Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Kisah Sepasang Rajawali
Jilid 23
Dengan
kecepatan seperti terbang, Topeng Setan memanggul tubuh kakek berambut putih
dan menggandeng tangan Ceng Ceng melarikan diri dari tempat berbahaya itu dan
akhirnya, setelah mendaki sebuah bukit, dia memasuki sebuah kuil yang tua dan
rusak, kuil yang terpencil di lereng bukit itu, di daerah yang sunyi sekali.
Ketika dia
menurunkan tubuh kakek itu dari pondongannya, dia terkejut melihat keadaan
kakek itu yang amat payah. Pedang yang menusuk lambungnya itu melukai bagian
penting di dalam tubuhnya dan pedang itu mengandung racun pula.
“Ahhh,
bukankah dia ini pelayan Istana Gurun Pasir?” Tiba-tiba Ceng Ceng berseru
ketika dia mengenal muka kakek itu, “Ahh, benar, dia adalah Louw Ki Sun... aku
pernah bertemu dengan dia...!” Ceng Ceng berseru lagi.
Akan tetapi
Topeng Setan yang memeriksa luka itu segera berkata, “Ceng Ceng, harap engkau
suka membantu. Tolong carikanlah air yang jernih... dia memerlukannya...”
Suara Topeng
Setan penuh permohonan dan terdengar agak tergetar sehingga Ceng Ceng tidak
banyak cakap lagi lalu mengangguk dan berlari keluar dari kuil. Tidak mudah
baginya mencari air di tempat yang tidak dikenalnya itu dan sampai beberapa
lamanya barulah akhirnya dia berhasil mendapatkan air yang diisikan di sebuah
guci yang tadi dibawanya dari Topeng Setan. Cepat dia berlari kembali ke kuil
itu.
Namun ketika
dia memasuki ruangan di mana Topeng Setan tadi merebahkan tubuh kakek tua di
atas lantai, dia terkejut sekali melihat Topeng Setan duduk termenung
menyandarkan tubuhnya pada dinding rusak itu dan kedua pipi muka bertopeng
buruk itu basah oleh air mata. Topeng Setan menangis! Ceng Ceng terkejut dan
terheran-heran. Selama dia mengenal Topeng Setan, orang tua ini adalah seorang
yang jantan, berkepandaian tinggi, aneh dan agaknya tidak pernah dipengaruhi
oleh perasaan. Akan tetapi mengapa sekarang menangis?
“Paman,
kau... kau... menangis?”
Topeng Setan
tidak menjawab, hanya menggunakan tangan menghapus sisa air mata di atas pipi
topengnya itu, dan dengan anggukan kepala dia menunjuk ke arah kakek berambut
putih yang rebah telentang di atas lantai. Ceng Ceng memandang dan tahulah dia
bahwa kakek Louw Ki Sun itu telah tewas.
“Ah, dia
telah mati?” tanyanya sambil berlutut dan memandang ke arah jenazah kakek itu.
Topeng Setan
mengangguk. “Dia tewas karena membantu aku melawan orang-orang lihai tadi. Dia
mati karena membantuku, Ceng Ceng.”
Diam-diam
hati Ceng Ceng terharu dan juga kagum. Orang tua bertopeng ini selain gagah
perkasa dan lihai, juga ternyata memiliki watak ingat budi sehingga kematian
kakek yang membantunya itu membuat hatinya berduka.
Maka dia pun
tidak banyak bicara lagi dan ikut bersembahyang memberi hormat ketika jenazah
kakek itu dikubur di depan kuil tua itu dan Topeng Setan melakukan upacara
sembahyang secara sederhana sekali karena tidak terdapat alat-alatnya. Mereka
hanya berlutut di depan gundukan tanah, terpekur dan mengheningkan cipta.
Topeng Setan
kemudian mengajak Ceng Ceng melanjutkan perjalanan dengan tujuan ke Telaga
Sungari. Bulan muda telah mulai nampak di waktu malam dan pada malam bulan
purnama, beberapa hari lagi, mereka harus sudah berada di telaga itu untuk
mencoba peruntungan mereka, yaitu berusaha menangkap anak naga yang akan
dipergunakan sebagai obat bagi Ceng Ceng.
Makin dekat
dengan Telaga Sungai, makin teganglah hati Ceng Ceng. Apa lagi setelah dia
mulai melihat berkelebatnya bayangan orang-orang aneh yang juga melakukan
perjalanan menuju ke arah yang sama. Rombongan-rombongan orang yang pakaiannya
aneh-aneh, yang sikapnya ganjil dan luar biasa, melakukan perjalanan tanpa
bicara seperti serombongan orang yang hendak berziarah ke tempat suci!
“Mereka
adalah orang-orang pandai yang agaknya juga hendak pergi ke telaga itu,” Topeng
Setan berkata lirih ketika melihat keheranan Ceng Ceng. “Sebaiknya kita jangan
melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan dengan mereka sebelum kita
tiba di tempat tujuan.”
Ceng Ceng
mengangguk dan timbul keraguan di dalam hatinya. Bagaimana mungkin dia dan
Topeng Setan akan dapat berhasil memperoleh anak naga atau anak ular itu?
Demikian banyaknya orang lihai yang menghendaki binatang keramat itu. Dia
sekarang menduga bahwa orang-orang lihai, datuk-datuk kaum sesat yang
dilihatnya di jalan, seperti rombongan Tambolon, orang-orang Lembah Bunga
Hitam, orang-orang Pulau Neraka, lalu Kakek Louw Ki Sun yang tewas itu, kiranya
tentu semua juga bermaksud pergi ke Telaga Sungari untuk kepentingan yang sama
pula. Kemudian orang-orang aneh yang makin banyak menuju ke telaga ini!
Akhirnya,
beberapa hari kemudian, tibalah mereka di pinggir sebuah telaga yang amat luas.
Dan tepat seperti yang telah diduga oleh Ceng Ceng, dia melihat banyak sekali
orang-orang di pinggir telaga, bahkan ada pula yang sudah berperahu hilir mudik
di atas permukaan air telaga yang biru seperti air laut saking dalamnya itu.
Telaga itu luas sekali sehingga pantai di seberangnya tidak nampak.
Karena
luasnya telaga maka biar pun di tepi telaga berkumpul banyak orang dan ada
belasan buah perahu di tengahnya, akan tetapi tempat itu masih kelihatan sepi.
Para nelayan tidak ada yang berani mencari ikan karena setiap bulan purnama,
sering kali terdapat badai dan angin besar melanda telaga itu, apa lagi terang
bulan di musim semi ini yang dikaitkan dengan dongeng rakyat tentang munculnya
naga siluman!
Akan tetapi
sekali ini para nelayan di daerah itu tidak menjadi rugi, bahkan memperoleh
keuntungan besar karena banyak datang orang-orang yang katanya hendak ‘pesiar’
di Telaga Sungari dan menyewa perahu mereka. Mereka itu demikian royal sehingga
berani menyewa perahu dengan jumlah tinggi sehingga uang sewa perahu itu saja sudah
beberapa kali lipat dari hasil mencari ikan di telaga!
Namun,
agaknya orang-orang kang-ouw dan tokoh-tokoh yang biasanya bersembunyi dan
memiliki kepandaian tinggi itu agaknya saling menjaga diri, tidak mau mencari
keributan atau permusuhan karena kedatangan mereka itu semua bermaksud untuk
mencari anak naga itu. Bahkan Ceng Ceng melihat sendiri betapa anak buah Pulau
Neraka dan anak buah Lembah Bunga Hitam yang biasanya kasar-kasar dan
kejam-kejam, bahkan saling bermusuhan itu setelah tiba di tepi telaga lalu
memisahkan diri, mencari tempat yang sunyi dan tidak kelihatan ingin memancing
keributan. Memang akan rugilah kalau sebelum anak naga itu muncul sudah membuat
permusuhan lebih dulu yang akibatnya hanya akan merugikan mereka sendiri.
Ceng Ceng
dapat merasakan suasana yang amat tegang dan panas itu. Dia maklum bahwa biar
keadaannya sekarang kelihatan tenang, namun begitu anak naga itu muncul, pasti
akan terjadi perebutan yang hebat dan dia makin meragu apakah Topeng Setan akan
berhasil memperoleh anak ular atau naga itu.
“Begitu
banyak orang...,” Ceng Ceng berbisik.
Topeng Setan
memberi isyarat dan gadis itu mengikuti orang tua bertopeng ini menuju ke tepi
telaga yang sunyi, jauh dari orang lain dan di sini Topeng Setan menyewa sebuah
perahu kecil dari seorang nelayan. Dia menyeret perahu itu ke tepi dan duduk di
atas perahu bersama Ceng Ceng, menjauhi semua orang, menanti malam tiba. Malam
nanti adalah malam bulan purnama, malam yang dinanti-nanti oleh semua orang
dengan jantung tegang berdebar.
“Mereka
adalah orang-orang yang lihai sekali, kita harus berhati-hati Ceng Ceng. Wah,
agaknya orang-orang yang selama ini hanya bersembunyi di gunung-gunung, di goa
dan di tempat terasing, yang pekerjaannya hanya bertapa, kini keluar dari tempat
pengasingan diri mereka untuk mencari anak naga itu.”
“Ketua Pulau
Neraka Hek-tiauw Lo-mo dan Ketua Lembah Bunga Hitam itu saja sudah memiliki
kelihaian yang amat hebat. Apa kau kira ada yang lebih lihai dari mereka,
Paman?”
“Hemmm, kau
sungguh tidak melihat tingginya langit dan dalamnya lautan, Ceng Ceng, karena
engkau hanya mengira bahwa di dunia ini hanya ada mereka berdua itu yang lihai.
Aihhh, banyak sekali orang berilmu di dunia ini, Ceng Ceng. Sama banyaknya
dengan bintang di langit dan sukar untuk mengatakan siapa di antara mereka yang
paling pandai.”
“Aku
mendengar bahwa orang paling lihai di dunia ini adalah Pendekar Super Sakti
majikan Pulau Es,” kata Ceng Ceng dan diam-diam dia ada juga sedikit rasa
bangga bahwa dia masih terhitung cucu tiri dari pendekar sakti itu.
Topeng Setan
menarik napas panjang. “Mungkin di antara para pendekar yang dikenal orang, dia
tergolong tingkat teratas. Akan tetapi ketahuilah bahwa di dunia ini banyak
sekali orang pandai yang menyembunyikan diri. Para pertapa di puncak-puncak
gunung, mereka yang sudah tidak mau lagi berurusan dengan dunia ramai, banyak
sekali di antara mereka yang tinggi sekali ilmunya, sukar diukur bagaimana
tingginya...”
“Lebih
tinggi dari kepandaian Pendekar Super Sakti?” tanya Ceng Ceng tidak percaya.
“Mungkin
sekali, bahkan mungkin beberapa kali lipat! Mereka yang sudah tidak mau lagi
menggunakan ilmunya untuk melakukan sesuatu di dunia ramai, tak bisa
dibandingkan dengan kita, juga dengan mereka yang kini datang ke sini
mengandalkan ilmu untuk memperebutkan anak naga.”
Topeng Setan
menghela napas panjang. “Kepandaian mereka yang tidak mau muncul di dunia ramai
itu seperti dewa... akan tetapi mereka telah melihat bahwa kepandaian itu tidak
ada manfaatnya bagi kebahagiaan hidup manusia, dan mereka memang benar...”
“Apakah kau
mau mengatakan bahwa kepandaian hanya mendatangkan mala petaka bagi kehidupan
manusia, Paman?”
“Kenyataannya
demikianlah... akan tetapi, asal kita selalu ingat bahwa kepandaian bukanlah
untuk mengumbar nafsu... ahhh, sudahlah, itu ada orang mendekati kita, Ceng
Ceng.” Topeng Setan lalu menghentikan kata-katanya dan Ceng Ceng menengok ke
kanan. Benar saja, ada seorang pria muda dengan langkah perlahan ke arah
mereka, agaknya pemuda itu sedang menikmati pemandangan di sekitar telaga itu.
“Eh...
engkau ini...? Moi-moi... Nona Ceng...?” Tiba-tiba pemuda itu melangkah maju
menghampiri dan memandang Ceng Ceng dengan kedua lengannya dikembangkan dan
wajahnya berseri.
Ceng Ceng
memandang penuh perhatian. Pemuda itu tampan sekali, tampan dan ramah, sikapnya
halus dan gembira, pakaiannya indah sekali. Maka dia makin kaget ketika
mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Pangeran Yung Hwa! Pangeran yang
pernah ditolongnya dahulu di kota raja, pangeran yang bersikap amat manis
kepadanya, yang tanpa banyak membuang waktu langsung saja menyatakan cinta
kepadanya! Pemuda bangsawan menarik hati, yang pernah... menciumnya tanpa dia
dapat mencegahnya, pemuda yang tentu akan mudah menjatuhkan hatinya sekiranya
dia tidak sudah hancur hatinya karena perbuatan pemuda laknat yang menjadi
musuhnya.
“Ohhh...
Pangeran... Yung Hwa...” Dia tergagap.
“Aih,
Nona... kiranya Thian sendiri yang menuntun aku ke telaga ini. Kiranya aku
dapat bertemu dengan engkau di sini! Betapa bahagia rasa hatiku! Kau tidak
tahu, susah payah aku mencarimu, Nona, hatiku penuh dengan kegelisahan setelah
aku mendengar bahwa engkau terluka parah ketika terjadi penumpasan pemberontak,
dan hatiku bangga bukan main mendengar akan kepahlawananmu. Ahhh, mukamu masih
pucat... Nona Ceng, marilah, engkau ikut bersamaku ke kota raja. Akan kuundang
semua tabib terpandai, engkau harus diobati sampai sembuh. Katanya engkau
terluka pukulan beracun...”
Ceng Ceng
sampai merasa kewalahan mendengar ucapan yang membanjir ini. Dia menoleh kepada
Topeng Setan yang juga memandang pemuda itu dan baru sekarang agaknya Pangeran
Yung Hwa melihat Topeng Setan. Dia terkejut melihat wajah yang buruk itu dan
dia bertanya, “Dia ini... eh, siapakah dia, Nona Ceng?”
Sebelum Ceng
Ceng sempat menjawab, Topeng Setan sudah bangkit berdiri, menjura dan berkata,
“Kiranya Paduka adalah seorang pangeran. Saya adalah Topeng Setan, pembantu
Nona Ceng ini.”
“Topeng
Setan...? Nama yang aneh...!” Pangeran Yung Hwa kelihatan seram.
“Dia yang
mengobati aku, Pangeran. Dan dia akan mencarikan obat untukku di telaga ini,
bagaimana Pangeran bisa tahu bahwa aku terluka? Dan bagaimana pula bisa sampai
di tempat ini?” Ceng Ceng bertanya.
Pangeran
Yung Hwa kelihatan begitu gembira bertemu dengan Ceng Ceng, sehingga dia lalu
melupakan Topeng Setan, duduk di atas perahu dan dengan ramah dia lalu
bercerita.
“Aku bertemu
dengan Perdana Menteri Su, dan beliau yang menceritakan semuanya kepadaku.
Beliau mendengar dari Kakak Milana tentang engkau... ahhh, kasihan Kakak
Milana...”
“Kenapa,
Pangeran?” Ceng Ceng bertanya heran.
“Ah, kau
belum mendengar apa yang terjadi di kota raja? Ahhh, banyak terjadi hal yang
hebat mengerikan. Kau tahu, suami Kakak Milana, yaitu Han Wi Kong, dengan nekat
telah menyerbu istana Pangeran Liong Bin Ong dan membunuh pangeran itu, akan
tetapi dia sendiri pun tewas. Kakak Milana mengamuk, membunuh para pengawal
yang menewaskan suaminya, kemudian Kakak Milana melarikan Puteri Bhutan dari
istana dan peristiwa itu tentu saja menggegerkan istana.”
Ceng Ceng
kaget bukan main. Dia tahu bahwa Pangeran Liong Bin Ong adalah dalang
pemberontakan. Diam-diam ia merasa kasihan kepada Puteri Milana yang
dikaguminya itu. Juga dia amat kaget mendengar bahwa Syanti Dewi dilarikan dari
istana oleh Puteri Milana.
“Lalu ke
mana mereka pergi? Ke mana Puteri Bhutan itu dibawa pergi?” tanyanya.
“Entahlah.
Siapa bisa mengikuti bayangan Enci Milana? Dia sudah terbang... dan aku
berterima kasih sekali kepadanya bahwa dia melarikan Puteri Syanti Dewi!” Wajah
yang tampan itu berseri.
“Mengapa,
Pangeran?”
“Ahhh,
engkau tidak tahu? Ceng-moi..., tidak tahukah engkau bahwa setelah Pangeran
Liong Khi Ong tewas, Kaisar lalu memutuskan untuk menjodohkan Puteri Bhutan itu
dengan aku? Nah, dapat kau bayangkan betapa gelisah hatiku... engkau tahu bahwa
setelah bertemu dengan engkau... aku tidak mungkin dapat menikah dengan wanita
lain... maka keputusan Kaisar itu membuat aku mengambil keputusan untuk minggat
lagi...”
“Ahhh,
jangan berkata begitu, Pangeran!” Ceng Ceng menegur halus sambil melirik dengan
muka merah kepada Topeng Setan yang sejak tadi hanya mendengarkan tanpa
memandang.
“Akan tetapi
untung, sebelum aku terpaksa minggat, puteri itu telah dilarikan oleh Enci
Milana. Memang Enci Milana adalah seorang puteri yang gagah perkasa, adil dan
berbudi. Dia tahu bahwa Syanti Dewi juga tidak setuju dengan keputusan Kaisar,
kami berdua akan dikawinkan secara paksa! Maka begitu aku mendengar tentang
dirimu, bahwa menurut Perdana Menteri Su engkau telah terluka parah dan pergi,
aku segera mencarimu ke mana-mana. Akhirnya, agaknya Thian sendiri yang
menuntun aku ke telaga ini sambil pesiar, dan ternyata benar saja aku bertemu
denganmu, Ceng-moi...!” Pangeran itu kelihatan girang bukan main.
Ceng Ceng
menarik napas panjang. Tidak perlu lagi kiranya takut diketahui oleh Topeng
Setan karena pemuda bangsawan ini dengan terang-terangan telah menyatakan
perasaannya di depan sahabatnya itu. “Pangeran Yung Hwa, sudah kukatakan dahulu
bahwa tak mungkin bagimu melanjutkan perasaanmu yang tidak selayaknya kepadaku
itu. Mengapa engkau membuang-buang waktu mencariku, Pangeran? Tempatmu di
istana, di kota raja, bukan di tempat liar ini...”
“Hushhh,
jangan berkata demikian. Sudahlah, jangan kita bicarakan itu dulu sebelum
engkau sembuh. Bagaimana? Apanya yang terasa sakit, Ceng-moi? Mari kita mencari
tabib yang pandai di kota raja...”
“Paman
Topeng Setan ini adalah tabibku, Pangeran.”
“Ouhhh...!
Benarkah Paman sanggup menyembuhkan nona ini?”
Yung Hwa
bertanya kepada orang tua bertopeng buruk itu. “Kalau benar, apa pun yang Paman
minta akan kupenuhi. Aku bisa membantu Paman memperoleh kedudukan di kota raja!
Ataukah harta benda? Akan kuserahkan kepadamu, Paman, asal Paman dapat
menyembuhkan Nona Ceng...”
Topeng Setan
menghela napas panjang dan Ceng Ceng yang merasa tidak enak terhadap Topeng
Setan segera berkata, “Pangeran, paman ini adalah sahabatku, sahabat baikku!
Dia telah berkali-kali menolongku dan sekarang pun dia berusaha mencarikan obat
untukku. Untuk semua itu dia sama sekali tidak mengharapkan apa-apa.”
“Ah, kalau
begitu Paman adalah seorang budiman. Biar aku menghaturkan terima kasih
terhadap semua kebaikan Paman yang telah dilimpahkan kepada Nona Ceng!” Dan
Pangeran Yung Hwa lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Topeng Setan!
Memang
pangeran ini sama sekali berbeda sikapnya dengan pangeran-pangeran lain. Dia
paling bandel dan suka memberontak terhadap peraturan dan tradisi istana, dan
dia tidak angkuh seperti layaknya seorang pangeran, dan pandai dia bergaul
dengan rakyat biasa.
Topeng Setan
cepat mengangkat bangun pangeran itu. “Ahhh, harap Paduka jangan merendahkan
diri seperti itu, Pangeran.” Suara Topeng Setan mengandung keharuan. “Saya
berjanji akan berusaha sekuat saya untuk menyembuhkan Nona Ceng.”
“Terima
kasih... terima kasih...! Wah, hatiku lega sekali mendengar ini. Ceng Ceng,
obat apakah yang hendak dicari di telaga ini?”
“Obat yang
juga akan diperebutkan oleh semua orang itu, Pangeran.”
“Aiihhh...?”
Pangeran itu terkejut, memandang ke pinggir telaga di mana berkumpul banyak
orang dan di tengah telaga yang sudah nampak banyak perahu hilir mudik.
“Berebutan? Apa yang diperebutkan?”
“Anak naga
yang akan muncul malam ini di permukaan Telaga Sungari!” kata Ceng Ceng dengan
suara lantang dan pandang mata geli karena dia ingin menakut-nakuti pangeran
ini. Sikap pangeran yang gembira itu membangkitkan watak gadis ini yang memang
lincah gembira sebelum mala petaka kehidupan menimpa dirinya.
Akan tetapi
Pangeran Yung Hwa tidak menjadi takut atau kaget, malah dia tertawa bergelak.
“Lucu...! Dongeng itu? Ha-ha-ha, sungguh lucu. Lucu dan indah. Kau lihat betapa
indahnya permukaan telaga yang biru itu, Ceng-moi. Lihat betapa air seperti
terbakar oleh cahaya matahari senja yang kemerahan. Seolah-olah permukaan
telaga berubah menjadi api neraka dan dari situ benar akan muncul anak naga?
Ha-ha-ha, pemandangan alam begini indah, ditambah suasana yang begini aneh
dibumbui pula dongeng menyeramkan, benar-benar membuat orang menjadi amat
gembira dan timbul gairah untuk menulis sajak!”
Ceng Ceng
juga tersenyum. Kegembiraan pangeran itu menular dan memang sukar untuk tidak
merasa gembira berdekatan dengan pemuda yang menarik hati ini. “Kalau begitu,
mengapa Pangeran tidak menulis sajak?”
“Alat
tulisku berada di kereta yang menanti di sana...” Pangeran itu menuding ke
kanan. “Aku datang bersama seorang kusir dan dua orang pengawal yang kusuruh
menanti di sana karena aku ingin berjalan-jalan sendiri... tetapi bertemu
denganmu membangkitkan daya ciptaku, Moi-moi. Tanpa perlu ditulis pun rasanya
sanggup aku menciptakan sajak untukmu. Kau dengarlah...”
Pangeran itu
berdiri menghadapi telaga yang pada waktu itu memang sangat indah
pemandangannya. Lalu terdengar dia mengucapkan kata-kata sajak berirama seperti
orang bersenandung, suaranya halus dan merdu, matanya tajam menatap ke depan
seolah-olah melihat hal-hal yang tak tampak oleh mata biasa. Mata seniman yang
dapat menembus segala tabir dan kabut rahasia yang membutakan mata sebagian
besar manusia.
Merah nyala
matahari,
membakar
langit senja kala,
di atas
Telaga Sungari.
Air terbakar
merah seperti neraka,
sebagai
isyarat munculnya sang naga,
dari dongeng
rakyat jelata.
Matahari
senja, langit menyala,
Telaga
Sungari, kisah naga,
tidak
seindah saat ini
berjumpa
kekasih di tepi sungai!
Ceng Ceng
mendengarkan dengan kagum dan terharu. Dia maklum bahwa bagaimana pun juga,
pangeran yang tampan ini masih terus menyatakan cinta kasih kepadanya!
“Bagaimana,
Ceng-moi? Baikkah sajakku tadi?”
“Sajak yang
indah sekali!” Tiba-tiba Topeng Setan berkata sambil merenung ke tengah telaga.
“Sajakmu
memang bagus, Pangeran,” kata Ceng Ceng menunduk, jantungnya berdebar dan dia
tidak tahu harus berkata apa di depan pangeran yang sifatnya terbuka dan yang
menyatakan perasaan hatinya secara langsung dan terang-terangan.
“Tunggulah
sebentar, Ceng-moi. Aku akan menyuruh keretaku ke sini. Indah sekali di bagian
ini dan hemm... aku maklum bahwa keindahan itu tak akan ada artinya lagi kalau
engkau tidak berada di sini. Kau tunggu sebentar, aku takkan lama...” Pangeran
itu lalu bergegas pergi hendak menyuruh kusir dan pengawalnya membawa keretanya
ke tempat itu.
Sementara
itu, cuaca mulai gelap dan kegelapan itu adalah karena pertemuan antara sinar
senja dari matahari dan sinar lembut dari bulan di timur.
“Paman, mari
kita pergi...” Ceng Ceng berkata lirih setelah pangeran itu pergi jauh.
“Ehhh...?”
Topeng Setan berkata bingung.
“Mari kita
dayung perahu ke tengah telaga. Kalau kita terlambat, jangan-jangan kita tak
akan berhasil mendapatkan anak naga itu... Dia... dia... tentu akan menjadi
pengganggu kalau sudah kembali ke sini.”
Topeng Setan
hanya mengangguk tanpa membantah, lalu mereka memasuki perahu kecil yang segera
didayung ke tengah oleh Topeng Setan. Sebentar saja mereka telah jauh
meninggalkan tepi yang sudah tak kelihatan lagi karena gelapnya cuaca dan Ceng
Ceng membayangkan betapa pangeran itu akan mencari-cari dan akan kebingungan
dan kecewa.
“Pangeran
Yung Hwa itu baik sekali...,” terdengar Topeng Setan berkata.
“Dia seperti
orang gila saja...,” Ceng Ceng membantah yang lebih ditujukan kepada hatinya
sendiri.
“Memang
begitulah orang yang jatuh cinta, tergila-gila...”
“Sudahlah,
Paman. Sekarang aku tidak mau bicara tentang dia. Mari kita mendekati
perahu-perahu itu. Agaknya ada terjadi sesuatu di sana.”
Bulan mulai
muncul di ufuk timur dan perahu-perahu semakin bertambah banyak. Agaknya semua
orang kang-ouw yang ingin menangkap anak naga sudah bersiap-siap dan sudah
berada di perahu masing-masing. Dan ketika perahu kecil Ceng Ceng dan Topeng
Setan berada di tengah, di tempat yang ramai karena agaknya semua perahu
mengharapkan munculnya anak naga di telaga, tampaklah perahu-perahu
berseliweran dan agaknya banyak yang melagak, memamerkan kekuatan dan
bersiap-siap untuk berebutan dan jika perlu menggunakan kepandaian mereka untuk
saling mengalahkan lawan dalam perebutan itu!
Perahu-perahu
itu ditumpangi oleh orang-orang yang wajahnya seram-seram dan aneh-aneh. Ketika
Topeng Setan perlahan-lahan mendayung perahunya sambil memperhatikan kanan
kiri, tiba-tiba sebuah perahu besar lewat dengan laju dan perahu yang didayung
cepat ini menimbulkan gelombang yang melanda perahu-perahu kecil di
sekelilingnya, termasuk perahu yang ditumpangi Topeng Setan dan Ceng Ceng.
Perahu besar
itu agaknya tidak mempedulikan perahu-perahu lainnya, terus meluncur dengan
angkuhnya. Agaknya karena kurang hati-hati, sebuah perahu kecil terlanggar
ujungnya dan dengan suara keras perahu itu terbalik! Ceng Ceng memandang dengan
penuh perhatian karena perahu kecil yang terlanggar itu jaraknya tidak terlalu
jauh dari perahunya.
Penumpangnya
hanya satu orang. Orang tua berpakaian tosu yang wajahnya bengis. Orang-orang
di dalam perahu lain sudah tertawa melihat perahu terbalik ini, akan tetapi
tiba-tiba tosu itu mengeluarkan seruan melengking nyaring dan tubuhnya mencelat
tinggi sekali, lalu bagaikan seekor burung garuda saja, di udara tubuhnya
membuat poksai (salto) sampai tiga kali dan dia sudah melayang ke arah perahu
besar itu.
“Tarrrrr...!”
Suara
ledakan ini dibarengi oleh uap yang mengepul ketika sebatang cambuk bergerak
menyambar tubuh tosu itu dari atas perahu besar. Sungguh merupakan sambaran
yang amat berbahaya karena lecutan cambuk yang dibarengi suara meledak nyaring
dan kepulan uap itu menandakan bahwa yang memegang cambuk adalah orang yang
berilmu tinggi dan bertenaga besar. Ceng Ceng terkejut karena menurut dugaannya
tentu tubuh tosu itu akan kena dihajar dan akan terjatuh ke air.
Akan tetapi,
betapa kagumnya ketika tosu itu kembali mengeluarkan pekik melengking dan
tubuhnya sudah membuat gerakan aneh, seperti seekor burung walet bertemu
halangan dan sudah berjungkir balik dan berhasil mengelak, lalu tubuh itu
mencelat lagi ke atas, dan tahu-tahu tubuh itu sudah hinggap di puncak tiang
layar perahu besar itu!
“Hebat...!”
Ceng Ceng memuji karena apa yang diperlihatkan oleh tosu itu adalah suatu
demonstrasi kepandaian ginkang yang hebat dan dia harus mengakui bahwa dia
sendiri tidak mungkin meniru perbuatan tosu itu.
Terdengar
bunyi aba-aba di perahu besar dan tiba-tiba terdengar bunyi berdesing dan empat
batang anak panah yang besar dan berat, yang agaknya keluar dari satu busur,
meluncur ke arah tubuh tosu di antara tiang layar itu. Akan tetapi tosu itu
telah meloncat ke atas dan ketika empat batang anak panah itu meluncur lewat,
dia hinggap di atas empat batang anak panah itu dengan menelungkup, kaki dan
tangannya hinggap di atas sebatang anak panah dan ‘terbanglah’ dia mengikuti
luncuran anak panah-anak panah itu! Ceng Ceng sampai bengong menyaksikan
kehebatan ilmu kepandaian ini. Ginkang tosu itu benar-benar seperti seekor
burung saja. Akan tetapi pemain cambuk dan pemanah di atas perahu itu pun tak
boleh dibuat main-main.
Tubuh tosu
yang ‘menunggang’ empat batang anak panah itu kebetulan meluncur ke arah
perahunya yang terbalik dan dia lalu meloncat turun. Hampir saja tubuhnya
menimpa dua buah perahu kecil lainnya. Perahu kecil yang ditumpangi oleh
seorang kakek muka hitam tinggi besar dan perahu kecil yang ditumpangi seorang
kakek gemuk pendek berkepala gundul.
“Huhhhh!”
Kakek tinggi besar sudah meloncat ke atas, menjepit perahu dengan kedua kakinya
dan perahunya ‘terbang’ terbawa oleh loncatannya sehingga tidak tertimpa tubuh
tosu itu.
“Hemmm...!”
Kakek gundul gemuk pendek mengerahkan dayungnya dan... perahunya ‘selulup’ ke
dalam air seperti seekor ikan, kemudian muncul kembali di depan, lima meter
jauhnya dan dia tetap mendayung perahunya seperti tidak pernah terjadi sesuatu
sungguh pun pakaian dan kepala gundulnya basah kuyup!
Ceng Ceng
makin kagum. Dua orang kakek itu pun hebat sekali! Kiranya tempat ini penuh
dengan orang-orang pandai, tepat seperti yang diceritakan dan diduga oleh
Topeng Setan tadi. Ceng Ceng menjadi makin ragu-ragu. Kalau tempat ini begitu
penuh orang pandai, bagaimana mungkin dia dan Topeng Setan akan berhasil
mendapatkan anak naga itu? Tentu akan menghadapi banyak sekali halangan.
“Cluppp...!”
Tubuh tosu kurus tadi terjun ke dalam air dan lenyap.
Ceng Ceng
menanti-nanti, akan tetapi tidak kelihatan tosu itu keluar dari dalam air. Dia
merasa khawatir sekali dan menduga-duga, kemudian bertanya kepada Topeng Setan,
“Paman, apakah dia mati?”
Topeng Setan
mendengus, “Hemm, dia sudah kembali ke perahunya.”
Ceng Ceng
memandang perahu yang terbalik tadi. Masih tetap terbalik dan kini dia yang
menduga-duga apakah benar tosu itu telah berada di bawah perahunya yang
terbalik itu dan kalau benar begitu, bagaimana Topeng Setan bisa mengetahuinya?
Sementara
itu, perahu besar yang menabrak perahu tosu tadi masih meluncur cepat ke tengah
telaga. Dari sebelah kanan juga meluncur sebuah perahu besar lain dengan cepat.
Karena keduanya tidak mau saling mengalah, tak dapat terhindarkan lagi, ujung
kedua perahu besar itu beradu.
“Brakkkk...!”
Dua buah
perahu besar terguncang hebat dan beberapa orang anak perahu terlempar keluar
dari perahu dan jatuh ke air. Demikian hebatnya tabrakan itu sehingga tiang
besar kedua perahu itu patah dan tumbang, jatuh menimpa ke arah sebuah perahu
kecil yang berada di sebelah kanannya, tidak kelihatan oleh Ceng Ceng yang
berada agak jauh di sebelah kiri perahu itu.
Tiang yang
terbuat dari balok besar itu menimpa perahu yang ditumpangi oleh dua orang
muda, yang bukan lain adalah Kian Bu dan Mauw Siauw Mo-li Lauw Hong Kui!
Keduanya menjadi terkejut, akan tetapi dengan tenang mereka lalu menghindar
dengan meloncat tinggi ke atas. Perahu mereka hancur akan tetapi keduanya
selamat dan dengan gerakan yang indah sekali, sambil saling bergandeng tangan,
kedua orang ini sudah melayang turun kembali dan hinggap di atas balok tiang
layar yang menimpa perahu mereka tadi, berdiri tegak dan sedikit pun tidak
terguncang. Orang-orang yang menyaksikan ini memuji keindahan gerakan mereka.
Karena semua peristiwa itu terjadi di bawah sinar bulan purnama yang tidak
terlalu terang akan tetapi juga tidak gelap, maka kelihatan makin indah.
Perahu kedua
yang patah tiangnya itu ternyata adalah perahu milik rombongan Pulau Neraka,
sedangkan perahu besar pertama yang menabraknya adalah perahu yang ditumpangi
oleh rombongan Raja Tambolon! Kini seorang tokoh Pulau Neraka yang keluar dari
bilik perahu, dengan marah menyambitkan obor yang tadi dipegangnya ke arah
perahu Raja Tambolon.
Obor
meluncur seperti mustika naga ke arah perahu itu dan semua orang memandang
dengan hati tegang. Mendadak jendela bilik perahu Raja Tambolon terbuka, sebuah
lengan tangan yang hitam kurus mencuat ke luar dan... obor yang melayang itu
seperti bernyawa saja, terbang ke arah tangan itu yang sudah menyambutnya! Maka
keluarlah nenek itu, merupakan bayangan hitam yang kecil menyeramkan karena
dengan tangan kirinya dia lalu meremas-remas api obor itu begitu saja sampai
menjadi padam! Tetapi ketika nenek itu membuka mulutnya ini melayanglah
segumpal api yang merupakan bola api meluncur ke arah perahu Pulau Neraka dan
tepat mengenai gulungan tali layar sehingga terbakar.
Tentu saja
orang-orang Pulau Neraka cepat memadamkan api itu dan ada di antara mereka yang
memaki-maki dan mengacung-acungkan senjata. Ceng Ceng melihat bahwa nenek itu
terkekeh aneh dan dia merasa seram seperti melihat setan! Dan nenek itu
memanglah Nenek Durganini, guru Tambolon ahli sihir yang lihai dan yang tadi
telah mendemonstrasikan ilmu sihirnya.
Keadaan
menjadi makin tegang. Kedua pihak, yaitu anak buah Tambolon dan anak buah Pulau
Neraka, telah saling mengancam dan mendayung perahu saling mendekati, agaknya
tak dapat dihindarkan lagi kedua rombongan ini akan saling gempur. Akan tetapi
pada saat itu terdengar suara aneh, seperti keluar dari dalam dasar telaga,
suara yang dalam akan tetapi terdengar jelas oleh semua orang.
“Itu dia...!
Naga sudah muncul...!”
Tampak air
bergolak dan tahu-tahu perahu yang terbalik tadi kini membalik telentang dan Si
Tosu sudah berada di dalam perahu! Kiranya tosu aneh yang lihai inilah yang
tadi bersuara dari balik perahu, maka suaranya terdengar begitu aneh. Dan
otomatis ketegangan antara dua rombongan perahu besar itu beralih menjadi
ketegangan menghadapi peristiwa yang telah mereka tunggu-tunggu. Terdengar
suara air gemericik dan telaga itu bergelombang dahsyat. Semua orang memandang
dengan panik.
Untung bulan
purnama bersinar terang tanpa penghalang awan sehingga permukaan telaga
kelihatan terang keemasan, namun belum kelihatan apa-apa kecuali gelombang yang
makin membesar dan perahu-perahu kecil terombang-ambing.
Ceng Ceng
dan Topeng Setan juga cepat menggerakkan dayung untuk mencegah perahu mereka
terguling, sedangkan wajah Ceng Ceng menjadi tegang dan matanya terbelalak.
Belum pernah dia merasa setegang itu, jantungnya berdebar keras dan dia hampir
tidak berani berkedip karena matanya terbelalak menyapu seluruh permukaan air,
mencari-cari.
Bukan hanya
mata Ceng Ceng saja yang tidak pernah berkedip menyapu ke kanan kiri, melainkan
mata semua orang yang berada di atas perahu-perahu besar kecil itu semua
terbelalak mencari-cari, seluruh urat syaraf di tubuh menegang, dan siap untuk
bergerak apa bila yang dinanti-nanti itu muncul.
Akan tetapi
ketika yang ditunggu-tunggu itu benar-benar muncul, semua orang menjadi panik,
apa lagi anak buah Pulau Neraka karena di dekat perahu mereka itulah munculnya
‘naga’ itu! Secara tiba-tiba saja air telaga muncrat tinggi dan tampaklah
sebuah kepala ular yang besar sekali, muncul di atas permukaan air begitu saja.
Sepasang mata ular itu mencorong seperti lentera bernyala, kuning kehijauan
sinarnya dan seolah-olah ular atau naga itu hendak menyapu semua permukaan
telaga dengan sinar matanya yang mencorong.
Di dekat
lubang hidungnya nampak dua sungut panjang seperti sungut ikan lee dan ketika
muncul itu, lehernya ‘berdiri’ dan dari dalam mulut yang sedikit terbuka itu
mencuat sebatang lidah putih yang bercabang dua. Kepala ular itu sebesar karung
beras dan kepala sebesar itu tentu akan dapat dengan mudah menelan seorang
manusia dewasa!
Melihat
kepala ular tersembul di permukaan air dekat perahu mereka, para anak buah
Pulau Neraka menjadi panik dan mereka sudah mengangkat senjata untuk membacok
ular itu kalau berani naik lebih tinggi lagi. Akan tetapi terdengar bentakan
keras dari Hek-tiauw Lo-mo menyuruh anak buahnya minggir dan dia sendiri lalu
meloncat ke pinggir perahunya, dekat dengan ular besar itu dan tangan kirinya
bergerak menyebar bubuk putih ke arah kepala ular itu.
“Koaaaakkk...!”
Terdengar suara yang nyaring sekali, suara yang menggetarkan jantung semua
orang ketika ular yang terkena bubuk racun putih kepalanya itu memekik dan
kepala itu menyelam sebentar. Akan tetapi tidak lama kemudian kepala ular besar
itu muncul lagi dan kedua matanya terpejam dan berair. Ternyata racun dahsyat
dari Hek-tiauw Lo-mo itu telah membutakan mata ular sehingga binatang yang
usianya tentu sudah ratusan tahun ini menjadi marah sekali.
Begitu
muncul lagi, terdengar dia mengeluarkan suara berkoak beberapa kali dan dia
mengamuk. Kepala dan ekornya bergerak menghantam sana-sini dan air telaga pun
berguncang hebat seperti dilanda badai. Perahu-perahu kecil terbanting dan
banyak pula yang tersentuh sabetan ekor ular besar itu menjadi pecah berantakan
dan tenggelam. Juga kedua perahu besar itu diombang-ambingkan, saling
bertumbukan dan masih dihantam oleh ekor ular sehingga pecah berantakan dan
para penumpangnya cerai-berai banyak yang terlempar ke dalam air! Suasana
menjadi menakutkan dan semua orang menjadi panik.
Topeng Setan
dan Ceng Ceng cepat mendayung perahunya menjauh. Ceng Ceng gemetar dan mukanya
pucat sekali. Tak disangkanya bahwa ular ‘naga’ itu sedemikian hebatnya. Saat
mengamuk tadi, nampaklah tubuhnya yang panjang dan besar, sebesar tubuh manusia
dan panjangnya belasan meter. Sisik tubuhnya mengkilap dan besar-besar
kehijauan dan kelihatan keras dan kuat sekali. Bagian bawah tubuhnya agak putih
dan ketika ular itu membuka moncongnya, nampak gigi yang seperti pedang, rongga
mulut yang lebar dan merah dan lidahnya yang bercabang itu keluar masuk di
antara gumpalan uap menghitam yang keluar dari dalam mulut ular itu. Sementara
itu, anak ular yang ditunggu-tunggu tidak kelihatan.
Melihat
kedahsyatan ular itu, yang begitu besar dan mengerikan, Ceng Ceng menjadi
gentar sekali. Telaga yang demikian luasnya menjadi bergelombang ketika ular
itu mengamuk. Sukar dibayangkan betapa hebat tenaganya. Mana mungkin orang
dapat menangkap anaknya yang kabarnya selalu dibawa di dalam mulutnya? Manusia
gila manakah yang akan mampu mengambil anak ‘naga’ itu dari dalam moncong yang
demikian mengerikan dan berbahaya?
Betapa pun
lihainya seseorang, mana mungkin mampu melawan seekor naga yang demikian kuat
dan dahsyatnya? Baru sabetan ekornya saja telah dapat menghancurkan
perahu-perahu besar kecil! Kabarnya, selama ratusan tahun belum pernah ada yang
mampu menaklukkan naga ini, apa lagi mencuri anaknya dari dalam moncong!
Akan tetapi
anehnya, menurut penuturan Topeng Setan, setiap sepuluh tahun sekali ada orang-orang
kang-ouw yang datang untuk mencobanya, sungguh pun setiap sepuluh tahun itu
pasti jatuh korban banyak orang tewas di Telaga Sungari ini! Dan sekarang,
akibat perbuatan Hek-tiauw Lo-mo yang meracuni naga, sudah jelas akan
menimbulkan korban yang tak sedikit. Sekarang saja yang tenggelam karena
perahunya pecah sudah ada belasan orang!
“Bodoh si
Hek-tiauw Lo-mo!” Topeng Setan berkata lirih. “Kenapa dia tergesa-gesa?
Sekarang mana mungkin menangkap anak ular itu?”
Jelas bahwa
Topeng Setan merasa kecewa sekali oleh perbuatan Hek-tiauw Lo-mo itu dan Ceng
Ceng dapat mengerti karena menurut cerita Topeng Setan, naga itu biasanya akan
lama berenang di permukaan telaga dan akan mengeluarkan anaknya dari mulut agar
anak naga itu dapat berenang di permukaan air. Sekarang, karena naga itu telah
menjadi buta dan terluka berat, tentu binatang ini menjadi marah dan tidak ada
harapan lagi untuk melihat dia mengeluarkan anaknya dari dalam mulut setelah
tahu bahwa ada bahaya mengancam.
“Aaiiihhh...!”
Tiba-tiba Ceng Ceng menjerit.
Cepat-cepat
dia berpegang pada pinggiran perahunya ketika perahu kecil itu tiba-tiba
mencelat ke atas tersundul oleh sesuatu dari bawah air. Perahu itu mencelat ke
atas, akan tetapi berkat kecekatan dan tenaga Topeng Setan yang memegangi kedua
pinggiran perahu, perahu itu tidak terbalik dan dapat melayang turun lagi ke
atas air dan mereka berdua tetap duduk di dalam perahu dan hanya kehilangan
dayung. Ceng Ceng terkejut bukan main dan hampir dia pingsan karena kagetnya.
“Apa... apa
yang terjadi... eiiikkkhhh...!” Ceng Ceng menjerit lagi dengan mata terbelalak
memandang ke kiri.
Tiba-tiba
saja di samping perahu itu muncul moncong ular naga tadi. Uap putih keluar
bergumpal dari mulut itu dan Ceng Ceng mencium bau yang memuakkan, akan tetapi
karena dia sudah kebal terhadap racun, uap beracun itu tidak mempengaruhi,
hanya rasa takut membuat dia seperti kehilangan semangat dan tidak mampu
bergerak lagi. Ekor ular menyabet, tampak bayangan ekor ular itu muncul di
permukaan air dan secepat kilat Topeng Setan sudah menyambar pinggang Ceng Ceng
dengan lengan kanannya dan dia meloncat ke atas ketika ekor ular raksasa itu
menyabet perahu.
“Braaakkkk...!”
Perahu kecil itu hancur berkeping-keping ketika dihantam ekor ular itu.
Topeng Setan
sudah cepat meloncat ke atas, akan tetapi tetap saja kaki kanannya keserempet
sabetan ekar ular itu. Bukan main nyerinya, kiut-miut rasanya menusuk tulang
seolah-olah tulang pahanya remuk. Topeng Setan maklum bahwa sinkang-nya dapat
melindungi tulang pahanya, akan tetapi biar pun dia tidak mengalami luka dalam
yang hebat, tetap saja merasa betapa kaki kanannya itu seperti lumpuh.
“Pakai
pedang pendek ini...!” Ceng Ceng yang teringat akan bekalnya, sebatang pedang
kecil yang diselipkan di pinggang, mencabut senjata itu dan menyerahkan kepada
Topeng Setan yang cepat menyambarnya dengan tangan kiri.
Dia berhasil
menginjak pecahan perahu dan selagi tubuhnya meluncur turun dan dia melihat
kepala naga itu membuka moncongnya dan siap hendak menyerang dan menelan dia
dan Ceng Ceng, Topeng Setan melihat lidah putih itu mencuat keluar. Secepat
kilat tangan kirinya menggerakkan pedang pendek Ceng Ceng. Dia sudah melihat
tadi betapa tubuh dan kepala naga itu kebal terhadap hantaman dan bacokan
senjata-senjata tajam anak buah kedua perahu itu, maka kini dengan mati-matian
dia menusukkan pedangnya ke arah lidah ular naga itu.
“Crattt...
plaaakkk!”
Pedang kecil
itu tepat menancap di lidah ular, melukai lidah itu, tetapi gerakan kepala ular
itu ke samping membuat pedang itu terlepas dari pegangan tangan kiri Topeng
Setan. Topeng Setan terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya karena
terdengar pekik melengking yang dahsyat sekali dari mulut ular itu. Pekik
melengking nyaring ini terdorong oleh rasa kesakitan karena lidahnya terluka
dan mengucurkan darah, dan pada saat ular itu terpekik melengking, pandang mata
yang tajam dari Topeng Setan dapat melihat sebuah benda berkilauan mencelat
keluar dari dalam kerongkongan mulut ular naga itu. Benda itu ternyata adalah
seekor ular kecil! Itulah anak naga yang dicari-cari!
Dengan
lengan kanan masih memeluk pinggang Ceng Ceng, Topeng Setan lupa akan segala
bahaya dan cepat dia menubruk ke air, di mana tadi dia melihat ular kecil itu
terlempar dan tangan kirinya menyambar. Tepat sekali dia berhasil menangkap
kepala ular kecil itu! Ular kecil meronta-ronta, tubuhnya membelit lengan kiri
Topeng Setan, akan tetapi Topeng Setan mengerahkan tenaganya dan ular kecil itu
tidak mampu melepaskan diri.
Akan tetapi
pada saat itu induk ular naga menjadi marah sekali. Biar pun matanya sudah
buta, akan tetapi nalurinya memberi tahu bahwa anaknya berada dalam bahaya dan
kepekaannya dapat membuat dia tahu bahwa musuh yang menyakiti lidahnya berada
di depan. Dia membuka moncongnya dan menyambar ke arah Topeng Setan yang sudah
berhasil menangkap anak ular dan berusaha menghindar dan berenang.
Topeng Setan
yang melihat moncong lebar itu menyambar dari arah kirinya menjadi terkejut.
Dia memindahkan anak ular ke tangan kanannya, kemudian dia menggerakkan tangan
kiri dengan pengerahan tenaga untuk menangkis karena sudah tidak keburu
membalikkan badan. Karena lengan kanan itu merangkul pinggang Ceng Ceng, tentu
saja gerakan tangan kirinya menjadi kaku.
“Plakkk...!”
Topeng Setan
mengeluarkan teriakan ngeri ketika dia merasa betapa Ceng Ceng terlepas dari
rangkulan. Seketika yang teringat olehnya hanyalah keselamatan Ceng Ceng yang disangkanya
telah terampas oleh moncong ular naga, maka otomatis dia menggerakkan lengan
kiri untuk menyambar. Akan tetapi perasaan kosong dan aneh membuat dia
memandang tangan kirinya. Topeng Setan terbelalak.
“Auhhhh....”
Mulut Topeng Setan mengeluarkan suara ketika dia melihat betapa tangan kiri
berikut lengannya telah lenyap! Yang tinggal hanyalah pundaknya dan seluruh
lengan kirinya itu ternyata telah buntung dicoplok ular naga tadi!
Melihat
kenyataan yang mengerikan ini, hampir saja Topeng Setan menjadi pingsan. Akan
tetapi, dia menggigit bibir menahan pukulan lahir batin yang amat hebat ini.
Tidak, tekadnya. Dia tidak boleh pingsan. Yang paling penting adalah Ceng Ceng!
Dia cepat menengok dan melihat gadis itu gelagapan tak jauh dari situ. Gadis itu
tidak pandai berenang dan dipermainkan air bergelombang. Cepat dia lalu
berenang mendekati dan menggunakan lengan kanan memeluk pinggang gadis itu dan
mengangkatnya ke atas. Ular itu masih digenggam di tangan kanannya.
Selagi
Topeng Setan yang kini hanya mengandalkan kedua kakinya untuk bergerak di air
itu hendak berenang menjauh, mendadak kaki kirinya dipegang orang dari bawah!
Topeng Setan merasa terkejut, mengerti bahwa amatlah berbahaya kalau dia tak
dapat melepaskan cekalan tangan orang itu. Cepat dia meronta dan
menendang-nendangkan kaki kirinya, bahkan kaki kanannya juga menendang ke
bawah. Akan tetapi tetap saja cekalan itu tidak terlepas dari kakinya.
Sementara itu Ceng Ceng sudah pingsan dan bergantung lemas dalam pelukan tangan
kanannya, sedangkan anak ular itu masih membelit lengan kanannya tanpa mampu
melepaskan diri.
Tangan yang
mencekal kaki Topeng Setan itu kuat sekali dan kini berusaha menarik tubuh
Topeng Setan tenggelam. Topeng Setan meronta-ronta, akan tetapi cekalan pada
pergelangan kakinya itu seperti jepitan baja, dan tak mungkin dapat dilepaskan
dengan cara meronta dan menendang. Sudah beberapa kali Topeng Setan ditarik ke
bawah sampai gelagapan. Hampir saja dia menyerah.
Tetapi
tiba-tiba induk ular yang masih mengamuk itu menggerakkan ekor menyabet ke arah
kaki Topeng Setan. Hal ini menolongnya karena kakinya terlepas dari jepitan dan
orang yang memegang kakinya itu muncul ke permukaan air. Kiranya orang itu
adalah Si Tosu yang lihai tadi! Namun karena induk ular naga itu masih mengamuk,
Si Tosu Lihai tak berani mendekat, bahkan cepat-cepat berenang menjauh ketika
ular naga itu bergerak ke arahnya dengan sikap menyeramkan.
Karena
merasa betapa tubuhnya makin melemah dan ular naga itu masih mengamuk di
dekatnya, maka Topeng Setan yang hanya teringat akan keselamatan Ceng Ceng
semata, melihat adanya balok tiang perahu besar yang tadi patah dan kini ujung
yang kiri masih ditumpangi oleh Kian Bu dan Hong Kui, cepat dia menggerakkan
kaklnya dan seluruh tubuhnya, mencelat ke atas balok tiang layar itu.
Akan tetapi
pada saat itu, tiba-tiba tampak sebuah perahu juga meloncat dan menubruk Topeng
Setan. Orang yang berada di dalam perahu itu adalah kakek tinggi besar dan
bermuka hitam yang cepat mengulur tangannya hendak merampas ular kecil di dalam
genggaman tangan Topeng Setan!
Karena
perahu itu muncul tiba-tiba dan langsung menubruknya, membuat dia tidak dapat
mengelak lagi, apa lagi lengannya yang tinggal satu itu memeluk Ceng Ceng yang
sudah mulai siuman, maka Topeng Setan sekali ini tidak berdaya. Ular kecil di
dalam tangannya kena dirampas oleh kakek tinggi besar bermuka hitam itu! Dengan
kemarahan meluap, Topeng Setan masih sempat menggerakkan kakinya menendang.
“Bukkk!”
Tendangannya tepat mengenai lambung kakek itu sehingga terlempar keluar dari
perahunya.
“Byuuuurrr...!”
Tiba-tiba
dari dalam air muncul sebuah perahu dan kakek pendek gemuk berkepala gundul
telah menggunakan dayungnya mengemplang kepala kakek muka hitam! Kakek muka
hitam terkejut, masih dapat mengelak sambil menangkap dayung itu, akan tetapi
ternyata kakek gundul itu hanya menipunya karena sambil tertawa lalu tangannya
meraih dan... ular kecil itu kembali berpindah tangan, dari tangan kakek tinggi
besar bermuka hitam terampas oleh kakek gundul.
“Keparat...!”
Kakek muka hitam menggerakkan dayung rampasannya dan menghantam ke perahu
lawan.
“Brakkkk...!”
Perahu itu hancur berkeping-keping dan Si Kakek Gundul sambil tertawa lalu
menyelam dan lenyap!
Sementara
itu, Topeng Setan berhasil hinggap di ujung balok tiang layar. Ceng Ceng sudah
siuman dan pertama kali gadis ini melihat lengan kiri Topeng Setan yang lenyap,
hanya tinggal pundak kiri yang berlepotan darah, hampir dia pingsan lagi.
“Paman...!”
Ceng Ceng menjerit sambil memeluk tubuh mandi darah itu. “Kau... kau...
lenganmu...?”
“Tidak apa,
Ceng Ceng... tidak apa...” Topeng Setan berkata tenang.
“Tidak
apa-apa? Lenganmu buntung dan kau bilang tidak apa-apa?” Ceng Ceng lalu cepat
mengeluarkan obat bubuk yang sudah basah semua dari dalam saku bajunya,
mengobati pundak yang buntung itu dengan hati penuh kengerian dan keharuan,
kemudian dia merobek baju Topeng Setan dan membalut luka yang kini darahnya
sudah berhenti mengucur. Topeng Setan sama sekali tidak mengeluh, bahkan
kelihatan tersenyum di balik topengnya yang buruk.
Kian Bu dan
Hong Kui yang melihat semua ini menjadi bengong. Kian Bu merasa kagum bukan
main. Betapa hebatnya orang yang bermuka buruk ini, yang dia tahu adalah
pembantu dari Ceng Ceng. Manusia muka buruk ini sudah putus lengannya, namun
masih dapat bergerak sehebat itu di dalam air, berhasil menolong Ceng Ceng yang
tadi pingsan, bahkan telah berhasil menangkap anak naga yang kini terampas oleh
kakek gundul yang menyelam dan menghilang.
Melihat
kesibukan Ceng Ceng merawat luka Topeng Setan, apa lagi karena dia masih merasa
malu karena terlihat berdua dengan Mauw Siauw Mo-li, maka Kian Bu tidak berani
menegur Ceng Ceng yang agaknya juga tak melihatnya biar pun mereka berada di
satu balok tiang layar, di kedua ujungnya. Agaknya Ceng Ceng juga tidak melihat
dan mempedulikan keadaan sekelilingnya lagi karena seluruh perhatiannya
tercurah kepada keadaan Topeng Setan yang kehilangan lengan kirinya.
“Sayang anak
naga itu terampas Si Kakek Gundul...,” terdengar Topeng Setan berkata.
“Peduli
dengan ular itu...!” Ceng Ceng menjawab sambil menyelesaikan pekerjaannya
membalut pundak dengan hati-hati. “Aku... aku benci ular itu, Paman! Aku benci
diriku sendiri karena aku yang menyebabkan kau kehilangan lengan kirimu.”
“Ahhh...
jangan berkata begitu...”
Sementara
itu, induk ular naga masih mengamuk karena selain matanya buta, lidahnya
terluka, juga dia kehilangan anaknya. Amukannya di dalam air itu agaknya
membuat Si Kakek Gundul tidak kuat bertahan lama dan sudah muncul lagi ke
permukaan air. Akan tetapi begitu dia muncul, dari atas perahu besar milik
Tambolon, tampak sinar hitam mencuat dan tahu-tahu tubuh kakek gundul sudah
tertangkap dalam sehelai jaring hitam yang terbuat dari tali sutera halus yang
amat kuat!
Kakek gundul
yang masih memegangi ular kecil itu terkejut dan meronta-ronta, namun dia tidak
berdaya ketika tubuhnya ditarik dan diangkat naik ke atas perahu oleh Tambolon
dan dua orang pengawalnya, yaitu Si Petani dan Si Siucai. Begitu jaring dibuka,
kakek gundul mengamuk dan gerakannya dahsyat sekali. Akan tetapi tiba-tiba
nenek itu berkata, suaranya melengking tinggi dan nadanya aneh.
“Jangan
keroyok, biarkan dia!”
Mendengar
ini, Tambolon bersama dua orang pembantunya mundur dan nenek itu lalu berkata,
“Hai, cucuku gundul... engkau memang anak baik sekali mau menyerahkan ular itu
kepada nenekmu. Mari... mari sini... berikan ular itu kepadaku...!”
Ceng Ceng
yang sudah selesai membalut, kini bersama Topeng Setan memandang ke arah perahu
itu dan mereka menjadi bengong terheran-heran melihat kakek gundul yang lihai
dan yang tidak gentar dikeroyok oleh Tambolon dan dua orang pengawalnya itu
kini menjatuhkan diri berlutut di depan Si Nenek Hitam dan menyerahkan ular itu
dengan kedua tangannya! Sambil terkekeh Durganini menerima ular itu.
Begitu ular
diterima, kakek gundul agaknya menjadi sadar dan dengan teriakan dahsyat dia
meloncat berdiri dan hendak menerjang nenek itu. Akan tetapi Tambolon dan dua
orang pengawalnya sudah menyambutnya sehingga terjadilah pertandingan seru di
atas perahu.
Akan tetapi
kini semua perahu yang melihat bahwa ular yang diperebutkan itu terjatuh ke
tangan Si Nenek Hitam, berbondong datang mendekati perahu besar Tambolon dan
banyak sekali bayangan orang yang gerakannya ringan dan gesit berloncatan ke
atas perahu besar itu untuk merampas ular kecil! Di antara mereka terdapat Si
Tosu Lihai, Hek-tiauw Lo-mo, dan banyak orang lagi termasuk Si Kakek Muka Hitam
dan Si Kakek Gundul yang masih bertanding melawan Tambolon. Anak buah raja liar
ini menyambut dan terjadilah perang tanding yang amat seru di atas perahu.
Menghadapi
pengeroyokan banyak sekali orang pandai, Tambolon dan Si Nenek Lihai ini
menjadi kewalahan juga dan dia tidak sempat menggunakan ilmu sihirnya terhadap
begitu banyak orang pandai yang rata-rata memiliki tenaga batin amat kuat
sehingga tidak mudah tunduk kepada kekuatan ilmu sihirnya.
Selagi
Topeng Setan masih belum tahu apakah dia harus pula ikut memasuki medan
pertandingan itu, tiba-tiba perahu besar itu terlempar ke atas dan terbanting
lalu terbalik! Kiranya ular yang marah itu telah mengamuk dan menyundul perahu
yang sudah pecah itu sehingga terbalik dan tentu saja semua orang lihai yang
sedang enaknya bertempur semua terlempar ke dalam air! Si Nenek Hitam yang
lihai dan ahli ilmu sihir itu kehilangan kelihaiannya karena dia tidak pandai
renang, maka dengan gelagapan dia terpaksa minta tolong dan dibantu oleh anak
buah Tambolon, diseret kembali ke perahu yang sudah terbalik.
Akan tetapi
dalam ketakutannya tenggelam tadi, nenek ini yang sudah pikun lupa akan ular
kecil yang dipegangnya sehingga ular kecil itu terlepas. Anak ular yang juga
panik karena sejak tadi dicengkeram tangan-tangan panas dan kuat, dalam keadaan
bingung dan panik meluncur dan berenang ke dekat tiang layar yang ditumpangi
Kian Bu, Hong Kui, Topeng Setan dan Ceng Ceng! Melihat ini, Topeng Setan tak
mau menyia-nyiakan kesempatan. Cepat tangannya meraih untuk menangkap anak naga
itu.
“Desssss...!”
Topeng Setan
dan Kian Bu terkejut. Keduanya tadi secara otomatis telah mengulur tangan
hendak menangkap anak ular naga itu. Begitu tangan mereka saling bertemu,
otomatis pula keduanya menyalurkan tenaga sehingga terjadilah bentrokan hebat
antara tangan mereka. Kian Bu terkejut sekali karena merasa betapa tenaga yang
keluar dari tangan Topeng Setan itu kuat bukan main, dan betapa orang yang
sudah mengalami luka buntung lengan itu masih sanggup menandingi tenaganya. Hal
ini benar-benar membuat dia penasaran dan juga kagum bukan main.
Anak ular
lalu itu berenang ke dekat Ceng Ceng. Tentu saja Ceng Ceng tidak menyia-nyiakan
kesempatan ini dan cepat tangannya menyambar. Akan tetapi pada saat itu, Lauw
Hong Kui Si Siluman Kucing juga sudah menangkap pada saat yang bersamaan, tentu
saja mereka lalu berebut dan saling betot! Kasihan ular kecil itu yang dipegang
kepala dan ekornya dan dijadikan rebutan!
Kian Bu
memandang terbelalak. Biasanya kekasihnya itu sangat takut terhadap ular,
bahkan beberapa kali pingsan melihat ular, akan tetapi mengapa kini berani
menangkap ular itu dan membetotnya. Melihat Ceng Ceng juga sudah menangkap ular
itu, dia lalu berteriak kepada Hong Kui, “Enci, biarkan dia mendapatkan ular
itu...!”
Hong Kui
terkejut dan marah. “Apa? Aku tidak sudi!” Dan dengan marah dia menarik
sekuatnya.
Ceng Ceng
tentu saja mempertahankannya, gadis ini lebih beruntung dalam perebutan itu
karena dia tadi memegang kepala ular yang tentu saja merupakan bagian yang
lebih kuat dari pada bagian ekornya.
“Prattttt...!”
Anak ular
naga itu putus menjadi dua dan putusnya di dekat ekor sehingga Hong Kui hanya
mendapatkan bagian yang sedikit saja, yaitu bagian ekornya! Dan karena Ceng
Ceng yang mempertahankan ular itu berada di pinggir balok dan kini tiba-tiba
ular putus, tak dapat dihindarkan lagi Ceng Ceng terjengkang dan terjatuh ke
dalam air. Pada saat itu, induk ular naga sudah tiba di atas lagi, ekornya
mobat-mabit dan balok tiang itu kena dihantam ekor yang amat kuat, pecah
berantakan.
Melihat Ceng
Ceng terjatuh ke dalam air, Topeng Setan yang setengah pingsan karena
penderitaannya itu tahu bahwa gadis itu terancam bahaya sebab tidak pandai
berenang, maka tepat pada saat balok tiang dihantam ekor ular naga, dia sudah
meloncat terjun ke air dan mengejar Ceng Ceng, merangkulnya dan terus dibawanya
gadis itu menyelam selagi ular naga mengamuk di atas mereka. Dia maklum bahwa
kini keadaan sudah berbahaya sekali, tenaganya sudah tidak dapat diandalkan
lagi untuk melindungi Ceng Ceng dan kalau mereka muncul lagi di permukaan air,
tentu semua orang lihai itu akan mengeroyok mereka karena ular itu, biar pun
ekornya putus sedikit, masih berada di tangan Ceng Ceng.
Karena dia
maklum bahwa sekali mereka muncul, tentu mereka akan celaka dan terutama sekali
yang terpenting baginya, Ceng Ceng akan terancam bahaya dan anak ular naga itu
akan dirampas orang, maka Topeng Setan mengambil keputusan nekat. Dia hendak
membawa Ceng Ceng menyelam terus dan berenang di bawah permukaan air menuju ke
tepi telaga. Dengan sinkang-nya yang sudah amat kuat itu, dan melawan
penderitaan tubuhnya yang terluka hebat dengan daya kemauannya yang membaja,
Topeng Setan lalu menyeret tubuh Ceng Ceng yang dirangkulnya itu, mulai
berenang meninggalkan tempat berbahaya itu di mana tidak hanya ular naga
raksasa yang mengamuk, akan tetapi juga banyak tokoh lihai yang mencari-cari
mereka.
Dengan
pengerahan tenaga yang amat menakjubkan, yang sesungguhnya terdorong oleh
keinginan dan kemauannya untuk menyelamatkan Ceng Ceng, Topeng Setan berenang
cepat dan hanya menggunakan kedua kakinya dan dia berhasil menjauhi tempat itu.
Kakinya yang pernah dihantam ekor ular naga terasa nyeri bukan main, tapi dia tidak
mau merasakan siksaan ini dan terus menggerakkan kedua kaki meluncur ke depan.
Dengan
sinkang-nya yang sudah mencapai puncak, dia dapat ‘menyimpan’ hawa udara
sehingga dia masih kuat bertahan. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan Ceng
Ceng. Dasar sinkang dari gadis ini masih lemah sekali, maka kini dia mulai
kehabisan napas, meronta-ronta dan hal ini diketahui oleh Topeng Setan. Akan
tetapi, kalau dia membawa Ceng Ceng muncul ke permukaan untuk mencari hawa
segar dan bernapas, tentu akan kelihatan oleh musuh dan selanjutnya mereka
tidak mungkin dapat melarikan diri lagi, karena tentu akan dikejar-kejar, baik
di permukaan air atau di dalam air.
Di antara
mereka terdapat banyak ahli bermain di air, seperti kakek gundul dan tosu itu.
Maka Topeng Setan mempererat pelukannya dan tidak membolehkan Ceng Ceng yang
sudah kehabisan napas itu untuk naik ke permukaan air. Akan tetapi dia pun
maklum bahwa kalau dibiarkan terus, gadis itu akan kehabisan napas dan akan
tewas pula, maka dia lalu mengambil keputusan nekat.
Diangkatnya
tubuh Ceng Ceng, didekatkan muka gadis itu dengan mukanya. Di dalam air yang
jernih itu mereka tidak dapat saling melihat, karena sinar bulan tidak dapat
menembus sedalam itu, akan tetapi remang-remang mereka masih dapat saling melihat
bayangan mereka. Topeng Setan lalu menundukkan mukanya dan... dia menutup mulut
Ceng Ceng dengan mulutnya sendiri!
Tentu saja
Ceng Ceng terkejut bukan main, mula-mula dirinya tidak mengerti apa yang
dikehendaki oleh orang tua itu. Dia sudah pening dan telinganya mengeluarkan
bunyi mengaung, dadanya seperti hendak meledak. Rasa kaget ketika merasa betapa
mulutnya dicium seperti itu oleh Topeng Setan, membuat dia ingin menjerit dan
otomatis mulutnya terbuka. Agaknya inilah yang dikehendaki Topeng Setan. Dengan
bibir masih menutup mulut Ceng Ceng yang terengah-engah itu, ia mengeluarkan
hawa ‘simpanan’ yang masih bersih, ditiupkannya ke dalam paru-paru Ceng Ceng
yang sudah kehabisan napas. Wuihhh.
Ceng Ceng
gelagapan, akan tetapi dadanya menjadi lega dan kini lenyaplah kekagetan dan
kemarahan yang tadi menyelinap di dalam hatinya. Kini dia mengerti bahwa orang
tua bertopeng buruk itu sama sekali tidak berniat kurang ajar kepadanya.
Sebaliknya malah, kembali Topeng Setan menyelamatkannya! Dia tahu bahwa cara
penyelamatan ini pun suatu pengorbanan diri juga, karena dengan memberikan hawa
cadangan itu kepadanya, berarti Topeng Setan sendiri akan cepat kehabisan
napas!
Keharuan
memenuhi hati Ceng Ceng dan saat Topeng Setan melepaskan ‘ciumannya’, dia
merangkul pinggang kakek itu serta merapatkan tubuhnya sebagai tanda terima
kasihnya. Kini Ceng Ceng dapat bertahan dan mereka terus berenang ke suatu arah
tertentu, secara untung-untungan karena mereka tidak dapat melihat arah mana
yang terdekat ke pantai.
Setiap kali
Ceng Ceng kehabisan napas, Topeng Setan lalu ‘menciumnya’ seperti tadi untuk
memindahkan hawa murni dan sampai tiga kali dia melakukan hal ini yang berarti
menyambung napas dan umur gadis itu. Ceng Ceng tidak meronta lagi, dan setiap
kali dia dicium, dia memejamkan matanya dan sungguh aneh, dalam keadaan tercium
itu, yang amat terasa olehnya, dia membayangkan wajah... pemuda laknat yang
telah memperkosanya! Dia sendiri merasa heran. Dicobanya untuk membayangkan
wajah Pangeran Yung Hwa, mengkhayal bahwa pangeran yang tampan dan menarik
itulah yang menciumnya, akan tetapi tetap saja wajah pemuda laknat itu yang
muncul!
Ketika
akhirnya, secara kebetulan sekali mereka dapat mendarat di pantai terdekat,
keduanya sudah kehabisan napas. Mereka terengah-engah di pantai, dengan tubuh
bawah masih terendam air dan tubuh atas rebah di atas lumpur, dada mereka
terasa seperti akan meledak, terengah-engah seperti ikan-ikan terdampar di
daratan. Akan tetapi anak ular naga itu masih terus digenggam tangan kanan Ceng
Ceng, dan tubuh ular yang ekornya buntung itu masih membelit lengannya dengan
kuat.
Sementara
itu, jauh di tengah telaga, orang-orang lihai masih terus sibuk melawan ular
naga yang mengamuk dan mereka sibuk pula berusaha mencari Topeng Setan dan Ceng
Ceng. Ada pun Hong Kui dan Kian Bu yang tadi terlempar ke air ketika balok
tiang layar dihantam oleh ekor ular naga, kini sudah berhasil menyelamatkan
diri ke atas sebuah pecahan perahu.
Melihat ekor
ular itu yang masih berdarah itu, Hong Kui terus saja memasukkannya ke dalam
mulutnya dan Kian Bu merasa ngeri melihat betapa mulut yang bentuknya indah
itu, bibir yang selalu merah basah dan yang sudah sangat dikenalnya dengan
ciuman-ciumannya yang hangat dan mesra, kini mengunyah daging, tulang dan kulit
ular yang berdarah itu sampai terdengar suara berkerotakan ketika tulang-tulang
ekor ular kecil itu hancur digilas oleh gigi-gigi kecil kuat dari Hong Kui.
Sedikit pun
wanita itu tidak kelihatan merasa jijik, maka kini Kian Bu mulai mengerti bahwa
Hong Kui sebenarnya sama sekali tidak takut kepada ular! Terbukalah matanya
bahwa selama ini wanita itu memang sengaja memancing dan merayunya dan dia
merasa alangkah bodoh dirinya. Tetapi biar pun kenyataan ini membuat dia
kehilangan perasaan cinta terhadap Hong Kui, namun tidak melenyapkan rasa
tertariknya. Wanita itu sudah memperkenalkan kenikmatan yang luar biasa
kepadanya dan dia masih merasa sayang untuk melepaskannya!
Kalau
tadinya Kian Bu hampir mengakui dan percaya bahwa dia jatuh cinta kepada Hong
Kui, semenjak peristiwa memperebutkan ular itu, ia yakin bahwa sebetulnya tidak
ada kasih di hatinya terhadap wanita ini, melainkan hanya nafsu kesenangan
karena wanita ini memang hebat dan pandai sekali menghibur dan menyenangkan
hatinya. Dan melihat Hong Kui mengunyah dan makan ekor ular itu mentah-mentah,
timbul juga rasa kasihan di hatinya karena dia maklum bahwa wanita itu terpaksa
melakukan hal ini karena khawatir kalau-kalau bagian yang hanya sedikit itu
akan terampas orang lain! Akan tetapi, yang sedikit ini pun cukuplah karena
seketika itu juga Hong Kui merasa betapa tekanan panas di pusarnya akibat
keracunan telah lenyap sama sekali begitu ekor ular itu memasuki perutnya!
Topeng Setan
sudah dapat memulihkan pernapasannya. Pundak kirinya terasa sakit bukan main,
berdenyut-denyut sampai terasa di ubun-ubun kepalanya, kaki kanannya yang kena
hantaman ekor ular naga juga masih terasa setengah lumpuh. Lebih-lebih lagi
hatinya seperti ditusuk-tusuk kalau dia teringat akan lengan kirinya yang
buntung. Akan tetapi semua penderitaan lahir batinnya ini dilupakannya seketika
ketika dia menoleh kepada Ceng Ceng yang juga sudah tidak begitu terengah-engah
seperti tadi.
“Cepat kau
makan ular itu. Ular inilah obat yang akan menghilangkan semua racun yang
mengancam nyawamu. Cepatlah, Ceng Ceng.” Topeng Setan berkata.
Ceng Ceng
menoleh kepadanya. Wajahnya pucat, sebagian tertutup rambutnya yang terurai
awut-awutan dan basah kuyup. Begitu menoleh dia melihat lengan kiri yang
buntung itu dan mendadak Ceng Ceng memandang ular di tangannya dengan wajah
beringas. “Ular sialan! Ular itu telah membuat lenganmu buntung, Paman. Aku
benci ular itu!” Ceng Ceng lalu melemparkan ular itu ke telaga!
“Aihhh...
kau... kau gila...!” Topeng Setan berteriak kaget sekali.
Cepat dia
terjun ke air dan berenang mengejar ular itu. Untung ular itu sudah menjadi
lemah dan setengah mati karena sejak tadi kepalanya digenggam oleh Ceng Ceng
dan ekornya telah buntung, maka dia tidak menyelam dan hanya berenang
lambat-lambat ke sana-sini sehingga mudah bagi Topeng Setan untuk menangkap dan
membawanya berenang ke pinggir. Ceng Ceng sudah merangkak dan duduk di atas
tanah yang keras di tepi telaga ketika Topeng Setan mendarat.
“Kau harus
makan daging ular ini dan minum darahnya.” dia berkata.
“Ular sialan
itu, biarlah aku tidak berobat lagi, Paman.”
“Kau harus!”
“Tidak...!”
“Aku akan
memaksamu!”
Ceng Ceng
yang pada dasarnya berhati keras itu, mendengar ucapan ini dan melihat sikap
yang keras dan marah dari Topeng Setan, lupa kalau orang itu telah kehilangan
lengannya dan dia meloncat bangun sambil mengepal kedua tangannya. “Tidak!
Tidak sudi! Coba kau memaksaku kalau berani.”
“Mengapa
tidak berani? Hanya ular ini obatnya yang akan menyelamatkan nyawamu, Ceng
Ceng.”
Tiba-tiba
Topeng Setan menyerbu dan Ceng Ceng berusaha mengelak, akan tetapi dia kalah
cepat, dan sebuah totokan pada pundaknya membuat dia roboh dan tak dapat
bergerak lagi. Akan tetapi sebelum dia roboh, lengan Topeng Setan sudah
menahannya dan dia lalu direbahkan dengan hati-hati di atas rumput.
“Karena kau
berkeras menolak, aku terpaksa menggunakan kekerasan ini, Ceng Ceng. Ular ini
harus cepat kau pergunakan sebagai obat, kalau sampai mereka mengejar ke sini,
ular ini akan terampas dan kau akan celaka. Maafkan aku, terpaksa aku melakukan
ini padamu...”
Topeng Setan
mencari sehelai daun teratai lebar, membuatnya dengan susah payah sebagai
tempat air dan sementara itu dia menjepit leher ular dengan jari kakinya yang
dilepaskan dari sepatunya yang basah, lalu dengan jari-jari tangannya yang
panjang dia menggulung dan menggenggam ular itu dalam kepalannya, dan
mengerahkan tenaga menghimpitnya! Tentu saja kepala dan tubuh ular itu menjadi
hancur dan cairannya mengucur ke dalam mangkok daun teratai itu, cairan yang
terdiri dari darah dan perasan tubuh ular itu, cairan kuning kemerahan yang
dipandang dengan mata jijik oleh Ceng Ceng.
“Cairan ini
mengandung obat mujarab, akan tetapi juga mengandung racun ular itu yang akan
mematikan bagi orang biasa. Akan tetapi karena tubuhmu sudah kebal racun, maka
racun ular ini tidak akan mengganggu, bahkan mungkin akan mendatangkan suatu
keuntungan bagimu, Ceng Ceng. Mestinya tidak dihidangkan secara begini saja,
yang agak menjijikkan, akan tetapi apa boleh buat, kita masih belum aman benar
dan obat ini perlu secepatnya kau minum.”
Ceng Ceng
yang sudah lumpuh kaki tangannya itu hanya menjawab pendek, “Aku tidak mau!”
“Maaf...!”
Topeng Setan kembali menggerakkan jari tangannya.
“Aaaahhhh!”
Mulut Ceng Ceng terbuka dan tak dapat tertutup kembali!
Topeng Setan
lalu menuangkan cairan itu ke dalam mulut yang terbuka itu! Ceng Ceng mencium
bau yang amat amis dan busuk, maka dia tidak mau menelan cairan yang sudah
berada di mulutnya itu.
“Maaf,
terpaksa aku...!” Topeng Setan lalu menggunakan telunjuk dan ibu jarinya untuk
memencet kedua lubang hidung Ceng Ceng.
Dipencet
lubang hidungnya seperti itu, Ceng Ceng tak dapat bernapas dan gelagapan
sehingga terpaksa cairan itu tertelan olehnya. Dia dicekoki cairan ular yang
menjijikkan itu. Topeng Setan itu lalu membebaskan totokannya dan Ceng Ceng
bangkit duduk, meludah berkali-kali akan tetapi cairan itu telah memasuki
perutnya.
“Kau
maafkanlah aku, Ceng Ceng...”
Suara itu
demikian penuh permohonan dan penyesalan sehingga kemarahan Ceng Ceng sudah
sebagian terusir pergi. Apa lagi dia ingat bahwa semua yang dilakukan oleh
Topeng Setan itu semata-mata adalah untuk menolongnya. Dan penolakannya tadi
pun hanya karena berduka dan menyesal mengapa untuk mencari ular itu Topeng
Setan sampai mengorbankan lengannya.
“Mengapa kau
minta maaf?” tanyanya pendek.
“Maaf bahwa
aku terpaksa memaksamu minum cairan obat itu.”
“Engkau
memaksaku karena aku menolak dan engkau melakukan itu karena engkau hendak
menolongku, Paman.”
“Maaf, bahwa
aku harus memencet hidungmu, menotokmu, dan mencekokkan obat itu kepadamu.”
“Sudahlah,
obat sudah masuk ke perutku, mengapa diributkan lagi?”
“Dan maafkan
aku... aku tadi terpaksa mengoper hawa murni kepadamu secara itu...” Topeng
Setan memalingkan mukanya membelakangi Ceng Ceng, lalu bangkit berdiri dan
memasuki hutan tak jauh dari situ.
Ceng Ceng
juga bangkit dan mengikutinya memasuki hutan itu. Di bawah sebatang pohon,
Topeng Setan lalu berusaha membuat api, akan tetapi karena tangannya tinggal
satu, sukarlah dia menggosok-gosokkan kayu kering untuk membuat api.
Ceng Ceng
merebut kayu kering itu. Dia lalu membuat api dan menyalakan api unggun. Tanpa
bicara keduanya duduk di dekat api unggun itu. Topeng Setan merenung ke dalam
api, sedangkan Ceng Ceng memandang wajah yang buruk itu.
“Kenapa kau
minta maaf tentang itu, Paman? Kalau kau tidak melakukannya, tentu saat ini aku
sudah menjadi mayat dengan perut kembung penuh air.”
Topeng Setan
menoleh dan mereka saling pandang. Pengalaman hebat yang baru saja mereka alami
berdua itu masih menegangkan hati mereka. Ketika dua pasang mata itu bertemu,
Topeng Setan cepat mengelak dan menunduk. “Kini bagaimana... perasaan tubuhmu,
Ceng Ceng?”
Ceng Ceng
juga sadar betapa dia tadi memandang orang itu dengan sinar mata penuh kagum,
penuh rasa syukur dan terima kasih, maka dia cepat-cepat menjawab sambil
merasakan keadaan tubuhnya, “Rasanya enak dan hangat... dan rasa muak itu
lenyap, Paman.”
“Hemm... aku
yakin bahwa engkau akan sembuh sama sekali. Engkau telah terbebas dari bahaya
maut, Ceng Ceng.” Suara itu terdengar girang.
Ceng Ceng
merasa jantungnya seperti ditusuk. “Apa artinya itu? Dan untuk nyawaku yang
tidak berharga ini engkau harus mengorbankan lengan kirimu! Ah, Paman...!”
Topeng Setan
menoleh ke kiri memandang ke arah pundaknya yang buntung. “Ah, ini? Tidak
begitu hebat. Sekali waktu manusia akan kehilangan sesuatu yang berharga di
luar kehendaknya, Ceng Ceng. Kalau dia dapat menghadapi peristiwa itu dengan
penuh kewaspadaan dan kesadaran, maka tidaklah terlalu menyiksa hati benar...”
Ceng Ceng
memandang dengan mata terbelalak. “Kau... kau kehilangan lengan kiri dan tidak
tersiksa hatimu karenanya?”
Topeng Setan
menggelengkan kepalanya. “Ceng Ceng, segala peristiwa yang terjadi menimpa diri
kita tidak mengandung suka atau pun duka, tidak mengandung sesuatu yang ada
hubungannya dengan batin. Suka atau pun duka hanyalah permainan batin,
permainan hati dan pikiran. Betapa pun akan hebatnya pikiranku menyiksa hati,
tetap saja lenganku tidak akan dapat tumbuh kembali. Karena itu, mengapa harus
dipikirkan? Permainan pikiran hanya akan menimbulkan derita batin, menimbulkan
perasaan duka, menimbulkan sengsara dan menimbulkan kebencian, dendam dan
permusuhan belaka.”
Ceng Ceng
makin terheran-heran. Manusia ataukah apa yang bersembunyi di dalam topeng itu?
“Paman,
setelah segala pengorbanan besar yang kau derita karena aku, setelah segala
yang kau lakukan demi aku, setelah segala budi yang berlimpah-limpah bertumpuk
yang kau lakukan untukku, maukah engkau memenuhi permintaanku ini? Aku... aku
ingin sekali melihat wajahmu, Paman.”
Topeng Setan
kelihatan terkejut sekali, tersentak kaget dan melangkah mundur seperti
terhuyung sampai punggungnya menabrak batang pohon di belakangnya, kepalanya
digelengkan dan matanya terbelalak menatap wajah Ceng Ceng.
“Tidak...!
Tidak..., janganlah kau minta itu... Kau boleh memerintahkan apa saja padaku
Ceng Ceng, kau boleh menyuruh dan minta apa saja, aku akan melaksanakan dan
menuruti... akan tetapi yang satu ini... jangan pernah kau memaksa aku
menanggalkan topengku...”
“Kenapa,
Paman? Antara kita... mengapa engkau segan memperlihatkan mukamu? Kita sudah
senasib sependeritaan, aku merasa kita bukan orang lain lagi, sudah
berkali-kali aku hutang budi dan hutang nyawa kepadamu, yang sampai mati pun
takkan mampu kubalas. Aku hanya ingin melihat manusia yang paling baik dan
paling mulia terhadap diriku di dunia ini, mengapa kau menolak?”
“Aku... aku
tidak bisa membuka topeng ini, akan terlalu mengerikan..., wajahku sangat
mengerikan, jauh lebih buruk dari topeng ini. Engkau akan menjadi ketakutan dan
aku khawatir engkau akan menjadi jijik dan muak, bahkan benci melihatku.
Jangan, Ceng Ceng, jangan kau memaksa aku membuka topeng ini. Kau boleh
membukanya kalau kelak aku sudah mati...”
Ceng Ceng
menundukkan muka, menarik napas panjang. “Aku tidak akan memaksamu, Paman.
Sungguh pun aku yakin bahwa betapa pun buruk rupamu, aku tidak akan dapat
merasa takut, apa lagi jijik dan muak, apa lagi membencimu. Bagaimana mungkin
aku bisa membenci seorang yang telah berkorban sedemikian hebat untukku? Aku
jadi heran sekali apa yang terjadi antara wanita yang... kau bunuh itu dengan
engkau. Kalau aku menjadi dia, agaknya... aku mau melakukan apa saja untuk
seorang semulia engkau ini, Paman. Apakah bibi itu melakukan hal yang amat
menyakitkan hatimu?”
Topeng Setan
menghela napas panjang, agaknya lega karena Ceng Ceng tidak lagi memaksanya
membuka topeng. Dia duduk kembali bersandar batang pohon, kemudian menjawab,
“Tidak, Ceng Ceng, dia seorang wanita yang amat hebat, tiada keduanya di dunia
ini, akan tetapi aku... aku telah membunuhnya...”
“Kasihan
sekali engkau, Paman...”
Topeng Setan
agaknya ingin mengalihkan percakapan karena dia lalu berkata, “Ceng Ceng,
engkau sekarang sudah sembuh, engkau tidak terancam lagi oleh racun, bahkan
dengan latihan I-kin-keng yang telah kuajarkan, semua ilmu beracun yang kau
pelajari dari Ban-tok Mo-li sehingga tubuhmu beracun akan lenyap, dan... aku
sendiri masih belum tahu akibat aneh apa yang akan didatangkan oleh khasiat
anak naga yang telah memasuki tubuhmu. Sekarang, sebaiknya kalau kau kembali ke
kota raja, kau... kau temui Pangeran Yung Hwa itu...”
“Eh, mengapa,
Paman?” Ceng Ceng bertanya dengan kaget sekali.
“Engkau
seorang gadis yang amat baik, seorang wanita berjiwa pahlawan, engkau telah
mengalami banyak kesukaran dan seorang wanita seperti engkau berhak untuk hidup
mulia dan bahagia. Pangeran Yung Hwa itu, dia... dia seorang bangsawan tinggi,
putera Kaisar, dia terpelajar tinggi, tampan dan baik hati. Dan yang terutama
sekali, dia cinta kepadamu, Ceng Ceng. Kau pergilah kepadanya...”
Ceng Ceng
menggeleng kepala keras-keras. “Tidak! Dia boleh cinta kepadaku, akan tetapi
aku... aku tidak berharga...”
“Hemmm,
jangan kau berkata begitu, Ceng Ceng. Apakah engkau hendak mengatakan bahwa
engkau tidak cinta kepada pangeran itu? Aku teringat akan pemuda tampan yang
berilmu tinggi, adik dari Puteri Milana, putera dari Pendekar Super Sakti yang
bernama Suma Kian Lee itu. Dia pun cinta kepadamu, Ceng Ceng. Baik Pangeran
Yung Hwa mau pun Suma Kian Lee keduanya adalah pemuda-pemuda pilihan yang sukar
dicari tandingannya di dunia ini. Kau kembalilah ke kota raja, kau berhak hidup
bahagia. Apakah engkau mencinta Suma Kian Lee...?”
“Tidak,
Paman. Sama sekali tidak mungkin! Dia adalah pamanku sendiri!”
“Ehhh...?!”
Topeng Setan kelihatan terkejut sekali mendengar hal ini. “Putera Pendekar
Super Sakti itu... pamanmu?”
Ceng Ceng
mengangguk dan hatinya terasa perih ketika dia teringat kepada Kian Lee. Pemuda
itu pun amat baik kepadanya, bahkan dia tahu bahwa Kian Lee cinta padanya,
sehingga dia dapat membayangkan betapa hancur hati Kian Lee ketika memperoleh
kenyataan-kenyataan bahwa dia ternyata adalah keponakannya sendiri! Pemuda itu
pun demikian mencintanya sehingga rela mengorbankan dirinya sendiri ketika
berusaha mengobatinya sampai kedua tangannya keracunan.
“Rahasia itu
terbuka ketika aku bertemu dengan Paman Gak Bun Beng. Itulah sebabnya mengapa
aku pernah mengatakan kepadamu, Paman, bahwa she-ku bukanlah Lu, melainkan Wan.
Ayahku adalah Wan Keng In, kakak tiri Paman Suma Kian Lee. Ayahku adalah putera
tiri Pendekar Super Sakti, dia... ayahku itu... dia amat jahat, Paman....”
Ceng Ceng
kemudian menceritakan riwayat dirinya, diceritakan semua tanpa ada yang
disembunyikan bahwa dia hidup di Bhutan dengan kakeknya yang ternyata adalah
kakek buyutnya, betapa tadinya dia mendengar dari kakeknya bahwa ayah
kandungnya adalah Gak Bun Beng yang sudah mati seperti ibunya.
Betapa dia
mengawal Puteri Syanti Dewi yang menjadi kakak angkatnya itu sehingga mengalami
banyak kesengsaraan, betapa kemudian dia bertemu dengan Gak Bun Beng dan
mendengar akan semua riwayat ibunya yang diperkosa oleh Wan Keng In yang
memakai nama Gak Bun Beng. Semua diceritakannya dengan panjang lebar,
didengarkan dengan mata terbelalak dan penuh perhatian oleh Topeng Setan.
Setelah
mendengar semua itu, Topeng Setan lalu menarik napas panjang. “Akan tetapi,
riwayatmu itu bahkan mengangkat derajatmu, Ceng Ceng. Engkau adalah cucu tiri
dari Pendekar Super Sakti, dan engkau adalah adik angkat dari Puteri Bhutan,
bahkan kakek buyutmu adalah seorang bekas panglima pengawal yang setia. Engkau
cukup berharga bahkan untuk seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa itu sekali
pun, engkau sudah terlalu berharga. Dia amat mencintamu, Ceng Ceng, bahkan dia
sampai menolak dikawinkan dengan Puteri Syanti Dewi karena dia cinta padamu.
Mari kuantar engkau menjumpainya, Ceng Ceng...”
“Paman...!
Janganlah engkau berkata demikian, Paman...!” Dan tiba-tiba Ceng Ceng menangis
tersedu-sedu karena dia teringat akan keadaan dirinya.
“Eh, ehhh...
Ceng Ceng, kenapa...?” Topeng Setan bertanya, suaranya gemetar.
Ceng Ceng
mengusap air matanya dan memandang wajah bertopeng buruk itu, yang menjadi
seperti wajah iblis ketika tertimpa cahaya api unggun yang merah. “Baiklah, kau
boleh mendengar semua, Paman. Engkau sudah kuanggap seperti pamanku sendiri
seperti ayah sendiri, seperti sahabatku yang termulia di dunia ini, bahkan
sebagai satu-satunya orang yang menjadi sahabatku. Aku... aku sama sekali tidak
berharga, Paman, apa lagi bagi seorang pria seperti Pangeran Yung Hwa. Aku
hanyalah seorang yang menanti kematian...”
“Eh, apa
maksudmu?”
“Paman...
aku... aku telah tertimpa mala petaka yang lebih hebat dari pada kematian. Aku
telah ternoda, aku telah diperkosa orang...” Dengan terengah-engah dan
terputus-putus Ceng Ceng menceritakan melapetaka hebat di dalam goa itu ketika
dia diperkosa oleh pemuda laknat itu.
“Dia
kutolong, akan tetapi dia malah memperkosa aku, Paman... Dia, si laknat itu,
dia bernama Kok Cu, murid Si Dewa Bongkok dari Istana Gurun Pasir. Mendiang
kakek Lauw Ki Sun yang tewas dan jenazahnya kau kubur di depan kuil itu, dialah
yang menceritakan kepadaku siapa adanya manusia iblis itu. Kakek itu adalah
pelayan dari Dewa Bongkok dan pemuda yang merusak hidupku itu adalah murid Si
Dewa Bongkok, dialah orang yang kau gambar itu, Paman. Aku harus menemukannya,
engkau harus membantu aku untuk membalas dendam setinggi langit dan sedalam
lautan ini. Aku bersumpah tidak akan berhenti sebelum dapat membunuhnya. Dan
setelah aku berhasil membunuhnya, mudah-mudahan dengan bantuanmu karena dia
lihai sekali, Paman, sesudah itu, aku... aku akan membunuh diri, untuk apa
hidup menderita aib yang hebat ini...?”
Topeng Setan
bangkit berdiri, mengepal tinjunya, matanya terbelalak, tampak seluruh urat di
dadanya yang telanjang karena bajunya dirobek untuk membalut pundak kirinya,
dan dari kedua mata yang terbelalak lebar itu jatuh air matanya satu demi satu,
seperti butir-butir mutiara runtuh dari untaiannya. Dadanya bergelombang dan
terdengar rintihan aneh keluar dari mulutnya yang berbibir tebal sekali itu.
Ceng Ceng
memandang dengan amat heran. Melihat Topeng Setan berdiri seperti iblis
berdiri, dengan air mata bercucuran seperti itu, hati Ceng Ceng seperti
diremas-remas rasanya. Dia tahu bahwa orang bertopeng ini juga amat mencintanya
sehingga orang itu kini menderita pukulan batin yang hebat setelah mendengar
ceritanya. Melihat orang yang sudah buntung lengannya karena dia itu kini
menangis, Ceng Ceng memandang dengan bibir gemetar, kemudian menggigil dan
bibir itu mewek-mewek menahan tangis.
Dan akhirnya
Ceng Ceng menubruk dan merangkul pinggang Si Buruk Rupa itu sambil menangis
sesenggukan. Sampai mengguguk Ceng Ceng menangis. Dia melepaskan seluruh
kedukaan dan penyesalan hatinya, menumpahkan semua rasa penasaran yang
bertumpuk-tumpuk dan dia seolah-olah memeluk gunung yang kokoh kuat, yang akan
dapat dipergunakan sebagai sandaran hidup ketika dia sendiri sudah hampir tidak
kuat menahan penderitaan yang menimpanya.
Dengan
lengan kanannya, Topeng Setan memeluk dan jari-jari tanngannya mengelus kepala
gadis itu penuh keharuan dan kasih sayang.
“Paman...
Paman... ahh... Paman... hu-hu-huuuhh...” Ceng Ceng menangis seperti anak
kecil, air matanya membasahi dada yang bidang, kuat, tegap dan berkulit putih
halus, merupakan kontras yang aneh dengan kulit wajah yang buruk itu.
“Tenanglah,
Ceng Ceng. Kuatkan hatimu... dan hadapilah kenyataan hidup seperti ini... jangan
kau putus harapan, Ceng Ceng. Aku... aku bersumpah akan melindungimu dan
membantumu menemukan kebahagiaan...”
“Paman, kau
bilang tadi... kau akan meninggalkan aku... kau menyuruh aku pergi ke kota
raja...”
“Sekarang
tidak lagi, Ceng Ceng. Aku baru akan pergi setelah melihat engkau menemui
kebahagiaan hidup. Janganlah kau khawatir, aku akan mempertaruhkan nyawaku demi
kebahagiaanmu.”
“Paman...
uhu-hu-huuu, Paman...” Ceng Ceng makin menjadi tangisnya karena hatinya terharu
sekali mendengar ucapan yang keluar dengan suara gemetar itu.
“Paman,
mengapa kau begini baik kepadaku. Mengapa...?” Ceng Ceng mengguncang-guncang
tubuh yang dipeluknya itu. “Dan mengapa dia... dia begitu jahat... dia merusak
hidupku... mengapa...?”
Topeng Setan
tidak menjawab, hanya mengelus-elus rambut itu dan membiarkan Ceng Ceng
menumpahkan semua rasa penasaran hatinya. Setelah gelora perasaan itu agak
mereda di hati Ceng Ceng, Topeng Setan lalu mengajak gadis itu pergi dari situ.
“Kita harus
segera pergi melanjutkan perjalanan. Mereka tentu akan mengejar terus dan
sebelum luka di pundakku sembuh, amat berbahaya menghadapi lawan berat, Ceng
Ceng.”
“Baik,
Paman. Aku hanya menurut dan ikut padamu.” Ceng Ceng menjawab dan dia tahu
bahwa mulai saat itu, untuk segala urusan, sampai kepada urusan mencari musuh
besarnya, dia harus mengandalkan pamannya yang buruk rupa dan penuh rahasia
ini, yang kini dipercayanya setelah dia saksikan kehebatan sepak terjangnya.
Maka
berangkatlah mereka meninggalkan hutan itu menuju ke selatan karena menurut
rencana Topeng Setan, mereka akan pergi ke sebelah selatan kota raja, di markas
kaum sesat yang dulu menjadi markas kaum Tiat-ciang-pang, di mana Ceng Ceng
telah diangkat menjadi bengcu (ketua) oleh kaum sesat dan Topeng Setan
bersama-sama Tek Hoat menjadi pembantu-pembantunya. Di tempat itu mereka akan
bersembunyi dan beristirahat sampai luka di pundak Topeng Setan sembuh sama
sekali.
Hukum karma
seperti yang dikenal oleh kita semua adalah lingkaran setan berupa roda-roda
sebab akibat yang saling berkaitan dan tidak akan ada habisnya karena semua itu
digerakkan oleh pikiran manusia yang membentuk nafsu-nafsu sebagai lanjutan
dari setiap peristiwa yang terjadi atas diri manusia sendiri. Dari suatu sebab
timbullah akibat, dan akibat lain sehingga menjadi lagi si sebab juga si akibat
dan sebaliknya.
Sebagai
contohnya, terjadi suatu peristiwa di mana kita dirugikan orang lahir mau pun
batin. Mungkin kejadian ini pun merupakan akibat dari sebab-sebab terdahulu,
akan tetapi kita menganggapnya sebagai sebab dan peristiwa itu mendatangkan
kemarahan dan dendam sehingga tentu saja menimbulkan akibat yang terjadi dari
pihak kita, membalas dendam dan sebagainya sebagai reaksi.
Reaksi dari
kita ini terhadap pihak luar yang kita anggap merugikan, kembali dapat menjadi
suatu aksi yang memancing reaksi lain dari pihak luar itu sehingga dengan
demikian, si reaksi menjadi aksi dan sebaliknya. Dengan adanya kenyataan ini,
maka yang membentuk lingkaran setan yang disebut hukum karma sesungguhnya
adalah kita sendiri, pikiran kita sendiri yang selalu siap untuk melakukan
reaksi.
Sebaliknya,
kalau dengan kesadaran mendalam kita menghadapi peristiwa yang merugikan kita
itu sebagai suatu peristiwa yang wajar, sebagai suatu kenyataan yang habis
sampai di situ saja, tidaklah timbul dendam, kemarahan, kebencian, harapan atau
lain macam perasaan lagi dan patahlah lingkaran setan itu! Jelas bahwa
mengingat-ingat masa lalu, baik itu setahun yang lalu, kemarin atau semenit
yang lalu, disambung dengan membayangkan masa depan, baik itu nanti, besok atau
kelak, merupakan pembentukan lingkaran setan atau hukum karma tadi. Batin yang
bebas dari masa lalu dan masa depan, akan bebas pula dari hukum karma.
Sekali kita
membiarkan diri terseret oleh hukum karma, hidup akan terombang-ambing dan
menjadi permainannya, yang sesungguhnya adalah permainan dari nafsu-nafsu
keinginan dan hasil pikiran kita sendiri. Setiap peristiwa yang terjadi tidak
bersifat senang atau susah, yang terjadi adalah suatu kenyataan sungguh pun
kejadian itu sendiri tidak akan terlepas dari keadaan yang dibentuk oleh kita
sendiri. Suka atau duka akan terjadinya peristiwa itu terletak dalam
penanggapan kita. Siapa mengejar suka tak dapat tidak pasti berkenalan dengan
duka karena suka atau duka hanya permainan dari pikiran sendiri yang menilai,
membanding, memilih, membenarkan atau menyalahkan.
Kita tidak
berani meninggalkan semua ini, karena kita takut untuk menjadi ‘bukan apa-apa’,
dan kita menganggap bahwa melepaskan semua suka duka hidup, berarti kita akan
menjadi kosong melompong, tidak berarti apa-apa dan kita menjadi ngeri untuk
kehilangan arti kita! Oleh karena itu pula, dengan membuta kita melanjutkan semua
ini, melanjutkan kehidupan seperti yang sudah-sudah, sungguh pun setiap hari
kita ditimpa kesengsaraan dan menjadi permainan konflik-konflik, dari konflik
batin sendiri sampai konflik antar manusia sampai ke perang-perang yang
berkobar di seluruh pelosok dunia. Dan dipermainkan oleh konflik dan
kesengsaraan ini kita namakan hidup.
***************
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Puteri Syanti Dewi yang dilarikan ke luar
dari istana oleh Puteri Milana, akhirnya bertemu dengan Jenderal Kao Liang dan
atas usul jenderal yang gagah perkasa dan bijaksana ini, Puteri Syanti Dewi
lalu dikawal oleh dua losin pasukan pengawal jenderal itu. Pasukan itu lalu
mengawal Syanti Dewi yang menunggang kuda Jenderal Kao di tengah-tengah.
Berangkatlah mereka membelokkan perjalanan ke barat untuk memulai perjalanan
yang amat jauh itu ke Bhutan.
Kepala atau
komandan pasukan ini bernama Can Siok, seorang gagah berusia empat puluh tahun
yang telah lama menjadi seorang di antara pengawal kepercayaan Jenderal Kao Liang.
Dia memiliki kepandaian tinggi sebagai anak murid Hoa-san-pai dan juga
mengantongi surat perintah Jenderal Kao yang akan dapat digunakan sebagai
‘jimat’ di dalam perjalanannya menuju ke Bhutan mengantar puteri jelita itu.
Pengawal Can
Siok ini maklum betapa berat tugasnya mengantar puteri itu, yang dia tahu
diam-diam juga mungkin dianggap buronan oleh Kaisar, dan tentu akan menarik
hati orang-orang jahat di tengah perjalanan. Akan tetapi, mengandalkan
ketangkasan dua losin tenaga dalam pasukannya dan mengandalkan nama Jenderal
Kao Liang yang surat perintahnya dia kantongi, pengawal ini melakukan
perjalanan dengan hati tenang sungguh pun dia selalu berhati-hati.
Dua hari
kemudian, mereka berhenti di sebuah dusun karena kemalaman. Dusun itu terletak
di tepi Sungai Ta-cing yang mengalir di sebelah selatan dan barat kota raja
Peking. Setelah melapor kepada kepala dusun setempat, kepala dusun dengan penuh
kehormatan lalu memerintahkan penginapan tunggal di dusun itu untuk
mengosongkan semua kamar dan memberikannya kepada rombongan ini.
Dusun ini
berada di dekat hutan yang menjadi markas para kaum sesat yang dipimpin oleh
Ceng Ceng. Ketika rombongan ini tiba di dusun, seorang di antara anggota
Tiat-ciang-pang yang kini telah bergabung menjadi anak buah perkumpulan kaum
sesat itu, cepat lari ke markasnya dan memberi laporan bahwa ada sepasukan
pengawal lewat dan bermalam di dusun tepi sungai Ta-cing itu, mengantarkan
seorang puteri yang menurut kabar angin adalah Puteri Bhutan yang dikabarkan
melarikan diri dari istana Kaisar. Kabar seperti itu memang cepat sekali
tersiar sehingga tidak mengherankan kalau berita itu telah terdengar di daerah
itu.
Kalau saja
Ceng Ceng berada di tempat itu, tentu dia akan girang sekali mendengar berita
ini. Akan tetapi pada waktu itu, Ceng Ceng belum kembali ke markas ini dan
telah terjadi perubahan besar sekali di pusat kaum sesat daerah kota raja ini.
Baru beberapa hari yang lalu, markas kaum sesat itu telah diambil-alih dan
dikuasai oleh rombongan Pulau Neraka!
Seperti kita
ketahui, Hek-tiauw Lo-mo dan anak buahnya, orang-orang Pulau Neraka, juga
berusaha menangkap anak ular naga di Telaga Sungari dan setelah melihat bahwa
mereka gagal, naga yang terluka menyelam kembali ke dalam telaga dan anak ular
itu lenyap setelah yang terakhir berada di tangan Ceng Ceng, Hek-tiauw Lo-mo
membawa anak buahnya mendarat.
Mereka
melakukan perjalanan cepat dengan kuda-kuda yang telah tersedia dan mereka
langsung menuju ke sarang kaum sesat di selatan kota raja ini karena Hek-tiauw
Lo-mo sudah tahu bahwa Ceng Ceng menjadi bengcu di sarang ini. Karena menduga
bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan yang terluka itu tentu akan bersembunyi di
sarang ini, maka dia telah mengejar ke sana, akan tetapi ternyata dia dan
rombongannya jauh lebih cepat tiba di tempat itu dari pada Ceng Ceng dan Topeng
Setan yang melakukan perjalanan lambat berhubung dengan lukanya Topeng Setan.
Setelah tiba
di sarang itu, dengan mudah saja Ketua Pulau Neraka ini dapat menguasai para
kaum sesat tanpa banyak menimbulkan korban. Kaum sesat di tempat itu sudah
terpengaruh dan tunduk begitu mendengar bahwa kakek raksasa mengerikan itu
adalah Ketua Pulau Neraka, apa lagi sesudah menyaksikan kelihaian anak buahnya.
Setelah
mendengar bahwa Ceng Ceng dan Topeng Setan belum tiba di situ, Hek-tiauw Lo-mo
lalu mengatur untuk menyambut kedatangan dua orang itu yang diharapkan masih
menyimpan anak ular naga Telaga Sungari. Akan tetapi, malam hari itu Hek-tiauw
Lo-mo mendengar pelaporan bahwa rombongan pengawal sedang mengiringkan Puteri
Bhutan bermalam di dalam dusun yang hanya dua puluh li jauhnya dari sarang itu.
Mendengar pelaporan ini, Hek-tiauw Lo-mo mengangguk-angguk dan cepat dia
memerintahkan beberapa orang anak buahnya untuk merampas dan menculik Puteri
Bhutan itu.
Dia pernah
mendengar bahwa gadis liar Ceng Ceng adalah saudara angkat Puteri Bhutan yang
menimbulkan kegemparan itu. Maka kini mendengar puteri itu lewat di dekat
tempat itu, tentu saja dia tidak mau membuang kesempatan baik ini untuk menawan
Sang Puteri, karena puteri ini dapat dia pergunakan sebagai sandera untuk
memaksa Ceng Ceng menyerahkan anak naga kepadanya!
Dan selain
anak naga yang amat diinginkannya itu, juga dia harus memaksa Topeng Setan
mengembalikan kitab Istana Gurun Pasir. Kitab itu yang kini telah lengkap
karena tadinya bagiannya dan bagian yang dicuri oleh Ketua Lembah Bunga Hitam,
baru-baru ini terjatuh ke tangan kakek Lauw Ki Sun, pelayan dari Dewa Bongkok
di Istana Gurun Pasir dan kakek itu setelah terluka parah dilarikan oleh Topeng
Setan, maka menurut dugaannya, pasti kitab itu kini berada di tangan Topeng
Setan! Dengan adanya anak naga dan kitab Istana Gurun Pasir itu di tangan Ceng
Ceng dan Topeng Setan, Hek-tiauw Lo-mo akan berusaha sekuat tenaga dan mau
melakukan apa pun juga untuk menangkap dan memaksa mereka menyerahkan dua buah
benda keramat itu.
Baru saja
anak buah Pulau Neraka yang diutus oleh Hek-tiauw Lo-mo berangkat untuk
menangkap Puteri Bhutan yang hanya dikawal oleh dua losin prajurit itu,
tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo mendengar suara kucing. Lirih saja suara ini yang
datangnya dari atas genteng dan yang bagi orang lain tentu akan dianggap suara
kucing asli, akan tetapi kakek raksasa ini sudah hafal akan suara sumoi-nya,
maka sambil tersenyum lebar dia menggerakkan tangannya seperti orang tidak
sabar dan berseru, “Sudahlah, Sumoi, kalau sudah datang turun saja, kenapa
mesti banyak lagak!”
“Suheng...!”
Dari atas genteng melayang sesosok tubuh yang gerakannya ringan sekali dan
tahu-tahu di depan kakek raksasa mengerikan itu berdiri Mauw Siauw Mo-li Lauw
Hong Kui yang cantik jelita dan kedua pipinya kemerahan, wajahnya cemerlang
tertimpa sinar lampu yang terang.
Sejenak
Hek-tiauw Lo-mo memandang wajah sumoi-nya itu dengan kagum, akan tetapi
tiba-tiba dia meloncat bangun dari kursinya dan memandang wajah sumoi-nya lebih
teliti lagi. “Ehhh, engkau sudah sembuh...!”
Lauw Hong
Kui mencibirkan bibirnya yang merah basah itu kepada suheng-nya, dan sikapnya
manja serta mengejek. “Suheng, setelah engkau kejam meninggalkan aku terancam
bahaya maut dan darahku keracunan, apa kau kira aku tidak mampu mencari obatnya
sendiri?”
“Salahmu
sendiri!” Hek-tiauw Lo-mo mengomel. “Engkau mencuri ilmu dari kitabku...”
“Huh, kitab
itu pun kitab curian,” Lauw Hong Kui mencela.
“Jangan
kurang ajar kau! Setelah mencuri ilmu dari kitabku sampai darahmu keracunan,
apa yang kau harapkan dariku? Hal itu kuanggap sebagai hukuman bagimu, akan tetapi
racun itu pun tidak akan membunuhmu, karena itu aku diam saja.” Hek-tiauw Lo-mo
memandang lebih teliti wajah sumoi-nya yang berseri-seri dan kemerahan, sehat
sekali. “Sudahlah, Sumoi, sekarang katakan bagaimana engkau bisa memperoleh
obat yang mencuci bersih darahmu?”
Dengan sikap
angkuh dan lagak bangga Lauw Hong Kui bertolak pinggang dan berkata, “Suheng
tidak berhasil di Telaga Sungari, bukan? Aku sudah melihat sendiri betapa
Suheng gagal, bahkan hampir celaka oleh Nenek Durganini yang seperti iblis
itu!”
“Eh, eh...
kau juga berada di sana?”
“Tentu saja!
Dan berhasil!”
“Berhasil?
Kau mau bilang bahwa anak naga itu...”
Mendadak
tangan Hek-tiauw Lo-mo itu menyambar dan sumoi-nya tidak mampu lagi mengelak
karena pergelangan tangannya sudah dipegang oleh kakek raksasa itu. Jari-jari
tangan kakek itu lalu menotok sana-sini membuat sumoi-nya tak dapat bergerak,
lalu tangannya meraba-raba dari ubun-ubun kepala sampai punggung dan ulu hati
di antara dua tonjolan buah dada wanita itu.
“Hemm, kau
sudah sembuh sama sekali akan tetapi kalau kau makan semua anak naga itu tentu
hawanya terasa olehku. Kau bohong, kau tidak makan semua anak naga dan entah
obat apa yang telah menyembuhkan keracunan darahmu,” kata kakek itu dan dia
membebaskan kembali sumoi-nya.
Setelah
dapat bergerak, Mauw Siauw Mo-li memandang suheng-nya dan dengan mata berapi
dia berkata penuh kemarahan, “Suheng, kalau lain kali kau memperlakukan aku
seperti tadi, aku akan membunuhmu!”
“Heh-heh,
kau harus belajar seratus tahun lagi untuk dapat melakukan itu, anak manis.
Sekarang ceritakan saja obat apa yang telah menyembuhkanmu?”
“Apa lagi
kalau bukan anak naga itu? Akan tetapi kalau aku mendapatkan semua dan telah
makan seluruhnya, apa kau kira aku demikian tolol untuk muncul di depanmu?
Tentu engkau akan merampas khasiatnya dengan cara makan dagingku dan minum
darahku.”
“Ahhhh! Masa
aku melakukan hal itu? Engkau adalah sumoi-ku.”
“Huhhh,
seperti aku tidak mengenalmu saja, Suheng. Akan tetapi karena aku hanya
memperoleh ekor anak naga itu dan telah kumakan habis, andai kata engkau makan
dagingku dan minum seluruh darahku pun tidak ada manfaatnya bagimu. Suheng,
sisa anak naga itu, sebagian besarnya karena aku hanya memperoleh ekor
sejengkal, telah dilarikan oleh dara liar bersama Si Topeng Setan yang lihai.”
“Aku tahu...
hemmm...!” Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo menggerakkan tangan kirinya ke arah
genteng.
“Suheng,
jangan...!” Lauw Hong Kui mencegah, akan tetapi terlambat.
Tampak sinar
berkelebat dan sebatang golok terbang yang panjangnya hanya satu kaki meluncur
ke arah bayangan seorang pemuda yang berdiri di atas genteng. Akan tetapi
dengan mudah saja pemuda itu mengulur tangan kiri dan menangkap hui-to (golok
terbang) itu pada gagangnya, lalu dia melayang turun dan melemparkan golok
kecil itu kembali ke arah Hek-tiauw Lo-mo sambil berkata, “Lo-mo, beginikah kau
menyambut tamu?”
“Hehhh!”
Hek-tiauw Lo-mo mendengus. Tangannya bergerak, jari tangannya menampar hui-to
yang menyambar ke arah dadanya.
“Krekkk!”
Hui-to itu patah-patah menjadi tiga potong dan semua potongannya, berikut
gagangnya, menancap di atas lantai.
Hek-tiauw
Lo-mo memandang wajah pemuda yang bukan lain adalah Suma Kian Bu itu. Dia
menjadi terkejut. “Ah, kiranya engkau, keparat!” bentaknya dan dia sudah siap
untuk menyerang.
“Suheng,
jangan! Dia adalah sahabatku, sahabatku yang sangat baik!” Lauw Hong Kui
meloncat di depan suheng-nya, menghadang dan melindungi Kian Bu.
“Lo-mo,
kalau tidak melihat muka sumoi-mu dan tidak menerima undangannya, apakah kau
kira aku sudi datang mengunjungimu sebagai tamu?” Kian Bu juga berkata dengan
nada suara mengejek.
“Sumoi, apa
artinya ini? Tahukah kau siapa pemuda ini?”
“Dia adalah
Suma Kian Bu yang telah membantuku mencari anak naga.”
“Dia adalah
putera dari Majikan Pulau Es, goblok! Dan kau berkawan dengan orang yang
menjadi musuhku ini?”
“Kalau dia
adalah benar putera Pendekar Super Sakti, aku malah merasa bangga dapat
menjadi... ehh, sahabat baik.”
“Minggirlah,
aku akan membunuhnya!” Hek-tiauw Lo-mo berseru marah.
“Enak saja
engkau bicara, Lo-mo. Dahulu waktu aku masih kecil pun engkau tak mampu
membunuhku, apa lagi sekarang,” jawab Kian Bu, sedikit pun tidak menjadi takut.
“Suheng,
harap jangan mengumbar keganasanmu di mana-mana tanpa perhitungan!” Lauw Hong
Kui mencela suheng-nya. “Lupakah Suheng bahwa Suci telah tewas dan hanya
tinggal kita dua saudara? Aku akan membantu dia kalau Suheng menyerangnya dan
kita akan saling gempur mati-matian. Begitukah yang Suheng kehendaki? Ingat,
Suheng telah melihat sendiri betapa banyak orang-orang berilmu telah
bermunculan di Telaga Sungari. Bukankah sebaiknya kalau kita bersatu sehingga
kedudukan Suheng lebih kuat setelah Suci meninggal dunia?”
Hek-tiauw
Lo-mo bukanlah seorang bodoh. Dia meninggalkan Pulau Neraka karena tak betah
tinggal di tempat yang amat berbahaya itu. Sumoi-nya yang pertama telah tewas
dan sumoi-nya yang masih muda ini juga amat lihai, terutama sekali
senjata-senjata rahasianya yang amat berbahaya, maka dapat dijadikan sekutu
yang boleh diandalkan, apa lagi mengingat betapa akhir-akhir ini, ketika
menghadapi orang-orang Lembah Bunga Hitam, sumoi-nya ini juga langsung turun
tangan membantunya. Dia menarik napas panjang dan mengendurkan lagi kedua
tangannya.
“Sudahlah,
selama dia menjadi sahabatmu, aku tidak akan mengganggunya.” Dan Hek-tiauw
Lo-mo dengan wajah bersungut-sungut lalu memasuki kamarnya.
Kian Bu
mengerutkan alisnya. “Enci, aku tidak suka tinggal di tempat suheng-mu ini.”
“Eh, Kian
Bu, kenapa engkau pun meniru watak Suheng yang pemarah?” Dengan sikap manja
Hong Kui menggandeng lengan pemuda itu. “Ingat, kita ke sini untuk menanti
munculnya Topeng Setan dan dara liar itu, siapa tahu nasib kita baik dan anak
naga itu dapat terjatuh ke tangan kita. Jangan pedulikan dia, anggap saja
engkau menjadi tamu di rumahku...” Dengan bujuk rayu dan kegenitannya, Lauw Kui
Hong akhirnya dapat mengajak Kian Bu memasuki sebuah kamar tamu yang lengkap
dan mewah.
Kian Bu juga
tidak membantah lagi, akan tetapi kalau saja Hong Kui tahu apa yang terkandung
di dalam hati kekasihnya ini, tentu dia tidak akan segembira itu melayani dan
menghibur hati kekasihnya dengan segala kepandaiannya bermain cinta. Dia sama
sekali tidak tahu bahwa telah terjadi perubahan di dalam hati pemuda kekasihnya
itu. Kian Bu telah menyadari kepalsuan wanita cantik ini dan dia hanya
menganggap Hong Kui sebagai seorang wanita yang amat pandai menyenangkan hati
dan menghiburnya, seorang wanita yang sengaja merayunya dan sama sekali bukan
berdasarkan cinta kasih seperti yang dahulu sering diimpikannya.
Dia tahu
bahwa di antara mereka berdua yang ada hanyalah cinta jasmani belaka, dorongan
nafsu birahi yang mengasyikkan. Jika dia mau mengikuti Hong Kui dan tinggal di
rumah Hek-tiauw Lo-mo, sesungguhnya hanya karena diam-diam dia mengambil
keputusan untuk melindungi Ceng Ceng yang masih terhitung keponakannya sendiri
itu.
Ketika dia
menyaksikan perebutan anak ular naga antara Ceng Ceng dan Hong Kui, dia sudah
menganjurkan kepada kekasihnya itu untuk memberikan saja ular kecil itu kepada
Ceng Ceng yang dia tahu amat membutuhkannya. Kemudian melihat ular itu putus
dan Hong Kui hanya mendapat bagian sedikit sedangkan selebihnya terampas oleh
Ceng Ceng, diam-diam dia merasa girang sekali, akan tetapi tentu saja dia tidak
menyatakannya di depan kekasihnya.
Kemudian
Hong Kui menyatakan ketidak puasan hatinya bahwa dia hanya dapat makan bagian
ekor anak naga itu dan wanita ini menyatakan dugaannya bahwa Ceng Ceng dan
Topeng Setan yang terluka parah itu tentu akan kembali ke sarang kaum sesat di
selatan kota raja di mana gadis itu menjadi ketuanya. Mendengar bahwa Hong Kui
hendak mengejar Ceng Ceng ke sana, dia sengaja menyatakan persetujuannya,
tetapi diam-diam tentu saja bersiap untuk melindungi Ceng Ceng dan mencegah
kekasihnya ini mengganggu Ceng Ceng.
Siapa kira,
di tempat itu dia malah bertemu dengan Hek-tiauw Lo-mo, maka tahulah dia bahwa
Ceng Ceng akan terancam bahaya hebat kalau benar-benar datang ke tempat itu.
Hal ini membuat dia terpaksa menerima ajakan Hong Kui untuk bermalam dan
tinggal di gedung yang ditinggali Hek-tiauw Lo-mo itu, menanti kalau Ceng Ceng
benar datang di tempat berbahaya itu.
Sayang bahwa
kedatangan mereka agak terlambat sehingga Kian Bu tidak mendengar akan perintah
Hek-tiauw Lo-mo terhadap anak buahnya untuk menangkap Puteri Syanti Dewi yang
bermalam di dusun tidak jauh dari tempat itu. Kalau dia mendengarnya, tentu dia
terkejut sekali dan akan turun tangan mencegahnya.
Akan tetapi
di dusun di mana rombongan Puteri Syanti Dewi bermalam, terjadi hal yang sama
sekali tak diduga-duga oleh Hek-tiauw Lo-mo, bahkan oleh rombongan itu sendiri.
Siang tadi dusun itu kedatangan rombongan yang terdiri dari orang-orang aneh
dan rombongan ini tentu akan mendatangkan geger kalau saja ada yang mengenalnya
karena rombongan ini dipimpin oleh Raja Tambolon!
Seperti
diketahui, Raja Tambolon yang dibantu oleh Si Petani Maut Liauw Kui dan Si
Sastrawan Maut Yu Ci Pok, membawa anak buahnya yang terdiri dari orang-orang
liar di daerah utara, untuk ikut memperebutkan anak naga di Telaga Sungari,
akan tetapi rombongan Raja Tambolon ini pun tidak memperoleh hasil. Ketika melihat
bahwa anak naga itu terjatuh ke tangan Ceng Ceng dan Topeng Setan, Raja
Tambolon yang sudah mengenal dua orang itu dan tahu bahwa nona Lu Ceng adalah
bengcu dari kaum sesat di sebelah selatan kota raja, lalu melakukan pengejaran
ke tempat itu. Dia dan para pembantunya menyamar sebagai serombongan pelancong
dan karena mereka royal mengeluarkan uang, mereka tidak menarik perhatian dan
kecurigaan orang lain.
Di tengah
perjalanan, rombongan ini bertemu dengan lima orang wanita yang sudah mengenal
Yu Ci Pok, maka mereka dihadapkan kepada Tambolon dan diperkenalkan oleh Si
Sastrawan Maut itu. Lima orang wanita ini bukanlah sembarangan wanita, oleh
karena mereka itu adalah Loan-ngo Mo-li (Lima Iblis Betina Sungai Loan) yang
namanya sudah terkenal sekali di sepanjang Sungai Loan-ho. Mendengar bahwa
Loan-ngo Mo-li hendak berkunjung ke Tiat-ciang-pang untuk mengambil-alih
kekuasaan karena mendengar bahwa perkumpulan itu dan semua perkumpulan kaum
sesat kini dipimpin oleh seorang wanita yang kabarnya menyamar sebagai Song Lan
Ci, orang pertama dari Loan-ngo Mo-li, lima orang wanita yang pekerjaannya
adalah cabang atas Sungai Loan-ho yang membawahi semua kaum bajak, Tambolon
menjadi girang dan segera mengajak lima orang wanita lihai itu untuk bekerja
sama.
Biar pun pihaknya
sendiri sudah amat kuat, dengan bantuan dua orang pengawalnya yang setia dan
terutama sekali bantuan nenek gurunya yang pikun, Durganini, namun dalam
keadaan seperti itu, di mana banyak tokoh pandai bermunculan, Tambolon merasa
lebih kuat kedudukannya kalau mempunyai banyak pembantu orang lihai. Dia
menawarkan bantuannya untuk merampas kedudukan bengcu bagi Loan-ngo Mo-li, akan
tetapi dia pun minta bantuan lima orang wanita itu untuk menghadapi
musuh-musuhnya dalam memperebutkan anak naga.
Demikianlah,
rombongan yang kini bertambah dengan lima orang wanita itu memasuki dusun,
beberapa jam lebih dulu dari pada kedatangan rombongan Puteri Syanti Dewi.
Secara kebetulan sekali, satu-satunya rumah penginapan yang diminta atau
diperintahkan agar dikosongkan oleh kepala dusun karena rumah penginapan itu
harus diberikan kepada rombongan Puteri Bhutan, tadinya disewa oleh rombongan
Tambolon ini!
Tentu saja
raja liar Rambolon menjadi marah, akan tetapi begitu mendengar penjelasan bahwa
rumah penginapan itu akan dipergunakan untuk tempat bermalam rombongan dari
kota raja yang mengawal Puteri Bhutan, dia cepat memberi isyarat kepada para
pembantunya agar supaya mengalah dan mereka segera pergi meninggalkan rumah
penginapan itu, mengalah bermalam di dalam sebuah kuil di luar dusun!
Akan tetapi
Tambolon segera mengatur siasat untuk menangkap Puteri Bhutan, puteri dari
musuh besarnya karena dengan adanya puteri itu di tangannya, dia tentu akan
dapat memaksakan tuntutannya kepada Raja Bhutan! Apa lagi karena memang puteri
itu dahulunya telah dihadang dan hendak dirampasnya namun usahanya gagal karena
Sang Puteri dapat melarikan diri.
Tambolon
tidak akan dapat menjadi raja dari para suku bangsa liar kalau saja dia tidak
pandai dan cerdik. Dia bukanlah orang kasar yang hanya mengandalkan kekuatan
badan dan ilmu kepandaian silatnya saja, akan tetapi seorang ahli siasat yang
dapat bersikap cerdik dan hati-hati.
Dia maklum
bahwa biar pun kekuatan rombongannya sudah lebih dari cukup untuk menyergap dan
merampas Syanti Dewi dengan kekerasan, namun dia tidak mau melakukan hal itu,
mengingat bahwa dusun ini tidak begitu jauh dari kota raja dan kalau dia
menimbulkan keributan sampai ketahuan dan terdengar oleh kota raja, tentu
pemerintah akan mengirim pasukan besar dan orang-orang pandai untuk menangkap
atau membunuhnya. Dia maklum akan kelemahannya sendiri kalau harus menghadapi
bala tentara pemerintah dan orang-orang pandai yang dia tahu banyak membantu
pemerintah.
Oleh karena
itu, dia lalu minta bantuan gurunya, nenek ahli sihir yang seperti iblis itu
untuk menawan Syanti Dewi secara halus. Nenek itu terkekeh girang. Durganini
sudah terlalu tua dan sudah pikun, biar pun dia lihai sekali, baik ilmu silat
mau pun tenaga saktinya, terutama sekali ilmu sihirnya. Namun karena sudah
terlalu pikun, Tambolon tidak berani melepaskan gurunya ini untuk bekerja
sendiri saja, karena kepikunannya akan dapat menggagalkan semua urusan.
Oleh karena
itu, dia minta bantuan kepada sekutunya yang baru, yaitu Loan-ngo Mo-li yang
dipimpin oleh Song Lan Ci. Lima orang wanita jagoan dari Sungai Loan-ho ini
berusia rata-rata empat puluh tahun, wajah mereka membayangkan kekejaman dan
kekasaran sungguh pun mereka itu, terutama Song Lan Ci, dapat dikatakan agak
cantik juga dan mereka semua masih gadis, dalam arti kata belum ada yang
menikah. Lima orang wanita itu tentu saja menyanggupi dan pergilah mereka
mengantar Durganini yang harus digandeng itu menuju ke rumah penginapan yang
telah mereka tinggalkan tadi.
Sementara
itu, Puteri Syanti Dewi yang sudah di atas pembaringan di dalam kamar rumah
penginapan itu merasa gelisah hatinya. Biar pun ada dua puluh empat orang
pengawal anak buah dan kepercayaan ayah angkatnya, Jenderal Kao Liang, pada
saat itu menjaga dan mengawalnya, namun hatinya merasa tidak enak. Dia
mengingat akan semua pengalamannya sejak meninggalkan Bhutan dan merasa betapa
lebih senang dan merasa lebih aman ketika dia melakukan perjalanan bersama adik
angkatnya, Lu Ceng atau Candra Dewi.
Entah bagaimana,
dia tidak merasa senang untuk kembali ke Bhutan. Dia merasa kehilangan karena
di dalam perantauannya selama ini dia bertemu dengan banyak orang jahat dan
musuh, akan tetapi juga dengan banyak sekali orang-orang yang amat baik
kepadanya, yang tak mungkin dapat dia lupakan selama hidupnya. Lu Ceng adik
angkatnya, Jenderal Kao Liang ayah angkatnya, Gak Bun Beng laki-laki yang
pernah menjatuhkan hatinya, yang sampai saat itu pun dianggap sebagai seorang
manusia yang paling mulia baginya, Suma Kian Bu yang ternyata mencintanya dan
pemuda yang remaja ini amat baik kepadanya. Kemudian Suma Kian Lee yang halus
dan sopan gerak-geriknya.
Puteri
Milana yang demikian gagah perkasa dan bernasib menyedihkan. Kemudian Ang Tek
Hoat, pemuda yang takkan dapat dia lupakan, pemuda yang aneh, pemuda yang telah
mengorbankan diri sendiri untuk menolongnya, pemuda yang oleh semua orang
dianggap jahat dan menjadi pengkhianat, menjadi pemberontak ternyata malah
berjasa membunuh pangeran pemimpin pemberontak. Pemuda yang menurut cerita
Puteri Milana ibu pemuda itu, ternyata masih terhitung keluarga Pulau Es!
Dia
membayangkan sinar mata sayu dan penuh derita hidup membayang dari mata pemuda
itu. Teringat akan ini, Syanti Dewi menarik napas panjang. Betapa banyaknya
kedukaan di dunia ini bagi manusia. Gak Bun Beng pendekar sakti itu pun merana
karena cinta kasihnya dengan Puteri Milana gagal. Demikian pula puteri itu
merana. Dan Kian Bu patah hati karena dia tidak dapat membalas cintanya. Dia
suka kepada pemuda ini seperti suka kepada seorang saudara, kepada seorang adik
karena pemuda perkasa itu masih amat muda.
Renungan-renungan
ini membuat Puteri Syanti Dewi merasa gelisah. Bagaimana mungkin dia dapat
melupakan semua orang itu dan kembali ke Bhutan di mana penghidupan akan menjadi
lain sama sekali dan dia harus mengubur semua wajah yang dikenalnya itu dan
mulai hidup baru di Bhutan? Kepada pria mana lagi dia akan dijodohkan oleh
ayahnya demi negara? Dia merasa ngeri memikirkan hal ini. Setelah merasakan
keindahan alam luas, kenikmatan kebebasan, kini dia menghadapi istana Bhutan
seperti menghadapi sebuah penjara! Dia akan kehilangan kebebasannya sebagai
manusia, sebagai seorang wanita biasa dan akan berada di dalam kurungan emas
berupa istana megah itu sebagai seorang puteri, sebagai alat untuk negara!
Syanti Dewi
makin gelisah dan akhirnya dia turun dari pembaringan, membuka pintu samping
dan berkata kepada pengawal yang berjaga di luar pintu bahwa dia ingin
berjalan-jalan ke dalam taman bunga kecil di samping rumah penginapan itu.
Pengawal itu mengangguk dan menjaga serta mengawasi dari jauh. Taman itu
menembus ke samping rumah dan depan rumah penginapan itu telah terjaga oleh
lima orang temannya. Puteri itu selalu dalam pengawasan dan tidak akan ada
sesuatu dapat menimpanya.
Angin malam
semilir lembut mengusap wajah Syanti Dewi, mengusir kegelisahannya yang tadi
terselimut oleh kenangan yang mendatangkan rasa gelisah di hati. Kewaspadaan
membuat dara ini dapat melihat dan mendengar dengan jelas keadaan di
sekelilingnya dan telinganya menangkap suara tidak wajar yang arahnya datang
dari depan. Dia lalu melangkah perlahan menuju ke depan sehingga akhirnya dia
dapat menyelinap di belakang serumpun pohon kembang dan mengintai keluar.
Dia
terheran-heran melihat lima orang pengawalnya itu semua berlutut di depan
seorang nenek tua renta berpakaian hitam yang datang bersama lima orang wanita
setengah tua yang sikapnya galak. Lebih lagi heran dan kagetnya ketika dia
melihat berturut-turut semua pengawalnya yang keseluruhannya berjumlah dua
losin orang itu berdatangan dan terdengar nenek itu berkata, suaranya agak pelo
karena mulutnya sudah tidak bergigi lagi, nadanya tinggi dan mendesis setengah
berbisik, akan tetapi terdengar jelas memasuki telinga bahkan sampai menyusup
ke dalam jantung.
“Aku adalah
permaisuri, kalian para pengawal tidak cepat berlutut memberi hormat? Aku
adalah Thaihouw yang sengaja datang untuk memeriksa apakah kalian benar-benar
baik dalam pengawalanmu terhadap Puteri Bhutan.” Nenek berkulit hitam
berpakaian hitam itu berkata.
Syanti Dewi
sendiri belum pernah bertemu atau melihat permaisuri Kaisar, karena ketika dia
dihadapkan Kaisar, dia sama sekali sebagai seorang puteri bangsawan yang tahu
akan tata susila tidak berani mengangkat muka dan meliarkan pandang mata, maka
sekarang pun dia tidak akan mengenal permaisuri.
Akan tetapi,
betapa pun juga, sampai mati dia tidak akan mau percaya bahwa nenek tua renta
yang berwajah bengis menyeramkan, yang berpakaian hitam berkulit hitam dan
lebih menyerupai iblis betina dari pada manusia ini adalah permaisuri Kaisar
dengan lima orang pengawalnya! Akan tetapi, yang membuat dia terheran-heran
adalah ketika dia melihat Can Siok, komandan pasukan pengawalnya yang baru
datang berlari keluar, menjatuhkan diri berlutut di depan nenek itu dan berseru
hormat, “Thaihouw...!” Juga semua pengawal kini telah berlutut di depan nenek
itu!
Syanti Dewi
mengerutkan alisnya. Dia adalah seorang puteri Bhutan. Kerajaan Bhutan adalah
sebuah kerajaan di antara Pegunungan Himalaya dan di sana banyak terdapat
pertapa-pertapa dan ahli-ahli ilmu kebatinan termasuk ahli-ahli sihir. Maka
puteri ini tidak asing dengan segala peristiwa yang tidak wajar dan berbau ilmu
sihir. Begitu dia menyaksikan keadaan di depan rumah penginapan itu, di mana
dua losin orang pengawalnya berlutut di depan seorang nenek hitam dan
menganggap nenek itu permaisuri, dia sudah dapat menduga bahwa tentu ada
permainan sihir di sini.
“Heh-heh-heh,
bagus sekali para pengawal yang setia!” Nenek hitam itu terdengar berkata,
suaranya berbisik mendesis seperti suara ular.
“Sekarang
lekas kau ambil Puteri Bhutan itu, Kaisar menghendaki agar dia ikut dengan aku
sekarang juga.”
Begitu
mendengar kata-kata ini, Syanti Dewi terkejut sekali dan maklumlah dia bahwa
nenek iblis itu sengaja datang hendak menangkapnya secara halus, menggunakan
ilmu sihir. Maka dia cepat pergi meninggalkan tempat persembunyiannya itu,
menyelinap di antara pohon-pohon dan kembang di dalam taman, lalu dengan
jantung berdebar dia menggunakan kepandaiannya untuk meloncati pagar taman yang
tidak begitu tinggi. Dia kemudian lari menyelinap di antara rumah-rumah
penghuni dusun itu. Karena tidak mengenal jalan, dia tidak berani lari di
tempat terbuka, dan dia hanya bersembunyi di balik-balik rumah, dan berpindah
ke tempat lain kalau mendengar suara orang-orang mencarinya di tempat yang
berdekatan.
Di sudut
dusun itu, Syanti Dewi melihat ada sebuah rumah rusak yang kosong, maka
dimasukinya rumah kosong ini dan dia bersembunyi di situ, mengintai dari balik
pintu rumah yang terbuka karena daun pintunya tinggal sebelah. Jantungnya
berdebar dan kakinya menggigil. Dia tidak lagi berani keluar dari rumah rusak
itu karena takut terlihat orang dan tertangkap.
Pagi cepat
datang dan sinar matahari pagi mulai mengusir kegelapan malam. Syanti Dewi
masih berdiri mengintai di balik daun pintu yang tinggal sebelah. Dusun itu
masih sunyi dan Syanti Dewi ingin minta tolong penduduk dusun kalau dia melihat
mereka keluar. Di antara orang banyak, tentu nenek iblis itu tidak berani
berlagak, pikirnya.
Tetapi
tiba-tiba dia menahan napas melihat munculnya seorang wanita, yaitu seorang di
antara lima wanita pengawal nenek itu malam tadi, dan wanita ini datang menuju
ke rumah rusak itu diikuti oleh lima orang pengawalnya sendiri yang kini
agaknya sudah menjadi kaki tangan mereka! Syanti Dewi maklum bahwa para
prajurit pengawalnya itu berada di bawah pengaruh sihir nenek itu, maka dari
mereka jelas dia tidak dapat mengharapkan perlindungan lagi.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment