Monday, February 4, 2019

Cerita Silat Serial Lembah Selaksa Bunga Jilid 03


























   Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Lembah Selaksa Bunga 
          Jilid 03



itu bertemu pandang. Ia segera menundukkan pandang matanya dan bertanya lirih. "Mendengar apakah Bong Kongcu maksudkan?"

Tentu saja ia sudah mendengar dari Siang Lan tentang pertemuan
Hwe-thian Mo-li dengan pemuda itu. Akan tetapi ia tidak ingin mendahului percakapan tentang urusan perjodohan itu.


"Siocia, aku mendengar keterangan dari Hwe-thian Mo-li bahwa
engkau sekarang berada di sini, tinggal bersamanya. Aku merasa
amat terharu dan iba melihat nasibmu kehilangan Ayahmu dan aku
mendengar dari Hwe-thian Mo-li bahwa...... bahwa sekarang engkau...... bersedia menerima...... cintaku, dan engkau akan setuju kalau aku meminangmu untuk menjadi isteriku. 

Bagaimana,Kui Siocia benarkah apa yang kudengar dari Hwe-thian Mo-li itu?"

Setelah mendengar ucapan Bong kongcu itu, rasa sungkan dan
malu mulai meninggalkan perasaan Li Ai dan kini ia mengangkat
mukanya, memandang wajah pemuda itu penuh selidik karena ia ingin sekali mendapat kepastian apakah benar-benar pemuda hartawan ini mencintanya.


"Kongcu, apakah benar dan dapat kupercaya ucapanmu bahwangkau mencintaku?" "Aih, Siocia...... perlukah 
engkau tanya lagi hal ini" Sejak dulu akum encintamu, sudah kunyatakan berulang kali. Sampai saat ini akut etap mencintamu, dinda Li Ai...... aku berani bersumpah bahwa hanya engkau yang kuinginkan menjadi isteriku. 

Dinda Li Ai,engkau sih belum menjawab. Benarkah keterangan Hwe-thian Moli bahwa engkau bersedia menerima cintaku dan akan menyetujui kalau keluargaku datang meminangmu untuk menjadi isteriku?"

Li Ai mengangguk. "Benar, akan tetapi sebelum engkau mengambil
keputusan, lebih dulu aku ingin melihat apakah cintamu itu murni,
Bong Kongcu." "Eh" Apa maksudmu?"

Kini dengan sinar mata tajam penuh selidik Li Ai menatap wajah
pemuda dan tanpa dihantui rasa malu dan khawatir lagi ia lalu berkata, "Ketahuilah, Bong Kongcu, bahwa ketika aku diculik oleh orang-orang Pek-lian-kauw, aku telah dinodai oleh dua orang pendeta Pek-lian-kauw."

Sepasang mata pemuda itu terbelalak, seolah tidak percaya atau tidak mengerti apa yang dimaksudkan Li Ai.
"Kau...... di...... dinodai......?" tanyanya gagap.
"Benar, Kongcu. Dua orang tosu Pek-lian-kauw telah memperkosa
aku......" "Keparat jahanam......!!" Wajah pemuda itu menjadi pucat sekali lalu berubah merah dan dia bangkit berdiri sambil mengepal tinju
dengan marah sekali. 


"Tenanglah, Kongcu. Dua orang keparat jahanam itu telah dibunuh
oleh Enci...... Hwe-thian Mo-li."

"Tenang......" Bagaimana aku bisa tenang" Keperawananmu direnggut orang-orang jahat, engkau diperkosa....., engkau bukan perawan lagi. 

Ahhh......!" Pemuda itu menjatuhkan diri di atas kursi dan tampak lemas, menundukkan muka dan menopang kepalanya dengan kedua tangan. Li Ai hanya memandang dan keduanya berdiam diri, tenggelam ke dalam suasana yang amat tidak mengenakkan hati. 

Berulang-ulang pemuda itu menghela napas panjang dan dari kerongkonganya terdengar suara gerengan lirih seperti mengerang atau merintih. Li Ai mulai tidak sabar melihat pemuda itu hanya berdiam diri saja sambil mengerang dengan wajah muram. 

Lenyaplah semua sinar kegembiraan yang tadi tampak pada sikap dan wajah Bong kongcu. Maka ia lalu bertanya.
"Bagaimana sekarang, Bong Kongcu" Apakah engkau masih mencintaku dan ingin meminangku sebagai isterimu?"


Sampai beberapa saat lamanya Bong kongcu tidak dapat menjawab, hanya mengangkat muka menatap wajah Li Ai dengan muka pucat dan sinar mata muram. Akhirnya dia berkata.
"Tentu, aku tetap mencintamu, Li Ai, marilah engkau ikut denganku ke kota raja dan menjadi selirku yang tersayang......"


"Apa......" Selir......?"


Bong Kongcu menghela napas panjang. "Benar, Li Ai, menjadi
selirku. Aku tetap mencintamu, akan tetapi untuk meminangmu menjadi isteriku...... bagaimana mungkin setelah...... setelah engkau......" 


"Tidak sudi!" Li Ai berseru lalu berlari keluar dari ruangan itu meninggalkan Bong Kongcu sambil menutupi muka dengan tangan dan menahan suara tangisnya.
Bong Kongcu bangkit mengejar, "Li Ai......!"


Akan tetapi tiba-tiba Hwe-thian Mo-li muncul di pintu sehingga pemuda itu mundur kembali.

"Orang she Bong! Engkau telah menghina adikku Kui Li Ai! Engkau
memandang rendah Adikku! Engkau bilang hendak datang meminang ia sebagai isterimu, ternyata engkau menghinanya dengan mengatakan hendak mengambilnya menjadi selirmu!


Engkau pemuda berengsek, sombong dan cintamu palsu! Engkau bilang mencinta akan tetapi merendahkan dan menghinanya!"


"Nona, aku tidak berbohong, aku memang mencintanya. Akan tetapi bagaimana mungkin ia menjadi isteriku" Ia sudah bukan perawan lagi, hal ini tentu akan mencemarkan nama dan kehormatanku!" 


"Omong kosong! Engkau tidak mencinta Li Ai, tidak mencinta orangnya! Yang kaucinta hanya keperawanannya! Engkau munafik, berlagak terhormat akan tetapi sebetulnya engkau rendah dan hina. 

Engkau kotor berlagak bersih! Engkau menganggap Li Ai yang kehilangan keperawanannya karena dipaksa dan diperkosa orang sebagai hal yang kotor! Dan engkau sendiri bagaimana"

Apakah engkau berani mengatakan bahwa engkau tidak kehilangan keperjakaanmu" Engkau menggauli wanita-wanita dengan sadar dan kau sengaja, dan engkau masih menganggap dirimu bersih dan terhormat! 

Munafik berengsek!"

"Nona, engkau sungguh tidak adil! Aku sama sekali tidak menyalahkan Li Ai karena ia diperkosa dan tidak berdaya. Akan tetapi jelas aku tidak mungkin mengambilnya sebagai isteriku. 


Ah,kalau saja ia tidak menceritakan tentang perkosaan itu kepadaku,tentu ia akan kupinang sebagai isteriku......"
"Bohong! Aku mengenal laki-laki macam kamu ini! Kalau ia tidak menceritakan dan kemudian engkau mengetahui hal itu, pasti engkau akan menceraikannya karena ia tidak berterus terang,engkau tentu akan mengatakan ia berbohong dan menipumu.


Engkau akan makin menghinanya! Jahanam busuk macam engkau ini patut dihajar!"

"Hwe-thian Mo-li, engkau sungguh keterlaluan!" teriak Bong Kongcu dengan marah. "Keterlaluan" Huh, kau manusia kotor bersembunyi di balik hartamu. 

Kau kira harta dan keadaanmu yang terhormat itu dapat menutupi kekotoranmu" Harta, kedudukan, kepandaian, hanya pakaian saja. Kalau dikenakan orang yang memang kotor, tetap saja tampak kekotorannya yang menjijikkan! 

Pergi kau, sebelum aku kehilangan kesabaran dan kuajar engkau!"
"Hwe-thian Mo-li, aku akan mengerahkan orang-orangku untuk
menghukummu karena engkau berani menghinaku!" teriak Bong Kongcu. 


"Wuut...... plak-plak......!"
"Aduhh......!! Bong Kin terhuyung ke belakang. Ke dua tangannya menutupi ke dua pipinya yang bengkak-bengkak dan darah
mengalir dari ke dua ujung bibirnya yang pecah-pecah. Dia lalu berlari keluar, diikuti Hwe-thian Mo-li yang marah-marah.

"Pergi, kau anjing Bong!" bentaknya sambil mendorong-dorong punggung Bong Kin sehingga terhuyung-huyung menuju ke pintu gerbang perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah keluar dari pintu gerbang, duabelas orang pengawal segera menyambut dan mereka merasa kaget dan heran melihat Bong Kongcu keluar terhuyung-huyung, mukanya bengkak-bengkak dan kedua ujung mulutnya berlepotan darah. 

Mereka juga melihat betapa seorang gadis cantik dengan mata mencorong
muncul dan memaki Bong Kongcu, mengusirnya.


"Pergi kamu, jahanam busuk!"
Melihat selosin orang pengawalnya, bangkit semangat Bong Kongcu. Dia bukan seorang pemuda hartawan yang biasa bertindak sewenang-wenang. 


Akan tetapi baru saja dia dihina dan
ditampar Hwe-thian Mo-li padahal dia tidak merasa bersalah. Maka tentu saja hatinya menjadi panas dan sakit. Kini dia berkata kepada para pengawalnya. 


"Perempuan itu telah menghina dan memukulku. Kalian balaskan sakit hatiku ini!" Mendengar perintah Bong Kongcu, selosin orang pengawal tukang pukul itu serentak maju mengepung Siang Lan. 

Mereka tadi memang sudah mendongkol karena tidak diperbolehkan memasuki perkampungan itu. Kini melihat majikan mereka disakiti dan mereka menerima perintah untuk membalaskan, kemarahan
mereka ditumpahkan kepada gadis yang memaki dan mengusir
Bong Kongcu. 


Akan tetapi karena yang mereka hadapi itu seorang gadis cantik, mereka kini berlumba untuk meringkusnya agar dapat mereka serahkan kepada Bong Kongcu, biar majikan mereka itu sendiri yang menghukumnya.

Melihat betapa selosin orang itu mengepungnya lalu menjulurkan
tangan seolah hendak berlumba menangkapnya, Siang Lan menjadi marah sekali. Tubuhnya berkelebat, kedua tangannya menampar-nampar dan kedua kakinya menendang-nendang.


Akibatnya, selosin orang itu mengaduh dan tubuh mereka
berpelantingan disambar tamparan atau tendangan.
Dua belas orang tukang pukul itu terkejut bukan main, akan tetapi
juga marah dan penasaran sekali. Sambil meringis kesakitan mereka bangkit dan mencabut senjata golok mereka. 


Pada saat itu, belasan orang wanita anggauta Ban-hwa-pang keluar dari pintu gerbang dengan senjata di tangan. Mereka adalah tiga regu yang
bersenjata tombak, golok, dan pedang masing-masing lima orang.

Agaknya mereka hendak maju menghadapi selosin tukang pukul
yang sudah mencabut golok mereka itu. Akan tetapi Siang Lan yang tahu benar bahwa para anggautanya belum pandai dan kuat benar, tidak ingin melihat mereka terluka. Maka ia dengan nyaring berseru. 


"Kalian diam dan..... lihat saja betapa aku menghajar anjing-anjing
jantan ini!" Mendengar seruan ini, tentu saja limabelas orang anggauta Banhwa-pang itu tidak berani membantah dan mereka lalu berdiri diluar pintu gerbang dengan tertib.

Siang Lan yang sudah menjadi marah sekali mengingat akan nasib
Li Ai yang ditolak dan dipermalukan Bong Kin, melihat betapa duabelas orang anak buah pemuda hartawan itu mengepungnya dengan golok di tangan, ia cepat mencabut Lui-kong-kiam yang mengeluarkan sinar kilat mengerikan. 


Akan tetapi sebelum ia bergerak, pada saat itu ia mendengar suara berbisik.
"Hwe-thian Mo-li, tidak baik membunuhi mereka yang hanya melakukan perintah majikan mereka!"


Siang Lan terkejut. Suara itu berbisik dekat sekali dengan telinga kirinya. Ia cepat menengok ke kiri namun tidak tampak ada orang yang berbisik itu! 


Melihat gadis yang sudah mencabut pedang itu kini tampak seperti bimbang atau bingung, duabelas orang tukang pukul mengira bahwa ia merasa jerih menghadapi mereka. 

Hal ini membesarkan hati mereka dan sambil berteriak-teriak mereka pun langsung menyerang dari sekeliling Siang Lan. Belasan golok itu
menyambar-nyambar ke arah seluruh tubuh Siang Lan sehingga limabelas orang anak buah Ban-hwa-pang yang menonton merasa ngeri karena bagaimana mungkin ketua mereka dapat lobos dari serangan duabelas batang golok itu"

Akan tetapi, tentu saja bagi Siang Lan, serangan selosin batang golok itu bukan merupakan bahaya karena ia melihat betapa golokgolok itu digerakkan oleh tenaga kasar yang hanya mengandalkan otot. 

Ia segera memutar pedangnya dengan putaran yang luar biasa cepatnya sehingga yang tampak hanya sinar kilat bergulunggulung menyelimuti tubuh Siang Lan.
Segera terdengar bunyi berdencingan ketika golok-golok yang menyerang itu, bertemu dengan sinar kilat, disusul teriakan mereka yang tiba-tiba kehilangan golok mereka yang patah-patah dan terpental lepas dari tangan mereka. Hwe-thian Mo-li sudah menggerakkan pedang dan kalau saja pada saat itu tidak terdengar lagi bisikan. 

"Jangan bunuh!"' tentu pedangnya sudah membuat buntung leher selosin orang pengeroyok itu.
Entah mengapa, suara bisikan itu amat berwibawa baginya dan
Siang Lan menahan serangan pedangnya, kemudian hanya
menggerakkan tangan kiri dan kaki berulang-ulang. 


Untuk kedua kalinya, kini lebih kuat lagi, mereka terpelanting roboh disambar tamparan atau tendangan! Duabelas orang itu kini kehilangan nyali mereka. Selain tamparan atau tendangan yang mereka terima untuk kedua kalinya ini membuat mereka patah tulang atau bengkak-bengkak, juga mereka kini baru menyadari benar bahwa mereka berhadapan
dengan seorang wanita yang amat lihai. 


Mereka lalu teringat akan
kabar bahwa Ban-hwa-pang telah terbasmi dan dikuasai oleh
seorang wanita lihai yang berjuluk Hwe-thian Mo-li. Tentu inilah
orangnya! Kini Siang Lan dengan pedang di tangan menghampiri Bong
Kongcu yang berdiri dengan wajah pucat. Pemuda ini maklum
bahwa nyawanya terancam maut, akan tetapi dia tidak takut.

"Hwe-thian Mo-li, engkau mengandalkan kepandaian silatmu untuk menghina kami yang datang sebagai tamu!"
"]ahanam Bong! Engkau masih berani mengeluarkan ucapan menyalahkan aku" Engkau yang telah menghina Li Ai dan engkau yang harus minta ampun, atau aku akan memenggal batang lehermu!" "Aku tidak bersalah apa-apa!"

"Tidak mengaku salah" Engkau telah menghina Li Ai!"

"Siapa menghina" 

Aku tetap mencintanya dan mau membawanya ke rumahku sebagai selir tersayang. Aku tidak dapat
memperisterinya karena keadaannya. Aku tidak menghinanya,akan tetapi engkau yang telah menghinaku, memukul aku dan orang-orangku. Engkau sewenang-wenang hwe-thian Mo-li!"


"Jahanam busuk!" Siang Lan marah sekali dan ia mengangkat
pedangnya untuk membacokkan ke leher pemuda hartawan itu.

Akan tetapi tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu
seorang laki-laki telah berdiri di dekat Siang Lan dan dia menahan lengan Siang Lan yang memegang pedang sehingga gadis itu tidak dapat membacokkan pedangnya ke arah leher Bong Kongcu.


Siang Lan terkejut sekali dan diam-diam ada perasaan girang dan juga penasaran ketika mengenal bahwa laki-laki itu adalah orang yang telah menolong ia dan Li Ai ketika dikeroyok orang-orang Pek-lian-kauw! 


Ia merasa girang karena memang ia ingin berguru kepada orang
ini, dan ia merasa penasaran karena orang itu kini menahan lengannya yang hendak membunuh Bong Kongcu. Ia mengerahkan tenaga saktinya dan menggerakkan lagi lengan kanannya, akan tetapi tetap saja ia tidak mampu membacokkan
pedangnya karena tangan kiri orang yang menahan lengannya itu kuat bukan main! 


Siang Lan adalah seorang gadis yang tidak pernah takut menghadapi siapapun juga. Kini ia merasa amat penasaran dan marah. Tangan kirinya lalu bergerak mendorong ke arah dada lakilaki yang menghalangi niatnya membunuh Bong Kin.
"Wuut...... plakk!" Telapak tangannya bertemu dada orang itu dan menempel, akan tetapi yang didorongnya itu sama sekali tidak
terdorong dan ia bahkan merasakan betapa telapak tangan kirinya
menjadi panas seperti dibakar!

"Tidak perlu membunuh, dia tidak cukup pantas untuk dibunuh!" kata laki-laki itu dan kini dia melepaskan tangannya dari lengan Siang Lan, lalu membalikkan tubuhnya menghadapi Bong Kin.

"Engkau pemuda yang tidak menghargai wanita, memandang
rendah wanita yang tidak berdaya. Pergilah dan bawa semua anak
buahmu dari sini!" Orang itu mendorong dari jarak jauh dan tubuh Bong Kin melayang bagaikan sehelai daun kering tertiup angin, lalu terbanting jatuh terguling-guling. 


Beberapa orang anak buahnya yang tidak begitu parah segera menolong dan memapahnya, lalu mereka semua
meninggalkan tempat itu dengan terpincang-pincang dan saling
menolong untuk naik menunggangi kuda mereka.


Kini Siang Lan berhadapan dengan laki-laki itu yang bukan lain
adalah Sie Bun Liong. Semenjak terjadi peristiwa di Ban-hwa157
pang, yaitu setelah di luar kesadarannya dia memperkosa Hwethian Mo-li, Sie Bun Liong yang merasa berdosa dan amat
menyesal itu tidak pernah meninggalkan Hwe-thian Mo-li. 


Mula-mula dia menggunakan topeng, mengaku bernama Thian-te Moong, memberi semangat hidup kepada gadis itu agar tetap hidup
dan memperdalam ilmunya sehingga kelak dapat membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong yang mengaku sebagai pelaku pemerkosaan itu. 


Kemudian, Sie Bun Liong tidak pernah meninggalkan Hwe-thian
Mo-li, selalu membayanginya dan dia selalu menolong kalau gadis
itu terancam bahaya. Sekarang pun dia muncul, bukan untuk
melindunginya, melainkan untuk mencegah gadis itu melakukan
pembunuhan dengan kejam. "Kenapa engkau dulu menolong aku dari pengeroyokan orangorang Pek-lian-kauw" Bukankah engkau pula yang dulu mengobatiku ketika aku pingsan?"


Sie Bun Liong menjawab tenang. "Sudah menjadi kewajiban setiap
orang untuk menolong sesamanya yang terancam bahaya dan menderita kesusahan."


"Akan tetapi mengapa engkau sekarang menentangku dan
menghalangi aku membunuh pemuda Bong yang berengsek bersama anak buahnya itu?" "Yang kutentang adalah kekejamanmu akan membunuh orangorang yang sudah tidak berdaya, dan sudah menjadi kewajiban setiap orang untuk mengingatkan sesamanya yang tersesat."

Siang Lan merasa heran terhadap dirinya sendiri mengapa ia tidak
menjadi marah dan tidak merasa benci terhadap orang yang telah
menghalangi niatnya membunuh Bong Kongcu dan anak buahnya
tadi. 


Mungkin karena aku mengharapkan dia akan membantunya memperdalam ilmu silatku, pikirnya menghibur diri sendiri.
"Aku telah berhutang budi kepadamu, Paman. Bolehkah aku mengetahui namamu?" tanya Siang Lan.

Sie Bun Liong tersenyum mendengar gadis itu menyebutnya paman. Memang sudah sepatutnya kalau dia menjadi paman gadis itu. Usianya sudah empatpuluh dua tahun sedangkan Hwee-thian Mo-li yang liar dan ganas itu paling banyak berusia duapuluh dua atau duapuluh satu tahun!

"Tentu saja boleh, Nona. Namaku sendiri aku sudah lupa karena
tidak kupergunakan lagi. Maka engkau boleh mengenalku sebagai
Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama)."

"Paman Bu-beng-cu, aku adalah Hwe-thian Mo-li, ketua dari Banhwa-pang. Karena Paman sudah berkali-kali menolongku, maka kupersilakan Paman memasuki perkampungan kami karena aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. 

Silakan, Paman." Bu-beng-cu menggelengkan kepalanya. "Tidak, Nona. Ban-hwapang kini merupakan perkumpulan wanita, bagaimana aku boleh memasukinya" Kalau engkau mempunyai kepentingan untuk
dibicarakan denganku, kita dapat bicara di sini saja."


Siang Lan menoleh kepada belasan orang anak buah Ban-hwapang yang masih berdiri di depan pintu gerbang dan memberi isyarat kepada mereka agar masuk kembali ke dalam
perkampungan Ban-hwa-pang. 


Setelah mereka semua masuk, ia
menghadapi lagi Bu-beng-cu dan berkata sambil menatap wajah
laki-laki itu. "Begini, Paman Bu-beng-cu. Aku telah melihat ilmu kepandaian silat Paman yang amat tinggi. Karena itu, sejak Paman
membantuku, telah timbul niat dalam hatiku untuk dapat belajar ilmu silat darimu. 


Demikianlah, Paman, aku ingin berguru padamu jika Paman tidak berkeberatan."
Bu-beng-cu mengangguk-angguk. "Hwe-thian Mo-li, engkau adalah seorang wanita yang telah memiliki ilmu kepandaian silat yang amat tinggi dan kukira jarang ada musuh yang dapat mengalahkanmu. Kenapa engkau masih hendak belajar silat lagi?"


"Paman Bu-beng-cu, aku harus memperdalam ilmu silatku karena
aku mempunyai seorang musuh besar yang tinggi sekali ilmu silatnya. Tanpa memperdalam ilmuku, tak mungkin aku dapat membalas dendam terhadap musuh besarku itu. Karena itu, Paman, janganlah kepalang menolongku. Terimalah aku sebagai
muridmu dan aku selamanya akan merasa berterima kasih sekali kepadamu!" 


"Hemm, Hwe-thian Mo-li, melihat kesungguhan hatimu, aku tidak
keberatan untuk mengajarkan ilmu silat untuk memperdalam ilmumu. Akan tetapi aku baru mau mengajarmu kalau engkau dapat memenuhi syarat-syaratnya."


"Aku akan melakukan apa pun yang menjadi syaratnya, Paman Bubeng-cu!" kata Hwe-thian Mo-li dengan sungguh-sungguh karena baginya, tujuan utama sisa hidupnya hanya untuk membalas dendam dan membunuh Thian-te Mo-ong!

"Syarat pertama adalah bahwa aku tidak mau kau sebut guru karena aku sejak dulu tidak berkeinginan mengambil murid. Sebut saja aku Bu-beng-cu, tanpa embel-embel Suhu, dan engkau tidak boleh memberitahukan siapa pun bahwa engkau muridku."


"AKAN kulaksanakan syarat itu, Paman, sungguhpun syaratmu ini
aneh. Baik, aku akan selalu menyebutmu Paman Bu-beng-cu."

"Syarat kedua, aku tidak mau tinggal di dalam perkampungan Banhwa-pang karena sebagai seorang laki-laki, tidak pantas tinggal diperkampungan wanita. Aku tinggal di dalam guha di lereng sebelah utara sana. Kalau engkau belajar ilmu, engkaulah yang harus datang ke sana setiap hari di waktu matahari mulai bersinar.
Engkau akan kuberi pelajaran dan latihan sampai siang hari."
"Baik, Paman. Syarat kedua ini pun akan kutaati dan kulaksanakan
dengan baik." 


"Sekarang syarat ketiga dan terakhir, namun aku merasa sangsi apakah engkau akan dapat memenuhi syarat ini ataukah tidak."
"Apakah syarat itu, Paman. Kedua syarat pertama amat mudah
kulaksanakan dan betapa pun berat syarat yang terakhir, pasti akan kutaati dan kulaksankan!" kata Siang Lan penuh semangat karena hatinya merasa girang sekali bahwa laki-laki yang amat lihai ini sudah mau mengajarinya ilmu silat tinggi.


"Syarat terakhir ini harus kau janjikan dengan sumpah."
"Baik, Paman! Aku akan bersumpah. Katakan apa syarat itu!"


"Syaratnya adalah, setelah engkau mempelajari ilmu-ilmu dariku, engkau harus bersumpah kelak tidak akan melakukan pembunuhan lagi. 


Selama hidupmu engkau tidak boleh lagi bersikap ganas dan kejam, mudah membunuh orang!"
Wajah Siang Lan berubah agak pucat alisnya berkerut dan mukanya muram. Ia segera teringat kepada Thian-te Mo-ong.


Justeru ia ingin memperdalam ilmu silatnya agar kelak dapat membunuh musuh besar yang telah merusak kebahagiaan hidupnya! Biarlah ia selamanya tidak boleh membunuh orang,asalkan ia mendapatkan ilmu-ilmu untuk membunuh Thian-te Moong!


"Paman, bagaimana kalau aku diserang orang dan terancam
bahaya maut di tangan musuh itu?"
"Kalau terpaksa sekali untuk membela diri, tentu saja itu bukan
merupakan kekejaman membunuh. 


Maksudku kalau masih ada jalan lain engkau sama sekali tidak boleh membunuh orang. Cukup dengan mengalahkan, merobohkan dan melukai ringan saja.

Bagaimana, apakah engkau sanggup" Kalau sanggup,bersumpahlah sekarang juga!"
Karena merasa tersudut, Siang Lan lalu nekat. Ia berlutut dan mengucapkan sumpahnya. "Aku bersumpah untuk tidak membunuh orang lagi kecuali membela diri karena terancam bahaya. Sumpah ini berlaku untuk semua orang di dunia, kecuali satu orang, yaitu Thian-te Mo-ong. 


Aku bersumpah untuk membunuhnya karena membalas sakit hati dan membunuhnya merupakan satu-satunya keinginanku dalam hidup ini!"
Mendengar sumpah itu, Bu-beng-cu memandang dengan wajah pucat, alisnya berkerut, matanya tampak gelisah dan dia menghela napas panjang. "Hwe-thian Mo-li, agaknya engkau tidak dapat mengampuni musuhmu yang satu itu......"

"Mengampuninya" Hemm, mau rasanya aku membunuhnya sampai seribu kali untuk menebus dosanya terhadap diriku! Aku menggunakan sisa hidupku ini hanya untuk membalas dendam kepadanya, Paman. Apa pun akan kujalani untuk dapat berhasil membunuhnya!" 

"Baiklah, Hwe-thian Mo-li. Harap engkau memegang sumpahmu,
yaitu tidak akan membunuh siapa-siapa lagi kecuali musuh besarmu yang satu itu." Dia menghela napas lagi.


Memang sejak terjadi peristiwa jahanam di malam itu, dia sudah
mengambil keputusan. Untuk menebus dosanya, dia harus mati di
tangan gadis ini. Akan tetapi sebagai seorang gagah, baik dia sendiri maupun Hwe-thian Mo-li, kematiannya harus terjadi sewajarnya, yaitu dalam perkelahian. 


Dan dia sendiri yang akan melatih gadis ini agar tingkat kepandaiannya cukup kuat untuk mengalahkan dan membunuhnya!

Dengan cara ini, bukan saja dia dapat menebus dosanya, juga dia dapat membuat Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan memiliki semangat untuk terus hidup dan berjuang. Selain itu, dia juga dapat mengubah sifat gadis yang tadinya liar dan ganas, mudah
membunuh orang itu dengan ikatan sumpahnya. 


Dengan mengorbankan dirinya kelak, dia dapat membuat banyak kebaikan,
bagi dirinya sendiri, bagi Hwe-thian Mo-li, juga bagi rakyat karena mereka kini terbebas dari ancaman maut di tangan Si Iblis Betina Terbang ini. 


"Sekarang aku hendak kembali ke guhaku. Mulai besok pagi, setelah matahari tampak bersinar, datanglah ke sana dan kita mulai latihan." 

Setelah berkata demikian, tanpa menanti jawaban Siang Lan,sekali berkelebat Bu-beng-cu telah lenyap dari situ. Melihat ginkang (ilmu meringankan tubuh) yang demikian hebatnya, Siang Lan merasa kagum dan juga girang sekali. Ia tahu bahwa dalam hal gin-kang ia masih kalah jauh.

Siang Lan kembali ke dalam perkampungan, terus memasuki
rumahnya dan ia mendapatkan Li Ai tengah menangis tanpa suara sambil membenamkan muka pada bantal...... Melihat kedua pundaknya yang tergoyang-goyang itu Siang Lan tahu bahwa gadis itu sedang menangis.

Ia duduk di tepi pembaringan dan menyentuh pundak Li Ai. "Li Ai,
hentikan tangismu. Tiada gunanya menangis. Engkau masih beruntung tidak jadi berjodoh dengan pemuda macam itu."


Li Ai bangkit dan merangkul Siang Lan, kini tangisnya mengguguk.
"Enci Lan...... ahh, kenapa aku tidak mati saja......?"" rintihnya memelas. Siang Lan dapat merasakan kepedihan di hati Li Ai, maka teringat
akan keadaan dirinya sendiri, tak terasa lagi ia pun balas merangkul dan sepasang matanya basah.

"Tenang, dan sabarlah, Li Ai, jangan putus asa. Engkau tidak menderita seorang diri. Aku pun pernah ingin mati saja seperti engkau sekarang ini, aku pun pernah menjadi korban kebiadaban laki-laki." Li Ai tiba-tiba menghentikan tangisnya saking terkejut dan heran mendengar ucapan Siang Lan itu. 

"Kau......" Maksudmu......
engkau juga pernah diperkosa orang, Enci?"


Siang Lan mengangguk dan menghela napas panjang. "Benar, Li Ai. Dalam keadaan tertotok dan tidak mampu bergerak, aku telah diperkosa seorang manusia iblis yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali." "Akan tetapi, engkau begini lihai, bagaimana sampai dapat terjadi hal itu?" "Aku tertotok, dan orang itu memiliki ilmu kepandaian jauh lebih tinggi dariku. 


Tadinya aku pun sudah putus asa dan ingin bunuh diri saja. Akan tetapi aku teringat bahwa aku tidak boleh mati
sebelum membalas dendam, sebelum membunuh musuh besarku itu! 


Bangkit kembali semangatku dan aku harus memperdalam ilmuku sehingga dapat mengalahkan musuh besarku."
"Aih, Enci, sungguh tidak pernah kusangka bahwa engkau pun pernah mengalami malapetaka seperti aku. Siapakah musuh besarmu itu, Enci?" 

"Dia seorang pengecut benar, tidak berani memperlihatkan wajahnya yang selalu mengenakan sebuah topeng kayu dan dia mengaku berjuluk Thian-te Mo-ong. Belum pernah aku mendengar nama julukan itu di dunia kang-ouw. Aku tidak dapat mencarinya karena dia tidak mau memberitahukan di mana tempat tinggalnya.

Akan tetapi dia berjanji dengan penuh kesombongan bahwa setiap
tahun dia akan datang mencariku untuk mengadu ilmu.
"Aku akan memperdalam ilmuku dan aku sudah menemukan seorang guru, Li Ai, yaitu laki-laki setengah tua yang dulu menolong kita melarikan diri ketika dikepung orang-orang Pek-liankauw. 


Dia itu lihai sekali dan kuharap setelah mendapat gemblengannya, aku akan berhasil membunuh si keparat jahanam pengecut Thian-te Mo-ong!" Siang Lan bicara penuh semangat sambil mengepal tinju. Li Ai yang sudah menghentikan tangisnya karena tertarik oleh keterangan Siang Lan tadi, menghela napas panjang. 

"Enci,bagaimana pun engkau masih mempunyai semangat hidup karena
masih memiliki tujuan, yaitu membalas sakit hatimu terhadap
orang-orang yang telah memperkosamu. Akan tetapi aku, apa
artinya hidup ini" Dua orang yang menghinaku itu telah kaubunuh,dan namaku juga tentu akan tercemar karena Bong Kin itu tentu akan menyiarkan tentang keadaanku yang sudah ternoda. 


Semua orang di kota raja akan mendengarnya. Ah, apa gunanya aku hidup lebih lama?" "Dia tidak akan berani, Li Ai. Aku sudah menghajarnya habis-habis an, bahkan nyaris membunuhnya. Juga selosin orang anak buahnya telah kuberi pelajaran keras. 

Seandainya dia belum jera dan masih menyiarkan berita tentang dirimu, kelak engkau masih mempunyai banyak kesempatan untuk membalas penghinaannya!" "Akan tetapi, apa yang dapat kulakukan terhadap orang she Bong itu, Enci" Aku seorang gadis lemah dan tak berdaya......"

"Hemm, bukankah aku sudah berjanji untuk mengajarkan ilmu silat
kepadamu" Jangan putus asa dan buang jauh-jauh keinginanmu
untuk mati itu. Hidupmu masih kau butuhkan dan dibutuhkan banyak orang. Kelak, kalau engkau sudah memiliki ilmu silat yang tinggi, engkau dapat membantuku untuk memberi hajaran keras kepada para pria yang jahat dan yang menghina kaum wanita. 


Kita berdua akan malang melintang di dunia kang-ouw, menjadi pembela kaum wanita dan penentang pria yang suka menghina wanita. "Bagaimana pendapatmu" Bukankah itu merupakan tujuan sisa hidup kita yang amat baik" Kita perangi para pria yang jahat dan kita bangun Ban-hwa-pang menjadi perkumpulan wanita gagah yang melindungi kaum wanita dari kejahatan laki-laki berengsek seperti Thian-te Mo-ong, dua orang tokoh Pek-lian-kauw yang
sudah mati di tanganku, juga orang-orang macam Bong Kin itu!"


Mendengar ini, bangkit semangat hidup Li Ai. Ia harus dapat
melupakan apa yang telah terjadi kepadanya. Dua orang jahanam
yang memperkosanya itu sudah dibunuh Siang Lan, sakit hatinya
telah terbalas impas dan ia tidak perlu memikirkan dua orang
musuh besar itu lagi. 


Adapun tentang kegagalannya berjodoh dengan Bong Kongcu, hal itu sama sekali tidak membuat ia
berduka atau kecewa karena kenyataannya, ia belum mempunyai
perasaan cinta kepada pemuda itu. Hanya sikap dan kata-kata pemuda itu yang membuat ia merasa terhina.


"Biarpun Bong Kongcu telah dihajar oleh Siang Lan, namun pemuda yang menghinanya itu masih hidup. Siang Lan benar,harus mempelajari ilmu silat. Kalau ia sudah kuat dan tangguh ia akan menghajar semua laki-laki macam dua orang tosu Pek-liankauw, Bong Kin, dan semua hidung belang mata keranjang yang menjadi jai-hwa-cat (penjahat pemetik bunga atau pemerkosa)!

Sisa hidupnya kini mempunyai tujuan!
Demikianlah, mulai hari itu, setiap pagi sekali Siang Lan keluar dari
perkampungan Ban-hwa-pang untuk menerima gemblengan ilmu dari Bu-beng-cu. 


Pertama-tama, Bu-beng-cu mengajarkan ilmu untuk memperkuat gin-kangnya hingga gerakannya menjadi semakin ringan dan makin cepat.
Setelah pada siang harinya ia kembali ke perkampungan, Siang Lan melatih ilmu silat kepada Li Ai yang belajar dengan tekun sekali. Juga para anak buah Ban-hwa-pang menerima latihan agar mereka menjadi lebih kuat. 

Pekerjaan semua wanita di Ban-hwapang mulai dari ketuanya sampai kepada anak buahnya yang tingkatnya paling rendah, setiap hari hanya berlatih ilmu silat.
Harta yang dibawa Li Ai dari rumah ayahnya amat bermanfaat bagi
Ban-hwa-pang. Perkampungan itu dibangun, dan atas petunjuk Siang Lan dan Li Ai lembah itu ditata dan diperbaiki, tumbuh-tumbuhan bunga beraneka macam itu diatur rapi sehingga lembah itu tampak semakin asri dan pantaslah kalau dinamakan Lembah Selaksa Bunga. 


Lembah yang luas itu dibentuk seperti sebuah taman bunga yang
indah, dengan bangunan kecil-kecil mungil, beranda-beranda yang
dicat beraneka warna di dekat empang-empang ikan dan bunga
teratai. 


Di beranda-beranda itu digantungi lampu-lampu sehingga kalau malam tiba, lampu-lampu dengan selubung beraneka warna itu menambah indah taman atau lembah itu. Di bagian lain dari lembah itu ditanami tumbuh-tumbuhan obat dan ada pula bagian
taman yang-liu (semacam cemara) yang mendatangkan suasana sejuk.  


Karena setiap hari hanya berlatih ilmu silat dan juga melatih Li Ai
dan para anak buah Ban-hwa-pang, maka Siang Lan lupa akan waktu. Apalagi karena Bu-beng-cu setiap hari melatih gin-kang sehingga setelah lewat kurang lebih setengah tahun, gin-kangnya sudah maju pesat dan kini ia bahkan mampu mengimbangi
kecepatan gerakan Bu-beng-cu.


Pada pagi itu, seperti biasa Siang Lan datang ke depan guha yang menjadi tempat tinggal Bu-beng-cu. Laki-laki itu menyambutnya dengan senyum cerah. Begitu berhadapan, Siang Lan seperti terpesona. 

Laki-laki yang melatihnya akan tetapi tidak mau disebut guru itu
tampak segar karena rambutnya yang hitam panjang itu masih basah dan digelung ke atas, diikat pita kuning. Mukanya yang dicukur bersih itu tampak lebih muda dari usianya yang sudah empatpuluh dua tahun. 


Pakaiannya yang sederhana namun bersih tidak menyembunyikan tubuhnya yang sedang namun tegap.
Sepasang matanya bersinar lembut mulutnya tersenyum.


Dalam penglihatan Siang Lan pada saat itu, Bu-beng-cu tampak amat gagah dan menarik hati. Apalagi mengingat betapa laki-laki
ini selain menyelamatkannya dari bahaya juga telah menggemblengnya dengan sungguh-sungguh walaupun tidak mau disebut sebagai guru. 


Sikapnya selalu lembut, pandang matanya mendatangkan ketenangan dalam hatinya dan senyum serta
sikapnya terkadang jelas menunjukkan bahwa Bu-beng-cu
menghormati dan menyayangnya.


Dan anehnya, selama setengah tahun lebih ini Bu-beng-cu sama sekali tidak pernah mengajak ia bicara tentang keadaan diri masing-masing, seolah dia tidak suka menceritakan riwayat
hidupnya dan tidak pula ingin tahu riwayat hidup Hwe-thian Mo-li.

Kalau dia bicara, yang dibicarakan tentu soal ilmu mempertinggi gin-kang yang sedang dilatih Siang Lan!

Pagi ini, Siang Lan sengaja datang lebih pagi daripada biasanya karena ia mengambil keputusan untuk mengajak Bu-beng-cu bicara tentang riwayat mereka masing-masing agar mereka dapat saling mengenal lebih baik. 

Ia merasa berhutang budi kepada Bubeng-cu dan ingin mempererat persahabatan karena laki-laki itu
tidak mau dianggap guru. Biarlah hubungan guru dan murid ini
menjadi hubungan persahabatan yang lebih akrab, demikian pikirnya. 


Akan tetapi begitu mereka berhadapan, sebelum ia dapat mengeluarkan kata-kata, Bu-beng-cu sudah mendahului menegurnya dengan suara ramah dan senyum tenang dan sabar.
"Hwe-thian Mo-li, engkau datang pagi benar, lebih pagi dari biasanya." Siang Lan tersenyum. Ia sering merasa heran sendiri mengapa ia yang biasanya mempunyai perasaan tidak senang kepada laki-laki, apalagi semenjak cinta pertama terhadap Sim Tek Kun gagal, ia merasa tidak enak hati dan tidak suka. 


Rasa suka ini hampir berubah menjadi benci terhadap pria setelah ia mengalami peristiwa terkutuk menjadi korban perkosaan itu. Akan tetapi mengapa kalau ia bertemu dengan Bu-beng-cu, ia merasa gembira sekali" 

Hal ini karena ia merasa berhutang budi dan pria yang satu ini memang lain daripada yang lain.
Biasanya setiap ia bertemu laki-laki, mata mereka itu pasti memandangnya bagaikan seekor anjing kelaparan melihat daging
seolah sinar mata itu menggerayangi seluruh tubuhnya. 


Akan tetapi sinar mata Bu-beng-cu ini lain. Selalu lembut tidak pernah
terlalu lama mengamati wajahnya, bahkan jarang dapat bertemu pandang karena laki-laki ini selalu mengelak kalau pandang matanya bertemu dengan pandang mata Siang Lan.


"Paman Bu-beng-cu, aku memang sengaja datang lebih pagi karena aku ingin lebih dulu membicarakan sesuatu denganmu sebelum aku mulai terlatih."


"Hendak membicarakan apakah, Hwe-thian Mo-li" Katakan saja karena hari ini engkau tidak perlu latihan lagi. 


Hari ini aku akan menguji sampai di mana kemajuan gin-kangmu selama engkau memperdalamnya lebih dari setengah tahun."
"Setengah tahun lebih?" Siang Lan berseru kaget karena selama
ini ia seolah telah melupakan waktu. 


Setelah ia mengingat-ingat,
hari ini tentu sudah setahun lewat sejak musuh besarnya berjanji
untuk menemuinya dan mengadu ilmu! "Kalau begitu, sewaktuwaktu tentu musuh besarku akan muncul mencariku untuk
membuat perhitungan dan mengadu ilmu!"


"Apakah yang ingin kaubicarakan dengaanku?" Bu-beng-cu
menunju ke arah batu-batu sebesar perut kerbau yang terdapat
banyak di depan guha besar tempat tinggalnya. Mereka lalu duduk
di atas batu, berhadapan dalam jarak dua tombak.


"Begini, Paman. Te1ah lebih dari setengah tahun kita berhubungan, biarpun bukan sebagai guru dan murid karena engkau tidak mau kusebut guru, setidaknya sebagai sahabat baik.

Aku berhutang banyak budi kebaikan darimu, akan tetapi kita tidak
saling mengenal riwayat masing-masing. Oleh karena itu, aku
harap engkau suka mendengarkan riwayatku kemudian engkau
menceritakan riwayatmu kepadaku sehingga perkenalan ini menjadi semakin akrab. 


Kalau engkau setuju, aku akan
menceritakan riwayatku lebih dulu. Bagaimana pendapatmu,
Paman?" Bu-beng-cu menghela napas panjang, akan tetapi wajahnya tetap
tenang. "Terserah kepadamu, Nona."
Siang Lan girang sekali mendengar pria itu tidak merasa keberatan. 


Maka ia lalu menceritakan riwayatnya dengan singkat tanpa ragu, akan tetapi tentu saja tidak mau bercerita tentang kegagalan cintanya dengan Sim Tek Kun, putera pangeran yang menjadi tokoh Kun-lun-pai itu.
"Sejak kecil aku kehilangan Ayah Ibuku. Aku menjadi yatim piatu
dan hidup sebatang kara. Dalam usia sepuluh tahun, aku ditolong
dan diambil murid oleh Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu dan dibawa
ke Liong-cu-san." 


"Hemm, pantas ilmu silatmu tinggi. Aku pernah mendengar nama besar pahlawan bangsa Pat-jiu Kiam-ong Ong Han Cu," kata Bubeng-cu kagum. Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) memang terkenal sekali sebagai seorang pendekar patriot yang amat lihai ilmu pedangnya, gagah perkasa dan berjiwa pahlawan.
"Suhu Pat-jiu Kiam-ong yang memelihara, membesarkan dan
mendidikku, maka engkau dapat membayangkan kedukaan dan
kemarahanku ketika Suhu dibunuh secara curang oleh lima orang kang-ouw golongan sesat."


"Hemm, siapakah mereka?"
"Mereka adalah Leng Kok Hosiang berjuluk Jai-hwa-sian (Dewa Pemetik Bunga), Toat-beng Sin-to (Golok Sakti Pencabut Nyawa)Liok Kong, Hek-wan (Lutung hitam) Yap Cin, Shan-tung Tai-hiap (Pendekar Shan-tung) Siong Tat, dan Kim-gan-liong (Naga Mata Emas) Cin Liu Ek. Aku dan Sumoi Ong Lian Hong mencari lima orang pembunuh Suhu itu dan akhirnya kami berdua dapat membunuh mereka. 


Sumoi Ong Lian Hong adalah puteri mendiang Suhu."  "Kim-gan-liong Cin Liu Ek" Bukankah dia yang tinggal di kota Luncong. Akan tetapi sebelum aku tinggal di sini, aku pernah bertemu dengan pendekar itu dan dia ternyata seorang pendekar bijaksana
dan tidak terbunuh......"


"Benar, Paman. Aku tidak membunuhnya karena ternyata di antara lima orang yang kami sangka mengeroyok dan membunuh Suhu,
ternyata Kim-gan-liong Cin Lu Ek tidak ikut membunuhnya dan dia
tidak bersalah." 


Bu-beng-cu mengangguk-anggukkan kepalanya. "Bagus sekali, kebijaksanaanmu itu sebaiknya ditingkatkan dengan tidak
melakukan pembunuhan, Hwe-thian Mo-li. Biarpun ada yang bersalah kepadamu, sebaiknya engkau hanya memberi pelajaran kepadanya agar orang itu menyadari kesalahannya dan bertobat.


Orang yang melakukan perbuatan jahat ada seorang yang sedang
sakit, bukan jasmaninya melainkan sakit rohaninya. Penyakit itu
dapat sembuh dan orang yang sehat pun sewaktu-waktu dapat saja jatuh sakit. Orang sesat mungkin saja bertobat dan menjadi baik, seperti kemungkinan orang baik-baik tergoda dan melakukan perbuatan jahat. Kita sama sekali tidak berhak membunuh orang."


"Akan tetapi, seperti sumpahku, Paman, aku tidak akan membunuh
orang lagi kecuali yang seorang itu, musuh besarku Thian-te Moong."
Kembali Bu-beng-cu menghela napas panjang. "Terserah kepadamu, engkau tentu memiliki alasan kuat untuk berkeras membunuhnya. Lanjutkan ceritamu."

"Aku selalu menentang kejahatan dan terhadap para penjahat itu
aku tidak pernah memberi ampun dan bertindak tegas dan keras
sehingga para kaum sesat di dunia kang-ouw memberi julukan
Hwe-thian Mo-li kepadaku. Aku tidak peduli akan julukan Iblis
Betina, karena aku memang ganas seperti iblis terhadap kaum
sesat. 


Pada suatu hari, aku jatuh pingsan di lereng Ban-hwa-san ini, aku
ditangkap oleh Ketua Ban-hwa-pang dan dikeram dalam sebuah
kamar dalam keadaan tertotok. Aku tidak berdaya dan pada malam
harinya...... muncul...... Thian-te Mo-ong itu...... dia...... menghina
aku yang sedang tak berdaya! Karena itulah aku mendendam kepadanya dan aku bersumpah untuk membalas membunuhnya!


"Setelah jahanam itu pergi dan aku terbebas dari totokan, aku lalu
mengamuk. Kubunuh Ketua Ban-hwa-pang berikut semua anak buahnya dan aku menguasai Ban-hwa-pang. Kini akulah Ketua Ban-hwa-pang dan para anggautanya terdiri dari para wanita bekas anak buah Ban-hwa-pang lama. 


Aku bertemu dengan
engkau yang berkali-kali telah menolongku dan melihat kelihaianmu, aku ingin belajar ilmu silat, memperdalam ilmuku agar
kelak dapat kupergunakan untuk membalas dendam kepada
musuh besarku, dan juga untuk menghadapi Pek-lian-kauw yang
jahat dan yang memiliki banyak orang pandai."


Siang Lan menghentikan ceritanya dan menatap wajah Bu-bengcu. Ia merasa heran melihat wajah yang biasanya cerah itu kini tampak agak muram. Melihat Bu-beng-cu kini diam saja sambil mengerutkan alis dan
menundukkan mukanya, Siang Lan bertanya. 


"Paman, bagaimana dengan riwayatmu" Sekarang giliranmu untuk menceritakan riwayatmu kepadaku."
Bu-beng-cu menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya. 


"Apakah yang dapat kuceritakan" Tidak ada suatu yang menarik tentang diriku. Apa yang ingin kauketahui?"
Siang Lan maklum bahwa orang tentu hendak menyembunyikan keadaan dirinya, maka namanya pun sudah menunjukkan bahwa dia tidak ingin dikenal orang. Hal ini membuatnya penasaran.


"Paman, dengan menggunakan nama Bu-beng-cu (Si Tanpa Nama) engkau seperti menyangkal dirimu sendiri. Aku ingin mengetahui apakah Paman mempunyai keluarga, isteri atau anakanak?"


Bu-beng-cu menggelengkan 

kepalanya. "Tidak, Hwe-thian Mo-li,
aku tidak mempunyai keluarga, aku hidup sebatang kara, hanya hidup berdua dengan bayanganku yang sering kali menggangguku." Jawaban yang aneh itu membuat Siang Lan menjadi semakin penasaran. "Apakah Paman tidak pernah beristeri?"

"Tidak, sejak kecil aku merantau jauh ke barat dan selama ini aku hanya mempelajari ilmu silat."
"Akan tetapi sikap Paman lembut dan kata-kata Paman teratur seperti seorang sastrawan."

Senyum yang biasanya menghias mulut orang itu kini muncul sehingga hati Siang Lan merasa tenang. "Aku suka mempelajari sastra dan aku sudah membaca kitab-kitab suci dari tiga agama,yaitu Hud-kauw (Buddhism), To-kauw (Taosim), dan Khong-kauw (Confucianism)." 

Diam-diam ada perasaan lega dan girang dalam hati Siang Lan mendengar bahwa Bu-beng-cu tidak mempunyai keluarga seperti
juga dirinya sendiri, dan ia pun heran akan dirinya sendiri mengapa merasa girang mendengar akan kesendirian laki-laki itu. 


Kini mendengar bahwa Bu-beng-cu agaknya ahli akan kitab-kitab tiga
agama yang waktu itu memiliki pengaruh besar dalam kebudayaan
dan kehidupan rakyat, dengan penasaran ia bertanya.


"Paman, aku melihat betapa semua orang agaknya beragama.
Akan tetapi mengapa kejahatan merajalela dan bahkan mereka
yang sudah mengenakan jubah pendeta, mengaku sebagai ahli agama, masih suka melakukan perbuatan jahat?"


Kini wajah Bu-beng-cu bersinar dan tampak bersemangat setelah
Siang Lan bicara tentang agama.
"Hwe-thian Mo-li, jangan heran melihat gejala seperti itu. Yang
jahat itu bukanlah agamanya, melainkan manusianya. Kalau ada
seorang manusia mengaku beragama dan dia melakukan perbuatan jahat, maka dia itu bukanlah seorang beragama,melainkan seorang penjahat yang mengaku-aku beragama.


Agamanya hanya dipergunakan sebagai kedok untuk menutupi
perbuatannya. Kalau dia benar seorang beragama, pasti dia tidak
mau dan tidak berani melakukan kejahatan karena hal itu dilarang
oleh semua agama. 


"Demikian pula kalau ada seorang pendeta agama melakukan
perbuatan jahat, dia hanya seorang manusia yang palsu dan menggunakan pakaian pendeta dan agamanya sebagai kedok
belaka. Agama merupakan pelajaran agar manusia menjadi baik
dan benar, namun pelajaran itu tidak ada artinya sama sekali kalau
tidak dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari. 


Api atau inti semua agama itu terbukti dalam sikap dan perbuatan sehari-hari, adapun semua upacaranya itu kalau tidak terbukti apinya, hanya menjadi asap dan abu yang menggelapkan mata dan mengotori keadaan belaka." Siang Lan adalah seorang wanita yang cerdas. 

Biarpun hanya sedikit saja pengetahuannya tentang filsafat dan agama, namun ucapan Bu-beng-cu itu berkesan dalam hatinya dan ia dapat
mengerti maksudnya. Akan tetapi, juga mendatangkan rasa penasaran dalam hatinya yang mendorongnya ingin mengetahui lebih banyak lagi. 


"Paman, karena demikian banyaknya terdapat orang yang beragama akan tetapi melakukan perbuatan jahat yang dilarang agamanya, apakah tidak lebih baik kalau manusia tidak beragama saja?" Bu-beng-cu tertawa. 

"Bukan begitu, Nona. Agama merupakan obor bagi manusia yang
hidup di dunia ini, dunia yang bagaikan sebuah lorong yang gelap.
Obor itu akan menerangi lorong sehingga kita dapat melihat ke
arah mana kita melangkah, karena ada jalan menuju kepada Thian (Tuhan) yang menjadi Sumber kita, akan tetapi juga ada jalan yang
membawa kita ke jurang dosa dan kehancuran.


"Agama sebagai obor itu memang amat penting dan setiap orang
seyogianya memegang obor masing-masing agar jangan salah
jalan. 


Akan tetapi, apakah artinya obor bernyala di tangan kalau
kita tidak mau melangkah ke arah jalan kebenaran. Apa artinya
semua pelajaran keagamaan kita pelajari dan kita hafalkan kalau
tidak kita laksanakan dalam hidup ini" Jadi, agama baru bermanfaat kalau kita amalkan sesuai dengan ajarannya.


"Sebaliknya, kalau orang tidak beragama, bagaikan berjalan dalam
lorong gelap tanpa mempunyai obor penerangan, dia sudah tersesat atau jatuh tersandung. 


Memiliki obor tanpa melangkah
atau tidak memegang obor penerangan sama sekali, sama
buruknya. Yang benar adalah membawa obor yang menerangi
jalan hidup sambil melangkah atau memiliki agama sambil
mengamalkan pelajaran agamanya."

"Ah, kalau aku tidak keliru berpendapat, seorang penjahat yang
beragama itu lebih sesat dibandingkan seorang penjahat yang
tidak beragama. Betulkah itu, Paman?"


"Dua-duanya jelas tidak betul karena melakukan kejahatan. Akan
tetapi dosa orang yang beragama namun jahat lebih buruk lagi
karena dia mencemarkan kebersihan agama itu sendiri. Ah,
sudahlah, Hwe-thian Mo-li, sekarang tiba saatnya aku menguji ginkangmu. 


Mari kita berlumba lari sampai ke puncak bukit itu mengambil sebuah batu kapur yang hanya terdapat di puncak lalu cepat kembali ke sini."
Dengan gembira Siang Lan mengangguk dan setelah Bu-beng-cu
memberi isyarat, mereka berdua lalu berkelebat sedemikian cepatnya sehingga yang tampak hanya dua sosok bayangan melejit ke arah puncak bukit. Siang Lan mengerahkan gin-kang yang sudah maju pesat dan kini larinya jauh lebih cepat dibandingkan setengah tahun yang lalu. 


Kalau ada orang melihat
mereka, tentu akan terkejut dan mungkin ketakutan, mengira
bahwa dua sosok bayangan yang berkelebat itu adalah setansetan penjaga bukit!


Siang Lan mempergunakan ilmu berlari cepat yang selama ini ia
pelajari dan latih atas bimbingan dan petunjuk Bu-beng-cu, yaitu
Yan-cu-coan-in (Walet Menembus Awan). Ia mengerahkan seluruh
tenaganya karena ia melihat betapa bayangan Bu-beng-cu juga
berlari cepat di sampingnya. 


Setelah tiba di puncak bukit, ia
menyambar sepotong batu kapur lalu lari seperti terbang lagi,menuruni puncak menuju ke lereng di mana tadi mereka mulai berlumba lari. 


Begitu ia menghentikan gerakannya, ia melihat bahwa Bu-beng-cu
juga sudah berhenti dan ternyata mereka berdua tiba di situ dengan berbareng! 


Masing-masing memegang sepotong batu kapur. Melihat betapa kecepatan mereka berimbang, Siang Lan
berkata. "Ah, engkau sengaja mengalah sehingga tidak mendahului aku,Paman Bu-beng-cu!" 


Bu-beng-cu tertawa dan tampak wajahnya cerah gembira. "Sama
sekali tidak, Hwe-thian Mo-li. Aku tadi juga sudah mengerahkan seluruh kemampuan, akan tetapi ternyata tidak dapat mendahuluimu, bahkan agak sukar bagiku untuk menjaga agar tidak ketinggalan. Aku girang sekali karena setelah sekian lama
engkau berlatih dengan tekun, hari ini tampak hasilnya. 


Kiraku sekarang jarang ada orang yang dapat menandingimu dalam hal
kecepatan sehingga julukanmu tepat sekali yaitu Hwe-thian (Terbang ke Langit), walaupun julukan Mo-li (Iblis Betina) itu kini tidak cocok lagi bagimu. Engkau bukan iblis betina lagi karena engkau sudah bersumpah untuk tidak sembarangan membunuh
orang lagi." 


"Akan tetapi ada kecualinya, Paman, yaitu aku harus membunuh
musuh besarku yang satu itu! Paman, setelah sekarang aku mendapat kemajuan dalam gin-kang, tentu aku akan berhasil membunuhnya. Kalau tidak salah perhitunganku sekarang sudah lewat setahun dan jahanam itu tentu akan datang menemuiku
sebagaimana yang dia janjikan untuk membuat perhitungan."

Bu-beng-cu menghela napas panjang. "Aku tidak tahu sampai di mana kelihaian musuhmu itu, Nona. Akan tetapi jangan engkau terlalu yakin dulu. Memang gin-kangmu sudah maju pesat dan kiranya akan sulit bagi musuhmu itu untuk mengalahkan kecepatan gerakanmu. 

Akan tetapi, dalam sebuah pi-bu (pertandingan silat)bukan hanya kecepatan gerakan yang menentukan walaupun kecepatan itu tentu saja merupakan bagian penting. 
Selain ginkang, engkau harus lebih unggul dalam ilmu silat dan tenaga sakti.

Berhati-hatilah kalau engkau bertemu dengan musuh besarmu."
"Akan kuperhatikan nasihat Paman."
"Nah, hari ini kunyatakan bahwa engkau telah lulus dalam pelajaran memperkuat gin-kangmu, Hwe-thian Mo-li. 


Mudahmudahan engkau akan mendapatkan manfaat dari pelajaran ini dan aku akan merasa berbahagia sekali kalau engkau dapat
memegang sumpahmu untuk tidak membunuh orang, juga kalau
mungkin menghilangkan dendammu dan keinginanmu untuk membunuh orang yang kau anggap sebagai musuh besar itu. 


Aku sekarang hendak melanjutkan pertapaanku sini dan tidak ingin
diganggu. Kecuali kalau ada urusan penting sekali, harap jangan ganggu aku lagi." Siang Lan memberi hormat dan berkata dengan nada terharu.

"Paman telah mengorbankan waktu pertapaan Paman, sudah berulang kali menolongku, aku mengucapkan banyak terima kasih dan selama hidupku aku tidak akan melupakan kebaikan Paman Bu-beng-cu." 

"Pulanglah, Nona, dan jaga dirimu baik-baik," kata Bu-beng-cu,
suaranya juga tergetar karena dia merasa terharu pula mendengar
suara gadis itu begitu menyentuh perasaannya.


"Engkau juga, jaga dirimu baik-baik, Paman. Selamat tinggal."
Setelah berkata demikian, Siang Lan berkelebat dan lenyap dari
depan guha tempat pertapaan Bu-beng-cu itu.


Setelah Siang Lan pergi jauh, Bu-beng-cu kini menghela napas panjang dan pandang matanya ditujukan ke langit yang mulai cerah dengan sinar matahari pagi.

"Thian, alangkah pahitnya akibat dari kebodohan dan kelemahanku saat itu. Puji syukur kepadamu, Ya Tuhan, bahwa Engkau telah memberi kesempatan kepadaku untuk menebus dosaku itu......" 

Setelah mengeluarkan ucapan lirih dan sepasang matanya menjadi basah air mata, Bu-beng-cu atau Thian-te Mo-ong atau nama aselinya Sie Bun Liong melangkah perlahan-lahan
memasuki guhanya. 


Hati Siang Lan yang merasa girang sekali karena kini ia telah memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh
sehingga ia mampu bergerak jauh lebih cepat daripada dahulu
sebelum digembleng oleh Bu-beng-cu. Masih teringat ia betapa dulu ia amat mengagumi kecepatan gerakan Bu-beng-cu. 


Akan tetapi sekarang ketika berlumba lari, ia dapat mengimbangi gurunya itu! Ia merasa yakin bahwa kini ia pasti akan mampu mengalahkan Thian-te Mo-ong dan membunuhnya untuk membalas dendam atas perbuatan keji yang dilakukan atas
dirinya. Ia merasa lebih gembira lagi karena kini anak buahnya, semua
wanita, yang berjumlah kurang lebih limapuluh orang telah memperoleh kemajuan dalam ilmu silat sehingga mereka merupakan anggauta Ban-hwa-pang yang tangguh. 


Lebih lagi, ia melihat betapa Li Ai ternyata memiliki bakat yang amat baik. Gadis ini memang cerdik sekali dan didorong oleh sakit hatinya, ia berlatih dengan tekun sehingga setelah lewat hampir setahun di Lembah Selaksa Bunga, tingkat kepandaian silatnya bahkan telah
melampaui tingkat semua wanita anggauta Ban-hwa-pang.


Melihat gadis yang dahulunya lemah-lembut itu menyukai senjata sepasang pedang, maka Siang Lan memberi sepasang pedang yang mungil dan indah kepada Li Ai dan mengajarkan Siang-kiamsut (Ilmu Sepasang Pedang) di samping ilmu silat tangan kosong.


Juga Li Ai sudah mulai diberi pelajaran dasar untuk menghimpun
tenaga sakti. Belasan hari kemudian, pada suatu pagi Siang Lan sudah bangun dari tidurnya. Kini ia mempunyai kebiasaan bangun pagi sekali karena biasanya, begitu bangun dan mandi, ia langsung pergi ke
lereng di mana terdapat guha tempat bertapa Bu-beng-cu. 


Maka,biarpun sekarang ia tidak lagi harus pergi ke sana seperti yang
dilakukan tiap hari selama setengah tahun, ia sudah terbiasa dan
pagi hari itu ia sudah mandi dan duduk di dalam kamarnya.

Tadi ia melamun dengan hati penasaran karena sejak berhenti
latihan di depan guha Bu-beng-cu, ia menunggu-nunggu munculnya Thian-te Mo-ong, musuh besarnya yang dulu pernah berjanji akan mengunjunginya setiap tahun untuk membuat perhitungan. 


Ia ingat-ingat dan merasa yakin bahwa sekaranglah saatnya, setahun telah lewat sejak ia bertanding melawan Thiante Mo-ong dan kalah. Karena kesal dan penasaran, Siang Lan kini duduk bersamadhi untuk menenangkan hati dan pikirannya.
Jahanam sombong itu pasti akan muncul, demikian ia menghibur
diri sendiri. Segera ia tenggelam ke dalam samadhinya.


Pada waktu itu seperti kebiasaan mereka setiap pagi sebelum melakukan pekerjaan sehari-hari membersihkan rumah, taman
dan bekerja di kebun sayur dan buah-buahan, limapuluh orang
anggauta Ban-hwa-pang asyik berlatih ilmu silat di pekarangan
depan yang luas dari perkampungan mereka. Li Ai tidak ketinggalan.


Gadis ini yang dahulunya seorang gadis yang lembut,ahli seni tari, musik, nyanyi, juga mengenal sastra, kini berpakaian ringkas dan ia berlatih silat pedang. Sepasang pedangnya menyambar-nyambar dan karena gerakannya halus indah saking terbiasa menari, maka gerakan silatnya seperti orang menari.
Para anggauta Ban-hwa-pang juga sibuk latihan sendiri, ada yang
berlatih silat tangan kosong, atau dengan berbagai macam senjata.
Mereka latihan dengan sungguh-sungguh dan ternyata tidak percuma Hwe-thian Mo-li menggembleng anggauta Ban-hwa-pang karena mereka itu rata-rata cukup gesit.




Tiba-tiba terdengar suara tawa parau dan aneh. Ketika Li Ai dan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu menghentikan gerakan mereka dan memandang, ternyata di situ telah berdiri seorang laki-laki yang mukanya ditutupi sebuah topeng kayu. 

Yang tampak hanya empat buah lubang, dua lubang hidung dan dua lagi di atas untuk mata. Di balik dua lubang di atas itu tampak sinar
mata yang mencorong. Karena kedok atau topeng itulah maka suara tawanya terdengar parau dan aneh.

"Ha-ha-ha! Ban-hwa-pang yang tersohor itu hanya memiliki para
anggauta yang begini lemah dan ilmu silatnya rendah" Sungguh Hwe-thian Mo-li seorang ketua yang tidak becus mendidik, anak buahnya, ha-ha-ha!"


Tentu saja semua anak buah Ban-hwa-pang menjadi marah mendengar suara parau yang mengejek itu. 

Didahului oleh Li Ai mereka lalu berlari menghampiri dan mengepung orang bertopeng itu. Li Ai menudingkan pedang kirinya ke arah muka bertopeng itu dan membentak, akan tetapi tetap saja suaranya terdengar lembut halus. 

"Orang asing yang tidak mengenal aturan! Siapakah engkau yang begini lancang memasuki perkampungan kami yang terlarang bagi kaum pria dan datang-datang menghina ketua kami?"

"Ha-ha-ha, kalian panggil Hwe-thian Mo-li ke sini menemui aku, ia
akan mengenal siapa aku!" kata Si Topeng Kayu dengan nada
suara sombong. Akan tetapi Li Ai sudah dapat menduga bahwa orang ini pasti bukan seorang sahabat dan bukan orang baik-baik, maka ia
berkata, suaranya lebih tegas. 


"Engkau sudah melakukan tiga
pelanggaran. Pertama, engkau seorang pria berani masuk ke sini
tanpa ijin. Kedua, engkau bersikap pengecut dengan menyembunyikan mukamu di balik topeng, dan ketiga, engkau telah bersikap dan bicara dengan kasar menghina ketua kami.

Karena itu, kami minta engkau segera pergi meninggalkan perkampungan kami!" "Hemm, Nona, kalian mau berbuat apa kalau aku tidak mau pergi sebelum bertemu dengan Hwe-thian Mo-li?"

Hati Li Ai menjadi semakin panas karena nada suara orang bertopeng itu jelas mengandung ejekan dan tantangan!


"Kalau engkau tidak mau pergi, terpaksa kami akan menggunakan
kekerasan untuk mengusirmu!"

"Ha-ha-ha, begitukah" Ingin aku melihat bagaimana kalian dapat
mengusirku!" tantang Si Topeng Kayu.
Karena marah mendengar Siang Lan diejek, Li Ai lalu menggerakkan sepasang pedangnya, menyerang laki-laki bertopeng itu. 


Laki-laki itu adalah Thian-te Mo-ong dan melihat serangan gadis yang masih dangkal dan mentah ilmu silatnya ini,dia tertawa mengejek dan dengan mudah dia mengelak sehingga
serangan sepasang pedang di tangan Li Ai tidak mengenai sasaran. 


Akan tetapi kini semua anak buah Ban-hwa-pang maju mengeroyoknya! Thian-te Mo-ong masih tertawa-tawa dan tubuhnya berkelebatan
ke sana-sini seperti bayangan iblis. Limapuluh orang anggauta Ban-hwa-pang itu terus mengejarnya sambil berteriak-teriak,seperti sekumpulan anak-anak hendak menangkap seekor burung yang amat gesit. 


Kalau saja laki-laki bertopeng itu menghendaki,dengan mudah dia tentu akan dapat merobohkan limapuluh orang lebih anggauta Ban-hwa-pang itu karena kepandaian mereka masih terlalu rendah untuk dapat mengalahkan Thian-te Mo-ong.
Akan tetapi agaknya orang bertopeng itu tidak mau mencelakakan
mereka. Bagaimanapun juga dia merasa kerepotan dikeroyok puluhan
wanita muda. Dia merasa ngeri sendiri dan tiba-tiba bayangan
tubuhnya melayang ke atas dan tahu-tahu dia telah berada di atas
wuwungan rumah! 


Para anggauta Ban-hwa-pang hanya dapat mengacung-acungkan senjata ke arahnya tanpa dapat melakukan
pengejaran. "Ha-ha-ha-ha! Hayo siapa berani mengejar ke sini?" Thian-te Moong tertawa menantang dengan suara mengejek.


Tiba-tiba terdengar teriakan melengking nyaring disusul berkelebatnya bayangan Hwe-thian Mo-li yang melayang keluar
dari dalam rumah. Ia terkejut dan sadar dari samadhinya ketika
terdengar teriakan-teriakan anak buahnya di luar.


Ketika ia mendengar tawa dan ejekan Thian-te Mo-ong, segera ia mengenal siapa yang bersuara parau dan aneh itu. Musuh besarnya telah datang! Maka sambil mengeluarkan teriakan
melengking ia melompat keluar lalu memandang ke atas wuwungan rumah dengan wajah berubah merah dan sinar matanya mencorong penuh kemarahan dan kebencian.

"Keparat jahanam Thian-te Mo-ong! Bagus kamu datang mengantarkan nyawamu ke sini!" Siang Lan mencabut Lui-kongkiam yang ditudingkannya ke arah muka bertopeng itu.

"Ha-ha-ha, Hwe-thian Mo-li, apakah engkau hendak mengeroyok
aku bersama puluhan orang anak buahmu itu?"


Siang Lan merasa dalam dadanya seperti dibakar. "Iblis busuk!
Aku bukan pengecut macam kau!" Lalu ia menoleh dan membentak para anggauta Ban-hwa-pang. "Hayo kalian mundur dan jangan sekali-kali mencampuri pertandingan antara aku dan jahanam busuk bertopeng itu!"


Li Ai memberi isyarat kepada semua orang untuk menjauhkan diri
dan menyimpan senjata masing-masing. "Ha-ha-ha, bagus! Akan tetapi tetap saja aku tidak sudi bertanding
di sini. Kalau engkau bukan jago kandang, hayo kejar aku dan kita
bertanding mengadu nyawa di luar perkampungan ini!"


Setelah berkata demikian, Thian-te Mo-ong lalu melayang turun dari atas wuwungan langsung saja dia berlari cepat sekali keluar dari perkampungan Ban-hwa-pang.


"Bangsat busuk, engkau hendak lari ke mana?" Siang Lan memaki
dan cepat melakukan pengejaran, mengerahkan seluruh kekuatan
gin-kangnya yang kini telah meningkat jauh.


Li Ai dan para anak buah Ban-hwa-pang hanya melihat dua bayangan berkelebat cepat ke arah pintu gerbang lalu lenyap. Li Ai yang mengenal watak baik Siang Lan melarang para anggauta Ban-hwa-pang untuk melakukan pengejaran dan hanya menanti saja di situ dengan hati tegang. 


Mereka hanya duduk-duduk
bergerombol dan tidak ada semangat lagi untuk berlatih. Mereka semua maklum bahwa orang bertopeng itu adalah musuh ketua mereka dan kini tentu ketua mereka sedang bertanding matimatian dengan musuh yang mereka tahu amat lihai itu.


Siang Lan mengerahkan seluruh kecepatan larinya melakukan
pengejaran. Akan tetapi musuh besarnya tetap berada di depannya, dalam jarak sekitar tiga tombak. 

Ternyata kecepatan lari mereka seimbang dan Thian-te Mo-ong juga tidak mampu memperjauh jarak itu. 

Akhirnya Siang Lan yang marah sekali memungut dua buah batu sebesar kepalannya dan setelah
memindahkan pedang ke tangan kirinya, ia melontarkan dua buah
batu itu ke arah kepala dan punggung Thian-te Mo-ong.


Thian-te Mo-ong ternyata memiliki pendengaran yang amat tajam.
Biarpun ditimpuk dari belakang, dia mampu mendengar desir angin
timpukan itu dan cepat melompat ke samping sehingga dua buah
batu itu tidak mengenai tubuhnya. Dia berhenti dan membalikkan
tubuhnya menghadapi Siang Lan sambil tertawa mengejek.


"Ha-ha-ha-ha! Sebaiknya di sini kita mengadu nyawa, Hwe-thian Mo-li. Jangan mengira bahwa dengan kecepatan dan sambitan batumu itu aku menjadi gentar!"


"Jahanam busuk Thian-te Mo-ong, bersiapkah untuk mampus di
tanganku." Siang Lan yang sudah tak dapat menahan kesabarannya lalu
menerjang dan menyerang dengan buas dan dahsyat sekali karena ia menggunakan jurus yang paling ampuh. Ia maklum akan kelihaian lawan maka ia pun begitu menyerang mengerahkan semua tenaganya! 


Menghadapi serangan maut itu, Thian-te Mo-ong cepat mengelak
dan dia melompat ke atas, menyambar sebatang ranting pohon lalu melawan pedang Lu-kong-kiam dengan ranting sepanjang lengan
itu! 


Mereka saling serang dengan hebatnya karena Siang Lan berusaha mati-matian untuk merobohkan dan membunuh musuh besar yang amat dibencinya ini. Ia sudah bersumpah di depan Bubeng-cu bahwa ia tidak akan membunuh orang lain kecuali Thiante Mo-ong, maka seluruh kebencian yang berada dalam hatinya terhadap golongan sesat kini ditimpakan seluruhnya kepada Thiante Mo-ong.

"Singgg......!" Pedang Lui-kong-kiam meluncur dan berdesing
membuat gerakan melingkar-lingkar amat dahsyatnya. Gadis itu
menggunakan jurus Liong-ong-lo-hai (Raja Naga Kacau Lautan).
Lui-kong-kiam berubah menjadi sinar bergulung-gulung dan mengeluarkan bunyi berdesing-desing menyilauan mata dan menyakitkan telinga. 


"Bagus!" Thian-te Mo-ong yang lihai itu memuji karena memang
jurus Liong-ong-lo-hai ciptaan mendiang Ong Han Cu yang dijului
Pat-jiu Kiam-ong (Raja Pedang Tangan Delapan) itu dahsyat bukan main. Thian-te Mo-ong yang memang memiliki tingkat ilmu silat yang sudah tinggi sekali hanya merasa kagum akan tetapi sama sekali tidak merasa gentar. 


Dia menghindarkan diri dari
serangan maut itu dengan jurus Sian-jin-hoan-eng (Dewa Menukar
Bayangan), kemudian membalas dengan totokan-totokan berbahaya dengan ujung rantingnya.


Mereka bertanding tanpa ada orang lain yang mengetahuinya itu
berlangsung selama limapuluh jurus lebih dan mereka saling serang tanpa ada yang tampak terdesak. Siang Lan merasa penasaran sekali. Selama setengah tahun lebih ia sudah mendapatkan kemajuan pesat dalam ilmu meringankan tubuh sehingga gerakannya jauh lebih cepat dibandingkan dahulu sebelum digembleng Bu-beng-cu.


Dulu saja ia sudah terkenal memiliki gin-kang yang hebat.
Gerakannya amat cepat sehingga dunia kang-ouw memberinya
julukan Iblis Betina Terbang. Setelah kini gin-kangnya meningkat
banyak, tetap saja ia tidak mampu mendesak musuh besarnya.


Dalam pertandingan itu, ia melihat jelas bahwa lawannya juga dapat bergerak cepat sekali dan agaknya dalam ilmu gin-kang,Thian-te Mo-ong tidak kalah dan dapat mengimbanginya! 


Gin-kang mereka seimbang, akan tetapi ia harus mengakui bahwa dalam hal tenaga sakti ia masih kalah kuat, bahkan jauh kalah. Hal ini terbukti dari senjata mereka. Ia sendiri memegang Lui-kong-kiam (Pedang Kilat), sebuah pedang pusaka yang terbuat dari baja langka, biasanya mudah mematahkan senjata-senjata lawan dari besi atau baja. 

Akan tetapi sekarang, menghadapi sebatang ranting di tangan musuhnya,
pedang itu sama sekali tidak berdaya. Apalagi mematahkannya,
bahkan kalau pedangnya dan ranting itu bertemu keras, telapak
tangannya terasa pedas dan pedih. 


Hal ini membuktikan bahwa
tenaga sakti yang tersalur dalam ranting sungguh amat kuat!
Biarpun ia mulai ragu apakah ia akan mampu mengalahkan dan membunuh musuh besar ini, Siang Lan tidak menjadi putus asa
dan ia mengamuk seperti harimau terluka.


Tiba-tiba Thian-te Mo-ong berseru, "Hwe-thian Mo-li, kalau hanya
sebegini kepandaianmu, jangan harap engkau akan dapat mengalahkan aku, ha-ha-ha!" Tiba-tiba orang berkedok itu berseru nyaring. 


"Haiiittt......!" Tangan kirinya, dengan telapak tangan terbuka didorongkan ke arah Siang Lan. Gadis ini cepat mendorong dengan tangan kiri menyambut pukulan jarak jauh itu.

"Wuuuttt...... desss......!!" Tubuh Siang Lan terpental sekitar dua meter ke belakang, akan tetapi ia dapat berjungkir balik membuat salto sehingga tubuhnya tidak sampai terbanting. Ia terkejut dan semakin marah. Dengan nekat ia menyerang lagi dengan pedangnya. 

"Hyaaaahh......!" Pedang itu menyambar ke arah leher Thian-te
Mo-ong. Orang berkedok itu menggerakkan rantingnya menyambut. "Tuk!" Pedang bertemu ranting dan melekat!


Ketika Siang Lan mencoba untuk menarik pedangnya, ternyata
pedang itu tertahan dan melekat pada ranting dan pada saat itu,kembali Thian-te Mo-ong menyerang dengan dorongan tangan kirinya. Siang Lan terkejut dan menyambut dengan tangan kirinya pula. 


"Plakk......!" Tubuh Siang Lan terjengkang dan pedangnya terlepas
dari pegangannya. Ia terbanting roboh dan menggulingkan tubuhnya, lalu melompat berdiri lagi. Dadanya terasa sesak dan pedangnya sudah berada di tangan kiri Thian-te Mo-ong. Hampir saja Siang Lan menjerit dan menangis saking marah, kecewa, dan malu. Ia menjadi semakin
nekat dan dengan tangan kosong ia menerjang lagi!


"Hemm, belajarlah lagi selama sepuluh tahun, baru engkau akan
mampu menandingiku, Hwe-thian Mo-li!" kata orang bertopeng itu
dan dia melemparkan pedang Lui-kong-kiam ke atas tanah didepan Siang Lan. Pedang menancap sampai dalam dan dia
m elompat ke belakang sambil tertawa.

"Ha-ha-ha, setahun lagi aku akan datang menemuimu dan kita boleh bertanding lagi, kalau kau berani!" Kemudian tubuhnya berkelebat dan lenyap dari situ.
Siang Lan yang maklum bahwa ia tidak mampu mengejar karena
dalam dadanya masih terasa nyeri, menjatuhkan diri di dekat pedangnya dan ia menangis! 


Marah, benci, kecewa, malu, dan
penasaran mengaduk dalam hatinya, membuatnya merasa sedih sekali dan ia menangis mengguguk seperti anak kecil sambil memukul-mukul tanah dengan kedua tangannya.

"Jahanam Thian-te Mo-ong, kubunuh kau...... kubunuh kau....,
kubunuh kau......!" 


Ia berteriak-teriak dan menangis lagi tersedusedu. Ia tidak terluka, hanya benturan tenaga dalam tadi mengguncang isi dadanya karena ia kalah kuat.
Jelaslah bahwa ia kalah karena tenaga sin-kangnya masih jauh dibandingkan lawannya. 


Tanpa memiliki tenaga sakti yang lebih kuat, tidak mungkin ia dapat menang melawan Thian-te Mo-ong.
Akan tetapi sekali ini ia tidak putus asa walaupun ia menyesal dan kecewa sekali. Ia bahkan semakin bersemangat. Ia harus memperdalam ilmunya lagi sampai ia mampu mengalahkan dan membunuh musuh besarnya. 


Sementara itu, agak jauh dari situ, Thian-te Mo-ong bersembunyi
di balik batang pohon besar dan mengintai ke arah Siang Lan yang
menangis tersedu-sedu sambil memukuli tanah. Dia menghela napas berulang-ulang, lalu melepaskan topengnya menyembunyikan topeng kayu itu di balik bajunya.
dan Kini tampak wajah Bu-beng-cu, wajah yang tampak muram dan
sedih ketika dia memandang ke arah Siang Lan. 


Sepasang matanya dikejap-kejapkan dan dua tetes air mata melompat keluar dari pelupuk matanya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya lalu
perlahan-lahan berbisik kepada diri sendiri.

"Aku harus membangkitkan semangatnya, harus mengembalikan
harga dirinya. Suatu hari ia akan mengalahkan aku dan membunuhku. Tidak ada lain jalan untuk membangkitkan semangatnya dan memulihkan harga dirinya."

Dia terus mengamati Hwe-thian Mo-li sampai gadis itu menghentikan tangisnya dan pergi dari tempat itu, kembali ke perkampungan Ban-hwa-pang.
Setelah Siang Lan pergi, barulah Bu-beng-cu mengganti pakaiannya dengan pakaian yang biasa dipakai oleh Bu-beng-cu.

Pakaian yang longgar dengan jubah lebar yang tadi dipakai Thiante Mo-ong dia gulung dan dia lalu pergi perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. 

Setibanya di perkampungan Ban-hwa-pang, Siang Lan disambut
oleh Li Ai dan para anggauta perkumpulan itu. Melihat wajah Siang
Lan yang muram, para anggauta tidak ada yang berani bertanya walaupun pandang mata mereka kepada Siang Lan mengandung keinginan tahu tentang laki-laki bertopeng yang dikejar ketua mereka tadi.Siang Lan diam saja dan terus memasuki rumah, diikuti oleh Li Ai.


Gadis ini juga dapat melihat keadaan maka ia tidak bertanya apa-apa ketika Siang Lan datang. Akan tetapi setelah mereka berdua memasuki kamar, Li Ai bertanya dengan hati tegang.

"Bagaimana, Enci" Berhasilkah engkau mengejar penjahat bertopeng tadi" Engkau tentu telah dapat membunuhnya, bukan?"

Pertanyaan itu dirasakan Siang Lan seperti menusuk hatinya. Ia menahan tangisnya dan menggelengkan kepalanya.
"Ia masih terlalu kuat bagiku, Li Ai. Aku harus memperdalam lagi
ilmuku sampai akhirnya aku mampu mengalahkannya dan membalas dendam." Melihat wajah Hwe-thian Mo-li yang muram dan mendengar bahwa gadis itu gagal membunuh musuh besarnya, Li Ai tidak berani
bertanya lagi. 


Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Siang Lan sudah keluar
dari perkampungan menuju ke lereng di mana Bu-beng-cu tinggal dalam guha. Ketika ia tiba di situ, ia melihat Bu-beng-cu sudah duduk di depan guha, di atas batu datar, bersila dan kedua matanya terpejam. 


"Paman Bu-beng-cu......" Sian Lan menghampiri dan berlutut di
depan gurunya itu. Bu-beng-cu membuka matanya sejenak dia memandang kepada wajah gadis itu. Kemudian, dia berkata suaranya terdengar lembut mesra. "Hwe-thian Mo-li, engkau datang......?"


Mendegar suara laki-laki itu, suara yang menggetar dan penuh keakraban, bahkan terdengar begitu penuh perhatian dan mesra,Hwe-thian Mo-li tiba-tiba tak dapat menahan isaknya. Ia menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya. 


Biarpun ia menahan suara tangisnya, namun ia terisak, kedua pundaknya bergoyanggoyang dan air mata menetes melalui celah-celah jari kedua tangannya. Bu-beng-cu tentu saja maklum akan penderitaan hati gadis itu. Dia memandang penuh keharuan dan rasanya ingin dia merangkul dan menghibur gadis itu. 

Akan tetapi ada perasaan lega dan girang bahwa Hwe-thian Mo-li tidak putus asa dan kedatangan gadis itu
kepadanya menunjukkan bahwa ia tentu ingin minta bimbingan lebih lanjut dalam ilmu silat.


Dia membiarkan gadis itu menumpahkan perasaannya dalam
tangis. Setelah tangis Siang Lan mereda, barulah dia berkata
dengan lembut. "Hemm, inikah gadis perkasa yang disebut Hwe-thian Mo-li"


Sekarang menjadi seorang gadis cengeng seperti kanak-kanak" Nona, bukan begini sikap seorang gagah. Hapuslah air matamu,hentikan tangismu dan kita bicarakan permasalahan apa yang membuat engkau sampai menangis seperti ini. Tidak ada masalah yang tidak dapat dipecahkan dan diatasi!"


Mendengar ucapan itu, bangkit semangat Siang Lan. Ia mengusap
air mata di pipi dengan kedua tangannya, lalu memandang Bubeng-cu dengan mata agak kemerahan.
"Paman Bu-beng-cu, aku datang untuk sekali lagi mohon pertolonganmu." Bu-beng-cu mengamati wajah itu dengan tajam, lalu berkata.

"Engkau tentu tahu bahwa aku selalu siap untuk membantumu,Nona. Katakan, bantuan apa yang dapat kulakukan untukmu?"
"Paman, kemarin musuh besarku datang memenuhi janjinya. Kami
bertanding, aku memang dapat mengimbangi kecepatannya. Akan
tetapi akhirnya aku kalah, Paman. 


Aku masih jauh kalah kuat
dalam sin-kang (tenaga sakti) dan juga ketika dia bersenjata
sebatang ranting, dia memainkan ranting itu dengan ilmu pedang
yang aneh dan aku pun tidak mampu menandingi senjatanya yang
hanya ranting pohon itu. Paman, hanya engkaulah yang dapat
menolongku. 


Bimbinglah aku agar ilmu pedang dan tenaga sinkangku meningkat sehingga kelak aku akan mampu mengalahkannya. Aku malu, Paman, dan rasanya aku hampir putus asa......" "Hwe-thian Mo-li, tidak ada kata "putus asa" bagi seorang gagah!
Kalau engkau sungguh-sungguh mau belajar dengan tekun, bukan
hal mustahil engkau akan mampu mengalahkan musuh yang bagaimana tangguhpun. Akan tetapi, Nona, benar-benarkah engkau hendak membunuh orang yang satu itu" Mengapa kau mendendam kepadanya" Dendam apakah itu yang membuat engkau ingin membunuhnya?"


Mendapat pertanyaan ini, Hwe-thian Mo-li menundukkan mukanya
yang berubah merah. Apa yang harus dikatakannya" Bagaimana mungkin ia menceritakan tentang aib yang dideritanya kepada orang yang ia kagumi dan yang telah menolongku berulang kali ini"


Ia takut kalau-kalau Bu-beng-cu akan berubah pandangan terhadap dirinya, akan memandang rendah dan menganggap dirinya kotor. Bukankah Bong Kin yang tadinya mencinta Li Ai juga berubah pandangan dan menganggap gadis itu tidak pantas
menjadi isterinya setelah Li Ai mengaku bahwa ia telah diperkosa
orang" 


Baru sekali ini seumur hidupnya Hwe-thi mo-li merasa takut kalau-kalau dipandang rendah dan kotor oleh seorang laki-laki. Hal ini
adalah karena ia menganggap Bu-beng-cu sebagai gurunya,sebagai pembimbingnya dan sebagai satu-satunya pria yang dikaguminya, terutama sekali sebagai sumber harapannya. 


Akan tetapi, iapun tidak mau berbohong kepada Bu-beng-cu.
Ia harus jujur dan terbuka, tidak peduli bagaimana nanti penilaian
Bu-beng-cu terhadap dirinya! Ia yang mengajarkan Li Ai untuk berterus terang mengaku bahwa ia bukan gadis lagi. Apakah sekarang ia sendiri tidak berani mengakui hal yang sama"

"Paman, Thian-te Mo-ong adalah musuh besarku. Aku mempunyai
dendam sakit hati sebesar gunung sedalam lautan kepadanya dan
aku harus dapat membalas dendam ini dengan membunuhnya!"

"Hemm, Hwe-thian Mo-li, dendam sakit hati itu hanya akan merusak hatimu sendiri, bagaikan api yang akan membakar perasaanmu. Dosa apakah yang dilakukan Thian-te Mo-ong maka engkau demikian membencinya dan hendak membunuhnya?"

Bu-beng-cu kini menatap tajam wajah Siang Lan. Pandang mata mereka bertemu dan dengan nekat tanpa menundukkan pandang matanya Siang Lan menjawab.

"Dia telah memperkosaku!"
Bu-beng-cu yang mengelakkan pandang mata itu. Dia menunduk.

"Hemm, begitukah......?" katanya lirih.
"Paman Bu-beng-cu, setelah Paman mendengar aib yang menimpa diriku, apakah Paman masih mau menolongku" Apakah Paman masih mau mengajarkan ilmu untuk memperkuat tenaga sakti dan memperdalam ilmu pedangku?"

"Kenapa engkau bertanya begitu?"
"Karena...... kukira...... Paman akan memandang rendah diriku, menganggap aku kotor dan...... tidak patut menerima pelajaran dari paman......" 


"Ah, mengapa engkau berpikir demikian, Nona" Peristiwa itu
terjadi bukan karena engkau sengaja, bukan kesalahanmu, engkau
tidak berdaya. Aku sama sekali tidak memandang rendah padamu,
Hwe-thian Mo-li. 


Aku...... aku merasa kasihan padamu dan tentu saja aku mau memberikan seluruh kepandaianku kepadamu kalau hal itu ada artinya bagimu."
"Ada artinya......" Setelah terjadi peristiwa itu, aku tadinya ingin bunuh diri saja, Paman. Akan tetapi setelah aku mengetahui siapa pemerkosa itu, aku bersumpah untuk membalas dendam dan membunuhnya. 

Kemudian aku berjumpa denganmu, Paman, dan muncul harapan baru dalam hatiku. Aku tidak ingin mati dulu sebelum dapat membunuh jahanam itu dan agaknya di dunia ini
hanya Paman yang akan mampu membantu aku memenuhi sumpahku." "Aku pasti akan membantumu, Hwe-thian Mo-li. Akan tetapi mendengar pengakuanmu bahwa engkau hendak membunuh diri,membuat aku merasa ngeri. Apa artinya bagiku bersusah payah mengajarkan semua ilmuku kepadamu, kalau akhirnya engkau
hanya akan membunuh diri" 


Bunuh diri merupakan perbuatan
yang paling rendah dan merupakan dosa besar, di samping memperlihatkan sifat pengecut.

"Kita hidup ini bukan atas kemauan kita sendiri, melainkan ada
yang menghidupkan. Karena itu, kita tidak berhak menghentikan
kehidupan kita. Yang berhak menghentikan hanyalah Dia yang
telah menghidupkan kita. "Bunuh diri hanya dilakukan oleh seorang pengecut yang tidak berani menghadapi kehidupan. 


Apakah engkau kelak ingin disebut
seorang pengecut yang berdosa besar, berdosa dan melakukan sesuatu yang sama sekali bukan menjadi hakmu" Kalau begitu,aku tidak mau mengajarkan apa-apa lagi kepadamu!"


"Paman Bu-beng-cu, setelah aku bertemu denganmu dan menerima pelajaranmu, juga mendengarkan semua nasihatmu,aku menyadari bahwa bunuh diri bukan merupakan perbuatan orang gagah. Baik, Paman, aku akan menambahkan janji dan
sumpahku. 


Pertama, aku tidak akan membunuh diri dan kedua,aku tidak akan sembarangan membunuh orang kalau tidak terpaksa untuk membela diri. Akan tetapi hanya satu kecualinya,
yaitu aku pasti akan membunuh Thian-te Mo-ong!"


Bu-beng-cu menghela napas lega.
"Sekarang hatiku lega, Hwe-thian Mo-li, karena aku yakin bahwa kelak engkau benar-benar akan menjadi seorang pendekar wanita yang bijaksana. 


Nah, marilah kita mulai berlatih. Akan tetapi, untuk melatih agar sin-kangmu benar-benar kuat, membutuhkan waktu lama, sedikitnya satu tahun. Dan untuk mengembangkan dan mematangkan ilmu pedangmu, juga membutuhkan waktu sedikitnya satu tahun."
"Aku akan belajar dengan tekun, Paman, berapa lama pun sampai
akhirnya akan dapat mengalahkan musuh besarku yang amat lihai
itu." 


Demikianlah, mulai hari itu, Siang Lan dengan amat tekun dan
penuh semangat mulai menerima gemblengan lagi dari Bu-bengcu yang mengajarkan cara menghimpun dan memperkuat tenaga sakti dengan sungguh-sungguh. Seperti juga dulu, Siang Lan datang ke lereng itu setiap pagi dan pulang setelah tengah hari.
Waktu yang tersisa ia pergunakan untuk mengajarkan ilmu silat
kepada Li Ai yang juga memperoleh banyak kemajuan. Juga para
anggauta Ban-hwa-pang tekun mempelajari ilmu silat.


         **********


Pada waktu itu, sekitar tahun 1602, Dinasti Beng semakin kehilangan pamornya. Hal ini terjadi karena banyak terjadi pemberontakan-pemberontakan dari rakyat di daerah-daerah yang merasa tidak puas dengan pemerintah. 

Waktu itu yang menjadi kaisar adalah Kaisar Wan Li (1572-162O) yang sudah berusia sekitar limapuluh tahun. Dapat dibilang bahwa seluruh pejabat pemerintah, dari para Thaikam (Orang Kebiri), pejabat tinggi sampai yang paling rendah, hampir tidak ada yang jujur. 

Semua melakukan kecurangan,
korupsi dan pemerasan terhadap rakyat, berlumba-lumba untuk
memperkaya diri sendiri. Keadilan hanya digembar gemborkan
belaka oleh para pejabat. Kesejahteraan rakyat juga hanya
digambarkan sebagai mimpi, namun kenyatanya yang sejahtera,bahkan jauh lebih daripada sejahtera, adalah para pejabat dari yang rendah, terutama yang tinggi.


Para pejabat hidup bermewah-mewah, memborong tanah sampai
beratus hektar bersekutu dengan para pedagang hartawan sehingga mereka hidup berlebihan. Rakyat kecil sama sekali tidak pernah merasakan apa yang digembar-gemborkan para pembesar tentang kemakmuran. 


Mereka hidup serba kekurangan, masih ditekan lagi oleh para pembesar daerah yang bersikap seolah menjadi raja di daerah mereka. Para petani diwajibkan memberi
sumbangan dengan ancaman hukuman kalau menolak.

Penindasan dan pemerasan terjadi di mana-mana sehingga rakyat
mulai bersikap tidak setia terhadap pemerintah.


Masih untung bagi kerajaan dinasti Beng bahwa pada saat kerajaan itu tidak populer lagi di mata rakyat dan di mana pemberontakan-pemberontakan terjadi di utara dan barat,pemerintah mempunyai dua orang menteri yang setia dan
bijaksana. Dua orang menteri itulah yang seolah merupakan tiang penyangga sehingga pemerintah Kerajaan Beng tidak sampai ambruk. 


Yang pertama adalah menteri Yang Ting Ho, menteri yang menjadi
penasihat Kaisar Wan Li. Dengan adanya Menteri Yang Ting Ho,
kekuasaan para Thai-kam pejabat sipil dapat dikekang karena setidaknya mereka takut kepada Menteri Yang Ting Ho yang terkenal jujur, setia dan pemberani. 


Kaisar yang lemah itu menaruh
rasa hormat yang mendalam terhadap Menteri Yang Ting Ho
sehingga semua nasihat Menteri Yang masih dipercaya dan dipatuhi kaisar. 


Yang kedua adalah menteri Chang Ku Cing yang menjadi panglima
besar, menguasai seluruh bala tentara Kerajaan Beng. Panglima yang berusia limapuluh tahun lebih ini bertubuh tinggi tegap,gagah, memelihara kumis jenggot yang pendek rapi. 


Dia seorang jantan yang jujur dan setia, berani memberantas segala
kemunafikan dan keburuan para pembesar yang korup.

Dengan adanya dua orang menteri ini, keadaan di kota raja tampak
tenteram. Kalau ada kerusuhan, hal itu terjadi di daerah yang jauh
dari kota raja. Panglima Chang Ku Cing selalu siap dengan pasukannya untuk menghancurkan setiap pemberontakan yang terjadi di daerah kota raja. Adapun urusan pemerintah sipil, dengan adanya Menteri Yang, di kota raja dapat dilaksanakan dengan tertib dan teratur. 


Para pejabat hanya dapat melakukan kegiatan korup mereka secara hati-hati sekali karena sekali saja ketahuan oleh menteri Yang, mereka pasti dituntut.
Karena dua orang menteri ini merupakan penghalang bagi para
pembesar yang suka menyalahgunakan kekuasaan mereka untuk mengumpulkan kekayaan sebesar-besarnya, maka diam-diam
mereka lalu bersekutu dan mencari seorang yang mereka anggap
memiliki cukup kemampuan dan kekuasaan untuk menghadapi
dua orang menteri itu. 


Orang yang mereka pilih ini adalah Pangeran Bouw Ji Kong, adik
tiri Kaisar Wan Li. Pangeran Bouw ini beribu seorang puteri kepala suku Hui yang diambil selir oleh Kaisar. 


Sebagai putera selir, tentu saja dia tidak mewarisi tahta kerajaan yang kemudian jatuh ketangan Pangeran Mahkota yang kini menjadi Kaisar Wan Li.
Biarpun tidak berani berterang, diam-diam Pangeran Bouw Ji Kong
menaruh rasa iri kepada Kaisar Wan Li. 


Kaisar Wan Li juga memberi kedudukan kepada adik tirinya ini sebagai penasihat kaisar di bidang hubungan dengan suku-suku bangsa yang berada di luar daerah Kerajaan Beng. Kedudukan ini cukup tinggi dan
karena itu Pangeran Bouw Ji Kong cukup berpengaruh. 

Bahkan dia berani mengatur kebijaksanaan para pembesar daerah-daerah perbatasan. 

Ketika para pembesar dan hartawan yang sudah bergabung dengan para Thai-kam di istana itu mendekatinya, tentu saja dia menerima dengan senang. Bagi pangeran Bouw Ji Kong, semakin banyak orang yang mendukungnya, semakin baik karena
bagaimanapun juga, dia sering mengharapkan suatu saat dapat
menggantikan kedudukan kakaknya sebagai kaisar!

Hubungannya dengan para pembesar dan hartawan ini membuat istana tempat tinggal Pangeran Bouw dibangun dan amat indah,
menyaingi istana kaisar sendiri! Pangeran Bouw Ji Kong melihat
betapa banyaknya pembesar yang mendukungnya, menjadi semakin ambisius untuk dapat menguasai tahta kerajaan.


Untuk memperkuat kedudukannya, maka diam-diam dia mengadakan kontak dengan suku-suku bangsa di utara, terutama dengan suku bangsa ibunya, yaitu suku Hui dan dengan bangsa Mancu! 

Ada beberapa orang perwira tinggi yang menjadi pendukung Pangeran Bouw, di samping banyak pembesar sipil.

Tentu saja mereka semua mengetahui akan ambisi pangeran Bouw untuk berusaha menggulingkan Kaisar Wan Li dan merampas kedudukannya sebagai kaisar. Mereka itu
mendukungnya, dengan janji mendapat imbalan pangkat tinggi
kelak kalau usaha pemberontakan itu berhasil.


Selain itu, juga Pangeran Bouw mempunyai pasukan pengawal
sendiri yang cukup kuat. Pasukan pengawal yang terdiri dari
kurang lebih seratus orang ini merupakan pasukan perajurit yang
terlatih dan rata-rata memiliki ilmu silat cukup tangguh.


Mereka pun mengenakan seragam yang megah, dengan ciri khas,
yaitu topi berwarna kuning. Di kota raja pasukan pengawal Pangeran Bouw ini dikenal sebagai Pasukan Topi Kuning!


Yang diserahi pimpinan pasukan ini, juga yang melatih para perajurit pengawal itu dengan ilmu silat andalan tujuh orang tokoh kang-ouw yang amat terkenal di dunia persilatan. 


Mereka bertujuh saudara seperguruan itu di dunia kang-ouw terkenal dengan julukan Kang-lam Jit-sian (Tujuh Dewa dari Kang-lam). Julukan ini sedikit banyak mendatangkan kejumawaan dalam hati mereka dan mereka merasa seolah menjadi datuk tanpa tanding, sakti seperti dewa-dewa! 

Tujuh jagoan ini dahulunya merupakan murid murid Thian-san-pai,akan tetapi mereka juga mempelajari berbagai ilmu silat dari aliran lain sehingga mereka tidak lagi menggunakan nama Thian-san-pai
sebagai pusat perguruan mereka. 


Karena kesombongan mereka,
maka para pimpinan Thian-san-pai menyatakan bahwa mereka bertujuh tidak diakui lagi menjadi murid dan segala sepak terjang mereka bukan tanggung jawab perguruan itu.
Kang-lam Jit-sian terdiri dari tujuh orang laki-laki yang sampai saat
itu belum berkeluarga walaupun usia mereka sudah setengah tua.

Yang pertama bernama Ji Gan, berusia limapuluh tahun, bertubuh
tinggi besar dengan muka persegi penuh berewok. Senjata andalannya adalah sebuah tombak berkepala naga. 


Orang kedua bernama Lui Kok, berusia empatpuluh delapan tahun, tubuhnya gemuk pendek tampak bundar, mukanya yang bulat itu tampak kekanak-kanakan, akan tetapi dia ini tidak boleh dipandang ringan
karena senjata andalannya berupa golok besar dan berat amat
berbahaya. Yang ketiga bernama Pui Song, tinggi besar bermuka hitam seperti arang dan senjata andalannya adalah siang-kiam (sepasang
pedang). 


Yang keempat bernama Pui Seng, adik dari Pui Song,tinggi kurus dengan muka pucat dan senjatanya juga sepasang pedang. Pui Song berusia empatpuluh tujuh tahun sedangkan
adiknya, Pui Seng, berusia empatpuluh lima tahun.

Kemudian yang kelima bernama Lo Kwan, usianya empatpuluh
tiga tahun, bertubuh sedang mukanya berbentuk mirip monyet dengan hidung pesek dan bibir tebal, senjatanya adalah siang-to
(sepasang golok). Orang keenam berusia empatpuluh dua tahun
bertubuh sedang dan mukanya tidak lebih baik dari Si muka monyet Lo Kwan karena To Pan ini kulit mukanya penuh lubanglubang burik atau bopeng (bekas penyakit cacar).
Orang terakhir atau yang ketujuh berusia empatpuluh tahun,bertubuh sedang dan dia inilah yang paling enak dipandang di antara mereka bertujuh karena Gu Mo Ek ini yang berkulit putih bersih memiliki wajah yang tampan. 


Senjata andalannya juga sebatang pedang. Dengan adanya Kang-lam Jit-sian ini maka Pasukan Topi Kuning
merupakan pasukan pengawal yang amat kuat karena para anggautanya dilatih oleh mereka. Juga pasukan ini mengenakan pakaian seragam yang mewah gemerlapan, hingga tampak gagah dan mentereng mengalahkan pasukan pengawal Kim-i-wi
(Pengawal Baju Emas) yang berada di istana kaisar!


Pangeran Bouw Ji Kong maklum benar bahwa kedudukan kakak
tirinya, Kaisar Wan Li, sesungguhnya rapuh dengan adanya pemberontakan-pemberontakan di daerah barat dan utara. Akan
tetapi berkat kebijaksanaan dua orang menteri Chang Ku Cing dan
Yang Ting Ho, maka pemerintah masih kuat.


Karena itu, setelah mengadakan perundingan rahasia dengan para
sekutunya, Pangeran Bouw memutuskan bahwa untuk mengawali langkah pertama, yang terpenting harus lebih dulu melenyapkan kekuatan yang mendukung kaisar. Mereka yang setia kepada Panglima Chang Ku Cing dan Menteri Yang Ting Ho, haruslah
dilenyapkan sebelum kedua orang menteri itu yang mendapat
giliran. Setelah mereka semua lenyap, maka akan mudah menggulingkan kaisar Wan Li dari kedudukannya dan merampas singgasana! 


Pada suatu malam yang gelap dan sunyi karena langit masih tertutup mendung tebal dan agaknya hujan sore tadi masih terancam hujan susulan, dua sosok bayangan orang berkelebat cepat sehingga kalau ada yang melihatnya tentu tidak akan
mengira bahwa yang berkelebat itu adalah manusia. Dua bayangan itu dengan kegesitan luar biasa telah berhasil melewati pagar manusia Pasukan Topi Kuning yang menjaga di sekeliling
i stana Pangeran Bong! Mereka berdua melayang ke atas
wuwungan tanpa ada yang mengetahui.

Sementara itu, di ruangan dalam, sebuah ruangan luas yang
dirahasiakan dalam istana itu. Pangeran Bouw Ji Kong duduk di
dalam ruangan itu, di kepala meja panjang dan belasan orang
duduk di sekeliling meja menghadapnya.


Pangeran Bouw Ji Kong berusia sekitar empatpuluh lima tahun.
Tubuhnya tinggi dengan perut gendut, wajahnya berwibawa dan
memiliki garis-garis yang menunjukkan kekerasan hatinya.
Pakaiannya mentereng dengan sulaman benang emas, seperti
pakaian kaisar saja. Di pinggang kirinya tergantung sebatang
pedang. 


Enambelas orang yang duduk menghadapinya itu terdiri dari tujuh
Kang-lam Jit-sian dan sembilan orang pembesar sipil dan militer.
Sembilan orang itulah yahg merupakan para pembesar di kota raja yang mendukung Pangeran Bouw Ji Kong. 


Sebetulnya terdapat lebih banyak lagi, namun yang diundang berkumpul pada malam hari itu hanyalah para pendukung yang berpangkat tinggi.
Sejak tadi mereka bercakap-cakap membicarakan rencana Pangeran Bouw, akan tetapi bukan merupakan rapat karena mereka semua masih menanti datangnya orang-orang yang
mereka anggap penting sekali. 


Kehadiran orang-orang itu ditunggu
sejak tadi oleh Pangeran Bouw Ji Kong.

Agaknya Pangeran Bouw merasa tidak sabar karena malam
semakin larut dan mereka yang dinanti-nanti belum juga muncul.
Dia memandang ke arah seorang perwira tinggi yang hadir di situ
lalu menegur. "Su-goanswe (Jenderal Su), mana mereka yang engkau laporkan kepada kami akan datang hadir" Mengapa sampai sekarang
mereka belum juga muncul?"

Su Lok atau Jenderal Su yang bertubuh tinggi besar dan memelihara kumis tikus dan jenggot panjang itu memberi hormat lalu menjawab. "Harap Pangeran bersabar. Saya merasa yakin bahwa mereka pasti akan hadir karena kedua pihak itu telah memberi kepastian kepada saya. Agar tidak mencolok, maka mereka tentu datang
dengan diam-diam." 


"Ahh, jangan-jangan mereka itu ketahuan dan tertangkap!" kata
seorang pembesar sipil dengan wajah tegang dan gelisah. Kalau sampai persekutuan mereka diketahui karena tertangkapnya utusan dari luar itu, tentu mereka semua akan celaka.


Jenderal Su Lok Ti mengerutkan alisnya kepada pembesar yang
mengatakan kekhawatirannya itu, akan tetapi dia tidak ingin ribut
berbantahan dengan seorang rekan. Dia berkata lagi kepada Pangeran Bouw. "Harap Pangeran tidak khawatir. 


Pihak utara dan selatan pasti mengirim utusan-utusan yang berkepandaian tinggi sekali
sehingga tidak mungkin mereka dapat tertangkap. Saya kira sebaiknya Paduka mulai dengan rapat ini, menjelaskan rencana Paduka kepada kami semua. Nanti kalau para utusan itu datang,dapat dijelaskan kepada mereka keputusannya."


Semua orang mengangguk. menyetujui usul ini dan Pangeran Bouw "Baiklah kalau begitu. Seperti yang kita semua ketahui, pendukung
Kaisar yang merupakan penghalang besar bagi kita adalah menteri
Yang Ting Ho dan Panglima besar Chang Ku Cing yang diikuti
beberapa orang pembesar yang setia kepada mereka. 


Sekarang yang ingin kita bicarakan, bagaimana kita harus menanggulangi
dan menyingkirkan penghalang-penghalang itu. Kalau ada yang
mempunyai usul atau saran yang baik, katakanlah."


Seorang yang berpakaian perwira tinggi berkata penuh semangat.
"Pangeran, sebaiknya kita langsung saja mencabut akar yang menjadi penghalang itu. Kita bunuh saja Yang Ting Ho dan Chang Ku Cing!" Semua orang terkejut mendengar saran yang radikal itu. 


Pangeran Bouw mengerutkan alisnya, lalu menggelengkan kepalanya.
"Saran itu menuju ke sasaran pokok, namun tidak mungkin dilakukan. Ingat, mereka berdua merupakan orang penting yang dekat kaisar dan mereka mempunyai banyak bawahan yang setia kepada mereka. 

Amat sukar untuk dapat melenyapkan mereka karena mereka mempunyai pengawal yang kuat. Andai kata kita
dapat membunuh mereka pun, tentu akan menimbulkan kegemparan dan kita dapat dicurigai. Akan berbahaya kalau kita ketahuan sebelum kedudukan kaisar menjadi lemah.


"Menurut kami, akan lebih baik kalau kita berusaha melemahkan kedudukan kedua orang penting itu dengan jalan diam-diam
membinasakan para pengikut mereka yang setia. Kematian pembesar lain tentu tidak akan menimbulkan banyak kegemparan." "Pangeran, saya mempunyai saran yang kiranya lebih baik dan lebih aman," kata seorang pembesar sipil yang usianya sudah
enampuluh tahun lebih. 


"Kita tentu masih ingat akan kematian Panglima Kui Seng yang membunuh diri di depan Panglima besar Chang Ku Cing. Semua orang tahu bahwa mendiang Panglima Kui Seng adalah pembantu utama yang setia kepada Panglima besar Chang. Bahkan sudah
membuat banyak jasa. 


Akan tetapi panglima besar Chang
mendesaknya karena demi menolong puterinya, Panglima Kui telah membebaskan tawanan dari penjara.

"Nah, peristiwa itu tentu mendatangkan perasaan tidak senang dan penasaran dalam hati para perwira anak buah Panglima besar
Chang. 

Kesempatan ini kita pergunakan untuk membujuk mereka agar meninggalkan Panglima besar Chang dan mendukung gerakan kita. 

Demikianlah, kalau mereka semua meninggalkan Panglima besar Chang, berarti kedudukan mereka menjadi lemah dan mudah bagi kita untuk menyingkirkan mereka."

Pangeran Bouw mengangguk-angguk dan sepasang matanya bersinar gembira. "Bagus sekali saran Ciok-taijin (Pembesar Ciok) itu. Baik, kita
mencoba untuk membujuk mereka dan kalau ada yang menolak,baru kita bunuh mereka yang menolak ajakan kita. 


Nah, siapa yang akan melaksanakan pembasmian mereka yang tidak mau bekerja sama dengan kita" Pekerjaan ini harus dilakukan dengan hati-hati
jangan sampai ketahuan."


"Pangeran, saya yang akan mengatur pembasmian mereka itu!"
kata Jenderal Su Lok Ti. "Wah, itu terlalu berbahaya!" cela seorang pejabat tinggi lainnya.
"Kalau Su-goanswe yang mengatur, lalu ketahuan, berarti rahasia
kita semua terbongkar."

"Tidak akan ada yang dapat mengetahui!" bantah Jenderal Su yang
berwatak keras. 


Terjadi perbantahan antara mereka yang hadir, ada yang pro Sugoanswe akan tetapi ada pula yang anti. Akhirnya Pangeran Bouw
mengangkat tangan memberi isyarat dan semua orang terdiam.

"Kita harus bertindak hati-hati. Memang sebaiknya kalau usaha
pembasmi pihak musuh itu dilakukan oleh sekutu kita yang datang
dari luar. 


Selain mereka mempunyai banyak orang sakti, juga seandainya mereka tertangkap, istana tentu akan menganggap penyerangan sebagai tindakan para pemberontak di luar daerah itu dan sama sekali tidak akan mencurigai kita," kata Pangeran
Bouw Ji Kong. 


"Akan tetapi bagaimana kalau mereka kemudian mengaku tentang
persekutuan mereka dengan kita, Pangeran?" tanya seorang di
antara para perwira tinggi yang berada di situ.

"Mereka tidak akan mengaku, dan andaikata mereka mengaku,
Kaisar tidak akan percaya. Buktinya tidak ada dan kaisar pasti akan
lebih percaya kepadaku daripada mereka. 


Sudahlah, jangan khawatir. Sekarang sudah kita tentukan. Kita akan membujuk para pendukung Panglima besar Chang dengan matinya Panglima Kui sebagai alasan. Kalau bujukan itu telah dilaksanakan, maka siapa di antara mereka yang tidak mau bekerja sama, akan kita bunuh
satu demi satu dan yang melaksanakan adalah orang-orang dari suku Mancu, suku Hui, dan dari Pek-lian-kauw."


"Akan tetapi, apakah mereka sanggup melaksanakan tugas berat
itu?" tanya seorang pembesar sipil.
"Ha-ha-ha, siapa yang menyangsikan kesanggupan dan kemampuan kami?" tiba-tiba terdengar suara yang berlogat asing dan tiba-tiba berkelebat dua sosok bayangan dan tahu-tahu di dalam ruangm itu telah berdiri dua orang. 


Agaknya mereka berdua tadi melayang masuk melalui atap yang mereka buat tanpa ada pengawal yang melihat mereka saking cepatnya mereka bergerak.

Seorang kakek tinggi kurus berwajah pucat seperti mayat dengan
rambut putih, matanya sipit dan mulutnya menyeringai penuh
ejekan membawa sebatang pedang di punggung dan sebatang kebutan putih terselip di ikat pinggang, dan seorang laki-laki setengah tua yang berpakaian serba tebal, tubuhnya tinggi besar,mukanya berwarna merah tanpa kumis maupun jenggot, di pinggangnya tergantung sebatang golok gergaji.


Kakek itu berusia sekitar enampuluh lima tahun dan dia adalah Hwa Hwa Hoat-su, seorang datuk dari Pek-lian-kauw yang berilmu tinggi, baik ilmu silat maupun ilmu sihirnya. Dia datang berkunjung sebagai wakil dan utusan Pek-lian-kauw yang menjadi satu di antara para sekutu Pangeran Bouw.


Adapun laki-laki kedua bermuka merah itu adalah Hongbacu,
berusia sekitar empatpuluh lima tahun. Dia bukan orang
sembarangan karena dia adalah adik seperguruan dari Nurhacu,
tokoh Mancu yang kelak berhasil merobohkan kerajaan Beng dan
membangun dinasti Ceng. 


Hongbacu ini menjadi wakil pihak Mancu dan utusan dari Nurhacu yang diam-diam juga menjadi sekutu Pangeran Bouw. Hongbacu memiliki ilmu kepandaian tinggi pula, di antara bangsa-bangsa di utara dia amat terkenal karena kelihaiannya.
Pangeran Bouw yang sudah mengenal dua orang tokoh itu segera
bangkit berdiri menyambut dengan girang.


"Ah, kiranya Hwa Hwa Hoat-su wakil Pek-lian-kauw dan Saudara
Hongbacu wakil dari Mancu. Selamat datang dan silakan duduk!"
Setelah mereka berdua duduk di kursi yang memang sudah dipersiapkan untuk mereka, Hongbacu memandang kepada para
hadirin, lalu bertanya dengan heran kepada tuan rumah.


"Pangeran Bouw, saya tidak melihat Tarmalan, padahal dia adalah
orang penting dalam persekutuan kita. Kenapa dia tidak hadir
malam ini?" "Saudara Hongbacu, jangan khawatir, kami yakin bahwa dia pasti akan hadir," jawab Pangeran Bouw.


"Heh-heh, apakah aku terlambat?" terdengar suara orang tanpa
tampak orangnya. Lalu dari jendela muncul gumpalan asap memasuki ruangan itu dan perlahan-lahan asap itu membuat bentuk lalu berubah menjadi seorang laki-laki bertubuh sedang, berwajah tampan dan
memegang sebatang tongkat ular. 


Usianya sekitar limapuluh lima
tahun. Inilah Tarmalan, orang penting yang menjadi utusan suku bangsa
Hui dan terkenal sebagai dukun atau ahli sihir. 


Dukun Tarmalan ini
masih terhitung paman dari pangeran Bouw karena ibu kandung
Pangeran Bouw yang menjadi selir Kaisar Cia Ceng ayah Kaisar Wan Li yang sekarang menjadi kaisar Kerajaan Beng, adalah kakak tertua dari Tarmalan.


Kecuali Hongbacu dan Hwa Hwa Hoat-su yang berilmu tinggi,
mereka yang duduk di situ memandang kagum atas kemunculan
Tarmalan yang luar biasa itu. Tarmalan yang menjadi dukun dari
suku bangsa Hui memang terkenal lihai, terutama ilmu sihirnya.

Setelah tiga orang tamu istimewa itu duduk, Pangeran Bouw lalu
berkata kepada mereka. "Terima kasih atas kedatangan Sam-wi (Anda bertiga) yang memang sejak tadi kami menantikan. Di dalam perundingan kami tadi, kami telah mengambil keputusan dan kini hanya tinggal minta pertimbangan Sam-wi apakah keputusan itu dapat diterima
ataukah ada usul lain."


"Apakah keputusan itu, Pangeran" Harap jelaskan dan akan kami
pertimbangkan," kata Hwa Hwa Hoat-su sambit mengelus jenggotnya yang putih. "Keputusan kami begini, Locianpwe (orang Tua Perkasa).
Kekuatan pemerintah terletak kepada Menteri Yang Ting Ho dan Panglima Chang Ku Cing. Kalau mereka berdua tidak ada, maka pemerintah akan menjadi lemah dan mudah kita gulingkan.


Membinasakan dua orang tokoh itu tidaklah mudah dan akan menimbulkan kegemparan sehingga ada bahayanya persekutuan
kita ketahuan sebelum kita sempat bergerak. Maka, kami tadi
mengambil keputusan untuk melemahkan kedudukan dua orang
itu dengan dua cara, yaitu pertama membujuk para pembesar sipil
dan militer yang setia kepada mereka berdua dan cara kedua,membunuh mereka yang tidak mau bergabung dengan kita."


"Ah, bagus sekali rencana itu!" kata Hwa Hwa Hoat-su. "Tidakkah
engkau juga menyetujuinya, Sobat Hongbacu?"


Tokoh Mancu itu mengangguk-anggukan kepalanya. "Memang
tepat sekali kalau dua orang menteri itu kehilangan pendukung
mereka, kedudukan mereka tentu lemah dan mudah bagi kita untuk
menyingkirkannya sehingga Kaisar tidak lagi mempunyai pendukung setia yang tangguh."


"Kami memang senang bahwa Sam wi agaknya sudah setuju dengan keputusan itu. Dan mengingat akan penting dan sukarnya pekerjaan ini, maka kami mengharapkan bantuan Sam-wi untuk melaksanakannya." 


"Silakan Pangeran mengadakan pendekatan dan bujukan kepada
para pembesar yang mendukung Menteri Yang dan Panglima
Chang itu, kemudian memberitahu kami siapa-siapa yang tidak
mau bergabung dan harus dienyahkan. Pekerjaan itu akan kami
bagi bertiga agar dapat terlaksana lebih cepat," kata Hwa Hwa
Hoat-su yang memandang ringan tugas itu.


"Ha-ha-ha!" Hongbacu tertawa. "Tugas semudah itu serahkan saja
kepadaku. Aku akan dapat membasmi mereka. Katakan saja kepadaku siapa-siapa yang harus dibunuh, Pangeran!"
"Heh-heh-heh, Hongbacu, tidak boleh kau borong sendiri! Aku setuju dengan pendapat Hwa Hwa Hoat-su tadi. 


Tugas itu kita bagi bertiga dan kita lihat saja siapa yang lebih dulu dapat
menyelesaikan tugas dengan sempurna!" Tarmalan berkata sambil
memandang kepada tokoh Mancu bertubuh tinggi besar dan bermuka merah itu. "Kami akan melaksanakan cara pertama, melakukan pendekatan
dan membujuk para pembesar itu. 


Sementara itu, Sam-wi lebih
baik tinggal di sini dan tidak keluar agar jangan terlihat orang lain.
Nanti setelah kami melakukan cara pertama, baru kami akan memberitahukan siapa-siapa yang harus dilenyapkan oleh Samwi," kata Pangeran Bouw.


Semua orang setuju dan pertemuan itu ditutup dengan makan
malam yang sudah dipersiapkan. Hidangan mewah dengan arak
yang harum. 


Sampai larut lewat tengah malam barulah pertemuan
itu diakhiri dan para pembesar sipil dan militer itu kembali ke rumah
masing-masing. Hwa Hwa Hoat-su, Hongbacu, Tarmalan masing-masing diberi sebuah kamar mewah dalam istana Pangeran Bouw dan sejak
malam itu mereka menanti di istana, dilayani dengan baik oleh para....
























Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12