Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 18
Tiba-tiba
terdengar suara teriakan dan Hong Li melihat salah seorang di antara anggota
rombongan penyerbu terperosok ke dalam pasir berputar! Nah, sudah mulai,
pikirnya dengan hati penuh kengerian. Dari menara itu ia melihat betapa orang
yang terperosok itu meronta-ronta dan sebentar saja tubuhnya sudah tersedot
pasir sampai ke dada.
Akan tetapi,
kakek yang memimpin rombongan itu ternyata cukup cerdik juga. Ia telah
mengambil segulung tali yang agaknya memang sudah dipersiapkan dan melemparkan
ujung tali ke arah orang yang terperosok. Orang itu menangkap ujung tali dan
dia pun ditarik keluar dari kubangan pasir maut.
Hong Li
menarik napas lega. Betapa pun jahatnya orang-orang itu, hati kecilnya tidak
menyetujui niat subo-nya yang agaknya hendak membunuh mereka semua. Biar pun ia
suka sekali mempelajari ilmu silat, namun ia tidak suka melihat pembunuhan, apa
lagi kalau pembunuhan itu dilakukan hanya karena urusan sepele saja. Kalau para
penyerbu itu memang jahat, ia lebih suka melihat gurunya menghajar mereka saja
tanpa perlu membunuh. Pembunuhan mendatangkan suatu rasa ngeri dalam hatinya.
Kini kakek
yang memimpin rombongan itu, yang jenggotnya putih dan panjang, memberi aba-aba
pada para anak buahnya untuk menyerbu terus dan jangan takut menghadapi
jebakan-jebakan! Melihat betapa seorang temannya yang tadi terjebak dapat
ditolong ke luar, anak buah Cin-sa-pang itu menjadi berani dan mereka
menggunakan golok untuk membabati semak-semak yang menghadang di depan mereka.
Berhamburanlah
daun-daun dan semak-semak sehingga Hong Li mengerutkan alisnya. Celaka,
pikirnya, orang-orang itu hendak merusak tumbuh-tumbuhan dan tempat tinggal
gurunya akan menjadi buruk dan rusak keindahannya.
Akan tetapi,
tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan dan empat orang di antara rombongan itu
roboh, berkelojotan dan tidak mampu bangun kembali. Kakek berjenggot panjang
dan anak buahnya yang lain terkejut, cepat memeriksa dan mereka terkejut
melihat bahwa empat orang itu ternyata telah tewas dan di leher mereka nampak
luka kecil menghitam. Di dalam luka itu masih nampak ujung sebatang jarum yang
seluruhnya telah masuk ke dalam leher! Jelaslah bahwa empat orang itu tewas
karena serangan senjata gelap, jarum-jarum beracun yang amat berbahaya.
"Awas
senjata rahasia!" teriak kakek itu.
Sisa anak
buahnya yang tinggal sebelas orang itu kini bersiap siaga dengan golok di
tangan. Akan tetapi yang muncul bukan senjata rahasia, melainkan empat orang
wanita yang tadi melepas jarum-jarum beracun itu. Sin-kiam Mo-li dan tiga orang
pembantunya sudah berloncatan keluar dari balik semak-semak. Sin-kiam Mo-li
marah bukan main melihat rombongan itu membabati tumbuh-tumbuhan di situ.
Kakek
berjenggot putih panjang, bajak tunggal yang lihai dari Lan-cang itu lalu
berseru, "Inilah siluman itu!" Dan dia pun sudah menggerakkan
pedangnya menyerang Sin-kiam Mo-li.
Sedangkan
Louw Pa yang berjuluk Cin-sa Pa-cu, sudah memberi aba-aba kepada anak buahnya
untuk menyerbu. Ia sendiri juga menggerakkan sepasang goloknya, membantu kakek
berjenggot panjang untuk mengeroyok Sin-kiam Mo-li. Anak buahnya yang tinggal
sepuluh orang lagi itu kini menerjang tiga orang wanita cantik yang berpakaian
merah, putih, dan hitam dan segera terjadi perkelahian yang amat seru.
Melihat
serangan pedang kakek berjenggot putih, Sin-kiam Mo-li mengeluarkan suara
mendengus penuh ejekan dari hidungnya. Biar pun kakek itu termasuk seorang
bajak tunggal yang lihai, namun melihat gerakan pedangnya, Sin-kiam Mo-li
maklum bahwa kepandaian kakek itu tak ada artinya baginya. Dengan amat mudahnya
ia pun mengelak dari sambaran pedang.
Louw Pa,
ketua Cin-sa-pang telah menggerakkan sepasang goloknya lagi. Menghadapi
serangan sepasang golok ini, Sin-kiam Mo-li dengan mudahnya meloncat mundur
untuk mengelak. Ketika dua orang lawannya itu menerjang lagi, Sin-kiam Mo-li
telah mencabut pedangnya. Begitu sinar pedang ini berkelebat, terdengar suara
nyaring dan sepasang golok di tangan Louw Pa patah-patah!
Louw Pa
menjadi pucat sekali dan dia sudah siap untuk meloncat ke belakang, namun
terlambat. Ada berkas sinar terang menyambar dan tahu-tahu tubuhnya telah
terjungkal dengan kepala terpisah dari tubuhnya. Darah muncrat-muncrat dari
leher yang terbabat putus oleh pedang di tangan Sin-kiam Mo-li itu!
Melihat ini,
tentu saja kakek berjenggot putih terkejut bukan main. Tingkat kepandaian Louw
Pa hanya selisih sedikit dengan kepandaiannya dan dalam segebrakan saja Louw Pa
tewas dengan leher putus! Maklumlah dia bahwa wanita itu sungguh lihai bukan
main. Akan tetapi hal ini sudah terlambat diketahuinya dan tidak ada lain jalan
baginya kecuali memutar pedangnya dan menyerang dengan dahsyat.
"Tranggg...
krekkk!"
Kembali
pedang di tangan bajak laut itu patah. Sebelum dia sempat mengelak, pedang di
tangan Sin-kiam Mo-li sudah terbenam ke dalam dadanya! Sin-kiam Mo-li mencabut
pedangnya sambil menendang tubuh di depannya itu. Tubuh kakek itu terlempar
diikuti ceceran darah dari dadanya dan tubuhnya terlempar masuk ke dalam
kubangan lumpur. Sebentar saja ular-ular sudah menyeretnya tenggelam ke dalam
lumpur itu.
Melihat
betapa ketiga orang pelayannya dikepung oleh sepuluh orang anak-anak buah
Cin-sa-pang, dengan geram Sin-kiam Mo-li menerjang maju. Pedangnya berkelebatan
dan berturut-turut terdengar orang menjerit dan empat orang di antara para
pengeroyok itu roboh mandi darah terkena sambaran pedang Sin-kiam Mo-li.
Menggiriskan sekali memang gerakan pedang wanita ini, dahsyat dan panas
sehingga tidak mengherankan kalau ia dijuluki Iblis Betina Pedang Sakti.
Pada saat
itu, di bagian selatan nampak ada asap tebal bergulung-gulung. Melihat ini,
Sin-kiam Mo-li terkejut dan tahulah ia bahwa rombongan ke dua telah beraksi.
Melihat bahwa jumlah pengeroyok tinggal enam orang dan tiga orang pelayannya
cukup kuat untuk mengatasi keenam orang itu, Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada
mereka, "Bunuh mereka semua, jangan sampai ada yang lolos!" Dan
setelah berkata demikian ia pun meloncat dan berlari cepat menuju ke tempat
kebakaran di selatan.
Dari atas
menara, Hong Li nonton semua itu dan mukanya berubah agak pucat, alisnya berkerut
dan hatinya diliputi kengerian. Ia tadi melihat betapa gurunya menyebar maut
dan dia masih bergidik melihat orang tinggi kurus yang memegang sepasang golok
itu dibabat buntung lehernya oleh pedang subo-nya. Melihat pembantaian itu,
beberapa kali ia memejamkan matanya dan hatinya terasa kacau dan gelisah.
Rasa sayang
yang mulai tumbuh di dalam hatinya terhadap subo-nya sekarang menjadi dingin.
Tidak disangkanya, subo-nya yang demikian ramah tamah, lemah lembut dan
nampaknya penuh kasih sayang, dapat bertindak sekejam itu, membunuhi orang
seperti membunuh nyamuk saja!
Pada hal,
semenjak kecil ayah dan ibunya selalu mengajarnya supaya menjadi seorang
pendekar yang membela kebenaran dan keadilan, bukan menjadi pembunuh manusia
mengandalkan ilmu silat yang dipelajarinya. Bahkan ayah dan bundanya selalu
mencela perbuatan orang yang menggunakan ilmu silat sembarangan membunuh orang
lain.
Antara lain
ayahnya pernah berkata bahwa mungkin sekali kita membunuh orang lain dalam
usaha membela diri dan membasmi kejahatan, tetapi bukan membunuh dengan tangan
dingin terhadap lawan yang jelas-jelas tidak mampu melawan. Membunuh untuk
menghindarkan diri dari ancaman maut dan membunuh untuk melawan perbuatan jahat
yang dilakukan orang, berbeda dengan membunuh lawan yang tidak berdaya atau
tidak mampu melawan.
Subo-nya
tadi membunuhi lawan yang jelas bukan menjadi lawannya. Baru segebrakan saja
subo-nya sudah membunuh tujuh orang, termasuk yang diserang dengan jarum
beracun, dan kini tiga orang pelayan itu sedang berusaha keras untuk membunuh
enam orang lagi, setelah mereka pun sudah membunuh tiga orang lawan dengan
jarum-jarum mereka.
Akan tetapi
perhatian Hong Li tertarik oleh gerakan subo-nya yang berlari cepat menuju ke
selatan. Di sana ia melihat rombongan yang lainnya dari orang-orang Cin-sa-pang
sedang membabati semak-semak, bahkan menumbangkan pohon-pohon dan sebagian
malah membakar semak-semak! Ada pula tadi di antara mereka yang terperosok ke
dalam kubangan lumpur dan pasir maut, namun teman-temannya, dipimpin oleh kakek
berkepala botak, menyelamatkan mereka yang terperosok itu dengan tali.
Dan kini,
sambil membabat dan membakar sana-sini, rombongan ini terus maju menuju ke
rumah yang nampak gentengnya dari tempat mereka merusak tumbuh-tumbuhan itu.
Akan tetapi
tiba-tiba nampak bayangan berkelebat dan tahu-tahu seorang wanita cantik yang
memegang pedang telah berada di depan mereka. Wanita cantik itu mengerutkan
alisnya dan memandang dengan sepasang mata berkilat-kilat.
Akan tetapi
hal lain yang menarik perhatian Hong Li. Agaknya hanya ia seorang yang dapat
melihat munculnya belasan orang dari arah selatan. Belasan orang ini berpakaian
putih-putih dan di depan mereka berjalan tujuh orang yang berpakaian seperti
pendeta dengan jubah panjang, rambut panjang digelung tinggi di atas kepala dan
dari jauh saja Hong Li dapat menduga bahwa tujuh orang itu, yang bentuk
tubuhnya berbeda-beda, tentulah pendeta-pendeta To, sedangkan belasan orang
berpakaian seragam putih itu berjalan berpasangan seperti sebuah pasukan kecil!
Saat tiba di
luar hutan yang menjadi batas daerah tempat tinggal subo-nya, rombongan orang
itu berhenti, kemudian hanya tujuh orang pendeta itu yang terus memasuki hutan
dan diam-diam Hong Li terkejut melihat betapa tujuh orang pendeta itu amat
lihainya, meloncati begitu saja tempat-tempat jebakan dan kubangan-kubangan
maut seolah-olah mereka telah hafal akan keadaan di tempat itu. Dan tak lama
kemudian tujuh orang pendeta itu telah mendekati tempat di mana subo-nya sedang
berhadapan dengan rombongan orang Cin-sa-pang.
Dengan
kemarahan meluap karena melihat tempatnya dirusak orang, Sin-kiam Mo-li
membentak, "Orang-orang Cin-sa-pang, kalau hari ini aku tidak dapat
menumpas kalian semua, jangan sebut aku Sin-kiam Mo-li!"
Melihat
munculnya wanita ini, kakek botak yang memimpin pasukan orang Cin-sa-pang itu
memberi aba-aba dan belasan orang itu lalu mengepung Sin-kiam Mo-li. Sebelum
Sin-kiam Mo-li bergerak, mendadak terdengar suara orang dan ternyata di situ
telah muncul tujuh orang tosu.
"Siancai,
Sin-kiam Mo-li yang gagah perkasa tak perlu turun tangan sendiri. Pinto dan
teman-teman akan membasmi tikus-tikus kurang ajar ini!"
Sebelum
Sin-kiam Mo-li sempat menjawab, tujuh orang itu telah menerjang. Mereka semua
bertangan kosong menerjang kepungan itu dari luar. Orang-orang Cin-sa-pang
terkejut dan menggerakkan golok untuk menyambut, akan tetapi mereka itu
bagaikan sekumpulan laron melawan api saja.
Dalam
beberapa gebrakan saja, enam belas orang termasuk kakek botak telah roboh semua
terkena tamparan-tamparan tangan tujuh orang tosu tadi. Demikian mudahnya tujuh
orang tosu itu memukul roboh dan menewaskan enam belas orang itu sehingga
Sin-kiam Mo-li sendiri terkejut.
Kini ia
memandang kepada tujuh orang tosu itu dengan alis berkerut, penuh curiga, juga
khawatir. Ia maklum bahwa jika ia harus melawan tujuh orang tosu ini, tentu
berbahaya karena mereka ini adalah lawan-lawan berat, bukan seperti orang-orang
Cin-sa-pang yang tak tahu diri itu.
"Hemm,
siapakah cu-wi totiang (bapak pendeta sekalian), dan mengapa mencampuri
urusanku tanpa kuminta?" Sikapnya cukup hormat, tetapi juga tegas dan
mengandung teguran-teguran karena hatinya merasa tidak senang bahwa ada
orang-orang yang memperlihatkan kepandaian menolongnya, seolah-olah ia tadi
terancam bahaya dan tak akan mampu menolong diri sendiri.
Seorang di
antara mereka, kakek tinggi kurus berwibawa yang rambut dan jenggotnya sudah
putih semua, membawa sebatang tongkat yang setinggi tubuhnya, kakek yang
usianya sudah tujuh puluh tahun lebih tapi masih nampak segar dan penuh
semangat, segera menjura.
"Sin-kiam
Mo-li, harap maafkan pinto sekalian. Sudah lama pinto sekalian mendengar nama besar
toanio (nyonya), akan tetapi belum sempat berkenalan. Kebetulan kami lewat
bersama teman-teman dan timbullah keinginan untuk bertamu dan menyampaikan
hormat kami. Melihat toanio dihadapi orang-orang kurang ajar itu, kami sebagai
tamu merasa berkewajiban untuk turun tangan, mewakili toanio menghajar mereka.
Harap mau memaafkan kelancangan kami dan menganggap hal itu sebagai uluran
tangan persahabatan kami."
Sin-kiam
Mo-li merasa senang melihat sikap yang hormat dari kakek itu, dan kini ia dapat
melihat tanda gambar pat-kwa di dada kakek itu, dan gambar bunga teratai di
dada beberapa orang kakek lain. Tahulah ia bahwa ia berhadapan dengan tosu-tosu
dari Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw, dua perkumpulan yang amat besar
pengaruhnya, memiliki banyak orang-orang pandai, pandai silat dan pandai sihir,
dan mereka terkenal sebagai pemberontak-pemberontak yang menentang pemerintah.
Maka, dia
pun tidak berani main-main. Lebih baik bersahabat dari pada bermusuhan dengan
orang-orang seperti mereka. Lagi pula, mereka ini sudah memperlihatkan sikap
bersahabat, maka ia pun membalas penghormatan mereka.
"Terima
kasih, cu-wi totiang baik sekali. Tidak tahu ada urusan penting apakah yang
membawa cuwi datang mengunjungi tempatku yang sunyi terpencil ini?"
"Toanio,
bagaimana kalau kita bicara saja di dalam rumah? Kami membawa bahan percakapan
yang amat penting."
Pada saat
itu, muncullah Ang Nio, Pek Nio dan Hek Nio. Mereka telah selesai pula membunuh
enam orang sisa rombongan musuh yang tadi ditinggalkan Sin-kiam Mo-li. Melihat
tiga orang pelayannya, Sin-kiam Mo-li cepat bertanya.
"Bagaimana
dengan musuh-musuh itu?"
"Semua
sudah tewas dan mayat-mayatnya sudah kami lenyapkan," kata Ang Nio.
"Bagus,
sekarang Pek Nio berdua Hek Nio menyingkirkan mayat-mayat ini, dan engkau Ang
Nio ikut bersamaku menyambut para tamu! Marilah, cuwi totiang, kita bicara di
dalam rumah saja," katanya mempersilakan tujuh orang tosu itu.
Dengan wajah
gembira tujuh orang pendeta itu mengikuti Sin-kiam Mo-li dan beberapa orang di
antara mereka tadi memandangi tiga orang pelayan cantik itu dengan mata
mengandung gairah.
Sementara
itu, Hong Li yang menyaksikan langsung pembunuhan yang dilakukan oleh rombongan
tosu itu, menjadi makin ngeri dan heran. Bagaimana ada pendeta-pendeta yang
demikian kejamnya, dalam waktu singkat membunuh enam belas orang demikian
mudahnya dengan pukulan-pukulan tangan dan tendangan kaki mereka.
Selain lihai
bukan main, juga para pendeta itu ternyata amat ganas dan kejam, hal yang sama
sekali tidak dimengertinya. Menurut apa yang diceritakan ayah bundanya, para
pendeta adalah orang-orang yang taat beragama, yang menjauhkan perbuatan jahat.
Akan tetapi
mengapa sejak pertemuannya dengan Ang I Lama, juga seorang pendeta, sampai
sekarang melihat tujuh orang tosu itu, para pendeta itu demikian jahatnya? Dan
bagaimana pula subo-nya yang dianggap sebagai seorang pendekar yang gagah
perkasa, kini mau menerima bantuan para pendeta kejam itu, bahkan kini mengajak
tujuh orang pendeta itu menuju ke rumah sebagai tamu yang dihormati? Dengan
hati mengandung perasaan tidak enak dan penasaran, Hong Li turun dari menara
itu dan masuk pula ke dalam rumah.
Setelah tiba
di dalam, ia langsung menuju ke ruangan dalam di mana ia mendengar suara para
pendeta itu tengah bercakap-cakap dengan gurunya. Ia masuk dan melihat subo-nya
duduk bersama tujuh orang pendeta itu menghadapi sebuah meja bundar dan Ang Nio
sibuk mengeluarkan arak dan hidangan.
Kembali Hong
Li terkejut. Para pendeta itu minum arak pula! Dan hidangan-hidangan itu pun
semuanya berdaging!
Percakapan
mereka terhenti ketika mereka yang sedang bercakap-cakap itu melihat munculnya
Hong Li, dan Sin-kiam Mo-li lalu berkata kepada muridnya, "Hong Li, engkau
bantulah Pek Nio dan Hek Nio berjaga-jaga di luar, waspadalah kalau-kalau ada
lagi musuh datang menyerbu. Jangan masuk ke sini sebelum kupanggil karena aku
sedang membicarakan urusan penting dengan para pendeta yang terhormat
ini."
Hong Li
mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada tujuh orang pendeta yang
kesemuanya juga menengok kepadanya.
"Baik,
subo," katanya lalu pergi dari ruangan itu. Akan tetapi ia masih dapat
mendengar ucapan-ucapan para tosu itu yang membuatnya mendongkol.
"Itu
muridmu? Aih, ia cantik dan berbakat sekali!"
"Manis
dan mungil!"
Kemudian
terdengar kata-kata pujian lain yang ditujukan untuk memuji kecantikan dan
kemanisannya. Sungguh menyebalkan, pikirnya. Biar pun pujian bahwa ia cantik
manis merupakan pujian biasa, akan tetapi di dalam suara para tosu itu
terkandung sesuatu yang menyebalkan hatinya, juga pandang mata mereka tadi yang
disertai senyuman menyeringai! Seketika timbul rasa tidak suka di dalam hatinya
terhadap para pendeta ini, mungkin pertama kali timbul melihat mereka membunuhi
orang-orang Cin-sa-pang tadi.
Setelah
keluar dari ruangan itu, Hong Li keluar dari dalam rumah, akan tetapi ia tidak
pergi mencari Pek Nio dan Hek Nio. Hatinya sedang mengkal dan ia pun tidak
bernapsu lagi untuk membantu dua orang itu. Ia bukan hanya kecewa dan
mendongkol terhadap subo-nya yang membunuhi orang, terhadap tujuh orang pendeta
itu, akan tetapi juga mendongkol terhadap tiga orang pelayan yang dianggapnya
juga kejam dan pembunuh-pembunuh berdarah dingin!
Maka ia
kemudian pergi ke taman bunga di belakang, tempat yang paling disenanginya,
tempat di mana dia selalu pergi menghibur diri di waktu ia merasa rindu kepada
orang tuanya. Dan sekarang ini ia merasa amat rindu akibat guncangan batin yang
dideritanya menyaksikan pembantaian tadi.
Rombongan
para tosu itu memimpin belasan orang anak buah Pek-lian-pai. Tujuh orang tosu
itu adalah tokoh-tokoh Pat-kwa-pai dan Pek-lian-pai, dan dalam kunjungan mereka
kepada Sin-kiam Mo-li dipimpin sendiri oleh wakil ketua Pat-kwa-pai, yaitu
Thian Kong Cinjin. Di antara mereka terdapat pula sute-nya, yaitu Ok Cin Cu
tokoh Pat-kwa-pai. Ada pun yang empat orang lain adalah tokoh-tokoh
Pek-lian-pai yang dipimpin oleh Thian Kek Sengjin dan tiga orang adalah
sute-nya, Coa-ong Sengjin si ahli ular, dan dua orang sute lain yang bernama
Ang Bin Tosu si muka merah dan Im Yang Tosu yang congkak.
Tujuh orang
pendeta ini merupakan tokoh-tokoh tingkat tinggi dari Pat-kwa-pai dan juga
Pek-lian-pai. Mereka sengaja diutus oleh kedua pimpinan partai itu untuk
menghubungi Sin-kiam Mo-li dan membujuk wanita sakti itu untuk mau bergabung
dengan mereka dan memperkuat pasukan pemberontak mereka.
Dengan
panjang lebar, para tosu itu menceritakan tentang perjuangan mereka, tentang
harapan-harapan dan pamrih yang muluk-muluk dalam gerakan mereka, sambil tak
lupa memamerkan kekuatan pasukan mereka. Mereka berusaha keras membujuk wanita
itu untuk bergabung.
Mula-mula
Sin-kiam Mo-li merasa ragu-ragu, akan tetapi ketika diingatkan bahwa wanita ini
memiliki musuh-musuh yang berpihak kepada Kerajaan Mancu, yaitu keluarga Pulau
Es dan keluarga Gurun Pasir, diingatkan betapa ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio,
juga tewas di tangan keluarga itu dan kalau bergabung dengan mereka maka wanita
itu lebih kuat dan lebih mudah membalas dendam, akhirnya Sin-kiam Mo-li
menerima uluran tangan itu.
Dengan
gembira para tosu itu kemudian mengatur rencana bersama Sin-kiam Mo-li, dan
mengangkat wanita itu menjadi pemimpin pasukan yang terdiri dari
anggota-anggota kedua partai itu bersama rakyat yang dapat mereka bujuk, untuk
memimpin pasukan dan bergerak dari barat. Mereka terus bercakap-cakap dengan
asyiknya sambil makan minum.
Tak lama
kemudian, para tosu yang lihai itu sudah terpengaruh arak. Wajah mereka sudah
menjadi merah, mereka tertawa-tawa dan kata-kata mereka semakin terlepas bebas.
Tidak lama kemudian Ang Nio yang tadi hanya seorang diri saja melayani para
tamu, kini telah dibantu oleh Pek Nio dan Hek Nio yang sudah kembali setelah
selesai menyingkirkan semua mayat musuh yang berserakan. Datangnya dua orang
pelayan cantik ini menambah kegembiraan para tosu dan mereka lalu berpesta pora
dengan gembira.
*************
Pada waktu
para tosu itu membunuhi enam belas orang Cin-sa-pang, ada dua orang bersembunyi
dan mengintai dari puncak sebatang pohon besar, agak jauh dari tempat itu.
Kedua orang ini adalah Sim Houw dan Bi Lan.
Mereka
berdua sempat nonton pembantaian yang dilakukan tujuh orang tosu itu tanpa
mampu turun tangan mencampuri karena ketika mereka naik ke atas pohon besar dan
mengintai lalu dapat melihat perkelahian itu, hampir semua anggota Cin-sa-pang
sudah terbunuh. Kedua orang pendekar ini bergidik penuh kengerian menyaksikan
kekejaman itu, akan tetapi mereka juga amat terkejut melihat kehadiran para
tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw di tempat itu.
"Wah,
kiranya mereka baru datang," kata Sim Houw kepada kekasihnya. "Kalau
mereka sudah menggabungkan diri dengan wanita itu, keadaan di sini tentu sangat
kuat. Kita tak boleh sembrono memasuki tempat ini, harus menyelidiki lebih
dahulu apakah benar nona Hong Li berada di sini seperti yang kita duga."
Bi Lan
mengangguk. "Memang berbahaya sekali tempat ini. Para tosu itu sudah amat
lihai dan kalau mereka itu memilih Sin-kiam Mo-li sebagai sekutu, tentu wanita
itu pun lihai bukan main. Apa lagi kalau diingat bahwa ia adalah anak angkat
mendiang Kim Hwa Nionio yang sakti. Kita memang harus berhati-hati. Lihat
itu!"
Keduanya
memandang dan kini melihat betapa Sin-kiam Mo-li meninggalkan tempat itu
bersama tujuh orang tosu, diikuti oleh pelayan berpakaian merah yang cantik
itu. Lalu mereka melihat betapa dua orang gadis lain, yang berpakaian serba
putih dan serba hitam, juga cantik-cantik, menyeret mayat-mayat yang berserakan
dan melemparkan mayat-mayat itu ke dalam dua kubangan, pasir dan lumpur. Dan
mereka melihat dengan hati ngeri betapa mayat-mayat itu disedot masuk dan
tenggelam ke dalam kubangan-kubangan itu, kemudian lenyap tanpa meninggalkan
bekas.
"Hemm,
kubangan-kubangan itu sangat berbahaya," kata Sim Houw. "Merupakan
suatu perangkap yang mengerikan, sekali kaki terperosok, akan sukarlah untuk
keluar lagi. Dan lihat, kedudukan semak-semak belukar dan pohon-pohon itu,
demikian teratur rapi merupakan barisan yang aneh. Aku yakin bahwa tempat ini
memang merupakan tempat berbahaya yang mengandung penuh rahasia dan jebakan.
Lihat, bukankah pepohonan itu tumbuh secara teratur dan dari sini berbentuk
pat-kwa (segi delapan)! Pernah aku mendengar tentang ilmu mengatur barisan yang
ditrapkan untuk membuat lorong-lororg rahasia yang menyesatkan dan berbahaya.
Agaknya Sin-kiam Mo-li ahli pula dalam ilmu ini. Kita selidiki dulu dari luar,
baru besok menyelinap ke dalam dengan hati-hati. Syukur kalau tujuh orang tosu
itu sudah meninggalkan tempat ini."
Dua orang
pendekar itu lalu turun dan mulai melakukan penyelidikan di sekitar tempat itu.
Dalam penyelidikan inilah mereka melihat belasan anak buah Pek-lian-pai sedang
bergerombol dan menanti kembalinya para pimpinan mereka yang kini menjadi tamu
Sin-kiam Mo-li. Juga mereka melihat lima buah perahu kosong yang tadi
dipergunakan orang-orang Cin-sa-pang untuk menyerbu tempat itu.
"Lihat
itu," Sim Houw tiba-tiba menunjuk ke sebuah jalur air yang berkelak-kelok
seperti ular. "Itu merupakan jalan air yang mengalir dari atas bukit
menuju ke Sungai Cin-sa ini. Tentu air hujan yang turun di atas bukit itu
mengalir melalui jalan air itu dan kiranya jalan itulah yang paling aman."
"Akan
tetapi, perlukah kita demikian berhati-hati sehingga kita harus masuk melalui
jalan yang aman dan tersembunyi bagaikan pencuri? Koko, mengapa kita tidak
masuk saja melalui jalan biasa, menghadapi semua jebakan dan terang-terangan
minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, dan kita minta dikembalikannya Hong
Li?"
Sim Houw
menggelengkan kepala tanda tidak setuju. "Lan-moi, kita berurusan dengan
pembebasan seorang tawanan, maka kita harus berlaku hati-hati supaya jangan
sampai kita gagal menyelamatkan nona Hong Li. Kalau kita masuk berterang, maka
terdapat banyak bahaya. Sin-kiam Mo-li bisa saja lebih dulu menyembunyikan anak
itu sehingga tidak terdapat bukti bahwa ia yang menculiknya. Bahkan dapat saja
ia membunuh anak itu untuk menghilangkan jejak. Pula, dengan adanya ketujuh
orang tokoh Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw itu, lawan kita akan menjadi semakin
berat."
"Akan
tetapi kita dibantu oleh suci! Ahhh, mana suci Siu Kwi? Kenapa ia belum juga
muncul?"
"Aku di
sini, sumoi!"
Sesosok
bayangan berkelebat dan Bi-kwi telah berdiri di depan mereka. Wajah wanita ini
menjadi agak pucat. "Apakah kalian melihat apa yang kusaksikan tadi?"
Ia bergidik
ngeri. Tadi ia memang sengaja berpencar dengan Bi Lan dan Sim Houw. Kalau kedua
orang itu melakukan penyelidikan dengan jalan memutar dari barat lalu ke
selatan, dan ke timur, Bi-kwi melakukan penyelidikan dari barat ke utara, lalu
ke timur dan kini mereka bertemu di sebelah timur tempat itu.
"Pembantaian
yang dilakukan oleh ketujuh orang tosu itu terhadap belasan orang yang
menyerbu?" tanya Bi Lan.
Bi-kwi
mengangguk. "Bukan cuma itu, juga di dekat sungai telah dibantai pula
belasan orang. Sedikitnya ada tiga puluh orang yang tewas di tangan Sin-kiam
Mo-li dan kawan-kawannya. Ihhh, wanita itu sungguh lihai bukan main, juga
memiliki kekejaman yang mengerikan!"
Diam-diam Bi
Lan merasa heran dalam hatinya. Suci-nya memang benar telah berubah kalau
dibandingkan dengan dahulu. Dahulu, sebelum suci-nya bertemu dengan Yo Jin,
perbuatan yang tadi dilakukan oleh Sin-kiam Mo-li itu belum tentu membuat
matanya berkedip, apa pula merasa ngeri! Agaknya kini perasaan hati Bi-kwi juga
sudah berubah sama sekali sehingga menyaksikan perbuatan kejam dilakukan orang,
wajahnya sampai menjadi pucat dan suaranya agak gemetar.
"Dan
tujuh orang pendeta itu pun mempunyai kepandaian tinggi. Tadi kami juga sempat
menyaksikan pada waktu mereka membunuh belasan orang itu. Gerakan mereka jelas
membuktikan bahwa mereka adalah ahli-ahli silat tingkat tinggi yang sama sekali
tidak boleh dipandang ringan," kata Sim Houw.
Bi-kwi
mengangguk. "Kita harus mengatur siasat, tak boleh bertindak sembrono
karena tempat ini penuh dengan jebakan-jebakan berbahaya. Dahulu, tiga orang
suhu Sam Kwi pernah bicara tentang lorong rahasia yang mempergunakan bentuk
pat-kwa. Sayang aku belum pernah mempelajarinya karena ketika itu kuanggap
tidak perlu. Siapa kira kini kita dihadapkan dengan tempat yang dilindungi oleh
lorong-lorong rahasia pat-kwa yang sulit dan berbahaya."
"Sebaiknya
kalau kita berunding dulu di tempat penginapan kita. Besok saja kita turun
tangan karena sebentar lagi tentu hari menjadi gelap dan lebih berbahaya lagi
masuk ke tempat seperti ini. Mudah-mudahan besok para tosu itu telah pergi
sehingga gerakan kita akan berhasil tanpa banyak kesukaran," kata Sim
Houw.
Dua orang
wanita itu setuju dan mereka pun cepat meninggalkan tempat itu menuju ke kota
Teken di sebelah barat, kota yang kecil akan tetapi cukup ramai. Mereka
bermalam di satu-satunya rumah penginapan yang terdapat di kota itu. Setelah
tiba di tempat penginapan dan makan sore, malam itu mereka bertiga mengadakan
perundingan dan mengatur siasat.
"Tidak
ada lain jalan yang lebih baik," akhirnya Bi-kwi berkata setelah
mendengarkan pendapat Sim Houw dan Bi Lan, "kecuali menggunakan siasat
bersahabat. Kalau kita mempergunakan kekerasan menyerbu, tentu anak itu akan
disingkirkan lebih dulu dan kalau sudah demikian, sukarlah bagi kita untuk
mencarinya. Tanpa bukti adanya anak itu, kita tidak mampu berbuat apa-apa
terhadap Sin-kiam Mo-li. Maka, mengingat bahwa ia adalah anak angkat dari
mendiang Kim Hwa Nionio, paling baik kalau aku datang berkunjung sebagai
seorang sahabat, sebagai seorang dari satu golongan."
"Akan
tetapi, suci! Siapa bilang engkau satu golongan dengan orang macam Sin-kiam
Mo-li yang kini bergabung dengan para pemberontak Pek-lian-kauw dan
Pat-kwa-kauw? Mereka adalah orang-orang jahat, dari golongan sesat, sedangkan
engkau..."
Bi-kwi
melambaikan tangan. "Sudahlah, sumoi. Lupakah engkau siapa aku ini dahulu?
Memang aku telah mencuci tangan dan hatiku, akan tetapi semua ini hanya
digunakan sebagai siasat saja. Mengingat bahwa aku adalah murid Sam Kwi,
mudah-mudahan ia mau menerimaku sebagai tamu, apa lagi mengingat bahwa aku
pernah bekerja sama dengan ibu angkatnya. Tentu ia ingin sekali mendengar dari
mulutku sendiri yang dulu bekerja sama dengan Kim Hwa Nionio, tentang
perkelahian itu dan juga bagaimana ibu angkatnya tewas. Nah, sebagai tamu, aku
tentu akan dapat bertemu dengan anak itu kalau memang benar anak itu berada di
sana. Ia tentu tidak akan merahasiakan adanya anak itu di sana terhadapku yang
sama sekali tidak akan dicurigainya. Dan kalau sudah demikian, berarti kita akan
memperoleh dua keuntungan. Pertama, akan ada kepastian apakah anak itu berada
di sana dan ke dua, aku sudah mengenal jalan yang aman memasuki daerah
itu."
Sim Houw
mengangguk-angguk dan Bi Lan merasa girang sekali. "Ahh, bagus sekali,
suci. Agaknya memang itulah jalan terbaik bagi kita. Untung sekali bahwa engkau
telah ikut membantu kami, suci."
"Aihh,
sumoi, jangan memuji dulu. Ini baru rencana, simpanlah pujianmu sampai kita
berhasil."
Mereka
bercakap-cakap sampai jauh malam dan diam-diam Sim Houw mau pun Bi Lan melihat
kenyataan betapa wanita yang dulunya menjadi iblis betina itu kini benar-benar
telah berubah. Apa lagi ketika Bi-kwi bercerita tentang Yo Jin, di dalam
kata-katanya itu penuh berhamburan nada cinta kasih yang mendalam terhadap
suaminya itu sehingga Bi Lan merasa terharu sekali.
Kebaikan tak
mungkin dilatih atau dipelajari. Kebaikan tidak mungkin dilakukan dengan
sengaja karena kalau kebaikan dilakukan dengan sengaja, dengan kesadaran bahwa
perbuatan itu merupakan kebaikan, maka itu bukan lagi kebaikan namanya,
melainkan perbuatan yang sudah teratur dan karenanya berpamrih. Dan perbuatan
apa pun yang mengandung pamrih, dapatkah dinamakan kebaikan? Yang dinamakan
pamrih adalah harapan untuk mencapai sesuatu demi keuntungan diri pribadi, baik
itu keuntungan lahir mau pun keuntungan batin.
Segala
bentuk perbuatan, yang dinamakan baik mau pun buruk, adalah akibat dari pada
keadaan pikiran, keadaan batin. Baik buruknya tiap perbuatan ditentukan oleh
keadaan batin. Oleh karena itu, bukan perbuatan yang harus dirubah, yang harus
dilatih atau dipelajari karena perbuatan hanya merupakan akibat dari keadaan
batin. Yang perlu dirubah adalah batin sendiri, keadaan batin itu sendiri.
Bukan dirubah oleh kita, karena kalau demikian, hal itu merupakan suatu
perbuatan berpamrih yang lain. Bukan dirubah, melainkan BERUBAH!
Jadi,
perbuatan yang dinamakan perbuatan baik tidak terpisah dari keadaan batin kita,
demikian pula perbuatan yang dinamakan buruk atau jahat. Batinlah yang
menentukan, keadaan batin yang mendorong setiap perbuatan. Kalau batin tenang
dan bersih, dapatkah kita melakukan perbuatan yang buruk dan jahat? Sebaliknya,
kalau batin keruh dan kacau, mana mungkin kita dapat melakukan perbuatan bersih
dan baik?
Dan batin
baru dalam keadaan hening, tenang, bersih, berimbang, tegak dan lurus, bersih
dan bening, kalau tidak dikeruhkan dan disibukkan oleh pikiran! Pikiranlah yang
membentuk AKU dan si aku inilah yang merajalela mengaduk batin, dengan segala
keinginannya, mengejar dan mengulang kesenangan, mengelak dan menjauhi yang tak
menyenangkan.
Si aku
menyeret batin ke dalam lingkaran setan yang tiada berkeputusan antara baik dan
buruk, senang dan susah, puas dan kecewa, suka dan duka, dan setiap saat batin
menjadi keruh, menjadi sumber dari segala rasa takut, marah, benci, cemburu,
tamak, iri, prasangka yang menjadi permainan si aku dan akhirnya hanya duka dan
sengsara yang menjadi bunga kehidupan kita.
Untuk dapat
menyelami semua ini, kita hanya tinggal menjenguk isi batin kita sendiri,
mengamati batin kita sendiri saat demi saat, hidup hanya dalam keadaan sekarang
ini, menghapus yang lalu dan menyingkirkan yang akan datang agar kita dapat
sepenuhnya hidup di saat ini. Pengamatan terhadap diri sendiri lahir batin
sajalah yang akan dapat membuat kita waspada, tidak lagi menjadi boneka
permainan nafsu, tidak ada lagi si aku merajalela dan yang ada hanyalah
kewaspadaan dan kesadaran.
Belum lama
setelah Sim Houw, Bi Lan dan Siu Kwi (Bi-kwi) pergi meninggalkan daerah tempat
tinggal Sin-kiam Mo-li, menjelang sore, nampaklah seorang pemuda datang ke
tempat itu seorang diri saja. Pemuda yang berusia dua puluh satu tahun kurang
lebih, bertubuh tegap dengan muka bersih cerah, tampan, dengan pakaian
sederhana warna biru. Pemuda ini adalah Gu Hong Beng!
Bagaimana
pemuda itu tiba-tiba saja dapat muncul di sini?
Kiranya Hong
Beng mendengar ketika Kao Cin Liong bercerita kepada Suma Ciang Bun tentang
Sin-kiam Mo-li seperti yang diceritakan oleh Bi Lan. Betapa Bi Lan dan Sim Houw
hendak melakukan penyelidikan kepada wanita iblis itu yang mencurigakan, dan
mengingat bahwa wanita itu adalah anak angkat mendiang Kim Hwa Nionio maka
patut dicurigai sebagai penculik Hong Li dengan tujuan untuk membalas dendam
kematian ibu angkatnya.
Hati Hong
Beng amat tertarik mendengar cerita tentang Sin-kiam Mo-li ini, yang menurut
penuturan dalam percakapan itu tinggal di kaki Heng-tuan-san di tepi Sungai
Cin-sa tapal batas Propinsi Se-cuan. Penculik itu telah diketahui, dan kini Bi
Lan, Bi-kwi dan Sim Houw pergi ke sana! Hatinya merasa tidak puas dan bahkan
tidak enak. Bagaimana keluarga Kao percaya kepada tiga orang itu, terutama
kepada Bi-kwi?
Tidak
sepatutnya dan tak semestinya jika tugas menyelamatkan diserahkan kepada tiga
orang yang masih amat meragukan itu. Siapa tahu mereka itu bahkan akan
bersekutu dengan Sin-kiam Mo-li, maklum sama-sama sesat! Dan timbul pula rasa
iri di dalam hatinya. Sepantasnya dialah yang pergi menyelamatkan Hong Li dan
mempertaruhkan nyawa untuk membela keluarga itu! Bukan orang orang macam Sim
Houw, Bi Lan dan Bi-kwi!
Pikiran
inilah yang mendorong Hong Beng untuk segera berpamit pada gurunya setelah
mereka meninggalkan Pao-teng. Kepada suhu-nya dia hanya mengatakan bahwa dia
ingin merantau meluaskan pengetahuannya dan minta waktu selama satu tahun, baru
dia akan menyusul suhu-nya. Suma Ciang Bun menyetujui kemudian mereka pun
saling berpisah.
Setelah
melakukan perjalanan seorang diri, Hong Beng mempergunakan ilmu berlari cepat
menuju ke barat. Dia ingin mendahului Sim Houw, Bi Lan dan Bi-kwi untuk lebih
dulu sampai di tempat tujuan dan lebih dahulu menyelamatkan Kao Hong Li.
Maka, pada
siang hari menjelang sore itu ketika dia tiba di tempat tujuan, dia segera akan
memulai dengan usahanya mencari Hong Li. Dia tidak tahu bahwa baru beberapa jam
yang lalu, tiga orang yang hendak didahuluinya itu baru saja meninggalkan
tempat itu. Juga dia tidak tahu bahwa kini di rumah Sin-kiam Mo-li terdapat
tujuh orang tosu Pek-lian-kauw dan Pat-kwa-kauw yang amat lihai. Kalau saja
Hong Beng bertindak lebih hati-hati, tentu dia akan memeriksa keadaan
sekeliling dan akan melihat belasan anak buah Pek-lian-kauw yang berada di
sebelah selatan hutan.
Dengan penuh
semangat, penuh keberanian akan tetapi cukup berhati-hati, Hong Beng memasuki
hutan pertama di kaki Pegunungan Heng-tuan-san itu. Dari jauh tadi dia telah
melihat genteng rumah besar di antara gerombolan pohon di lereng itu dan menduga
bahwa itulah rumah Sin-kiam Mo-li yang dicarinya. Dia pun melihat hutan yang
pohon-pohonnya tumbuh teratur, bukan seperti hutan biasa dan dia dapat menduga
bahwa hutan ini adalah hutan buatan, maka dia harus bersikap hati-hati sekali.
Dia masuk
daerah itu dari bagian yang belum pernah didatangi orang. Jebakan-jebakan di
sini berbeda sifatnya dengan yang pernah menjebak orang-orang Cin-sa-pang,
walau pun ada pula persamaannya. Ketika Hong Beng memasuki hutan pertama, dia
melihat pohon-pohon besar dan tempat itu nampak gelap akan tetapi seperti tak
pernah ada bahaya apa pun.
Dengan
santai namun cukup waspada, Hong Beng melangkah di antara pohon-pohon besar
itu, melalui lorong yang agaknya akan membawanya ke tengah hutan, menuju ke
rumah yang gentengnya tadi pernah dilihatnya. Akan tetapi setelah melewati
belasan pohon, tiba-tiba lorong itu terhenti dan tertutup oleh pohon besar yang
memenuhi jalan.
Hong Beng
melihat bahwa di belakang pohon itu penuh semak-semak belukar, berarti bahwa
lorong itu memang berhenti sampai di situ saja! Tentu saja dia menjadi sangat
penasaran. Melanjutkan perjalanan melalui lorong itu tak mungkin lagi karena
semak-semak belukar di belakang pohon itu penuh dengan duri. Pasti ada jalan
lain, pikirnya. Dengan hati-hati sekali Hong Beng lalu meloncat ke atas pohon,
dengan maksud untuk mencari jalan dengan mengintai dari atas pohon.
Akan tetapi,
baru saja dia melihat-lihat ke kanan dan kiri, tiba-tiba hampir dia berteriak
kesakitan dan tangannya menggaruk ke arah betis kirinya yang tiba-tiba terasa
gatal dan panas sekali. Kiranya ada seekor semut merah yang besar sekali
merayap dan menggigit betisnya. Sekali tepuk, semut itu pun mati, tetapi rasa
gatal pada betisnya itu semakin menghebat.
"Aduhh...!
Aduhh...!" Hong Beng berseru ketika merasa betapa paha dan pundaknya juga
terasa gatal panas digigit semut!
Cepat dia
meloncat turun dari atas pohon, melepaskan pakaiannya bagian luar dan sibuklah
dia membunuhi belasan ekor semut merah yang sudah merayap ke dalam pakaiannya.
Untung baru tiga tempat saja tergigit, di betis, paha dan pundak. Akan tetapi
semut itu memiliki racun yang ampuh dan berbeda dengan semut-semut lain.
Bekas
gigitannya nampak membengkak merah dan rasanya gatal dan panas bukan main. Hong
Beng cepat mengeluarkan obat anti racun yang selalu dibawanya, buatan suhu-nya,
dan obat berupa minyak itu setelah digosokkan pada bekas gigitan seketika
nyerinya hilang. Dia pun mengenakan lagi pakaiannya setelah
mengebut-ngebutkannya sampai bersih.
Sambil
memandang ke atas pohon, diam-diam dia bergidik. Entah berapa banyaknya
semut-semut itu berada di sana, pikirnya. Dia masih belum menyangka bahwa
semut-semut itu merupakan jebakan yang sengaja diatur oleh Sin-kiam Mo-li.
Semut-semut
itu didatangkannya dari lain tempat, dibiarkan hidup berkembang biak di
pohon-pohon besar itu untuk mencegah musuh melakukan pengintaian dari atas
pohon. Tentu saja tidak semua pohon menjadi tempat tinggal semut-semut merah
beracun ini, hanya pohon di bagian hutan itu saja, karena pohon-pohonnya memang
pohon yang disukai semut-semut itu.
Terpaksa
Hong Beng kembali lagi, akan tetapi betapa herannya ketika dia mendapat
kenyataan bahwa jalan yang dilaluinya sekarang nampaknya seperti bukan lorong
yang dimasukinya tadi! Entah apanya yang berubah, akan tetapi lain sama sekali.
Ketika ada jalan simpang empat, dia mengambil jalan ke kanan karena jalan ini
yang nampaknya paling rapi dan bersih, dan memasuki taman rumput yang indah dan
di sebelah sana nampak lagi hutan kecil dengan sebuah telaga kecil di tengahnya.
Hong Beng
bersikap hati-hati sekali. Sambil mengerahkan ginkang-nya, dia berjalan di atas
lapangan rumput. Baru beberapa langkah dia memasuki taman, mendadak rumput yang
diinjaknya itu ambles ke bawah. Ternyata di bawah rumput itu terdapat lubang
jebakan berupa sumur dan rumput itu hanya tumbuh di atas sumur dengan akar yang
saling berkaitan saja!
Untung bahwa
semenjak tadi Hong Beng sudah bersikap waspada. Begitu kakinya yang melangkah
di sebelah depan merasa menginjak tempat kosong, cepat-cepat dia segera
memindahkan tenaga dan berat tubuh ke kaki belakang sehingga dia mampu menarik
kembali kaki depannya.
Dengan
sebuah ranting yang dipungutnya di tepi jalan, ia mengorek rumput di depannya
dan terbukalah lubang jebakan itu yang lebarnya satu setengah meter persegi!
Ketika menjenguk ke bawah, dia bergidik ngeri melihat benda bergerak-gerak di
dasar sumur. Ular-ular sedang menanti jatuhnya korban di bawah sana!
"Jahanam
keji!" Dia menggerutu dan melanjutkan langkahnya, mengitari sumur itu,
akan tetapi kini setiap langkahnya dilakukan dengan lebih hati-hati dan waspada
lagi.
Dia melewati
dua lagi sumur jebakan yang tertutup rumput, dan pada sumur terakhir, bahkan
ketika dia mengorek rumput membuka lubang, terdengar suara berdesing dan dari
dalam lubang itu, mungkin alatnya dipasang di bawah rumput, menyambar tiga
batang anak panah ke atas. Kalau dia kurang hati-hati, tentu luput terjeblos
tetapi sukar untuk terhindar dari sambaran anak panah beracun!
Kembali dia
memasuki hutan dengan pohon yang besar-besar dan kini cuaca di dalam hutan agak
gelap karena memang matahari sudah condong ke barat dan sinarnya yang tidak
begitu kuat agaknya tidak mampu menerobos daun-daun yang lembab. Ketika dia
melangkah lagi, dia tidak melihat bahwa di depan kakinya terdapat sehelai tali
hitam yang tingginya dua jengkal sehingga kalau ada orang lewat, bagaimana pun
juga kakinya tentu akan tersangkut tali.
Demikian
pula dengan Hong Beng. Dia sudah waspada, akan tetapi dalam cuaca yang mulai
remang-remang di dalam hutan lebat itu, bagaimana dia mampu melihat tali di
bawah yang berwarna hitam dengan latar belakang tanah hitam dan rumput hijau
tua? Tahu-tahu, kakinya tersangkut dan dari atas turun menimpa batu yang besar
sekali! Kiranya tali itu kalau ditarik, mengakibatkan jatuhnya sebuah batu yang
besarnya seperut kerbau bunting dan kalau menimpa kepala, tentu kepala itu akan
remuk dan tubuh akan ikut menjadi gepeng!
Namun Hong
Beng tidak menjadi gugup. Dengan cekatan, dia melompat ke depan dan batu itu
jatuh dengan mengeluarkan suara keras sekali ke atas tanah, membuat tanah
tergetar dan pepohonan bergoyang-goyang. Agaknya jatuhnya batu ini menimbulkan
akibat lain dan mengerjakan alat-alat rahasia yang dipasang di situ karena
tiba-tiba saja dari atas pohon-pohon di sekeliling Hong Beng juga berjatuhan
batu yang besar-besar!
Kini Hong
Beng tidak berani meloncat lagi. Meloncat tanpa mengetahui apa yang akan
diinjaknya di tempat lain, amat berbahaya, maka dia pun memasang kuda-kuda
dengan kedua kaki terpentang, lutut ditekuk dan dia pun siap menanti datangnya
hujan batu.
"Darrrr!"
Sebongkah
batu besar yang menimpa kepalanya, dihantamnya dengan tangan terbuka dan batu
itu pun pecah dan terlempar jauh. Masih ada lagi beberapa buah batu yang
menghantamnya, namun semua dapat ditangkis oleh Hong Beng sehingga terlempar ke
kanan kiri sedangkan tubuhnya sedikit pun tidak terguncang, hanya kedua kakinya
yang ambles ke dalam tanah sampai pergelangan kaki saking beratnya batu yang
menimpa dirinya tadi!
Setelah
tidak ada lagi batu besar yang melayang turun, Hong Beng melanjutkan langkahnya
dengan gagah, sedikit pun tidak merasa takut atau gentar walau pun dia tetap
berhati-hati. Sepasang matanya melirik ke kanan kiri, seluruh urat syarafnya
siap siaga.
Sementara
itu, pergerakan jebakan-jebakan rahasia tadi tentu saja sudah diketahui oleh
penghuni lembah itu dan diam-diam, ketiga orang pelayan cantik sudah mengintai
dan mengikuti semua gerak-gerik yang dilakukan Hong Beng.
Ketika
melihat seorang pemuda yang demikian tampan dan gagah, Ang Nio, Pek Nio dan Hek
Nio menjadi bengong terpesona. Apa lagi ketika mereka menyaksikan betapa dengan
tenaganya Hong Beng dapat menghadapi dan mengatasi semua jebakan yang
dilaluinya, mereka bertiga memandang semakin kagum.
Tiga orang
gadis cantik ini baru berusia dua puluh lima tahun kurang lebih, dan mereka
hidup di tempat terasing itu, maka tentu saja kadang-kadang mereka merasa
kesepian dan butuh akan kehadiran seorang pria di samping mereka. Kadang-kadang
Sin-kiam Mo-li membawa pulang seorang pemuda tampan dan kalau sudah bosan,
sebelum dibunuh pemuda itu diberikan kepada mereka bertiga.
Kadang-kadang
mereka bertiga pun diperkenankan mencari hiburan di dusun-dusun di bawah
pegunungan. Akan tetapi yang mereka dapatkan di sana hanya pemuda-pemuda dusun
yang bodoh dan kasar. Maka, begitu melihat ada seorang pemuda yang demikian
ganteng seperti Hong Beng, tentu saja mereka terpesona. Apa lagi melihat
kegagahan pemuda itu.
"Ehhh,
kenapa kalian bengong saja? Kalau dibiarkan, bisa rusak semua alat jebakan
rahasia kita dan kita akan mendapat hukuman dan marah besar," kata Ang Nio
kepada kedua orang temannya.
"Hayo
kita serang dia!" kata Pek Nio.
"Akan
tetapi jangan dibunuh, sayang kalau dibunuh...," kata Hek Nio sambil
menarik napas panjang.
"Tolol,
apa kau kira kami pun tidak dapat melihat kehebatan seorang pria? Akan tetapi
jangan harap, Hek Nio. Pria seperti ini tentu takkan dilewatkan saja oleh
majikan kita!" kata Pek Nio.
"Sudahlah,
jika kelak kita memperoleh sisanya pun masih untung!" kata Ang Nio sambil
meloncat keluar. "Hayo serbu!"
Hong Beng
menjadi terkejut, akan tetapi tidak gugup ketika tiba-tiba nampak tiga sosok
bayangan berloncatan keluar dari balik batang pohon dan dia telah dihadang oleh
tiga orang gadis yang cantik. Pakaian mereka menarik perhatiannya. Seorang
berpakaian serba merah, ke dua serba putih dan ke tiga serba hitam. Akan
tetapi, mengenakan pakaian warna apa pun, mereka itu nampak anggun dan cantik.
Betapa pun
juga, Hong Beng adalah seorang pemuda yang sudah terbiasa bersikap sopan, apa
lagi terhadap wanita. Dia merasa betapa dia telah melanggar wilayah orang lain,
memasuki tempat orang tanpa ijin, maka dengan sedikit kikuk dia pun menjura
dengan hormat karena dia tidak tahu siapa adanya tiga orang gadis ini.
"Maafkan
aku," katanya lembut. "Bukan maksudku untuk memasuki tempat orang
tanpa ijin, akan tetapi sesungguhnya aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li.
Benarkah ia bertempat tinggal di daerah ini? Dan siapakah nona bertiga?"
Tiga orang
gadis itu saling pandang dan tersenyum manis. Biasanya, mereka bersikap galak,
akan tetapi menghadapi seorang pemuda tampan dan gagah, mendadak saja sikap
dingin mereka mencair dan berubah hangat dan genit.
"Sobat
yang gagah, engkau datang tanpa ijin tetapi membawa pertanyaan-pertanyaan!
Apakah ini tidak terbalik? Bukankah sepatutnya kami yang bertanya kepadamu
siapa engkau dan apa maksud kedatanganmu ini?" jawab Ang Nio dengan
pertanyaan dan suaranya terdengar merdu dan nadanya naik turun seperti orang bernyanyi,
bibirnya tersenyum, wajahnya cerah dan matanya bermain dengan lincahnya.
Melihat
sikap orang yang manis budi, Hong Beng kembali menjura kepada gadis yang
pakaiannya serba merah itu. "Maaf, aku bernama Gu Hong Beng, akan tetapi
aku tidak mempunyai urusan dengan nona bertiga. Aku datang untuk mencari
Sin-kiam Mo-li, dan sekali lagi aku mengharapkan keterangan nona, apakah
Sin-kiam Mo-li tinggal di sini?"
"Sicu
(orang gagah) Gu Hong Beng, aku bernama Ang Nio."
"Aku
Pek Nio," kata si baju putih.
"Dan
aku Hek Nio," sambung si baju hitam.
Kini Hong
Beng merasa dipermainkan. Mana ada orang-orang mempunyai nama yang disesuaikan
dengan warna pakaiannya? Tentu nama samaran. Apa lagi melihat betapa tadi
mereka bertiga memperkenalkan nama sambil tertawa-tawa kecil, dia menganggap
bahwa tiga orang gadis ini tentu sedang mempermainkannya.
"Gu-sicu,
ada keperluan apa engkau mencari beliau?" tanya Ang Nio sambil memainkan
matanya yang jeli.
Hong Beng
mulai mengerutkan alisnya. "Aku rasa tidak ada urusannya dengan kalian
bertiga. Katakan saja di mana Sin-kiam Mo-li, karena aku mempunyai urusan
pribadi dengannya."
Ang Nio
tersenyum. "Tidak mungkin, sicu. Setiap orang tamu yang hendak berkunjung,
haruslah berurusan dengan kami bertiga terlebih dulu. Kami mewakili toanio, dan
kami yang berhak menerima atau menolak tamu. Kalau sicu bersikap manis kepada
kami, tentu kami akan mengantarmu menghadap beliau."
"Ada
kami bertiga kenapa hendak menghadap toanio?" tiba-tiba Pek Nio dengan
sikap genit berkata. "Kami akan dapat membuatmu merasa gembira!"
"Benar,
sicu Gu Hong Beng yang ganteng, mari bersenang-senang dulu dengan kami bertiga,
besok kami baru akan mengantarmu menghadap toanio," kata Hek Nio dengan
manis pula, dengan pandang mata penuh gairah.
Kerut merut
di antara alis mata Hong Beng semakin mendalam. Barulah dia tahu apa artinya
sikap manis dari tiga orang gadis ini. Kiranya mereka adalah gadis-gadis tidak
tahu malu yang hendak merayunya! Dan agaknya mereka ini murid-murid atau juga
pelayan dari Sin-kiam Mo-li. Bangkitlah kemarahannya.
"Kalian
perempuan-perempuan tak bermalu! Kalian kira aku ini orang macam apa? Jika
kalian memang tidak mau mengantarkan aku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, biarlah
aku mencarinya sendiri!"
Berkata
demikian, Hong Beng melanjutkan langkah kakinya. Akan tetapi, ketiga orang
wanita itu menghadang di tengah lorong dan di tangan mereka masing-masing sudah
memegang sebatang pedang.
"Agaknya
engkau seorang yang tak tahu dicinta orang! Baiklah, hendaknya kau ketahui
bahwa tanpa perkenan toanio, siapa pun juga tidak mungkin dapat mendatangi
rumah kami! Apakah engkau memilih mati di tangan kami dari pada menikmati
kesenangan bersama kami?" kata Ang Nio.
"Ang-cici,
jangan dibunuh, sayang, dia begitu tampan dan gagah," kata Pek Nio.
"Kita
tawan dia dan seret ke depan toanio!" kata pula Hek Nio.
Tiga orang
wanita itu lalu menerjang Hong Beng. Mereka hanya menyimpan pedang di balik
lengan kanan sambil menyerang dengan tangan kiri. Ada yang mencengkeram ke arah
pundak, ada yang menampar ke arah leher dan memukul ke arah dada. Gerakan
mereka cukup cepat dan gerakan tangan itu pun mengandung tenaga yang kuat.
Akan tetapi,
bagi Hong Beng serangan mereka itu tiada bedanya dengan serangan tiga orang
anak kecil saja. Sekali dia memutar tubuh dan menggerakkan tangan, dia telah
dapat mengelak dan menangkis tiga serangan itu. Bahkan Hek Nio dan Ang Nio yang
terkena tangkisan lengan Hong Beng, hampir saja terpelanting jatuh saking
kuatnya tenaga tangkisan pemuda itu.
Kini
yakinlah tiga orang wanita itu bahwa pemuda ini memang lihai bukan main, maka
mereka pun cepat memutar pedang dan menggunakan senjata mereka untuk kembali
menyerang. Setelah mereka bertiga itu menyerang dengan pedang, Hong Beng
melihat betapa ilmu pedang mereka hebat dan berbahaya. Teringatlah dia akan
julukan majikan mereka, yaitu Sin-kiam Mo-li (Iblis Betina Pedang Sakti).
Kalau
majikan atau gurunya berjuluk Pedang Sakti, tidaklah mengherankan kalau tiga
orang wanita ini memiliki ilmu pedang yang demikian hebat. Tiga batang pedang
itu berubah menjadi tiga sinar bergulung-gulung yang menyerangnya dengan
dahsyat dari tiga jurusan. Hong Beng harus mengerahkan ginkang-nya untuk
membuat tubuhnya dapat bergerak dengan ringan dan cepat, mengelak ke sana-sini
menyelinap di antara sambaran sinar-sinar pedang itu.
Memang dalam
hal ilmu pedang, tiga orang gadis pelayan ini sudah mencapai tingkat yang cukup
tinggi. Sin-kiam Mo-li telah melatih jurus-jurus ampuh kepada tiga orang
pembantunya ini agar mereka menjadi pembantu dan penjaga yang lihai. Jarang ada
orang mampu mengalahkan ilmu pedang mereka, apa lagi kalau mereka itu maju
bersama seperti sekarang ini.
Tidaklah
terlalu aneh kalau kini Gu Hong Beng, murid dari keluarga Pulau Es, merasa
repot didesak oleh tiga gulungan sinar pedang yang lihai itu. Hong Beng maklum
bahwa kalau dilanjutkan perkelahian ini dengan kedua tangan kosong saja
menghadapi tiga batang pedang itu, dia dapat celaka.
Maka, ketika
kembali tiga pedang itu menyerangnya dari tiga jurusan, depan, kanan dan kiri,
tiba-tiba tubuhnya melayang ke belakang, bukan hanya untuk mengelak, melainkan
dia berjungkir balik sampai jauh, kemudian menyambar sebatang ranting pohon
yang dipatahkannya. Kini, dengan ranting yang sebesar lengan dan sepanjang
pedang biasa, dengan terhias daun-daun, dia menghadapi tiga orang lawan itu dan
begitu dia memutar ranting, tiga orang lawannya terkejut.
Biar pun
hanya sebatang ranting, karena berada di tangan seorang ahli, maka ranting itu
dapat menjadi sebuah senjata yang ampuh. Tiga batang pedang itu menyambar dan
mencoba untuk membabat ranting itu supaya patah. Namun, ranting itu dialiri
tenaga sinkang dari Hong Beng yang mempergunakan tenaga Swat-im Sinkang (Tenaga
Sakti Inti Salju).
"Tak!
Tak! Tringgg...!"
Tiga batang
pedang itu tertangkis dan akibatnya, tiga orang wanita itu mengeluh dan
terhuyung ke belakang. Nampak wajah mereka berubah pucat dan tangan mereka agak
menggigil. Hawa dingin yang masuk tulang telah menyusup ke dalam tubuh mereka,
terutama bagian lengan kanan yang memegang pedang.
Tiga orang
pelayan itu merasa kaget dan juga penasaran sekali. Memang tadi pun mereka
sudah tahu bahwa pemuda ini amat lihai, akan tetapi sungguh sukar mereka dapat
percaya bahwa hanya dengan sebatang ranting di tangan, dalam segebrakan saja
pemuda itu mampu membuat mereka terhuyung, melalui serangan tenaga sinkang
dingin yang demikian kuatnya!
"Bunuh
orang berbahaya ini!" bentak Ang Nio.
"Orang
tak mengenal kebaikan orang lain!" bentak Pek Nio.
"Engkau
sudah bosan hidup!" Hek Nio juga berteriak.
Tiga orang
wanita itu kemudian menggerakkan tangan kiri mereka dan sinar-sinar kecil
menyambar ke arah Hong Beng. Namun pemuda ini tidak merasa gugup. Dengan amat
tenangnya, ranting di tangannya digerakkan sehingga sekaligus jarum-jarum halus
yang menyambar dari jarak dekat itu dapat dipukul runtuh semua. Tetapi, tiga
batang pedang yang gerakannya cepat dan mengandung tenaga sinkang itu telah
menyerangnya dari tiga jurusan karena tiga orang wanita cantik itu telah
membentuk barisan segi tiga.
Hong Beng
maklum bahwa tiga orang lawannya tidak boleh dipandang ringan, apa lagi dia
berada di sarang harimau, di daerah lawan yang amat berbahaya karena tempat itu
penuh dengan perangkap dan jebakan-jebakan rahasia. Dia pun cepat menggerakkan
rantingnya untuk menangkis sambil mengelak ke sana-sini, sangat hati-hati oleh
karena khawatir kalau-kalau kakinya akan terjeblos.
Dia pun
tidak berniat membunuh tiga orang wanita yang tidak dikenalnya itu. Mereka ini,
menurut dugaannya, tentulah pelayan pribadi atau murid-murid tokoh yang bernama
Sin-kiam Mo-li itu. Dan dia belum melihat bukti bahwa Sin-kiam Mo-li benar
orang yang telah menculik puteri keluarga Kao, maka tidak baik jika sampai ia
membuat gara-gara membunuh tiga orang wanita ini.
Ketika dia
memperoleh kesempatan, ujung tongkat yang terbuat dari ranting sederhana itu
berkelebat dengan kecepatan kilat, tiga kali menyambar sehingga pedang tiga
orang wanita itu pun terlepas dari pegangan disusul teriakan mereka karena
lengan kanan mereka mendadak menjadi kaku tidak dapat digerakkan untuk beberapa
detik lamanya. Ujung ranting itu telah menotok jalan darah di lengan mereka secara
luar biasa sekali.
Maklum bahwa
mereka bukan lawan pemuda yang amat lihai itu, tiga orang pelayan cepat
berloncatan dan menghilang di balik semak-semak tanpa mempedulikan pedang
mereka. Mereka ingin cepat melapor kepada Sin-kiam Mo-li yang masih bercakap
cakap dengan tujuh orang tosu itu.
Hong Beng
hendak mengejar tiga orang wanita itu untuk memaksa seorang di antara mereka
mengantarnya bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Tanpa pengantar, dia tentu akan
menghadapi jebakan-jebakan rahasia yang berbahaya. Akan tetapi, begitu dia
meloncat ke dekat semak-semak, jalan itu buntu dan tidak nampak bayangan tiga
orang wanita itu yang sudah menghilang seperti ditelan bumi saja.
Selagi dia
kebingungan, mendadak terdengar suara ketawa merdu. Cepat dia bersiap siaga dan
memandang. Kiranya di depannya telah berdiri seorang gadis remaja berusia tiga
belas atau empat belas tahun. Gadis yang wajahnya manis sekali, kedua matanya
lebar dengan sinar berkilat dan bergerak-gerak lincah, tanda bahwa dia seorang
gadis remaja yang lincah cerdik dan bengal.
"Hi-hik,
engkau merasa bangga telah mengalahkan tiga orang tadi, ya? Hemmm, tak perlu
menjadi sombong, karena tanpa penunjuk jalan, jangan harap engkau akan dapat
memasuki daerah kami ini, hi-hi-hik!"
Setelah
berkata demikian, gadis cilik itu lalu meloncat ke kanan di mana terdapat
sebuah lorong yang merupakan jalan setapak. Tentu saja Hong Beng tertarik
sekali. Dia maklum bahwa ucapan anak itu memang benar, dan kini dia memperoleh
seorang penunjuk jalan, yaitu gadis cilik itulah!
"Haiii,
berhenti dulu!" teriaknya dan cepat dia mengejar.
Girang
hatinya melihat gadis cilik itu tidak begitu cepat larinya. Hong Beng bersikap
cerdik. Tak perlu menyusul dan menangkap gadis itu, pikirnya, karena siapa tahu
kalau ditangkap dan dipergunakan kekerasan untuk menjadi penunjuk jalan, gadis
cilik itu malah tidak mau. Kini, mengikuti saja di belakang gadis itu tentu dia
akan sampai juga ke tempat tinggal Sin-kiam Mo-li.
Maka ia pun
pura-pura mengejar sambil berseru menyuruh berhenti, akan tetapi sengaja
bergerak perlahan sehingga selalu berada di belakang gadis itu, terus mengikuti
jejak kakinya, seakan-akan dia tidak pernah dapat menangkapnya! Gadis itu
berlari terus, berloncatan ke sana-sini dan selalu diikuti jejaknya oleh Hong
Beng.
"Haii,
tunggu! Aku mau bicara denganmu!" teriak Hong Beng berkali-kali, teriakan
yang merupakan siasatnya untuk membuat gadis itu berlari terus agar dia dapat
mengikuti di belakangnya dengan aman. Tentu gadis ini sudah hafal akan jalan
rahasia di tempat berbahaya ini dan mengikuti jejak gadis itu berarti aman.
Gadis cilik
itu bukan lain adalah Kao Hong Li. Tadi ia melihat munculnya pemuda itu dan
melihat pula betapa pemuda itu mengalahkan Ang Nio, Pek Nio, dan Hek Nio.
Timbullah kekhawatirannya karena pemuda itu ternyata lihai sekali. Tentu dia
seorang musuh, mungkin seorang tokoh Cin-sa-pang yang amat lihai, yang berani
datang seorang diri, tanpa senjata, dan hanya bersenjata ranting kayu namun
dapat mengalahkan tiga orang pelayan yang lihai itu.
Melihat ini,
Hong Li merasa bahwa ia tak boleh tinggal diam saja. Sebagai murid dari
subo-nya ia harus bertindak mencegah musuh ini. Akan tetapi, ia pun maklum
bahwa ilmu silatnya masih belum banyak selisihnya dengan tingkat para pelayan
tadi sehingga menghadapi musuh ini dengan ilmu silat tidak akan ada artinya. Ia
harus menggunakan siasat dan akal, pikirnya. Maka muncullah gadis cilik itu
mengejek dan memancing Hong Beng.
Hong Beng
merasa girang dan mengira bahwa tentu kini tempat tinggal Sin-kiam Mo-li sudah
dekat. Tiba-tiba gadis yang dikejarnya itu berhenti di depannya karena di depan
gadis itu membentang sebuah kubangan lumpur yang amat lebar. Kiranya tak
mungkin untuk melompati kubangan yang demikian lebarnya.
Akan tetapi
di sana-sini nampak terdapat batu-batu menonjol. Batu-batu itu cukup untuk
dipergunakan sebagai loncatan, pikir Hong Beng, sama sekali dia tidak khawatir.
Dan dugaannya memang tepat, gadis cilik itu melompat ke atas sebuah di antara
batu-batu itu. Akan tetapi agaknya batu itu licin sekali sehingga tubuh gadis
cilik itu nampak terhuyung dan bergoyang, hampir jatuh.
"Aduh,
tolong...!" Gadis itu berseru.
"Jangan
takut, aku menolongmu!" kata Hong Beng dan tanpa ragu lagi dia pun
meloncat ke arah sebuah batu besar yang menonjol pula, tak jauh dari batu yang
diinjak gadis itu, yang nampak ketakutan dan berdiri tegak di atasnya.
Akan tetapi
pada saat kaki Hong Beng hinggap di atas batu itu, tiba-tiba saja tubuh anak
perempuan itu pun melesat dengan cepatnya ke atas batu lain di dekat seberang.
Dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Hong Beng ketika batu yang
diinjaknya itu terjeblos ke dalam lumpur bersama tubuhnya. Dia hendak meloncat,
namun terlambat karena kedua kakinya sudah terbenam ke dalam lumpur yang
seolah-olah mempunyai kekuatan menyedot.
Dia
mengerahkan sinkang, meronta. Akan tetapi karena tidak ada lagi tempat kokoh
untuk berpijak, kekuatannya ini malah memberatkan tubuhnya dan dia pun ambles
sampai dada! Maklumlah Hong Beng bahwa dia telah terjeblos ke dalam lumpur yang
berbahaya sekali dan makin kuat dia meronta, makin dalam pula dia terbenam.
Maka dia pun bersikap tenang, tidak lagi meronta dan tubuhnya tetap saja
terbenam sampai ke dada, tidak turun lagi, akan tetapi juga sama sekali tidak
ada jalan untuk menarik tubuhnya ke luar dari lumpur!
Dia
memandang ke arah gadis cilik itu dan tahulah dia bahwa dia telah terpancing
dan terjebak oleh gadis cilik yang amat cerdik itu karena kini dia melihat
gadis itu tadi hanya bersandiwara dan ternyata dia terjebak! Tiga orang wanita
dewasa yang lihai tidak mampu menangkapnya, juga perangkap-perangkap berbahaya
mampu dihindarkannya. Siapa kira sekarang dia jatuh oleh seorang anak perempuan
yang menggunakan akal bulus!
Diam-diam
Hong Beng merasa penasaran sekali, juga memaki kebodohan diri sendiri, juga
kagum akan kecerdikan anak itu. Masih begitu muda akan tetapi telah memiliki
kecerdikan luar biasa. Agaknya anak itu telah memperhitungkan segalanya
sehingga dia dengan mudah dapat ditipunya.
Hong Li
tertawa-tawa kecil di tepi kubangan lumpur. Melihat lawannya telah terbenam
sampai ke dada dan kini diam saja, sama sekali tidak bergerak, ia menggoda,
"Hayo berontaklah! Makin kau meronta, semakin dalam kau tersedot, dan
sebentar lagi lumpur akan menutupi mulutmu, hidungmu, matamu!"
Hong Beng
merasa panas. "Hemm, bocah setan, jangan mengira aku takut mati! Aku hanya
menyesalkan kebodohanku, mudah saja dapat tertipu oleh bocah setan macam
engkau!"
"Ehh?
Kau tidak takut? Tidak merasa ngeri? Kenapa engkau tidak minta ampun padaku dan
minta pertolonganku agar aku menarikmu keluar?"
Hong Beng
maklum bahwa anak setan itu hanya menggodanya, maka tentu saja dia tidak sudi
memberi kepuasan kepada anak itu dengan memperlihatkan rasa takutnya.
"Sudah
kukatakan, aku tidak takut mati. Akan tetapi, siapakah engkau ini dan masih ada
hubungan apa antara engkau dan Sin-kiam Mo-li?"
"Hemm,
siapa aku tidaklah penting. Yang penting siapa engkau dan mau apa engkau
memaksakan kehendakmu memasuki daerah ini?"
Kembali Hong
Beng kagum. Anak ini masih amat muda, akan tetapi sikapnya sudah dewasa dan
cukup berwibawa. Seorang anak yang cerdik sekali, dan juga mempunyai sepasang
mata yang tajam dan bening, sama sekali tak nampak bayangan watak jahat dari
sepasang mata seperti itu.
"Namaku
Gu Hong Beng dan aku datang untuk bertemu dengan Sin-kiam Mo-li. Karena
menghalangi keinginanku bertemu dengan Sin-kiam Mo-li, maka aku berkelahi
dengan tiga orang wanita itu."
"Mau
apa engkau minta bertemu dengan Sin-kiam Mo-li?" tanya pula Hong Li dan
dia makin kagum karena kini tubuh pemuda itu sudah terbenam semakin dalam,
sampai ke pundak, akan tetapi orangnya masih tetap nampak tenang saja.
Hong Beng
mempertimbangkan pertanyaan ini. Perlukah dia berterus terang kepada anak
perempuan ini? Akan tetapi, nyawanya tergantung di sehelai rambut, dan agaknya
dia tak akan terbebas dari cengkeraman maut ini, maka apa salahnya kalau dia
berterus terang?
Setidaknya,
dia tidak akan lenyap begitu saja dan gadis ini menjadi saksi kematian dan
kehilangannya. Siapa tahu, dari mulut gadis cilik ini kelak, suhu-nya dan semua
orang akan mengetahui nasibnya. Biar mereka semua tahu bahwa dia tewas dalam
usahanya menyelamatkan puteri keluarga Kao yang diculik orang.
"Sebelum
aku menjawab pertanyaanmu itu, siapakah engkau ini sesungguhnya?" Hong
Beng bertanya.
"Aku
adalah anak angkat, juga murid Sin-kiam Mo-li yang kau cari itu."
Mendengar
jawaban ini, lemaslah rasa hati Hong Beng. Celaka, pikirnya, pantas anak ini
demikian cerdik dan lihainya. Dan harapan untuk memperoleh pertolongan semakin
tipis dan jauh.
"Baiklah
biar ceritaku ini merupakan pesan terakhir bagi siapa saja melalui engkau. Aku
datang ke sini mencari Sin-kiam Mo-li untuk bertanya apakah ia telah menculik
seorang anak perempuan. Kalau benar demikian, aku akan merampas kembali anak
perempuan yang terculik itu!"
Mendengar
ini, Hong Li nampak terkejut dan matanya terbelalak. Mata yang memang sudah
lebar itu nampak semakin lebar, seperti matahari kembar. "Ih, subo tidak
pernah menculik orang! Siapakah anak perempuan yang diculiknya itu?"
"Ia
puteri dari pendekar Kao Cin Liong, namanya Kao Hong Li. Apakah engkau melihat
anak itu di sini?"
Tiba-tiba
Hong Li meloncat bangkit dari jongkoknya dan wajahnya berubah, alisnya pun
berkerut. "Siapakah engkau sesungguhnya? Masih ada hubungan apa antara
engkau dan keluarga Kao itu?" Pertanyaannya penuh nafsu dan mendesak
sekali.
Pertanyaan
aneh, pikir Hong Beng. Akan tetapi karena dia mengharapkan anak ini kelak
menceritakan kepada semua orang tentang dirinya, dia pun menjawab sejujurnya.
"Isteri pendekar Kao yang bernama Suma Hui adalah bibi guruku karena
guruku, Suma Ciang Bun, adalah adik kandungnya."
"Ahhh...!"
Gadis cilik itu berseru kaget dan tiba-tiba ia bertanya, "Apakah engkau
mampu mengeluarkan kedua tanganmu?"
"Apa...?
Apa... maksudmu?"
"Cepat
keluarkan kedua tanganmu ke atas lumpur supaya dapat aku menarikmu keluar dari
situ."
Tentu saja
ucapan ini mengejutkan akan tetapi juga mengherankan dan terutama sekali
menyenangkan hati Hong Beng yang secara tiba-tiba memperoleh harapan baru. Dia
menarik kedua lengannya yang terpendam, akan tetapi walau pun dia berhasil
menarik kedua tangannya ke atas, tubuhnya semakin tenggelam dan kini lumpur
telah mencapai dagunya, hanya satu senti saja di bawah mulut! Bau lumpur yang
busuk menyengat hidungnya.
Akan tetapi
Hong Beng tetap bersikap tenang saja walau pun sedikit lagi, kalau lumpur sudah
menutup hidungnya, berarti berakhirlah riwayat hidupnya. Dan pada saat itu, dia
merasa ada benda yang licin bergerak meraba-raba kakinya. Dia terkejut dan
dapat menduga bahwa di dalam lumpur itu terdapat binatang, mungkin semacam
belut, ikan atau ular!
Teringat
akan ini dia cepat mengerahkan sinkang-nya dan mengerahkan hawa panas dari
Hwi-yang Sinkang untuk melindungi tubuhnya dari gigitan binatang. Dan untung
dia melakukan ini karena pada saat itu, banyak sekali ular di dalam lumpur yang
telah siap menggigitnya akan tetapi binatang-binatang itu mundur teratur ketika
merasa betapa dari tubuh yang terbenam lumpur itu keluar hawa yang amat panas!
Sementara
itu, Hong Li sudah memutar otak, bagaimana untuk menolong Hong Beng yang
sebentar lagi tentu tewas kalau tidak cepat ditarik keluar. Tidak ada tali di
situ. Akan tetapi ia seorang gadis yang amat cerdik. Ditumbangkannya sebatang
pohon yang tidak berapa besar namun cukup panjang, dan diseretnya batang pohon
berikut cabang dan daun-daunnya itu ke tepi kubangan lumpur.
Kemudian, ia
memotong sebagian ikat pinggangnya yang terbuat dari sutera yang kuat.
Diikatnya ujung batang pohon itu dengan ikat pinggang, kemudian ujung ikat
pinggang ia ikatkan pada sebatang pohon besar yang kokoh kuat. Setelah itu, ia
menyeret batang pohon tadi dan melemparkannya ke tengah kubangan sambil berseru
kepada Hong Beng yang kini mulutnya sudah mulai tertutup lumpur!
"Tangkap
ini dan tarik keluar dirimu melalui batang pohon!"
Tanpa diberi
tahu pun, Hong Beng sudah maklum apa yang harus dilakukannya. Sejak tadi ia
melihat saja dan bukan main kagumnya melihat usaha anak itu. Dia sendiri tentu
akan bingung untuk menolong orang keluar dari lumpur tanpa adanya tali. Akan
tetapi anak perempuan itu telah memperoleh akal yang amat baik.
Dia segera
menangkap cabang pohon itu dan segera dengan hati-hati dan perlahan-lahan agar
jangan sampai cabang itu putus atau ikat pinggang di ujung sana itu putus, dia
mulai menarik tubuhnya ke atas. Dan dia berhasil! Perlahan-lahan, mulai
nampaklah tubuhnya bagian atas yang berlepotan lumpur.
Kini,
perlahan-lahan, dia merayap melalui batang pohon itu, menarik tubuhnya semakin
tinggi keluar dari lumpur dan akhirnya, dengan terengah-engah, dia sampai juga
ke tepi dan naik ke tepi kubangan lumpur, lalu menjatuhkan diri ke atas tanah
saking lelahnya dan tegangnya.
"Ahh,
engkau berhasil!" Hong Li berseru gembira.
Hong Beng
mencoba membersihkan leher dan bagian bawah mukanya dari lumpur. "Ya,
berkat pertolonganmu, adik yang baik. Engkau telah menyelamatkan nyawaku..."
"Tidak,
karena aku yang membuat engkau terperosok tadi. Aku hanya ingin menebus
kesalahanku saja!"
Hong Beng
tersenyum. Benar juga, dan dia semakin kagum akan kejujuran anak ini.
"Engkau anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li, kenapa malah menolongku?
Siapakah engkau adik yang begini cerdik, lihai dan baik hati?"
"Namaku?
Aku... Kao Hong Li!"
"Ihhh...!"
Hong Beng
meloncat dan lupa akan kekotoran tubuhnya yang terbungkus lumpur. Dia
terbelalak memandang gadis cilik itu, penuh keheranan, penuh kejutan dan
kekaguman. "Engkau... engkau adik Kao Hong Li? Akan tetapi, bagaimana
engkau dapat menjadi anak angkat dan murid Sin-kiam Mo-li?"
Hong Li
tersenyum manis. "Amat panjang ceritanya, suheng. Bukankah engkau menjadi
suheng-ku karena engkau murid paman Suma Ciang Bun?"
"Ya,
panjang ceritanya. Akan tetapi engkau telah berani masuk ke sini tanpa ijin,
karena itu engkau harus menyerah sebagai tawanan kami," tiba-tiba
terdengar suara orang.
Ketika Hong
Beng menoleh, di situ telah berdiri seorang wanita cantik, bertubuh tinggi
ramping dan matanya mencorong. Yang mengejutkan hati Hong Beng adalah ketika
dia melihat betapa di belakang wanita itu nampak pula tujuh orang tosu, di
antaranya adalah tosu-tosu yang sudah dikenalnya, yaitu para tokoh Pek-lian-pai
dan Pat-kwa-pai yang berilmu tinggi.
"Subo,
dia ini suheng-ku sendiri...!" Hong Li mencoba untuk mencegah subo-nya.
"Hong
Li, masuk kau! Belum juga kau kapok menolong orang yang hendak mengacau di
sini!" bentak Sin-kiam Mo-li dengan marah.
Hong Li
mengerutkan alisnya, akan tetapi ia tidak berani membantah lagi dan sambil
mengepalkan tinju, ia pun lari meninggalkan tempat itu, kembali ke dalam
bangunan dan mengunci diri di dalam kamarnya sendiri dengan marah.
Sementara
itu, Hong Beng berdiri dengan siap siaga, bingung apa yang harus dilakukan
karena setelah mendengar bahwa Hong Li adalah anak angkat dan juga murid Sin-kiam
Mo-li, tidak mungkin dia menuduh wanita ini menculiknya. Akan tetapi, kenyataan
bahwa Sin-kiam Mo-li datang bersama-sama tujuh orang tokoh Pat-kwa-pai dan
Pek-lian-pai itu membuat dia semakin ragu karena dia mengenal tujuh orang ini
sebagai orang-orang yang datang dari golongan hitam dan sesat, yang menggunakan
agama dan perjuangan untuk menipu rakyat.
"Ha-ha-ha!"
Terdengar Thian Kek Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw yang bermuka merah itu
tertawa. "Kiranya murid keluarga Pulau Es, Suma Ciang Bun, kini menjadi
seekor belut yang suka bermain di dalam lumpur!"
"Mo-li,
dia ini murid keluarga Pulau Es, kebetulan dia datang mengantar nyawa, biar
pinto membunuhnya untukmu!" kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua
Pat-kwa-pai yang sudah menggerakkan tongkatnya yang panjang.
"Nanti
dulu, totiang!" Sin-kiam Mo-li berseru dan kakek itu pun menahan
tongkatnya. "Dia melanggar daerahku, dan akulah yang berhak untuk
menghukumnya! Dia adalah tawananku!"
Sin-kiam
Mo-li mencegah wakil ketua Pat-kwa-pai itu turun tangan, bukan semata-mata
untuk mempertahankan kekuasaannya di daerahnya sendiri, melainkan karena dia
telah melihat wajah dan bentuk tubuh yang tertutup lumpur itu dan dia merasa
amat tertarik. Pemuda ini amat tampan dan gagah! Inilah yang membuatnya ingin
menangani sendiri pemuda itu, membuatnya tunduk dan tidak membunuhnya. Sekarang
dia melangkah maju menghadapi Hong Beng.
"Nah,
orang muda. Apakah engkau sudah tahu akan dosa-dosamu, ataukah aku harus
mengingatkanmu dengan kekerasan?" tanya Sin-kiam Mo-li, suaranya amat
lembut dan pandang matanya berkilat.
Tujuh orang
tosu itu bukan orang bodoh dan mereka pun tersenyum-senyum maklum, akan tetapi
Sin-kiam Mo-li tidak peduli akan sikap mereka itu.
Hong Beng
maklum bahwa kalau dia mempergunakan kekerasan, dia akan kalah. Baru menghadapi
wakil ketua Pat-kwa-pai yang bermuka merah itu saja dia akan menemui lawan
tangguh yang sukar dikalahkan, apa lagi di situ terdapat tujuh orang tosu dan
agaknya wanita ini sendiri memiliki kepandaian yang tinggi.
Melawan
dengan kekerasan berarti mengantar nyawa. Pula, apa gunanya melawan? Bukankah
anak perempuan yang dicarinya telah berada di situ dan ternyata sama sekali
bukan menjadi tawanan, bahkan menurut pengakuan Hong Li, tidak pernah anak itu
diculik oleh Sin-kiam Mo-li? Apa alasannya untuk mengamuk di situ?
Dia pun
menjura dengan sikap hormat. "Aku telah melakukan kesalahan, memasuki
daerah kekuasaan orang lain tanpa ijin. Semua ini terjadi karena salah sangka.
Aku sedang mencari puteri bibi guruku yaitu Kao Hong Li yang kabarnya diculik
orang. Ternyata ia berada di sini sebagai muridmu, oleh karena itu, aku kecelik
dan mengaku salah. Terserah kepadamu, Sin-kiam Mo-li, kalau engkau hendak
menawan aku karena kesalahanku."
Wanita itu
tersenyum dan biar pun usianya sudah empat puluh tahun, akan tetapi ia
kelihatan masih muda dan masih cantik menarik. Memang wanita ini luar biasa,
dapat menjaga kemudaannya sehingga ia kelihatan seperti baru berusia kurang
dari tiga puluh tahun, masih cantik dengan sepasang matanya yang tajam penuh
gairah dan semangat, mulutnya yang manis dengan bibir yang padat merah. Kulit
mukanya yang masih halus kemerahan belum ada keriput, sedangkan tubuhnya masih
padat dan langsing, tinggi ramping dan padat.
"Engkau
adalah murid keluarga Pulau Es, seorang pendekar yang gagah perkasa. Dan
kesalahanmu tidak kau sengaja, maka tentu saja aku dapat memaafkan. Akan tetapi
sebagai balasannya, engkau harus bersikap bersahabat dengan kami. Sekarang tinggal
engkau pilih, ehhh, siapa namamu, orang muda?"
"Namaku
Gu Hong Beng."
"Nah,
Gu-taihiap..."
"Ahhh,
harap tidak berlebihan, aku bukan seorang pendekar besar," kata Hong Beng,
merasa malu karena baru saja dia tidak berdaya dan bahkan nyawanya diselamatkan
oleh seorang anak perempuan, bagaimana sekarang dia bisa menerima sebutan
taihiap (pendekar besar)?
"Engkau
memang patut disebut taihiap sebagai pewaris ilmu-ilmu yang hebat dari keluarga
Pulau Es," kata Sin-kiam Mo-li sambil memainkan matanya yang tajam dan
jeli.
Kalau
menurut keinginan hatinya, ia ingin membasmi semua keluarga pendekar Pulau Es.
Akan tetapi kini dipaksanya mulutnya untuk memuji-muji keluarga itu karena ia
ingin sekali merayu dan menjatuhkan hati pemuda yang telah membuatnya mengilar
dan tergila-gila ini.
"Sekarang
tinggal engkau pilih. Kalau memang engkau menyesali kesalahanmu dan beriktikad
baik, jadilah engkau tamuku yang terhormat selama satu bulan dan engkau boleh
ikut berunding bersama kami mengenai urusan perjuangan yang sangat penting.
Sebaliknya, kalau engkau memilih menjadi tawananku untuk menerima hukuman atas
kesalahanmu, terserah."
Hong Beng
mengerutkan alisnya. Andai kata di situ tidak ada tujuh orang tosu itu, agaknya
ada keberatan baginya untuk memilih yang pertama, yaitu menjadi tamu wanita
aneh ini. Akan tetapi, tujuh orang tosu pemberontak itu berada di situ dan
mereka hendak bicara tentang perjuangan! Dia tahu benar apa artinya perjuangan
itu bagi para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai.
Memang benar
mereka itu selalu bermusuhan dengan pemerintah Mancu, namun di samping ini
mereka pun terkenal sebagaai orang-orang sesat yang mengelabui rakyat dan tidak
segan melakukan segala macam bentuk kejahatan yang kejam. Akan tetapi, kalau
hanya menjadi tamu, apa salahnya. Dia boleh mendengarkan tanpa mencampuri,
tanpa melibatkan dirinya.
Dia merasa
serba salah, akan tetapi karena keadaan mendesak, dia pun menjura dan berkata,
"Aku sudah melakukan kesalahan, oleh karena itu terserah kepadamu. Kalau
kesalahanku dimaafkan dan aku dianggap sebagai tamu, aku merasa terhormat
sekali dan mengucapkan terima kasih."
Sin-kiam
Mo-li tertawa dan tidak peduli lagi akan sikap tujuh orang tosu yang rata-rata
mengerutkan alis tanda tidak setuju. Akan tetapi karena yang menjadi pemilik
tempat itu adalah Sin-kiam Mo-li, mereka pun tidak mampu mencegah. Thian Kek
Sengjin, tokoh Pek-lian-kauw itu, tertawa bergelak.
"Ha-ha-ha-ha,
kami bertujuh adalah tamu kehormatan dari Sin-kiam Mo-li, dan sekarang
Gu-taihiap juga telah menjadi tamu kehormatan, berarti di antara kita sudah
terikat tali persahabatan yang akrab. Gu-taihiap, terimalah hormat pinto, Thian
Kek Sengjin dari Pek-lian-kauw!"
"Pinto
Coa-ong Sengjin, sute-nya," berkata kakek kecil bongkok bermuka monyet
yang memegang seekor ular hijau itu.
"Pinto
Ang-bin Tosu dari Pek-lian-kauw juga," kata tosu kecil muka merah.
"Dan
pinto adalah saudaranya yang berjuluk Im Yang Tosu," kata tosu yang
wajahnya membayangkan kecongkakan, dengan mata sipit dan mulut tersenyum sinis.
"Ha-ha,
kita sudah pernah berkenalan, Gu-taihiap. Pinto Ok Cin Cu dari Pat-kwa-pai dan
dia itu Lam Cin Cu sute-ku, dan wakil ketua kami Thian Khong Cinjin.
Perkenalkan kami dari Pat-kwa-pai, ha-ha-ha!"
Hong Beng
dengan perasaan sangat tidak enak membalas penghormatan mereka dan menjawab,
"Kita sama-sama menjadi tamu di sini, bukan berarti ada ikatan apa-apa di
antara kita."
Para tosu
itu hanya tertawa dan dengan gembira Sin-kiam Mo-li lalu memberi tanda kepada
tiga orang pelayannya yang cepat bermunculan dari belakang pohon karena sejak
tadi mereka pun berada di situ, siap menanti perintah pimpinan mereka setelah
mereka tadi melaporkan tentang kemunculan pemuda lihai itu.
"Kalian
layani Gu-taihiap untuk membersihkan diri. Berikan ia pakaian bersih, kemudian
ajak dia menemuiku di ruangan tamu. Sediakan sebuah kamar untuk dia, kamar yang
berada di sebelah kamarku. Layani dia baik-baik dan jangan ada yang berani
kurang ajar! Awas, dia ini tamuku yang terhormat!"
Tiga orang
wanita cantik itu saling pandang dan tersenyum, lalu mengangguk. Mereka sudah
cukup mengenal watak guru dan majikan mereka, dan mereka juga tahu bahwa
Sin-kiam Mo-li sudah tergila-gila kepada pemuda ini. Ucapannya tadi
memperingatkan supaya mereka bertiga tidak berusaha untuk ‘mendekati’ pemuda
itu yang sudah diaku sebagai milik pribadi Sin-kiam Mo-li! Sambil tersenyum
ramah mereka menggandeng tangan Hong Beng dan diajaknya pemuda itu pergi
bersama mereka.
Ingin Hong
Beng memberontak ketika kedua tangannya digandeng dengan sikap genit dan manja
oleh Ang Nio dan Pek Nio, akan tetapi Hek Nio yang berjalan di belakangnya
berbisik, "Taihiap, tanpa bimbingan kami, mana mungkin engkau akan dapat
tiba di rumah kami dengan selamat?"
Hong Beng
pun melemaskan kedua tangannya dan menurut saja dituntun oleh kedua orang
wanita cantik itu. Dia merasa tidak berdaya, dan merasa seperti seekor domba
dituntun ke pejagalan. Apa gunanya meronta? Dia sudah menjadi tamu, dan
terpaksa harus menerima pelayanan nyonya rumah!
Ia diajak
melalui lorong yang berputar-putar, melalui lorong setapak dan kadang-kadang
menyeberangi semak-semak, tidak melanjutkan jalan menurut lorong, dan akhirnya
Hong Beng yang diam-diam mencurahkan perhatian, dapat mengetahui rahasia jalan
itu. Ternyata lorong itu dibuat menurut garis-garis pat-kwa dan selanjutnya,
setiap kali membelok atau memilih jalan bercabang, dia menduga terlebih dahulu
dan memang cocok. Giranglah hatinya dan dia lupa bahwa dia masih berada di
bawah kekuasaan Sin-kiam Mo-li.
Hong Beng
diajak ke kamarnya, sebuah kamar yang besar dan mewah, dan dia pun dipersilakan
mandi membersihkan lumpur kemudian berganti pakaian kering yang telah disiapkan
pula. Akan tetapi dia menolak keras ketika tiga orang gadis cantik itu hendak
turun tangan memandikannya!
"Apakah
kalian berani hendak bersikap kurang ajar kepadaku? Akan kulaporkan kepada
Mo-li!"
Benar saja,
ancamannya ini berhasil baik. Tiga orang gadis itu mundur dengan wajah takut
dan Ang Nio berkata, "Gu-taihiap tidak perlu marah. Kami bertiga tidak
berniat kurang ajar, hanya bermaksud untuk membantu saja. Kalau taihiap tidak
mau dilayani, silakan mandi sendiri, akan tetapi yang bersih karena kalau tidak
bersih tentu ada bau busuk dari lumpur itu dan kami akan mendapat marah
besar."
Hong Beng
merasa diperlakukan seperti anak kecil, dimanja, akan tetapi walau pun dia
merasa panas di dalam hatinya, dia diam saja dan segera mandi. Segar rasa
badannya, apa lagi setelah mengenakan pakaian bersih dan kering, pikirannya
menjadi semakin tenang dan diam-diam dia bertanya di dalam hati, apa sebetulnya
yang telah terjadi dengan diri Hong Li maka kini ia dapat menjadi anak angkat
dan murid seorang wanita seperti Sin-kiam Mo-li.
Dia teringat
akan cerita Kao Cin Liong bahwa tadinya Hong Li diculik oleh seorang pendeta
dari Tibet yang berjuluk Ang I Lama yang lihai ilmu silatnya dan pandai ilmu
sihir pula. Kemudian, ketika bertemu dengan pendeta itu, Kao Cin Liong dan Suma
Hui tidak mampu mendapatkan jejak Hong Li dan ternyata kakek pendeta itu tidak
pernah melakukan penculikan. Bahkan kemudian kakek itu kabarnya tewas terbunuh
dan para pendeta Lama menuduh suami isteri Kao itu yang telah membunuhnya.
Dan kini,
tahu-tahu Hong Li berada di tempat kediaman Sin-kiam Mo-li, bukan sebagai anak
yang diculik, melainkan sebagai anak angkat dan juga murid! Ingin sekali dia
dapat bertemu dengan anak itu dan mendengar keterangannya. Kalau sudah
mendengarkan keterangan anak itu, barulah dia akan bertindak sedapat dan sekuat
mungkin untuk menghadapi Sin-kiam Mo-li sebagaimana mestinya.
Apakah
Sin-kiam Mo-li penolong anak itu? Kalau benar demikian, tentu saja dia tidak
akan memusuhinya. Sementara ini dia akan bersikap biasa saja, sebagai seorang
tamu yang dihormati dan menghormati nyonya rumah. Diam-diam dia akan
memperhatikan bagaimana hubungan antara Sin-kiam Mo-li dengan tujuh orang tosu
itu dan apa saja yang akan mereka bicarakan tanpa mencampuri urusan mereka.
Begitu dia
selesai berpakaian, tiga orang gadis pelayan itu telah memasuki kamarnya lagi
dan mengatakan bahwa kini mereka bertugas mengantar Hong Beng ke ruangan makan
seperti yang diperintahkan majikan mereka. Hong Beng mengangguk dan keluar
bersama mereka tanpa membantah.
Hatinya
panas kembali dan merasa kesal sekali ketika dia melihat betapa ketiga orang
gadis itu mengamatinya penuh perhatian. Bahkan Ang Nio lalu
mengembang-kempiskan hidung sambil mendekatinya. Jelas gadis itu mencium-cium
ke arah tubuhnya!
"Hemm,
taihiap sudah tidak kotor lagi, tidak ada lagi bau lumpur yang busuk dan
amis," katanya lirih.
"Sekarang
baunya sedap!" sambung Pek Nio dengan genit sekali.
Akan tetapi
Hong Beng tidak menanggapi, hanya cemberut saja dan ini sudah cukup untuk
membuat mereka diam dan tidak berani melanjutkan godaan. Diam-diam Hong Beng
bergidik.
Sin-kiam
Mo-li memiliki tiga orang pelayan yang cantik-cantik dan genit-genit. Dia tidak
dapat membayangkan bagaimana kalau dia terjatuh ke dalam kekuasaan tiga orang
gadis ini. Mereka bersikap bagaikan tiga ekor harimau kelaparan menghadapi
seekor kelinci saja. Tentu dia akan diterkam mereka dan dirobek-robek!
Ketika dia
tiba di ruangan makan yang lebar dan mewah juga, dengan perabot yang serba
mahal, Sin-kiam Mo-li sudah duduk di situ bersama tujuh orang tosu itu.
Sekarang Sin-kiam Mo-li nampak lebih cantik, sudah berganti pakaian dan
rambutnya disisir rapi, digelung dan dihias dengan tusuk konde berlian dan
jepit rambut batu kemala...
Terima kasih telah membaca Serial
No comments:
Post a Comment