Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 12
SEPASANG
pedang di tangan Hoa-san Siang-sin-kiam meluncur ke arah leher dan dada Keng
Hong yang masih bergulingan di atas tanah. Pemuda ini cepat menekan kedua
tangan di atas tanah dan mengerahkan tenaga, dan tubuhnya mencelat ke atas
begitu cepatnya sehingga dua sinar pedang itu tidak mendapatkan sasarannya.
"Dukkk!"
Keng Hong
terbanting roboh kembali ketika tangan besi Ouw Beng Kok menghantamnya dengan
cara memapakinya pada saat tubuhnya mencelat ke atas tadi. Pukulan berat ini
tidak sempat ditangkis atau dielakkan lagi oleh Keng Hong sehingga terpaksa
pemuda ini menerimanya dengan pengerahan sinkang melindungi tubuhnya. Ia masih
belum terluka parah, namun seluruh tubuhnya terasa nyeri dan kepalanya makin
pening.
Begitu
tubuhnya terbanting ke atas tanah, dua sinar pedang dari Hoa-san Siang-sin-kiam
dan sinar hijau tongkat bambu ditangan Kok Sian Cu datang menyambar. Keng Hong
tak melihat jalan keluar lagi, mengelak sudah tak mungkin apalagi menangkis,
maka ia hanya membelalakkan mata dan menanti maut sambil secara untung-untungan
mengerahkan sinkang-nya untuk mengadu kekebalan tubuh yang penuh tenaga sinkang
itu dengan tiga senjata lawan yang ampuh.
"Cring-cring-traaakkk...!"
Kedua orang
kakek Hoa-san Siang-sin-kiam, juga Kok Sian Cu, sangat terkejut dan cepat
menarik kembali senjata mereka ketika tiba-tiba ada cahaya putih menyambar dan
tepat sekali menangkis senjata mereka disusul dengan berkelebatnya sinar putih
panjang yang mengancam mereka. Terpaksa mereka meloncat mundur dan tahu-tahu di
sana sudah berdiri seorang gadis berpakaian serba putih yang cantik jelita dan
sikapnya agung dan penuh wibawa.
Kiranya yang
menangkis senjata-senjata yang sudah mengancam nyawa Keng Hong tadi adalah tiga
buah senjata rahasia berbentuk bola-bola putih berduri, ada pun sinar panjang
berwarna putih adalah sabuk sutera yang sudah berada di tangan gadis itu.
"Sungguh
tak tahu malu, golongan tua tokoh-tokoh dari partai besar mengeroyok seorang
pemuda yang tidak melawan! Cih, beginikah watak dan sikap golongan yang patut
disebut locianpwe?" Gadis itu berkata, suaranya dingin sekali dan
pandangan matanya menyapu mereka yang mengurung Keng Hong dengan pandang mata
menghina.
"Siancai...
bukankah nona ini Song-bun Siu-li, puteri Lam-hai Sin-ni?" Kok Sian Cu
orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin berseru heran dan kaget, akan tetapi
juga penasaran. "Nona, harap jangan mencampuri urusan kami seperti juga
kami tidak pernah mencampuri urusan Lam-hai Sin-ni. Harap nona membuka mata dan
melihat bahwa urusan dengan pemuda ini menyangkut Kong-thong-pai, Hoa-san-pai,
dan Thiat-ciang-pang!"
Dari
ucapannya ini saja orang tertua dari Khong Thong Pai itu jelas menyatakan
jerinya terhadap Lam-hai Sin-ni, bukan terhadap putrinya ini dan hendak
mempergunakan nama tiga partai besar untuk menakuti-nakuti. Akan tetapi Sie
Biauw Eng atau Song-bun Siu-li (Dara Jelita Berkabung) hanya memandang dengan
air muka dingin dan mata bersinar lebih dingin lagi.
"Tidak
bisa, selama ada aku di sini, kalian tidak boleh menyentuhnya, apa lagi
membunuh dia!"
Tiat-ciang
Ouw Beng Kok menjadi marah di dalam hati. Akan tetapi karena dia sendiri telah
mendengar akan nama besar Lam-hai Sin-ni sebagai tokoh paling lihai di antara
para datuk hitam, maka dia tidak berani menyatakan kemarahannya, hanya berkata
dengan suaranya yang besar,
"Nona,
oleh karena nona adalah puteri Lam-hai Sin-ni, maka kami bersikap sungkan dan
mengharap dengan halus hendaknya nona suka mundur dan jangan melindungi pemuda
iblis ini. Bukankah dia itu tidak ada hubungannya sama sekali dengan ibu nona
yang terhormat Lam-hai Sin-ni?"
"Dengan
ibuku memang tidak, akan tetapi dia adalah satu-satunya pria di dunia ini yang
kucinta dan akan kubela dengan seluruh tubuh dan nyawaku!" Ucapan yang
dikeluarkan dengan suara polos jujur ini sejenak membuat semua orang menjadi
tertegun. Akan tetapi dengan sikap wajar nona itu lalu mengeluarkan sebatang pedang
kemudian menyerahkan pedang itu kepada Keng Hong sambil berkata, "Keng
Hong, kau pergunakanlah pedangku ini dan mari kubantu kau menghadapi
manusia-manusia haus darah ini!"
Keng Hong
menerima pedang yang diberikan itu, memegangnya dengan kedua tangan dan megerahkan
tenaga.
"Krekkkk!"
pedang yang terbuat dari pada baja pilihan itu patah menjadi dua potong lalu
dilemparkannya ke atas tanah dengan muka merah dan pandang mata penuh kemarahan
kepada Biauw Eng.
"Aku
tidak sudi pertolonganmu! Kau perempuan kejam, kau sudah menyeretku ke dalam
lembah permusuhan! Engkaulah orangnya yang telah membunuh gadis itu karena
merasa cemburu, engkau curang, kejam dan... aku benci kepadamu!"
Semua orang
yang memandang peristiwa itu membelalakkan mata, akan tetapi terutama sekali
Biauw Eng yang menjadi pucat dan memandang Keng Hong dengan mata seekor kelinci
ketakutan, kemudian bibirnya bergerak-gerak.
"Tidak...,
aku tidak melakukan hal itu... ahhh, Keng Hong, aku hanya ingin membantumu,
membelamu, karena aku cinta padamu...."
"Aku
tidak butuh bantuanmu, tidak butuh pembelaanmu, juga tidak membutuhkan cintamu
yang keji dan kotor...!"
"Keng
Hong..., uuuuhhhhhhhh... Keng Hong..." Gadis itu tak dapat menahan air
matanya yang jatuh berderai, kemudian ia menyusut air matanya dan mengangkat
mukanya sambil berkata tegas. "Jika begitu, baiklah, kita mati
bersama!" Sabuk sutera putih di tangannya bergerak meluncur ke depan
menyerang para pengurung yang terdekat.
"Perempuan
iblis! Patut dibasmi kalian!" Teriak Kok Kiam Cu yang dengan susah payah
baru berhasil menyelamatkan diri dari sambaran sabuk ke arah lehernya ini
dengan jalan menggulingkan diri ke tanah karena sinar sabuk itu benar-benar
cepat bukan main, tidak sempat lagi dia menangkis.
Sekarang
para pengeroyok yang berjumlah banyak itu serentak maju. Dua orang Hoa-san
Siang-sin-kiam memutar pedangnya, bersama Kok Sian Cu, Kok Kim Cu, Ouw Beng Kok
dan Lai Ban! Pertandingan terpecah menjadi dua rombongan, tetapi keduanya
merupakan pertandingan yang tidak seimbang, atau boleh dikatakan bukan
merupakan pertandingan, melainkan pengeroyokkan dan usaha pembunuhan.
Mereka yang
mengeroyok itu adalah orang-orang sakti yang berkepandaian tinggi. Betapa pun
lihainya permainan sabuk sutera putih di tangan Biauw Eng, namun dia bukanlah
lawan tiga orang kakek tokoh-tokoh besar Hoa-san-pai itu. Dia masih sanggup
menahan sepasang pedang milik Hoa-san Siang-sin-kiam dengan gulungan sinar
sabuk putih yang membentuk lingkaran-lingkaran, akan tetapi desakan tongkat
bambu di tangan Kok Sian Cu, kakek pertama dari Kong-thong Ngo-lojin yang buta
mata kirinya, membuat Biauw Eng benar-benar sibuk bukan main.
Sudah dua
kali ia terkena senjata lawan. Pertama kali pundaknya kena diserempet ujung
pedang Coa Kiu, menimbulkan luka pada kulit dan sedikit dagingnya, tidak parah
namun cukup mengakibatkan pakaiannya yang putih bersih bernoda darah. Kedua
kalinya, ujung tongkat bambu di tangan Kok Sian Cu merobek kulit paha dirinya
hingga celana putihnya ikut robek dan tampak bagian kulit pahanya yang
berdarah. Namun, gadis ini tidak pernah mengeluh dan permainan sabuk suteranya
malah menjadi makin cepat dan ganas.
Keng Hong juga
sangat repot menghadapi para pengeroyoknya. Keadaannya tidak lebih baik dari
pada keadaan Biauw Eng, bahkan lebih buruk lagi. Dia dikeroyok oleh lima orang
kakek sakti, yaitu tiga orang dari Kong-thong-pai dan dua orang pimpinan
Tiat-ciang pang.
Biar pun dia
sudah mempergunakan ginkang-nya untuk berkelebatan ke sana ke mari dan
mengerahkan sinkang untuk menangkis, namun tetap saja berkali-kali tubuhnya
terpaksa menerima gebukan-gebukan yang kalau mengenai tubuh orang lain tentu
mendatangkan maut. Dia mempunyai tubuh yang secara otomatis akan menggerakkan
tenaga sakti untuk melawan pukulan yang datang dari luar, akan tetapi meski pun
dia tidak sampai terluka dalam, tetap saja tubuhnya terasa sakit-sakit seperti
rontok semua tulang-tulangnya dan kepalanya menjadi pening.
Tetapi
pemuda ini juga tidak pernah mengeluh dan dalam daya tahan dan kekerasan hati,
belum tentu dia kalah oleh Sie Biauw Eng. Hanya ada satu hal yang membuat hati
Keng Hong tidak enak, yaitu adanya Biauw Eng yang membelanya mati-matian. Dia
membenci gadis ini akan tetapi dia pun tidak menghendaki gadis ini tewas karena
dia. Sayang dan benci bercampur aduk di dalam hatinya, membuat hatinya terasa
lebih sakit dari pada pukulan-pukulan yang diterimanya.
Yang paling
berat baginya dalam pertandingan ini adalah tangan besi hijau dari Ouw Beng
Kok, ketua Tiat-ciang-pang. Hebat bukan main ilmu kepandaian kakek ini, dan
setiap kali tangannya bertemu dengan tangan besi, dia merasa tangannya panas
dan sakit, sungguh pun dalam hal tenaga, dia tidaklah dapat dikatakan kalah
karena Tiat-ciang Ouw Ban Kok juga tidak berani mengadu tenaga dengan pemuda
ini.
Biauw Eng
yang mengamuk secara nekat itu kembali terkena tusukan pedang, sekali ini di
tangan Coa Bu. Karena dia sedang menahan desakan tongkat bambu Kok Sian Cu yang
berbahaya dengan sabuk suteranya, maka tusukan dari samping kanan itu sukar
untuk dapat dia hindarkan lagi. Dia hanya dapat meloncat ke atas untuk
menghindarkan tusukan maut yang mengarah lambungnya, namun tetap saja ujung
pedang itu menancap daging paha kanannya.
Biauw Eng
mengeluarkan jeritan, bukan jerit karena rasa nyeri melainkan jerit kemarahan.
Ketika tubuhnya roboh, tangan kirinya bergerak cepat sekali dan sinar-sinar
putih segera menyambar ke arah tiga orang kakek yang sedang mengeroyoknya itu.
Hebat bukan main sambaran senjata rahasia bola-bola putih berduri yang
kesemuanya mengarah ulu hati, leher dan pelipis lawan dan jumlahnya belasan
buah karena disambitkan secara cepat dan susul menyusul.
"Aihhhh..!"
Coa Bu yang
kegirangan karena berhasil merobohkan gadis yang lihai itu, berteriak kaget dan
cepat miringkan tubuhnya. Meski pun bola putih yang menyambar ke ulu hati
berhasil dibuat menyeleweng, akan tetapi tetap saja mengenai pundaknya,
menimbulkan rasa nyeri dan seketika pundak berikut lengannya seperti lumpuh.
Karena
maklum bahwa senjata rahasia itu bagian duri-durinya tentu mengandung racun,
kakek Hoa-san ini segera melompat mundur, cepat merobek luka dengan ujung
pedang untuk mengeluarkan darahnya, lalu mengobatinya dengan obat bubuk yang
disimpan di sakunya.
Coa Kiu dan
Kok Sian Cu dapat menangkis runtuh semua senjata rahasia, bahkan ketika gadis
itu menguras seluruh senjata bola putih dan tusuk konde bunga bwe, mereka dapat
menyampok semua am-gi (senjata gelap) itu ke atas tanah.
"Gadis
keji...!"
Kok Sian Cu
menggerakkan tongkat bambunya ditusukkan ke arah perut gadis itu yang sudah
rebah di atas tanah. Akan tetapi Biauw Eng tidak mau menyerah begitu saja. Dia
menggunakan kegesitannya untuk bergulingan di atas tanah sehingga sampai empat
lima kali ujung tongkat bambu itu hanya menusuk tanah.
Melihat
robohnya Biauw Eng, Keng Hong menjadi marah sekali. Ia mengeluarkan teriakan
melengking nyaring kemudian pukulan Kok Liong Cu ke arah dadanya dia terima
begitu saja sambil mengerahkan sinkang dan... tangan itu lalu melekat di
dadanya terus disedot sinkang-nya! Namun, seperti juga tadi setiap kali Keng
Hong berhasil menyedot singkang seorang lawan, kakek yang lain cepat-cepat
menotoknya sehingga terpaksa dia tak dapat mempertahankan kekuatan sinkang-nya
dan lawan itu lantas terlepas lagi. Jika saja yang menotok bukan tokoh-tokoh
sakti seperti itu, tentu yang menotoknya pun akan tersedot sekalian!
"Dessss..!"
Begitu
tangan Kok Liong Cu tertempel pada dadanya dan Kok Seng Cu cepat menotok
pundaknya sehingga tubuhnya seperti lumpuh dan tangan Kok Liong Cu terlepas,
sebuah pukulan kilat datang dari belakang, yaitu tangan besi ketua
Tiat-ciang-pang, amat keras menghantam tengkuk Keng Hong. Pukulan ini adalah
pukulan maut yang amat kuat dan jarang sekali ada tokoh kang-ouw yang sanggup
menerima pukulan ketua Tiat-ciang-pang seperti itu.
Keng Hong
terdorong sebuah pukulan kilat yang datang dari belakang, yaitu tangan besi
ketua Tiat-ciang-pang, sangat keras menghantam tengkuk Keng Hong ke depan
sehingga pemuda itu roboh menelungkup dalam keadaan pingsan!
"Keng
Hong..!"
Biauw Eng
yang tadinya sibuk bergulingan menghindarkan tusukan ujung tongkat bambu Kok
Sian Cu, cepat menubruk ke arah Keng Hong ketika dilihatnya pemuda itu roboh
dan disangkanya tentu tewas. Kekhawatirannya ini membuat dia kurang waspada dan
selagi tubuhnya masih meloncat dan hendak menubruk Keng Hong, dari kiri
melayang kaki Kok Liong Cu yang menendang keras, tepat mengenai lambungnya
hingga tubuh Biauw Eng terlempar pula, terguling-guling dan rebah miring dalam
keadaan pingsan.
"Kita
habiskan saja mereka. Dua orang muda ini benar-benar berbahaya sekali!"
kata Kok Sian Cu yang sudah menggerakkan tongkat bambu ke arah Biauw Eng yang
pingsan, ada pun Ouw Ban Kok sudah menghampiri Keng Hong hendak mengirim
pukulan terakhir.
Ketua
Tiat-ciang-pang ini merasa penasaran dan malu sekali bahwa pukulannya tadi
tidak cukup kuat untuk membunuh Keng Hong, padahal dia maklum sekali bahwa
pukulannya itu benar-benar hebat bukan main, dan kiranya orang-orang sakti yang
berada di situ tak seorang pun yang akan sanggup menerima pukulan itu dengan
hanya menderita pingsan seperti Keng Hong.
Detik-detik
menegang itu agaknya merupakan detik-detik penentuan bagi Keng Hong dan Biauw
Eng. Sekali saja tokoh Tiat-ciang-pang menjatuhkan pukulan maut pada dua tubuh
orang muda yang pingsan itu, tentu mereka akan tewas dan tak akan tertolong
lagi. Akan tetapi, apa bila Thian belum menghendaki seseorang mati, pasti ada
saja sebabnya yang mencegah datangnya maut.
"Tahan,
jangan bunuh dia...!"
Bentakan ini
keras dan nyaring sekali, penuh wibawa dan nampaklah bayangan empat orang yang
cepat bukan main sehingga tahu-tahu telah berada di tengah-tengah mereka,
bahkan dua di antara mereka langsung menghadang di depan tubuh Keng Hong dalam
keadaan siap untuk mencegah siapa pun juga membunuh pemuda itu.
Karena
sesungguhnya yang mereka musuhi adalah Keng Hong, ketika melihat ada orang
datang melindungi Keng Hong otomatis Kok Sian Cu juga menarik tongkat bambunya
dan mengurungkan niatnya membunuh Biauw Eng. Pada waktu mereka semua memandang
empat orang yang baru muncul, mereka menjadi terkejut sekali dan juga
terheran-heran mengapa empat orang itu mencegah mereka membunuh Keng Hong.
Mereka itu
bukan lain adalah Kiu-bwe Toanio Lu Sian Cu, nenek berpakaian hitam yang
memegang senjata pecut sembilan ekor berujung kaitan, dua orang hwesio
Siauw-lim-pai tingkat dua, yaitu Thian Ti Hwesio yang memegang senjata
Liong-cu-pang dan Thian Kek Hwesio yang bersenjata jubahnya, ada pun orang ke
empat adalah Sin-to Gi-hiap tokoh ahli golok yang sudah berusia delapan puluh
lima tahun namun masih nampak gagah dan tampan.
Munculnya
empat orang tokoh besar kang-ouw ini tentu saja menimbulkan keheranan, apa lagi
karena mereka itu seakan-akan hendak melindungi Keng Hong, padahal baik
tokoh-tokoh Hoa-san-pai mau pun Kong-thong-pai maklum bahwa mereka berempat itu
pun merupakan musuh-musuh mendiang Sin-jiu Kiam-ong karena dulu pernah menyerbu
Kiam-kok-san.
"Siancai..!
Apa sebabnya empat orang sahabat datang-datang melarang kami membunuh bocah
setan ini? Hendaknya diketahui bahwa bocah ini sudah membunuh banyak murid
Khong-thong-pai, di antaranya bahkan sute Kok Cin Cu telah dibunuhnya!"
kata Kok Sian Cu, suaranya halus akan tetapi mengandung penasaran dan tuntutan.
"Dia
telah memperkosa dan membunuh murid Hoa-san-pai!" berkata pula Coa Kiu
sambil melintangkan pedangnya di depan dada, tanda bahwa dia siap untuk
menghadapi siapa saja demi mempertahankan nama Hoa-san-pai.
"Dan
dia juga telah membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang!" kata Ouw Beng
Kok, marah.
"Dia
sama sekali tak boleh dibunuh. Belum boleh!" kata Kiu-bwe Toanio dengan
suaranya yang nyaring. "Kami menghalangi kalian bukan karena kami membela bocah
itu, sama sekali tidak. Kami tidak bermusuhan dan juga tidak bersahabat dengan
dia, akan tetapi kami bermusuhan dengan mendiang gurunya. Kami telah bersepakat
untuk memaksa dia menyerahkan semua pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan
bila kalian berlaku cerdik, sebaiknya menyetujui kehendak kami supaya kelak
pusaka yang sangat banyak itu dapat dibagi-bagi dengan adil. Setelah pusaka
berada di tangan kami, terserah saja apa yang hendak kalian lakukan terhadap
bocah ini!"
"Omithoud,
Siauw-lim-pai tidak menginginkan benda lain kecuali dua buah kitab pusaka yang
dulu dicurinya dari Siauw-lim-pai, " kata Thian Ti Hwesio.
"Akan
tetapi mereka ini amat berbahaya, kalau tidak dibunuh sekarang selagi mereka
tak berdaya, kelak tentu akan mendatangkan banyak kekacauan, dan pula, sampai
kapankah sakit hati kami dapat terbalas?" kata pula Ouw Beng Kok.
Ucapannya ini mendapat tanda setuju dari mereka yang ingin sekali membunuh Keng
Hong untuk membalas dendam.
"Siapa
yang hendak membunuhnya sekarang, berarti dia akan berhadapan dengan kami
berempat!" bentak Kiu-bwe Toanio sambil menggerak-gerakkan cambuknya.
Thian Ti
Hwesio, Thian Kek Hwesio dan Sin-to Gi-hiap yang memang sudah berunding
terlebih dahulu untuk menangkap Keng Hong dan memaksa pemuda ini menunjukkan tempat
persembunyian pusaka, sekarang mengurung pemuda yang masih rebah pingsan itu,
siap untuk melawan siapa yang ingin membunuh pemuda itu.
Sejenak
kedua golongan ini saling pandang hingga keadaan menjadi makin tegang. Pihak
yang hendak membunuh terdiri dari delapan orang ditambah Sim Lai Sek yang tentu
saja tidak dapat dimasukkan hitungan, sedangkan pihak yang menentang pembunuhan
adalah empat orang. Akan tetapi karena empat orang itu, terutama sekali Kiu-bwe
Toanio dan Sin-to Gi-hiap terkenal sebagai orang-orang yang memiliki kepandaian
amat tinggi, pihak yang hendak membunuh menjadi ragu-ragu. Apa lagi kalau
mereka teringat bahwa Keng Hong dan Biauw Eng hanya pingsan saja. kalau mereka
siuman, tentu saja mereka itu akan menjadi lawan yang berat pula.
Melihat
keadaan ini, Sim Lai Sek menjadi penasaran, marah dan khawatir kalau-kalau
kematian cici-nya tidak akan terbalas. Maka dia lalu berteriak-teriak,
"Dia harus dibunuh! Cia Keng Hong si keparat harus di bunuh!"
Tiba-tiba
bertiup angin dari atas puncak dan terdengar suara yang perlahan namun amat
jelas terdengar oleh semua orang.
"Siancai!
Di wilayah Kun-lun-pai, siapa berani bicara tentang pembunuhan? Apakah kami
tidak boleh berkuasa di wilayah kami sendiri?"
Semua orang
terkejut dan memandang. Ternyata dari atas puncak Kun-lun-pai tampak bayangan
beberapa orang tosu yang menuruni puncak dengan gerakan cepat bagaikan terbang.
Jumlah mereka ada tujuh orang dan di belakang tujuh orang ini masih kelihatan
serombongan tosu yang jumlahnya ada lima puluh orang.
Tentu saja
semua orang menjadi jeri sekali, bukan hanya menyaksikan jumlah tosu-tosu
Kun-lun-pai yang demikian banyaknya, melainkan terutama sekali Kiang Tojin dan
enam orang sute-nya yang merupakan tujuh orang pimpinan Kun-lun-pai yang
disegani. Baru mendengar suara Kiang Tojin yang digemakan dari atas tadi saja
sudah menbayangkan betapa hebatnya sinkang dan khikang dari tosu itu!
Mereka itu
memang benar adalah para tosu Kun-lun-pai yang dipimpin oleh Kiang Tojin
sendiri bersama enam orang sute-nya. Setelah tiba di tempat itu, pandangan mata
Kiang Tojin dan para sutenya menyapu ke arah para tamu tak diundang itu dan ke
arah tubuh Keng Hong dan Biauw Eng yang masih menggeletak pingsan.
Di lubuk
hatinya, Kiang Tojin merasa kasihan kepada Keng Hong. Memang tosu ini selalu
merasa suka dan kasihan kepada bocah yang dahulu dia tolong dari bencana maut
itu. Kini, di dalam hati tosu ini muncul pertanyaan-pertanyaan yang membikin
perasaannya perih, yaitu apakah bukan dia yang menyeret bocah itu ke dalam
jurang kesengsaraan?
Karena dia
menolong Keng Hong dan menbawa ke Kun-lun-san, maka bocah itu bertemu dengan
Sin-jiu Kiam-ong dan menjadi muridnya, kemudian karena dia menjadi murid Si
Raja Pedang maka dia dimusuhi semua orang kang-ouw, dijadikan rebutan dan
nasibnya selalu sengsara karena dimusuhi orang-orang pandai sehingga akhirnya
kini menggeletak pingsan di bawah kakinya!
Kiang Tojin
menghela napas panjang, dan dia merasa betapa semua itu diakibatkan oleh
pertolongannya kepada Keng Hong. Memang mungkin sekali kalau dia tidak turun
tangan menolong Keng Hong, tentu pemuda itu telah mati pada waktu kecil. Akan
tetapi apakah kematian lebih sengsara dari pada hidup?
"Cu-wi
sekalian hendaknya maklum bahwa kedua orang muda yang pingsan ini adalah
tawanan-tawanan kami. Pemuda ini kami tawan karena dia memiliki kesalahan
terhadap Kun-lun-pai dan memang sedang kami cari-cari, ada pun gadis ini kami
tawan karena dia berani melanggar wilayah Kun-lun-pai. Harap cu-wi (tuan
sekalian) sebagai orang-orang luar tidak akan menghalangi kami bertindak di
dalam wilayah kami sendiri."
Semua orang
sakti yang hadir tak dapat membantah kebenaran ucapan Kiang Tojin yang memang
pada tempatnya. Sudah menjadi peraturan tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa
para tamu harus tunduk kepada peraturan tuan rumah. Mereka semua berada di
wilayah Kun-lun-pai sebagai tamu-tamu yang tak diundang, dan mereka semua sudah
mendengar akan perbuatan Keng Hong dulu menipu para pimpinan Kun-lun-pai dengan
menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.
Hal ini lalu
menjadi buah tertawaan orang sedunia kang-ouw, tentu saja merupakan dosa besar
pemuda itu terhadap Kun-lun-pai. Maka kalau sekarang pihak Kun-lun-pai hendak
menangkapnya dan pemuda itu sedang berada di wilayah Kun-lun, tentu saja mereka
tidak kuasa mencegah.
Di dalam
hati mereka timbul rasa tidak puas dan penasaran, akan tetapi karena mereka
segan dan jeri terhadap Kun-lun-pai, mereka tidak berani membantah. Hanya
Tiat-ciang Ouw Beng Kok yang menyatakan penasaran hatinya, akan tetapi juga dia
bersikap halus terhadap Kiang Tojin. Dia menjura sebagai penghormatan lalu
berkata,
"Toyu,
apa yang Toyu ucapakan semuanya memang benar. Akan tetapi, bocah itu sudah
membunuh banyak anak murid Tiat-ciang-pang, apakah kami tak diberi kesempatan
untuk menjatuhkan hukuman kepadanya?"
Pertanyaan
ketua Tiat-ciang-pang ini membuka kesempatan kepada semua orang untuk
mengatakan isi hati mereka dan ramailah mereka itu berkata susul-menyusul.
"Benar,
dia telah membunuh banyak anak murid kami!"
"Dia
telah memperkosa murid wanita kami dan membunuhnya!"
"Sin-jiu
Kiam-ong masih berhutang kepada kami, sudah sepatutnya kalau muridnya yang
membayar hutangnya!"
"Gurunya
mencuri kitab-kitab pusaka kami, muridnya yang harus mengembalikan!"
Kiang Tojin
mengangkat kedua tangannya, minta agar mereka tidak ribut-ribut, kemudian
berkata, "Pinto mengetahui akan hal itu semua. Siapa yang bersalah harus
dihukum, akan tetapi karena kita berada di wilayah kami, maka kamilah yang
berhak untuk mengadili dia. Kami akan membawanya ke Kun-lun-pai kemudian akan
mengadili Cia Keng Hong. Di situ cu-wi boleh menjatuhkan tuduhan dan ia berhak
membela diri, baru kemudian diputuskan hukumannya secara adil. Pinto mengharap
cu-wi dapat menyetujui dan ikut bersama kami ke Kun-lun-pai." Tentu saja
tidak ada yang dapat membantah kebenaran ucapan ini.
Dan pada
saat itu Keng Hong dan Biauw Eng siuman dari pingsannya. Ketika Keng Hong
membuka matanya dan melihat para tosu Kun-lun-pai, dia cepat menghampiri Kiang
Tojin dan menjatuhkan diri berlutut.
"Teecu
Cia Keng Hong siap untuk menerima pengadilan!"
"Cia
Keng Hong, engkau harus ikut bersama kami di Kun-lun-pai. Dan engkau, Song-bun
Siu-li, karena sudah berani melanggar wilayah Kun-lun-pai serta menimbulkan
keributan, engkau pun harus ikut untuk menerima pengadilan."
Biauw Eng
tidak menjawab dan agaknya tidak peduli karena dia sedang memandang ke arah
Keng Hong dengan alis berkerut dan mata membayangkan kesedihan. Akan tetapi dia
tidak membantah ketika dia digiring naik ke puncak Kun-lun-pai.
Sebetulnya,
keputusan Kiang Tojin untuk menawan pula Biauw Eng ada rahasia atau latar
belakangnya. Tosu ini tadi telah mendengar pula akan tuduhan-tuduhan Keng Hong
yang dilontarkan kepada gadis ini, karena itu dia ingin membawa gadis ini untuk
memperingan dosa pemuda itu. Kalau tidak ada latar belakang ini, kiranya dia
tidak begitu sembrono untuk menawan puteri Lam-hai Sin-ni hanya karena telah
mendatang wilayah Kun-lun-pai tanpa ijin!
Keng Hong
berjalan sambil menundukkan muka, sama sekali tidak mempedulikan Biauw Eng yang
berjalan di sebelahnya. Di dalam hatinya, dia berterima kasih sekali terhadap
Kiang Tojin karena biar pun tadi dia berada dalam keadaan pingsan, namun dia
maklum bahwa sekiranya tidak ada Kiang Tojin di sana, tentu sekarang nyawanya
telah melayang ke akhirat.
Rasa terima
kasih yang bertumpuk-tumpuk semenjak dahulu terhadap tosu ini membuat dia
tunduk dan menyerah, siap untuk melakukan segala perintah dan menerima segala
hukuman yang dijatuhkan Kiang Tojin kepadanya.
***************
Keng Hong
dan Biauw Eng dibawa masuk ke dalam ‘Ruangan Pengadilan Kun-lun-pai’ yang
merupakan sebuah ruangan yang amat luas dengan lantai batu putih. Di situ telah
menanti Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai dengan pakaian ketua yang sederhana
nan agung dan berwibawa. Kakek tua ini telah diberi tahu lebih dulu sehingga
dia menanti di situ.
Kiang Tojin
beserta enam orang sute-nya lalu menjatuhkan diri berlutut dan Kiang Tojin
melaporkan bahwa Cia Keng Hong sudah ditangkap bersama Song-bun Siu-li yang
telah melanggar wilayah Kun-lun-pai. Keng Hong sudah pula menjatuhkan dirinya
berlutut di depan ketua Kun-lun-pai dengan sikap tenang.
Akan tetapi
Biauw Eng tidak mau berlutut, juga tidak ada yang memaksanya, dan gadis ini
duduk di atas bangku yang berada di situ. Tak seorang pun melarangnya karena
betapa pun juga, semua orang selain mengenal nama Song-bun Sin-li sebagai tokoh
yang amat terkenal, juga nama besar Lam-hai Sin-ni membuat semua orang merasa
jeri. Kalau tadi para tokoh sudah mengeroyok dan hendak membunuh Biauw Eng
adalah karena gadis itu membela Keng Hong.
Para anak
murid Kun-lun-pai yang lain menjaga di luar ruang sidang pengadilan, bersikap
menjaga segala kemungkinan. Suasana di situ sunyi dan semua orang menunggu
ketua Kun-lun-pai membuka mulut.
Thian Seng
Cinjin hanya membalas penghormatan semua tamu kemudian mempersilakan mereka
duduk dengan isyarat tangan yang digerakkan perlahan menuju ke arah
bangku-bangku yang tersedia di situ.
"Suhu,
setelah Cia Keng Hong lepas dari tangan Ngo-sute dan Ji-sute (Adik seperguruan
ke lima dan ke dua) teecu dapat menangkap dia di wilayah Kun-lun-pai, sedang
dikeroyok oleh para sahabat yang datang dari berbagai partai persilatan dan
dunia kang-ouw yang menghendaki agar dilakukan pengadilan atas dirinya. Teecu menyerahkan
kepada Suhu dan mohon keputusan." Demikian antara lain Kiang Tojin
melapor.
Thian Seng
Cinjin menghela napas. "Siancai... siancai! Kekacauan yang ditimbulkan
oleh perbuatan mendiang Sin-jiu Kiam-ong dengan sepak terjangnya yang sesuka
hati sendiri, kini dilanjutkan oleh muridnya. Muridku, pinto menyerahkan
kepadamu untuk mewakiliku dan memulai persidangan pengadilan ini."
Kiang Tojin
mengangguk, kemudian bersama enam orang sute-nya lalu bangkit berdiri di
belakang suhu mereka. Kiang Tojin lantas berkata kepada semua tamu. "Cu-wi
sekalian, sebelum kami mempersilakan cu-wi menjatuhkan tuduhan terhadap Cia
Keng Hong, lebih dahulu kami akan menjatuhkan tuduhan kami, harap cu-wi menjadi
saksi."
Kiang Tojin
memandang sekeliling, menatap satu demi satu pada semua yang hadir, baru
kemudian terdengar lagi suaranya.
"Cia
Keng Hong! Kurang lebih satu tahun yang lalu engkau sudah menyerahkan
Siang-bhok-kiam, tetapi yang kau serahkan itu adalah pedang palsu. Benarkah
bahwa engkau telah menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu kepada kami?"
Sejenak
keadaan sunyi, kemudian Keng Hong yang masih berlutut sambil menundukkan
mukanya lalu berkata, suaranya lantang dan tegas.
"Saya
mengaku, memang pedang Siang-bhok-kiam yang saya serahkan kepada Totiang dahulu
adalah pedang kayu palsu buatan saya sendiri."
"Jadi
engkau mengaku bahwa engkau sudah menipu Kun-lun-pai dan sengaja melakukan
penghinaan agar Kun-lun-pai menjadi buah tertawaan orang sedunia?"
"Sama
sekali tidak!" Keng Hong mengangkat muka dan memandang Kiang Tojin dengan
pandang mata tajam dan penuh ketabahan. "Saya tidak bermaksud menyerahkan
pedang palsu. Semenjak turun dari Kiam-kok-san, saya sudah membawa pedang palsu
itu karena maklum bahwa banyak orang menghendaki pedang itu. Pedang Siang-bhok-kiam
adalah milik suhu yang telah diwariskan kepada saya, mengapa orang lain hendak
memintanya? Mengapa pula Kun-lun-pai hendak memintanya, bahkan hendak
merampasnya dengan paksa? Adalah kesalahan Kun-lun-pai sendiri yang juga
ikut-ikut menginginkan pedang itu sehingga karena terpaksa saya menyerahkan
pedang yang saya bawa, pedang palsu buatan saya sendiri yang disangka
Siang-bhok-kiam. Saya tidak merasa bersalah dalam penyerahan pedang itu, juga
tidak merasa sengaja hendak menipu, hal itu terjadi karena kesalahan!
Kun-lun-pai sendiri yang ingin memiliki benda kepunyaan orang lain!"
Suasana
segera menjadi sunyi sekali setelah semua orang mendengar jawaban yang tak
tersangka-sangka ini. Kemudian terdengar suara Kiu-bwe Toanio nyaring
melengking.
"Anak
ini benar! Bukan salahnya, karena memang pedang itu tidak seharusnya dirampas
Kun-lun-pai! Pedang itu adalah hak kami bersama, kami orang-orang yang sudah
dibuat sakit hati oleh Sin-jiu Kiam-ong dan yang berhak untuk mendapatkan
bagian dari pusaka peninggalannya. Pedang itu harus diserahkan kepada kami agar
dapat kami pakai untuk mencari pusaka itu kemudian kita bagi-bagi bersama. Ini
baru adil namanya."
"Omitohud,
ucapan Toanio itu tepat sekali. Pinceng juga harus mendapatkan kembali dua buah
kitab pusaka Siauw-lim-pai yang dulu dicuri oleh Sin-jiu Kiam-ong, maka pedang
itu harus diberikan kepada kami. Dalam hal itu, anak ini tidak bersalah
terhadap Kun-lun-pai!" kata pula Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai.
"Tepat
sekali… tepat sekali..!" sambung Sin-to Gi-hiap.
Keng Hong
mendengarkan semuanya itu dengan hati geli. Dari sikap para tokoh ini jelas
sekali terlihat betapa setiap manusia, betapa pun tinggi kepandaian serta
kedudukannya, masih selalu diperhamba oleh nafsu mendahulukan kepentingan diri
sendiri. Karena nafsu inilah maka setiap persoalan yang dianggap menguntungkan
dirinya, langsung dianggap benar dan tepat. Tetapi jika sebaliknya dan
persoalan itu dianggap merugikan, tentu akan ditentang!
Kiang Tojin
juga maklum akan hal itu, dan diam-diam dia pun girang bahwa Keng Hong dapat
menjawab dengan tepat seperti yang diharapkannya sehingga dapat memperingan
‘dosanya’ terhadap Kun-lun-pai. Akan tetapi di samping perasaan sayang kepada
Keng Hong, sebagai orang ke dua Kun-lun-pai sekaligus juga calon pengganti suhu-nya
kelak sebagai ketua Kun-lun-pai, tentu saja Kiang Tojin lebih mementingkan
kebesaran nama Kun-lun-pai, maka dia lalu berkata,
"Cu-wi
sekalian sudah mendengar pengakuan Cia Keng Hong dan dengan pengakuannya itu,
kami pihak Kun-lun-pai bisa menerimanya sekalian kami dapat mengampuni dosanya
karena setelah diteliti memang pemuda ini tidak bermaksud menipu, namun
memalsukan pedang Siang-bhok-kiam dengan maksud supaya yang asli tidak sampai
terampas orang lain. Dengan pengakuannya itu, sekaligus nama besar kami telah
tercuci dari noda-noda. Pertama, jelas bahwa kami tidak menyembunyikan
Siang-bhok-kiam asli seperti disangka banyak orang. Ke dua, Kun-lun-pai jelas
bukanlah partai yang tamak akan pusaka orang lain sehingga sampai sekian
lamanya kami tidak memeriksa pedang itu palsu atau bukan karena memang kami
tidak mempunyai maksud mencari pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong. Hanya
karena diperebutan oleh tokoh-tokoh kang-ouw, maka pedang itu rusak dan
ketahuan bahwa benda itu palsu. Ada pun tentang anggapan bahwa Kun-lun-pai
tidak berhak atas pedang itu adalah salah! Pedang itu selama ini selalu berada
di wilayah Kun-lun-pai, yaitu Kiam-kok-san, dan segala benda yang berada di
wilayah Kun-lun-pai adalah hak kekuasaan kami untuk menentukan apakah boleh
dibawa keluar atau tidak."
Lian Ci
Tojin dan Sian Ti Tojin, terutama sekali Sian Ci Tojin, yang menginginkan
pusaka-pusaka itu untuk dipelajari, merasa tidak setuju dengan ucapan Kiang
Tojin ini, akan tetapi karena melihat betapa suhu mereka, Thian Seng Cinjin yang
lebih mengutamakan nama baik Kun-lun-pai, mengangguk-ngangguk setuju atas
ucapan Kiang Tojin, mereka hanya saling pandang dan mengerutkan kening, tidak
berani membantah.
"Cia
Keng Hong, karena jelas bahwa engkau belum membawa keluar Siang-bhok-kiam dari
wilayah Kun-lun-san, dan mendengar pembelaan diri yang tepat, maka kami dapat
mengampunimu dengan syarat bahwa kau harus menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam
yang asli kepada kami..."
"Wahhh...!"
Terdengar seruan tidak setuju dari para tamu.
"Harap
tenang dan biarkan Twa-suheng bicara!" Lian Ci Tojin berseru keras, dan
tosu ini sudah merasa girang dengan keputusan Kiang Tojin.
"Keputusan
ini harus diambil oleh Kun-lun-pai mengingat bahwa kelak Siang-bhok-kiam akan
selalu menimbulkan kegemparan di dunia kang-ouw, menjadi perebutan yang akan
mengorbankan banyak nyawa secara sia-sia dan karena pedang yang selalu berada
di Kiam-kok-san itu menjadi hak kami, maka kamilah yang harus menyimpannya
dengan janji bahwa kami Kun-lun-pai tidaklah tamak terhadap pusaka orang lain
dan tidak akan menggunakan pedang untuk mencari pusaka peninggalan Sin-jiu
Kiam-ong!"
Ucapan
terakhir ini melegakan hati para tamu akan tetapi sebaliknya mengecewakan para
tosu Kun-lun-pai terutama Sian Ti Tojin dan Lian Ci Tojin.
"Nah,
pinto rasa sudah jelas bagi dunia kang-ouw umumnya bahwa Kun-lun-pai memiliki
alasan-alasan kuat untuk menyimpan Siang-bhok-kiam dan kini persoalan Cia Keng
Hong dengan Kun-lun-pai telah selesai. Kini kami persilakan cu-wi yang ingin
menuntut pemuda ini agar mengajukan tuntutannya."
Kiang Tojin
bersikap cerdik di dalam sikapnya membela Keng Hong. Dia tidak mendesak atau
bertanya kepada Keng Hong untuk pelaksanaan keputusan itu karena dia khawatir
kalau-kalau Keng Hong secara berterang menolak dan menimbulkan pula kemarahan
di pihak para tosu Kun-lun-pai. Kelak dia akan menggunakan pengaruhnya untuk
memaksa pemuda itu menyerahkan Siang-bhok-kiam secara baik-baik. Kemudian,
dengan memberi kesempatan kepada para tamu untuk mengajukan tuduhan, maka para
sute-nya tidak ada kesempatan untuk mendesak Keng Hong.
"Cia
Keng Hong sudah memperkosa murid Hoa-san-pai yang bernama Sim Ciang Bi dan
kemudian membunuhnya, disaksikan oleh adik korban yang kini hadir, Sim Lai
Sek," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai. "Dosa yang keji itu harus
ditebus dengan hukuman kematian bagi pemuda jahat ini!"
"Cia
Keng Hong sudah memperkosa dua orang murid wanita Hoa-san-pai lalu membunuh
mereka, tetapi juga membunuh sute kami Kok Cin Cu serta beberapa orang anak
murid Kong-thong-pai. Dosanya lebih besar lagi terhadap kami dan walau pun dia
mati sepuluh kali masih belum dapat menebus dosanya!" kata Kok Sian Cu.
"Dia
juga telah membunuh banyak anak murid kami dari Tiat-ciang-pang. Dia harus kami
hukum mati demi menjaga nama besar kami yang diinjak-injaknya!"
Hening
sejenak setelah tiga orang wakil tiga partai besar ini menjatuhkan tuduhannya
dan semua mata memandang Keng Hong yang masih menundukkan muka.
"Cia
Keng Hong, bagaimana engkau hendak menjawab tuduhan-tuduhan para Locianpwe
ini?" Kiang Tojin bertanya, suaranya mengandung getaran sebab hatinya
merasa berduka sekali.
Ia merasa
berduka kalau-kalau semua tuduhan itu benar dan anak yang disayangnya itu
benar-benar telah mewarisi watak suhu-nya, yaitu suka mempermainkan wanita dan
telah turun tangan membunuh orang. Hanya dia terkejut dan ragu mendengar bahwa
Keng Hong juga membunuh Kok Cin Cu yang dianggapnya tidak mungkin terjadi. Ia
tahu siapa Kok Cin Cu, orang yang tingkat kepandaiannya sudah amat tinggi,
tentu tidak akan dapat dikalahkan oleh Keng Hong.
Dia merasa
khawatir sekali karena kalau yang dituduhkan itu benar-benar, alangkah berat
dosa pemuda ini dan sangat tidak baik kalau dia atau Kun-lun-pai hendak
melindunginya. Andai kata tokoh-tokoh kang-ouw hendak mengganggu Keng Hong
karena perbuatan-perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, tentu dia akan membela Keng Hong.
Akan tetapi kalau yang dituntut adalah semua perbuatan pemuda ini sendiri, tak
mungkin dia dapat mencampuri.
Cia Keng
Hong menggeleng kepalanya dan menjawab dengan suara tenang akan tetapi tegas,
"Semua tuduhan yang dijatuhkan kepada saya itu adalah fitnah yang tidak
benar! Saya tidak memperkosa Sim Ciang Bi anak murid Hoa-san-pai itu sebab hubungan
antara kami adalah atas dasar suka rela, dan saya pun tidak membunuhnya, biar
pun ada saksi yang menjatuhkan fitnah palsu. Saya tidak membunuh Sim Ciang Bi!
Mengenai urusan dengan Kong-thong-pai, Kok Cin Cu totiang tidak mati oleh
tangan saya. Dua orang murid wanita Kong-thong-pai yang dimaksudkan tentulah
Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si. Seperti juga Sim Ciang Bi murid Hoa-san-pai,
mereka berdua ini pun amat baik kepada saya dan hubungan di antara kami
berdasarkan suka sama suka, tidak ada perkosaan sama sekali. Yang membunuh
mereka dan para saudara seperguruan mereka dengan para saudara seperguruan
mereka dengan racun juga bukan saya. Demikian pula urusan dengan
Tiat-ciang-pang. Mereka itu mengeroyok saya yang hanya membela diri, dan
sebagian di antara mereka tewas oleh senjata rahasia juga bukan oleh tangan
saya!"
"Wah-wah-wah,
pengecut! Berani berbuat tidak berani bertanggung jawab!" bentak Coa Kiu,
seorang di antara Hoa-san Siang-sin-kiam marah. "Jika engkau tidak mengaku
telah membunuh mereka semua, akan tetapi buktinya mereka itu mati, habis apakah
hendak kau katakan bahwa mereka itu telah membunuh diri mereka sendiri?"
"Keng
Hong! Hendakkah engkau menyangkal bahwa cici-ku mati dalam pelukanmu?" Sim
Lai Sek membentak marah.
"Semua
penduduk dusun melihat betapa anak murid kami yang wanita engkau perkosa dan
kemudian semua anak murid kami itu kau beri racun!" bentak pula Kok Sian
Cu.
Keng Hong
melirik ke kiri dan kini dia melihat Sie Biauw Eng yang sejak tadi telah siuman
dan mendengar semua persidangan yang mengadili Keng Hong itu. Dia melihat
betapa Biauw Eng menundukkan muka dengan alis berkerut, wajah jelita itu
kelihatan berduka sekali.
Hemmm, wajah
palsu, pikirnya! Engkaulah yang mendatangkan semua mala petaka ini kepadaku,
dan engkau masih berpura-pura dengan sikap alim berpura-pura seperti orang
berduka!
Teringat
betapa Sim Ciang Bi mengejang dengan tubuh masih hangat dalam pelukannya,
terbunuh secara keji oleh Biauw Eng, dan teringat pula betapa Kiu Bwee Ceng dan
Tang Swat Si yang amat mencintainya juga mati oleh racun Biauw Eng, seketika
kemarahan Keng Hong melenyapkan rasa kasihnya yang aneh terhadap gadis itu dan
dia menjadi benci, benci sekali! Tiba-tiba Keng Hong meloncat ke kiri dan
menyambar tubuh Biauw Eng, dipegangnya lengan gadis itu dan diseretnya ke
hadapan Kiang Tojin sambil berseru keras,
"Inilah
dia manusianya yang membunuh mereka semua! Inilah Song-bun Siu-li puteri
Lam-hai Sin-ni yang berkepandaian tinggi dan berwajah jelita namun berhati
iblis! Dialah yang sudah membunuh Sim Ciang Bi dengan darah dingin, juga
meracuni murid-murid Tiat-ciang-pang dengan senjata rahasianya! Dia melakukan
semua itu karena cemburu, karena iri hati, karena... karena hatinya yang ganas
liar dan kejam!"
Semua orang
tercengang memandang kepada Biauw Eng yang menundukkan mukanya yang menjadi
pucat sekali. Suasana menjadi sunyi senyap dan Kiang Tojin memandang wajah yang
menunduk itu penuh perhatian.
Ia percaya
akan keterangan Keng Hong berdasarkan pengetahuannya bahwa Keng Hong tidak
memiliki watak atau dasar watak jahat dan kejam. Sebaliknya, meski pun dia
belum mengenal kepribadian Song-bun Siu-li, namun mengingat bahwa gadis ini
adalah puteri Lam-hai Sin-ni yang terkenal sebagai tokoh nomor satu dari Bu-tek
Su-kwi (Empat Iblis Tanpa Tandingan), tidak akan mengherankan kalau gadis yang
kelihatan cantik jelita dan dingin seperti salju ini memiliki watak iblis
seperti ibunya.
"Cia
Keng Hong, engkau yang dijatuhi tuduhan, kenapa engkau menimpakannya kepada
orang lain?" Kiang Tojin pura-pura mencela, padahal kehendak hatinya ialah
memancing agar tuduhan Keng Hong itu dapat diperkuat.
"Maaf,
totiang. Saya sama sekali tidak menuduh sembarangan, bukan menuduh karena saya
takut menghadapi hukuman. Meski dihukum mati sekali pun, apa bila memang saya
bersalah, saya tidak akan gentar dan siap mempertanggung jawabkan perbuatan
saya. Akan tetapi sesungguhnya bukan saya melainkan perempuan iblis inilah yang
melakukan pembunuhan-pembunuhan keji, curang dan pengecut itu. Apa bila Totiang
tidak percaya, harap bertanya kepadanya dan ingin sekali saya mendengar apa
yang akan dijawabnya."
Memang Keng Hong
ingin sekali mendengar jawaban Biauw Eng. Pada saat gadis ini tadi membelanya
ketika dia dikeroyok orang-orang sakti dan dia melancarkan tuduhannya, gadis
ini menyangkal. Sekarang, di dalam sidang pengadilan di depan orang-orang
sakti, bagaimana gadis ini akan dapat menyangkal pula?
Bukti-buktinya
sudah cukup lengkap, yaitu senjata-senjata rahasianya, dan saksi-saksinya juga
sudah banyak, terutama sekali dia yang menjadi saksi utama karena beberapa kali
dia melihat gadis baju putih ini berkelebat pergi setiap ada
pembunuhan-pembunuhan itu, dan masih teringat olehnya, bahkan masih terasa
belaian-belaian kasih sayang penuh nafsu dari gadis baju putih yang
kelihatannya dingin dan alim ini!
"Nona,
jawablah apakah semua yang dikatakan Cia Keng Hong itu benar? Apakah benar Nona
yang membunuh murid-murid Hoa-san-pai, Kong-thong-pai dan
Tiat-ciang-pang?"
Biauw Eng
memandang kepada Keng Hong dengan muka pucat, sinar matanya berduka sekali,
bibirnya bergerak-gerak dan gemetar seperti wanita kalau hendak menangis. Akan
tetapi gadis yang keras hati ini cepat menggigit bibirnya yang bawah sehingga
tampak kilatan gigi putih disusul warna merah karena bibir bawahnya pecah
tergigit!
Agaknya
dengan kekerasan hati Biauw Eng hendak mengeluarkan kata-kata yang segera ditekan
dan ditahannya sendiri dengan gigitan pada bibirnya. Wajahnya tidak pucat lagi,
bahkan mulai menjadi kemerahan, sinar matanya menyapu semua orang yang hadir di
situ, kemudian memandang Kiang Tojin dan sejenak sinar mata kedua orang itu
bertemu.
Dalam detik
pertemuan sinar mata itu, keduanya seperti orang bermufakat dan saling saling
maklum bahwa masing-masing merasa suka dan mengandung hati kasih sayang
terhadap Keng Hong! Akan tetapi hanya sedetik saja pertemuan getaran perasaan
ini dan terdengarlah suara Biauw Eng nyaring dan tetap, sedikit pun tidak
gemetar dan dia sudah bangkit berdiri.
"Yang
bersalah dihukum, yang tak bersalah dibebaskan. Itu sudah sewajarnya maka saya
minta kepada cu-wi sekalian untuk membebaskan Keng Hong! Dia tidak bersalah karena
benar seperti yang dikatakannya tadi, semua pembunuhan itu akulah yang
melakukannya! Dan aku siap menerima hukuman, akan tetapi Keng Hong harus
dibebaskan sekarang juga!”
Keng Hong
menatap gadis itu dengan sinar mata tajam. Begitu Biauw Eng mengucapkan
pengakuannya, sungguh heran sekali, kebenciannya menghilang dan dia kini
memandang penuh kekhawatiran! Gadis itu jelas telah mengucapkan keputusan
kematian sendiri!
Kiang Tojin
menghadapi para tokoh tiga buah partai persilatan besar itu, lantas berkata,
"Nah, cu-wi telah mendengar sendiri pengakuan Song-bun Siu-li dan berarti
bahwa Keng Hong tidak bersalah dalam urusan ini. Kalau dia membela diri pada
waktu diserang dan dikeroyok sehingga jatuh korban di antara para pengeroyok,
sangatlah tidak adil kalau dia dipersalahkan. Terserah cu-wi sekalian sekarang,
apa yang akan cu-wi lakukan kepada yang bersalah."
"Perempuan
iblis ini harus dibinasakan!" bentak Tiat-ciang Ouw Beng Kok, menghantam
dengan tangan bajanya yang kiri ke arah kepala Biauw Eng.
Juga Coa Kiu
sudah menggerakkan pedangnya menyusul, sehingga tampak sinar terang dan suara
mencuit ketika sinar pedang ini menyambar dan saat berikutnya, Kok Sian Cu
menggerakkan pula tongkat bambunya menusuk ke dada gadis itu. Tiga serangan
maut dari tiga tokoh kang-ouw yang sakti ini datang secara beruntun dalam
detik-detik yang hampir bersamaan.
Sedangkan
Biauw Eng hanya menundukkan muka dan siap menerima datangnya maut. Ia sama
sekali tidak menjadi gentar, matanya hanya ditujukan kepada Keng Hong dengan
pandang mata sayu penuh kesedihan.
"Tidak!
Jangan bunuh dia...!" Keng Hong berseru keras dan dia pun lalu menubruk
maju menghadang di depan Biauw Eng sambil menggerakkan tangannya mendorong ke
depan dengan maksud melindungi gadis ini.
Karena
pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok datang lebih dahulu, maka pukulan tangan baju
inilah yang bertemu dengan tangan Keng Hong sehingga terdengarlah suara keras
dan tubuh Ouw Beng Kok terjengkang ke belakang, juga Keng Hong terbanting ke
kiri!
"Tak
boleh melakukan pembunuhan di sini!" terdengar suara halus dan sinar
pedang Coa Kiu yang sudah meluncur dekat dan kini telah mengancam Keng Hong
karena tubuh Keng Hong masih menutupi tubuh Biauw Eng, mendadak terpental
ketika tertangkis tongkat di tangan Thian Seng Cinjin.
Tongkat
bambu di tangan Kok Sian Cu lihai sekali. Biar pun ada tubuh Keng Hong yang
menghadang, akan tetapi tongkat itu bisa meliuk melalui punggung Keng Hong
kemudian langsung menukik dan menusuk ke arah dada Biauw Eng.
"Trakkk!"
Tongkat
bambu di tangan orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin itu menyeleweng dan
menghantam lantai sehingga membuat lantai itu berlubang!
"Hi-hi-hi-hik,
segala kecoa berani lancang tangan hendak membunuh puteriku?" Tiba-tiba
saja Lam-hai Sin-ni sudah berada di situ sehingga mengejutkan semua orang.
Pukulan
jarak jauh yang sudah berhasil menangkis tongkat bambu di tangan Kok Sin Cu ini
benar-benar mengejutkan dan mengagumkan. Lam-hai Sin-ni memandang puterinya dan
berkata dengan suara gemetar,
"Eng-ji...
ahh, Eng-ji.., mengapa engkau begini lemah? Mengapa engkau menyia-nyiakan nyawa
untuk kau korbankan? Begitu murahkah nyawamu kau korbankan untuk seorang pria
berhati palsu macam Keng Hong ini…?"
Biauw Eng
terisak. "Ibu... aku cinta kepadanya, Ibu..."
Lam-hai
Sin-ni membanting kakinya, "Bodoh! Lemah...! Ahhh, Sie Cun Hong, setelah
kau menghancurkan hatiku, mengapa sekarang muridmu yang hendak merusak
kebahagiaan puteriku dan puterimu?"
"Lam-hai
Sin-ni, puterimu sudah berhutang nyawa kepada kami, harus ditebus dengan
nyawanya pula!" Kok Kim Cu berseru marah melihat munculnya tokoh utama
dari Bu-tek Su-kwi ini.
"Benar,
dia harus dibinasakan!" bentak pula Coa Kiu dan Coa Bu.
"Biar
pun Lam-hai Sin-ni sendiri, tidak boleh melindungi puterinya yang berhutang
nyawa penasaran murid-murid kami!" bentak pula Tiat-ciang Ouw Beng Kok.
"Ehh,
ehh begitukah? Anakku hanya membela pemuda tak tahu diri itu, akan tetapi andai
kata benar dia yang membunuhi murid-murid kalian yang tak berharga, habis
kalian mau apa?" Watak Lam-hai Sin-ni memang amat dingin dan keras, bahkan
selalu memandang rendah lain orang, maka sekarang di hadapan tokoh-tokoh sakti
itu dia sama sekali tidak memandang mata!
Tentu saja
tokoh-tokoh itu menjadi marah sekali. Apa lagi Ngo-lojin dari Kong-thong-pai
yang kini tinggal empat orang itu. Dahulu mereka berlima sangat terkenal
sehingga para tokoh iblis seperti Thian-te Sam-lo-mo yang menjadi tiga orang
datuk hitam dari dunia penjahat dan sangat terkenal sebelum akhirnya muncul
Bu-Tek Su-kwi, juga tidak berani memandang rendah. Maka dengan seruan-seruan
nyaring meraka itu menerjang maju, mempergunakan cengkeraman-cengkeraman
Ang-liong Jiauw-kang mereka yang ampuh, bahkan Kok Sian Cu menyerang dengan
tongkat bambunya.
Di saat itu
pula, melihat kesempatan baik karena banyak kawan untuk menghadapi nenek iblis
yang mereka tahu amat lihai ini, Coa Kiu dan Coa Bu kedua Hoa-san
Siang-sin-kiam juga maju dengan pedang mereka, sedangkan Ouw Beng Kok dan
Kim-to Lai Ban juga tak tinggal diam, akan tetapi mereka berdua bukan menyerang
Lam Hai Sin-ni melainkan Biauw Eng!
Terjangan
orang-orang sakti ini dilakukan serentak dan cepat sekali, membuat para tosu
Kun-lun-pai tidak sempat melerai dan memandang bingung karena mereka sebagai tuan
rumah tentu saja merasa tidak senang kalau tempat tinggal mereka dijadikan
gelanggang pertempuran.
"Plak-plak-plak…!"
Yang datang
lebih dahulu adalah pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang. Akan tetapi tiga
pukulan Kok Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu ini ditangkis lengan Lam-hai
Sin-ni dan tangan mereka itu melekat pada lengan nenek ini dan terus disedotlah
hawa sinkang dari tangan mereka yang membanjir tanpa dapat dicegah memasuki
lengan Lam-hai Sin-ni yang tertawa terkekeh.
Ketika
mereka bertiga terkejut, tiba-tiba Lam-hai Sin-ni menggerakkan kedua lengannya
sehingga tiga orang itu terangkat kemudian diputar-putar ke atas untuk dipakai
menangkis serangan bambu Kok Sian Cu dan sepasang pedang Coa Kiu dan Coa Bu!
Tentu saja
dua orang Hoa-san Siang-sin-kiam itu kaget sekali dan cepat menarik kembali
pedang mereka supaya tidak melukai para tokoh Kong-thong-pai itu, sedangkan Kok
Sian Cu yang lebih cerdik dan lihai, menggerakkan tongkat bambunya menyusup ke
samping dan mengirim totokan ke arah pusar Lam-hai Sin-ni secara hebat dan
cepat sekali!
Lam-hai
Sin-ni tertawa, mundur dua langkah dan melontarkan tubuh ketiga orang tokoh
Kong-thong-pai itu ke arah Kok Sian Cu, Coa Kiu dan Coa Bu sehingga terpaksa
tiga orang tokoh itu mengelak dan tubuh Kok Seng Cu dan para suheng-nya
terbanting roboh dalam keadaan lemas karena sebagian dari sinkang mereka telah
tersedot oleh Lam-hai Sin-ni dengan ilmu mukjijat Thi-khi I-beng!
Sementara
itu, Biauw Eng yang masih berdiri seperti orang kehilangan semangat, diam saja
pada saat diserang oleh dua orang tokoh Tiat-ciang-pang. Melihat ini, kembali
Keng Hong yang meloncat maju dan menyambut serangan itu.
Karena kedua
orang tokoh Tiat-ciang-pang itu marah sekali, sekali ini serangan mereka pun
amat hebat, bahkan Kim-to Lai Ban telah menggunakan goloknya. Keng Hong masih
bingung tadi oleh pengakuan Biauw Eng yang tadinya menyangkal kemudian berbalik
mengaku, menjadi makin bingung oleh ucapan Lam-hai Sin-ni.
Melihat
gadis yang amat aneh, yang dapat mendatangkan rasa cinta dan benci bergantian
di hatinya itu kini terancam bahaya, mati-matian dia menubruk maju, menggunakan
kedua lengannya untuk menangkis pukulan tangan baja dan golok.
"Desssss..!"
Tubuh Keng Hong terbanting lagi ke atas lantai.
Pada waktu
dia dikeroyok dalam pertandingan di lereng Kun-lun-san, dia telah mengalami
pukulan-pukulan yang mengakibatkan luka di dalam tubuh, kini dia menangkis
pukulan Tiat-ciang Ouw Beng Kok sampai dua kali. Dadanya terasa sakit-sakit dan
dia muntahkan darah segar, ada pun lengannya yang menangkis golok Lai Ban
terluka parah di pangkal sikunya, kulit dagingnya robek dan mengucurkan banyak
darah.
Namun, dalam
usahanya menyelamatkan Biauw Eng, Keng Hong tidak merasakan semua lukanya,
bahkan begitu tubuhnya terbanting, dia langsung berguling ke lantai mendekati
Biauw Eng, tiba-tiba menangkap pinggang gadis itu dan melontarkannya sekuat
tenaga ke arah Lam-hai Sin-ni sambil berkata,
"Locianpwe,
harap bawa pergi puterimu dari sini...!"
Lam-hai
Sin-ni baru saja memukul mundur para pengeroyok dengan melontarkan tubuh tiga
orang tokoh Kong-thong-pai. Sekarang melihat tubuh puterinya melayang ke
arahnya, cepat dia menangkap lantas mengempitnya. Dia ingin sekali mengamuk dan
membunuhi semua orang yang hendak mengganggu puterinya, akan tetapi pada saat
itu terdengar suara halus.
"Apakah
orang tak memandang mata lagi pada Kun-lun-pai sehingga tidak mempedulikan
pinto semua dan mengacau sekehendak hatinya?" Yang berbicara ini adalah
Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang tadi ketika menangkis sinar pedang Coa
Kiu dilakukannya sambil duduk dan semenjak itu menonton dan mendengarkan semua
yang terjadi dengan alis berkerut.
Mendengar
suara ini, Lam-hai Sin-ni lalu tertawa dan berkata, "Maafkan
kelancanganku, Cinjin!"
Tubuhnya
segera berkelebat, membawa pergi puterinya dari tempat itu tanpa ada yang
berani mengganggu, pertama karena memang jeri menghadapi nenek itu sendirian
saja, kedua karena mereka pun terpengaruh suara Thian Seng Cinjin hingga merasa
sungkan untuk memperlihatkan kekerasan di depan kakek ini yang selain menjadi
tuan rumah, juga terkenal sebagai ketua Kun-lun-pai yang sangat lihai, belum
lagi diingat akan banyaknya tosu-tosu lihai di Kun-lun-pai ini.
"Biarlah
dia pergi, yang paling penting, bocah ini tak boleh terlepas begitu saja dari
tangan kami!" kata Coa Kui. "Andai kata bukan dia yang membunuh,
sudah jelas dia menghina murid wanita kami!"
"Juga
dua orang murid wanita kami!" kata Kok Sian Cu.
"Benar,
tak boleh bocah ini dilepas begitu saja!" Ouw Beng Kok turut pula bicara.
"Omitohud,
Pinceng masih harus mendapat kitab-kitab Siauw-lim-pai dari bocah ini!"
kata wakil ketua Siauw-lim-pai dan yang lain-lain juga ikut pula membuka suara.
Keng Hong
merasa marah sekali. Tubuhnya sakit-sakit, dadanya terasa sesak, kepalanya
pening oleh pukulan-pukulan yang diterimanya, ditambah pula kepergian Biauw Eng
yang tiba-tiba seperti membawa sebagian semangatnya.
Pengakuan
Biauw Eng yang melakukan pembunuhan-pembunuhan itu sangat meragukan hatinya.
Dia yakin bahwa gadis itu mengakui semua itu untuk menerima hukuman di atas
pundaknya, dengan niat membebaskan Keng Hong. Maka dia menjadi ragu-ragu apakah
benar gadis itu yang melakukan pembunuhan-pembunuhan keji.
Siauw Biauw
Eng dan ucapan Lam-hai Sin-ni telah meragukan hatinya. Tentu ada rahasia di
balik semua itu. Orang yang kelihatan jahat belum tentu selamanya akan
melakukan perbuatan jahat. Sebaliknya orang yang tampaknya baik-baik belum
tentu pula selamanya benar. Buktinya Lian Ci Tojin. Bukankah tosu itu secara
keji laksana binatang buas telah memperkosa Tan Hun Bwee, puteri Tan piauwsu?
Padahal
perbuatan itu sampai mati sekali pun tak akan sudi dia melakukannya. Dan para
tokoh besar ini. Kurang tampak jelaskah betapa tamak mereka ini,
mengejar-ngejar dan berlomba-lomba memperebutkan pusaka gurunya?
Tiba-tiba
saja dia meloncat bangun dan berkata, suaranya kasar dan nyaring, "Kalian
ini orang-orang tua yang jahat dan tamak! Aku tak sudi lagi menuruti segala
kata-kata kalian! Apakah dosaku terhadap kalian, termasuk terhadap Kun-lun-pai?
Salahkah apa bila aku menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong? Coba katakan, perbuatan
apakah yang sudah kulakukan terhadap kalian semua? Akan tetapi kalian selalu
mengejar-ngejar aku, memperebutkan Siang-bhok-kiam, ini hanya alasan sebab
sebenarnya kalian semua menginginkan pusaka peninggalan suhu! Tak tahu malu!
Takkan kuberikan kepada siapa pun juga! Semua akan kupelajari sendiri dan kelak
akan kupergunakan untuk melawan kalian!"
Semua orang
memandang dengan mata terbelalak, termasuk Kiang Tojin, dan terdengar Thian
Seng Cinjin berkata perlahan. "Siancai..., mulut tajam...!"
Akan tetapi
Ouw Beng Kok telah menerjang maju. Dia menghantam sambil membentak, "Bocah
sombong!"
Berbareng
dengan pukulan Ouw Beng Kok ini, Lian Ci Tojin juga maju menghantam dari kiri
dengan pukulan dahsyat mengarah lambung Keng Hong.
Pemuda ini
yang sudah dua kali merasakan pukulan Ouw Beng Kok yang hebat, menjadi marah
dan merendahkan diri setengah berjongkok, mengerahkan seluruh tenaganya lalu
memapaki pukulan ketua Tiat-ciang-pang ini dengan dorongan tangan yang
mengandung sinkang warisan gurunya.
"Blekkkkkkk…!"
Tubuh Ouw
Beng Kok terjengkang dan ketua Tiat-ciang-pang ini roboh pingsan dengan mulut
muntah darah! Akan tetapi Keng Hong juga roboh berguling-gulingan oleh karena
lambungnya dihajar pukulan tangan Lian Ci Tojin.
“Sute,
jangan bermain curang!" bentak Kiang Tojin marah, akan tetapi karena
pukulan itu telah bersarang dan membuat Keng Hong roboh, dia hanya memandang
cemas.
Keng Hong
bangkit lagi, menekan lambungnya yang serasa hendak pecah. Dia kemudian
menyusuti darah yang mengalir dari mulutnya, dan tanpa disadarinya dia mencabut
keluar selembar kain hijau milik puteri Tan-paiuwsu yang disimpan dalam saku
bajunya. Melihat pita warna hijau ini dia teringat akan gadis itu dan
menudingkan telunjuknya kepada Lian Ci Tojin sambil berkata, "Kiang Tojin!
Sute-mu ini selain curang juga keji sekali terhadap seorang nona baju hijau..."
"Engkau
yang keji, bisa menuduh orang, keparat!" Lian Ci Tojin sudah menerjang
maju lagi, akan tetapi Keng Hong melompat mundur, membalikkan tubuhnya dan
segera berlari secepatnya menuju Kiam-kok-san.
"Kejar!"
Entah siapa
yang mengeluarkan ucapan ini, akan tetapi seperti sebuah pasukan tentara
menerima komando, semua orang segera mengejar, kecuali ketua Kun-lun-pai dan
Kiang Tojin.
Di antara
para tosu Kun-lun-pai, hanya Lian Ci tojin dan Sian Ti Tojin saja yang mengejar
bersama para tokoh lainnya, sedangkan tosu Kun-lun-pai lainnya hanya berdiri
ragu-ragu dan menanti perintah, memandang kepada Kiang Tojin.
"Bawa
anak murid Kun-lun-pai dan lihat apa yang terjadi di sana, jaga agar jangan
sampai tempat suci itu dikotori orang," kata Thian Seng Cinjin kepada
muridnya yang tertua itu.
Kiang Tojin
mengangguk lalu mengajak semua anak murid Kun-lun-pai segera melakukan
pengejaran dari jauh. Thian Seng Cinjin menghela napas panjang berulang kali,
kemudian bersila bersemedhi untuk menenteramkan batinnya yang mengalami guncangan
dalam peristiwa itu.
Keng Hong
mengerahkan seluruh tenaganya yang ada untuk berlari cepat. Larinya masih cepat
karena memang pemuda ini mempunyai ginkang yang tidak lumrah dimiliki seorang
pemuda, dan pantasnya dimiliki oleh seorang yang sudah berlatih puluhan tahun.
Hal ini
adalah berkat diterimanya pemindahan sinkang dari Sin-jiu Kiam-ong. Akan tetapi
pada saat itu dia telah terluka cukup berat sehingga andai kata dia tidak
memiliki sinkang yang luar biasa tentulah dia sudah roboh dan karenanya, ketika
dia mengerahkan seluruh tenaganya, napasnya terengah-engah dan dadanya terasa
sakit sekali.
Merasa
betapa kepalanya pening sekali sedang napasnya sesak hampir sukar bernapas,
terpaksa Keng Hong memperlambat larinya. Namun begitu dia mengurangi kecepatannya
empat orang kakek Kong-thong-pai itu telah menyusulnya. Memang Kong-thong
Ngo-lojin terkenal dengan ginkang mereka yang hebat sehingga ginkang mereka itu
dapat berlari lebih cepat dari pada tokoh lainnya.
"Bocah
setan, engkau hendak lari ke mana?!"
Di antara
para tokoh yang mengejar, yang merasa sakit hati kepada Keng Hong pribadi
adalah tokoh-tokoh Kong-thong-pai, Hoa-san-pai dan Tiat-ciang-pang. Ada pun
para tokoh lainnya yang juga ikut mengejar, seperti dari Siauw-lim-pai, Kiu-bwe
Toanio, Sin-to Gi-hiap hanya ingin memperebutkan pusaka Sin-jiu Kiam-ong, tidak
mempunyai dendam pribadi kepada pemuda itu, maka mereka ini tidak seperti
tokoh-tokoh tiga partai besar pertama, tak ingin membunuh Keng Hong, melainkan
hanya ingin memaksanya agar menyerahkan pusaka gurunya.
Begitu
Kong-thong Ngo-lojin yang tinggal empat orang saja itu dapat menyusul, serentak
mereka lalu mengirim pukulan-pukulan Ang-liong Jiauw-kang yang ampuh dari
belakang. Keng Hong mendengar sambaran angin pukulan yang sangat hebat ini dan
dia memang sudah siap mengadu nyawa dengan orang-orang yang memusuhinya, sudah
marah dan nekat sekali, juga sudah mengambil keputusan untuk tidak menyerah
sampai mati. Maka cepat dia membalik badan sambil merendahkan tubuh menekuk
kedua lutut, sedangkan kedua lengannya bergerak ke atas untuk menangkis.
Kekuatan
sinkang yang dia kerahkan hebat bukan main dan dia dalam keadaan marah, maka
otomatis daya sedot sinkang-nya bekerja amat kuatnya sehingga begitu tangan Kok
Seng Cu, Kok Liong Cu dan Kok Kim Cu tertangkis, tangan tiga orang yang
mengandung tenaga pukulan Ang-liong Jiauw-kang itu menempel di kedua lengan
pemuda itu dengan kuatnya.
Tenaga
Ang-liong Jiauw-kang merupakan tenaga yang timbul akibat pengerahan sinkang dan
memang amat hebat hingga dengan jari-jari tangan mereka yang membentuk cakar,
kakek-kakek dari Kong-thong-pai ini sanggup meremas hancur senjata tajam lawan!
Maka yang kini mengalir bagaikan banjir memasuki tubuh Keng Hong melalui kedua
lengannya adalah tenaga sinkang yang amat dahsyat sampai napasnya hampir
berhenti. Keng Hong megap-megap dan merasa betapa tenaga yang kuat dan hawa
panas sekali memasuki tubuhnya, berputaran di sekitar pusarnya.
"Celaka...
Twa suheng... tolong...!" Kok Kim Cu berteriak kaget.
Melihat
betapa tiga orang sute-nya terbelalak dan terengah-engah mencoba melepaskan
tangan mereka yang mencengkeram lengan pemuda itu, Kok Sian Cu pun maklum akan
keadaan tiga orang sute-nya.
"Terkutuk!
Ilmu iblis...!" teriaknya dan tongkatnya segera bergerak menotok kedua
siku lengan Keng Hong.
Pemuda ini
sedang dalam keadaan setengah kejang dan kaku, tak dapat bergerak karena
derasnya hawa sinkang yang memasuki tubuhnya, karena itu biar pun dia maklum
akan datangnya totokan, dia tidak mampu mengelak.
Betapa pun
kuatnya sebagai orang pertama Ngo-lojin, andai kata Kok Sian Cu menyerang Keng
Hong dengan tangan kosong, tentu begitu pukulannya mengenai tubuh pemuda itu,
sinkang-nya akan tersedot pula. Namun kakek ini sangat lihai dan maklum akan
hal itu, maka dia lalu menggunakan ujung bambu untuk menotok dan begitu
mengenai sasaran, dengan gerakan ‘sendal pancing’ dia cepat menarik kembali
tongkatnya.
Keng Hong
merasa betapa kedua tangannya lumpuh dan tiga buah tangan kakek yang tadi mencengkeramnya
dapat terlepas, maka dia lalu membalikkan tubuh dan berlari lagi. Ia
megap-megap dan dadanya makin sakit, akan tetapi larinya tidak lumrah manusia
lagi, seolah-olah terbang saja dan kedua kakinya seperti tidak menyentuh bumi.
Hal ini adalah karena tenaga sinkang dari tiga orang kakek pemilik ilmu pukulan
Ang-liong Jiauw-kang yang telah tersedot oleh tubuhnya tadi kuat bukan main
hingga tubuh Keng Hong penuh dengan tenaga sinkang yang berlebihan.
Seperti
sebuah balon karet terlalu banyak angin, tubuhnya ringan dan setiap kali
meloncat ke depan, dapat mencapai jarak yang lima enam kali lebih jauh dari
pada kemampuannya yang biasanya. Sudah beberapa kali Keng Hong mengalami
keadaan terlalu penuh hawa sinkang seperti ini. Tiap kali dia bingung bagaimana
harus membuang tenaga berlebihan itu.
Akan tetapi
sekarang, karena dia mengerahkan seluruh tenaga untuk melarikan diri, maka
kelebihan tenaga itu dapat dia salurkan untuk keperluan ini sehingga larinya
bagaikan terbang dan semakin cepat dia mengerahkan tenaga berlari, makin lapang
rasa dadanya dan daya tarik-menarik di tubuhnya akibat penyedotan sinkang tiga
orang kakek itu mulai berkurang, bahkan dapat dia selaraskan dengan pernapasan
dan tenaganya sendiri.
Empat orang
kakek Kong-thong-pai melongo pada waktu menyaksikan betapa pemuda itu
berkelebat cepat laksana halilintar menyambar dan sebentar saja telah sampai di
sebuah puncak! Hampir mereka tak dapat percaya akan pandangan mata sendiri, dan
karena tiga orang di antara mereka sudah menjadi agak lemah akibat sebagian
besar sinkang mereka tersedot lenyap, terpaksa dengan hati penasaran mereka
melanjutkan pengejaran secara perlahan-lahan sehingga tersusul oleh tokoh-tokoh
lain.
Akan tetapi
ketika para tokoh itu tiba di kaki batu pedang di Kiam-kok-san, mereka melihat
tubuh Keng Hong dengan susah payah telah mendaki sampai setengah dari batu
pedang yang tampak dari bawah. Jelas tampak betapa pemuda itu sudah terluka dan
terengah-engah, akan tetapi dengan nekat pemuda itu merangkak terus ke atas.
"Kejar...!"
Seru Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai sambil menggerakkan pedangnya.
Akan tetapi
Kiang Tojin yang sudah tiba di situ bersama anak murid Kun-lun-pai, sudah cepat
menghadang di depan batu pedang sambil berkata,
"Maaf,
cu-wi sekalian! Kiam-kok-san merupakan sebuah tempat keramat bagi Kun-lun-pai.
Sedangkan kami sendiri tidak ada yang boleh naik ke puncaknya, bagaimana kami
dapat memperbolehkan orang lain naik? Pinto harap cu-wi sekalian maklum, dan
kami percaya bahwa di tempat wilayah kekuasaan cu-wi masing-masing juga
terdapat tempat keramat seperti Kiam-kok-san bagi kami."
"Ah,
tapi hal ini lain lagi, Toyu." Bantah Kok Sian Cu. "Harus pinto akui
kebenaran ucapan Kiang-toyu bahwa di tempat kami pun ada tempat keramat yang
tidak boleh dilanggar lain orang. Kami pun tentu saja memandang muka para
pimpinan Kun-lun-pai, sekali-kali tak berani melanggar tempat keramat
Kun-lun-pai, akan tetapi sekali ini kami semua sama sekali bukanlah hendak
melanggar. Kami hanya ingin mengejar lantas menangkap bocah yang naik ke
Kiam-kok-san itu. Walau pun merupakan tempat larangan, akan tetapi kalau ada
alasan yang kuat dan bukan semata-mata sengaja ingin melanggar, kami kira sudah
sepatutnya kalau Toyu membiarkan kami mengejar dan menangkap bocah itu."
"Omitohud...,
benar sekali apa yang diucapkan sahabat Kok Sian Cu. Pinceng tentu saja pantang
untuk melanggar tempat keramat Kun-lun-pai, akan tetapi mungkin sekali kedua
kitab pusaka Siauw-lim berada di puncak Kiam Kok-san ini, apakah Kiang-toyu
hendak mengukuhi larangan ini dan tidak hendak mengembalikan kitab kami?"
Selagi Kiang
Tojin bingung akibat merasa terdesak oleh omongan-omongan yang memiliki dasar
kuat itu, tiba-tiba saja terdengar suara ketawa bergelak dan tahu-tahu di situ
telah muncul tiga orang yang mengejutkan hati mereka karena tiga orang ini
bukan lain adalah Ang-bin Kwi-bo, Pak-san Kwi-ong dan Pat-jiu Sian-ong, tiga
orang di antara empat orang Bu-tek Su-kwi yang dahulu, lima tahun yang lalu
juga telah datang di tempat itu membuat kocar-kacir para tokoh sakti dan hampir
saja membunuh para tokoh itu bila tidak ditolong oleh Sin-jiu Kiam-ong!
Melihat
munculnya ketiga orang iblis ini, Thian Ti Hwesio tokoh Siauw-lim-pai yang tadi
bicara, cepat berkata sambil menggerakkan tongkat Liong-cu-pang di tangannya.
"Omitohud...!
Pinceng tidak akan mundur selangkah pun menghadapi ketiga orang Bu-tek Su-kwi
jika sekali ini Sam-kwi hendak merampas peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, termasuk
kitab-kitab pusaka kami!”
"Kami
pun tidak sudi bersekutu dengan Bu-tek Su-kwi, musuh-musuh kami dari aliran
yang bertentangan!" kata Kok Sian Cu.
"Ha-ha-ha-ha!
Ada saatnya bermusuhan ada saatnya bersahabat. Jika tidak ada alasan
bermusuhan, kenapa tidak bersahabat? Kalau ada alasan kuat untuk bersekutu,
mengapa bermusuhan? Bukankah Nabi Konghucu mengatakan bahwa di empat penjuru
lautan ini semua manusia adalah bersaudara?" kata Pat-jiu Sian-ong yang
suaranya halus sambil menggerak-gerakkan kebutannya dengan lagak seorang dewa
sedang memberi ceramah kebatinan!
"Kami
adalah golongan bersih, lawan golongan sesat, kami kaum putih lawan kaum hitam
tidak sudi bersahabat dengan Bu-tek Su-kwi!" kata Coa Bu tokoh
Hoa-san-pai.
Memang semua
tokoh kang-ouw membenci Bu-tek Su-kwi, empat orang iblis yang selalu membikin
kacau dunia kang-ouw dan hampir semua golongan kang-ouw pernah dibikin rugi
oleh empat orang datuk hitam itu.
"Hi-hi-hik,
sombong amat orang Hoa-san-pai! Mengandalkan apanya sih?" Ang-bin Kwi-bo
mengejek.
"Mengapa
bicara baik-baik dengan orang yang berhati dengki dan memandang orang lain
penuh dosa sedang diri sendiri yang paling bersih? Kalau kami merampas pusaka,
kalian mau bisa berbuat apakah?" bentak Pak-san Kwi-ong dan kakek tinggi
besar berkulit hitam ini menggerak-gerakkan tubuhnya yang berbulu sehingga dua
buah tengkorak pada ujung rantai yang diikatkan di pinggangnya mengeluarkan
suara berkelotokan mengerikan.
Akan tetapi
Pat-jiu Sin-ong mengangkat tangan kanan yang memegang kebutan sambil tersenyum
dan terdengarlah suaranya yang halus bagaikan orang peramah penuh kasih sayang
antara manusia.
"Damai…,
damai…! Tidak ada yang seindah perdamaian! Kami datang untuk membantu cu-wi
sekalian dalam perdebatan memperebutkan kebenaran dengan pihak Kun-lun-pai!
Harap cu-wi jangan salah faham."
Setelah
berkata demikian, Pat-jiu Sian-ong memandang kepada kedua orang kawannya.
Memang di antara mereka bertiga, Pat-jiu Sian-ong terhitung yang paling pandai
bicara dan pandai pula bersiasat. Dia tahu bahwa kedua orang kawannya itu,
seperti juga dia sendiri, tentu saja tidak gentar menghadapi pengeroyokan para
tokoh kang-ouw itu.
Akan tetapi
di situ terdapat para tosu Kun-lun-pai yang selain berjumlah banyak, juga di
antaranya terdapat para pimpinan Kun-lun-pai, tujuh orang tokoh murid Thian
Seng Cinjin, terutama sekali Kiang Tojin yang tidak boleh dipandang ringan. Apa
lagi kalau si tua Thian Seng Cinjin sendiri turun tangan. Tentu mereka bertiga
takkan dapat bertahan. Maka kini dia menggunakan siasat memihak para tokoh
kang-ouw menghadapi Kun-lun-pai!
“Kiang
Tojin, engkau sebagai tokoh yang mewakili Kun-lun-pai, mengapa berpandangan
sempit dan picik? Mengapa engkau melarang orang-orang gagah yang hendak naik ke
puncak Kiam-kok-san?" dengan suara halus tetapi penuh nada menekan,
Pat-jiu Sian-ong bertanya kepada Kiang Tojin.
Tosu
Kun-lun-pai ini maklum bahwa akibat munculnya Bu-tek Sam-kwi, keadaan menjadi
gawat. Akan tetapi dia bersikap amat tenang ketika menjawab. "Pat-jiu
Sian-ong, agaknya di jaman sekarang ini orang-orang kang-ouw tidak lagi
mengindahkan peraturan sehingga melanggar wilayah orang lain sesuka hatinya dan
seenak perutnya sendiri. Kiam-kok-san adalah wilayah kami, bagaimana mungkin
kami membolehkan orang lain mendakinya?"
"Ha-ha-ha-ha-ha,
alasan yang sangat lemah, ya... lemah sekali! Tadi sudah dikemukakan pendapat
yang sangat jitu dari sahabat Kok Sian Cu wakil Kong-thong-pai dan sahabat
Thian Ti Hwesio wakil Siauw-lim-pai. Mengejar orang jahat dan berusaha
mengambil kitab pusaka sendiri sama sekali bukanlah sengaja ingin melanggar,
Akan tetapi aku memiliki alasan yang lebih kuat sekali, Kiang Tojin. Bukankah
tadi kau sendiri mengatakan bahwa Kiam-kok-san adalah sebuah tempat keramat
bagi Kun-lun-pai dan tak seorang pun boleh mendakinya, bahkan orang Kun-lun-pai
sendiri pun dilarang?"
"Benar
sekali!" Kiang Tojin berkata tegas.
"Ha-ha-ha-ha!
Jika demikian, mengapa sampai bertahun-tahun Sin-jiu Kiam-ong menjadi penghuni
Kiam-kok-san padahal dia pun bukan seorang Kun-lun-pai? Dan sekarang, baru saja
Cia Keng Hong mendaki Kiam-kok-san, tetapi mengapa didiamkan saja, Kiang Tojin?
Bukankah dengan demikian seakan-akan Kun-lun-pai melindungi bocah itu? Ataukah
ada udang bersembunyi di balik batu, ada maksud lain terkandung dalam peraturan
ini?"
Mendengar
ini, Kiang Tojin tidak mampu menjawab! Ya, bagaimana dia harus menjawab?
Sin-jiu Kiam-ong dahulu setengah memaksa tinggal di Kiam-kok-san, dan karena
tak ada orang Kun-lun-pai yang dapat menundukkannya, bahkan dia sudah melepas
budi kepada Kun-lun-pai, maka ketua Kun-lun-pai membiarkan saja orang tua itu
tinggal dan bertapa di Kiam-kok-san.
Kemudian
Keng Hong tinggal pula di sana, akan tetapi hal itu merupakan kelanjutan dari
perbuatan Sin-jiu Kiam-ong, bukan kehendak Keng Hong pribadi atau kehendak
pihak Kun-lun-pai. Betapa pun juga, apa yang diucapkan oleh Pat-jiu Sian-ong
memang benar terjadi!
Kiang Tojin
sudah melihat betapa semua tokoh kang-ouw yang tadi bersikap tak senang dan
memusuhi ketiga orang Butek Su-kwi, kini mengangguk-angguk mendengar ucapan
Pat-jiu Sian-ong itu. Hal ini pun dilihat jelas oleh Pat jiu Sian-ong yang
merasa ‘mendapat angin’, maka dia lalu melanjutkan desakan kepada Kiang Tojin.
"Kiang
Tojin, selama ini Kun-lun-pai terkenal sebagai partai besar yang kenamaan
karena gagah perkasa dan menjujung tinggi kejujuran dan keadilan. Jika sekarang
ini Kun-lun-pai berkukuh dengan peraturan hanya untuk mempertahankan sebongkah
batu karang saja, tentu akibatnya akan hebat sekali. Bayangkan saja, kalau para
cu-wi di sini tidak mau menerima peraturan kukuh yang mau menang sendiri itu
tentu akan timbul bentrokan dan pertempuran yang akan membawa akibat hebat
sekali. Bahkan sangat berbahaya bagi Kun-lun-pai."
Kakek
bertubuh kecil kate akan tetapi mempunyai kepala sebesar gentong beras dengan
muka ciut itu menggeleng-gelengkan kepalanya dan membelai lehernya dengan
hudtim (kebutan dewa). Dengan hati mendongkol Kiang Tojin maklum apa yang
tersembunyi di balik kata-kata itu, yang tidak diucapkan akan tetapi yang
sesungguhnya paling penting, yaitu bahwa kalau terjadi pertempuran, tentu
Bu-tek Sam-kwi akan berpihak kepada para tokoh kang-ouw!
"Sedangkan
bahaya ke dua yang merupakan akibat kekukuhan peraturan tidak adil ini adalah
bahwa jika para sahabat yang perkasa di sini berhati mulia dan mengalah lalu
mengundurkan diri, tentu Kun-lun-pai akan menjadi buah tertawaan dan buah
ejekan di seluruh dunia! Bayangkan saja, melindungi seorang bocah dengan dalih
peraturan yang kaku, tua dan konyol, dengan pamrih bahwa kalau semua orang
telah pergi, Kun-lun-pai tentu akan naik sendiri ke Kiam-kok-san, dan menguasai
seluruh pusaka peninggalan dari Sin-jiu Kiam-ong! Bukankah Kun-lun-pai lalu
dianggap sebagai perkumpulan berengsek yang menggunakan akal bulus dan
menganggap semua tokoh kang-ouw di sini seperti kanak-kanak saja?"
"Pat-jiu
Kiam-ong, omonganmu mengandung racun!" bentak Kiang Tojin dengan kedua
tangan di kepal.
Dia maklum
betapa lihainya kakek yang menjadi datuk golongan hitam ini, namun untuk
mempertahankan Kun-lun-pai, dia tidak takut menghadapinya. Ia menaksir bahwa
dengan enam orang sute-nya dan dibantu oleh puluhan anak murid Kun-lun-pai, dia
tidak perlu takut menghadapi Bu-tek Su kwi yang hanya datang bertiga itu.
Akan tetapi
tiba-tiba terdengar Kok Sian Cu tokoh Kong-thong-pai berkata, "Siancai...!
Sekali ini, omongan Pat-jiu Kiam-ong ada isinya dan harus diakui
kebenarannya!"
Pada saat
Kiang Tojin memandang, jelas tampak olehnya betapa semua tokoh kang-ouw
membenarkan datuk hitam itu dengan pandang mata atau anggukan kepala. Maklumlah
Kiang Tojin bahwa keadaan benar-benar semakin gawat dan kalau dia tetap
bersikeras mempertahankan, tentu akan terjadi bentrokan hebat yang dia
sangsikan apakah akan menguntungkan Kun-lun-pai. Selagi Kiang Tojin merasa
bimbang tiba-tiba saja terdengar suara gurunya berkata lembut,
"Pat-jiu
Sian-ong, keadaan menguntungkan bagi pihak Bu-tek Sam-kwi, Jelaskanlah, apa
kehendakmu selanjutnya? Pinto mendengarkan." Tahu-tahu di situ telah
muncul kakek tua Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai yang berdiri dengan
tongkat di tangannya.
"Bagus
sekali, Ketua kun-lun-pai datang sendiri, segala sesuatu dapat diputuskan dengan
singkat dan tepat. Thian Seng Cinjin, mengingat akan keadaan para sahabat
kang-ouw yang menaruh dendam kepada murid Sin-jiu Kiam-ong dan mereka yang
dahulunya telah diganggu Sin-jiu Kiam-ong, maka sebaiknya kalau kita bersama
ramai-ramai mengejar ke puncak Kiam-kok-san. Kita akan bekerja sama dalam
suasana persahabatan, tanpa ada persaingan dan tidak ada perebutan. Kita
tangkap bocah yang membikin kacau itu, dan kita ambil semua pusaka peninggalan
Sin-jiu Kiam-ong. Para sahabat yang pusakanya dahulu dicuri oleh Sin-jiu
kiam-ong tentu saja boleh mengambil pusaka masing-masing, ada pun pusaka-pusaka
lainnya yang tidak ada pemiliknya, kita bagi rata di antara kita. Ada pun bocah
itu sendiri, kita serahkan kepada mereka yang menaruh dendam padanya. Bagaimana,
bukankah keputusan ini sudah adil sekali?"
Semua tokoh
kang-ouw mengangguk-angguk menyatakan setuju dan terdengar ucapan ‘adil’ dari
beberapa orang murid Kun-lun-pai.
Thian Ti
Hwesio cepat-cepat berkata, "Omitohud, kami dari Siauw-lim-pai sama sekali
tak menginginkan pusaka lain orang dan kami sudah cukup senang kalau dapat
menemukan kembali dua buah kitab pusaka kami."
"Kami
juga hanya menghendaki kembalinya pedang pusaka beserta ramuan obat milik
Hoa-san-pai, kemudian nyawa anak itu sebagai hukuman atas penghinaan yang telah
dia lakukan terhadap kami," kata Coa Kiu tokoh Hoa-san-pai.
"Kami
pun menghendaki nyawa anak itu sebagai pembalasan atas kematian banyak anak
murid kami!" kata Kok Sian Cu dari Kong-thong-pai.
"Sin-jiu
Kiam-ong berdosa kepadaku. Bila kini aku mendapatkan sebuah dua buah pusaka
peninggalannya, itu sudah cukup adil," kata Sin-tio Gi-hiap.
Semua orang
lalu menyatakan penasarannya dan hak mereka untuk mendapat sebagian pusaka
Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya Thian Seng Cinjin yang sejak tadi tersenyum tenang
sambil mendengarkan tuntutan mereka itu, berkata.
"Dan
bagaimana dengan kalian bertiga, Bu-tek Sam-kwi? Kalian bertiga menuntut apa?
Juga menghendaki pembagian pusaka Sin-jiu Kiam-ong?"
"Ha-ha,
Thian Seng Cinjin. Segala macam benda permainan dan pelajaran kanak-kanak
apakah gunanya bagi kami? Kalau nanti ternyata ada yang berguna bagi kami tentu
kami akan mengambil bagian kami sebagai imbalan atas usaha kami menciptakan
perdamaian dan permufakatan di sini, ha-ha-ha!"
Kiang Tojin
menjadi muak dan mendongkol mendengarkan omongan semua orang itu dan diam-diam
di dalam hatinya dia terpaksa membenarkan maki-makian Keng Hong tadi bahwa
orang tua-orang tua ini amatlah tamak! Makin suka hatinya terhadap Keng Hong,
akan tetapi karena maklum sekali ini Keng Hong takkan dapat terlepas dari
bahaya maut kecuali kalau dia pandai terbang di udara, maka dengan menekan
keharuan hatinya dia hanya berkata,
"Keputusan
terserah kepada Suhu, asal saja para sahabat yang mulia ini masih mau ingat
bahwa merupakan pantangan besar bagi Kun-lun-pai untuk melihat pembunuhan
terjadi di sini!"
"Suheng
kenapa khawatir? Para Locianpwe tentu akan menangkap dan membawa pergi bocah
setan itu, tak akan membunuhnya di depan Kiang Tojin!" kata Lian Ci Tojin
dengan hati girang.
Tosu ini
tadinya merasa gelisah sekali ketika Keng Hong memperlihatkan pita hijau dan
mendengar omongan pemuda itu. Rahasianya telah diketahui orang dan celakanya,
yang mengetahui adalah bocah ini. Maka dia harus dapat membunuh Keng Hong atau
melihat bocah ini terbunuh, baru akan aman rasa hatinya. Karena dia memang
sudah mempunyai perasaan tidak suka kepada Kiang Tojin, maka dia mempergunakan
kesempatan itu untuk memukul suheng-nya ini dengan ucapan yang jelas penuh arti
itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment