Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Pedang Kayu Harum
Jilid 13
Thian Seng
Cinjin ketua Kun-lun-pai juga maklum akan rasa sayang Kiang Tojin terhadap Keng
Hong. Hal yang tidak aneh apa bila diingat bahwa Kiang Tojin adalah tosu yang
dulu telah menyelamatkan nyawa Keng Hong kemudian membawa Keng Hong ke
Kun-lun-pai. Maka dia lalu berkata halus,
"Semua
tosu di Kun-lun-pai menyayang Keng Hong. Dahulu dia seorang anak yang baik dan
penurut, akan tetapi setelah menjadi murid Sin-jiu Kiam-ong… ahh, sudahlah.
Bu-tek Sam-kwi dan sahabat sekalian, apa bila mau mendaki Kiam-kok-san mencari
Cia Keng Hong dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, silakan, kami menanti di
bawah!"
Mendengar
ijin yang diberikan ketua Kun-lun-pai ini, bagaikan serombongan kanak-kanak
yang dituruti kemauannya, orang-orang kang-ouw itu berebutan mendaki Kiam-kok-san
yang terjal dan tak mudah didaki. Mereka terpaksa harus mendaki seorang demi
seorang dan tentu saja Bu-tek Sam-kwi berada paling depan.
"Suhu,
mengapa kita tidak ikut? Bolehkah teecu ikut naik...?"
"Tidak!
Kita harus menanti di sini. Apakah kita akan melanggar pantangan kita
sendiri?!" Thian Seng Cinjin membentak Lian Ci Tojin dengan suara marah.
Memang,
setelah melihat perkembangan urusan itu, ketua Kun-lun-pai sudah tidak dapat
lagi mempertahankan ketenangannya sehingga dia marah sekali dalam hatinya.
Sekali ini Kun-lun-pai benar-benar menerima penghinaan dan tak dipandang mata
oleh para tokoh kang-ouw itu, hanya karena di situ dapat Bu-tek Su-kwi yang
memelopori mereka. Kakek ini diam-diam mengancam untuk sewaktu-waktu membuat
pembalasan terhadap Bu-tek Sam-kwi.
Biar pun
amat lambat, akhirnya semua tokoh kang-ouw dapat juga menembus awan atau
halimun yang menutupi puncak batu pedang dan betapa kagum rasa hati mereka
ketika menyaksikan keindahan tamasya alam dari puncak batu pedang yang bagian
atasnya ternyata datar dan cukup luas itu.
Akan tetapi
hanya sebentar saja mereka mengagumi pemandangan alam ini karena hati mereka
berdebar ingin cepat menangkap Keng Hong dan terutama sekali menemukan simpanan
pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong yang selama bertahun-tahun ini menjadi
rebutan di antara tokoh-tokoh kang-ouw.
Mereka
memandang ke kanan kiri mencari-cari sambil mengelilingi seluruh permukaan
tanah datar di puncak Kiam-kok-san, akan tetapi mereka tidak menemukan Keng
Hong. Bayangannya pun tidak ada, jejaknya juga tidak ada! Sunyi sepi di puncak
Kiam-kok-san! Semua orang menjadi penasaran sekali.
"Jangan-jangan
pada waktu melihat kita mendaki naik, bocah setan itu lalu terjun dari atas
membunuh diri!" kata Kiu-bwe Toanio dan semua orang juga membenarkan
kemungkinan ini dengan hati kecewa.
"Tidak
mungkin!" kata Ang-bin Kwi-bo, mukanya yang biasanya memang sudah merah
itu menjadi agak hitam saking marahnya. "Bocah itu cerdik sekali, tentu
dia bersembunyi. Akan tetapi, biar pun dia terbang ke langit, tentu akan dapat
kutemukan dia!"
Mereka
mencari terus tanpa hasil. Kemanakah perginya Keng Hong? Betapa mungkin dia
dapat melarikan diri, sedangkan ketika mendaki tadi dia sedang menderita luka
parah?
Memang Keng
Hong terluka hebat ketika mendaki tadi, luka di sebelah dalam tubuhnya oleh
pukulan-pukulan sakti. Kalau sinkang-nya tidak hebat tentu dia sudah tewas
setelah berkali-kali ia terkena pukulan-pukulan sakti seperti Tiat-ciang dari
ketua Tiat-ciang-pang, pukulan Ang-liong Jiauw-kang dari para tokoh
Kong-thong-pai, bahkan juga totokan ujung bambu Kok Sian Cu yang lihai.
Biar pun
hawa sakti di tubuhnya melindunginya, namun tetap saja guncangan-guncangan
pukulan sakti yang berkali-kali itu membuat dadanya sesak dan kepalanya pening.
Ia tadi mendaki dengan setengah merangkak, walau pun gerakannya masih cukup
cepat berkat tambahan sinkang dari tokoh-tokoh Kong-thong-pai, namun sering
kali kakinya menggigil dan tangannya kurang tetap ketika memegang ujung-ujung
batu karang untuk mendaki.
Akhirnya,
pada sebuah tanjakan yang sangat sukar, dekat tempat yang digelapi halimun,
kakinya tergelincir menyebabkan kepalanya tertumbuk batu karang. Tentu dia akan
jatuh terjengkang ke bawah kalau tidak ada sebuah lengan yang berkulit halus
merangkulnya, kemudian menarik tubuhnya ke tempat yang agak lebar. Untung
kejadian ini berlangsung setelah Keng Hong mendaki jauh ke atas, terlalu tinggi
sehingga tidak tampak dari bawah.
"Cui
Im..." Keng Hong berkata lemah ketika membuka mata dan melihat wajah
cantik itu tersenyum-senyum.
Gadis
berpakaian merah ini agaknya sudah lama menanti di situ dan kini Cui Im
berbisik, "Keng Hong, tenanglah. Agaknya engkau terluka di sebelah dalam
tubuh. Aku membawa obat... nih, telanlah!" Ia memasukkan tiga butir pil
merah ke dalam mulut Keng Hong.
Pemuda ini
sudah sering diracuni oleh gadis ini, akan tetapi karena dia kebal terhadap
racun, apa lagi dalam keadaan payah seperti itu dia tidak peduli apakah yang
ditelannya itu racun, dia lalu menelan tiga butir pil kecil itu.
"Wah,
obatmu hebat...!"
Dalam
belasan detik saja Keng Hong merasa dirinya segar kembali. Memang pil-pil merah
itu bukanlah sembarangan obat, melainkan obat simpanan Lam-hai Sin-ni yang
dicuri Cui Im. Obat merah ini adalah obat yang mukjijat, dapat menyembuhkan
segala macam luka di dalam tubuh. Dan karena Keng Hong sendiri memiliki sinkang
yang luar biasa kuatnya, maka khasiat obat itu pun berlipat ganda, karena
tugasnya hanya menyembuhkan luka akibat guncangan hawa pukulan saja.
"Cui
Im... mengapa kau di sini…?"
"Aku
menunggumu, melihat kau dikejar-kejar, tak dapat membantu, terpaksa lari ke
sini. Akan tetapi aku tidak dapat naik terus, terlalu sukar memanjat ke atas
melalui karang licin dan rata ini!"
"Cui
Im, sebenarnya engkau tidak boleh ke sini. Akan tetapi karena sudah terlanjur,
dan untuk kembali tentu engkau akan celaka di tangan mereka, selain itu engkau
juga sudah menyelamatkan aku, mari, pegang erat-erat pinggangku dengan kedua
tanganmu!"
Cui Im
girang sekali, segera memeluk pinggang Keng Hong dari belakang. Mulailah Keng
Hong mendaki dengan cepat sekali. Setelah kini napasnya tidak sesak lagi dan
kepalanya pun tidak pening, tentu saja sangat mudah baginya mendaki tempat yang
dahulu menjadi tempat tinggalnya ini.
"Iiiihhhh,
ngeri melihat ke bawah..!" Cu Im mengeluh dan mempererat pelukannya,
bahkan menciumi punggung yang bajunya basah oleh keringat itu.
"Hushhh,
diamlah dan jangan memandang ke bawah!" Keng Hong menegur dan mendaki
makin cepat.
Setelah tiba
di atas, Cu Im menahan napas saking kagumnya. "Bukan main indahnya di
sini…"
"Cui
Im, bukan waktunya bersenang-senang. Mereka tentu akan mengejar ke sini. Maka
sebelum kulanjutkan rencanaku, bersumpahlah lebih dahulu bahwa engkau akan
bersetia kepada mendiang suhu, bahwa engkau tak akan menyia-nyiakan pusaka suhu
yang akan kita lihat..."
"Pusaka?
Apakah akan kita dapatkan...?"
"Bersumpahlah!"
Cui Im lalu
berlutut dan bersumpah bahwa dia akan tunduk akan segala kata-kata Keng Hong.
Sesudah itu Keng Hong menarik tangannya dan cepat berlari mengambil pedang
Siang-bhok-kiam tulen yang dia sembunyikan di balik batu karang yang berlubang.
"Wah,
ini adalah Siang-bhok-kiam tulen! Baunya saja sudah begini wangi…!"
"Sudah,
diamlah dan jangan mengganggu, jangan pula bicara. Lihat saja dan ikuti
aku!" Keng Hong membentak karena dia maklum bahwa dia tidak mempunyai
banyak waktu. Ia membawa pedang itu ke tempat penampungan air di mana air itu
mengalir turun menjadi kali kecil, air yang merupakan sumber kecil akan tetapi
tidak pernah kering.
Ia
menggunakan pedang itu untuk mengukur, sambil mengukur dia terus mengikuti
aliran air yang menuju ke bawah melalui celah-celah batu karang, terus turun ke
dinding bagian belakang yang luar biasa curamnya.
"Aku
takut turun...!" Cui Im berbisik.
Boleh jadi
Cui Im adalah seorang gadis yang mempunyai kepandaian, akan tetapi melihat
dinding karang yang luar biasa curamnya, sampai tidak tampak dasarnya akibat
terhalang halimun, benar-benar membuat dia menggigil.
"Panjangkah
ikat pinggangmu?"
"Panjang.
Mengapa?"
"Berikan
ujungnya, kau ikatkan pada lenganku dan ujung di situ ikatkan pada lenganmu.
Dengan demikian andai kata engkau jatuh ke bawah, aku masih bisa menahanmu.
Cepat! Apakah kau tidak taat?"
Cui Im
teringat akan sumpahnya dan dia segera mengangguk, lalu memberikan ujung ikat
pinggangnya. Sesudah keduanya mengikat lengan dengan ujung ikat pinggang merah
itu, Keng Hong melanjutkan pekerjaannya mengukur jalan air dengan menggunakan
pedang Siang-bhok-kiam sambil menghitung. Seratus dua puluh tujuh!
Dia masih
ingat akan pemecahan Siauw-bin Kuncu atas deretan sajak yang terukir pada
gagang pedang. Sesudah mengukur sampai seratus dua puluh tujuh, yang berarti
dia sudah turun dari puncak melalui belakang batu pedang itu sejauh kurang
lebih dua ratus kaki, air itu lenyap masuk ke dalam celah batu dan agaknya
mengalir ke sebelah dalam batu pedang. Akan tetapi di situ terdapat sebuah
padas batu yang agak rata dan lubang ini jelas bukan lubang biasa, melainkan
buatan.
Keng Hong
berdebar memandang lubang yang bentuknya panjang sempit seperti lubang sarung
pedang. Dia memang cerdik, maka tanpa ragu-ragu lagi dia cepat memasukkan
Siang-bhok-kiam pada lubang itu dan ternyata pas sekali. Siang-bhok-kiam masuk
hingga ke gagangnya dan Keng Hong lalu memutar-mutarnya ke kiri kanan.
Terdengar
suara gemuruh di sebelah dalam batu pedang seolah-olah terjadi gempa bumi.
"Ihhhhh,
aku takut..!" Cui Im merangkulnya.
Gadis ini
dengan susah payah juga mengikuti Keng Hong. Sesungguhnya, dengan tingkat
kepandaian dan ginkang-nya, Cui Im akan mampu menuruni batu karang terjal itu.
Akan tetapi karena melihat tempat securam itu, jantungnya bergetar sehingga
timbul rasa takut.
Sesudah
dengan ikat pinggang lengannya terikat dan terjaga oleh lengan Keng Hong, hal
ini mengusir sedikit rasa takutnya dan mendatangkan rasa aman, karena itu dia
pun dapat mengikuti Keng Hong tanpa banyak kesulitan lagi. Ternyata tadi Keng
Hong menyuruh dia mengikat tangan memang dengan niat untuk mengusir rasa takut
itulah seperti yang dulu pernah dilakukan oleh suhu-nya kepadanya!
Tiba-tiba
terdengar bunyi batu pecah dan... terbukalah sebuah goa di depan Keng Hong, di
sebelah kiri dari ‘lubang kunci’ tadi. Keng Hong cepat mencabut
Siang-bhok-kiam, lalu berbisik,
"Suhu
hebat sekali!" Suaranya memuji penuh kekaguman. "Mari ikut masuk!"
Kedua orang
itu kemudian merangkak masuk karena goa itu hanya satu meter tingginya,
merupakan terowongan yang dingin gelap. Akan tetapi Keng Hong percaya penuh
dengan kepandaian suhu-nya, dan dia terus merangkak masuk. Beberapa kali dia
dipegang dan didorong dari belakang oleh Cui Im yang masih merasa ngeri.
Kurang lebih
seratus meter jauhnya mereka merangkak, tiba-tiba terowongan itu menjadi terang
dan lebar sekali. Mereka bangkit berdiri dan tertegun! Kiranya ruang itu
merupakan sebuah ‘kamar’ batu yang berdinding licin dan penuh ukiran-ukiran
huruf yang indah!
"Nanti
dulu, aku lupa menutupkan kembali pintu terowongan!"
Tiba-tiba
Keng Hong teringat bahwa para pengejarnya adalah orang-orang yang memiliki ilmu
kepandaian tinggi. Sungguh pun tidak mungkin mereka akan dapat mengukur tempat
penyimpanan pusaka dari puncak Kiam-kok-san tanpa bantuan pedang
Siang-bhok-kiam, namun siapa tahu kalau-kalau orang-orang sakti itu mencari di
setiap tebingnya dan jika mereka lewat di depan itu pasti mereka akan memasukinya.
Kalau pintu terowongan yang merupakan dinding batu biasa itu tertutup, tanpa
memiliki ‘kuncinya’ yang berupa pedang Siang-bhok-kiam, tak mungkin pula mereka
dapat masuk atau menyangka bahwa lubang kecil itu adalah kunci rahasia untuk
menuju ke tempat penyimpanan pusaka.
Tanpa
menanti jawaban gadis itu yang masih terpesona memandangi keadaan ruangan tadi,
Keng Hong merangkak lagi keluar terowongan sambil membawa Siang-bhok-kiam.
Setelah tiba di mulut terowongan, dia melihat dan meneliti.
Ternyata bahwa
mulut terowongan itu terbuka dengan cara bergesernya sebuah batu besar ke kiri
yang tentu digerakkan oleh alat rahasia. Kini batu sebesar gajah itu berdiri di
dekat pintu terowongan yang menganga seperti mulut seekor ular raksasa.
Keng Hong
memeriksa dan akhirnya dia menemukan lubang ‘kunci’ dari sebelah dalam. Tanpa
ragu-ragu lagi dia segera menusukkan Siang-bhok-kiam ke dalam lubang ini yang
ternyata seperti lubang di luar, pas menerima masuknya Pedang Kayu Harum. Tiga
kali Keng Hong memutar ke kanan dan terdengar suara hiruk pikuk ketika batu
sebesar gajah itu tiba-tiba bergerak menggelinding dan menutupi mulut
terowongan sehingga kelihatan wajar. Dari luar tak akan ada manusia yang
menyangka bahwa sebagian batu kasar yang tampak beserta sebuah lubang itu
adalah batu ‘daun pintu’ yang amat besar dan dapat bergerak sendiri.
Puaslah hati
Keng Hong. Biar pun keadaan kini amat gelap setelah lubang itu tertutup, namun
hatinya lega dan dia merangkak kembali ke dalam. Ia tersenyum geli memikirkan
Cui Im. Betapa akan takutnya gadis itu dia tinggal sendirian di dalam ruangan
tadi.
Akan tetapi
ada pula hal yang menggelisahkan hatinya. Tidak bersalahkah dia terhadap
gurunya bahwa dia membawa Cui Im masuk ke tempat ini?
Ah, tentu
tidak. Dia tidak sengaja membawa Cui Im ke sini. Adalah gadis itu yang tadinya
mencari dan menantinya di lereng Kiam-kok-san, lagi pula gadis itu telah
menyelamatkan nyawanya.
Andai kata
dia tidak sedang dikejar banyak orang sakti, tentu dia akan mengusir Cui Im dan
tidak akan memperkenankan gadis itu ikut. Akan tetapi, dia tahu betul bahwa apa
bila dia melakukan hal itu, Cui Im tentu akan terbunuh oleh orang-orang sakti
yang sedang mengejarnya, apa lagi Cui Im dikenal sebagai tokoh golongan sesat
dan sekarang sudah melanggar larangan Kun-lun-pai dengan mendatangi bahkan
mendaki Kiam-kok-san yang dianggap keramat oleh para tosu Kun-lun-pai.
Tiba tiba
dia teringat betapa gadis berpakaian merah itu pun dahulu amat menginginkan
pusaka gurunya! Ah, kalau sampai Cui Im mempelajari segala ilmu peninggalan
gurunya dan menjadi seorang yang memiliki kesaktian hebat, bukankah dunia ini
akan bertambah seorang tokoh kaum sesat yang berbahaya sekali? Bagaimana dia
mengajak seorang gadis yang sedemikian jahat dan kejamnya ke tempat suci ini?
Tidak! Dia harus menyuruh pergi Cui Im, setidaknya menanti sampai keadaan aman.
Biarlah dia
akan memberi benda-benda berharga peninggalan suhu-nya, sebab bukankah wanita
paling suka akan benda-benda perhiasan yang serba indah dan mahal? Atau kalau
gadis itu masih belum puas, boleh dia bagi sebuah kitab pelajaran ilmu yang
tidak terlalu berbahaya.
Teringat
akan ini, Keng Hong mempercepat gerakannya merangkak dan begitu sampai di
ruangan penuh ukiran-ukiran huruf itu, dia meloncat berdiri dan memanggil.
"Cui
Im...!"
Hanya gema
suaranya sendiri yang menjawab. Cui Im tidak tampak di dalam ruangan itu!
"Cui
Im...!" Keng Hong memanggil sambil memandang ke arah pintu yang terbuka
menuju ke ruangan sebelah dalam.
Tentu gadis
itu yang mengagumi keadaan ruangan ini telah masuk ke sana dan sekarang sedang
melihat-lihat ruangan lainnya. Dan sekarang dia baru teringat betapa
menggelikan keadaannya ketika tadi dia mentertawakan Cui Im yang disangkanya
takut dia tinggalkan seorang diri. Cui Im takut? Ahh, alangkah bodohnya
pendapat ini.
Cui Im
adalah seorang tokoh kang-ouw, seorang tokoh golongan sesat atau hitam yang
berjuluk Ang-kiam Tok-sian-li (Dewi Beracun Berpedang Merah) yang amat ditakuti
orang melebihi seorang iblis betina! Seorang tokoh seperti itu mana bisa merasa
takut berada sendirian dalam ruangan di sebelah dalam batu pedang di puncak
Kiam-kok-san itu? Bila tadi ketika mendaki Cui Im takut-takut adalah karena
rasa ngeri seorang wanita yang tidak biasa mendaki tempat-tempat curam seperti
itu.
"Cui
Im...!"
Keng Hong
melangkah maju melalui pintu yang terbuka. Ternyata di balik pintu ini ada
ruangan lain yang amat luas dan dindingnya amat indah karena batu karang di
sebelah dalam batu pedang ini kiranya berupa batu yang berkilauan! Ruangan luas
ini mempunyai lubang-lubang pada sebelah atas dan begitu dia memasuki ruangan
ini, selain udaranya segar, juga terdengar suara angin memasuki lubang-lubang
itu yang menimbulkan suara seperti suling ditiup, amat aneh namun halus dan
merdu.
Di sebelah
atas tampak ukiran-ukiran huruf besar yang amat indah, berbunyi:
MENDIRIKAN
KUN-LUN-PAI UNTUK MENEGAKKAN KEADILAN DI DUNIA.
Keng Hong
tertarik sekali sehingga sejenak dia melupakan Cui Im. Apakah artinya
ukiran-ukiran huruf itu? Tak mungkin suhu-nya yang membuat ukiran itu.
Mendirikan
Kun-lun-pai? Ahh, pengukirnya tentu orang yang dulu mendirikan Kun-lun-pai.
Sucouw dari Kun-lun-pai. Benar! Bukankah tempat ini merupakan tempat yang
keramat dari partai Kun-lun?
Pernah
ketika dia masih menjadi kacung di Kun-lun-pai, seorang tosu tua mendongeng
kepadanya tentang pendiri partai Kun-lun-pai yang mereka sebut sucouw, yang
kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa. Dan kabarnya setelah menyerahkan
Kun-lun-pai kepada murid-muridnya, sucouw ini lalu naik ke batu pedang dan bertapa
di sana sampai lenyap kemudian oleh semua anak murid Kun-lun-pai dianggap telah
naik ke alam baka bersama raganya!
Itulah
sebabnya mengapa Kiam-kok-san lalu dianggap sebagai tempat keramat, sebagai
‘kuburan’ sucouw mereka yang terhitung kakek buyut guru dari Thian Seng Cinjin!
Tentu di sinilah tempat sucouw itu bertapa dan mungkin sekali tempat ini adalah
ciptaan atau buatan sucouw itu yang kemudian juga digunakan oleh Sin-jiu
Kiam-ong sebagai tempat bertapa dan tempat menyimpan pusakanya.
Siapa pula
nama sucouw itu? Kalau tidak salah dia mendengar dari tosu tua itu bahwa nama
sucouw ini adalah Thai Kek Couwsu.
Tiba-tiba
dia terkejut karena teringat akan Cui Im. Kembali dia memandang ke sekeliling
setelah beberapa lamanya termenung karena membaca huruf-huruf terukir itu. Dia
melihat bahwa ruangan lebar itu mempunyai empat buah pintu. Sebuah menuju ke
ruangan luar tadi dan yang tiga buah lagi daun pintunya yang terbuat dari pada
kayu tebal tertutup.
"Cui
Im..!" Dia mengerahkan khikang sebagai suaranya bergema keras. Namun tidak
ada jawaban.
Keng Hong
kemudian menghampiri pintu di sebelah kiri dan membukanya. Daun pintu itu
terbuka dengan mudah. Dia terpesona dan silau melihat benda-benda berharga
teratur rapi di atas sebuah meja dan dinding penuh dengan lukisan dan tulisan
indah yang serba mahal.
Benda
berharga di atas meja ini terbuat dari emas, perak, dan batu-batu permata yang
serba indah. Kendi dan cawan-cawan emas, peti-peti kecil dari emas serta perak
diukir indah dan dihiasi batu-batu permata. Perhiasan-perhiasan wanita yang
halus buatannya. Mainan berupa segala macam binatang yang terbuat dari emas dan
perak pula, dengan mata intan yang besar. Bahkan terdapat ukiran dari emas yang
menggambarkan pelbagai pasangan binatang yang tengah bercumbuan dan di satu
sudut, yang terindah dari segala yang berada di situ, terdapat ukiran emas yang
menggambarkan sepasang manusia yang sedang bermain cinta!
Keng Hong
tersenyum melihat ini, teringat akan watak suhu-nya. Kemudian dia ingat lagi
kepada Cui Im. Benda-benda di kamar ini agaknya masih tersusun rapi dan tidak
terusik. Kemudian dia menutup daun pintu kamar kiri dan melangkah menghampiri
pintu kanan yang lalu dia dorong terbuka daun pintunya.
Sekali lagi
dia terpesona dan jantungnya berdebar kencang. Benda-benda di dalam inilah yang
membuat tokoh-tokoh kang-ouw mengejar-ngejar dirinya, membuat mereka laksana
berebutan tulang.
Di dekat
dinding berjajar senjata-senjata pusaka yang amat indah. Pedang-pedang, golok,
tombak serta beberapa macam senjata lagi. Kalau tidak salah, senjata-senjata
ini adalah senjata pusaka tokoh-tokoh besar di dunia kang-ouw yang dirampas
oleh gurunya dan kembali Keng Hong tersenyum. Gurunya merampas senjata-senjata
ini sama sekali bukan karena tamak menginginkan senjata-senjata ini untuk
dipergunakan, melainkan dirampas untuk dijadikan koleksi senjata, atau sebagai
tanda kemenangannya karena lawan yang belum kalah tidak mungkin dapat dirampas
senjatanya! Gurunya memang nakal, romantis dan berandalan!
Akan tetapi
yang paling menarik hati Keng Hong adalah sebuah rak batu di mana berdiri
jajaran kitab-kitab yang telah lapuk. Inilah kitab-kitab ilmu silat peninggalan
gurunya. Akan tetapi hatinya berdebar keras pada saat dia melihat betapa
keadaan tempat kitab-kitab ini tidak rapi susunannya, bahkan kacau-balau dan
ada beberapa buah kitab tercecer di atas lantai. Melihat betapa senjata-senjata
itu masih rapi seperti juga keadaan benda-benda berharga, maka kitab-kitab itu
pasti ada yang mengusik dan mengganggu.
Cui Im!
Tidak salah lagi, tentu gadis itu yang mendahuluinya mendapatkan kamar ini
telah mengambil kitab-kitab yang pilihnya! Celaka, pikir Keng Hong.
Terjadilah
apa yang tadinya dia khawatirkan. Di antara segala benda berharga,
perhiasan-perhiasan indah dan senjata-senjata pusaka, justru yang diambil Cui
Im adalah kitab-kitab pelajaran ilmu kesaktian! Dia tidak tahu kitab-kitab apa
yang diambil Cui Im, akan tetapi melihat bekas-bekasnya, tentu tidak sedikit
yang diambil.
"Cui Im
...!" Ia memanggil lebih keras sambil berlari keluar dari kamar itu.
Dia harus
minta kembali kitab-kitab yang diambil Cui Im! Kalau gadis itu ingin
mempelajari satu dua macam ilmu di situ, harus dia yang memilihkannya karena
selain dia seoranglah yang berhak mewarisi pusaka gurunya, juga dia harus dapat
mengekang watak kejam gadis itu, atau sedikitnya menjaga supaya jangan sampai
gadis itu memperoleh ilmu-ilmu yang sakti sehingga kelak akan menjadi seekor
harimau buas yang tumbuh sayap!
"Cui
Im...!"
Keng Hong
berlari dan membuka daun pintu terakhir yang ternyata merupakan sebuah
terowongan sebelah depan yang kecil sehingga hanya dapat dilalui dengan
merangkak. Terowongan sebelah belakang ini cukup tinggi, ada dua meter dan
lebarnya semeter sehingga dia dapat berjalan dan mencari Cui Im. Dia merasa
yakin bahwa gadis itu pasti melarikan kitab-kitab yang diambilnya melalui
terowongan dari ruangan itu.
Pada saat
itu, Keng Hong mendengar suara hiruk-pikuk seperti ada gempa bumi terjadi di
puncak Kiam-kok-san. Ia lalu menghentikan langkahnya dan mendengarkan dengan
teliti. Terdengar suara batu-batu pecah dan batu-batu menggelinding turun. Ia
tidak tahu apa yang telah terjadi.
Suara itu
sesungguhnya adalah suara yang ditimbulkan oleh kemarahan para tokoh yang naik
ke puncak batu pedang. Dengan dipelopori oleh Bu-tek Su-kwi, para tokoh itu
mulai membongkar batu-batu di puncak, merobohkan pohon-pohon dan bahkan
menggunakan kesaktian mereka menghantami puncak batu-batu karang sehingga
ambrol dan batu-batu besar lalu bergulingan jatuh ke bawah menimbulkan suara
hiruk-pikuk yang sampai terasa getarannya dan terdengar suaranya oleh Keng Hong
yang berada di sebelah dalam batu pedang! Batu-batu yang terguling itu sebagian
ada pula yang menguruk tempat di mana terdapat goa rahasia terowongan sehingga
tertimbun dan kini tidak mungkin ada orang mampu mendapatkan tempat rahasia
yang mereka cari-cari itu.
Betapa pun
Bu-tek Su-kwi bersama para tokoh kang-ouw mengamuk di atas puncak batu pedang,
mereka tidak dapat menemukan Keng Hong dan tidak dapat menemukan tempat
penyimpanan pusaka Sin-jiu Kiam-ong. Akhirnya sambil memaki-maki Bu-tek Su-kwi
pergi meninggalkan tempat itu dan mendaki turun, diikuti pula oleh para tokoh
kang-ouw yang merasa kecewa sekali.
Thian Seng
Cinjin, Kiang Tojin dan para tosu Kun-lun-pai memandang ke atas dengan kaget
dan heran. Mereka mendengar suara hiruk-pikuk itu dan melihat pula sebagian
batu gunung yang runtuh dan menggelinding turun dari batu pedang sehingga
mereka cepat mencari tempat yang aman agar tidak sampai tertimpa hujan batu
itu.
Mereka ingin
sekali tahu apa yang sedang terjadi di puncak batu pedang itu. Akan tetapi
selain tidak diperkenankan naik oleh ketua mereka, juga mendaki pada saat dari
puncak turun hujan batu itu amatlah berbahaya bagi keselamatan mereka.
Setelah
suara hiruk-pikuk itu lenyap, tampak Bu-tek Su-kwi dan para tokoh lain menuruni
batu pedang dengan wajah keruh. Para tosu Kun-lun-pai memperhatikan dan dengan
hati lega mereka melihat tidak ada tokoh membawa sesuatu turun dari puncak. Hal
ini menjadi tanda bahwa usaha mereka tidak berhasil untuk menemukan pusaka
Sin-jiu Kiam-ong.
Ada pun
Kiang Tojin yang tak melihat mereka membawa Keng Hong sebagai tangkapan,
menjadi terheran-heran dan hatinya diliputi dua macam perasaan. Ia girang
sekali bahwa mereka tidak dapat menangkap Keng Hong akan tetapi juga khawatir
kalau-kalau pemuda itu dibunuh oleh mereka di atas puncak karena pemuda itu
tidak mau mengaku di mana adanya pusaka peninggalan Sin-jiu- Kiam-ong.
"Pinto
harap cu-wi sekalian tak melanggar pantangan melakukan pembunuhan di puncak
Kiam-kok san yang amat kami hormati," kata Kiang Tojin, suaranya tenang
saja padahal hatinya berdebar keras.
"Membunuh
apa? Seekor semut pun tidak ada di puncak itu. Bocah itu kembali sudah
mengakali kita! Tidak saja Kun-lun-pai yang ditipu dengan pedang kayu palsu,
juga kali ini kita semua ditipunya. Dia tidak berada di puncak!” berkata Ang-bin
Kwi-bo dengan muka cemberut.
"Apa
bila nanti kudapatkan bocah itu, akan kuganyang dagingnya, kuminum darahnya dan
kuhancurkan kepalanya!" Pak-san Kwi-ong berkata dengan nada marah sekali.
Pat-jiu
Sian-ong juga marah dan kecewa, akan tetapi sesuai dengan sifatnya, dia hanya
tersenyum dan berkata halus, "Sayang sekali, kembali Kun-lun-pai yang
menjadi korban. Bila mana dunia kang-ouw mendengar akan hal ini, hati siapakah
yang tidak akan timbul persangkaan bahwa bocah itu sengaja disembunyikan oleh
Kun-lun-pai?"
"Pat-jiu
Sian-ong, hati-hati sedikit kalau bicara!" Kiang Tojin membentak, alisnya
berkerut dan matanya mengeluarkan sinar berapi.
Pat-jiu Sian
-ong tersenyum menyeringai dan matanya mengerling ke kanan kiri.
"Ehh,
apakah yang telah kukatakan? Aku tidak menuduh Kun-lun-pai, hanya menyatakan
betapa mengherankan melihat bocah yang sudah terluka itu mendaki batu pedang
lantas lenyap tanpa berbekas sama sekali dari puncak sana. Kemanakah perginya?
Terbangkah dia? Atau menghilang? Siapa dapat menjawab? Batu pedang bukanlah
milik kami, bukan wilayah kami, tentu saja hanya Kun-lun-pai yang dapat
mengetahui rahasianya. Sudahlah, selamat berpisah! Kwi-bo dan Kwi-ong, tidak
pergi dari sini atau menunggu apa lagi sih?" Sambil tertawa Pat-jiu Sian-ong
berkelebat pergi, diikuti oleh Ang-bin Kwi-bo dan Pak-san Kwi-ong.
Begitu pula
dengan para tokoh kang-ouw itu, seorang demi seorang pergi meninggalkan puncak
Kiam-kok-san dengan hati kecewa. Melihat sikap mereka itu, Kiang Tojin maklum
bahwa omongan Pat-jiu Sian-ong tadi mendapatkan sasaran dan para tokoh itu biar
pun sedikit, ada menaruh kecurigaan kepada Kun-lun-pai dan hal ini pasti akan
tersiar luas!
Setelah
mereka semua pergi, Kiang Tojin berkata kepada gurunya, "Suhu,
mengherankan sekali bagaimana Keng Hong dapat lenyap dari puncak sana. Dapatkah
Suhu memberi ijin kalau teecu meninjau ke puncak dan melihat apakah sebetulnya
yang terjadi di sana?"
"Suhu,
teecu juga hendak ikut!" kata Lian Ci Tojin dan Sian Ti Tojin hampir
berbareng.
Thian Seng
Cinjin menghela napas panjang. "Semoga arwah sucouw sudi mengampuni kita yang
membiarkan orang mengotori Kiam-kok-san. Pergi dan lihatlah, apa yang sudah
terjadi dan ke mana perginya murid Sin-jiu Kiam-ong. Ah, Sie-taihiap, masih
belum cukup banyakkah kami membalas budi kebaikanmu terhadap Kun-lun-pai?"
Kiang Tojin
beserta dua orang sute-nya itu cepat menggunakan ginkang mereka mendaki batu
pedang. Mereka yang belum pernah mendaki batu tinggi ini, melakukannya dengan
hati-hati sekali dan dengan perasaan penuh hormat kepada tempat yang mereka
anggap keramat ini.
Kiang Tojin
terheran-heran setelah tiba di atas dan menyaksikan permukaan batu pedang yang
kini sudah rata dan rusak bekas amukan tokoh kang-ouw tadi, terheran memikirkan
bagaimana Keng Hong dapat melepaskan diri dari ancaman orang-orang sakti tadi?
Tidak ada jalan keluar kecuali dari tempat yang dinaikinya tadi.
Dari atas
tampak jelas betapa sisi-sisi lain dari batu pedang itu tak mungkin dapat
dituruni orang karena tegak lurus dan licin. Jangan-jangan anak itu putus
harapan dan meloncat turun, pikirnya.
Kiang Tojin
adalah seorang tokoh besar yang sudah mengalami segala macam peristiwa, akan
tetapi saat memikirkan kemungkinan bahwa Keng Hong meloncat turun dari tempat
setinggi itu, dia pun bergidik. Kalau hal mengerikan ini dilakukan Keng Hong
dan tubuh pemuda itu terbanting ke bawah, kiranya tidak akan ada sisanya lagi
akibat hancur lebur sebelum mencapai tanah, dihunjam dan dikerat permukaaan
batu yang amat runcing dan tajam.
Betapa pun
ketiga orang tosu itu mencari-cari, tidak ada bekas-bekas Keng Hong dan
terpaksa mereka lalu turun kembali melaporkan kepada Thian Seng Cinjin yang
menghela napas dan berkata,
"Hanya
Thian yang mengetahui apa yang telah terjadi dengan murid Sin-jiu Kiam-ong itu.
Masih bagus bahwa tidak terjadi pertempuran dan banjir darah. Mudah-mudahan
semua urusan mengenai peninggalan Sin-jiu Kiam-ong akan habis sampai di sini
saja."
Akan tetapi
benarkah akan terjadi seperti yang diharapkan ketua Kun-lun-pai? Jauh dari pada
itu. Cia Keng Hong masih hidup dan pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong ternyata
masih utuh dan dapat ditemukan oleh Keng Hong.
Yang lebih
hebat lagi, tanpa dikehendakinya, Keng Hong terpaksa mengajak Ang-kiam
Tok-sian-li memasuki tempat rahasia penyimpanan pusaka-pusaka itu dan kini Bhe
Cui Im, gadis murid lam-hai Sin-ni itu telah melarikan beberapa buah kitab yang
dipilihnya dari kumpulan kitab-kitab peninggalan Sin-jiu Kiam-ong!
"Cui
Im..!" Keng Hong berteriak-teriak sambil berjalan terus setelah menunggu
beberapa lama mendengarkan suara batu-batu pecah dan gempur tanpa dapat menduga
apa yang sesungguhnya telah terjadi. Terowongan itu amat panjang dan makin lama
makin gelap.
"Cui
Im!"
Akhirnya
tampak cahaya terang dan terowongan itu pun berakhir, akan tetapi Keng Hong
berdiri terbelalak di ujung terowongan memandang ke depan. Ternyata jalan
terowongan itu berakhir di pinggir sebuah celah yang amat lebar, dan di
seberang celah atau jurang itu tampak Cui Im berdiri sambil tersenyum
menertawakannya!
"Cui
Im...!" Keng Hong berseru memanggil dengan nada suara marah. "Apa
yang sudah kau lakukan? Kembalikan kitab-kitab peninggalan suhu yang kau
curi!"
"Hi-hik-hik,
Keng Hong yang ganteng, kau pikirkan dulu baik-baik sebelum memaki orang karena
ucapanmu itu sama saja dengan maling teriak maling!" Gadis berpakaian
merah itu mengangkat tinggi-tinggi lima buah kitab kuno dengan dua tangannya
lalu melanjutkan kata-katanya.
"Tahukah
engkau kitab-kitab apa yang kupegang ini? Yang dua buah adalah kitab-kitab Seng-to
Cin-keng dan I-kiong Hoan-hiat dari Siauw-lim-pai untuk pelajaran Iweekang dan
menghimpun sinkang. Yang sebuah adalah kitab pelajaran ilmu pedang dari
Go-bi-pai. Sebuah lagi kitab pelajaran ilmu ginkang, dan yang sebuah terakhir
adalah kitab pelajaran ilmu silat tangan kosong yang hebat dan kalau tak salah
adalah gubahan Sin-jiu Kiam-ong sendiri. Nah, di antara lima buah kitab, yang
tiga buah jelas adalah kitab curian. Sin-jiu Kiam-ong mencuri kitab, kalau
sekarang kitabnya dicuri orang lain, bukankah sudah adil itu namanya?"
"Cui
Im, jangan gila kau! Engkau sudah kuajak masuk ke sini, kalau mau mempelajari
ilmu boleh saja, akan pergi jangan mencuri!"
Dengan
pandang matanya, Keng Hong mengukur dan dia terkejut sekali mendapatkan
kenyataan bahwa tidaklah mungkin bagi seorang manusia untuk meloncati jarak
antara dia dan Cui Im. Akan tetapi bagaimanakah gadis itu dapat berada di
seberang?
Agaknya dari
jarak sejauh itu, Cui Im dapat menduga apa yang dipikirkan Keng Hong. Dia
tertawa, kemudian duduk di tepi jurang itu dengan suara mengejek.
"Hi-hi-hik,
mau meloncat ke sini? Jangan mimpi, Keng Hong. Selain terlampau jauh, sekali
kau terjatuh ke bawah, tubuhmu akan hancur lebur. Apakah tidak mengerikan?
Sayang tubuhmu yang muda dan perkasa, wajahmu yang tampan. Hanya ada satu cara
untuk menyeberang melewati jurang ini, yaitu melalui jembatan, dan jembatannya
kini berada di tanganku!"
Keng Hong
mendengus marah. Gadis ini terang membual. Mana mungkin jembatan bisa disimpan?
"Kau
tidak percaya? Inilah jembatannya, berada di tanganku. Bila kuhendaki mudah
saja aku menyeberang ke situ, akan tetapi engkau? Kecuali kalau di pundakmu
keluar sayap dan dapat terbang, tak mungkin engkau dapat menyeberang ke
sini!"
"Hemmm,
engkau jahat dan curang, Cui Im! Akan tetapi, jangan kau mengira bahwa aku akan
membiarkan saja engkau melarikan kitab-kitab itu," kata Keng Hong dan
mengertilah ia bahwa di antara kedua tempat ini tadinya memang terdapat
jembatan yang merupakan penghubung, yaitu yang terbuat dari pada sehelai tambang
yang kini sudah tergulung dan berada di tangan Cui Im.
Tentu
tambang itu tadinya terpasang melintang di atas jurang. Dan setelah menyeberang
mempergunakan ginkang-nya yang memang sudah mencapai tingkat tinggi, yaitu
berjalan di atas tambang, gadis itu kemudian melepaskannya dan menggulungnya.
Tentu ada cara melepaskan yang mudah dari seberang, mungkin juga kedua ujung
tambang itu dipasangi kaitan dan karena kedua tempat itu terdiri dari batu-batu
yang kasar dan runcing, maka mudahlah melemparkan kaitan ke seberang sehingga
dapat tercipta jembatan tambang dan dengan menyendal-nyendal dapat pula kaitan
di seberang dilepaskan.
"Hi-hi-hik,
engkau mimpi, Keng Hong. Andai kata kelak engkau dapat mencariku, setelah aku
mempelajari lima buah kitab ini, engkau akan bisa berbuat apakah terhadap aku?
Pula, engkau tidak akan dapat bertahan lama bertahan di situ, tidak ada bahan
makanan, tidak ada air dan belum lagi diingat bahwa tokoh-tokoh itu tentu akan
mencarimu. Aku akan pergi meninggalkanmu di situ dan membawa kitab-kitab ini.
Sudah kuperiksa isinya dan kalau dapat berlatih selama lima tahun saja, di
dunia ini tidak akan ada orang yang mampu melawanku!"
Keng Hong
bukan seorang yang bodoh. Tidak, sebaliknya malah. Dia cerdik sekali dan
pikirannya dapat dikerjakan secara cepat menarik kesimpulan-kesimpulan. Mengapa
Cui Im setelah mengambil jembatan tambang itu tidak lekas pergi malah
menantinya di situ? Hanya untuk mengejek? Tak mungkin!
Seorang yang
sudah mendapatkan pusaka kitab-kitab yang diinginkan oleh seluruh tokoh
kang-ouw tentu merasa terlalu tegang untuk main-main dan mengejek, tentu akan
terus pergi melarikan diri dan cepat-cepat mempelajari isi kitab. Akan tetapi
Cui Im menantinya di situ. Membual! Ya, gadis itu tentu sengaja membual untuk
menutupi kelemahannya. Ia mengangguk-angguk dan berkata,
"Cui
Im, siapa percaya bualanmu? Engkau menemui jalan buntu, tak dapat meninggalkan
tempat itu. Jalan keluar hanya melalui lorong ini dan kau terjebak di situ,
tidak dapat terus dan tidak dapat kembali. Nah, katakan, apa kehendakmu
dariku?"
Cui Im
terperanjat sekali hingga meloncat berdiri. "Eh, eh, eh, bagaimana kau
bisa tahu?" Saking kaget dan herannya dia sampai tidak dapat menyimpan
rahasianya lagi.
Keng Hong
tersenyum. "Kalau ada jalan keluar di sebelah sana, tentu engkau tidak
akan menunggu hanya untuk berbicara denganku. Engkau sudah mencuri lima buah
kitab dan mungkin dapat kau pelajari di situ hingga engkau menjadi seorang
sakti. Akan tetapi apa gunanya kalau kau tak dapat keluar, menjadi nenek-nenek
dan mati kering di situ?"
"Aku
akan menanti kesempatan. Setelah kepandaianku meningkat tinggi, maka aku akan
menggunakan jembatan tambang ini menyeberang ke situ dan membunuhmu!"
"Ha-ha-ha,
bicara sih mudah. Akan tetapi boleh kau coba. Aku tidak bodoh, nona manis. Aku
akan selalu waspada dan sekali saja tambang itu kau lontarkan ke sini, akan
kunanti sampai kau menyeberang di tengah-tengah, kemudian tambang itu akan
kubikin putus di sebelah sini. Wah, tentu lucu sekali melihat kau terbang ke
bawah sana."
Cui Im lalu
membanting-banting kakinya. "Keng Hong engkau manusia kejam!"
Kemudian suaranya mengandung isak ketika dia berkata lagi, "Engkau
laki-laki yang tidak mengenal budi, tidak tahu dicinta orang! Sesudah dengan
susah payah aku selalu membayangimu, melindungimu, menyatakan cinta kasihku
dengan perbuatan, membiarkan diriku terancam bahaya, membebaskanmu dari tangan
musuh-musuhmu, kau… kau..." Akan tetapi Cui Im segera teringat bahwa dia
kelepas bicara, akan tetapi terlambat karena Keng Hong sudah meloncat berdiri
dan muka pemuda itu menjadi merah sekali.
"Cui
Im! Jadi... engkaukah orangnya...? Engkaukah yang selama ini terus
membayangiku, membunuh murid wanita Hoa-san-pai lalu membunuh murid-murid
Kong-thong-pai dengan racun? Engkaukah gerangan orangnya?"
Cui Im tidak
dapat mundur kembali dan baginya sudah kepalang. Kini dia tidak perlu lagi
merahasiakan perbuatannya.
"Benar!
Akulah orangnya yang melakukan itu semua! Demi cintaku padamu, Keng Hong,
dengarkah engkau? Demi cintaku kepadamu, bukan cinta seperti yang pernah
kurasakan terhadap pria mana pun juga. Aku cinta kepadamu, akan tetapi engkau
buta!"
Jantung Keng
Hong berdebar keras. "Jadi engkaukah yang membunuh Sim Ciang Bi dan
membunuh murid-murid wanita Kong-thong-pai pula? Mengapa?"
"Tentu
saja! Mereka itu berani merayumu, bermain cinta denganmu. Ahhh, betapa sakit
hatiku, hampir gila oleh cemburu. Kalau tidak sebesar ini cintaku kepadamu,
tentu engkau pun sudah kubunuh pula!"
"Dan...
ketika malam gelap itu... yang datang kepadaku, merayuku penuh cinta kasih...
Engkau pulakah itu?"
Cui Im
tertawa genit. "Hi-hik-hik, benar aku! Masa engkau tidak mengenal aku?
Biar pun aku tidak bicara banyak, apakah engkau tak mengenal suaraku, tak
mengenal kesedapan keringatku? Hi-hi-hik!"
"Cui
Im...! Kenapa kau lakukan itu?"
"Kenapa?
Sebab kau selalu menolakku dan aku sudah amat cinta kepadamu. Hatiku perih
sekali harus berpura-pura seperti itu..."
"Bukan
itu maksudku! Kenapa engkau mengenakan pakaian putih, menggunakan senjata
rahasia dan senjata-senjata Biauw Eng? Kenapa engkau menyamar sebagai Biauw
Eng?"
"Kenapa?
Ahh… biar dia rasakan! Sumoi berani sekali merampas engkau dari tanganku!
Berani dia berlancang mulut menyatakan cinta kasihnya kepadamu, padahal
biasanya sumoi menganggap cinta sebagai sebuah pantangan besar! Panas hatiku,
dan biar dia tahu rasa, berani merebut cinta kasih kasih suci-nya!"
Kedua
telinga Keng Hong terasa panas dan andai kata Cui Im berada di depannya tentu
sudah ditamparnya perempuan itu. Akan tetapi dia menekan kemarahannya dan
hatinya menjadi girang sekali. Girang, terharu dan menyesal.
Girang
karena sekarang ia mendapat kenyataan bahwa Biauw Eng bukanlah wanita jahat
seperti yang dikiranya. Biauw Eng suci dan bersih. Terharu karena teringat
betapa Biauw Eng melindungi dirinya mati-matian, bahkan mengakui segala
perbuatan yang dituduhkan olehnya dengan dasar membela dan melindunginya.
Betapa besar dan murni cinta kasih gadis itu kepadanya!
Cinta yang
amat mengharukan, apa lagi kalau dia teringat bahwa gadis itu adalah puteri
suhu-nya! Dan dia menyesal, dia menyesal kepada diri sendiri sehingga mau
rasanya dia menampari mukanya sendiri bila teringat betapa dia sudah menjatuhkan
fitnah-fitnah keji terhadap gadis itu, bahkan menangkapnya untuk dibunuh oleh
para tokoh kang-ouw.
"Cui
Im... mengapa engkau bisa sekeji itu?" tanyanya dengan suara perlahan.
"Keji
apa? Mereka yang keji, dan sumoi yang bersalah kepadaku. Demi cintaku padamu,
aku rela melakukan apa juga. Bahkan sekarang ini aku rela pula mengalah padamu,
aku ingin berdamai denganmu, Keng Hong."
Keng Hong
menahan kemarahannya. Di dalam keadaan seperti ini, dia harus bersabar. Wanita
ini berbahaya sekali, selain lihai ilmunya, juga amat cerdik dan banyak
akalnya.
"Cui
Im, engkau pandai membual. Engkau sudah terjebak di tempat itu, maka engkau
sengaja hendak membujukku, bukan?"
"Manusia
sombong, keras kepala engkau! Memang di sini tidak ada jalan keluarnya, akan tetapi
setelah kepandaianku meningkat, kiranya tak sulit bagiku mencari jalan keluar,
atau kalau perlu menyerbumu ke situ! Bukan karena itu, dan jangan mengira kalau
aku akan minta-minta kepadamu. Tidak, biar pun aku terjebak di sini, engkau pun
terjebak di sana dan keadaanmu lebih buruk lagi. Engkau tahu? Di sini terdapat
persediaan makanan yang akan cukup dimakan sampai bertahun-tahun. Terdapat
roti-roti gandum kering yang asin, yang tidak rusak disimpan bertahun-tahun,
apa lagi disimpan di dalam kamar yang rapat sekali. Di sini terdapat air jernih
karena air kali kecil itu lewat di bagian sini. Dan di akhir terowongan menjadi
tempat bersarangnya ratusan ribu burung sehingga aku dapat makan telur burung
atau menangkap dan makan dagingnya. Sedangkan engkau di sana akan makan dan
minum apa? Untuk mencari makan dengan menuruni batu pedang sama saja dengan
menyerahkan diri kepada para tosu Kun-lun-pai. Nah, katakan, siapa yang sudah
terjebak? Engkau amat membutuhkan aku, atau lebih tepat, tempat ini dan aku. Aku
amat membutuhkan engkau untuk membacakan dan menuntunku mempelajari kitab-kitab
ilmu silat..."
"Heeeee?
Engkau buta huruf?"
Merah wajah
Cui Im. "Buta sama sekali sih tidak. Kalau hanya membaca atau menulis
surat-surat cinta saja aku bisa. Akan tetapi, kitab-kitab ini... terutama
sekali kitab dari Siauw-lim-pai, tulisannya seperti cakar bebek dan bahasanya
amat kuno, menggunakan sajak-sajak yang amat sukar dimengerti. Marilah kita
berdamai dan saling membantu. Kita berdua dapat dapat hidup di sini mempelajari
ilmu dan kelak kita menjadi jago-jago nomor satu di dunia ini, apakah tidak
senang dan nikmat?"
Keng Hong
mengerutkan keningnya. Biar pun amat menggemaskan hatinya, akan tetapi harus
dia akui bahwa ucapan Cui Im ada benarnya. Kalau memang ransum makanan dan air
minum berada di seberang sana, sudah tentu dia amat membutuhkannya. Dan gadis
itu juga membutuhkan dia untuk membaca kitab-kitab ilu. Hemmmmm, dengan
demikian, tentu saja dalam mempelajari ilmu-ilmu berdua, dia akan lebih menang
karena lebih dulu membaca dan mudah saja untuk melewati bagian-bagian penting
sehingga tingkat Cui Im akan tetap berada di bawahnya. Dengan demikian, kelak
akan mudahlah menundukkan gadis ini kalau menjadi liar dan jahat. Tidak ada
jalan lain pada saat seperti ini.
"Baiklah
Cui Im, Tidak ada jalan lain bagi kita berdua selain berdamai dan bekerja sama.
Nah, lontarkan ujung tambang itu agar jembatan tambang selalu terbentang!"
"Hi-hi-hik,
nanti dulu Keng Hong."
"Ada
apa lagi? Jangan engkau main-main, Cui Im."
"Bukan
aku yang main-main, melainkan aku khawatir kalau engkau yang akan main-main.
Lebih dahulu bersumpahlah engkau, Keng Hong, baru aku mau bekerja sama
denganmu. Siapa tahu engkau menipuku seperti ketika engkau memberikan
Siang-bhok-kiam palsu, hi-hi-hik!"
Keng Hong
mendongkol sekali. Gadis ini terlalu cerdik, dia harus berhati-hati. Hanya ada
satu harapannya, yaitu bahwa Cui Im agaknya benar-benar mencintainya sehingga
dia tidak khawatir gadis itu akan tega mencelakainya. Pula, kalau dipikir
secara mendalam, sangatlah merugikan kalau kitab-kitab peninggalan suhu-nya itu
dibawa pergi oleh Cui Im yang tentu minta bantuan orang-orang lain untuk
membacakannya. Dengan demikian, isi kitab-kitab itu akan diketahui orang ke
tiga. Lebih baik dia sendiri yang membacakannya dari pada orang lain!
"Baiklah,
Cui Im. Apa bila engkau kurang percaya kepadaku, aku akan bersumpah. Harus
bersumpah bagaimana?"
"Berlututlah
dan bersumpahlah demi nama suhu-mu, Sin-jiu Kiam-ong!"
Keng Hong
terkejut dan ingin membantah, akan tetapi dia sudah mengenal watak Cui Im yang
keras dan dalam persoalan mereka sekarang ini kedudukan dialah yang lebih lemah
dan tak menguntungkan. Ia hanya menghela napas panjang. Untuk bersumpah saja,
asal dia memegang sumpahnya, menggunakan nama suhu-nya juga tidak mengapa. Maka
dia lalu berlutut dan mengucapkan kata-kata yang dikehendaki Cui Im.
"Teecu
bersumpah demi nama suhu Sin-jiu kiam-ong.."
"Pertama,
engkau tidak akan membunuhku!"
"Bahwa
teecu tidak akan membunuh Ang-kiam Tok-sian-li Bhe Cui Im."
"Kedua,
bahwa engkau akan membacakan kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak
menipuku!"
Celaka,
pikir Keng Hong dalam hatinya. Gadis ini cerdik bukan main!
Terpaksa dia
mengucapkan kata-kata menurut kehendak Cui Im, "...Bahwa teecu akan membacakan
kitab-kitab ilmu silat dengan sebenarnya dan tidak menipunya..."
"Ke
tiga, bahwa engkau akan menerima aku belajar hingga selesai dan tidak
menghalangi bila sewaktu-waktu aku menghentikan pelajaran dan keluar dari
tempat ini!"
Keng Hong
meniru ucapan itu dan hatinya lega ketika Cui Im menyatakan sudah cukup puas.
Cepat dia bangkit berdiri dan berkata dengan wajah dan berseri, "Cui Im,
lontarkan tambang itu dan aku ingin meninjau tempat di seberang situ!"
Cui Im
menjadi heran kenapa Keng Hong kelihatan demikian gembira setelah bersumpah.
Akan tetapi dia percaya bahwa seorang pemuda seperti Keng Hong ini sekali
bersumpah, apa lagi demi nama gurunya, sampai mati pun tidak akan sudi
melanggar sumpahnya. Maka tanpa ragu-ragu lagi ia lalu melontarkan ujung
tambang yang ada besi kaitannya ke seberang.
Tepat
seperti dugaannya tadi, besi kaitan itu melayang dan mengait batu. Di seberang
sana Cui Im mengait ujung yang satu lagi pada batu di sana. Akan tetapi Keng Hong
memeriksa lagi kaitannya, dan setelah mendapat kenyataan bahwa besi itu mengait
baik dan kuat-kuat, dia lalu meloncat ke atas tambang dan berlari di atas
tambang menuju ke seberang.
Diam-diam
dia kagum kepada Cui Im. Tadinya gadis itu merasa ngeri ketika mendaki batu
pedang, akan tetapi begitu mendapat kitab-kitab itu, gadis itu tidak merasa
ngeri untuk berjalan di atas jembatan tambang yang lebih mengerikan lagi.
Begitu dia
meloncat di daratan seberang, Cui Im cepat-cepat menyambutnya dengan bibir mencari-cari
bibirnya. Akan tetapi Keng Hong menghindarkan mukanya dan dengan halus
mendorong pundak Cui Im.
"Keng
Hong, mengapa? Bukankah kita sudah menjadi sahabat baik?"
"Cui
Im, kita bersahabat untuk saling membantu dalam mengejar ilmu di sini, dan tentang
cinta, ingat, tidak ada disebut-sebut dalam sumpahku tadi!"
Kini
mengertilah Cui Im mengapa tadi sehabis bersumpah pemuda itu kelihatan lega dan
girang. Kiranya dia lupa untuk memasukkan ‘acara’ dan syarat ini ke dalam
sumpah itu. Ia menyesal sekali dan mukanya cemberut.
Keng Hong
merasa tidak baik kalau kerja sama itu dimulai dengan tidak menyenangkan hati
Cui Im, maka katanya cepat,
"Cui
Im, engkau akan tahu dari ilmu-ilmu dalam kitab-kitab ini bahwa selagi
mempelajari ilmu tinggi, hubungan antara pria dan wanita merupakan pantangan
paling besar. Hal itu akan menghambat kemajuan! Tunggu dan lihat sendiri saja
nanti kalau kita sudah mulai belajar."
Ucapan ini
menyenangkan hati Cui Im karena ia menganggap bahwa adanya Keng Hong menolak
cintanya adalah disebabkan pemuda ini menganggap hal itu sebagai pantangan
dalam belajar, jadi bukan karena pemuda itu mambencinya atau tidak membalas
cintanya! Masih banyak kesempatan baginya untuk kelak menjatuhkan hati pemuda
ini. Dia adalah seorang ahli dalam hal itu.
Keng Hong
bersama Cui Im lalu memeriksa keadaan di situ dan memang Cui Im tidak
membohong. Di situ terdapat bahan-bahan makan-minum seperti yang diceritakan
Cui Im tadi dan tidak ada jalan untuk keluar karena ujung terowongan yang
dihuni ratusan ribu ekor burung walet itu merupakan dinding yang curam dan
tegak lurus, pula amat licin.
Demikianlah,
mulai hari itu juga, Keng Hong dan Cui Im mulai membalik-balik lembaran
kitab-kitab pelajaran ilmu silat yang tinggi, dan memang tepat pemberitahuan
Keng Hong tadi, karena di dalam kitab pertama, yaitu kitab I-kiong Hoan-hiat
dari Siauw-li-pai, terang disebutkan bahwa pantangan utama dalam belajar silat
adalah hubungan antara pria dan wanita!
Ilmu I-kiong
Hoan-hiat adalah semacam ilmu memindahkan jalan darah dari partai
Siauw-lim-pai, juga kitab ke dua Siauw-lim-pai, Seng-to Cin-keng berisikan ilmu
yang khas yang mengajarkan Iweekang, bersemedhi mengatur pernapasan untuk
menghimpun sinkang.
Setelah
melihat sendiri bahwa memang ada pantangan hubungan antara pria dan wanita pada
waktu melatih dri dengan ilmu-ilmu itu, Cui Im tidak banyak rewel lagi dan
tidak mau mengganggu Keng Hong, biar pun kadang-kadang dia kelihatan seperti
cacing kepanasan dan menderita sekali. Bhe Cui Im yang tadinya selalu
menghambakan diri pada dorongan nafsu tentu menjadi sangat terganggu, akan
tetapi nafsunya ingin menjadi jagoan wanita nomor satu di dunia ini mengalahkan
nafsu birahinya sehingga dia tekun berlatih.
Keng Hong
sendiri secara diam-diam membaca semua kitab yang berada di sana. Akan tetapi
karena dia menganggap bahwa apa yang dahulu dia pelajari dari gurunya mutunya
tidak kalah, dia hanya membaca kitab-kitab milik partai lain hanya untuk
dimengerti isinya dan dikenal sifatnya, pula dia mempunyai rasa segan untuk
mencuri ilmu partai lain.
Dia hanya
membaca dan mengenal, akan tetapi tidak melatih dirinya dengan ilmu-ilmu itu.
Kecuali kitab tulisan gurunya sendiri yang ternyata merupakan inti sari dari
pada ilmu silat Siang-bhok Kiam-sut dan Ilmu silat San-in Kun-hoat sehingga dia
menjadi girang sekali. Ia dapat memperdalam ilmu silatnya yang masih mentah itu
dan melatih diri dengan rajin.
Biar pun Cui
Im juga minta agar dia membacakan kitab ciptaan gurunya, namun dia yakin bahwa
tanpa memiliki sinkang seperti yang dia ‘oper’ dari gurunya, dan tanpa
mempunyai dasar-dasar yang dulu dia pelajari dari Sin-jiu Kiam-ong, kepandaian
yang didapat oleh Cui Im hanyalah permukaannya atau kulitnya belaka.
Namun tentu
saja dia tidak mau bicara tentang hal ini, bahkan setiap kali ada kesempatan
dia memuji kemajuan-kemajuan yang diperoleh gadis itu sehingga Cui Im menjadi
girang sekali. Memang harus diakui bahwa Cui Im yang memiliki bakat baik sekali
itu kini telah memperoleh kemajuan pesat.
Keng Hong
menjadi matang ilmunya. Biar pun yang dia matangkan hanya ilmu silat yang dua
macam saja itu, yaitu San-in Kun-hoat yang terdiri dari delapan jurus pukulan
tangan kosong dan Siang-bhok Kiam-sut yang terdiri dari tiga puluh enam jurus,
tapi kematangan dan keistimewaan kedua ilmu ini mencakup seluruh dasar dan inti
ilmu silat yang dikuasai Sin-jiu Kiam-ong, maka kini dia dapat memainkan ilmu
silat itu secara dahsyat.
Biar pun
hanya delapan jurus, namun ilmu silat San-in Kun-hoat ini cukup untuk membuat
ia patut dijuluki Sin-jiu (Kepalan Sakti). Ada pun Siang-bhok Kiam-sut adalah
ilmu pedang istimewa yang bisa dikatakan menjadi rajanya segala ilmu pedang
sehingga dia patut pula dijuluki Kiam-ong (Raja Pedang) seperti gurunya!
Sesudah dia
membaca kitab peninggalan suhu-nya, barulah dia sadar bahwa Ilmu Silat San-in
Kun-hoat memiliki segi-segi yang sangat hebat, dengan perkembangan yang tidak
terhitung banyaknya tergantung dari keadaan dan daya khayalnya sendiri sehingga
meski pun pada dasarnya hanya mempunyai delapan jurus, akan tetapi apa bila
dikembangkan menjadi jumlah jurus yang tak terhitung banyaknya!
Tadinya ia
hanya menguasai dasarnya yang dia gerakkan dengan mengandalkan sinkang kuat
belaka. Kini dia dapat memainkan setiap jurus dengan kembangan yang tak
terhitung banyaknya. Demikian pula dengan Ilmu Pedang Siang-bhok-Kiam-sut,
kalau sebelum ini dia hanya menghafal gerakan-gerakan yang tiga puluh enam
jurus mengandalkan sinkang dan kecepatan, namun kini dia dapat menangkap inti
sarinya dan dapat mempergunakan Siang-bhok-kiam sedemikian rupa hingga sinar
kehijauan pedang itu sudah cukup untuk merobohkan lawan.
Secara
diam-diam dia selalu memperhatikan latihan-latihan yang dilakukan Cui Im dan
dia menjadi kagum bukan main. Gadis itu benar-benar hebat, berbakat dan karena
tadinya sebagai murid Lam-hai Sin-ni dia sudah memiliki tingkat tinggi, kini
dengan mudahnya dia melahap semua isi kitab yang berada di sana dan sudah hafal
akan semua isinya, sudah pandai pula memainkan semua ilmu itu termasuk ilmu
silat yang diciptakan oleh Sin-jiu Kiam-ong sendiri!
Sunggguh
cemas hati Keng Hong kalau melihat hal ini karena dia maklum bahwa Cui Im
sekarang, sesudah tiga empat tahun berlatih dengan tekun, jauh bedanya dengan
Cui Im dahulu, sungguh pun orangnya masih tetap cantik manis genit. Ilmu
kepandaiannya telah meningkat secara hebat sekali.
Melihat
kemajuan Cui Im yang mencemaskan itu, hanya ada satu hal yang melegakan hati
Keng Hong, ialah betapa pun gadis itu berlatih dan mencari-cari dalam semua
kitab yang berada di situ, gadis itu tidak dapat menemukan ilmu Thi-khi I-beng,
dan dalam hal tenaga sinkang, betapa pun gadis itu menghimpun dan berlatih,
tidak mampu menandingi tenaga sinkang-nya sendiri yang dulu dia terima secara
langsung dipindahkan dari tubuh gurunya.
Empat tahun
telah berlalu dengan cepat sekali karena kedua orang ini tekun belajar dan
berlatih sehingga waktu berlalu tanpa terasa oleh mereka. Kini semua kitab
sudah habis dipelajari Cui Im! Gadis ini sudah menjadi seorang wanita berusia
dua puluh enam tahun yang matang segala-galanya! Cantik jelita, dan di dalam
pandang matanya kini terdapat sinar berapi yang dulunya tidak ada, sinar berapi
yang timbul dari kekuatan sinkang-nya ditambah kepercayaannya kepada diri
sendiri.
Pada suatu
hari, pagi-pagi sekali saat Keng Hong bangun dari tidurnya, dia mendapatkan Cui
Im tersenyum-senyum di dekatnya. Dia heran melihat gadis itu mengenakan pakaian
yang bersih, agaknya baru kemarin atau malam tadi dicuci, rambutnya digelung
indah, wajahnya berseri-seri dan mulutnya tersenyum-senyum. Akan tetapi dengan
terkejut Keng Hong melihat adanya pandang mata yang aneh, pandang mata yang
jelas membayangkan nafsu birahi!
Kekhawatirannya
terbukti ketika Keng Hong bangun duduk. Tiba-tiba Cui Im menjatuhkan diri dan
duduk di dekatnya, memandang penuh kemesraan dan tertawa-tawa kecil penuh
nafsu.
"Ehhh,
Cui Im, apa-apaan ini? Engkau mau apa?" Keng Hong merenggutkan lengannya
yang mulai dipegang dengan sentuhan halus mesra oleh gadis itu.
"Hi-hi-hik-hik,
Keng Hong, betapa rinduku kepadamu. Hampir mati aku menanggung rindu kepadamu,
kekasihku. Hampir gila aku mengekang diri, setiap malam bila engkau sudah tidur
aku memandangimu, teringat masa lalu!"
"Cui
Im, tidak boleh..." Keng Hong membuang muka menghindarkan ciuman gadis itu
dan dia mulai terangsang.
Akan tetapi
dia teringat betapa gadis ini sudah melakukan hal-hal keji, yang menjatuhkan
fitnah kepada Biauw Eng. Selama empat tahun ini, ingatan itu selalu menyiksa
dirinya dan membuat dia semakin menyesal di samping merasa rindu kepada Biauw
Eng. Perasaan ini menimbulkan rasa muak dan bencinya kepada Cui Im sehingga
begitu teringat kepada Biauw Eng, lantas lenyaplah rangsangan birahinya
terhadap gadis yang tengah membelai dan membujuk rayu dirinya itu.
"Jangan
berpura-pura alim Keng Hong. Dahulu engkau begitu mencintaiku! Dan sekarang aku
tak lagi berlatih menghimpun sinkang, sudah cukup kuat aku, hi-hi-hik, lebih
kuat dari guruku sendiri. Ya, sekarang aku dapat menjagoi di seluruh dunia dan
cintaku kepadamu menjadi lebih kuat dari pada dulu karena engkau telah
membantuku, kekasihku. Layanilah aku, Keng Hong, dan kita nanti keluar dari
sini, menjadi sepasang kekasih, juga sepasang jagoan nomor satu di dunia.
Mungkin engkau tidak mendapatkan banyak kemajuan, akan tetapi jangan khawatir,
kepandaianku telah meningkat secara hebat, dan aku selalu siap melindungimu,
kekasihku. Marilah...!” Cui Im menubruk, merangkul dan menggelutinya.
Keng Hong
hampir tidak dapat menahan gelora darah mudanya ketika digeluti oleh Cui Im
yang merayu dan yang makin cantik jelita ini. Akan tetapi dia cepat menekan
perasaannya dan berkata,
"Engkau
telah berlaku keji terhadap Biauw Eng..."
Jari-jari
tangan yang sedang membelainya itu tiba-tiba saja berhenti, akan tetapi hanya
sebentar, kemudian mengelus-elus lagi, malah mulut itu menciuminya sekerasnya.
"Aiiiih, kekasihku, hal itu kulakukan karena cintaku kepadamu..."
Keng Hong
sudah menjadi dingin lagi begitu dia teringat Biauw Eng. Ingin dia meronta
menggunakan sinkang-nya, akan tetapi dia tak mau memancing keributan dengan Cui
Im. Maka dia lalu berkata,
"Baiklah,
Cui Im. Siapa yang bisa bertahan menghadapi kecantikan dan rayuanmu? Akan
tetapi, aku... aku hendak mandi dulu..."
"Hi-hi-hi,
tak usahlah...".
"Tidak,
nanti saja. Aku perlu mandi dulu!" Keng Hong merenggutkan tubuhnya
terlepas dari pelukan gadis itu kemudian dia melompat dan lari menuju ke
jembatan tambang.
Dia menoleh
dan melihat Cui Im memandangnya dengan mata penuh gairah nafsu birahi. Dia
perlu mencari waktu untuk menenteramkan hatinya yang yang terangsang.
"Kau
tunggulah, aku hendak mandi..!" katanya dan Cui Im tertawa aneh.
Cui Im
mengertak gigi saking gemasnya ketika melihat Keng Hong lari. Ia maklum bahwa
dia sudah kehilangan cinta pemuda itu karena Biauw Eng. Hemmm, orang yang tak
tahu dicinta, gerutunya dan ia pun bangkit perlahan mengikuti Keng Hong.
Dilihatnya
pemuda itu meloncat ke atas jembatan tambang dan berlari cepat. Cui Im terus
memperhatikan dan ia dapat melihat bahwa ginkang dari pemuda itu makin hebat
saja. Ia pun dapat secara mudah berlari cepat melalui tambang itu, akan tetapi
tambang itu masih bergetar dan bergoyang sedikit.
Kini melihat
Keng Hong berlari cepat dan sedikit pun tambang itu tidak bergoyang, hatinya
menjadi khawatir sekali. Dia mencinta Keng Hong, akan tetapi kalau pemuda itu
memiliki kepandaian yang lebih hebat dan membahayakan dirinya sendiri, pemuda
itu tidak berhak hidup lagi.
"Keng
Hong, berhentilah!"
Nada suara
panggilan yang mengandung kemarahan ini membuat Keng Hong terkejut dan cepat
berhenti di tengah-tengah tambang, kemudian membalikkan tubuhnya menoleh ke
arah Cui Im. Gadis itu berdiri di tepi jurang, dekat pada ujung tambang dan
sikapnya membayangkan kemarahan yang amat besar. Akan tetapi kemarahannya itu
ditutup oleh senyumnya yang lebar.
"Keng
Hong, engkau bersumpahlah!"
"Heeeee?!
Apa? Tidak ada alasan bagiku untuk bersumpah!"
"Keng
Hong, bersumpahlah bahwa engkau mencintaiku dan akan melayani hasrat cinta
kasihku!"
Keng Hong
menggelengkan kepalanya, "Cui Im, sebenarnya engkau seorang gadis yang
cantik jelita dan sekiranya engkau tidak begitu keji, sudah menjadi biang
keladi terjadinya semua kekacauan bahkan merusak hati seorang gadis seperti
Biauw Eng, dan sekiranya engkau tak begitu curang dan tidak menimbulkan rasa
muak dan benci di hatiku, agaknya aku akan menerima cintamu dengan penuh
kegembiraan."
"Keparat,
laki-laki tak tahu dicinta! Kalau begitu mampuslah kau!"
Tiba-tiba
saja gadis itu menggerakkan kedua tangannya ke depan dan segera tampaklah
sinar-sinar merah kecil berkeredepan menyambar ke arah tujuh jalan darah pada
bagian depan tubuh Keng Hong! Itulah jarum-jarum merah senjata rahasia Cui Im,
dan karena selama empat tahun ini ia telah mencapai kemajuan pesat dan tenaga
sinkang-nya sudah hebat sekali, maka sambitan jarum-jarumnya juga cepat sekali
seperti kilat menyambar.
Keng Hong
cepat menggerakkan tangan kirinya ke depan dan angin pukulan tangannya
sedemikian kuatnya sehingga jarum-jarum itu dalam jarak dua meter sebelum
menyentuh tubuhnya sudah runtuh semua ke bawah, ke dasar jurang yang tidak
tampak dari atas.
"Cui
Im, apa yang kau lakukan ini…?!"
Akan tetapi
Keng Hong tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena pada saat itu sambil
tertawa Cui Im sudah menggerakkan tangan lagi dan kini sinar putih berkilau
menyambar bukan ke arah Keng Hong, melainkan ke bawah, ke arah tambang yang
diinjak pemuda itu.
Keng Hong
terkejut sekali, tak berdaya menghindarkan ancaman bahaya ini karena sekali
kena disambar senjata rahasia bola putih berduri, senjata rahasia Biauw Eng
yang telah dicuri Cui Im, tambang itu putus di tengah-tengah dan tentu saja
tubuh Keng Hong jatuh ke bawah!
Pada detik
itu Keng Hong maklum bahwa nyawanya sedang terancam bahaya maut yang
mengerikan. Cepat dia menyambar ujung tambang dan ketika tubuhnya meluncur
deras ke bawah, dia menggerak-gerakkan tangan kakinya memukul dan menendang ke
bawah sambil mengerahkan ginkang sehingga tenaga luncuran itu banyak berkurang.
Hal ini dia lakukan untuk mencegah tambang itu putus di bagian atas.
Ketika
tubuhnya diayun tambang ke arah dinding jurang, dia menggunakan tangan kirinya
sehingga dia tidak terbanting keras dan tambang itu untungnya tidak putus, akan
tetapi bajunya sudah robek-robek dan kulitnya lecet-lecet mengeluarkan darah.
Keng Hong tidak kekurangan akal, segera perlahan-lahan dia memanjat naik
melalui tambang yang tinggal sepotong karena putus pada tengah-tengah tadi.
Ia berhasil
mencapai tepi jurang di seberang dan begitu dia meloncat dan berdiri dengan
baju robek-robek berdarah, muka pucat berkeringat serta napas agak terengah
karena baru saja dia terlepas dari bahaya maut mengerikan, dia melihat Cui Im
di seberang sana tertawa terkekeh, membuat dia menjadi makin marah dan membenci
wanita curang dan kejam itu.
"Hi-hi-hik-hik,
diberi jalan sorga kau memilih neraka! Ditawari kesenangan engkau memilih
penderitaan. Engkau tak mau menyambut cintaku, ya? Baiklah, jika begitu engkau
boleh bermain cinta dengan bayanganmu sendiri di situ sampai engkau mati tua
karena engkau tak mungkin akan dapat meninggalkan tempat itu. Hi-hi-hik! Ada
pun kitab-kitab, pusaka-pusaka dan benda-benda berharga sekarang menjadi
milikku semua dan akan kubawa pergi. Nah, selamat berpisah, Cia Keng Hong bekas
kekasihku. Aku akan hidup sebagai wanita tersakti di dunia ini, menikmati
pusaka peninggalan Sin-jiu Kiam-ong, dan engkau boleh mampus sebagai pertapa
kesunyian di situ. Hi-hi-hik!"
Cui Im
membalikkan tubuhnya dan menghilang, meninggalkan Keng Hong di seberang yang
berdiri mengepal tinju akan tetapi tidak dapat berbuat sesuatu.
Keadaan Keng
Hong amatlah buruknya dan kalau saja orang lain yang mengalami mala petaka
seperti dia, tentu akan menjadi bingung, gelisah dan putus asa. Tetapi pemuda
ini masih dapat mempertahankan ketenangannya.
Ia memandang
pada sepotong tambang yang sudah dia gulung naik. Tambang itu hanya setengah
panjang jarak jurang antara kedua tepi. Walau pun tergesa-gesa mencari akal,
tak akan mungkin dapat mencegah Cui Im melarikan semua pusaka itu. Akan
terlambat. Pula, bagaimana akalnya untuk dapat menyeberang?
Dia lalu
berjalan perlahan memasuki lorong, dan untuk menghilangkan rasa panas karena
kemarahannya terhadap Cui Im, dia lantas pergi ke sumber air untuk mencuci muka
dan tubuhnya yang lecet-lecet. Biasanya, dia datang ke bagian ini hanya kalau
membutuhkan makan minum, karena di seberang lebih enak ditinggali. Kini dia
mendapat kesempatan sangat luas untuk menyelidiki keadaan di situ sampai habis,
dan dengan teliti mulailah dia melakukan penyelidikan.
Di mulut
lorong sebelah sana, tempat yang dihuni oleh burung-burung walet, mempunyai
dinding yang tidak mungkin dituruni. Siapa tahu kalau-kalau ada jalan atau
lorong rahasia di bagian ini. Hasil karya seorang sakti seperti gurunya tak
dapat diduga lebih dulu.
Dengan
membawa Siang-bhok-kiam yang tidak pernah terpisah dari tubuhnya sehingga tidak
sampai terampas Cui Im, dia lalu mulai melakukan pemeriksaan dengan teliti
sekali. Karena dia melakukan sangat teliti, setiap dinding dan lantai batu dia
periksa, sejengkal demi sejengkal, maka Keng Hong harus menggunakan waktu
sampai tiga hari untuk bisa memeriksa tempat itu seluruhnya, dari tepi jurang
sampai sepanjang lorong, kamar berisi makanan, sampai ujung lorong yang dihuni
burung-burung walet...
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment