Tuesday, August 7, 2018

Cerita Silat Serial Jaka Lola Jilid 15



























        Cerita Silat Kho Ping Hoo
             Serial Jaka Lola

                        Jilid 15


Pada saat itu dia merasa betapa tubuhnya ditarik ke bawah permukaan air, lalu dibawa berenang sambil menyelam dengan kecepatan luar biasa. Beberapa menit kemudian Yo Wan tidak ingat apa-apa lagi. Yo Wan bermimpi. la melihat seorang lelaki sederhana, berpakaian seperti petani, tetapi berwajah tampan dan bersikap gagah, berdiri tegak bersama seorang wanita cantik yang wajahnya diliputi kedukaan. Mereka tersenyum-senyum kepadanya, melambaikan tangan ketika mereka berjalan meninggalkannya.

"Ayah...! Ibu...!" Yo Wan memanggil, mengeluh karena tidak dapat menggerakkan tubuh untuk mengejar mereka. la merasa seperti dalam neraka. Api neraka membakarnya, tenaganya habis dan dia tak berdaya menyingkir dari api yang mengelilinginya itu. Dadanya terasa sesak, kepalanya panas dan serasa hampir meledak. Sekali lagi dia memanggil ayah ibunya untuk minta pertolongan, namun mereka sudah terlalu jauh, hanya nampak bayang-bayang mereka saja, tidak jelas lagi. Betapa pun, Yo Wan masih dapat mengenal mereka, ayahnya yang gagah berani, ibunya yang cantik peramah.

Tiba-tiba muncul bayangan seorang gadis jelita. Sejenak dia bingung dan tidak mengenal siapa gadis ini. Wajahnya aneh, sebentar seperti Siu Bi, kemudian berubah seperti Lee Si, berubah lagi seperti wajah Bu Cui Kim, akhirnya menjadi wajah Cui Sian.

Gembira hatinya. Berdebar jantungnya. Mulutnya bergerak hendak memanggil Cui Sian, akan tetapi rasa malu dan rendah diri menahan niatnya. Cui Sian puteri Raja Pedang, mana bisa disejajarkan dengan dia? Dia seorang jaka lola, miskin dan bodoh. Mendadak semua bayangan itu ienyap. Yo Wan kecewa dan menyesal, dia mencari-cari Cui Sian, namun gadis itu tetap tidak tampak lagi. Sadarlah dia dari mimpi, sebuah mimpi kacau balau ketika dia pingsan.

Kini terasa betapa tubuhnya panas sekali dan sakit-sakit. Dia mengeluh, lalu membuka matanya, merasa heran dan bingung. Teringat dia kini betapa dia tenggelam, menahan nafas, kemudian dibawa berenang di bawah permukaan air oleh Yosiko. Otomatis dia menahan nafasnya, takut kalau-kalau air memasuki hidung dan mulut. Akan tetapi dia tidak merasakan air lagi di sekeliling tubuhnya. Perlahan dibukanya mata yang tadi sudah dia tutup kembali. Sekali lagi dia melihat bahwa dia tidak berada di dalam air, kini lebih jelas.

Ada air tampak olehnya, namun di bawah, dan dia sedang rebah di atas sebuah perahu yang bergerak perlahan dan tenang. Badannya panas bagaikan terbakar, pundak kirinya sakit sekali. Teringatlah dia bahwa pundaknya terluka oleh senjata rahasia beracun yang dilepas oleh Yosiko. Di manakah dia sekarang? Masih hidupkah? Apakah ini perjalanan menuju ke alam baka melalui sungai dan naik perahu? Kembali dia mengeluh, tenggorokannya terasa sangat haus. la mengumpulkan tenaga dalam tubuhnya yang lemas, mencoba untuk bangkit dan duduk.

"Uuhhhh..."

Pundak kirinya terasa sakit sekali dan ketika tangan kanannya meraba, kiranya di pundak kiri sebelah belakang masih menancap sebatang anak panah! Teringatlah kini Yo Wan bahwa sebelum dia tenggelam, ada anak panah yang mengenai pundaknya.

"Ee-e-eeeh... tidak boleh bangun dulu... kau harus rebah terus, miring kanan..." tiba-tiba terdengar suara halus seorang wanita dan ada jari-jari tangan yang halus pula merangkul pundak kanannya, lalu dengan tekanan perlahan menyuruh dia rebah kembali, terlentang agak miring ke kanan agar anak panah di pundak kirinya tidak menyentuh lantai perahu.

Yo Wan serasa mengenal suara ini, dan ini membuat hatinya kecewa. Pada saat untuk pertama kali mendengar suara wanita itu tanpa melihat orangnya, sepenuh hatinya dia berharap bahwa orang itu Cui Sian adanya. Akan tetapi kini dia merasa pasti bahwa itu bukanlah suara Cui Sian, dan kenyataannya ini mengecewakan hatinya. Suara siapakah? Serasa mengenalnya, akan tetapi dia tidak dapat memastikan siapakah wanita ini. Setelah rebah, dia memutar leher dan memandang. Seorang gadis cantik jelita sedang sibuk mendayung perahu itu.

Gadis itu memandangnya dengan bibir tersenyum dan mata bersinar-sinar. Mata itu! la tidak mengenal wajah ini, akan tetapi dia mengenal benar mata itu. Di mana gerangan? Dan suara itu! Payah Yo Wan mengingat-ingat, namun dia tetap tidak tahu di mana dan bila mana dia pernah mendengar suara ini dan melihat mata itu. Rasa panas terasa menyesakkan nafasnya.

"Uhh-uhhh... panas... haus...," bisiknya.

Gadis itu dengan gerakan perlahan menancapkan sebatang bambu panjang ke bagian yang dangkal di pinggir sungai dan perahu itu kini terikat pada bambu. Kemudian dia menghampiri Yo Wan.

"Haus? Minumlah ini, jangan banyak-banyak. Kau sedang terserang demam, akan tetapi tidak berbahaya, jangan khawatir. Nanti setelah tiba di hutan Jeng-hwa-lim (Hutan Seribu Bunga), di sana banyak tanaman obat untuk mengusir demam, juga untuk menghentikan keluarnya darah. Karena itu, biar sementara kita diamkan anak panah itu, sesampainya di sana baru dicabut."

Gadis itu bicara dengan halus dan ramah seakan-akan mereka sudah menjadi kenalan baik sejak bertahun-tahun. Tiada canggung, tiada keraguan, tidak sungkan-sungkan lagi. Siapakah gadis jelita ini? Matanya begitu tajam dan bening, bersinar-sinar seperti bintang pagi yang pada saat itu masih berkedap-kedip di angkasa, menghias pagi yang sangat dingin. Hidungnya kecil mancung, menjadi imbangan yang amat manis dari bibirnya yang lunak, merah dan berbentuk indah.

"Kau siapakah, Nona?" Tak tahan lagi Yo Wan bertanya, matanya memandang wajah itu, akan tetapi keningnya berkerut-kerut menahan sakit.

Sebelum menjawab, gadis itu mengulurkan tangan kanannya. Gerakan kecil ini membuat ujung lengan bajunya tersingkap sehingga tampaklah lengannya yang berkulit putih halus sampai ke siku membayang di balik lengan baju. Jari-jemarinya kecil meruncing dengan kuku mengkilap terpelihara. Tangan halus itu dengan gerakan lembut dan mesra menyentuh kening Yo Wan seperti biasanya orang hendak melihat panas seorang terserang demam. Kemudian dicabutnya sehelai sapu tangan merah muda dari balik bajunya dan dihapusnya kening yang penuh keringat itu, terus ke pipi dan leher Yo Wan.

Walau pun sedang menderita demam dan sakit, perbuatan ini membuat jantung Yo Wan berdebar jengah dan malu. Siapakah gadis jelita ini yang begini mesra dan begini telaten merawatnya?

"Kau... kau siapa...?" tanyanya lagi.

"Kau minum dulu ini, bukankah tadi kau bilang haus?" kata si gadis yang tanpa ragu-ragu menyorongkan lengan kirinya yang kecil ke bawah leher Yo Wan dan mengangkat kepala pemuda itu sedikit ke atas, kemudian tangan kanannya mendekatkan sebuah cawan ke mulut Yo Wan.

Pemuda ini merasakan hal yang luar biasa aneh di dalam hatinya. Seluruh isi dadanya serasa bergejolak, darahnya berdenyar-denyar dan bergelora. Betapa tidak? Meski pun usia Yo Wan sudah cukup dewasa, sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi baru kali ini lehernya dirangkul lengan seorang wanita!

Kepalanya seakan-akan bersandar kepada pundak dan dada orang, hidungnya mencium aroma harum yang asing baginya, dan hampir saja dia tidak sanggup menelan air yang diminumnya karena tenggorokannya serasa tercekik. Namun, sebagai seorang ahli tapa, dia dapat menenteramkan hatinya dan walau pun dia sedang menderita sakit, dia dapat merasakan betapa lengan kiri yang lembut dan kecil halus itu mengandung tenaga yang hebat!

"Siapakah kau, Nona?" tanyanya lagi setelah gadis itu merebahkannya kembali.

Si gadis tersenyum. Dekik kecil pada ujung mulut sebelah kiri membuatnya manis sekali. Dekik pipi kiri ini mengingatkan Yo Wan akan sesuatu, akan tetapi dia tidak tahu benar apa dan siapakah ‘sesuatu’ itu. Hanya saja dia merasa pasti bahwa dekik ini bukan baru sekarang dia lihat!

"Apakah kau tidak bisa menduga? Aku adalah adik dari ketua Kipas Hitam! Kau terluka dan hampir saja celaka di laut. Kakakku menolongmu, kemudian menyerahkan kepadaku untuk merawatmu sampai sembuh."

Yo Wan memandang penuh perhatian. Salahkah dugaannya? Apakah betul Yosiko ketua Kipas Hitam itu mempunyai seorang adik perempuan? Wajahnya serupa benar dan kini teringatlah dia bahwa sinar mata serta dekik pada ujung mulut itu dia lihat pada wajah Yosiko! Hemmm, gadis ini adalah Yosiko sendiri, dia hampir merasa pasti akan hal itu.

Hanya ada sebuah kemungkinan lagi, yaitu bisa juga gadis ini adiknya, akan tetapi adik kembar. Hanya adik kembar yang bisa mempunyai persamaan seperti ini, bagai pinang dibelah dua. Akan tetapi, andai kata benar adiknya, mengapa begini hebat? Sebaliknya, apa bila gadis ini adalah Yosiko sendiri, mengapa harus seaneh ini sikapnya?

la tidak mau meributkan soal itu, mengingat akan keadaannya. Akan tetapi dia pun tidak mau berhutang budi kepada kepala bajak. Dengan menahan rasa sakit, Yo Wan bangun lagi, tidak peduli akan cegahan gadis itu.

"Ehh, jangan bangun... kau mau apa...?" Gadis itu bertanya, memegang lengannya.

"Aku... aku harus pergi dari sini."

"Ehh, jangan! Kau masih terluka hebat, racun di pundakmu belum keluar habis, dan anak panah itu berbahaya sekali. Kau hendak pergi dari sini, pergi kemanakah?"

"Aku harus menolong muda-mudi dari Lu-liang-san. Di manakah mereka? Dan apa yang terjadi?"

Kini mereka duduk berhadapan di atas perahu dan terlihatlah kini dengan jelas oleh Yo Wan bahwa gadis di depannya itu benar cantik jelita, akan tetapi pada wajah yang elok itu terbayang sifat liar dan terbuka, bebas dan lincah seperti terdapat pada wajah Siu Bi si gadis liar dari Go-bi-san. Gadis ini masih muda, tak akan lewat dua puluh tahun usianya. Melihat kulit muka serta kulit tangan yang agak gelap dapatlah diduga bahwa gadis ini banyak berada di alam terbuka, banyak terkena cahaya matahari. Bagian yang paling menarik pada wajahnya adalah mata dan mulutnya.

Mendengar pertanyaan Yo Wan tentang muda-mudi dari Lu-liang-san, segera mata gadis itu berkilat. "Bocah-bocah kurang ajar itu! Menyesal kenapa aku tidak membunuh mereka saja. Hemmm, semestinya kakakku membunuh mereka dan melempar mayat mereka ke laut agar menjadi makanan ikan hiu ketika mereka kena tawan!"

Yo Wan mengerutkan kening. Gadis ini benar-benar seperti Siu Bi, liar dan ganas. Akan tetapi ucapan itu melegakan hatiriya, karena dalam kegemasannya gadis itu sudah jelas menyatakan bahwa muda-mudi Lu-liang-san itu tidak tewas, malah mungkin telah bebas. Kelegaan hati ini membuatnya tersenyum, akan tetapi karena pundaknya tiba-tiba terasa nyeri, senyumnya menjadi senyum menyeringai masam.

"Apa yang terjadi? Siapakah orang-orang di dalam perahu yang menyerang kita... ehhh, yang menyerang aku dan kakakmu?"

"Mereka adalah orang-orang yang dipimpin oleh Jenderal Bun di Tai-goan, dipimpin oleh putera jenderal itu sendiri. Mereka berusaha hendak menangkap kakakku. Hemmm, tikus-tikus itu mana mampu menangkap ketua Kipas Hitam? Apa lagi membasmi Kipas Hitam! Kau lihat saja betapa kami akan menghancurkan mereka nanti."

Diam-diam Yo Wan terkejut. Kiranya mereka yang menyergap dia dengan Yosiko, yang sudah melukai pundaknya, adalah orang-orang pemerintah yang bermaksud membasmi bajak laut. Dan di dalam kegelapan malam tentu saja dia yang bersama-sama dengan Yosiko disangka bajak pula! Diam-diam dia mengeluh.

"Dan mereka itu, muda-mudi Lu-liang-san itu, bagaimana dengan mereka?"

"Uhh, mereka? Biar mereka itu dimakan setan neraka. Mereka sudah bergabung dengan orang-orang Tai-goan, menyebar kematian di antara anak buah kami. Awas bila mereka terjatuh ke tanganku!"

Yo Wan girang sekali. Tak salah dugaannya dan tidak salah pula ketika dia membantu muda-mudi Lu-liang-san itu. Mereka merupakan pendekar-pendekar muda yang perkasa, sedangkan Yosiko, dan adiknya ini kalau benar adiknya, serta semua anak buahnya adalah bajak laut-bajak laut yang ganas dan patut dibasmi. Berpikir demikian, tiba-tiba saja dia merasa malu. Mengapa dia harus membiarkan dirinya dirawat oleh seorang pemimpin bajak laut? Bila para pendekar kang-ouw mengetahui hal ini, alangkah akan rendah dan malunya. Pikiran ini membuat dia serentak bangkit.

Gadis itu kaget. "Ehh, mau apa kau? Mau ke mana?"

"Aku harus pergi dari sini! Harus!" la mengeluh karena pundak kirinya sakit sekali.

Dengan tangan kanan dia meraba ke belakang pundak kirinya, memegang gagang anak panah dan mengerahkan tenaga mencabutnya. Anak panah itu tercabut, darah muncrat keluar dan gadis itu menjerit berbareng dengan robohnya tubuh Yo Wan, pingsan di atas perahu!

Gadis itu cepat menerima tubuhnya sehingga tidak sampai terbanting, kemudian dengan cekatan dan kelihatan ringan sekali dia memondong tubuh Yo Wan ke darat dan berlari-larilah gadis itu menuju ke sebuah hutan yang penuh dengan bunga, hutan Jeng-hwa-lim. Bagaikan berlarian di dalam taman bunga miliknya sendiri, gadis itu dengan cepatnya menuju ke sebuah goa yang berada di hutan ini. Indah sekali tempat ini. Letaknya tepat di tepi Sungai Kuning yang terjun ke dalam air Laut Po-hai, sungguh lembah yang subur dan indah. Air sungai yang amat tenang itu mengalir tak jauh di depan goa.

Apa yang diceritakan oleh gadis itu kepada Yo Wan memang tidak bohong. Orang-orang di dalam perahu-perahu sunyi gelap pada malam hari itu, bukan lain adalah orang-orang Bun-goanswe yang sedang berusaha untuk membasmi dan menangkap ketua bajak laut, dipimpin langsung oleh Bun Hui, pemuda putera Bun-goanswe yang tampan dan gagah perkasa. Ada pun Hwat Ki dan Cui Kim, ketika sadar dari pada pengaruh obat memabukkan di dalam gedung tempat tinggal ketua Kipas Hitam, kembali dirobohkan oleh Yo Wan yang menyelamatkan mereka dari sambaran senjata-senjata rahasia ampuh serta berbahaya yang dilontarkan oleh si ketua Kipas Hitam.

Namun sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi, Hwat Ki dan sumoinya sudah meloncat bangun lagi. Mereka tahu bahwa pemuda sederhana yang membantu mereka itu sudah terluka dan kini mengejar Yosiko, maka serentak mereka berdua pun meloncat melakukan pengejaran. Akan tetapi begitu tiba di depan gedung, mereka dihadang oleh banyak sekali anak buah bajak laut Kipas Hitam yang bersenjata lengkap. Kemarahan Hwat Ki dan sumoinya lalu memuncak. Mereka tadi telah memungut pedang masing-masing dan kini sambil berseru marah muda-mudi Lu-liang-pai ini mengamuk. Pedang mereka berkelebatan seperti dua ekor naga sakti yang menyambar-nyambar.

Akan tetapi, para pengeroyok mereka ternyata bukan orang-orang sembarangan pula. Barisan bajak yang mengeroyok mereka berdua dipimpin oleh tiga orang kakek yang tadi dikalahkan Yo Wan. Karena maklum bahwa yang hendak dikeroyok adalah dua orang muda perkasa, maka yang maju adalah anggota-anggota bajak laut pilihan yang sedikit banyak sudah memiliki kepandaian silat lumayan.

Seorang demi seorang para bajak laut itu mulai roboh. Namun yang datang membantu jauh lebih banyak dari pada yang roboh, sedangkan muda-mudi Lu-liang-pai ini masih agak pening akibat pengaruh racun tadi. Karena itu keduanya lalu beradu punggung dan mempertahankan diri dari hujan senjata dari kanan kiri. Mereka masih dapat merobohkan seorang dua orang, akan tetapi tidak mampu keluar dari kepungan yang makin tebal itu.

Agaknya para bajak sudah mendapat instruksi dari atasannya untuk bertahan sampai dua orang itu dapat ditangkap atau dibunuh. Keadaan ini bukan tidak berbahaya. Hwat Ki maklum pula akan hal ini maka sambil mengeluarkan teriakan keras dia menubruk maju, tangan kirinya menggunakan pukulan-pukulan Jing-tok-ciang sehingga terdengar pekik berturut-turut ketika empat orang roboh oleh pukulan dahsyat ini!

Akan tetapi, pukulan yang dahsyat dan berhasil baik ini ternyata malah mendatangkan mala petaka, karena tiga orang kakek itu yang melihat akan hebatnya Jing-tok-ciang, lalu memberi aba-aba dan kini para bajak menggunakan obor untuk mengurung Hwat Ki dan Cui Kim!

Pucat wajah kakak beradik seperguruan ini. Menghadapi senjata-senjata tajam dari para pengeroyok, mereka masih mampu mempertahankan diri. Akan tetapi kalau sedemikian banyaknya pengeroyok menggunakan api untuk menyerang, celakalah mereka!

"Sumoi, terjang ke kiri, cari jalan keluar melalui darah mereka!" teriak Hwat Ki kepada adik seperguruan itu.

la mendapat akal untuk menggabung tenaga menerjang ke kiri, membuka jalan berdarah. Cui Kim mengerti akan maksud suheng-nya, karena itu dia segera memutar pedangnya sedemikian cepat sehingga seorang pengeroyok yang tidak sempat menangkis, terbabat putus bahu kiri berikut lengannya. Orang itu menjerit ngeri dan roboh.

Akan tetapi Cui Kim terpaksa kembali meloncat mundur karena ada empat orang yang menyorongkan obor kepadanya. la merasa ngeri juga dan takut. Api adalah benda yang amat berbahaya, sekali mencium ujung pakaiannya, akibatnya tentu amat mengerikan.

Hwat Ki juga berhasil merobohkan dua orang, akan tetapi para bajak itu ternyata dipimpin oleh orang-orang yang pandai juga, karena agaknya mereka tahu akan niat dua orang muda ini sehingga begitu mereka berdua menerjang ke kiri, bagian ini diperkuat sehingga sukarlah untuk membobolkannya.

"Gunakan jala!" Tiba-tiba terdengar perintah dan para bajak itu kini menyeret jala ikan.

Ketika mereka mulai menggunakan benda ini, Cui Kim dan Hwat Ki makin kaget. Kiranya jala ikan itu mereka lemparkan ke arah kaki kakak beradik ini. Hwat Ki dan Cui Kim cepat meloncat, akan tetapi obor-obor menyala menyambut mereka sehingga terpaksa mereka turun lagi menginjak jala. Bisa dibayangkan sukarnya orang bersilat di atas jala-jala ikan yang malang-melintang.

Mendadak terdengar Cui Kim memekik karena gadis ini terlibat kakinya dan terguling! Seorang bajak laut cepat menubruk maju. Para bajak yang terdiri dari orang-orang kasar dan liar itu di dalam hatinya saling berlomba untuk dapat menangkap si gadis cantik dari Lu-liang-san supaya sebelum menyerahkannya kepada ketua, mereka bisa memuaskan kekurang ajaran mereka.

Bajak yang menubruk maju ini berseru girang. Dia merasa menang dalam perlombaan ini sebab dapat lebih dulu memeluk Cui Kim. Akan tetapi seruan girang itu berubah seketika menjadi pekik mengerikan ketika lehernya ditembusi pedang yang berada di tangan Cui Kim.

Sebagai seorang murid Lu-liang-pai yang terkasih, tentu saja gadis ini bukanlah seorang gadis sembarangan. Meski pun dia sudah terlibat dan jatuh terguling, akan tetapi dalam robohnya dia sudah langsung membalikkan tubuh dan bersiap dengan pedangnya. Maka begitu ada bajak yang menubruknya, pedangnya bergerak dan berhasil menusuk tembus leher si bajak sehingga bajak itu seketika lantas tewas sambil membawa nafsu kekurang ajarannya ke neraka!

Cui Kim kaget sekali ketika pedangnya sukar dicabut kembali. Agaknya pedang ini sudah menembus tulang, maka tidak begitu mudah dicabut. Padahal pada saat itu, tiga orang bajak yang melihat kawannya mati dalam keadaan mengerikan, segera maju dengan obor dan golok di tangan.

Cui Kim sudah meramkan mata menunggu datangnya sang maut. Akan tetapi ia segera membuka matanya kembali ketika di sampingnya roboh berdebukan tiga orang bajak laut itu. Cepat ia bangkit berdiri dan sekuat tenaga menarik pedangnya, sambil melirik girang kepada suheng-nya yang dapat menolongnya dalam waktu yang tepat sekali. Akan tetapi suheng-nya sudah terlihat lelah sekali, juga dia merasa amat lelah biar pun kini berhasil membebaskan kakinya dari libatan jala.

Pada saat kedua orang jago muda dari Lu-liang-pai ini amat terancam kedudukannya, mendadak terdengar sorak-sorai yang riuh-rendah dan kacaulah barisan para bajak laut. Mereka yang mengeroyok Hwat Ki dan Cui Kim makin berkurang dan akhirnya sisa dari mereka yang roboh tewas, membuang obor mereka dan melarikan diri, menghilang ke dalam gelap setelah terdengar tanda suara seperti terompet. Apakah yang terjadi? Selagi Hwat Ki dan Cui Kim menduga-duga dengan hati lega akibat terbebas dari pada bahaya, tiba-tiba muncul seorang pemuda yang memegang pedang yang berlepotan darah.

"Saudara Hwat Ki...! Syukur kau dan sumoi-mu selamat...!"

"Eh, Bun-lote (adik Bun)! Kiranya kau yang menolong kami? Dengan siapa kau datang?" kata Hwat Ki gembira ketika mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Bun Hui.

"Bersama pasukan khusus dari Tai-goan, dibantu pasukan dari Cin-an! Bajak laut Kipas Hitam itu harus dibasmi, mereka mengganas di mana-mana. Kau melihat ketuanya? Di mana dia?"

"Lari, tadi dikejar oleh saudara baju putih yang lihai sekali. Mudah-mudahan tertangkap," kata Hwat Ki.

"Ke mana larinya?"

"Ke sana!" kata Cui Kim yang juga girang melihat putera jenderal ini, yang pernah dia jumpai ketika pemuda itu naik ke puncak Lu-liang-san untuk bertemu dengan suhu-nya.

"Mari kita kejar!"

Mereka bertiga mengejar ke luar dan ternyata di sekitar tempat itu sudah penuh dengan anak buah yang dibawa Bun Hui. Akan tetapi ketika mereka tiba di tepi laut di mana anak buah Bun Hui dengan perahu-perahu mereka mengepung Yosiko, mereka kecewa sekali mendengar betapa ketua Kipas Hitam itu berhasil melenyapkan diri sambil menyelam. Yang amat khawatir dan kaget hatinya adalah Hwat Ki dan Cui Kim. Mereka mendengar dari orang-orang kerajaan ini bahwa mereka berhasil memanah seorang pemuda, entah ketua Kipas Hitam entah bukan karena tadinya ada dua orang pemuda yang berenang seakan-akan berkejaran atau hendak melarikan diri. Hwat Ki dan sumoi-nya khawatir, jangan-jangan penolong mereka itu yang terkena anak panah!

Mereka semua terus melakukan pengejaran dan mencari-cari. Hwat Ki serta sumoi-nya memisahkan diri, juga mereka berdua mencari. Kalau Bun Hui dan para anak buahnya mencari jejak para bajak laut yang hendak mereka basmi, adalah kedua orang muda dari Lu-liang-san ini mencari jejak pemuda baju putih yang telah menolong mereka. Mereka berdua dapat membayangkan betapa bahayanya keadaan mereka ketika mereka roboh oleh makanan yang mengandung racun. Mereka sudah pingsan dan tidak berdaya sama sekali. Entah apa yang akan dilakukan oleh ketua Kipas Hitam pada mereka dalam keadaan pingsan itu. Entah apa yang akan terjadi selanjutnya kalau saja tidak muncul pemuda baju putih yang begitu aneh, yang tadinya sudah mereka lihat di dalam restoran di dusun Leng-si-bun.

Melihat cara pemuda pakaian putih itu menggempur Yosiko dan membuat ketua Kipas Hitam itu terdesak hebat, sudah membuktikan bahwa pemuda baju putih itu lihai bukan main. Mereka mencari terus, mencari di sepanjang lembah Huang-ho, menyusuri pantai Sungai Kuning ini….

Sementara itu, Yo Wan sadar dari pingsannya. Tubuhnya terasa enak dan nyaman, akan tetapi lemas sekali. Segera dia ingat akan segala peristiwa yang menimpa dirinya, maka cepat-cepat dia membuka matanya. Heran dia ketika mendapatkan dirinya rebah di atas pembaringan yang terbuat dari kayu kasar sederhana, dan berada di dalam sebuah goa yang gelap. Akan tetapi harus dia akui bahwa goa ini bersih sekali, kering dan dari luar masuk bau semerbak harum dibawa oleh siliran angin.

Ketika melihat tubuhnya, dia merasa heran sekali karena bajunya sudah terganti dengan baju baru yang berwarna putih, terbuat dari sutera. Baju ini bersih dan baru, jauh berbeda dengan bajunya sendiri yang sudah agak kumal. Juga sepatunya yang lenyap ketika dia bergumul dengan Yosiko di dalam laut, kini telah mendapat penggantinya berupa sepatu baru yang mengkilap. Yo Wan terheran-heran. Tentu gadis adik Yosiko itu yang memberi semua ini, karena dia sudah teringat akan peristiwa di atas perahu. Tiba-tiba wajahnya menjadi merah sekali. Tidak mungkin! Siapa yang menggantikan pakaiannya selagi dia pingsan? Apakah gadis jelita itu?

Teringat akan ini, Yo Wan melompat bangun, jantungnya berdebar-debar. Dia mengeluh karena merasa jantung serta isi dadanya seakan-akan ditusuk-tusuk pisau. Tiba-tiba dia terbatuk dan darah segar menyembur keluar dari mulutnya. Terdengar suara kaki berlari-lari ringan memasuki goa. Gadis jelita itu masuk, bagaikan dewi, akan tetapi yang sedang cemas. Matanya yang indah terbelalak, kedua tangannya berkembang, dan mulutnya yang kecil berseru kaget.

"Ahh, kau sudah sadar... jangan berdiri, berbaringlah dulu. Yo Wan, kau terluka parah...!"

Hanya dengan pengerahan tenaga dalamnya Yo Wan sanggup menahan dorongan dari dalam untuk batuk dan muntah darah. Dia terkejut bukan main dan tahulah dia bahwa dia benar-benar telah menderita luka yang hebat di sebelah dalam tubuhnya. Akan tetapi dia merasa malu apa bila harus berbaring lagi, malu karena gadis ini sudah menggantikan pakaiannya. Sungguh tak tahu malu! Wajahnya menjadi merah sekali dan hampir dia tidak berani menentang pandang mata itu.

"Aku... aku harus pergi..." Dia memaksa bibirnya berkata demikian, sungguh pun hatinya merasa tidak enak. Gadis itu sudah begitu baik padanya, agaknya sudah mengobati luka di pundaknya karena pundak itu tidak terasa sakit lagi.

Dengan tenang tetapi ramah dan bebas, gadis itu melangkah dekat, memegang tangan Yo Wan sambil menuntunnya setengah memaksa, duduk di atas pembaringan kayu. Yo Wan merasa halusnya kulit tangan. Kehangatan yang keluar dari jari-jari tangan kecil itu menjalari seluruh tubuhnya, membuat dia menjadi makin bingung dan memaksa dirinya untuk tidak membantah.

"Yo Wan, ketahuilah. Biar pun luka di pundakmu sudah tidak berbahaya lagi, akan tetapi agaknya anak panah itu terlalu dalam menghujam di tubuhmu, mungkin melukai bagian penting dalam dadamu. Tadi kau muntahkan banyak darah, sudah kubersihkan, terpaksa kuganti pakaianmu dengan pakaian bersih. Tetapi sekarang kau batuk-batuk lagi, maka kau berbaringlah! Aku bukan ahli pengobatan, akan tetapi aku juga maklum bahwa dalam keadaan seperti ini, tak baik kau mengerahkan tenaga dan menggerakkan tubuh. Lebih baik kau berbaring, biar kuberi minuman yang mengandung khasiat menguatkan tubuh, kemudian akan mencari seorang tabib yang pandai untuk mengobatimu."

Mendengar ucapan ini, diam-diam Yo Wan kaget dan bingung. Omongan gadis ini sama sekali tidak mengandung maksud buruk, bahkan amat baik dan membuat dia berhutang budi. "Kenapa... kenapa kau melakukan hal ini kepadaku?" tanyanya, suara lemah, akan tetapi karena maklum akan kebenaran kata-kata gadis itu, dia tidak ingin membantah lagi dan membaringkan tubuhnya.

Gadis itu memandang kepadanya, agaknya terheran mengapa Yo Wan masih bertanya macam itu. Akan tetapi ketika pandang mata mereka bertemu, tiba-tiba warna merah menjalar ke arah kedua pipi sampai ke telinga, dan aneh sekali, gadis itu menundukkan muka sambil menyembunyikan senyum dikulum.

Apa-apaan ini, pikir Yo Wan, namun jantungnya berdebar lagi sehingga cepat-cepat dia harus mengerahkan sinkang untuk menekan perasaannya yang berdebar dan yang akan menjadi bahaya bagi keselamatannya.

"Yo Wan, kau telah mengalahkan ketua Kipas Hitam, ingatkah? Kepandaian kakakku itu bukan apa-apa bagimu, kau jauh lebih lihai, bahkan sepuluh kali lipat lebih lihai dari pada kakakku. Karena itu, sudah sewajarnya dan seharusnya kalau aku merawatmu."

Yo Wan meramkan matanya, mengingat-ingat. Teringat dia akan ucapan Yosiko ketika hendak bertanding menghadapi Hwat Ki. Yosiko menyatakan bahwa adik perempuannya menghendaki jodoh yang mampu mengalahkan Yosiko! Dan kini, adik Yosiko ini agaknya kagum akan kepandaiannya. Celaka! Hampir Yo Wan melompat bangun, kalau saja dia tidak merasa betapa dadanya yang sebelah kiri sakit sekali. Ini hanya berarti bahwa gadis liar dan bebas ini sudah memilihnya sebagai calon jodoh!

Ah, gerak-gerik gadis ini! Sepasang mata dan senyum itu! Salahkah dugaannya bahwa Yosiko ketua Kipas Hitam adalah penyamaran gadis ini? Akan tetapi mengapa gadis ini mengaku sebagai adiknya ketua Kipas Hitam? Andai kata betul gadis ini adiknya, dapat dipastikan bahwa mereka tentulah saudara kembar, karena wajah serta gerak-geriknya serupa benar. Hanya pakaian saja yang berbeda!

Sambil berbaring di atas dipan kayu itu, Yo Wan mengingat-ingat. Hatinya girang kalau dia teringat akan muda-mudi dari Lu-liang-san itu, terutama melihat betapa Tan Hwat Ki, cucu Raja Pedang, ternyata adalah seorang pemuda yang gagah perkasa, patut menjadi cucu Raja Pedang, patut menjadi keponakan... Cui Sian! Berpikir sampai sini, mendadak saja semua lamunannya lenyap, yang nampak dan teringat hanyalah gadis puteri Raja Pedang itu, Cui Sian!

"Kenapa? Sakit sekalikah rasanya? Kau mengasolah, biar besok aku pergi mengundang seorang tabib yang pandai."

Yo Wan tidak menjawab, hanya mengangguk, akan tetapi keningnya berkerut. Dia sudah dirawat oleh keluarga bajak laut yang mengganas di pesisir Laut Po-hai! Dia berada di tangan orang jahat, akan tetapi ‘orang jahat’ itu justru merawat lukanya akibat serangan anak panah seorang anggota pasukan pemerintah!

Gadis ini amat mencurigakan. Apa alasannya merawat dia yang terang-terang memusuhi ketua Kipas Hitam? Tak mungkin! Gadis ini amat cantik jelita, dan kalau benar adik ketua Kipas Hitam, berarti seorang yang memiliki kedudukan, meski pun hanya menjadi ketua Hek-san-pang.

Mana mungkin seorang gadis jelita seperti ini mencintainya! Lalu apa pula kehendaknya? Merawat seorang musuh. Tentu ada apa-apanya yang tersembunyi di balik perawatan ini. Mendadak dia merasa amat mengantuk. Rasa kantuk yang tak tertahankan. Ingat dia akan obat yang diminumnya tadi, yang diminumkan oleh gadis itu.

Kecurigaannya makin menebal. Jangan-jangan dia sudah diberi minum obat bius. Ia ingin melompat dan menangkap gadis itu, lalu memaksanya membuat pengakuan. Akan tetapi rasa kantuknya tak dapat dia tahan lagi dan di lain saat Yo Wan sudah jatuh pulas.

Suara orang bercakap-cakap dengan bisikan-bisikan lirih membuat Yo Wan tersadar dari tidurnya. Akan tetapi Yo Wan tidak segera membuka mata, melainkan memperhatikan percakapan itu dengan rasa heran. Ada dua orang berbicara, seorang adalah gadis yang merawatnya, yang seorang lagi tentu seorang wanita pula, suaranya merdu dan tekanan kata-katanya tegas.

"Dia kelihatan lemah, aku tidak percaya...," kata suara ke dua.

"Pernahkah aku membohong?" kata suara si gadis, manja dan marah. "Dia amat hebat, kau sendiri tidak akan mampu menang..."

"Hemmm, sebelum mencoba, mana aku bisa percaya obrolanmu?"

Yo Wan membuka sedikit pelupuk matanya. Dari balik bulu matanya dia melihat pakaian-pakaian bergantungan di atas, agaknya pakaian-pakaian yang baru habis dicuci. Terlihat olehnya pakaiannya sendiri, dan pakaian sutera putih, pakaian Yosiko!

Ahhh, lagi-lagi pakaian ketua Kipas Hitam! Kalau pakaiannya berada di sini, bahkan bisa memberi pinjam pakaian kepadanya, orangnya tentu di sini pula. Dan siapa lagi kalau bukan gadis ini orangnya?

"Dia tidak tampan sekali, juga tidak muda lagi, sedikitnya enam tujuh tahun lebih tua dari padamu... hemmm, aku khawatir kau salah pilih..."

"Lihat, dia sadar..."

"Biar kucoba dia!"

Yo Wan cepat-cepat mempergunakan ginkang-nya untuk membuang tubuhnya dari atas pembaringan pada saat dia mendengar desir angin pukulan yang menggetar-getar. Angin pukulan itu tidak mengenai dirinya, hanya menyambar pembaringan kayu, akan tetapi tidak menimbulkan kerusakan pada pembaringan itu, melainkan tikar yang menjadi tilam pembaringan seperti tertiup angin.

Diam-diam Yo Wan terkejut. Lweekang wanita itu hebat, akan tetapi jelas bahwa wanita itu tidak mengirimkan pukulan maut. Mungkin inilah yang dimaksudkan dengan mencoba atau mengujinya!

Cepat dia membalikkan tubuh dan memandang. Kiranya di samping gadis itu telah berdiri seorang wanita setengah tua yang cantik pula, sikapnya kereng, kedua matanya amat tajam membayangkan kekerasan hati, bentuk mukanya serupa benar dengan gadis itu, dan di punggung wanita setengah tua ini tersembul gagang sebuah pedang. Yang amat berbeda dengan gadis itu adalah pakaiannya. Kalau gadis itu mengenakan pakaian serba putih dengan hiasan warna merah muda, pakaian wanita setengah tua itu berwarna serba hitam.

Yo Wan hendak bertanya, akan tetapi dia tidak diberi kesempatan lagi karena wanita itu telah menerjangnya dengan pedang di tangan. Serangan-serangannya sangat hebat dan ganas, namun amat indah seperti orang menari-nari. Menyaksikan ilmu pedang ini, jantung Yo Wan lantas berdebar. Ilmu pedang yang hebat! Serupa benar dengan ilmu pedang yang pernah dilihatnya dalam permainan pedang Cui Sian. Indah bagaikan tarian, namun mengandung daya serang yang sangat ganas! Dan gerakan kaki itu! Jelas adalah inti dari Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te, yang merupakan cabang dari Ilmu Langkah Kim-tiauw-kun. Siapakah wanita ini?

Karena dia bertangan kosong, Yo Wan terpaksa memainkan langkah-langkah ajaib untuk menyelamatkan diri. Ruangan dalam goa itu remang-remang, hanya diterangi oleh sinar penerangan pelita sumbu minyak sederhana, maka untuk menyelamatkan diri tak cukup mengandalkan penglihatan yang menjadi silau oleh berkelebatnya kilatan pedang.

Namun Yo Wan telah memiliki kepandaian yang tinggi. Dengan perasaannya yang peka serta pendengarannya yang amat tajam dia dapat mengetahui dari mana senjata lawan menyambar dan bagaimana sifat-sifat penyerangan lawannya yang cukup lihai ini. Berkali-kali wanita setengah tua itu mengeluarkan ucapan heran menyaksikan betapa Yo Wan selalu dapat menghindarkan serangannya, dan dari sikap heran menjadi penasaran, kemudian menjadi marah. Hal ini terbukti pada serangannya yang semakin gencar dan sungguh-sungguh, bahkan kini setiap sambaran pedangnya merupakan jurus-jurus maut.

Yo Wan terkejut dan khawatir. Dia merasa betapa nyeri di dalam dadanya masih hebat, punggungnya terasa panas dan setiap gerakan yang membutuhkan pengerahan tenaga agak banyak, terasa darah segar naik ke kerongkongannya. Dia maklum bahwa untuk membalas serangan wanita yang galak ini, tidak mungkin tanpa membahayakan lukanya sendiri. Maka, terpaksa dia hanya dapat mengelak dan seratus persen mengandalkan keampuhan langkah-langkah ajaib Si-cap-it Sin-po.

Masih untung bagi Yo Wan bahwa ruangan dalam goa itu cukup luas sehingga dengan leluasa dia dapat mainkan Si-cap-it Sin-po. Dan lebih untung lagi bahwa wanita setengah tua ini agaknya hanya paham Ilmu Langkah Hui-thian Jip-te yang tentu saja tidak seluas Si-cap-it Sin-po yang mempunyai ragam sebanyak empat puluh satu langkah. Hui-thian Jip-te hanya mempunyai dua puluh empat langkah.

Dengan demikian, maka sebegitu jauh Yo Wan selalu masih dapat meloloskan diri, biar pun kadang-kadang dia seperti sudah terkurung dan hanya mampu lolos melalui lubang jarum! Makin lama gerakan Yo Wan makin lemah karena rasa nyeri dalam dada dan di punggungnya makin menghebat. Dia telah mempertahankan diri sampai lebih dari lima puluh jurus, selalu diserang tanpa dapat membalas kembali.

"Cukup!" teriak si gadis dengan suara gelisah. "Dia dapat mempertahahkan diri sampai puluhan jurus, padahal dia terluka hebat di punggungnya, dan racun masih belum bersih betul! Bukankah itu sudah luar biasa sekali? Mana ada orang lain yang dapat menahan seranganmu sampai puluhan jurus dengan tangan kosong?"

Akan tetapi wanita setengah tua itu agaknya sudah terlanjur marah dan penasaran. Dia hanya mengeluarkan suara mendengus dengan hidungnya, pedangnya terus mendesak dan melancarkan serangan yang hebat. Ketika itu Yo Wan sudah merasa pening kepalanya dan pandang matanya kabur. Pada waktu melangkah mundur, kakinya tertumbuk pembaringan sehingga tubuhnya terguling. Pedang di tangan wanita setengah tua itu menyambar ke arah lehernya.

"Tranggggg...!" Pedang itu tertangkis oleh pedang di tangan si gadis.

"Masa kau hendak berlaku curang terhadap dia?" Gadis itu memekik.

Si wanita setengah tua melompat mundur, lalu mendengus marah, "Hemmm, biarkan dia sembuh dan beri dia senjata. Dia harus bisa mengalahkah aku, baru hatiku puas!"

Setelah berkata demikian, wanita itu berkelebat dan melompat keluar dari dalam goa itu. Gadis itu menarik napas panjang dan melemparkan pedangnya ke atas meja. Yo Wan sudah bangkit kembali dan dengan hati penuh kemarahan dia melompat maju, lalu menangkap tangan kanan gadis itu.

"Apa artinya semua ini? Siapa wanita itu tadi? Hayo kau lekas mengaku semuanya dan apa maksudmu menahan dan pura-pura menolongku di sini! Lekas kau mengaku, kalau tidak...!"

Gadis itu tersenyum manis. Bukan main cantiknya wajah di depan Yo Wan itu. Matanya terbuka, terbelalak lebar seperti orang kaget dan heran, mulutnya agak terbuka, dan dari balik sepasang bibirnya yang merah basah dan mungil itu terdengar suara seperti orang menahan tawa. Dia sama sekali tidak melawan ketika tangannya dipegang, bahkan dia merapatkan tubuhnya.

"Yo Wan, kau hebat! Dengan tangan kosong kau..."

"Cukup! Tak perlu kau melanjutkan permainan sandiwara ini. Hayo katakan semua, kalau tidak...!"

"Ihhh... dua kali kau bilang kalau tidak! Kalau tidak... kau mau apa sih?"

"Hemmm, biar pun kau sudah menolongku, mungkin pertolongan palsu, kalau kau tidak mau berterus terang, aku... aku akan mematahkan tanganmu ini!"

Mulut Yo Wan memang berkata demikian, akan tetapi hatinya ragu apakah ia akan tega merusak tangan yang berkulit halus dan hangat itu, apakah dia akan sanggup menyakiti gadis yang sejak bertemu telah menolong dan merawatnya ini.

Gadis itu semakin merapatkan tubuhnya sarnpai mukanya hampir menempel di dada Yo Wan. "Kau... betul-betul hendak mematahkan tanganku?"

"Kalau kau tidak berterus terang!"
"Wah, kau benar-benar amat tega..."

Ketika itu keduanya hampir berbareng merenggutkan tubuh masing-masing, melangkah mundur, bahkan si gadis cepat menyambar pedangnya dan melompat ke arah pintu goa itu. Tampak berkelebat bayangan orang yang amat gesit di luar goa itu. Akan tetapi ketika si gadis mengejar, bayangan itu telah lenyap. Dengan muka berkerut gadis itu kembali ke dalam goa.

"Siapa?" tanya Yo Wan. Gadis itu menggelengkan kepalanya.

"Agaknya yang akan berani mengintai ke sini tentu hanya ibu seorang, akan tetapi kalau ibu tak mungkin melakukan perbuatan seperti pencuri begitu."

Yo Wan menarik napas panjang. "Nona, kuharap kau tidak mempermainkan aku lagi dan sukalah kau bercerita terus terang. Bukankah kau ini yang menyamar sebagai pria yang menjadi ketua Kipas Hitam dan bernama Yosiko?"

Gadis itu melemparkan pedangnya di atas meja kayu. Dia menghela napas, kemudian menggandeng tangan Yo Wan, diajaknya duduk di atas pembaringan kayu yang kasar. "Duduklah dan dengarkan ceritaku."

Yo Wan tidak membantah karena sebenarnya perlawanannya terhadap wanita setengah tua yang lihai tadi membuat tubuhnya lelah dan gemetar. Pula, dia memang ingin sekali mendengar penuturan gadis yang aneh ini, gadis yang membuat hatinya bingung karena biar pun gadis ini seorang bajak laut, gerak-geriknya tidak patut menjadi bajak laut yang kejam dan ganas, lagi pula kepandaiannya sangat lihai dan mengenal langkah-langkah Kim-tiauw-kun!

"Tiada gunanya menipu orang yang berpemandangan tajam seperti kau," gadis itu mulai bicara. "Aku memang Yosiko atau Yo-kongcu bila berpakaian pria, juga ketua dari Kipas Hitam."

la berhenti untuk melihat reaksi pada wajah Yo Wan. Akan tetapi oleh karena pemuda ini sudah menduga akan hal itu, maka wajahnya tak membayangkan sesuatu, tetap tenang saja.

"Hemmm, kalau begitu kita berdua masih satu she (nama keturunan)," komentar Yo Wan, keningnya berkerut karena sungguh tak sedap hatinya mendapat kenyataan bahwa dia mempunyai seorang kerabat yang kepala bajak!

Akan tetapi Yosiko tertawa. Tidak ada keindahan pada wajah manusia melebihi di waktu dia tertawa. Seorang yang buruk rupa sekali pun akan tampak menyenangkan apa bila sedang tertawa. Apa lagi tawa seorang gadis jelita seperti Yosiko!

"Namaku memang Yosiko akan tetapi sama sekali bukan she Yo! Yosiko adalah nama Jepang, ayahku seorang Jepang, seorang tokoh besar pendekar samurai yang dijuluki orang Samurai Merah!" Agaknya Yosiko bangga sekali ketika menyebut ayahnya. "Ibuku yang tadi datang menggempurmu adalah seorang pendekar wanita. Dahulu dia berjuluk Bi-yan-cu (Walet Cantik) Tan Loan Ki. Kepandaiannya hebat, bukan?"

Akan tetapi Yo Wan amat terkejut ketika mendengar nama-nama ini karena dia pernah mendengar dari suhu-nya bahwa Raja Pedang memiliki seorang keponakan perempuan yang menikah dengan seorang pendekar Jepang. Kiranya wanita setengah tua yang tadi menyerangnya adalah keponakan Si Raja Pedang. Pantas saja wanita itu beserta anak gadisnya ini mengerti akan ilmu pedang indah seperti yang dimiliki Cui Sian!

Akan tetapi Yo Wan masih belum percaya begitu saja, oleh karena dia merasa ragu-ragu mengapa keponakan Raja Pedang sampai menjadi bajak laut!

"Hemmm, kiranya baik ayah mau pun ibumu keduanya adalah pendekar-pendekar besar! Sayang anaknya menjadi kepala bajak!"

Bibir yang merah itu merengut. "Apa salahnya menjadi bajak? Kami menjadi bajak secara terang-terangan, kami menuntut pajak bagi lalu lintas laut, minta bagian dari saudagar yang banyak untungnya, apa salahnya? Mana lebih jahat dari pada menjadi pembesar-pembesar yang memeras rakyat melebihi bajak? Terlebih lagi aku menjadi kepala Kipas Hitam karena terpaksa, karena kami harus menuntut balas dan melanjutkan pekerjaan mendiang ayahku."

"Hemmm, jadi ayahmu sudah meninggal dunia dan dahulunya juga bajak laut? Ibumu juga?" tanya Yo Wan yang kini menjadi sangat terheran-heran. Bagaimana keponakan Raja Pedang bisa menikah dengan seorang kepala bajak? (Tentang Tan Loan Ki dan Samurai Merah, baca cerita PENDEKAR BUTA).

Ditanya demikian, wajah gadis itu menyuram, suaranya juga terdengar sangat sedih, dan sebelum menjawab dia menarik napas panjang. "Ayahku dahulunya bukan bajak. Sudah kukatakan, ayah seorang pendekar samurai dan karena tidak sudi diperbudak oleh kaum ningrat, ayah merantau ke Tiongkok dan di sini bertemu dengan ibuku, pendekar wanita Bi-yan-cu Tan Loan Ki. Mereka saling mencinta dan akhirnya ibu ikut dengan ayah ke Jepang. Akan tetapi, di negara Jepang, ayah menerima penghinaan dan ejekan dari para samurai lain karena sudah mengawini ibu, bukan gadis bangsa sendiri. Kemudian terjadi pertengkaran dan perkelahian. Karena dikeroyok, akhirnya ayah lari dan menjadi bajak laut antara laut Jepang dan Tiongkok. Akan tetapi, baru tiga tahun yang lalu ayah tewas karena keroyokan para pendekar Jepang dan Tiongkok. Aku melanjutkan pekerjaannya, memimpin Kipas Hitam dibantu ibu!"

Yo Wan mengangguk-angguk dan mulai teranglah sekarang baginya kenapa keponakan Raja Pedang menikah dengan seorang bajak laut. Hanya dia masih merasa heran bagaimana ibu dan anak ini dapat mainkan langkah-langkah ajaib dari Kim-tiauw-kun, padahal Raja Pedang sendiri tidak mengerti akan ilmu ini. Setahunya, selain dirinya, sekarang di dunia ini hanya ada dua orang yang mengerti ilmu langkah ajaib ini. Yang seorang adalah suhunya, yaitu Pendekar Buta, dan seorang lagi tentu saja Tan Sin Lee, ketua dari Lu-liang-pai.

"Hemmm, kiranya begitukah? Tetapi, Nona..."

"Namaku Yosiko, tak perlu kau repot-repot menambahi nona segala, biasanya aku malah disebut kongcu (tuan muda)...," potong Yosiko sambil tersenyum.

Hemmm, gadis ini lincah jenaka dan galak, sama persis seperti sifat-sifatnya Siu Bi gadis Go-bi-san itu.

"Baiklah, kusebut kau Yosiko. Setelah kau menjadi ketua bajak laut dan kau sudah tahu pula bahwa muda-mudi itu adalah putera dan murid Lu-liang-pai, kenapa kau memusuhi mereka?"

"Mereka adalah komplotan alat pemerintah, mereka agaknya mata-mata yang diperintah menyelidiki keadaan kami, dan mereka telah membunuh beberapa orangku! Tadinya aku masih mengampuni mereka! Hemmm, kalau saja aku tahu bahwa mereka itu berkomplot dengan tentara pemerintah, tentu kemarin sudah kubunuh mereka!"

"Kau menaruh murah hati ataukah karena kau tertarik kepada Tan Hwat Ki yang gagah perkasa dan tampan? Tahukah kau bahwa Tan Hwat Ki adalah cucu pendekar sakti Raja Pedang Tan Beng San lo-kiam-ong (raja pedang tua) ketua Thai-san-pai? Bukankah dia itu masih saudara misanmu sendiri? Bagaimana kau hendak membunuhnya?"

Yosiko terkejut dan heran. "Wah… wah, agaknya engkau mengetahui banyak hal tentang diriku! Yo Wan, kau duduklah, mari kita bicara. Agaknya terhadap orang yang sudah tahu akan segala hal ini, tak perlu lagi aku menyimpan rahasia. Kau duduklah dan dengarkan penjelasanku."

Karena memang kesehatannya belum pulih benar, Yo Wan yang ingin sekali mengetahui keadaan gadis ini dan ingin tahu pula latar belakang mengapa dia dirawat setelah dilukai, dan mengapa pula ibu gadis ini tadi menyerangnya mati-matian, dia tidak membantah dan duduklah dia di atas pembaringan kayu.

Yosiko sendiri lalu duduk di atas sebuah bangku yang berdekatan. Sambil membetulkan dan memainkan kuncir rambutnya, gadis ini berkata, "Aku tidak tahu bagaimana kau bisa mengetahui bahwa aku merupakan saudara misan dengan Tan Hwat Ki! Sesungguhnya, Raja Pedang Tan Beng San yang kau sohorkan itu adalah paman ibuku. Akan tetapi kami tidak peduli akan dia, karena dia bukanlah paman yang baik dari ibu!"

Yo Wan pernah mendengar pula akan hal ini. Kakak dari Raja Pedang Tan Beng San bernama Tan Beng Kui dan ibu dari Yosiko ini yang bernama Tan Loan Ki adalah puteri Tan Beng Kui itulah. la mendengar pula bahwa memang ada pertentangan antara kedua orang saudara itu, akan tetapi suhu-nya, Pendekar Buta, tak pernah menceritakan secara jelas. (baca kisah Raja Pedang dan Rajawali Emas)

"Apakah karena pertentangan antara kakekmu dan Raja Pedang itu maka kau hendak membunuh cucu Raja Pedang? Akan tetapi kau tadinya kau kagum kepada Hwat Ki, bahkan kau berkata hendak menjodohkan dia dengan adikmu yang ternyata adalah kau sendiri!"

Gadis lain yang ditegur seperti ini, yang sekaligus membuka rahasia hatinya, tentu akan menjadi malu dan marah. Akan tetapi Yosiko tersenyum dan mengangguk-angguk!

"Betul, begitulah! Akan tetapi setelah kau muncul, aku tidak kagum lagi kepada Tan Hwat Ki, bahkan setelah tahu dia berkomplot dengan bala tentara pemerintah yang membasmi kami, aku benci kepadanya."

Sekarang Yo Wan yang terheran-heran mendengar ucapan yang begini terus terang dari seorang gadis remaja. "Yosiko, benar-benar aku tak mengerti bagaimana seorang gadis sepandai engkau, memilih-milih pria seperti ini...?"

Kembali Yosiko tersenyum lagi, seakan-akan pertanyaan yang bagi gadis lain tentu akan merupakan pisau yang menusuk perasaan ini tapi baginya hanya merupakan pertanyaan yang wajar dan biasa.

"Mengapa tidak? Yo Wan, semenjak aku masih kecil, ibu dan aku bercita-cita agar aku mendapatkan jodoh seorang pria yang jauh lebih lihai dari pada aku. Hal ini adalah karena aku dan ibu tidak ingin melihat kematian seperti ayah terulang kembali. Ayah meninggal karena kurang pandai ilmunya, dan aku memang tidak sudi diperisteri laki-laki yang lemah, yang tak dapat menangkan aku. Akan tetapi selama beberapa tahun ini, di antara bajak laut, aku hanya melihat laki-laki yang tak becus, paling hebat hanya macam Shatoku murid ayah yang tewas oleh Tan Hwat Ki kemarin. Sedangkan di darat, aku pun belum pernah bertemu laki-laki yang mampu mengalahkan aku. Itulah sebabnya kenapa pertemuanku dengan Tan Hwat Ki menarik hatiku. Dia lebih lihai dari pada aku, biar pun hanya sedikit selisihnya. Tentu saja pada saat itu hatiku tertarik dan tadinya aku hendak mencalonkan dia sebagai jodohku. Akan tetapi, kemudian muncul kau yang hanya dalam beberapa gebrakan saja dapat mengalahkan aku. Terang bahwa tingkat kepandaianmu jauh melampaui Tan Hwat Ki, karena itu... karena itu..."


cerita silat online karya kho ping hoo


Tentu saja Yo Wan maklum akan apa yang dimaksudkan oleh gadis itu. Akan tetapi hal ini membuatnya menjadi mendongkol sekali. Boleh jadi Yosiko seorang gadis yang cantik jelita, yang sukar dicari bandingannya baik dalam hal kecantikan mau pun kepandaian. Akan tetapi dia bukanlah laki-laki yang boleh dipilih sebagai jodoh lalu jadi begitu saja! Kedongkolan hatinya membuat dia jadi tega untuk mendesak Yosiko yang mulai merasa jengah dan malu karena betapa pun juga dia adalah seorang gadis.


"Karena itu... bagaimana, Yosiko? Kau melukai aku dengan jarum beracunmu, kemudian kau menolongku di laut dan merawatku di sini. Apa kehendakmu?"

Yosiko masih tersenyum, akan tetapi sekarang tidak selancar tadi dia menjawab, bahkan kelihatan gagap, "Yo Wan, tak mengertikah kau? Aku... aku... karena kau jauh lebih lihai dari pada Tan Hwat Ki, aku... aku memilih engkau!"

Diam-diam Yo Wan merasa terharu sekali. Gadis ini amat polos dan jujur, terang bahwa di dalam sanubari seorang gadis semacam ini terkandung watak yang bersih dan tidak dibuat-buat. Mungkin gadis ini belum pernah mengenal rasa cinta kasih antar muda-mudi sehingga dalam soal pemilihan jodoh, sama sekali dia tidak mendasarkan pada cinta, melainkan pada ‘tingkat kepandaian’. Dan semua itu ia kemukakan dengan jujur dan apa adanya!

"Hemmmm...! Dan ibumu, mengapa tadi ia menyerangku mati-matian?"

"Ibu tidak percaya kepadaku akan kelihaianmu, tidak puas kalau tidak mencoba sendiri."

Ah, anaknya gila ibunya sinting, gerutu Yo Wan di dalam hatinya. la pernah tertarik sekali kepada Siu Bi dan agaknya kali ini dia akan jatuh cinta pada gadis aneh yang jelita ini kalau saja hatinya tidak sudah terampas oleh Cui Sian, puteri Raja Pedang!

Setelah dia mengenal Cui Sian yang berhasil menjatuhkan hatinya dan merenggut cinta kasihnya, kini Yo Wan menganggap Yosiko sebagai seorang bocah yang nakal. la harus segera membebaskan diri dari ibu dan anak ini, akan tetapi jika lukanya belum sembuh, agaknya tidak mungkin hal itu dia lakukan. Gadis ini sudah cukup berbahaya, apa lagi di situ masih ada ibunya yang lihai. la harus bersabar dan menanti sampai lukanya sembuh betul.

Berpikir demikian, Yo Wan lalu merebahkan dirinya tanpa berkata apa-apa.

"Bagaimana? Menarikkah penuturanku?” tanya Yosiko.

"Menarik juga, tapi sudahlah. Aku mau tidur."

Yosiko merengut gemas. "Bagaimana pendapatmu? Kau tentu tidak keberatan menjadi pilihanku?"

Edan, pikir Yo Wan. Terpaksa dia menjawab, "Yosiko, kau memandang terlalu rendah tentang perjodohan. Apa kau kira syarat kebahagiaan perjodohan adalah ilmu silat yang tinggi? Apakah kalau kau menjadi isteri seorang ahli silat yang lebih lihai dari padamu, hidupmu lalu bahagia?"

"Tentu saja!" jawab Yosiko tanpa ragu-ragu lagi. "Ayah tewas karena kepandaiannya kurang tinggi, sehingga ibu menjadi janda. Bukankah itu celaka sekali? Seandainya ayah berkepandaian tinggi seperti kau, kiranya sekarang ayah masih hidup. Dengan seorang suami berkepandaian paling tinggi, hidupku akan terjamin. Karena itu aku memilihmu!"

Yo Wan menarik napas panjang dan menggelengkan kepalanya, akan tetapi dia tidak bangkit dari pembaringan.

"Yosiko, agaknya semenjak kecil kau hidup dikelilingi kekerasan dan kekejaman hingga kau tak mempedulikan tentang perasaan. Apakah kau tidak mempunyai perasaan halus? Apakah ibumu tidak pernah memberi tahu kepadamu bahwa syarat perjodohan adalah kasih sayang?"

"Tentu saja sudah!" Yosiko tersenyum lagi, matanya bersinar-sinar gembira. "Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan mengeluh di dalam hatinya. Sukar bicara dengan gadis liar ini, pikirnya. la harus bicara dengan ibu gadis ini yang tentu lebih mudah diajak berbicara. Diam-diam dia pun kasihan kepada Yosiko karena kalau dibiarkan demikian, kelak mungkin sekali berjodoh dengan seorang pria tanpa kasih sayang hingga akhirnya hidupnya akan merana dalam kesengsaraan batin.

Hatinya lega juga karena kini dia yakin bahwa perawatan gadis itu, juga sikap manisnya, bukan terdorong oleh rasa cinta yang dia khawatirkan, melainkan oleh rasa kagum akan kepandaiannya sehingga dia dipilih menjadi calon jodohnya dan karena itu harus dirawat hingga sembuh! Diam-diam Yo Wan merasa seolah-olah dirinya menjadi seekor binatang peliharaan terkasih yang sedang sakit!

"Bagaimana, Yo Wan? Apakah kau tidak kasih dan sayang kepadaku?"

Yo Wan menarik napas panjang. "Sudahlah, Yosiko, biarkan aku mengaso. Kelak kalau aku sudah sembuh, hal ini akan kita bicarakan bersama ibumu. Tentu saja aku sayang kepadamu, kau gadis yang baik."

Girang sekali hati Yosiko dan wajahnya berseri. la cepat mengambil sehelai selimut dan menyelimuti tubuh Yo Wan yang segera tertidur nyenyak. Yosiko juga berbaring di atas sebuah pembaringan kayu kecil di sudut ruangan, wajahnya kelihatan puas dan berseri.

Menjelang pagi, Yo Wan terbangun dari tidurnya ketika dia mendengar orang berseru girang, "Dia di sini...!"

Sebagai seorang ahli silat yang iihai, begitu sadar Yo Wan sudah meloncat turun dari pembaringannya, siap menghadapi bahaya. Akan tetapi wajahnya berubah ketika dia melihat sepasang muda-mudi dari Lu-liang-pai yang berdiri di mulut goa dan memandang kepadanya dengan terheran, apa lagi ketika mereka memandang kepada Yosiko yang juga sudah duduk di atas pembaringannya.

Tentu saja Yo Wan menjadi jengah dan bingung sekali. Betapa tidak? Orang melihat dia berduaan dengan seorang gadis cantik dalam sebuah goa, melewatkan malam di situ! Di lain pihak, Tan Hwat Ki dan sumoi-nya yang tidak mengenal keadaan Yo Wan, tentu saja mengira bahwa gadis ini tentu ada hubungannya dengan pendekar yang telah menolong mereka.

"Saudara yang gagah perkasa, kiranya kau berada di sini dan dalam keadaan selamat. Syukurlah...," kata Hwat Ki sambill melirik ke arah Yosiko.

Lirikan inilah yang membuat Yo Wan cepat-cepat memperkenalkan. "Aku juga gembira melihat kalian selamat dan Nona ini... ehhh, dia nona Yosiko..."

"Apa...?! Dia... dia ketua Kipas Hitam...?"

Yosiko tersenyum, sepasang matanya yang puas tidur itu berseri.

"Aku adiknya!"

"Srattttt!"

Tampak cahaya hitam berkelebat ketika Bu Cui Kim mencabut Hek-kim-kiam dan sambil berseru nyaring nona ini menerjang maju ke arah Yosiko.

"Eh, ahh, galaknya...!" Yosiko mengejek dan sekali meloncat ia telah menghindarkan diri.

"Sumoi...!" Hwat Ki berseru bingung.

"Suheng, tidak lekas-lekas membantu aku membasmi bajak laut mau tunggu apa lagi?" Bu Cui Kim berseru dan terus menyerang lagi.

Hwat Ki menjadi merah mukanya, akan tetapi biar pun tadinya dia ragu-ragu, mengingat betapa lihainya Yosiko, dia sudah mencabut pedangnya pula dan melompat maju untuk membantu sumoi-nya.

"Tahan senjata!" Yo Wan berseru sambil melangkah maju. Suaranya berpengaruh sekali sehingga tidak saja Hwat Ki serta Cui Kim menghentikan penyerangannya, juga Yosiko yang sudah memegang pedangnya, berhenti dan memandang dengan senyum mengejek kepada dua orang muda Lu-liang-san itu.

"Saudara Tan Hwat Ki, ketahuilah bahwa nona Yosiko ini bukanlah orang lain, melainkan saudara misanmu sendiri. Dia adalah puteri dari bibimu Tan Loan Ki yang telah menikah dengan seorang pendekar Jepang."

Tentu saja Hwat Ki sudah pernah mendengar nama-nama ini dari ayahnya, maka dia memandang dengan bingung, kemudian dia menatap wajah Yo Wan penuh curiga.

"Kau siapakah? Bagaimana mengetahui namaku?"

Yo Wan menjura sambil tersenyum. "Aku Yo Wan..."

Hwat Ki terkejut. "Apa? Kau murid paman Kwa Kun Hong Pendekar Buta?"

"Ahhh...!" Seruan ini keluar dari mulut Cui Kim dan mulut Yosiko.

"Beliau adalah suhuku yang terhormat," jawab Yo Wan sederhana.

"Saudara Yo... tapi... tapi mengapa dia menjadi... ehhh, ketua bajak laut? Dan di mana pula Bibi Loan Ki?"

"Suheng, walau pun masih ada ikatan keluarga, kalau jahat harus kita basmi!" Cui Kim berseru, matanya masih melotot marah.

"Yo Wan, dua orang ini bersekongkol dengan orang pemerintah, anak buahku banyak yang tewas. Biarkan kubunuh mereka!" bentak Yosiko pula.

Yo Wan maklum akan sulitnya keadaan. Kalau dibiarkan saja, tiga orang ini tentu akan bertanding mati-matian. la mengangkat kedua tangannya dan berkata, suaranya kereng.

"Tidak boleh! Saudara Hwat Ki, biarlah lain kali aku menerangkan semua ini kepadamu. Sekarang kuminta dengan hormat agar kau dan sumoi-mu meninggalkan tempat ini dan kuminta pula agar kau tidak memberi tahukan tempat ini kepada orang lain."

Hwat Ki meragu. Cui Kim mengomel, "Mana bisa? Dia bajak..."

Akhirnya Hwat Ki menjura kepada Yo Wan. "Saudara Yo Wan, oleh karena kau pernah menolong kami, maka aku percaya kepadamu, apa lagi mengingat bahwa engkau adalah murid paman Kwa Kun Hong. Akan tetapi, aku tetap mengharapkan penjelasanmu kelak mengapa kau melarang kami." Setelah berkata demikian, Hwat Ki mengajak sumoi-nya keluar dari goa itu.

Sesudah dua orang muda itu pergi, Yosiko lantas mengomel, "Yo Wan, mengapa kau menghalangi aku membunuh dua orang itu? Mereka musuh Kipas Hitam..."

"Mereka adalah pendekar-pendekar muda yang gagah perkasa, pembasmi kejahatan, apa lagi Tan Hwat Ki adalah putera Lu-liang-pai, cucu Raja Pedang. Mana mungkin aku membiarkan dia terbunuh? Aku tidak menghendaki permusuhan dengan kau dan kalau kau menyerangnya, terpaksa aku membantunya."

Dengan muka masih cemberut Yosiko berkata, "Hemmm, kau memang tak kenal budi, tidak mengasihani orang. Hwat Ki sendiri saja kepandaiannya sudah lebih lihai dari pada aku, melawan dia saja aku belum tentu dapat menang, kau masih hendak membantunya. Sama saja dengan kau dan dia sengaja hendak membunuh aku!"

Aneh sekali, secara mendadak gadis itu menangis! Akan tetapi hanya sebentar saja air matanya bercucuran keluar, karena segera dihapusnya dan sikapnya kembali keras.

"Kau mau bunuh aku, kenapa masih memakai jalan memutar, plintat-plintut? Mau bunuh hayo bunuh!"

"Eh-ehh, kenapa kau mengamuk tidak karuan, Yosiko? Siapa ingin membunuhmu? Aku bilang membantu mereka, yaitu kalau kau hendak membunuh mereka, karena biar pun ilmu silatmu kalah lihai, namun akalmu lebih banyak dan tipu muslihatmu mungkin akan mengalahkan mereka berdua. Kalau terjadi sebaliknya, yaitu mereka yang mengancam keselamatanmu dan hendak membunuhmu, sudah tentu akan kuhalangi niat mereka dan kubela engkau."

Seketika berubah wajah Yosiko, kemarahannya lenyap bagaikan awan tipis ditiup angin. Akan tetapi dia masih mencela, "Yo Wan, kalau memang kau suka kepadaku, mengapa kepalang tanggung? Kalau kau membenciku, juga kenapa tidak terus terang saja? Kau orang aneh... tapi sudahlah, kau mengaso biar sembuh, baru kita bicara lagi. Sebentar lagi ibu tentu akan mengantarkan obat yang kuminta, atau aku akan mencari ke sana."

Yo Wan tidak mau membantah lagi. la maklum bahwa menghadapi seorang gadis remaja yang galak ini, lebih baik jika dia menutup mulut dan bersabar sampai dia sembuh benar. Kalau dilawannya cekcok mulut tentu akan makin menjadi-jadi dan hal ini amat tidak baik baginya….

Di tempat lain, terjadi percekcokan lain lagi. Semenjak meninggalkan goa yang dijadikan tempat persernbunyian ketua Kipas Hitam itu, Bu Cui Kim tampak cemberut dan menjadi pendiam. Sudah beberapa kali Hwat Ki mengajaknya bicara, akan tetapi sumoi-nya yang biasanya amat ramah dan taat kepadanya, kini hanya menjawab secara singkat-singkat saja, kadang-kadang bahkan tak menjawab sama sekali. Seakan-akan kegembiraan dan semangat sumoinya tertinggal di goa!

Diam-diam Hwat Ki curiga. Hatinya sudah merasa sangat tidak enak ketika malam tadi mereka dijamu sebagai tamu ketua Kipas Hitam, karena dia menduga bahwa sumoi-nya tertarik oleh ketua Kipas Hitam yang tampan jenaka. Apakah sumoi-nya menjadi kecewa melihat ketua Kipas Hitam yang disangkanya seorang pemuda tampan gagah itu seorang wanita? Ataukah... sumoi-nya tertarik kepada Yo Wan, pemuda sederhana yang sangat sakti itu? Akhirnya Hwat Ki tidak dapat menahan perasaannya. la berhenti di tempat yang amat indah di tepi sungai. Amat sejuk hawa pagi itu dengan sinar matahari dan air sungai yang mulai mengeluarkan suara berdendang saat alirannya bermain dengan batu-batu karang.

Burung-burung pagi berkicau dan menari-nari di atas dahan-dahan pohon. Angin pagi yang semilir merontokkan daun-daun tua dan mutiara-mutiara embun yang menempel di ujung daun-daun hijau. Daun bambu dilanda angin berkeresekan halus seperti sepasang kekasih berbisikan mesra. Pagi yang indah, akan tetapi anehnya, wajah muda-mudi dari Lu-liang-san ini muram!

Melihat Hwat Ki berhenti dan berdiri bersandarkan batu karang, Cui Kim juga berhenti, berdiri termenung memandang air sungai, sama sekali tidak mempedulikan suheng-nya. Suasana kaku serta tegang ini terasa benar oleh mereka dan Hwat Ki maklum bahwa sesuatu yang mengganjal ini bila tidak lekas ia dongkel dan singkirkan, akan merupakan penghalang yang amat tidak menyenangkan dalam pergaulannya dengan sumoinya.

Selama bertahun-tahun sumoi-nya menjadi murid ayahnya, sejak mereka berdua baru berusia dua tiga belas tahun, mereka telah bermain-main bersama, rukun dan tak pernah bercekcok, seperti kakak beradik kandung saja. Baru sekarang ini terjadi hal yang amat aneh, yang membuat mereka murung dan seakan-akan enggan menatap wajah masing-masing, hati penuh kemarahan dan ketidak puasan!

"Sumoi, apakah yang kau pikirkan?"
"Tidak apa-apa..."

Hemm, jawaban yang dipaksakan, sebetulnya enggan menjawab, dan kemarahan serta sakit hati yang amat besar terkandung dalam suara itu, pikir Hwat Ki. Rasa cemburunya makin membesar dan dia pun membuang muka. Sampai beberapa lama keduanya diam saja. Hwat Ki berdiri dengan kaki kanan di atas batu karang, bersandar pada batu karang yang agak tinggi dan membelakangi sungai. Sebaliknya, Cui Kim berdiri menghadapi sungai, mukanya lurus memandang ke arah sungai, mulutnya yang biasanya manis itu cemberut. Karena keduanya berdiam diri, makin teganglah suasana.

"Sumoi, sungguh tidak enak keadaan begini!" Akhirnya berkatalah Hwat Ki dengan suara marah pula. "Semenjak pertemuan kita dengan ketua Kipas Hitam malam tadi, kau sudah berubah, kemudian setelah meninggalkan goa, kau benar-benar berbeda sekali..."

Dengan gerakan serentak Cui Kim membalikkan tubuh memandang, matanya bersinar penuh kemarahan dan suaranya keras kaku, "Suheng, apa perlunya kau memutar balik kenyataan? Siapakah yang berubah? Kau ataukah aku?"

Hwat Ki membelalakkan matanya. "Ehh… ehhh, bagaimana ini? Kau malah bilang aku yang berubah? Sumoi, kau mencari-cari. Aku berubah bagaimana?"

"Masa pura-pura bertanya lagi!" Kembali Cui Kim membuang muka, memutar tubuhnya membelakangi suhengnya.

Benar-benar aneh sekali ini, pikir Hwat Ki. Belum pernah sumoi-nya ini bersikap seperti ini terhadapnya. "Sumoi, bilanglah, apa kesalahanku sehingga kau marah-marah macam ini?"

"Hemmm, setelah kau melihat bahwa ketua Kipas Hitam ternyata seorang gadis secantik bidadari, gadis jelita yang malam tadi menyatakan terang-terangan hendak menjodohkan kau dengan dirinya sendiri, kau... kau... melepaskan dia begitu saja?"

"Ehh… ehhh... aku hanya mentaati permintaan saudara Yo Wan..."

"Alasan kosong. Biar pun dewa yang minta dia dilepaskan, mengingat dialah ketua Kipas Hitam, mestinya kita membunuhnya atau setidaknya menangkapnya. Akan tetapi kau... dengan mudah kau melepaskannya, karena kau... karena kau cinta kepadanya..." Kini suara ini mengandung isak.

Hening sejenak. Hwat Ki mengerutkan kening, kepalanya dimiringkan, dia memutar otak. Kemudian mendadak dia tertawa bergelak. "Ha-ha-ha-ha-ha!"

"Apanya yang lucu?" Cui Kim yang tadinya kaget menengok, bertanya.

Hwat Ki masih tertawa terus, kemudian katanya, "Terang kau cemburu kepada Yosiko! Ha-ha-ha, dan malam tadi aku cemburu pula kepada Yosiko karena kau agaknya tertarik sekali kepadanya! Ha-ha-ha, kumaksudkan tentu saja aku cemburu kepada Yosiko pria dan kau cemburu kepada Yosiko wanita! Ha-ha-ha, kita berdua cemburu kepada satu orang. Malam tadi aku menyangka kau tergila-gila kepada Yosiko, sekarang kaulah yang menyangka aku tergila-gila kepada Yosiko pula. Bukankah lucu sekali ini?"

Seketika wajah Cui Kim pun menjadi merah dan jantungnya berdebar. Bagaimana pun juga ucapan ini mengenai perasaannya karena ia tidak dapat menyangkal hatinya sendiri bahwa malam tadi memang ia tertarik oleh gerak-gerik Yosiko yang disangkanya pemuda yang amat tampan dan gagah! Akan tetapi sebagai seorang gadis, tentu saja ia tidak sudi mengakui hal ini, maka dengan tersipu-sipu ia berkata, "Cih! Siapa yang tergila-gila pada seorang bajak? Suheng, jangan kau hendak menutupi kesalahan sendiri dengan fitnah pada orang lain!"

Namun Hwat Ki yang sudah mengenal sumoi-nya semenjak kecil, dengan lega mendapat kenyataan bahwa adik seperguruannya ini tidak marah lagi seperti tadi. Dia melangkah maju mendekati Cui Kim dan menegur.

"Sumoi, sungguh mati, aku berani bersumpah bahwa tadi aku melepaskan Yosiko hanya karena memandang muka saudara Yo Wan, dan mungkin juga terdorong oleh kenyataan bahwa dia adalah puteri bibi Tan Loan Ki. Kau pun tahu, bibi Tan Loan Ki adalah saudara misan ayah. Akan tetapi, sudahlah, hal itu tak perlu dibicarakan lagi. Yang benar-benar membuat aku heran dan tidak mengerti, Sumoi, andai kata benar-benar aku jatuh cinta kepada Yosiko, kenapa kau menjadi marah-marah? Apakah... sebabnya? Andai kata aku mencinta dia dan dia mencintaku... ahhh, ini hanya andai kata, Sumoi..." Sambung Hwat Ki cepat-cepat karena melihat wajah sumoi-nya itu tiba-tiba menjadi pucat.

Sejenak mereka saling pandang. Lalu Cui Kim berkata, dengan suaranya yang gemetar, "Suheng, sebaliknya engkau sendiri... mengapa kau cemburukan Yosiko laki-laki? Andai kata aku benar mencinta seorang pemuda... mengapa engkau marah-marah...?"

Mereka saling pandang sampai lama dengan sinar mata penuh selidik. Seakan-akan baru kini mata mereka terbuka, baru sekarang mereka melihat kenyataan bahwa masing-masing merasa tidak rela kalau yang satu mencinta orang lain!

"Sumoi... kau tidak senang jika melihat aku mencinta gadis lain...?" Suara Hwat Ki juga gemetar kini. Cui Kim menggeleng kepala keras-keras.

"Aku pun tidak senang kalau melihat kau mencinta pemuda lain! Sumoi... kalau begitu... kau mencintaku?" Cui Kim menundukkan mukanya yang merah, akan tetapi akhirnya dia mengangguk perlahan.

Hwat Ki melangkah maju dan di lain saat dia sudah merangkul sumoi-nya, dan Cui Kim menyembunyikan muka pada dada suheng-nya sambil menangis. Hwat Ki lalu mendekap kepala dengan rambut yang harum itu, menengadah dan berkata lirih, "Ah, alangkah bodoh kita! Seperti buta! Selama ini kusangka bahwa antara kita hanya ada kasih sayang seperti saudara. Sumoi... kiranya sekarang aku yakin betul bahwa aku tidak dapat mencinta wanita lain! Sumoi, mari kita kembali ke Lu-liang-san, biar aku yang akan beri tahukan ayah ibu tentang urusan kita!"

Cui Kim merenggangkan tubuhnya. Ketika mereka saling pandang, sinar mata mereka sudah jauh berbeda. Kini di antara mereka terdapat rahasia mereka berdua, sinar mata mereka membawa seribu satu macam pesan hati yang mesra, pandang mata bergulung menjadi satu, sepaham.

"Suheng," kata Cui Kim, suaranya penuh kesungguhan. "Aku pun semenjak dulu sudah yakin bahwa aku tak dapat mencinta laki-laki lain. Tentang urusan kita, terserah padamu, Suheng. Kelak kalau kita sudah pulang terserah kau yang menyampaikan kepada suhu dan subo. Akan tetapi sekarang kita belum boleh pulang. Bukankah kita bertugas untuk membasmi bajak? Suhu sendiri yang mewakilkan kepada kita. Bajak laut belum terbasmi habis, malah kepalanya, ketua Kipas Hitam, masih hidup berkeliaran. Apa yang akan kita katakan kepada suhu tentang ini?"

Hwat Ki menjadi bingung juga diingatkan demikian. "Habis, apa yang harus kita lakukan, Sumoi? Yo Wan itu adalah murid paman Kwa Kun Hong, dia sudah menolong nyawa kita, dan dia amat lihai. Apa bila dia melarang kita menangkap atau membunuh Yosiko, bagaimana baiknya?"

"Di dalam menunaikan tugas, kita tidak boleh mundur oleh kesukaran apa pun. Murid Pendekar Buta seharusnya seorang pendekar pula yang bertugas membasmi penjahat. Kalau Yo Wan melindungi ketua Kipas Hitam berarti dia menyeleweng dari kebenaran. Biar dia sepuluh kali lebih lihai, sudah menjadi kewajiban kita untuk menentangnya."

Mendengar kata-kata sumoinya yang tercinta, seketika bangkit semangat Hwat Ki. Kini pandangannya terhadap Cui Kim berbeda dan dia merasa bangga sekali mendengar ucapan kekasihnya itu.

"Kau betul, Sumoi. Akan tetapi Yo Wan sudah berjanji hendak memberi penjelasan. Mari kita awasi gerak-geriknya dan kita berunding dengan saudara Bun Hui agar supaya goa itu dikurung dan jangan sampai Yosiko dapat terbang."

"Itu benar, Suheng. Mari kita mencari saudara Bun Hui dan pasukannya."

Sambil bergandengan tangan mesra dua orang muda-mudi yang semenjak kecil menjadi teman baik dan selalu berkumpul, akan tetapi yang baru sekarang ini menemukan cinta kasih antara mereka, meninggalkan tempat yang indah dan sunyi itu…..


                   ***************


Selama tiga hari Yo Wan dirawat oleh Yosiko di dalam goa. Selama tiga hari tiga malam itu Yosiko merawatnya penuh ketekunan, hanya pergi meninggalkan pemuda itu untuk mengambil obat dan makanan.

"Obat ini merupakan obat yang amat manjur untuk membersihkan darah, dan bisa untuk menyembuhkan luka dengan cepat. Obat ini dari Jepang, akan tetapi sekarang ibu telah pandai membuat sendiri," kata Yosiko dengan suara bernada bangga.

"Terima kasih kepada ibumu, dia baik hati."

Yosiko terkekeh, "Hi-hik, kau kira dia memberi obat karena baik hati kepadamu? Sama sekali tidak. la ingin kau lekas-lekas sembuh agar dia segera dapat datang untuk menguji kepandaianmu."

Yo Wan tercengang. Aneh sekali wanita setengah tua keponakan Raja Pedang itu.

"Kemarin ibu bilang, hari ini kau pasti sudah sembuh betul dan nanti ibu tentu datang, kau diminta siap melayaninya."

Memang Yo Wan sudah merasa sembuh dan dia bersyukur sekali. Sebetulnya kalau dia mau, bisa saja dia pergi sekarang juga. Akan tetapi dia bukan seorang pengecut yang melarikan diri dari seseorang, apa lagi dia harus bertemu dengan ibu gadis ini. Pertama dia harus mengucapkan terima kasih atas pemberian obat, dan kedua untuk menjelaskan keadaan Yosiko agar niat buruk tentang pemilihan calon jodoh itu diubah.

"Biarlah ibumu datang, aku memang ingin sekali bertemu dengan ibumu. Bukan untuk bertanding, melainkan untuk bicara."

Yosiko tersenyum. "Bicara tentang perjodohan kita? Ibu tetap tidak percaya bahwa kau dapat menangkan dia, malah ibu juga tidak percaya bahwa kau adalah murid Pendekar Buta Kwa Kun Hong."

"Ehh, ibumu mengenal suhu?"

"Tentu saja! Sahabat baik sekali, kata ibu, malah bekas kekasih, kata ibu."

"Apa...?!" Kini Yo Wan yang tidak percaya. Suhunya seorang pria yang sakti dan gagah, berbatin mulia dan tangguh, setia kepada isteri, mana mungkin main gila dengan nenek galak itu?

Tiba-tiba di depan goa berkelebat bayangan yang amat gesit. Yo Wan sudah melompat dan mengejar pada saat Yosiko baru saja melihat bayangan itu. Gadis ini menyambar pedang dan loncat mengejar pula.

"Dia bukan ibu! Tentu mata-mata musuh!" teriak Yosiko.

Akan tetapi Yo Wan sudah mengejar lebih dulu. Bayangan itu gesit sekali, sebentar saja sudah lenyap di dalam hutan.

"Adik Cui Sian...!" Yo Wan berteriak dengan jantung berdebar ketika dia sempat melihat bayangan tadi sebelum lenyap.

Tidak salah lagi, gadis itu tentu Cui Sian! Mengapa berada di sini dan apa sebabnya melarikan diri darinya? Karena bayangan gadis itu sudah lenyap, dan melihat sikapnya jelas tidak mau bertemu dengannya, Yo Wan menghentikan pengejarannya, lalu berdiri termenung dengan bengong. Dengan terengah-engah karena kalah cepat larinya, Yosiko akhirnya tiba juga di situ.

"Mana dia, Yo Wan? Siapa dia...?"

Akan tetapi Yo Wan tidak menjawab karena pemuda ini dalam bingungnya teringat akan bayangan gesit di luar goa pada beberapa hari yang lalu, di waktu malam. Bayangan itu ternyata bukan ibu Yosiko, juga agaknya bukan Hwat Ki dan Cui Kim. Apakah bayangan tiga malam yang lalu itu juga bayangan Cui Sin? Berpikir sampai di sini tiba-tiba saja wajahnya berubah.

Celaka! Kalau benar bayangan itu bayangan Cui Sian, tentu gadis pujaan hatinya itu mengetahui pula bahwa selama tiga hari tiga malam ini dia tinggal berdua saja dengan Yosiko, gadis cantik! Itukah sebabnya mengapa Cui Sian menghindarkan pertemuannya dengan dirinya?

"Yo Wan, kenapa engkau? Siapa yang kau panggil-panggil tadi?" Kini Yosiko memegang lengannya dan mengguncang-guncangnya.

Yo Wan menggelengkan kepalanya, menarik napas panjang. "Kau yang mendatangkan gara-gara ini."

"Aku? Lho! Apa maksudmu?" Yosiko terheran dan penasaran.

"Kalau saja kau membiarkan aku pergi tiga hari yang lalu..."

"...tentu kau akan mampus karena luka-lukamu!" sambung Yosiko.

Mendengar kata-kata Yosiko, Yo Wan sadar dari lamunannya dan memandang. Mereka saling pandang dan melihat wajah yang ayu itu cemberut sehingga wajahnya berubah lucu, mau tidak mau Yo Wan tersenyum dan menghela napas lagi.

"Lebih baik mampus dari pada dia menyangka yang bukan-bukan, Yosiko."

"Dia? Siapa dia? Laki-laki atau wanita tadi? Larinya cepat amat!"

Yo Wan merasa tidak perlu lagi untuk menyembunyikan sesuatu kepada gadis ini, malah lebih baik dia berbicara sejujurnya untuk menghapus lamunan kosong gadis ini mengenai perjodohan.

"Tentu saja ia lihai dan larinya cepat, dia itu bibimu!"

Saking kagetnya, hampir Yosiko meloncat tinggi. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka dan lidahnya dikeluarkan sedikit.

"Jangan main-main kau! Siapa bibiku?"

"Dia itu Tan Cui Sian, puteri tunggal Raja Pedang Tan Beng San. Karena ibumu adalah keponakan Raja Pedang, maka berarti dia itu saudara misan ibumu dan dia itu bibimu!"

"Ahhh...!" Yosiko mengeluh.

"Dan dia agaknya sudah memata-matai kita sejak tiga malam yang lalu."

"Ohhh...!" Yosiko mengeluh lagi.

"Mengapa ah-oh-ah-oh? Apa kau kehilangan suaramu?"

"Yo Wan, kau tadi bilang lebih baik mampus dari pada ia menyangka yang bukan-bukan! Kalau begitu... kalau begitu... kau tidak suka dia menyangka yang bukan-bukan?"

"Tentu saja tidak suka!"

"Jadi kau... kau suka kepadanya?"

Yo Wan mengangguk. "Aku sangat cinta kepadanya dan kalau ada wanita di dunia ini yang kuinginkan menjadi jodohku, maka satu-satunya wanita itu adalah dia orangnya!"

"Ihhhh...!" Kali ini Yosiko benar-benar meloncat mundur, kemudian mulutnya mewek dan terdengar suara, "Uhhhu..hu..hu...!" dan dia menangis!

"Yosiko, tak usah kau menangis. Sudah kukatakan, perjodohan hanya dapat terjadi atas dasar saling mencinta," kata Yo Wan sambil melangkah maju dan memegang pundak gadis itu.

Betapa pun juga, dia merasa amat kasihan kepada gadis ini yang kembali telah menjadi kecewa. Mula-mula gadis ini memilih Hwat Ki yang mengecewakannya karena ternyata pemuda itu memusuhi serta membunuhi orang-orangnya, kini pilihannya kepada dirinya kembali keliru.

Mendadak gadis itu menghentikan tangisnya. "Kubunuh dia! Kubunuh dia!"

Dia meronta lepas dan meloncat, mengejar ke arah larinya bayangan tadi. Akan tetapi dengan loncatan panjang Yo Wan sudah mengejarnya dan memegangi tangannya.

"Jangan, Yosiko. Kau tak akan menang!"

"Peduli amat! Aku menang dia mampus, aku kalah aku mampus!"

"Hush, jangan. Adikku yang baik, kau bersabarlah. Bukan begini caranya mencari jodoh. Dunia tidaklah sesempit telapak tangan, masih terdapat banyak sekali laki-laki yang jauh melebihi pilihanmu sekarang."

Yosiko memandang kepadanya dengan mata terbelalak beberapa lamanya seakan-akan hendak menyelidiki isi hatinya, kemudian ia menggelengkan kepalanya.

"Tidak! Kau bohong!"

"Ahh, kau benar-benar seperti katak dalam tempurung. Yosiko, sudah kukatakan bahwa memilih jodoh dengan dasar tingkat ilmu silat merupakan cara yang sangat bodoh. Ilmu kepandaian adalah seperti tingginya langit, sukar diukur. Gunung Thai-san yang tinggi masih kalah oleh awan, awan yang tinggi masih kalah oleh langit. Kalau kau memilih aku berdasarkan ilmu kepandaian, bagaimana kalau di sana ada beberapa ratus orang pria yang melampaui aku tingkat kepandaiannya? Apakah kelak kalau ada laki-laki yang lebih pandai, kau akan menyesal dan memilih dia?"

Kembali Yosiko tertegun, memandang dengan mata terbelalak. Agaknya gadis ini mulai mengerti akan maksud kata-kata Yo Wan dan mulai bimbang akan sikapnya. Yo Wan girang sekali, tersenyum dan berkata halus,

"Nah, kau agaknya mulai mengerti sekarang. Bagaimana, andai kata ada seorang kakek tua masih jejaka yang rupanya buruk, tangan kiri dan kaki kanannya buntung, mata dan telinga kiri tidak ada, hidungnya patah, tapi kepandaiannya mengalahkan aku? Apa kau akan memilih dia sebagai jodohmu?"

Mata yang indah jeli itu bergerak-gerak, tapi tiba-tiba gadis itu menubruk dan merangkul lehernya, menangis. "Tidak! Tidak! Aku tidak mau memilih siapa pun juga. Biar dia lebih pandai dari pada engkau, tetapi tidak ada yang seperti engkau, Yo Wan aku tidak mau memilih orang lain!"

Mampus kau sekarang! Yo Wan menyumpahi dirinya sendiri. Kenapa tiga hari yang lalu dia tidak pergi saja diam-diam meninggalkan goa? Celaka sekarang, celaka sekali kalau gadis peranakan Jepang ini mulai jatuh hati kepadanya, mulai mencintainya!

"Ehh, Yosiko, jangan begitu, ehh... nanti dulu..." Yo Wan melepaskan sepasang lengan halus yang merangkul lehernya seperti dua ekor ular itu.

Dengan terisak dan ujung hidungnya merah Yosiko memandang kepadanya.

"Lihat siapa yang datang!" kata Yo Wan sambil memandang ke depan.

Yosiko menoleh dan wajahnya berubah. Segera gadis ini menghapus air matanya dan menyusut hidungnya dengan ujung baju, dengan gerak dan sikap sewajarnya di depan Yo Wan, sama sekali tidak sungkan-sungkan!

Ternyata yang datang itu adalah seorang wanita setengah tua, ibu Yosiko. Wanita ini masih kelihatan amat cantik dan gagah, sikapnya galak dan cekatan sekali, pakaiannya ringkas, wajahnya yang masih cantik itu tidak dirias, akan tetapi kesederhanaan rias dan pakaiannya menambahkan kesegarannya yang asli.

Inilah ibu Yosiko yang bernama Tan Loan Ki yang pada waktu mudanya dahulu terkenal dengan julukan Bi-yan-cu (Walet Jelita), yang pernah menggemparkan dunia kang-ouw dengan kelincahan, kepandaian dan keberaniannya! (baca cerita Pendekar Buta)!

Dengan gerakan lari cepat yang tangkas sebentar saja wanita ini sudah tiba di tempat itu, menghadapi Yo Wan dengan pandang mata penuh seiidik, seakan-akan seorang yang ingin menaksir barang dagangan sebelum dibelinya! Ada lima detik ia menatap wajah Yo Wan, keningnya berkerut. Kemudian ia menoleh ke arah Yosiko.

"Kenapa kau menangis?" tanyanya tiba-tiba.

Yosiko menjadi merah mukanya. Agaknya merupakan hal yang memalukan baginya dan aneh bagi ibunya melihat gadis ini menangis. Memang semenjak Yosiko remaja dan suka memakai pakaian pria, belum pernah ibunya melihat puterinya itu menangis.

"Aku menangis karena girang melihat Yo Wan sembuh, Ibu. Lekas kau uji dia dan kalau dia menang, kau tidak boleh membohongi aku, Ibu."

"Hemmm, bohong apa?" tanya wanita itu agak gelisah karena anaknya demikian berterus terang di depan Yo Wan yang belum dikenalnya.

"Kalau Yo Wan menang, Ibu harus mengawinkan aku dengan dia. Kalau tidak tentu aku akan menganggap Ibu tukang bohong dan penipu!"

"Anak setan! Selain belum tentu dia mampu mengalahkan aku, laki-laki ini pun tidak ada harganya menjadi suamimu! Seperti orang gunung..."

"Memang aku tidak berharga menjadi mantumu, Twanio (Nyonya Besar)," kata Yo Wan sambil menjura kepada wanita itu.

"Apa kau bilang?" Tan Loan Ki membentak.

"Terus terang saja, aku sama sekali tidak cukup berharga untuk menjadi suami seorang gadis seperti nona Yosiko."

"Apa? Kau berani menolaknya setelah dia setengah mati merawatmu dan kalian tinggal tiga hari tiga malam dalam satu goa?"

Wajah Yo Wan menjadi merah padam, dan kembali dia menjura. "Harap Twanio sudi memaafkan. Aku sama sekali tidak menghendaki hal itu terjadi. Akan tetapi Yosiko... ehh, nona Yosiko ini memaksaku dan mengobatiku. Aku amat berterima kasih padanya, dan juga sangat berterima kasih kepadamu, Twanio, yang sudah memberi obat padaku. Percayalah, Yo Wan akan menganggap Twanio sebagai seorang locianpwe terhormat dan Yo... ehh, nona Yosiko sebagai seorang sahabat yang baik..."

"Cukup! Muak aku mendengar pidatomu! Kutanya mengapa kau menolak anakku! Kau anggap kurang cantik dia? Kurang pandai? Apa kau terlalu bagus untuknya? Kau merasa terlalu pandai menjadi suaminya, terlalu berharga?"

"Bukan begitu, Twanio. Sama sekali tidak, bahkan aku merasa diri sendiri yang kurang berharga. Aku tidak berani menerima maksud hati nona Yosiko karena sesungguhnya aku tidak setuju dengan dasar pemilihan jodoh itu. Menurut nona Yosiko, Twanio dan dia sendiri sudah mengambil keputusan untuk mencari jodoh bagi nona Yosiko dengan cara menguji kepandaian. Siapa saja yang dapat mengalahkan dia dan Twanio akan menjadi pilihannya."

"Kalau betul begitu, mengapa?"

"Maaf, Twanio. Kurasa hal ini amatlah tidak baik, karena perjodohan harus didasari saling pengertian, saling kasih sayang dan saling cocok. Jika dasarnya hanya kepandaian ilmu silat, aku khawatir sekali kelak nona Yosiko akan mendapat jodoh yang wataknya tidak cocok dan akhirnya akan menghancurkan kebahagiaan rumah tangganya."

"Cerewet! Baru kali ini aku melihat laki-laki yang cerewet! Yosiko, benarkah kau memilih orang macam ini? Dia cerewet sekali, apakah kau tidak menyesal kelak?

"Tidak, Ibu. Aku tidak mau menikah dengan orang lain kecuali dengan Yo Wan!"

"Kalau dia kalah olehku?"

"Tak mungkin. Kau tak akan menang, Ibu!"

Mendengar ini, diam-diam Yo Wan mengambil keputusan untuk mengalah dan sengaja memberi kemenangan kepada ibu Yosiko apa bila dia dicoba kepandaiannya. Akan tetapi maksud hatinya ini seketika buyar sama sekali pada waktu dia mendengar wanita itu mendengus dan berkata, "Huh, belum tentu! Dan biarlah aku mengalah dan membolehkan dia menjadi suamimu jika aku kalah, biar pun dia cerewet dan aku tidak menyukai laki-laki cerewet. Mendiang ayahmu tak banyak cakap, seorang jantan sejati! Akan tetapi kalau si lidah tak bertulang ini kalah olehku, dia harus mampus karena dia berani menolakmu, Yosiko!"

“Ibu takkan menang!" Yosiko bersungut-sungut.

Tan Loan Ki tidak bicara lagi melainkan meloncat mundur sambil mencabut pedangnya. "Keluarkan senjatamu!" bentaknya.

"Twanio, aku tidak mempunyai senjata," jawab Yo Wan sejujurnya karena memang tiga macam senjatanya telah habis semua, rusak ketika dia melawan Bhok Hwesio yang amat sakti.

"Hemm, lekas kau cari senjata, aku tidak sudi menyerang orang bertangan kosong!"

Pikiran baik menyelinap pada benak Yo Wan. "Twanio, memang aku tak ingin bertempur denganmu, dan aku tidak bersenjata. Nah, selamat tinggal..." Sambil berkata demikian dia melangkah hendak pergi.

"Berhenti" Tan Loan Ki berteriak keras dan tahu-tahu tubuhnya sudah melayang lantas menghadang di depan pemuda itu. "Aku tidak menyerang lawan bertangan kosong, akan tetapi aku akan membunuhmu sekarang juga apa bila kau berani menghina dan tidak menerima tantanganku. Hayo lawan!"

Diam-diam Yo Wan mendongkol juga. Wanita ini sangat galak dan perlu ditundukkan. Akan tetapi dia menjadi serba salah. Kalau dia menang, berarti dia ‘lulus’ sebagai calon menantu. Kalau kalah, tentu dia dibunuh. Tak mungkin dia mau dibunuh dan mati konyol. Matanya mencari-cari.

"Yo Wan, kau pakailah pedangku ini!" kata Yosiko dengan suara manis.

Yo Wan hendak menerima pedang, akan tetapi cepat-cepat menarik kembali tangannya yang sudah sedikit dia gerakkan. Tidak baik ini. Kalau dia menang dan kemenangannya menggunakan pedang Yosiko, hal itu lebih-lebih akan menguatkan mereka mengikatnya sebagai calon jodoh Yosiko.

"Terima kasih, Yosiko. Aku tidak perlu menggunakan pedang, cukup dengan ini, karena aku memang tidak ingin bertempur sungguh-sungguh dengan ibumu. Bukankah ini hanya ujian saja?"

Sambil berkata demikian, dengan sepatu barunya pemberian Yosiko, Yo Wan mencukil sepotong kayu, agaknya ranting pohon kering yang terletak di atas tanah. Kayu sebesar ibu jari kaki itu tersontek ke atas dan dia sambar di tangan kanan. Ranting yang kecil ini panjangnya kurang lebih empat kaki, kecil dan hanya kayu kering, mana mungkin bisa dipakai senjata menghadapi pedang pusaka?.....



                         





















Terima kasih telah membaca Serial ini.

No comments:

Post a Comment

Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman Jilid 12

   Cerita Silat Kho Ping Hoo Serial Pendekar Budiman             Jilid 12