Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 19
Keng Hong
menyambut serangan ini dengan tamparan tangan yang mengenai leher kiri kakek
itu. Tubuh Thian It Tosu lalu terlempar ke arah Kim-to Lai Ban dan memang hal
ini disengaja oleh Keng Hong. Melihat tubuh suheng-nya yang melayang itu, Lai
Ban cepat menangkapnya dan ternyata bahwa tosu itu telah pingsan.
Ouw Beng Kok
cepat meloncat maju dan menudingkan telujuknya ke arah Lai Ban sambil berkata,
"Lai Ban, mulai detik ini juga engkau tak kami akui lagi sebagai seorang
anggota Tiat-ciang-pang, dan para anggota yang menyeleweng, kalau masih setia
padanya maka selamanya tidak akan diakui juga sebagai anggota
Tiat-ciang-pang!"
Lai Ban yang
masih memondongkan tubuh Thian It Tosu, tidak dapat bicara lagi. Ia hanya
menundukkan mukanya dan membawa pergi tubuh suheng-nya yang pingsan. Ada pun
para pendukungnya yang juga merasa bahwa mereka tidak ada muka lagi untuk terus
berada di sana, satu demi satu lalu berdiri dan dengan muka tunduk mengikuti
Lai Ban meninggalkan tempat itu.
Setelah
kepergian orang-orang yang mengacaukan pemilihan ketua ini, tentu saja dengan
sendirinya Ouw Kian dipilih sebagai ketua baru menggantikan ayahnya, kemudian
pesta dilanjutkan dengan meriah. Ouw Beng Kok lalu menarik tangan Keng Hong,
diajak masuk ke dalam, diikuti oleh Ouw Kian. Lain orang tidak diperkenankan
menyaksikan pertemuan di dalam.
Ouw Beng Kok
mempersilakan Keng Hong duduk menghadapi meja, berhadapan dengan dia dan
puteranya, kemudian ketua Tiat-ciang-pang yang selama ini menatap wajah Keng
Hong penuh perhatian, lalu berkata,
"Sekarang
tiba saatnya supaya Taihiap suka memperkenalkan diri. Siapakah Taihiap dan
meski pun kami semua menghaturkan banyak terima kasih dan merasa bersyukur
sekali atas bantuan Taihiap yang mencuci bersih nama baik perkumpulan kami,
tetapi sungguh kami ingin mengetahui, mengapa Taihiap melakukan ini
semua?"
Keng Hong
yang sekarang tidak lagi bersikap ketolol-tololan seperti tadi, menghela napas
panjang dan berkata, "Ouw-pangcu, sebelum saya memperkenalkan diri, lebih
dulu saya mohon tanya, bagaimana pendapat Pangcu tentang diri Lai Ban?"
"Dia?
Ah, sudah jelas bahwa dia seorang yang mengkhianati perkumpulan, seorang yang
tamak dan ingin merampas kedudukan. Hemm, sayang aku tidak mendapat kesempatan
untuk menghancurkan kepalanya!"
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Jadi Pangcu tentu dapat menerima apabila dikatakan
bahwa dalam sepak terjangnya dulu, banyak kemungkinan dia pun melakukan
kesalahan-kesalahan, melakukan tindakan sewenang-wenang hingga dapat
mengotorkan nama baik perkumpulan Tiat-ciang-pang?"
Ouw Beng Kok
mengerutkan keningnya, kemudian mengangguk-angguk. "Sangat boleh jadi, dan
kalau hal itu terjadi, sungguh aku merasa menyesal sekali."
"Dan
banyak hal seperti itu memang terjadi, Pangcu. Dulu Lai Ban sering kali
melakukan hal sewenang-wenang, menanam bibit permusuhan dengan partai-partai
lain, memimpin anak buahnya yang memang tidak dapat dikatakan bersih
kelakuannya. Sekarang saya mohon bertanya, Pangcu. Saya datang dan menyamar
sebagai anggota Tiat-ciang-pang untuk melawan Lai Ban dan tosu Kim-to Bu-koan
itu untuk membuktikan niat baik saya. Andai kata saya mempunyai
kesalahan-kesalahan yang timbul dari salah pengertian pada masa lalu, sudikah
Pangcu memaafkan saya dan menghapus semua kesalah pahaman yang timbul karena
sepak terjang Lai Ban?"
Ouw Beng Kok
menatap wajah pemuda itu dan mengerahkan seluruh ingatannya untuk mengenalnya,
akan tetapi dia merasa yakin bahwa dia belum pernah berjumpa dengan pemuda ini.
Ia menghela napas dan berkata, "Dahulu aku amat percaya kepada Lai Ban,
akan tetapi sekarang aku mengerti bahwa tentu banyak perbuatannya yang
menyimpang hingga menyelewengkan Tiat-ciang-pang. Aku akan melupakan segala
persoalan antara engkau dan perkumpulan kami, Taihiap."
"Bagus,
Pangcu. Patut dikagumi seorang laki-laki yang dapat menyadari kekurangan diri
sendiri. Sekarang, lihatlah baik-baik, tentu Pangcu sudah mengenal aku."
Keng Hong lalu meraba mukanya, mengupas lapisan pada mukanya yang terbuat dari
pada getah pohon.
Meski pun
mukanya belum bersih benar, namun sekarang telah berubah sama sekali dan tentu
saja Ouw Beng Kok mengenal bekas ‘musuh besar’ ini. Dia mencelat dari kursinya,
memandang Keng Hong dan berkata, "Kau... kau... murid Sin-jiu
Kiam-ong...!"
Keng Hong
juga bangkit berdiri dan menjura. "Benar, Ouw-pangcu. Aku adalah Cia Keng
Hong dan perbuatanku tadi hanya untuk membuktikan bahwa sesungguhnya aku sama
sekali tidak memusuhi Tiat-ciang-pang dan bukanlah musuh Tiat-ciang-pang. Kalau
dulu terjadi peristiwa sehingga aku dimusuhi, semua adalah gara-gara sepak
terjang Lai Ban dan anak buahnya terhadap murid-murid Hoa-san-pai."
Keng Hong
lalu menceritakan semua pengalamannya ketika dia membantu kakak beradik Sim
yang dikeroyok oleh anak buah Lai Ban. Mendengar penuturan Keng Hong ini, Ouw
Beng Kok mengangguk-angguk, kemudian berkata,
"Peristiwa
yang lalu baiklah kita anggap sebagai sebuah kesalah pahaman dan untuk semua
perbuatan itu, saya mengharap Taihiap suka memaafkan. Akan tetapi saya juga
mengharap agar peristiwa yang terjadi hari ini tak sampai terdengar oleh dunia
kang-ouw, karena sesungguhnya..."
Ketua ini
ragu-ragu sejenak lalu melanjutkan, "Lebih baik saya berterus terang saja
bahwa saya tidak ingin dunia kang-ouw mendengar bahwa Taihiap, murid Sin-jiu
Kiam-ong telah membantu Tiat-ciang-pang. Dapatkah Taihiap berjanji?"
"Ayah!
Mengapa begitu? Cia-taihiap sudah menolong kita..."
Keng Hong
tersenyum memandang Ouw Kian dan berkata kepadanya. "Ouw-pangcu, aku bisa
mengerti pendirian ayahmu. Memang benar sebaiknya begitu sebab nama mendiang
guruku dimusuhi oleh banyak tokoh kang-ouw, maka ayahmu tidak menghendaki kalau
sampai timbul persangkaan bahwa Tiat-ciang-pang bersahabat dengan aku, murid
guruku yang dimusuhi." Ia lalu menghadapi Ouw Beng Kok yang agak merah
mukanya. "Harap Pangcu jangan khawatir. Aku pun tidak berniat
memperkenalkan diri, maka aku sengaja menyamar. Tujuanku yang utama hanyalah
ingin menghapus permusuhan di antara kita. Nah, selamat tinggal, Pangcu, aku
harus pergi sekarang juga." Dia menoleh dan berkata, "Ilmu kepandaian
Lo-pangcu tidak kalah oleh tosu itu, akan tetapi sebaiknya kalau kau
menggembleng puteramu supaya kelak mampu menghadapi tosu itu bila mana dia
datang mengacau membalas dendam. Selamat tinggal!"
Dia lalu
berkelebat melalui jendela dan dalam sekejap mata saja lenyap, meninggalkan
ayah dan anak yang bengong dengan kagum itu.
***************
Cia Keng
Hong kembali melakukan perjalanan naik turun gunung, keluar masuk hutan dan
dusun-dusun. Beberapa pekan kemudian, tibalah dia di lereng Beng-san yang amat
indah pemandangannya.
Dia
terkenang kepada Siauw-bin Kuncu karena di lembah inilah dia mula-mula bertemu
dengan kakek itu. Teringat akan kakek itu, mau tidak mau Keng Hong tersenyum.
Kakek itu benar-benar seorang yang amat ahli dalam filsafat, dan biar pun tidak
sengaja, namun telah merupakan seorang yang amat berjasa baginya.
Karena
merasa lelah, Keng Hong berhenti di lereng itu, mengaso di bawah pohon sambil
memandang pemandangan di bawah yang amat indah mempesonakan. Ia teringat akan
semua pengalamannya dan saat dia mengenangkan Siauw-bin Kuncu, dia menarik
napas panjang.
Dia sendiri
pun semenjak kecil banyak membaca kitab-kitab filsafat, akan tetapi betapa
banyaknya hal-hal yang amat sulit bila menghadapi peristiwa dalam penghidupan.
Selagi pikiran dan hati bersih, tentu saja mudah menangkap dan mengerti akan
filsafat-filsafat yang tinggi. Akan tetapi sekali nafsu menguasai diri.
Menghadapi peristiwa yang menimpa diri, semua filsafat diterbangkan angin, mata
terbuka serasa buta dan otak yang terang menjadi gelap. Betapa sukarnya
menguasai nafsu.
Gurunya
sendiri, seorang sakti yang cerdik dan pandai, rupa-rupanya tidak kuasa dan tak
berdaya menundukkan nafsunya sendiri, bahkan seperti mengumbarnya sehingga
banyak mengakibatkan permusuhan, atau lebih tepat dimusuhi oleh banyak sekali
orang. Semua gara-gara nafsu pribadi.
Dan dia
sendiri? Ahhh…, dia merasa malu kalau dia mengenang semua pengalamannya. Betapa
dengan mudahnya dia tergelincir oleh bujuk rayu Cui Im, betapa dia terpeleset
menghadapi keindahan tubuh serta kecantikan wajah wanita. Membuat dia mata
gelap, digelapkan oleh nafsunya, membuat dia tunduk dan menuruti nafsunya,
selain melayani Cui Im yang memang haus akan cinta birahi, juga dia menyambut
uluran gadis-gadis yang kemudian menjadi korban karena cintanya. Teringat dia
akan nasib Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai itu. Teringat pula akan nasib kedua
orang murid wanita Kong-thong-pai, Kim Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Dia menghela
napas dengan hati penuh penyesalan. Tiga orang gadis itu telah menjadi korban
semua.
Memang benar
bahwa mereka tewas dalam tangan Cui Im, akan tetapi andai kata dia tak melayani
cinta kasih mereka, andai kata dia tidak bermain cinta dengan mereka, belum
tentu mereka akan dibunuh oleh Cui Im yang cemburuan, yang agaknya akan
membunuh semua wanita yang dia layani cinta kasihnya! Dengan demikian, biar pun
tidak langsung, sama artinya bahwa dialah yang menyebabkan kematian mereka.
Ahhh...
nafsu...! Dia harus belajar menguasai nafsunya sendiri. Teringat dia akan
filsafat kitab kuno yang pernah dia baca.
Pelajaran
yang menyatakan bahwa nafsu itu sifatnya sama dengan kuda. Jasmani adalah
keretanya dan kemajuan jasmani tergantung kepada tarikan kuda nafsu. Tanpa
adanya tarikan kuda nafsu, maka kereta jasmani tidak akan mendapatkan kemajuan.
Namun, kuda
yang sifatnya liar, seperti nafsu, perlu sekali dikendalikan dan dikuasai oleh
tangan kusir yang pandai dan bijaksana. Sebenarnya, kusir inilah yang harus
menguasai segalanya, kusir ini adalah jiwa yang murni. Sang Aku sejati!
Kusir inilah
yang seharusnya memelihara dan mengawasi kereta jasmani, supaya kereta jangan
rapuh dan rusak. Kusir ini pula yang harus dapat mengendalikan kuda, sehingga
dapat mengemudikan kuda nafsu untuk menarik kereta jasmani menuju pada jalan
yang tepat dan benar. Kalau sang kusir ini tidak pandai menguasai nafsu, kuda
yang sifatnya liar itu akan membedal dan membawa kereta ke mana saja dia suka,
sehingga akhirnya banyak bahayanya kuda itu akan menjerumuskan kereta dan
sekalian kusirnya ke dalam jurang!
Betapa
tepatnya perumpamaan itu. Nafsu pada diri manusia tidak semestinya dibunuh,
melainkan dipelihara dan dikendalikan. Nafsu yang dikendalikan akan dapat
membawa jasmani ke arah kemajuan, akan dapat mambawa diri ke tempat yang
dikehendaki, dan akan dapat mendatangkan kenikmatan dan kesenangan hidup.
Namun, kuda nafsu yang tidak dikendalikan akan berbahaya sekali, akan membedal,
meliar, mengganas, bahkan memperhamba diri dan akhirnya keruntuhanlah
akibatnya.
Maka, tepat
pula pelajaran dalam kalimat di kitab pelajaran para pemeluk Agama To, yaitu di
dalam To-tik-keng yang berbunyi:
Mengerti
akan orang lain adalah pandai,
mengerti
akan diri sendiri adalah bijaksana.
Menaklukkan
orang lain adalah kuat tubuhnya,
menaklukkan
diri sendiri adalah kuat batinnya.
Yang puas
akan keadaan diri sendiri adalah kaya raya,
yang
memaksakan kehendaknya adalah orang nekat.
Yang tahu
akan kedudukannya akan berlangsung
mati dalam
kebenaran berarti panjang usia.
Keng Hong
menarik napas panjang. Ahhh…, kalau dia teringat akan semua filsafat dan
pelajaran kebatinan yang pernah dibacanya, dia kini dapat melihat betapa
gurunya sudah menyia-nyiakan hidupnya dengan berkecimpung di dalam lautan
pemuasan hawa nafsu. Perlukah watak seperti itu dia contoh?
Biar pun
guru, akan tetapi dia beguru kepada Sin-jiu Kiam-ong hanya dalam hal mengejar
ilmu silat. Bila mana dia melihat sifat-sifat yang tidak benar dari gurunya,
tidak perlu dia mencontoh. Bahkan dia harus membetulkan kesalahan-kesalahan
yang sudah dilakukan gurunya, seperti yang dia dengar dalam nasehat Siauw-bin
Kuncu!
Mempunyai
ilmu kepandaian saja, seperti yang telah dia miliki sekarang, tidak akan ada
gunanya bagi manusia dan dunia, bahkan dapat mengakibatkan kerusakan jika dia
tidak berpegang pada kebenaran dan kebajikan. Ilmu tetap ilmu, akan tetapi
dapat membangun atau merusak, tergantung dari pada akhlak si pemilik ilmu.
Manusia tetap manusia, akan tetapi ada dua macam, yaitu manusia utama dan
manusia rendah, dan untuk menjadi satu di antara keduanya, hanya diri
pribadilah yang akan mengusahakan dan menentukannya.
Teringatlah
dia kepada pelajaran Nabi Khong Cu yang menjawab pertanyaan-pertanyaan para
muridnya tentang manusia utama yang tinggi budi dan manusia rendah yang rendah
budinya.
Manusia
utama mengerti mana yang benar,
Manusia
rendah mengerti mana yang menguntungkan dirinya.
Manusia
utama menyayang jiwanya,
Manusia
rendah menyayang hartanya.
Manusia
utama ingat akan hukuman dosa-dosanya,
Manusia
rendah ingat akan hadiah jasa-jasanya.
Manusia
utama mencari kesalahan diri sendiri,
Manusia
rendah mencari kesalahan orang lain.
Masih banyak
sekali contoh-contoh dan dalam keadaan tenang di tempat sunyi di lereng
Beng-san itu, Keng Hong teringat akan semua filsafat dan makin jelaslah terasa
olehnya betapa dia sudah keliru mengikuti cara hidup suhu-nya dahulu, dan
betapa dia pun telah menyeleweng dan akan mencontoh gurunya kalau saja dia
tidak lekas-lekas sadar dan bertobat, mengubah wataknya dengan memperkuat batin
sehingga dia akan bisa menjadi seorang kusir yang bijaksana dan pandai
mengendalikan kuda-kuda liar berupa nafsunya sendiri.
"Aku
akan berusaha, akan berusaha sekuat tenagaku...!" Demikian pemuda ini
berjanji kepada diri sendiri. Ia lalu bangkit berdiri dan melanjutkan
perjalanannya menuruni lereng Pegunungan Beng-san.
Ketika
lereng itu akan habis dituruninya, tiba-tiba telinganya menangkap suara
teriakan-teriakan di sebelah bawah yang datangnya dari hutan di kaki gunung.
Cepat dia meloncat ke atas pohon yang tinggi dan memandang ke bawah. Dari
tempat tinggi itu tampaklah olehnya berkelebatnya bayangan-bayangan orang dalam
pertempuran.
Dari tempat
yang jauh itu dia tidak dapat melihat siapa orangnya yang bertanding, akan
tetapi dia dapat melihat seorang dikeroyok oleh belasan orang dan dari gerakan
mereka tahulah dia bahwa yang bertanding adalah orang-orang yang memiliki kepandaian
tinggi. Dia menjadi tertarik sekali, cepat melompat turun dari atas pohon
kemudian berlari cepat menuruni lereng dan memasuki hutan itu.
Keng Hong
menyelinap di antara pepohonan sambil mendekati tempat pertempuran, dan sesudah
dekat serta bersembunyi di balik pohon, dia mendapat kenyataan bahwa yang
sedang dikeroyok oleh tiga belas orang itu bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu
Sian Cu, nenek galak berpakaian serba hitam yang dulu bersama beberapa tokoh
lainnya pernah menyerang gurunya di Kiam-kok-san, bahkan yang ikut
‘mengadilinya’ di Kun-lun-san saat dia ditangkap.
Nenek itu
kini mainkan senjatanya yang hebat, yaitu pecut yang di tiap ujung cabangnya
dipasangi kaitan. Gerakan nenek itu masih tangkas, jelas membuktikan bahwa
nenek itu seorang ahli ginkang yang mahir, dan meski pun dia dikeroyok tiga
belas orang, namun sembilan cabang cambuknya itu dapat melayani para
pengeroyoknya dengan ganas.
Keng Hong
memperhatikan tiga belas orang laki-laki yang menggeroyok Kiu-bwe Toanio.
Mereka itu rata-rata berusia empat puluh tahun lebih, bentuk tubuh mereka
bermacam-macam, akan tetapi rata-rata mereka mempunyai ilmu kepandaian yang
tinggi. Mereka semua bersenjatakan golok besar dan ternyata bahwa gerakan
mereka teratur sekali, merupakan gerakan barisan tiga belas orang yang
mengurung dengan rapi sehingga biar pun nenek itu lihai ilmu cambuknya,
sedemikian lamanya dia tidak mampu merobohkan seorang pun di antara para
pengeroyoknya, bahkan pengepungan makin rapat.
"Ha-ha-ha-ha!
Kiu-bwe Toanio, lebih baik kau menyerah saja dan menyerahkan nyawamu agar kau
dapat mati dengan tubuh utuh! Engkau tidak akan dapat menandingi Cap-sha Toa-to
(Tiga Belas Golok Besar) dari Beng-san!" seorang mengejek.
"Tar-tar-tar!"
Cambuk pada
tangan Kiu-bwe Toanio meledak-ledak menyambar, akan tetapi tanpa hasil dan
kembali dia terkurung oleh cahaya golok yang berkilauan sehingga nenek ini
cepat memutar cambuk melindungi tubuhnya.
"Tiga
belas perampok laknat dari Beng-san! Bila aku tidak mampu membasmi
perampok-perampok jahat semacam kalian ini, percuma saja aku menyebut diriku
sebagai pendekar wanita!" Nenek itu berseru, suaranya garang dan
semangatnya tak kunjung padam meski pun dia terancam bahaya maut dan terdesak
terus.
"Ha-ha-ha-ha!
Mungkin dahulu engkau terkenal sebagai pendekar wanita yang cantik dan perkasa,
akan tetapi sekarang engkau tidak lebih hanyalah seorang nenek tua keriputan
yang sudah hampir mampus. Phuahh, tua bangka tak tahu diri, sudah mendekati
kuburan masih berlagak pendekar!"
Wajah nenek
itu menjadi merah dan dia pun memutar cambuknya makin hebat sehingga terpaksa
para pengeroyoknya melompat mundur. Kiu-bwe Toanio kemudian menudingkan
telunjuk tangan kirinya. "Penjahat-penjahat rendah! Kalian sudah merampok
dusun-dusun di sebelah selatan gunung, melakukan banyak pembunuhan dan
perkosaan, tidak pantang melakukan segala macam kekejian. Aku Kiu-bwe Toanio Lu
Sian Cu yang kebetulan lewat dan mendengar akan kejahatan kalian, jika hari ini
tidak mampu membasmi kalian, jangan sebut lagi aku seorang pendekar dan aku
rela mampus tercacah-cacah oleh golok kalian, Majulah!"
Keng Hong
memandang kagum. Dia sudah mendengar dari suhu-nya siapa nenek ini. Kiu-bwe
Toanio Lu Sian Cu semenjak muda terkenal sebagai seorang pendekar wanita yang
paling anti terhadap perampok. Wanita ini sudah membuat nama besar karena dia
telah membasmi banyak sekali sarang perampok, membunuh banyak kepala rampok dan
membubarkan gerombolan-gerombolan. sekarang hingga menjadi nenek-nenek pun
masih gigih membasmi perampok.
Seorang
pendekar wanita yang patut dikagumi. Akan tetapi juga seorang pendekar wanita
yang memusuhi gurunya!
Keng Hong
tersenyum dan mengeleng-gelengkan kepala bila mana ia teringat akan cerita
gurunya mengenai wanita sakti ini. Ia mencoba untuk membayangkan Kiu-bwe Toanio
di waktu muda. Memang tidak sukar.
Wajah nenek
itu masih membayangkan bekas kecantikan, dan tubuh itu masih ramping, hanya
buah dadanya yang luar biasa besarnya itulah yang sukar dibayangkan bagaimana
bentuknya pada waktu nenek itu masih muda.
Akan tetapi,
jika Sin-jiu Kiam-ong mau melayani cinta kasih wanita itu, tentu pada waktu
mudanya dahulu dia cantik menarik. Keng Hong menghela napas. Wanita ini pun
menjadi korban petualangan gurunya. Gurunya tentu melayani cinta wanita itu,
seperti halnya dia melayani Cui Im, atau Ciang Bi, Bwee Ceng dan Swat Si.
Melayani cinta wanita-wanita itu hanya seperti orang menikmati keindahan bunga.
Akan tetapi
nenek ini mencinta gurunya secara mendalam, maka menjadi sakit hati ketika
ditinggalkan! Ah, nenek ini juga telah menjadi korban gurunya, dialah yang
harus berusaha memperbaiki kesalahan itu. Kini secara kebetulan sekali dia
mendapat kesempatan baik. Sekarang nenek itu terdesak hebat, bahkan terancam
oleh tiga belas golok besar yang memang lihai itu.
Tanpa banyak
cakap lagi Keng Hong melompat keluar dari tempat sembunyiannya dan menerjang
barisan tiga belas orang yang mengurung Kiu-bwe Toanio. Karena pemuda ini
menerjang dari luar kepungan dan gerakannya amat hebat, maka begitu kaki
tangannya bergerak, tiga orang pengeroyok roboh terlempar keluar kepungan dan
tiga belas orang itu menjadi kacau-balau.
Lima orang
kemudian membalikkan tubuh dan dengan marah sekali lalu menerjang Keng Hong
dengan golok mereka, sedangkan yang lima orang lagi masih mengeroyok Kiu-bwe
Toanio. Cambuk nenek ini bagaikan sembilan ekor burung garuda
menyambar-nyambar.
Tadi ketika
dikeroyok tiga belas orang dia terdesak hebat, akan tetapi setelah kini yang
mengeroyoknya hanya tinggal lima orang saja, begitu dia memutar cambuknya, dua
orang terjungkal roboh dengan leher terkait ujung cambuk sehingga urat lehernya
putus-putus! Mereka roboh mengeluarkan suara seperti babi disembelih, dari
leher yang sudah rusak pula. Kiu-bwe Toanio tertawa lagi dan betapa pun keras
melindungi diri, namun belasan jurus saja sisa tiga orang pengeroyoknya juga
menggeletak dan berkelojotan.
Akan tetapi,
dapat dibayangkan betapa kaget, heran dan kagumnya pada saat nenek itu menoleh,
ia melihat pemuda yang menolongnya itu agaknya telah sejak tadi merobohkan lima
orang lawannya! Ternyata ia kalah cepat merobohkan para pengeroyoknya, padahal
pemuda itu hanya bertangan kosong saja!
"Orang
muda yang gagah perkasa! Sungguh mengagumkan sekali, aku Kiu-bwe Toanio harus
mengakui bahwa kepandaianmu jauh melampauiku!" berkata nenek ini yang
masih terheran-heran dan kagum.
Keng Hong
tersenyum dan menjura dengan hormat. "Selamat berjumpa, Toanio. Agaknya
Toanio telah lupa lagi kepadaku."
"Engkau...
siapakah...?" Nenek itu melebarkan matanya, memandang lebih tajam dengan
sepasang matanya yang sudah kurang awas. Ia melangkah dekat dan kini ia
mengenal pemuda itu. Rasa kagetnya bertambah dan ia berseru, "Engkau...
engkau muridnya...!"
Keng Hong
mengangguk sambil tersenyum. "Benar, Toanio. Aku adalah murid mendiang suhu
Sin-jiu Kiam-ong dan karena itulah maka aku sengaja membantumu melawan para
perampok ini, untuk membuktikan bahwa baik suhu mau pun aku tidak mempunyai
rasa permusuhan terhadap Toanio. Dengan jalan ini aku hendak mewakili suhu
mohon maaf kepada Toanio apa bila pada waktu dahulu suhu pernah melakukan
kesalahan-kesalahan terhadap Toanio yang semenjak muda sampai kini ternyata
merupakan seorang pendekar wanita yang hebat!"
Wajah nenek
itu berubah pucat, kemudian mengeluh, "Ahhh... kau murid Sie Cun Hong..."
Tiba-tiba tubuhnya terhuyung dan terguling roboh.
"Toanio...!"
Keng Hong cepat melompat dan menangkap lengan nenek itu sehingga tubuh itu tak
sampai terguling. Tubuh itu lemas tergantung di lengan Keng Hong yang merangkul
pinggangnya.
"Kau
kenapa, Toanio...?" Keng Hong bertanya, khawatir.
"Terluka...
aku... terluka oleh pukulan perampok-perampok laknat..."
Tadi Keng
Hong tidak melihat nenek itu terkena pukulan. Mungkin sebelum dia datang atau
sesudah dia membantunya, pikirnya.
"Boleh
kutolong engkau, Toanio? Mana yang terpukul?"
"Dadaku...
tidak apa-apa, hanya aku telah lama menderita penyakit jantung, dan.. melihat
engkau... murid Sie Cun Hong... Aduuuhhh... Aku kaget dan jantungku..."
Dia mencegah tangan Keng Hong yang hendak memeriksanya. "Tidak usah,
hanya... maukah engkau menolongku, membawaku ke pondokku... tidak jauh dari
sini… hanya kira-kira tiga puluh li..."
"Baiklah,
Toanio. Biar kupondong engkau!" Keng Hong cepat-cepat membungkuk hendak
memondong nenek itu.
Akan tetapi
Kiu-bwe Toanio dengan kasar menolak lengannya. "Jangan pondong aku!"
Pemuda itu
terheran menyaksikan kekasaran nenek itu.
"Selama
hidupku, baru satu kali ada pria menyentuh dan memondongku, hanya Sie Cun
Hong... ahhh, Cun Hong, laki-laki tidak setia... dan semenjak itu, belum pernah
ada pria menyentuhku.."
Keng Hong
merasa geli hatinya, juga terharu menyaksikan betapa nenek ini ternyata amat
mencinta dan setia pada gurunya. "Habis, bagaimana aku dapat membawamu,
Toanio?" tanyanya bingung.
"Kalau
kau mau... kau gendong saja aku di punggungmu... Begitu lebih sopan."
Keng Hong
menahan senyumnya. Sudah nenek-nenek begini tua, masih memiliki pikiran malu
dipondong seorang pemuda seperti dia! Ah, wanita memang aneh, begini tua masih
genit, pikirnya.
"Baiklah,
mari kugendong kau, Toanio." Keng Hong kemudian membalikkan tubuh dan
membelakangi nenek itu sambil berjongkok.
Dengan tubuh
lemas Kiu-bwe Toanio lalu naik ke punggung Keng Hong dan pemuda itu segera
bangkit berdiri, menyangga kedua paha nenek itu yang sudah peyot.
"Tar-tar-tar-tar-tar...!"
Keng Hong
mendengar pecut nenek itu meledak-ledak di atas kepalanya dan sembilan cabang
cambuk itu menyambar ke depan, menghantam kepala delapan orang perampok yang
tadi roboh di tangan Keng Hong. Delapan orang itu ia robohkan dan ia sengaja
tidak membunuh mereka, berbeda dengan nenek itu yang tadi membunuh seluruh lima
orang pengeroyoknya. Keng Hong terkejut. Kepala delapan orang itu remuk dan
mereka tewas seketika.
"Aihhh,
Toanio, mengapa kau...?"
"Kalau
tidak dibunuh tentu mereka akan mendatangkan malapetaka kepada penduduk
dusun-dusun. Kalau tidak dibunuh, apa artinya aku menentang para perampok
laknat itu?"
Keng Hong
menghela napas. Dia memang setuju saja kalau nenek itu menentang para perampok,
akan tetapi membunuhi lawan yang telah roboh, sungguh-sungguh merupakan
perbuatan yang kejam, yang tentu tidak akan dapat dia lakukan.
"Toanio
yang melakukan, Toanio sendiri pula yang merasakan," katanya dan dia mulai
melangkah. "Ke mana kita harus menuju, Toanio?"
"Maju
terus, keluar dari hutan ini. Nanti kutunjukkan jalannya," kata si nenek
yang biar pun tubuhnya lemas ternyata masih sangat hebat cambuknya itu, sekali
bergerak membunuh delapan orang!
Keng Hong
melangkah keluar dari hutan dan selanjutnya menuruti petunjuk nenek itu menuju
ke sebuah bukit. Tubuh nenek itu ringan sekali, dan menggendongnya merupakan
pekerjaan yang mudah dan tidak berat bagi Keng Hong.
"Namamu
siapa?"
"Keng
Hong, Cia Keng Hong, Toanio."
"Hemmm,
Keng Hong, tahukah engkau dosa apa yang dilakukan gurumu kepadaku?"
Tentu saja Keng
Hong telah mendengar penuturan gurunya tentang nenek ini, akan tetapi untuk
menghilangkan rasa sunyi di dalam perjalanan itu, dia ingin mendengar penuturan
Kiu-bwe Toanio sendiri, karena itu dia menjawab, "Aku hanya tahu bahwa
Toanio dahulu mendendam kepada suhu, akan tetapi aku tidak tahu jelas
persoalannya."
"Hemmm,
gurumu seorang pria yang tidak setia, tidak kenal budi, tidak menghargai cinta
kasih seorang wanita!" Sejenak nenek itu terengah-engah, agaknya dia
hendak menekan kemarahannya yang timbul dari rasa sakit hati.
"Dahulu
aku adalah seorang pendekar wanita muda yang cantik jelita dan gagah perkasa.
Tak terhitung banyaknya orang yang tergila-gila kepadaku, yang meminangku, akan
tetapi semua kutolak karena aku belum dapat menjatuhkan hatiku kepada seorang
pria. Aku ingin memilih seorang pria yang selain mempunyai wajah yang mencocoki
seleraku, juga memiliki kepandaian yang jauh melampauiku. Betapa sukarnya
menemukan pria seperti idaman hatiku. Kemudian... hemmm, terjadinya hampir sama
dengan munculmu tadi. Aku dikeroyok penjahat, kemudian Sie Cun Hong muncul dan
membantuku. Aku jatuh cinta kepadanya. Aku mencintanya dengan seluruh jiwa
ragaku. Dia muda dan tampan, seperti engkau, dia gagah perkasa seperti engkau.
Akan tetapi dia hangat dan pandai merayu, tidak seperti engkau yang dingin dan
kaku. Aku semakin cinta kepadanya sehingga aku menyerahkan jiwa ragaku, aku
terbuai dalam rayuan dan belaiannya, aku menyerahkan kehormatanku. Akan
tetapi... akhirnya dia meninggalkan aku, tak mau menjadi suamiku!"
"Bukankah
suhu mencintaimu, Toanio?"
"Uhhh,
cinta apa? Cinta mulut, cinta palsu, dia hanya ingin memiliki tubuhku seperti
tubuh wanita-wanita lain! Dia seorang laki-laki yang berhati palsu, hanya suka
mempermainkan wanita. Terkutuk!"
Keng Hong
menarik napas panjang lalu memberanikan diri bertanya, "Akan tetapi,
kenapa Toanio dahulu suka menyerahkan... kehormatan Toanio kepada suhu? Mengapa
Toanio begitu... begitu... mudah...?"
"Setan
alas kau! Aku terjebak oleh bujuk rayunya! Aku mabuk oleh nafsu birahi yang dia
bangkitkan! Kalau aku tahu... ahhh, kalau aku tahu..." Nenek itu seperti
meronta-ronta di gendongan Keng Hong. "Akhirnya… sebelum meninggalkan aku,
dia bilang bahwa cinta kasih antara pria dan wanita tidak seharusnya selalu diakhiri
perkawinan! Cih, omongan laki-laki bangsat! Mau enaknya saja. Dia bebas dan
enak saja mempermainkan ribuan orang wanita, laki-laki tetap dihargai. Akan
tetapi wanita? Sekali menjadi permainan pria dan ditinggalkan, siapa sudi
menghargainya lagi? Hidupku rusak oleh gurumu, maka aku penasaran sekali tidak
dapat menghancurkan kepalanya! Akan tetapi, masih ada engkau muridnya!"
Keng Hong
terkejut bukan main ketika merasa betapa ujung jari yang keras menyentuh
ubun-ubun kepalanya. Ia maklum bahwa sekali dia melawan, maka jari-jari itu
tentu akan mencengkeram dan tak mungkin ia mampu melindungi ubun-ubun
kepalanya. Namun dia bersikap tenang dan bertanya,
"Apa
maksudmu, Toanio?"
"Maksudku?
Hi-hi-hik, maksudku, aku yang tidak berhasil membalas dendam kepadanya, masih
dapat melampiaskan dendamku kepadamu, kepada muridnya. Dalam sekejap mata aku
dapat membunuhmu, Cia Keng Hong murid Sie Cun Hong!"
Keng Hong
merasa bulu tengkuknya berdiri. Kalau nenek itu membuktikan ancamannya, tidak
ada yang akan dapat menolongnya, juga kepandaiannya yang bertahun-tahun dia
pelajari tidak akan ada gunanya. Tentu saja dia dapat menyerang nenek yang
berada di punggungnya itu, akan tetapi serangan macam apa yang akan dapat
melebihi kecepatan nenek itu menanamkan jari-jari tangan di ubun-ubun
kepalanya?
Tentu dia
kalah cepat dan akan tewas sebelum mampu bergerak. Pula, nenek itu berada di
punggungnya. Karena semua gerakan tangan diawali oleh gerakan pundak sedangkan
gerakan kaki diawali gerakan pangkal paha, tak mungkin dia mendahului nenek
itu, maka berusaha menyerangnya sama dengan bunuh diri.
"Toanio,
setelah aku membantumu dan menggendongmu, mengantar engkau yang terluka ke
pondok, engkau masih hendak membunuhku...?"
"Hi-hi-hik!
Siapa menolongku? Apa kau kira aku kalah dikeroyok tiga belas ekor tikus tadi?
Jangan sombong seperti gurumu! Dan kau tidak secerdik gurumu. Siapa bilang aku
luka? Aku sehat segar tidak terluka apa-apa. Akan tetapi kini aku berada di
punggungmu dan kau akan dapat berbuat apa? Engkau telah mewarisi banyak ilmu
gurumu, tentu aku tidak dapat membunuhmu mengandalkan kepandaian. Sekarang, aku
tidak akan membunuhmu asal saja engkau suka mengajarkan Ilmu Thi-khi I-beng
kepadaku."
Keng Hong
merasa geli dan juga muak. Yang baik mau pun yang jahat, sekali manusia
dikuasai oleh angkara murka dan menghendaki sesuatu yang tak dimilikinya, sama
saja, memuakkan! Kelakukan jahat yang tidak segan merugikan orang, tidak segan
melakukan kecurangan, timbul dari hati yang angkara murka, yang menghendaki
sesuatu yang bukan menjadi haknya!
Akan tetapi
dia tidak berdaya, dan tidak ada pilihan lain. Meski pun hatinya merasa berat
untuk membuka rahasia ilmu yang pada waktu itu tiada orang lain yang
mengetahuinya, akan tetapi kalau dia menolak tentu dia akan tewas.
"Toanio, apakah kalau aku memberi ilmu itu kepadamu, Toanio pasti akan
membebaskan aku?"
"Tentu
saja!"
"Bagaimana
kalau Toanio melanggar janji?"
"Plakkk!"
Kepala Keng Hong ditampar sehingga dia merasa pening dan pandang matanya
berkunang.
"Apa
bila sekali lagi engkau meragukan janji seorang pendekar seperti aku, tentu
engkau akan kubunuh! Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu bukan seorang rendah budi yang
tidak bisa memegang janji. Janji lebih berharga dari pada nyawa, tahu?"
"Hemm,
kalau begitu boleh saja. Harap Toanio turun dulu dari punggungku dan aku akan
mengajarkan Thi-khi I-beng kepada Toanio."
"Mana
bisa? Kalau aku turun, benar-benarkah engkau akan mengajarkan Thi-khi
I-beng?"
"Tentu,
Toanio."
"Bagaimana
kalau melanggar janji?" Engkau bukan pendekar seperti aku. Engkau adalah
murid Sie Cun Hong yang plin-plan, mulut laki-laki perayu, berani sumpah tak
berani mati. Mana bisa aku percaya?"
Hati Keng
Hong mendongkol bukan main, akan tetapi apa dayanya? Dia lalu menekan kemarahan
di hatinya dan tersenyum. "Terserah kepada Toanio akan percaya kepadaku
ataukah tidak. Akan tetapi kalau Toanio tidak turun dari punggung, bagaimana
aku dapat mengajarkan Thi-khi I-beng kepadamu?"
Sejenak
nenek itu berpikir, kemudian baru berkata, "Baiklah, sekarang kau
bersumpahlah! Bersumpahlah demi arwah gurumu, demi nenek moyangmu bahwa engkau
tidak akan menipu aku. Setelah aku turun dari punggungmu engkau tidak akan
menyerangku dan benar-benar akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku."
Keng Hong
makin mendongkol, akan tetapi dia menekan hatinya, bahkan dia mengejek sambil
tersenyum, "Apakah Toanio tidak takut kalau-kalau aku melanggar sumpah,
seperti yang Toanio katakan tadi bahwa mulut laki-laki berani bersumpah tak
berani mati?"
"Cerewet!
Bersumpahlah!"
Keng Hong
kemudian mengucapkan sumpah seperti yang dikehendaki nenek itu. Kiu-bwe Toanio
melompat turun, siap dengan cambuknya kalau-kalau pemuda itu akan melanggar
sumpahnya. Akan tetapi Keng Hong malah duduk bersila dan berkata,
"Marilah
duduk bersila di depanku, Toanio. Aku akan mengajarkan Thi-khi I-beng kepada
Toanio."
Dengan hati
penuh gairah Kiu-bwe Toanio duduk bersila di depan Keng Hong. Nenek itu
menganggap ilmu menyedot hawa sinkang lawan itu merupakan ilmu mukjijat yang
tiada taranya sehingga kalau ia memiliki ilmu itu tentu dia akan menjadi
seorang tokoh nomor satu di dunia kang-ouw!
Keng Hong
juga menduga demikian, maka diam-diam hatinya geli. Ah, betapa dangkalnya
pendapat itu, pikirnya. Ilmu tidak dapat diukur tinggi atau dalamnya, tidak ada
batasnya dan setiap macam ilmu pasti akan ada yang mengatasinya.
"Toanio,
ilmu ini sesungguhnya merupakan ilmu yang amat sukar dipelajari dan amat sulit,
karena bukan hanya membutuhkan dasar tenaga sinkang yang sangat kuat, akan
tetapi juga harus melatih tenaga di dalam tubuh sehingga dapat menimbulkan
tenaga menyedot yang otomatis. Terus terang saja, mendiang suhu tidak menguasai
ilmu ini, dan saya pun selama hidup belum pernah mempelajari Ilmu Thi-khi
I-beng, dan ilmu menyedot sinkang lawan yang kumiliki timbul secara mukjijat
pada saat saya menerima pemindahan sinkang dari suhu."
Keng Hong
lalu menceritakan pengalamannya ketika tanpa dia sadari dia sudah memiliki ilmu
mukjijat yang tak dapat dikendalikannya itu.
"Kemudian,
berkat kitab-kitab peninggalan Thai Kek Couwsu, saya bisa menemukan cara untuk
mengatur tenaga mukjijat itu, dan menurut pendapat saya, seorang seperti Toanio
yang telah memiliki sinkang cukup kuat akan dapat mempelajari ilmu itu asal
saja Toanio bersabar. Kalau Toanio sudah mulai dapat mempergunakan tenaga
menyedot itu, jangan sembarangan Toanio pergunakan secara berlebihan, melainkan
sedikit demi sedikit."
"Hemmm,
orang muda. Engkau tidak perlu menasehati aku yang sudah menjadi seorang ahli
sebelum engkau terlahir di dunia ini. Lekas ajarkan ilmu itu."
"Agar
supaya Toanio bisa mendapatkan penambahan tenaga secara tiba-tiba, maka saya
harus mengoper sebagian tenaga saya kepada Toanio, harap Toanio tidak melawan
dan menerima sinkang saya itu sehingga akan timbul tenaga menyedot di pusar
Toanio, baru kemudian saya akan ajarkan cara melatih tenaga menyedot itu."
"Lakukanlah,
aku sudah siap!" kata nenek itu dengan hati penuh ketegangan karena dia
ingin sekali memiliki ilmu itu.
Keng Hong
lalu menggeser duduknya di belakang, dan telapak tangannya ditempelkan ke
punggung nenek tadi sambil mengerahkan sinkang dari pusar. Tenaga yang sangat
kuat menerobos melalui kedua telapak tangannya.
Nenek itu
terkejut dan kagum. Hebat bukan main tenaga yang memasuki tubuhnya dan kalau
saja ia tidak menaruh kepercayaan besar, tentu ia akan melawan tenaga itu
karena biasanya tenaga itu dipergunakan untuk menyerang lawan. Namun ia membuka
pusarnya dan menerima tenaga yang membanjir memasuki tubuhnya, berkumpul di
pusar. Karena ia membuka pusarnya, maka tenaga itu memenuhi tubuhnya dan ia
merasa betapa timbul daya menyedot di tubuhnya yang membuat tenaga sinkang
pemuda itu membanjir makin banyak.
Setelah
merasa bahwa bantuannya seperti yang dulu dilakukan gurunya kepadanya telah
cukup untuk membangkitkan daya sedot dari pusar nenek itu, Keng Hong
menghentikan pemindahan tenaganya. Dia melepaskan dua tangannya, kemudian duduk
bersila dengan wajah pucat. Hampir setengah tenaga sinkang-nya telah dia buang
dan dia pindahkan ke tubuh Kiu-bwe Toanio!
Juga nenek
itu duduk bersila sambil memejamkan mata, tubuhnya bergoyang-goyang dan dia
merasa seakan-akan hendak terbang oleh gelora tenaga yang memenuhi tubuhnya.
Sampai berjam-jam keduanya duduk bersila, yang seorang berusaha untuk
memulihkan kekuatannya yang banyak terbuang, yang seorang lagi berusaha
mengendalikan tenaga yang membanjiri tubuhnya.
Kemudian
terdengar suara Keng Hong, lemah dan lirih namun cukup jelas, "Toanio, kau
kendalikan tenaga yang berlebihan itu, tekan tenaga itu melalui jalan darah
Ci-kiong-hiat kemudian terus disalurkan melalui Tiong-teng-hiat. Setelah berkumpul
lalu kau kerahkan melalui Thai-hiat-to menuju ke pusar. Setelah kau ulangi
sampai lancar betul, coba kau kerahkan kembali tenaga dari pusar menuju ke
seluruh bagian tubuh yang kiranya sedang terserang lawan, kemudian tiba-tiba
mengosongkan bagian itu sehingga sinkang Toanio tertarik kembali bersama-sama
sinkang lawan itu." Keng Hong terus memberi penerangan seperti dia
pelajari dari kitab-kitab di tempat rahasia gurunya.
Kiu-bwe
Toanio mendengarkan penuh perhatian. Memang ia pun adalah seorang ahli silat
yang pandai dan pengertiannya tentang penggunaan sinkang sudah cukup. Maka
setelah keterangan-keterangan itu diulangi beberapa kali saja, dia pun telah
dapat menangkap inti sarinya dan mulailah nenek ini berlatih.
Diam-diam
Keng Hong merasa kagum dan juga geli hatinya melihat betapa nenek ini amat
tekunnya berlatih. Kagum menyaksikan semangat yang tidak kalah oleh semangat
orang muda ini dan geli memikirkan betapa manusia amat serakahnya, juga dalam
hal mengejar ilmu. Usia sudah begitu tua, hidup pun tentu tidak akan lama lagi,
untuk apa bersusah payah mempelajari ilmu itu?
Kiu-bwe
Toanio berlatih sampai tiga hari tiga malam dengan tekun, lupa makan lupa
tidur. Keng Hong tidak mau mengganggunya dan pemuda ini terpaksa makan
buah-buah yang dapat dia cari di dalam hutan dan minum air sungai. Pada hari ke
empat, pagi-pagi sekali Toanio melompat bangun dari atas tanah di mana dia
berlatih sambil duduk bersila dan berkata,
"Keng
Hong, kurasa aku sudah dapat menguasai Thi-khi I-beng! Coba kau serang aku, hendak
kucoba ilmu ini!"
Keng Hong
tersenyum menyaksikan kegembiraan pada wajah nenek itu. "Toanio memang
hebat dan tekun sekali. Aku tidak akan merasa heran kalau Toanio sudah berhasil
dalam waktu tiga hari. Akan tetapi amat perlu dijaga agar Toanio tidak keburu
nafsu, dan hanya mempergunakan ilmu apa bila perlu saja. Dasar sinkang Toanio
sungguh pun sudah kuat, akan tetapi belum tentu akan dapat menerima serbuan
sinkang lawan yang disedot dan hal ini amat berbahaya, demikian menurut
petunjuk jalan kitab yang kubaca."
"Kitab
petunjuk gurumu? Heh, siapa bisa percaya Sie Cun Hong? Dia selalu membohong.
Hayo, kau pukul aku untuk mencoba ilmu ini."
"Toanio..."
"Hemm,
orang muda. Engkau sudah berjanji untuk mengajarkan Thi-khi I-beng kepadaku,
mana bisa aku tahu buktinya bahwa pelajaran ini benar atau palsu? Apa bila
nanti sudah kubuktikan hasilnya, baru aku tahu bahwa selama ini kau tidak
membohong dan tidak melanggar sumpahmu sendiri. Hayo, kau pukullah aku sekarang
juga."
Keng Hong
menarik napas panjang dan merasa serba salah. Dia tahu nenek ini memiliki
kekerasan hati dan kehendaknya sukar dibantah. Sebab itu dia lalu melangkah
maju dan berkata, "Hati-hatilah, Toanio!"
Tangannya
melayang dan menepuk pundak nenek itu, sengaja mengerahkan sedikit saja sinkang
untuk menguji ‘daya sedot’ nenek itu.
"Plakkkkk!"
Keng Hong
merasa betapa tenaga sinkang di tangannya yang menempel pada pundak nenek itu
tersedot melalui pundak dan tangannya tidak dapat dia lepaskan kembali, juga
hawa sinkang-nya molos keluar. Akan tetapi tentu saja dia juga tahu bagaimana
caranya melepaskan tangan. Kalau dia menyimpan hawa sinkang-nya, maka otomatis
tangannya akan terlepas. Tiba-tiba saja dia terkejut sekali karena tangan nenek
itu sudah menyentuh dadanya, tepat di bagian jantung.
"Jangan
lepaskan tanganmu, jangan coba-coba tarik kembali sinkang-mu atau... engkau
akan kubunuh!"
Keng Hong
yang merasa terkejut itu menjadi penasaran. "Toanio, apa yang hendak kau
lakukan ini?"
Pemuda itu
merasa betapa tenaganya terus menerobos melalui telapak tangannya yang melekat
pada pundak Kiu-bwe Toanio.
"Hemmm,
kau bocah murid Sie Cun Hong. Di dunia ini tidak boleh ada dua orang yang
menguasai Thi-khi I-beng! Hanya aku seoranglah yang boleh memilikinya,"
kata nenek itu sambil terus mengerahkan tenaga menyedot. Muka nenek itu kini
menjadi merah sekali, matanya melotot dan napasnya terengah-engah.
Keng Hong
menjadi pucat. Ia maklum bahwa kalau sinkang-nya habis, dia akan menjadi lemas
atau bahkan dia dapat tewas karenanya. Namun, kalau dia menghentikan saluran
sinkang-nya, tentu nenek itu akan menotok dadanya dan dia akan tewas pula.
Tidak ada
pilihan lain baginya. Dia akan mengisi terus tubuh itu dengan sinkang-nya, dan
sebelum kehabisan tenaga sama sekali, dia akan menghentikan lantas pura-pura
roboh kehabisan tenaga.
"Hi-hi-hik,
hawa sinkang-mu kuat sekali, bocah bagus! Aduhhh, tubuhku panas... aduhhh,
seperti dibakar...!"
"Hentikan,
Toanio, hentikanlah..."
"Tidak!
Dan jangan kau berani melepaskan tanganmu atau menarik kembali sinkang-mu,
hemm, sedikit saja engkau bergerak, engkau akan mati!" Jari tangan nenek
itu menegang di dadanya, siap mencengkeram.
"Toanio...
lekas hentikan, demi keselamatanmu sendiri. Aku tidak akan melawanmu, akan
tetapi kalau tidak kau hentikan, kau... kau akan celaka..."
"Hi-hik-hik!
Engkau... Aahhh... Hahhh... panas...! Engkau anak kemarin sore... hi-hik-hik...
jangan mencoba menipuku. Aku akan celaka kalau kau lepaskan... Engkau lihai,
tentu akan menyerangku... heh-heh-heh, akan kusedot sinkang-mu sampai habis...
hi-hik-hik... aaahhhhh...!"
Tiba-tiba
saja nenek itu mengeluarkan jerit melengking dan mengerikan lalu dari mulutnya
tersembur darah. Keng Hong yang melihat betapa jari tangan nenek itu sedetik
kejang, cepat melompat ke belakang sehingga mukanya tidak terkena semburan
darah.
Ia cepat
maju lagi untuk menolong ketika melihat tubuh nenek itu terkulai. Betapa kaget
dan menyesal hatinya melihat nenek itu terus muntah-muntah darah. Dengan mata
yang tidak bersinar lagi nenek yang sudah rebah terlentang itu memandangnya.
"Kau...
kau benar... aaahhhh, Cun Hong... Kau tunggulah aku..!" kepala itu
terkulai lemas, matanya terpejam dan napasnya terhenti.
Keng Hong
memeriksa tubuh itu dan melepaskan kembali lengan yang dipegang sambil menarik
napas panjang. Nenek itu sudah tewas. Tentu jantungnya pecah karena tak kuat
menerima pengoperan sinkang yang terlalu penuh, terlalu kuat. Dia merasa
kasihan dan terharu betapa dalam saat terakhir, nenek itu masih menyebut nama
gurunya.
Ah, nenek
bekas pendekar wanita perkasa yang selalu membasmi kejahatan, yang selalu
menaruh dendam terhadap gurunya, sudah tewas. Bukan karena kesalahannya,
sungguh pun nenek itu seolah-olah mati ‘dalam tangannya’ melainkan karena
kesalahan nenek itu sendiri.
Kiu-bwe
Toanio yang gagah perkasa ini begitu dikuasai nafsu angkara murka sehingga
hendak memonopoli Ilmu Thi-khi I-beng, lupa akan kesadaran dan kebenaran, lupa
akan wataknya sebagai seorang pendekar yang selalu harus menjunjung tinggi
kebenaran. Dia akhirnya mengorbankan jiwanya dalam pelaksanaan perbuatannya
sendiri yang terdorong oleh nafsu kemurkaan. Sungguh sayang!
Dengan hati
penuh rasa penyesalan bahwa ‘jalan keluar’ yang ditempuhnya seperti yang
dicita-citakannya untuk menebus semua kesalahan gurunya dulu kembali gagal,
bahkan telah mengorbankan nyawa nenek itu, sungguh pun dia tahu bahwa hal itu
bukan terjadi karena kesalahannya, Keng Hong lalu menggali tanah dan mengubur
jenazah nenek itu sebagaimana mestinya.
Setelah
selesai menguburkan jenazah Kiu-bwe Toanio dan sejenak mengheningkan cipta
memberi penghormatan terakhir, Keng Hong kemudian pergi meninggalkan tempat itu
dan melanjutkan perjalanannya.
Dia harus
dapat mencari Cui Im, harus dapat merampas kembali kitab-kitab dan
pusaka-pusaka milik beberapa buah partai yang dahulu diambil gurunya kemudian
dilarikan oleh Cui Im. Karena teringat bahwa Cui Im berasal dari selatan di
mana Lam-hai Sin-ni menjadi tokoh utamanya, Keng Hong lalu melanjutkan
perjalanan menuju ke selatan.
***************
Di sepanjang
perjalanannya Keng Hong bertanya-tanya tentang keadaan. Dia mendengar bahwa
perang sudah selesai dengan kemenangan pihak utara. Raja muda Yung Lo yang
memperebutkan kedudukan dan perang melawan keponakannya, lalu naik tahta
Kerajaan Beng-tiauw (1403). Keadaan mulai aman dan raja atau Kaisar Yung Lo
memindahkan kota raja ke utara (Peking).
Keng Hong
melakukan perjalanan berbulan-bulan, melintasi sungai Cialing dan melewati
Pegunungan Tapa-san. Ia menyeberangi sungai Han-sui kemudian menginap selama
dua malam di kota Han-tiong yang terletak di pinggiran sebelah utara sungai
itu, kemudian kembali melanjutkan perjalanan.
Pemuda ini
sama sekali tidak pernah menyangka bahwa pada malam kedua, dia berada sekota
dengan Sie Biauw Eng, gadis yang selama ini menjadi kenangannya! Tidak tahu
bahwa Biauw Eng bersama seorang buta bermalam di sebuah penginapan yang tidak
begitu jauh letaknya dari rumah penginapan di mana dia bermalam!
Bagaimanakah
Biauw Eng si gadis yang selalu berpakaian putih seperti orang berkabung itu
bisa berada di kota Han-tiong? Seperti telah diceritakan pada bagian depan,
semenjak ibunya terbunuh oleh Cui Im dan dia sendiri diselamatkan nyawanya oleh
pemuda murid Hoa-san-pai, Sim Lai Sek sehingga pemuda itu mengorbankan sepasang
matanya yang menjadi buta, Biauw Eng tidak tega meninggalkan pemuda yang amat
mencintanya dan ia rela untuk menjadi teman Lai Sek, kalau perlu selama
hidupnya!
Ia merasa
berhutang budi kepada pemuda itu dan melihat cinta kasih pemuda itu yang
demikian mendalam, ia berusaha keras untuk membalas cintanya, sungguh pun
hatinya sudah terampas oleh Keng Hong yang selamanya takkan dapat ia lupakan
itu! Akan tetapi Keng Hong mungkin sudah mati! Biar pun ia mendengar kata-kata
Cui Im yang seakan menyatakan bahwa Keng Hong masih hidup, akan tetapi kalau
pemuda pujaan hatinya itu selamanya terasing dan takkan mungkin muncul di dunia
ramai, apa gunanya ia tunggu-tunggu?
Hari itu ia
bersama Lai-Sek tiba di Han-tiong dalam perjalanan mereka ke utara. Lai Sek
mempunyai seorang sahabat baik yang sekarang telah menjabat pangkat di kota
raja dan menurut usul Lai Sek dapat mengharapkan pertolongan sahabatnya itu.
"Tidak
mungkin kita terus menjadi orang-orang perantauan yang tidak mempunyai tempat
tinggal tetap," demikian pemuda itu berkata kepada wanita yang dicintanya.
"Di kota raja, sahabatku tentu akan suka membantu kita. Kita dapat membuka
toko obat, atau dapat membuka bu-koan (perguruan silat). Dengan kepandaian yang
kau miliki, kita tentu akan dapat hidup layak di sana, dan jika kita sudah
mempunyai tempat tinggal tetap, aku akan minta bantuan sahabatku itu untuk
merayakan pernikahan kita. Kita akan hidup berumah tangga dengan bahagia,
memiliki anak-anak di sekeliling kita. Ahh, Biauw Eng kekasihku, betapa akan
bahagianya kita!"
Biauw Eng
menatap wajah tampan yang matanya buta itu dengan hati terharu. Pemuda ini
sangat rindu akan kebahagiaan, seperti juga dia! Manusia manakah di dunia ini
yang tidak mencita-citakan kebahagiaan hidup? Dan apakah dia akan bahagia,
menjadi isteri Lai Sek? Biauw Eng menarik napas panjang dan hatinya menjeritkan
nama Keng Hong.
Lai Sek
memegang lengannya. "Mengapa engkau menghela napas, kekasihku?"
Biauw Eng
balas memegang tangan itu. "Aku menurut saja dengan segala kehendakmu,
Koko. Bagiku, kalau engkau bahagia, aku pun ikut bahagia. Kebahagiaanku
terletak pada kebahagiaanmu, Koko."
Memang, dia
tidak membohong. Dia tidak mempunyai siapa pun juga di dunia ini. Keng Hong
seperti sudah mati. Satu-satunya orang yang dekat dengannya, dekat lahir batin,
hanyalah Sim Lai Sek, pemuda yang sudah mengorbankan matanya untuknya. Untuk
membalas budi, satu-satunya jalan hanyalah membahagiakan pemuda ini, dan
agaknya itulah kebahagiaanya baginya.
Mereka
melakukan perjalanan seenaknya, tidak tergesa-gesa mengingat keadaan Lai Sek
yang buta. Biauw Eng membeli dua ekor kuda dan mereka menunggang kuda. Kuda
yang ditunggangi pemuda itu dituntunnya.
Di sepanjang
jalan, Lai Sek menceritakan pengalaman dan keadaan dirinya. Dia sudah yatim
piatu, dan dahulu hanya hidup berdua dengan cici-nya, Sim Ciang Bi yang tewas
di tangan Cui Im pula. Kini dia sebatang kara, tiada bedanya dengan Biauw Eng
sendiri.
Biauw Eng
makin kasihan dan suka kepada pemuda ini. Apa lagi ketika dia mendapatkan
kenyataan bahwa pemuda ini ternyata amat sopan dan tidak pernah melakukan
sesuatu yang terdorong oleh nafsu birahi, betapa pun besar rasa kasih sayangnya
kepada dirinya. Kemesraan satu-satunya dari pemuda ini terhadap dirinya hanya
tercurah pada suaranya apa bila berbicara dengannya, atau paling banyak hanya
pada sentuhan jari tangannya pada lengan atau pundaknya.
Hal ini saja
membuktikan bahwa Lai Sek benar-benar seorang pemuda yang baik, dan cintanya
terhadap dirinya murni, tidak dimabuk nafsu birahi. Kalau dia buat
perbandingan, sungguh jauh bedanya antara Keng Hong dengan Lai Sek. Keng Hong
sangat romantis, bahkan mendekati mata keranjang sehingga pemuda pujaannya itu
mau melayani cinta birahi seperti Cui Im, bahkan, seperti yang ia dengar, telah
pula melayani cinta badani cici Lai Sek dan beberapa orang wanita lain lagi.
Akan tetapi,
entah bagaimana, dia tidak pernah dapat melupakan Keng Hong. Bahkan, setiap
kali Lai Sek berbicara dengan suara menggetar penuh cinta kasih, setiap kali
jari tangan Lai Sek yang menggetar penuh perasaan mesra menyentuh tangannya, di
depan matanya terbayang wajah Keng Hong!
Menjelang
senja mereka sampai di kota Han-tiong, kemudian bermalam di sebuah rumah
penginapan. Seperti biasanya, mereka menyewa dua buah kamar yang berdampingaan.
Karena lelah, setelah makan malam kedua orang ini lalu tidur nyenyak.
Biauw Eng
tidak tahu bahwa tidak jauh dari situ, di dalam sebuah kamar penginapan lain
berbaring tubuh Keng Hong. Juga ia tidak tahu betapa tak jauh dari rumah
penginapan itu, tampak beberapa orang hwesio beberapa kali berjalan di depan
penginapan dan bahkan sekarang menjaga rumah penginapan itu sambil bicara
berbisik-bisik tentang dia!
Ketika pada
keesokan harinya, pagi-pagi sekali Biauw Eng bersama Lai Sek berangkat
meninggalkan rumah penginapan untuk melanjutkan perjalanannya, dengan
tergesa-gesa lima orang hwesio turut berangkat pula meninggalkan kota itu dan
dari jauh membayangi perjalanan dua orang muda itu.
Biauw Eng
dan Lai Sek melalui lembah-lembah Gunung Cin-ling-san, mencari jalan yang
termudah untuk menuju ke kota Sian. Pemandangan di sepanjang lembah Pegunungan
Cin-ling-san amatlah indahnya, akan tetapi Biauw Eng yang berhati-hati itu sama
sekali tak pernah mau membicarakan tentang segala keindahan itu, maklum bahwa
hal ini akan menyakiti hati temannya, mengingatkan Lai Sek akan kebutaannya.
Diam-diam ia merasa terharu jika mengingat betapa pemuda itu kini tidak lagi
mampu menikmati segala macam keindahan karena telah menjadi buta, buta karena
dia!
Menjelang
tengah hari mereka melewati sebuah lereng yang penuh dengan hutan lebat. Mereka
berhenti untuk makan perbekalan mereka. Tetapi baru saja Biauw Eng membantu Lai
Sek yang meloncat dari kudanya, tiba-tiba dia menarik Lai Sek ke pinggir dan
diajak duduk di bawah pohon, lalu mengikatkan kedua ekor kuda mereka pada
batang pohon.
Telinganya
yang tajam mendengar derap kaki kuda dan tidak lama kemudian dia dapat melihat
lima orang penunggang kuda menuju ke tempat itu dari belakang. Lai Sek juga
mendengar derap kaki kuda yang sudah mendekat itu dan dia merasa bahwa Biauw
Eng dalam keadaan tegang, sebab sejak turun dari kuda gadis itu tidak bicara
sesuatu dan dia pun tidak mendengar gerakan gadis itu.
"Ada
orang datang...," katanya.
"Kau
duduklah saja, Koko. Syukur kalau mereka itu hanya orang-orang lewat saja,
kalau mereka berniat jahat, biar aku yang melayani mereka."
Hati Lai Sek
tenang-tenang saja, ia percaya penuh akan kelihaian kekasihnya. Melakukan
perjalanan di sisi Biauw Eng, baginya jauh lebih aman dibandingkan dengan
perjalanan yang dia lakukan dahulu bersama cici-nya, meski pun dia belum buta.
Kepandaian Biauw Eng jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kepandaian cici-nya
ditambah kepandaian dia sendiri, beberapa kali lipat lebih tinggi! Betapa pun
juga, oleh karena dia tidak akan dapat menyaksikan sendiri apa yang akan
terjadi, hatinya menjadi tidak enak.
Setelah para
penunggang kuda yang berjumlah lima orang itu datang dekat, Biauw Eng melihat
bahwa mereka itu adalah lima orang hwesio! Hemm, tentu ada sesuatu, pikirnya.
Para hwesio tidak akan tega naik kuda kalau saja tidak ada kepentingan yang
mendesak sekali.
Betul saja
dugaannya karena setelah melihat Biauw Eng dan Lai Sek, lima orang hwesio itu
segera menghentikan kuda mereka dan meloncat turun. Dari gerakan mereka yang
sangat sigap, tahulah Biauw Eng bahwa mereka itu adalah orang-orang yang
mempunyai kepandaian tinggi, lebih-lebih pemimpin mereka, seorang hwesio tua
yang bertubuh tinggi besar, berkulit hitam, dan bermata lebar. Hwesio tua
inilah yang lantas menegur Biauw Eng dengan suaranya yang kasar dan keras.
"Bukankah
nona ini Song-bun Siu-li Biauw Eng, puteri dari Lam-hai Sin-ni yang dahulu
menjadi tawanan di Kun-lun-san?"
Biauw Eng
memandang tajam, akan tetapi tidak mengenal hwesio tua berusia enam puluh tahun
lebih dan empat orang hwesio lain yang usianya tidak kurang dari lima puluh
tahun itu. Ia mengangguk, di dalam hatinya ia dapat menduga bahwa tentu hwesio
ini hadir pula ketika Kun-lun-pai ‘mengadili’ Keng Hong, lalu berkata tenang,
"Benar
seperti yang dikatakan Losuhu tadi, aku adalah Sie Biauw Eng. Tidak tahu apakah
maksud hati Losuhu berlima, agaknya menyusul dan mencariku?"
"Song-bun
Siu-li, ketahuilah bahwa pinceng adalah Thian Kek Hwesio dan ini adalah para
sute pinceng. Kami adalah orang-orang dari Siauw-lim-pai yang sengaja datang
untuk menemuimu. Setelah engkau tahu bahwa kami adalah hwesio-hwesio dari
Siauw-lim-pai, tentu engkau tahu apa maksud kedatangan pinceng berlima."
Biauw Eng
mengerutkan alisnya. "Aku tidak mempunyai urusan apa-apa dengan pihak
Siauw-lim-pai!" dengan suara tegas dia berkata. "Sungguh aku tidak
tahu, ada urusan apakah maka Losuhu mencariku dan apakah kehendak Losuhu?"
Sejenak
hwesio hitam itu memandang tajam, lalu berkata, "Hemm, Song-bun Siu-li,
perlu apa engkau berpura-pura lagi? Pada saat berada di Kun-lun-san, engkau
membela murid mendiang Sin-jiu Kiam-ong, tentu engkau bersekongkol dengan dia.
Kami menghendaki kembalinya kitab-kitab kami yang dahulu dicuri Sin-jiu
Kiam-ong, maka dengan sendirinya engkau adalah musuh kami. Ke dua, bukankah
Ang-kiam Tok-sian-li yang kini berganti julukan Ang-kiam Bu-tek itu adalah
suci-mu, murid dari ibumu? Nah, dia telah membunuh suheng Thian Ti Hwesio! Mau
berkata apa lagi engkau?"
"Ahhh...!"
Song-bun Siu-li Biauw Eng berseru karena dia benar-benar terkejut mendengar
betapa suci-nya sudah membunuh seorang tokoh Siauw-lim-pai. Kemudian dia
menghela napas dan berkata,
"Tentang...
murid Sin-jiu Kiam-ong, aku sama sekali tidak ada hubungan, Losuhu. Bahkan
aku... Ahh, aku tidak tahu di mana sekarang dia berada! Aku tidak tahu tentang
kitab-kitab Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, dan hal itu sama
sekali bukan urusanku. Ada pun mengenai urusan bekas suci-ku Bhe Cui Im yang
kini bukan lagi menjadi suci-ku, aku sama sekali tidak tahu dan juga tidak ada
sangkut-pautnya. Nah, kini Losuhu sudah mendengar semua dan sekarang apa lagi
yang hendak Losuhu lakukan?"
"Omitohud...!
Siapa percaya omongan puteri Lam-hai Sin-ni? Kau tanya apa yang hendak
kulakukan? Pinceng dan para sute hendak membunuhmu!"
"Tidak...!
Tidak boleh! Losuhu sekalian adalah hwesio-hwesio yang berhati mulia, kenapa
hendak membunuh orang yang tidak berdosa? Teecu juga hadir di dalam persidangan
di Kun-lun-pai itu dan teecu yakin bahwa nona Sie Biauw Eng tidak berdosa sama
sekali!"
Lima pasang
mata memandang kepada Lai Sek yang telah bangkit berdiri dan tadi bicara penuh
semangat itu. Thian Kek Hwesio menatap tajam dan mengingat-ingat, akan tetapi
dia tidak mengenal siapa adanya pemuda buta ini, juga tidak ingat bahwa dahulu
dalam persidangan itu terdapat seorang buta.
"Engkau
siapakah?" tanya hwesio itu dengan suara kereng.
"Teecu
adalah Sim Lai Sek, murid Hoa-san-pai yang pada waktu itu hadir pula bersama
kedua supek Hoa-san Siang-sin-kiam!"
"Omitohud...!
Engkau adalah adik murid wanita Hoa-san-pai yang diperkosa murid Sin-jiu
Kiam-ong? Dan kini engkau bersahabat dengan wanita ini? Matamu menjadi buta,
tentu dibutakan olehnya!"
"Tidak,
tidak... harap Locianpwe jangan salah menuduh. Nona Sie Biauw Eng ini sama
sekali tidak berdosa. Semua pembunuhan itu dilakukan oleh Ang-kiam Tok-sian-li
yang mendurhakai gurunya, bahkan... Lam-hai Sin-ni sendiri dibunuhnya..."
"Koko,
diamlah, jangan ikut campur!" Biauw Eng membentak.
Gadis ini
semenjak dahulu memiliki kekerasan hati. Ia tidak takut menghadapi ancaman para
hwesio Siauw-lim-pai ini, juga ia tidak senang kalau kematian ibunya diketahui
orang lain, apa lagi kalau kematian itu disebabkan tangan suci-nya sendiri,
murid ibunya! Hal ini adalah urusan dalam, urusan antara dia dan Cui Im, dan
tidak perlu diketahui orang lain.
"Losuhu,
pendeknya, aku tidak mempunyai urusan sedikit pun dengan Siauw-lim-pai, dan
jika Losuhu tidak percaya omonganku, terserah. Losuhu sekalian mau apa pun, aku
tidak takut!"
"Omitohud...
Siapa dapat percaya omonganmu?" seru Thian Kek Hwesio.
"Suheng,
terpaksa kita harus melanggar pantangan membunuh." Seorang di antara empat
orang sute Thian Kek Hwesio itu berseru sambil mencabut toya yang tadinya terselip
di pinggangnya. Tiga orang hwesio lainnya juga sudah mencabut toya mereka dan
langsung mengurung Biauw Eng.
"Song-bun
Siu-li, karena orang seperti engkau ini hanya mengotorkan dunia dan dapat
membahayakan keselamatan hidup manusia lain, terpaksa pinceng berlima harus
turun tangan membasmimu dari muka bumi!" Sambil berkata demikian, Thian
Kek Hwesio telah membuka bajunya sehingga tubuhnya bagian atas telanjang.
Hwesio ini memang terkenal dengan senjatanya yang istimewa, yaitu jubahnya
sendiri!
"Para Losuhu,
harap tunggu dulu...!" Sim Lai Sek yang buta itu menggerak-gerakkan dua
tangannya ke atas dengan muka penuh kegelisahan! "Nona Sie Biauw Eng tidak
bersalah apa-apa! Dia bukan orang jahat, sebaliknya, dia seorang yang paling
mulia di dunia ini…, harap jangan membunuh dia...!"
"Omitohud...
orang yang sudah teracun cinta, bukan hanya buta mata namun juga buta
hatinya...," kata seorang di antara para hwesio itu sambil
menggeleng-gelengkan kepala karena kasihan.
"Koko,
kau duduklah! Aku tidak takut kepada hwesio-hwesio ini!" Biauw Eng
berseru, hatinya panas melihat sikap Lai Sek yang seolah-olah merendahkan dia
karena pemuda itu takut. "Hwesio-hwesio Siauw-lim-pai, majulah!" Ia
menantang sambil meloloskan sabuk suteranya dan siap menghadapi para pengeroyokan
para lawan itu.
Thian Kek
Hwesio berseru keras dan jubah pada tangannya sudah menyambar dengan kekuatan
yang hebat. Angin kekuatan jubah ini saja sudah membuat pakaian dan rambut
Biauw Eng berkibar seperti tertiup angin besar.
Biauw Eng
maklum bahwa hwesio tinggi besar berkulit hitam ini amat lihai, maka cepat ia
mengelak ke kiri dan menggerakkan ujung sabuknya membalas dengan totokan ke
arah jalan darah di dada Thian Kek Hwesio. Akan tetapi dua batang toya telah
menangkisnya dari kanan kiri sehingga ujung sabuknya membalik. Ternyata
tangkisan dua orang hwesio Siauw-lim-pai itu juga mengandung tenaga yang
dahsyat.
Pada detik
berikutnya dua buah toya datang lagi menyambar, yang satu menyerampang kaki,
yang sebuah lagi mengemplang kepala! Biauw Eng terkejut, cepat mengelak sambil
meloncat mundur agak tinggi, sabuknya diputar di depan tubuh mengancam lawan.
Thian Kek
Hwesio adalah seorang tokoh tingkat dua dari Siauw-lim-pai, maka tentu saja
ilmu silatnya hebat, tenaganya pun dahsyat sekali. Ada pun empat orang hwesio
lainnya adalah sute-sute-nya, dan sungguh pun kepandaian serta tenaga sinkang
mereka tidak setinggi suheng mereka, namun mereka ini pun termasuk tokoh-tokoh
tingkat dua dan telah memiliki ilmu silat yang tinggi.
Apa lagi
ketika itu mereka mengeroyok Biauw Eng. Mereka yang maklum akan kelihaian gadis
itu, sudah mempergunakan gerakan-gerakan teratur dari Lo-han-tin (Barisan Kakek
Gagah) sehingga mereka itu bergerak saling bantu, seakan-akan kelima orang
lihai itu dikendalikan oleh sebuah pikiran dan perasaan.
Biauw Eng
terdesak hebat. Terpaksa gadis ini mengerahkan semua kepandaiannya untuk
menjaga diri. Dia terus terdesak hebat. Menurut penilaiannya, jika dia melawan
mereka seorang demi seorang, biar Thian Kek Hwesio sendiri tidak akan dapat
mengalahkannya. Akan tetapi pengeroyokan mereka benar-benar sangat teratur
sehingga dia tidak mampu menekan seorang saja untuk merobohkan ereka seorang
demi seorang.
Gadis itu
kini memutar sabuk suteranya dengan memegang senjata itu di bagian tengah sehingga
kedua ujung sabuk menyambar-nyambar dan ujungnya berubah menjadi amat banyak
saking cepatnya gerakannya. Kalau Biauw Eng hanya mengandalkan senjatanya untuk
menangkis hujan serangan itu saja, tentu dia tidak kuat bertahan lama, maka ia
pun mengerahkan ginkang-nya yang luar biasa untuk berloncatan ke sana ke mari,
mengelak dan menangkis.
Gerakan
Biauw Eng amat ringannya, pakaian dan sabuknya yang putih berkibar-kibar dan
dia laksana seeokor kupu-kupu bersayap putih yang dikejar-kejar hendak
ditangkap oleh lima orang anak-anak. Biauw Eng maklum bahwa kalau dia terus
mempertahankan diri dengan mengelak dan menangkis, akhirnya dia tentu tidak
akan kuat bertahan dan akan tewas di tangan lima orang hwesio yang lihai ini.
Juga ia
mulai merasa penasaran dan marah sekali, maka dia mengambil keputusan untuk
berlaku nekat. Setidaknya dia harus dapat merobohkan seorang di antara mereka.
Kalau dia harus mati, dia harus dapat membunuh sedikitnya seorang di antara
mereka.
Tiba-tiba
jubah di tangan Thian Kek Hwesio menyambar ke arah pahanya, membabat dari kanan
ke kiri. Biauw Eng melompat tinggi untuk menghindarkan diri. Sesudah tubuhnya
mencelat ke atas, sebatang toya menusuk ke arah perutnya dan dua batang toya
lainnya menghantamnya dari kanan! Cepat dia menggunakan sehelai ujung sabuknya
membelit toya dari depan, terus menggunakan sinkang-nya secara mendadak menarik
toya itu ke kanan sehingga toya itu menangkis dua toya dari kanan.
Pada detik
itu, sebatang toya lagi menyambar dari kiri, pada saat kakinya sudah turun ke
tanah. Inilah kesempatannya, pikirnya. Ia menggunakan tangan kiri meraih toya
itu sambil menggerakkan tubuhnya miring, toya itu ia betot sehingga hwesio yang
memegang toya tertarik ke depan, sebelah ujung sabuknya menyambar dan menotok
pundak hwesio itu yang seketika menjadi lemas sambil mengeluarkan rintihan
perlahan.
Akan tetapi
pada detik itu pula, amat cepat datangnya, jubah di tangan Thian Kek Hwesio
sudah datang menghantam kepalanya! Tidak ada kesempatan lagi untuk mengelak
bagi Biauw Eng, juga untuk menangkis dengan sabuk karena jaraknya sudah
terlampau dekat. Terpaksa ia mengerahkan sinkang ke lengan kanannya dan
menangkis jubah itu dengan lengannya.
Kalau jubah
itu mengandung saluran sinkang hingga menjadi kaku, tentu saat tertangkis akan
menjadi lemas. Akan tetapi, meski pun sudah tertangkis, ujungnya masih meliuk
ke belakang dan ujung yang mengandung tenaga sinkang itu memukul punggung Biauw
Eng dengan kuatnya.
Biauw Eng
mengeluh dan cepat meloncat ke belakang, masih sempat mengebutkan sabuknya ke
depan dibarengi tangan kirinya yang mengeluarkan senjata rahasianya tusuk konde
bunga bwee sebanyak tiga buah yang menyambar ke arah kedua mata dan ulu hati
Thian Kek Hwesio! Namun hwesio ini mendengus dan mengebutkan jubahnya sehingga
tiga buah senjata itu runtuh semua.
Thian Kek
Hwesio menghampiri sute-nya yang kena ditotok oleh sabuk sutera gadis itu, lalu
menotok punggung dan pundak sute-nya. Dalam waktu singkat saja hwesio itu sudah
sembuh kembali.
Sedangkan
Biauw Eng pun telah dapat mengembalikan tenaganya meski pun dia merasa betapa
dadanya sesak, tanda bahwa ia telah menderita luka di sebelah dalam tubuhnya
sebagai akibat hantaman ujung sabuk pada punggungnya tadi. Akan tetapi luka di
dalam dada itu tidak dirasakanya, malah menambah kemarahannya sehingga ia
menerjang maju sambil berseru keras.
"Haaaiiiiiitttt…!"
Sabuk sutera
berubah menjadi cahaya putih dibarengi meluncurnya senjata rahasia bola putih
berduri yang menyambar ke arah lima orang pengeroyoknya. Akan tetapi, kelima
orang hwesio itu sudah siap dan dapat mengelak atau menangkis, juga sambil
melompat mundur menghindarkan diri dari ancaman sabuk sutera yang menjadi sinar
putih panjang.
Thian Kek
Hwesio yang berpandangan tajam itu dapat mengetahui bahwa lawan lihai itu
terluka dan bahwa gerakan-gerakan Biauw Eng adalah gerakan orang nekat yang
hendak mengadu nyawa. Karena itu dia memberi aba-aba kepada para sute-nya untuk
bersikap waspada dan kini mereka mengurung dengan sikap tenang namun dengan
pertahanan yang amat kuat.
Biar pun
Biauw Eng lihai, namun dia kalah pengalaman. Gadis ini terpengaruh oleh nafsu
marah dan terus mengamuk laksana harimau terluka. Namun semua serangannya gagal
semua, bahkan semua persediaan senjata rahasianya habis, sudah dilemparkan ke
arah para lawannya. Setelah semua senjata rahasianya habis, dia mengamuk dengan
sabuk suteranya yang merupakan tangan-tangan maut menyambar nyawa lawan.
Tetapi
karena para hwesio itu sudah bersiap siaga, semua serangannya dapat tertangkap
dan dielakkan. Sekarang mereka mengurung makin rapat, tidak tergesa-gesa
membalas serangan karena Thian Kek Hwesio maklum bahwa jika tenaga gadis itu
sudah melemah atau hampir habis, tidak akan sukar lagi bagi dia dan sute-nya
untuk merobohkan lawan yang amat lihai ini.
Sim Lai Sek
yang bermata buta berdiri dengan tubuh kejang dan kaku, sepasang lengan
tergantung di kanan kiri tubuhnya dan jari-jari tangannya bergerak-gerak,
kadang-kadang mengepal kadang-kadang terbuka mencengkeram saking tegangnya
hatinya. Ia menyesal sekali dan baru sekarang dia merasa menyesal akan kebutaan
matanya karena dia tidak bisa melihat jalannya pertempuran atau lebih tepat
lagi, dia tidak bisa melihat bagaimana keadaan kekasihnya yang dikeroyok oleh
lima orang hwesio yang dia tahu tentu sangat kosen itu. Bagi dia yang hanya
dapat mendengarkan, pertempuran itu terasa bukan main lamanya sehingga
ketegangan hatinya makin memuncak, apa lagi ketika dia mendengar kekasihnya
mengeluh lirih.
Tepat
seperti perhitungan Thian Kek Hwesio, makin lama Biauw Eng menjadi semakin
lemah dan tenaganya berkurang. Wajah gadis yang tadinya merah saking marahnya,
kini menjadi pucat dan leher gadis itu basah oleh peluhnya. Sambaran sabuknya
tidak sekuat tadi lagi, dan sinar putih dari sabuknya biar pun masih menyambar-nyambar
namun tidak sepanjang tadi.
Kini
mulailah Thian Kek Hwesio membalas dengan serangan-serangan yang sangat kuat.
Serangan hwesio ini merupakan pertanda bagi para sute-nya untuk segera turun
tangan menyerang. Serangan mereka tidak lagi bertubi-tubi terlalu cepat seperti
tadi, melainkan secara bergiliran.
Akan tetapi
karena setiap serangan dilakukan dengan pengerahan tenaga sepenuhnya, maka
tentu saja Biauw Eng menjadi sibuk sekali. Bila mana sesekali menangkis dengan
sabuknya, ia lantas merasa telapak tangannya tergetar. Kedua telapak tangannya
sudah berkeringat dan hal ini membuat sabuk yang dipegangnya menjadi licin
sekali sehingga tiap kali ia melibat ujung toya lawan dan hendak membetotnya,
sabuknya malah terbawa dan kalau ia tidak mau melepaskan libatannya, tentu
bukan senjata lawan yang terampas, malah senjatanya sendiri yang akan terampas
lawan!
Sekarang
bagi lima orang hwesio itu tinggal menunggu waktu tidak lama lagi untuk dapat
merobohkan Biauw Eng. Akan tetapi, mereka adalah hwesio-hwesio yang memiliki
watak gagah dan welas asih. Mereka tidak ingin menyiksa gadis itu, tetapi
hendak merobohkan dengan sekali pukul agar dapat terus menewaskannya. Pula,
mereka terpaksa melakukan pengeroyokan karena mereka maklum bahwa kalau maju
satu-satu, mereka tentu kalah.
Dalam
pandangan mereka, Biauw Eng sama jahatnya dengan ibunya yang menjadi datuk
hitam, sama jahatnya dengan Cui Im yang membunuh Thian Ti Hwesio. Karena itu,
bagi mereka yang juga menjadi orang-orang gagah, sudah menjadi ‘kewajiban’
mereka untuk mengenyahkan tokoh sejahat ini dari muka bumi!
Karena Biauw
Eng tak pernah mengeluh, dan karena senjata yang dipergunakan gadis ini adalah
senjata lemas sehingga tidak pernah terdengar beradunya senjata keras, maka Lai
Sek yang mendengarkan gerakan kaki serta angin gerakan tubuh dan senjata
mereka, sama sekali tidak tahu betapa keadaan wanita yang dikasihinya itu kini
terancam bahaya maut...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment