Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Raja Pedang
Jilid 13
Beng San
mendapat kenyataan betapa cocok kata-kata Tan Hok ketika menceritakan tentang
keadaan Hoa-san-pai dalam permusuhannya dengan Kun-lun-pai. Tidak saja dia
melihat banyaknya tosu Hoa-san-pai yang berkumpul di gunung itu, mendekati
seratus jumlahnya, akan tetapi menjelang datangnya hari perayaan ulang tahun ke
seratus dari Hoa-san-pai, berturut-turut datang murid-murid Hoa-san-pai yang
tinggal jauh dari gunung Hoa-san. Tiga hari sebelum hari perayaan, di sana
sudah berkumpul seluruh anggota Hoa-san-pai yang jumlahnya mendekati seratus
dua puluh orang!
Keadaan
Hoa-san-pai sungguh angker sekali. Tosu-tosu dengan pakaian seragam putih
melakukan penjagaan dengan sikap mereka yang alim dan amat gagah. Jalan kecil
yang menuju ke pendakian puncak itu, dihias dengan bunga-bunga kertas, setiap
seperempat kilometer dijaga oleh tiga orang tosu di pinggir jalan, merupakan
tiang-tiang hidup. Hal ini diadakan bukan hanya untuk memberi penghormatan
kepada para tamu, tetapi kiranya terutama sekali untuk ‘unjuk gigi’ kepada para
tamu yang datang dengan maksud-maksud buruk tertentu.
Sebagai
sebuah partai besar yang sudah terkenal namanya di seluruh dunia kang-ouw, kali
ini Hoa-san-pai mengadakan persiapan besar-besaran. Beberapa hari sebelumnya,
para tosu sudah sibuk berbelanja, menyediakan segala bahan makanan dan minuman
untuk menjamu para tamu. Ratusan bangku baru dibuat dan diatur di ruangan
depan.
Ruangan ini
menjadi luas sekali karena diberi bangunan tambahan darurat. Ruangan yang amat
luas ini dibagi-bagi, untuk para tamu kehormatan di sebelah dalam dan menghadap
keluar, untuk tamu wanita di sebelah kiri dan agak tertutup, dan untuk yang
muda-muda di sebelah kanan.
Di belakang
ke tiga tempat ini yang paling luas, disediakan bangku-bangku panjang untuk
tempat para tamu lain yang dianggap sebagai pengikut-pengikut saja. Pihak tuan
rumah mengambil tempat di ruangan yang mepet dinding dalam, dekat tempat tamu
kehormatan, membelakangi pintu besar yang dapat menuju ke dalam ‘rumah besar’.
Di tengah-tengah ruangan merupakan tempat terbuka yang cukup luas untuk memberi
tempat bagi para pelayan hilir-mudik.
Menurut
berita yang dibawa oleh para tosu penjaga kaki gunung, dua hari sebelum pesta
dimulai, sudah banyak sekali tamu yang datang sampai di kaki Gunung Hoa-san.
Mereka menginap di kampung-kampung, menanti datangnya hari yang ditentukan
untuk mendaki puncak. Tentu saja para tosu itu di antaranya ada yang bertugas
menyelidiki siapa-siapa yang akan datang, kawan ataukah lawan!
Pada hari
itu, pagi-pagi sekali sudah kelihatan para tamu berbondong-bondong mendaki
puncak Hoa-san. Banyak sekali tamu yang datang. Para tosu Hoa-san-pai yang
menjaga di sepanjang jalan sampai ke puncak, mewakili ketua mereka, melihat
dengan hati kaget betapa partai-partai lain datang lengkap dengan para anak
murid yang pilihan. Bahkan partai-partai Khong-tong-pai, Bu-tong-pai, dan
Bu-eng-pai datang dengan puluhan orang anak murid masing-masing sehingga
merupakan pasukan yang kuat!
Lian
Bu-Tojin memang tidak mau memperlihatkan diri lebih dahulu, malah dia sengaja
melarang Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa dan cucu-cucu muridnya untuk keluar lebih
dulu sebelum para tamu lengkap. Kakek ini amat berhati-hati. la mau melihat
murid-murid dan cucu-cucu muridnya muncul lalu dipancing oleh pihak lawan untuk
mengacaukan pesta ulang tahun perkumpulannya.
Setelah
ruangan tamu di depan penuh oleh para tamu, barulah Lian Bu Tojin diiringkan
oleh Kwa Tin Siong, Liem Sian Hwa, Kwa Hong, Thio Bwee, Thio Ki dan Kui Lok,
keluar dari dalam menuju ke tempat duduk yang disediakan untuk pihak tuan
rumah. Para tamu segera berdiri memberi hormat yang dibalas oleh Kwa Tin Siong
sebagai wakil pihak tuan rumah. Lian Bu Tojin sebagai seorang yang tingkatnya
lebih tinggi, hanya mengangguk dan hanya mengangkat kedua tangan membalas penghormatan
para tamu yang duduk di bagian terhormat.
Walau pun
baru sekarang Lian Bu Tojin keluar, namun kakek ini sudah tahu siapa saja
tamu-tamunya yang hadir. Tadi Kwa Tin Siong mengintai dari dalam dan memberi
tahu kepada gurunya tentang para tamu yang sebagian besar dikenal oleh jago
pertama dari Hoa-san-pai ini.
Yang amat
mengherankan hati Lian Bu Tojin dan Kwa Tin Siong adalah ketidak hadiran
orang-orang Kun-lun-pai. Padahal mereka melihat bahwa Khong-tong-pai dan
Bu-eng-pai, dua partai yang selalu memperlihatkan sikap membela Kun-lun-pai,
sudah lengkap hadir di situ. Diam-diam mereka juga merasa gembira bukan main
dengan hadirnya jago-jago dari Bu-tong-pai, karena partai ini selalu
memperlihatkan sikap baik kepada Hoa-san-pai.
Banyak
terdapat jago-jago silat yang sudah terkenal namanya hadir di ruangan itu. Nama
Hoa-san-pai sudah terlalu terkenal sehingga kali ini dapat menarik kedatangan
jago-jago silat dari seluruh negeri. Tapi yang paling penting disebutkan di
sini hanyalah beberapa orang saja. Di antaranya pemimpin rombongan
Khong-tong-pai, seorang lelaki gemuk pendek berusia lima puluh tahun. Dia
adalah murid pertama dari Khong-tong-pai bernama Liu Ta, seorang ahli Iweekeng
dan ahli golok. Karena terlalu dipercaya oleh gurunya yang sudah tua, Liu Ta
ini sering kali bertindak mewakili Khong-tong-pai tanpa setahu gurunya.
Dari pihak
Bu-eng-pai, rombongan ini dipimpin oleh dua orang jago Bu-eng-pai yang telah
terkenal namanya, yaitu Ang Kim Seng yang tinggi kurus berusia empat puluh
tahun lebih dan adiknya, Ang Kim Nio yang cantik genit berusia tiga puluh tahun
lebih. Kakak beradik ini terkenal sebagai ahli pedang dari Bu-eng-pai. Seperti
juga pihak Khong-tong-pai, kakak beradik ini lebih condong membantu Kun-lun-pai
dari pada Hoa-san-pai.
Beng Tek Cu,
seorang tosu yang tinggi besar serta bermata lebar adalah seorang tokoh
Bu-tong-pai, usianya lima puluh lima tahun. Orangnya jujur dan keras hati, akan
tetapi kepandaiannya tinggi dan namanya ditakuti orang-orang jahat karena tosu
Bu-tong-pai ini tak pernah menaruh kasihan kepada para penjahat. la menjadi
sahabat Kwa Tin Siong, maka dalam urusan antara Hoa-san dan Kun-lun, tosu
tinggi besar ini dan rombongannya berpihak kepada Hoa-san-pai. Masih banyak
tokoh-tokoh besar yang hadir di pertemuan itu, akan tetapi agaknya akan terlalu
panjang kalau disebut satu persatu.
Yang patut
disebut kiranya hanya mereka yang duduk di ruang tamu kehormatan, yaitu
pemimpin tiga rombongan yang sudah disebut tadi untuk menghormati nama besar
partai yang mereka wakili. Dari golongan perorangan ada beberapa orang kakek
lagi, yaitu dua orang hwesio, dua orang kakek petani dan tiga orang tosu.
Mereka ini
adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw yang kenal dengan pribadi Lian Bu
Tojin, jadi tidak mewakili sesuatu partai. Namun karena mereka ini tergolong
orang-orang lihai dan setingkat, maka mereka dipersilakan duduk di ruang tamu
kehormatan.
Di antara
ramainya para tamu yang saling berbicara seperti bunyi tawon madu diganggu,
para tamu mulai menyerahkan sumbangan-sumbangan serta barang-barang tanda mata
untuk memberi selamat kepada Hoa-san-pai. Riuh rendah suara tertawa karena
gembira pada saat Lian Bu Tojin berkenan menerima sendiri barang-barang hadiah
yang diberikan para tamu kepada Hoa-san-pai.
Kakek ini
berdiri di tengah ruangan di mana disediakan meja kosong yang panjang, diapit
di kanan kiri oleh Kwa Tin Siong dan Liem Sian. Ada pun Kwa Hong bersama tiga
orang saudara seperguruannya membantu untuk menerima semua barang hadiah dan
kemudian mengaturnya di atas meja.
Hampir semua
tamu membawa barang hadiah. Oleh sebab itu kini mereka berdiri dalam antrian
panjang. Setiap orang yang telah sampai di meja itu menghormat kepada Lian Bu
Tojin, mengucapkan selamat dan menyerahkan barang sumbangannya. Lian Bu Tojin
dan dua orang muridnya menghaturkan terima kasih, lalu barang itu diterima oleh
Kwa Hong dan saudara-saudara seperguruannya untuk diatur di atas meja panjang
tadi.
Kwa Hong
menjadi heran dari juga geli hatinya ketika ia melihat Beng San ikut-ikutan
pula berdiri dalam antrian. Pemuda ini mengenakan pakaiannya yang paling
bersih, wajahnya yang berseri kelihatan gagah dan tampan sekali, yakni dalam
pandangan Kwa Hong.
Sejak tadi
pemuda ini duduk di ruang kelas kambing, yaitu tempat luas di mana terdapat
bangku-bangku panjang. Di sana adalah tempat berkumpulnya tamu-tamu yang
menjadi pengikut rombongan. Dan sekarang tahu-tahu dia ikut di dalam antrian
sambil membawa sebuah bungkusan besar!
Kwa Hong
dengan perasaan heran dan hati geli menduga-duga apakah gerangan hadiah yang
dibawa orang muda itu untuk Hoa-san-pai? Juga Thio Bwee melihat pemuda ini dan
di bibir gadis ini pun tampak senyum geli.
Dalam
pandang mata Thio Bwee, biar pun Beng San merupakan seorang pemuda yang ia suka
karena sikapnya yang selalu sopan dan baik, apa lagi dahulu di waktu kecil
pernah menolongnya, akan tetapi tetap saja Thio Bwee memandangnya sebagai
seorang pemuda yang tidak punya guna, seorang pemuda yang lemah dan tidak tahu
akan ilmu silat.
Berbeda
dengan dua orang gadis itu yang melihat Beng San berdiri di dalam antrian para
pemberi hadiah merasa lucu dan ingin sekali tahu apakah gerangan barang hadiah
yang dibawanya dalam bungkusan besar itu, adalah Thio Ki dan Kui Lok memandang
dengan mata penuh curiga, iri hati dan cemburu.
Dua orang
pemuda ini dalam beberapa hari saja telah tahu betapa Kwa Hong amat suka
bergaul dengan Beng San, betapa wajah gadis itu selalu berseri-seri bila
bercakap-cakap dengan ‘bocah dusun’ itu. Betapa Kwa Hong agaknya lebih suka
bercakap-cakap dengan Beng San dari pada dengan mereka.
Kalau saja
tidak berada di tempat perjamuan, dan kalau saja tidak takut kepada sukong
mereka, agaknya dua orang pemuda ini sudah akan mengusir Beng San dari tempat
itu. Menurut pendapat mereka, Beng San tidak patut hadir dalam ruangan ini,
yang sekarang penuh dengan para tamu ahli silat belaka.
Akan tetapi
Beng San sendiri agaknya tidak peduli akan cucu-cucu murid Hoa-san-pai, tak
peduli bagaimana mereka memandangnya. Dia sendiri terus tersenyum dengan
wajahnya yang berseri-seri, melihat ke kanan kiri kepada para tokoh kang-ouw
yang kini sebagian besar sudah berkumpul di situ. Baru sekarang dia mendapat
kesempatan bertemu dengan mereka, siapa tidak akan girang?
Dari seorang
di dekatnya, dia tadi mendapat keterangan satu demi satu tentang para tamu yang
dianggap tamu kehormatan. Malah teman di dekatnya tadi, seorang anak murid dari
Bu-tong-pai, agaknya senang sekali bercerita sehingga membocorkan rahasia
partainya bahwa Bu-tong-pai membantu Hoa-san-pai. Dia menceritakan pula betapa
Khong-tong-pai dan Bu-eng-pai selalu membantu Kun-lun-pai dalam memusuhi
Hoa-san-pai. Teman baru ini juga menceritakan kehebatan setiap orang tokoh yang
dia anggap memiliki kesaktian seperti dewa-dewa!
Selain
gembira karena mendapat kesempatan melihat orang-orang kang-ouw, Beng San juga
sangat gembira ketika mendengar bahwa pihak Kun-lun-pai tidak hadir. Bukankah
dengan demikian maka keributan takkan terjadi dan dia tidak usah bersusah payah
untuk mencegahnya?
Setelah
sampai giliran Beng San menyerahkan sumbangannya, pemuda ini dengan wajah
sungguh-sungguh memberi hormat dengan menjura dalam di depan Lian Bu Tojin
sambil berkata, "Dengan hati tulus dan hormat saya menghaturkan selamat
kepada Hoa-san-pai yang mencapai umur seratus tahun. Semoga Hoa-san-pai akan
melewati ratusan tahun lagi dan melahirkan patriot-patriot yang gagah perkasa,
pembela-pembela rakyat yang adil dan bijaksana. Harap Totiang sudi menerima
kenang-kenangan tidak berharga ini."
la membuka
bungkusannya dan terdengar sedak tertahan dari Kwa Hong ketika gadis ini
melihat isi bungkusan yang besar itu. Ternyata isinya adalah... kulit harimau
yang besar dan amat indahnya. Harimau yang kemarin dulu ia bunuh di hutan!
Muka ketua
Hoa-san-pai berseri gembira. "Terima kasih, terima kasih..."
Sebagai
layaknya seorang tuan rumah, dia membalas penghormatan tamu bersama Kwa Tin
Siong, sedangkan Thio Bwee menerima kulit harimau itu, diletakkan di atas meja.
Ketika Beng
San kembali ke tempat duduknya, telinganya yang tajam pendengarannya itu
menangkap seruan-seruan heran dan kagum dari para tamu.
"Siapa
dia itu? Dapat mengambil kulit harimau sebesar itu tanpa melukainya… hemmm,
agaknya pandai juga dia..."
Diam-diam
Beng San tersenyum dan merasa lucu. Yang membunuh harimau itu adalah Kwa Hong
dan dia dengan hati-hati telah menutup luka-luka bekas tusukan pedang Kwa Hong
sehingga dilihat sepintas lalu saja seakan-akan tidak ada bekas luka,
seakan-akan dia sudah menangkapnya dengan tangan kosong, atau membunuhnya
dengan kepalan saja!
Tiba-tiba
saja terdengar suara gaduh di bagian depan. Orang-orang lalu memandang dan
terbelalak kaget. Seorang pemuda yang bukan lain adalah Giam Kin, berlenggang
masuk. Orangnya sih tidak mendatangkan kaget pada para tamu, hanya apa yang di
bawanya yang mendatangkan heboh.
Pemuda ini
datang membawa seekor ular besar yang melilit-lilit tubuhnya. Ular sebesar paha
yang kelihatan galak! Beng San memandang dengan perasaan mendongkol. Terang
sekali bahwa pemuda itu sengaja hendak berlagak untuk menarik perhatian orang.
Sambil tersenyum-senyum pemuda itu menghampiri meja dan menjura kepada Lian Bu
Tojin.
"Lian
Bu-totiang, saya mewakili suhu datang untuk mengucapkan selamat dan terimalah
semacam hadiah saya ini."
Semua orang
kaget dan mengira bahwa pemuda, ini akan menghadiahkan ular besar itu.
Akan tetapi
Lian Bu Tojin dengan wajah tenang membalas penghormatannya dan berkata,
"Ah, saudara Giam terlalu sungkan. Terima kasih atas pemberian
selamat."
Giam Kin
lalu merogoh saku jubahnya dan mengeluarkan dua buah tabung bambu yang
tersumbat. Tercium bau yang amat amis ketika dia membuka sumbat dari pada
sebuah di antaranya.
"Agar
Totiang tahu apa isinya, baik saya buka dan perlihatkan."
Dia mengetuk
bambu itu dan keluarlah... seekor ular bersisik merah yang kecil dan liar.
Dengan gerakan seorang ahli ditangkapnya leher ular itu dan diangkatnya
tinggi-tinggi ke atas. la berkata, jelas kata-katanya ditujukan kepada semua
tamu seperti seorang penjual obat mempropagandakan obatnya.
"Harap
Lian Bu Totiang tidak menganggap bahwa saya memberi tanda mata yang tidak ada
harganya. Sungguh pun hanya merupakan dua ekor ular kecil dalam tabung bambu,
tetapi dibandingkan dengan semua barang sumbangan yang ada di atas meja ini,
kurasa hadiahku adalah yang paling berharga. Sepasang ular ini disebut
Ngo-tok-coa (Ular Lima Racun), bisa digunakan untuk menyembuhkan lima macam
bahaya akibat terkena racun. Biar pun hanya merupakan dua ekor ular kecil,
namun sewaktu-waktu dapat berjasa dan menyambung nyawa, benda-benda yang lain
ini hanya indah dipandang tetapi tidak ada gunanya, mana dapat dibandingkan
dengan ular-ular pemberianku ini?"
Dengan
bangga dia menyerahkan kedua tabung itu kepada Kwa Hong dan Thio Bwee seorang
satu. Gerak-geriknya bebas dan tak tahu malu, akan tetapi karena ia merupakan
seorang tamu yang memberi hadiah ulang tahun untuk Hoa-san-pai, walau pun
dengan muka merah dan mulut cemberut, terpaksa Kwa Hong dan Thio Bwee
menerimanya juga. Ada pun Kwa Tin Siong mewakili suhu-nya menjura dan
mengucapkan terinia kasih.
Giam Kin
lalu menoleh ke kanan kiri, agaknya mencari tempat duduk yang sudah penuh.
Seorang tosu Hoa-san-pai segera menghampiri dan sambil membungkuk-bungkuk tosu
itu berkata.
"Tuan
muda, silakan duduk di sebelah sana, masih ada tempat kosong."
Tosu itu
hendak mengantar Giam Kin duduk di ruangan bagian kanan di mana berkumpul
tamu-tamu muda. Akan tetapi Giam Kin mengerutkan keningnya ketika melihat
betapa tempat itu adalah tempat duduk orang-orang yang bukan ‘orang atas’. la
menggelengkan kepala dan berkata sambil tertawa.
"Biarlah
aku di sana saja, aku sudah membawa tempat duduk sendiri." la lalu
melangkah lebar menuju ke ruangan tamu kehormatan!
Liu Ta,
pemimpin rombongan Kho-tong-pai, agaknya sudah mengenal pemuda ini karena dia
segera berdiri dan tersenyum memberi hormat. Akan tetapi yang paling menyolok
adalah sikap Ang Kim Seng dan Ang Kim Nio, dua orang jago Bu-eng-pai. Ang Kim
Nio melirik-lirik dengan senyum genit sedangkan Ang Kim Seng bahkan cepat-cepat
berdiri dan menyilakan Giam Kin menduduki tempat duduknya.
"Duduklah
Ang-twako. Duduklah, biar aku duduk di tempat yang sudah kubawa sendiri.”
Dia lalu
melepaskan lilitan ular di pinggangnya, kemudian ular besar dan panjang itu dia
gulung dan lingkar-lingkar sehingga merupakan satu gundukan yang lebih tinggi
dari pada bangku-bangku yang berada di situ. Di atas gundukan atau lingkaran
tubuh ular inilah dia duduk, nampak bangga dan jelas sengaja melakukan semua
ini untuk menarik perhatian dan memancing pujian!
Bukan main
mendongkolnya hati orang-orang Hoa-san-pai menyaksikan sikap pemuda itu. Thio
Ki dan Kui Lok sudah mengepal tinju dan mereka ini diam-diam berjanji bahwa
kalau pemuda setan itu berani main gila, mereka akan menghadapinya lebih
dahulu. Kwa Hong dan Thio Bwee juga marah sekali. Dengan kerling tajam
menyambar diam-diam mereka memaki pemuda itu.
Akan tetapi
Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa kelihatan tenang-tenang saja, apa lagi Lian Bu
Tojin, kakek ini malah tersenyum-senyum nampak gembira. Padahal di dalam
hatinya, guru dan dua orang muridnya ini selalu terheran mengapa pihak
Kun-lun-pai belum juga muncul.
Tidak hanya
pihak tuan rumah yang terheran, juga para tamu terheran-heran, malah para tamu
muda menjadi kecewa sekali. Sesungguhnya, mereka naik ke Hoa-san bukanlah
semata-mata untuk memberikan penghormatan kepada Hoa-san-pai, akan tetapi
terutama sekali tertarik akan harapan melihat pertandingan hebat antara
jago-jago Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai. Mereka semua sudah tahu bahwa antara dua
partai persilatan ini terdapat permusuhan, maka sekali ini dalam pertemuan
terbuka, tentu akan diadakan pertandingan terbuka pula untuk menentukan siapa
yang lebih kuat.
Giam Kin
menoleh ke kanan kiri seperti orang yang sedang mencari-cari. Diam-diam dia
memperhatikan para tamu dan mencari seorang pemuda muka hitam. Dia bernapas
lega ketika tidak dapat menemukan orang bermuka hitam itu, akan tetapi dia
masih merasa gelisah yang ditutup-tutupinya dengan sikap yang sangat jumawa. Padahal
sebetulnya dia merasa khawatir kalau-kalau ‘setan muka hitam’ itu akan muncul
di sini.
"Ah,
kenapa aku tidak melihat seorang pun dari Kun-lun-pai?" tiba-tiba Giam Kin
berkata, suaranya nyaring dan terdengar oleh banyak orang, terutama oleh para
tamu kehormatan yang hadir di situ.
Semua mata
memandangnya karena memang pertanyaan ini sudah sejak tadi berada di dalam
benak semua tamu berikut tuan rumah, hanya tiada seorang pun berani lancang
mulut bertanya seperti yang dilakukan Giam Kin.
Ang Kim Seng
tertawa, lalu menjawab, juga dia sengaja mengerahkan tenaga sehingga suaranya
terdengar sangat nyaring, "Giam-taihiap, apakah kau juga ingin sekali
menonton keramaian? Tentu mereka akan datang!"
"Kabarnya
ketua Kun-lun-pai juga mau datang memberi selamat. Betulkah berita ini?"
Giam Kin bertanya lagi, tanpa peduli akan pandang mata tak senang dari seorang
tosu yang tinggi besar dan duduk di dekatnya.
"Memang
ada berita itu," jawab Ang Kim Seng, "dan malah murid-murid
Kun-lun-pai telah memberi tahu kepadaku sendiri. Aku pun sudah lama sekali
tidak berjumpa dengan Pek Gan Siansu, ingin aku menyampaikan hormat."
"Ha-ha-ha,
Ang-twako. Agaknya kau ini sahabat karib Kun-lun-pai!" terang-terangan
Giam Kin menegur sambil tertawa.
Ang Kim Seng
juga tertawa. "Kun-lun-pai adalah partai terbesar di dunia ini, partai
yang terbesar dan terkuat, juga terkenal sebagai tempat pendekar-pendekar gagah
perkasa. Siapa orangnya yang tidak bersahabat dengan mereka?”
Jelas bahwa
percakapan antara Giam Kin dan Ang Kim Seng ini merupakan percakapan yang
menyerempet ketenangan. Para tamu serentak menghentikan percakapan mereka dan
mendengarkan dengan hati tegang.
Kwa Tin
Siong sendiri mulai melirik-lirik ke arah tempat duduk para tamu kehormatan.
Ada pun Thio Ki, Thio Bwee, Kui Lok, dan Kwa Hong sudah terang-terangan
memandang ke arah Ang Kim Seng dengan mata tajam.
Tiba-tiba
Beng Tek Cu, tosu dan Bu-tong-pai yang sejak tadi merasa muak melihat lagak
Giam Kin, berdiri dan bangkunya. la memang seorang yang galak dan jujur, dan di
dalam hatinya dia pro kepada Hoa-san-pai. Sekarang, setelah dia mendengar
percakapan yang menyinggung-nyinggung urusan Kun-lun-pai, dia tidak dapat
menahan kesabarannya lagi.
Seperti
orang berbicara kepada diri sendiri, tosu tinggi besar yang sudah tua tapi
masih kelihatan muda ini menengadahkan kepalanya dan berkata keras.
"Siapa
yang menjilat dan bermuka-muka kepada yang besar dan kuat, tidak ada bedanya
dengan kutu-kutu anjing yang selama hidupnya hanya mengandalkan tubuh anjing
yang ditumpanginya!"
Mendengar
ucapan yang keras ini, Semua tamu diam dan semua memandang ke arah ruangan tamu
kehormatan itu. Tak seorang pun mengira bahwa dari ruang ini akan disulut api
yang akan membakar perayaan itu. Giam Kin tertawa-tawa geli, seakan-akan merasa
betapa lucunya kata-kata tadi.
Ang Kim Seng
melompat bangun dari bangkunya, lalu memandang ke arah Beng Tek Cu sambil
bertanya. "Kau berani menyamakan aku dengan kutu anjing?"
Beng Tek Cu
menoleh kepadanya, seakan-akan tidak peduli, lalu balas bertanya, "Kau
merasa menjadi kutu anjing atau tidak?"
"Tentu
saja tidak!" Ang Kim Seng marah, mukanya sudah menjadi merah sekali,
matanya melotot.
”Kalau tidak
ya sudah! Aku tidak memaki siapa-siapa, hanya mengatakan bahwa kalau ada yang
menjilat dan bermuka-muka pada yang besar dan kuat, dia itu seperti kutu
anjing. Kalau kau bukan kutu anjing, ya sudahlah, kenapa ribut-ribut?"
Terdengar
suara ketawa di sana-sini.
"Hi-hi-hi-hi...”
Kwa Hong menutupi mulutnya dengan tangan untuk menahan ketawanya.
Tentu saja
gadis ini sudah maklum bahwa pihak Bu-eng-pai memang selalu menangkan Kun-lun,
ada pun pihak Bu-tong-pai membantu pihaknya. Apa lagi ia mengenal Beng Tek Cu
sebagai sahabat karib ayahnya, maka ia girang dan geli melihat betapa tosu yang
memang berwatak berangasan, kasar dan jujur tapi pandai berdebat itu
mempermainkan Ang Kim Seng.
"Satu
nol...," kata Beng San.
Pemuda ini
sejak tadi sudah memperlihatkan keringanan tangannya, tanpa diminta telah
membantu ke sana ke sini, kadang-kadang membantu para tosu yang menghidangkan
makan minum kepada para tamu, kadang kala dia juga membantu memberes-bereskan
barang-barang sumbangan di atas meja panjang itu. Pada saat dia mendengar Kwa
Hong tertawa, dia sendiri juga merasa geli maka tanpa disengaja dia tadi
berkata, "Satu nol..."
"Apanya
yang satu nol?" Kwa Hong bertanya lirih tanpa pedulikan lirikan ayahnya
yang hendak mencegah dia bicara tentang hal yang meributkan.
"Tosu
hitam tinggi besar itu menang satu, si tinggi kurus itu kalah dan belum
menangkan apa-apa, maka kedudukan mereka menjadi satu nol untuk si tosu tinggi
besar," jawab Beng San.
Sementara
itu, mendengar ucapan Beng Tek Cu, Ang Kim Seng makin marah. Akan tetapi tentu
saja dia akan berada di pihak salah bila mana dia yang mulai memaki. Ia menahan
kemarahannya dan pura-pura bersikap tenang, lalu bertanya.
"Eh,
tosu yang bersikap kasar. Tidak tahu siapakah kau?"
"Ang
Kim Seng sicu (orang gagah) sebagai seorang jagoan besar Bu-eng-pai, tentu saja
tidak mengenal pinto (aku) Beng Tek Cu dari Bu-tong-pai."
Ang Kim Seng
nampak kaget sekali dan dia merasa menyesal mengapa tadinya dia tidak mencari
keterangan lebih dulu siapa sebenarnya tosu tinggi besar yang kasar ini.
Kiranya tokoh Bu-tong-pai!
Jawaban Beng
Tek Cu tadi sekaligus memukul lawannya oleh karena jawaban itu juga merupakan
sindiran tajam sekali. Dengan mengenal nama Ang Kim Seng dan partainya
merupakan tanda betapa tajam pandangan dan luas pengetahuan Beng Tek Cu, namun
sebaliknya kalau orang sampai tidak mengenal tokoh Bu-tong-pai, hal itu boleh
dikatakan keterlaluan dan sangat picik pengetahuannya.
"Dua
nol..." kata pula Beng San, tapi sebelum Kwa Hong sempat bicara, pemuda
ini telah pergi untuk membantu para tosu mengisi lagi arak bagi para tamu.
Sementara itu, Ang Kim Seng berusaha menyembunyikan perasaan malunya.
"Ahh,
kiranya orang Bu-tong-pai..." Sambil berkata demikian, dia pun duduk
kembali dan mengajak Giam Kin bercakap-cakap. Sikapnya ini jelas sekali hendak
membalas, seakan kelihatan memandang rendah kepada Bu-tong-pai.
Beng Tek Cu
tentu saja merasai ini. Mukanya sudah merah, hatinya sudah panas, akan tetapi
oleh karena tiada alasan, maka dia pun tidak dapat berbuat apa-apa. Ketegangan
antara dua orang ini makin terasa, dan semua orang tahu bahwa apa bila ada
sedikit saja dasar dan alasannya, tentu kedua orang ini akan saling tantang.
Pada saat
itu, ketegangan yang ditimbulkan oleh tokoh Bu-eng-pai dan Bu-tong-pai ini
seketika lenyap dengan masuknya seorang gadis berpakaian serba hijau yang
cantik dan gagah. Dara ini masih remaja sekali, memakai pakaian serba hijau
yang amat sederhana potongannya tetapi ringkas. Gagang pedang tersembul di
balik punggungnya.
Dia memasuki
ruangan itu seorang diri saja dan inilah yang menarik perhatian orang, terutama
sekali perhatian para tamu muda. Tanpa menoleh ke kanan kiri gadis itu segera
menghampiri Lian Bu Tojin dan memberi hormat dengan sopan.
"Totiang
yang mulia, teecu mewakili suhu Swi Lek Hosiang mengucapkan selamat kepada
Hoa-san-pai dan menyampaikan tanda mata ini."
Ternyata
gadis itu membawa barang sumbangan berupa sebuah mainan burung dara yang
terbuat dari perak dan diukir indah sekali, bermata kumala.
Lian Bu
Tojin tersenyum lebar, nampak gembira sekali dan menerima benda sumbangan itu.
"Ha-ha-ha, benar-benar pinto yang sudah tua ini menerima penghormatan besar
yang sangat membanggakan hati. Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang sampai sudi
mengingat hari ulang tahun Hoa-san-pai, benar-benar menggirangkan sekali.
Terima kasih, anak yang baik. Berbahagialah Swi Lek Hosiang mempunyai murid
seperti engkau. Hong Hong dan Bwee-ji, ajak nona ini duduk bersama."
Sebagai
murid Swi Lek Hosiang, kiranya sudah sepantasnya kalau nona ini diberi tempat
duduk pada bagian tamu kehormatan. Tetapi Lian Bu Tojin melihat betapa tak
pantasnya kalau nona muda jelita ini harus duduk dalam satu ruangan dengan
orang-orang laki-laki, terutama di situ terdapat Giam Kin.
Oleh karena
inilah maka dia sengaja menyuruh Kwa Hong dan Thio Bwee mengajak nona itu duduk
bersama. Dengan demikian dia dapat menjaga nama besar Thai-lek-sin Swi Lek
Hosiang, dan di samping itu dapat pula menjaga nona muda ini dari pandang mata
atau ucapan yang kasar dan mengandung kekurang ajaran. Diam-diam kakek ini
sudah dapat menilai watak dari orang muda semacam Giam Kin.
Kwa Hong dan
Thio Bwee sudah pernah mendengar nama besar Thai-lek-sin Swi Lek Hosiang, maka
sekarang bertemu dengan muridnya yang begini cantik dan sebaya dengan mereka,
tentu saja mereka dapat menerimanya dengan girang dan sebentar saja tiga orang
nona ini bercakap-cakap dengan ramah dan akrab. Hanya menjadi keheranan hati
dua orang nona Hoa-san-pai itu ketika melihat betapa nona berbaju hijau ini
sering kali memandang ke arah para tamu. Sinar matanya menyambar-nyambar penuh
selidik, seakan-akan dia sedang mencari seseorang di antara para tamu.
Mendadak terdengar
teriakan tosu penjaga pintu gerbang depan.
“Pek Gan
Siansu dari Kun-lun-pai datang...!"
Serentak
suara berisik dari para tamu terhenti. Muka-muka menjadi tegang, mata menatap
keluar penuh perhatian, dada berdebar-debar. Terutama sekali murid-murid
Hoa-san-pai, mereka siap untuk menghadapi segala kemungkinan. Mereka mengira
bahwa tentu Pek Gan Siansu, ketua Kun-lun-pai ini datang dengan membawa banyak
anak muridnya dari Kun-lun-pai.
Akan tetapi
mereka semua itu kecele ketika melihat bahwa yang muncul hanya seorang kakek
tua sekali, usianya hampir delapan puluh tahun, jenggotnya putih panjang sampai
ke perut, sepasang matanya juga kelihatan putihnya saja seperti mata yang sudah
lamur. Tubuhnya tinggi kurus, mulutnya tersungging senyuman ramah dan tenang,
dan tangan kanannya membawa sebatang tongkat bambu yang panjang.
Di
belakangnya, sambil menundukkah mukanya, berjalan seorang pemuda bertubuh
tinggi tegap, bermuka tampan gagah. Usia pemuda ini takkan lebih dari dua puluh
empat tahun. la berjalan di belakang kakek itu membawa sebatang pedang yang
diletakkan di atas kedua lengannya yang ditelentangkan, seperti orang membawa
baki. Pada pinggangnya sendiri tergantung pula sebatang pedang.
Dapat diduga
bahwa pedang yang dibawanya itu tentulah pedang pusaka Kun-lun-pai, dan agaknya
kakek tua itu sudah menyuruh pemuda ini sebagai tukang membawanya.
Dengan sikap
yang amat manis, Pek Gan Siansu berjalan memasuki ruangan itu. Dia mengangguk
ke kanan kiri kepada tokoh-tokoh yang dia kenal, kemudian dengan langkah halus
dia terus masuk menghampiri Lian Bu Tojin yang siang-siang sudah berdiri dari
tempat duduknya, berdiri tegak menyambut, sikapnya halus wajahnya berseri ramah
akan tetapi sepasang matanya memandang penuh keangkeran seorang ketua partai
besar.
"Pek
Gan Siansu, selamat datang di Hoa-san-pai. Kedatanganmu ini benar-benar sangat
melegakan hati pinto," kata Lian Bu Tojin sambil mengangkat kedua tangan
ke dada dan membungkuk.
"Ahh,
kau baik sekali, Lian Bu toyu," berkata kakek tua itu sambil tersenyum dan
balas memberi hormat. "Tidak hanya engkau, aku pun merasa lapang dadaku
dapat bertemu muka dengan ketua Hoa-san-pai. Lebih dulu perkenankanlah aku
mengucapkan selamat kepada Hoa-san-pai."
"Terima
kasih... terima kasih... dan silakan duduk, Siansu. Silakan duduk dan
pengiringmu itu juga. Dan suruhlah anak-anak muridmu masuk semua, pinto
persilakan mereka duduk dan menerima jamuan sederhana dan seadanya dari
Hoa-san-pai."
Akan tetapi,
meski pun masih tersenyum-senyum kakek Kun-lun-pai itu tidak mau duduk, tetap
berdiri di situ. Pemuda yang gagah tampan tadi masih berdiri pula di
belakangnya, tunduk membawa pedang pusaka.
"Terima
kasih, Lian Bu toyu. Aku datang hanya dengan muridku yang paling muda ini. Aku
datang tidak membawa maksud buruk, mengapa aku harus datang membawa anak-anak
Kun-lun-pai? Lian Bu toyu, sudah terlalu lama kau dan aku diam saja melihat
kebodohan anak-anak kita. Kurasa sekaranglah saatnya kita harus bertindak.”
Kembali
suasana menjadi tegang. Orang-orang diam tak bergerak, tak bersuara. Semua
perhatian dicurahkan kepada dua orang kakek tua yang kini berdiri saling
berhadapan itu. Lian Bu Tojin masih tersenyum, akan tetapi keningnya
bergerak-gerak.
"Pek
Gan Siansu, tindakan apa gerangan yang hendak kau lakukan?"
Pek Gan
Siansu menoleh ke kanan kiri, jenggotnya yang panjang itu bergerak-gerak.
"Toyu
(sahabat dalam To), lajimnya urusan seperti yang hendak kubicarakan ini
dilakukan di dalam sebuah kamar tertutup atau di lingkungan keluarga saja. Akan
tetapi melihat keadaan kedua partai kita yang selama ini telah terjadi kesalah
pahaman dan bentrokan-bentrokan, maka kurasa malah ada baiknya kalau
pembicaraan ini disaksikan oleh para orang gagah yang hadir di sini. Justru
memerlukan saksi-saksi inilah maka aku sengaja memilih hari baik ini."
"Katakanlah
maksudmu, tentu pinto akan mendengarkan dengan penuh perhatian," Lian Bu
Tojin berkata ketika melihat kakek tua itu berhenti sejenak.
Pek Gan
Siansu menarik napas panjang. "Lian Bu toyu, berpuluh tahun kau dan aku
menjadi sahabat karib sampai-sampai dahulu kita pernah mempererat hubungan
dengan menjodohkan murid-murid kita satu dengan yang lain."
"Celakanya,
justru perjodohan itulah yang menyebabkan semua keributan," Lian Bu Tojin
mencela sambil menarik napas panjang penuh penyesalan.
"Segala
sesuatu memang sudah ditentukan oleh Thian Yang Maha Kuasa," Pek Gan
Siansu menghibur. "Akan tetapi bagi orang-orang yang sudah banyak makan
asam garam kehidupan seperti kita ini, kiranya mengingatkan hal-hal lama
bukanlah perbuatan yang benar. Lebih baik kita memandang ke depan dari pada
menengok ke belakang. Tidakkah kau pikir demikian juga, Toyu?”
Tiba-tiba
tosu penjaga di pintu gerbang berkata keras.
"Souw-kongcu
(tuan muda Souw) dan Tan-kongcu datang...!”
Lian Bu
Tojin mengangkat muka memandang, juga semua tamu. Yang masuk adalah dua orang
laki-laki muda yang berpakaian indah dan bersikap gagah. Seorang di antaranya
adalah Souw Kian Bi, Pangeran Mongol yang pernah menggoda Liem Sian Hwa dahulu,
kemudian menculik Thio Bwee dan Kwa Hong, kemudian dapat membujuk Lian Bu Tojin
memberikan janjinya untuk tidak membantu pemberontak Pek-lian-pai.
Hal ini
telah dituturkan di bagian depan, yaitu terjadi hampir sepuluh tahun yang lalu.
Biar pun semenjak itu tidak ada lagi hubungan antara Hoa-san-pai dengan
Pangeran Mongol ini, akan tetapi tidak mengherankan apa bila Souw Kian Bi
datang pula untuk menghadiri perayaan Hoa-san-pai.
Melihat
orang yang dulu pernah menculiknya, Kwa Hong dan Thio Bwee menjadi merah
mukanya, mereka marah sekali. Juga Liem Sian Hwa memandang dengan sinar mata
penuh kebencian.
Begitu
masuk, Souw Kian Bi segera menujukan pandang matanya ke dalam, ke arah
wanita-wanita cantik itu. Mulutnya terus tersenyum-senyum dan matanya liar
memandang. Tiba-tiba dia melihat gadis baju hijau yang duduk bersama Kwa Hong
dan Thio Bwee, dia nampak kaget lalu berseru gembira.
"Heeeee...
Nona Thio Eng! Kau di sini juga...?"
Bagi
orang-orang Hoa-san-pai, bukan hal aneh kalau Souw Kian Bi mengenal nona baju
hijau yang sekarang baru mereka ketahui bernama Thio Eng itu. Bukankah dahulu
juga Souw Kian Bi berada di markas Mongol bersama dengan Thai-lek-sin Swi Lek
Hosiang guru nona itu?
Thio Eng,
nona baju hijau yang pernah kita kenal ketika ia bertemu dengan Beng San dan
mengaku bernama Eng, hanya mengangguk kaku ke arah Souw Kian Bi dan berkata,
"Aku mewakili suhu."
"Ah,
suhumu di mana sekarang? Bertahun-tahun hwesio tua itu tidak pernah muncul. Dan
kau... hemmm, sudah besar sekarang dan... cantik..."
Terdengar
suara orang tertawa di sana-sini dan Souw Kian Bi menjadi merah mukanya, sadar
dia bahwa di depan banyak orang itu dia telah bersikap terlalu bebas dan
mungkin agak ceriwis! Cepat-cepat dia menarik tangan temannya untuk diajak
menghampiri Lian Bu Tojin, menjura dan menghaturkan selamat.
Lian Bu Tojin
mengucapkan terima kasih, lalu Kwa Tin Siong yang mempersilakan dua orang muda
itu mengambil tempat duduk. Karena maklum bahwa seakan-akan Souw Kian Bi
mewakili Pemerintah Mongol, maka Kwa Tin Siong memberinya tempat duduk yang
selayaknya, yaitu di dekat ruangan tamu kehormatan.
Kwa Hong
duduk di bangkunya dengan bengong. Sepasang matanya tiada henti menatap wajah
pemuda yang menjadi teman Souw Kian Bi. Orang itu benar-benar mirip Beng San,
pikirnya terheran-heran.
Ingin ia
bicarakan hal ini dengan Thio Bwee, akan tetapi ia melihat Thio Bwee memeluk
lengan gadis baju hijau sambil berkata.
"Ehhh,
Cici Eng yang baik, ternyata kita masih satu keturunan! Jadi kau juga bernama
keturunan Thio?"
Akan tetapi
gadis berbaju hijau itu, Thio Eng, tidak menyambut sikap Thio Bwee dengan
gembira, sebaliknya ia hanya menundukkan muka dan mengerutkan kening.
"Enci
Eng, siapakah ayahmu...?” Thio Bwee dalam kegembiraannya mendesak.
"Ayah...
ayah sudah meninggal dunia, juga ibu, aku yatim piatu."
Thio Bwee
terharu dan memeluk pinggang gadis itu. "Ah, kasihan kau, Enci Eng. Ayahku
juga sudah meninggal dunia, tapi ibuku masih ada, di Gi-nam...”
Kwa Hong
yang tak jadi mengajak Thio Bwee bicara tentang orang muda teman Souw Kian Bi
yang ia anggap mirip Beng San, segera memutar leher mencari-cari Beng San
dengan matanya. Tapi ke mana pun ia mencari dengan pandang matanya, di situ
tidak kelihatan adanya Beng San.
Ke manakah
perginya pemuda ini? Memang Beng San pergi bersembunyi! Pemuda ini mengalami
hal-hal yang mengguncangkan hatinya. Pertama-tama melihat munculnya Thio Eng
yang dia kenal sebagai nona Eng berperahu, dia sudah cepat menyingkirkan diri
agar jangan terlihat oleh nona itu. Pengalamannya dengan Thio Eng membuat dia
terharu dan juga merasa malu untuk bertemu muka di tempat umum seperti itu.
Kemudian
munculnya Pek Gan Siansu dengan seorang pemuda yang membawa pedang pusaka,
membuat hatinya cukup merasakan ketegangan hebat. Inilah tugasnya dan inilah
sebabnya mengapa dia datang ke tempat ini. la harus menjaga agar Hoa-san-pai
jangan sampai bentrok lebih hebat dengan Kun-lun-pai, dan ini pula sebabnya
kenapa pemimpin para pemberontak, Ciu Goan Ciang, menitipkan dua pucuk surat
untuk masing-masing ketua partai, untuk mendamaikan.
Sekarang
kedua orang ketua itu telah saling berhadapan, kata-kata mereka sudah mulai
menyinggung-nyinggung persoalan. Beng San biar pun menyembunyikan diri di
belakang orang-orang lain, dia memasang telinga mendengarkan penuh perhatian
dan siap untuk bertindak sebagai penengah apa bila keadaan menjadi panas.
Kemudian muncullah Souw Kian Bi itu.
Hatinya ikut
panas melihat Souw Kian Bi yang sudah pernah dikenalnya, dan melihat sikap yang
kurang ajar dari laki-laki ceriwis dan mata keranjang ini. Akan tetapi segera
jantungnya serasa berhenti berdetak ketika dia melihat orang muda yang menjadi
teman Souw Kian Bi. la menggosok-gosok kedua matanya dan wajahnya
perlahan-lahan menjadi pucat dan tentu akan berubah hijau sekali kalau saja dia
tidak lekas-lekas mengerahkan tenaga dalamnya untuk melawan hawa yang menjalar
ke mukanya.
"Ya
Tuhan...," bisiknya dalam batin.
Tak salahkah
ingatannya! Itulah wajah Kui-ko (kakak Kui), wajah Tan Beng Kui kakaknya, kakak
kandungnya...! Dan tadi tosu penyambut juga meneriakkan nama Tan-kongcu untuk
orang itu. Betulkah? Beng San menjadi pusing.
Wajah
kakaknya ini sering kali terbayang di otaknya semenjak dia dilemparkan ke
sungai oleh Song-bun-kwi dahulu itu. Meski pun dia mengenal wajah kakaknya
ketika dia masih kecil, namun wajah orang muda yang sekarang duduk dengan
anteng di kursi itu tak salah lagi. Tetapi benarkah? Bagaimana kalau dia
keliru? Bukan tidak mungkin ada orang lain ber-she Tan yang wajahnya ada
persamaan dengan wajah kakaknya!
Setelah
gangguan kecil ini mereda, yaitu kedatangan Souw Kian Bi bersama temannya,
perhatian semua orang dialihkan kembali pada dua orang ketua yang masih berdiri
saling berhadapan itu. Memang Pek Gan Siansu dan Lian Bu Tojin masih berdiri di
tempat tadi.
Kwa Tin
Siong dan Liem Sian Hwa juga masih berdiri di belakang suhu-nya, sedangkan
pemuda yang oleh Pek Gan Siansu diaku sebagai muridnya termuda, juga masih
berdiri di situ tak bergerak seperti patung. Wajah yang tampan dari pemuda
tinggi tegap ini malah agak pucat, matanya redup.
Agaknya Souw
Kian Bi segera dapat merasakan ketegangan suasana ini, maka dia pun tidak
banyak tingkah lagi dan segera menujukan perhatiannya ke dalam.
Pek Gan
Siansu mulai membuka mulut. "Lian Bu toyu, seperti kukatakan tadi, segala
apa di dunia ini, betapa pun hebat manusia berusaha, keputusannya diambil oleh
Thian Yang Maha Kuasa. Buktinya, kau dan aku dua orang tua telah berusaha untuk
kebaikan, untuk eratnya hubungan antara kita dengan jalan menjodohkan
murid-murid kita. Akan tetapi apa dayanya, agaknya Thian menghendaki lain.
Betapa pun juga, kita jangan habis daya upaya, sahabatku. Oleh karena itu,
kedatanganku ini selain memberi selamat atas ulang tahun Hoa-san-pai, juga
ingin aku mengajukan sebuah usul baik kepadamu demi untuk meredakan suasana
panas dan sekalian untuk menyambung kembali persahabatan yang hampir diputus
oleh sepak terjang anak-anak murid kita." Pek Gan Siansu berhenti dan
mengambil napas panjang.
Lian Bu
Tojin mengangguk-angguk. "Ucapan-ucapanmu dapat pinto terima. Akan tetapi
tentang usul yang hendak kau ajukan itu, hemmm... baiklah kita lihat-lihat
dulu. Usul apakah gerangan itu, Siansu?"
Kakek
Kun-lun-pai itu menengok ke arah pemuda yang membawa pedang pusaka, lalu dia
tersenyum berkata, "Lian Bu totiang, pemuda ini adalah muridku yang
termuda, dia ini adalah anak tunggal dari mendiang muridku Bun Si
Teng...," kembali ia berhenti sebentar untuk mengumpulkan tenaga mengusir
ingatan bahwa Bun Si Teng muridnya itu tewas di tempat ini. "Dia ini adalah
ahli warisku satu-satunya dan dia pula yang kuserahi pedang pusaka Kun-lun-pai,
kelak akan menggantikan kedudukanku. Muridku yang termuda ini bernama Bun Lim
Kwi, berusia dua puluh dua tahun. Lian Bu totiang, jika kau masih suka melihat
mukaku, masih suka mengingat perhubungan lama dan masih ada niat baik untuk
menyambung kembali tali persahabatan, aku datang untuk mengusulkan kepadamu
agar diadakan pengikatan jodoh antara muridku ini dengan seorang di antara cucu
muridmu perempuan." Setelah berkata demikian, Pek Gan Siansu menengok ke
arah Thio Bwee dan Kwa Hong yang seketika menjadi pucat.
Hening di
tempat itu. Semua orang memandang dengan hati tegang. Hebat sekali usul ini,
sekaligus ketua Kun-lun-pai itu seperti orang takluk dan menyerah kalah,
mengulurkan jalan perdamaian.
Muka pemuda
itu, Bun Lim Kwi, juga pucat sekali dan perlahan-lahan dua titik air mata
mengalir keluar dari kedua matanya yang dia meramkan. Memang hebat usul dari
gurunya ini.
Bayangkan
saja, Bun Lim Kwi adalah putera tunggal Bun Si Teng yang dahulu tewas di
Hoa-san-pai dalam pertandingan melawan Hoa-san Sie-eng! Dan dia, putera
tunggalnya, kini hendak dijodohkan dengan anak dari pembunuh ayahnya! Kedua
tangannya yang memegang pedang pusaka tiba-tiba gemetar.
Semua ini
terlihat oleh Beng San dari tempat sembunyinya. la sudah mendekat dan bukan
main terharu hatinya. Terngiang dalam telinganya pesan terakhir dari mendiang
Bun Si Teng ketika hendak menghembuskan nafas terakhir dahulu. Bagaimana
kata-kata terakhir itu?
“... kau
berjanjilah bahwa kelak kau akan mengamat-amati putera tunggalku, Bun Lim
Kwi..."
Biar pun
Beng San tak pernah mengeluarkan ucapan janji itu, akan tetapi di dalam hatinya
dia tak pernah melupakan kata-kata terakhir yang merupakan pesan itu. Dan
sekarang dia melihat Bun Lim Kwi berdiri di sana, di belakang Pek Gan Siansu
sebagai murid kakek itu, sebagai ahli waris tunggal dari Kun-lun-pai! Dan dia
melihat Bun Lim Kwi hendak dijadikan alat pendamai antara Kun-lun-pai dan
Hoa-san-pai.
la merasakan
betapa hebatnya keperihan hati pemuda tinggi tegap itu, disuruh mengawini anak
musuh besar yang telah membunuh ayahnya. Dan diam-diam simpati di hati Beng San
tercurah kepada pemuda tinggi besar itu, perasaan kasihan dan juga kagum. la
melihat Bun Lim Kwi sebagai seorang pemuda yang amat berbakti kepada guru,
seorang pemuda yang baik dan juga dapat menahan hati. Terharulah dia melihat
dua butir air mata yang mengalir turun dari sepasang mata Bun Lim Kwi.
Wajah Lian
Bu Tojin juga berubah Nampaknya kakek ini bimbang sekali, terpukul dan bingung
oleh usul yang tidak tersangka-sangka dari Pek Gan Siansu itu. Sampai lama
kakek ini hanya memandang pada Pek Gan Siansu yang masih berdiri tegak
memegangi tongkat bambunya. Kemudian memandang pada Bun Lim Kwi yang masih
tunduk sambil memegangi pedang pusaka. Terharu juga hati Lian Bu Tojin.
Terang bahwa
biar pun hatinya hancur, pemuda Kun-lun-pai itu tunduk akan keputusan gurunya,
seorang murid yang baik dan patuh. Akhirnya ketua Hoa-san-pai ini menengok ke
arah murid-muridnya, kemudian setelah melihat pandang mata keras bercahaya dari
mata Kwa Tin Siong dan Liem Sian Hwa, dia berkata kepada Pek Gan Siansu.
"Hebat
sekali usulmu itu, Siansu. Benar-benar pinto tidak pernah menyangkanya bahwa
usaha untuk jalan damai yang kau adakan sampai demikian jauhnya. Untuk maksud
baik itu saja pinto sudah wajib menghaturkan terima kasih kepadamu. Akan
tetapi, urusan yang kau usulkan ini bukanlah urusan kecil, dan sungguh pinto
merasa ragu-ragu dan bahkan tidak berani memutuskannya. Ada banyak sahabat yang
duduk menjadi saksi di sini, dan kiranya sudah sepatutnya kalau kita minta
nasihat dan pertimbangan mereka. Akan tetapi tentu saja lebih dahulu aku harus
minta pendapat kedua orang muridku, karena mereka adalah orang-orang yang
secara langsung tersangkut dalam urusan pertentangan dengan pihakmu."
"Baiklah,
Lian Bu toyu, kau bicarakanlah urusan ini, aku masih sabar menanti."
Kakek itu
lalu melangkah mundur dua langkah dan berdiri bersandar pada tongkatnya. Bun
Lim Kwi juga melangkah mundur dan menggunakan kesempatan ini untuk mengusap dua
titik air mata dari pipinya dengan ujung lengan bajunya.
"Tin
Siong, Sian Hwa, bagaimana pendapat kalian?" Lian Bu Tojin bertanya kepada
dua orang muridnya dengan suara nyaring. Memang kakek ini sengaja hendak
merundingkan usul ini secara terbuka sehingga banyak saksi akan melihat bahwa
Hoa-san-pai tidak sekali-kali mempunyai maksud buruk.
"Suhu,
teecu dalam urusan besar ini hanya menyerahkan segala keputusan kepada Suhu.
Hanya teecu mengharap kelonggaran Suhu agar mengingat bahwa Hong-ji sudah teecu
rencanakan mengenai calon suaminya." Dengan ucapan ini secara halus Kwa
Tin Siong tidak menyetujui kalau puteri tunggalnya yang akan dijadikan pengikat
antara dua partai itu dan menjadi jodoh putera Bun Si Teng!
"Suhu,
teecu rasa amat tidak baik kalau mengulang kembali urusan busuk yang pernah
menjadi sebab penghinaan terhadap Hoa-san-pai kita. Apakah kita tidak kapok
setelah apa yang terjadi dengan diri teecu? Orang Kun-lun-pai tak dapat
dipercaya. Siapa tahu kalau-kalau urusan perjodohan nanti hanya akan
menghancurkan penghidupan seorang murid lain dari Hoa-san-pai seperti yang
telah teecu derita?" Sampai di sini tak tertahan lagi air mata bercucuran
dari mata Liem Sian Hwa.
Lian Bu
Tojin menarik napas panjang. “Pek Gan Siansu, kau lihatlah, pinto tidak dapat
memutuskan usulmu itu begitu saja, pinto harus mendengarkan keterangan pihak
lain." la menoleh ke arah Beng Tek Cu, "Beng Tek Cu toyu, kau sebagai
sahabat baikku, coba kau keluarkan pendapatmu tentang usul pihak Kun-lun-pai
agar hati pinto tidak bimbang ragu."
Beng Tek Cu,
tosu tokoh Bu-tong-pai yang tinggi besar dan jujur ini segera bangkit berdiri
lalu terdengar suaranya yang keras dan parau.
"Pinto
adalah orang luar, akan tetapi karena Lian Bu toyu sudah menaruh penghargaan
terhadap pendapat pinto, baiklah pinto mengeluarkan pendapat secara jujur
dengan terus terang. Terserah kalau ada pihak yang tidak setuju pendapat pinto
ini, pokoknya bagi pinto, pendapat ini keluar dari hati yang jujur dan tidak
berat sebelah." Sampai di sini tosu tinggi besar ini melirik ke arah Ang
Kim Seng dan Ang Kim Nio.
"Beng
Tek Cu toyu, teruskanlah," Lian Bu Tojin mendesak.
“Pinto yang
sudah mendengar seluruhnya tentang persoalan Hoa-san-pai dan Kun-lun-pai dari
Lian Bu toyu, dapat menarik kesimpulan bahwa segala pokok pangkal persoalannya
ini yang menjadi biang keladinya adalah Kwee Sin. Sudah jelas bahwa dia
bersekongkol dengan pihak Ngo-lian-kauw mengadakan kerusuhan, membunuh orang
tua Liem-lihiap dan karenanya dia menyeret Kun-lun-pai dalam permusuhan dengan
pihak Hoa-san-pai. Karena dia pulalah maka dua orang saudara Bun dari
Kun-lun-pai sampai tewas dalam pertandingan di Hoa-san, dan kemudian permusuhan
menjadi berlarut-larut."
"Pertandingan
apa?" tiba-tiba Liu Ta, jago Khong-tong-pai berdiri dan mencela, suaranya
tinggi kecil tidak sesuai dengan tubuhnya yang pendek gemuk. "Kedua
Bun-enghiong itu datang berdua saja, mengantarkan sute mereka Kwee Sin naik ke
puncak. Naik berdua saja berarti mempunyai maksud baik, akan tetapi tahu-tahu
mereka terbunuh di sini. Aku heran, kalau tidak dikeroyok mana bisa dua orang
gagah she Bun itu tewas?"
"Liu-sicu,"
Lian Bu Tojin menegur, mendahului Beng Tek Cu yang sudah memandang dengan mata
melotot. "Pinto harap Liu-sicu sudi bersabar. Tentu saja sebagai tamu dan
saksi, Sicu berhak mengukirkan pendapat, akan tetapi tunggulah saat dan
giliran."
Ucapan Lian
Bu Tojin penuh kehalusan, akan tetapi di dalam kehalusan ini tersembunyi celaan
dan kekerasan. Semua ini dilakukan oleh ketua Hoa-san-pai, selain untuk menjaga
keangkeran partainya, juga untuk mencegah terjadinya bentrokan antara Beng Tek
Cu dan Liu Ta.....
Terima kasih telah membaca Serial ini
No comments:
Post a Comment