Sunday, May 20, 2018

Cerita Silat Serial Pendekar Bongkok Jilid 14



























         Cerita Silat Kho Ping Hoo
        Serial Pendekar Bongkok
                  Jilid 14


Sie Liong berada di tengah-tengah dan dia pun sudah siap siaga. Dia tahu bahwa kalau dia dikeroyok dengan pengepungan semacam ini, maka akan rugilah dia apa bila hanya mempertahankan diri saja. Kalau sampai dia terdesak, akan sukarlah meloloskan dirinya dari kepungan, dan sukar pula untuk membalas serangan lawan yang tentu bertubi-tubi datangnya. Oleh karena itu, dia pun mengambil keputusan untuk mendahului lawan dan mengambil sikap menyerang dan mengamuk.

Tiba-tiba dia mengeluarkan lengkingan dahsyat dan tubuhnya bergerak ke kiri. Pemuda bongkok itu sudah menyerang Thay Bo Lama yang berada di sebelah kirinya. Karena dia menggunakan jurus dari ilmu tongkat Thian-te Sin-tung, tentu saja serangannya itu hebat bukan main.

Thay Bo Lama menggerakkan tombaknya menangkis, dan Thay Hok Lama yang berada di sampingnya juga turut mengayun rantai baja untuk melindungi sutenya, juga untuk menyerang Sie Liong! Namun, begitu serangannya gagal, Sie Liong tidak membiarkan dirinya diserang. Serangan Thay Hok Lama itu dia hindarkan dengan loncatan ke kanan dan dia sudah menotokkan ujung tongkatnya ke arah leher Thay Si Lama.

“Tar-tar-tarrrr!”

Thay Si Lama menggerakkan cambuknya meledak-ledak ketika ujung tongkat di tangan Sie Liong itu bagai seekor lalat menyambar-nyambar ke arah lehernya. Dia tahu betapa hebatnya totokan itu kalau mengenai sasaran, maka dengan sibuk dia pun melindungi dirinya dengan putaran cambuk. Sementara itu, Thay Pek Lama juga menggerakkan siang-kiam (sepasang pedang) untuk membantu suheng-nya dan membalas serangan Sie Liong.

Ketika pedang itu menyambar pinggang dan leher, Sie Liong melempar tubuh ke bawah dan bergulingan ke arah Thay Ku Lama. Begitu melompat, tongkatnya telah menyerang dengan tusukan ke perut orang pertama Tibet Ngo-houw itu! Lama ini cepat memutar golok menjaga dirinya. Akan tetapi Sie Liong sudah membalik ke belakang lagi untuk menyerang Thay Hok Lama!

Amukan Sie Liong itu mengejutkan Tibet Ngo-houw. Gerakan pemuda itu begitu cepat, membagi-bagi serangan sehingga mereka tidak sempat lagi menyusun kekuatan untuk mengepung dan menghimpit.

Melihat ini, dengan muka merah dan hati panas sekali Thay Ku Lama berseru nyaring. “Ngo-heng-tin (barisan lima unsur)!”

Mendengar bentakan ini, para sute-nya lantas sadar dan mereka segera berlompatan menjauhi Sie Liong lalu membuat barisan segi lima! Dan mereka pun mulai bergerak mengelilingi Sie Liong, semakin lama semakin cepat dan lingkaran yang mereka buat itu semakin sempit.

Sie Liong tidak berani lagi menyerang seperti tadi. Dia sudah maklum bahwa begitu dia menyerang salah seorang di antara mereka, maka yang empat orang akan menubruk dan menyerangnya dari empat jurusan secara berbareng!

Dia sudah pernah mendengar dari Pek Sim Siansu tentang beberapa tin (barisan) dan Ngo-heng-tin merupakan salah satu barisan yang berbahaya, apalagi karena lima orang anggotanya menggunakan lima macam senjata sehingga sukar sekali diduga gerakan dan corak penyerangan mereka.

Akan tetapi dia pun teringat pelajaran yang diberikan oleh para gurunya. Antara lain Pek Sim Siansu pernah menceritakan sifat dan kehebatan barisan Ngo-heng-tin itu.

“Dalam Ngo-heng-tin terdapat unsur Im-yang pula,” demikian kata kakek sakti itu. “Lima unsur itu saling bantu, sehingga kalau ada seorang anggota diserang, selain dia sendiri dapat membela diri, juga ada satu anggota lainnya yang melindunginya, sedangkan tiga orang lainnya tentu akan membarengi saat itu untuk menghantam lawan. Memang kalau lima orang anggota Ngo-heng-tin itu mempunyai tenaga dan kepandaian yang setingkat denganmu, amat sukarlah mengalahkan mereka. Akan tetapi, dengan Thian-te Sin-tung dan langkah-langkah ajaib, tentu engkau akan dapat mempertahankan diri. Jika engkau dapat memecahkan unsur-unsur yang saling membantu itu, baru engkau akan mampu mengacaukan pertahanan mereka. Maka usahakan supaya engkau mengenal siapa di antara mereka itu yang saling melindungi, siapa yang memegang unsur air, api, kayu, tanah dan angin.” Demikianlah petunjuk yang diperolehnya dari Pek Sim Siansu.

Terdengar seruan keras ketika Thay Ku Lama membuka serangan pertama! Golok di tangannya itu mula-mula diacungkan ke atas, dan kedua kaki pendeta yang bertubuh gemuk dengan perut gendut itu ditekuk hingga tubuhnya hampir berjongkok. Dari dalam perutnya berbunyi suara berkokokan seperti suara katak besar dan perut yang gendut itu bergoyang-goyang, kemudian tubuhnya meloncat ke depan dan dengan jari terbuka tangan kirinya mendorong ke arah Sie Liong.

Uap hitam disertai angin keras langsung datang menyambar ke arah Sie Liong. Itulah pukulan Hek-in Tai-hong-ciang (Tangan Angin Taufan Awan Hitam) yang berbahaya sekali.

Sie Liong mengenal pukulan ampuh, maka dia pun melempar tubuh ke kiri sehingga angin pukulan itu lewat. Ketika sinar golok di tangan kanan Thay Ku Lama menyambar, dia menggerakkan tongkatnya menangkis, lalu cepat membalas dengan totokan-totokan ke arah tujuh jalan darah utama di bagian depan tubuh lawan!

Menghadapi jurus hebat dari Thian-te Sin-tung ini yang membuat dirinya terancam maut oleh totokan-totokan, Thay Ku Lama menjadi sibuk dan cepat memutar goloknya untuk melindungi tubuhnya. Thay Si Lama cepat sekali memutar cambuknya, selain berniat untuk melindungi sehengnya, juga ujung cambuk itu berusaha membelit tongkat untuk merampasnya!

Sie Liong mulai merasakan keampuhan barisan Ngo-heng-tin. Dengan otomatis, ketika Thay Ku Lama diserangnya, Thay Si Lama sudah berada di situ, melindunginya dan ikut pula menyerangnya.

Sie Liong meloncat tinggi melewati tubuh para pengepungnya dan tiba di belakang Thay Hok Lama. Akan tetapi begitu lima orang pengeroyoknya membuat gerakan berlari dan berlompatan, dirinya sudah dikepung lagi oleh barisan segi lima itu. Dia cepat menubruk ke depan, menggerakkan tongkatnya yang mula-mula menusuk ke arah sepasang mata Thay Pek Lama, kemudian ujung tongkat itu digetarkan untuk beralih menghantam leher dan ubun-ubun secara bergantian.

Thay Pek Lama cepat mengeluarkan sepasang pedangnya menangkis. Pada saat itu, secara otomatis pula Thay Hok Lama sudah menggunakan rantai bajanya melindungi Thay Pek Lama. Dan kedua orang pendeta Lama ini lalu bergabung dan menyerang Sie Liong secara bersamaan.

Setelah mencoba untuk mengamuk beberapa belas jurus lamanya, tahulah Sie Liong bahwa benar seperti apa yang dikatakan oleh gurunya, lima orang itu saling melindungi. Dia lalu mencari mata rantai yang tidak bersambung dalam barisan itu.

Tiba-tiba dia menyerang Thay Si Lama dengan hebatnya. Dia tahu bahwa tentu Thay Pek Lama yang akan bergerak melindungi suheng-nya itu. Dan benar saja, Thay Pek Lama secara otomatis telah melindungi Thay Si Lama, akan tetapi ketika mereka berdua hendak membalas serangan Sie Liong, pemuda itu telah membalik secara tiba-tiba dan dia pun sudah menyerang Thay Bo Lama!

Dia sudah memperhitungkan bahwa tentu Thay Ku Lama yang akan melindungi orang termuda dari Tibet Ngo-houw itu. Ketika Thay Ku Lama bergerak, dia pun cepat menarik kembali serangannya dan mendadak saja dia menyerang Thay Hok Lama si mata satu!

Serangannya sekali ini hebat bukan main, karena selain tongkatnya membuat serangan tusukan beruntun yang amat dahsyat, juga dengan tenaga sinkang sepenuhnya tangan kirinya melakukan hantaman dengan jurus Pay-san-ciang (Tangan Menolak Gunung), jurus ilmu pukulan sakti yang dia pelajari dari Hek Bin Tosu.

Thay Hok Lama terkejut bukan main dan segera memutar rantai melindungi dirinya. Dia mengharapkan perlindungan Thay Bo Lama seperti yang sudah diatur menjadi bagian masing-masing dalam barisan itu.

Akan tetapi baru saja Thay Bo Lama bergerak mundur karena desakan Sie Liong yang ternyata hanya serangan palsu itu. Maka sekali ini, Thay Hok Lama harus melindungi diri sendiri dan tidak mempunyai pelindung lain.

Akan tetapi, serangan Sie Liong itu terlampau hebat. Thay Hok Lama dapat menangkis tongkat itu, akan tetapi dia sama sekali tidak mampu menghindarkan diri dari tangan kiri Pendekar Bongkok yang memukulnya. Namun dia masih berusaha menangkis dengan tangan kirinya.

“Desss...!”

Tubuh Thay Hok Lama terpelanting keras dan terbanting sampai terguling-guling.

Tentu saja para Lama yang lainnya menjadi terkejut bukan main. Tidak pernah mereka bermimpi bahwa Ngo-heng-tin kebanggaan mereka akan dapat dipecahkan sedemikian mudahnya oleh Pendekar Bongkok sehingga belum lewat tiga puluh jurus saja seorang dari mereka sudah roboh!

Tiba-tiba nampak sesosok bayangan merah berkelebat dan tahu-tahu Kim Sim Lama yang memegang sebatang tongkat pendeta sudah berada di tempat di mana tadi Thay Bo Lama berdiri.

“Ngo-seng-tin (Barisan Lima Bintang)!” serunya dengan suaranya yang lembut namun berwibawa.

Empat orang Lama itu pun bergerak dan dipimpin oleh Kim Sim Lama sendiri, mereka membentuk barisan Bintang Lima yang gerakannya aneh namun cepat, seperti bintang yang berkedap-kedip karena senjata mereka selalu digerak-gerakkan hingga berkilauan dan kedudukan mereka selalu berubah. Tiba-tiba mereka berlima itu menyerang dari lima penjuru!

Sie Liong cepat-cepat memutar tongkatnya melindungi diri. Tangan kirinya mendorong dengan pukulan yang dia ubah-ubah pula untuk membingungkan para pengeroyoknya. Tongkatnya membentuk benteng yang sangat kuat sehingga semua senjata terpental kalau hendak menerobos ke dalam lingkaran benteng sinar itu. Hanya tongkat di tangan Kim Sim Lama saja yang mampu membuat Sie Liong merasakan lengannya terguncang hebat dan kedudukan kakinya terhuyung.

“Trakkk!”

Pertemuan antara tongkat di tangan Sie Liong dengan tongkat pendeta berkepala naga yang besar di tangan Kim Sim Lama amatlah hebatnya. Bukan saja Sie Liong tergetar, juga Kim Sim Lama kelihatan tercengang. Jelas nampak betapa di wajahnya terbayang kekaguman dan keheranan karena dia mendapat kenyataan bahwa pemuda itu mampu menandingi kekuatan sinkang-nya!

Sie Liong tidak membiarkan dirinya dilanda kekagetan lebih lama, akan tetapi cepat dia menghindarkan diri dari sambaran tombak Thay Bo Lama yang menusuk lurus ke arah lehernya. Dia merendahkan dirinya sedangkan tangan kirinya lantas mendorong ke arah penyerangnya itu, cepat sekali.

“Hyaaaattt...!”

Hawa yang sangat dingin menyambar ganas ke arah dada Thay Bo Lama. Ternyata Pendekar Bongkok sudah mempergunakan Swat-liong-ciang (Tangan Naga Salju) yang dilatihnya dari Swat Hwa Cinjin, salah seorang di antara Himalaya Sam Lojin. Pukulan ini memang mengandung sinkang yang berhawa dingin seakan-akan ada hawa salju yang menyambar ganas.

Thay Bo Lama terkejut dan menangkis dengan lengan kirinya pula.

“Plakkk!”

Dan akibatnya, tubuhnya terguling dan dia pun menggigil kedinginan!

Saat itu segera dipergunakan oleh Thay Ku Lama untuk menyambarkan goloknya yang mengeluarkan suara berdesing! Sie Liong menundukkan mukanya dan menggerakkan tongkat untuk menangkis.

Pada saat yang sama, tongkat naga di tangan Kim Sim Lama kembali menyambar. Sie Liong yang maklum akan kehebatan pemimpin pemberontak ini, terpaksa menggunakan tongkat yang tadi membalik ketika menangkis golok Thay Ku Lama, untuk menghadapi sambaran tongkat naga Kim Sim Lama.

“Dukkk!”

Sekali ini, sedemikian kuatnya Kim Sim Lama menghantamkan tongkatnya. Lagi pula Sie Liong baru saja menangkis golok Thay Ku Lama sehingga ketika menangkis tongkat Kim Sim Lama, tenaganya pun tidak sepenuhnya. Akibatnya Sie Liong terpelanting!

Kesempatan itu dipergunakan oleh Thay Si Lama untuk manghantamkan cambuknya ke arah kepala Sie Liong. Cambuk itu melecut dengan cepat seperti kilat menyambar!

Sie Liong masih berhasil menggerakkan tongkatnya menangkis, walau pun dia sudah terpelanting. Namun, ujung cambuk itu membelit tongkatnya dan terjadi tarik menarik. Sie Liong mengerahkan tenaga dan tangan kirinya mendorong dengan telapak tangan terbuka ke arah Thay Si Lama.

Thay Si Lama yang menguasai ilmu silat Sin-kun Hoat-lek, yaitu silat yang bukan saja mengandung tenaga sinkang kuat, akan tetapi bahkan juga mengandung ilmu sihir itu, tidak gentar dan dia pun menggerakkan telapak tangan kiri menyambut.

“Desss...!”

Hebat bukan main pertempuran dua telapak tangan dan akibatnya, tubuh Thay Si Lama terjengkang dan dia pun muntah darah! Sie Liong sendiri juga terjengkang karena tadi kedudukannya tidak menguntungkan ketika dia mengadu tenaga dalam dengan Thay Si Lama. Kuda-kudanya tidak kokoh karena dia tadi baru saja dalam keadaan terpelanting dan terhuyung.

Pada saat dia terjengkang, ujung tongkat di tangan Kim Sim Lama menyambar dan menyentuh punggungnya. Sie Liong terkulai lemas dan roboh pingsan! Melihat betapa Thay Si Lama muntah darah, empat orang rekannya menjadi marah dan mereka sudah menggerakkan senjata untuk melumatkan tubuh Pendekar Bongkok.

“Tahan!” Kim Sim Lama berseru dan tongkatnya diputar melindungi tubuh Sie Liong.

Lima orang Harimau Tibet itu kini memandang heran kepada pemimpin mereka. Bahkan Thay Si Lama yang mengusap darah dari bibirnya, mengerutkan alisnya.

“Maaf, susiok (paman guru), akan tetapi Pendekar Bongkok ini berbahaya sekali. Sudah selayaknya kalau dia dibunuh!” katanya dengan nada tidak senang.

“Hemm, kalian ini sudah berpengalaman luas, mengapa masih berpandangan picik dan masih mudah dipengaruhi oleh kemarahan dan dendam? Yang penting bagi kita adalah langkah yang kita perhitungkan, langkah yang pasti akan menguntungkan usaha kita! Kalau dia kalian bunuh, lalu apa untungnya? Boleh jadi dia lihai, akan tetapi tidak cukup lihai untuk membuat kita gentar. Pula, apa artinya dia seorang diri saja menghadapi kita? Sebaliknya, kalau dia tidak dibunuh, banyak pilihan bagi kita untuk memanfaatkan bocah ini dan menarik keuntungan sebesarnya.”

Lima orang pendeta Lama itu memandang penuh perhatian dan Thay Ku Lama mewakili para sute-nya bertanya, “Susiok, manfaat apa yang dapat kita ambil dari bocah bongkok ini?”

“Ha-ha-ha-ha! Nah, kalian lihatlah,” katanya kepada belasan orang pembantu utamanya.
“Tanpa pimpinan pinceng, kalian ini sama seperti sekumpulan gajah yang kehilangan pembimbing. Biar pun kalian kuat, kalau tidak pandai mempergunakan akal, tidak akan ada gunanya dan tidak akan mencapai hasil jauh! Dengarlah. Kita semua telah melihat bahwa bocah ini, walau pun masih muda dan tubuhnya bongkok, akan tetapi dia sudah mewarisi ilmu kepandaian yang hebat dan kiranya hanya pinceng seorang saja yang akan mampu menandinginya. Kalian semua, kalau maju satu lawan satu, sama sekali bukanlah tandingannya! Nah, kalian tentu tahu betapa akan baik dan menguntungkan sekali bagi kita kalau saja dia mau membantu gerakan kita.”

“Akan tetapi, susiok! Dia adalah murid Himalaya Sam Lojin, bahkan juga murid Pek Sim Siansu. Dia musuh kita dan mana mungkin dia mau membantu gerakan kita?” Thay Si Lama mencela.

“Bagaimana kalau kita mempergunakan sihir supaya dia kehilangan ingatan dan suka membantu kita?” kata Thay Hok Lama.

Kim Sim Lama menggelengkan kepalanya. “Memang benar bahwa kiranya tidak akan mungkin dia membantu kita, dan penggunaan sihir pun tidak ada artinya bagi seorang yang sudah memiliki sinkang sekuat itu.”

“Pinceng dapat membuatkan racun perampas ingatan...” berkata pula Thay Hok Lama si ahli racun.

Kim Sim Lama tetap menggeleng kepalanya. “Biar pun dia sudah kehilangan ingatan, watak dasarnya tentu melarang dia untuk membantu kita. Dan apa artinya orang yang kehilangan ingatan untuk kita? Bahkan dia akan dapat menimbulkan kekacauan karena ketololannya. Tidak, agaknya kita tidak boleh mengharapkan dia membantu perjuangan kita dengan tenaganya.”

“Lalu untuk apa lagi, susiok?” Thay Pek Lama bertanya.

Kim Sim Lama tersenyum dan mukanya yang merah kekanak-kanakan itu kini kelihatan cerdik luar biasa. Matanya mencorong, berkilat dan mulutnya tersenyum mengejek.

“Kita dapat mempergunakan dia untuk memperuncing hubungan yang sudah memburuk antara Dalai Lama dan para tosu. Kalau dia sebagai utusan para tosu sampai terbunuh oleh Dalai Lama, barulah kematiannya ada gunanya untuk kita.”

Lima orang Tibet Ngo-houw mengangguk-angguk dan mereka pun melihat manfaat itu. “Akan tetapi, bagaimana caranya agar dia dapat terbunuh oleh Dalai Lama, atau agar para tosu menganggap kematiannya disebabkan oleh Dalai Lama?”

“Tentu saja satu-satunya jalan adalah supaya dia mati di dalam istana Dalai Lama di Lhasa!” kata Kim Sim Lama.

“Akan tetapi, bagaimana caranya menyelundupkan dia ke dalam istana?” tanya Thay Bo Lama.

Kim Sim Lama tersenyum lagi. “Tidak percuma pinceng sudah menyebar orang-orang ke dalam Lhasa. Biarlah kita menanti kesempatan yang baik. Sementara ini, kita tahan dia di dalam penjara lebih dulu.”

“Akan tetapi, hal itu berbahaya sekali, susiok! Dia amat lihai, kalau dibiarkan hidup di dalam penjara, bagaimana kalau sekali waktu dia memberontak dan berhasil lolos dari dalam penjara?” Thay Ku Lama berseru khawatir.

“Ha-ha-ha-ha, mengapa engkau begitu bodoh? Tentu saja kita harus membuat dia tidak berdaya lebih dahulu. Nah sekarang racunmu perampas ingatan itu kita butuhkan, Thay Hok Lama.”

Thay Hok Lama merasa girang karena dia dapat berjasa. Cepat dia mengeluarkan dua butir pel hitam. “Ingatannya dihilangkan sama sekali ataukah untuk sementara, susiok?”

“Maksudmu bagaimana?” tanya Kim Sim Lama.

“Pinceng mempunyai dua butir pel racun perampas ingatan. Kalau diminumkan sebutir, maka dia akan kehilangan ingatan selama satu bulan saja. Akan tetapi, kalau dua butir sekaligus dimasukkan ke perutnya, racun yang bekerja sedemikian hebatnya sehingga semua syaraf ingatan di kepalanya akan hangus dan dia pun akan kehilangan ingatan untuk selamanya.” Thay Hok Lama tertawa gembira karena bangga dapat memamerkan keahliannya tentang racun.

“Berikan sebutir saja. Mungkin kita memerlukan dia dalam keadaan sadar dan setelah sebulan, kalau perlu, kita bisa meminumkannya sebutir lagi.”

Thay Hok Lama menghampiri tubuh Sie Liong yang masih pingsan, menotok lehernya sehingga dengan mudah dia membukakan mulut pemuda itu dan memaksakan sebutir pel ke dalam kerongkongannya. Dengan arak yang dituangkan dengan paksa, maka pel itu memasuki perut Sie Liong tanpa diketahui pemuda yang masih pingsan itu.

“Ha-ha-ha, setelah siuman dia sudah akan lupa segala-galanya, susiok. Apakah boleh kami lempar dia di dalam kamar tahanan?” tanya Thay Hok Lama.

“Nanti dulu! Walau pun ingatannya hilang, apa bila tenaganya masih demikian kuat dan nalurinya masih membuat dia mampu bersilat, hal itu tetap saja membahayakan.”

“Jangan khawatir, susiok. Pinceng mempunyai racun lain yang akan meracuni darahnya sehingga kalau dia mengerahkan sinkang-nya dia akan roboh sendiri,” kata Thay Hok Lama.

Kembali Thay Hok Lama mengeluarkan obat bubuk yang dituangkan ke dalam perut Sie Liong melalui mulutnya. Setelah itu, barulah Sie Liong dimasukkan ke dalam sebuah kamar tahanan yang berpintu besi.

“Ha-ha-ha, dalam keadaannya seperti itu, dia tidak berbahaya lagi, seperti orang biasa saja. Tidak perlu kita sendiri yang berjaga, cukup dijaga anak buah saja,” kata Thay Hok Lama.

Demikianlah, Sie Liong dilempar ke dalam kamar tahanan dan pemuda itu menggeletak pingsan di atas lantai kamar yang dingin itu. Lima orang Tibet Ngo-houw meninggalkan kamar itu setelah menyuruh enam orang penjaga berjaga di luar pintu besi dengan senjata di tangan.

Tanpa perlu dijaga pun, pemuda yang sudah makan dua macam obat beracun itu tak akan mampu membebaskan diri dari dalam kamar penjara…..


                    ***************

                 
 cerita silat karya kho ping hoo


Bayangan itu berkelebat cepat sekali meninggalkan wuwungan rumah penginapan. Bulan sepotong sudah naik tinggi dan sinarnya yang remang-remang menyinari muka orang yang berkelebat turun dari wuwungan genteng rumah penginapan itu.

Dia adalah seorang pemuda tampan sekali, dengan wajahnya yang bulat bersih dan sepasang alis yang hitam lebat. Hidungnya mancung dan matanya mencorong, bibirnya selalu tersenyum memikat dan pakaiannya mewah dan bersih. Dia tersenyum-senyum ketika berhenti di kebun rumah penginapan itu, menoleh ke arah kamarnya yang berada di bagian tengah.

“Selamat tidur, suci yang manis,” bisiknya sambil tersenyum.

Pemuda ini adalah Coa Bong Gan, murid ke dua Koay Tojin yang melakukan perjalanan bersama suci-nya, Yauw Bi Sian ke Lhasa untuk mencari Pendekar Bongkok Sie Liong. Seperti telah diceritakan di bagian depan, mereka memasuki kota Lhasa dan di kota ini mereka berhasil mendapat keterangan tentang Pendekar Bongkok yang kabarnya akan melakukan penyelidikan ke sarang Kim-sim-pai daerah Telaga Yam-so.

Tentu saja Bi Sian segera akan melakukan pengejaran ke sana, akan tetapi Bong Gan mencegahnya, mengingatkan bahwa mereka harus lebih dahulu menyelidiki Kim-sim-pai yang amat ditakuti penduduk dan di mana pula adanya sarang perkumpulan yang akan didatangi Sie Liong itu. Selain alasan ini, juga ada alasan rahasia yang membuat Bong Gan menahan suci-nya agar jangan hari itu juga pergi meninggalkan Lhasa!

Tadi, di rumah makan, dia bertemu dengan seorang wanita yang demikian cantik manis sehingga membuat hatinya jungkir balik! Yang membuat ia tergila-gila dan mengobarkan birahinya adalah ketika wanita yang cantik manis itu di rumah makan tadi jelas memberi tanda kepadanya dengan main mata!

Kerling dan senyum wanita itu demikian memikatnya sehingga dia tidak ragu lagi bahwa dia tidak bertepuk tangan sebelah. Bukan dia saja yang bangkit birahinya, melainkan wanita itu pun jelas tidak menyembunyikan perasaan hatinya yang tertarik kepadanya! Dia harus dapat bertemu dengan wanita itu, malam ini juga!

Sebelum dia dan suci-nya meninggalkan Lhasa, dia harus dapat mendekati wanita itu untuk mempererat hubungan, untuk berkenalan. Akan tetapi, setelah berhasil keluar dari rumah penginapan tanpa diketahui siapa pun, dan suci-nya tentu sudah tidur di kamar sebelah yang sudah gelap dan sunyi, dia menjadi bingung sendiri. Ke mana dia harus mencari wanita itu? Ada sesuatu pada wajah wanita itu yang amat menarik hatinya, yang secara mendadak saja menimbulkan gairah cintanya.

Tiba-tiba hidungnya kembang kempis. Keharuman mawar demikian menyolok masuk ke hidungnya. Apakah kebun ini banyak bunga mawarnya? Akan tetapi ketika dia menoleh ke sekeliling, tidak ada pohon bunga mawar di situ. Akan tetapi keharuman itu demikian keras dan semakin keras lagi.

Tiba-tiba ia merasa ada orang di belakang. Cepat dia memutar tubuhnya dan... benar saja, dalam jarak lima meter ia melihat sesosok tubuh yang ramping. Akan tetapi dalam keremangan itu, jarak itu masih terlampau jauh untuk dapat mengenal mukanya. Hanya terdengar suara kekeh wanita dan orang itu pun meloncat dan berkelebat pergi.

Seorang wanita! Cepat Bong Gan melakukan pengejaran. Dia makin heran dan kagum. Wanita itu sungguh memiliki ilmu berlari cepat yang hebat! Dia mengejar terus.

Wanita itu melalui jalan-jalan yang sunyi. Setelah tiba di sebuah lapangan rumput dekat sungai kecil yang sunyi karena tempat itu merupakan pinggiran kota Lhasa, dengan suara ketawa kecilnya yang masih terdengar, ia berhenti, seolah menanti.

Bong Gan meloncat ke depan wanita itu dan dia terpesona, terbelalak dan sejenak dia bengong. Wanita itu adalah wanita cantik manis yang membuatnya tergila-gila tadi! Betapa manisnya wajah yang bulat telur dengan dagu runcing itu. Kulit muka dan leher itu putih mulus, manisnya bukan main!

“Hi-hik-hik, mengapa engkau mengejarku?” terdengar suaranya yang merdu dan penuh godaan.

“Karena aku tergila-gila kepadamu, nona. Pertemuan antara kita di rumah makan itu sudah membuat aku jatuh cinta kepadamu, nona!” jawab Bong Gan yang masih belum hilang kekaguman dan keheranannya.

Sama sekali tak pernah disangkanya bahwa gadis cantik jelita yang telah membuatnya tergila-gila itu bukan wanita sembarangan saja, melainkan seorang wanita yang memiliki ilmu lari cepat yang agaknya tidak berada di bawah tingkatnya!

Wanita itu bukan lain adalah Pek Lan. Sebagai seorang yang mata keranjang dan gila pria ganteng, begitu bertemu dengan Bong Gan tentu saja ia sudah tertarik bukan main. Ia merasa betapa wajah pemuda ganteng itu tidak asing baginya, namun ia lupa lagi entah di mana pernah bertemu pemuda yang gagah dan ganteng itu.

Sayang pemuda itu sudah mempunyai pasangan, seorang gadis yang demikian cantik. Akan tetapi justru hal ini bahkan menimbulkan gairahnya, karena ia merasa ada saingan dan ia harus menang! Ia sudah bosan dengan permainan cinta Thai Yang Suhu yang biar pun masih tampan dan gagah, namun sudah tua itu.

Setelah siang tadi dia membayangi pemuda dan gadis itu sampai mengetahui rumah penginapan mereka, maka malam itu dia lalu pergi mengunjungi rumah penginapan itu. Tanpa disangka-sangkanya, ia melihat bayangan melayang turun dari wuwungan rumah penginapan. Tentu saja dia terkejut dan heran, dan lebih besar lagi keheranannya ketika dia mengenal pemuda tampan yang digandrungi itulah bayangan yang amat gesit itu.

Hatinya menjadi semakin bergairah. Kiranya seorang pemuda yang lihai! Dia semakin tertarik, dan dia lalu memancing pemuda itu keluar dari daerah ramai, menuju ke tempat sunyi di pinggir sungai kecil yang mengalir di dekat tembok kota Lhasa.

Kini, mendengar pengakuan pemuda itu yang mengaku bahwa dia telah tergila-gila dan jatuh cinta padanya, Pek Lan pun tertawa.

“Aihh, benarkah engkau jatuh cinta kepadaku? Kalau begitu, aku harus mengujimu dulu apakah engkau cukup gagah untuk dapat berdekatan dengan aku. Sambut seranganku ini!”

Tiba-tiba Pek Lan sudah melakukan penyerangan dengan tangan kosong. Gerakannya cepat dan juga mengandung tenaga kuat sehingga terdengar angin berdesir.

Timbul kegembiraan di hati Bong Gan. Kiranya wanita ini bukan hanya pandai berlari cepat, pikirnya. Dia harus menunjukkan bahwa dia cukup jantan dan gagah untuk dapat ‘berdekatan’ dengan wanita cantik yang menantang ini. Cepat dia pun mengelak untuk menghindarkan serangan orang dan dia pun segera membalas.

Ternyata wanita itu memiliki gerakan yang gesit dan serangan Bong Gan dapat pula ia elakkan dengan cepat, kemudian ia melancarkan serangan bertubi-tubi yang membuat Bong Gan diam-diam menjadi semakin kagum. Apa bila tadinya dia masih tersenyum mengejek dan hendak main-main, kini dia tahu bahwa wanita itu sungguh lihai dan dia sama sekali tidak boleh memandang ringan! Segera dia mainkan ilmu simpanannya, yaitu ilmu inti dari Koay Tojin.

Ilmu silat ini dapat dimainkan dengan tangan kosong, atau dapat pula dengan pedang, namun pada intinya ilmu silat ini adalah ilmu silat tongkat yang disebut Ta-kwi Tung-hoat (Silat Tongkat Pemukul Iblis). Begitu dia memainkan ilmu silat ini, dua tangannya seolah merupakan sepasang tongkat yang ampuh sekali dan mempunyai gerakan yang aneh sehingga Pek Lan beberapa kali mengeluarkan seruan kagum.
Namun, biar pun agak terdesak, Pek Lan masih dapat mengindarkan semua rangkaian serangan lawan. Karena ia memang sudah tertarik kepada pemuda itu, maka ia tidak mau mengeluarkan ilmu pukulan yang sangat dahsyat, yaitu Hek-in Tok-ciang (Tangan Beracun Awan Hitam).
“Tahan dulu...!” serunya sambil melompat ke belakang.
Bong Gan berdiri dan tersenyum, merasa menang karena betapa pun juga, dia tadi sudah berhasil mendesak lawan dengan ilmu silat Pemukul Iblis dan wanita itu yang kini minta berhenti.
Akan tetapi ternyata Pek Lan telah mengeluarkan pedangnya dan melintangkan pedang di depan dada sambil tersenyum. Manis dan gagah sekali.

“Aku sudah melihat ilmu silat tangan kosongmu dan merasa kagum sekali. Akan tetapi aku belum melihat bagaimana kehebatanmu kalau bermain senjata. Nah, kau keluarkan senjatamu dan mari kita main-main sebentar. Sebelum berkenalan, aku ingin mengenal kepandaianmu lebih dulu.”

Ketika masih ikut Koay Tojin, baik Bong Gan mau pun Bi Sian tidak pernah dibolehkan menggunakan senjata tajam, walau pun mereka diajarkan bermain ilmu tongkat Ta-kwi Tung-hoat yang dapat juga dimainkan dengan pedang. Bi Sian sendiri juga tidak pernah menggunakan pedang. Setelah ia mewarisi pedang Pek-lian-kiam dari ayahnya gadis itu baru membawa senjata tajam. Demikian pula Bong Gan, hampir tidak pernah membawa senjata tajam karena kedua kaki tangannya saja sudah cukup ampuh untuk menghadapi lawan yang bersenjata sekali pun.

Sebenarnya dia sama sekali tidak gentar menghadapi gadis yang berpedang itu dengan tangan kosong. Akan tetapi sebagai seorang laki-laki gila perempuan yang telah banyak mengenal wanita, Bong Gan maklum akan watak wanita yang pada umumnya senang disanjung, suka dimanja dan dihargai. Kalau kini dia maju dengan tangan kosong tentu wanita itu akan tersinggung dan merasa dipandang rendah. Dan hal ini sungguh akan merugikan dirinya.
Dia lalu mengambil sebatang ranting pohon sebesar lengannya. Sambil melintangkan tongkat sepanjang hampir dua meter itu dia pun berkata, “Maaf, nona. Aku tidak pernah membawa senjata. Pula, kita adalah kenalan baru yang hendak mempererat hubungan, bagaimana aku dapat tega untuk mengangkat senjata tajam melawanmu? Biarlah aku menggunakan tongkat ini saja.”

Pek Lan mengerutkan alisnya. “Engkau memandang rendah kepadaku?”
Bong Gan menahan senyumnya. Tepat seperti yang sudah diduganya. Wanita ini tidak menyimpang dari watak wanita pada umumnya, tidak suka dipandang rendah dan ingin selalu dihargai. Maka dia pun cepat berkata,
“Aihhh, siapa berani memandang rendah kepadamu, nona? Dari pertandingan tangan kosong tadi saja aku tahu bahwa aku bukanlah tandinganmu! Apa lagi kalau kini engkau berpedang, mana aku berani memandang rendah? Dan terus terang saja, satu-satunya senjata yang paling dapat kuandalkan adalah tongkat dan kalau ada tujuh belas macam senjata pilihan di sini, aku tetap akan memilih sebatang tongkat.”

Lenyap kerut di antara sepasang alis yang hitam panjang melengkung indah itu. “Bagus, kalau begitu, aku ingin melihat ilmu tongkatmu! Sambutlah pedangku ini!” Dan ia pun menyerang dengan gerakan cepat dan dahsyat sekali.
Bong Gan memang benar tidak berani memandang rendah. Dia tahu bahwa lawannya ini hebat dan lihai sekali, maka dia pun cepat menggerakkan tongkatnya dan segera memainkan Ta-kwi Tung-hoat yang merupakan ilmu inti yang diajarkan oleh Koay Tojin kepada dua orang muridnya.
Begitu ada tongkat di tangannya dan setelah memainkan tongkat itu dengan ilmu Ta-kwi Tung-hoat, Bong Gan memang menjadi lihai sekali. Tongkatnya itu bagikan seekor naga bermain di angkasa, berkelebatan dan menyambar-nyambar dengan ganasnya.

Pek Lan telah digembleng oleh Hek-in Kui-bo, seorang datuk sesat yang berilmu tinggi. Namun, tingkat nenek itu masih kalah dibandingkan tingkat Koay Tojin, maka ilmu yang telah diserap oleh Bong Gan juga lebih tinggi tingkatnya dibandingkan dengan ilmu yang dikuasai Pek Lan.

Apa bila Pek Lan menggunakan kecurangan seperti yang diajarkan oleh gurunya, yaitu dengan menggunakan senjata rahasia beracun dan sebagainya, baru mungkin ia dapat mengimbangi kelihaian Bong Gan. Akan tetapi wanita itu sama sekali tidak ingin melukai Bong Gan, apa lagi membunuhnya. Ia sudah menjadi semakin tertarik kepada pemuda tampan dan gagah, juga berkepandaian tinggi. Sungguh seorang kawan dan rekan yang akan amat menyenangkan hati sebagai selingan kebosanan dirinya harus melayani Thai Yang Suhu saja!
Bong Gan juga kagum. Ilmu pedang yang dimainkan gadis itu harus diakuinya sangat hebat sehingga andai kata dia tak menggunakan tongkat, tentu dia akan kalah. Bahkan dengan tongkatnya pun, ditambah dengan ilmu tongkatnya, ia hanya bisa mengimbangi permainan pedang lawannya, mampu melindungi diri dan juga membalas dengan sama dahsyatnya.

Pertandingan itu berjalan seru di bawah sinar bulan sepotong dan diam-diam keduanya merasa saling tertarik dan kagum. Kemudian Bong Gan mengeluarkan seruan keras dan dia lalu menggunakan jurus Menghitung Tulang Iga. Ujung tongkatnya itu bagaikan berubah menjadi banyak dan menusuk-nusuk ke arah dada lawan, seperti hendak mematahkan setiap tulang iga di dada itu!
Pek Lan terkejut bukan main. Ia sudah berusaha memutar pedangnya menangkis, tetapi ujung tongkat itu seperti hendak menyentuh dan menotok kedua payudaranya. Memang ia berhasil melindungi diri dengan sinar pedangnya sehingga ujung tongkat tidak sampai menyentuhnya, namun angin pukulan tongkat itu tetap menyambar-nyambar dan seperti jari tangan yang meraba-raba dadanya!
Semenjak tadi ia memang sudah kagum bukan main dan kini gairah birahinya bangkit, menyala dan berkobar. Sambil mengeluarkan suara melengking yang panjang, Pek Lan menggerakkan pedangnya menangkis tongkat dan mengerahkan tenaga sinkang untuk menempel. Pedang bertemu tongkat dan melekat!
Pek Lan menggunakan tangan kirinya untuk mendorong ke arah dada lawan, namun pada saat itu Bong Gan juga melepaskan tangan kanannya, memegang tongkat hanya dengan tangan kiri dan tangan kanan itu menyambut dorongan tangan kiri Pek Lan.

“Plakkk!”

Dua buah tangan dengan jari-jari terbuka itu bertemu dan saling melekat pula, seperti pedang dan tongkat! Mereka tidak bergerak, hanya saling pandang dalam jarak kurang dari satu meter lebih sehingga mereka dapat melihat wajah masing-masing cukup jelas.

Bong Gan tersenyum. “Nona, engkau sungguh cantik jelita...”
Pek Lan juga tersenyum. “Dan engkau perayu besar!”
“Tidak, nona. Aku bicara sejujurnya. Engkau memang cantik jelita dan manis sekali, dan ilmu kepandaianmu amat hebat, aku tergila-gila padamu, aku... aku tidak ingin berkelahi denganmu, melainkan ingin bercinta denganmu, ingin mencium mulutmu yang manis itu...”
Senyum Pek Lan melebar. Gairah birahinya sudah berkobar membakar seluruh dirinya karena sikap dan ucapan Bong Gan bagaikan minyak bakar disiramkan pada api nafsu birahinya.
Pek Lan menggerakkan kepalanya. Rambutnya yang digelung itu terlepas dan rambut yang panjang itu menyambar ke depan, melingkari leher Bong Gan. Dia menarik dan muka pemuda itu mendekat. Ketika dua mulut itu bertemu dalam ciuman yang penuh nafsu, pedang dan tongkat mereka terjatuh dan dua pasang lengan itu saling dekap. Keduanya terguling ke atas rumput!
Mereka bagaikan dua orang yang mabok, mabok oleh nafsu birahi mereka sendiri. Dua orang ini memang cocok, keduanya mempunyai kelemahan yang sama, yaitu menjadi hamba nafsu birahi. Mereka saling menumpahkan birahi mereka lewat kemesraan yang panas.
Tiba-tiba, masing-masing terbelalak dan melepaskan rangkulan, bangkit duduk dengan napas masih terengah-engah serta keringat membasahi dahi dan leher. Mereka saling tatap seperti orang terkejut.

Kau... kau... Bong Gan...?”

“Kau... Pek Lan...?”

Tadinya mereka memang hanya merasa pernah saling bertemu, akan tetapi keduanya sudah saling tidak mengenal. Hal ini dapat dimaklumi, karena pada saat mereka dahulu menjadi kekasih masing-masing, usia Pek Lan baru tujuh belas tahun dan usia Bong Gan bahkan baru tiga belas atau empat belas tahun!
Kini, Pek Lan telah menjadi seorang wanita cantik yang matang, sedangkan Bong Gan menjadi seorang pemuda tampan yang sudah dewasa, bukan lagi remaja setengah kanak-kanak seperti dahulu. Pula, dahulu keduanya sama sekali tidak dapat bersilat dan kini keduanya telah menjadi orang yang lihai ilmu silatnya.
Akan tetapi, setelah keduanya bermesraan, barulah mereka saling mengenal dan tentu saja keduanya terkejut bukan main, terheran, juga merasa girang sekali!

“Pek Lan, ahhh kau Pek Lan, kekasihku...”

“Bong Gan, betapa aku rindu kepadamu...!”
Keduanya saling rangkul dan saling cium lagi, seperti dua orang kekasih yang sudah bertahun-tahun berpisah kini saling jumpa kembali. Mereka agaknya sudah lupa bahwa dalam pertemuan terakhir dahulu mereka saling serang dengan penuh kemarahan dan dendam, saling menyalahkan karena keduanya terpaksa harus pergi dari rumah gedung hartawan Coa sesudah tertangkap basah ketika mereka berdua melakukan hubungan gelap, berjinah!
Kembali mereka tenggelam dalam gelombang nafsu birahi. Akan tetapi tiba-tiba Pek Lan menahan dada Bong Gan yang menggelutinya, lalu mendorong pemuda itu sehingga keduanya kembali bangkit duduk.
“Ada apakah, Pek Lan, kekasihku? Aku... sangat rindu kepadamu...” Bong Gan berbisik, terengah-engah.
“Nanti dulu, aku melihat engkau bersama gadis cantik itu. Isterimukah dia?” tanya Pek Lan, bukan karena cemburu hanya ingin tahu saja.
Bong Gan tersenymn lega. Disangkanya mengapa Pek Lan menghentikan pelukan. “Ia bernama Yauw Bi Sian dan ia adalah kakak seperguruanku.”
“Suci-mu? Hemm, kalau begitu ia tentu lihai sekali.”
“Sudahlah, kenapa justru membicarakan orang lain? Engkau mengganggu saja...!” Bong Gan merangkul dan kembali mereka tenggelam ke dalam lautan kemsaraan yang penuh nafsu birahi.

Semalam suntuk, kedua orang ini membiarkan diri mereka dipermainkan gelombang birahi. Mereka lupa diri, lupa susila dan lupa segalanya, karena yang terasa hanyalah gairah nafsu yang tak terkendalikan, nafsu yang menuntut pemuasan namun yang tak mengenal puas. Dan setiap kali mereka mendapat waktu luang untuk istirahat, mereka bercakap-cakap, saling menceritakan pengalaman masing-masing semenjak mereka berpisah.

“Sungguh aneh keadaan kita ini, Pek Lan,” kata Bong Gan sambil membelai rambut kekasihnya dalam rangkulan. “Dahulu, ketika aku masih remaja, kita sudah saling jatuh cinta, kita bermain cinta. Kemudian, ketika kita terusir keluar dari rumah keluarga Coa, kita saling serang hingga engkau diambil murid Hek-in Kui-bo seperti yang kau ceritakan tadi, dan aku menjadi murid Koay Tojin. Kemudian, begitu bertemu, kita saling tertarik lagi tanpa saling mengenal, dan kemudian kita bertanding lagi sebelum akhirnya saling bermain cinta.”
“Engkau memang sudah kucinta sejak dulu, Bong Gan,” kata Pek Lan sambil mencium dagu pemuda itu. “Dan engkau sampai tiba di Lhasa ada keperluan apakah?”

“Aku diminta suci-ku untuk membantunya mencari musuh besarnya.”
“Hemm, siapakah musuh besarnya?”
“Dia bernama Sie Liong dan berjuluk Pendekar Bongkok.”
Pek Lan melepaskan rangkulannya, bahkan bangkit duduk seperti orang terkejut.
“Pendekar Bongkok? Dia...?”

Pada waktu gairah nafsu sudah terpuaskan dan mulai menipis, maka apa yang tadinya nampak begitu indah menjadi berubah. Bong Gan tak lagi merasakan keindahan bentuk tubuh Pek Lan yang bermandikan sinar bulan itu, sudah tak seindah tadi. Apa lagi yang menjadi bahan percakapan kini menarik hatinya.

“Engkau sudah mengenal dia, Pek Lan?”

“Mengenalnya...?” Pek Lan tersenyum getir. Tentu saja dia sudah mengenal Pendekar Bongkok, mengenalnya dengan cara yang paling pahit. “Aku pernah bertemu dengan dia. Dia... hemm, lihai bukan main. Jadi Pendekar Bongkok itu musuh besar suci-mu?”
“Ya, musuh besar akan tetapi juga pamannya, adik ibu kandungnya.”
“Ehhh? Ceritakan kepadaku, kenapa begitu, Bong Gan,” kata Pek Lan dan karena hawa mulai dingin menjelang subuh itu, ia menutupi tubuhnya dengan pakaiannya, meski pun belum ia pakai sebagaimana mestinya.
Bong Gan juga mulai mengenakan kembali pakaiannya. Dia tidak begitu bergairah lagi setelah semua nafsu yang bergelora disalurkan dan terpuaskan. Dia mulai teringat akan hal-hal lain seperti Bi Sian dan perjalanan mereka ke Lhasa.

“Suci adalah keponakan Pendekar Bongkok karena Sie Liong itu adik kandung ibunya...”

“Tapi Pendekar Bongkok itu masih amat muda!”

“Memang selisih usia mereka tidak banyak. Pendekar Bongkok adalah murid Himalaya Sam Lojin dan Pek Sim Siansu, yaitu subeng dari guruku, Koay Tojin. Pada suatu hari, Pendekar Bongkok telah... ehhh, dia membunuh ayah kandung suci-ku. Karena itu, suci mendendam dan hendak mencari Pendekar Bongkok, pamannya itu. Karena tahu akan kelihaian pamannya, maka dia minta bantuanku dan kami berdua kemudian mengikuti jejak Pendekar Bongkok sampai ke Lhasa.”

“Hemm, kalau begitu, kita mempunyai kepentingan yang sama. Aku pun dimusuhi oleh Pendekar Bongkok dan dia kami anggap sebagai musuh. Kalau engkau suka bergabung dengan kami, Bong Gan, tentu keadaan kita akan lebih kuat. Apa lagi, setelah kini saling bertemu, aku tidak ingin berpisah lagi denganmu. Entah bagaimana dengan engkau!”
Bong Gan mendekat dan mencium pipi wanita itu. “Engkau tahu perasaanku kepadamu, Pek Lan, dan engkau tahu tak ada kesenangan lebih besar bagiku melebihi kesenangan bekerja sama denganmu dan selalu berada di dekatmu. Akan tetapi, bagaimana dengan suci? Kalau ia marah kepadaku dan menentang kita, ia akan menjadi penghalang besar dan menambah musuh yang amat berbahaya bagi kita.”

“Kenapa harus menjadi musuh? Bukankah ia memusuhi Pendekar Bongkok? Ajak saja ia bergabung dengan kami. Thai Yang Suhu, guruku dalam ilmu sihir itu tentu akan suka pula bergabung dengan kalian.”
“Maksudmu pendeta yang kulihat lagi bersamamu di rumah makan itu?” Baru sekarang Bong Gan teringat akan pendeta itu. “Jadi dia itu gurumu yang baru?”

“Dia sahabat subo Hek-in Kui-bo dan sekarang sedang mengajarkan ilmu sihir padaku, menjadi guruku pula.”

“Dan kalian hendak pergi ke manakah? Mengapa sampai pula di Lhasa?”

“Kami hendak pergi menghadap Kim Sim Lama, ketua Kim-sim-pai...”

“Ahhh! Sie Liong Si Pendekar Bongkok juga ke sana!”

“Akan tetapi dia sebagai lawan Kim-sim-pai, sedangkan kami datang sebagai sababat. Guruku, Thai Yang Suhu, adalah seorang sahabat Kim Sim Lama dan kami datang untuk menggabungkan diri dengan Kim-sim-pai yang mempunyai cita-cita besar.”

“Cita-cita bagaimana?” Bong Gan mulai tertarik.

“Menggulingkan Dalai Lama dan menjadi penguasa seluruh Tibet!”

“Wah, pemberontakan? Apa hubungannya itu dengan kita? Aku tidak mau kalau harus menjadi pemberontak di negeri asing!”

“Bong Gan, engkau bodoh. Kau kira aku pun senang membantu pemberontakan orang Tibet? Kita bukan ikut memberontak, melainkan membantu Kim-sim-pai untuk mencapai cita-citanya. Kalau mereka berhasil, kita tinggal pilih. Kedudukan tinggi dan kekuasaan di Tibet, atau kita dapat pulang ke timur membawa kekayaan yang amat besar. Di sini tempat harta yang amat banyak, emas permata, dan benda-benda aneh yang tak ternilai harganya.”
Bong Gan mengerutkan alisnya. “Jadi engkau dan Thai Yang Suhu hendak bersekutu dengan Kim-sim-pai, lalu membantu pemberontakan mereka untuk mencari kedudukan tinggi atau harta benda?”

“Tentu saja, untuk apa lagi kalau bukan mencari keuntungan? Apa artinya hidup ini jika tidak mencari keuntungan dan kesenangan?”
Bong Gan mengangguk-angguk. “Hemm, sebenarnya aku tertarik sekali, Pek Lan. Akan tetapi... bagaimana dengan suci Yauw Bi Sian?”
“Kau ajak saja ia bersama kami.”
“Uh, engkau tidak tahu bagaimana wataknya! Ia keras hati dan sudah pasti ia tidak akan suka kalau mendengar kita membantu Kim-sim-pai untuk suatu pemberontakan di Tibet. Ia... ia... hemm, ia condong untuk menentang segala yang dianggapnya jahat.”

“Hi-hik-hik, kau maksudkan ia seorang pandekar wanita?”

Bong Gan mengangguk. “Begitulah! Guru kami, Koay Tojin, menentang segala bentuk kejahatan dan...”

“Dan kau sendiri?”

Bong Gan menyeringai. “Aku lebih suka mencari kesenangan dan keuntungan seperti engkau, Pek Lan.”

“Kalau begitu, tinggalkan saja suci-mu yang pura-pura alim itu. Engkau ikut dengan kami bargabung dengan Kim-sim-pai dan persetan dengan gadis itu!”

“Ahh, tidak bisa begitu, Pek Lan. Meninggalkan ia begitu saja? Ahhh, aku... aku...”

“Hemmm, aku tahu! Engkau jatuh cinta kepada suci-mu yang cantik itu, bukan? Dasar mata keranjang kau!”
“Tidak banyak bedanya denganmu, Pek Lan.” Bong Gan membalas.
“Hemm, kalau begitu. Bujuk dan rayu dia agar suka bergabung dengan kami. Kalau dia begitu lihai, kami pasti lebih senang lagi dan Kim Sim Lama tentu akan suka menerima bantuannya.”

“Itulah sukarnya, Pek Lan. Terus terang saja, pernah aku menyatakan cintaku padanya dan ia... ia agaknya tidak menolak, akan tetapi dengan tegas mengatakan bahwa aku dilarang bicara tentang cinta sebelum kami bertemu Pendekar Bongkok dan berhasil membalas kematian ayahnya. Kalau saja dia suka menerima cintaku sekarang juga... kalau saja ia dapat menjadi milikku sekarang, tentu akan mudah mengajaknya bekerja sama denganmu.”
Pek Lan terkekeh genit dan merangkul leher kekasihnya. “Huh, kalau bukan aku yang mendengar ucapanmu itu, apakah orang tidak akan menjadi gila oleh cemburu? Engkau laki-laki mata keranjang! Baiklah, jangan khawatir, guruku Thai Yang Suhu tentu akan dapat membantumu menundukkan suci-mu itu. Akan tetapi hanya dengan satu syarat, yaitu setelah engkau berhasil menundukkan suci-mu, engkau harus mengajaknya untuk bergabung dengan kami!”
Tentu saja Bong Gan merasa girang bukan main. “Baik, aku berjanji! Ia pun tentu akan setuju karena bukankah dengan bekerja sama akan lebih mudah untuk menghadapi Pendekar Bongkok?”

“Dan setiap saat aku menginginkan, engkau harus melayaniku dengan taat!”
Bong Gan tertawa. “Tentu saja, dengan segala senang hati!”

“Nah, kalau begitu, sekarang aku menginginkan...”
Keduanya tertawa dan kembali mereka menyelam ke dalam lautan kemesraan yang panas dan memabokkan.


Mereka memasuki kota Lhasa sambil menuntun kuda tunggangan mereka yang nampak lelah sekali. Sie Lan Hong memandang ke kanan kiri, mengagumi bangunan-bangunan kuno yang kokoh dan megah di lereng bukit-bukit itu. Sungguh sebuah kota yang aneh dan juga asing baginya. Melihat daerah yang luas itu, perumahan yang berada di lereng-lereng bukit, orang-orang yang berlalu lalang di jalan-jalan lebar, ia pun mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Lie-toako, di tempat besar seperti ini, ke mana kita harus mencari puteriku dan adikku?”

Lie Bouw Tek tersenyum. Dia memandang wanita itu dengan sinar mata lembut dan menghibur.

“Jangan khawatir, Hong-moi. Yang kita cari adalah dua orang Han, maka tentu tidak akan begitu sukar. Tidak banyak orang Han di sini, maka kalau mereka berada di sini, tentu ada yang melihat mereka.”

“Sekarang, kita ke mana toako?”

“Kita mencari tempat penginapan dahulu, menyewa dua buah kamar, dan membiarkan kuda kita mendapat perawatan, kemudian kita membersihkan diri, lalu makan. Setelah itu, baru kita pergi menghadap atau berusaha supaya dapat diterima menghadap Dalai Lama.”

“Menghadap Dalai Lama? Akan tetapi aku pernah mendengar bahwa kedudukan Dalai Lama amat tinggi, hampir seperti kaisar kita, dan tidak akan mudah menghadap beliau.”

“Benar, akan tetapi aku yakin akan dapat diterimanya, Hong-moi. Aku mengenal beliau pribadi, karena aku pernah membantu beliau ketika ada segerombolan penjahat hendak membunuh beliau.”

“Akan tetapi, adikku Sie Liong mungkin pergi mencari Tibet Ngo-houw, kenapa engkau hendak mengajak aku menghadap Dalai Lama?”

“Begini, Hong-moi. Aku sendiri sesungguhnya sedang menerima tugas dari Kun-lun-pai untuk menyelidiki kenapa Tibet Ngo-houw memusuhi para tosu, bahkan memusuhi pula Kun-lun-pai. Di sepanjang perjalanan kita sudah mendengar akan adanya perkumpulan Kim-sim-pai yang kabarnya hendak memberontak. Maka, kupikir sebaiknya kalau aku langsung saja bertanya kepada Dalai Lama tentang sikap Tibet Ngo-houw itu. Aku yakin di sana aku akan bisa mendapatkan keterangan yang lebih jelas. Dan tentang mencari adikmu dan puterimu, kukira orang-orang Dalai Lama akan lebih tahu, atau setidaknya akan lebih mudah menemukan kedua orang itu kalau Dalai Lama membantu, menyuruh orang-orangnya untuk menyelidiki dan mencari.”

Sie Lan Hong mengangguk-angguk. Ia memang telah tahu bahwa Lie Bouw Tek adalah seorang pria yang hebat, yang gagah perkasa, cerdik dan juga amat berpengalaman. Ia merasa lemah dan bodoh sekali berada di samping pria ini, dan ia merasa aman dan terlindung.

Alangkah bedanya ketika ia masih menjadi isteri Yauw Sun Kok. Ia tak pernah merasa tenteram, tak pernah merasa aman bahkan selalu merasa gelisah, takut dan juga sakit hati. Lie Bouw Tek yang bukan apa-apanya, tidak ada hubungan apa pun antara mereka telah bersikap demikian baiknya!

Begitukah sikap setiap orang pendekar, ataukah ada sesuatu yang istimewa di dalam hubungan di antara mereka? Mengingat akan hal ini, sering kali Lan Hong tersipu malu. Tidak, bantahnya kepada diri sendiri. Ia hanya seorang janda yang mempunyai seorang puteri lagi. Ia bukan seorang gadis muda!

Sedangkan Lie Bouw Tek adalah seorang pendekar yang gagah perkasa dan budiman, seorang tokoh Kun-lun-pai yang terkenal! Betapa mungkin... ah, ia telah mengharapkan terlalu jauh, sungguh tidak tahu malu!

Lan Hong menurut saja ketika Lie Bouw Tek mengajaknya mencari rumah penginapan. Mereka menyewa dua buah kamar yang letaknya berdampingan dan menyerahkan dua ekor kuda mereka kepada pelayan untuk diberi makan.

Setelah mandi, dengan tubuh terasa segar dan pakaian bersih menggantikan pakaian mereka yang penuh debu, keduanya lalu pergi ke rumah makan. Mereka tidak terlalu menarik perhatian, seperti sepasang suami isteri saja.

Lie Bouw Tek sendiri biar pun dia seorang pendekar besar, tetapi dia tidak menonjolkan diri dan pedang pusakanya selalu tersembunyi di balik baju luarnya. Atas nasehat Lie Bouw Tek pula, Sie Lan Hong juga menyembunyikan pedangnya sehingga tidak terlalu menyolok. Pedang Lan Hong memang hanya pedang pendek, maka setelah diselipkan di ikat pinggang, ujung sarung pedang masih tertutup baju, dan gagangnya juga tidak nampak walau pun ada kalanya ujung itu menonjol keluar.

Setelah makan, pada pagi hari itu juga, mereka pun pergi menuju ke istana Dalai Lama di lereng bukit. Suasana di bukit itu sungguh nyaman. Terdapat beberapa buah taman bunga yang amat indah, dengan suasana yang aman dan tenteram. Para pendeta Lama yang kadang-kadang bersimpang jalan dengan mereka, bersikap hormat dan ramah.

Akan tetapi, ketika mereka tiba di pintu gerbang memasuki daerah istana itu, beberapa orang pendeta Lama menghadang mereka. Biar pun sikap mereka sangat hormat, akan tetapi dengan tegas mereka mengatakan bahwa orang luar tak diperbolehkan memasuki daerah itu tanpa ijin.

“Harap kalian memaafkan kami,” kata kepala jaga dengan sikap hormat. “Kalau hendak berjalan-jalan dan menikmati keadaan, harap lakukan itu di luar daerah istana. Tidak seorang pun diperbolehkan memasuki daerah dalam pintu gerbang tanpa ijin.”

Lie Bouw Tek tersenyum dan menjura dengan hormat, diikuti pula oleh Sie Lan Hong. “Harap saudara sekalian suka memaafkan saya. Saya sengaja datang ke Lhasa untuk menghadap Dalai Lama. Harap saudara sudi melaporkan ke dalam dan mengatakan bahwa kami berdua ingin menghadap Dalai Lama karena ada suatu keperluan yang amat penting.”

“Omitohud...!” Kepala jaga itu berseru. “Apakah sicu (tuan yang gagah) mengira akan demikian mudah saja bertemu dengan beliau? Tanpa panggilan bagaimana sicu dapat diperkenankan menghadap? Pinceng (saya) sungguh tidak berani lancang mengganggu beliau di pagi hari ini, tanpa alasan yang cukup kuat.”

“Sahabat, harap sampaikan saja ke dalam bahwa saya adalah utusan dari Kun-lun-pai yang ingin menyampaikan sesuatu yang teramat penting untuk Dalai Lama,” kata pula Lie Bouw Tek dengan sikap dan suaranya yang tenang berwibawa.

Mendengar disebutnya Kun-lun-pai, sikap para pendeta penjaga itu berubah dan kepala jaga memandang dengan sikap lebih hormat.

“Omitohud, kiranya sicu adalah utusan dari Kun-lun-pai? Harap sicu menyampaikan surat dari ketua Kun-lun-pai lebih dahulu kepada Dalai Lama melalui kami. Setelah surat itu kami sampaikan, tentu sicu diperkenankan masuk menghadap.”

Akan tetapi Lie Bouw Tek menggeleng kepalanya. “Sobat, sampaikan saja kepada Dalai Lama bahwa saya, Lie Bouw Tek murid Kun-lun-pai, hendak mohon menghadap. Kalau mendengar nama saya, tentu beliau akan sudi menerimaku.”

Pada saat itu, seorang pendeta Lama yang usianya sudah lebih dari lima puluh tahun berjalan tenang dari sebelah dalam. Begitu melihat Lie Bouw Tek, dia pun cepat-cepat menghampiri dan menjura dengan sikap hormat.

“Omitohud... kiranya Lie Taihiap yang sedang berada di sini! Selamat datang, taihiap. Ada keperluan apakah gerangan yang membawa taihiap datang berkunjung ke Lhasa?”

Lie Bouw Tek tidak mengenal pendeta Lama itu, akan tetapi dia tahu bahwa pendeta ini tentu seorang di antara mereka yang dulu tahu akan bantuan yang dia berikan kepada Dalai Lama. Dia pun cepat memberi hormat dan berkata dengan lembut.

“Selamat bertemu, losuhu. Saya datang untuk mohon menghadap Dalai Lama karena ada sesuatu hal yang sangat penting harus saya sampaikan kepada beliau. Tolonglah, harap mintakan ijin kepada beliau agar saya diperkenankan menghadap sekarang juga.”

“Baik, taihiap. Tunggulah sebentar di sini!” kata pendeta itu yang bergegas masuk ke arah bangunan istana yang megah itu.

Kini para pendeta jaga bersikap hormat dan ramah, bahkan mempersilakan Bouw Tek dan Lan Hong untuk duduk menanti di dalam gardu penjagaan.

Tidak lama kemudian, muncullah enam orang pendeta Lama yang merupakan sebuah pasukan kecil berbaris menghampiri tempat itu. Mereka ditemani oleh pendeta Lama yang tadi menegur Bouw Tek, yang kini tersenyum ramah.

“Silakan, taihiap. Dalai Lama yang agung mengundang taihiap.”

“Akan tetapi, saya datang bersama Sie-toanio ini, harap supaya ia pun diperkenankan menemani saya untuk menghadap Dalai Lama.”

Pendeta itu mengerutkan alisnya. “Tidak biasanya Dalai Lama mau menerima tamu wanita. Akan tetapi karena toanio ini datang bersamamu, maka silakan masuk. Terserah kepada Dalai Lama sendiri nanti setelah ji-wi (kalian berdua) tiba di luar ruangan tamu, apakah toanio ini diperkenankan turut masuk ataukah dipersilakan menunggu di luar ruangan.”

Lie Bouw Tek mengangguk dan bersama Lan Hong, dia lalu mengikuti enam orang pendeta itu yang mengawal dan menjadi penunjuk jalan. Setelah mereka memasuki istana, tidak seperti Lie Bouw Tek yang pernah satu kali masuk ke istana ini, Lan Hong memandang ke kanan kiri dengan bengong.

Ia terpesona menyaksikan segala keindahan yang terdapat di istana itu. Ukir-ukiran yang indah sekali, marmer, emas, perak, sutera beraneka warna! Ia merasa seperti memasuki sebuah istana dalam mimpi! Patung-patung logam, marmer, perak atau emas yang ukirannya sangat indahnya, lukisan-lukisan. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah Lan Hong menyaksikan keindahan seperti itu.

Ketika mereka sampai di luar sebuah pintu besar yang terjaga, enam orang pendeta pengawal itu mempersilakan mereka menanti sebentar. Seorang di antara mereka memasuki ruangan di balik pintu besar itu, dari mana keluar keharuman cendana yang nyaman. Tak lama kemudian, pendeta itu keluar lagi dengan wajah cerah.

“Taihiap dan toanio dipersilakan masuk untuk menghadap Yang Agung Dalai Lama!”

Dengan wajah gembira Lie Bouw Tek lalu mengajak Sie Lan Hong memasuki ruangan itu. Akan tetapi Sie Lan Hong sendiri agak gemetar ketika melangkah masuk.

Ruangan itu luas dan nampak sunyi karena kosong. Di sudut paling belakang, nampak ada seorang pria duduk di atas sebuah kursi yang besar dan terukir indah, mengenakan jubah dan kepalanya tertutup topi pendeta.

“Selamat datang, pendekar perkasa Lie Bouw Tek dan toanio! Silakan duduk!”

Lie Bouw Tek cepat maju memberi hormat dengan merangkapkan kedua tangan depan dada dan membungkuk sampai dalam. Sie Lan Hong juga memberi hormat, akan tetapi dia merasa heran bukan main.

Tadinya ia membayangkan bahwa Dalai Lama yang mengepalai para pendeta Lama di Tibet, tentu seorang kakek yang tua renta keriputan dan buruk. Akan tetapi ternyata sama sekali tidak demikian!

Pendeta yang duduk menyendiri itu usianya hanya beberapa tahun saja lebih tua dari Lie Bouw Tek, dan wajahnya tampak bersih! Wajah yang cerah dengan sepasang mata yang terang dan jernih, senyum yang terbuka dan seluruh gerak geriknya menyiratkan kesabaran, keagungan dan kebesaran hati.

Setelah Bouw Tek dan Lan Hong duduk di atas kursi yang agaknya sudah disediakan untuk mereka, menghadap ke arah Dalai Lama, nampaklah oleh mereka berdua bahwa di belakang Dalai Lama terdapat sehelai kain sutera putih dan di balik kain sutera itu berdiri beberapa orang pendeta Lama yang tak bergerak bagaikan arca-arca mati saja. Bouw Tek maklum bahwa sedikitnya sepuluh orang pendeta Lama berdiri di sana, dan mereka itu adalah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi sekali, yang merupakan pasukan pengawal yang melindungi keselamatan Dalai Lama.

Dalai Lama sendiri memiliki ilmu kepandaian tinggi, maka ditambah penjagaan pasukan pengawal pribadi ini, dan adanya ratusan orang pendeta Lama di kompleks istana itu, maka tentu saja tempat itu amatlah kuatnya. Apa lagi di benteng yang setiap waktu siap mentaati perintah Dalai Lama.

“Nah, menurut laporan tadi engkau datang sebagai seorang utusan Kun-lun-pai, maka katakanlah semua keperluanmu berkunjung ke sini, taihiap.”

Dari tempat duduknya, Bouw Tek memberi hormat kepada orang pertama yang paling berkuasa di Tibet itu. “Mohon dimaafkan atas kelancangan saya. Karena para pimpinan Kun-lun-pai yang mengutus saya itu hanya menyampaikan pesan melalui beberapa orang murid yang menyusul saya, maka saya tidak membawa surat perintah tertulis. Sebetulnya, tugas saya dari Kun-lun-pai adalah untuk menyelidiki Tibet Ngo-houw, akan tetapi karena saya merasa yakin akan dapat paduka terima dengan baik, maka saya langsung saja menghadap paduka untuk mohon pertimbangan dan kebijaksanaan.”

Dalai Lama masih tersenyum walau pun pandang matanya sejenak kehilangan cahaya kelembutannya ketika mendengar disebutnya nama Tibet Ngo-houw tadi.

“Tibet Ngo-houw? Taihiap, ada urusan apakah dengan Tibet Ngo-houw?”

Jelas bagi Bouw Tek bahwa pertanyaan itu memancing. Dia merasa heran. Semenjak dahulu semua orang juga tahu bahwa Tibet Ngo-houw adalah lima orang pendeta Lama yang terkenal sebagai pembantu-pembantu Dalai Lama yang dipercaya. Dan mungkin saja mereka kini pun berada di balik sutera putih di belakang Dalai Lama itu. Mengapa Dalai Lama masih bertanya lagi?

“Ampunkan saya, bukan maksud saya untuk mengadu, hanya saya diutus oleh para pimpinan Kun-lun-pai untuk menyelidiki kenapa Tibet Ngo-houw datang ke Kun-lun-san, bukan hanya mencari dan menyerang dengan maksud membunuhi para pertapa dan tosu yang berasal dari Himalaya dan kini bertapa di sana, akan tetapi juga bahkan mereka berlima itu memusuhi Kun-lun-pai. Karena mereka itu mengaku sudah diutus oleh paduka, maka saya kira lebih baik saya langsung saja bertanya kepada paduka mengenai sepak terjang Tibet Ngo-houw itu.”

Dalai Lama mengangguk-angguk, agaknya dia sama sekali tidak heran apa lagi terkejut mendengar ucapan Bouw Tek ini, bahkan terdengar dia berkata lirih, seperti kepada diri sendiri. “Hemm, sampai begitu jauh mereka berusaha memburukkan nama kami?”

Dalai Lama bertepuk tangan dua kali dan muncullah seorang pendeta Lama dari balik kain sutera putih. Dia seorang pendeta yang bertubuh tinggi besar, bersikap agung dan usianya sudah enam puluh tahun lebih. Mukanya berbentuk persegi seperti muka singa, membayangkan kekerasan dan kekokohan, akan tetapi sinar matanya sangat lembut. Dia menjura di depan Dalai Lama, menanti perintah.

“Lie-taihiap, engkau tentu masih ingat kepada Kong Ka Lama yang bijaksana dan sakti ini. Nah, dialah yang akan menceritakan semuanya kepadamu. Maafkan, sekarang tiba saatnya bagi saya untuk melakukan meditasi, maka urusan selanjutnya, rundingkanlah segalanya dengan Kong Ka Lama ini.” Setelah berkata demikian, Dalai Lama bangkit berdiri.

Bouw Tek cepat bangkit berdiri diikuti oleh Lan Hong dan setelah sedikit mengangguk kepada mereka, Dalai Lama lalu melangkah masuk dari pintu di belakang sutera putih, meninggalkan Bouw Tek dan Lan Hong berdua dengan pendeta Lama yang bernama Kong Ka Lama itu.

Setelah Dalai Lama dan para pendeta yang mengawalnya memasuki pintu yang segera tertutup kembali, Kong Ka Lama baru menghadapi Bouw Tek dan Lan Hong, membuat gerakan dengan tangan menunjuk pintu samping dan berkata, “Taihiap dan toanio, mari kita bicara di ruangan sebelah.”

Mereka bertiga keluar dari ruangan itu, melalui pintu samping mereka memasuki sebuah ruangan lain yang tidak begitu besar. Ruangan ini pun kosong dan hanya ada sebuah meja dan beberapa buah kursi. Kong Ka Lama mempersilakan dua orang tamu itu untuk duduk dan dia sendiri pun duduk menghadapi mereka.

Tentu saja Lie Bouw Tek masih ingat kepada pendeta Lama ini. Kong Ka Lama atau artinya Lama Salju Putih adalah seorang di antara jagoan Tibet yang mengawal Dalai Lama. Bahkan dulu, ketika Dalai Lama dalam perjalanan keluar Lhasa dihadang para pemberontak yang menyerangnya, Kong Ka Lama ini yang mengepalai para pengawal melakukan perlawanan dan melindungi Dalai Lama yang berada di dalam tandu. Pada waktu itulah kebetulan dia melakukan perjalanan dan melihat peristiwa itu, lalu dia turun tangan membantu para pendeta Lama, menghalau para penghadang sehingga akhirnya Dalai Lama dapat diselamatkan.

Kong Ka Lama adalah seorang pendeta Lama yang berilmu tinggi dan masih saudara seperguruan dengan lima orang Tibet Ngo-houw, maka bisa dibayangkan kelihaiannya.

“Taihiap, pinceng (saya) memenuhi perintah Dalai Lama untuk memberi keterangan dan penjelasan kepada taihiap tentang sepak terjang Tibet Ngo-houw terhadap para tosu yang berasal dari Himalaya dan yang kini telah mengungsi ke Kun-lun-san itu. Mungkin taihiap sudah mendengar betapa yang mulia Dalai Lama dahulunya terlahir di sebuah dusun dan melihat bahwa beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang tua, maka para pendeta Lama yang ketika itu dipimpin oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama mengambil calon Dalai Lama baru itu secara paksa. Hal ini diketahui oleh seorang pertapa Himalaya, dan terjadilah bentrokan ketika pertapa itu membela orang-orang dusun yang hendak mempertahankan anak itu sehingga akibatnya, tiga orang pendeta Lama tewas. Akan tetapi anak itu dapat dibawa ke sini. Kemudian, dengan bimbingan Kim Sim Lama, anak itu diangkat menjadi Dalai Lama.”

Lie Bouw Tek dan Sie Lan Hong mendengarkan dengan penuh perhatian. Lie Bouw Tek tidak merasa heran karena dia pernah mendengar sendiri dari Dalai Lama, yaitu ketika dia menolongnya beberapa tahun yang lalu, bahwa Dalai Lama ketika kecilnya pernah menimbulkan keributan karena dia dipaksa oleh para pendeta Lama ke Tibet sehingga timbul pertempuran antara para pendeta Lama dan orang-orang dusun yang hendak mempertahankannya.

“Itulah yang aneh, losuhu,” katanya. “Kalau sedikit banyak para tosu Himalaya sudah berjasa membela Dalai Lama ketika masih kecil, mengapa sekarang Dalai Lama yang mulia dan adil bahkan menyuruh Tibet Ngo-houw untuk membunuhi para tosu dari Himalaya, bahkan juga memusuhi para tosu Kun-lun-pai?”

Kong Ka Lama menarik napas panjang. “Omitohud... memang demikianlah agaknya yang dikehendaki mereka yang hendak merusak nama baik yang mulia Dalai Lama. Dengarkan, taihiap, akan pinceng lanjutkan penjelasan itu….” Kong Ka Lama berhenti sebentar, lalu melanjutkan ceritanya.

“Karena ketika diangkat menjadi Dalai Lama, pemimpin kami itu masih belum dewasa, maka kekuasaan dipegang sementara oleh wakil Dalai Lama, yaitu Kim Sim Lama yang sudah berpengalaman. Adalah Kim Sim Lama ini yang dahulu mengamuk, mengirim para pendeta Lama ke Himalaya dan menyerang para tosu dan pertapa Himalaya. Tindakan itu dia lakukan karena dendam, yaitu karena kematian tiga orang pendeta Lama ketika terjadi pertempuran untuk memperebutkan Dalai Lama ketika masih kecil. Perbuatan itu mendatangkan keributan dan banyak para tosu dan pertapa tewas, terluka dan lebih banyak lagi yang melarikan diri meninggalkan Himalaya. Di antaranya banyak yang mengungsi ke Kun-lun-san.”

Lie Bouw Tek mengangguk-angguk. “Akan tetapi, kiranya peristiwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan pihak Kun-lun-pai, losuhu.”

“Omitohud, memang tidak ada hubungannya. Harap taihiap dengarkan selanjutnya, dan nanti taihiap akan mengerti. Beberapa tahun kemudian, setelah Dalai Lama menjadi dewasa dan mengerti, beliau mendengar tentang segala sepak terjang Kim Sim Lama yang menjadi wakil, juga pembimbingnya pada waktu beliau masih kecil. Beliau terkejut sekali. Pertama, beliau adalah penjelmaan Dalai Lama yang selalu hidup suci, maka tentu saja beliau sangat tidak suka mendengar tentang permusuhan, apa lagi dendam kebencian dan bunuh membunuh. Apa lagi yang dikejar-kejar adalah para pertapa, para tosu karena dahulu seorang di antara mereka pernah membantu penduduk dusun yang mempertahankan dirinya yang hendak dibawa dengan paksa oleh para pendeta Lama. Juga masih banyak kebijaksanaan yang diambil Kim Sim Lama tapi tidak disetujuinya. Beliau menegur Kim Sim Lama dan terjadilah bentrokan!”

“Hemm, terjadi pemberontakan, begitukah maksud losuhu?”

Pendeta Lama itu mengangguk. “Semacam itulah. Dalai Lama tidak suka meributkan peristiwa itu, karena hanya akan memukul nama baik Tibet sendiri. Kim Sim Lama dapat ditundukkan dan dia pun meninggalkan Lhasa, tidak mau lagi membantu Dalai Lama. Bahkan dia membentuk suatu perkumpulan yang disebut Kim-sim-pai yang berpusat di sekitar Telaga Yam-so, di sebelah selatan Lhasa. Akan tetapi, karena sampai sekarang mereka tak pernah melakukan gerakan pemberontakan, Dalai Lama mendiamkan saja, bahkan memesan kepada kami semua supaya tidak membuat keributan dengan pihak Kim-sim-pai, apa lagi mengingat bahwa Kim Sim Lama adalah seorang tokoh tua di sini dan sudah banyak jasanya dahulu ketika menjadi wakil Dalai Lama.”

“Akan tetapi, bagaimana dengan Tibet Ngo-houw yang mengamuk di Kun-lun-san?”

“Omitohud...! Benar-benar hal itu sama sekali tidak kami ketahui sebelumnya, taihiap. Agaknya, Yang Mulia Dalai Lama terlalu memberi hati kepada mereka dan agaknya sudah tiba waktunya untuk menghentikan nafsu mereka yang merajalela. Hendaknya taihiap ketahui bahwa Tibet Ngo-houw merupakan tokoh-tokoh Tibet yang juga menjadi anak buah Kim Sim Lama. Jelas bahwa perbuatan Tibet Ngo-houw itu sengaja mereka lakukan, sekarang bukan lagi untuk membalas dendam, namun terutama sekali untuk memburukkan nama baik Dalai Lama, atau untuk mengadu domba agar para tosu, dan juga Kun-lun-pai, supaya memusuhi Dalai Lama.”

“Ah, betapa liciknya!” Bouw Tek berseru. “Sekarang baru saya mengerti, losuhu. Untung bahwa saya langsung datang menghadap Dalai Lama sehingga mendapat keterangan yang teramat penting ini.”

“Omitohud, syukurlah kalau sekarang taihiap sudah dapat mengerti. Harap taihiap sudi menyampaikan maaf kami kepada Kun-lun-pai, juga para tosu di daerah pegunungan Kun-lun-san, dan suka memberi tahukan kenyataan yang sesungguhnya. Bahwa Dalai Lama sama sekali tidak memusuhi para tosu, dan bahwa semua itu, semenjak dahulu, adalah tindakan yang diambil oleh Kim Sim Lama.”


“Akan tetapi, apakah perbuatan itu harus didiamkan saja? Jelas bahwa Kim Sim Lama telah melakukan perbuatan menyeleweng dan jahat terhadap nama baik Dalai Lama...”

“Lie-taihiap, hal itu merupakan urusan dalam kami sendiri. Tentu saja Dalai Lama akan mengambil kebijaksanaan, dan apa pun yang diambilnya, kebijaksanaan itu tidak ada hubungannya dengan pihak luar. Oleh karena itu, kami harap supaya taihiap juga tidak mencampuri. Bahkan pinceng yakin bahwa yang mulia Dalai Lama sendirilah yang akan bertindak. Nah, kiranya cukup jelas, taihiap. Sekarang kami persilakan ji-wi kembali ke luar istana, dan kalau mungkin secepatnya meninggalkan Lhasa supaya jangan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.”

Pendeta Lama itu bangkit berdiri. Bouw Tek dan Lan Hong juga ikut bangkit berdiri.

“Maaf, losuhu. Ada sedikit lagi pertanyaan dari kami. Harap saja losuhu suka membantu kami.”

“Hemm, urusan apakah itu, taihiap?”

“Sie-toanio ini datang ke Lhasa untuk mencari dua orang, losuhu. Yang pertama adalah puterinya, seorang gadis bernama Yauw Bi Sian yang berusia kurang lebih delapan belas tahun, dan yang ke dua adalah adiknya yang bernama Sie Liong dan terkenal dengan julukan Pendekar Bongkok. Kami perkirakan mereka pun datang ke Lhasa. Kalau barangkali losuhu dapat memberi keterangan tentang mereka...”

Pendeta Lama itu mengelus jenggotnya yang dibiarkan memanjang, alisnya berkerut dan dia mengangguk-angguk sambil memandang kepada Sie Lan Hong.

“Hemm, jadi toanio ini kakak dari Pendekar Bongkok yang terkenal itu? Toanio, tentang puteri toanio ini, kami memang tidak pernah mendengarnya. Akan tetapi kalau Pendekar Bongkok... hemm, namanya sudah sampai pula ke dalam istana ini. Memang dia pernah berada di Lhasa, kabarnya bersama seorang gadis peranakan Tibet Han. Dan kebetulan pula menurut kabar yang kami dengar, dia pernah bentrok dengan seorang anggota Kim-sim-pai.”

“Aihh, terima kasih, losuhu. Dapatkah losuhu memberi tahu, di mana dia sekarang?” tanya Lan Hong yang sejak tadi tidak pernah ikut bicara.

“Menurut penyelidikan para anak buah kami yang diam-diam kami taruh di mana-mana untuk menjaga keamanan Lhasa, ada yang melihat PendeKar Bongkok mendatangi sarang Kim-sim-pai. Akan tetapi karena anak buah kami itu dipesan dengan keras agar jangan sampai terlibat dengan urusan Kim-sim-pai, dan karena tak ada sangkut pautnya dengan kami, maka kami pun tidak tahu apa yang terjadi di sana. Nah, kiranya cukup keterangan kami, taihiap dan toanio.”

Lie Bouw Tek tidak berani mengganggu lagi. Dia pun menghaturkan terima kasih, lalu meninggalkan istana itu bersama Lan Hong. Wanita itu menahan-nahan perasaannya, dan baru setelah mereka keluar dari istana itu, Lan Hong berkata dengan suara yang mengandung kekhawatiran.

“Aihh, toako. Apa yang hurus aku lakukan sekarang? Aku ingin cepat menyusul dan mencari Sie Liong. Aku harus lebih dahulu bertemu dia sebelum Bi Sian mendahuluiku. Aih, ngeri aku membayangkan mereka saling bertemu sebelum aku menemui adikku...”

“Tenanglah, Hong-moi. Biar aku yang akan melakukan penyelidikan ke daerah Telaga Yam-so untuk mencari Pendekar Bongkok, dan aku akan mengajaknya ke sini untuk menemuimu.”

“Tidak! Aku harus ikut, toako. Aku harus cepat menemukannya. Sekarang juga.”

“Akan tetapi hal itu berbahaya sekali, Hong-moi. Tentu engkau tadi sudah mendengar keterangan Kong Ka Lama. Daerah telaga Yam-so itu menjadi sarang Kim-sim-pai dan mereka adalah para pendeta Lama yang memberontak. Banyak terdapat orang sakti di sana, Hong-moi. Lebih baik engkau menanti saja di rumah penginapan dan biarlah aku yang akan mencari adikmu di sana.”

“Toako, tidak boleh begitu. Yang mempunyai kepentingan adalah aku, lalu bagaimana mungkin engkau yang bersusah payah menempuh bahaya sedangkan aku enak-enak menanti sambil tiduran di kamar? Tidak, aku harus ikut! Aku tidak takut menghadapi bahaya dan aku juga dapat menjaga diriku sendiri, toako!”

“Akan tetapi, sungguh aku amat mengkhawatirkan keselamatan dirimu, Hong-moi. Bagai mana kalau sampai datang ancaman bahaya dan aku sampai tidak mampu melindungi dirimu? Aihh, Hong-moi, tak dapat aku membayangkan hal itu terjadi...”

Suara pendekar perkasa itu tiba-tiba agak gemetar. “... tidak, aku tak dapat membiarkan engkau terancam bahaya. Aku... aku akan merasa menyesal selama hidupku!”

Melihat pendekar itu bicara seperti itu, seperti tanpa disadarinya bahwa dia membuka rahasia hatinya, tiba-tiba wajah Lan Hong berubah merah dan ia pun tersipu. Kalau saja tidak sedang menghadapi keadaan yang menegangkan, tentu ia akan semakin tersipu malu, walau pun ada rasa bahagia dan bangga menyelinap di dalam hatinya.

“Toako, banyak terima kasih atas perhatianmu kepada diriku, akan tetapi sebaliknya, toako. Kalau engkau pergi sendiri meninggalkan aku untuk mencari adikku, kemudian terjadi sesuatu dengan dirimu, maka aku pun akan merasa menyesal selama hidupku, bahkan tak mungkin lagi aku menghadapi kehidupan yang kejam ini seorang diri saja...”

Keduanya menunduk dan dalam saat seperti itu, biar pun mereka tidak secara langsung mengucapkan pengakuan, akan tetapi keduanya merasa benar betapa keduanya saling membutuhkan, saling menyayang, saling mencinta dan merasa ngeri kalau-kalau saling kehilangan!

“Baiklah, Hong-moi. Kita pergi bersama, akan tetapi kita harus berhati-hati dan membuat persiapan. Aku akan melakukan penyelidikan yang lebih seksama dulu. Besok baru kita berangkat ke Telaga Yam-so.”

“Terima kasih, toako. Selama hidupku, aku tidak akan pernah dapat melupakan semua budi kebaikanmu ini,” kata Lan Hong lirih dengan suara mengandung isak haru.

Keduanya lalu terdiam, terbenam dalam lamunan masing-masing….

Telaga Yam-so adalah sebuah telaga yang besar dan luas di sebelah selatan. Orang Tibet menyebut danau ini dalam Bahasa Tibet sebagai Yamzho Yumco (Telaga Yam-so). Letaknya di sebelah selatan sungai besar Brahmaputra yang amat panjang.

Sungai Brahmaputra mengalir di sepanjang negara Tibet sampai membelok ke selatan dan berakhir di selatan negara Bangladesh, di sebelah timur laut India. Daerah inilah, mulai dari Sungai Brahmaputra sampai ke Telaga Yamso, menjadi daerah yang dikuasai Kim-sim-pai!

Daerah ini amat sunyi, penuh dengan hutan-hutan belantara yang liar, yang sambung menyambung sampai ke selatan, hingga ke Pegunungan Himalaya. Dusun-dusun hanya dihuni orang-orang pribumi Tibet, dan ada pula peranakan Tibet Bhutan dan beberapa orang peranakan India.

Namun mereka adalah orang-orang gunung yang sederhana, dan agaknya Kim-sim-pai tidak mengusik mereka yang hidup tenang dan damai karena setiap harinya mereka hanya mengurus mencari makan dengan jalan berburu, beternak kecil-kecilan, dan ada pula yang menjadi penangkap-penangkap ikan di sepanjang Sungai Brahmaputra atau Telaga Yamso.

Akan tetapi, akhir-akhir ini bermunculan banyak orang Nepal di daerah itu dan mulailah terdapat gangguan-gangguan yang mengusik kehidupan yang tadinya aman damai dari para penghuni dusun di daerah itu. Orang-orang Nepal ini adalah anak-anak buah dari pangeran Nepal pelarian yang kini telah bersekutu dengan Kim-sim-pai.

Pangeran itu, Janghar Singh, sudah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan dia berjanji untuk membantu gerakan para pendeta Lama yang memberontak terhadap Dalai Lama. Sedangkan pihak Kim-sim-pai juga berjanji bahwa kelak, kalau mereka telah menguasai Tibet, mereka akan membantu Pangeran Janghar Singh yang hendak memberontak terhadap Kerajaan Nepal.

Gangguan para orang Nepal itu kadang amat menggelisahkan penduduk. Kalau mereka itu kadang hanya minta dengan paksa beberapa ekor hewan ternak, hal itu masih dapat diberikan dengan hati sabar oleh para penghuni dusun. Tetapi ada kalanya, orang-orang Nepal itu mengganggu wanita! Karena itu, maka banyaklah wanita muda yang cantik atau bersih, diungsikan keluarga mereka ke tempat yang jauh dari daerah itu, terutama mereka yang tinggal di lereng Pegunungan Himalaya yang menjadi perbatasan antara Tibet dengan Nepal.

Pada suatu pagi yang cerah, seorang pemuda tampan dan seorang gadis cantik yang menunggang kuda tiba di lereng bukit dekat Telaga Yam-so.

“Sute, berhenti dulu!” kata Bi Sian menahan kendali kudanya. Bong Gan juga menahan kudanya dan menoleh, lalu menghampiri suci-nya.

“Ada apakah, suci?” tanyanya, sambil memandang ke sekeliling dengan khawatir.

“Lihat, sute, betapa indahnya pemandangan di sini. Lihatlah telaga di bawah itu, airnya seperti permadani biru dikelilingi bukit menghijau. Indah sekali!”

Bong Gan menarik napas lega. Dia sudah mengatur rencana bersama Pek Lan dan menurut rencana itulah pada pagi ini ia dan Bi Sian tiba di lareng bukit itu. Tadinya, ketika Bi Sian minta berhenti, dia khawatir kalau-kalau suci-nya itu mencurigai sesuatu. Kiranya gadis itu hanya mengagumi alam yang memang amat indah itu.

“Memang indah sekali tempat ini, suci. Hawanya pun nyaman dan sejuk sekali. Ahhh, alangkah senangnya kalau kita dapat tinggal beberapa lamanya di tempat seindah ini!”

Bi Sian menoleh dan memandang pemuda itu yang mengembangkan kedua lengannya sambil menghirup udara yang amat menyegarkan itu. Ia tersenyum.

“Ihhh, sute. Apakah engkau lupa bahwa kita datang ke tempat ini bukan untuk pesiar melainkan untuk mencari musuh besarku?”

“Wah, memang kadang-kadang aku lupa, suci. Perjalanan ini demikian menyenangkan bagiku. Siapa tahu, kita dapat lebih cepat lagi menemukan musuhmu dan membereskan perhitungan, agar kita mempunyai banyak waktu untuk menikmati tempat indah ini.”

Mendadak sepasang mata Bi Sian terbelalak. Bukan hanya matanya yang menangkap berkelebatnya banyak bayangan orang, akan tetapi juga pendengaran telinganya sudah menangkap gerakan banyak orang di sekitar tempat itu.

“Ada orang...!” bisiknya.

“Mereka mengepung kita!” Bong Gan juga berbisik dan pemuda ini kelihatan terkejut.

Padahal, di dalam hatinya dia bersyukur karena dia tahu bahwa ini merupakan siasat yang dijalankan oleh Pek Lan. Maka, dia pun hanya berpura-pura ketika kelihatan kaget, tidak seperti Bi Sian yang merasa benar-benar terkejut karena melihat bahwa mereka telah dikepung oleh sedikitnya tiga puluh orang.

Mereka bukan orang Han, bukan pula orang Tibet, melainkan orang-orang yang aneh. Orang-orang itu rata-rata berkulit kehitaman dan gelap, bentuk tubuh mereka tinggi dan sebagian besar dari mereka menggunakan penutup kepala berupa sorban putih yang tebal.

“Mereka orang-orang asing...,” kata pula Bong Gan. Padahal dia sudah mendengar dari Pek Lan yang mengatur siasat itu, bahwa yang akan mengepung mereka adalah orang-orang Nepal.

Melihat banyak orang mengepung dan maju mendekat, kedua ekor kuda yang mereka tunggangi menjadi panik. Bi Sian lalu melompat turun dari atas punggung kudanya dan berkata kepada Bong Gan, “Sute, turun saja dari atas kuda agar kita dapat membela diri lebih leluasa!”

Keduanya sudah melompat turun dari atas punggung kuda dan dengan sikap tenang akan tetapi penuh kesiap siagaan, kakak adik seperguruan ini lalu berdiri dengan saling membelakangi.

“Sute, biarkan aku yang bicara dengan mereka,” bisik Bi Sian dan diam-diam Bong Gan tersenyum. Memang sebaiknya begitu agar tidak akan terdengar suaranya yang pasti akan terdengar sumbang.

Kini, tiga puluh orang lebih prajurit Nepal itu sudah datang dekat dan seorang di antara mereka, yang melihat pakaiannya tentu merupakan komandannya berdiri di depan Bi Sian. Dia seorang pria berusia empat puluhan tahun, bertubuh tinggi kurus, matanya cekung ke dalam dan hidungnya yang panjang itu agak membengkok ke kiri sehingga mulutnya kelihatan seperti mengejek selalu.

“Hei, kalian dengarlah baik-baik!” Bi Sian berseru dengan suara lantang. “Kami dua orang pelancong dari timur, tidak ingin bermusuhan dengan penduduk pribumi. Kenapa kalian menghadang dan mengepung kami yang tidak bersalah?”

Orang tinggi kurus itu memandang tajam, kemudian menjawab. Dia dapat bicara dalam Bahasa Han, walau pun logatnya aneh dan lucu.

“Kami biasa menghormati tamu yang datang diundang. Akan tetapi kalian berdua tidak diundang, tapi telah melanggar wilayah kami. Sudah sepatutnya kalau kami membunuh kalian, akan tetapi mengingat kalian dua orang muda, dan seorang di antaranya bahkan wanita, kami tidak akan bersikap keras. Orang-orang muda, menyerahlah kalian dengan baik, agar kami tawan dan kami hadapkan kepada pemimpin kami!”

Bi Sian menatap orang itu. Sikap mereka cukup gagah, pikirnya, tidak mirip gerombolan perampok atau penjahat yang kejam. Maka, dia pun berkata lantang. “Maafkan apa bila tanpa disengaja kami melanggar wilayah kalian. Akan tetapi kami tidak bersalah, harap biarkan kami melanjutkan perjalanan. Kami tidak suka untuk ditawan.”

Pemimpin tinggi kurus itu mengerutkan alisnya yang tebal, lalu dia mencabut sebatang golok yang bentuknya melengkung panjang, dan dia berkata dengan tegas, “Di wilayah ini, kami yang berkuasa! Mau atau tidak mau, kalian harus menyerah untuk menjadi tawanan kami. Harap kalian menyerah dengan damai!”

“Kalau kami tidak mau menyerah?” tanya Bi Sian yang mulai marah dan penasaran.

“Terpaksa kami menggunakan kekerasan untuk menangkap kalian!”

“Singgg...!” Nampak sinar putih berkilauan ketika dia mencabut pedang Pek-lian-kiam (Pedang Teratai Putih).

“Bagus! Andai kata aku mau menyerah pun, pedang ini yang tidak membolehkannya. Karena tidak merasa bersalah, tentu saja aku tidak mau menyerah dan kalau kalian hendak memaksaku dan menggunakan kekerasan, jangan salahkan aku kalau kalian menjadi korban pedangku!”

Bong Gan juga telah menyambar sebatang dahan pohon di atasnya, membuangi ranting dan daunnya sehingga kini dia sudah memegang sebatang tongkat.

“Kalau kalian memaksa, kami akan melawan!” Dia pun membentak dan sambil berdiri saling membelakangi dengan suci-nya, ia melintangkan tongkatnya dan siap melakukan perlawanan.

“Kami tidak akan membunuh kalian, akan tetapi terpaksa harus menangkap kalian!” bentak pemimpin rombongan itu dan dia pun lalu mengeluarkan aba-aba dalam bahasa Nepal. Tiga puluh orang lebih itu, dengan senjata tombak atau golok dan perisai, kini mengepung ketat dan kepungan itu makin mendesak.

“Sute, sedapat mungkin robohkan mereka akan tetapi jangan bunuh!” kata Bi Sian.

Dara itu menganggap mereka itu bukan orang jahat, hanya akan menangkap dan tidak membunuh. Oleh karena itu ia pun tak ingin sute-nya melakukan pembunuhan sehingga menanam permusuhan yang semakin dalam.

“Baik, suci,” kata Bong Gan.

Pada saat kepungan itu sudah makin dekat dan dua orang murid Koay Tojin itu siap bergerak menyerang pengeroyok terdekat, tiba-tiba saja terdengar seruan nyaring suara seorang wanita.

“Tahan...! Jangan bertempur!”

Para pengepung itu menahan senjata mereka dan segera mundur. Bi Sian dan Bong Gan menoleh ke arah suara wanita itu dan mereka melihat seorang wanita yang berusia dua puluh empat tahun lebih, cantik manis dengan muka lonjong dan kulit putih mulus berambut keemasan, muncul bersama seorang kakek berusia enam puluh tahunan yang berkepala gundul, berjubah pendeta dengan gambar Teratai Putih di dadanya. Kakek itu masih nampak muda dan tampan, dengan tubuh yang tinggi besar. Begitu dua orang ini mendekat, semerbak bau keharuman bunga mawar.

Tentu saja Bong Gan mengenal wanita itu, wanita yang baru beberapa hari yang lalu, semalam suntuk berada dalam pelukannya. Wanita itu adalah Pek Lan dan kakek yang nampak muda itu adalah Thai Yang Suhu, tokoh Pek-lian-kauw. Akan tetapi Bi Sian tidak mengenalnya.

Melihat para pengepung itu mundur, Bi Sian mengerti bahwa kini ia berhadapan dengan pemimpin gerombolan orang asing yang menghadangnya. Tentu saja dia tidak tahu bahwa dua orang itu telah bersekutu dengan Kim Sim Lama dan kini menjalankan siasat untuk menjebaknya! Dan para pengepung itu adalah orang-orang Nepal yang digunakan untuk membantu siasat itu, yang juga sudah diketahui oleh Bong Gan.

Sambil memandang tajam wanita cantik yang sikapnya genit itu, pedang Pek-lian-kiam masih melintang di depan dadanya, Bi Sian berkata, “Hemm, kiranya kalian berdua, seorang gadis cantik dan seorang pendeta, yang memimpin gerombolan ini. Apa alasan kalian menghadang perjalanan kami dan kenapa orang-orangmu yang mengepung kami ini hendak menawan kami?” Suara Bi Sian penuh wibawa, tanda bahwa ia sama sekali tidak merasa gentar.

Diam-diam Pek Lan kagum. Pantas Bong Gan tergila-gila kepada suci-nya sendiri dan ingin memperisterinya. Memang manis dan jelita sekali! Dan diam-diam Thai Yang Suhu mengamati pedang di tangan gadis itu.

Pedang itu bersinar putih dan ada ukiran bunga teratai. Pedang Teratai Putih! Sungguh merupakan pedang yang cocok sekali apa bila menjadi miliknya, bahkan kalau menjadi pusaka dari perkumpulannya, yaitu Pek-lian-kauw (Agama Teratai Putih), sekiranya bila pedang itu memang sebuah pusaka yang ampuh, bukan pedang biasa saja.

Pek Lan tersenyum dan memang ia memiliki deretan gigi yang rapi dan putih sehingga nampak menarik sekali ketika tersenyum, dan kerling matanya ke arah Bong Gan penuh daya pikat. Diam-diam Bong Gan membandingkan dua orang wanita itu.

Memang, biar pun Bi Sian amat manis, namun ia tidak mampu bergaya seperti Pek Lan sehingga daya tariknya tidak sekuat Pek Lan. Bagaimana pun juga, kalau harus memilih keduanya untuk menjadi isterinya, tanpa ragu-ragu dia akan memilih Bi Sian.

Bi Sian seorang gadis yang masih perawan dan hatinya juga bersih, sebaliknya Pek Lan adalah seorang wanita yang matang dan juga genit sehingga sukar diharapkan dapat menjadi seorang isteri yang setia. Akan tetapi kalau untuk bersenang-senang, tentu Pek Lan akan lebih memuaskan dan menyenangkan.

“Adik yang baik, engkau sungguh cantik jelita dan gagah berani. Jangan salah mengerti, kalau anak buah kami melakukan penghadangan, hal itu terjadi karena kalian sudah melanggar wilayah kekuasaan kami. Akan tetapi, kami dapat menghargai orang-orang gagah. Melihat kalian berdua yang tidak gentar menghadapi pengepungan orang-orang kami, tentu kalian memiliki ilmu kepandaian tinggi. Kami ingin sekali berkenalan melalui adu silat. Jika memang kalian pantas menjadi kenalan kami, tentu akan kami persilakan untuk menjadi tamu dari Sang Pangeran yang menjadi tuan rumah kami. Suhu, engkau ujilah kepandaian adik manis ini, biar aku yang menguji pemuda ini,” katanya kepada Thai Yang Suhu.

Memang Pek Lan cerdik. Ia sudah mendengar dari Bong Gan bahwa tingkat kepandaian Bi Sian bahkan lebih tinggi bila dibandingkan pemuda itu, padahal baginya, menghadapi Bong Gan saja ia hanya mampu mengimbangi. Berbahaya kalau ia menghadapi Bi Sian kemudian sampai kalah!

Maka ia sengaja menyuruh Thai Yang Suhu yang menghadapi gadis itu sedangkan ia akan menghadapi Bong Gan yang tentu saja hanya akan main-main, tidak bertanding sungguh-sungguh. Biar pun ilmu kepandaian silat dari tokoh Pek-lian-kauw itu pun tidak jauh lebih tinggi dari pada tingkatnya sendiri, namun setidaknya pendeta itu mempunyai kekuatan sihir untuk melindungi diri.

Thai Yang Suhu memang sudah tertarik sekali, bukan kepada Bi Sian saja, melainkan terutama sekali tertarik melihat pedang di tangan gadis itu. Sekarang dia memperoleh kesempatan untuk menguji apakah pedang Teratai Putih itu sebuah pedang pusaka ampuh ataukah pedang biasa saja.

Dia tidak menurunkan sepasang pedangnya karena sepasang pedangnya merupakan pedang yang baik dan dia khawatir bila pedangnya akan menjadi rusak kalau pedang di tangan gadis itu benar pedang pusaka yang ampuh. Maka dia pun meminjam sebatang pedang yang dipegang oleh seorang prajurit Nepal, kemudian menghampiri Bi Sian.

“Siancai... harap maafkan pinto (saya), nona. Kami memang hanya ingin menguji, sebab hanya melalui pertandingan silat maka perkenalan menjadi erat. Nah, silakan, nona!”

Melihat sikap dua orang itu cukup hormat dan sopan, Bi Sian juga merasa tidak enak kalau ia bersikap keras. Biar pun tadi pasukan itu mengepungnya, namun mereka belum melakukan penyerangan.

“Aku tidak ingin berkelahi atau bermusuhan dengan siapa pun juga, dan aku pun tidak sengaja melanggar wilayah siapa pun juga. Wilayah ini bukan pekarangan, juga tidak dipagari, melainkan pegunungan dan telaga. Bagaimana aku tahu bahwa tempat ini ada orang yang memilikinya? Akan tetapi, biar pun tidak mau bermusuhan, kalau dimusuhi, jangan dikira aku takut!”

“Siancai...! Nona memang seorang gagah perkasa, karena itu pinto ingin sekali menguji kepandaianmu, bukan berkelahi atau bermusuhan. Nona, lihat pedang!” kata Thai Yang Suhu sambil menggerakkan pedang pinjamannya, mengirim serangan gertakan ke arah kepala gadis itu.

Dengan cepat Bi Sian mengelak. Dan ketika tangannya bergerak, pedang Pek-lian-kiam sudah lantas menyambar ke depan, menusuk ke arah dada lawan sehingga merupakan sinar putih berkelebat.
























Terima kasih telah membaca Serial ini



                   


1 comment:

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12