Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Bongkok
Jilid 08
Wanita itu
tidak berani berkutik, berdiri menggigil dan terus saja menggeleng kepala tanda
bahwa ia tidak sudi memenuhi permintaan si brewok itu.
Sekarang Si
brewok membelalakkan matanya lebar-lebar. “Apa? Kau berani menolak perintah
Tiat-jiauw Jit-eng (Tujuh Garuda Bercakar Besi)?” Dia memukulkan kepalan
kanannya pada telapak tangan kiri sehingga mengeluarkan bunyi keras. “Apa
engkau sudah bosan hidup dan memilih mampus? Sebelum mampus pun kau tidak akan
lepas dari tangan kami! Apa kau lebih suka diperkosa sampai mati dari pada
melayani kami dengan manis?”
Wanita itu
menjadi semakin pucat dan tiba-tiba kakinya yang menggigil tak mampu lagi
menahan tubuhnya. Ia jatuh berlutut di atas lumpur! Dan ia memberi hormat
kepada si brewok itu.
“Ampunkan
saya... saya sudah bersuami..., ampunkan saya...”
“Ha-ha-ha,
lebih baik lagi! Kalau engkau sudah bersuami, lalu apa sukarnya melayani kami?
Hayo, ke sinilah!” Si brewok kembali menjulurkan tangannya ke arah wanita itu.
“Tidak...
tidak... tidak!” Wanita itu menjerit histeris lalu menangis.
Marahlah si
brewok. Agaknya dia tidak mau turun ke lumpur karena sepatunya masih baru. Dia
menengok dan memerintahkan anak buahnya. “Turun dan seret ia ke mari!”
Seorang di
antara mereka, yang termuda, berusia kurang lebih tiga puluh lima tahun,
sedangkan yang lain antara empat puluh lima tahun, segera melangkah maju dengan
sikap gagah.
Orang ini
mukanya kecil sempit dan panjang, kepucatan seperti orang berpenyakitan,
matanya sipit dan hidungnya pesek. Dia menyeringai ketika dia turun ke ladang
untuk menghampiri wanita itu yang bangkit berdiri dan mencoba untuk melarikan
diri menjauhi orang itu.
Ia adalah
seorang wanita, akan tetapi sejak kecil ia bekerja di sawah ladang. Tubuhnya
kuat sekali dan sudah terbiasa di lumpur, maka ia dapat berlari cepat. Berbeda
dengan laki-laki yang mengejarnya.
Biar pun dia
seorang kasar yang memiliki kekuatan dan kepandaian, akan tetapi belum pernah
dia berjalan di dalam lumpur, apa lagi dia bersepatu, tidak seperti wanita
petani itu yang bertelanjang kaki. Maka, sukarlah baginya untuk menangkap
wanita itu! Semua kawan-kawannya menjadi sangat gembira dan mereka pun serentak
mengepung ladang itu, menghadang wanita yang hendak melarikan diri.
Wanita itu
menjadi semakin ketakutan. Hanya pinggir yang dihalangi solokan itulah yang
tidak dihadang penjahat, maka ia pun lari ke situ dan meloncat ke dalam
solokan, terus mendaki dan dikejar oleh tujuh orang itu yang membuat gerakan
menakut-nakuti sambil tertawa-tawa. Mereka memperoleh hiburan, seperti tujuh
ekor kucing mempermainkan seekor tikus sebelum menerkan dan mengganyangnya.
Kebetulan
sekali wanita itu melihat Sie Liong yang duduk di bawah pohon, maka ia pun
berlari ke arah pohon itu, lalu menubruk Sie Liong yang masih duduk bersila.
Sie Liong merasa betapa wanita itu merangkulnya, dan karena pakaian wanita itu
penuh lumpur, maka pakaiannya sendiri pun terkena lumpur. Dia merasa betapa
dada yang menempel pada pundaknya itu berdebar kencang dan bergelombang, dan
betapa napas itu terengah-engah.
“Tolonglah...
tolonglah saya... aduh, lebih baik saya mati dari pada tertawan mereka...
tolonglah saya...”
“Enci,
tenanglah dan duduklah di belakangku. Biar aku yang akan menghadapi mereka,”
kata Sie Liong.
Kini tujuh
orang itu sudah tiba di bawah pohon. Si brewok marah sekali melihat wanita itu
berlutut di belakang seorang laki-laki yang duduk bersila. Dia tidak peduli
apakah pria itu suami si wanita. Baginya, tidak peduli wanita itu bersuami atau
tidak, kalau sudah dikehendakinya, harus diserahkan kepadanya!
“Heiii,
siapa kau?!”
Mendengar
bentakan yang nadanya sangat congkak ini, Sie Liong lalu bangkit berdiri.
“Namaku Sie Liong. Aku melihat betapa kalian mengganggu wanita ini. Apakah
kalian tidak malu? Kalian adalah tujuh orang laki-laki pengecut yang suka
mengganggu wanita yang tidak berdaya. Pergilah kalian dari sini sebelum aku
muak melihat tingkah kalian yang tidak senonoh seperti binatang itu!” berkata
Sie Liong yang memang marah sekali melihat perbuatan mereka tadi.
Tujuh orang
itu terbelalak. Keheranan melampaui kemarahan mereka sehingga mereka saling
pandang. Ada seorang pemuda biasa, bongkok pula, berani berbicara seperti itu
kepada mereka? Sungguh aneh, aneh sekali sehingga mereka seolah-olah lupa
dengan kemarahan mereka, bahkan mereka mulai tertawa-tawa.
“Heh-heh,
apakah engkau seorang pendekar?” tanya si brewok untuk mengejek.
“Seorang
pendekar yang bongkok! Pendekar Bongkok! Ha-ha-ha!”
“Awas kau,
Pendekar Bongkok. Nanti kupenggal punukmu untuk kubuat menjadi punuk panggang,
baru tahu rasa kau!”
Si brewok
melangkah maju satu langkah. “Hei, Sie Liong, apakah engkau sudah buta, ataukah
memang tuli? Andai kata engkau tidak mengenal kami, tentu sudah mendengar akan
nama besar Tiat-jiauw Jit-eng!”
Sie Liong
tersenyum. “Tujuh Garuda Cakar Besi atau Tujuh Garuda Cakar Tahu aku tidak
peduli.”
“Wah, pemuda
bongkok ini memang sudah bosan hidup!” si brewok berkata sambil memberi isyarat
kepada anak buahnya yang termuda, yang tadi mengejar-ngejar wanita itu tanpa
hasil.
Si mata
sipit hidung pesek ini, yang tadi merasa penasaran dan rugi karena tak mampu
menerkam si manis, kini melangkah maju, lenggangnya dibuat-buat bagaikan
seorang jagoan asli yang tidak pernah terkalahkan. Dia melenggang seperti
layangan yang tak seimbang, condong ke kanan dan ke kiri, kepalanya ditegakkan,
dadanya dibusungkan. Akan tetapi, karena dadanya memang tipis dan perutnya
besar, maka yang menjadi busung bukan dadanya melainkan perutnya!
“Heiii,
orang muda yang tolol! Engkau ini masih muda, lemah dan bongkok pula, apa
engkau tidak tahu diri? Engkau berani menentang kami, hanya untuk membela
seorang perempuan dusun? Apamukah perempuan itu?” tanyanya, suaranya
dibesar-besarkan agar berwibawa. Akan tetapi karena suaranya memang kecil parau
bagai suara seorang penderita batuk kering, maka tetap saja suara yang keluar
sama sekali tidak berwibawa, malah lucu.
Biar pun di
dalam hatinya Sie Liong merasa marah sekali, namun dia tetap tenang dan sabar.
“Enci ini adalah kerabat yang paling dekat karena ia termasuk orang yang lemah
dan tertindas, orang yang membutuhkan bantuan. Dan kalian adalah orang-orang
jahat, manusia-manusia berwatak iblis yang patut ditentang!”
Si mata
sipit hidung pesek mengerutkan alisnya dan membentak marah. “Wahh, engkau ini
pemuda kurang ajar, aku yang akan menghajarmu, kusiksa sampai mampus!”
Setelah
berkata demikian, dia pun menyerang. Meski pun tubuhnya kerempeng dan dia
kelihatan berpenyakitan, ternyata si mata sipit hidung pesek ini dapat bergerak
dengan cepat sekali dan sambaran tangan kanannya ketika menjotos ke arah muka
Sie Liong mengandung tenaga yang terlatih.
“Wuuuuuttt...!”
Tonjokan
dengan tangan terkepal itu menyambar ke arah pipi kiri Sie Liong. Akan tetapi
pemuda bongkok ini tenang saja, seolah-olah tidak tahu bahwa dia diserang
dengan tonjokan yang akan dapat membuat pipinya bengkak dan giginya rontok!
Baru setelah kepalan itu hanya terpisah satu sentimeter saja dari pipinya,
secepat kilat dia menarik kepala ke belakang, tangan kiri menyambar, menangkap
lengan kanan lawan dan dia pun mendorong, menambahkan tenaga dorongan pukulan
itu dengan tenaganya sendiri sehingga kepalan kanan si sipit pesek itu meluncur
terus dan melingkar ke arah pipi kirinya sendiri.
“Desss...!
Aughhhh...!”
Beberapa
buah gigi berlompatan keluar dari mulutnya yang terbuka, dan hidungnya pun
berdarah karena kepalan tangan kanannya tadi dengan kuat sekali telah
menghantam ke arah mukanya sendiri!
“Auhh...
auhh... auhhh...!”
Dia
mengerang kesakitan, tidak mampu berkata ‘aduh’ karena mulutnya terasa seperti
remuk. Dia membungkuk-bungkuk dan kedua tangannya sibuk memegang-megang dan
meraba-raba mulut dan hidung.
Kembali maju
seorang di antara mereka yang tubuhnya tinggi besar laksana raksasa. Mukanya
hitam dengan kulit muka yang kaku seperti punggung buaya, agaknya muka itu
memang rusak oleh penyakit kulit yang hebat. Di antara tujuh orang gerombolan
itu, dia terkenal sebagai seorang yang mempunyai tenaga besar, dan juga wataknya
amat sombong karena memang sulit mencari orang yang mampu mengalahkan raksasa
muka hitam ini.
Agaknya dia
masih terlalu mengandalkan kehebatan diri sendiri sehingga melihat Sie Liong
mengalahkan kawannya, ia masih juga memandang rendah pemuda bongkok itu.
Agaknya dia menganggap bahwa kekalahan si mata sipit hidung pesek itu tadi
hanya karena kebodohannya sendiri, bukan karena kelihaian pemuda bongkok ini.
Bahkan dia
merasa terlalu tinggi untuk berkelahi melawan seorang pemuda bongkok, maka dia
ingin mengalahkan pemuda itu dengan wibawanya saja.
“Heii, bocah
ingusan! Lekas engkau berlutut dan memanggil engkong (kakek) kepadaku, baru aku
akan mengampunimu! Cepat...!” Kedua matanya yang hitam dan mencorong itu
melotot galak.
“Engkong-ku
sudah mati, akan tetapi seingatku, dia tak seburuk engkau,” kata Sie Liong
dengan sikap tenang.
“Kalau
begitu, aku akan memaksamu berlutut!” bentak si raksasa muka hitam.
Dia pun
sudah menyerang dengan dua tangannya mencengkeram ke arah kepala dan dada Sie
Liong. Pada waktu pemuda ini menarik diri ke belakang, tiba-tiba kaki kanan
raksasa itu menendang ke arah lututnya. Kalau sasaran tendangan itu terkena,
tentu Sie Liong akan benar-benar diharuskan berlutut karena tendangan itu kuat
bukan main.
Namun, tentu
saja Sie Liong yang tingkat kepandaiannya jauh lebih tinggi, dapat melihat
gerakan serangan ini dengan jelas, maka mudah saja baginya untuk mendahului
lawan. Sebelum kaki yang menendang itu sampai ke tubuhnya, dia cepat-cepat
merendahkan diri, menggeser kaki ke kiri dan dari samping tangannya monotok ke
arah lutut kanan itu.
“Tukkk!”
Seketika
kaki yang besar itu terasa lumpuh dan tanpa dapat dicegah lagi raksana muka
hitam itu jatuh berlutut di atas kaki kanan dan kebetulan dia jatuh berlutut di
depan Sie Liong! Pemuda itu tersenyum dan berkata dengan suara mengejek.
“Aku bukan
engkong-mu, tidak perlu engkau berlutut memberi hormat!”
Tentu saja
ucapannya ini membuat raksasa muka hitam itu menjadi marah sekali. Dia melompat
berdiri, akan tetapi kembali dia terguling karena kakinya masih terasa lumpuh.
Melihat ini,
kawan-kawannya menjadi amat marah, akan tetapi sekaligus maklum bahwa pemuda
bongkok itu betul-betul seorang pendekar yang amat lihai! Maka, tanpa banyak
cakap lagi mereka mencabut senjata golok atau pedang dari punggung mereka dan
di lain saat, Sie Liong telah dikepung tujuh orang yang memegang senjata tajam.
Melihat ini,
wanita itu menangis ketakutan.
“Jangan
bunuh dia... ahhh, jangan bunuh dia yang tidak berdosa...” ratapnya sambil
menangis.
Mendengar
ini, si brewok tertawa, “Ha-ha-ha, jadi engkau mau ikut denganku secara suka
rela kalau kami lepaskan bocah bongkok ini?”
“Tidak,
tidak... kalian boleh membunuh aku, akan tetapi... jangan bunuh dia yang tidak
berdosa...”
“Enci,
tenanglah. Mereka tidak akan mampu membunuhku atau membunuhmu!” kata Sie Liong
kepada wanita itu.
Hatinya
terasa gembira sekali karena ternyata wanita dusun yang ditolongnya itu adalah
seorang wanita yang hebat! Dia berani mengorbankan nyawa untuk mempertahankan
kehormatan, juga amat baik budi sehingga tidak tega melihat dia dikepung dan
diancam bunuh oleh para penjahat itu.
Kini tujuh
orang penjahat itu sudah menggerakkan senjata mereka dan serentak mereka
menyerang. Namun, baru mereka menyerang dua tiga jurus tubuh pemuda bongkok itu
sudah lenyap, berubah menjadi bayangan yang dengan cepatnya menyelinap di
antara sambaran senjata mereka.
Mereka
merasa terkejut, akan tetapi juga penasaran dan mereka terus mengarahkan
senjata mereka, menyerang bayangan yang gesit bukan main itu. Akan tetapi,
tiba-tiba bayangan itu lenyap dan tahu-tahu pemuda bongkok itu sudah menyerang
dari atas, bagaikan seekor naga dari angkasa saja! Dan sekali kaki tangannya
bergerak, empat orang jatuh tersungkur seperti disambar petir dari atas!
Tiga orang
penjahat lainnya terkejut bukan main. Akan tetapi mereka pun hanya diberi
kesempatan untuk bengong sejenak, karena tiba-tiba saja mereka pun terjungkal
roboh oleh tamparan tamparan tangan Sie Liong yang ampuh bukan main itu.
Tujuh orang
itu baru sekarang merasa jeri. Mereka bertujuh, yang memegang senjata, roboh
dalam beberapa gebrakan saja melawan pemuda bongkok itu! Tamparan yang hanya
sekali itu saja sudah membuat mereka roboh dan bagian badan yang terpukul
terasa seperti remuk!
Si brewok,
pimpinan mereka dan merupakan orang yang paling tangguh, mampu lebih dulu
bangkit dan dia sudah bersiap untuk melarikan diri meninggalkan teman-temannya.
Akan tetapi, hanya dengan beberapa langkah saja Sie Liong sudah dapat menangkap
pundaknya.
Tekanan
tangan Sie Liong di pundak itu membuat si brewok menggigil saking nyerinya
sehingga dia pun jatuh berlutut. Pundak yang dicengkeram pemuda bongkok itu
seperti dibakar atau dicengkeram kaitan baja membara saja, panas dan perih,
nyeri luar biasa, terasa menusuk-nusuk sampai ke tulang.
“Ampun,
taihiap... ampun, saya mengaku kalah!”
“Hemmm, aku
tidak membutuhkan pengakuan kalah darimu! Aku tidak membutuhkan kemenangan.
Akan tetapi aku minta agar kalian suka sadar dari kelakuan jahat kalian dan
bertobat!”
“Ampun,
taihiap,... saya bertobat...!”
“Hemm, siapa
percaya omongan orang jahat macam engkau?”
“Saya
bersumpah tak akan melakukan kejahatan lagi, taihiap. Saya akan bekerja seperti
dulu, yaitu memburu binatang hutan. Dahulunya kami adalah pemburu-pemburu,
karena tertarik penghasilan besar lalu mulai merampok orang yang lewat di
hutan...”
“Benar,
engkau bertobat dan hendak kembali ke jalan benar?” tanya Sie Liong. “Aku tetap
tidak percaya kalau engkau dan teman-temanmu tidak memperlihatkan buktinya.
Sumpah mulut saja tidak ada artinya.” Dia lalu menggertak, “Atau aku akan
membiarkan kalian mati tersiksa dengan memberi pukulan mematikan?”
Kini dia
melepaskan cengkeramannya dan seketika si brewok tidak merasa nyeri lagi. Dia
makin yakin bahwa pendekar muda yang bongkok itu betul-betul lihai.
“Taihiap,
kami bersumpah dan inilah buktinya!”
Dia
menyambar goloknya yang tadi terlempar, lalu membuka sepatu kirinya dan sekali
bacok, lima buah jari kaki kirinya buntung! Darah mengalir deras dari kaki yang
buntung jari-jarinya itu.
Diam-diam
Sie Liong terkejut sekali, akan tetapi juga girang karena dia maklum bahwa si
brewok itu bersungguh-sungguh!
“Hayo kalian
buntungi jari kaki kiri masing-masing seperti aku, siapa yang tak mau, aku yang
akan membuntunginya sendiri. Mulai saat ini, kita tidak akan merampok manusia
lagi, melainkan memburu binatang seperti dulu lagi!”
Enam orang
anak buahnya melihat bahwa pimpinan mereka bersungguh-sungguh dan mereka pun
jeri terhadap Pendekar Bongkok, demikian mereka menyebut Sie Liong, oleh karena
itu mereka pun mengambil senjata masing-masing yang tadi terlempar, lalu
membabat buntung jari kaki kiri mereka. Melihat ini, wanita dusun itu menutupi
muka karena merasa ngeri.
Sie Liong
lalu menghampiri mereka seorang demi seorang, menotok kaki kiri mereka di atas
bagian yang terluka, mengeluarkan obat bubuk putih yang ditaburkan pada luka di
kaki.
Seketika,
tujuh orang itu merasa betapa kenyerian jari yang dibuntungi itu lenyap, dan
luka-luka itu pun cepat menjadi kering. Mereka menjadi makin kagum. Kiranya
Pendekar Bongkok ini selain amat lihai ilmu silatnya, juga pandai ilmu
pengobatan.
Hal ini
sebenarnya tidaklah perlu diherankan kalau diketahui bahwa seorang di antara
orang-orang sakti yang menggembleng Sie Liong adalah Pek-sim Siansu, seorang
sakti yang pandai dalam ilmu pengobatan pula.
“Ingat akan
sumpahmu sendiri,” kata Sie Liong ketika mereka semua sudah berdiri dan bersiap
untuk pergi. “Kalau kelak kalian tetap menjadi penjahat dan mengganggu orang
lain, dan aku mendengarnya, pasti akan kucari kalian sampai dapat dan bukan
hanya jari kaki kalian saja yang harus dipotong. Selain itu, aku akan
membangkitkan semangat para penduduk dusun supaya mereka bersatu padu dan
hendak kulihat, kalau ratusan orang dusun itu bersatu padu melawan kalian, apa
yang dapat kalian lakukan terhadap mereka!”
Diam-diam si
brewok dan teman-temannya merasa ngeri. Bukan saja mereka ngeri terhadap
kesaktian Pendekar Bongkok, akan tetapi juga ngeri kalau benar penduduk dusun
sampai bangkit menentang mereka, maka tentu mereka akan dikeroyok ratusan orang
dan akan dihancur lumatkan oleh mereka yang mendendam kepada mereka.
Kalau
biasanya mereka itu dapat merajalela adalah karena mereka menang gertakan dan
para penduduk dusun itu belum apa-apa sudah ketakutan lebih dulu, melarikan
diri bersembunyi dari pada melakukan perlawanan berpadu.
Tujuh orang
itu, dipimpin oleh Si Brewok, menghaturkan terima kasih kepada Sie Liong,
kemudian mereka pergi meninggalkan tempat itu, tidak jadi mengganggu wanita
petani atau dusun di dekat ladang itu.
Setelah
mereka pergi, Sie Liong menghampiri wanita dusun itu dan dengan senyum kagum
dia berkata sambil berlutut di dekat wanita yang masih duduk di atas rumput
dengan wajah masih diliputi ketegangan itu.
“Untung
bahwa engkau tabah sekali menghadapi mereka, enci...,” katanya.
Wanita itu mengangkat
muka, kemudian memandang padanya dan kembali air matanya menetes-netes turun ke
atas pipinya. Mulut wanita itu berkemak-kemik, namun tidak ada sedikit pun
suara yang keluar. Akhirnya, ia mengeluarkan jerit kecil dan merangkulkan kedua
lengannya pada pundak dan leher Sie Liong sambil menangis!
Pemuda
bongkok itu terkejut, akan tetapi mendiamkannya saja dan tersenyum ketika dia
merasa kehangatan air mata menembus bajunya karena wanita itu menangis di atas
dadanya. Bahkan dia pun lalu merangkul dan menepuk-nepuk pundak wanita itu
dengan lembut.
“Tenanglah,
enci, bahaya sudah lewat sekarang,” hiburnya.
Akan tetapi
wanita itu bahkan mempererat rangkulannya dan terdengar bisikan lirih dari
mulut yang disembunyikan di dadanya itu. “Adik yang baik, ahhh... taihiap yang
gagah perkasa, engkau telah menyelamatkan diriku... terima kasih, taihiap,
terima kasih...”
Suaranya
mengandung isak sedangkan tubuhnya gemetar, seolah-olah ia teringat akan
peristiwa tadi dan membayangkan betapa akan ngerinya apa bila ia sampai
terjatuh ke tangan tujuh orang itu.
“Sudahlah,
enci. Sudah semestinya aku melindungimu, dan aku kagum sekali melihat
ketabahanmu tadi. Lepaskanlah rangkulanmu, lihat, di sana datang orang-orang
dusun.”
Mendengar
ini, wanita itu melepaskan rangkulannya dan dengan wajah masih basah air mata,
ia menoleh ke kiri dan benar saja, dari arah dusun, datang berlari-larian
banyak sekali penduduk dusun ke tempat itu. Dan di tangan mereka terpegang
segala macam alat pertanian yang agaknya kini hendak dijadikan senjata.
Sie Liong
merasa tegang dan juga malu. Dia tahu bahwa mereka yang sedang berlari dan
datang itu tadi sempat melihat betapa dia dan wanita itu berpelukan-pelukan!
Untuk menghilangkan rasa sungkan dan tidak enak itu, Sie Liong lalu bangkit dan
memunguti potongan jari-jari kaki itu, dan mengumpulkannya di atas sehelai kain
sapu tangan.
Melihat ini,
wanita dusun itu bergidik.
“Taihiap,
untuk apakah kau... mengumpulkan benda-benda mengerikan itu?”
“Aku akan
menguburnya, enci,” kata Sie Liong sambil memunguti terus.
Tak lama
kemudian, rombongan orang dusun itu tiba di situ. Seorang laki-laki berusia
kurang lebih tiga puluh tahun yang memegang sebatang tongkat panjang moloncat
maju menghampiri wanita itu.
“Kui Hwa,
apa yang telah terjadi?” tanyanya, suaranya mengandung kemarahan.
Wanita dusun
itu menangis dan lari menghampiri laki-laki itu. “Aku... aku hampir saja
celaka...!” serunya sambil menangis.
Dia hendak
merangkul laki-laki yang ternyata adalah suaminya itu. Akan tetapi, laki-laki
itu mendorongnya sehingga ia terpelanting.
“Jangan
sentuh aku! Engkau perempuan tak tahu malu!”
Wanita dusun
yang bernama Kui Hwa itu terbelalak. Saking kaget dan herannya, ia tidak
merasakan kenyerian punggungnya ketika terpelanting oleh dorongan suaminya.
“Apa... apa
maksudmu...?” tanyanya dengan heran.
Kui Hwa
lebih heran lagi ia saat melihat betapa orang-orang lain, para pria di
dusunnya, para tetangganya, memandang padanya dengan sinar mata yang
mencemoohkan dan agaknya membenarkan sikap suaminya itu!
“Maksudku
kau tanyakan! Maksudmulah yang ingin sekali kuketahui! Apa yang sudah terjadi
di sini?”
Suaminya
dengan berang melirik ke arah Sie Liong yang sudah selesai mengumpulkan
potongan jari-jari kaki tadi dan kini berdiri di situ dengan muka ditundukkan.
Potongan jari-jari kaki tadi berada dalam buntalan kain sapu tangan.
“Suamiku,
apakah engkau tidak mendengar dari para tetangga kita tadi? Mereka itu,
Tiat-jiauw Jit-eng itu datang lagi!” kata si isteri yang masih terheran-heran
melihat sikap suaminya.
“Tentu saja
kami semua mendengar. Lalu di mana mereka dan apa yang telah terjadi di sini?”
kembali dia menoleh ke arah Sie Liong dengan wajah merah saking marahnya.
“Mereka
telah dikalahkan oleh taihiap ini. Mereka sudah melarikan diri dan aku... aku
diselamatkan oleh taihiap ini!” kata si isteri dengan suara gembira dan bangga.
“Bohong!”
Tiba-tiba sang suami membentak dan isteri itu kembali terkejut sekali.
Kini Sie
Liong mengangkat mukanya, memandang kepada suami itu dengan sinar mata
mencorong. Akan tetapi, dia bersikap sabar karena dia bisa menduga apa yang
menjadi sebab sang suami itu bersikap seburuk itu dan mengapa pula orang-orang
dusun itu berdiri saja, agaknya membenarkan sikap suami itu.
“Suamiku,
kenapa engkau mengatakan bohong? Pendekar muda ini yang bernama Sie Liong,
dialah yang telah menyelamatkan aku dari gangguan mereka, bahkan pendekar
perkasa ini yang memaksa mereka untuk meninggalkan pekerjaan jahat mereka, dan
mereka bersumpah dengan membuntungi jari-jari kaki mereka sebelum pergi dari
sini. Aihh, suamiku, pendekar muda ini sungguh perkasa dan kita sedusun patut
berterima kasih kepadanya...”
“Cukup! Kui
Hwa, jangan mengira bahwa kami semua adalah orang-orang buta dan bodoh, yang
mudah saja kau tipu dengan kata-katamu itu! Kami melihat betapa engkau bercumbu
dan berjinah dengan dia...”
“Diam...!”
Kui Hwa yang lemah lembut itu kini membentak. Dia berdiri bagaikan seekor singa
kelaparan atau seekor harimau betina membela anaknya. “Jangan engkau berani
mengeluarkan ucapan kotor itu! Pendekar ini sudah menyelamatkan aku, bahkan
juga menyelamatkan orang sedusun ini dan kalian bahkan berani menuduhnya
berbuat yang bukan-bukan?”
“Phuhh!”
Suami itu meludah. “Mataku masih belum buta, aku melihat betapa kalian tadi
berpelukan dan berciuman!”
“Engkau yang
bohong! Engkau yang kotor dan memang kalian bodoh! Aku tadi memang merangkulnya
sambil menangis, terharu dan menghaturkan terima kasih, dan dia hanya
menghiburku, sama sekali kami tidak berciuman... aihh, agaknya memang matamu
telah buta! Taihiap ini menundukkan tujuh orang gerombolan penjahat itu,
membuat mereka takluk dan bertobat, bahkan mereka sudah membuntungi jari-jari
kaki sambil bersumpah dan kalian...”
“Sudah!
Siapa yang percaya obrolanmu? Engkau memang perempuan tak tahu malu, mungkin
dia ini anggota bahkan pemimpin perampok! Dan engkau sudah tergila-gila kepada
laki-laki bongkok ini! Sungguh tak tahu malu!” Berkata demikian, laki-laki yang
sedang diamuk cemburu itu lalu mengangkat tongkat kayunya dan menghantamkan
tongkat kayunya kepada Sie Liong!
Pendekar ini
berdiri bengong. Sungguh tak disangkanya sama sekali bahwa cemburu dapat
membuat orang menjadi seperti gila! Saking herannya, ketika suami itu memukul
dengan tongkat kayu, dia pun diam saja, tidak bergerak seperti patung dan pada
saat kayu itu menghantam kepalanya, barulah dia mengerahkan sinkang untuk
melindungi kepala yang dipukul itu.
“Krakkk!”
Tongkat kayu itu patah-patah ketika bertemu dengan kepala Sie Liong.
“Ahhhh...!”
Suami wanita
dusun itu terbelalak. Mukanya pucat memandang kepada tongkat yang tinggal
potongan pendek di tangannya, sedangkan tongkat yang kuat itu sudah patah
menjadi tiga potong! Kepala orang bongkok itu melebihi besi kerasnya!
Sie Liong
mengangkat muka, memandang kepada suami itu dengan sinar matanya yang
mencorong. “Hemm, engkau memang orang bodoh, keras kepala, dan memang
sepatutnya kalau matamu buta! Engkau tidak patut menjadi suami dari seorang
isteri yang begini baik hati, tabah dan sangat berani mempertaruhkan nyawa
untuk menjaga kehormatannya. Engkau pantasnya menjadi suami seekor kambing atau
seekor monyet! Huh, menjemukan sekali!” katanya dan dia pun melemparkan
buntalan itu ke atas tanah, kemudian berpaling kepada wanita dusun sambil
memberi hormat.
“Enci,
maafkan apa bila aku hanya membikin engkau menjadi ribut dengan suamimu.
Selamat tinggal, enci, semoga Tuhan akan menyadarkan suamimu ini!” Dengan
sekali berkelebat, Sie Liong lenyap dari depan mereka, membuat suami wanita itu
dan para penduduk dusun terkejut dan melongo.
Suami itu
pun terkejut dan dia menjadi ketakutan. “Apakah dia... dia itu tadi...
setan...?” tanyanya kepada isterinya.
Isterinya
menjadi gemas sekali. Tangannya bergerak manampar.
“Plakkk!”
pipi suami itu telah ditamparnya!
“Laki-laki
yang tolol, gila oleh cemburu buta! Masih berani engkau mengatakan bahwa
pendekar sakti itu setan? Engkau inilah yang setan! Kalian tidak percaya akan
ceritaku tadi, ya? Kalian semua mengira bahwa aku sudah berjinah dengan dia
karena kalian tadi melihat dari jauh betapa kami saling berangkulan? Ohhhh,
memang kalian adalah orang-orang bodoh! Dengar baik-baik. Tujuh orang penjahat
itu datang ke sini. Aku tidak tahu bahwa mereka datang maka aku tidak sempat
lari seperti yang lain. Dan mereka itu mengejar-ngejarku, hendak menangkapku
dan tentu saja, dengan niat yang amat kotor! Dan aku melihat pendekar itu duduk
seorang diri di bawah pohon….”
Kui Hwa
berhenti bicara dengan napas terengah-engah karena dibakar emosi. Setelah
beberapa kali menarik napas, dia baru melanjutkan kembali.
“Tadinya aku
tidak tahu bahwa ia adalah seorang pendekar, akan tetapi dalam keadaan
ketakutan setengah mati itu, aku lari padanya dan mohon pertolongan. Siapa saja
akan kumintai tolong dalam keadaan hampir mati ketakutan seperti itu. Dan dia
bangkit, dia mengalahkan semua penjahat, kemudian memaksa mereka itu bertobat,
dan mereka membuntungi jari-jari kaki kiri mereka untuk tanda bertobat. Dan
kalian tidak percaya? Dan engkau, engkau sudah gila, engkau malah mencemburui
kami dan engkau malah menghina pendekar itu? Masih untung hanya tongkatmu yang
tadi dia patahkan, bukan lehermu! Kalau kalian tidak percaya, lihat ini buktinya!”
Dia memunguti jari-jari kaki itu untuk dikuburkan. “Nah, makanlah ini!”
Wanita itu
kemudian melemparkan buntalan itu ke arah suaminya, setelah membuka ikatannya.
Dan potongan-potongan jari kaki, sebanyak tiga puluh lima potong, langsung
berhamburan mengenai muka dan leher suaminya.
Si suami
tentu saja bergidik ngeri, juga para penduduk dusun merasa ngeri ketika mereka
melihat bukti itu. Jari-jari kaki yang masih berlumuran darah! Sementara itu,
Kui Hwa sudah berlari pulang sambil menangis.
Barulah
suami itu merasa menyesal sekali dan percaya sepenuhnya akan keterangan
isterinya. Sekarang dia baru dapat membayangkan betapa takutnya isterinya tadi
ketika dikejar-kejar tujuh orang penjahat keji itu, tanpa ada orang yang dapat
menolongnya.
Kemudian muncul
pendekar bongkok itu yang lalu mengalahkan semua penjahat, yang berarti telah
menyelamatkan isterinya itu dari malapetaka yang lebih mengerikan dari pada
maut. Maka, kalau dalam keadaan penuh rasa syukur dan keharuan itu isterinya
merangkul penolongnya dan manangis di dadanya, apakah yang aneh dalam hal itu?
Juga
pendekar itu bukan golongan pemuda yang terlalu menarik hati wanita. Isterinya
tidak mungkin tertarik kepada seorang yang tubuhnya bongkok seperti itu!
“Kui Hwa,
tunggulah...!”
Dia berteriak
berlari-lari mengejar isterinya. Di dalam hatinya yang penuh penyesalan itu
kini penuh dengan harapan agar isterinya suka memaafkannya.
Sementara
itu, para penduduk dusun yang lain segera mengumpulkan jari-jari kaki itu dan
menguburnya dengan hati penuh rasa syukur bahwa kini Tiat-jiauw Jit-eng yang
selama beberapa bulan lalu mengganas di sekitar daerah itu, kini sudah bertobat
dan berarti mereka tidak akan lagi diganggu oleh mereka yang amat jahat itu.
Dan semua ini berkat jasa Pendekar Bongkok, nama yang tak akan pernah mereka
lupakan dan yang semenjak terjadinya peristiwa itu menjadi buah bibir mereka
sehingga nama julukan pendekar baru ini mulai terkenal.
Sie Liong
melarikan diri, pergi meninggalkan ladang dusun itu dengan senyum pahit di
bibirnya. Ia memang telah memaklumi benar-benar keadaan dirinya, sudah
diterimanya keadaan dirinya seperti apa adanya.
Memang dia
berpunuk, dia bongkok dan itu merupakan sebuah kenyataan yang takkan dapat
dirobah. Titik. Dia tidak akan lagi mengeluh, tidak lagi memprihatinkan keadaan
tubuhnya yang sudah menjadi pemberian Tuhan dan yang diterimanya dengan penuh
kepasrahan dan rasa syukur. Akan tetapi, kalau terjadi peristiwa seperti di
sawah ladang tadi, bagaimana pun juga hatinya terasa seperti ditusuk.
Dia berniat
baik. Dia menyelamatkan wanita dusun itu, bahkan dia menundukkan gerombolan
jahat yang berarti juga menghindarkan dusun dari gangguan orang jahat. Dia
melakukan hal itu tanpa pamrih, tidak minta imbalan apa pun. Akan tetapi, dia
malah didakwa melakukan hal yang rendah, didakwa berjinah dengan wanita petani
itu!
Sungguh
menyakitkan hati memang. Bongkoknya terbawa-bawa pula, bahkan mungkin
bongkoknya itulah yang sudah menimbulkan kecurigaan para penduduk dusun, yang
mendatangkan kesan buruk di mata mereka dan membuat ia condong nampak sebagai
orang yang jahat!
“Biarlah,”
dia mengeluarkan kata-kata ini melalui mulutnya, dengan agak keras untuk
melunakkan hatinya yang menjadi keras dan panas. “Biarlah mereka mengatakan apa
pun juga! Yang penting, aku yakin benar bahwa aku tidak melakukan hal yang
buruk, dan Tuhan mengetahui, Tuhan pun melihat dan Tuhan yang tidak akan dapat
ditipu oleh kebongkokan tubuhku!”
Pikiran ini
diucapkan Sie Liong keras-keras. Akhirnya hatinya menjadi dingin dan lunak
kembali…..
**************
Dia berhenti
di atas puncak bukit terakhir tadi, dan dari situ dia melihat ke selatan. Di
sanalah terdapat propinsi Tibet! Dan kini dia telah tiba di perbatasan tiga
propinsi besar. Di utara adalah Propinsi Sin-kiang. Di timur Propinsi Cing-hai,
dan di selatan adalah Tibet, negara yang dikuasai para pendeta Lama itu.
Dia menuruni
bukit dan menuju ke sebuah dusun yang tadi dilihatnya dari bukit itu. Daerah
itu merupakan daerah yang tandus dan luas sekali, jarang terdapat dusun, maka
kalau melihat sebuah dusun, maka hal itu merupakan hal yang menggembirakan bagi
seorang pengelana di daerah itu.
Mungkin
berhari-hari dia tak akan bertemu dusun, dan saat itu, matahari telah condong
jauh ke barat. Sebentar lagi cuaca tentu akan gelap dan lebih baik melewatkan
malam di dalam dusun yang hangat di mana dia dapat memperoleh makanan dan
minuman dari pada bermalam di daerah terbuka yang asing baginya.
Dusun itu
cukup besar dan dikurung pagar tanah liat yang dibangun seperti tembok. Di
dalam dusun itu tinggal penduduk yang jumlahnya tidak kurang dari lima ratus
keluarga! Pekerjaan mereka bercocok tanam dan berburu, ada pula yang berusaha
dalam bidang peternakan kambing.
Dan melihat
keadaan bangunan rumah yang cukup baik itu, Sie Liong dapat mengambil
kesimpulan bahwa penghasilan penduduk dusun itu cukup untuk memenuhi kebutuhan
sandang pangan, bahkan berlebihan. Di dusun itu terdapat pula beberapa buah
warung makan, bahkan terdapat pula sebuah rumah penginapan!
Kiranya
dusun ini ada pula pengunjungnya dari luar kota pikirnya. Memang demikianlah,
banyak dusun di daerah itu manyediakan rumah penginapan, karena mereka maklum
bahwa para pedagang dan pengelana yang lewat di dusun, dan kemalaman, tentu
akan mencari rumah penginapan, mengingat bahwa dusun berikutnya amatlah
jauhnya! Dan banyak pula yang membuka tempat menjual barang-barang keperluan
sehari-hari.
Sie Liong
segera menyewa sebuah kamar di rumah penginapan itu. Beruntung bahwa dia tidak
terlambat, karena pada hari itu, banyak tamu luar kota bermalam di dusun itu.
Kepala dusun itu mengadakan perayaan pesta pernikahan puteranya! Dan tentu saja
dia mengundang relasi dan sahabatnya dari luar dusun.
Sesudah
mandi dan makan malam, Sie Liong keluar dari kamarnya yang kecil dan
berjalan-jalan di dalam dusun itu. Keadaan dusun itu tidak seperti biasanya.
Kini ramai sekali. Hal ini adalah karena adanya pesta perayaan pernikahan di
rumah kepala dusun.
Boleh
dibilang bahwa seluruh penduduk dusun ikut pula berpesta, atau setidaknya, ikut
bergembira dengan memasang banyak lampu gantung di depan rumah masing-masing
sehingga keadaan di luar rumah kini menjadi terang dan gembira, tidak seperti
biasa. Juga sebagian besar penduduk keluar dari rumah mereka untuk menyaksikan
upacara pemboyongan mempelai wanita yang kabarnya akan diambil malam hari itu.
Mempelai
wanita adalah seorang gadis yang rumahnya terletak di sudut dusun. Upacara
pengambilan mempelai itu dilakukan malam hari, diarak dan diikuti rombongan
penari dan penabuh gamelan. Pengantin wanitanya akan naik joli yang digotong
oleh empat orang, sedangkan mempelai prianya akan menunggang kuda.
Sie Liong
mendengar keterangan ini dari pengurus rumah penginapan. Dia pun dengan gembira
kini berjalan-jalan sebelum nanti ikut nonton arak-arakan pengantin puteri yang
diboyong ke rumah mempelai pria.
Tanpa
disengaja, Sie Liong berjalan-jalan menuju ke arah barat dan tak lama kemudian
sampailah dia di sudut dusun itu dan berada di luar rumah kediaman pengantin
wanita! Rumah itu pun dihias amat meriah, penuh daun-daunan dan bunga-bunga, di
antaranya hiasan kertas dan kain warna-warni, dan dipasang banyak lampu gantung
yang dihias kertas-kertas merah.
Suasana di
rumah itu meriah sekali. Nampak banyak orang sedang sibuk menyiapkan joli dan
semua peralatan upacara pernikahan. Melihat keadaan rumah itu, tanpa diberi
tahu pun Sie Liong dapat menduga bahwa tentu di situ tempat tinggal pengantin
wanita.
Karena di
luar pekarangan rumah itu terdapat banyak orang yang menonton, terutama
anak-anak, Sie Liong menggabung dengan mereka, berdiri di antara para penonton.
Sebagian dari para penonton itu berpakaian jembel dan barulah Sie Liong tahu
bahwa dia berdiri di antara para pengemis dan kanak-kanak ketika dari dalam
keluar seorang yang membawa keranjang berisi makanan, lalu orang itu
membagi-bagikan makanan kepada mereka. Karena dia berada di antara mereka, dia
pun kebagian sepotong kueh mangkok! Hemm, dia disangka seorang jembel pula,
pikirnya sambil tersenyum.
Dia tidak
merasa sakit hati. Memang pakaiannya lusuh, apa lagi punggungnya bongkok.
Bukankah memang di antara para pengemis terdapat banyak orang yang cacat dan
tidak sempurna keadaan tubuhnya? Disangka pengemis bukanlah suatu hal yang
buruk, asal jangan disangka penjahat seperti dialaminya di ladang dusun itu!
Maka, seperti yang lain, dia pun makan kueh mangkok itu dengan gembira.
Tiba-tiba
dia melihat seorang pemuda yang baru datang menyelinap pula di antara para
penonton. Dia merasa sangat curiga. Pemuda itu jelas bukan pengemis dan melihat
pakaiannya, tentu dia seorang petani. Seorang pemuda tani yang bertubuh sehat
dan berwajah jujur, akan tetapi pada saat itu wajahnya membayangkan kemarahan
dan penasaran, bahkan masih ada bekas air mata pada kedua pipinya.
Pada saat
itu, para penonton di luar halaman itu berdesakan untuk dapat melihat lebih
jelas ke dalam rumah karena agaknya sedang ada upacara penghormatan mempelai
puteri kepada ayah ibunya sebelum ia diboyong ke rumah calon suaminya. Upacara
itu diadakan di ruangan depan, di depan meja sembahyang.
Saat itu
mempelai wanita yang berpakaian indah meriah itu muncul dari dalam, menuju ke
ruangan depan yang nampak dari luar, dituntun oleh dua orang nenek yang agaknya
menjadi pengatur upacara itu. Karena pakaian yang longgar dan banyak hiasannya
itu, juga karena muka itu tertutup tirai, maka Sie Liong tidak dapat melihat
wajah pengantin itu, hanya dapat diduga bahwa ia seorang gadis yang bertubuh
ramping.
Ketika gadis
yang menjadi pengantin itu dituntun ke depan ayah ibunya yang sudah duduk
berjajar di atas kursi, terdengar ia terisak menangis dan menjatuhkan diri
berlutut di depan kaki mereka. Dua orang nenek itu terkejut dan hendak
menuntunnya agar ia berhati-hati dengan pakaiannya, namun mereka tak kuasa
menahan gadis pengantin itu yang sudah menangis tersedu-sedu. Terdengar
ucapannya di antara sedu sedannya,
“Ayah...
ibu... aku tidak mau kawin... aku tidak mau menikah dengan... anak kepala dusun
itu...”
Tentu saja
semua orang yang berada di ruangan itu terkejut. Ayah dan ibu mempelai saling
pandang dan ibunya lalu merangkulnya, menghiburnya dengan bisikan-bisikan
lembut. Akan tetapi, mempelai wanita itu meronta-ronta dan tangisnya bahkan
semakin menjadi-jadi.
“Lian-ji...!
Hentikan tangismu itu! Jangan engkau membikin malu orang tuamu!” Ayahnya
menghardik dan bentakan ini membuat pangantin wanita itu berhenti meronta, akan
tetapi masih tetap menangis terisak-isak.
“Bawa ia
masuk ke dalam kamarnya dan usahakan agar ia tidak menangis lagi! Anak
sialan...!” Sang ayah marah-marah dan dua orang nenek itu lalu membawa
pengantin wanita bangkit berdiri untuk membawanya kembali ke kamar.
Pada saat
itu, terdengar teriakan nyaring dari luar. “Tidak adil...! Sungguh tidak adil
dan sewenang-wenang...!”
Dan pemuda
petani yang tadi menimbulkan kecurigaan dalam hati Sie Liong, nampak
meninggalkan kelompok penonton dan berlari memasuki halaman, terus ke ruangan
depan itu. Semua orang terkejut, juga ayah ibu mempelai wanita memandang dengan
mata terbelalak.
“Lian-moi...!”
Pemuda itu memanggil.
Mempelai
wanita itu meronta dan membalikkan tubuhnya. Melihat pemuda itu, ia pun
berseru, “Kiong-koko...!”
Dan dia pun
menangis, masih berdiri karena kedua lengannya dipegang erat-erat oleh kedua
orang nenek itu.
“Un Kiong!
Mau apa kau? Berani kau datang ke sini dan membikin kacau? Kami tidak
mengundangmu!” bentak ayah mempelai wanita itu dengan marah sekali.
“Saya datang
untuk menuntut keadilan...!”
Akan tetapi,
tuan rumah sudah memerintahkan beberapa orang anggota keluarga yang hadir dan
merasa tidak senang dengan perbuatan pemuda itu. Mereka kini menyerang pemuda
yang tadinya sudah menjatuhkan diri berlutut itu.
“Pergilah!
Lekas pergi dan jangan datang lagi!” bentak tuan rumah setelah pemuda itu
terjengkang dan bergulingan oleh beberapa pukulan dan tendangan.
Akan tetapi
pemuda bernama Un Kiong itu tetap bangkit dan berlutut lagi.
“Tidak! Aku
tidak akan pergi sebelum mendapat keadilan! Meski kalian memukuli aku sampai
mati, aku tidak akan pergi!” teriaknya marah. Sementara itu mempelai wanita
beberapa kali memanggil namanya.
“Kiong-koko...!”
akan tetapi ia sudah ditarik oleh dua orang nenek, dibantu ibu mempelai dan
diseret masuk ke dalam kamar.
Mendengar
kenekatan pemuda itu, para keluarga laki-laki itu menjadi marah, bahkan kini
ayah mempelai ikut pula memukuli pemuda yang masih nekat berlutut.
Melihat
kejadian ini, Sie Liong cepat melompat ke dalam. Begitu ia bergerak menangkis
tendangan dan pukulan itu, beberapa orang lantas terjengkang dan roboh sendiri
karena serangan mereka tertangkis sedemikian kuatnya. Sie Liong sudah
mengangkat bangun tubuh pemuda itu yang sudah babak belur dan bengkak matang
biru.

Melihat
munculnya seorang pemuda bongkok yang membela Un Kiong, semua orang terkejut.
Seorang di antara mereka, yang bertubuh tinggi besar dan pandai silat, merasa
penasaran dan dia lalu menerjang ke depan, menghantam ke arah dada Sie Liong
sambil membentak, “Mau apa kau mencampuri urusan kami?”
“Dukkk!”
Kepalan
tangannya yang besar itu tepat mengenai dada Sie Liong akan tetapi akibatnya
sungguh membuat orang terbelalak. Bukan Sie Liong yang roboh, namun pemukulnya
sendiri yang mengaduh-aduh sambil memegangi pergelangan tangannya yang menjadi
salah urat! Dia membungkuk dan menyeringai kesakitan, mengeluh.
Melihat itu,
tentu saja semua orang langsung menjadi jeri dan tidak ada lagi yang berani
menghalangi ketika Sie Liong memapah pemuda itu keluar dari situ. Ketika tiba
di luar rumah dan melihat betapa banyak orang mengikutinya, yaitu mereka yang
tadi nonton dan agaknya mereka ingin tahu ke mana dia membawa pemuda yang
dipukuli itu, Sie Liong lalu memanggul pemuda itu dan berlari cepat sehingga
sebentar saja dia sudah menghilang dari kejaran para penonton.
Sie Liong
membawa pemuda itu ke luar dusun dan dia baru berhenti setelah tiba di tempat
sunyi di luar dusun itu. Mereka berdiri di bawah sinar rembulan dan
berkali-kali pemuda itu menghela napas penuh penyesalan. Dia tahu bahwa pemuda
bongkok ini bukan orang sembarangan. Dia melihat pada saat pemuda itu
membawanya keluar dari dalam rumah mempelai wanita, dan terutama sekali cara
pemuda itu memanggulnya dan membawanya lari secepat terbang.
“Taihiap,
kenapa engkau monolongku? Mengapa engkau membawaku pergi dari sana?”
Sie Liong
tersenyum. Orang ini telah diselamatkan dari keadaan yang lebih parah lagi,
karena mungkin dia akan mati dipukuli orang, tetapi pemuda ini tidak berterima
kasih bahkan menyesal!
“Akan
tetapi, kenapa engkau begitu nekat, membiarkan dirimu dipukuli orang? Kalau
tidak kularikan, mungkin engkau akan dipukuli sampai mati!”
“Biar saja!
Biar aku dipukuli sampai mati agar Lian-moi melihat bukti cintaku padanya!”
“Wah,
sungguh aneh. Coba ceritakan, apa yang sebenarnya telah terjadi? Siapa tahu,
mungkin saja aku akan dapat menolongmu.”
Pemuda itu
menjatuhkan diri duduk di atas tanah berumput. Sie Liong juga duduk dan pemuda
itu bercerita. Sejak kecil Un Kiong telah ditunangkan dengan Sui Lian, gadis
itu. Bahkan Un Kiong sudah sering kali menyumbangkan tenaganya bekerja di sawah
ladang tunangannya. Pernikahan antara mereka tinggal menanti hari, bulan dan
tahun yang baik saja. Akan tetapi, secara tiba-tiba saja orang tua Sui Lian
mengumumkan bahwa pertunangan itu diputuskan, dibatalkan dan tahu-tahu, sebulan
kemudian Sui Lian dinikahkan dengan putera kepala dusun itu!
“Kepala
dusun itu orang baru, belum setahun dia diangkat menjadi kepala dusun dan
bertugas di sini. Jelaslah, dibatalkannya pertunanganku itu disebabkan oleh
kehadiran putera kepala dusun itu. Seorang pemuda brengsek, pengejar perempuan,
sombong dan tidak ada gunanya! Tadinya aku sudah menerima nasib, aku tidak
berdaya. Tadi aku hanya ingin melihat, bersama para penonton, ingin melihat
bekas tunanganku yang semenjak diputuskannya ikatan jodoh itu tidak pernah
kulihat lagi. Akan tetapi, melihat ia menangis, mendengar ucapannya bahwa ia
tidak mau dikawinkan dengan orang lain, aku tidak dapat menahan hatiku. Dan
ia... ahhh, ia masih sempat memanggilku, dan ia... ia begitu bersedih...! Karena
itu, aku ingin mati saja, biar mereka pukuli, biar aku mati di depan Lian-moi
untuk membuktikan cinta kasihku kepadanya!”
Sie Liong
tersenyum. “Membuktikan cinta kasih dengan membiarkan diri mati dipukuli orang?
Hemm, itu bukan cara membuktikan cinta kasih yang baik! Kalau engkau mati
dipukuli, apakah tunanganmu itu akan merasa gembira? Apakah perbuatanmu itu
akan dapat membebaskan ia dari cengkeraman orang yang dipaksakan menjadi
suaminya?”
Un Kiong
menjadi bengong, lalu dia berulang-ulang menggeleng kepala dan menghela napas.
“Lalu apa yang dapat kulakukan, taihiap?”
“Engkau
pulanglah dan biarlah aku yang akan membantumu. Aku akan membatalkan pernikahan
paksaan itu dan akan mengantarkan mempelai wanita ke rumahmu. Engkau
bersiap-siaplah, besok siang mempelai wanita akan kuantarkan ke rumahmu dan
harus kau sambut ia sebagai mempelaimu.”
“Tapi...
tapi... tentu mereka akan marah. Aku akan ditangkap dan bahkan orang tuaku akan
masuk tahanan dan dihukum!”
“Jangan
khawatir. Aku yang bertanggung jawab, dan jangan takut. Aku akan menangani
urusan ini sampai tuntas. Andai kata engkau ditawan, aku yang akan membebaskan
engkau.”
Karena dia
sendiri sudah tak berdaya dan hampir putus asa, Un Kiong menaruhkan seluruh
harapannya kepada pendekar yang bongkok itu, maka dia segera menjatuhkan diri
berlutut di depan Sie Liong.
“Taihiap,
sebelumnya saya menghaturkan terima kasih. Sebelum saya pulang, mohon tahu nama
besar taihiap, agar dapat kuceritakan kepada orang-tuaku.”
Sie Liong
menggelengkan kepala. “Namaku tidak ada artinya, sobat. Kuberi tahu pun engkau
tidak akan mengenalnya. Aku hanya kebetulan lewat saja di sini, dan aku selalu
gatal tangan, ingin membereskan sesuatu yang tidak pada tempatnya. Pulanglah
dan tunggulah sampai besok.”
Un Kiong
memberi hormat, kemudian dia pun pergi, kembali ke dusun dan pulang ke
rumahnya. Dia disambut dengan omelan ayah ibunya yang sudah mendengar beritanya
bahwa putera mereka membikin ribut di rumah mempelai wanita sehingga dipukuli
oleh keluarga mempelai wanita. Ketika Un Kiong menceritakan tentang Pendekar
Bongkok yang menolongnya, dan juga tentang janji pendekar itu, ayah ibunya
menjadi semakin tegang dan gelisah.
Sementara
itu, Sui Lan telah dipaksa untuk menerima rombongan pengantin pria yang malam
itu datang untuk menjemput mempelai puteri. Mempelai wanita masih menangis
terus, akan tetapi karena ia memakai kerudung, dan karena memang sudah lajim
bahwa mempelai wanita selalu menangis pada saat dinikahkan, maka ia tidak menarik
banyak perhatian.
Mempelai
wanita dituntun naik ke dalam joli yang dihias indah dan dipikul empat orang,
sedangkan mempelai prianya menunggang seekor kuda yang besar. Mempelai pria ini
nampak tampan dan gagah dalam pakaiannya yang indah dan beraneka warna. Dia
tersenyum-senyum penuh lagak ketika menaiki kudanya, dibantu oleh beberapa
orang. Petasan dibakar dan bunyi musik mulai mengalun mengiringi pasangan
mempelai yang akan meninggalkan rumah mempelai wanita itu. Pada saat itu,
muncul seorang pemuda bongkok di depan rombongan yang sudah siap untuk
berangkat! Pemuda ini bukan lain adalah Sie Liong, Si Pendekar Bongkok!
“Berhenti!”
bentak Sie Liong yang berdiri di tengah jalan. “Pernikahan ini salah tempat!
Mempelai prianya bukan orang itu!” Dia menuding ke arah pemuda yang menunggang
kuda dengan congkaknya.
Tujuh orang
pengawal yang bertugas mengawal mempelai pria menjemput mempelai wanita, segera
berlari menghampiri dan mereka memandang kepada Sie Liong dengan alis berkerut
dan pandang mata marah. Akan tetapi, keluarga mempelai wanita yang mengenal
pemuda bongkok itu menjadi gelisah.
Komandan
pasukan pengawal yang hanya tujuh orang itu, seorang berusia empat puluh tahun
lebih yang kumisnya melintang kaku, maju dan menghadapi Sie Liong.
“Heiii, apakah
engkau ini orang gila? Siapakah engkau dan apa artinya perbuatanmu ini?”
Sekarang
semua orang sudah datang ke tempat itu, menonton dari jarak yang aman,
sedangkan tujuh orang pengawal itu menghadapi Sie Liong yang bersikap tenang
saja.
“Aku hanya
seorang bongkok yang kebetulan lewat di dusun ini. Aku melihat peristiwa yang
membuat hatiku penasaran. Mempelai wanita yang bernama Sui Lian ini sudah
mempunyai seorang tunangan sejak kecil yang bernama Un Kiong. Seluruh penduduk
dusun ini tentu sudah mengetahui akan hal itu. Tetapi, secara mendadak
pertunangan itu dibatalkan sepihak dan Sui Lian dijodohkan dengan putera kepala
dusun. Sungguh tidak adil sama sekali, apa lagi karena mempelai wanita tidak
suka menjadi isteri putera kepala dusun!”
“Ehh,
sungguh engkau telah menjadi gila! Pernikahan ini dilangsungkan secara sah dan
menurut peraturan yang benar sebagai lanjutan dari pinangan yang telah
diterima. Hayo engkau ini orang bongkok gila pergi dari sini dari pada harus
kami hajar!”
“Kalianlah
yang harus pergi, juga mempelai pria itu. Pulang saja dan katakan kepada kepala
dusun bahwa pernikahan ini dibatalkan!”
“Kurang
ajar!”
Tujuh orang
pengawal itu dengan marah lalu menyerang dari sekeliling Sie Liong. Akan
tetapi, sekali Sie Liong menggerakkan tubuhnya berputar, tujuh orang itu disapu
roboh semua seperti tujuh helai daun kering saja! Tentu saja mereka terkejut
dan mencabut senjata masing-masing.
“Sudahlah.
Kalian hanya para petugas dan tidak bersalah. Yang bersalah dalam hal ini adalah
orang tua mempelai wanita dan juga kepala dusun! Sebaiknya kepala dusun itu
disuruh ke sini kemudian kita rundingkan bersama dengan orang tua mempelai
wanita. Urusan ini dapat diselesaikan dengan cara damai!” kata Sie Liong yang
sebetulnya tidak ingin mempergunakan kekerasan.
“Orang gila
ini sungguh kurang ajar! Tangkap dia atau bunuh saja kalau melawan!” kini
mempelai pria yang masih menunggang kuda itu membentak marah. Tentu saja dia
sangat marah dan merasa malu sekali bahwa upacara pejemputan mempelai wanita
itu diganggu oleh seorang laki-laki bongkok yang agaknya gila!
Tujuh orang
pengawal itu sudah menyerang dengan senjata mereka. Sie Liong hanya mengelak
dengan langkah-langkah dan loncatan kecil. Semua sambaran senjata tiada yang
mampu menyentuh tubuhnya. Dia tak ingin melukai mereka yang mengeroyoknya sebab
mereka bukanlah orang-orang jahat, tapi hanya orang-orang yang melaksanakan
tugas mengawal mempelai.
Dia pun
mengeluarkan bentakan nyaring, tangannya bergerak cepat dan mengeluarkan angin pukulan
yang dahsyat, dan senjata di tangan tujuh orang itu lantas beterbangan dan
terlepas dari tangan para pemegangnya. Tentu saja tujuh orang itu terkejut
sekali, juga jeri karena kini baru mereka maklum bahwa mereka menghadapi
seorang muda yang aneh dan sakti.
Mempelai
pria yang melihat betapa tujuh orang pengawalnya sama sekali tidak mampu
melawan orang bongkok itu, menjadi ketakutan dan dia pun melarikan kudanya
sambil berteriak, “Mari kita lapor kepada ayah!”
Para
pengikutnya lalu melarikan diri meninggalkan tempat itu. Ayah dari mempelai
wanita yang melihat terjadinya peristiwa ini, merasa khawatir, juga penasaran
sekali. Akan tetapi dia pun sudah maklum akan kehebatan orang bongkok itu, maka
dia menghampiri lalu memberi hormat.
“Taihiap,
apa maksudnya taihiap melakukan semua tindakan ini? Taihiap, hanya akan
mendatangkan malapetaka kepada keluarga kami!”
“Hmm, semua
ini adalah akibat dari kesalahan keluarga sendiri, paman. Mari kita masuk dan
bicara di dalam. Akulah yang bertanggung jawab terhadap akibat dari perbuatanku
tadi.”
Joli
pengantin diangkut lagi memasuki rumah itu dan para pengiringnya juga masuk.
Tak ada yang berani membantah Pendekar Bongkok, karena mereka kini semakin
yakin bahwa pemuda bongkok ini seorang pandekar yang sakti.
Agaknya dari
dalam jolinya, Sui Lian mendengarkan semua yang terjadi di luar. Ketika ia
dituntun keluar dari joli untuk kembali ke kamarnya, tiba-tiba ia berlutut
menghadap Sie Liong dan jelas terdengar suaranya, “Taihiap, saya berterima
kasih sekali kepadamu!”
Dua orang
nenek bersama ibunya mengangkatnya bangun dan membawanya masuk ke dalam kamar.
Sementara itu, ayah Sui Lian kemudian mengajak Sie Liong duduk menghadapi meja.
Beberapa orang keluarganya lalu keluar dan minta kepada para penonton untuk
pergi dan jangan berkerumun di depan rumah.
Para
penonton bubaran dan sebentar saja peristiwa itu telah menjadi berita baru yang
menegangkan seluruh penduduk dusun itu. Un Kiong dan orang tuanya mendengar
pula dan mereka menanti dengan jantung berdebar tegang.
Un Kiong
sendiri diam-diam merasa girang dan timbul harapan baru di dalam hatinya.
Ternyata Pendekar Bongkok tidak membohonginya dan sudah mencegah terjadinya
pemboyongan pengantin wanita! Tentu saja semalam itu dia sama sekali tidak
dapat tidur sekejap mata pun dan kalau saja tidak ingin mentaati perintah
Pendekar Bongkok agar dia menanti saja di rumah, ingin dia pergi untuk melihat
sendiri apa yang terjadi selanjutnya di rumah Sui Lian, bekas tunangannya.
“Paman,
benarkah bahwa sejak kecil puterimu sudah dipertunangkan dengan seorang pemuda
bernama Un Kiong dari dusun ini juga?” Sie Liong bertanya dan memandang tajam
kepada tuan rumah yang kini didampingi isterinya.
Petani itu
mengangguk. “Benar taihiap. Akan tetapi pertalian jodoh itu telah diputuskan, telah
dibatalkan, maka Un Kiong tidak berhak untuk datang ke sini dan membikin
ribut...”
“Akan tetapi
mengapa, paman? Apakah kesalahan Un Kiong sehingga pertunangan itu dibatalkan?
Padahal, pertunangan itu sudah berlangsung selama bertahun-tahun, sejak keduanya
masih kanak-kanak!”
Ayah dan ibu
Sui Lian saling memandang dan orang tua itu tidak mampu menjawab. Karena memang
calon mantunya itu tidak mempunyai kesalahan apa pun!
“Hemm, aku
tahu, paman. Tentu karena datang pinangan dari kepala dusun. Karena hal itulah
engkau membatalkan ikatan perjodohan itu agar angkau dapat menerima lamaran
kepala dusun, bukan?”
Orang tua
itu mengangkat muka memandang kepada Pendekar Bongkok, kemudian dia mengangguk
membenarkan.
“Nah, aku
ingin tahu sekarang. Mengapa kau lakukan hal itu? Kalau puterimu sudah
bertunangan dengan Un Kiong, seharusnya kau tolak saja lamaran kepala dusun dan
berkata terus terang bahwa puterimu sudah mempunyai calon suami.”
“Ahh,
taihiap, mana kami berani melakukan hal itu? Kepala dusun itu baru saja menjadi
kepala dusun di sini. Kami tidak berani menolak pinangan dan selain itu, tentu
saja kami lebih suka melihat anak kami menjadi mantu kepala dusun karena ia
akan dapat hidup mulia, terhormat, kaya raya dan...”
“Dan yang
terpenting, paman dan bibi akan ikut pula naik derajatnya sebagai besan kepala
dusun, begitukah?” Sie Liong menyambung dan suami isteri itu tersipu.
“Paman dan
bibi, apakah ji-wi (kalian) menyayang puterimu?”
“Tentu
saja!” jawab kedua orang tua itu.
“Kalau ji-wi
menyayangnya, kenapa ji-wi memperlakukannya sebagai barang dagangan saja? Siapa
yang berani menawar lebih tinggi akan mendapatkannya. Ia bukan benda, bukan
pula binatang, melainkan seorang manusia yang berperasaan. Dia juga berhak
menentukan pilihannya sendiri. Ji-wi melihat sendiri betapa ia bersedih dan
tidak suka menjadi isteri putera kepala dusun, akan tetapi ji-wi memaksanya!
Benarkah perbuatan itu?”
Dua orang
tua itu menunduk. “Kami... kami melakukan hal itu demi kebahagiaannya, taihiap.
Ia akan menjadi wanita terhormat di dusun ini dan hidup berkecukupan...”
“Itukah
ukuran bahagia? Berbahagiakah seekor burung yang ada dalam sangkar, walau pun
sangkar itu terbuat dari emas? Ji-wi keliru, seyogianya lebih dahulu menanyakan
pendapat puteri ji-wi. Sungguh tidak adil kalau membatalkan pertunangan itu
begitu saja, secara sepihak, sedangkan kedua orang muda itu sudah saling
menyayang.”
“Tapi, tapi
kami tidak berani menolak... dan sekarang... perjodohan itu sudah ditentukan,
dan taihiap... ahhh, apa yang harus kami lakukan sekarang? Kami takut akan
tindakan kepala dusun yang tentu akan marah sekali...” Suami isteri itu meratap
dan ketakutan.
“Itu
tanggung jawabku. Yang penting, ji-wi mengakui kesalahan ji-wi dan bersedia
untuk menyambung kembali ikatan jodoh antara Sui Lian dan Un Kiong.”
Suami isteri
itu saling pandang dan mereka menarik napas panjang. “Baiklah, taihiap. Kini
kami dapat melihat kesalahan kami yang hendak mengorbankan perasaan hati anak
kami dengan kemewahan keadaan lahiriah. Kami bersedia menyambung kembali
perjodohan itu asal taihiap dapat membereskan urusan kemarahan dari pihak
kepala dusun.”
“Jangan
khawatir. Nah, itu agaknya mereka datang,” kata Sie Liong dengan hati lega.
Sie Liong
bangkit berdiri, keluar dari ruangan itu, lalu berdiri di serambi depan. Masih
terdapat penonton, akan tetapi mereka itu berdiri agak jauh, di tempat aman,
bukan seperti tadi di luar pintu pagar. Dia melihat munculnya dua orang
laki-laki yang sikapnya gagah, yang diiringkan oleh tujuh orang pengawal tadi.
Agaknya pihak kepala dusun sudah mengutus dua orang jagoan untuk menghadapinya.
Ketika
mereka memasuki pekarangan dan langsung menghampiri Sie Liong yang berdiri di
kaki tangga serambi depan, Sie Liong mengamati mereka dengan penuh perhatian.
Dua orang yang sikapnya gagah sekali. Yang seorang bertubuh tinggi besar. Mukanya
persegi, jantan dan gagah. Sedangkan orang ke dua bertubuh sedang, mukanya
bulat dan muka itu dipenuhi brewok lebat yang rapi. Keduanya berusia kurang
lebih tiga puluh lima tahun, dan di balik pundak mereka nampak gagang pedang.
Dua orang yang gagah. Sie Liong mengerutkan alisnya. Dia merasa sepertinya
pernah bertemu dengan mereka, akan tetapi dia sudah tidak ingat lagi.
Seorang di
antara dua orang gagah itu, yang tinggi besar, setelah memandang tajam kepada
Sie Liong, lalu menegur, suaranya keras dan berwibawa, suara yang gagah.
“Apakah engkau orangnya yang tadi menghalangi pemboyongan pengantin wanita oleh
pengantin pria?”
Sie Liong
menghadapi mereka dengan tenang. Dia belum mendengar akan kejahatan kepala
dusun dan pernikahan itu berjalan seperti lajimnya. Kepala dusun sama sekali
tidak memaksakan kehendaknya, karena itu dia tahu bahwa dia bukan menghadapi
golongan yang jahat. Semua keributan itu timbul hanya karena salah pengertian,
karena kelemahan orang tua Sui Lian.
“Benar
sekali, akulah yang tadi menghalangi pemboyongan yang tidak tepat itu.”
Dua orang
gagah itu mengerutkan alisnya. “Pemboyongan tidak tepat? Apanya yang tidak
tepat? Dengar, sobat yang sombong. Kami berdua adalah tamu dalam pesta itu dan
sudah bertahun-tahun kami mengenal kepala dusun sebagai orang yang berwatak
baik. Dia merayakan pernikahan puteranya dengan gadis dusun di sini, apa
salahnya itu?”
“Mungkin dia
tidak bersalah, akan tetapi sayang, yang dilamarnya itu adalah seorang gadis
yang sudah mempunyai calon suami dan ikatan jodoh itu sudah berjalan sejak
keduanya masih kecil. Tiba-tiba saja ikatan jodoh itu dibatalkan karena anak
perempuan itu hendak dikawinkan dengan putera kepala daerah! Nah, bukankah hal
itu merupakan suatu paksaan yang merugikan pihak calon suami?”
Kembali dua
orang itu saling pandang dan kini si brewok yang berkata dengan suara lantang.
“Semua itu merupakan urusan pribadi keluarga pengantin puteri, dan tidak ada
sangkut pautnya sama sekali dengan keluarga kepala dusun. Pinangan sudah
diterima dan pernikahan harus dilangsungkan, siapa pun tidak berhak untuk
menghalangi!”
“Maaf, akan
tetapi aku berpihak kepada keluarga colon suami yang disia-siakan, maka aku
yang menghalangi dilanjutkannya pernikahan paksaan ini. Harap ji-wi suka
kembali saja dan minta kepada kepala dusun untuk datang ke sini agar urusan ini
dapat kita bicarakan dengan penuh kebijakan!”
“Hemmm,
tidak percuma apa bila sahabat kami kepala dusun itu memberi kepercayaan kepada
kami untuk menghadapi pengacau! Engkau seorang pengacau, maka mari ikut dengan
kami menghadap kepala dusun! Kalau engkau menyerah baik-baik, kami tidak ingin
menggunakan kekerasan,” kata si tinggi besar.
“Kalau aku
tidak mau?”
“Ji-wi
taihiap, biar kami keroyok saja dia!” teriak si kumis melintang yang memimpin
para pengawal tadi. Tujuh orang itu agaknya kini berbesar hati karena hadirnya
dua orang gagah itu, lupa bahwa tadi mereka sama sekali tidak berdaya
menghadapi si bongkok.
Akan tetapi,
melihat mereka sudah bergerak hendak mengeroyok, dua orang gagah itu
mengembangkan dua lengan dan mencegah mereka maju.
“Jangan
kalian bergerak. Biarkan kami yang menghadapinya!” kata si tinggi besar.
Tujuh orang
pengawal itu pun mundur kembali. Tadi mereka hendak maju hanya untuk menebus
rasa malu, tetapi sesungguhnya mereka merasa jeri. Maka kini dilarang maju,
mereka diam-diam merasa lega.
“Sute,
biarkan aku yang mencoba kelihaian orang sombong ini!” berkata si tinggi besar
yang segera melangkah maju. “Sobat, engkau sungguh tinggi hati, hendak
mencampuri urusan pribadi keluarga orang lain. Agaknya engkau hendak
menggunakan kepandaian untuk melakukan kekerasan dan hendak merampas mempelai
wanita itu!”
Sie Liong
tersenyum. “Hemm, kalau aku bermaksud demikian, apa perlunya aku berada di sini
menanti datangnya jagoan-jagoan dari kepala dusun? Tentu sudah kuculik dan
kularikan mempelai wanita. Tidak, dugaanmu itu menyeleweng jauh, sobat. Aku
hanya ingin membenarkan yang salah, tidak ada pamrih lain.”
“Dan engkau
akan mempertahankan pendirianmu dengan kekuatan dan ilmu silatmu?”
“Kalau
perlu...”
“Bagus!
Ingin kulihat sampai di mana kelihaianmu maka engkau sesombong ini!” bentak si tinggi
besar itu dan dia membentak nyaring, “Lihat serangan!”
Sikap itu
saja membuktikan bahwa dia memang seorang yang gagah, seorang pendekar yang
memberi peringatan sebelum melakukan serangan. Pukulannya kuat bukan main,
mendatangkan angin pukulan yang menyambar dahsyat, juga datangnya cepat sekali.
Melihat
serangan ini, tahulah Sie Liong bahwa kini dia berhadapan dengan lawan yang
‘berisi’, bukan sekedar tukang pukul yang besar suaranya saja. Maka, dia pun
dengan hati-hati mengelak ke kiri, kemudian dari kiri tangannya menyambar ke
kanan depan, membalas dengan totokan ke arah lambung kanan yang terbuka.
Akan tetapi,
lawannya sudah menarik tangan, menekuk lengan dan memutar tubuh ke kanan sambil
menangkis keras. Agaknya, si tinggi besar ini hendak mencoba tenaga lawan, maka
ketika menangkis totokan itu, dia mengerahkan sinkang.
“Dukkk!”
Dua lengan
bertemu keras sekali dan akibatnya, si tinggi besar mengeluarkan seruan kaget.
Dia merasa betapa lengannya nyeri, tulangnya seperti akan patah dan lengan
kanan itu lumpuh dalam satu dua detik. Dia cepat meloncat mundur dan memandang
lawan dengan sinar mata tajam, maklum bahwa si bongkok ini benar-benar hebat!
Maka dia pun
lalu menerjang dengan cepat. Bagaikan serangan badai, kaki tangannya bergerak
cepat, setiap pukulan dan tamparannya dilakukan dengan pengerahan tenaga.
Tetapi, dengan tenang Sie Liong selalu manghindarkan diri dengan
langkah-langkahnya yang teratur. Sekali-kali dia menangkis, bahkan balas
melancarkan serangan pula agar dirinya tidak menjadi terdesak.
“Hyaattttt...!”
Kini
lawannya menyerang dengan lebih dahsyat lagi. Setiap pukulan telapak tangannya
mengandung tenaga dahsyat yang panas! Sie Liong maklum bahwa lawannya
menggunakan semacam sinkang yang hebat, maka dia pun segera mengerahkan
sinkang-nya dan memainkan ilmu silat Swat-liong-ciang (Silat Naga Salju).
Ketika tangan mereka bertemu dalam benturan dahsyat, orang tinggi besar itu
terhuyung ke belakang dan dia terbelalak, tubuhnya menggigil kedinginan!
Memang,
Swat-liong-ciang itu merupakan ilmu silat ampuh yang mengeluarkan hawa dingin.
Ilmu ini diperoleh Sie Liong dari seorang di antara guru-gurunya, yaitu Swat
Hwa Cinjin, seorang di antara Himalaya Sam Lojin.
Melihat
suheng-nya terhuyung dengan tubuh menggigil dan muka pucat, si brewok lalu
menerjang dahsyat sambil membentak, “Lihat seranganku!”
Kedua tangan
itu bergerak cepat, membentuk dua buah cakar yang mencengkeram ke bagian-bagian
lemah dari tubuh Sie Liong. Serangannya bertubi-tubi dan ternyata sang sute ini
tidak kalah lihainya dibanding sang suheng!
Sie Liong
maklum bahwa ilmu silat yang dimainkan oleh lawannya itu adalah semacam ilmu
yang meniru gerakan harimau, maka dahsyat luar biasa. Melihat kuatnya sambaran
angin pukulan tentu cakar istimewa dari tangan orang itu, meski tidak berkuku
panjang akan tetapi tidak kalah berbahayanya dari pada cakar seekor harimau!
Dia pun
cepat berloncatan mengelak dan kini dia memainkan ilmu silat Pek-in Sin-ciang
(Silat Sakti Awan Putih). Begitu ia mengerahkan tenaga sinkang, maka dari dua
telapak tangannya berkepul uap putih dan semua cakaran lawannya dapat
ditangkisnya dengan tepat. Dia pun membalas dengan dorongan-dorongan telapak
tangannya dan akhirnya, lawan yang brewok itu pun terhuyung-huyung ke belakang,
tidak kuat manahan hawa yang amat kuat menyambar dari kedua tangan Sie Liong.
Kini, dua
orang gagah itu meloncat mundur dan mereka berdua mencabut pedang dari
punggung! Mereka maklum bahwa dengan tangan kosong mereka tidak akan mampu
mengalahkan orang bongkok itu, maka mereka mencabut senjata!
“Sobat,
ternyata engkau benar amat lihai. Nah, sekarang keluarkan senjatamu, mari kita
bermain-main sebentar dengan senjata!” tantang si tinggi besar dengan sikap
gagah.
Sie Liong
menjura kepada mereka. “Mana aku berani? Aku tidak pernah bermain-main dengan
senjata, dan aku juga tak akan pernah mau mengangkat senjata untuk melawan
pendekar-pendekar dari Kun-lun-pai yang gagah perkasa, karena aku tahu benar
bahwa pendekar-pendekar Kun-lun-pai selalu membela yang benar dan tak pernah
melakukan kejahatan!”
Kedua orang
itu terbelalak. “Engkau... mengenal kami? Siapakah engkau sebenarnya?” tanya si
tinggi besar. Mereka memang benar murid-murid Kun-lun-pai, yang tinggi basar
bernama Ciang Sun, sedangkan sute-nya yang brewokan, bernama Kok Han.
“Tentu saja
aku mengenal ji-wi, bahkan kurang lebih tujuh delapan tahun yang lalu kita
pernah saling berjumpa. Pada saat itu, ji-wi berusaha menolong seorang tosu tua
yang diseret oleh dua orang pendeta Lama, akan tetapi ji-wi tertotok roboh.
Nah, di tempat itulah kita saling berjumpa!”
“Ahh...!”
Dua orang pendekar Kun-lun-pai itu berseru, kemudian mereka saling pandang.
“Engkau... engkau bocah bongkok yang terpukul oleh pendeta Lama itu...? Tapi...
tapi kami sangka engkau sudah mati...!”
Sie Liong
tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mati, aku tertolong oleh
Himalaya Sam Lojin yang menjadi guru-guruku...”
“Ahhh...!
Kiranya saudara adalah murid tiga orang kakek sakti itu? Pantas begini lihai!
Akan tetapi, mengapa... ehhh, mengenai urusan pengantin itu...” Dua orang
pendekar Kun-lun-pai itu menjadi gugup karena mereka tadi memandang rendah.
“Harap ji-wi
tenang-tenang saja. Sungguh, tentu ji-wi percaya bahwa aku juga tidak akan
melakukan perbuatan yang jahat, bukan? Ketahuilah, aku berjumpa dengan pemuda
yang sejak kecil menjadi tunangan gadis yang sekarang menjadi pengantin. Sejak
kecil bertunangan lalu mendadak dibikin putus dan tunangannya tahu-tahu akan
dinikahkan dengan putera kepala dusun! Bukankah hal itu sama sekali tidak adil?
Juga aku melihat sendiri bahwa pengantin wanita tidak mau dijodohkan dengan
anak kepala dusun, akan tetapi dua orang tuanya yang agaknya mata duitan dan
mata kedudukan, memaksanya. Itulah sebabnya aku turun tangan...”
“Ahhh, kalau
begitu, lain lagi urusannya!” kata Kok Han. “Sungguh heran, mengapa bisa
terjadi demikian? Padahal kepala dusun itu telah lama kami kenal sebagai orang
yang baik dan bijaksana.”
“Mungkin dia
tidak tahu,” kata Sie Liong. “Dia hanya tahu meminang, diterima kemudian
merayakan pernikahan puteranya. Oleh karena itu, sebaiknya jika dia diajak
berunding, syukur kalau dia mau datang ke tempat ini agar perundingan dapat
diadakan bersama orang tua mempelai puteri. Tentu ji-wi sekarang sudah tahu
akan duduknya perkara dan suka membantu agar peristiwa ini dapat diselesaikan
dengan baik.”
Dua orang
pendekar Kun-lun-pal itu tentu saja menyetujui usul Sie Liong. “Baik, kami yang
akan menjelaskan kepada keluarga Sun, dan kami akan membujuk kepala dusun Sun
agar suka datang ke sini.”
“Terima
kasih, ji-wi memang bijaksana. Aku akan menunggu di sini,” kata Sie Liong.
Dua orang
pendekar Kun-lun-pai itu segera pergi dan mereka merasa bersyukur bahwa mereka
tidak usah kehilangan muka, tidak sampai dirobohkan oleh Pendekar Bongkok.
Mereka kini tahu bahwa kalau lawan tadi menghendaki, mereka tentu saja sudah
roboh, bahkan mungkin tewas. Dan mereka kini tidak ragu-ragu lagi akan
kebenaran apa yang sedang dilakukan oleh Pendekar Bongkok.
Benar saja
seperti dugaan Sie Liong. Tidak lama kemudian kepala dusun Sun datang ke rumah
calon besan itu, ditemani oleh dua orang pendekar Kun-lun-pai. Mereka disambut
dan dipersilakan duduk di ruangan dalam, di mana mereka mengadakan pembicaraan.
Yang hadir hanyalah suami isteri orang tua Sui Lian, kepala dusun Sun, Sie
Liong dan juga dua orang pendekar itu, Ciang Sun dan Kok Han.
Dengan jelas
Sie Liong lalu menceritakan tentang pemutusan pertalian jodoh antara Sui Lian
dan Un Kiong, yang didengarkan oleh kepala dusun Sun dengan alis berkerut. Sie
Liong lalu melanjutkan ceritanya.
“Hendaknya
jung-cu (lurah) ketahui bahwa pertunangan antara dua orang muda itu telah
diketahui oleh seluruh penduduk dusun ini, sudah dilakukan semenjak keduanya
masih kanak-kanak. Apa bila tiba-tiba pertunangan itu dibikin putus secara
sepihak, kemudian gadis itu dinikahkan dengan puteramu, bukankah penduduk akan
menganggap bahwa jung-cu sewenang-wenang, mempergunakan kekuasaannya untuk
merampas tunangan orang? Kalau jung-cu ingin disuka oleh seluruh penduduk
dusun, ingin menjadi seorang kepala dusun yang bijaksana, kiranya tentu tidak
ingin merampas tunangan orang dan memaksa gadis itu menikah dengan puteramu.”
Kepala dusun
Sun lalu memandang kepada tuan rumah, yaitu ayah dari Sui Lian. “Akan tetapi,
kalau memang Sui Lian sudah mempunyai tunangan, mengapa pinangan kami
diterima?”
Sie Liong
menoleh kepada tuan rumah dan isterinya, lalu dia berkata dengan tenang,
“Kiranya paman dan bibi ini akan dapat menjawab pertanyaan itu dan sekarang
inilah saat semua orang harus berterus terang dan meluruskan yang bengkok,
membenarkan yang salah!”
Wajah tuan
dan nyonya rumah menjadi agak pucat. Dengan suara gemetar, ayah Sui Lian lalu
berkata, “Mohon ampun kepada jung-cu... saat jung-cu mengajukan pinangan,
kami... kami merasa terhormat dan bahagia sekali, kami pun tidak berani menolak
dan tidak berani menceritakan tentang pertunangan itu... sebab kami merasa
bangga kalau menjadi besan jung-cu, maka kami diam saja dan...”
“Brakkk!”
Kepala dusun
menggebrak meja dengan tangan kirinya, dan mukanya menjadi merah sekali.
“Kalian kira aku ini orang macam apa? Seorang pembesar yang mengandalkan
kekuasaannya untuk memaksakan kehendaknya kepada rakyat? Sungguh, itu namanya
memandang rendah kepada kami!”
“Ampunkan
kami... jung-cu...!” tuan dan nyonya rumah menjadi ketakutan.
Kepala dusun
itu menarik napas panjang. “Sudahlah, gara-gara sikap kalian yang keliru, yang
gila kehormatan dan kedudukan, kalian telah membuat kami sekeluarga menjadi malu
saja. Semua tamu sudah datang dan semua peralatan upacara pernikahan telah
disiapkan, bagaimana mungkin pernikahan dapat dibatalkan? Kami akan menjadi
buah cemoohan dan tertawaan orang saja! Siapa nama tunangan Sui Lian itu?”
“Namanya Un
Kiong...”
“Di mana
dia? Panggil dia ke sini!”
Sie Liong
bangkit. “Biarlah aku yang memanggil dia ke sini.”
Dan sekali
berkelebat, pemuda bongkok ini pun lenyap dari situ. Tak lama kemudian dia
sudah datang lagi bersama Un Kiong. Pemuda ini agak pucat. Bagaimana pun juga,
dia ketakutan.
Akan tetapi,
kepala dusun Sun bersikap tenang saja. “Un Kiong, mulai saat ini, engkau
kuanggap sebagai anak angkatku dan besok engkau akan kunikahkan dengan Sui
Lian. Sukakah kau?”
Un Kiong
cepat menjatuhkan diri berlutut di depan ‘ayah angkatnya’ dan hanya mampu
menangis saking gembiranya. Sie Liong bertemu pandang dengan dua orang pendekar
Kun-lun-pai dan mereka tersenyum, kagum akan hasil pekerjaan Pendekar Bongkok.
Pada
keesokan harinya pesta pernikahan tetap dirayakan di rumah kepala dusun, hanya
saja, yang menikah bukanlah putera kandungnya, tetapi ‘putera angkatnya’.
Puteranya sendiri disuruhnya pergi ke kota di selatan, untuk menghindarkan
pergunjingan orang.
Pada waktu
sepasang mempelai dipertemukan, Sie Liong dan kedua orang pendekar Kun-lun-pai
mendapat kursi kehormatan. Tanpa diperintah, dua orang mempelai itu lalu
menghampiri Sie Liong dan serta merta keduanya menjatuhkan dirinya berlutut di
depan pemuda bongkok itu.
“Wah...
jangan...! Tak perlu begini...!” katanya dan sekali berkelebat, Pendekar
Bongkok sudah lenyap dari tempat itu, bahkan dari dusun itu yang
ditinggalkannya cepat-cepat.
Peristiwa
ini bukan hanya menguntungkan dua orang muda yang sudah saling mencinta itu,
tapi juga mendatangkan keuntungan besar kepada kepala dusun Sun. Perbuatannya
itu mendatangkan perasaan hormat dan suka sekali dalam hati para penduduk dusun
itu sehingga dia menjadi seorang kepala dusun yang dihormati, disuka dan
ditaati sehingga dia selalu dipilih, menjadi kepala dusun selama hidupnya!
Sie Liong
sendiri kembali melanjutkan perjalanan dengan wajah cerah. Mulutnya selalu
tersenyum. Gembira bukan main rasa hatinya bahwa dia sudah berhasil menyambung
perjodohan yang putus itu! Dia dapat membayangkan alangkah bahagianya sepasang
orang muda itu!
Akan tetapi
dia pun melihat bahwa kesenangan yang dinikmati sepasang orang muda itu
tidaklah kekal adanya. Seperti keadaan udara, tidak selamanya kehidupan manusia
diterangi sinar matahari. Banyak sekali awan hitam berarak di angkasa,
sewaktu-waktu dapat mengurangi kecerahan matahari, bahkan menggelapkannya sama
sekali. Akan tetapi, itu soal nanti! Yang penting, kini mereka berbahagia dan
dia pun merasa berbahagia karena perbuatannya telah berhasil membahagiakan
orang lain…..
***************
Tibet
merupakan daerah yang tidak banyak didiami suku bangsa lain kecuali bangsa
Tibet. Ada pula bangsa Han yang sudah bercampur dengan bangsa mereka. Bahkan
banyak terjadi perkawinan campuran sehingga terlahir suku yang dapat disebut
sebagai peranakan Tibet Han. Terutama di bagian Timur daerah Tibet, di mana
terdapat sebuah perkampungan yang menjadi tempat tinggal suku peranakan Tibet
Han.
Berbeda
dengan suku bangsa yang tinggal di Mongol, daerah yang penuh padang pasir, suku
bangsa Tibet bukan merupakan suku bangsa nomad, tidak berpindah-pindah tetapi
tinggal berkelompok dan membentuk dusun-dusun di antara pegunungan-pegunungan
yang memenuhi daerah itu.
Tibet memang
dipagari pegunungan-pegunungan yang besar. Di utara ada Kun-lun-san yang
memanjang dari barat ke timur. Di selatan juga berderet pegunungan Himalaya
yang seolah-olah melindungi daerah itu. Di tenggara terdapat Heng-tuan-san, di
timur laut terdapat Tanggula San, sedangkan di bagian tengah terdapat Gang
Tiese San dan Nyaingen Tangla San serta masih banyak lagi pegunungan kecil yang
masih memenuhi daerah itu. Selain kaya pegunungan, Tibet juga kaya akan danau
besar dan telaga yang lebih kecil.
Suku Tibet
adalah peternak-peternak yang pandai. Mereka beternak binatang kambing, domba
dan yak, yaitu semacam keledai. Selain itu mereka juga bertani dan berkebun,
dan pada umumnya mereka merupakan umat beragama yang taat. Hampir seluruh suku
Tibet menganut agama Buddha dan mereka percaya sepenuhnya terhadap kekuasaan
pendeta Lama yang dianggap sebagai penguasa, baik di pemerintahan mau pun dalam
bidang agama.
Ibukota
Lhasa di mana para Lama tinggal merupakan pusat atau kiblat mereka. Para
penduduk dusun yang agak berhasil dan memiliki kelebihan kekayaan, tentu tidak
akan melewatkan kesempatan berkunjung ke ibukota Lhasa itu. Tanggula San
merupakan pegunungan yang memanjang dari utara ke selatan, di dekat perbatasan
timur. Dari pegunungan inilah awal Yang-tse-kiang yang amat panjang itu muncul
dari sebuah sumbernya.
Karena itu,
terutama bagi orang-orang Han dan peranakan Han yang tinggal di Tibet,
pegunungan Tanggula San ini sangat penting. Mata air yang menjadi sumber sungai
Yang-tse itu dijadikan tempat keramat, bahkan di situ dibangun menara. Hal ini
karena sungai Yang-tse dianggap sebagai sungai keramat pula, yaitu sungai kedua
terpanjang di daratan Tiongkok sesudah sungai Huang-ho.
Karena
daerah pegunungan Tanggula San ini, terutama daerah lereng kaki pegunungan
merupakan daerah yang amat subur, maka banyaklah dusun para petani dan peternak
bertebaran di sekitar situ. Sebagian besar dari dusun-dusun ini dihuni oleh
peranakan Tibet Han.
Seperti pada
umumnya suku peranakan, darah campuran agaknya membuat keturunan mereka
memiliki bentuk wajah yang cantik. Bangsa Tibet asli terkenal memiliki bentuk
anggun dan jantan dengan alis yang tebal dan rambut yang hitam subur.
Sebaliknya orang Han memiliki kulit yang putih mulus kekuningan. Maka keturunan
dari kedua suku bangsa ini, banyak sekali yang tampan dan cantik.
Terutama
sekali para wanitanya, banyak yang cantik, berkulit putih kekuningan mulus,
berambut hitam panjang dan alis matanya juga hitam sekali, agak tebal di kedua
ujung seperti sayap kupu-kupu. Para pria peranakan ini juga berwajah tampan dan
ganteng, jantan dengan bentuk tubuh mereka yang tinggi besar. Tentu saja ada
kecualinya, ada juga yang berpenampilan buruk, seperti yang terjadi pada semua
suku bangsa.
Dusun
Ngomaima biasanya tenteram. Keributan hanya kadang-kadang saja terjadi, itu pun
pada waktu dusun itu kedatangan banyak tamu pedagang yang membawa pasukan pengawal
masing-masing. Para anggota pasukan pengawal inilah yang suka membikin ribut.
Mereka
bermabok-mabokan di dusun itu dan sering kali terjadi pertengkaran di antara
para pasukan pengawal. Juga kadang-kadang mereka itu ingin memaksakan kehendak
mereka kalau melihat wanita cantik. Akan tetapi, Gumo Cali, yaitu kepala suku
di dusun Ngomaima, selalu dapat meredakan keributan yang timbul.
Maka,
amatlah aneh rasanya bagi para pendatang ketika selama beberapa pekan ini,
dusun Ngomaima sama sekali berubah keadaannya. Terutama sekali di waktu malam.
Dusun itu sunyi sekali, dan hampir semua penghuni tidak berani keluar dari
rumah mereka begitu matahari sudah menyelam. Di sana sini para penghuni pria
melakukan penjagaan dan perondaan, namun pekerjaan ini pun dilakukan dalam
suasana penuh ketakutan.
Hal ini amat
menarik hati para pendatang. Beberapa orang kepala pasukan pangawal yang merasa
diri mereka kuat lalu bertanya. Setelah mereka mendapatkan keterangan bahwa
dusun itu sejak beberapa pekan telah diganggu dengan munculnya siluman yang
pada malam hari menculik gadis-gadis tercantik, mereka lalu bangkit dan
menggunakan pasukan mereka untuk mencoba menangkap siluman. Namun usaha mereka
semua gagal, seperti juga usaha Gumo Cali sendiri.
Banyak sudah
anak buah Gumo Cali yang roboh dan menderita luka-luka, juga kini para jagoan
dari pasukan pengawal juga banyak yang luka, bahkan ada yang tewas ketika
mereka berusaha untuk menangkap ‘siluman’ itu. Banyak jagoan merasa gentar
karena siluman itu kabarnya mempunyai kesaktian yang luar biasa, yang tidak
mungkin dilawan dengan ilmu silat biasa saja.
Maka,
setelah banyak jagoan di antara para pengawal mencoba-coba untuk mengadu
kepandaian dengan siluman itu dan gagal, bahkan banyak yang roboh terluka,
bahkan ada pula yang tewas, tidak ada lagi yang berani mencoba-coba!
Sudah ada
tiga orang gadis cantik yang lenyap tanpa meninggalkan jejak, lenyap begitu
saja dari kamar di rumah orang tua mereka! Siluman itu selalu beraksi pada
malam hari dan hebatnya, sebelum malam hari dia datang, pada siang harinya dia
terlebih dahulu memberi tanda cairan merah yang dioleskan pada pintu rumah
calon korbannya. Ketika Gumo Cali sendiri melakukan pemeriksaan, ternyata
cairan merah itu adalah darah!
Dan
malamnya, biar pun sudah dijaga ketat, tetap saja siluman itu datang,
merobohkan siapa saja yang coba untuk menghalanginya, kemudian menculik gadis
yang dipilihnya! Menurut keterangan mereka yang pernah dirobohkannya, siluman
itu datang dan pergi sebagai bayangan saja, tidak kelihatan jelas orangnya
kalau memang dia manusia, tidak nampak jelas mukanya, dan bayangannya selalu
berwarna merah. Maka, siluman itu pun terkenal dengan sebutan Siluman Merah!
Keadaan
dusun Ngomaima menjadi semakin geger ketika pada suatu siang, ada lagi coretan
merah pada sebuah daun pintu. Betapa penduduk tak akan geger kalau coretan itu
sekali ini terdapat pada daun pintu rumah Gumo Cali sendiri? Ketua mereka,
kepala dusun dan pemimpin mereka, yang ditakuti oleh semua orang, kini hendak
diganggu oleh siluman itu!
Dan coretan
itu bukan hanya satu, melainkan dua! Ini berarti bahwa yang akan diculik adalah
dua orang gadis, dan memang Gumo Cali memiliki dua orang anak perempuan yang
cantik manis, berusia empat belas dan enam belas tahun!
Gumo Cali
menjadi panik! Usaha penjagaan ketat oleh para jagoan tak menenteramkan hatinya
sebab sudah terbukti berulang kali betapa para jagoan itu tak ada yang mampu
menandingi kesaktian siluman itu. Maka jalan kedua pun diambilnya, jalan dari
mereka yang masih tebal kepercayannya akan tahyul, yaitu mengundang seorang
dukun!
“Untuk
mengusir siluman tidak mungkin dipergunakan kekuatan otot,” demikian katanya
kepada isterinya yang terus menerus menangis, juga kedua puterinya yang
menangis ketakutan, “akan tetapi harus dengan kekuatan sihir, dan yang akan
dapat mengusirnya dan menyelamatkan dua orang anak kita hanyalah seorang
dukun.”
Di daerah
Ngomaima terdapat seorang dukun yang cukup terkenal. Dia selalu dipanggil kalau
ada orang hendak membangun rumah, kalau ada orang mati, bahkan kalau ada yang
sakit, maka dia pun diundang untuk mengobati dengan cara yang aneh. Dia juga
seorang peranakan Tibet Han, mempunyai nama Han yaitu Bong Ciat dan selalu
minta disebut Bong Sianjin, seolah-olah dia adalah seorang manusia dewa!
Bong Sianjin
diundang dan dengan gaya seorang dukun sejati yang penuh dengan ilmu sihir,
dukun ini datang dan penampilannya memang mengesankan sekali. Pakaiannya pun
aneh, merupakan jubah pendeta yang lebar dan lengannya longgar. Akan tetapi
jika jubah pendeta itu biasanya sederhana berwarna polos putih atau kuning,
jubah yang dipakai dukun ini kembang-kembang dan berwarna-warni!
Juga dukun
ini pesolek sekali, karena selain pakaiannya licin dan sepatunya baru, juga
rambutnya tersisir licin berminyak. Dan hebatnya, bila orang berada dua tiga
meter saja darinya, orang itu akan mencium bau minyak yang sangat wangi!
Usia Bong
Sianjin kurang lebih empat puluh tahun, dengan kumis kecil panjang berjuntai ke
bawah, bersambung dengan jenggotnya yang juga jarang. Matanya yang amat sipit
itu sukar dikatakan melek atau meram. Hidungnya besar dan mulutnya yang kecil
selalu tersenyum mengejek.
Di
punggungnya terdapat sebatang pedang. Tangan kanannya menggenggam sebuah
kebutan berbulu putih sedangkan tangan kirinya memegang sebuah kipas yang
selalu dikebut-kebutkan ke arah lehernya pada waktu dia memasuki rumah Gumo
Cali dengan lenggang dibuat-buat!
Gumo Cali
dan isterinya cepat menyambut dengan sikap hormat. Tetapi begitu melihat tuan
rumah, mendadak dukun itu berhenti melangkah, hidungnya mengembang-kempis,
mendengus dan mencium-cium, matanya yang sipit itu melirik ke kanan kiri,
kemudian mulutnya mengeluarkan keluhan panjang.
“Hayaaaaa...!”
dan dia pun mengangguk-angguk.
Melihat ini,
Gumo Cali cepat memberi hormat sambil bertanya, “Sianjin, apakah yang engkau
ketahui? Katakan kepada kami!”
“Aihh, penuh
hawa siluman di sini! Harus disingkirkan dulu hawa siluman ini, kalau tidak,
akan meracuni semua penghuni rumah!”
Ia pun
mengeluarkan sebungkus hioswa (dupa biting) dari kantung jubahnya yang lebar,
mengeluarkan beberapa batang dupa dan menyalakannya. Asap yang mengeluarkan bau
harum segera memenuhi ruangan depan itu.
Mulut si
dukun berkemak-kemik membaca mantera, kemudian terdengarlah dia berkata sambil
mengacung-acungkan hio itu ke empat penjuru.
“Yang datang
dari selatan, kembalilah ke selatan, yang datang dari timur, kembalilah ke
timur, yang datang dari utara kembalilah ke utara dan yang datang dari barat
kembalilah ke barat. Jangan mengganggu rumah ini, melainkan kumpulkan semua
kawanmu untuk membantu aku mengusir siluman merah!”
Ia lalu
mengeluarkan gerengan-gerengan aneh yang pantasnya hanya keluar dari leher
binatang buas. Tentu saja sikap dan perbuatannya yang aneh ini mengesankan
sekali dan hati Gumo Cali dan isterinya sudah mulai merasa lega. Tentu dukun
sakti ini akan mampu mengusir siluman merah dan menyelamatkan puteri-puteri
mereka.
Bagaikan
orang yang sedang kemasukan dan bukan atas kehendaknya sendiri, tanpa permisi
lagi Bong Sianjin memasuki rumah Gumo Cali sambil mengacung-acungkan hio yang
masih berasap itu, mengelilingi seluruh ruangan di dalam rumah itu. Kemudian
dia bertanya, “Di mana kamar dua orang gadis itu?”
Diam-diam
Gumo Cali menjadi semakin gembira. Kiranya dukun ini sudah tahu bahwa dua orang
gadisnya itulah yang diancam oleh siluman merah!
“Di sana,
Sianjin, di sudut itu...,” jawabnya cepat.
“Bawa aku ke
sana, dan suruh dua orang gadismu itu menemuiku, akan kulihat apakah mereka
sudah terkena hawa siluman ataukah belum!”
Dengan
senang hati ayah dan ibu itu lalu mengajak Bong Sianjin masuk sebuah kamar yang
cukup besar. Di situ terdapat sebuah pembaringan yang lebar, yaitu pembaringan
milik kakak beradik itu.
Mereka yang
tadinya bersembunyi di tempat lain, segera dipanggil dan dua orang gadis yang
cantik manis itu sekarang berdiri dengan muka pucat di depan Bong Sianjin yang
memandang kepada mereka dengan mata seperti terpejam! Namun, di balik pelupuk
mata yang setengah tertutup itu mengintai sepasang mata yang tajam, sinar mata
yang menjelajahi seluruh tubuh kedua orang gadis itu dari kepala sampai ke kaki
dan mata itu bersinar gairah!
Tiba-tiba
Bong Sianjin mengeluarkan seruan, “Uhhhh...!” dan tubuhnya pun terhuyung ke
belakang. “Sungguh celaka...!”
“Ada apakah,
Sianjin...?” tanya Gumo Cali cepat dan wajahnya gelisah sekali.
“Celaka,
mereka ini sudah diselubungi hawa siluman yang amat kuat!”
Ibu kedua
orang anak itu menjerit ketakutan dan dua orang anak perempuan itu pun menangis
dan tubuh mereka menggigil.
“Aduh...
lalu bagaimana baiknya, Sianjin? Tolonglah anak-anakku, tolonglah kami... apa
pun yang kau minta akan kami laksanakan untuk membalas budi kebaikanmu... cepat
tolonglah...” kata kepala dusun itu cemas dan kelihatan ketakutan, sungguh
tidak sesuai dengan kegagahannya sebagai jagoan nomor satu di dusun Ngomaima
itu. Ketahyulan memang bisa membuat orang yang bagaimana perkasa pun menjadi
seorang pengecut dan penakut.
“Jangan
khawatir he-he-heh, jangan khawatir. Selama masih ada Bong Sianjin, jangan
khawatir...! Akan tetapi, dua orang nona ini perlu dibersihkan dari hawa
siluman. Aku akan membersihkan mereka dan semua orang tidak boleh mendekati
kamar ini, karena kalau sampai ada yang terkena hawa siluman, aku akan menjadi
repot saja. Biarkan mereka di kamar ini, aku akan membersihkan dan menjaga,
kalau siluman datang, akan kuusir dia... heh-heh-heh, jangan khawatir, ada Bong
Sianjin, heh-heh-heh!”
“Baik,
baik... ah, terima kasih sebelumnya, Sianjin. Dan apa... apa syaratnya, apa
yang perlu kami persiapkan?”
“Mudah saja.
Seember besar air yang diberi air kembang yang harum, dan dupa harum harus
dibakar di sudut kamar. Sediakan saja seember air itu, aku sendiri yang akan
mempersiapkan segalanya, angkat ember ke dalam kamar ini, lalu tinggalkan kamar
ini, jangan ada yang berada di luar kamar. Kalau aku belum memanggil, jangan
ada yang berani mendekat kalau ingin selamat dan bebas dari hawa siluman!”
Mendengar
ini, seluruh penghuni rumah menjadi ngeri dan ketakutan. Segera seember air
harum itu diangkat masuk ke dalam kamar.
Ibu dua
orang gadis itu merangkul mereka dan berkata, “Jangan kalian takut, ada Bong
Sianjin yang sakti di sini. Kalian akan dibersihkan dan dibebaskan dari...
siluman...”
Dua orang
gadis yang ketakutan itu merasa tidak berdaya dan hanya mengangguk. Bagi
mereka, sikap dukun itu saja sudah sama mengerikan seperti berita tentang
siluman, terutama sekali sepasang mata yang selalu terpejam akan tetapi ada
sinar mata di balik garis mata sipit itu yang memandang kepada mereka secara
mengerikan!
Juga mulut
kecil yang tersenyum-senyum itu, hidung besar yang cupingnya kembang kempis,
sungguh membuat dua orang gadis itu menjadi semakin ketakutan. Akan tetapi,
karena dukun ini katanya hendak menyelamatkan mereka dari cengkeraman siluman
merah, maka mereka pun pasrah!
Setelah
melihat betapa dengan penuh semangat kepala dusun Gumo Cali mengusiri semua
orang agar menjauhi kamar dan sama sekali tidak boleh mendekat, dan semua orang
kini telah pergi, dukun itu lalu menutupkan daun pintu kamar itu, memalangnya
dari dalam dan sambil menyeringai dia pun menghadapi kedua orang gadis remaja
yang masih gemetar ketakutan itu.
Setelah
berada bertiga saja dengan dua orang gadis remaja yang cantik, segar dan ranum
itu, semakin bergeloralah gairah birahi dalam hati dukun Bong yang sejak tadi
sudah bangkit begitu dia melihat dua orang gadis remaja yang diserahkan ke
dalam kekuasaannya itu. Dia melihat kesempatan yang amat baik terbuka baginya.
Dia memang
sudah mendengar akan adanya siluman merah yang suka menculik para gadis-gadis
cantik. Dia tidak takut menghadapi siluman. Sudah dipersiapkannya senjata ampuh
untuk melawan setan, yang dibawanya dan disimpannya dalam saku jubahnya, yaitu
darah anjing yang sudah dikeringkan dan dijadikan bubuk hitam, serta pedang
pusakanya yang sudah diberi mantera, sebatang pedang terbuat dari pada akar
kayu pengusir setan.
Dia tidak
takut, bahkan dia akan mempergunakan nama iblis itu untuk melaksanakan
hasratnya yang lagi berkobar-kobar. Dia akan memetik dua tangkai bunga yang
sedang mulai mekar itu, menikmati mereka, tetapi pertanggungan-jawabnya akan
dia timpakan kepada siluman merah! Ya, semua orang akan percaya kepadanya!
“Heh-heh-hah,
anak-anak manis, kalian sudah dikotori hawa siluman, tanpa dibersihkan, kalian
akan jatuh sakit dan akhirnya mati dalam keadaan tersiksa. Maukah kalau kalian
kubersihkan dari hawa siluman?”
“Mau,
Sianjin, tentu saja kami mau...,” kata gadis tertua dengan suara gemetar.
“Kalau
kalian mau, ingat. Apa pun yang terjadi di sini, jangan sekali-kali kalian
ceritakan kepada orang lain, kepada orang tuamu pun tidak boleh. Kalau kalian
ceritakan, maka hawa siluman itu akan datang menguasai diri kalian kembali.
Menurut saja dengan apa yang akan kulakukan terhadap kalian, sebab itulah cara
pengobatannya. Nah, sekarang, tanggalkan semua pakaian dan kalian akan
kumandikan di dalam ember ini. Lakukan sekarang!”
Dukun lepus
yang menjadi hamba nafsunya sendiri itu sekarang tersenyum-senyum dan sepasang
mata yang tersembunyi di balik pelupuk mata yang sipit itu makin mencorong
penuh nafsu ketika dia melihat dua orang gadis remaja itu, dengan malu-malu dan
takut-takut, menanggalkan pakaian mereka satu demi satu di hadapannya sampai
mereka telanjang bulat sama sekali.
Kemudian,
sambil menyeringai penuh nafsu, dukun itu lalu menuntun mereka berdua masuk ke
dalam ember terisi air kembang yang harum. Dengan nafsu yang semakin berkobar,
kedua tangannya memandikan dua orang gadis remaja itu. Jari-jari tangannya
dengan penuh nafsu menggerayangi dan meraba-raba serta membelai-belai,
pura-pura membersihkan tubuh mereka.
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment