Cerita Silat Kho Ping Hoo
Serial Petualang Asmara
Jilid 29
SELAGI Kim
Seng Siocia meragu, tiba-tiba tubuh Kun Liong yang rebah di atas tanah itu
tampak mencelat tinggi sekali ke atas, seperti sebatang anak panah hingga
pemuda itu sendiri berseru kaget. Betapa dia tidak akan kaget karena ketika
melihat kesempatan baik ini, dia bermaksud mencelat ke tempat Hong Ing menawan
Sang Pangeran, akan tetapi dia lupa bahwa tubuhnya berada dalam keadaan yang
tidak sewajarnya, maka begitu dia mengerahkan tenaganya meloncat, tubuhnya itu
bukannya melayang ke arah Hong Ing, melainkan mencelat ke atas seperti
dilontarkan. Maka dia memekik kaget.
Akan tetapi
tentu saja mereka yang menonton dari bawah, termasuk Kim Seng Siocia, tidak
tahu bahwa teriakannya itu karena kaget. Mereka semua memandang dengan mata
terbelalak penuh kagum dan gentar karena selama hidup mereka belum pernah
mereka menyaksikan ada orang dapat meloncat seperti itu!
Kun Liong
dapat menguasai tubuhnya, tidak sampai melayang turun seperti sebuah batu,
melainkan dapat mengatur keseimbangan tubuhnya dan membiarkan tubuhnya melayang
turun ke dekat Hong Ing.
Dara ini
memandang padanya dengan mata bersinar penuh kekaguman pula. Tadi Hong Ing
telah menyaksikan semuanya dan dia merasa seperti dalam mimpi. Sama sekali
tidak pernah diduganya bahwa pemuda gundul itu ternyata memiliki ilmu
kepandaian sehebat itu! Bukan saja lebih lihai dari gurunya sendiri, juga lebih
lihai dari Kim Seng Siocia dan bahkan dia merasa yakin bahwa kalau pemuda itu
menghendaki, biar pun dikeroyok oleh semua orang itu, dia tidak akan kalah!
"Hong
Ing, terima kasih atas pertolonganmu."
Hong Ing
merasa jantungnya seperti ditusuk. Bukan main pemuda ini! Sudah jelas bahwa
pemuda ini yang berusaha menolongnya mati-matian, sekarang hanya untuk
bantuannya menawan Pangeran Han Wi Ong, bantuan yang tidak banyak artinya ini,
Kun Liong serta merta menghaturkan terima kasih!
"Sekarang
bagaimana, Kun Liong?" Dia bertanya sambil tetap menempelkan pedang di
leher Pangeran Liong, tentu saja dia tidak berani lagi memimpin dan kini
membiarkan Kun Liong yang mengambil keputusan.
"Mari
kita lari dari tempat ini."
"Tapi...
kita harus membawa pangeran ini sebagai sandera..."
"Jangan,
Hong Ing. Kasihan sekali dia. Sudah luput mendapatkan dirimu, masih dijadikan
sandera lagi. Sekarang pun kita telah terlalu banyak membuat dosa terhadap
pemerintah. Marilah!" Dia menggandeng tangan Hong Ing, kemudian meloncat
dan dara itu menjerit penuh kengerian.
Siapa yang
tidak merasa ngeri kalau melihat betapa tubuhnya tiba-tiba mencelat ke atas
seperti diterbangkan seekor burung saja? Kun Liong sendiri terkejut. Dia lupa
lagi! Akan tetapi dia tidak menjadi gugup, sambil memeluk pinggang Hong Ing dia
segera mengatur tubuhnya sehingga mereka dapat meluncur turun jauh dari sana,
lalu keduanya melarikan diri secepatnya.
Suara derap
kaki banyak orang di belakang membuat mereka mengerti bahwa mereka berdua
dikejar! Maka keduanya terus berlari. Kun Liong mengerahkan ginkang-nya dan
karena Hong Ing kalah jauh, maka dara yang sudah mengerahkan ginkang-nya ini
masih saja terseret hingga seolah-olah kedua kakinya tidak menyentuh bumi
karena dia seperti bergantungan pada lengan Kun Liong.
Beberapa
hari kemudian Kun Liong dan Hong Ing tiba di luar tembok kota Guan-tin, tidak
jauh dari kota raja, di sebelah barat kota raja. Mereka telah melarikan diri
selama hampir dua pekan dan merasa lega bahwa mereka sudah berhasil
meninggalkan para pengejar mereka.
Memang
mereka telah berhasil menghindarkan diri dari kejaran para anak buah Kim Seng
Siocia dan pasukan pengawal Pangeran Han Wi Ong. Pengejaran pasukan itu
mengalami kelambatan karena adanya kerja sama dengan anak buah dari Go-bi-san
yang sebagian besar terdiri dari wanita-wanita muda yang cantik-cantik dan
genit itu. Tidak dapat dicegah pula terjadinya permainan di antara mereka,
yaitu antara para gadis anak buah Kim Seng Siocia dan para anggota pasukan
pengawal pangeran!
Melihat
kejadian ini, baik Kim Seng Siocia mau pun Pangeran Han Wi Ong tidak dapat
mencegah dan membiarkannya saja, bahkan peristiwa itu menambah erat perhubungan
di antara mereka. Pangeran Han Wi Ong menghendaki bantuan wanita gemuk yang
lihai ini dan sebaliknya, Kim Seng Siocia tentu saja merasa senang sekali dapat
bekerja sama dengan seorang pangeran yang mempunyai kedudukan tinggi di istana
kaisar.
Akan tetapi
Pangeran Han Wi Ong tentu saja tidak menghentikan usahanya melakukan
pengejaran. Biar pun dia sendiri tidak melakukan pengejaran, akan tetapi dia
tidak pernah dapat melupakan Hong Ing dan karenanya, selain minta kepada Go-bi
Sin-kouw dan Kim Seng Siocia untuk terus mengejar, juga dia telah mengirim
utusan-utusan berkuda ke kota raja dan di sepanjang jalan para utusan itu
menyebarkan berita bahwa dua orang yang bernama Yap Kun Liong dan Pek Hong Ing
menjadi orang buruan pemerintah! Bahkan pangeran yang pandai melukis ini telah
melukiskan wajah kedua orang itu, dan tentu saja baik Kun Liong mau pun Hong
Ing dilukis sebagai seorang pemuda dan seorang gadis yang gundul kepalanya.
Kun Liong
dan Hong Ing berjalan perlahan-lahan menuruni lereng pegunungan terakhir dari
mana sudah tampak kota Guan-tin. Tiba-tiba mereka mendengar derap kuda, maka
keduanya cepat menyelinap dan bersembunyi. Serombongan tentara berkuda melewat
cepat dan setelah rombongan tujuh orang itu pergi jauh menuju ke kota Guan-tin,
barulah mereka keluar dari balik semak-semak.
"Ahh,
betapa tidak enaknya hidup dikejar-kejar seperti ini..." Hong Ing
mengeluh. "Seperti binatang buruan saja, atau... aku merasa seperti
menjadi seorang penjahat besar yang takut melihat alat pemerintah!"
"Kita
harus bersikap hati-hati. Belum tentu mereka itu mengejar kita. Sabarlah, Hong
Ing. Sesudah kita masuk kota di depan itu, kalau di sana terdapat sebuah kuil
Kwan-im-bio, engkau tentu akan memperoleh tempat yang aman dan tenteram."
Keduanya
berjalan kembali dan sampai lama tak mengeluarkan suara. Kata-kata terakhir
yang keluar dari mulut Kun Liong itulah yang membuat mereka berdua diam dengan
alis berkerut dan wajah keruh tanpa mereka sendiri sadari. Akhirnya Kun Liong
menarik napas panjang seolah-olah menghibur diri sendiri dan terdengar dia
berkata dengan suara datar,
"Engkau
memang sangat memerlukan tempat yang tenang di mana engkau dapat hidup tanpa
gangguan lagi. Subo-mu juga pangeran itu, tentu tidak akan tinggal diam dan
akan terus mencarimu. Memang tidak enak hidup menjadi orang yang
dikejar-kejar."
"Dan
engkau...?" Hong Ing bertanya, menghentikan langkahnya dan memandang
pemuda itu.
Kun Liong
juga menghentikan langkahnya, menoleh. Mereka saling berpandangan.
"Aku?
Aku kenapa?"
"Engkau
akan menjadi orang buruan, akan dikejar terus."
Kun Liong
tersenyum. "Jangan khawatir, Hong Ing. Pangeran itu tidak membutuhkan aku,
sedangkan kalau Kim Seng Siocia mengejarku, hemm... lain kali tentu aku akan
memberi pengajaran kepadanya agar tidak melanjutkan cara hidupnya yang busuk
itu."
"Kun
Liong, berkali-kali engkau mengalami kesengsaraan dan terancam bahaya karena
aku..."
"Ah,
jangan berkata demikian. Dalam keadaan seperti kita sekarang ini, kita berdua
sama saja, entah aku yang menyeretmu ataukah engkau yang menyeretku. Betapa pun
juga, kita berdua masih dapat mengatasinya dan masih selamat sampai saat ini.
Marilah kita melanjutkan perjalanan kita. Mudah-mudahan sampai di kota depan
itu saja."
Dan
tiba-tiba wajah Kun Liong menjadi muram lagi. Kini dia merasa heran sekali dan
dia tiba-tiba sadar bahwa dia sama sekali tidak menghendaki perjalanan bersama
Hong Ing ini berakhir! Dia menginginkan agar mereka berdua terus melakukan
perjalanan bersama.
Biar pun
menjadi orang-orang buronan, atau orang buruan, betapa pun sengsaranya, bila
mereka berdua berdampingan, agaknya dia tidak akan merasa sengsara!
Membayangkan betapa dia akan berpisah, meninggalkan Hong Ing di dalam kuil
Kwan-im-bio kemudian dia harus melanjutkan perjalanan seorang diri, benar-benar
sangat memberatkan hatinya. Ada apakah dengan perasaan hatinya?
Dia
mengerling ke kiri dan melihat betapa wajah yang cantik itu pun muram seperti
orang bersusah hati. Tentu saja, pikirnya. Betapa tidak akan susah hati dara
yang dikejar-kejar oleh gurunya sendiri ini?
Bagi Hong
Ing, hidupnya sudah tidak ada harapan lagi. Tadinya hanya ada dua orang yang
penting baginya, yaitu suci-nya dan subo-nya. Kini subo-nya seperti
memusuhinya, dan suci-nya sudah pergi jauh entah ke mana. Tentu saja Hong Ing
bersusah hati, dan kesusahan hati dara itu sama sekali berbeda dengan kesusahan
hatinya. Bedanya jauh sekali. Tentu saja Hong Ing tidak pernah menyusahkan
perpisahan mereka ini. Kun Liong memaki diri sendiri.
Seorang dara
seperti Hong Ing, cantik jelita tanpa cacat, seorang dara yang menolak pinangan
seorang pangeran yang tampan dan gagah serta berkedudukan tinggi seperti
Pangeran Han Wi Ong, seorang dara berwatak bersih seperti Hong Ing yang rela
menjadi seorang nikouw dari pada dipaksa menjadi isteri pangeran, sungguh tidak
mungkin sama sekali ingin berdampingan dengan orang semacam dia! Seorang pemuda
yang menderita penyakit kepala gundul, bodoh, begitu miskin hingga sehelai
rambut pun tak punya, tidak mempunyai harapan untuk masa depan, siapa sudi
kepadanya?
"Tolol!"
Kun Liong memaki diri sendiri. Kenapa dia menjadi makin berduka mengenangkan
semua ini? Biasanya dia tidak begini. Biasanya dia tidak pernah menyusahkan
sesuatu, tidak pernah memikirkan kemiskinan dan kebodohannya.
Untung
mereka telah tiba di kota Guan-tin. Keramaian kota menghibur dan membuat Kun
Liong lupa akan kedukaannya.
"Mari
kita mencari warung nasi dulu, perutku lapar sekali dan aku masih mempunyai
bekal uang," kata Kun Liong. "Setelah makan, barulah kita mencari
Kuil Kwan-im-bio. Kota ini cukup ramai, kurasa tentu ada Kwan-im-bio di
sini."
Hong Ing hanya
mengangguk dan mereka mencari-cari sebuah warung nasi. Dari jauh sudah
kelihatan sebuah warung nasi yang cukup ramai dan ke sanalah mereka menuju.
Akan tetapi tiba-tiba Hong Ing menuding ke kiri. Kun Liong menoleh dan tertarik
melihat sekelompok orang berkumpul di situ memandangi sesuatu yang ditempelkan
di dinding.
"Apakah
itu? Mari kita menengok sebentar," Kun Liong berkata.
Keduanya
lalu menghampiri dan begitu melihat, mereka menjadi terkejut sekali. Kiranya
yang menempel di atas dinding adalah gambar mereka berdua! Di atas gambar itu
tertulis nama mereka yang disebut sebagai orang pelarian dan penjahat besar!
"Heiii,
inilah mereka...!" Tiba-tiba seorang di antara mereka yang memandangi
gambar itu berteriak.
Kun Liong
mendongkol bukan main. Orang itu bermata juling. Mengapa justru orang yang
matanya juling malah yang pertama-tama mempergoki mereka? Karena maklum bahwa
tentu akan segera terjadi keributan dan mereka tentu akan dikeroyok, Kun Liong
cepat memegang tangan Hong Ing lantas ditariknya dara itu untuk melarikan diri
meninggalkan kota Guan-tin.
"Kejar...!"
"Tangkap...!"
Orang-orang
yang mengharapkan hadiah dari pembesar setempat itu segera melakukan
pengejaran, namun tentu saja tidak ada yang mampu menyusul larinya kedua orang
yang memiliki kepandaian tinggi itu. Setelah jauh meninggalkan kota itu dan
tidak ada lagi yang mengejar, barulah Kun Liong dan Hong Ing berhenti di tepi
jalan yang sunyi.
"Pangeran
itu betul-betul gila," Kun Liong bersungut-sungut. "Kiranya rombongan
tentara berkuda itu adalah utusannya untuk menyebarkan gambar kita. Dengan
begini kita secara resmi telah menjadi pemberontak dan orang buruan pemerintah.
Amat berbahaya bila kita memasuki kota-kota besar, terutama kota raja!"
"Habis
bagaimana kita dapat mencari sebuah kuil Kwan-im-bio?" Hong Ing bertanya.
"Tak
mungkin mencari di kota. Andai kata bisa mendapatkan di kota, kiranya ketua
kuil tidak akan berani menerimamu, Hong Ing. Tidak ada jalan lain, kita harus
mencari sebuah kuil yang berada jauh dari kota ramai. Akan tetapi di mana ada
kuil seperti itu, aku sendiri tidak tahu. Biarlah kita mencari perlahan-lahan,
akhirnya kita tentu akan mendapatkannya juga."
Hong Ing
menarik napas panjang. "Sudahlah, Kun Liong. Mengapa kau harus repot-repot
karena aku? Kau lanjutkanlah perjalananmu, biar aku sendiri yang akan mencari
kuil..."
"Hemmm,
ke mana kau hendak mencari? Di mana-mana tertempel gambarmu..."
"Dan
juga gambarmu. Karena itu, sebaiknya kalau kau meninggalkan aku sehingga andai
kata tertangkap, hanya aku yang tertangkap, akan tetapi engkau tidak."
"Hong
Ing, kau kira aku orang macam apa?"
"Engkau
adalah seorang yang berilmu tinggi, Kun Liong. Maafkan aku, baru sekarang aku
mengetahui. Sungguh aku bodoh sekali. Kiranya engkau amat lihai, bahkan
memiliki Ilmu Thi-khi I-beng!"
"Bukan
begitu maksudku. Kau kira aku orang yang begitu pengecut untuk meninggalkan
engkau begitu saja? Tidak, sebelum engkau mendapatkan tempat yang baik, sebelum
aku yakin benar bahwa engkau telah aman, aku tidak akan meninggalkan kau."
Hong Ing
menunduk. "Sudah terlampau banyak aku menyusahkanmu, Kun Liong. Engkau
membikin aku tidak enak hati saja. Sudah cukup aku berhutang budi kepadamu,
biarlah aku mencari sendiri kuil Kwan-im-bio."
Kun Liong
memandang dengan sinar mata tajam, akan tetapi gadis itu tetap menunduk.
"Hong Ing, ingin benarkah kau kutinggalkan? Apakah aku sudah terlampau
memuakkan hatimu?"
Hong Ing
mengangkat mukanya, muka yang berubah pucat dan kepalanya digelengkan
cepat-cepat. "Bukan begitu, Kun Liong..."
"Kalau
tidak begitu, sudahlah. Hal itu tak perlu kita persoalkan lagi. Mari kita
melanjutkan perjalanan. Kita harus berhati-hati, tidak boleh melalui jalan
besar, tidak boleh memasuki kota dan terutama sekali jangan mendekati kota
raja."
"Habis,
ke mana kita harus pergi?"
"Ketika
aku membantu Cia Keng Hong Supek..."
"Aihh,
jadi pendekar sakti itu adalah supek-mu? Kau tak pernah menceritakan riwayatmu
kepadaku. Pantas saja engkau lihai bukan main. Aku seperti buta..."
"Hushhh,
jangan terlalu memuji. Biar lain kali aku menceritakan riwayatku yang tidak
lebih baik dari pada riwayatmu, Hong Ing. Ketika aku membantu Supek menyelidiki
tentang bokor pusaka yang diperebutkan, aku lewat pantai Teluk Pohai dan di
tempat sunyi itu, dalam sebuah hutan, aku melihat sebuah kuil tua Kwan-im-bio.
Marilah kita pergi ke sana, Hong Ing."
Akan tetapi
wajah nikouw muda itu tidak membayangkan kegembiraan hati mendengar ini, bahkan
dia hanya berkata lesu. "Terserah kepadamu, Kun Liong. Marilah!"
Maka
berangkatlah kedua orang muda itu melanjutkan perjalanan menuju ke pantai Teluk
Pohai. Mereka memilih jalan yang sunyi, bahkan kadang-kadang terpaksa
bersembunyi di siang hari kalau melalui jalan yang ramai dan melanjutkan
perjalanan pada waktu malam. Perjalanan itu menjadi lama dan sukar sekali namun
anehnya bagi kedua orang muda itu, keanehan yang tidak terasa lagi oleh mereka
bahwa perjalanan yang jauh, lama, sukar, dan berbahaya itu sama sekali tidak
terasa berat oleh mereka!
Ada pula
keanehan pada sikap Kun Liong dan hal ini pun sama sekali tidak dirasakan dan
diketahui oleh pemuda itu sendiri, yaitu bahwa terhadap Hong Ing dia sama
sekali tidak pernah memperlihatkan sikapnya seperti yang sudah-sudah apa bila
sedang menghadapi wanita. Dia tidak pernah menggoda! Bahkan sebaliknya, dia
selalu bersikap sopan dan bersungguh-sungguh.
***************
Dengan wajah
berseri-seri Giok Keng berlari memasuki hutan itu. Hatinya riang gembira walau
pun kadang-kadang alisnya berkerut kalau dia teringat akan ayahnya. Kun Liong
dengan suka rela telah membatalkan ikatan jodoh itu! Betapa baiknya pemuda
gundul itu! Dan betapa tampan dan gagahnya Liong Bu Kong!
Dia harus
cepat pulang dan harus berterus terang. Jantungnya berdebar penuh rasa takut
kalau dia membayangkan bagaimana ayahnya tentu akan marah sekali. Tidak, dia
tidak akan berbicara kepada ayahnya. Dia akan memberi tahu kepada ibunya bahwa
dia tidak mencinta Kun Liong dan bahwa dia hanya mau menikah dengan pemuda yang
menjadi pilihan hatinya, yaitu Liong Bu Kong!
Jantungnya
berdebar penuh kemesraan membayangkan wajah pemuda itu yang tampan dan gagah,
pemuda yang tidak mentah seperti Kun Liong, melainkan seorang pria yang
bersikap jantan, yang jelas menunjukkan cintanya dengan membiarkan dirinya
diserang, menghadapi kematian di tangannya dengan senyum di bibir.
Namun, ayah
dan ibunya tentu akan menolak pemuda itu. Putera Kwi-eng Niocu, datuk golongan
hitam! Giok Keng menahan langkah kakinya dan mengerutkan alisnya. Tidak, biar
pun ibunya jahat, belum tentu puteranya jahat. Buktinya, Liong Bu Kong amat
baik!
"Nona
Cia, tunggu..."
Giok Keng
cepat menoleh dan jantungnya berdenyut keras. Tentu saja dia segera dapat
mengenal bentuk tubuh tinggi tegap itu. Orang yang selama ini dibayangkannya.
Liong Bu Kong! Pemuda itu dengan berlari cepat seperti terbang menghampiri dan
segera menjura di depan Giok Keng.
"Aihh,
susah payah aku mencarimu, Nona, mengapa kau meninggalkan aku sebelum kita
bicara?"
Giok Keng
memandang wajah yang kusut itu, dan memandang pundak yang terluka itu. Sapu
tangannya masih membalut pundak itu.
"Kau...
bagaimana lukamu...?" tanyanya dengan suara gemetar.
Bu Kong
melirik ke arah pundaknya. "Ah, urusan kecil. Aku sudah lupa sama sekali
akan pundakku sungguh pun sapu tangan itu selalu menjadi pelipur laraku. Aku
lupa makan, lupa tidur dan lupa segala, Nona, bingung mengejar dan
mencari-carimu. Sungguh aku berterima kasih kepada Thian bahwa aku sudah
dituntun memasuki hutan ini dan dapat berjumpa denganmu."
Jantung Giok
Keng makin berdebar kencang dan mukanya menjadi merah sekali. Sejenak dia
menundukkan muka, lalu memaksa diri mengangkat muka dan memandang. Mereka
saling berpandangan dan seakan-akan ada getaran luar biasa lewat mata itu
memasuki dada Giok Keng, membuat dara itu menggigil dan memaksa mulutnya
bertanya,
"Mengapa
kau mencari aku? Ada urusan apa?"
Tiba-tiba
saja Liong Bu Kong menjatuhkan dirinya berlutut. Melihat ini, Giok Keng cepat
membalikkan tubuh, membelakangi pemuda yang berlutut itu sambil berkata lagi.
"Bicaralah!
Tidak perlu berlutut!"
"Kau
berjanjilah tidak akan marah kepadaku, Nona. Baru aku mau berdiri!" kata
Bu Kong yang masih terus berlutut.
"Hemm,
baiklah. Berdirilah, aku tidak mau bicara kalau kau berlutut seperti itu."
Bu Kong
bangkit berdiri dan meloncat ke depan dara itu sambil menjura, "Terima
kasih. Aku tahu di dunia ini tidak ada seorang pun wanita yang sehebat dan
semulia hatinya seperti engkau, Nona. Ketika engkau pergi meninggalkan aku setelah
mengatakan bahwa engkau telah bertunangan dengan orang lain, hampir aku
membunuh diri. Akan tetapi aku tidak puas sebelum bertemu denganmu. Aku minta
kepadamu, Nona. Aku cinta padamu dengan seluruh jiwa ragaku, semenjak kita
saling bertemu di Cin-ling-san dahulu itu. Dan aku yakin... maafkan aku, namun
aku yakin bahwa nona pun setidaknya merasa kasihan kepadaku. Karena itu,
sebelum aku mengambil keputusan membunuh diri... aku mohon kepadamu, Nona,
jangan engkau bersikap kepalang tanggung. Aku cinta kepadamu dan... kasihanilah
aku, Nona. Melihat sikap Nona kemarin... aku percaya sekali bahwa hati Nona
masih bebas, sungguh pun nona sudah ditunangkan dengan orang lain. Kasihanilah
aku dan sudikah engkau membalas cintaku yang murni...?"
Muka Giok
Keng menjadi makin merah. Dia adalah seorang dara yang selamanya belum pernah
mengenal cinta seorang pria, apa lagi mendengar bujuk rayu yang sedemikian
indahnya. Dia merasa seolah-olah dirinya diangkat sampai ke angkasa!
"Tapi...
tapi aku sudah bertunangan...," dia berusaha menjawab.
"Nona
Cia Giok Keng... pertunangan bisa saja dibatalkan... ahhh, mengapa engkau akan
menyiksa diri hendak berjodoh dengan seorang lelaki yang tidak kau cinta?
Engkau akan hidup merana dan aku akan membunuh diri sekarang juga di depan
kakimu..." Bu Kong mencabut pedangnya.
"Jangan...!"
Giok Keng berteriak kaget dan merampas pedang itu, melempar pedang itu dengan
sikap jijik ke atas tanah.
Sekarang Bu
Kong memegang kedua tangan Giok Keng. Dara ini membuang muka dan menahan
keluarnya air matanya, namun tetap saja ada dua butir air mata bertitik turun.
"Giok
Keng... Moi-moi... engkau kasihanilah aku. Marilah kita hidup berdua, hidup
penuh bahagia... aku cinta padamu dan aku bersumpah bahwa sampai mati aku akan
tetap cinta kepadamu..."
"Tapi...
tapi..."
"Aku
siap berkorban nyawa demi cintaku, Moi-moi..."
Giok Keng
menarik kedua tangannya dan memandang tajam, "Benarkah?"
"Tentu
saja! Bukankah aku lebih suka mati dari pada menghadapi kegagalan cintaku
kepadamu."
"Bukan
itu maksudku, akan tetapi... ah, bagaimana aku berani menghadapi ayahku?"
Giok Keng memandang wajah pemuda itu, memandang tajam seperti hendak menjenguk
isi hatinya, kemudian berkata, "Liong Bu Kong, benarkah engkau cinta
padaku?" Dara yang memiliki keberanian luar biasa itu kini sudah dapat
menguasai ketegangan hatinya dan bertanya dengan sejujurnya.
"Tentu
saja, aku bersumpah...!"
"Aku
tidak membutuhkan sumpah. Aku membutuhkan bukti dan kenyataan. Kalau engkau
benar mencinta, tentu kau akan berani membelaku sampai mati. Beranikah
kau?"
Giok Keng
teringat akan cerita tentang Souw Li Hwa dan Yuan de Gama, yang dipuji-puji
oleh ayahnya, teringat akan cinta kasih di antara mereka yang begitu mendalam
sehingga keduanya rela menghadapi maut sambil saling berpelukan di atas kapal
yang terbakar dan hampir tenggelam! Cerita ini berkesan dalam sekali di
hatinya, membuatnya romantis dan dia ingin melihat bahwa cinta kasih di dalam
hati pemuda ini terhadapnya tidak kalah besarnya!
"Tentu
saja aku berani, Moi-moi!" Liong Bu Kong menjawab dengan wajah berseri
karena merasa bahwa dara ini agaknya akan suka membalas cintanya.
"Nah,
kalau begitu mari kau ikut bersamaku menghadap kepada ayah ibuku dan kau yang
menceritakan terus terang kepada mereka mengenai cintamu dan mengenai
pembatalan ikatan jodohku dengan tunanganku."
Wajah yang
berseri-seri itu menjadi pucat. Bu Kong menjilat-jilat bibirnya yang mendadak
menjadi kering itu. "Wah, ini... ini... mana aku berani?"
Giok Keng
melompat mundur dan sikapnya menjadi marah sekali. "Huh! Dan kau bilang
mencintaku, berani membelaku sampai mati? Baru sebegitu saja engkau sudah takut
dan mundur!"
Bu Kong
meloncat mendekati. "Aku berani! Maafkan, Moi-moi, aku tadi ragu-ragu
bukan karena takut mati, melainkan aku meragu untuk bersikap seperti itu dan
membikin marah serta duka hati ayah bundamu. Tentu saja, sebagai ayah bundamu,
mereka itu kujunjung tinggi dan kuhormati seperti orang tua sendiri. Baiklah,
aku menerima permintaanmu ini!"
Segera Giok
Keng tersenyum manis sekali, matanya mengerling tajam dan hatinya penuh
kegembiraan. Biar pun dia dan Bu Kong akan dibunuh ayahnya, dia rela karena
bukankah ini membuktikan bahwa cinta kasih mereka amat murni dan besar, tidak
kalah besar oleh cinta kasih yang dibuktikan oleh Souw Li Hwa dan Yuan de Gama
yang amat dikagumi ayah bundanya itu?
"Kalau
begitu, aku baru percaya. Marilah kita berangkat sekarang juga ke
Cin-ling-san... Koko...!"
Hampir saja
Bu Kong bersorak girang mendengar dara yang membuatnya tergila-gila itu
menyebut dirinya koko (kakanda), maka dia cepat merangkul dan mencium bibir
dara itu dengan mulutnya.
Giok Keng
terkejut sekali, hampir dia menjerit hingga mulutnya setengah terbuka, lalu dia
memejamkan matanya dan sejenak dia menyerah sepenuh hatinya. Akan tetapi tak
lama dia tenggelam dalam nikmat birahi ini, dia telah meronta dan melepaskan
diri dari pagutan ketat pemuda itu, melepaskan diri dari peluk cium yang
membuatnya hampir pingsan karena nikmat. Dengan dada turun naik,
terengah-engah, wajah sebentar pucat sebentar merah, tubuh terasa panas dingin,
dara itu yang sudah melompat mundur memandang kekasihnya.
"Moi-moi...
maafkan aku... aku..." Bu Kong berkata dengan suara terputus-putus karena
dia merasa sangat khawatir bahwa perbuatannya yang terdorong kegembiraan hati
tadi akan membikin marah dara yang dicintanya.
Giok Keng
menggelengkan kepala dan berkata halus, "Aku tidak marah, Koko, hanya...
kuminta dengan sangat, janganlah engkau menyentuhku lagi... kita harus dapat menjaga
diri, menekan hati, dan kelak bila mana aku sudah menjadi milikmu secara resmi,
sudah menikah..." Giok Keng menunduk dan tersenyum malu-malu.
Bu Kong
hampir saja tak kuat lagi untuk tidak memeluk tubuh itu sekuatnya dan menciumi
bibir itu. Akan tetapi dia juga maklum bahwa perbuatannya itu tentu akan
menimbulkan kemarahan kekasihnya, maka dia melangkah maju dan hanya memegang
tangan Giok Keng.
Sepuluh jari
tangan yang semua mengeluarkan getaran dari lubuk hati masing-masing itu saling
mencengkeram dan saling membelai. Tidak ada kata-kata keluar dari mulut mereka
sampai beberapa lama, karena getaran jari-jari tangan itu sudah mengandung
seribu satu kata-kata indah.
Akhirnya Bu
Kong berkata, "Aku mengerti, Moi-moi. Maafkan aku. Akan tetapi jangan kita
langsung pergi ke Cin-ling-san. Mari kau ikut aku pergi mengambil pusaka
Siauw-lim-pai."
"Aku
mendengar bahwa... dahulu engkau mencuri pusaka-pusaka itu dari Siauw-lim-pai.
Benarkah, Koko?"
Wajah pemuda
itu menjadi merah sekali. Dia menghela napas dan berkata, "Tidak perlu aku
membohongimu, Moi-moi. Memang benar demikian, dahulu aku mencuri pusaka-pusaka
itu dari Siaw-lim-pai karena perintah mendiang ibuku. Aku masih amat muda dan
berdarah panas. Aku hendak memperlihatkan kepandaian, karena kabarnya Siauw-lim-si
dijaga keras sekali dan amat ketat sehingga kalau aku berhasil mengambil
beberapa buah pusakanya, tentu akan menggemparkan dunia kang-ouw. Akan tetapi
yang menghendaki pusaka itu adalah ibuku. Sekarang ibuku telah meninggal dunia,
dan sungguh pun aku merupakan keturunan seorang datuk kaum sesat, namun aku
ingin hidup baru, Moi-moi. Apa lagi setelah bertemu denganmu, keputusanku sudah
bulat bahwa aku tidak mau lagi berkecimpung di dalam golongan kaum sesat.
Bahkan aku akan menentang mereka. Untuk membuktikan ini, pertama yang
kukerjakan adalah mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Siauw-lim-pai."
Hati Giok
Keng girang sekali. Dia menarik tangannya yang masih dipegang pemuda itu dan
berkata, "Bagus sekali kalau begitu, Koko. Marilah kita mengambil pusaka-pusaka
itu dan mengembalikannya ke Siauw-lim-si."
Hatinya lega
karena perbuatan ini tentu akan menyenangkan hati ayah bundanya. Meski pun
kekasihnya ialah putera Si Bayangan Hantu, Ketua Kwi-eng-pai, akan tetapi
dengan perbuatannya itu Bu Kong sudah membuktikan bahwa dia benar-benar hendak
merobah hidupnya, melalui jalan benar dan menjadi pendekar budiman.
Mereka lalu
pergi ke sebuah pegunungan dekat Telaga Kwi-ouw yang kini sudah menjadi tempat
sunyi sekali semenjak Kwi-eng-pang diserbu oleh tentara pemerintah dan dibasmi
habis. Banyak yang tewas, ada yang tertawan dan ada pula beberapa orang yang
lolos dari penyerbuan itu.
Seperti
telah diceritakan di bagian depan, Kwi-eng Niocu Ang Hwi Nio tewas membunuh
diri karena tidak mau terbunuh lawan, sedangkan kakek tinggi besar brewok,
Thian-ong Lo-mo yang mempunyai kepandaian tinggi, dapat berhasil meloloskan
diri. Akan tetapi Bu Kong tidak tahu akan lolosnya kakek yang lihai ini, karena
dia hanya mendengar bahwa Kwi-eng-pang telah dibasmi habis dan ibunya telah
tewas.
Maka dapat
dibayangkan betapa kaget rasa hati pemuda ini ketika dia bersama dengan Giok
Keng tiba di depan sebuah goa di mana dia menyimpan pusaka-pusaka itu,
tiba-tiba muncul Thian-ong Lo-mo bersama lima orang anggota Kwi-eng-pang yang
juga berhasil meloloskan diri! Dia merasa terheran-heran.
Tentu saja
bukan hal mengherankan jika kakek itu berada di goa tempat penyimpanan pusaka
karena memang yang mengetahui akan tempat itu hanya dia, ibunya, dan kakek
sekutu ibunya ini. Yang mengherankan hatinya adalah melihat kakek ini dapat
lolos dan masih hidup!
Melihat
sikap kakek brewok itu seperti orang marah, demikian pula lima orang bekas anak
buah ibunya itu bersikap memusuhinya, Bu Kong segera berkata sambil tertawa,
"Aihhh, kiranya Locianpwe masih dapat menyelamatkan diri."
"Bocah
durhaka! Pengkhianat pengecut!" Thian-ong Lo-mo yang sudah sangat marah
itu langsung menerjang maju, menyerang Liong Bu Kong dengan senjatanya yang
dahsyat, yaitu sabuk rantai yang bergigi seperti gergaji.
"Cringgg!
Trangggg...!"
Bunga api
berpijar menyilaukan mata ketika senjata itu tertangkis oleh dua batang pedang
di tangan Bu Kong dan Giok Keng. Kakek itu merasa terkejut sekali karena
tangannya tergetar hebat. Maklumlah dia bahwa dara cantik jelita itu memiliki
tenaga dan kepandaian yang hebat pula, maka dia lalu memutar senjatanya dengan
ganas sambil mengeluarkan seluruh tenaga dan kepandaiannya.
Memang tanpa
disangka-sangkanya kakek ini berjumpa dengan dua orang muda yang amat tangguh.
Kalau hanya Bu Kong seorang diri yang melawannya, biar pun pemuda ini juga
memiliki kepandaian tinggi dan tidaklah mudah untuk merobohkannya, tapi agaknya
pemuda ini tidak akan mampu menang melawan kakek yang lihai itu.
Demikian
pula, biar pun sebagai puteri Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan telah memiliki
tingkat ilmu kepandaian tinggi, agaknya Giok Keng juga tidak akan begitu mudah
dapat mengalahkan Thian-ong Lo-mo. Akan tetapi kini kedua orang muda yang
saling mencinta itu maju berdua! Selain kelihaian ilmu silat mereka, juga
keduanya memegang pedang pusaka yang ampuh.
Giok Keng
bersenjata Gin-hwa-kiam (Pedang Banga Perak) yang berubah menjadi sinar putih
bergulung-gulung, ada pun Liong Bu Kong memegang pedang Lui-kong-kiam yang
mengeluarkan sinar berkilat-kilat.
Baiknya
Thian-ong Lo-mo masih dibantu oleh lima orang anak buah Kwi-eng-pang, maka
pertandingan segera berlangsung dengan sangat serunya. Sabuk rantai gergaji di
tangan Thian-ong Lo-mo menyambar-nyambar dahsyat, laksana seekor ular hitam
bermain-main di antara dua gulungan sinar pedang dan berkali-kali terdengar
suara nyaring ketika tiga senjata bertemu dan tampak bunga api berpijar-pijar
menyilaukan mata.
Dengan
senjata mereka, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang hanya membantu dari luar.
Pertandingan antara tiga orang itu terlatu hebat dan berbahaya bagi mereka,
maka mereka itu hanya membantu untuk mengacaukan perhatian kedua orang muda
itu.
"Cringg...
trakkk!"
Ujung
senjata rantai itu membelit pedang Giok Keng yang menjadi terkejut bukan main.
Selagi dia bersitegang hendak membetot pedangnya, Bu Kong berteriak nyaring
lantas pedangnya menyerang kakek itu dengan tusukan ke arah lehernya.
Namun
Thian-ong Lo-mo benar-benar hebat. Tangan kirinya bergerak dan ujung lengan
baju kirinya yang lebar panjang itu merupakan senjata istimewa yang menangkis
tusukan pedang Bu Kong.
"Plakk!
Bretttt... Dess!"
Bu Kong
mengeluh dan terhuyung ke belakang. Pedangnya telah tertangkis ujung lengan
baju dan biar pun pedangnya berhasil merobek ujung lengan baju lawan, namun
tangan kakek itu masih terus dilanjutkan dengan tamparan keras yang mengenai
pundaknya dan membuat tubuhnya terhuyung ke belakang dan tergetar hebat.
"Ha-ha-ha-ha...!"
Kakek itu tertawa dan kini menggunakan tangan kirinya yang ampuh itu
mencengkeram ke depan, ke arah kepala Giok Keng!
"Wuuuttt..
plak-plak-plak!"
"Aughhhhh...!"
Thian-ong Lo-mo terhuyung ke belakang dan hampir roboh. Rantai gergaji yang
tadi membelit pedang kini terlepas karena tubuhnya tergetar oleh tiga kali
tamparan sabuk merah muda yang dipegang oleh tangan kiri Giok Keng.
Ketika tadi
melihat pedangnya terbelit dan Bu Kong tertampar, dara ini cepat meloloskan
sabuk sutera merah muda yang merupakan senjata ke dua yang ampuh, dengan cepat
dia mempergunakan sabuk itu mendahului tangan lawan yang mencengkeram
kepalanya. Tepat sekali ujung sabuknya menotok tiga jalan darah di tubuh lawan,
jalan darah yang mematikan. Akan tetapi betapa kaget dan herannya ketika ia
melihat bahwa lawan yang tertotok tepat itu hanya terhuyung saja dan tidak
mati!
Kiranya
kakek brewok itu selain lihai ilmu silatnya dan amat kuat tenaga sinkang-nya,
juga merupakan ahli I-kiong Hoan-hiat (Ilmu Memindahkan Jalan Darah) sehingga
biar pun kelihatan dia tertotok tepat, namun sesungguhnya totokan itu tidak
mengenai jalan darah kematian dan hanya membuat dia menggigil dan terhuyung
saja.
Sama sekali
dia tidak mati, bahkan sebaliknya, dengan kemarahan meluap-luap karena
penasaran dan malu, dia sudah menubruk lagi ke arah Giok Keng sambil
mengeluarkan lengking dahsyat dari tenaga khikang-nya. Dua matanya yang lebar
itu terbelalak merah dan lengking suaranya membuat lima orang bekas anggota
Kwi-eng-pang terhuyung ke belakang dengan muka pucat.
Melihat
lawan yang menyerang dahsyat dengan rantai gergaji dan tangan kiri dibentuk
seperti cakar garuda, Giok Keng cepat menggerakkan pedang dan sabuk suteranya.
"Cringgg...
plakkk!"
Pedang dan
rantai bertemu di udara, sabuk sutera melibat lengan kiri kakek lihai itu, akan
tetapi dapat dibayangkan betapa kaget rasa hati Giok Keng ketika lengan kiri
lawan itu masih mampu bergerak terus ke depan melanjutkan serangannya, menyambar
ke arah lehernya seolah-olah cakar setan yang hendak mencekiknya. Dia cepat
miringkan tubuh dan mengangkat kakinya menendang.
"Brettt...
plakkk!"
Baju pada
pundak Giok Keng terobek oleh cakar itu dan kulit pundaknya lecet berdarah.
Akan tetapi tendangannya membuat lawan terpental ke belakang. Ketika dara ini
bersiap kembali setelah mendapat kenyataan bahwa luka di pundaknya tidak
berbahaya, ternyata kakek itu telah diserang hebat oleh Bu Kong.
Maka dengan
marah Giok Keng lalu menyerbu pula membantu pemuda itu dan kembali terjadi
pertandingan dahsyat di antara ketiga orang itu. Tubuh mereka tidak kelihatan
lagi, sudah terbungkus oleh gulungan sinar senjata mereka.
Karena
cepatnya gerakan mereka bertiga, lima orang bekas anggota Kwi-eng-pang tidak
ada yang berani mendekat apa lagi membantu. Suara khikang hebat dari kakek itu
tadi masih membuat jantung mereka terasa terguncang.
Setelah Giok
Keng menambah pedangnya dengan sabuk sutera merah muda, dan kedua orang muda
itu melakukan pengeroyokan dengan mengerahkan seluruh ilmu kepandaian dan
tenaga mereka, lambat laun kakek itu merasa terdesak juga. Seratus jurus telah
lewat dan sama sekali Thian-ong Lo-mo tidak mampu menjatuhkan seorang pun di
antara dua orang pengeroyoknya yang masih muda! Napasnya mulai memburu dan biar
pun merasa amat penasaran, dia harus mengakui bahwa jika pertempuran itu
dilanjutkannya juga, akhirnya dia akan terancam bahaya maut.
Tiba-tiba
kakek itu mengeluarkan pekik dahsyat sekali, senjata rantainya menyambar ke
depan menjadi sinar memanjang. Dua orang muda itu terkejut dan cepat menangkis.
"Tranggg...
cringgg...!"
Tetapi
tangan kiri kakek itu mendorong ke depan dan angin dahsyat langsung menyerang
kedua orang lawannya. Ternyata Thian-ong Lo-mo telah menggunakan pukulan jarak
jauh yang mengandung tenaga sinkang sekuat-kuatnya. Kiranya inilah serangan
terakhir kakek itu yang sudah menguras habis ilmu kepandaiannya.
"Wuuuutttt...!"

Giok Keng
dan Bu Kong makin kaget, secepatnya mereka melempar diri ke belakang dan
bergulingan untuk menghindarkan diri dari serangan dahsyat itu. Ketika keduanya
sudah meloncat bangun, ternyata lawan mereka telah lenyap dari situ.
Kiranya
Thian-ong Lo-mo yang melihat serangan terakhir tadi tidak berhasil, lalu segera
melarikan diri dengan cepat sekali!
"Berhenti...!"
Bu Kong menghardik, membuat kelima orang bekas anggota Kwi-eng-pang yang
mencoba untuk melarikan diri itu tiba-tiba berhenti dan membalikkan tubuh
dengan muka pucat.
"Ke
sini kalian!" Bu Kong membentak lagi dan bagaikan lima ekor anjing yang
ketakutan, lima orang itu menghampiri Bu Kong, kemudian segera menjatuhkan diri
berlutut di depan pemuda itu.
"Ampun...
Kongcu...!" Mereka mengeluh ketakutan.
Bu Kong
tersenyum mengejek, "Di mana pusaka-pusaka itu?" bentaknya.
"Di...
di dalam, Kongcu..."
"Hayo
kalian ambil dan keluarkan semua!"
Seperti
dikomando lima orang itu tergesa-gesa lari memasuki goa dan tak lama kemudian
mereka keluar sambil membawa sebuah buntalan besar. Bu Kong menerima buntalan
itu, memeriksa isinya. Ternyata masih lengkap. Dua buah pusaka, yaitu sebatang
pedang dan sebuah hiolouw (tempat abu hio) dari Siauw-lim-pai, dan banyak
barang perhiasan emas permata yang mahal, juga potongan emas dan perak!
Tiba-tiba
pemuda itu menggerakkan tangan kanannya, tampak sinar berkilat menyambar lima
kali dan... tubuh lima orang itu tergelimpang roboh dengan leher hampir putus.
Tubuh mereka berkelojotan sebentar dan tewas seketika!
"Ahhh,
mengapa kau membunuh mereka?" Giok Keng bergidik ngeri. Dia adalah seorang
pendekar wanita muda yang sudah biasa menyaksikan pembunuhan, akan tetapi hal
itu terjadi dalam pertempuran. Belum pernah dia menyaksikan pembunuhan yang
dilakukan dengan tangan dingin sehingga mengerikan hatinya.
"Mereka
adalah orang-orang jahat, sementara itu aku sudah bersumpah untuk menentang
orang-orang jahat, bukan? Moi-moi..." Bu Kong berkata melihat kekasihnya
mengerutkan alisnya, "Jika sekarang tidak dibunuh, tentu mereka itu akan
mendatangkan keributan saja di kemudian hari, dan dengan membunuh mereka
berarti kita telah membebaskan rakyat dari ancaman kejahatan mereka,
bukan?"
Giok Keng
mengangguk-angguk. Ucapan pemuda itu tidak dapat dibantah, maka dengan menarik
napas panjang dibenarkannya ucapan itu dengan anggukan kepala, mengambil
kesimpulan bahwa hatinya sendirilah yang lemah.
Dari tempat
itu, kedua orang muda ini lalu melanjutkan perjalanan menuju ke Siauw-lim-si
untuk mengembalikan dua buah benda pusaka Siauw-lim-pai yang dicuri oleh Bu Kong
kurang lebih enam tahun yang lalu. Di sepanjang perjalanan, kedua orang
muda-mudi ini tampak rukun sekali, penuh kasih sayang, penuh kegembiraan
sehingga seperti sepasang pengantin baru saja.
Tetapi Giok
Keng tetap bersikeras tidak memperbolehkan kekasihnya menjamahnya, dan dengan
hati kecewa sekali Bu Kong terpaksa menahan nafsunya, tidak berani dia merayu
kekasihnya sebelum mereka menikah karena dia maklum betapa kerasnya hati dara
itu sehingga besar kemungkinan cinta kasih dara itu akan berubah menjadi
kebencian hebat kalau dia melanggar janji dan larangan. Betapa pun juga,
hatinya sudah merasa puas dan lega bila menyaksikan sikap Giok Keng yang
mencintanya, cinta yang juga bersifat keras seperti watak dara itu, cinta yang
akan dibelanya dengan nyawa!
***************
Kita
tinggalkan dahulu Giok Keng dan Bu Kong yang melakukan perjalanan menuju ke
Siauw-lim-si itu, dan marilah kita kembali mengikuti perjalanan Yap Kun Liong
dan Pek Hong Ing, nikouw muda itu.
Seperti
diceritakan di bagian depan, Kun Liong dan Hong Ing yang terpaksa menentang
kehendak Pangeran Han Wi Ong, sekarang dicap sebagai pemberontak dan
orang-orang buruan. Gambar mereka ditempel di mana-mana sehingga mereka
terpaksa melakukan perjalanan dengan sembunyi-sembunyi, melalui jalan-jalan
sunyi, keluar masuk hutan dan naik turun gunung dalam perjalanan yang amat
sukar.
Karena dia
bertekat menolong Hong Ing agar tidak sampai tertangkap oleh orang-orang yang
menghendaki supaya dara itu menjadi istri Pangeran Han Wi Ong, maka Kun Liong
mengajak nikouw muda itu menuju ke timur, ke arah Teluk Pohai. Dahulu pada
waktu dia membantu supek-nya, Pendekar Sakti Cia Keng Hong, dan menyusul Souw
Li Hwa ke Pulau Ular, dia lewat hutan di dekat Pantai Pohai yang sunyi dan
melihat sebuah kuil di sana. Kuil Kwan-im-bio!
Kuil itulah
yang kini menjadi tujuan perjalanan mereka. Hong Ing harus bersembunyi dan
menjadi nikouw di sebuah kuil yang sunyi, baru akan selamat dara itu!
Mereka
melakukan perjalanan di sepanjang tepi Sungai Huang-ho. Sebetulnya, kalau saja
mereka bukan menjadi orang-orang buruan pemerintah, perjalanan itu akan lebih
mudah dilakukan dengan menggunakan perahu mengikuti aliran air sungai. Akan
tetapi mereka tidak berani mengambil jalan air, dan terus menyusuri pinggir
sungai sambil bersembunyi-sembunyi, memilih bagian-bagian yang sunyi.
Pada suatu
pagi mereka beristirahat di tepi sungai yang merupakan hutan sunyi senyap.
Semalam suntuk mereka melakukan perjalanan karena mereka sedang melewati daerah
ramai. Dan pagi hari ini, setelah sampai di hutan yang sepi, mereka duduk
beristirahat di bawah pohon.
Hong Ing
memanggang daging ikan yang mereka tangkap di sungai, kemudian mereka berdua
makan daging ikan panggang dan minum air dari sumber air yang cukup jernih.
Sambil duduk bersandar pada batang pohon, memberi kesempatan kepada tubuh yang
lelah untuk beristirahat, Hong Ing berkata,
"Kun
Liong, kau tentu lelah sekali..."
Kun Liong
duduk di atas rumput dan bersandar pada sebongkah batu besar. Dia menoleh dan
memandang wajah nikouw muda yang manis itu, lalu tersenyum. "Tidak lebih
lelah dari padamu, Hong Ing."
"Engkau
lain lagi dengan aku, Kun Liong. Aku memang harus pergi untuk mencari tempat
persembunyian. Akan tetapi engkau melakukan semua ini demi aku."
"Hemmm..."
Kun Liong tidak menjawab dan kini dia menundukkan kepalanya.
"Kenapa,
Kun Liong? Kenapa kau melakukan semua jerih payah ini untukku?"
Kun Liong
mengangkat mukanya.
"Hong
Ing, entah sudah berapa kali kau menanyakan hal ini kepadaku. Kenapa? Kenapa
aku melakukan semua ini? Semua kulakukan tentu saja karena engkau adalah
seorang sahabatku yang baik, bukan? Andai kata tidak demikian sekali pun, andai
kata engkau adalah orang lain dan bukan sahabat baikku, tentu akan kulakukan
juga. Menolong orang yang memerlukan pertolongan merupakan perbuatan yang
lumrah dan sudah semestinya, bukan?"
"Karena
engkau seorang yang berbudi mulia, Kun Liong."
"Hemmm..."
Hening sejenak.
Kemudian terdengar lagi suara Hong Ing dan betapa heran rasa hati Kun Liong
mendengar suara yang sumbang dan berada kecewa itu, "Jadi engkau
menolongku bukan karena akulah orang itu?"
Karena tidak
mengerti, Kun Liong mengangkat muka memandang. "Apa maksudmu?"
Hong Ing
menjadi merah mukanya dan menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, aku hanya
hendak menagih janjimu tempo hari bahwa engkau akan menceritakan riwayat
hidupmu. Aku ingin sekali mengetahui sesudah mendengar bahwa Pendekar Sakti Cia
Keng Hong adalah supek-mu. Ceritakanlah, Kun Liong."
"Apa
yang patut kuceritakan? Riwayatku sangat buruk, lebih buruk dari pada
riwayatmu, Hong Ing. Aku sudah pergi meninggalkan rumahku sejak aku berusia
sepuluh tahun. Aku merantau dan setelah aku pulang, ternyata ayah bundaku sudah
tidak berada di rumah kami." Dia menceritakan dengan singkat pengalaman
hidupnya ketika dia meninggalkan rumah sampai dia menjadi murid Bun Hwat Tosu
selama lima tahun kemudian menjadi murid Tiong Pek Hosiang selama lima tahun
pula.
"Aihhh,
kiranya engkau murid dua orang kakek sakti itu. Pantas kau hebat sekali! Dan ke
mana perginya ayah bundamu itu?" Hong Ing yang mendengarkan penuh
kekaguman itu bertanya.
Kun Liong
menarik napas panjang dan menunduk. "Mereka telah tewas..."
"Heiiii....!"
"Mereka
tewas terbunuh oleh lima orang datuk sesat!" Kun Liong lalu menuturkan
betapa kematian ayah bundanya itu dia ketahui dari Cia Keng Hong.
"Aku
meninggalkan rumah ketika berusia sepuluh tahun dan tidak pernah berjumpa lagi
dengan ayah ibuku! Mereka terbunuh oleh lima datuk itu..."
Hong Ing
merasa terharu sekali saat melihat Kun Liong menggunakan punggung tangan
mengusap dua butir air matanya. "Keparat mereka! Kau harus balas mereka,
Kun Liong. Biar kubantu engkau! Mari kita cari mereka!"
Kun Liog
mengangkat mukanya, memandang dan mencoba tersenyum. "Mereka berlima kini
sudah tewas, Hong Ing. Lima orang pembunuh orang tuaku sudah tewas semua dan
sekarang aku hanya ingin sekali menemukan adikku yang tak pernah kulihat
semenjak dia lahir."
"Adikmu...?"
Kun Liong
mengangguk. "Ketika aku pergi, Ibu melahirkan seorang anak perempuan yang
diberi nama Yap In Hong. Ketika Ayah dan Ibu terbunuh, adikku itu berhasil
diselamatkan oleh seorang pelayan, dibawa pergi entah ke mana. Sebab itu, setelah
engkau mendapat tempat yang aman, aku akan pergi mencari adikku itu, Hong
Ing."
Dara itu
mengangguk-anggukkan kepalanya yang gundul. "Kasihan sekali kau, Kun
Liong. Memang engkau harus mencari adikmu itu. Akan tetapi setelah sekarang
engkau menjadi orang buruan karena aku, bagaimana engkau bisa melakukan
perjalanan secara leluasa? Engkau akan ditangkap!"
"Tidak,
Hong Ing. Aku sudah memikirkan hal itu dan sudah memperoleh jalan terbaik. Aku
akan minta bantuan Supek Cia Keng Hong yang memiliki hubungan baik sekali
dengan para pejabat tinggi di kota raja dan dengan bantuannya tentu aku akan
dapat dibebaskan dan tidak menjadi orang buruan lagi. Juga aku akan memintakan
pengampunan bagimu. Selain itu, aku akan menanyakan tentang pusaka-pusaka milik
Siauw-lim-pai yang dahulu dicuri oleh pihak Kwi-eng-pang, apakah pusaka itu
sudah dikembalikan."
"Kau
tidak usah repot-repot memikirkan nasibku, Kun Liong. Aku sudah akan merasa
lega dan gembira sekali kalau kau dapat terbebas dari himpitan ini yang menimpa
dirimu akibat kau membela aku."
"Marilah
kita lupakan kepahitan yang kita hadapi, Hong Ing. Kita berdua maklum bahwa
kita tidak mempunyai kesalahan dan semua ini adalah gara-gara Pangeran Han Wi
Ong yang tidak tahu diri. Sekarang aku ingin sekali mendengar riwayatmu. Hong
Ing, Siapakah keluargamu? Dan bagaimana engkau bisa menjadi murid Go-bi
Sin-kouw yang lihai dan galak itu?"
Nikouw muda
itu menghela napas sambil mengerutkan alisnya. Kun Liong memandang wajahnya dan
pemuda itu kini diam-diam merasa makin kagum dan juga heran kepada diri
sendiri. Mengapa setiap kali memandang wajah dara gundul ini hatinya merasa
seperti dicengkeram sesuatu yang amat kuat, yang membuat dia merasa terharu
sekali dan ingin mencucurkan air mata?
"Aku
sudah tidak ingat lagi, Kun Liong. Pada waktu itu aku baru berusia lima tahun
dan seingatku, di sampingku hanya ada ibuku yang cantik dan gagah perkasa. Kami
berdua berada di tanah pegunungan, kalau tidak salah dugaanku di Tibet. Entah
apa yang terjadi, aku sendiri tidak tahu sama sekali. Tiba-tiba Ibu dikeroyok
oleh banyak pendeta berjubah merah, pendeta-pendeta Lama. Ibu menggendongku
sambil melawan mati-matian, lalu Ibu berhasil melarikan diri akan tetapi
terluka parah. Sesudah bertahan sampai belasan hari dan berada jauh sekali dari
Tibet, Ibu roboh dan meninggal dunia..."
Hampir saja
Kun Liong merangkul dan memeluk tubuh yang berguncang-guncang karena tangisnya
itu. Hong Ing menangis terisak-isak. Memang, siapa yang takkan menangis bila
membayangkan pengalamannya pada saat itu? Ibunya menggeletak dengan muka pucat,
dan dia, seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa, hanya menangis dan
memanggil-manggil nama ibunya.
"Ahhh…,
kasihan engkau, Hong Ing. Sudahlah, lupakan yang sudah dan jangan teruskan
ceritamu," Kun Liong menghibur.
Hong Ing
menyusuti air matanya dengan ujung lengan baju. "Aku hendak menceritakan
semuanya kepadamu, Kun Liong. Pada saat aku menangis menghadapi Ibu yang sudah
dalam sekarat, mendadak muncul Go-bi Sin-kouw dan Lauw Kim In, Subo dan suci-ku
itu. Go-bi Sin-kouw berusaha menolong ibuku, namun sia-sia belaka dan dengan
napas yang terputus-putus Ibu hanya bisa bercerita kepada Go-bi Sin-kouw
sebelum menghembuskan napas terakhir. Begitulah, aku lalu dibawa pergi oleh
Subo dan Suci."
"Apakah
Go-bi Sin-kouw tidak menceritakan kepadamu tentang nama ibu dan ayahmu?"
"Tidak
pernah. Subo tak pernah mau mengaku, dan kalau aku bertanya, dia hanya bilang
bahwa sekarang Subo yang menjadi pengganti ayah bundaku. Aku tak pernah
mengenal ayahku, dan tidak tahu pula mengapa Ibu dikeroyok oleh para pendeta
Lama."
"Ssstt...!"
Tiba-tiba saja tubuh Kun Liong mencelat ke belakang. Dia menyusup ke dalam
semak-semak, Ialu meloncat ke atas pohon tinggi, matanya memandang ke kanan
kiri mencari-cari. Kemudian dia melayang turun lagi ke depan Hong Ing yang
sudah meloncat berdiri dan memandangnya dengan heran.
"Ada
apakah, Kun Liong?" tanyanya, kagum menyaksikan gerakan Kun Liong yang
ringan seperti burung terbang tadi.
Kun Liong
mengerutkan alisnya. "Entahlah, aku tadi seperti mendengar ada suara orang
menarik napas panjang dan terdengar pula suara kaki menginjak daun kering. Akan
tetapi kucari ke mana-mana tidak ada bayangan seorang pun manusia."
"Ahh,
agaknya suara binatang kecil di semak-semak," kata Hong Ing yang duduk
kembali. Kun Liong juga duduk di depannya.
"Hong
Ing, riwayat kita sama-sama menyedihkan. Kita berdua adalah orang-orang muda
yang menderita sengsara sejak kecil."
"Menang
begitulah agaknya, Kun Liong. Hingga kini aku tidak pernah tahu apa itu yang
disebut bahagia. Tahukah engkau Kun Liong? Apakah bahagia itu?"
Kun Liong
merenung, sepasang matanya memandang jauh, alisnya berkerut, dan kepala
gundulnya mengkilap tertimpa matahari pagi, kemudian terdengar dia berkata
lirih, seperti kepada dirinya. "Bahagia? Apakah itu bahagia? Adakah
keadaan yang disebut bahagia? Ataukah itu hanyalah merupakan sebutan saja,
merupakan bentukan khayal yang timbul karena keinginan manusia terlepas dari
kesengsaraan? Siapakah yang membayangkan bahwa ada keadaan bahagia di dalam
hidup? Tentu hanya orang-orang yang sengsara! Orang-orang yang sengsara dan
menderita menciptakan khayalan yang berlawanan dan berlainan dari pada keadaan
hidupnya sendiri, menciptakan khayalan keadaan hidup yang sebaliknya dan yang
disebutnya bahagia! Maka hanya orang-orang yang sengsara saja, yang merasa
bahwa dia tidak bahagia, yang merindukan kebahagiaan! Orang yang tidak merasa
menderita sengsara, apakah dia merasa adanya bahagia itu? Tentu tidak, karena
sekali dia bahagia, itu bukanlah kebahagiaan lagi namanya! Kebahagiaan yang
dirasakan sebenarnya hanyalah ‘kesenangan’ dan sekali kesenangan dirasakan,
maka kesenangan akan membuatnya menjadi pecandu dan setiap kali dia akan selalu
mengejar kesenangan serupa untuk diulang kembali!"
Hong Ing
memandang dengan mata terbelalak. Tak disangkanya pemuda gundul ini dapat
berbicara seperti itu. Kata-katanya biasa saja, akan tetapi inti sarinya
meresap ke dalam sanubarinya, membuat dia seolah-olah dibangunkan dari mimpi
dan melihat kenyataan.
"Kalau
begitu, apakah bahagia itu, Kun Liong?" tanyanya lirih seolah-olah dalam
hatinya ada tersembunyi rasa hormat terhadap pemuda itu.
"Entahlah,
mungkin itu hanya sebutan saja dan sebutan atau nama sebuah keadaan atau benda
bukanlah si keadaan atau si benda itu sendiri. Kalau sudah dapat dituturkan
atau digambarkan, itu jelas bukanlah kebahagiaan namanya, tetapi kesenangan.
Kebahagiaan bukanlah benda mati, bukankah keadaan yang mati dan tidak berubah
lagi, karena itu tak mungkin digambarkan, tidak mungkin dicari dan dikejar. Maka
dari itu, kiranya tidak akan meleset jauh apa bila kukatakan bahwa Kebahagiaan
hanya akan menjenguk isi hati mereka yang tidak membutuhkan kebahagiaan!"
Hong Ing
melongo, tiba-tiba merangkap kedua tangannya sambil berkata penuh hikmat,
"Omitohud...!"
Kun Liong
baru sadar dan dia seperti ditarik kembali ke dunia lama. "Heiii!
Apa-apaan kau ini, seperti seorang nikouw tulen saja, pakai omitohud
segala?"
Hong Ing
menurunkan kedua tangannya, masih memandang kepada pemuda itu dengan mata
terbelalak dan agaknya dia pun baru saja sadar akan keadaan tadi yang berbeda
dengan biasanya. "Ahh, Kun Liong, ketika kau bicara tadi... kau menjadi...
lain! Wajahmu penuh wibawa, namun penuh kehalusan... membuat aku menjadi hormat
dan takut. Kau... kau aneh sekali. Dari mana kau mendapat semua pelajaran
tentang hidup itu? Pelajaran yang begitu terbuka dan aneh, namun yang mau tidak
mau harus kuakui kebenarannya itu?"
Sejenak Kun
Liong tak mampu menjawab, kemudian katanya ragu-ragu, "Entahlah, Hong Ing.
Mungkin juga dari kitab, tetapi entah kitab apa yang pernah menyebutkan semua
itu tentang bahagia. Terlalu banyak aku membaca kitab yang hampir semuanya
menjanjikan kebahagiaan-kebahagiaan kosong. Lamunan khayal yang membuat orang
seperti boneka atau seperti dalam mimpi, tak pernah dapat melihat kenyataan
hidup seperti apa adanya."
"Hemm,
kutu buku! Mempelajari segala hal dari buku, apa sih artinya? Hanya merupakan
pendapat orang lain belaka, pendapat para penulisnya, pengarangnya! Jika si
pengarang bijaksana dan pandai, belum tentu kita ketularan kebijaksanaan dan
kepandaiannya, akan tetapi kalau si pengarang dungu, kita terseret ke dalam
kedunguannya!"
Kun Liong
mengangguk-angguk. "Kau betul, ucapanmu tepat sekali, Hong Ing."
"Kau
yang pandai bicara tentang kebahagiaan, apakah engkau pernah merasa bahagia,
Kun Liong?"
Kepala yang
gundul itu tak bergerak sampai lama, kemudian dia menggeleng ragu. "Kalau
kuingat-ingat, aku hanya terlalu sering merindukan kebahagiaan. Kalau aku
sedang sakit terbayang olehku betapa bahagianya kalau sehat, padahal kalau
sehat tidak terasa lagi kebahagiaan dari kesehatan itu. Bagi orang lapar,
kebahagiaan adalah kalau memperoleh makanan. Pendeknya, kebahagiaan selalu
berada di masa depan, sebagai harapan dan keinginan yang dikejar-kejar, tapi sesudah
terpegang oleh tangan, kebahagiaan itu sendiri terbang lenyap, dan tampak di
depan lagi, seperti seekor burung merpati, kelihatan jinak namun tak pernah
dapat ditangkap! Entahlah, kurasa aku belum pernah menangkapnya."
"Bagaimana
saat sekarang ini? Apakah kau merasa bahagia?" Hong Ing bertanya sambil
menatap wajah tampan itu.
"Sekarang
ini? Ahhh, pertanyaanmu tadi sungguh aneh, Hong Ing. Bagaimana aku bisa
berbahagia dalam keadaan begini? Tidak, aku malah merasa susah dan sengsara
karena kita berdua harus saling berpisah dalam keadaan seperti ini, menjadi
orang-orang buruan pemerintah! Kita akan saling berpisah dan entah bagaimana
jadinya kelak dengan nasib kita masing-masing. Tidak, Hong Ing, saat ini aku
tidak bahagia."
"Tapi
aku berbahagia, Kun Liong!"
"Haiii...?
Kau...?"
"Hemm,
agaknya pengetahuan dari kitab-kitabmu tak ada gunanya, Kun Liong. Tahu dari
kitab saja percuma, yang penting harus menghayatinya sendiri."
"Tapi,
kau... kau berbahagia? Mana bisa? Mana mungkin?"
"Mengapa
tidak mungkin? Aku merasa berbahagia, mengapa tidak mungkin?"
"Sebabnya?"
"Apa
sebabnya? Hanya berbahagia, titik, tidak ada sebabnya lagi."
"Tapi...
haii!!! Siapa itu...?" Kun Liong berseru keras karena pada saat itu
terdengar suara tertawa, suara ketawa yang luar biasa nyaringnya sehingga
menggetarkan seluruh hutan, kemudian bergema di semua penjuru hutan itu.
Kun Liong
kembali meloncat, mengejar ke sana-sini karena sukar mencari dari mana asal
suara ketawa itu. Namun ternyata sia-sia belaka. Seperti juga tadi, walau pun
dia sudah menyelidiki dari atas pohon, tidak tampak bayangan seorang pun
manusia. Dia melayang turun lagi, mencari ke sana-sini di balik semak-semak dan
kini Hong Ing juga ikut mencari. Akhirnya mereka berdua saling pandang dan Hong
Ing bergidik.
"Bu...
bukan manusia...!" katanya berbisik dan wajahya yang cantik itu jelas
terlihat ngeri dan takut.
Dia memang
seorang dara yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Akan tetapi menghadapi suara
ketawa menyeramkan yang tidak ada orangnya itu, benar-benar membuat nyalinya
menyempit.
"Ahhh,
tidak mungkin. Tentu manusia! Biar kucari lagi dari atas pohon tertinggi
itu!" Kun Liong meloncat lagi ke atas pohon dan memanjat dari cabang ke
cabang sampai dia berada di puncak pohon.
Dia
mengintai ke empat penjuru dan tiba-tiba dia melihat debu mengebul tinggi dari
arah barat. Pasukan berkuda! Melihat bendera dan pakaian seragam, tahulah dia
bahwa tentu pasukan itu pasukan pemerintah yang mengejar dia dan Hong Ing! Maka
cepat-cepat dia melayang turun lagi.
"Ada
pasukan berkuda dari barat, tentu mengejar kita!" katanya.
"Ahhh...
bagaimana baiknya?" Hong Ing berkata, memandang wajah Kun Liong dengan
bingung.
"Kita
lari saja. Di antara mereka tentu terdapat orang pandai..., mungkin yang tadi
tertawa adalah orang mereka. Hayo kita lari ke timur!" Maka larilah kedua
orang muda itu menuju ke timur. Mereka lari secepatnya, menyusuri sepanjang
pantai Sungai Huang-ho terus ke timur.
Beberapa
hari kemudian kedua orang muda yang melarikan diri itu sudah tiba di lembah
muara Sungai Huang-ho, dekat dengan pantai Teluk Pohai. Cepat keduanya memasuki
hutan dan akhirnya Kun Liong menemukan kuil Kwan-im-bio yang berada di dalam
hutan itu.
Sebuah kuil
kecil yang terpencil sendiri di dalam hutan. Kuil kosong dan biar pun di situ
masih terdapat meja sembahyang dan beberapa buah bangku, namun semua bangku itu
kotor dan bahkan arca Kwan Im Pouwsat juga tidak ada di situ.
Akan tetapi
Kun Liong memang sudah mempersiapkan diri ketika lari dalam beberapa hari ini.
Dia sudah membeli banyak lilin serta hio, maka bersama Hong Ing dia cepat-cepat
membersihkan kuil itu kemudian menutupi tempat arca dengan sapu tangan sutera milik
Hong Ing agar dari luar tidak kelihatan tempat arca yang kosong, mengatur lilin
di atas meja. Pendeknya keduanya berusaha keras supaya kuil itu kelihatan
sebagai kuil yang masih bekerja.
Tiga hari
mereka bersembunyi di kuil itu. Pada hari ke empatnya, dari jauh telah
terdengar derap kaki kuda. Mengertilah kedua orang muda itu bahwa para pengejar
mereka sudah tiba di dalam hutan itu! Maka sibuklah mereka berdua.
Kun Liong
menyalakan lilin, memasang belasan batang hio dan menancapkannya di atas meja
sehingga asap hio yang harum semerbak keluar dari kuil itu. Tidak lama kemudian
terdengarlah suara jernih dari Hong Ing yang sudah berliam-keng (membaca ayat
suci) sambil mengatur iramanya dengan memukul alat yang khusus dibuat untuk itu
dan yang masih ada di dalam kuil! Kun Liong sendiri juga sudah menutupi
kepalanya dengan kain putih meniru gaya Hong Ing, dan sambil berlutut dan mulut
kemak-kemik dia pun tekun memukuli alat untuk liam-keng itu dengan gencar.
Maka
ramailah kuil itu, suara Hong Ing berliam-keng diiringi suara tak-tok tak-tok
nyaring! Suara ini ditambah asap hio mengepul harum memang cukup mendatangkan
suasana kuil.
Dengan hati
berdebar tegang kedua orang itu berlutut dan sengaja memilih ruang dalam yang
gelap, menghadapi meja sembahyang dan menundukkan muka sehingga penutup kepala
itu menutupi muka mereka dari samping. Dilihat sepintas lalu, tentu saja mereka
merupakan dua orang nikouw yang sedang tekun membaca doa dan suara Hong Ing
tidak dapat disangsikan lagi sebagai suara seorang wanita, seorang nikouw.
Derap kaki
kuda makin jelas terdengar dan akhirnya terdengar teriakan dan rombongan itu
berhenti di luar kuil. Tepat seperti yang dikhawatirkan oleh Kun Liong,
beberapa orang meloncat turun dari kuda dan memasuki kuil! Langkah kaki-kaki
yang kasar memeriksa ke dalam kuil dan akhirnya memasuki ruangan di mana dia
dan Hong Ing berlutut. Hong Ing semakin gencar membaca doa, demikian cepatnya
sehingga menyelimuti suaranya yang agak gemetar saking tegangnya.
"Tidak
ada nikouw lain, hanya ada dua orang ini," terdengar suara orang
laki-laki.
"Tentu
tidak berada di sini. Kalau ada, tidak mungkin mereka dapat bersembunyi."
kata suara laki-laki ke dua.
"Nanti dulu!"
Suara wanita ini membuat Kun Liong terperanjat bukan main. Itulah suara Si
Gendut Kim Seng Siocia dan diam-diam dia bergidik! Wanita gendut ini amat
cerdik dan ternyata Kim Seng Siocia sudah memandang ke arah sepatu yang dipakai
Kun Liong dan Hong Ing.
"Heh,
Nikouw! Berhentilah dahulu berliam-keng!" Kim Seng Siocia membentak.
"Apakah kalian melihat seorang pemuda gundul dan seorang nikouw muda lewat
di tempat ini?"
Hong Ing
terus berliam-keng dengan suara semakin nyaring, sedangkan Kun Liong cepat menggeleng-gelengkan
kepala tanpa menjawab, mulutnya terus berkemak-kemik ada pun tangannya makin
gencar memukuli alat itu.
"Ahh…,
dua orang nikouw ini mana melihat hal lain kecuali berliam-keng? Mereka akan
berliam-keng sampai mati, memesan tempat di sorga, ha-ha-ha!" Terdengar
suara lelaki pertama.
Terdengar
langkah kaki mereka meninggalkan tempat itu dan hati Kun Liong sudah mulai lega
ketika tiba-tiba suara Kim Seng Siocia membuatnya terkejut setengah mati.
"Nikouw!
Kenapa sepatu kalian kotor berdebu?"
Pertanyaan
itu diucapkan dengan bentakan yang begitu mendadak sehingga Kun Liong yang
terkejut itu menjawab gagap, "Ohhh... ehhh... belum kami
bersihkan...!"
Dia
terbeialak dan melongo saat melihat kesalahannya sendiri. Dalam gugupnya dia
telah membuka mulut memperdengarkan suaranya yang tentu saja tidak pantas
menjadi suara seorang wanita, malah dengan mengatakan bahwa mereka berdua belum
membersihkan sepatu berarti dia telah membuka rahasia.
"Tangkap
mereka!" Kim Seng Siocia berseru keras dan terdengarlah cambuk hitam di
tangannya bersuitan.
Kun Liong
dan Hong Ing sudah meloncat bangun dan sambil mendorong tubuh Hong Ing agar
mundur, Kun Liong sudah menggerakkan ranting yang berada di tangannya untuk
menangkis cambuk. Memang dia sudah menyembunyikan dua batang ranting itu di
dalam jubahnya tadi, menjaga segala kemungkinan.
Setelah
melihat bahwa dua orang itu adalah orang-orang yang mereka kejar, Kim Seng
Siocia dan dua orang kang-ouw yang tadi melakukan pemeriksaan cepat melompat
keluar karena mereka bertiga maklum betapa lihainya dua orang itu.
Kun Liong
berbisik, "Hati-hati, Hong Ing. Kita harus mencari jalan keluar dan
melarikan diri."
Hong Ing
hanya mengangguk, akan tetapi sedikit pun hati dara ini tidak kuatir. Dia
berada di samping Kun Liong dan kenyataan ini mendatangkan keberanian luar
biasa. Dia lalu mengikuti Kun Liong berloncatan keluar dan begitu tiba di luar
kuil, tampaklah oleh mereka musuh-musuh mereka dengan lengkap! Pangeran Han Wi
Ong, Kim Seng Siocia, Go-bi Sin-kouw, para panglima pengawal dan masih tampak
belasan orang yang melihat pakaian mereka tentulah orang-orang kang-ouw.
Kun Liong
merasa heran melihat ada orang-orang kang-ouw membantu pemerintah untuk
menangkap orang buruan. Dia tidak tahu bahwa orang-orang ini bukan semata-mata
ingin membantu pemerintah, akan tetapi lebih condong untuk ikut mencari bokor
emas karena mereka menganggap bahwa Kun Liong satu-satunya orang yang agaknya
tahu di mana adanya bokor emas yang tulen. Di samping mereka ini, masih ada
seregu pasukan terdiri dari lima puluh orang prajurit!
Maklumlah
Kun Liong bahwa amatlah berbahaya melawan orang sebanyak itu. Apa lagi jika
mengingat akan kepandaian orang aneh yang tadi mentertawakannya, yang dia tidak
tahu siapakah orangnya di antara para orang kang-ouw itu.
Kalau
melawan tentu akan membahayakan keselamatan Hong Ing. Maka tanpa banyak cakap
lagi, tiba-tiba dia merangkul pinggang Hong Ing, mengempitnya dan membawanya
meloncat sambil mengerahkan ginkang-nya. Tubuhnya mencelat ke sebelah kiri, ke
arah orang-orang kang-ouw karena dia sudah tahu akan kelihaian Kim Seng Siocia
dan Go-bi Sin-kouw yang berada di depannya.
"Kejar!"
"Tangkap!"
Empat orang
kang-ouw yang kebetulan berada di sebelah kiri telah menyambit Kun Liong, akan
tetapi tangan pemuda ini menggerakkan rantingnya sehingga berturut-turut robohlah
empat orang kang-ouw itu sebelum mereka tahu bagaimana mereka dapat dirobohkan.
Gerakan ranting itu hebat bukan main karena memang Kun Liong telah memainkan
Ilmu Tongkat Siang-liong-pang yang amat luar biasa.
Setelah
berhasil merobohkan empat orang itu, cepat Kun Liong melarikan diri dan setelah
agak jauh barulah dia melepaskan tubuh Hong Ing, memegang tangan dara itu
kemudian mengajaknya berlari terus menuju ke timur. Di belakang mereka
terdengar teriakan-teriakan orang dan derap kaki kuda. Mereka dikejar terus
oleh rombongan itu!
Sehari
semalam mereka terus melarikan diri dan pada sore harinya, mereka tiba di
pantai Teluk Pohai! Jalan buntu! Di hadapan mereka membentang luas air laut dan
di belakang mereka rombongan itu masih mengejar terus!
Melihat
keadaan ini, Hong Ing memegang lengan Kun Liong dan berkata, "Kun Liong,
kau larilah selagi masih ada kesempatan! Tiada gunanya lagi kau mati-matian
melindungiku, Kun Liong, sampai mati aku akan berterima kasih kepadamu, akan
tetapi janganlah kau mengorbankan diri untukku. Pergilah dan tinggalkan aku di
sini. Aku dapat menghadapi mereka."
Kun Liong
mengerutkan alisnya. "Kau dapat menghadapi mereka? Bagaimana? Kau tentu
akan ditangkap oleh gurumu dan akan dipaksa menikah dengan pangeran itu kalau
tidak dibunuh."
"Aku
tidak takut! Aku akan melawan dan kalau aku kalah, sebelum ditawan aku dapat
membunuh diri."
"Tidak!"
Kun Liong mencengkeram lengan dara itu sampai Hong Ing merintih, baru dia
teringat dan melepaskannya. "Aku tidak akan pergi meninggalkanmu selama
aku masih hidup. Aku tidak bisa membiarkan engkau ditawan atau membunuh diri.
Hong Ing, jangan bicara yang bukan-bukan, mari kita lawan mereka. Kita bukanlah
orang-orang lemah dan lebih baik mati sebagai harimau dari pada mati seperti
babi, mati konyol!"
Hong Ing
menggigit bibir dan dua titik air matanya jatuh, dia tidak mampu menjawab lagi,
hanya mengangguk-angguk. Sementara itu, dari jauh sudah tampak debu mengebul
dan tak lama kemudian kelihatan rombongan pengejar itu mendekati pantai.
"Hong
Ing, jangan kau bergerak dulu, kau berdiri sajalah di belakangku." Sambil
berkata demikian, Kun Liong memegang tangan dara itu lantas meloncat ke atas
sebuah batu karang besar yang berada di pinggir laut itu. Dengan sikap gagah
dia berdiri tegak. Hong Ing di belakangnya seolah-olah dia hendak melindungi
dara itu dari segala mara bahaya.
Rombongan
pengejar itu berhenti di depannya. Mereka segera turun dari atas kuda dan
memandang pemuda itu, tidak berani sembarangan turun tangan melihat sikap
pemuda itu yang sama sekali tidak kelihatan gentar. Kemudian terdengar suara
Kun Liong lantang bergema.
"Pangeran
Han Wi Ong sebagai seorang pembesar tinggi, seorang bangsawan agung, ternyata
tingkah lakumu sama sekali tidak patut menjadi tauladan rakyat! Engkau hendak
menggunakan pengaruh kedudukan dan kekuasanmu untuk memaksa seorang dara agar
menjadi isterimu! Engkau tidak bercermin. Lihatlah mukamu sendiri dalam cermin.
Engkau juga hanya seorang manusia biasa, tiada bedanya dengan aku atau Hong
Ing, mengapa engkau hendak memaksa dia menjadi isterimu? Kalau seorang pembesar
sebejat engkau wataknya, bagaimana pula dengan bawahanmu yang akan mencontoh
perbuatanmu?"
Mendengar
ini, muka pangeran itu sebentar merah dan sebentar pucat. Dia marah sekali,
karena menganggap pemuda itu terlampau kurang ajar, tidak tahu apa yang
dideritanya selama ini, dia benar-benar cinta kepada Pek Hong Ing, dara perkasa
yang dikaguminya. Dia telah mengajukan lamaran secara baik-baik dan sudah
diterima oleh Go-bi Sin-kouw sebagai wali dara itu! Bagaimana dia dimaki-maki
seperti itu? Adalah pemuda itu yang kurang ajar dan tidak patut, melarikan
calon isteri orang!
"Kim
Seng Siocia, engkau juga seorang wanita yang berakhlak bejat! Apakah engkau tak
malu hendak memaksa seorang pria seperti aku menjadi suamimu? Engkau sepatutnya
berjodoh dengan Pangeran Han Wi Ong, karena sama-sama hendak memaksa orang untuk
menjadi jodohnya!"
Kim Seng
Siocia tertawa lebar. "Bocah lucu, kalau sudah tertawan, aku akan menjewer
telingamu biar kau bertobat, hi-hi-hik!"
"Dan
engkau, Go-bi Sin-kouw. Guru macam engkau ini pun bukan merupakan seorang guru
yang baik! Mana ada guru yang katanya mencinta muridnya hendak menjerumuskan
murid sendiri? Jelas bahwa muridmu, Pek Hong Ing, tidak suka menjadi isteri
Pangeran Han Wi Ong, akan tetapi kau hendak memaksanya. Aku tahu hal ini adalah
karena kau ingin mendapatkan kehormatan dan harta. Engkau tidak patut menjadi
guru, pantasnya sikapmu itu sikap seorang biang pelacur!"
"Dan
kalian orang-orang kang-ouw dan para prajurit! Percuma saja hidup seperti
kalian ini, mencari uang dan kedudukan dengan jalan membunuh orang lain. Kalian
merupakan boneka-boneka sial yang mau saja ditipu serta diperalat oleh
segelintir manusia macam Pangeran Han Wi Ong yang mengejar kedudukan! Betapa
murah harga diri dan nyawa kalian!"
"Serbu!
Bunuh saja keparat itu!" Tiba-tiba saja terdengar perintah yang keluar
dari mulut Pangeran Han Wi Ong. "Dan tangkap nona itu!"
"Tidak!
Jangan bunuh calon suamiku!" Kim Seng Siocia membantah.
Menyerbulah
semua orang itu ke batu karang dan terpaksa Kun Liong meloncat turun lalu
mengamuk dengan sepasang ranting di tangannya. Dia mainkan Siang-liong-pang,
maka berturut-turut robohlah beberapa orang prajurit yang terdekat. Akan tetapi
betapa pun juga, Kun Liong tetap tidak mau membunuh orang dan selalu mengatur
gerakan kedua ranting di tangannya sehingga yang roboh olehnya hanya menderita
tertotok, luka ringan atau patah tulang saja. Dalam waktu singkat Kun Liong
sudah dikeroyok seperti seekor jangkerik dikeroyok banyak sekali semut yang
nekat.
Melihat
betapa Kun Liong dengan nekat menghadapi pengeroyokan sedangkan semua itu dilakukan
demi melindunginya, Hong Ing segera meloncat turun pula dan mengamuk. Dia ingin
mati di samping pemuda ini!......
Terima kasih telah membaca Serial ini.
No comments:
Post a Comment