Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Suling Naga
Jilid 19
KETIKA
melihat Hong Beng yang mengenakan pakaian bersih berwarna biru itu, pakaian
yang banyak dimiliki Sin-kiam Mo-li untuk diberikan kepada laki-laki yang
diculiknya dan menjadi korbannya, wanita ini bangkit berdiri. Sepasang mata
yang mencorong itu memandang kagum dan menyapu seluruh tubuh dan wajah Hong
Beng tanpa berkedip, membuat pemuda itu merasa salah tingkah dan mengerutkan
alisnya, berdiri saja dan balas memandang. Sin-kiam Mo-li tersenyum manis
sekali.
"Gu-taihiap,
setelah bertukar pakaian dan bersih, ternyata nampak tampan dan gagah bukan
main, seperti tokoh Si Jin Kwi!" Ia memuji terang-terangan tanpa malu-malu
lagi di depan para tosu yang tertawa-tawa.
Hong Beng
mengerutkan alisnya yang hitam tebal itu semakin dalam, dan wajahnya yang putih
bersih itu mendadak berubah merah. Dia merasa malu dan juga marah sebab pujian
itu melampaui batas, tak patut keluar dari mulut seorang wanita baik-baik, apa
lagi di depan banyak orang. Orang macam apakah wanita ini, pikirnya. Dia tidak
menjawab, hanya berdiri dengan kikuk.
Melihat ini,
hati Sin-kiam Mo-li menjadi semakin gembira. Jelas seorang pemuda yang masih
hijau, seorang perjaka yang agaknya belum pernah berdekatan dengan wanita.
Pikiran ini membuat jantungnya berdebar dan kalau tidak ditahannya, tentu air
liurnya keluar dari tepi mulut seperti seekor sapi kelaparan melihat rumput
muda menghijau.
"Gu-taihiap,
silakan duduk," katanya menunjuk ke sebuah bangku di sisi kanannya yang
kosong.
Dan karena
tidak ada bangku lain yang kosong, semua sudah ditempati para tosu dan Sin-kiam
Mo-li, hanya sebuah yang kosong di sebelah kanan wanita itu, dan agaknya memang
sudah diatur demikian, terpaksa Hong Beng lalu duduk di situ. Baru saja dia
duduk, dia telah merasa betapa lutut kirinya bersentuhan dengan lutut kanan
wanita itu. Cepat dengan gerakan halus dia menarik lututnya dan merapatkan
kedua pahanya.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum dan memberi isyarat kepada tiga orang pelayannya. Ang Nio
datang membawa seguci arak dan dengan sikap manis ia menuangkan arak merah ke
dalam sebuah cawan kosong. Sin-kiam Mo-li menyerahkan secawan arak itu kepada
Hong Beng.
"Terimalah
cawan arak pertama sebagai ucapan selamat datang, taihiap!" katanya.
Saat Hong
Beng menerima cawan arak itu, pemuda ini merasa betapa jari tangan yang halus
lunak dan hangat menyentuh jarinya. Dia tidak berani menolak, lalu menghaturkan
terima kasih sambil minum arak itu sampai habis. Arak yang manis dan enak. Akan
tetapi Ang Nio memenuhi cawannya lagi.
Sin-kiam
Mo-li menyodorkan arak dalam cawan itu sambil berkata, "Cawan ke dua ini
untuk menghormatimu sebagai tamu kami, taihiap."
Kembali Hong
Beng minum arak itu tanpa membantah. Para tosu tertawa dan suasana menjadi
gembira ketika Pek Nio dan Hek Nio datang seperti menari-nari, membawa baki
yang berisi mangkok-mangkok penuh masakan yang beraneka macam, masih panas
mengepul dan baunya sedap bukan main.
"Aihhh,
bukan main sedapnya!" beberapa orang tosu berseru sambil mengecap-ngecap
bibir.
Segera
masakan di dalam mangkok-mangkok besar itu diatur di atas meja dan Sin-kiam
Mo-li mempersilakan mereka makan minum. Hong Beng tidak bersikap malu-malu lagi
karena memang perutnya juga sudah lapar sekali. Dia pun turut memainkan
sepasang sumpitnya untuk memindahkan potongan-potongan daging dan sayur ke
dalam perut melalui mulutnya, disiram oleh arak yang manis dan sedap.
Sebentar
saja, sembilan orang itu telah makan sampai kenyang dan para tosu sudah menjadi
setengah mabok karena terlalu banyak minum arak. Hong Beng menjaga diri dan
hanya minum kalau setengah dipaksa oleh Sin-kiam Mo-li. Wanita ini sendiri,
biar pun tidak mabok, namun wajahnya yang putih cantik itu telah menjadi merah
sekali dan sepasang matanya seperti berminyak dan mengkilat.
Tiba-tiba ia
menuangkan arak ke dalam cawan araknya sendiri yang setengahnya masih terisi,
lalu mengangkat cawan arak itu diberikan kepada Hong Beng! Tentu saja pemuda
ini ragu-ragu untuk menerimanya. Cawan itu milik Sin-kiam Mo-li, dan tadi masih
ada setengahnya! Akan tetapi Sin kiam Mo-li dengan senyum manis sekali dan
memandang dengan penuh gairah, berkata dengan suara yang merdu merayu.
"Gu-taihiap,
atas nama persahabatan antara kita, demi eratnya persahabatan kita yang mesra,
sudilah engkau menerima arak ini, taihiap."
Bagaimana
mungkin Hong Beng mampu menolak? Suguhan arak itu diberikan dengan alasan
persahabatan dan kalau dia menolak, berarti dia tidak mau bersahabat! Dan sinar
mata wanita itu demikian jeli, demikian penuh permohonan, sehingga dia pun
tidak tega lagi untuk menolak! Pemuda ini sama sekali tidak sadar bahwa
Sin-kiam Mo-li telah mempergunakan kekuatan sihirnya, mulai merayunya melalui
suguhan arak!
Hong Beng
minum habis arak itu dan ketika dia meletakkan cawan kosong itu di depan
Sin-kiam Mo-li, wanita itu menurunkan tangannya seperti tidak disengaja. Akan
tetapi tangan itu kini menutup tangan kiri Hong Beng dan jari-jari tangan yang
kecil panjang dan lunak hangat itu mencengkeram punggung tangan Hong Beng.
Seperti
orang linglung, Hong Beng mengangkat muka memandang dan melihat betapa
cantiknya wajah wanita di sebelahnya itu, yang memandang padanya dengan
sepasang mata seperti matahari kembar dan senyum yang lebih manis dan hangat
dari pada arak yang diminumnya tadi. Hong Beng merasa betapa jantungnya
berdebar keras, jalan darahnya berdenyut-denyut dan belum pernah rasanya dia
melihat wanita yang secantik Sin-kiam Mo-li!
Tanpa
disadarinya, dia pun membalas senyum itu. Bahkan dia lalu membalikkan tangan
kirinya dan jari-jari tangannya bertemu dengan jemari tangan wanita itu.
Telapak tangan mereka juga bertemu dengan hangatnya.
"Ha-ha-ha,
tiba saatnya bagi kita untuk bermesraan!" terdengar suara seorang di
antara tosu-tosu itu.
Ketika Hong
Beng menengok, ternyata Ok Cin Cu telah menangkap pinggang ramping dari Hek
Nio. Kini gadis berpakaian serba hitam itu telah ditarik ke atas pangkuannya!
Hek Nio hanya terkekeh genit ketika tosu itu meraba-raba dan menciumnya.
"Siancai...!"
kata Thian Kong Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-kauw dengan alis berkerut saat
melihat ulah anak buahnya itu. "Kita belum lagi mengadakan rapat
pembicaraan tentang perjuangan itu sampai matang. Urusan senang-senang boleh
ditunda dulu."
"Hai,
Ok Cin Cu, jangan tamak engkau!" seru Ang Bin Tosu tokoh Pek-lian-kauw
kepada tokoh Pat-kwa-kauw itu. "Kita ada bertujuh di sini, dan ceweknya
hanya ada tiga orang! Harus dibagi rata!"
"Sebaiknya
mereka melayani kita secara bergilir!"
"Diundi
dulu, siapa yang paling dulu dan bagaimana cara gilirannya menurut
undian!"
Sambil
tertawa-tawa, tujuh orang tosu itu memberi usul-usul. Akhirnya Sin-kiam Mo-li
yang masih saling berpegang tangan dengan Hong Beng itu berkata,
"Cuwi
totiang, harap jangan ribut-ribut. Kita di antara kawan sendiri, bukan?
Dengarlah, urusan rapat, sebaiknya dilanjutkan besok siang saja karena malam
ini aku... ehhh…," ia menoleh kepada Hong Beng, "ingin beristirahat
dulu. Dan tiga orang pembantuku itu boleh saja melayani kalian, dan memang
sebaiknya diadakan undian sehingga tidak terjadi perebutan."
Ia lalu
bangkit berdiri dan menarik Hong Beng bangun. Pemuda ini menurut saja ditarik
bangkit seperti orang kehilangan semangat. Memang semangat dan kemauannya telah
ditekan dan dikurung oleh kekuatan sihir Sin-kiam Mo-li.
"Tentang
undian itu, silakan atur sendiri. Nah, aku mengundurkan diri lebih dulu."
Sin-kiam
Mo-li menarik tangan Hong Beng. Seperti seekor kerbau yang diikat hidungnya dan
kini ditarik ke pejagalan, Hong Beng menurut saja walau pun pandang matanya
mulai bingung. Apa yang didengar dan dilihatnya di ruangan makan itu membuat
bulu tengkuknya berdiri. Dia merasa ngeri dan muak sekali, akan tetapi sungguh
aneh, tidak ada kemauan untuk meronta sama sekali ketika Sin-kiam Mo-li
menariknya menuju ke kamar nyonya rumah itu!
Sejak kecil
Hong Beng menerima gemblengan dari Suma Ciang Bun. Ilmu-ilmu dari Pulau Es
adalah ilmu yang tinggi dan cara melatih sinkang membuat batin Hong Beng kuat
sekali sehingga jika memang dia menyadari dan mengerahkan kekuatan batinnya,
tidak mudah dia jatuh ke bawah pengaruh sihir. Akan tetapi, ketika dia makan
minum dengan Sin-kiam Mo-li, wanita cantik yang cerdik dan dapat menduga akan
kekuatan pemuda itu telah mempergunakan sihirnya secara perlahan-lahan, sedikit
demi sedikit sehingga tanpa disadarinya, Hong Beng tercengkeram olehnya.
Akan tetapi,
begitu melihat suasana yang dianggapnya memuakkan di ruangan makan tadi, di
mana para tosu memperebutkan tiga orang pelayan wanita itu, keheranan dan
kemuakan menyelinap di dalam benak Hong Beng dan membuat dia bercuriga. Walau
pun kemauannya sudah lemah dan dia membiarkan dirinya ditarik oleh Sin-kiam
Mo-li menuju ke dalam kamarnya, tetapi diam-diam Hong Beng mulai mengerahkan
kekuatan batinnya.
Begitu masuk
kamar, Sin-kiam Mo-li menendang daun pintu tertutup dan ia menarik Hong Beng ke
tempat tidur, lalu menerkam pemuda itu, mendekap dan menciuminya seperti seekor
harimau menerkam domba, penuh dengan nafsu birahi. Akau tetapi, hal ini bahkan
mempercepat kesadaran Hong Beng yang meski pun tadi dipengaruhi sihir, namun
masih belum disentuh oleh nafsu birahi.
"Ihhh...!"
Dia membentak, meronta dan meloncat turun dari atas pembaringan.
Sin-kiam
Mo-li mengembangkan kedua lengannya ke arah Hong Beng sambil bangkit duduk.
Sepasang matanya berminyak, mulutnya mulai merintih-rintih, namun ia masih
mencoba untuk mengerahkan kekuatan sihirnya.
"Gu
Hong Beng, kekasihku... kita... kita saling mencinta. Ke sinilah, sayang,
marilah kita bersenang-senang... bukankah kita telah menjadi sahabat yang amat
mesra dan akrab? Ke sinilah, taihiap, kekasihku tercinta..."
Akan tetapi,
mendengar ucapan penuh rayuan yang amat asing baginya ini, kesadaran Hong Beng
semakin pulih dan dia mengerutkan alisnya, lalu menudingkan telunjuknya dengan
marah.
"Sin-kiam
Mo-li, sungguh engkau perempuan yang tidak tahu malu, tidak mengenal
kesusilaan. Apa yang telah kau lakukan ini? Aku bukanlah laki-laki pelacur
seperti yang kau kira! Aku... aku akan pergi dari sini, mengajak pergi nona Kao
Hong Li!" Berkata demikian, Hong Beng hendak keluar dari dalam kamar itu.
"Berhenti...!"
Tiba-tiba suara Sin-kiam Mo-li sudah berubah.
Ketika ia
berkelebat menghadang di depan pintu, Hong Beng melihat betapa wajah yang tadi
nampak cantik manis itu sekarang nampak seperti wajah iblis betina yang
beringas, sepasang mata itu mencorong penuh kekejaman dan mulut itu menyeringai
mengerikan!
"Gu
Hong Beng, laki-laki tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Engkau
sudah menentukan pilihanmu sendiri. Bukankah engkau memilih di antara dua,
yaitu menjadi tamu atau menjadi tawanan? Engkau memilih menjadi tamu dan aku
memperlakukanmu seperti seorang tamu agung, akan tetapi apa balasanmu? Engkau
malah menghinaku! Jangan harap engkau dapat keluar dari sini, apa lagi membawa
muridku!" Berkata demikian, wanita yang marah itu maju menghampiri.
"Masih kuberi kesempatan sekali lagi. Engkau mau melayani aku dan
bersenang-senang dengan aku selama sebulan ini, ataukah engkau menjadi
tawananku dan mungkin akan kubunuh?"
"Cih,
perempuan tak tahu malu! Siapa yang takut mati? Lebih baik mampus dari pada
menyerah kepadamu melakukan perbuatan hina dan rendah!"
"Keparat
sombong!" Sin-kiam Mo-li membentak.
Wanita ini
telah menerjang maju dengan pukulan dahsyat, menggunakan tangan kirinya
menampar ke arah pelipis kepala Hong Beng. Pemuda ini sudah nekat. Bagaimana
pun juga, tidak sudi dia memenuhi permintaan wanita iblis cabul itu dan biar
pun dia tahu bahwa dia berada di tempat berbahaya, namun lebih baik dia mati
dari pada harus menyerah.
Melihat
datangnya pukulan dahsyat itu, dia pun menangkis dengan tangan kanannya sambil
mengerahkan tenaga Swat-im Sinkang yang sangat dingin, sedangkan tangan kirinya
membarengi tangkisan itu, mendorong ke arah lambung lawan yang terbuka.
"Dukkk...!"
Dua lengan
bertemu dan wanita itu cepat meliukkan tubuh menghindarkan dorongan ke arah
lambungnya. Ia dapat merasa betapa tangkisan itu mengandung hawa amat dingin
yang menyusup ke dalam tubuhnya. Cepat ia mengerahkan sinkang melawan dan ia
pun tahu bahwa pemuda ini benar-benar tangguh, hal yang tidak aneh kalau
diingat bahwa pemuda ini adalah murid keluarga Pulau Es yang terkenal memiliki
sinkang dahsyat, yaitu Hwi-yang Sinkang yang panas dan Swat-im Sinkang yang
amat dingin.
Maklum bahwa
menghadapi pemuda ini dengan tangan kosong akan memakan waktu lama dan tidak
mudah baginya untuk merobohkannya, Sin-kiam Mo-li lalu meloncat ke dekat meja
dan menyambar sebatang kebutan bergagang emas yang bulunya merah. Begitu
dikelebatkannya kebutan ini, nampak sinar merah bergulung-gulung menyambar ke
arah Hong Beng.
Pemuda ini
lalu melawan sekuat tenaga. Untuk menangkis dan menghindarkan diri dari kebutan
berbulu merah yang mengandung racun itu, dia mengeluarkan ilmu silat Hong In
Bun-hoat yang gerakan-gerakannya halus tapi mengandung kekuatan sinkang hebat
sehingga dapat mendorong pergi ujung kebutan setiap kali ujung kebutan
mengancam tubuhnya. Tetapi, karena dia tidak memiliki kesempatan untuk balas
menyerang, sebuah tendangan kaki kiri Sin-kiam Mo-li yang dibarengi dengan
menyambarnya kebutan itu, menyerempet pinggang pemuda itu sehingga dia
terpelanting dan terhuyung.
Marahlah
Hong Beng. Dia kemudian nekat dan dengan mengeluarkan suara melengking nyaring,
ia menyerang dengan Ilmu Silat Cui-beng Pat-ciang yang hebat. Ilmu ini adalah
ilmu sesat dari Pulau Neraka, dimiliki oleh guru Hong Beng dari nenek Lulu dan
biar pun ilmu ini hanya terdiri dari delapan jurus, namun dahsyatnya bukan
kepalang.
Begitu Hong
Beng menyerang, diam-diam Sin-kiam Mo-li terkejut karena kebutannya dapat
terpukul membalik, bahkan dadanya nyaris pula terkena pukulan. Untung ia masih
sempat membuang diri ke belakang sambil berjungkir balik, lalu memutar kebutan
di depan tubuh untuk menghalau serangan berikutnya.
Tapi Hong
Beng tidak mau memberi kesempatan lagi kepada lawannya. Dia mendesak maju
dengan jurus berikutnya dari Cui-beng Pat-ciang (Delapan Jurus Pengejar Arwah)!
Kembali kebutan merah itu terpukul membalik dan dua pukulan tangan dari kanan
kiri mengancam Sin-kiam Mo-li.
Wanita ini
terkejut bukan main. Tidak disangkanya bahwa murid keluarga Pulau Es memiliki
pukulan yang demikian mengerikan, yang sifatnya ganas dan lebih tepat kalau
dimiliki golongan sesat. Karena tidak mengenal jurus-jurus ini, maka ia
terdesak dan terpaksa ia kembali melempar tubuh ke belakang, mendekati dinding
dan sekaligus ia mencabut sebatang pedang yang tergantung di situ.
Dengan
pedang di tangan kanan dan kebutan di tangan kiri Sin-kiam Mo-li sekarang
menyerang Hong Beng. Hebat memang wanita ini kalau sudah memainkan dua buah
senjatanya. Pedangnya menyambar-nyambar ganas sedangkan kebutannya membantu
gerakan pedang, bahkan kedua senjata itu selain saling bantu dalam serangan,
juga saling melindungi. Kalau pedang menangkis, kebutan menyerang dan
sebaliknya.
Dan Hong
Beng yang bertangan kosong itu terdesak hebat! Ketika dia tersudut dan tidak
ada jalan keluar lagi, pemuda ini menjadi nekat hendak mengadu nyawa. Sambil
mengeluarkan pekik dahsyat, dia mengerahkan tenaganya dan memukul dengan Ilmu
Silat Toat-beng Bian-kun, yang membuat kedua tangannya menjadi lemas bagai
kapas, namun mengandung tenaga dahsyat yang dapat mencabut nyawa lawan dengan
sekali pukul.
Namun,
pedang di tangan Sin-kiam Mo-li menyambar sedangkan kebutannya menotok ke arah
pergelangan tangan yang memukul. Hong Beng tentu saja menarik tangannya karena
maklum bahwa ujung kebutan itu beracun dan biar pun dia sudah miringkan tubuh,
tetap saja pundaknya tercium pedang sehingga bajunya robek berikut kulit dan
sedikit daging di pangkal lengan kirinya! Sebuah tendangan yang menyusul,
membuat tubuhnya terlempar ke arah pintu kamar.
"Tukkk!"
Tubuh itu
disambut oleh seorang tosu yang sudah menotoknya dengan ujung tongkat sehingga
Hong Beng roboh dengan kaki tangan lumpuh dan tidak mampu bergerak lagi.
"Ha-ha-ha,
apakah pengantinmu ini banyak bertingkah, Mo-li?" kata Thian Kek Sengjin,
tokoh Pek-lian-kauw yang tadi mempergunakan tongkat naga hitamnya menotok Hong
Beng yang sudah terluka.
Tosu ini
sedang menunggu gilirannya karena ketika menarik undian, gilirannya adalah yang
terakhir. Tiga orang tosu memasuki kamar bersama tiga orang gadis pelayan,
sedangkan yang tiga orang lagi termasuk Thian Kek Sengjin, menanti giliran
mereka. Karena iseng, Thian Kek Sengjin lalu berjalan-jalan menuju ke kamar
Sin-kiam Mo-li sehingga dia dapat merobohkan Hong Beng yang kebetulan terlempar
ke pintu ketika dia membuka daun pintu karena mendengar suara perkelahian di
dalam kamar itu.
"Biar
kubunuh saja tikus kecil ini!" kata pula Thian Kek Sengjin sambil
menggerakkan tongkatnya.
"Jangan!"
teriak Sin-kiam Mo-li. "Dia menjadi sandera yang berharga bagi kita."
Memang
wanita itu cerdik. Mendapat tawanan murid keluarga Pulau Es merupakan modal
yang baik, karena pemuda itu dapat menjadi sandera yang tentu akan dihargai
oleh keluarga Pulau Es. Selain itu, juga diam-diam ia masih mengharapkan untuk
dapat mematahkan semangat pemuda ini dan suatu saat dapat menjatuhkan hati
pemuda itu serta menariknya ke dalam pelukannya.
"Ha-ha-ha,
pendapat itu boleh juga," kata Thian Kek Sengjin sambil tertawa. "Dan
bagai mana jika pinto saja menggantikan pemuda ini untuk menghibur hatimu yang
kecewa?"
Sin-kiam
Mo-li mengangkat muka memandang tosu itu. Seorang tosu yang meski pun sudah
tua, namun nampak masih penuh semangat. Tubuhnya kurus kering, akan tetapi
mukanya merah darah dan gerak-geriknya masih tangkas dan gesit, sepasang
matanya bercahaya seperti mata kucing. Boleh juga, pikirnya, karena selain
hatinya kesal atas penolakan Hong Beng dan ia membutuhkan teman untuk
menghiburnya, juga ia melihat keuntungannya kalau berbaik dengan tosu
Pek-lian-kauw yang lihai dan mempunyai pengaruh besar di perkumpulannya itu.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum. "Baiklah, totiang. Akan tetapi bantu dulu aku melempar
orang keras kepala ini ke dalam kamar tahanan karena tiga orang pelayanku
sedang sibuk melayani para tosu lainnya."
Tentu saja
Thian Kek Sengjin gembira sekali. Dia bukanlah seorang pengejar wanita cantik
seperti Ok Cin Cu dan yang lain, akan tetapi baginya jauh lebih menyenangkan
menjadi teman tidur nyonya rumah yang meski pun sudah lebih tua, namun jauh
lebih cantik menarik dari pada tiga orang gadis pelayan itu, apa lagi kalau dia
memperoleh giliran paling akhir! Dia lalu menyambar tubuh Hong Beng, sekali
mencongkel dengan tongkatnya, tubuh pemuda itu terangkat naik dan dikempitnya.
"Ke
mana ia harus dilempar?" tanyanya sambil menyeringai. Wajahnya yang
kemerahan memang tidak begitu buruk seperti para tosu lainnya, maka tidak
mengherankan kalau Sin-kiam Mo-li menerimanya.
"Mari
ikuti aku," berkata wanita itu sambil memasuki sebuah pintu rahasia di
ruangan belakang.
Pintu ini
tersembunyi di balik sebuah almari yang digeser ke kiri dan di belakang pintu
terdapat sebuah terowongan yang menuju ke bawah tanah. Kiranya rumah besar itu
selain terjaga di sekelilingnya oleh tempat-tempat rahasia penuh jebakan, juga
memiliki ruangan bawah tanah yang cukup luas!
Ia memasuki
sebuah kamar tahanan di bawah tanah itu, kamar tahanan yang sangat kuat karena
dindingnya dilapisi baja dan pintunya juga dari baja dengan ruji-ruji sebesar
lengan yang amat kokohnya pada jendela kamar itu. Dengan kasar Thian Kek
Sengjin melempar tubuh Hong Beng ke dalam kamar ini yang berlantai batu. Tubuh
yang sudah lumpuh kaki tangannya dan tidak mampu bergerak itu terbanting ke
atas lantai, lalu daun pintunya ditutup dan dikunci dari luar oleh Sin-kiam
Mo-li.
Kebetulan
Hong Beng terjatuh dengan muka menghadap keluar, maka Sin-kiam Mo-li memandang
kepadanya, kemudian tersenyum dan berkata, "Gu Hong Beng, kalau aku
menghendaki, saat ini engkau tentu sudah menjadi mayat."
"Bunuhlah,
tak perlu banyak cerewet. Siapa takut mati?" Hong Beng menjawab. Yang
lumpuh hanya kaki dan tangannya, sedangkan anggota tubuh lainnya tidak.
Sin-kiam
Mo-li tidak marah, hanya tertawa. Kini ia sudah dapat mengatasi kekecewaan dan
kemarahannya. Menghadapi seorang pemuda gagah perkasa dan keras hati seperti
murid keluarga Pulau Es ini tidak boleh mempergunakan kekerasan seperti
terhadap pemuda lain yang pernah diculiknya, hal ini ia tahu benar. Maka, ia
pun ingin berganti siasat.
"Justru
karena engkau tidak takut mati maka aku merasa sayang untuk membunuhmu. Nah,
kuberi waktu padamu untuk merenungkan semua keadaanmu dan kuharap engkau tidak
begitu tolol untuk mempertahankan kekerasan hatimu dan memilih mati secara
konyol." Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li tersenyum dan
menggandeng tangan Thian Kek Sengjin yang tertawa-tawa ketika mereka berdua
bergandeng tangan pergi meninggalkan ruangan bawah tanah itu.
Hong Beng
menggeletak di lantai kamar tahanan itu. Sunyi bukan main di situ, tidak
terdengar suara apa pun dan tidak terlihat sesuatu yang bergerak. Dia merasa
seperti berada di dunia lain! Untung masih ada sebuah lampu lentera tergantung
di luar kamar tahanan dan sinarnya memasuki kamar melalui jendela jeruji baja.
Hong Beng
maklum bahwa ia tak dapat mengharapkan bantuan dari luar. Mati hidupnya
tergantung kepada dirinya sendiri dan selagi dia masih bernapas, dia tidak akan
putus harapan. Akan tetapi, bagaimana pun juga, kalau jalan keselamatannya
harus melalui penyerahan diri kepada Sin-kiam Mo-li seperti yang dikehendaki
wanita cabul itu, dia tetap menolak dan memilih mati!
Dia sudah
banyak mendengar dari suhu-nya dan juga dari pengalamannya di dunia kang-ouw
mengenai wanita cabul macam Sin-kiam Mo-li. Kalau sudah bosan kepada seorang
laki-laki, tentu akan dibunuhnya.
Yang paling
penting adalah membebaskan totokan ini, pikirnya. Maka Hong Beng lalu
memejamkan dua matanya, mengatur pernapasan dan perlahan-lahan pemuda ini mulai
mengerahkan hawa murni di tubuhnya untuk membobol bendungan jalan darah yang
tertotok. Totokan di punggung oleh tongkat tokoh Pek-lian-kauw tadi memang
hebat dan melumpuhkan kedua kaki tangannya.
Akhirnya,
setelah dia mulai dapat mengumpulkan tenaga dan daya totokan itu pun mulai
melemah, dia mampu membebaskan diri dari totokan itu dan mampu menggerakkan
kembali kaki tangannya. Hong Beng lalu bangkit duduk dan bersila, bersemedhi
sekian lamanya sampai tenaganya pulih kembali.
Diperiksanya
luka di pundak. Hanya luka lecet, tidak berbahaya dan darahnya sudah berhenti.
Dengan robekan ikat pinggang, dibalutnya pundak itu. Kemudian dia bangkit
berdiri berjalan-jalan sebentar untuk memulihkan kekakuan kedua kakinya,
barulah dia mulai memeriksa kamar tahanan itu.
Dicobanya
ruji baja dan pintu, namun dia mendapat kenyataan bahwa dengan tenaga biasa,
tak mungkin dia akan mampu lolos dari kamar baja ini seperti yang sudah diduga.
Orang macam Sin-kiam Mo-li tidak mungkin demikian ceroboh dalam membuat kamar
tahanan. Tiada jalan lain baginya kecuali menanti apa yang akan datang
menimpanya. Yang penting, dia sudah dapat bergerak dan masih hidup! Maka dia
pun kembali duduk bersila di tengah kamar itu, di atas lantai batu yang dingin.
Entah berapa
lamanya dia bersemedhi, Hong Beng tidak tahu karena di dalam kamar tahanan itu
tidak pernah dapat didengar suara apa-apa, juga hanya lentera itu yang
menerangi cuaca sehingga dia tidak mengenal waktu. Tiba-tiba telinganya yang
terlatih mendengar langkah kaki lirih menghampiri kamarnya dan tidak lama
kemudian, dari jendela terdengar suara mendesis.
"Sssttt...!"
Hong Beng
mengangkat muka dan melihat wajah gadis cilik yang mengaku bernama Kao Hong Li
itu sudah menjenguk dari luar jeruji jendela. Cepat-cepat dia bangkit dan
menghampiri.
"Suheng,
aku menyesal sekali bahwa gara-gara aku engkau sampai tertangkap dan ditawan di
sini," kata Hong Li.
"Nona...
ehh, sumoi Kao Hong Li, apakah engkau dapat membuka pintu ini dari luar?"
Gadis remaja
itu menggelengkan kepalanya. "Penyimpan kunci adalah subo sendiri dan
pintu ini tidak mungkin dibuka tanpa kunci."
Hong Beng
mengerti. "Sumoi, kalau begitu, selagi kini ada kesempatan, ceritakanlah
kepadaku semua pengalamanmu secara singkat saja. Bagaimana engkau yang katanya
dahulu diculik seorang pendeta Lama, tahu-tahu dapat menjadi anak angkat dari
murid Sin-kiam Mo-li."
Tadi ketika
diusir pergi oleh gurunya, Hong Li memasuki kamarnya dan anak ini mulai memutar
otaknya. Hatinya merasa tidak senang kepada subo-nya dan timbul rasa penasaran,
heran dan juga curiga terhadap subo-nya yang menjamu tujuh orang tosu yang kelihatan
begitu kurang ajar, kasar dan ganas. Apa lagi ketika ia teringat kepada Gu Hong
Beng, orang yang bahkan menjadi utusan ayah ibunya untuk mencarinya, hatinya
dipenuhi rasa khawatir.
Malam itu,
diam-diam ia keluar dari tempat tidurnya kemudian melakukan pengintaian. Dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hatinya ketika ia melihat Gu Hong Beng dikempit
oleh seorang tosu kurus kering yang berjalan menuju ke lorong bawah tanah
bersama subo-nya. Ia menanti sampai dua orang yang tertawa-tawa sambil bergandeng
tangan itu keluar dari lorong bawah tanah.
Hong Li
bersikap hati-hati sekali, tidak berani segera memasuki lorong itu karena dia
khawatir kalau-kalau subo-nya akan kembali. Ia menanti sampai jauh malam.
Setelah suasana sunyi, tidak nampak tiga orang gadis pelayan yang ia tidak tahu
entah berada di mana, tidak nampak seorang pun di luar kamar, ia lalu
menyelinap dan memasuki lorong bawah tanah melalui pintu rahasia yang sudah
dikenalnya. Seperti yang sudah dikhawatirkannya, dia melihat pemuda itu telah berada
di dalam kamar tahanan yang kokoh kuat itu.
"Aku
dulu memang diculik orang, suheng," Hong Li mulai bercerita.
"Penculikku adalah seorang kakek bernama Ang I Lama. Akan tetapi, di
tengah perjalanan, aku ditolong dan dilarikan oleh subo yang kemudian mengangkatku
sebagai anak dan mengambil aku sebagai murid, setelah minta aku berjanji untuk
menjadi muridnya selama lima tahun. Karena aku merasa berhutang budi, maka aku
pun berjanji dan aku menjadi muridnya sampai sekarang."
Hong Beng
mengerutkan alisnya. Kalau begitu, benarlah bahwa wanita iblis itu bukan
penculik Hong Li, bahkan penolongnya! Lalu ia pun teringat akan kematian Ang I
Lama yang kemudian dikabarkan bahwa pembunuhnya adalah ayah ibu gadis remaja
ini.
"Adik
Hong Li, apakah engkau tahu apa yang selanjutnya terjadi dengan Ang I Lama,
penculikmu itu?"
"Ah,
dia telah datang ke sini untuk merampasku kembali, akan tetapi dalam
perkelahian yang amat hebat, akhirnya dia terkena tusukan pedang subo dan dia
melarikan diri, sampai sekarang tidak ada kabar ceritanya lagi."
Hong Beng
mengangguk-angguk, kini mengerti bahwa pembunuh Ang I Lama adalah Sin-kiam
Mo-li pula.
"Dengar,
adik Hong Li, engkau telah terjatuh ke tangan orang yang amat jahat. Engkau
tahu, orang yang menjadi gurumu itu bersekongkol dengan para tosu Pat-kwa-pai
dan Pek-lian-pai, orang-orang yang amat jahat walau pun mereka berpakaian
pendeta. Oleh karena itu sekarang engkau pergilah meninggalkan tempat ini.
Selagi ada kesempatan, sumoi. Mereka semua sedang bersenang-senang dan engkau tentu
akan mampu keluar dari daerah ini dengan selamat."
"Pergi?
Tapi... ke mana...?" Gadis remaja itu memandang dengan mata terbelalak.
"Aku tidak tahu jalan pulang..."
"Pergilah,
ke mana saja asal tidak di sini. Perlahan-lahan engkau dapat mencari jalan
pulang. Percayalah kepadaku, demi keselamatanmu, pergilah dari sini malam ini
juga..."
"Akan
tetapi engkau sendiri menjadi tawanan..."
"Jangan
hiraukan aku, sumoi. Yang paling penting engkau harus bebas dari neraka ini
sebelum terjadi hal yang lebih buruk atas dirimu. Aku akan menanti kesempatan
dan berusaha menyelamatkan diri."
Akan tetapi
gadis cilik itu menggeleng kepalanya. "Tidak mungkin, suheng. Aku tidak
mungkin pergi dari sini meninggalkan subo."
"Ehhh?
Kenapa tak mungkin?" Hong Beng memandang heran.
"Lupakah
kau akan ceritaku tadi? Aku telah diselamatkan subo dari tangan penculikku dan
aku sudah berjanji dengan sumpah untuk menjadi muridnya selama lima tahun.
Sebelum lewat waktu itu, tak mungkin aku pergi meninggalkannya."
"Akan
tetapi, ia bukan orang baik-baik. Ia seorang yang jahat sekali, iblis betina
yang kejam, ahh, engkau tidak dapat membayangkan betapa kejam dan
jahatnya..."
Hong Beng
bergidik membayangkan gadis cilik ini menjadi murid seorang wanita seperti
Sin-kiam Mo-li. "Engkau pergilah dari sini!"
"Tidak,
suheng, bagaimana pun juga aku tidak akan pergi, kecuali kalau subo yang
menyuruh aku pergi atau... kalau subo sudah tidak ada lagi. Selama ia masih
hidup dan tidak menyuruh aku pergi, aku tidak akan melanggar janji dan sumpahku
sendiri!"
Hong Beng
memandang kagum. Bagaimana pun juga, anak ini sungguh mengagumkan dan pantas
menjadi puteri keluarga Kao, keturunan dari Pulau Es dan Gurun Pasir! Masih
kecil namun sudah demikian gagah dan teguh memegang janji.
"Baiklah
kalau begitu, pergilah keluar dari sini, sumoi, jangan sampai ketahuan orang
lain bahwa engkau masuk ke sini."
"Nanti
dulu, suheng, aku harus mencari akal bagaimana untuk dapat membebaskan engkau
dari sini. Kalau engkau dapat keluar dari kamar ini, lalu aku mengantarkan kau
keluar dari daerah kami, tentu kau akan selamat." Anak itu mengerutkan
alisnya, berpikir mencari akal. Akan tetapi ia tidak dapat menemukan akal itu.
"Aihh..."
ia mengeluh dan menggeleng kepala. "Satu-satunya jalan adalah mencuri
kunci itu dari subo. Akan tetapi betapa mungkin kalau kunci itu selalu
dikantonginya?"
“Memang
tidak mungkin, murid murtad!" Tiba-tiba terdengar suara Sin-kiam Mo-li dan
wanita itu telah berdiri di ambang pintu!
Hong Li membalikkan
tubuhnya menghadapi subo-nya, sedikit pun tidak nampak takut! Bukan kebetulan
saja Sin-kiam Mo-li memasuki lorong bawah tanah itu.
Tadi sebagai
pengganti Hong Beng yang menolaknya ia mengajak Thian Kek Sengjin ke dalam
kamarnya. Tetapi ia sama sekali tidak memperoleh kepuasan atau kesenangan
bersama tosu ini, bahkan ia merasa muak dan akhirnya ia menyuruh tosu itu
pindah ke kamarnya sendiri dengan alasan bahwa kepalanya pusing dan ia mau
istirahat dan tidur sendiri.
Dengan sikap
penuh kemenangan Thian Kek Sengjin lalu meninggalkan kamar nyonya rumah itu,
tidak merasa bahwa sebenarnya dia telah diusir oleh wanita cantik itu karena
sikap Sin-kiam Mo-li yang halus. Setelah tosu itu pergi, Sin-kiam Mo-li gelisah
tidak mampu pulas karena ia masih teringat kepada Hong Beng dan merasa
penasaran.
Akhirnya, ia
tidak tahan lagi dan keluar dari kamarnya, memasuki lorong bawah tanah dan ia
mendengar ucapan terakhir dari muridnya. Tentu saja ia marah sekali melihat
muridnya berada di situ dan bercakap-cakap dengan tawanannya, apa lagi
mendengar ucapan terakhir muridnya yang menyatakan ingin mencuri kunci kamar
tahanan itu.
Akan tetapi,
Hong Li menghadapi subo-nya dan sinar mata anak ini sama sekali tidak
memperlihatkan rasa takut. Ia menentang mata subo-nya yang mencorong itu dengan
membuka matanya lebar-lebar penuh rasa penasaran.
"Subo,
kenapa subo menangkap suheng-ku? Suheng Gu Hong Beng ini adalah murid dari
pamanku, dan dia datang ke sini karena hendak mencari aku yang hilang diculik
orang. Subo harus membebaskan dia agar dapat melapor kepada ayah ibuku bahwa
aku berada dalam keadaan selamat dan menjadi murid subo di sini!"
Sin-kiam
Mo-li memandang dengan muka merah. Dalam keadaan biasa, tentu ia pun merasa
kagum melihat keberanian muridnya. Akan tetapi ia sedang kecewa dan marah
karena penolakan Hong Beng, maka kini ia menjadi marah sekali.
"Bocah
setan! Engkau malah hendak membela musuh? Dia melanggar daerahku tanpa ijin,
bahkan telah menentang orang-orangku. Dan engkau malah hendak mencuri kunci
membebaskannya. Anak tak mengenal budi kau!"
Tiba-tiba
tangannya menyambar dan biar pun Hong Li berusaha mengelak, tahu-tahu lengannya
telah dapat ditangkap dan Sin-kiam Mo-li menyeretnya dan melemparkannya ke
dalam kamar tahanan kosong di sebelah kamar tahanan Hong Beng itu, kemudian
mengunci pintunya dari luar.
"Nah,
kalau engkau berpihak kepada musuh, berarti engkau memusuhi aku dan menjadi
anak angkat dan murid yang durhaka dan murtad. Biarlah engkau merasakan hukuman
selama beberapa hari di situ!" Setelah berkata demikian, Sin-kiam Mo-li
meninggalkan lorong itu. Keinginannya untuk kembali membujuk Hong Beng telah menjadi
hilang oleh kemarahannya terhadap Hong Li.
"Ahh,
sungguh celaka. Aku tidak mampu menolongmu, bahkan aku yang membuatmu dimarahi
subo-mu dan sekarang engkau pun ditangkap dan dihukum," kata Hong Beng
dengan hati menyesal bukan main.
Bagaimana
dia tidak akan menyesal? Tadinya, biar pun menjadi murid iblis betina, Hong Li
hidup bebas dan gembira. Setelah dia datang dengan usahanya membebaskan Hong
Li, dia sendiri tertangkap dan gadis cilik ini ditawan pula karena dia!
"Sudahlah,
suheng tidak perlu menyesal dan mengeluh. Aku malah ingin melihat apa yang akan
dilakukan subo terhadap diriku, supaya aku memperoleh keyakinan orang macam apa
adanya subo dan bagaimana perasaan hatinya terhadap diriku."
"Hemm,
engkau tidak tahu, sumoi. Subo-mu itu adalah anak angkat dari mendiang Kim Hwa
Nionio, seorang di antara tokoh-tokoh pemberontak jahat yang tewas di tangan
para pendekar termasuk keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir! Kurasa ia tak
bermaksud baik terhadap dirimu, karena ia adalah musuh besar dari para pendekar."
"Akan
tetapi buktinya ia selalu bersikap baik kepadaku, dan baru sekarang ia marah
kepadaku. Hal ini pun karena kesalahanku sendiri. Biarlah, aku akan melihat
bagaimana sikapnya selanjutnya."
Dan anak
yang berhati tabah sekali ini lalu dengan tenang saja merebahkan diri di atas
lantai dingin dan memejamkan matanya! Melihat ini, Hong Beng semakin kagum. Dia
pun lalu duduk bersila untuk bersemedhi, mempersiapkan diri untuk menghadapi
apa pun juga.
"Sin-kiam
Mo-li...! Aku Bi-kwi murid Sam Kwi datang berkunjung. Keluarlah dan temui aku
karena aku tidak ingin melanggar daerahmu!"
Wanita itu
adalah Bi-kwi atau Ciong Siu Kwi, wanita yang cantik. Berbeda dari hari-hari
kemarin semenjak ia menjadi isteri Yo Jin, kini ia kembali seperti sebelum itu,
seperti pada saat ia masih menjadi Bi-kwi yang sesat dan jahat. Kini ia
mengenakan pakaian mewah sehingga membuat dirinya semakin cantik, apa lagi ia
menambah pemerah bibir dan pipi, juga penghitam alis. Sebatang pedang
tergantung di punggungnya.
Ini
merupakan siasat yang telah diaturnya bersama Sim Houw dan Bi Lan. Untuk dapat
mendekati Sin-kiam Mo-li dan menyelidiki apakah puteri keluarga Kao benar
berada di situ, ia harus kembali menjadi Bi kwi murid Sam Kwi yang jahat,
seorang tokoh dunia sesat yang ditakuti orang.
Sekarang ia
berdiri di luar hutan pertama dari daerah tempat tinggal Sin-kiam Mo-li dan
beberapa kali ia mengeluarkan seruan itu dengan teriakan melengking nyaring
karena didorong oleh tenaga khikang. Ia harus pandai bersandiwara, apa lagi di
tempat itu terdapat para tosu Pek-lian-pai dan Pat-kwa-pai yang pernah
bermusuhan dengannya karena ia membela Yo Jin.
Baru tiga
kali ia mengulangi teriakannya, muncullah seorang gadis berpakaian serba hitam
yang berwajah manis dan bersikap genit. Gadis ini adalah Hek Nio, seorang di
antara tiga gadis pelayan Sin-kiam Mo-li. Ia diberi tugas untuk turun menyambut
tamu itu.
Ketika
Sin-kiam Mo-li mendengar suara itu, ia teringat bahwa mendiang ibu angkatnya
memang bekerja sama dengan Sam Kwi, tiga orang datuk sesat yang terkenal.
Karena nama Bi-kwi juga sudah sangat terkenal di dunia kaum sesat, maka
Sin-kiam Mo-li menganggapnya sebagai teman segolongan dan ia pun mengutus Hek
Nio untuk keluar menyambut, sedangkan Ang Nio dan Pek Nio sibuk bekerja di
dapur setelah mereka bertiga semalam suntuk melayani tujuh orang tosu yang tak
mengenal lelah itu.
Melihat
munculnya Hek Nio, Bi-kwi cepat maju menghampiri dan memberi hormat yang
dibalas Hek Nio dengan hormat pula karena pelayan ini pun sudah pernah
mendengar akan nama Bi-kwi yang lihai. Ia belum pernah bertemu dengan Bi-kwi,
juga majikannya belum, akan tetapi tadi ia telah diberi tahu akan ciri-ciri
Bi-kwi oleh Sin-kiam Mo-li yang sudah mendengar pula tentang keadaan diri Bi
-kwi.
"Benarkah
saya berhadapan dengan Setan Cantik (Bi-kwi) Ciong Siu Kwi?" Hek Nio
berkata, sikapnya tetap menghormat.
"Benar,
akan tetapi aku ingin bertemu dengan Sin-kiam Mo-li sendiri, bukan orang
lain," kata Bi-kwi hati-hati. Dia sengaja memperlihatkan sikap angkuh,
seperti sikapnya dahulu sebelum ia menjadi nyonya Yo Jin.
Hek Nio
menjura. "Maafkan, saya adalah pelayan bernama Hek Nio yang diutus oleh
majikan saya untuk menyambut tamu. Akan tetapi, bagaimana saya dapat yakin
bahwa engkau adalah benar Bi-kwi Ciong Siu Kwi? Kata majikan saya, kalau bukan
Bi-kwi yang sesungguhnya, tidak boleh masuk."
"Huh,
apakah Sin-kiam Mo-li begitu bodoh sehingga tidak mengenal mana orang asli dan
mana palsu? Mau bukti? Nah, inilah buktinya!"
Tiba-tiba
saja, secepat kilat menyambar, tubuh Bi-kwi sudah bergerak ke depan, akan
tetapi yang meluncur maju hanya tangannya saja, sedangkan tubuhnya tetap di
tempat. Jarak antara ia dan pelayan itu ada satu setengah meter, tetapi
lengannya dapat mulur dan tahu-tahu tangan itu telah mencengkeram tengkuk
pelayan itu dan mengangkatnya lalu melemparkannya ke atas!
Tentu saja
Hek Nio terkejut setengah mati. Ia pun seorang yang sudah memperoleh latihan
yang cukup lihai. Pada saat tangan Bi-kwi tadi bergerak ke depan, ia membuat
perhitungan bahwa tangan itu tidak akan mencapai dirinya. Akan tetapi siapa
kira bahwa lengan itu dapat mulur dan tahu-tahu tengkuknya ditangkap dan
tubuhnya dilempar ke atas. Ia segera berjungkir balik dan dapat turun lagi di
atas tanah dengan baik sehingga Bi-kwi mengangguk-angguk.
"Pelayan
Sin-kiam Mo-li boleh juga!" katanya.
Kini Hek Nio
tidak berani main-main lagi. Semua tanda-tanda yang diberikan majikannya memang
cocok dengan keadaan tamu ini. Maka dia pun memberi hormat lagi sambil berkata,
"Marilah, toanio. Majikan kami telah menanti di ruangan tamu,"
katanya sambil membalikkan tubuh dan melangkah ke depan.
Bi-kwi
tersenyum mendengar dirinya disebut nyonya besar, dan ia pun mengikuti Hek Nio,
akan tetapi dengan hati-hati dan menjaga agar ia selalu menginjak tanah bekas
injakan pelayan itu. Di sepanjang perjalanan ini ia membuat cacatan dalam
hatinya agar hafal akan jalan-jalan di tempat penuh rahasia itu. Karena ia
memang seorang yang amat cerdik, ia sudah dapat membuat peta di dalam
ingatannya, dan tahulah ia bahwa rahasia tempat itu berdasarkan hitungan
pat-kwa sehingga lebih mudah untuk mengenal rahasianya.
Ketika ia
dibawa masuk ke dalam rumah sampai ke ruangan tamu, di situ telah menanti
Sin-kiam Mo-li dan tujuh orang tosu. Dua di antara mereka amat dikenalnya,
yaitu Ok Cin Cu tokoh Pat-kwa-pai dan Thian Kek Sengjin tokoh Pek-lian-pai!
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Bi-kwi pernah bentrok dengan dua orang tosu
ini ketika memperebutkan Yo Jin yang ditawan oleh dua tosu itu. Dengan sikap
tenang, senyum manis di mulut, Bi-kwi berjalan memasuki ruangan tamu dan
langsung saja ia menghampiri Sin-kiam Mo-li yang duduk tegak dengan sikap
angkuh. Pandang matanya tajam penuh selidik mengamati wajah Bi-kwi yang cantik.
Bi-kwi
segera menjura ke arah Sin-kiam Mo-li dan berkata dengan sikap ramah sekali,
"Benarkah aku berhadapan dengan Sin-kiam Mo-li yang terkenal itu? Sungguh
sangat mengagumkan, ternyata lebih cantik dari pada yang pernah kudengar!"
Senang juga
hati Sin-kiam Mo-li mendapatkan pujian ini dan ia pun bangkit berdiri,
mempersilakan duduk sambil berkata, "Kiranya engkau yang berjuluk Bi-kwi?
Memang julukan yang pantas, engkau cantik dan engkau cerdik, tentu juga pandai
seperti setan!"
Bi-kwi
tertawa. "Aih, Sin-kiam Mo-li sungguh pandai memuji, membikin aku merasa
malu saja."
"Siancai...!
Murid tercinta dari Sam Kwi tentu saja pandai!" tiba-tiba Thian Kong
Cinjin, wakil ketua Pat-kwa-pai berkata sambil tertawa. "Sebelum mati,
tentu ketiga Sam Kwi juga telah mewariskan semua ilmu kepandaiannya kepada
murid mereka yang sangat tercinta!"
Kakek ini
memberi penekanan kepada kata ‘tercinta’ dan para tosu yang berada di situ
tertawa, karena mereka semua sudah mendengar bahwa selain menjadi murid Sam
Kwi, Bi-kwi juga menjadi kekasih mereka. Akan tetapi hal seperti ini dianggap
tidak aneh oleh kaum sesat, maka dengan sikap enak saja, tanpa malu-malu atau
kikuk, Bi-kwi menatap wajah kakek itu dengan tersenyum mengejek.
"Apa
salahnya? Kalau kedua pihak sudah saling setuju, cinta boleh dimainkan oleh
siapa saja, bukan? Tidak benar demikiankah, Mo-li?"
"Hi-hi-hik,
sekali ini Thian Kong Cinjin termakan pertanyaannya sendiri yang usil,"
kata Sin-kiam Mo-li, senang dan merasa cocok dengan Bi-kwi.
"Akan
tetapi nanti dulu! Jangan kita terlalu percaya kepada wanita ini!"
Tiba-tiba Ok Cin Cu berkata dengan lantang sambil bangkit berdiri dari bangkunya,
memandang kepada Bi-kwi.
"Harap
kalian semua ketahui bahwa pinto berdua Thian Kek Sengjin, pernah bentrok
dengan Bi-kwi, dan dalam bentrokan itu, dia bekerja sama dengan seorang
pendekar! Jangan-jangan kedatangannya ini adalah sebagai mata-mata dari para
pendekar yang mengutusnya!"
Semua orang
terkejut dan Sin-kiam Mo-li juga bangkit, meraba gagang pedang di punggungnya
sambil memandang kepada Bi-kwi dan membentak, "Keparat! Benarkah itu,
Bi-kwi?"
Bi-kwi
memang sudah memperhitungkan serangan yang datang dari dua orang tosu itu
sebelum ia datang ke tempat ini, maka ia pun bersikap tenang saja, malah
tersenyum mengejek tanpa bangkit dari tempat duduknya dan memandang kepada Ok
Cin Cu dan Thian Kek Sengjin, kemudian menghadapi Sin-kiam Mo-li.
"Tidak
kusangkal bahwa memang pernah aku bentrok dengan dua orang tua bangka tak tahu
malu ini, akan tetapi sayang tosu Ok Cin Cu yang terhormat ini sama sekali
tidak menceritakan sebab bentrokan. Nah, Mo-li, aku mau bercerita, dan dua
orang tosu tua bangka boleh mendengarkan dan membantah kalau ceritaku
behong."
Sin-kiam
Mo-li mulai bimbang dan kecurigaannya menipis melihat sikap Bi-kwi yang
demikian tenang. Orang yang mengandung niat buruk tidak mungkin dapat setenang
itu. "Ceritakanlah sebenarnya!"
"Begini,
Mo-li. Pada suatu hari aku mendapatkan seorang kekasih baru yang sangat
kucinta. Akan tetapi pemuda kekasihku itu karena suatu percekcokan, telah
ditawan orang yang dibantu oleh Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin! Nah, karena
aku harus membebaskan kekasihku itu, maka terjadi bentrok antara aku dan mereka
berdua sehingga terjadi perkelahian. Engkau tentu tahu sendiri bagaimana
sakitnya rasa hati kalau kekasih diganggu orang, Mo-li. Apakah engkau pun tidak
akan menjadi marah kalau kekasihmu yang baru saja kau peroleh dan sangat kau
cinta, diganggu orang?"
Sin-kiam
Mo-li mengangguk-angguk membenarkan. "Akan tetapi, bagaimana kau dapat
bekerja sama dengan orang dari golongan pendekar? Benarkah itu?"
"Itu
pun ada ceritanya. Biar Ok Cin Cu melanjutkan keterangannya yang bermaksud
melemparkan fitnah tadi. Ok Cin Cu, siapakah pendekar yang kau maksudkan
bekerja sama dengan aku itu?"
"Ha-ha-ha,
jangan pura-pura menyangkal, manis. Dia adalah Pendekar Suling Naga!"
"Ahhhh...!"
Sin-kiam
Mo-li terkejut karena dia pun sudah mendengar akan kehebatan pendekar ini yang
kabarnya memiliki ilmu kepandaian sangat tinggi. Dengan alis berkerut dan mata
mengandung kecurigaan ia memandang kembali kepada Bi-kwi.
"Benarkah
engkau telah bekerja sama dengan Pendekar Suling Naga dalam bentrokan melawan
kedua orang totiang ini, Bi-kwi?"
Bi-kwi masih
tetap tenang dan tersenyum simpul mengandung ejekan kepada dua orang tosu itu.
"Tidak
kusangkal, tapi hal itu pun ada penjelasannya. Biarlah kulanjutkan ceritaku,
Mo-li, dan juga para totiang yang lain agar mendengarkan dan mempertimbangkan
secara adil…"
Bi-kwi
berhenti sebentar, dan kepada para tosu yang hadir dia memandang bergantian
dengan sinar mata bercahaya terang dan senyuman manis sehingga di luar
kesadaran mereka, para tosu yang terpesona oleh kecantikan wanita ini
mengangguk.
"Sudah
kuceritakan tadi betapa kekasih baruku ditawan oleh mereka berdua. Aku lalu
berusaha untuk membebaskan kekasihku itu sehingga terjadi bentrokan di antara
kami. Kemudian, Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin menemui aku dan mengajukan
usul, yaitu Thian Kek Sengjin minta kepadaku untuk membantu mereka berdua untuk
menyerang dan melawan seorang pendekar keluarga Pulau Es yang bernama Suma
Ciang Bun. Dan aku sudah memenuhi permintaan itu sampai akhirnya kami bertiga
berhasil melukai pendekar itu sehingga ia melarikan diri. Hei, Thian Kek
Sengjin, tidak benarkah ceritaku ini? Tidak benarkah bahwa aku telah membantu
kalian menyerang Suma Ciang Bun dan melukainya?"
Thian Kek
Sengjin tidak dapat membantah dan dia pun mengangguk.
"Nah,
begitu baru laki-laki jujur," kata Bi-kwi.
Ceritanya
bahwa ia membantu mereka mengalahkan pendekar keluarga Pulau Es telah
mendatangkan kesan baik dalam hati Sin-kiam Mo-li.
"Selain
Thian Kek Sengjin, juga Ok Cin Cu minta kepadaku untuk mau melayani nafsu
birahinya semalam suntuk. Kalau aku memenuhi kedua permintaan itu, barulah
mereka akan membebaskan kekasihku itu. Dan permintaan Ok Cin Cu itu pun telah
kupenuhi dengan hati rela. Hei, Ok Cin Cu, bukankah aku telah melayani dan
tidur bersamamu selama semalam suntuk?"
Ok Cin Cu
bersungut-sungut. "Tidak ada bedanya tidur ditemani sesosok mayat!"
"Tentu
saja, aku tidak cinta padamu dan hatiku sedang kesal karena kalian menawan
kekasihku, mana mungkin aku bersikap hangat?" Bi-kwi tertawa dan Sin-kiam
Mo-li juga tersenyum.
Melihat
bentuk tubuh Ok Cin Cu yang perutnya gendut sekali itu, mukanya pucat kuning
dan rambutnya yang putih riap-riapan, wanita mana yang akan timbul seleranya
ketika berdekatan dengan dia?
"Nah,
aku telah memenuhi permintaan mereka berdua, membantu mereka mengalahkan
keluarga pendekar Pulau Es dan melayani Ok Cin Cu semalam suntuk, akan tetapi
apa yang mereka lakukan? Mereka tidak mau membebaskan kekasihku, bahkan
menyerang dan hendak membunuh aku!"
"Hemmm...!"
Sin-kiam Mo-li melirik ke arah kedua orang tosu itu yang diam saja tak dapat
membantah.
"Karena
aku tidak mampu mengalahkan pengeroyokan mereka dan juga tidak berhasil
membebaskan kekasihku, aku berduka sekali. Kebetulan saat itu aku bertemu
dengan sumoi-ku, murid ke dua dari Sam Kwi yaitu Siauw-kwi. Nah, pada waktu itu
Siauw-kwi sedang berpacaran dengan Pendekar Suling Naga. Mendengar kesulitanku
ini, sumoi Siauw-kwi lalu membantuku dan pacarnya, yaitu Pendekar Suling Naga,
membantu pula sehingga akhirnya aku berhasil membebaskan kekasih baruku itu.
Nah, apakah hal itu berarti aku bekerja sama dengan seorang pendekar untuk
menentang kedua orang tosu ini? Pertemuanku dengan dia hanya kebetulan saja dan
pendekar itu tidak membantuku, melainkan membantu sumoi-ku Siauw-kwi yang
menjadi pacarnya."
Sin-kiam
Mo-li menarik napas lega, lalu menoleh kepada Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin.
"Benarkah keterangannya itu, ji-wi totiang?"
"Benar,
akan tetapi sumoi-nya yang berjuluk Siauw-kwi dan bernama Can Bi Lan itu sudah
bergabung dengan para pendekar!" kata Ok Cin Cu, masih bersungut-sungut
karena diam-diam dia merasa jengkel bila mengenang betapa wanita cantik ini
pernah melayaninya dengan dingin seperti mayat.
"Memang
ada perbedaan antara aku dengan Siauw-kwi. Dia condong bekerja sama dengan para
pendekar karena dia tergila-gila kepada Pendekar Suling Naga, bahkan ketika
terjadi pertempuran antara kelompok yang dipimpin oleh Sai-cu Lama dan Kim Hwa
Nionio, dengan kelompok para pendekar, ia pun membantu para pendekar, bahkan
bentrok dan berkelahi dengan aku sendiri! Akan tetapi, ketika ia melihat aku
berduka karena kehilangan kekasih baruku, ia kemudian membantu dan karena aku
ingin sekali mendapatkan kekasihku yang tertawan, tentu saja bantuannya
kuterima. Harapanku untuk menyelamatkan kekasihku habis ketika dua orang tosu
ini melanggar janji dan menipuku!"
Sin-kiam
Mo-li percaya akan keterangan Bi-kwi karena dua orang tosu itu sama sekali
tidak membantah. Akan tetapi, hatinya masih merasa tidak senang mendengar
betapa Bi-kwi pernah dibantu oleh Pendekar Suling Naga, musuh besarnya karena
di dalam pertempuran itu, yang membunuh ibu angkatnya, Kim Hwa Nionio, adalah
Pendekar Suling Naga itulah!
"Bi-kwi,
apakah semenjak itu engkau tidak pernah lagi berhubungan dengan Pendekar Suling
Naga?"
"Huh,
untuk apa berhubungan dengan dia? Bertemu pun aku tidak pernah! Sebelum dia
membantu Siauw-kwi yang membantuku, pendekar itu dan semua temannya adalah
musuh-musuh besarku. Sampai sekarang pun, para pendekar adalah musuh
besarku!"
"Ha-ha-ha,
pendekar mana, Bi-kwi? Coba sebutkan!" kata Thian Kek Sengjin.
"Tosu
bau, pendekar mana lagi kalau bukan keturunan keluarga Pulau Es? Engkau kan
telah melihat dengan kedua matamu sendiri betapa aku membantu kalian
mengalahkan dan melukai Suma Ciang Bun, keturunan keluarga Pulau Es!"
Sikap Bi-kwi
yang amat membenci Ok Cin Cu dan Thian Kek Sengjin ini memang tidak
mengherankan yang lain karena tentu Bi-kwi masih mendendam oleh pelanggaran
janji dan penipuan itu.
"Bi-kwi,
siapakah kekasihmu itu dan di mana dia sekarang?" Sin-kiam Mo-li bertanya,
tertarik melihat betapa seorang seperti Bi-kwi yang terkenal mempunyai kesukaan
yang sama dengannya, dapat membela seorang kekasih seperti itu.
Bi-kwi
tersenyum lebar. "Aihhh, Mo-li, seperti tidak tahu saja. Mana aku dapat
tahan bersama seorang kekasih lebih dari tiga bulan? Aku sudah bosan dan sudah
lama dia kusingkirkan."
Kemudian,
agar tidak harus melalui ujian dengan pria lain, apa lagi dengan tosu-tosu
buruk di situ yang memandang kepadanya seperti segerombolan bandot melihat
rumput muda, ia pun menyambung, "Terus terang saja, Mo-li, sudah beberapa
lamanya aku menjauhkan diri dari laki-laki. Aku sudah muak dengan mereka dan
sebagai gantinya, aku lebih mendekatkan diriku dengan sesama wanita."
"Ehhh...?!"
Sin-kiam Mo-li membelalakkan matanya memandang rekannya itu. "Apa... apa
maksudmu?"
Terdengar Ok
Cin Cu tertawa bergelak. "Ha-ha-ha, pantas saja ketika melayani aku, kau
begitu dingin! Tidak tahunya kau sudah mengubah kesukaanmu, Bi-kwi. Mo-li,
agaknya dalam hal kesenangan dunia, biar pun engkau lebih lihai dari Bi-kwi,
akan tetapi kalah pengalaman. Sekarang Bi-kwi sudah menjadi seorang pencinta
kaumnya sendiri, suka berhubungan dengan sesama wanita, seperti juga beberapa
orang di antara kami lebih suka berdekatan dengan pria-pria muda remaja dari
pada dengan gadis-gadis."
Sin-kiam
Mo-li belum pernah mendengar akan hal yang dianggapnya aneh sekali itu, maka
dia hanya bengong. Memang pengakuan Bi-kwi bahwa dia sekarang tidak suka kepada
pria melainkan suka berdekatan wanita merupakan satu di antara siasatnya.
Ia sedang
menyelidiki lenyapnya puteri keluarga Kao, seorang gadis remaja berusia tiga
belas tahun, dan sudah mengenal pula orang macam apa adanya Sin-kiam Mo-li.
Kalau ia mengaku sebagai orang yang suka menggauli sesama wanita, maka apabila
benar-benar Kao Hong Li berada di situ dan masih hidup, lebih banyak kesempatan
baginya untuk mendekatinya tanpa dicurigainya! Dan ia memiliki alasan untuk
mendekati gadis remaja itu.
"Wah,
aneh sekali! Apa senangnya... dengan sesama wanita?" berkata Sin-kiam
Mo-li tanpa malu-malu, sedangkan para tosu itu hanya tertawa-tawa saja.
"Ah,
engkau belum tahu, Mo-li. Kalau engkau sudah merasakan senangnya, engkau pun
akan sependapat dengan aku, tidak lagi suka kepada laki-laki yang
memuakkan."
Suasana menjadi
gembira dan legalah hati Bi-kwi karena kini sikap mereka itu ramah dan senang,
seolah-olah ia telah diterima di antara mereka dan tidak lagi dicurigai. Akan
tetapi, tiba-tiba Ok Cin Cu yang cerdik berkata kepada Sin-kiam Mo-li.
"Mo-li,
kalau kawan kita Bi-kwi ini sedemikian membenci pendekar keluarga Pulau Es,
bahkan kini membenci pria pula, kenapa tidak suruh dia saja membunuh tikus
itu?"
Hati Ok Cin
Cu masih penuh dengan kebencian dan dendam kepada Hong Beng karena memang
pemuda itu musuh besarnya, terutama sekali melihat betapa nyonya rumah agaknya
tergila-gila pada pemuda itu.
Sin-kiam
Mo-li mengerutkan alisnya. Usul yang baik, pikirnya. Inilah bukti yang paling
baik untuk melihat apakah benar Bi-kwi datang dengan iktikad baik ataukah
menyimpan rahasia dan menjadi kaki tangan musuh.
"Hemm,
baik juga. Pemuda itu sudah berani menolakku, dan berkeras kepala. Memang
sebaiknya kalau Bi-kwi yang membunuhnya, akan tetapi tidak sekarang. Yang
paling perlu sekarang aku ingin bertanya kepadamu, Bi-kwi. Apakah maksud
kunjunganmu yang tiba-tiba ini?" Berkata demikian, sepasang mata yang
mencorong itu ditujukan kepada wajah Bi-kwi dengan penuh selidik.
Bi-kwi tadi
sudah terkejut setengah mati bahwa ia akan diserahi tugas membunuh seorang
pemuda. Tetapi diam-diam ia mencatat kata-kata lanjutan dari Sin-kiam Mo-li
yang menyatakan betapa pemuda itu telah menolaknya! Hal ini berarti bahwa
Sin-kiam Mo-li jatuh hati kepada pemuda itu, entah siapa dan pemuda itu telah
menolak cintanya!
Kini ditanya
oleh Sin-kiam Mo-li tentang maksud kedatangannya, ia menjawab dengan lancar dan
tenang karena memang sebelumnya sudah diatur terlebih dahulu sebagai siasatnya.
"Mo-li,
seperti engkau ketahui juga, tiga orang guruku..."
"Juga
kekasihnya... heh-heh-heh..." Ok Cin Cu mengejek.
"Benar,
juga kekasihku, mereka sudah tewas oleh para pendekar. Akan tetapi, para
pendekar keturunan keluarga Pulau Es dan Gurun Pasir itu semuanya demikian
lihai sehingga seorang diri saja, apakah dayaku? Aku ingin sekali membalas
dendam, namun tahu akan kelemahan diri sendiri. Oleh karena itu, aku lalu
teringat kepadamu, Mo-li. Bukankah engkau murid dari mendiang Kim Hwa Nionio,
bahkan kabarnya juga anak angkatnya? Nah, Kim Hwa Nionio juga tewas dalam
pertempuran itu. Aku yakin bahwa engkau tentu juga menaruh dendam. Karena
musuh-musuh kita sama, maka kurasa alangkah baiknya kalau kita bergabung untuk
menghadapi mereka. Karena itulah aku datang ke sini, Mo-li."
Sin-kiam
Mo-li mengangguk-angguk sambil memandang kepada ketujuh orang tosu itu.
"Dan bagaimana pendapat kalian, para totiang? Aku sendiri setuju untuk
menerimanya sebagai sekutu karena Bi-kwi adalah tenaga yang sangat baik, hal
ini sudah banyak kudengar."
Para tosu
itu lalu saling pandang dan dari pandang mata mereka, mereka pun setuju dan
senang kalau menerima bantuan seorang seperti Bi-kwi.
"Akan
tetapi, tidak mudah untuk bekerja sama dengan kami, Mo-li. Kepada dirimu, kami
sudah percaya sepenuhnya. Akan tetapi kalau Bi-kwi ingin bekerja sama dengan
kita, sebaiknya kalau ia memenuhi beberapa syarat terlebih dulu," kata Ok
Cin Cu.
Bi-kwi
menjebikan bibirnya memandang kepada Ok Cin Cu. Di dalam kehidupan para tokoh
sesat, memang tidak banyak dipergunakan tata susila dan sopan santun, sudah
biasa mereka itu mengemukakan perasaan hatinya secara terbuka, bahkan perasaan
tidak senang pun tidak disembunyikan.
"Ok Cin
Cu, tosu tua bangka yang bau! Kalau syarat itu kau yang mengajukan aku tidak
akan sudi karena engkau pasti akan menipuku lagi! Biarlah syaratnya ditentukan
oleh Sin-kiam Mo-li. Tentu saja kalau aku disuruh melayani laki-laki, betapa
pun muda dan gantengnya, aku berkeberatan karena aku sudah tidak dapat lagi
melayani pria setelah aku lebih suka berdekatan dengan wanita. Apa lagi disuruh
melayani kalian ini, terutama sekali engkau, Ok Cin Cu. Aku tidak sudi! Nah,
syarat apa yang diajukan agar kalian percaya kepadaku?"
Biar pun di
luarnya Bi-kwi bersikap tenang dan menantang, namun jantungnya berdebar penuh
ketegangan karena maklum bahwa ia tentu takkan mampu melakukan perbuatan yang
jahat dan kejam, yang berlawanan dengan suara hatinya yang sudah berubah sama
sekali itu. Ia dapat menyamar sebagai tokoh sesat, karena hal itu hanya lahiriah
saja. Akan tetapi betapa mungkin batinnya dapat berubah menjadi jahat kembali?
Lebih baik mati!
"Mo-li,
tidak ada bukti yang lebih baik dari pada menyuruh ia membunuh pendekar yang
menjadi tawananmu itu. Kalau ia mau membunuhnya, barulah kami percaya
padanya," kata Ok Cin Cu dengan marah karena ucapan Bi-kwi tadi
menyinggung harga dirinya sebagai seorang pria.
Sin-kiam
Mo-li mengangguk. "Bukti itu pun baik sekali. Bi-kwi, mari ikut
bersamaku!"
Bi-kwi
menahan guncangan hatinya dan dengan sikap dibuat tenang ia pun mengikuti
Sin-kiam Mo-li, diikuti pandang mata dan tawa ketujuh orang tosu itu. Sin-kiam
Mo-li membawa Bi-kwi menuruni lorong di bawah tanah.
"Hemm,
menjemukan sekali tosu-tosu tua bangka itu!" Bi-kwi mengomel. "Mereka
masih tidak mau percaya bahwa aku adalah musuh besar keluarga Pulau Es dan
Gurun Pasir. Padahal, tiga orang guruku tewas di tangan para pendekar itu.
Berilah orang-orang dari keluarga itu kepadaku dan akan kubunuh semua
mereka!"
Sin-kiam
Mo-li tiba-tiba menghentikan langkahnya di jalan tangga yang menuruni lorong
itu. "Ketahuilah bahwa aku memiliki dua orang tawanan dan keduanya adalah
anggota keluarga dan murid dari para pendekar Pulau Es dan Gurun Pasir."
"Ahh...!
Benarkah itu, Mo-li? Siapakah mereka?" tanya Bi-kwi terkejut bukan
dibuat-buat.
Sin-kiam
Mo-li tersenyum bangga akan hasil pekerjaannya. "Pertama-tama, aku sudah
berhasil menculik puteri keturunan Pulau Es dan Gurun Pasir."
"Benarkah?
Hebat! Siapa ia?" Bi-kwi pura-pura bertanya padahal jantungnya berdebar
tegang karena ternyata dugaan Bi Lan dan Sim Houw benar. Perempuan iblis inilah
yang telah menculik Kao Hong Li itu.
"Ia
benama Kao Hong Li, puteri dari pendekar Kao Cin Liong keturunan Gurun Pasir
dan Suma Hui keturunan Pulau Es. Akan tetapi tak seorang pun yang menyangka
padaku, dan baru-baru ini malah kukirim potongan rambutnya dan hiasan rambutnya
kepada keluarga Kao yang mengadakan pesta ulang tahun!"
"Ihhh!
Jadi engkaukah yang melakukan hal itu, yang melempar fitnah kepadaku?"
Bi-kwi berseru kaget sekali, dan diam-diam ia waspada.
Kalau wanita
ini yang melakukan penukaran bingkisan di dalam pesta ulang tahun Kao Cin Liong
itu, berarti Mo-li sudah tahu akan kehadirannya dan tentu menaruh curiga akan
hubungannya yang baik dengan para pendekar!
"He-he-he,
kau kira aku begitu bodoh untuk pergi sendiri ke sana? Ketika mendengar bahwa
Kao Cin Liong mengadakan pesta ulang tahunnya, aku lalu mengirimkan dua benda
itu untuk membuat mereka gelisah dan berduka. Aku lalu menyuruh seorang teman
yang boleh dipercaya untuk mengirim sumbangan itu tanpa dapat diketahui siapa
pengirimnya. Dia adalah Sai-cu Sin-touw (Copet Sakti Kepala Singa), seorang
kawan baik yang ahli untuk mencuri atau mencopet dengan kecepatan luar biasa.
Dan dia sendiri pun membenci para pendekar karena sering kali dia bentrok
dengan mereka dan pernah beberapa kali dihajar."
"Ahhh...!"
Bi-kwi bernapas lega.
Tahulah dia
kini siapa orang brewok yang menurut para pelayan dalam pesta sudah masuk ke
dalam dapur pura-pura mabok, kemudian menaruh racun dalam arak. Kiranya dia itu
adalah Sai-cu Sin-touw, kaki tangan Sin-kiam Mo-li. Pantas saja dapat menukar
bingkisannya tanpa ada yang mengetahuinya, karena dia memang ahli copet sesuai
dengan julukannya.
"Dalam
satu atau dua hari ini tentu dia akan segera kembali dan ingin aku mendengar
laporannya, hi-hi-hik!"
Celaka,
pikir Bi-kwi. Sekarang ia harus mengubah sikapnya, tidak mungkin lagi ia dapat
berpura-pura tidak tahu akan penculikan itu.
"Aihh,
kiranya dia itu orangmu!" katanya lagi dengan sikap kaget sekali dan
memandang pada nyonya rumah dengan mata terbelalak. "Sungguh suatu hal
yang amat kebetulan sekali. Apakah barangkali engkau pula yang menyuruh Sai-cu
Sin-touw itu melempar fitnah kepadaku?"
Sin-kiam
Mo-li memandang tajam. "Dua kali engkau mengatakan melempar fitnah. Apa
maksudmu?"
"Ketahuilah,
Mo-li. Kao Cin Liong mengirim undangan dan membolehkan siapa saja mendatangi
ulang tahunnya. Aku mendengar akan hal itu dan aku ingin sekali tahu apa yang
terjadi dan ingin pula melihat-lihat keadaan semenjak tiga orang suhu-ku tewas.
Maka aku nekat mendatangi pesta itu. Dan terjadilah fitnah itu. Orangmu itu
telah menukar bingkisanku dengan bungkusan terisi rambut dan hiasan rambut itu.
Dan tentu saja akulah yang dituduh menculik puteri mereka dan mereka
menyerangku!"
"Ehh?!
He-he-he, sungguh lucu. Aku belum tahu akan hal itu karena Sin-touw belum
kembali. Akan tetapi usahanya itu baik pula karena dia hendak mengacaukan pesta
itu, dan karena iseng, dan karena tahu pula bahwa engkau musuh adalah mereka,
maka dia sengaja menukar bingkisan itu. Hi-hi-hik, sungguh lucu."
"Memang
dia telah berhasil mengacaukan pesta dengan menaburkan racun ke dalam arak.
Lagi-lagi aku yang menjadi pelampiasan amarah mereka. Tentu saja aku terpaksa
melarikan diri menghadapi demikian banyaknya pendekar yang marah kepadaku. Dan
aku pun lalu lari ke sini untuk berlindung dan bersekutu denganmu."
Sin-kiam
Mo-li terkekeh geli, sedikit pun tidak menaruh curiga kepada Bi-kwi karena
wanita ini demikian berterus terang dan tidak nampak khawatir sama sekali.
Kalau nanti utusannya itu pulang, tentu ia akan mendengar laporannya dan dia
akan tahu apakah Bi-kwi membohong ataukah tidak.
"Ahh,
sungguh lucu sekali. Sai-cu Sin-touw memang pandai berulah. Kalau dia pulang
aku akan memberi banyak hadiah kepadanya."
"Akan
tetapi mengapa engkau repot-repot menahan anak itu dan tidak kau bunuh
saja?" Bi-kwi bertanya, sengaja ia bertanya dengan sikap kejam untuk
memperlihatkan betapa bencinya ia kepada keluarga para pendekar itu.
"Aku
amat suka kepadanya. Ia anak manis dan berbakat. Dan aku menculiknya dengan
menyamar sebagai Ang I Lama sehingga aku muncul sebagai penolong bagi anak itu.
Maka aku lalu mengambil ia sebagai muridku, supaya aku dapat lebih lama
menikmati kemenangan ini. Dan kelak, kalau saatnya tiba baru aku akan memukul
benar-benar, entah dengan cara bagaimana."
"Akan
tetapi, kenapa sekarang kau tawan?" Bi-kwi medesak, heran.
"Dia
mulai memberontak dan berpihak kepada seorang tawanan lain yang baru saja
datang menyerahkan diri. He-heh, kau tentu tidak akan mampu menduga siapa orang
itu. Dialah yang akan kami minta agar kau membunuhnya. Dia datang untuk mencari
Hong Li, akan tetapi aku berhasil menangkapnya. Dia tampan dan gagah, dan
aku.... hemm, aku suka padanya. Akan tetapi pemuda tak tahu diri itu berani
menolak cintaku! Mestinya sudah kubunuh dia, akan tetapi entah bagaimana, aku
terlalu sayang untuk membunuhnya, Bi-kwi. Kau tentu tahu bagaimana rasanya hati
kalau sudah tergila-gila. Dia bernama Gu Hong Beng, murid dari musuhmu, Suma
Ciang Bun tokoh Pulau Es itu."
"Aihhh!
Dia memang musuh besarku! Sudah beberapa kali dia bentrok dengan aku, bahkan
ketika terjadi keributan di pesta, dialah yang menyerangku paling hebat, bahkan
dia yang mengejar-ngejarku. Kiranya dia juga sudah tiba di sini? Tentu dalam
usahanya mengejarku!"
"Aku
percaya padamu, Bi-kwi. Akan tetapi para tosu itu tidak percaya, maka sebaiknya
engkau bunuh saja dia."
"Apa
sukarnya membunuh seekor harimau sekali pun kalau dia sudah berada di dalam
kandang. Mari kita lihat."
Bi-kwi
memutar otaknya untuk mencari akal karena tentu saja ia tidak mau membunuh Hong
Beng, meski untuk menyelamatkan dirinya dan menyelamatkan Hong Li sekali pun.
Moli
mengajaknya memasuki ruangan tahanan. Di sana, di dalam dua kamar tahanan yang
berdampingan, Bi-kwi melihat seorang anak perempuan berusia kurang lebih tiga
belas tahun yang manis sedang duduk bersandar dinding, dan di kamar lain nampak
Hong Beng duduk bersila! Bi-kwi menahan perasaannya kemudian ia menghampiri dan
tertawa mengejek.
"Hi-hik,
kiranya Gu Hong Beng manusia sombong itu kini sudah tak berdaya, di dalam
kerangkeng seperti seekor monyet!" Ia tertawa dan suaranya penuh sindiran.
Mendengar
suara ini, Hong Beng membuka matanya memandang. Ketika dia melihat bahwa yang
mengejeknya itu bukan lain adalah Bi-kwi yang datang bersama Sin-kiam Mo-li,
mukanya menjadi merah sekali dan matanya memancarkan sinar berapi-api. Dia
meloncat berdiri, bagaikan seekor harimau ingin dia dapat keluar dari
kerangkeng untuk menerjang wanita itu. Dia bertolak pinggang dan menuding
dengan telunjuk kirinya ke arah muka Bi-kwi.
"Bi-kwi,
setan perempuan yang busuk! Perempuan busuk macam engkau ini selamanya akan
tetap jahat dan busuk! Ternyata benar dugaanku bahwa engkau bekerja sama dengan
Sin-kiam Mo-li untuk menculik adik Hong Li. Terkutuk engkau, Bi-kwi!"
Bi-kwi juga
terkekeh mengejek. "Heh-heh, engkau seorang pemuda yang sombong dan
goblok!" Kemudian setelah memandang ke arah Hong Li yang juga memandang
tanpa bangkit dari duduknya, Bi-kwi berkata kepada Sin-kiam Mo-li, "Hemm,
keenakan dia jika dibunuh begitu saja, Mo-li. Membunuh dia apa sih sukarnya?
Akan tetapi terlalu enak baginya. Mari kita bicara di sana." Ia lalu
mengajak Mo-li keluar dari tempat tahanan itu sampai tidak nampak oleh Hong
Beng.
"Mo-li,
sebetulnya amat sayang jika dia dibunuh begitu saja. Aku sudah sering bentrok
dengan dia dan tahu betul bahwa dia adalah seorang perjaka emas!"
"Perjaka
emas? Apa maksudmu?"
"Aih,
kiranya engkau belum banyak pengalaman dalam hal ini walau pun kita tadinya
memiliki kesukaan yang sama, Mo-li. Dia seorang perjaka asli yang bertulang
baik dan berdarah bersih. Siapa yang pertama kali melakukan hubungan dengan
seorang perjaka emas, tentu ia akan menjadi awet muda dan tak pernah dapat
kelihatan tua!"
"Hemm,
memang tadinya aku sayang kepadanya. Akan tetapi walau pun aku tadinya telah
mempergunakan sihir, dia tetap menolak keinginanku."
"Hemm,
mudah saja, Mo-li. Aku dapat menggunakan akal sehingga dia akan berubah menjadi
seperti seekor kuda jantan yang jinak dan akan melayani segala keinginanmu
dengan senang hati."
"Ahh,
benarkah itu, Bi-kwi? Aku akan berterima kasih sekali kalau benar engkau mampu
membuatnya jinak untukku!" kata Sin-kiam Mo-li dengan wajah berseri.
"Akan
tetapi, aku mempunyai satu permintaan yang kuharap akan kau setujui sebagai
upahku. Aku melihat anak perempuan itu... hemm, ia hanyalah anak dari
musuh-musuh kita dan ia sudah tidak mentaatimu lagi. Sudah kukatakan tadi bahwa
aku tidak memiliki selera lagi terhadap pria, akan tetapi melihat seorang gadis
remaja... hemm, bolehkah aku meminjam tawananmu itu untuk satu malam saja,
Mo-li? Dengan demikian, kita berdua dapat bersenang-senang, engkau bersama
pemuda yang ganteng dan gagah itu, dan aku bersama gadis remaja itu."
Mo-li sudah
terlalu bernafsu untuk memikirkan hal lain. Apa lagi kini muridnya itu telah
berubah, mungkin pula telah membencinya. "Baiklah, begitu pemuda itu mau
memenuhi keinginanku, anak perempuan itu boleh kau miliki satu malam.
Lakukanlah cepat, aku sudah tidak sabar lagi untuk melihatnya."
"Mo-li,
engkau tentu tahu bahwa tujuh orang tosu itu seperti anjing-anjing yang
mengilar melihat kita berdua. Mereka itu seperti hendak berebut dan akan
menerkamku kalau saja aku mau melayani mereka. Kalau mereka melihat kita berdua
bersenang-senang dan tak mempedulikan mereka, tentu membuat mereka iri dan
marah, mungkin mereka akan menyatakan tidak setuju dengan niat kita. Karena
itu, sebaiknya hal ini kita lakukan di luar pengetahuan mereka dan caranya
terserah kepadamu untuk mengaturnya."
Sin-kiam
Mo-li mengerutkan alisnya dan melihat kebenaran ucapan Bi-kwi. Memang tujuh
orang tosu itu sudah dilayani oleh tiga orang pelayannya, akan tetapi agaknya
tiga orang itu untuk mereka masih kurang dan mereka memang selalu mengincarnya
dan juga mengincar Bi-kwi seperti yang dapat ia lihat dari pandang mata mereka
terhadap Bi-kwi tadi.
"Jangan
khawatir, dapat diatur," katanya dan ia pun menarik sehelai tali yang
tergantung di sudut lorong. Tak lama kemudian, muncul Ang Nio yang mendengar suara
panggilan rahasia itu.
"Engkau
cepat cari perempuan secukupnya untuk menemani tujuh orang tosu tamu kita itu.
Berikan bayaran secukupnya. Aku dan Bi-kwi tidak ingin diganggu malam
ini."
Ang Nio
tersenyum girang. Ia dan dua orang kawannya sudah merasa muak dengan tujuh
orang tosu yang terpaksa harus mereka layani itu. Kini, Mo-li menyuruh ia
mencari tujuh orang perempuan dari dusun di kaki bukit. Jika ia membayar mahal,
tentu banyak yang mau dan hal ini berarti ia dan kawan-kawannya akan bebas dari
cengkeraman tosu-tosu tua yang rakus itu.
"Sekarang
bagaimana, Bi-kwi?"
"Mo-li,
sebaiknya kita lakukan usaha penjinakan pemuda itu malam nanti kalau para tosu
sudah sibuk bersenang-senang di kamar masing-masing. Sementara ini, kita
beritahukan kepada mereka bahwa pembunuhan atas diri pemuda itu ditunda dulu
karena engkau hendak menaklukkan dia terlebih dulu dengan bantuanku."
Sin-kiam
Mo-li merasa agak kecewa bahwa tidak sekarang saja ia dapat mendekap pemuda
itu, akan tetapi karena ia tidak mau terganggu oleh para tosu, ia pun setuju.
Mereka keluar lagi dari lorong bawah tanah dan memasuki ruangan tamu di mana
para tosu itu masih makan minum sambil mengobrol dan tertawa-tawa. Walau pun
mereka mengenakan jubah pendeta, namun sikap mereka jauh dari pada patut untuk
menjadi pendeta-pendeta yang hidup saleh.
Melihat
munculnya dua orang wanita itu, Ok Cin Cu yang masih mendongkol terhadap Bi kwi
segera berkata, "Wah, kalian nampaknya bukan seperti orang-orang yang baru
saja membunuh musuh. Apakah tikus itu sudah dibunuh?"
"Begitu
melihat Bi-kwi, dia mencak-mencak dan memaki-maki. Jelaslah bahwa dia amat
membenci Bi-kwi."
"Tentu
saja," kata Bi-kwi, "sudah beberapa kali aku berkelahi dengan dia dan
gurunya."
"Akan
tetapi, aku tak ingin dia mati begitu saja. Terlalu enak dan terlalu mudah
baginya. Aku ingin menaklukkannya dulu, mempermainkan dan menghinanya sampat
puas, baru aku akan membunuhnya," sambung Sin-kiam Mo-li.
"Ha-ha-ha,
bagaimana hal itu mungkin, Mo-li. Dengan sihirmu pun engkau tidak dapat
menundukkan dia malam itu," kata Thian Kek Sengjin.
"Akan
tetapi sekarang ada Bi-kwi yang akan membantuku. Ia mempunyai cara untuk
menjinakkan pemuda itu untukku. Biarkan aku bersenang-senang, dan jangan
khawatir karena sekarang aku sedang memesan beberapa orang gadis cantik dari
dusun untuk menemani kalian bertujuh."
Mendengar
ini, tujuh orang tosu itu menjadi gembira dan mereka tidak lagi menyatakan
ketidak cocokan atau kecurigaan mereka terhadap rencana Mo-li dan Bi-kwi.
Malam itu,
setelah para tosu memasuki kamar mereka bersama para wanita dusun yang
didatangkan Ang Nio, Sin-kiam Mo-li dan Bi-kwi memasuki lorong bawah tanah.
Bi-kwi memberi tahu kepada Mo-li bahwa ia memiliki minuman yang akan dapat
merampas semangat Hong Beng, membuat pemuda itu lupa diri dan tentu akan
menuruti semua permintaan Sin-kiam Mo-li.
"Akan
tetapi bagaimana engkau akan dapat memaksanya untuk minum?"
"Serahkan
saja kepadaku, Mo-li. Aku mempunyai akal dan engkau sebaiknya jangan ikut
mendekat agar Hong Beng tak menjadi curiga. Biarkan aku sendiri menghadapinya
dan aku akan dapat membujuknya untuk minum obatku itu."
"Baik,
tetapi jangan sampai engkau gagal, Bi-kwi." Kata-kata ini mengandung
ancaman.
"Jangan
khawatir, Mo-li, aku pasti berhasil. Akan tetapi ingat akan janjimu, begitu dia
kelihatan menurut, gadis remaja itu harus diserahkan kepadaku."
"Baik."
"Nah,
sekarang kau menanti dan mendengarkan dari sini saja, sebaiknya aku sendiri
yang menghadapinya," kata Bi-kwi.
Ia lalu
memasuki ruangan kamar tahanan dan di bawah sinar lampu lentera yang cukup
terang, ia melihat betapa Hong Li rebah terlentang di atas lantai, sedangkan
Hong Beng sudah duduk bersila lagi. Di sudut kamar terdapat mangkok-mangkok dan
sumpit, sisa makanan yang diberikan kepada mereka oleh Hek Nio.
Melihat
kemunculan Bi-kwi, Hong Beng lalu mengerutkan alisnya dan tetap saja duduk
bersila. Sin-kiam Mo-li yang bersembunyi, mengikuti semua percakapan mereka
dengan penuh perhatian. Ia seorang wanita yang cukup cerdik dan tidak ingin
dikelabui, maka meski pun ia sudah percaya kepada Bi-kwi, tetap saja ia
mengikuti semua peristiwa di ruangan tahanan itu dengan penuh perhatian. Ia
merasa aman dan yakin bahwa hanya ia seoranglah yang dapat membebaskan Gu Hong
Beng mau pun Kao Hong Li, karena kunci kedua kamar tahanan itu selalu berada di
saku bajunya.
"Perempuan
iblis jahanam terkutuk! Mau apa kau masuk ke sini? Mau membunuhku? Silahkan, aku
tahu bahwa engkau hanyalah seorang pengecut yang beraninya hanya terhadap orang
yang sudah tidak berdaya!" terdengar Hong Beng membentak dengan suara
marah dan mengandung penuh kebencian sehingga hati Sin-kiam Mo-li menjadi
kecil. Bagaimana mungkin Bi-kwi mampu membujuk pemuda yang demikian membenci
dirinya?
"Gu
Hong Beng, engkaulah laki-laki yang sama sekali tidak mengenal budi,"
terdengar Bi-kwi berkata. "Butakah matamu, tidak dapatkah engkau melihat
betapa Sin-kiam Mo-li telah jatuh cinta kepadamu? Kalau engkau seorang pemuda
yang berakal sehat, tentu engkau memilih hidup dengan menemani Sin-kiam Mo-li
bersenang-senang. Mengapa engkau demikian keras kepala, bukankah engkau adalah
seorang laki-laki yang dewasa dan normal?"
Sambil
berkata-kata dengan suara membujuk ini, di luar tahunya Sin-kiam Mo-li karena
Bi-kwi memegang kertas bertulis itu di depan perutnya sehingga Hong Beng saja
yang dapat membacanya, Bi-kwi memberi tanda dengan kedipan mata kepada pemuda
itu, sementara mulutnya terus membujuk.
Sejenak Hong
Beng tertegun. Tulisan itu mudah dibaca karena tulisannya besar-besar dan
jelas. Dia cepat membaca.
‘Aku datang
untuk membebaskan engkau dan Hong Li. Terus bersikaplah bermusuhan denganku,
kemudian minum obat yang kuberikan, lalu engkau pura-pura mabok terbius.
Selanjutnya, pura-pura lemas saja dan serahkan kepadaku. Jangan bergerak
sebelum kuberitahu.’
Hong Beng
selesai membaca dan biar pun dia masih belum percaya benar, namun dia tahu
bahwa tentu wanita ini datang bersama Sim Houw dan Bi Lan yang juga hendak
menyelamatkan Hong Li.
"Sudahlah,
perempuan siluman, jangan membujuk lagi, percuma saja!" katanya sambil
memberi isarat dengan matanya bahwa dia mengerti. "Lebih baik bunuh saja
aku dari pada harus tunduk dan melakukan perbuatan hina itu!"
"Gu
Hong Beng, pemuda tolol! Engkau masih muda belia, tampan dan gagah. Apakah kau
lebih suka mati konyol dan menolak kesenangan yang dapat kau nikmati? Sekali
lagi, maukah engkau menyerah dan menuruti semua keinginan Sin-kiam Mo-li?
Ingat, kalau engkau menolak, aku sudah menerima perintah untuk membunuhmu
sekarang juga."
Tanpa
menanti sebentar pun, tanpa keraguan sedikit pun, Hong Beng lalu membentak
sesuai dengan suara hatinya, juga sesuai dengan permintaan Bi-kwi dalam surat
agar dia bersikap bermusuhan.
"Keparat,
tulikah engkau? Aku tidak sudi, sekali tidak sudi dan selamanya pun tak sudi.
Mau bunuh, lekas bunuh, siapa takut mati?"
Tiba-tiba
terdengar suara halus dari kamar tahanan yang ada di sebelah, "Hemm, suara
Gu-suheng demikian gagah perkasa, sedangkan suara perempuan ini bagaikan
siluman tukang bujuk yang tak tahu malu!" Itulah suara Hong Li yang ikut
merasa tegang dan marah.
"Aihhh,
adik manis, jangan terlalu galak, nanti kemanisanmu berkurang! Engkau tunggu
saja, engkau akan menikmati kesenangan luar biasa dengan aku," kata
Bi-kwi, sengaja berkata demikian untuk lebih meyakinkan hati Mo-li yang
mengintai dan mendengarkan.
"Siluman
jahat, tidak perlu engkau membujuk atau merayu aku!" Hong Li membentak
marah dan Bi-kwi mengeluarkan suara ketawa mengejek.
"Siluman
jahat, tak perlu banyak cakap lagi. Jika engkau datang hendak membunuhku,
lakukanlah. Aku akan menghadapi kematian dengan kedua mata terbuka! Jangan
harap engkau akan dapat membuat aku ketakutan dengan bujukan dan ancaman!"
"Hemm,
jadi engkau tetap memilih mampus? Engkau tak takut mati? Hemm, aku masih belum
mau percaya. Engkau tentu ingin menggunakan kepandaianmu untuk mencoba menipuku
dan membuat aku lengah. Kalau memang benar engkau memilih mati, nah, ini aku
bawakan sebotol kecil racun. Beranikah engkau meminumnya? Engkau akan mati
dengan tenang, seperti orang pergi tidur saja. Ataukah engkau lebih memilih
mati kuserang dengan jarum-jarum beracun dari luar kamar tahanan? Nah, minumlah
ini kalau memang benar engkau tidak takut mati, bukan hanya bualan sombong
belaka!"
Dari tempat
persembunyiannya, Sin-kiam Mo-li terus mengintai dengan jantungnya yang
berdebar-debar. Maukah pemuda itu minum obat yang akan membuatnya tunduk dan
jinak seperti yang dijanjikan oleh Bi-kwi kepadanya?
"Gu-suheng,
jangan percaya omongan siluman itu! Dari suaranya saja aku tahu bahwa ia adalah
seorang manusia siluman yang jahat, kata-katanya penuh dengan bujuk-rayu dan
tipu. Jangan mau minum racun itu!" terdengar suara Hong Li yang merasa
khawatir sekali. Ia tidak dapat melihat apa yang sedang terjadi di kamar
tahanan sebelah, akan tetapi dapat mendengar percakapan mereka.
Akan tetapi
Hong Beng, setelah bertemu pandang yang penuh arti dengan Bi-kwi, lalu menerima
botol kecil berisi cairan bening itu, dan berkata dengan lantang karena dia pun
tahu bahwa sikap Bi-kwi yang penuh rahasia itu menunjukkan bahwa ada orang
lain, tentu iblis betina Sin-kiam Mo-li, yang melakukan pengintaian.
"Hemm,
siapa takut mati?" Dan dia pun membuka tutup botol dan meminumnya sampai
habis. Diam-diam dia merasa geli karena tahu bahwa yang diminumnya itu hanyalah
air putih biasa saja, tidak mengandung apa-apa yang mencurigakan!
Kini Bi-kwi
yang bermain sandiwara. Suaranya terdengar girang sekali.
"Hi-hi-hik,
kau kira aku sedang berpura-pura dengan ancaman kosong? Ha, lihat betapa
wajahmu telah menjadi pucat, dan tubuhmu pasti menjadi lemas. Ha-ha-ha, ya,
engkau boleh berusaha mengerahkan sinkang-mu, Gu Hong Beng, akan tetapi percuma
saja. Semua kemauanmu telah lenyap, dan engkau sekarang menjadi penurut. Engkau
akan mendengarkan semua perintah dan mentaatinya tanpa melawan sedikit pun.
Ha-ha-ha!"
Dan Hong
Beng yang sebetulnya tidak merasakan sesuatu, kini melakukan apa yang dikatakan
Bi-kwi. Dengan ilmu sinkang-nya, ia dapat menahan dan memperlambat jalan darah
dan membuat mukanya tampak pucat, lalu tubuhnya terhuyung dan jika dia tidak
berpegang kepada jeruji, tentu dia sudah roboh. Kepalanya menunduk dan
tergantung seolah-olah kepala itu terasa berat dan pening, matanya terpejam.
"Mo-li,
ke sinilah dan lihat hasilnya!" Bi-kwi berseru ke belakang.
Sin-kiam
Mo-li cepat berlari mendekati kamar tahanan itu. Ia menemukan Hong Beng dalam
keadaan tak berdaya, bergantung ke jeruji jendela dan nampak pucat dan lemas.
Giranglah hatinya melihat ini.
"Sekarang
dia akan melakukan apa saja yang kau perintahkan, Mo-li."
"Ahh,
terima kasih, Bi-kwi. Aku akan membawanya ke kamarku sekarang juga."
"Aihh,
jangan lupa membuka kamar tahanan sebelah, Mo-li."
"Jangan
khawatir. Nih kuncinya, kau buka sendiri. Akan tetapi, jangan sampai ia terluka
apa lagi terbunuh. Engkau hanya boleh meminjamnya saja untuk memuaskan seleramu
yang gila itu. Aku masih belum selesai dengan anak itu!"
"Baiklah,
siapa mau mencelakakannya? Aku... aku sayang pada anak-anak seperti itu,
bagaikan kuncup bunga yang mulai mekar, hi-hi-hik!"
Dua orang
wanita itu membuka pintu kamar tahanan. Melihat masuknya seorang wanita yang
tidak dikenalnya, akan tetapi yang diketahuinya adalah wanita yang tadi
dimakinya siluman, yang tentunya sudah membius atau meracuni Gu Hong Beng
seperti yang tadi didengarnya, Hong Li menjadi marah sekali. Begitu pintu kamar
tahanan itu dibuka dari luar, dara cilik ini menyambut Bi-kwi dengan makian.
"Siluman
betina keparat!"
Ia pun sudah
menerjang dan menyerang dengan nekat, bagaikan seekor anak harimau yang marah.
Akan tetapi, tentu saja serangannya itu tiada artinya bagi seorang wanita
selihai Bi-kwi. Dengan cekatan, wanita ini menyambut tubuh kecil yang
menyerangnya itu dengan tangkapan tangan kiri sedangkan tangan kanannya sudah
menotok pundak Hong Li. Anak itu terkulai lemas dan segera dipondongnya sambil
tertawa kecil...
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment