Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 11
MEREKA
menuju ke sebuah dusun kemudian dengan bantuan para penduduk di situ, lima buah
jenazah itu dikubur secara sederhana. Ketika enam orang murid Kong-thong-pai
itu berlutut sambil menangis di depan gundukan kuburan itu, Keng Hong yang
terbelenggu kedua lengannya turut pula menjatuhkan diri berlutut di depan
kuburan Kok Cin Cu dan berbisik lirih,
"Totiang
tentu mengerti bahwa bukan niatku membunuh Totiang berlima."
Enam orang
Kong-thong-pai itu menjadi heran melihat Keng Hong berlutut pula sambil berkemak-kemik
di depan kuburan guru mereka, akan tetapi mereka diam saja. Mereka membenci
pemuda ini yang sudah menewaskan guru mereka, akan tetapi mereka tidak berani
bersikap kasar karena mereka tahu diri dan mengerti pula bahwa pemuda itu dapat
mereka belenggu karena pemuda itu sengaja menyerahkan diri.
Kewajiban
mereka hanya menggiring pemuda ini ke Kong-thong-pai lalu menyerahkannya kepada
para pimpinan Kong-thong-pai. Mereka tahu bahwa walau pun kedua lengannya telah
dibelenggu, apa bila pemuda itu memberontak, agaknya mereka berenam bukanlah
lawannya.
Dua orang
wanita anak murid Kong-thong-pai itu, di samping menyimpan rasa benci dan
dendam akibat kematian gurunya, ada perasaan lain yang amat mengganggu hati
mereka dan yang sekaligus menghapus rasa benci dari hati mereka. Mereka berdua
merasa amat kagum kepada Keng Hong. Kagum akan kelihaian pemuda itu, juga kagum
akan sikapnya yang tenang dan gagah, kagum pula akan ketampanan wajahnya dan
kebagusan bentuk tubuhnya.
Apa lagi
bagi Kiu Bwee Ceng, wanita cantik berbaju kuning yang sudah dua kali bertemu dengan
Keng Hong, yaitu pertama kalinya ketika dia dan para saudara seperguruannya
bersama murid-murid Siauw-liam-pai dan Hoa-san-pai menghadang pemuda ini,
bahkan dia pernah mengalami tersedot sinkang-nya oleh pemuda yang aneh ini. Dia
kagum sekali akan kegagahan Keng Hong.
Kiu Bwee
Ceng ini adalah seorang janda muda dan usianya mendekati tiga puluh tahun.
Suaminya telah meninggal dunia dan dahulu suaminya adalah murid kepala dari Kok
Cin Cu, maka tentu saja ilmu kepandaiannya paling tinggi di antara para suheng-suheng-nya.
Setelah suaminya tewas dalam pertempuran melawan gerombolan penjahat, Bwee Ceng
menjadi janda. Sukar baginya untuk menemukan seorang pria yang mampu menandingi
suaminya. Bagaimana hatinya tak akan menjadi tertarik?
Apa lagi
karena ia dapat pula menduga bahwa dua orang gadis cantik jelita murid Lam-hai
Sin-ni yang amat lihai itu agaknya tergila-gila pula kepada Keng Hong. Ketika
tadi melihat betapa Keng Hong membentak dan mengusir Song-bun Siu-li yang
kelihaiannya terkenal sebagai seorang iblis betina yang mengerikan, dia menjadi
makin tertarik.
Ada pun
wanita ke dua yang berpakaian biru adalah Tang Swat Si, sumoi-nya. Wanita ini
masih gadis meski pun usianya sudah dua puluh lima tahun. Swat Si memiliki
wajah yang cantik dengan bentuk tubuh yang indah sehingga banyak pria yang
jatuh cinta kepadanya. Banyak pula datang lamaran, akan tetapi gadis ini selalu
menolaknya karena tidak ada seorang pun di antara para pelamar itu yang
menggerakkan hatinya.
Sekarang
bertemu dengan Keng Hong, tiba-tiba saja hatinya menjadi tiak karuan rasanya.
Berkali-kali gadis ini mencuri pandang, mengerling ke arah tubuh belakang Keng
Hong, melihat pinggulnya, punggung dan paha yang telanjang sebagian akibat
pakaiannya telah robek-robek termakan oleh pecut baja Kok Cin Cu tadi.
Melihat
kulit putih halus yang membayangkan otot-otot yang kuat, karena dia tadi sudah
menyaksikan betapa di balik kulit putih halus itu tersembunyi tenaga sinkang
yang sangat hebat hingga gurunya sendiri pun tak kuat menghadapinya, hati gadis
ini menjadi tegang, mukanya menjadi merah dan pipinya terasa panas, jantungnya
berdebar tidak karuan.
Bwee Ceng
agaknya maklum akan gerak-gerik sumoi-nya. Sebagai seorang wanita yang pernah
bersuami, dia lebih berpengalaman dan melihat gerak-gerik sumoi-nya, dia dapat
menduga bahwa sumoi-nya terserang penyakit yang sama dengan dia sendiri.
Diam-diam dia mendekatinya sumoi-nya sehingga mereka berjalan berendeng, agak
jauh dari empat orang suheng mereka.
Bwee Ceng
menowel lengan sumoi-nya, dan bicara berbisik-bisik sambil kadang-kadang
memandang ke arah tawanan mereka itu. Kelihatan mata Swat Si terbelalak
memandang suci-nya, kemudian menundukkan muka dengan kedua matanya mengerling
tajam sambil membayangkan rasa jengah dan malu-malu. Kemudian mereka berbisik-bisik
dan tidak ada orang lain yang dapat mendengar mereka, kecuali Keng Hong!
Pada saat
itu, Keng Hong sedang berjalan sambil melamun, memikirkan Sie Biauw Eng.
Kebenciannya dan penyesalan hatinya terhadap gadis itu makin menghebat. Ia
mengerti bahwa gadis itu sangat mencintainya, entah cinta hanya terdorong nafsu
birahi belaka, seperti yang terbukti dari pengalamannya malam itu ketika Biauw
Eng mendatanginya dan mencurahkan segala kemesraan kepada dirinya, entah cinta
yang lain lagi sifatnya sebab buktinya secara diam-diam gadis itu selalu
mengikutinya dan membantunya.
Betapa pun
sifatnya, dua macam cinta kasih ini tentu saja dapat dia terima dengan hati
senang dan puas. Akan tetapi yang membuat dia menyesal dan membenci adalah
bahwa setiap kali Biauw Eng turun tangan, tentu terjadi pembunuhan keji dan
akibatnya dialah yang dimusuhi orang!
Yang
terakhir ini sudah keterlaluan. Kalau saja Biauw Eng tidak turun tangan, tak
mungkin empat orang tokoh murid Kong-thong-pai tewas dan seorang tokoh di
antara Kong-thong Ngo-Iojin tewas pula!
Dan yang
paling memanaskan hatinya akan kekejian gadis itu adalah kematian Sim Ciang Bi,
gadis Hoa-san-pai yang lemah lembut, yang sama sekali tidak berdosa. Hanya
karena gadis Hoa-san-pai itu mencintainya lalu dibunuh secara keji oleh Biauw
Eng. Hemmm. demikian kejikah hati seorang wanita yang sudah mencinta? Apakah
kalau melihat setiap orang wanita lain mencintanya, lalu turun tangan tangan
membunuhnya? Ahhh, ingin dia melihatnya!
Jika memang
demikian, dia harus dapat menangkap basah Biauw Eng, dan menyeretnya untuk
menerima hukuman dari partai persilatan yang bersangkutan! Biar pun dia
memiliki perasaan sayang yang sangat aneh di sudut hatinya terhadap Sie Biauw
Eng, akan tetapi mengingat akan kekejian gadis itu, ingin sekali ia menangkap
basah Biauw Eng kemudian menyerahkannya kepada Hoa-san-pai atau Kong-thong-pai!
Pada saat
dia merenung sampai di situ, tiba-tiba dia mendengar bisikan-bisikan dua orang
wanita yang berjalan sedikit jauh di sebelah belakangnya. Ketika itu Keng Hong
sedang termenung dan keadaan orang yang termenung hampir sama dengan keadaannya
kalau sedang bersemedhi.
Begitu
telinganya dapat menangkap bisikan-bisikan itu, dia menghentikan renungannya
dan mencurahkan perhatiannya pada bisikan-bisikan tadi sehingga terdengar cukup
jelas oleh Keng Hong yang memang memiliki sinkang yang sangat kuat itu. Muka
Keng Hong menjadi merah ketika dia menangkap bisikan-bisikan itu dan dia
mengerling ke kanan kiri, ke arah empat orang murid pria Kong-thong-pai yang
berjalan di kanan kirinya, akan tetapi hatinya lega melihat mereka ini tidak
mendengar apa-apa.
"Suci
apa yang kau katakan ini? Jangan menuduh yang bukan-bukan…," terdengar
jelas oleh Keng Hong gadis baju biru, Tang Swat Si, berbisik.
"Hi-hik-hik,
tak perlu bepura-pura lagi, Sumoi. Aku pun amat tertarik padanya. Dia seorang
jantan pilihan, dan kalau saja kita dapat menerima cintanya untuk semalam saja…
ahh, selamanya kita tidak akan penasaran...," balas Kiu Bwee Ceng sambil
menghela napas.
"Ihhh..!
Suci, apa yang kau katakan ini? Sungguh memalukan.."
"Memalukan
apa? Sumoi, kita sama-sama wanita dan sama-sama jatuh hati kepadanya. Dia
mempunyai sinkang yang kuat luar biasa. Siapa tahu, kalau... satu kali saja dia
suka melimpahkan cintanya kepada kita…, sinkang-nya yang kuat itu akan menular
kepada kita..."
"Hina
dan rendah sekali, Suci.."
"Benarkah?
Kurasa tidak demikian isi hatimu. Atau, kalau engkau tidak mau, biarlah aku
yang mencobanya asal engkau dapat menutup rahasia ini. Kulihat matanya penuh
gairah ketika memandang kita. Mata seperti itu hanya dimiliki oleh pria yang
bersemangat dan yang selalu suka kepada wanita. Malam ini... kalau ada
kesempatan, kalau engkau mau, lebih baik lagi..., maukah engkau, Sumoi?"
"Ihhhhh,
aku... aku malu, Suci. Engkau lebih dulu..."
"Baik,
aku lebih dulu dan engkau menjaga. Kalau berhasil, akan kubujuk dia supaya suka
melayanimu pula."
Keng Hong
tersenyum dalam hatinya, tersenyum geli. Alangkah banyaknya wanita cantik
seperti mereka itu di dunia ini. Seperti Cui Im! Bahkan Biauw Eng, yang tadinya
disangka lain dari pada yang lain, bukan penghamba nafsu birahi, kiranya juga
sama saja! Ahh, dia tidak peduli lagi. Kalau memang mereka menghendaki dia
tidak akan menolak. Mereka itu manis-manis dan apakah kata gurunya?
"Uluran
cinta kasih wanita merupakan anugerah nikmat yang tidak semestinya dibiarkan
sia-sia, tentu saja kalau engkau sendiri tertarik kepadanya. Kalau tidak sekali
pun, jangan menolak secara kasar karena hal itu akan menyakiti perasaannya yang
halus. Tidak ada sakit hati yang lebih parah bagi seorang wanita dari pada
cintanya ditolak oleh seorang pria."
Dia akan
melayani mereka bahkan akan membuka jalan. Hal ini bukan sekali-kali karena dia
sudah tergila-gila kepada mereka, atau sudah terlalu mendesak keinginannya
untuk bermain cinta dengan mereka. Sama sekali bukan. Terutama sekali karena
dia sekarang mendapat jalan untuk memancing Biauw Eng.
Bukankah
Biauw Eng membunuh Sim Ciang Bi karena gadis Hoa-san-pai itu mencintai dirinya?
Nah, biarlah dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini bermain cinta dengannya
supaya Biauw Eng turun tangan pula membunuh mereka. Akan tetapi sekali ini dia
akan waspada, tidak akan tertidur pulas dan akan selalu menjaga agar dia dapat
menangkap Biauw Eng bila gadis itu berusaha membunuh mereka, dan tentu saja dia
akan berusaha mencegah pembunuhan atas diri ke dua orang murid Kong-thong-pai
ini.
Malam itu,
rombongan murid Kong-thong-pai bermalam di sebuah dusun. Karena mereka tidak
ingin mengganggu penduduk dusun itu, dan di dalam dusun kecil itu tidak
terdapat rumah penginapan, terpaksa mereka lalu mengaso di dalam sebuah kuil
tua yang sudah kosong.
Hati para
murid Kong-thong-pai itu tengah risau dan berduka berhubung dengan kematian
guru mereka, ada pun Keng Hong merupakan seorang tawanan yang suka rela, tak
perlu dijaga lagi karena andai kata mau melarikan diri, biar dijaga sekali pun
akan percuma dan tetap akan dapat lari. Maka empat orang murid pria dan dua
orang murid wanita itu segera merebahkan diri mengaso di lantai kuil setelah
mereka makan malam dan lantai itu disapu bersih oleh Bwee Ceng dan Swat Si.
Tentu saja,
seperti biasa, Bwee Ceng dan Swat Si memisahkan diri. Biar pun empat orang itu
adalah suheng-suheng mereka, namun sebagai wanita tentu saja mereka merasa
tidak leluasa untuk tidur di dalam suatu ruangan dengan mereka, apa lagi di
situ terdapat Keng Hong dan lebih-lebih lagi karena mereka berdua diam-diam
mempunyai rencana rahasia!
Malam itu,
menjelang tengah malam, Bwee Ceng berindap memasuki ruangan belakang di mana
Keng Hong tidur. Pemuda ini memang sengaja memilih ruangan terpisah untuk
tidur. Dengan suara gemetar Bwee Ceng berbisik,
"Keng
Hong.."
Keng Hong
memang belum tidur, dia masih duduk bersandar tembok kuil. "Ah, engkaukah
itu? Apakah kehendakmu?"
"Aku...
aku ingin membuka belenggumu. Amat tidak enak bila tidur dengan kedua tangan
terbelenggu."
Keng Hong
tersenyum dan mengangkat kedua tangannya yang sudah bebas. Dia sudah membuka
sendiri belenggu tangannya yang dia taruh di atas lantai. "Aku sudah bebas
dan siap menantimu, nona. Ataukah... perasaan cintamu yang kau bisikkan siang
tadi sudah berubah?"
Bwee ceng
makin kaget. "Kau… kau dapat mendengarkan percakapan itu...?"
"Tentu
saja, dan aku merasa girang sekali. Kalian adalah nona-nona yang cantik manis.
Akan tetapi, kita harus keluar dari kuil ini. Tidak enak rasanya apa bila kita
bersenang-senang di sini, di mana para suheng-mu sedang tidur. Dan ajaklah
sumoi-mu. Kita bertiga berjalan-jalan di kebun belakang kuil. Bagaimana,
maukah?"
Dengan dua
pipi berubah kemerahan Bwee Ceng hanya mengangguk-angguk, tanpa bisa
mengeluarkan suara, kemudian dia tertawa kecil dan berlari-larian pergi untuk
memanggil sumoi-nya. Keng Hong sudah melangkah keluar dari kuil menuju ke kebun
bunga yang berada di belakang kuil.
Seperti kuil
itu sendiri, kebun itu pun tidak terpelihara, namun masih banyak bunga-bunga
liar tumbuh di situ dan ditumbuhi rumput tebal. Keng Hong yang hendak
mempergunakan pertemuannya dengan dua orang murid wanita Kong-thong-pai ini
sebagai ‘pancingan’ kepada Biauw Eng, memilih tempat terbuka dan duduklah dia
di atas tanah yang bertilam rumput hijau tebal. Tak lama dia menanti dan
tampaklah Bwee Ceng, janda muda ini yang begitu tiba di tempat itu, lalu
menarik sumoi-nya duduk di dekat Keng Hong, kemudian sambil tersenyum dia
merangkul Keng Hong yang balas memeluknya.
"Ahh,
engkau begini tampan, begini gagah...," Bwee Ceng berbisik.
Karena
memang sudah mempunyai dasar batin lemah terhadap godaan nafsu, meski pun
tadinya sungkan dan malu, atas desakan Bwee Ceng dan keramahan Keng Hong, pada
akhirnya Swat Si mulai berani pula membalas rangkulan Keng Hong.
Pemuda ini
melayani kedua orang murid Kong-thong-pai yang dimabuk nafsu itu dengan penuh
kesediaan dan keramahan, tetapi dia hanya mencurahkan perhatiannya setengah
saja untuk itu, karena sebagian perhatiannya lagi dia kerahkan untuk meneliti
keadaan di sekeliling kebun itu, dan untuk dapat ‘menangkap basah’ apa bila
Biauw Eng turun tangan melakukan serangan kejam terhadap dua orang nona dalam
pelukannya.
Menjelang
fajar, Swat Si sudah tertidur kelelahan, dan Bwee Ceng masih membelai dan
memeluk Keng Hong. Janda ini benar-benar tergila-gila kepada pemuda perkasa itu
dan dia berbisik-bisik mesra,
"Keng
Hong, kekasihku... Engkau jangan khawatir, kelak di hadapan para supek-ku, aku
akan membelamu dan akan kuceritakan bahwa bukan engkau yang membunuh suhu dan
keempat orang suheng-ku, melainkan Song-bun Siu-li. Aku akan bersumpah dan
dengan segala daya akan kubela engkau, kekasihku."
Keng Hong
lalu menciumnya sambil tersenyum. "Engkau baik sekali, Bwee Ceng. Terima
kasih."
Pada saat
itu, Keng Hong cepat melepaskan pelukan Bwee Ceng dan tubuhnya bergerak ke
depan, menangkap dua benda yang mengeluarkan sinar putih dan yang menyambar
cepat ke arah pelipis Bwee Ceng dan Swat Si. Tepat seperti dugaannya, Biauw Eng
turun tangan menyerang dengan senjata rahasianya, yaitu bola-bola putih
berduri!
"Biauw
Eng, perempuan keji...!" Keng Hong cepat meloncat ke arah dari mana
datangnya senjata-senjata rahasia itu, tidak peduli bahwa tubuhnya masih
telanjang. Akan tetapi tak tampak bayangan seorang pun manusia.
Keng Hong
cepat-cepat kembali dan mengenakan pakaian, sedangkan dua orang wanita itu
sudah cepat kembali ke dalam kuil. Karena tidak berhasil menangkap Biauw Eng,
Keng Hong dengan hati panas kembali ke ruangan belakang kuil, lalu tertidur
sampai pagi.
Pada
keesokan harinya, dengan wajah berseri dan kedua pipi kemerahan, Bwee Ceng dan
Swat Si sudah memasak makanan. Pagi-pagi benar mereka telah membeli beberapa
ekor ayam dan gandum dari penduduk dusun, bahkan Bwee Ceng membawa pula seguci
arak.
Keng Hong
yang melihat betapa wajah mereka berseri, diam-diam harus mengakui bahwa mereka
itu cantik-cantik dan manis, maka hatinya menjadi makin girang. Apa lagi
melihat Swat Si yang menahan senyum dan dengan malu-malu kadang-kadang
mengerling ke arahnya, dia mengakui gadis ini dan membandingkannya dengan Ciang
Bi. Untung bahwa dia bersikap waspada, kalau tidak, tentu dua orang wanita
cantik ini sekarang sudah menjadi mayat, pelipis mereka telah pecah oleh dua
bola putih berduri korban keganasan Biauw Eng. Ia makin marah dan benci kepada
Biauw Eng.
"Wah,
Ji-wi Siocia (Nona Berdua) sungguh rajin, sepagi ini sudah mendapatkan makanan
pagi yang lengkap!" Keng Hong berseru gembira sambil mendekati salah
seorang murid Kong-thong-pai minta dibukakan belenggunya.
Murid
Kong-thong-pai itu lalu membuka belenggu tangannya untuk memberi kesempatan
Keng Hong ikut makan pagi.
"Ehh, ada
araknya pula. Dari mana Ji-wi bisa mendapatkan arak?"
Swat Si
tidak dapat mengeluarkan suara. Ia masih merasa malu dan jengah dan sehingga
khawatir kalau-kalau suaranya akan gemetar. Bwee Ceng tersenyum dan menjawab,
"Kebetulan
sekali ada seorang wanita petani membawa hendak ditawarkan kepada kita. Aku
lalu membelinya dan araknya baik sekali, wangi."
Setelah
masakan gandum dan ayam matang, makanlah Keng Hong bersama enam orang murid
Kong-thong-pai itu dan kalau melihat keadaan mereka itu, Keng Hong sama sekali
bukan seperti seorang tawanan, melainkan seorang sahabat baik. Bahkan empat
orang murid laki-laki Kong-thong-pai kini sudah mulai mengajaknya
bercakap-cakap dan kadang kala berkelakar.
Ketika Bwee
Ceng membagikan arak dan menuangkan arak pada cawan masing-masing yang
diambilnya dari bungkusan perbekalan mereka, tercium bau arak yang wangi dan
sedap sekali. Mereka menjadi gembira dan segera mengangkat cawan arak dan minum
arak yang ternyata manis dan enak sekali.
Akan tetapi,
mendadak Keng Hong mengerutkan alisnya ketika arak itu melalui lidahnya.
Mulutnya yang sudah sangat peka itu dapat merasakan ada racun yang amat kuat
berada di dalam arak, racun yang sama sekali tidak berbau dan tidak ada
rasanya. Akan tetapi begitu tersentuh racun itu lidahnya sudah dapat merasakan
dan tahulah dia bahwa dia hendak di racun!
Keng Hong
tersenyum ketika dia mengerling ke arah Swat Si yang kebetulan mengerling ke
arahnya pula dari balik cawannya. Hemm, tentu cawan untuknya itu saja yang
diberi racun. Diam-diam dia mengeluh hatinya.
Agaknya
kedua orang wanita itu, ataukah Bwee Ceng itu karena dia tidak percaya bahwa
Swat Si yang begitu halus dan mesra akan suka meracuninya, sengaja ingin
membunuh dia karena khawatir kalau-kalau peristiwa semalam akan terbongkar dan
diketahui orang lain. Kalau Keng Hong mati, tentu rahasia itu takkan pernah
dapat terbongkar lagi. Begini kejamkan wanita? Keng Hong hanya mengeluh dalam
hatinya, akan tetapi terus meneguk habis araknya karena baginya, racun itu
tidak akan ada bahayanya.
Tiba-tiba
Keng Hong meloncat bangun ketika melihat perubahan pada wajah enam orang itu.
Mendadak saja wajah enam orang itu berubah. Mendadak saja wajah mereka yang
tadinya duduk di atas lantai itu menjadi biru.
"Aduhhh...
Keng Hong..!" Swat Si mengeluh.
Melihat
wajah Swat Si, hati Keng Hong penuh keharuan dan kekhawatiran. Dia cepat
meloncat dekat dan merangkul leher gadis itu. Wajah gadis itu menjadi agak
menghitam, tubuhnya berkelojotan, akan tetapi matanya memandang wajah Keng Hong
dan mulutnya agak tersenyum walau pun giginya yang kecil rata dan putih
mengkilap itu menggigit bibir bawah menahan rasa nyeri yang menusuk-nusuk
perut.
"Swat
Si... kenapa...?" Keng Hong yang mendekapnya bertanya khawatir.
"Keng
Hong... jangan lupakan aku…" Swat Si berbisik kemudian tubuhnya menjadi
lemas, matanya mendelik.
Tak salah
lagi, tentu arak itu! Dan Bwee Ceng yang membelinya! Ia melepaskan tubuh Swat
Si yang sudah sekarat lalu membalik menubruk Bwee Ceng, mengangkat tubuh itu yang
lalu di rangkulnya.
Seperti juga
Swat Si, ketika memandangnya, Bwee Ceng berusaha untuk tersenyum.
"Keng
Hong... arak... itu... ada racun.. aku tidak penasaran... setelah
semalam..." Ia tidak dapat melanjutkan karena tubuhnya berkelojotan dan
matanya mendelik pula.
Keng Hong
segera melepaskan Bwee Ceng dan memeriksa keempat orang murid pria
Kong-thong-pai. Semua sama keadaannya, merasa sekarat dan dalam perjalanan
maut.
Arak
beracun! Seorang wanita petani menjual seguci arak kepada Bwee Ceng! Seperti
kemasukan setan Keng Hong meloncat dan lari memasuki dusun. Hari masih pagi
sekali akan tetapi seperti kebiasaan dusun-dusun, sepagi itu para penduduk
telah bangun.
Melihat Keng
Hong berlari-lari, mereka semua merasa terkejut dan amat heran. Bukankah pemuda
ini yang kemarin menjadi tawanan enam orang gagah yang bermalam di dalam kuil?
Pemuda tampan ini tentulah seorang penjahat, maka menjadi tawanan enam orang
pendekar itu.
"Siapa
yang sudah menjual seguci arak kepada kami?" Keng Hong berteriak-teriak seperti
orang gila.
Seorang
wanita setengah tua dengan muka pucat dan mata terbelalak melangkah maju dan
berkata, "Saya yang menjual seguci arak kepada mereka tadi pagi. Ada
apakah orang muda? Arakku hanya ada seguci itu, kalau mau tambah lagi harus
pergi ke kota..!"
Wanita itu
menghentikan kata-katanya, berganti mengaduh-aduh sebab Keng Hong telah
mencekeram lengannya. Tadinya pemuda ini mengira bahwa nenek yang telah
meracuni mereka tentu mempunyai kepandaian lihai, akan tetapi ketika memegang
lengannya dan mendapat kenyataan bahwa wanita ini tidak bisa apa-apa dan sangat
lemah, dia segera mengendurkan cengkeramannya dan membentak,
"Lekas
katakan! Dari mana engkau mendapat arak itu? Awas kalau membohong, kubunuh
kau!"
Para
penduduk dusun itu menjadi marah menyaksikan kekasaran Keng Hong terhadap
seorang wanita. Mereka itu, yang laki-laki, sudah menyerbu sambil memaki,
"Orang gila! Kenapa datang-datang mengamuk? Engkau adalah seorang tawanan,
tentu seorang yang jahat!" Melayanglah pukulan dan tendangan ke tubuh Keng
Hong.
Tapi pemuda
ini tidak mempedulikan mereka semua dan tetap memegangi lengan wanita setengah
tua yang menggigil ketakutan. Terdengar suara bak-bik-buk ketika serangan itu
mengenai tubuh Keng Hong, disusul teriakan-teriakan mengaduh-ngaduh para
penyerang itu sendiri karena kaki tangan mereka bertemu dengan tubuh yang
kerasnya seperti baja!
"Dia
setan...!"
"Siluman...!"
teriakan-teriakan mereka yang mengaduh-ngaduh ini membuat suasana di situ
menjadi gaduh sekali.
"Saudara-saudara
jangan bertindak sembrono!" Keng Hong berteriak lantang, "arak yang
dijual oleh wanita ini mengandung racun karena semua sahabatku yang meminum
arak itu kini mati semua!"
Mendengar
penjelasan ini, orang-orang dusun itu menjadi pucat mukanya dan otomatis mereka
melangkah mundur lalu memandang ke arah wanita itu dengan mata terbelalak.
Wanita itu sendiri kemudian menjatuhkan diri berlutut sambil menangis.
"Aku
tidak tahu apa-apa... Aku tidak tahu tentang arak dan tentang racun. Seguci
arak itu aku terima dari seorang puteri dengan pesan supaya kuberikan kepada
rombongan yang menginap di kuil... Dan… karena niocu (nona) itu berbaik hati
memberi hadiah uang..., tentu kuterima…"
Keng Hong
melepaskan cengkeraman tangannya dan mendorong tubuh wanita setengah tua itu
yang terhuyung-huyung ke belakang sambil memegangi pergelangan tangan yang
terasa nyeri, menangis dengan muka pucat.
"Lekas
katakan, seperti apa macamnya nona yang memberi arak kepadamu itu?"
"Dia
masih muda, cantik sekali bagaikan dewi... pakaiannya serba putih, suaranya
halus dan..."
Akan tetapi
Keng Hong sudah meloncat pergi dan sebentar saja sudah lenyap dari depan para
penduduk yang melongo keheranan. Keng Hong tidak lagi merasa heran mendengar
keterangan wanita dusun itu karena memang sudah disangkanya. Tangan keji Biauw
Eng lagi! Siapa lagi kalau bukan Biauw Eng yang menggunakan racun membunuh enam
orang Kong-thong-pai itu?
Pagi tadi,
menyaksikan dua orang gadis Kong-thong-pai dilayani bercinta kasih oleh Keng
Hong, dalam cemburunya gadis berwatak iblis itu lalu menyerang dengan senjata
rahasia. Kemudian, karena ada Keng Hong yang menghalangi niat kejinya, dia lalu
menggunakan racun secara keji dan cerdik sekali. Tentu gadis itu tahu bahwa
Keng Hong kebal akan racun, akan tetapi enam orang Kong-thong-pai tidak!
"Biauw
Eng, engkau sungguh jahat!" Keng Hong berkata dengan hati penuh penyesalan
dan duka ketika dia tiba di dalam kuil dan berdiri memandang ke arah enam sosok
mayat murid-murid Kong-thong-pai itu.
Dengan
perasaan berat Keng Hong kemudian menggali lubang di pekarangan kuil dan
menguburkan mayat-mayat itu. Setelah selesai dia meninggalkan kuil dan baru
mendapat kenyataan bahwa banyak penduduk menonton dari jauh dan secara
sembunyi-sembunyi. Ketika dia melangkah dekat, mereka melarikan diri dan
terdengar suara mereka,
"Pembunuh...!
Pembunuh keji…!"
Keng Hong
menghela napas panjang. Semua murid-murid Kong-thong-pai dibunuh Biauw Eng, dan
kembali dialah yang tertuduh. Dia tak menyalahkan orang-orang dusun itu yang
menuduhnya, dan ia merasa tak ada gunanya untuk memberi penjelasan kepada
mereka. Semakin keras hasrat hatinya untuk cepat kembali ke Kiam-kok-san, di
mana dia tak akan berhubungan lagi dengan dunia ramai, takkan terlibat segala
urusan manusia yang hanya membuat kegetiran-kegetiran dan permusuhan. Dia
berjalan terus mendaki lereng Pegunungan Kun-lun-san.
***************
Tadinya
jantungnya berdebar dan mukanya terasa panas karena mengira bahwa gadis itu
Biauw Eng. Akan tetapi setelah agak dekat dan pakaian gadis itu hijau muda,
tidak putih seperti pakaian Biauw Eng, dia menduga-duga. Jelas bukan Biauw Eng,
bukan pula Cui Im, sungguh pun gerakan gadis itu menunjukkan ginkang yang sudah
tinggi.
Yang jelas
berbeda dan tampak dari jauh adalah cara gadis ini menyanggul rambutnya,
disanggul tinggi di atas kepala seperti sebuah menara yang bergoyang-goyang
ketika dia berlari cepat. Di punggungnya tampak sebatang pedang dalam sarung
pedang merah.
Ketika gadis
yang ternyata cantik manis dengan pandang mata tajam dan penuh gairah hidup itu
tiba di dekat Keng Hong yang duduk di bawah pohon, gadis itu kelihatan kaget,
akan tetapi dia bahkan langsung menghampiri Keng Hong. Sejenak gadis itu
memandang tajam kemudian mengangkat kedua tangan ke depan dada sebagai
penghormatan ketika dia bertanya,
"Maafkan
kalau aku yang sesat jalan mengganggu Twako dengan pertanyaan."
Keng Hong
tersenyum. Senang hatinya menyaksikan sikap gadis yang membayangkan kegagahan
ini ternyata sangat peramah dan sopan santun. Dia cepat bangkit berdiri dan
membalas penghormatannya, kemudian menjawab,
"Sudah
sewajarnya apa bila dua orang yang saling jumpa di tempat sesunyi ini saling
bertanya. Nona hendak bertanya tentang apakah?"
Gadis itu
kembali tertegun. Agaknya dia sama sekali tak mengira bahwa pemuda tampan yang
duduk mengaso di pohon itu adalah seorang yang demikian halus tutur sapanya,
membayangkan seorang yang tahu akan kebudayaan dan sama sekali bukanlah seorang
penduduk pegunungan yang buta huruf. Maka pandang matanya menjadi semakin tajam
dan penuh selidik.
"Aku
hendak bertanya jalan yang menuju ke Kiam-kok-san.."
Kini Keng
Hong yang merasa terkejut sekali. Akan tetapi hanya sebentar saja karena dia
segera bisa menekan perasaannya dengan pengertian bahwa sekarang ini
Kiam-kok-san agaknya menjadi mercu suar bagi orang-orang kang-ouw, menjadi
seperti sebuah lampu yang menarik datangnya laron dan kupu-kupu.
Ia menarik
napas panjang, kemudian mencari jalan untuk mengetahui siapakah gerangan nona
muda ini yang juga ikut-ikutan memperebutkan pusaka Kiam-kok-san. Karena hanya
orang yang ingin memperoleh pusaka-pusaka milik suhu-nya sajalah yang
bertanya-tanya tentang Kiam-kok-san!
"Pertanyaanmu
sangat mengejutkan hati, Nona. Kiam-kok-san bukan sebuah tempat yang dikenal
oleh semua orang. Bolehkah aku mengetahui namamu dan keperluannya mencari
tempat seperti itu? Perkenalkan, aku she Cia..."
"Harap
engkau suka berbaik hati menunjukkan jalan itu kalau kau mengetahuinya ..ehhh,
Cia-twako. Namaku ialah Tan Hun Bwee dan tentang keperluanku dengan
Kiam-kok-san adalah urusan pribadiku. Apa bila engkau mengetahui tempat itu dan
dapat menunjukkan jalan untukku, aku akan berterima kasih sekali. Kalau engkau
tidak mengetahui, biarlah aku pergi mencari sendiri, tidak perlu terlalu lama
di sini.."
Keng Hong
tersenyum. "Aku sudah tahu mengapa Nona datang mencari Kiam-kok-san.
Bukankah Nona puteri Ketua Hek-houw Piawkiok bernama Tan Kai Sek?"
Nona itu
terkejut sekali, kemudian tangannya bergerak secara otomatis hendak meraba
pedangnya sambil bertanya dengan suara nyaring, "Engkau siapakah?"
Apakah engkau murid Kun-lun-pai dan hendak menghalangi aku mencari
Kiam-kok-san?"
Keng Hong
tersenyum, lalu membalikkan tubuhnya membelakangi nona itu, menghampiri pohon
dan duduk kembali di bawah pohon yang teduh. Setelah duduk menghadapi nona itu
dia berkata, "Tenanglah, Nona dan tidak perlu mencabut pedang itu. Aku
bukan murid Kun-lun-pai dan juga tidak akan menghalangi orang. Marilah duduk di
sini dan dengarlah dulu kata-kataku, baru kutunjukkan padamu jalan ke
Kiam-kok-san."
Tan Hun
Bwee, gadis itu, menjadi curiga, namun karena dia percaya akan kepandaiannya
sendiri, dia tidak merasa takut dan menghampiri lalu duduk agak jauh di atas
sebuah batu, menghadapi pemuda yang ia dapat menduga tentu bukan orang
sembarangan itu. Orang yang tahu akan adanya Kiam-kok-san kiranya bukan
sembarangan orang.
"Siapakah
engkau dan bagaimana engkau dapat mengenal ayahku?"
"Sudah
kukatakan tadi bahwa aku she Cia dan tentang ayahmu, pernah aku bertemu dan
berkenalan. Aku tahu bahwa ayah beserta ibumu pernah mendatangi Kiam-kok-san
untuk memusuhi Sin-jiu Kiam-ong, akan tetapi gagal karena dikalahkan oleh kakek
itu. Apakah kedatangan Nona ini ada hubungannya dengan urusan itu?"
Kembali
gadis itu terkejut dan terheran-heran. Bagaimana pemuda tampan dan halus tutur
sapanya ini mengetahui akan hal itu? Ia tak suka urusan pribadi orang tuanya
dibicarakan orang lain, maka dia pun menjawab singkat, "Dendam besar
antara keluarga kami dengan Sin-jiu Kiam-ong adalah urusan pribadi, tidak perlu
aku membicarakannya dengan orang lain. Apa bila engkau mengetahui jalan ke Kiam-kok-san
dan suka menunjukkannya kepadaku, harap katakan sekarang juga."
"Nanti
dulu, Nona. Kenapa Nona berkeras hendak mendatangi Kiam-kok-san? Kakek yang
berjuluk Sin-jiu Kiam-ong itu sudah meninggal dunia, dengan demikian maka
urusan yang ada antara beliau dan orang tua Nona sudah terhapus..."
Sepasang
alis menjelirit hitam itu bergerak-gerak, sangat indah dalam pandangan Keng
Hong, lantas bibir yang merah itu bergerak cepat, "Terhapus bagaimana?
Enak saja! Dia seorang yang amat jahat, seorang manusia sombong dan keji, yang
telah menghancurkan kebahagiaan keluarga ayahku!"
"Ah,
terlalu keras engkau menjatuhkan keputusan, Nona. Aku pun telah mengetahui akan
urusan antara Sin-jiu Kiam-ong dan orang tuamu. Bukankah dahulu orang tuamu
sebagai piauwsu dari Hek-houw Piauwkiok pernah dirampok oleh kakek itu yang
lalu merampas benda-benda perhiasaan milik seorang pembesar tinggi?"
"Bukan
itu saja! Bahkan dia berani mengganggu puteri dari menteri..."
"Hemmm,
bukan mengganggu, karena keduanya sama suka. Puteri itu tadinya ditawan dengan
maksud dimintakan uang tebusan dan Sin-jiu Kiam-ong melakukan hal ini sebagai
pelajaran oleh karena sang menteri adalah seorang pejabat tinggi yang di
samping korup juga menindas rakyat mengandalkan kekuasaan. Akan tetapi puteri
itu jatuh cinta kepada Sin-jiu Kiam-ong sehingga terjadilah hubungan cinta
kasih antara mereka. Urusan itu ada sangkut pautnya dengan orang tuamu?"
"Piauwkiok
ayahku menjadi tercemar namanya, dan menyeret pula nama besar ayahku.
Pendeknya, aku tidak terima! Biar pun Sin-jiu Kiam-ong telah menginggal, tapi
dia masih berhutang kepada ayahku, dan aku harus mendapatkan kembali harta
pusaka yang dia rampok karena itu menjadi hakku, di samping pusaka lainnya yang
ditinggalkannya. Aku akan menggeledah Kiam-kok-san!"
Keng Hong
tersenyum lebar. "Nona, berpikirlah masak-masak. Dendam digerakkan oleh
benci, dan siapa yang membenci orang lain berarti membenci diri sendiri.
Sin-jiu Kiam-ong telah meninggal dunia, kenapa engkau masih menaruh dendam?
Padahal, engkau sendiri tidak mempunyai urusan dengan dia, bahkan mengenal pun
tidak. Apa perlunya dendam dibawa hingga menurun dari ayahmu kepadamu?
Menurutkan dendam sama saja engkau mengikatkan dirimu dengan tali temali karma
yang sangat ruwet, Nona. Bukankah dengan begitu engkau hanya akan
menyia-nyiakan waktu hidupmu? Perlukah engkau memenuhi permintaan orang tuamu
yang begitu tega menyuruh seorang gadis muda seperti Nona menempuh bahaya
besar, hendak mendatangi Kiam-kok-san yang tidak dapat didatangi oleh
orang-orang sakti di dunia kang-ouw? Orang tuamu benar-benar berpemandangan
picik...”
"Ayah
ibuku telah meninggal dunia..!"
"Ahh,
maaf... aku tidak tahu..."
"Mereka
telah meninggal dunia, meninggalkan aku seorang diri. Mereka meninggal karena
tekanan batin, karena tidak mampu membalas kepada musuh besar kami. Aku sebagai
puterinya harus melanjutkannya, harus dapat merampas kembali benda-benda
berharga yang dahulu dirampas oleh Sin-jiu Kiam-ong. Aku akan… ehh, engkau ini
siapakah yang tahu akan segala hal?"
"Tentu
saja aku tahu, mendiang Sin-jiu Kiam-ong adalah guruku.."
"Bagus..!
Ada yang mewakili untuk menerima pembalasan keluarga Tan...!"
Sambil
berkata demikian, gadis itu telah meloncat ke belakang dan mencabut pedangnya.
Gerakannya cepat sekali maka Keng Hong dapat menduga bahwa tentu gadis itu
sudah mewarisi ilmu kepandaian ayah bundanya. Ia diam saja, hanya duduk sambil
memandang gadis itu dengan wajah tenang.
"Hayo
bangkitlah engkau murid Sin-jiu Kiam-ong! Bangkitlah supaya segala perhitungan
lama dapat dibereskan saat ini!" Gadis itu menodongkan ujung pedangnya ke
arah hidung Keng Hong yang masih duduk tenang tak bergerak dari tempatnya.
"Mendiang
guruku tidak pernah merasa menjadi musuh orang tuamu, apa lagi musuhmu, Nona.
Dan aku pun tidak pernah merasa menjadi musuh keluarga Tan-piauwsu, karena itu
bagiku tidak ada perhitungan apa-apa yang harus dibereskan. Dan aku merasa
yakin bahwa seorang gadis perkasa seperti Nona tidak akan membunuh orang yang
tidak mau melawannya, apa lagi kalau orang itu selama hidupnya tidak pernah ada
urusan dengan Nona mau pun orang tua Nona. Akan tetapi apa bila dugaanku keliru
dan ternyata Nona adalah seorang wanita yang berhati keji dan haus darah, boleh
saja Nona tusuk dada ini sampai tembus, aku pun tidak akan melawanmu!"
Pedang di
tangan gadis itu nampak menggigil, akan tetapi tidak turun dari depan hidung
Keng Hong. "Aku mendengar penuturan dari orang tuaku bahwa Sin-jiu Kim-ong
adalah seorang laki-laki yang bermulut tajam, pandai membujuk dan menipu. Siapa
tahu kalau muridnya pun mewarisi kepandaian itu!"
Keng Hong
bukanlah seorang bodoh yang membiarkan dirinya terancam maut begitu saja
sehingga dia mengeluarkan ucapan tadi. Melihat sikap gadis itu dan mendengar
ucapan-ucapannya, dia merasa yakin bahwa gadis ini tidak mungkin mau
membunuhnya begitu saja kalau dia tidak mau melawan. Kini dia tertawa dan
menjawab,
"Nona,
biar pun kau buka dada ini, engkau takkan mendapatkan niat buruk dalam hatiku
terhadapmu. Aku tidak membujuk, hanya bicara sesungguhnya bahwa aku tidak
pernah memusuhimu dan tidak suka bermusuhan denganu karena memang tidak ada
sebab yang mengharuskan kita saling bermusuhan. Apa lagi setelah sekarang suhu
tidak ada, juga kedua orang tuamu tidak ada, mengapa kita harus melanjutkan
sikap bermusuhan orang tuamu? Percayalah bahwa kelak apa bila aku berhasil
menemukan simpanan suhu, tentu benda-benda itu akan kukembalikan kepadamu.
Bukan hanya benda-benda dari orang tuamu, bahkan benda milik semua orang yang
pernah diambil suhu akan kukembalikan. Dengan jalan itu aku hendak menebus
semua perbuatan suhu yang sudah menimbulkan sikap bermusuhan dari orang-orang
gagah terhadap suhu."
Ujung pedang
yang menodong itu menurun, perlahan-lahan. Kemudian tubuh gadis yang menegang
itu menjadi agak lemas ketika dia berkata perlahan, seperti mengeluh.
"Ahh,
mengapa engkau tidak mau bangkit melawan saja? Supaya terpenuhi kebaktianku
kepada kedua orang tuaku. Kenapa engkau tidak menjadi murid berbakti dari
gurumu dan mempertahankan nama gurumu dengan menghadapi musuhnya?"
Keng Hong
menggelengkan kepalanya. "Engkau keliru dalam mengartikan sikap berbakti,
Nona. Melanjutkan perbuatan orang tua baru dapat dikatkan berbakti kalau
perbuatan itu sendiri benar. Akan tetapi bila perbuatan itu tidak benar, maka
kewajiban seorang berbakti adalah membetulkan perbuatan itu, tidak
melanjutkannya. Mengerti engkau, Nona?"
Gadis itu
menunduk, perlahan-lahan menyimpan kembali pedangnya. "Biar pun aku tidak
suka mengakui, namun aku percaya kepadamu."
Tiba-tiba
Keng Hong mengangkat muka memandang ke kanan dan terdengarlah suara.
"Siancai..! Bocah keparat ini sama sekali tidak boleh dipercaya!"
Tan Hun Bwee
cepat memutar tubuh memandang ke arah suara itu dan tahu-tahu di situ muncul
dua tosu yang usianya sekitar lima puluh tahun. Mereka ini bukan lain adalah
Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin, dua orang tokoh Kun-lun-pai yang ditugaskan
untuk mencari dan menangkap Keng Hong yang telah menipu Kun-lun-pai dengan
menyerahkan pedang Siang-bhok-kiam palsu.
Melihat
kedua orang tosu ini, Keng Hong terkejut sekali dan cepat dia maju, menjatuhkan
diri berlutut.
"Kiranya
Ji-wi Totiang yang datang, harap menerima penghormatan teecu," kata Keng
Hong penuh hormat.
Sejak kecil
Keng Hong hidup di Kun-lun-pai dan tidak pernah dia kehilangan rasa terima
kasihnya kepada Kun-lun-pai, terutama kepada Kiang Tojin yang telah menolong
jiwanya dan telah memeliharanya. Dua orang tosu ini adalah adik seperguruan
Kiang Tojin, tentu saja dia bersikap amat hormat.
"Cia
Keng Hong! Tahukah engkau akan dosamu terhadap Kun-lun-pai?" bentak Sian
Ti Tojin sambil menggerakkan ujung lengannya yang panjang dan sikapnya kereng.
"Teecu
telah banyak menerima budi kebaikan Kun-lun-pai dan belum sempat membalas. Hal
itu sudah merupakan dosa."
"Tidak
usah memutar lidah!" bentak Lian Ci Tojin yang seperti suheng-nya, sangat
marah kalau mengingat betapa Kun-lun-pai sampai bentrok antara saudara sendiri,
dan betapa Kun-lun-pai didatangi oleh banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang
menganggu. Apa lagi bila teringat akan penipuan pedang palsu.
"Engkau
telah menipu kami dan menipu guru kami dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam
palsu. Apakah kau hendak menyangkal dosa besar ini?"
Keng Hong
menundukkan mukanya dalam keadaan masih berlutut. "Teecu tidak pernah
menyangkal, karena memang hal itu benar telah teecu lakukan. Kini teecu
bersedia untuk menghadap Kiang Tojin serta para locianpwe di Kun-lun-pai untuk
mohon pengampunan atas perbuatan teecu yang tidak patut itu."
"Enak
saja kau bicara tentang minta ampun setelah kekacauan yang dulu kau ciptakan di
Kun-lun-pai!" bentak Sian Ti Tojin sambil melangkah maju dan tangan
kirinya menampar.
"Plakk!"
Pipi kanan
Keng Hong ditamparnya keras sekali sehingga tubuh pemuda itu terguncang miring
dan hampir roboh.
"Kalau
kami tidak menerima perintah untuk menangkapmu hidup-hidup dan menyeretmu ke
depan kaki suhu, tentu sekarang juga pinto membunuhmu, bocah keparat!"
ucapan ini keluar dari mulut Lian Ci Tojin yang juga menggerakkan tangan ke
depan, menampar pipi kiri Keng Hong.
"Plakkk!"
Tamparan ini
lebih keras lagi, sesuai dengan watak Lian Ci Tojin yang berangasan. Apa lagi
karena tosu ini amat benci kepada Kiang Tojin sehingga kemarahannya dia
timpakan kepada anak yang dipungut dan ditolong oleh Kiang Tojin itu. Kembali
tubuh Keng Hong terguncang dan dari kedua ujung bibirnya menitik darah.
"Pendeta-pendeta
berhati kejam!" Tiba-tiba saja Tan Hun Bwee memaki sambil meloncat ke
depan. "Kalian sungguh tidak tahu malu, memukul orang yang sama sekali
tidak mau melawan."
Lian Ci
Tojin dan suheng-nya mengangkat muka memandang gadis itu. Lian Ci Tojin
tersenyum dan mengejek. "Cia Keng Hong, apakah engkau sudah mewarisi watak
mata keranjang suhu-mu dan gadis ini menjadi seorang di antara pacarmu?"
"Lian
Ci totiang harap jangan bicara sembarangan. Nona ini adalah seorang gadis yang
terhormat, dia adalah puteri Tan-piauwsu dan sama sekali bukan pacar
teecu."
"Tosu
bau, mulutmu busuk!" Tan Hun Hwee sudah tidak dapat menahan kemarahannya
dan pedangnya sudah dia cabut kemudian secepatnya kilat dia menyerang Lian Ci
Tojin.
Akan tetapi
dengan mudahnya Lian Ci Tojin mengelak. Tosu ini adalah murid ke lima dari
ketua Kun-lun-pai, tentu saja merupakan seorang di antara tokoh-tokoh
Kun-lun-pai yang termasuk golongan atas.
"Hemmm,
kalau bukan pacar bocah keparat ini, setidaknya tentu mata-mata musuh yang
hendak menyelidiki keadaan Kun-lun-pai. Mengakulah, mau apa kau datang ke
wilayah Kun-lun-pai?" bentak tosu itu.
"Tosu
keparat, tosu palsu, lihat pedang!" Tan Hun Bwee sudah menyerang kembali
dan ternyata gadis ini memiliki ilmu pedang yang cukup lihai sehingga kembali
Lian Ci Tojin terpaksa melompat ke belakang mengelak sambil meraba punggungnya
dan di lain saat pedangnya sudah berada di tangan.
"Engkau
hendak menggunakan kekerasan? Baik, majulah!"
Pada waktu
gadis itu menyerang lagi, Lian Ci Tojin sudah menggerakkan pula pedangnya
menangkis dan mereka segera bertanding dengan hebat.
"Sute,
jangan membunuh orang!" Sian Ti Tojin memperingatkan sute-nya.
"Ha-ha-ha,
menghadapi bocah seperti ini, masa perlu membunuhnya, Suheng? Dia harus
ditangkap, mungkin dia mata-mata musuh yang berbahaya."
Tan Hun Bwee
boleh jadi lihai dan jarang terdapat seorang gadis muda memiliki keahlian
bermain pedang seperti dia, akan tetapi kalau berhadapan dengan seorang tokoh
besar Kun-lun-pai seperti Lian Ci Tojin, dia masih kalah jauh. Sesudah
bertanding mati-matian selama tiga puluh jurus, dalam pertemuan pedang Lian Ci
Tojin mengerahkan tenaganya dan gadis itu berteriak kaget, pedangnya terlepas
dari pegangan dan sempat ia mengelak, namun tangan kiri tosu itu telah menotok
pundaknya, membuat ia roboh lemas tak dapat berkutik lagi!
"Ha-ha-ha,
bocah-bocah sekarang banyak yang tak tahu diri, seperti bocah keparat Keng Hong
ini dan gadis galak ini. Suheng, keadaan gadis ini sangat mencurigakan, dia
datang bersama Keng Hong, siapa tahu di belakangnya ada orang-orang lain. Biar
dia kubawa lebih dulu menghadap suhu agar diselidiki. Harap Suheng mengantar
Keng Hong ke atas dan menyusul."
Sian Ti
Tojin hanya mengangguk sambil berkata kepada Keng Hong, "Hayo berdiri dan
ikut dengan pinto ke puncak Kun-lun-pai."
Keng Hong
tadi hanya menonton saja ketika nona Tan bertanding melawan Lian Ci Tojin.
Hatinya gelisah tidak karuan, akan tetapi bagaimana dia dapat turun tangan
melindungi nona itu atau mencegah Lian Ci Tojin? Bila mana dia melakukan hal
ini berarti bahwa dosanya terhadap Kun-lun-pai akan menjadi bertambah.
Apa lagi dia
dapat melihat bahwa tosu itu tidak akan membunuh Tan Hun Bwee, dan hanya akan
menangkapnya kemudian membawanya ke Kun-lun-pai untuk diselidiki. Kalau memang
gadis itu tidak bersalah, dan benar hanya ingin mencari pusaka di Kiam-kok-san,
dia percaya akan kebijaksaan para pimpinan Kun-lun-pai yang tentu akan
membebaskan gadis itu.
Akan tetapi
pada saat dia hendak bangkit memenuhi permintaan atau perintah Sian Ti Tojin
dan mengerling ke arah Tan Hun Bwee yang sudah tertotok, dia melihat Lian Ci
Tojin secara kasar dan sembarangan mengempit tubuh gadis itu dan dibawa pergi.
Pada saat itu dia melihat sinar mata Lian Ci Tojin dan jantungnya berdebar
tidak karuan. Dia berusaha menekan-nekan debar jantungnya, akan tetapi tak
berhasil sehingga ketika dia bangkit berdiri, kakinya gemetar serta mukanya
menjadi berubah dan keningnya berkerut.
Melihat hal
ini, Sian Ti Tojin mengira bahwa pemuda ini hendak membangkang. Ia sudah maklum
akan kelihaian bocah ini yang mempunyai ilmu aneh dan pernah menggegerkan Kun-lun-pai.
Tentu saja dia tidak takut dan merasa dapat mengatasi bocah ini karena dia tahu
bahwa Keng Hong hanya mempunyai tenaga sedot mukjijat itu sedangkan dalam hal
ilmu silat, pemuda ini masih rendah ilmunya.
Ada pun
tentang ilmu sedot itu, sesudah dahulu Keng Hong menggegerkan Kun-lun-pai,
suhu-nya sudah memberi penjelasan kepada para murid, dan kini sudah tahu
bagaimana caranya menolong diri sendiri apa bila dia kena ‘disedot’. Tapi
betapa pun juga, dia tidak menghendaki pemuda ini membangkang sehingga dia tak
usah menggunakan kekerasan.
"Cia
Keng Kong, mengapa kau? Apakah kau hendak membangkang?"
Keng Hong
tadinya memandang ke arah bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari Hun Bwee dan
kini bayangan itu sudah lenyap di tikungan lereng. Ia menghela napas panjang
dan memutar tubuhnya menghadapi Sian Ti Tojin. Sian Ti Tojin adalah murid ke
dua dari Thian Seng Cinjin ketua Kun-lun-pai, sehingga dalam hal ilmu silat,
tosu ini hanya berada di bawah suheng-nya yang tertua, yaitu Kiang Tojin.
"Totiang,
mengapa Totiang membiarkan Lian Ci Tojin membawa pergi nona Tan? Kenapa tidak
bersama-sama saja?"
"Hemmm,
engkau lancang sekali. Ada sangkut pautnya apakah denganmu? Sute hendak membawa
gadis itu lebih dahulu karena menaruh curiga kepadanya. Sebenarnya apakah
keperluannya berada di tempat ini bersamamu?"
"Totiang,
dia itu orang baik-baik, tidak ada kesalahan terhadap Kun-lun-pai. Dia sengaja
datang ke sini untuk mencari Kim-kok-san."
"Apa?
Mengapa?'
"Dia
adalah puteri dari Tan-piauwsu yang dahulu pernah bermusuhan dengan mendiang
suhu. Ada beberapa buah barang berharga milik ayah ibunya yang dirampas suhu
dan dia hendak mencari barang-barang itu. Dia sama sekali tidak memiliki maksud
buruk terhadap Kun-lun-pai. Mengapa ditangkap?"
Sian Ti
Tojin menggelengkan kepala. "Tidak bermaksud buruk akan tetapi dia
menyerang sute. Sudahlah, kalau memang dia tak bersalah, tentu akan dibebaskan
kembali. Mari kita naik menghadap suhu dan jangan banyak tingkah agar pinto
tidak perlu menggunakan kekerasan terhadapmu."
Keng Hong
menghela napas panjang dan melangkah pergi diikuti kakek itu dari belakang.
Akan tetapi baru beberapa ratus langkah, dia berhenti lagi.
"Totiang..."
"Kenapa
kau berhenti? Hayo jalan terus."
"Totiang,
hati saya merasa tidak enak sekali. Amat berbahaya nona Tan dibawa pergi Lian
Ci Tojin. Tidakkah Totiang dapat melihat betapa tadi sinar mata Lian Ci Tojin
berapi-api? Apakah patut dia mengempit tubuh seorang gadis? Lebih baik kita
susul dia."
"Ah,
engkau benar-benar kurang ajar dan patut dipukul, Keng Hong. Berani benar
engkau mengeluarkan fitnahan-fitnahan menghina sute. Kami adalah tosu-tosu yang
menyucikan diri dan batin, masa terhadap seorang wanita akan timbul pikiran
kotor seperti mendiang suhu-mu? Uhh, jika sekali lagi kau mengeluarkan ucapan
seperti itu, terpaksa akan pinto pukul sebagai hajaran."
Kembali Keng
Hong menghela napas lalu berjalan lagi. Dia menganggap bahwa alasan tosu tua
ini benar. Masa Lian Ci Tojin akan melakukan hal yang sangat rendah terhadap
gadis itu? Bukankah para tosu Kun-lun-pai ini bukan sembarangan tosu melainkan
tosu murid langsung Thian Seng Cinjin?
Kembali sinar
mata Lian Ci Tojin yang ditangkapnya ketika tosu itu mengempit tubuh Hun Bwee
menggoda hatinya. Betapa pun percaya dia akan alasan Sian Ti Tojin tadi, namun
sinar mata itu! Seperti mata orang kehausan melihat air, mata orang kelaparan
melihat makanan enak, mata seekor anjing melihat daging, mata yang penuh
memancarkan nafsu birahi!
Kalau benar
seperti yang dikhawatirkannya, celakalah nasib Hun Bwee di tangan tosu itu.
Gadis yang sudah begitu baik kepadanya, dan jelas tampak kebaikannya pada saat
gadis itu membelanya melihat dia dipukuli oleh kedua orang tosu Kun-lun-pai.
Betapa beraninya membela dia dari dua orang tosu yang lihai! Gadis yang
berwatak pendekar dan gagah perkasa. Dan kini terancam bahaya yang bagi seorang
gadis lebih hebat dari pada maut!
"Totiang,
terpaksa teecu harus menyusul non Tan..."
"Cia
Keng Hong, berhenti! Kalau tidak, terpaksa kupukul kau!"
Namun Keng
Hong sudah meloncat pergi hendak mengejar Lian Ci Tojin.
"Keng
Hong, kalau engkau tidak berhenti, pinto akan memukulmu!" Kembali teriakan
Sian Ti Tojin menggema di belakangnya dan tosu itu telah mengejarnya.
Keng Hong
berpikir cepat. Kalau dia menggunakan ginkang-nya, dia hanya akan menang
sedikit karena para tosu Kun-lun-pai tentu saja memiliki ginkang yang hebat.
Dan kalau dikejar-kejar, bagaimana dia dapat mencari Hun Bwee? Setelah
berpikir, dia lalu berlari terus, sengaja memperlambat larinya.
"Peringatan
terakhir, Keng Hong. Berhentilah!"
Keng Hong
berlari terus.
"Siancai!
Pinto terpaksa memukulmu!"
Angin
pukulan dahsyat terasa menyambar dari belakang. Keng Hong cepat membalikkan
tubuhnya, mengerahkan sinkang-nya ke lengan dan segera menangkis pukulan itu
terus mendorong ke samping.
"Dukkk!"
Tubuh Sian
Ti Tojin terpental ke belakang bagaikan disambar angin yang kuat bukan main
sehingga dia berseru kaget. Untung bahwa dia telah memiliki lweekang yang
sangat kuat sehingga dia dapat mencegah tubuhnya terbanting, akan tetapi dia
merasa betapa tenaga lweekang dalam pukulannya tadi membalik dan membuat
dadanya sesak. Ia tahu bahwa jika dia kembali mengerahkan tenaga, maka dia akan
terluka. Karena itu cepat dia duduk bersila mengumpulkan hawa murni untuk
memulihkan keadaannya dan tentu saja ia harus membiarkan pemuda yang luar biasa
itu pergi.
Keng Hong
berlari terus secepatnya. Memang dia sudah melakukan hal yang membuat hatinya
menjadi semakin tidak enak terhadap Kun-lun-pai, akan tetapi karena dia hanya
menangkis dan yang memukul adalah Sian Ti Tojin, maka dia menekan
kekhawatirannya. Mengejar dan menolong Tan Hun Bwee lebih penting lagi.
Ia tadi
melihat bayangan Lian Ci Tojin yang membawa lari nona itu naik ke atas, maka
kini dia pun mengejar, akan tetapi hingga sekian lama berlari belum juga dia
dapat menyusul. Hatinya menjadi penasaran dan gelisah sekali.
Dari sebuah
puncak dia telah dapat melihat dinding tinggi dari Kun-lun-pai dan tak tampak
bayangan tosu itu. Kalau Lian Ci Tojin membawa Hun Bwee ke Kun-lun-pai, dia tak
usah khawatir. Akan tetapi dia merasa curiga dan menduga bahwa tentu nona itu
tidak dibawa ke sana.
Maka dia
lalu membelok dan kembali menuruni puncak, lalu mencoba untuk mencari ke dalam
sebuah sebuah hutan besar yang berada di lereng. Apa bila tosu itu yang sinar
matanya penuh nafsu berniat melakukan kekejian, tidak ada tempat yang lebih
baik dari pada dalam hutan itu. Setibanya di dalam hutan, dia mencari-cari.
Keadaan dalam hutan sunyi senyap.
Mendadak
Keng Hong menghentikan langkahnya dan membungkuk, mengambil sehelai pita sutera
hijau yang berbau harum. Agaknya pita rambut atau pita pelindung leher dan tak
salah lagi, warna hijau muda ini menyatakan bahwa pita ini milik Tan Hun Bwee.
Tentu orangnya berada tak jauh dari tempat ini. Hatinya makin tidak enak dan
berdebar.
"Tan-siocia
(nona Tan )...!" dia memanggil. Tiada jawaban.
Ia meneliti
dan akhirnya melihat tapak kaki di atas tanah yang agak basah. Namun cukup
baginya. Jejak kaki itu menuju ke arah serumpun alang-alang atau rumput tinggi
di sebelah kirinya. Cepat dia menerobos semak-semak itu dan akhirnya dia
melihat Tan Hun Bwee menggeletak di atas rumput, tersembunyi di balik
semak-semak yang tebal.
Gadis itu
dalam keadaan pingsan, agaknya tertotok dan melihat keadaan pakaiannya, hati
Keng Hong seperti ditusuk pisau. Gadis ini sudah diperkosa! Dengan hati penuh
iba, dia membereskan pakaian itu sebisa mungkin, kemudian ia mengurut tengkuk
dan punggung Tan Hun Bwee.
Gadis itu
mengeluh, lalu membuka matanya dan berteriak kaget sambil meloncat berdiri.
Sepasang mata yang tajam itu sejenak menunduk, meneliti keadaan dirinya,
kemudian wajah itu diangkat memandang Keng Hong, wajah yang pucat sekali dan
matanya liar.
"Kau...
kau… laki-laki jahat… apa yang sudah kau perbuat atas diriku...?" Air mata
deras mengalir di sepasang pipi yang semakin pucat, ada pun mata itu makin
beringas.
"Tenanglah,
Nona. Aku mendapatkan Nona menggeletak di sini, dan..."
"Bohong!
Engkau telah melakukan kekejian kepadaku! Aihhh, engkau adalah murid Sin-jiu
Kiam-ong..., keparat busuk!" tiba-tiba saja Hun Bwee menerkam ke depan dan
menyerang Keng Hong dengan pukulan ke arah dada pemuda itu.
Saking kaget
dan menyesal menyaksikan kesalah pahaman ini, Keng Hong sampai tidak sempat
mengelak. Akan tetapi begitu dadanya terpukul, otomatis sinkang pada tubuhnya
bergerak.
"Dukkkk...!"
Dan tubuh gadis itu terjengkang roboh sendiri.
"Aah,
Nona, sungguh mati, aku tidak..."
"Laki-laki
jahanam! Pengecut hina dina! Telah berani berbuat tapi tidak berani bertangung
jawab, malah menyangkal, keparat!" kembali Hun Bwee memaki.
Akan tetapi
kemarahan yang begitu meluap membuat gadis ini lemah, selain berduka dan malu.
Juga air matanya membuat kedua matanya sukar melihat. Serangan-serangannya
menjadi ngawur dan asal pukul saja.
Keng Hong
merasa kasihan, akan tetapi juga bingung menghadapi gadis yang mengamuk tidak
karuan itu. Akhirnya dia berhasil menangkap kedua pergelangan tangan gadis itu
sehingga tak dapat bergerak lagi, lalu berkata,
"Dengarlah
Nona, aku tak melakukan sesuatu apa pun kepadamu, kudapati engkau telah
menggeletak pingsan di sini…"
"Bohong!
Bohong...!" Gadis itu meronta-ronta sehingga terpaksa Keng Hong melepaskan
pegangannya. Karena maklum bahwa terhadap pemuda ini dia tidak akan dapat
menang, gadis itu kemudian membalikkan tubuh dan berlari pergi dari tempat itu
sambil menangis terisak-isak, meninggalkan Keng Hong yang berdiri bengong.
Sesudah
bayangan gadis itu lenyap, Keng Hong menunduk, melihat ke tempat di mana
seorang tosu Kun-lun-pai yang terhormat melakukan perbuatan biadab yang sama
sekali tidak terhormat. Dia mengeluarkan pita hijau yang tadi dia masukkan
saku, memandang pita itu dan berkata perlahan,
"Lian
Ci Tojin... akan tiba saatnya engkau menyesali perbuatanmu yang terkutuk
ini..."
Tak lama
kemudian dia mengantongi pita hijau itu kembali dan meninggalkan tempat itu,
berjalan dengan kepala tunduk menuju ke Kun-lun-pai. Hatinya makin berduka
karena dia kembali menjadi korban perbuatan jahat orang lain yang ditimpakan
kepadanya.
Berkali-kali
Biauw Eng melakukan pembunuhan-pembunuhan keji dan selalu dialah yang
menanggung akibatnya, dan kini dia merasa yakin bahwa Lian Ci Tojin telah
memperkosa Tan Hun Bwee dalam keadaan pingsan namun akibatnya dia pula yang
dituduh oleh gadis itu!
"Suhu,
kenapa nasib teecu tidak sebaik nasib suhu yang selalu mengalami kegembiraan?
Apakah karena teecu masih terlalu bodoh dan perlu menyempurnakan ilmu
peninggalan suhu?" Demikian keluh hatinya terhadap mendiang gurunya.
Biar pun
Keng Hong menjalani hidup, namun dia belum banyak pengalaman dan jiwanya belum
matang, sehingga dia lupa bahwa senang mau pun susah bukan datang dari luar
melainkan akibat terhadap segala yang menimpa hidupnya. Seorang yang sudah
matang seperti Sin-jiu Kiam-ong, tentu akan menerima segala macam derita hidup
dengan tertawa geli dan seolah-olah menyaksikan sebuah lelucon.
"Lian
Ci Tojin, engkau benar-benar lebih jahat dari pada seorang jai-hwa-cat
(penjahat pemerkosa wanita). Seorang jai-hwa-cat melakukan kejahatannya dengan
berterang, tapi sebaliknya engkau bersebunyi dalam kependetaan. Alangkah hina
dan jahatnya engkau!"
Begitu
teringat akan tosu itu, dalam hatinya Keng Hong memaki-maki. Kemudian dia juga
teringat kepada Biauw Eng dan sedetik timbul rasa rindu yang membuat kedua
kakinya lemas. Akan tetapi begitu mengingat perbuatan-perbuatan Biauw Eng, dia
memaki-maki pula di dalam hatinya.
"Aku
benci kepadamu! Kau perempuan hina, kejam, curang! Tak tahu malu engkau, aku
tidak cinta kepadamu, melainkan benci... benci...!"
Keng Hong
menghentikan langkahnya dan terpaksa menutupkan kedua tangan di depan muka
karena sungguh pun mulutnya menyebutkan benci sampai berulang kali, namun dia
maklum bahwa di dalam hatinya dia tak pernah dapat membenci Biauw Eng!
Keng Hong
berlari terus secepatnya dengan hati yang tertekan dan wajah muram. Kalau
menurutkan hatinya, ingin dia langsung saja naik ke Kiam-kok-san untuk
menjauhkan diri dari pada segala urusan dunia yang banyak menimbulkan
kepahitan. Akan tetapi ia harus mentaati kesadaraannya bahwa dia harus lebih
dulu menghadap Kiang Tojin dan mohon maaf akan kedosaannya sudah menipu tosu
itu dengan menyerahkan Siang-bhok-kiam palsu.
Tosu itu
adalah penolongnya, dan semua tosu di Kun-lun-pai telah bersikap baik padanya
pada waktu dia masih kecil. Kalau dia tidak pergi menghadap, tentu selamanya
dia akan menyesal dan berdosa. Biarlah dia akan menanggung segala akibatnya.
Apa pun yang akan terjadi, akan dia hadapi.
Dan kalau
perlu dia akan membela diri di depan semua tosu bahwa dialah sesungguhnya
satu-satunya manusia yang berhak memiliki Siang-bhok-kiam hingga dia terpaksa
menipu mereka, menyerahkan pedang kayu yang palsu. Bahkan peristiwa itu akan
dapat menjadi tamparan bagi tokoh-tokoh sakti dunia kang-ouw yang sangat tamak,
secara tak bermalu memperebutkan benda milik orang lain!
Meski pun
hatinya tertekan oleh semua peristiwa yang dialami, oleh kekecewaan melihat
perbuatan Biauw Eng, oleh kemarahan karena perbuatan Lian Ci Tojin, namun
dengan penuh semangat Keng Hong mendaki lereng yang menuju puncak di mana
berdiri markas Kun-lun-pai dengan megahnya. Puncak itu masih jauh, masih
membutuhkan perjalanan setengah hari, walau pun dindingnya sudah tampak dari
lereng.
Ketika
melalui sebuah tikungan, tiba-tiba Keng Hong berhenti dan matanya memandang
terbelalak ke depan. Dia segera maklum bahwa nyawanya terancam bahaya maut
ketika dia mengenal orang-orang yang telah menghadangnya di tengah jalan itu.
Pertama-tama
dia mengenal Sim Lai Sek, pemuda remaja adik mendiang Sim Ciang Bi yang dahulu
terbunuh oleh Biauw Eng. Sim Lai Sek berdiri dengan muka merah saking marahnya,
berdampingan dengan dua orang kakek yang juga sudah dikenal Keng Hong sebagai
tokoh-tokoh Hoa-san, yaitu Hoa-san Siang-sin-kiam yang amat lihai!
Di samping
tiga orang Hoa-san-pai ini, dia melihat empat orang tosu tua yang bersikap
angker dan penuh wibawa tetapi yang belum pernah dikenalnya. Karena belum
mengenal empat orang tosu tua itu, maka perhatiannya tertarik kepada dua orang
yang lain yang berdiri dengan alis berdiri saking marahnya.
Mereka
berdua ini bukan lain adalah Kim-to Lai Ban wakil ketua Tiat-ciang-pang serta
seorang laki-laki tua yang mukanya licin seperti muka anak-anak, akan tetapi
sepasang matanya bundar seperti mata ikan bandeng raksasa! Melihat sikap kakek
bermuka halus itu hati Keng Hong menjadi berdebar dan menduga bahwa agaknya dia
itu adalah ketua Tiat-ciang-pang!
Memang
dugaannya benar. Laki-laki tua yang datang bersama Kim-to Lai Ban itu bukan
lain adalah Ouw Beng Kok, pangcu (ketua) dari Tiat-ciang-pang. Kakek yang hebat
ini tangan kirinya merupakan tangan kiri palsu yang terbuat dari pada logam
kehijauan yang mengerikan sekali, seperti cakar iblis! Ada pun empat orang tosu
tua yang tidak di kenal Keng Hong itu pun bukan orang-orang sembarangan,
melainkan empat orang di antara Kong-thong Ngo-lojin, tokoh-tokoh utama
Kong-thong-pai!
Keng Hong
menenangkan hatinya, lalu dia menjura dengan hormat kepada semua orang sambil
berkata, "Para Locianpwe berada di sini apakah sengaja menghadang saya dan
ada urusan apakah? Ehh, adik Sim Lai Sek juga berada di sini? Apakah engkau
baik-baik saja?"
"Manusia
keparat! Siapa sudi menjadi adikmu? Engkau telah mencemarkan kehormatan cici-ku
kemudian masih tega membunuhnya! Nah, untuk perbuatanmu yang terkutuk itulah
aku datang bersama Ji-wi Supek untuk membunuhmu!" Sim Lai Sek membentak
penuh kebencian.
"Celaka,
bocah ini lebih jahat dari pada gurunya, Sin-jiu Kiam-ong. Patut dilenyapkan
dari muka bumi!" kata Coa Kiu orang tertua dari Hoa-san Siang-sin-kiam.
Keng Hong
mengangguk-angguk. "Cukup sudah kuketahui maksud Ji-wi Locianpwe dari
Hoa-san-pai yang hendak membunuhku berdasarkan fitnah memperkosa dan membunuh.
Bagaimana dengan para Locianpwe yang lain? Ada urusan apakah?"
Sikap Keng
Hong tenang saja karena memang sesungguhnya dia tidak merasa berdosa terhadap
orang-orang ini. Sikapnya ini mengingatkan semua tokoh itu kepada sikap Sin-jiu
Kiam-ong dan membuat mereka makin marah.
"Lai-pangcu,
aku menyesal sekali akan peristiwa yang terjadi antara kita, dan Lai-pangcu
sebagai seorang tua yang berkedudukan tinggi telah memaksaku hingga terjadi
bentrokan dan jatuh korban. Semenjak semula sudah kunyatakan bahwa aku tidak
bermusuhan dan tidak ingin bermusuhan dengan Tiat-ciang-pang. Kenapa sekarang
Lai-pangcu datang lagi menghadang perjalankanku?"
"Bocah
iblis! Engkau mengandalkan ilmu iblismu membunuh murid-murid Tiat-ciang-pang,
masih banyak bicara lagi? Kami datang untuk membinasakanmu!" jawab Kim-to
Lai Ban.
Sedangkan
Ouw Beng Kok, ketua Tiat-ciang-pang masih berdiri dan memandang penuh
keheranan. Hampir saja dia tidak dapat percaya bahwa bocah ini yang telah
merobohkan banyak anak muridnya dan bahkan hampir saja membunuh Lai Ban,
sute-nya!
"Sungguh
disayangkan bahwa ucapan Siauw-bin Kuncu mengenai Tiat-ciang-pang tepat sekali,
bukan hanya mengandalkan Tiat-ciang (Tangan Besi), bahkan mempunyai Tiat-sim
(Hati Besi) pula. Dan bagaimana dengan para Locianpwe ini? Apakah para Totiang
ini juga hendak mencariku?" Dia memandang ke arah empat orang tosu yang
bersikap galak dan sejak tadi memandangnya dengan sinar mata tajam.
Tosu tertua
di antara Kong-thong Ngo-lojin ialah seorang kakek tinggi kurus bermata buta di
sebelah kiri. Dia memegang tongkat bambunya, ditudingkan ke arah Keng Hong
sambil berkata,
"Cia
Keng Hong, engkau sudah membunuh sute termuda kami dan sepuluh orang murid
kami, sekarang terpaksa kami orang-orang tua dari Kong-thong-pai melupakan malu
dan harus mencabut nyawa seorang muda yang berbahaya seperti engkau!"
Keng Hong
terkejut. Kiranya empat orang ini adalah para suheng dari Kok Cin Cu yang
terkenal dengan sebutan Kong-thong Ngo-lojin! Wah, sekali ini dia menghadapi
ancaman lawan berat, orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi! Bagaimana
mungkin dia dapat melawan mereka? Akan tetapi jika tidak dapat melawan, dia
hendak membela diri dengan mulut. Dia tak merasa bersalah, maka sebelum mereka
turun tangan, dia harus membela diri, menyatakan kebersihannya.
"Aku
sudah mendengar semua tuduhan, akan tetapi cu-wi Locianpwe sesungguhnya telah
keliru menjatuhkan tuduhan-tuduhan palsu. Tuduhan yang tidak benar berarti
fitnah, dan hal itu merupakan perbuatan keji yang bahkan melebihi pembunuhan.
Aku tidak bersalah. Pertama-tama tuduhan dari Hoa-san-pai yang mengatakan bahwa
aku telah memperkosa dan membunuh nona Sim Ciang Bi. Memang benar ada hubungan
cinta antara aku dan mendiang nona Sim, akan tetapi bukan perkosaan. Sedangkan
kematian nona itu yang berada dalam pelukanku bukanlah karena aku yang
membunuhnya!"
"Aku
melihat dengan mata kepala sendiri, engkau masih berani menyangkal?"
bentak Sim Lai Sek setengah menjerit.
"Apakah
engkau melihat aku membunuh, adik Sim Lai Sek?" tanya Keng Hong dengan
sikap tenang.
"Aku
melihat engkau... engkau... memperkosanya... kemudian melihat dia mati di dalam
pelukanmu. Siapa lagi kalau bukan engkau atau perempuan iblis temanmu itu yang
telah membunuhnya?"
"Kesaksianmu
lemah. Aku tak memperkosanya dan tidak pula membunuhnya. Sekarang tuduhan dari
Tiat-ciang-pang. Saat itu aku membantu nona Sim dari desakan orang-orang
Tiat-ciang-pang. Aku tidak beraksud membunuhi anak buah Tiat-ciang-pang,
kemudian datang Lai-pangcu yang memaksaku dengan kekerasan sehingga terjadi
bentrokan dan di dalam pertempuran jatuh pula korban di pihak Tiat-ciang-pang.
Jelas bahwa bukan aku sengaja memusuhi Tiat-ciang-pang karena aku hanya membela
diri. Hal ini disaksikan oleh seorang Locianpwe yang patut dipercaya, yaitu
Siauw-bin Kuncu Locianpwe."
"Bocah
berilmu iblis! Engkau berbahaya sekali, memiliki ilmu iblis, tukang merayu wanita,
pandai pula memutar lidah. Engkau sudah selayaknya dilenyapkan dari muka bumi
agar jangan membikin kotor dunia!" bentak Kim-to Lai Ban marah.
"Terserah
wawasan Ji-pangcu dan Tiat-ciang-pang. Kini urusan dengan Kong-thong-pai yang
menuduh aku membunuh Kok Cin Cu totiang dan sepuluh orang murid-muridnya.
Bagaimana aku bisa membunuh seorang lihai seperti Kok Cin Cu totiang? Ada orang
lain yang membunuh, akan tetapi jelas bukan aku. Ada pun tentang sepuluh orang
anak murid Kong-thong-pai yang tewas dalam pertempuran yang sudah sewajarnya
dan sebagian..."
"Sebagian
lagi kau bunuh dalam kuil setelah kau perkosa dua orang murid wanita!"
bentak Kok Seng Cu, tosu ke empat dari Kong-thong Ngo-lojin.
Keng Hong
terkejut dan menduga bagaimana tosu ini tahu akan hubungannya dengan Kiu Bwee
Ceng dan Tang Swat Si? Dia tidak tahu bahwa empat orang tokoh Kong-thong-pai
ini menerima pemberitahuan dari coretan yang dilakukan dengan tusuk konde bunga
bwe yang ditinggalkan menancap di pondok sesudah melakukan coretan peberitahuan
bahwa Kiu Bwee Ceng dan Tang Swat Si telah diperkosa oleh murid Sin-jiu
Kiam-ong dan bahwa kedua orang gadis itu bersama para saudara seperguruannya
telah dibunuh pula.
"Aku
tidak memperkosa. Memang kami berhubungan secara suka sama suka, tetapi aku
tidak membunuh siapa-siapa…"
"Manusia
keji!"
Kok Sian Cu,
orang pertama dari Kong-thong Ngo-lojin sudah tidak dapat lagi menahan
kesabarannya. Tubuhnya bergerak maju dan mengirim pukulan ke arah ubun-ubun
kepala Keng Hong. Sebuah pukulan maut yang didahului angin pukulan dahsyat
sekali.
Keng Hong
terkejut sekali dan cepat dia mengelak dengan jalan meloncat ke kiri sambil
mengangkat tangan menjaga kepalanya. Tetapi dari sebelah kiri pundaknya
disambar lagi oleh hantaman tangan yang lebih ampuh lagi dari pada pukulan
pertama tadi, terbuat dari pada logam.
Hebat bukan
main datangnya pukulan ini sebab Ouw Beng Kok dijuluki Tiat-ciang (Tangan
Besi), bahkan mendirikan perkumpulan Tiat-ciang-pang adalah karena kehebatan
tangan kirinya yang palsu inilah. Tangan itu bukan terbuat dari besi sebarangan,
melainkan besi yang mengandung racun hebat, dan karena ketua Tiat-ciang-pang
ini memiliki lweekang yang amat kuat maka pukulannya itu benar-benar merupakan
pukulan maut yang sukar dihindarkan.
Untung bagi
Keng Hong bahwa sebelum suhu-nya meninggal dunia, kakek sakti itu telah
‘mengoperkan’ hawa sinkang mukjijat ke dalam tubuh muridnya sehingga otomatis
Keng Hong memiliki sinkang kuat sekali seperti mendiang suhu-nya dan tanpa dia
sadari pula dia telah mempunyai ginkang yang membuat tubuhnya seolah-olah dapat
bergerak di luar kesadarannya. Datangnya pukulan Ouw Beng Kok cepat, namun
tubuh pemuda itu lebih cepat lagi, membuang diri ke belakang lalu bergulingan
menjauhi lawan.
Orang-orang
yang menyerangnya adalah orang-orang yang berkedudukan tinggi, sedikit banyak
merasa malu dan sungkan untuk menggeroyok seorang pemuda, maka mereka itu
begitu menyerang dan luput, merasa sungkan untuk mendesak dan membiarkan orang
lain yang lebih dekat untuk turun tangan.
"Bukkk..!"
Ketika tubuh
Keng Hong sedang bergulingan, datang kaki Kok Liong Cu, yaitu tosu ke dua dari
Kong-thong Ngo-lojin yang selain memiliki Ilmu Pukulan Ang-liong Jiauw-kang
yang dimiliki oleh mereka berlima, juga terkenal lihai sekali dalam ilmu
tendangan. Datangnya tendangan ini cepat dan tidak terduga sehingga tubuh Keng
Hong terlempar ketika dicium ujung sepatunya.
Keng Hong
merasa napasnya seolah-olah berhenti, namun dengan pengerahan sinkang dia dapat
melindungi tubuh dan tidak sampai terluka, hanya merasa nyeri di punggung. Ia
melompat bangun lagi hanya untuk menghadapi cahaya berkeredepan yang menyambar
dari depan dibarengi bentakan Coa Bu orang kedua dari Hoa-san Siang-sin-kiam
yang menusukkan pedangnya sambil membentak,
"Bocah
iblis, mampuslah!"
Keng Hong
kaget bukan main, cepat dia membuang diri lagi ke kanan menghindarkan diri dari
sambaran pedang. Sinar pedang itu menyeleweng lewat dan hanya membabat rumput
sehingga rumput-rumput itu terbabat habis tanpa tergerak, menandakan betapa
tajam dan lihainya pedang kakek ini!
Keng Hong
sudah meloncat bangun lagi, wajahnya pucat, napasnya terengah dan ketika dia
mengerling, kiranya dia sudah dikurung!
"Aku
tidak bersalah, dan aku akan mempertahankan nyawaku dari kalian orang-orang tua
yang tidak adil!" teriaknya.
Ia maklum
bahwa sekali ini sukar bagi dia untuk lolos, karena yang megepungnya adalah
orang-orang yang sakti dan jumlah mereka, tanpa menghitung Sim Lai Sek yang
tidak ada artinya, adalah delapan orang. Baru menghadapi seorang di antara
mereka saja sudah sangat berat, apa lagi delapan orang sekaligus! Baiknya
mereka itu masih sungkan untuk mengeroyok, hanya menjaga supaya dia tidak
melarikan diri dan siap-siap menerjang jika pemuda itu mendekat.
Dalam
keadaan marah dan penasaran, Keng Hong merasa betapa seluruh tubuhnya kini
menggetar dan teringatlah dia bahwa apa bila tubuhnya menggetar seperti ini
berarti dia dapat menyedot hawa sinkang lawannya. Dia lalu mengerling dan
melihat bahwa di antara mereka, yang bersenjata dan yang sukar untuk dihadapi
dengan sinkang ialah dua orang dari Hoa-san-pai yang berpedang itu, Coa Kiu dan
Coa Bu, orang tertua dari Kong-thong Ngo-lojin, yaitu Kok Sian Cu yang memegang
tongkat bambu, dan Thiat-ciang Ouw Ban Kok yang bertangan palsu.
Maka dia
lalu sengaja menggeser kaki mendekatkan diri dengan Kok Liong Cu dan Kok Kim
Cu, dua orang kakek Kong-thong-pai yang tak bersenjata. Pancingannya berhasil
karena kedua orang ini sudah mengulur tangan hendak mencengkeram dan
memukulnya. Keng Hong mengeluarkan teriakan keras, lantas cepat menggerakkan
lengan menangkis, sekaligus menangkis dua lengan mereka.
"Plakk!
Plakk!"
Tangan kedua
orang tua itu berhasil dia tempel dengan tangkisannya dan benar saja, begitu
menempel, hawa sinkang dari dua orang kakek itu menerobos keluar memasuki
tubuhnya melalui lengannya yang menangkis tadi! Dua orang kakek Kong-thong-pai
itu terkejut dan makin besar mereka mengerahkan tenaga untuk melepaskan diri,
makin lekat tangan mereka dan makin banyak tenaga mereka tersedot keluar!
"Ilmu
keji!" Kok Sian Cu yang menyaksikan keadaan dua orang sute-nya itu sudah
cepat menggerakkan tongkatnya, seperti kilat menusuk mata Keng Hong!
Pemuda ini
terkejut dan memiringkan kepalanya, akan tetapi ternyata serangan itu hanya
merupakan gertakan saja sebab tahu-tahu ujung tongkat telah menotok sikunya,
segera membuat lengannya lumpuh dan otomatis daya tempel atau daya sedotnya
lenyap untuk sementara sehingga kedua orang kakek Kong-thong-pai itu dapat
membebaskan diri. Ujung tongkat terus menyambar ke arah lehernya. Keng Hong
kembali mengelak dan…
"Brettt!"
ujung tongkat itu menusuk pecah baju di pundaknya.
"Desss…!"
Pada saat
itu pula, kaki Kok Liong Cu sudah mengirim tendangan yang amat keras dan yang
tepat mengenai lambung Keng Hong, membuat pemuda itu roboh terguling-guling
dengan dengan kepala pening.
Melihat
betapa pemuda itu kembali mempergunakan ilmu yang mukjijat dan yang mereka kira
adalah ilmu hitam Thi-khi I-beng (Mencuri Hawa Memindahkan Nyawa), para tokoh
kang-ouw itu menjadi marah dan telah mengambil keputusan untuk turun tangan
sekaligus membunuh bocah berbahaya itu...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment