Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Si Tangan Sakti
Jilid 10
SUMUR
pertama yang pernah menjadi tempat tahanan kakek Ciu Lam Hok yang berada di
tempat itu juga, tidak terlalu jauh dari situ, telah ditutup dengan batu-batu
sehingga tidak nampak lagi lubangnya. Sumur ke dua ini lebih besar, juga amat
dalam karena kalau dijenguk dari atas, tidak nampak dasarnya, hanya gelap
menghitam.
Sebetulnya,
tanpa tambang sekali pun Yo Han akan mampu menuruni sumur itu dengan merayap,
akan tetapi lebih mudah menggunakan tali. Juga untuk naik kembali, akan jauh
lebih mudah kalau ada talinya.
Hampir
seratus orang anggota Thian-li-pang sudah berkumpul di tempat itu, mengelilingi
sumur tua, wajah mereka tegang. Seorang di antara mereka menyerahkan segulungan
tali yang kuat dan panjang kepada Ouw Seng Bu.
"Taihiap,
apakah tali ini memenuhi syarat?" tanya Seng Bu sambil memperlihatkan tali
itu kepada Yo Han.
Yo Han
menerima gulungan tali, kemudian melepas ujungnya ke dalam sumur setelah ujung
itu diikatkan kepada sebongkah batu. Ternyata sumur itu dalam sekali dan sampai
lama barulah batu di ujung tali tiba pada dasar sumur.
Tali itu
memang cukup panjang dan kuat. Setelah batu tiba pada dasar sumur dan tali
mengendur, masih ada sisa tiga empat meter. Yo Han lalu melibatkan sisa tali
itu pada sebatang pohon dekat sumur, lalu menyerahkan ujungnya kepada Seng Bu.
"Jaga
dan pegangi ujung tali ini, aku akan segera turun ke bawah. Kalau aku sudah
memberi tanda tarikan tiga kali pada tali, maka kau boleh tarik aku
keluar."
"Baik,
Yo Taihiap. Harap Taihiap berhati-hati, siapa tahu di bawah sana ada bahaya
mengintai," kata Seng Bu.
"Jangan
khawatir, aku sudah siap menghadapi apa saja," kata Yo Han.
Setelah
berkata demikian, Yo Han menuruni sumur melalui tali yang ujungnya dipegang
oleh Seng Bu. Bagaikan seekor monyet saja, dengan cekatan dia menuruni tali
itu, waspada memperhatikan ke bawah karena dia maklum bahwa seperti yang
dikatakan Ouw Seng Bu tadi, mungkin di bawah sana mengintai bahaya yang bisa
mengancam keselamatannya. Sama sekali Yo Han tidak pernah mengira bahwa bahaya
mengintai dari atas, bukan dari bawah!
Tadi dia
telah menduga bahwa sumur itu menyerong, yaitu ketika dia mengulur tali yang
ujungnya digantungi batu. Batu itu tadi menyentuh dinding sumur dan menggelinding
ke bawah, tidak lagi tergantung bebas. Itu berarti bahwa sumur itu menyerong,
tidak lurus ke bawah. Kini ternyata memang benar.
Tubuhnya
menyentuh dinding sumur yang kasar dan dia merayap terus. Dan nampaklah sinar
dari samping, yang tidak nampak dari atas karena letaknya yang menyerong itu.
Begitu kakinya menyentuh lantai batu, dia pun melihat lima sosok mayat yang
sudah tinggal tulang dibungkus pakaian yang robek-robek. Lima orang!
Dia teringat
akan keterangan Ouw Seng Bu yang menceritakan bahwa yang dibawa masuk ke dalam
sumur oleh bayangan hitam adalah Lauw Kang Hui, Su Kian, Thio Cu, Lauw Kin dan
Lu Sek. Lima orang tokoh Thian-li-pang itu benar-benar sudah tewas di dasar
sumur! Akan tetapi Yo Han melihat satu keanehan. Kedudukan lima sosok mayat itu
bertumpuk, nampaknya seperti dilemparkan dari atas!
Dia
menghampiri mayat-mayat itu. Sudah tak dapat dikenal lagi, apa lagi diselidiki
sebab kematian mereka. Juga tempat itu hanya remang-remang saja, terlalu gelap
untuk dapat memeriksa dengan teliti. Dia harus memeriksa ke dalam sana. Mungkin
si pembunuh itu masih berada di dasar sumur yang ternyata dasarnya merupakan
terowongan berbatu-batu.
Dia pun
melepaskan tali yang tadi masih dipegangnya, lalu berindap-indap memasuki
lorong penuh batu-batu besar itu. Kalau benar ada orangnya, mungkin bersembunyi
di balik batu besar. Dia sudah siap kalau-kalau ada serangan gelap dari dalam.
Tidak ada
penyerangan, tidak ada gerakan apa pun dari dalam. Akan tetapi mendadak
terdengar suara bersiutan dari atas. Yo Han terkejut melihat tali yang dipakai
turun tadi kini menyambar turun seperti seekor ular yang panjang sekali! Tali
itu dilepas dari atas!
Sejenak dia
tertegun karena heran dan kaget, akan tetapi cepat dia menarik tali itu karena
dalam sekejap mata dia yakin bahwa tali itu akan ada gunanya baginya. Dia masih
belum dapat menduga mengapa Ouw Seng Bu melepaskan tali itu.
Tiba-tiba
terdengar suara tawa dari atas yang bergema ke bawah dan dia terkejut. Itulah
suara Ouw Seng Bu. Dia tahu bahwa orang yang bisa melepas suara tawa mengandung
khikang amat kuat seperti itu tentulah memiliki ilmu kepandaian tinggi. Suara
tawa itu disusul sorak-sorai dan tiba-tiba saja terjadi hujan batu dari atas
sumur!
Yo Han
melompat lebih dalam lagi dan cepat dia mendorong sebuah batu besar sekali ke
depan terowongan sehingga hujan batu itu tidak sampai menggelundung ke dalam
terowongan, melainkan tertahan oleh batu besar dan terus bertumpuk menutupi
lubang sumur!
Kini
mengertilah dia. Ouw Seng Bu dan para anggota Thian-li-pang telah berkhianat
dan dia telah tertipu. Ouw Seng Bu berhasil memancingnya memasuki sumur dan
sumur itu lalu ditimbuni batu.
Yo Han pada
dasarnya adalah seorang yang mempunyai iman yang kokoh kuat kepada Tuhan,
karena itu dia tidak menjadi gugup. Mati hidupnya sudah dia serahkan kepada
kekuasaan Tuhan. Ia akan berusaha sekuatnya mempertahankan hidupnya, akan
tetapi berhasil atau gagalnya dia serahkan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa.
Dia tahu
bahwa tidak mungkin dapat keluar melalui sumur yang sudah tertutup banyak batu
itu. Dia tidak mati tertimpa batu karena batu besar tadi merupakan pengganjal
dan penghalang batu-batu kecil memasuki terowongan.
Dia tidak
akan mati tertimbun batu. Juga agaknya dia tidak akan mati kehabisan napas
karena masih ada saluran udara segar di situ, mungkin masuk melalui celah-celah
batu, seperti juga sinar matahari yang dapat masuk ke situ. Dia tidak akan mati
kehausan, karena dinding itu basah dan tidak sukar menampung air dengan membuat
lekukan pada dinding basah untuk menampung air. Dia akan mati kelaparan?
Mungkin, kalau dia tidak dapat keluar dan kalau di tempat itu tidak terdapat
benda yang bisa dimakan.
Yo Han
menggulung tali dan duduk di atas gulungan tali supaya tidak basah. Dia duduk
bersila dan membiarkan hati serta pikirannya tenang. Dia membutuhkan
ketenangan. Dalam menghadapi bahaya, ia harus dapat tenang agar akal pikirannya
bisa digunakan sebaik-baiknya, dan di dalam ketenangan itu kepasrahannya kepada
kekuasaan Tuhan dapat lebih mendalam.
Sementara
itu, di atas sumur, Ouw Seng Bu tertawa gembira ketika bersama para anak buah
yang sudah dipersiapkan sebelumnya, menimbun sumur tua itu dengan batu.
"Ha-ha-ha,
Yo Han. Rasakan sekarang engkau, mampus di dalam sumur tua, menjadi setan
penasaran! Sin-ciang Taihiap, engkau tidak lagi menjadi penghalang
bagiku."
Akan tetapi
Ouw Beng Bu segera menghentikan tawanya pada saat dia melihat Cu Kim Giok
datang berlari-larian. Gadis itu mendengar sorak-sorai anak buah Thian-li-pang,
merasa tertarik dan segera datang ke tempat itu. Ia masih sempat melihat anak
buah Thian-li-pang melempar-lemparkan batu ke dalam sebuah sumur tua. Hal itu
membuat ia merasa heran sekali.
"Ouw-pangcu,
apakah yang telah terjadi?" tanya gadis itu heran sambil mendekati Seng
Bu.
Seng Bu
segera memasang wajah yang serius. "Aihhh, hampir saja aku pun celaka
menjadi korban kelihaian Yo Han, Nona. Mari kita bicara di dalam dan akan
kuceritakan semua."
Kepada anak
buahnya dia memesan agar sumur itu ditutup sampai tidak nampak lagi lubangnya.
Kemudian dia mengajak Kim Giok kembali ke bangunan induk yang menjadi pusat
perkampungan Thian-li-pang.
Setelah
mereka duduk berdua di dalam kamar belakang, Kim Giok dengan hati tegang
bertanya, "Ceritakan, Pangcu. Apakah yang telah terjadi dan di mana adanya
Sin-ciang Taihiap Yo Han?"
Seng Bu
menghela napas dan tiba-tiba dia mengeluh. Wajahnya berubah pusat dan napasnya
terengah.
"Aduhhh..."
Seng Bu memejamkan matanya dan tangan kirinya menekan ke arah dada kanannya.
Tentu saja
Kim Giok terkejut bukan main, cepat bangkit dan menghampiri pemuda itu.
"Ouw-pangcu, ada apakah? Engkau... terluka...?"
Sambil
menekan dada kanan dengan telapak tangannya, wajah Seng Bu menyeringai
kesakitan, napasnya sesak, lalu dia menjawab terengah-engah, "Dia
memang... lihai... sekali, dan... jahat kejam. Dia... dia tadi tiba-tiba
memukulku, di dekat sumur... dan aku nyaris terjungkal, akan tetapi... aku
mampu bertahan, aku terus melawan... dibantu oleh saudara-saudaraku... akhirnya
kami berhasil... dia terjatuh ke dalam sumur, akan tetapi aku... aku terkena
pukulannya..."
"Ahhh!"
Kim Giok terbelalak. "Dan kalian... tadi menimbun sumur itu dengan batu?
Dia terkubur hidup-hidup... ?" Gadis itu memandang ngeri.
"Aihh,
Nona, engkau tidak tahu... dia amat kejam dan lihai... kalau berhasil
lolos...kami semua tentu akan dibunuhnya. Lihat, lihatlah bekas tangannya
ini..." Seng Bu merobek baju di dadanya.
Mata yang
indah itu semakin terbelalak kaget. Dada Seng Bu, di bagian kanan, terdapat
bekas telapak tangan dengan lima jarinya, menghitam!
"Ohhhhh...!"
Kim Giok menahan teriakannya.
"Ini...
pukulan... mautnya... untung aku sudah berjaga diri..., tapi nyeri bukan
main... auhhh...!"
Seng Bu
terkulai dan dia tentu akan terjatuh dari kursinya kalau saja Kim Giok tidak
cepat-cepat merangkulnya. Melihat Seng Bu pingsan, Kim Giok memondongnya dan
merebahkannya di atas lantai. Ia mengurut kedua pundak dan tengkuk pemuda itu,
dan tidak beberapa lama kemudian Seng Bu membuka mata kembali.
"Aduhhh...!"
"Bagai
mana rasanya, Pangcu?"
"Nona,
pukulan itu amat beracun, dan hawa beracun itu harus cepat dibersihkan dengan
pengerahan sinkang. Maukah... maukah engkau membantuku, Nona? Aku… aku lemah
sekali...!"
"Tentu
saja, Pangcu. Bagaimana aku dapat membantumu?"
"Tempelkan
kedua telapak tanganmu di punggungku, kemudian kerahkan sinkang agar kekuatan
kita dapat bersatu mendorong keluar hawa beracun itu."
"Baik,
Pangcu."
Melihat Seng
Bu berusaha bangkit duduk dengan susah payah, tanpa ragu Kim Giok membantunya
duduk bersila. Ia membantu pula Seng Bu membuka bajunya sehingga punggungnya
nampak. Ia pun lalu bersila di belakang pemuda itu, menempelkan kedua telapak
tangannya di punggung itu dan memejamkan mata, mengerahkan sinkang untuk
membantu pemuda itu ‘mengusir’ hawa beracun.
Diam-diam
Seng Bu menggunakan tangan kiri mengusap dan menekan dada yang ada tanda
telapak tangan menghitam. Perlahan-lahan, tanda menghitam itu pun lenyap. Kim
Giok yang kurang pengalaman sama sekali tak menyangka bahwa noda hitam itu
dibuat oleh Seng Bu sendiri ketika dia menekan dada kanannya tadi. Dengan
kepandaiannya yang aneh, pemuda itu dapat membuat kulit dadanya kehitaman
seperti terkena pukulan beracun.
Perlahan-lahan
pernapasan Seng Bu menjadi normal kembali dan dia pun memutar tubuhnya,
memegang kedua tangan gadis itu dan menatapnya dengan pandang mata penuh kasih
sayang. Kim Giok juga menatapnya dan gadis itu menunduk malu.
"Giok-moi
(adik Giok), terima kasih... engkau telah menyelamatkan nyawaku..."
Dengan
tersipu Kim Giok menarik kedua tangannya, lalu bangkit berdiri dan memutar
tubuh membelakangi pemuda itu agar tidak kelihatan bahwa ia merasa malu sekali.
"Ihhhhh,
Pangcu..."
"Kim
Giok, setelah apa yang engkau lakukan kepadaku tadi, apakah kita masih harus
bersungkan-sungkan? Jangan menyebut pangcu kepadaku, sebutan itu terlampau
kaku. Giok-moi, aku merasa engkau bukan seperti seorang sahabat baru, melainkan
seperti sudah bertahun-tahun kukenal. Jangan menyebutku pangcu, aku akan merasa
bahagia kalau engkau menyebut aku koko (kanda)."
"Bu-koko,
engkau terlalu berlebihan. Apa yang kulakukan tadi hanya sekedar membantu
engkau mengusir hawa beracun. Apakah sekarang engkau sudah sembuh, sudah sehat
kembali?"
"Lihatlah,
Giok-moi. Tidak ada bekasnya lagi. Lihatlah!"
Kim Giok
membalikkan tubuhnya dan sekilas memandang ke arah dada yang telanjang itu.
Dada yang bersih kulitnya, tak lagi nampak tanda telapak tangan menghitam seperti
tadi. Dia merasa lega dan girang, akan tetapi juga malu dan dia tersipu,
menundukkan muka tidak mau memandang lagi.
"Bu-ko,
pakailah pakaianmu. Engkau membuat aku merasa malu."
Seng Bu
tertawa. "Ha-ha-ha, setelah kita menjadi sahabat baik seperti ini,
perlukah kita merasa sungkan dan malu, Moi-moi? Entah mengapa, aku sudah tidak
merasa malu sama sekali terhadap dirimu, seolah-olah kita telah akrab selama
bertahun-tahun." Seng Bu membetulkan bajunya yang robek di bagian dada dan
dia nampak senang sekali.
Memang
hatinya amat gembira. Yo Han, orang yang paling ditakutinya, telah tiada. Dan
sekarang dia bisa melihat tanda-tanda bahwa Cu Kim Giok, gadis yang dicintanya,
jelas memperlihatkan tanda-tanda suka kepadanya. Setidaknya, gadis ini tadi
sudah sangat mengkhawatirkan keadaannya dan tanpa malu-malu suka membantu
mengobati dirinya.
Sekarang
mereka duduk berhadapan, hanya terhalang oleh meja kecil. Beberapa kali pandang
mata mereka bertemu dan dalam pandangan mata itu saja sudah terpancar perasaan
hati masing-masing, meski pun terkandang Kim Giok menundukkan mukanya yang
menjadi kemerahan.
"Giok-moi,
kenapa engkau menunduk dan kelihatan malu-malu?"
"Habis,
engkau memandangku seperti itu!"
"Seperti
apa?" Seng Bu menggoda.
"Pandang
matamu membuat aku merasa canggung dan malu, Bu-ko."
Mendadak
Seng Bu memegang kedua tangan gadis itu yang berada di atas meja dan
menggenggam tangan itu!
"Giok-moi,
apakah aku masih perlu menjelaskan lagi apa artinya pandang mataku itu? Aku
memandangmu penuh kasih sayang. Aku cinta padamu, Giok-moi."
Kim Giok
menundukkan mukanya yang sekarang menjadi merah sekali. "Bagaimana,
Giok-moi? Marahkah engkau akan kelancanganku ini?"
Kim Giok
menggelengkan kepala, masih tetap menunduk.
"Lalu,
kenapa engkau hanya diam saja? Apakah engkau tidak sudi menerima perasaan
cintaku?"
Kini gadis
itu mengangkat mukanya yang kemerahan. "Bu-ko, aku pun kagum dan suka
padamu. Akan tetapi, kita tidak perlu tergesa-gesa membicarakan perasaan kita
itu. Kita baru saja berkenalan dan jika kita telah menjadi sahabat baik, itu
sudah menyenangkan sekali, bukan?"
Seng Bu
seorang yang cerdik. Ia memang benar-benar mencinta Kim Giok sepenuh hatinya.
Dia tidak ingin membuat gadis itu tidak senang atau menjadi rikuh. Dia bahkan
rela melakukan apa saja untuk gadis yang dicintanya itu.
"Baiklah,
Giok-moi. Maafkan aku. Kita memang telah menjadi sahabat baik, dan biarlah
urusan antara kita itu kita bicarakan kelak seperti yang kau kehendaki. Aku
hanya ingin agar engkau tahu betul bahwa engkaulah satu-satunya wanita yang
tinggal di dalam hatiku."
Lega rasa
hati Kim Giok dan dia menjadi semakin suka kepada pemuda yang penuh pengertian
itu.
"Terima
kasih atas pengertianmu, Bu-ko. Sekarang mari kita bicara mengenai apa yang
terjadi tadi. Aku masih merasa amat heran kenapa Sin-ciang Taihiap hendak
membunuh dirimu setelah dia juga membunuhi banyak tokoh Thian-li-pang. Aku
pernah mendengar namanya yang dipuji-puji oleh para pendekar dari dua keluarga
besar pendekar Istana Pulau Es dan Istana Gurun Pasir. Mereka menyatakan bahwa
Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar yang budiman dan bijaksana. Akan
tetapi kenapa di sini dia menjadi begitu kejam dan jahat?"
Ouw Seng Bu
menghela napas panjang. "Aku tidak heran dan sebaiknya engkau juga tidak
perlu mengherankan hal itu, Giok-moi. Kedudukan dan kekuasaan sering membuat
orang lupa diri! Dia hendak menguasai Thian-li-pang, hendak menonjolkan diri
sendiri dan menguasai dunia lewat Thian-li-pang."
"Akan
tetapi, aku mendengar bahwa dia telah diangkat menjadi pemimpin Thian-li-pang,
hanya kedudukan ketua lalu dia serahkan kepada mendiang Lauw Pangcu. Kenapa dia
malah membunuh Lauw Pangcu dan beberapa orang tokoh Thian-li-pang, dan sekarang
hendak membunuhmu pula? Sungguh aku tidak mengerti."
"Giok-moi,
agaknya engkau hanya mengerti ekornya tidak mengerti kepalanya. Memang benar
dia menjadi pemimpin besar Thian-li-pang seperti dikehendaki oleh para tokoh
tua Thian-li-pang. Namun sikapnya tidak sejalan dengan sikap para pimpinan
Thian-li-pang. Dia tidak suka Thian-li-pang menggunakan kekerasan menentang
pemerintah penjajah, bahkan dia tidak setuju bersama-sama berjuang mengusir
penjajah Mancu dari tanah air. Bahkan mungkin sekali dia hendak membawa
Thian-li-pang supaya menjadi antek penjajah. Itulah sebabnya dia membunuhi para
pimpinan Thian-li-pang yang mempunyai pendirian tegas-tegas menentang penjajah.
Melihat betapa aku yang diangkat menjadi ketua sedang menghimpun tenaga,
bekerja sama dengan Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, juga dengan kelompok pejuang
lain, dia menjadi marah. Dengan berpura-pura hendak menyelidiki kematian para
pimpinan Thian-li-pang di dekat sumur tua itu, mendadak dia menyerangku dan
hendak membunuhku dan melemparku ke sumur tua seperti yang dia lakukan terhadap
para pimpinan yang lain. Untung para dewa masih melindungiku dan sebaliknya dia
yang terlempar ke dalam sumur tua itu."
"Aihhh,"
Cu Kim Giok menghela napas panjang. "Ayah dan ibu juga pernah mengatakan
bahwa kedudukan memang suka membuat orang menjadi kejam. Kuharap saja engkau
tidak ikut-ikutan mabuk kekuasaan, Bu-ko."
"Tak
mungkin, Giok-moi. Apa lagi kalau engkau suka membantuku dan selalu berada di
sampingku. Sejak Thian-li-pang berdiri, nenek moyangku adalah pejuang-pejuang
yang gigih, yang rela mengorbankan nyawa demi membela nusa bangsa. Aku
melanjutkan cita-cita mereka, dan aku akan berjuang semata-mata demi
membebaskan rakyat dan tanah air kita dari cengkeraman penjajah Mancu, bukan
untuk mencari kedudukan atau harta benda. Tentu engkau percaya kepadaku,
bukan?"
"Tentu
saja aku percaya padamu, Bu-ko. Kalau tidak percaya, tentu aku tidak akan suka
membantumu. Dan selanjutnya, langkah apa yang akan kau ambil?"
"Aku
akan mengadakan perundingan dengan para pimpinan puncak Pat-kwa-pai serta
Pek-lian-kauw, juga kelompok pejuang yang lainnya. Seperti juga pendirian
orang-orang sombong, macam Yo Han, masih banyak tokoh dunia kang-ouw yang
mengambil jalan sendiri, membeda-bedakan kelompok dan tak mau bekerja sama
untuk menghancurkan penjajah. Cara kerja sendiri-sendiri ini, apa lagi kalau
disertai persaingan, menimbulkan pertentangan di antara para pejuang sendiri.
Hal ini hanya melemahkan perjuangan dan memperkuat kedudukan pemerintah
penjajah. Oleh karena itu, kita haruslah berusaha untuk lebih dulu menundukkan
para kelompok dan tokoh dunia persilatan. Kalau seluruh dunia kang-ouw sudah
dapat bekerja sama, kukira menggulingkan pemerintah penjajah Mancu bukan
merupakan hal yang sukar lagi."
Kim Giok
yang sudah benar-benar jatuh cinta kepada pemuda itu sangat tertarik dengan
gaya bicara dan sikap Seng Bu. Dia mengangguk-angguk dan merasa kagum karena ia
menganggap bahwa pendapat pemuda itu tepat. Sedikit banyak, ayah ibunya juga
telah menanamkan perasaan cinta tanah air dan bangsa kepadanya, juga telah
menceritakan tentang kekuasaan bangsa Mancu yang menjajah bangsanya.
"Pendapatmu
itu tepat sekali dan aku akan membantumu, Bu-koko!" katanya penuh
semangat. Tentu saja Seng Bu menjadi girang bukan main.
"Terima
kasih, Giok-moi. Dengan adanya engkau di sampingku, bintang dan bulan di langit
pun akan dapat kuraih!"
Mereka
saling pandang dengan senyum mesra dan ketika mereka mendengar suara gaduh
kembalinya anak buah Thian-li-pang, mereka pun keluar dari ruangan itu…..
**************
Atas bantuan
yang sungguh-sungguh dari Siangkoan Kok, Ouw Seng Bu memperoleh kemajuan pesat
dalam menyatuan kekuatan. Siangkoan Kok yang sekarang dia angkat menjadi wakil
ketua Thian-li-pang, kemudian mendatangi banyak perkumpulan silat dan
perguruan-perguruan silat yang terkenal.
Mula-mula
dia membujuk mereka untuk bekerja sama dengan Thian-li-pang berjuang menentang
pemerintah Mancu. Kalau ada yang menolak, Siangkoan Kok mengalahkan dan
menundukkan para pimpinannya sehingga akhirnya perkumpulan itu menakluk juga
karena takut dibasmi. Tentu saja dengan mudah Siangkoan Kok pun mengajak mereka
yang dahulunya memang sudah bersekutu dengan Pao-beng-pai agar kini bekerja
sama dengan Thian-li-pang akibat Pao-beng-pai telah dihancurkan pasukan
pemerintah.
Hanya ada
satu dua perkumpulan saja yang memiliki pimpinan yang terlampau kuat bagi
Siangkoan Kok. Untuk menalukkan pimpinan perkumpulan yang lihai ini, Ouw Seng
Bu sebagai ketua Thian-li-pang turun tangan sendiri dan selama ini, belum
pernah ada yang mampu menandingi ilmunya yang aneh akan tetapi juga dahsyat
bukan main.
Thian-li-pang
menjadi semakin besar dan berpengaruh. Melihat kemajuan yang dicapai
kekasihnya, tentu saja Kim Giok merasa gembira dan kagum sekali. Beberapa kali
dia menawarkan diri untuk membujuk kedua orang tuanya agar mau membantu
perjuangan Thian-li-pang karena kalau ayah ibunya suka membantu, tentu mereka
itu akan dapat menarik perhatian para pendekar lainnya. Akan tetapi, Ouw Seng Bu
selalu menolak dengan halus.
"Belum
tiba saatnya, Giok-moi. Ayah dan ibumu tentu akan merasa heran dan terkejut
melihat hubungan kita yang akrab. Hal itu saja sudah membutuhkan pendekatan
yang lembut. Apa lagi jika ditambah dengan bujukan supaya mereka membantu
perjuangan. Biarlah, nanti kalau Thian-li-pang sudah kuat benar, aku sendiri
yang akan menghadap mereka untuk melamarmu, dan kalau kita sudah menjadi suami
isteri, dan orang tuamu menjadi mertuaku, tentu dengan sendirinya mereka akan
membantu perjuangan kita."
Kim Giok tak
membantah lagi. Sikap Seng Bu terhadap dirinya selalu lembut dan sopan, dan
pemuda itu memegang janji, tidak pernah lagi bicara tentang cinta mereka
seperti yang pernah dijanjikannya. Hal ini membuat ia menjadi semakin kagum dan
suka, dan diam-diam ia pun sudah mengambil keputusan untuk memilih pemuda ini
sebagai calon suaminya.
Ouw Seng Bu
memang cerdik luar biasa. Dia tahu bahwa latihan ilmu Bu-kek Hoat-keng yang
ditemukannya di dalam sumur membuat ia berubah dan merasa aneh. Karena itu,
setiap kali berlatih ilmu tersebut, dia selalu melakukannya dengan
sembunyi-sembunyi, apa lagi setelah kini Kim Giok berada di Thian-li-pang.
Juga, dia
melarang keras anak buahnya untuk melakukan perbuatan yang akan menjadi celaan
orang, dan memerintahkan mereka agar bertindak seperti pejuang-pejuang yang
gagah. Hal ini bertujuan untuk menjaga nama baik Thian-li-pang dan untuk
menarik hati para pendekar agar mau bergabung dengan mereka.
Untuk biaya
perkumpulannya, diam-diam, tanpa kekerasaan yang menyolok, mereka masih
menguasai semua tempat pelesir mau pun tempat judi. Juga dengan halus tetapi
mengandung ancaman maut, mereka bisa memeras para pedagang untuk setiap bulan
menyerahkan uang sumbangan kepada Thian-li-pang!
Ada pula
anggota yang tugasnya melakukan pencurian di rumah-rumah para hartawan dan
bangsawan, akan tetapi mereka yang bertugas mencuri adalah anggota yang ilmu
kepandaiannya sudah tinggi dan tiap kali melakukan pencurian, mereka selalu
menutupi muka dengan kain hitam. Juga, mereka dipesan agar sampai mati pun
tidak mengakui bahwa mereka adalah orang Thian-li-pang, yaitu kalau mereka
sampai tertangkap ketika melakukan pencurian. Pesan ini harus mereka taati,
karena Seng Bu mengancam akan menyiksa dan membunuh seluruh keluarga anggota
Thian-li-pang yang tidak mentaati pesan itu.
Demikianlah,
dengan hasil yang cukup berlimpah, Seng Bu dapat semakin memperkuat
Thian-li-pang menjadi perkumpulan yang cukup mewah, walau pun kini tidak ada
lagi anggota yang melakukan kejahatan secara berterang.
Sebenarnya,
semenjak kecil Ouw Seng Bu memang digembleng untuk menjadi seorang pendekar dan
patriot. Sebelum dia secara kebetulan menemukan ilmu di dalam sumur tua dan
mempelajarinya, dia adalah seorang murid Thian-li-pang yang baik dan gagah
perkasa. Bahkan mendiang Lauw Kang Hui menaruh harapan besar kepada muridnya
ini.
Akan tetapi,
sejak dia melatih diri dengan ilmu Bu-kek Hoat-keng secara keliru, terjadi
kelainan pada batinnya, seakan-akan dia mendapat gangguan jiwa. Dia menjadi
aneh, ganas, kejam, licik dan haus akan kekuasaan dan kemenangan!
Watak aneh
ini memang tidak begitu kelihatan, tidak menonjol apabila dia tidak sedang
berlatih ilmu itu, akan tetapi telah menjadi watak kedua yang telah tenggelam
di dasar hatinya dan sewaktu-waktu dapat muncul secara tidak terduga, walau pun
pada lahirnya dia nampak tetap sebagai seorang pendekar yang gagah dan baik.
Pada suatu
hari, Thian-li-pang menerima banyak tamu yang memang diundang, yaitu para
pimpinan perkumpulan yang sudah menakluk kepada Thian-li-pang, dan ada pula
beberapa orang pimpinan perkumpulan yang belum bekerja sama akan tetapi sengaja
diundang dalam kesempatan itu untuk dibujuk dan diajak bekerja sama. Tak kurang
dari lima puluh orang tokoh-tokoh kang-ouw yang hadir, sebagian besar dari
mereka yang telah mau bekerja sama dengan Thian-li-pang adalah mereka yang
terdiri dari golongan hitam.
Dalam
pertemuan yang diadakan bagaikan dalam pesta ini, Cu Kim Giok dipersilakan
hadir. Tentu saja ia dianggap sebagai seorang tamu kehormatan dan kursinya
berada di sebelah kanan kursi ketua Thian-li-pang.
Ouw Seng Bu
nampak tampan dan gagah pada hari itu, dengan pakaian yang baru dan wajahnya
berseri menyaksikan betapa semua undangan datang hadir. Ini membuktikan bahwa
Thian-li-pang mulai dikenal dan ditaati.
Siangkoan
Kok yang juga nampak gagah dan berwibawa, duduk di sebelah kirinya, dan
kehadiran tokoh besar ketua Pao-beng-pai ini saja sebagai pembantunya, sebagai
wakil ketua, sudah menambah kewibawaan Ouw Seng Bu sebagai ketua Thian-li-pang.
Kabar tentang kelihaian pemuda ini terdengar luas di dunia kang-ouw.
Setelah
semua tamu hadir dan disuguhi arak. Siangkoan Kok yang mewakili ketuanya,
bangkit berdiri dan mengucapkan selamat datang dengan mengangkat secawan arak,
mengajak semua yang hadir minum. Kemudian dia melanjutkan dengan suara lantang.
"Cuwi
(Anda sekalian) tentu sudah mengenal saya. Tentu Cuwi merasa heran mengapa saya
sebagai bekas ketua Pao-beng-pai yang sudah gagal dan hancur oleh pasukan
pemerintah, sekarang bisa menjadi wakil Thian-li-pang. Hendaknya Cuwi ketahui
bahwa Thian-li-pang merupakan satu perkumpulan yang sehaluan dengan
Pao-beng-pai, yaitu perkumpulan para pejuang yang hendak merobohkan pemerintah
penjajahan, kemudian membebaskan rakyat dan tanah air dari belenggu penjajah
bangsa Mancu. Oleh karena itu, bagi Cuwi yang belum mengadakan perjanjian kerja
sama dengan kami, diharapkan saat ini juga menyatakan kesediaan untuk kerja
sama itu, untuk membantu perjuangan kami, demi tanah air dan bangsa."
Sambutan
tepuk sorak menyatakan setuju dengan ucapan Siangkoan Kok itu. Dan para
pemimpin kelompok yang datang sebagai tamu undangan dan belum bersekutu dengan
Thian-li-pang, segera menyatakan kesediaan mereka.
Akan tetapi
pada saat itu, para penjaga, yaitu murid-murid Thian-li-pang yang berada di
luar ruangan pertemuan, melaporkan dengan suara lantang.
"Rombongan
pemimpin Bu-tong-pai datang berkunjung!"
Semua orang
terkejut dan merasa heran, termasuk Ouw Seng Bu dan Siangkoan Kok. Bu-tong-pai
termasuk satu di antara partai-partai persilatan yang tidak dapat diharapkan
untuk bekerja sama, yaitu partai-partai seperti Siauw-lim-pai, Kun-lun-pai,
Go-bi-pai dan Hoa-san-pai yang menganggap diri mereka sebagai partai ‘bersih’
dan yang tidak mau bergaul dengan kelompok lain yang mereka anggap kotor, hitam
atau sesat!
Bahkan
dahulu Pao-beng-pai juga tidak berhasil menarik golongan itu sebagai kawan
seperjuangan. Dan sekarang, rombongan pemimpin Bu-tong-pai itu datang
berkunjung?
Dengan
tenang Seng Bu dari Siangkoan Kok bangkit menyambut ketika lima orang tosu itu
memasuki ruangan dengan sikap mereka yang tenang dan gagah. Mereka terdiri dari
lima orang tosu yang berusia antara lima puluh sampai enam puluh tahun,
dipimpin oleh Thian Tocu, tosu yang berusia enam puluh tahun, berjenggot
panjang dan memegang sebatang tongkat.
Tosu ini
adalah seorang ketua kuil yang menjadi cabang perguruan Bu-tong-pai di kota
Hun-kiang, kurang lebih lima puluh li dari Bukit Naga. Empat orang tosu lainnya
adalah adik-adik seperguruannya. Lima orang tosu ini rata-rata memiliki ilmu
silat Bu-tong-pai yang telah tinggi tingkatnya. Jika Thian Tocu membawa
sebatang tongkat, empat orang sute-nya membawa pedang di punggung mereka.
Pakaian mereka sederhana, dengan jubah tosu yang lebar berwarna biru
menyelimuti pakaian yang berwarna kuning muda, dan rambut mereka digelung ke
atas. Sikap mereka tenang dan lembut.
Siangkoan
Kok mengenal Thian Tocu karena tokoh Bu-tong-pai ini pernah berkunjung ketika
Pao-beng-pai mengadakan pesta ulang tahun, maka cepat-cepat dia mengangkat
kedua tangan memberi hormat.
"Ahh,
kiranya Totiang Thian Tocu dan para Totiang tokoh Bu-tong-pai yang kini datang
berkunjung." Ia menoleh kepada Seng Bu, dan berkata, "Pangcu, mereka
adalah Thian Tocu Totiang dan para tokoh Bu-tong-pai lainnya. Dan Cuwi Totiang
(Bapak Pendeta Sekalian), ini adalah Ouw Pangcu, ketua Thian-li-pang
kami."
Ouw Seng Bu
yang pandai membawa diri segera memberi hormat dan berkata, "Maaf, karena
Cuwi Totiang tidak memberi tahu terlebih dahulu akan kunjungan ini, maka kami
terlambat menyambut. Silakan Cuwi mengambil tempat duduk."
Lima orang
tosu itu tidak mempedulikan Siangkoan Kok, dan sejak tadi mereka semua
mengamati Ouw Seng Bu dengan penuh perhatian. Mereka sudah mendengar banyak
berita tentang ketua baru Thian-li-pang yang sepak terjangnya mengejutkan.
Kabarnya,
ketua itu masih muda akan tetapi mempunyai ilmu kepandaian tinggi, bahkan
menarik bekas ketua Pao-beng-pai yang terkenal sebagai seorang datuk itu
menjadi wakilnya. Juga bahwa kini Thian-li-pang sudah menaklukkan hampir semua
kelompok dan kekuatan di dunia kang-ouw.
Melihat
bahwa ketua itu memang masih muda, bersikap lembut dan sopan, mereka lalu
mengangkat kedua tangan depan dada.
"Siancai..."
kata Thian Tocu sambil memandang kagum. "Kiranya Ouw-pangcu, ketua
Thian-li-pang masih amat muda, akan tetapi telah membuat nama besar. Terima
kasih, kami datang hanya untuk melihat bukti dan mengajukan beberapa
pertanyaan, bukan untuk bertamu. Kami bahkan tak tahu bahwa pagi ini
Thian-li-pang sedang mengadakan pertemuan dengan banyak tokoh kang-ouw."
Tosu itu
memandang ke sekeliling dan mendapat kenyataan bahwa yang hadir adalah
orang-orang kang-ouw dari daerah itu. Sebagian besar di antara mereka ialah
golongan hitam. Bahkan ada pendeta Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai hadir pula di
situ.
Ouw Seng Bu
mengerutkan alisnya, akan tetapi hanya sebentar dan wajahnya sudah cerah dan
ramah kembali. "Kalau begitu kehendak Totiang, silakan."
"Begini
Ouw Pangcu. Sejak Sin-ciang Taihiap, yaitu Yo Taihiap yang menjadi pemimpin
Thian-li-pang dan kemudian kedudukan ketua diserahkan pada pangcu Lauw Kang
Hui, Thian-li-pang terkenal sebagai perkumpulan pejuang yang gagah berani dan
bijaksana, bahkan berhubungan dekat dengan para pendekar di dunia persilatan.
Akan tetapi, tiba-tiba saja kami mendengar bahwa Thian-li-pang mengalami
perubahan. Kabarnya, para pemimpinnya terbunuh dan kedudukan ketua dipegang
oleh Ouw Pangcu. Yang lebih mengherankan lagi, menurut desas-desus itu, para
pimpinan Thian-li-pang yang lama itu dibunuh oleh Yo Taihiap! Kami semua merasa
heran dan sama sekali tidak percaya, hanya karena urusan itu merupakan urusan
dalam Thian-li-pang, kami terpaksa berdiam diri. Tetapi, melihat sepak terjang
Thian-li-pang akhir-akhir ini, terpaksa pinto dan adik-adik seperguruan
memberanikan diri lancang berkunjung untuk mengajukan pertanyaan kepada
Pangcu."
"To-yu,
kalau hendak bertanya, tanya saja. Mengapa berbelit-belit seperti itu?"
Tiba-tiba Siangkoan Kok berseru dengan suara lantang karena kakek ini sudah
tidak sabar lagi mendengar ucapan tosu Bu-tong-pai itu.
"Benar,
Totiang, tanyalah, kami tidak menyembunyikan sesuatu," kata Seng Bu.
"Ouw
Pangcu, kami melihat betapa Thian-li-pang sudah mengubah seluruh sikapnya.
Thian-li-pang menaklukkan hampir semua perkumpulan dan kelompok para pejuang,
mengadakan hubungan dengan semua pihak tanpa pilih bulu. Thian-li-pang
menguasai pula semua tempat hiburan, tempat maksiat, dan Thian-li-pang
melakukan pemerasan kepada para hartawan. Padahal, semua ini tidak dilakukan
ketika Lauw Pangcu masih menjadi ketua. Kenapa setelah para pimpinan
Thian-li-pang tewas secara rahasia, tiba-tiba Ouw Pangcu yang menjadi ketua
tanpa pengumuman kepada para kenalan, dan Ouw Pangcu mengadakan perubahan yang
berlawanan dengan sikap Thian-li-pang dulu? Kami melihat Thian-li-pang telah
menyimpang dari jalan benar, maka kami terus terang saja merasa curiga dengan
perubahan ini. Yang lebih mengejutkan kami, adanya desas-desus disebarkan oleh
orang-orang Thian-li-pang bahwa beberapa hari yang lalu, Ouw Pangcu telah
membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han di sini! Nah, itulah penasaran yang mendorong
kami datang pada pagi ini, untuk minta penjelasan dari para pimpinan
Thian-li-pang!"
Siangkoan
Kok bangkit berdiri dengan muka berubah merah dan mata melotot. "Tosu
Bu-tong-pai, kalian berani mencampuri urusan pribadi Thian-li-pang?!"
Ouw Seng Bu
juga bangkit berdiri dan menyabarkannya. "Sudahlah, Paman. Biarkan aku
yang menghadapi mereka."
"Tapi,
Pangcu. Mereka ini sungguh tidak tahu aturan!"
"Paman
Siangkoan Kok, duduklah dan biarkan aku yang menangani urusan ini!" kata
pula Seng Bu.
Nada
suaranya mengandung sesuatu yang membuat Siangkoan Kok duduk kembali dengan
muka cemberut dan mata masih merah ketika dia memandang ke arah lima orang tosu
Bu-tong-pai itu. Untuk mendinginkan hatinya, dia pun menuangkan arak dari cawan
ke dalam mulutnya.
Kini Ouw Seng
Bu menghampiri lima orang tosu itu dan berhadapan dengan mereka, sikapnya masih
tenang saja. Cu Kim Giok yang sejak tadi hanya menjadi penonton yang berhati
tegang, merasa kagum akan sikap kekasihnya itu. Betapa tenang dan lembutnya
pemuda yang menjadi ketua Thian-li-pang itu!
"Ngo-wi
Totiang (Bapak Pendeta berlima), kami akan menjawab semua pertanyaan dari
Totiang tadi. Tadi Totiang Thian Tocu menyinggung mengenai terbunuhnya suhu
Lauw Kang Hui dan beberapa orang pimpinan kami. Memang hal itu benar, dan
pembunuhnya adalah Sin-ciang Taihiap Yo Han. Hal ini bisa kami ketahui dari
luka yang terdapat pada mayat korban karena pukulan itu hanya dapat dilakukan
oleh Yo Han saja. Mengapa dia melakukan semua pembunuhan itu? Mungkin untuk
membalaskan sakit hati gurunya, kakek yang menjadi orang hukuman di sini karena
menentang pimpinan. Mungkin juga dia hendak menguasai Thian-li-pang dan
memusuhi kami yang berlawanan pendapat dan sikap dengan dia. Tentang perubahan
yang terjadi di Thian-li-pang semenjak saya dipilih menjadi ketua, itu memang
benar. Kami menganggap bahwa perjuangan bukan monopoli golongan pendekar saja,
melainkan menjadi tugas setiap orang warga negara untuk menyelamatkan bangsa
dari penjajah Mancu. Kami berkeyakinan bahwa tanpa adanya persatuan dari semua
pihak, perjuangan akan gagal. Oleh karena itulah, kami sengaja mengadakan
hubungan dengan semua pihak yang menentang pemerintah, dan kami akan
menundukkan dan memaksa golongan yang menjadi antek penjajah untuk membantu
perjuangan kami. Ada pun penguasaan atas semua tempat pelesiran dan meminta
sumbangan dari kaum hartawan, memang hal itu kami lakukan karena dari mana kami
akan memperoleh biaya? Kalau tempat-tempat maksiat itu dibiarkan tanpa
pengontrolan kami, tentu akan menjadi sarang golongan penjahat. Juga, apa
salahnya mengajak para hartawan membantu perjuangan dengan menyumbangkan
sedikit harta mereka? Bila kebijaksanaan kami mengenai perjuangan bangsa ini
tidak cocok dengan keinginan pihak Bu-tong-pai, maaf, hal itu sama sekali tak
ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Selama ini kami sendiri pun belum
pernah mencampuri urusan dapur dan kamar Bu-tong-pai."
"Siancai...
keterangan Ouw Pangcu masuk di akal sungguh pun belum meyakinkan kami tentang
Sin-ciang Taihiap. Lalu bagaimana dengan berita tentang tewasnya Sin-ciang
Taihiap Yo Han di tangan Pangcu? Benarkah itu, ataukah hanya berita isapan
jempol belaka?"
Cu Kim Giok
mengerutkan alisnya. Sikap tosu itu terlalu sombong, pikirnya, dan terlalu
memandang rendah kepada Ouw Seng Bu. Akan tetapi sikap ketua Thian-li-pang itu
tetap tenang menghadapi ucapan yang nadanya tidak percaya dan meremehkan itu.
"Totiang,
Yo Han memang muncul di sini dan dia berusaha untuk membunuhku. Dia datang dan
pura-pura hendak menyelidiki kematian suhu dan yang lain-lain. Akan tetapi
ketika berada di bagian belakang perkampungan kami, dia lalu menyerangku dan
nyaris membunuhku. Masih untung aku dapat mempertahankan diri dan dengan
bantuan para anggota Thian-li-pang, kami berhasil membuat dia jatuh terjungkal
ke dalam sumur tua dan tewas, walau pun aku sendiri harus menerima pukulan
darinya."
"Siancai...!
Sin-ciang Taihiap adalah seorang pendekar budiman, seorang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Bagaimana mungkin dia dapat dikalahkan demikian mudahnya?
Cerita Pangcu itu sukar untuk diterima begitu saja..."
Sepasang
mata Seng Bu mencorong dan suaranya terdengar dingin sekali. "Totiang tak
percaya pada keteranganku?"
"Bagaimana
kami dapat percaya?" kata Thian Tocu. "Jika kami sudah melihat
buktinya, barulah kami dapat percaya."
"Totiang
adalah seorang tokoh besar dan pemimpin Bu-tong-pai, bagaimana kini dapat
bersikap seperti anak kecil begini?" tiba-tiba saja terdengar suara merdu
dan lantang. "Akulah yang menjadi saksi akan kebenaran keterangan Ouw
Pangcu. Aku pula yang membantu dia mengobati luka di dadanya yang kena pukulan
tangan Sin-ciang Taihiap Yo Han!"
Semua orang
memandang. Lima orang tosu Bu-tong-pai kini memperhatikan Kim Giok dengan
pandang mata penuh selidik. "Siancai, kalau boleh kami mengetahui,
siapakah Nona dan apa hubungan Nona dengan Ouw Pangcu?"
"Totiang,
Nona ini adalah Nona Cu Kim Giok, puteri dari majikan Lembah Naga Siluman,
pendekar Cu Kun Tek. Dia keturunan keluarga Cu, penghuni Lembah Naga Siluman.
Apakah Totiang juga meragukan ucapannya dan tidak percaya?" kata Ouw Seng
Bu.
Lima orang
tosu itu nampak kaget, akan tetapi Thian Tocu mengerutkan alisnya dan pandang
matanya kepada gadis itu nampak ragu. Seorang gadis cantik manis bermata indah
yang usianya paling banyak baru delapan belas tahun! Kalau benar gadis itu
puteri keluarga yang amat terkenal itu, bagaimana dapat berada di
Thian-li-pang?
"Maafkan
kami, Nona. Kami belum pernah melihat Nona, walau pun kami sudah pernah
mendengar akan nama besar keluarga Lembah Naga Siluman. Bagaimana kami dapat
yakin bahwa Nona adalah puteri majikan Lembah Naga Siluman?"
"Singgg...!!"
Nampak sinar
berkelebat menyilaukan mata dan Kim Giok sudah mencabut pedangnya.
"Pendeta yang sombong, lihatlah baik-baik, apakah engkau masih meragukan
pedangku ini?" bentak Kim Giok.
Pedang
Koai-liong Po-kiam nampak berkilat menyilaukan mata dan ketika dicabut tadi,
suara berdesingnya mengandung suara seperti harimau mengaum.
Melihat
pedang itu, Thian Tocu amat terkejut dan cepat dia memberi hormat.
"Koai-liong Po-kiam! Ahhh, maafkan kami, nona Cu. Setelah Nona maju
sebagai saksi, kami tidak meragukan kebenarannya. Akan tetapi, yang membuat
kami sulit untuk percaya adalah bagaimana mungkin Sin-ciang Taihiap dapat
dikalahkah oleh Ouw Pangcu yang murid mendiang Lauw Pangcu? Padahal, Lauw
Pangcu sendiri, gurunya, tidak akan mampu menandingi Sin-ciang Taihiap!
Bukankah hal ini amat aneh dan sukar dipercaya?"
"Ngo-wi
Totiang," kata Ouw Seng Bu, suaranya terdengar dingin dan pandang matanya
mencorong, "Apakah seorang murid harus lebih lemah dibandingkan gurunya?
Ingatlah, Totiang, orang muda memiliki kesempatan yang jauh lebih banyak untuk
memperoleh kemajuan dari pada gurunya yang sudah tua. Kalau Ngo-wi masih belum
percaya akan kemampuanku sehingga aku terpilih menjadi ketua Thian-li-pang dan
dapat menandingi Yo Han, silakan Totiang berlima maju dan menguji
kemampuanku!"
Mendengar
tantangan ini, lima orang tosu Bu-tong-pai saling pandang. Mereka adalah
tokoh-tokoh Bu-tong-pai, dan kini mereka berlima ditantang untuk menghadapi
seorang pemuda!
"Ha-ha-ha,
aku berani mempertaruhkan kepalaku bahwa lima orang kakek Bu-tong-pai yang
sombong ini tidak akan mampu bertahan sampai tiga puluh jurus melawan Ouw
Pangcu. Ha-ha-ha!" kata Siangkoan Kok sambil tertawa mengejek dan minum
araknya.
Itulah
ejekan yang amat merendahkan lima orang tosu itu! Mempertaruhkan kepalanya!
Akan tetapi ini bukan sekedar bualan kosong belaka. Siangkoan Kok sudah
mengenal lima orang tosu itu dan tahu akan tingkat kepandaian mereka berlima.
Dia sendiri pun akan mampu menandingi pengeroyokan lima orang tosu itu, walau
pun dia belum dapat memastikan bahwa dia akan berada di pihak pemenang.
Kalau lima
orang itu tidak disatukan, hanya sebanding dengan tingkatnya. Maka tidak
mungkin mereka berlima mampu bertahan sampai tiga puluh jurus menghadapi pemuda
ketua Thian-li-pang yang memiliki ilmu kepandaian aneh namun dahsyat itu.
"Siancai!
Thian-li-pang sungguh memandang rendah Bu-tong-pai, dan kami ingin sekali
membuktikan apakah ketua baru Thian-li-pang memang seorang sakti yang mampu
menewaskan Sin-ciang Taihiap. Ouw Pangcu, kami berlima mohon petunjuk!"
berkata demikian, Thian Tocu melintangkan tongkatnya di depan dada, sedangkan
empat orang sute-nya juga sudah mencabut pedang masing-masing dan mereka
membuat suatu barisan ngo-heng-tin (barisan lima unsur).
Ouw Seng Bu
maklum bahwa dia harus memperlihatkan kepandaiannya. Bukan saja untuk menundukkan
dan sekedar memberi hajaran kepada lima orang tosu yang sudah memandang rendah
kepadanya itu, melainkan juga untuk mendatangkan kesan kepada mereka yang belum
mau bekerja sama atau tunduk kepada Thian-li-pang.
Dia tahu
bahwa peristiwa ini tentu akan disebar luaskan oleh mereka yang kini hadir, dan
sebentar saja dunia kang-ouw akan mendengar betapa ketua Thian-li-pang sudah
mengalahkan lima orang tosu tokoh Bu-tong-pai. Dia lalu maju dan menghadapi
kelima orang tosu yang sudah memasang barisan di tengah ruangan itu, di tempat
yang cukup luas. Semua tamu menonton dengan hati penuh ketegangan.
Melihat Ouw
Seng Bu menghadapi lima orang tosu itu dengan tangan kosong, padahal lima orang
itu memegang senjata dan mereka membentuk suatu barisan, hati Kim Giok menjadi
resah.
"Ouw
Pangcu, gunakan pedangku ini!" katanya dan dia pun sudah meloncat ke
depan, mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan menyerahkan pedang itu kepada
Seng Bu.
Ouw Seng Bu
merasa gembira bukan main. Dengan ilmunya yang ajaib, yaitu Bu-kek Hoat-keng,
dia tidak gentar menghadapi pengeroyokan lima orang tosu itu walau pun dia
tidak memegang senjata. Akan tetapi, sikap gadis itu yang menyerahkan pedangnya
kepadanya, membuktikan bahwa Kim Giok benar-benar sangat sayang kepadanya dan
mengkhawatirkan keselamatannya. Dia pun menerima pedang itu.
"Terima
kasih, sebetulnya tanpa pedang pun aku tidak gentar menghadapi lima orang tosu
yang tinggi hati ini."
"Ouw
Pangcu, sambutlah serangan kami ini!" berkata Thian Tocu sambil
menggerakkan tongkatnya menyerang.
Seng Bu
langsung menyambut dengan pedang Koai-liong Po-kiam dan terdengar suara
mengaung menyeramkan karena dia menggerakkan pedang itu dengan mengerahkan
sinkang-nya.
Thian Tocu
yang mengenal pedang ampuh, menarik kembali tongkatnya dan meloncat ke samping.
Dua orang tosu lain sudah menyerang dari kanan kiri, diikuti dua orang lain
lagi yang juga telah siap-siap untuk melakukan serangan sambung menyambung.
Thian Tocu sendiri yang sudah menyelinap ke arah belakang lawan juga telah
bersiap dengan tongkatnya.
Seng Bu
maklum bahwa lima orang tosu itu menjadi berbahaya sebab mereka bergerak
mengikuti kedudukan bintang Ngo-heng yang perubahannya otomatis dan kadang amat
ganas itu. Seng Bu mengerahkan tenaga Bu-kek Hoat-keng dan memutar pedangnya.
Tubuhnya lenyap terbungkus gulungan sinar pedang yang menyilaukan mata dan
suara mengaung-ngaung itu sungguh menggetakkan hati para pengeroyok.
Karena cara
Seng Bu bergerak amatlah aneh, seperti kacau balau akan tetapi semua serangan
senjata lawan dapat digagalkan, lima orang tosu itu terseret oleh kekacauan
gerakannya sehingga kerapian gerakan barisan Ngo-heng-tin itu juga menjadi
retak.
Tiba-tiba
Seng Bu mengeluarkan teriakan melengking yang begitu nyaring mengerikan,
sehingga bukan saja membuat lima orang lawannya terkejut, juga semua orang yang
berada di situ tergetar dan merasa ngeri. Teriakan itu bukan seperti suara
manusia, mengandung gaung yang aneh, yang seketika membuat lima orang tosu itu
bagaikan kehilangan kesadaran. Lalu terdengarlah suara keras lima kali
berturut-turut, dan empat batang pedang beserta sebatang tongkat sudah
tersambar dan patah-patah oleh sinar pedang Koai-liong Po-kiam!
Lima orang
tosu itu berlompatan mundur. Hati mereka kaget bukan main. Dalam waktu belasan
jurus saja, senjata mereka telah patah-patah dan ini berarti bahwa mereka telah
kalah. Ucapan Siangkoan Kok tadi terbukti!
"Ha-ha-ha,
sekawanan tosu sombong ini sekarang baru menyaksikan tingginya langit!"
Siangkoan Kok tertawa bergelak, diikuti pula oleh mereka yang memang sudah
tunduk kepada Thian-li-pang.
Seng Bu yang
tadinya seperti kesetanan, sekarang sudah tenang kembali. Dia pun lalu
menghampiri Kim Giok untuk mengembalikan pedang gadis itu.
Gadis itu
masih duduk tercengang. Tadi dia melihat betapa pemuda pujaan itu seperti sudah
berubah. Gerakannya demikian aneh, seperti bukan orang bersilat, seperti orang
gila atau binatang buas mengamuk. Dan suaranya tadi! Juga matanya mencorong
aneh dan mengerikan!
Akan tetapi,
sekarang dia sudah kembali menjadi seorang pemuda yang tampan serta lembut
seperti biasanya, yang mengembalikan pedangnya dengan senyum yang manis sekali.
Ia pun menerima pedang itu dan menyarungkannya kembali, tanpa mengalihkan
pandang matanya dari wajah pemuda itu.
"Terima
kasih, Giok-moi," kata Seng Bu dan dia pun kembali menghadapi lima orang
tosu yang masih berdiri tertegun.
"Apakah
Totiang berlima kini masih penasaran? Masih tidak percaya bahwa aku sudah
mengalahkan Yo Han yang hendak membunuhku dan sekarang ia telah tewas di dalam
sumur tua?" tanyanya tersenyum, akan tetapi senyumnya dingin dan pandang
matanya mengejek dan merendahkan.
Lima orang
tosu itu merasa penasaran sekali. Amat sukar bagi mereka untuk menerima
kekalahan dari seorang pemuda, padahal mereka tadi maju bersama.
"Ouw
Pangcu, senjata kami rusak karena keampuhan pedang Koai-liong Pokiam, akan
tetapi kami belum merasa kalah," kata Thian Tocu.
"Lalu
Totiang mau apa?" Seng Bu menantang.
"Kita
lanjutkan pertandingan dengan tangan kosong agar kalah menang ditentukan oleh
kepandaian, bukan oleh keampuhan senjata."
"Baik,
kalau Totiang masih penasaran, silakan!" Seng Bu menantang.
"Ha-ha-ha-ha,
dasar tosu-tosu tolol, tidak tahu diri!" Siangkoan Kok mencela dari tempat
duduknya. "Semua orang tahu belaka bahwa orang-orang Bu-tong-pai
mengandalkan ilmu pedangnya. Kalau menggunakan pedang saja kalah, apa lagi
bertangan kosong. Mencari penyakit saja, ha-ha-ha, para tosu tolol yang mencari
penyakit!" Bekas ketua Pao-beng-pai ini tertawa-tawa.
Mendengar
ejekan Siangkoan Kok, lima orang tosu Bu-tong-pai menjadi marah. Mereka sudah
memasang kuda-kuda dan Thian Tocu berseru, "Ouw Pangcu, sambut serangan
kami!"
Orang-orang
telah memiliki ilmu kepandaian tinggi seperti Cu Kim Giok, Siangkoan Kok dan
beberapa orang di antara tamu, terkejut melihat cara lima orang tosu itu
membuka serangan mereka. Thian Tocu berada di depan, empat orang sute-nya
menempelkan telapak tangan di punggungnya. Jelas bahwa mereka berlima itu
menyatukan tenaga sakti mereka untuk mengalahkan Seng Bu.
Kim Giok
terkejut sekali. Gadis ini maklum betapa kuatnya tenaga lima orang tosu yang
dipersatukan itu. Bahkan Siangkoan Kok sendiri mengerutkan kening dan memandang
khawatir. Akan tetapi Kim Giok menahan teriakannya yang ingin mencegah
kekasihnya menyambut serangan itu karena memang sudah terlambat.
Seng Bu sama
sekali tidak mengelak, bahkan dia juga mendorong kedua telapak tangan ke depan
untuk menyambut serangan gabungan itu.
"Desss...!!"
Dua pasang
telapak tangan bertemu dengan dahsyatnya dan akibatnya, lima orang tosu itu
terjengkang roboh!
Ilmu yang
dikuasai Seng Bu memang hebat dan aneh. Biar pun dipelajarinya secara ngawur
dan tidak menurut aturan, namun tidak kehilangan keampuhannya, bahkan lebih
aneh lagi dan mengandung racun yang hebat.
Ilmu Bu-kek
Hoat-keng yang asli, biar pun dahsyat akan tetapi dapat dikendalikan, dan
memang memiliki daya tolak atau mengembalikan kekuatan lawan yang menyerangnya.
Akan tetapi, yang dikuasai Seng Bu sudah berubah, tenaga dahsyat itu tidak
dapat dikendalikannya dan mengandung racun hebat. Akan tetapi daya tolaknya
masih ampuh sehingga ketika lima orang tosu itu menyerangnya dengan tenaga
gabungan yang amat dahsyat, tenaga itu membalik dan memukul diri mereka
sendiri!
Peristiwa
robohnya lima orang tosu ini sangat mengejutkan semua orang, namun amat
mengagumkan dan melegakan hati Kim Giok. Bahkan Siangkoan Kok sendiri terkejut
dan kagum bukan main, membuat dia semakin yakin akan kelihaian ketua
Thian-li-pang yang masih muda itu.
Lima orang
tosu itu bangkit dengan muka pucat. Yang paling parah adalah Thian Tocu yang
muntah darah.
Seng Bu
memberi hormat dan berkata, "Totiang berlima sudah merasakan sendiri bukti
ketanguhan kami. Sebaiknya kalau Totiang membawa Bu-tong-pai agar bekerja sama
dengan kami untuk berjuang bersama, dan kalau pun Bu-tong-pai menolak, kami
harap tidak lagi mengganggu kami."
"Maafkan
kami yang tidak tahu diri, kami mengaku kalah," kata Thian Tocu dan
dibantu empat orang sute-nya, dia pun meninggalkan tempat itu diikuti suara
tawa Siangkoan Kok…..
***************
Thian Tocu
dengan susah payah menuruni Bukit Naga, dibantu empat orang sute-nya yang juga
menderita luka guncangan dalam dada. Mereka terpukul oleh tenaga mereka sendiri
yang membalik, akan tetapi yang paling parah adalah Thian Tocu karena dia bukan
saja terguncang hebat oleh pukulannya yang membalik, juga dia dilanda hawa
beracun yang membuat dadanya sesak dan warna kulit dadanya menghitam! Setelah
tiba di kaki bukit, Thian Tocu tidak tahan lagi dan roboh pingsan!
Pada saat
empat orang tosu dengan bingung merubung suheng mereka dan berusaha
menyadarkannya, mereka mendengar suara seorang wanita yang bertanya,
"Totiang sekalian, apakah yang terjadi dan kenapa Totiang itu? Ehh,
bukankah kalian tosu-tosu dari Bu-tongpai?"
Empat orang
tosu itu menengok. Seorang gadis telah berdiri di situ. Gadis yang masih amat
muda, belum dua puluh tahun usianya. Cantik jelita dan gagah sekali sikapnya.
Pakaiannya berwarna serba merah.
"Aihh,
bukankah dia Thian Tocu Totiang dari Bu-tong-pai?" tanya gadis itu lagi
dengan nada suara heran. "Kenapa dia?"
Kini dua di
antara empat orang tosu itu teringat bahwa gadis ini pernah satu kali singgah
di kuil mereka.
"Kiranya
Ang-ho Lihiap (Pendekar Wanita Bangau Merah)!" seorang di antara mereka
berseru. "Kami berlima baru turun dari bukit, sehabis berkunjung ke
Thian-li-pang dan kami dilukai oleh ketuanya."
"Ahhh?!"
Gadis itu
adalah Tan Sian Li, Si Bangau Merah. Tentu saja ia merasa heran bukan main
mendengar bahwa ketua Thian-li-pang melukai lima orang tosu Bu-tong-pai.
Bukankah Thian-li-pang adalah perkumpulan para patriot gagah perkasa? Bahkan Yo
Han menjadi pemimpin besar mereka. Kenapa kini ketuanya memukul orang-orang
Bu-tong-pai? Jika ia tidak salah ingat, Yo Han pernah bercerita tentang
Thian-li-pang dan ketuanya adalah Lauw Kang Hui, seorang kakek yang gagah
perkasa.
Tetapi yang
lebih penting adalah menolong tosu yang terluka itu. Bu-tong-pai adalah
perkumpulan orang gagah, para muridnya pun banyak yang menjadi pendekar. Bahkan
ayahnya amat menghormati Bu-tong-pai, maka sudah sepantasnya kalau ia mencoba
menolong para tosu itu.
"Biarkan
aku memeriksanya, siapa tahu aku akan dapat mengobati dan menyembuhkan
dia," katanya.
Melihat
sikap gadis muda itu yang tenang dan tegas, empat orang tosu itu mundur dan
membiarkan Sian Li melakukan pemeriksaan. Sian Li berjongkok dekat tubuh Thian
Tocu yang masih pingsan, lalu memegang pergelangan tangannya, merasakan denyut
nadinya. Ia mengerutkan alisnya. Dari denyut nadi itu ia maklum bahwa keadaan
tosu itu cukup gawat dan dia menderita luka dalam yang mengandung hawa beracun!
"Coba
ceritakan, apa yang terjadi bagaimana dia sampai terluka dalam seperti
ini," katanya.
Empat orang
tosu itu lalu menceritakan mengenai perkelahian mereka melawan ketua
Thian-li-pang, tentang adu tenaga yang mengakibatkan mereka semua terluka.
Sian Li
mengerutkan alisnya. "Hemmm, sungguh aneh. Aku harus memeriksa keadaan
tubuhnya. Tolong bukakan bajunya, aku ingin memeriksa dadanya."
Seorang tosu
membuka baju yang menutupi dada Thian Tocu dan mereka terkejut melihat dada itu
kehitaman. Sian Li meraba dada itu dan mengangguk-angguk.
"Dia
telah terkena hawa beracun yang aneh sekali. Bagaimana mungkin seorang ketua
Thian-li-pang dapat melakukan pukulan sekeji ini?"
"Pemuda
itu memang keji, aneh, seperti iblis!"
"Pemuda?
Bukankah ketua Thian-lipang sudah tua?"
"Dia
masih muda sekali, Lihiap, paling tua baru dua puluh empat tahun."
"Ahhh?
Bukankah ketuanya bernama Lauw Kang Hui dan sudah tua?"
"Bukan.
Lauw Kang Hui sudah mati, dan dialah ketua baru yang penuh rahasia."
Sian Li
merasa heran sekali. "Biarlah kucoba mengobati suheng kalian ini lebih
dahulu," katanya.
Gadis murid
Yok-sian Lo-kai (Pengemis Tua Dewa Obat) ini lantas mengeluarkan dua batang
jarum emas. Dia mengobati Thian Tocu dengan cara menusuk jarum. Tidak sampai
setengah jam ia mengobati tosu tua itu, warna hitam di dada pendeta itu lenyap
dan tosu Bu-tong-pai itu siuman. Biar pun masih agak lemah, dia telah mampu
bangkit.
"Siancai...,
kiranya Si Bangau Merah yang telah mengobatiku. Banyak terima kasih atas
pertolonganmu, Tan Lihiap," kata Thian Tocu.
"Totiang,
apa sih yang telah terjadi di Thian-li-pang? Bukankah ketuanya bernama Lauw
Kang Hui, dan bagaimana sekarang tiba-tiba muncul ketua baru yang masih muda
dan memiliki ilmu pukulan keji itu? Aku sendiri hendak naik ke sana dan mencari
kalau-kalau Han-koko berada di sana."
"Siapakah
Han-koko itu, Lihiap?" tanya Thian Tocu.
"Yang
kumaksudkan adalah koko Yo Han, Sin-ciang Taihiap. Bukankah dia merupakan
pemimpin besar Thian-li-pang?"
Mendengar
ini, Thian Tocu menghela napas panjang dan wajahnya berubah muram.
"Siancai...,
suatu keanehan terjadi di atas sana, Lihiap." Dia memandang ke atas bukit.
"Karena terjadinya perubahan aneh di Thian-li-pang inilah maka kami
berlima datang terkunjung untuk melakukan penyelidikan dan meminta keterangan.
Akan tetapi, kami dihadapkan kepada kenyataan pahit, bahkan kami sampai terluka."
Tentu saja,
Sian Li tertarik sekali. "Ceritakan, Totiang. Apa sih yang terjadi dengan
Thian-li-pang?"
"Pada
mulanya kami mendengar berita yang meresahkan hati, bahwa para pimpinan
Thian-li-pang, yaitu Lauw Kang Hui serta beberapa orang pembantunya sudah
tewas. Kemudian terdengar berita lainnya bahwa Thian-li-pang mempunyai seorang
ketua baru dan sejak itu sepak terjang Thian-li-pang menjadi aneh. Mereka
menundukkan hampir semua perkumpulan silat dan tokoh kang-ouw di daerah ini,
membujuk atau memaksa mereka untuk bekerja sama. Bahkan dengan golongan sesat,
bersekutu pula dengan golongan Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Sebetulnya, kami
dari Bu-tong-pai tidak ingin mencampuri urusan dalam, sampai adanya sebuah
berita yang membuat kami merasa penasaran sekali dan memaksa kami untuk datang
berkunjung. Berita itu adalah bahwa para pemimpin Thian-li-pang itu dibunuh
oleh Sin-ciang Taihiap Yo Han."
"Ahhhh...
tidak mungkin...!!" Sian Li berseru, kaget bukan main.
"Kami
juga tidak percaya akan berita itu, Lihiap. Kami mengenal siapa adanya
Sin-ciang Taihiap. Apa lagi membunuh para pimpinan Thian-li-pang padahal dia
pemimpin besar di sana, bahkan para penjahat pun tiada yang dibunuhnya. Dia
menundukkan penjahat dan menasehatinya, membujuknya sehingga banyak penjahat
kembali ke jalan benar. Akan tetapi, muncul berita lain lagi yang terlalu aneh,
yang mendorong kami melakukan penyelidikan, yaitu bahwa baru beberapa hari ini,
Sin-ciang Taihiap dibunuh oleh ketua baru Thian-li-pang!"
"Ahhhhh...!!"
Kini Sian Li meloncat berdiri dan mukanya berubah pucat sekali, matanya
terbelalak. "Aku... aku tidak percaya!"
"Kami
juga tidak percaya akan keterangan yang diberikan ketua baru Thian-li-pang itu
sehingga terjadi bentrokan antara kami dan dia. Akan tetapi, dia ternyata amat
lihai dan memiliki ilmu pukulan yang amat keji. Kami kalah dan pergi dalam
keadaan terluka."
"Kalau
begitu, aku harus cepat menyelidiki ke sana. Selamat berpisah, Totiang!"
Setelah berkata demikian, nampak berkelebat bayangan merah dan Sian Li sudah
lenyap dari depan para tosu itu.
Thian Tocu
menghela napas panjang dan menggelengkan kepalanya.
"Sungguh
berbahaya sekali, tapi mudah-mudahan Tan Lihiap akan mampu menandingi iblis
itu," katanya. Mereka berlima merasa prihatin sekali, akan tetapi juga
tidak berdaya.
Dengan hati
diliputi kegelisahan mendengar Yo Han dibunuh ketua baru Thian-li-pang yang
kabarnya masih muda itu, Sian Li berloncatan dan mempergunakan ilmu berlari
cepat mendaki Bukit Naga.
"Berhenti!"
tiba-tiba terdengar seruan.
Dari balik
pohon dan semak belukar, berloncatan sepuluh orang anggota Thian-li-pang dan
mereka mengepung Sian Li. Ketika melihat bahwa yang datang tanpa diundang dan
mereka kepung itu hanya seorang gadis cantik berpakaian serba merah, sepuluh
orang anggota Thian-li-pang itu tertegun lalu mereka tertawa-tawa dan kembali
menyarungkan golok mereka.
Mereka tentu
saja memandang rendah seorang gadis cantik seperti Sian Li. Akan tetapi, biar
pun mereka kagum akan kecantikan Sian Li, mereka tidak berani bersikap kurang
ajar. Ketua mereka memiliki hubungan luas dengan dunia kang-ouw dan kalau
ternyata gadis ini seorang sahabat ketua mereka, maka kekurang ajaran mereka
cukup untuk menjadi alasan mereka dihukum berat oleh ketua mereka.
"Nona,
siapakah Nona dan ada keperluan apakah mendaki Bukit Naga? Apakah Nona seorang
tamu dari Thian-li-pang?"
Karena
merasa amat khawatir akan keselamatan Yo Han yang kabarnya sudah dibunuh oleh
ketua Thian-li-pang, Sian Li langsung saja bertanya, "Apakah kalian ini
anak buah Thian-li-pang?"
"Benar,
Nona. Siapakah Nona dan ada keperluan apa Nona datang berkunjung?"
"Siapakah
nama ketua Thian-li-pang sekarang?" tanya Sian Li.
Orang-orang
itu saling pandang. Mereka masih ragu-ragu karena belum tahu, apakah gadis ini
teman ataukah lawan.
“Ouw pangcu
kami bernama Ouw Seng Bu," berkata pemimpin mereka, seorang yang bertubuh
kurus kering dan mukanya kuning.
"Katakan
kepada Ouw-pangcu bahwa aku ingin bertemu. Namaku Tan Sian Li."
Mendengar
bahwa gadis cantik ini hendak bertemu dengan ketua mereka, orang-orang
Thian-li-pang itu tidak berani bersikap lancang. Si kurus kering berkata,
"Mari silakan mengikuti kami, Nona. Kami akan melaporkan kepada ketua
kami."
Sian Li
mengikuti mereka memasuki perkampungan Thian-li-pang dan berhenti di depan
gedung induk yang menjadi tempat tinggal ketua Thian-li-pang. Si kurus kering
segera masuk untuk melaporkan kepada Ouw Seng Bu.
Pada saat
itu, Ouw Seng Bu sedang bercakap-cakap dengan Siangkoan Kok dan Cu Kim Giok.
Siangkoan Kok sedang melaporkan tentang hasil ia menaklukkan partai-partai
persilatan dan perkumpulan besar di dunia kang-ouw untuk bekerja sama mendukung
perjuangan mereka menentang pemerintah penjajah.
Cu Kim Giok
hanya sebagai pendengar saja. Gadis ini makin kagum kepada Ouw Seng Bu dan
sekarang tidak lagi memandang rendah kepada Siangkoan Kok atau para tokoh
perkumpulan sesat yang telah bergabung dengan Thian-li-pang. Ia menganggap
bahwa dalam perjuangan menentang penjajah, memang semua kekuatan harus
dipersatukan, seperti yang dikatakan pemuda yang dicintanya itu.
Ia menyadari
sepenuhnya bahwa kadang-kadang kekasihnya itu bertindak kejam, tetapi ia lalu
menghibur hatinya yang merasa tidak cocok itu, bahwa memang demikianlah perjuangan.
Ia menganggap kekasihnya seorang pejuang sejati, seorang pahlawan dan pendekar.
Dan sikap Ouw Seng Bu terhadap dirinya demikian baik, sopan, ramah dan penuh
perhatian, penuh kasih sayang!
Daun pintu
ruangan itu diketuk orang. Ouw Seng Bu mengerutkan alisnya.
"Masuk!"
katanya lantang.
Si kurus
kering membuka daun pintu dan masuk, disambut bentakan Ouw Seng Bu. "Ada
urusan apa sampai engkau berani mengganggu kami?"
"Maaf,
Pangcu. Kami mengadakan penjagaan di lereng dan bertemu dengan seorang gadis berpakaian
merah yang menanyakan Pangcu dan minta bertemu dengan Pangcu. Karena itu, kami
mengajaknya datang dan sekarang ia menanti di ruangan depan."
"Siapakah
namanya dan apa keperluannya?"
"Ia
tidak mengatakan keperluannya, hanya ingin bicara dengan Pangcu dan namanya Tan
Sian Li..."
"Ahhh,
ia Sian Li...!" seru Cu Kim Giok kaget, heran dan juga girang.
"Si
Bangau Merah...!" seru pula Siangkoan Kok.
"Kalian
sudah mengenalnya?" tanya Ouw Seng Bu dengan heran. "Siapakah gadis
itu, Giok-moi?"
"Bu-koko,
Tan Sian Li adalah puterinya Paman Tan Sin Hong," jawab Kim Giok.
"Kami pernah saling bertemu dalam pesta ulang tahun Paman Suma Ceng
Liong."
"Dialah
Si Bangau Merah. Ayahnya adalah Pendekar Bangau Putih dan ibunya adalah
keturunan keluarga Istana Gurun Pasir," kata pula Siangkoan Kok.
"Ahhh...!"
Ouw Seng Bu terkejut sekali. "Ada keperluan apa ia datang ke sini? Aku
tidak mengenalnya." Lalu kepada si kurus kering dia berkata,
"Persilakan Nona Tan Sian Li untuk menunggu di ruangan tamu. Aku segera
menemuinya di sana."
Setelah si
kurus kering pergi, dia lalu menoleh kepada Kim Giok. "Giok-moi, engkau
mengenalnya dengan baik. Apa yang harus kulakukan?"
"Terus
terang aku agak khawatir, Koko, karena aku pernah mendengar bahwa Sian Li
saling mencinta dengan Yo Han. Jangan-jangan ia datang untuk..."
Wajah Ouw
Seng Bu berubah. "Ahh, kalau begitu kita harus membuat persiapan untuk
mengatasinya. Ia merupakan ancaman bagi kita."
"Koko,
harap engkau jangan mengganggu Sian Li. Kita harus mencari jalan agar ia tidak
memusuhi kita, bahkan membujuknya agar membantu perjuangan kita," kata Kim
Giok.
"Engkau
benar, Giok-moi. Akan tetapi bagaimana kalau ia tidak mau dan malah hendak
membalas dendam karena kematian Yo Han?"
"Kalau
begitu, kita habisi gadis itu karena membahayakan kita!" kata Siangkoan
Kok.
"Aku
tidak setuju!" kata Cu Kim Giok tegas, "Aku tidak rela kalau ia
dibunuh! Ia masih kerabat dekat orang tuaku. Tidak mungkin aku membiarkan orang
membunuhnya!"
"Giok-moi,
apakah engkau membiarkan dia membalas dendam atas kematian Yo Han dan
menghancurkan Thian-li-pang kita? Apakah engkau rela kalau dia membunuhku?
Kalau kita biarkan ia pergi, dan ia mengajak ayahnya dan semua keluarga
menyerang, kita akan celaka. Keluarga Suling Emas dan Gurun Pasir merupakan
kerabat dekat dan bagaimana kita dapat menanggulangi mereka yang memiliki
banyak orang sakti?"
"Tidak,
aku tak ingin ia membunuhmu, akan tetapi juga tak ingin engkau membunuhnya.
Kita mencari jalan terbaik. Aku akan membujuknya supaya dia mau melihat kenyataan
bahwa Yo Han tewas karena ulahnya sendiri dan agar ia tidak memusuhi
kita."
"Andai
kata usahamu itu gagal?"
"Kalau
begitu, terserah, akan tetapi aku tetap melarang dia dibunuh."
"Baiklah,
Giok-moi. Kalau dia berkeras kita tangkap dan tawan saja dia sebagai tamu, agar
dia melihat sepak terjang kita dalam perjuangan."
Terdengar
ketukan pada daun pintu diikuti suara si kurus kering tadi, "Lapor,
Pangcu. Nona Tan sudah menanti di ruangan tamu."
"Baik,
kami segera datang. Mari, Giok-moi!"
Siangkoan
Kok tidak ikut serta. Kalau dia muncul di depan Si Bangau Merah, tentu akan
mengejutkan gadis itu dan bisa mendatangkan kesan buruk pula karena mereka
pernah bermusuhan dan bertanding.
Sian Li
sudah menjadi tidak sabar akibat menanti terlalu lama, maka ketika mendengar
langkah orang dari dalam, dia sudah bangkit berdiri. Dapat dibayangkan betapa
heran hatinya ketika ia melihat bahwa yang muncul adalah seorang pemuda tampan
bersama seorang gadis yang dikenalnya sebagai Cu Kim Giok! Akan tetapi, ia
takut kalau salah lihat dan mungkin saja gadis itu orang lain yang hanya mirip
Cu Kim Giok, maka dia pun diam saja, hanya memandang penuh perhatian.
"Sian
Li...!" Cu Kim Giok yang berseru sambil menghampiri Si Bangau Merah.
"Kiranya engkau!"
"Jadi
benar engkau Cu Kim Giok? Kim Giok, bagaimana engkau dapat berada di
sini?"
"Panjang
ceritanya, Sian Li. Perkenalkan lebih dulu, ia ini adalah Ouw Seng Bu, pangcu
dari Thian-li-pang. Silakan duduk!"
Sian Li
masih keheranan, akan tetapi ia pun duduk berhadapan dengan mereka setelah
membalas penghormatan Ouw Seng Bu kepadanya. Dia melihat pangcu yang masih muda
itu bersikap sopan dan hormat sekali.
"Sungguh
merupakan kehormatan besar menerima kunjunganmu ini, Nona. Bukankah Nona yang
berjuluk Si Bangau Merah? Sudah lama kami mengenal nama besar Nona di dunia
kang-ouw," kata Ouw Seng Bu.
"Ouw-pangcu,
aku datang ke sini untuk mengajukan beberapa pertanyaan kepadamu. Kuharap
engkau suka menjawab sejujurnya!"
"Sian
Li, Ouw-pangcu adalah seorang pendekar gagah, seorang pahlawan bangsa yang
sedang berjuang untuk menentang penjajah Mancu. Sudah tentu dia akan menjawab
semua dengan sejujurnya," kata Cu Kim Giok.
"Kim
Giok, aku berurusan dengan Ouw-pangcu, harap engkau tidak mencampuri,"
kata Sian Li.
Dia masih
ragu dan heran melihat keakraban antara gadis itu dan ketua Thian-li-pang.
Memang dia merasa ingin tahu sekali bagaimana Kim Giok dapat berada di situ,
akan tetapi dia mengesampingkan keinginan tahu ini karena dia lebih
mementingkan jawaban tentang Thian-li-pang, dan terutama tentang Yo Han seperti
yang didengarnya dari para tosu Bu-tong-pai.
"Tanyalah,
Nona. Saya akan menjawab sejujurnya," kata Ouw Seng Bu.
Sian Li
berpikir, biar pun ia ingin sekali segera mendengar tentang Yo Han, akan tetapi
ia ingin mengajukan pertanyaan secara teratur.
"Ouw-pangcu,
aku mendengar berita bahwa Thian-li-pang sudah menaklukkan banyak partai
persilatan dan memaksa para tokoh kang-ouw untuk mau bekerja sama dengan
Thian-li-pang, bahkan Thian-li-pang bersekutu dengan perkumpulan-perkumpulan
sesat seperti Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai. Benarkah itu dan mengapa demikian!
Setahuku, Thian-li-pang adalah perkumpulan pejuang yang gagah perkasa dan
selalu menentang partai-partai sesat."
Ouw Seng Bu
tersenyum. Sebelum pendekar wanita itu mengajukan pertanyaan, dia sudah dapat
mengira apa yang akan dipertanyakan, maka dia pun tentu saja sudah siap dengan
jawabannya.
"Itulah
pertanyaanmu, Nona? Memang kami akui bahwa Thian-li-pang telah mengubah siasat.
Kami yakin benar bahwa tanpa adanya persatuan, pengerahan seluruh tenaga yang
ada di tanah air, mustahil akan dapat mengenyahkan penjajah Mancu dari tanah
air kita. Karena itulah, maka kami memang membujuk, bahkan kalau perlu memaksa,
menyadarkan semua pihak untuk mau bekerja sama dalam satu perjuangan menentang
penjajah dan membebaskan bangsa dari belenggu penjajahan. Karena itu, kami
tidak berpantang untuk bersekutu dengan pihak mana pun, termasuk dengan
Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-pai yang kami anggap sebagai rekan-rekan seperjuangan."
"Aku
setuju sekali dengan tindakan itu, Sian Li," kata Kim Giok.
"Begitukah,
Kim Giok? Sekarang pertanyaan ke dua. Aku juga mendengar bahwa para pimpinan
Thian-li-pang, termasuk pangcu Lauw Kang Hui, sudah tewas dibunuh orang.
Benarkah itu, dan kalau benar, apa yang terjadi dan siapa pelakunya?"
Dengan jantung berdebar namun wajah tetap tenang, sepasang matanya mencorong
mengamati wajah ketua Thian-li-pang itu, Sian Li menanti jawaban.
Ouw Seng Bu
menghela napas panjang sebelum menjawab. "Pertanyaan ini sangat
menyedihkan hati saya, akan tetapi selalu saja orang menanyakannya. Memang
benar, Nona. Suhu Lauw Kang Hui, juga suci Lu Sek dan suheng Lauw Kin, susiok
Su Kian dan susiok Thio Cu, mereka semua telah terbunuh. Bagaimana terjadinya,
kami semua tidak mengetahui jelas. Yang kami tahu adalah bahwa mereka itu tewas
dan dari tanda pukulan pada tubuh mereka, jelaslah bahwa pembunuhnya adalah
Sin-ciang Taihiap Yo Han."
"Tidak
mungkin!" Sian Li berteriak. "Sin-ciang Taihiap Yo Han adalah seorang
pendekar besar, bahkan dia juga tokoh pimpinan dan kehormatan dari
Thian-li-pang. Bagaimana mungkin dia membunuh para tokoh Thian-li-pang
sendiri?"
"Kami
sendiri memang merasa heran dan berduka, Nona. Dahulunya Sin-ciang Taihiap Yo
Han merupakan pujaan kami semua, menjadi tokoh kami. Akan tetapi banyak sekali
anggota Thian-li-pang yang menyaksikan kematian para tokoh kami itu dan jelas
bahwa mereka pun melihat bekas pukulan pada tubuh mereka, pembunuhnya adalah
Pendekar Tangan Sakti Yo Han."
"Hemmm,
begitukah? Sekarang pertanyaan terakhir. Aku mendengar bahwa engkau, Ouw Seng
Bu, sudah membunuh Sin-ciang Taihiap Yo Han. Benarkah hal itu?" berkata
demikian, Sian Li bangkit berdiri, matanya mencorong dan suaranya terdengar
lantang.
Ouw Seng Bu
nampak tegang dan gelisah, lehernya basah oleh peluh. "Nona Tan Sian Li,
sungguh hal ini amat menyedihkan. Entah apa yang telah terjadi pada diri
Sin-ciang Taihiap karena dia sudah berubah sama sekali. Dia datang dan
menyerang saya ketika saya berada di dekat sumur keramat di belakang bukit.
Saya terkena pukulannya yang ampuh sehingga hampir saja saya tewas. Akan
tetapi, para saudara di Thian-li-pang membela saya dan akhirnya Yo Taihiap
tergelincir ke dalam sumur tua itu. Karena kami semua takut kepadanya yang
seakan-akan sudah berubah menjadi seorang yang kejam dan hendak membunuhi kami,
terpaksa kami gunakan batu-batu untuk menutup sumur itu."
"Tidak...!
Bohong...! Aku tidak percaya! Kau kira aku tidak mengenal siapa Yo Han? Dia
adalah kakak angkatku, suheng-ku, dan orang yang paling kucinta di dunia ini.
Aku amat mengenalnya dan tidak mungkin dia melakukan semua itu. Bohong!"
"Maaf,
Sian Li," kata Cu Kim Giok. "Terpaksa sekali ini aku turut
mencampuri. Aku yang menanggung bahwa keterangan Ouw pangcu tadi benar semua, sebab
aku sendiri yang menjadi saksi. Aku yang mengobati luka yang diderita oleh
Ouw-pangcu akibat pukulan Yo Han! Dia terluka parah dan hampir saja tewas,
bagaimana engkau mengatakan dia berbohong?"
"Aku
tidak mengerti kenapa orang seperti engkau dapat berada di sini dan membela
ketua Thian-li-pang yang baru ini, Kim Giok, akan tetapi aku tidak peduli.
Siapa pun yang mengatakan bahwa Yo Han melakukan itu semua, aku tetap tidak
percaya kalau tidak melihat buktinya. Ouw Seng Bu, bawa aku ke tempat sumur
itu, di mana tadi kau katakan Yo Han tergelincir masuk!"
Ouw Seng Bu
menghela napas panjang. "Sungguh, ini merupakan masalah yang selalu
membuat kami semua sangat berduka, Nona. Akan tetapi kalau itu yang kau
kehendaki, marilah!"
Tanpa banyak
cakap lagi, Sian Li mengikuti Ouw Seng Bu dan Cu Kim Giok keluar dari ruangan
tamu itu dan menuju ke bagian belakang perkampungan Thian-li-pang, melalui
sebuah bukit kecil. Dia tidak peduli ketika melihat puluhan orang anggota
Thian-li-pang mengikuti mereka dari jarak jauh.
Setelah tiba
di sumur yang dimaksudkan, Ouw Seng Bu berhenti dan menunjuk ke arah sumur itu.
"Di situlah dia tergelincir masuk, Nona."
Mendengar
bahwa kekasihnya tergelincir ke dalam sumur tua itu dan sudah ditimbuni oleh
batu-batu, Sian Li merasa jantungnya seperti diremas dan kedua kakinya menjadi
limbung ketika dengan terhuyung ia menghampiri sumur itu. Ketika ia tiba di
tepi sumur dan melongok ke dalam, ingin rasanya dia menjerit melihat betapa
seluruh sumur telah tertutup batu. Memang tidak penuh sekali, akan tetapi
dasarnya tidak nampak karena tertutup batu-batuan.
Wajah Sian
Li menjadi pucat. Matanya mencorong, akan tetapi basah air mata ketika ia
membalikkan tubuh. Ia melihat bahwa Seng Bu masih berdiri tegak dan di
belakangnya nampak puluhan orang anak buah Thian-li-pang. Kim Giok berdiri di
samping Ouw Seng Bu dan kelihatan bingung dan gelisah.
"Ouw
Seng Bu, cepat perintahkan anak buahmu untuk menggali sumur ini, mengangkat
semua batu yang telah ditimbunkan ke dalamnya!"
"Aih,
Nona, bagaimana mungkin? Sumur ini merupakan sumur keramat bagi kami orang
Thian-li-pang..."
“Aku tidak
peduli! Batu-batu itu tadinya dilemparkan ke dalam sumur oleh orang-orang
Thian-li-pang, maka mereka pulalah yang harus mengangkatnya dari dalam sumur.
Aku ingin melihat bukti dari keteranganmu tadi. Aku ingin melihat... mayat...
Han-koko. Kalau engkau tak mau menuruti permintaanku, berarti engkau membohongi
aku, dan aku akan membunuhmu!"
"Sian
Li, kuharap engkau jangan bersikap seperti ini. Percayalah, kami tidak
berbohong. Lebih baik kita sekarang mengerahkan tenaga kita untuk membebaskan
bangsa ini dari cengkeraman penjajah, itu lebih mulia dari pada kita saling
bentrok sendiri. Tidak ada yang membohongimu, Sian Li. Agaknya telah terjadi
sesuatu sehingga Yo Han menjadi berubah..."
"Tutup
mulutmu, Kim Giok! Han-koko selamanya tidak berubah. Dia seorang pendekar dan
orang gagah sejati. Sedangkan Ouw Seng Bu ini orang macam apa? Kita tidak
mengenal dia dengan baik, siapa tahu semua ini hanya akal busuknya saja.
Buktinya, dia telah bersekongkol dengan golongan sesat!"
Pada saat
itu terdengar seruan keras dan para anggota Thian-li-pang otomatis membuat
gerakan mengepung sumur tua itu sehingga dengan sendirinya Sian Li juga berada
di dalam kepungan! Dan dari rombongan itu muncullah Siangkoan Kok bersama dua
orang berjubah pendeta yang bukan lain adalah Im Yang Ji tokoh Pat-kwa-pai dan
Kui Thiancu tokoh Pek-lian-kauw.
Ouw Seng Bu
kini melangkah maju dengan sikapnya yang gagah. Dengan suara yang dibuat
menyesal dia berkata, "Nona, semua ini adalah kesalahanmu sendiri. Engkau
tak percaya kepada kami dan hendak membongkar sumur keramat ini, berarti engkau
telah menghina Thian-li-pang. Karena kami sedang menghimpun tenaga untuk
perjuangan, maka sikapmu yang bermusuhan ini tentu saja akan membahayakan kami,
misalnya engkau melapor kepada pemerintah penjajah. Karena itu, menyerahlah,
terpaksa kami akan menawanmu."
"Singgg...!”
Nampak sinar emas mencorong dan di tangan gadis berpakaian merah itu telah
terdapat sebatang suling berselaput emas yang panjangnya seperti pedang.
"Hemmm,
dari sikapmu ini saja sudah menunjukkan dengan jelas bahwa engkau sudah
berbohong! Aku yakin bahwa engkau memutar balik kenyataan. Han-koko belum
tewas, atau andai kata dia tewas pun tentu engkau sengaja menjebaknya! Aku
yakin akan hal itu. Kini engkau hendak menawanku dan menyuruh aku menyerah?
Jangan bermimpi! Si Bangau Merah tak mengenal kata menyerah. Sekarang kalian
hendak mengandalkan pengeroyokan? Boleh, boleh! Kulihat bekas ketua
Pao-beng-pai, Siangkoan Kok, sudah berada pula di sini dan dua orang tosu ini
tentu juga merupakan orang-orang sesat!"
"Tangkap
gadis sombong ini!" Ouw Seng Bu membentak.
Siangkoan
Kok, dua orang tosu Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw, segera menggerakkan senjata
mereka. Ouw Seng Bu sendiri juga ikut menerjang maju dengan tangan kosong. Para
anggota Thian-li-pang mengepung ketat.
Menghadapi
para pengeroyok yang mulai menyerangnya, Sian Li memutar sulingnya hingga
nampaklah gulungan sinar emas menyambar-nyambar di antara berkelebatnya
bayangan merah. Gerakan gadis ini cepat bukan main, juga amat indah. Gulungan
sinar emas itu mengandung tenaga kuat sehingga dalam beberapa gebrakan saja,
beberapa batang senjata anak buah Thian-li-pang terlepas dari pegangan, bahkan
dua orang anggota perkumpulan itu roboh terkena sambaran sinar suling emas.
"Semua
mundur, biarkan kami saja yang menghadapinya!" bentak Ouw Seng Bu yang
maklum akan kelihaian Si Bangau Merah itu.
Para anggota
Thian-li-pang yang memang sudah merasa jeri segera mengendurkan pengepungan.
Sekarang yang menghadapi Sian Li hanya tinggal empat orang, yaitu Siangkoan
Kok, Im Yang Ji, Kui Thiancu dan Ouw Seng Bu sendiri.
Cu Kim Giok
masih belum bergerak. Ia hanya menonton tiga orang sekutunya yang kini mulai
menggerakkan senjata masing-masing menyerang gadis berpakaian merah yang
memegang suling emas itu. Agaknya, Ouw Seng Bu masih tak percaya kalau tiga
orang sekutunya yang merupakan tokoh-tokoh kang-ouw yang sangat tangguh itu
tidak akan mampu menundukkan Sian Li.
"Bu-koko,
engkau tidak boleh membunuhnya. Aku akan marah sekali kepadamu kalau engkau
membunuhnya."
"Giok-moi,
dia berbahaya sekali. Kalau sampai lolos, dia tentu akan melapor kepada
pemerintah dan jika pasukan besar pemerintah datang menyerbu, kita masih belum
siap menghadapi mereka."
"Tangkap
saja, tawan saja akan tetapi jangan dibunuh. Aku tidak rela kalau ia dibunuh.
Kita adalah pejuang-pejuang, tidak akan membunuhi kaum pendekar, Koko!"
Ouw Seng Bu
mengangguk. Dia pun maklum bahwa membunuh Si Bangau Merah akan mendatangkan
akibat yang amat berbahaya. Jika sampai Pendekar Sakti Bangau Putih mendengar
bahwa puterinya terbunuh oleh Thian-li-pang, dan kemudian pendekar sakti itu
mengerahkan kekuatan keluarga Pulau Es beserta Gurun Pasir, bagaimana mungkin
Thian-li-pang akan kuat bertahan?
"Paman
Siangkoan Kok dan kedua Totiang, tangkap saja Si Bangau Merah ini, jangan
dibunuh dan jangan dilukai. Kami hanya ingin menawannya," serunya kepada
tiga orang sekutunya.
Mendengar
seruan ketua Thian-li-pang itu, tiga orang tokoh yang mengeroyok Sian Li
mengubah gerakan mereka. Siangkoan Kok mempergunakan pedangnya hanya untuk
menangkis suling emas di tangan gadis itu, sedangkan serangan dilakukan oleh
tangan kirinya, dengan cengkeraman, tamparan atau totokan.
Demikian
pula dengan dua orang tosu pengeroyok. Im Yang Ji, tokoh dari Pat-kwa-pai
memutar pedang hanya untuk mengurung gadis itu dengan sinar pedangnya dan yang
menyerang adalah tangan kirinya dengan ilmu totokan yang ampuh dari
Pat-kwa-pai, dengan gerakan ilmu silat Pat-kwa-kun.
Juga Kui
Thiancu, tokoh Pek-lian-kauw yang menyerang dengan ujung lengan bajunya yang
kiri, menotok untuk merobohkan Sian Li, sedangkan pedangnya juga hanya untuk
membendung gerakan suling emas yang dahsyat itu.
Kalau dibuat
perbandingan, tingkat kepandaian Sian Li masih lebih tinggi dari pada tingkat
kepandaian tokoh Pat-kwa-pai atau tokoh Pek-lian-kauw itu. Akan tetapi, bagai
mana pun gadis yang usianya belum genap dua puluh tahun itu masih ketinggalan
kalau dibandingkan dengan kepandaian Siangkoan Kok, datuk sesat yang mempunyai
banyak pengalaman itu.
Menghadapi
pengeroyokan tiga orang tokoh itu, tentu saja Sian Li merasa berat sekali.
Dalam beberapa gebrakan saja dia sudah merasa betapa tangannya yang memegang
suling tergetar hebat. Dia pasti tidak akan mampu bertahan terlalu lama kalau
tiga orang pengeroyoknya itu menyerang dengan sungguh-sungguh.
Akan tetapi
ketika Ouw Seng Bu mencegah mereka agar tidak membunuhnya, maka hal itu membuat
Sian Li mampu bertahan lebih baik. Bahkan beberapa kali sambaran sinar
sulingnya hampir saja mengenai tubuh lawan.
Pada waktu
melihat betapa tiga orang sekutunya yang biasanya dapat diandalkan untuk
menundukkan tokoh-tokoh kang-ouw yang tidak mau bekerja sama itu sampai sekian
lamanya belum juga mampu menundukkan Si Bangau Merah, Ouw Seng Bu menjadi tidak
sabar lagi. Dia melompat ke dalam medan perkelahian itu.
"Bu-koko,
jangan bunuh atau lukai Sian Li!" Cu Kim Giok berteriak.
Ouw Seng Bu
juga tidak bodoh untuk membunuh seorang tokoh semacam Si Bangau Merah, apa lagi
bila Cu Kim Giok yang dicintanya itu melarangnya. Dia sudah meloncat dan
mengeluarkan ilmunya yang aneh, yaitu Bu-kek Hoat-keng yang salah latihan. Akan
tetapi dia menjaga supaya tangannya yang mengandung racun ampuh itu tidak
sampai membunuh gadis yang diserangnya.
Ketika ada
angin pukulan yang amat dingin datang menerpanya, Sian Li yang memang sudah
terdesak, terkejut bukan main. Ia mengenal pukulan ampuh, dan untuk meloncat
menghindar, tak ada jalan lagi. Senjata tiga orang pengeroyoknya yang terdahulu
sudah menutup semua jalan keluar dengan sinar pedang mereka. Terpaksa dia
mengerahkan sinkang dan menyambut pukulan itu.
"Desss...!"
Sian Li
terhuyung dan kesempatan itu dipergunakan Siangkoan Kok untuk melancarkan
totokan jari tangannya sehingga tubuh Sian Li yang terhuyung itu nyaris terkena
totokan. Gadis yang memiliki ginkang luar biasa ini cepat-cepat memutar
sulingnya dan tubuh itu mencelat ke samping. Dalam keadaan yang amat gawat itu
ia masih dapat menghindar dari totokan! Akan tetapi, kini empat orang lihai itu
sudah mengepungnya.
Pada saat
yang amat gawat bagi Sian Li itu muncullah dua orang yang tanpa banyak cakap
lagi segera terjun ke dalam perkelahian itu. Mereka itu adalah seorang pemuda
dan seorang gadis cantik yang bukan lain adalah Pangeran Cia Sun dan Sim Hui
Eng, atau tadinya bernama Siangkoan Eng!
Seperti kita
ketahui, Pangeran Cia Sun ditawan oleh Sim Hui Eng yang mengira bahwa pangeran
itu yang sudah menyebabkan kematian ibunya dan kehancuran Pao-beng-pai.
Kemudian pangeran itu membuka rahasia Hui Eng sehingga gadis itu pun mengetahui
bahwa ia bukanlah puteri Siangkoan Kok, bukan pula puteri mendiang Lauw Cu Si
yang selama ini dianggapnya sebagai ibu kandungnya. Dalam pertemuan itu, mereka
bahkan saling menemukan cinta mereka. Akhirnya Cia Sun mengajak Hui Eng untuk
menemui orang tua kandungnya yang asli, yaitu pendekar sakti Sim Houw dan Can
Bi Lan.
Di dalam
perjalanan, mereka mendengar tentang sepak terjang Thian-li-pang yang telah
menaklukkan banyak tokoh dan perkumpulan kang-ouw. Hal ini tentu saja
menimbulkan kecurigaan di hati Cia Sun.
Dia sudah
menjadi saudara angkat Yo Han. Dia tahu pula bahwa Thian-li-pang adalah sebuah
perkumpulan pejuang, perkumpulan para pendekar gagah perkasa yang sedang
berjuang bagi kemerdekaan tanah air dan bangsanya. Bahkan saudara angkatnya
itu, Si Tangan Sakti Yo Han, menjadi ketua kehormatan perkumpulan itu.
Akan tetapi,
apa yang didengarnya sekarang? Perkumpulan itu memaksa para tokoh kang-ouw
untuk tunduk, bahkan juga terdengar bahwa para anggota perkumpulan itu tidak
segan melakukan kejahatan.
"Aku
harus datang ke sana, aku harus menegur kakakku Yo Han!" kata pangeran
itu.
Sim Hui Eng
siap membantu kekasihnya untuk menegur Yo Han supaya menghentikan sepak terjang
Thian-li-pang yang tidak baik itu. Demikianlah, mereka lalu membelokkan
perjalanan dan menuju ke Bukit Naga, pusat perkumpulan Thian-li-pang.
Ketika tiba
di tempat itu dan melihat Sian Li tengah dikeroyok oleh empat orang, Sim Hui
Eng berkata kepada pangeran Cia Sun, "Koko, itu Si Bangau Merah Tan Sian
Li yang dikeroyok!"
Cia Sun
memandang dan merasa kagum. Gadis berpakaian serba merah itu memang lihai bukan
main. Begitu gagah dia memainkan suling emasnya, dan gadis itulah yang
dijodohkan dengan dia! Jika saja tidak ada Sim Hui Eng yang dicinta dan
mencintanya, tentu akan berubah sikapnya terhadap pilihan orang tuanya itu.
Akan tetapi dia mencinta Sim Hui Eng, dan tidak ada seorang bidadari pun yang
akan mampu memisahkan dia dan Hui Eng.
"Kalau
begitu, kita harus membantunya."
"Benar,
kita harus membantunya. Lihatlah, para pengepungnya itu lihai, bahkan bekas
ayahku yang jahat itu pun ikut mengeroyoknya."
Dengan kemarahan
meluap karena teringat akan perbuatan Siangkoan Kok yang amat jahat, karena
terbayang kembali betapa ia dihajar dan hampir dibunuh oleh bekas ketua
Pao-beng-pai itu, serta apa yang dilakukan orang yang bertahun-tahun ia anggap
ayah kandungnya itu terhadap Tio Sui Lan, muridnya sendiri, membuat ia marah
dan ketika ia melompat dan menerjang ke arah Siangkoan Kok, serangannya dahsyat
bukan main. Pedang di tangan kanannya dan kebutan di tangan kirinya menyambar
dahsyat dengan jarum-jarum maut!
"Ehhh...
kau...!??" Siangkoan Kok terkejut bukan main ketika mengenal penyerangnya.
Akan tetapi,
Hui Eng tidak memberi dia banyak kesempatan. Gadis itu telah menyerang terus,
membuat Siangkoan Kok terpaksa melayaninya dengan sungguh-sungguh karena dia
maklum bahwa tingkat kepandaian bekas puterinya ini sudah mencapai tingkat
tinggi dan tidak banyak selisihnya dengan tingkat kepandaiannya sendiri. Ada
pun Cia Sun sudah memutar pedangnya pula membantu Sian Li sehingga Si Bangau
Merah itu kini mendapat keringanan, tidak lagi terdesak seperti tadi.
Sian Li
sendiri terkejut dan heran melihat Sim Hui Eng. Ia masih mengenal gadis itu
sebagai gadis Pao-beng-pai yang pernah datang mengacau dalam pesta keluarga di
rumah pendekar Suma Ceng Liong. Dan kini gadis itu membantunya, bahkan
bertanding seru melawan bekas ketua Pao-beng-pai sendiri!
Juga ia tak
mengenal siapa pemuda bertubuh tegap bermuka bundar putih dan tampan itu, yang
datang membantunya pula. Akan tetapi Si Bangau Merah segera bisa melihat
kenyataan bahwa biar pun bantuan mereka berdua itu telah menolongnya dari
himpitan para pengeroyoknya, akan tetapi tingkat kepandaian mereka belum cukup
tinggi untuk mampu merebut kemenangan dari para pimpinan Thian-li-pang.
"Bu-koko,
jangan bunuh mereka! Jangan!" kembali Cu Kini Giok berseru.
Melihat
kesempatan setelah ia tidak lagi begitu terhimpit berkat pertolongan kedua
orang itu, Sian Li segera memutar sulingnya dan berkata, "Sobat, mari kita
pergi!"
Ia memutar
sulingnya dengan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas) dan
tangan kirinya masih meluncurkan pukulan jarak jauh sehingga dua orang tosu
dari Pat-kwa-pai dan Pek-lian-kauw terpaksa harus mundur.
Cia Sun
maklum bahwa kalau Si Bangau Merah berteriak mengajak mereka pergi, hal itu
tentu berarti bahwa pihak musuh terlampau kuat. Maka dia pun berseru,
"Eng-moi, kita pergi!"
Tiga orang
muda itu berloncatan dengan cepat untuk melarikan diri. Ketika Ouw Seng Bu
hendak mengejar, Kim Giok berseru, "Koko, jangan kejar mereka!"
Ouw Seng Bu
meragu dan hal ini menguntungkan Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng. Kecuali Ouw Seng
Bu dan Siangkoan Kok, tidak ada yang akan mampu menahan mereka pergi. Dan
agaknya, oleh karena Ouw Seng Bu ragu-ragu untuk melakukan pengejaran akibat
pencegahan Cu Kim Giok, maka Siangkoan Kok juga jeri untuk melakukan pengejaran
sendiri. Semua keraguan ini membuat Sian Li, Cia Sun dan Hui Eng dapat berlari
cepat, pergi meninggalkan sarang Thian-li-pang…..
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment