya sendiri tidak tahu, Paman........"
"Nanti dulu!"
Tiba-tiba Sim Tek Kun memotong. "Lembah Selaksa Bunga" Saya pernah mendengar tentang itu, kalau tidak salah,dulu ada Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) di lembah itu, dan pemimpinnya adalah seorang she (marga) Siangkoan yang
amat lihai yang dijului Si Tombak Maut.
Lembah Selaksa Bunga itu berada di puncak Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga), sebuah di antara bukit-bukit yang menjadi bagian dari Lu-liang-san."
"Bagus!" kata Panglima Chang girang. "Nah, Hong Bu, engkau sudah mendengar sendiri. Nanda Sim Tek Kun berdua isterinya kami minta bantuannya untuk ikut menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan itu, dan engkau pergilah ke Lu-liang-san,cari Lembah Selaksa Bunga dan temui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan. Aku akan membuat Surat untuknya.
Nah, mari kita pulang,engkau cepat berkemas dan bawa suratku."
Panglima Chang lalu berpamit kepada Pangeran Sim, putera dan mantunya, dan bersama keponakannya kembali ke gedungnya.
Setelah panglima itu pergi, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong membuat persiapan untuk mulai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.
Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang yatim piatu.
Ayahnya, adik Panglima Chang Ku Cing, juga seorang perwira tinggi yang gugur dalam perang melawan pemberontak di utara.
Ibunya juga meninggal dunia karena sakit sehingga Chang Hong Bu menjadi yatim piatu. Sejak kecil dia lalu ikut pamannya yaitu Panglima Chang Ku Cing. Melihat bakat anak itu baik sekali untuk ilmu silat, Panglima Chang lalu mengirimnya ke Siauw-lim-pai untuk belajar ilmu silat.
Selama limabelas tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Hong Bu digembleng ilmu silat di kuil Siauw-lim-pai. Setelah tamat belajar dan usianya sudah duapuluh lima tahun, dia kembali ke rumah pamannya. Kini Hong Bu menerima tugas dari pamannya untuk mencari Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan di pegunungan Lu-liang-san.
Tentu saja dia merasa senang sekali menerima tugas ini. Setelah tamat dari Siauw-lim-pai dia telah menjadi seorang pendekar muda perguruan silat yang amat terkenal itu.
Tentu saja dia ingin memanfaatkan semua pelajaran yang telah ditekuninya selama limabelas tahun itu untuk bertualang di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Akan tetapi kini tugasnya yang utama
adalah menemukan Hwe-thian Mo-li agar dapat menyampaikan,surat undangan Panglima Chang. Dari gurunya, yaitu Ci kok Hosiang yang menjadi wakil Ketua Siauw-lim-pai, dia bukan hanya menerima pelajaran bu (ilmu silat), akan tetapi juga bun (ilmu sastra).
Hong Bu melakukan perjalanan cepat, menghindari segala gangguan dalam perjalanan karena dia harus lebih dulu menunaikan tugas yang diberikan pamannya.
Setelah tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san, Hong Bu mulaib ertanya-tanya kepada para penduduk dusun-dusun di sekitarp egunungan itu di mana adanya Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga). Karena hari telah menjelang senja, dia melewatkan malam itu di sebuah dusun di kaki bukit, karena dia merasa tidak sopan
Pada keesokan harinya, menjelang senja, ketika Pangeran Bouw
Ji Kong sedang duduk termenung memikirkan pelaksanaan
rencananya mengambil alih kekuasaan kaisar Wan Li, kakak
tirinya, dia mendengar langkah orang memasuki kamarnya. Dia menoleh dan melihat seorang pemuda memasuki kamar itu.
Pemuda itu adalah Bouw Cu An atau yang biasa disebut Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw), putera tunggalnya. Seorang pemuda bertubuh sedang dengan pakaian seperti seorang sastrawan,
wajahnya tampan bulat, matanya lembut dan mulutnya selalu
tersenyum. Wajah pemuda ini mirip wajah ibunya yang cantik.
"Hemm, engkau, Cu An?" tegur Sang Ayah dengan lembut. Karena dia hanya mempunyai seorang putera, tentu saja Pangeran Bouw amat sayang kepada puteranya ini.
Bouw Cu An memberi hormat kepada ayahnya sebelum duduk di depan ayahnya, terhalang meja.
"Ayah, maafkan saya kalau saya mengganggu ketenangan Ayah.
Akan tetapi ada hal-hal penting yang ingin saya tanyakan dan bicarakan dengan Ayah, kalau sekiranya Ayah membolehkan."
Pangeran Bouw tersenyum. Dia selalu merasa senang melihat
sikap dan cara puteranya ini bicara, penuh kesopanan dan hormat
kepadanya di samping perasaan berbakti dan sayang kepada
orang tua. "Boleh saja, Cu An. Bicaralah! Apa yang ingin kautanyakan?"
"Sebelumnya saya minta maaf, Ayah. Saya melihat ada tiga orang tamu asing di ruangan bagian tamu dan saya mendengar bahwa mereka adalah utusan dari Pek-lian-kauw, dari bangsa Mancu, dan suku Hui. Apakah artinya semua ini, Ayah" Juga saya mendengar bahwa Ayah bersekutu dengan mereka untuk menentang Sribaginda Kaisar. Benarkah ini, Ayah?"
"Cu An," kata Pangeran Bouw dan suaranya terdengar tegas.
"Engkau tidak perlu mencampuri urusan pribadi Ayahmu. Aku melihat betapa pemerintahan Paman kaisar itu berengsek, para pejabatnya sebagian besar melakukan korupsi, menyeleweng dan bertindak sewenang-wenang. Aku tidak mungkin tinggal diam saja.
Kekuasaan Pamanmu Kaisar harus dihentikan, kalau tidak rakyat akan menderita sengsara! Untuk menentang pemerintahan, aku harus bersekutu dengan pihak-pihak yang memusuhi pemerintah!
Engkau tidak perlu ikut memikirkan, tidak perlu ikut campur.
Engkau masih terlalu muda dan tidak tahu apa-apa."
Bouw Cun An atau Bouw Kongcu mengerutkan alisnya yang hitam.
Dia bukan hanya mewarisi wajah ibunya, akan tetapi juga watak ibunya yang lembut dan baik, dan sejak kecil dia mempelajari sastra, telah banyak membaca kitab-kitab suci, tahu akan jalan hidup terbaik yang harus ditempuh manusia.
"Maaf, Ayah. Kalau saya tidak salah dengar, Pek-lian-kauw adalah perkumpulan pemberontak yang terkenal jahat, menggunakan agama baru Teratai Putih untuk mengelabuhi rakyat. Mereka itu pembunuh dan perampok.
Adapun bangsa Mancu adalah bangsa
di Utara yang kini telah menguasai seluruh daerah utara dan
merupakan ancaman bagi tanah air dan bangsa kita. Adapun dukun Tarmalan itu, menurut Ibu merupakan orang yang kabarnya
juga menjadi rekan bangsa Mancu. Bagaimana kini Ayah bersekutu dengan mereka" Apakah tindakan Ayah itu sudah diperhitungkan benar dan tidak keliru?"
"Anak bodoh! Pek-lian-kauw dan bangsa Mancu kini memiliki
kekuatan yang dapat membantu kita. Tanpa bantuan mereka, akan
sukarlah menjatuhkan pemerintahan ini. Dan engkau tahu, siapa itu Tarmalan" Dia adalah Kakekmu, karena dia adalah Paman dariku! Dia adalah seorang pandai dan sakti dari suku Hui, dan dapat membantu kita menentang pemerintah Pamanmu Kaisar yang lemah itu!"
"Sekali lagi maaf, Ayah. Kalaupun benar bahwa Paman kaisar Wan
Li itu lemah, dipengaruhi para Thai-kam dan para pembesar penjilat, sudah sepatutnya kalau Ayah sebagai adiknya membela Kaisar yang harus ditentang bukanlah Kaisar, melainkan para pembesar yang menyeleweng dan korup itu. Kalau pemerintah
yang Ayah tentang, berarti Ayah akan melakukan pemberontakan......."
"Diam.....!" Pangeran Bouw membentak marah. "Cu An, jangan
lanjutkan pikiran dan bicaramu seperti itu! Apakah engkau ingin
agar rasa sayangku kepadamu berubah menjadi rasa benci?"
Cu An terkejut melihat ayahnya berkata demikian. Baru sekali ini
ayahnya marah seperti itu kepadanya dan memandangnya dengan sinar mata berapi penuh kebencian.
Hal ini membuat hatinya berduka sekali. Bukan duka karena tindakan ayahnya yang dia anggap keliru, melainkan terutama sekali karena rasa sayang ayahnya demikian mudah dapat berbalik menjadi rasa benci.
"Maafkan saya, Ayah........" katanya halus dan dia lalu meninggalkan ruangan itu. Pangeran Bouw menampar permukaan meja dengan perasaan kesal.
Ayah dan anak ini sama sekali tidak tahu bahwa pembicaraan mereka tadi didengar Hongbacu yang kebetulan keluar dari kamarnya dan berjalan-jalan dekat ruangan itu.
Mendengar semua ucapan Bouw Kongcu, tokoh Mancu yang tinggi besar bermuka merah itu mengepal tangannya.
Anak ini sungguh berbahaya, pikirnya, dan kalau ada orang yang
sepatutnya dibinasakan, maka pemuda inilah yang menjadi orang pertama. Kalau pemuda itu berhasil membujuk ayahnya dan Pangeran Bouw berubah pikiran, maka semua rencana akan hancur dan dia akan mendapatkan teguran keras dari pemimpinnya yang keras, yaitu Nurhacu.
Bouw Kongcu merasa sedih melihat sikap ayahnya. Sama sekali tidak disangkanya bahwa ayahnya akan memberontak terhadap Kaisar yang masih kakak tirinya sendiri. Biasanya, sikap ayahnya selalu merasa penasaran dan menentang para pembesar yang korup dan yang menggunakan kekuasaan mereka untuk berlumba mengumpulkan kekayaan saja.
Sikap ini dianggapnya baik karena dia sendiri juga muak melihat
para pembesar korup yang suka sewenang-wenang terhadap
rakyat jelata.
Akan tetapi, kini ayahnya hendak memberontak dan terasa olehnya bahwa ayahnya ingin sekali menggantikan kedudukan kaisar. Yang amat menyedihkan hatinya, ayahnya telah bersekutu dengan orang Pek-lian-kauw dan orang Mancu, juga dibantu Dukun Tarmalan yang menurut cerita ibunya merupakan seorang dukun bangsa Hui, masih paman dari ayahnya, akan tetapi terkenal jahat.
Bagaimana ayahnya sampai terperosok sedemikian dalamnya,
bersekutu dengan orang-orang jahat untuk memberontak terhadap
Kaisar"
Menurut kepantasan, ayahnya sebagai adik tiri kaisar, mestinya
membela Kaisar dari orang-orang jahat, bukan sebaliknya bersekutu dengan mereka menentang Kaisar! Apakah ayahnya akan menjadi pengkhianat tanah air dan bangsa"
Pemuda yang terpelajar ini maklum bahwa semua penyelewengan ayahnya itu didorong oleh ambisinya untuk menjadi kaisar! Dan dia menjadi sedih sekali.
Sekeluarnya dari ruangan itu, Bouw Kongcu langsung keluar dari istana. Baginya, istana ayahnya menjadi tempat yang memuakkan dan juga berbahaya, telah menjadi tempat persembunyian orangorang jahat yang mengatur rencana pemberontakan!
Tanah pekarangan istana ayahnya saat itu terasa panas,menembus sepatunya dan membakar telapak kakinya. Dia bersicepat lari keluar dari pekarangan.
Empat orang perajurit pengawal yang berjaga di pintu gerbang memberi hormat kepadanya, namun tidak dipedulikan. Padahal biasanya Bouw Kongcu bersikap ramah dan manis kepada semua perajurit pengawal ayahnya, bahkan para pelayan dalam istana menghormati dan menyukainya karena dia bersikap manis kepada siapapun juga tanpa memandang kedudukan mereka.
Ketika tiba di jalan besar, Bouw Kongcu seolah melihat kota raja yang terancam perang akibat pemberontakan ayahnya. Banyak
orang tewas dan banjir darah terjadi. Dia merasa ngeri dan cepat+cepat dia keluar dari pintu gerbang kota raja sebelah selatan.
Dia tidak tahu akan pergi ke mana. Pokoknya dia harus meninggalkan kota raja, meninggalkan istana keluarganya,meninggalkan ayahnya sejauh mungkin agar jangan ikut ternoda kotoran akibat ulah ayahnya.
Senja telah menjelang malam.
Matahari mulai terbenam di barat
sehingga cahayanya yang tertinggal amat lemah. Sebentar lagi tentu digantikan kegelapan malam. Bouw Kongcu berjalan terus dan tiba di jalan tepi hutan yang sunyi.
Teringat akan ayahnya,Bouw Kongcu berhenti melangkah dan menyandarkan tubuhnya pada batang pohon, memejamkan mata dan berulang-ulang menarik napas panjang.
Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan Hongbacu yang tinggi besar bermuka merah, tokoh Mancu itu, telah berdiri di depannya. Bouw Kongcu mendengar suara tawa seperti ringkik kuda dan ketika dia membuka matanya, dia melihat Hongbacu dan merasa terkejut sekali karena dia mengenal orang tinggi besar itu sebagai seorang di antara tiga tamu asing yang berada di istana
ayahnya.
Melihat orang itu tertawa dan matanya memandangnya dengan
sinar yang menyeramkan, Bouw Kongcu dapat merasakan ancaman bahaya. Maka tanpa berkata apa pun, dia lalu memutar tubuhnya dan melarikan diri. Dia tidak tahu ke mana akan pergi.
Dia hanya ingin menjauhkan diri dari orang Mancu itu.
Akan tetapi baru belasan langkah dia melarikan diri, tiba-tiba ada
bayangan berkelebat dan tahu-tahu Hongbacu telah berdiri menghadang di depannya sambil bertolak pinggang dan tertawa.
"He-he-hek! Engkau hendak pergi ke mana, Bouw Kongcu?"
Pemuda itu dari ketakutan menjadi marah dan menegur.
"Bukankah engkau ini orang Mancu yang menjadi tamu Ayahku"
Kenapa engkau menghalangi perjalananku?" Dia melanjutkan
dengan bentakan. "Aku hendak pergi ke mana tidak ada urusannya denganmu. Minggir dan biarkan aku lewat, atau aku akan melaporkan kepada Ayahku tentang kekurang-ajaranmu ini!"
"Hi-hi-he-he-hek! Justru aku mewakili Ayahmu untuk mencegah engkau pergi dan berbuat macam-macam untuk menentang kami!
Aku diminta untuk membawamu pulang."
"Aku tidak mau pulang dan jangan engkau mencampuri urusan
pribadiku!"
"Heh-heh-heh, engkau mau atau
membawamu pulang, Bow Kongcu!"
tidak, aku tetap akan Akan tetapi Bouw Cu An sudah membalikkan tubuhnya dan lari lagi secepatnya menjauhi Hongbacu.
"Ha-ha-hi-hik, engkau hendak lari ke mana, Bouw Kongcu?"
Kembali Bouw Kongcu hanya melihat bayangan berkelebat dan
tahu-tahu Hongbacu sudah berdiri di depannya, dalam jarak sekitar
tiga tombak!
Tokoh Mancu ini menyeringai dan melangkah perlahan menghampiri pemuda itu.
"Ah, di mana-mana yang kuat menekan yang lemah!" terdengar
suara lembut dan sesosok tubuh melayang dan seorang laki-laki
telah berdiri di antara Bouw Cu An dan Hongbacu, menghadapi orang Mancu itu.
Dia seorang laki-laki berusia sekitar empatpuluh enam tahun,berpakaian jubah tosu (pendeta Agama To) kuning, bertubuh tinggi kurus dengan wajah tampan dan sikapnya lembut. Di punggungnya terselip sebatang pedang, akan tetapi kalau ada
orang memperhatikan pedang itu, dia tentu akan merasa aneh dan
lucu karena pedang itu hanya sebatang pedang dari bambu seperti
pedang mainan anak-anak!
Akan tetapi biarpun dia tidak mengenal tosu itu, Hongbacu adalah
seorang yang mempunyai banyak pengalaman dan melihat tosu itu
mempunyai sebatang pedang dari bambu, dia sama sekali tidak
berani memandang rendah. Bahkan dia merasa terkejut karena kalau seorang berani membawa senjata selemah itu, hal ini jelas menunjukkan bahwa dia tentu seorang yang berilmu tinggi!
Setelah menatap tajam wajah tosu itu, Hongbacu berkata.
"Sobat, engkau seorang pendeta, tidak pantas mencampuri urusan orang lain!"
"Siancai (damai)......! Pinto (aku) tidak mencampuri urusan, hanya ingin mengetahui apa yang terjadi maka seorang gagah seperti engkau hendak memaksa seorang pemuda yang lemah."
"Dengarlah, tosu yang baik! Pemuda ini minggat dari rumah orang
tuanya dan aku diutus Ayahnya untuk membawanya pulang!
Pantaskah kalau engkau menghalangiku?"
Tosu itu menoleh kepada Bouw Cu An. "Orang muda, benarkah engkau minggat dari rumah dan sobat ini diutus Ayahmu untuk mengajakmu pulang?"
"Totiang (Bapak Pendeta), saya tidak percaya kalau dia diutus Ayah untuk mengajak saya pulang. Orang Mancu ini pasti mempunyai niat jahat terhadap saya karena saya dia anggap
sebagai penghalang semua niat buruknya."
Tosu itu tersenyum dan menggelengkan kepalanya. "Dua
keterangan yang berbeda dan saling bertentangan. Sekarang begini saja, Sobat. Kaubiarkan pemuda ini pergi dan jangan ganggu dia lagi, lanjutkan saja perjalanan masing-masing dan aku berjanji tidak akan mencampuri urusan kalian berdua."
"Tidak bisa!" Hongbacu berseru marah. "Dia harus ikut aku pulang
ke rumah orang tuanya, mau atau tidak dia harus ikut!"
"Siancai......! Ini namanya pemaksaan sewenang-wenang dan pinto jelas tidak dapat mendiamkannya saja."
"Bagus, Tosu usil, siapakah engkau yang berani mencampuri
urusanku dan menentangku?"
"Pinto bernama Ouw-yang Sianjin, pinto tidak menentangmu,Sobat, melainkan menentang perbuatan jahat dan sewenangwenang."
Ouw-yang Sianjin ini adalah seorang tokoh kang-ouw yang terkenal di dunia persilatan karena dia merupakan seorang pendekar perantau yang berilmu tinggi dan selalu menentang kejahatan.
Dia adalah sute (adik seperguruan) dari mendiang Patjiu Kiam-ong Ong Han Cu, ayah dari Ong Lian Hong atau guru dari Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
*********
Pada senja hari itu, secara kebetulan saja dia melihat Bouw Kongcu didesak oleh Hongbacu, maka dia segera turun tangan membela Bouw Kongcu.
"Ouw-yang Sianjin, tosu keparat! Engkau sudah bosan hidup!" kini
Hongbacu tidak sabar lagi.
Memang pada dasarnya orang Mancu ini berwatak keras dan sombong karena bagi seluruh suku Mancu, dia merupakan jagoan yang sudah tersohor dan jarang dapat ditandingi.
Setelah membentak dia sudah mencabut gergajinya dari pinggang.
Senjata ini menyeramkan. Sebatang golok yang lebar dan berat,
berkilauan saking tajamnya dan punggung golok itu bergigi seperti
gergaji! Tanpa bicara lagi dia menggerakkan goloknya yang berat
itu dengan cepat.
Golok itu mengeluarkan bunyi berdesing dan mengandung kekuatan yang dahsyat menyambar ke arah leher Ouw-yang Sianjin.
"Yaahhhh!" Ouw-yang Sianjin cepat mengelak dan dari serangan pertama itu saja tahulah dia bahwa orang Mancu yang menjadi lawannya itu merupakan lawan yang tangguh.
Maka dia pun melompat ke belakang menghindari serangan susulan sambil
mencabut senjatanya yang aneh dan ringan, yaitu sebatang pedang terbuat dari bambu! Akan tetapi begitu dia menggerakkan dan memutar-mutar pedang bambu itu, tampak gulungan sinar yang bercuitan mengelilingi tubuhnya seperti membentuk sebuah
perisai sinar!
Hongbacu merasa penasaran dan sambil mengerahkan sin-kang
dia menyerang dengan goloknya dengan maksud untuk mematahkan pedang bambu lawan. Sinar goloknya meluncur hendak menerobos gulungan sinar pedang bambu itu.
"Singgg...... takk......!" Golok yang berat itu terpental ketika bertemu pedang bambu. Akan tetapi Ouw-yang Sianjin juga merasa betapa tangannya yang memegang gagang pedang kayu tergetar hebat.
Keduanya terkejut dan mundur, maklum bahwa lawan memiliki sinkang yang kuat dan seimbang. Hongbacu sudah menerjang lagi.
Ouw-yang Sianjin bergerak cepat mengelak lalu balas menyerang.
Pedang bambunya itu amat lihai dan mampu menembus kulit daging lawan yang betapa kebal pun!
Terjadilah perkelahian yang amat seru. Gerakan kedua orang itu
sedemikian ringan dan cepatnya sehingga tubuh mereka seperti
berubah menjadi bayangan yang berkelebatan di antara dua sinar
kuning dan putih dari pedang bambu dan golok. Tenaga sakti yang
mereka pergunakan sedemikian kuatnya sehingga gerakan
senjata mereka menimbulkan angin yang menyambar-nyambar
dan merontokkan daun-daun pohon di sekeliling mereka.
Bouw Cu An bersandar pada batang pohon sambil terduduk di atas
tanah. Dia memandang bengong, heran, kagum dan tegang mencekam hatinya. Bunyi pedang bambu bertemu golok terkadang mengeluarkan getaran amat kuat sehingga Bouw Kongcu harus
menutupi kedua telinganya dengan tangan karena suara berdenting itu seolah menusuk gendang telinganya.
Pandang matanya juga menjadi kabur oleh sinar yang bergulung-gulung dan
menyambar-nyambar itu. Jantungnya berdebar tegang karena dia
maklum bahwa kalau tosu yang membelanya itu kalah, nyawanya
sendiri pasti terancam. Lebih dari seratus limapuluh jurus mereka bertanding, kini mereka bertanding dalam kegelapan karena malam telah tiba, atau sinar matahari tidak bersisa lagi. Keduanya mengandalkan ketajaman telinga dan perasaan untuk berkelahi karena pandang mata tidak dapat diandalkan lagi.
Biarpun sudah demikian lamanya mereka berkelahi, tidak ada yang menang ataupun kalah. Jangankan
menang, mendesak lawan pun tidak dapat. Kekuatan mereka seimbang, baik tenaga sin-kang, gin-kang (meringankan tubuh) maupun kehebatan jurus-jurus silat mereka.
Akan tetapi kini terdapat perbedaan. Hongbacu mulai lelah dan pernapasannya mulai memburu. Usia mereka memang sebaya,sekitar empatpuluh enam tahun, dan tenaga mereka juga seimbang.
Hanya bedanya, dan ini merupakan perbedaan besar,kalau Ouw-yang Sianjin hidup dengan sehat dan bersih tidak pernah menghamburkan tenaga untuk melampiaskan nafsu-nafsunya, sebaliknya Hongbacu hidup bergelimang kesenangan
duniawi dan menuruti nafsu-nafsunya, terutama nafsu berahinya.
Sebagai orang yang berkedudukan tinggi dan pembantu terpercaya Nurhacu pemimpin bangsa Mancu, Hongbacu memiliki banyak isteri. Inipun masih belum memuaskan nafsunya dan dia masih sering menggoda wanita cantik di mana pun dia berada.
Hal ini memboroskan tenaganya dan memperlemah daya tahan pernapasannya. Maka setelah bertanding hampir seratus
tujuhpuluh jurus, dia mulai merasa lemah. Maklum bahwa kalau
dilanjutnya dia akan kalah dan tidak mungkin menang, Hongbacu mengeluarkan teriakan melengking dan tubuhnya melompat jauh
ke belakang lalu dia menghilang dalam kegelapan malam!
Ouw-yang Sianjin tidak mengejar karena dia memang tidak bermaksud untuk bermusuhan dengan orang Mancu itu. Dia hanya ingin membela pemuda yang terancam tadi.
Setelah Hongbacu pergi, Ouw-yang Sianjin menyimpan pedang
bambunya dan memandang kepada pemuda yang masih duduk bersandar batang pohon. Cuaca yang gelap, hanya remang-remang mendapat sinar bintang-bintang yang bertaburan di langit,membuat dia tidak dapat melihat jelas keadaan pemuda itu.
Dia menghampiri dan berkata. "Orang muda, bahaya telah lewat. Hari telah malam, sebaiknya engkau segera pulang ke rumahmu."
Bouw Cu An bangkit berdiri dan memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan ke dada lalu membungkuk sampai dalam.
"Totiang, saya menghaturkan banyak terima kasih atas pertolongan Totiang. Kalau tidak ada Totiang, mungkin sekali saya telah dibunuh oleh orang Mancu itu."
"Sudahlah, tidak perlu berterima kasih kepada pinto, karena Sang
Maha Penolong adalah Thian (Tuhan) dan kebetulan saja tadi Thian menolongmu dengan menggunakan diriku. Sekarang sebaiknya engkau pulang saja."
"Totiang, saya tidak akan pulang, saya merasa ngeri untuk pulang,apalagi setelah terjadi peristiwa tadi."
"Tidak mau pulang dan merasa ngeri untuk pulang" Aih, aneh sekali. Apakah yang telah terjadi di rumahmu, orang muda?"
"Sesungguhnya hal ini tidak semestinya saya ceritakan kepada
orang lain karena saya tidak ingin menjadi anak yang durhaka,
Totiang." "Kalau begitu, jangan ceritakan kepadaku."
"Totiang, saya pernah mendengar nama Totiang. Tentu Totiang ini
Ouw-yang Sianjin yang dulu pernah berjasa membongkar rencana busuk Pek-lian-kauw. Terhadap Totiang, saya ingin berterus terang, karena Totiang yang akan dapat mengerti."
Bouw Cu An lalu menceritakan tentang utusan Mancu yang tadi hendak menangkapnya, yang bersama Hwa Hwa Hoat-su utusan
Pek-lian-kauw dan Tarmalan dukun suku Hui kini berada di rumah ayahnya dan mengadakan persekutuan dengan ayahnya.
Ketika dia bercerita sampai di sini, Ouw-yang Sianjin bertanya. "Ah,
siapakah Ayahmu itu?"
"Ayah saya adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik tiri Sribaginda Kaisar. Saya adalah putera tunggalnya, nama saya Bouw Cu An."
Ouw-yang Sianjin terkejut. "Ah, kiranya engkau putera Pangeran
Bouw, Kong-cu" Kalau begitu, engkau harus cepat pulang dan laporkan saja kepada Ayahmu apa yang tadi hendak dilakukan orang Mancu itu kepadamu."
"Tidak, Totiang, saya tidak akan pulang, saya tidak mau pulang dan
melihat Ayah saya bersekutu dengan orang-orang jahat dan mempunyai rencana jahat terhadap Kaisar........"
Tiba-tiba pemuda itu menjatuhkan diri berlutut di depan kaki tosu itu.
"Saya mohon agar Totiang suka membawa saya pergi dan menerima saya sebagai murid. Tolonglah, Totiang, terimalah saya karena saya ingin belajar ilmu silat agar kelak dapat menghadapi para penjahat........"
"Akan tetapi, Kongcu, engkau adalah seorang putera bangsawan tinggi, bagaimana mungkin engkau menjadi murid pinto yang hanya seorang tosu perantau" Engkau akan hidup sengsara dan serba kekurangan." Dia menyentuh pundak pemuda itu dan
hendak menariknya.
"Bangkitlah, Kongcu, tidak pantas engkau menghormati pinto seperti ini."
"Tidak, Totiang, sebelum Totiang menerima saya sebagai murid,saya akan tetap berlutut. Saya tidak mau pulang dan saya tidak tahu harus pergi ke mana."
Ouw-yang Sianjin menghela napas panjang. Dia adalah seorang
yang sejak muda menjauhkan diri dari dunia ramai, tidak seperti
mendiang suhengnya, yaitu Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu, yang hidup sebagai pendekar dan pejuang, bahkan menikah dan mempunyai seorang puteri.
Dia sendiri tidak menikah, bahkan selama hidupnya baru satu kali
dia menerima murid, yaitu Ong Lian Hong puteri suhengnya itu.
Bahkan gadis itu pun hanya dia bimbing untuk memperdalam ilmu
silatnya saja karena Ong Lian Hong sudah menerima pelajaran dari ayahnya. Dia seorang perantau yang tidak memiliki tempat tinggal tetap.
Kini ada seorang pemuda bangsawan tinggi putera pangeran dan
keponakan dari kaisar Wan Li, ingin menjadi muridnya! Apalagi
ayah pemuda ini agaknya seorang pengkhianat yang hendak memberontak terhadap kaisar dan bersekutu dengan musuhmusuh negara seperti bangsa Mancu dan perkumpulan Pek-liankauw!
Akan tetapi pemuda ini luar biasa, pikirnya. Ayahnya hendak memberontak dan dia sebagai putera tunggal menentang, bahkan
meninggalkan ayahnya, ingin menjadi muridnya dan siap hidup serba kekurangan dan sengsara.
Juga sikapnya demikian lembut,
baik dari ucapannya yang menunjukkan bahwa dia seorang
terpelajar maupun dari gerak geriknya. Timbul perasaan suka dan
iba di hatinya terhadap Bouw Cun An.
"Baiklah, Bouw Kongcu. Kalau engkau bertekad untuk menjadi muridku dan ingin ikut denganku, bangkitlah."
Bukan main girang rasa hati Bouw Cu An. Dia yang masih berlutut segera memberi hormat dan berkata dengan terharu.
"Terima kasih atas penerimaan Suhu dan teecu (murid) mohon agar Suhu tidak menyebut teecu Bouw Kongcu (Tuan Muda Bouw). Sebut
saja nama teecu Bouw Cu An."
Baiklah, Cu An. Sekarang bangkitlah dan mulai sekarang juga engkau harus melatih badanmu memperkuat daya tahan.
Ikuti aku!" Tosu itu lalu melangkah dan sengaja dia memilih jalan dalam hutan yang sukar dan penuh rintangan. Selain gelap karena hanya
diterangi cahaya bintang-bintang, juga jalan itu kasar berbatu-batu, terhalang semak belukar yang kadang-kadang berduri. Bahkan dia
mulai mendaki bukit sehingga Bouw Cu An yang sejak kecil hidup serba enak itu merasa tersiksa sekali.
Namun, hanya badannya yang tersiksa karena hatinya masih diliputi rasa girang. Dia sudah bertekad untuk mempelajari ilmu silat dan untuk ini dia siap untuk menderita sengsara, yaitu kesengsaraan, kenyerian dan kelelahan badannya.
Hongbacu, tokoh Mancu itu setelah gagal menangkap Bouw Cun An, lalu melapor kepada Pangeran Bouw bahwa pemuda itu diculik oleh seorang tosu bernama Ouw-yang Sianjin!
"Saya sudah berusaha untuk merebutnya kembali, akan tetapi tosu
itu cukup lihai dan dapat melarikan Bouw Kongcu," demikian Hongbacu mengakhiri laporannya.
"Ah, saya tahu siapa itu Ouw-yang Sianjin!" seru Hwa Hwa Hoatsu tokoh Pek-lian-kauw.
"Dia masih mempunyai perhitungan yang harus dibayar dengan
nyawanya.
Dialah yang menggagalkan rombongan kami sehingga Leng Kok Ho-siang dan beberapa orang tokoh Pek-lian-kauw terbunuh. Sekarang dia malah menculik putera Paduka, Pangeran. Orang itu berbahaya bagi kita semua dan harus dibunuh!"
Pangeran Bouw Ji Kong marah sekali dan dia mengerahkan anak buahnya untuk mencari puteranya yang kabarnya diculik dan dilarikan oleh Ouw-yang Sianjin. Namun semua usahanya sia-sia. Bouw Cu An dan Ouw-yang Sianjin tak dapat ditemukan, lenyap tanpa meninggalkan bekas.
Sementara itu, sesuai dengan rencana yang sudah diatur oleh persekutuan itu, Pangeran Bouw Ji Kong berusaha melakukan pendekatan kepada para pejabat sipil dan militer yang setia kepada Kaisar dan menta'ati menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku
Cing.
Dia berusaha untuk membujuk mereka dan me manas-manasi hati mereka dengan penggambaran betapa buruknya pemerintah itu di bawah Kaisar Wan Li yang sudah dipengaruhi dua orang pejabat tinggi itu.
Namun, usaha ini ternyata gagal.
Setelah kurang lebih setahun melakukan pendekatan dan bujukan,
hasilnya sedikit sekali. Hanya ada beberapa orang saja yang dapat terbujuk dan menerima ajakan Pangeran Bouw untuk bergabung dan mendukung pangeran itu.
Sebagian besar menolak dan tetap
setia kepada Kaisar dan dua orang pejabat tinggi itu.
Karena cara yang pertama gagal, maka dimulailali cara kedua,yaitu membunuh para pejabat yang setia kepada Kaisar.
Untuk pekerjaan ini, diserahkan kepada tiga orang sakti yang tinggal di
istana Pangeran Bouw Ji Kong, yaitu Hwa Hwa Hoat-su,Hongbacu, dan Tarmalan.
Bagaikan berlumba saja, tiga orang sakti itu dalam jangka waktu sebulan masing-masing telah membunuh dua orang pejabat tinggi.
Tentu saja kota raja menjadi gempar! Dalam waktu sebulan ada enam orang pembesar yang setia kepada kaisar telah terbunuh dan pembunuhnya sama sekali tidak meninggalkan jejak! Juga tidak ada seorang pun perajurit penjaga yang melihat Sipembunuh, bayangannya saja pun tidak tampak!
Kaisar Wan Li pun sempat panik mendengar laporan tentang terbunuhnya enam orang pejabat tinggi secara beruntun itu.
Kaisar segera memanggil dua orang pembantunya yang paling
diandalkan, yaitu Menteri Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang
Ku Cing.
Dengan tegas Kaisar Wan Li memerintahkan kepada mereka berdua untuk melacak dan menangkap pembunuh yang membuat resah para pembesar di kota raja.
Sebelumnya, dua orang pembesar ini memang sudah amat terkejut dan penasaran. Maka, mereka berdua sudah mendatangi rumah mereka yang terbunuh dan memeriksa sendiri keadaan mayat para pembesar yang terbunuh dalam kamar mereka itu.
Maka, setelah dipanggil kaisar dan menerima perintah yang mengandung teguran itu, keduanya lalu berunding di gedung tempat tinggal Menteri Yang Ting Ho.
Mereka berunding berdua saja dalam sebuah ruangan tertutup.
Dua orang pembantu Kaisar yang usianya sudah sekitar limapuluh
tahun itu duduk berhadapan dengan wajah muram.
"Chang Ciang-kun." kata Menteri Yang, "menurut dugaanku,
kiranya tidak salah lagi bahwa pembunuh para pejabat tentulah
orang Pek-lian-kauw. Mereka memang memiliki orang-orang sakti,dan bukan mustahil mereka datang mengacau sebagai pembalasan karena dulu gerakan mereka yang dipimpin Leng Kok Ho-siang itu telah gagal."
"Dugaanmu itu kiranya tidak meleset jauh, Yang Taijin," kata Panglima Chang yang bertubuh tinggi tegap dan tampak gagah dengan kumis dan jenggotnya yang pendek terpelihara rapi dan pakaiannya sebagai seorang panglima tinggi. "Memang agaknya
hanya Pek-lian-kauw saja yang menjadi musuh besar kita di dalam
negeri. Akan tetapi ada dua hal yang amat menarik hatiku.
Pertama, enam orang yang terbunuh itu merupakan pejabatpejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar dan merupakan pejabat yang mendukung kita berdua dalam kesetiaan kita kepada pemerintah. Dua orang pejabat sipil itu adalah pejabat yang baik dan enam orang pejabat militer itu adalah bawahan dan pembantu-pembantuku."
"Engkau benar, Ciang-kun. Dua orang itupun merupakan pembantumu yang setia. Jadi kalau begitu, pembunuh itu sengaja hendak melemahkan kita dengan jalan membunuhi para pembantu kita?"
"Tentu saja yang mereka incar adalah Sribaginda Kaisar. Karena kita berdua yang memperkuat kedudukan Sribaginda Kaisar, maka kitalah yang lebih dulu diserang. Bawahan kita yang setia dibunuh untuk melemahkan kekuatan kita sehingga mereka akan mudah untuk menujukan serangan mereka dengan sasaran utama, yaitu Sribaginda Kaisar," kata Panglima Chang.
Menteri Yang Ting Ho mengerutkan alisnya dan mengangguk-anggukkan kepalanya. Untuk urusan serang menyerang dan menggunakan siasat menyerang pihak lawan dengan berbagai akal dan cara tentu saja merupakan keahlian Panglima Chang.
"Agaknya engkau benar, Ciang-kun.
Akan tetapi hal kedua apakah yang menarik hatimu?"
"Taijin, ketika kita memeriksa keadaan jenazah enam orang korban
itu aku melihat keanehan."
"Keanehan" Aku hanya melihat bahwa mereka dibunuh secara
kejam sekali." "Aku memperhatikan penyebab kematian mereka, Taijin.
Ada tiga macam sebab kematian mereka, dan masing-masing dua orang mati dengan cara yang sama, berbeda dengan yang lain."
"Aku tidak melihat hal itu, Ciang-kun. Aku hanya melihat bahwa mereka tewas dalam keadaan mengerikan, ada yang lehernya putus, kepalanya remuk, dadanya luka menembus punggung......"
"Nah, itulah Taijin! Dua orang di antara mereka tewas dengan leher
terpenggal. Agaknya yang memenggal leher mereka menggunakan senjata yang amat tajam dan berat sehingga leher mereka itu putus terbabat dengan sempurna. Dua orang lagi mati dengan kepala mereka remuk, padahal tidak tampak terluka.
Hal ini menunjukkan bahwa mereka berdua menerima pukulan dengan
senjata lunak yang tidak meninggalkan bekas namun dapat
menghancurkan, membuktikan bahwa pelakunya memiliki sinkang yang amat kuat. Adapun dua orang lagi mati dengan dada terluka dan menembus punggung. Luarnya bundar menandakan bahwa mereka berdua tentu ditusuk senjata yang kecil, mungkin tombak atau tongkat, akan tetapi jelas bukan pedang atau golok."
"Hemm, jadi maksudmu, mereka berenam itu dibunuh oleh tiga
orang pembunuh yang memiliki keahlian berbeda?"
"Kesimpulannya begitulah, Taijin. Mereka tentu tiga orang dan
mereka memiliki kepandaian tinggi, juga mereka kejam dan berbahaya sekali." "Hemm, kalau begitu, bagaimana kita harus menghadapi mereka,Ciang-kun. Kukira engkaulah yang paling tepat untuk menanggulangi bahaya ini.
Aku sendiri akan menasihati
Sribaginda Kaisar untuk melipat gandakan pasukan pengawal
yang kuat dan pilihan agar setiap saat Sribaginda dilindungi dengan ketat."
"Memang sebaiknya begitu, Taijin. Dan lebih penting pula,sebaiknya Sribaginda memanggil semua pejabat tinggi mengadakan persidangan agar terdapat lebih banyak pasukan untuk menjaga keselamatan kerajaan."
"Baik, aku akan mengemukakan hal itu kepada Sribaginda Kaisar,"
kata Menteri Yang. "Ya, dan aku akan diam-diam secara rahasia menghubungi para pendekar yang setia kepada kerajaan untuk membantu. Karena pihak musuh juga menggunakan orang-orang sakti yang
dirahasiakan, maka aku juga akan mencari pendekar-pendekar
yang akan menghadapi mereka secara rahasia pula."
Menteri Yang dan Jenderal atau Panglima Chang telah bersepakat
untuk menghadapi serangan yang membunuh para rekan mereka.
Panglima Chang mengerahkan pasukan khusus yang diperintahkan untuk melakukan penjagaan kepada para pejabat tinggi yang setia kepada kaisar.
Beberapa hari kemudian, setelah mendapat laporan dan anjuran
Menteri Yang Ting Ho, Kaisar Wan Li mengundang para pejabat tinggi untuk datang menghadap dan mengadakan persidangan untuk membahas peristiwa yang menggegerkan itu.
Setelah Kaisar Wan Li secara singkat menceritakan tentang pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang terkenal setia, dia berkata.
"Menurut pendapat kami, pelakunya tentulah orang-orang yang menentang pemerintah dan hendak melemahkan dan membikin kacau para pejabat pemerintah. Dan mereka yang memusuhi pemerintah pada saat ini adalah golongan pemberontak Pek-liankauw dan tentu saja bangsa Mancu yang kini telah menyusun
kekuatan di utara.
Mungkin juga ada suku-suku di luar daerah kita yang dapat dihasut mereka. Kita harus siap dan berusaha
sekuatnya untuk membekuk pembunuh itu agar suasana menjadi
tenang dan tenteram kembali."
Setelah berhenti sejenak dan memandang kepada para pejabat itu,
Kaisar Wan Li melanjutkan. "Karena urusan ini teramat penting dan
berbahaya, maka kami telah menyerahkan penanganannya
kepada Panglima Chang Ku Cing. Bagaimana pendapat kalian"
Apakah ada yang mengajukan usul yang baik?"
Pangeran Bouw Ji Kong membungkuk dengan hormat sambil bangkit berdiri dari kursinya. "Kakanda Kaisar yang mulia. Kalau menurut perkiraan hamba, pemberontak Pek-lian-kauw maupun para suku bangsa tidak akan berani melakukan kejahatan itu.
Peklian-kauw telah kita gagalkan dan hancurkan usaha mereka mengacau beberapa waktu yang lalu, maka kiranya mereka tidak akan berani gegabah mencobanya lagi. Juga hamba yang mengawasi hubungan antara kita dan para suku bangsa di luar daerah.
Hubungan itu cukup baik dan kiranya mereka tidak akan berani merusaknya dengan pembunuhan-pembunuhan itu.
Menurut hamba, ada pihak lain yang melakukannya."
Kaisar Wan Li memandang kepada adik tirinya itu. "Hemm, Adinda Pangeran, begitukah pendapatmu" Coba jelaskan, pihak lain mana dan siapa yang engkau maksudkan itu?"
"Yang Mulia, sudah bukan rahasia lagi bahwa di dunia kang-ouw terdapat orang-orang yang menamakan dirinya para pendekar.
Banyak di antara mereka itu yang merasa tidak puas dan membenci para pejabat.
Sudah banyak pejabat di kota raja maupun di daerah yang dihajar atau bahkan dibunuh para pendekar itu, dengan dalih bahwa pejabat itu tidak adil, sewenangwenang, atau memeras menindas rakyat. Hamba condong untuk menduga bahwa yang membunuh enam orang pejabat itu adalah para pendekar yang hamba maksudkan itu."
Kaisar Wan Li adalah seorang yang lemah dan selalu mengandalkan pendapat para pembantunya. Mendengar ucapan adik tirinya itu, timbul keraguan dalam hatinya dan dia memandang kepada para pejabat yang hadir.
"Kami rasakan apa yang dikemukakan Adinda Pangeran Bouw Ji Kong itu ada benarnya juga. Bagaimana kalau menurut pendapat
kalian?" Para pejabat tinggi diam saja. Mereka sudah mengenal siapa
Pangeran Bouw dan bagi para pejabat yang sudah menjadi anak buahnya tentu setuju dengan pendapat itu.
Adapun mereka yang tidak setuju, tidak berani mencela karena mereka merasa bahwa Pangeran Bouw tidak suka kepada mereka yang tidak mau dibujuk untuk menerima hadiah dan taat kepadanya.
Panglima besar Chang Ku Cing segera bangkit berdiri dan memberi hormat kepada Kaisar. "Hamba tidak dapat
membenarkan perkiraan Pangeran Bouw bahwa para pendekar yang melakukan pembunuhan itu. Para pendekar yang gagah perkasa, pembela kebenaran dan keadilan tidak akan melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat itu karena hamba mengenal betul siapa mereka.
"Mereka adalah pejabat-pejabat yang setia kepada Paduka,mereka bersih, jujur dan adil. Tentu Paduka masih ingat betapa dahulu, setahun lebih yang lalu, ketika Pek-lian-kauw
mempunyai niat jahat untuk
mengacau dan Leng Kok Ho-siang sebagai wakil mereka menghadap Paduka, justeru para pendekar yang telah membantu pemerintah
menghancurkan usaha jahat mereka.
Hamba berani menanggung bahwa bukan para pendekar yang
melakukan pembunuhan-
pembunuhan itu, melainkan musuh-
musuh negara dan para
pemberontak."
Para pejabat yang setia kepada kaisar mengangguk-angguk membenarkan pendapat Panglima Chang ini. Adapun para pejabat yang telah menjadi pengikut Pangeran Bouw tidak ada yang berani membantah. Kaisar Wan Li menutup persidangan dan memberi tugas khusus kepada tiga pejabat penting.
Panglima Chang ditugaskan untuk
mencari dan menangkap pembunuh itu. Menteri Yang ditugaskan untuk menenteramkan suasana di antara para pejabat, dan Pangeran Bouw diberi tugas untuk melakukan penyelidikan apakah para suku bangsa di luar daerah tidak ada yang melakukan aksi yang mencurigakan, terutama dia ditugaskan untuk mengamati gerak-gerik bangsa Mancu dan memberi laporan kalau ada yang mencurigakan.
Para pejabat menanti sampai kaisar Wan Li mengundurkan diri dari
ruangan sidang, baru mereka kembali ke gedung masing-masing.
Pangeran Bouw cepat menghubungi tiga orang sakti yang bersembunyi di istananya dan menganjurkan mereka lebih baik untuk sementara menghentikan pembunuhan dan diam-diam meninggalkan kota raja untuk menghindar dari usaha Panglima Chang yang tentu akan mencari pembunuh itu dengan cermat.
Berbeda dengan Pangeran Bouw Ji Kong yang masih giat karena ambisius, sebaliknya Pangeran Sim Liok Ong yang merupakan saudara misan kaisar, tidak memegang kedudukan apa-apa, maka dia tidak ikut dipanggil dalam persidangan yang diadakan kaisar.
Akan tetapi dia dapat menduga bahwa Kaisar dan para pejabat
tinggi tentu gelisah dengan adanya pembunuhan-pembunuhan rahasia itu. Yang amat tertarik dengan terjadinya peristiwa pernbunuhan-pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi yang setia dan jujur adalah putera Pangeran Sim Liok Ong, yaitu Sim Tek Kun.
Sim Tek Kun yang berusia duapuluh empat tahun ini adalah murid Kun-lun-pai yang lihai dan terkenal di dunia kang-ouw sebagai Kun-lun Siauw-hiap (Pendekar Muda Kun-lun) yang selalu membela kebenaran dan keadilan sebagai seorang pendekar
gagah perkasa.
Juga isterinya adalah seorang pendekar wanita yang cantik jelita dan lihai, yaitu Ong Lian Hong.
Ong Lian Hong ini adalah puteri mendiang Pat-jiu Kiam-ong (Raja
Pedang Tangan Delapan) Ong Han Cu, dan ia menjadi sumoi (adik seperguruan) Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, murid mendiang ayahnya.
**********
Dulu, sekitar dua tahun yang lalu, Ong Lian Hong bersama Sim Tek Kun yang ketika itu belum menjadi suaminya,
dan Hwe-thian Mo-li, ia membantu Panglima Chang Ku Cing membasmi orang-orang Pek-lian-kauw yang mengacau kota raja.
Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong telah menikah sekitar satu setengah tahun yang lalu namun mereka belum dikaruniai anak.
Selama dua tahun ini, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong hidup bahagia dan penuh kedamaian karena mereka tidak lagi mencampuri urusan dunia persilatan. Mereka tinggal di gedung
Pangeran Sim Liok Ong yang tidak aktip dalam pemerintahan sehingga tidak pernah mendapatkan persoalan.
Akan tetapi,biarpun demikian,
mereka memperhatikan peristiwa-
peristiwa aneh yang terjadi di kota
raja, maka pembunuhan-
pembunuhan yang terjadi baru-baru ini membangkitkan perasaan
penasaran dan menarik perhatian mereka.
Jelas telah terjadi kejahatan dalam
kota raja dan mereka tentu saja tidak dapat membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut tanpa ikut menyelidiki dan memberantasnya atau menangkap pembunuhnya.
Pada suatu sore, suami isteri itu duduk di serambi bersama Pangeran Sim Liok Ong. Pangeran ini berusia sekitar empatpuluh delapan tahun dan masih tampak segar dan tampan dengan sikapnya yang lembut.
Mereka membicarakan tentang
pembunuhan itu. "Kalau menurut pendapat Ayah, mengapa enam orang pembesar itu dibunuh orang dan mengapa terjadi hal ini" Pertanda apakah ini, Ayah?" tanya Sim Tek Kun kepada ayahnya.
"Aku mengenal baik enam orang pejabat tinggi yang terbunuh itu.
Mereka semua adalah pejabat yang setia dan jujur.
Karena itu,melihat pembunuhan yang dilakukan secara diam-diam penuh rahasia itu, sangat boleh jadi bahwa orang yang mengatur pembunuhan itu sengaja hendak melemahkan kedudukan kaisar dengan membunuhi para pembesar yang setia. Kalau pembunuhan ini merupakan dendam pribadi, rasanya tidak mungkin secara berturut-turut enam orang pembesar dibunuh dan
mereka semua ternyata merupakan pembantu-pembantu setia dari
Sribaginda Kaisar!"
Sim Tek Kun dan isterinya, Ong Lian Hong, mengangguk-angguk setuju dengan pendapat pangeran itu. "Kalau enam orang pejabat tinggi itu terbunuh secara rahasia dan tidak ada yang mengetahui siapa pembunuh mereka, jelas bahwa dalang pembunuhan itu mengutus orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi untuk melakukan pembunuhan itu," kata Ong Lian Hong.
"Dugaanmu itu tentu tepat, Hong-moi. Dan kukira yang patut dicurigai adalah Pek-lian-kauw! Merekalah yang dulu mengacau di kota raja, dan memang Pek-lian-kauw mempunyai banyak orang lihai. Agaknya sekali ini pun pembunuhan itu dilakukan mereka untuk membikin kacau atau seperti dikatakan Ayah tadi, untuk
melemahkan pemerintah yang dipimpin Sribaginda Kaisar," kata
Sim Tek Kun.
Selagi mereka bercakap-cakap, terdengar derap kaki kuda dan roda kereta. Mereka semua memandang dan melihat sebuah kereta memasuki pekarangan gedung itu dan para penjaga di pintu pekarangan memberi hormat. Dari keretanya saja Pangeran Sim Liok Ong sudah mengenal siapa yang datang berkunjung.
"Panglima Chang Ku Cing yang datang!" katanya dan mereka bertiga segera bangkit dan menyambut di luar serambi.
Setelah kereta berhenti, benar saja yang keluar dari kereta adalah Panglima Chang Ku Cing yang berusia sekitar limapuluh tahun,bertubuh tinggi tegap dengan kumis dan jenggot pendek terpelihara rapi sehingga dia tampak gagah sekali dalam pakaian panglima yang serba gemerlapan.
Dia ditemani seorang pemuda gagah berusia sekitar duapuluh lima tahun.
Pangeran Sim, diikuti putera dan mantunya, memberi hormat dengan merangkap kedua tangan depan dada yang dibalas oleh Panglima Chang. Pangeran Sim Liok Ong berkata gembira.
"Selamat datang, Panglima Chang. Mari, silakan masuk, kami merasa gembira menyambut kunjunganmu."
"Terima kasih dan maafkan kalau saya mengganggu, Pangeran.
Saya datang untuk membicarakan sesuatu denganmu, terutama sekali dengan putera dan mantumu," kata panglima itu sambil memandang kepada Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong.
"Mari, silakan masuk dan kita bicara di dalam, Panglima!" kata Pangeran Sim dan mereka lalu memasuki ruangan tamu.
Lima orang itu duduk saling berhadapan mengelilingi sebuah meja
besar. Pangeran Sim lalu menutupkan pintu depan dan belakang dari ruangan itu, memesan kepada pelayan agar mereka jangan diganggu.
Tak seorang pun boleh memasuki ruangan sebelum dipanggil. "Saya kira Pangeran sudah dapat menduga kepentingan apa yang hendak saya bicarakan. Sebelumnya, perkenalkan dulu.
Pemuda ini adalah keponakan saya putera tunggal adik saya yang telah gugur dalam perang. Namanya adalah Chang Hong Bu dan dia telah lulus belajar ilmu silat di kuil Siauw-lim-si."
Pangeran Sim Liok Ong, putera dan mantunya itu memandang kepada pemuda itu penuh perhatian. Baru sekarang Pangeran Sim bertemu dengan pemuda itu bahkan baru sekarang dia mendengar bahwa panglima yang terkenal itu memiliki seorang keponakan yang gagah perkasa, murid Siauw-lim-pai.
Seorang pemuda berusia duapuluh lima tahun yang bertubuh tegap, berwajah tampan dan gagah sikapnya tenang dan wataknya pendiam, sinar matanya tajam berwibawa seperti mata pamannya.
Ketika diperkenalkan pemuda bernama Chang Hong Bu itu bangkit
dan memberi hormat dengan membungkuk kepada keluarga tuan
rumah. "Kami senang sekali dapat berkenalan dengan keponakanmu yang gagah, Panglima. Kalau kami tidak salah duga, tentu kedatangan
Panglima ini ada hubungannya dengan masalah yang tadi baru
saja kami bicarakan, yaitu masalah pembunuhan-pembunuhan yang terjadi di kota raja.
Benarkah?"
Panglima Chang tertawa dan menoleh kepada keponakannya.
"Ha-ha-ha! Kau dengar sendiri, Hong Bu! Tidak salah, bukan,keteranganku tadi, bahwa Pangeran Sim Liok Ong adalah seorang yang amat cerdik"
Baru saja kita datang beliau ini telah dapat menduga dengan tepat maksud kedatanganku. Tentu Pangeran telah mengetahui pula apa yang kami inginkan sehubungan dengan peristiwa itu, bukan?"
Pangeran Sim juga tersenyum. "Aih, Panglima. Saya dapat berbuat
apakah menghadapi urusan kekerasan ini" Tentu putera dan
mantuku lebih tepat untuk Panglima ajak membicarakannya."
Kembali panglima Chang tertawa dan memandang kepada keponakannya, seolah hendak membuktikan bahwa lagi-lagi pangeran itu telah dapat menebak dengan tepat.
"Memang benar, terus terang saja kami semua merasa penasaran dengan adanya peristiwa pembunuhan itu. Karena itu, saya
teringat akan puteramu Sim Tek Kun dan isterinya Ong Lian Hong yang dulu pernah membantu kami menghancurkan para tokoh Pek-lian-kauw yang mendatangkan kekacauan di kota raja.
Bagaimana pendapatmu tentang adanya pembunuhan-pembunuhan itu, nanda Tek kun?"
Sim Tek Kun menoleh kepada ayahnya lalu memandang kepada
Panglima Chang. "Seperti telah dikatakan Ayah tadi, Paman Panglima, ketika Paman datang, kami bertiga sedang membicarakan peristiwa itu.
Menurut pendapat kami bertiga,
pembunuhan-pembunuhan itu
sengaja dilakukan oleh pihak yang
memusuhi pemerintah. Yang dibunuh adalah pejabat-pejabat yang
setia kepada Sribaginda Kaisar, maka pembunuhan itu agaknya
dilakukan untuk mendatangkan kekacauan dan melemahkan
pemerintah.
Mengingat bahwa yang dulu memusuhi pemerintah adalah Pek-lian-kauw dan mengingat pula bahwa pembunuhan tentu dilakukan orang-orang yang lihai, maka kami menduga
bahwa yang melakukan adalah orang-orang Pek-lian-kauw."
Panglima Chang mengangguk-angguk. "Kami semua juga mempunyai dugaan seperti itu. Pek-lian-kauw atau bukan, yang melakukannya tentu mereka yang memusuhi pemerintah dan ingin melemahkan pemerintah dengan membunuhi para pejabat tinggi yang setia.
Perkara ini amat gawat sehingga Sribaginda Kaisar mengadakan rapat khusus dan menugaskan saya untuk mencari dan menangkap pembunuhnya.
"Setelah kami selidiki, kami berpendapat bahwa enam orang itu
dibunuh oleh tiga orang yang memiliki ilmu berbeda aliran. Hal ini
dibuktikan dengan cara tewasnya enam orang itu. Dua orang tewas
dengan kepala terpenggal, dua orang lagi tewas dengan dada tertusuk dan tembus sampai punggung, sedangkan yang dua orang lagi tewas dengan kepala hancur isinya tanpa luka di
luarnya.
"Kita berurusan dengan orang-orang yang tinggi sekali ilmu
kepandaiannya, oleh karena itu kami yang diberi tugas ingin minta bantuan para pendekar yang dulu juga membantu kamim enghadapi orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai.
Bagimana,nanda Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong, bersediakah ji-wi (Anda berdua) membantu kami?"
"Tentu saja kami siap membantu sekuat kemampuan kami, Paman
Panglima," kata Sim Tek Kun.
"Terima kasih, nanda Sim Tek Kun. Dengan bantuan nanda berdua isteri, kami semakin yakin bahwa akhirnya kita akan dapat mengetahui siapa dalang pembunuhan ini dan kalau kita beruntung, akan dapat menangkap pelaku-pelaku pembunuhan itu.
Akan tetapi kami teringat akan Hwe-thian Mo-li. Kalau saja kita dapat minta bantuannya, kiranya pekerjaan ini akan menjadi semakin mudah.
"Barangkali nanda Ong Lian Hong mengetahui, di mana tempat tinggal Hwe-thian Mo-li sekarang" Saya ingin mengutus keponakan kami Chang Hong Bu ini untuk menyampaikan
permintaan saya kepadanya untuk membantu."
Mendengar dan sinar mendengar Siang Lan pertanyaan ini, Ong Lian Hong mengerutkan alisnya matanya membayangkan kesedihan. Ia sudah
mendengar pengakuan suaminya bahwa Hwe-thian Mo-li Nyo dahulu jatuh cinta kepadanya.
Biarpun dia tidak membalas cinta Hwe-thian Mo-li namun dia merasa bahwa Nyo Siang Lan jatuh cinta kepadanya tanpa pernah menyatakannya dengan ucapan.
Mendengar ini Lian Hong baru menyadari mengapa sucinya itu
sengaja mempermainkan ia dan Tek kun yang telah ditunangkan kepadanya sejak dulu, membuat mereka saling bertanding dan saling mengerti bahwa mereka telah menjadi calon jodoh sejak dulu.
Dan mengapa sejak itu sucinya pergi dan tidak pernah menjumpainya atau memberi kabar! Kini, mendengar pertanyaan Panglima Chang, tentu saja ia teringat kepada Nyo Siang Lan dan merasa sedih.
"Paman Panglima, saya sendiri tidak pernah bertemu atau mendengar berita tentang enci Nyo Siang Lan sejak kami bersama-sama menentang orang-orang Pek-lian-kauw itu. Saya pernah melakukan penyelidikan dan mendengar bahwa Ban-hwa-pang di
Ban-hwa-kok diserbu dan diambil-alih kekuasaan ketuanya oleh seorang gadis yang amat lihai. Mungkin sekali gadis itu adalah Enci Siang Lan, akan tetapi saya tidak berani memastikannya."
"Ban-hwa-kok (Lembah Selaksa Bunga)" Di manakah itu?"
Panglima Chang bertanya, penuh perhatian.
"Saya sendiri tidak tahu, Paman........"
"Nanti dulu!"
Tiba-tiba Sim Tek Kun memotong. "Lembah Selaksa Bunga" Saya pernah mendengar tentang itu, kalau tidak salah,dulu ada Ban-hwa-pang (Perkumpulan Selaksa Bunga) di lembah itu, dan pemimpinnya adalah seorang she (marga) Siangkoan yang
amat lihai yang dijului Si Tombak Maut.
Lembah Selaksa Bunga itu berada di puncak Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga), sebuah di antara bukit-bukit yang menjadi bagian dari Lu-liang-san."
"Bagus!" kata Panglima Chang girang. "Nah, Hong Bu, engkau sudah mendengar sendiri. Nanda Sim Tek Kun berdua isterinya kami minta bantuannya untuk ikut menyelidiki siapa yang melakukan pembunuhan itu, dan engkau pergilah ke Lu-liang-san,cari Lembah Selaksa Bunga dan temui Hwe-thian Mo-li Nyo Siang
Lan. Aku akan membuat Surat untuknya.
Nah, mari kita pulang,engkau cepat berkemas dan bawa suratku."
Panglima Chang lalu berpamit kepada Pangeran Sim, putera dan mantunya, dan bersama keponakannya kembali ke gedungnya.
Setelah panglima itu pergi, Sim Tek Kun dan Ong Lian Hong membuat persiapan untuk mulai melakukan penyelidikan tentang pembunuhan-pembunuhan itu.
Chang Hong Bu adalah seorang pemuda yang yatim piatu.
Ayahnya, adik Panglima Chang Ku Cing, juga seorang perwira tinggi yang gugur dalam perang melawan pemberontak di utara.
Ibunya juga meninggal dunia karena sakit sehingga Chang Hong Bu menjadi yatim piatu. Sejak kecil dia lalu ikut pamannya yaitu Panglima Chang Ku Cing. Melihat bakat anak itu baik sekali untuk ilmu silat, Panglima Chang lalu mengirimnya ke Siauw-lim-pai untuk belajar ilmu silat.
Selama limabelas tahun, sejak berusia sepuluh tahun, Hong Bu digembleng ilmu silat di kuil Siauw-lim-pai. Setelah tamat belajar dan usianya sudah duapuluh lima tahun, dia kembali ke rumah pamannya. Kini Hong Bu menerima tugas dari pamannya untuk mencari Hwethian Mo-li Nyo Siang Lan di pegunungan Lu-liang-san.
Tentu saja dia merasa senang sekali menerima tugas ini. Setelah tamat dari Siauw-lim-pai dia telah menjadi seorang pendekar muda perguruan silat yang amat terkenal itu.
Tentu saja dia ingin memanfaatkan semua pelajaran yang telah ditekuninya selama limabelas tahun itu untuk bertualang di dunia kang-ouw sebagai seorang pendekar yang menegakkan kebenaran dan keadilan.
Akan tetapi kini tugasnya yang utama
adalah menemukan Hwe-thian Mo-li agar dapat menyampaikan,surat undangan Panglima Chang. Dari gurunya, yaitu Ci kok Hosiang yang menjadi wakil Ketua Siauw-lim-pai, dia bukan hanya menerima pelajaran bu (ilmu silat), akan tetapi juga bun (ilmu sastra).
Hong Bu melakukan perjalanan cepat, menghindari segala gangguan dalam perjalanan karena dia harus lebih dulu menunaikan tugas yang diberikan pamannya.
Setelah tiba di kaki pegunungan Lu-liang-san, Hong Bu mulaib ertanya-tanya kepada para penduduk dusun-dusun di sekitarp egunungan itu di mana adanya Ban-hwa-san (Bukit Selaksa Bunga). Karena hari telah menjelang senja, dia melewatkan malam itu di sebuah dusun di kaki bukit, karena dia merasa tidak sopan
kalau berkunjung ke tempat tinggal orang pada malam hari.
Apalagi yang dicarinya adalah seorang gadis.
Dia bermalam di rumah seorang petani tua yang duda dan sudah
berusia limapuluh tahun lebih. Dari petani inilah dia mendengar
tentang Ban-hwa-pang.
Menurut kakek itu, dahulu, ketika Ban-hwa-pang masih merupakan
gerombolan yang dipimpin oleh Si Tombak Maut Siangkoan Leng,tidak ada orang berani tinggal di sekitar kaki bukit itu karena gerombolan Ban-hwa-pang itu terkenal bengis dan kejam.
Akan tetapi setelah gerombolan itu dibasmi oleh seorang wanita sakti
berjuluk Hwe-thian Mo-li, dibunuhi semua berikut ketuanya, lalu perkumpulan yang tetap bernama Ban-hwa-pang itu kini menjadi perkumpulan yang anggautanya terdiri dari wanita semua dan dipimpin oleh Hwe-thian Mo-li, perkumpulan itu berubah menjadi
baik dan tidak pernah ada anggauta perkumpulan itu melakukan gangguan terhadap dusun-dusun di sekitarnya.
Maka mulailah ada penduduk dusun yang pindah ke kaki Bukit Ban-hwa-san yang memiliki tanah subur untuk tinggal dan bertani di situ. Apalagi Ban-hwa-pang kini tidak memungut pajak kepada mereka, bahkan kalau ada yang berani mengganggu penduduk dusun Ban-hwa-pang akan turun tangan memberi hajaran kepada pengacau itu.
Mendengar keterangan ini, hati Chang Hong Bu merasa lega.
Jelaslah bahwa orang yang dicarinya, Hwe-thian Mo-li, biarpun julukannya mengerikan, yaitu Iblis Betina Terbang, ternyata bukan orang jahat.
Pada keesokan harinya setelah matahari naik cukup tinggi, barulah
Hong Bu mendaki bukit itu. Baru tiba di lereng tengah saja dia sudah merasa kagum bukan main karena lereng itu sudah penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna, dan harumnya semerbak sejak dari lereng pertama.
Ratusan ekor kupu-kupu dengan berbagai macam warna beterbangan seperti menari-nari di atas bunga-bunga itu.
Hwe-thian Mo-li setelah menguasai Ban-hwa-kok, dengan bantuan anak buahnya, memperindah lembah itu dengan menanam lebih banyak bunga lagi.
Akan tetapi ia membongkar dan melenyapkan semua perangkap dan jebakan yang dulu dipasang oleh Siangkoan Leng. Bahkan jalan menuju ke puncak juga ia suruh bangun sehingga pendakian ke puncak kini amat mudah dan menyenangkan.
Ketika Chang Hong Bu sedang menikmati pemandangan yang amat indah di lembah itu, tanpa terasa dia sudah mendaki sampai di lereng bawah puncak.
Para wanita anggauta Ban-hwa-pang
sedang sibuk bekerja di kebun sayur, maka tidak ada yang melihat
datangnya pemuda ini. Ketika Hong Bu tiba di tanah datar di bawah pondok di mana terdapat sebuah beranda bercat merah yang indah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan di depannya telah berdiri
seorang laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh dua tahun,bertubuh sedang dan wajahnya tampan, sinar matanya tajam namun lembut.
Baru melihat cara orang itu muncul begitu saja Hong Bu sudah dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka dia cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
Apalagi yang dicarinya adalah seorang gadis.
Dia bermalam di rumah seorang petani tua yang duda dan sudah
berusia limapuluh tahun lebih. Dari petani inilah dia mendengar
tentang Ban-hwa-pang.
Menurut kakek itu, dahulu, ketika Ban-hwa-pang masih merupakan
gerombolan yang dipimpin oleh Si Tombak Maut Siangkoan Leng,tidak ada orang berani tinggal di sekitar kaki bukit itu karena gerombolan Ban-hwa-pang itu terkenal bengis dan kejam.
Akan tetapi setelah gerombolan itu dibasmi oleh seorang wanita sakti
berjuluk Hwe-thian Mo-li, dibunuhi semua berikut ketuanya, lalu perkumpulan yang tetap bernama Ban-hwa-pang itu kini menjadi perkumpulan yang anggautanya terdiri dari wanita semua dan dipimpin oleh Hwe-thian Mo-li, perkumpulan itu berubah menjadi
baik dan tidak pernah ada anggauta perkumpulan itu melakukan gangguan terhadap dusun-dusun di sekitarnya.
Maka mulailah ada penduduk dusun yang pindah ke kaki Bukit Ban-hwa-san yang memiliki tanah subur untuk tinggal dan bertani di situ. Apalagi Ban-hwa-pang kini tidak memungut pajak kepada mereka, bahkan kalau ada yang berani mengganggu penduduk dusun Ban-hwa-pang akan turun tangan memberi hajaran kepada pengacau itu.
Mendengar keterangan ini, hati Chang Hong Bu merasa lega.
Jelaslah bahwa orang yang dicarinya, Hwe-thian Mo-li, biarpun julukannya mengerikan, yaitu Iblis Betina Terbang, ternyata bukan orang jahat.
Pada keesokan harinya setelah matahari naik cukup tinggi, barulah
Hong Bu mendaki bukit itu. Baru tiba di lereng tengah saja dia sudah merasa kagum bukan main karena lereng itu sudah penuh dengan tanaman bunga beraneka bentuk dan warna, dan harumnya semerbak sejak dari lereng pertama.
Ratusan ekor kupu-kupu dengan berbagai macam warna beterbangan seperti menari-nari di atas bunga-bunga itu.
Hwe-thian Mo-li setelah menguasai Ban-hwa-kok, dengan bantuan anak buahnya, memperindah lembah itu dengan menanam lebih banyak bunga lagi.
Akan tetapi ia membongkar dan melenyapkan semua perangkap dan jebakan yang dulu dipasang oleh Siangkoan Leng. Bahkan jalan menuju ke puncak juga ia suruh bangun sehingga pendakian ke puncak kini amat mudah dan menyenangkan.
Ketika Chang Hong Bu sedang menikmati pemandangan yang amat indah di lembah itu, tanpa terasa dia sudah mendaki sampai di lereng bawah puncak.
Para wanita anggauta Ban-hwa-pang
sedang sibuk bekerja di kebun sayur, maka tidak ada yang melihat
datangnya pemuda ini. Ketika Hong Bu tiba di tanah datar di bawah pondok di mana terdapat sebuah beranda bercat merah yang indah, tiba-tiba berkelebat sesosok bayangan putih dan di depannya telah berdiri
seorang laki-laki yang berusia sekitar empatpuluh dua tahun,bertubuh sedang dan wajahnya tampan, sinar matanya tajam namun lembut.
Baru melihat cara orang itu muncul begitu saja Hong Bu sudah dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan seorang yang memiliki kepandaian tinggi. Maka dia cepat memberi hormat dengan merangkap kedua tangan di depan dada.
Laki-laki itu adalah Sie Bun Liong atau yang mengaku bernama Bubeng-cu kepada Hwe-thian Mo-li.
Sebetulnya, Bu-beng-cu tidak tinggal di Lembah Selaksa Bunga. Bahkan dia tidak mau sampai terlihat oleh para anggauta Ban-hwa-pang karena dia khawatir kalau-kalau ada anggauta Ban-hwa-pang yang mengenalnya
biarpun ketika datang berkunjung kepada adik tirinya, dia datang dengan diam-diam.
Akan tetapi karena dia amat memperhatikan keadaan Hwe-thian Mo-li maka dia sering diam-diam mendatangi Lembah Selaksa Bunga untuk melihat-lihat kalau-kalau gadis yang menjadi pusat perhatiannya itu terancam bahaya dan membutuhkan pertolongannya.
Pada pagi hari itu, ketika dia berada di kaki Bukit Ban-hwa-san, dia melihat seorang pemuda mendaki bukit itu. Timbul kecurigaannya.
Dia tahu bahwa Hwe-thian Mo-li memiliki banyak musuh karena gadis pendekar ini biasanya bertindak amat keras terhadap orangorang jahat.
Bahkan adik tirinya, Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang, berikut semua anak buahnya telah dibunuh oleh Hwe-thian Mo-li. Maka kalau kini ada pemuda yang tampak gagah perkasa mendaki Banhwa-pang, dia menjadi curiga, mengira pemuda itu tentu memiliki maksud yang tidak baik.
Diam-diam dia membayangi Chang Hong Bu dan setelah Hong Bu benar-benar hendak ke puncak, setibanya
di lereng bawah puncak, Bu-beng-cu dengan cepat muncul dan menghadangnya. Di lain pihak, Chang Hong Bu ketika melihat ada seorang laki-laki muncul di situ, dia pun merasa curiga.
Menurut keterangan petani tadi, Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita dan tidak ada laki-laki boleh naik ke puncak atau jelasnya, tempat itu merupakan daerah terlarang bagi pria. Kini di sana ada seorang laki-laki, maka tentu saja dia pun merasa curiga.
Dengan sinar mata tajam penuh selidik Bu-beng-cu bertanya,
"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendaki Ban-hwasan?"
Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tadi memberi hormat karena orang itu lebih tua daripada dia dan orang itu kini tanpa membalas penghormatannya bertanya seperti menyelidik.
"Seingatku, menurut keterangan orang yang mengetahui, Banhwa-pang adalah perkumpulan wanita dan tidak ada pria yang boleh memasuki daerah lembah ini. Kalau yang menyambut kedatanganku dan menegurku seorang wanita, hal itu dapat kumengerti dan aku tentu akan menjelaskan maksud kunjunganku.
Akan tetapi yang muncul adalah seorang laki-laki, maka aku pun
kiranya berhak untuk bertanya, siapakah engkau dan mengapa
engkau seorang laki-laki berada di daerah perkumpulan wanita?"
kata Hong Bu sambil memandang tajam.
"Orang muda, engkau kutanya belum menjawab malah berbalik bertanya kepadaku. Siapa aku dan apa urusanku berada di sini
tidak ada sangkut pautnya denganmu. Nah, katakan siapa engkau dan apa maumu?" "Urusanku juga tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku datang untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li dan aku tidak mempunyai
urusan denganmu."
"Hemm, mau apa engkau mencari Hwe-thian Mo-li?"
"Bukan urusanmu!" kata Hong Bu marah.
"Kalau begitu, engkau tentu mempunyai niat buruk datang ke tempat ini!" Bu-beng-cu berseru.
"Mungkin engkau yang mempunyai niat buruk, bukan aku!" jawab Hong Bu. "Bocah sombong, cepat engkau pergi dari sini atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" kata Bu-beng-cu.
Hong Bu yang masih muda itu menjadi marah juga, dan kecurigaannya bertambah. "Engkau tidak berhak mengusirku dan kalau hendak menggunakan kekerasan, coba saja kalau engkau mampu!" Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong merasa ditantang.
Dia memang mencurigai kedatangan Hong Bu, dan ada sedikit rasa cemburu dihatinya. Pemuda itu tampan gagah dan masih muda, bukan tidak mungkin Hwe-thian Mo-li akan tertarik hatinya kalau bertemu
dengan pemuda ini, demikian bisikan hatinya yang cemburu!
"Hemm, bocah sombong, pergilah!" Bu-beng-cu mendorong dengan tangan kirinya ke arah Hong Bu. Dorongan mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi bukan untuk memukul melainkan untuk mendorong agar pemuda itu terdorong mundur, menjadi gentar dan pergi meninggalkan tempat itu.
Angin dorongan yang amat kuat menyambar ke arah Hong Bu.
Akan tetapi menghadapi serangan dorongan ini Hong Bu tidak menjadi gentar. Dia tidak mengelak, bahkan dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menyambut dorongan telapak tangan Bu-beng-cu. "Wuuuttt...... desss!!"
Bu-beng-cu terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu mampu menyambut dorongannya dengan tenaga yang cukup besar sehingga tubuh pemuda itu sama sekali tidak terdorong mundur, melainkan hanya tergetar, akan tetapi dia sendiri juga mengalami getaran yang kuat.
Ini membuktikan bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri! "Bagus! Kiranya engkau memiliki kepandaian" Pantas sikapmu begini sombong!" kata Bu-beng-cu.
"Nah, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!" Dia lalu mulai menyerang dan dua orang itu lalu berkelahi dengan seru.
Setelah bertanding belasan jurus, dengan kaget Bu-beng-cu mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai yang aseli dan kokoh kuat.
Ternyata pemuda itu seorang murid Siauw-lim-pai yang tingkat kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga mampu menandingi dan mengimbanginya!
Dia merasa kagum dan mulai hilang kecurigaannya. Dia tahu benar
bahwa murid Siauw-lim-pai biasanya berwatak gagah sebagai seorang pendekar dan rasanya tidak mungkin mempunyai niat jahat.
Pasti dia mempunyai urusan penting dengan Hwe-thian Mo-li dan bukan berniat tidak baik. Akan tetapi setelah mereka bertanding,Bu-beng-cu yang juga suka menguji ilmu silat orang lain, mulai tertarik dan ingin melanjutkan untuk melihat sampai di mana kehebatan pendekar muda Siauw-lim-pai ini.
Dia menyerang terus dan kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Setelah mereka bertanding selama limapuluh jurus, barulah tampak bahwa Hong Bu masih kalah kuat dan dia mulai mencurahkan kepandaiannya untuk bertahan dan melindungi dirinya.
Pertahanannya kokoh kuat dan sukar ditembus,merupakan ciri dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Diam-diam Bu-beng-cu menjadi semakin kagum dan dia mulai merasa suka kepada pemuda itu. Dalam keadaan terdesak,pemuda itu tidak mau mencabut pedangnya. Hal ini saja menunjukkan kegagahannya yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan pedangnya!
Seorang pemuda yang gagah perkasa! Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar bentakan
nyaring. "Penjahat dari mana berani mengacau di sini?" Sinar pedang berkilat menyambar ke arah Hong Bu.
Pemuda ini terkejut sekali.
Dia cepat melompat ke samping sambil mencabut pedangnya.
Kembali sinar kilat dari pedang di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar ke arah lehernya. Hong Bu mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar dan pedang Lui-kong-kiam ditangan Hwe-thian Mo-li terpental.
Sebelum kedua orang itu saling serang, Bu-beng-cu sudah melompat dan melerai. "Tahan pedang! Jangan berkelahi!!"
Karena Bu-beng-cu melompat di tengah-tengah, di antara mereka, maka baik Hwe-thian Mo-li maupun Hong Bu cepat melompat ke belakang dan menahan pedang mereka. Mereka kini berdiri saling pandang dan melihat bahwa yang menyerangnya dengan pedang secara hebat tadi adalah seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, Hong Bu terkejut.
"Maaf, apakah...... apakah...... Nona yang bernama Hwe-thian Moli......?"
Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. "Siapa engkau dan mengapa engkau mengacau di sini dan berkelahi dengan Paman Bu-bengbu?"
Bu-beng-cu segera berkata menengahi, "Nona, kurasa semua ini
hanya merupakan salah pengertian belaka. Pemuda ini bertemu denganku di sini dan kami sama-sama saling mencurigai.
Setelah bertanding, baru aku tahu bahwa dia ini murid Siauw-lim-pai yang tangguh dan aku tadi hanya ingin menguji kepandaiannya. Dia
datang untuk mencarimu, Hwe-thian Mo-li."
Mendengar ini, Hong Bu menyadari bahwa dia berhadapan dengan gadis yang dicarinya dan bahkan laki-laki gagah itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan agaknya masih keluarga dengan Hwe-thian Mo-li yang menyebutnya paman.
Dia cepat menyimpan pedangnya dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada mereka berdua.
"Saya Chang Hong Bu mohon maaf sebesarnya kepada Paman dan juga kepadamu, Nona. Seperti dikatakan Paman tadi, semua ini hanya merupakan kesalah pahaman belaka. Sayalah yang bersalah dan mohon maaf."
Hwe-thian Mo-li dan juga Bu-beng-cu merasa suka kepada pemuda ini yang ternyata selain gagah juga sikapnya sopan. Akan tetapi Nyo Siang Lan masih curiga karena belum tahu apa maksud kedatangan pemuda yang tidak dikenalnya itu ke Ban-hwa-san.
"Paman Bu-beng-cu tadi bilang bahwa engkau datang mencari aku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengenalmu. Ada urusan apakah engkau mencariku?" tanya Siang Lan sambil menatap tajam wajah pemuda itu dan ia pun menyimpan kembali
pedang Lui-kong-kiam ke dalam sarung pedangnya.
"Saya datang sebagai utusan Paman Panglima Chang Ku Cing dari kota raja untuk membicarakan urusan yang amat penting dan menyampaikan surat darinya kepadamu, Nona."
"Ah, jadi engkau adalah utusan dari panglima Chang Ku Cing" Dan engkau pun bermarga Chang, jadi......" kata Bu-beng-cu ragu.
"Saya adalah keponakan Panglima Chang Ku Cing," kata Hong Bu sederhana.
"Hwe-thian Mo-li, kalau begitu, dia ini membawa berita yang teramat penting. Maka, sudah sepatutnya kalau engkau membicarakan urusannya di Lembah Selaksa Bunga.
Aku masih mempunyai urusan lain, maafkan, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu perkelebat dan cepat menuruni lereng itu.
Hong Bu memandang dengan kagum sekali.
"Bukan main lihainya Paman itu," katanya. "Kalau tadi dia bersungguh-sungguh dan tidak banyak mengalah, tentu aku sudah dikalahkannya." "Dia itu Paman Bu-beng-cu...... sahabat baik kami.
Marilah, Chang Kongcu (Tuan Muda Chang), silakan ke puncak, kita bicara disana." "Baik, Nyo Siocia (Nona Nyo)," kata Hong Bu.
Siang Lan berhenti melangkah dan memandang pemuda itu dengan heran. "Engkau mengenal namaku?"
"Tentu saja, Nona. Namamu Nyo Siang Lan, bukan" Paman Panglima yang memberitahu dan beliau mengetahui namamu dari isteri Saudara Sim Tek Kun."
"Ah, Lian Hong......" Siang Lan berseru. "Kongcu, bagaimana keadaan adikku Ong Lian Hong?"
"Setahuku, mereka semua itu baik-baik saja.
Sebelum ke sini aku diajak Paman Panglima untuk mengunjungi mereka. Paman minta kepada mereka untuk membantu Paman melakukan penyelidikan,dan menanyakan alamatmu.
Setelah Paman diberitahu bahwa
mungkin engkau berada di sini, Paman lalu mengutus aku untuk
mencarimu di sini, Nona."
"Apakah mereka sudah mempunyai putera?"
"Setahuku belum, Nona," Hong Bu merasa heran melihat gadis itu
seolah tidak mempedulikan urusan yang dia bawa dari panglima Chang, melainkan sibuk bertanya tentang Ong Lian Hong dan suaminya. Tentu hubungannya dengan mereka itu baik sekali.
Setelah tiba di bangunan mungil di tengah perkampungan Banhwa-pang yang dipenuhi taman-taman bunga serba indah, Hong Bu dipersilakan duduk di sebuah ruangan terbuka di samping rumah Siang Lan.
Gadis itu sengaja menerima pemuda itu di ruangan terbuka sehingga tampak dari sekelilingnya karena ia
merasa tidak pantas mengadakan pertemuan dengan seorang pemuda asing di tempat tertutup.
Keharuman bunga semerbak memenuhi ruangan itu. Begitu duduk
berhadapan kembali Siang Lan menghujani pemuda itu pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Lian Hong dan suaminya!
Akhirnya, Hong Bu mendapat kesempatan untuk menyerahkan surat pamannya kepada Siang Lan. Gadis itu membuka surat dan membacanya. Kemudian ia meletakkan surat di atas meja, memandang kepada Hong Bu dan berkata.
"Chang Kongcu, Panglima Chang dalam suratnya minta bantuanku untuk ikut mencari pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi di kota raja. Dan dia menulis bahwa engkau dapat memberi penjelasan kepadaku tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja.
Sebetulnya, peristiwa penting apakah yang terjadi sehingga Chang Goan-swe (Jenderal Chang) sampai minta bantuanku?"
Hong Bu lalu bercerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu
dengan jelas.
"Pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi itu merupakan peristiwa gawat sehingga menarik perhatian Sribaginda sendiri. Paman Panglima mendapat tugas untuk
mencari dan menemukan pembunuh-pembunuh itu."
"Kenapa begitu penting dan apakah ada banyak pembunuh?"
"Menurut penyelidikan, enam orang yang terbunuh itu adalah para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar sehingga pembunuh ini berbau pemberontakan atau setidaknya ada usaha untuk melemahkan pemerintah maka para pejabat tinggi yang setia
dibunuh.
Menurut perkiraan, yang membunuh enam orang pejabat itu ada tiga orang karena kematian mereka dengan tiga cara yang berbeda." Pemuda itu lalu menceritakan secara rinci penyebab kematian enam orang itu. Dua orang mati dengan leher terpenggal, dua
orang dengan dada tertembus dan berlubang, sedangkan yang dua lagi mati dengan isi kepala hancur tanpa ada luka.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya.
Sebetulnya, Bu-beng-cu tidak tinggal di Lembah Selaksa Bunga. Bahkan dia tidak mau sampai terlihat oleh para anggauta Ban-hwa-pang karena dia khawatir kalau-kalau ada anggauta Ban-hwa-pang yang mengenalnya
biarpun ketika datang berkunjung kepada adik tirinya, dia datang dengan diam-diam.
Akan tetapi karena dia amat memperhatikan keadaan Hwe-thian Mo-li maka dia sering diam-diam mendatangi Lembah Selaksa Bunga untuk melihat-lihat kalau-kalau gadis yang menjadi pusat perhatiannya itu terancam bahaya dan membutuhkan pertolongannya.
Pada pagi hari itu, ketika dia berada di kaki Bukit Ban-hwa-san, dia melihat seorang pemuda mendaki bukit itu. Timbul kecurigaannya.
Dia tahu bahwa Hwe-thian Mo-li memiliki banyak musuh karena gadis pendekar ini biasanya bertindak amat keras terhadap orangorang jahat.
Bahkan adik tirinya, Siangkoan Leng, Ketua Ban-hwa-pang, berikut semua anak buahnya telah dibunuh oleh Hwe-thian Mo-li. Maka kalau kini ada pemuda yang tampak gagah perkasa mendaki Banhwa-pang, dia menjadi curiga, mengira pemuda itu tentu memiliki maksud yang tidak baik.
Diam-diam dia membayangi Chang Hong Bu dan setelah Hong Bu benar-benar hendak ke puncak, setibanya
di lereng bawah puncak, Bu-beng-cu dengan cepat muncul dan menghadangnya. Di lain pihak, Chang Hong Bu ketika melihat ada seorang laki-laki muncul di situ, dia pun merasa curiga.
Menurut keterangan petani tadi, Ban-hwa-pang kini merupakan perkumpulan wanita dan tidak ada laki-laki boleh naik ke puncak atau jelasnya, tempat itu merupakan daerah terlarang bagi pria. Kini di sana ada seorang laki-laki, maka tentu saja dia pun merasa curiga.
Dengan sinar mata tajam penuh selidik Bu-beng-cu bertanya,
"Siapakah engkau dan ada keperluan apakah mendaki Ban-hwasan?"
Hong Bu mengerutkan alisnya. Dia tadi memberi hormat karena orang itu lebih tua daripada dia dan orang itu kini tanpa membalas penghormatannya bertanya seperti menyelidik.
"Seingatku, menurut keterangan orang yang mengetahui, Banhwa-pang adalah perkumpulan wanita dan tidak ada pria yang boleh memasuki daerah lembah ini. Kalau yang menyambut kedatanganku dan menegurku seorang wanita, hal itu dapat kumengerti dan aku tentu akan menjelaskan maksud kunjunganku.
Akan tetapi yang muncul adalah seorang laki-laki, maka aku pun
kiranya berhak untuk bertanya, siapakah engkau dan mengapa
engkau seorang laki-laki berada di daerah perkumpulan wanita?"
kata Hong Bu sambil memandang tajam.
"Orang muda, engkau kutanya belum menjawab malah berbalik bertanya kepadaku. Siapa aku dan apa urusanku berada di sini
tidak ada sangkut pautnya denganmu. Nah, katakan siapa engkau dan apa maumu?" "Urusanku juga tidak ada sangkut pautnya denganmu. Aku datang untuk bertemu dengan Hwe-thian Mo-li dan aku tidak mempunyai
urusan denganmu."
"Hemm, mau apa engkau mencari Hwe-thian Mo-li?"
"Bukan urusanmu!" kata Hong Bu marah.
"Kalau begitu, engkau tentu mempunyai niat buruk datang ke tempat ini!" Bu-beng-cu berseru.
"Mungkin engkau yang mempunyai niat buruk, bukan aku!" jawab Hong Bu. "Bocah sombong, cepat engkau pergi dari sini atau terpaksa aku akan menggunakan kekerasan!" kata Bu-beng-cu.
Hong Bu yang masih muda itu menjadi marah juga, dan kecurigaannya bertambah. "Engkau tidak berhak mengusirku dan kalau hendak menggunakan kekerasan, coba saja kalau engkau mampu!" Bu-beng-cu atau Sie Bun Liong merasa ditantang.
Dia memang mencurigai kedatangan Hong Bu, dan ada sedikit rasa cemburu dihatinya. Pemuda itu tampan gagah dan masih muda, bukan tidak mungkin Hwe-thian Mo-li akan tertarik hatinya kalau bertemu
dengan pemuda ini, demikian bisikan hatinya yang cemburu!
"Hemm, bocah sombong, pergilah!" Bu-beng-cu mendorong dengan tangan kirinya ke arah Hong Bu. Dorongan mengandung sin-kang (tenaga sakti) yang amat kuat, akan tetapi bukan untuk memukul melainkan untuk mendorong agar pemuda itu terdorong mundur, menjadi gentar dan pergi meninggalkan tempat itu.
Angin dorongan yang amat kuat menyambar ke arah Hong Bu.
Akan tetapi menghadapi serangan dorongan ini Hong Bu tidak menjadi gentar. Dia tidak mengelak, bahkan dia lalu mengerahkan tenaga pada tangan kanannya dan menyambut dorongan telapak tangan Bu-beng-cu. "Wuuuttt...... desss!!"
Bu-beng-cu terkejut bukan main. Tidak disangkanya sama sekali bahwa pemuda itu mampu menyambut dorongannya dengan tenaga yang cukup besar sehingga tubuh pemuda itu sama sekali tidak terdorong mundur, melainkan hanya tergetar, akan tetapi dia sendiri juga mengalami getaran yang kuat.
Ini membuktikan bahwa pemuda itu memiliki sin-kang yang mampu mengimbangi kekuatannya sendiri! "Bagus! Kiranya engkau memiliki kepandaian" Pantas sikapmu begini sombong!" kata Bu-beng-cu.
"Nah, mari kita lihat siapa di antara kita yang lebih unggul!" Dia lalu mulai menyerang dan dua orang itu lalu berkelahi dengan seru.
Setelah bertanding belasan jurus, dengan kaget Bu-beng-cu mengenal ilmu silat Siauw-lim-pai yang aseli dan kokoh kuat.
Ternyata pemuda itu seorang murid Siauw-lim-pai yang tingkat kepandaiannya sudah sedemikian tingginya sehingga mampu menandingi dan mengimbanginya!
Dia merasa kagum dan mulai hilang kecurigaannya. Dia tahu benar
bahwa murid Siauw-lim-pai biasanya berwatak gagah sebagai seorang pendekar dan rasanya tidak mungkin mempunyai niat jahat.
Pasti dia mempunyai urusan penting dengan Hwe-thian Mo-li dan bukan berniat tidak baik. Akan tetapi setelah mereka bertanding,Bu-beng-cu yang juga suka menguji ilmu silat orang lain, mulai tertarik dan ingin melanjutkan untuk melihat sampai di mana kehebatan pendekar muda Siauw-lim-pai ini.
Dia menyerang terus dan kini dia mengerahkan seluruh tenaga dan mengeluarkan jurus-jurus yang paling ampuh.
Setelah mereka bertanding selama limapuluh jurus, barulah tampak bahwa Hong Bu masih kalah kuat dan dia mulai mencurahkan kepandaiannya untuk bertahan dan melindungi dirinya.
Pertahanannya kokoh kuat dan sukar ditembus,merupakan ciri dari ilmu silat Siauw-lim-pai.
Diam-diam Bu-beng-cu menjadi semakin kagum dan dia mulai merasa suka kepada pemuda itu. Dalam keadaan terdesak,pemuda itu tidak mau mencabut pedangnya. Hal ini saja menunjukkan kegagahannya yang tidak mau melawan orang bertangan kosong dengan pedangnya!
Seorang pemuda yang gagah perkasa! Tiba-tiba ada bayangan orang berkelebat dan terdengar bentakan
nyaring. "Penjahat dari mana berani mengacau di sini?" Sinar pedang berkilat menyambar ke arah Hong Bu.
Pemuda ini terkejut sekali.
Dia cepat melompat ke samping sambil mencabut pedangnya.
Kembali sinar kilat dari pedang di tangan Hwe-thian Mo-li menyambar ke arah lehernya. Hong Bu mengerahkan tenaganya dan menangkis dengan pedangnya.
"Tranggg......!!" Bunga api berpijar dan pedang Lui-kong-kiam ditangan Hwe-thian Mo-li terpental.
Sebelum kedua orang itu saling serang, Bu-beng-cu sudah melompat dan melerai. "Tahan pedang! Jangan berkelahi!!"
Karena Bu-beng-cu melompat di tengah-tengah, di antara mereka, maka baik Hwe-thian Mo-li maupun Hong Bu cepat melompat ke belakang dan menahan pedang mereka. Mereka kini berdiri saling pandang dan melihat bahwa yang menyerangnya dengan pedang secara hebat tadi adalah seorang gadis yang cantik jelita dan gagah, Hong Bu terkejut.
"Maaf, apakah...... apakah...... Nona yang bernama Hwe-thian Moli......?"
Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya dan memandang pemuda itu dengan sinar mata penuh selidik. "Siapa engkau dan mengapa engkau mengacau di sini dan berkelahi dengan Paman Bu-bengbu?"
Bu-beng-cu segera berkata menengahi, "Nona, kurasa semua ini
hanya merupakan salah pengertian belaka. Pemuda ini bertemu denganku di sini dan kami sama-sama saling mencurigai.
Setelah bertanding, baru aku tahu bahwa dia ini murid Siauw-lim-pai yang tangguh dan aku tadi hanya ingin menguji kepandaiannya. Dia
datang untuk mencarimu, Hwe-thian Mo-li."
Mendengar ini, Hong Bu menyadari bahwa dia berhadapan dengan gadis yang dicarinya dan bahkan laki-laki gagah itu sama sekali bukan orang jahat, melainkan agaknya masih keluarga dengan Hwe-thian Mo-li yang menyebutnya paman.
Dia cepat menyimpan pedangnya dan mengangkat kedua tangan depan dada untuk memberi hormat kepada mereka berdua.
"Saya Chang Hong Bu mohon maaf sebesarnya kepada Paman dan juga kepadamu, Nona. Seperti dikatakan Paman tadi, semua ini hanya merupakan kesalah pahaman belaka. Sayalah yang bersalah dan mohon maaf."
Hwe-thian Mo-li dan juga Bu-beng-cu merasa suka kepada pemuda ini yang ternyata selain gagah juga sikapnya sopan. Akan tetapi Nyo Siang Lan masih curiga karena belum tahu apa maksud kedatangan pemuda yang tidak dikenalnya itu ke Ban-hwa-san.
"Paman Bu-beng-cu tadi bilang bahwa engkau datang mencari aku. Padahal aku sama sekali tidak pernah mengenalmu. Ada urusan apakah engkau mencariku?" tanya Siang Lan sambil menatap tajam wajah pemuda itu dan ia pun menyimpan kembali
pedang Lui-kong-kiam ke dalam sarung pedangnya.
"Saya datang sebagai utusan Paman Panglima Chang Ku Cing dari kota raja untuk membicarakan urusan yang amat penting dan menyampaikan surat darinya kepadamu, Nona."
"Ah, jadi engkau adalah utusan dari panglima Chang Ku Cing" Dan engkau pun bermarga Chang, jadi......" kata Bu-beng-cu ragu.
"Saya adalah keponakan Panglima Chang Ku Cing," kata Hong Bu sederhana.
"Hwe-thian Mo-li, kalau begitu, dia ini membawa berita yang teramat penting. Maka, sudah sepatutnya kalau engkau membicarakan urusannya di Lembah Selaksa Bunga.
Aku masih mempunyai urusan lain, maafkan, aku pergi dulu!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu perkelebat dan cepat menuruni lereng itu.
Hong Bu memandang dengan kagum sekali.
"Bukan main lihainya Paman itu," katanya. "Kalau tadi dia bersungguh-sungguh dan tidak banyak mengalah, tentu aku sudah dikalahkannya." "Dia itu Paman Bu-beng-cu...... sahabat baik kami.
Marilah, Chang Kongcu (Tuan Muda Chang), silakan ke puncak, kita bicara disana." "Baik, Nyo Siocia (Nona Nyo)," kata Hong Bu.
Siang Lan berhenti melangkah dan memandang pemuda itu dengan heran. "Engkau mengenal namaku?"
"Tentu saja, Nona. Namamu Nyo Siang Lan, bukan" Paman Panglima yang memberitahu dan beliau mengetahui namamu dari isteri Saudara Sim Tek Kun."
"Ah, Lian Hong......" Siang Lan berseru. "Kongcu, bagaimana keadaan adikku Ong Lian Hong?"
"Setahuku, mereka semua itu baik-baik saja.
Sebelum ke sini aku diajak Paman Panglima untuk mengunjungi mereka. Paman minta kepada mereka untuk membantu Paman melakukan penyelidikan,dan menanyakan alamatmu.
Setelah Paman diberitahu bahwa
mungkin engkau berada di sini, Paman lalu mengutus aku untuk
mencarimu di sini, Nona."
"Apakah mereka sudah mempunyai putera?"
"Setahuku belum, Nona," Hong Bu merasa heran melihat gadis itu
seolah tidak mempedulikan urusan yang dia bawa dari panglima Chang, melainkan sibuk bertanya tentang Ong Lian Hong dan suaminya. Tentu hubungannya dengan mereka itu baik sekali.
Setelah tiba di bangunan mungil di tengah perkampungan Banhwa-pang yang dipenuhi taman-taman bunga serba indah, Hong Bu dipersilakan duduk di sebuah ruangan terbuka di samping rumah Siang Lan.
Gadis itu sengaja menerima pemuda itu di ruangan terbuka sehingga tampak dari sekelilingnya karena ia
merasa tidak pantas mengadakan pertemuan dengan seorang pemuda asing di tempat tertutup.
Keharuman bunga semerbak memenuhi ruangan itu. Begitu duduk
berhadapan kembali Siang Lan menghujani pemuda itu pertanyaan-pertanyaan tentang keadaan Lian Hong dan suaminya!
Akhirnya, Hong Bu mendapat kesempatan untuk menyerahkan surat pamannya kepada Siang Lan. Gadis itu membuka surat dan membacanya. Kemudian ia meletakkan surat di atas meja, memandang kepada Hong Bu dan berkata.
"Chang Kongcu, Panglima Chang dalam suratnya minta bantuanku untuk ikut mencari pembunuh yang melakukan pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi di kota raja. Dan dia menulis bahwa engkau dapat memberi penjelasan kepadaku tentang semua peristiwa yang terjadi di kota raja.
Sebetulnya, peristiwa penting apakah yang terjadi sehingga Chang Goan-swe (Jenderal Chang) sampai minta bantuanku?"
Hong Bu lalu bercerita tentang pembunuhan-pembunuhan itu
dengan jelas.
"Pembunuhan terhadap enam orang pejabat tinggi itu merupakan peristiwa gawat sehingga menarik perhatian Sribaginda sendiri. Paman Panglima mendapat tugas untuk
mencari dan menemukan pembunuh-pembunuh itu."
"Kenapa begitu penting dan apakah ada banyak pembunuh?"
"Menurut penyelidikan, enam orang yang terbunuh itu adalah para pejabat tinggi yang setia kepada Sribaginda Kaisar sehingga pembunuh ini berbau pemberontakan atau setidaknya ada usaha untuk melemahkan pemerintah maka para pejabat tinggi yang setia
dibunuh.
Menurut perkiraan, yang membunuh enam orang pejabat itu ada tiga orang karena kematian mereka dengan tiga cara yang berbeda." Pemuda itu lalu menceritakan secara rinci penyebab kematian enam orang itu. Dua orang mati dengan leher terpenggal, dua
orang dengan dada tertembus dan berlubang, sedangkan yang dua lagi mati dengan isi kepala hancur tanpa ada luka.
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengerutkan alisnya.
"Hemm,kalau begitu pembunuhan-pembunuhan itu ditujukan kepada para pembantu setia Sribaginda Kaisar dan dilakukan oleh orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi.
Aku tidak akan merasa heran kalau kemudian diketahui bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah
Aku tidak akan merasa heran kalau kemudian diketahui bahwa pembunuh-pembunuh itu adalah
orang-orang Pek-lian-kauw. Perkumpulan itulah yang biasa
memberontak dan mereka memiliki banyak orang pandai."
"Paman Panglima juga berpendapat demikian, Nona. Akan tetapi kalau mereka itu orang-orang Pek-lian-kauw, bagaimana mereka dapat bergerak bebas di kota raja" Mereka tidak mungkin dapat bersembunyi di rumah-rumah penginapan karena semua sudah diperiksa dan digeledah."
Tiba-tiba terdengar suara gaduh, lalu mereka berdua dikejutkan suara yang bergema nyaring, datangnya dari arah pintu perkampungan itu. "Hwe-thian Mo-li! Keluarlah engkau untuk menerima pembalasan kami!" Dengan gerakan ringan dan cepat sekali Siang Lan melompat keluar, diikuti oleh Hong Bu.
Mereka segera melihat dua orang kakek berpakaian seperti pendeta yang diiringkan sepuluh orang anak buah mereka. Hwe-thian Mo-li terkejut karena ia mengenal dua orang kakek itu dengan baik. Mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, tokoh Pek-liankauw dan yang lain adalah Hwa Hwa Hoat-su yang merupakan datuk sakti dari Pek-lian-kauw.
Tentu saja sepuluh orang di belakang mereka itu adalah para anggauta Pek-lian-kauw. Melihat mereka, Hwe-thian Mo-li segera berseru kepada para wanita anggauta Ban-hwa-pang yang sudah berlarian menuju ke situ.
"Kalian semua mundur dan jangan turut campur!"
Ia melarang anak buahnya untuk ikut menghadapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw dan anak buahnya karena maklum bahwa anak buahnya yang belum lama ia latih ilmu silat, bukanlah tandingan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga kalau mereka maju melawan,sama saja dengan bunuh diri!
"Siapa mereka, Nona?" bisik Hong Bu yang belum banyak pengalaman. "Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw," jawab Siang Lan dan dengan tenang dan tabah ia melangkah maju menghampiri duabelas orang itu, diikuti Hong Bu yang terkejut dan waspada ketika mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-liankauw.
Kini dua orang muda itu sudah berhadapan dengan duabelas orang Pek-lian-kauw itu. Hwe-thian Mo-li segera menegur dengan suara nyaring. "Kiranya Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin! Hemm, kalian
berdua pemberontak-pemberontak Pek-lian-kauw, datang ke Banhwa-kok ini mau apakah?"
"Iblis betina Hwe-thian Mo-li! Dosamu telah bertumpuk-tumpuk!
Engkau telah membunuh Leng Kok Ho-siang yang menjadi utusan
kami, juga engkau telah membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu para keponakan murid kami, bahkan engkau telah membunuh Siangkoan Leng sahabat kami dan merampas Lembah Selaksa Bunga!
Dosamu terlalu besar maka kami datang untuk menghukummu. Serahkan nyawamu untuk menebus dosa-dosamu!" kata Hwa Hwa Hoat-su dengan marah.
Hwe-thian Mo-li tersenyum mengejek. "Pendeta palsu! Kalian ini memakai pakaian pendeta dan menggunakan nama pendeta,semua itu hanya seperti serigala berbulu domba! Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-kauw adalah pemberontak dan penjahat yang berkedok sebagai pejuang, menipu rakyat jelata"
"Kalian ini memutar balikkan fakta. Aku membunuh Leng Kok Hosiang karena dia jahat dan curang, membunuh guruku Pat-jiu Kiam-ong, juga dia menjadi utusan pemberontak Pek-lian-kauw.
Dia sudah patut dihukum mati sampai seratus kali!
"Aku memang membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu, orang-orang Pek-lian-kauw yang bejat akhlaknya itu. Mereka itu keponakan muridmu" Pantas! Mereka itu tukang pemerkosa
wanita dan sayang aku hanya dapat membunuh mereka satu kali!
Juga si keparat Siangkoan Leng, dia sudah sepantasnya dibunuh!
Dia itu sahabatmu, ya" Memang sudah sepatutnya, anjing bersahabat dengan serigala dan buaya!"
Hong Bu sendiri sampai terkejut mendengar ucapan Siang Lan yang demikian galak dan berani! Sungguh keberanian luar biasa,memaki-maki dua orang datuk Pek-lian-kauw seperti itu!
Dapat dibayangkan betapa panas dan marahnya hati dua orang datuk Pek-lian-kauw itu. Tak mereka sangka bahwa Hwe-thian Moli bukan saja lihai ilmu silatnya, ternyata mulutnya lebih lihai lagi berdebat sehingga mereka merasa tidak mampu menandingi ketajaman mulut yang pandai melontarkan kata-kata amat
menghina dan menyakitkan hati itu.
"Perempuan iblis keparat!" Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan kebutan itu terbang meluncur ke arah Siang Lan dan menyerang dengan dahsyatnya!
Namun, dengan tenang saja Siang Lan bergerak dan sinar pedangnya berkilat menangkis. Kebutan yang dikendalikan dengan kekuatan sihir itu mengelak, agaknya Hwa Hwa Hoat-su jerih untuk mengadu kebutannya dengan pedang lawan yang berkilat.
Kemudian, pendeta ahli sihir itu sudah menerjang ke depan, membantu kebutannya dengan serangan pedangnya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya sehingga pedang itu berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah leher Siang Lan.
Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis dan karena ia sudah mengenal kelihaian pendeta ini, ia pun menangkis dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya.
"Trangggg......!!" Bunga api yang besar berpijar menyilauan mata
dan Hwa Hwa Hoat-su terkejut bukan main.
Dia pernah bertanding melawan gadis ini dan kini dia mendapat
kenyataan bahwa tenaga sakti gadis ini agaknya jauh lebih kuat
dibandingkan sekitar satu-dua tahun yang lalu. Kemudian belum
hilang kagetnya karena pedangnya terpental dan tangannya tergetar hebat, Siang Lan sudah membalas dengan serangan-serangan yang bertubi, hebat dan dahsyat.
Biarpun Hwa Hwa Hoat-su kini menangkap kebutannya dengan tangan kiri, lalu melawan dengan sepasang senjatanya, namun tetap saja dia terdesak oleh Siang Lan yang mengamuk bagaikan seekor naga betina!!
Akan tetapi, Hwa Hwa Hoat-su adalah datuk Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia merupakan utusan dari Pek-lian-kauw pusat untuk memimpin gerakan Pek-lian-kauw yang diam-diam bersekutu dengan Pangeran Bouw Ji Kong di kota raja.
Maka tidak mudah bagi Siang Lan untuk mengalahkannya dan kini
keduanya saling serang dengan sengit dan mati-matian.
Melihat betapa Hwa Hwa Hoat-su belum dapat mendesak gadis itu,
Hoat Hwa Cin-jin segera mencabut siang-to (sepasang golok) dan melompat hendak mengeroyok.
Akan tetapi tiba-tiba Chang Hong
Bu melompat dan menghadapinya dengan pedang di tangan!
Hoat Hwa Cin-jin tadinya memandang rendah pemuda yang datang menyambut bersama Siang Lan. Dia mengira hanya Hwethian Mo-li saja yang merupakan lawan tangguh. Maka melihat pemuda itu kini berani menghadapinya dengan pedang di tangan,dia membentak.
"Bocah tolol, apakah engkau sudah bosan hidup berani menghadang Hoat Hwa Cin-jin?" Bentakannya ini mengandung tenaga sihir untuk menjatuhkan nyali lawan sehingga terdengar menggetar seperti auman seekor harimau.
Namun Hong Bu tersenyum. "Hoat Hwa Cin-jin, engkaulah yang tidak akan selamat karena kejahatanmu!" "Mampus kau!" bentak Hoat Hwa Cinjin yang cepat menyerang dengan sepasang goloknya.
Hong Bu mengelebatkan pedangnya menangkis lalu balas menyerang sehingga dua orang ini sudah berkelahi mati-matian,saling serang dengan hebat karena mereka mengeluarkan jurus-jurus maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Setelah lewat belasan jurus, Hoat Hwa Cin-jin merasa kecelik karena ternyata pemuda lawannya itu tangguh bukan main"
Hoat Hwa Cin-jin kini maklum bahwa dia dan rekannya menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan agaknya akan sukar untuk dapat mengalahkan, apalagi membunuh mereka.
Maka dia lalu memberi aba-aba kepada sepuluh orang anak buahnya.
Mendapat isyarat aba-aba ini, sepuluh orang itu lalu mencabut golok masing-masing dan mereka mulai maju mengeroyok. Lima orang mengeroyok Siang Lan dan lima orang lagi mengeroyok Hong Bu.
Setelah mereka mengeroyok, baru tahulah Siang Lan dan Hong Bu
bahwa sepuluh orang itu bukan anak buah Pek-lian-kauw biasa,melainkan orang-orang Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Gerakan mereka cepat, tenaga mereka juga kuat dan ilmu golok mereka lihai sekali.
Kini Siang Lan dan Hong Bu mulai terdesak. Siang Lan tidak berani menyuruh anak buahnya yang menonton dari jarak jauh untuk
mengeroyok, karena dara perkasa ini maklum bahwa anak buahnya masih terlalu lemah untuk bertanding melawan orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai itu.
Bantuan anak buahnya tidak ada gunanya baginya, bahkan akan mengambil banyak korban menewaskan para anak buahnya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan dengan nekat.
Demikian pula Hong Bu. Biarpun terdesak, pemuda ini memiliki
jurus-jurus pertahanan yang amat kokoh sehingga tidak mudah bagi para pengeroyok untuk melukai atau merobohkannya. Akan tetapi tentu saja sekarang dia tidak ada kesempatan untuk membalas serangan mereka yang datang bertubi-tubi itu.
Demikian juga dengan Siang Lan. Walaupun ia lebih kuat dan keadaannya tidak separah Hong Bu karena ia masih mampu membalas, namun tetap saja ia terdesak hebat.
Pada saat yang amat gawat bagi Siang Lan dan Hong Bu itu, tibatiba berkelebat bayangan putih dan Bu-beng-cu sudah berada di situ. Tangannya memegang sebatang ranting kayu dan dia menggunakan ranting itu untuk mengamuk.
Mula-mula dia menerjang ke arah para pengeroyok Siang Lan dan
dalam waktu beberapa jurus saja dia telah membuat lima orang anak buah Pek-lian-kauw itu terpaksa melepaskan golok karena tangan mereka terluka oleh tusukan ranting yang ternyata keras seperti baja!
Setelah membuat lima orang pengeroyok Siang Lan itu tidak mampu lagi mengeroyok, dia lalu menerjang ke arah para pengeroyok Hong Bu. Seperti juga tadi, rantingnya menyambar-nyambar dan lima orang itu berteriak kesakitan dan berlompatan menjauh" Melihat kejadian ini, dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi terkejut dan jerih, apalagi ketika mereka mengenal laki-laki yang membantu Hwe-thian Mo-li ini sebagai orang yang dulu juga
pernah membantu Iblis Betina Terbang itu ketika mereka berdua
menyerangnya.
Laki-laki yang bernama Bu-beng-cu! Maka, kedua orang itu maklum bahwa kalau mereka melanjutkan perkelahian,mereka berdua tentu akan celaka.
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu berseru nyaring dan mereka membanting dua buah benda peledak.
Terdengar dua kali ledakan
keras dan tampak asap hitam mengepul tebal memenuhi tempat itu. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Chang Hong Bu, dan Bu-beng-cu segera berlompatan menjauhi asap karena mereka maklum bahwa bukan tidak mungkin asap dari bahan peledak itu mengandung racun karena Pek-lian-kauw memang terkenal pandai menggunakan alat peledak dengan asap beracun.
Setelah asap menghilang, dua belas orang penyerang itu sudah menghilang. Siang Lan hendak mengejar bersama Hong Bu, akan
tetapi Bu-beng-cu mencegah mereka.
"Musuh yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar."
Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan sinar mata bersyukur.
Betapa baiknya orang ini, pikirnya. Bukan hanya mau melatih ilmu
silat kepadanya sehingga tingkatnya naik dengan cepat dan hal ini dapat ia rasakan ketika ia melawan Hwa Hwa Hoat-su tadi.
Dahulu, satu tahun setengah yang lalu, ketika ia melawan kakek datuk Pek-lian-kauw itu, ia merasa kewalahan dan terdesak. Akan tetapi tadi ia sama sekali tidak merasa berat walaupun juga tidak mudah mengalahkan kakek itu. Ia baru repot ketika datang lima orang yang mengeroyoknya.
Selain menggemblengnya dengan
ilmu silat tinggi, juga Bu-beng-cu beberapa kali menolong dan
menyelamatkannya dari bahaya!
"Paman, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Engkau selalu muncul pada saat yang tepat. Terima kasih, Paman!" Sinar mata gadis itu jelas membayangkan kekaguman dan rasa terima kasih yang besar.
Hong Bu juga kagum sekali kepada laki-laki itu. Ketika dia bertanding melawan Bu-beng-cu yang hendak mengujinya, dia juga sudah menduga bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang lihai,akan tetapi tidak disangkanya setelah benar-benar bertanding, tadi dia menyaksikan betapa hanya dengan sebatang ranting Bu-bengcu dapat membuat lima orang yang mengeroyoknya dan lima orang lagi yang mengeroyok Siang Lan, dalam beberapa gebrakan
saja mundur semua!
Padahal dia merasakan sendiri betapa lima orang itu juga cukup kuat dengan ilmu golok mereka yang lihai.
"Saya juga mengucapkan terima kasih, Paman Bu-beng-cu. Kalau tidak ada Paman yang datang menolong, mungkin saya sudah celaka di tangan para pengeroyok itu," kata Hong Bu sambil memberi hormat.
"Ah, tidak perlu berterima kasih, ilmu pedangmu sendiri juga cukup lihai," kata Bu-beng-cu sederhana. "Nah, sekarang aku mau turun dari sini menyelesaikan urusanku sendiri." Setetah berkata demikian, Bu-beng-cu membalikkan tubuhnya dan hendak
melangkah pergi.
"Nanti dulu, Paman!" kata Siang Lan. "Sore ini aku ingin mengundangmu makan di sini. Mari kita makan sama-sama,Paman, untuk merayakan kemenangan kita menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw tadi."
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih, Nona. Biar lain kali saja. Sekarang aku ingin memeriksa keadaan di Lembah Selaksa Bunga ini karena aku khawatir kalau-kalau pihak Pek-liankauw masih penasaran dan lain waktu akan datang untuk
membalas kekalahannya pada Ban-hwa-pang."
"Apa yang hendak Paman lakukan?"
"Sebuah tempat yang menjadi pusat perkumpulan merupakan markas atau asrama atau juga benteng. Harus diperkuat, kalau perlu dengan perangkap dan jebakan agar tidak mudah diserbu orang luar. Aku akan merencanakan dan membuatkan sarana pertahanan itu dan untuk itu aku harus membuat rencana dan gambarnya.
Nah, aku pergi dulu, Hwe?thian Mo-li!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu sudah berkelebat pergi.
Hong Bu memandang kagum, kemudian menghela napas dan berkata.
"Bukan main! Hebat sekali paman Bu-beng-cu itu. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, budiman, dan...... aneh."
"Memang Paman Bu-beng-cu memiliki watak yang aneh,Kongcu......"
"Ah, sungguh tidak enak mendengar engkau menyebutku kongcu,Nona.
Setelah kita berkenalan dan menjadi sahabat, bahkan tadi telah bersama menghadapi musuh dan mungkin juga akan bersama menghadapi musuh bila membantu Paman Panglima dikota raja, haruskah engkau bersikap sungkan dan menyebutku Kongcu?"
"Engkau ini aneh dan mau menang sendiri!" Siang Lan menegur akan tetapi sambil tersenyum manis. "Engkau sendiri menyebut aku Siocia (Nona), mengapa aku tidak boleh menyebutmu Kongcu (Tuan Muda)?"
"Baiklah, aku yang bersalah. Nah, kalau engkau tidak keberatan,aku akan menyebutmu moi-moi (Adik perempuan). Bagaimana
pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?"
Siang Lan tersenyum.
"Baik, dan aku akan menyebutmu Koko (Kakak laki-laki). Begitu kehendakmu, Bu-ko (Kakak Bu)?"
Hong Bu tersenyum dan jantungnya berdebar.
Sejak pertama dia sudah tertarik dan kagum sekali kepada Siang Lan. Kini dia semakin kagum dan timbul perasaan suka yang mendalam, yang
membuat jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan hal
seperti ini. Dalam usianya yang duapuluh lima tahun itu Hong Bu belum pernah bergaul dekat dengan wanita.
Akan tetapi dia maklum bahwa kehadirannya di situ merupakan hal yang melanggar kesopanan karena lembah Selaksa Bunga merupakan
perkampungan wanita. "Lan-moi, engkau baik sekali. Sekarang kukira sudah tiba saatnya bagiku untuk pulang ke kota raja. Akan tetapi aku memerlukan jawabanmu untuk kusampaikan kepada Paman Panglima."
"Oh, ya...... akan tetapi tunggu dulu, Bu-ko. Tadi aku mengajak
Paman Bu-beng-cu makan, dia tidak mau. Barang kali engkau mau
makan bersamaku sore ini" Pula, hari sudah sore, sebentar lagi malam tiba. Bagaimana kalau engkau bermalam di sini semalam,besok pagi-pagi baru turun bukit dan kembali ke kota raja"
Tentang jawabanku kepada Pamanmu, tentu saja aku suka membantunya dan aku pasti akan pergi ke sana mengunjungi adikku Ong Lian Hong." Hong Bu girang bukan main mendapat tawaran makan dan bermalam di situ. "Akan tetapi, Lan-moi...... apakah...... apakah aku tidak melanggar kesopanan kalau aku bermalam di Lembah Selaksa Bunga?" Siang Lan tersenyum dan hatinya merasa senang.
Pemuda ini selain tampan gagah dan ilmu silatnya tinggi, juga sopan. Jarang terdapat pemuda seperti ini.
"Aih, Bu-ko! Melanggar kesopanan atau tidak itu tergantung dan pikiran dan sikap seseorang. Bukankah begitu" Aku mengundangmu karena engkau tamuku, utusan Panglima Chang Ku Cing yang terhormat, karena hari hampir malam dan tidak
semestinya engkau turun bukit dalam keadaan gelap. Siapa berani menganggap kita melanggar kesopanan?"
"Terima kasih, Lan-moi. Engkau sungguh bijaksana dan baik sekali." Tanpa ragu lagi Hong Bu lalu mandi, makan, dan bermalam di situ.
Dia merasa senang karena para anggauta Ban-hwa-pang juga terdiri dari para wanita yang bersikap gagah dan sopan.
Dia tahu bahwa mereka belum memiliki ilmu silat yang tinggi karena belum lama Hwe-thian Mo-li memimpin mereka. Akan tetapi dia percaya bahwa perkumpulan Lembah Selaksa Bunga ini kelak akan menjadi perkumpulan yang besar.
Ketika dia diajak makan malam di ruangan makan, muncul seorangg adis manis yang kulitnya putih mulus, bertubuh tinggi ramping dengan sepasang mata lebar. Wajahnya yang bulat dan manis itu seolah mengandung kesedihan yang tersembunyi.
"Bu-ko, mari kuperkenalkan. Ini adalah adik angkatku, namanya
Kui Li Ai. Li Ai, ini adalah Kakak Chang Hong Bu, murid Siauw-limpai yang malam ini menjadi tamu kita."
Li Ai memberi hormat dengan gaya yang lembut dan sopan.
"Chang Taihiap (Pendekar Chang)," katanya sopan dan lirih.
"Kui Siocia, saya senang mendapat kehormatan berkenalan denganmu," kata Hong Bu yang merasa heran karena sikap gadis ini bukan seperti gadis gunung, melainkan penuh tata susila seperti gadis bangsawan!
"Aih, kalian tidak perlu bersungkan-sungkan," kata Siang Lan. "Buko, Li Ai ini adalah adik angkatku sendiri, sebut saja namanya. Dan Li Ai, tidak perlu menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada Buko, sebut saja Bu-ko seperti aku."
"Siauw-moi, (Adik Muda), maafkan kelancanganku, aku hanya menaati usul Lan-moi," kata Hong Bu.
Setelah mereka bertiga duduk, dua orang wanita anggauta Banhwa-pang segera menghidangkan makanan. Mereka makan minum tanpa banyak bicara karena bagaimanapun juga, Hong Bu merasa sungkan juga makan minum bersama dua orang gadis yang demikian cantik. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini dan membuatnya menjadi canggung sekali.
Dia melihat di bawah sinar lampu betapa Kui Li Ai memang cantik
manis dan lembut sekali. Akan tetapi tetap saja dia lebih kagum melihat Siang Lan yang lebih matang, juga penuh wibawa dan semangat. Dia merasa betapa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li!
Selesai makan, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengajak Kui Li Ai yang sekarang telah menjadi adik angkatnya dan Chang Hong Bu yang menjadi tamu mereka untuk duduk bercakap-cakap di serambi depan. Bulan purnama tampak menjenguk melalui jendela, menambah semarak cahaya lampu gantung di serambi itu.
Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar. "Ah, aku tadi lupa menceritakan keadaan kalian masing-masing.
Sekarang aku teringat bahwa sesungguhnya kalian berdua bukanlah asing sama sekali satu terhadap yang lain karena samasama berasal dari kota raja dan sama-sama menjadi keluarga perwira tinggi yang setia dan berjasa terhadap Kerajaan!
Bu-ko,ketahuilah bahwa adikku Li Ai ini adalah puteri dari mendiang Kui
Ciang-kun (Perwira Kui), seorang perwira yang gagah perkasa dan
setia, dan kalau tidak salah, dia dahulu merupakan tangan kanan
atau orang kepercayaan dari panglima Chang Ku Cing. Tentu engkau pernah mengenalnya."
Chang Hong Bu mengingat-ingat dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata. Diam-diam dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa tidak aneh kalau tadi dia melihat sikap gadis itu begitu anggun seperti sikap seorang gadis bangsawan. Kiranya puteri seorang perwira tinggi!
"Maaf, aku tidak pernah mendapat kehormatan mengenal Kui Ciang-kun seperti yang kusebutkan tadi, Lan-moi. Ketahuilah bahwa sejak berusia sepuluh tahun aku telah meninggalkan kota raja, oleh Paman aku dikirim ke Siauw-lim-pai untuk mempelajari ilmu selama limabelas tahun. Kemudian baru beberapa minggu aku kembali ke kota raja dan langsung menerima tugas mengunjungimu ini.
Akan tetapi aku merasa girang mendengar bahwa Adik Li Ai adalah puteri seorang perwira tinggi di kota raja."
Tentu saja dalam hatinya dia merasa heran mengapa puteri seorang perwira tinggi sekarang tinggal di Lembah Selaksa Bunga,menjadi adik angkat Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Akan tetapi keheranan ini tidak dia tanyakan karena dia khawatir akan menyinggung perasaan orang.
"Li Ai, ketahuilah bahwa Kakak Chang Hong Bu ini adalah keponakan dari panglima Chang Ku Cing."
Tiba-tiba muka gadis itu menjadi merah sekali dan hati Hong Bu terkejut bukan main ketika dia memandang, dia melihat betapa sepasang mata indah yang memandangnya itu mengeluarkan
kilatan sinar berapi penuh kemarahan dan kebencian!
Li Ai bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lan. "Enci Lan,maaf, aku masuk kamar dulu, kepalaku agak pusing." Tanpa menanti jawaban dan sama sekali tidak menoleh kepada Hong Bu,Li Ai lalu meninggalkan serambi itu dengan cepat.
Siang Lan menghela napas panjang. Hong Bu merasakan sesuatu yang tidak enak, maka dia segera bertanya. "Lan-moi, mungkin keliru penglihatanku, akan tetapi aku melihat agaknya Adik Li Ai berubah sikap dan menjadi marah ketika mendengar bahwa aku adalah keponakan Paman Panglima Chang.
Benarkah dugaanku itu?" Siang Lan nnenganggu-anggukan kepalanya, dan menghela napas lagi.
"Kasihan Adikku itu, aku tidak dapat menyalahkannya kalau ia bersikap seperti itu, walaupun tadinya aku mengira ia sudah mulai melupakannya. Ia agaknya masih menganggap bahwa Panglima Chang yang menyebabkan kematian ayahnya dan agaknya sukar ia untuk dapat melupakan hal itu, maka mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang, ia merasa tidak enak dan pergi."
Hong Bu terkejut sekali. "Paman Panglima menjadi penyebab kematian Kui Ciang-kun,ayah Adik Li Ai" Bagaimana ini" Bukankah engkau ceritakan tadi bahwa ayahnya adalah pembantu setia dari paman Panglima?"
"Riwayat Li Ai memang menyedihkan sekali, Bu-ko. Ibu kandungnya telah meninggal dunia dan ia hidup bersama ayahnya,Perwira Kui Seng, dan ibu tirinya yang galak dan tidak suka kepadanya. Kui Ciang-kun yang menjadi pembantu setia Panglima
Chang, setahun lebih yang lalu telah berjasa membasmi gerombolan Pek-lian-kauw sehingga tujuh orang tokoh Pek-liankauw dapat ditawan. Empat orang di antara mereka telah dihukum mati, akan tetapi yang tiga orang masih ditahan di penjara.
Pada suatu hari, Li Ai diculik orang-orang Pek-lian-kauw dan Kui Ciangkun dipaksa untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Kalau dia menolak, Li Ai akan dibunuh."
"Hemm, jahat orang-orang Pek-lian-kauw itu!" kata Hong Bu
gemas. "Karena sayang kepada puteri tunggalnya, Kui Ciang-kun terpaksa
membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Hal ini diketahui panglima Chang yang menjadi marah dan menuduh Kui Ciang-kun berkhianat.
Dengan malu dan sedih Kui Ciang-kun bunuh diri tanpa dapat dicegah lagi."
"Ahh......!" Hong Bu terkejut sekali.
"Sebelum mati, Kui Ciang-kun minta tolong padaku agar aku suka menolong Li Ai. Aku lalu pergi ke sarang Pek-lian-kauw di Liauwning dan di dalam perjalanan aku melihat Li Ai bersama dua orang Pek-lian-kauw. Aku segera menyerang dan dengan bantuan Paman Bu-beng-cu aku berhasil membunuh mereka berdua.
Aku ajak Li Ai pulang dan tentu saja ia terkejut dan sedih melihat ayahnya telah meninggal dunia. Ibu tirinya dengan galak menyalahkannya sehingga terpaksa aku menghajarnya. Li Ai lalu minta kepadaku untuk ikut ke sini karena ia tidak mau tinggal
dengan ibu tirinya yang galak dan membencinya.
Demikianlah, Buko, maka maafkan ia kalau tadi bersikap marah mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang yang ia anggap penyebab
kematian Ayahnya." Tentu saja Siang Lan tidak mau menceritakan bahwa Li Ai diperkosa oleh tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dibunuhnya itu.
Rahasia Li Ai takkan ia ceritakan kepada siapapun juga.
Hong Bu mengerutkan alisnya.
"Aduh, kasihan sekali Adik Li Ai! Pantas ia tadi memandangku seperti orang marah dan penuh kebencian!
Akan tetapi engkau......
ah, Lan-moi, engkau sungguh bijaksana dan mulia. Engkau telah
menyelamatkan Li Ai dan menampungnya di sini, bahkan
menjadikan adik angkatmu. Selain itu engkau tidak ikut marah kepada Paman Panglima Chang, sehingga engkau masih mau membantunya untuk mencari para pembunuh itu.
Ah, di dunia ini agaknya tidak akan mudah menemukan seorang gadis seperti engkau, Lan-moi." Siang Lan tersenyum. Bagaimana kerasnya hati Siang Lan, ia adalah seorang gadis, seorang wanita.
Mendengar pujian dari seorang pemuda yang tampan gagah, seorang pendekar budiman
seperti Hong Bu, jantungnya berdebar, perasaannya senang sekali, dan ia pun menjadi malu sehingga kedua pipinya yang halus mulus itu menjadi kemerahan.
"Ah, Bu-ko, engkau membuat aku malu. Jangan memuji terlalu berlebihan, Bu-ko. Aku hanya seorang gadis kang-ouw, sebatang kara di dunia ini, seorang gadis kasar dan liar!" Ia menghela napas panjang. "Aku bahkan dijuluki Iblis Betina Terbang!"
"Hemm, mungkin yang memberi julukan itu adalah para penjahat
yang pernah kau tentang dan kaubasmi, Lan-moi. Aku tidak
memujimu secara berlebihan. Engkau seorang gadis yang masih muda, engkau cantik jelita, engkau memiliki ilmu yang tinggi dan lihai sekali, dan di balik sikapmu yang keras itu engkau memiliki hati yang mulia, engkau bijaksana dan aku...... aku amat kagum padamu, Lan-moi."
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir ini" suara pemuda itu agak
gemetar dan pandang matanya tampak oleh Siang Lan demikian
mesra sehingga seketika itu juga gadis itu tahu benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta padanya!
Pujian pemuda itu benar-benar meresap dalam hati sanubari gadis
itu, terdengar begitu merdu bagaikan nyanyian dari sorga. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar pujian seorang laki-laki seindah itu.
Terdengar amat merdu dan indah karena ia tahu bahwa pujian itu diucapkan seorang pemuda yang baik budi, pujian yang keluar dari hati yang tulus, bukan seperti banyak pujian yang didengarnya dari mulut para pria yang mengucapkannya terdorong nafsu rendahnya. Pemuda ini mengucapkan pujian yang keluar dari hatinya, bukan sekedar merayu, melainkan muncul dari perasaan hati yang jatuh cinta! Betapa indahnya!
Akan tetapi, Siang Lan tak dapat menipu perasaan hatinya sendiri.
Ia memang merasa senang sekali, merasa bangga mendengar pujian itu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah serta baik budi ini, akan tetapi ia tidak merasakan cinta kasih seperti yang pernah ia rasakan terhadap Sim Tek Kun yang kini menjadi suami Ong Lian Hong!
Tentu saja sudah lama ia membuang perasaan ini dari lubuk hatinya dan menggantikan rasa cinta dari seorang wanita terhadap pria itu dengan rasa cinta persahabatan atau lebih dari itu, cinta persaudaraan karena Sim Tek Kun kini telah menjadi suami adik
angkatnya, menjadi adik iparnya!
Terhadap pemuda yang duduk di
depannya ini, Chang Hong Bu, ia hanya merasa kagum dan suka
untuk menjadi sahabat baik, bukan sebagai kekasih atau calon
suami.
Maka untuk menghilangkan suasana amat romantis yang mendebarkan hati setelah pemuda itu memuji-mujinya, Siang Lan tertawa lepas dengan gembira.
"He-he-he, Bu-ko! Sudahlah aku bisa mabok oleh pujian dan kepalaku menjadi besar sekali nanti! Sekarang, mari kita bicara tentang surat Paman Chang kepadaku. Kukira, tidak perlu aku memberi balasan surat karena yang menjadi utusan adalah engkau, keponakan Panglima Chang sendiri.
Besok pagi, kalau engkau pulang ke kota raja, tolong sampaikan jawabanku kepadanya bahwa aku siap untuk membantunya. Setelah aku
menyelesaikan urusan Ban-hwa-pang di sini, aku pasti akan pergi ke kota raja, menghadap Paman Panglima Chang dan sekalian mengunjungi adikku Lian Hong."
Malam itu, Hong Bu tidak dapat tidur, gelisah di dalam kamar yang disediakan untuknya. Akan tetapi sebaliknya, Siang Lan dapat tidur nyenyak. Di atas pembaringan lain di kamar Siang Lan, Li Ai juga tidak dapat pulas. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati, teringat akan kematian ayahnya yang disebabkan oleh Panglima Chang Ku Cing yang menuduhnya sebagai pengkhianat.
Biarpun sebelum tidur tadi Siang Lan telah menghiburnya dan mengatakan bahwa Panglima Chang hanya bertindak menurut hukum militer, dan Panglima itu merasa menyesal bahwa Kui Ciang-kun membunuh diri, namun hati Li Ai masih tetap tidak tenang dan ia gelisah di atas pembaringannya.
**********
Pada keesokan harinya, setelah dijamu makan pagi, Hong Bu meninggalkan Ban-hwa-pang, dan Siang Lan lalu menemui Bubeng-cu di tempat tinggal sementara pria itu untuk berlatih silat seperti biasa.
Selain berlatih silat, ia juga memperbincangkan dan merencanakan pembuatan perangkap dan jebakan di Lembah Selaksa Bunga untuk menjaga keselamatan Ban-hwa-pang dari serbuan musuh. Karena pembuatan jebakan itu harus dirahasia dari orang luar,maka pembangunannya dilakukan sepenuhnya oleh para wanita anggauta Ban-hwa-pang, dipimpin oleh Siang Lan dan Li Ai. Bubeng-cu sendiri tidak pernah muncul, dan kalaupun dia datang memeriksa, hal itu dilakukan pada malam hari atau sewaktu para anggauta Ban-hwa-pang sudah kembali ke perkampungan.
Dia memang tidak ingin banyak terlihat di Lembah Selaksa Bunga.
Li Ai yang cerdik, dapat mengatur pembangunan itu dari gambar yang dibuat oleh Bu-beng-cu. Alat-alatnya dibeli dari kota yang berada di kaki pegunungan Lu-liang-san.
Beberapa orang anggauta Ban-hwa-pang sengaja belajar membakar baja,
menempa dan membentuknya sesuai dengan yang digambar Bubeng-cu untuk dipasang dan diatur sebagai perangkap dan jebakan.
Hampir sebulan kemudian, setelah pembangunan taman yang
penuh jebakan itu berjalan lancar, Siang Lan lalu menyerahkan
pimpinan pekerjaan itu kepada Kui Li Ai dan ia minta kepada Bubeng-cu agar ikut mengawasinya secara diam-diam.
Setelah kesemuanya beres diaturnya, ia pun meninggalkan Lembah
Selaksa Bunga dan berangkat turun gunung menuju ke kota raja.
Beberapa hari kemudian, pada suatu hari menjelang tengah hari
Siang Lan berjalan seorang diri dalam sebuah hutan lebat.
Jalan umum yang memasuki hutan itu kasar berbatu-batu dan di situ
amat sepi. Siang Lan berjalan biasa, wajahnya cerah karena ia
gembira dan bersemangat membayangkan betapa ia akan
bertemu dengan Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun.
Ia dapat membayangkan betapa akan gembiranya Lian Hong kalau
bertemu dengannya. Ia pun tidak akan merasa canggung bertemu
Tek Kun karena bagaimanapun juga, ia belum pernah menyatakan
cintanya kepada Tek Kun.
Perasaan itu hanya terdapat di lubuk hatinya saja dan kini sudah hilang oleh kesadaran bahwa pemuda
itu telah menjadi suami Lian Hong dan betapa kedua orang itu
selain saling mengasihi juga bahkan sudah bertunangan sejak dulu.
Karena melangkah dengan pikiran melayang-layang, Siang Lan
kurang waspada sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi,
sedikitnya tigapuluh pasang mata mengamatinya. Mengamati
dengan kagum karena mata laki-laki mana yang tidak akan kagum
melihat gadis yang demikian cantik jelita berjalan seorang diri di
dalam hutan lebat itu"
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ketika itu berusia sekitar duapuluh
dua tahun dengan tubuh seorang gadis yang sudah mulai matang,
tingginya sedang, ramping dan denok dengan lekuk-lengkung yang
sempurna menggairahkan hati pria. Rambutnya yang hitam panjang dan berikal mayang itu digelung ke atas, dihias seekor kupu-kupu dari emas permata.
Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang halus
melingkar menambah kemanisan wajahnya yang jelita. Sepasang
matanya yang indah itu jeli, dengan sinar yang terkadang mencorong penuh wibawa. Hidungnya Mancung dan mulutnya memiliki bibir yang bentuknya menggairahkan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, yaitu Liu-kong-kiam (Pedang Kilat).
Tiba-tiba Siang Lan sadar dari lamunannya dan cepat ia berhenti
melangkah dan seluruh urat syarafnya menegang penuh
kewaspadaan karena ia mendengar suara gerakan banyak orang.
"Siapa di sana" Keluarlah kalian, tidak perlu mengintai seperti pengecut-pengecut!" bentaknya.
Terdengar suara tawa dan dari empat penjuru bermunculan sekitar
tigapuluh orang, dipimpin oleh dua orang yang membuat Siang Lan
terkejut akan tetapi juga marah sekali.
Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw dan Hoat Hwa Cin-jin tokoh besar cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning, musuh-musuh besarnya yang sebulan lalu menyerbu Lembah Selaksa Bunga dan dapat ia
usir bersama Chang Hong Bu, dibantu oleh Bu-beng-cu!
"Huh, kalian jahanam Pek-lian-kauw, setan-setan berjubah pendeta! Manusia-manusia pengecut, setelah kami kalahkan,sekarang hendak mengeroyokku dengan banyak orang! Jangan dikira aku, Hwe-thian Mo-li merasa takut!"
Setelah berkata demikian, dara sakti ini mencabut pedangnya dan
tampaklah kilat pedang itu menyilauan mata. Tigapuluh orang
anggauta Pek-lian-kauw itu gentar juga melihat ini karena mereka
sudah mendengar betapa sakti dan ganasnya Hwe-thian Mo-li!
Akan tetapi kembali Hwa Hwa Hoat-su tertawa dan suara tawanya
sekali ini terdengar aneh. Kemudian ternyata bahwa tawa ini merupakan isyarat kepada para anggauta Pek-lian-kauw karena mereka segera bergerak mengepung Siang Lan dan menumpuk kayu bakar lalu membakar tumpukan kayu itu di delapan penjuru!
Tigapuluh orang itu lalu berdoa, merupakan nyanyian yang aneh
dan suara mereka bergemuruh, mereka melangkah dan mengitari
Siang Lan sambil membawa sebatang obor bernyala.
Hwa Hwa Hoat-su berdiri dengan rambutnya yang panjang putih
itu terurai. Dia mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu
ke atas lalu membaca mantera.
Tigapuluh orang yang kini berlari
mengelilingi Siang Lan itu ketika tiba dekat Hwa Hwa Hoat-su,menyentuh ujung pedang dengan obor mereka. Tak lama kemudian ujung pedang itu pun terbakar dan bernyala!...
memberontak dan mereka memiliki banyak orang pandai."
"Paman Panglima juga berpendapat demikian, Nona. Akan tetapi kalau mereka itu orang-orang Pek-lian-kauw, bagaimana mereka dapat bergerak bebas di kota raja" Mereka tidak mungkin dapat bersembunyi di rumah-rumah penginapan karena semua sudah diperiksa dan digeledah."
Tiba-tiba terdengar suara gaduh, lalu mereka berdua dikejutkan suara yang bergema nyaring, datangnya dari arah pintu perkampungan itu. "Hwe-thian Mo-li! Keluarlah engkau untuk menerima pembalasan kami!" Dengan gerakan ringan dan cepat sekali Siang Lan melompat keluar, diikuti oleh Hong Bu.
Mereka segera melihat dua orang kakek berpakaian seperti pendeta yang diiringkan sepuluh orang anak buah mereka. Hwe-thian Mo-li terkejut karena ia mengenal dua orang kakek itu dengan baik. Mereka adalah Hoat Hwa Cin-jin, tokoh Pek-liankauw dan yang lain adalah Hwa Hwa Hoat-su yang merupakan datuk sakti dari Pek-lian-kauw.
Tentu saja sepuluh orang di belakang mereka itu adalah para anggauta Pek-lian-kauw. Melihat mereka, Hwe-thian Mo-li segera berseru kepada para wanita anggauta Ban-hwa-pang yang sudah berlarian menuju ke situ.
"Kalian semua mundur dan jangan turut campur!"
Ia melarang anak buahnya untuk ikut menghadapi dua orang tokoh Pek-lian-kauw dan anak buahnya karena maklum bahwa anak buahnya yang belum lama ia latih ilmu silat, bukanlah tandingan orang-orang Pek-lian-kauw sehingga kalau mereka maju melawan,sama saja dengan bunuh diri!
"Siapa mereka, Nona?" bisik Hong Bu yang belum banyak pengalaman. "Mereka adalah tokoh-tokoh Pek-lian-kauw," jawab Siang Lan dan dengan tenang dan tabah ia melangkah maju menghampiri duabelas orang itu, diikuti Hong Bu yang terkejut dan waspada ketika mendengar bahwa mereka itu adalah orang-orang Pek-liankauw.
Kini dua orang muda itu sudah berhadapan dengan duabelas orang Pek-lian-kauw itu. Hwe-thian Mo-li segera menegur dengan suara nyaring. "Kiranya Hwa Hwa Hoat-su dan Hoat Hwa Cin-jin! Hemm, kalian
berdua pemberontak-pemberontak Pek-lian-kauw, datang ke Banhwa-kok ini mau apakah?"
"Iblis betina Hwe-thian Mo-li! Dosamu telah bertumpuk-tumpuk!
Engkau telah membunuh Leng Kok Ho-siang yang menjadi utusan
kami, juga engkau telah membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu para keponakan murid kami, bahkan engkau telah membunuh Siangkoan Leng sahabat kami dan merampas Lembah Selaksa Bunga!
Dosamu terlalu besar maka kami datang untuk menghukummu. Serahkan nyawamu untuk menebus dosa-dosamu!" kata Hwa Hwa Hoat-su dengan marah.
Hwe-thian Mo-li tersenyum mengejek. "Pendeta palsu! Kalian ini memakai pakaian pendeta dan menggunakan nama pendeta,semua itu hanya seperti serigala berbulu domba! Siapa tidak tahu bahwa Pek-lian-kauw adalah pemberontak dan penjahat yang berkedok sebagai pejuang, menipu rakyat jelata"
"Kalian ini memutar balikkan fakta. Aku membunuh Leng Kok Hosiang karena dia jahat dan curang, membunuh guruku Pat-jiu Kiam-ong, juga dia menjadi utusan pemberontak Pek-lian-kauw.
Dia sudah patut dihukum mati sampai seratus kali!
"Aku memang membunuh Cia Kun Tosu dan Cin Kok Tosu, orang-orang Pek-lian-kauw yang bejat akhlaknya itu. Mereka itu keponakan muridmu" Pantas! Mereka itu tukang pemerkosa
wanita dan sayang aku hanya dapat membunuh mereka satu kali!
Juga si keparat Siangkoan Leng, dia sudah sepantasnya dibunuh!
Dia itu sahabatmu, ya" Memang sudah sepatutnya, anjing bersahabat dengan serigala dan buaya!"
Hong Bu sendiri sampai terkejut mendengar ucapan Siang Lan yang demikian galak dan berani! Sungguh keberanian luar biasa,memaki-maki dua orang datuk Pek-lian-kauw seperti itu!
Dapat dibayangkan betapa panas dan marahnya hati dua orang datuk Pek-lian-kauw itu. Tak mereka sangka bahwa Hwe-thian Moli bukan saja lihai ilmu silatnya, ternyata mulutnya lebih lihai lagi berdebat sehingga mereka merasa tidak mampu menandingi ketajaman mulut yang pandai melontarkan kata-kata amat
menghina dan menyakitkan hati itu.
"Perempuan iblis keparat!" Hwa Hwa Hoat-su melemparkan kebutannya ke atas dan kebutan itu terbang meluncur ke arah Siang Lan dan menyerang dengan dahsyatnya!
Namun, dengan tenang saja Siang Lan bergerak dan sinar pedangnya berkilat menangkis. Kebutan yang dikendalikan dengan kekuatan sihir itu mengelak, agaknya Hwa Hwa Hoat-su jerih untuk mengadu kebutannya dengan pedang lawan yang berkilat.
Kemudian, pendeta ahli sihir itu sudah menerjang ke depan, membantu kebutannya dengan serangan pedangnya yang dilakukan dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya sehingga pedang itu berubah menjadi sinar yang menyambar ke arah leher Siang Lan.
Gadis ini cepat memutar pedangnya menangkis dan karena ia sudah mengenal kelihaian pendeta ini, ia pun menangkis dengan pengerahan tenaga sakti sepenuhnya.
"Trangggg......!!" Bunga api yang besar berpijar menyilauan mata
dan Hwa Hwa Hoat-su terkejut bukan main.
Dia pernah bertanding melawan gadis ini dan kini dia mendapat
kenyataan bahwa tenaga sakti gadis ini agaknya jauh lebih kuat
dibandingkan sekitar satu-dua tahun yang lalu. Kemudian belum
hilang kagetnya karena pedangnya terpental dan tangannya tergetar hebat, Siang Lan sudah membalas dengan serangan-serangan yang bertubi, hebat dan dahsyat.
Biarpun Hwa Hwa Hoat-su kini menangkap kebutannya dengan tangan kiri, lalu melawan dengan sepasang senjatanya, namun tetap saja dia terdesak oleh Siang Lan yang mengamuk bagaikan seekor naga betina!!
Akan tetapi, Hwa Hwa Hoat-su adalah datuk Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi dan dia merupakan utusan dari Pek-lian-kauw pusat untuk memimpin gerakan Pek-lian-kauw yang diam-diam bersekutu dengan Pangeran Bouw Ji Kong di kota raja.
Maka tidak mudah bagi Siang Lan untuk mengalahkannya dan kini
keduanya saling serang dengan sengit dan mati-matian.
Melihat betapa Hwa Hwa Hoat-su belum dapat mendesak gadis itu,
Hoat Hwa Cin-jin segera mencabut siang-to (sepasang golok) dan melompat hendak mengeroyok.
Akan tetapi tiba-tiba Chang Hong
Bu melompat dan menghadapinya dengan pedang di tangan!
Hoat Hwa Cin-jin tadinya memandang rendah pemuda yang datang menyambut bersama Siang Lan. Dia mengira hanya Hwethian Mo-li saja yang merupakan lawan tangguh. Maka melihat pemuda itu kini berani menghadapinya dengan pedang di tangan,dia membentak.
"Bocah tolol, apakah engkau sudah bosan hidup berani menghadang Hoat Hwa Cin-jin?" Bentakannya ini mengandung tenaga sihir untuk menjatuhkan nyali lawan sehingga terdengar menggetar seperti auman seekor harimau.
Namun Hong Bu tersenyum. "Hoat Hwa Cin-jin, engkaulah yang tidak akan selamat karena kejahatanmu!" "Mampus kau!" bentak Hoat Hwa Cinjin yang cepat menyerang dengan sepasang goloknya.
Hong Bu mengelebatkan pedangnya menangkis lalu balas menyerang sehingga dua orang ini sudah berkelahi mati-matian,saling serang dengan hebat karena mereka mengeluarkan jurus-jurus maut yang amat berbahaya bagi lawan.
Setelah lewat belasan jurus, Hoat Hwa Cin-jin merasa kecelik karena ternyata pemuda lawannya itu tangguh bukan main"
Hoat Hwa Cin-jin kini maklum bahwa dia dan rekannya menghadapi lawan-lawan yang tangguh dan agaknya akan sukar untuk dapat mengalahkan, apalagi membunuh mereka.
Maka dia lalu memberi aba-aba kepada sepuluh orang anak buahnya.
Mendapat isyarat aba-aba ini, sepuluh orang itu lalu mencabut golok masing-masing dan mereka mulai maju mengeroyok. Lima orang mengeroyok Siang Lan dan lima orang lagi mengeroyok Hong Bu.
Setelah mereka mengeroyok, baru tahulah Siang Lan dan Hong Bu
bahwa sepuluh orang itu bukan anak buah Pek-lian-kauw biasa,melainkan orang-orang Pek-lian-kauw yang sudah memiliki tingkat kepandaian yang cukup tinggi. Gerakan mereka cepat, tenaga mereka juga kuat dan ilmu golok mereka lihai sekali.
Kini Siang Lan dan Hong Bu mulai terdesak. Siang Lan tidak berani menyuruh anak buahnya yang menonton dari jarak jauh untuk
mengeroyok, karena dara perkasa ini maklum bahwa anak buahnya masih terlalu lemah untuk bertanding melawan orang-orang Pek-lian-kauw yang lihai itu.
Bantuan anak buahnya tidak ada gunanya baginya, bahkan akan mengambil banyak korban menewaskan para anak buahnya. Maka tidak ada jalan lain baginya kecuali melakukan perlawanan dengan nekat.
Demikian pula Hong Bu. Biarpun terdesak, pemuda ini memiliki
jurus-jurus pertahanan yang amat kokoh sehingga tidak mudah bagi para pengeroyok untuk melukai atau merobohkannya. Akan tetapi tentu saja sekarang dia tidak ada kesempatan untuk membalas serangan mereka yang datang bertubi-tubi itu.
Demikian juga dengan Siang Lan. Walaupun ia lebih kuat dan keadaannya tidak separah Hong Bu karena ia masih mampu membalas, namun tetap saja ia terdesak hebat.
Pada saat yang amat gawat bagi Siang Lan dan Hong Bu itu, tibatiba berkelebat bayangan putih dan Bu-beng-cu sudah berada di situ. Tangannya memegang sebatang ranting kayu dan dia menggunakan ranting itu untuk mengamuk.
Mula-mula dia menerjang ke arah para pengeroyok Siang Lan dan
dalam waktu beberapa jurus saja dia telah membuat lima orang anak buah Pek-lian-kauw itu terpaksa melepaskan golok karena tangan mereka terluka oleh tusukan ranting yang ternyata keras seperti baja!
Setelah membuat lima orang pengeroyok Siang Lan itu tidak mampu lagi mengeroyok, dia lalu menerjang ke arah para pengeroyok Hong Bu. Seperti juga tadi, rantingnya menyambar-nyambar dan lima orang itu berteriak kesakitan dan berlompatan menjauh" Melihat kejadian ini, dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu menjadi terkejut dan jerih, apalagi ketika mereka mengenal laki-laki yang membantu Hwe-thian Mo-li ini sebagai orang yang dulu juga
pernah membantu Iblis Betina Terbang itu ketika mereka berdua
menyerangnya.
Laki-laki yang bernama Bu-beng-cu! Maka, kedua orang itu maklum bahwa kalau mereka melanjutkan perkelahian,mereka berdua tentu akan celaka.
Dua orang pendeta Pek-lian-kauw itu berseru nyaring dan mereka membanting dua buah benda peledak.
Terdengar dua kali ledakan
keras dan tampak asap hitam mengepul tebal memenuhi tempat itu. Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan, Chang Hong Bu, dan Bu-beng-cu segera berlompatan menjauhi asap karena mereka maklum bahwa bukan tidak mungkin asap dari bahan peledak itu mengandung racun karena Pek-lian-kauw memang terkenal pandai menggunakan alat peledak dengan asap beracun.
Setelah asap menghilang, dua belas orang penyerang itu sudah menghilang. Siang Lan hendak mengejar bersama Hong Bu, akan
tetapi Bu-beng-cu mencegah mereka.
"Musuh yang sudah kalah dan melarikan diri tidak perlu dikejar."
Siang Lan memandang Bu-beng-cu dengan sinar mata bersyukur.
Betapa baiknya orang ini, pikirnya. Bukan hanya mau melatih ilmu
silat kepadanya sehingga tingkatnya naik dengan cepat dan hal ini dapat ia rasakan ketika ia melawan Hwa Hwa Hoat-su tadi.
Dahulu, satu tahun setengah yang lalu, ketika ia melawan kakek datuk Pek-lian-kauw itu, ia merasa kewalahan dan terdesak. Akan tetapi tadi ia sama sekali tidak merasa berat walaupun juga tidak mudah mengalahkan kakek itu. Ia baru repot ketika datang lima orang yang mengeroyoknya.
Selain menggemblengnya dengan
ilmu silat tinggi, juga Bu-beng-cu beberapa kali menolong dan
menyelamatkannya dari bahaya!
"Paman, aku berterima kasih sekali atas pertolonganmu. Engkau selalu muncul pada saat yang tepat. Terima kasih, Paman!" Sinar mata gadis itu jelas membayangkan kekaguman dan rasa terima kasih yang besar.
Hong Bu juga kagum sekali kepada laki-laki itu. Ketika dia bertanding melawan Bu-beng-cu yang hendak mengujinya, dia juga sudah menduga bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang lihai,akan tetapi tidak disangkanya setelah benar-benar bertanding, tadi dia menyaksikan betapa hanya dengan sebatang ranting Bu-bengcu dapat membuat lima orang yang mengeroyoknya dan lima orang lagi yang mengeroyok Siang Lan, dalam beberapa gebrakan
saja mundur semua!
Padahal dia merasakan sendiri betapa lima orang itu juga cukup kuat dengan ilmu golok mereka yang lihai.
"Saya juga mengucapkan terima kasih, Paman Bu-beng-cu. Kalau tidak ada Paman yang datang menolong, mungkin saya sudah celaka di tangan para pengeroyok itu," kata Hong Bu sambil memberi hormat.
"Ah, tidak perlu berterima kasih, ilmu pedangmu sendiri juga cukup lihai," kata Bu-beng-cu sederhana. "Nah, sekarang aku mau turun dari sini menyelesaikan urusanku sendiri." Setetah berkata demikian, Bu-beng-cu membalikkan tubuhnya dan hendak
melangkah pergi.
"Nanti dulu, Paman!" kata Siang Lan. "Sore ini aku ingin mengundangmu makan di sini. Mari kita makan sama-sama,Paman, untuk merayakan kemenangan kita menghadapi orang-orang Pek-lian-kauw tadi."
Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya.
"Terima kasih, Nona. Biar lain kali saja. Sekarang aku ingin memeriksa keadaan di Lembah Selaksa Bunga ini karena aku khawatir kalau-kalau pihak Pek-liankauw masih penasaran dan lain waktu akan datang untuk
membalas kekalahannya pada Ban-hwa-pang."
"Apa yang hendak Paman lakukan?"
"Sebuah tempat yang menjadi pusat perkumpulan merupakan markas atau asrama atau juga benteng. Harus diperkuat, kalau perlu dengan perangkap dan jebakan agar tidak mudah diserbu orang luar. Aku akan merencanakan dan membuatkan sarana pertahanan itu dan untuk itu aku harus membuat rencana dan gambarnya.
Nah, aku pergi dulu, Hwe?thian Mo-li!" Setelah berkata demikian, Bu-beng-cu sudah berkelebat pergi.
Hong Bu memandang kagum, kemudian menghela napas dan berkata.
"Bukan main! Hebat sekali paman Bu-beng-cu itu. Dia seorang pendekar yang gagah perkasa, budiman, dan...... aneh."
"Memang Paman Bu-beng-cu memiliki watak yang aneh,Kongcu......"
"Ah, sungguh tidak enak mendengar engkau menyebutku kongcu,Nona.
Setelah kita berkenalan dan menjadi sahabat, bahkan tadi telah bersama menghadapi musuh dan mungkin juga akan bersama menghadapi musuh bila membantu Paman Panglima dikota raja, haruskah engkau bersikap sungkan dan menyebutku Kongcu?"
"Engkau ini aneh dan mau menang sendiri!" Siang Lan menegur akan tetapi sambil tersenyum manis. "Engkau sendiri menyebut aku Siocia (Nona), mengapa aku tidak boleh menyebutmu Kongcu (Tuan Muda)?"
"Baiklah, aku yang bersalah. Nah, kalau engkau tidak keberatan,aku akan menyebutmu moi-moi (Adik perempuan). Bagaimana
pendapatmu, Lan-moi (Adik Lan)?"
Siang Lan tersenyum.
"Baik, dan aku akan menyebutmu Koko (Kakak laki-laki). Begitu kehendakmu, Bu-ko (Kakak Bu)?"
Hong Bu tersenyum dan jantungnya berdebar.
Sejak pertama dia sudah tertarik dan kagum sekali kepada Siang Lan. Kini dia semakin kagum dan timbul perasaan suka yang mendalam, yang
membuat jantungnya berdebar. Belum pernah dia merasakan hal
seperti ini. Dalam usianya yang duapuluh lima tahun itu Hong Bu belum pernah bergaul dekat dengan wanita.
Akan tetapi dia maklum bahwa kehadirannya di situ merupakan hal yang melanggar kesopanan karena lembah Selaksa Bunga merupakan
perkampungan wanita. "Lan-moi, engkau baik sekali. Sekarang kukira sudah tiba saatnya bagiku untuk pulang ke kota raja. Akan tetapi aku memerlukan jawabanmu untuk kusampaikan kepada Paman Panglima."
"Oh, ya...... akan tetapi tunggu dulu, Bu-ko. Tadi aku mengajak
Paman Bu-beng-cu makan, dia tidak mau. Barang kali engkau mau
makan bersamaku sore ini" Pula, hari sudah sore, sebentar lagi malam tiba. Bagaimana kalau engkau bermalam di sini semalam,besok pagi-pagi baru turun bukit dan kembali ke kota raja"
Tentang jawabanku kepada Pamanmu, tentu saja aku suka membantunya dan aku pasti akan pergi ke sana mengunjungi adikku Ong Lian Hong." Hong Bu girang bukan main mendapat tawaran makan dan bermalam di situ. "Akan tetapi, Lan-moi...... apakah...... apakah aku tidak melanggar kesopanan kalau aku bermalam di Lembah Selaksa Bunga?" Siang Lan tersenyum dan hatinya merasa senang.
Pemuda ini selain tampan gagah dan ilmu silatnya tinggi, juga sopan. Jarang terdapat pemuda seperti ini.
"Aih, Bu-ko! Melanggar kesopanan atau tidak itu tergantung dan pikiran dan sikap seseorang. Bukankah begitu" Aku mengundangmu karena engkau tamuku, utusan Panglima Chang Ku Cing yang terhormat, karena hari hampir malam dan tidak
semestinya engkau turun bukit dalam keadaan gelap. Siapa berani menganggap kita melanggar kesopanan?"
"Terima kasih, Lan-moi. Engkau sungguh bijaksana dan baik sekali." Tanpa ragu lagi Hong Bu lalu mandi, makan, dan bermalam di situ.
Dia merasa senang karena para anggauta Ban-hwa-pang juga terdiri dari para wanita yang bersikap gagah dan sopan.
Dia tahu bahwa mereka belum memiliki ilmu silat yang tinggi karena belum lama Hwe-thian Mo-li memimpin mereka. Akan tetapi dia percaya bahwa perkumpulan Lembah Selaksa Bunga ini kelak akan menjadi perkumpulan yang besar.
Ketika dia diajak makan malam di ruangan makan, muncul seorangg adis manis yang kulitnya putih mulus, bertubuh tinggi ramping dengan sepasang mata lebar. Wajahnya yang bulat dan manis itu seolah mengandung kesedihan yang tersembunyi.
"Bu-ko, mari kuperkenalkan. Ini adalah adik angkatku, namanya
Kui Li Ai. Li Ai, ini adalah Kakak Chang Hong Bu, murid Siauw-limpai yang malam ini menjadi tamu kita."
Li Ai memberi hormat dengan gaya yang lembut dan sopan.
"Chang Taihiap (Pendekar Chang)," katanya sopan dan lirih.
"Kui Siocia, saya senang mendapat kehormatan berkenalan denganmu," kata Hong Bu yang merasa heran karena sikap gadis ini bukan seperti gadis gunung, melainkan penuh tata susila seperti gadis bangsawan!
"Aih, kalian tidak perlu bersungkan-sungkan," kata Siang Lan. "Buko, Li Ai ini adalah adik angkatku sendiri, sebut saja namanya. Dan Li Ai, tidak perlu menyebut Taihiap (Pendekar Besar) kepada Buko, sebut saja Bu-ko seperti aku."
"Siauw-moi, (Adik Muda), maafkan kelancanganku, aku hanya menaati usul Lan-moi," kata Hong Bu.
Setelah mereka bertiga duduk, dua orang wanita anggauta Banhwa-pang segera menghidangkan makanan. Mereka makan minum tanpa banyak bicara karena bagaimanapun juga, Hong Bu merasa sungkan juga makan minum bersama dua orang gadis yang demikian cantik. Baru sekarang dia mengalami hal seperti ini dan membuatnya menjadi canggung sekali.
Dia melihat di bawah sinar lampu betapa Kui Li Ai memang cantik
manis dan lembut sekali. Akan tetapi tetap saja dia lebih kagum melihat Siang Lan yang lebih matang, juga penuh wibawa dan semangat. Dia merasa betapa dia jatuh cinta kepada Hwe-thian Mo-li!
Selesai makan, Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan mengajak Kui Li Ai yang sekarang telah menjadi adik angkatnya dan Chang Hong Bu yang menjadi tamu mereka untuk duduk bercakap-cakap di serambi depan. Bulan purnama tampak menjenguk melalui jendela, menambah semarak cahaya lampu gantung di serambi itu.
Mereka bertiga duduk mengelilingi sebuah meja bundar yang besar. "Ah, aku tadi lupa menceritakan keadaan kalian masing-masing.
Sekarang aku teringat bahwa sesungguhnya kalian berdua bukanlah asing sama sekali satu terhadap yang lain karena samasama berasal dari kota raja dan sama-sama menjadi keluarga perwira tinggi yang setia dan berjasa terhadap Kerajaan!
Bu-ko,ketahuilah bahwa adikku Li Ai ini adalah puteri dari mendiang Kui
Ciang-kun (Perwira Kui), seorang perwira yang gagah perkasa dan
setia, dan kalau tidak salah, dia dahulu merupakan tangan kanan
atau orang kepercayaan dari panglima Chang Ku Cing. Tentu engkau pernah mengenalnya."
Chang Hong Bu mengingat-ingat dan menggelengkan kepalanya, lalu berkata. Diam-diam dia berkata kepada dirinya sendiri bahwa tidak aneh kalau tadi dia melihat sikap gadis itu begitu anggun seperti sikap seorang gadis bangsawan. Kiranya puteri seorang perwira tinggi!
"Maaf, aku tidak pernah mendapat kehormatan mengenal Kui Ciang-kun seperti yang kusebutkan tadi, Lan-moi. Ketahuilah bahwa sejak berusia sepuluh tahun aku telah meninggalkan kota raja, oleh Paman aku dikirim ke Siauw-lim-pai untuk mempelajari ilmu selama limabelas tahun. Kemudian baru beberapa minggu aku kembali ke kota raja dan langsung menerima tugas mengunjungimu ini.
Akan tetapi aku merasa girang mendengar bahwa Adik Li Ai adalah puteri seorang perwira tinggi di kota raja."
Tentu saja dalam hatinya dia merasa heran mengapa puteri seorang perwira tinggi sekarang tinggal di Lembah Selaksa Bunga,menjadi adik angkat Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan.
Akan tetapi keheranan ini tidak dia tanyakan karena dia khawatir akan menyinggung perasaan orang.
"Li Ai, ketahuilah bahwa Kakak Chang Hong Bu ini adalah keponakan dari panglima Chang Ku Cing."
Tiba-tiba muka gadis itu menjadi merah sekali dan hati Hong Bu terkejut bukan main ketika dia memandang, dia melihat betapa sepasang mata indah yang memandangnya itu mengeluarkan
kilatan sinar berapi penuh kemarahan dan kebencian!
Li Ai bangkit berdiri dan berkata kepada Siang Lan. "Enci Lan,maaf, aku masuk kamar dulu, kepalaku agak pusing." Tanpa menanti jawaban dan sama sekali tidak menoleh kepada Hong Bu,Li Ai lalu meninggalkan serambi itu dengan cepat.
Siang Lan menghela napas panjang. Hong Bu merasakan sesuatu yang tidak enak, maka dia segera bertanya. "Lan-moi, mungkin keliru penglihatanku, akan tetapi aku melihat agaknya Adik Li Ai berubah sikap dan menjadi marah ketika mendengar bahwa aku adalah keponakan Paman Panglima Chang.
Benarkah dugaanku itu?" Siang Lan nnenganggu-anggukan kepalanya, dan menghela napas lagi.
"Kasihan Adikku itu, aku tidak dapat menyalahkannya kalau ia bersikap seperti itu, walaupun tadinya aku mengira ia sudah mulai melupakannya. Ia agaknya masih menganggap bahwa Panglima Chang yang menyebabkan kematian ayahnya dan agaknya sukar ia untuk dapat melupakan hal itu, maka mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang, ia merasa tidak enak dan pergi."
Hong Bu terkejut sekali. "Paman Panglima menjadi penyebab kematian Kui Ciang-kun,ayah Adik Li Ai" Bagaimana ini" Bukankah engkau ceritakan tadi bahwa ayahnya adalah pembantu setia dari paman Panglima?"
"Riwayat Li Ai memang menyedihkan sekali, Bu-ko. Ibu kandungnya telah meninggal dunia dan ia hidup bersama ayahnya,Perwira Kui Seng, dan ibu tirinya yang galak dan tidak suka kepadanya. Kui Ciang-kun yang menjadi pembantu setia Panglima
Chang, setahun lebih yang lalu telah berjasa membasmi gerombolan Pek-lian-kauw sehingga tujuh orang tokoh Pek-liankauw dapat ditawan. Empat orang di antara mereka telah dihukum mati, akan tetapi yang tiga orang masih ditahan di penjara.
Pada suatu hari, Li Ai diculik orang-orang Pek-lian-kauw dan Kui Ciangkun dipaksa untuk membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Kalau dia menolak, Li Ai akan dibunuh."
"Hemm, jahat orang-orang Pek-lian-kauw itu!" kata Hong Bu
gemas. "Karena sayang kepada puteri tunggalnya, Kui Ciang-kun terpaksa
membebaskan tiga orang tokoh Pek-lian-kauw itu. Hal ini diketahui panglima Chang yang menjadi marah dan menuduh Kui Ciang-kun berkhianat.
Dengan malu dan sedih Kui Ciang-kun bunuh diri tanpa dapat dicegah lagi."
"Ahh......!" Hong Bu terkejut sekali.
"Sebelum mati, Kui Ciang-kun minta tolong padaku agar aku suka menolong Li Ai. Aku lalu pergi ke sarang Pek-lian-kauw di Liauwning dan di dalam perjalanan aku melihat Li Ai bersama dua orang Pek-lian-kauw. Aku segera menyerang dan dengan bantuan Paman Bu-beng-cu aku berhasil membunuh mereka berdua.
Aku ajak Li Ai pulang dan tentu saja ia terkejut dan sedih melihat ayahnya telah meninggal dunia. Ibu tirinya dengan galak menyalahkannya sehingga terpaksa aku menghajarnya. Li Ai lalu minta kepadaku untuk ikut ke sini karena ia tidak mau tinggal
dengan ibu tirinya yang galak dan membencinya.
Demikianlah, Buko, maka maafkan ia kalau tadi bersikap marah mendengar bahwa engkau keponakan Panglima Chang yang ia anggap penyebab
kematian Ayahnya." Tentu saja Siang Lan tidak mau menceritakan bahwa Li Ai diperkosa oleh tokoh-tokoh Pek-lian-kauw yang dibunuhnya itu.
Rahasia Li Ai takkan ia ceritakan kepada siapapun juga.
Hong Bu mengerutkan alisnya.
"Aduh, kasihan sekali Adik Li Ai! Pantas ia tadi memandangku seperti orang marah dan penuh kebencian!
Akan tetapi engkau......
ah, Lan-moi, engkau sungguh bijaksana dan mulia. Engkau telah
menyelamatkan Li Ai dan menampungnya di sini, bahkan
menjadikan adik angkatmu. Selain itu engkau tidak ikut marah kepada Paman Panglima Chang, sehingga engkau masih mau membantunya untuk mencari para pembunuh itu.
Ah, di dunia ini agaknya tidak akan mudah menemukan seorang gadis seperti engkau, Lan-moi." Siang Lan tersenyum. Bagaimana kerasnya hati Siang Lan, ia adalah seorang gadis, seorang wanita.
Mendengar pujian dari seorang pemuda yang tampan gagah, seorang pendekar budiman
seperti Hong Bu, jantungnya berdebar, perasaannya senang sekali, dan ia pun menjadi malu sehingga kedua pipinya yang halus mulus itu menjadi kemerahan.
"Ah, Bu-ko, engkau membuat aku malu. Jangan memuji terlalu berlebihan, Bu-ko. Aku hanya seorang gadis kang-ouw, sebatang kara di dunia ini, seorang gadis kasar dan liar!" Ia menghela napas panjang. "Aku bahkan dijuluki Iblis Betina Terbang!"
"Hemm, mungkin yang memberi julukan itu adalah para penjahat
yang pernah kau tentang dan kaubasmi, Lan-moi. Aku tidak
memujimu secara berlebihan. Engkau seorang gadis yang masih muda, engkau cantik jelita, engkau memiliki ilmu yang tinggi dan lihai sekali, dan di balik sikapmu yang keras itu engkau memiliki hati yang mulia, engkau bijaksana dan aku...... aku amat kagum padamu, Lan-moi."
Ketika mengucapkan kata-kata terakhir ini" suara pemuda itu agak
gemetar dan pandang matanya tampak oleh Siang Lan demikian
mesra sehingga seketika itu juga gadis itu tahu benar bahwa Chang Hong Bu jatuh cinta padanya!
Pujian pemuda itu benar-benar meresap dalam hati sanubari gadis
itu, terdengar begitu merdu bagaikan nyanyian dari sorga. Belum pernah selama hidupnya ia mendengar pujian seorang laki-laki seindah itu.
Terdengar amat merdu dan indah karena ia tahu bahwa pujian itu diucapkan seorang pemuda yang baik budi, pujian yang keluar dari hati yang tulus, bukan seperti banyak pujian yang didengarnya dari mulut para pria yang mengucapkannya terdorong nafsu rendahnya. Pemuda ini mengucapkan pujian yang keluar dari hatinya, bukan sekedar merayu, melainkan muncul dari perasaan hati yang jatuh cinta! Betapa indahnya!
Akan tetapi, Siang Lan tak dapat menipu perasaan hatinya sendiri.
Ia memang merasa senang sekali, merasa bangga mendengar pujian itu. Ia tidak dapat menyangkal bahwa ia merasa kagum kepada pemuda yang tampan dan gagah serta baik budi ini, akan tetapi ia tidak merasakan cinta kasih seperti yang pernah ia rasakan terhadap Sim Tek Kun yang kini menjadi suami Ong Lian Hong!
Tentu saja sudah lama ia membuang perasaan ini dari lubuk hatinya dan menggantikan rasa cinta dari seorang wanita terhadap pria itu dengan rasa cinta persahabatan atau lebih dari itu, cinta persaudaraan karena Sim Tek Kun kini telah menjadi suami adik
angkatnya, menjadi adik iparnya!
Terhadap pemuda yang duduk di
depannya ini, Chang Hong Bu, ia hanya merasa kagum dan suka
untuk menjadi sahabat baik, bukan sebagai kekasih atau calon
suami.
Maka untuk menghilangkan suasana amat romantis yang mendebarkan hati setelah pemuda itu memuji-mujinya, Siang Lan tertawa lepas dengan gembira.
"He-he-he, Bu-ko! Sudahlah aku bisa mabok oleh pujian dan kepalaku menjadi besar sekali nanti! Sekarang, mari kita bicara tentang surat Paman Chang kepadaku. Kukira, tidak perlu aku memberi balasan surat karena yang menjadi utusan adalah engkau, keponakan Panglima Chang sendiri.
Besok pagi, kalau engkau pulang ke kota raja, tolong sampaikan jawabanku kepadanya bahwa aku siap untuk membantunya. Setelah aku
menyelesaikan urusan Ban-hwa-pang di sini, aku pasti akan pergi ke kota raja, menghadap Paman Panglima Chang dan sekalian mengunjungi adikku Lian Hong."
Malam itu, Hong Bu tidak dapat tidur, gelisah di dalam kamar yang disediakan untuknya. Akan tetapi sebaliknya, Siang Lan dapat tidur nyenyak. Di atas pembaringan lain di kamar Siang Lan, Li Ai juga tidak dapat pulas. Ia masih merasa penasaran dan sakit hati, teringat akan kematian ayahnya yang disebabkan oleh Panglima Chang Ku Cing yang menuduhnya sebagai pengkhianat.
Biarpun sebelum tidur tadi Siang Lan telah menghiburnya dan mengatakan bahwa Panglima Chang hanya bertindak menurut hukum militer, dan Panglima itu merasa menyesal bahwa Kui Ciang-kun membunuh diri, namun hati Li Ai masih tetap tidak tenang dan ia gelisah di atas pembaringannya.
**********
Pada keesokan harinya, setelah dijamu makan pagi, Hong Bu meninggalkan Ban-hwa-pang, dan Siang Lan lalu menemui Bubeng-cu di tempat tinggal sementara pria itu untuk berlatih silat seperti biasa.
Selain berlatih silat, ia juga memperbincangkan dan merencanakan pembuatan perangkap dan jebakan di Lembah Selaksa Bunga untuk menjaga keselamatan Ban-hwa-pang dari serbuan musuh. Karena pembuatan jebakan itu harus dirahasia dari orang luar,maka pembangunannya dilakukan sepenuhnya oleh para wanita anggauta Ban-hwa-pang, dipimpin oleh Siang Lan dan Li Ai. Bubeng-cu sendiri tidak pernah muncul, dan kalaupun dia datang memeriksa, hal itu dilakukan pada malam hari atau sewaktu para anggauta Ban-hwa-pang sudah kembali ke perkampungan.
Dia memang tidak ingin banyak terlihat di Lembah Selaksa Bunga.
Li Ai yang cerdik, dapat mengatur pembangunan itu dari gambar yang dibuat oleh Bu-beng-cu. Alat-alatnya dibeli dari kota yang berada di kaki pegunungan Lu-liang-san.
Beberapa orang anggauta Ban-hwa-pang sengaja belajar membakar baja,
menempa dan membentuknya sesuai dengan yang digambar Bubeng-cu untuk dipasang dan diatur sebagai perangkap dan jebakan.
Hampir sebulan kemudian, setelah pembangunan taman yang
penuh jebakan itu berjalan lancar, Siang Lan lalu menyerahkan
pimpinan pekerjaan itu kepada Kui Li Ai dan ia minta kepada Bubeng-cu agar ikut mengawasinya secara diam-diam.
Setelah kesemuanya beres diaturnya, ia pun meninggalkan Lembah
Selaksa Bunga dan berangkat turun gunung menuju ke kota raja.
Beberapa hari kemudian, pada suatu hari menjelang tengah hari
Siang Lan berjalan seorang diri dalam sebuah hutan lebat.
Jalan umum yang memasuki hutan itu kasar berbatu-batu dan di situ
amat sepi. Siang Lan berjalan biasa, wajahnya cerah karena ia
gembira dan bersemangat membayangkan betapa ia akan
bertemu dengan Ong Lian Hong dan Sim Tek Kun.
Ia dapat membayangkan betapa akan gembiranya Lian Hong kalau
bertemu dengannya. Ia pun tidak akan merasa canggung bertemu
Tek Kun karena bagaimanapun juga, ia belum pernah menyatakan
cintanya kepada Tek Kun.
Perasaan itu hanya terdapat di lubuk hatinya saja dan kini sudah hilang oleh kesadaran bahwa pemuda
itu telah menjadi suami Lian Hong dan betapa kedua orang itu
selain saling mengasihi juga bahkan sudah bertunangan sejak dulu.
Karena melangkah dengan pikiran melayang-layang, Siang Lan
kurang waspada sehingga ia tidak tahu bahwa sejak tadi,
sedikitnya tigapuluh pasang mata mengamatinya. Mengamati
dengan kagum karena mata laki-laki mana yang tidak akan kagum
melihat gadis yang demikian cantik jelita berjalan seorang diri di
dalam hutan lebat itu"
Hwe-thian Mo-li Nyo Siang Lan ketika itu berusia sekitar duapuluh
dua tahun dengan tubuh seorang gadis yang sudah mulai matang,
tingginya sedang, ramping dan denok dengan lekuk-lengkung yang
sempurna menggairahkan hati pria. Rambutnya yang hitam panjang dan berikal mayang itu digelung ke atas, dihias seekor kupu-kupu dari emas permata.
Di dahi dan pelipisnya bergantungan anak rambut yang halus
melingkar menambah kemanisan wajahnya yang jelita. Sepasang
matanya yang indah itu jeli, dengan sinar yang terkadang mencorong penuh wibawa. Hidungnya Mancung dan mulutnya memiliki bibir yang bentuknya menggairahkan. Di punggungnya tergantung sebatang pedang, yaitu Liu-kong-kiam (Pedang Kilat).
Tiba-tiba Siang Lan sadar dari lamunannya dan cepat ia berhenti
melangkah dan seluruh urat syarafnya menegang penuh
kewaspadaan karena ia mendengar suara gerakan banyak orang.
"Siapa di sana" Keluarlah kalian, tidak perlu mengintai seperti pengecut-pengecut!" bentaknya.
Terdengar suara tawa dan dari empat penjuru bermunculan sekitar
tigapuluh orang, dipimpin oleh dua orang yang membuat Siang Lan
terkejut akan tetapi juga marah sekali.
Mereka adalah Hwa Hwa Hoat-su datuk Pek-lian-kauw dan Hoat Hwa Cin-jin tokoh besar cabang Pek-lian-kauw di Liauw-ning, musuh-musuh besarnya yang sebulan lalu menyerbu Lembah Selaksa Bunga dan dapat ia
usir bersama Chang Hong Bu, dibantu oleh Bu-beng-cu!
"Huh, kalian jahanam Pek-lian-kauw, setan-setan berjubah pendeta! Manusia-manusia pengecut, setelah kami kalahkan,sekarang hendak mengeroyokku dengan banyak orang! Jangan dikira aku, Hwe-thian Mo-li merasa takut!"
Setelah berkata demikian, dara sakti ini mencabut pedangnya dan
tampaklah kilat pedang itu menyilauan mata. Tigapuluh orang
anggauta Pek-lian-kauw itu gentar juga melihat ini karena mereka
sudah mendengar betapa sakti dan ganasnya Hwe-thian Mo-li!
Akan tetapi kembali Hwa Hwa Hoat-su tertawa dan suara tawanya
sekali ini terdengar aneh. Kemudian ternyata bahwa tawa ini merupakan isyarat kepada para anggauta Pek-lian-kauw karena mereka segera bergerak mengepung Siang Lan dan menumpuk kayu bakar lalu membakar tumpukan kayu itu di delapan penjuru!
Tigapuluh orang itu lalu berdoa, merupakan nyanyian yang aneh
dan suara mereka bergemuruh, mereka melangkah dan mengitari
Siang Lan sambil membawa sebatang obor bernyala.
Hwa Hwa Hoat-su berdiri dengan rambutnya yang panjang putih
itu terurai. Dia mencabut pedangnya dan menudingkan pedang itu
ke atas lalu membaca mantera.
Tigapuluh orang yang kini berlari
mengelilingi Siang Lan itu ketika tiba dekat Hwa Hwa Hoat-su,menyentuh ujung pedang dengan obor mereka. Tak lama kemudian ujung pedang itu pun terbakar dan bernyala!...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment