Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 14
DIA dan Bhok
Coa Jin adalah dua orang di antara tujuh orang Pengemis Tongkat Ular tingkat
satu. Kepandaian mereka ini sudah sangat tinggi, oleh karena mereka merupakan
murid-murid yang menerima pelajaran langsung dari Coa Ong Lojin, datuk dari
Coa-tung Kai-pang! Mereka telah mewarisi delapan puluh bagian dari ilmu silat
dan ilmu tongkat dan telah bertahun-tahun mereka merantau di seluruh permukaan
bumi Tiongkok.
Oleh karena
memandang rendah dan tak ingin disebut licik, Kim Coa Jin berkata kepada Bhok
Coa Jin, “Sute, harap kau berdiri di pinggir saja dan biar aku sendiri yang
mencoba kekuatan pangcu muda ini!” Ucapannya ini dikeluarkan dengan mulut
tersenyum.
Bhok Coa Jin
juga tersenyum, lalu dia menancapkan tongkat ularnya di atas lantai dan duduk
di atas tongkat itu! Demonstrasi kekuatan lweekang ini saja sudah hebat sekali,
karena lantai itu amat keras namun dapat tertusuk oleh tongkat itu seakan-akan
lantai itu terdiri dari tanah lumpur belaka!
“Silakan,
Suheng, aku hendak menonton saja,” katanya.
“Nah,
Sie-pangcu, marilah kita mulai!” kata Kim Coa Jin menantang.
“Majulah
Kim-lokai. Sebagai tamu kau turun tangan lebih dulu,” jawab Hong Beng sambil
memegang tongkat hitamnya dengan cara sembarangan saja.
Ia memegang
kepala tongkatnya sehingga tongkat itu tergantung lurus ke bawah, seperti
seorang kakek yang meminjam tenaga tongkat untuk membantu menunjang tubuhnya
yang sudah lemah. Bagi orang yang tidak tahu, tentu mengira bahwa pemuda ini
tidak pandai ilmu silat dan bahwa caranya memasang kuda-kuda itu tidak ada
artinya sama sekali.
Akan tetapi
pada saat Kim Coa Jin melihat cara Hong Beng memegang tongkat, hatinya
tertegun. Itulah kuda-kuda yang disebut Dewa Bumi Menangkap Ular, yakni semacam
kuda-kuda yang tidak sembarang orang berani menggunakannya untuk memulai sebuah
pertempuran, karena kuda-kuda seperti ini amat sukar dibuka dan dikembangkan.
“Awas
serangan!” serunya dan Kim Coa Jin cepat menyerang dengan hebat.
Dia sengaja
menyerang dengan gerakan yang paling hebat dan lihai, karena dia hendak
merobohkan ketua Hek-tung Kaipang ini dengan sekali gerakan saja! Tongkat
ularnya dengan cepat bagaikan anak panah terlepas dari busurnya menusuk ke arah
dada Hong Beng, sedangkan tangan kirinya tidak tinggal diam, melainkan meluncur
pula di belakang tongkatnya untuk mengirimkan pukulan susulan yang dilakukan
dengan tenaga lweekang sehingga angin pukulan ini saja sudah cukup untuk
merobohkan lawan!
Akan tetapi
Hong Beng dengan gerakan Hek-hong Koan-goat (Bianglala Hitam Menutup Bulan)
menggerakkan tongkat hitamnya dengan putaran cepat sekali. Ketika tongkatnya
bertemu dengan tongkat ular lawannya, kedua tongkat itu menempel dan tongkat
ular itu ikut pula terputar karena pemuda yang lihai ini telah menggerakkan
lweekang-nya untuk ‘menyedot’ dan menempel senjata lawan.
Karena kedua
tongkat itu terputar cepat di depan mereka, otomatis pukulan tangan kiri
pengemis tua itu tertolak kembali! Kim Coa Jin mengerahkan tenaganya untuk
membetot kembali tongkatnya dari tempelan tongkat hitam lawannya akan tetapi
ternyata tongkat itu seakan-akan telah berakar pada tongkat Hong Beng. Ia
merasa penasaran sekali dan sambil mengerahkan seluruh tenaganya dia berseru
keras sekali dan tiba-tiba tubuhnya terjengkang ke belakang dan hampir saja dia
jatuh ketika secara mendadak Hong Beng melepaskan tempelannya!
Bukan main
kagetnya hati Kim Coa Jin merasakan kelihaian pangcu muda dari Hek-tung
Kai-pang ini. Sambil menggereng laksana seekor harimau terluka ia lalu
menerjang maju, memutar-mutar tongkatnya dengan hebat bagaikan angin puyuh dan
kini benar-benar dia mengeluarkan ilmu tongkatnya yang lihai, karena dia sudah
maklum sepenuhnya bahwa pemuda itu bukanlah orang sembarangan, melainkan murid
orang pandai!
Akan tetapi
Hong Beng tetap saja berlaku tenang. Dengan puas dan gembira sekali dia
mendapat kenyataan bahwa tongkat hitam yang lemas pada tangannya itu
benar-benar merupakan senjata istimewa. Walau pun tongkat itu lemas, akan
tetapi dapat menerima saluran tenaga lweekang dengan baik sekali, sehingga
tidak kalah ‘enaknya’ dipakai dari pada sebatang ranting kecil!
Dia lalu
memainkan Ngo-heng Tung-hoat dan melayani lawannya dengan gerakan yang membuat
lawannya menjadi pening kepala. Ngo-heng Tung-hoat adalah semacam ilmu silat
yang mengambil sari dari lima anasir atau lima sifat, bisa sekuat baja, selemah
air, sepanas api! Juga gerakan tubuh Hong Beng yang lincah dan gesit membuat
tubuhnya lenyap dari pandangan mata, terbungkus oleh gulungan sinar tongkat
yang menghitam!
Kim Coa Jin
sebagai tokoh tingkat satu dari Coa-tung Kai-pang, tentu saja memiliki ilmu
silat yang sudah sangat tinggi. Akan tetapi harus dia akui bahwa selama
hidupnya, baru sekarang dia bertemu dengan tandingan yang demikian tangguhnya.
Ilmu Tongkat
Coa-tung-hoat bukanlah ilmu silat sembarang saja, tetapi memiliki sifat-sifat
tersendiri yang sangat kuat dan berbahaya. Gaya Ilmu Tongkat Coa-tung-hoat ini
amat ganas dan kejam serta memiliki tipu-tipu yang licik dan berbahaya sekali
karena ilmu ini tercipta di antara jalan hitam, di antara orang-orang yang memiliki
pikiran dan tabiat yang kurang baik.
Tongkat yang
berbentuk ular itu saja mengandung bagian-bagian rahasia sehingga dapat
mengeluarkan senjata-senjata rahasia berupa jarum-jarum berbisa. Malah dari
mulut ular itu, apa bila dikehendaki oleh pemakainya, dapat mengeluarkan
semacam uap berbisa yang berbahaya sekali.
Hong Beng
sengaja tidak mau melukai Kim Coa Jin dan hanya mendesaknya dengan ilmu tongkat
yang memang lebih tinggi tingkatnya. Pemuda ini biar pun masih muda dan
mempunyai darah panas namun ia memang cerdik sekali, dan ia maklum bahwa kalau
ia sampai melukai orang ini, maka permusuhan antara kedua partai pengemis akan
menjadi semakin mendalam. Pihak Coa-tung Kai-pang tentu akan menjadi makin
sakit hati dan menaruh dendam hati yang maha berat. Dia ingin menghindarkan hal
ini, maka ia hanya mendesak lawannya dengan tongkat hitamnya, berusaha untuk
mengalahkan Kim Coa Jin dengan serangan-serangan yang tidak membahayakan
jiwanya.
Bhok Coa Jin
yang menonton pertandingan itu menjadi marah serta penasaran sekali. Bhok Coa
Jin mempunyai watak yang lebih berangasan dan keras dari pada suheng-nya.
Melihat betapa suheng-nya tidak dapat menangkan pemuda itu bahkan terdesak
hebat sekali, tiba-tiba dia berseru keras dan membantu suheng-nya menyerang
Hong Beng.
“Pengemis
curang, perlahan dulu!” Mendadak terdengar bentakan merdu dan tahu-tahu tongkat
yang diputar oleh Bhok Coa Jin itu telah terpental mundur karena tertangkis
oleh sebatang tongkat bambu runcing yang digerakkan secara luar biasa.
Bhok Coa Jin
terkejut dan lebih-lebih kagetnya ketika ia melihat bahwa yang menangkis
tongkatnya itu adalah nona cantik yang tadi ia lihat duduk di dekat Hong Beng.
“Bocah
kurang ajar!” seru pengemis tua ini dengan marah. “Siapakah kau, berani sekali
menghalangi Bhok Coa Jin?”
“Hemm,
agaknya kau terlalu sombong dan menganggap diri sendiri paling hebat,” Goat Lan
menyindir. “Kau mau tahu siapa aku? Namaku Kwee Goat Lan dan kalau lain orang
takut mendengar namamu, aku bahkan merasa muak karena nama besarmu itu sama
sekali tidak sesuai dengan sifatmu yang pengecut!”
“Kurang
ajar!” Bhok Coa Jin memaki dan tongkatnya segera meluncur cepat mengarah
tenggorokan nona itu.
Akan tetapi
cepat sekali sepasang tongkat bambu runcing di tangan gadis itu bergerak dan
menjepit tongkat ular Bhok Coa Jin sehingga tak dapat dicabut kembali. Betapa
pun Bhok Coa Jin membetot tongkatnya, tetap saja tongkatnya itu bagaikan
terjepit oleh dua potong besi yang kuat sekali. Barulah dia merasa amat
terkejut dan heran. Bagaimana gadis muda ini dapat memiliki tenaga yang
demikian hebatnya?
Juga Goat
Lan merasa gemas sekali terhadap pengemis tua yang berangasan dan kasar ini.
Dia sudah menggerakkan sepasang bambu runcingnya yang lihai ketika Hong Beng
berkata mencegahnya,
“Lan-moi,
jangan layani dia. Biarkan saja dia mengeroyokku agar mereka tahu kelihaian
Hek-tung Kai-pang!”
Walau pun
hatinya mendongkol dan tidak puas, Goat Lan maklum akan maksud ucapan
tunangannya ini dan ia melompat mundur. Dia tahu kalau ia turun tangan, maka
hal ini akan mengurangi keangkeran Hek-tung Kai-pang.
Sebaliknya,
diam-diam Bhok Coa Jin merasa lega melihat gadis yang lihai itu melompat
mundur. Tak banyak cakap lagi ia lalu menyerbu dan menyerang Hong Beng,
membantu suheng-nya.
Jika
sekiranya keadaan Hong Beng berbahaya apa bila dikeroyok dua, tentu betapa pun
juga Goat Lan akan memaksa turun tangan. Akan tetapi ia maklum bahwa menghadapi
dua orang pengemis Coa-tung Kai-pang itu, tunangannya takkan kalah sebab
kepandaian Hong Beng masih lebih tinggi tingkatnya. Dia lalu duduk kembali dan
menonton dengan sikap tenang. Sebaliknya, para anggota Hek-tung Kai-pang merasa
kuatir juga melihat betapa ketua mereka dikeroyok dua oleh lawan-lawan yang
amat tangguh itu.
Menghadapi
keroyokan dua orang lawan yang tidak boleh dipandang ringan itu, Hong Beng
memperlihatkan kehebatan ilmu tongkatnya. Dia segera merubah gerakan tongkat
hitamnya dan kini dia mainkan Ilmu Tongkat Pat-kwa Tung-hoat yang gerakannya
jauh lebih cepat dari pada Ngo-heng Tung-hoat.
Sebentar
saja, seperti halnya lima saudara Hek pada waktu menghadapi pemuda ini, dua
orang pengurus Coa-tung Kai-pang ini merasa pening serta pandangan mata mereka
menjadi kabur. Mereka merasa heran dan juga penasaran sekali karena selama
hidup mereka, belum pernah mereka menyaksikan ilmu tongkat yang seperti itu.
Ilmu Tongkat Hek-tung-hoat pernah mereka lihat, akan tetapi ilmu silat tongkat
yang dimainkan oleh ketua baru dari Hek-tung Kai-pang ini benar-benar tidak mereka
kenal.
Sebaliknya,
bagi Hong Beng juga tak mudah untuk mengalahkan kedua lawannya tanpa
menggunakan serangan kilat yang sedikitnya akan melukai mereka. Maka terpaksa,
biar pun dia tidak ingin melukai kedua lawan ini, dia harus memperlihatkan
kepandaiannya.
Sekali dia
mengerahkan tenaga, maka terdengar suara keras sekali dan dua batang tongkat
ular itu patah di tengah-tengah. Berbareng dengan patahnya kedua tongkat itu,
dari dalam tongkat menyembur keluar banyak sekali jarum hitam ke arah Hong
Beng. Akan tetapi pemuda ini dengan mudah saja lalu memukul semua sinar hitam
itu dengan tongkatnya dan sebagai pembalasan, dua kali tongkatnya bergerak ke
bawah dan kedua orang lawannya itu terjungkal tanpa dapat mengelak lagi!
Untung bahwa
Hong Beng hanya mempergunakan sedikit tenaga, karena kalau pemuda ini berlaku
kejam, meski pun kedua orang pengemis tua itu memiliki kekebalan, mereka tentu
akan patah-patah tulang kakinya. Kini mereka hanya merasa kedua kaki mereka
sakit sekali dan untuk beberapa lama mereka tidak mampu berdiri. Mereka hanya
duduk memandang dengan mata terbelalak, lebih merasa heran dari pada merasa
marah.
“Kau... kau
siapakah? Dan ilmu sihir apakah yang sudah kau gunakan untuk merobohkan kami?”
Akhirnya Kim Coa Jin dapat juga berkata sambil merangkak mencoba bangun. Begitu
pula Bhok Coa Jin dengan muka meringis menahan sakit mencoba untuk bangun
berdiri.
“Tadi sudah
kukatakan bahwa namaku Sie Hong Beng dan aku telah diangkat menjadi pangcu dari
Hek-tung Kai-pang!” jawab Hong Beng sederhana. “Kalian datang dan roboh bukan
karena kehendak kami, akan tetapi kalian sendiri yang mencari penyakit. Harap
kalian jangan persalahkan kami.”
Akan tetapi
jawaban ini tidak memuaskan hati mereka, dan Hek Liong yang juga merasa tidak
puas mendengar jawaban pangcu-nya, kemudian berdiri dan berkata dengan suara
lantang,
“Bukalah
matamu baik-baik, kalian orang-orang Coa-tung Kai-pang! Pangcu kami adalah
putera dari Pendekar Bodoh dan murid dari Pok Pok Sianjin! Dan pendekar wanita
yang kalian pandang rendah ini, dia adalah tunangan pangcu kami yang gagah dan
Lihiap adalah murid dari Sin Kong Tianglo dan Im-yang Giok-cu! Apakah
keterangan ini masih belum cukup?”
Pucatlah
muka kedua orang pengemis tua itu ketika mendengar nama-nama besar dari para
pahlawan dan tokoh dunia persilatan itu. Akhirnya Kim Coa Jin pun menarik napas
panjang dan berkata, “Dasar nasib kami yang sial, bertemu dengan keturunan
Pendekar Bodoh! Buah yang jatuh tidak akan menggelinding jauh dari pohonnya!”
Setelah berkata demikian, dengan terpincang-pincang Kim Coa Jin dan Bhok Coa
Jin pergi meninggalkan tempat itu.
“Tahan...!”
seru Hong Beng dan tubuhnya berkelebat mendahului kedua orang itu. Ia kini
berdiri menghadapi mereka sambil bertolak pinggang dan matanya memandang tajam
penuh ancaman. “Apa maksud kata-katamu tadi? Apa maksudmu bahwa buah tidak akan
jatuh menggelinding jauh dari pohonnya?”
Kim Coa Jin
tersenyum mengejek “Watak anak takkan berbeda jauh dengan bapaknya. Suhu-ku
pernah menceritakan bahwa Pendekar Bodoh adalah seorang yang selalu turut
mencampuri urusan orang lain, seorang yang selalu turun tangan dan bertindak
dengan sewenang-wenang mengandalkan kepandaiannya. Dan kau agaknya tidak
berbeda jauh dengan ayahmu itu!”
“Siapakah
suhu-mu?” tanya Hong Beng.
“Suhu kami
adalah pendiri dari Coa-tung Kai-pang, yang bernama Coa Ong Lojin!”
Sambil
berkata demikian Kim Coa Jin memandang tajam karena mengharapkan pemuda itu
akan menjadi terkejut mendengar nama suhu-nya. Akan tetapi ternyata Hong Beng
menerima keterangan ini dengan dingin saja, sungguh pun dia pernah mendengar
nama orang tua yang sakti itu.
“Pernahkah
suhu-mu bentrok dengan ayahku?”
“Belum,
belum pernah. Akan tetapi Suhu sudah cukup banyak mendengar dari
kawan-kawannya, dan Suhu ingin sekali bertemu dengan ayahmu untuk melihat sampai
di mana sih kepandaiannya maka dia dan puteranya sesombong ini!”
Tiba-tiba
muka Hong Beng menjadi merah sekali, tanda bahwa ia marah. “Jahanam berlidah
busuk!” makinya sehingga Goat Lan yang sudah berdiri di dekatnya menjadi
terkejut, karena tak disangkanya sama sekali bahwa tunangannya yang lemah
lembut dan sopan santun ini sekarang begitu marah sampai memaki orang. “Kau
pandai benar memutar balik duduknya perkara! Pantas saja kau menjadi pengurus
Perkumpulan Tongkat Ular sebab watakmu seperti ular, lidahmu berbisa. Kalian
yang datang mengacau di perkumpulan kami akan tetapi kalian yang menuduh kami
suka mencampuri urusan orang lain! Memang ayahku suka mencampuri urusan orang
lain, urusan orang jahat macam engkau yang suka mengganggu orang, dan hal
seperti itu tentu saja ayahku dan aku tak akan tinggal diam memeluk tangan!”
Hampir saja
Hong Beng mengangkat tangan menjatuhkan pukulan, kalau saja Goat Lan tidak
menyentuh pundaknya sambil memandang dengan senyum menghibur. Pemuda ini
menjadi marah sekali karena mendengar ayahnya dicela oleh dua orang jahat
seperti Kim Coa Jin dan Bhok Coa Jin.
Kedua orang
pengemis dari Coa-tung Kai-pang itu segera pergi dengan muka pucat dan tak
berani menengok lagi. Goat Lan lalu menghibur tunangannya dengan kata-kata yang
halus,
“Sudahlah,
Koko, untuk apa mencurahkan kemarahan terhadap orang-orang macam itu? Mereka
sudah dikalahkan dan tentu mereka sudah merasa kapok.”
“Mudah-mudahan
begitu,” jawab Hong Beng. “Akan tetapi aku masih merasa amat kuatir kalau-kalau
mereka akan datang lagi bersama kawan-kawan mereka untuk mengganggu Hek-tung
Kai-pang.”
“Kalau
begitu, lebih baik kita menanti dahulu sampai beberapa hari di sini, untuk
menjaga keselamatan perkumpulan. Memang sudah menjadi kewajibanmu untuk
melindunginya dari serangan orang-orang jahat. Biarlah mereka mendatangkan suhu
mereka, aku pun sudah pernah mendengar nama Coa Ong Lojin yang terkenal jahat.
Betapa pun lihainya, kita pasti akan dapat mengalahkannya.”
Demikianlah,
dua orang muda ini terpaksa menunda keberangkatan mereka dan berjaga di tempat
itu bersama para pengurus Hek-tung Kai-pang sampai sepekan lamanya. Dan ini
pulalah sebabnya maka mereka tidak cepat menyusul Lili dan Lo Sian yang pergi
ke rumah Thian Kek Hwesio sehingga setelah menanti tiga hari lamanya, Lili
menjadi hilang kesabaran dan mengajak bekas suhu-nya itu pergi ke Shaning, ke
rumah orang tuanya sebagaimana telah dituturkan di bagian depan.
***************
Betapa pun
Lili berusaha untuk membantu ingatan Lo Sian ia tetap gagal, karena Lo Sian
benar-benar tidak ingat apa-apa lagi.
“Suhu, kau
bernama Lo Sian dan berjuluk Sin-kai (Pengemis Sakti), cobalah ingat-ingat
lagi, Suhu. Aku bernama Sie Hong Li atau Lili yang dahulu pernah kau tolong
dari tangan Bouw Hun Ti. Dan tidak ingatkah kau kepada suheng-mu Mo-kai Nyo
Tiang Le?” Untuk kesekian kalinya di dalam perjalanannya menuju ke Shaning,
Lili berkata kepada bekas suhu-nya.
Lo Sian
hanya menggeleng kepalanya dengan wajah sedih. “Sebenarnya, sudah hampir setiap
malam aku mencoba mengerahkan seluruh ingatanku, akan tetapi tiada gunanya.
Ingatanku akan hal-hal yang lampau bagaikan sebuah goa yang hitam pekat.
Memang, namamu dan juga namaku sendiri terdengar tidak asing bagi telingaku,
akan tetapi aku benar-benar sudah lupa. Baiklah, mulai sekarang aku bernama Lo Sian
lagi dan engkau bernama Lili, akan tetapi jangan kau suruh aku mengingat-ingat
akan hal yang lalu. Aku tidak sanggup, anak baik.”
Akan tetapi,
jalan pikiran Lo Sian masih biasa dan baik sekali. Pertimbangannya masih
sempurna, mencerminkan wataknya yang budiman dan gagah perkasa. Pada suatu
hari, ketika mereka sedang melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning mereka
melihat sebuah makam yang dibangun indah sekali di pinggir jalan. Besarnya
makam itu seperti rumah orang, merupakan bangunan gedung yang indah dan mahal.
Lo Sian nampaknya amat tertarik dan kagum. Dia berdiri di depan makam itu
sambil memandang ke dalam seperti seorang yang terpesona.
“Suhu, coba
kau ingat-ingat, makam siapakah ini?”
Seperti
bicara kepada diri sendiri, Lo Sian berkata perlahan, “Sudah pasti bukan makam
Lie Kong Sian... bukan, bukan makam Lie Kong Sian!”
Lili
memandang dengan terharu. “Suhu, benarkah Lie-supek telah meninggal dunia?”
Lo Sian
mengangguk pasti. “Memang dia sudah meninggal dunia dan agaknya aku akan bisa
mengenali kalau melihat makamnya. Akan tetapi entah di mana, entah bagaimana
macamnya, hanya aku merasa yakin akan mengenal makamnya. Dia sudah mati...
tidak salah lagi...”
Pada saat
bicara tentang kematian Lie Kong Sian, Lo Sian nampaknya sedih sekali dan Lili
lalu terbayang kepada pemuda tampan yang telah merampas sepatunya sehingga tak
terasa mukanya telah berubah pula menjadi merah sekali.
“Sesungguhnya,
makam siapakah begini mewah dan mendapat penghormatan sebesar ini dari rakyat?”
tanya Lo Sian sambil membaca papan-papan pujian dan kain-kain berisi sajak yang
bagus-bagus, juga pada tempat hio (dupa) yang agaknya dibakari dupa setiap
hari.
Lili menarik
napas panjang. Apa bila suhu-nya tidak mengenal makam ini, benar-benar ia sudah
lupa segala. Siapakah yang tidak mengenal makam Jenderal Ho, pahlawan besar
yang gagah perkasa dan yang telah mengorbankan nyawa untuk kejayaan negara dan
bangsa?
“Suhu, masa
kau tidak ingat kepada makam Jenderal Ho ini?”
Lo Sian
menggelengkan kepala. “Tidak, sama sekali tidak ingat lagi. Siapakah Jenderal
Ho yang kau sebutkan tadi?”
“Jenderal Ho
adalah seorang pahlawan yang gagah perkasa. Dahulu ketika bala tentara Mongol
menyerang pedalaman Tiongkok dan hampir saja bisa membobolkan pertahanan,
Jenderal Ho inilah yang berhasil memukul musuh mundur sampai keluar dari Tembok
Besar. Juga ketika terjadi pemberontakan di selatan sehingga kedudukan Kaisar
sudah terjepit, kembali Jenderal Ho dan pasukannya yang berjasa besar dan
berhasil memukul hancur para pemberontak.”
“Dan
bagaimana ia sampai meninggal dunia?”
“Dia gugur
dalam peperangan ketika pasukan kerajaan menyerang ke timur. Biar pun dia telah
terluka hebat di dalam peperangan itu, namun dia masih sanggup untuk memimpin
pasukannya dan mengatur barisan sambil duduk di atas tandu dan dia
menghembuskan napas terakhir di atas tandu itu pula! Karena jasa-jasanya
terhadap negara inilah maka namanya terkenal di seluruh negeri sehingga semua
rakyat tak ada yang tidak mengenal namanya. Inilah makamnya. Suhu, apakah kita
akan masuk dan memberi penghormatan kepada makam Jenderal Ho yang besar? Di
dalam terdapat orang yang menyediakan dupa.”
Akan tetapi
Lo Sian malah menggelengkan kepalanya dengan keras dan berkata setelah menghela
napas panjang. “Tidak perlu, aku tidak suka melihat kepalsuan ini!”
Lili
memandang suhu-nya dengan dua mata terbelalak. “Apa maksudmu, Suhu? Palsu?
Apanya yang palsu?”
“Penghormatan
ini, makam ini, semua adalah pemujaan dan pujian palsu belaka. Kau duduklah,
Lili, dan biarlah aku membuka pikiranmu yang masih hijau menghadapi segala
kepalsuan dunia.” Mereka lalu duduk di atas bangku batu yang banyak terdapat di
depan makam besar itu.
“Sebelum aku
membentangkan pendapat dan pandanganku, lebih dulu jawablah, apakah kau pernah
melihat makam-makam besar yang dihormati seperti ini untuk para
prajurit-prajurit biasa yang gugur dalam peperangan membela negara?”
Lili
memandang bodoh kemudian menggelengkan kepalanya. “Belum pernah Suhu, yang
selalu dihormati adalah makam orang-orang besar, jenderal-jenderal,
panglima-panglima besar, dan menteri-menteri.”
“Nah, itulah
yang kukatakan palsu! Jenderal Ho ini dihormati, dipuji-puji karena katanya ia
berjasa terhadap negara, bahwa dia sudah mengorbankan nyawanya demi kepentingan
negara. Bahkan orang-orang yang katanya besar, sungguh pun tak usah
mengorbankan nyawa dalam peperangan, tetap saja makamnya terus dipuji-puji, namanya
dihormati dan dicatat dalam sejarah sampai ribuan tahun! Apakah jasa prajurit
kecil itu kalah besarnya? Bukankah mereka itu pun mengorbankan nyawanya, bahkan
maju di garis pertempuran terdepan, gugur lebih dahulu dari pada para
pemimpinnya yang hanya mengatur siasat pertempuran dari belakang? Apakah mereka
ini tidak jauh lebih berani, lebih gagah, dan berjasa dari pada
jenderal-jenderal itu? Namun, bagaimana nasib mereka? Mana makam mereka? Dan
bagaimana keadaan keluarga mereka yang ditinggalkan? Tak seorang pun mengingat
lagi kepada mereka! Nah, inilah yang kukatakan tidak adil dan palsu! Orang
hanya pandai mengingat yang besar-besar selalu melupakan yang kecil. Padahal,
tanpa yang kecil-kecil, yang besar tidak ada artinya lagi. Apakah dayanya para pembesar
tanpa rakyatnya? Apakah artinya jenderal-jenderal tanpa prajurit-prajuritnya?”
Lili
tertegun mendengar ucapan suhu-nya ini, akan tetapi sebagai anak Pendekar Bodoh
yang banyak mendengar tentang filsafat, dia tidak mau menyerah begitu saja dan
masih membantah, “Akan tetapi Suhu, sebaliknya, apakah artinya
prajurit-prajurit dalam barisan tanpa pemimpin yang mengatur siasat peperangan?
Apakah artinya rakyat tanpa adanya pemimpin yang pandai?”
Lo Sian
mengangguk-angguk. “Hemm, ada isinya juga kata-katamu tadi. Memang kedua hal
itu perlu sekali, keduanya merupakan dwitunggal yang tidak dapat
dipisah-pisahkan. Betapa pun juga, lebih penting anak buahnya dari pada
kepalanya. Tanpa jenderal, tiap pasukan prajurit masih merupakan kekuatan yang
hebat. Tanpa pemimpin, rakyat masih merupakan massa yang kuat! Sebaliknya,
tanpa pasukan, jenderal hanya seorang yang sama sekali tidak berdaya menghadapi
lawan. Tanpa rakyat, pemimpin hilang sifatnya sebagai pemimpin. Oleh karena
kukatakan tadi bahwa keduanya merupakan dwitunggal yang tak dapat
dipisah-pisahkan, mengapa orang hanya menghormati pemimpinnya saja tanpa
mengingat anak buahnya?”
Mendengar
ucapan suhu-nya yang panjang lebar ini, diam-diam Lili merasa girang sekali,
oleh karena dia kini merasa yakin bahwa biar pun sudah kehilangan ingatannya
dan lupa akan peristiwa yang terjadi pada waktu yang lalu, ternyata suhu-nya
ini masih memiliki pikiran sehat dan pandangan yang mengagumkan.
Sesudah
bicara panjang lebar kepada Lili, Lo Sian lalu bangkit berdiri dan menghampiri
tembok yang mengelilingi makam itu. Ia mengerahkan lweekang-nya dan dengan
jari-jari telunjuknya ia lalu mencoret-coret tembok itu, menulis beberapa buah
huruf yang artinya seperti berikut,
Jenderal Ho
menerima penghormatan berkat pasukannya yang gagah perkasa. Siapa yang melihat
makam ini harus mengingat akan jasa dari setiap orang prajurit tak dikenal
dalam pasukannya!
Biar pun dia
menggurat-gurat tembok yang keras itu hanya dengan jari telunjuknya saja, akan
tetapi bagaikan sepotong besi kuat, jari itu menggores tembok sampai dalam dan
tulisan itu tidak dapat dihapus lagi!
Ketika
melihat kejadian ini, orang-orang yang lewat di tempat itu lalu maju melihat
dan mereka mengeluarkan pujian melihat kekuatan jari telunjuk kakek itu.
Tiba-tiba terdengar suara amat nyaring dan keras,
“Bagus,
tulisan yang gagah sekali!”
Ketika Lili
dan Lo Sian menengok, ternyata di antara penonton itu muncullah seorang pemuda
berpakaian sebagai seorang panglima. Orangnya masih muda, tubuhnya tegap dan
mukanya tampan dan gagah. Dengan matanya yang tajam bersinar menatap Lili dan
Lo Sian, orang ini menjura dengan penuh penghormatan kepada Lo Sian dan Lili.
Lili melihat
dengan herannya betapa semua orang yang melihat panglima muda ini, lalu mundur
sambil membungkuk-bungkuk, tanda bahwa panglima muda ini bukanlah orang
sembarangan dan mempunyai pengaruh yang besar. Dia merasa segan untuk membalas
penghormatan itu, akan tetapi melihat suhu-nya menjura dengan hormat, terpaksa
ia pun mengangkat kedua tangan memberi hormat pula.
“Siauwte
adalah Kam Liong, dan sebagai seorang panglima dari kerajaan, siauwte amat
tertarik melihat tulisan Lo-enghiong itu. Tidak tahu siapakah gerangan
Lo-enghiong yang bersemangat gagah dan berwatak jujur ini? Dan bolehkah kiranya
siauwte mengetahui pula siapakah Siocia ini, murid ataukah puterinya?”
Ucapan Kam
Liong terdengar jujur dan tegas, seperti biasa ucapan seorang prajurit, dan Lo
Sian memandang kepada pemuda ini dengan mata gembira. Ia bisa menduga bahwa
pemuda ini memiliki kegagahan dan kejujuran hati.
Sebagaimana
para pembaca tentu masih ingat, Kam Liong ini adalah putera tunggal dari
panglima besar Kam Hong Sin. Kam Liong pernah bertemu dan mengukur kepandaian
dengan Lie Siong pada waktu Lie Siong menolong Lilani dan Kam Liong menjadi
tamu dari keluarga bangsawan Gui.
“Terima
kasih atas keramahanmu, Kam-ciangkun,” kata Lo Sian ramah, “kami hanyalah
orang-orang biasa, namaku Lo Sian dan dia ini adalah muridku bernama Sie Hong
Li, puteri dari pendekar Bodoh.”
“Suhu...!”
Lili menegur suhu-nya sebab ia tak suka dirinya diperkenalkan kepada seorang
pemuda asing.
Akan tetapi
Lo Sian berpemandangan lain. Memang tidak ada gunanya memperkenalkan diri
kepada orang yang berwatak buruk, akan tetapi dia melihat pemuda ini sungguh
pun mempunyai kedudukan tinggi, akan tetapi peramah dan sopan, maka tidak ada
salahnya memperkenalkan diri mereka.
Mendengar
nama Lo Sian, wajah Kam Liong tidak berubah, akan tetapi saat mendengar bahwa
gadis cantik jelita itu adalah puteri Pendekar Bodoh, sikapnya langsung berubah
sama sekali. Ia menjadi makin menghormat dan cepat menjura kepada mereka
berdua.
“Ahhh, tidak
tahunya siauwte berhadapan dengan puteri dari Sie Taihiap yang terkenal! Kalau
begitu, kita bukanlah orang luar! Ayahku, Kam Hong Sin sudah kenal baik dengan
ayahmu, Nona. Bolehkah aku bertanya, di mana sekarang tempat tinggal ayahmu
yang terhormat?”
Terpaksa
Lili menjawab, “Ayah kini tinggal di kota Shaning.”
“Siauwte
harap Lo-enghiong dan Nona sudilah mampir di kota raja, siauwte akan merasa
gembira dan terhormat sekali dapat menjadi tuan rumah.”
“Terima
kasih, Kam-ciangkun. Maafkan kami tidak dapat pergi ke kota raja, karena kami
hendak melanjutkan perjalanan menuju ke kota Shaning,” jawab Lo Sian.
“Ahh, sayang
sekali siauwte tidak dapat mengawal Ji-wi (Anda berdua) ke Shaning, akan tetapi
biarlah lain kali siauwte mengunjungi Sie Taihiap untuk menghaturkan hormat.”
Maka
berpisahlah mereka, Kam Liong kembali ke kota raja sedangkan Lili dan Lo Sian
melanjutkan perjalanan ke kota Shaning. Di tengah perjalanan, Lo Sian berkata
kepada Lili,
“Pemuda itu
gagah dan baik sekali. Aku percaya dia tentu memiliki ilmu kepandaian yang
tinggi.”
“Ayahnya
memang berkepandaian tinggi, Suhu. Teecu pernah mendengar dari Ayah dan Ibu
bahwa Kam Hong Sin adalah seorang panglima yang mempunyai ilmu silat tinggi dan
dulu pernah bertemu dengan kedua orang tuaku.”
Gadis ini
sambil berjalan kemudian menuturkan secara singkat kepada suhu-nya tentang
pengalaman orang tuanya pada waktu muda, pada saat bertemu dengan ayah panglima
muda itu.
Tiba-tiba
terdengar bunyi derap kaki kuda yang dilarikan cepat sekali dari arah belakang.
Ketika tiba di dekat mereka, seorang perwira tua yang menunggang kuda itu
kemudian melompat turun dan bertanya,
“Apakah kau
yang bernama Lo Sian?”
Lo Sian dan
Lili menjadi heran sekali.
“Betul,”
jawab Lo Sian. “Ada keperluan apakah kau mencariku?”
Perwira itu
menyerahkan sepucuk surat yang tertutup kepadanya sambil melirik ke arah Lili.
“Aku telah menerima perintah dari Kam-ciangkun agar supaya menyerahkan surat
ini kepada seorang nona yang berjalan bersama dengan orang tua yang bernama Lo
Sian. Kurasa kaulah Nona itu.”
Lili tidak
mau menerima surat itu, dan Lo Sian yang menerimanya. Setelah memberikan surat
itu, perwira ini cepat-cepat melompat ke atas kudanya kembali dan tanpa memberi
kesempatan kedua orang itu bicara, dia sudah membalapkan kudanya kembali.
Memang begitulah perintah komandannya, hanya menyampaikan surat lalu segera
meninggalkan mereka lagi.
“Kurang ajar
sekali panglima muda itu!” kata Lili dengan muka merah. “Apa maksudnya memberi
surat kepadaku? Aku tidak sudi membacanya!”
“Jangan
terburu nafsu, Lili. Tidak baik menuduh orang kalau belum melihat buktinya. Kau
bacalah dahulu surat ini, baru kemudian kita dapat melihat orang macam apakah
adanya panglima muda she Kam itu,” kata Lo Sian.
Dengan mulut
cemberut dan muka merah Lili membuka sampul surat itu dengan kasar dan membaca
surat yang singkat itu.
Nona Sie,
Aku pernah
bertemu dengan kakakmu dan karena dia menewaskan putera bangsawan, Gui Kongcu,
kini dia menjadi buruan pemerintah. Aku sebagai panglima tentu saja harus
melakukan tugas ini, sungguh pun aku bersimpati kepada kakakmu itu. Suruh dia
supaya berhati-hati apa bila bertemu dengan perwira-perwira kerajaan.
Yang tetap
menghormat orang tuamu,
Kam Liong
Setelah
membaca surat ini, berubahlah wajah Lili dan dia menjadi termenung. Perbuatan
apakah yang telah dilakukan oleh kakaknya? Yang dimaksud oleh Kam Liong ini
tentulah Hong Beng, akan tetapi mengapa ketika bertemu, Hong Beng tidak
bercerita sesuatu tentang pembunuhan seorang bernama Gui Kongcu?
“Surat
apakah itu, Lili?” Pertanyaan Lo Sian ini menyadarkan Lili dari lamunannya.
Ia tak
menjawab, hanya menyerahkan surat kepada bekas suhu-nya. Lo Sian membaca surat
itu dan kemudian berkata,
“Aku tidak
tahu siapa adanya kakakmu, akan tetapi dari bunyi surat ini saja dapat diambil
kesimpulan bahwa pemuda she Kam itu memang benar orang baik hati.”
Akan tetapi
Lili tidak menjawab karena ia masih merasa heran. Apakah perwira muda itu tidak
membohong?
“Teecu
sendiri tidak tahu apakah isi surat ini tidak bohong, Suhu. Akan tetapi
biarlah, kakakku Hong Beng mana takut menghadapi ancaman dari para perwira
kerajaan? Mari kita melanjutkan perjalanan kita, Shaning tidak jauh lagi.”
Dua hari
kemudian pada senja hari mereka tiba di kota Lianing, hanya beberapa puluh li
lagi dari kota Shaning. Di luar kota Lianing ini, di luar barisan hutan pada
lereng bukit terdapat banyak kuil-kuil kuno yang sudah kosong, karena sudah
banyak yang rusak.
Pada siang
hari banyak pelancong datang untuk melihat-lihat kuil kuno ini dan sekaligus
mengagumi seni ukir serta sajak-sajak kuno yang banyak ditulis pada tembok
kuil. Akan, tetapi pada malam harinya, tempat ini amat sunyi, karena selain
gelap juga nampaknya angker menakutkan.
Akan tetapi
Lo Sian lebih menyukai tempat seperti ini untuk bermalam dari pada hotel yang
ramai. Maka, malam hari itu mereka kemudian bermalam di kuil ini untuk menanti
lewatnya malam dan untuk melanjutkan perjalanan pada keesokan harinya.
Pada saat
mereka menuju ke kuil itu di waktu hari telah mulai menggelap tiba-tiba di luar
hutan itu berkelebat bayangan orang. Lili yang merasa curiga melihat gerakan
bayangan yang cepat ini, segera mengejar. Akan, tetapi ketika dia tiba di luar
hutan, bayangan itu sudah lenyap.
“Hemm,
bayangan itu dari gerakannya menunjukkan bahwa dia adalah seorang berilmu
tinggi. Malam hari ini kita harus berlaku hati-hati, Lili,” kata Lo Sian.
Akan tetapi
gadis yang tabah sekali ini hanya tersenyum dan sama sekali tidak merasa takut,
sungguh pun gerakan orang tadi juga membuat dia kagum.
Mereka
memilih kuil yang bersih di mana terdapat sebuah kamar. Lili memakai kamar ini
sebagai tempat bermalam dan ia merebahkan diri di atas sebuah pembaringan batu
yang kasar. Ada pun Lo Sian memilih ruang belakang kuil itu.
Agaknya
kekuatiran Lo Sian tidak terbukti, oleh karena sampai tengah malam tak terjadi
sesuatu. Akan tetapi, pada saat Lili dan Lo Sian sudah hampir pulas, tiba-tiba
terdengar suara perlahan dari atas genteng dan tahu-tahu bayangan hitam yang
gerakannya ringan sekali melayang turun di ruangan belakang di mana Lo Sian
membaringkan tubuhnya. Pada waktu itu, bulan telah muncul dan ruangan itu yang
tidak tertutup genteng, nampak agak terang oleh cahaya bulan yang dingin.
Pendengaran
Lo Sian masih sangat tajam dan begitu dia mendengar suara ini, lenyaplah
kantuknya dan ia segera bangun dan duduk memandang tajam.
Untuk sesaat
bayangan itu tak bergerak, tapi terdengar sedu sedan di kerongkongannya dan
tiba-tiba saja bayangan itu menjatuhkan diri berlutut di depan Lo Sian sambil
berkata perlahan, “Suhuuu..., ampunkan teecu yang tidak kenal budi…”
Tentu saja
Lo Sian menjadi terkejut dan heran sekali. Ia berdiri bengong untuk beberapa
lamanya, kemudian baru ia dapat berkata gagap,
“Eh, eh,
nanti dulu. Kau siapakah dan mengapa menyebut Suhu kepadaku? Aku Lo Sian tidak
mempunyai murid lain kecuali Lili yang mengaku sebagai muridku!” Sambil berkata
demikian, ia melangkah maju dan memandang wajah orang itu dengan penuh
perhatian.
Orang itu
adalah seorang pemuda yang berwajah tampan, akan tetapi benar-benar Lo Sian
tidak ingat lagi siapa gerangan yang datang mengaku guru kepadanya itu.
“Sudah
sepatutnya Suhu tidak sudi mengaku murid kepada teecu,” pemuda itu berkata
dengan suara sedih sekali, “teecu telah Suhu tolong dan lepaskan dari bahaya
maut, lalu menerima budi Suhu yang sangat besar. Akan tetapi teecu...,” kembali
terdengar sedu sedan di kerongkongan pemuda itu.
“Sabar dulu,
orang muda. Bukan aku tak sudi mengakui kau sebagai muridku, akan tetapi
sesungguhnya aku tidak kenal siapa kau ini.”
“Suhu, teecu
adalah Kam Seng, anak yang dulu pernah Suhu tolong di sebuah kelenteng dan kemudian
menjadi murid Suhu. Lupakah Suhu kepada teecu yang bodoh?”
Akan tetapi
tentu saja Lo Sian yang sudah kehilangan ingatannya itu tidak mengenalnya.
Tiba-tiba saja terdengar bentakan keras dan tubuh Lili berkelebat masuk dengan
pedang Liong-coan-kiam di tangan.
“Bangsat
rendah, kau berani datang ke sini?” Secepat kilat pedangnya menusuk ke arah
tubuh Kam Seng yang masih berlutut tidak bergerak itu!
Untung pada
saat itu juga Lo Sian bergerak maju dan mencegah sehingga terpaksa Lili menahan
tusukannya. Akan tetapi sebetulnya cegahan Lo Sian itu kurang perlu, karena
pada saat itu tubuh Kam Seng sudah mencelat ke arah pintu dan menghilang di
dalam gelap. Hanya terdengar suaranya dari luar,
“Aku tidak
dapat melawanmu, Lili, tidak dapat membencimu! Betapa pun benciku kepada
ayahmu, aku tak dapat memusuhimu, kau tahu akan hal ini...”
“Bangsat
rendah, jangan lari!” Lili membentak marah dan dia pun cepat melompat keluar
hendak mengejar.
Akan tetapi
di luar tidak terlihat bayangan Kam Seng lagi. Diam-diam Lili merasa sangat
penasaran dan juga heran mengapa kini ginkang dari pemuda itu jauh lebih hebat
dari pada dahulu. Ketika dia kembali ke ruangan itu, terpaksa dia menuturkan
kepada Lo Sian tentang Song Kam Seng, putera dari Song Kun yang dulu tewas di
tangan ayahnya. Dia menuturkan pula betapa dulu Kam Seng telah ditolong oleh Lo
Sian. Pengemis Sakti ini menarik napas panjang dan berkata,
“Sayangnya
dia menaruh hati dendam terhadap ayahmu, Lili. Melihat betapa pemuda itu masih
ingat kepadamu dan tidak mau melupakan budi, dia terhitung seorang yang masih
memiliki pribudi.”
Lili tidak
menjawab, akan tetapi kepalanya terasa panas sekali kalau dia teringat betapa
pemuda itu dulu pernah menciumnya! Betapa pun juga, agaknya dia tidak akan
sampai hati membunuh Kam Seng, kalau diingat bahwa pemuda itu pernah pula
membebaskan dirinya dari kematian dan hinaan di dalam kuil Ban Sai Cinjin.
Memang
pemuda itu adalah Song Kam Seng yang kini sudah menjadi murid Wi Kong Siansu.
Semenjak kekalahannya terhadap Lili dan juga terhadap Lie Siong, pemuda ini
merasa prihatin sekali.
Dia lalu
mengajukan permohonan kepada suhu-nya untuk menurunkan ilmu silat yang lebih
tinggi dan bertekun mempelajari segala macam ilmu silat dari Wi Kong Siansu.
Tidak heran apa bila ia mendapat kemajuan yang amat pesatnya.
Pada saat
itu ia sedang mengikuti suhu-nya melakukan perantauan, dan biar pun ia tidak
berkata sesuatu, namun ia merasa berdebar ketika mendengar bahwa suhu-nya
hendak pergi ke Shaning mencari Pendekar Bodoh! Ketika sampai di kota Lianing
dan suhu-nya mengadakan pertemuan dengan kawan-kawan lama, dia lalu
berjalan-jalan seorang diri dan melihat Lili dengan gurunya dalam kota itu.
Tentu saja
dia menjadi terkejut sekali dan hatinya terharu ketika dia melihat kedua orang
itu. Teringatlah dia ketika dulu Lili masih kecil bersama Lo Sian pula untuk
menolongnya dari ancaman pisau Hok Ti Hwesio di kuil dalam rimba milik Ban Sai
Cinjin.
Diam-diam
dia mengikuti mereka dan menahan nafsu hatinya untuk menjumpai suhu-nya itu.
Dia kuatir kalau-kalau Lili akan menyerangnya, maka menanti sampai tengah malam
barulah dia masuk ke dalam kuil menjumpai suhu-nya. Tak tahunya suhu-nya telah
lupa sama sekali kepadanya dan hampir saja dia menjadi korban pedang Lili!
Pada
keesokan harinya, Lili mengajak suhu-nya melanjutkan perjalanan mereka. Mereka
mampir dulu di kota Lianing untuk makan pagi. Ketika mereka memasuki sebuah
rumah makan, tiba-tiba saja wajah gadis itu berubah dan tak terasa pula dia
memegang tangan suhu-nya.
Lo Sian juga
menengok dan dia melihat pemuda yang malam tadi mendatangi kuil telah duduk
menghadap meja bersama tiga orang lainnya. Kam Seng duduk bersama Wi Kong
Siansu dan dua orang lain, dua orang setengah tua yang nampak gagah. Yang
seorang berhadapan dengan Wi Kong Siansu dan memakai sebuah topi, dan sikapnya
nampak sombong sekali. Orang ke dua bertubuh pendek serta bermuka buruk
bagaikan seekor monyet.
Song Kam
Seng juga terkejut sekali ketika melihat Lili dan Lo Sian memasuki rumah makan
itu. Untuk sesaat matanya bertemu dengan mata Lili dan pemuda itu kemudian
mengerutkan keningnya dengan hati penuh kekuatiran. Ia kuatir sekali
kalau-kalau gadis itu akan bentrok dengan Wi Kong Siansu, karena dia pun maklum
bahwa kepandaian Lili masih kalah jika dibandingkan dengan kepandaian gurunya.
Akan tetapi
Lili yang tabah sekali tidak mempedulikan Wi Kong Siansu, bahkan dengan
tenangnya lalu mencari meja yang masih kosong. Meja satu-satunya yang kosong
adalah meja yang berada dekat meja Wi Kong Siansu itu. Akan tetapi, dengan
langkah tenang dan gagah Lili mengajak suhu-nya duduk menghadapi meja itu!
Wi Kong
Siansu seolah-olah tidak mengetahui kedatangan nona yang pernah merasakan
kelihaian totokannya. Ia sedang bercakap-cakap dengan orang yang bertopi.
Nampaknya mereka sedang berdebat tentang sesuatu.
Orang bertopi
itu adalah seorang jago silat dari Shantung, seorang ahli gwakang yang
mempunyai tenaga gajah. Namanya Can Po Gan, dan orang yang bertubuh kecil dan
bermuka buruk itu adalah adiknya bernama Can Po Tin.
Sungguh pun
dia kecil dan buruk, akan tetapi kelirulah kalau orang memandang rendah
kepadanya, karena ilmu kepandaiannya bahkan lebih lihai dari pada kakaknya. Apa
pula Can Po Tin terkenal mempunyai kecerdikan dan kelicinan yang luar biasa
sehingga di kalangan kang-ouw dia diberi nama poyokan Si Belut! Secara
kebetulan sekali, di kota ini mereka bertemu dengan Wi Kong Siansu yang telah
mereka kenal dan mereka kagumi, maka mereka lalu bercakap-cakap dengan asyiknya
di restoran itu.
Biar pun
matanya tidak memandang ke arah meja di mana Wi Kong Siansu, Song Kam Seng, dan
kedua orang sudara Can itu bercakap-cakap, akan tetapi Lili tertarik juga akan
percakapan mereka dan mendengarkan sambil minum air teh yang tadi dipesannya
dari pelayan.
Ketika Lo
Sian memandang kepadanya dengan mata bertanya, Lili segera mencelupkan
telunjuknya ke dalam cawan tehnya, dan menggunakan jari telunjuk yang basah itu
untuk menulis huruf-huruf di atas meja agar Lo Sian dapat membacanya. Ia
menulis nama Wi Kong Siansu.
Lo Sian
terkejut membaca nama ini karena telah beberapa kali Lili bercerita kepadanya
mengenai tosu ini yang sangat tinggi kepandaiannya dan yang diakui oleh Lili
bahwa dia pernah roboh oleh totokan tosu itu! Juga Lili pernah menceritakan
bahwa Wi Kong Siansu ini adalah suheng dari Ban Sai Cinjin yang terkenal jahat.
Diam-diam Lo Sian juga turut memperhatikan orang-orang itu dan mendengarkan
percakapan mereka.
“Wi Kong
Totiang tadi berkata benar, Twako,” terdengar Si Kecil Buruk berkata kepada
kakaknya yang mukanya nampak tidak percaya. “Betapa pun besarnya tenaga gwakang,
akan celakalah kalau menghadapi seorang ahli lweekeh, karena tenaga kasar itu
hanya akan terbuang sia-sia.”

“Betapa pun
juga sukar untuk dapat dipercaya!” bantah Can Po Gan sambil memandang pada Wi
Kong Siansu. “Aku lebih percaya bahwa tingkat kepandaian seseoranglah yang
menentukan kemenangan. Tentu saja, kalau misalnya aku menghadapi Wi Kong
Totiang yang tingkatnya lebih tinggi dariku, aku pasti akan kalah, tidak peduli
Wi Kong Totiang mempergunakan gwakang mau pun lweekang. Akan tetapi kalau aku menghadapi
orang setingkat, biar pun dia ahli lweekeh, agaknya belum tentu aku akan
kalah!”
Adiknya, Tan
Po Tin tertawa hingga Lili merasa bulu tengkuknya meremang mendengar suara
ketawa yang tinggi kecil seperti suara ketawa seorang perempuan itu. Orang yang
suara bicaranya demikian parau dan besar bagaimana bisa tertawa seperti itu?
“Twako, kau
tidak tahu. Kalau kau menghadapi orang yang ilmu kepandaian dan tenaga
lweekang-nya seperti Pendekar Bodoh, tenagamu yang besar takkan ada gunanya
lagi.”
Marahlah Can
Po Gan mendengar ini.
“Hemm, ingin
sekali aku mencoba tenaga lweekang dari Pendekar Bodoh yang banyak
didengung-dengungkan orang itu! Hendak kulihat apakah tenaganya ada selaksa
kati!”
Wi Kong
Siansu tersenyum. “Harapanmu akan terkabul, Can-sicu. Akan tetapi sebelum kau
bertemu dengan dia, lebih baik kau berhati-hati dan jangan terlampau mengandalkan
tenagamu. Dengan ilmu silat Hui-houw Ciang-hoat (Ilmu Silat Pukulan Harimau
Terbang) agaknya kau masih akan mampu menghadapinya, akan tetapi kalau kau
mengandalkan tenagamu, jelas kau sudah keliru. Ketahuilah bahwa di antara
ahli-ahli lweekeh ada yang menyatakan bahwa tenaga gwakang amat lemahnya
sehingga tidak dapat menarik putus sehelai rambut. Dan kata-kata ini memang ada
betulnya!”
“Totiang,
mengapa kau pun memandang amat rendahnya kepada tenaga orang? Hendak kusaksikan
sendiri kebenaran kata-kata sombong ini.” Kini Can Po Gan yang berangasan
menjadi marah dan penasaran sekali.
“Kau ingin
bukti? Nah, mari kita buktikan supaya dapat menambah pengalaman dan kau bisa
bertindak hati-hati,” jawab Wi Kong Siansu yang segera mencabut sehelai rambut
jenggotnya yang panjang. Ia memegang rambut itu pada ujungnya dan berkata,
“Can-sicu,
coba kau tarik rambut ini dan kita sama-sama lihat apakah kau dapat menarik
putus rambut ini!”
Can Po Gan
tertawa keras dan ia segera menjepit ujung rambut itu dengan jari telunjuk dan
ibu jarinya.
“Awas,
Totiang, sekali tarik saja, akan putuslah rambut ini,” katanya dan ia
mengerahkan tenaganya menarik.
Akan tetapi
sungguh heran! Ketika ditarik, rambut itu tidak menjadi putus, hanya mulur
sedikit. Ia lalu menambah tenaganya dan tahu-tahu rambut yang terjepit di
antara kedua jarinya itu terlepas, akan tetapi tidak putus!
Kembali
terdengar suara ketawa yang kecil aneh dari Can Po Tin.
“Ingat,
Twako. Rambut itu mempunyai tenaga lemas, apa lagi berada di dalam tangan Wi
Kong Tosu! Mana kau bisa memutuskannya?”
“Rambut itu
terlalu licin!” kata Can Po Gan penasaran. “Kalau tidak terlepas, tentu aku
akan dapat memutuskannya!”
“Boleh kau
coba sekali lagi, Can-sicu,” kata Wi Kong Siansu.
Kembali Can
Po Gan memegang ujung rambut itu dan mulai menariknya. Rambut itu menegang
sehingga menjadi makin kecil.
Lili yang
tadi mendengar nama ayahnya disebut-sebut, menjadi mendongkol sekali. Dia
maklum bahwa Wi Kong Siansu pasti telah melihatnya, karena mustahil seorang
memiliki kepandaian tinggi seperti tosu itu tidak melihatnya yang duduk
demikian dekat.
Melihat
betapa tosu itu tidak pernah mempedulikannya, bahkan berani bercakap-cakap
membicarakan ayahnya, tanda bahwa pendeta itu tidak memandang mata kepadanya,
membuat gadis ini marah sekali. Dia tidak merasa takut sedikit pun juga, meski
pun dia maklum akan kelihaian Wi Kong Siansu.
Melihat
pertapa itu bersama orang bertopi itu kembali akan mendemonstrasikan tenaga
lweekang dan gwakang, Lili lantas mengambil sebuah uang mas dari saku bajunya
dan memegang uang itu di antara jari-jari tangan kirinya. Ia menanti dan
melihat ke arah Wi Kong Siansu yang masih saja mengadu tenaga melalui rambut
itu dengan Can Po Gan. Setelah dilihatnya bahwa rambut itu telah menjadi tegang
dan kecil akan tetapi tetap saja tidak dapat putus, tiba-tiba Lili lalu
menggunakan jari tangannya menyentil uang emas di tangannya itu.
“Tingg...!”
Nyaring sekali suara ini saat uang emas itu terkena sentilannya dan terlempar
ke udara.
“Ahh...!” Wi
Kong Siansu dan Can Po Gan berseru kaget karena ketika terdengar suara yang
nyaring itu, rambut yang mereka tarik telah putus dengan tiba-tiba sekali.
Tadinya Can
Po Gan mengira bahwa dia sudah menang dalam pertandingan ini. Akan tetapi dia
merasa heran sekali ketika melihat Wi Kong Siansu dan adiknya, Can Po Tin,
tidak memandang kepadanya dengan kagum, sebaliknya menengok dan memandang ke
arah meja di sebelah kirinya dan anehnya, pandang mata Wi Kong Siansu nampak
amat marah.
Dia pun segera
menengok dan baru kali ini Can Po Gan melihat wajah Lo Sian yang kebetulan juga
sedang memandang kepadanya.
“Sin-kai Lo
Sian!” Can Po Gan berseru ketika dia melihat dan mengenal kakek pengemis ini.
Akan tetapi tentu saja Lo Sian tidak mengenalnya dan mendengar namanya disebut,
ia memandang dengan tajam.
Sementara
itu, Wi Kong Siansu telah bangkit berdiri dan berkata kepada Lili,
“Hemm,
puteri Pendekar Bodoh, engkau sungguh lancang dan jail seperti ayahmu! Akan
tetapi aku harus menyatakan kagum atas ketabahan hatimu. Apakah kau masih belum
mengaku kalah terhadapku?”
Lili tetap
duduk di bangkunya saat dia menjawab dengan suara dingin, “Wi Kong Siansu,
menang dan menang merupakan dua macam hal yang jauh berlainan! Menang dengan
mutlak adalah kemenangan yang dicapai dengan cara jujur dan berterang. Tapi ada
pula kemenangan yang dicapai dengan kecurangan dan dengan jalan pengeroyokan.
Dahulu kemenanganmu terhadap aku adalah kemenangan yang kedua ini. Siapa mau
mengaku kalah terhadap kau? Seperti juga tadi, kau katakan rambut jenggotmu itu
tak dapat putus, bukankah dengan suara uang emasku saja sudah dapat terputus?
Apakah hal ini boleh dianggap kau telah kalah pula terhadapku?”
“Bocah
bermulut lincah! Apakah kau datang ini sengaja hendak memancing pertempuran
dengan pinto?” Wi Kong Siansu bertanya penasaran.
“Tidak ada
yang memancing pertempuran. Aku masuk ke dalam rumah makan umum untuk makan,
apa salahnya dan siapa berhak melarangku?”
“Akan
tetapi, mengapa tadi kau berlancang tangan memutuskan rambutku dengan suara
uangmu?” Wi Kong Siansu makin penasaran.
“Siapa pula
menyuruh kalian membawa-bawa nama ayahku dalam percakapan kalian?” balas Lili.
Tiba-tiba Wi
Kong Siansu tertawa bergelak. “Betul pandai! Aku mengaku kalah berdebat dengan
engkau. Bagus, tolong kau sampaikan kepada ayahmu, bahwa kalau dia berani, aku
mengundangnya untuk menentukan siapa yang lebih unggul, kelak pada musim semi
tahun depan di puncak Thian-san! Jika dia tidak datang, akan kuanggap bahwa
Pendekar Bodoh hanya namanya saja yang besar, akan tetapi nyalinya kecil!”
“Siapa takut
kepadamu?” kata Lili marah. “Jangan kata Ayah, aku sendiri pun tidak takut dan
akan datang pada waktu itu!”
Wi Kong
Siansu duduk kembali, tidak mau mempedulikan lagi kepada Lili. Akan tetapi,
kedua saudara Can itu memandang dengan hati penuh penasaran. Bagaimana seorang
tokoh besar seperti Wi Kong Siansu dapat bercakap-cakap dengan seorang gadis
muda seakan-akan bicara dengan orang yang sama tinggi kedudukannya dalam
kepandaian silat?
Pula, Can Po
Gan yang mendengar bahwa gadis ini adalah puteri Pendekar Bodoh, dan bahwa
putusnya rambut tadi adalah disebabkan oleh gadis itu yang membunyikan uang
emas dengan nyaringnya, dia menjadi amat penasaran. Ia memandang dengan senyum
mengejek dan berkata,
“Jadi inikah
puteri Pendekar Bodoh? Ehhh, Nona, kau duduk semeja dengan Sin-kai Lo Sian,
apamukah dia?” tanya Can Po Gan dengan kasar dan menyeringai.
“Dia adalah
Suhu-ku, kau mau apa tanya-tanya?” Lili yang memiliki hati tabah itu balas
bertanya dengan kasar.
Tidak saja
kedua saudara Can itu yang terheran, bahkan Wi Kong Siansu juga tertegun
mendengar ucapan ini. Ia juga pernah melihat Lo Sian dan sudah mendengar pula
akan kepandaian Pengemis Sakti ini, akan tetapi apa bila dibandingkan dengan
kepandaian gadis puteri Pendekar Bodoh itu, Si Pengemis Sakti akan kalah jauh!
Hanya Kam
Seng seorang yang menundukkan mukanya, diam-diam dia mengagumi Lili yang masih
terus mengaku guru kepada Lo Sian meski pun gadis itu kini telah memiliki
kepandaian yang jauh lebih tinggi dari pada Lo Sian!
Terdengar
suara ketawa yang menyeramkan dari Can Po Tin ketika dia mendengar ini.
“Sin-kai Lo Sian, benar-benarkah Nona ini muridmu? Dan muridmu sudah berani
berlaku kurang ajar terhadap Wi Kong Siansu, kau diamkan saja? Alangkah kurang
ajar dan tak tahu adat kau ini!”
Akan tetapi
dengan tenang Lo Sian menjawab dengan suaranya yang dalam, “Kalian ini
siapakah? Aku tidak kenal dengan Ji-wi (Tuan Berdua), akan tetapi mengapa Jiwi
hendak menggangguku?”
Mendengar
jawaban ini, kedua saudara Can itu melengak. Akhirnya Can Po Gan yang
berangasan itu lalu bangkit berdiri dan dengan langkah lebar ia menghampiri Lo
Sian.
“Pengemis
jembel! Kau pura-pura tidak mengenal kami? Dulu kami pernah mengampuni jiwa
anjingmu dan sekarang kau masih berani berlaku demikian kurang ajar dan tidak
memandang mata? Agaknya kau minta dihajar lagi!”
Sambil
berkata demikian, tangan kanan orang berangasan ini melayang dari atas dan
memukul lengan tangan Lo Sian yang diletakkan di atas meja. Lo Sian cepat
menarik lengannya dan…
“Brakk!”
Kepalan
tangan Can Po Gan yang keras itu bagaikan palu baja menimpa meja sehingga
tembus! Cawan air teh di depan Lili melayang ke atas dengan cepat karena
getaran meja itu sehingga kalau tidak cepat-cepat Lili menangkapnya, tentu
isinya akan tumpah. Gadis ini menjadi marah sekali dan cepat dia berdiri,
sementara itu Lo Sian sudah melompat ke belakang untuk menghindarkan diri dari
serangan selanjutnya.
“Buaya
darat!” Lili memaki sambil memandang dengan mata berapi. “Kepandaian macam itu
saja kau pamerkan di sini? Apakah kau tukang jual obat kuat?”
Can Po Gan
memandang kepada Lili dengan senyum mengejek menghias pada bibirnya yang tebal.
“Apa kau tidak takut melihat tanganku ini?” Ia mengacungkan kepalan tangan
kanannya yang kini menjadi kemerah-merahan.
Melihat
cahaya merah yang menjalar di sepanjang lengan tangan yang sangat besar itu,
diam-diam Lili terkejut dan mengetahui bahwa lengan tangan itu mempunyai
kekuatan Ang-see-jiu yang berbahaya. Akan tetapi ia tidak takut, bahkan ia lalu
membuka telapak tangannya, mengulurkan ke depan dan berkata,
“Siapa sih
takut kepada lengan tangan kasar berbulu macam itu? Gunanya paling banyak hanya
untuk memukul meja atau menakut-nakuti orang.”
“Bocah
bermulut lancang! Kepalamu pun akan tertembus terkena pukulanku,” kata Can Po
Gan.
Lili
tersenyum dingin. “Begitukah? Coba kau tembuskan telapak tanganku ini, kalau
dapat membuat aku merasa sakit, aku mau berlutut di hadapan kakimu dan
mengangkat kau sebagai Sucouw (Kakek Guru)!”
“Kau
menantang?!”
“Beranikah
kau memukul tanganku?”
“Siapa
takut? Awas, kuhancurkan tanganmu yang kecil halus!” Setelah berkata demikian,
Can Po Gan langsung melakukan pukulan keras ke arah telapak tangan Lili yang
sejak tadi diperlihatkan kepadanya.
Tanpa dapat
terlihat oleh orang lain, karena gerakannya sangat cepat, tangan gadis itu lalu
bergeser sedikit dan jari telunjuknya menyentil dengan cepat dan keras ketika
lengan tangan lawannya itu meluncur lewat menyerempet telapak tangannya.
“Aduhh...!”
Can Po Gan
menarik kembali lengannya, akan tetapi ia tak dapat menggerakkan lengan tangan
kirinya yang kini telah menjadi kaku seperti sepotong kayu itu!
Ternyata
ketika tadi dia memukul, dari gerakan anginnya saja Lili sudah dapat mengelak
sedikit tanpa menggerakkan lengan, hanya menggerakkan pergelangan tangannya,
lalu dia sudah melakukan sentilan jari telunjuk untuk menotok jalan darah pada
pergelangan siku lawannya!
“Jangan kau
main-main terhadap gadis itu Sicu!” kata Wi Kong Siansu yang kini sudah
melangkah maju.
Dengan
beberapa kali urutan serta tepukan, totokan itu dapat dibebaskan dari lengan
tangan Can Po Gan. Akan tetapi Can Po Gan dan Can Po Tin sudah menjadi marah
sekali dan mereka lalu mencabut golok masing-masing, siap maju menggempur Lili.
Akan tetapi,
sambil mengeluarkan seruan nyaring, tubuh Lili mencelat ke atas meja dan
sekarang ia telah berdiri di atas meja dengan tangan memegang sebatang pedang
yang berkilauan saking tajamnya, yakni pedang Liong-coan-kiam!
“Kalian mau
mencari mampus? Boleh, boleh, majulah!” tantangnya dengan sikap gagah sekali.
Melihat ini,
kedua saudara Can itu menjadi gentar juga. Sesungguhnya, kekalahan Can Po Gan tadi
bukan karena ilmu kepandaiannya jauh di bawah tingkat kepandaian Lili, akan
tetapi terjadi oleh karena kurang hati-hatinya dan kesembronoannya, juga karena
tadinya dia memandang rendah. Sekarang melihat ketabahan dan kekerasan gadis
itu, apa lagi mengingat bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh,
setidaknya mereka menjadi ragu-ragu. Wi Kong Siansu lalu maju pula dan mencegah
mereka.
“Ji-wi
Can-sicu, tak perlu membikin ribut di sini. Kelak saja pada permulaan musim
semi tahun depan, kita mempunyai kesempatan banyak untuk mengadu tenaga dengan
Nona ini.”
“Baiklah,
kami akan menanti datangnya saat itu dengan hati tidak sabar,” kata Can Po Gan
sambil duduk kembali dan menyimpan senjatanya.
Ada pun Lili
pada saat melihat sikap lawannya ini, juga tidak mau mendesak lebih lanjut,
karena gadis ini bukan tidak tahu bahwa kalau sampai terjadi pertempuran dan Wi
Kong Siansu turun tangan, sukar sekali bagi dia dan suhu-nya untuk mencapai
kemenangan.
Lili
melompat turun, menyimpan pedangnya dan memberi ganti kerugian kepada pelayan
restoran, kemudian ia mengajak suhu-nya untuk cepat-cepat meninggalkan tempat
itu, karena kini dia menjadi perhatian semua orang yang tadi menyaksikan
peristiwa itu.
“Jangan lupa
sampaikan undanganku kepada ayahmu!” Wi Kong Siansu masih berseru keras ketika
Lili dan Lo Sian sudah tiba di luar restoran.
Gadis itu
tak menjawab karena ia merasa mendongkol sekali. Terang-terangan ayahnya
ditantang oleh tosu itu dan dia merasa penasaran sekali tidak dapat menghadapi
tosu itu sekarang juga!
Ketika tiba
di Shaning dan memasuki rumah keluarga Sie, Lo Sian disambut oleh Cin Hai dan
Lin Lin dengan penuh penghormatan. Kedua suami-isteri pendekar ini merasa amat
berterima kasih kepada Lo Sian dan mereka menyambutnya sebagai seorang penolong
besar.
Sebaliknya
Lo Sian merasa amat canggung dan juga kagum, melihat sepasang suami isteri yang
namanya sudah terkenal di seluruh penjuru bumi Tiongkok, akan tetapi yang
ternyata bersikap ramah tamah dan sederhana, juga suami-isteri itu sangat
tampan dan cantik.
Pada waktu
mendengar penuturan Lili mengenai keadaan Lo Sian, Cin Hai dan Lin Lin
mengerutkan keningnya. Apa lagi kelika mereka mendengar bahwa Lo Sian merasa
pasti akan kematian Lie Kong Sian, kedua orang ini menjadi amat berduka.
“Apakah kau
tidak dapat mengingat di mana dan bagaimana cara Lie-suheng menemui
kematiannya?” tanya Cin Hai.
Akan tetapi
Lo Sian menggeleng kepalanya. “Menyesal sekali, Taihiap. Ingatanku sudah lenyap
sama sekali, dan aku sendiri pun tidak tahu mengapa aku bisa berhal seperti
ini. Sudah kucoba untuk mengerahkan seluruh ingatan, namun hasilnya nihil
belaka. Hanya dapat kurasakan dan agaknya sudah terukir dalam-dalam di hatiku
bahwa Lie Kong Sian Taihiap sudah tewas, entah dengan cara bagaimana dan di
mana, tapi yang sudah pasti menurut perasaan hatiku, tewas dalam cara yang amat
mengerikan!”
“Suhu sudah
lupa segala macam peristiwa yang lalu, Ayah. Bahkan nama sendiri pun dia telah
lupa. Akan tetapi pada waktu aku menjumpai Suhu dalam keadaan lupa ingatan dan
rusak pikiran, Suhu berseru-seru ketakutan dan mengucapkan kata-kata 'pemakan
jantung', entah apa yang dimaksudkan.”
Mendengar
kata-kata ini, wajah Lo Sian berubah agak pucat dan dia menghela napas
berkali-kali. “Ucapan ini sudah sering kali membuatku tak dapat tidur. Aku
sendiri merasa bahwa dalam ucapan ini terkandung hal yang amat hebat, akan
tetapi sayang sekali, aku tak dapat mengingatnya lagi.”
Cin Hai dan
Lin Lin merasa sangat kasihan melihat keadaan penolong puterinya ini dan tahu
bahwa orang ini perlu beristirahat dan mendapatkan hiburan. Maka ia merasa
girang sekali mendengar keinginan Lili untuk menahan suhu-nya tinggal di situ.
Mereka
menyatakan persetujuan mereka, bahkan mereka setengah memaksa Lo Sian untuk
tinggal di sana, sehingga lenyaplah keraguan dan kesungkanan dari hati Lo Sian.
Semenjak saat itu, dia tinggal bersama Pendekar Bodoh dan menempati kamar bekas
tempat tinggal Yousuf yang masih dibiarkan kosong.
Ketika Cin
Hai dan isterinya mendengar penuturan Lili mengenai Wi Kong Siansu yang
menantang mereka untuk mengadu kepandaian di puncak Thian-san pada musim semi
tahun depan, Cin Hai hanya tersenyum saja dan berkata tenang,
“Wi Kong
Siansu seperti anak kecil saja. Betapa pun juga, undangan macam ini tak boleh
tidak harus disambut dengan gembira.”
Sebaliknya,
Lin Lin berkata dengan muka merah, “Pendeta sombong! Kalau memang dia merasa
penasaran dan hendak mencoba kepandaian, mengapa dia tidak terus datang saja
sekarang? Siapa yang takut menghadapinya?”
Mendengar
percakapan suami-isteri ini, Lo Sian menjadi kagum sekali. Sikap Pendekar Bodoh
demikian tenang dan tabah sebagaimana layaknya sikap seorang pendekar besar
yang telah luas sekali pengetahuannya. Dan sikap Lin Lin demikian gagahnya,
sehingga mengingatkan Lo Sian kepada watak Lili.
“Menurut
pendapatku yang bodoh, orang yang mengundang pibu dengan menyebutkan waktu dan
tempat tertentu harus dihadapi dengan hati-hati. Kalau Wi Kong Siansu telah
menetapkan waktu tahun depan dan mengambil tempat di puncak Thian-san, tentulah
dia telah merencanakan hal ini dengan semasak-masaknya dan takkan mengherankan
apa bila Taihiap kelak tak hanya akan bertemu dengan dia seorang saja, akan
tetapi dengan orang-orang lain yang lihai.”
Cin Hai
mengangguk-angguk, ada pun Lin Lin segera berkata dengan wajah berseri-seri,
“Lo-twako, mendengar bicaramu aku jadi teringat kepada mendiang ayah angkatku!
Kau sama benar dengan ayah, hati-hati dan jauh pandangan.”
Sebentar
saja Lo Sian merasa cocok dan suka sekali dengan sepasang pendekar besar itu
yang menyebutnya twako (kakak tertua), sedangkan Lili lalu menyebut dirinya
twa-pek (uwa).
***************
Sesudah
selama sepekan bersama Goat Lan menjaga di Istana Pengemis untuk menanti
kalau-kalau pihak Coa-tung Kai-pang datang membikin pembalasan, dan ternyata
tidak terjadi sesuatu, maka Hong Beng kemudian minta diri dari kelima saudara
Hek. Bersama dengan tunangannya dia lalu berangkat menyusul Lili ke kota Kiciu,
tempat tinggal Thian Kek Hwesio, ahli pengobatan di kuil Siauw-lim-si itu.
Thian Kek
Hwesio menerima mereka dengan girang sebab memang sudah lama ia kenal dan
mengagumi Goat Lan, murid tersayang dari sahabat baiknya, Sin Kong Tianglo. Ia
merasa makin gembira ketika mendengar betapa Goat Lan sudah berhasil
mendapatkan To-hio-giok-ko obat satu-satunya untuk penyakit putera kaisar.
Pada waktu
Goat Lan menyatakan terus terang bahwa ia hendak ke Tiang-an dulu untuk
mengambil kitab Thian-te Ban-yo Pit-kip untuk mempelajari cara mempergunakan
dua macam obat itu, Thian Kek Hwesio segera berkata,
“Tidak usah,
Nona. Tidak perlu kau membuang waktu untuk mengambil jalan memutar. Penyakit
putera kaisar sudah payah sekali dan kalau kau tidak cepat-cepat pergi ke kota
raja dan segera mengobatinya, mungkin kau akan terlambat dan pengharapan
mendiang sahabat baikku akan sia-sia belaka.”
Terkejut
Goat Lan ketika dia mendengar ucapan ini. “Habis bagaimana baiknya, Losuhu? Aku
tidak tahu apa macamnya penyakit yang diderita oleh Pangeran Muda itu dan tidak
tahu cara bagaimana harus mempergunakan obat yang langka ini.”
“Jangan
kuatir, pinceng pernah mendengar keterangan dari sabahat baikku gurumu itu.
Baiklah kubentangkan sedikit agar supaya lebih jelas bagimu. Penyakit yang
diderita oleh Pangeran Mahkota ini adalah semacam penyakit di dalam usus besar.
Menurut gurumu, usus besar itu terluka hebat dan di sana terdapat bisul yang
sudah pecah dan menjadi semacam luka yang makin lama makin menghebat. Oleh
karena itulah, maka Pangeran Muda itu selalu mengeluarkan kotoran darah dan
tubuhnya lemas, perutnya terasa sakit. Bila mana kau sudah menghadap Hong-siang
(Kaisar) dan Hong-houw (Permaisuri) dan dibawa ke tempat si sakit, terlebih
dahulu kau harus memberinya sebuah Giok-ko (Buah Mutiara) untuk dimakan
mentah-mentah. Khasiat Giok-ko ini untuk membersihkan darah sehingga daya
penolak luka di dalam itu akan menjadi kuat. Kemudian, To-bio (Daun Golok) itu
boleh kau rebus dengan air sampai airnya tinggal satu bagian, lalu berikan
untuk diminum. Daun ini sarinya manjur sekali untuk mengeringkan lukanya.
Setelah tiga hari berturut-turut kau memberi obat To-hio-giok-ko kepada
Pangeran, selanjutnya dapat kau lakukan pengobatan dengan obat-obat penguat
tubuh serta pembersih darah seperti biasa, bahkan sangat baik kalau kau
mempergunakan juga tiam-hoat (ilmu totok) untuk melancarkan jalan darah!”
Setelah
mendapat keterangan demikian, Goat Lan lalu minta diri untuk segera menuju ke
kota raja. Kepada Hong Beng ia berkata setelah keluar dari kuil itu.
“Koko, kau
dengar sendiri bahwa aku harus segera ke kota raja untuk mengobati putera
Kaisar, demi menjaga dan menjunjung nama baik dan kehormatan mendiang Suhu Sin
Kong Tianglo. Apakah kau hendak menyusul Lili, ataukah...?”
Goat Lan tak
dapat melanjutkan kata-katanya karena sesungguhnya hatinya masih ingin sekali
melakukan perjalanan dengan tunangan yang gagah berani dan tampan ini. Tentu
saja sebagai seorang gadis yang sopan dan tinggi hati, ia tidak dapat
menyatakan suara hatinya.
Seperti
halnya Goat Lan, meski pun dia seorang laki-laki namun Hong Beng juga masih
sungkan dan malu-malu. Dia pun tak pandai menyatakan perasaan hati melalui
bibirnya, maka dengan muka merah ia menjawab,
“Lan-moi,
sebetulnya aku pun ingin sekali ke kota raja, dan... dan aku kuatir kalau-kalau
para tokoh kang-ouw yang merasa iri hati terhadap mendiang suhu-mu, akan datang
lalu mengganggu dan menghalangimu mengobati putera Kaisar.”
“Aku pun
berpikir demikian, Koko. Bukan tak mungkin sekarang sudah ada banyak yang
mengincar gerak-gerikku.”
“Biarlah aku
mengawanimu sampai selesai tugasmu ini, Moi-moi, tetapi... kalau kau tidak
keberatan.”
“Mengapa
keberatan?” Goat Lan memandang kepada tunangannya yang kebetulan juga menatap
wajahnya.
Dua pasang
mata kembali bertemu untuk kesekian kalinya dan keduanya menundukkan muka
dengan wajah merah dan bibir tersenyum. Pada saat seperti itu tak perlu
kata-kata lagi. Mereka sudah saling mendengar seribu satu ucapan yang keluar
dari hati masing-masing.
“Hayo kita
berangkat!” Akhirnya Hong Beng memecahkan kesunyian yang menekan dan membuat
mereka merasa canggung. Keduanya lalu berlari cepat menuju ke kota raja.
Memang
kekuatiran kedua orang muda ini betul-betul terjadi. Di dalam kota raja
terdapat komplotan yang sudah siap sedia menghalangi semua usaha mengobati
Pangeran yang sedang rebah menderita sakit yang amat berat. Mereka ini
dikepalai oleh seorang selir kaisar yang juga mempunyai putera dan yang
mengharapkan agar puteranya kelak yang menggantikan kedudukan kaisar apa bila
pangeran itu meninggal dunia karena sakitnya.
Selir kaisar
inilah yang mengharapkan kematian putera Kaisar. Ia telah mempercayakan
pelaksanaan semua urusan ini kepada seorang pembesar tinggi yang kini menjadi
kepala pengawal istana dan bernama Bu Kwan Ji, yang sesungguhnya sudah lama
mempunyai hubungan gelap dengan selir kaisar itu!
Bu Kwan Ji
adalah seorang yang pandai ilmu silat, termasuk perwira kelas satu di kota
raja, dan mempunyai banyak kawan sepaham terdiri dari para perwira bayangkari
yang tinggi ilmu silatnya. Para kawan-kawannya pun maklum akan keadaan Bu Kwan
Ji yang dikasihi oleh Kaisar dan selirnya, dan bahwa Bu Kwan Ji mempunyai
banyak harapan bagus di masa depan. Maka tentu saja mereka suka membantu supaya
kelak ikut pula merasakan kesenangan.
Rombongan
pengkhianat ini lalu minta bantuan pula dari tiga orang tabib yang paling
terkenal di kota raja. Mereka mengadakan hubungan dan Bu Kwan Ji menjanjikan
upah besar dan pembagian keuntungan apa bila kelak ia dapat menduduki kursi
tinggi.
Memang harta
benda dan pangkat dapat memabukkan manusia dan dapat membutakan mata batin
manusia. Tiga orang tabib itu bukanlah orang sembarangan, bahkan ilmu silat dan
ilmu pengobatan mereka sudah amat terkenal di kalangan kang-ouw.
Yang seorang
bernama Ang Lok Cu, seorang pendeta dan pertapa yang terkenal dari Bukit
Kun-lun-san. Orang ke dua dan ke tiga adalah dua orang hwesio gundul, kakak
beradik seperguruan yang tinggi ilmu silat serta ilmu pengobatan mereka. Mereka
ini bernama Cu Tong Hwesio dan Cu Siang Hwesio.
Kedua orang
hwesio ini dahulu pernah belajar ilmu pengobatan dari Thian Kek Hwesio. Akan
tetapi setelah dapat menduga bahwa dua orang hwesio ini bukanlah orang-orang
yang berhati teguh dan suci, Thian Kek Hwesio menghentikan pelajaran mereka.
Ada pun Ang Lok Cu adalah murid dari seorang tosu perantau yang sangat ahli
dalam ilmu pengobatan.
Tadinya,
tiga orang pendeta ini datang ke kota raja untuk mencoba kepandaian mereka
mengobati putera Kaisar, akan tetapi mereka tak berhasil. Kemudian mereka
mendengar tentang kesanggupan Sin Kong Tianglo, maka mereka lalu menjadi iri
hati dan bersama beberapa orang tokoh kang-ouw mereka menjumpai Sin Kong
Tianglo dan memperolok-olokannya dan memanaskan hati Sin Kong Tianglo hingga kakek
sakti ini pergi mencari obatnya dan akhirnya menjumpai kematian di daerah
dingin itu.
Ketika Bu
Kwan Ji mendengar tentang kekecewaan dan iri hati dari tiga orang pendeta ini,
maka dia lalu datang menghubunginya dan kini ketiga orang pendeta ini menerima
tugas untuk mencegah pengobatan untuk putera Kaisar ini. Melalui selir Kaisar,
Bu Kwan Ji berhasil membuat Kaisar mengangkat ketiga orang pendeta itu menjadi
tabib-tabib penjaga putera Kaisar, dan mereka inilah yang berhak memeriksa
obat-obat yang akan diminumkan kepada yang sakit.
Dengan
demikian, maka bukanlah tugas yang ringan bagi Goat Lan untuk mengobati putera
Kaisar itu, karena menghadapi segerombolan serigala kejam tanpa diketahuinya
lebih dulu di mana serigala-serigala itu bersembunyi. Baiknya dia dan Hong Beng
sudah dapat menduga terlebih dulu bahwa tugasnya ini tentu akan mengalami
halangan pihak yang memusuhinya.
Halangan
pertama dijumpai oleh Goat Lan dan Hong Beng pada saat mereka telah tiba di
kota raja dan hendak menghadap Kaisar. Yang menerima adalah kepala bayangkari
yang juga telah menjadi kaki tangan Bu Kwan Ji, maka tidak mudah bagi kedua
orang muda ini untuk menghadap Hong-siang (Kaisar). Mereka lalu dibawa masuk ke
dalam sebuah kantor besar di mana duduk Bu Kwan Ji yang memeriksa mereka.
“Kalian ini
dari manakah dan dari siapakah kalian membawa obat untuk putera Kaisar?” tanya
Bu Kwan Ji dengan pandangan mata tajam.
Mendengar
pertanyaan yang kasar ini, Goat Lan mengerutkan keningnya. Akan tetapi Hong
Beng yang tahu akan kekerasan hati Goat Lan, mewakili tunangannya menjawab,
“Kami
mewakili Yok-ong (Raja Obat) Sin Kong Tianglo dan membawa obat penyembuh
penyakit Pangeran. Harap saja Ciangkun sudi membawa kami untuk menghadap kepada
Hong-siang atau langsung membawa kami kepada yang sakit agar supaya pengobatan
tidak terlambat.”
“Mudah saja
kau bicara hendak mengobati Pangeran!” tiba-tiba Bu Kwan Ji membentak marah.
“Aku telah bosan mendengar ocehan segala macam tukang obat. Sudah ratusan ahli
pengobatan yang tua-tua dan berpengalaman tidak berhasil menyembuhkan Beliau,
dan kalian ini orang-orang muda berani sekali membawa obat palsu. Apakah kalian
tidak menyayangi jiwa sendiri? Awas, pengobatan yang tidak berhasil akan
membuat kalian ditangkap dan menerima hukuman berat!”
Goat Lan
menjadi mendongkol sekali dan cahaya berapi sudah muncul pada sepasang matanya.
Ingin sekali ia maju dan menampar mulut perwira ini, akan tetapi kembali Hong
Beng yang menyabarkannya karena pemuda ini telah berkata pula kepada Bu Kwan
Ji,
“Maaf,
Ciangkun. Kami datang dengan maksud menolong. Dulu Yok-ong sudah berjanji
hendak menyembuhkan penyakit putera Kaisar, dan sekarang muridnya ini telah
datang membawa obat itu. Berilah kami kesempatan untuk menolong nyawa putera
Kaisar yang sakit.”
“Hemm,
benarkah kau murid dari Yok-ong Sin Kong Tianglo?” tanya Bu Kwan Ji kepada Goat
Lan. “Dan kau benar-benar sudah mendapatkan obat yang manjur untuk mengobati
penyakit putera Kaisar?”
“Benar!”
jawab Goat Lan singkat.
“Kalau
begitu, kau tinggalkan obat itu kepadaku agar aku dapat memberi perintah kepada
tabib-tabib istana untuk meminumkan obat itu kepada Pangeran.”
“Tidak bisa
demikian!” Goat Lan berkata gemas. “Obat itu tidak boleh diminumkan oleh orang
lain, harus aku sendiri yang mengobatinya.”
“Kalau
begitu, pergilah kalian dari sini!” Bu Kwan Ji menggebrak meja.
Mendengar
ucapan ini, Goat Lan bangkit berdiri dari tempat duduknya. “Bagus! Macam apakah
perwira seperti kau ini? Kau kira kami takut kepadamu? Kami datang hendak
menolong putera Kaisar dan kau sengaja mengusir kami? Kalau kami melaporkan hal
ini kepada Hong-siang, aku kuatir kau takkan dapat mempertahankan pangkatmu
lagi!”
Bu Kwan Ji
memandang tajam dan melihat sikap kedua orang muda yang gagah ini, hatinya
menjadi ragu-ragu. “Pulanglah dan besok kalian boleh datang kembali. Aku harus
melaporkan hal ini kepada Kaisar lebih dulu. Aku hanya menjalankan tugas,
karena siapa tahu jika ada yang datang berpura-pura membawa obat akan tetapi
sebenarnya hendak meracuni Pangeran!”
Dengan
mendongkol Goat Lan dan Hong Beng terpaksa keluar dari situ, karena mereka mau
tak mau harus membenarkan pula ucapan ini.
Memang Bu
Kwan Ji orangnya cerdik sekali. Melihat keadaan kedua orang muda itu dan
mendengar bahwa nona itu adalah murid Sin Kong Tianglo yang sakti, dia tidak
berani berlaku sembrono. Dia menyuruh kedua orang muda itu pulang lebih dulu
untuk mencari kesempatan mengatur siasat.
Pada saat
Goat Lan dan Hong Beng keluar dari situ, mereka melihat tiga orang perwira
menyusul mereka dan berjalan mengikuti mereka.
“Kalian mau
apa?” Goat Lan membentak marah.
“Oleh karena
Ji-wi hendak mengobati putera Kaisar, maka kami disuruh mengikuti Ji-wi dan
mencari tahu di mana Jiwi bermalam, agar mudah memanggil apa bila ada perintah
dari Kaisar untuk memanggil Ji-wi menghadap,” jawab seorang perwira itu.
Hong Beng
dan Goat Lan tidak dapat membantah dan sesudah mereka mendapat kamar dalam
sebuah hotel, ketiga orang perwira itu pergi meninggalkan mereka.
“Malam ini
kita harus berhati-hati sekali,” kata Hong Beng kepada Goat Lan. “Siapa tahu
kalau-kalau ada penjahat datang hendak mengganggu. Ayah sering kali bercerita
tentang penjahat-penjahat yang pandai di kota raja.”
Goat Lan
mengangguk dan dia masuk ke dalam kamarnya setelah makan malam. Hong Beng juga
duduk di dalam kamarnya, duduk bersila di atas ranjang, tidak mau tidur, dan
hanya beristirahat sambil bersemedhi.
Menjelang
tengah malam, baik Hong Beng mau pun Goat Lan yang duduk bersemedhi pula, dapat
mendengar gerakan kaki beberapa orang yang amat ringan dan halus di atas
genteng hotel. Kedua orang muda itu tersenyum dan dengan penuh perhatian
keduanya memasang telinga untuk mengikuti gerak-gerik orang di atas genteng
itu. Mereka berdua sudah memiliki pendengaran yang amat tajam, maka dengan
mudahnya dapat menduga bahwa yang datang adalah tiga orang yang ilmu ginkangnya
cukup tinggi.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment