Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pendekar Remaja
Jilid 17
PADA malam
hari itu, Lo Sian nampak masih duduk di atas loteng pada bagian belakang rumah,
minum arak seorang diri. Baru saja datang seguci besar arak wangi yang dibeli
oleh Lili dan gadis itu bahkan membuat kue yang diberikan kepada suhu-nya.
Pengemis Sakti ini makan minum seorang diri sambil bernyanyi-nyanyi.
Ketika Lili
yang berada di bagian bawah mendengar suara nyanyian suhu-nya, ia merasa heran.
Suara pengemis Sakti itu tidak seperti biasanya, kini terdengar bernada sedih.
Dia segera naik ke atas loteng dan melihat betapa bekas suhu-nya itu minum arak
langsung dari guci dan kaki kirinya ditumpangkan di atas meja!
“Pek-pek,
kau kenapakah?” tanya Lili sambil menghampiri kakek itu.
Lo Sian
menunda minumnya dan pada saat dia menengok kepada Lili, gadis ini terkejut
melihat pipi Lo Sian telah basah dengan air mata!
“Pek-pek,
mengapa kau bersedih?”
Lo Sian
terpaksa tersenyum ketika ia memandang wajah Lili. Alangkah sukanya ia pada
gadis ini, seperti kepada puterinya sendiri.
“Tidak,
Lili, aku tidak merasa bersedih. Dengan kau dan orang tuamu yang mulia berada
di dekatku, bagaimana aku dapaf bersedih? Hanya aku menyesal sekali, Lili,
menyesal bahwa sekarang aku sudah menjadi seorang yang begini tiada guna! Aku
hanya menjadi pengganggu orang tuamu, aku telah banyak mengecewakan kau dan
orang tuamu sebab tidak mampu mengingat-ingat hal yang telah terjadi. Terutama
sekali aku tak dapat ingat lagi di mana dan bagaimana Lie Kong Sian Taihiap
meninggal dunia! Ahh, aku menjadi sebuah boneka hidup!”
“Pek-pek,
kenapa hal begitu saja dibuat menyesal? Kau tak berdaya dan bukan salahmu kalau
kau kehilangan ingatanmu. Lebih baik menghibur hati, agar tubuhmu menjadi sehat
dan siapa tahu kalau kesehatanmu akan dapat memulihkan ingatanmu. Dengan banyak
berpikir serta banyak pusing, kurasa tidak akan mendatangkan manfaat bagi
ingatanmu, Pek-pek.”
“Kau betul,
Lili. Kau selalu benar, sungguh aneh seorang gadis muda seperti kau dapat
mengeluarkan ucapan yang begini bijaksana. Pantas benar kau menjadi puteri
Pendekar Bodoh...”
Lili tidak
menjawab, hanya tersenyum sambil menghampiri meja dan menyalakan lilin di atas
meja yang belum dipasang oleh Lo Sian. Melihat kue-kue di atas piring belum ada
yang termakan oleh Lo Sian, Lili bertanya,
“Ehh, kenapa
kue-kue ini belum kau makan, Pek-pek?”
“Nanti dulu,
aku lebih senang minum arak yang wangi dan enak ini! Kau sungguh pandai memilih
arak yang baik!” Setelah berkata demikian, Lo Sian lalu mengangkat guci besar
itu dengan kedua tangannya, menuangkan isinya yang masih setengah itu langsung
ke mulutnya dengan sikap seperti tadi, yaitu kaki kiri di atas meja!
Lili hanya
berdiri di belakang Pengemis Sakti itu sambil tersenyum geli, karena dia dapat
menduga bahwa Lo Sian tentu sudah setengah mabuk. Akan tetapi pada saat itu
pula, Lili terkejut sekali melihat berkelebatnya sesosok bayangan hitam yang
melayang turun laksana seekor burung besar dari atas wuwungan! Bayangan itu
gerakannya gesit sekali dan melihat betapa ia melayang dengan dua lengan
dikembangkan, dapat diduga bahwa dia memiliki ilmu kepandaian tinggi!
Lo Sian yang
sedang enak minum arak, tidak melihat berkelebatnya bayangan itu, akan tetapi
Lili yang bermata tajam tentu saja dapat melihatnya. Dengan amat kuatir, gadis
ini lalu meninggalkan Lo Sian, berlari turun ke bawah melalui anak tangga untuk
mencegat bayangan tadi di bawah. Lo Sian masih saja minum arak, kakek ini tidak
heran melihat Lili berlari-larian karena hal ini sudah menjadi kebiasaan gadis
jenaka ini
Ketika tiba
di bawah, Lili tidak melihat bayangan orang. Cepat-cepat dia melompat keluar
dan mengelilingi rumahnya. Bayangan tadi dilihatnya melompat ke bawah ke arah
depan rumah, akan tetapi mengapa sekarang tidak nampak lagi? Apakah dia salah
lihat? Tidak mungkin, pikirnya, dan dengan penasaran sekali ia kemudian
menyelidiki seluruh pinggir rumahnya.
Ketika tidak
menemukan sesuatu, dia cepat masuk lagi ke dalam rumah dan tiba-tiba dia
teringat bahwa ayah bundanya mempunyai banyak musuh. Cepat dia menuju ke kamar
ayah dan ibunya yang berada di sebelah dalam. Kagetlah ia ketika melihat bahwa
kamar ayah bundanya ternyata telah dimasuki orang, karena pintu kamar yang
tadinya terkunci kini sudah dibuka dengan paksa!
Cepat dia ke
dalam dan di situ kosong saja. Hanya sebuah lemari kayu, tempat pakaian ayah
bundanya telah dibongkar orang secara paksa dan sekarang terbuka dengan isinya
berantakan ke bawah. Ia merasa heran, karena pakaian itu masih utuh, tidak ada
yang hilang, demikian pula tempat uang tidak diganggu.
Siapakah
bayangan tadi dan apa maksudnya membongkar lemari dan memasuki kamar ayah
bundanya? Dia cepat mengejar lagi keluar dari kamar. Lili marah sekali dan
ingin ia menangkap maling itu. Kini dia berlari menuju ke belakang.
Makin marah
dan gemas hatinya melihat tiga orang pelayan rumahnya, seorang pelayan
laki-laki dan dua orang pelayan wanita sudah berada dalam keadaan tertotok di
ruangan belakang. Ketika dia menghampiri mereka untuk membebaskan mereka dari
totokan, dia mendapat kenyataan yang mengejutkan hatinya pada waktu melihat bahwa
ketiga orang pelayan ini terkena totokan yang sama dengan ilmu totok yang
dipelajarinya sendiri yakni ilmu totok dari Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na!
Tiba-tiba
teringatlah dia akan sesuatu dan mukanya menjadi merah padam. Siapa lagi kalau
bukan pemuda kurang ajar yang telah merampas sepatunya dulu? Pemuda yang
mengaku putera Ang I Niocu? Hanya pemuda itu saja yang pandai Ilmu Silat
Kong-ciak Sin-na!
Kalau memang
betul bayangan orang yang menjadi maling ini ternyata adalah pemuda putera Ang
I Niocu yang belum diketahui namanya itu, kenapa ia datang seperti seorang
maling? Tak mungkin putera Ang I Niocu melakukan hal ini!
Tiba-tiba ia
teringat kepada Lo Sian yang berada di atas loteng dan wajahnya menjadi pucat
ketika dia teringat betapa dahulu di rumah Thian Kek Hwesio, pemuda itu pernah
menyerang Lo Sian karena marah mendengar Pengemis Sakti itu menyatakan bahwa
Lie Kong Sian telah mati!
Dia cepat
berlari-lari melalui anak tangga menuju ke loteng dan alangkah kagetnya ketika
ia melihat guci arak yang tadi diminum oleh Lo Sian, kini telah menggeletak di
atas lantai dan isinya mengalir keluar. Lo Sian sendiri tidak kelihatan pergi
ke mana!
Lili menjadi
bingung. Dia mencari ke sana ke mari, akan tetapi biar pun dia
memanggil-manggil, tetap saja ia tidak dapat menemukan Lo Sian. Hati gadis ini
marah bukan main. Segera diambilnya Pedang Liong-coan-kiam dan kipasnya,
kemudian dengan amat cepat dia lalu melompat keluar rumah dan mencari di
sekitar rumah itu.
Tiba-tiba
dia melihat bayangan dua orang sedang bertempur dengan hebatnya. Karena malam
itu sangat gelap, Lili hanya dapat melihat bahwa yang bertempur itu adalah dua
orang laki-laki yang masih muda.
“Bangsat
rendah, berani sekali kalian mengganggu rumahku!” berseru Lili dengan marah
sekali.
Dia tidak
tahu yang mana di antara kedua orang ini yang tadi datang ke rumahnya, akan
tetapi dia lalu menyerbu mereka! Akan tetapi, kedua orang muda itu ketika
mendengar suaranya, tiba-tiba mereka lalu menghentikan pertempuran, bahkan
keduanya lalu berlari pergi meninggalkan tempat itu.
Kebetulan
sekali, sinar lampu dari dalam rumahnya masih menerangi sedikit tempat itu
sehingga ketika dia melihat orang yang berlari menerjang sinar penerangan ini,
ia melihat bahwa orang itu adalah Song Kam Seng! Bukan main marahnya hati Lili.
Ia pun maklum bahwa pemuda ini tentu datang untuk mencari ayahnya, karena
bukankah Kam Seng sudah berjanji hendak membalaskan dendam hatinya karena
ayahnya dulu dibunuh oleh Pendekar Bodoh?
“Kam Seng,
manusia pengecut! Jangan berlaku sebagai maling hina dina! Apa bila kau berani,
mari kita mengadu nyawa!” teriak Lili sambil mengejar cepat.
Akan tetapi
Kam Seng tidak menjawab bahkan berlari makin cepat, dikejar terus oleh Lili.
Pemuda ini memang maklum akan kepandaian Lili dan kalau dia melawan juga, ia
takkan menang. Apa lagi, betapa pun juga, tak dapat dia bertempur melawan Lili,
gadis musuh besarnya, gadis yang sesungguhnya amat dicintainya itu. Maka ia
lalu melarikan diri lebih cepat lagi. Bukan saja karena ginkang dari Kam Seng
sudah sangat maju, akan tetapi terutama sekali karena malam itu gelap, sebentar
saja pemuda itu sudah meninggalkan Lili dan menghilang di dalam gelap!
Lili menjadi
jengkel sekali. Ia memaki-maki, memanggil-manggil nama Kam Seng sambil
menantang-nantang, akan tetapi karena tidak memperoleh jawaban, akhirnya dia
kembali ke rumahnya. Dan ternyata Lo Sian masih belum kelihatan sehingga gadis
ini menjadi makin bingung.
Sebetulnya,
ke manakah perginya Lo Sian? Ketika dia sedang minum arak dan Lili telah
berlari ke bawah, tiba-tiba dari atas wuwungan menyambar turun bayangan yang
cepat masuk loteng itu. Lo Sian terkejut sekali ketika melihat seorang pemuda
sudah berdiri di hadapannya. Dia mengenal pemuda ini sebagai pemuda yang pernah
menyerangnya di rumah Thian Kek Hwesio, yaitu pemuda yang mengaku sebagai
putera Lie Kong Sian.
Sebelum ia
sempat bertanya, Lie Siong, pemuda itu, telah mengulurkan tangan menotok jalan
darah thian-hu-hiat di pundaknya. Totokan ini berdasarkan gerakan serangan dari
Ilmu Silat Kong-ciak Sin-na, ilmu silat warisan Bu Pun Su yang dulu dia
pelajari dari Ang I Niocu, maka bukan main cepat dan hebatnya.
Lo Sian
sedang memegang guci arak dan dia berada dalam keadaan setengah mabuk,
bagaimana dia mampu menghindarkan diri dari serangan ini? Tiba-tiba tubuhnya
menjadi lemas terkena totokan itu dan guci arak itu tertepas dari pegangannya.
Lie Siong
cepat menyambar guci arak itu dan meletakkannya di atas lantai. Akan tetapi
oleh karena dia tidak memperhatikan guci itu, dia meletakkan guci dalam keadaan
miring sehingga isinya mengalir keluar. Kemudian, secepat kilat pemuda ini
segera mengempit tubuh Lo Sian dan membawanya melompat turun!
Supaya tidak
membingungkan, baiknya diceritakan secara singkat bahwa sejak berpisah dari Lo
Sian dan Lili, pikiran Lie Siong sangat terganggu akibat ucapan Lo Sian yang
menerangkan tentang kematian ayahnya. Oleh karena itu, ia menunda niatnya
mengajak Lilani ke utara mencari rombongan suku bangsa Haimi untuk
mengembalikan gadis itu kepada bangsanya, sebaliknya lalu mengajak gadis itu
menuju ke Pulau Pek-le-to untuk mencari ayahnya! Akan tetapi, ia mendapatkan
pulau itu berada dalam keadaan kosong!
Hatinya
menjadi gelisah sekali, keadaan pemuda ini makin menderita batinnya. Pertama
dia merasa menyesal akibat telah mengikat diri dengan Lilani, gadis yang amat
mencinta dirinya. Kedua, dia merasa menyesal dan bingung karena mendengar bahwa
ayahnya telah meninggal dunia seperti yang dikatakan oleh Lo Sian Si Pengemis
Sakti.
Dia harus
dapat mencari orang tua itu untuk mencari keterangan tentang ayahnya. Akan
tetapi kalau teringat betapa dia telah bertempur dan bentrok dengan Lili, puteri
Pendekar Bodoh, dia menjadi bingung. Semenjak dia dapat mencabut sepatu Lili,
sepatu yang kecil mungil itu selalu tersimpan dalam saku bajunya sebelah dalam,
disembunyikan sebagai sebuah jimat!
Ada pun
Lilani, gadis yang bernasib malang itu, semakin lama semakin merasa hancur
hatinya. Dia amat mencinta Lie Siong, bersedia menyerahkan jiwa raganya, akan
tetapi melihat pemuda itu sama sekali tidak mengacuhkannya, dia menjadi sedih
sekali.
Bila
teringat betapa dia telah kehilangan ayah bundanya, kehilangan kakeknya, dan
kini dia menderita karena mencinta seorang pemuda yang tak mengacuhkannya,
ahhh, gadis ini sering kali mengucurkan air mata di waktu malam. Tetapi betapa
pun juga, dia selalu menyembunyikan perasaan dukanya dari mata Lie Siong.
Sesudah mendapatkan
Pulau Pek-le-to kosong dan tidak mengetahui ke mana perginya ayahnya, Lie Siong
lalu berkata kepada Lilani,
“Lilani,
terpaksa aku harus menyusul ke Shaning...”
“Ahh, ke
rumah nona cantik jelita yang galak itu? Kau dahulu bilang bahwa dia adalah puteri
Pendekar Bodoh, sungguh cocok sekali...”
Lie Siong
memandang tajam. “Apa maksudmu, Lilani? Kau cemburu?”
“Tidak,
Taihiap, mengapa aku cemburu? Ada hak apakah maka aku dapat cemburu? Aku
seorang tak berharga, tidak seperti nona puteri Pendekar Bodoh itu, yang
cantik, pandai, lihai... dan...”
“Sudahlah,
jangan kau berbicara tidak karuan! Hatiku sedang bingung memikirkan ayah. Siapa
yang peduli gadis liar itu?” kata Lie Siong sambil mengajak gadis itu
melanjutkan perjalanan. “Sekarang aku terpaksa harus pergi menyusul ke Shaning
untuk menangkap pengemis gila itu. Agaknya dari dia saja aku akan mengetahui di
mana adanya ayahku. Terpaksa urusan mencari suku bangsamu di utara ditunda
dulu.”
Lilani tidak
membantah, hanya merasa dadanya sesak oleh cemburu. Cinta orang muda manakah
yang tidak terhias oleh rasa cemburu? Bukan cinta tulen kalau tidak ada rasa
cemburu di dalamnya, kata orang tua.
Pada malam
harinya, Lie Siong dan Lilani bermalam di sebuah hotel. Dan tidak seperti
biasanya, Lie Siong berkeras tidak mau tidur sekamar dan minta kepada pelayan
untuk menyediakan dua kamar yang berdampingan.
Lilani makin
merasa tidak enak, gelisah dan berduka. Sampai tengah malam gadis ini tidak
dapat tidur dan karena hatinya selalu teringat kepada Lie Siong, tak tertahan
lagi ia lalu keluar dari kamarnya dengan perlahan. Ia sengaja membuka kedua
sepatunya agar tindakan kakinya tak sampai mengagetkan Lie Siong yang ia tahu
pendengarannya amat tajam itu. Ia ingin melihat apakah pemuda pujaan hatinya
itu telah tidur.
Dengan kaki
telanjang ia berjalan menghampiri jendela kamar Lie Siong, lalu mengintai ke
dalam setelah dia mendapatkan sebuah lubang di antara celah-celah jendela itu.
Dia melihat kamar itu masih terang dan ternyata pemuda pujaannya itu masih
belum tidur.
Lie Siong
nampak tengah duduk melamun di atas kursi dan kedua tangannya memegang sebuah
benda kecil. Jari-jari tangannya mempermainkan benda itu dan ketika Lilani
memandang dengan tegas, ternyata bahwa benda itu adalah sebuah sepatu yang
bagus dan kecil mungil bentuknya! Bukan main panas dan perihnya hati Lilani.
Itu adalah
sepatu wanita, pikirnya, dan terang bukan sepatunya. Sepatunya tidak sekecil
itu! Ah, sepatu siapa lagi kalau bukan sepatu gadis puteri Pendekar Bodoh itu?
Biar pun Lie Siong tidak menceritakan mengenai hasil pertempurannya melawan
Lili namun Lilani dapat menduga dengan tepat.
Hal ini
mudah saja bagi seorang wanita yang berada dalam keadaan cemburu, karena wanita
yang sedang cemburu mempunyai kecerdikan luar biasa dalam hal menyelidiki
segala sesuatu mengenai hubungan laki-laki yang dicintainya dengan wanita lain!
Bagaikan
terpukul, Lilani terhuyung ke belakang dan ia menahan isak tangisnya. Karena
tangisnya tak dapat tertahan lagi, maka ia tidak berani kembali ke kamarnya,
takut kalau nanti Lie Siong akan mendengar suara tangisnya. Sebaliknya dia
malah lari ke belakang dan keluar dari pintu belakang hotel itu menuju ke kebun
belakang yang sunyi dan gelap!
Di situ dia
menjatuhkan diri di atas rumput dan menangis tersedu-sedu seperti seorang anak
kecil kehilangan ibunya. Ia merasa sedih, gemas, dan marah. Sedih karena merasa
kehilangan seorang kekasih yang dicinta sepenuh hatinya. Juga gemas melihat Lie
Siong yang tak mengacuhkannya, sebaliknya tergila-gila kepada sebuah sepatu
wanita lain dan marah kepada diri sendiri mengapa ia sampai demikian dalam
jatuh dalam jurang asmara terhadap pemuda itu.
Di dalam
kesedihannya itu, Lilani sampai tidak tahu bahwa ia tidak berada seorang diri
di dalam taman itu. Dia tidak tahu bahwa di situ duduk dua orang laki-laki
pemabukan yang sudah lama duduk minum arak berdua saja di situ dan keadaan mereka
sudah setengah mabuk ketika Lilani datang ke situ dan menangis.
Lilani yang
sedang menangis itu tiba-tiba merasa lehernya dipeluk orang dan terdengar suara
parau,
“Nona manis,
kenapa kau menangis? Marilah kuhibur kau…”
Lilani
melompat berdiri dengan mata terbelalak. Dengan penuh kebencian dan kengerian
dia melihat dua orang laki-laki menyeringai dan memandangnya seperti orang
kelaparan, kemudian tangan kedua orang itu terulur maju hendak menangkapnya!
Lilani
sedang merasa sedih, marah, kecewa dan perasaan yang sudah amat menggencet
batinnya ini ditambah lagi oleh kebencian dan kengerian yang amat besar melihat
lagak dua orang laki-laki ini. Hampir saja Lilani menjerit sekerasnya kalau ia
tidak ingat bahwa jeritannya akan terdengar oleh Lie Siong dan dia tidak mau
keadaannya diketahui oleh pemuda itu.
Maka sambil
menahan berdebarnya hati yang membuat dadanya terasa sakit itu, ia lalu
mengelak ke kiri dan tak disangkanya sama sekali, seorang di antara mereka itu
memiliki gerakan yang cepat juga. Lilani sedang menderita dan keadaan malam itu
agak gelap, maka gadis ini kurang cepat elakannya dan tahu-tahu lengannya sudah
tertangkap oleh seorang di antara dua pemabukan itu.
“Ha-ha-ha-ha,
lenganmu lemas dan halus seperti sutera, Nona... ha-ha-ha!” Orang ini lalu
merangkulnya dan hendak menciumnya.
“Bukk!”
Terdengar
suara orang terpukul dan disusul oleh pekik mengerikan dari laki-laki itu yang
segera roboh tersungkur dalam keadaan tak bernyawa lagi! Pukulan Lilani amat
hebat karena selain gadis ini memiliki kepandaian silat yang lumayan, dan kini
lebih lihai karena sering kali mendapat latihan dari Lie Siong, juga pukulan
dari jarak dekat ini tepat sekali mengenai ulu hati lawan sehingga jantung di
dalam dada orang itu menjadi terluka!
Orang ke dua
yang masih mabuk tidak tahu bahwa kawannya sudah mati, bahkan terus
tertawa-tawa dan berkata kepada kawannya itu, “A-siok, terlalu sekali kau...
nona manis ditinggal tidur...” Dan ia maju pula hendak merangkul Lilani.
Gadis ini
sekarang sudah seperti seorang gila dan gelap mata. Sebelum tangan orang ke dua
ini dapat menyentuh bajunya dia kembali mengirim serangan dengan pukulan keras
ke arah dada disusul dengan tendangan ke arah lambung pemabukan ini. Terdengar
jerit keras dan pemabukan ke dua ini pun roboh dalam keadaan mati!
“Eh, eh, eh,
apakah yang terjadi di sini?” Seorang pelayan hotel datang berlari-lari sambil
membawa sebuah lampu minyak. Akan tetapi, jawaban yang didapat hanyalah sebuah
pukulan tiba-tiba yang tepat mengenai lehernya. Pelayan ini terputar di atas
kakinya lalu roboh. Celaka baginya, lampu yang dibawanya itu jatuh menimpanya
hingga terbakarlah pakaiannya!
Melihat
betapa pelayan itu berkelojotan di dalam cahaya api, Lilani memandang dengan
muka sepucat mayat dan kedua mata terbuka lebar, ada pun kedua tangannya
menutup mulutnya menahan jeritannya. Alangkah ngerinya!
Dan
kemudian, seperti baru sadar, dia melihat pula dua orang pemabukan yang sudah
dibunuhnya di tempat itu juga. Dengan perasaan sangat tergoncang gadis yang
masih bertelanjang kaki ini lalu lari secepatnya, kembali ke dalam kamarnya!
Dia berdiri
di tengah kamarnya sambil terengah-engah dan meramkan kedua matanya. Kepalanya
terasa pening sekali, dadanya berdetak-detak seakan-akan ada orang sedang
memukul-mukulkan palu di dalamnya. Tubuhnya lemas kedua kaki menggigil dan
kedua tangan gemetar. Telinganya mendengar suara gaduh yang tak karuan
terdengarnya, ada pun pemandangan yang mengerikan dari ketiga mayat itu,
terutama sekali pelayan yang terbakar, selalu terbayang di depan matanya.
“Aku harus
tenang... harus tenang…” pikirnya dan dia lantas menjatuhkan diri di tengah
kamar itu juga, duduk bersila lalu untuk menenangkan pikiran dengan bersemedhi.
Untuk memperdalam lweekang-nya, memang gadis ini telah mempelajari siulian
(semedhi) dari Lie Siong.
Suara
ribut-ribut di luar kamarnya itu mengagetkan Lie Siong. Pemuda ini cepat-cepat
menyalakan lilin di dalam kamarnya, lalu berjalan keluar hendak melihat apa
gerangan yang ribut-ribut di tengah malam seperti itu. Ketika ia mendengar
bahwa ada tiga orang terbunuh oleh seorang gadis, ia terkejut sekali.
Cepat dia
menuju ke kamar Lilani dan alangkah kagetnya ketika mendapat kenyataan bahwa
pintu kamar gadis itu setengah terbuka! Dia cepat melangkah masuk dan biar pun
kamar itu gelap, dia masih dapat melihat bayangan gadis itu duduk bersila di
atas lantai.
Sungguh cara
siulian yang aneh, pikirnya. Kenapa tidak di atas pembaringan saja? Akan
tetapi, ia tidak berani mengganggu seorang yang sedang semedhi dan secara
diam-diam hendak meninggalkan kamar itu lagi kalau saja tidak mendengar isak tertahan
dari gadis itu.
“Lilani, kau
kenapakah?” tanyanya heran dan kuatir.
Gadis itu
tidak menjawab sama sekali. Lie Siong menjadi heran dan segera menyalakan
sebatang lilin di dalam kamar itu. Pada saat sinar lilin di atas meja itu sudah
menerangi seluruh kamar dan ia memutar tubuh memandang, Lie Siong pun menjadi
terkejut sekali. Dilihatnya Lilani dengan sepasang kaki telanjang duduk bersila
di atas lantai, pakaiannya kusut, pipinya yang amat pucat itu basah dengan air
matanya.
“Lilani...!”
Lie Siong melangkah maju, berlutut dekat gadis itu dan tangannya memegang
pundak kanan Lilani. “Kau kenapakah...?” Akan tetapi Lie Siong terpaksa
memutuskan kata-katanya karena tiba-tiba kedua tangan Lilani mendorong dadanya
dengan gerakan cepat dan amat kuat.
Lie Siong
yang sama sekali tak pernah menyangka bahwa gadis ini akan menyerangnya, tidak
mengelak atau menangkis sama sekali. Dadanya terdorong ke belakang dan ia pun
langsung terlempar ke belakang dengan cepatnya sampai membentur bangku! Lie
Siong membelalakkan matanya.
Tenaga
dorongan dan tarikan muka Lilani lebih mengherankannya dari pada sikap gadis
itu sendiri. Dorongan tenaga Lilani tak seperti biasanya, akan tetapi
mengandung tenaga yang amat kuat dan aneh, sedangkan ketika gadis itu
mendorongnya, gadis memandang dengan penuh kebencian, akan tetapi bibirnya
tersenyum!
“Ha, kau
takkan dapat mendekatiku... kau akan mampus....” bisik gadis ini dengan suara
aneh. Ternyata bahwa pukulan batin yang datang secara bertubi-tubi dan hebat
itu sudah membuat pikiran gadis ini terganggu dan berubah!
“Lilani...”
Lie Siong melompat bangun, “apa maksudmu? Kau kenapakah...?”
Melihat Lie
Siong melompat bangun, gadis itu turut melompat bangun pula, menunduk dan
memandangi kedua kakinya yang telanjang, kemudian berkata sambil menyeringai,
“Ha-ha-ha, sepatu itu... sepatuku! Lihat, Taihiap, bukankah kedua kakiku
telanjang? Aku perlu sepatu... akan tetapi sepatu itu terlalu kecil... terlalu
kecil...” dan ia lalu menangis! Tiba-tiba dia menghentikan tangisnya dan
berkata lagi dengan mata bersinar dan mulut tersenyum, “Aku bunuh dia! Aku
bunuh mereka! Berani sekali main gila terhadap Lilani, puteri kepala suku
bangsa Haimi!”
Sejak tadi,
Lie Siong memandang keadaan gadis ini dengan bengong. Melihat senyum di bibir
Lilani, pemuda ini merasa bulu tengkuknya meremang. Ini tak sewajarnya,
pikirnya. Lebih-lebih terkejutnya ketika dia mendengar ucapan terakhir tentang
pembunuhan yang keluar dari mulut Lilani.
“Lilani,
jadi yang membunuh tiga orang di belakang hotel itu... kaukah orangnya?”
Lilani
tertawa terkekeh. “Ya, memang aku!” teriaknya keras. “Aku Lilani sekali
mencinta orang, akan berlaku setia selama hidup! Aku takkan sudi main gila
dengan laki-laki lain, lebih baik aku mati! Kubunuh mereka itu, kubakar dia
hidup-hidup!” Dan tiba-tiba gadis ini lalu menjatuhkan diri di atas pembaringan
sambil tersedu-sedu.
Lie Siong
berdiri tertegun, hatinya terharu bukan main ketika ia mendengar Lilani berkata
seperti keluhan menyedihkan, “Taihiap... Taihiap... aku cinta padamu...”
Teriakan
Lilani telah terdengar oleh orang-orang yang berada di luar kamar sehingga kini
mereka menyerbu ke arah kamar Lilani sambil berteriak-teriak,
“Tangkap
pembunuh! Tangkap siluman perempuan...!”
Memang tadi
ketika Lilani berlari kembali ke kamarnya, kebetulan sekali ada seorang tamu
yang menjenguk dari jendelanya karena ia tertarik oleh teriakan-teriakan dua
orang pemabukan yang terpukul oleh Lilani. Maka sesudah terjadi geger, dia lalu
menceritakan pengalamannya dan kini mendengar teriakan-teriakan Lilani yang
mengaku bahwa dia yang membunuh tiga orang itu, semua orang lalu menyerbu ke
arah kamar Lilani!
Pada saat
belasan orang itu sudah berada di depan pintu kamar Lilani, mereka tiba-tiba
berhenti karena siapa orangnya yang tidak merasa gentar menghadapi seorang
siluman wanita yang dalam waktu sebentar saja sudah membunuh tiga orang
laki-laki dengan keadaan mengerikan?
“Siluman
perempuan, menyerahlah untuk kami bawa ke depan pengadilan! Apa bila kau
melawan kami akan mengeroyok dan membakarmu!” seorang di antara para penyerbu
itu berteriak.
Lilani yang
mendengar ini segera bangkit berdiri, wajahnya nampak amat menyeramkan. “Akan
kubunuh kalian semua!” katanya.
Lie Siong
merasa gelisah sekali. “Lilani, jangan...” katanya.
Akan tetapi
Lilani tidak peduli dan hendak melompat menerjang keluar. Lie Siong segera
mendahuluinya, cepat mengirim serangan kilat dan robohlah gadis itu dalam
pelukannya dengan tubuh lemas tak berdaya sedikit pun juga.
“Serahkan
dia kepada kami!” terdengar teriakan berulang-ulang dari para penyerbu itu.
Lie Siong
maklum bahwa mereka itu sedang marah sekali, jadi tidak perlu bicara dengan
mereka. Maka ia lalu menyambar pakaian gadis itu, dan sekali ia berkelebat
keluar pintu, ia telah melompat keluar sambil menggendong Lilani.
Beberapa
orang yang berdiri menghalangi pintu terlempar ke kanan kiri ketika terdorong
oleh sebelah tangannya! Lie Siong tidak mempedulikan teriakan-teriakan mereka,
dan ia langsung memasuki kamarnya, menyambar pedang serta buntalannya, sambil
dikejar beramai-ramai oleh orang-orang itu.
Akan tetapi
ketika mereka sampai di depan kamar pemuda ini, Lie Siong telah berkelebat
keluar dan orang-orang itu hanya berdiri sambil melongo ketika melihat betapa
pemuda yang menggendong gadis itu sekali mengenjotkan tubuh, telah dapat
melompat ke atas genteng dan menghilang di dalam gelap!
Pada waktu
Lie Siong melihat betapa keadaan gadis itu makin lama semakin tidak beres
pikirannya, dia menjadi bingung sekali. Dia tidak tega dan merasa amat kasihan
kepada Lilani, sungguh pun harus dia akui bahwa dia tidak mencinta gadis ini
seperti cinta Lilani kepadanya. Dia hanya merasa kasihan dan bertanggung jawab.
Kini melihat
keadaan Lilani yang demikian, dia merasa makin kasihan. Hatinya tidak tega
untuk meninggalkan gadis ini, sungguh pun dia tahu kalau dia terus menerus
berada di dekat gadis ini, dia takkan dapat bergerak bebas. Sekarang dia hendak
mencari Lo Sian untuk bertanya tentang keadaan ayahnya, akan tetapi dengan
Lilani yang sudah menjadi gila ini di dekatnya, bagaimana ia dapat mencapai
maksudnya? Untuk membiarkan gadis ini terlepas seorang diri saja, dia juga tak
sampai hati.
Akhirnya ia
teringat kepada Thian Kek Hwesio di kuil Siauw-lim-si di kota Kiciu. Bukankah
dulu pendeta gundul yang gemuk itu pernah mengobati Lo Sian? Pikiran ini
membuat dia merubah niatnya untuk ke Shaning, dan ia langsung membawa Lilani ke
Ki-ciu.
Ketika ia
memasuki kuil itu, mau tak mau ia berdebar dan mukanya berubah merah. Dia
teringat betapa di sini ia bertempur melawah Lili, puteri Pendekar Bodoh itu
dan betapa ia terluka pundaknya akan tetapi berhasil merampas sebuah sepatu
gadis itu yang sampai kini masih disimpannya baik-baik di dalam kantong
bajunya!
Thian Kek
Hwesio menerimanya dengan muka dan sikap ramah tamah. Hwesio ini segera
mengenalnya sebagai pemuda yang mengaku menjadi putera Lie Kong Sian, maka dia
segera menyambut dengan ucapan halus,
“Anak muda,
keperluan apakah yang membawamu datang ke tempatku yang buruk ini? Jangan kau
menghunus pedangmu, pinceng sama sekali tidak pandai melayanimu dan pinceng
paling takut melihat berkelebatnya pedang!”
Makin merah
wajah Lie Siong mendengar sindiran ini. Betapa pun kerasnya hatinya, dia masih
mempunyai perasaan juga dan kalau perlu, dia dapat menjadi seorang pemuda yang
ramah tamah, sopan santun, dan halus. Memang pemuda ini merupakan bayangan ke
dua dari sifat ibunya, Ang I Niocu, Pendekar Baju Merah yang aneh itu. Ia pun
cepat menjura dengan hormat sekali dan berkata,
“Lo-suhu,
mohon kau orang tua sudi memberi maaf sebesarnya kepada aku yang muda, kasar
dan bodoh. Kedatanganku ini tidak lain hendak mohon pertolonganmu. Sahabatku,
Nona ini, entah mengapa tiba-tiba menjadi aneh sekali dan pikirannya berubah,
mohon kau orang tua sudi mengobatinya.”
Thian Kek
Hwesio memandang kepada Lilani dengan mata tajam, sedangkan gadis itu berdiri
bengong dan sama sekali tidak melihatnya, melainkan menatap ke arah
patung-patung batu sambil melamun.
“Nona, kau
kenapakah?” tanya hwesio itu dengan suara halus, akan tetapi Lie Siong merasa
kagum sekali karena di dalam suara yang halus ini timbul pengaruh yang kuat
sekali, yang dapat membuat orang menjadi tunduk.
Mungkin
dikarenakan suara ini, atau memang jalan pikiran Lilani sedang teringat kepada
kakeknya ketika melihat betapa hwesio itu memandangnya dengan mata mengasihani,
karena tiba-tiba saja gadis ini lalu menjatuhkan diri berlutut dan menangis
tersedu-sedu. Kemudian Lilani berkata-kata dalam bahasa Haimi yang sama sekali
tak dimengerti oleh Lie Siong, akan tetapi ia menjadi kagum sekali karena Thian
Kek Hwesio ternyata dapat mengerti ucapan gadis ini, bahkan lalu menjawab dalam
bahasa Haimi pula!
“Sicu,
sahabatmu ini menderita tekanan batin yang sangat hebat sehingga mengganggu
urat syarafnya. Pinceng tidak tahu mengapa dia mengalami kedukaan dan
kekecewaan sedemikian rupa, akan tetapi mudah sekali untuk menyembuhkannya asal
saja dia mau beristirahat di sini.”
Dengan
girang sekali Lie Siong lalu menjura dan menghaturkan terima kasih. “Lo-suhu,
sesungguhnya aku mempunyai urusan yang amat penting, maka kalau kiranya Lo-suhu
sudi menolong, aku hendak meninggalkannya untuk sementara waktu di sini.”
“Boleh saja,
Sicu. Pinceng percaya bahwa kau tentu kelak akan datang mengambilnya kembali
setelah dia menjadi sembuh. Pinceng merasa bahwa gadis ini tak dapat ditinggal
begitu saja olehmu.”
“Tentu,
Lo-suhu. Aku takkan pergi lama dan pasti akan kembali mengambil Lilani, karena
memang tujuan kami hendak ke utara.”
“Pinceng
percaya penuh kepada omongan putera Lie Kong Sian Taihiap.”
Lie Siong
memandang dengan penuh terima kasih, kemudian ia pun menghampiri Lilani.
“Lilani, harap kau beristirahat di sini dulu dan aku akan kembali mengambilmu
lagi apa bila urusanku sudah selesai.”
Akan tetapi
gadis itu tidak menjawabnya, hanya berkata-kata dalam bahasa Haimi yang tidak
dimengerti oleh Lie Siong. Akan tetapi Thian Kek Hwesio terharu ketika
mendengar gadis itu berkata, “Taihiap, hanya engkau seorang yang kucinta, dan
aku akan menurut segala kata-katamu.”
Ucapan yang
tak dimengerti oleh Lie Siong akan tetapi dapat dimengerti baik oleh hwesio ini
membuat Thian Kek Hwesio dapat menduga bahwa gadis ini tentulah sudah menderita
asmara tak terbalas! Lie Siong lalu meninggalkan kuil dan segera menuju ke
Shaning.
Demikianlah,
pada malam hari itu, sebagaimana telah dituturkan pada bagian depan, Lie Siong
melompat ke atas wuwungan rumah keluarga Pendekar Bodoh. Siangnya dia telah
mendapat keterangan bahwa Lo Sian masih tinggal di rumah Sie Cin Hai dan bahwa
Pendekar Bodoh beserta isterinya tidak berada di rumah. Yang ada hanya Lo Sian
dan Lili, puteri Pendekar Bodoh.
Hal ini
menggirangkan hatinya, karena betapa pun juga, Lie Siong merasa gentar juga
menghadapi Pendekar Bodoh suami isteri. Kepandaian puterinya saja sudah
sedemikian hebat, apa lagi mereka!
Ia sama
sekali tidak mengira bahwa kedatangannya pada malam hari itu kebetulan sekali
bertepatan dengan kedatangan seorang pemuda lain, yakni Song Kam Seng! Berbeda
dengan Lie Siong, maksud kedatangan ini adalah hendak membalas dendamnya kepada
Pendekar Bodoh!
Akan tetapi
dengan kecewa Kam Seng mendengar keterangan bahwa Pendekar Bodoh dan isterinya
sedang keluar kota, maka dia lalu datang dengan maksud mencuri pedang
Liong-cu-kiam, pedang yang dulu telah mengalahkan mendiang ayahnya, Song Kun!
Kedatangan
Kam Seng di malam hari itu lebih dulu dari Lie Siong. Kam Seng langsung masuk
ke dalam dan berhasil mencari kamar Pendekar Bodoh yang digeledahnya, akan
tetapi dia tidak dapat menemukan pedang itu karena pedang itu dibawa oleh
Pendekar Bodoh.
Ada pun Lie
Siong yang masuk dari kebun belakang, melihat tiga orang pelayan yang cepat
ditotoknya sehingga mereka itu tidak berdaya lagi. Kemudian pemuda ini melayang
naik ke atas loteng ketika dia melihat berkelebatnya bayangan Lili yang
mencari-cari di luar rumah! Saat yang baik itu merupakan kesempatan baginya. Ia
merobohkan Lo Sian dengan totokan dan membawa orang tua itu melompat turun.
Akan tetapi,
tiba-tiba ia mendengar seruan perlahan,
“Bangsat,
jangan kau berani menculik Suhu!” Tiba-tiba sesosok bayangan yang cukup gesit
telah menyerangnya dari samping.
Lie Siong
menjadi kaget dan juga heran. Siapakah adanya pemuda yang menjadi murid Lo Sian
ini? Dia cepat mengelak dan meloncat jauh, kemudian melarikan diri dengan ilmu
lari cepatnya, akan tetapi ternyata bahwa ilmu lari larinya hanya menang
sedikit saja dari pemuda yang mengejarnya itu. Mudah saja kita menduga bahwa
pemuda ini bukan lain adalah Song Kam Seng yang juga sudah keluar dari gedung
itu dengan tangan hampa.
Melihat
pengejarnya juga mampu berlari cepat, Lie Siong lalu menyembunyikan Lo Sian
yang tidak dapat bergerak itu di dalam serumpun tetumbuhan, kemudian dia keluar
dan menghampiri Song Kam Seng. Tanpa banyak cakap lagi keduanya lantas
bertempur dan ternyata kepandaian mereka berimbang.
Harus
diketahui bahwa Song Kam Seng sekarang bukan seperti dulu ketika ia dikalahkan
oleh Lili. Kam Seng telah melatih diri dengan hebat dan tekunnya, telah banyak
mewarisi kepandaian Wi Kong Siansu, maka tidak mudah bagi Lie Siong untuk
mengalahkannya.
Dan ketika
mereka bertempur dengan serunya, datanglah Lili yang mengejar. Keduanya takut
kepada gadis ini, bukan takut kalah bertempur, akan tetapi Lie Siong tidak mau
usahanya membawa Lo Sian akan terganggu, ada pun Song Kam Seng betapa pun juga
tidak mau bertempur dengan gadis yang lihai dan yang dicintainya ini. Maka
keduanya lalu berlari dan kebetulan sekali Lili mengejar Kam Seng, mendiamkan
Lie Siong yang dengan enaknya lalu dapat membawa lari Lo Sian!
Demikianlah,
seperti sudah kita ketahui, Lili menjadi bingung dan sedih sekali. Ketika ia
mendengar keterangan para pelayannya yang dibuat tak berdaya oleh totokan Lie
Siong, barulah gadis ini dapat menduga bahwa yang datang di rumahnya malam itu
adalah dua orang, yaitu Kam Seng dan Lie Siong!
Tak salah
lagi, pikirnya, yang mencuri Lo-pek-hu tentulah manusia kurang ajar yang dulu
mengaku putera Ang I Niocu itu! Ia setengah dapat menduga bahwa penculikan ini
tentu ada hubungannya dengan ucapan Lo Sian mengenai kematian Lie Kong Sian.
Rupanya ucapan itu ada betulnya dan kini pemuda yang mengaku putera Lie Kong
Sian itu tentu menculik Lo Sian untuk mendapat keterangan tentang ayahnya.
Hanya
perbuatan Kam Seng yang membongkar kamar dan membuka lemari ayahnya itu masih
membingungkannya. Munculnya Kam Seng di malam hari di rumahnya tidak aneh,
karena memang pemuda itu pernah mengancam hendak membalas dendam terhadap
ayahnya, akan tetapi mengapa pemuda itu membongkar-bongkar lemari seperti
seorang maling biasa? Benar-benar ia tidak mengerti.
Pada
keesokan harinya, Lili lalu menyerahkan perawatan rumah kepada para pelayan,
sedangkan ia sendiri lalu pergi menyusul orang tuanya di Tiang-an. Tak enak ia
berdiam di rumah saja, maka sambil mencoba untuk mengejar ‘pemuda kurang ajar’
yang sudah menculik Lo Sian, dia menuju ke Tiang-an untuk menyusul
ayah-bundanya dan memberi laporan tentang terjadinya peristiwa itu.
***************
Mari kita
mengikuti perjalanan Sie Cin Hai atau Pendekar Bodoh dengan Lin Lin isterinya
yang menuju ke Tiang-an untuk mengunjungi Kwee An dan Ma Hoa untuk membicarakan
tentang perjodohan putera mereka.
Mereka
melakukan perjalanan berkuda dan seperti biasa, Lin Lin amat gembira di dalam
perjalanan itu sehingga suaminya sering kali memandang dengan kagum karena
merasa seakan-akan isterinya ini masih seperti dulu saja! Baginya, Lin Lin
sampai sekarang tidak berubah, masih seperti Lin Lin pada waktu remaja puteri,
lincah dan jenaka.
Pada suatu
hari, ketika sepasang suami isteri pendekar ini berada di sebelah selatan kota
Tiang-an, kurang lebih tiga puluh lie lagi dari Tiang-an, dan mereka sedang
menjalankan kuda dengan cepatnya, tiba-tiba pada sebuah tikungan jalan, hampir
saja kuda mereka beradu dengan seekor kuda yang dilarikan cepat dari depan!
Penunggang
kuda itu seorang pemuda yang tampan dan gagah, cepat menarik kendali kudanya
dan sambil mengeluarkan suara keras, kudanya yang besar itu berhenti dengan
tiba-tiba, mengangkat kedua kaki depan ke atas dan meringkik-ringkik!
Pemuda ini
adalah Kam Liong, panglima muda yang sedang menuju ke selatan untuk mengadakan
pemeriksaan pada penjagaan di selatan, serta sekaligus hendak singgah di
Shaning untuk mewartakan kepada Pendekar Bodoh tentang mala petaka yang menimpa
diri puteranya.
Kam Liong
membelalakkan matanya dan tadinya dia hendak marah terhadap dua orang
penunggang kuda itu, akan tetapi akhirnya dia menjadi heran dan terkejut sekali
betapa dua orang penunggang kuda itu pun dapat menghentikan kuda mereka dengan
tiba-tiba dan tenang saja, seakan-akan tidak pernah terjadi sesuatu.
Ia sendiri
yang terkenal sebagai seorang ahli penunggang kuda hanya bisa menghentikan
larinya kuda dengan kekerasan sampai kudanya merasa sakit pada hidungnya
sehingga berjingkrak-jingkrak, akan tetapi bagaimanakah dua orang itu demikian
tenang dan kuda mereka berhenti seakan-akan empat kaki kuda mereka tiba-tiba
berakar pada tanah?

Dia dapat
menduga bahwa dua orang yang nampaknya gagah ini tentulah orang-orang
berkepandaian tinggi, maka cepat Kam Liong melompat turun dari kudanya dan
menjura dengan hormatnya.
“Harap Ji-wi
sudi memberi maaf kepada siauwte kalau siauwte mendatangkan kekagetan kepada
Ji-wi.”
“Siapa yang
kaget?” Lin Lin menjawab sambil tersenyum manis karena dia merasa suka kepada
pemuda yang nampak sopan ini. “Kalau ada yang kaget, agaknya kudamu itulah yang
kaget.”
Merah muka
Kam Liong mendengar ucapan nyonya setengah tua yang cantik itu. Walau pun
nyonya itu mengatakan bahwa yang kaget adalah kudanya, akan tetapi tentu mereka
itu telah melihat bahwa yang kaget sebenarnya adalah dia sendiri!
“Siauwte she
Kam bernama Liong,” ia memperkenalkan diri, “karena siauwte mempunyai urusan
penting, maka buru-buru membalapkan kuda. Sungguh sangat hebat kepandaian Ji-wi
menunggang kuda, benar-benar membuat siauwte tunduk sekali.”
Cin Hai dan
Lin Lin memandang tajam. Jadi inikah pemuda putera Panglima Hong Sin seperti
yang telah diceritakan oleh Lili itu? Tentu saja mereka tidak menduga sama
sekali oleh karena Kam Liong memang selalu berpakaian biasa saja apa bila
sedang melakukan pemeriksaan.
“Kaukah
putera dari Panglima Kam Hong Sin?” tanya Cin Hai tiba-tiba dengan langsung,
sesuai dengan wataknya yang jujur.
Kam Liong
tertegun. “Benar, Lo-enghiong, tidak tahu siauwte sedang berhadapan dengan
siapakah?”
“Ayahmu
adalah seorang yang jujur dan baik,” kata Cin Hai tanpa menjawab pertanyaan
pemuda itu, “kami kenal baik dengan ayahmu itu. Sayang kami belum dapat bertemu
lagi sebelum dia gugur dalam peperangan.”
Kam Liong
memandang semakin tajam dan tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Cepat dia
mengerling ke arah nyonya itu, dan sekilas melihat saja maka lenyaplah
keraguannya. Wajah nyonya itu sama benar dengan wajah Lili, gadis yang
dirindukannya!
Dengan hati
berdebar gembira dia menjura lagi sambil berkata, “Salahkah kalau siauwte
mengatakan bahwa Sie-taihiap, Pendekar Bodoh yang terhormat bersama dengan
isteri yang siauwte hadapi ini?”
“Pandangan
matamu tajam juga, orang muda. Kau tidak menduga salah,” jawab Lin Lin.
Mendadak Kam
Liong menjatuhkan diri berlutut di atas tanah. Cin Hai dan Lin Lin saling
pandang dengan senyum di bibir, kemudian terpaksa mereka pun melompat turun
dari kuda. Cin Hai cepat memegang pundak Kam Liong untuk mengangkatnya bangun.
Pemuda ini
amat cerdik. Dia tertarik oleh Lili dan ingin sekali meminang gadis itu menjadi
isterinya, maka kini bertemu dengan orang tua gadis itu, cepat ia memberi
hormat. Ketika merasa betapa kedua tangan Cin Hai menyentuh pundaknya, Kam
Liong secara sengaja mengerahkan tenaga Jeng-kin-kang (Tenaga Seribu Kati)
supaya dapat memperlihatkan kemampuannya.
Akan tetapi,
alangkah kagetnya saat pundaknya yang tadinya dikeraskan dengan tenaga
Jeng-king-kang itu begitu tersentuh dan tertekan oleh jari-jari tangan Cin Hai,
mendadak tenaganya lenyap sama sekali dan tubuhnya berubah menjadi lemas hingga
dia terpaksa menurut saja ketika dia diangkat bangun.
“Mohon ampun
sebanyaknya bahwa siauwte yang bodoh bermata buta, tidak melihat dan mengenal
pendekar-pendekat besar! Sebenarnya pertemuan ini sangat membahagiakan hatiku,
karena sesungguhnya siauwte memang hendak pergi ke Shaning ingin bertemu dengan
Ji-wi.”
“Ada
keperluan apakah Ciangkun hendak bertemu dengan kami?” tanya Cin Hai sambil
memandang dengan penuh perhatian, karena sesungguhnya ia tidak begitu suka untuk
berhubungan dengan segala perwira atau panglima kerajaan. Hatinya masih terluka
oleh sepak terjang para perwira kerajaan yang banyak menyusahkan hidupnya pada
waktu ia muda dulu.
Akan tetapi,
hati Lin Lin sudah tertarik oleh kesopanan pemuda ini. Biar pun dia memiliki
kedudukan tinggi, akan tetapi pandai sekali membawa diri, tidak sombong dan
bersikap sopan santun. Bagi para pembaca yang sudah pernah membaca cerita
Pendekar Bodoh, tentu masih ingat bahwa Lin Lin sendiri adalah puteri dari
seorang perwira, maka tentu saja dia tidak merasakan ketidak sukaan terhadap
kaum perwira seperti yang dirasakan oleh suaminya.
“Tentu ada
keperluan yang amat penting sehingga Ciangkun sampai meninggalkan kota raja
untuk mencari kami,” kata Lin Lin dengan suara lebih halus.
“Sesungguhnya,
siauwte membawa berita yang amat penting mengenai keadaan putera Ji-wi, yaitu
Sie Hong Beng.”
“Dia di
mana? Apa yang terjadi?” Lin Lin mendesak dengan muka berubah mengandung
kekuatiran.
Sudah
lajimnya para lbu selalu menguatirkan keadaan puteranya. Cin Hai tetap tenang
saja dan hanya sinar matanya yang mendesak kepada Kam Liong supaya cepat-cepat
menceritakan apa yang telah terjadi atas diri Hong Beng.
Kam Liong
lalu menuturkan dengan sejelasnya betapa Goat Lan dan Hong Beng dengan cara
kekerasan telah berhasil menolong Putera Mahkota, dan betapa kemudian Goat Lan
diberi karunia, diangkat menjadi selir pertama untuk Putera Mahkota yang
ditolak dengan tegas oleh Giok Lan sehingga gadis itu dihukum buang ke utara
dan dikawani oleh Hong Beng! Tentu saja ia tidak lupa untuk menuturkan betapa
ia telah menyusul kedua orang muda itu dan memberi kuda serta memberi petunjuk.
“Siauwte
sudah memberi tahu kepada Saudara Hong Beng dan Nona Kwee agar supaya mereka
dan para pengawal mereka mengambil kedudukan di lereng Gunung Alkata-san, di
mana siauwte dahulu mempunyai sebuah benteng yang cukup baik kedudukannya dan
kuat. Bila sudah selesai tugas siauwte ke selatan, siauwte juga akan memimpin
pasukan ke utara. Hal ini penting sekali karena bukan hanya bangsa Tartar saja
yang mengacau, akan tetapi ada desas-desus yang mengabarkan bahwa kini bangsa
Mongol di utara di bawah pimpinan raja mereka, Malangi Khan, juga hendak
menyerbu ke selatan!”
Mendengar
penuturan pemuda ini, Cin Hai hanya menggigit bibirnya, akan tetapi Lin Lin
membanting-banting kedua kakinya dengan gemas.
“Kaisar
bu-to (tiada pribudi)! Sudah ditolong nyawa anaknya, masih tidak berterima
kasih, bahkan hendak menjadikan calon mantuku sebagai selir Putera Mahkota! Dia
kira orang macam apakah Goat Lan itu? Sungguh tak tahu membedakan orang!”
Kam Liong
adalah seorang panglima muda yang mempunyai kesetiaan terhadap Kaisar, seperti
ayahnya dahulu. Oleh karena itu, mendengar betapa Lin Lin memaki Kaisar, dia
menjadi tidak senang juga. Ia pun terkejut mendengar bahwa Goat Lan adalah
tunangan Hong Beng sebagaimana baru saja disebut oleh Lin Lin bahwa Goat Lan
adalah calon mantunya. Untuk membela nama Kaisar, Kam Liong berkata,
“Sayang
sekali bahwa Nona Kwee Goat Lan atau Saudara Sie Hong Beng tidak berterus
terang saja kepada Hong-siang bahwa mereka berdua sudah bertunangan. Kalau
Kaisar mengetahui akan hal ini, siauwte merasa pasti Nona Kwee tak akan dipaksa
menjadi selir Putera Mahkota. Sebenarnya, menjadi selir pertama dari Putera
Mahkota adalah suatu kehormatan yang tinggi sekali, karena siapa tahu kalau
Putera Mahkota kelak menjadi kaisar dan selir pertama sangat dicintanya, wanita
itu mempunyai harapan untuk menjadi permaisuri? Dengan penolakan Nona Kwee,
penolakan secara langsung di hadapan para menteri serta pembesar tinggi, sudah
tentu saja Kaisar merasa terhina sekali sehingga menjatuhkan hukum buang.
Siauwte menjelaskan hal ini supaya Ji-wi tidak menjadi salah mengerti.”
Cin Hai dan
Lin Lin mengangguk-angguk, bahkan Cin Hai lalu menarik napas panjang dan
berkata,
“Semenjak
dahulu sampai sekarang, selalu kaum bangsawan dan pembesar mempunyai kekuasaan
dan kebenaran tersendiri, tanah yang mereka injak pun berada di atas kepala
rakyat kecil!”
“Kita harus
menyusul Beng-ji ke utara!” kata Lin Lin. “Baiknya kita memberi tahu kepada
Engko An dan Enci Ma Hoa tentang hal ini. Mereka juga berhak mendengar berita
perihal puteri mereka.”
“Ke utara
bukan tempat dekat dan tidak dapat dilakukan dalam waktu pendek. Kalau kita
langsung ke sana, bagaimana dengan Lili? Apakah dia takkan gelisah dan
menanti-nanti kita?” kata Cin Hai. Kedua suami-isteri ini dalam ketegangannya
sampai lupa bahwa di situ masih ada Kam Liong yang diam-diam mendengarkan
dengan penuh perhatian.
“Maaf, Ji-wi
harap jangan mengira siauwte hendak kurang ajar. Akan tetapi sesungguhnya
perjalanan siauwte ke selatan akan melalui Shaning. Jika kiranya Ji-wi tak
berkeberatan, siauwte dapat menyampaikan berita ini ke rumah ji-wi, karena
siauwte pernah mendapat kehormatan bertemu dengan puteri Ji-wi.”
Cin Hai
mengerutkan keningnya, akan tetapi Lin Lin menjawab dengan girang,
“Bagus, kau
baik sekali, Ciangkun. Lili juga telah menceritakan pertemuannya denganmu.
Baiklah, apa bila kau melalui Shaning, tolong kau beritahukan kepada puteri
kami bahwa kami mungkin akan terus ke utara untuk menyusul Hong Beng.”
Kam Liong
merasa girang sekali, akan tetapi dia tidak memperlihatkan perasaan hatinya
pada wajahnya, hanya menyatakan kesanggupannya dengan sikap sopan. Mereka lalu
berpisah, kedua suami-isteri pendekar itu cepat mengaburkan kudanya ke
Tiang-an, ada pun Kam Liong dengan hati girang lalu menuju ke Shaning.
Ketika tiba
di halaman depan rumah gedung yang ditinggali oleh Kwee An di Tiang-an, seorang
pelayan tua yang segera mengenal mereka cepat menyambut dan memegang kendali
kuda mereka untuk dibawa ke kandang kuda.
“Selamat
datang, Sie-taihiap berdua, selamat datang!” katanya girang.
Terdengar
suara teriakan girang dan nampak seorang anak laki-laki yang bermuka putih dan
bundar berusia kurang lebih sembilan tahun berlari keluar dari pintu depan.
“Kouw-kouw
dan Kouw-thio datang...!” serunya.
“Cin-ji
(Anak Cin), engkau sudah besar sekarang!” seru Lin Lin yang segera menyambut
anak itu dengan kedua tangan terbuka. Dipeluknya Kwee Cin, anak ke dua dari
Kwee An dan Ma Hoa dengan girang.
Pada waktu
Cin Hai memeluknya pula, anak itu berbisik kepadanya, “Kouw-thio (Paman, suami
Bibi), kapan kau mau mengajarku Liong-cu Kiam-sut?”
Cin Hai
tertawa. Ketika anak ini baru berusia lima tahun, anak ini telah pula
mengajukan permintaan untuk belajar ilmu pedang darinya. Dan sekarang anak ini
menanyakan hal itu pula, sungguh seorang anak yang teguh kehendaknya.
“Bukankah
ilmu pedang ayahmu juga bagus sekali? Dan ilmu bambu runcing ibumu tiada
keduanya di dunia ini!” kata Cin Hai.
Kwee Cin
berkata bangga, “Memang ilmu bambu runcing Ibu tidak ada bandingannya di atas
dunia ini, akan tetapi kata Ayah, dalam hal ilmu pedang, tak ada yang melebihi
Ilmu Pedang Liong-cu Kiam-sut dari Kouw-thio!”
“Baiklah,
Cin-ji, kelak kalau ada waktu, kau boleh mempelajari ilmu pedang dariku.”
Kwee Cin
menjadi girang sekali dan ia lalu menarik tangan bibi dan pamannya itu, diajak
masuk ke dalam rumah. Akan tetapi, sebelum mereka melangkah ke ambang pintu,
dari dalam keluarlah Kwee An dan Ma Hoa dengan wajah girang sekali. Kedua suami
isteri ini telah mendengar dari pelayan akan kedatangan kedua orang tamu dari
Shaning ini.
Mereka
segera bercakap-cakap dengan gembira sekali, akan tetapi kegembiraan mereka itu
tidak berlangsung lama, terutama bagi pihak tuan rumah. Ketika Lin Lin
menceritakan lagi penuturan Kam Liong mengenai peristiwa yang terjadi di istana
kaisar dan hukuman yang dijatuhkan Kaisar kepada Goat Lan, wajah Ma Hoa menjadi
pucat.
Seperti juga
suaminya, Ma Hoa juga puteri seorang perwira, maka ia tahu betul akan arti
semua peristiwa ini.
“Keputusan
Kaisar tidak dapat diubah. Tidak ada jalan lain, kita harus menyusul ke utara
untuk membantu tugas yang diberikan kepada anak kita!” kata Ma Hoa sesudah
dapat menenteramkan hatinya dari berita mengejutkan ini.
“Memang kami
berdua pun telah mengambil keputusan hendak menyusul ke sana,” kata Lin Lin
yang kemudian menceritakan bahwa Hong Beng dan Goat Lan sudah mendapat
pertolongan Kam Liong bahkan telah diberi nasehat untuk menempati bekas benteng
di lereng Bukit Alkata-san.
“Biar aku
saja yang pergi bersama Lin Lin dan Cin Hai,” kata Kwee An kepada isterinya.
“Kita tidak dapat pergi berdua meninggalkan Cin-ji seorang diri di rumah.
Begitu banyak orang-orang jahat sedang memusuhi kita, maka tidak baik kalau
rumah ditinggalkan, apa lagi jika meninggalkan Cin-ji seorang diri tanpa ada
yang menjaganya.”
“Ayah, aku
juga mau pergi! Aku mau ikut pergi menyusul Enci Lan dan membantu dia
menghancurkan para pengacau yang mengganggu orang-orang di daerah perbatasan!”
tiba-tiba Kwee Cin berkata dengan penuh semangat. Anak ini nampak lucu sekali,
kedua tangannya dikepal dan sepasang matanya bersinar-sinar!
“Tidak
boleh, sama sekali tidak boleh!” ayahnya berkata. “Perjalanan ke utara bukanlah
perjalanan mudah. Kau tinggal di rumah dengan ibumu!”
Kwee Cin
tampak murung, akan tetapi Ma Hoa yang dapat merasakan kebenaran ucapan
suaminya ini, lalu menghibur puteranya dan berkata, “Ayahmu berkata benar,
Cin-ji. Kau tak boleh ikut dan kita berdua tinggal di rumah menjaga kalau-kalau
ada musuh datang.”
“Kalau ada
musuh datang, jangan sembunyikan aku di dalam kamar, Ibu. Biarkan aku ikut
menghadapi mereka!”
Sesudah
ibunya menyanggupi, barulah Kwee Cin tidak murung lagi. Cin Hai dan Lin Lin
hanya bermalam satu malam saja di rumah Kwee An, dan pada keesokan harinya,
Kwee An, Cin Hai dan Lin Lin berangkat naik kuda menuju ke utara.
Kam Liong
yang merasa senang sekali, membalapkan kudanya menuju ke kota Shaning. Ia
merasa amat bahagia, karena dapat bertemu dengan Pendekar Bodoh dan isterinya
dan bisa membantu mereka. Tak dapat tidak, dia tentu telah mendatangkan kesan
baik di dalam hati mereka. Akan lebih licinlah jalan menuju kepada
cita-citanya, yaitu melakukan pinangan terhadap Lili. Dan sekarang ia bahkan
telah mendapat perkenan mereka untuk menyampaikan berita tentang Hong Beng dan
tentang kedua suami isteri itu kepada Lili, gadis yang membuatnya tidak nyenyak
tidur setiap malam.
Akan tetapi,
ketika ia teringat akan sesuatu, tak terasa pula ia menahan lari kudanya. Ia
duduk di atas kuda yang kini tak lari lagi itu dengan bengong dan wajahnya
menjadi amat muram. Bagaimana kalau ternyata bahwa Lili juga telah ditunangkan
dengan lain orang? Seperti halnya Hong Beng dan Goat Lan, tanpa ia duga mereka
ini sudah bertunangan! Siapa tahu kalau-kalau Lili juga sudah ditunangkan!
Tidak, tidak, tidak mungkin! Ia cepat membantah jalan pikirannya sendiri dan
kembali ia mengaburkan kudanya.
Ketika ia
memasuki kota Shaning, tiba-tiba ia melihat seorang gadis berjalan seorang diri
dari depan. Ia menjadi terkejut dan juga girang karena ia mengenal gadis itu
yang bukan lain adalah Lili yang berjalan sambil menggendong buntalan, ada pun
gagang pedangnya nampak pada balik punggungnya. Meski pun gadis itu berada di
tempat yang jauh, sekali melihat bayangannya saja, Kam Liong akan mengenalnya!
Ia cepat
melompat turun dari kudanya dan kini ia berjalan kaki sambil menuntun kuda,
menyongsong kedatangan Lili. Gadis ini pun ternyata sudah mengenalinya, maka
segera menghampirinya. Lili bukan seorang gadis pemalu dan dia ramah tamah
pula. Panglima muda ini telah berlaku ramah kepadanya, bahkan telah memberi
surat tentang kakaknya, maka tidak dapat dia membiarkan pemuda itu berlalu
begitu saja. Sesudah berhadapan keduanya saling memberi hormat sambil menjura.
“Sie-siocia
(Nona Sie), sungguh kebetulan sekali kita dapat bertemu di sini! Aku sedang
menuju ke rumahmu untuk menyampaikan pesan orang tuamu!”
Lili
tertegun. Bagaimana ayah bundanya dapat menyampaikan pesan kepadanya melalui
Panglima Muda ini? Akan tetapi, setelah membalas penghormatan pemuda itu ia
berkata,
“Di manakah
kau berjumpa dengan ayah ibuku, Kam-ciangkun?”
“Di luar
kota Tiang-an. Akan tetapi, marilah kita duduk di sana karena ceritaku panjang,
Nona.” Kam Liong menunjuk ke arah sebatang pohon besar yang berada di pinggir
jalan, maka Lili lalu mengikuti pemuda ini ke tempat itu.
Setelah
mengikat kudanya pada akar pohon dan membiarkan binatang itu makan rumput di
bawah pohon, Kam Liong lalu mengajak gadis itu duduk di atas batu besar dan dia
pun mulai menceritakan semua hal yang telah terjadi. Ia menuturkan tentang Goat
Lan dan Hong Beng, kemudian menuturkan pula tentang pertemuannya dengan
Pendekar Bodoh dan isterinya.
“Kalau
begitu, ayah dan ibuku telah berangkat dan menyusul ke utara, Kam-ciangkun?”
Kam Liong
mengangguk. “Mungkin ayah bundamu telah pergi dengan Kwee Lo-enghiong, karena
menurut mereka, sebelum berangkat hendak pergi ke Tiang-an mengajak orang tua
gagah she Kwee itu.”
Lili nampak
kecewa. “Ahh, kalau begitu mereka tentu telah berangkat. Aku harus segera
menyusul mereka ke utara! Ahh, kasihan sekali Engko Hong Beng dan Enci Goat
Lan!” Kemudian ia bangkit berdiri, menjura kepada Kam Liong dan berkata,
“Kam-ciangkun,
banyak terima kasih untuk semua jerih payahmu menyampaikan berita penting ini
kepadaku. Aku harus berangkat sekarang juga untuk menyusul mereka di utara!”
“Nanti dulu,
Nona Sie. Ketahuilah bahwa aku sendiri pun hendak memimpin pasukan menuju ke
utara. Aku telah berjanji kepada kakakmu untuk membantu mereka menghalau para
pengacau dan membuat penjagaan kuat di perbatasan utara untuk menolak bahaya
yang datang dari pihak Mongol. Perjalanan ke utara bukanlah perjalanan mudah,
selain di daerah itu amat tidak aman dan banyak sekali penjahat, juga bagi yang
belum pernah melakukan perantauan ke daerah itu, akan sukar mencari jalan ke
Alkata-san. Tentu saja aku percaya penuh bahwa kau tak akan gentar menghadapi
para penjahat, akan tetapi, kalau kau sudi, lebih baik kau melakukan perjalanan
bersama aku dan pasukanku. Selain tidak membuang banyak waktu untuk
mencari-cari, juga di tempat berbahaya itu lebih baik berkawan dari pada
seorang diri saja. Daerah itu amat dingin dan kalau sampai kau terserang hawa
dingin kemudian jatuh sakit, siapakah yang akan menolongmu? Dengan bergabung,
kita lebih kuat menghadapi bahaya. Tentu saja aku tidak memaksamu, yakni kalau
kau sudi melakukan perjalanan dengan orang bodoh seperti aku ini.”
Lili
berpikir sejenak. Panglima Muda ini cukup sopan dan pemurah, juga seorang kawan
seperjuangan yang tidak menjemukan. Dan dia sudah banyak menolongnya, maka apa
salahnya melakukan perjalanan bersama? Kalau dipikir-pikir memang betul juga
ucapan Panglima Muda ini, karena bukankah Sin Kong Tianglo, guru dari Goat Lan
yang sangat sakti pun terkena bencana di daerah dingin itu? Selain dari pada
semua itu, dia masih ingin banyak bertanya kepada panglima ini, baik mengenai
pengalaman Goat Lan dan Hong Beng, mau pun penjelasan tentang isi suratnya
dahulu, yaitu surat dari Kam Liong yang memberitahukan bahwa kakaknya telah menjadi
orang buruan!
“Baiklah,
Kam-ciangkun, dan untuk kedua kalinya, terima kasih atas kebaikan hatimu.”
Kam Liong
merasa girang sekali, seakan-akan kejatuhan bulan. Akan tetapi tentu saja ia
tak mengutarakan kegirangannya ini, hanya nampak senyumnya melebar dan wajahnya
berseri.
“Marilah
kita ke kota Shaning dulu, Nona. Aku perlu memberi pesan kepada pembesar di
Shaning agar pekerjaanku memeriksa penjagaan di selatan dapat diwakili oleh
seorang perwira lain.”
Demikianlah,
kedua orang muda ini masuk kota Shaning dan Kam Liong cepat memberi perintah
pada pembesar setempat untuk menyampaikan surat-surat perintahnya kepada
komandan barisan yang menjaga di daerah selatan. Ketika melihat tanda pangkat
yang dikeluarkan oleh Kam Liong, pembesar itu segera menghormatinya sebagai
seorang panglima kerajaan yang berkedudukan tinggi. Pemuda ini lalu meminta
seekor kuda yang baik untuk Lili, dan pada hari itu juga, berangkatlah keduanya
keluar dari kota Shaning, langsung menuju ke utara!
Sungguh
sangat sedap dipandang melihat sepasang orang muda ini membalapkan kuda mereka.
Yang laki-laki muda, tampan, dan gagah sekali. Yang wanita cantik jelita dan
juga amat gagah. Mereka seakan-akan merupakan dua orang pembalap yang melarikan
kuda untuk berlomba.
Diam-diam
Kam Liong makin merasa kagum kepada Lili yang ternyata selain memiliki
kepandaian tinggi, juga pandai sekali naik kuda. Ingin sekali dia menyaksikan
sampai di mana ketinggian ilmu kepandaian puteri dari Pendekar Bodoh ini. Dia
telah menyaksikan kepandaian Hong Beng dan merasa kagum sekali. Apakah Lili
juga sepandai kakaknya?
Di sepanjang
jalan, Kam Liong selalu disambut dengan penuh penghormatan oleh para perwira
dan pembesar setempat sehingga diam-diam Lili juga mengagumi pemuda yang masih
muda sudah menduduki tempat tinggi ini. Juga Kam Liong selalu memperlihatkan
sikap sopan santun, jauh sekali bedanya dengan pemuda kurang ajar yang dulu
mencuri sepatunya itu! Lebih-lebih kalau ia teringat betapa pemuda kurang ajar
itu telah menculik Lo Sian, makin gemaslah hatinya!
Pada saat
Kam Liong ditanya oleh Lili mengenai pengalaman Goat Lan dan Hong Beng,
Panglima Muda ini lalu menceritakannya dengan sejelasnya, diiringi dengan
pujian-pujian kepada Goat Lan dan Hong Beng sehingga Lili makin suka kepada
pemuda ini.
“Dan ketika
aku melihatmu, kau nampak murung. Sebenarnya, kalau boleh kiranya aku
mengetahui, kau sedang menuju ke manakah, Nona?”
Apa bila
pertanyaan ini diajukan oleh Kam Liong pada saat mereka bertemu, belum tentu
Lili mau menceritakannya. Akan tetapi oleh karena gadis ini melihat betapa Kam
Liong sungguh-sungguh seorang pemuda yang baik, gagah, dan boleh dijadikan
kawan, ia lalu berkata sambil menarik napas panjang.
“Ahh, di
rumah telah terjadi peristiwa yang cukup menggemparkan dan membingungkan hatiku.”
Kam Liong
segera memandang dengan penuh perhatian. “Apakah yang terjadi, Nona? Siapa
kiranya orang gila yang berani main-main di rumah orang tuamu?”
“Ada orang
jahat yang telah menculik Sin-kai Lo Sian bekas suhu-ku.”
“Apa...? Kau
maksudkan Sin-kai Lo Sian, orang tua gagah yang kujumpai bersamamu dulu, orang
tua yang menuliskan kata-kata bersemangat di dinding makam panglima itu?”
Lili
mengangguk. “Benar, dia yang diculik orang.”
Ia lalu
menuturkan peristiwa yang terjadi di rumahnya, betapa seorang pemuda bernama
Song Kam Seng masuk ke dalam rumah seperti maling dan betapa tahu-tahu Lo Sian
telah lenyap. Ia tidak menceritakan kepada Kam Liong bahwa ia tahu siapa
penculik itu. Hatinya segan menuturkan siapa adanya orang yang menculik Lo
Sian, karena kalau memang betul pemuda kurang ajar itu adalah putera Ang I
Niocu, bukankah itu berarti ia memburukkan nama Ang I Niocu yang amat dikasihi
oleh ayah bundanya?
Kam Liong
menggeleng-gelengkan kepalanya. “Aneh sekali. Orang yang bernama Song Kam Seng
itu, mengapa dia masuk rumah seperti pencuri? Apakah yang dicurinya?”
“Entahlah,
hanya kutahu bahwa dia menaruh hati dendam terhadap ayah, dan rupanya karena
ayah tidak berada di rumah dia hendak mencuri sesuatu.”
“Yang lebih
aneh lagi adalah lenyapnya Sin-kai Lo Sian. Siapa orangnya yang berani dan
dapat menculiknya? Dia adalah seorang tua yang memiliki kepandaian tinggi,
bagaimana bisa diculik begitu saja? Aku masih meragukan apakah betul-betul
diculik orang. Siapa tahu kalau memang dia sengaja pergi? Orang-orang kang-ouw
memang banyak yang mempunyai watak aneh,” kata- pemuda itu.
Setelah diam
sejenak, Lili teringat akan surat dulu itu, maka tanyanya, “Dan sekarang,
Kam-ciangkun, maukah kau menjelaskan isi suratmu kepadaku dahulu itu? Kesalahan
apakah yang telah diperbuat oleh kakakku Hong Beng sehingga kau menyatakan
bahwa dia menjadi orang buruan?”
Merahlah
wajah Kam Liong mendengar pertanyaan ini. “Aku telah salah sangka, Nona. Ketika
itu, aku memang mengira bahwa pemuda itu putera Pendekar Bodoh, karena dia
pandai sekali dan dia dapat mainkan ilmu-ilmu silat yang menjadi kepandaian
ayahmu. Akan tetapi ketika aku bertemu dengan Saudara Hong Beng barulah aku
tahu bahwa sesungguhnya pemuda itu bukanlah putera ayahmu.” Ia lalu
menceritakan pertemuannya dengan Lie Siong ketika Lie Siong menolong Lilani
dari tangan Gui Kongcu.
Mendengar
penuturan ini, diam-diam Lili merasa dadanya tidak enak sekali. Hemm, tidak
tahunya ‘pemuda kurang ajar’ yang telah merampas sepatunya itu telah menolong
gadis cantik yang dulu dilihatnya mengejar-ngejar pemuda itu dan agaknya
hubungan mereka menjadi demikian eratnya sehingga mereka tidak dapat berpisah
lagi!
Mendengar
penuturan Kam Liong bahwa pemuda yang disangka saudaranya itu memiliki pedang
yang berbentuk naga dan lidah merah dari pedang naga itu lihai sekali, dia
tidak sangsi pula bahwa pemuda yang menolong Lilani itu tentulah pemuda kurang
ajar yang mengaku-putera Ang I Niocu.
“Tahukah
kau, Kam-ciangkun, siapa nama pemuda yang kau sangka saudaraku itu?”
“Dia
berwatak aneh, keras dan tinggi hati sekali, Nona. Dia tidak mau memperkenalkan
namanya. Akan tetapi ilmu pedangnya sungguh-sungguh hebat sekali. Kalau melihat
ilmu silatnya, kurasa kepandaiannya tak berada di sebelah bawah dari kepandaian
kakakmu, Saudara Hong Beng.”
Lili
mencibirkan bibirnya sehingga dalam pandangan Kam Liong nampak manis sekali.
“Huh, kepandaian macam itu saja mengapa dikagumi? Kalau aku bertemu dia, pedang
naganya pasti tak akan berkepala lagi!”
Kam Liong
merasa heran sekali mengapa gadis ini agaknya amat marah dan membenci pemuda
berpedang naga itu, akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya. Makin besar
keinginan hatinya untuk menyaksikan kepandaian gadis yang agaknya jumawa sekali
ini. Dia tidak percaya apa bila kepandaian gadis ini akan lebih tinggi dari
pada kepandaian pemuda yang menolong Lilani itu.
Pada waktu
mereka tiba di kota raja, Kam Liong segera mengajak Lili singgah di rumah
gedungnya dan ia memperkenalkan gadis ini kepada ibunya yang sudah janda.
Nyonya Kam ternyata adalah seorang wanita terpelajar yang halus dan
ramah-tamah, dan terus mengajak Lili bercakap-cakap.
Sementara
itu Kam Liong lalu membuat laporan kepada Kaisar, dan kemudian menerima
perintah untuk memimpin sepasukan besar tentara pilihan untuk menuju ke utara
dan menggempur para pengacau serta memperkuat penjagaan tapal batas karena
terdengar berita akan adanya serangan dari Malangi Khan, raja bangsa Mongol.
Kam Liong
membutuhkan waktu selama tiga hari di kota raja untuk membuat persiapan,
kemudian berangkatlah pasukan di bawah pimpinannya. Kini pemuda itu mengenakan
pakaian panglima dan makin gagah saja. Lili minta diri dari Nyonya Kam yang
baik hati, kemudian gadis ini pun ikut dengan pasukan itu, naik kuda di depan
bersama Kam Liong.
Ketika
mendengar bahwa gadis itu adalah puteri Pendekar Bodoh, semua perwira dalam
barisan itu menjadi kagum dan diam-diam mereka tersenyum karena menaruh harapan
bahwa komandan mereka, Kam-ciangkun, akan berjodoh dengan pendekar wanita yang
lincah dan jelita ini.
Lima hari
setelah pasukan ini berangkat ke utara, mereka mulai melewati daerah yang amat
sukar dan dingin. Diam-diam Lili merasa bersyukur bahwa ia ikut dalam rombongan
ini, karena memang harus diakuinya bahwa kalau dia melakukan perjalanan seorang
diri tentu dia akan menempuh kesukaran besar sekali.
Pada suatu
hari, ketika pasukan itu dengan susah payah mendaki sebuah lereng gunung yang
tertutup salju, tiba-tiba saja Kam Liong dan Lili yang berkuda di depan,
melihat dua orang tua berlari cepat dari arah kanan.
“Hei...!
Bukankah itu Kam-ciangkun yang memimpin pasukan?” tiba-tiba salah seorang di
antara kedua kakek itu berseru girang sambil berlari menghampiri.
Ketika kedua
orang ini sudah dekat, hampir saja Lili tidak dapat menahan ketawanya. Dia
melihat dua orang pendeta, seorang tosu dan seorang hwesio yang keadaannya
sangat lucu.
Mereka sudah
tua dan tosu itu bertubuh tinggi kurus, mukanya yang keriputan saking tuanya
itu nampak makin menyedihkan karena selalu dia bermuka seperti orang hendak
menangis! Ada pun hwesio yang menjadi kawannya itu pun lucu sekali. Tubuhnya
gemuk seperti tong besar, bajunya terbuka sehingga biar pun berada di tempat
dingin, perutnya yang gendut selalu nampak. Mukanya bundar seperti bal dan
selalu menyeringai seperti orang yang merasa gembira sekali.
“Kam-ciangkun,
apakah kau hendak memimpin pasukanmu ke Alkata-san?” bertanya Si Tosu yang mau
menangis itu.
Sebelum Kam
Liong menjawab dan berkata dengan dua orang pendeta itu, Lili tak dapat menahan
hatinya lagi dan bertanya girang,
“Apakah dua
orang pendeta ini bukan Ceng To Tosu dan Ceng Tek Hwesio?”
Kedua orang
pendeta itu terkejut dan memandang kepada Lili dengan penuh perhatian.
“Kam-ciangkun,
siapakah Nona yang cantik dan gagah ini?” Si Hwesio bertanya sambil
tersenyum-seyum.
“Kawan lama,
Ji-wi Losuhu (Dua Orang Pendeta). Kawan lama!” Kam Liong menjawab gembira.
“Tentu Ji-wi takkan dapat menduga siapa dia, karena dia ini adalah Nona Sie
Hong Lie, puteri dari Sie Cin Hai Taihiap Pendekar Bodoh!”
“Apa...?!”
Ceng To Tosu dengan mewek-mewek mau menangis lalu menghampiri Lili dan memegang
tangan kirinya, sedangkan Ceng Tek Hwesio yang semakin lebar ketawanya juga
menghampirinya dan memegang tangan kanannya.......
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment