Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 09
Biar pun
nafsu birahinya sudah memuncak, namun dukun yang cerdik ini tidak bodoh. Dia
cerdik sekali dan dia menahan dirinya agar tidak tergesa-gesa melakukan niatnya
yang terakhir terhadap dua orang gadis remaja itu. Setelah merasa puas membelai
tubuh mereka dengan dalih memandikan mereka, dia pun menyuruh mereka keluar
dari ember mandi, mengeringkan tubuh yang basah itu dengan kain, kemudian
memerintahkan mereka berbaring di atas tempat tidur dan menutupi tubuh
telanjang mereka dengan selimut. Dia melarang mereka mengenakan pakaian
kembali, dengan alasan bahwa semua pakaian mereka sudah ternoda oleh hawa
siluman.
Setelah
kedua orang gadis itu merebahkan diri bersembunyi ke dalam selimut, Bong
Sianjin lalu duduk bersila dengan santainya di tepi pembaringan, pura-pura
bersemedhi sambil menanti datangnya malam. Hari telah mulai senja dan sebentar
lagi malam tiba. Dukun itu hendak menanti datangnya malam agar apa yang akan
dilakukannya itu dapat kelak dia timpakan kepada siluman merah! Ia pun telah
siap dengan pedang kayu yang sudah diletakkannya di atas pangkuannya, dan
mempersiapkan pula bubuk darah anjing di dalam sebuah botol.
Malam pun
tiba. Dukun Bong menyalakan dua batang lilin di atas meja sehingga dalam kamar
itu suasana remang-remang akan tetapi cukup terang. Sampai jauh malam, tidak
terjadi sesuatu di dalam kamar itu. Dua orang gadis yang tadinya bicara
berbisik-bisik, kini berdiam diri, menanti dengan ketakutan. Setiap ada suara
sedikit saja di luar kamar, membuat mereka saling rangkul dengan tubuh gemetar.
Namun, hati mereka merasa lega melihat dukun itu masih duduk bersila seperti
arca dan mereka yakin bahwa dukun itu tentu akan mampu menolong mereka.
Apa yang
dilakukan dukun itu tadi, ketika memandikan mereka membuat mereka merasa kikuk
dan malu. Akan tetapi mereka tidak menyangka buruk dan menganggap bahwa dukun
itu memang sungguh-sungguh ‘membersihkan’ mereka. Mereka masih terlalu hijau
untuk berprasangka yang bukan-bukan.
Sementara
itu, dukun Bong menjadi tidak sabar lagi. Siluman yang ditunggu-tunggu tak
kunjung datang, sedangkan dia hampir hangus terbakar nafsu birahinya. Kalau
siluman itu muncul dan dia sudah mengusirnya, baru dia akan menikmati ‘imbalan
jasanya’.
Dia menoleh,
memandang kepada dua orang gadis itu. Selimut itu agak tersingkap dan
memperlihatkan sebagian dada mereka. Bong Ciat tidak dapat lagi menahan
dirinya. Dia menyeringai kepada mereka.
"Kalian
takut?" Ditanya demikian, tentu saja dua orang gadis itu mengangguk
membenarkan. Mereka memang merasa takut sekali, bahkan merasa ngeri.
“Heh-heh,
jangan takut, ada aku di sini. Biar kutemani kalian tidur agar kalian merasa
aman dan tidak takut lagi.” Berkata demikian, dukun yang tak tahu malu itu lalu
mulai mencopoti pakaiannya satu demi satu.
Melihat ini,
dua orang gadis remaja itu tersipu-sipu. Mereka merasa lega karena dukun itu
hendak menemani mereka tidur sehingga mereka akan merasa aman sekali. Akan
tetapi mereka pun merasa malu bukan main melihat betapa Bong Sianjin
menanggalkan pakaiannya. Melihat mereka tersipu-sipu, Bong Sianjin tersenyum.
“Heh-heh-heh,
kalian tidak usah malu-malu...” Dan dia pun membungkuk, mencium pipi mereka
bergantian, membuat kedua orang gadis remaja itu menggeliat dan semakin
tersipu.
Nafsu birahi
sudah memuncak dan Bong Sianjin sudah tidak kuasa menahan diri lagi. Akan
tetapi baru saja dia menyingkap selimut yang menutup tubuh kedua orang gadis
remaja untuk menyelinap rebah di antara mereka, tiba-tiba api lilin bergoyang
dan dua orang gadis itu menahan jerit mereka.
Bong Sianjin
cepat menoleh, dan sepasang mata yang biasanya sipit itu terbelalak agak lebar.
Entah dari mana datangnya, di dalam kamar itu telah berdiri seorang ‘iblis’
yang aneh. Pakaiannya serba merah, dan mukanya mengenakan topeng merah pula.
Akan tetapi, dia berdiri di situ, diam seperti patung, tidak bergerak dan tidak
mengeluarkan sepatah pun kata atau suara apa pun.
Hanya
sebentar dukun Bong tertegun. Dia segera ingat akan senjata-senjatanya. Lupa
bahwa tubuhnya hampir telanjang bulat, hanya mengenakan cawat saja, dia
kemudian menyambar pedangnya dan botol atau guci kecil, lalu melompat turun.
Pedang kayu itu diangkatnya ke atas, dan dia membuka tutup guci kecil, lalu
mulutnya berkemak-kemik membaca mantera, akhirnya dia berseru.
“Iblis
siluman jadi-jadian, pergilah engkau dari sini sebelum aku membinasakanmu!”
Melihat
betapa ‘iblis’ itu tidak bergerak dari tempatnya, dan hanya mata di balik kedok
itu yang mencorong menyeramkan, Bong Sianjin lalu menggerakkan tangan kirinya
dan debu hitam keluar dari dalam guci, melayang ke arah siluman merah itu. Akan
tetapi, siluman merah itu tetap tidak bergerak.
Melihat ini,
dukun Bong lalu menggerakkan pedang kayunya, dipukulkan ke arah kepala siluman
merah itu. Hatinya penuh keberanian dan keyakinan akan mampu mengalahkan
siluman, karena biasanya, bubuk darah anjing dan pedang kayunya, apa lagi
ditambah mantera-materanya, manjur sekali untuk menakut-nakuti segala macam
siluman, setan dan hantu. Akan tetapi, siluman merah itu agaknya lain lagi.
Begitu dukun Bong menyerang, dia pun sama sekali tidak mengelak sehingga pedang
kayu itu tepat mengenai kepalanya.
“Takkk!”
Pedang itu
seperti mengenai kepala dari besi saja, dan hampir terlepas dari tangan dukun
Bong yang merasa telapak tangannya panas dan nyeri. Sebelum dia sempat berbuat
sesuatu, siluman itu telah menggerakkan tangan kanannya dan pedang kayu itu
telah dirampasnya!
Dukun Bong
terbelalak. Dia tidak percaya bahwa ada siluman yang mampu menahan serangan
pedang kayunya itu tanpa terluka sedikit pun!
“Kau...
kau... bukan siluman...!” serunya.
Akan tetapi,
pada saat itu siluman merah telah menusukkan pedang kayu yang barusan
dirampasnya, mengenai leher dukun Bong dan leher itu pun tembus! Tubuh dukun
itu terjengkang dan roboh di atas lantai, tubuhnya berkelojotan dan dari
lehernya terdengar suara mengorok.
Siluman
merah tidak mempedulikan Bong Ciat lagi. Dia menghampiri pembaringan dan
memandang ke arah dua orang gadis yang sudah saling berangkulan dengan tubuh
menggigil ketakutan itu. Dia mengangguk-angguk, lalu tangan kirinya bergerak
dua kali menotok ke arah tubuh kakak beradik itu yang seketika menjadi lemas
dan tidak mampu bergerak lagi.
Digulungnya
dua tubuh gadis remaja itu ke dalam selimut, kemudian siluman merah itu
memanggul gulungan selimut, melompat keluar dari dalam kamar melalui jendela
yang dibukanya dan sebentar saja bayangannya telah lenyap. Gerakannya gesit
bukan main. Ketika dia melompat keluar kamar, dia seperti seekor burung garuda
terbang saja.
Dukun Bong
yang ditinggal di kamar itu, berusaha menjerit, akan tetapi yang keluar dari
mulutnya hanya suara mengorok yang cukup keras. Suara inilah yang memaksa Gumo
Cali dan isterinya datang, diikuti para jagoan.
Gumo Cali
memanggil-manggil dari luar pintu, akan tetapi tidak ada jawaban, baik dari
kedua orang anaknya mau pun dari dukun Bong, dan yang terdengar dari luar
hanyalah suara mengorok aneh itu. Dengan memberanikan hatinya, Gumo Cali lalu
mendobrak pintu.
Daun pintu
itu roboh dan mereka berhamburan masuk, hanya untuk menemukan dukun Bong sedang
berkelojotan sekarat dalam keadaan hampir telanjang bulat dan lehernya
tertembus pedang kayunya sendiri, sedangkan dua orang gadis remaja itu telah
lenyap bersama selimut, dan pakaian mereka masih lengkap nampak tertumpuk di
atas tempat tidur. Jadi mereka itu telah lenyap dalam keadaan tanpa pakaian
sama sekali, mungkin terbungkus selimut yang lenyap.
Gegerlah
seisi rumah. Meski merasa ketakutan akibat siluman merah telah menggondol kedua
orang anaknya sedangkan dukun Bong sendiri sekarat hampir tewas, Gumo Cali
mengerahkan seluruh pembantunya untuk mencari kedua orang anaknya. Namun, jejak
mereka pun tidak dapat ditemukan sehingga keluarga kepala dusun itu menjadi
panik, bingung dan berduka.
Pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong memasuki dusun Ngomaima. Dia
merasa heran sekali melihat betapa dusun yang nampaknya maju itu, dengan banyak
rumah-rumah yang bangunannya sudah kokoh dan ditembok bahkan jalan rayanya juga
sudah baik sekali, di kanan kiri jalan raya terdapat toko-toko, kedai dan
bahkan rumah penginapan, pada pagi hari itu nampak sunyi bukan main. Hampir
tidak nampak adanya orang di jalan raya, bahkan rumah-rumah masih ditutup pintu
dan jendelanya. Hanya ada satu dua orang laki-laki yang menjengukkan kepalanya
keluar jendela atau pintu, akan tetapi cepat lenyap pula begitu melihat dia.
Apakah yang telah terjadi, pikirnya.
Apakah
orang-orang di dusun ini sedemikian malasnya sehingga pagi hari itu masih
enak-enak tidur? Padahal, sinar matahari sudah mengusir kegelapan malam!
Dia tidak
tahu bahwa seluruh penghuni dusun sudah mendengar belaka akan keributan yang
tadi malam terjadi di rumah kepala dusun Gumo Cali, mendengar betapa dukun Bong
telah terbunuh dan dua orang gadis puteri kepala dusun itu diculik siluman
merah! Tentu saja semua orang menjadi ngeri dan pagi itu, suasana dusun
Ngomaima seperti dusun mati. Bahkan ada beberapa kelompok keluarga kaya yang
malam tadi sudah mempersiapkan segalanya untuk melarikan diri mengungsi jauh
dari dusun yang sedang diamuk siluman merah itu.
Melihat
betapa orang-orang yang tadinya memandang padanya lalu cepat bersembunyi, Si
Pendekar Bongkok tersenyum pahit. Semua pengalaman yang sudah dirasakannya
membuat dia merasa rendah diri dan sikap penghuni dusun itu dianggapnya bahwa
mereka takut melihat keadaan dirinya, melihat tubuhnya yang bongkok. Namun,
hanya sebentar saja perasaan pahit itu, karena dia kini sudah mulai terbiasa
dan dia menelan kenyataan itu sebagai suatu kenyataan yang tidak dapat dia
merobahnya.
Tanpa dia
sengaja, pada saat Sie Liong melangkah, kakinya membawanya lewat depan rumah
kepala dusun Gumo Cali. Maksud hatinya memang hanya ingin melihat-lihat dusun
itu sebelum menentukan apakah dia akan bermalam di situ ataukah melanjutkan
perjalanannya ke selatan, menuju ke pegunungan Nyaingen Tangla sebelah utara
Tibet.
Menurut
pesan Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu, di pegunungan itu ia akan
dapat memulai dengan penyelidikannya mengenai para pendeta Lama yang memusuhi
para tosu dan pertapa yang telah melarikan diri dari pegunungan Himalaya dan
masih terus dikejar-kejar. Menurut penuturan para gurunya itu, Lima Harimau
Tibet berasal dari pegunungan Nyaingen Tangla, di mana mereka mempunyai sebuah
kuil dan di situ mereka dahulu bertapa.
Ketika Sie
Liong tiba di depan rumah kepala dusun Gumo Cali, tiba-tiba saja terdengar
teriakan-teriakan orang dan bermunculanlah sedikitnya dua puluh orang yang
langsung mengepungnya dengan senjata di tangan.
“Siluman!
Siluman!”
“Hajar dia!”
“Siluman,
kembalikan dua orang nona kami!”
“Kepung dia,
jangan sampai lolos!”
Dan dua puluh
orang lebih itu serentak menyerangnya dengan senjata mereka! Tentu saja Sie
Liong terkejut bukan main. Apa lagi setelah dia melihat betapa
teriakan-teriakan itu sambung menyambung dan sebentar saja pengepungnya
mendekati jumlah seratus orang!
“Heiii, tahan
dulu!” teriaknya dan dia menggunakan kedua lengannya untuk menangkisi semua
serangan yang menimpa dirinya.
Karena di
antara mereka itu banyak yang mempergunakan senjata tajam, maka biar pun
tubuhnya dilindungi kekebalan sehingga kulitnya tidak sampai terobek, namun
tentu saja pakaiannya tidak kebal dan mulailah pakaiannya robek-robek.
“Hei, tahan
dulu dan mari kita bicara!” bentaknya lagi.
Akan tetapi,
ketika semua orang melihat betapa senjata mereka tidak dapat melukai orang
bongkok itu dan hanya pakaiannya saja yang robek-robek, mereka menjadi makin
yakin bahwa yang mereka keroyok adalah sebangsa siluman atau iblis, maka
semakin ramailah mereka mengeroyok dengan nekat walau pun senjata mereka
membalik dan tangan mereka terasa panas dan nyeri.
Melihat
kenyataan bahwa semua orang bahkan menjadi semakin marah dan semakin nekat
menyerangnya, Sie Liong merasa kewalahan. Kalau dilanjutkan, tentu dia akan
telanjang bulat karena pakaiannya tentu akan hancur. Dia tidak mau membalas,
karena sekali pandang saja dia sudah maklum bahwa mereka yang mengeroyoknya
bukanlah penjahat, melainkan penduduk dusun yang sedang marah, dan tentu dia
disangka orang yang menyebabkan kemarahan mereka itu.
Tadi dia
mendengar mereka memakinya sebagai siluman. Tentu para penghuni dusun ini
sedang memusuhi siluman dan dialah yang dikira siluman itu! Sungguh sial,
sekali ini dia disangka siluman!
Melihat
serangan yang bertubi-tubi, dia lalu melompat dan tubuhnya melayang ke atas
genteng rumah kepala dusun Gumo Cali. Melihat ini, semua orang menahan napas
dan memandang dengan wajah membayangkan bermacam perasaan. Ada ngeri, ada
takut, akap tetapi ada pula kemarahan yang membuat mereka nekat, apa lagi
karena yang maju ada ratusan orang sehingga mendatangkan keberanian yang besar.
Gumo Cali
mendapat hati ketika melihat siluman itu tidak merobohkan seorang di antara
mereka, bahkan seperti hendak melarikan diri. Karena itu dia pun menuding ke
atas dan membentak dengan suara garang, “Siluman jahat, hayo kembalikan dua
orang anak gadis kami, kalau tidak, sampai ke mana pun kaki orang sedusun akan
mengejarmu dan membinanakanmu!”
“Nanti
dulu!” Sie Liong berseru dengan nada suara yang marah karena hati siapa tidak
menjadi dongkol bila tanpa hujan tanpa angin tiba-tiba saja dia dituduh sebagai
siluman yang menculik dua orang gadis orang!
“Kalian ini
enak saja menuduh orang yang bukan-bukan! Siapa bilang aku siluman? Apa
buktinya bahwa aku ini siluman yang suka nyolong anak gadis orang?”
Mendengar
ini, Gumo Cali jadi tertegun. Sikap orang di atas itu memang bukan seperti
siluman! Dia meragu, akan tetapi orang-orang yang berada di bawah itu masih
yakin bahwa mereka berhadapan dengan siluman.
“Engkau
tidak seperti manusia biasa! Punggungmu berpunuk!”
“Engkau
kebal dan tidak tidak terluka oleh hujan senjata kami!”
“Siluman
memang bisa pian-hoa (salin rupa)!”
“Dia
berpunuk, tentu siluman onta!”
Wajah Sie
Liong menjadi merah karena hatinya mendongkol bukan main. Dia disangka siluman
onta karena berpunuk. Sialan!
“Heii,
kalian ini memang orang-orang tolol dan kejam! Andai kata aku sungguh siluman,
tentu akan kuhajar kalian yang bermulut lancang ini! Aku adalah manusia biasa,
dan memang aku cacat berpunuk. Tidak bolehkah orang memiliki cacat berpunuk?
Andai kata di antara kalian tidak ada yang cacat berpunuk, tentu ada yang
memiliki cacat lain, apakah yang pincang, yang buntung, yang buta, yang tuli,
mereka itu juga dianggap siluman? Aku manusia biasa dan kalau aku tidak terluka
oleh senjata kalian, sungguh untung bahwa aku memiliki sedikit kepandaian,
kalau tidak, tentu tubuhku ini sudah menjadi bakso dan yang lebih hebat lagi,
kalian menjadi manusia-manusia binatang yang kejam, yang mengeroyok dan
membunuh orang tidak bersalah, dan kalian akan dikutuk sampai tujuh turunan!”
Sie Liong bukan orang yang pandai bicara, sekarang ini karena terdorong rasa
dongkol, maka dapat juga dia bicara agak panjang.
Melihat
sikap dan mendengar ucapan Sie Liong, kagetlah Gumo Cali. Dia sendiri sedikit
banyak sudah tahu bahwa di dunia ini ada banyak orang yang sakti dan berilmu
tinggi, yang memiliki bentuk badan aneh-aneh, dan watak yang aneh-aneh pula.
Timbul
harapannya bahwa mungkin orang muda berpunuk ini adalah seorang pendekar yang
melakukan perantauan dan siapa tahu pendekar ini akan dapat menolongnya dan
menyelamatkan dua orang anaknya. Oleh karena itu, dia pun segera berteriak
memberi isyarat kepada semua orang untuk tenang.
Setelah
semua orang tidak mengeluarkan suara, dia pun menghadap ke arah pemuda berpunuk
yang masih berdiri di atas genteng itu, lalu memberi hormat dan berkata,
suaranya nyaring. “Kalau memang engkau seorang manusia dan seorang pendekar,
harap suka maafkan kami yang sedang panik oleh adanya siluman yang mengacau
dusun kami. Akan tetapi, bagaimana kami akan dapat percaya bahwa taihiap bukan
siluman? Hanya kalau taihiap sudi membantu kami menangkap siluman atau
setidaknya menyelamatkan dua orang gadis kami yang diculik olehnya, kami
percaya bahwa taihiap seorang pendekar, bukan siluman!”
“Semua sudah
ada enam orang gadis yang diculik!” teriak seseorang yang juga merasa
kehilangan seorang anak gadisnya yang lebih dulu diculik siluman.
Biar pun
kemarahannya mereda, namun hati Sie Liong masih mendongkol.
“Hemmm,
kalian tidak berhak untuk menekan aku supaya suka menolong kalian. Kalau memang
ada kejahatan terjadi di sini, tanpa diminta pun aku pasti akan turun tangan
menentang kejahatan! Sepatutnya kalian menerima aku sebagai seorang tamu atau
sahabat dan kita dapat berunding tentang kejahatan yang terjadi, bukan
membabi-buta mengeroyok seorang pendatang yang sama sekali tidak berdosa!”
Mendengar
ini, Gumo Cali merasa menyesal sekali, akan tetapi juga girang dan seolah
menemukan harapan baru. Maka, demi kedua orang anaknya, tanpa ragu-ragu lagi
dia pun berlutut menghadap ke arah pemuda berpunuk itu. “Taihiap, maafkan kami.
Aku Gumo Cali sebagai kepala dusun mewakili seluruh penghuni mohon maaf
kepadamu.”
Lenyaplah
sama sekali kemarahan dari hati Sie Liong. Memang dia bukanlah seorang pemarah.
Dia lalu melayang turun bagaikan seekor naga, dipandang oleh semua orang yang
menjadi kagum sekali. Dia turun ke depan kepala dusun itu, tanpa sedikit pun
kakinya mengeluarkan suara ketika tiba di atas tanah, dan dengan ramah Sie
Liong lalu mengangkat bangun kepala dusun itu.
“Namaku Sie
Liong dan aku seorang perantau yang kebetulan lewat di sini. Tadi aku sudah
merasa heran sekali ketika memasuki dusun ini yang cukup besar, akan tetapi
mengapa begini sepi. Tidak tahunya ada penjahat yang membikin kacau di dusun
ini!”
“Bukan
penjahat, taihiap, melainkan... siluman... siluman merah!” kata kepala dusun
itu dan ketika dia bicara, dia memandang ke kanan kiri, kelihatan takut sekali.
“Eh?
Siluman?” Sie Liong mengerutkan alisnya. “Dan tentang gadis-gadis tadi? Apakah
siluman itu menculik gadis?”
“Taihiap,
marilah kita bicara di dalam. Dan kami perlu mengganti pakaian taihiap yang
robek-robek itu.” Gumo Cali mempersilakan Sie Liong masuk ke dalam rumahnya.
Sie Liong
mengangguk dan kepala dusun menyuruh semua orang bubaran dan pulang ke rumah
masing-masing. Ketika tiba di ruangan depan, Sie Liong merasa heran melihat
sebuah peti mati yang depannya masih dipasangi lilin dan alat sembahyang.
“Siapa yang
mati?” tanyanya, tak lupa untuk memberi hormat ke arah peti mati sebagai mana
patutnya.
“Itu adalah
Bong Sianjin yang tewas semalam...” kata Gumo Cali dengan suara berbisik,
kelihatan ketakutan.
Mendengar
sebutan ‘Sianjin’, Sie Liong menjadi agak terkejut juga. “Siapakah dia dan
mengapa tewas di sini? Apakah keluargamu?”
“Bukan, dia
adalah dukun yang kami undang untuk mengusir siluman dan melindungi dua orang
anak gadis kami, akan tetapi, dia malah terbunuh oleh siluman dan dua orang
gadis kami tetap saja diculik...”
Tuan rumah
lalu mengajak Sie Liong duduk di ruangan dalam. Setelah berganti pakaian, bukan
pemberian tuan tumah, tetapi pakaiannya sendiri yang diambilnya dari buntalan
yang dibawa dan diikatkan di punggungnya, Sie Liong lalu mendengarkan
keterangan Gumo Cali mengenai segala hal yang sudah terjadi tadi malam. Isteri
tuan rumah ikut mendengarkan sambil menangis.
Setelah
selesai menceritakan hilangnya dua orang puteri mereka dan tewasnya Bong
Sianjin, suami isteri itu lalu berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap,
kasihanilah kami, kasihanilah dua orang puteri kami. Mereka itu masih
kanak-kanak, baru berusia empat belas dan enam belas tahun, dapatkanlah kembali
mereka, taihiap...” Suami isteri itu tidak malu-malu menangis di depan Sie
Liong.
Pemuda ini
mengangkat bangun mereka. “Harap paman dan bibi suka bersikap tenang. Aku yakin
bahwa kejahatan ini bukanlah perbuatan siluman, melainkan manusia biasa yang
menyamar sebagai siluman. Tadi aku mendengar pula bahwa penjahat itu sudah
menculik banyak gadis, bukan puteri-puteri paman saja. Benarkah?”
“Memang
demikianlah. Sudah kurang lebih dua tiga pekan ini... siluman... eh, penjahat
itu menculik gadis-gadis cantik. Kabarnya malah dari dusun lain juga ada yang
hilang, dan dari dusun sini saja ada enam orang gadis yang sudah diculik.”
“Dan semua
juga terjadi seperti yang terjadi di sini semalam? Sebelum menculik pada malam
hari, pada siang harinya dia memberi tanda dengan olesan darah kepada daun
pintu rumah yang ada gadis calon korban?”
Gumo Cali
mengangguk. “Begitulah. Karena siangnya sudah diberi tanda, malamnya kami
selalu mengadakan persiapan dan penjagaan. Bahkan beberapa orang jagoan dari
para pasukan pengawal barang yang membantu kami, jatuh menjadi korban, terluka
dan ada pula yang tewas. Iblis itu sangat jahat dan lihai, bukan tandingan manusia.
Karena itulah kami mengundang Bong Sianjin untuk melawannya dengan ilmu sihir.
Akan tetapi, ternyata Bong Sianjin malah tewas dan kedua orang anak kami tetap
diculiknya.”
“Hemm,
kurasa dia itu bukan iblis dan bukan siluman, tapi seorang manusia jahat yang
sombong. Aku segera akan melakukan penyelidikan dan semoga saja kesombongannya
terulang kembali. Mudah-mudahan dia akan memberi tanda kepada sebuah rumah yang
akan didatanginya, sehingga aku akan siap menghadapinya.”
Sie Liong
lalu melakukan penyelidikan ke dalam kamar dua orang gadis puteri kepala dusun.
Melihat ember air kembang dan pakaian dua orang gadis itu, dia mengerutkan
alisnya.
Diam-diam
dia merasa curiga kepada dukun Bong. Apa lagi saat mendengar dari Gumo Cali
bahwa dukun itu hendak ‘membersihkan’ hawa siluman dengan memandikan dua orang
gadis itu di dalam kamar tanpa disaksikan siapa pun, kecurigaannya bertambah.
Dia menduga bahwa dukun Bong tentulah seorang dukun cabul yang mempergunakan
kesempatan itu untuk mencabuli dua orang gadis remaja yang cantik.
Akan tetapi
karena dukun itu sudah berada dalam peti mati tanpa nyawa lagi, dia pun tak
dapat menyelidikinya, hanya menduga-duga bagaimana macamnya penjahat tukang
menculik gadis yang membunuh dukun cabul itu. Menurut keterangan kepala dusun,
dukun itu dibunuh dengan pedang kayunya sendiri. Kalau penjahat itu mampu
menusuk leher dukun Bong dengan pedang kayu sehingga tembus, dapat diketahui
bahwa tentu penjahat itu memiliki tenaga sinkang yang cukup kuat.
Dari dalam
kamar, dia membuka jendela dan melompat ke luar, terus melompat ke atas. Gumo
Cali memandang dengan penuh kagum dan dia makin girang. Semakin besar
harapannya bahwa pemuda bongkok inilah yang agaknya akan mampu menolong dua
orang anaknya.
Sie Liong
melakukan penyelidikan ke atas genteng. Ada beberapa buah genteng pecah
terinjak. Agaknya ketika penjahat itu memanggul dua orang gadis, maka berat
tubuhnya bertambah dan karenanya maka genteng itu pecah terinjak. Dan dari
pecahan genteng-genteng itu dia dapat menduga bahwa si penjahat tentu lari
menuju ke selatan.
Dari atas
genteng itu Sie Liong memandang ke arah selatan. Nampaklah sebuah bukit
kehitaman menjulang tinggi, sebagian tersinar cahaya matahari, namun tetap
nampak menghitam tanda bahwa di situ terdapat hutan yang lebat.
“Bukit apa
yang ada di selatan itu?” tanyanya sambil lalu setelah dia melompat turun
kembali.
“Bukit yang
mana? Ada banyak bukit di selatan...”
“Yang nampak
hitam, penuh hutan.”
“Ahh, itu
bukit Onta namanya. Di bagian tengah ada...” Kepala dusun tidak melanjutkan
kata-katanya dan memandang ke arah punuk di punggung Sie Liong.
“Ada
punuknya maksudmu? Hemm, bukit Onta...”
“Ada apakah
di sana, taihiap?” Gumo Cali tidak berani lagi menyebut onta, takut kalau
menyinggung hati pendekar bongkok itu yang tadi dimaki siluman onta oleh
seorang penduduk dusun.
“Tidak ada
apa-apa. Kita tunggu saja sampai ada tanda dari penjahat itu. Sekarang aku akan
mencari kamar di rumah penginapan.”
“Taihiap,
bermalam saja di sini. Kamar anak-anak... bekas kamar mereka pun kosong, boleh
untuk sementara taihiap tempati...”
Sie Liong
maklum bahwa tuan rumah masih merasa panik dan ketakutan, dan karena itu dia
hendak ditahan untuk meredakan rasa takut mereka. Tetapi dia merasa tidak
leluasa kalau bermalam di situ, maka dia menggeleng kepala. “Tidak, sebaiknya
kehadiranku tidak terlalu monyolok. Biar aku di rumah penginapan saja.”
“Tunggulah,
taihiap. Biar aku menyuruh seseorang untuk memesan kamar terbaik untuk taihiap,
dan sementara itu, harap suka menerima hidangan yang kami sajikan untuk taihiap
sebagai sarapan pagi.”
Sie Liong
merasa tidak enak untuk menolak. Mereka lalu bersama-sama makan pagi. Setelah
selesai makan pagi, Sie Liong diantar oleh kepala dusun sendiri pergi ke rumah
penginapan di mana telah disediakan kamar terbaik untuknya.
Belum juga
tengah hari, kepala dusun telah torgopoh-gopoh datang dan mengetuk daun pintu
kamarnya. Sie Liong yang sedang beristirahat segera turun dari pembaringan dan
membuka daun pintu. Ia heran melihat kepala dusun nampak gugup dan mukanya agak
pucat.
“Taihiap...
taihiap... dia... dia datang...”
“Datang? Ke
mana maksudmu, paman?”
“Dia...
memberi tanda darah pada pintu rumah Gulamar, saudagar kaya yang memiliki
seorang gadis yang cantik. Sebentar malam...”
“Bagus dan
tenanglah, paman. Penjahat itu memang sombong bukan main. Mari kau tunjukkan
kepadaku di mana rumah yang mendapat tanda ancaman itu.”
Keluarga
Gulamar menyambut kedatangan kepala dusun itu dengan hati cemas dan putus asa.
Tidak ada seorang pun jagoan yang berani menjaga keselamatan puterinya, meski
dia berani membayar berapa banyak pun. Walau pun dia sudah mendengar akan
pendekar muda yang bongkok, yang katanya amat lihai dan sanggup melawan siluman
merah, namun dia masih ragu-ragu dan bahkan sudah mempersiapkan rombongan onta
dan kuda untuk melarikan anaknya mengungsi ke tempat lain.
Ketika
mendengar keterangan bahwa hartawan itu hendak membawa puterinya pergi
mengungsi, Sie Liong menyatakan ketidak setujuannya.
“Cara itu
tidak menjamin keselamatan dan bahkan berbahaya sekali, paman,” katanya.
“Penjahat itu akan lebih mudah menculik puterimu dalam perjalanan mengungsi
itu.”
“Tapi dia...
dia siluman, hanya keluar di waktu malam... kami akan melarikan puteri kami
siang ini juga.”
Sie Liong
menggelengkan kepalanya. "Bukan, dia bukan siluman, melainkan manusia
biasa yang amat jahat. Kalau malam ini dia datang untuk menculik puterimu, aku
yang akan menghadapinya.”
Gulamar
nampak ragu-ragu dan bingung. Dia memandang kepada kepala dusun Gumo Cali.
“Bagaimana baiknya... kami khawatir sekali, kalau tidak dilarikan, nanti
anakku...”
“Tenangkan
saja hatimu, saudagar Gulamar. Taihiap ini adalah seorang pendekar yang
memiliki ilmu kepandaian tinggi dan dia telah berjanji sanggup menaklukkan
siluman itu. Sebaiknya jika engkau menuruti nasihatnya. Taihiap, bagaimana
sebaiknya diatur untuk menghadapi penjahat siluman itu kalau malam nanti dia
datang?”
Sie Liong
lalu mengadakan perundingan dengan tuan rumah, disaksikan oleh kepala dusun.
“Sembunyikan gadis itu di dalam kamar lain yang tidak jauh dengan kamarnya
sendiri supaya aku dapat selalu mengamatinya, dan aku sendiri akan tinggal di
dalam kamar puterimu menanti munculnya penjahat itu.”
“Taihiap,
apakah engkau membutuhkan bantuan?”
Sie Liong
mengangguk. “Mereka yang pagi tadi mengepungku adalah penduduk yang marah
kepada siluman dan mereka penuh keberanian walau pun mungkin tidak memiliki
kepandaian. Biarlah mereka itu yang membantuku, mengadakan pengepungan pada
rumah ini, akan tetapi bersembunyi dan jangan ada yang keluar sebelum penjahat
itu datang dan aku berusaha menangkapnya. Jika sudah terdengar ribut-ribut atau
melihat aku berkelahi melawan penjahat itu, barulah mereka boleh keluar dan
masing-masing membawa obor untuk menerangi tempat ini.”
Kepala dusun
Gumo Cali menyanggupi dan dia pun segera pergi melakukan persiapan. Dia memberi
tahu kepada semua penduduk bahwa malam itu, Pendekar Bongkok akan menangkap
siluman merah, dan diharap supaya penduduk suka membantunya.
Para
penduduk yang berhati tabah dan sudah lama merasa amat penasaran dan marah
terhadap siluman merah yang sudah mengganggu keamanan di dusun mereka, segera
menyambut ajakan ini dengan semangat berapi-api. Mereka tadi sudah melihat
sendiri kelihaian Pendekar Bongkok yang kebal dan dapat ‘terbang’ ke atas
genteng…..
**************
Malam yang
menyeramkan. Sejak matahari tenggelam, tidak ada penduduk yang berani keluar
dari rumah mereka, apa lagi yang wanita. Semua penduduk sudah mendengar bahwa
malam itu siluman merah akan muncul, hendak menculik gadis cantik puteri
saudagar Gulamar! Mereka yang siap membantu Pendekar Bongkok, sejak sore sudah
siap di tempat persembunyian mereka mengepung rumah saudagar itu, bersiap
dengan obor yang tinggal dinyalakan dan segala macam senjata yang mereka
miliki. Malam itu sungguh amat menakutkan. Padahal, malam itu juga malam yang
biasa saja seperti pada malam-malam yang lain.
Pada waktu
pikiran mulai berceloteh, membayangkan hal-hal mengerikan yang mungkin menimpa
diri, maka rasa takut pun timbul dan kalau orang sudah ketakutan, maka malam
yang gelap dapat nampak menyeramkan. Orang takut akan setan karena dia pernah
mendengar tentang setan. Pikirannya sudah kemasukan bayangan setan yang pernah
didengarnya dari orang lain. Pikiran itulah yang lalu mengada-ada, mereka-reka,
membayangkan hal-hal mengerikan. Andai kata dia tidak pernah mendengar mengenai
setan, tidak mungkin dia dapat merasa takut.
Seorang anak
kecil yang belum pernah mendengar tentang setan, dia tidak akan takut berada di
tempat yang bagaimana pun juga, oleh karena pikirannya tidak pernah dapat
membayangkan hal yang belum diketahuinya. Akan tetapi, sekali dia sudah
mendengar cerita tentang setan, maka pikirannya mereka-reka, membayangkan dan
kemudian dia pun menjadi takut.
Malam itu
amat sunyi, namun, sesuai dengan perintah kepala dusun Gumo Cali, semua
penghuni rumah yang berdekatan di sekitar rumah saudagar Gulamar memasang lampu
penerangan di luar rumah mereka sehingga daerah sekitar itu tidaklah begitu
gelap.
Gadis yang
diincar oleh siluman itu berada di dalam kamar ibunya, dijaga oleh ayah ibunya.
Mereka bertiga sejak sore tadi sudah dicekam ketakutan hebat, terutama gadis
itu sendiri yang wajahnya menjadi pucat, matanya yang indah itu seperti mata
kelinci melihat harimau, dan setiap suara sedikit saja cukup untuk membuat ia
melonjak kaget.
Ketika malam
semakin larut, mereka bertiga berdekapan di atas pembaringan. Mereka tak
mungkin dapat memejamkan mata, makin lama semakin gelisah walau pun mereka
semua yakin bahwa Pendekar Bongkok berada seorang diri di dalam kamar sebelah,
dan bahwa di sekeliling rumah tidak kurang dari seratus orang laki-laki
penduduk dusun Ngomaima sudah siap untuk membantu Pendekar Bongkok menangkap
siluman yang hendak menculik puteri saudagar itu.
Sie Liong
sendiri tenang-tenang saja berada di dalam kamar gadis itu. Sebuah kamar yang
cukup besar, dengan perabot-perabot kamar yang indah, kamar yang bersih dan
berbau harum. Dia tidak mau duduk atau rebah di atas tempat tidur gadis itu.
Karena lantai kamar itu ditilami permadani tebal yang bersih dan lunak, dia pun
duduk bersila di atas lantai, memusatkan perhatian sehingga pendengarannya bisa
mengetahui keadaan di luar kamar sekali pun.
Dalam
persiapan menghadapi siluman yang diduganya tentu hanya seorang penjahat yang
sombong dan lihai itu, dia tidak bersenjata. Akan tetapi, melihat sebuah payung
di dalam kamar itu, tergantung di sudut, dia tahu bahwa kalau diperlukan,
payung itu dapat menjadi sebuah senjata yang amat baik baginya.
Menjelang
tengah malam suasana semakin sunyi. Yang terdengar dari dalam kamar itu hanya
suara jengkerik dan belalang serta serangga malam lainnya yang mengeluarkan
bunyi beraneka ragam, halus dan amat merdu, bunyi kehidupan malam yang penuh
rahasia karena gelap.
Tiba-tiba
ada suara tak wajar tertangkap oleh pendengaran Sie Liong. Suara jejak kaki di
atas genteng. Dia datang, pikirnya dan tanpa dapat dihindarkan lagi, jantung
dalam dadanya berdetak lebih kencang dari pada biasanya.
Tanpa
mengeluarkan suara, Sie Liong bangkit dan menuju sudut kamar, menyambar payung
yang gagangnya panjang melengkung itu, lalu menanti, menempelkan tubuhnya di
sudut dinding. Matanya berganti-ganti menatap ke arah langit-langit, jendela
dan pintu karena dia tahu bahwa dari tiga jurusan itulah si penjahat dapat
memasuki kamar.
Dengan
pendengarannya Sie Liong mencoba untuk mengikuti gerakan penjahat yang berada
di atas rumah itu. Tidak mudah baginya karena penjahat itu memiliki gerakan
yang ringan sekali. Kedua kakinya hampir tidak menimbulkan suara, seperti kaki
kucing saja. Namun dia tahu bahwa penjahat itu kini telah turun dan mendekati
kamar itu. Dia harus menarik napas panjang untuk menenangkan jantungnya yang
berdetak kencang karena tegang.
“Krekkk...!”
Terdengar
sedikit suara dan daun jendela itu pun terbuka, palangnya patah karena ada
dorongan yang amat kuat dari luar. Dan begitu daun jendela terbuka, nampak
bayangan merah berkelebat dari luar. Demikian ringan dan cepat gerakan bayangan
itu sehingga Sie Liong diam-diam merasa terkejut dan kagum. Kiranya memang
bukan lawan biasa, pikirnya dan dia pun bersikap waspada. Orang yang mampu
bergerak seperti ini tidak boleh dipandang ringan, pikirnya.
Dengan penuh
perhatian Sie Liong yang berdiri di sudut kamar mengamati sosok tubuh itu.
Tubuh yang ramping kecil sehingga nampak kurus, dengan pakaian serba merah dan
dari samping nampak wajahnya juga tertutup oleh topeng merah. Di punggungnya
tergantung sebatang pedang. Bukan siluman, melainkan manusia bertopeng seperti
yang sudah diduganya. Akan tetapi, manusia yang memiliki ginkang (ilmu
meringankan tubuh) yang cukup hebat.
Si topeng
merah itu menghampiri pembaringan, menyingkap kelambu dan melepaskan kembali
ketika melihat bahwa pembaringan itu kosong. Dikepalnya tangan itu sebagai
tanda bahwa ia marah, dan pada saat itu, Sie Liong membentak.
“Penjahat
sombong dan keji! Menyerahlah engkau!”
Sambil
membentak demikian, Sie Liong sudah menerjang maju. Tangan kirinya sudah
terulur mencengkeram ke arah lengan orang untuk menangkapnya. Bukan sembarang
cengkeraman belaka karena ini merupakan satu jurus dari Pek-in Sin-ciang, dan
walau pun pada saat itu tangannya belum mengeluarkan uap putih, namun telah
mengandung tenaga sinkang yang amat kuat. Cengkeraman itu cepat sekali, sukar
untuk dihindarkan oleh lawan.
Akan tetapi,
si topeng merah itu ternyata cekatan bukan main. Melihat lengannya akan
dicengkeram, dia membuat gerakan memutar lengan itu dan sekaligus dihantamkan
ke atas untuk menangkis dan dengan kuatnya lengannya yang kecil itu menangkis
dengan pengerahan tenaga sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan
bertemu dan si topeng merah itu mendengus marah.
“Ihhh!”
Dan kini
tangan kirinya bergerak mengadakan serangan tusukan dengan dua jari tangan ke
arah mata Sie Liong. Demikian cepatnya gerakan itu dan tangan kirinya itu
seperti sebatang pedang menusuk saja! Sie Liong maklum bahwa lawannya memang
tangguh, maka ia pun cepat-cepat mengerahkan tenaga, melepaskan payungnya dan
menangkis tangan kiri lawan yang menusuk itu dari samping.
“Plakkk!”
“Ehhh...!”
Kini si
topeng merah itu agak terhuyung dan agaknya baru dia menyadari bahwa orang
bongkok ini amat lihai. Maka, tanpa banyak cakap lagi tubuhnya lalu meluncur
keluar kamar melalui jendela dengan kecepatan luar biasa.
“Penjahat
keji, hendak lari ke mana kau?!” Sie Liong membentak.
Sengaja Sie
Liong mengeluarkan suara nyaring agar terdengar oleh semua orang yang mengepung
rumah itu sambil bersembunyi. Teriakannya nyaring sekali dan maksudnya
berhasil, karena terdengar oleh semua pengepung yang langsung menyalakan obor
dan mengangkat obor itu tinggi-tinggi dengan tangan kiri sedangkan tangan kanan
mereka memegang senjata.
Sie Liong
melihat bayangan merah berkelebat ke atas genteng. Maka dia pun cepat mengejar
sambil memegang payungnya.
Ketika tiba
di atas wuwungan yang agak lebar dan datar, lebarnya tidak kurang dari setengah
meter, si bayangan merah itu yang tahu bahwa ia dikejar, lalu membalik dan
pedangnya sudah menyambut Sie Liong dengan tusukan kilat. Sie Liong melihat
sinar pedang meluncur cepat, maka dia pun segera menangkis dengan payungnya.
Sepasang
mata di balik topeng itu berkilat seperti mentertawakan karena jangankan hanya
payung, biar senjata terbuat dari baja yang kuat pun akan patah bertemu dengan
pedangnya. Maka dia pun sudah bersiap untuk melanjutkan serangan kalau payung
itu terbabat patah.
“Trangg!”
Bunga api
berpijar dan si bayangan merah itu mengeluarkan seruan kaget. Payung itu tidak
patah, bahkan ia merasa telapak tangannya panas sekali.
“Hei, setan
bongkok! Siapakah engkau dan kenapa mencampuri urusanku?” bentaknya.
Sie Liong
tertegun. Kiranya siluman ini seorang wanita yang suaranya nyaring merdu!
Pantas saja mata yang berada di balik topeng itu demikian jeli, dan tubuh itu
demikian langsing dan padat, juga nampak kurus. Kiranya wanita! Mengapa ada
wanita menculiki gadis-gadis cantik? Sungguh aneh sekali!
“Kiranya
siluman merah ialah seorang wanita! Sungguh engkau jahat sekali! Untuk apa
engkau menculiki gadis-gadis itu? Hayo kembalikan atau aku tak akan
mengampunimu!”
“Setan
bongkok sombong! Engkau sudah bosan hidup!” bentak siluman itu dan kini ia
menyerang dengan tangan kirinya.
Semacam uap
hitam menyambar ke arah Sie Liong, dan uap hitam ini mengandung tenaga dorongan
yang amat kuat. Sie Liong menyambut dengan dorongan tangan kiri pula, sambil
mengerahkan tenaga Pek-in Sin-ciang. Uap putih keluar dari tapak tangan kirinya
dan bertemu dengan uap hitam itu. Kembali wanita bertopeng itu mengeluh dan
terdorong dua langkah ke belakang.
“Mampuslah!”
Tangan kiri
wanita bertopeng bergerak dan sinar-sinar hitam lembut menyambar ke arah tubuh
Sie Liong, mengarah leher, dada dan pusar! Itulah jarum-jarum hitam beracun
yang menyambar dari jarak dekat!
Sie Liong
menggerakkan payungnya yang terbuka. Sekali diputar, payung itu menangkis semua
jarum yang bertebaran jatuh menimpa genteng, mengeluarkan suara nyaring lembut
yang hanya dapat terdengar oleh Sie Liong. Akan tetapi ketika dia memandang
dari balik payungnya, bayangan merah itu telah meloncat turun.
Ributlah
para penduduk menyambutnya dengan pengeroyokan. Namun mereka segera cerai berai
ketika dua orang di antara mereka roboh mandi darah terbabat pedang dan
beberapa kali loncatan saja, si bayangan merah sudah lenyap dari situ. Ketika
semua orang memandang, ternyata Pendekar Bongkok yang tadi masih berada di atas
genteng rumah juga sudah lenyap.
Ke mana
perginya Sie Liong? Dia tadi melihat berkelebatnya bayangan merah itu ke arah
selatan, maka diam-diam dia pun lalu meloncat dan melakukan pengejaran. Akan
tetapi, malam gelap menjadi penghalang dan wanita berpakaian merah itu telah
lenyap ditelan kegelapan malam dan arah yang diambilnya adalah selatan, ke arah
bukit yang menjulang tinggi itu, Bukit Onta!
Karena tidak
mungkin mengejar seorang lawan yang demikian lihai dan berbahaya di malam
gelap, Sie Liong lalu berlari kembali ke dalam dusun Ngomaima. Dia kembali ke
rumah saudagar Gulamar di mana penduduk masih berkumpul.
Mereka itu
ramai membicarakan apa yang mereka lihat di atas rumah tadi, perkelahian antara
Pendekar Bongkok melawan Siluman Merah. Ketika melihat munculnya pemuda bongkok
itu, para penduduk yang dipimpin oleh kepala dusun Gumo Cali menyambut pemuda
itu dengan sorak sorai penuh kegembiraan.
“Hidup Sie
Taihiap...!”
Bahkan ada
yang berteriak, “Hidup Pendekar Bongkok!” Namun sebutan bongkok itu kini
nadanya bukan menghina atau mengejek, melainkan memuji.
Sie Liong
merasa kecewa bahwa dia tidak berhasil menangkap penjahat itu, maka dia
mengangkat kedua tangan ke atas dan berkata, “Harap saudara sekalian pulang ke
rumah masing-masing. Ketahuilah bahwa siluman merah itu bukan setan, melainkan
seorang manusia yang amat lihai dan ia seorang penjahat wanita. Sayang bahwa
aku tidak berhasil menangkapnya dan selama belum tertangkap, bahaya masih
selalu ada. Maka harap saudara sekalian suka bekerja sama dan bersatu seperti
sekarang ini. Jika saudara sedusun bersatu melawannya, tentu ia tidak akan
dapat mengacau lagi.”
Orang-orang
lalu bubaran. Walau pun pendekar itu tidak berhasil menangkap siluman merah,
akan tetapi jelas bahwa siluman itu takut kepadanya. Buktinya siluman itu tadi
melarikan diri dan sekali ini ia tidak berhasil menculik gadis puteri saudagar
Gulamar.
Ada sebuah
hal yang sukar dapat mereka percaya. Berita bahwa siluman itu adalah seorang
manusia lihai dan jahat, dapat mereka terima. Akan tetapi seorang wanita? Sukar
bagi mereka untuk membayangkan ada seorang wanita selihai itu, dan pula apa
urusannya wanita menculik gadis-gadis cantik?
Tentu saja
Gulamar, isterinya dan puterinya merasa berterima kasih sekali kepada Sie
Liong, si Pendekar Bongkok. Walau pun siluman itu tidak tertangkap, namun gadis
itu dapat diselamatkan.
Namun, Sie
Liong sama sekali tidak merasa puas. Dia bahkan semakin penasaran. Dia harus
dapat membongkar rahasia wanita bertopeng merah itu. Mengapa dia menculiki
gadis-gadis cantik, dan ke mana pula dia membawa gadis-gadis itu? Dia harus
dapat menemukan sarangnya, menolong para gadis yang sudah diculik, karena bila
penjahat aneh itu belum dapat dikalahkan, tentu dusun itu masih selalu terancam
bahaya.
Pada esok
harinya, pagi-pagi sekali Sie Liong sudah keluar dari dusun dan melakukan
perjalanan seorang diri menuju ke selatan. Bukit Onta nampak masih menghitam
karena sinar matahari pagi itu masih lemah. Dia tahu bahwa ia mencari-cari
dalam gelap, hanya menduga bahwa bukit itulah yang sepatutnya menjadi sarang
penjahat yang menyamar siluman.
Bukit Onta
itu tidak begitu jauh dari dusun Ngomaima, merupakan bukit yang penuh dengan
hutan lebat. Menurut keterangan yang diperolehnya, jarang ada pemburu berani
memasuki hutan itu yang menurut kabar tahyul merupakan sarang iblis! Cocok
dengan penjahat yang menyamar sebagai siluman.
Maka, begitu
Sie Liong melihat bukit itu dan mendengar keterangan tentang tempat itu, dia
sudah menduga bahwa di situlah tempat siluman itu bersembunyi di waktu siang
dan bergerak memasuki dusun di waktu malam. Dugaan Sie Liong memang tepat
sekali.
Tidak begitu
jauh di lerang bukit itu, di dalam sebuah hutan, terdapat sebuah bangunan kayu
yang nampak masih baru dan cukup besar. Bangunan itu tersembunyi di antara
pohon-pohon raksasa sehingga tidak akan nampak dari luar hutan. Bangunan itu
belum lama didirikan orang-orang secara diam-diam, baru kurang lebih sebulan.
Dan semenjak tiga pekan ini, dari dalam rumah itu kadang-kadang terdengar suara
isak tangis tertahan para wanita, disusul hardikan yang menghentikan suara isak
tangis itu.
Kiranya
hampir setiap malam, siluman merah atau wanita yang memakai pakaian dan topeng
merah membawa seorang gadis culikan ke rumah itu dan kini, di rumah itu telah
terkumpul sembilan orang gadis-gadis muda dan cantik, di antara mereka terdapat
pula dua orang kakak beradik puteri dari Gumo Cali, kepala dusun Ngomaima. Para
gadis itu dikumpulkan dalam sebuah ruangan besar di tengah bangunan itu.
Karena
mereka selalu dihardik dan diancam bila menangis, maka mereka yang dilanda duka
dan ketakutan, hanya terisak kecil saja. Yang lain sudah pasrah, agak besar
pula hati mereka melihat banyaknya teman senasib.
Selama
mereka ditawan itu, mereka tak pernah menerima perlakuan buruk, tidak pernah
diganggu, bahkan diberi hidangan yang cukup baik. Hanya mereka tidak pernah
tahu mengapa mereka diculik dan ditawan di dalam hutan itu.
Pada malam
hari tadi, ketika siluman merah gagal menculik puteri saudagar Gulamar karena
adanya Pendekar Bongkok, dia langsung saja berlari karena tidak ingin dikejar
pendekar yang lihai itu. Meski hatinya merasa penasaran sekali karena ia belum
merasa kalah dan belum benar-benar mengadu ilmu dengan pemuda bongkok itu, tapi
dia tidak berani mengambil resiko untuk terus melawan pendekar Bongkok yang
selain amat lihai, juga dibantu oleh ratusan orang penduduk Ngomaima itu.
Malam itu,
ketika ia kembali ke rumah dalam hutan di lereng Bukit Onta dengan tangan
kosong, dia disambut teguran tidak puas di dalam ruangan di rumah itu. Mereka
semua ada lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja.
Salah
seorang di antara mereka adalah seorang kakek yang usianya kurang lebih enam
puluh tahun, kepalanya gundul dan wajahnya nampak masih muda. Pada jubahnya di
bagian dada terdapat sebuah lukisan teratai putih dengan dasar warna hitam.
Biar pun dia mengenakan jubah pendeta dan kepalanya dicukur licin, namun
sikapnya berbeda dengan para hwesio (pendeta Budha).
Para hwesio
bersikap alim dan tenang, sebaliknya kakek ini memiliki sinar mata yang tajam
dan liar. Wajahnya penuh dengan kelicikan sedangkan mulutnya membayangkan
kerakusan dan kekejaman. Namun harus diakui bahwa dia memiliki wajah yang
nampak muda dan tampan, tubuhnya tinggi besar dan sikapnya berwibawa.
Di
sampingnya duduk pula tiga orang laki-laki yang berusia antara empat puluh
sampai lima puluh tahun. Tiga laki-laki ini memakai pakaian ringkas dan di
punggung mereka terselip siang-to (sepasang golok) yang mengkilap tajam, sikap
mereka juga angkuh dan berlagak laksana jagoan.
Orang ke
lima adalah siluman merah sendiri, kini dia sudah menanggalkan topengnya. Apa
bila Sie Liong melihatnya, dan juga para penduduk dusun Ngomaima melihatnya,
mereka semua tentu akan terkejut dan terheran-heran. Kiranya yang mereka
namakan siluman merah itu adalah seorang wanita muda yang cantik jelita dan
manis sekali!
Usianya tak
akan lebih dari dua puluh lima tahun, wajahnya bulat telur dan manis sekali,
kulit muka dan lehernya putih mulus. Wanita cantik manis yang amat lihai ini
bukan lain adalah Pek Lan!
Seperti kita
ketahui, Pek Lan telah berhasil membalas dendamnya terhadap para selir dari
Hartawan Coa di kota Ye-ceng dan membawa pula banyak harta milik hartawan Coa.
Dengan hati sangat puas dia meninggalkan kota Ye-ceng dan bermaksud untuk pulang
ke tempat tinggal gurunya, yaitu Hek-in Kui-bo yang kini tinggal di pinggir
telaga Co-sa sebagai seorang yang kaya raya.
Akan tetapi
setibanya di rumah subo-nya (ibu gurunya), ternyata Hek-in Kui-bo sedang
kedatangan seorang tamu yang oleh subo-nya diperkenalkan kepadanya sebagai Thai
Yang Suhu, seorang tokoh Pek-lian-kauw (Perkumpulan Agama Teratai Putih).
“Pek Lan,
Thai Yang Suhu ini adalah seorang sahabat baikku dan dia memiliki ilmu silat
yang sangat tinggi dan juga ilmu sihir yang hebat. Thai Yang Suhu, inilah
muridku yang kuceritakan kepadamu tadi, namanya Pek Lan.”
Sepasang
mata pria berjubah pendeta dan berkepala gundul yang ditutup sebuah topi hwesio
itu menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan dengan penuh perhatian, kemudian dia
mengangguk-angguk. “Kui-bo, muridmu ini sungguh hebat, cantik manis dan juga
lincah. Tidak tahu sampai di mana engkau menggemblengnya.”
“Hemmm, dia
sudah mewarisi hampir seluruh kepandaianku. Engkau cobalah dia, Thai Yang. Pek
Lan, jangan sungkan-sungkan, perlihatkan kepandaianmu kepada pamanmu Thai Yang
Suhu!”
Wajah serta
sikap pria berjubah pendeta itu sudah sangat menarik perhatian Pek Lan, karena
itu mendengar kata-kata subo-nya, ia pun lalu meloncat ke tengah ruangan dan
memberi hormat ke arah Thai Yang Suhu. “Paman, silakan!”
Thai Yang
Suhu tertawa bergelak, dan ternyata gigi-giginya masih berderet rapi. “Bagus,
engkau adalah seorang keponakan yang mengagumkan,” katanya sambil bangkit pula
berdiri, lalu menghampiri Pek Lan. “Pek Lan, pinceng ingin menguji kepandaianmu,
ingin pinceng (aku) melihat apakah benar engkau cukup berharga untuk mewakili
subo-mu membantu pekerjaan kami yang besar. Awas serangan!”
Pendeta
Pek-lian-kauw itu sudah menyerang, pukulannya mengandung tenaga sinkang besar
dan juga gerakannya cepat sekali. Namun, tidak terlalu cepat bagi Pek Lan yang
dengan mudah sudah mengelak ke samping sehingga pukulan itu mengenai tempat
kosong.
Thai Yang
Suhu menyusulkan serangan yang lebih hebat, dengan tamparan tangan kiri ke arah
pelipis kanan gadis itu. Tamparannya mendatangkan angin pukulan yang amat
dahsyat dan serangan ini diikuti pula oleh cengkeraman tangan kanan ke arah
dada Pek Lan. Sungguh merupakan serangan yang berbahaya.
Akan tetapi,
dengan tenang saja Pek Lan meloncat ke belakang, lalu ia pun membalas dengan
serangan bertubi-tubi. Ia mengerahkan tenaga sinkang yang dipelajarinya dari
Hek-in Kui-bo dan dari kedua telapak tangannya mengepul uap hitam!
“Bagus, ia
sudah pandai Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam), ha-ha!” kata Thai
Yang Suhu.
Biar pun
mulutnya tertawa, akan tetapi dia sibuk sekali menghadapi rangkaian serangan
yang hebat dari gadis itu sehingga dia harus melindungi dirinya dengan
tangkisan dan elakan. Walau pun yang sedang menyerangnya hanyalah seorang
wanita muda, akan tetapi serangan dahsyat itu dapat membahayakan dirinya.
Gadis itu
pun tidak mau memberi hati. Ia menyerang semakin gencar sehingga pendeta itu
diam-diam harus mengakui akan kelihaian Pek Lan. Dia lalu mengeluarkan bentakan
nyaring dan mendadak saja pendeta itu lenyap dari pandangan mata Pek Lan,
berubah menjadi asap hitam! Selagi Pek Lan kebingungan, pinggulnya ada yang
mencolek dari belakang.
“Pek Lan,
pinceng di sini!”
Pek Lan
terkejut dan juga mendongkol atas kegenitan sahabat subo-nya itu. Dia segera
membalik dan kakinya mencuat dalam tendangan kilat. Hampir saja Thai Yang Suhu
terkena tendangan itu. Untung dia cepat-cepat menarik tangannya sambil mengelak
dan sebelum Pek Lan melanjutkan serangannya, kembali dia berubah menjadi asap
hitam dan lenyap.
“Wah, kalau
paman menggunakan ilmu siluman begini, aku mengaku kalah!” teriak Pek Lan yang
tidak ingin lagi tangan paman yang nakal itu mencolak-colek tubuhnya.
Asap hitam
menghilang dan Thai Yang Suhu kelihatan kembali.
“Ha-ha-ha
engkau sungguh hebat, Pek Lan, mampu mendesak pinceng. Akan tetapi, lihat baik-baik,
pinceng telah menjadi raksasa, apakah engkau masih berani melawan?”
Pek Lan
memandang dan ia terbelalak karena melihat pendeta itu kini benar saja telah
berubah menjadi tinggi sekali, sehingga ia sendiri hanya setinggi lututnya!
Tentu saja ia menjadi gentar dan ia memberi hormat sambil berkata, “Aku tidak
berani...”
Thai Yang
Suhu tertawa dan dia kembali berubah menjadi normal. Terdengar Hek-in Kui-bo
terkekeh.
“Thai Yang,
engkau seperti anak kecil saja, menakut-nakuti muridku. Nah, Pek Lan, kau lihatlah,
dia pandai sekali ilmu sihir! Kini dia datang untuk mohon bantuanku, akan
tetapi karena aku sudah tua, aku akan wakilkan padamu.”
Pek Lan
mangerutkan alisnya. Dia merasa menyesal mengapa subo-nya menyanggupi untuk
membantu pendeta ini, bahkan sudah mengambil keputusan untuk menyuruh dia yang
mewakilinya. Jika subo-nya yang memerintahkan, tentu saja dia tak dapat menolak
lagi.
“Bantuan
yang bagaimana, Subo? Apakah yang harus kulakukan?”
“Ha-ha-ha,
tidak berat dan tidak sukar, Pek Lan, apa lagi untukmu yang memiliki tenaga
hebat, kecepatan kilat dan kepandaian setinggi langit! Bahkan menurut pinceng
hanya engkaulah yang akan mampu melaksanakan tugas ini sebaiknya. Tugas yang
mudah sekali. Kami dari Pek-lian-kauw membutuhkan penambahan pelayan, yaitu
gadis-gadis remaja dari dusun-dusun sebanyak lima belas orang. Kita akan
memilih dari dusun di mana ada gadis remaja yang bersih dan cantik, dan engkau
bertugas untuk menculik mereka itu seorang demi seorang.”
Pek Lan
mengerutkan alisnya. Memang bukan tugas yang sukar, akan tetapi hatinya merasa
tidak puas mengapa ia yang ditunjuk untuk membantu pendeta ini.
“Akan
tetapi, mengapa mesti aku...?” bantahnya.
“Pek Lan,
aku pernah berhutang budi kepada Thai Yang Suhu ini, dan sekarang ada
kesempatan bagiku untuk membalasnya. Aku sudah menyanggupinya dan aku sudah
menunjuk engkau untuk mewakili aku. Apakah engkau akan mengatakan bahwa engkau
tidak sanggup mewakiliku?”
Guru itu
mendesak sedemikian rupa sehingga tak ada kesempatan bagi Pek Lan untuk
mengelak lagi. Akan tetapi, ia teringat akan ilmu aneh dari pendeta itu tadi.
Menghadapi ilmu aneh seperti itu, apa artinya ilmu silatnya? Tiba-tiba ia
mendapatkan akal.
“Paman Thai
Yang Suhu, aku sanggup untuk membantumu sampai berhasil baik, akan tetapi untuk
itu ada syaratnya yang kuharap paman akan dapat memenuhinya.”
“Ha-ha-ha,
anak manis, apakah syaratmu itu? Hadiah apa yang kau minta?”
“Aku mau
mewakill subo membantu paman sampai berhasil mengumpulkan lima belas orang
gadis dusun yang dibutuhkan Pek-lian-kauw, akan tetapi dengan imbalan bahwa
paman akan mengajarkan ilmu sihir yang aneh itu kepadaku.”
Mendengar
permintaan ini, kedua mata Thai Yang Suhu lantas terbelalak, akan tetapi
sepasang mata itu kemudian menjelajahi wajah dan tubuh Pek Lan, dan dia pun
tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha-ha,
Kui-bo. Muridmu ini memang sungguh cerdik dan menyenangkan sekali. Permintaanmu
itu memang sudah pantas! Dan pinceng bukanlah seorang yang pelit, apa lagi
terhadap seorang gadis cantik manis yang cerdik seperti engkau, dan masih
keponakanku sendiri pula yang akan membantu pinceng. Ha-ha-ha, memang hidup ini
harus meminta dan memberi. Pinceng akan mengajarkan beberapa macam ilmu sihir padamu,
Pek Lan, asalkan engkau suka mentaati segala perintahku, memenuhi segala
permintaanku. Bagaimana, sanggupkah engkau?”
Pek Lan yang
merasa girang sekali mendengar bahwa ia akan menerima pelajaran ilmu sihir,
tanpa ragu lagi menjawab, “Tentu saja aku sanggup, Paman Thai Yang Suhu!”
“Ho-ho-ho,
sekali ini engkau terjebak oleh pamanmu yang selain lihai juga amat cerdik, Pek
Lan! Engkau berjanji akan memenuhi semua permintaannya! Engkau lupa bahwa
engkau adalah seorang wanita muda yang amat cantik jelita dan menarik,
sedangkan Thai Yang Suhu ini adalah seorang laki-laki yang hatinya masih muda
dan dulu dia amat tampan, digilai oleh banyak wanita. Ha-ha-hi-hik!”
Mendengar
ucapan subo-nya, Pek Lan memandang kepada pria gundul yang memang tampan itu,
dan wajahnya lalu berubah kemerahan. Tentu saja ia mengerti apa maksud
subo-nya. Akan tetapi, apa bila benar tokoh Pek-lian-kauw itu menghendaki apa
yang dimaksudkan oleh subo-nya itu, ia pun tidak berkeberatan!
Demikianlah,
sejak saat itu Pek Lan membantu Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw itu. Dengan
ilmunya yang tinggi, Pek Lan membantu pendeta palsu itu, mulai menculiki
gadis-gadis cantik dari dusun-dusun. Di samping itu, Pek Lan menerima pula
petunjuk dan pelajaran dari Thai Yang Suhu yang memenuhi janjinya, mengajarkan
ilmu sihir kepada wanita cantik itu.
Sebaliknya,
Pek Lan juga tidak melanggar janjinya dan dengan penuh kemesraan dan kepasrahan
ia pun secara suka rela menyerahkan dirinya melayani semua gairah nafsu tokoh
Pek-lian-kauw itu. Bahkan ia pun merasa puas dan senang karena ternyata pria
yang sudah berusia enam puluh tahun itu sangat perkasa, bahkan tidak kalah oleh
yang muda-muda.
“Sungguh aku
merasa heran sekali, Pek Lan. Engkau gagal hanya karena dihalangi oleh seorang
pemuda yang bertubuh cacat, yang bongkok? Sungguh penasaran dan sangat
memalukan!” Demikian berkali-kali Thai Yang Suhu menegur pembantunya, yang juga
merangkap kekasihnya itu.
Pek Lan
mengerutkan alisnya dan mulutnya yang berbibir merah basah tanpa gincu itu
cemberut. “Hemm, mencela memang mudah! Aku bukan mengatakan bahwa aku kalah
oleh setan bongkok itu, akan tetapi aku hanya mengatakan bahwa dia memang
sangat lihai. Aku terpaksa melarikan diri bukan karena takut melawannya. Kami
bahkan belum berkelahi sungguh-sungguh. Akan tetapi, bagaimana aku akan
bertindak nekat kalau ratusan orang penduduk berada di belakangnya?”
Thai Yang
Suhu mengerutkan alisnya pula. “Hemm, tentunya si bongkok itu pula yang
mengerahkan penduduk. Dan selama ia berada di sana dan menghasut para penduduk
untuk melawan kita, maka tentu akan sukar bagi kita untuk bisa memenuhi jumlah
gadis yang kita butuhkan. Sudah ada sembilan orang dan tinggal enam lagi saja,
ehh, tiba-tiba muncul setan bongkok itu. Kita harus melenyapkan perintang itu.”
“Benar
sekali, kalau si bongkok itu kita bunuh, tentu hati para penduduk menjadi
gentar lagi dan mereka tidak akan berani lagi menentang kita,” kata seorang di
antara Tibet Sam Sin-to (Tiga Golok Sakti Tibet) itu. Dua orang saudaranya
mengangguk-angguk.
Pek Lan yang
merasa panas hatinya karena ditegur Thai Yang Suhu tadi, mendengar ucapan Tibet
Sam Sin-to segera bangkit dan bertolak pinggang, lalu ia berkata dengan suara
lantang, “Sam Sin-to, biar kalian bertiga yang menghadapi penduduk yang banyak
akan tetapi lemah itu, dan biarkan aku yang akan menandingi si bongkok sampai
dia mampus di tanganku!”
Tibet Sam
Sin-to tidak berani memandang rendah kepada wanita muda yang cantik manis itu
karena mereka maklum betapa lihainya Pek Lan, mereka hanya mengangguk dan
seorang di antara mereka berkata singkat, “Jangan khawatir, nona. Kami akan
membasmi penduduk yang berani menentang kita!”
“Hemm,
kalian tidak boleh menuruti hati marah saja. Semua harus diatur dengan cermat
supaya jangan sampai gagal. Aku tidak biasa bekerja secara serampangan saja,
harus menggunakan siasat yang matang,” kata Thai Yang Suhu.
Pada saat
itu, seorang anak buah mereka muncul. Anak buah ini tadi telah menerima tugas
untuk menyelidiki keadaan dalam dusun Ngomaima, terutama sekali menyelidiki
tentang si bongkok.
“Bagaimana
hasil penyelidikanmu?” tanya Thai Yang Suhu.
Anak buah
ini adalah juga seorang anggota Pek-lian-kauw yang terkenal cerdik. Dia pun
memiliki ginkang yang membuat dia mampu berlari cepat dan bergerak dengan
gesit.
Setelah memberi
hormat, anak buah itu kemudian bercerita. “Tak ada yang mengetahui siapa nama
si bongkok itu, Losuhu. Orang menyebut dia Pendekar Bongkok, dan tidak ada
seorang pun mau mengaku ketika saya mencoba bertanya siapa namanya dan
bagaimana riwayatnya. Yang jelas, dia bukan penduduk daerah ini, melainkan
datang dari timur.”
“Di mana dia
sekarang dan bagaimana keadaan para penduduk dusun Ngomaima?” tanya pula Thai
Yang Suhu tak sabar.
“Dia masih
bermalam di rumah penginapan, akan tetapi sekarang penduduk melakukan penjagaan
ketat dan puluhan orang melakukan penjagaan secara bergiliran.”
“Hemm, aku
tidak takut! Mari sekarang juga kita berangkat mencari si bongkok itu di rumah
penginapan!” kata Pek Lan gemas.
“Tidak,”
bantah Thai Yang Suhu. “Sudah kukatakan bahwa semua harus menggunakan rencana
serta siasat. Jangan sampai kita memperlihatkan kelemahan seolah-olah takut
kepada si bongkok dan para penduduk. Pek Lan, besok siang kita akan usahakan
untuk memberi tanda merah lagi pada pintu rumah Gulamar, dan malam harinya,
engkau culik puterinya!”
“Tapi, kalau
mereka tahu, tentu mereka mengatur jebakan,” bantah Pek Lan.
“Ha-ha-ha,
justru itu yang kuhendaki. Biarlah mereka mengatur jebakan untukmu, akan tetapi
mereka tidak tahu bahwa di belakangmu ada kami! Tibet Sam Sin-to yang akan
menghadapi orang-orang dusun bodoh itu, dan engkau yang menculik gadis itu.
Kalau si bongkok muncul, kita hadapi berdua, dan jangan khawatir, aku
melindungimu, Pek Lan.”
Wanita muda
itu mengangguk-angguk dan hatinya pun merasa tenang. Kalau Thai Yang Suhu
membantunya menghadapi si bongkok, ia hampir yakin bahwa mereka tentu akan
mampu merobohkan Pendekar Bongkok itu.
Malam itu
Pek Lan berusaha keras untuk menyenangkan hati Thai Yang Suhu. Pertama untuk
menebus kekurangannya karena kegagalan menculik puteri Gulamar, dan ke dua
karena pendeta Pek-lian-kauw itu besok akan membantunya. Untuk memberi tanda
darah pada pintu keluarga hartawan itu, diserahkan kepada anak buah
Pek-lian-kauw yang cekatan dan pandai menyamar…..
***************
Sie Liong
berjalan dengan tenang mendaki bukit Onta yang penuh dengan hutan itu. Walau
pun belum yakin karena belum mendapatkan bukti, namun dia menduga keras bahwa
tentu siluman yang suka menculik gadis itu bersembunyi di tempat yang ditakuti
orang ini. Sebuah tempat persembunyian yang baik. Akan tetapi, siluman itu
seorang wanita, dan mengapa ada wanita menculiki gadis-gadis cantik? Tentu wanita
siluman itu tidak sendiri dan mungkin terdapat banyak kawannya yang tentu saja
berbahaya. Maka, meski dia melangkah dengan tenang, dia tak pernah lengah
sedetik pun. Mata dan telinganya menyelidiki keadaan di sekelilingnya.
Sikapnya
yang amat hati-hati itu tidak menolongnya. Semenjak dia mendaki Bukit Onta,
setiap gerak-geriknya sudah diikuti oleh beberapa pasang mata. Dia tidak tahu
bahwa pendakiannya tadi telah kelihatan oleh anak buah Thai Yang Suhu yang
segera melapor kepada pendeta Pek-lian-kauw itu.
Mendengar
bahwa Pendekar Bongkok sudah datang berkunjung dan sekarang sedang mendaki
bukit, tentu saja hal ini tidak pernah disangka oleh Thai Yang Suhu yang cepat
mempersiapkan diri. Dia lalu berunding dengan Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to,
mengatur siasat.
Thai Yang
Suhu, walau pun nampaknya seperti seorang pendeta, akan tetapi dia adalah
pendeta dari aliran kebatinan yang sesat, oleh karena itu, dia tidak sungkan
atau malu selalu bersikap curang. Kalau dia gagah, tentu dijumpainya Pendekar
Bongkok agar mereka dapat bertanding secara gagah pula. Tidak, dia tidak ingin
mengalami kerugian dan segalanya diperhitungkan demi keuntungan pihaknya.
Dia belum
mengenal siapa Pendekar Bongkok, dari aliran mana dan bagaimana tingkat ilmu
kepandaiannya. Kalau memang Pendekar Bongkok itu sangat pandai, kenapa tidak
diusahakan dulu agar suka membantu dan bekerja sama dengan Pek-lian-kauw? Kalau
semua usaha itu gagal, baru terpaksa pemuda itu dibunuh!
Sie Liong
menurutkan jalan setapak yang ditemukannya di dalam hutan itu. Pada waktu
membelok di bagian tengah hutan, pada jalan menurun, mendadak saja dia
dihadapkan dengan sebuah telaga kecil yang amat indah dan amat jernih airnya.
Ada air terjun tak jauh dari situ, dan airnya membuat sungai kecil memasuki
telaga.
Dari tempat
dia berdiri, dia melihat pemandangan yang amat indah. Tidak disangkanya bahwa
di bukit yang sunyi dan penuh hutan, yang ditakuti orang itu, terdapat tempat
yang demikian indahnya. Dia lalu menuruni jalan setapak itu, menghampiri
telaga.
Terpesona dia
berdiri di tepi telaga. Air telaga demikian jernihnya, bagaikan kaca yang
berada di depan kakinya. Demikian jernihnya sehingga dia dapat melihat
batu-batu di dasarnya, juga melihat beberapa ekor ikan yang berenang hilir
mudik.
Di sebelah
sana, di mana permukaan air digelapi bayang-bayang pohon, air itu seperti
menelan semua pemandangan di atasnya. Pohon, daun-daun, awan dan sinar
matahari, semua tenggelam dan nampak sedemikian jelasnya sehingga setiap helai
daun pohon itu pun nampak. Tak ada angin yang menggerakkan daun pohon, agaknya
angin sudah ditangkis oleh pohon-pohon besar di sekeliling telaga itu.
Suara air
membuat dia menoleh ke kiri dan untuk kedua kalinya dia terpesona! Kalau tadi
dia terpesona oleh keindahan telaga itu, kini dia terpesona oleh suatu
keindahan yang lain lagi, keindahan wajah dan tubuh seorang wanita!
Wanita itu
masih muda, tak lebih dari dua puluh empat tahun usianya. Wajahnya cantik manis
dengan bentuk bulat telur. Dan gadis itu bertelanjang bulat sama sekali, tidak
ada sehelai benang pun menutupi tubuhnya yang masak dan padat.
Kulitnya
demikian putih mulus dan karena dia tidak berdiri terlalu jauh, dan kebetulan
pula sinar matahari menimpa tubuh telanjang itu, Sie Liong bisa melihat
bulu-bulu halus lembut pada lengan dan kaki gadis itu, yang membuat dia menjadi
semakin menarik.
Gadis itu
duduk di atas batu dan dia melihatnya dari samping. Dengan kedua kakinya, gadis
itu menendang-nendang air dan itulah bunyi air yang tadi menarik perhatiannya.
Agaknya gadis itu tidak melihatnya, dan sedang asyik sendiri.
Dari keadaan
terpesona, Sie Liong sekarang menjadi tersipu, merasa betapa dia telah bersikap
tidak sepantasnya, memandangi seorang gadis bertelanjang bulat seperti itu.
Wajahnya berubah merah. Dia pun cepat membuang muka, bahkan kemudian berdiri
membelakangi gadis itu, kemudian melangkah pergi.
“Heiiiii...!”
Tiba-tiba
Sie Liong mendengar suara gadis itu, disusul suara tubuh jatuh ke air. Karena
ingin tahu apa yang terjadi, Sie Liong menahan kakinya dan membalik, memandang.
Gadis itu agaknya tadi melihat dia dan terkejut, lalu terjun ke air di dekat
batu yang tadi didudukinya. Sekarang gadis itu berdiri sepinggang di dalam air,
dan nampak dadanya yang berbentuk indah.
“Heii, siapa
kau? Apakah kau mau mandi? Marilah, kita boleh mandi bersama. Di sini tidak ada
orang lain!”
Kedua pipi
Sie Liong menjadi semakin merah dan dia mengerutkan alisnya, lalu cepat
membalikkan tubuh lagi, tidak mau memandang dada indah dan wajah manis itu
terlalu lama, bahkan dia lalu pergi tanpa banyak bicara lagi.
Gadis itu
sungguh tidak tahu malu, pikirnya. Tidak bersusila. Sudah tidak malu dilihat
oleh pria dalam keadaan bertelanjang, bahkan mengajak mandi bersama! Seperti
bukan seorang wanita biasa! Pantasnya wanita itu siluman! Siluman Merah! Sie
Liong merasa betapa jantungnya berdebar dan dia memperlambat langkahnya.
Kini
terdengar gadis itu kembali berbicara, dan nada suaranya sangat menyesal penuh
teguran. “Engkau ini orang macam apa? Disapa baik-baik tidak mau menjawab!
Selama hidupku belum pernah aku bertemu seorang manusia sesombong ini! Aku ingin
sekali bicara denganmu, dan siapa tahu, aku dapat memberi keterangan padamu!
Bukankah engkau mencari seseorang di sini?”
Mendengar
ucapan ini, kembali untuk ke dua kalinya Sie Liong menahan langkahnya, akan
tetapi dia tidak mau menoleh atau membalikkan tubuhnya. Mungkin saja gadis ini
siluman merah yang juga seorang wanita, pikirnya, walau pun dugaan ini dia
bantah sendiri.
Tidak
mungkin! Siluman merah itu seorang berilmu tinggi, dan yang di belakangnya ini
hanyalah seorang gadis muda yang cantik manis, sukar dipercaya kalau memiliki
ilmu kepandaian tinggi. Dan andai kata dia bukan siluman merah, siapa tahu
gadis ini dapat memberi keterangan di mana tempat persembunyian siluman merah.
“Aku bukan
orang sombong. Kalau engkau berpakaian dengan sopan, tentu aku akan suka bicara
dengan nona. Engkau berpakaianlah lebih dulu!”
“Hi-hi-hik-hik!”
Gadis itu tertawa. Suara ketawanya merdu, tidak dibuat-buat dan bebas lepas.
“Kiranya kau
seorang yang sopan santun, ya? Bersusila tinggi, ya? Apa sih salahnya bertelanjang
bulat? Bukankah ketika kau dan aku terlahir, kita juga bertelanjang bulat?
Bukankah manusia baru kelihatan keaslian dan keindahan tubuhnya kalau
bertelanjang bulat? Baiklah, aku akan berpakaian lebih dahulu. Awas, jangan
mengintai kau, seperti kebanyakan laki-laki, mulutnya bersopan-sopan, akan
tetapi matanya lalu mencuri-curi, hi-hi-hi!”
Sie Liong
merasa mendongkol juga. Gadis ini aneh sekali, akan tetapi ejekannya tadi
memang mengena! Dia mendengar suara berkeresekan, dan walau pun matanya tidak
melihat, tetapi pendengarannya yang tajam dan terlatih dapat membuat dia tahu
bahwa gadis itu memang kini benar-benar sedang mengenakan pakaian.
“Nah, aku
sudah selesai berpakaian. Kau lihat, apakah aku lebih baik kalau berpakaian
dari pada kalau bertelanjang? Lihat baik-baik!”
Karena dari
pendengarannya tadi dia sudah yakin bahwa gadis itu kini telah berpakaian, Sie
Liong lalu membalikkan tubuhnya. Gadis itu memang cantik menarik bukan main.
Sayang pandang matanya dan senyumnya, walau pun manis dan amat memikat, namun
mengandung kegenitan dan kecabulan! Gadis itu tersenyum.
“Engkau
orang aneh, tubuhmu juga aneh, akan tetapi wajahmu tampan dan engkau nampak
begitu kuat! Hemm, aku ingin sekali bicara denganmu!” Berkata demikian, gadis
itu lalu melangkah dari batu ke batu untuk menuju ke tepi di mana Sie Liong
berdiri. Gadis itu melangkah dengan agak sukar dan hal ini saja membuktikan
bahwa ia tidak pandai silat, atau andai kata bisa pun, kepandaiannya tentu
masih rendah sekali.
Ketika dari
batu terakhir dia melompat ke tanah yang jaraknya hanya satu meter dan agaknya
lebih tinggi dari batu itu, ia meloncat dengan kaku dan tak dapat dicegah lagi,
kakinya terpeleset dan dia pun jatuh miring di atas tanah.
“Aduhhhh...
aduh, kakiku... sakit...!” Gadis itu mengeluh dan berusaha untuk bangkit duduk,
akan tetapi tidak dapat dan ia mencoba untuk menyentuh kakinya di tumit, juga
tidak dapat.
Sie Liong
mengerutkan alisnya. Sejak tadi dia waspada. Gadis ini demikian muda dan
cantik, dan berada seorang diri saja di tempat yang sunyi dan liar ini.
Padahal, para penduduk, biar pemburu yang gagah berani sekali pun, tidak berani
mendaki Bukit Onta ini. Hal ini saja membuktikan bahwa gadis ini tentu memiliki
sesuatu yang membuat ia berani berada seorang diri di tempat berbahaya ini.
Tadi dia
menduga bahwa gadis itu agaknya hendak merayunya lewat tubuhnya yang
menggairahkan, dan lewat kegenitannya yang mengajak mandi bersama. Ketika
rayuan itu tidak mendapat tanggapan, gadis ini mungkin saja sengaja membuat
dirinya jatuh agar dia mau menolongnya. Dalam keadaan seperti itu, tentu saja
dia dapat lengah.
“Aduh,
tolong...! Apakah selain sombong, engkau juga begitu kejam sehingga tidak mau
menolong seorang wanita yang terjatuh dan terkilir kakinya? Aduhhh...!”
Gadis itu
kini menjulurkan lengan kirinya ke arah Sie Liong, minta bantuan agar pemuda
itu suka menolongnya bangkit.
Sie Liong
tersenyum, kemudian menghampiri dan menggunakan tangan kanan untuk memegang
tangan kiri yang dijulurkan itu. Dia kelihatan sama sekali tak menaruh curiga
dan seperti orang yang benar-benar hendak membantu gadis itu bangkit duduk.
Lunak dan hangat terasa olehnya ketika tangannya bersentuhan dengan telapak
tangan yang putih mulus itu.
Gadis itu
lalu bangkit duduk, bahkan sambil masih berpegang kepada tangan Sie Liong. Dia
berdiri, agak terhuyung dan di lain saat dia sudah merangkul leher Sie Liong
dan merapatkan pipinya di dada Pendekar Bongkok!
Sie Liong
mencium bau yang harum keluar dari rambut dan leher gadis itu. Jantungnya
berdebar serta tubuhnya tergetar karena betapa pun juga, darah mudanya
bergejolak ketika tubuh yang hangat itu merapat pada tubuhnya. Akan tetapi, dia
segera teringat bahwa hal itu tidak selayaknya, maka dia pun melangkah mundur
merenggangkan diri sambil melepaskan tangan gadis itu, juga melepaskan lengan
yang merangkul lehernya.
Dan pada
saat itu, tiba-tiba sekali, dari jarak yang amat dekat, gadis itu menggerakkan
tangannya. Dengan jari-jari terbuka, tangan itu cepat menotok ke arah perut Sie
Liong! Dahsyat bukan main serangan ini dan jari-jari tangan itu sudah terisi
tenaga dalam yang amat jahat, karena telapak tangan itu berubah menghitam.
Gadis itu telah menggunakan pukulan maut!
“Huhhh...!”
Sie Liong dapat mengelak sambil menangkis dari samping.
“Hyaaaatt...!”
Pek Lan,
gadis cantik itu, menyusulkan cengkeraman ke arah leher. Namun kembali Sie
Liong dapat mengelak dengan melangkah mundur sambil tangannya menangkis lengan
yang bergerak ke arah lehernya. Pek Lan merasa penasaran sekali, kakinya
bergerak menendang ke arah bawah pusar lawan!
“Hemm, keji
sekali...!” Pendekar Bongkok berseru dan tubuhnya melayang ke belakang.
Tendangan itu pun luput!
Sie Liong
berdiri dan bertolak pinggang, tersenyum pahit, lalu dia berkata dengan nada
suara mengejek. “Bagus sekali, kiranya selain kejam dan melakukan kejahatan
aneh menculiki gadis-gadis, engkau juga masih pandai melakukan perbuatan
curang!”
Pek Lan
memandang dengan kedua mata terbelalak. Tak disangkanya bahwa Pendekar Bongkok
sedemikian lihainya. Bukan hanya tidak dapat dirayunya, juga tak mudah ditipu
dengan pura-pura jatuh tadi. Padahal dia hanya seorang pemuda yang tubuhnya
cacat, bongkok dan nampaknya lemah!
“Bagaimana...
kau bisa tahu…?” tanyanya, menahan rasa penasaran dan kemarahan saking
herannya.
“Engkau seorang
gadis muda berada seorang diri di tempat seperti ini membuktikan bahwa engkau
tentulah seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian. Pakaianmu demikian
mewah, hal ini membuktikan bahwa engkau tentu bukan pendatang dari luar hutan,
melainkan mempunyai tempat tinggal di dalam hutan. Dan siluman merah yang
bertemu dengan aku semalam seorang wanita yang mempunyai ilmu silat tinggi.
Ketika engkau gagal menggunakan siasat menjatuhkan kelemahanku sebagai pria,
engkau lalu berpura-pura jatuh. Aku sudah curiga dan siap siaga, maka beberapa
seranganmu yang masih mentah itu tentu saja dapat kuhindarkan.”
“Jahanam
sombong, sekarang juga engkau akan mampus di tanganku!”
Sambil
berteriak demikian, Pek Lan kemudian menerjang dengan gerakan cepat, kedua
tangannya melakukan serangan bertubi-tubi.
Melihat
betapa kedua telapak tangan gadis itu kini berubah menghitam, maklumlah Sie
Liong bahwa dia menghadapi seorang gadis golongan sesat yang menguasai ilmu
sesat pula. Diam-diam ia menyayangkan sekali bahwa seorang gadis muda yang
begini cantik ternyata menjadi seorang wanita sesat yang genit, cabul dan juga
amat jahat.
Maka, dia
pun cepat mengerahkan sinkang-nya. Sambil mengelak atau kadang-kadang
menangkis, dia pun membalas dengan tamparan-tamparan tangan yang sangat mantap
dan dahsyat.
Setelah
mereka saling serang selama belasan jurus, terkejutlah Pek Lan. Bukan saja
karena semua serangannya yang dahsyat itu tak pernah berhasil, bahkan kalau
pemuda bongkok itu menangkis, dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya serasa
retak dan tubuhnya tergetar hebat!
Dan bila
pemuda itu membalas, angin pukulannya menyambar seperti angin badai yang
membuat ia makin gentar saja. Tidak berani ia menangkis, tidak berani mengadu
tenaga karena ia tahu bahwa tenaga sinkang-nya kalah kuat.
Juga
penggunaan hawa beracun agaknya tiada gunanya karena kedua tangan pemuda itu
dilindungi semacam uap putih yang membuat uap hitam dari telapak tangannya
membuyar, bahkan membalik! Ia tidak tahu bahwa pemuda lawannya itu memiliki
ilmu Pek-in Sin-ciang (Tangan Sakti Awan Putih) yang jauh lebih tinggi
tingkatnya dari pada ilmunya yang disebut Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan
Hitam).
Teringatlah
Pek Lan akan ilmu sihir yang diajarkan oleh Thai Yang Suhu padanya. Maka
diam-diam, sambil sibuk mengelak berloncatan untuk menghindarkan hujan tamparan
dari Sie Liong, ia berkemak-kemik membaca mantera. Pandang matanya bagaikan dua
ujung pedang yang disatukan bagaikan menembus dahi Pendekar Bongkok di antara
alisnya, kemudian tiba-tiba ia membentak nyaring.
“Pendekar
Bongkok, menyerah dan berlututlah engkau!”
Sie Liong
terkejut sekali ketika merasa betapa ada tenaga luar biasa yang seolah-olah
memaksanya untuk menyerah dan berlutut. Akan tetapi dia adalah seorang pemuda
gemblengan yang sudah menerima banyak petunjuk dari Pek-sim Siansu, bagaimana
cara menghadapi ilmu-ilmu sihir dari kaum sesat.
Maka dia pun
cepat menahan napas sambil mengerahkan khikang sehingga pengaruh yang
memaksanya itu buyar. Akan tetapi dia menahan senyum, kemudian pura-pura
menjatuhkan diri berlutut seolah-olah dia terpengaruh oleh sihir yang dilakukan
gadis itu!
Melihat
lawannya benar-benar berlutut, Pek Lan gembira bukan main akan hasil ilmu
sihirnya itu. Ia tahu bahwa lawannya ini amat berbahaya, dan tidak mudah
ditundukkan dengan pengaruh kecantikan wajah dan keindahan tubuhnya, maka
baginya tidak ada gunanya, bahkan membahayakan saja. Maka ia pun lalu menubruk
ke depan dan kedua tangannya, dengan jari-jari membentuk cakar harimau,
menyambar ke arah ubun-ubun kepala Pendekar Bongkok.
“Haiiiittt...!”
Pendekar
Bongkok tiba-tiba membentak, kedua tangannya mendorong ke depan dan bagaikan
sebuah layang-layang yang putus talinya, tubuh Pek Lan langsung melayang ke
belakang lalu terbanting jatuh! Untung bahwa Pendekar Bongkok tidak bermaksud
membunuhnya, maka Pek Lan tidak tewas, bahkan tidak terluka parah, hanya
terbanting keras, membuat pinggulnya terasa nyeri bukan main.
Pek Lan
cepat meloncat bangun, menggosok-gosok pinggul yang tadi terbanting sambil
meringis kesakitan. Akan tetapi, kemarahannya sudah memuncak. Tanpa banyak
cakap lagi, ia pun sudah mencabut pedangnya dan sambil mengeluarkan lengkingan
panjang, ia menyerang Pendekar Bongkok dengan pedangnya.
Kalau saja
Sie Liong menghendaki, pukulan dahsyat Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung)
tadi sudah cukup untuk membunuh Pek Lan. Akan tetapi, dia tidak bermaksud
membunuh orang. Betapa pun juga, siluman merah itu belum diketahui apa
sebenarnya yang menjadi latar belakang perbuatannya menculik gadis-gadis itu.
Sekarang,
melihat betapa wanita itu menjadi semakin nekat dan menyerangnya dengan pedang,
dengan permainan pedang yang cukup berbahaya, dia pun mempergunakan kelincahan
gerakan tubuhnya, mengelak sambil berloncatan dan berkali-kali tubuhnya
berkelebatan di sekeliling lawannya, membuat gadis itu menjadi bingung dan
pening. Pek Lan merasa seolah melawan bayangan saja, demikian cepatnya gerakan
Pendekar Bongkok.
“Hentikanlah
seranganmu, atau terpaksa aku akan merobohkanmu. Kembalikan semua gadis yang
telah kau culik, maka aku akan memaafkanmu!” Pendekar Bongkok berseru beberapa
kali, namun sebagai jawabannya, Pek Lan menyerang semakin ganas saja.
Sie Liong
menjadi marah. Gadis ini terlalu ganas dan berhati kejam, kalau tidak diberi
hajaran keras tentu tidak akan mau tunduk. Pada waktu pedang itu untuk ke
sekian kalinya meluncur ke arah dadanya, Pendekar Bongkok mengelak dengan
miringkan tubuh dan menarik tubuh atas ke belakang, lalu tangannya dengan cepat
sekali menotok ke atas pundak kanan Pek Lan.
“Tukkk!”
Pek Lan
merasa lengannya lumpuh dan pedang itu terlepas dari pegangannya. Akan tetapi,
dengan gerakan memutar dia menubruk ke arah Pendekar Bongkok dan tanpa
malu-malu lagi tangannya yang membentuk cakar itu mencengkeram ke arah bawah
pusar pemuda bongkok itu!
“Ihhhh...!”
Sie Liong
meloncat ke belakang dan mukanya berubah merah. Wanita ini sungguh tidak tahu
malu sama sekali! Dia melompat ke belakang bukan karena takut, tetapi karena
malu.
Akan tetapi
baru dia tahu bahwa serangan mencengkeram ke arah bawah pusarnya tadi hanya
merupakan gertakan saja karena sekarang Pek Lan sudah menyambar kembali
pedangnya yang tadi terlepas. Serangan itu dipergunakan hanya untuk dapat
merampas kembali pedang yang sudah lepas dari tangan.
Wanita itu
kini maklum benar bahwa Pendekar Bongkok sungguh amat lihai. Namun dia masih
merasa penasaran, apa lagi mengingat bahwa ada teman-temannya yang tentu akan
membantunya.
Benar saja!
Ketika ia menerjang lagi, tiba-tiba bermunculan tiga orang Tibet Sam Sin-to
yang semenjak tadi hanya mengintai sambil menonton saja. Mereka baru muncul dan
membantu Pek Lan setelah menerima perintah dari Thai Yang Suhu.
Tokoh
Pek-lian-kauw ini tidak segera memberi perintah membantu Pek Lan karena dia
ingin memperhatikan gerakan ilmu silat Pendekar Bongkok dan untuk menguji
sampai di mana kelihaian pemuda bongkok itu. Diam-diam dia terkejut juga
menyaksikan kelihaian Pendekar Bongkok yang membuat Pek Lan tidak berdaya.
Setelah gadis itu terdesak hebat dan terancam bahaya, barulah dia memberi
isyarat kepada Tibet Sam Sin-to untuk maju membantu.
Melihat
munculnya tiga orang laki-laki tinggi besar yang masing-masing memegang
sebatang golok melengkung dan gerakannya aneh, Sie Liong dapat menduga bahwa
mereka tentulah jagoan-jagoan dari Tibet. Hal ini dapat diketahuinya dari gaya
gerakan tubuh mereka. Dia sudah banyak mendengar dari para gurunya, yaitu
Himalaya Sam Lojin dan juga Pek-sim Siansu tentang ilmu silat Tibet yang
bercampur dengan gaya silat gulat, semacam ilmu silat yang mengandalkan
cengkeraman, tangkapan, dan juga bantingan.
Akan tetapi,
perhatian Sie Liong bukan sepenuhnya kepada tiga orang ini. Dia menduga bahwa
tentu masih ada musuh lain yang bersembunyi seperti tiga orang tinggi besar
tadi yang bersembunyi di balik semak-semak.
Dia tadi
tidak mendengar kedatangan mereka, hal itu hanya berarti bahwa sejak tadi
mereka memang berada di situ, bersembunyi. Dia telah terjebak! Semua siasat
yang dilakukan wanita cantik itu merupakan siasat mereka. Mungkin sejak dia
mendaki Bukit Onta, gerak-geriknya tentu telah diikuti pihak musuh.
Pada saat
mendengar bunyi berkeresek di atas sebuah pohon besar, tiba-tiba Sie Liong
mengeluarkan lengkingan panjang dan sebelum Pek Lan dan Tibet Sam Sin-to sempat
menyerangnya, tubuhnya sudah melayang naik ke arah pohon di mana tadi terdengar
daun berkeresekan.
Melihat
bayangan manusia di dalam pohon itu, Sie Liong meloncat sambil menyerang dengan
dorongan telapak tangannya. Orang itu ternyata adalah seorang kakek tinggi
besar pula yang berkepala gundul dan berpakaian pendeta. Melihat Sie Liong
meloncat ke atas pohon dan menyerangnya, kakek itu yang bukan lain adalah Thai
Yang Suhu, menjadi terkejut dan cepat menangkis.
“Dukkk!”
Keduanya
terdorong keras dan terpaksa keduanya melompat turun dari atas dahan pohon.
Ketika
tubuhnya terdorong dan terpaksa meloncat turun, tangan Sie Liong menyambar
sebatang ranting sebesar lengannya. Ranting itu patah dan terbawa turun. Lega
rasa hati Sie Liong sesudah dia memperoleh senjata itu, sebatang ranting yang
panjangnya satu setengah meter, cukup kuat dan lentur.
Di lain
pihak, Thai Yang Suhu terkejut setengah mati. Tadi ketika menangkis, dia sudah
mengerahkan seluruh tenaga sinkang-nya. Biar pun pemuda bongkok itu dapat
dipaksa meloncat turun, dia sendiri pun harus meloncat turun karena tubuhnya
terpental dan seluruh lengannya yang menangkis tadi terasa dingin sekali! Dia
tidak tahu bahwa tadi pemuda itu mengerahkan ilmu Swat-liong-ciang (Ilmu Silat
Naga Salju) yang membuat kedua lengannya dipenuhi sinkang yang dingin sekali.
Kini Sie
Liong berdiri di tengah, dikepung oleh kelima orang itu. Melihat keadaan kakek
pendeta itu, Sie Liong segera mengenal gambar teratai putih, dan dia tahu bahwa
dia berhadapan dengan seorang tokoh Pek-lian-kauw. Mengertilah dia kini mengapa
gadis cantik itu menculiki gadis-gadis dusun yang cantik.
Dia sudah
sering mendengar tentang sepak terjang aliran agama sesat Pek-lian-kauw yang
bersembunyi di balik kedok perjuangan membela rakyat! Sebuah perkumpulan di
mana orang-orangnya mempelajari ilmu silat dan ilmu sihir, dan di mana sering
kali terjadi kecabulan karena orang-orang Pek-lian-kauw merupakan hamba nafsu,
terutama sekali nufsu birahi.
Dia sering
kali mendengar bahwa Pek-lian-kauw mempunyai banyak murid atau anak buah
wanita-wanita muda yang cantik. Tentu perawan-perawan dusun itu akan dijadikan
anak buah. Bukan saja membantu kekuatan Pek-lian-kauw, namun mereka juga akan
dijadikan tenaga hiburan bagi para pimpinan Pek-lian-kauw!
“Hemm,
kiranya Pek-lian-kauw yang berdiri di belakang penculikan para gadis itu!” kata
Sie Liong sambil berdiri tegak dengan kedua kaki terpentang. Tongkat ranting
pohon itu berada di tangannya dan berdiri di depannya, dengan daun-daun yang
masih memenuhi ranting kecil yang mencuat ke kanan kiri.
Thai Yang
Suhu yang kini tak berani memandang rendah lawannya, segera melangkah maju,
sepasang pedang sudah dicabutnya dari balik jubah. Dia menudingkan pedang kiri
ke arah muka Sie Liong dan terdengar suaranya yang berwibawa.
“Orang muda,
siapa engkau sesungguhnya? Selamanya belum pernah kami mendengar tentang
seorang yang disebut Pendekar Bongkok, dan mengapa pula memusuhi kami dan
menghalangi pekerjaan kami? Bicaralah, orang muda. Pinceng adalah Thai Yang
Suhu, mereka ini adalah Tibet Sam Sin-to, dan nona itu adalah nona Pek Lan,
murid terkasih dari Hek-in Kui-bo. Nah, engkau lihat, engkau berhadapan dengan
lima orang yang memiliki nama besar di dunia kang-ouw, oleh karena itu, sungguh
tidak bijaksana bagimu kalau engkau memusuhi kami. Bukankah lebih baik kalau
kita bekerja sama?”
Mendengar
ucapan itu, Sie Liong mengerutkan alisnya. Sepasang matanya mencorong penuh
kemarahan. Tokoh sesat ini barusan menawarkan kerja sama dengan dia, berarti
mengajak dia menjadi seorang penjahat!
“Thai Yang
Suhu, engkau adalah seorang yang berpakaian pendeta, namun ternyata
kependetaanmu itu hanya kedok belaka, bagai serigala berkedok domba. Aku
bernama Sie Liong, dan tentang nama julukan itu, terserah yang menyebutku.
Memang aku tidak memiliki permusuhan dengan kalian, akan tetapi aku adalah
musuh besar dari semua perbuatan jahat! Kalian sudah menculik sembilan orang
gadis-gadis dusun. Nah, kalau kalian tidak menghendaki pertentangan dengan aku,
kalau menghendaki kerjasama, bebaskanlah sembilan orang gadis itu, dan aku pun
tidak akan mengganggu kalian lagi, kecuali kalau lain kali aku melihat kalian
melakukan kejahatan lagi!”
“Bocah
bongkok keparat sombong! Toa-suhu, mengapa banyak bicara dengan bocah sombong
ini? Biar kami habiskan dia!” bentak seorang di antara Tibet Sam Sin-to dan
mereka bertiga sudah marah sekali, sudah siap dengan golok mereka...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment