Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 10
SEPERTI
telah dituturkan di bagian depan, teriakan-teriakan Hok Ti Hwesio terdengar
oleh Kam Seng yang berada di dalam kamarnya dan sedang menghadapi Lili yang
tertawan. Suara senjata yang didengarnya ternyata adalah suara pisau di tangan
Hok Ti Hwesio yang beradu dengan huncwe Ban Sai Cinjin.
Memang, Goat
Lan yang jenaka dan nakal itu beberapa kali menyampok tangan Hok Ti Hwesio
sehingga pisaunya menjadi nyeleweng dan membentur senjata suhu-nya sendiri,
membuat Ban Sai Cinjin menjadi makin marah dan mendongkol.
Goat Lan
terheran pada saat melihat seorang pemuda tampan dengan pedang di tangan ikut
maju mengeroyoknya. Ia melihat gerakan pedang yang cukup tangkas dan lihai.
Kini setelah dikeroyok tiga, dia tidak mendapat banyak kesempatan untuk
membalas dengan serangannya.
Akan tetapi
gadis ini benar-benar tabah dan jenaka. Biar pun tiga orang lawannya amat
tangguh, ia masih melayani mereka dengan tangan kosong, mempergunakan
kelincahan gerakan tubuhnya, menyambar-nyambar di antara gelombang serangan.
Dan pada
saat itu, datanglah Lili. Hal ini benar-benar tak pernah disangka oleh Goat
Lan. Tentu saja dia menjadi amat gembira dan girang. Telah bertahun-tahun dia
tidak bertemu dengan Lili, mungkin sudah ada tiga tahun.
Dia melihat
betapa calon adik iparnya ini maju menyerbu dengan senjata pedang dan kipas.
Dia merasa amat heran ketika melihat betapa Lili menyerbu Ban Sai Cinjin dengan
muka merah dan mata berapi, agaknya Lili amat marah dan membenci kakek mewah
itu.
Melihat
kemarahan Lili yang agaknya penuh nafsu membunuh itu, Goat Lan tidak mau
main-main lagi dan saat ia berseru keras, kaki kanannya telah berhasil
menendang tubuh belakang Hok Ti Hwesio dengan gerakan Soan-hong-twi (Tendangan
Kitiran Angin).
Tendangan ini
dilakukan dengan tenaga yang ratusan kati beratnya dan cukup membuat tulang
punggung lawan menjadi patah-patah. Akan tetapi, bagaikan sebuah bal karet,
tubuh Hok Ti Hwesio terpental keras dan ketika membentur dinding, lalu mental
kembali dan bergulingan di atas lantai tanpa luka sedikit pun!
Goat Lan
terheran-heran sehingga untuk sesaat ia berdiri bengong memandang manusia bal
itu! Tentu saja ia tidak tahu bahwa Hok Ti Hwesio telah melatih diri dengan
ilmu kebal yang luar biasa dan yang dimilikinya setelah dia makan tiga buah
jantung manusia!
Pada saat
Goat Lan berdiri bengong memandang Hok Ti Hwesio saking herannya, Kam Seng
mengirim tusukan maut dengan pedangnya. Ujung pedangnya sudah berada dekat
sekali dengan dada kiri Goat Lan, akan tetapi alangkah terkejut hati Kam Seng
ketika tiba-tiba, bagaikan tubuh seekor ular, tubuh gadis itu melenggok ke kiri
dan tusukan itu hanya lewat di pinggir tubuhnya saja! Dan sebelum Kam Seng
kehilangan rasa herannya, tiba-tiba saja dia merasa lengan kanannya sakit sekali
dan pedangnya telah terlepas dari pegangannya! Tanpa dia ketahui, dengan
gerakan yang cepat bukan main bagaikan kilat menyambar, Goat Lan telah mengirim
totokan ke arah urat nadinya!
Hok Ti
Hwesio telah bangun berdiri lagi, begitu juga Kam Seng telah mengambil kembali
pedangnya karena totokan tadi tidak berbahaya, akan tetapi kedua orang itu kini
merasa ragu-ragu dan hanya memandang kepada gadis itu dengan bengong. Mereka
mengira sedang berhadapan dengan setan, sebab bagaimanakah seorang gadis cantik
lagi muda itu dapat menghadapi mereka dengan tangan kosong dan membuat mereka
tak berdaya dengan dua kali serangan saja?
Sementara
itu, Ban Sai Cinjin telah diserang dan didesak hebat oleh Lili yang berusaha
membunuhnya! Pundaknya yang tadi terluka mulai terasa sakit bukan main dan
agaknya sambungan tulang yang telah disambung itu kini terlepas lagi!
Keadaannya benar-benar berbahaya dan Goat Lan hanya memandang sambil
tertawa-tawa.
Pada saat
itu, terdengar seruan orang dan tahu-tahu dari dalam menyambar angin yang
menolak kipas Lili yang sedang dipukulkan ke arah dada Ban Sai Cinjin! Goat Lan
amat terkejut ketika melihat betapa kipas itu terpental dan tahu bahwa dari
dalam ada orang berkepandaian tinggi yang turun tangan. Benar saja, seruan tadi
segera disusul dengan munculnya seorang tosu tua.
“Nona Sie!”
kata tosu itu ketika Lili melompat mundur. “Muridku telah berlaku sangat baik
kepadamu, mengapa kau masih mati-matian mengacaukan tempat tinggal orang lain?”
Melihat
munculnya tosu yang sore tadi sudah merobohkannya, kemarahan Lili jadi makin
memuncak. Ia maklum bahwa ilmu kepandaian Wi Kong Siansu ini jauh lebih tinggi
dari pada kepandaiannya sendiri, akan tetapi puteri Pendekar Bodoh ini memang
mempunyai ketabahan yang diwarisinya dari ayah bundanya.
“Tosu
siluman, rasakan pembalasanku!” teriaknya keras dan ia cepat menyerang dengan
pedangnya dan mainkan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut di tangan kanan serta
mainkan San-sui San-hoat (Ilmu Kipas Gunung dan Air) dengan tangan kirinya!
Wi Kong
Siansu sudah tahu akan kelihaian gadis galak ini, maka dia berlaku hati-hati
sekali dan mainkan kedua lengan bajunya dengan cepat. Juga Goat Lan berdiri
dengan kagum memandang ilmu silat yang dimainkan oleh Lili. Diam-diam dia
mengakui bahwa ilmu silat Lili benar-benar hebat sekali.
Akan tetapi
ketika ia melihat gerakan kedua ujung lengan baju tosu itu, ia lebih kaget
lagi. Ujung lengan baju yang terbuat dari kain lemas itu kini mengeras bagaikan
ujung toya baja dan tiap kali terbentur dengan pedang atau gagang kipas Lili,
terdengar suara keras dan senjata di tangan gadis itu terpental ke belakang.
Melihat hal
ini saja maklumlah Goat Lan bahwa kepandaian tosu tua ini sungguh hebat sekali
dan jika dibiarkan saja, Lili mungkin takkan dapat menang. Maka ia lalu
mencabut senjatanya dan berseru,
“Kakek tua,
jangan kau orang tua menghina yang muda!”
Ketika Wi
Kong Siansu melihat datangnya serangan dan melihat senjata di tangan Goat Lan,
kakek ini terkejut sekali dan cepat dia melompat mundur. Ternyata bahwa gadis
ini sekarang memegang dua batang bambu kuning yang hanya sebesar lengan
anak-anak dan berujung runcing, panjangnya kira-kira hanya tiga kaki!
“Tahan,
Nona. Apakah hubunganmu dengan Hok Peng Taisu?”
Goat Lan
memang bersifat nakal dan jenaka, karena itu sambil tersenyum-senyum ia pun
menjawab,
“Totiang
(sebutan untuk pendeta tua), aku yang muda tidak mau membawa-bawa nama
orang-orang tua untuk menakuti-nakuti kau!”
Merahlah
wajah Wi Kong Siansu mendengar ucapan ini. “Siapa takut kepadamu? Meski pun Hok
Peng Taisu sendiri yang datang, aku Wi Kong Siansu belum tentu akan takut
kepadanya! Hanya kulihat bahwa sepasang bambu runcingmu itu adalah bambu
runcing yang merupakan kepandaian tunggal dari Hok Peng Taisu.”
“Sudahlah,
tidak perlu kita membawa-bawa nama orang tua itu di tempat yang kotor ini.
Pendeknya, kalau Totiang takut, sudah saja jangan kau mengganggu adikku ini!”
“Siapa
takut? Biarlah, biar kumencoba kepandaian Bu Pun Su dan Swie Kiat Siansu yang
diturunkan kepada Nona Sie ini dan sekalian kurasakan kelihaian bambu runcing
dari Hok Peng Taisu!” Sambil berkata demikian, Wi Kong Siansu lalu mencabut
pedangnya yang disembunyikan di balik jubahnya yang lebar.
Pedang ini
bersinar kehitaman sebab inilah pedang mustika yang sangat berbahaya dan ganas
yang bernama Hek-kwi-kiam (Pedang Setan Hitam)! Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu
memang telah menciptakan semacam ilmu pedang tunggal yang pada waktu itu
merupakan sebuah dari ilmu-ilmu pedang yang paling terkenal dan ditakuti di
masa itu.
Ilmu pedang
ini ia ciptakan berdasarkan pedang mustikanya yang didapatkannya di atas Bukit
Hek-kwi-san. Karena pedang itu mengeluarkan sinar kehitaman dan didapatkannya
di atas Bukit Hek-kwi-san (Bukit Setan Hitam), maka ia lalu memberi nama
Hek-kwi-kiam pada pedang itu dan lalu memberi nama pada ilmu pedang ciptaannya
Hek-kwi Kiam-sut.
Walau pun
Kam Seng sudah mempelajari ilmu pedang ini dengan tekunnya, akan tetapi karena
ilmu pedang ini amat sukar dan banyak sekali perubahannya, maka kepandaian itu
boleh dibilang belum ada sepersepuluh bagian dari kepandaian Wi Kong Siansu Si
Iblis Tua Pencabut Nyawa!
“Majulah,
anak-anak muda! Biarlah kalian mendapat kehormatan untuk mengenal Hek-kwi
Kiam-sut dari dekat!”
Akan tetapi
Lili yang amat marah sudah tak sabar lagi mendengar ocehan tosu itu dan cepat
maju menyerang dengan pedangnya. Goat Lan yang dapat menduga kelihaian tosu
itu, lalu maju pula membarengi gerakan Lili dan mengirim serangan dengan bambu
runcingnya.
Sesungguhnya,
dari kedua suhu-nya yang menggembleng dirinya selama delapan tahun, yaitu Sin
Kong Tianglo Si Raja Obat dan Im-yang Giok-cu Si Dewa Arak, Giok Lan hanya
menerima latihan-latihan ilmu silat tangan kosong beserta lweekang dan ginkang.
Akan tetapi gadis ini tentu saja tidak mau meniru kedua suhu-nya yang
menggunakan senjata-senjata yang paling aneh di antara sekalian senjata ahli
silat di dunia ini.
Yok-ong Sin
Kong Tianglo selalu mempergunakan keranjang obat dan pisau pemotong rumput
sebagai senjata, sedangkan Im-yang Giok-cu mempergunakan senjata guci arak.
Oleh karena itu, di samping menerima gemblengan ilmu silat dari kedua kakek
sakti ini, Goat Lan juga mempelajari ilmu pedang dari ayahnya dan terutama
sekali yang paling disukai adalah mempelajari ilmu bambu runcing dari ibunya!
Bahkan
sesudah dia dapat memainkan ilmu bambu runcing dengan pandai, dia lalu minta
kepada ayahnya untuk membuatkan bambu runcing terbuat dari sepasang bambu
kuning seperti milik ibunya! Hanya dengan senjata inilah Goat Lan melakukan
perantauannya!
Ilmu silat
Goat Lan tentu saja sudah tinggi dan tangguh bukan main. Ia telah menerima
gemblengan dari empat orang berkepandaian tinggi dan biasanya dia hanya
menghadapi para lawan yang betapa lihai pun dengan kedua kaki tangannya sambil
mengandalkan ginkang-nya yang seperti ibunya itu. Akan tetapi kini saat
menghadapi Wi Kong Siansu, terpaksa dia harus mengeluarkan bambu-runcingnya.
Begitu pula
dengan Wi Kong Siansu. Biasanya, orang tua ini selalu memandang rendah
lawan-lawannya dan tak pernah dia mengeluarkan pedang mustikanya. Kini
menghadapi dua orang gadis cantik dan masih muda dia sampai mengeluarkan
pedangnya, dapatlah diketahui bahwa tosu ini sama sekali tidak berani memandang
ringan terhadap Lili dan Goat Lan.
Bahkan Ban
Sai Cinjin sendiri memandang heran dan ia selalu bersiap sedia dengan hati
berdebar-debar. Hok Ti Hwesio dan Kam Seng tentu saja hanya berdiri di sudut
ruangan yang luas itu sambil menonton dan sama sekali tidak berani mencoba
untuk ikut turun tangan.
Pertempuran
kali ini memang benar-benar hebat sekali. Ilmu Pedang Hek-kwi Kiam-sut luar
biasa ganas dan cepatnya hingga ruang yang terang oleh cahaya lampu itu menjadi
muram, oleh karena sinar pedang itu bergulung-gulung laksana uap gunung berapi
yang mengandung abu hitam.
Akan tetapi
sepasang bambu runcing di tangan Goat Lan merupakan titik kuning, yang
kadang-kadang berkelebat bagaikan halilintar menyambar dengan cepatnya.
Sedangkan pedang Liong-coan-kiam terkenal sebagai pedang yang ampuh, kini
digerakkan dengan Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut menjadi amat mengagumkan,
berkelebat-kelebat bersinar putih laksana perak merupakan seekor naga perkasa
yang bermain-main di antara awan hitam dan halilintar! Kipas maut di tangan
kiri Lili merupakan pusat angin yang apa bila digerakkan membuat para penonton
merasakan sambaran angin dingin yang aneh!
Empat ilmu
silat yang luar biasa tingginya kini bertemu, dimainkan oleh tiga orang yang
memiliki ilmu tinggi, sungguh merupakan pemandangan yang sukar dilihat orang!
Ban Sai Cinjin, Kam Seng, dan Hok Ti Hwesio sampai berdiri bengong bagaikan
terpaku di lantai.
Bagi Kam
Seng dan Hok Ti Hwesio yang ilmu kepandaiannya jauh lebih rendah, tidak ada
kemungkinan sama sekali bagi mereka untuk ikut turun tangan dalam pertempuran
yang maha dahsyat itu, akan tetapi tidak demikian dengan Ban Sai Cinjin. Apa
bila diukur tingkat kepandaiannya, memang dia tidak usah mengaku kalah terhadap
dua orang gadis itu.
Maka secara
diam-diam kakek mewah ini lalu menelan dua butir pil dan mengurut-urut
pundaknya, membenarkan letak tulang pundak sambil mengatur napasnya. Lalu,
setelah pundaknya tidak begitu sakit lagi, dia lalu mengeluarkan tembakau
hitamnya yang amat berbahaya, dan mulai mengisi kepala huncwe-nya dengan
tembakau beracun itu. Tidak lama kemudian, mengebullah asap tembakau yang
membuat kepala menjadi pening dan napas menjadi sesak. Kam Seng dan Hok Ti
Hwesio sendiri terpaksa melangkah mundur menjauhi agar jangan sampai terkena
serangan asap beracun itu.
Goat Lan
adalah murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo Si Raja Obat, maka tentu saja ia
juga sudah mempelajari ilmu pengobatan, terutama sekali tentang racun yang
sering kali dipergunakan oleh kaum hek-to (jalan hitam, yaitu orang-orang
jahat). Begitu hidungnya mencium bau asap tembakau yang mulai melayang-layang
di ruangan itu, ia pun maklum bahwa kakek mewah dengan huncwe mautnya itu akan
ikut turun tangan pula, hendak mengandalkan huncwe dan asapnya yang lihai.
Cepat tangan
kirinya menancapkan bambu runcing yang kiri di ikat pinggang, menjaga diri
dengan bambu runcing kanan, lalu menggunakan tangan kirinya untuk merogoh saku
bajunya. Ia mengeluarkan dua butir buah yang putih warnanya, lalu menyerahkan
sebutir kepada Lili sambil berkata,
“Lili,
masukkan buah ini ke dalam mulut dan gigit! Jangan telan!”
Lili
menerima buah itu dan ketika dia menggigitnya, maka mulut dan hidungnya terasa
dingin dan pedas, akan tetapi tercium hawa yang sangat harum keluar dari mulut
serta hidungnya.
Pada saat
itu pula, Ban Sai Cinjin sudah melompat maju dan menyerbu dengan huncwe mautnya
sambil mengebulkan asap hitam dari mulutnya ke arah kedua orang gadis itu. Akan
tetapi, alangkah heran dan kagetnya pada waktu ia melihat Lili dan Goat Lan
tidak mengelak dan menerima asap itu tanpa terpengaruh sedikit pun! Ternyata
bahwa asap hitam itu sebelum dapat memasuki hidung atau mulut dua orang dara
pendekar ini, telah diusir kembali oleh hawa harum yang keluar dari mulut dan
hidung mereka!
Akan tetapi,
setelah Ban Sai Cinjin ikut menyerbu, sibuk jugalah Lili dan Goat Lan. Tadi
saat menghadapi dan mengeroyok Wi Kong Siansu, keadaan mereka baru dapat
disebut seimbang, tetapi masih saja mereka berdua merasa amat sukar untuk dapat
merobohkan Toat-beng Lo-mo yang memang sakti itu.
Kini,
ditambah Ban Sai Cinjin yang memiliki ilmu kepandaian tidak lebih rendah dari
pada tingkat mereka, tentu saja menimbulkan banyak kesukaran sehingga keduanya
terpaksa mengerahkan kepandaian pada penjagaan diri.
“Lili, mari
kita pergi, malam sudah lewat!” kata Goat Lan sambil memutar kedua bambu
runcingnya menghadapi pedang hitam Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu. Memang, saat
itu malam telah terganti pagi. Ayam-ayam hutan mulai berkokok nyaring,
burung-burung mulai berkicau.
“Ha-ha-ha,
nona-nona manis! Kalian baru boleh pergi setelah meninggalkan tubuh kalian yang
bagus di sini. Hanya nyawa kalian saja yang bisa pergi! Ha-ha-ha!” Ban Sai
Cinjin tertawa bergelak karena girangnya melihat betapa dia dan suheng-nya
dapat mendesak kedua nona lihai itu.
Sebenarnya,
pertempuran itu boleh dibilang amat ganjil. Wi Kong Siansu tetap dikeroyok dua
oleh Lili dan Goat Lan, ada pun Ban Sai Cinjin hanya membantu suheng-nya dengan
serangan-serangan curang kepada dua orang nona itu.
Lili dan
Goat Lan tidak dapat membalas kakek mewah ini karena mereka selalu harus
mencurahkan perhatian terhadap Toat-beng Lo-mo yang benar-benar sangat
berbahaya dan lihai. Kedua nona itu merasa serba sulit.
Kalau
seorang di antara mereka meningalkan Toai-beng Lo-mo untuk menghadapi Ban Sai
Cinjin, mungkin sekali dia akan dapat merobohkan Ban Sai Cinjin yang sudah
terluka pundaknya. Akan tetapi kawan yang ditinggalkan juga sangat berbahaya
kedudukannya dan mungkin tidak akan kuat menghadapi Toat-beng Lo-mo. Maka
mereka tetap saling bantu dan tidak mau meninggalkan kawan, selalu bersama-sama
menghadapi desakan Toat-beng Lo-mo dan Ban Sai Cinjin tanpa dapat membalas!
Sebetulnya,
biar pun hati nurani dan peri kemanusiaannya amat tipis, namun Toat-beng Lo-mo Wi
Kong Siansu masih mempunyai kegagahan dan keangkuhan, tidak mempunyai sifat
pengecut dan rendah seperti sute-nya. Mendengar ejekan sute-nya terhadap kedua
orang nona itu, ia merasa amat jengah dan malu.
Dua orang
kakek yang telah dikenal sebagai tokoh-tokoh besar persilatan dan yang telah
membuat nama besar di kalangan kang-ouw, sekarang menghadapi dua orang gadis
yang usianya baru belasan tahun dan telah bertempur dua ratus jurus belum juga
dapat mengalahkan mereka! Apa lagi kalau dia mengingat bahwa dua orang gadis
muda ini adalah anak dan murid-murid dari orang-orang sakti seperti Hok Peng
Taisu, Bu Pun Su dan Pendekar Bodoh, ia merasa gentar juga kalau harus
merobohkan atau menewaskan mereka ini.
Juga ada
sedikit rasa sayang dalam hatinya kalau harus menewaskan dua orang gadis muda
yang demikian cantik jelita, jenaka, dan memiliki ilmu kepandaian yang
sedemikian tingginya. Sebagai seorang ahli silat yang kawakan, tentu saja dia
selalu merasa sayang kepada orang-orang muda yang berbakat dan yang telah
mewarisi ilmu-ilmu silat tinggi.
Tiba-tiba
Lili dan Goat Lan yang sudah merasa sibuk dan mengambil keputusan untuk berlaku
nekad, merasa betapa desakan pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan melemah. Mereka
merasa heran sekali, akan tetapi tentu saja kedua orang gadis ini betapa pun
tabah dan beraninya, tidak sudi berlaku bodoh dan membunuh diri.
Cepat mereka
menggunakan kesempatan pada waktu pedang Hek-kwi-kiam mengendur dan mengecil
sinarnya. Mereka lalu berbareng melakukan penyerangan kepada Ban Sai Cinjin
yang amat nekad menyerang membabi buta.
Hampir saja
Ban Sai Cinjin menjadi korban pedang Lili kalau saja Toat-beng Lomo tidak
cepat-cepat menggerakkan pedangnya menangkis. Akan tetapi perubahan ini, yaitu
dari pihak terserang menjadi pihak penyerang, sudah memberi kesempatan kepada
Lili dan Goat Lan untuk cepat melompat keluar dari ruangan itu!
Ban Sai
Cinjin hendak mengejar akan tetapi suheng-nya mencegah. “Mereka sudah lari,
jangan dikejar, Sute. Kepandaian mereka tinggi dan tidak perlu pertempuran yang
sudah berlangsung setengah malam ini harus diperpanjang lagi.”
Karena
pundaknya juga terasa amat sakit, terpaksa Ban Sai Cinjin membatalkan niatnya.
Kalau suheng-nya tidak ikut mengejar, bagaimana ia dapat melawan kedua orang
gadis yang lihai itu? Ia menarik napas panjang dan berkata,
“Baru anak
dari Pendekar Bodoh dan seorang kawannya saja, dua orang gadis muda, sudah
membuat kita tak berdaya, apa lagi kalau Pendekar Bodoh sendiri beserta
kawan-kawannya datang menyerbu!”
Ucapan ini
sengaja dikeluarkan untuk mencela dan menegur suheng-nya, dan Toat-beng Lo-mo
Wi Kong Siansu juga merasa sindiran ini. Ia menghela napas ketika menjawab,
“Kau tahu
sendiri bahwa mereka adalah para murid orang-orang sakti. Akan tetapi hal itu
bukan berarti bahwa aku akan kalah atau takut kepada mereka, Sute. Yang
menjadikan pikiranku ruwet adalah pulangnya Ong Tek. Apa bila Pangeran Ong
mendengar bahwa puteranya hampir saja kau bunuh, bukankah ini berarti bahwa
kita sudah memancing permusuhan dengan para perwira kerajaan?”
“Aku tidak
takut, Suheng!” jawab Ban Sai Cinjin.
Toat-beng
Lo-mo tak menjawab, hanya menarik napas panjang. Perkara sudah menjadi semakin
besar dan ruwet, tak ada lain jalan melainkan bersiap sedia menghadapi segala
kemungkinan.
“Kam Seng,
mulai sekarang kau harus melatih diri baik-baik, karena kau pun maklum bahwa
pihak musuh-musuhmu ternyata terdiri dari orang-orang pandai.”
Pada siang
harinya, datanglah Bouw Hun Ti membawa tiga orang tua aneh dan besarlah hati Wi
Kong Siansu dan Ban Sai Cinjin melihat kedatangan tiga orang tua ini. Mereka
ini adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun), tiga orang
kakek aneh dan sakti yang sudah amat terkenal namanya di perbatasan Mancuria di
utara.
Baru melihat
keadaan tiga orang ini saja sudah sangat aneh. Yang seorang tinggi kurus
potongan tubuhnya seperti suling, sama besarnya dari kaki sampai ke kepalanya.
Orang kedua gemuk dengan muka lebar dan mulut besar, berjubah pendeta Buddha,
mulutnya lebar seperti terobek dari telinga ke telinga.
Orang ke
tiga lebih aneh lagi. Kalau orang tidak melihat mukanya, tentu akan menyangka
bahwa dia adalah seorang anak kecil. Dari pundak sampai ke kaki memang dia
persis seperti seorang anak berusia sepuluh tahun, akan tetapi kalau orang
melihat wajahnya, dia pasti akan terkejut dan heran. Mukanya adalah muka
seorang kakek tua berjenggot dan berkepala botak.
Sungguh pun
keadaan ketiga orang ini aneh sekali, namun ilmu kepandaian mereka amat
tersohor dan mereka terkenal sebagai orang-orang sakti.
Hailun
Thai-lek Sam-kui tadinya agak merasa segan untuk menuruti bujukan Bouw Hun Ti.
Akan tetapi saat mereka mendengar bahwa Ban Sai Cinjin dan Wi Kong Siansu agak
takut dan gelisah sehingga mengharapkan bantuan mereka untuk menghadapi Pendekar
Bodoh dan kawan-kawannya, ketiga orang Iblis Geledek ini menjadi amat tertarik.
Mereka lalu
ikut turun gunung dan tiba di tempat tinggal Ban Sai Cinjin. Dengan serta merta
Ban Sai Cinjin yang kaya raya lalu memberi perintah kepada Hok Ti Hwesio untuk mempersiapkan
hidangan-hidangah yang paling mewah dan lezat. Mereka lalu makan minum dengan
riangnya. Kegelisahan yang tadi terlupakan sudah oleh Ban Sai Cinjin. Bahkan Wi
Kong Siansu juga mulai merasa lega karena dia maklum akan kelihaian tiga orang
iblis itu.
Sementara
itu, setelah dapat melarikan diri dari kuil serta meninggalkan Ban Sai Cinjin
dan Toat-beng Lo-mo Wi Kong Siansu yang lihai itu, Lili lalu membawa Goat Lan
untuk mampir ke rumah penginapan dan mengambil buntalan pakaiannya. Kemudian,
pada pagi itu juga mereka lalu melarikan diri keluar dari dusun Tong-sin-bun.
“Ahh,
sungguh lihai tosu tua itu!” kata Goat Lan setelah mereka tiba di luar dusun.
Dia berhenti, kemudian memegang kedua tangan Lili. “Akan tetapi mengapa kau
bisa berada di dalam kuil itu, Lili? Dan apakah yang terjadi? Pertemuanku
dengan kau di tempat itu selain amat menggirangkan hati, juga amat mengejutkan
dan mengherankan!”
Lili
membalas pelukan Goat Lan dan berkata sambil tertawa. “Sebenarnya aku sedang
melakukan perjalanan untuk mengunjungi kau di Tiang-an.”
“Aihh, aneh
benar kau ini. Dari tempat tinggalmu ke Tiang-an, sama sekali tidak melewati
tempat ini. Apakah kau tersesat jalan?”
Lili
tersenyum lagi. “Goat Lan, berjanjilah dulu, bahwa kau takkan membuka rahasiaku
ini kepada orang lain. Juga tidak kepada ayah ibu, karena sebenarnya aku telah
mengambil jalan sendiri!”
“Rahasia
apakah?” Goat Lan bertanya heran.
“Sesungguhnya,
dari rumah aku berpamit untuk pergi ke Tiang-an dengan alasan sudah merasa
rindu padamu. Akan tetapi, diam-diam aku tidak menuju ke rumahmu, melainkan
membelok ke Tong-sin-bun untuk mencari musuh besarku, Bouw Hun Ti. Tentunya kau
sudah mendengar pula bahwa Bouw Hun Ti adalah murid dari Ban Sai Cinjin, maka
aku langsung menuju ke sana untuk mencarinya. Nah, jangan kau ceritakan hal ini
kepada ayah atau ibuku, karena mereka tentu akan marah besar. Memang ayah ibuku
benar, karena hampir saja aku mendapat celaka besar.”
Maka,
kemudian berceritalah Lili tentang pengalamannya, akan tetapi tentu saja ia
tidak menceritakan bahwa ketika dia tertawan, Kam Seng sudah mencium jidatnya!
Ia hanya memberitahukan kepada Goat Lan bahwa Kam Seng itu sesungguhnya adalah
putera dari Song Kun, suheng dari ayah Lili!
“Dan
bagaimana kau bisa kebetulan sekali datang pada malam hari tadi, Goat Lan?”
“Mari kita
mengaso dahulu di bawah pohon itu,” kata Goat Lan sambil menuju ke arah
sebatang pohon besar di pinggir jalan. “Ceritaku agak panjang karena memang
sudah lama kita tak saling jumpa. Mari kita duduk di sana dan mari kuceritakan
pengalamanku. Kau tentu akan tertarik mendengarnya. Karena ketahuilah bahwa aku
pernah bertemu dengan Bouw Hun Ti musuh besarmu itu!”
Mereka lalu
pergi dan duduk di bawah pohon yang rindang itu, dan berceritalah Goat Lan
dengan jelas, didengarkan oleh Lili dengan asyiknya.
***************
Memang sudah
terlalu lama kita meninggalkan Goat Lan dan sepatutnya kita menengok keadaannya
semenjak ia diambil murid Yok-ong Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Sebagaimana
telah dituturkan di bagian depan, Goat Lan dibawa oleh kedua suhu-nya ke Bukit
Liong-ki-san, yaitu sebuah bukit yang puncaknya tampak di sebelah selatan kota
Tiang-an. Dengan amat tekun dan rajinnya Goat Lan melatih diri di bawah
bimbingan Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu.
Selama
delapan tahun ia berlatih silat, juga ia mempelajari ilmu pengobatan dari
Yok-ong Sin Kong Tianglo. Kedua orang kakek ini merasa sangat gembira melihat
ketekunan dan kemajuan murid tunggal mereka dan menurunkan ilmu-ilmu silat yang
paling tinggi.
Goat Lan
tidak merasa kesepian oleh karena hampir sebulan sekali, ayah ibunya tentu
datang menengoknya, bahkan dia menerima pula latihan ilmu silat dari ayah
bundanya. Sebaliknya kedua orang suhu-nya pada waktu menganggur selalu bermain
catur dan dua orang kakek itu biar pun sudah sering kali mendapat petunjuk dari
Goat Lan, tetap saja masih amat bodoh dalam hal permainan catur! Agaknya memang
betul kata orang-orang dulu bahwa otak orang tua sudah menjadi keras dan
tumpul!
Tidak saja
Kwee An dan Ma Hoa sering kali berkunjung ke puncak Liong-ki-san, bahkan
beberapa kali Pendekar Bodoh Sie Cin Hai dan isterinya, yaitu Lin Lin, membawa
Lili naik ke gunung itu untuk mengunjungi. Oleh karena itulah, hubungan antara
Lili dan Goat Lan menjadi erat.
Delapan
tahun kemudian, Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu yang sudah merasa bahwa
kepandaian yang mereka ajarkan kepada Goat Lan sudah cukup, kedua orang kakek
yang kini telah berusia amat tua itu lalu kembali ke tempat tinggal masing-masing,
yaitu di daerah utara.
Goat Lan
kembali ke Tiang-an, melanjutkan pelajaran ilmu silatnya dari ayah bundanya
sehingga dia kini menjadi seorang gadis yang mempunyai ilmu kepandaian tinggi.
Kalau dibuat perbandingan, gadis muda ini mempunyai lebih banyak ilmu silat
yang tinggi-tinggi dari pada ibu atau ayahnya, maka tentu saja Kwee An dan Ma
Hoa menjadi amat bangga akan puteri tunggalnya ini.
Dua tahun
lamanya Goat Lan mempelajari ilmu pedang dari ayahnya, juga Ilmu Silat Bambu
Runcing dari ibunya. Seperti ibunya, ia dapat mainkan Ilmu Silat Bambu Runcing
ciptaan Hok Peng Taisu dengan amat baik dan bahkan berkat didikan Im-yang
Giok-cu ia memiliki lweekang yang amat hebat serta ginkang yang dilatihnya dari
Sin Kong Tianglo membuat gerakannya laksana seekor burung walet.
Pada suatu
hari, datanglah Im-yang Giok-cu yang membawa berita amat menyedihkan hati Goat
Lan dan orang tuanya. Ternyata bahwa Sin Kong Tianglo yang sudah amat tua itu
meninggal dunia di daerah utara.
“Sin Kong
Tianglo meninggalkan sebuah pesanan untukmu, Goat Lan,” berkata Im-yang Giok-cu
setelah kesedihan Goat Lan agak mereda. “Pada waktu ini, putera Kaisar yang
menjadi Putera Mahkota, menderita sakit hebat sekali. Menurut Sin Kong Tianglo,
obat satu-satunya yang dapat menyembuhkan penyakit pangeran itu hanyalah
To-hio-giok-ko (Daun Golok Buah Mutiara) yang terdapat di daerah bersalju
sebelah utara tapal batas. Dan karena mencari obat itulah maka ia menemui
kematiannya! Tubuhnya yang amat tua itu tidak kuat menahan dingin dan karena serangan
hawa dingin dan kelelahan, dia tewas di sana!”
“Mengapa dia
bersusah payah mencarikan obat untuk Putera Mahkota?” tanya Ma Hoa dengan
heran. Pertanyaan ini agaknya terkandung dalam pikiran Kwee An dan Goat Lan
pula karena mereka juga segera memandang kepada Im-yang Giok-cu untuk mendengar
bagaimana jawaban kakek itu.
Im-yang
Giok-cu menurunkan guci araknya dan sebelum menjawab dia meneguk dahulu
araknya.
“Memang Raja
Obat itu orangnya aneh sekali. Seperti juga aku tua bangka tiada guna, ia tidak
menaruh perhatian tentang keadaan Kaisar dan keluarganya. Akan tetapi, sebagai
seorang ahli pengobatan dia memiliki satu kelemahan, yaitu selalu ingin
menyembuhkan penyakit yang paling aneh. Selain dari pada itu, memang harus
diakui bahwa di antara para pangeran, maka Putera Mahkota boleh disebut seorang
pemuda yang paling baik, mempunyai sifat-sifat baik dan agaknya kalau dia
menjadi Kaisar kelak, dia akan menjadi seorang Raja yang bijaksana. Karena
itulah, maka banyak sekali ahli pengobatan yang mencoba untuk menyembuhkannya,
hanya untuk mencegah supaya jangan sampai ada pangeran lain yang
menggantikannya menjadi Putera Mahkota kalau dia meninggal.”
“Dan apakah
pesan mendiang Suhu untukku?” tanya Goat Lan kepada suhu-nya yang kedua ini.
“Dia
mengharuskan engkau untuk pergi ke utara mencari obat itu dan menyembuhkan
penyakit Putera Mahkota!” jawab Im-yang Giok-cu sambil meneguk araknya lagi.
Goat Lan
menerima berita ini dengan tenang saja, akan tetapi kedua orang tuanya saling
pandang dengan muka berubah. Mereka telah maklum akan berbahayanya perjalanan
ke daerah utara yang selain dingin juga banyak terdapat orang-orang buas dan
jahat.
“Mengapa
harus Goat Lan yang pergi mencari obat itu?” tanya Kwee An.
Dan Ma Hoa
menyambung dengan suara penasaran, “Apakah tidak bisa orang lain yang
mencarikannya?”
Im-yang
Giok-cu tertawa bergelak. “Tentu saja aku maklum dengan kekhawatiran kalian
berdua. Siapa orangnya yang akan membiarkan Goat Lan pergi seorang diri ke
tempat jauh itu? Akan tetapi Sin Kong Tianglo memang orang aneh!” Dia
mengangguk-angguk lalu menyambung, “Aneh dan gila!”
Bagi Goat
Lan, tidak aneh kalau Im-yang Giok-cu memaki gila kepada Sin Kong Tianglo,
karena memang dua orang suhu-nya ini sudah biasa saling memaki!
“Dan
susahnya, ini adalah pesannya, pesan orang yang hendak menghembuskan napas
terakhir. Pesan seorang yang sudah meninggal harus dilaksanakan dan dipenuhi,
kalau tidak, ahh... aku orang tua takkan dapat hidup tenang dan tenteram lagi.
Arwah Sin Kong Tianglo tentu akan menjadi setan dan mengejar-ngejarku ke
mana-mana. Pesannya ialah Giok Lan seorang, tak boleh orang lain, harus
melanjutkan usahanya untuk mencari obat To-hio-giok-ko itu dan menyembuhkan
penyakit Putera Mahkota.”
“Akan
tetapi,” Ma Hoa terus membantah, “kenapa mendiang Sin Kong Locianpwe begitu
mengkhawatirkan kesehatan Putera Mahkota dan tidak mempedulikan bahaya yang
bisa menimpa diri anakku? Apakah ini adil namanya? Atau, apakah dia tidak
sayang kepada muridnya?”
Im-yang
Giok-cu tertawa bergelak. “Belum kuceritakan yang lebih aneh lagi. Sebenarnya
Sin Kong Tiangto sendiri tidak berapa peduli apakah Putera Mahkota akan mati
atau pun hidup, akan tetapi sampai pada saat terakhir, orang tua yang berkepala
batu itu selalu hendak mempertahankan namanya! Ia memang angkuh dan menjaga
namanya sebagai Yok-ong (Raja Obat)! Ketahuilah, secara kebetulan Yok-ong Sin
Kong Tianglo tiba di kota raja dan dia bertemu dengan orang-orang kang-ouw ahli
pengobatan yang terkenal dari seluruh daerah. Tentu saja, tukang obat bertemu
ahli obat, mereka bicara asyik tentang hal pengobatan dan akhirnya mereka itu
berdebat ramai sekali. Semua tukang obat yang berada di kota raja menyatakan
bahwa di dunia ini tak ada obat lagi untuk penyakit yang diderita oleh Putera
Mahkota. Akan tetapi Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan bahwa ada obatnya! Dia
dibantah oleh banyak orang dan akhirnya semua orang minta buktinya. Kakek gila
itu menantang dan menyatakan kesanggupannya, bahwa ia akan memperoleh obat itu
dan menyembuhkan Putera Mahkota dengan taruhan bahwa kalau ia tidak bisa, ia
tidak mau memakai gelar Yok-ong (Raja Obat) lagi! Nah, celakanya, ketika dia
sedang mencari obat itu, dia terserang hawa dingin dan meninggal dunia. Masih
baik bahwa dia bertemu denganku dan aku sudah menawarkan tenagaku untuk
melanjutkan usahanya mencari obat itu, akan tetapi ia tidak mau menerima
tawaranku, katanya, harus muridku yang akan mencari obat dan menyembuhkan
penyakit Putera Mahkota. Biarlah muridku sendiri yang menolong namaku dari
hinaan orang, dan biar muridku yang membuktikan bahwa julukan Yok-ong bukanlah
sia-sia belaka!”
Kwee An, Ma
Hoa, dan Goat Lan mendengarkan penuturan ini dengan bengong. Tanpa diberitahu,
mereka bertiga maklum bahwa hal ini menyangkut nama baik dan kehormatan Sin Kong
Tianglo.
“Nah,
sekarang kalian tahu mengapa dia menghendaki Goat Lan seorang yang mencari obat
itu? Kakek gila itu takut kalau-kalau para ahli obat di dunia kang-ouw akan
mencela, mentertawainya, dan menghina julukannya sebagai Yok-ong! Dan aku tahu,
kalau terjadi hal demikian, maka nyawa Yok-ong itu tentu akan berkeliaran lalu
yang dijadikan sasaran terutama sekali adalah aku, karena akulah yang berjanji
padanya untuk menyampaikan hal ini kepada Goat Lan dan membujuknya agar supaya
suka berbakti kepadanya.”
“Baik, Suhu,
teecu akan pergi melanjutkan usaha Suhu Sin Kong Tianglo!” tiba-tiba Goat Lan
berkata dengan suara tetap.
Im-yang
Giok-cu tertawa bergelak lalu menenggak araknya lagi.
“Ha-ha-ha-ha,
sudah kuduga!” katanya dengan mata dikedip-kedipkan girang. “Bila tidak
demikian jawabanmu, kau tentu bukan murid Yok-ong dan aku!” Im-yang Giok-cu
lalu menuangkan semua sisa araknya ke dalam perut lalu berkata lagi dengan
wajah berseri,
“Goat Lan,
Sin Kong Tianglo telah berkata kepadaku bahwa bila kau mampu melanjutkan
usahanya serta mengangkat namanya sebagai Yok-ong, aku boleh memberikan barang
warisannya ini!” Ia lalu mengeluarkan sebuah bungkusan segi empat yang tipis
kepada muridnya.
Goat Lan
menerimanya dan dengan hati-hati ia membuka bungkusan kain kuning itu dan
ternyata bahwa di dalamnya terdapat sebuah kitab yang sudah usang dan kuning.
“Kitab obat
dari Suhu!” Goat Lan berseru dengan mata terbelalak.
Pernah
Yok-ong Sin Kong Tianglo menyatakan padanya bahwa di dunia ini banyak sekali
orang-orang pandai dan orang-orang jahat yang amat menginginkan kitab itu, akan
tetapi suhu-nya itu selalu menjaganya dengan baik-baik.
“Kitab ini
sangat berharga,” kata suhu-nya dahulu, “maka jangan harap orang lain dapat
mengambilnya dari aku. Aku lebih menghargai kitab ini dari pada nyawaku
sendiri! Dan kelak kalau aku mati kitab ini akan kubawa serta. Karena kalau
sampai terjatuh ke dalam tangan orang jahat, maka kitab ini akan mendatangkan
mala petaka hebat kepada dunia, walau pun di dalam tangan orang baik-baik benda
ini akan merupakan penolong manusia yang amat besar jasanya.”
Dengan
bengong Goat Lan memegang kitab itu dan Im-yang Giok-cu berkata lagi, “Aku
merasa berat sekali membawa-bawa kitab ini selama melakukan perjalanan ke sini,
oleh karena aku pun maklum akan keinginan orang-orang kang-ouw yang menghendaki
kitab ini. Di waktu kitab ini berada di tangan Sin Kong Tianglo, tidak ada yang
berani mencoba untuk merampasnya, akan tetapi sesudah orang tua itu meninggal
dunia, tentu mereka akan berusaha mendapatkan kitab ini. Oleh karena itu
hati-hatilah kau menjaga kitab ini, muridku. Dan satu hal lagi, apa bila kau
hendak mencari obat Tohio-giok-ko, hanya satu tempat yang terdapat daun dan
buah itu yaitu pada sepanjang lembah Sungai Sungari di sebelah selatan kota
Hailun. Nah, aku telah memenuhi semua tugasku. Selamat tinggal!” Setelah
berkata demikian, Im-yang Giok-cu lalu pergi dengan cepat tanpa dapat ditahan
lagi.
Kwee An dan
Ma Hoa kemudian saling pandang dengan mata masih mengandung penuh kekhawatiran.
Akhirnya Ma Hoa memegang tangan Goat Lan dan berkata,
“Goat Lan,
memang sudah seharusnya kau menjaga nama baik suhu-mu. Akan tetapi, kami tidak
tega untuk melepasmu pergi seorang diri begitu saja. Kita akan pergi bertiga.”
“Benar
kata-kata ibumu, Goat Lan, tempat itu amat jauh. Aku sendiri bersama Pendekar
Bodoh pernah melakukan perjalanan ke sana dan memang tempat itu amat
berbahaya.”
“Akan
tetapi, Suhu Sin Kong Tianglo telah memesan agar supaya aku pergi sendiri,
kalau sampai terdengar oleh orang kang-ouw bahwa sebagai murid Sin Kong Tianglo
aku telah mengandalkan kepandaian Ayah dan lbu untuk mendapatkan obat itu,
bukankah nama Suhu akan ditertawakan orang?”
“Peduli
apakah kalau mereka mentertawakan di belakang punggung kita?” kata Ma Hoa.
“Coba suruh mereka tertawa di depan mukaku, tentu tertawanya itu akan menjadi
tawa terakhir dalam hidupnya!”
“Akan tetapi
aku ingin pergi seorang diri, Ibu. Apa bila Ayah dan Ibu turut membantuku, maka
aku akan merasa seolah-olah aku telah menyalahi pesan terakhir dari pada Suhu.
Hanya kitab ini...” Ia memandang kepada kitab itu dengan penuh khidmat, “aku
tak berani membawa-bawanya pergi merantau. Lebih baik ditinggal di sini saja
dalam perlindungan Ayah dan Ibu.”
“Goat Lan,
jangan kau berkata demikian,” ayahnya menegur. “Kalau kau pergi merantau
seorang diri, kau tentu akan membikin ibumu selalu merasa gelisah dan
berkhawatir. Apa kau senang melihat ibumu selalu dirundung kegelisahan
memikirkan keadaanmu?”
Goat Lan
menengok pada ibunya yang juga sedang memandangnya. Melihat sinar mata ibunya
yang penuh kasih sayang dan wajah yang cantik itu kini menjadi murung, Goat Lan
lalu tersenyum dan memeluk ibunya.
“Ahh, Ayah!
Kau jangan merendahkan Ibu! Ibu kan bukan anak kecil lagi dan Ibu sudah menaruh
kepercayaan sepenuhnya padaku. Bukankah begitu, Ibu? Semenjak kecil, Ayah dan
Ibu sudah mendidik dan memberi pelajaran ilmu silat dan kepandaian untuk
menjaga diri padaku. Bahkan delapan tahun lamanya dua orang suhu-ku telah
menggemblengku untuk meyakinkan ilmu silat tinggi, kemudian Ayah dan Ibu
memberi tambahan lagi ilmu kepandaian yang kupelajari dengan rajin. Selama
bertahun-tahun itu aku selalu tekun, rajin dan dengan susah payah belajar ilmu
silat. Apa bila sekarang melakukan perjalanan sebegitu saja aku harus mundur
dan takut, apa perlunya selama ini aku mempelajari ilmu silat? Bukankah hal itu
hanya akan merendahkan nama kedua orang suhu-ku, bahkan akan mendatangkan rasa
malu kepada Ayah dan Ibu? Aku sudah mempelajari ilmu silat, jika sekarang tidak
dipergunakan, habis apakah kepandaian itu harus kukeram di dalam kamar,
menyulam, membaca buku, mempelajari tulisan-tulisan indah dan sajak, sehingga
kepandaian silat itu akan membusuk dan kemudian terlupa olehku?”
Selama
puteri mereka ini berbicara, Kwee An dan Ma Hoa bertukar pandang dan mata
mereka bersinar gembira. Girang hati mereka mendengar semangat yang gagah ini
dan lenyaplah keraguan mereka. Tanpa mereka lihat perubahannya, ternyata Goat
Lan kini telah menjadi dewasa. Hanya orang yang sudah dewasa saja dapat
memiliki pendirian seperti itu.

Sesudah
memberi nasehat-nasehat serta petunjuk-petunjuk yang sangat perlu diketahui
seorang perantau, akhirnya keduanya menyetujui keberangkatan Goat Lan
“Hanya satu
hal yang harus kau janjikan,” kata Ma Hoa, “yaitu kau tidak boleh pergi lebih
lama dari enam bulan.”
“Baik, Ibu,
aku berjanji. Menurut perhitungan Ayah, perjalanan ke situ pulang pergi hanya
makan waktu dua bulan, maka waktu enam bulan sudah cukup bagiku.”
“Bukan
karena aku ingin memberi batas waktu yang terlalu sempit dan mengikat, anakku,
hanya kau harus ingat bahwa usiamu telah masuk sembilan belas tahun dan
perjanjian kita terhadap keluarga Sie sudah dekat waktunya.”
Tiba-tiba
saja wajah Goat Lan menjadi merah sekali. Dia memang tahu bahwa dia telah
dipertunangkan dengan Sie Hong Beng, kakak dari Lili, putera dari Pendekar
Bodoh yang tidak diketahui bagaimana rupanya. Ia hanya satu kali bertemu dengan
Sie Hong Beng, yaitu ketika ia masih berusia lima tahun! Semenjak itu, belum
pernah ia bertemu lagi dan ia sudah lupa akan rupa pemuda yang kini menjadi
caIon suaminya itu.
Memang, jika
ia ingat bahwa pemuda itu adalah kakak Lili yang cantik manis dan putera dari
Pendekar Bodoh yang amat terkenal sebagai suami isteri pendekar yang gagah dan
dikasih sayangi oleh ayah ibunya, dia boleh merasa puas akan ikatan jodoh ini.
Namun betapa pun juga, sungguh pun mulutnya tidak pernah berkata sesuatu, akan
tetapi ada perasaan kurang enak dalam lubuk hati. Ia belum melihat bagaimana
keadaan pemuda tunangannya itu, bagaimana macam orangnya dan bagaimana pula
kepandaiannya.
Goat Lan
berangkat ke utara sambil membawa pesan dan nasehat kedua orang tuanya. Ia
masih ingat betapa ayah ibunya beberapa kali berpesan kepadanya bahwa apa bila
ia bertemu dengan seorang yang bernama Bouw Hun Ti, ia diperbolehkan menyerang
dan membinasakan orang itu tanpa perlu ragu-ragu lagi.
“Dia adalah
pembunuh Paman Yousuf dan dulu telah menculik Lili, maka berarti bahwa dia
adalah musuh besar kita pula. Menurut penuturan Pendekar Bodoh, penjahat yang
bernama Bouw Hun Ti itu kepandaiannya tak perlu ditakutkan, akan tetapi kau
berhati-hatilah Goat Lan, karena dia adalah murid dari Ban Sai Cinjin yang
terkenal amat jahat dan curang.”
Bagaikan
seekor burung terlepas dari kurungan, Goat Lan melakukan perjalanan dengan amat
gembira. Baru kali ini ia melakukan perantauan dan melakukan segala sesuatu
atas keputusan sendiri. Selama ini selalu ada orang-orang yang menjaganya,
suhu-suhu-nya, ayah ibunya, dan baru sekarang ia merasa betapa besar kegunaan
segala pelajaran ilmu silat yang dipelajarinya selama bertahun-tahun itu.
Dia tidak
membekal senjata lain kecuali sepasang bambu runcingnya, dan karena ayah
bundanya juga maklum akan kemampuannya menjaga diri dengan tangan kosong atau
dengan bambu runcing itu, maka mereka melepaskan dengan hati aman.
Tepat
seperti yang sudah diperhitungkan oleh Kwee An, kurang lebih sebulan kemudian
sesudah melakukan perjalanan cepat dan lancar, Goat Lan tiba di lembah sungai
Sungari di perbatasan Boancu. Dia lalu berjalan di sepanjang sungai itu dan
ketika dia sampai di sebelah selatan kota Hailun, ternyata bahwa lembah itu
tertutup oleh hutan yang sangat liar dan gelap.
Hari sudah
menjadi senja ketika dia tiba di sebuah dusun di luar hutan. Melihat ke arah
hutan yang sangat gelap sehingga membuat tempat itu nampak hampir hitam, Goat
Lan terpaksa menunda perjalanannya. Dia merasa lapar setelah melakukan
perjalanan sehari lamanya, akan tetapi walau pun asap gurih dan sedap yang
keluar dari sebuah rumah makan kecil membuat hidungnya berkembang kempis dan
perutnya menggeliat-geliat, ia dapat menahan seleranya dan lebih dulu mencari
tempat penginapan.
Namun ia
kecewa karena ternyata bahwa di dusun itu tidak terdapat rumah penginapan.
Satu-satunya rumah penginapan kecil yang masih ada papan namanya, sudah
ditutup. Heranlah Goat Lan melihat keadaan ini dan dia bertanya kepada seorang
kakek petani yang memandangnya dari pintu rumahnya.
“Lopek, aku
adalah seorang pelancong yang membutuhkan tempat penginapan. Di mana kiranya
terdapat rumah penginapan di dusun ini?”
Kakek itu
memandang kepadanya dengan penuh perhatian dan sepasang matanya yang keriput
dan sipit itu membayangkan kecurigaan besar, tapi melihat bahwa yang bertanya
kepadanya adalah seorang gadis muda cantik dan halus tutur sapanya,
kecurigaannya berubah menjadi keheranan besar.
“Nona,
mendengar bicaramu, kau tentulah datang dari selatan. Mengapa kau tersasar
sampai sejauh ini? Kau lihat sendiri, di dusun ini hanya sebagian saja dari
penduduknya adalah orang-orang Han, sebagian besar adalah penduduk dari suku
bangsa lain. Kau hendak pergi ke manakah?”
Memang
benar, sejak tadi agak sukar bagi Goat Lan untuk bertanya keterangan sesuatu,
karena di mana-mana dia melihat orang-orang yang amat berlainan dengan
orang-orang Han, baik bentuk muka mau pun keadaan pakaiannya. Sungguh pun
jawaban kakek ini tidak pada tempatnya, yaitu menjawab dengan sebuah pertanyaan
pula, akan tetapi Goat Lan tetap bersabar dan tersenyum ramah.
“Tidak salah
dugaanmu, Lopek. Aku memang datang dari selatan dan seperti yang telah
kukatakan tadi, aku adalah seorang pelancong.”
“Sebagai
seorang pelancong, kau benar-benar sudah memilih tempat yang aneh. Hawa begini
dingin, tidak ada pemandangan indah di sini, banyak penyakit merajalela.”
Ia memandang
pada pakaian Goat Lan yang tidak tebal dan kepada wajah serta tangan gadis itu
yang telanjang tidak tertutup sesuatu, dan makin heranlah hatinya. Bagaimana
mungkin seorang gadis cantik jelita dan muda seperti ini mampu menahan dingin
yang menggoroti kulit?
Pada waktu
itu, bulan kedua baru tiba dan keadaan sedang dingin-dinginnya. Bagi kakek itu
sendiri biar pun telah puluhan tahun ia tinggal di daerah dingin ini, namun
tetap saja pada waktu seperti itu, tanpa perlindungan pakaian dari kulit domba,
ia takkan tahan dan dan kulit tubuhnya akan pecah-pecah.
“Nona,
selanjutnya kau hendak ke manakah?” tanyanya kemudian.
“Aku ingin
bermalam di dusun ini untuk satu malam saja dan besok pagi-pagi aku akan
melanjutkan perjalanan ke sana!” Goat Lan menudingkan telunjuknya ke arah hutan
yang kini sudah menjadi hitam karena diselimuti oleh malam yang mulai
mendatang.
Tiba-tiba
kakek itu nampak gugup dan pucat.
“Jangan,
Nona...! Jangan kau pergi ke sana. Dengarlah kata-kata orang tua seperti aku.
Hidupku tidak akan lama lagi dan aku ingin mencegah seorang muda seperti engkau
dari kesengsaraan, jangan kau memasuki tempat itu kalau kau sayang kepada
nyawamu!”
Goat Lan
sangat terkejut, akan tetapi hatinya yang tabah membuat ia tetap tenang. Ia
memandang kepada kakek itu dengan tajam dan ketika kakek itu balas memandang
dan sinar mata mereka bertemu, kakek itu menjadi makin pucat dan dia melangkah
mundur dua langkah.
“Kau… matamu
sama benar dengan matanya… kau...”
“Ehh, ada
apakah Lopek? Aku seorang manusia biasa, seorang pelancong yang sedang
membutuhkan tempat penginapan untuk beristirahat malam ini. Jangan kau bicara
yang aneh-aneh Lopek. Dapatkah kau menolongku dan memberitahukan di mana aku
dapat bermalam? Kalau tidak mau, tidak apalah, aku bisa mencari keterangan dan
minta tolong kepada orang lain.”
Ucapan ini
agaknya menyadarkan kakek itu kembali.
“Kau... kau
bukan orang jahat?”
Goat Lan
merasa dongkol, akan tetapi terpaksa dia tersenyum juga. Melihat pandangan mata
dan wajah kakek itu, ia maklum bahwa sikap yang aneh ini timbul dari rasa takut
yang hebat dari orang tua ini.
“Tiada
gunanya aku menjawab pertanyaanmu ini, Lopek. Siapakah orangnya di dunia ini
yang suka mengaku bahwa ia adalah orang jahat? Tentu saja seperti orang lain di
dunia ini, aku akan menjawab bahwa aku bukan orang jahat, akan tetapi meski pun
kau dapat mendengar jawaban mulutku, bagaimana kau akan dapat mengetahui
keadaanku yang sebenarnya?”
Jawaban ini
benar-benar membuat kakek itu tercengang.
“Nona, kau
masih amat muda akan tetapi sudah dapat bicara seperti itu. Terang bahwa kau
bukan orang jahat. Mari, silakan masuk, akan kuceritakan kenapa aku mencegahmu
memasuki tempat berbahaya itu.”
Akan tetapi
Goat Lan menggelengkan kepalanya. “Aku datang untuk mencari tempat penginapan
Lopek, bukan untuk mendengar cerita tentang tempat berbahaya.”
Dia
mengangguk dan hendak pergi meninggalkan kakek itu. Akan tetapi orang tua itu
melangkah maju dan berkata,
“Nona, apa
bila aku sudah mempersilakan kau masuk ke dalam gubukku, itu berarti aku
menawarkan tempat ini untuk kau tinggal malam ini. Tentu saja kalau kau sudi
tinggal di rumah yang buruk dan kecil ini. Dan aku berani menawarkan rumahku,
oleh karena aku maklum bahwa di dalam dusun ini kau tak akan dapat menemukan
rumah penginapan. Nah, sudikah kau?”
Melihat
sikap yang sungguh-sungguh dari kakek itu dan melihat pandang matanya yang
jujur, Goat Lan terpaksa melangkah masuk dan sambil tersenyum dia menyatakan
terima kasihnya. Di luar dugaannya semula, walau pun rumah itu dari luar nampak
amat buruk dan di dalamnya juga sangat sederhana, namun benar-benar bersih dan
menyenangkan.
Sebuah lampu
terletak menyala di atas meja kayu yang sederhana bentuknya akan tetapi yang
sering kali bertemu dengan kain pembersih. Di kanan kiri meja itu terdapat dua
buah bangku kayu yang sederhana pula. Dari ruang depan yang kecil ini nampak
dua buah pintu kamar di kanan kiri yang tertutup oleh muili (tirai pintu) yang
berwarna kuning dan cukup bersih sungguh pun sudah ada beberapa tambalan di
sana sini.
Kakek itu
mempersilakan Goat Lan mengambil tempat duduk di atas bangku. Lalu dia sendiri
mengeluarkan sebotol arak dan dua cawan kosong dari peti besi yang berdiri di
sudut.
“Aku orang
miskin, Nona, seperti sebagian besar orang yang tinggal di sini.”
“Kau
maksudkan, seperti sebagian besar manusia di dunia ini,” menyambung Goat Lan.
“Kemiskinan bukanlah hal yang menyusahkan hati, Lopek.”
Kembali
kakek itu tercengang dan wajahnya berseri. “Mendengar ucapanmu, hampir aku
percaya bahwa kau adalah seorang gadis petani yang sederhana dan bijaksana.
Akan tetapi tidak mungkin seorang gadis petani mempunyai wajah seperti kau dan
pakaianmu pula. Ahhh, kau tentulah seorang gadis bangsawan yang kaya raya.”
Sebelum Goat Lan membantah kakek itu telah menaruh botol arak di atas meja,
lalu cepat berkata lagi. “Kau tentu belum makan, Nona? Tunggulah, biar aku
masak bubur untukmu.”
Goat Lan
cepat mencegah dan segera dia mengeluarkan sepotong uang perak. “Jangan
repot-repot, Lopek. Memang aku lapar dan belum makan semenjak pagi tadi, akan
tetapi kalau kau suka, tolonglah belikan nasi dan sedikit masakan dengan uang
ini.”
Kakek itu
memandang ke arah uang perak di atas meja dan tersenyum pahit, kemudian dia
mengambil uang itu dan tanpa banyak cakap lagi dia lalu bertindak keluar.
“Lopek,
jangan lupa, beli untuk dua orang. Aku tidak mau makan sendiri saja!” Goat Lan
berseru kepada kakek itu yang hanya menjawab dengan anggukan kepala.
Goat Lan
yang sudah banyak menerima banyak pesan dari ayah bundanya agar supaya berlaku
hati-hati, setelah kakek itu keluar, cepat dia mengadakan pemeriksaan di dalam
rumah itu. Disingkapnya tirai pintu kamar dan dilongoknya ke dalam.
Kamar tidur
biasa saja dan amat sederhana. Demikian pula kamar tidur ke dua. Rumah ini
benar-benar kosong, tidak ada orang lain dan agaknya menjadi tempat tinggal
dari dua orang, melihat adanya dua buah kamar tidur itu.
Ia lalu
membuka tutup botol arak dan mencicipi sedikit. Arak biasa saja, arak merah
yang sudah dicampur dengan air. Ia lalu duduk lagi dengan lega. Tidak dapat
diragukan lagi bahwa kakek itu adalah seorang petani miskin yang sederhana dan
jujur. Kalau memang di dusun ini tidak ada rumah penginapan, tidak ada tempat
yang lebih aman dan baik dari pada rumah Pak Tani ini.
Goat Lan
menurunkan buntalan pakaian dari pundaknya dan meletakkan buntalan itu di atas
meja, kemudian ia duduk melonjorkan kedua kakinya yang penat. Kakek yang aneh,
pikirnya, mengapa ia begitu takut kepada hutan itu?
Tak lama
kemudian kakek itu datang membawa makanan. Tanpa banyak cakap mereka berdua
lalu makan bersama bagaikan keluarga serumah. Entah mengapa, duduk makan
bersama kakek di dalam rumah sederhana itu membuat Goat Lan teringat kepada
ayah bundanya! Sesudah selesai makan, barulah Goat Lan bertanya mengapa kakek
itu tadi melarangnya memasuki hutan liar itu.
Sebelum
menjawab, kakek itu mengusap perutnya dan berkata, “Ah, alangkah nikmatnya
makan masakan mahal itu. Sudah bertahun-tahun tidak merasai makanan sesedap
itu.”
Goat Lan
tersenyum dan hatinya gembira karena sedikit uangnya dapat mendatangkan
kenikmatan kepada kakek yang ramah tamah ini. “Kalau setiap hari kau masak
masakan seperti ini, akan lenyaplah kelezatannya, Lopek.”
“Kau benar!”
kakek itu berseru gembira. “Kau mengingatkan aku akan dongeng tentang raja yang
sudah bosan dengan semua kemewahan dan makanan enak yang setiap hari
dihadapinya hingga dia tidak doyan lagi semua makanan-makanan lezat dan mahal
yang dihadapinya dan ingin ia menjadi seorang petani yang dapat makan hidangan
sederhana dengan lahapnya. Dia tidak tahu sama sekali betapa sambil makan
hidangannya yang miskin, petani itu pun merindukan makanan lezat yang dihadap
raja. Ha-ha-ha!”
Goat Lan
mengangguk. “Demikianlah jika nafsu angkara mempermainkan hati manusia, Lopek.
Selalu bosan akan keadaan diri sendiri dan selalu ingin menjangkau apa yang
tidak dimilikinya.”
“Kau pintar
sekali! Ha-ha-ha, kau sungguh mengagumkan, Nona.”
“Lopek, kau
belum menjawab pertanyaanku tadi. Mengapakah kau nampak begitu takut kepada
hutan itu dan mengapa pula kau mencegahku memasukinya?”
Tiba-tiba
lenyaplah kegembiraan pada wajah kakek itu. Ia menghela napas beberapa kali
lalu menceritakan dengan suara perlahan.
“Hutan itu
memang semenjak dahulu sangat liar. Selain banyak terdapat binatang buas,
terutama sekali ular-ular berbisa, juga belum lama ini di dalam hutan itu
muncul seorang siluman yang sangat mengerikan! Dahulu di dalam hutan itu
terdapat satu gerombolan perampok yang mempergunakan hutan itu sebagai asrama,
akan tetapi begitu siluman itu muncul, pada suatu pagi tahu-tahu para perampok
yang jumlahnya tiga puluh orang lebih itu telah menggeletak di luar hutan dalam
keadaan luka-luka hebat dan bertumpuk-tumpuk! Dan menurut cerita mereka,
katanya pada malam hari itu mereka diserang oleh seorang siluman wanita yang
mengerikan! Semenjak saat itulah tidak ada perampok lagi yang mengganggu
sekitar daerah ini, akan tetapi juga tidak ada seorang pun manusia berani
memasuki hutan yang mengerikan itu.”
Goat Lan
merasa amat tertarik mendengar cerita ini. “Benar-benar tak pernah ada orang
yang berani memasuki hutan itu, Lopek?” dia bertanya.
Orang tua
itu mengerutkan keningnya.
“Semenjak
saat itu memang tak pernah ada manusia yang lewat di sini dan terus menuju ke
hutan. Kukatakan manusia, karena tentu saja yang berani memasuki hutan itu
hanya iblis-iblis dan siluman-siluman, bukan manusia biasa seperti yang kulihat
kemarin.” Kakek itu nampak takut-takut dan merasa ngeri ketika ia memandang ke
arah pintu depan yang terbuka dan nampak hitam kelam di luar.
“Apa
maksudmu, Lopek? Apakah ada iblis dan siluman yang kau lihat memasuki hutan
itu?” ketika mengajukan pertanyaan ini, biar pun Goat Lan seorang dara perkasa
yang tak kenal takut, namun kini dia merasa betapa bulu tengkuknya meremang!
“Betul,
memang mereka bukan manusia!” Kakek itu mengangguk dan berkata sambil berbisik,
“Aku melihat ada empat bayangan yang seperti sosok bayangan manusia, akan
tetapi luar biasa anehnya. Baru cara mereka berjalan saja sudah aneh, begitu
cepatnya seperti terbang! Memang, kurasa mereka itu berjalan tidak menginjak
bumi seperti biasa iblis berjalan, melayang-layang satu kaki di atas tanah! Dan
bentuk tubuh mereka juga sungguh ganjil! Yang tinggi berkepala kecil, yang
pendek berkepala besar. Huh, sungguh menyeramkan!”
“Berapa
orangkah semuanya, Lopek?”
“Ada empat!
Yang seorang seperti manusia biasa, akan tetapi yang tiga orang, ahh, aku masih
menggigil ketakutan kalau teringat akan mereka! Maka, sekali lagi aku minta
agar kau membatalkan niatmu memasuki hutan itu, Nona. Apa bila kau hendak
melakukan perjalanan, jangan sekali-kali berani memasuki hutan yang penuh
siluman dan binatang buas itu.”
Goat Lan
tersenyum. “Percayalah, Lopek, mendengar ceritamu ini, aku pun merasa takut dan
ngeri. Akan tetapi, tentang memasuki hutan, aku tak akan mundur. Besok
pagi-pagi aku tetap akan melanjutkan perjalananku memasuki hutan itu, dan apa
bila seperti yang kau katakan tadi…”
“Apa yang
hendak kau lakukan? Apa dayamu terhadap siluman-siluman yang pandai terbang
melayang? Nona, jangan kau mencari penyakit!”
Goat Lan
tersenyum lagi. “Kalau bertemu dengan mereka, akan kusampaikan salamku kepada
mereka, Lopek.”
Kakek itu
melengak dan memandang kepada dara perkasa itu dengan mata terbelalak. “Nona,
jangan kau main-main! Tiga puluh lebih perampok yang gagah perkasa dan kuat
roboh luka-luka tak berdaya menghadapi seorang siluman wanita dari hutan itu.
Apa lagi Nona hanya gadis muda, dan kini dalam hutan itu terdapat sekian banyak
siluman!”
Goat Lan
tidak menyembunyikan senyumannya. “Lopek, jangan kau khawatir. Sebetulnya aku
pernah mempelajari ilmu kepandaian dan tahu cara bagaimana harus menghadapi dan
mengalahkan siluman-siluman!”
Tiba-tiba
gadis itu memandang ke arah pintu dan alangkah kagetnya hati kakek itu ketika
melihat gadis itu sekali berkelebat telah lenyap dari hadapannya dan terdengar
seruan gadis itu dari luar pintu. “Siluman dari mana berani mengintai rumah
orang?”
Terdengar
suara angin di luar pintu dan ketika kakek itu memburu keluar, dia melihat dua
bayangan orang berkelebat seperti sedang bertempur! Tidak lama kemudian
terdengar seruan seorang laki-laki yang suaranya parau,
”Aduhh...!”
Dan terlihat
olehnya betapa bayangan yang berseru kesakitan itu berlari cepat ke arah hutan!
Ketika kakek itu masih memandang dengan tubuh menggigil dan muka pucat, ia
melihat bayangan ke dua, melompat ke hadapannya dan ternyata bahwa bayangan ini
adalah bayangan gadis yang tadi duduk berhadapan dengan dia.
“Jangan
takut, Lopek. Siluman tadi telah pergi.” Ia lalu memegang lengan kakek itu dan
dibawanya masuk ke dalam pondok.
Kedua mata
kakek itu hampir keluar dari rongganya ketika ia memandang kepada Goat Lan
dengan mata terbelalak. Sukar sekali dapat dipercaya betapa seorang gadis
cantik jelita dan jenaka seperti ini benar-benar sanggup mengusir pergi seorang
siluman jahat! Kemudian di dalam benaknya yang sudah banyak dipengaruhi cerita
tahyul itu timbullah sangkaan bahwa gadis ini tentulah seorang bidadari, bukan
seorang manusia biasa. Dia lalu menjatuhkan diri berlutut di depan Goat Lan dan
berkata,
“Niang-niang
(sebutan untuk bidadari atau dewi), mohon maaf sebesarnya bahwa hamba tadi
sudah berani berlaku kurang ajar dan kurang menghormat. Harap Niang-niang sudi
mengampunkan dosa hamba tadi...”
Hampir saja
Goat Lan tertawa bergelak-gelak ketika menyaksikan tingkah laku orang tua ini.
Ia merasa geli sekali dan dengan agak kasar ia membetot tangan kakek itu supaya
bangun dan berdiri kembali.
“Lopek,
apakah kau mengajak aku bermain sandiwara? Jangan menyangka yang bukan-bukan
Lopek, dan marilah kita mengaso. Aku perlu beristirahat untuk menghadapi hari
esok.”
Dia kemudian
memasuki sebuah di antara dua kamar itu dan merebahkan diri di atas pembaringan
tanpa membuka pakaian dan sepatu. Kakek itu setelah berkali-kali menarik napas
panjang saking heran dan kagum, lalu menutup pintu dan buru-buru memasuki kamar
ke dua.
Akan tetapi
bagaimana dia dapat tidur? Pikirannya penuh dengan siluman-siluman dan dewi
yang gagah perkasa itu, dan diam-diam dia merasa girang sekali bahwa dia telah
mendapat kehormatan besar menjadi tuan rumah dari seorang bidadari atau dewi.
Dia akan menceritakan hal ini kepada semua tetangga, dan dia akan menjadikan
peristiwa ini sebagai kebanggaannya seumur hidup.
Akan tetapi,
bukan main kagetnya ketika pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali dia
mendengar suara. “Lopek, selamat tinggal dan terima kasih!”
Ketika ia
melompat bangun dan keluar dari kamarnya, ternyata tamunya yang cantik dan aneh
itu sudah pergi dan tidak berada di dalam kamar lagi. Di atas mejanya terdapat
tiga potong uang perak yang cukup besar!
Kembali
kakek itu menjatuhkan diri berlutut dan mulutnya berkemak-kemik seperti laku
seorang dukun meminta berkah dari Penghuni Langit!
Goat Lan
memang meninggalkan rumah itu secara diam-diam dan di waktu hari masih pagi
sekali, karena ia merasa tidak enak melihat sikap kakek yang berlebih-lebihan
dan yang amat tahyul itu.
Malam tadi,
dia sudah merasa heran sekali ketika melihat benar-benar ada orang yang
mengintai rumah kakek itu. Lebih-lebih herannya ketika ia menyerbu keluar, ia
disambut oleh seorang laki-laki setengah tua yang berkepandaian tinggi!
Begitu
keluar pintu karena melihat berkelebatnya bayangan yang mengintai, dia segera
mengulur tangan hendak menangkap pundak orang itu dengan gerakan dari
Gin-na-hwat (ilmu silat yang mempergunakan tangkapan dan cengkeraman). Akan
tetapi ketika lelaki itu menangkis, Goat Lan merasa betapa tangkisan itu berat
dan kuat sekali mengandung tenaga lweekang yang tak boleh dibuat gegabah!
Ia maklum
bahwa ‘siluman’ ini adalah seorang ahli silat yang berkepandaian tinggi, maka
cepat dia lalu mengeluarkan Ilmu Silat Im-yang Kun-hoat dan menyerang hebat.
Sampai beberapa belas jurus orang itu dapat mempertahankan diri, akan tetapi
akhirnya sebuah totokan jari tangan Goat Lan pada pundaknya membuat dia berseru
kesakitan dan cepat melarikan diri ke arah hutan!
Hal inilah
yang membuat Goat Lan mendapat kesimpulan bahwa di dalam hutan itu tentu
terdapat orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian silat tinggi. Dia masih
belum dapat menetapkan apakah orang-orang itu termasuk golongan orang jahat
atau orang gagah yang menyembunyikan diri dari dunia ramai.
Orang yang
malam tadi bertempur dengan dia adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi
sehingga totokannya tak membuatnya roboh, hanya berseru kesakitan akan tetapi
masih dapat melarikan diri. Kalau saja ia tidak mempunyai keperluan untuk
mencari obat To-hio-giok-ko yang berada di lembah sungai dalam hutan itu, tentu
dia juga tidak mau memasuki hutan dan mencari penyakit atau perkara dengan
orang-orang yang dianggap siluman oleh kakek itu.
Dengan
waspada dan hati-hati sekali Goat Lan berjalan memasuki hutan itu, lalu mencari
sungai yang mengalir di hutan. Hutan ini sungguh liar dan penuh dengan
pohon-pohon besar, penuh pula dengan semak-semak belukar yang tampaknya belum
pernah dijamah oleh tangan manusia.
Pada waktu
dia sampai di pinggir sungai yang ditumbuhi rumput-rumput hijau, tiba-tiba ia
mendengar suara gerakan di antara semak-semak. Dia cepat memandang sambil
segera menghentikan langkah kakinya, akan tetapi ia tidak melihat sesuatu yang
mencurigakan.
Ah, tentu
seekor binatang yang lari bersembunyi, pikirnya. Dengan tenang dan tabah dia
melanjutkan perjalanannya di sepanjang Sungai Sungari yang lebar dan jernih
airnya, terus menuju ke utara. Matanya mencari-cari ke kanan kiri, melihat
rumput-rumput yang tumbuh di situ.
Beberapa
kali ia seperti mendengar suara tindakan orang yang mengikutinya, akan tetapi
setiap kali dia menengok, dia tidak melihat bayangan seorang pun. Diam-diam ia
merasa ngeri juga. Benarkah dongeng kakek itu bahwa di dalam hutan ini terdapat
banyak setan dan siluman?
Ia seperti
mendengar tindakan kaki orang yang ringan sekali dan kalau memang yang berjalan
itu seorang manusia, ia tentu akan dapat melihatnya. Sampai tiga kali ia merasa
seperti mendengar orang berjalan, akan tetapi betapa pun cepatnya dia menengok
ke belakang, ia tak pernah melihat sesuatu, kecuali daun-daun pohon yang
bergerak tertiup angin atau seekor burung yang terbang sambil mengeluarkan
seruan kaget.
Ahh, peduli
apa dengan siluman mau pun orang? Asal saja dia tidak menggangguku, pikirnya.
Dia lalu melanjutkan usahanya mencari daun dan buah obat itu. Akan tetapi
sampai matahari naik tinggi, belum juga dia mendapatkan Daun Golok Buah
Mutiara.
Banyak
terdapat bermacam-macam pohon di tempat itu, akan tetapi tiada yang berdaun
seperti golok dan berbuah seperti mutiara. Goat Lan adalah seorang gadis muda
yang lincah dan jenaka, maka ia mulai merasa tipis harapannya. Ia kurang sabar
dan akhirnya ia pun duduk beristirahat di bawah pohon sambil makan buah yang
dipetiknya di tengah perjalanan itu.
Tiba-tiba ia
melempar buah yang dimakannya dan melompat berdiri. Ia mendengar suara orang
bicara dan tak lama kemudian, di tempat itu muncullah empat orang laki-laki
yang berlompatan keluar dari balik pohon-pohon besar. Melihat mereka ini,
jantung Goat Lan langsung berdebar dan merasa bulu tengkuknya meremang.
Betul-betulkah ada siluman muncul di siang hari?
Tiga di
antara empat orang yang muncul ini benar-benar tidak pantas disebut manusia,
ada pun orang ke empat potongan tubuhnya seperti yang sudah bertempur dengan
dia malam tadi! Orang ke empat ini adalah seorang setengah tua yang bertubuh
kekar dan berjenggot lebat. Dia tersenyum menyeringai dan berkata kepada tiga
orang kawannya yang seperti siluman,
“Sam-wi-enghiong
(Tuan Bertiga Yang Gagah), inilah Nona yang gagah dan jelita itu!”
Tak salah
lagi, orang inilah yang telah bertempur dengan dia malam hari tadi, pikir Goat
Lan dan mendengar orang itu bercakap-cakap dengan bahasa manusia kepada tiga
orang yang seperti siluman, legalah hatinya. Apa pun juga yang akan terjadi,
dia tidak merasa gentar menghadapi sesama manusia! Dia mulai menaruh perhatian
kepada tiga orang aneh itu.
Memang, tiga
orang ini benar-benar mempunyai bentuk yang lucu dan aneh. Mereka ini bukan
lain adalah Hailun Thai-lek Sam-kui (Tiga Iblis Geledek dari Hailun). Yang
tertua bernama Thian-he Te-it Siansu (Manusia Dewa Nomor Satu di Dunia) dan
sungguh pun ini bukan sebuah nama, namun oleh orang ini diaku sebagai nama
julukannya!
Thian-he Te-it
Siansu ini adalah seorang yang tubuhnya seperti seorang kanak-kanak, akan
tetapi kepalanya botak dan jenggotnya sudah putih semua. Mukanya jelas muka
seorang kakek yang sudah tinggi usianya. Kedua kakinya kecil seperti kaki
kanak-kanak pula, begitu pula tangannya. Orang kate ini memegang sebatang
payung yang ujungnya tumpul dan setiap ranting payungnya terbuat dari logam
keras yang berujung runcing.
Orang ke dua
adalah seorang pendek gemuk sekali yang bermuka lebar dan mulut serta kedua
matanya besar-besar. Kepalanya tertutup kopyah pendeta yang bertuliskan huruf
‘Buddha’. Orang ini selalu tersenyum lebar dan ia berjalan sambil menyeret
sebuah rantai panjang dan besar. Inilah orang kedua dari Hailun Thai-lek
Sam-kui yang bernama Lak Mou Couwsu.
Ada pun
orang ke tiga berpotongan tubuh seperti suling, tinggi kurus dengan kepala
kecil tertutup kopyah kecil pula. Kumisnya hanya beberapa lembar di kanan kiri
sementara jenggotnya hitam seperti jenggot kambing modelnya. Dia memegang
sebatang tongkat dan namanya adalah Bouw Ki.
Melihat
keadaan mereka, agaknya tidak pantas sama sekali bahwa mereka ini adalah Hailun
Thai-lek Sam-kui yang sudah terkenal di seluruh dunia kang-ouw dan membuat para
orang gagah gentar mendengar nama mereka!
Orang ke
empat, yaitu orang setengah tua yang tadi malam bertempur dengan Goat Lan,
sebenarnya adalah Bouw Hun Ti! Memang, sebagaimana telah dituturkan pada bagian
depan, Bouw Hun Ti pergi ke utara untuk membujuk dan minta bantuan Hailun
Thai-lek Sam-kui untuk memperkuat kedudukannya menghadapi para musuhnya, yaitu
Pendekar Bodoh dan kawan-kawannya.
Ketika Bouw
Hun Ti dan kawan-kawannya tiba di dusun itu, dan sebagaimana biasa ketiga orang
iblis itu tidak suka bermalam di tempat ramai, akan tetapi memilih hutan
belukar, Bouw Hun Ti lalu berjalan-jalan dan dia melihat Goat Lan!
Bouw Hun Ti
selain jahat dan kejam, juga mempunyai kelemahan terhadap wajah elok. Maka
begitu melihat Goat Lan yang cantik jelita seperti bidadari, ia pun menjadi
tertarik. Malam hari itu dia mendatangi gubuk kakek yang menjadi tuan rumah
Goat Lan, akan tetapi tak disangkanya sama sekali bahwa gadis itu ternyata
bukanlah makanan empuk, bahkan ia terkena totokan yang amat lihai! Tentu saja
Bouw Hun Ti menjadi terkejut dan curiga.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment