Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jodoh Rajawali
Jilid 19
Sudah
terlalu lama kita meninggalkan Suma Kian Lee, putera dari Pulau Es itu. Telah
diceritakan di bagian depan betapa Kian Lee meninggalkan puncak Bukit Nelayan
di tepi sungai di kaki Pegunungan Tai-hang-san, yaitu tempat tinggal dari
Sai-cu Kai-ong untuk pergi mencari Kian Bu. Adiknya itu pergi tanpa pamit dan
Kian Lee menduga bahwa adiknya tentu akan pergi ke pantai Po-hai, seperti
diceritakan oleh Kian Bu yang akan memenuhi tantangan Ang-siocia yang telah
mencuri pusaka palsu yang disimpan Sin-siauw Sengjin.
Akan tetapi
setelah lama mencari-cari di pantai Po-hai, dia tidak dapat menemukan
siapa-siapa, juga tidak dapat menemukan jejak adiknya. Hati Kian Lee mulai
merasa tidak enak dan dia menduga-duga ke mana perginya adiknya itu yang kini
telah terkenal sebagai pendekar Siluman Kecil yang amat tinggi kepandaiannya.
Karena telah melakukan penyelidikan ke seluruh pantai tanpa hasil, akhirnya
Kian Lee meninggalkan pantai, masih bingung tidak tahu ke mana dia harus
mencari adiknya itu.
Ketika belum
jauh dia meninggalkan pantai Po-hai, menyusuri lembah muara Sungai Huang-ho,
tiba-tiba dari jauh dia melihat orang-orang sedang bertempur secara aneh dan
dari gerakan mereka yang gesit itu mudah diketahui bahwa yang sedang bertanding
adalah orang-orang yang memiliki ilmu silat yang tinggi. Cepat-cepat Kian Lee
berlari menghampiri, akan tetapi dia berlari sambil menyelinap di antara
batu-batu dan akhirnya dia tiba di dekat tempat itu, mengintai dari balik
sebuah batu besar dan memandang penuh perhatian.
Kini dia
merasa kagum dan juga terheran-heran. Yang bertanding itu adalah seorang dara
cantik jelita yang amat aneh caranya bersilat karena dara ini mempergunakan
sebuah senjata istimewa sekali, yaitu sebatang payung yang berkembang! Senjata
seperti ini sebetulnya tidaklah terlalu asing bagi Kian Lee, karena ibu
tirinya, yaitu ibu kandung Kian Bu, Puteri Nirahai, adalah seorang yang ahli
bersilat dengan payung. Akan tetapi, dara cantik ini memainkan payungnya
seperti orang menari-nari saja, bukan seperti orang bersilat, apa lagi
berkelahi! Padahal, saat itu dia dikeroyok oleh dua orang lawan yang amat
tangguh dan yang amat tinggi tingkat ilmu silatnya! Kian Lee memandang penuh
perhatian kepada dara cantik jelita itu.
Dara itu
cantik jelita dan manis bukan main, usianya kurang lebih sembilan belas tahun,
pakaiannya dari sutera yang halus dan indah, yang mencetak tubuhnya yang tinggi
ramping, dengan lekuk lengkungnya yang menonjol dan menggairahkan. Tubuh yang
amat menarik dari seorang dara yang sudah dewasa dan bagaikan sekuntum bunga
sedang mekar. Wajahnya manis sekali, sepasang matanya bergerak-gerak jenaka dan
sinarnya tajam dan aneh. Hidungnya kecil dan mulutnya selalu tersenyum manis,
sehingga dalam keadaan bertanding itu dia seperti orang main-main saja. Gerakan
tubuhnya cekatan dan aneh, kedua kakinya kadang-kadang mencuat dengan
tiba-tiba, tanda bahwa dara ini memiliki keistimewaan dalam ilmu tendangan yang
berbahaya bagi pihak lawan.
Ada pun dua
orang pengeroyok itu pun bukan orang-orang yang lemah. Sebaliknya malah ilmu
kepandaian mereka tinggi sekali, tidak kalah sebetulnya kalau dibandingkan
dengan tingkat ilmu silat dari dara berpayung itu. Mereka adalah seorang wanita
muda berusia dua puluh dua tahun dan seorang laki-laki yang usianya kurang lebih
tiga puluh tahun.
Wanita itu
berpakaian serba hijau dan gerakannya amat gesit, seperti seekor burung
beterbangan saja ketika dia menghadapi lawannya. Wanita muda ini juga cukup
cantik, akan tetapi pandang matanya membayangkan kekerasan hati dan keganasan.
Ada pun laki-laki yang mengeroyok itu jelas bukanlah orang Han asli. Matanya
agak biru, kulitnya bule dan rambutnya coklat, akan tetapi wajahnya tampan
sekali dan membayangkan kehalusan budi.
Tiba-tiba
Kian Lee terkejut bukan main ketika melihat wanita baju hijau itu menggosok
gosok kedua tangannya dan membuat gerakan berputar-putar di depan dada. Dia
maklum bahwa gerakan seperti itu tentu mengandung tenaga sinkang mukjijat, maka
dia sudah siap untuk menolong jika ada yang terancam bahaya.
“Sumoi,
jangan!” tiba-tiba laki-laki yang berkulit putih itu mencegah dan wanita baju
hijau itu mengurungkan pukulannya yang mukjijat. Agaknya laki-laki yang menjadi
suheng itu tidak mengijinkan sumoi-nya menurunkan tangan maut terhadap dara
cantik berpayung itu.
“Hi-hik,
kalian ini pembohong-pembohong besar! Penculik-penculik hina! Masih belum mau
tunduk kepada nonamu?” Si cantik jelita itu berseru dengan suaranya yang
nyaring halus, kemudian dia mengeluarkan suara melengking nyaring, suara
melengking yang amat aneh namun menggetarkan perasaan.
Kian Lee
yang bersembunyi di belakang batu itu sampai terkejut bukan main karena
tiba-tiba dia merasa betapa jantungnya ikut tergetar! Tak disangkanya bahwa
nona itu memiliki kekuatan khikang yang demikian ampuhnya. Akan tetapi lebih
terkejut lagi dia ketika mendengar dara manis itu mulai terkekeh, tertawa geli.
Anehnya, dia melihat dua orang pengeroyoknya itu pun mulai tertawa-tawa! Dan
karena tertawa-tawa yang agaknya di luar kehendak mereka itu maka gerakan
mereka menjadi kacau dan hampir saja pinggang wanita baju hijau kena disambar
tendangan dara manis itu dan kepala si laki-laki bule hampir kena dihantam
ujung payung yang sebentar tertutup sebentar terbuka itu!
Kian Lee
kaget setengah mati ketika tiba-tiba dia pun menyeringai lebar! Tidak sampai
mengeluarkan suara tertawa seperti dua orang pengeroyok itu, tetapi ada
kekuatan aneh yang seolah-olah memaksanya untuk tertawa ketika dia mendengar
suara tertawa merdu dari dara itu! Ketika merasa betapa hatinya geli dan
mulutnya menyeringai, Kian Lee mengerti bahwa dara cantik berpayung itu
ternyata telah mempergunakan ilmu sihir!
Sebagai
putera Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang terkenal dengan kekuatan
sihirnya yang mukjijat, biar pun dia tidak mempelajari ilmu itu, namun dia tahu
apa bila ada orang mempergunakan sihir. Tadinya dia merasa bingung dan tidak
tahu harus membantu siapa karena dia tidak mengenal mereka bertiga itu dan
tidak tahu urusan apa yang membuat mereka bertempur mati-matian seperti itu.
Akan tetapi setelah kini nona berpayung itu menggunakan sihir, hatinya merasa
tidak senang. Nona itu berlaku curang kalau menggunakan sihir, pikirnya.
Maka Kian
Lee yang melihat betapa kini dua orang pengeroyok itu yang masih terus
tertawa-tawa dan kelihatan bingung mendapat serangan hebat oleh dara berpayung,
bahkan sudah dua kali mereka itu terkena tendangan yang membuat mereka
terhuyung huyung, akan tetapi dalam keadaan terhuyung tetap saja mereka tertawa
terpingkal pingkal, Kian Lee tidak ragu-ragu lagi untuk turun tangan menentang
dara tukang sihir itu.
Dengan
pengerahan sinkang-nya, Kian Lee lalu mengeluarkan suara melengking yang
mengandung khikang, lengkingan suaranya seperti seekor burung rajawali yang
marah, menggetar dan menggema di seluruh penjuru tempat itu. Dara cantik yang
terkekeh kekeh itu terkejut bukan main dan dua orang pengeroyoknya seketika
juga sadar dan tidak tertawa lagi. Kini dengan kemarahan meluap mereka lalu
menyerang dara itu.
“Siluman
jahat!” bentak wanita baju hijau sambil mengirim pukulan dahsyat yang biar pun
dapat dielakkan oleh dara itu namun membuat kuda-kudanya menjadi rusak dan dia
terpaksa harus meloncat ke belakang dan menggerakkan payungnya sehingga payung
itu terbuka membentuk perisai yang melindungi tubuhnya, sedang kaki kanannya
sudah menyambar ke arah dada pengeroyok pria tadi. Akan tetapi orang bule itu
pun dapat mengelak dan membalas dengan serangan yang cukup dahsyat. Maka
seketika dara berpayung itu kini terdesak hebat!
Siapakah
dara cantik berpayung yang pandai ilmu sihir itu? Tentu para pembaca sudah
dapat mengenalnya. Dia memang Teng Siang In, dara yang cantik jelita dan jenaka
itu, murid terkasih dari See-thian Hoat-su si ahli sihir. Seperti telah kita
ketahui, dara ini pun berkeliaran di sekitar pantai Lautan Po-hai untuk mencari
Puteri Syanti Dewi. Akan tetapi usahanya tidak berhasil, bahkan dia tidak dapat
menemui gurunya karena kakek itu pun tidak berada di dalam Goa Tengkorak. Maka
dengan hati kesal dia terpaksa meninggalkan pantai itu.
Ketika pada
suatu hari dia tiba di sebuah dusun dan memasuki rumah makan, hatinya yang
kesal menjadi makin jengkel melihat lagak laki-laki yang menjadi kuasa rumah
makan itu, yang begitu melihat dia masuk, sudah lantas meninggalkan mejanya dan
tersenyum-senyum lebar menyongsong kedatangannya.
“Ah, silakan
masuk, silakan, Nona. Kami menyediakan meja terbaik untuk Nona...!” Dan
diiringi seorang pelayan yang tersenyum-senyum melihat lagak majikannya ini
waktu mempersilakan Siang In untuk duduk di dekat meja kasir di mana kuasa itu
duduk! Melihat betapa kuasa restoran itu tidak menyambut tamu lain dan
mengistimewakan dia dengan lagak menjemukan, tentu saja Siang In maklum betapa
laki-laki itu mencari muka, maka hatinya yang sedang kesal menjadi makin kesal!
“Nona
kelihatan lelah sekali, tentu melakukan perjalanan jauh? Bolehkah saya
bertanya, dari mana...” Kuasa itu, seorang pria yang usianya kurang lebih tiga
puluh tahun dan bertubuh tinggi besar gendut seperti raksasa, tidak melanjutkan
kata-katanya karena Siang In sudah bangkit dari bangkunya dan melangkah
menghampirinya.
Laki-laki
itu memandang heran dan girang, mengira bahwa Siang In menyambut sikapnya dan
hendak melayaninya, akan tetapi tiba-tiba Siang In mengeluarkan sebuah mata
uang dari saku bajunya dan meletakkannya di atas meja kasir.
“Ini untuk
harga makanan yang akan kupesan, selebihnya biar untuk menutup mulutmu yang
lebar!”
Setelah
berkata demikian, Siang In lalu membalikkan tubuhnya dan kembali duduk di
bangkunya, akan tetapi sekarang dia memilih bangku yang membelakangi kuasa atau
kasir itu. Laki-laki tinggi besar itu tadinya menjadi merah mukanya, merah
karena malu dan marah, merasa dihina orang di depan umum, akan tetapi ketika
dia memandang ke atas meja, ke arah uang perak itu dan menggerakkan tangan
hendak mengambilnya, wajahnya berubah menjadi pucat sekali karena uang perak
itu ternyata telah menancap sampai rata dengan permukaan meja dan tidak dapat
diambilnya! Untuk mengambil uang perak itu kiranya harus dipergunakan alat
untuk mencongkelnya keluar!
Tahulah dia
bahwa dara yang cantik seperti bidadari itu adalah seorang pendekar wanita
kang-ouw yang berilmu tinggi sehingga memiliki tenaga mukjijat dan sekali tekan
saja sudah mampu membuat uang perak itu menancap sampai rata dengan permukaan
meja! Hati Siang In merasa puas ketika mendengar betapa kuasa itu dengan suara
bisik-bisik lalu memerintahkan pelayan untuk melayaninya dengan cepat dan baik,
dan selanjutnya benar saja tidak berani lagi bicara kepadanya sepatah kata pun.
Akan tetapi
segera perhatian Siang In tertarik akan bunyi rengek seorang anak kecil. Dia
menengok dan melihat seorang laki-laki berusia tiga puluh tahun yang berkulit
putih dan bermata kebiruan seperti orang asing akan tetapi yang berpakaian Han,
bersama seorang wanita cantik berpakaian hijau yang menuntun seorang anak
laki-laki berusia kurang lebih lima tahun memasuki restoran itu.
“Kenapa
belum juga sampai?” terdengar anak itu bertanya dengan suara merengek.
Melihat anak
laki-laki itu, timbul rasa suka di hati Siang In. Anak itu matanya tajam dan
penuh keberanian, mulutnya dikatupkan keras-keras tanda bahwa anak ini memiliki
kekerasan hati, akan tetapi alisnya berkerut seperti anak yang marah.
“Sssttt,
kita makan dulu...,“ bisik wanita baju hijau dan kebetulan sekali mereka
bertiga, duduk di meja dekat meja Siang In.
Anak itu,
duduknya kebetulan menghadap ke arah Siang In. Dara ini yang merasa suka kepada
anak itu lalu mengejap-ngejapkan mata dan tersenyum kepadanya. Lalu Siang In
mengambil sepasang sumpit yang berada di atas meja, ditiupnya sepasang sumpit
itu dan ketika dia mendirikan sumpit dan melepaskan tangan, sepasang sumpit itu
menari nari di atas meja! Anak itu terbelalak, wajahnya lalu berseri dan dia
segera turun dari bangkunya dan lari menghampiri meja Siang In untuk nonton
sumpit menari!
Melihat ini,
wanita baju hijau itu cepat bangkit berdiri. Dia tidak melihat sumpit menari
maka melihat anak itu menghampiri meja Siang In, cepat dia memegang tangan anak
itu dan berkata sambil menarik muka manis kepada Siang In, “Harap maafkan anak
saya yang tidak tahu aturan!” Lalu dia menarik tangan anak itu kembali ke
mejanya.
Siang In
mengerutkan alisnya. Hemm, kau boleh menipu orang lain akan tetapi tidak bisa
membohongi aku, pikirnya. Dia dapat melihat dengan jelas bahwa wanita berbaju
hijau itu biar pun usianya sudah kurang lebih dua puluh dua tahun akan tetapi
adalah seorang perawan. Bagaimana bisa mempunyai anak sebesar itu? Akan tetapi,
karena dia merasa bahwa dia tidak mempunyai sangkut-paut dengan mereka, maka dia
tidak dapat mencampuri urusan orang lain. Betapa pun juga, dia merasa tidak
senang karena dia tahu bahwa anak itu jelas bukan anak wanita itu, atau anak
pria itu. Wajah anak itu sama sekali tidak ada mirip-miripnya dengan wanita
atau laki-laki itu, apa lagi kalau diingat bahwa wanita itu adalah seorang yang
masih perawan, belum menikah, maka jelas tidak mungkin mempunyai anak!
Tadinya
Siang In sudah tidak mau memperhatikan lagi karena merasa tidak berhak
mencampuri urusan orang. Mungkin saja anak itu adalah anak angkat dari wanita
itu, dan hal ini bukannya aneh. Maka ketika masakan yang dipesannya telah
datang, dia segera mulai makan.
Tiba-tiba
perhatiannya tertarik lagi kepada wanita baju hijau dan laki-laki bule itu
karena dia mendengar mereka bicara dalam bahasa Mongol! Dan kebetulan Siang In
mengenal bahasa ini yang dipelajarinya dari gurunya!
“Sudah
kukatakan bahwa tidak baik membawa anak ini ke restoran. Bisa menarik perhatian
orang saja. Sebaiknya kau beli makanan dan membawa makanan itu ke hutan di
timur dekat lembah, kami menanti di sana!” demikian kata wanita baju hijau itu
dengan suara lirih dan dalam bahasa Mongol, akan tetapi cukup dapat ditangkap
oleh telinga Siang In yang terlatih.
Wanita baju
hijau itu lalu memondong anak itu dan membawanya keluar dari rumah makan dengan
cara tergesa-gesa, meninggalkan laki-laki bule itu memesan masakan dan minta
agar masakan-masakan itu dibungkus saja karena hendak dibawanya keluar.
Makin
besarlah rasa kecurigaan Siang In. Jelas bahwa ada sesuatu yang tidak beres
atas diri anak kecil itu. Jelas bukan anak mereka dan jelas pula bahwa mereka
sedang berusaha menyembunyikan anak itu dari umum! Penculikankah?
Siang In
cepat menyelesaikan makannya dan ketika laki-laki bule itu membawa keluar
makanan yang dibungkus dan meninggalkan restoran dengan cepat, dia pun bangkit
dan segera membayangi orang itu. Kecurigaannya makin besar ketika dia melihat
betapa laki-laki bule itu setelah tiba di luar dusun lalu berlari cepat sekali,
ternyata orang itu memiliki kepandaian tinggi dan ilmunya berlari cepat
menunjukkan bahwa orang itu bukanlah orang biasa. Maka dia pun cepat mengejar
dan membayanginya terus.
Akan tetapi
ketika laki-laki itu tiba di dalam hutan, yang menyambutnya hanya wanita baju
hijau itu saja, sedangkan anak tadi entah berada di mana. Dan ternyata bahwa
laki laki itu ternyata tahu pula bahwa dia dibayangi, karena begitu tiba di
situ dan bertemu dengan wanita baju hijau, dia bicara berbisik-bisik, dan
setelah meletakkan bungkusan makanan di bawah pohon, laki-laki itu lalu
membalik dan berseru dengan nyaring, “Nona yang membayangi orang, harap keluar
dan bicara!”
Siang In
terkejut, akan tetapi sambil tersenyum dia lalu keluar dari balik pohon dan
dengan langkah gontai dan tenang dia menghampiri mereka. Dia tidak mempedulikan
pandang mata kagum dari laki-laki bule itu. Pandang mata pria seperti itu sudah
biasa dia hadapi dan selama laki-laki tidak mengganggunya, dia pun tidak
mempedulikan pandang mata mereka penuh kagum itu. Sedikit banyak pandang mata
kaum pria seperti itu mendatangkan perasaan nyaman juga di dalam hatinya dan
mempertinggi harga dirinya!
Laki-laki
itu cukup sopan dan hormat, karena dia segera menjura kepada Siang In yang
mengempit payung hitamnya, tidak seperti wanita baju hijau yang memandang
dengan sinar mata penuh selidik dan alis dikerutkan. “Nona, kami melihat bahwa
Nona bukanlah orang sembarangan, akan tetapi yang membuat kami heran adalah
mengapa Nona mengikuti saya ketika menuju ke sini? Ada urusan apakah yang
hendak Nona bicarakan dengan kami?”
Melihat
sikap pria asing itu, Siang In juga balas menjura. “Sebenarnya, antara aku dan
kalian tidak ada urusan apa-apa, dan aku pun tidak akan berani mengganggu orang
tanpa sebab. Akan tetapi ada terjadi hal-hal yang mencurigakan hatiku dan yang
tentu akan membuat aku selalu merasa penasaran sebelum memperoleh keterangan
dari kalian berdua.”
“Hemmm,
bocah yang lancang. Kau menghendaki keterangan apakah?” tiba-tiba wanita baju
hijau itu berkata, suaranya jelas mengandung kemarahan.
Akan tetapi
Siang In tetap saja tersenyum, dan bukan main manisnya dara ini kalau hatinya
sedang tegang dan ditutup oleh senyumnya yang khas. “Aku kini hanya ingin
bertanya, mengapa ada seorang gadis mempunyai anak dan mengapa ada anak
disembunyikan dari umum dan di mana pula adanya anak tadi? Biar aku bertanya
sendiri kepadanya!”
Mendengar
ini, wanita baju hijau itu memandang marah. “Jangan mencampuri urusan orang
lain!”
Siang In
tersenyum. “Sayang, sudah menjadi watakku untuk mencampuri segala macam urusan
yang tidak beres. Mengapa kalian tidak mau menjawab? Apakah kalian menculik
anak itu?”
Mendengar
ini, wanita baju hijau itu segera menyerangnya dengan pukulan yang datangnya
cepat dan kuat sekali. Diam-diam Siang In terkejut bukan main. Kiranya wanita
ini pun memiliki kepandaian hebat! Cepat dia mengelak dan balas menyerang.
Segera mereka berdua sudah saling serang dengan dahsyatnya. Melihat ini,
laki-laki asing itu pun melompat maju dan berkata, “Sumoi, tidak perlu membunuh
dia, robohkan saja agar kita dapat melarikan diri!” katanya.
Menghadapi
pengeroyokan mereka, Siang In segera mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya
tidak mampu untuk menandingi mereka, maka dia cepat menggerakkan payungnya.
Akan tetapi kedua orang yang ternyata sangat lihai itu sama sekali tidak
mengeluarkan senjata, melainkan mengeroyoknya dengan kedua tangan kosong saja.
Dan pada waktu dia terdesak itulah muncul Kian Lee yang mengintai dan menonton
pertempuran itu.
Ketika Siang
In terpaksa mengerahkan ilmu sihir untuk menghadapi dua orang lawan tangguh itu
sehingga dia sudah dapat mendesak mereka, niat hati Siang In hanya merobohkan
mereka kemudian memaksa mereka mengaku tentang anak itu. Akan tetapi dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika tiba-tiba terdengar bunyi lengking
yang luar biasa hebatnya, seperti bunyi lengking seekor burung rajawali
sehingga hatinya tergetar dan kekuatan sihirnya membuyar. Dia lalu terdesak
hebat dan terancam bahaya, akan tetapi Siang In tidak putus asa dan tidak
menjadi gentar. Dengan nekat dia melawan terus, menggunakan payungnya untuk
melindungi tubuhnya dari desakan kedua orang lawannya.
Karena tadi
mereka berdua hampir saja menjadi korban ilmu sihir dara cantik jelita itu,
kini suheng yang bule itu tidak lagi melarang sumoi-nya mempergunakan ilmu
pukulan mukjijat tadi. Mereka ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi, putera
mendiang Pangeran Liong Bin Ong dengan ibu seorang selir berkulit putih dari
pangeran itu, sedangkan sumoi-nya itu adalah Kim Cui Yan, Si Walet Hijau, yaitu
puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin yang pernah memberontak.
Sesungguhnya
yang menculik putera Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir itu adalah kedua
orang inilah! Penculikan itu pun didasarkan atas sakit hati mereka atas
kematian orang tua mereka karena kegagalan mereka ketika memberontak. Karena
mereka tahu bahwa Kao Kok Cu adalah putera sulung dari Jenderal Kao yang
merupakan musuh besar utama mereka, maka kedua orang murid dari nenek iblis
Kim-mouw Nionio ini lalu menculik puteranya. Mereka tidak berani melakukan hal
ini secara terang-terangan karena mereka maklum akan kesaktian Naga Sakti Gurun
Pasir dan isterinya yang juga memiliki kepandaian hebat, maka mereka melakukan
penculikan atas diri putera tunggal mereka untuk menyiksa batin mereka sebagai
pembalasan dendam mereka.
Sejak
melakukan penculikan itu, hati mereka selalu gelisah, apa lagi setelah
mendengar betapa ayah dan ibu anak yang mereka culik itu telah melakukan
pengejaran, maka tentu saja mereka selalu bersembunyi-sembunyi. Akhirnya mereka
mendengar akan pergerakan Gubernur Ho-nan yang bersekutu dengan Pangeran Liong
Bian Cu dari Nepal, maka kini mereka bermaksud untuk mengunjungi pangeran itu
yang masih merupakan saudara sepupu dari Liong Tek Hwi. Akan tetapi, di tengah
perjalanan mereka bertemu dengan Teng Siang In sehingga terjadilah perkelahian
itu.
Kini Siang
In benar-benar terdesak hebat dan mulailah hati dara ini khawatir. Dua orang
lawannya ini benar-benar tangguh dan kalau sampai laki-laki yang kini muncul
dari balik batu yang tadi membuyarkan kekuatan sihirnya itu turun tangan pula,
akan celakalah dia! Dia tidak berani menggunakan sihirnya lagi setelah tadi
dibuyarkan oleh lengking penuh tenaga khikang dahsyat itu.
“Mampuslah
engkau siluman jahat!” bentak Kim Cui Yan sambil menyerang dengan pukulannya
yang mukjijat dan paling diandalkan, yaitu pukulan sakti Swat-lian Sin-ciang
yang mendatangkan hawa dingin itu.
Ketika itu,
Siang In sedang terhuyung karena baru saja dia menangkis pukulan Liong Tek Hwi
dengan payungnya, akan tetapi tenaga pukulan pemuda itu demikian kuatnya sehingga
dia terdorong dan hampir roboh. Sekarang wanita baju hijau itu menerjangnya
demikian dahsyatnya sehingga tak sempat lagi agaknya bagi Siang In untuk
mengelak. Dia merasa betapa ada hawa dingin sekali menyambar ke arahnya, maka
dia cepat membuang diri ke belakang dan tubuhnya terus dia gulingkan menjauh.
Akan tetapi Kim Cui Yan terus mengejarnya dengan pukulan-pukulan Swat-lian
Sin-ciang yang amat berbahaya itu.
“Dessss...!”
Tubuh Kim
Cui Yan terdorong ke belakang dan wanita baju hijau ini terkejut bukan main.
Pukulannya yang berdasarkan Im-kang yang amat kuat itu membalik dan tubuhnya
menggigil. Ternyata pemuda tampan yang kini muncul dari balik batu, pemuda yang
tadi melengking dan membuyarkan pengaruh sihir dari dara berpayung itu, kini
membalik dan menolong dara berpayung dan tangkisannya mengandung hawa yang
lebih kuat dan lebih dingin dari pada Swat-lian Sin-ciang!
Melihat
betapa pemuda tampan itu benar-benar amat hebat kepandaiannya, Kim Cui Yan
menjadi gentar dan khawatir kalau-kalau tempat persembunyian anak yang sudah
diculiknya diketahui orang, maka dia berseru, “Suheng, mari kita lari!” Dia
berseru dalam bahasa Mongol dan suheng-nya yang memang segan untuk bermusuhan
dengan orang-orang lihai tanpa sebab, tidak membantah dan keduanya sudah
melarikan diri dengan cepat sekali meninggalkan tempat itu dan melupakan
bungkusan makanan yang tadi dibeli oleh Liong Tek Hwi!
“Hayo,
majulah! Tak perlu kau pura-pura membantuku, majulah, jangan kira aku takut
padamu! Hayo maju dan keroyok sekalian, kau manusia tak tahu malu!”
Kian Lee
hanya berdiri melongo menghadapi dara yang sudah berdiri di depannya sambil
menodongkan payungnya ke arah dadanya itu.
“Ehh, Nona…
aku tidak berniat buruk...“
“Huh, pandai
kau pura-pura, ya? Kau tak tahu malu dan curang, kau tadi membantu mereka
dengan sembunyi-sembunyi. Kalau tidak karena engkau, tentu aku sudah dapat
membekuk mereka berdua itu! Sekarang mereka dapat lolos dan semua ini karena
engkau yang menjadi biang keladinya. Kalau memang kau gagah, hayo kau lawan aku!”
Siang In sudah menyerang dengan payungnya, menusuk ke arah dada pemuda itu
untuk menotok jalan darahnya.
“Eihhh...!”
Kian Lee cepat mengelak dan meloncat mundur. “Sabar dulu, Nona. Harap jangan
salah sangka. Kalau tadi aku membantu mereka adalah karena aku tidak tahu
urusan antara kalian bertiga, maka aku hanya membantu siapa yang terancam
bahaya. Setelah keadaan berbalik dan kau yang terancam bahaya, maka aku lalu
membantumu. Aku tidak mempunyai niat buruk...“
“Dasar
cerewet, pandai bicara kau, ya? Kau kira aku takut padamu, ya? Kalau memang
berani, jangan main keroyok. Nah, teman-temanmu sudah pergi, mari kita
bertanding satu lawan satu, hendak kulihat sampai di mana sih tingginya
kepandaianmu!”
Sejak tadi
Kian Lee memandang wajah dara ini dan dia kagum bukan main. Memang luar biasa
cantik dara ini, boleh dibandingkan dengan Hwee Li! Hampir sama pula galaknya,
hanya dara ini mempunyai sifat-sifat lucu dan melihat lagak dara ini,
teringatlah dia kepada Kian Bu. Ahh, kalau saja ada Kian Bu di situ, tentu
ramai bertemu dengan seorang dara seperti ini.
Sejenak Kian
Lee bengong saja, akan tetapi kini melihat dara itu bertolak pinggang dan
mengalungkan gagang payungnya yang melengkung itu di leher sendiri sehingga
kelihatan lucu, dengan mulut cemberut muka kemerahan akan tetapi matanya
bersinar sinar seperti sepasang bintang pagi yang berseri-seri. Lucu sekali! Manis
sekali! Kian Lee tak dapat menahan ketawanya.
Melihat
pemuda itu tertawa, sepasang mata Siang In melotot makin besar. Makin besar
makin indah, dan makin lucu dalam pandangan Kian Lee sehingga pemuda ini terus
saja tertawa. Melihat dara itu bertolak pinggang dan menantang-nantang dengan
sikapnya yang dibuat-buat agar kelihatan galak dan menakutkan, entah mengapa,
Kian Lee yang biasanya selalu bersikap sopan terhadap wanita, kini tidak dapat
menahan geli hatinya. Geli dan gembira. Dan makin pemuda itu tertawa, makin
marahlah Siang In.
“Bagus, kau
mentertawakan aku, ya? Kau lihat mukaku ini ada apa sih maka kau tertawa-tawa
seperti orang gila?” Siang In menuding ke arah dahi di antara sepasang matanya.
Otomatis
Kian Lee memandang ke arah sepasang mata dara itu dan tiba-tiba saja dia merasa
tubuhnya tergetar dan dia tidak mampu mengalihkan pandang matanya. Sebelum dia
sadar bahwa dia telah terpengaruh oleh ilmu sihir dari padang mata dara itu,
sudah terdengar suara Siang In, suara yang merdu setengah berbisik, akan tetapi
mengandung getaran yang kuat sekali wibawanya, “Engkau adalah seekor monyet!”
Seperti
orang kehilangan semangat, Kian Lee yang sudah tidak tertawa lagi akan tetapi
mulutnya masih tersenyum itu, berkata, “Aku adalah seekor monyet...,“ agak
meragu suaranya, seperti diusahakannya untuk dilawan, akan tetapi dia sudah
terlanjur masuk perangkap sihir.
“Bagus! Dan
kau pandai menari-nari. Hayo kau menari yang baik!” kembali suara Siang In
terdengar penuh wibawa dan sepasang matanya yang lebar itu memandang seperti
mengeluarkan sinar berpengaruh yang menundukkan Kian Lee.
“Tidak...
tidak...!” Kian Lee berusaha melawan, tetapi kaki tangannya sudah bergerak
sendiri dan dia menari-nari! Berjingkrak-jingkrak seperti monyet menari!
“Heiii,
menari yang baik! Engkau pandai menari dan seorang penari yang baik tidak boleh
bersungut-sungut, harus tersenyum! Menari dan tersenyumlah kau!”
Kian Lee
tidak dapat membantah. Dia terus menari-nari dan kini mulutnya tersenyum, dan
Siang In menonton sambil berdiri bertolak pinggang, akan tetapi sepasang
matanya makin lama makin kehilangan kekuatannya karena mata itu sekarang mulai
terbelalak keheranan ketika dia melihat betapa wajah itu mengingatkan dia akan
wajah seorang pemuda yang selama ini selalu terbayang di lubuk hatinya, pemuda
yang dicari-carinya selama ini, pemuda yang... dibencinya tetapi juga yang tak
pernah dapat dilupakannya, yaitu Suma Kian Bu! Setelah pemuda ini menari dan
tersenyum, dia melihat persamaan antara mereka, terutama pada sinar matanya! Dan
karena Siang In tidak mencurahkan seluruh perhatian dan kekuatan sihirnya, maka
Kian Lee yang meronta-ronta dalam batin itu berhasil melepaskan diri.
Dia
mengeluh, terhuyung dan menutupi muka dengan kedua tangannya, “Aihhh... Suma
Kian Lee... sekali ini kau dibikin malu oleh seorang anak-anak...”
Mendengar
ini, Siang In terkejut bukan main. Suma Kian Lee! Tentu saja masih saudara dari
Suma Kian Bu, pemuda yang dicari-carinya! Dia terkejut dan juga menyesal
mengapa dia tadi terburu nafsu mempermainkan pemuda ini dengan sihirnya.
“Ah...
kau... kau bernama Suma Kian Lee...?” katanya agak gagap.
Kian Lee
menggoyang-goyang kepala mengusir kepeningan, kemudian memejamkan mata untuk
mengembalikan kesadarannya sepenuhnya. Barulah dia membuka mata menghadapi dara
itu, alisnya berkerut karena dia teringat betapa tadi dia dipermainkan sehingga
dia terpaksa menari-nari seperti orang gila tanpa dia mampu mencegahnya karena
dia sudah terperangkap ke dalam kekuatan sihir yang hebat.
“Hemmm,
engkau seorang nona yang amat aneh. Kita tak pernah saling bermusuhan, akan
tetapi engkau tega mempermainkan aku seperti itu. Memang aku Suma Kian Lee, dan
siapakah engkau, Nona?”
“Apakah
engkau kakak dari Suma Kian Bu?”
Wajah Kian
Lee berseri seketika, “Ah, jadi engkau sudah mengenal adikku itu? Tahukah kau
di mana dia sekarang?”
Siang In
kecewa. Tadinya dia mengharapkan bahwa pertemuannya dengan saudara Kian Bu akan
dapat membawa dia bertemu dengan Kian Bu, kiranya orang ini malah bertanya
kepadanya di mana adanya Kian Bu! Dia menggeleng kepala. “Aku tidak tahu dia
berada di mana. Aku... aku sedang mencari Puteri Syanti Dewi yang diculik orang
dan kabarnya dibawa ke sekitar daerah ini.”
Kian Lee
makin tertarik dan memandang lebih tajam penuh selidik. Dipandang seperti itu
oleh pemuda yang bersikap halus dan amat tampan ini, Siang In merasa malu
sendiri dan teringat akan kenakalannya tadi, kedua pipinya menjadi merah sekali
dan dia menundukkan mukanya.
“Nona,
engkau mengenal pula Puteri Syanti Dewi?”
“Mengenal?
Dia sahabat baikku, kami sudah seperti saudara saja. Sayang dia sampai dapat
lolos dari penjagaanku!”
“Kalau
engkau sudah mengenal Kian Bu, dan menjadi sahabat baik Syanti Dewi, berarti
engkau seorang sahabatku pula. Siapakah namamu, Nona?”
“Aku Teng
Siang In.”
Kian Lee
mengerutkan alisnya, mengingat-ingat. “Teng Siang In...? Siang In...?” Tiba
tiba wajahnya berseru ketika dia mengangkat muka memandang wajah nona itu.
“Ahh, tahu aku sekarang! Bukankah engkau adalah murid See-thian Hoat-su? Kian
Bu pernah bercerita tentang dirimu kepadaku!”
Wajah itu
menjadi semakin merah dan semakin cantik saja. Siang In melangkah maju
mendekati Kian Lee, bertanya mendesak, “Benarkah? Apa saja yang diceritakannya
tentang diriku kepadamu?”
Kian Lee
menggeleng kepala. “Tidak banyak, hanya bahwa engkau dan enci-mu yang
bernama... ahhh, lupa lagi aku...”
“Mendiang
Enci Siang Hwa?”
“Benar,
Siang Hwa yang menurut Kian Bu tewas di perahu. Katanya bahwa engkau dan
enci-mu adalah keturunan atau anak-anak dari mendiang Yok-sin, ahli pengobatan
yang amat terkenal di lembah Pek-thouw-san, dan bahwa engkau kemudian menjadi
murid See-thian Hoatsu. Ah, pantas saja engkau pandai ilmu silat, ahli dalam
ilmu sihir, dan tentu engkau seorang ahli pengobatan pula, Nona.” Kian Lee
memandang penuh rasa kagum. “Engkau masih begini muda sudah amat pandai,
sungguh mengagumkan.”
Wajah yang
tadinya berseri amat cantiknya mendengar pujian itu, tiba-tiba saja berubah
sama sekali menjadi bersungut-sungut, seperti langit yang tadinya cerah
tiba-tiba telah tertutup mendung. Luar biasa sekali cepatnya perubahan pada
wajah dara ini, hal ini menunjukkan bahwa keadaan hatinya juga mudah sekali
berubah. Dara seperti ini mudah marah, mudah gembira, mudah berduka dan mudah
bersuka, akan tetapi biar pun bersungut-sungut, tidak pernah kehilangan
kemanisan wajahnya yang memang cantik rupawan. Dan pada dasarnya dara ini berwatak
jenaka dan periang, sehingga bersungut-sungut pun hanya sebentar saja, seperti
angin lalu.
“Pandai
apanya? Kalau tidak ada engkau yang datang menolong, tentu aku yang kau
puji-puji pandai ini sudah menjadi mayat!” Dia termenung lalu melanjutkan, “Dua
orang itu ternyata lihai sekali!”
Kian Lee
lalu teringat kepada dua orang yang tadi mengeroyok dara ini. “Ahh, siapakah
mereka, Nona? Dan mengapa pula kau berkelahi dengan mereka?”
Kembali
terjadi perubahan hebat pada wajah cantik itu. Kalau tadi dia bersungut-sungut
menunjukkan kekesalan hatinya, kini berubah marah dan sepasang mata yang indah
itu seperti memancarkan cahaya berapi yang panas, yang ditujukan kepada Kian
Lee, dan suaranya nyaring dan marah, “Aih, kalau tidak ada engkau yang lancang
turun tangan menggangguku, tentu sekarang juga aku sudah berhasil membekuk
mereka Hemmm, kalau tidak teringat betapa tadi engkau menyelamatkan nyawaku,
tentu engkau sudah kuanggap musuh dan kuserang mati-matian! Engkau ini memang
seorang yang aneh, membikin aku bingung apa yang harus kulakukan terhadap
dirimu!”
Kian Lee
adalah seorang pemuda pendiam yang biasanya tidak suka banyak bicara, tetapi
menghadapi seorang dara seperti ini, yang memiliki kepribadian amat menarik,
yang berubah-ubah sikapnya, penuh daya hidup dan semangat, mau tidak mau dia
terseret juga.
“Apa
maksudmu?” tanyanya.
“Mengingat
kau tadi menggagalkan usahaku yang hampir saja berhasil menangkap dua orang
penculik itu, sepatutnya kau kubunuh, tetapi mengingat kau telah menyelamatkan
nyawaku, tidak mungkin aku memusuhimu.”
Kian Lee
tersenyum, akan tetapi dia kurang memperhatikan semua kata-kata yang seperti
kanak-kanak itu karena dia teringat akan penuturan Ceng Ceng tentang Syanti
Dewi, maka dia berkata, “Nona Siang In...“
“Sudahlah,
kalau kau tidak menganggap aku sahabat, lebih baik aku pergi saja...,“ dan
tiba-tiba Siang In membalikkan tubuhnya, mengempit payungnya dan berjalan
pergi. Lenggangnya yang wajar tidak dibuat-buat itu menonjolkan keindahan
tubuhnya karena dia berjalan seperti orang menari-nari saja layaknya!
Tentu saja
Kian Lee menjadi bengong dan ketika sadar bahwa dara itu benar-benar
meninggalkannya, dia cepat melompat dan mengejar, lalu berdiri menghadang di
depan dara itu dengan pandang mata penuh keheranan. “Nona Siang In... mengapa
kau..., apa salahku?”
“Kau tadi
berkata bahwa karena mengenal adikmu dan karena aku sahabat baik dari Puteri
Syanti Dewi, maka kau menganggap aku sebagai sahabatmu, akan tetapi kau
menyebutku nona-nona segala macam! Sebutan nona membuat aku merasa sedang
berhadapan dengan orang asing, dan terhadap seorang asing aku tidak sudi banyak
bicara lagi!” Dan dara itu sudah mau melangkah pergi lagi saja.
Hampir saja
Kian Lee menggaruk-garuk kepalanya karena merasa sangat kewalahan menghadapi
dara ini. “Habis, aku harus menyebutmu apakah?”
“Namaku
Siang In, tanpa nona-nonaan bagi seorang sahabat. Engkau tentu lebih tua
dariku, tentu saja tidak harus menyebut enci.”
“Ahh,
baiklah Adik Siang In. Maafkan aku.”
Wajah yang
tadinya keruh dan marah itu tiba-tiba menjadi cerah berseri dan dara itu lalu
duduk di atas sebuah batu yang terdapat tak jauh dari situ. “Nah, sekarang
katakanlah, engkau mau bicara apa tadi?”
“Bicara
apa...?” Kian Lee menjadi bingung karena sikap dara itu benar-benar sudah
mengocoknya, membuat dia lupa lagi akan apa yang sedang hendak dikatakannya
tadi.
“Bukankah
kau tadi ingin mengatakan sesuatu kepadaku? Carilah sampai kau teringat, kalau
tidak, aku bisa mati karena penasaran dan ingin tahu apa yang akan kau katakan
tadi!”
Kian Lee
mengerutkan alisnya, duduk di atas rumput di depan dara itu dan mengingat
ingat. Celaka, kalau orang sedang terlupa akan sesuatu, makin diingat akan
makin sulit untuk dapat teringat. Melihat pemuda itu demikian tersiksa karena
mengingat-ingat hal yang sudah lupa sama sekali, Siang In merasa tidak tega.
“Ehhh, kau
sudah makan?” tiba-tiba dia bertanya.
Kian Lee
terkejut, memandang bengong. “Makan...?” tanyanya bingung.
Siang In
tersenyum, manis sekali, kemudian mengangguk. “Ya, makan. Kalau belum, aku
dapat menyediakan nasi dan masakan-masakan yang paling lezat untukmu, dalam
sekejap mata saja.“
“Ah, jangan
main-main, Adik Siang In. Di dalam hutan seperti ini mana mungkin engkau bisa
membeli... ahhh, ataukah engkau barangkali hendak menyihir rumput dan batu
menjadi nasi dan masakan?”
Siang In
mengangguk, masih tersenyum. “Apa sukarnya? Bukankah ayahmu juga Pendekar
Siluman yang merupakan ahli sihir nomor satu di dunia ini? Apa sukarnya
menyihir rumput dan batu menjadi nasi dan masakan lezat?”
“Hemmm,
jangan coba mengelabui aku, In-moi (Adik In). Biar pun mungkin bisa, tetapi
nasi dan masakan jadi-jadian itu tidak mungkin dapat dimakan sampai
mengenyangkan perut.”
“Akan tetapi
aku bisa! Dan aku tanggung kau akan menikmatinya dan perutmu akan kenyang,
Lee-koko!”
“Aku tidak
percaya,”
“Tidak
percaya? Nah, kau boleh tutup mata sebentar!”
Sambil
tersenyum seperti melayani seorang anak kecil sedang main-main, Kian Lee
memejamkan matanya. Dengan telinganya dia dapat menangkap dara itu bergerak,
melesat pergi dari situ dan tak lama kemudian kembali lagi, melakukan gerakan
gerakan lalu terdengar dara itu berkata, “Nah, sudah jadi! Bukalah matamu,
Lee-ko!”
Sambil
tersenyum Kian Lee membuka matanya dan dia terbelalak! Di depannya, di atas
rumput, terhampar nasi dan beberapa macam masakan sedap yang diletakkan di atas
daun pembungkus, masih mengepul hangat-hangat!
“Nah,
silakan makan!” kata Siang In tersenyum. “Aku sih sudah makan kenyang tadi.”
Kian Lee
mengerahkan sinkang-nya, mengerahkan kekuatan batin untuk membuyarkan sihir
itu, akan tetapi nasi dan masakan itu masih ada saja di situ, tidak mau lenyap.
Dan bau sedap masakan itu meremas-remas perutnya yang lapar, maka tanpa banyak
pikir lagi dia lalu mulai makan. Bukan main lezatnya! Perut lapar bertemu nasi
dan masakan hangat tentu saja lezat! Dan dara itu sudah menyulap pula seguci
air jernih dari saku jubahnya. Kian Lee makan sampai kenyang dan setelah minum,
dia mengusap bibirnya dan perutnya, memandang dara itu dan tersenyum. “Hebat...
engkau memang hebat. Kiranya kau benar-benar telah menyediakan makanan ini...
ahh, sekarang aku teringat apa yang akan kukatakan kepadamu!”
Siang In
tertawa geli, terkekeh dan menutupi mulutnya, sikapnya manis dan agak genit,
akan tetapi menarik hati sekali. “Tentu saja! Kalau pikiran kosong, maka segala
sesuatu akan teringat. Kalau pikiran dikerjakan, hal yang terlupa mana mungkin
dapat teringat? Pikiran penuh dengan kenangan dan ingatan, sampai penuh sesak
dan bertumpuk tumpuk. Nah, sekarang katakan, apa yang akan kau bicarakan tadi?”
“Aku mau
bicara tentang Syanti Dewi. Bukankah engkau kehilangan dia di dalam pesta
pernikahan Hwa-i-kongcu di puncak Naga Api yang menjadi sarang Liong-sim-pang?”
Siang In
meloncat bangun dan wajahnya berseri. “Engkau tahu? Sekarang di mana dia?”
“Tenanglah
dan dengarkan ceritaku. Yang melarikan Syanti Dewi dari puncak Naga Api itu
bukan lain adalah See-thian Hoat-su...“
“Ehhh,
guruku?” Dara itu berteriak.
“Benar,
tetapi puteri itu telah diculik orang lagi dari tangan gurumu di pantai
Po-hai...“
“Di Goa
Tengkorak?”
“Benar, aku
mendengar semua itu dari Nyonya Kao Kok Cu...“
“Siapakah
Nyonya Kao Kok Cu itu?”
“Dia masih
adik angkat dari Puteri Syanti Dewi sendiri.”
“Ahh, Enci
Ceng Ceng? Aku sudah banyak mendengar namanya yang sering disebut sebut dan
diceritakan oleh Syanti Dewi! Lalu bagaimana?”
Kian Lee
lalu menceritakan apa yang didengarnya dari Ceng Ceng tentang Syanti Dewi,
betapa Ceng Ceng bertempur melawan See-thian Hoat-su di Goa Tengkorak karena
salah sangka sehingga dalam pertempuran itu, mereka tidak tahu betapa Syanti
Dewi diculik orang lain.
Mendengar
ini, Siang In mengepal tinjunya. “Ah, celaka! Sudah dapat, terlepas lagi! Dia
belum bertemu, puteri itu juga lenyap dan kini ditambah dua orang penculik itu!
Wah, perjalananku penuh dengan soal-soal yang meruwetkan pikiran!”
“Apa maksudmu?
Siapa dia yang belum bertemu itu?”
Tiba-tiba
wajah Siang In menjadi merah. Tentu saja dia tidak mau bicara tentang Kian Bu
yang dicari-carinya hanya karena ingin bertanya mengapa dulu pemuda itu, lima
enam tahun yang lalu, telah... menciumnya. Bicara tentang itu kepada kakak dari
Kian Bu, tentu saja tidak mungkin! Maka dia cepat menjawab, “Sayang bahwa dua
orang penculik tadi telah dapat meloloskan diri. Aku kasihan sekali kalau
mengingat akan nasib anak laki-laki yang mereka culik.”
“Laki-laki
dan wanita tadi, yang mengeroyokmu, mereka tadi penculik? Dan ada anak
laki-laki yang mereka culik?” Kian Lee tertarik sekali.
Siang In
mengangguk. Setelah bercakap-cakap agak lama, mulai nampaklah oleh dia
perbedaan yang besar antara Kian Bu dan Kian Lee. Dia masih ingat benar kepada
Suma Kian Bu biar pun sudah enam tahun dia tidak jumpa dengan pemuda itu. Kian
Bu yang tampan itu wajahnya agak lonjong, matanya tajam dan kocak, wataknya
keras namun dia dapat menjadi seorang yang periang, jenaka dan suka mengeluarkan
kata kata yang menyindir atau menggoda, pandai memuji dan wajahnya selalu
berseri gembira.
Sebaliknya,
Kian Lee ini biar pun juga memiliki wajah yang amat tampan, namun bentuk
mukanya bulat, matanya lebar dan juga tajam sekali, akan tetapi pandang matanya
penuh kesungguhan, serius, tenang seperti air telaga yang dalam, gerak-geriknya
halus, penuh kesabaran dan agaknya tidak banyak bicara. Hanya pada sepasang
mata mereka dan tarikan dagu mereka yang penuh kejantanan itulah terletak
persamaannya dan karena yang dua ini merupakan ciri-ciri khas mereka, maka pada
pertemuan pertama nampak benar persamaan di antara mereka.
“Kakak Suma
Kian Lee, apakah engkau tidak suka bersendau-gurau?”
“Hahhh?”
Tentu saja Kian Lee terkejut, heran dan bengong.
Dengan sungguh-sungguh
dia amat tertarik dan bertanya tentang penculik-penculik dan anak yang diculik
mereka, jawabannya malah pertanyaan seperti itu yang sama sekali tak pernah
diduga-duganya!
“Bersendau-gurau...?”
“Ya, sukakah
engkau bersendau-gurau dan bergembira, berguyon-guyon, Lee-ko?”
Kian Lee
tidak tahu bagaimana harus menjawab, akan tetapi agar tidak menimbulkan kecewa
orang, dia mengangguk, lalu berkata, “In-moi, ceritakanlah bagaimana kau bisa
tahu bahwa dua orang lawanmu yang lihai tadi menculik seorang anak laki-laki.”
Sikap dan
suara Kian Lee demikian berwibawa sehingga diam-diam Siang In menjadi jeri!
Pemuda ini benar-benar menyeramkan. Begitu tampan, begitu halus, tetapi entah
mengapa, wibawanya besar sekali dan di dalam sikap diamnya itu nampak kekuatan
yang menggiriskan hati.
“Hanya
kebetulan saja aku bertemu dengan mereka ketika mereka memasuki rumah makan
tadi bersama seorang anak laki-laki berusia kurang lebih lima enam tahun. Sikap
mereka terhadap anak itu mencurigakan dan wanita itu mengaku anak itu sebagai
puteranya, padahal aku tahu benar bahwa dia itu masih perawan...“
“Hemmm,
bagaimana kau tahu akan hal itu kalau engkau baru pertama kali bertemu dengan
dia?”
“Tentang dia
masih perawan atau bukan? Huh, itu adalah rahasia wanita!”
Tiba-tiba
wajah Kian Lee menjadi merah dan dia menyimpangkan percakapan tentang perawan
atau bukan itu. “Lalu, bagaimana selanjutnya?”
“Mereka
merasakan kecurigaanku agaknya, buktinya wanita itu pergi membawa anak itu dan
meninggalkan si pria sendirian membeli masakan dan nasi. Setelah dia keluar
dari restoran, aku lalu membayanginya...“
“Hemmm, jadi
masakan yang sudah kumakan tadi adalah miliknya yang dibelinya dari restoran?”
Siang In
terkekeh. “Hi-hi-hik…” Suara kekeh yang keluar dari tenggorokannya itu merdu
sekali. “Akan tetapi lezat, kan?”
Kian Lee
terpaksa tersenyum, mengangguk dan berkata, “Lanjutkanlah ceritamu.”
“Wanita itu
sudah menanti di sini, aku ketahuan dan dikeroyok. Anak itu entah mereka
sembunyikan di mana. Melihat omongan di antara mereka dalam bahasa Mongol yang
kumengerti, jelas bahwa anak itu sudah pasti mereka culik, entah anak siapa.”
“Anak
laki-laki...? Berusia lima enam tahun...? Ahhh, jangan-jangan anaknya!” Kian
Lee teringat dan mengerutkan alisnya, bangkit berdiri dan memandang ke arah
larinya dua orang itu tadi.
“Anaknya?
Anak siapa, Koko?”
“Anak Ceng
Ceng! Anaknya pun diculik orang, laki-laki dan usianya juga lima tahun!”
“Ahhh...!
Mungkin sekali!” Siang In kini bersikap sungguh-sungguh. “Kulihat anak itu
bukan anak sembarangan, meski baru berusia lima tahun tetapi telah
memperlihatkan sikap yang tegas dan penuh keberanian.”
“Dan melihat
betapa dua orang itu memang lihai, agaknya tidak salah mereka itulah yang
menculik anak Kao Kok Cu. Aku harus mengejar mereka!” kata Kian Lee.
“Lee-ko, aku
ikut!” Siang In berseru ketika melihat pemuda itu melesat pergi dengan
kecepatan kilat.
Biar pun
Siang In telah mengerahkan ginkang-nya, tetap saja dia tertinggal agak jauh
maka dia berteriak-teriak memanggil pemuda itu, repot membawa payungnya yang
dibawa lari cepat sekali. Terpaksa Kian Lee memperlambat larinya sehingga
akhirnya Siang In mampu menyusulnya. Dara itu lalu memandang kagum. Bukan main
hebatnya pemuda ini, pikirnya, akan tetapi ketika teringat bahwa pemuda ini
adalah kakak dari Kian Bu, dan putera dari Pendekar Super Sakti, dia merasa
girang dan bangga.
“Larimu
seperti kijang saja cepatnya...!” katanya terengah-engah.
Kian Lee
yang sedang merasa tegang mengingat bahwa mungkin anak yang diculik orang itu
benar anak Ceng Ceng, tidak melayani senda gurau itu dan berkata, “Mari kita
cepat mengejar mereka.”
Dengan
teliti mereka mencari dan menyelidiki dan akhirnya mereka mendapatkan
keterangan dari penduduk dusun yang mereka temui bahwa laki-laki dan wanita
baju hijau yang membawa anak laki-laki itu menuju ke lembah Huang-ho. Mereka
terus mengejar dan jejak itu membawa mereka ke lembah, yaitu sarang dari
perkumpulan Kui-liong-pang yang kini telah menjadi benteng yang kuat dari
Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu dari Nepal yang menyusun kekuatan di
tempat itu, bekerja sama dengan gubernur dari Ho-nan!
Di depan
telah diceritakan sedikit tentang dua orang laki-laki dan wanita yang menculik
Kao Cin Liong, yaitu putera dari Kao Kok Cu si Naga Sakti Gurun Pasir dan Ceng
Ceng. Laki-laki berkulit putih bule yang bernama Liong Tek Hwi itu adalah
putera dari mendiang Pangeran Liong Bin Ong dari seorang selirnya yang berasal
dari daerah Rusia selatan, seorang gadis cantik yang dipersembahkan kepada
Pangeran Liong Bin Ong yang pada waktu itu masih berkuasa sebagai saudara dari
kaisar.
Di dalam
cerita Kisah Sepasang Rajawali telah diceritakan betapa Pangeran Liong Bin Ong
dan pangeran Liong Khi Ong, dua orang pangeran tua yang menjadi saudara dari
Kaisar Kang Hsi itu mengadakan pemberontakan, dibantu oleh panglima-panglima
pemberontak, di antaranya yang paling terkenal adalah Panglima Kim Bouw Sin
yang tadinya menjadi pembantu dan tangan kanan Jenderal Kao Liang.
Akan tetapi
pemberontakan itu dapat dipadamkan dan Pangeran Liong Bin Ong tewas di dalam
istananya sendiri oleh mendiang Han Wi Kong, suami dari Puteri Milana yang
merasa penasaran karena pangeran pemberontak itu terlepas dari hukuman karena
kaisar terlalu lunak kepadanya. Sedangkan Pangeran Liong Khi Ong ditewaskan
dalam perang oleh Ang Tek Hoat.
Demikian,
Pangeran Liong Bin Ong meninggalkan seorang putera dari selir berkulit putih itu
dan putera ini bukan lain adalah Liong Tek Hwi yang selamat dari kematian
karena pada waktu itu dia telah berada bersama gurunya. Guru pemuda berdarah
campuran ini adalah seorang nenek yang sangat sakti, yang terkenal dengan
julukan Kim-mouw Nionio, seorang nenek yang juga merupakan peranakan barat,
rambutnya pirang dan matanya biru. Kim-mouw Nionio ini merupakan datuk di
sebelah barat di luar Tembok Besar. Dia memiliki kesaktian yang amat hebat,
akan tetapi telah belasan tahun dia tidak mau keluar lagi dari tempat
pertapaannya di luar Tembok Besar dan hanya menyembunyikan diri karena dia
sudah merasa muak dengan segala urusan dunia yang akibatnya lebih banyak
mendatangkan kesengsaraan dari pada kebahagiaan.
Liong Tek
Hwi menjadi murid nenek ini dan dikasihi karena ada persamaan darah antara
nenek Kim-mouw Nionio dan Liong Tek Hwi. Dan selain Liong Tek Hwi, juga nenek
ini mempunyai seorang murid wanita, yaitu Kim Cui Yan. Juga murid wanita ini
bukanlah sembarangan orang. Dia adalah anak dari Panglima Kim Bouw Sin,
panglima yang memberontak karena bujukan dua orang Pangeran Liong itu, yang
akhirnya tewas karena pemberontakannya. Seluruh keluarga Panglima Kim Bouw Sin
binasa, kecuali Kim Cui Yan yang pada waktu itu tidak berada di rumah.
Setelah Kim
Cui Yan ikut bersama Kim-mouw Nionio sebagai muridnya, maka anak ini, seperti
juga Liong Tek Hwi, menerima gemblengan dari nenek itu dan memiliki kepandaian
yang hebat pula. Bahkan nenek itu telah menurunkan ilmu pukulan yang
diciptakannya di tempat pertapaannya, yaitu Ilmu Pukulan Swat-lian Sin-ciang
yang mengandung tenaga dingin yang dapat membikin beku keringat lawan!
Selain
banyak macam ilmu pukulan yang aneh-aneh, nenek Kim-mouw Nionio juga terkenal
dengan senjatanya yang istimewa, yaitu sepasang gelang kim-lun (roda emas) dan
gin-lun (roda perak). Sepasang gelang besar yang terbuat dari emas dan perak
ini dapat dia mainkan sebagai senjata yang ampuh, dan dapat dipergunakan pula
untuk menyerang lawan dari jarak jauh dengan cara melontarkannya, dan hebatnya gelang
gelang yang dilontarkan untuk menyambit lawan ini dapat berputar dan dapat
berbalik kembali ke tangannya! Akan tetapi, kepandaian istimewa ini amat sukar
dipelajari maka belum diturunkan kepada dua orang muridnya.
Ada benarnya
juga kalau dikatakan bahwa satu di antara pendorong timbulnya cinta di antara
pria dan wanita adalah karena pergaulan dan kebiasaan, karena hubungan yang
akrab. Hal ini tidaklah aneh karena cinta seperti yang kita kenal sekarang ini,
cinta asmara antara pria dan wanita, sesungguhnya adalah suatu ikatan, yaitu
ikatan antara aku dan sesuatu yang menyenangkan aku, baik yang menyenangkan itu
berbentuk benda atau manusia. Tentu saja di samping ikatan karena menyenangkan,
ini terdapat juga daya tarik alamiah yang ada antara pria dan wanita, yang
memperkuat ikatan itu sehingga timbul keinginan untuk saling memiliki.
Demikian
pula, karena hidup berdua di bawah bimbingan Kim-mouw Nionio, setiap hari
bergaul dan berlatih bersama, lambat-laun timbul daya tarik dan saling suka
antara kedua orang suheng dan sumoi itu. Kim-mouw Nionio yang melihat gejala
ini, tidak menaruh keberatan bahkan dia yang mewakili orang tua kedua orang
muridnya yang sudah yatim piatu, bahkan mengusulkan perjodohan antara kedua
orang muridnya itu.
Liong Tek
Hwi dan Kim Cui Yan sudah sama-sama saling mencinta. Akan tetapi, Kim Cui Yan
yang keras hati itu sudah bersumpah tidak akan menikah sebelum dia berhasil
membalas dendam kematian seluruh keluarga ayahnya. Dan dendam ini ditujukan
pada Jenderal Kao Liang sekeluarga!
“Suheng,
kalau engkau memang cinta kepadaku, engkau harus penuhi permintaanku agar aku
tidak sampai melanggar sumpahku. Kita tak bisa menikah sebelum sumpahku itu
terpenuhi.” Dengan terus terang, Kim Cui Yan menyampaikan isi hatinya kepada
suheng-nya.
Berbeda
dengan Kim Cui Yan, ternyata putera dari Pangeran Liong Bin Ong ini memiliki
watak yang halus dan bijaksana. Sejak kecil oleh ayahnya dia memang diharuskan
mempelajari segala macam kitab kuno dan agaknya banyak dari isi kitab itu yang
telah mempengaruhi batinnya sehingga di lubuk hatinya, dia tidak suka dan
menentang adanya kekerasan dan kejahatan, bahkan dia adalah seorang laki-laki
yang selain halus sikapnya, juga tidak tega melakukan perbuatan yang kejam.
“Tentu saja
aku tidak berhak untuk melarangmu, Sumoi. Akan tetapi hendaknya engkau suka
menggunakan pandangan yang mendalam dan jangan sempit menurutkan kata hati yang
diracuni oleh dendam dan kebencian belaka. Kalau toh kau anggap bahwa
kehancuran keluarga ayahmu disebabkan oleh Jenderal Kao Liang, maka yang
menjadi musuhmu hanyalah Jenderal Kao itu saja, karena yang dapat dianggap
sebagai musuh pribadi ayahmu hanyalah jenderal itu. Jangan kau mengikut
sertakan keluarganya yang tidak tahu apa-apa, bahkan mungkin sekali keluarga
jenderal itu tidak pernah mengenal siapa itu keluarga Kim. Aku pasti akan
membantumu, Sumoi, dan tentang pernikahan antara kita, aku hanya menurut apa
yang kau kehendaki karena hal itu tentu saja tidak ada unsur pemaksaan dari
pihak mana pun dan harus dilakukan dengan suka rela.” Demikianlah antara lain
Liong Tek Hwi memberi nasehat kepada sumoi-nya.
Ketika dua
orang murid yang telah memiliki kepandaian tinggi itu menyatakan niat hati
mereka kepada guru mereka untuk mencari Jenderal Kao dan membalas dendam atas
kehancuran keluarga Kim Cui Yan, dan setelah usaha itu berhasil baru mereka
akan kembali dan menikah, Kim-mouw Nionio menarik napas panjang.
“Permusuhan,
bunuh-membunuh, sakit hati dan dendam-mendendam! Semua inilah yang kelak akan
menghancurkan seluruh dunia kang-ouw, menamatkan riwayat seluruh ahli-ahli
silat di dunia ini! Kepandaian kalian sudah lumayan dan kiranya kalau hanya
menghadapi Jenderal Kao saja kalian takkan kalah dan akan mampu merobohkannya.
Akan tetapi, aku sangsi apakah jenderal yang amat terkenal itu tidak mempunyai
anak anak yang telah memiliki kepandaian tinggi?”
Dengan terus
terang Liong Tek Hwi berkata, “Subo, menurut penyelidikan teecu, salah seorang
di antara putera-putera jenderal itu, yang sulung, telah menjadi seorang sakti
berjuluk Naga Sakti Gurun Pasir...“
Tiba-tiba
wajah nenek itu berubah dan matanya yang lebar terbelalak, kelihatan biru
sekali. “Apa kau bilang? Apa hubungannya dengan Istana Gurun Pasir?”
“Memang
putera sulung Jenderal Kao itu tinggal di Istana Gurun Pasir... begitulah kata
orang...,“ kata Liong Tek Hwi yang terkejut melihat sikap gurunya.
“Celaka!
Kalau begitu dia tentu murid Si Dewa Bongkok! Jangan sekali-kali kalian berani
mendekati tempat itu! Kalau kalian bentrok dengan Istana Gurun Pasir, biar
gurumu ini sekali pun tidak akan mampu menyelamatkan kalian!”
Setelah
mendapatkan nasehat-nasehat dan peringatan dari guru mereka, berangkatlah Liong
Tek Hwi dan sumoi-nya, Kim Cui Yan, meninggalkan tempat pertapaan subo mereka.
Menurut kehendak Liong Tek Hwi, mereka harus langsung ke selatan untuk mencari
Jenderal Kao. Akan tetapi sumoi-nya membantah. Keterangan dari subo mereka tadi
malah mendatangkan rasa penasaran di dalam hati Kim Cui Yan!
“Suheng,
penuturan Subo tadi mendatangkan rasa penasaran di dalam hatiku. Mari kita
mencari Istana Gurun Pasir dan melihat sampai di mana kelihaian mereka!”
“Ah, Sumoi,
jangan begitu! Subo sendiri jeri terhadap penghuni istana itu. Apakah kau
mencari penyakit? Sudah kukatakan kepadamu bahwa yang penting adalah mencari
Jenderal Kao, musuh pribadimu, dan jangan membawa-bawa keluarganya.”
“Aku tidak
akan bertindak ceroboh, Suheng, dan akan menurut kata-katamu. Akan tetapi aku
ingin mengetahui seperti apa adanya Istana Gurun Pasir yang disebut dalam
dongeng itu.”
Liong Tek
Hwi mengerutkan alisnya, dia sudah mengenal watak sumoi-nya atau kekasihnya
yang amat keras ini. “Subo sendiri pernah mengatakan bahwa tempat itu merupakan
tempat keramat dan tak seorang pun berani mendekatinya. Ke mana kita harus
mencari?”
“Dulu aku
pernah mendengar dongeng tentang Istana Gurun Pasir. Ingat, dahulu ayahku
adalah pembantu dan sahabat Jenderal Kao, dan tentu ayah tahu benar tentang
lenyapnya putera Jenderal Kao Liang, dan aku tahu di mana bekas markas jenderal
itu di mana puteranya lenyap. Tentu tidak akan jauh dari situ letaknya.”
Liong Tek
Hwi yang mencinta sumoi-nya terpaksa menuruti permintaan sumoi-nya dan
demikianlah, mereka tidak langsung mencari Jenderal Kao Liang melainkan mencari
Istana Gurun Pasir! Dan dalam perjalanan ini, mereka banyak melalui dusun-dusun
dan setiap bertemu dengan soal-soal yang menimbulkan penasaran, mereka tentu
turun tangan menentang setiap kejahatan. Semua ini memang sengaja diarahkan
oleh Liong Tek Hwi yang tak ingin melihat sumoi-nya atau kekasihnya tersesat,
maka dia mencoba untuk menarik perhatian sumoi-nya agar menentang kejahatan dan
membela kebenaran dan keadilan, menggunakan kepandaian mereka.
Karena
inilah, meski mereka berdua merupakan murid-murid dari seorang datuk kaum
sesat, namun dalam sepak terjang mereka, mereka tiada bedanya dengan pendekar
pendekar yang budiman dan menentang kejahatan. Dan dalam sepak terjang mereka,
Kim Cui Yan amat menonjol dengan gerak-geriknya yang tangkas karena memang
gadis ini memiliki keistimewaan dalam hal ginkang, maka tak lama kemudian,
orang menjuluki gadis berbaju hijau ini sebagai Ceng-yan-cu atau Si Walet
Hijau….
Akhirnya,
pada suatu hari setelah menerima petunjuk dari seorang kakek dusun yang sering
menyeberangi gurun pasir dan pernah tersesat dan melihat istana itu dari jauh,
kakak beradik seperguruan ini lalu nekat mengambil jalan menyeberangi gurun
pasir yang amat berbahaya itu.
Kakek itu
sudah memperingatkan mereka bahwa amatlah berbahaya menyeberangi gurun pasir
itu dengan jalan kaki atau berkuda, sebaiknya adalah menunggang onta. Maka
mereka lalu membeli dua ekor onta, membawa perbekalan secukupnya dan pada hari
itu berangkatlah mereka menempuh perjalanan yang sukar itu, menyeberangi gurun
pasir yang seperti laut tak bertepi itu!
Dan mulailah
mereka mengalami hal-hal yang sangat aneh dan sengsara. Bahkan beberapa hari
kemudian, saat mereka bingung karena tidak tahu ke mana harus menuju di
tengah-tengah gurun pasir yang teramat luas itu, mereka diserang oleh badai!
Badai di gurun pasir tidak kalah bahayanya dengan badai di tengah lautan.
Seperti juga di lautan, di mana badai menciptakan gulungan ombak-ombak besar
dan air laut yang bergelombang, di tengah gurun itu pun pasir menjadi seperti
air laut dan bergelombang, membentuk dinding-dinding pasir berjalan yang
menelan segala apa yang berada di depan dan menghalanginya.
Liong Tek
Hwi dan Kim Cui Yan bersama onta mereka dapat berlindung di balik anak bukit
batu yang cukup besar, akan tetapi setelah badai mereda, mereka telah teruruk
pasir dan kalau mereka tidak memiliki ilmu kepandaian tinggi, tentu mereka
sudah mati terkubur hidup-hidup di tempat itu!
Akhirnya,
pada suatu senja, mereka tiba di belakang Istana Gurun Pasir! Bagaikan dalam
mimpi, mereka memandang istana yang megah itu dari kejauhan, hampir tidak
percaya kepada pandang mata mereka sendiri karena agaknya tidak masuk akal
melihat sebuah bangunan megah di tengah-tengah gurun pasir seperti itu! Mereka
lalu meninggalkan onta dan dengan hati-hati mereka mendekat.
Dan secara
kebetulan sekali mereka melihat seorang anak laki-laki berusia lima tahun
berkeliaran seorang diri di belakang istana itu, bermain layang-layang. Mungkin
karena menarik tali layang-layang terlalu keras, atau juga karena angin terlalu
kuat, maka tali di tangan anak itu putus! Kebetulan, sebelum layang-layang itu
membubung ke atas, talinya lewat dekat Kim Cui Yan yang segera menangkapnya dan
membawa layang layang itu kepada si anak kecil yang menjadi girang sekali.
“Anak yang
baik, siapakah namamu?” tanya Cui Yan.
Karena orang
itu telah mengembalikan layang-layangnya yang putus, anak itu tidak merasa
takut dan menjawab, “Namaku Kao Cin Liong.”
“Ahhh, kau
tentu putera dari Si Naga Sakti, bukan?”
Anak itu
memandang tajam, lalu balas bertanya, “Apakah engkau mengenal ayahku, Bibi?”
Cui Yan
tersenyum ramah. “Ayahmu adalah putera Jenderal Kao Liang, bukan?”
Anak itu
mengangguk. “Ayahku adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang tiada bandingnya!”
Sekecil itu, anak ini sudah pandai membanggakan ayahnya?
Kim Cui Yan
berkedip kepada suheng-nya, kemudian berkata kepada anak itu, “Siapa bilang?
Kami bertaruh dengan ayahmu bahwa dia tidak akan mampu mencari kami. Hayo kau
ikut kami bersembunyi, biar dicari ayahmu, tanggung dia tidak akan mampu
mendapatkan kita.”
“Ahhh, tidak
mungkin!” Anak ini belum mengenal kepalsuan manusia, tahunya hanya main-main
saja, maka dia tertarik sekali ketika diajak main sembunyi-sembunyian agar
dicari ayahnya.
“Mari kita
sembunyi sekarang juga, ayahmu sudah mulai mencari!” Cui Yan memondong anak itu
dan membawanya ke tempat mereka meninggalkan onta mereka.
“He-he, ayah
akan dengan mudah melihat jejak kaki kalian!” Cin Liong mentertawakan mereka.
Mendengar
ini, Liong Tek Hwi lalu menggerak-gerakkan kedua tangannya ke belakang mereka.
Ada angin menyambar dan jejak kaki mereka menjadi rata kembali tertutup pasir
yang diterbangkan oleh angin pukulannya!
Melihat ini
Cin Liong tertawa, “He-he, kau hebat juga, Paman!” Dia mulai gembira dan ingin
melihat apakah ayahnya dapat mencari mereka.
Demikianlah
dua orang itu membawa Cin Liong dan Tek Hwi selalu menggunakan hawa pukulannya
untuk mengusap jejak kaki onta mereka. Kini mereka menjalankan onta mereka ke
selatan dan untuk melihat mana arah selatan, mereka kalau malam melihat
letaknya bintang-bintang dan kalau siang melihat letaknya matahari.

Di waktu
pagi mereka maju dengan matahari berada di sebelah kiri mereka dan di waktu
sore matahari harus selalu berada di sebelah kanan mereka. Dengan pedoman
matahari dan bintang, mereka tidak salah jalan dan dapat terus menuju ke
selatan dan jejak mereka selalu langsung dihapus oleh pukulan-pukulan Tek Hwi
dan Cui Yan yang mendatangkan angin, atau terhapus oleh angin lalu yang
mengerakkan pasir.
Akhirnya
mereka dapat meninggalkan padang pasir itu dan karena mereka maklum bahwa ayah
dan ibu anak ini pasti mencari mereka, dan karena mereka maklum akan kesaktian
ayah dan ibu anak itu, maka mereka melakukan perjalanan sambil sembunyi
sembunyi dan sekalian mencari Jenderal Kao Liang.
Hanya karena
ada Tek Hwi di situ maka Cui Yan tidak sampai membunuh anak itu! Tadinya Cui
Yan merasa betapa amat berabe membawa-bawa anak keturunan musuh besarnya itu,
lebih baik dibunuh saja untuk melampiaskan dendamnya. Akan tetapi Tek Hwi
melarang keras dan memberi alasan yang kuat.
“Kalau kau
melakukan itu, selama hidup engkau akan menjadi musuh Istana Gurun Pasir dan
hidupmu tidak akan aman lagi. Pula, anak ini merupakan perisai yang baik bagi
kita, siapa tahu sekali waktu kita akan dapat mempergunakannya sebagai sandera
yang amat berharga. Selain itu, kau juga sudah berjanji untuk tidak mengikut
sertakan keluarga Kao, Sumoi.”
Demikianlah,
dalam perjalanan itu, Tek Hwi dan Cui Yan akhirnya dapat juga bertemu dengan
Jenderal Kao, akan tetapi usaha Cui Yan untuk membunuh jenderal itu gagal
karena campur tangan Ang-siocia atau Kang Swi Hwa yang menyamar pria, bahkan
kemudian mereka terpaksa mundur dan melarikan diri ketika muncul pendekar
Siluman Kecil yang pernah menyelamatkan nyawa mereka ketika mereka hampir
binasa di tangan Boan-wangwe yang amat lihai itu.
Maka,
setelah kini banyak orang mencurigai mereka, di antaranya paling akhir ini
adalah dara cantik berpayung yang kemudian dibela pula oleh seorang pemuda
tampan sekali yang memiliki kesaktian luar biasa, mereka menjadi jeri dan
menurut usul Liong Tek Hwi, mereka lalu menuju ke lembah yang dijadikan benteng
oleh Liong Bian Cu, saudara misan dari Liong Tek Hwi.
Ketika
mereka tiba di benteng lembah, setelah para penjaga melaporkan ke dalam, mereka
disambut dengan girang sekali oleh Pangeran Liong Bian Cu. Sudah hampir sepuluh
tahun lamanya Liong Bian Cu tidak pernah bertemu dengan saudara misannya ini,
maka kini dia menyambut kedatangan adik misan ini dengan pelukan mesra. Bahkan
ada air mata di mata kedua orang laki-laki yang masih ada hubungan keluarga
amat dekat itu karena ayah mereka adalah kakak beradik. Mereka berdua
sebenarnya adalah keponakan-keponakan dari Kaisar Kang Hsi sendiri!
Akan tetapi,
terdapat banyak sekali perbedaan bentuk dan wajah di antara kedua orang ini.
Yang seorang berkulit putih bermata biru dengan rambut kecoklatan, sedangkan
yang kedua berkulit coklat kehitaman, hidungnya membengkok ke bawah, matanya
cekung, hitam sekali dan rambutnya juga agak kecoklatan. Yang seorang berdarah
campuran dengan ibu kulit putih, sedangkan yang kedua beribu Nepal.
“Ahhh, Adik
Tek Hwi... betapa keluarga kita telah berantakan...,“ terdengar Pangeran Nepal
itu berkata dengan hati terharu.
Liong Tek
Hwi juga merasa terharu diingatkan akan keadaan keluarganya itu. Kakak misannya
ini masih baik keadaannya karena ibunya adalah puteri raja sehingga dia
merupakan cucu Raja Nepal, seorang pangeran yang masih memiliki keluarga dan
kedudukan tinggi. Akan tetapi dia? Ayahnya telah terbasmi keluarganya, ibunya
pun telah meninggal dan ibunya dahulu adalah seorang gadis kulit putih yang
diculik orang Mongol dan dipersembahkan kepada ayahnya sehingga dia sudah tidak
mempunyai keluarga lagi, kalau pun masih ada, maka tentu jauh di utara, di
negeri Rusia. Dia sebatang kara, tidak seperti kakak misannya ini, seorang
pangeran!
Melihat Tek
Hwi juga melinangkan air mata, Pangeran Liong Bian Cu lalu menepuk nepuk pundak
adiknya dan berkata, “Jangan kau berduka, adikku. Lihat, kakakmu yang akan
membalaskan sakit hati kita, yang akan melanjutkan cita-cita ayah kita berdua,
yang akan mengangkat derajatmu ke atas. Ehh, siapakah Nona ini, adikku?”
“Dia adalah
sumoi Kim Cui Yan, dia adalah puteri dari mendiang Panglima Kim Bouw Sin.”
Wajah
Pangeran Nepal itu berseri. “Ahh! Sungguh kebetulan sekali!”
Dia
mengatakan kebetulan karena gadis cantik berbaju hijau yang menjadi sumoi adik
misannya ini ternyata puteri panglima yang pernah menjadi pembantu ayahnya itu,
bahkan masih saudara dengan calon isterinya, dengan Hwee Li, yaitu puteri
angkat Hek-tiauw Lo-mo, juga puteri kandung Kim Bouw Sin. Akan tetapi tentu
saja dia tidak membuka rahasia ini, melainkan menjura kepada Cui Yan.
“Dan anak
ini?”
Tek Hwi
hendak menjawab, akan tetapi didahului oleh Cui Yan. “Dia ini adalah calon
murid kami.”
“Ah, bagus,
bagus! Sebagai murid-murid Kim-mouw Nionio, kalian tentu telah memiliki ilmu
kepandaian yang tinggi. Kau telah melihat benteng kita, bukan? Nah, bagaimana
pendapatmu?”
Tek Hwi dan
Cui Yan memang tadi sudah mengagumi keadaan benteng itu dan merasa terkejut
sekali dan heran. Tempat itu benar-benar merupakan benteng yang kokoh kuat dan
terjaga rapi oleh pasukan-pasukan yang terlatih. Sama sekali Tek Hwi tidak
pernah membayangkan betapa saudara misannya itu telah membuat persiapan seperti
orang yang hendak melaksanakan perang!
“Hebat
sekali!” Tek Hwi mengakui.
“Ha-ha-ha!
Dan kau belum melihat siapa yang telah membantuku. Sayang beberapa orang di
antara mereka sekarang sedang keluar untuk menangkap mata-mata. Marilah
kuperkenalkan dengan dia yang telah membangun benteng ini dan kau akan
terheran-heran, adikku!”
Benar saja,
Tek Hwi terkejut bukan main, juga Cui Yan menjadi pucat wajahnya ketika mereka
dihadapkan dengan Jenderal Kao Liang sendiri! Melihat kakek ini, Cin Liong lalu
melepaskan tangan Cui Yan dan lari menubruk kakeknya. “Kong-kong...!”
teriaknya.
Kini giliran
Liong Bian Cu yang terkejut, dan Jenderal Kao Liang juga memeluk dan mengangkat
cucunya itu. Dia segera mengenali Cin Liong. “Ahh, Cin Liong... kau... kau!”
Dia tidak melanjutkan kata-katanya, melainkan menatap tajam kepada Liong Tek
Hwi dan Kim Cui Yan.
“Ha-ha-ha,
engkau pandai sekali menyembunyikan dia tadi, Nona Kim! Kiranya kalian telah
berhasil pula menculik cucunya!” Pangeran Liong Bian Cu tertawa.
Jenderal Kao
Liang menjadi pucat wajahnya, akan tetapi dia menekan perasaannya dan sambil
memandang kepada kedua orang pendatang baru itu, dia bertanya tenang, “Siapakah
kalian dan mengapa kalian menculik cucuku dari Istana Gurun Pasir?”
Mendengar
ini, pangeran dari Nepal itu terkejut. “Adik Tek Hwi! Benarkah dia ini dari
Istana Gurun Pasir?” tanyanya.
Tentu saja
sebagai murid orang pandai, dia pernah mendengar nama Istana Gurun Pasir yang
sama aneh dan keramatnya seperti nama Pulau Es! Tek Hwi mengangguk dengan
bangga karena memang merupakan hal yang patut dibanggakan bahwa dia dan
sumoi-nya sanggup menculik putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir!
“Hebat...!
Bukan main kalian ini...!” Pangeran Liong Bian Cu berseru kagum, kemudian
berkata kepada Jenderal Kao. “Kao-goanswe, perkenalkanlah, dia ini adalah Liong
Tek Hwi, putera dari paman Pangeran Liong Bin Ong, sedangkan Nona ini adalah
Nona Kim Cui Yan, puteri dari paman Panglima Kim Bouw Sin.”
“Ahhhhh...!”
Mengertilah kini Jenderal Kao mengapa dua orang itu menculik cucunya. Kiranya
mereka ini yang menculik Cin Liong yang dicari-cari oleh ayah bundanya.
“Kao-goanswe,
kini engkau tahu bahwa cucumu juga berada di antara keluargamu!” kata Pangeran
Liong Bian Cu. “Lepaskan dia, biar dia bersatu dengan keluargamu.”
Jenderal Kao
Liang menarik napas panjang dan menurunkan cucunya dari pondongan. Dia lalu
mengelus kepala anak itu sambil berkata, “Cin Liong, kau ikutlah bersama
nenekmu, pamanmu, bibimu dan keluarga lain.”
“Kong-kong,
siapakah mereka ini? Dua orang ini menipuku, membawaku pergi sampai lama dan
tidak mau membawaku kembali. Kong-kong, lawanlah mereka!” Cin Liong berkata,
akan tetapi Jenderal Kao Liang hanya membuang muka lalu pergi. Cin Liong lalu
ditangkap oleh dua orang pengawal atas isyarat pangeran itu dan dibawa pergi ke
dalam ruangan tahanan di mana berkumpul keluarga Jenderal Kao Liang. Terhibur
dan girang juga hati anak itu ketika bertemu dengan keluarga ayahnya.
Di dalam
hatinya, Liong Tek Hwi tidak setuju sama sekali dengan semua rencana yang
diambil oleh kakak misannya. Dia mendengar penuturan kakak misannya itu dan
diam diam dia terkejut bukan main. Pemuda ini sudah dapat melihat kesalahan
mendiang ayahnya yang memberontak, dan dia merasa menyesal sekali, bahkan
sering kali dia membicarakan hal itu dengan sumoi-nya yang perlahan-lahan juga
dapat melihat kesalahan ayahnya yang membantu pemberontak. Mereka berdua
berjanji untuk menebus nama buruk ayah mereka, tetapi kini mereka malah akan
diajak bersekutu untuk mengulangi lagi kesalahan ayah mereka yang lalu, yaitu
memberontak!
Akan tetapi,
melihat keadaan benteng yang kokoh kuat itu, dan melihat bahwa kakak misannya
itu didukung oleh Nepal, Liong Tek Hwi tidak berani berkata apa-apa. Apa lagi
karena dia dan sumoi-nya merasa girang bahwa musuh besar mereka telah berada di
situ pula sehingga memudahkan mereka untuk membalas dendam.
Pangeran
Liong Bian Cu tidak dapat lama melayani adik misannya yang baru datang bersama
sumoi-nya. Setelah menyuruh pengawal membawa Cin Liong agar berkumpul dengan
keluarga Jenderal Kao, dengan demikian memperkuat pengaruhnya atas diri
jenderal itu, Pangeran Liong Bian Cu lalu mengundurkan diri karena dia masih
menanti dengan hati khawatir akan hasil kedua orang pembantunya, yaitu
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang melakukan pengejaran terhadap Siluman
Kecil yang membawa lari Hwee Li. Dua orang murid dari Kim-mouw Nionio itu
dipersilakan untuk melihat-lihat keadaan di dalam benteng, berkenalan dengan
para pembantu lain termasuk Mohinta, Hwa-i-kongcu dan para pembantunya, dan
para tokoh dari Nepal lainnya.
Diam-diam
Liong Tek Hwi makin khawatir melihat bahwa keadaan benteng itu benar benar kuat
dan kakak misannya telah berhasil mengumpulkan orang-orang pandai yang amat
banyak, bahkan kedudukan kakak misannya ini lebih kuat dari pada kedudukan
pemberontakan mendiang ayahnya dahulu, hanya bedanya, sekarang kakak misannya
didukung oleh Gubernur Ho-nan, yang tentu saja mempersiapkan pasukan yang cukup
besar, sedangkan dulu ayahnya didukung oleh pasukan yang dipimpin oleh Panglima
Kim Bouw Sin di utara.....
***************
Memang
Pangeran Bharuhendra atau Liong Bian Cu tidak mau bekerja kepalang tanggung.
Pangeran Nepal ini selain hendak membalas kematian ayahnya, juga hendak
melanjutkan cita-cita ayahnya, menggulingkan kaisar dan bahkan dia memiliki
cita-cita yang lebih tinggi lagi, yaitu menggunakan kesempatan itu untuk
bersekutu dengan gubernur-gubernur yang dapat dipengaruhinya untuk
menggulingkan Kerajaan Ceng dan mengangkat diri sendiri menjadi kaisar!
Karena itu,
dia membuat persiapan sebaiknya. Gurunya adalah seorang yang sakti dan yang
berkedudukan tinggi. Selain menjadi koksu dari Nepal, Ban Hwa Sengjin juga
merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Si Lima Jahat dari Akhirat)! Pada
waktu itu, di antara sekalian datuk persilatan golongan sesat, terdapat Im-kan
Ngo-ok yang jarang muncul di dunia kang-ouw, bahkan sudah belasan tahun lamanya
mereka itu tidak pernah muncul sama sekali karena sudah merasa tua dan tidak
ada semangat lagi untuk menjagoi di dunia persilatan. Akan tetapi sebetulnya
mereka itu adalah lima orang yang amat tinggi ilmunya, bahkan mereka oleh dunia
kaum sesat dijuluki Im-kan Ngo-ok atau Lima Jahat dari Akhirat! Karena ini,
Pangeran Liong Bian Cu membujuk kepada gurunya untuk dapat memanggil empat
tokoh yang lain agar supaya dapat membantu pergerakannya.
Koksu Nepal
juga haus akan kedudukan. Kalau sampai pemuda yang bersemangat besar itu
berhasil dan menjadi kaisar, tentu dia akan terangkat menjadi koksu dari
kerajaan yang amat besar yang menguasai seluruh Tiongkok! Maka dia pun kemudian
mengirim surat, membujuk empat orang saudara angkatnya itu untuk datang
membantu, dan menentukan hari dan tempat pertemuan. Harinya kebetulan jatuh
pada hari itu dan tempatnya adalah di lembah Huang-ho yang dijadikan benteng
itu…..
***************
Siang itu
matahari sudah naik tinggi dan sinarnya menyinari bumi dengan kerasnya.
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menyumpah-nyumpah, karena dalam keadaan
tidak mampu bergerak itu muka mereka yang tertimpa sinar matahari membuat
mereka menderita dan mendongkol sekali. Mereka masih belum terbebas dari
totokan dan agaknya sebentar lagi mereka baru akan bebas karena waktu mereka
tertotok sampai sekarang sudah berjalan hampir setengah hari. Totokan pemuda
sakti Siluman Kecil itu benar-benar amat hebat sehingga dua orang kakek sakti
seperti mereka itu tidak dapat membebaskan totokan itu dan harus menanti sampai
totokan itu buyar sendiri kekuatan dan pengaruhnya.
Mereka yang
dikubur sebatas leher itu merasa tersiksa sekali. Mereka tidak mampu
mengerahkan tenaga untuk membuat tubuh mereka kebal, maka tentu saja segala
gigitan semut pada tubuh mereka terasa semua, membuat mereka berkaok-kaok dan
memaki-maki. “Anak durhaka, perempuan keparat! Kalau kelak dia dapat olehku,
akan kupermainkan dia, akan kuperkosa dia sampai mati seperti ibunya!”
Hek-tiauw Lo-mo menyumpah-nyumpah karena marah sekali kepada Kim Hwee Li.
“Huhhh, kau
tidak akan berani!” Hek-hwa Lo-kwi mengejek dan menggoyang-goyang kepalanya
untuk mengusir lalat yang sejak tadi mengganggunya, hinggap di hidung, di
telinga, di bibir sehingga rasanya geli dan tidak enak sekali.
Lalat itu
terbang dan meluncur turun lagi, diikuti pandang mata Hek-hwa Lo-kwi dan
seperti yang dikhawatirkan, kembali hinggap di bibirnya. Kakek ini mendongkol
bukan main, lalu membuka mulutnya. Lalat itu bergerak perlahan memasuki mulut
dan tiba tiba...
“Happp!”
mulut itu tertutup dan lalat itu meronta-ronta tertindih lidah sampai akhirnya
mati dan diludahkan penuh kepuasan oleh Hek-hwa Lo-kwi.
“Aku? Tidak
berani? Apa kau gila?!” Hek-tiauw Lo-mo memaki. “Masa aku tidak berani kepada
anak perempuan yang kubesarkan sendiri itu?”
“Ha-ha-ha,
apa kau lupa bahwa dia itu tunangan Pangeran Nepal?”
Hek-tiauw
Lo-mo bersungut-sungut, “Aku menyumpah dia tidak jadi diambil isteri, biar puas
aku membalas kekurang ajaran dan penghinaannya hari ini!”
Akan tetapi
Hek-hwa Lo-kwi hanya tersenyum menyeringai saja. Dia sudah mengenal betul watak
orang yang selama ini beberapa kali menjadi musuhnya yang paling besar, juga
beberapa kali menjadi rekannya yang saling bantu itu. Kalau Hek-tiauw Lo-mo
sudah menghadapi harapan pangkat dan kemuliaan besar, tentu dia akan melupakan
lagi ancamannya terhadap Hwee Li.
“Kalau aku
tidak akan begitu bodoh menumpahkan kemarahan kepada dua orang dara itu, Lo-mo.
Yang merobohkan kita adalah Siluman Kecil yang dibantu oleh Hek-sin Touw-ong.
Mereka berdua itulah yang hutang hinaan kepada kita dan kelak mereka harus
membayarnya.”
“Mereka
juga, pasti akan kucari kelak!” kata Hek-tiauw Lo-mo, akan tetapi tiba-tiba dia
menghentikan kata-katanya dan memandang ke depan dengan mata terbelalak. Kini
pengaruh totokan itu sudah mulai mengurang sehingga Hek-hwa Lo-kwi dapat
memutar lehernya dan memandang ke arah yang sedang dipandang oleh Hek-tiauw
Lo-mo dan dia pun terbelalak sambil mengeluarkan suara tertahan.
Kebetulan
sekali tempat di mana mereka dikubur sampai ke leher itu sampai jauh ke sebelah
depan terbuka, tidak terhalang oleh batu atau pohon sehingga mereka dapat memandang
sampai jauh dan kini dari kejauhan nampak pemandangan yang membuat mereka
terbelalak saking terheran-heran. Mereka melihat dari jauh sekali dua orang
sedang berlari ke tempat mereka, akan tetapi cara kedua orang itu berlari amat
aneh dan bukan main cepatnya.
Yang seorang
bertubuh jangkung dan larinya cepat sekali, kadang-kadang melompat dengan
langkah-langkah lebar akan tetapi kadang-kadang berjungkir balik dan berlari
menggunakan kedua tangan menjadi kaki, akan tetapi tidak berkurang
kecepatannya, kalau tidak lebih cepat malah! Dan orang yang kedua amat pendek,
seperti anak-anak pendeknya, akan tetapi larinya juga cepat dan kadang-kadang
orang ini menggelundung seperti bola dengan kecepatan luar biasa pula.
Seperti
burung-burung terbang saja, dua orang itu telah tiba dekat tempat itu dan kini
Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi dapat melihat dengan jelas. Mereka berdua
makin terheran ketika dapat mengenal dua orang ini.
Yang
bertubuh jangkung tadi memang benar-benar seorang yang amat jangkung, tubuhnya
seperti sebatang bambu panjang! Kalau diukur dengan ukuran manusia biasa, tentu
dia satu setengah kali jangkungnya dari seorang manusia biasa yang cukup
jangkung. Ada dua setengah meter jangkungnya! Pakaiannya serba hitam, lengan
bajunya lebar sehingga nampak lengan tangannya yang kecil seperti tulang
terbungkus kulit. Wajahnya juga kurus sekali, kurus dan serba panjang.
Rambutnya sebaliknya malah hanya sedikit dan tidak panjang, bercampur uban dan
digelung ke atas model rambut para tosu, matanya juga panjang sehingga nampak
sipit. Jenggotnya sedikit dan pendek, demikian pula kumisnya. Orang ini
benar-benar luar biasa sekali bentuk tubuhnya.
Orang kedua
tidak kalah anehnya. Kalau orang pertama itu seperti seorang tosu, orang kedua
ini melihat pakaian atau jubahnya dan kepalanya, seperti seorang hwesio saja.
Dan bentuk tubuhnya merupakan kebalikan dari tubuh kawannya. Dia bertubuh
gendut besar sekali, hanya setinggi pinggang si jangkung dan tingginya seperti
seorang bocah berusia sepuluh tahun, maka tubuhnya yang amat besar dan amat
pendek itu membuat dia seperti manusia bola yang bulat!
Orang lain
yang melihat kedua orang kakek yang sukar ditaksir usianya karena bentuk tubuh
mereka yang aneh itu, tentu akan tertawa geli di dalam hati karena memang
keduanya merupakan orang-orang aneh, pantasnya menjadi badut-badut sirkus atau
pelawak-pelawak panggung wayang. Apa lagi muka si gendut pendek, baru melihat
mulutnya yang bergerak-gerak itu saja tentu sudah menimbulkan rasa geli dalam
hati orang. Wajah mereka benar-benar merupakan kebalikan pula. Si gendut pendek
nampak selalu gembira dan tertawa terus, seperti muka bayi gendut kekenyangan,
akan tetapi sebaliknya wajah si jangkung itu selalu muram, cemberut dan sedih!
Kalau orang
lain bisa tersenyum geli melihat dua orang ini, sebaliknya Hek-tiauw Lo-mo dan
Hek-hwa Lo-kwi terkejut sekali dan memandang dengan muka berubah. Mereka berdua
mengenal dua orang itu dan terkejutlah mereka, karena dua orang ini bukan orang
sembarangan, melainkan dua orang datuk-datuk besar di dunia hitam yang sudah
lama menyembunyikan diri. Si jangkung itu adalah Toat-beng Siansu (Manusia Dewa
Pencabut Nyawa) yang merupakan seorang di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat),
dia merupakan yang termuda, sebenarnya bukan usia mereka yang menentukan urutan
itu, melainkan tingkat kepandaian mereka!
Im-kan
Ngo-ok memang mempunyai kebiasaan yang amat aneh. Puluhan tahun yang lalu,
sejak mereka masih muda dan mengangkat persaudaraan dan membentuk Im-kan
Ngo-ok, mereka lalu bertanding dan mengukur kepandaian, dan dari tingkat ilmu
kepandaian inilah mereka menyusun tingkat itu, yang terpandai menjadi Twa-ok
(Jahat Nomor Satu), kemudian Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dan seterusnya. Dan setiap
tiga tahun sekali, mereka berlima tentu selalu mengadakan pertemuan dan mereka kembali
mengadu ilmu kepandaian untuk menentukan tingkat baru mereka.
Oleh karena
persaingan sebutan inilah maka mereka masing-masing dapat mencapai kemajuan
hebat, menciptakan berbagai macam ilmu untuk mengalahkan saudara saudara angkat
sendiri agar naik tingkat mereka. Maka tidak aneh kalau mereka itu sering
bertukar tempat atau tingkat selama sepuluhan tahun. Akan tetapi sudah sepuluh
tahun lebih mereka tidak lagi mengadu ilmu karena mereka sudah merasa bosan dan
masing-masing lebih suka bersembunyi di dalam daerah masing-masing. Dan pada
pertandingan adu ilmu yang terakhir kalinya, yaitu belasan tahun yang lalu,
Toat-beng Siansu menduduki tingkat paling bawah atau Ngo-ok (Jahat Nomor Lima).
Ada pun
kakek yang seperti hwesio itu juga memiliki nama besar yang amat terkenal.
Seperti juga Toat-beng Siansu dan tokoh-tokoh besar dunia hitam, dia hanya
dikenal dengan julukannya, yaitu Siauw-siang-cu (Si Gajah Cilik) atau dalam
urutan Im-kan Ngo-ok dia memiliki tingkat keempat, yaitu disebut Su-ok (Jahat
Nomor Empat). Jadi pada pertemuan atau pertandingan terakhir, tingkatnya masih
lebih tinggi satu tingkat dibandingkan dengan si jangkung. Akan tetapi karena
sudah sepuluh tahun lebih tidak pernah lagi mengadu kepandaian, maka sekarang
sukar dikatakan siapa di antara mereka yang lebih lihai.
Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi sudah mendengar akan kelihaian mereka, yang kabarnya
memiliki kepandaian yang tidak lumrah manusia biasa, bahkan jauh melebihi
kepandaian para tokoh dunia kang-ouw pada umumnya. Dan mereka berdua ini pun
maklum bahwa Koksu Nepal, yaitu Ban Hwa Sengjin yang amat lihai itu, hanya
menduduki tingkat ketiga dalam urutan Ngo-ok. Jadi selain menjadi Koksu Nepal,
juga Ban Hwa Sengjin itu disebut Sam-ok (Jahat Nomor Tiga). Mengingat akan
kelihaian Koksu Nepal itu, maka dapat dibayangkan betapa lihainya Su-ok dan
Ngo-ok ini, tentu tidak berselisih jauh dari Ban Hwa Sengjin karena sekarang
belum diketahui siapa di antara mereka yang lebih lihai.
Sejak dahulu
pun, Ngo-ok Toat-beng Siansu terkenal dengan ginkang-nya yang tidak lumrah
manusia kang-ouw umumnya. Dia memiliki gerakan yang cepatnya luar biasa,
ditambah dengan kaki dan tangannya yang amat panjang, maka dalam perkelahian
sukarlah menandingi kecepatan gerakan si jangkung ini. Dan sesuai dengan julukannya
sebagai seorang di antara Im-kang Ngo-ok, maka si jangkung ini juga mempunyai
kekejaman yang tidak lumrah manusia.
Dahulu, di
waktu dia masih aktif dalam dunia hitam, dia sengaja melakukan hal-hal yang
membikin meremang bulu kuduk orang-orang yang paling kejam sekali pun.
Melakukan kejahatan merupakan sesuatu ‘keharusan’ untuk mempertahankan gelar
mereka sebagai Im-kan Ngo-ok. Hanya setelah kini kelima Ngo-ok itu tidak lagi
terjun ke dunia ramai, maka orang tidak lagi mendengar tentang mereka. Hanya Ban
Hwa Sengjin seorang saja yang masih terjun di dunia ramai, akan tetapi bukan
sebagai tokoh dunia hitam kaum sesat, bahkan dia telah berhasil mengangkat diri
menjadi koksu dari negara Nepal, yaitu tempat asalnya di mana dia dikenal
sebagai seorang sakti penasehat raja yang bergelar atau berjuluk Lakshapadma.
Tentu saja
orang keempat dari Si Lima Jahat ini, yaitu Siauw-siang-cu yang pendek, dalam
hal kejahatan juga tidak kalah dibandingkan dengan si jangkung itu. Melihat
wajahnya yang kekanak-kanakan, pakaian dan kepalanya yang seperti pendeta, yang
sepatutnya hidup saleh dan beribadat, pantang melakukan kejahatan, sungguh
sukar dipercaya bahwa si gendut pendek itu mampu melakukan kejahatan. Akan
tetapi kalau orang menyaksikan kejahatan dan kekejaman Su-ok ini, orang akan
mengkirik dan mungkin selama hidupnya dia tidak akan mampu melupakan peristiwa
mengerikan itu!
Bayangkan,
untuk menyempurnakan satu di antara ilmu-ilmunya yang aneh dan mukjijat saja,
Su-ok ini dengan muka masih tersenyum dan jernih, telah merobek perut wanita
wanita yang mengandung begitu saja untuk mengambil anak-anak yang belum
dilahirkan itu, untuk campuran ‘obat’ yang dibuatnya! Dan dia melakukan hal ini
berkali kali sambil tersenyum cerah, seolah-olah dia merasa girang sekali menyaksikan
para korbannya itu merintih, berkelojotan dan sekarat lalu meninggal di depan
hidungnya!
Ngo-ok
Toat-beng Siansu yang juga bersikap dan berpakaian seperti pendeta tosu itu
pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan perbuatannya yang keji. Dia amat suka
menangkapi wanita-wanita, tak peduli cantik atau jelek, muda atau tua, untuk
diperkosa di depan keluarganya, keluarga si korban! Dan dia memperkosa sambil
membunuhnya! Semua ini dilakukannya bukan karena dorongan nafsu binatang
belaka, melainkan untuk menonjolkan kejahatan dan kekejamannya sesuai dengan
julukannya agar dia tidak kalah oleh para tokoh Im-kan Ngo-ok yang lain! Dan
setiap kali dia membunuh wanita itu secara keji dan mendirikan bulu roma, juga
dia lalu mencabut kuku ibu jari tangan kiri korbannya untuk disimpan dan sampai
sekarang dalam saku bajunya selalu terdapat seuntai ‘tasbih’ yang terbuat dari
kuku-kuku wanita yang diuntai dengan benang emas. Melihat panjangnya, tentu
sudah ratusan banyaknya!
“Ha-ha-ha,
larimu masih cepat sekali, Ngo-te!” kata si gendut pendek sambil tertawa tawa
ketika mereka tiba di tempat itu. “Kiranya selama ini engkau yang diam saja
meringkuk dalam goa silumanmu itu tidak tinggal diam dan tak pernah melupakan
ilmu malingmu! Ha-ha-ha, memang masih sukar untuk menandingi ilmumu melarikan
diri itu! Hebat, hebat! Dalam hal lari, aku masih kalah, ha-ha-ha!” Siauw-siang-cu
tertawa-tawa.
Wajah yang
muram itu menjadi makin keruh. “Dan kau masih licik!” kata si jangkung dengan
singkat lalu diam tidak mau melanjutkan kata-katanya.
“Ha-ha-ha,
menangkap ujung bajumu ketika kau membalap sehingga aku tidak sampai tertinggal
jauh bukan licik namanya, akan tetapi cerdik! Biar pun dalam hal lari aku
kalah, akan tetapi dalam hal kecepatan menangkap dan memukul, kau masih
setingkat lebih rendah dariku, adikku yang kelima!”
Toat-beng
Siansu tidak menjawab, hanya mendengus dan tiba-tiba saja tangannya yang amat
panjang itu seperti ular menyambar telah mengirim pukulan ke arah kepala gundul
itu. Cepat bukan main gerakannya dan melihat tangan yang sepanjang itu, baik
Hek-tiauw Lo-mo mau pun Hek-hwa Lo-kwi mengira bahwa si cebol itu pasti tidak
akan mampu menghindar.
Akan tetapi,
tiba-tiba si pendek itu tertawa.
“Dukkkk!”
Tubuhnya
sudah terlempar dan menggelundung, terlepas dari hantaman itu dan tahu tahu
tubuhnya itu bukan menggelundung menjauh, melainkan bahkan mendekati si jangkung
dan kontan dia mengirim pukulan balasan sambil mencelat bangun. Gerakannya juga
cepat dan aneh, dan pukulannya tidak kalah hebatnya dari pada pukulan si
jangkung, karena dari pukulan itu keluar suara mencicit nyaring, mengejutkan
dua orang kakek iblis yang terkubur sampai ke leher itu! Kiranya si pendek ini
cerdik bukan main, menggunakan siasat seperti kalau seorang ahli silat
menghadapi lawan yang memegang senjata panjang, yaitu mengajak bertanding dari
jarak dekat!
Akan tetapi,
si jangkung mendengus dan tubuhnya meliuk, seperti seekor tubuh belut saja dia
sudah dapat mengelak dan melangkah mundur, selangkah saja dia sudah mundur
sampai dua meter jauhnya, dan tiba-tiba tubuhnya sudah berjungkir-balik, kepala
dan kedua tangan di bawah membentuk kaki segi tiga, sedangkan kedua kakinya
yang panjang itu menjulang tinggi ke atas, berayun-ayun seperti tubuh dua orang
yang siap untuk bertanding!
“Ha-ha-ha,
bagus, bagus! Jungkir-balikmu sudah kau sempurnakan, ya?” Bagus, coba kau
hadapi pukulan Katak Buduk ini!” dan tubuh si pendek gendut tua kini makin
pendek karena dia sudah menekuk kedua kakinya, tubuhnya agak condong ke depan,
kedua tangan dikembangkan, lagaknya persis seperti seekor katak buduk yang siap
untuk melompat!
Hek-tiauw
Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi menonton dengan hati tegang karena mereka berdua
maklum bahwa mereka akan menyaksikan pertandingan yang amat dahsyat yang
dilakukan dengan ilmu-ilmu mukjijat tingkat tinggi. Mereka berdua sudah merasa
betapa hawa tiba-tiba menjadi berubah, angin menderu-deru ketika dua kaki yang
panjang itu digerakkan, dan bau amis yang aneh sekali keluar dari tubuh kakek
gendut itu, nampak pula uap hitam mengepul dari tubuh kedua orang aneh yang
sudah siap untuk saling gempur.
Mendadak
bertiup angin dahsyat sekali dan disusul suara melengking nyaring yang
mengguncangkan jantung Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi. Suara ini melengking
dari atas, seperti dari udara saja dan hebatnya, suara itu juga mengandung
getaran sedemikian rupa sehingga menyusup ke dalam tubuh dua orang kakek iblis
yang terkubur itu dan ketika mereka membarengi dengan pengerahan tenaga, maka
segera mereka mampu menembus jalan darah yang tertotok dan sudah banyak
kehilangan pengaruhnya itu. Suara lengkingan itu ternyata dapat membantu mereka
membebaskan diri.
“Blarrr!
Blarrrrr!”
Dua orang
kakek iblis itu menggunakan lengannya dan mereka dapat menerobos dengan
loncatan ke atas, membuat tanah yang menguruk mereka itu terpental dan melayang
ke kanan kiri seperti terjadi ledakan di situ.
Dua orang
kakek yang sedang berhadapan untuk saling gempur tadi, mendengar suara
melengking ini, terkejut, lalu disusul gerakan Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi, mereka makin kaget dan cepat mereka bergerak ke arah kedua orang kakek
iblis yang baru saja terbebas dari totokan itu.
Hek-tiauw
Lo-mo terkejut bukan main ketika tiba-tiba ada lengan panjang menekan pundaknya
dan sebelum dia mampu melepaskan diri, kekuatan dahsyat menyeretnya dan dia
sudah dibanting masuk lagi ke dalam lubang di mana dia tadi terkubur. Ketika
dia hendak meronta, dia merasa ada jari-jari tangan menempel di ubun-ubun
kepalanya sehingga dia bergidik karena maklum bahwa sedikit saja jari-jari
tangan itu bergerak, ubun-ubunnya akan pecah dan dia takkan mampu melindungi
nyawanya lagi. Maka dia tak bergerak dan kini dia sudah berjongkok di dalam
lubang seperti tadi, hanya kini tidak terpendam melainkan ditekan oleh kakek
jangkung!
Juga Hek-hwa
Lo-kwi mengalami hal yang sama. Tiba-tiba saja kedua kakinya dipegang orang dan
sebelum dia sempat bergerak, dia sudah diseret ke dalam lubang dan sebuah
tangan yang gemuk telah mencengkeram hiat-to (jalan darah) di tengkuknya, jalan
darah kematian yang membuat dia tidak berani banyak bergerak karena maklum
bahwa nyawanya berada di tangan orang.
“Ha-ha-ha,
kalian ini dua orang iblis busuk kiranya sedang bertapa di sini! Ha-ha-ha, di
jaman ini masih ada orang bertapa pendam. Ji-ci (Kakak Perempuan kedua), coba
lihat ini dua ekor monyet tua, apakah engkau masih mengenal mereka? Yang
kutangkap ini adalah bekas pelayan Si Dewa Bongkok, maling yang kabarnya dapat
melarikan kitab itu. Ha-ha-ha, dan yang itu tentu adalah sekongkolnya, si
Hek-tiauw Lo-mo dari Pulau Neraka! Agaknya mereka kini bertapa untuk
menciptakan ilmu permalingan baru!” Su-ok Siauw-siang-cu mengejek sambil tertawa-tawa.
Akan tetapi
Ngo-ok Toat-beng Siansu tidak berkata-kata, hanya kini dia menggunakan kepala
Hek-tiauw Lo-mo untuk didudukinya, dan jari tangannya masih menempel di
ubun-ubun yang didudukinya. Dia kini menggunakan kepala ketua Pulau Neraka yang
ditakuti orang itu sebagai bangku!
“Hi-hi-hik,
kalian ini dua orang tua bangka masih suka main-main seperti anak-anak saja.
Kalau enci-mu ini tidak cepat datang, tentu kalian tadi telah saling serang
kembali seperti belasan tahun yang lalu. Apakah selama ini kalian tidak makin
tua, akan tetapi berubah kembali menjadi anak-anak?” Dari atas pohon melayang
turun tubuh seorang wanita dan ketika Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
memandang, mereka bergidik.
Mereka sudah
mendengar tentang wanita ini, yang merupakan Ji-ok (Jahat Nomor Dua) dari
Im-kan Ngo-ok. Tingkat wanita ini bahkan masih lebih tinggi setingkat
dibandingkan dengan koksu dari Nepal, dan kabarnya memiliki kekejaman yang
sukar dibayangkan orang-orang kejam seperti Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi
sekali pun! Kabarnya pernah wanita ini setiap hari mengisap darah dan otak anak
kecil yang belum satu tahun usianya untuk ‘jamu’, dan ketika orang-orang
sedusun mengepungnya, dia mengamuk, menangkapi dan menotok seluruh penghuni
dusun yang jumlahnya ratusan orang itu, mengumpulkan mereka di rumah kepala
dusun, lalu menyiram sekeliling rumah dengan minyak dan dibakarnya rumah itu.
Dia menanti sampai semua orang yang ratusan banyaknya itu terbakar habis dan
dia tertawa-tawa ketika mendengar teriakan dan jeritan mereka. Yang tidak ikut
dibakarnya hanya anak-anak kecil yang belum satu tahun usianya, ada puluhan
orang anak banyaknya, dibawanya mereka semua ke dalam goanya, dipelihara
baik-baik sampai gemuk-gemuk, akan tetapi setiap hari tentu berkurang satu anak
karena menjadi ‘jamunya’!
Dan menurut
kabar, ilmu kepandaian wanita ini juga luar biasa sekali. Tadi saja sudah
terbukti betapa lengking suaranya mengandung khikang yang demikian ampuhnya
sehingga tanpa disengaja mampu menembus jalan darah kedua orang kakek iblis
itu. Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa Lo-kwi yang tidak berdaya sama sekali karena
jalan darah kematian dan ubun-ubun mereka telah diancam oleh dua orang anggota
Ngo-ok, dan mereka kini hanya dapat memandang ke depan, ke arah wanita yang
baru datang itu dengan jantung berdebar tegang.
Wanita itu
memang menyeramkan sekali. Bahkan dua orang kakek iblis yang namanya saja
biasanya membikin orang menggigil ketakutan itu kini merasa betapa bulu tengkuk
mereka meremang. Wanita itu bertubuh tinggi langsing, seperti tubuh seorang
wanita yang masih muda. Mukanya tidak dapat dilihat karena muka itu memakai
topeng, bukan topeng buatan biasa atau topeng palsu, melainkan topeng dari
tengkorak manusia sungguh-sungguh! Tengkorak manusia yang masih lengkap dengan
giginya yang besar besar dan matanya yang berlubang dan dari lubang mata
tengkorak ini nampak sepasang mata yang tajam dan liar atau mengerikan, bukan
seperti manusia melainkan pantasnya menjadi mata setan! Hanya rambutnya yang
sudah putih semua itu membuktikan bahwa wanita ini sesungguhnya adalah seorang
nenek yang sudah tua!
Kabarnya,
sebelum menjadi anggota nomor dua dari Im-kang Ngo-ok, wanita ini adalah
seorang yang memiliki ilmu tinggi yang hidup malang melintang di Ko-le-kok, di
mana dia ditakuti sebagai seorang yang amat tinggi ilmunya. Akan tetapi,
perangainya berubah ketika dia jatuh cinta kepada seorang pangeran negeri itu
dan karena cintanya tidak dibalas dan pangeran itu menikah dengan wanita lain.
Dalam perayaan pesta dia mengamuk, membunuhi sang pangeran dan isterinya dan
seluruh keluarga, bahkan ratusan orang tamu ikut pula menjadi korban. Dan dia
lalu memenggal leher pangeran itu, membawa kepalanya ke mana-mana sampai
menjadi tengkorak, bahkan dia lalu memakai tengkorak itu sebagai topengnya
ketika dia menjadi anggota Im-kan Ngo-ok untuk menunjukkan bahwa dia cukup
kejam dan pantas untuk menjadi tokoh kedua dari Im-kan Ngo-ok itu!
“Ahhh, Ji-ci
mengapa begitu sungkan? Bukankah kita memenuhi panggilan dari Sam-ko untuk
berkumpul? Setelah berkumpul, kenapa kita tidak sekalian mencoba kepandaian
masing-masing? Siapa tahu aku dari Su-ok bisa menjadi Ji-ok! Ha-ha-ha!”
“Huh, cebol
kepala gundul tak tahu diri! Engkau hendak menandingi cici-mu? Oho, kau boleh
belajar seratus tahun lagi, adikku!” Si topeng tengkorak itu mengejek.
Wanita ini
adalah Ji-ok (Jahat kedua) yang bernama Kui-bin Nionio (Wanita Muka Setan) yang
juga seperti yang lain telah lama sekali mengundurkan diri dan baru sekarang
muncul karena undangan Sam-ok yang kini telah menjadi Koksu Negara Nepal!
Mungkin karena jabatan koksu inilah yang membuat Ji-ok yang setingkat lebih
tinggi itu sudi pula untuk datang memenuhi panggilan!
“Lihat ini!”
Wanita itu menudingkan telunjuknya dan menggerakkan sedikit tangannya.
“Cuiiiiittttt...!”
Dari
telunjuknya itu menyambar hawa yang dingin sekali, mengenai batu besar di dekat
Su-ok dan debu beterbangan seolah-olah batu itu di-‘bor’ dan ketika wanita
topeng tengkorak menghentikan gerakannya, maka di permukaan batu itu terdapat
ukiran berbunyi ‘Ji-ok’!
Su-ok
menjulurkan lidahnya dan masih tertawa-tawa sambil dia berkata nyaring. “Aha,
kepandaian Ji-ci masih hebat! Akan tetapi aku bukan batu mati, dan agaknya
tidak akan mudah begitu saja Kiam-ci (Jari Pedang) dari Ji-ci akan dapat
mengalahkan aku!”
Akan tetapi
agaknya wanita itu merasa sebal dan tidak bersemangat untuk berdebat atau
bertanding. Dia memandang ke sekeliling dan berseru, “Mana dia adik ketiga si
Sam-ok? Apakah setelah menjadi koksu dia begitu congkak tidak mau menyambut
kita? Dan apakah Twa-ko tidak mau datang?”
Tiba-tiba
menyambar angin halus dan terdengar suara dari jauh sekali, akan tetapi suara
itu terdengar amat jelas, satu-satu seolah-olah orangnya berada di situ, akan
tetapi tidak nampak apa-apa. Hal ini kembali mengejutkan Hek-tiauw Lo-mo
beserta Hek-hwa Lo-kwi sebab hal itu menandakan bahwa orang itu telah memiliki
kepandaian yang sukar diukur tingginya, sudah mampu melakukan Ilmu
Coan-im-jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh) secara sempurna sekali.
“Hemmm, aku
orang tua tak berguna bisa apakah?”
“Twa-ko...!”
Tiga orang itu berseru secara berbareng.
Ketiganya
bangkit berdiri memandang ke arah datangnya suara seolah-olah hendak menyambut.
Kesempatan ini tentu saja tidak disia-siakan oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Hek-hwa
Lo-kwi. Kalau tadi mereka tidak berani berkutik adalah karena nyawa mereka
terancam. Akan tetapi begitu kedua orang itu bergerak bangun, secepat kilat
mereka sudah bergerak dan menghantam ke arah punggung para penawan mereka!
“Ha-ha-ha!”
Si pendek gendut sudah bergerak ke depan, lalu menggelinding sehingga terlepas
dari hantaman Hek-hwa Lo-kwi, sedangkan si jangkung itu dengan langkah lebar
juga mengelak dan membalik hendak menangkap lengan Hek-tiauw Lo-mo.
Akan tetapi
Hek-tiauw Lo-mo yang berkepandaian tinggi itu sudah cepat mengelak dan kembali
mengirim serangan yang ampuh, yaitu dengan ilmu pukulan Hek-coa-tok-ciang yang
diciptakannya dari kitab curiannya ketika dia memperoleh sebagian kitab dari Si
Dewa Bongkok. Hawa beracun berupa uap hitam mengepul dari kedua tangannya
ketika dia menyerang si jangkung itu.
“Hemmm...!
Ngo-ok Toat-beng Siansu mendengus.
Tiba-tiba
dia sudah berjungkir-balik. Agaknya dia mengenal pula pukulan sakti maka dia
tahu bahwa lawannya ini bukan orang sembarangan, maka orang kelima dari Im-kan
Ngo-ok itu sudah berjungkir-balik untuk mengeluarkan kepandaiannya yang
istimewa! Dan benar saja, Hek-tiauw Lo-mo menjadi bingung karena sasarannya
menjadi aneh. Kalau biasanya dia memukul dada, kini pukulannya itu bertemu
dengan paha dan ditangkis oleh tangan yang panjang itu, kalau dia memukul
kepala, kini bertemu dengan lutut yang dapat bergerak dan menyerangnya kembali!
Dan tiap
gerakan kakek jangkung itu mendatangkan angin pukulan dahsyat, sedangkan
pukulan Hek-coa-tok-ciang yang dimainkannya itu agaknya tidak mempengaruhi si
jangkung karena beberapa kali si jangkung berani menangkisnya tanpa keracunan.
Sebaliknya, sepasang kaki si jangkung membuat dia bingung karena kaki itu
secara tiba-tiba dapat ‘memukulnya’ dari belakang, ke arah punggungnya!
Demikian
pula, dengan keadaan Hek-hwa Lo-kwi. Kakek iblis ketua Kui-liong-pang ini
terkejut bukan main ketika menghadapi lawannya yang pendek gemuk itu. Sukar
sekali menyerang lawan itu karena tubuh lawan itu bergerak secara aneh sekali,
kadang kadang bergulingan, kadang-kadang meloncat dan berlari-lari di
sekelilingnya, dan kadang-kadang menerima pukulannya akan tetapi pada saat
pukulan hampir mengenai tubuh, dia melejit lenyap dan tahu-tahu sudah membalas
serangannya dari bawah dengan dasyat!
Hek-hwa Lo-kwi
merasa penasaran sekali. Tidak peduli siapa adanya lawan ini, si pendek ini
sudah menghinanya secara keterlaluan sekali, menduduki kepalanya dan tadi
ketika si pendek ini duduk di atas kepalanya, biar pun tidak ada yang tahu
karena tidak mengeluarkan suara, tetapi dia tahu betul bahwa dua kali si pendek
ini melepas kentut yang bau busuk! Maka saking marahnya, Hek-hwa Lo-kwi lalu
mengeluarkan ilmu barunya yang sakti dan mengerikan, yaitu Pek-hiat-hoat-lek.
“Hehhhhh...!”
Dia berseru keras, kedua tangannya bergerak melakukan dorongan ke depan.
Nampaklah uap putih mengepul dan angin dahsyat menyambar ke arah kakek pendek
itu.
“Krok-krokkk!”
Kakek pendek yang menghadapi pukulan maut itu tiba-tiba berjongkok, memasang
kuda-kuda seperti seekor katak buduk. Kedua tangannya juga mendorong ke depan.
“Dessss...!”
Akibat
pertemuan tenaga yang dahsyat, tubuh Hek-hwa Lo-kwi terjengkang dan dia
terbanting roboh dengan kepala pening. Akan tetapi kakek muka seperti tengkorak
yang tinggi kurus ini dengan cekatan telah meloncat bangun dan menyerang lagi
kalang kabut. Ternyata ilmu barunya itu cukup tangguh sehingga menghadapi
pukulan llmu Katak Buduk dari si pendek itu dia tidak sampai mengalami luka,
hanya terjengkang saja. Melihat ini, Su-ok Siauw-siang-cu merasa kagum juga.
“Bagus,
jongos maling, ilmumu lumayan juga!” katanya memuji akan tetapi juga sambil
memaki.
Justeru
Hek-hwa Lo-kwi paling benci kalau diingatkan bahwa dia dahulu adalah seorang
pelayan dan seorang pelayan yang telah mencuri kitab majikannya! Maka sambil
menggereng dia menubruk ke depan, akan tetapi si pendek melejit lenyap dan main
kucing-kucingan sambil tertawa-tawa.
Di pihak
lain, Hek-tiauw Lo-mo juga repot bukan main. Beberapa kali tubuh belakangnya
kena digajul oleh kaki lawan secara aneh sampai dia hampir terpelanting. Ngo-ok
Toat-beng Siansu tak pernah mengeluarkan suara, akan tetapi tangan dan kakinya
sungguh jahil dan menghina sekali. Kadang-kadang kedua tangan kakek ini
bergerak cepat, tangan yang panjang itu tahu-tahu sudah menyentil telinga
Hek-tiauw Lo-mo, kemudian kakinya menendang pinggulnya secara aneh melalui
belakangnya. Saat menggerakkan tangannya, maka kakek yang tingginya tidak
lumrah ini hanya mengunakan kepala sebagai kaki, dan dia berloncatan sehingga
kepalanya mengeluarkan bunyi ‘duk-duk-duk!’ memukul tanah!
Tiba-tiba
terdengar suara yang tadi, suara halus yang tadi terdengar dekat, “Hemmm, Ngo-ok
dan Su-ok masih repot melayani dua ekor kera tua ini, sungguh harus dikatakan
bahwa kepandaian kalian selama ini tidak ada kemajuan sama sekali!”
Yang bicara
itu adalah seorang kakek yang luar biasa sekali. Kakek ini tidak pantas disebut
manusia, lebih patut dinamakan gorila atau monyet besar sekali, seekor monyet
besar yang memakai sepatu dan pakaian seperti manusia, akan tetapi pakaiannya
amat sederhana. Mukanya adalah muka campuran antara manusia dan monyet, akan
tetapi masih lebih mendekati monyet dari pada manusia, sehingga pantasnya dia
dinamakan monyet yang mirip manusia.
Bahkan dari
bibir monyetnya itu menonjol keluar dua buah taring di kanan kiri! Hanya
kulitnya saja yang tidak seperti monyet, karena kulit muka dan tangannya tidak
berbulu, dan rambutnya juga seperti rambut manusia, pendek sampai di pundaknya
dan masih banyak hitamnya. Kedua tangannya besar, seperti tangan manusia, akan
tetapi kedua lengannya panjang melampaui lututnya, ciri lengan tangan monyet!
Dan biar pun wajahnya menyeramkan seperti monyet, akan tetapi suaranya halus
dan lemah lembut seperti suara seorang pendeta, dan pakaiannya amat sederhana!
Padahal dia
adalah orang nomor satu dari Im-kan Ngo-ok, dan dia inilah yang disebut Twa-ok
(Jahat Nomor Satu) bernama Su Lo Ti, nama yang berasal dari Pegunungan
Himalaya, dan dia ini adalah suheng (kakak seperguruan) dari Koksu Nepal! Tentu
saja, sebagai Twa-ok, kepandaiannya juga amat tinggi, jauh lebih tinggi dari
pada tingkat sute-nya yang hanya menduduki tingkat Sam-ok, dan dalam hal
kekejaman, kiranya tidak ada lawannya di dunia ini! Akan tetapi hebatnya, biar
pun wajahnya menyeramkan dan bengis, sikap dan suaranya lemah lembut seperti
orang yang sabar dan memiliki watak budiman!
Empat orang
dari Im-kan Ngo-ok yang kesemuanya sudah menyembunyikan diri selama belasan
tahun, bertapa di tempat persembunyian mereka, menjauhkan diri dari dunia ramai
itu, semua berpakaian sederhana sekali. Pakaian, cara kehidupan, dan sikap
sederhana ini selalu menarik perhatian orang dan menimbulkan rasa hormat dalam
hati setiap orang.
Benarkah
semua itu yang dinamakan kesederhanaan? Kita sudah terlalu terbiasa untuk
menilai segala sesuatu dari lahiriah belaka. Dan kita selalu mengejar sesuatu
juga untuk kepentingan kesenangan diri sendiri dengan dasar-dasar lahiriah
pula. Kesederhanaan adalah suatu hal yang menyangkut suatu keadaan rohani,
keadaan batiniah yang tidak ada sangkut-pautnya dengan keadaan jasmaniah atau
lahiriah.
Seorang
pertapa boleh jadi hanya mengenakan cawat saja sebagai penutup tubuh, hanya
makan sehari sekali atau kurang dari makanan seadanya, tetapi belum tentu dia
itu berjiwa sederhana!
Ada
orang-orang yang tampak sederhana, namun kesederhanaannya itu digunakannya
sebagai pameran, memamerkan kesederhanaannya, agar semua orang tahu bahwa dia
adalah orang sederhana! Kesederhanaan macam ini adalah kesederhanaan palsu,
biar pun dia telah menyiksa tubuhnya sendiri, memaksa tubuhnya agar
melaksanakan apa yang dianggapnya kesederhanaan.
Kesederhanaan
yang diakui sendiri, dirasakannya sendiri ini hanyalah kesederhanaan pura-pura
yang pada hakekatnya tak lain tak bukan hanyalah suatu kesombongan yang
terselubung, suatu pamrih atau keinginan menonjolkan diri yang dibungkus dan
diberi etiket berbunyi: Kesederhanaan! Kesederhanaan lahiriah yang disengaja
seperti itu hanyalah merupakan daya upaya, merupakan cara untuk mencapai
sesuatu belaka, yaitu: Agar orang lain tahu bahwa dia sederhana, bahwa dia
suci, baik dan sebagainya yang pada akhirnya hanya menunjukkan bahwa dia
berpamrih agar terpandang! Dan ‘terpandang’ ini merupakan sesuatu yang
menyenangkan hati! Jadi kesimpulannya adalah bahwa dia menggunakan
kesederhanaan lahiriah sebagai kedok untuk mengejar kesenangan!
Ada pula
orang yang sengaja hidup sederhana, bertapa di gunung-gunung dan goa goa,
berpakaian setengah telanjang, jarang makan minum, menyiksa diri. Akan tetapi
semua itu pun merupakan bentuk pemaksaan belaka, semua itu pun merupakan suatu
jalan untuk mencapai sesuatu, oleh karena itu pun palsu adanya. Hanya sebagai
cara memenuhi keinginannya, mencapai sesuatu dan segala yang berpamrih sudah
pasti palsu adanya, tidak wajar!
Mungkin si
pertapa yang menyiksa diri dan memaksa diri sederhana itu menghendaki sesuatu
yang tidak ada sangkut-pautnya dengan duniawi, bukan menghendaki harta, bukan
menghendaki nama, atau menghendaki kedigdayaan yang kesemuanya adalah duniawi,
bukan pula ingin memperoleh kemuliaan duniawi, tetapi menginginkan sesuatu yang
dinamakannya ‘lebih tinggi’ yang pada umumnya dinamakan ‘kesempurnaan’, atau
‘kesucian’, atau ‘kebahagiaan’, bahkan ada pula yang menyebutnya Tuhan! Akan
tetapi, semua sebutan itu pasti dihubungkan sebagai hal yang menyenangkan!
Baik itu
kesempurnaan, kebahagiaan atau lainnya, tentu digambarkan oleh pikiran sebagai
sesuatu yang menyenangkan, atau yang lebih baik, lebih enak, lebih menyenangkan
dari pada yang sekarang ada padanya! Dengan demikian, kembali lagi lingkaran
setan itu terbukti, bahwa yang dikejar adalah kesenangan! Baik jasmaniah, atau
pun batiniah, tetap saja yang dicari-cari adalah kesenangan menurut ukuran
pikiran! Karena yang selalu mengukur sesuatu dengan untung rugi, dengan senang
susah, yang selalu mengejar-ngejar kesenangan adalah pikiran itulah!
Kesederhanaan,
seperti cinta kasih seperti juga kebenaran, kebaikan, kebajikan dan sebagainya,
jelas tidak dapat dilatih! Karena sesuatu yang dilatih itu berarti penekanan,
berarti pemaksaan, dan sesuatu yang dilatih itu sudah pasti mengandung pamrih
untuk memperoleh sesuatu! Dan kalau sudah ada pamrih, dan semua pamrih selalu
berputar untuk kemudian menuju kepada pencapaian kesenangan sendiri, apakah itu
dapat dinamakan kesederhanaan lagi? Kesederhanaan, seperti juga kebaikan atau
kebajikan, adalah suatu keadaan, bukan suatu hal yang mati. Sekali kita merasa
bahwa kita baik, maka itu bukanlah baik lagi namanya! Sekali kita menganggap
bahwa kita sederhana, itu tiada lain hanyalah kesombongan yang berselubung
dengan cap kesederhanaan. Kita dapat melihatnya semua ini secara gamblang di dalam
diri kita sendiri kalau kita mau membuka mata setiap saat dan memandang diri
sendiri.
Dan untuk
mengenal apa yang dinamakan cinta kasih, kebahagiaan, keindahan, keagungan
alam, apa yang dinamakan kekuasaan Tuhan yang biasanya kita hanya menerima saja
dari pendapat-pendapat yang sudah ditentukan oleh kitab dan para ahli, untuk
dapat mengenal itu semua secara nyata, bukan hanya teori belaka, bukan hanya
harapan belaka, dibutuhkan jiwa yang sungguh-sungguh sederhana!
Dan
kesederhanaan tak mungkin ada selama di situ terdapat aku yang berpamrih, aku
yang ingin senang, selama terdapat pikiran yang mencari-cari hal yang
menyenangkan. Batin yang hening, tidak dibikin hening dengan sengaja, melainkan
batin yang hening dengan sendirinya, bukan buatan, batin yang tidak pernah
mengharap, tidak pernah menginginkan sesuatu yang tidak ada, batin demikian ini
yang berada dalam keadaan sederhana.
Namun
sayang, sejak kecil kita sudah terbiasa oleh hal-hal yang palsu. Pendapat
pendapat umum yang dibangun semenjak kita dapat berpikir, mempengaruhi kita,
membutakan mata kita betapa palsunya semua itu. Kita menjadi buta dan hanya
melihat hal-hal lahiriah belaka. Oleh karena itu maka kebanyakan dari kita
mempergunakan hal hal lahiriah ini untuk mengelabui orang lain, yang tentu saja
bersumber lagi kepada pamrih untuk menarik keuntungan lahir batin sebanyaknya,
pamrih untuk mengejar kesenangan pribadi.
Empat orang
dari Im-kan Ngo-ok itu tentu saja hanya mempergunakan pakaian dan sikap
sederhana untuk pamer belaka. Biar pun tidak kelihatan demikian, namun seolah
olah mereka itu berkaok-kaok, “Lihat nih! Aku adalah orang sederhana, lain dari
pada yang lain! Aku bukan orang biasa! Aku sederhana dan baik, suci dan
sebagainya!”
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment