Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Jaka Lola
Jilid 15
Pada saat
itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa
berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian
Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi. Yo Wan bermimpi. la melihat seorang lelaki
sederhana, berpakaian seperti petani, tetapi berwajah tampan dan bersikap
gagah, berdiri tegak bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi
kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka
berjalan meninggalkannya.
"Ayah...!
Ibu...!" Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh
untuk mengejar mereka. la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya,
tenaganya habis dan dia tak berdaya menyingkir dari api yang mengelilinginya
itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali
lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah
terlalu jauh, hanya nampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapa
pun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang
cantik peramah.
Tiba-tiba
muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal
siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah
seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah
Cui Sian.
Gembira
hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerak hendak memanggil Cui Sian, akan
tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang,
mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh.
Mendadak semua bayangan itu ienyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, dia
mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia
dari mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan.
Kini terasa
betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. Dia mengeluh, lalu membuka
matanya, merasa heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam,
menahan nafas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko.
Otomatis dia menahan nafasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut.
Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan
dibukanya mata yang tadi sudah dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa
dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.
Ada air tampak
olehnya, namun di bawah, dan dia sedang rebah di atas sebuah perahu yang
bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas bagaikan terbakar, pundak kirinya
sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia
beracun yang dilepas oleh Yosiko. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah?
Apakah ini perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu?
Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa sangat haus. la mengumpulkan tenaga
dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.
"Uuhhhh..."
Pundak
kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di
pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah
kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.
"Ee-e-eeeh...
tidak boleh bangun dulu... kau harus rebah terus, miring kanan..."
tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan ada jari-jari tangan yang
halus pula merangkul pundak kanannya, lalu dengan tekanan perlahan menyuruh dia
rebah kembali, terlentang agak miring ke kanan agar anak panah di pundak
kirinya tidak menyentuh lantai perahu.
Yo Wan
serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Pada saat untuk
pertama kali mendengar suara wanita itu tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya
dia berharap bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti
bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya.
Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan
siapakah wanita ini. Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang
gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu.
Gadis itu
memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak
mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Di mana gerangan?
Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu di mana
dan bila mana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas
terasa menyesakkan nafasnya.
"Uhh-uhhh...
panas... haus...," bisiknya.
Gadis itu
dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang
dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia
menghampiri Yo Wan.
"Haus?
Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau sedang terserang demam, akan tetapi
tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim
(Hutan Seribu Bunga), di sana banyak tanaman obat untuk mengusir demam, juga
untuk menghentikan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan
anak panah itu, sesampainya di sana baru dicabut."
Gadis itu
bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik
sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan
lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening,
bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di
angkasa, menghias pagi yang sangat dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi
imbangan yang amat manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.
"Kau siapakah,
Nona?" Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan
tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.
Sebelum
menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan kecil ini membuat
ujung lengan bajunya tersingkap sehingga tampaklah lengannya yang berkulit
putih halus sampai ke siku membayang di balik lengan baju. Jari-jemarinya kecil
meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara. Tangan halus itu dengan gerakan
lembut dan mesra menyentuh kening Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat
panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai sapu tangan merah
muda dari balik bajunya dan dihapusnya kening yang penuh keringat itu, terus ke
pipi dan leher Yo Wan.
Walau pun
sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar
jengah dan malu. Siapakah gadis jelita ini yang begini mesra dan begini telaten
merawatnya?
"Kau...
kau siapa...?" tanyanya lagi.
"Kau
minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?" kata si gadis yang tanpa
ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan dan
mengangkat kepala pemuda itu sedikit ke atas, kemudian tangan kanannya mendekatkan
sebuah cawan ke mulut Yo Wan.
Pemuda ini
merasakan hal yang luar biasa aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa
bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Meski pun
usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi baru
kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!
Kepalanya
seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium aroma
harum yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang
diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli
tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan walau pun dia sedang menderita sakit,
dia dapat merasakan betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu
mengandung tenaga yang hebat!
"Siapakah
kau, Nona?" tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.
Si gadis
tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali.
Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak
tahu benar apa dan siapakah ‘sesuatu’ itu. Hanya saja dia merasa pasti bahwa
dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!
"Apakah
kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan
hampir saja celaka di laut. Kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku
untuk merawatmu sampai sembuh."
Yo Wan
memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Apakah betul Yosiko ketua Kipas
Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini
teringatlah dia bahwa sinar mata serta dekik pada ujung mulut itu dia lihat
pada wajah Yosiko! Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa
pasti akan hal itu.
Hanya ada
sebuah kemungkinan lagi, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik
kembar. Hanya adik kembar yang bisa mempunyai persamaan seperti ini, bagai
pinang dibelah dua. Akan tetapi, andai kata benar adiknya, mengapa begini
hebat? Sebaliknya, apa bila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus
seaneh ini sikapnya?
la tidak mau
meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi dia pun tidak mau
berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun
lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.
"Ehh,
jangan bangun... kau mau apa...?" Gadis itu bertanya, memegang lengannya.
"Aku...
aku harus pergi dari sini."
"Ehh,
jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak
panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?"
"Aku
harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Di manakah mereka? Dan apa yang
terjadi?"
Kini mereka
duduk berhadapan di atas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan
bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang
elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat
pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san. Gadis ini masih muda, tak akan
lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka serta kulit tangan yang agak
gelap dapatlah diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak
terkena cahaya matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata
dan mulutnya.
Mendengar
pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, segera mata gadis itu
berkilat. "Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal kenapa aku tidak membunuh
mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat
mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu ketika mereka kena tawan!"
Yo Wan
mengerutkan kening. Gadis ini benar-benar seperti Siu Bi, liar dan ganas. Akan
tetapi ucapan itu melegakan hatiriya, karena dalam kegemasannya gadis itu sudah
jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, malah mungkin
telah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, akan tetapi karena
pundaknya tiba-tiba terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.
"Apa
yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita... ehhh,
yang menyerang aku dan kakakmu?"
"Mereka
adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan, dipimpin oleh
putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap kakakku. Hemmm,
tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apa lagi membasmi Kipas
Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti."
Diam-diam Yo
Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergap dia dengan Yosiko, yang sudah
melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak
laut. Dan di dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan
Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.
"Dan
mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?"
"Uhh,
mereka? Biar mereka itu dimakan setan neraka. Mereka sudah bergabung dengan
orang-orang Tai-goan, menyebar kematian di antara anak buah kami. Awas bila
mereka terjatuh ke tanganku!"
Yo Wan
girang sekali. Tak salah dugaannya dan tidak salah pula ketika dia membantu
muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang
perkasa, sedangkan Yosiko, dan adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua
anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi.
Berpikir demikian, tiba-tiba saja dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan
dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Bila para pendekar kang-ouw mengetahui
hal ini, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak
bangkit.
Gadis itu
kaget. "Ehh, mau apa kau? Mau ke mana?"
"Aku
harus pergi dari sini! Harus!" la mengeluh karena pundak kirinya sakit
sekali.
Dengan
tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kirinya, memegang gagang anak panah
dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah itu tercabut, darah muncrat
keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan
di atas perahu!
Gadis itu
cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, kemudian dengan
cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan
berlari-larilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan
Jeng-hwa-lim. Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis
itu dengan cepatnya menuju ke sebuah goa yang berada di hutan ini. Indah sekali
tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut
Po-hai, sungguh lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu
mengalir tak jauh di depan goa.
Apa yang
diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di
dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah
orang-orang Bun-goanswe yang sedang berusaha untuk membasmi dan menangkap ketua
bajak laut, dipimpin langsung oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang
tampan dan gagah perkasa. Ada pun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar dari pada
pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam,
kembali dirobohkan oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka dari sambaran
senjata-senjata rahasia ampuh serta berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua
Kipas Hitam.
Namun
sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoinya sudah
meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka
itu sudah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berdua pun
meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka
dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap.
Kemarahan Hwat Ki dan sumoinya lalu memuncak. Mereka tadi telah memungut pedang
masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini
mengamuk. Pedang mereka berkelebatan seperti dua ekor naga sakti yang
menyambar-nyambar.
Akan tetapi,
para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan
bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi
dikalahkan Yo Wan. Karena maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang
muda perkasa, maka yang maju adalah anggota-anggota bajak laut pilihan yang
sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.
Seorang demi
seorang para bajak laut itu mulai roboh. Namun yang datang membantu jauh lebih
banyak dari pada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak
pening akibat pengaruh racun tadi. Karena itu keduanya lalu beradu punggung dan
mempertahankan diri dari hujan senjata dari kanan kiri. Mereka masih dapat
merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar dari kepungan yang
makin tebal itu.
Agaknya para
bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang
itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya. Hwat Ki
maklum pula akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk
maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Jing-tok-ciang sehingga
terdengar pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat
ini!
Akan tetapi,
pukulan yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan mala
petaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Jing-tok-ciang,
lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat
Ki dan Cui Kim!
Pucat wajah
kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para
pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau
sedemikian banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah
mereka!
"Sumoi,
terjang ke kiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!" teriak Hwat Ki
kepada adik seperguruan itu.
la mendapat
akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan berdarah. Cui Kim
mengerti akan maksud suheng-nya, karena itu dia segera memutar pedangnya
sedemikian cepat sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat
putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh.
Akan tetapi
Cui Kim terpaksa kembali meloncat mundur karena ada empat orang yang
menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut. Api adalah benda
yang amat berbahaya, sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat
mengerikan.
Hwat Ki juga
berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin
oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua
orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini
diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.
"Gunakan
jala!" Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala
ikan.
Ketika
mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya
jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini. Hwat Ki dan Cui
Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga
terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Bisa dibayangkan sukarnya orang bersilat
di atas jala-jala ikan yang malang-melintang.
Mendadak
terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling!
Seorang bajak laut cepat menubruk maju. Para bajak yang terdiri dari
orang-orang kasar dan liar itu di dalam hatinya saling berlomba untuk dapat
menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san supaya sebelum menyerahkannya
kepada ketua, mereka bisa memuaskan kekurang ajaran mereka.
Bajak yang
menubruk maju ini berseru girang. Dia merasa menang dalam perlombaan ini sebab
dapat lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah
seketika menjadi pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada
di tangan Cui Kim.
Sebagai
seorang murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukanlah seorang
gadis sembarangan. Meski pun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, akan
tetapi dalam robohnya dia sudah langsung membalikkan tubuh dan bersiap dengan
pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan
berhasil menusuk tembus leher si bajak sehingga bajak itu seketika lantas tewas
sambil membawa nafsu kekurang ajarannya ke neraka!
Cui Kim
kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini sudah
menembus tulang, maka tidak begitu mudah dicabut. Padahal pada saat itu, tiga
orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju
dengan obor dan golok di tangan.
Cui Kim
sudah meramkan mata menunggu datangnya sang maut. Akan tetapi ia segera membuka
matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut
itu. Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil
melirik girang kepada suheng-nya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat
sekali. Akan tetapi suheng-nya sudah terlihat lelah sekali, juga dia merasa
amat lelah biar pun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.
Pada saat
kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, mendadak
terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut.
Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa
dari mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri,
menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet.
Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega
akibat terbebas dari pada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang
pedang yang berlepotan darah.
"Saudara
Hwat Ki...! Syukur kau dan sumoi-mu selamat...!"
"Eh,
Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau
datang?" kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain
adalah Bun Hui.
"Bersama
pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas
Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas di mana-mana. Kau melihat ketuanya?
Di mana dia?"
"Lari,
tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai sekali. Mudah-mudahan
tertangkap," kata Hwat Ki.
"Ke
mana larinya?"
"Ke sana!"
kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah dia
jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan
suhu-nya.
"Mari
kita kejar!"
Mereka
bertiga mengejar ke luar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan
anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut di
mana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka
kecewa sekali mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri
sambil menyelam. Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui
Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil
memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada
dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan
diri. Hwat Ki dan sumoi-nya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang
terkena anak panah!
Mereka semua
terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki serta sumoi-nya memisahkan
diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari
jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari
Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka.
Mereka berdua dapat membayangkan betapa bahayanya keadaan mereka ketika mereka
roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak
berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam pada
mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau
saja tidak muncul pemuda baju putih yang begitu aneh, yang tadinya sudah mereka
lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.
Melihat cara
pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu
terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main.
Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai
Sungai Kuning ini….
Sementara
itu, Yo Wan sadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa enak dan nyaman, akan tetapi
lemas sekali. Segera dia ingat akan segala peristiwa yang menimpa dirinya, maka
cepat-cepat dia membuka matanya. Heran dia ketika mendapatkan dirinya rebah di
atas pembaringan yang terbuat dari kayu kasar sederhana, dan berada di dalam
sebuah goa yang gelap. Akan tetapi harus dia akui bahwa goa ini bersih sekali,
kering dan dari luar masuk bau semerbak harum dibawa oleh siliran angin.
Ketika
melihat tubuhnya, dia merasa heran sekali karena bajunya sudah terganti dengan
baju baru yang berwarna putih, terbuat dari sutera. Baju ini bersih dan baru,
jauh berbeda dengan bajunya sendiri yang sudah agak kumal. Juga sepatunya yang
lenyap ketika dia bergumul dengan Yosiko di dalam laut, kini telah mendapat
penggantinya berupa sepatu baru yang mengkilap. Yo Wan terheran-heran. Tentu
gadis adik Yosiko itu yang memberi semua ini, karena dia sudah teringat akan
peristiwa di atas perahu. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali. Tidak
mungkin! Siapa yang menggantikan pakaiannya selagi dia pingsan? Apakah gadis
jelita itu?
Teringat
akan ini, Yo Wan melompat bangun, jantungnya berdebar-debar. Dia mengeluh
karena merasa jantung serta isi dadanya seakan-akan ditusuk-tusuk pisau.
Tiba-tiba dia terbatuk dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya.
Terdengar suara kaki berlari-lari ringan memasuki goa. Gadis jelita itu masuk,
bagaikan dewi, akan tetapi yang sedang cemas. Matanya yang indah terbelalak,
kedua tangannya berkembang, dan mulutnya yang kecil berseru kaget.
"Ahh,
kau sudah sadar... jangan berdiri, berbaringlah dulu. Yo Wan, kau terluka
parah...!"
Hanya dengan
pengerahan tenaga dalamnya Yo Wan sanggup menahan dorongan dari dalam untuk
batuk dan muntah darah. Dia terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa dia
benar-benar telah menderita luka yang hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan
tetapi dia merasa malu apa bila harus berbaring lagi, malu karena gadis ini
sudah menggantikan pakaiannya. Sungguh tak tahu malu! Wajahnya menjadi merah
sekali dan hampir dia tidak berani menentang pandang mata itu.
"Aku...
aku harus pergi..." Dia memaksa bibirnya berkata demikian, sungguh pun
hatinya merasa tidak enak. Gadis itu sudah begitu baik padanya, agaknya sudah
mengobati luka di pundaknya karena pundak itu tidak terasa sakit lagi.
Dengan
tenang tetapi ramah dan bebas, gadis itu melangkah dekat, memegang tangan Yo
Wan sambil menuntunnya setengah memaksa, duduk di atas pembaringan kayu. Yo Wan
merasa halusnya kulit tangan. Kehangatan yang keluar dari jari-jari tangan
kecil itu menjalari seluruh tubuhnya, membuat dia menjadi makin bingung dan
memaksa dirinya untuk tidak membantah.
"Yo
Wan, ketahuilah. Biar pun luka di pundakmu sudah tidak berbahaya lagi, akan
tetapi agaknya anak panah itu terlalu dalam menghujam di tubuhmu, mungkin
melukai bagian penting dalam dadamu. Tadi kau muntahkan banyak darah, sudah
kubersihkan, terpaksa kuganti pakaianmu dengan pakaian bersih. Tetapi sekarang
kau batuk-batuk lagi, maka kau berbaringlah! Aku bukan ahli pengobatan, akan
tetapi aku juga maklum bahwa dalam keadaan seperti ini, tak baik kau
mengerahkan tenaga dan menggerakkan tubuh. Lebih baik kau berbaring, biar
kuberi minuman yang mengandung khasiat menguatkan tubuh, kemudian akan mencari
seorang tabib yang pandai untuk mengobatimu."
Mendengar
ucapan ini, diam-diam Yo Wan kaget dan bingung. Omongan gadis ini sama sekali
tidak mengandung maksud buruk, bahkan amat baik dan membuat dia berhutang budi.
"Kenapa... kenapa kau melakukan hal ini kepadaku?" tanyanya, suara
lemah, akan tetapi karena maklum akan kebenaran kata-kata gadis itu, dia tidak
ingin membantah lagi dan membaringkan tubuhnya.
Gadis itu
memandang kepadanya, agaknya terheran mengapa Yo Wan masih bertanya macam itu.
Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, tiba-tiba warna merah menjalar
ke arah kedua pipi sampai ke telinga, dan aneh sekali, gadis itu menundukkan
muka sambil menyembunyikan senyum dikulum.
Apa-apaan
ini, pikir Yo Wan, namun jantungnya berdebar lagi sehingga cepat-cepat dia
harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaannya yang berdebar dan yang akan
menjadi bahaya bagi keselamatannya.
"Yo
Wan, kau telah mengalahkan ketua Kipas Hitam, ingatkah? Kepandaian kakakku itu
bukan apa-apa bagimu, kau jauh lebih lihai, bahkan sepuluh kali lipat lebih
lihai dari pada kakakku. Karena itu, sudah sewajarnya dan seharusnya kalau aku
merawatmu."
Yo Wan
meramkan matanya, mengingat-ingat. Teringat dia akan ucapan Yosiko ketika
hendak bertanding menghadapi Hwat Ki. Yosiko menyatakan bahwa adik perempuannya
menghendaki jodoh yang mampu mengalahkan Yosiko! Dan kini, adik Yosiko ini
agaknya kagum akan kepandaiannya. Celaka! Hampir Yo Wan melompat bangun, kalau
saja dia tidak merasa betapa dadanya yang sebelah kiri sakit sekali. Ini hanya
berarti bahwa gadis liar dan bebas ini sudah memilihnya sebagai calon jodoh!
Ah,
gerak-gerik gadis ini! Sepasang mata dan senyum itu! Salahkah dugaannya bahwa
Yosiko ketua Kipas Hitam adalah penyamaran gadis ini? Akan tetapi mengapa gadis
ini mengaku sebagai adiknya ketua Kipas Hitam? Andai kata betul gadis ini
adiknya, dapat dipastikan bahwa mereka tentulah saudara kembar, karena wajah
serta gerak-geriknya serupa benar. Hanya pakaian saja yang berbeda!
Sambil
berbaring di atas dipan kayu itu, Yo Wan mengingat-ingat. Hatinya girang kalau
dia teringat akan muda-mudi dari Lu-liang-san itu, terutama melihat betapa Tan
Hwat Ki, cucu Raja Pedang, ternyata adalah seorang pemuda yang gagah perkasa,
patut menjadi cucu Raja Pedang, patut menjadi keponakan... Cui Sian! Berpikir
sampai sini, mendadak saja semua lamunannya lenyap, yang nampak dan teringat
hanyalah gadis puteri Raja Pedang itu, Cui Sian!
"Kenapa?
Sakit sekalikah rasanya? Kau mengasolah, biar besok aku pergi mengundang
seorang tabib yang pandai."
Yo Wan tidak
menjawab, hanya mengangguk, akan tetapi keningnya berkerut. Dia sudah dirawat
oleh keluarga bajak laut yang mengganas di pesisir Laut Po-hai! Dia berada di
tangan orang jahat, akan tetapi ‘orang jahat’ itu justru merawat lukanya akibat
serangan anak panah seorang anggota pasukan pemerintah!
Gadis ini
amat mencurigakan. Apa alasannya merawat dia yang terang-terang memusuhi ketua
Kipas Hitam? Tak mungkin! Gadis ini amat cantik jelita, dan kalau benar adik
ketua Kipas Hitam, berarti seorang yang memiliki kedudukan, meski pun hanya
menjadi ketua Hek-san-pang.
Mana mungkin
seorang gadis jelita seperti ini mencintainya! Lalu apa pula kehendaknya?
Merawat seorang musuh. Tentu ada apa-apanya yang tersembunyi di balik perawatan
ini. Mendadak dia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang tak tertahankan.
Ingat dia akan obat yang diminumnya tadi, yang diminumkan oleh gadis itu.
Kecurigaannya
makin menebal. Jangan-jangan dia sudah diberi minum obat bius. Ia ingin
melompat dan menangkap gadis itu, lalu memaksanya membuat pengakuan. Akan
tetapi rasa kantuknya tak dapat dia tahan lagi dan di lain saat Yo Wan sudah
jatuh pulas.
Suara orang
bercakap-cakap dengan bisikan-bisikan lirih membuat Yo Wan tersadar dari tidurnya.
Akan tetapi Yo Wan tidak segera membuka mata, melainkan memperhatikan
percakapan itu dengan rasa heran. Ada dua orang berbicara, seorang adalah gadis
yang merawatnya, yang seorang lagi tentu seorang wanita pula, suaranya merdu
dan tekanan kata-katanya tegas.
"Dia
kelihatan lemah, aku tidak percaya...," kata suara ke dua.
"Pernahkah
aku membohong?" kata suara si gadis, manja dan marah. "Dia amat
hebat, kau sendiri tidak akan mampu menang..."
"Hemmm,
sebelum mencoba, mana aku bisa percaya obrolanmu?"
Yo Wan
membuka sedikit pelupuk matanya. Dari balik bulu matanya dia melihat
pakaian-pakaian bergantungan di atas, agaknya pakaian-pakaian yang baru habis
dicuci. Terlihat olehnya pakaiannya sendiri, dan pakaian sutera putih, pakaian
Yosiko!
Ahhh, lagi-lagi
pakaian ketua Kipas Hitam! Kalau pakaiannya berada di sini, bahkan bisa memberi
pinjam pakaian kepadanya, orangnya tentu di sini pula. Dan siapa lagi kalau
bukan gadis ini orangnya?
"Dia
tidak tampan sekali, juga tidak muda lagi, sedikitnya enam tujuh tahun lebih
tua dari padamu... hemmm, aku khawatir kau salah pilih..."
"Lihat,
dia sadar..."
"Biar
kucoba dia!"
Yo Wan
cepat-cepat mempergunakan ginkang-nya untuk membuang tubuhnya dari atas
pembaringan pada saat dia mendengar desir angin pukulan yang menggetar-getar.
Angin pukulan itu tidak mengenai dirinya, hanya menyambar pembaringan kayu,
akan tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada pembaringan itu, melainkan tikar
yang menjadi tilam pembaringan seperti tertiup angin.
Diam-diam Yo
Wan terkejut. Lweekang wanita itu hebat, akan tetapi jelas bahwa wanita itu
tidak mengirimkan pukulan maut. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan mencoba
atau mengujinya!
Cepat dia
membalikkan tubuh dan memandang. Kiranya di samping gadis itu telah berdiri
seorang wanita setengah tua yang cantik pula, sikapnya kereng, kedua matanya
amat tajam membayangkan kekerasan hati, bentuk mukanya serupa benar dengan
gadis itu, dan di punggung wanita setengah tua ini tersembul gagang sebuah
pedang. Yang amat berbeda dengan gadis itu adalah pakaiannya. Kalau gadis itu
mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan warna merah muda, pakaian wanita setengah
tua itu berwarna serba hitam.
Yo Wan
hendak bertanya, akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi karena wanita itu
telah menerjangnya dengan pedang di tangan. Serangan-serangannya sangat hebat
dan ganas, namun amat indah seperti orang menari-nari. Menyaksikan ilmu pedang
ini, jantung Yo Wan lantas berdebar. Ilmu pedang yang hebat! Serupa benar
dengan ilmu pedang yang pernah dilihatnya dalam permainan pedang Cui Sian.
Indah bagaikan tarian, namun mengandung daya serang yang sangat ganas! Dan
gerakan kaki itu! Jelas adalah inti dari Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te, yang
merupakan cabang dari Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun. Siapakah wanita ini?
Karena dia
bertangan kosong, Yo Wan terpaksa memainkan langkah-langkah ajaib untuk
menyelamatkan diri. Ruangan dalam goa itu remang-remang, hanya diterangi oleh
sinar penerangan pelita sumbu minyak sederhana, maka untuk menyelamatkan diri
tak cukup mengandalkan penglihatan yang menjadi silau oleh berkelebatnya
kilatan pedang.
Namun Yo Wan
telah memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan perasaannya yang peka serta
pendengarannya yang amat tajam dia dapat mengetahui dari mana senjata lawan
menyambar dan bagaimana sifat-sifat penyerangan lawannya yang cukup lihai ini.
Berkali-kali wanita setengah tua itu mengeluarkan ucapan heran menyaksikan
betapa Yo Wan selalu dapat menghindarkan serangannya, dan dari sikap heran
menjadi penasaran, kemudian menjadi marah. Hal ini terbukti pada serangannya
yang semakin gencar dan sungguh-sungguh, bahkan kini setiap sambaran pedangnya
merupakan jurus-jurus maut.
Yo Wan
terkejut dan khawatir. Dia merasa betapa nyeri di dalam dadanya masih hebat,
punggungnya terasa panas dan setiap gerakan yang membutuhkan pengerahan tenaga
agak banyak, terasa darah segar naik ke kerongkongannya. Dia maklum bahwa untuk
membalas serangan wanita yang galak ini, tidak mungkin tanpa membahayakan
lukanya sendiri. Maka, terpaksa dia hanya dapat mengelak dan seratus persen
mengandalkan keampuhan langkah-langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.
Masih untung
bagi Yo Wan bahwa ruangan dalam goa itu cukup luas sehingga dengan leluasa dia
dapat mainkan Si-cap-it Sin-po. Dan lebih untung lagi bahwa wanita setengah tua
ini agaknya hanya paham Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang tentu saja tidak
seluas Si-cap-it Sin-po yang mempunyai ragam sebanyak empat puluh satu langkah.
Hui-thian Jip-te hanya mempunyai dua puluh empat langkah.
Dengan
demikian, maka sebegitu jauh Yo Wan selalu masih dapat meloloskan diri, biar
pun kadang-kadang dia seperti sudah terkurung dan hanya mampu lolos melalui
lubang jarum! Makin lama gerakan Yo Wan makin lemah karena rasa nyeri dalam
dada dan di punggungnya makin menghebat. Dia telah mempertahankan diri sampai
lebih dari lima puluh jurus, selalu diserang tanpa dapat membalas kembali.
"Cukup!"
teriak si gadis dengan suara gelisah. "Dia dapat mempertahahkan diri
sampai puluhan jurus, padahal dia terluka hebat di punggungnya, dan racun masih
belum bersih betul! Bukankah itu sudah luar biasa sekali? Mana ada orang lain
yang dapat menahan seranganmu sampai puluhan jurus dengan tangan kosong?"
Akan tetapi
wanita setengah tua itu agaknya sudah terlanjur marah dan penasaran. Dia hanya
mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya, pedangnya terus mendesak dan
melancarkan serangan yang hebat. Ketika itu Yo Wan sudah merasa pening
kepalanya dan pandang matanya kabur. Pada waktu melangkah mundur, kakinya
tertumbuk pembaringan sehingga tubuhnya terguling. Pedang di tangan wanita
setengah tua itu menyambar ke arah lehernya.
"Tranggggg...!"
Pedang itu tertangkis oleh pedang di tangan si gadis.
"Masa
kau hendak berlaku curang terhadap dia?" Gadis itu memekik.
Si wanita
setengah tua melompat mundur, lalu mendengus marah, "Hemmm, biarkan dia
sembuh dan beri dia senjata. Dia harus bisa mengalahkah aku, baru hatiku
puas!"
Setelah
berkata demikian, wanita itu berkelebat dan melompat keluar dari dalam goa itu.
Gadis itu menarik napas panjang dan melemparkan pedangnya ke atas meja. Yo Wan
sudah bangkit kembali dan dengan hati penuh kemarahan dia melompat maju, lalu
menangkap tangan kanan gadis itu.
"Apa
artinya semua ini? Siapa wanita itu tadi? Hayo kau lekas mengaku semuanya dan
apa maksudmu menahan dan pura-pura menolongku di sini! Lekas kau mengaku, kalau
tidak...!"
Gadis itu
tersenyum manis. Bukan main cantiknya wajah di depan Yo Wan itu. Matanya
terbuka, terbelalak lebar seperti orang kaget dan heran, mulutnya agak terbuka,
dan dari balik sepasang bibirnya yang merah basah dan mungil itu terdengar
suara seperti orang menahan tawa. Dia sama sekali tidak melawan ketika tangannya
dipegang, bahkan dia merapatkan tubuhnya.
"Yo
Wan, kau hebat! Dengan tangan kosong kau..."
"Cukup!
Tak perlu kau melanjutkan permainan sandiwara ini. Hayo katakan semua, kalau
tidak...!"
"Ihhh...
dua kali kau bilang kalau tidak! Kalau tidak... kau mau apa sih?"
"Hemmm,
biar pun kau sudah menolongku, mungkin pertolongan palsu, kalau kau tidak mau
berterus terang, aku... aku akan mematahkan tanganmu ini!"
Mulut Yo Wan
memang berkata demikian, akan tetapi hatinya ragu apakah ia akan tega merusak
tangan yang berkulit halus dan hangat itu, apakah dia akan sanggup menyakiti
gadis yang sejak bertemu telah menolong dan merawatnya ini.
Gadis itu
semakin merapatkan tubuhnya sarnpai mukanya hampir menempel di dada Yo Wan.
"Kau... betul-betul hendak mematahkan tanganku?"
"Kalau
kau tidak berterus terang!"
"Wah,
kau benar-benar amat tega..."
Ketika itu
keduanya hampir berbareng merenggutkan tubuh masing-masing, melangkah mundur,
bahkan si gadis cepat menyambar pedangnya dan melompat ke arah pintu goa itu.
Tampak berkelebat bayangan orang yang amat gesit di luar goa itu. Akan tetapi
ketika si gadis mengejar, bayangan itu telah lenyap. Dengan muka berkerut gadis
itu kembali ke dalam goa.
"Siapa?"
tanya Yo Wan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.
"Agaknya
yang akan berani mengintai ke sini tentu hanya ibu seorang, akan tetapi kalau
ibu tak mungkin melakukan perbuatan seperti pencuri begitu."
Yo Wan
menarik napas panjang. "Nona, kuharap kau tidak mempermainkan aku lagi dan
sukalah kau bercerita terus terang. Bukankah kau ini yang menyamar sebagai pria
yang menjadi ketua Kipas Hitam dan bernama Yosiko?"
Gadis itu
melemparkan pedangnya di atas meja kayu. Dia menghela napas, kemudian
menggandeng tangan Yo Wan, diajaknya duduk di atas pembaringan kayu yang kasar.
"Duduklah dan dengarkan ceritaku."
Yo Wan tidak
membantah karena sebenarnya perlawanannya terhadap wanita setengah tua yang
lihai tadi membuat tubuhnya lelah dan gemetar. Pula, dia memang ingin sekali
mendengar penuturan gadis yang aneh ini, gadis yang membuat hatinya bingung
karena biar pun gadis ini seorang bajak laut, gerak-geriknya tidak patut menjadi
bajak laut yang kejam dan ganas, lagi pula kepandaiannya sangat lihai dan
mengenal langkah-langkah Kim-tiauw-kun!
"Tiada
gunanya menipu orang yang berpemandangan tajam seperti kau," gadis itu
mulai bicara. "Aku memang Yosiko atau Yo-kongcu bila berpakaian pria, juga
ketua dari Kipas Hitam."
la berhenti
untuk melihat reaksi pada wajah Yo Wan. Akan tetapi oleh karena pemuda ini
sudah menduga akan hal itu, maka wajahnya tak membayangkan sesuatu, tetap
tenang saja.
"Hemmm,
kalau begitu kita berdua masih satu she (nama keturunan)," komentar Yo
Wan, keningnya berkerut karena sungguh tak sedap hatinya mendapat kenyataan
bahwa dia mempunyai seorang kerabat yang kepala bajak!
Akan tetapi
Yosiko tertawa. Tidak ada keindahan pada wajah manusia melebihi di waktu dia
tertawa. Seorang yang buruk rupa sekali pun akan tampak menyenangkan apa bila
sedang tertawa. Apa lagi tawa seorang gadis jelita seperti Yosiko!
"Namaku
memang Yosiko akan tetapi sama sekali bukan she Yo! Yosiko adalah nama Jepang,
ayahku seorang Jepang, seorang tokoh besar pendekar samurai yang dijuluki orang
Samurai Merah!" Agaknya Yosiko bangga sekali ketika menyebut ayahnya.
"Ibuku yang tadi datang menggempurmu adalah seorang pendekar wanita.
Dahulu dia berjuluk Bi-yan-cu (Walet Cantik) Tan Loan Ki. Kepandaiannya hebat,
bukan?"
Akan tetapi
Yo Wan amat terkejut ketika mendengar nama-nama ini karena dia pernah mendengar
dari suhu-nya bahwa Raja Pedang memiliki seorang keponakan perempuan yang
menikah dengan seorang pendekar Jepang. Kiranya wanita setengah tua yang tadi
menyerangnya adalah keponakan Si Raja Pedang. Pantas saja wanita itu beserta
anak gadisnya ini mengerti akan ilmu pedang indah seperti yang dimiliki Cui
Sian!
Akan tetapi
Yo Wan masih belum percaya begitu saja, oleh karena dia merasa ragu-ragu
mengapa keponakan Raja Pedang sampai menjadi bajak laut!
"Hemmm,
kiranya baik ayah mau pun ibumu keduanya adalah pendekar-pendekar besar! Sayang
anaknya menjadi kepala bajak!"
Bibir yang
merah itu merengut. "Apa salahnya menjadi bajak? Kami menjadi bajak secara
terang-terangan, kami menuntut pajak bagi lalu lintas laut, minta bagian dari
saudagar yang banyak untungnya, apa salahnya? Mana lebih jahat dari pada
menjadi pembesar-pembesar yang memeras rakyat melebihi bajak? Terlebih lagi aku
menjadi kepala Kipas Hitam karena terpaksa, karena kami harus menuntut balas
dan melanjutkan pekerjaan mendiang ayahku."
"Hemmm,
jadi ayahmu sudah meninggal dunia dan dahulunya juga bajak laut? Ibumu
juga?" tanya Yo Wan yang kini menjadi sangat terheran-heran. Bagaimana
keponakan Raja Pedang bisa menikah dengan seorang kepala bajak? (Tentang Tan
Loan Ki dan Samurai Merah, baca cerita PENDEKAR BUTA).
Ditanya
demikian, wajah gadis itu menyuram, suaranya juga terdengar sangat sedih, dan
sebelum menjawab dia menarik napas panjang. "Ayahku dahulunya bukan bajak.
Sudah kukatakan, ayah seorang pendekar samurai dan karena tidak sudi diperbudak
oleh kaum ningrat, ayah merantau ke Tiongkok dan di sini bertemu dengan ibuku,
pendekar wanita Bi-yan-cu Tan Loan Ki. Mereka saling mencinta dan akhirnya ibu
ikut dengan ayah ke Jepang. Akan tetapi, di negara Jepang, ayah menerima
penghinaan dan ejekan dari para samurai lain karena sudah mengawini ibu, bukan
gadis bangsa sendiri. Kemudian terjadi pertengkaran dan perkelahian. Karena
dikeroyok, akhirnya ayah lari dan menjadi bajak laut antara laut Jepang dan
Tiongkok. Akan tetapi, baru tiga tahun yang lalu ayah tewas karena keroyokan
para pendekar Jepang dan Tiongkok. Aku melanjutkan pekerjaannya, memimpin Kipas
Hitam dibantu ibu!"
Yo Wan
mengangguk-angguk dan mulai teranglah sekarang baginya kenapa keponakan Raja
Pedang menikah dengan seorang bajak laut. Hanya dia masih merasa heran
bagaimana ibu dan anak ini dapat mainkan langkah-langkah ajaib dari
Kim-tiauw-kun, padahal Raja Pedang sendiri tidak mengerti akan ilmu ini.
Setahunya, selain dirinya, sekarang di dunia ini hanya ada dua orang yang
mengerti ilmu langkah ajaib ini. Yang seorang adalah suhunya, yaitu Pendekar
Buta, dan seorang lagi tentu saja Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai.
"Hemmm,
kiranya begitukah? Tetapi, Nona..."
"Namaku
Yosiko, tak perlu kau repot-repot menambahi nona segala, biasanya aku malah
disebut kongcu (tuan muda)...," potong Yosiko sambil tersenyum.
Hemmm, gadis
ini lincah jenaka dan galak, sama persis seperti sifat-sifatnya Siu Bi gadis
Go-bi-san itu.
"Baiklah,
kusebut kau Yosiko. Setelah kau menjadi ketua bajak laut dan kau sudah tahu
pula bahwa muda-mudi itu adalah putera dan murid Lu-liang-pai, kenapa kau
memusuhi mereka?"
"Mereka
adalah komplotan alat pemerintah, mereka agaknya mata-mata yang diperintah
menyelidiki keadaan kami, dan mereka telah membunuh beberapa orangku! Tadinya
aku masih mengampuni mereka! Hemmm, kalau saja aku tahu bahwa mereka itu
berkomplot dengan tentara pemerintah, tentu kemarin sudah kubunuh mereka!"
"Kau
menaruh murah hati ataukah karena kau tertarik kepada Tan Hwat Ki yang gagah
perkasa dan tampan? Tahukah kau bahwa Tan Hwat Ki adalah cucu pendekar sakti
Raja Pedang Tan Beng San lo-kiam-ong (raja pedang tua) ketua Thai-san-pai?
Bukankah dia itu masih saudara misanmu sendiri? Bagaimana kau hendak membunuhnya?"
Yosiko
terkejut dan heran. "Wah… wah, agaknya engkau mengetahui banyak hal
tentang diriku! Yo Wan, kau duduklah, mari kita bicara. Agaknya terhadap orang
yang sudah tahu akan segala hal ini, tak perlu lagi aku menyimpan rahasia. Kau
duduklah dan dengarkan penjelasanku."
Karena
memang kesehatannya belum pulih benar, Yo Wan yang ingin sekali mengetahui
keadaan gadis ini dan ingin tahu pula latar belakang mengapa dia dirawat
setelah dilukai, dan mengapa pula ibu gadis ini tadi menyerangnya mati-matian,
dia tidak membantah dan duduklah dia di atas pembaringan kayu.
Yosiko
sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku yang berdekatan. Sambil membetulkan
dan memainkan kuncir rambutnya, gadis ini berkata, "Aku tidak tahu
bagaimana kau bisa mengetahui bahwa aku merupakan saudara misan dengan Tan Hwat
Ki! Sesungguhnya, Raja Pedang Tan Beng San yang kau sohorkan itu adalah paman
ibuku. Akan tetapi kami tidak peduli akan dia, karena dia bukanlah paman yang
baik dari ibu!"
Yo Wan
pernah mendengar pula akan hal ini. Kakak dari Raja Pedang Tan Beng San bernama
Tan Beng Kui dan ibu dari Yosiko ini yang bernama Tan Loan Ki adalah puteri Tan
Beng Kui itulah. la mendengar pula bahwa memang ada pertentangan antara kedua
orang saudara itu, akan tetapi suhu-nya, Pendekar Buta, tak pernah menceritakan
secara jelas. (baca kisah Raja Pedang dan Rajawali Emas)
"Apakah
karena pertentangan antara kakekmu dan Raja Pedang itu maka kau hendak membunuh
cucu Raja Pedang? Akan tetapi kau tadinya kau kagum kepada Hwat Ki, bahkan kau berkata
hendak menjodohkan dia dengan adikmu yang ternyata adalah kau sendiri!"
Gadis lain
yang ditegur seperti ini, yang sekaligus membuka rahasia hatinya, tentu akan
menjadi malu dan marah. Akan tetapi Yosiko tersenyum dan mengangguk-angguk!
"Betul,
begitulah! Akan tetapi setelah kau muncul, aku tidak kagum lagi kepada Tan Hwat
Ki, bahkan setelah tahu dia berkomplot dengan bala tentara pemerintah yang
membasmi kami, aku benci kepadanya."
Sekarang Yo
Wan yang terheran-heran mendengar ucapan yang begini terus terang dari seorang
gadis remaja. "Yosiko, benar-benar aku tak mengerti bagaimana seorang
gadis sepandai engkau, memilih-milih pria seperti ini...?"
Kembali
Yosiko tersenyum lagi, seakan-akan pertanyaan yang bagi gadis lain tentu akan
merupakan pisau yang menusuk perasaan ini tapi baginya hanya merupakan
pertanyaan yang wajar dan biasa.
"Mengapa
tidak? Yo Wan, semenjak aku masih kecil, ibu dan aku bercita-cita agar aku
mendapatkan jodoh seorang pria yang jauh lebih lihai dari pada aku. Hal ini
adalah karena aku dan ibu tidak ingin melihat kematian seperti ayah terulang
kembali. Ayah meninggal karena kurang pandai ilmunya, dan aku memang tidak sudi
diperisteri laki-laki yang lemah, yang tak dapat menangkan aku. Akan tetapi
selama beberapa tahun ini, di antara bajak laut, aku hanya melihat laki-laki
yang tak becus, paling hebat hanya macam Shatoku murid ayah yang tewas oleh Tan
Hwat Ki kemarin. Sedangkan di darat, aku pun belum pernah bertemu laki-laki
yang mampu mengalahkan aku. Itulah sebabnya kenapa pertemuanku dengan Tan Hwat
Ki menarik hatiku. Dia lebih lihai dari pada aku, biar pun hanya sedikit
selisihnya. Tentu saja pada saat itu hatiku tertarik dan tadinya aku hendak
mencalonkan dia sebagai jodohku. Akan tetapi, kemudian muncul kau yang hanya
dalam beberapa gebrakan saja dapat mengalahkan aku. Terang bahwa tingkat
kepandaianmu jauh melampaui Tan Hwat Ki, karena itu... karena itu..."

Tentu saja
Yo Wan maklum akan apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Akan tetapi hal ini
membuatnya menjadi mendongkol sekali. Boleh jadi Yosiko seorang gadis yang
cantik jelita, yang sukar dicari bandingannya baik dalam hal kecantikan mau pun
kepandaian. Akan tetapi dia bukanlah laki-laki yang boleh dipilih sebagai jodoh
lalu jadi begitu saja! Kedongkolan hatinya membuat dia jadi tega untuk mendesak
Yosiko yang mulai merasa jengah dan malu karena betapa pun juga dia adalah
seorang gadis.
"Karena
itu... bagaimana, Yosiko? Kau melukai aku dengan jarum beracunmu, kemudian kau
menolongku di laut dan merawatku di sini. Apa kehendakmu?"
Yosiko masih
tersenyum, akan tetapi sekarang tidak selancar tadi dia menjawab, bahkan
kelihatan gagap, "Yo Wan, tak mengertikah kau? Aku... aku... karena kau
jauh lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki, aku... aku memilih engkau!"
Diam-diam Yo
Wan merasa terharu sekali. Gadis ini amat polos dan jujur, terang bahwa di
dalam sanubari seorang gadis semacam ini terkandung watak yang bersih dan tidak
dibuat-buat. Mungkin gadis ini belum pernah mengenal rasa cinta kasih antar
muda-mudi sehingga dalam soal pemilihan jodoh, sama sekali dia tidak
mendasarkan pada cinta, melainkan pada ‘tingkat kepandaian’. Dan semua itu ia
kemukakan dengan jujur dan apa adanya!
"Hemmmm...!
Dan ibumu, mengapa tadi ia menyerangku mati-matian?"
"Ibu
tidak percaya kepadaku akan kelihaianmu, tidak puas kalau tidak mencoba
sendiri."
Ah, anaknya
gila ibunya sinting, gerutu Yo Wan di dalam hatinya. la pernah tertarik sekali
kepada Siu Bi dan agaknya kali ini dia akan jatuh cinta pada gadis aneh yang
jelita ini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian, puteri Raja
Pedang!
Setelah dia
mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta
kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la
harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi jika lukanya
belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup
berbahaya, apa lagi di situ masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan
menanti sampai lukanya sembuh betul.
Berpikir demikian,
Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.
"Bagaimana?
Menarikkah penuturanku?” tanya Yosiko.
"Menarik
juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur."
Yosiko
merengut gemas. "Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi
pilihanku?"
Edan, pikir
Yo Wan. Terpaksa dia menjawab, "Yosiko, kau memandang terlalu rendah
tentang perjodohan. Apa kau kira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu
silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang
lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?"
"Tentu
saja!" jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. "Ayah tewas karena
kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka
sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti kau, kiranya sekarang ayah
masih hidup. Dengan seorang suami berkepandaian paling tinggi, hidupku akan
terjamin. Karena itu aku memilihmu!"
Yo Wan
menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, akan tetapi dia tidak
bangkit dari pembaringan.
"Yosiko,
agaknya semenjak kecil kau hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman hingga kau
tak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus?
Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah
kasih sayang?"
"Tentu
saja sudah!" Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira.
"Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"
Yo Wan
mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la
harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak berbicara.
Diam-diam dia pun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak
mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang hingga akhirnya
hidupnya akan merana dalam kesengsaraan batin.
Hatinya lega
juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, juga sikap manisnya,
bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum
akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodohnya dan karena itu
harus dirawat hingga sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seolah-olah dirinya
menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!
"Bagaimana,
Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"
Yo Wan
menarik napas panjang. "Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak kalau
aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja aku
sayang kepadamu, kau gadis yang baik."
Girang
sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan
menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tertidur nyenyak. Yosiko juga berbaring di
atas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas
dan berseri.
Menjelang
pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang,
"Dia di sini...!"
Sebagai
seorang ahli silat yang iihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari
pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia
melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut goa dan
memandang kepadanya dengan terheran, apa lagi ketika mereka memandang kepada
Yosiko yang juga sudah duduk di atas pembaringannya.
Tentu saja
Yo Wan menjadi jengah dan bingung sekali. Betapa tidak? Orang melihat dia
berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah goa, melewatkan malam di
situ! Di lain pihak, Tan Hwat Ki dan sumoi-nya yang tidak mengenal keadaan Yo
Wan, tentu saja mengira bahwa gadis ini tentu ada hubungannya dengan pendekar
yang telah menolong mereka.
"Saudara
yang gagah perkasa, kiranya kau berada di sini dan dalam keadaan selamat.
Syukurlah...," kata Hwat Ki sambill melirik ke arah Yosiko.
Lirikan
inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan. "Aku juga gembira
melihat kalian selamat dan Nona ini... ehhh, dia nona Yosiko..."
"Apa...?!
Dia... dia ketua Kipas Hitam...?"
Yosiko
tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.
"Aku
adiknya!"
"Srattttt!"
Tampak
cahaya hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru
nyaring nona ini menerjang maju ke arah Yosiko.
"Eh,
ahh, galaknya...!" Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah
menghindarkan diri.
"Sumoi...!"
Hwat Ki berseru bingung.
"Suheng,
tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?"
Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi.
Hwat Ki
menjadi merah mukanya, akan tetapi biar pun tadinya dia ragu-ragu, mengingat
betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju
untuk membantu sumoi-nya.
"Tahan
senjata!" Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh
sekali sehingga tidak saja Hwat Ki serta Cui Kim menghentikan penyerangannya,
juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum
mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.
"Saudara
Tan Hwat Ki, ketahuilah bahwa nona Yosiko ini bukanlah orang lain, melainkan
saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang telah
menikah dengan seorang pendekar Jepang."
Tentu saja
Hwat Ki sudah pernah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang
dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.
"Kau
siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?"
Yo Wan
menjura sambil tersenyum. "Aku Yo Wan..."
Hwat Ki
terkejut. "Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?"
"Ahhh...!"
Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.
"Beliau
adalah suhuku yang terhormat," jawab Yo Wan sederhana.
"Saudara
Yo... tapi... tapi mengapa dia menjadi... ehhh, ketua bajak laut? Dan di mana
pula Bibi Loan Ki?"
"Suheng,
walau pun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!" Cui
Kim berseru, matanya masih melotot marah.
"Yo
Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak
yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!" bentak Yosiko pula.
Yo Wan
maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan saja, tiga orang ini tentu akan
bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya
kereng.
"Tidak
boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu.
Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoi-mu meninggalkan tempat ini
dan kuminta pula agar kau tidak memberi tahukan tempat ini kepada orang
lain."
Hwat Ki
meragu. Cui Kim mengomel, "Mana bisa? Dia bajak..."
Akhirnya
Hwat Ki menjura kepada Yo Wan. "Saudara Yo Wan, oleh karena kau pernah
menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apa lagi mengingat bahwa engkau
adalah murid paman Kwa Kun Hong. Akan tetapi, aku tetap mengharapkan
penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami." Setelah berkata demikian,
Hwat Ki mengajak sumoi-nya keluar dari goa itu.
Sesudah dua
orang muda itu pergi, Yosiko lantas mengomel, "Yo Wan, mengapa kau
menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam..."
"Mereka
adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apa lagi
Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku
membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau
kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya."
Dengan muka
masih cemberut Yosiko berkata, "Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak
mengasihani orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai dari
pada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak
membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!"
Aneh sekali,
secara mendadak gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya
bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.
"Kau
mau bunuh aku, kenapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh
hayo bunuh!"
"Eh-ehh,
kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang
membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biar pun ilmu
silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan
mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka yang
mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat
mereka dan kubela engkau."
Seketika
berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin.
Akan tetapi dia masih mencela, "Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku,
mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang
saja? Kau orang aneh... tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita
bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau
aku akan mencari ke sana."
Yo Wan tidak
mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak
ini, lebih baik jika dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar.
Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan makin menjadi-jadi dan hal ini amat
tidak baik baginya….
Di tempat
lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan goa yang dijadikan
tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan
menjadi pendiam. Sudah beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi
sumoi-nya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab
secara singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tak menjawab sama sekali.
Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoinya tertinggal di goa!
Diam-diam
Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa sangat tidak enak ketika malam tadi mereka
dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoi-nya
tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoi-nya menjadi
kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah
itu seorang wanita? Ataukah... sumoi-nya tertarik kepada Yo Wan, pemuda
sederhana yang sangat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan
perasaannya. la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai. Amat sejuk
hawa pagi itu dengan sinar matahari dan air sungai yang mulai mengeluarkan
suara berdendang saat alirannya bermain dengan batu-batu karang.
Burung-burung
pagi berkicau dan menari-nari di atas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang
semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di
ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti
sepasang kekasih berbisikan mesra. Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah
muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram!
Melihat Hwat
Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti,
berdiri termenung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan
suheng-nya. Suasana kaku serta tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki
maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini bila tidak lekas ia dongkel dan
singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam
pergaulannya dengan sumoinya.
Selama
bertahun-tahun sumoi-nya menjadi murid ayahnya, sejak mereka berdua baru
berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak
pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja. Baru sekarang ini terjadi
hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan seakan-akan enggan menatap
wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidak puasan!
"Sumoi,
apakah yang kau pikirkan?"
"Tidak
apa-apa..."
Hemm,
jawaban yang dipaksakan, sebetulnya enggan menjawab, dan kemarahan serta sakit
hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya
makin membesar dan dia pun membuang muka. Sampai beberapa lama keduanya diam
saja. Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan di atas batu karang, bersandar pada
batu karang yang agak tinggi dan membelakangi sungai. Sebaliknya, Cui Kim
berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang ke arah sungai, mulutnya
yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah
suasana.
"Sumoi,
sungguh tidak enak keadaan begini!" Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan
suara marah pula. "Semenjak pertemuan kita dengan ketua Kipas Hitam malam
tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan goa, kau benar-benar
berbeda sekali..."
Dengan
gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh
kemarahan dan suaranya keras kaku, "Suheng, apa perlunya kau memutar balik
kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?"
Hwat Ki
membelalakkan matanya. "Ehh… ehhh, bagaimana ini? Kau malah bilang aku
yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari. Aku berubah bagaimana?"
"Masa
pura-pura bertanya lagi!" Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuhnya
membelakangi suhengnya.
Benar-benar
aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoi-nya ini bersikap seperti ini
terhadapnya. "Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah
macam ini?"
"Hemmm,
setelah kau melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari,
gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau
dengan dirinya sendiri, kau... kau... melepaskan dia begitu saja?"
"Ehh…
ehhh... aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan..."
"Alasan
kosong. Biar pun dewa yang minta dia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas
Hitam, mestinya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Akan tetapi
kau... dengan mudah kau melepaskannya, karena kau... karena kau cinta
kepadanya..." Kini suara ini mengandung isak.
Hening
sejenak. Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, dia memutar otak.
Kemudian mendadak dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha!"
"Apanya
yang lucu?" Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya.
Hwat Ki
masih tertawa terus, kemudian katanya, "Terang kau cemburu kepada Yosiko!
Ha-ha-ha, dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya
tertarik sekali kepadanya! Ha-ha-ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada
Yosiko pria dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha-ha-ha, kita berdua cemburu
kepada satu orang. Malam tadi aku menyangka kau tergila-gila kepada Yosiko,
sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah
lucu sekali ini?"
Seketika
wajah Cui Kim pun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimana pun juga
ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tidak dapat menyangkal hatinya
sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang
disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang
gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia
berkata, "Cih! Siapa yang tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan
kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!"
Namun Hwat
Ki yang sudah mengenal sumoi-nya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan
bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. Dia melangkah maju
mendekati Cui Kim dan menegur.
"Sumoi,
sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa tadi aku melepaskan Yosiko hanya
karena memandang muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan
bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau pun tahu, bibi Tan Loan Ki adalah
saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi.
Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Sumoi, andai kata
benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah?
Apakah... sebabnya? Andai kata aku mencinta dia dan dia mencintaku... ahhh, ini
hanya andai kata, Sumoi..." Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat
wajah sumoi-nya itu tiba-tiba menjadi pucat.
Sejenak
mereka saling pandang. Lalu Cui Kim berkata, dengan suaranya yang gemetar,
"Suheng, sebaliknya engkau sendiri... mengapa kau cemburukan Yosiko
laki-laki? Andai kata aku benar mencinta seorang pemuda... mengapa engkau
marah-marah...?"
Mereka
saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru
kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa
masing-masing merasa tidak rela kalau yang satu mencinta orang lain!
"Sumoi...
kau tidak senang jika melihat aku mencinta gadis lain...?" Suara Hwat Ki
juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.
"Aku
pun tidak senang kalau melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi... kalau
begitu... kau mencintaku?" Cui Kim menundukkan mukanya yang merah, akan
tetapi akhirnya dia mengangguk perlahan.
Hwat Ki
melangkah maju dan di lain saat dia sudah merangkul sumoi-nya, dan Cui Kim
menyembunyikan muka pada dada suheng-nya sambil menangis. Hwat Ki lalu mendekap
kepala dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih, "Ah,
alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya
ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi... kiranya sekarang aku yakin betul
bahwa aku tidak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke
Lu-liang-san, biar aku yang akan beri tahukan ayah ibu tentang urusan
kita!"
Cui Kim
merenggangkan tubuhnya. Ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah
jauh berbeda. Kini di antara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata
mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung
menjadi satu, sepaham.
"Suheng,"
kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. "Aku pun semenjak dulu sudah
yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita,
terserah padamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang
menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh
pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang
mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua
Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu
tentang ini?"
Hwat Ki
menjadi bingung juga diingatkan demikian. "Habis, apa yang harus kita
lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah murid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong
nyawa kita, dan dia amat lihai. Apa bila dia melarang kita menangkap atau
membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?"
"Di
dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh kesukaran apa pun. Murid
Pendekar Buta seharusnya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat.
Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng dari
kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita
untuk menentangnya."
Mendengar
kata-kata sumoinya yang tercinta, seketika bangkit semangat Hwat Ki. Kini
pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar
ucapan kekasihnya itu.
"Kau
betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari
kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar supaya
goa itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang."
"Itu
benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya."
Sambil
bergandengan tangan mesra dua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman
baik dan selalu berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang ini menemukan cinta
kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah dan sunyi itu…..
***************
Selama tiga
hari Yo Wan dirawat oleh Yosiko di dalam goa. Selama tiga hari tiga malam itu
Yosiko merawatnya penuh ketekunan, hanya pergi meninggalkan pemuda itu untuk
mengambil obat dan makanan.
"Obat
ini merupakan obat yang amat manjur untuk membersihkan darah, dan bisa untuk
menyembuhkan luka dengan cepat. Obat ini dari Jepang, akan tetapi sekarang ibu
telah pandai membuat sendiri," kata Yosiko dengan suara bernada bangga.
"Terima
kasih kepada ibumu, dia baik hati."
Yosiko
terkekeh, "Hi-hik, kau kira dia memberi obat karena baik hati kepadamu?
Sama sekali tidak. la ingin kau lekas-lekas sembuh agar dia segera dapat datang
untuk menguji kepandaianmu."
Yo Wan
tercengang. Aneh sekali wanita setengah tua keponakan Raja Pedang itu.
"Kemarin
ibu bilang, hari ini kau pasti sudah sembuh betul dan nanti ibu tentu datang,
kau diminta siap melayaninya."
Memang Yo
Wan sudah merasa sembuh dan dia bersyukur sekali. Sebetulnya kalau dia mau,
bisa saja dia pergi sekarang juga. Akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang
melarikan diri dari seseorang, apa lagi dia harus bertemu dengan ibu gadis ini.
Pertama dia harus mengucapkan terima kasih atas pemberian obat, dan kedua untuk
menjelaskan keadaan Yosiko agar niat buruk tentang pemilihan calon jodoh itu
diubah.
"Biarlah
ibumu datang, aku memang ingin sekali bertemu dengan ibumu. Bukan untuk
bertanding, melainkan untuk bicara."
Yosiko
tersenyum. "Bicara tentang perjodohan kita? Ibu tetap tidak percaya bahwa
kau dapat menangkan dia, malah ibu juga tidak percaya bahwa kau adalah murid
Pendekar Buta Kwa Kun Hong."
"Ehh,
ibumu mengenal suhu?"
"Tentu
saja! Sahabat baik sekali, kata ibu, malah bekas kekasih, kata ibu."
"Apa...?!"
Kini Yo Wan yang tidak percaya. Suhunya seorang pria yang sakti dan gagah,
berbatin mulia dan tangguh, setia kepada isteri, mana mungkin main gila dengan
nenek galak itu?
Tiba-tiba di
depan goa berkelebat bayangan yang amat gesit. Yo Wan sudah melompat dan
mengejar pada saat Yosiko baru saja melihat bayangan itu. Gadis ini menyambar
pedang dan loncat mengejar pula.
"Dia
bukan ibu! Tentu mata-mata musuh!" teriak Yosiko.
Akan tetapi
Yo Wan sudah mengejar lebih dulu. Bayangan itu gesit sekali, sebentar saja
sudah lenyap di dalam hutan.
"Adik
Cui Sian...!" Yo Wan berteriak dengan jantung berdebar ketika dia sempat
melihat bayangan tadi sebelum lenyap.
Tidak salah
lagi, gadis itu tentu Cui Sian! Mengapa berada di sini dan apa sebabnya
melarikan diri darinya? Karena bayangan gadis itu sudah lenyap, dan melihat
sikapnya jelas tidak mau bertemu dengannya, Yo Wan menghentikan pengejarannya,
lalu berdiri termenung dengan bengong. Dengan terengah-engah karena kalah cepat
larinya, Yosiko akhirnya tiba juga di situ.
"Mana
dia, Yo Wan? Siapa dia...?"
Akan tetapi
Yo Wan tidak menjawab karena pemuda ini dalam bingungnya teringat akan bayangan
gesit di luar goa pada beberapa hari yang lalu, di waktu malam. Bayangan itu
ternyata bukan ibu Yosiko, juga agaknya bukan Hwat Ki dan Cui Kim. Apakah
bayangan tiga malam yang lalu itu juga bayangan Cui Sin? Berpikir sampai di
sini tiba-tiba saja wajahnya berubah.
Celaka!
Kalau benar bayangan itu bayangan Cui Sian, tentu gadis pujaan hatinya itu
mengetahui pula bahwa selama tiga hari tiga malam ini dia tinggal berdua saja
dengan Yosiko, gadis cantik! Itukah sebabnya mengapa Cui Sian menghindarkan
pertemuannya dengan dirinya?
"Yo
Wan, kenapa engkau? Siapa yang kau panggil-panggil tadi?" Kini Yosiko
memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya.
Yo Wan
menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang. "Kau yang mendatangkan
gara-gara ini."
"Aku?
Lho! Apa maksudmu?" Yosiko terheran dan penasaran.
"Kalau
saja kau membiarkan aku pergi tiga hari yang lalu..."
"...tentu
kau akan mampus karena luka-lukamu!" sambung Yosiko.
Mendengar
kata-kata Yosiko, Yo Wan sadar dari lamunannya dan memandang. Mereka saling
pandang dan melihat wajah yang ayu itu cemberut sehingga wajahnya berubah lucu,
mau tidak mau Yo Wan tersenyum dan menghela napas lagi.
"Lebih
baik mampus dari pada dia menyangka yang bukan-bukan, Yosiko."
"Dia?
Siapa dia? Laki-laki atau wanita tadi? Larinya cepat amat!"
Yo Wan
merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan sesuatu kepada gadis ini, malah
lebih baik dia berbicara sejujurnya untuk menghapus lamunan kosong gadis ini
mengenai perjodohan.
"Tentu
saja ia lihai dan larinya cepat, dia itu bibimu!"
Saking
kagetnya, hampir Yosiko meloncat tinggi. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka
dan lidahnya dikeluarkan sedikit.
"Jangan
main-main kau! Siapa bibiku?"
"Dia
itu Tan Cui Sian, puteri tunggal Raja Pedang Tan Beng San. Karena ibumu adalah
keponakan Raja Pedang, maka berarti dia itu saudara misan ibumu dan dia itu
bibimu!"
"Ahhh...!"
Yosiko mengeluh.
"Dan
dia agaknya sudah memata-matai kita sejak tiga malam yang lalu."
"Ohhh...!"
Yosiko mengeluh lagi.
"Mengapa
ah-oh-ah-oh? Apa kau kehilangan suaramu?"
"Yo
Wan, kau tadi bilang lebih baik mampus dari pada ia menyangka yang bukan-bukan!
Kalau begitu... kalau begitu... kau tidak suka dia menyangka yang bukan-bukan?"
"Tentu
saja tidak suka!"
"Jadi
kau... kau suka kepadanya?"
Yo Wan
mengangguk. "Aku sangat cinta kepadanya dan kalau ada wanita di dunia ini
yang kuinginkan menjadi jodohku, maka satu-satunya wanita itu adalah dia
orangnya!"
"Ihhhh...!"
Kali ini Yosiko benar-benar meloncat mundur, kemudian mulutnya mewek dan
terdengar suara, "Uhhhu..hu..hu...!" dan dia menangis!
"Yosiko,
tak usah kau menangis. Sudah kukatakan, perjodohan hanya dapat terjadi atas
dasar saling mencinta," kata Yo Wan sambil melangkah maju dan memegang
pundak gadis itu.
Betapa pun
juga, dia merasa amat kasihan kepada gadis ini yang kembali telah menjadi
kecewa. Mula-mula gadis ini memilih Hwat Ki yang mengecewakannya karena
ternyata pemuda itu memusuhi serta membunuhi orang-orangnya, kini pilihannya
kepada dirinya kembali keliru.
Mendadak
gadis itu menghentikan tangisnya. "Kubunuh dia! Kubunuh dia!"
Dia meronta
lepas dan meloncat, mengejar ke arah larinya bayangan tadi. Akan tetapi dengan
loncatan panjang Yo Wan sudah mengejarnya dan memegangi tangannya.
"Jangan,
Yosiko. Kau tak akan menang!"
"Peduli
amat! Aku menang dia mampus, aku kalah aku mampus!"
"Hush,
jangan. Adikku yang baik, kau bersabarlah. Bukan begini caranya mencari jodoh.
Dunia tidaklah sesempit telapak tangan, masih terdapat banyak sekali laki-laki
yang jauh melebihi pilihanmu sekarang."
Yosiko
memandang kepadanya dengan mata terbelalak beberapa lamanya seakan-akan hendak
menyelidiki isi hatinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya.
"Tidak!
Kau bohong!"
"Ahh,
kau benar-benar seperti katak dalam tempurung. Yosiko, sudah kukatakan bahwa
memilih jodoh dengan dasar tingkat ilmu silat merupakan cara yang sangat bodoh.
Ilmu kepandaian adalah seperti tingginya langit, sukar diukur. Gunung Thai-san
yang tinggi masih kalah oleh awan, awan yang tinggi masih kalah oleh langit.
Kalau kau memilih aku berdasarkan ilmu kepandaian, bagaimana kalau di sana ada
beberapa ratus orang pria yang melampaui aku tingkat kepandaiannya? Apakah
kelak kalau ada laki-laki yang lebih pandai, kau akan menyesal dan memilih
dia?"
Kembali
Yosiko tertegun, memandang dengan mata terbelalak. Agaknya gadis ini mulai
mengerti akan maksud kata-kata Yo Wan dan mulai bimbang akan sikapnya. Yo Wan
girang sekali, tersenyum dan berkata halus,
"Nah,
kau agaknya mulai mengerti sekarang. Bagaimana, andai kata ada seorang kakek
tua masih jejaka yang rupanya buruk, tangan kiri dan kaki kanannya buntung,
mata dan telinga kiri tidak ada, hidungnya patah, tapi kepandaiannya
mengalahkan aku? Apa kau akan memilih dia sebagai jodohmu?"
Mata yang
indah jeli itu bergerak-gerak, tapi tiba-tiba gadis itu menubruk dan merangkul
lehernya, menangis. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau memilih siapa pun juga.
Biar dia lebih pandai dari pada engkau, tetapi tidak ada yang seperti engkau,
Yo Wan aku tidak mau memilih orang lain!"
Mampus kau
sekarang! Yo Wan menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa tiga hari yang lalu dia
tidak pergi saja diam-diam meninggalkan goa? Celaka sekarang, celaka sekali
kalau gadis peranakan Jepang ini mulai jatuh hati kepadanya, mulai
mencintainya!
"Ehh,
Yosiko, jangan begitu, ehh... nanti dulu..." Yo Wan melepaskan sepasang
lengan halus yang merangkul lehernya seperti dua ekor ular itu.
Dengan
terisak dan ujung hidungnya merah Yosiko memandang kepadanya.
"Lihat
siapa yang datang!" kata Yo Wan sambil memandang ke depan.
Yosiko
menoleh dan wajahnya berubah. Segera gadis ini menghapus air matanya dan
menyusut hidungnya dengan ujung baju, dengan gerak dan sikap sewajarnya di
depan Yo Wan, sama sekali tidak sungkan-sungkan!
Ternyata
yang datang itu adalah seorang wanita setengah tua, ibu Yosiko. Wanita ini
masih kelihatan amat cantik dan gagah, sikapnya galak dan cekatan sekali,
pakaiannya ringkas, wajahnya yang masih cantik itu tidak dirias, akan tetapi
kesederhanaan rias dan pakaiannya menambahkan kesegarannya yang asli.
Inilah ibu
Yosiko yang bernama Tan Loan Ki yang pada waktu mudanya dahulu terkenal dengan
julukan Bi-yan-cu (Walet Jelita), yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw
dengan kelincahan, kepandaian dan keberaniannya! (baca cerita Pendekar Buta)!
Dengan gerakan
lari cepat yang tangkas sebentar saja wanita ini sudah tiba di tempat itu,
menghadapi Yo Wan dengan pandang mata penuh seiidik, seakan-akan seorang yang
ingin menaksir barang dagangan sebelum dibelinya! Ada lima detik ia menatap
wajah Yo Wan, keningnya berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah Yosiko.
"Kenapa
kau menangis?" tanyanya tiba-tiba.
Yosiko
menjadi merah mukanya. Agaknya merupakan hal yang memalukan baginya dan aneh
bagi ibunya melihat gadis ini menangis. Memang semenjak Yosiko remaja dan suka
memakai pakaian pria, belum pernah ibunya melihat puterinya itu menangis.
"Aku
menangis karena girang melihat Yo Wan sembuh, Ibu. Lekas kau uji dia dan kalau
dia menang, kau tidak boleh membohongi aku, Ibu."
"Hemmm,
bohong apa?" tanya wanita itu agak gelisah karena anaknya demikian
berterus terang di depan Yo Wan yang belum dikenalnya.
"Kalau
Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan
menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!"
"Anak
setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki ini pun tidak
ada harganya menjadi suamimu! Seperti orang gunung..."
"Memang
aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar)," kata Yo Wan
sambil menjura kepada wanita itu.
"Apa
kau bilang?" Tan Loan Ki membentak.
"Terus
terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang
gadis seperti nona Yosiko."
"Apa?
Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal
tiga hari tiga malam dalam satu goa?"
Wajah Yo Wan
menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. "Harap Twanio sudi
memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi
Yosiko... ehh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima
kasih padanya, dan juga sangat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah
memberi obat padaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang
locianpwe terhormat dan Yo... ehh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang
baik..."
"Cukup!
Muak aku mendengar pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku! Kau anggap
kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa
terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?"
"Bukan
begitu, Twanio. Sama sekali tidak, bahkan aku merasa diri sendiri yang kurang
berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yosiko karena sesungguhnya
aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio
dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko
dengan cara menguji kepandaian. Siapa saja yang dapat mengalahkan dia dan
Twanio akan menjadi pilihannya."
"Kalau
betul begitu, mengapa?"
"Maaf,
Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari
saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Jika dasarnya hanya
kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat
jodoh yang wataknya tidak cocok dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan
rumah tangganya."
"Cerewet!
Baru kali ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih
orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kau tidak menyesal kelak?
"Tidak,
Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!"
"Kalau
dia kalah olehku?"
"Tak
mungkin. Kau tak akan menang, Ibu!"
Mendengar
ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi
kemenangan kepada ibu Yosiko apa bila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi
maksud hatinya ini seketika buyar sama sekali pada waktu dia mendengar wanita
itu mendengus dan berkata, "Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan
membolehkan dia menjadi suamimu jika aku kalah, biar pun dia cerewet dan aku
tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tak banyak cakap, seorang
jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia
harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!"
“Ibu takkan
menang!" Yosiko bersungut-sungut.
Tan Loan Ki
tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya.
"Keluarkan senjatamu!" bentaknya.
"Twanio,
aku tidak mempunyai senjata," jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga
macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang
amat sakti.
"Hemm,
lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!"
Pikiran baik
menyelinap pada benak Yo Wan. "Twanio, memang aku tak ingin bertempur
denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal..." Sambil
berkata demikian dia melangkah hendak pergi.
"Berhenti"
Tan Loan Ki berteriak keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang lantas
menghadang di depan pemuda itu. "Aku tidak menyerang lawan bertangan
kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga apa bila kau berani
menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!"
Diam-diam Yo
Wan mendongkol juga. Wanita ini sangat galak dan perlu ditundukkan. Akan tetapi
dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia ‘lulus’ sebagai calon
menantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati
konyol. Matanya mencari-cari.
"Yo
Wan, kau pakailah pedangku ini!" kata Yosiko dengan suara manis.
Yo Wan
hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang
sudah sedikit dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya
menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka
mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.
"Terima
kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku
memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya
ujian saja?"
Sambil
berkata demikian, dengan sepatu barunya pemberian Yosiko, Yo Wan mencukil
sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak di atas tanah. Kayu
sebesar ibu jari kaki itu tersontek ke atas dan dia sambar di tangan kanan.
Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu
kering, mana mungkin bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka?.....
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment