Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Super Sakti
Jilid 15
Kini
menghadapi Si Muka Bopeng yang sombong, gadis itu sudah menusuk, ujung pedang
tergetar dan pecah menjadi tujuh sinar, akan tetapi dara itu hanya
mempergunakan tiga sinar untuk menusuk ke tiga bagian tubuh lawan yaitu
tenggorokan, ulu hati dan pusar. Gerakannya cepat sekali sehingga seolah-olah
ada tiga batang pedang yang melakukan penyerangan.
“Trang-trang-cringgg...!
Ehhhhh...!”
Ouw Kian
kebingungan dan ilmu pedangnya yang dipamerkan tadi menjadi kacau-balau karena
secara bertubi-tubi ia harus menangkis tiga sinar itu! Tangkisannya ngawur,
akan tetapi karena memang dia seorang yang sudah memiliki ilmu silat tinggi, ia
berhasil juga menangkis sambil berloncatan ke belakang, tangannya tergetar
setiap kali pedangnya bertemu dengan ujung pedang lawan! Barulah ia terkejut
bukan main, sama sekali tidak mengira bahwa gadis muda yang cantik itu memiliki
gerakan sedemikian cepat dan kuatnya, tanda bahwa ilmu pedang gadis itu hebat
bukan main.
Ouw Kian
maklum akan kelihaian lawannya, maka ia tidak lagi berani banyak aksi dan cepat
ia menggerakkan pedang, bertanding dengan sungguh-sungguh dan melakukan
serangan balasan. Namun tusukan dan bacokan pedangnya mengenai angin dan di
detik berikutnya, kembali ujung pedang Sin Lian seperti berubah menjadi lebih
banyak lagi, kemudian lima sinar menyambar ke arahnya dengan suara mencicit!
“Aahhh...
ayaaaaa... trang-trang-trang...!”
Ouw Kian
berhasil menangkis tiga kali, akan tetapi tangkisan yang ke tiga membuat
tubuhnya terdesak dan posisinya rusak sehingga susulan dua kali serangan
agaknya takkan dapat ia tangkis lagi.
“Hemmm...
mundurlah!” Tiba-tiba terdengar seruan Ma-bin Lo-mo dan ujung pedang Sin Lian
hanya dapat merobek sedikit kain baju di bagian dada Ouw Kian karena mendadak
tubuh Ouw Kian seperti ditiup angin, terlempar ke belakang. Ma-bin Lo-mo
setelah menggunakan sinkang mendorong tubuh Ouw Kian dan menyelamatkannya dari
pedang Sin Lian, kini berdiri menghadapi gadis itu dengan pandang mata penuh
selidik.
“Nona,
bukankah itu Chit-seng-sin-kiam yang kau mainkan? Apakah engkau anak murid
Siauw-lim-pai?”
“Tidak
salah, locianpwe. Aku adalah murid Siauw-lim Chit-kiam!” jawab Sin Lian tenang.
Ma-bin Lo-mo
mengangguk-angguk. “Pantas, kiam-hoat-mu lihai. Dua orang di antara Siauw-lim
Chit-kiam tewas, kabarnya di tangan puteri Mancu, sudah sepatutnya engkau
menentang pemerintah penjajah Mancu. Akan tetapi sungguh sayang sekali kalau
murid Siauw-lim-pai sampai menjadi kaki tangan pengkhianat seperti Bu Sam Kwi.
Nona Lauw, kurasa guru-gurumu akan marah jika mendengar engkau akan membantu
pengkhianat Bu Sam Kwi.”
“Siangkoan-locianpwe,
guru-guruku pun kini berjuang bersama kekuatan di Se-cuan bersama-sama
menentang Mancu!”
Tiba-tiba
Siangkoan Lee tertawa, suara ketawa yang tidak lumrah manusia, lebih mirip
suara ringkik kuda marah.
“Hiiyeeeeeh-heh-heh-heh!
Sungguh memalukan! Sungguh tersesat dan menyeleweng jauh! Seorang pemberontak
dan pengkhianat malah dibantu, apakah dunianya tokoh-tokoh kang-ouw yang
menyebut diri kaum bersih dan golongan putih sudah terbalik?”
Sin Lian
menjadi marah mendengar guru-gurunya diejek. “Locianpwe, kalau locianpwe tidak
setuju dengan pendirian kami, sudah saja. Locianpwe boleh berjuang sendiri. Apa
artinya perjuangan yang liar tanpa pimpinan? Tidak peduli apa yang dilakukan
oleh Bu-ongya dahulu, namun sekarang kenyataan Bu-ongya adalah satu-satunya
tokoh yang gigih melakukan perlawanan terhadap penjajah dan di sanalah
berkumpul seluruh orang gagah yang hendak mempertahankan tanah air. Kalau tidak
berjuang di bawah benderanya, habis siapa yang akan menjadi pemimpin kami?”
Tiba-tiba
terdengar suara ketawa dan tahu-tahu di situ berkelebat bayangan dua orang dan
di dekat Sin Lian sudah berdiri dua muda yang memiliki gerakan cepat sekali,
juga mengagumkan karena mereka adalan seorang pemuda tampan gagah dan seorang
dara cantik jelita. Suara ketawa tadi adalah suara mereka berdua yang meloncat
dari kumpulan para tamu, dan kini yang wanita berkata.
“Ma-bin
Lo-mo, mengapa engkau memaksa orang lain untuk berjuang demi mencapai cita-cita
pribadimu?”
Ma-bin Lo-mo
melotot dan membentak. “Bocah lancang mulut! Apa maksudmu?”
Gadis muda
yang bersikap lincah dan masih muda sekali, tidak lebih tua dari Sin Lian,
tersenyum mengejek, lalu menjura ke arah Lauw-pangcu dan Sin Lian, dan berkata
lantang.
“Cu-wi
sekalian tidak perlu heran mengapa dia ini menentang Se-cuan. Siapakah yang
tidak tahu bahwa Ma-bin Lo-mo adalah bekas menteri Kerajaan Beng, bernama
Siangkoan Lee? Siapa yang tidak tahu bahwa dia melatih murid-muridnya di
In-kok-san untuk membentuk barisan yang kuat? Berbeda sekali dengan kita yang
berjuang tanpa pamrih pribadi, Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee berjuang untuk dapat
mengangkat diri sendiri menjadi kaisar menggantikan Kerajaan Mancu. Tentu saja
dia menentang Bu Sam Kwi raja muda di Se-cuan!”
Diam-diam
Ma-bin Lo-mo terkejut, akan tetapi dia adalah seorang yang angkuh dan percaya
kepada diri sendiri, maka dengan mata melotot ia membentak, “Memang benar! Dan
mengapa tidak? Aku jauh lebih berharga dari pada si pengkhianat Bu itu! Dan
siapa yang menentang pendapat ini, boleh maju membuktikan sendiri bahwa aku
lebih patut dijadikan pemimpin dalam perjuangan menentang penjajah dari pada si
pengkhianat bangsa Bu Sam Kwi!”
Melihat
kakek yang menjadi amat marah dan mengambil sikap menantang-nantang itu,
Lauw-pangcu cepat menghadapinya dan menjura penuh hormat. “Harap
Siangkoan-locianpwe sudi menghabiskan saja urusan ini. Marilah, silakan duduk
sebagai tamu terhormat dan dalam kesempatan ini kiranya tidak perlu kita
melanjutkan pembicaraan yang hanya menimbulkan pertentangan itu. Yang penting,
garis besar kita semua sama, ialah menentang penjajah Mancu. Silakan!”
“Tidak
bisa!” Ma-bin Lo-mo membentak, pandang matanya masih saja membayangkan
ketidak-puasan dan kemarahan ditujukan kepada dua orang muda yang baru tiba
itu. “Kalau kalian semua masih melanjutkan keinginan hendak mengabdi kepada
pengkhianat Bu, tak mungkin aku tinggal diam saja! Dengan demikian kalian
berarti menjerumuskan diri ke dalam penyelewengan dan menjadi
pengkhianat-pengkhianat bangsa pula! Bagaimana aku, Siangkoan Lee, boleh
tinggal diam saja melihat orang-orang mengkhianati Kerajaan Beng?”
Kakek yang
menjadi datuk golongan sesat ini lalu melangkah maju menghadapi Lauw-pangcu dan
berkata, “Lauw-pangcu, percuma bagiku bicara dengan segala macam bocah lancang.
Lauw-pangcu adalah seorang yang sudah tua dan sudah banyak pengalaman, maka
kuminta agar mulai sekarang juga insyaf dan membelokkan kembali perjuangan ke
arah jalan benar. Jangan lagi membantu pengkhianat Bu Sam Kwi dan marilah kita bekerja
sama. Kalau memang ada pahala di kemudian hari setelah perjuangan berhasil,
kitalah yang patut menerimanya, bukan pengkhianat Bu itu. Nah, harap putuskan
sekarang juga, Lauw-pangcu. Bagaimana pendirianmu?”
Lauw-pangcu
menghela napas panjang. “Siangkoan-locianpwe terlalu mendesak, apa boleh buat.
Kalau menurut saya pribadi, saya tetap akan membantu Se-cuan, karena berhasil
tidaknya perjuangan kita sesungguhnya tergantung kepada kekuatan Se-cuan
sebagai tempat pertahanan terakhir.” Ketua Pek-lian Kai-pang itu berhenti
sebentar lalu menoleh ke arah para tamu yang memandang tegang. “Tentu saja
pendirian saya ini merupakan pendirian Pek-lian Kai-pang pula dan kami tidak
akan mempengaruhi pendapat para sahabat pejuang yang saat ini menjadi tamu
kami.”
Para tamu
berteriak-teriak menyatakan persetujuan mereka dengan pendirian Lauw-pangcu.
Mereka bersorak riuh-rendah dan hal ini membuat wajah Ma-bin Lo-mo menjadi
merah. Jelaslah bahwa tidak banyak yang mendukungnya.
“Lauw-pangcu!
Jikalau begitu, engkau ini bukan lain adalah pemimpin pengkhianat! Pantas...
pantas...! Memang semenjak dahulu, jauh sebelum penjajah Mancu datang, Pek-lian
Kai-pang (Partai Teratai Putih) memang terdiri dari orang-orang pemberontak dan
pengkhianat! Sekarang, sudah menjadi pengemis jembel gelandangan pun masih
menjadi pengkhianat! Sungguh tak tahu malu!”
“Ma-bin
Lo-mo, siapa yang tak tahu malu?” Lauw Sin Lian membentak marah mendengar
ayahnya dimaki-maki. “Engkaulah yang tidak tahu malu! Sebagai tamu seharusnya
menghormati dan mentaati peraturan tuan rumah, kalau tidak cocok boleh pergi
karena engkau bukanlah tamu yang diundang!”
“Hi-yeh-heh-heh!
Lauw-pangcu, kalau engkau memang gagah, marilah kita mencoba-coba kepandaian
agar semua tamu terbuka matanya dan melihat siapa di antara kita yang lebih
pantas menjadi pemimpin!”
“Siangkoan
Lee! Biar sudah tua dan lemah, kalau ditantang aku tidak akan mundur...!”
Lauw-pangcu menjadi marah.
“Tahan,
Ayah! Biarlah aku yang menghajar anjing tua ini!” bentak Sin Lian dan dia sudah
menerjang maju dengan pedangnya.
Karena ia
maklum akan kelihaian datuk kaum sesat ini, tentu saja ia tidak memandang
rendah seperti ketika menghadapi Ouw Kian si Muka Bopeng tadi, melainkan
mengerahkan tenaga dan menggerakkan pedang sehingga ujungnya menimbulkan tujuh
sinar yang berturut-turut meluncur ke arah tujuh bagian berbahaya dari tubuh
Ma-bin Lo-mo.
Di antara
tokoh-tokoh kang-ouw, agaknya tingkat kepandaian Sin Lian sudah amat hebat dan
sebagai murid Siauw-lim Chit-kiam, agaknya sukar dicari tandingannya di
kalangan orang muda. Akan tetapi sekali ini yang diserang adalah Ma-bin Lo-mo,
seorang di antara tokoh-tokoh yang sudah mendapat sebutan datuk, yaitu datuk
golongan hitam atau golongan sesat. Ilmu kepandaian Ma-bin Lo-mo jauh lebih
tinggi dari pada tingkat Sin Lian. Jangankan hanya dara remaja ini, biar
Siauw-lim Chit-kiam maju bersama sekali pun, belum tentu akan dapat mengatasi
kepandaian Ma-bin Lo-mo yang tingkatnya dapat disejajarkan dengan ketua
Siauw-lim-pai yaitu guru Siauw-lim Chit-kiam!
Melihat
sinar pedang gadis itu yang memecah menjadi tujuh sinar, diam-diam Ma-bin Lo-mo
terkejut dan kagum, memuji ilmu pedang ciptaan Ceng San Hwesio ketua
Siauw-lim-pai yang telah dikuasai dengan baik oleh gadis ini. Kalau dia
menghendaki, tentu saja dengan mudah Ma-bin Lo-mo akan dapat merobohkan Sin
Lian dengan ilmu pukulan Swat-im Sin-ciang yang dahsyat.
Akan tetapi
dia mempunyai cita-cita lain. Kedatangannya sebetulnya bukan hendak memusuhi
Pek-lian Kai-pang, melainkan hendak menarik mereka menjadi sekutu dan
membantunya. Kini menghadapi puteri Lauw-pangcu, ia tak mau sembrono menurunkan
tangan keji, hanya ingin membuktikan bahwa dia patut menjadi pemimpin dengan
kepandaiannya yang paling lihai di antara mereka semua.
“Hi-yeh-heh...
kiam-sut yang bagus, akan tetapi tidak ada artinya kalau kau pergunakan untuk
menyerangku, Nona Cilik!” Ia mengejek.
Kedua tangannya
bergerak ke depan membuat gerakan melingkar-lingkar dan tujuh sinar pedang itu
seperti diseret angin puyuh yang amat kuat. Betapa pun Sin Lian mengerahkan
tenaganya untuk menahan, tetap saja pedang dan tangannya terseret oleh
gelombang hawa yang amat dahsyat dan dingin sehingga gerakan pedangnya kacau
dan semua serangannya gagal dengan sendirinya.
“Ma-bin
Lo-mo, sungguh tak patut menghina nona rumah!” Tiba-tiba pemuda yang datang
bersama gadis jelita tadi menerjang maju. Mereka berdua sudah menerjang dengan
pedang mereka dan yang amat hebat adalah ginkang mereka karena gerakan kedua
orang muda ini cepat seperti kilat!
Pedang di
tangan pemuda dan gadis ini telah menolong Sin Lian karena puteri Lauw-pangcu
yang tadinya terancam untuk terputar tubuhnya oleh hantaman angin pukulan
Swat-im Sin-ciang yang amat dahsyat, kini berhasil meloncat ke pinggir ketika
Ma-bin Lo-mo terpaksa menghentikan gerakan tangannya untuk menghadapi serangan
kedua orang muda itu. Ia pun terkejut menyaksikan kecepatan gerakan mereka.
Matanya silau menyaksikan sinar dua pedang yang amat cepat datangnya. Kakek ini
mengeluarkan suara meringkik dan tubuhnya sudah mencelat ke atas menghindarkan
diri dari pada sambaran dua pedang.
Akan tetapi
kini Sin Lian sudah maju lagi dengan pedang diputar cepat. Kini murid Siauw-lim
Chit-kiam ini bersikap hati-hati karena maklum betapa lihainya kakek bermuka
kuda itu. Pedangnya membentuk segulung sinar yang mencuat ke depan amat
terangnya, menusuk dada kakek itu yang baru melayang turun. Dua orang muda yang
lihai itu pun menyambut turunnya tubuh Ma-bin Lo-mo dengan tusukan dan bacokan
pedang.
Ma-bin Lo-mo
kembali mengeluarkan suara terkekeh seperti bunyi ringkik kuda. Ujung kakinya
tiba-tiba menangkis atau menotol ujung pedang tiga orang muda itu. Dengan
‘meminjam’ tenaga mereka, tubuhnya sudah melesat ke belakang tiga orang lawan.
Tiga orang muda itu cepat membalikkan tubuhnya. Mereka kaget sekali karena
tidak mengira kakek itu sedemikian lihainya. Juga para tamu terkejut dan
menjadi jeri.
Pada saat
itu mendadak terdengar suara keras, “Harap hentikan pertandingan! Saya datang
membawa berita penting!”
Semua orang
menoleh, dan tiba-tiba Ma-bin Lo-mo mengeluarkan suara meringkik aneh, wajahnya
berubah pucat ketika memandang kepada pemuda berkaki buntung yang jalan
terpincang-pincang maju dibantu tongkatnya. Ma-bin Lo-mo meloncat dan
menghadang Han Han sambil berkata.
“Kau... kau
masih hidup...?”
Tentu saja
Ma-bin Lo-mo sudah mendengar berita di In-kok-san bahwa Han Han dan Kim Cu
telah menjalani hukuman yang dijatuhkan oleh Toat-beng Ciu-sian-li kepada dua
orang murid itu. Dia mendengar bahwa selain dibuntungi, juga kemudian Han Han
dan Kim Cu dilempar ke dalam jurang maut yang tak berdasar! Tentu saja ia
menjadi kaget sekali melihat bekas murid ini tahu-tahu muncul di situ!
Karena
menyangka bahwa seperti juga dahulu, bocah aneh tentu hanya akan menimbulkan
keonaran dan akan menghalangi cita-citanya, Ma-bin Lo-mo tidak mau banyak cakap
lagi, setelah menegurnya lalu mengulur tangan kanannya yang menuding tadi,
mengerahkan Swat-im Sin-ciang menyerang ke arah jantung Han Han di balik
dadanya.
“Siangkoan-locianpwe,
engkau banyak baikkah?” Han Han menyoja (mengangkat tangan ke depan dada) untuk
memberi hormat.
Tidak ada
seorang pun yang menduga bahwa pada detik itu, dua buah tenaga tak tampak yang
amat dahsyat bertemu di antara mereka dan akibatnya, wajah Ma-bin Lo-mo menjadi
pucat seperti kertas dan ia menahan darah yang sudah naik ke kerongkongannya
agar tidak muntah!
Tenaga
Swat-im Sin-ciang yang ia lancarkan untuk menyerang Han Han tadi membalik
dengan cepat dan tidak terduga-duga olehnya sehingga melukai rongga dadanya
sendiri! Memang ia tahu bahwa bocah bekas muridnya yang telah menggembleng diri
di Pulau Es ini memiliki kepandaian aneh dan tenaga dahsyat. Akan tetapi ia
telah buntung dan betapa dalam waktu tak lama saja telah mampu menangkis
Swat-im Sin-ciang tanpa gerakan memukul melainkan hanya bersoja sudah mampu
mengembalikan pukulannya? Hal yang tidak diduga-duga oleh Ma-bin Lo-mo ini
membuat ia terluka dan jeri. Dengan mulut tertutup rapat ia menggapai Ouw Kian
dan pergi dari tempat itu diikuti Si Muka Bopeng yang terheran-heran, juga para
tamu menjadi lega ketika melihat bahwa kakek yang ditakuti itu pergi tanpa
pamit.
“Han
Han...!” Suara ini keluar dari mulut Sin Lian dan pemuda tampan itu secara
berbareng.
“Han-twako...!”
gadis yang datang bersama pemuda itu pun berseru. Wajahnya menjadi merah, akan
tetapi, seperti juga Sin Lian dan pemuda yang datang bersamanya tadi, gadis ini
pun memandang ke arah kaki buntung Han Han dengan heran.
Han Han
tersenyum, lalu menjura ke arah Sin Lian dan dua orang muda itu yang bukan lain
adalah dua orang murid Im-yang Seng-cu, Wan Sin Kiat dan sumoi-nya, Lu Soan Li.
“Lauw-siocia,
Lu-siocia, Saudara Sin Kiat, bagaimana keadaanmu bertiga? Kuharap baik-baik
saja.”
Tiga orang
muda itu tetap memandang ke arah kakinya dan tak dapat mengeluarkan kata-kata.
Melihat betapa orang yang mereka kagumi itu kini mendadak muncul dengan kaki
buntung, mereka bertiga begitu heran dan kaget sehingga sukar mengeluarkan
kata-kata. Leher serasa dicekik keharuan dan kasihan.
“Ah, engkau
Sie Han...? Akan tetapi, kenapa dengan kakimu...?” Lauw-pangcu sudah melangkah
maju dan memegang pundak Han Han. “Benar, engkau bocah aneh yang dahulu itu,
akan tetapi mengapa kakimu itu, Han Han?”
Han Han
menjura kepada Lauw-pangcu dan berkata tenang, “Karena kecelakaan kaki saya
menjadi buntung, Lauw-locianpwe. Saya merasa girang dapat bertemu dengan
locianpwe dalam keadaan sehat dan biarlah saya menggunakan kesempatan ini untuk
ikut pula mengucapkan selamat ulang tahun ke tujuh puluh tahun, semoga locianpwe
diberkahi panjang usia dan kesehatan!”
Lauw-pangcu
tersenyum dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum. Ia melihat betapa pemuda
ini telah menjadi seorang yang selain tampan dan gagah juga matang, bahkan ada
sesuatu yang amat aneh terpancar dari pandang mata pemuda itu. Akan tetapi
sebelum ia sempat bicara lagi, Wan Sin Kiat sudah memegang lengan tangan Han
Han dan berkata.
“Kebetulan
sekali engkau datang, Han Han. Dan di mana... di mana Nona Lulu?”
Ditanya
tentang Lulu, wajah Han Han menjadi muram, dan ia menggeleng kepalanya.
“Entahlah, aku sedang mencari dia.”
“Mencari
Lulu? Ahhh, tadinya kusangka bahwa engkau datang bersama Lu-moi!” kata Sin Lian
dan Han Han menjadi terheran-heran mendengar gadis itu menyebut Lulu dengan
suara demikian akrab.
Melihat ini,
Lauw-pangcu tertawa dan berkata, “Marilah kita bicara di dalam!” Ia memberi
perintah kepada seorang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk melayani para tamu,
kemudian ia mengajak Han Han, Sin Lian, Sin Kiat dan Soan Li memasuki
pondoknya.
Setelah
mereka duduk di dalam pondok mengelilingi meja dan disuguhi makanan dan arak
oleh anak buah kai-pang yang cepat keluar kembali, Lauw-pangcu lalu berkata.
“Agaknya
banyak sekali urusan yang harus kita bicarakan, Han Han. Akan tetapi lebih dulu
perkenalkanlah dua orang muda perkasa yang membantu kami menghadapi Ma-bin
Lo-mo ini.”
“Kiranya
Lauw-locianpwe dan Lauw-siocia...”
“Iiihhh,
kenapa engkau sekarang berubah seperti ini, Han Han? Masa menyebut aku nona-nonaan
segala, apakah aku harus menyebut tuan muda kepadamu?” Tiba-tiba Sin Lian
menegur dengan mulut cemberut.
Hati Soan Li
yang melirik dan melihat ini menjadi berdebar dan terasa tidak enak. Akan
tetapi Sin Kiat dan Lauw-pangcu tertawa menyaksikan sikap Sin Lian ini.
Merah wajah
Han Han ditegur gadis itu. “Eh... baiklah. Kuulangi lagi, agaknya Lauw-pangcu
dan Sin Lian belum mengenal dua saudara ini. Dia adalah Hoa-san Gi-hiap Wan Sin
Kiat dan Nona ini adalah Hoa-san Kiam-li Lu Soan Li!”
“Ah, kiranya
murid-murid dari Im-yang Seng-cu? Maaf kalau saya yang tua tidak mengenal dan
bersikap kurang hormat.”
Akan tetapi
Sin Lian tidak bersikap seperti ayahnya, bahkan memandang kepada dua orang muda
itu dengan alis berdiri. Betapa pun juga, di dalam hati gadis ini masih ada
bekas luka akibat siasat adu domba antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai.
Soan Li yang
cerdik tentu saja dapat mengerti akan sikap Sin Lian ini dan ia cepat berkata,
“Nama besar Enci Sin Lian sebagai murid tokoh-tokoh Siauw-lim Chit-kiam telah
lama saya mendengarnya. Enci Sin Lian, kedatangan kami berdua ini adalah hendak
menghapus segala peristiwa hitam yang timbul di antara Hoa-san-pai dan
Siauw-lim-pai yang sesungguhnya ditimbulkan oleh siasat buruk adu domba oleh
Pemerintah Mancu. Kiranya Enci sudah pula mendengar akan hal itu, peristiwa
yang patut disesalkan sehingga menyeret pula Han-twako yang sama sekali tidak
berdosa. Han-twako yang terseret oleh siasat adu domba di antara kedua partai,
sampai-sampai mendatangi Pek-eng-piauwkiok dan bertemu dengan tokoh-tokoh
Hoa-san-pai, bahkan mengalami penghinaan pula. Sungguh kami merasa menyesal
sekali...”
Wajah keruh
di muka Sin Lian segera menghilang. Memang pada dasarnya watak Sin Lian adalah
lincah dan peramah. Kalau tadi ia berwajah keruh melihat munculnya dua orang
tokoh Hoa-san-pai adalah karena ia teringat akan kematian dua orang di antara
ketujuh orang gurunya. Ia cepat tersenyum dan berkata.
“Adik Soan
Li, aku telah tahu akan hal itu semua. Aku telah mengetahui betapa kalian
berdua sampai bentrok dengan orang-orang Hoa-san-pai sendiri. Aku telah
diceritakan oleh adikku Lulu yang pandai bercerita sehingga peristiwa di
piauwkiok itu seolah-olah dapat kubayangkan dengan mata sendiri!”
“Eh, Non...
ehh, Sin Lian, apa artinya semua ini? Adikmu Lulu... bagaimana ini?”
Kembali
Lauw-pangcu tertawa, agaknya kakek ini merasa girang sekali dapat bertemu
dengan Han Han yang sudah banyak ia dengar dari Lulu. Ia memandang pemuda ini
dan diam-diam kakek yang sudah berpengalaman ini dapat mempercayai omongan Lulu
yang pernah mengatakan bahwa di dunia ini kakaknya adalah yang paling sakti!
Sungguh pun ia maklum bahwa Lulu melebih-lebihkan akan tetapi ia dapat
menangkap wibawa yang amat luar biasa dan sinar aneh terpancar keluar dari
sepasang mata pemuda itu.
“Ha-ha-ha-ha,
agaknya telah terjadi banyak sekali hal yang amat kebetulan dan yang perlu kita
saling tuturkan, Han Han. Akan tetapi biarlah kita mulai satu-satu dan lebih
dulu kiranya lebih baik kalau kita persilakan dua orang murid Im-yang Seng-cu
untuk menuturkan maksud kunjungannya yang terhormat.”
Kini Wan Sin
Kiat bicara, suaranya halus dan tegas, “Tadi telah disinggung oleh Sumoi akan
maksud kedatangan kami berdua. Tidak lain hanya untuk menemui Nona Lauw sebagai
murid Siauw-lim Chit-kiam untuk menjelaskan persoalan salah paham akibat adu
domba pihak Mancu antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai. Kami tidak berani
lancang menghadap ke Siauw-lim-si, maka mendengar bahwa locianpwe dan Nona Lauw
berada di sini dan kebetulan sekali mengadakan pesta ulang tahun, kami sengaja
datang menyampaikan selamat ulang tahun dan ingin penjelasan untuk menghapus
permusuhan. Siapa mengira bahwa Nona Lauw telah mendengar persoalannya. Kami
merasa girang sekali kalau Nona Lauw sudah mengerti bahwa yang melakukan
pembunuhan terhadap kedua orang locianpwe dari Siauw-lim Chit-kiam bukanlah
orang Hoa-san-pai.”
Sin Lian
mengangguk-angguk. “Saya telah menghadap para pimpinan Siauw-lim-pai dan
ternyata beliau semua telah mendengar dari keterangan Han Han sendiri yang
datang ke sana. Apa lagi setelah saya mendengar penuturan siauw-moi, semua
permusuhan antara Siauw-lim-pai dan Hoa-san-pai telah terhapus dengan
sendirinya dan kini kami hanya ingin membalas kematian kedua orang suhu saya
itu kepada pihak Mancu.”
Lauw-pangcu
menghela napas. “Memang perang adalah peristiwa yang menjijikkan dan
menyedihkan. Dan orang-orang Mancu telah menggunakan siasat yang amat busuk!
Nah, sekarang biarlah aku menuturkan tentang adikmu, Han Han. Ketahuilah bahwa
adikmu Lulu telah menjadi anak angkatku, dan menjadi adik angkat Sin Lian.”
“Aaahhh...!”
Han Han membelalakkan matanya dan menjadi bengong. Mana mungkin bisa terjadi
hal ini? Bukankah Lauw-pangcu adalah musuh besar Lulu? Bukankah keluarga
perwira Mancu, ayah Lulu, telah terbasmi oleh Lauw-pangcu dan anak buahnya? Dia
sejak dahulu mengkhawatirkan pertemuan antara Lulu dengan Lauw-pangcu, akan
tetapi ternyata kini adiknya itu malah menjadi anak angkat musuh besarnya!
“Aku
mengerti, tentu engkau bingung dan heran. Semestinya Lulu datang dan membunuh
aku untuk membalas dendam atas kematian keluarganya, bukan? Akan tetapi, ah...
adikmu itu adalah seorang manusia yang benar-benar memiliki watak murni dan
bersih, dan aku merasa bahagia sekali bisa menjadi ayah angkatnya....”
Lauw-pangcu
lalu menuturkan semua pengalaman Lulu semenjak bertemu dengannya sampai menjadi
anak angkatnya dan betapa sampai setahun Lulu memperdalam ilmu silatnya di
lembah Huang-ho itu.
“Enam bulan
yang lalu dia berangkat meninggalkan tempat ini untuk mencarimu, bahkan telah
berjanji untuk datang pada saat perayaan ulang tahun Ayah, berjanji untuk
datang bersamamu. Akan tetapi mengapa engkau datang sendiri? Mana Lulu?” Sin
Lian menutup cerita ayahnya yang didengar oleh Han Han dengan muka
terheran-heran dan hati terharu, juga girang. Akan tetapi pertanyaan Sin Lian
membuat wajahnya muram kembali dan ia menghela napas panjang.
“Aku
mencarinya ke kota raja tanpa hasil...”
Melihat
kesedihan Han Han dan karena tertarik dan kagum mendengar penuturan Lauw-pangcu
sehingga hatinya yang dahulu sudah terpikat oleh Lulu itu kini menjadi makin
kagum, Sin Kiat segera berkata.
“Han Han,
jangan khawatir. Aku akan membantumu mencari Nona Lulu sampai dapat!”
Han Han
tersenyum mendengar janji yang dikeluarkan dengan suara sungguh-sungguh ini.
Dia memandang wajah Sin Kiat, dapat melihat sinar penuh kasih dari mata pemuda
gagah itu. Diam-diam ia merasa senang sekali kalau adiknya yang nakal itu kelak
dapat berjodoh dengan pemuda ini!
“Terima
kasih, Sin Kiat. Aku hanya khawatir kalau sampai terjadi sesuatu yang tidak
menyenangkan menimpa diri adikku. Dia itu terlalu berani dan sembrono...”
“Han Han,
engkau tidak tahu bahwa semenjak berlatih di sini selama satu tahun, Lulu
bukanlah Lulu yang dahulu lagi. Ilmu kepandaiannya melonjak secara hebat
sehingga Ayah sendiri dan aku, kiranya bukan tandingannya lagi!” kata Sin Lian
tentu saja ia melebihkan, karena dalam hal kematangan ilmu silat, tentu saja
Lulu tidak dapat menandinginya.
“Sekarang
tiba giliranmu, Han Han. Ketika engkau muncul tadi, kau katakan bahwa engkau
datang membawa berita penting. Akan tetapi sebelum kau ceritakan itu, aku ingin
sekali mendengar mengapa... kakimu sampai buntung, Han Han.”
Han Han
tersenyum pahit dan memandang ke arah kakinya yang buntung, menghela napas
panjang dan kemudian berkata, “Urusan kecil... salahku sendiri dan sudah
semestinya buntung. Kakiku buntung akibat hukuman yang dijatuhkan oleh
Toat-beng Ciu-sian-li...”
“Iblis
betina yang kejam...!” Sin Lian berteriak marah, seperti mengeluarkan api.
“Dan... Lulu-moi belum tahu akan hal itu?”
Han Han
menggeleng kepala dan memandang. Alangkah kaget dan herannya ketika ia melihat
mata Sin Lian merah seperti hendak menahan tangis!
“Hemmm, aku
sudah mendengar dari Suhu akan kekejaman iblis betina itu! Sungguh keji sekali!
Han-twako, kenapa dia melakukan hal sekejam itu?” Han Han menoleh kepada Soan
Li yang wajahnya menjadi pucat.
Ia
tersenyum. “Tidak kejam, melainkan sudah menjadi peraturan di In-kok-san begitu.
Murid yang melarikan diri akan dihukum buntung kakinya. Dan aku pernah menjadi
muridnya, kemudian aku melarikan diri. Ketika akhir-akhir ini tertawan olehnya,
kakiku dibuntungi sebelah. Sudahlah, hal ini sudah terjadi, tidak ada gunanya
dibicarakan lagi,” Ia terpaksa mengeluarkan ucapan hiburan ini karena melihat
betapa Sin Lian dan Soan Li kelihatan marah dan kebencian hebat terpancar
keluar dari mata mereka terhadap Toat-beng Ciu-sian-li. “Yang penting adalah
keperluan yang membawaku datang ke sini. Lauw-pangcu, saya merampas sebuah
surat dari tangan utusan-utusan Mancu yang ditujukan kepada Su-ciangkun,
komandan pasukan Mancu yang bertugas melakukan pembersihan. Inilah suratnya,
harap Lauw-pangcu dan cu-wi sekalian membaca agar dapat diatur bagaimana baiknya.”
Mata
Lauw-pangcu terbelalak ketika ia membaca surat perintah rahasia dari Puteri
Nirahai itu dan ketika ia memberikan surat itu kepada Sin Lian, kemudian dibaca
pula oleh Sin Kiat dan Soan Li, Sin Kiat berseru, “Ahhh! Puteri Nirahai inilah
orangnya yang menjadi blang keladi permusuhan antara Siauw-lim-pai dan
Hoa-san-pai! Dia kabarnya amat lihai dan amat cerdik mengatur siasat-siasat
licik! Lauw-pangcu, kalau begitu, keadaan pangcu di sini berbahaya, harus
cepat-cepat pindah...!”
Lauw-pangcu
tetap tenang dan menggeleng kepala. “Wan-sicu lupa bahwa pasukan Mancu belum
menerima surat perintah ini.”
Tiba-tiba
kakek itu memukul telapak tangan kirinya dengan kepalan kanannya, wajahnya
berseri dan pandang matanya penuh semangat. Biar pun sudah lama sekali ia tidak
lagi aktif dalam perjuangan karena selain merasa tua juga setelah menjadi ayah
angkat Lulu hatinya menjadi hambar terhadap perjuangan, kini agaknya timbul
kembali jiwa kepahlawanannya.
“Ah, ini
kesempatan bagus sekali untuk menghancurkan mereka! Surat ini harus disampaikan
kepada Su-ciangkun, biarkan mereka melakukan penyerangan ke sini. Kita mengatur
barisan pendam, menjebak mereka dan dengan mudah kita akan dapat membasmi
mereka! Akan tetapi surat perintah ini harus disampaikan kepada mereka!”
Han Han
menerima kembali surat itu dan menyimpannya dalam sampul, kemudian
mengantonginya. “Tepat sekali seperti dugaan saya bahwa pangcu akan mengambil
keputusan seperti itu, karena itulah maka saya lebih dahulu datang ke sini.
Biarlah saya menyerahkan urusan memasang barisan pendam itu kepada pangcu, dan
saya akan melanjutkan perjalanan saya mengunjungi Su-ciangkun untuk menyerahkan
surat ini.”
“Heeiii...!
Ah, itu berbahaya sekali! Han Han, biarlah surat itu diserahkan oleh anak buah
Pek-lian Kai-pang!”
“Lauw-pangcu,
apakah kalau yang menyerahkan anak buahmu tidak berbahaya?”
“Memang
tetap berbahaya, akan tetapi andai kata anak buahku sampai mati sekali pun dia
akan mati dengan rela, mati sebagai gugurnya seorang pejuang.”
“Hemmm,
pangcu. Apakah saya takut mati? Tidak, saya sendiri yang harus menyerahkan
surat ini, bukan sekali-kali untuk membantu perjuangan karena saya masih belum
bisa mengikatkan diri dengan perang, melainkan karena alasanku pribadi. Nah,
selamat tinggal, aku harus pergi sekarang. Kalau terlalu lama, khawatir
kalau-kalau pihak Mancu tahu bahwa utusan mereka telah kubunuh dan pembawa
surat ini bukan utusan mereka, melainkan palsu!” Setelah berkata demikian, Han
Han menjura dan cepat ia terpincang-pincang keluar dari pondok itu.
Setibanya di
ruangan depan, para tamu memandangnya dengan penuh perhatian, akan tetapi Han
Han tidak mengacuhkan mereka dan terus keluar dari tempat itu, menuruni puncak.
Setelah tiba di lereng puncak itu di mana tidak ada orang lain lagi yang akan
melihatnya, Han Han lalu meloncat dan mengerahkan ilmu kepandaiannya yang
mukjizat, yaitu gerakan-gerakan kilat yang membuat ia dapat bergerak secara
luar biasa, berloncatan seperti terbang.
“Han
Han...!” Teriakan ini membuat Han Han cepat membuang ilmunya, mematahkan daya
dorongan hebat yang membuat tubuhnya seperti dapat terbang, cepat ia melayang
turun ke atas tanah. Kiranya di situ berdiri Sin Lian yang memandang kepadanya
dengan mata terbelalak penuh kekaguman.
“Han Han...
kau... kau ah, betapa hebat gerakanmu tadi...!”
Wajah Han
Han menjadi merah. Ia merasa jengah karena ilmunya terlihat oleh Sin Lian. “Ah,
kau terlalu memuji, Si Lian. Ada urusan apakah engkau menyusulku?”
Sin Lian
menundukkan muka untuk menghindarkan pertemuan pandang, akan tetapi justru
karena menunduk, ia melihat kaki buntung itu dan seperti diingatkan ia merasa
kasihan dan terharu sekali. Kini, di luar tahunya orang lain, ia tidak memaksa
diri mempertahankan air matanya dan dua butir air mata menitik turun ke atas
sepasang pipinya.
“Eh, Sin
Lian... kau menangis? Kenapa?”
Sin Lian
menggigit bibir. Sukar sekali untuk bicara. Ia hanya dapat menghapus dua butir
air mata dari pipinya, namun tanpa disadarinya bahwa ada dua butir lagi
menggantikan yang ia hapus. Akhirnya ia dapat berkata lirih, “Aku... aku
kasihan melihatmu... ngeri hatiku membayangkan betapa kakimu dipotong...”
Han Han
tersenyum. “Ah, semenjak kecil engkau adalah seorang gadis yang amat baik hati,
Sin Lian. Berkali-kali engkau membelaku dan sampai sekarang pun engkau masih
menaruh kasihan kepadaku. Terima kasih, Sin Lian, engkau benar-benar seorang
gadis yang amat berbudi. Aku girang bahwa Lulu telah menjadi adik angkatmu.”
“Han Han,
harap kau maafkan aku...”
“Ehhh?
Maafkan? Kenapa?”
“Dahulu, aku
telah salah sangka, mengira engkau membantu orang-orang Hoa-san-pai untuk
memusuhi Siauw-lim-pai sehingga aku menghinamu, menyerangmu.”
Han Han
menarik nafas panjang. “Akulah yang harus minta maaf kepadamu, Sin Lian. Aku
menganggap saudara-saudaramu orang-orang Siauw-lim-pai sebagai perampok.
Ahhhhh, sudahlah, semua adalah akibat siasat busuk Puteri Nirahai. Percayalah
kalau aku dapat bertemu dengan dia, akan kuberi hajaran puteri yang jahat itu!
Nah, sekarang aku harap kau suka pulang, aku hendak melanjutkan perjalananku.”
Pemuda
buntung itu sudah membalikkan tubuh ketika ia mendengar suara Sin Lian
memanggil, “Han Han...!”
Ia memutar
tubuh. Dua pasang mata bertemu pandang, melekat, terpesona dan Han Han terkejut
bukan main melihat betapa sepasang mata Sin Lian itu mengeluarkan sinar yang
sama benar dengan sepasang mata Kim Cu! Salahkah penglihatannya? Ataukah... ah,
mungkinkah seorang dara seperti Sin Lian ini mempunyai rasa kasih sayang kepada
dia seorang buntung? Tentu ia salah menyangka.
Hemmm,
sungguh-sungguh tak tahu diri, celanya kepada hatinya sendiri sambil cepat
mengalihkan pandang, menunduk. Tak tahu diri, seorang pemuda buntung macammu
ini mana mungkin menarik kasih sayang seorang dara seperti Sin Lian? Kalau Kim
Cu memang benar mencintanya, akan tetapi cinta kasih Kim Cu terhadapnya timbul
sebelum kakinya buntung. Hanya Kim Cu-lah satu-satunya gadis di dunia ini yang
dapat mencintanya, tentu saja di samping Lulu, adiknya yang ia tahu merupakan
satu-satunya manusia yang ia cinta dan yang mencintanya sepenuh jiwa! Sin Lian
mencintanya? Tak mungkin! Hanya dugaan yang timbul dari rasa iba diri.
“Ada apakah,
Sin Lian?” tanyanya dan ia berani lagi mengangkat muka memandang setelah
berhasil menguasai hatinya. Kini ia tidak melihat lagi sinar aneh dari mata Sin
Lian dan diam-diam ia mentertawakan dirinya sendiri yang ternyata telah salah
menduga.
“Han Han,
biarkan aku pergi menemanimu mengantar surat itu ke markas pasukan Mancu. Aku
sudah bilang kepada Ayah.”
Han Han
terkejut. “Ahhh, tidak mungkin! Semua orang tentu mengenal engkau sebagai
puteri Lauw-pangcu dan hal itu amat berbahaya!”
“Apakah
kalau engkau yang pergi ke sana tidak berbahaya? Kalau memang akan menghadapi
bahaya, biarlah kita hadapi bersama. Aku tidak takut!”
Han Han
tersenyum di dalam hatinya. Kalau sudah berkeras kepala begini, Sin Lian
seperti masih kanak-kanak, tidak ada perubahan sama sekali sejak dahulu! Akan
tetapi ia segera berkata dengan halus.
“Sin Lian,
bukan demikian maksudku. Tentu saja engkau pun tidak takut akan bahaya, dan
tentu saja kalau ada engkau, kita berdua akan dapat menghadapi musuh lebih kuat
lagi. Akan tetapi, kalau engkau ikut, tentu rusak rencana kita semua. Mana
mungkin orang-orang Mancu itu percaya akan surat yang kubawa ini? Mereka tentu
akan curiga dan semua siasat yang diatur Ayahmu akan gagal. Percayalah, kalau
aku sendiri yang ke sana dan mengaku sebagai kepercayaan Puteri Nirahai, tentu
mereka akan percaya dan akan dapat terjebak oleh barisan pendam Ayahmu. Selain
itu, ada lagi alasan pribadi mengapa aku sendiri harus menghadap perwira she Su
itu, Sin Lian.”
“Akan
tetapi...”
“Tidak ada
tapi, Sin Lian. Engkau tinggallah di sini, dan Ayahmu amat memerlukan bantuanmu
untuk menghadapi para penyerbu nanti.” Ketika melihat betapa sinar mata gadis
itu masih berkeras, Han Han cepat menyambung, “Sudahlah, Sin Lian, kalau sudah
selesai tugas kita, kelak kita bicara lagi sepuasnya. Selamat berpisah!”
Setelah berkata demikian, Han Han berkelebat.
Terkejutlah
Sin Lian karena tiba-tiba pemuda buntung itu sudah lenyap dari depannya. Ia
mengangkat muka, melihat bayangan pemuda itu mencelat ke atas dan terus
berloncatan amat cepatnya seperti terbang saja. Sebentar saja bayangan pemuda
itu hanya tampak seperti sebuah titik hitam yang bergerak-gerak seperti seekor
belalang berloncatan.
“Han
Han...!” Ia mengeluh, penuh kagum, penuh iba melihat kaki buntungnya dan
penuh... perasaan aneh di hatinya.
Sejenak Sin
Lian memandang sampai bayangan itu lenyap, lalu ia termenung dan menundukkan
mukanya, teringat ia akan ucapan Lulu tentang Han Han itu. Betapa secara
berkelakar Lulu ingin menjodohkan dia dengan Han Han, betapa Lulu itu secara
tepat mengatakan bahwa dia mencinta Han Han. Sin Lian yang berdiri seorang diri
itu tersenyum-senyum malu dengan kedua pipi berubah merah sekali, matanya
berseri dan sampai lama ia berdiri melamun lupa akan segala.
Dia menjadi
amat heran akan sikapnya sendiri, heran akan isi hatinya. Betapa pun tampannya,
betapa pun gagahnya, Han Han adalah seorang pemuda cacat, seorang buntung!
Mengapa hatinya begini tertarik, lebih tertarik dan suka dari pada dahulu
ketika mereka berdua masih kanak-kanak, bahkan lebih tertarik dibandingkan
ketika ia mendengar cerita Lulu, padahal ketika itu ia membayangkan Han Han
seorang pemuda tanpa cacat? Mengapa tidak ada sedikit pun perasaan kecewa atau
terhina melihat pemuda buntung itu, membayangkannya berada di sampingnya
sebagai teman hidup? Bahkan ada rasa bangga di hatinya, bangga bahwa biar pun
kakinya buntung sebelah, namun Han Han memiliki kepandaian yang amat luar
biasa, dan hal itu terbukti dari gerakan pemuda itu yang benar-benar belum
pernah ia lihat pada orang lain! Bangga bahwa sebagai seorang buntung kakinya,
seorang penderita cacat, Han Han memiliki kelebihan yang banyak sekali kalau
dibandingkan dengan orang yang utuh badannya.
Sin Lian
sama sekali tidak tahu bahwa bukan hanya dia seorang yang mengenang dan
memikirkan pemuda buntung itu. Juga Lu Soan Li, gadis tokoh Hoa-san itu, yang
semenjak pertemuan pertamanya dengan Han Han ketika masih belum buntung kakinya
dahulu telah jatuh hati. Kini setelah bertemu lagi dengan Han Han yang telah
buntung kakinya, ia merasa betapa hatinya bagai ditusuk-tusuk penuh rasa iba
dan haru melihat pemuda itu. Dia merasa heran mengapa hatinya seperti itu.
Ingin ia menghibur pemuda buntung itu, ingin membela, ingin membahagiakan
hidupnya dan mengusir awan kesengsaraan yang seolah-olah menyelimuti wajah
tampan yang berambut panjang itu.
“Suheng, aku
merasa khawatir sekali kalau-kalau dia akan menemui bencana di markas pasukan
Mancu. Dia seorang diri saja dan... kakinya sudah buntung. Ah, Suheng, mengapa
kau tadi tidak mencegahnya pergi? Bukankah lebih baik Suheng atau aku yang
pergi mewakilinya? Sungguh kita keterlaluan sekali, membiarkan seorang buntung
menempuh bahaya di sarang harimau!”
“Engkau maksudkan
Han Han?” Sin Kiat bertanya, kemudian ia mengangguk. “Memang berbahaya sekali.
Habis, kalau menurut pendapatmu, bagaimana baiknya, Sumoi?”
“Suheng,
biarlah secara diam-diam aku membayanginya. Dia berjuang untuk perjuangan
bersama, kalau sampai gagal, bukan hanya dia akan celaka, akan tetapi kita di
sini semua pun akan mengalami mala petaka. Akan tetapi hal ini lebih baik
dirahasiakan, Suheng. Suheng membantu persiapan di sini, membantu Lauw-pangcu
yang akan mengatur barisan pendam untuk menjebak pasukan Mancu, sedangkan aku
membantu Han-twako...”
Sin Kiat
memandang wajah sumoi-nya dengan tajam, kemudian menghela napas dan berkata,
suaranya tegas mengandung pertanyaan yang menuntut jawaban sejujurnya.
“Sumoi,
engkau jatuh cinta kepada Han Han, bukan?”
Sunyi
sejenak. Soan Li menundukkan mukanya dengan kedua pipi merah sekali, tak berani
menentang pandang mata suheng-nya yang penuh selidik, kemudian sambil menunduk
ia menjawab, suaranya juga penuh tuntutan yang membela diri.
“Suheng,
agaknya tidak banyak bedanya dengan perasaan hati Suheng terhadap Lulu.”
Sin Kiat
menarik napas panjang, lalu memegang pundak sumoi-nya, memaksa tubuh sumoi-nya
menjadi tegak untuk memandang wajah sumoi-nya. “Soan Li, Sumoi-ku yang manis.
Engkau tahu bahwa aku adalah sebagai kakakmu sendiri. Aku tidak akan
menyalahkan perasaan hatimu, tidak pula hendak menekan kebebasan hatimu. Bahkan
aku tidak akan mencela kalau engkau jatuh cinta kepada Han Han, karena memang
dia seorang pemuda yang hebat! Aku sendiri amat kagum kepadanya. Dan aku tidak
akan menyangkal lagi bahwa aku jatuh cinta kepada Lulu, maka akan amat picik
dan liciklah kalau aku mencela Sumoi jatuh cinta kepada Han Han. Akan tetapi,
keadaanmu berbeda dengan keadaanku, Sumoi. Engkau telah ditunangkan dengan
Tan-siucai (Sastrawan Tan) oleh Suhu. Engkau tidak bebas lagi, menjadi calon
isteri orang lain! Karena itu, sebagai wakil Suhu, aku peringatkan kepadamu,
Sumoi, agar engkau selalu ingat akan kenyataan itu dan jangan menurutkan
perasaan hati yang akan menyeretmu ke jalan sesat.”
Tiba-tiba
Soan Li bangkit berdiri dan memandang suheng-nya dengan mata penuh kemarahan.
“Suheng, apakah Suheng menilai saya serendah itu?”
“Eh, Sumoi,
apa maksudmu?” Sin Kiat juga bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Suheng
sendiri mengerti bahwa saya ditunangkan oleh Suhu dan sebagai murid yang tidak
mempunyai orang tua lagi, saya harus mentaati kehendak Suhu. Saya belum pernah
melihat wajah tunanganku, dan tentu saja saya tidak mencintanya. Kalau sekarang
saya mencinta orang lain, adakah itu merupakan pelanggaran? Adakah itu
merupakan perbuatan atau perasaan sesat? Aku mencinta Han Han, akan tetapi hal
ini hanya merupakan perasaan hati saja. Jangan Suheng mengira bahwa saya akan
melupakan kesusilaan, akan melakukan hal-hal yang rendah dan hina, akan
mengkhianati ikatan jodoh yang sudah dilakukan Suhu! Jangan sekali-kali Suheng
mengira bahwa dengan cinta kasihku ini aku lalu akan melakukan hal-hal yang
sesat!”
Melihat
sumoi-nya berdiri dengan muka mangar-mangar (kemerahan) saking marah dan penasaran,
akan tetapi sepasang matanya mengeluarkan dua butir air mata seperti dua butir
mutiara yang perlahan-lahan menetes turun ke atas kedua pipinya yang kemerahan
menandakan bahwa hatinya terluka dan berduka, Sin Kiat lalu memegang kedua
lengan sumoi-nya dan berkata.
“Maafkan
aku... maafkan aku... Sumoi. Sungguh tidak patut aku mencurigai Sumoi-ku yang
bijaksana. Ahh, Sumoi, kalau memang sedemikian kuat pendirianmu, aku pun tidak
akan ragu-ragu lagi. Memang sebaiknya kalau Han Han dibantu, karena tugasnya
amat penting. Silakan, akan tetapi, hati-hatilah, Sumoi.”
Soan Li
terisak, saking girangnya dan saking terharu hatinya. Ia menghapus air matanya
dan mencengkeram lengan suheng-nya. “Suheng,” katanya gemetar, “terima kasih,
Suheng. Akan tetapi berjanjilah jangan sampai rahasia hatiku ini terdengar oleh
siapa pun juga... akan kusimpan sebagai rahasia... kubawa mati...”
Melihat
sumoi-nya berkelebat hendak pergi, Sin Kiat memanggil. “Sumoi!”
Sumoi-nya
menahan kakinya, menengok.
“Sumoi,
hati-hatilah, Sumoi...!”
Soan Li
tersenyum manis kepada kakaknya, mulutnya senyum akan tetapi berlinangan air
matanya. Setelah sumoi-nya pergi, Sin Kiat termenung. Takkan terlupakan
selamanya bayangan wajah sumoi-nya ketika menengok tadi. Wajah yang tersenyum
manis akan tetapi yang diliputi kedukaan besar, kedukaan yang timbul karena
kekecewaan hati, cinta kasih yang takkan dapat tersampaikan karena gadis itu
telah terikat oleh jodoh yang ditentukan oleh suhu mereka. Wajah yang manis,
akan tetapi betapa menyedihkan senyum di antara linangan air mata!
Berulang
kali Sin Kiat menarik napas panjang dan diam-diam ia menyesal, mengapa suhu-nya
menentukan jodoh bagi sumoi-nya. Ia merasa yakin bahwa calon suami yang
dipilihkan suhu-nya itu tentulah seorang yang benar-benar baik, akan tetapi
apakah artinya kebaikan seseorang sebagai calon suami tanpa disertai rasa cinta
dari pihak calon isteri?
Sin Kiat
mencoba melupakan rasa duka di hatinya itu dengan menyibukkan dirinya membantu
Lauw-pangcu yang mulai mengumpulkan anak buahnya bahkan dibantu oleh para tamu
mengatur jebakan untuk menyambut serbuan pasukan Mancu...
***************
Tidaklah
terlalu sukar bagi Han Han untuk mendapatkan markas pasukan Mancu yang
dicarinya. Markas itu berada di tepi sungai, sebuah dusun yang penduduknya
telah diusir dan kini dusun itu diubah menjadi sebuah markas yang terjaga kuat.
Ketika ia berjalan terpincang-pincang dan berhadapan dengan puluhan orang
tentara penjaga yang segera mengurungnya dengan todongan golok dan tombak,
diam-diam Han Han merasa beruntung bahwa dia membawa surat perintah rahasia itu
untuk dapat bertemu dengan Su-ciangkun. Tanpa surat itu, biar pun ia sanggup
menerobos memasuki markas, namun hal itu tentu saja akan amat berbahaya
mengingat betapa ketatnya penjagaan dan bahwa markas itu tentu dihuni oleh
ribuan orang tentara yang tak mungkin akan dapat dilawannya sendirian saja.
“Berhenti!
Siapa engkau dan mau apa mendekati benteng penjagaan?” bentak seorang pemimpin
regu yang mengurungnya sambil menodongkan ujung goloknya di leher Han han.
Han Han
bersikap angkuh dan ia menjawab, “Jangan bersikap kurang ajar kalau kalian
tidak ingin dihukum oleh Su-ciangkun! Aku adalah utusan pribadi Puteri Nirahai
dari kota raja, membawa surat pribadi beliau untuk disampaikan kepada
Su-ciangkun!”
Ujung golok
itu agak menjauhi lehernya, namun pengurungan masih ketat. Suara kepala regu
itu pun tidaklah galak lagi ketika bertanya.
“Hemmm,
bagaimana kami dapat tahu bahwa engkau adalah utusan dari kota raja? Masa kota
raja mengutus seorang... ehh, pincang... dan apa tandanya bahwa engkau adalah
utusan kota raja?”
Han Han
tersenyum di dalam hatinya. Biar pun masih memperlihatkan keraguan, setidaknya
kepala regu ini sudah berhati-hati sehingga tidak berani menyebutnya buntung,
melainkan pincang sungguh pun ia tidak dapat membedakan mana yang lebih
merendahkan antara sebutan pincang dan buntung,
“Hemmm,
beranikah engkau meragukan utusan Sang Puteri Nirahai? Tidak tahukah engkau,
apa pura-pura tidak tahu bahwa Puteri Nirahai terkenal mempunyai banyak
pembantu orang-orang kang-ouw sebagai pengawal-pengawal pribadi dan
pengawal-pengawal rahasia? Karena sekali ini Puteri Nirahai mengirim perintah
rahasia dan pribadi kepada Su-ciangkun, tentu saja mengutus seorang di antara
pembantu-pembantu pribadinya, dan tidak mengutus utusan resmi. Mengertikah?”
Tentu saja
para penjaga itu mengenal atau setidaknya sudah mendengar akan kekuasaan Puteri
Nirahai, karena pemimpin pasukan-pasukan yang bermarkas di situ, Su-ciangkun,
adalah anak buah puteri yang amat mereka kagumi dan hormati itu. Akan tetapi
karena Han Han hanya seorang pemuda buntung yang sama sekali tidak mengesankan,
tentu saja mereka pun ragu-ragu apakah benar orang muda macam ini menjadi
utusan pribadi Puteri Nirahai.
“Maafkan
kami kalau engkau betul utusan dari kota raja, orang muda. Akan tetapi, betapa
pun juga, kami sebagai petugas-petugas yang melakukan penjagan, tidak akan
berani memperbolehkan orang luar lewat tanpa lebih dulu yakin bahwa engkau
benar-benar utusan dari kota raja.”
“Hemmm,
kalian boleh juga, tahu akan kewajiban sebagai penjaga-penjaga yang tertib.
Nah, sekarang lihatlah ini, apakah engkau masih ragu-ragu melihat cap dari Sang
Puteri?” Ia mengeluarkan surat bersampul dan memang di bagian depan sampul itu,
di atas kiri terdapat cap dari puteri yang berwarna merah.
Tentu saja
sebagai tentara biasa, para penjaga itu selamanya belum pernah melihat cap sang
puteri, hanya mereka merasa malu untuk mengakui kebodohan mereka. Kepala regu
mengangguk-angguk dengan hati bingung, lalu berkata, “Baiklah, mari kuajak
menghadap Su-ciangkun!”
Dengan hati
berdebar Han Han lalu dikawal kepala regu itu memasuki benteng dan diam-diam ia
terkejut melihat banyaknya tentara dengan perlengkapan yang hebat. Tidak
mengherankan kalau pasukan-pasukan Mancu selalu mendapat kemenangan, kiranya
selain bala tentaranya banyak, juga perlengkapan mereka cukup, dipimpin pula
oleh orang-orang pandai. Dia dibawa memasuki sebuah gedung besar di tengah
markas dan juga di sini terdapat penjagaan yang ketat.
Setelah
melalui lima lapisan penjagaan yang makin lama makin kuat, akhirnya Han Han
dihadapkan pada seorang perwira Mancu yang bertubuh tinggi besar, bermata lebar
dan alisnya tebal sekali. Seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang
benar-benar patut menjadi seorang pembesar tentara. Melihat wajah perwira ini,
jantung Han Han berdebar dan terbayanglah segala peristiwa yang ia lihat
belasan tahun yang lalu. Tidak salah lagi, inilah wajah seorang di antara tujuh
perwira, wajah yang dulu ikut tertawa-tawa ketika berpesta di dalam rumahnya,
dilayani oleh ayahnya yang membongkok-bongkok dan merendahkan diri!
Sungguh pun
yang memperkosa enci-nya dan ibunya hanya dua orang perwira yang ia kenal
sebagai Giam Cu yang kini menjadi cihu-nya, dan Giam Kok Ma yang kini ia anggap
sebagai musuh nomor satu, namun lima orang perwira lain takkan pernah terlupa
olehnya. Lima orang perwira lainnya itu pun ikut bertanggung jawab atas
terbasminya keluarga orang tuanya! Ia menekan perasaan hatinya yang menegang
penuh dendam ketika tiba-tiba perwira tinggi besar itu menegurnya dengan suara
parau dan penuh wibawa.
“Heh, orang
muda yang buntung! Engkau mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai di kota raja!
Kalau benar demikian, apa yang ditugaskan padamu?”
Han Han
sadar dari lamunannya dan mendengar pertanyaan ini, maklumlah ia bahwa kepala
regu yang mengawalnya sudah melaporkan kepada atasannya tanpa ia ketahui karena
ia tadi termenung seperti orang mimpi. Segera ia membungkuk dan menjawab.
“Benarkah
saya berhadapan dengan Su-ciangkun yang memimpin pasukan untuk melakukan
pembersihan di sekitar lembah Huang-ho? Karena saya membawa perintah pribadi
Sang Puteri untuk menghadap Su-ciangkun sendiri, maka saya tidak mau kalau
sampai salah alamat!”
“Ha-ha-ha-ha!
Bukan aku yang mencurigai engkau apakah betul-betul utusan Sang Puteri, malah
engkau yang mencurigai apakah aku betul-betul Su-ciangkun. Ha-ha-ha, sungguh
lucu!”
Perwira
tinggi besar itu menepuk-nepuk meja dan tiba-tiba mejanya amblas ke dalam
lantai bersama kursi yang didudukinya dan sebelum ia lenyap ke bawah melalui
lantai rahasia, terdengar suaranya, “Tangkap dia dan rampas suratnya!”
Han Han
terkejut sekali dan ketika ia memandang, ternyata ia telah dikurung oleh
sembilan orang tinggi besar yang memegang golok dan bersikap mengancam.
Diam-diam ia merasa heran. Apakah perwira itu mengenalnya sebagai utusan palsu?
Kalau benar demikian, mengapa tidak sejak tadi ia ditangkap? Dan kalau memang
benar demikian, mengapa dia dipancing ke sini lebih dulu kemudian hanya
dikurung oleh sembilan orang ini? Mengapa tidak dikerahkan pasukan besar untuk
menangkap atau membunuhnya?
Ah, tak
mungkin kalau Su-ciangkun mengetahui bahwa dia adalah seorang utusan palsu.
Tentu perwira yang cerdik ini hendak mengujinya karena memang sudah terkenal
bahwa para pembantu Puteri Nirahai adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Teringat ia akan Setan Botak dan tokoh-tokoh aneh lain yang
hadir ketika ia hendak ditangkap oleh Toat-beng Ciu-sian-li dahulu. Ia lalu
tersenyum dan memandang ke sekeliling, kemudian berkata tenang.
“Apakah
kalian begini tak tahu diri hendak mengganggu utusan Puteri Nirahai? Apakah
kalian ini masing-masing memiliki nyawa rangkap?”
Sembilan
orang itu saling pandang, kemudian seorang di antara mereka yang agaknya
menjadi pemimpin menjawab, “Kami hanya melaksanakan perintah Su-ciangkun yang
bertanggung jawab dan kalau memang engkau benar-benar utusan Sang Puteri, tentu
tidak akan gentar menghadapi kami!”
Han Han
tertawa dengan hati lega karena yakinlah ia sekarang bahwa perwira tinggi besar
itu benar-benar hanya mengujinya. “Ha-ha-ha! Kalian kira begitu mudah akan
merampas surat yang dipercayakan kepadaku? Surat ini sama dengan nyawaku, kalau
kalian akan merampasnya, jangan harap sebelum dapat membunuhku!”
Tiba-tiba
pemimpin itu berseru dan serentak sembilan orang itu maju menyerang Han Han.
Pemuda ini maklum bahwa ia harus mengalahkan sembilan orang pengeroyoknya, akan
tetapi ia tidak boleh terlalu menonjolkan kepandaiannya agar jangan mengejutkan
hati perwira itu yang ia sangka tentulah mengintai dari tempat rahasia. Maka ia
pun lalu mengerakkan tongkatnya sambil mengerahkan tenaga, tidak mempergunakan
ilmunya gerak kilat. Ia memutar tongkat menghadapi golok mereka, berpusing pada
satu kakinya. Tongkatnya berubah menjadi segulung sinar yang bagaikan seekor
naga melingkar menangkis sembilan batang golok yang menyerangnya.
Terdengar
suara nyaring sekali, sembilan kali berturut-turut, disusul golok-golok itu
beterbangan cepat dan robohlah sembilan orang itu seorang demi seorang karena
sambungan lutut kanan mereka telah terlepas dicium ujung tongkatnya yang
bergerak amat cepat sehingga tak dapat diikuti pandang mata para
peiigeroyoknya! Sembilan orang itu saking heran dan kagetnya tidak sempat
berteriak dan hanya roboh memegangi lutut dan memandang Han Han dengan mata
terbelalak.
Pintu
terbuka dari luar dan muncullah Su-ciangkun sambil tertawa bergelak dan
mengangkat ibu jari kanannya tinggi. “Ha-ha-ha, bukan main! Para pembantu
pribadi Sang Puteri benar-benar hebat dan sicu merupakan seorang di antara yang
paling hebat! Merobohkan sembilan orang pengawalku dalam segebrakan saja!
Bagaimana mungkin dapat kupercaya kalau tidak menyaksikan dengan mata sendiri?
Hebat... hebat...!”
Menurut
keinginan hatinya, Han Han bernafsu sekali untuk bergerak membunuh musuh besarnya
ini. Akan tetapi dia tidak mau sembrono. Pertama, ia tidak mau kesalahan
tangan. Setelah banyak peristiwa hebat terjadi karena kesalahan sangka sehingga
akibatnya ia membunuhi orang-orang Hoa-san-pai dan Siauw-lim-pai, kini ia tidak
mau bertindak sembrono lagi. Kedua, tempat itu merupakan tempat yang amat
berbahaya. Kalau ia dikurung oleh ribuan orang tentara, sangatlah sukar untuk
menyelamatkan diri. Maka ia lalu menjura dan berkata sambil tersenyum.
“Ciangkun
terlalu memuji. Apakah kini ciangkun percaya bahwa saya adalah utusan pribadi
Puteri Nirahai?”
“Percaya...
percaya...! Hanya kepandaianmu yang membikin aku percaya, sicu. Kalau bukan
pribadi, tentu membawa tanda-tanda dari pasukannya. Akan tetapi aku sudah tahu
akan pembantu-pembantu pribadi Sang Puteri yang terdiri dari orang-orang aneh.
Hanya di antara mereka itu belum pernah aku mendengar akan seorang pembantu
yang... eh, maaf, yang kakinya buntung seperti sicu. Aku mengenal
Gak-locianpwe...”
“Maksudmu
Kang-thouw-kwi, ciangkun?”
“Benar, dan
masih ada lagi tiga orang murid beliau...” Perwira itu berhenti sambil
memandang muka Han Han. Pemuda ini tahu bahwa perwira itu lagi-lagi mengujinya,
maka tanpa ragu-ragu lagi ia berkata.
“Tentu
ciangkun maksudkan Hek-giam-ong, Pek-giam-ong, dan Hiat-ciang Sian-li Ma Su
Nio?”
“Aha,
kiranya sicu telah mengenal pula mereka. Tentu saja, sebagai pembantu
kepercayaan Sang Puteri, sicu tentu mengenal mereka semua. Kini aku tidak
ragu-ragu lagi, marilah kita bicara di dalam, sicu.”
Perwira itu
lalu menggandeng tangan Han Han dan diajaknya pemuda itu memasuki sebuah kamar
di dalam gedung itu. Han Han melihat bahwa di depan tiap pintu dan jendela
kamar ini pun dijaga oleh belasan orang pengawal, maka ia menjadi makin
berhati-hati lagi. Kamar itu besar dan megah, di dalamnya terdapat tiga orang
wanita muda yang pakaian suteranya membayangkan tubuh-tubuh mulus tanpa pakaian
dalam. Waduhhh.
Mereka itu
cantik-cantik, namun begitu memasuki kamar, Su-ciangkun lalu menyuruh mereka
pergi. Tiga orang wanita itu tadinya melempar pandang mata mesra kepada wajah
Han Han yang tampan, akan tetapi ketika melihat ke bawah, ke arah kaki Han Han
yang buntung, mereka membuang muka dan segera berjalan pergi dengan
langkah-langkah lemah gemulai seperti menari, tubuh mereka yang membayang dari
balik sutera tipis itu bergerak menggairahkan, lenyap memasuki kamar lain
melalui sebuah pintu yang tertutup tirai sutera merah.
“Silakan
duduk, sicu. Siapakah nama sicu?”
“Saya she
Suma, ciangkun.” Han Han sengaja menggunakan nama Suma, nama keturunannya yang
asli malah, karena ia khawatir kalau-kalau perwira ini telah mendengar nama Sie
Han.
Agaknya
perwira itu tergesa-gesa ingin membaca surat yang dibawanya, maka tidak
menanyakan namanya sehingga legalah hati Han Han yang tidak perlu membohong dan
mencari nama palsu lagi. Ia lalu mengeluarkan surat bersampul itu dari sakunya,
menyerahkan kepada perwira itu.
Perwira itu
menerima surat, mengamati tulisan dan capnya, kemudian membuka sampul dan
mengeluarkan suratnya. Setelah membaca surat itu, wajah perwira itu berseri dan
ia menepuk pahanya sendiri. “Bagus! Kiranya di sana tempat persembunyian kakek
jembel yang telah lama kucari-cari itu? Hemmm, benar-benar Sang Puteri amat
hebat dan cerdik, sudah dapat mengetahui tempat persembunyiannya. Sekarang ini
akan dapat kuhancurkan sisa-sisa Pek-lian Kai-pang yang sudah banyak membikin
pusing para petugas keamanan! Silakan Suma-sicu kembali ke kota raja dan
melaporkan bahwa kami akan melaksanakan perintah Sang Puteri sebaik-baiknya.
Dan sebaiknya sicu menunggang kuda, akan kuperintahkan menyediakan kuda terbaik
dan bekal secukupnya!”
Akan tetapi
Han Han mengangkat tangan kanannya dan berkata, “Tidak, ciangkun. Saya menerima
tugas dari Sang Puteri untuk menyaksikan sendiri sampai perintah itu dilakukan
dengan hasil baik, bahkan saya diperintahkan membantu. Setelah berhasil, baru
saya akan kembali ke kota raja dan menyampaikan laporan kepada Sang Puteri.”
“Begitukah?
Bagus sekali!” Perwira itu menjadi girang dan wajahnya berseri. “Dengan bantuan
sicu yang gagah perkasa, akan lebih cepat para pemberontak itu dihancurkan!”
Perwira itu lalu bertepuk tangan dua kali. Masuklah lima orang pelayan wanita
yang cantik-cantik. Dengan suara keras dan singkat Su-ciangkun memberi perintah
untuk mengeluarkan hidangan.
Han Han
merasa sungkan sekali, karena ketika perwira itu mengajaknya makan minum telah
memanggil tiga orang wanita cantik setengah telanjang tadi dan menyuruh mereka
melayani!
“Ha-ha-ha,
jangan sungkan-sungkan, Suma-sicu. Mereka ini adalah selir-selirku yang
bertugas mengawani dan melayaniku di sini. Jangan sungkan, kalau sicu
menginginkan seorang di antara mereka, tunjuk saja! Ha-ha-ha, aku akan merasa
bangga kalau ada selirku yang memenuhi selera seorang seperti sicu.”
“Terima
kasih, ciangkun. Ti... tidak... saya... saya amat lelah dan setelah makan akan
beristirahat. Perjalanan jauh yang saya lakukan amat melelahkan. Lagi pula, saya
rasa ciangkun pasti akan melakukan persiapan secepatnya untuk segera menyerbu
para pemberontak itu.”
“Ha-ha-ha-ha!
Suma-sicu benar mengagumkan, begini penuh semangat! Baiklah, kalau sicu ingin
beristirahat.” Ia memberi tanda dengan tangan kepada seorang di antara tiga
orang wanita itu. “Kau antarkan Suma-sicu ke kamar tamu sebelah kanan!”
Han Han
menjura kepada perwira itu, menyambar tongkatnya dan terpincang-pincang
mengikuti wanita yang berjalan dengan pinggul menari-nari. Wanita itu
membawanya ke sebuah kamar yang indah dan terlalu bersih bagi Han Han yang
semenjak meninggalkan Istana Pulau Es belum pernah memasuki kamar seindah ini.
“Saya akan
menemani taihiap semalam di sini...” Wanita itu tersenyum dan membanting
tubuhnya ke atas tempat tidur. Karena ia menjatuhkan diri terlentang, sutera
penutup tubuhnya yang memang tidak rapat itu tersingkap dan tampaklah oleh Han
Han kulit paha dan perut yang putih kuning. Matanya menjadi ‘silau’ dan ia
memejamkan kedua matanya.
“Hi-hi-hik-hik...
marilah taihiap... apakah seorang gagah perkasa seperti taihiap takut kepadaku?
Hi-hik...!”
Han Han
merasa betapa kedua lengan wanita yang telah bangkit itu seperti dua ekor ular
merayap melingkari lehernya, tubuh wanita itu menggeser-geser tubuhnya dan bau
harum memasuki hidungnya. Han Han mengeraskan hati dan sekali renggut dan
mendorong, tubuh wanita itu terhuyung ke belakang dan wanita itu menjerit
kecil.
“Maaf...!”
Han Han membuka matanya. “Aku... aku mau tidur sendiri.”
Wanita itu
tertawa. “Hi-hik, taihiap masih... masih jejaka tulen?”
Han Han
memandang tajam dan berkata agak ketus, “Pergilah, aku mau mengaso!”
Ketika
bertemu pandang dengan sinar mata pemuda itu, si wanita kaget dan seperti
seekor anjing dipukul dia tergesa-gesa pergi dari kamar itu melalui pintu, lupa
untuk menggoyang kibulnya seperti biasa!
Hari itu
juga Su-ciangkun segera mengadakan persiapan, memanggil semua perwira
pembantunya dan mengatur rencana untuk mengirim seribu orang pasukan menyerbu
tempat persembunyian Pek-lian Kai-pang di lembah Huang-ho. Han Han yang diberi
kebebasan pura-pura ikut pula melakukan pemeriksaan, bahkan ia lalu membantu
untuk melakukan penjagaan dengan dalih khawatir ada mata-mata musuh yang
menyelundup dan mengetahui persiapan mereka.
Su-ciangkun
yang sudah mempercayainya tidak menjadi curiga dan Han Han lalu keluar dari
benteng untuk ‘melakukan pemeriksaan’ di luar daerah benteng. Padahal ia hendak
mengenal tempat itu sehingga kalau sewaktu-waktu ia turun tangan membunuh musuhnya,
ia akan mengenal jalan untuk menyelamatkan diri. Ia mengambil keputusan untuk
membiarkan Su-ciangkun mengirim pasukannya untuk dibasmi oleh Lauw-pangcu yang
memasang jebakan, kemudian dengan alasan ikut pula menyerbu, ia akan mempunyai
banyak kesempatan ‘membereskan’ musuh besarnya itu.
Hari telah
menjadi malam ketika Han Han berjalan-jalan di luar benteng tanpa dicurigai
para penjaga yang kini menganggapnya sebagai seorang utusan kota raja yang
menjadi tamu Su-ciangkun, dan bahkan pemuda yang kabarnya amat lihai itu akan
membantu pula penyerbuan sarang pemberontak.
Tiba-tiba
Han Han melihat berkelebatnya bayangan orang di antara pohon-pohon di luar
benteng. Pandang matanya yang tajam dapat melihat bahwa bayangan itu adalah
orang yang tidak ingin dilihat penjaga. Cepat ia menengok ke kanan kiri dan
setelah merasa yakin tidak ada penjaga yang melihatnya, ia menggunakan
kepandaiannya mencelat ke tempat itu, menyelinap di antara gerombolan pohon,
mencelat ke atas dan tampaklah olehnya bayangan hitam berindap-indap di antara
batang-batang pohon. Bagaikan seekor burung garuda menyambar, tubuhnya menukik
ke bawah, ke arah bayangan itu.
Sebatang
pedang yang berkilauan sinarnya menyambut tubuhnya. Han Han cepat mengelak dan
menangkap pergelangan tangan yang memegang pedang sambil berbisik, “Sssttttt,
aku Han Han, Nona Lu...!”
Lu Soan Li,
bayangan itu, kaget bukan main. Kaget karena hampir saja pedangnya melukai atau
membunuh orang yang hendak dilindunginya! Juga ia amat kagum, bahkan tidak
mengerti bagaimana pergelangan tangannya sampai dapat ditangkap oleh orang yang
diserangnya itu. Kagum betapa setelah kakinya buntung, agaknya Han Han kini
malah memiliki kelihaian yang amat luar biasa!
“Han-twako...
kau... ahhh, betapa gelisah hatiku. Setengah hari lamanya aku berkeliaran di
sini, tidak tahu harus berbuat bagaimana untuk mendengarkan hasil kunjunganmu
ke sarang harimau itu!” kata Soan Li sambil menyimpan pedangnya, setelah
menarik napas lega melihat bahwa orang yang dijadikan kenangan ternyata
selamat.
“Nona,
mengapa engkau bisa berada di sini? Mengapa pula engkau... ehh, agaknya
menyusulku...?”
“Aku...
mengkhawatirkan keadaanmu, twako. Dan aku ingin... ingin membantumu...”
Han Han
memandang muka yang ditundukkan itu. Cuaca sudah gelap, akan tetapi ia masih
dapat melihat muka tunduk itu di bawah sinar bintang-bintang yang memenuhi
langit biru. Heran dia mengapa nona ini susah payah hendak melindunginya? Ingin
ia menegur, akan tetapi melihat gadis itu menundukkan muka dan bersikap seperti
seorang anak kecil takut dimarahi, ia tidak tega untuk menegur, hanya berkata.
“Ah, kenapa
Sin Kiat membiarkan engkau menempuh bahaya ini? Kedatanganmu ini amat
berbahaya, Nona.”
“Apakah
kunjunganmu ke benteng itu tidak kurang berbahaya?”
Han Han
menghela napas. “Nona, aku telah berhasil bertemu dengan Su-ciangkun. Besok
pagi-pagi pasukan terdiri dari seribu orang akan diberangkatkan ke sana untuk
menyerbu. Lebih baik malam ini juga Nona kembali ke sana memberi kabar kepada
Lauw-pangcu. Aku akan pura-pura ikut menyerbu. Kembalilah...”
“Akan
tetapi... apakah... apakah hatimu sangat yakin bahwa engkau tidak... tidak akan
terancam bahaya di sana...?” Bertanya demikian, saking khawatirnya, Soan Li
sampai lupa diri dan kedua tangannya memegang lengan Han Han.
Han Han
merasa betapa dari jari-jari tangan itu tersalur getaran-getaran aneh.
Jantungnya berdebar. Apa pula ini? Mengapa gadis ini begini mengkhawatirkan
keselamatannya sehingga melupakan keselamatan diri sendiri? Apakah yang terjadi
dalam hati nona ini? Seperti mimpi, tanpa ia sadari mulutnya mengeluarkan
bisikan hatinya yang penuh dugaan dan pertanyaan.
“Lu-siocia,
mengapa tanganmu gemetar...?”
Soan Li yang
mendengar ini seperti didongkel isi hatinya, jari-jari tangannya malah
mencengkeram lengan Han Han dan suaranya terdengar penuh perasaan dan gemetar!
“Twako...
Han-twako, aku... amat khawatir kalau-kalau engkau akan celaka...”
Han Han
tertawa. Teringat ia akan adiknya, Lulu. Dalam keadaan gelap ia merasa
seolah-olah gadis ini adalah Lulu. Bentuk tubuhnya hampir sama, dan harum
rambutnya sama dengan harum rambut Lulu, suaranya juga hampir sama menggetarkan
kekhawatiran dengan perhatian sepenuhnya atas keselamatan dirinya. Karena
teringat kepada Lulu, Han Han merasa terharu sekali dan mengangkat kedua
tangan, ditaruhnya kedua tangan ke atas pundak Soan Li dan berkata dengan suara
halus.
“Adikku yang
baik, jangan engkau mengkhawatirkan aku...!”
Han Han
terkejut sekali karena tiba-tiba gadis itu terisak dan ia merasa betapa muka
itu menimpa dadanya, dan bajunya menjadi basah oleh air mata yang menembus ke
kulit dadanya! Sejenak ia tertegun, terharu dan tangannya mengusap rambut yang
halus itu. Kemudian ia teringat bahwa bukan Lulu yang dielus rambutnya,
melainkan Lu Soan Li, Hoa-san Kiam-li! Ia menurunkan tangannya dan bertanya.
“Nona Lu...
mengapa kau...?”
Soan Li
menahan napas, menahan tangis, kemudian merenggangkan tubuhnya. “Twako...
aku... aku... akan merasa sengsara sekali kalau kau sampai celaka...
hati-hatilah, twako...!” Tubuhnya lalu berkelebat dalam gelap dan ia lenyap
dari depan Han Han ditelan kegelapan malam.
Sampai lama
Han Han berdiri termenung di tempat itu, mengerutkan keningnya dan tiada
habisnya mengherankan sikap gadis itu. Ia benar-benar tidak mengerti dan tidak
dapat menduga apa yang menyebabkan Soan Li berhal seperti itu, menangis di
dadanya dan mengucapkan kata-kata seperti itu. Ia menggaruk-garuk rambut
kepalanya. Mimpikah dia? Dirabanya bajunya. Masih basah oleh air mata gadis
itu. Soan Li telah menangis karena mengkhawatirkan keselamatannya! Betapa
mungkin ini?
Terbayanglah
ia akan wajah Sin Lian. Tak salah lagi, Sin Lian mencintanya, Seperti Kim Cu.
Ahhh, Kim Cu, Sin Lian, dan Soan Li! Tiga wajah gadis jelita itu berganti-ganti
terbayang di depan matanya, membuat Han Han menjadi bingung dan pandang matanya
kabur, kepalanya pening. Ia cepat-cepat membalikkan tubuhnya kembali ke
benteng. Lebih baik menghilangkan kebingungan ini dengan tidur nyenyak, untuk
menghadapi peristiwa besok pagi. Besok ia akan membunuh Su-ciangkun, akan
tetapi ia harus mendapat kepastian lebih dulu bahwa perwira tinggi besar itu
benar-benar seorang di antara tujuh orang perwira yang menjadi musuh besarnya.
Soan Li
berlari di malam gelap sambil masih terisak-isak. Hatinya penuh dengan dua
macam perasaan, bahagia dan juga berduka. Han Han mencintanya! Terasa oleh
hatinya, ketika tangan pemuda itu terletak di atas kedua pundaknya, ketika
jari-jari tangan itu mengelus rambutnya. Dan dia, walau tanpa kata-kata telah
memperlihatkan rasa cintanya terhadap pemuda itu.
Matanya
terasa panas ketika ia teringat akan hal ini. Ia merasa malu sekali. Ah, malu
apa? Biarlah! Memang demikian kenyataan hatinya. Dia mencinta Han Han! Biar pun
takkan mungkin dia menyambung cinta kasihnya dengan perjodohan, biar pun dia
akan menjadi isteri orang lain, hanya tubuhnya saja yang terpaksa ia serahkan
kepada suami pilihan gurunya. Akan tetapi hati dan kasih sayangnya telah ia
serahkan kepada Han Han!
Soan Li
menjatuhkan diri di bawah pohon. Duduk bersandar pohon mengenangkan semua
peristiwa tadi. Peristiwa yang takkan ia lupakan selama hidupnya. Biarlah,
selagi masih jelas terukir di lubuk hatinya, selagi sentuhan tangan Han Han
pada pundak dan rambutnya masih terasa hangat, selagi air matanya yang tadi
membasahi dada pemuda itu kini masih ada sisanya, biarlah ia mengenangkan
saat-saat bahagia itu. Gadis itu tersenyum penuh kebahagiaan, akan tetapi air
matanya terus mengalir.
Tak lama kemudian
ia meloncat bangun dan melanjutkan perjalanannya. Ia teringat akan tugasnya.
Dia harus segera melapor kepada Lauw-pangcu agar dapat melakukan persiapan
sebaiknya. Musuh akan menyerbu, berangkat besok pagi. Seribu orang banyaknya!
Karena malam gelap dan perjalanan itu melalui hutan-hutan di sepanjang tepi
Sungai Huang-ho, Soan Li tidak dapat mempergunakan lari cepatnya. Ia berjalan
dengan cepat menyusuri sungai. Baru nanti menjelang pagi ia akan tiba di sarang
Pek-lian Kai-pang. Namun belum terlambat. Pasukan musuh baru akan berangkat
besok pagi, tentu akan menyerbu besok sore.
Lewat tengah
malam, selagi gadis ini berjalan dekat sungai, tiba-tiba ia melihat dua buah
perahu mendarat. Ia menjadi curiga, apa lagi ketika melihat betapa orang-orang
yang berloncatan ke luar dari dua buah perahu itu amat gesit dan ringan
tubuhnya. Cepat ia menyelinap di antara pohon dan mendekati mereka. Dapat
dibayangkan betapa kagetnya ketika ia melihat orang terakhir yang keluar dari
perahu adalah Ma-bin Lo-mo! Ouw Kian si Muka Bopeng juga berada di situ,
bersama seorang yang mukanya seperti tengkorak dan seorang hwesio bertubuh
gemuk.
Dia
menduga-duga. Apakah Ma-bin Lo-mo dan pembantu-pembantunya itu akan menyerbu
pula ke benteng? Biar pun Ma-bin Lo-mo terkenal seorang pejuang pula, akan
tetapi teringat akan sikapnya ketika menghadiri perayaan ulang tahun
Lauw-pangcu, Soan Li menganggapnya sebagai musuh dan ia merasa lega bahwa kakek
lihai itu muncul terakhir sehingga kehadirannya di situ tidak diketahui orang.
Kalau Ma-bin Lo-mo yang meloncat ke darat lebih dulu, besar bahayanya
kedatangannya mendekat akan diketahui oleh tokoh In-kok-san itu. Dari perahu ke
dua muncul belasan orang berpakaian... pengawal Mancu! Soan Li memandang dengan
jantung berdebar. Apa artinya ini? Ma-bin Lo-mo datang bersama belasan pengawal
Mancu? Sungguh aneh dan mencurigakan.
“Siangkoan-locianpwe,
ada keperluan apakah locianpwe memanggil saya dan Kek Bu Hwesio di tengah malam
begini dan ke mana kita hendak pergi?” Si Muka Tengkorak bertanya kepada Ma-bin
Lo-mo.
“Dan mereka
itu... kenapa berada di sini bersama locianpwe?” tanya pula hwesio gemuk.
“Hemmm...
kalian belum mengerti. Telah terjadi perubahan hebat sekali di kalangan para
pejuang. Mereka itu telah menyeleweng dan malah membantu si pengkhianat Bu Sam
Kwi! Aku melihat perubahan besar. Kekuasaan Mancu seperti munculnya matahari
yang tak terkalahkan, dan sebaliknya pertahanan Bu Sam Kwi memperpanjang perang
dan menyusahkan banyak rakyat. Sudah tiba waktunya kita berganti haluan dan
berlaku cerdik. Aku menerima tawaran Kang-thouw-kwi dan Toat-beng Ciu-sian-li
untuk membantu pemerintah menghancurkan Se-cuan.”
“Omitohud...!”
Hwesio itu berkata lirih.
“Apa!? Siapa
tidak setuju dan siapa tidak suka membantuku?”
“Ohhh,
tidak... tidak... pinceng setuju dan suka membantu.”
“Saya pun
akan membantu dan selalu siap mengikuti jejak locianpwe,” kata Si Muka
Tengkorak.
“Nah,
dengarlah baik-baik. Pasukan ini membawa pesan dari Su-ciangkun, yaitu komandan
yang bertugas di daerah ini untuk memanggil aku karena di markas itu muncul
seorang mata-mata musuh.”
“Siapa...?”
tanya Si Hwesio Gemuk.
“Bocah
buntung terkutuk itu. Han Han!”
“Eh,
bukankah dia dahulu yang kita bakar di kapal...?” Si Muka Tengkorak bertanya.
“Tidak ada
waktu untuk bercerita panjang. Bocah itu telah mehyelundup ke dalam benteng dan
mengingat bahwa dia kini lihai bukan main, kita harus menyergapnya, dan menurut
perintah Su-ciangkun, harus dapat kita tangkap hidup-hidup untuk memaksa pihak
pemberontak agar suka menakluk. Hayo kita berangkat!”
Dapat
dibayangkan betapa kaget hati Soan Li yang mendengarkan semua ini. Tanpa
berpikir panjang lagi gadis itu lalu melesat pergi untuk cepat-cepat kembali ke
benteng. Dia harus memberi tahu Han Han. Dengan cara apa pun juga. Ternyata,
entah bagaimana caranya, rahasia Han Han telah diketahui musuh! Betapa lihainya
musuh!
“Heiii...
siapa itu? Kejar!”
Ma-bin Lo-mo
yang berpendengaran tajam dan bermata jauh lebih awas dari pada yang lain sudah
melihat berkelebatnya bayangan Soan Li dan langkah kaki gadis itu. Dia cepat
mengejar, diikuti oleh tiga orang pembantunya dan para pengawal pasukan yang
sudah mendaratkan kuda mereka. Empat ekor kuda disediakan untuk Ma-bin Lo-mo
dan para pembantunya. Terdengarlah derap kaki belasan ekor kuda yang melakukan
pengejaran.
Soan Li juga
mendengar derap kaki kuda yang makin lama makin jelas. Dia mengerahkan seluruh
tenaganya dan berlari secepat mungkin. Dia harus mendahului mereka tiba di
benteng! Dia akan mengamuk sehingga Han Han yang mendengar amukannya akan
keluar dan akan mendengar peringatannya.
Han Han
harus diselamatkan. Kalau ia terlambat, celakalah pemuda itu! Betapa pun
lihainya Han Han, tidak mungkin dapat melawan Ma-bin Lo-mo, apa lagi masih ada
empat orang pembantunya dan para pengawal, ditambah ribuan orang tentara di
dalam benteng. Dia harus berlari cepat. Nyawa pemuda yang dicintanya itu
tergantung pada kekuatan kedua kakinya berlari!
Di dalam
tubuh setiap orang manusia memang terdapat kekuatan yang maha dahsyat, yang
gaib dan sukar diukur oleh akal manusia. Kekuatan maha dahsyat ini
kadang-kadang timbul di luar kesadaran, agaknya selalu bersembunyi di bawah
sadar. Timbul apa bila si manusia berada dalam keadaan tak sadar oleh perasaan
yang menghimpitnya.
Orang yang
berduka hebat kadang-kadang dapat bertahan untuk berpuasa sampai berbulan-bulan
yang takkan mungkin dapat tertahan tubuh seorang manusia dalam keadaan biasa.
Seorang yang sedang ketakutan hebat kadang-kadang dapat melakukan hal-hal yang
ajaib seperti mengangkat benda yang beberapa kali lipat lebih dari pada daya
kekuatan tubuhnya, dapat melompat jauh lebih tinggi dari pada kemampuannya
dalam keadaan biasa.
Demikian
pula dengan Soan Li. Gadis ini sebagai murid Im-yang Seng-cu memang telah
memiliki ilmu kepandaian tinggi, memiliki sinkang kuat dan ginkang yang hebat
sehingga memungkinkan dia berlari cepat sekali. Akan tetapi, dalam keadaan
penuh kekhawatiran, ketegangan seperti saat itu, kekuatan maha dahsyat yang
mukjizat itu timbul di luar kesadarannya sehingga membuat kecepatan larinya
menjadi berlipat ganda apa bila dibandingkan dengan kemampuannya yang biasa.
Bahkan kejaran kuda yang dibalapkan itu masih tidak mampu menyusulnya!
Setelah
malam terganti pagi, sinar matahari mulai muncul mendahului mataharinya
sendiri, Soan Li telah lari mendekati benteng. Peluhnya membasahi seluruh
pakaiannya, napasnya terengah-engah dan kini Ma-bin Lo-mo bersama tiga orang
pembantunya yang sudah meninggalkan kuda, sudah amat dekat di belakangnya.
“Berhenti...!”
Ma-bin Lo-mo berteriak. “Bukankah engkau gadis yang kemarin dulu berada di
rumah Lauw-pangcu?”
Soan Li
maklum bahwa kalau ia sampai tersusul, ia akan celaka. Akan tetapi hal ini sama
sekali tidak menggelisahkan hatinya. Yang amat menggelisahkan hatinya adalah
bahwa kalau dia terpegang oleh Ma-bin Lo-mo, berarti Han Han akan celaka! Maka
ia lalu mengerahkan tenaganya dan melompat jauh ke depan. Biar pun Ma-bin Lo-mo
suaranya terdengar dekat, namun sebenarnya masih agak jauh.
“Berhenti,
kalau tidak pinceng terpaksa merobohkanmu!” terdengar pula bentakan dari
belakang. Akan tetapi Soan Li berlari terus, tidak mempedulikan
teriakan-teriakan di belakangnya.
Pada saat
itu pintu benteng terbuka dan muncullah sepasukan tentara Mancu didahului oleh
dua ekor kuda yang ditunggangi oleh Su-ciangkun sendiri dan Han Han, di samping
tentara yang memegang bendera kebesaran Su-ciangkun.
“Han
Han...!” Jerit suara Soan Li melengking amat nyaringnya. Akan tetapi terdengar
bentakan dari belakangnya.
“Robohlah,
bocah keras kepala!”
Serangkum
tenaga yang amat dahsyat menyambar dari belakang. Soan Li yang memiliki ilmu
kepandaian cukup tinggi maklum bahwa Ma-bin Lo-mo menyerangnya dengan pukulan
sinkang, pukulan jarak jauh yang amat kuat. Cepat ia mengelak dengan meloncat
ke samping, akan tetapi tetap saja hawa pukulan Swat-im Sin-ciang
menyerempetnya dan ia terhuyung-huyung, merasa betapa tiba-tiba seluruh
tubuhnya menjadi dingin sekali. Pada saat tubuhnya terhuyung itu, terdengar
teriakan Han Han.
“Soan
Li...!”
“Han Han...
awas... tertipu...!”
“Syut-syut-syut-ser-ser-ser...!”
Ketika
tangan Kek Bu Hwesio, yaitu hwesio gemuk yang menjadi pembantu Ma-bin Lo-mo
bergerak, belasan batang panah tangan telah beterbangan menyambar ke arah tubuh
Soan Li dari belakang. Memang hwesio yang menjadi pelarian Kong-thong-pai ini
memiliki keahlian mempergunakan panah tangan.
Soan Li
sedang terhuyung dan perhatiannya tertarik kepada Han Han, maka biar pun ia
berusaha melempar tubuh mengelak, tetap saja ada enam batang anak panah
mengenai tubuhnya, menancap di pundak, punggung dan lengan.
“Aduhhhhh...!
Han Han... Han-twako... awas...!”
“Soan
Li...!” Han Han sudah sejak tadi mencelat dari atas kudanya dan dengan
kecepatan luar biasa sekali tubuhnya berloncatan ke depan sehingga dalam
beberapa detik saja ia sudah tiba di tempat itu. Namun terlambat. Dengan mata
terbelalak pemuda ini melihat betapa tubuh Soan Li penuh dengan anak panah dan
dara ini merangkak ke arahnya dengan tangan terulur ke depan dan bibir mengeluarkan
kata-kata.
“Han Han...
mereka akan membunuhmu... kau terjebak...!”
Akan tetapi
Han Han tidak mendengarkan lagi ucapan gadis itu. Tongkatnya sudah bergerak
seperti kilat menyambar ke arah Ma-bin Lo-mo dan hwesio yang hanya gundul
kepalanya akan tetapi di tengkuknya tumbuh rambut, jenggotnya seperti jenggot
kambing dan kumisnya melingkar itu. Kek Bu Hwesio meloncat ke belakang, lalu
melepas anak panah ke arah Han Han, sedangkan Ma-bin Lo-mo cepat mengelak.
Akan tetapi
dengan gerakan tongkatnya Han Han berhasil meruntuhkan semua anak panah dan
melihat betapa tubuh Soan Li penuh anak panah, kemarahannya meluap ke arah
hwesio itu dan tubuhnya secara tiba-tiba sudah mencelat ke depan Kek Bu Hwesio.
Ma-bin Lo-mo mendengus dan menerjang dengan pukulan Swat-im Sin-ciang. Akan
tetapi dengan tangan kirinya Han Han menangkis.
“Deessss!!”
Tubuh Ma-bin
Lo-mo mencelat sampai hampir sepuluh meter. Kakek ini berjungkir-balik dan
matanya terbelalak saking heran dan gentarnya. Han Han sudah menggerakkan
tangannya dan ketika itu ada serangan dari belakang, yaitu serangan pedang yang
dilakukan oleh Ouw Kian dan serangan pecut besi di tangan si Muka Tengkorak Swi
Coan, dua orang pembantu Ma-bin Lo-mo.
“Haiiiiittttt...!”
Han Han
menggerakkan tongkatnya ke belakang, cepat sekali sampai tak dapat diikuti
pandangan mata.
“Prakkkk!
Prakkkk!” tanpa dapat mengeluh lagi Ouw Kian dan Swi Coan roboh dengan kepala
pecah!
Kek Bu
Hwesio sudah dapat melompat mundur dan enam orang pengawal yang berkuda sudah
datang menerjang. Han Han mengamuk. Tongkatnya bergerak sedemikian rupa
sehingga enam orang pengawal itu mencelat dengan tubuh remuk, tiga ekor kuda
roboh akan tetapi tongkat Han Han tertinggal di perut kuda terakhir! Dia
terpaksa melepaskan tongkatnya karena pada saat itu belasan batang anak panah
yang dilepas Kek Bu Hwesio datang menyambar.
Dengan kedua
tangan kosong Han Han menangkap belasan batang anak panah lalu kedua tangannya
bergerak. Terdengar teriakan-teriakan ketika belasan orang pengawal roboh dan
beberapa ekor kuda roboh pula terkena anak panah yang dilontarkan Han Han. Kini
sekali kakinya mengenjot tanah, tubuhnya sudah menyambar ke depan, tahu-tahu
jubah depan Kek Bu Hwesio sudah ia cengkeram dengan tangan kiri.
“Han Han...
Twako... awas... larilah...!”
Han Han
menoleh dan melihat betapa Soan Li merangkak-rangkak ke arahnya, dan kini
menyentuh lututnya, tak tertahankan lagi air matanya bercucuran. Gadis itu
dalam keadaan hampir mati masih saja memikirkan keselamatannya! Dengan
kemarahan meluap, ketika pada saat itu ada seekor kuda yang ditunggangi seorang
pengawal meloncat hendak menubruk, Han Han menggunakan tangan kanan menampar ke
arah perut kuda.
“Bukkk!”
Kuda meringkik, terlempar ke udara bersama penunggangnya dan terbanting roboh
menindih penunggangnya yang mati seketika karena tulang punggungnya patah.
“Jahanam
engkau... penjahat berpakaian pendeta...!” Mulut Han Han mendesis, kedua
matanya bercucuran air mata dan ia membanting tubuh hwesio itu ke atas tanah.
“Prokkk!”
Hwesio itu tewas dengan kepalanya hancur tidak merupakan kepala lagi.
“Han-twako...!”
Soan Li mengeluh. “Larilah...!”
“Soan Li...
ahhh, Soan Li...!” Han Han menyambar tubuh gadis itu, dipanggulnya dan tubuhnya
tiba-tiba mencelat ke atas. Ketika turun, kakinya menendang roboh dua orang
pengawal.
“Tangkap...
kepung...!” Terdengar suara Ma-bin Lo-mo yang juga mengejar sungguh pun ia
terbelalak menyaksikan sepak terjang pemuda itu. Betapa mungkin pemuda buntung
itu menjadi sedemikian lihainya setelah kakinya buntung?
Han Han
menangkap seorang pengawal dengan sebelah tangan dan melontarkannya ke arah
Ma-bin Lo-mo yang mengejarnya. Terpaksa kakek ini mengelak, akan tetapi Han Han
sudah merobohkan lagi empat orang pengawal yang berani membayanginya dan
melihat keganasan sepak terjang pemuda buntung itu, para prajurit menjadi
gentar. Han Han terus melompat dan mengerahkan ilmu yang ia pelajari dari Khu
Siauw Bwee sehingga tubuhnya yang memanggul tubuh Soan Li itu sebentar saja
mencelat berulang-ulang, makin jauh dan akhirnya lenyap dari situ!
“Kejar...! Tangkap...!”
Entah mulut
siapa yang berteriak-teriak ini, terlalu banyak. Dan mereka memang mengejar,
akan tetapi karena hati telah menjadi gentar, tidak ada yang mendahului kawan
dan pengejaran itu sia-sia belaka.
Dengan air
mata bercucuran Han Han merebahkan tubuh Soan Li ke atas rumput setelah
mencabuti anak panah yang menancap di bagian belakang tubuh gadis itu. Akan
tetapi Soan Li rebah tak bergerak, mukanya pucat, seluruh pakaiannya berlumuran
darah, kedua matanya meram.
“Soan Li...!
Soan Li... ahhh, Soan Li!” Han Han menangis dan mengguncang tubuh itu,
seolah-olah hendak memanggil kembali nyawa yang sudah hampir meninggalkan raga
itu.
Soan Li
membuka kedua matanya, memandang Han Han dan... tersenyum! Senyum ini merupakan
tangan maut sendiri yang merenggut jantung Han Han.
“Soan Li...!
Mengapa engkau mengorbankan diri untukku...?”
“Han...
Twako... syukur engkau selamat... hatiku puas...”
“Soan Li!
Soan Li... kenapa engkau begini...? Apa kau kira aku akan bahagia melihat
engkau mati karena hendak menyelamatkan aku? Soan Li... kau tidak boleh mati
hanya untuk aku...!” Han Han seperti orang gila, mengguncang-guncang tubuh
gadis itu yang sudah memejamkan mata kembali.
Soan Li
membuka mata untuk kedua kalinya. Pandang mata gadis itu persis pandang mata
Kim Cu, persis pandang mata Sin Lian. Begitu mesra! Han Han menangis,
mengguguk. Tak mampu ia bicara lagi.
“Han-twako...
aku bahagia... aku... aku cinta padamu, Han-twako...”
“Soan
Li...!”
Mulut gadis
itu megap-megap seperti ikan dilempar ke darat. Han Han menjerit, lalu menutup
mulut gadis itu dengan mulutnya sendiri, seolah-olah ia ingin menyambung nyawa
gadis itu, ingin menambah napas gadis itu dengan napasnya.
“Han-twako...,”
gadis itu mengeluh dan Han Han seperti merasa betapa napas terakhir terhembus
dari mulut itu memenuhi dadanya sendiri dan ia tergelimpang, pingsan sambil
memeluk Soan Li!
Tentu saja
Han Han sama sekali tidak tahu bahwa siasat yang diaturnya bersama Lauw-pangcu
itu sebetulnya telah diketahui semua oleh pihak Mancu! Dua orang utusan yang
dibunuhnya dan dirampas suratnya adalah utusan dari Puteri Nirahai. Puteri ini
memiliki kecerdikan yang luar biasa, maka tentu saja ketika mengirim utusan kepada
Su-ciangkun untuk membawa perintah sepenting itu, Puteri Nirahai tidak mau
bertindak sembrono. Setengah hari setelah dua orang utusan pertama itu
berangkat, dia mengirim utusan kedua yang bertugas menyelidiki apakah perintah
yang dibawa utusan pertama itu telah tiba di markas Su-ciangkun dengan selamat.
Tentu saja
utusan ke dua ini menemukan mayat dua orang kawannya di tengah jalan, maka
cepat ia melanjutkan perjalanan ke markas Su-ciangkun. Ketika ia menyampaikan
laporan tentang terbunuhnya utusan dari kota raja dan lenyapnya surat perintah,
saat itu Han Han sedang mengunjungi Lauw-pangcu.
Demikianlah,
ketika Han Han muncul di markas itu mengaku sebagai utusan Puteri Nirahai,
tentu saja Su-ciangkun sudah tahu bahwa pemuda buntung itu sebetulnya adalah
mata-mata pemberontak yang membunuh utusan kota raja dan merampas surat
perintah. Ketika Han Han menyerahkan surat perintah itu kepadanya dan ia
membaca isinya yang tulen, Su-ciangkun sebagai seorang perwira perang mengerti
bahwa pihak pemberontak menggunakan surat perintah itu untuk mengatur jebakan.
Dia lalu
sengaja mencoba ilmu kepandaian Han Han, terkejut menyaksikan kelihaian pemuda
buntung itu, maka ia menerimanya dengan baik akan tetapi diam-diam ia mengirim
utusan untuk memanggil Ma-bin Lo-mo agar dengan bantuan orang sakti itu, pemuda
buntung yang lihai ini dapat ditangkap dalam keadaan hidup. Dia ingin
menggunakan pemuda buntung itu untuk memaksa para pemberontak agar suka
menyerah tanpa perang.
Dan mengapa
Ma-bin Lo-mo yang terkenal sebagai seorang pejuang itu tiba-tiba bersekutu
dengan perwira Mancu? Mengapa pula dia mau diundang oleh pasukan utusan
Su-ciangkun dan datang menunggang perahu, bahkan mengajak pula tiga orang
pembantunya untuk membantu pasukan Mancu?
Hal ini
sebetulnya sudah terjadi jauh sebelum Ma-bin Lo-mo mendatangi tempat tinggal
Lauw-pangcu. Jauh sebelum itu, Ma-bin Lo-mo telah bertukar haluan, diam-diam ia
telah membalik dan membantu Kerajaan Mancu. Hal ini tadinya ia lakukan secara
terpaksa sekali karena tekanan yang dilakukan Kang-thouw-kwi Gak Liat sesuai
dengan rencana yang diatur oleh Puteri Nirahai. Gak Liat telah menemui Ma-bin
Lo-mo dan membujuk Iblis Muka Kuda ini untuk bekerja sama membantu Kerajaan
Ceng dan menghancurkan pertahanan Bu Sam Kwi di Se-cuan. Tentu saja Ma-bin
Lo-mo Siangkoan Lee yang dahulu pernah menjadi seorang menteri di Kerajaan Beng
menolak dan memaki-maki Gak Liat.
“Setan Botak
tak tahu malu!” Demikian jawabnya. “Engkau telah melupakan bangsa dan mengekor
kepada bangsa Mancu, itu adalah urusanmu sendiri. Mengapa engkau membujuk-bujuk
aku? Kalau aku tidak sudi, engkau mau apa? Hemmm... Hwi-yang Sin-ciang darimu
itu sama sekali tidak membuat aku takut!”
“Ha-ha-ha-ha!
Si Kuda Iblis, sombong sekali bicaramu!” Kang-thouw-kwi Gak Liat memaki dan
tertawa mengejek. “Siapakah tidak tahu bahwa Siangkoan Lee dahulu adalah
seorang menteri Kerajaan Beng? Akan tetapi siapa pula tidak tahu bahwa Menteri
Siangkoan Lee menjadi rusak namanya karena selain tukang merampas anak bini
orang, tukang merampas harta dan tanah ladang, juga tukang korupsi
besar-besaran?”
“Setan Botak
mau mampus! Mulutmu sama busuknya dengan hatimu! Mari kita tentukan siapa yang
lebih unggul di antara kita!”
Melihat
Ma-bin Lo-mo sudah dapat dibikin panas hatinya dan hendak menyerang, Gak Liat
cepat berkata, “Tahan dulu! Sama sekali aku tidak takut kepadamu, kuda iblis!
Akan tetapi sayang kalau kau mampus sekarang, tenagamu masih amat dibutuhkan
pemerintah. Sekarang kau boleh pilih, membantu pemerintah Ceng ataukah engkau
mati dikeroyok murid-muridmu sendiri?”
“Hahhh? Apa
maksudmu, Setan Botak keparat?”
Gak Liat
tertawa. “Ma-bin Lo-mo, marilah kita bicara sebagai orang-orang tua yang sudah
matang pikirannya. Aku tahu, juga pemerintah, bahwa engkau berjuang untuk
dirimu sendiri. Engkau bercita-cita mengalahkan Pemerintah Ceng agar engkau
dapat membangun kembali Kerajaan Beng yang sudah runtuh dan engkau akan menjadi
kaisarnya! Hemmm, boleh saja bercita-cita mengejar kemuliaan, akan tetapi
jangan terlampau tinggi. Engkau mimpi di siang hari. Lebih baik engkau mengabdi
kepada Kerajaan Ceng dan engkau tentu akan menikmati kemuliaan dan kedudukan
yang cukup tinggi, sesuai dengan kepandaianmu. Pemerintah Ceng pandai
menghargai orang. Kalau engkau menolak, murid-muridmu yang menjadi pasukan
In-kok-san akan tahu siapa sebetulnya yang membasmi keluarga mereka!”
Wajah Ma-bin
Lo-mo berubah. Ia pura-pura tidak mengerti dan memaki lagi, “Gak Liat, apa
artinya ucapanmu itu?”
“Wah, engkau
masih pura-pura lagi, Siangkoan Lee? Engkau bermaksud membentuk pasukan yang
kuat, terdiri dari murid-muridmu di In-kok-san. Untuk keperluan itu engkau
memilih banyak bocah yang berbakat, diam-diam kau bunuh keluarga mereka dan kau
katakan bahwa orang Mancu yang membunuh sehingga engkau menanamkan benih
kebencian di hati para muridmu terhadap Pemerintah Mancu agar kelak dapat kau
pergunakan tenaga mereka untuk membantu kau mencapai cita-citamu...!”
Wajah Ma-bin
Lo-mo menjadi pucat. “Setan...! Cukup, tak perlu membuka mulut lagi. Katakan,
apa kehendakmu?”
“Aku hanya
melakukan tugas yang diperintahkan Puteri Nirahai.”
“Hemmm, apa
kehendaknya?”
“Tidak lain,
kau diminta untuk bekerja sama, membantu pemerintah untuk meng-hancurkan para
pemberontak, terutama sekali pemberontak Bu Sam Kwi di Se-cuan. Untuk jasa-jasamu,
tentu kaisar tidak akan melupakan dan kelak kita tentu akan menikmati hari tua
yang mulia dan terhormat.”
Demikianlah,
siasat yang dijalankan oleh Gak Liat atas perintah Puteri Nirahai itu berhasil
baik. Ma-bin Lo-mo membujuk murid-muridnya yang berjumlah hampir seratus orang
untuk membalik dan membantu Pemerintah Mancu. Tentu saja sebagian besar
muridnya tidak sudi karena bukankah keluarga mereka terbasmi habis oleh
orang-orang Mancu? Mereka yang tidak mau mengikuti jejak guru mereka lalu meninggalkan
In-kok-san dan sebagian menggabung pada para pejuang. Banyak pula yang lari ke
Se-cuan untuk membantu Bu Sam Kwi mengadakan perlawanan terhadap bala tentara
Mancu yang berusaha menalukkan Se-cuan.
Ketika tidak
berhasil menangkap Han Han, bahkan tiga orang pembantunya yang setia dan pandai
itu tewas secara mengerikan di tangan pemuda kaki buntung yang amat luar biasa
itu, Ma-bin Lo-mo menjadi marah dan menyesal sekali. Juga di dalam hatinya ia
merasa heran. Dia maklum bahwa Han Han telah mewarisi ilmu-ilmu aneh dari Pulau
Es, akan tetapi dia pernah bertanding melawan Han Han sebelum kaki pemuda itu
buntung, dibuntungi oleh Toat-beng Ciu-sian-li. Akan tetapi mengapa sekarang
pemuda itu setelah kakinya buntung menjadi makin hebat kepandaiannya?
Bahkan tadi
ketika menangkis pukulan saktinya juga membuktikan bahwa tenaga sinkang pemuda
itu jauh lebih matang dari pada sebelum kakinya buntung! Dan ilmunya bergerak
seperti kilat itu, berloncatan seperti terbang saja! Ilmu apakah itu dan dari
mana pemuda buntung itu memperolehnya? Diam-diam ia merasa gentar sekali,
maklum bahwa kini tingkat kepandaiannya tidak akan dapat menandingi kepandaian
pemuda yang mukjizat itu!
Pasukan yang
dipimpin oleh Su-ciangkun dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo melanjutkan perjalanan
mereka menyerbu sarang Pek-lian Kai-pang. Kekacauan yang ditimbulkan oleh Han
Han dan Soan Li tadi tidak mengubah rencana mereka menghancurkan sarang
pemberontak. Su-ciangkun sebagai seorang ahli perang yang pandai maklum bahwa
pasukannya akan menghadapi jebakan kaum pemberontak, maka diam-diam dia
memecah-mecah pasukannya menjadi empat bagian.
Bagian
pertama sengaja ia biarkan untuk dijebak, akan tetapi diam-diam dua pasukan
menyusul dari kanan kiri merupakan sayap untuk melindungi induk pasukan yang
akan dijebak musuh. Sedangkan bagian ke empat menggunakan perahu-perahu
menyerbu melalui air! Dengan siasat yang lihai ini, bukan pasukan Mancu yang
terancam, sebaliknya malah pihak pemberontak yang berada dalam bahaya.
Lauw-pangcu
yang sudah mengatur barisan pendam di dalam hutan menjadi girang sekali ketika
melihat pasukan Mancu terdiri dari dua ratus lima orang memasuki hutan itu,
memasuki jebakan, memasuki perangkap yang dipasangnya! Hari telah menjelang
senja ketika pasukan Mancu itu memasuki hutan yang dijadikan tempat perangkap
untuk menyergap pasukan Mancu.
Setelah
pasukan Mancu yang megah itu semua memasuki hutan, tiba-tiba terdengar suara
melengking dan itulah tanda yang diberikan oleh Sin Lian. Dari lubang-lubang
dalam tanah menyambar ratusan batang anak panah ke arah dua ratus lima orang
tentara Mancu yang menggunakan perisai-perisai dan golok menangkis anak panah
dan melindungi diri. Akan tetapi ada beberapa orang terjungkal dan beberapa
ekor kuda roboh. Selagi pasukan Mancu menjadi bingung karena diserang dari
kanan kiri dan muka belakang, para pejuang bersorak-sorak dan berteriak-teriak,
meloncat keluar dari tempat persembunyian mereka dalam tanah berlubang, dari
balik-balik batang pohon dan semak-semak, dari atas pohon dan menyerbu pasukan
yang sedang bingung itu.
Jumlah anak
buah Lauw-pangcu tidak kurang dari tiga ratus orang dan hampir semua adalah
ahli-ahli silat yang pandai. Apa lagi di situ, terdapat Lauw-pangcu sendiri
yang mengamuk, dan terutama sekali Lauw Sin Lian dan Wan Sin Kiat yang membabati
para prajurit Mancu seperti orang membabati rumput saja. Kalau Su-ciangkun
tidak mengatur siasat lebih dulu dengan membagi-bagi pasukannya, dan andai kata
pasukannya hanya berjumlah lima ratus dan semua terjebak, tentu akan hancurlah
pasukannya. Pasukan induk ini melawan sekuatnya, namun karena mereka diserbu
dari empat penjuru secara tiba-tiba, mereka menjadi kacau-balau.
Para
pemberontak atau pejuang sudah merasa girang sekali dan menganggap bahwa siasat
mereka berhasil. Tidak sampai setengah malam tentu semua pasukan Mancu akan
dapat mereka basmi semua, demikian pikir Lauw-pangcu dan anak buahnya.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar suara terompet tanduk berbunyi dari empat penjuru di luar
hutan itu dan menyerbulah tujuh ratus lima puluh orang tentara Mancu dari empat
penjuru, dipimpin oleh Su-ciangkun sendiri dan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo! Kalau
tadi anak buah Lauw-pangcu menyergap dan mengurung, kini mereka sendiri
dikurung dan keadaan menjadi kacau-balau. Perang terjadi amat hebatnya. Anak
buah Lauw-pangcu yang terjepit itu menjadi nekat dan mengamuk mati-matian.
Mereka akan mati seperti tikus-tikus terjepit, maka lebih baik melawan dan mati
sebagai sekumpulan harimau.
Lauw-pangcu
terkejut bukan main. Juga Sin Lian dan terutama sekali Sin Kiat menjadi
khawatir sekali. Bukan mengkhawatirkan diri sendiri, melainkan mengkhawatirkan
sumoi-nya dan Han Han. Kalau sampai keadaan berubah seperti ini, hanya berarti
bahwa Han Han dan sumoi-nya tentu telah gagal. Namun mereka tidak sempat banyak
berpikir karena pihak musuh datang menyerbu bagaikan air membanjir. Dikeroyok
banyak lawan, satu lawan empat, mulai berjatuhanlah pihak pejuang. Di bawah
sinar obor yang dipegang kedua pihak, tampak darah muncrat, diselingi bunga api
berpijar dan teriakan-teriakan bercampur dengan rintihan. Tubuh-tubuh manusia
berjatuhan tumpang tindih, mayat-mayat yang mandi darah mulai berserakan.
Lauw-pangcu
yang mengamuk hebat, setelah merobohkan tidak kurang dari dua puluh orang lawan
dengan tongkatnya yang lihai, akhirnya roboh juga dengan dada tertembus tombak.
Melihat ayahnya roboh, Sin Lian menjerit dan dengan isak tertahan gadis ini
mengamuk. Pedangnya berkelebat seperti naga mengamuk dan tentara musuh yang
berani mendekatinya tentu roboh hanya dalam dua tiga gebrakan saja. Melihat
kenekatan Sin Lian yang mencoba mendekati ayahnya, Sin Kiat menyerbu dan
membantunya. Makin mawutlah pihak musuh.
“Hemmm,
kalian sudah bosan hidup!” Bentakan ini disusul dengan menyambarnya angin
pukulan dingin dan ternyata Ma-bin Lo-mo yang menyaksikan sepak terjang dua
orang muda ini sudah maju menyerang.
Melihat
kakek ini, Sin Lian lalu membentak marah. “Kiranya engkau iblis tua bangka!
Kiranya engkau adalah anjing penjilat Mancu pula!”
Akan tetapi
terpaksa Sin Lian harus membuang diri menghindar dari sambaran angin pukulan
Ma-bin Lo-mo seperti yang dilakukan Sin Kiat, kemudian ia membalas dengan
terjangan ke depan dan menusukkan pedangnya ke dada kakek itu. Sin Kiat juga
menerjang dari kiri, pedangnya membabat leher.
Ma-bin Lo-mo
sudah maklum akan kelihaian ilmu pedang kedua orang muda itu, maka ia tidak
berani memandang rendah. Melihat dua sinar pedang menyambar, ia cepat melompat
ke belakang, ujung lengan bajunya menampar untuk menangkis pedang Sin Lian yang
melanjutkan tusukan dengan babatan kilat.
“Brett!”
Pedang Sin Lian terpental dan cepat ia memutar tubuh agar pedangnya tidak
terlepas, akan tetapi ujung lengan baju Ma-bin Lo-mo terbabat putus!
Kakek ini
marah sekali. Setelah dia mengelak dari tusukan pedang Sin Kiat yang menyambar,
secepat kilat kedua tangannya mendorong ke arah dua orang muda itu. Sin Kiat
dan Sin Lian maklum akan kelihaian pukulan jarak jauh ini. Mereka tidak keburu
mengelak, dan menangkis dengan gerakan tangan sambil mengerahkan sinkang pula.
Akan tetapi tetap saja tubuh mereka terdorong hebat ke belakang, membuat mereka
terhuyung dan pada saat itu, dua orang perwira pembantu Su-ciangkun sudah
menubruk dan menusukkan tombak mereka ke arah kedua orang muda yang sedang
terhuyung itu.
Sin Kiat
yang sedang terhuyung melihat datangnya tusukan tombak dengan tenaga yang kuat
itu, cepat menjatuhkan diri, berguling ke depan sehingga tombak lewat di atas
kepalanya, kemudian ia menusukkan pedangnya yang amblas ke dalam perut lawan.
Ketika darah mengucur menyusul pedang yang dicabutnya, Sin Kiat sudah meloncat
kembali sehingga tidak terkena semprotan darah.
Ada pun Sin
Lian yang tadinya juga terhuyung, tidak sempat menangkis ketika ditusuk dari
arah kanan oleh perwira Mancu. Ia mempergunakan tangan kiri menyambar leher
tombak, meminjam tenaga lawan menarik tombak sehingga tubuh lawan ikut
terdorong ke depan, lalu menggunakan tenaga sinkang ia menekuk tombak sehingga
patah tengahnya, lalu terus ia tusukkan ke lambung perwira itu sehingga tembus!
Melihat
betapa dalam keadaan terhuyung kedua orang muda itu masih sempat merobohkan dua
orang perwira menengah, Ma-bin Lo-mo menjadi penasaran dan marah. Ia menerjang
maju, bertubi-tubi menggerakkan kedua tangan ke arah Sin Lian dan Sin Kiat yang
menjadi sibuk mengelak dan menangkis, tidak sempat lagi menyerang, padahal para
pengeroyok sudah mengelilingi mereka dan siap-siap menghujankan senjata kepada
dua orang muda lihai ini apa bila mereka roboh oleh desakan Ma-bin Lo-mo.
Menghadapi kakek bermuka iblis, murid Siauw-lim Chit-kiam dan murid Im-yang
Seng-cu benar-benar kewalahan karena Ma-bin Lo-mo menggunakan Swat-im Sin-ciang
yang luar biasa kuatnya.
Tiba-tiba
keadaan perang menjadi makin kacau ketika banyak tentara Mancu roboh dan bahkan
ada yang terlempar ke sana-sini seperti diamuk badai. Ternyata yang datang
mengamuk itu adalah Han Han! Setelah dia siuman dari pingsannya dan menangisi
Soan Li yang telah tewas, akhirnya Han Han teringat akan bahaya yang mengancam
Lauw-pangcu dan anak buahnya. Teringat akan itu, dengan hati berduka sekali ia
lalu menggali lubang dan menguburkan jenazah Soan Li. Kemudian ia menggunakan
kepandaiannya berloncatan dengan cepat sekali menuju ke tempat tinggal
Lauw-pangcu.
“Han Han... mana
Sumoi...?” Sin Kiat merasa lega melihat pemuda buntung itu, akan tetapi ia
gelisah karena tidak melihat sumoi-nya datang bersama Han Han.
Ditanya
tentang Soan Li, Han Han diingatkan kembali, air matanya mengalir turun dan
tanpa menjawab ia lalu menerjang maju, menghadapi Ma-bin Lo-mo yang sedang
mendesak Sin Kiat dan Sin Lian.
Ketika
melihat Han Han, Ma-bin Lo-mo yang marah sekali itu lalu menerjang sambil
mengeluarkan suara meringkik keras seperti kuda marah. Ia masih merasa
penasaran dan kini ia mengerahkan seluruh tenaganya yang ada. Terdengar suara
bercuitan ketika tenaga Swat-im Sin-ciang dengan kekuatan sepenuhnya menyambar
ke depan! Han Han mengenal pukulan sakti, cepat ia berseru.
“Kalian
minggirlah!”
Sin Kiat dan
Sin Lian yang sudah berkali-kali mengenal pukulan dahsyat dari kakek itu cepat
melompat ke kanan kiri. Akan tetapi Han Han sama sekali tidak mau melompat
minggir. Ia sudah marah sekali, kemarahannya yang timbul dari kedukaan yang
hebat karena kematian Soan Li. Maka kini menyaksikan betapa Ma-bin Lo-mo
mengerahkan pukulan Swat-im Sin-ciang, ia pun berteriak keras dan dengan
berdiri di atas sebelah kakinya, ia mendorongkan kedua tangannya ke depan
menyambut pukulan Ma-bin Lo-mo! Han Han sudah kehilangan tongkatnya yang
tertinggal di perut kuda ketika ia mengamuk di depan benteng, kini ia tidak
bertongkat lagi. Akan tetapi sinkang yang keluar dari kedua lengannya adalah
inti sari dari tenaga Im-kang yang amat dahsyat, yang sudah dia kuasai ketika ia
berlatih di Pulau Es.
“Desssss...!”
Hebat bukan
main benturan dua tenaga sakti yang sama-sama mengandung hawa dingin itu. Empat
orang tentara Mancu yang berdiri terlalu dekat memekik ngeri dan roboh tak
bernyawa lagi karena jantung mereka membeku terkena sambaran tenaga sakti yang
saling bertabrakan.
Tubuh Han
Han mencelat ke atas, tinggi sekali. Akan tetapi ia sudah meloncat lagi ketika
kakinya menyentuh dahan pohon. Kini tubuhnya mencelat ke depan menyambar Ma-bin
Lo-mo yang terhuyung ke belakang dengan mulut muntahkan darah segar!
Melihat
betapa tubuh Han Han dari atas pohon menukik ke bawah, Ma-bin Lo-mo
mengeluarkan seruan kaget, cepat tubuhnya melesat ke bawah, bergulingan dan
lenyap di antara kaki para pengawal.
“Bressssss...!”
Lima orang pengawal roboh dan tewas seketika dengan tulang-tulang remuk ketika
terjangan Han Han dari atas itu menyambar ke arah mereka. Akan tetapi Ma-bin
Lo-mo tidak tampak lagi bayangannya.
Han Han
mengamuk terus dengan hebatnya. Juga Sin Lian dan Sin Kiat mengamuk dengan
pedang mereka. Setelah kini Ma-bin Lo-mo terluka dan tidak muncul lagi, tidak
ada yang dapat mengimbangi amukan tiga orang muda yang perkasa ini. Akan
tetapi, di pihak para pejuang, ternyata hanya tinggal mereka bertiga karena
yang lain-lain semua telah tewas dalam perang tanding yang amat seru di dalam
hutan itu. Ada pun di pihak tentara Mancu juga mengalami kerugian tidak
sedikit, kurang lebih sama jumlahnya dengan anak buah Pek-lian Kai-pang!
“Han Han,
mari kita pergi...!” kata Sin Kiat. “Semua saudara telah tewas, tak perlu
melawan lagi!”
Akan tetapi
Han Han tidak mau mendengarkan kata-kata Sin Kiat. Hatinya sudah terlalu sakit
dan ia akan bertempur sampai mati untuk membalaskan dendam Soan Li. Melihat itu
Sin Lian lalu menyambar tubuh ayahnya yang telah menjadi mayat, sambil menangis
terisak ia mendekati Han Han yang masih mengamuk.
“Han Han...
bantulah aku... menyelamatkan jenazah Ayah...!”
Mendengar
suara wanita menangis, Han Han seperti baru sadar dari keadaan yang tidak wajar
itu, yang membuatnya mengamuk seperti orang gila. Ia menengok dan ketika ia
melihat Sin Lian menangis sambil memondong mayat Lauw-pangcu, Han Han terkejut
sekali.
“Ah,
Lauw-pangcu...!”
“Dia gugur,
Han Han, tolonglah aku membuka jalan ke luar dari sini...!”
Han Han
mengangguk, lalu bersama Sin Kiat ia mengawal Sin Lian yang memondong mayat
ayahnya keluar dari kepungan. Sebetulnya hal ini tidak perlu karena para
pengepung itu tidak ada yang berani mengganggu melihat tiga orang muda itu
keluar dari hutan. Mereka telah menjadi jeri menyaksikan sepak terjang mereka
tadi, apa lagi sepak terjang pemuda yang buntung kakinya.
Sin Lian
yang menangis sambil memondong tubuh ayahnya berlari terus sampai pagi, baru ia
berhenti di pinggir Sungai Huang-ho paling barat, di mana air sungai itu datang
mengalir dari utara dan di tikungan itu membelok ke timur. Daerah ini penuh
pula dengan hutan dan amat sunyi.
Setengah
malam mereka tadi berlari, tanpa berkata-kata, masih tegang dan berduka
menghadapi mala petaka yang menimpa Pek-lian Kai-pang. Yang paling gelisah
adalah Sin Kiat. Pemuda ini ingin sekali mengetahui akan keadaan sumoi-nya, ia
pun ingin tahu bagaimana pihak Mancu sampai dapat melakukan sergapan seperti
itu, bahkan dibantu oleh Ma-bin Lo-mo. Ia menduga bahwa tentu Han Han tahu akan
itu semua, akan tetapi mengingat akan kedukaan Sin Lian, Sin Kiat menahan
keinginan tahunya. Setelah dia dan Han Han membantu Sin Lian mengubur jenazah
Lauw-pangcu di dalam hutan itu, barulah Sin Kiat mengajak Han Han menjauhi Sin
Lian yang berkabung dan menangis di depan kuburan ayahnya.
“Han Han,
ceritakanlah lekas, bagaimana dengan Sumoi!”
Akan tetapi,
mendengar pertanyaan ini Han Han menjatuhkan diri duduk di atas tanah, matanya
memandang jauh dengan sinar muram dan kosong, sama sekali tidak menjawab
pertanyaan Sin Kiat. Melihat ini Sin Kiat berlutut dan menyentuh lengan Han
Han, mengguncangnya dan bertanya tegang.
“Han Han,
apa yang terjadi dengan Sumoi? Di mana dia?”
Tiba-tiba
Han Han mengipatkan lengannya dan Sin Kiat terlempar ke belakang hingga
terjengkang. Ia meloncat lagi dan terkejut melihat Han Han sudah berdiri di
atas sebelah kakinya dan menudingkan telunjuk ke mukanya sambil membentak, “Sin
Kiat, kenapa engkau membolehkan sumoi-mu pergi menyusulku? Kenapa tidak kau
cegah dia? Percuma saja engkau menjadi suheng-nya!”
Pucatlah
wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan
memegang lengan pemuda buntung itu. “Han Han...!” Sin Kiat menjerit, suaranya
gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana sumoi...? Dia sendiri yang
memaksa hendak menyusulmu karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana
sumoi?”
Mendengar
suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan
ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia
melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti
orang gila.
“Ada apakah?
Han Han, apa yang terjadi?”
Suara Sin
Lian ini mengusir kemarahan di hati Han Han. Ia menghela napas panjang,
menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh
satu-satu.
“Soan Li...
dia... dia telah tewas...!”
“Sumoi...!”
Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan
tangannya mencengkeram lengan Han Han.
“Apa...!
Sumoi-ku... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”
Han Han
menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah,
mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang
kedua siku dengan lututnya dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han
yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara gemetar.
Setelah
habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari
celah-celah jari tangannya keluar beberapa tetes air mata. Dadanya
bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah
sumoi-nya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum
manis di antara linangan air mata duka!
“Aduh,
Sumoi...! Ah, dia seperti adikku sendiri... ahh, bagaimana aku harus
bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap... keluarga tunangannya...?”
Tiba-tiba
Han Han menggerakkan kepala, menoleh kemudian memandang Sin Kiat.
“Tunangannya?”
Sin Kiat
yang maklum akan isi hati sumoi-nya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang
kelihatan demikian berduka dan menyesal atas kematian sumoi-nya agaknya juga
sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han
Han berkata lirih, “Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas kehendak
Suhu, Sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she
Tan yang tinggal di Nan-king.”
Han Han
menghela napas panjang. “Dan dia mati berkorban untukku...” Ia berbisik lirih.
“Betapa mulia hatinya... dan betapa besar dosaku...!”
Sin Lian
melirik dan melihat betapa wajah Han Han lebih muram dari pada biasanya, betapa
wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya, ia merasa kasihan dan
teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada
Han Han. Kini mengertilah ia dan biar pun tidak ada yang bicara di saat itu,
Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara
jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan
tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan
Li menahan diri. Betapa pun juga, cinta kasih membuat gadis itu nekat hendak
menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.
“Kasihan
Adik Soan Li...!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, “Han Han,
sudahlah, tak perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita
sayang. Ayahku dan juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam
pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut
patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah,
dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan
mereka. Kita harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah
Mancu sampai detik hidup terakhir!”
Mendengar
ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini
baru saja kematian ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi
keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis
itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih
kuat hatinya!
“Nona Lauw
benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal
kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling
tepat hanya menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela
kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan.
Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan
tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”
“Aku... aku
harus mencari Lulu...” Suara Han Han masih tidak bersemangat.
Memang Han
Han masih sangat merasa tertekan oleh rentetan peristiwa yang amat menyedihkan
hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap
dirinya merupakan urusan yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah
dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi penyebab
hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu. Kemudian ditambah
lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya,
lalu kekecewaan karena belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara
tujuh orang musuh besar keluarganya.
Kini
peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di
depan matanya sendiri sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak
menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya
mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti
hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan
dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah
tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu
itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.
“Aku harus
mencari adikku Lulu...,” katanya lagi penuh rindu.
“Han Han,
aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan
aku akan mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan. Aku akan berusaha mencari
Lulu untuk kemudian kuajak mereka semua ke Se-cuan,” kata Sin Lian.
“Aku pun
akan membantumu mencari adikmu itu, Han Han. Akan tetapi, mengingat bahwa
adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin
Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itu pun pergi mencarimu ke Se-cuan,
mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan
sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”
Han Han
mengangguk-angguk. “Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke
Se-cuan karena urusan pribadi.” Ia teringat akan penuturan Sie Leng enci-nya
bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala
tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.
“Memang
demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke
Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian
mencari Lulu di bagian timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke
barat.”
Setelah
mereka melakukan penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian
lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman
seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu.
Ada pun Han Han, atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke
makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan
runtuhnya air matanya.
"Han
Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia
hatinya bahwa dia mencintamu."...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment